Ceritasilat Novel Online

Pertarungan Di Bukit Jagal 1


Pendekar Mabuk Pertarungan Di Bukit Jagal Bagian 1


Serial .

   Pendekar Mabuk Judul .

   Pertarungan Di Bukit Jagal Pengarang .

   ? Penerbit .

   ? E-book by .

   paulustjing Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah lindungan undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit ANGIN laut berhembus guncangkan dahan dan dedaunan.

   Suara deru yang timbul dari hembusan angin itu menandakan di tengah samudera telah terjadi badai lautan yang melemparkan gulungan-gulungan ombak.

   Ketika sampai di tepi pantai, gulungan ombak itu sudah menjadi anak ombak.

   Tak begitu besar, namun cukup kuat berdebur menghantam bebatuan ataupun tebing karang.

   Hembusan angin laut yang masih terasa kencang itu menerpa dua wajah perempuan disela-sela hutan tepi pantai.

   Dua wajah itu sudah semalaman berada di hutan tepi pantai menunggu mangsanya tiba.

   Dua wajah perempuan yang masing-masing mempunyai nilai kecantikan sendiri-sendiri itu tak lain adalah wajah Selendang Kubur dan wajah Peri Malam.

   Melihat dari bibir-bibir mereka yang tanpa seulas senyum, terlihat sikap bermusuhan mereka yang terpendam untuk sementara waktu.

   Peri Malam sebentar-sebentar memandang ke arah lorong kecil yang menyerupai gua, yang ada di atas tebing karang tepi pantai.

   Lorong kecil itu hanya bisa dimasuki oleh satu tubuh manusia dalam keadaan merangkak.

   Tapi sejak tadi, bahkan sejak kemarin Peri Malam tidak melihat sosok tubuh keluar dari lorong tersebut.

   Selendang Kubur sering hembuskan napas bersama desah kekesalan hatinya.

   Sudah cukup lama dipandangi lorong kecil itu, lalu ia palingkan wajah kepada Peri Malam dan berkata dengan nada ketus.

   "Mana orang itu?! Sampai sekarang belum juga muncul dari sana!"

   "Jangan-jangan dia mati dibunuh Pendekar Mabuk di dalam lorong!"

   Ucap Peri Malam dengan wajah bersungut-sungut.

   "Atau mungkin angan-anganku yang mati dibunuh bualanmu!"

   Selendang Kubur berkata begitu karena kecemasan di dalam hatinya semakin kuat, yaitu kecemasan dipermainkan oleh Peri Malam.

   "Kalau aku mau membual, tak perlu membual untukmu! Tak pernah ada untungnya menebar bualan untukmu, Selendang Kubur!"

   Debur ombak kembali terdengar bergemuruh panjang, lalu lenyap bagai ditelan sepi.

   Selendang Kubur kembali merenungi peristiwa yang membawanya terpatok di hutan tepi pantai itu.

   Semua itu terjadi gara-gara perasaan cintanya terhadap murid sinting Si Gila Tuak, yaitu Suto Sinting, Pendekar Mabuk.

   Kalau bukan karena cinta yang begitu dalam.

   Selendang Kubur tak sudi menghadang kemunculan Nyai Lembah Asmara di hutan tepi pantai itu.

   Seperti dikisahkan dalam cerita "Murka Sang Nyai"

   Sebelum kisah ini, bahwa Pendekar Mabuk terpedaya oleh tipuan Perawan Sesat yang membuat Suto merasa gembira karena ingin dipertemukan dengan kekasih idamannya yang bernama Dyah Sariningrum.

   Suto sudah telanjur beranggapan bahwa Nyai Lembah Asmara yang berkuasa di lereng Bukit Garinda itu adalah perempuan yang bernama Dyah Sariningrum, yang wajahnya ditemukan Pendekar Mabuk di alam semadi, maupun di alam mimpi.

   Tetapi, ternyata Pendekar Mabuk kecewa.

   Nyai Lembah Asmara adalah perempuan yang tidak mirip sama sekali dengan Dyah Sariningrum.

   Suto terjebak dalam Racun Darah Asmara yang dimiliki oleh sang Nyai itu.

   Pendekar Mabuk hanya ingin dijadikan pembenih bagi keturunan sang Nyai.

   Dan hal itu membuat murka para perempuan yang mencintai Suto.

   Maka, melabraklah Peri Malam, Selendang Kubur yang dibantu oleh Pujangga Keramat dan Betari Ayu, guru dari Selendang Kubur.

   Bukit Garinda diobrak-abrik oleh keempat orang itu.

   Sayang, Pujangga Keramat tewas di tangan Maharani dan Putri Alam Baka, murid Nyai Lembah Asmara sendiri.

   Betari Ayu berhasil mendobrak pintu kamar peraduan yang menjadi tempat kencan Nyai Lembah Asmara dan Pendekar Mabuk.

   Tetapi di dalam kamar itu, Betari Ayu tidak menemukan Pendekar Mabuk maupun Nyai Lembah Asmara.

   Rupanya Nyai Lembah Asmara sudah lebih dulu melarikan Suto dengan menunda kencan birahinya yang telah menggebu-gebu itu.

   Ke mana larinya, hanya Peri Malam yang bisa menduga, karena Peri Malam pernah menjadi murid sekaligus pelayan kamar peraduan Nyai Lembah Asmara.

   Menurut dugaan Peri Malam, kamar itu mempunyai pintu rahasia yang tembus ke tepi pantai.

   Atau dugaan lain, Nyai Lembah Asmara membawa lari Suto ke puncak bukit.

   Karenanya, tugas pun dibagi.

   Peri Malam dan Selendang Kubur menghadang pelarian Nyai Lembah Asmara ke pantai, dan Betari Ayu mencoba pengejarannya ke puncak bukit.

   Sayangnya Betari Ayu tidak segera menghubungi Peri Malam dan Selendang Kubur untuk memberitahukan, bahwa ia sudah berhasil menemukan Suto yang selamat dari ancaman Nyai Lembah Asmara.

   Peri Malam dan Selendang Kubur tidak tahu hal itu, sehingga mereka berdua masih tetap menunggu di dekat lorong tembus yang diduga akan menjadi ujung pelarian Nyai Lembah Asmara dan Suto.

   Padahal saat itu Nyai Lembah Asmara sudah dibawa lari oleh Si Mawar Hitam, nenek keriput peot yang dulu menjadi guru dari Peri Malam.

   Tentu saja penantian mereka adalah penantian yang sia-sia.

   Selendang Kubur berulang kali melontarkan gerutu kejengkelannya, tapi Peri Malam tak pernah mau peduli.

   Bahkan Peri Malam berkata.

   "Kalau kau bosan menunggu, pergilah sana! Biar kuhadapi sendiri Nyai. Kau pikir aku tak mampu merebut Suto dari tangan Nyai?!"

   "Dan kau pikir aku tak mampu merebut Suto dari tanganmu?!"

   Peri Malam lemparkan pandang ke wajah Selendang Kubur dengan tajam.

   Ia masih duduk dengan kaki kiri melonjor dan punggung bersandar pada batang pohon tumbang.

   Tatapan mata itu makin ditentang oleh mata Selendang Kubur.

   Ia tetap berdiri dengan satu kaki menumpang di atas batang kayu tumbang, sedangkan kaki satunya lurus berpijak tanah, badannya sedikit membungkuk karena lengannya digunakan bertumpu pada paha kaki.

   Setelah mereka saling pandang bermusuhan dan sama-sama bungkamkan mulut, Peri Malam palingkan wajah ke arah lain sambil ucapkan kata.

   "Kelak, suatu saat, aku yakin satu di antara kita ada yang terbunuh. Kau membunuhku atau aku membunuhmu. Sebab tanpa ada satu yang kalah, tak mungkin Pendekar Mabuk mengawini keduanya."

   "Dan yang kalah itu adalah kamu!"

   Kata Selendang Kubur berlagak acuh tak acuh, memandang dedaunan pohon di atas. Terdengar suara tawa Peri Malam yang lirih, disusul oleh ucapan.

   "Jangan merasa yakin dulu bahwa kau bisa membunuhku. Kau belum menyadari betapa kecilnya ilmu yang kau miliki itu sebenarnya, betapa ceteknya kekuatanmu itu untuk melawanku. Sebenarnya kau memang bukan tandinganku."

   Panas hati Selendang Kubur menyengat ubun-ubun.

   Kedua tangannya telah menggenggam kuat, menahan luapan kemarahan yang ingin dihajarkan ke wajah Peri Malam.

   Tapi agaknya Peri Malam pun sudah siaga menghadapi serangan sewaktu-waktu.

   Posisi kakinya yang dilipat dengan lutut tegak ke atas itu dapat menyambar pukulan sewaktu-waktu.

   Mata Peri Malam pun tampak tajam melirik penuh waspada.

   "Sekali lagi kau memancing kemarahanku, kujadikan tempat ini sebagai pertarungan kita yang terakhir!"

   Ancam Selendang Kubur seraya menurunkan kakinya yang bertengger di batang pohon tumbang. Peri Malam hanya sunggingkan senyum tipis bernada sinis. Ia pun segera bangkit dan melangkah dua tindak membelakangi Selendang Kubur sambil berkata.

   "Kalau memang rasanya itu yang terbaik, mengapa harus tunda pertarungan? Tak keberatan diriku menjadikan tempat ini sebagai pertarungan kita yang terakhir!"

   Sreet...! Selendang Kubur segera mencabut selendangnya dari pinggang. Peri Malam cepat balikkan badan dan angkat kedua tangannya ke atas, siap lancarkan pukulan jarak jauhnya.

   "Cobalah serang aku kalau kau ingin kehilangan nyawa secepatnya!"

   Gertak Selendang Kubur.

   "Kau sendiri tak berani menyerangku, karena aku tahu kau takut kehilangan nyawamu!"

   "Keparat kau! Hiaah...!"

   Wuuut...! Kain selendang dikibaskan ke depan.

   Gerakannya begitu cepat bagaikan seekor ular yang gesit mematuk mangsanya.

   Tapi pada saat itu, Peri Malam tak kalah gesit.

   Ia keraskan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka, ia sentakkan ke depan dan melesatlah suatu kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi.

   Weeegh...! Selendang Kubur sentakkan ujung kakinya hingga tubuhnya melesat naik lurus ke atas dan hinggap di salah satu dahan pohon.

   Peri Malam juga sentakkan kakinya dan tubuhnya melayang cepat lurus ke atas, lalu hinggap di salah satu dahan dalam pohon itu juga.

   Keduanya sama-sama menghindari pukulan, sehingga kedua pukulan bertenaga dalam itu tidak mengenai sasaran, kecuali mengenai benda-benda lain di sekitar mereka.

   Peri Malam melihat pukulannya nyasar ke sebongkah batu dan batu itu menjadi terbelah tiga bagian.

   Selendang Kubur melihat tenaga dalam yang keluar dari ujung selendangnya mengenai bongkahan akar pohon kering, dan akar pohon itu menjadi hangus seketika.

   Kini keduanya sama-sama di atas pohon beda dahan.

   Keduanya sama-sama siap lancarkan serangan lagi.

   Tapi sebelumnya Peri Malam berkata dengan sungging senyum sinisnya.

   "Kulunakkan pukulanku, karena aku masih memberimu kesempatan untuk berpikir dalam menghadapiku. Sekali lagi kuingatkan, aku bukan lawan tandingmu, Selendang Kubur!"

   "Kupikir memang benar, aku bukan lawan tandingmu. Karena kau merasa tak akan bisa mengungguli ilmuku, sehingga kau hanya bisa berkoar-koar seperti itu sejak dulu!"

   Hinaan balik itu membuat hati Peri Malam makin menggeram. Tapi hatinya berkata.

   "Memang kuakui dia punya ilmu lumayan tinggi. Kalau pertarungan ini kulakukan sekarang juga, aku atau dia yang kalah, dan hal itu akan menguntungkan Ratu. Untuk merebut Suto dan mengalahkan Ratu, aku masih membutuhkan bantuannya. Tak cukup imbang ilmuku jika sendirian dalam melawan Ratu! Sebaiknya, kutunda dulu dendamku kepadanya."

   Melihat tangan kekar Peri Malam mengendurkan urat-uratnya, Selendang Kubur pun sedikit demi sedikit mengurangi ketegangannya. Saat itu terucap di dalam hati Selendang Kubur.

   "Kalau kulayani dia sekarang, bisa habis tenagaku melawan Nyai Lembah Asmara nanti. Sebaiknya kuhemat dulu tenagaku untuk menghimpun kekuatan. Tanpa kekuatan yang penuh seperti saat ini, sepertinya mustahil aku bisa mengalahkan Nyai dan merebut Pendekar Mabuk dari tangannya!"

   Kedua perempuan itu kembali memandang ke arah lorong di atas tebing karang.

   Lorong itu masih sepi, tanpa seekor tikus pun keluar masuk di dalamnya.

   Bungkamnya kedua mulut mereka yang menciptakan keheningan cukup panjang itu telah membuat Selendang Kubur mempunyai gagasan lain.

   "Bagaimana kalau kita periksa saja ke dalam lorong itu?! Siapa tahu justru Nyai Lembah Asmara sedang "menggarap' Suto di dalam lorong!"

   "Atau mungkin mereka memang tidak lewat pintu rahasia di dalam kamar itu? Jika Nyai Lembah Asmara tidak membawa lari Suto melalui pintu rahasia, biar sampai mampus tak akan kita temukan mereka di sini!"

   "Kalau begitu, biarlah kuperiksa sendiri lorong itu sampai ke bagian dalamnya!"

   Kata Selendang Kubur bersiap untuk pergi. Tapi Peri Malam segera palingkan wajah dan pandangannya lebih tajam.

   "Pergilah ke sana kalau kau ingin cepat mati dihujam jebakan maut yang dipasang di dalam lorong itu!"

   "Jebakan...?!"

   Gumam perempuan berpakaian merah dadu itu.

   "Nyai memasang banyak jebakan di sana, sehingga tidak sembarangan orang bisa masuk ke lorong itu! Siapa yang terkena jebakan di sana tak akan hanya sekadar menderita luka saja, tapi pasti mati tanpa nyawa sedikit pun!"

   Selendang Kubur menggerutu pelan.

   "Yang namanya mati ya tanpa nyawa!"

   Kemudian, ia menatap lorong tersebut sambil memutar otaknya, mencari jalan menuju kepastian; tetap menunggu di situ, atau pergi dengan kesimpulan lain? Kejap berikutnya Selendang Kubur melompat ke dahan yang dipijak Peri Malam.

   Sambil melompat ia berkata.

   "Bagaimana kalau kita cari di tempat lain? Barangkali bukan lorong itu yang menjadi tempat keluar mereka?!"

   Peri Malam hampir kaget sedikit dan hampir kibaskan tangannya ketika Selendang Kubur tahu-tahu ada di sampingnya.

   Setelah melihat tak ada gelagat untuk menyerang pada diri Selendang Kubur, Peri Malam pun turunkan tangannya dan menjawab pertanyaan tadi.

   "Kurasa tak ada jalan keluar lainnya! Cuma lorong itulah satu-satunya jalan keluar!"

   "Atau, barangkali saja mereka tidak melalui pintu rahasia? Mungkin saja mereka pergi ke puncak bukit? Dan di sana mereka pasti akan bertemu dengan Nyai Guru Betari Ayu!"

   "Ya. Memang itu satu kemungkinan! Tapi aku tak yakin apakah gurumu punya ilmu yang cukup untuk menandingi Nyai Lembah Asmara?!"

   Selendang Kubur tersinggung gurunya diremehkan.

   Cepat berkelebat tangannya menghantam rusuk Peri Malam dengan menggunakan punggung telapak tangan.

   Tapi, cepat pula tangan Peri Malam menangkisnya dengan cara mengadu telapak tangannya dengan pukulan lawan, Plakk...! "Sekali lagi kau meremehkan guruku, kurobek jantungmu!"

   Geram Selendang Kubur dengan mata mendelik garang.

   "Kau tak akan bisa, Selendang Kubur!"

   Ucap Peri Malam dengan senyum sinis. Tapi dalam hatinya ia membatin.

   "Boleh juga pukulan tangannya. Tulang lenganku jadi ngilu dan telapak tanganku kesemutan akibat menahan pukulan tangannya."

   Selendang Kubur kendurkan urat, lepaskan ketegangan. Tapi wajahnya masih terlihat kaku dan penuh kedongkolan. Diam-diam rupanya Selendang Kubur juga membantin kata.

   "Sial! Gerakan tangkisnya begitu cepat! Tak bisa aku mencuri kesempatan untuk meremukkan tulang rusuknya. Tenaga dalamnya begitu cepat mengalir ke telapak tangannya, membuat kulit tanganku terasa panas sekali mendapat tangkisan telapak tangannya!"

   Selendang Kubur mengambil posisi duduk di antara tiga dahan yang berjajar mirip balai-balai kecil.

   Punggungnya dipakai bersandar pada dahan besar lainnya.

   Sementara itu, Peri Malam pun merasa perlu sedikit santai, ia duduk dengan satu kaki berjuntai dan satunya lagi menapak di salah satu dahan.

   Punggungnya yang bersandar di bagian batang utama pohon itu.

   Ia memetik segerumbul buah yang mirip duku itu dan memakannya dengan menyipit-nyipitkan mata karena kecut.

   "Peri Malam,"

   Sapa Selendang Kubur setelah merasakan jenuhnya dilanda sepi dalam keadaan berduaan seperti itu.

   "Hmmm...!"

   Peri Malam menggumam tak berpaling memandang.

   "Apakah kau benar-benar mencintai Pendekar Mabuk?!"

   "Apa perlunya kau bertanya begitu?"

   Peri Malam ganti bertanya.

   "Jawab saja pertanyaanku, daripada aku harus memaksamu dengan ancaman mencekik lehermu!"

   Peri Malam lepaskan tawa kecil.

   "Hi hi hi.... Kalau aku tidak benar-benar mencintai Suto, untuk apa aku bersusah payah begini, sampai kubela-bela menjadi murid murtad dan hidup tanpa naungan! Perasaanku terhadap Suto begitu dalam, kadang menyenangkan, kadang menyakitkan. Karena sikap Suto kepadaku tak pernah punya kepastian."

   Selendang Kubur tarik napas panjang, lalu berkata.

   "Seingatku sudah dua kali kita bentrok gara-gara lelaki dan cinta."

   "Apakah menurutmu kita ini perempuan-perempuan bodoh? Apakah menurutmu kita ini wanita yang dungu, yang mau diperbudak oleh ketampanan seorang lelaki sehingga mau-maunya bertaruh nyawa untuk mendapatkannya?"

   "Mungkin juga,"

   Jawab Selendang Kubur kecil sekali. Tangannya masih memainkan daun-daun pohon yang dicabut-cabut tepiannya.

   "Apakah menurutmu, seorang perempuan mempertaruhkan nyawa untuk seorang lelaki itu adalah tindakan yang keliru?"

   "Tergantung lelakinya,"

   Jawab Selendang Kubur.

   "Kalau lelakinya punya cinta dan kesetiaan kepada kita, nyawa yang dipertaruhkan adalah suatu kemuliaan yang tinggi dari seorang wanita."

   "Tapi jika ternyata Pendekar Mabuk tidak mencintai satu di antara kita, apakah kita harus tetap bertaruhkan nyawa, saling bertarung dan saling berusaha membunuh?"

   "Itu yang kupikirkan sejak tadi, Peri Malam! Kau atau aku yang mati nantinya, belum tentu ditangisi oleh Suto. Kau atau aku yang menang nantinya, belum tentu dicintai oleh Suto!"

   "Ya. Aku juga berpikir begitu. Tapi dia sangat tampan dan menawan hati. Dia punya daya tarik yang luar biasa, yang membuat hatiku terjerat lekat!"

   "Hatiku pun terjerat lekat, Peri Malam. Tak bisa kubohongi lagi, aku sangat merindukan kehangatan cintanya!"

   "Jadi kesimpulan yang ada ialah, bahwa ketampanan dan daya tariknya itulah yang membuat kaum wanita saling bunuh seperti binatang! Ketampanan Pendekar Mabuk itulah racun bagi kita, Selendang Kubur!"

   "Barangkali memang begitu. Sebab kupikir-pikir, seandainya tak ada Suto, mungkin kita tidak akan berselisih lagi, mungkin kita tidak saling membunuh lagi!"

   "Bagaimana kalau kita lenyapkan saja dia, Selendang Kubur?!"

   Usul itu membuat Selendang Kubur terperanjat bagai sadar dari lamunan panjangnya, ia menggumam.

   "Maksudmu, kita bunuh dia supaya tidak menjadi racun permusuhan bagi kita?"

   "Ya. Bukan hanya bagi kita, tapi bagi kaum perempuan lainnya!" * * * ANGIN berhembus entah dari mana datangnya. Pikiran kedua perempuan itu jadi berubah. Hati yang jatuh cinta menjadi benci. Jiwa yang rindu berubah menjadi kering. Sikap terpikat menjadi dendam kesumat. Maka mereka berdua pun bergegas pergi mencari Suto dengan tujuan membunuh Pendekar Mabuk itu. Arah pertama yang mereka tuju adalah puncak Bukit Garinda. Tapi di sana mereka tidak menentukan siapa pun.

   "Tapi aku yakin, Suto beberapa waktu ada di sini sebelum kita tiba,"

   Kata Peri Malam.

   "Dari mana kau tahu?"

   "Sisa bau keringatnya masih bisa tercium oleh hidungku!"

   Jawab Peri Malam sambil menghirup-hirup udara, mendengus-dengus ke sana-sini. Sampai akhirnya arah hidungnya berhenti menghadap timur.

   "Hmm... dia pergi ke arah timur. Kita kejar dia ke timur, Selendang Kubur!"

   Cepat mereka melesat secepat angin dari barat. Hembusan angin dari barat membuat Peri Malam kehilangan penciumannya. Bau keringat Pendekar Mabuk tak terlacak lagi. Mereka kehilangan arah dan berhenti di salah satu gugusan tanah cadas yang membukit.

   "Aku kehilangan penciumanku,"

   Kata Peri Malam.

   "Bagaimana kalau kita kejar terus ke timur?"

   "Belum tentu dia ke sana. Mungkin membelok arah utara atau ke selatan, mana kita tahu?"

   "Jika begitu, kita berpencar! Kau ke utara aku ke selatan!"

   Usul Selendang Kubur direnungkan sebentar oleh Peri Malam, sesaat kemudian terdengar suara Peri Malam berkata.

   "Jika aku ke utara, kau ke selatan, lantas siapa yang timur?"

   Tiba-tiba terdengar jawaban di belakang mereka.

   "Aku...!"

   Serentak kedua perempuan itu palingkan muka ke belakang, dan terperanjat mereka melihat seraut wajah cantik dengan rambut acak-acakan telah berdiri tegak dengan sepasang kaki sedikit merentang.

   Wajah berambut acak-acakan itu mengenakan pakaian ketat warna ungu muda dengan ikat pinggang kuning.

   Ia juga menyandang pedang gading di punggungnya, dengan wajah dan sorot pandangan mata berkesan beringas.

   Selendang Kubur dan Peri Malam tak asing lagi dengan perempuan berambut jabrik itu, yang tak lain adalah Perawan Sesat.

   Selendang Kubur segera sigap pasang kuda-kuda untuk menyerang.

   Peri Malam hanya pasang kewaspadaan yang sewaktu-waktu tangan dan kakinya siap hadapi serangan pula.

   Tapi Perawan Sesat tampak tenang-tenang saja.

   "Apa maksudmu ikut menjawab percakapan kami, Perawan Sesat?!"

   Sentak Peri Malam dengan mata tak bergeser sedikit pun dari wajah cantik berkesan beringas itu.

   "Aku mengikuti percakapan kalian sejak dari hutan tepi pantai!"

   Kata Perawan Sesat.

   "Dan aku sangat tertarik dengan rencana kalian itu! Pendekar Mabuk memang harus dilenyapkan, karena dia menyebar racun cinta yang membuat sesama perempuan saling membunuh!"

   "Rupanya kau mengalami nasib yang sama dengan kami, Perawan Sesat? Dan kau ingin bergabung dengan kami?"

   "Tak ada salahnya!"

   Perawan Sesat mengangkat pundak sambil langkahkan kaki dekati sebuah batu. Di sana dia duduk dengan kedua sikunya diletakkan di kedua pahanya, hingga sedikit membungkuk tubuhnya. Di sana ia perdengarkan kata.

   "Aku jatuh cinta pada Pendekar Mabuk. Bahkan lebih gila dari kalian! Tugasku membawa Pendekar Mabuk menghadap Nyai Lembah Asmara kuselewengkan. Aku berani mengkhianati guruku sendiri, yaitu Nyai Lembah Asmara. Aku berani melawan kekuatan Maharani dan Putri Alam Baka, sampai aku terluka dalam dan diselamatkan oleh Peramal Pikun. Semua itu kulakukan karena kegilaanku terhadap Suto."

   Perawan Sesat membayangkan semua itu dalam satu renungan yang menyimpan bara dendam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode.

   "Murka Sang Nyai"). Kejap berikutnya ia ucapkan kata lagi.

   "Sampai sekarang hatiku masih disiksa rindu dan hasrat ingin bercumbu. Semua itu gara-gara Pendekar Mabuk, si murid sinting itu! Untuk itu aku harus meleyapkannya!"

   Selendang Kubur angkat bicara.

   "Tapi kau masih harus berhadapan denganku, Perawan Sesat! Kau masih hutang banyak nyawa padaku, karena kau telah banyak menewaskan saudara-saudara seperguruanku!"

   "O, kau dari Perguruan Merpati Wingit?!"

   "Ya!"

   Jawab Selendang Kubur dengan mata menantang.

   "Mereka mati gara-gara Suto Sinting, jadi tuntutlah Suto! Jangan aku!"

   "Tapi di tanganmu mereka mati, Bangsat!"

   Bentak Selendang Kubur. Rupanya ia semakin terpancing dendam kesumatnya hingga bergegas untuk melepas kain selendang pusakanya.

   "Tahan...!"

   Peri Malam mencoba menengahi perselisihan itu dengan maju satu tindak berada di antara Perawan Sesat dan Selendang Kubur. Peri Malam pun ucapkan kata.

   "Kalau kalian berdua punya perhitungan pribadi, lakukan perhitungan itu setelah kita selesaikan masalah Suto!"

   Perawan Sesat tarik napas sesaat, lalu berkata dengan suara serak.

   "Aku tak keberatan kalau memang kau ngotot ingin nuntut balas padaku, Selendang Kubur! Aku siap menghadapimu kapan saja! Tapi jangan salahkan diriku jika kau harus kehilangan kepalamu!"

   Selendang Kubur menggeram. Matanya menyipit benci saat ia ucapkan kata.

   "Kalau bukan karena tujuan yang sama, sudah kuhancurkan mulut busukmu itu, Perawan Sesat!"

   Peri Malam menyahut.

   "Hancurkan nanti saja!"

   Akhirnya Selendang Kubur kendurkan ketegangannya. Matanya terlempar jauh ke arah utara. Saat itu, terdengar suara Perawan Sesat berkata.

   "Rasa-rasanya memang kita harus berpencar! Dan untuk menghabisi nyawa Pendekar Mabuk itu, tak mungkin kita lakukan secara sendiri-sendiri. Perlu kerja sama yang baik. Karena si tampan sinting itu mempunyai ilmu yang cukup tinggi, ia hanya bisa dikalahkan jika kita gempur secara bersama-sama."

   "Jadi bagaimana jika salah satu dari kita nanti menemukan dia?"

   Tanya Peri Malam.

   "Bawa dulu dia ke arah kita masing-masing. Jangan buru-buru bertindak sebelum kita bertiga saling bertemu!"

   "Aku setuju,"

   Jawab Peri Malam.

   "Ada baiknya kalau...."

   "Ssst...!"

   Tukas Selendang Kubur memberi isyarat dengan tangan.

   Cepat ia lompatkan tubuh ke balik pohon.

   Melihat gelagat bahaya dari Selendang Kubur, Peri Malam pun bergegas melompat di balik pohon sebelah Selendang Kubur.

   Tak ketinggalan Perawan Sesat juga cepat sentakkan kaki dan melesat bersembunyi di balik rimbun daun-daun semak berduri.

   Jaraknya tak berapa jauh dari Selendang Kubur dan Peri Malam.

   "Ada apa? Suto lewat?!"

   Bisik Perawan Sesat ke arah Peri Malam.

   "Mana aku tahu?! Selendang Kubur yang melihat nya!"

   Peri Malam pun menyapa Selendang Kubur dengan suara lirih.

   "Hei, ada apa? Kau melihat Pendekar Mabuk lewat?"

   "Bukan Pendekar Mabuk, tapi... lihatlah ke sana!"

   Tuding Selendang Kubur.

   Perawan Sesat dan Peri Malam sama-sama memandang ke arah tempat yang ditunjuk Selendang Kubur.

   Lalu, mereka berdua sama-sama hempaskan napas panjang bernada dongkol, serta sama-sama lepaskan ketegangan.

   Perawan Sesat terdengar menggerutu.

   "Sial! Kupikir ada bahaya datang!"

   "Buatku itu memang bahaya. Karena aku muak ketemu dia!"

   Cetus Selendang Kubur yang segera ikut-ikutan keluar dari tempat persembunyiannya, karena dilihatnya Peri Malam juga keluar dari balik persembunyiannya.

   Mereka bertiga sama-sama berada di tempat bebas dan memandang ke satu arah.

   Apa yang dipandang mereka tak lain adalah kemunculan Dirgo Mukti yang mengaku Manusia Sontoloyo itu.

   Jaraknya cukup jauh, namun bisa dilihat mata telanjang mereka bertiga.

   "Agaknya dia sedang dikejar oleh seseorang!"

   Kata Peri Malam.

   "Benar! Pasti ia dalam perselisihan,"

   Sahut Perawan Sesat.

   "Wajahnya terlihat tegang. Keringatnya mengucur. Hm... siapa orang yang mengejarnya?"

   "Mudah-mudahan setan dari neraka yang mengejarnya!"

   Kata Selendang Kubur.

   "Seharusnya aku yang bilang begitu, karena aku sangat benci kepadanya!"

   Kata Peri Malam.

   "Mengapa kalian benci sekali kepadanya?"

   Tanya Perawan Sesat.

   "Dia mengejar-ngejarku dan selalu mendesakku untuk menerima cintanya! Aku muak sekali!"

   Selendang Kubur pun ikut berkata.

   "Aku juga begitu! Dia selalu berusaha membujukku agar mau melayaninya! Aku tak bisa banyak melawan dan memberontak karena aku berhutang nyawa dengannya! Menyesal sekali aku karena ditolong dan diselamatkan olehnya! (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode.

   "Perawan Sesat"). Perawan Sesat tertawa serak.

   "Aku sendiri punya kedongkolan dengannya, saat dia menipuku dengan mengaku sebagai Pendekar Mabuk!"

   Peri Malam menyahut.

   "Ya, ya, aku pernah memergoki kau bercumbu dengannya!"

   "Jangan singgung-singgung soal itu! Rasa sesalku berubah jadi dendam jika aku teringat peristiwa itu!"

   Kata Perawan Sesat.

   "Hei, lihat...!"

   Seru Selendang Kubur sambil tangannya menunjuk ke arah Dirgo Mukti.

   "Rupanya orang itu yang mengejar Dirgo Mukti!"

   "Hmmm... siapa orang yang berpakaian hitam itu?"

   Tanya Perawan Sesat.

   "Aku hanya bisa menandai bahwa orang sedikit gemuk itu berilmu tinggi. Terlihat dari gerakan lompatnya begitu ringan dan cepat! Tapi aku belum pernah tahu siapa dia?"

   "Datuk Marah Gadai!"

   Jawab Selendang Kubur.

   "Dia orang sesat dari seberang yang ingin menguasai tanah Jawa. Dia ingin menjadi raja tertinggi di rimba persilatan tanah Jawa!"

   "Ada persoalan apa Sontoloyo bentrok sama Datuk Marah Gadai?"

   Tanya Peri Malam. Selendang Kubur menjawab.

   "Mana aku tahu?! Tapi kelihatannya mereka sama-sama tangguh!"

   "Kurasa tidak,"

   Bantah Perawan Sesat.

   "Kurasa lebih tangguh si Datuk Marah Digadai itu!"

   "Datuk Marah Gadai! Bukan Datuk Marah Digadai!"

   Peri Malam membetulkan ucapan Perawan Sesat.

   "Ya. Kurasa orang itu lebih tangguh dari si Sontoloyo. Aku jadi tertarik ingin menjajal ilmunya!"

   "Bodoh!"

   Tukas Selendang Kubur.

   "Kalau mau, jajal saja ilmunya si Sontoloyo, jadi kalau kau berhasil membunuhnya, kau telah membayar tipu muslihatnya yang merugikan dirimu itu!"

   "Membunuh si Sontoloyo lebih mudah! Dalam satu gebrakan saja dia tidak akan memiliki nyawa lagi!"

   "Hem... belum tentu!"

   Selendang Kubur mencibir.

   "Kau pikir ilmu yang kau miliki lebih tinggi darinya? Ilmu sedangkal itu mau disombongkan di depan si Sontoloyo, bisa hancur berkeping-keping kau dihajar habis oleh pukulan tenaga dalamnya yang hebat itu!"

   "Hei, kau jangan sepelekan aku, Selendang Kubur! Saat ini pun aku sanggup meremukkan kepalamu tanpa harus bergerak dari tempatku!"

   "Coba saja!"

   Tantang Selendang Kubur.

   Perawan Sesat lemparkan daun kecil yang sejak tadi dibuat mainan.

   Lemparan daun itu begitu cepat dan mendesing bunyinya bagai logam tipis melayang melewati depan mata Peri Malam.

   Wiiing...! Craat...! Selendang Kubur lengkungkan badan ke samping sambil berpaling.

   Daun itu lewat di depan dadanya dan menancap di batang pohon bagaikan lempengan logam tajam dari bahan baja.

   Jika bukan dialiri kekuatan tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin daun itu bisa menancap di batang pohon sedemikian dalam.

   Kalau saja tidak segera menghindar dengan gesitnya, Selendang Kubur akan mati ditembus daun yang berubah jadi mata pisau itu.

   Sebelum Selendang Kubur memberi balasan, Peri Malam sudah menghadang di depannya seraya berkata.

   "Cukup! Jangan terpancing nafsu!"

   "Dia yang menyerangku lebih dulu!"

   Perawan Sesat membantah.

   "Dia menghinaku lebih dulu!"

   "Kalian ini memang seperti anak kecil!"

   Sentak Peri Malam.

   "Aku menyesal bergabung dengan kalian menyusun rencana seperti tadi. Mana bisa orang-orang berjiwa anak kecil mengalahkan Suto? Untuk mengalahkan Pendekar Mabuk itu, bukan hanya ilmu tinggi yang dibutuhkan tapi juga jiwa dewasa dan otak cerdas!"

   Selendang Kubur menghembuskan napas pelan-pelan walau matanya masih memandang tajam pada Perawan Sesat. Yang dipandang hanya tersenyum sinis dengan sikap siap tarung kapan pun juga.

   "Jangan dulu kita berselisih sebelum cita-cita kita bersama tercapai! Jika belum-belum kita sudah saling bunuh, lantas kapan kita bisa bunuh Suto Sinting itu?!"

   Omel Peri Malam yang bertindak menjadi orang yang lebih dewasa dari mereka, walau sebenarnya ia hanya sebagai penengah saja.

   "Lihatlah,"

   Kata Peri Malam lagi.

   "Dirgo Mukti sudah semakin terpojok oleh serangan-serangan Datuk! Tak perlu kita memberikan pujian atau penilaian apapun selain menjadi penonton yang baik!"

   Selendang Kubur bahkan berkata.

   "Seharusnya ia bisa segera cabut senjatanya itu! Dirgo Mukti mempunyai senjata kapak yang cukup hebat, sebenarnya!"

   "Kalah hebat dengan pedangnya Datuk Marah Gadai! Kulihat sendiri kehebatan pedang itu saat ia mengalahkan Cadaspati di tepi sebuah sungai!"

   Kata Peri Malam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode.

   "Darah Asmara Gila"). Perawan Sesat kasih pendapat.

   "Orang-orang seperti mereka jelas tidak akan semudah itu mencabut pedangnya! Hanya pada saat-saat terakhir dari pertarungan itu ia akan mencabut pedangnya!"

   "Aku berharap Dirgo Mukti kalah dan mampus di tangan Datuk!"

   Kata Peri Malam.

   "Aku juga!"

   Sahut Selendang Kubur.

   "Kuharap juga begitu,"

   Sela Perawan Sesat.

   "Hai, ternyata kita sama-sama punya kebencian pula dengan si Sontoloyo itu?! Mengapa kita tidak sepakat gunakan Sontoloyo untuk melawan Suto?"

   Ucapan Peri Malam itu membuat mereka saling memandang.

   Perawan Sesat dan Selendang Kubur sama-sama tatapkan mata ke wajah Peri Malam.

   Sepertinya mereka menuntut penjelasan lebih rinci lagi dari kata-kata Peri Malam tadi.

   Karenanya, Peri Malam pun lanjutkan kata.

   "Dirgo Mukti lelaki mata keranjang! Dia ingin aku menerima cintanya. Dia ingin Selendang Kubur melayani gairahnya. Dia pasti inginkan tubuh dan kehangatanmu lagi, Perawan Sesat. Sebab dia pernah merasakan gairahmu. Dia pasti tergiur kembali padamu."

   "Lalu, apa rencanamu?"

   Tanya Selendang Kubur.

   "Jadikan dia umpan untuk bertarung melawan Pendekar Mabuk. Beri dia semangat agar bisa membunuh Suto Sinting. Upah yang akan kita berikan padanya adalah tubuh kita masing-masing!"

   "Aku tidak sudi!"

   Sentak Selendang Kubur bersungut-sungut.

   "Ini hanya siasat saja! Sontoloyo jelas tak akan bisa mengalahkan Pendekar Mabuk. Tapi dengan mendapat semangat dari kita, dia akan bertarung melawan Pendekar Mabuk mati-matian. Hal itu akan membuat Suto semakin terdesak, sekurang-kurangnya Pendekar Mabuk akan menguras tenaganya untuk mengalahkan Sontoloyo. Walaupun pada akhirnya nanti Sontoloyo mampus di tangan Suto, tapi kita punya peluang bagus untuk menyerang Suto secara bersama. Kekuatan Suto yang sudah berkurang karena pertarungannya dengan Dirgo Mukti, membuat kita lebih mudah menghancurkan dirinya!"

   "Gagasan yang bagus!"

   Sela Perawan Sesat lalu ia tertawa serak.

   "Kebetulan aku ingat bahwa Dirgo Mukti pernah janji pertarungan dengan Suto di Bukit Jagal! Bulan ini adalah bulan saat pertarungan itu dilakukan!"

   Tambah Peri Malam.

   "Bagus! Aku setuju dengan rencanamu,"

   Kata Selendang Kubur.

   "Kalau begitu, kita bantu Sontoloyo untuk mengalahkan Datuk Marah Gadai itu! Biar Sontoloyo tidak mati di tangan Datuk!"

   Kata Peri Malam.

   "Aku setuju!"

   Kata Perawan Sesat dengan menyeringai liar.

   "Tapi, tunggu dulu...!"

   Selendang Kubur mencegah, sepertinya Datuk Marah Gadai sudah merasa kewalahan melawan Dirgo Mukti! Datuk Marah Gadai melarikan diri!"

   "Ya, tapi Dirgo Mukti kelihatannya terluka dan tak bisa mengejarnya! Ada baiknya jika kita tolong dia!"

   Kata Peri Malam.

   Tapi sebelum mereka mencapai tempat Dirgo Mukti terkapar, orang itu sudah bangkit lebih dulu dan melesat pergi mengejar lawannya.

   Rupanya ia tadi terkena pukulan tenaga dalam dari Datuk Marah Gadai, namun bisa segera ditawarkan oleh kekuatan batinnya sendiri.

   Dan melihat Dirgo Mukti lari mengejar Datuk Marah Gadai, ketiga perempuan itu juga lari mengejar Dirgo Mukti.

   Apa yang mereka pertarungkan sebenarnya berasal dari kabar tentang Pusaka Cincin Manik Intan.

   Datuk Marah Gadai dan Dirgo Mukti sama-sama ingin mendapatkan Cincin Manik Intan yang konon masih ada di dasar telaga, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode.

   "Murka Sang Nyai"). Mereka saling halang-menghalangi ketika sama-sama mau menyelam ke dasar telaga. Pertarungan itu membuat mereka saling kejar dan tanpa sadar menjauhi Telaga Manik Intan. Saat mereka jauh dari telaga itulah, sesosok tubuh masuk dan menyelam ke dasar telaga. Orang itulah yang menemukan Pusaka Cincin Manik Intan. Orang itu adalah Betari Ayu, yang kemudian segera menggunakan Pusaka Cincin Manik Intan untuk melabrak Nyai Lembah Asmara yang ingin menjadikan Suto sebagai pembenih dalam keturunannya. Datuk Marah Gadai dan Dirgo Mukti sama-sama tidak tahu, bahwa apa yang mereka rebutkan itu sudah menjadi milik seseorang. Bahkan ketika Datuk Marah Gadai meninggalkan Dirgo Mukti, dalam benaknya ia merasa lebih baik meninggalkan pertarungan dan segera menyelam ke dasar telaga untuk mencari Cincin Manik Intan yang dahsyat itu. Jika Cincin Manik Intan berhasil ditemukan olehnya, maka urusannya dengan Manusia Sontoloyo itu akan cepat terselesaikan. Pasti lawannya itu akan mati dan hancur oleh kekuatan Pusaka Manik Intan itu. Karena Datuk Marah Gadai tidak tahu bahwa cincin itu sudah ditemukan Betari Ayu beberasa saat berselang, maka ketika ia tiba di tepi telaga, ia langsung saja menceburkan diri ke permukaan air telaga, dan menyelam di kedalamannya. Lama kemudian, Dirgo Mukti tiba pula di tepi telaga. Ia mencari lawannya. Memandangi sekeliling telaga. Ternyata tak ada sesuatu yang mencurigakan. Air telaga pun tampak tenang. Pikirnya, sebelum Datuk Marah Gadai menemukan diriku, ia harus sudah lebih dulu mencari Cincin Manik Intan di dasar telaga.

   "Mampuslah kau, Tukang Gadai! Jika kutemukan itu lebih dulu akan kuhancurkan mulutmu yang sangat kubenci itu!"

   Kata Dirgo Mukti.

   Lalu, ia pun melompat dan terjun ke dalam genangan air telaga.

   Byurrr...! * * * E-book by.

   paulustjing Email.

   paulustjing@yahoo.com GEMERISIK dedaunan bambu dihembus angin siang.

   Gemerisik itu masuk ke telinga Pendekar Mabuk ibarat musik penghantar duka.

   Gundukan tanah di depannya masih dipandangi dengan wajah duka.

   Gundukan tanah itu adalah kuburan bagi si pelayan setia gurunya.

   Suto memberi nama pada kayu patok kuburan itu dengan tulisan besar.

   Sugiri.

   Di bawahnya ada tulisan kecil yang berbunyi.

   Lahir tak diketahui, mati pun tak diketahui.

   "Kalau saja aku tidak terbujuk oleh anggapan tentang Dyah Sariningrum di Bukit Garinda, Paman Sugiri tak akan mati di sana. Kasihan Paman Sugiri, ia mati hanya untuk membela diriku yang tak berharga ini. Mudah-mudahan arwahnya diterima di sisi Yang Maha Kuasa,"

   Kata hati Pendekar Mabuk yang segera bergegas bangkit dari kesedihan.

   Ia tak berlarut-larut tenggelam dalam perasaan duka atas kematian Pujangga Keramat.

   Suto memakamkan jenazah Pujangga Keramat di Jurang Lindu, tak jauh dari pancuran air yang menjadi pintu masuk menuju persinggahan si Gila Tuak.

   Sayang sekali waktu itu si Gila Tuak tak ada di tempat, sehingga Suto tak bisa melaporkan kematian Pujangga Keramat.

   Ke mana arah perginya si Gila Tuak, Suto tak tahu.

   Hanya ada satu kemungkinan dalam benak Suto, bahwa gurunya itu mungkin sedang bertandang ke Limbah Badai, tempat persinggahan bibi gurunya Suto yang di kenal dengan nama kondangnya.

   Bidadari Jalang.

   Tiba-tiba Pendekar Mabuk jadi ingat dengan bibi gurunya.

   Ingatan itu berkait dengan Pusaka Cincin Manik Intan yang ditemukan oleh Betari Ayu.

   Cincin itu warisan terkubur dari Bidadari Jalang.

   Sekarang ada di tangan Betari Ayu, sedangkan Betari Ayu menyimpan dendam kepada Bidadari Jalang.

   Pendekar Mabuk belum sempat meminta cincin itu dari tangan Betari Ayu.

   Ketika Pendekar Mabuk selamat dari cengkeraman Nyai Lembah Asmara, ia segera pergi mengurus jenazah Pujangga Keramat yang mati di bangsal pertemuan, di persinggahannya Nyai Lembah Asmara.

   Pada waktu itu, Betari Ayu berkata kepada Suto.

   "Aku harus pergi membalaskan sakit hatiku kepada seseorang. Jika kau mau ikut aku, aku tak keberatan. Jika kau ingin mengurus mayat Pujangga Keramat yang tergeletak di sana, aku juga tidak melarang. Yang penting kau ketahui, saat ini adalah saat yang baik untuk melampiaskan dendamku yang selama ini kupendam dalam hati!"

   Suto masih dalam keadaan mabuk tuak waktu itu, sehingga ia tidak terlalu peduli dengan kepergian Betari Ayu.

   Ia segera bergegas mencari mayat Pujangga Keramat dan segera membawanya ke Jurang Lindu.

   Sekarang Pendekar Mabuk jadi ingat semua kata-kata Nyai Betari Ayu.

   Tak salah lagi dugaan Suto, bahwa dendam yang akan dilampiaskan oleh Betari Ayu itu adalah dendamnya kepada Bidadari Jalang, karena Bidadari Jalang dianggap telah merebut kekasih hati Betari Ayu.

   Hal itu yang membuat Betari Ayu tidak pernah mau jatuh cinta lagi dengan seorang lelaki.

   Namun kehadiran Suto sempat membuat Betari Ayu tergugah oleh cinta lagi, meski ia dapat memendamnya.

   Tentu saja Nyai Betari Ayu menganggap saat ini adalah saat yang tepat untuk melampiaskan dendamnya kepada seseorang, karena Betari Ayu memakai Cincin Manik Intan.

   Jelas, cincin itulah yang akan dipakai untuk melawan Bidadari Jalang, yang namanya masuk dalam deretan kedua; setelah si Gila Tuak, sebagai nama-nama tokoh yang sukar ditumbangkan.

   Tanpa pusaka cincin dahsyat itu, Nyai Betari Ayu tak akan berani berhadapan dengan Bidadari Jalang.

   "Celaka! Bibi Guru pasti akan hancur oleh pusakanya sendiri,"

   Pikir Pendekar Mabuk.

   "Seharusnya waktu itu kurebut dulu Cincin Manik Intan dari tangan Betari Ayu! Jika begini, sama saja aku membiarkan Bibi Guru terancam nyawanya! Betari Ayu tidak tahu bahwa Bibi Guru yang sekarang bukan orang sesat seperti dulu. Karenanya Bibi Guru Bidadari Jalang tidak mau turun ke dunia persilatan kembali, karena dia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta!"

   Suto Sinting sempat terlihat gelisah, ia berjalan mondar-mandir di depan makam Pujangga Keramat. Hatinya kembali berkecamuk.

   "Apa yang harus kulakukan jika begini? Merampas cincin itu dari tangan Nyai Betari Ayu? Itu berarti aku harus bertarung dengan Nyai. Haruskah aku bertarung dengan orang yang selama ini bersikap baik padaku? Tapi jika hal itu tidak kulakukan, berarti aku ikut mendukung rencana Betari Ayu untuk membunuh Bibi Guru?!"

   Sekelebat bayangan melesat di atas pohon. Banyangan itu mendarat tepat di depan Suto, hingga Suto terkesiap memandangnya.

   "Nyai Betari...?!"

   Gumam Suto dengan hati berdebar. Orang ini yang sedang dipikirkan oleh Suto, tapi orang ini pula yang tahu-tahu muncul dalam kenyataan di depan Suto.

   "Kebetulan sekali Nyai datang kembali,"

   Kata Suto menatap perempuan cantik yang menyunggingkan senyum bersahaja.

   "Aku mendengar gemuruh kegelisahanmu, Suto. Jadi aku kembali menemuimu,"

   Kata Nyai Betari Ayu yang berikat kepala dari tali sutera merah berbintik-bintik kuning keemasan.

   "Nyai mendengar gemuruh kegelisahanku?"

   Suto heran.

   "Apa yang terjadi pada diri orang yang kusayangi selalu kudengar lewat telinga hatiku, dan kulihat lewat mata hatiku, Suto."

   "O, jadi... saya orang yang Nyai sayangi?"

   "Mungkin lebih dari itu,"

   Jawab Betari Ayu pelan sambil palingkan wajah ke arah curahan air terjun yang menjadi pintu gerbang persinggahan si Gila Tuak.

   Pendekar Mabuk menjadi kikuk mendengar jawaban itu.

   Tapi ia segera tenangkan diri dan tetap bersikap lembut kepada Nyai Betari Ayu.

   Ia mendekati Betari Ayu dari samping kanan, ikut memandang jurang berair terjun itu, tapi mulutnya ucapkan kata tanya.

   "Sudahkah dendam Nyai terlampiaskan?"

   "Belum,"

   Jawab Betari Ayu sambil tetap pandang air terjun.

   "Mengapa tak jadi membalas dendam?"

   Tanya Suto.

   "Aku berubah pikiran."

   "Berubah bagaimana, Nyai?"

   "Untuk apa aku hidup menuruti dendam?"

   Betari Ayu palingkan wajah dan lempar pandangan pada Suto. Lembut sekali pandangannya. Selembut rona kecantikan sang Nyai. Katanya lagi.

   "Aku harus menjadi orang yang bisa mengalahkan diriku sendiri. Orang hebat adalah orang yang bisa melawan nafsunya sendiri. Kalau aku masih turuti dendamku kepada Bidadari Jalang, maka aku bukan sebagai orang hebat. Aku orang lemah yang tak mampu melawan nafsuku sendiri."

   "Saya menyukai kata-kata Nyai,"

   Pendekar Mabuk sunggingkan senyum yang sangat menawan. Nyai Betari Ayu pun tundukkan kepala karena merasa teduh hatinya mendapat senyuman seperti itu. Tapi kejap berikut ia kembali pandang Suto dan ucapkan kata.

   "Ada sesuatu yang lupa kukembalikan padamu."

   "Tentang apa itu, Nyai?"

   Tangan kiri Nyai melepaskan cincin di jari tangan kanannya, lalu Pusaka Cincin Manik Intan itu diserahkan kepada Suto.

   "Ambillah cincin ini, Suto."

   Pendekar Mabuk tidak segera mengambil cincin itu, tapi matanya menatap lama pada cincin dan wajah Betari Ayu yang polos dan lugu itu.

   "Mengapa Nyai kembalikan cincin itu kepadaku? Bukankah Nyai tahu kehebatan Pusaka Cincin Manik Intan itu?"

   "Ya, tapi ini bukan milikku."

   "Tapi Nyai yang mengambilnya dari dasar telaga!"

   "Benar. Karena ada dua alasan. Pertama, aku takut Cincin ini jatuh ke tangan Datuk Marah Gadai atau pemuda tampan yang mengaku punya gelar Manusia Sontoloyo itu. Kedua, karena waktu itu aku membutuhkan Cincin ini untuk melawan Nyai Lembah Asmara. Tanpa bekal pusaka dahsyat ini, aku belum tentu bisa menyerang Bukit Garinda dan dengan tujuan membebaskan kamu dari cengkeraman Nyai Lembah Asmara. Jujur saja kukatakan kepadamu, Suto... aku tak rela kau tanamkan benih kependekaranmu, benih darah ksatriamu, ke dalam kandungan Nyai Lembah Asmara! Aku tak ingin kau punya keturunan sesat, Suto."

   "Sejauh itukah Nyai berpikir tentang saya?"

   Betari Ayu tak menjawab. Ia alihkan pembicaraan itu sambil sekali lagi sodorkan cincin tersebut.

   "Terimalah cincin ini. Kau yang berhak memiliki. Bukan aku! Karena kaulah yang punya tugas mengambil dua pusaka di dasar telaga tersebut, yaitu Pusaka Tuak Setan dan Pusaka Cincin Manik Intan ini."

   "Mengapa Nyai tidak memilikinya saja, atau membawanya lari?"

   "Bukan sifatku menjadi pencuri, Suto."

   Senyum Suto melebar, bahkan berubah menjadi tawa yang mirip orang menggumam.

   Tawanya itu pun bagaikan memancarkan daya tarik tersendiri bagi hati yang sudah berbunga indah itu.

   Ketika Pendekar Mabuk menerima cincin itu, tangan Betari Ayu dipegangnya dengan lembut.

   Betari Ayu menatap dan merasakan aliran hawa hangat di sekujur tubuhnya.

   Ia segera bertanya dalam nada bisik.

   "Suto, apa yang kau salurkan ke dalam tubuhku?"

   "Kasih sayang,"

   Bisik Suto membalas.

   "Apa maksudnya kasih sayang?"

   "Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan kebaikanmu, Nyai."

   "Tentunya itu bukan berarti sebuah cinta yang lahir dari hati sanubarimu."

   "Memang bukan cinta. Tapi, barangkali kasih sayang melebihi dari segala cinta yang ada. Kasih sayang boleh ada di dalam jiwa kita masing-masing, tapi tak harus memiliki raga kita masing-masing."

   "Dalam sekali pengertianmu, Suto. Aku semakin suka padamu."

   Suto tersenyum dengan mata memandang kian lembut.

   Seakan kelembutan pandang mata Suto itu bagaikan sinar halus yang menembus ke dalam dasar hati Betari Ayu.

   Sebelum cincin itu tergenggam oleh Suto, Betari Ayu lekas-lekas mengambil alih cincin itu.

   Ia mengangkat jari manis Suto yang kanan, lalu cincin itu dimasukkan ke dalam jari manis cincin itu dengan pelan-pelan sekali.

   Kedua mata mereka saling memandang ke arah cincin.

   "Semoga kau dapat mengenang peristiwa ini selamanya, Suto."

   "Semoga kau pun dapat mengenangnya pula. Nyai."

   Kemudian, wajah Nyai Betari Ayu tengadah memandang Pendekar Mabuk.

   Matanya yang bening teduh itu bagai digenangi air.

   Suto pelan-pelan mendekatkan wajah dan menempelkan ciumannya di kening Nyai.

   Mata itu terpejam, bibir itu merekah, dan akhirnya Suto tempelkan bibir ke mulut Nyai.

   Bibir Suto dilumatnya dengan lembut oleh Nyai Betari Ayu.

   Suto membalasnya dengan seribu kali lebih lembut, hingga Nyai Betari Ayu meremaskan genggaman tangannya di ujung pundak Suto.

   Pelan-pelan pula ciuman dan kehangatan itu dilepaskan.

   Senyum mereka saling bermekaran.

   Suto berbisik lirih.

   "Indah, Nyai?"

   "Luar biasa indahnya, Suto,"

   Jawab Nyai Betari semakin lirih.

   "Sayang sekali bukan aku perempuan yang kau cintai. Seandainya aku adalah orang yang kau cintai, mungkin selamanya aku akan merebah di dadamu, Suto."

   "Apakah hal itu membuatmu kecewa, Nyai?"

   "Tidak,"

   Jawab Nyai dalam ketegasan yang lembut.

   "Aku tidak kecewa, karena memang kau dan aku memiliki garis kehidupan yang berbeda. Aku tak salahkan dirimu, Suto. Kau bebas memburu cinta dan kasih sayang untuk dirimu, Suto. Aku hanya ingin merawat agar cinta ini tetap mekar di hatiku, sampai masa tuaku tiba."

   Tiba-tiba Nyai Betari Ayu memeluk Pendekar Mabuk erat-erat.

   Suto pun membalas pelukan itu dengan hangat.

   Nyai pasti ingin mencurahkan tangis keharuannya, pikir Suto.

   Dan sengaja Suto tidak melarang tangis itu tercurah karena memang suasana haru tercipta atas dasar saling menyadari keadaan masing-masing.

   Betari Ayu diam.

   Pelukannya tetap erat.

   Tak ada guncangan tangis atau pun suara mengisak.

   Pastilah Nyai Betari Ayu tak ingin cucurkan air mata di depan seorang ksatria.

   Pastilah Nyai Betari Ayu merasa malu dan takut wibawa kharismanya jatuh di depan Suto.

   Tetapi tubuh Nyai Betari Ayu makin lama semakin dingin.

   Suto menjadi curiga.

   Cepat-cepat ia tarikkan diri dari tubuh Betari Ayu.

   Mata Suto terkesiap melihat wajah Betari Ayu pucat dan kepalanya terkulai lemas.

   "Nyai...?!"

   Sentak Suto sambil guncangkan tubuh Nyai. Namun keadaan Nyai semakin memucat dan dingin. Matanya terpejam mulutnya terbuka sedikit bagai menahan rasa sakit yang menyentak.

   "Nyai...?! Kenapa kau, Nyai...?!"

   Pendekar Mabuk berdebar-debar melihat keadaan Nyai Betari Ayu seperti itu.

   Suto buru-buru memeriksa tubuh Betari Ayu.

   Ternyata di bagian punggungnya terdapat noda merah membekas di kulit.

   Noda merah itu sebesar biji sawo, tepat bersebelahan dengan pedang Jalaganda yang sejak tadi disandang di punggungnya.

   Noda merah itu menembus jubah kuningnya, yang terbuat dari kain sutera.

   Tapi jubah itu tidak membekas lubang.

   Hanya sedikit hangus tepat di bagian noda merahnya itu.

   "Kurang ajar! Ada yang menyerang Nyai secara diam-diam. Hmm...! Siapa orangnya?!"

   Geram Suto dengan mata memandang liar.

   Gemuruh suara air terjun masih terdengar.

   Di atas curahan air terjun itu, mata Suto memandang jelas sesosok tubuh berpakaian kuning ketat.

   Pendekar Mabuk mengenal orang itu sebagai orang Bukit Garinda.

   Orang tersebut tak lain adalah Putri Alam Baka.

   Di tangannya tergenggam seruling kuning.

   Pasti dialah yang telah menyerang Nyai Betari Ayu memakai seruling pusakanya itu.

   "Kau...!"

   Geram Pendekar Mabuk dengan wajah merah.

   Matanya menatap tajam ke arah Putri Alam Baka.

   Tak sadar kemarahan Pendekar Mabuk itu membuat tenaga dalamnya mengalir melalui Cincin Manik Intan.

   Pada waktu itu, cincin tersebut dalam keadaan menghadap ke arah Putri Alam Baka.

   Maka, dengan tiba-tiba cincin itu mengeluarkan cahaya putih menyilaukan, melesat bagaikan lidi ke arah perempuan di atas air terjun.

   Clappp...! Duarrr...! Arah cincin tidak tepat persis, sehingga batuan di samping Putri Alam Baka hancur menjadi serbuk ketika dihantam sinar putih menyilaukan itu.

   Ledakan itu membuat Putri Alam Baka terlempar ke samping dan jatuh di rerumputan.

   "Aku harus menyelamatkan Nyai Betari Ayu dulu! Aku sudah tahu siapa orang yang menyerangnya!"

   Pikir Suto.

   Secepat kilat ia angkat tubuh yang terkulai lemah itu, lalu ia jejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya bagaikan terbang melompati batu demi batu, akhirnya menerobos masuk ke curahan air terjun.

   Di balik air terjun itu ada pintu gua.

   Slaap...! Suto masuk ke dalam gua dan segera meletakkan Nyai Betari Ayu di atas pembaringan tak berkaki.

   Pembaringan itu dulu bekas tempat tidur Suto selama Pendekar Mabuk menjadi murid si Gila Tuak.

   Pendekar Mabuk segera menggenggam telapak kaki Nyai Betari Ayu, lalu ia menggumam sendiri.

   "Hmmm... masih sedikit hangat!"

   Segera ia meneguk tuaknya.

   Sebagian tuak tersimpan di mulut hingga pipinya menggelembung.

   Pendekar Mabuk pejamkan mata sebentar, lalu segera tempelkan mulutnya ke mulut Nyai Betari Ayu.

   Tuak dalam mulutnya itu segera disemburkan ke dalam tenggorokan Nyai Betari Ayu.

   Bruuus...! Tersentak tubuh Nyai Betari Ayu seketika bagai mendapat kejutan.

   Kemudian Suto mengulanginya sekali lagi.

   Bruuus...! Tersentak lagi tubuh Nyai Betari Ayu, lalu terdengar suaranya mengerang lirih.

   Suto merasa lega.

   Itu pertanda jiwa Betari Ayu bisa tertolong, tinggal menunggu kesembuhan berikutnya.

   Pendekar Mabuk memiringkan tubuh Nyai Betari Ayu, memeriksa noda merah di punggung Nyai.

   Noda itu makin menipis.

   Itu tandanya pengaruh tuak bertenaga dalam yang berguna untuk pendingin hawa panas telah bekerja.

   Andaikata Pendekar Mabuk tidak segera bertindak cepat, maka bagian dalam tubuh Nyai Betari Ayu akan hangus terbakar ilmu tenaga dalam yang sangat tinggi dan berbahaya itu.

   "Aku harus segera mengejar Putri Alam Baka!"

   Geram Suto, merasa keasyikannya terganggu oleh serangan mendadak dari murid Nyai Lembah Asmara itu.

   "Tetapi Nyai Betari Ayu tidak ada yang menunggui. Jika sewaktu-waktu musuh datang dan mengancam nyawanya, bisa berbahaya. Untuk sementara dia akan lumpuh karena pukulan tenaga dalam yang tinggi itu. Dia hanya akan mempunyai luapan kemarahan namun tak akan bisa banyak melakukan gerakan. Uuh...! Kemana Guru?! Mengapa sampai sekarang belum datang juga?"

   Pendekar Mabuk sempat bimbang sebentar. Hatinya gelisah, dadanya bergemuruh. Hasratnya ingin segera memburu lawan, tapi cemas meninggalkan Nyai Betari Ayu.

   "Hmmm... begini saja! Cincin ini kusematkan di jarinya saja! Kalau ada ancaman bahaya datang, kemarahan Nyai Betari Ayu bisa membuat cincin ini melancarkan kekuatan tenaga dalamnya dan menyerang musuh!"

   Maka, setelah Suto menyematkan Cincin Manik Intan, ia pun segera tinggalkan Nyai Betari Ayu. Pada saat itu keadaan Betari Ayu belum sadar sepenuhnya, namun napasnya tampak terengah-engah dan kepalanya bergerak-gerak pelan.

   "Sebelum ia lari jauh, aku harus sudah bisa mendapatkannya!"

   Pikir Pendekar Mabuk saat meninggalkan gua tersebut.

   Dalam kejap berikutnya, Suto sudah berada di tempat Putri Alam Baka tadi berdiri.

   Tempat itu telah kosong.

   Pendekar Mabuk tak melihat gerakan-gerakan yang mencurigakan.

   Tetapi ia melihat patahan daun ilalang dan beberapa ranting lainnya.

   Jelas, ranting itu patah karena terabasan larinya Putri Alam Baka.

   Maka, Pendekar Mabuk pun segera mengejarnya ke arah tersebut.

   Pendekar Mabuk mengejar dengan menggunakan ilmu silumannya, sehingga gerakan Pendekar Mabuk tak dapat terlihat oleh mata karena kecepatannya yang luar biasa.

   Dalam kejap yang singkat, Pendekar Mabuk telah berada jauh dari Jurang Lindu.

   Bahkan sekarang tubuhnya telah hinggap di atas pohon, seperti menunggu mangsanya lewat.

   Dugaan Suto benar.

   Tak lama kemudian, terlihat dua sosok manusia berkelebat lari dengan cepat bagai anak panah yang terlepas dari busurnya.

   Duarrr...! Duarrr...! Pendekar Mabuk hantamkan pukulan tenaga dalamnya yang membuat dua pohon tumbang seketika, menghadang langkah kedua sosok yang berlari cepat itu.

   Dan pada saat dua sosok itu berhenti, Pendekar Mabuk pun segera sentakkan ujung jari kakinya pada dahan, lalu tubuhnya melesat terbang dan bersalto satu kali, akhirnya mendarat di tanah di hadapan kedua orang itu Dengan bumbung tuak tersandang di punggung bagaikan pedang maut, Suto berdiri pancarkan kemarahan kepada dua orang yang ada di depannya.

   Suaranya menggeram saat ia berkata.

   "Rupanya kau tidak sendirian, Putri Alam Baka!"

   "Ya. Aku yang mendampinginya!"

   Jawab orang yang ada di samping Putri Alam Baka.

   Dia adalah seorang lelaki, berbadan masih segar tapi kelihatannya sudah cukup umur, antara lima puluh tahunan.

   Tak terlalu besar badannya, juga tak terlalu kurus.

   Ia mengenakan caping hitam dengan kumis dan jenggotnya yang mulai ditumbuhi uban.

   Orang itu mengenakan pakaian abu-abu dan kancing bajunya tidak dirapatkan.

   Orang itu juga menyandang pedang di punggungnya, dan jari-jari tangannya mempunyai kuku yang panjang dan runcing.

   Dari balik capingnya, wajah itu terlihat angker dan bengis.

   Suara tuanya terdengar menggeram jika bicara.

   "Aku tidak mengenal siapa dirimu, Pak Tua. Aku hanya mengenal Putri Alam Baka itu!"

   Yang menyahut Putri Alam Baka dengan suara ketusnya.

   "Dia suamiku! Aku terpaksa kembali berada di sampingnya, karena dia bersedia membantuku melawanmu, juga melawan Betari Ayu untuk menebus kekalahanku di Bukit Garinda!"

   "O, jadi kau menghilang dari Bukit Garinda untuk meminta bantuan kepada bekas suamimu?! Hmm... ada berapa orang yang menjadi bekas suamimu? Mengapa tidak semuanya saja kau bawa kemari untuk menghadapi aku dan Betari Ayu?!"

   "Jangan sesumbar bacotmu, bocah ingusan!"

   Geram orang bertudung hitam.

   "Mulutmu bisa kurobek tanpa ampun lagi jika kau sesumbar di depanku!"

   "Pak Tua...!"

   Kata Suto dengan tegas.

   "Jangan merasa terlalu mudah merobek mulutku sebelum kau coba dulu merobek mulutmu sendiri! Karena merobek mulut orang itu pekerjaan yang sulit, apalagi orang itu mampu berkelit!"

   "Jangan mengguruiku, Setan!"

   Bentak orang berhidung hitam.

   "Kau tak patut mengguruiku. Bahkan gurumu sendiri, Bidadari Jalang, tak punya kepatutan mengguruiku!"

   "Hei, Pak Tua... siapa dirimu sehingga kau bawa-bawa nama bibi guruku itu?!"

   "Apakah gurumu. Bidadari Jalang, tak pernah bercerita tentang hutang nyawanya dengan guruku?"

   "Siapa nama gurumu, Pak Tua?"

   "Iblis Pulau Bangkai!"

   Suto terkesiap sejenak. Mencoba mengingat cerita bibi gurunya tentang Iblis Pulau Bangkai. Lalu Suto berkata.

   "Ya. Memang Bibi Guru pernah bercerita tentang musuhnya yang berjuluk Iblis Pulau Bangkai. Tapi dia sudah mati dan dengan mudahnya dikalahkan oleh Bibi Guru!"

   "Tapi dia masih punya satu murid lagi, Suto!"

   Kata orang bertudung hitam, dengan mudahnya menyebut nama Pendekar Mabuk.

   "Hmm... ya, seingatku Bibi Guru pernah bercerita tentang murid Iblis Pulau Bangkai yang bernama Nagadipa."

   "Akulah Nagadipa...!"

   Orang itu berkata dalam geram, kemudian membuka tudungnya dan menampakkan wajahnya yang ber tampang bengis itu. Rambutnya sedikit botak di bagian atasnya, tapi yang lainnya panjang sampai melewati pundaknya.

   "O, jadi kaulah murid tersisa dari Iblis Pulau Bangkai?!"

   "Ya. Dan bagaimana jika murid bertemu murid untuk membereskan hutang gurunya, hah?! Setelah kubereskan muridnya, segera akan kubereskan gurunya! Biar sama-sama meratap di dasar neraka!"

   Geram Nagadipa dengan matanya yang menampakkan kebengisan.

   Sepertinya ia sangat tak sabar ingin segera merobek-robek tubuh Pendekar Mabuk dengan kuku-kukunya yang panjang dan runcing itu.

   * * * E-book by.

   paulustjing Email.

   paulustjing@yahoo.com BIDADARI Jalang memang pernah bercerita kepada Suto tentang pertarungannya dengan Iblis Pulau Bangkai.

   Juga, cerita tentang murid Iblis Pulau Bangkai yang masih penasaran menuntut balas atas kematian gurunya.

   Tapi seingat Suto, Bidadari Jalang menceritakan tentang murid Iblis Pulau Bangkai yang bernama Nagadipa itu sebagai pemuda yang tampan dan menawan.

   Waktu Bidadari Jalang terakhir kalinya melawan Nagadipa di sebuah pantai, orang itu dengan ketampanannya hampir menjerat Bidadari Jalang, yang waktu itu terkena racun birahi dari Tiga Pendekar Tibet (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode.

   "Bocah Tanpa Pusar"). Hati Pendekar Mabuk sempat ragu melihat penampilan pak tua yang mengaku sebagai Nagadipa itu. Mulanya Suto menganggap orang itu hanya mengaku-ngaku saja sebagai Nagadipa supaya punya alasan bermusuhan dengan Suto. Tapi kejap berikutnya Suto menyadari, bahwa waktu Nagadipa melawan Bidadari Jalang di pantai, keadaan Suto masih kecil, masih berusia delapan tahun. Terbayang samar-samar dalam ingatan Pendekar Mabuk waktu ia menyaksikan pertarungan itu dari suatu tempat bersama gurunya; si Gila Tuak. Wajah Nagadipa memang masih tampan, berusia tiga puluhan, tapi sudah mampu membuat Bidadari Jalang terdesak mundur beberapa kali. Sekarang, dalam keadaan usia sudah semakin menua, tentu saja ilmunya semakin tinggi. Dua puluh tahun Nagadipa tidak pernah bertemu dengan Bidadari Jalang maupun Suto, tentunya ia sudah punya bekal cukup banyak untuk mengalahkan Bidadari Jalang. Agaknya Putri Alam Baka sangat mengunggulkan bekas suaminya itu. Dengan suaranya yang berat ia lontarkan kata kepada Pendekar Mabuk.

   "Rasa-rasanya usiamu tinggal sejengkal waktu lagi, Pendekar Mabuk. Sebaiknya pergilah bercinta dengan mayat Betari Ayu agar kau bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang terakhir kalinya, karena suamiku ini tak akan lamban dalam mencabut nyawamu!"

   "Kau salah duga, Putri Alam Baka! Betari Ayu tidak mati, justru akan bangkit menghadapimu dan menghancurkan tubuhmu!"

   "Omong kosong! Suamiku telah melepaskan pukulan dahsyatnya yang bernama 'Mata Iblis'! Tak mungkin ada lawan yang bisa selamat dari pukulan 'Mata Iblis'-nya!"

   Suto sunggingkan senyum meremehkan. Katanya.

   "Apa hebatnya pukulan 'Mata Iblis' kalau nyatanya Betari Ayu masih bisa tertolong?"

   "Dusta!"

   Bentak Nagadipa.

   "Pukulan 'Mata Iblis' tak bisa diselamatkan oleh ilmu apa pun!"

   "Nyatanya bisa!"

   Putri Alam Baka mengalihkan pandang pada Nagadipa dengan tatap kecewa.

   Kelihatannya ia mulai tampak bimbang dengan kesanggupan dan kehebatan Nagadipa.

   Melihat kebimbangan Putri Alam Baka, Nagadipa segera unjuk ilmu di depan bekas istrinya itu.

   Ia jejakkan kaki kanannya ke tanah satu kali.

   Jlegg...! Jejakan kaki itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang tersalur, membuat tubuh Pendekar Mabuk tersentak naik ke atas bagai terlonjak.

   Ilmu seperti itu juga dimiliki beberapa tokoh sakti, termasuk Datuk Marah Gadai.

   Tetapi, Pendekar Mabuk tetap tenang walau ia hampir tergelincir jatuh saat terlempar ke atas tadi.

   Ia pun sentakkan kakinya ke bawah dengan sangat pelan.

   Jliggg...! Dan, mendadak tubuh Nagadipa bagaikan amblas ke bumi sebatas mata kaki.

   Putri Alam Baka terkesiap melihat Nagadipa terbenam sebatas mata kaki.

   Nagadipa sendiri buru-buru hentakkan tubuh dan lepas dari tanah penjepit kakinya.

   Wiiigh...! Jlegg...! Kembali ia berdiri di samping Putri Alam Baka dan membatin.

   "Kurang ajar! Dia menguasai ilmu 'Telan Bumi' rupanya! Ilmu itu jarang dimiliki orang, kecuali si Gila Tuak! Untung ilmuku cukup tinggi, jika tidak bisa amblas ke bumi sekujur tubuhku!"

   Putri Alam Baka masih memandangi Nagadipa dengan curiga, ia kecewa melihat Nagadipa bisa tersedot ke dalam tanah, padahal Pendekar Mabuk hanya menjejakkan kaki dengan pelan.

   Jika Pendekar Mabuk menghentakkan kakinya dengan kuat, habis sudah tubuh Nagadipa ditelan bumi, pikir Putri Alam Baka.

   Perempuan bersenjata seruling itu lalu berbisik.

   "Mana kehebatanmu? Jangan-jangan kau tak mampu melawan Suto!"

   Bisikan itu ditangkap Pendekar Mabuk dalam jarak lima langkah.

   Tapi Pendekar Mabuk hanya diam saja, hanya sunggingkan senyum tipis.

   Nagadipa merasa diremehkan oleh Suto, lalu ia membalas dengan lemparan tudungnya ke arah Pendekar Mabuk.

   Tudung diambil dari kepala dan dilemparkan memutar dengan gerakan begitu cepat.

   Wuuut...! Pendekar Mabuk merendahkan kepalanya menghindari hempasan tudung hitam.

   Tetapi ternyata tudung itu mempunyai gelombang tenaga dalam yang membuat tubuh Pendekar Mabuk merunduk jadi tersungkur jatuh ke tanah.

   Sementara itu, tudung tersebut berputar terus dan kembali ke tempatnya semula.

   Tapp...! Tangan Nagadipa menangkapnya.

   Putri Alam Baka tersenyum lebar dengan wajah ceria.

   Ia merasa senang dan bangga melihat kebolehan jurus tudung Nagadipa.

   Wajah Pendekar Mabuk hampir saja mencium tanah karena tersungkur, bagai ada tenaga yang sangat kuat menghantam tengkuk kepalanya.

   Kalau saja tangannya tidak cepat mencagak, maka hidung dan mulutnya habis terbentur bebatuan yang ada di bawahnya.

   Pendekar Mabuk segera bangkit dan berhasil menggenggam kerikil di tangannya.

   Kerikil itu segera disentilkan ke arah tudung Nagadipa yang sudah dipakai di kepala.

   Zlappp...! Kerikil itu melesat tak dapat dilihat, tapi tiba-tiba tudung Nagadipa terhempas terbang dalam satu sentakan keras.

   Prakkk...! Putri Alam Baka dan Nagadipa sama-sama terperanjat kaget.

   Tudung itu jatuh antara tiga langkah dari tempat Nagadipa berdiri.

   Ketika diambil kembali, ternyata ada bagian tepinya yang bolong melompong sebesar biji salak.

   Nagadipa semakin terbelalak kaget.

   Ia membatin.

   "Gila! Tudung ini kulapisi dengan satu kekuatan baja yang tak bisa dirusak oleh kekuatan apa pun! Pedang setajam apa pun tak akan mampu melukai tudung ini. Tapi kenapa, sekarang bisa menjadi bolong begini? Hmmm... tentu ini ulah bocah ingusan itu! Jahanam...! Ilmunya tak bisa disepelekan!"

   Terdengar suara Putri Alam Baka berbisik.

   "Kenapa bisa berlubang tudungmu itu?!"

   "Entahlah!"

   Jawab Nagadipa. Ia merasa kesal mendapat pertanyaan seperti itu, karena merasa malu pada diri sendiri. Suto berkata dalam hatinya.

   "Putri Alam Baka ini agaknya terlalu banyak menuntut dari Nagadipa. Aku bisa mempengaruhi mereka dengan caraku sendiri agar mereka tidak saling bantu-membantu."

   Tapi sebelum Pendekar Mabuk sempat melakukan rencananya, Nagadipa sudah lebih dulu berkata.

   "Pendekar Mabuk! Sudah waktunya kau menjadi tumbal kesalahan gurumu, si Bidadari Jalang itu!"

   "Aku sudah siap menghadapi kalian berdua!"

   "O, tak perlu berdua. Cukup aku saja yang membereskan dirimu. Biar istriku jadi penonton yang baik!"

   "Majulah, Nagadipa. Tapi aku tak tanggung jika istrimu kecewa melihat polahmu seperti anak kecil!"

   "Bocah tak tahu diuntung!"

   Geram Nagadipa.

   "Hiaaat...!"

   Cepat sekali tangan Nagadipa bergerak berkelebat depan seperti orang melemparkan pasir ke atas.

   Dan pada saat itu, Pendekar Mabuk segera bersalto mundur satu kali, karena ia merasakan akan datangnya gelombang panas yang hampir menyambar tubuhnya.

   Dengan bersalto ke belakang satu kali, semburan gelombang panas itu terhindar darinya.

   Melesat mengenai sebatang dahan pohon, dan dahan itu tiba-tiba menjadi kering dalam sekejap.

   Putri Alam Baka kelihatan kagum dan bangga melihat serangan itu walaupun meleset, ia berkata kepada Nagadipa.

   "Desak terus dia. Jangan kasih kesempatan sedikit pun!"

   Baru saja diam mulut Putri Alam Baka, tiba-tiba Suto Sinting sudah meraih bumbung tuaknya yang sejak tadi berselempang di punggung.

   Bumbung itu dipegang bagian talinya dan kini diputar-putarkan di atas kepala.

   Wuung...! Wuuung....! Wuuung...!.

   Bunyi putaran bumbung menggaung bagaikan suara gangsing.

   Pada saat itu, tubuh Nagadipa pun ikut berputar-putar tak bisa dikendalikan berhentinya.

   Tubuh itu makin lama makin cepat berputar dan hampir saja menabrak Putri Alam Baka.

   Perempuan itu segera melompat ke samping, dan tubuh Nagadipa tertabrak batang pohon besar.

   Brusss...! Bluggg...! Tubuh itu pun jatuh dalam geram kesakitan dan kemarahan.

   "Bangun! Lekas bangun!"

   Sentak Putri Alam Baka kepada Nagadipa. Dengan perasaan masih pusing, Nagadipa pun berusaha untuk bangkit.

   "Lemah sekali kau! Baru menghadapi jurus begitu saja sudah sempoyongan seperti orang mabuk!"

   Pendekar Mabuk sengaja melontarkan ejekan.

   "Bawalah dia pergi. Aku yakin, dia tak tahu arah pulang ke rumahnya, Putri Alam Baka!"

   Perempuan itu menggeram marah karena bekas suaminya yang dibanggakan itu dihina oleh Suto. Maka, sambil mencabut serulingnya perempuan itu berkata.

   "Jangan merasa bangga dengan ilmumu itu, Suto! Tandingilah seruling saktiku ini jika kau berilmu tinggi!"

   Tuiiit...! Tulalit, tulalit, tulalit, tuiiii...! Seruling ditiup dengan suara lengking tinggi, iramanya tak pasti.

   Kalau tidak buru-buru Suto menutup telinganya dengan kedua tangan, maka gendang telinganya pasti akan pecah.

   Suara seruling itu ternyata merupakan suara tenaga dalam yang merayap melalui gelombang nada seruling.

   Bukan hanya membuat gendang telinga pecah, melainkan juga membuat hidung Suto mulai berdarah.

   Tubuhnya limbung karena menahan rasa sakit di setiap lubang yang ada pada tubuhnya, termasuk pada mulutnya.

   Tetapi anehnya, Nagadipa tidak merasakan sakit sedikit pun walau ia tidak menutup telinganya.

   Ia bahkan berdiri di samping Putri Alam Baka dan memperhatikan Pendekar Mabuk sempoyongan sambil menggeram kesakitan.

   Darahnya makin banyak keluar dari hidung.

   "Bunyikan terus serulingmu biar aku yang menyelesaikannya sekarang juga! Hiaaat...!"

   Kedua tangan Nagadipa terangkat dengan gemetar.

   Setiap kuku tangannya memercikkan bunga api warna biru, bagai tali-tali menyala yang berkeliaran mengelilingi kuku ke kuku, Pendekar Mabuk tak bisa bersiap menghadapi pukulan Nagadipa, karena tangannya mendekap lubang telinga kuat-kuat.

   Hanya saja, ia masih bisa melihat kelebatan kedua tangan Nagadipa yang mirip gerakan orang memercikkan tangan basahnya.

   Craaat...! Berkilap sinar biru yang menyerupai benang-benang menyala itu.

   Melesat sinar itu ke arah Suto.

   Dengan cepat kaki Suto menjejak ke tanah dan melompat lima langkah ke samping kanannya.

   Brukk...! Ia jatuh di sana dan melompat lima langkah ke samping kanannya.

   Brukkk...! Ia jatuh di sana sambil berguling dan tetap mendekap telinga.

   Bleger...! Suara ledakan menggema keras akibat cahaya biru dari kuku-kuku Nagadipa itu mengenai sebatang pohon yang tadi ditumbangkan oleh Pendekar Mabuk.

   Pohon itu pecah menjadi serpihan-serpihan kecil tak berbentuk sedikit pun.

   Tulalit, tuiiit...

   tuiit...

   tulaliiiit...

   tuiit...! Seruling semakin nyaring.

   Kepala Pendekar Mabuk bagaikan mau pecah rasanya.

   Ia menahan tangisnya kuat-kuat untuk menutup telinga agar tak ditembus suara seruling itu.

   Sementara darah sudah mulai banyak keluar dari lubang hidung, sudut mata dan mulut.

   Ia terpisah dari bumbung tuaknya, sehingga ia tidak bisa meggunakan bumbung itu untuk menangkis atau melawan serangan Nagadipa dan Putri Alam Baka.

   Pendekar Mabuk berdiri dengan lututnya sambil mulutnya ternganga menahan rasa sakit di kepala.

   Pada waktu itu ia melihat Nagadipa melepas tudungnya, dan melingkari tudung itu dengan jari tangannya.

   Maka, tudung itu tersebut menjadi menyala biru.

   "Mampuslah kau sekarang, murid sinting! Hiaaat...!"

   Nagadipa melemparkan tudung itu ke arah Pendekar Mabuk. Wusss...! Suto Sinting yang dalam keadaan tak bisa menghindar dan menangkis serangan itu akhirnya menyentakkan napasnya dari mulut.

   "Hahhh...!"

   Wuuuoosss...! Terlepaslah badai topan yang begitu mengganas menyerang Nagadipa dan Putri Alam Baka.

   Sentakan napas Pendekar Mabuk itu tak seberapa keras, tapi telah membuat tubuh Nagadipa terlempar jauh, lebih dari sepuluh langkah, sedangkan Putri Alam Baka terlempar lebih jauh, bahkan sampai terseret-seret dan berdarah.

   Pohon besar meliuk nyaris tumbang.

   Sedangkan pohon yang berukuran sedang telah rubuh ke tanah.

   Beberapa pohon berukuran satu pelukan tangan lebih sedikit, tumbang dengan akarnya terangkat naik, bahkan terseret ke mana-mana, menghantam apa saja yang ada hingga dahannya menjadi retak, patah tak karuan.

   Gerakan pohon yang patah itu menghantam pula tubuh Nagadipa beberapa kali.

   Orang itu berusaha berpegangan pada salah satu akar pohon yang tumbang.

   Tapi karena kuatnya pegangan, pohon itu justru ikut terseret menjauhi Suto.

   Akhirnya pegangan tangan itu terlepas, Nagadipa terguling-guling.

   Tudungnya entah ada mana.

   Sedangkan Putri Alam Baka pun entah ke mana.

   Badai topan yang datang begitu mengerikan.

   Sepertinya bumi akan terbelah, langit akan runtuh.

   Seketika itu pula kabut hitam mendung menggantung di angkasa.

   Gumpalan-gumpalan kabut itu meliuk-liuk bagai ada topan dahsyat di atas sana.

   Matahari tertutup oleh kabut tebal yang bergulung-gulung mengerikan.

   Suara gemuruh tak jelas dari jenis apa saja.

   Binatang-binatang hutan saling berjeritan membuat suasana alam menjadi semakin gaduh dan riuh.

   Beberapa saat kemudian, badai menjadi reda.

   Sedikit demi sedikit kabut hitam di angkasa itu menyisih, cahaya matahari kembali tampak menyinari bumi.

   Suara gemuruh gaduh pun mulai reda.

   Suto berdiri dengan mata terbelalak tak berkedip.

   Ia sama sekali tak menyangka kalau sentakan napasnya menjadi sedemikian dahsyat dan mengerikan.

   Bumi seperti habis dilanda kiamat setempat.

   Bahkan Suto melihat tanah yang longsor pada sebuah lereng.

   Ada yang terbongkah dari keadaan aslinya.

   Batu-batu yang semula terpendam di tanah dan hanya muncul di permukaan sedikit itu juga ada yang terpental keluar dan menggelinding jauh dari tempat awalnya.

   Entah berapa yang tumbang dan rusak berat akibat badai dahsyat tadi.

   Bahkan pohon besar pun sampai sekarang masih meliuk dan tak bisa kembali tegak dari posisinya semula.

   "Pusaka Tuak Setan...?!"

   Gumam Suto menjadi tegang dan ngeri sendiri.

   "Aku telah menghempaskan napasku, dan napas itu adalah napas Tuak Setan! Oh, mengerikan sekali?! Lantas bagaimana nasib Nagadipa dan Putri Alam Baka...?! Di mana mereka?!" * * * PUTRI Alam Baka ditemukan oleh Maharani dalam keadaan sangat menyedihkan. Maharani, satu dari beberapa orang yang lolos dalam peristiwa 'Murka Sang Nyai' itu, baru saja tiba dari Pulau Hantu untuk menemui si Mawar Hitam, tokoh sesat yang sebetulnya sudah tidak ingin turun ke rimba persilatan kecuali berhadapan dengan Bidadari Jalang. Maharani sungguh terkejut dan menjadi berang melihat teman seperguruannya dalam keadaan terkoyak-koyak sekujur tubuhnya. Mata kakinya remuk karena terhimpit batu besar, serulingnya pecah dalam genggaman sendiri, darah membungkus seluruh bagian tubuh Putri Alam Baka, hingga hampir-hampir wajahnya tak dikenalinya lagi. Jika tak melihat seruling pecah di tangannya, Maharani tak dapat mengetahui siapa tubuh yang terkapar berlumur darah itu.

   "Sumbi!"

   Panggil Maharani menyebut nama asli Putri Alam Baka.

   "Apa yang terjadi si sini, Sumbi? Mengapa jadi begini?!"

   Putri Alam Baka masih punya sisa napas walau sejengkal.

   Matanya yang kiri nyaris keluar dari rongganya, namun mata yang kanan masih bisa dipakai untuk melihat walau hanya terbuka kecil sekali.

   Bibirnya yang hancur karena benturan dengan benda keras beberapa kali itu mencoba bergerak-gerak untuk bicara.

   "Oh, Sumbi... tak bisakah kau bicara lebih jelas lagi?"

   Maharani terpaksa dekatkan telinga ke mulut Putri Alam Baka Samar-samar terdengar Putri Alam Baka ucapkan kata.

   "Su... to...!"

   Setelah itu ada napas kecil yang terlepas dari mulut Putri Alam Baka. Lepasnya napas itu bersamaan dengan tergoleknya kepala ke samping. Lemas dan lunglai. Setelah itu, tak ada lagi gerakan maupun suara dari Putri Alam Baka.

   "Sumbi!"

   Seru Maharani menyentak dalam nada tegang.

   "Sumbi! Apa maksudmu dengan Suto?! Jawablah, Sumbi! Sumbiii...!"

   Maharani guncangkan tubuh berlumur darah itu.

   Tapi si pemilik tubuh tetap diam membisu tanpa napas sedikit pun.

   Lalu, meraunglah tangis Maharani begitu menyadari temannya sudah tidak bernyawa lagi.

   Hati Maharani diguncang duka dan kemarahan yang begitu hebat.

   Tak tahu pasti apa penyebab kematian satu-satunya teman yang tersisa dari perguruannya, Maharani mengamuk tanpa arah dan sasaran.

   Hanya batang-batang pohon, bongkahan-bongkahan batu, dan benda-benda di sekitarnya yang menjadi sasaran kemarahan Maharani.

   Benda-benda itu dihancurkan dengan pukulan dan tendangan bertenaga tinggi.

   Senjata kipasnya pun ikut ambil bagian menghantam ke sana-sini hingga timbulkan suara ledakan yang menggetarkan tanah sekitarnya.

   "Hentikan! Hentikan!"

   Seru seseorang dengan suara gemetar.

   Maharani cepat palingkan wajah dengan napas terengah-engah.

   Ia segera kenali orang yang tanpa tudung lagi namun masih berpakaian abu-abu itu.

   Pakaiannya compang-camping bagai habis dikoyak cakar beruang.

   Kulit tubuhnya pun terluka banyak, seolah habis dirobek-robek oleh dua ekor harimau jantan.

   Orang berkumis dan berambut banyak uban itu tak lain adalah Nagadipa.

   Maharani tertegun melihat keadaan Nagadipa seperti itu.

   Setahunya, Nagadipa orang berilmu tinggi yang jarang bisa dilukai oleh lawan.

   Tapi mengapa sekarang keadaan lukanya sedemikian parah? Maka, Maharani pun segera ajukan tanya kepada Nagadipa yang berdiri dengan bersandarkan tubuh pada pohon yang masih tegak berdiri.

   "Apa yang terjadi, Nagadipa?! Mengapa bumi bagaikan habis dilanda banjir dan badai yang buas begini? Mengapa Putri Alam Baka menderita luka sebegitu parahnya hingga tak bernyawa lagi?!"

   "Bawalah aku pergi ke tempat yang aman. Lekas! Nanti kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Aku butuh tempat aman untuk mengobati luka-lukaku ini, Maharani!"

   "Nagadipa...."

   "Bawalah aku! Tenagaku tak kuat lagi untuk bertahan!"

   Tak ada pilihan lain buat Maharani.

   Ia harus segera membawa Nagadipa pergi.

   Tempat yang dipilihnya juga tak ada yang lain kecuali ke tempat asal Nagadipa, yaitu sebuah pulau yang dikenal dengan nama Pulau Bangkai.

   Pendekar Mabuk melihat kelebatan Maharani yang membawa pergi Nagadipa.

   Tapi Pendekar Mabuk sengaja tidak mengejarnya.

   Ia masih ingin memeriksa keadaan alam sekitarnya, sejauh mana bencana yang ditimbulkan oleh kekuatan dahsyat dari napas Tuak Setan.

   Sebenarnya Pendekar Mabuk sudah sering mendengar akibat yang ditimbulkan dari napas Tuak Setan.

   Tapi untuk kali ini Suto benar-benar merasa heran dan juga menyesal.

   Karena pada waktu ia sentakkan napas dari mulutnya, ia tidak bermaksud melepaskan Pusaka Tuak Setan dari dalam napasnya itu.

   Ia menyentakkan napas karena ingin membuang rasa sakit yang tak tertahankan lagi, yang ditimbulkan akibat suara seruling Putri Alam Baka itu.

   Terngiang kembali ucapan gurunya, si Gila Tuak, saat membicarakan tentang Pusaka Tuak Setan.

   "Orang yang menelan atau meminum Pusaka Tuak Setan, akan mempunyai napas yang luar biasa dahsyatnya. Sedikit napas tersentak dari mulut orang yang diliputi kemarahan, maka badai topan yang amat dahsyat akan menghembus keluar dan memporak-porandakan alam sekitarnya. Karena itu, aku tak berani menggunakan Pusaka Tuak Setan, karena aku masih sering dihinggapi amarah yang walau dipendam tetap akan menghasilkan napas badai yang dapat membawa korban tak bersalah...."

   Korban tak bersalah memang ada.

   Bukan harus dalam wujud manusia, tapi hancurnya sebidang tanah hutan juga bisa digolongkan sebagai korban tak bersalah.

   Binatang-binatang hutan yang mati tergencet pohon, atau pecah terbentur benda keras dengan kekuatan tinggi, juga sebagai korban tak bersalah.

   Pendekar Mabuk bergidik sendiri melihat seekor babi hutan pecah kepalanya di dekat bongkahan batu besar.

   Kulit babi hutan itu tercabik-cabik terkelupas dari tubuhnya.

   Pohon-pohon hutan bagaikan rata dengan tanah.

   Ambruk tak tertolong lagi.

   Akar-akar pohon terpental keluar dari dalam bumi.

   Persawahan pun hancur lebur tak berbentuk barisan tanaman padi lagi.

   Badai yang ganas itu untung tak sampai memporak-porandakan sebuah desa yang letaknya jauh dari lereng bukit itu.

   Namun dari tempat Suto berdiri, ia melihat sebatang pohon kelapa tumbang dan beberapa genteng melorot dari atap.

   Suto pun segera lari ke desa untuk melihat lebih jelas lagi.

   Ternyata memang tidak ada korban manusia di sana kecuali dua ekor kerbau yang sedang dilepas di tepian sawah dekat tanah lapang.

   Dua ekor kerbau itu masing-masing dalam keadaan kepala pecah dan tubuh terkoyak-koyak.

   Dua ekor kerbau itu mati dalam keadaan telentang, keempat kakinya mengeras ke atas.

   Dari percakapan orang-orang desa itu terpetik satu kesimpulan dalam benak Suto, bahwa mereka hanya mengalami rasa takut yang begitu hebat.

   Bahkan ada yang menyangka langit akan rubuh dan bumi akan mengalami kiamat.

   Kerugian yang ditimbulkan dan diderita oleh penduduk desa itu tak seberapa banyak, kecuali pemilik dua ekor kerbau yang genteng atap rumahnya hampir melorot semua.

   Kepada pemilik dua ekor kerbau itu, Suto memberikan sejumlah uang sebagai ganti ruginya.

   "Uang untuk apa itu, Anak Muda?"

   "Terimalah saja, Pak. Kurasa cukup untuk membeli dua ekor kerbau dan membenahi genteng rumahmu."

   Pendekar Mabuk memang tidak jelaskan apa yang terjadi dan apa yang menjadi penyesalannya.

   Mereka belum tentu mau percaya dengan omongan Suto Sinting.

   Buatnya yang penting sudah menebus penyesalan itu dengan memberikan uang ganti rugi secukupnya kepada korban tak bersalah.

   "Mudah-mudahan jangan lagi aku menggunakan napas Tuak Setan-ku ini. Aku harus bisa mengendalikan amarahku dan menahan diri untuk tidak melampiaskan amarah dengan hembusan napas. Kalau tidak sangat terpaksa dan tak punya jalan lain, jangan lagi kugunakan napas Tuak Setan-ku ini! Kasihan mereka yang tak bersalah menjadi korban keganasan napas Tuak Setan!"

   Pikir Suto sambil langkahkan kaki meninggalkan desa itu.

   Ia ingin memeriksa alam di sisi lain, barangkali ada korban lain yang menderita akibat amukan badai dahsyat dari napas Tuak Setan-nya itu.

   Tiba di pinggiran sungai bertanggul tinggi, langkah Suto terhenti seketika karena anak panah yang meluncur cepat dan jatuh menancap tanah di depan langkahnya.

   Secara gerak naluri Pendekar Mabuk melenting ke atas dan bersalto mundur satu kali.

   Kemudian setelah sepasang kakinya tegak berdiri di atas sebuah batu besar yang tingginya dua depa dari tanah, Suto memandang arah datangnya anak panah itu.

   Ternyata dari atas tanggul, dan diluncurkan dari busur seorang lelaki kerdil berambut jarang.

   Bagian tengah kepalanya tak ditumbuhi rambut sedikit pun.

   Botak polos dan mengkilap.

   Tapi dari bagian atas telinga memutar sampai di telinga satunya lagi ditumbuhi rambut sedikit lebat.

   Panjangnya kurang dari batas pundak.

   Karena tak terlalu lebat, rambut itu seolah-olah bisa dihitung jumlahnya.

   Lelaki kerdil yang tingginya sebatas perut Suto itu melompat dengan gerakan lincah dan ringan.

   Dari atas tanggul ia bersalto turun dua kali.

   Kejap selanjutnya ia sudah berdiri di depan Suto.

   Kepalanya mendongak keatas, karena di samping Pendekar Mabuk lebih tinggi, juga karena keadaan Pendekar Mabuk saat itu di atas batu tinggi.

   Ia berseru dengan tangan masih menggenggam busur panah, sedangkan tempat menaruh anak panah lainnya ada di punggung.

   Tempat menaruh anak panah itu terbuat dari kulit berbentuk kantung panjang warna hitam kecoklatan, mempunyai tali pengait yang membuat anak panahnya tidak jatuh berantakan walau dipakai jungkir balik di udara.

   "Kaukah yang... yang... namanya Sut... Suto?!"

   Serunya sambil menyunggingkan senyum yang lebih tepat dikatakan sebagai seringai yang konyol.

   Suto melompat turun dari atas batu.

   Wuuttt...! Kejap berikut ia sudah berada di depan lelaki kerdil yang bertampang tua itu.

   Dilihat dari ketuaan wajahnya, Suto menduga lelaki itu berusia antara lima puluh tahun lebih, namun belum sampai enam puluh tahun.

   Cukup waspada Suto memperhatikan gerak-gerik orang aneh itu.

   Yang diperhatikan ternyata tidak menimbulkan kesan bermusuhan.

   Orang itu mencabut anak panahnya yang tadi menancap di tanah sambil berlari-lari diiringi bibir yang cengar-cengir.

   Kemudian kembali menemui Suto setelah mendapatkan anak panahnya.

   "Siapa kau, Pak Tua?"

   "He he he... ja... jawab du... dulu pertanyaanku! Kau... kau yang bernama Sut... Sut... Suto?"

   "Ya. Aku Suto, murid sinting si Gila Tuak!"

   Jawab Suto dengan tegas sambil tetap pandangi orang kerdil berpakaian serba putih dari bahan kulit binatang berbulu putih.

   Bentuk celananya pendek, bentuk bajunya mirip rompi panjang.

   Semuanya dari kulit binatang, yang menurut dugaan Suto adalah kulit beruang putih.

   Di pinggang orang itu terselip dua pisau bersarung yang panjangnya satu setengah jengkal.

   Masing-masing ada di pinggang kiri dan kanan.

   "Sen... senang sekali aku bis... bisa bertemu denganmu, Suto!"

   Dalam hati Pendekar Mabuk membatin.

   "Orang ini bicaranya tersendat-sendat. Apakah karena dia gugup bertemu denganku atau karena memang begitulah lagak bicaranya?"

   Orang itu segera ucapkan kata lagi.

   "Nam... nam... namaku... Gatra Laksana, tap... tapi julukanku... Dewa Racun!"

   Pendekar Mabuk akhirnya tertawa seperti orang menggumam, ia merasa geli sendiri melihat Dewa Racun bicaranya seperti orang tertelan biji kedondong. Dan melihat Suto tertawa, Dewa Racun kerutkan dahi dalam tatap matanya yang sedikit menyipit itu.

   "Ken... ken... kenapa kamu ter... ter... tertawa?"

   "Aku menertawakan diriku sendiri. Alangkah bodohnya aku ini, tak bisa mengenali tokoh tua yang berjuluk Dewa Racun,"

   Jawab Suto mengalihkan anggapan, walau sebenarnya ia memang tak kenal dan belum pernah mendengar nama Dewa Racun. Mendengar jawaban itu, Dewa Racun tampaknya tak jadi tersinggung, ia segera ucapkan kata gagapnya.

   "Kal... kal... kalau begitu, kau termasuk or... orang beruntung."

   "Mengapa beruntung?"

   "Kar... karena kau sekarang sudah bisa mengenal dan berhadapan langsung de... dengan... Dewa Racun!"

   "Apa hebatnya orang ini sehingga aku dianggap beruntung bisa berhadapan dengan Dewa Racun?!"

   Pikir Suto. Dewa Racun berkata lagi.

   "Nam... namamu juga cuk... cuk... cuk...."

   "Cukur?!"

   Sahut Suto "Bukan. Cuk... cukup dikenal di kalangan rim... rimba persilatan. Ak... aku dengar kau murid si Gila Tuak yang cuk... cukup terkenal itu. Dan... dan... aku dengar kau cari-cari pe... pe..."

   "Penyamun?!"

   "Bukan. Perempuan! Ya, aku dengar kau cari-cari pe... perempuan yang ber... bernama Dyah Sariningrum."

   Tersentak kaget Pendekar Mabuk mendengarnya.

   Senyumnya hilang seketika begitu mendengar nama Dyah Sariningrum disebutkan oleh Dewa Racun.

   Ia maju setindak dan rendahkan badan, setengah jongkok di depan Dewa Racun agar wajahnya sejajar dengan wajah si kerdil itu.

   "Apakah kau mengenal Dyah Sariningrum?"

   "Ya. Ak... aku kenal nama itu,"

   Jawab Dewa Racun.

   "Tap... tap... tapi aku tidak tahu siapa dia dan di mana dia."

   "Dari siapa kau tahu nama Dyah Sariningrum?"

   "Dar... dar... dar... dar...."

   "Cepat katakan! Jangan hanya main dar-daran saja?!"

   Sentak Suto tak sabar.

   "Maksudku, dar... dari mulut Peramal Pikun!"


Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pendekar Sejagat Karya Wen Rui Ai

Cari Blog Ini