Ceritasilat Novel Online

Bocah Tanpa Pusar 1


Pendekar Mabuk Bocah Tanpa Pusar Bagian 1


Serial .

   Pendekar Mabuk Judul .

   01.

   Bocah Tanpa Pusar Pengarang .

   ? Penerbit .

   ? E-book .

   paulustjing PARA penduduk mulai cemas mendengar suara gemuruh di kejauhan.

   Mereka segera keluar dari rumah masing-masing dan memandang puncak gunung.

   Jauh di sana bertengger puncak gunung tinggi yang dinamakan mereka Gunung Cadas Geni.

   Warnanya putih keabu-abuan.

   Biasanya puncak gunung itu tampak jelas dari Desa Kilangan.

   Sekarang tampak buram.

   Ada kabut hitam menutupinya dan langit di atas puncak berwarna gelap.

   Ada api menyembur dari dalam puncak, dan suara gemuruh terdengar lagi.

   "Celaka! Kita akan dilanda musibah,"

   Ujar lelaki setengah umur.

   "Kita harus cepat mengungsi. Sebentar lagi desa kita akan disapu lahar panas. Gunung Cadas Geni mau meletus! Cepat!"

   Teriak tetangganya.

   "Apa?! Gunung meletus? Siapa suruh?"

   Tanya istrinya.

   "Mana aku tahu?! Aku tidak pernah menyuruhnya! Cepat kemasi barang. Jangan banyak tanya!"

   "ly... iya.... Baik. Baik...!"

   Sang istri gugup. Barang dikemasi. Apa yang bisa dibawa, dibawanya. Yang tidak bisa dibawa berusaha dibawanya pula.

   "Kumpulkan anak kita!"

   "Ada berapa ya?"

   Gumam sang istri dengan linglung. Mungkin karena panik. Sebab di luar rumah orang-orang juga panik. Mereka saling teriak.

   "Cepat mengungsi! Cepat pindah...! Gunung itu akan meletus! Cepat cari tempat yang aman! Hoi, hoi..., jangan bengong saja kamu! Cepat pergi dari sini!"

   Ada juga suara lain yang berseru.

   "Baju hitamku ke mana, Mak?!"

   "Jangan urusi baju hitam, Tong! Cepat bantu Emak kemasi barang!"

   "Barangku ada di mana, Mak?!"

   "Husy! Jangan pikir barangmu sendiri. Urus juga barangnya Emak itu, Tong!"

   "Barang Emak kan sudah diurus Bapak!"

   Suara kentongan berbunyi.

   Waktu itu, bunyi gemuruh terdengar yang ketiga kalinya.

   Tanah berguncang makin jelas.

   Gayung di cantelan sempat jatuh.

   Daun pohon rontok sebagian.

   Genteng di pojokan rumah melorot tiga.

   Jatuh.

   Mengenai kepala anak kecil.

   Anak itu menangis keras-keras.

   Bapaknya keluar dengan berang melihat kepala anaknya bocor dan berdarah.

   "Kurang ajar! Siapa yang melempar kepala anakku sampai bocor begini, hah?! Mau mengungsi malah bikin perkara saja!"

   Para penduduk menghambur keluar dari rumah.

   Barang-barang dirakit.

   Siap dibawa pergi.

   Gulungan tikar, kendil, anak kambing, diikat dijadikan satu.

   Gayung sumur, ember timbaan, nasi jagung, singkong rebus, dibungkus dijadikan satu.

   Kepanikan demi kepanikan berlangsung.

   Mereka bersimpang siur.

   Ada yang saling tabrak dan saling caci sendiri.

   Ada yang berteriak-teriak memanggil istrinya, takut ketinggalan.

   Ada yang berteriak-teriak mencari anaknya, takut hilang.

   Ada yang berteriak-teriak menarik anjingnya, takut disembelih orang.

   Ada yang berteriak-teriak memanggil neneknya, takut tertukar kambing bandot.

   Gaduh dan riuh desa itu.

   Tapi toh masih ada yang tidak menghiraukan suasana.

   Seorang bocah duduk di atas punggung kuda.

   Ia sedang belajar menunggang kuda.

   Bocah itu tertawa-tawa.

   Seorang lelaki gemuk yang dipanggilnya Paman Dubang berlari-lari di samping kuda merah kecoklatan.

   "Jangan kencang-kencang menarik talinya, Suto!"

   Seru Paman Dubang kepada anak di atas kuda. Ia tampak cemas. Takut jadi terbalik, kuda di atas anak itu.

   "Paman...! Bagaimana cara menghentikannya!"

   "Kencangkan talinya!"

   Sambil si paman masih berlari-lari di samping kuda.

   "Lekas kencangkan talinya!"

   "Baik, baik...! Baik, Paman!"

   Anak itu agak cemas, Ia buru-buru mengencangkan tali celananya. Paman Dubang membentak.

   "Bukan tali celanamu, Suto! Tapi tali kekang kuda. Tarik ke belakang supaya berhenti!"

   "O, baik. Baik...!" . Tali kekang kuda ditarik. Kuda meringkik. Kaki depannya naik. Bukan karena tarikan tali kekang, tapi karena suara gemuruh dan guncangan tanah tadi. Rupanya kuda juga takut dengan tanda-tanda gunung akan meletus.

   "Paman! Bagaimana ini?!"

   "Kendorkan talinya!"

   "Sudah."

   "Tarik lagi jangan disentak."

   Tali ditarik lagi. Tidak disentak. Tapi kuda meringkik. Kakinya naik lagi. Tinggi. Sampai bocah yang bernama Suto itu tersentak ke belakang. Bluukk...! Ia jatuh.

   "Aaauuuh...!"

   Teriaknya kesakitan. Paman Dubang segera menolongnya sambil menggerutu.

   "Tadi sudah Paman pesan, jangan sampai jatuh. Kepalamu bisa bonyok kalau begini caranya. Ayo, bangun! Lekas bangun."

   "Baik, Paman!"

   "Kamu harus bisa menunggang kuda. Jangan sampai kuda yang menunggang kamu!"

   "Kudanya nakal, Paman! Cari kuda betina saja."

   "Husy! Kamu masih kecil. Tidak boleh menunggang kuda betina. Belum akil balik kok sudah mau cari kuda betina?! Kuda jantan saja! Ayo, lekas... naik lagi ke punggung kuda."

   Suto terpacu semangatnya, ia bergegas naik ke punggung kuda lagi. Paman Dubang berteriak.

   "Hoii...! Jangan lewat ekornya! Lewat samping!"

   "Bantu aku naik, Paman!"

   Paman Dubang membantu Suto.

   Pantat Suto didorong naik.

   Kaki anak itu melangkahi pelana.

   Pada saat itu, gemuruh dan guncangan tanah yang kedua terdengar oleh sang kuda.

   Rupanya sang kuda menjadi takut, ia kembali mengangkat kaki depannya sambil meringkik.

   Suto nyaris jatuh lagi.

   "Paman, Paman...! Awas...!"

   "Pegang tali kekangnya!"

   Sentak Paman Dubang dengan jengkel. Suto memegang tali kekang dengan kaki belum sempurna melangkah. Sang kuda semakin kaget dan berlari dalam sentakan awal.

   "Hati-hati, Paman!"

   Suto segera berseru.

   "Diamlah! Paman sedang kebingungan!"

   Rupanya Paman Dubang ikut terbawa lari. Kaki kirinya terseret-seret, ia menjadi panik dan gugup. Pelana dipakai gelantungan. Pundaknya mendorong Suto. Anak itu bisa duduk di pelana. Tapi tangan Paman Dubang tertindih pantatnya.

   "Jangan kau duduki tangan Paman, Suto!"

   "Habis aku duduk di mana?"

   "Agak maju sedikit, biar tangan Paman bebas. Aduh, kaki Paman terseret-seret. Bagaimana ini?"

   "Ya bagaimana?! Paman kan pawang kuda. Hentikanlah, Paman!"

   "Susah, Tolol!"

   Sentak lelaki gemuk pendek itu.

   Kuda tetap berlari dengan liar.

   Suaranya meringkik-ringkik bagaikan tawa perawan di malam pengantin.

   Paman dan Suto sama-sama tegang.

   Sama-sama kebingungan.

   Akhirnya sama-sama terbawa oleh kuda ke arah kesibukan para penduduk yang siap-siap mengungsi.

   "Lihat, Suto...! Gara-gara kamu tak becus mengendalikan kuda, para penduduk menjadi panik begini!"

   Kata Paman Dubang.

   "Oh, maaf, Paman,"

   Bocah itu matanya jelalatan ke mana-mana.

   Memandang tiap orang dengan kesibukannya masing-masing.

   Kuda meringkik lagi semakin keras, semakin kencang larinya.

   Bahkan kali ini melompat tinggi.

   Seorang nenek yang bingung mencari tusuk kondenya yang jatuh di tanah, dilompati oleh kuda itu.

   Sang nenek terkejut dan terkesima dengan mulut melongo.

   "Burung apa itu tadi?!"

   Gumamnya dengan bingung.

   Kuda disangka burung.

   Tapi siapa yang tahu gumaman sang nenek, kecuali nenek itu sendiri.

   Paman Dubang masih terseret-seret.

   Kuda semakin beringas.

   Lari sana lari sini.

   Akhirnya Paman Dubang ketakutan dan berteriak keras-keras.

   "Tolooong...! Tolooong...! Tolong hentikan kuda ini...!"

   Tentu saja orang-orang tak menghiraukan.

   Tak ada yang datang menolong.

   Semua panik dengan upaya menyelamatkan diri sendiri-sendiri.

   Di saat itulah, tak lama kemudian muncul seorang lelaki tua.

   Dia adalah sesepuh kampung tersebut.

   Dia hanya sesepuh, bukan kepala desa.

   Tubuhnya berdiri di sebuah tempat tinggi dan berseru.

   "Tenang! Tenang! Jangan panik, Saudara-saudara!"

   Suara sesepuh itu didengar oleh penduduk.

   Mereka mulai berhenti berlarian.

   Mereka berkumpul di depan sesepuh itu.

   Pada saat yang sama, kuda yang ditunggangi Suto dan Paman Dubang menabrak sebuah kedai yang telah kosong penghuninya.

   Bruss...! Braaak...! Semua mata jadi memandang ke arah kedai bernasib malang itu.

   Salah seorang ada yang berseru.

   "Hoi, ada sesepuh mau bicara kok malah main kuda-kudaan!"

   Suto meringis menahan sakit.

   Tubuhnya tersangkut di tiang atas kedai.

   Paman Dubang merintih kesakitan.

   Tubuhnya jatuh di atas meja bertindih patahan tiang atap.

   Ia berusaha bangkit begitu melihat kaki Suto bergelantungan di atas.

   Kemudian ia bergegas menolong bocah itu untuk turun dari atap.

   Tapi Suto menolak, kakinya menjejak-jejak.

   "Biar. Biar, Paman. Aku bisa turun sendiri."

   Suto pun melompat turun. Huuhp...! Braak...! .

   "Aaauh...!"

   Teriak Paman Dubang. Suto jatuh di meja, mejanya patah dan menjatuhi kaki Paman Dubang. Tentu saja Paman Dubang menjerit. Seseorang kembali menyentak.

   "Hooi...! Disuruh diam dan tenang kok malah terbahak-bahak!"

   "Terbahak-bahak apanya?! Kakiku sakit!"

   Bantah Paman Dubang. Suto hanya cekikikan geli. Mereka segera bergabung dengan kerumunan orang di depan sesepuh. Kemudian terdengar suara sesepuh berkata.

   "Saudara-saudara, warga Desa Kilangan, kuharap kalian tidak menjadi panik dan jangan salah langkah. Gunung Cadas Geni itu tidak akan meletus. Jadi kalian tidak perlu panik dan mencari tempat untuk mengungsi. Kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Gunung itu tidak akan meletus!"

   "Tapi kok mengeluarkan semburan api?"

   "Dan juga bergemuruh, Pak Tua!"

   "Betul. Sudah tiga kali kami mendengar gemuruhnya."

   "Itu sebuah pertanda akan ada bahaya di desa kita ini. Akan ada bencana, tapi bukan bencana alam,"

   Jawab sesepuh desa berusaha menenangkan rakyatnya.

   "Masa begitu?"

   "Betul. Dari zaman buyutku hidup di tanah Desa Kilangan ini, gunung itu tidak pernah meletus. Tapi jika desa ini akan terserang wabah, misalnya, maka gunung itu memberikan tanda. Menyemburkan api dan asap hitam tiga kali, mengeluarkan bunyi gemuruh yang mengguncangkan bumi, tiga kali."

   "Ooo... jadi bukan mau meletus, ya Pak Sepuh?"

   Tanya seseorang.

   "Tidak. Jangan takut. Cuma kalian harus waspada. Jaga diri kalian baik-baik. Jaga keluarga kalian baik-baik. Tetaplah bersatu dan gotong-royong jika terjadi sesuatu secara tiba-tiba!"

   Kepala mereka manggut-manggut.

   Mulut mereka melongo mengeluarkan gumam.

   Kemudian terdengar kasak-kusuk seperti serombongan lebah bergaung.

   Mereka mulai melangkah menuju rumah mereka masing-masing.

   Sedangkan Suto mendesak Paman Dubang untuk melangkah mencari kudanya.

   Toh gemuruh gunung tersebut memang berhenti.

   Tidak menyemburkan asap dan api lagi.

   Tidak terasa ada guncangan tanah kembali.

   Gunung itu tenang, hati masyarakat desa pun jadi lapang.

   Tapi beberapa saat kemudian, suara gemuruh itu datang lagi.

   Orang-orang yang telah tenang menjadi tegang kembali.

   Mereka keluar dari rumah saling pandang dalam keheranan.

   Suara gemuruh itu disimak baik-baik.

   Mata mereka menatap ke puncak gunung.

   Salah seorang berseru.

   "Bukan suara gunung!"

   "Ya, sepertinya suara gemuruh kaki kuda."

   "Betul. Makin lama semakin dekat suaranya."

   Seorang lelaki tua terbatuk-batuk. Lengannya ditepuk oleh istrinya.

   "Jangan berisiklah...! Kita sedang menyimak suara gemuruh itu. Kamu kok malah bergemuruh sendiri!"

   "Batuk. Aku batuk,"

   Kata suaminya yang tua.

   "Iya. Batuk ya batuk. Tapi nanti saja, kalau kita sudah yakin suara apa yang bergemuruh itu!"

   Lelaki tua itu bergegas masuk ke rumah sambil menggerutu.

   "Orang mau batuk kok disuruh menunda...!"

   Gemuruh itu memang kian mendekat.

   Kemudian mata mereka memandang ke arah batas desa.

   Tampak samar-samar sesuatu yang bergerombol bergerak maju.

   Kian lama kian jelas.

   Mereka kian paham bahwa ada serombongan orang berkuda mendatangi desa mereka.

   Bertambah dekat bertambah jelas.

   Orang-orang penunggang kuda itu memiliki wajah garang, buas, menyeramkan dan tampak keji-keji.

   Jumlah mereka ada tiga belas orang.

   Semua menunggang kuda.

   Semua bersenjata.

   Sepertinya siap tempur.

   Salah seorang yang menjadi ketua mereka mengangkat tangan mengepal.

   Kuda-kuda itu berhenti.

   Tapi kudanya sendiri keterusan.

   Akhirnya berhenti agak jauh dari rombongan anak buahnya.

   Mata orang itu menatap liar di sekelilingnya.

   Kudanya bergerak pelan mendekati rombongan.

   Sambil begitu, orang tersebut berseru kepada penduduk yang melongok dari pintu rumah, atau yang tersembunyi mengintip dari celah dinding papan, atau yang bersembunyi di balik batang pohon, termasuk kepada anak kecil yang bersembunyi di balik sarung bapaknya.

   "Mana Ronggo Wiseso...?!"

   Teriak orang berbadan kekar dengan dada bidang berbulu. Kumisnya tebal melintang dan kelopak matanya berbelok bagai burung hantu.

   "Tunjukkan, mana rumah Ronggo Wiseso!"

   Seru orang yang berpakaian serba hitam itu.

   Ia menyandang pedang di punggungnya.

   Pedang besar, sebanding dengan ukuran lengannya yang besar pula.

   Karena tak ada penduduk yang berani buka mulut, selain buka baju karena kegerahan, maka orang tersebut segera turun dari kudanya.

   Berjalan dengan mata liar.

   Menggetarkan hati tiap manusia yang memandangnya.

   Seorang pemuda bertubuh kurus yang bersembunyi di kolong bangku kedai yang rusak ditabrak kudanya Suto itu, segera ditarik keluar.

   Dijambak rambutnya, ditengadahkan kepalanya.

   Lalu, pedangnya dihunus, dan ditempelkan di leher anak muda kurus itu.

   "Mana rumah Ronggo Wiseso! Cepat tunjukkan, atau kugorok batang lehermu! Lekas...!"

   Bentaknya bagai tak sabar.

   "Ad... ada... ada di pojok desa, sebelah barat, Paman!"

   "Biadab! Berani kau memanggil Kombang Hitam dengan sebutan Paman, hah?! Panggil aku Tuan!"

   "Ba... baik.., baik, Tuan!"

   "Nah, begitu!"

   Lalu ia menggerutu.

   "Ketua Begal Utara kok dipanggil Paman! Memalukan!"

   Ia kembali bertanya meyakinkan.

   "Jadi benar, rumah Ronggo Wiseso ada di pojok sana?!"

   "Benar, Tuan Kombang Hitam."

   "Bagus. Terima kasih,"

   Katanya sambil melepas rambut pemuda kurus itu. Pedang pun kembali dimasukkan dalam sarungnya. Ia melangkah setelah bersalaman dengan pemuda kurus itu sambil mengucapkan kata terima kasih lagi.

   "Serang rumah itu!"

   Teriak Kombang Hitam kepada anak buahnya.

   "Bantai semua penghuninya! Jangan ada yang tersisa!"

   Kemudian rombongan itu pun menuju ke rumah pojok desa.

   Deru kaki kuda bergemuruh, menerbangkan jutaan debu menyirat ke mana-mana.

   Kombang Hitam sendiri memacu kudanya lebih cepat dan selalu berada di depan rombongan.

   '' "Untung kamu selamat, Nang...!"

   Kata seorang perempuan paro baya kepada pemuda kurus tadi. Rupanya pemuda itu anak perempuan tersebut.

   "Mak... aku... lemas... aku...."

   "Lho, lho... Nang? Lho, kenapa wajahmu pucat? Lho... Nang? Kok wajahmu membiru?! Nang...? Anakku...?!"

   "Mak...!"

   Suaranya pelan sekali. Matanya meredup. Ia pun terkulai jatuh dalam pelukan emaknya. Emaknya tak kuat, akhirnya jatuh ke tanah secara bersamaan. Brukkkk...! "Anakku! Naang...!"

   Teriak perempuan itu histeris setelah ia tahu anaknya sudah tidak bernapas lagi. Pemuda itu mati dalam keadaan sekujur tubuhnya menjadi biru kehitaman.

   "Dia keracunan makanan!"

   Seru seseorang yang mangerumun.

   "Bukan keracunan makanan. Pasti gara-gara salaman sama Kombang Hitam itu!"

   "Benar! Pasti waktu salaman, Ketua Begal Utara itu menyalurkan tenaga dalamnya yang amat beracun dan berbahaya!"

   "Edan! Jahat sekali orang itu."

   "Gawat. Pasti keluarga Ronggo Wiseso tak mampu melawannya!"

   "Apa benar begitu? Ronggo Wiseso kan pejabat kadipaten?!" * * * RONGGO Wiseso memang pejabat istana kadipaten. Dia menjadi penasihat sang adipati untuk urusan hukum. Setiap ada perkara, Ronggo Wiseso yang menyelesaikan secara hukum dan peraturan yang berlaku, lalu sang adipati yang memutuskan ketetapan hukuman terakhir. Tapi karena waktu itu Ronggo Wiseso sering sakit-sakitan, maka ia diizinkan untuk beristirahat. Untuk itu diangkatlah seorang penasihat hukum yang bisa menggantikan Ronggo Wiseso. Tetapi penasihat baru itu kurang begitu piawai dalam masalah hukum kadipaten, sehingga masih sering minta pendapat Ronggo Wiseso. Pihak kadipaten sendiri masih menganggap Ronggo Wiseso sebagai orangnya dan tetap menerima upah perbulannya. Usia orang itu antara enam puluh tahun. Tubuhnya kurus dengan tulang-tulang wajah yang keras, sedikit menonjol. Ia terkejut ketika pintu gerbang rumahnya diterjang kuda. Suaranya bergemuruh mengagetkan seekor ayam yang sedang bertelur di belakang rumah. Serombongan orang berkuda itu segera mengepung rumah tersebut sampai di bagian belakang. Bergegas lelaki kurus karena penyakit batuk-batuknya itu menuju serambi depan. Dan ia berpapasan dengan Kepala Begal Utara yang tampak menggeram. Kakinya berdiri tegak merenggang dengan mata menatap buas. Ronggo Wiseso berkerut kening merasa heran.

   "Siapa kau?"

   "Ronggo Wiseso, kau tentu ingat Mandra Dayu yang atas usulmu dijatuhi hukuman mati oleh sang Adipati, bukan?"

   "Mandra Dayu...?!"

   Gumam Ronggo Wiseso. Ia berpikir sejenak.

   "O, ya. Benar. Rasanya memang layak Mandra Dayu menerima hukuman mati, karena ia nyaris membunuh sang Adipati. Kenapa?"

   "Aku adalah kakak Mandra Dayu. Aku menuntut atas kematian adikku itu, Ronggo Wiseso! Satu-satunya saudaraku telah kau lenyapkan dengan keputusan hukummu yang tidak adil itu, maka sebagai gantinya, keluargamu harus kulenyapkan pula, supaya kau bisa merasakan bagaimana hidup tanpa sanak keluarga!"

   "Tunggu dulu...!"

   Kombang Hitam sudah tak sabar. Ia berseru.

   "Anak-anak, bantai habis mereka!"

   "Hiaaat...!"

   Teriak mereka bersamaan.

   Dua belas anak buah Kombang Hitam mengamuk.

   Tak ada tetangga yang bisa menolong, tak ada dari mereka yang berani mendekat.

   Jerit dan teriakan bagai suasana di alam neraka.

   Pada waktu itu, Paman Dubang dan Suto sudah berhasil menemukan kudanya.

   Kuda itu menjadi jinak kembali.

   Suto duduk di atas punggung kuda, sementara Paman Dubang menuntun, dengan memegangi tali kekang kuda itu.

   Kuda itu bukan berlari, namun berjalan dengan santainya.

   Suto yang masih berusia delapan tahun itu tersenyum-senyum.

   Merasa tenang dan nyaman duduk di punggung kuda, karena ada yang menjaganya.

   Kuda pun tidak bisa menjadi liar, melainkan patuh dan menurut dengan bimbingan Paman Dubang.

   "Enak sekali kalau begini, Paman. Aku pantas menjadi pendekar sakti berkuda, ya?"

   "Iya. Tapi mana ada pendekar naik kuda kok dituntun? Seharusnya seorang pendekar itu bisa naik kuda sendiri."

   "Kalau begitu, lepaskan saja, biar aku menunggang kuda sendiri."

   "Kalau kudanya lepas lagi bagaimana?"

   "Ya dikejar. Sambil diancam seperti tadi, Paman!"

   "Huuh... kuda kok diancam terus, lama-lama dia bosan jadi kuda,"

   Paman Dubang bersungut-sungut. Tiba-tiba tiga orang penduduk yang dikenal Paman Dubang itu menghadang di depan mereka. Wajah ketiga orang itu menegang dan napas mereka tampak tak teratur.

   "Dubang, sebaiknya kau bawa si Suto pergi jauh-jauh. Jangan pulang ke rumah!"

   Kata salah seorang.

   "Habis mau pulang ke mana kalau tidak ke rumah?"

   "Ke penginapan saja!"

   Kata yang satunya lagi.

   "Di sini mana ada penginapan?!"

   Sentak Dubang.

   "Memangnya kenapa aku tidak boleh pulang, Kang?"

   Tanya Suto yang merasa heran mendengar larangan itu.

   "Keluargamu sedang dibantai habis oleh Begal Utara!"

   "Apa...?!"

   Dubang memekik kaget. Suto segera turun dari punggung kuda dengan merosot dan jatuh sebentar. Ia mendekati salah satu dari ketiga tetangga dan bertanya.

   "Apa yang terjadi di rumahku, Kang?"

   "Keluargamu... keluargamu dibantai oleh Kombang Hitam, kepala rombongan Begal Utara! Kakak-kakak perempuanmu diperkosa mereka, lalu dibunuh. Termasuk kedua pembantu perempuanmu, juga diperkosa dan dibunuh, dan...."

   "Tunggu,"

   Kata Suto dengan bingung, lalu ia bertanya kepada Paman Dubang pengasuhnya itu.

   "Paman, diperkosa itu diapakan, Paman?"

   "Jangan bertanya begitu. Kamu masih anak-anak. Sebaiknya...."

   "Sebaiknya cepat lari. Sembunyikan anak momonganmu itu! Lekas, Dubang! Kalau mereka melihat Suto, pasti Suto juga akan dibunuhnya. Mereka merencanakan menghabisi semua keluarga majikanmu itu!"

   "Aduh, aku... aku... aku bagaimana, ya? Kakiku gemetar sekali dan, yaaah... basah juga akhirnya,"

   Sambil Dubang memandang celananya yang basah bagian bawah. Itu disebabkan rasa ketakutannya begitu besar.

   "Huhh... dasar pengecut. Baru begitu saja sudah ngompol!"

   Gerutu tetangga yang bersarung merah. Tiba-tiba mereka sadar, bocah kecil itu sudah tak ada di antara mereka. Salah seorang dari mereka berseru.

   "Lho, di mana Suto tadi?!"

   "Ya, ampun...! Dia sudah berlari ke arah rumahnya!"

   "Celaka! Pasti dia menjadi sasaran juga. Ayo, cepat kita kejar dia!"

   Mereka berempat mengejar Suto.

   Tapi larinya Suto begitu cepat sambil menyelusup di antara pinggiran rumah penduduk, mencari jalan pintas menuju rumahnya.

   Rupanya hati anak itu cemas dan tegang.

   Ia mulai menahan kesedihan membayangkan apa yang diceritakan tiga tetangga tadi.

   Ia penasaran, ingin melihat kebenaran cerita itu.

   Begitu tiba di depan rumahnya, di balik sebuah pohon, Suto bersembunyi.

   Ia melihat rumahnya terbakar dengan api meluap berkobar-kobar.

   Ia juga melihat ayahnya yang renta itu sedang melawan dua anak buah Kombang Hitam.

   Sementara Kombang Hitam sendiri hanya terkekeh-kekeh sambil berdiri di samping kudanya.

   "Hajar terus si tua bangka itu! Hajar jangan sampai mati!"

   Teriak Kombang Hitam dengan memuakkan hati siapa saja yang melihat pertarungan itu.

   Ronggo Wiseso mencoba menahan serangan kedua anak buah Kombang Hitam yang datang dari arah kanan-kirinya.

   Kedua tangannya dipakai untuk menangkis pukulan yang datang secara bersamaan.

   Ketika tangan itu membuka, kaki kedua anak buah Kombang Hitam itu menendang setengah lingkaran dan mengenai dada Ronggo Wiseso.

   Buk, buk...! "Hegh...?!"

   Tubuh Ronggo melengkung ke belakang, lalu terhuyung-huyung.

   Darah segar muncrat dari mulutnya.

   Warnanya hitam kemerah-merahan.

   Kedua anak buah Kombang Hitam yang melancarkan jurus kembar itu segera menghentakkan telapak tangan mereka, satu di dada kanan, satu lagi di dada kiri.

   Bleg...! Bleg...! "Uhggh...!"

   Ronggo Wiseso semakin mendelik matanya.

   Telapak tangan yang datang secara serempak itu seperti sebongkah batu besar dihantamkan di kedua dadanya.

   Napas terhenti seketika itu pula.

   Ronggo merasakan ada hawa panas yang membakar rongga dadanya, bahkan seluruh isi tubuhnya bagai terbakar api.

   Namun, agaknya lelaki kurus dan berbadan sedikit bungkuk itu masih berusaha bertahan.

   Ia balas menyerang dengan sebuah sentakan kaki kanannya ke arah perut lawan yang ada di sebelah kanan.

   Plakk...! Kaki itu ditangkis oleh lawannya menggunakan kibasan tangan.

   Justru Ronggo Wiseso yang menyeringai kesakitan pada pergelangan kakinya, terasa linu sekali akibat tangkisan tadi.

   Akibatnya, satu kaki menjadi lemah.

   Ia jatuh terlutut.

   Tapi kaki kirinya berhasil tetap berpijak pada tanah.

   Hanya saja, sebelum ia melakukan sesuatu gerakan, tiba-tiba kedua tangan lawan datang memenggal dari kanan-kiri, tertuju pada tengkuk kepala Ronggo.

   Bleg...! Bleg...! "Uhgg...!"

   Kepala Ronggo tersentak maju dan darah hitam kembali menyembur keluar.

   Pukulan tangan memenggal itu seperti dua batang balok yang dihantamkan kuat-kuat di tengkuknya.

   Ronggo pun jatuh tersungkur tak tahan lagi.

   Brukkk...! Saat itu, Suto menjerit dari balik persembunyiannya.

   "Ayaaah...!"

   Ia berlari mendekati ayahnya yang sekarat.

   "Hai, itu pasti anak bungsu Ronggo! Tangkap dan bunuh anak itu sekalian!"

   Seru Kombang Hitam.

   Ia menuding ke arah Suto dengan mata mendelik liar.

   Mendengar seruan itu, Suto tidak merasa takut.

   Ia justru mendekati ayahnya.

   Kedua anak buah Kombang Hitam yang telah merubuhkan ayahnya itu menghadang langkah Suto, maka Suto pun berbalik mengambil batu dan melemparkan.

   Plak, pletak! Batu itu mengenai wajah dan kepala penghadangnya.

   "Wadow...!"

   Seru mereka serempak. Suto melarikan diri begitu melihat hidung salah seorang yang dilempar berdarah. Kedua anak buah Kombang Hitam pun segera mengejarnya. Anak itu berlari mencari kesempatan untuk melempar lagi.

   "Anak itu bisa jadi penyakit kalau hidup!"

   Geram Kombang Hitam. Maka, ia segera naik ke atas kuda dan mengejar Suto dengan kudanya itu. Tetapi, Suto membelok ke jalan setapak yang sempit di pinggiran rumah seseorang. Kuda itu tidak bisa mengejar masuk di jalanan sempit itu.

   "Jahanam!"

   Geram Kombang Hitam lagi.

   "Kuremuk habis tulang-tulangnya kalau dia tertangkap!"

   Kombang Hitam mengarahkan kudanya dengan memutar jalan.

   Ia bermaksud menghadang jalan tembus tempat pelarian Suto.

   Sedangkan kedua anak buahnya masih tetap mengejar melalui jalan yang diambil Suto.

   Rupanya di ujung jalan tembus itu Dubang telah menghadang.

   Begitu melihat Suto berlari terbirit-birit, Dubang segera menyongsongnya.

   Suto baru bisa menjerit.

   "Pamaaan...!"

   "Diam. Jangan bersuara!"

   Sambil Paman Dubang menggendong Suto dan menerabas melalui tanaman jagung milik tetangga itu.

   "Pegangan yang kuat, ya? Kita akan lari secepatnya lewat celah-celah tanaman jagung ini!"

   Kata Dubang yang menggendong Suto di belakangnya. Suto pun segera berpegangan kuat-kuat dengan kedua tangannya. Dubang membawanya lari tunggang-langgang. Ia sempat berkata dengan nada tegang dan tertekan.

   "Jangan terlalu kuat, itu namanya mencekik leher Paman!"

   Lalu ia terbatuk-batuk, karena kedua lengan Suto begitu kencangnya memeluk leher sehingga napas Dubang sulit dikendalikan.

   "Ke mana mereka?!"

   Teriak Kombang Hitam kepada kedua anak buahnya.

   "Aku tadi melihat kelebatan anak itu yang digendong seorang lelaki pendek dan gemuk!"

   "Saya rasa, mereka masuk ke ladang jagung, Ketua!"

   "Kalau begitu, kejarlah mereka! Kenapa hanya bengong saja?!"

   Maka kedua orang tersebut segera menerabas masuk ke ladang jagung yang rimbun, tinggi tanaman itu sudah menyamai tinggi orang dewasa.

   Sedangkan Kombang Hitam yang merasa waswas itu segera melarikan kudanya mengikuti tepian ladang jagung.

   Ia akan mencegat di ujung ladang sebelah sana.

   "Wah... bajuku robek, Paman!"

   "Biarkan saja!"

   Dubang tetap berlari sambil mencari arah yang aman.

   Ia mendengar suara gemerusuk di belakangnya, itu pertanda ada yang mengejarnya di dalam ladang jagung itu.

   Karenanya, ia semakin mempercepat larinya bagai membabi buta.

   Larinya sudah tidak tentu arah lagi.

   "Turunkan aku, Paman. Biar aku lari sendiri!"

   "Kebetulan!"

   Kata Dubang, segera menurunkan Suto. Maka mereka lari berdua. Beberapa waktu kemudian, mereka berdua berhasil keluar dari ladang jagung. Dubang berhenti sebentar, mengatur pernapasannya. Di depannya sebuah jalan liar menuju kaki bukit.

   "Kita akan ke mana, Paman?"

   Tanya Suto dengan ngos-ngosan juga.

   "Ke mana sajalah. Ooh... napas Paman seperti mau putus, Suto."

   "Tapi mereka mengejar kita di belakang, Paman. Kita tak boleh beristirahat di sini. Ayo, lari lagi, Paman...!"

   "Lari, lari...!"

   Sentak Dubang.

   "Kamu enak, usia masih muda. Aku ini yang sudah setengah umur harus lari tanpa berhenti, mana bisa?!"

   Terdengar suara kaki kuda samar-samar. Dubang mulai cemas.

   "Itu mereka, Paman. Biarlah kuhadapi mereka. Paman selamatkan diri saja."

   "Jangan berlagak jago kamu. Kamu kan masih kecil! Ayo, lari lagi."

   Mereka berlari kembali sekuat tenaga.

   Kali ini mereka mendaki tanah perbukitan, melewati celah-celah batang pohon.

   Menerabas semak berduri.

   Kedua anak buah Kombang Hitam muncul, keluar dari ladang jagung.

   Bertepatan dengan itu, Kombang Hitam pun berpapasan dengan mereka.

   Ia berteriak dengan kemarahannya.

   "Kalian lagi! Huh...!"

   "Mungkin mereka masih tertinggal di dalam ladang, Ketua!"

   "Setan! Kenapa masih mungkin? Harus pasti!"

   Tiba-tiba mata salah satu anak buahnya itu melihat gerakan terburu-buru di antara celah pepohonan. Ia menuding sambil berteriak keras.

   "Itu dia!"

   "Hiiihk...!"

   Kuda yang ditunggangi Kombang Hitam meringkik dan melonjak kaget karena suara keras tersebut.

   "Kucing kurap! Jangan keras-keras. Kudaku kaget!"

   "Ketua, mereka mendaki bukit. Saya lihat jelas!"

   "Kejar dia! Kejaaar...!"

   Bentak Kombang Hitam bagaikan orang kesurupan.

   Dan ia sendiri segera bergegas mengejarnya dengan tetap menunggang kuda.

   Suaranya berteriak-teriak menghela kuda supaya lebih cepat bergerak di kerimbunan semak.

   Jalanan makin mendaki.

   Di depan ada jurang.

   Di belakang ada pengejarnya.

   Turun sama saja bahaya.

   Dua anak buah Kombang Hitam tampak berkelebat mengejar dari arah bawah.

   Satu-satunya jalan adalah tetap mendaki ke atas.

   Padahal kaki Dubang seperti dibanduli beban berton-ton beratnya.

   Napasnya tinggal seliter lagi.

   Namun, demi menyelamatkan Suto, bocah asuhannya itu, Dubang memaksakan diri untuk lari mendaki menjadi penunjuk jalan.

   Sesekali ia limbung dan terhuyung karena lelahnya.

   Sesekali ia menjadi tegak kembali jika mendengar suara ringkik kuda.

   Suto memandang gemas, ingin melawan mereka tapi selalu segera ditarik tangannya oleh Paman Dubang.

   "Awas, Paman. Hati-hati... di sebelah kanan kita jurang yang sangat dalam, Paman."

   "Diam kamu! Aku tahu itu jurang!"

   Kata Dubang dengan hati dongkol, merasa digurui dalam keadaan kelelahan begitu.

   Tiba-tiba suara derap kaki kuda kian jelas di belakangnya.

   Dubang menoleh ke belakang, ia melihat Kombang Hitam sedang memacu kudanya untuk lebih cepat lagi.

   Kaki Dubang pun kian dipercepat.

   Namun, sayang sekali kaki itu menyampar akar pohon yang melintang, sehingga Dubang pun tersungkur jatuh ke depan.

   Buukk...! Suto menabraknya dan ikut terjatuh.

   "Ngekk...!"

   Tubuhnya tertindih Suto. Ia mencoba bangun karena Kombang Hitam berseru.

   "Mampus kalian sekarang, hah...?!"

   Terburu-buru Paman Dubang membuat kakinya goyah berpijak. Ia terpeleset jatuh ke tepian jurang.

   "Awas, Paman...!"

   Teriak Suto terbawa tangan Dubang. Tangan kanan Dubang memegangi akar pohon untuk menahan tubuhnya yang nyaris merosot ke jurang. Sedangkan tangan kirinya berusaha menahan tubuh Suto yang sudah bergeser dari punggungnya.

   "Naik, Suto! Naik...! Cepat naik!"

   Tangan Dubang mendorong-dorong tubuh Suto. Bocah itu berhasil naik ke atas, berada di dekat pohon. Tetapi, pada saat itu kuda Kombang Hitam mendekati. Dubang berteriak,"Lari! Lekas lari, Suto...! Lari...!"

   "Pamaaan...!"

   Suto bingung, ia ingin membantu menolong Dubang agar bisa naik.

   "Cepat lariii...!"

   Teriak Dubang dengan gemasnya.

   "Selamatkan jiwamu untuk balas dendam nanti!"

   Maka. Suto pun melarikan diri menuju ke atas. Kombang Hitam berteriak.

   "Mau lari ke mana kau bocah ingusan...! Ha, ha, ha...!"

   Suto tetap lari sambil memikirkan kata Dubang tadi.

   Napasnya terengah-engah.

   Sementara itu, Dubang, segera berusaha naik dari tepi jurang.

   Susah payah ia menarik dirinya dengan berpegangan pada akar pohon yang berjuntai mirip rambut raksasa itu, namun tiba-tiba kedua anak buah Kombang Hitam tiba dari pengejarannya.

   Mereka menemukan Dubang dalam keadaan kritis.

   "Nah, ini dia orangnya!"

   Kata salah seorang. Yang satu berkata pula.

   "Habisi saja dia!"

   Dubang cemas dan memohon.

   "Kang, tolong aku...! Tolonglah. Nanti kuberi tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso. Tolong tarik aku ke atas, Kang...!"

   "Jangan mau tertipu oleh bujukannya!"

   Kata yang satu. Yang satunya lagi berkata.

   "Tapi dia mau memberi tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso!"

   Orang yang diajak bicara itu mendengus, lalu mencabut goloknya.

   Dubang menjadi tegang.

   Ingin memohon sesuatu tak sempat keluar dari mulutnya.

   Orang yang memegang golok itu segera menebas ke depan.

   Crasss...! Akar itu dipenggal.

   Putus.

   Dan tubuh Dubang pun jatuh melayang ke bawah jurang dengan jerit yang menggema mengerikan.

   "Aaaa...!"

   Suto berhenti dari larinya, ia mendengar jeritan itu.

   Ia makin sedih karena tahu suara itu jeritan Dubang.

   Ia berbalik arah ingin ke tepi jurang lagi, tapi kuda yang ditunggangi Kombang Hitam muncul dari semak-semak.

   Suto menjerit kaget, kemudian hanya bisa berdiri dengan tubuh gemetar.

   Pada saat itu, kedua anak buah Kombang Hitam pun datang dengan napas terengah-engah.

   Kombang Hitam tertawa terbahak-bahak dengan tetap di atas punggung kuda.

   Kemudian, ia berseru kepada anak buahnya.

   "Penggal kepala bocah itul Penggal!" * * * JANTUNG bocah yang sudah tidak berbaju lagi itu semakin berdebar. Rasa cemas melihat golok tajam terhunus membuatnya ia melangkah mundur, mencari kesempatan untuk mengambil batu buat dilemparkan. Orang yang memegang golok tajam itu mendekat.

   "Kalau berani jangan pakai golok!"

   Ucap Suto dalam kebingungannya. Kaki gemetar dan celana jadi melorot. Melihat anak buahnya melakukan tugas dengan agak ragu-ragu, Kombang Hitam berteriak dengan membentak keras.

   "Penggaaal...!"

   Dan, golok berkilat itu diangkat ke atas.

   Dari sisi kanan Suto, golok itu berkelebat menghantam leher bocah telanjang dada itu.

   Trangng...! Orang yang menggenggam golok itu mendelik melihat goloknya telah patah, hampir dekat gagang tempat yang patah itu.

   Kini ia hanya memegangi gagang golok saja.

   Tentunya hal itu membuat temannya yang satunya terkejut juga, dan Kombang Hitam terperanjat.

   Ia masih duduk di atas kudanya sambil matanya melirik kanan-kiri, mencari seseorang yang telah mematahkan golok itu dengan menggunakan sebutir batu kecil.

   Batu itu jatuh di kaki kuda.

   Kombang Hitam turun dari kuda.

   Memungut batu kecil seukuran kacang tanah itu.

   Ia mengamat-amati sambil bergumam.

   "Keparat! Pasti ada orang berilmu tinggi menghalang-halangi niat kita! Batu sekecil ini bisa dipakai mematahkan golok baja. Hmmm...! Mana dia...?"

   Mata Kombang Hitam kembali menatap liar ke sekelilingnya.

   Namun yang ada hanya sepi dan sunyi.

   Tak ada tempat yang mencurigakan.

   Kecemasan Suto mereda.

   Matanya memandang golok yang patah dan tak sadar masih digenggam oleh pemiliknya.

   Kombang Hitam merasa semakin geram dengan anak itu.

   Lalu, ia berkata kepada anak buahnya yang masih mempunyai golok di pinggang.

   "Penggal! Tunggu apa lagi. Cepat!"

   Sreet...! Golok dicabut lagi. Suto kebingungan. Ia merundukkan kepala sambil berkata.

   "Jangan coba-coba menyerangku lagi!"

   Suto masih nekat mengancam.

   Baru saja golok diangkat ke atas, belum sempat diayunkan.

   Tiba-tiba terdengar suara nyaring.

   Trangng...! Kembali golok itu patah.

   Bahkan menjadi tiga bagian.

   Padahal suara trang tadi hanya satu kali.

   Dan lagi-lagi Kombang Hitam menemukan sebutir batu sebesar kacang tanah.

   Hati lelaki bertubuh besar itu menjadi semakin panas.

   Matanya semakin buas memandang sekeliling.

   "Benar-benar keparat!"

   Geramnya dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat.

   Batu kecil itu digenggam dan hancur berubah menjadi serbuk abu-abu.

   Kecemasan Suto kembali mereda.

   Ia merasa lega, bahwa golok yang akan memenggal lehernya itu patah kembali.

   Itu berarti lehernya masih tetap utuh.

   Kombang Hitam berteriak keras.

   "Siapa kamu, hah?! Ada urusan apa kamu ikut campur dalam urusanku ini?! Keluarkan batang hidungmu! Hadapi aku, Kombang Hitam, Ketua Begal Utara! Ayo, keluar dari persembunyianmu! Keluar...!"

   Sepi.

   Tak ada jawaban dan suara yang mencurigakan.

   Bahkan detak jantung pun tak terdengar oleh Kombang Hitam.

   Biasanya ia bisa mendengar detak jantung dari orang yang bersembunyi.

   Tapi kali ini, ketika ia memejamkan matanya sesaat, ia tidak mendengar detak jantung, selain jantung milik mereka dan Suto.

   "Aku tak mendengar ada detak jantung selain milik kita,"

   Ia berkata kepada anak buahnya.

   "Jangan-jangan anak itu punya kesaktian tersembunyi?"

   Kombang Hitam menatap Suto. Bocah yang ditatap itu mendengus benci, dan memalingkan kepala. Menggumam sesaat dengan mata tak berkedip. Kemudian ia berkata kepada kedua anak buahnya itu.

   "Kurasa dia anak yang polos, tanpa ilmu apa pun. Ingat saat dia lari, dia lari sebagai bocah biasa. Tanpa menggunakan tenaga peringan tubuh, tanpa gerak-gerak yang mencurigakan."

   "Lalu, siapa yang telah mematahkan senjata kami, Ketua?"

   "Entahlah. Sebaiknya segera kalian periksa keadaan di sekeliling tempat ini! Periksa dengan teliti, sebelum bocah itu kupenggal sendiri dengan pedangku!"

   Kombang Hitam segera maju untuk meraih Suto.

   Tetapi, tiba-tiba ia melompat ke samping karena merasakan ada hawa panas berkekuatan besar sedang mengarah ke dadanya.

   Begitu ia melompat ke samping dan berguling satu kali, kuda di belakangnya menjadi sasaran berikutnya.

   Kuda itu meringkik sambil terlempar ke belakang, membentur pohon.

   Jaraknya ada sepuluh tombak dari tempat sang kuda berdiri.

   Kuda itu meringkik-ringkik, tak bisa bangun lagi.

   Dan hal itu membuat kedua anak buah Kombang Hitam menjadi tertegun bengong tak berkedip.

   "Iblis Laknat!"

   Maki Kombang Hitam.

   Ia bergegas bangun.

   Ia juga memandang kudanya yang patah pada keempat kakinya dan kelihatan menyedihkan sekali.

   Meringkik-ringkik bagai orang menderita sakit yang amat nyeri.

   Sebagian kulit tubuh kuda yang putih itu menjadi memar merah.

   Terutama pada bagian perut dan kaki.

   "Benar-benar ada yang ingin main-main denganku!"

   Geram Kombang Hitam lagi.

   "Lekas cari! Periksa. Tumbangkan semua pohon di sini! Bakar semua semak yang ada! Cepaaat...!"

   Kedua anak buah itu bergegas pergi dengan perasaan takut akan kemarahan Kombang Hitam. Suto juga bergegas pergi. Tapi Kombang Hitam membentak.

   "Hai, mau ke mana kamu, hah?"

   "Membakar semak!"

   "Yang kuperintahkan anak buahku. Kamu tidak ikut kuperintahkan membakar semak! Diam di situ kalau masih ingin selamat!"

   Suto diam, memandang dengan tengil dan berlagak tidak takut sedikit pun. Di balik semak rimbun, kedua anak buah Suto berkasak-kusuk.

   "Mana mungkin kita bisa menumbangkan pohon? Golok pun tak punya. Bagaimana ini?"

   "Entahlah. Kita juga tidak memiliki tenaga dalam sehebat ketua, mana bisa menumbangkan pohon dengan tangan kosong? Membakar semak tanpa api pun jelas tak bisa. Kita tidak bisa mengeluarkan api dari telapak tangan kita, seperti Ketua."

   "Lalu, apa yang harus kita lakukan?"

   "Tak tahulah...,"

   Orang itu tampak bingung dan garuk-garuk kepalanya yang dililit kain pengikat kepala.

   "Nyawa kita bisa melayang kalau begini caranya. Aku yakin, ada tokoh sakti yang bersembunyi di sini. Entah di sebelah mana. Salah-salah, begitu kita menemukan dia, kita mati lebih dulu."

   "Iya. Aku juga khawatir begitu. Jelas tokoh itu sangat sakti. Setidaknya punya tenaga dalam yang jauh lebih sempurna dari yang dimiliki sang ketua."

   "Apakah... apakah sebaiknya kita pergi saja secara diam-diam?"

   "Pergi? Oh, sepertinya itu gagasan yang bagus. Ayo, lekas tinggalkan hutan ini. Aku yakin, iblis penunggu hutan ini sedang mengincar sang ketua. Kalau kita mencampuri urusan mereka, jelas tidak seimbang. Kita bisa mati konyol!".

   "Aku tidak mau, ah! Mati konyol jarang mendapat sumbangan dari teman. Ayo, pergi pelan-pelan...!"

   Kedua anak buah Kombang Hitam berhasil menuruni bukit itu. Mereka berlari dari pelan menjadi cepat. Sampai tiba di sebuah tempat, tak jauh dari ladang jagung, mereka terhenti di sana. Seseorang yang menghentikan langkah temannya.

   "Lihat di sebelah timur itu...!"

   Katanya dengan nada kagum.

   Temannya memandang menurut arah telunjuk.

   Dan ternyata mereka melihat sesosok tubuh berdiri di atas sebuah tonjolan batu besar.

   Tubuh itu bagai berada di tempat terang, tanpa dedaunan penghalang, sehingga bisa dilihat dengan jelas dari tempat kedua anak buah Kombang Hitam itu.

   "Menurutmu dia perempuan atau lelaki?"

   "Sepertinya seorang lelaki berambut panjang meriap. Berdirinya begitu tegar."

   Orang yang berdiri di batu itu mengenakan jubah ungu. Kain jubahnya melambai-lambai bagaikan menari karena hembusan angin. Salah satu anak buah Kombang Hitam berkata.

   "Dia pasti bukan orang sembarangan, terlihat dari dandanannya yang ketat namun tegas. Warna pakaiannya merah, berselubung jubah ungu. Ini menandakan keberaniannya dalam menentang bahaya apa pun juga."

   "Siapa dia? Apakah dia yang menyelamatkan bocah itu? Yang mematahkan senjata kita memakai batu kerikil?"

   "Melihat letaknya yang jauh sekali dari tempat kita tadi, rasa-rasanya tak mungkin orang berjubah ungu itu mematahkan senjata kita. Terlalu jauh jaraknya untuk sebuah pukulan jarak jauh. Seperti ada di seberang jurang lebar itu, kan?"

   "Memang. Tapi dia berdiri menghadap ke tempat kita berada tadi. Jangan-jangan dia sedang memperhatikan sang ketua kita?"

   "Apa iya begitu, ya...?!"

   Gumam yang satunya bingung sendiri.

   "Sudah, sudah... kita jangan terlalu lama berhenti di sini. Ayo, lekas pergi sebelum sang ketua mengetahui kita lari!"

   Mereka kembali bergegas pergi.

   Namun baru tiga langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kemunculan seseorang dari dalam ladang jagung itu.

   Orang tersebut berada di arah samping mereka, jaraknya antara enam tombak.

   Orang itu memandang sebentar ke arah mereka, lalu meneruskan langkahnya mendaki tanah perbukitan.

   Kedua anak buah Kombang Hitam tertegun bengong, kemudian saling pandang.

   "Siapa orang itu?"

   "Entah. Dia acuh tak acuh pada kita."

   "Memang dia tidak mempedulikan kita. Tapi tidakkah kau sadari pakaiannya?"

   "O, iya...?!"

   Orang itu terkejut.

   "Dia memakai pakaian serba merah dan berjubah ungu. Rambutnya panjang meriap. Dan ia seorang perempuan cantik. Apakah dia orang yang ada di atas...."

   Kata-kata itu tidak berlanjut.

   Mata kedua anak buah Kombang Hitam terbelalak ketika melihat tempat batu menonjol berukuran besar itu telah kosong.

   Tadi, belum lebih dari lima helaan napas, mereka melihat seseorang berdiri jauh sekali.

   Dengan pakaian dan ciri-ciri sama dengan orang yang baru saja muncul dari ladang jagung dan melewatinya dengan acuh tak acuh.

   "Apakah orang yang baru saja lewat itu adalah orang yang ada di atas batu sana?"

   "Aneh. Kalau benar orang itu adalah orang yang ada di seberang jurang tadi, lantas kapan dia datang kemari? Jarak dari sini ke batu itu membutuhkan waktu cukup lama. Kenapa dia tahu-tahu muncul di ladang jagung dan...,"

   Orang itu menengok ke belakang. Ternyata perempuan cantik yang berjubah ungu itu sudah tidak kelihatan lagi.

   "Edan! Dia sudah tidak kelihatan. Ke mana perginya. Mestinya ia masih bisa kita lihat sedang berjalan mendaki?"

   "Ayo, ayo... sepertinya ada yang tidak beres di sini! Lekas tinggalkan tempat ini sebelum kita jadi sasaran!"

   Mereka berlari menerabas pepohonan jagung.

   Mereka tampak tergesa-gesa dalam langkahnya yang merunduk.

   Namun, tiba-tiba langkah mereka kembali terhenti.

   Orang yang berjalan paling depan terkejut dan berhenti seketika, sehingga yang belakang menabraknya dalam satu sentakan yang membuat mereka nyaris jatuh bersama.

   Mereka terhenti karena di depan mereka berdiri sepasang kaki tegar beralaskan kulit tebal yang diikat sampai betis.

   Kaki itu ternyata milik seorang kakek tua yang mengenakan pakaian serba hijau dengan jubahnya berwarna kuning.

   Kakek itu terkekeh-kekeh.

   Rambutnya yang putih sepanjang pundak diikat memakai kain hitam.

   Ia menggenggam tongkat yang tingginya seukuran dada orang dewasa.

   Tongkat itu menancap di samping kaki kanannya, tergenggam erat oleh tangan kanannya.

   Tangan itu berurat-urat, bertonjolan, menampakkan kulitnya yang telah menipis dan berkeriput.

   Kumis dan jenggotnya pun memutih tanpa hitam selembar pun.

   Jelas kakek itu sudah berusia lewat dari sembilan puluh tahun.

   "Mengapa kalian ketakutan?"

   "Hmmm... anu... ehh...,"

   Kedua anak buah Kombang Hitam tidak ada yang bisa menjawab, karena gugup dan bingungnya. Kakek itu semakin terkekeh-kekeh melihat raut wajah yang salah tingkah.

   "Kalian tak pantas jadi prajurit, karena mempunyai jiwa pengecut dan pengkhianat. Pasti lari dari tugas!"

   "Ka... kami... kami takut, Kek."

   "Takut melihat golok kalian patah sendiri?"

   "Hah...?!"

   Kedua anak buah Kombang Hitam saling menebarkan mata dan saling pandang dalam keheranan yang kuat. Kemudian mereka menatap kakek putih tebal itu. Sang kakek semakin terkekeh-kekeh. Kemudian berkata.

   "Terserah. Itu urusan jiwa kalian, baiknya segeralah menepi, dan biarkan aku lewat."

   Kedua lelaki bertampang licik itu menyingkir dengan perasaan takut. Kakek berjubah kuning melangkah melintasi mereka. Tiba-tiba tubuh mereka rubuh membuat batang-batang pohon jagung rusak ditimpa tubuh mereka berdua.

   "Kenapa kamu mendorongku?!"

   Sentak yang belakang.

   "Mendorong bagaimana?! Tubuhku sendiri ada yang mendorongnya dengan kuat sekali!"

   "O, kalau begitu... angin dari kibasan jubah kakek itu telah mengeluarkan suatu tenaga yang mampu mendorong tubuhmu."

   "Masa sekeras itu? Seperti didorong seekor kerbau rasanya."

   "Wah, wah, wah...,"

   Yang satu geleng-geleng kepala.

   "Pasti kakek itu punya kekuatan tenaga dalam yang cukup sempurna. Bahkan menurutku sangat tinggi sekali!"

   "Mungkin saja. Sebab hanya terkena angin kibasan jubahnya yang pelan saja aku bisa tumbang tak mampu berdiri."

   "Untung kita tidak meremehkan dia dan tidak bertindak kurang sopan padanya."

   "Hei, kau ingat kalimatnya tadi? Kurasa dialah orangnya yang membuat senjata kita patah."

   "O, iya! Dia tadi menyebutkannya. Kalau begitu, pasti dialah yang telah melemparkan batu kerikil dan mengenai kedua golok kita. Tapi... dari mana dia melemparkannya? Saat ini malah kelihatannya dia sedang menuju ke arah tempat kita tadi bersama sang ketua. Iya, kan?"

   "Iya, ya...,"

   Gumam yang satunya.

   "Dari mana dia bisa tahu kalau kita habis kehilangan senjata karena patah, jika memang bukan dia pelakunya?"

   "Hmmm... sudahlah. Lupakan tentang itu. Ayo, kita teruskan pelarian kita. Peduli amat penilaian kakek tadi terhadap jiwa kita. Mau dibilang pengecut atau pengkhianat, biar sajalah...!"

   Baru saja mereka mau melangkah, salah seorang menahan tangan temannya sambil berkata dengan nada tegang.

   "Tunggu, coba perhatikan, apa yang berasap itu?"

   Mereka memandang ke tanah ladang.

   "Astaga! Bekas telapak kaki kakek itu berasap!"

   Kata yang satunya dengan kagum sekali. Benar,"

   Gumam yang lain.

   "Bekas telapak kaki itu sangat dalam dan mengeluarkan asap. Bahkan, lihat...! bekas tongkatnya pun tampak dalam dan berasap juga. Ck, ck, ck...l"

   Orang itu geleng-geleng kepala.

   "Luar biasa sekali kekuatan tenaga dalamnya. Aku jadi kepingin menjadi muridnya."

   "Aku juga. Tapi, nah... lihatlah lagi, jagung di dekat telapak kaki itu sepertinya juga berasap."

   Temannya memandang dengan dahi semakin berkerut. Kemudian ia memetik jagung muda itu dan membuka kulitnya. Mata mereka semakin terbelalak.

   "Ya, ampuun... jagung ini menjadi matang. Seperti jagung yang baru saja dibakar!"

   "Luar biasa! Hangatnya terasa di kulit tangan. Coba kau makan jagung itu sebiji. Apa benar-benar matang?! Kemudian orang yang disuruh mencoba itu benar-benar memetik satu butir dari rentetannya. Butir jagung itu dimakan. Ia mengunyah-ngunyahnya sebentar. Ia menggumam dalam kunyahannya.

   "Rasanya pahit-pahit getir dan... dan.... Aduh, kepalaku jadi menggeliyang begini?"

   Ia limbung sedikit. Berusaha berpegangan pundak temannya. Temannya menjadi heran bercampur tegang.

   "Hai, kenapa kau? Kenapa?"

   Tiba-tiba orang yang mencicipi jagung matang itu terbungkuk dan memuntahkan sesuatu.

   "Hoooeeek...!"

   Mata temannya semakin bundar melebar.

   Ia melihat seluruh makanan dimuntahkan dari mulut sang teman.

   Cukup banyak orang itu muntah-muntah isi perutnya.

   Wajahnya menjadi pucat pasi dan melemas.

   Tentu saja sebagai teman ia kebingungan dan segera memapah pergi, ia menyeret kaki temannya yang lemas sambil sedikit berlari.

   Tapi tubuh temannya menjadi dingin dan kian dingin.

   "Jagung itu masih mempunyai kekuatan tenaga dalam. Untung kau baru memakannya satu butir. Coba kalau kau makan semua, kau pasti tidak akan tertolong lagi. Benar-benar gila ilmu yaang dimiliki kakek berjubah kuning itu. Bertahanlah. Bertahan sebentar, nanti kumintakan obat pada Sugolo. Dia bisa menawarkan racun dan sudah mulai menguasai pengobatan penyakit dalam. Kau masih kuat untuk bertahan, kan? Masih kuat...? Hei, kau masih kuat...?"

   "Masih,"

   Jawabnya lemas.

   Tubuh itu semakin dingin.

   Semakin pasrah diseret.

   Dan setelah diperiksa sebentar, ternyata tubuh itu sudah bercucur keringat.

   Agaknya orang itu mabuk berat sehingga saat diajak bicara tentang Sugolo tadi, mungkin ia tidak mendengarkan.

   "Makanya jadi orang jangan rakus, ada makanan sedikit langsung dicaplok saja,"

   Gerutu temannya. Ia kembali menatap ke belakang sebentar sambil istirahat.

   "Siapa kau sebenarnya, Kakek? Begitu hebat kau punya ilmu, sampai aku jadi ingin tahu, apa yang kau lakukan di sana? Mampukah kau menghadapi sang ketua, jika kau inginkan bocah itu? Dan mungkinkah kau akan bertemu dengan perempuan cantik berjubah ungu itu? Mungkin kau kalah sakti dengannya, Kakek tua. Tapi mungkin kau mampu ditundukkan dengan melihat kecantikannya. Hmm... siapa perempuan cantik berjubah ungu itu? Apakah... apakah sebaiknya aku kembali ke sana untuk mengintai apa yang mereka lakukan terhadap bocah itu?!" * * * KOMBANG Hitam semakin jengkel setelah memanggil anak buahnya tiga kali, tapi tidak ada jawaban. Cemas juga hatinya. Ia menyangka anak buahnya telah mati oleh serangan tenaga dalam yang tersembunyi.

   "Rupanya aku perlu unjuk diri biar orang itu tahu siapa aku!"

   Gumam Kombang Hitam.

   Tangan kirinya menggenggam kuat-kuat.

   Ia memusatkan tenaganya di tangan kiri itu.

   Tangan yang menggenggam itu ditekuk naik sampai di batas dada.

   Lalu, dengan kaki sedikit merendah tangan itu dihentakkan membuka ke arah depan.

   Huup...! Dueerr...! Sebuah ledakan terjadi.

   Tangan itu mengeluarkan cahaya biru kehijauan.

   Cahaya tersebut meluncur cepat dan menghantam sebuah pohon besar.

   Pohon tersebut meledak, akarnya terangkat naik.

   Tumbang dalam keadaan hangus.

   Napas Kombang Hitam pun ditarik panjang.

   Ditahan dalam dadanya.

   Kemudian dihembuskan pelan-pelan melalui mulutnya yang sedikit ternganga.

   Waktu itu, bocah berkulit sawo matang itu menutup kedua telinganya sambil merendahkan badan.

   Ia sangat ketakutan mendengar suara ledakan begitu kerasnya, ia merasa ngeri melihat pohon sebesar gajah tumbang bersama akar-akarnya.

   Kakinya gemetaran bagai tak mampu dipakai berdiri lagi.

   Namun matanya masih mencuri pandang ke arah Kombang Hitam, karena hatinya ingin tahu apa lagi yang dilakukan orang berwajah sangar itu.

   Dueer...! Dueer...! Dua pohon besar berjarak jauh kembali tumbang oleh sentakan tenaga dalam Kombang Hitam.

   Matanya tetap memandang liar pada keadaan sekeliling.

   Karena hal itu ia lakukan dengan harapan orang yang bersembunyi segera menampakkan diri.

   Tetapi yang ada hanya sepi tanpa bunyi.

   Bau hangus tercium.

   Itulah bau pohon yang terbakar karena sinar biru kehijauan dari telapak tangan Kombang Hitam.

   "Keluar kau, pengecut!"

   Bentak Kombang Hitam. Suto pelan-pelan berdiri. Mulai melangkah mendekati Kombang Hitam dengan penuh perasaan takut. Memelas wajahnya.

   "Hei, kenapa kau mendekat? Kenapa berdiri dari jongkokmu?"

   "Bukankah kau menyuruhku keluar?"

   "Bukan kamu, Bodoh! Orang yang bersembunyi entah di mana, itu yang kusuruh keluar dari persembunyiannya!"

   Suto tersenyum sinis bernada mengejek.

   "Tetaplah di tempatmu! Kau akan kubunuh setelah penyerang gelap itu kubereskan!"

   "Coba saja!"

   Jawab Suto dengan makin menjengkelkan. Ia kembali ke tempatnya dan berjongkok sambil siap-siap memegangi kedua telinganya, menutup dengan kedua telapak tangannya.

   "Anak bodoh!"

   Geram Kombang Hitam lagi sambil mendengus kesal.

   "Belum-belum sudah tutup telinga!"

   Rupanya Kombang Hitam sengaja membiarkan suasana hening beberapa jurus.

   Ia menunggu kemunculan penyerang tersembunyi.

   Ia memandangi kudanya yang sekarat.

   Mati tidak, namun tak punya kemampuan untuk berdiri lagi.

   Semakin jengkel hati Kombang Hitam jika melihat keadaan kudanya yang menderita.

   "Tak seberapa tinggi sebenarnya ilmu orang yang bersembunyi itu,"

   Pikirnya.

   "Sayang aku tidak bisa mengetahui di mana dia bersembunyinya."

   Matanya pun segera memeriksa ke atas, siapa tahu penyerang geIapnya itu ada di atas pohon.

   Ternyata tidak ada apa-apa di sana.

   Penasaran sekali hati Kombang Hitam jadinya.

   Setelah Iama dirasakan keadaan sepi dan aman, maka Kombang Hitam pun segera mendekati Suto.

   Pandangan matanya penuh selera untuk membunuh sisa keturunan Ronggo Wiseso itu.

   Suto menjadi sedikit ngeri, memandang dengan penuh perasaan waswas.

   Jongkoknya pun bergeser sedikit demi sedikit.

   Wusss...! Angin berhembus begitu cepatnya.

   Kombang Hitam terkesiap sebentar.

   Pandangan matanya terarah ke kanan bagai mengikuti kelebatan angin yang baru saja melintas di depannya.

   Ketika pandangan matanya kembali ke arah Suto, mata itu pun terbelalak lebar.

   Napasnya bagai tersentak berhenti.

   Bocah telanjang dada itu sudah tidak ada.

   Lenyap.

   Karuan saja Kombang Hitam menggeram penuh kemarahan.

   Matanya menjadi liar memandang sekeliling.

   "Babi buntung! Siapa yang berani mengganggu sasaranku itu!"

   Geramnya dengan langkah mundur berkeliling, matanya mencari-cari seseorang yang diduganya telah melenyapkan Suto.

   Sikapnya telah menandakan siap bertarung dengan makhluk jenis apa pun.

   Tangan keduanya selalu mengencang walau tidak mengepak kuat.

   Urat-uratnya menegang.

   Setiap langkah kakinya membentuk kuda-kuda yang tak mudah dirobohkan sewaktu-waktu.

   "Hi, hi, hi...!"

   Terdengar suara tawa mengikik bagai suara peri. Suara itu datangnya dari salah satu dahan pohon. Maka segeralah kepala Kombang Hitam mendongak ke atas.

   "Jabang bayi...!"

   Gumamnya penuh geram.

   Ia menatap tak berkedip.

   Ia tak menyangka di atas sana ada seorang perempuan berambut panjang terurai.

   Wajah nya cantik dengan potongan tubuh yang membuat mata lelaki sukar berkedip.

   Perempuan itu mengenakan pakaian serba merah dengan jubah ungu muda.

   Ia menggendong Suto yang rupanya dalam keadaan pingsan karena pengaruh totokan jalan darahnya.

   Kombang Hitam segera berseru.

   "Ooo... rupanya kau yang menggangguku sejak tadi. Turunlah! Kita selesaikan apa kemauanmu!"

   "Dengan senang hati, Kombang Hitam. Hi hi hi...!"

   Kombang Hitam mundur dua langkah ketika perempuan berjubah ungu itu melompat turun dari atas pohon.

   Gerakannya memutar bagaikan baling-baling lurus ke bawah.

   Jubah dan rambutnya pun mengembang, berputar mengikuti gerakan tubuh.

   Beberapa daun pohon menjadi runtuh.

   Rupanya kibasan rambut dan jubahnya mempunyai kekuatan tersendiri yang mampu meruntuhkan dedaunan, baik daun yang tua maupun yang baru tumbuh.

   Akibatnya, tubuh Kombang Hitam banyak ditimbuni dedaunan berukuran kecil-kecil.

   Kombang Hitam merasa kagum, namun juga merasa jengkel karena sibuk menghindari dedaunan, menepis-nepis daun yang mengotori rambut dan bagian tubuh lainnya.

   Jlig...! Kaki perempuan itu menapak di tanah dengan mantap.

   Tak goyah sedikit pun.

   Ia tersenyum sambil menaburkan tawa cekikikan.

   Namun ia dibuat terperanjat melihat Suto telah sadar dan melompat turun dari gendongannya.

   Buru-buru perempuan itu meraih lengan Suto dan menahan agar anak itu tidak lari pergi.

   "Tetaplah di belakangku, Nak! Kulindungi kau dari si rakus, Begal Utara itu!"

   Suto menurut. Ia merasa dapat pelindung walau ia masih belum jelas apa yang baru saja dialami. Merasa seperti dirinya sedang terbang sekejap. Sementara itu, dalam hati perempuan berjubah ungu berkata.

   "Ada yang telah melepaskan totokanku pada Suto. Hmm... siapa orangnya? Apakah Kombang Hitam itu yang melepaskan totokanku dari jarak jauh? Kurasa tak mungkin. Hmmm... baik. Kutunggu saja orangnya. Pasti nanti akan muncul!"

   Mata Kombang Hitam tidak bisa berkedip melihat kecantikan terpapar di depannya.

   Kemarahannya tertunda sejenak.

   Hatinya berdebar-debar indah.

   Senyumnya pun menampakkan senyum otak mesum.

   Tetapi, Kombang Hitam tetap waspada.

   Ia tahu perempuan itu berilmu tinggi, tak harus diremehkan.

   Dari gerakan turunnya tadi, Kombang Hitam sudah bisa merasakan hembusan tenaga dari dalam gerakan tersebut.

   Runtuhnya dedaunan pun bisa dijadikan bukti, dan membuat Kombang Hitam sempat memuji dalam hati.

   "Kenapa kau terbengong saja, Kombang Hitam?"

   "Kau tahu namaku, rupanya?"

   "Aku lebih tahu namamu daripada rupamu. Kau Ketua Begal Utara yang lebih banyak memperkosa daripada mengeruk harta. Benar, bukan?"

   Perempuan itu tersenyum.

   Cantiknya bukan main.

   Kombang Hitam kian berdebar-debar.

   Biasanya, ia tidak bisa diam jika melihat perempuan mulus sedikit.

   Tak perlu cantik asal mulus dan menggairahkan, Kombang Hitam dan anak buahnya langsung menjadikan perempuan itu sebagai sarana pesta cinta.

   Tapi agaknya kali ini Kombang Hitam tidak boleh gegabah, tidak berani bertindak sembarangan.

   Bahkan tiap langkah nya pun diperhitungkan.

   "Siapa kau sebenarnya, Perempuan Cantik?"

   "Hi hi hi.... Namamu sudah cukup dikenal di rimba persilatan. Lucu sekali kalau kau sendiri tidak mengenaliku. Memang baru kali ini kita bertemu?"

   "Tepat sekali. Baru sekarang kita bertemu. Jadi, sebutkan siapa dirimu sebelum kemarahanku mencapai ubun-ubun lagi."

   Perempuan itu tertawa sinis.

   "Jangan coba-coba mengancamku, Kombang Hitam. Riwayatmu akan segera habis kalau tidak lekas-lekas meminta maaf padaku."

   "Mungkin harus kugunakan permintaan maaf dengan ciuman atau pelukan mesra. He he he...!"

   Kemudian kedua kaki Kombang Hitam mulai merendah sedikit. Tangannya mengambil sikap siap menyerang. Tangan itu bergerak pelan dengan urat-urat mengencang, bertonjolan dari lengan sampai ke jari-jarinya.

   "Aku jadi penasaran mendengar nyalimu sebesar gunung itu, Sayang! Tapi aku yakin ilmumu hanya sebesar upil!"

   Perempuan itu tetap diam dengan kaki sedikit merenggang tegak.

   Dagunya sedikit terangkat menampakkan keangkuhannya.

   Matanya bergerak mengikuti langkah kaki Kombang Hitam yang mencari kesempatan baik untuk menyerang.

   Makin lama gerakan kakinya semakin dekat dengan perempuan itu.

   Sampai satu ketika ia berbalik bagai memutar tubuh, dan dengan cepat kaki kanannya menjejak ke belakang.

   "Hiaaat...!"

   Tap...! Tuk...! Kaki itu ditangkis dengan tangan kiri oleh perempuan berjubah ungu, lalu tangan kanannya menyentil mata kaki Kombang Hitam. Seketika itu Kombang Hitam terjungkal sambil berteriak keras.

   "Waddoow...!"

   Brukkk! Tubuh Kombang Hitam berguling-guling di tanah.

   Selain tubuhnya seperti mendapat serudukan tiga ekor banteng, juga kakinya seperti dihantam dengan batang kayu yang amat keras.

   Sakitnya bukan main.

   Tetapi Kombang Hitam segera menarik napas untuk mengurangi rasa sakitnya.

   Kalau bukan Kombang Hitam, pasti mata kaki itu sudah pecah.

   Setidaknya akan memar membiru, atau bengkak.

   "Boleh juga mainanmu!"

   Geram Kombang Hitam masih penasaran.

   Ia bersiap menyerang kembali.

   Kali ini tangannya mengembang lebar dengan satu kaki terlipat ke depan, mirip seekor rajawali hendak menerjang lawannya.

   Perempuan itu masih diam tak bergerak.

   Namun ketika Kombang Hitam melancarkan pukulan jarak jauhnya yang tingkat menengah, tiba-tiba tubuhnya sendiri yang terpental ke belakang dan membentur batang pohon besar.

   Bukkk...! "Hegghh...!"

   Matanya mendelik, mulutnya ternganga.

   Untung saja pedangnya tidak patah akibat benturan kuat itu.

   Kulit pohon itu terkelupas dan sedikit koyak.

   Itu pertanda benturan tubuh Kombang Hitam begitu kerasnya, hingga membuat kulit pohon koyak.

   Untung saja Kombang Hitam mempunyai kekuatan yang cukup besar, sehingga tubuhnya tidak lecet dan tulangnya tidak ada yang patah.

   "Edan! Tenaga dalamku dikembalikan begitu saja tanpa ada gerakan sedikit pun?!"

   Pikir Kombang Hitam dengan terheran-heran.

   Rupanya ia masih penasaran.

   Ia segera bangkit dan menggeram.

   Kini sekujur tubuhnya mengeras, hingga semua otot tubuhnya bagai bertonjolan lebih jelas lagi.

   Tangannya mengembang dengan kedua telapak tangan mengeraskan jemari, bagai cakar garuda yang kokoh.

   Wajah bengisnya pun semakin terlihat jelas.

   Amat menyeramkan bagi orang lain.

   "Terimalah 'Cakar Kumbang Mesra'-ku ini, Jahanam! Hiaaat...!"

   Kedua telapak tangan dengan jari-jari yang mengeras itu mulai mengepulkan asap.

   Ujung-ujung jarinya membara bagaikan besi terpanggang api.

   Jelas akan hangus jika benda apa pun yang tersentuh jemari 'Cakar Kumbang Mesra' itu.

   Kombang Hitam menggerakkan tangannya dengan cepat dan kuat.

   Dihantamkan dulu pada batang pohon besar.

   Crak, crak, crak...! Di balik pohon tempatnya bersembunyi, Suto membelalakkan mata melihat pohon yang terkena cakaran Kombang Hitam itu hangus di beberapa tempat.

   Membekas hitam dan masih mengepulkan asap.

   Memang di hati Suto ada perasaan ngeri, tapi hatinya berkata.

   "Hebat sekali ilmunya. Tapi suatu saat aku harus bisa menandingi ilmu seperti itu!"

   Kombang Hitam menggeram, matanya tertuju pada perempuan tersebut. Lalu katanya.

   "Lihat pohon itul Tidakkah kau sayang pada tubuhmu yang mulus jika sampai terkena 'Cakar Kumbang Mesra'-ku ini, hah?!"

   Perempuan itu hanya tersenyum tipis, lalu menjawab.

   "Gantilah namanya menjadi jurus 'Cakar Bebek'. Karena pohon itu tidak mengalami perubahan apa-apa."

   Fuih...! Perempuan itu meniupkan napasnya dengan pelan.

   Tapi membuat rambut Kombang Hitam tersingkap ke belakang bagai dihembus angin kencang.

   Ia segera menatap ke arah pohon yang tadi habis dicakarnya tiga kali itu.

   Dan matanya menjadi terbelalak kaget, karena bekas hitam yang mengepulkan asap pada batang pohon itu sudah tidak ada.

   Lenyap sama sekali.

   Tanpa bekas sedikit pun.

   Keadaan pohon menjadi utuh seperti sediakala.

   Terperanjat lagi Kombang Hitam begitu mengetahui ujung-ujung jarinya yang tadi merah membara itu sekarang dalam keadaan padam.

   Bahkan mengandung bintik-bintik putih seperti busa.

   Setelah diperhatikan baik-baik, ternyata busa-busa salju.

   "Gila!"

   Sentak hati Kombang Hitam.

   "Dia bisa memadamkan bara panas dari ilmu 'Cakar Kumbang Mesra' ku?! Bahkan bisa membuatnya menjadi dingin membeku. Setan mana perempuan ini sebenarnya?"

   Kombang Hitam masih membelalakkan mata dengan rasa heran dan kagum. Ia mengusap-usapkan jemarinya ke baju sambil memandang tajam pada perempuan berjubah ungu itu. Hati Kombang Hitam kembali berkata-kata.

   "Kalau kulanjutkan, matilah aku! Perempuan ini ternyata berilmu tinggi. Dia bukan tandinganku. Pedangku pun tak akan mampu melawan!"

   Mulai ciut nyali Kombang Hitam. Mulai gentar hatinya. Dan ia pun bertanya.

   "Siapa dirimu sebenarnya?!"

   "Jadi, kau belum pernah berhadapan dengan Bidadari Jalang?"

   Terperanjat wajah Kombang Hitam seketika itu. Matanya melebar tegang, dan ia menggumam jelas.

   "Bidadari Jalang...?!"

   "Itulah aku!"

   Jawab perempuan berjubah ungu.

   Tegas dalam senyum yang angkuh.

   Wajah keras dan bengis itu menjadi lunak.

   Mulai ada keraguan di wajah itu.

   Kombang Hitam mundur satu langkah begitu mengetahui perempuan cantik itu adalah Bidadari Jalang.

   Nama itu sangat dikenal di rimba persilatan.

   Bukan hanya dikenal banyak orang, melainkan menjadi tokoh yang disegani dan ditakuti oleh beberapa kalangan persilatan.

   "Pantas tenaga dalamnya begitu hebat, dan sentilan jarinya seberat itu,"

   Pikir Kombang Hitam saat itu, lalu pikirannya melayang pada kisah berdarah di Pantai Muara Tungkai.

   Ia hanya mendengar kisah itu, di mana Bidadari Jalang mengalahkan pendekar-pendekar dari dataran Tibet yang hendak memporak-porandakan tanah Jawa.

   Padahal tiga pendekar Tibet itu terkenal sakti dan berilmu tinggi-tinggi.

   Jika tiga pendekar Tibet saja bisa dikalahkan oleh Bidadari Jalang, apalagi dirinya sendiri? Berpikir juga Kombang Hitam ingin menghadapi Bidadari Jalang.

   Dia tahu, perempuan itu dikenal pula sebagai bidadari yang bisa kejam, bisa romantis.

   Dan kalau kekejamannya tiba, tak pernah mengenal kata ampun dan hidup.

   Pasti lawannya dibuat hancur tanpa bisa dimakamkan jenazahnya.

   "Kau sudah menjadi patung, Kombang Hitam?"

   Sindir Bidadari Jalang. Kombang Hitam segera melepaskan diri dari renungannya.

   "Aku heran padamu, Bidadari Jalang. Aku tidak punya urusan denganmu, mengapa kamu mengusik urusan pribadiku?"

   "Bukankah kau ingin membunuh anak ini?"

   "Ya. Karena dia keturunan Ronggo Wiseso. Aku punya dendam pribadi dengan Ronggo Wiseso, dan harus membunuh anak itu!"

   "Itu berarti kau punya urusan denganku."

   "Mengapa begitu, Bidadari Jalang?"

   "Karena aku menghendaki anak ini tetap hidup,"

   Jawabnya dengan kalem.

   Senyum pun kembali mekar, manis namun angkuh.

   Bingung juga Ketua Begal Utara itu.

   Untuk merebut Suto jelas sesuatu yang tak mungkin.

   Bisa-bisa nyawanya melayang tanpa arah yang pasti.

   Untuk membujuk Bidadari Jalang, agak sulit juga menurutnya.

   Tapi ia tetap mencobanya dengan bujukan.

   "Apakah kau ada di pihak Ronggo Wiseso, Bidadari Jalang?"

   "Aku ada di pihakku sendiri."

   "Lalu, mengapa kau menghendaki anak itu tetap hidup?"

   "Itu urusanku. Apakah kau ingin merebutnya dari tanganku?"

   Kombang Hitam menarik napas. Tampak gelisah, ia pun berkata.

   "Jangan sampai kita saling bermusuhan, Bidadari Jalang. Terus terang saja, aku adalah salah satu pengagum kehebatanmu. Tak mungkin aku melawan orang yang kukagumi di seluruh rimba persilatan ini. Jadi, sebaiknya dengan rendah hati, aku meminta kepadamu agar Suto kau serahkan padaku. Biar impas dendamku kepada keluarga Ronggo Wiseso."

   "Aku keberatan,"

   Jawabnya bernada ketus.

   "Kuharap kau tidak berkata demikian, Bidadari Jalang."

   "Aku tidak bisa menyerahkan anak ini kepada siapa pun. Lupakanlah tentang anak ini. Anggap saja ia tidak lahir dari darah keturunan Ronggo Wiseso!"

   "Tidak bisa, Bidadari Jalang. Aku harus membunuh anak itu."

   "Aku melindunginya. Mau apa kau sekarang?"

   Tantang si cantik bermata indah itu.

   Hal itu membuat Kombang Hitam menjadi semakin lesu.

   Wajah bengisnya benar-benar surut bagaikan pelita kekurangan minyak.

   Sinar matanya yang semula berapi-api penuh nafsu membunuh, sekarang justru penuh ungkapan mengiba, mohon dibelaskasihani.

   Tetapi agaknya Bidadari Jalang tetap pada pendiriannya, untuk tidak menyerahkan Suto kepada Kombang Hitam.

   "Kurasa aku tak perlu menghabiskan waktu terlalu lama di sini,"

   Kata Bidadari Jalang.

   "Tunggu sebentar,"

   Sergah Kombang Hitam ketika Bidadari Jalang mau pergi membawa Suto. Ia buru-buru berbalik dan memandang dengan sorot mata yang tajam.

   "Mau apa lagi kau? Haruskah aku menghancurkan tubuhmu yang seperti badak itu?!"

   "Hmmm... anu... tidak. Bukan begitu maksudku, tapi...."

   "Aku tidak punya waktu lagi."

   Bidadari Jalang berkata kepada Suto yang sejak tadi berada di balik pohon, bersembunyi.

   "Bocah bagus, kemarilah. Kita pergi bersama ke rumahku. Mari, kemarilah...."

   Tiba-tiba tubuh Suto terangkat naik.

   Melayang-layang di udara, lalu bergerak cepat ke suatu arah.

   Bidadari Jalang terperanjat, demikian pula Kombang Hitam.

   Mereka tidak menyangka sama sekali kalau Suto mempunyai ilmu peringan tubuh yang begitu sempurnanya, sehingga bisa melayang terbang menjauhi Bidadari Jalang dan Kombang Hitam.

   "Edan! Rupanya bocah itu punya ilmu juga?!"

   Gumam Kombang Hitam dengan terheran-heran.

   "Hiaaat...!"

   Bidadari Jalang melompat dan bersalto di udara dua kali, lalu rambutnya berkelebat mengikat ke tubuh Suto, menjerat kuat sehingga anak itu tertarik ke tubuhnya.

   Lalu, Bidadari Jalang memeluk bocah itu.

   Kakinya kembali memijak tanah dalam keadaan memeluk Suto.

   Sementara itu, wajah Suto sendiri tampak terperangah dan terheran-heran dengan apa yang terjadi saat itu.

   Belum sempat Bidadari Jalang menarik napasnya tiba-tiba tubuh Suto meluncur naik, licin bagaikan belut dan kembali melayang di udara dalam keadaan bersalto tiga kali putaran.

   "Woaaaw...!"

   Teriak Suto kebingungan karena merasa terbang tak tentu arah.

   Tappp...! Tubuh bocah itu jatuh dalam pelukan lelaki tua.

   Rasa heran Kombang Hitam belum habis saat melihat tubuh Suto melayang lepas dari pelukan Bidadari Jalang.

   Sekarang keheranannya kembali bertambah begitu melihat kemunculan lelaki berambut putih dengan jubah kuning.

   Mata Kombang Hitam kian terbelalak, karena ia tahu siapa kakek tua bertongkat kayu hitam itu.

   "Si Gila Tuak...?!"

   Sebut Kombang Hitam tak sadar.

   Kakek itu tersenyum tawar.

   Kombang Hitam melangkah mundur lagi.

   Buat Kombang Hitam, kemunculan si Gila Tuak memang menggetarkan hati, sebab ia tahu siapa Gila Tuak.

   Tokoh terkuat di pihak golongan putih, yang sudah tujuh tahun tidak menampakkan diri di rimba persilatan.

   Kombang Hitam pernah melihat sendiri pertarungan Gila Tuak dan Penguasa Tanah Neraka yang bergelar Malaikat Tanpa Nyawa.

   Pada waktu itu, Malaikat Tanpa Nyawa nyaris menguasai rimba persilatan di separo tanah Jawa sebelah timur.

   Tapi tokoh dari golongan hitam itu akhirnya tumbang di ujung tongkat si Gila Tuak.

   Sedangkan Malaikat Tanpa Nyawa itu adalah Ketua Rampok Wetan, di mana dulu Kombang Hitam pernah menjadi anak buahnya.

   Namun kehadiran si Gila Tuak tidak terlalu membuat Bidadari Jalang terheran-heran seperti Kombang Hitam.

   Bidadari Jalang hanya tersenyum sinis dan berkata.

   "Kali ini kau muncul lagi, Gila Tuak! Dan kali ini kau mencampuri urusanku lagi."

   "Nyai Nawang Tresni,"

   Panggil si Gila Tuak menyebut nama asli Bidadari Jalang.

   "Jangan sangka hanya kamu yang membutuhkan anak ini, tapi aku pun membutuhkannya."

   "O, begitu?"

   Kata Nyai Nawang Tresni alias Bidadari Jalang, ia cukup tenang dan kalem. Kombang Hitam semakin waswas. Ketika si Gila Tuak berkata.

   "Rupanya kau punya murid baru, ya?"

   Sambil melirik Kombang Hitam, lelaki yang dilirik itu menjadi semakin berdebar-debar. Ia buru-buru menyela perkataan.

   "Maaf, Gila Tuak... aku bukan murid Bidadari Jalang. Hmm... sebenarnya anak itu adalah bagianku. Tapi, kalau kau menghendaki, silakan ambil. Aku mohon diri dari hadapan kalian!"

   Tanpa mengulang kata-katanya lagi, Kombang Hitam segera kabur.

   Melompat ke semak belukar menghilang dengan kecepatan tinggi.

   Agaknya Kumbang Hitam tak mau ambil risiko lebih parah lagi.

   Bertemu dengan dua tokoh sakti itu, sama saja bertemu dengan liang kubur.

   Kombang Hitam lebih memilih mengalah, membiarkan bocah ingusan itu menjadi bahan rebutan mereka.

   Tetapi dalam hati Kombang Hitam sempat bertanya-tanya, mengapa kedua tokoh kondang yang banyak ditakuti lawan itu memperebutkan keturunan Ronggo Wiseso? Apa kehebatan Suto sehingga diperebutkan oleh kedua tokoh utama itu? Dan jika terjadi pertarungan antara Bidadari Jalang dengan si Gila Tuak, mana yang lebih unggul? Mampukan si Gila Tuak menumbangkan perempuan berilmu sangat tinggi itu, atau sebaliknya? * * * BIDADARI Jalang, yang mempunyai nama asli Nyai Nawang Tresni itu, hanya berdiri memandang dengan kedua tangan terlipat di dada.

   Tangan itu yang membuat dada montok Bidadari Jalang jadi tertutup.

   Ia menampakkan sikap tenangnya, namun berusaha mencari cara untuk merebut Suto dari pelukan si Gila Tuak.

   "Kali ini kau kelewatan, Gila Tuak. Kau memancing kemarahanku dan memaksa diriku tega kepadamu."

   "Jangan menabur bunga di ujung duri, taburkan bunga di atas kain, Nawang Tresni. Jangan berpikir kepentingan diri sendiri, pikirkan pula kepentingan orang lain."

   Sungging senyum kesinisan mekar di sudut bibir yang menggairahkan setiap lelaki itu. Bidadari Jalang pun berkata.

   "Aku tak butuh nasihatmu, Gila Tuak! Aku hanya butuh bocah tanpa pusar itu! Serahkanlah padaku, jangan membuat aku memaksa raga tuamu!"

   "Aku juga membutuhkan bocah tanpa pusar ini, Nawang Tresni. Sudah cukup banyak usiaku. Sudah bosan aku hidup di bumi. Aku sudah ingin mati. Tapi kau tahu sendiri, aku belum punya murid yang menjadi pewaris ilmu-ilmuku. Dan hanya pada seorang murid yang tidak mempunyai pusar, ilmu itu bisa kuturunkan. Setelah itu baru aku akan bisa menutup mata dengan tenang."

   "Persetan dengan kepentinganmu itu!"

   Geram Bidadari Jalang.

   Kemudian kaki kanan perempuan yang menggeram itu dihentakkan ke tanah satu kali.

   Jluuk...! Wuuss...! Tubuh Suto mencelat ke atas, melayang ke arah Bidadari Jalang.

   Bagaikan tersentak tiba-tiba dari pelukan Gila Tuak.

   Tubuh itu diterima oleh satu tangan Bidadari Jalang.

   Pleek...! Langsung ada dalam gendongannya, posisinya tepat seperti anak duduk digendongan seorang ibu.

   Napas Suto terengah-engah.

   Ia sendiri kaget dengan peristiwa melayangnya tubuhnya tadi.

   Ia menjadi ketakutan.

   Pegangannya pada pundak Bidadari Jalang diperkuat.

   "Setan betina!"

   Umpat Gila Tuak.

   Baru saja Gila Tuak ingin bergerak, tiba-tiba tubuh Bidadari Jalang telah melesat ke pucuk sebuah tanaman peredu.

   Kakinya tak membuat tanaman yang dipijaknya bergerak sedikit pun.

   Bahkan ketika ia melenting tinggi, tanaman itu hanya bergerak sedikit, sebagai alas untuk menjejakkan ujung jempol kakinya, dan tubuh yang menggendong Suto itu sudah berada di atas sebuah pohon berdahan kekar.

   "Woaaaow...!"

   Suto buru-buru memejamkan matanya setelah menyadari berada di sebuah ketinggian dan melihat kakek berambut putih itu menjadi kecil.

   "Jangan lari, kau, Nawang!"

   Seru si Gila Tuak.

   Tubuhnya segera berkelebat bagaikan angin.

   Menghilang di balik semak belukar.

   Bidadari Jalang pun melompat dengan cepat bagaikan kilat, dari dahan yang satu, pindah ke dahan yang lain.

   Sementara Suto tetap diajak terbang ke sana sini tanpa tahu arah tujuannya.

   Ranting dan dahan berguncang semuanya.

   Sebagian daun banyak yang rontok sebelum menua.

   Itu jelas akibat gerakan bertenaga dalam tinggi dari Bidadari Jalang.

   Satu pohon yang dihinggapinya, sepuluh pohon lainnya ikut runtuh daunnya.

   "Wooaaw... wooaaw...,"

   Teriak Suto ngeri-ngeri girang.

   Suara Suto bagai berkumandang ke mana-mana.

   Karena kecepatan gerakan Bidadari Jalang dalam membawanya lari membuat Suto bagai melayang dengan suara yang tertinggal.

   Suara teriakan Suto berada di pohon pertama, tapi sebenarnya ia sudah berada di pohon ketiga.

   Begitulah seterusnya, dan hal itu dimanfaatkan oleh si Gila Tuak.

   Ia mengejar lewat bawah.

   Gerakannya tak bisa dilihat mata.

   Namun sebagai tanda daerah yang dilewatinya, daun dan kulit pohon disekitar situ menjadi kering bagai habis terbakar.

   Bahkan sebagian masih ada yang berasap dan hangat.

   JaIur pelarian Gila Tuak membentuk garis hitam berliku-liku jika diteropong dari ketinggian tertentu.

   Pelarian Bidadari Jalang tiba di puncak bukit berbatu-batu hitam.

   Ia berhenti sebentar karena harus membujuk Suto.

   Sebab dalam pelariannya tadi, Bidadari Jalang telah berusaha menotok jalan darah Suto agar berhenti berteriak dan pingsan, sehingga tidak berisik suaranya.

   Namun, anak itu justru menjerit makin keras jika terkena totokan jari Bidadari Jalang.

   Rupanya anak itu sudah tak mempan totokan lagi.

   Dan Bidadari Jalang tahu, semua itu adalah ulah si Gila Tuak, yang tadi waktu ada Kombang Hitam telah melepaskan totokan pada diri Suto.

   Kini justru Gila Tuak telah berhasil menyalurkan hawa dinginnya pada tubuh dan darah bocah tanpa pusar itu, sehingga kebal totokan siapa pun.

   Itulah sebabnya Bidadari Jalang perlu membujuk Suto.

   Namun, begitu ia mendaratkan kakinya di permukaan batu besar, tiba-tiba di salah satu batu sebelahnya telah berdiri si Gila Tuak dengan senyum di mulutnya.

   Tongkatnya tergenggam di tangan kanan dengan ujung tongkat diletakkan di samping kaki.

   Sosok tegapnya masih terlihat walau ia berdiri memunggungi matahari senja.

   Bayangan sosok Gila Tuak membuat hati Bidadari Jalang sedikit terperanjat.

   Tak sangka Gila Tuak sudah lebih cepat sampai ketimbang dirinya.

   "Hebat juga kau, Gila Tuak!"

   Gumam Bidadari Jalang.

   "Tapi kau tak akan bisa merebut anak ini!"

   "Jangan salahkan aku jika terpaksa menurunkan tangan keras padamu, Bidadari Jalang!"

   "Kalau kau mampu, lakukanlah!"

   Tantang perempuan itu dengan senyum manis yang menggoda setiap lelaki.

   Hanya Gila Tuak yang tidak tergoda oleh senyuman birahi Bidadari Jalang.

   Padahal, 'Senyuman Iblis' adalah salah satu ilmu yang sering digunakan oleh Bidadari Jalang untuk mengalahkan lawannya, Biasanya, senyuman itu mampu membuat lawannya reda dari kemarahan, reda dari nafsu membunuhnya, dan justru menjadi kasmaran kepadanya.

   Lawan, bisa dibuatnya pasrah tak berdaya karena merasa dibuat nikmat dengan memandang senyuman iblis itu.

   Tapi rupanya si Gila Tuak sudah memperkirakan akan digunakannya ilmu 'Senyuman Iblis' yang mempunyai pengaruh maut untuk jiwanya, sebab itu ia telah menutup jiwanya sehingga tidak pernah punya rasa tertarik dengan senyuman siapa saja.

   "Nawang, kenapa kau bersikeras mendapatkan bocah tanpa pusar itu? Apa keperluanmu terhadapnya?"

   "Aku butuh obat. Aku butuh mengembalikan beberapa ilmuku yang hilang terhisap kekuatan Tiga Pendekar Tibet dulu. Di dalam tubuhku sejak pertarungan dengan Tiga Pendekar Tibet itu, telah mengidap racun berbahaya, namanya Racun Birahi. Racun ini akan mengikis habis kekuatanku sedikit demi sedikit jika aku sedang kasmaran dengan seorang pria. Racun Birahi ini akan menjadi tawar jika aku sering mendapat hawa murni dari lelaki yang tidak mempunyai pusar. Dan, sudah sekian lama aku mencarinya, tapi tak pernah kutemukan lelaki tanpa pusar. Maka ketika kulihat bocah ini tanpa pusar, aku segera merebutnya dari tangan Kombang Hitam. Bocah inilah satu-satunya jalan untuk membuat kekuatanku pulih kembali dan racun menjadi tawar."

   "Dasar Jalang! Dia masih bocah! Masih ingusan dan belum bisa mengeluarkan hawa murni!"

   Sentak Gila Tuak.

   "Aku akan mendidiknya. Aku akan menjadi gurunya termasuk guru cinta. Hi hi hi...."

   "Guru sesat!"

   Geram si Gila Tuak lagi.

   "Jangan kau racuni masa depan anak itu dengan persoalan cinta birahimu, Bidadari Jalang! Biarkan dia menerima ilmu-ilmuku supaya aku bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang, entah di tangan siapa saja!"

   "Hi hi hi..., kamu pikir enak, ya, punya ilmu yang bisa membuat umur panjang? Hi hi hi... rasakan susahnya orang yang jenuh hidup dalam ketuaan! Masih mending aku, awet hidup tapi masih tetap muda. Tidak sepeot kamu. Hi hi hi..."

   "Setan! Kalau kau tidak mempunyai ramuan awet muda dan ilmu kecantikan abadi, kau juga akan setua aku, Bidadari Jalang. Aku tahu, umurmu sebaya dengan umurku!"

   "Tentu saja! Tapi kita beda guru walau saat diangkat murid kita sama-sama berusia imbang. Aku mewarisi ilmu Kecantikan Abadi dari Eyang Guru Nini Galih, sedangkan kau mewarisi ilmu Usia Panjang dari suaminya, yaitu Eyang Purbapati. Dan ternyata akulah yang lebih unggul. Walau aku bisa mati kapan saja, tapi kecantikanku tidak tersiksa raga tua renta seperti kamu. Hi hi hi... untuk apa mempunyai umur panjang kalau raga kita makin lama semakin keropos, Gila Tuak?"

   "Sudah. Cukup! Jangan mengingat-ingat masa lalu. Jangan mengungkit Eyang-eyang guru kita masing-masing. Persoalan kita adalah Suto!"

   "Rebutlah kalau kau merasa mampu!"

   "Hiaah...!"

   Si Gila Tuak melompat sambil mengarahkan tongkatnya ke tubuh Bidadari Jalang.

   Namun, begitu melihat tubuh Bidadari Jalang melayang, Bidadari Jalang pun melompat jauh ke kanan.

   Sodokan tongkat itu membentur batu yang semula ada di belakang Bidadari Jalang.

   Batu itu pun segera retak terbagi beberapa bagian, bagaikan dihantam palu godam yang sangat besar.

   Menyadari kekuatannya telah berkurang sejak ia terkena Racun Birahi, maka perempuan itu segera melarikan diri.

   Ia sedikit cemas menghadapi Gila Tuak dalam keadaan kurang kekuatan.

   Siapa tahu si Gila Tuak itu sudah berhasil menemukan jurus-jurus baru dalam padepokannya sejak ia menghilang dari rimba persilatan selama tujuh tahun.

   Bisa-bisa jurus dan ilmu barunya Gila Tuak membuat hancur seluruh kekuatan Bidadari Jalang yang tersisa itu.

   Melarikan diri adalah hal terbaik.

   Menghindari pertarungan dengan Gila Tuak, untuk saat ini adalah langkah yang tepat.

   Tapi Gila Tuak sendiri tidak mau melepaskan Bidadari Jalang begitu saja.

   Ia pun segera mengejarnya.

   Mereka menuruni bukit dengan kecepatan tinggi.

   Suara jeritan Suto yang dibawa lari secepat itu, membuat jejak tersendiri bagi Gila Tuak.

   "Nawang! Berhenti kau! Hadapi aku!"

   Teriak Gila Tuak, yang kemudian ia sendiri berhenti dari larinya.

   Matanya menyipit memandang kilasan angin merah yang berkelebat di depannya.

   Serta-merta tongkatnya dilemparkan dengan tangan kiri.

   Sekalipun memakai tangan kiri, namun tongkat itu melesat bagaikan anak panah yang tak dapat dilihat mata telanjang.

   Dan tiba-tiba terdengar suara orang memekik.

   ' "Aaahg...!"

   Bidadari Jalang yang ada di tempat tinggi, di sebuah dahan pohon, jatuh terkulai karena punggungnya menjadi sasaran tongkat si Gila Tuak itu. Tubuh Suto pun melayang jatuh sambil anak itu menjerit ketakutan.

   "Waaaooow...!"

   Wusssh...! Taaap...! Gila Tuak berkelebat cepat.

   Tubuh Suto tertangkap olehnya.

   Bocah tanpa pusar itu menghembuskan napas lega.

   Bidadari Jalang tak sempat menyentuh tanah.

   Kakinya menginjak salah satu ranting semak, lalu melenting naik lagi, dan hinggap di salah sebuah dahan kecil yang tak mungkin bisa dipakai untuk bertengger burung rajawali.

   Namun nyatanya bisa dipakai bertengger Bidadari Jalang.

   Jika bukan ilmu peringan tubuh yang amat tinggi, tidak mungkin Bidadari Jalang mampu berdiri di sana.

   Ia sempat nyengir sebentar sambil memegangi pinggangnya, kemudian menatap si Gila Tuak yang ada di dahan pohon lainnya, lebih tinggi letaknya.

   "Jahanam kau, Gila Tuak!"

   Geram Bidadari Jalang. Gila Tuak hanya tersenyum. Kumis putihnya sedikit naik.

   "Kek... jangan bawa aku terbang, Kek. Aku puyeng, Kek. Kepalaku pusing dan... dan... hooek...!" , Tiba-tiba Suto muntah. Bukan muntah darah. Bukan muntah karena pukulan tenaga dalam. Tapi muntah karena pusing dan mual perutnya. Gila Tuak berteriak pada Bidadari Jalang sambil membungkukkan kepala Suto.

   "Lihat! Anak ini mabuk dan bisa sinting gara-gara kau bawa lari sana-sini!"

   "Persetan! Terimalah pukulan 'Gegana'-ku ini. Hiaat...!"

   Dua jari disentakkan ke depan oleh Bidadari Jalang.

   Dari ujung dua jari itu melesat sinar patah berwarna kuning.

   Arahnya ke wajah si Gila Tuak.

   Tapi, dengan cepat Gila Tuak melompat turun ke bawah.

   Wusss...! Bersamaan dengan itu, sinar kuning terang membentur pohon tempat Gila Tuak tadi bertengger.

   Pohon itu hanya terguncang sedikit.

   Daunnya rontok sebagian.

   Tapi masih berdiri tegak.

   Sedangkan Gila Tuak sudah sampai di bawah.

   Suto semakin muntah dibawa terjun begitu cepat.

   "Hoooek... hoooek...! Oh, puyeng saya, Kek. Puyeng...!"

   Ucap Suto lemah sekali.

   Gila Tuak iba melihat anak itu.

   Sebenarnya si Gila Tuak tidak ingin lari.

   Kasihan Suto.

   Tapi ia melihat Bidadari Jalang turun dari atas pohon dengan jubahnya berkibar bagaikan sayap garuda.

   Rambutnya pun meriap terbang dengan membentuk keindahan tersendiri.

   Maka, mau tak mau Gila Tuak segera melarikan Suto sambil berkata.

   "Kapan saja kau mau muntah, muntahkan saja. Kakek tidak marah terkena muntahanmu, Suto!"

   "Sabawana!"

   Teriak Bidadari Jalang.

   "Ke mana pun kau lari akan kukejar dan kubuat cacat seumur hidupmu! Jahanam kau!"

   Mendengar seruan itu, Gila Tuak tahu bahwa kemarahan Bidadari Jalang sudah mulai mendekati puncaknya.

   Sebab, biasanya jika perempuan itu marah sampai memuncak, ia selalu menyebut nama asli Si Gila Tuak, yaitu Ki Sabawana.

   Bidadari Jalang berteriak lengking.

   Nyaring dan keras sekali.

   Suara teriakannya menyerupai sebuah seruling.

   Dan suara itu membuat hewan-hewan hutan menjadi kalang kabut.

   Burung beterbangan sambil mencicit bagaikan ketakutan.

   Ular-ular yang bersembunyi di sarangnya melesat keluar.

   Seakan semua hewan yang ada di hutan lereng bukit itu menjadi panik dan salah tingkah.

   Sabawana mendekap telinga Suto sambil tetap membawanya lari.


Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong

Cari Blog Ini