Perawan Sesat 2
Pendekar Mabuk Perawan Sesat Bagian 2
Tetapi Selendang Kubur berkelit dan menepisnya dengan perasaan tak suka kepada tindakan itu.
"Jangan begitu, Selendang Kubur. Aku telah bersusah payah menolongmu, menyelamatkan nyawamu dari luka parah itu, jika aku meminta upah satu kali saja, bukankah itu tindakan yang bijaksana?"
"Aku tidak mempunyai kebijakan seperti itu."
"Tapi aku telah menyembuhkan lukamu, Selendang Kubur!"
"Aku tak keberatan kau kembalikan diriku seperti keadaan semula,"
Jawab Selendang Kubur dengan keras kepala. Terdengar helaan napas Dirgo dalam kejap berikutnya.
"Nasibku selalu buruk jika sudah berurusan dengan perempuan!"
Selendang Kubur tetap tegak terbujur dengan kedua tangan terlipat di dada. Ia dengarkan apa pun yang Dirgo Mukti ucapkan.
"Berulang kali aku jatuh cinta pada perempuan, berulang kali cintaku selalu ditolak."
"Urusan pribadi seperti itu sulit sekali dijajaki maknanya. Barangkali kau sangka aku benci padamu. Barangkali kau sangka aku menghinamu. Dan barangkali kau sangka aku jijik padamu. Tapi menurutku memang begitulah sikap pribadi yang harus kumiliki."
Selendang Kubur geserkan langkah dan duduk di atas batuan karang. Ucapannya berlanjut dari sana, tertuju untuk Dirgo yang ada tepat di samping kirinya.
"Manusia punya pendirian dan sikap, punya penilaian dan anggapan, yang belum tentu satu dengan lainnya sama. Kalau kau lebih banyak berpikir dengan gairahmu, aku lebih banyak berpikir dengan dendamku. Kalau kau lebih bangga dengan kemesraanmu, aku lebih bangga kalau dapatkan kepala Dewi Murka. Semua punya alasan masing-masing yang tak mudah dipahami orang lain."
Dirgo Mukti geserkan langkah dan bungkukkan badan, lalu ia berucap.
"Kau sungguh simpan dendam kesumat dengan Dewi Murka?"
"Ya. Aku ingin penggal kepalanya. Siapa pun dapat hadiahkan penggalan kepala Dewi, akan kuanggap sebagai orang yang patut dihormati!"
Termasuk aku?"
"Tak peduli dirimu atau gelandangan mana pun juga, jika ia persembahkan hadiah padaku berupa penggalan kepala Dewi Murka, ia adalah manusia yang patut kuhormati dan kudekati hatinya."
Kata-kata itu punya pengertian lain buat Manusia Sontoloyo.
Ia anggap dirinya mendapat tugas dan perintah langsung dari mulut Selendang Kubur.
Ia merasa, dengan menghadiahkan penggalan kepada Dawl Murka, maka Selendang Kubur akan pasrah menyerahkan kehangatan tubuhnya yang makin lama makin menantang gairah membakar birahi itu.
Dengan modal anggapan itu, Manusia Sontoloyo memburu Dewi Murka ke arah selatan, sesuai keterangan dari Selendang Kubur tentang arah pelarian Dewi Murka.
Tak heran jika Manusia Sontoloyo itu merambah ke pesisir selatan untuk mencari seorang perempuan berbaju serba hitam, bersenjata trisula, dan bernama Dewi Murka.
Tapi ketika langkahnya hendak beralih dari menyusuri pantai ke kedalaman hutan, mendadak langkah itu terhenti.
Dirgo Mukti melompat mundur dalam satu sentakan kaki yang melenting tinggi di udara.
Sebuah pohon kelapa rubuh tepat di depannya halangi langkahnya.
"Tak mungkin pohon itu rubuh sendiri. Batang dan daunnya masih segar. Pasti ada orang yang hendak berbuat jahat padaku, atau ingin menghadang langkahku! Hemmm... mana orang itu?"
Pikir Dirgo.
* * * ORANG yang dicari Dirgo muncul di belakangnya.
Kehadirannya tanpa hawa dan tanpa suara, Dirgo sempat terperanjat sebentar melihat munculnya perempuan jabrik berpakaian ungu muda ketat.
Bukan rambut yang bikin Dirgo kaget, tapi bentuk tubuh yang begitu menggiurkan yang bikin Dirgo terkesiap tak berucap.
Hati Dirgo jadi berdebar-debar memandang belahan dada perempuan itu yang tampak mulus, menonjol dan sekal-sekal montok.
Sungguh suatu pemandangan yang harus diperhatikan tanpa kedipan mata barang sejenak.
Tapi wajah perempuan itu tetap tanpa senyum.
Kecantikan itu bagai gunung batu tersaput gumpalan es.
Dingin sekali.
Walaupun Dirgo sunggingkan senyum, perempuan berhidung kecil bangir dan bermata bundar itu tak tertarik untuk membalas senyuman Dirgo.
"Luar biasa...,"
Gumam Dirgo di dalam hatinya.
Ia pandangi perempuan yang berpinggul meliuk indah dengan pantat menonjol sekal itu.
Ia nikmati kemolekan yang begitu langka itu sambil langkahkan kaki kelilingi tubuh perempuan tersebut.
Yang di pandang tak bergerak sedikit pun kecuali matanya yang melirik dengan liar.
Wajah bekunya sedikit tegak terdongak naik dagunya, menampakkan sebentuk keangkuhan yang angker.
"He he he...!"
Dirgo perdengarkan tawanya yang pelan mirip orang menelan minuman. Tiba di depan perempuan cantik berambut jabrik, Dirgo Mukti hentikan langkahnya. Jarak mereka hanya tiga langkah.
"Kaukah yang rubuhkan pohon itu?"
Tanya Dirgo dengan kedua tangan selipkan jempol ke ikat pinggang di depan perutnya. Perempuan itu sedikit miringkan wajah dalam pandang sipitnya. Semakin tajam mata itu bak ujung tombak yang baru diasah dengan gerinda.
"Kaukah yang tumbangkan pohon untuk menghadang langkahku?"
Ulang Dirgo. Perempuan itu menjawab dengan suara serak-serak angker namun menggairahkan.
"Ya. Aku yang lakukan! Mau apa kau?!"
Dirgo Mukti lebarkan senyum.
"Justru aku yang seharusnya bertanya begitu mau apa kau menghadang langkahku dengan cara begitu?"
"Mau memastikan dirimu!"
Jawab perempuan yang kemudian mengaku bernama Perawan Sesat itu.
"Apa yang perlu kau pastikan dari diriku, Perawan Sesat?"
"Apakah benar kau yang bernama Suto Sinting, murid si Gila Tuak itu?!"
"Mengapa kau tanyakan hal itu?"
"Aku mencarinya."
"Untuk apa?"
"Suatu keperluan penting."
"Menyenangkan atau menyusahkan?!"
"Sangat menyenangkan."
Dirgo manggut-manggut dalam senyuman, melangkah ke samping tiga pijak sambil membatin.
"Perempuan ini boleh juga. Cantik tapi berkesan liar. Merangsang tapi berkesan angker. Perempuan seperti ini pasti punya gairah besar dalam bercinta. Tubuhnya serba kencang dan itu menunjukkan jaminan kenikmatan yang luar biasa. Perempuan ini jauh lebih menggiurkan dari Selendang Kubur atau pun Peri Malam. Hmmm... dia mencari Suto Sinting. Dia punya kepentingan yang menyenangkan. Apakah dia punya kencan dengan Suto Sinting? Atau barangkali dia ingin membuat kencan dengan murid si Gila Tuak itu?"
Perawan Sesat ikuti gerakan langkah Dirgo. Matanya bagai tak mau lepas dari wajah Dirgo Mukti. Ia membatin pula di dalam hatinya.
"Kurasa memang ini orangnya. Peramal Pikun itu memberi ciri ketampanan. Suto orang yang tampan, gagah, dan perkasa. Orang ini punya ciri seperti itu. Tapi apakah benar dia yang bernama Suto?"
Kejap berikutnya keduanya saling pandang lagi. Lalu, Dirgo Mukti lontarkan tanya.
"Dari mana asalmu, Perawan Sesat?"
"Jawab dulu pertanyaanku tadi, kaukah yang bernama Suto?!"
Sentak perempuan berpedang gading.
"Ya. Aku Suto Sinting!"
Jawab Manusia Sontoloyo dalam tipuannya.
Perawan Sesat hembuskan napas lepas, seperti mengalami perasaan lega.
Wajah dinginnya sedikit mencair.
Keangkerannya mulai surut.
Keangkuhannya kian menipis.
Kekakuan sikapnya pun menjadi berubah sedikit santai.
"Ada kepentingan apa kau mencariku?!"
Tanya Dirgo.
"Aku harus membawamu ke Bukit Garinda, Suto!"
"Untuk apa aku ke sana?"
"Guru ingin menemuimu."
"Perlu apa gurumu menemuiku?"
Dirgo ganti berlagak angkuh.
"Itu urusan pribadi Guru. Sebaiknya ikut saja perintahku, jangan bikin aku paksa dirimu dengan kekerasan."
"Bagaimana jika aku ingin kekerasan itu?"
Goda Dirgo Mukti.
"Kau akan menyesal nantinya, Suto!"
"Bagaimana jika aku ingin menyesal lebih dulu?"
Sambil Dirgo mendekati Perawan Sesat.
Senyumnya makin mekar, membuat Perawan Sesat menganggap kata-kata Dirgo tadi tidak bersungguh-sungguh.
Karenanya perempuan itu tidak cepat tunjukkan kekerasan sikapnya, ia diam saja ketika Suto palsu berdiri jarak satu langkah di depannya.
Ia pandang terus lelaki tampan itu.
"Aku mau kau bawa menghadap gurumu, tapi aku inginkan sesuatu darimu sebagai syarat utama."
"Apa yang kau inginkan?"
"Kemesraan."
Jawab Manusia Sontoloyo itu.
Perempuan berbibir menggemaskan itu tampak gelisah.
Dirgo pegang kedua pundak Perawan Sesat.
Hati perempuan itu makin resah.
Dirgo melihat sikap pasrah yang bergumul rasa gelisah.
Dirgo gunakan kesempatan itu untuk mencium pipi Perawan Sesat.
"Jangan...,"
Bisik perempuan itu. Tapi Dirgo nekat lakukan. Ciumannya mendarat penuh semangat di wajah kanan Perawan Sesat. Perempuan itu berusaha mengelak walau tak banyak.
"Jangan, Suto...."
Perempuan itu menggelinjangkan kepala samping. Lehernya terbuka, dan Manusia Sontolo merenggut leher itu dengan sebuah kecupan memburu.
"Jangan...,"
Bisiknya lagi, lalu berlanjut.
"Jangan di sini, Suto!"
Mendengar lanjutan kata Perawan Sesat, Dirgo justru hentikan ciumannya. Ia tarik kepala ke belakang dan pandang mata perempuan itu sambil tersenyum dalam tawa terkulum.
"Apakah syarat itu harus kupenuhi?"
Bisik Perawan Sesat sambil biarkan tangan Dirgo menelusuri masuk ke belahan dadanya.
"Ya. Harus kau sendiri yang penuhi. Kalau kau tidak penuhi syarat itu, aku tak mau menghadap gurumu."
"Aku takut kau laporkan pada Guru."
"Aku tak akan bilang apa pun padanya nanti."
"Kau berani berjanji?"
"Aku berjanji dengan berbagai sanksi."
"Apakah kau berani kehilangan nyawa jika sampai bocorkan rahasia?"
"Ambillah nyawaku jika aku dusta padamu!"
Tap ..! Tangan Dirgo ditangkapnya kuat, lalu disentakkan lepas dari belahan dadanya yang membengkak itu.
Tanpa berucap kata apa pun, Perawan Sesat sentakkan ujung kakinya.
Tubuhnya melenting ke udara dan bersalto dua kali untuk mencapai bawah pohon rindang.
Dirgo pun mengikutinya dengan satu lompatan ringan dan bersalto dua kali di udara.
Kejap berikut tubuh mereka sudah saling berhadapan.
Tangan Dirgo mulai meraih lengan Perawan Sesat.
Tubuh itu tertarik ke depan dan terpeluk Dirgo.
Kepala perempuan itu sengaja tengadah dengan bibir yang merekah.
Dirgo segera melumat bibir itu dengan tangan meremasi punggung Perawan Sesat.
Mulut perempuan itu terlepas dan lontarkan desah bersuara serak.
Ia biarkan Dirgo menjamah sekujur tubuhnya.
Karena ia sendiri merasa tidak bisa menghindar dari gairah yang kian memberontak dan melonjak-lonjak itu.
Kejap berikut, keduanya sama-sama berpeluh.
Kejap lain lagi, mereka telah siap berdiri untuk tentukan langkah.
Pakaian mereka sudah kembali rapi.
Dan saat itu senyuman manis Perawan Sesat tampak mekar disuguhkan di depan Dirgo Mukti dengan sinar kepuasan.
"Sudah kuduga, kau memang galak dalam bercinta,"
Kata Manusia Sontoloyo dengan senyum kemenangan. Perawan Sesat tersipu malu, namun ia lontarkan kata lirih.
"Memang begitulah aku. Tak boleh tersenggol kemesraan sedikit saja."
Manusia Sontoloyo serukan tawanya, membuat Perawan Sesat makin tersipu namun penuh bangga diri.
Tanpa terpikir oleh mereka, sepasang mata mengintai sejak lompatan tubuh mereka mencari tempat bercumbu tadi.
Sepasang mata itu mengikuti terus gerak-gerik dan suara mereka dari balik semak belukar.
Sepasang mata itu menahan napasnya kuat-kuat agar tidak didengar oleh kedua pasang insan yang tadi dilihatnya begitu bergelora mencapai puncak birahinya.
"Syarat sudah kupenuhi,"
Kata Perawan Sesat "Sekarang kau harus mau menghadap Guru, Suto."
"Ya. Aku akan menghadap gurumu!"
"Guru akan senang melihat aku datang bersamamu Suto Sinting!"
"Karena kau telah menyenangkan hatiku, maka aku harus menyenangkan dirimu, juga menyenangkan gurumu!"
"Aku kagum pada sikap ksatriamu, Suto. Dan...,"
Ucapan itu terhenti.
Menandakan adanya sesuatu yang membuatnya ragu.
Dan mendadak tangan perempuan berambut makin awut-awutan itu berkelebat ke belakang sambil balikkan badan.
Rupanya lemparkan selembar daun yang tadi sempat dipetiknya sebelum melangkah pergi dari ranjang alamnya.
Daun itu kini melesat terbang bagaikan lempengan logam dan menancap tepat di batang sebuah pohon bersemak bawahnya.
Jruub...! "Ada apa?!"
Tanya Dirgo Mukti kaget.
Pertanyaan itu belum terjawab, tiba-tiba dari semak bawah pohon yang tertancap daun itu melesat sesosok bayangan kuning.
Kejap berikutnya telah berdiri seorang perempuan berpakaian kuning kunyit dengan dada yang sekal juga, walau kalah montok dengan Perawan Sesat.
Perempuan yang baru hadir dan keluar dari persembunyiannya itu berambut lurus sebatas pundak lewat sedikit.
Rambutnya itu dililit rantai emas kecil melingkar kepala.
Di bagian tengah kening rantai itu mempunyai batuan hias merah delima sebesar kacang tanah.
Perempuan itu mempunyai tahi lalat di ujung dagu kanannya.
Siapa lagi dia jika bukan Peri Malam, murid si Mawar Hitam yang sudah dianggap murtad itu.
"Peri Malam...!"
Desis Manusia Sontoloyo mulai cemas. Perawan Sesat tatap wajah Peri Malam dengan sikap bermusuhan. Sedangkan yang ditatap hanya senyum-senyum sinis dengan lagak berkesan meremehkan keangkeran wajah cantik Perawan Sesat.
"Apa maksudmu mengintip dari semak sana?!"
Geram Perawan Sesat.
"Hanya ingin melihat orang bodoh bercinta!"
Jawab Peri Malam.
"Sekali lagi kau bilang begitu, tak kuberi ampun dirimu!"
Sambil si jabrik sipitkan mata. Peri Malam tertawa lepas terkikik-kikik.
"Lucu sekali kau ini. Kudengar namamu Perawan Sesat. Pantas jika kau bernafsu besar hanya karena tersesat kemesraan lelaki dungu di sampingmu itu, sebab kau berotak udang, alias bodoh!"
Wuuttt...! Tangan Perawan Sesat sentakkan ke depan dengan gerakan cepat.
Pukulan tenaga dalam jarak jauh melesat ke arah Peri Malam.
Namun Peri Malam sempat hantamkan tangan kanan ke kiri sambil liukkan badan menyamping.
Wuusss...! Greebb...! Kedua pukulan tenaga dalam saling beradu dan terbuang ke gundukan tanah dekat pohon rindang yang tadi dipakai payung kencan.
"Perawan Sesat, jangan layani dia!"
Kata Dirgo Mukti dalam kecemasan yang tersimpan. Ia berusaha menarik lengan Perawan Sesat, tapi dikibaskan oleh perempuan itu.
"Aku harus menghajar perempuan itu biar tahu sopan!"
Geram Perawan Sesat sambil angkat kedua lengan ke atas dengan tenaga terkerahkan. Peri Malam segera serukan kata.
"Jangan salah sangka! Aku datang hanya untuk mengatakan bahwa kau salah memilih orang!"
Cepat-cepat Dirgo kembali menarik lengan Perawan Sesat dan berkata.
"Lekaslah, jangan buang-buang waktu! Gurumu pasti sudah menunggu lama!"
"Tunggu!"
Perawan Sesat sentakkan lengan, mata tetap arahkan tajam ke arah Peri Malam. Lalu ia serukan tanya.
"Apa maksud kata-katamu, Perempuan Burik?!"
"Kau sangka lelaki di sampingmu itu Suto Sinting?"
Peri Malam segera tertawa lepas. Dirgo cepat hentakkan suara.
"Tutup mulutmu, Peri Malam!"
"Oh, oh... lihat, dia ketakutan! Dia bentak aku karena dia takut aku bocorkan siapa dirinya di depanmu! Lihat...! Hi hi hi...!"
Tangan Peri Malam menuding ke arah Dirgo Mukti, membuat Perawan Sesat memperhatikan wajah Dirgo dengan curiga. Dirgo jadi gemas dan segera lancarkan pukulan jarak jauhnya. Wuugh...! "Woww...!"
Teriak Peri Malam sambil tertawa ia lompatkan badan, melesat tinggi dan kembali jatuh berpijak kaki tegap. Tawanya dilanjutkan seraya ia serukan kata.
"Suto Sinting bukan dia! Suto Sinting sekarang ada di Perguruan Merpati Wingit! Dia dalam perawatan lukanya di sana. Sedangkan orang yang ada di sampingmu itu adalah Dirgo Mukti, alias Manusia Sontoloyo!?"
"Bohong! Aku Suto Sinting!"
Sentak Dirgo dengan mata melotot. Perawan Sesat kian kerutkan dahi dalam tatap matanya ke arah Dirgo. Sementara itu, Dirgo masih tampakkan kegusarannya seraya membentak Peri Malam.
"Jangan turut campur urusanku, Peri Malam! Jangan kau fitnah Perawan Sesat dengan kelicikanmu. Akulah Suto Sinting!"
"Dirgo...!"
Seru Peri Malam.
"Setahuku, Suto Sinting lebih tampan dan lebih memikat daripada dirimu. Suto Sinting tidak mau bertindak ceroboh kotor seperti yang kau lakukan di bawah pohon tadi. Setahuku, Suto Sinting itu lelaki tanpa pusar yang bergelar Pendekar Mabuk, murid sinting si Gila Tuak. Sedangkan kau, hmm... murid siapa kau? Gelar mu saja Manusia Sontoloyo! Jangan mengaku-aku nama Suto Sinting hanya untuk memperoleh kemesraan dan kenikmatan tubuh seorang perempuan. Kau bisa mati di tangan Perawan Sesat itu!"
"Diam...!"
Teriak Dirgo. Ia hendak lepaskan pukulan jarak jauh kepada Peri Malam. Tapi, dengan kasar pundaknya ditarik ke belakang oleh Perawan Sesat hingga ia tersentak dan berpaling ke arahnya.
"Sontoloyo...!"
Geram Perawan Sesat. Tajam matanya memandang.
"Jangan hiraukan kata-kata itu. Aku Suto Sinting murid sinting si Gila Tuak. Akulah orang yang kau cari, Perawan Sesat!"
Tiba-tiba tangan Perawan Sesat bergerak cepat bagaikan kilat.
Tak mampu terlihat oleh mata Dirgo.
Wuusss...! Bret, breett...! Perawan Sesat membuka baju Dirgo.
Tampak ada pusar di perut lelaki itu yang tadi tak sempat diperhatikan Perawan Sesat.
Seketika itu, Dirgo cepat raih bajunya dan dekap pusarnya sambil sedikit membungkuk malu.
"Apa-apaan ini...?!"
Dirgo berlagak sewot.
"Jahanam kau!"
Geram Perawan Sesat.
"Aku Suto Sinting. Bukan jahanam!"
"Dusta! Di perutmu ada pusar. Aku tahu itu pusar bukan kerupuk mentah! Dan itu berarti kau bukan Suto Sinting!"
Plookkk...! Begitu cepat dan kuat tangan Perawan Sesat menghantam telak wajah Dirgo Mukti.
Pukulan itu membuat Dirgo menggeragap sambil terhuyung mundur tiga tapak.
Wuuut...! Plokkk...! Sebuah tendangan samping dilancarkan ke depan oleh Perawan Sesat.
Dirgo tak sempat menangkis karena kecepatannya yang luar biasa.
Akibatnya, wajah yang belum sempat menemukan titik sakitnya akibat tonjokan tadi, sekarang menjadi semakin panas sekujur kepala.
Tendangan dan pukulan itu kosong tanpa kekuatan tenaga dalam.
Tapi sudah cukup bikin pandangan mata Dirgo berkunang-kunang.
Ia cepat kibaskan kepala untuk membuang kunang-kunangnya.
Sedangkan Perawan Sesat kali ini siap hantamkan pukulan jarak jauhnya bertenaga dalam.
Dirgo pun bergegas bangkit dan siap menghadapi pukulan itu.
Dengan satu gerakan jarinya ia sentakkan gelombang pelapis yang tak mudah ditembus oleh pukulan siapa pun, kecuali pukulan dari Suto Sinting.
Tetapi, ketika pukulan Perawan Sesat dihantamkan, ternyata Dirgo terpental ke belakang dengan mata terpejam.
Jatuh telentang setelah mendengar suara ledakan keras.
Blarrr...! Itu pertanda gelombang pelapisnya mampu didobrak oleh pukulan tenaga dalam Perawan Sesat.
Dirgo Mukti berdarah di bagian hidungnya.
Ia bergegas bangkit lagi.
Perawan Sesat sudah siapkan pukulan kembali.
Tapi Peri Malam segera berseru.
"Tahan! Dia punya urusan pribadi dengan Suto Sinting pada dua purnama mendatang. Mereka akan bertarung sampai mati di Bukit Jagal! Beri kesempatan dia hidup biar buktikan kehebatannya dalam pertarungan nanti! Sebaiknya...,"
Kata-kata itu henti, karena tiba-tiba tubuh Perawan Sesat bagaikan lenyap karena kecepatan lompatnya yang begitu tinggi.
Dirgo tak sempat berseru menahan kepergian perempuan yang liar dalam bercinta itu.
Ia hanya mengeram dongkol pada Peri Malam.
Peri Malam tertawa cekikikan melihat wajah Dirgo bonyok.
* * * PERAWAN Sesat bukan hanya tajam mata namun juga tajam ingatannya.
Ucapan Peri Malam sempat lekat dalam ingatan, bahwa Suto ada di Perguruan Merpati Wingit dalam perawatan lukanya.
Ini suatu kesempatan baik buat Perawan Sesat untuk membawa Suto ke Bukit Garinda.
Tetapi, ke mana arah Perguruan Merpati Wingit? Perawan Sesat tak pernah tahu arah perguruan itu.
Satu-satunya jalan ia harus mencari sebuah desa dan menanyakan kepada beberapa orang di sana.
Perawan Sesat kembali berkelebat ke satu arah.
Tujuannya adalah kaki bukit yang tampak dari tempatnya singgah di atas pohon.
Namun baru beberapa kejap ia bergerak, telinganya menangkap suara deru kaki kuda.
Perawan Sesat telengkan kepala untuk menyimak suara kaki kuda itu.
Setelah jelas arahnya, Perawan Sesat sentakkan kaki dan melesat pergi menuju arah derap kaki kuda.
Tiga orang berkuda melaju melintasi kaki bukit.
Dua dari mereka adalah perempuan berparas manis, satu penunggang kuda lainnya seorang pemuda berparas imut-imut.
Pemuda itu tampak bersemangat pula dalam memacu kudanya walau tetap tertinggal dari kedua perempuan yang berpakaian ungu dan putih.
Perempuan yang berpakaian ungu adalah Murbawati, murid Perguruan Merpati Wingit yang mendapat tugas untuk mencari Dewi Murka dan Selendang Kubur.
Ia membawa dua anak buahnya, yaitu Widarti, yang berpakaian putih dan Sungko, pemuda berpakaian hitam.
Laju kuda mereka terpaksa berhenti, karena seorang perempuan berambut acak-acakan menghadang di depan mereka dengan rentangkan tangan, Widarti sempat berbisik.
"Terus saja. Dia pasti orang gila!"
Tapi Murbawati membantah.
"Belum tentu. Siapa tahu dia habis diperkosa dan butuh pertolongan kita. Lihat saja rambutnya acak-acakan begitu!"
Sungko menyahut.
"Temui saja dia. Akan kuawasi dari atas kuda."
Kuda tunggangan Widarti melonjak naik sambil meringkik ketika mendekati Perawan Sesat.
Widarti kebingungan menenangkan kudanya, sampai akhirnya ia jatuh dari punggung kuda.
Beruntung ia tak cedera apa pun, sehingga bisa cepat bangkit dan menemui Perawan Sesat.
Pada saat itu, Murbawati yang ilmunya lebih tinggi dari kedua teman atau anak buahnya itu, juga turun dari punggung kuda.
"Apa maksudmu menghadang kami, Sobat?"
Tanya Widarti.
"Aku mencari arah Perguruan Merpati Wingit!"
Jawab Perawan Sesat dengan tegas, tanpa ada keramahan sedikit pun.
Matanya sempat layangkan lirikan ke wajah Sungko yang ganteng imut-imut itu.
Sungko cepat alihkan pandang karena hatinya berdesir aneh ketika beradu pandang dengan mata indah itu.
Widarti saling bertatap pandangan dengan Murbawati.
Kemudian, Murbawati maju setindak dan bertanya dengan kalem.
"Ada perlu apa kau mencari arah Perguruan Merpati Wingit?"
"Itu urusanku. Kalau kalian tahu, lekas tunjukkan saja dan jangan banyak bertanya!"
Murbawati segera membatin.
"Orang ini agaknya tidak bisa diajak bersahabat. Tapi ada apa dia mau menuju ke perguruanku? Apakah dia musuh Nyai Guru yang ingin membalas dendam?"
Perawan Sesat menyentak keras.
"Lekas jawab pertanyaanku!"
Dari atas punggung kuda, Sungko berseru agak lantang.
"Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit! Mau apa kau, hah?!"
"Bagus!"
Seru Perawan Sesat.
"Pucuk dicinta ulam pun tiba! Berarti kalian bisa tunjukkan dimana letak perguruan kalian itu!"
"Tidak bisa!"
Seru Murbawati supaya Sungko pun mendengar suaranya dan tahu maksudnya.
"Kami tidak akan tunjukkan di mana tempat perguruan kami, sebelum kamu sebutkan apa keperluan mencari perguruan kami!"
Perawan Sesat menatap liar pada Murbawati. Mulutnya tampak menggeletakkan gigi gerahamnya. Kedua tangan mulai mengepal keras dalam sikap tetap berdiri tegak dan kaki sedikit merenggang.
"Kalian tidak perlu tahu apa perlunya aku ke sana, karena ini urusan pribadiku! Kalian hanya menunjukkan arahnya saja, dan jangan memancing kemarahanku!"
"Sekalipun kau marah, kami tetap tak akan tunjukkan sebelum kami tahu maksud dan tujuanmu ke sana!"
Kata Widarti dengan berani.
"Kalian ini benar-benar mencari mampus di sini! Hiihhh...!"
Perawan Sesat sentakkan tangannya, layangkan pukulan jarak tujuh langkah itu.
Widarti segera melompat dengan ringan dan pukulan tenaga dalam itu mengenai pohon di belakang Sungko.
Pohon itu tumbang dalam keadaan patah besar di bagian tengahnya.
Sungko sempat terkejut melihat pohon tumbang di belakangnya dalam jarak sepuluh langkah darinya.
"Murbawati, biar kutangani kunyuk satu ini!"
Kata Widarti sambil melangkah maju dua tindak. Lalu, di situ ia berseru.
"Manusia landak! Kami tidak bikin perkara denganmu, tapi kalau kamu jual perkara kami siap membeli!"
"Hah...!"
Perawan Sesat mendesis meremehkan ucapan Widarti.
"Mestinya kalian sayang nyawa sendiri dan tidak coba-coba membakar kemarahanku. Aku tak pernah kasih ampun pada orang yang sengaja menantangku, tahu?!"
"Sikapmu sendiri yang menantangku!"
Sentak Widarti yang sudah siap mencabut pisau-pisau terbang yang berjajar melingkari pinggangnya itu.
"Rupanya kalian memang perlu bukti!"
Setelah menggeramkan kata itu, Perawan Sesat jejakkan kaki, tubuhnya pun jadi melayang bagaikan terbang.
Widarti menyambutnya dengan satu lompatan ringan.
Mereka beradu kecepatan pukulan udara sambil saling membenturkan diri.
Plak, plak...! Beegh...! Tubuh Widarti tersentak ke belakang, melayang jatuh di kaki kuda yang ditunggangi Sungko.
Mata pemuda itu terbeliak kaget lihat temannya mengucurkan darah dari mulutnya.
Darah merah kental itu keluar bagai tersontak kuat dari dalam.
Murbawati pun merasa cemas.
Ia segera berlari mendekati Widarti dan menolongnya bangkit.
Widarti sempat berkata.
"Aku tidak apa-apa. Aku masih sanggup kalahkan dia!"
"Hati-hati, dia berilmu tinggi. Kulihat caranya melompat tanpa banyak hentakan kaki. Itu menandakan dia berilmu tinggi. Juga kecepatan pukulannya luar biasa. Jangan lawan dia dari jarak dekat, Widarti."
"Ya, ya! Aku mengerti. Minggirlah, biar dia kuhadapi lagi!"
Widarti perempuan yang pantang menyerah.
Sekalipun dadanya terasa sakit, ia masih bisa bangkit dan melangkah beberapa tindak ke depan.
Tangannya segera berkelebat cepat mengambil dua pisau terbangnya dan melemparkannya ke arah Perawan Sesat.
Pisau itu meluncur searah sejajar dengan cepat.
Perawan Sesat hanya sunggingkan senyum tipis tanpa meremehkan.
Lalu, ia kibaskan tenaga dalamnya melalui kelebatan tangan kanan yang seperti membuang sesuatu dari bawah ke atas.
Wusss...! Kedua pisau terbang itu terpental berlainan arah dan melesat ke tempat kosong.
Kibasan angin tenaga dalamnya membuat tubuh Widarti berguncang sesaat.
Kesempatan itu digunakan oleh perempuan bermata buas untuk melompat dan bersalto dua kali.
Gerakannya itu begitu cepat dan tak terlihat, sehingga tahu-tahu ia sudah berada di depan Widarti jarak satu jangkauan.
Widarti terkesiap melihat lawannya sudah ada di depannya.
Ia tak sempat bergerak karena Perawan Sesat lebih dulu menghentakkan pukulannya memakai pangkal pergelangan tangan ke dada Widarti.
Begh...
begh...
beg...! "Heeghh...!"
Widarti tersentak kejang dengan kepala terdongak ke atas dan kaki berjingkat naik.
Lalu, pukulan Perawan Sesat yang menggunakan punggung telapak tangannya itu mengakhiri pertarungan tersebut.
Kuat sekali pukulan itu, membuat Widarti kembali tersentak ke belakang dan terbang sejauh lima langkah.
Tubuhnya rubuh di samping kudanya sendiri dengan mulut memuntahkan darah merah kehitaman.
Dari telinga dan hidung pun mengucurkan darah merah kehitaman.
Mata Widarti mendelik dengan mulut masih ternganga.
"Widarti...!"
Sungko melompat turun dan buru-buru menolong temannya. Tapi ketika kepala Widarti diangkatnya, napas perempuan itu menghempus panjang dan lepas tanpa helaan lagi.
"Biadab!"
Geram Murbawati melihat Widarti hembuskan napas terakhir. Cepat-cepat ia palingkan wajah yang memerah karena marah. Matanya memandang tajam pada lawannya yang berdiri dengan sikap siap bertarung kembali.
"Jangan buang-buang nyawa!"
Seru Perawan Sesat.
"Cepat tunjukkan arah perguruan kalian, dan dua nyawa kalian akan tertolong!"
"Persetan dengan ancamanmu! Kau telah membuka pintu permusuhan dengan orang-orang Perguruan Merpati Wingit!"
"Terpaksa kulakukan karena kalian mengharap kan sikap seperti itu! Kuingatkan pada kalian, bahwa sebenarnya aku bisa mempercepat kematian temanmu itu. Tapi kalian perlu melihat permainanku tadi. Barangkali dengan begitu kalian mau jawab pertanyaanku!"
"Tak ada jawaban untuk manusia sekeji kamu!"
Sentak Murbawati sambil mencabut pedang panjang dari pelana kudanya.
Sreet...! Ia berdiri dengan kuda-kuda kokoh sambil memegang pedang panjang memakai kedua tangannya.
Pedang itu lebih tepat jika disebut samurai.
Hanya sayang tidak berujung lengkung, dan tidak ada istilah samurai buat orang-orang Perguruan Merpati Wingit.
"Kau pikir aku akan ciut nyali melihat pedang panjangmu itu?"
Ejek Perawan Sesat sambil melangkah ke samping, mencari celah.
"Tak peduli kau takut atau tidak, kalau kau tidak minta ampun di depan kami atas pembunuhan terhadap teman kami, kutebas batang lehermu sekarang juga!" &jj$M "Pohon pisang boleh kau tebas, tapi Perawan Sesat adalah perawan yang keras. Sekali kau tebas, sekali pula nyawamu amblas!"
"Banyak mulut!"
Geram Murbawati sambil melangkah satu tindak, lalu memutar mencari kesempatan untuk menyerang. Perawan Sesat pun bergerak mengitar, tak mau kecolongan celah bagi lawannya. Sambil bergerak mengitar, ia masih bisa serukan kata.
"Kau benar-benar manusia yang tak bisa merawat nyawamu! Kau akan menyesal di alam kubur jika tetap melawanku, Monyet Bunting!"
"Aku ke alam kubur untuk menyusulmu! Cabut pedangmu yang bergagang jorok itu! Kita percepat siapa yang harus pergi ke alam kubur di antara kita berdua"
"Cabut pedang? O, tidak untuk sekarang! Membasmi tikus busuk macam kamu tidak perlu dengan pedang! Cukup dengan satu kedipan mata kau akan tak bernyawa!"
"Manusia sombong! Buktikan sesumbarmu itu. Hiaaat...!"
Murbawati sentakkan kakinya dan tubuhnya melayang cepat dengan pedang siap tebas ada di atas pundak kanannya.
Perawan Sesat tidak ikut melompat, tapi lebih bersikap menunggu datangnya serangan.
Begitu pedang ditebaskan ke arah depan oleh Murbawati, badan Perawan Sesat segera berbalik memunggungi lawannya dengan sedikit melompat ke samping kanan.
Wuuusss...! Pedang menebas tempat kosong.
Secepat kilat tangan Perawan Sesat disentakkan ke samping, telapak tangannya yang sudah mengepulkan asap menghantam ketiak kiri Murbawati.
Beeegh...! Lalu sikunya bergerak menyodok kuat ke pinggang Murbawati.
Deeg...! Murbawati pekikkan suara tertahan dengan mata terbelalak tak mampu berkedip.
Saat ia mendaratkan kakinya, ia menggeloyor ke depan.
Perawan Sesat melompat mengangkangi tubuh Murbawati, dua pukulan telapak tangannya menghantam bagian tengkuk kepala lawan.
Duub...! Duub...! "Hooeek...!"
Seketika itu darah segar sontak ruah dari mulut Murbawati.
Lubang telinga dan hidung pun semburkan darah segar pada saat tubuh itu roboh dan muka menciumi tanah.
Tubuh Murbawati berkelojot sebentar, kemudian menyentak kuat satu kali.
Setelah itu lemas.
Tubuh Murbawati tak lagi berkutik akibat pukulan beruntun dari perempuan bertenaga dalam tinggi itu.
Sungko membelalakkan mata melihat Murbawati mati di tangan perempuan bermata liar itu.
Mulai ciut nyalinya saat itu.
Tapi demi membela perguruan, Sungko segera sentakkan tumitnya dan melesat di udara dengan berjungkir balik satu kali.
Kaki itu pun mendarat tanpa suara di depan Perawan Sesat dalam jarak tiga langkah.
"Temanmu mati,"
Kata Perawan Sesat dengan nada mengejek.
"Ya. Tapi aku belum mati!"
Jawab Sungko memaksakan keberaniannya.
"Kau ingin menyusulnya?"
"Aku ingin menyusulkan nyawamu agar bertemu dengan kedua nyawa teman seperguruanku itu!"
"Hah...!"
Perawan Sesat senyumkan kesinisan.
"Bocah bawang, bocah bawang...! Tidakkah kau lihat gerakanku menghabisi nyawa si baju ungu ini?! Apa kau pikir kau punya gerakan lebih cepat dari si baju ungu?"
"Ya!"
"Dan kau punya senjata sepanjang senjata baju ungu?"
"Ya!"
"Boleh kulihat senjatamu?"
Seraya Perawan Sesat tersenyum nakal.
Arti kalimatnya juga berkesan nakal.
Sungko yang masih tampak ingusan itu mulai gundah dan gusar tatap matanya.
Bibirnya yang ranum dan kemerahan-merahan tampak segar itu pandangi oleh Perawan Sesat.
Lalu, terucap kata dari mulut Perawan Sesat yang berbibir mesum itu.
"Tak tega aku harus membunuhmu. Hmmm..., sebaiknya kutanyakan siapa namamu? Mungkin kalau aku memaafkan kamu, aku bisa mengenang nama pemuda tampan yang ingusan ini?"
"Namaku Sungko!"
Jawab Sungko dengan tegas.
"Sungko?! Oh, itu nama yang bagus. Sayang kalau harus dihias di batu nisan dalam usia semuda ini!"
"Persetan dengan kata-katamu! Aku menuntut kematian kedua teman perguruanku ini?!"
"Dengan apa kau mau menuntutnya, Sungko? Hmm...?!"
"Dengan nyawamu, Bodoh!"
"Dengan nyawaku? O, boleh saja! Tapi jangan sekali-kali kamu menyentuh tubuhku, Sungko. Sebab kalau tubuhku tersentuh lelaki macam kamu, gairahku berkobar dan kita tak jadi bertarung dengan permusuhan, tapi akan bertarung dengan kemesraan. Hi hi hi...!"
Perawan Sesat perdengarkan tawa seraknya.
Ia lebih puas mempermainkan pemuda itu ketimbang harus cepat melenyapkan nyawanya.
Perawan Sesat paham betul, pemuda seusia Sungko itu mudah sekali goyah pendiriannya.
Juga mudah untuk membunuhnya.
Karena itu, Perawan Sesat tetap memandangnya dan sesekali membuang lirikan mesumnya ke arah Sungko.
Pemuda itu kian salah tingkah.
Di dalam hatinya Sungko berkata.
"Apa yang harus kulakukan jika begini? Dia cukup tinggi ilmunya. Aku hanya mempunyai dua pisau di pinggang belakang. Tak mungkin bisa untuk mengalahkan perempuan nakal ini. Haruskah aku menyerah kalah? O, tidak! Guru selalu berpesan lebih baik mati daripada menyerah kalah. Kita akan terhina tujuh turunan jika menyerah kalah. Apa pun yang terjadi, aku harus melawan perempuan ini!"
Geram hati Sungko timbulkan semangat dalam jiwanya.
Tetapi ketika ia kembali menatap ke arah lawannya, mata itu tak mampu lagi berkedip.
Perawan Sesat telah melebarkan belahan bajunya yang tanpa lengan itu.
Kedua bukit mulus dipamerkan sebagian.
Tapi justru karena sebagian itulah maka debar jantung Sungko menjadi kiat cepat detakannya.
Perawan Sesat sengaja melangkah ke arah pepohonan rindang sambil sesekali mengerlingkan mata dalam tatap pandangnya.
Sungko mengikuti dengan pandangan mata yang tak bisa dikedipkan lagi itu.
Jemari tangan Perawan Sesat berkutik memanggil Sungko saat ia berdiri dan bersandar di bawah pohon rindang.
"Tidak. Aku tidak boleh mendekatinya!"
Kata Sungko kepada dirinya sendiri.
"Aku harus tetap di sini. Aku tak boleh tergoda!"
Kata hati berucap begitu, tapi kaki tetap melangkah mendekati Perawan Sesat.
Sungko bagai terkena kekuatan gaib yang membuat dirinya melangkah tanpa disadari.
Ketika ia sadar, ia sudah berada di depan Perawan Sesat dalam jarak satu langkah ke depan.
Sungko makin terpaku di tempat ketika belahan baju itu kian dilebarkan oleh tangan Perawan Sesat.
Suara tawa pelan dari Perawan Sesat menghadirkan nada serak-serak menantang birahi.
Tentu Sungko bertambah gemetar kedua lututnya.
"Lepaskan pakaianmu, Sungko,"
Kata Perawan Sesat dalam desah serak yang enak didengar di kesunyian tempat itu.
"Tidak,"
Kata hati Sungko.
"Aku tidak boleh melepaskan pakaianku. Ini godaan! Aku harus tahan godaan! Aku tak boleh hanyut dalam rayuannya! Aku murid Perguruan Merpati Wingit! Aku harus tunjukkan belapatiku kepada perguruan!"
Hati berkata begitu tapi tangan tetap saja bergerak melepasi pakaiannya.
Sampai akhirnya Sungko menyadari bahwa dirinya telah polos tanpa selembar benang pun.
Ia buru-buru menutup bagian tertentu dengan kedua tangan, wajah pucat, mata melebar dan mulut melongo.
Kepalanya celingak-celinguk ke kiri kanan dengan malunya.
"Lepaskan...! Lepaskan tanganmu, Sungko...!"
"Aku tidak mau!"
Sentak Sungko. Matanya menatap pandangan Perawan Sesat. Dan mata Perawan Sesat berkerling satu kali. Sungko tertegun bengong sambil melepaskan kedua tangannya.
"Aku tahu, kau inginkan sesuatu dariku!"
Kata Perawan Sesat sambil menarik pelan tangan Sungko, dan pemuda imut-imut itu menurut saja. Ia usap-usap rambut kepala Sungko sambil bicara.
"Kau butuh kenikmatan saat ini juga, Sungko?!"
Pemuda itu tak bisa menjawab tapi ia anggukkan kepalanya.
"Akan kuberi kau kenikmatan segunung besarnya. Tapi ke mana arah perguruanmu itu? Aku butuh mengantarmu pulang."
"Ke... ke arah barat. Ikuti saja sungai berbatu-batu dan kau akan temukan bangunan besar berpagar tembok tinggi. Itulah Perguruan Merpati Wingit,"
Jawab Sungko bagai tak sadar.
"O, bagus sekali! Kalau begitu, sekarang tiba saatnya kuberikan kenikmatan itu padamu. Nah, pejamkan matamu, Sungko!" * * * MANUSIA Sontoloyo sengaja menghajar Peri Malam dengan tangan kosong. Sebuah tendangan disentakkan miring ke arah wajah Peri Malam. Tangan perempuan bertahi lalat di sudut dagu kanannya itu mengibas sentak ke arah samping. Tendangan itu meleset dari sasaran. Tapi kejab berikutnya Dirgo Mukti berbalik dan kaki satunya lagi berkelebat ke belakang. Plook...! Wajah Peri Malam telak-telak terkena tendangan keras itu. Walau tak bertenaga dalam, namun sempat membuat Peri Malam terhuyung-huyung tiga tindak. Setelah berhasil menendang wajah Peri Malam, Dirgo segera hentikan gerakan. Napasnya tetap teratur walau ia telah lakukan banyak gerakan.
"Ini sebuah pelajaran berharga untukmu, Peri Malam!"
Kata Dirgo Mukti dengan menahan kedongkolan hatinya.
"Lain kali, jangan suka ikut campur urusan orang!"
"Aku tidak rela kau mengaku-ngaku sebagai Suto!"
"Apa urusanmu?!"
Sanggah Dirgo dengan kerutkan dahi.
"Nama itu nama terhormat. Tak pantas dipakai oleh orang berpenyakit kudis seperti kamu!"
Ejek Peri Malam.
"Heh...,"
Dirgo tertawa satu sentakan.
"Nama Suto Sinting kok dikatakan nama terhormat! Menurutku namaku lebih terhormat daripada nama Suto Sinting!"
"Tutup bacotmu!"
Sentak Peri Malam dengan kasar.
Serta-merta ia jejakkan kaki dan melayang menyerang dengan tendangan bertenaga dalam.
Tendangan itu dihindari oleh Dirgo Mukti dengan cara merundukkan kepala.
Tubuh Peri Malam lewat di atas kepala Dirgo, dan tangan Dirgo bergerak nakal ke atas bagai mencomot buah jambu.
"Aaauw...!"
Jerit Peri Malam kaget karena sesuatu yang disembunyikan selama ini tercomot oleh tangan Dirgo.
"Sontoloyo kotor!"
Sentaknya marah.
Kemudian tangan kirinya disodokkan ke depan dalam keadaan menggenggam.
Pukulan bertenaga dalam melesat tanpa menyentuh sasaran.
Gelombang tenaga itu meluncur kuat ke arah Dirgo.
Secepatnya Dirgo melompat menghindari, tapi sentakan tangan kedua dari Peri Malam berhasil mengenai sasaran.
Beegh...! Tubuh Dirgo Mukti tersentak ke belakang dan kedua kakinya sempat terangkat sedikit dari tanah.
Ia merasa seperti diseruduk seekor banteng mabuk.
Dadanya sedikit terasa sesak dan tubuhnya jatuh terhempas di pasir pantai.
"Ini sebuah pelajaran berharga untukmu, Dirgo,"
Kata Peri Malam mengutip kata-kata Dirgo tadi.
"Lain kali jangan coba-coba berani memegang bagian terlarang dari tubuhku!"
Dirgo bangkit dengan menarik napas panjang-panjang. Ia sunggingkan senyum meremehkan dan berkata.
"Kalau begitu, aku boleh pegang tubuhmu yang tidak terlarang!"
"Semua tubuhku terlarang dipegang oleh tanganmu!"
Sentak Peri Malam dengan bersungut-sungut cemberut. Ia palingkan wajah kembali menatap Dirgo dan berkata.
"Hanya Suto yang boleh memegangnya!"
Benci sekali Dirgo jika mendengar nama murid sinting si Gila Tuak itu disebutkan oleh Peri Malam. Rasa-rasanya ia menjadi sangat rendah jika dibandingkan dengan Suto. Panas hati mendengar ucapan Peri Malam tadi membuat Dirgo ucapkan kata pedas.
"Lelaki hina macam dia tak patut disebut namanya di depanku!"
"Aku akan menyebutnya setiap saat. Karena Suto memang seorang pendekar tanpa tanding yang layak namanya diagungkan!"
"Dia tidak pantas bergelar pendekar!"
"Dia lebih pantas dari pada kamu!"
Bantah Peri Malam dengan nada makin tegas dan keras. Mulut Manusia Sontoloyo mencibir.
"Hanya kebetulan saja dia pernah belajar silat dari si Gila Tuak, lantas orang kasih gelar pendekar padanya! Sebenarnya dia tidak punya isi apa-apa! Kosong melompong seperti rumah keong!"
Peri Malam tidak suka mendengar Suto diremehkan. Ketus nadanya ia bicara pada Dirgo Mukti.
"Kau bilang dia kosong, tapi kau tak bisa memukulnya! Hmm...! Pendekar tidak bisa memukul lawan, itu namanya bukan pendekar, pendekar, yang kerjanya tarik dokar ke mana-mana!"
"Aku bukan kusir!"
"Iya. Tapi kau kudanya!"
Sentak Peri Malam.
Wuug...! Sebuah tendangan bertenaga dalam kali ini dilancarkan oleh Dirgo.
Secepatnya Peri Malam sentakkan tangan kanan menyamping dengan kekuatan tenaga dalam juga.
Breeg...! Kedua tenaga dalam itu bentrok.
Peri Malam berhasil membuang ke arah samping kanannya.
Di sana ada batu, dan batu itu pecah menjadi empat bagian.
Peri Malam palingkan pandang ke arah Dirgo.
Ternyata kedua tangan Dirgo sudah angkatkan sampai batas pundaknya.
Jari-jarinya mekar mengeras, kedua kakinya merendah.
Lalu tangan kanan berkelebat ke depan dengan membengkokkan pergelangan tangannya.
Melalui punggung telapak tangan itu, Dirgo lepaskan pukulan bertenaga dalam yang lebih besar lagi.
"Haiit...!"
Peri Malam sentakkan tangannya ke depan dada dalam keadaan jari-jari lurus ke atas.
Dari sisi telapak tangan keluar cahaya kebiru-biruan.
Cahaya itu melesat dan meledak di pertengahan jarak.
Duaaar...! Dirgo Mukti berguncang tubuhnya akibat sentakan ledakan tadi.
Tapi Peri Malam terlempar dua langkah jauhnya akibat sentakan ledakan tersebut.
Ia jatuh dalam posisi miring, lalu segera berguling.
Kemarahan Dirgo Mukti karena dibandingkan oleh Suto belum habis.
Ia masih ingin menghajar Peri Malam yang menurutnya dianggap sebagai perempuan lancang mulut.
Pada saat Peri Malam bergegas bangkit, sebuah pukulan bertenaga tinggi melesat melalui dua totokan jari tangannya.
Pukulan itu mempunyai cahaya sinar merah api.
Wuuusss...! Slaaap..! Duaar...! Peri Malam terkesiap mendapat serangan sinar merah api.
Ia baru saja ingin melompat menghindari.
Tapi sinar api itu meledak di pertengahan karena datangnya sinar hijau bening dari arah pepohonan tepi pantai.
Dirgo Mukti cepat palingkan wajah memandang ke arah pepohonan, begitu pula halnya dengan Peri Malam.
Lalu, keduanya sama-sama lihat kemunculan seorang lelaki berpakaian serba coklat dengan menenteng bumbung tuaknya.
Siapa lagi dia kalau bukan Suto Sinting, murid si Gila Tuak? "Suto...!"
Pekik Peri Malam kegirangan. Suto melangkah dengan santai dan tersenyum-senyum kepada Dirgo. Tapi arah langkahnya menuju ke Peri Malam, membuat Dirgo menjadi semakin dongkol.
"Suto...! Syukurlah kau tahu aku di sini..!"
Peri Malam memeluk tanpa canggung-canggung lagi. Suto pun memeluk Peri Malam karena ingat perjuangannya mempertahankan Tuak Setan dari tangan si Mawar Hitam.
"Jahanam!"
Geram Dirgo Mukti dengan pelan.
Kemudian ia segera kirimkan kembali pukulan bertenaga tinggi melalui kedua jari tangan yang disentakkan ke depan.
Sinar merah api menyala lagi dan melesat ke arah Suto dan Peri Malam yang masih berpelukan hangat.
Walau dalam keadaan sedang berpelukan, namun mata Suto bisa melihat kilasan sinar merah api menuju ke arahnya.
Ia tidak melepaskan pelukan itu, melainkan hanya menggeser bumbung tuaknya ke samping kiri Peri Malam, dan sinar merah api itu menghantam bumbung tuak dengan suara lirih, deeg...! Lalu, melesat kembali ke arah semula tanpa padamkan sinarnya.
Melihat sinar merah api kembali ke arahnya, Dirgo tercengang kaget dan buru-buru melompat ke arah samping dengan satu sentakan ujung jempol kakinya.
Wuuttt...! Sinar merah api itu lewat ke tempat kosong.
Tapi pada akhirnya membentur tebing karang yang agak jauh dari tempat mereka.
Benturan itu membuat karang meledak.
Blaarr...! Sebagian tebing karang menyembur dalam pecahan, sisanya berguguran jatuh di perairan laut.
Ombak menelan guguran karang tersebut, membuat mata Dirgo masih terasa memandanginya.
"Dari mana kau tahu aku di sini?"
"Ada kemungkinan kau rindu pada gurumu dan berusaha menatap Pulau Hantu dari sini,"
Jawab Suto dengan tenang, seakan ia tidak melihat keberadaan Dirgo Mukti di sebelah sana, dalam jarak tujuh langkah.
"Memang aku rindu pada guruku, tapi aku tak berani pulang ke sana. Itu sama saja aku menyerahkan nyawa kepada Guru!"
Makin panas hati Dirgo melihat tangan Peri Malam merapi-rapikan pakaian Suto.
Ia segera mengirim pukulan bertenaga tinggi dari jarak jauh tanpa rupa.
Pukulan itu diarahkan ke bagian kaki.
Karena Dirgo Mukti sengaja ingin membuat kemesraan itu jadi berantakan dengan tubuh berjungkir balik tak karuan.
Maka, tangan kirinya pun menyentak ke depan dengan telapak tangan terbuka dan jari-jarinya mengarah ke bawah.
Gelombang pukulan jarak jauh itu bagai merayap di atas permukaan tanah.
Pada saat itu, Suto sedang mencubit pipi Peri Malam dan berkata.
"Kupikir kau mati kena pukulan gurumu sendiri. Ternyata kau masih hidup dan semakin nakal!"
Duug...! Kaki Suto menghentak pelan ke tanah.
Gelombang pukulan jarak jauh milik Dirgo itu berbalik arah dan lebih cepat serta lebih besar kekuatannya.
Dirgo Mukti merasakan kembalinya pukulan itu, hingga ia perlu secepatnya berkelit pindah tempat.
Namun ia terlambat bergerak.
Pukulan itu sudah lebih dulu menghantam bagian kakinya hingga membuat tanah menyembur naik.
Dirgo Mukti terpelanting bagai dilemparkan ke atas.
Ia kurang menjaga keseimbangan tubuhnya akibat rasa kagetnya tadi.
Maka, mau tak mau ia pun jatuh bergedebuk di atas tanah berpasir.
Suara bergedebuk itulah yang membuat Peri Malam sadarkan diri dan cepat palingkan wajah ke arah Dirgo.
Suto pun palingkan wajah ke sana sambil tersenyum.
Peri Malam merasa heran melihat Dirgo bagai orang pontang-panting tanpa sebab.
Perempuan itu pun bertanya pelan, tujuannya kepada Suto.
"Kenapa dia?"
"Entahlah! Mungkin encoknya kambuh!"
Dirgo yang mendengar jawaban itu segera menyentak dengan segunung kedongkolan di dalam hatinya.
"Encok gundulmu!"
"Hei, sopan sedikit bicara dengan seorang pendekar!"
Peri Malam bernada galak mengingatkan Dirgo Mukti. Makin panas hati Dirgo jadinya.
"Kalian yang tidak tahu sopan! Main peluk di depanku!"
Peri Malam maju setindak dengan tolak pinggang kiri.
"Ih, kami mau main peluk atau main mata itu hak kami? Tak perlu harus hiraukan kamu! Kenapa kamu marah? Kalau merasa kurang terima, majulah sini...! Biar kuremukkan seluruh gigimu itu!"
Dirgo mendengus kesal dan membatin "Hmmm...! Terang saja dia berani bilang begitu karena di belakangnya ada Suto.
Pemuda itu benar-benar bangsat! Kuserang dua kali dengan sembunyi-sembunyi masih juga bisa membalikkan seranganku.
Kurasa memang dia punya ilmu sedikit lebih tinggi dariku.
Rasa-rasanya aku perlu memperdalam juru jurusku lagi, dan mempelajari jurus 'Cakar Naga' secepatnya.
Akan kulawan ilmunya dengan 'Cakar Naga'-ku pada pertarunganku kelak di Bukit Jagal!"
Tanpa mau bikin perkara lagi, Dirgo segera angkat kaki dari tempat itu.
Ia melesat tanpa pamit dengan cepatnya.
Peri Malam mau mengejar, tapi tangannya ditahan oleh Suto.
Dan ia senang sekali mendapat sentakan menahan dari Suto.
Hatinya bangga, seakan dirinya sangat dikhawatirkan oleh Suto.
"Biar kukejar dia!"
Peri Malam memancing sikap.
"Jangan. Tak perlu!"
Kata Suto dengan kalem.
"Kalau tidak kukejar dan kuremukkan dia masih tetap akan menggangguku terus!"
"Jauhi dia supaya tidak diganggu olehnya,"
Kata Suto yang kedengaran lebih kalem sekarang dari pada dulu.
Sebab sekarang Suto memang menyadari bahwa di dalam tubuhnya sudah bermukim Pusaka Tuak Setan.
Kalau dia mengumbar nafsu kemarahan, bisa-bisa napasnya menyemburkan badai yang sangat dahsyat dan membawa korban tak bersalah.
Sikap tenang dan kalem itu membuat Peri Malam semakin menyukai Suto.
Menurut pandangannya, Suto semakin menarik saja.
Hatinya kian ditumbuhi bunga rimbun jika bertatap pandang dengan pendekar tampan itu.
Rasa-rasanya pelukan yang tadi dilakukan Suto akan membekas selamanya dan meresap hangat sepanjang masa di dalam hati.
Tiba-tiba Manusia Sontoloyo itu tampakkan diri kembali dengan sebuah seruan dari atas batu karang berjarak antara lima belas langkah di belakang Suto.
"Sutooo...!"
Peri Malam dan Suto sama-sama memandang. Peri Malam denguskan napas tanda kesal hatinya.
"Hah...! Dia lagi, dia lagi...!"
"Dengar, Suto...!"
Seru Manusia Sontoloyo.
"Ada seorang perempuan cantik mencarimu. Dia bernama Perawan Sesat! Sekarang sedang menuju ke Perguruan Merpati Wingit karena menyangka dirimu ada di sana! Dia membutuhkan kamu dan ingin membawamu pergi!"
"Jangan dengarkan omongannya!"
Sentak Peri Malam mulai cemburu dan waswas. Ia sentakkan pula tubuh Suto agar berpaling memandang ke arahnya. Tapi kepala Suto masih kembali palingkan pandang ke arah Dirgo Mukti, sebab Dirgo masih lanjutkan seruannya.
"Hati-hati, dia berilmu tinggi! Mungkin akan membabi buta mengamuk jika kamu tidak mau ikuti dengannya! Satu lagi, dia adalah perempuan cantik yang menggairahkan! Dia lebih cantik dari Peri...!"
Wuuus...! Duaar..! Kata-kata Dirgo tak terlanjutkan karena Peri Malam mengirimkan pukulan jarak jauhnya yang lebih bertenaga dalam tinggi lagi.
Pukulan itu bersinar biru dan melesat jauh ke tempat Dirgo.
Tapi Dirgo cepat menghindar dan menghilang, hingga sinar biru itu mengenai batu yang dipakai pijakan kaki Dirgo Mukti.
Batu itu pun meledak menjadi serpihan-serpihan lembut.
"Jangan dengarkan celoteh si Gila Sontoloyo itu!"
Ucap Peri Malam dengan cemberut kesal.
"Perawan Sesat...?!"
Gumam Suto dengan kerutkan dahi.
"Lupakan tentang perempuan itu!"
"Apa kau kenal dia?"
"Tidak. Tapi aku tadi melihat dia bercumbu di sebelah sana dengan Dirgo. Tadi kudengar Dirgo mengaku sebagai dirimu. Lalu, aku keluar dan membeberkan rahasianya. Dirgo ditinggalkan oleh Perawan Sesat. Aku salah ucap tadi. Untuk meyakinkan perempuan itu, kukatakan bahwa Suto yang asli ada di Perguruan Merpati Wingit. Lalu dia bergegas kesana mencarimu dengan meninggalkan kemarahan kepada Dirgo Mukti! Sudahlah, jangan pikirkan tentang dia!"
Peri Malam merajuk manja.
"Aku tidak memikirkan dia, tapi memikirkan orang-orang Perguruan Merpati Wingit! Mereka bisa jadi korban tak bersalah jika benar perempuan itu mengamuk karena tidak menemukan aku di sana!"
"Itu urusan orang-orang Merpati Wingit! Bukan urusanmu!"
"Aku pernah ditolong oleh mereka. Kau pun diselamatkan dari luka dalammu oleh mereka! Tak bisa kita berdiam diri begini saja!"
"Aku tak setuju kalau kau kembali ke Merpati Wingit!"
"Aku harus kembali ke sana!"
Suto bergegas melangkah, tapi segera Peri Malam melompat dan cepat menghadang langkah Suto.
"Jangan ke sana, Suto!"
"Aku hanya ingin melihat apa yang dilakukan perempuan yang tak kukenal itu!"
"Kau pasti akan kembali kepada Betari Ayu!"
Nada cemburu makin tampak jelas dari raut muka Peri Malam.
"Aku memang harus kembali kepada Nyai Betari Ayu untuk menjelaskan bahwa aku tidak ada hubungan apa-apa dengan perempuan yang bernama Perawan Sesat itu!"
"Tidak! Kamu tidak boleh ke sana! Betari Ayu akan semakin kegirangan jika kau datang. Aku tahu dia mencintaimu, Suto!"
"Itu hak dia! Aku tak bisa melarang!"
"Tapi kau melayaninya! Kau tidur dengannya dan...."
"Cukup! Urusan itu kita bicarakan nanti saja! Sekarang aku mau ke sana dan jangan halangi aku!"
"Tidak boleh!"
Peri Malam rentangkan kedua tangannya.
Suto nekat sentakkan kaki dan melesat pergi menabrak tubuh Peri Malam.
Akibatnya perempuan itu terjengkang ke belakang dan jatuh di atas tanah berpasir.
Ia segera bangkit begitu melihat Suto sudah lenyap dari pandangan matanya.
Ia berseru.
"Sutooo...! Tunggu! Aku ikut...!"
Karena pada saat itu terlintas dalam pikiran Peri Malam, jika ia tidak ikut mengawasi Suto, bisa-bisa hubungan Suto dengan Betari Ayu semakin lengket.
Ini membuat ia kehilangan kesempatan untuk menempatkan cintanya di samping hati Suto.
Ia harus mencegah hubungan itu agar tidak selengket karet.
Kelebatan Suto memang susah diikuti.
Tapi Peri Malam masih bisa menggunakan penciumannya melalui udara.
Bau keringat Suto telah melekat dalam ingatannya.
Bau keringat Pendekar Mabuk yang mengandung tuak itulah yang menjadi penuntun Peri Malam untuk menyusul kepergian Suto.
Suto sendiri tidak peduli apakah dia diikuti Peri Malam atau tidak.
Tetapi yang jelas firasatnya mengatakan ada yang tak beres di Perguruan Merpati Wingit.
Firasat itu semakin kuat setelah di perjalanan Suto menemukan tiga kuda tanpa penunggang.
Bahkan ia menemukan mayat Murbawati dan Widarti terkapar di sekitar kuda itu.
"Gila! Ini pasti perbuatan Perawan Sesat. Mungkin mereka bertemu dan didesak mengenai tempat perguruan mereka namun tidak mengaku, akibatnya mereka dibunuh secara keji! Hmmm...! Siapa perempuan yang mengaku berjuluk Perawan Sesat itu? Tak pernah kudengar namanya!"
Kata Suto sambil matanya memandang ke sana-sini.
Saat itu Peri Malam datang menyusul.
Ia ikut terperanjat kaget melihat dua nyawa amblas dari raga dua orang dari Merpati Wingit yang kala itu dikenal pula olehnya.
Peri Malam memandang Suto dan berkata dengan nada pelan.
"Ada tiga kuda. Tapi mengapa hanya ada dua mayat? Pasti ada satu lagi yang menjadi korban!"
"Ya. Benar. Lihatlah ke arah bawah pohon sana...!"
Peri Malam terkejut melihat mayat Sungko dalam keadaan tanpa selembar benang di tubuhnya.
Mayat Sungko biru legam sekujur tubuhnya, pertanda dihantam dengan pukulan tenaga dalam cukup tinggi.
* * * PERAWAN Sesat sungguh perempuan yang ganas.
Dia ibarat iblis cantik berdarah dingin.
Siapa pun yang menghalangi langkahnya, dibabatnya habis.
Repotnya lagi, dia memang punya ilmu cukup tinggi.
Sukar dijatuhkan lawan.
Ketika ia menemukan Perguruan Merpati Wingit, ia dihadang oleh dua penjaga di pintu gerbang.
Kedua penjaga itu melarang dia masuk.
Tanpa banyak berdebat, kedua penjaga pintu gerbang itu dihantam secara bersamaan hingga keduanya terkapar tak bernyawa.
Brakkk...! Pintu gerbang Itu didobraknya dengan sebuah tendangan berkekuatan tinggi.
Pintu gerbang itu bukan hanya membuka, namun juga terlepas dari engselnya dan sempat terbang sampai tujuh langkah jauhnya dari pintu.
Suara gaduh itu membuat mata para murid Merpati Wingit terperanjat dan terbelalak kaget.
Sosok penampilan yang berambut awut-awutan dengan pedang gading di punggung, mata tajam, wajah angker, jelas melambangkan suatu permusuhan yang harus segera diatasi.
Beberapa murid mengepung Perawan Sesat.
Tak ada gentar sedikit pun di hati Perawan Sesat.
Ia bahkan berseru.
"Mana yang namanya Suto! Aku butuh bertemu dengan Suto!"
Salah seorang dari wakil para murid itu berkata.
"Di sini tidak ada Suto Sinting! Pemuda itu sudah pergi!"
"Dusta!"
Sentak Perawan Sesat.
"Kudengar dia berada di sini dalam perawatan lukanya!"
"Tidak ada! Keluar kau atau kami rajang-rajang tubuhmu!"
Bentak salah satu wakil dari para murid.
"Aku tak akan pergi sebelum membawa Suto!"
"Bedebah kau! Seraaang...!"
Serentak para pengepung menyerang Perawan Sesat.
Mulanya mereka belum menggunakan senjata.
Namun, ketika kedua tangan Perawan Sesat disentakkan ke samping dengan satu kekuatan tinggi, para penyerang itu berjumpalitan.
Ada yang terlempar sejauh tujuh langkah, ada yang tersentak naik ke atas dan jatuh dalam keadaan patah lehernya.
Ada pula yang langsung menyemburkan darah kental dari mulutnya.
Pendek cerita, satu kali gebrakan delapan nyawa melayang.
Melihat delapan korban jatuh akibat gebrakan Perawan Sesat, seorang berpakaian biru dengan rambut pendek sebahu dan dililit kain ikat kepala warna merah maju ke depan.
Ia memberi isyarat agar para murid tidak menyerang.
Orang itu adalah wakil dari Murbawati selama Murbawati pergi.
Mereka tak tahu bahwa Murbawati, dan dua temannya sudah menjadi mayat akibat ulah perempuan berambut jabrik itu.
Perempuan yang tampil lebih kalem itu adalah Suryadani, ilmunya setingkat dengan Murbawati.
"Siapa kamu dan mengapa mengamuk di wilayah kami?"
"Tak perlu kau tahu siapa aku! Yang penting, aku harus pergi membawa Suto Sinting, murid si Gila Tuak itu!"
"Suto sudah tidak ada. Dia sudah pergi. Memang mulanya dia kami rawat di sini, tapi setelah sembuh dia pergi dari sini! Dia memang bukan murid perguruan kami,"
Tutur Suryadani dengan lebih kalem dan sabar.
"Aku perlu membuktikannya!"
Kata Perawan Sesat dengan mata memancarkan kesan angker.
"Dengan cara apa kau mau membuktikannya?""
"Menggeledah tempat ini!"
"O, ini tempat terhormat! Tak bisa seenaknya kau mengacak-acak tempat ini!"
"Kalau begitu aku harus memaksa untuk menggeledah tempat ini!"
Sentak Perawan Sesat.
"Kalau kau memaksa begitu, maka aku pun memaksa bertindak keras!"
Suryadani tak mau kalah gertak.
"Bagus!"
Perawan Sesat melangkah ke samping dengan mata melirik liar. Ia berkata dengan suara semakin bermusuhan.
"Menyingkirlah, aku akan menggeledah tempat ini. Atau berikan Suto supaya aku cepat pergi dari sini!"
"Tak ada Suto. Tak mau menyingkir!"
"Berarti kau memang cari mampus! Hiaaat...!"
Perawan Sesat hanya membentak dengan kaki menghentak kuat ke tanah, tangan terangkat ke atas.
Belum lagi ia maju menyerang, Suryadani sudah tumbang karena gelombang bentakannya yang mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup besar itu.
Suryadani segera bangkit berdiri dan membatin.
"Suaranya tak seberapa keras, tapi gelombang kekuatan tenaga dalamnya begitu hebat! Oh, telingaku berdarah...?!"
Suryadani memegangi cairan yang mengalir ke pipi kiri. Ternyata memang darah yang keluar dari telinganya. Kemudian dia memegang bagian depan hidung. Darah juga mengalir walau tak banyak.
"Aku harus hati-hati dengannya,"
Pikir Suryadani.
"Majulah kalau kau memang ingin mengusirku!"
Sentak Perawan Sesat.
Maka, Suryadani pun melompat maju tiga langkah.
Ia segera mencabut keris yang terselip di pinggang kiri.
Srettt...! Baru saja keris dicabut, Perawan Sesat menghantamkan pukulannya dari jarak jauh melalui sentakan tangan kirinya.
Wuusss...! Krak...! Keris itu patah tiga tempat.
Suryadani terperangah kaget.
Keris itu keris pusaka yang sekali sabet bisa bikin lawan terbeset perutnya.
Tapi mengapa sekarang semudah itu dipatahkan oleh lawannya tanpa disentuh sedikit pun.
Keris yang tinggal sisa gagangnya yang digenggam itu segera dibuang.
Suryadani sentakkan ujung kakinya dan melesat naik ke udara.
Bertepatan dengan itu, Perawan Sesat pun sentakkan kakinya tanpa suara, dan melesat naik tanpa maju.
Ia hanya menunggu serangan di atas.
Suryadani lancarkan pukulan gandanya.
Wuuttt, wuuttt...! Plak, plak...! Pukulan ganda bisa ditangkis oleh telapak tangan Perawan Sesat.
Sebelum mereka bergerak turun, tangan Perawan Sesat menghantam kuat di dada Suryadani.
Bagh...! "Aahg...!"
Terpekik Suryadani dengan suara tertahan.
Ia jatuh ke tanah, rubuh tak berkutik selain hanya mengucurkan darah kental dari mulutnya.
Pukulan di dada itu membekas hangus bagai habis terbakar api yang maha panas.
Perawan Sesat segera sentakkan kaki menendang tubuh Suryadani yang sudah parah itu.
Tubuh tersebut terjerembab dan telentang, kemudian meregang nyawa.
Mati.
Melihat Suryadani tak bernyawa lagi, para murid sempat terbelalak kaget.
Salah seorang memberi aba-aba.
"Kepuuung...!"
Lebih dari lima belas murid mengepung Perawan Sesat berkeliling. Namun, sebelum mereka melakukan penyerangan serempak, terdengar suara bijak berseru dari depan bangunan joglo itu.
"Minggir semua...!"
Perintah pelan itu ditaati oleh para murid Merpati Wingit.
Mereka menyingkir ke samping, dan Perawan Sesat menatap seraut wajah ayu berjubah kuning dengan ikat kepala dari kain merah berbintik-bintik kuning emas.
Tali itu agak panjang, di kedua ujungnya mempunyai logam seperti mata tombak ukuran kecil.
Perempuan ayu itu tak lain adalah Nyai Betari Ayu, guru dan ketua di situ.
"Selamat datang di perguruan kami!"
Sapa Nyai Betari Ayu dengan lebih tenang lagi ketimbang Suryadani tadi. Ia langkahkan kaki maju dua tindak. Matanya teduh memandang mata liar Perawan Sesat.
"Tak perlu basa-basi padaku! Yang kubutuhkan adalah Suto!"
"Kalau tak salah penglihatanku,"
Kata Betari Ayu.
"Kau adalah murid Nyai Lembah Asmara yang berjuluk Perawan Sesat."
Terkesiap mata Perawan Sesat. Sedikit menyipit dia memandang Betari Ayu. Tangan yang sudah diangkat ke atas itu diturunkan dan sedikit mengendur. Namun sikapnya masih jelas bermusuhan.
"Kau kenal dengan guruku?"
"Jelas kenal! Apa gurumu tak pernah bercerita tentang Nyai Betari Ayu...?"
"Ya. Pernah. Beliau pernah punya teman bernama Nyai Betari Ayu!"
"Itulah aku!"
"Oh...?!"
Semakin mengendur kekerasan urat tangan Perawan Sesat.
Semakin surut kebengisan di wajahnya.
Tapi kewaspadaannya masih tetap tinggi.
Terbukti ketika salah seorang murid membokongnya dengan melemparkan pisau terbang ke arah punggung, Perawan Sesat segera sentakkan jempol kakinya dan ia melesat ke atas lalu putarkan tendangan dengan cepat.
Tendangan itu membuat pisau terbang melesat balik dengan cepat sekali, dan menancap di leher pemiliknya.
"Aaahg...!"
Terdengar suara pekik tertahan dari si pembokong.
Untuk beberapa saat suasana hening kembali setelah suara rubuhnya si pembokong.
Perawan Sesat kembali berdiri sigap berhadapan dengan Nyai Betari Ayu.
Kala itu Betari Ayu hanya sipitkan mata melihat anak muridnya rubuh tertancap pisau.
Betari Ayu hanya tarik napasnya dan menghembuskan pelan-pelan.
"Perawan Sesat, pulanglah dan sampaikan salamku kepada gurumu, Nyai Lembah Asmara!"
"Guruku akan menerima salammu kalau aku pulang bersama Suto Sinting, pemuda tanpa pusar itu!"
"Suto tidak ada di sini, Perawan Sesat!"
"Aku belum percaya jika belum menggeledahnya!"
"Gurumu pasti percaya!"
Seraya Betari Ayu sunggingkan senyum.
"Guru boleh percaya, tapi aku tidak semudah itu mempercayaimu!"
"Aku keberatan jika kau menggeledah tempat ini!"
"Kalau begitu aku harus memaksanya!"
"Aku akan bertahan!"
"Kau akan kehilangan nyawamu, Betari Ayu!"
"Apa boleh buat demi pertahankan martabat perguruan!"
Perempuan berpedang gading itu mendengus kesal. Ia membatin.
"Hmm... kalem-kalem tapi nyalinya besar juga orang ini! Kalau kuserang dia, apakah Guru akan menyalahkan aku? Ah, kurasa tidak! Karena tugasku adalah merebut Suto dari tangan siapa pun!"
Betari Ayu sendiri sedang mencari jalan agar tidak terjadi pertumpahan darah lagi. Tetapi, agaknya Perawan Sesat ini orang yang sulit diajak damai. Mungkin karena didikan dari gurunya yang pantang melepaskan lawan jika sudah beradu pandang.
"Perawan Sesat, apakah artinya kau mengobrak-abrik tempatku ini jika kau tidak menemukan Suto? Kau hanya memperburuk keadaan hubunganku dengan gurumu! Padahal aku sudah bertahan sabar untuk tidak merampas tanah Bukit Garinda yang sebenarnya kusewakan kepada gurumu, tapi sekarang agaknya mau dimiliki oleh kalian! Jadi menurutku, sudahlah... jangan kita bersitegang untuk masalah yang tidak penting!"
"Kehadiran Suto di depan Nyai Guru Lembah Asmara adalah hal yang sangat penting!"
Jawab Perawan Sesat.
"Apakah gurumu dalam keadaan sakit?"
"Tidak. Tapi Guru membutuhkan keturunan. Dia butuh pembibit yang hanya bisa dilakukan oleh lelaki tanpa pusar!"
"Aneh!"
Betari Ayu kerutkan dahi.
"Memang aneh. Tapi itu bukan urusanmu. Itu urusan pribadi Guru. Jadi jangan coba-coba kamu halangi urusan pribadi guruku!"
"Aku tidak menghalangi. Kalau di sini ada Suto, silakan bawa sendiri pemuda Itu. Tapi kurasa Suto akan menolak, sebab dia sudah punya kekasih sendiri. Dyah Sariningrum namanya...!"
Perawan Sesat diam termenung sebentar. Lalu, matanya kembali terkesiap memandang Betari Ayu. Ia berkata bagaikan menggumam.
"Jangan kau dustai diriku, Betari Ayu!"
"Tidak ada dusta dalam mulutku, Perawan Sesat! Suto Sinting sangat mencintai perempuan itu sehingga tak pernah mau bercinta dengan perempuan lain!"
"Omong kosong! Tak ada lelaki yang tak terpikat oleh kecantikan Nyai Guru Lembah Asmara. Suto pasti akan bergairah kepada beliau dan mau menjadi pembibit keturunan Nyai Guru Lembah Asmara!"
"Terserah. Itu urusanmu dengan Suto. Tapi urusanku dengan kamu kurasa sudah selesai. Suto tidak ada di sini!"
"Aku curiga kau menyimpan di dalam kamar pribadimu!"
"Itu tidak benar!"
"Kalau begitu aku harus masuk ke sana dan membuktikan!"
"Kau harus melewati aku dulu, Perawan Sesat!"
"O, kau menantangku?!"
"Karena kau menghendaki pertarungan denganku!"
"Baik! Jangan menyesal kalau nyawamu kucabut dalam tiga helaan napas, Betari Ayu!"
"Yang kusesali kalau nyawaku tak bisa kau cabut!"
"Bersiaplah untuk mati sekarang juga!"
"Aku sudah bersiap sejak tadi!"
Perawan Sesat merasa semakin ditantang.
Maka dengan cepat ia sentakkan tangannya ke depan kedua-duanya.
Wuuttt...! Sebuah gelombang pukulan tenaga dalam yang amat besar menghantam tubuh Nyai Betari Ayu.
Tapi dengan gerakan seperti menari, Betari Ayu hadangkan tangan kanannya ke depan dada.
Gelombang pukulan yang besar tak berbentuk itu tertahan di depan dada.
Betari Ayu tetap berdiri dengan kedua kaki merapat dan tangan kanan menahan di depan dada.
Wajahnya tak ada kekerasan sedikit pun.
Bahkan berkesan senyum tipis yang membikin Perawan Sesat menjadi tambah penasaran.
Kedua tangan perawan gila itu mendorong ke depan agar gelombang pukulan tenaga dalamnya tidak membalik arah.
Ia bagaikan mendorong sebongkah batu sebesar gajah.
Sekujur tubuhnya menjadi keras.
Berkeringat di sekitar kening dan lehernya.
Tangannya gemetar jelas karena dorongan yang memerlukan pengerahan tenaga itu.
Sementara yang menahan hanya tenang-tenang saja.
Tangan kirinya berada di belakang, tangan kanannya tetap tegak dengan jari menghadang ke atas.
Dalam satu kesempatan, Nyai Betari Ayu melihat letak kaki Perawan Sesat dalam keadaan lemah satu sisi.
Maka, tangan kanannya itu disentakkan ke depan seperti gerakan orang menari.
Dan, tubuh perempuan jabrik itu tersentak ke belakang, terpental lima langkah jauhnya.
Di sana ia rubuh dan terguling-guling bagai dihempas badai besar.
Murid-murid yang memperhatikan adu tenaga dalam itu menjadi tertegun bengong melihat kehebatan gurunya.
Tetapi murid yang ada di belakang gurunya menjadi cemas karena tangan kiri Betari Ayu menjadi berdarah.
Tangan kiri itu semenjak tadi menggenggam menahan kekuatan dorongan tenaga dalam lawan, sampai kuku-kukunya masuk ke dalam kulit telapak tangan.
Maka basahlah tangan kiri itu oleh darah merah segar.
Perawan Sesat merasa mendapat lawan yang cukup tangguh.
Ia segera bangkit dan mencoba menghantamkan pukulan jurus lain yang lebih berbahaya dari yang pertama tadi.
Tetapi dengan badan sedikit merendah dan tangan melambai bagai menebarkan bunga, pukulan Perawan Sesat dapat dihantam balik.
Untuk kedua kali Perawan Sesat terpental ke belakang dan jatuh berguling-guling.
Ia pun segera menggeram kasar.
"Bangsat! Tak boleh dibuat main-main orang itu!"
Perawan Sesat terpaksa mencabut pedang gadingnya itu.
Srettt...! Tiba-tiba angin badai datang bertiup di sekeliling wilayah perguruan itu.
Pedang tersebut ternyata bukan terbuat dari logam, melainkan terbuat dari gading tanpa ukuran.
Bentuknya pipih dengan bagian kedua sisinya tipis bak pedang logam yang tajam.
Beberapa murid perguruan berkerut dahi dan menyangsikan ketajaman pedang gadis itu.
Sebagian dari mereka sempat mencibir dan merasa aneh melihat pedang gading.
Tetapi ketika pedang itu ditebaskan ke depan, badai besar datang dengan cepatnya.
Bukan hanya tubuh manusia yang terpental, namun atap bangunan joglo itu pun somplak ke atas dan berantakan sebagian.
Salah satu tiang penyangga atap patah.
Tubuh Nyai Betari Ayu juga terpental hingga membentur dinding bangunan lainnya.
"Maju kau, Betari Ayu...!"
Teriak Perawan Sesat dengan kedua tangan menggenggam gagang pedang yang siap diayunkan lagi.
Ia berdiri di tengah arena, memandang orang-orang yang mengucurkan darah lewat lubang telinga, hidung, dan mulut.
Pada umumnya mereka mengerang kesakitan dan tak mampu berdiri lagi.
Darah juga keluar dari lubang hidung, mulut, dan telinga Nyai Betari Ayu.
Tapi ia masih mampu berdiri dan melepaskan ikat kepalanya yang terbuat dari tali sutera itu.
Ia memutar-mutar tali kepala yang mempunyai logam runcing di ujungnya itu.
Wuung...! Wuung...! Bunyinya mendengung bagai jutaan lebah bergaung.
Tali sutera itu segera dilepaskan dan meluncur ke arah Perawan Sesat.
Ujung logamnya memercik-mercikkan api melayang dengan berputar-putar.
Namun semua itu segera ditebas oleh pedang gading Perawan Sesat.
Wuuussh...! Tali itu terpental membalik dalam putaran cepat.
Badai datang dari angin tebasan pedang gading.
Tubuh-tubuh yang sedang berusaha bangkit kembali terpental dan mengeluarkan darah pada tiap lubangnya.
Nyai Betari Ayu sempat bertahan berdiri sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
Pada saat itu tali ikat kepalanya itu meluncur ke arahnya.
Dengan sigap tangan diajukan ke depan dan segera menyambar tali yang melesat cepat itu.
"Pusaka Jerat Petir ini tidak mampu mengalahkan pedang gading tersebut! Luar biasa kekuatan pedang gading itu!"
Pikir Nyai Betari Ayu. Ia tetap bertahan berdiri. Tapi kelemahan kakinya tak tertahankan hingga ia pun jatuh. Banyak darah yang keluar dari mulutnya.
"Keluarkan Suto atau kuporak-porandakan tempat ini!"
Teriak Perawan Sesat.
Ia siap kibaskan pedang gadingnya lagi.
Tetapi pada saat itu, sekelebat bayangan melintas di atas kepala Perawan Sesat.
Hampir saja Perawan Sesat menusukkan pedangnya ketika ia segera terperanjat melihat sosok pria berpakaian coklat, menenteng tabung tuak di tangan kiri.
Orang itu menatap Perawan Sesat dengan pandangan lembut dan senyum indah.
"Kau mencariku, Perawan Sesat?"
Tak bisa cepat Perawan Sesat menjawab, karena matanya segera terpaku pandang ke arah wajah tampan itu.
Hatinya bergetar lemas bagai terhisap daya pikat Suto yang sungguh membuat tangannya gemetar.
Namun, rupanya Perawan Sesat mencoba menentang batinnya sendiri.
Ia masih berusaha untuk bersikap keras dan ganas.
"Kaukah yang bernama Suto Sinting?!"
"Tak salah dugaanmu, Perawan Sesat."
"Kau harus ikut aku menghadap guruku sekarang juga!"
"Aku tidak bisa sebelum kau sembuhkan orang-orang ini dan sebelum kau bangkitkan mereka yang mati!"
"Kalau begitu aku perlu menyeretmu, Suto!"
"Jika itu yang terbaik bagimu, lakukanlah!"
Suto angkat bahu seakan pasrah.
"Kau tidak takut dengan pedangku ini, Suto?!"
"Pedang apa?! Kau tidak memegang pedang!"
Perawan Sesat mendongak ke atas memandang pedangnya.
Ia terperanjat setengah mati melihat pedang itu hilang lenyap tanpa bekas.
Yang tinggal hanya bagian gagangnya yang masih dengan kuatnya digenggam memakai kedua tangan.
Seketika itu wajah Perawan Sesat pucat pasi merasa kehilangan pedang.
Ia tak menyadari saat Suto melompati atas kepalanya, Suto sempat semburkan tuak dari mulutnya.
Memang hanya sedikit, tapi punya kekuatan ilmu yang mampu menghilangkan benda yang tersentuh percikan tuak itu.
Benda tersebut adalah pedang gading yang kini hilang tak berbekas.
Pada saat mata Perawan Sesat memandang terkesiap melihat pedangnya hilang, Suto menyentakkan bumbung tuaknya ke depan.
Bumbung itu melayang cepat dan tubuh Suto terbawa melesat.
Bumbung itu menyodok dada Perawan Sesat dengan kerasnya.
Buueeggh...! 'Heegh....'"
Perawan Sesat memekik tertahan, tubuhnya terpental jauh ke belakang hingga mencapai tempat pintu gerbang jatuh.
Di sana tubuh itu rubuh tertindih tubuh Suto yang tidak bisa mengendalikan tenaga dalam dari dalam bumbung tuaknya.
Bruukkk...! "Heeegh...!"
Perawan Sesat makin memekik tertahan karena tertindih tubuh Suto.
Dan pada saat itu meleleh darah dari mulut Perawan Sesat yang memejamkan mata menahan sakit.
Suto bergegas bangkit.
Perawan Sesat mengerang menahan rasa sakit di dadanya.
Suto memperdengarkan suara.
"Pulanglah dan jangan coba-coba temui aku lagi di tempat ini!"
"Aku... harus pulang bersamamu, Suto!"
"Tidak bisa!"
"Kau harus bertemu dengan guruku!"
"Siapa gurumu itu?"
Perawan Sesat diam sebentar, lalu menjawab lirih.
"Dyah Sariningrum...."
"Hah...?!"
Suto terpekik tertahan karena kaget. Jantungnya pun berdetak-detak, kakinya gemetar mendengar nama itu disebutkan.
"Beliau menunggumu sekian lama. Ingin sekali bertemu denganmu!"
"Baik! Aku akan ke sana! Aku harus berikan beberapa tuak dulu kepada Betari Ayu untuk mengobati mereka yang terluka. Lalu, bawalah aku ke tempat gurumu!"
Segera Suto melompat cepat dan menemui Betari Ayu. Ia meninggalkan beberapa tuak dalam sebuah cawan dan menyuruh Nyai Betari Ayu meminumkan tuak itu kepada mereka yang terluka. Betari Ayu bertanya.
"Kau sendiri mau ke mana, Suto...?"
"Urusan pribadi, Nyai!"
Jawab Suto menyembunyikan tujuannya.
Segera ia menemui Perawan Sesat dan mengajaknya pergi.
Tapi karena Perawan Sesat dalam keadaan luka parah di bagian dalam, maka Suto terpaksa menggendong tubuh itu dan melesat bagaikan anak panah menuju sasarannya.
"Sutooo...!"
Teriak Peri Malam yang baru tiba di perguruan itu. Ia pun bergegas mengejar Suto walau harus tertinggal beberapa jauh. SELESAI Segera terbit!!! Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode. MURKA SANG NYAI
Gembong Kartasura Karya Sri Hadijojo Pohon Kramat Karya Khu Lung Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen