Ceritasilat Novel Online

Bocah Tanpa Pusar 2


Pendekar Mabuk Bocah Tanpa Pusar Bagian 2



Kalau saja tangan Sabawana tidak mendekap telinga Suto, maka dari dalam telinga itu akan mengalir darah segar.

   Gendang telinga akan pecah.

   Karena Gila Tuak tahu bahwa jeritan lengking itu adalah ilmu 'Siulan Peri' warisan Eyang Nini Galih, gurunya Bidadari Jalang.

   Sementara itu, Gila Tuak tidak perlu menutup telinganya sendiri dengan tangan atau alat apa pun, karena ia telah menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya untuk menutup gendang telinga, melapisinya, hingga tak akan ditembus kekuatan 'Siulan Peri' tersebut.

   Gila Tuak terus berlari, Bidadari Jalang terus mengejar dengan penasaran.

   Sampai akhirnya mereka tiba di pesisir utara.

   Tanah yang sepi di pinggiran laut itu mempunyai warna yang putih.

   Tempatnya lega, karena tanaman kelapa dan sebagainya berada dalam jarak antara dua puluh lima tombak dari tepian laut.

   Gila Tuak ingin segera membawa Suto menyeberangi lautan dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya yang bisa berjalan di atas air asalkan ada alasnya.

   Tetapi, langkah itu terpaksa harus terhenti.

   Di sampingnya Suto muntah-muntah lagi sambil merengek.

   "Puyeng, Kek. Aku mual dan puyeng sekali...."

   Juga karena ia memandang aneh di tengah lautan. Pada saat itu Bidadari Jalang menyusul dengan sentakan suara kemarahannya.

   "Mau lari ke mana kau, Sabawana!"

   Mata perempuan itu memandang tajam. Penuh pijar-pijar kemarahan. Gila Tuak diam. Memandangnya sebentar sambil dalam posisi setengah jongkok, karena harus memijit-mijit tengkuk Suto yang masih muntah tanpa cairan lagi itu.

   "Nawang, kau lihat perahu yang bergerak itu?! Perhatikanlah gambar pada layarnya."

   Bidadari Jalang menatap ke laut. Ia sedikit terperangah melihat perahu layar bertiang tunggal. Di layar itu ada gambar tombak bersilang dengan naga melingkar di tengahnya.

   "Iblis Pulau Bangkai!"

   Geram Bidadari Jalang setelah mengenali simbul pada layar perahu tersebut.

   "Aku tahu kau punya urusan pribadi dengan Iblis Pulau Bangkai. Agaknya ia datang untuk membalas dendam atas kematian gurunya yang tempo hari pernah kau hancur leburkan dengan ilmu 'Guntur Baja'. Jelas sekarang murid tunggalnya yang bernama Nagadipa sudah menguasai seluruh ilmu Iblis Pulau Bangkai. Mau tak mau kau akan berhadapan dengannya Nawang Tresni. Demi keselamatan anak ini, aku harus menyelamatkannya dan menyembunyikannya."

   "Tidak bisa!"

   Sentak Bidadari Jalang.

   "Percayalah padaku, Nawang Tresni. Serahkan dulu anak ini. Biar kuturunkan seluruh ilmuku padanya, nanti kau boleh mengambilnya kembali. Kau tak mungkin menghadapi aku dan Iblis Pulau Bangkai itu secara bersamaan. Kau pasti kesulitan, Nawang Tresni. Hadapilah dulu musuh utamamu itu, setelah itu kalau kau mau bikin perhitungan denganku, silakan!"

   Bidadari Jalang diam mematung.

   Matanya menatap laju perahu yang tampak semakin cepat mendekati arah pantai.

   Ia berpikir beberapa saat.

   Ia mempertimbangkan kekuatan lawannya yang akan datang itu.

   Ilmu dari iblis Pulau Bangkai cukup berbahaya.

   Dulu ia mengalahkan Iblis Pulau Bangkai dalam keadaan belum terkena Racun Birahi.

   Tapi sekarang dalam keadaan seperti ini, mungkinkah dia akan unggul melawan murid Iblis itu, yakni Nagadipa? Jika menurut perhitungannya.

   Ia tidak akan unggul, apakah harus melarikan diri atau nekat melawannya?! * * * SALAH satu hal yang amat dikhawatirkan oleh Bidadari Jalang adalah ketampanan Nagadipa.

   Dulu, ketika Bidadari Jalang melawan Iblis Pulau Bangkai, hampir-hampir ia terbunuh karena kelengahannya.

   Kelengahan itu disebabkan oleh munculnya Nagadipa, yang pada waktu itu belum menjadi tandingan Bidadari Jalang.

   Lelaki berhidung mancung dengan mata indah memancarkan kelembutan itu hanya diam di salah satu sisi, memperhatikan pertarungan gurunya dengan Bidadari Jalang.

   Dan pada waktu itu, Bidadari Jalang sering mencuri pandang ke arah lelaki tegap dan perkasa itu, sehingga hampir saja pukulan dahsyat Iblis Pulau Bangkai mengenai bagian rawannya.

   Pada waktu pertarungan itu terjadi, Bidadari Jalang berhasil membunuh Iblis Pulau Bangkai.

   Kemudian ia bermaksud menghampiri Nagadipa, ingin diajaknya kencan.

   Tetapi pemuda itu telah lebih dulu menghilang, ia cepat pergi begitu melihat gurunya roboh, dan Bidadari Jalang kehilangan jejak.

   Tetapi desir hati Bidadari Jalang pada waktu itu sudah menciptakan keindahan yang mengesankan, sehingga ketampanan, dan keperkasaan Nagadipa sering terbayang dan mengganggu batinnya.

   Sebenarnya mudah saja buat Bidadari Jalang untuk mengalahkan Nagadipa nanti.

   Dengan senyumannya ia bisa membuat pria itu tak berdaya, pasrah dan dimabuk asmara.

   Tetapi repotnya, Bidadari Jalang pasti tergoda juga birahinya.

   Padahal setiap birahinya muncul, maka kekuatannya akan berkurang dan sebagian ilmunya akan rusak, hilang.

   Karenanya, sudah sekian lama Bidadari Jalang menahan diri agar tidak mudah terpancing birahi, supaya kekuatannya tidak nyaris habis.

   Memang begitulah akibat terkena Racun Birahi.

   Tetapi sekarang ia harus berhadapan dengan Nagadipa, yang konon keturunan bangsawan dari tanah seberang.

   Mampukah ia menahan serangan luar dalam dari murid Iblis Pulau Bangkai itu? Kalau saja Bidadari Jalang mampu melawan jurus-jurus mautnya Nagadipa, apakah dia masih mampu melawan godaan birahi dari ketampanan Nagadipa? Apakah dia mampu menghindari ajakan bercumbu yang terpancar lewat mata si tampan itu? Agaknya kebimbangan hati Bidadari Jalang tersadap oleh indera keenam si Gila Tuak.

   Karenanya, sebelum kapal itu menepi, Gila Tuak sempat mengajukan saran.

   "Pergilah kalau kau ragu. Jangan hadapi dia sebelum kau benar-benar yakin akan kemampuanmu, Bidadari Jalang!"

   "Hmm...,"

   Bidadari Jalang mencibir sinis.

   "Kau pikir aku gentar menghadapi Nagadipa? Sebaiknya kau saja yang pergi, bawa anak itu agar tidak menjadi korban kemarahan Nagadipa."

   "Menjadi korban? Hmm... apa hubungannya?"

   Dia akan menyangka Suto adalah anakku."

   "He he he...,"

   Si Gila Tuak terkekeh.

   "Mana mungkin dia menyangka begitu? Suto dengan kamu tidak punya kemiripan sedikit pun. Dan lagi, kalau sampai dia mengusik Suto, dia harus bangkit dari kuburnya."

   Perahu semakin dekat. Semakin jelas bentuk layar, tiang dan atap rumbia di tengahnya. Gila Tuak segera beranjak mundur dan berkata kepada Bidadari Jalang.

   "Aku akan menjadi penontonmu, Bidadari Jalang. Nah, selamat bertarung. Tunjukkan kehebatanmu di depanku jika kau punya niat untuk merebut Suto sebelum anak ini menjadi muridku."

   Weesss...! Angin cepat bertiup.

   Rambut Bidadari Jalang tertiup dan berkibar sejenak.

   Itulah angin kepergian Gila Tuak saat meninggalkan Bidadari Jalang.

   Tetapi sebentar kemudian, wuuss.....

   Angin cepat datang lagi.

   Gila Tuak terkekeh.

   Ia lupa membawa Suto saat pergi tadi.

   Kini Suto digendongnya, dan sebelum si Gila Tuak melesat lagi, Suto buru-buru berkata.

   "Jangan ajak aku terbang, Kek. Aku sudah sangat puyeng."

   "He he he... baiklah. Mari kita jalan saja, Nak,..,"

   Karena menuruti rengekan bocah tanpa pusar itu, akhirnya Gila Tuak pun jalan dengan santai, menuju ke sebuah tempat, yaitu tebing karang yang tidak terlalu tinggi.

   Dari sana masih dapat ia melihat keadaan Bidadari Jalang berdiri bagai termangu menunggu kedatangan lawannya.

   Kini, perahu berlayar tunggal sudah menepi.

   Tetapi anehnya belum ada yang muncul dari dalam perahu itu.

   Bidadari Jalang sudah mengambil jarak dan bersiap siaga menyambut serangan dari dalam perahu jika sewaktu-waktu muncul.

   Tetapi sampai sekian lama ia menunggu, yang ada hanya sepi dan sunyi.

   Tak sabar hati Bidadari Jalang, maka ia segera melompat dari tempatnya, bersalto di udara satu kali, dan hinggap kakinya di buritan perahu.

   Kaki itu menghentak.

   Jlig...! Lalu, ia kembali bersalto balik bertepatan dengan mentalnya tiang layar perahu dan tiang-tiang penyangga atap rumbia akibat hentakan kakinya.

   Dinding beratap rumbia itu pun terpental ke atas bersama atapnya juga.

   Perahu jadi terbuka, dan ternyata tak ada isinya apa-apa.

   Byuuur...! Tiang, layar, dinding rumbia, atapnya, semua terhempas jatuh ke perairan, bagai habis diledakkan oleh suatu kekuatan yang dahsyat.

   Bidadari Jalang hanya berkerut dahi ketika mengetahui perahu tanpa isi.

   Tak ada manusia satu pun di sana, bahkan bangkai manusia juga tak ada.

   Lalu, siapa yang mengarahkan perahu ke tepi pantai? Siapa yang membawa perahu mendekati Bidadari Jalang? Oh, tentu, saja ada yang membawanya.

   Lalu, ke mana si pembawa perahu itu? Apakah bersembunyi di dalam air, di bawah perahunya itu? "Nagadipa! Keluarlah!"

   Bentak Bidadari Jalang. Matanya memandang tajam tak berkedip di bagian bawah perahu. Bisa saja sewaktu-waktu muncul serangan dariI bawah sana.

   "Nagadipa...?! seru Bidadari Jalang lagi.

   "Aku tahu kau datang mencariku. Aku di sini. Keluarlah Nagadipa!"

   Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Bidadari Jalang.

   "Aku sudah di sini sejak tadi,"

   Suara itu pelan.

   Kalem.

   Segera mata dan kepala Bidadari Jalang menoleh ke belakang.

   Oh, ternyata pria tampan berpakaian kuning dengan rompi terbuka telah berdiri di belakang Bidadari Jalang.

   Tubuhnya berkulit bersih, walau tak terlalu putih.

   Lengannya kekar, demikian pula kedua kakinya yang kokoh.

   Rambutnya panjang sebatas pundak dan mengenakan ikat kepala dari kain berbenang emas.

   Kumisnya tipis, menambah wajah itu semakin tampan, Dulu, Bidadari Jalang melihat pria itu belum berkumis, Sekarang sudah berkumis, dan semakin mempesona dipandang mata.

   "Oh, sial...!"

   Keluh Bidadari Jalang dalam hatinya.

   Karena di dalam hatinya ia merasakan desiran yang begitu indah, menuntut jiwanya untuk dipeluk pria itu.

   Bidadari Jalang mencoba mengusir perasaan indah yang berbunga-bunga itu.

   Karena ia sadar, Racun Birain akan segera bekerja kembali merongrong kekuatannya "Rupanya kau mau pamer ilmu dulu padaku, ya Nagadipa?"

   Kata Bidadari Jalang dengan sinis.

   Ia berkata begitu, karena ia tahu, tanpa memiliki ilmu tinggi, Nagadipa tidak mungkin tahu-tahu muncul di belakangnya.

   Itu berarti Nagadipa telah mampu bergerak cepat tanpa menimbulkan suara atau gerakan yang terlihat, sehingga tahu-tahu sudah berada di belakang Bidadari Jalang.

   Perempuan itu manggut-manggut sambil memperhatikan Nagadipa dari kepala sampai kaki.

   Ia melangkah pelan, bagai sedang memperhatikan sebuah benda yang sangat dikaguminya.

   Nagadipa diam saja.

   Bahkan memamerkan senyumannya.

   Oh, hati Bidadari Jalang semakin dicekam keindahan melihat senyum itu.

   Ia buru-buru mengalihkan pandangan dengan gusar.

   "Mengapa kau tidak menyerangku, Nagadipa?"

   Ketusnya.

   "Aku masih ingin menikmati kecantikanmu, Bidadari Jalang."

   "Hmm...,"

   Bidadari Jalang mencibir, menutupi rasa bangganya mendengar ucapan itu. Katanya lagi.

   "Jangan basa-basi, Nagadipa. Kau datang untuk menuntut balas atas kematian gurumu beberapa tahun yang lalu, bukan?"

   "Benar."

   "Nah, sekarang lakukanlah pembalasan itu. Aku sudah siap."

   Senyum si tampan itu semakin mekar.

   Oh, begitu indahnya.

   Bidadari Jalang buru-buru buang pandang.

   Wajahnya tegang, namun hatinya melayang.

   Ia hanya melirik sedikit ketika pria itu melangkah mendekati bagian pantai yang basah.

   Nagadipa memandang ke arah cakrawala sambil berkata.

   "Bodoh sekali kalau aku membunuhmu sebelum puas aku mengagumi kecantikanmu, Bidadari Jalang. Wajah cantik dan bentuk tubuh yang menggairahkan seperti yang kau miliki itu, tidak pernah kutemukan di Pulau Bangkai. Bahkan mungkin di seluruh pelosok tanah Jawa hanya kaulah yang memiliki wajah dan tubuh seperti itu. Jadi, aku terpaksa berpikir, haruskah aku membunuhmu demi membalas dendam kematian guruku, atau membiarkan kau hidup di dalam pelukanku?"

   "Setan buduk! Tak perlu kau bicara begitu, Nagadipa!"

   Geram Bidadari Jalang, sebab kalimat itu semakin mengguncangkan hatinya, semakin menghadirkan bunga-bunga indah yang mulai mengusik birahinya.

   Bidadari Jalang kian cemas dengan dirinya sendiri.

   Tetapi, kecemasan dan kegusarannya diketahui oleh Nagadipa, sehingga lelaki tampan itu semakin mendayu-dayukan rayuannya.

   "Kalau aku berniat membunuhmu, itu mudah saja. Tapi menaklukkan hatimu, merebut perhatianmu, menggapai kemesraanmu, itu bukan hal mudah. Lebih sulit ketimbang harus meruntuhkan sebuah gunung karang...."

   "Tutup mulutmu!"

   Bentak perempuan itu dengan mata mendelik.

   "Kalau aku menutup mulutku, mana bisa kau menikmati kehangatan bibirku ini, Bidadari Jalang?"

   Perempuan itu menggeram jengkel.

   Kedua tangannya menggenggam kuat, menahan sesuatu yang ingin berontak dari ujung birahinya.

   Nagadipa berpaling memandang, matanya ditatapkan ke mata Bidadari Jalang dengan penuh kelembutan.

   Senyumnya mekar tipis, menawan sekali.

   Dan ia tetap bersikap kalem, sehingga Bidadari Jalang semakin penasaran hatinya.

   "Inilah repotnya mempunyai musuh secantik kamu, Bidadari. Hasrat membunuhku hilang. Yang timbul hanyalah hasrat ingin memeluk kamu dan menciumi wajahmu dengan penuh kelembutan."

   "Bukan saatnya untuk bermain kemesraan, Jahanam!"

   Sambil Bidadari Jalang menggegat giginya.

   "Kemesraan sebentuk perasaan yang tidak mengenal tempat dan waktu. Kemesraan berhak muncul kapan saja dan di mana saja."

   Mata Bidadari Jalang bertambah tajam menatap. Nagadipa jadi punya pujian lain untuk perempuan itu.

   "Oh, jangan kau memandangku begitu, Bidadari Jalang. Matamu semakin membangkitkan nafsuku. Karena jujur saja kukatakan padamu, bahwa semakin tambah waktu semakin matang kecantikanmu, semakin besar daya pikatmu. Tak satu pun lelaki yang sanggup menghindari daya pikatmu, termasuk aku. Luluh lentak hatiku menerima tatapan matamu yang begitu menggoda hati..."

   Bidadari Jalang kian terbang jiwanya, ia menahan gejolak birahi sampai napasnya terengah-engah. Ia menahannya kuat-kuat agar tidak terpikat oleh rayuan dan pujian itu. Dadanya yang montok naik-turun karena napasnya tertahan berat.

   "Oh. Bidadari... jangan bernapas seperti itu. Aku... aku... aku semakin luluh di hadapanmu,"

   Suara itu semakin lemah, wajah tampan itu semakin menunduk.

   Bidadari Jalang kian gusar hatinya.

   Dan tiba-tiba ia menyentakkan tangan kanannya ke depan dalam keadaan telapak tangan terbuka, ibu jari terlipat.

   Wuug...! Ada tenaga yang terpancar keluar tanpa sinar.

   Seketika itu pula tangan kiri Nagadipa membuka telapaknya dan melakukan gerakan bagai menepis sesuatu dari kiri ke kanan.

   Tubuhnya miring ke kiri.

   Duubb...! Wuuug...! Kraaak...! Gundukan batu karang yang berjarak lima belas tombak dari tempat mereka berdiri menjadi retak bagian tengahnya.

   Bagian ujungnya pecah berserakan di atas.

   Rupanya tenaga dalam kiriman Bidadari Jalang itu dihadang oleh tenaga dalam Nagadipa, dan lelaki itu berhasil membelokkan pukulan jarak jauh tersebut ke arah gundukan batu karang.

   Akibatnya batu karang itulah yang menjadi sasaran kedua kekuatan yang beradu itu.

   Wajah Nagadipa terangkat.

   Kalem.

   Senyumnya mengembang.

   Bidadari Jalang mendengus sinis.

   Ia melangkah ke samping pelan-pelan, menunggu kesempatan baik untuk menyerang.

   Sementara itu, Nagadipa diam saja.

   Hanya memandanginya dengan sorot pandangan matanya yang lembut.

   la berkata.

   "Tegakah kau membunuh lelaki yang sedang kasmaran padamu, Bidadari Jalang?"

   "Diam!"

   Bentaknya. Nagadipa bahkan tertawa dalam gumam.

   "Kudengar kau terkena Racun Birahi dari Tibet, ya? Apa betul? Apakah karena itu kau menjadi takut dengan rayuanku?"

   "Tapi mengapa wajahmu merah jambu? Kau menahan malu atau menahan gejolak nafsu, Bidadari Jalang?"

   "Persetan dengan penilaianmu. Hiaaat...!"

   Bidadari Jalang menggerakkan kepalanya, mengibaskan rambutnya yang panjang itu.

   Rambut berputar bagai kipas, menimbulkan hawa panas yang menyebar, menghantam tubuh Nagadipa.

   Wuusss...! Nagadipa menahan dengan kedua tangan disilangkan di depan wajahnya.

   Kakinya yang seketika itu membentuk kuda-kuda, ternyata mampu dirobohkan oleh hempasan tenaga dalam Bidadari Jalang yang disalurkan melalui kibasan rambutnya itu.

   Nagadipa terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk dalam jarak tiga langkah dari tempatnya.

   Ia buru-buru berguling ke belakang dan bangkit dengan segera dalam posisi siap menerima serangan lagi.

   Bidadari Jalang melentingkan tubuh dan bersalto beberapa kali di udara.

   Terdengar bunyi gemuruh dari jubahnya yang mengeluarkan angin bertenaga dalam.

   Kaki Bidadari Jalang tidak menjejak tubuh Nagadipa, melainkan sengaja mendarat di depan Nagadipa.

   Lelaki itu tersentak dan tubuhnya sedikit oleng karena hempasan tenaga dalam yang disalurkan melalui jubah itu.

   Pada saat tubuh Nagadipa oleng ke samping, kaki bidadari Jalang segera menendangnya dengan tendangan miring.

   "Hiattt...!"

   Plak...! Nagadipa menangkis dengan satu tangan dihentakkan ke samping.

   Kaki Bidadari Jalang bagai dihantam palu godam.

   Mata kaki yang terkena lengan tangkisan Nagadipa itu menjadi sedikit memar membiru.

   Rupanya tangkisan lengan itu dialiri tenaga dalam yang cukup besar, sehingga andai bukan kakinya Bidadari Jalang, maka kaki itu akan patah seketika.

   "Lumayan juga tenaga dalammu, Nagadipa,"

   Kata Bidadari Jalang.

   "Pasti kau telah berhasil mempelajari kitab peninggalan gurumu itu!"

   "Tapi di dalam kitab itu tidak ada pelajaran membunuh perempuan cantik yang dikagumi. Jadi...."

   "Hiaaat...!"

   Segera Bidadari Jalang menyerang kembali sebelum lelaki itu selesai menuturkan rayuannya, Kali ini Bidadari Jalang menghantamkan tangannya dalam posisi terbuka telapaknya dan berlipat ibu jarinya.

   Pukulan itu terarah ke rahang Nagadipa.

   Namun sebelum pukulan sampai, Nagadipa sudah lebih dulu menyambar kaki Bidadari Jalang.

   Prasss...! Bidadari Jalang jatuh terpelanting, menandakan kekuatannya semakin berkurang sejak hatinya berdesir-desir mendengar rayuan Nagadipa.

   Dalam posisi jatuh terpelanting itu, Bidadari Jalang segera menjejakkan kakinya ke atas, dan pada saat itu Nagadipa bermaksud menerkam, memeluk tubuh cantik yang menggiurkan itu.

   Akibatnya, dada Nagadipa terkena tendangan kaki Bidadari Jalang.

   Ia tersentak sambil bersuara.

   "Huugh...!"

   Tubuh Nagadipa terpental ke belakang dengan satu lompatan ringan.

   Padahal jika bukan Nagadipa, dada itu bisa jebol terkena tendangan bertenaga dalam dari kaki Bidadari Jalang.

   Melihat lawannya hanya terpental dalam satu lompatan ringan, Bidadari Jalang segera berdiri dan menyembunyikan keheranan di dalam hatinya.

   "Hebat juga dia. Masih bisa tenang dan tersenyum."

   Nagadipa memang berdiri tegak dan tersenyum.

   Tetapi tiba-tiba ia terkejut karena ada sesuatu yang mengalir di sudut bibirnya.

   Ia buru-buru mengusap cairan yang mengalir itu, dan memandangnya dengan mata setengah terperanjat.

   Oh, ternyata darah kental.

   Nagadipa mulai terpancing kemarahannya melihat tubuhnya bisa dilukai.

   Karena di Pulau Bangkai, tak ada orang yang bisa melukai tubuhnya.

   Apalagi yang memukulnya hingga mengakibatkan darah kental keluar dari mulut, disana tidak ada yang bisa melakukan.

   Melihat kening Nagadipa berkerut, Bidadari Jalang tersenyum girang, walau bernada tetap sinis.

   Ia berdiri dengan sigap, seakan telah siap menerima serangan balasan dari Nagadipa.

   Dugaannya memang benar.

   Nagadipa menjadi gusar melihat tubuh bagian dalamnya berhasil dilukai Bidadari Jalang.

   Maka, ia pun segera membentangkan kedua tangannya ke kanan-kiri.

   Perlahan-lahan disatukan kedua telapak tangan itu.

   Kakinya sedikit merendah, dan kesatuan telapak tangan itu disodokkan ke depan, ke arah Bidadari Jalang.

   Seberkas sinar perak melayang cepat dari ujung tangan Nagadipa.

   Zlaaap...! Arah sinar perak itu ke dada Bidadari Jalang.

   Tetapi dengan cekatan Bidadari Jalang mengambil jubahnya dan merapatkan ke depan tubuhnya.

   Bagian dada itu bagai ditutup oleh tameng kain jubah ungu.

   Traap...! Traas...! Traas...! Sinar perak itu memercikkan api ketika membentur jubah ungu.

   Bagaikan sinar las yang menghantam lempengan baja.

   Bidadari Jalang hanya tersenyum.

   Nagadipa segera menarik kedua tangannya yang saling katup itu.

   Kini tangan itu kembali dihentakkan keduanya dalam keadaan telapaknya terbuka ke depan.

   "Mata Iblis!"

   Teriak Nagadipa.

   "Hiaaat...!"

   Wuung...! Blaamm...! Bola api melesat keluar dari kedua telapak tangan Nagadipa.

   Bola api mula-mula kecil.

   Namun begitu mendekati jubah ungu yang dipakai perisai oleh Bidadari Jalang itu, makin tama menjadi semakin besar.

   Dan menghantam kuat jubah ungu tersebut.

   Kekuatan bola api itu cukup besar, seperti sebongkah potongan puncak gunung yang dilemparkan ke arah Bidadari Jalang.

   Besar sekali kekuatan yang ada, sampai akhirnya tubuh Bidadari Jalang terlempar ke belakang dan terkapar di tepian pantai, mulut, hidung, dan telinganya mengeluarkan darah.

   Melihat keadaan Bidadari Jalang lemah dan mengalami kesulitan untuk bangkit, Nagadipa segera menghunus pedangnya yang sejak tadi ada di samping kanan.

   Pedang pendek itu segera dibawa mendekati Bidadari Jalang sambil ia berteriak.

   "Sekaranglah saatku membalaskan kematian Guru, Hiaaat...!" * * * NAGADIPA sangat kaget pada saat ia mau menebaskan pedangnya ke leher Bidadari Jalang, tiba-tiba tubuhnya terpental jauh sepuluh langkah ke belakang. Menurutnya, Bidadari Jalang masih mempunyai kekuatan pada matanya yang bisa memancarkan tenaga begitu hebatnya, hingga membuat tubuh kekarnya terpental. Padahal waktu itu keadaan Bidadari Jalang mulai kritis. Sementara itu, Bidadari Jalang memendam rasa heran melihat lawannya tersentak ke belakang, bagai mendapat dorongan yang amat kuat. Kesempatan itu dipergunakan oleh Bidadari Jalang untuk mencoba bangkit dan berdiri dengan kekokohan kuda-kudanya. Terasa nyeri sekujur tubuh Bidadari Jalang, namun ia masih sanggup bertahan. Dan bilamana perlu ia masih sanggup menjauh meninggalkan pertarungan itu.

   "Jalang,"

   Panggil Nagadipa dengan menggeram.

   "Tak ada waktu bagi kita untuk menunda urusan dendam ini! Biarpun sudah malam, harus tetap kita tentukan siapa yang mati di antara kita berdua ini!"

   "Majulah kalau kau masih penasaran, Nagadipa! Aku sudah siap menyambut jurus-jurusmu!"

   Bidadari Jalang tak mau kalah sesumbar.

   Sedikit agak jauh dari pertarungan mereka, si Gila Tuak dan Suto duduk di atas tebing karang berpayungkan petang dan rembulan.

   Suto habis diurut bagian punggung dan dadanya.

   Rasa mual dan puyengnya mulai berkurang.

   Dan satu hal yang tak terpikirkan olah bocah tanpa pusar itu, bahwa sampai saat itu ia tidak pernah merasakan lapar sedikit pun.

   Ia tidak tahu, bahwa, si Gila Tuak telah menyalurkan hawa dingin yang berguna untuk menutup rasa lapar dan haus dalam diri Suto, yaitu saat ia mengurut bocah itu tadi.

   Itulah sebabnya, Suto tidak menuntut makanan, hanya menuntut pulang.

   "Mengapa kita masih di sini, Kek? Mengapa kita tidak pulang? Bukankah petang mulai tiba?"

   "Menurutmu, kau ingin pulang ke mana? Ke rumah mu?"

   Suto menggeleng.

   Dalam ingatan bocah itu terbayang kekejian yang dilakukan Kombang Hitam dan anak buahnya, ia juga ingat saat ayahnya roboh berlumuran darah dan sudah tentu tak bernyawa lagi.

   Ia juga terbayang melihat kepulan api dan asap yang membakar rumahnya.

   Ia tahu, bahwa dari keluarganya tinggal dia sendiri yang hidup dan selamat dari kekejian Kombang Hitam.

   Karenanya, Suto menggeleng ketika mendapat pertanyaan tadi.

   Kemudian ia berkata dengan nada suara memelas.

   "Aku harus pulang ke mana, Kek? Aku tidak tahu."

   "Pulang ke rumahku saja, ya? Kau akan kuangkat menjadi muridku. Semua ilmu silatku akan kuturunkan kepadamu, Suto."

   "Nanti aku jadi pendekar, ya Kek?"

   "O, iya! Kamu akan menjadi pendekar pembela kebenaran."

   "Aku juga bisa terbang seperti Kakek dan Bibi berjubah ungu itu, ya?"

   "Bisa. Kamu akan bisa seperti itu."

   "Wah, ndak mau aku,"

   Suto merengut.

   "Lama-lama aku bisa sinting lagi!"

   Gila Tuak tertawa terkekeh-kekeh. Kepala Suto diusap-usapnya. Suto segera berkata.

   "Kalau aku jadi pendekar, nanti terbang cepat seperti tadi, aku bisa muntah-muntah lagi, Kek. Aku tidak mau jadi pendekar bergelar Pendekar Cepat Muntah."

   Kakek itu semakin terkekeh geli dan berkata.

   "Kalau begitu kamu jadi pendekar sinting saja. Namamu Suto Sinting."

   Sekarang Suto yang tertawa dengan menutup mulut.

   Malu, Gila Tuak memeluk anak itu di sela tawanya sendiri.

   Beberapa saat mereka diam.

   Hanyut oleh suara deburan ombak yang menghantam kaki tebing karang itu.

   Mata mereka tertuju pada pertarungan Bidadari Jalang dengan Nagadipa.

   Melihat Bidadari Jalang terkena pukulan Nagadipa, Suto berkata.

   "Kasihan Bibi itu, Kek. Dia terkena pukulan."

   "Itu salahnya sendiri. Karena dia tidak mau waspada dan tidak melatih gerakan lincah."

   "Kalau aku berlatih gerakan lincah, aku bisa menghindari pukulan seperti itu, ya Kek?"

   "O, iya! Malah kamu bisa menyerang."

   Anak itu tersenyum bangga membayangkan kehebatannya sendiri. Ia semakin tertarik memperhatikan pertarungan tersebut. Lama-lama Suto berkata.

   "Kasihan Bibi itu, ya Kek? Dia menolongku dari kejahatan orang bertampang seram itu, tapi sekarang dia menemui musuhnya sendiri. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas pertolongannya. Tapi belum bisa kusampaikan karena Bibi itu sibuk."

   "Tahu berterima kasih itu hal yang baik sekali, Suto. Kita hidup memang harus selalu mau berterima kasih kepada siapa saja, terutama kepada Yang Maha Kuasa. Apa pun pemberian-Nya kita harus berucap syukur dan berterima kasih. Itu sangat baik."

   "Tapi aku suka sama Bibi itu. Biar wanita, tapi pandai memainkan jurus-jurus silat dan dia pemberani, ya Kek?"

   "Memang dia pemberani. Kau sebagai laki-laki juga harus lebih berani daripada Bibi Nawang."

   "Nawang itu apa namanya, Kek"

   "Ya. Namanya Nawang Tresni, julukannya Bidadari Jalang."

   "Jalang itu apa, Kek?"

   Si Gila Tuak terdiam. Bingung juga memberi jawaban atas pengertian kata 'jalang' kepada anak seusia Suto. Namun untuk melegakan hati anak itu, Gila Tuak hanya bisa menjawab.

   "Jalang itu... nakal."

   "Ooo... Tapi mengapa Bibi Nawang dikatakan sebagai Bidadari? Apakah beliau memang seorang bidadari dari kayangan?"

   "Bukan. Julukan Bidadari diberikan kepadanya oleh Eyang Guru kami, atas kecantikan Nawang yang mirip kecantikan bidadari."

   "O..., lalu, apakah dulunya Kakek dan Bibi mempunyai guru yang sama?"

   "Bisa dikatakan begitu, Suto. Sebab, guruku adalah suami dari gurunya Nawang. Kami sering dididik secara bersama-sama dengan mereka, bahkan sering disuruh tarung untuk mengetahui kelemahan kami masing-masing. Jadi, kalau sekarang Nawang bertarung denganku, maka jelas sulit sekali untuk membedakan mana yang menang dan mana yang kalah. Nawang juga mempunyai ilmu yang tinggi warisan dari gurunya sendiri."

   "Hebat sekali Bibi itu, Kek! Sudah cantik, punya ilmu tinggi!"

   "Bahkan sejak dia masuk dalam golongan hitam, ia mempelajari sisa warisan ilmu dari gurunya, yaitu ilmu sihir. Dan ia menguasai ilmu itu. Sayang sekali keadaan Bibi Nawang sekarang sedang sakit, sehingga mungkin dia tidak mau menggunakan kekuatan sihirnya untuk melawan Nagadipa itu, atau.., atau mungkin sudah hilang akibat racun itu?"

   Kata-kata terakhir diucapkan pelan oleh Gila Tuak, sepertinya ia bicara pada dirinya sendiri.

   Ia termenung beberapa saat sambil memandangi pertarungan tersebut.

   Suto sendiri juga membisu sambil termenung memandang kesana.

   Namun tiba-tiba bocah itu tersenyum sendiri, membuat Gila Tuak menjadi heran.

   "Hei, kenapa kau tersenyum sendiri?"

   Sambil Gila Tuak menyenggol pundak anak itu dengan pahanya.

   "Tidak ada apa-apa kok, Kek."

   "Ayo Suto katakan apa yang sebenarnya. Jangan menipu diri sendiri. Tak baik orang melakukan kebohongan, itu sama saja ia membodohkan dirinya sendiri. Katakanlah, kenapa kau tersenyum?"

   "Mmmm... anu...,"

   Suto malu-malu.

   "Bibi Nawang itu... ternyata benar-benar cantik, ya Kek?"

   "Oho ho ho...,"

   Kakek berjubah kuning itu memeluk Suto dan menepuk-nepuk pundak anak itu.

   "Masih kecil sudah bisa menilai begitu. Bagaimana kalau kau sudah besar nanti, ya?"

   "Tapi... tapi saya bicara sejujurnya, Kek."

   "Iya, ya, ya... aku tahu kau boleh memberi penilaian seperti itu, asal jangan berkhayal yang bukan-bukan? Kau masih terlalu muda untuk mengenal lebih dalam tentang perempuan."

   Suto menjadi semakin malu.

   Matanya memandang ke bawah.

   Menunduk takut.

   Takut ditertawakan dan diolok-olok.

   Beberapa saat kemudian, Gila Tuak mengambil tongkatnya.

   Rupanya tongkat itu bukan sekadar tongkat.

   Tongkat itu merupakan tabung yang terbagi dua, yaitu tutup dan tabungnya.

   Tongkat itu bisa dilepas bagian atasnya, dicabut ke atas, dan tampaklah rongga tabung tersebut.

   Kemudian dengan mendongak sedikit, Gila Tuak menenggak isi tabung yang berupa cairan berbau aneh buat Suto.

   Anak itu bertanya.

   "Apa yang Kakek minum itu?"

   "Tuak,"

   Jawab si Gila Tuak.

   "Kau mau? Nih, cobalah beberapa teguk. Enak kok. Bisa bikin sehat di badan kalau tak terlalu banyak."

   Kemudian Suto meneguk tuak dalam tabung tongkat itu. Hanya dua teguk Suto menelan tuak itu. Ia segera menyeringai dan meringis-ringis sambil bilang.

   "Rasanya kok seperti ini, Kek? Getir dan kecut...!"

   "He he he...,"

   Gila Tuak tertawa melihat wajah Suto menyeringai lucu setelah minum tuak. Bahkan lidahnya dljulur-julurkan dan diusap-usap pakai telapak tangannya.

   "Cuih, cuih...,"

   Suto meludah.

   "Kalau kau sudah terbiasa, maka tuak ini menjadi minuman yang lezat dan segar. Aku selalu meneguknya dalam waktu-waktu tertentu."

   "Cuih...!"

   Kembali Suto meludah.

   "Kek, kepalaku jadi puyeng lagi, Kek. Aku bisa jadi sinting nih!"

   "Oho ho ho... itu karena tuak ini terlalu keras untuk bocah seusia kamu. Nanti kalau kau pulang ke rumahku, akan kuberi kau tuak yang tidak keras, sehingga enak diminum untukmu."

   "Kek...,"

   Kata Suto setelah beberapa saat.

   "Kok apa yang kulihat terasa berputar, Kek? Aku melihat Bibi Nawang kok jadi berputar, Kek?"

   "Memang bibimu sedang bersalto di udara, ya berputar."

   "Jangan-jangan... aku nanti mabuk, Kek?"

   "Tidak. Kau tidak sampai mabuk. Hanya sedikit puyeng, memang. Belum sinting. Tapi anggap saja itu perkenalanmu dengan si Gila Tuak ini,"

   Sambil Gila Tuak menepuk dadanya sendiri.

   "O, jadi Kakek yang berjuluk Gila Tuak."

   "Iya. Karena aku ke mana-mana membawa tuak dalam tongkatku!"

   "Lalu, besok kalau aku jadi pendekar, aku harus membawa apa, ya Kek?"

   "Menurutmu, kau ingin membawa apa kalau sudah jadi pendekar?"

   "Hmmm... membawa... membawa singkong bakar saja."

   "Singkong bakar?"

   Gila Tuak tertawa.

   "Eh, jangan singkong bakar, ah! Nanti aku dapat julukan si Singkong Setan!"

   "Pantasnya julukanmu setan singkong saja, he he he...!"

   Gila Tuak tampak girang sekali mendapatkan bocah tanpa pusar itu.

   Ia mengajaknya bergurau terus.

   Sampai suatu saat, canda mereka terhenti karena pekikan Bidadari Jalang.

   Mata mereka kembali terpusat pada pertarungan di sana.

   Rupanya Bidadari Jalang saat ini sedang keteter oleh serangan beruntun dari Nagadipa.

   Kekuatannya semakin berkurang, sehingga beberapa kali Bidadari Jalang kecolongan.

   Ia dapat terpukul dan tersentak ke sana-sini.

   "Bodoh sekali,"

   Gumam si Gila Tuak.

   "Padahal ia punya ilmu 'Sapta Tingal', yang bisa mengecoh musuhnya yang merubah diri menjadi tujuh kembar. Mengapa tidak digunakan? Apakah 'Sapta Tingal' sudah ikut hilang digerogoti Racun Birahi?"

   Suto merasa diajak bicara, sehingga ia berkata.

   "Birahi itu apa toh, Kek?"

   "Belum waktunya kau mengetahui,"

   Jawab si Gila Tuak dengan mata tetap tertuju pada pertarungan. Suto bertanya lagi.

   "Kalau aku nanti bisa menjadi pendekar, apakah aku boleh mengetahui birahi, Kek?"

   "Boleh. Tapi jangan banyak-banyak."

   "Mengapa tidak boleh banyak-banyak?"

   "Karena... karena bisa menyesatkan jiwamu, bisa merapuhkan dirimu, jika terlalu banyak birahi. Seperti bibimu itu, akhirnya jadi rapuh dan sesat."

   "Lho, kalau begitu Bibi Nawang itu orang sesat, ya Kek? Apakah Bibi Nawang itu termasuk orang jahat?"

   Tanya Suto dengan rasa ingin tahu terhadap segala-galanya begitu besar.

   "Ada yang mengatakan, Bibi Nawang itu orang jahat, karena ia ada di pihak golongan hitam. Tapi ada pula yang bilang, dia itu orang baik. Tergantung dari sudut mana kita memandang."

   "Kenapa begitu?"

   "Karena orang jahat bisa saja berbuat baik, dan orang baik bisa saja berbuat jahat. Karena di dalam jiwa kita bermukim dua sifat manusia, yaitu baik dan-jahat. Sewaktu-waktu salah satu pasti digunakan oleh diri kita baik sadar maupun tak sadar."

   Suto diam termenung.

   Apakah dia merenungi kata kata Gila Tuak? Entahlah.

   Yang jelas matanya kembali memandang pertarungan yang bagai disaksikan oleh sang purnama di angkasa.

   Karena kemunculan sang purnama itulah maka pantai itu menjadi terang dan setiap gerakan bisa dilihat dari tempat Suto dan si Gila Tuak duduk dengan santai.

   Gila Tuak mengibaskan tangannya.

   Hanya jari telunjuknya yang dikibaskan menyentil pelan.

   Pada saat itu, tubuh Nagadipa tersentak mundur.

   Padahal ia punya kesempatan melumpuhkan Bidadari Jalang lewat belakang.

   Tubuh yang terpental mundur itu membentur batu karang yang tadi retak akibat dijadikan sasaran pukulan tenaga dalam mereka berdua.

   Keadaan seperti itu, dimanfaatkan oleh Bidadari Jalang untuk mengibaskan rambutnya.

   Dan sekali ini Nagadipa terpelanting jatuh dalam jarak lima langkah dari tempatnya.

   Diam-diam Suto memperhatikan gerakan jari Gila Tuak yang mengibas dalam sentilan pelan tadi.

   Ia menaruh curiga, namun tidak tahu apa alasannya mencurigai jarinya Gila Tuak.

   Yang jelas, kakek berambut putih rata itu tetap memperhatikan ke arah pertarungan.

   Bahkan sekarang Suto mendengar kakek itu mendenguskan napas satu kali lewat hidungnya.

   Suto buru-buru memandang ke arah pertarungan.

   Kala itu Nagadipa tersentak ke belakang lagi dengan tubuh melengkung, kepala sedikit tertunduk.

   Dari mulutnya keluar darah segar.

   Bidadari Jalang baru saja bangkit akibat pukulan jarak jauhnya Nagadipa yang mengempaskan tubuhnya ke pasir pantai.

   Melihat hal itu, Bidadari Jalang merasa heran.

   Mengapa Nagadipa memuntahkan darah? Keheranan itu disembunyikan.

   Bidadari Jalang segera mengangkat tangannya ke atas, kedua kakinya tegak.

   Dan sekarang satu kakinya diangkat dengan terlipat ke belakang.

   Tangan kanan yang terangkat lurus ke atas itu memercikkan bunga api warna biru, sepertinya ujung tangan itu berhasil menangkap petir di sela terangnya purnama.

   Kemudian, tangan tersebut segera dikibaskan ke depan, ke arah Nagadipa.

   Dilakukannya seperti Bidadari Jalang memercikkan air pada tubuh Nagadipa.

   Dari kibasan tangan tersebut, memerciklah bunga api ke tubuh Nagadipa.

   Begitu banyaknya bunga api berwarna biru kemerah-merahan itu, sehingga Nagadipa terguling-guling di pasir sambil memekik keras-keras.

   Ia menjadi kalang kabut karena merasakan hawa panas sedang menyerang tubuhnya.

   Karena ia berguling-guling di pasir, maka yang seharusnya pakaiannya terbakar menjadi padam.

   Hampir saja tubuhnya hangus terbakar jika tidak segera berguling-guling.

   Karenanya ia segera bangkit dan berdiri dengan tegar kembali.

   Bidadari Jalang sedikit kecewa atas serangannya yang terhitung gagal itu.

   Namun ia masih memperlihatkan kesigapannya dalam melawan Nagadipa.

   "Jelas sudah, Nawang banyak kehabisan kekuatan tenaga dalamnya gara-gara Racun Birahi itu,"

   Gumam Gila Tuak.

   "Kalau tidak, pasti ia tidak selamban ini dalam melawan Nagadipa. Hmmm... payah sekali dia itu. Pasti hatinya tadi tergoda birahi begitu memandang lawannya yang tampan. Kalau tidak tergoda birahi, tidak mungkin ia banyak melakukan kelengahan."

   Tiba-tiba Suto berkata.

   "Kek, kepalaku kok masih puyeng saja?"

   "Kalau begitu, sebaiknya kita segera pulang saja. Kamu telah mabuk akibat tuak tadi. Dengan tidur dan beristirahat, rasa pusingmu, itu akan hilang."

   "Apakah kita perlu pamit pada Bibi Nawang dulu, Kek?"

   "Hmmm... ya, ada baiknya kita pamit ke sana dulu."

   Maka, Gila Tuak segera membawa Suto melangkah mendekati pertarungan yang tiada habisnya itu. Suto digandengnya, dan langkah mereka tampak santai sekali. Suto sempat bertanya.

   "Kenapa Kakek tidak membantu Bibi?"

   "Kalau tidak terpepet, jangan mencampuri urusan orang lain, sebab tugas utama kita sebagai manusia adalah mengurus dirinya sendiri. Kalau diri kita sudah diurus dengan benar dan baik, maka sekali tempo boleh kita mengurus orang lain, asal demi kebaikan. Sebab, dengan ikut campur urusan orang lain, berarti kita harus sudah siap menanggung akibat buruknya."

   Mereka semakin dekat dengan Bidadari Jalang. Langkah kaki mereka pun terhenti. Pertarungan Bidadari Jalang juga ikut terhenti. Dengan wajah pucat Bidadari Jalang berkata ketus kepada si Gila Tuak.

   "Jangan ikut campur urusanku!"

   "O, tidak. Aku hanya mau pamit saja. Aku bosan nonton pertarunganmu yang bertele-tele. Kamu seperti anak kemarin sore yang baru lulus mencapai jurus-jurus dasar. Suto ngantuk, ia perlu istirahat. Jadi aku pulang bersamanya ke padepokanku."

   Suto menyahut.

   "Bibi, terima kasih atas pertolongan Bibi tadi. Aku jadi selamat dari Kombang Hitam."

   Hati Bidadari Jalang tersentuh juga mendengar ucapan itu.

   Namun ia terpaksa harus melompat dan bersalto ke belakang satu kali, karena ia merasakan ada hawa panas yang dilancarkan dari tangan Nagadipa.

   Akibatnya, begitu ia menghindar, tubuh Suto menjadi sasaran hawa panas itu.

   "Awas Suto...!"

   Teriak Bidadari Jalang.

   Dengan cepat, Gila Tuak melintangkan tongkatnya di depan Suto, dan hawa panas yang mampu melelehkan baja dalam waktu singkat itu menjadi berbalik arah menuju ke pengirimnya.

   Nagadipa kaget mengetahui pukulannya yang dinamakan 'Gayung Iblis' itu bisa dikembalikan oleh seseorang.

   Ia segera menghindari pukulannya sendiri itu, dan pukulan tersebut menghantam lautan.

   Crooos...! Suaranya sangat keras.

   Air lautan bergolak bagai diguncang gempa.

   Nagadipa hanya bertanya dalam hati.

   "Siapa kakek tua itu? Hebat sekali dia? Bisa menahan pukulan 'Gayung Iblis' saja sudah cukup hebat, apalagi bisa mengembalikan?" * * * "GILA Tuak, pergilah secepatnya, aku tak butuh penonton!"

   Kata-kata Bidadari Jalang itulah yang membuat Nagadipa terperanjat. Matanya sempat terbelalak seketika, dan hanya sekejap. Ia jadi ingat pesan almarhum gurunya ketika masih hidup.

   "Jangan sekali-kali kamu bikin perkara dengan tokoh tua di rimba persilatan yang bergelar si Gila Tuak! Hindarilah dia, kapan saja kamu bertemu dengan Gila Tuak. Orang itu bisa menjadi ganas dari orang yang paling ganas di bumi ini! Kesaktiannya tak sebanding denganmu. Aku saja ada di bawahnya. Karena itu, si Gila Tuak sangat ditakuti oleh tokoh-tokoh dunia persilatan, sehingga dia dikenal dengan julukan Gila Tuak. Kerjanya menjagal siapa saja yang bikin perkara dengannya...."

   Nagadipa baru percaya betul dengan pesan almarhum gurunya itu.

   Ia telah melihat sendiri kehebatan Gila Tuak yang mampu menahan pukulan 'Gayung Iblis', bahkan mampu mengembalikannya juga.

   Sebab itu, setelah ia mendengar nama Giia Tuak, nyalinya jadi ciut.

   Dan pada waktu Bidadari Jalang berbicara dengan Gila Tuak, diam-diam Nagadipa segera menghindar dengan berlari cepat bagaikan kilat menyusuri tepian pantai.

   "Kakek, lihat orang itu telah lari!"

   Seru Suto sambil menarik-narik jubahnya Gila Tuak. Bibir berkumis putih itu menyunggingkan senyum tipis. Tetapi wajah Bidadari Jalang menjadi cemberut berang. Ia kecewa atas kehadiran Gila Tuak, yang membuat lawannya menjadi ketakutan.

   "Aku tidak suka dengan caramu, Gila Tuak!"

   "Apa maksudmu?"

   Gila Tuak berkata dengan santai, seakan meremehkan kegeraman Bidadari Jalang.

   "Kau banyak ikut campur pertarunganku tadi! Kau pikir aku tidak tahu, kau telah melancarkan pukulan jarak jauhmu beberapa kali ke arah Nagadipa?!"

   Senyum tipis kembali mekar.

   "Kulakukan demi menyelamatkan jiwamu,"

   Katanya dengan kalem.

   "Aku bisa mengatasinya sendiri. Aku tidak perlu bantuanmu!"

   "Kalau kubiarkan saja dia menyerangmu, kau pasti akan habis dibinasakan oleh Nagadipa. Aku tahu, kekuatanmu semakin berkurang, Nawang Tresni. Kurasa itu karena Racun Birahi yang bersarang di dalam tubuhmu!"

   Bidadari Jalang ingin membantah lagi, namun segera ia menarik napas, karena menyadari kata-kata itu memang benar.

   Kekuatannya semakin berkurang, ia menjadi cepat lemah.

   Dengan pukulan-pukulan yang tak begitu tinggi bobot tenaganya saja ia bisa dibuat limbung.

   Kalau saja tadi si Gila Tuak tidak ikut campur secara sembunyi-sembunyi, ia memang sudah habis di tangan Nagadipa.

   Menyadari hai itu, Bidadari Jalang bertambah cemas.

   Sekalipun ia sembunyikan kecemasan tersebut namun Gila Tuak tetap bisa merasakannya.

   Maka, Gila Tuak pun berkata.

   "Sudahlah, lupakan dulu tentang Nagadipa dan dendamnya. Kita bicara di pondokku saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan tentang bocah tanpa pusar ini, juga tentang penyakitmu itu."

   Bidadari Jalang menghempaskan napas kuat-kuat.

   Wajahnya masih cemberut.

   Tapi agaknya ia tidak mempunyai pilihan lain.

   Kalau saja ia ngotot dan tetap merebut Suto dari tangan Gila Tuak, jelas ia akan hancur di tangan saudara seperguruannya.

   Seandainya ia tidak dalam keadaan lemah, mungkin ia masih mau melayani pertarungannya dengan Gila Tuak, walau ia tahu lelaki itu tak bisa mati begitu saja.

   "Baiklah, mari kita tinggalkan tempat ini,"

   Kata Bidadari Jalang dengan wajah masih ketus cemberut.

   Ia pun segera melangkah lebih dulu.

   Tiga langkah kemudian ia berhenti, memandang Suto yang diam saja, yang menatap aneh padanya.

   Sementara itu, Gila Tuak sendiri tidak segera bergerak.

   Gila Tuak diam bagaikan patung.

   Matanya menatap lurus kepada Bidadari Jalang dengan kesan aneh pula.

   Tentu saja hal itu membuat dahi Bidadari Jalang berkerut.

   "Ayo, Suto..., kita pergi sekarang. Kamu mau digendong aku atau digendong kakek tua itu?"

   Kata Bidadari Jalang kepada Suto.

   Namun bocah itu diam saja.

   Kedua tangannya terlipat di dada.

   Rambutnya yang plontos dibiarkan tertiup angin malam pada bagian depannya.

   Jaraknya berdiri mematung aneh itu ada tiga langkah dari tempat Gila Tuak berdiri.

   Tepatnya di samping kanan agak ke depan dari Gila Tuak.

   "Hei, bocah tuli!"

   Sentak Bidadari Jalang dengan hati dongkol.

   "Ditanya kok diam saja? Apa kau bisu, hah?!"

   Semakin heran Bidadari Jalang melihat Suto tersenyum. Sambil tetap berlipat tangan di dada, bocah itu bergerak lebih menjauhi Gila Tuak. Langkahnya kalem-kalem saja, seakan acuh tak acuh dengan Gila Tuak maupun Bidadari Jalang.

   "Gila Tuak, ayolah, bawa anak itu ke pondokmu!"

   "Berangkatlah dulu,"

   Jawab si Gila Tuak dengan suara datar.

   "Tidak bisa. Kau pasti akan menipuku kalau kita tidak berangkat bersama. Kau akan larikan anak itu ke tempat lain."

   "Berangkatlah dulu dan bawa anak itu."

   Semakin datar suara Gila Tuak, semakin pelan nadanya, semakin curiga pula hati Bidadari Jalang dibuatnya.

   Mata perempuan cantik itu cukup tajam memandang Gila Tuak yang punya pandangan lurus ke depan.

   Pandangan mata kakek tua itu bagaikan penuh beban yang tertahan.

   Mau tak mau Bidadari Jalang mendekat kembali dan berkata dengan mata menyipit ketus.

   "Aku tidak butuh kelakarmu saat ini, tahu? Jangan main-main denganku, Gila Tuak!"

   Jawaban yang keluar dari mulut Gila Tuak hanya.

   "Pergilah, bawa lari anak itu. Lekas."

   "Hei, ada apa kau ini, hah? Kenapa kau tidak segera bergerak untuk pergi?"

   "Jangan banyak tanya. Lekas pergi bersama Suto Lekas...!"

   Kali ini Gila Tuak gemetar tangannya.

   Terlihat oleh Bidadari Jalang tongkat yang dipegang Gila Tuak juga ikut bergerak-gerak dalam getaran lembut.

   Semakin heran dan curiga Bidadari Jalang saat itu.

   Bahkan ia pun mendengar dengus napas tertahan dari hidung Gila Tuak.

   "Apa yang terjadi sebenarnya?"

   Bisik Bidadari Jalang berkesan tegang di dalam hatinya.

   "Seseorang telah menahan inti ragaku."

   "Apa...?!"

   Bidadari Jalang tersentak kaget walau tak harus berucap kata dengan keras.

   "Aku tak bisa bergerak,"

   Kembali Gila Tuak berkata dengan suara bisik yang amat pelan.

   Kepala Gila Tuak memang bisa bergerak.

   Ia memandang ke kiri dan kanan.

   Kedua tangan itu pun bisa bergerak bebas.

   Tetapi kedua kaki si Gila Tuak tak bisa digerakkan sedikit pun.

   Diangkat sejengkal pun tak bisa.

   Dengus-dengus napas tertahan berat itu menandakan Gila Tuak sedang berusaha mengangkat salah satu kakinya.

   Namun kakinya tetap seperti tertancap di tanah pasir pantai.

   Kaki itu bagai ada yang memegangi dari dalam tanah.

   Melihat keadaan si Gila Tuak yang ternyata tidak main-main itu, Bidadari Jalang semakin tegang dalam keheranannya.

   Kemudian ia mencoba menarik tangan Gila Tuak.

   Namun tubuh tua itu tidak mampu bergeser dari tempatnya berpijak.

   Gila Tuak akhirnya menghentakkan kedua tangannya dengan satu kekuatan dalam yang cukup besar.

   Kekuatan dorong kedua tangan Itu biasanya dipakai untuk menggeser pintu gua dari batu besar, atau menumbangkan pohon yang berukuran sedang-sedang saja.

   Anehnya, tubuh tua Gila Tuak tidak mampu terdorong ke belakang.

   Hanya meliuk sebentar dan kembali lagi, seperti sebongkah karet yang tertancap kuat di salah satu dasar lantai.

   "Siapa yang mengganggumu begini?"

   Gumam Bidadari Jalang dengan mata memandang sekeliling, penuh kecurigaan.

   "Entahlah. Aku belum menemukan dari mana asal kekuatan gaib yang menahanku bergerak ini?"

   "Coba gunakan tenaga dalammu untuk melompat dari tempat ini."

   "Sudah kucoba tadi,"

   Jawab si Gila Tuak masih pelan sekali suaranya.

   "Tapi tak bisa melawan kekuatan ini. Kepalaku malah terasa sakit akibat tenaga dalam yang kupakai tertahan kuat-kuat."

   Bidadari Jalang memunggungi Gila Tuak, matanya memandang tajam ke arah semak pantai, ke arah batang-batang kelapa, ke daerah gundukan karang yang tadi retak dalam pertarungannya dengan Nagadipa, dan ke mana saja mata itu menatap tajam.

   Namun ia tidak menemukan bayangan sosok siapa pun di sana.

   Tiba-tiba Bidadari Jalang menggerakkan kakinya memutar dan menendang dada Gila Tuak dengan keras.

   "Haiaai..!"

   Buukk...! "Uhhg...?!"

   Gila Tuak mendelik karena terkena tendangan putar dari kaki Bidadari Jalang.

   Tendangan itu biasanya bisa merubuhkan batang pohon.

   Namun kali ini tak mampu membuat tubuh tua itu bergeser dari tempatnya.

   Bahkan Gila Tuak sedikit meringis merasakan sakit di dadanya akibat terkena tendangan keras.

   "Monyet Burik!"

   Cacinya dengan dongkol.

   "Kenapa kau menyerangku, hah?!"

   "Maaf. Maksudku membuatmu supaya tumbang dan bebas dari kekuatan yang menahan kakimu."

   "Iya. Tapi dadaku mau jebol rasanya, Tolol!"

   Bidadari Jalang menahan tawa geli jadinya. Ia jadi iba melihat Gila Tuak jadi terengah-engah akibat menahan tendangan tadi.

   "Aih, gila! Apa-apaan sebenarnya ini?"

   Geram Bidadari Jalang.

   Ia masih sesekali memandang berkeliling mencari sumber kekuatan yang mengganggu Gila Tuak.

   Lalu tiba-tiba ia melompat pergi dalam kecepatan tinggi, yang tak mampu dilihat oleh mata telanjang.

   Angin kepergiannya membuat pasir-pasir pantai menyebar ke mana-mana, termasuk memercik ke wajah Gila Tuak.

   Tangan lelaki tua itu buru-buru meraup wajahnya beberapa kali, membersihkan jenggotnya yang terkena percikan pasir, dan akhirnya meludah beberapa kali, karena ada beberapa butir pasir yang masuk ke mulutnya.

   "Setan alas!"

   Katanya memaki dengan suara pelan.

   "Cuih, cuih...I"

   Gerakan Bidadari Jalang menimbulkan suara mirip bambu kecil diputar-putarkan dengan menggunakan tali.

   Wung...

   wuung...

   wung...! Berkeliling di sekitar semak pantai.

   Kadang menjauh, kadang melintas di depan Gila Tuak dan menjauh lagi, lalu mendekat kembali.

   Tiba-tiba perempuan berambut panjang itu sudah berdiri kembali di depan Gila Tuak dengan jubahnya melambai-lambai tertiup angin.

   "Tidak ada siapa pun di sekitar sini, Gila Tuak. Aku sudah memeriksanya,"

   Kata Bidadari Jalang. Gila Tuak menggeram dengan napas terhempas. Merasa jengkel sekali dengan keadaannya.

   "Kunyuk rembes!"

   Makinya dalam geram.

   "Siapa yang berani mempermainkan aku begini sebenarnya?"

   Lalu, kedua tangannya terangkat ke atas. Tongkatnya melintang dan dipegangi dengan kedua tangan. Tongkat itu bagaikan sesuatu yang keras dan dipakai untuk mengangkat tubuhnya. Ia seperti orang bergelayutan di salah satu dahan pohon.

   "Hiighh...!"

   Gila Tuak mengerahkan tenaganya untuk mengangkat kedua kaki. Hingga wajahnya memarah, ternyata belum juga berhasil mengangkat tubuh.

   "Terus. Kerahkan terus tenagamu. Kubantu menggempur bagian bawahnya,"

   Kata Bidadari Jalang. Lalu, tangan kiri bergerak menyentak ke depan. Sebuah kekuatan tenaga dalam dilancarkan melalui tangan tersebut, hawa panas terasa menggempur kaki Gila Tuak. Dan lelaki tua itu pun berteriak kepanasan.

   "Waoow...!"

   Bidadari Jalang berhenti melakukannya.

   Tangan Gila Tuak turun kedua-duanya.

   Tetapi tongkatnya masih tinggal di atas.

   Bagai tergantung pada suatu tiang gawang.

   Walau tanpa penyangga, tongkat itu tetap diam tak bergerak, sehingga menimbulkan perasaan heran bagi orang yang belum tahu kehebatan ilmu Gila Tuak.

   "Hati-hati, Tolol! Jangan terkena mata kakiku. Hantam saja tanahnya dan aku akan mengangkat tubuhku!"

   Sentak Gila Tuak semakin dongkol pada Bidadari Jalang.

   "Baik, baik... I Ayo, lakukan lagi. Angkat tubuhmu dengan kekuatan penuh dan aku akan mendongkel tanahnya."

   Tongkat yang tetap diam melintang di atas kepala Gila Tuak itu kembali digunakan sebagai pegangan kedua tangannya.

   Lalu, begitu Gila Tuak mengerahkan tenaga untuk mengangkat tubuhnya, Bidadari Jalang mengerahkan tenaga jarak jauhnya untuk menghantam tanah yang dipakai berpijak kedua kaki tua itu.

   "Hiaaat...!"

   Teriak Bidadari Jalang dengan kedua tangan diarahkan ke depan, agak bawah, dan dari telapak tangan itu keluarlah asap tipis yang menyembur ke arah tanah sekitar kaki Gila Tuak.

   Kedua tangan Gila Tuak sendiri gemetar saat menarik dirinya ke atas.

   Tetapi usaha itu agaknya masih juga belum berhasil.

   Gila Tuak bagai sebuah gunung yang sukar digeser sedikit pun.

   Mereka saling menghempas napas dengan mata beradu pandang.

   Angin malam masih berhembus mempermainkan jubah kedua tokoh sakti itu.

   Rembulan di langit bagai kian terang, sehingga apa saja yang ada di sekitar mereka dapat terlihat jelas.

   Termasuk wajah Suto yang sejak tadi tersenyum-senyum sinis, juga kelihatan jelas oleh mata Bidadari Jalang.

   Terbersit pikiran licik di otak Bidadari Jalang.

   "Kularikan saja si Suto itu. Ini adalah kesempatan menculik si Suto. Dengan keadaan seperti ini, Gila Tuak tak akan mampu mengejarku. Aku bebas membawa lari Suto ke mana saja."

   Belum sempat Bidadari Jalang melangkah mendekati Suto, mulut Gila Tuak sudah menghamburkan kata.

   "Bawalah pergi bocah itu, Nawang. Biarkan aku di sini mengalahkan kekuatan gaib ini sendirian. Yang penting, selamatkan dulu bocah itu, jangan sampai ada yang mengganggunya. Bawalah ke tempatmu, atau kemana saja. Aku pasti bisa mencari jejak kalian melalui tongkatku ini."

   Tak ada jawaban dari Bidadari Jalang. Tetapi hati perempuan yang rambutnya ikut meriap-riap karena hembusan angin itu berkata-kata sendirian.

   "Wah, percuma saja kalau bocah itu kularikan. Gila Tuak bisa mencarinya menggunakan tongkatnya. Rupanya ia telah menyedot sebagian kekuatan kecil pada bocah itu dan menyimpannya pada tongkatnya. Tentu saja ke mana saja aku menyembunyikan Suto, tongkat itu bisa menunjukkan di mana raga Suto berada. Ah, sial! Sepertinya tak ada kesempatan bagiku untuk menculik si Suto."

   "Nawang, lakukanlah apa yang kukatakan tadi. Jangan diam saja!"

   "Baiklah...!"

   Setelah berkata begitu, Bidadari Jalang mendekati Suto.

   Langkahnya biasa-biasa saja.

   Namun, tiba-tiba di luar dugaan tubuh yang berparas cantik itu tersentak ke belakang bagai diseruduk tiga ekor banteng.

   Tubuh Bidadari Jalang terpental melayang sampai kira-kira tujuh langkah jauhnya.

   Tentu,saja hal itu membuat mata si Gila Tuak terbelalak seketika.

   Buru-buru ia menatap Suto dengan mata sedikit menyipit tajam.

   "Tak mungkin bocah itu mampu membuat Bidadari Jalang terpental sebelum menyentuh tubuhnya. Edan! Kekuatan dari mana yang dimiliki Suto itu?"

   Pikir Gila Tuak. Bidadari Jalang bangkit sambil memaki-maki.

   "Bocah celeng! Landak bunting kau, ya? Kenapa kau menyerangku, hah?!"

   Perempuan itu melangkah cepat dengan gusarnya.

   "Kau ingin membunuhku, ya? Iya...?!"

   Tangan perempuan itu bergerak cepat, menampar wajah Suto.

   Tapi tiba-tiba gerakan tangan itu mampu ditangkis cepat oleh tangan kiri Suto.

   Dan tiba-tiba tangan kanan Suto menyodok ke depan dalam keadaan pangkal telapak tangannya terbuka, menghantam ulu hati Bidadari Jalang.

   Begg...! "Uhhg...!"

   Bidadari Jalang terhempas mundur tiga langkah dengan menggeloyor, nyaris membentur tubuh Gila Tuak.

   Kedua tokoh sakti itu sama-sama semakin membelalakkan mata.

   Suto tetap diam dengan berdiri tegak, bagaikan seorang jagoan yang tidak kenal mundur setapak pun.

   Wajahnya masih menampakkan kesinisan.

   Sikapnya jelas bermusuhan.

   Tak ada lagi sikap bocah dan wajah kanak-kanaknya.

   "Babi Dungu!"

   Rutuk Bidadari Jalang.

   "Anak itu harus diberi pelajaran biar tidak ngelunjak."

   Kemudian tangan kanan Bidadari Jalang dihentakkan ke depan dalam keadaan kedua jari lurus dan keras. Cepat-cepat tongkat si Gila Tuak menghantam tangan itu. Plokk...! "Auh...!"

   Bidadari Jalang memekik kesakitan.

   Pergelangan tangannya menjadi sedikit memar akibat pukulan tongkat itu.

   Padahal Gila Tuak menghantamkan tongkatnya tidak begitu keras.

   Cukup pelan namun cepat.

   Dan tentu saja tongkat itu dialiri tenaga dalam dari tubuh Gila Tuak.

   Barangkali akan hancur jika pukulan pelan tadi dihantamkan pada sebongkah batu kali.

   Bidadari Jalang menatap marah pada Gila Tuak.

   Pergelangan tangannya dipegangi.

   Ia bukan saja merasa ngilu, tapi juga sekujur tubuh jadi semutan sesaat.

   "Mengapa kau menyerangku, Tua Bangka?!"

   "Pukulanmu itu akan mematikan Suto. Ingat, dia hanya seorang bocah,"

   Kata Gila Tuak dengan suara rendah.

   "Tapi rupanya dia mempunyai ilmu yang tidak bisa dianggap enteng! Dua kali dia nyaris membunuhku, Gila Tuak!"

   "Itu bukan kekuatannya."

   Bidadari Jalang terdiam seketika. Mau membantah, namun tak jadi. Ia segera memandang Suto yang masih berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang. Seakan ia siap menunggu serangan lagi. Gila Tuak kembali berkata dengan suara pelan.

   "Seseorang telah mengendalikan dia dari suatu tempat. Jelas orang itu memusuhi aku, karenanya aku dibuatnya tak bisa bergerak begini. Siapa orang yang telah mengendalikan bocah itu sebenarnya?"

   Bidadari Jalang menghempaskan napas, membuang sebagian kemarahannya. Lalu, ia berkata dengan suara pelan juga.

   "Bagaimana kalau kupancing dengan serangan, supaya kau bisa mengetahui, jurus-jurusnya siapa yang dipakai oleh Suto."

   "Hmmm... boleh saja. Tapi awas, jangan sampai melukai tubuh bocah itu. Kau dan aku akan menderita kerugian besar jika bocah itu sampai mati atau sakit karena seranganmu."

   "Kucoba untuk hati-hati!"

   Bisik Bidadari Jalang. Langkah perempuan cantik itu menjauhi si Gila Tuak. Seakan ia mencari tempat untuk bertarung dengsn Suto. Ia mengambil jarak tertentu dengan sikap siap menyerang atau bertahan.

   "Siapa kau sebenarnya, hah?"

   Bentak Bidadari Jalang.

   Suto hanya diam dan tersenyum sinis.

   Cukup lama ia memandangi Bidadari Jalang dengan sorot pandangan mata seorang lelaki dewasa yang nakal.

   Bidadari Jalang menjadi gelisah dipandang nakal begitu.

   Namun ia berusaha mengendalikan perasaannya agar tidak terpancing oleh pandangan nakal Suto.

   "Katakan, siapa dirimu sebenarnya?! Karena kami tahu, kau bukan Suto!" * * * BOCAH berumur delapan tahun itu, masih tetap menunggu serangan dari Bidadari Jalang. Pada saat itu, Gila Tuak sengaja diam tak ikut menyerang Suto, sebab ia ingin mengetahui gerakan jurus yang digunakan Suto nanti. Ia pun yakin, kekuatan aneh yang membuat kedua kakinya bagai tertancap kuat di tanah itu pasti datang dari ulah orang yang sama. Dalam hati, Gila Tuak menggerutu sendiri.

   "Sial! Ternyata tidak mudah mendapatkan bocah tanpa pusar itu. Ada-ada saja perintangnya! Bocah sinting itu ternyata punya kekuatan keramat tersendiri. Kalau dia berhasil mewarisi ilmu-ilmuku, sudah pasti dia akan menguasai rimba persilatan. Dia akan menjadi seorang pendekar tanpa tanding. Karena keberadaannya yang tanpa pusar alias tidak punya udel itu, telah mewarisi kekuatan keramat, di antaranya ia tidak mudah lelah, napasnya panjang dan otot-ototnya pun kuat. Sayang sekali kalau sampai ia jatuh di tangan manusia sesat dan dikuasai oleh orang-orang dari golongan hitam!"

   Saat itu, bocah tanpa pusar mengusap-usap dagunya yang tanpa selembar rambut pun, tapi sepertinya ia merasa mempunyai jenggot yang sedikit panjang.

   Gerakan matanya liar dan nakal bersama senyum orang dewasa yang dibawakannya.

   Pada waktu Bidadari Jalang melancarkan pukulan jarak jauhnya yang tidak terlalu berat ukurannya, Suto melenting ke atas dan bersalto satu kali, kemudian dari posisinya yang sedang bergerak turun itu dia menghentakkan kedua tangannya ke depan, ke arah Bidadari Jalang.

   Wooos...! Semburan api meluncur dari kedua telapak tangan Suto.

   Hampir saja semburan itu mengenai rambut Bidadari Jalang.

   Untung saja perempuan itu segera melompat ke belakang dalam gerakan salto juga.

   Gila Tuak terperanjat.

   Hatinya seketika itu berkata.

   "Edan! Itu jurus Tapak Bromo?!"

   Segera mulut si Gila Tuak berseru pada Bidadari Jalang dari tempatnya berdiri.

   "Nawang! Mundurlah! Lekas! Berdiri di belakangku, Nawang!"

   Mendengar nada suara Gila Tuak yang tegang, firasat Nawang Tresni alias Bidadari Jalang itu, mengatakan bahwa dirinya dalam ancaman yang membahayakan.

   Agaknya si Gila Tuak benar-benar mempunyai keputusan yang harus dipatuhi.

   Maka dengan gerakan melayang tinggi, kaki satu lurus menendang ke samping ke arah kepala Suto, yang saat itu juga kembali melayang untuk menyerang, Bidadari Jalang berusaha tiba di dekat Gila Tuak.

   Tendangan samping yang terbang itu meleset pada sasarannya, karena tubuh Suto berhasil merunduk.

   Pada saat tubuh Bidadari Jalang terbang di atas kepalanya, tangan kiri Suto menghentak ke atas, dan tepat mengenai paha Bidadari Jalang.

   Plokk...! "Uuh...!"

   Bidadari Jalang tidak merasakan sakit, namun merasa kaget dan geli. Ia seperti mendapat godaan dari tangan iseng seorang lelaki dewasa. Hatinya jadi berdesir dan deg-degan.

   "Dia kurang ajar padaku, Gila Tuak!"

   "Dia bukan Suto. Aku mengenal jurus 'Tapak Bromo' tadi."

   "Dia mau memancing gairahku."

   "Karena dia Malaikat Tanpa Nyawa."

   "Hah...?!"

   Bidadari Jalang terkejut.

   "Bukankah Malaikat Tanpa Nyawa itu sudah kau bunuh?"

   "Ya. Tapi murid Malaikat Tanpa Nyawa itu masih penasaran ingin membalas dendam atas kematian gurunya padaku. Satu-satunya murid dari Malaikat Tanpa Nyawa adalah Cadaspati. Ia menguasai ilmu 'Tapak Bromo' dan 'Inti Neraka'. Ilmu 'Inti Neraka' bisa disusupkan ke tubuh seseorang dari jarak jauh, dan orang itu jadi mewakili dirinya. Suto jadi sasaran untuk melancarkan serangan dendamnya padaku. Jangan kau ikut campur dulu, Nawang. Diamlah di belakangku. Dia perlu kuhadapi sendiri, biar tak timbul korban lain."

   Sambil bergerak ke belakang Gila Tuak, Bidadari Jalang membenarkan kata-kata Gila Tuak itu di dalam hatinya. Bahkan di dalam hati pula perempuan itu berkata.

   "Pantas bocah itu mampu membuatku terpental sebelum kupegang. Rupanya Cadaspati yang mengendalikan Suto dari jauh. Tapi di mana ia bersembunyi? Sejak tadi tak kulihat orang bersembunyi di sekitar sini, Licik. Ia sengaja menggunakan raga bocah tanpa pusar itu, karena ia tahu bahwa aku dan Gila Tuak tidak berani melukai atau membunuh Suto. Dalam keadaan seperti itu, maka Cadaspati merasa punya perisai sendiri dalam melakukan penyerangannya kepada Gila Tuak!"

   Terbayang dalam benak si Bidadari Jalang pada saat ia bertemu dengan Malaikat Tanpa Nyawa dan Cadaspati di lereng Gunung Layon.

   Pertemuan para tokoh terjadi di lereng gunung itu.

   Dari partai pengemis, diwakili oleh si Bongkok Pencabut Uban, dari partai pengembara diwakili oleh Pendekar Gusi Berdarah, dari partai pertapa sakti diwakili oleh Resi Dewa Tembang, dari partai pelacur sakti di wakili oleh Nyai Ganjen Pemikat, dari partai banci keramat diwakili oleh Mahesa Gincu, dan dari partai perampok diwakili oleh Malaikat Tanpa Nyawa yang selalu didampingi Cadaspati, serta tokoh-tokoh lainnya pun hadir termasuk Bidadari Jalang dan si Gila Tuak.

   Dalam pertemuan memilih tanding untuk melawan Tiga Pendekar Tibet itulah, Bidadari Jalang bertemu dengan Cadaspati.

   Bertubuh kurus kering, rambutnya panjang acak-acakan, matanya cekung, jenggotnya abu-abu, bersenjata cambuk tiga lidah.

   Gerakannya begitu gesit, sehingga Bidadari Jalang merasa maklum jika kali ini bocah tanpa pusar itu mampu bergerak segesit belut putih.

   Tak heran juga jika Suto sebentar-sebentar mengusap dagunya, karena yang hadir dalam raganya adalah ilmu dan gerakan Cadaspati yang senang mengusap-usap jenggot kelabunya.

   Bahkan Bidadari Jalang tidak merasa heran lagi melihat Suto kembali melancarkan pukulan jarak jauhnya ke arah Gila Tuak.

   Dan pukulan tanpa bentuk, tanpa wujud serta tanpa hawa itu berhasil ditangkis oleh Gila Tuak dengan memutarkan tongkatnya di bagian depan.

   Pukulan itu terbuang ke samping, menghantam batang pohon kelapa, membuat pohon kelapa itu kering seketika tanpa membuat buah-buahnya jatuh, bahkan selembar daunnya pun tak ada yang berguguran ke tanah.

   Benturan tenaga dalam yang sempurna dengan batang kelapa itu hanya menimbulkan bunyi seperti sarung dikibaskan di udara.

   Wuuugh...! Dengan tanpa menggerakkan kaki, Gila Tuak ganti menghentakkan ujung tongkatnya ke arah gundukan batu karang.

   Zuubb...! Dari ujung tongkat itu keluar sinar merah membara, meluncur menghantam gundukan batu karang, lalu memantul balik dalam bentuk sinar putih perak dan menghantam tubuh Suto dari belakang.

   Wesss...! "Uhhg...!"

   Suto tersentak ke depan.

   Mestinya jatuh tersungkur, namun ia begitu lincah, hingga dapat berguling di tanah dan dalam waktu dekat sudah berhasil berdiri lagi dengan satu lentingan tubuh yang tidak terlalu tinggi.

   Jleg...! Kedua kaki bocah itu menapak mantap bagaikan kedua kaki orang dewasa yang kekar.

   "He he he he...,"

   Kali ini Suto tertawa. Dan suara tawa yang mengekeh itu semakin membuat Gila Tuak serta Bidadari Jalang semakin yakin, bahwa tawa itu ada lah milik murid terkasih Malaikat Tanpa Nyawa.

   "Pandai juga kau memukulku tanpa harus melukai, Gila Tuak,"

   Katanya dengan suara besar sedikit serak. Jelas bukan suara Suto.

   "Kalau kau memang masih menyimpan dendam padaku, hadapilah aku tanpa harus menggunakan raga bocah itu."

   "Ho ho ho... justru aku menggunakan raga bocah ini supaya aku terlindung dan aku bisa membuatmu hancur berkeping-keping. Bukankah kau hanya bisa mati di tangan bocah tanpa pusar? Ho ho ho ho.... Sekarang saatnya aku membalas dendam atas kematian guruku!'' Bidadari Jalang yakin, bahwa Cadaspati telah salah duga. Ia sangka Gila Tuak bisa mati di tangan bocah tanpa pusar, padahal sebelum ilmunya diturunkan pada bocah tanpa pusar, Gila Tuak sulit dibunuh oleh senjata apa pun dan oleh pendekar mana pun. Kesalahpahaman itulah yang membuat Cadaspati begitu semangatnya membalas dendam kepada Gila Tuak menggunakan raga Suto. Tiba-tiba tangan Suto bergerak memutar-mutar keduanya. Gerakannya acak-acakan. Tubuhnya berputar pula dengan putaran tak menentu arah. Ia seperti bocah kesurupan. Suara geram yang timbul dari mulutnya seperti suara seekor singa terjepit pohon. Pada waktu itu, Gila Tuak menggenggam erat ujung tongkatnya. Ujung tongkat bagian bawah menancap di tanah, tepat di depannya. Kini kedua tangan Gila Tuak berpegangan pada kepala tongkat yang merapat di ulu hati. Posisi tongkat itu sedikit miring ke depan. Kepala Gila Tuak agak tertunduk dan memejamkan mata. Hawa dingin mulai terasa meresap sampai ke tulang. Bidadari Jalang sadar, bahwa hawa dingin yang hadir saat itu bukan hawa dingin dari laut, melainkan dari gerakan tangan Suto yang memancarkan tenaga dalam berhawa dingin. Maka, Bidadari Jalang pun segera memusatkan konsentrasinya dengan merapatkan tangan kanannya ke pertengahan dada dalam posisi telapak tangan terbuka dan jempolnya terlipat. Ia pun sedikit memejamkan matanya untuk mengeluarkan hawa panas dari setiap pori-pori tubuhnya. Angin berhembus kencang pada saat Suto berhenti bergerak gila itu. Kini kedua tangannya terangkat ke atas dengan telapak tangan tengadah. Kedua tangan bocah itu bergetar, mulutnya bagai meraungkan lolongan kecil. Semakin lama, semakin hadir mencekam udara dingin itu. Angin kencang dan guntur menggelegar di angkasa dengan sesekali kilatan cahaya petirnya menyambar-nyambar. Anehnya, rembulan tetap ada dan tetap menerangi bumi. Kilatan cahaya petir bagai berjalan mengelilingi bagian atas si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Sepertinya kilatan cahaya petir itu ingin menyambar habis tubuh Gila Tuak, namun ada sesuatu zat yang melindungi tubuh si tua bangka tersebut. Dan tiba-tiba kedua tangan Suto turun dengan gemetar serta pelan-pelan. Tangan itu merapat di depan ketiaknya. Lalu, sebelum tangan itu dihentakkan keduanya ke depan, terdengar seruan dari Suto.

   "'Guntur Colok Sukma'! Hiaaat...!"

   Kedua telapak tangannya didorongkan ke depan, dan dari telapak tangan itu memancarlah ribuan, bahkan jutaan, jarum bernyala membara.

   Jarum-jarum yang membara itu mengerombol dan meluncur ke arah dada Gila Tuak.

   Dengan cepat si Gila Tuak itu membuka telapak tangannya di depan dada.

   Dari telapak tangan Gila Tuak menyemburlah dua cahaya hijau muda yang memisah ke dua arah.

   Kedua bias cahaya hijau itu membentur masing-masing gerombolan jarum-jarum membara.

   Akibatnya, jarum-jarum berwarna merah menyala itu bagai tertahan di udara, tak bisa menembus maju.

   Bahkan makin lama makin terdesak mundur.

   Bias cahaya hijau itu begitu kuat menekan gumpalan cahaya membara dari tangan Suto.

   Tubuh bocah itu tampak bergetar menahan kekuatan yang maha dahsyat ingin membalik ke dirinya.

   Gila Tuak tetap tenang, walau tubuhnya mulai berkeringat.

   Tangan kanannya yang memancarkan dua bias cahaya hijau itu gemetar, dan matanya jadi merah.

   Bidadari Jalang melihat hal itu dengan tegang.

   Sesekali ia memandang ke langit di mana petir-petir masih berusaha melesat ke arah Gila Tuak dan memantul balik dengan suaranya yang menggelegar.

   Ombak laut pun mulai mengamuk, bergulung-gulung di tengah samudera menuju ke tepian.

   Bidadari Jalang menjadi cemas melihat jutaan jarum membara semakin dekat dengan telapak tangan Suto.

   Itu pertanda jarum-jarum membara kian terdesak.

   "Jika sampai tenaga itu masuk kembali ke dalam telapak tangan Suto,"

   Pikir Bidadari Jalang.

   "Maka cahaya hijaunya Gila Tuak akan ikut masuk ke dalam telapak tangan bocah itu. Dan ini suatu tindakan yang berbahaya. Gila Tuak melancarkan Ilmu 'Pecah Raga', yang tentunya akan membuat hancur tubuh Suto kalau tidak segera cepat cepat ditarik kembali sinar itu. Gawat...! Aku harus segera bertindak untuk menyelamatkan raga Suto itu!"

   Semakin tipis sisa cahaya merah membara dari telapak tangan bocah tanpa baju itu.

   Semakin mengucur peluh yang keluar dari tubuh Gila Tuak.

   Maka, segera Bidadari Jalang melenting ke atas dan bersalto beberapa kali melewati kepala Gila Tuak dan Suto.

   Wuugh...

   wuugh...

   wuugh...! Jleg...! Bidadari Jalang menapakkan kakinya di belakang Suto.

   Kemudian ia mengibaskan jubahnya ke depan dan terpancarlah kabut dari jubah itu berwarna putih keperakan, sepertinya kabut itu mengandung bintik-bintik serpihan mutiara yang jumlahnya berjuta-juta.

   Bintik-bintik mengkilat dan kabut itu segera membungkus tubuh Suto tepat pada saat sinar merah dari tangan Suto melesak ke dalam telapak tangan, dan sinar hijau dari Gila Tuak terdesak masuk dalam satu hentakan yang cukup kuat.

   "Aaakh...!"

   Bukan tubuh Suto yang terpental ke belakang, melainkan tubuh Bidadari Jalang yang seolah-olah menjadi sasaran hentakan sinar hijaunya Gila Tuak.

   Tubuh perempuan itu berguling-guling, sesekali terpental terbang bagaikan kapas terhembus angin.

   Begitu jauh ia terpental, hingga suara teriakannya menjadi kecil.

   Kabut putih berbintik-bintik berkelip itu masih menaungi bagian belakang Suto.

   Anak itu bagai terperangkap jala.

   Ia tak bisa bergerak ke sana-sini.

   Ruang geraknya sempit sekali.

   Bahkan semakin lama kabut itu semakin mutlak membungkus tubuhnya, hingga tubuh kecil itu seperti berada dalam tabung yang amat transparan.

   "Jahanam!"

   Teriak bocah itu. Masih terdengar jelas kemarahan suaranya. Ia ingin menghantamkan kekuatannya kembali ke arah Gila Tuak, namun sepertinya semua kekuatannya teredam oleh kabut aneh tersebut.

   "Bidadari Jalang! Kau ikut campur dalam urusanku, hah? Kuhancurkan juga tubuh jalangmu itu, Biadab!"

   Suto memaki-maki sendiri.

   Ia hanya bisa berbalik arah, namun tak mampu melangkah keluar dari gumpalan kabut transparan tersebut.

   Kerlip-kerlip yang mirip serpihan mutiara itu membuat suasana di sekitar Suto menjadi terang.

   Suto kelabakan mencari jalan keluar.

   Kesempatan itu digunakan oleh Gila Tuak yang belum bisa bergerak pula dari tempatnya untuk bersemadi dalam keadaan berdiri.

   Tongkat dipegang di tangan kiri, sementara tangan kanannya merapat tegak di bagian dadanya.

   Makin lama kaki Gila Tuak semakin jelas mengepulkan asap.

   Butiran pasir yang putih itu menjadi merah sedikit demi sedikit.

   Merah membara bak serpihan logam panas.

   Kemudian, si Gila Tuak berteriak keras dari panjang.

   "Hiaaah...!"

   Broolll...! Tubuh Gila Tuak berhasil jebol dari tanah.

   Melompat ke atas dengan ringannya, bersalto ke belakang satu kali, dan segera mendarat di tanah dengan tegak dan kokoh kembali.

   Napas Gila Tuak terhempas lega.

   Ia memandang bekas tempatnya berdiri masih tampak merah membara, sebagian ada yang berpasir hangus.

   Asap masih mengepul di bekas tempatnya berdiri.

   "Jahanam, Bidadari Jalang...! Lepaskan aku dari penjaramu ini! Hoooi... Bidadari Jalang, lepaskan kabut ini. Singkirkan! Atau kuhancurkan tubuhmu dari sini, Setan!"

   Gila Tuak tersenyum tipis.

   Memandang jauh ke sana, di mana Bidadari Jalang tampak kecil dan sedang berusaha untuk bangkit.

   Gila Tuak pun segera mendekati Suto yang bernasib sial, yaitu menjadi wakil kehadiran Cadaspati.

   Mata Suto memandang tajam pada Gila Tuak, mulutnya menggeram penuh nafsu untuk membunuh.

   "Siapa pun tak bisa lepas dari Selubung Kematian ini,"

   Kata Gila Tuak.

   "Selubung Kematian ini akan membuat tubuhmu menjadi kering dan mati tanpa tulang lagi. Ini jurus simpanan Bidadari Jalang yang jarang-jarang digunakan kalau tidak dalam keadaan terpepet."

   "He he he...!"

   Cadaspati tertawa terkekeh-kekeh menggunakan mulut Suto.

   "Kalian tidak mungkin membiarkan raga bocah yang kupakai ini menjadi kering dan mati tanpa tulang. Cepat atau lambat, kalian pasti akan segera membebaskan aku."

   Peluh menetes dari kening kakek tua itu. Namun napasnya mulai reda. Ia tetap kelihatan tenang dan berkata.

   "Aku sudah terbebas dari jurus 'Paku Jagat'-mu tadi. Itu berarti kau tak punya kesempatan untuk mengendalikan raga bocah itu lebih lama lama. Aku akan menyimpan kekuatan 'Inti Neraka'-mu di dalam tongkatku, dan akan kusatukan ke dalam hawa murni bocah tanpa pusar ini, sehingga kekuatan ilmu itu akan menjadi miliknya."

   "Gggrrr...!"

   Cadaspati menggeram antara jengkel dan ketakutan.

   Matanya membelalak tajam, ingin melancarkan pukulan dahsyatnya, namun tidak kuasa berbuat itu.

   Dari jauh, tampak Bidadari Jalang berjalan dengan oleng, seperti orang mabuk.

   Makin lama makin dekat, makin jelas ada darah sedikit meleleh di sudut bibirnya.

   Kalau saja bukan Bidadari Jalang yang menahan pukulan sinar hijaunya Gila Tuak, sudah pasti tubuh orang tersebut akan hancur seketika.

   Ia juga mempunyai pukulan jenis 'Pecah Raga', yang bernama 'Lebur Jiwa', namun sekarang tak bisa digunakan karena rongrongan Racun Birahi dalam tubuhnya itu.

   "Bagaimana keadaanmu, Nawang?"

   "Monyet kamu!"

   Umpat Nawang Tresni dengan dongkol.

   "Mengapa kau gunakan ilmu "Pecah Raga"? Apakah kau tidak menyadari bahwa ilmu itu bisa menghancur leburkan tubuh Suto?"

   "Aku sadar. Dan aku pun tahu bahwa kau tidak akan tinggal diam. Kau pasti tahu bahayanya ilmu itu, namun kau mestinya juga tahu, bahwa aku tak punya pilihan lain untuk menghadapi serangan berbahaya itu. Aku yakin, kau akan segera bertindak menyelamatkan tubuh bocah itu."

   "Benar-benar tua rongsok kamu ini!"

   Omel Bidadari Jalang. ''Kau memancingku untuk menjadi umpan, ya?"

   "Maafkan aku. Lupakan soal itu. Sekarang, bukalah Selubung Kematianmu itu. Akan kucungkil ilmu 'Inti Neraka' si murid Malaikat Tanpa Sunat itu dari raga Suto. Aku sudah bebas bergerak."

   "Biadab!"

   Geram Suto.

   "Nama guruku Malaikat Tanpa Nyawa, bukan Malaikat Tanpa Sunat!"

   "He he he.... Rasa-rasanya julukan gurumu memang harus sedikit dirubah begitu. Karena sebentar lagi kau tidak akan mempunyai ilmu andalan dari gurumu itu!"

   "Dan itu artinya ilmumu disunat,"

   Sambung Bidadari Jalang dengan menahan geli.

   "Jadi, memang pantas kau berjuluk murid terkasih Malaikat Tanpa Sunat. Hi hi hi...,"

   Akhirnya Bidadari Jalang tertawa juga. Ia lupa pada kedongkolannya. Wajah Suto yang mewakili wajah murid Malaikat Tanpa Nyawa itu kelihatan semakin gusar. Ada perasaan cemas yang lebih kuat lagi, dan kian lama membuatnya kian terengah-engah.

   "Nawang, lekas buka Selubung Kematian itu sebelum membahayakan raga Suto. Aku akan bersiap mencungkil ilmu itu untuk Suto kelak!"

   "Baiklah. Bersiaplah, Gila Tuak. Begitu kubuka Selubung Kematian, cepat cungkil ilmu itu dari raga Suto."

   "Tunggu dulu,"

   Sergah Suto dengan suara mirip Cadaspati.

   "Aku mempunyai suatu gagasan yang baik."

   "Hmmm...!"

   Bidadari Jalang hanya mencibir sinis.

   "Aku akan mengabdi kepada kalian selamanya, asal kalian membebaskan aku dari Selubung Kematian ini. Aku rela jadi abdi kalian, dan menurut dengan perintah kalian."

   "Hmm...,"

   Gila Tuak juga mencibir. Lalu katanya lagi.

   "Mana ada seekor kuda menuntut pakaian, mana ada hati durjana mengenal perdamaian?! Tipu muslihatmu sudah tak laku, Cadaspati. Sekali jahat, tak mampu lagi orang terjerat. Janjimu itu ibarat asap kemenyan, yang menyebarkan bau wewangian tanpa sesajian. Aku dan adik seperguruanku ini tidak punya pilihan lain."

   "Aku bicara dengan sungguh-sungguh. Aku mengakui keunggulan ilmu kalian,"

   Bujuk Cadaspati.

   "Terima kasih atas pengakuanmu,"

   Kata Gila Tuak.

   "Sayang pengakuan itu terlambat datangnya, karena aku sudah punya keputusan yang tak bisa diganggu gugat lagi."

   Gila Tuak memandang Bidadari Jalang. Waktu itu, Bidadari Jalang habis menyapu sisa darah yang meleleh di sudut bibirnya. Gila Tuak pun berkata.

   "Lakukan, Nawang...!"

   "Tunggu... jangan dulu... jangan...!"

   Suto memekik keras-keras.

   Itu pertanda Cadaspati sangat ketakutan.

   Si Gila Tuak segera membuka penutup tongkatnya, ia menenggak habis sisa tuak yang ada di dalam tongkat itu.

   Ia tidak menelannya, namun menampungnya di dalam mulut, hingga kedua pipinya melembung.

   Lalu, ia memberi isyarat kepada Bidadari Jalang dengan menganggukkan kepala.

   Maka, Bidadari Jalang pun mengibaskan jubahnya ke depan, dan kabut berbintik-bintik berkelip itu pun terhisap masuk ke dalam jubah ungunya.

   Bertepatan dengan itu, Gila Tuak menyemburkan tuak yang ada di dalam mulutnya ke arah Suto.

   Brusss...! "Haaagh...!"

   Kepala Suto terdongak, tubuh pun tegak.

   Keras seluruh uratnya.

   Menyeringai wajah bocah itu.

   Dari pertengahan kedua matanya, tepat di bawah dahi, keluarlah cahaya berwarna kekuning-kuningan agak putih.

   Cahaya itu melesat terbang, dan dengan hentakkan kaki pelan, tubuh Gila Tuak pun melesat ke atas.

   Bersalto di udara sambil menggerakkan tongkat yang terbuka tutupnya itu.

   Tiba-tiba cahaya kuning yang tiga kali lebih besar dari kunang-kunang itu tersedot ke dalam tabung tongkat.

   Cahaya itu mulanya ingin berusaha lolos pergi, tetapi daya hisap dari mulut tabung tongkat begitu kuat.

   Maka, cahaya kuning tipis itu tersedot masuk, dan Gila Tuak segera menutupnya.

   Treep...! Kekuatan ilmu 'Inti Neraka' yang sukar didapat itu terperangkap masuk di dalam tabung tongkat.

   Kini keadaan Suto kembali normal, menjadi dirinya, sebagai bocah berusia delapan tahun yang tidak memiliki pusar.

   Dulu, ketika ia lahir, ia memang mempunyai tali pusar.

   Namun setelah tali pusar itu diputus, makin lama lubang itu menciut.

   Makin besar makin tertutup kulit dari daging tubuhnya.

   Hingga dalam usia delapan tahun, perut bocah itu rata.

   Tidak mempunyai lubang tali pusar.

   "Apakah kau akan mencari tempat persembunyian Cadaspati?"

   Tanya Bidadari Jalang. Si Gila Tuak menjawab.

   "Nanti saja. Yang penting kita harus menyelamatkan anak ini dulu ke tempat yang aman."

   Suto segera bertanya.

   "Bibi, apakah aku tadi habis tertidur?"

   Tanyanya kepada Bidadari Jalang. Perempuan itu hanya mengangguk dengan senyum ceria.

   "Ya, kau lelah dan tidur cukup lama."

   Gila Tuak berkata kepada Suto, sambil tersenyum-senyum dan mengusap-usap kepala Suto yang ditumbuhi rambut hitam yang cukup lebat.

   "Sekarang sudah waktunya kau mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pendekar tanpa tanding, Suto."

   "Pendekar tanpa tanding?"

   Suto berkerut dahi.

   "Jangan tanpa tanding, ah! Nanti aku tidak punya lawan. Lantas, untuk apa aku jadi pendekar kalau tidak punya tandingannya?"

   Giia Tuak dan Bidadari Jalang terkekeh geli mendengar kebodohan yang polos dari anak itu. Maka, Bidadari Jalang pun berkata.

   "Bagaimana kalau kau menjadi pendekar cinta saja?"

   "Husy! Jangan bicara seperti itu pada anak kecil, Nawang!"

   Sentak Gila Tuak. Tetapi pada saat itu ternyata Suto menyahut.

   "Aku mau. Aku mau jadi pendekar cinta, Bi. Aku mau...!"

   "Hei, kenapa kau mau?!"

   Sentak Gila Tuak lagi.

   "Biar kekasihku banyak, hi hi hi...!"

   Suto tertawa cekikikan dengan malu. Bidadari Jalang pun tertawa geli, sedangkan Gila Tuak bersungut-sungut dalam gerutunya.

   "Dasar bocah sinting!"

   Gila Tuak dan Bidadari Jalang, dua tokoh sakti di rimba persilatan yang namanya cukup menggetarkan jiwa setiap orang itu kini siap mengembleng Suto.

   Apakah yang akan terjadi kelak pada bocah itu? SELESAI Ikuti kisah petualangan Suto Sinting selanjutnya!!!!! Serial Pendekar Mabuk Dalam episode.

   PUSAKA TUAK SETAN E-book by.

   paulustjing Email.

   paulustjing@yahoo.com

   

   

   

Pendekar Sejagat Karya Wen Rui Ai Pertarungan Terakhir Karya Saini KM Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja

Cari Blog Ini