Ceritasilat Novel Online

Emas Di Ngarai Gelap 1


Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario Bagian 1



Kolektor E-Book
adalah sebuah wadah nirlaba bagi para pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi pengetahuan dan pengalaman.

   Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan di pasaran dari kepunahan, dengan cara mengalih mediakan dalam bentuk digital.

   Proses pemilihan buku yang dijadikan objek alih media diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan, usia, maupun kondisi fisik.

   Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek buku yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital sesuai kebutuhan.

   Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.

   Salam pustaka! Team
Kolektor E-Book
EMAS Di NGARAI GELAP Karya .

   Darmo Ario Penerbit .

   ANALISA c.v.

   JAKARTA 1966 Pustaka Koleksi .

   Aditya Indra Jaya Image Source .

   Awie Dermawan Kontributor .

   Yons Juli 2019, Kolektor - Ebook1 PENDAHULUAN CERITERA ini sesungguhnya berasal dari ceritera2 rakyat didaerah lereng Gunung Talang, terutama disebelah Timurnya, yaitu, dari Alahan Panjang, Salimpat, Talang Babungo, Sariak Alahan Tigo, dan Sungai Abu, Nagari2 ini (negeri, menurut cerita2 orang2 tua, terbilang nagari2 yang makmur, tapi kini hanya merupakan dusun2 yang tidak dapat dicari dalam peta ilmu bumi sekolah dasar diabad sekarang ini.

   Sudah jelas bahwa ceritera rakyat itu berasal dari beberapa abad yang lalu, ketika di Alam Minang Kabau belum dikenal mata uang sebagai alat pembayaran, Nagari2 tersebut diatas terletak sepanjang aliran Sungai Gumanti (Batang Gumanti) yang bersumber di danau di Baruah.

   Sungai ini kemudian menjadi Sungai Batanghari sampai kedaerah Jambi, dan bermuara di pantai Selatan.

   Dalam ceritera2 yang telah mendahului ceritera ini, pernah juga dikisahkan tentang Orang Lecoh, yaitu orang2 kerdil yang mendiami hutan belantara didaerah Minang Kabau, Jambi dan Palembang.

   Juga tentang Urang Gadang (orang besar) pernah dikisahkan pula, yaitu, sebangsa orang hutan yang amat besar yang tingginya sampai mencapai enam meter, Makhluk2 ini suka minta tembakau pada pedagang2 yang bermalam dalam hutan.

   Cara2nya minta tembakau itu yalah dengan menjulurkan tangannya yang besar dan berbulu ketengah2 kumpulan orang yang mengelilingi api unggun dan menyebut.

   "

   A K A U "

   Yang maksudnya, tembakau.

   Ceritera2 ini berasal dari masa, ketika jalan2 belum ada, yaitu jalan yang kita kenal dimasa sekarang ini.

   Yang disebut jalan ketika itu, hanyalah yang merupakan jalan-2 kecil dihutan yang hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki, atau menunggang kuda, Demikianlah perhubungan nagari yang satu kenagari yang lain.

   Dan perjalanan menempuh jalan-2 kecil itu sangat berbahaya, maka karena itulah sangat di butuhkan keberanian, kepribadian yang kuat, kepandaian dan kegesitan dalam ilmu pertahanan diri, ilmu silat.

   Mereka yang mengunjungi nagari2 lain, seperti dari Alahan Panjang ke Sungai Abu, adalah dengan niat menukar barang2 kerajinan mereka dengan barang2 yang mereka butuhkan, yang dibuat oleh penduduk Sungai Abu.

   Misalnya, Orang Alahan Panjang, karena sudah pandai menempa besi, ,membawakan mata bajak, rudus dan lain sebagainya ke Sungai Abu, untuk ditukar disana dengan pasangan serta bajaknya yang terbuat dari kayu keras, Sungai Abu ialah nagari yang menghasilkan kayu2 keras yang mereka ambil didalam hutan, sedang di Alahan Panjang hutan sangat tipis.

   Hutan2 lebat terletak sangat jauh dilereng gunung yang susah dicapai, Selain itu, nagari2 lain seperti Talang Babungo dan Sariak Alahan Tigo mempunyai keistimewaan masing2.

   Dikedua nagari terdapat banyak emas, sehingga penduduk kedua nagari itu terbilang2 penduduk yang paling makmur dimasa itu.

   Selain itu Sariak Alahan Tigo terkenal pula dengan tikar pandannya yang baik2 dan bagus2.

   Karena keadaan kepandaian berbeda2 ini, maka terjadilah tukar menukar alat2 kebutuhan sehari2 sampai pada alat2 keperluan pertanian dan sebagainya.

   Dan istilah tukar menukar ini hingga kini masih dapat kita dengar dikampung2, sebab bila seorang Ibu yang hendak pergi kepasar ditegor oleh seorang temannya biasa menyahut,, Pui manuka kapasa", artinya pergi menukar kepasar.

   Meskipun si Ibu itu membawa uang sebagai alat pembayaran, namun dia masih saja memakai istilah uang itu, MENUKAR.

   Yang dimaksud dengan Taratak.

   ialah sebuah kampung yang dibangun oleh beberapa keluarga.

   Tidak jarang pula Taratak ini berkembang menjadi satu nagari, dan nama Taratak itu tetap melekat pada Nagari itu sehingga kaburlah maksud yang sebenarnya dari TARATAK itu.

   Kini, marilah kita mulai dengan kisah TARATAK BARU ini.

   TARATAK BARU.

   PADA pagi itu udara dipegunungan sangat sejuk.

   Angin yang bertiup rasa menambus kedalam tulang, tapi bagi si Kilai, kepala Nagari Taratak Baru, udara sejuk itu sama sekali, tidak mengganggu.

   Malahan ia merasa tubuhnya panas, dan napasnya sesak ketika ia sampai didataran puncak Bukit Tinjauan yang luasnya hanya kira2 sepuluh meter persegi itu.

   Matanya memandang kepuncak batu yang menjulang tinggi diatas dataran itu.

   Anak tangga yang dipahatkan dalam batu karang itu menuju kepuncaknya.

   Kepala Nagari, itu berhenti sebentar melepaskan lelahnya, Meskipun ia masih muda, kira2 berumur duapuluh lima tahun, namun pendakian menjelang sampai kedataran Bukit Tinjauan itu menyesakkan napasnya juga.

   Matanya memandang keliling, se-olah2 hendak menembus belukar yang melingkari dataran kecil itu.

   Ia seperti teringat pada satu peristiwa yang pernah terjadi ditempat itu.

   Setelah napasnya yang sesak itu berasa lega, maka si Kilai mendaki kepuncak batu yang tingginya kira2 tujuh meter dari dataran kecil itu.

   Tiba diPuncak ia bersandar pada dinding batu karang, kemudian meluncurkan badannya sampai terduduk diatas batu yang datar, sengaja dipahatkan untuk tempat duduk orang yang ditugaskan mengawal ditempat itu.

   Dikakinya tampak sebuah lobang dalam batu, dan didalam lobang itu tampak sebuah tongtong.

   Palu untuk memukul tong-tong itu terdapat didalam tong-tong itu.

   Benda yang ter buat dari kayu itu sudah hampir lapuk karena ditimpa hujan dan dijemur cahaya matahari.

   Kepala Nagari Taratak Baru itu melayangkan pandangannya keliling3 dari tempatnya yang ketinggian itu.

   Jauh dihadapannya terbentang daerah peguungan yang ditumbuhi oleh hutan lebat, dengan pohon2 kayunya yang besar2.

   Dilatar belakang tampak puncak Gunung Talang yang senantiasa menyemburkan asap dari dalam kepundannya, dan lebih jauh lagi tampak dua puncak Gunung lagi sebesar jeruk Bali saja tampaknya dari tempatnya itu, yaitu puncak2 Gunung Merap dan Singgalang.

   Kedua gunung itu dimasa itu seperti berlomba2 mengeluarkan asap dari perutnya.

   Ketika ia menukikkan pandangannya kekaki Bukit Tinjauan itu, tampak olehnya mulut ngarai yang menganga, berbelok2 sampai menghilang diselubungi hutan lebat.

   Tepat dimuka kaki bukit itu tampak sebuah jembatan bergantung yang terbuat dari rotan berjalin.

   Diseberang jembatan bergantung itu tampak jalan kecil gundul menguning, yaitu jalan yang biasa ditempuh oleh orang yang pergi dan datang ke Taratak Baru.

   Jembatan yang terbuat dari rotan itu setiap tahun harus diperbaiki.

   Penduduk Taratak Baru bergotong royong memelihara keutuhan jembatan itu.

   Sebagian pergi masuk hutan mencari rotan, dan sebagian lagi, menjalin rotan2 itu sampai menjadi tali yang kasar dan kuat, dan sebagian lagi merentang dan mengikatkan tali2 yang baru dibuat itu keseberang ngarai yang dalam itu.

   Jembatan yang baru separo lapuk itu telah ditukar sebelum dapat membahayakan orang2 yang melintas diatasnya, yang membawa beban dan kadang2pun ternak, seperti sapi dan kerbau.

   Pemakaian jembatan bergantung itu diatur dengan rapih sekali.

   Diujung dan pangkal jembatan2an itu ada seorang penjaga yang mengatur penyeberangan.

   Serombongan empat orang yang menjunjung beban boleh sekaligus menyeberang, tapi mereka yang membawa ternak, hanya boleh menuntun seekor sapi atau kerbau saja melewati jembatan itu.

   Dengan jalan demikian keselamatan orang yang mempergunakan jembatan itu terjamin, berkat pimpinan yang bijaksana dari kepala Nagari Taratak Baru.

   Inilah sebabnya pula maka si Kilai sangat disayang dan dihormati oleh anak nagari Taratak Baru yang kian lama kian bertambah itu.

   Dari tempatnya yang ketinggian si Kilai memperhatikan ngarai yang dalam serta gelap dibawahnya itu.

   Sudah lima tahun ia menjadi kepala Nagari di Taratak Baru itu, semenjak ia diangkat oleh penduduknya, tapi sampai pada saat itu ia belum mengetahui apa isi ngarai yang dalam serta gelap itu.

   Pinggir ngarai itu ditumbuhi oleh belukar dan pohon kayu dengan akar2nya yang menjulaj sampai kedasar nya, tersumbur dari sela2 batu yang merupakan dinding kukuh ngarai itu.

   Air jernih senantiasa menetes dari sela2 begitu hitam berlumut.

   Tentulah udara didalam ngiarai itu sangat dingin dan lembab.

   Kepala Nagari yang bijaksana itu adalah seorang yang tidak suka membuang waktu dengan percuma, maka hingga saat itu tidak pula menampak kemanfaatan untuk memeriksa isi ngarai itu.

   Pemandangan pada ngarai itu hanya mengingatkannya pada peristiwa yang terjadi4 jujung dan pangkal jembatan bergantung itu, ketika ia bersama kawan2nya, di bawah pimpinan seorang pemuda bernama Malin Bungsu, merebut Taratak Baru dari tangan seorang penjahat yang bernama si Cengkok.

   Empat mayat pengawal2 penjahat itu telah masuk kedalam ngarai.

   Kini tentu hanya tinggal tulang belulangnya saja.

   Dengan sendirinya si Kilai teringat pula pada kejadian kira2 lima bulan setelah ia diangkat menjadi kepala Nagari di Taratak Baru.

   Diputarnya badannya untuk memandang ke Taratak Baru yang terbentang dibalik Bukit Tinjauan itu.

   Taratak Baru dalam masa lima tahun telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.

   Lima tahun yang silam, daerah yang dihuni orang hanyalah bagian yang dilingkari oleh pagar yang terbuat dari rujung berduri itu, tapi kini didalam lingkungan pertahanan maupun didaerah diluarnya, tampak rumah2 bergonjong berdiri disana sini.

   Petani 2 yang mendapat pembagian tanah untuk digarap lebih suka membuat rumah mereka diatas tanah mereka sendiri supaya dekat pada pekerjaan mereka.

   Daerah dalam lingkungan pagar yang telah padat dengan rumah2 penduduk, menjadi pusat Taratak Baru, dan kumpulan2 dari empat sampai lima buah rumah yang tersebar dilereng2 bukit merupakan perluasan dari Nagari Baru itu.

   Sebenarnya nama Taratak itu sudah tidak sesuai lagi, tapi karena dari semula telah diberi nama Taratak Baru, maka nama Nagari itu tetap saja Taratak Baru.

   Si Kilai teringat pada masa ia mula2 menjadi kepala Nagari.

   Ketika itu penduduk Taratak Baru terdiri dari empat puluh enam orang prajurit bekas tawanan perang yang dibebaskan, termasuk si Kilai sendiri, ditambah kira2 seratus petani lelaki dan wanita yang diculik oleh penjahat yang bernama Si Cengkok itu, mereka dijadikannya budak2 untuk menggarap tanah menjadi sawah serta untuk keperluannya sendiri.

   Penjahat itu ingin menjadi raja di daerah itu, tapi ia telah dapat dibasmi oleh seorang pendekar bernama Malin Bungsu.

   Karena itu penduduk Taratak Baru terlepas dari belenggu penindasan penjahat yang kejam itu dan semenjak itu pula Taratak Baru mengalami kemajuan yang pesat.

   Petani2 yang dibawa ke Taratak Baru sebagai budak lebih suka menetap di Nagari Baru itu karena tanahnya sangat subur.

   Pengairan untuk sawah2 cukup, malahan lebih dari cukup.

   Tanah peladangannya, karena berasal dari tanah hutan yang d tebas, sangat subur.

   Padi ladang, jagung dan tanaman2 lain tumbuh dengan sangat suburnya, dan hasil panen berlipat ganda dari hasil panen di tempat asal mereka.

   Karena itu bekas budak2 itu pergi kenegeri asal mereka untuk menjemput keluarga dengan demikian penduduk Taratak Baru makin lama makin ramai.

   Rumah2 bertambah ganyak.

   Juga bekas2 prajurit bekas tawanan perang, seperti si Kilai sendiri, telah pandai bercocok tanam meskipun mereka berasal dari daerah pesisir, dimana pertanian diserahkan pada orang2 dusun saja.

   Karena penduduk Taratak Baru bertambah banjak, maka terbuka pula kesempatan bagi bekas2 prajurit yang telah menjadi tani itu, untuk5 diterima menjadi menantu oleh petani, yang membawa sanak saudara mereka ke Taratak Baru.

   Penghidupan berlangsung dengan rukun dan damai, karena mereka sudah menciptakan hubungan keluarga dengan perkawinan, sudah sumanda menyumanda, kata orang.

   Kepala Nagari Taratak Baru melayangkan pandangannya kekelompok2 rumah di-lereng2 gunung.

   Matanya kemudian menjelajahi seluruh daerah yang menjadi tanggung jawabnya, maka sampailah pandangannya pada dua buah tumpukan tanah yang tingginya kira2 tiga meter dan lebarnya ki ra2 tiga meter pula, tapi yang sebuah berbeda dalam pandangannya, yaitu dua kali sepanjang yang lain.

   Si Kilai mengetahui apa sebabnya terjadi perbedaan itu, ialah karena dibawah tumpukan tanah yang panjang itu, terkubur lima mayat Urang Gadang yang tingginya enam meter.

   Dibawah tumpukan tanah yang sebuah lagi, terkubur tigapuluh-tiga mayat perampok2 yang henclak merebut kembali Taratak Baru.

   Tapi berkat keberanian pemuda Malin Bungsu, yang kemudian kembali kekampung halamannya sendiri di Alahan Panjang, perampok2 berikut raksasa2 hutan itu dapat dimusnahkan.

   Si Kilai masih ingat betapa prajurit2 yang bertahan diatas seteling pagar berduri itu lari puntang panting karena ketakutan melihat lima orang raksasa hutan litu datang.

   Masih tampak diruang matanya betapa ngerinya melihat wajah2 buruk dari raksasa2 hutan itu, ketika mereka menguburkan mayat2 yang bergelimpangan itu.

   Bersusah payah mereka.

   mendorong mayat yang besar2 itu masuk lubang kuburan yang kemudian dibuat menjulang tinggi sampai tiga meter sebagai monumen atas kemenangan mereka yang gemilang itu, sebagai lambang kebesaran mereka dari perbudakan.

   Ketika si Kilai memperhatikan tumpukan tanah yang tinggi2 itu, ia samasekali tidak mengetahui bahwa hari itu adalah hari pertemuan raksassa2 hutan, yang diadakan sekali dalam tujuh tahun.

   Jauh dari Taratak Baru, dalam jarak duapuluh hari perjalanan, dalam hutan lebat didaerah Jambi, raksasa2 hutan yang dinamakan orang didaerah itu "Urang-Gadang", datang berkumpul.

   Sebagai tradisi bagi penghuni2 hutan yang besar2 itu, mereka mengadakan pertemuan didalam hutan yang lebat dan gelap sekali dalam tujuh tahun.

   Mereka sangat bodoh, tidak pandai menghitung hari, tapi waktu pertemuan itu dapat mereka ketahui dengan perasaan.

   Dari segala pelosok dalam hutan didaerah Minang Kabau, Jambi dan Palembang mereka datang berkumpul ke tempat itu.

   Binatang2 itu, kalau masih hendak menamakan6 mereka binatang, tidak pandai menghitung, tapi mereka mempunyai perasaan yang sangat tajam.

   Ditempat perkumpulan itu mereka masing2 mempunyai tunggul sendiri2 untuk tempat duduk, yaitu potongan pohon kayu besar yang ditanamkan kedalam tanah.

   Tiap kali diadakan pertemuan mereka melihat tunggul2 yang kosong, yang berarti bahwa pemilik tunggul itu sudah tewas dalam masa tujuh tahun itu.

   Pemimpin mereka menunjuk salah seorang dari anak2 yang belum mempunyai tunggul sebagai pemilik baru.

   Bila anak2 mereka yang belum mempunyai tunggul tidak cukup jumlahnya untuk mengisi tempat2 yang kosong itu, maka tunggul2 yang kosong itu diberi sebuah pancang di-tengah2nya,7 yang berarti bahwa kekosongan itu tidak dapat diisi lagi.

   Kalau kita dapat melihat ditempat pertemuan itu, ketika raksasa2 hutan itu berkumpul, maka dapatlah kita menyaksikan bahwa telah puluhan tunggul yang tidak berpemilik lagi.

   Ini menunjukkan bahwa Urang2 Gadang ini menghadapi kepunahan.

   Kepunahan terutama sekali disebabkan karena Urang Gadang ini tidak hidup dalam kelompok kelompok.

   Mereka suka hidup menyendiri.

   Hanya sekali dalam tujuh tahun mereka mengadakan pertemuan, dan itu pulalah terjadi perkawinan antara jantan dengan betina.

   Saat perpisahan tiba setelah mereka bersama2 mengunjungi tempat kuburan bersama.

   Biasanya mereka menjumpai tulang belulang, atau mayat dari Urang Gadang yang telah meninggal dunia dalam masa tujuh tahun itu.

   Setelah mendapat keyakinan bahwa mayat Urang Gadang yang tidak menghadiri pertemuan itu berada dalam ngarai tempat kuburan bersama maka mereka berpisah.

   Masing2 kembali kedaerah dari mana mereka datang.

   Bila mayat keluarga yang tidak menghadiri pertemuan itu tidak ditemukan dalam ngarai kuburan bersama itu, maka mereka yang berasal dari daerah yang sama ditugaskan mencari mayat yang yang hilang itu.

   Bila mayat itu diketemukan, maka mayat atau tulang belulangnya mereka angkut untuk ditempatkan dalam ngarai kuburan bersama itu.

   
Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Demikian pulalah kebiasaan gajah2 dari daerah Minang Kabau, Jambi dan Palembang.

   Gajah2 itu mempunyai pula sebuah ngarai yang dikunjungi oleh gajah2 yang sudah tua yang mengetahui bahwa ajal mereka akan sampai.

   Didalam ngarai itu tulang belulang serta taring2 gajah berserakan kian kemari.

   Demikian pulalah dengan Urang Gadang ini, hanya mereka mempunyai kebiasaan lain dari Gajah2, yaitu mengadakan pertemuan untuk mengetahui keadaan masing2 dan untuk mengadakan perkawinan, sedangkan gajah2 hidup dalam kelompok.

   Betina Urang Gadang yang melahirkan anak ditengah hutan, memelihara anaknya hanya selama dua tahun.

   Setelah anak itu pandai mencari makan sendiri, makanan yang terdiri dari daun2 kayu yang pahit rasanya, dan buah2 kayu yang asam atau kelat (sepet), sang anak itu diharuskan hidup sendiri, mencari makan sendiri.

   Inipun menjadi sebab dari kepunahan Urang Gadang itu, sebab tidak jarang sang anak yang masih kecil mendapat bahaya didalam hutan lebat itu.

   Kehilangan anak ini tidak dapat diketahui pada waktu2 pertemuan, sebab bagi mereka belum tersedia tunggul tempat duduk.

   Anak2 Urang Gadang yang berhasil melalui masa ujian lima tahun hidup sendiri dalam hutan dapat diberi tunggul2 yang dikosongkan oleh bapak atau ibunya.

   Biasanya tunggul yang kosong lebih banyak dari pada jumlah anak yang akan menempatinya, Dari tiga daerah hutan.

   yang berkumpul masa itu hanya seratus limapuluh orang saja, termasuk anak2 yang menempati tunggul2 kosong.

   Tepat pada waktu si Kilai mengenangkan peristiwa yang mengerikan, ketika ia melihat sendiri muka2 buruk dari Urang Gadang8 yang besar2 itu datang mendekati Pagar pertahanan Taratak Baru, ketika itu pula disatu daerah hutan lebat dan gelap di Jambi.

   Urang2 Gadang mengadakan pertemuan.

   Ketika itu pemimpin mereka mengetahui bahwa telah ada lagi tunggul2 yang kosong, yaitu yang ditinggalkan oleh mereka yang gugur di Taratak Baru.

   Hanya ada dua orang anak yang berumur empat lima tahun yang menempati tempat2 yang kosong itu.

   Jadi dalam masa tujuh tahun itu telah ada penyusutan sebanyak tiga orang dalam kaum Urang Gadang.

   Dari tempat pertemuan itu mereka pergi besama kesebuah ngarai, kuburan bersama bagi kaum mereka.

   Biasanya diatas batu2 yang datar mereka temukan mayat2 atau tulang belulang dari mereka yang datang ketempat itu untuk mati.

   Tulang ataupun mayat mereka, kalau masih baru dikumpulkan dan dimasukkan kedalam sebuah goa batu yang gelap.

   Tapi, ketika mereka sampai didalam ngarai itu, tidak ada terdapat mayat ataupun tulang belulang dari kawan2 mereka yang hilang itu.

   Maka pada mereka yang mendiami hutan didaerah Minang Kabau diperintahkan untuk mencari tulang belulang kawan mereka itu sampai dapat.

   Kemudian berpisahlah Urang2 Gadang itu.

   Mereka menuju kembali kehuhan masing2.

   Mereka yang bertugas mencari mayat kawan2 yang hilang itu kini bergerak dalam jarak pengimbauan.

   Ada yang bergerak dalam jumlah tiga, ada pula yang lebih, sampai tujuh Urang Gadang.

   Pada malam hari terdengarJah suara mereka dalam hutan2 yang sunyi.

   "Ooooi ahuuuu! O0000i ahuuuu!"

   Demikian mereka berseru seru sambil berjalan.

   Si Kilai, kepala Nagari yang rajin serta penuh semangat itu masih saja memperhatikan onggokan tanah yang menimbulkan kenang kenangannya itu.

   Bagi si Kilai onggokan tanah itu merupakan lambang kemenangan yang gemilang, demikian juga bagi orang2 yang mengalami peristiwa pertempuran yang dahsyat itu.

   Kini onggokan tanah itu sudah ditumbuhi alam2 bahkan ada pula rumpun2 Rinju, sebangsa tanaman yang tumbuh dengan suburnya disamping rumput alang2.

   Tinggi rumpun2 belukar itu sampai mencapai dua meter.

   Si Kilai menaiki puncak Bukit Tinjauan itu ialah dengan niat memeriksa jembatan berayun yang menyeberangi ngarai dalam itu.

   Sebelum turun ia naik dahulu kepuncak menara tinjauan untuk memandang daerah yang dipecayakan padanya itu, yang selama berada dibawah pimpinannya telah menjadi satu Nagari yang makmur dan berkembang dengan baik.

   Si Kilai merasa bangga juga atas kesanggupanya memimpin.

   Dengan perasaan bangga ia turun kebawah sampai kejembatan bergantung.

   Rotan yang dijalin menjadi tali yang besar, yang menjadi pendukung jembatan itu tampaknya sudah amat kering.

   Meskipun belum lagi lapuk, menurut pendapat si Kilai sudah harus dimulai usaha pengumpulan rotan, yang biasanya memakan waktu sebulan.9 Kepala Nagari itu pulang kerumahnya, sebuah rumah yang telah dibangun dengan bergotong royong.

   Si Kilai sudah ber isteri, dan ia tidak bersedia tinggal dirumah bekas kediaman penjahat si Cengkok bersama isterinya.

   Maka tinggallah si Lengah bersama beberapa anggauta dewan pemerintahan Taratak Baru yang belum beruntung mendapat pasangan mendiami rumah asal di Taratak Baru itu.

   Keesokan harinya, rencana untuk mengirim rombongan masuk hutan mencari rotan, diterima dengan baik oleh Dewan pemerintah Taratak Baru, Orang2 yang dengan sukarela menyediakan diri untuk pekerjaan itu didapat dengan mudah sekali.

   Dengan perbekalan yang cukup mereka berangkat masuk hutan.

   Berhari2 mereka berjalan kian kemari dalam hutan mencari rotan dari jenis yang kuat dan yang cukup tua.

   Rombongan yang terdiri dari tujuh orang itu telah membuat sebuah pondok di-tengah2 hutan, ditempat yang banyak sekali ditumbuhi rumpun2 rotan dari jenis yang mereka hendaki, yang tumbuh menjalar dan keatas pohon2 kayu, dengan akar yang diselimuti kelopak2 daun yang penuh dengan duri2 yang tajam.

   Membersihkan rotan dari duri2nya mengehendaki keahlian dari pencari rotan itu.

   Rotan yang pokoknya diputuskan mulai dari ujungnya di-tarik2 dengan renggut2 yang terukur benar untuk merontokkan kelopak2nya yang berduri tajam itu.

   Setelah akar rotan itu bersih dari duri2nya, maka akar rotan itu digulung menjadi satugumpalan dan dipikul ke pondok Penginapan mereka ditengah2 hutan gelap.

   Demikianlah pencari rotan telah bekerja selama empat belas hari dalam hutan dan mereka telah dapat mengumpulkan sejumlah akar rotan yang ditumpuk2kan dimuka pondok mereka.

   Pada malam hari dimufakatkan untuk kembali ke Taratak Baru keesokan harinya.

   Hasil rotan sudah cukup banyak dan persediaan makanan sudah menipis pula.

   Api unggun dimuka pondok sudah tinggal bara saja ke10 tika ketujuh pencari rotan tidur nyenyak dalam pondok, tapi ketujuh orang itu serentak terbangun karena mendengar seruan yang menakutkan.

   "Ooooi ahuuuu! Ooooi ahuuu!"

   Suara berat dan seram menggegarkan hutan yang sunyi sepi itu.

   Pencari rotan keluar dari pondok dan menyalakan api unggun sampai menggejolak supaya disekitar mereka menjadi terang.

   Tak lama kemudian terdengarlah gerakan yang lamban dalam hutan dibelakang pondok mereka, Ranting2 kayu lapuk berderak derak terinjak kaki besar.

   dan dahan2 kayu terkuak, maka tampaklah muka buruk Urang Gadang11 dengan sepasang mata yang jauh terbenam dalam sarangnya itu.

   Seorang pencari rotan yang telah berpengalaman dengan Urang Gadang berkata pada kawan2nya.

   "Jangan takut, ambilkan saja tembakau, Urang Gadang ini hanya datang untuk minta tembakau". Urang Gadang itu kembali berseru.

   "O000i ahuuuu!"

   Dan seruannya itu segera disahuti oleh dua orang kawannya yang berada disekitar tempat itu. Setelah itu raksasa hutan itu mengulurkan tangannya yang berbulu dan besar, dan terdengar suara beratnya.

   "A K A U !"

   Pencari rotan yang tujuh orang itu jadi sangat ketakutan.

   Orang yang sudah berpengalaman dengan raksasa2 hutan itu, baru kali inl mendengar seruan "Ooooi ahuutt!' itu.

   Dengan tangan gemetar seorang memberikan segumpalan tembakau ketangan yang besar dan berbulu itu.

   Gumpalan tembakau itu langsung masuk kedalam mulutnya dan raksasa hutan itu meneruskan perjalanannya.

   Kini terdengar dari arah lain seruan yang serupa.

   "Ooooi ahuuu! Ooooi ahunuu!"

   Dan tidak lama kemudian bunyi derak derik langkah yang lamban terdengar pala mendekati pondok pencari rotan itu.

   Berganti ganti raksasa hutan itu datang minta tembakau setelah mana mereka meneruskan perjalanan dalam malam gelap.

   Tapi setelah mereka mendapat tembakau, tidak terdengar lagi seruan yang menakutkan tadi, maka ketujuh pencari rotan ltu kembali masuk pondok untuk tidur.

   Keesokan harinya mereka mengumpulkan hasil rotan mereka, dan dengan beban yang berat diatas bahu masing2 mereka berjalan menempuh hutan belukar untuk kembali ke Taratak Baru.

   Lewat senja mereka baru sampai didalam pagar pertahanan.

   Rotan yang mereka bawa dari hutan ditinggalkan saja dipinggir jalan menuju Bukit Peninjauan, sebab tidak ada perlunya untuk dibawa masuk kedalam lingkangan pertahanan Taratak Baru.

   Kedatangan mereka disambut oleh penduduk yang diam di dalam lingkungan pertahanan.

   Juga si Kilai dengan Lengah datang menemui orang2 pencari rotan itu.

   Segera mereka melaporkan pada Kepala nagari mereka tentang pengalaman mereka didalam hutan dengan Urang2 Gadang yang tiga orang itu.

   Si Kilai dan Lengah sangat terkejut mendengar peristiwa itu, maka segera kedua orang itu mengumpulkan kawan2nya yang turut dalam dewan pemerintahan.

   Mereka berunding tentang kemungkinan penyerbuan Urang2 Gadang itu seperti yang terjadi lima tahun yang silam.

   Mertua Si Kilai adalah seorang yang berambut putih, karena tuanya.

   Mendengar tentang persoalan yang dibicarakan oleh dewan pemerintahan dengan menantunya, maka orang tua itu berkata dengan tenang.

   "Anak2ku sekalian, bapak telah mendengar apa yang menjadi pokok pembicaraan anak2 itu. Kalau boleh, bapak ingin memberikan keterangan pada anak2 semuanya, yaitu tentang pengalaman2 bapak semenjak kecil, dan tentang apa2 yang bapak dengar dari orang2 tua,12 sewaktu bapak masih muda".

   "Terimakasih, lebih dulu, Pak. Kami sangat membutuhkan nasehat2 dari orang2 yang telah berpengalaman dan mengetahui banyak tentang Urang2 Gadang ini". Sementara itu diluar terdengar bunyi tongtong bahaya di bunyikan, suara ribut2 dari orang banyak sampai kerumah si Kilai. Seorang pesuruh segera dikirim untuk menanyakan apa sebabnya tongtong bahaya itu dibunyikan.

   "Baiklah. anak2ku",kata mertua si Kilai itu.

   "Bapak mendengar, bahwa pencari2 rotan itu telah bertemu dengan tiga Urang Gadang didalam hutan yang minta tembakau pada meReka. Ini adalah satu tanda bahwa kedatangan mereka bukanlah dengan niat jahat. Memang sangat jarang Urang2 Gadang ltu berjalan dalam rombongan. Mereka selalu mengasingkan diri dari kawan2 mereka. Hanya satu kali dalam tujuh tahun mereka mengadakan pertemuan didalam hutan lebat. Dimana tempatnya bapak tidak tahu, dan orang2 tua yang menceritakan pada bapak juga tidak tahu dimana letaknya tempat pertemuan itu. Pendeknya, mereka mengadakan pertemuan sekali dalam tujuh tahun. Dalam pertemuan itu mereka mengetahui bertambah atau berkurangnya kaum mereka, sebab masing2 mereka mempunyai sebuah tunggul untuk tempat duduk. Bila tampak bahwa sebuah tunggul atau lebih yang tidak ditempat, maka mereka tahu bahwa sudah ada diantara mereka yang meninggal dunia maka sebagai penghormatan terakhir mereka pergi berramai2 ke pekuburan bersama. Pekuburan bersama ini adalah sebuah ngarai yang dalam serta gelap. Disana menurut keterangan orang2 tua, ada sebuah lataran itulah mereka akan menemui mayat ataupun tulang belulang dari kawan mereka yang meninggal dunia itu. Tapi . bila tulang belulang atau mayat kawan mereka yang mati itu tidak ada di tempat itu, maka beberapa Urang Gadang ditugaskan mencari mayat atau tulang belulang kawan mereka itu. Bila ditemukan, mereka akan mengangkut tulang-belulang kawan mereka itu untuk ditempatkan didalam sebuah goa batu didalam ngarai tempat kuburan bersama mereka itu". Si Kilai dengan seluruh kawan2nya mendengarkan cerita orang tua itu dengan penuh perhatian, sementara diluar terdengar orang makia ramai. Pesuruh tadi telah kembali pada Kepala nagari dan mengabarkan bahwa orang kampung memanggil penduduk yang diam diluar pagar pertahanan untuk mendengarkan keputusan rapat darurat itu.

   "Mentiari mayat atau tulang belulang dari kawan2 mereka itu biasanya dilakukan dengan rombongan yang berjalan dalam jarak pengimbauan. Itulah maka mereka selalu ber seru2 sambil berjalan. Menurut yang bapak dengar tentang peristiwa yang terjadi lima tahun yang lalu di Taratak Baru ini, maka bapak sudah mengerti bahwa Urang2 Gadang yang meminta tembakau pada pencari2 rotan itu baru kembali dari tempat pertemuan mereka. Kini mereka sedang mencari mayat13 kawan2 mereka yang berkubur diluar pagar pertahanan itu". Si Kilai, si Lengah serta kawan2 mereka lainnya sangat terkejut mendengar keterangan itu.

   "Apakah mereka akan tahu bahwa mayat2 kawan mereka berada dibawah tumpukan tanah itu, Pak?"

   Tanya Kilai ketakutan.

   "Entahlah, nak, Tentang itu bapak tidak tahu, sebab kami ataupun orang2 tua bapak belum pernah mengalami kejadian seperti itu". Isteri si Kilai serta keluarga yang lain yang mendengarkan cerita orang tua itu jadi ketakutan pula. Kopi daun yang telah dituangkan dimuka mereka sudah menjadi dingin tanpa diminum, dan diluar suara orang ramai yang tidak sabar lagi menunggu hasil rapat darurat itu, makin riuh terdengar.

   "Apakah mereka akan mengadakan pembalasan kalau mereka tahu bahwa kita menguburkan kawan2 mereka itu, Pak?"

   Tanya si Lengah dengan cemas.

   "Itu sudah jelas, nak", sahut orang tua itu.

   "Sudah jelas, kalau mereka tahu bahwa kita yang membunuh kawan2 mereka itu . tapi . kemungkinan besar mereka tidak akan mengetahuinya, sebab Urang2 Gadang itu sebenarnya sangat bodoh. Mereka hanya berpedoman pada apa yang mereka lihat saja. Mereka tidak pandai berpikir seperti kita. Tapi, sekalipun demikian, mereka mempunyai kelebihan dari kita semua, penciuman dan pendengaran mereka sangat tajam. Kekuatan mereka sama dengan seekor gajah, tapi cuma pada lengan mereka saja. Kaki mereka sangat lemah, karena itu gerakan mereka sangat lamban, Rumah kita ini akan dapat mereka hancurkan dengan sekali dorong saja".

   "Kalau begitu, lebih baik penduduk semuanya kita kumpulkan didalam lingkungan pertahanan ini, Pak", kata si Lengah segera.

   "Aku kira, percuma saja, nak Kilai, sebab bila mereka berniat merusakkan pertahanan kita ini, tidak akan susah bagi mereka. Sekali renggut saja, ruyung yang berduri dan tertanam dalam ketanah itu akan tercabut semuanya. Sedangkan pohon kayu dapat mereka cabut dengan sekali renggut saja".

   "Kalau begitu rumah2 penduduk yang berada di-tengah2 sawah dan dilereng bukit itu akan mereka hancurkan, Pak."

   Kata si Kilai dengan cemasnya.

   "Saya kira tidak, nak Kilai, sebab Urang Gadang itu sangat takut melihat lumpur. Mereka tidak mau menempuh tanah lumpur karena kaki mereka sangat lemah. Bila mereka jatuh didalam lumpur, amat susah bagi mereka untuk bangun kembali. Demikian juga rumah2 yang berada dilereng2 bukit. Mereka tidak suka menempuh lereng, kecuali dengan merangkak, Lereng yang mereka tempuh hanyalah lereng yang ditumbuhi pohon2 kayu, dimana mereka dapat berpegang".

   "Jadi, bagaimana sebaiknya yang kita lakukan untuk menghindarkan bahaya kehancuran ini. Pak?"

   Tanya si Kilai lagi.14

   "Hanya dua jalan, nak Kilai, yaitu dengan menempatkan ditiap2 penjuru rumah masing2 segumpalan tembakau di atas sebuah tongkat bambu yang tingginya tiga depa, supaya lekas tampak oleh mereka, dan mudah mereka jangkau. Dan kedua, ialah dengan menggali tulang belulang kawan2 mereka itu dan menempatkannya diatas tanah supaya dapat mereka kumpulkan dan mereka angkut kengarai tempat pekuburan bersama mereka itu".

   "Apakah pekerjaan itu tidak berbahaya, Pak? Apakah mereka tidak akan tahu bahwa kita yang menempatkan tulang belulang kawan2 mereka itu disana?".

   "Memang berbahaya, nak Kilai, kalau mereka menampak kita mengeluarkan tulang belulang dari dalam kuburan itu. tapi kalau pekerjaan kita itu tidak mereka lihat, maka Bapak kira tidak akan berbahaya. Mereka akan mengamuk dan membuas, bila mereka melihat sesuatu kejahatan yang di lakukan terhadap mereka atau kawan2 mereka, Juga bila mereka diganggu atau disakiti oleh musuh mereka, seperti harimau dahan atau ular, Mereka akan mengamuk, dan menghancurkan apa saja yang berada didekat mereka". Kembali orang2 yang mendengar keterangan itu ketakutan.

   "Bagaimana kalau hal seperti itu terjadi, Pak?"

   Tanya si Kilai segera.

   "Kalau mereka mengamuk, maka kita harus siap semuanya untuk melawan, nak", sahut mertuanya dengan tenang dan senyum.

   "Nak Kilai tidak usah cemas seperti itu, Urang2 Gadang seperti yang telah bapak katakan tadi, hanya mempunyai kekuatan yang luarbiasa pada kedua tangan mereka. Pada kaki mereka sangat lemah. Jadi dengan keberanian kita dapat melawan mereka. Kalau seorang dapat memancung dengkulnya, maka Urang Gadang itu akan jatuh dan tidak dapat bangun lagi, tinggal kita menunggu saat yang baik untuk memancung lehernya. Asal kita dapat mengelak kan tangan Urang Gadang yang akan menyambar kita, maka kita akan dapat memancung lehernya. Kalau bapak masih semuda nak Kilai ini, maka bapak akan sanggup membunuh tiga sampai sepuluh Urang Gadang", kata mertuanya dengan tersenyum yang membuat si Kilai sangat malu terhadap kawan2nya.

   "Baiklah Pak", sahut Kilai segera untuk menebus kehilangan mukanya tadi.

   "Aku akan lakukan sebagaimana petunjuk bapak tadi".

   "Bagus nak Kilai,dengan bantuan kawan2 yang lain, tentu pekerjaan memusnahkan Urang Gadang itu tidak akan terlalu susah, hanya .. tinggal satu hal yang akan menyulitkan kita dikemudian hari, nak".

   "Kesulitan apa, Pak?"

   Tanya si Lengah.

   "Sekali tujuh tahun kita akan mengalami gangguan dari mereka, Sekali tujuh tahun mereka akan datang mencari mayat kawan2 mereka yang kita bunuh ltu". Orang tua itu memandang keliling. Tiap2 yang hadir diperhatikannya. Kemudian ia menyambung lagi.

   "Tapi. , untuk apa kita membunuh makhluk yang pada dasarnya tidak bertekad jahat15 terhadap kita? Kalau kita bertemu mereka ditengah hutan. paling banyak mereka meminta tembakau pada kita. Bila kita berikan tembakau mereka pergi dengan tidak mengganggu kita. Jadi sebaiknya kita elakan saja pembunuhan kalau masih dapat kita elakkan. Tempatkanlah tembakau di luar rumah masing2 seperti bapak katakan tadi. dan supaya mereka lekas meninggalkan daerah kita ini, kita keluarkanlah tulang belulang kawan2 mereka itu dari dalam kuburan itu". Si Kilai dengan si Lengah berpandangan. Anggauta dewan pemerintahan juga saling berpandangan.

   "Baiklah, Pak", kata si Kilai akhirnya.

   "Kami sangat ber terimakasih atas segala keterangan serta petunjuk2 bapak itu, maka sekarang kami sudah tahu apa yang harus kami lakukan. Selanjutnya kita tunggulah perkembangan keadaan". Pada si Lengah ia berkata;

   "Marilah kita beritahukan Pada penduduk semuanya tentang apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi bencana ini". Rapat darurat bubar, si Kilai berdiri diambang pintu rumahnya dan melangkah keanak tangga dan turun dua tingkat, disana berhenti.

   "Kawan2 serta sanak saudara sekalian". katanya dengan suara lantang.

   "Kita sudah mengetahui bahwa pencari2 rotan kita telah bertemu dengan tiga Urang Gadang didalam hutan. Keadaan ini memang luar biasa, sebab tidak pernah Urang2 Gadang itu berjalan dalam rombongan. Maka, supaya sekalian sanak saudara dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya, maka baik aku terangkan bahwa mereka itu sedang mencari mayat kawan, mereka yang pada lima tahun yang lalu kita bunuh dan kuburkan diluar pagar pertahanan". Penduduk yang mendengar keterangan itu ketakutan, terdengar wanita2 menjerit ketakutan.

   "Janganlah kita cemas karena keadaan ini, sebab usaha untuk menghindarkan bencana ini adalah sangat mudah kalau dilakukan dengan sebaik2nya. Yaitu, hendaklah kita masing2 menempatkan segumpalan tembakau sudut dinding rumah kita. Tempatkanlah gumpalan tembakau itu diatas sebuah tongkat bambu yang tingginya tiga depa, supaya dapat terlihat oleh mereka, dan mudah mereka jangkau. Setelah mendapat tembakau, mereka akan berlal., Ini adalah satu usaha mengelakkan bahaya untuk sementara waktu. Pada waktu mereka tidur karena dimabuk tembakau, maka kita bersama harus menggali kuburan Urang Gadang itu, dan menempatkan tulang belulangnya diatas tanah. Bila inereka menemukan tulang belulang kawan2 mereka itu, maka mereka akan mengangkutnya, dan tidak akan kembali lagi mengganggu kita disini. Janganlah kita menentang atau menyakiti Urang Gadang itu, jika tidak perlu. Mereka itu pada dasarnya tidak bertekad jahat terhadap kita, kecuali bila mereka diganggu atau di sakiti. Bahaya bagi kita hanyalah bila mereka itu dengan tidak kita ketahui diganggu oleh musuh mereka, yaitu, harimau dahan dan ular,16 yang banyak sekali terdapat didalam hutan kita itu ". Si Kilai memandang keliling, dan wajah2 mereka yang diterangi oleh obor2 yang mereka pegang menunjukkan kecemasan.

   "Kawan2 semua, bila hal seperti itu terjadi, maka terpaksalah kita memusnahkan Urang2 Gadang itu, satu perbuatan yang samasekali tidak kita sukai atau kehendaki.

   "Bagaimana kita dapat membunuh Urang Gadang yang tingginya empat depa itu?"

   Terdengar suara dari orang banyak.

   "Tampaknya memang sukar, kawan"

   Sahut si Kilai.

   "tapi kalau kita tahu bagaimana melakukannya, pekerjaan itu adalah sangat mudah, Pendeknya, serahkanlah pekerjaan itu pada kami". Ucapan itu menyebabkan berbagai tafsiran diantara penduduk. Ada yang mengejek, mengatakan Si Kilai tekebur, tapi kebanyakan antara mereka percaya pada kesanggupan kepala Nagari mereka yang bijaksana itu. Orang2 yang mengatakan si Kilai tekebur itu dengan cepat dibungkamkan oleh yang lain2.

   "Tapi ..", sambung si Kilai lagi.

   Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bila kita membunuh Urang Gadang itu lagi, maka tiap2 sekali dalam tujuh tahun kita akan mendapat gangguan dari mereka, maka lebih kita menghindarkan perkelahian dengan mereka yang pada dasarnya tidak bertekad jahat terhadap kita itu. Hanya kita harus menjaga supaya mereka tidak menemui musuh2 mereka didaerah kita ini". Penduduk Taratak Baru berdiam diri. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka katakan.

   "Sekarang, kembalilah kerumah masing2 dan kerjakanlah apa yang telah aku katakan tadi tentang menempatkan tembakau itu sementara waktu masih ada". Mendengar ucapan itu masing2 mengundurkan diri dengan cepat, sungguhpun banyak diantara mereka yang masih berada dalam keadaan bimbang dan takut. Pada malam itu, setelah melakukan apa yang dinasehatkan oleh kepala nagari mereka itu, tidak seorangpun yang tidur. Mereka menunggu sa'at terdengarnya seruan yang menakutkan itu. Baru lewat tengah malam terdengar dari jauh suara berat menggegarkan kesunyian m.alam.

   "Oooooi ahuuuu! Oooou ahuuu!"

   Seruan mana disahut oleh dua orang Urang Gadang lagi. Ketika mendengar seruan yang menakutkan itu, mertua Si Kilai berkata pada menantunya.

   "Nak Kilai, marilah kita ke luar memperhatikan Urang Gadang itu. Kebetulan hari terang bulan. Kita akan dapat melihat kemana mereka pergi dan apa yang mereka lakukan". Tampak bahwa si Kilai masih sedikit ragu2, tapi dengan cepat ia menguasai rasa takutnya. Dengan gerakan cepat ia mengambll rudusnya yang tergantung didinding, Mertuanya sementara itu telah siap pula menggantungkan rudus dipinggangnya. Meskipun sudah tua, tapi17 kegesitan masih tampak padanya. Berjalan ia masih kuat, tidak kalah dengan si Kilai menantunya yang baru berusia duapuluh lima tahun itu. Isteri si Kilai sangat cemas melihat ayah serta suaminya keluar rumah untuk menyaksikan perbuatan2 Urang Gadang yang menakutkan itu, tapi ia tidak menyatakan kecemasan nya itu.

   "Bawalah tembakau secukupnya, nak Kilai", kata orang tua itu. Kepala nagari itu segera mengambil segumpalan tembakau sebesar kepala dan dibungkusnya dalam destarnya. Mereka berdua turun dari rumah, Ketika si Kilai selesai menuruni anak tangga yang lima buah dari rumahnya itu, maka kembali terdengar seruan yang menggegerkan kesunyian malam itu. Tapi kali itu makin dekat. Dengan bergegas ke dua orang itu, si Kilai dengan mertuanya menuju seteling dibalik pagar pertahanan, Dengan cepat si Kilai naik, Mertuanya tidak kalah cepat dengan si Kilai. Di hadapan mereka terbentang daerah peladangan yang subur, yang sampai dekat kepinggir hutan ditumbuhi padi ladang. Di-tengah2 daerah peladangan itu tampak sepetak tanah yang tidak dipeladangi, melainkan dipagar dengan ruyung setinggi pinggang. Ditengah petak tanah itu tampak dua onggokan tanah setinggi tiga meter. Yang sebuah panjangnya kira2 tiga meter, tapi yang sebuah lagi panjangnya kira2 enam meter. Itulah yang merupakan lambang kemenangan bagi Penduduk Taratak Baru, tapi yang terbukti sekarang menjadi pokok katakutan mereka bersama. Mertua si ingin tahu apa yang dilakukan Urang2 Gadang itu, bila mereka sampai didekat onggokan tanah itu. Mata mereka memperhatikan pinggir hutan yang gelap. Cahaya bulan tidak menembus daun2 kayu yang rindang. Kembali terdengar suara yang menakutkan itu dan tidak lama kemudian tampak sebuah bayangan hitam bergerak dipinggir hutan, Urang Gadang itu sebentar berhenti, memandang keliling daerah peladangan itu. Matanya yang tajam sudah melihat dua orang yang berdiri diatas seteling itu. Penciumannya, yang sangat tajam telah dari tadi mencium bau manusia. Urang Gadang itu sudah dari tadi mengetahui bahwa dia telah dekat ketempat yang didiami manusia. Selain itu, hidungnya juga telah mencium bau tembakau yang di tempatkan penghuni rumah tidak berapa jauh dari tempat Urang Gadang itu berdiri.

   "Oooooi ahuuuu!"

   Kembali terdengar suara beratnya.

   dan Urang Gadang itupun melangkah kesudut rumah itu.

   Tangannya menjangkau tembakau yang ditempatkan diujung galah disudut dinding rumah, Gumpalan tembakau itu menghilang kedalam mulutnya, dan ia kembali masuk hutan.

   Tak berapa lama kemudian tampak seorang lagi, yang lebih tinggi dari yang pertama, tangannya juga menjangkau tembakau untuk kemudian menghilang pula masuk hutan.

   Setelah yang kedua itu masuk kedalam hutan, maka tiba pula seorang lagi, yang juga mengikuti18 perbuatan kawan2nya.

   Segumpalan tembakau hilang pula kedalam mulutnya, dan ia kembali masuk hutan.

   Setelah itu tidak terdengar lagi seruan mereka yang menakutkan itu.

   Orang yang diam dirumah dekat pinggir hutan itu sudah pasti gemetar ketakutan.

   Si Kilai dengan mertuanya tetap saja berdiri diatas seteling Setelah lama tidak terengar seruan Urang Ga_dang itu, mereka hendak turun kebawaah, tapi Bapak mertua si Kilai tertegun.

   Ia menahan menantunya.

   "Nak Kilai", bisik orang tua itu.

   "Dengarkanlah seruan yang jauh itu. Menilik arahnya seruan itu datangnya dari balik Bukit Tinjauan, mungkin dari dalam lurah dalam atau didalam hutan diseberang lurah itu''. Si Kilai berdiri memperhatikan suara Urang Gadang dari jauh itu. Lama juga ia menunggu sambil berdiri tidak ber gerak2. Kemudian sayup2 sampai ketelinganya seruan yang menakutkan itu.

   "Seruan itu bukan berasal dari tiga orang yang baru mengambil tembakau itu. nak Kilai, sebab yang tiga orang itu kini sedang menikmati makanan yang sangat mereka gemari itu, dan sebentar lagi mereka akan tidur karena dimabuk tembaka".

   "Kalau begitu, ada rombongan lain lagi, Pak, Dengarlah sahutan2 mereka didalam hutan itu. Rupanya, mereka dalam rombongan yang lebih banyak dari yang tadi, Pak", kata si Kflai. Ketika itu mereka melihat dua orang bergerak dalam sinar bulan yang terang benderang itu. Kedua orang itu baru turun dari rumah kediaman si Lengah.

   "Itu mungkin si Lengah dengan kawannya Pak, mari kita temui mereka itu", Si Kilai dengan mertuanya turun dari seteling.

   "Kau Lengah?"

   Tanya si Kilai ketika ia telah dekat.

   "Ja, betul! Kau Kilai?"

   Si Lengah dengan kawannya segera berlari dan berediri dimuka si Kilai dengan mertuanya.

   "Oh, bapak juga turut menyaksikan Urang2 Gadang itu. Pak?"

   "Ya nak Lengah. Aku juga ingin tahu yang mereka lakukan".

   "Apa yang telah dapat bapak lihat tadi?"

   Tanya Lengah segera.

   "Oh, tiga Urang Gadang sudah mengambil tembakau yang disediakan oleh Si Hitam disudut rumahnya, dan mereka sudah kembali masuk hutan. Sebenarnya kalau kita ingin membunuh Urang Gadang itu., maka sangat mudah bagi kita. Kita masuk saja kedalam hutan mencari dimana mereka tidur, dan kita pancung saja leher mereka. Tapi pekerjaan itu tidak usah kita lakukan, nak, kecuali kalau keadaan memaksa''.

   "Betul, Pak, kami sudah maklum tentang itu".

   "Tapi, .nak Lengah., rupanya sudah ada rombongan lain lagi yang datang, dan rombongan yang lebih banyak dari yang pertama. Dengarkanlah baik2". Dan pada saat itu terdengar sayup2 sampai seruan yang menakutkan itu.

   "Ya,betul, Pak. Kini aku dengar pula seruan itu. Rupanya mereka masih sangat jauh., Pak", kata si Lengah.19

   "Kalau tidak salah, mereka kini sedang berada didataran dibawah lereng gunung tempat kita berburu rusa beberapa hari yang lalu. Disana aku sudah tunjukkan padamu, nak Lengah, sebuah lobang yang gelap diantara dua buah batu besar. Kau masih ingat?"

   "Ya,Pak, aku masih ingat, dan Bapak mengatakan bahwa mungkin sekali lobang itu didiami oleh ular besar, karena ada tanda2nya yang kita temukan ditanah yang menuju kedalam lobang itu".

   "Betul nak Lengah, dan Bapak mengira bahwa lobang di antara dua buah batu besar itu, adalah permulaan dari ngarai yang kita seberangi dengan jembatan bergantung itu, maka sudah jelas bahwa ngarai itu didiami oleh ular2 besar-besar"

   "Jadi apa hubungannya dengan Urang2 Gadang itu Pak?"

   "Nak Lengah, bapak sudah terangkan juga bahwa musuh2 Urang Gadang itu adalah harimau dahan, dan ular, yaitu ular besar dan kecil. Bila mereka menemukan sarang ular2 maka sudah tentu mereka masuk kedalam sarang ular itu untuk memerangi musuh mereka sambil mencari kawan2 mereka, yang mungkin tewas karena berkelahi dengan ular didalam ngarai itu, Inilah pendapat bapak, nak Lengah". Si Lengah dengan Si Kilai berdiam diri beberapa lama. Sementara itu terdengar kembali seruan Urang Gadang dari jauh.

   "Ya, Pak", kata si Kilai.

   "Setelah mendengar keterangan bapak itu, aku juga yakin bahwa Urang2 Gadang itu akan memasuki lobang yang gelap diantara dua buah batu besar itu. sebab aku sudah yakin pula bahwa didatam lobang itu bersarang ular besar, memiliki pada tanda2 yang kita lihat ditanah itu, Pak".

   "Dan kalau betul pula taksiranku, bahwa lobang itu adalah permulaan dari ngarai yang dalam dan ber-batu2 itu, maka sudah pasti pula bahwa didalam ngarai itu akan terdapat ular2 yang besar". Ketika itu terdengar kembali seruan Urang Gadang tapi kali itu suara besar itu seperti keluar dari satu tempat terkurung.

   "Nah, dengarkanlah itu, nak Kilai, suara itu keluarnya dari dalam lurah!"

   Kata mertua Kepala Nagari itu.

   "Ya, Pak. Taksiran bapak itu tidak meleset rupanya. Mari kita lihat dari puncak Bukit Tinjauan, Pak, Bulan sangat terang, tentu kita akan dapat memperhatikan mereka dari tempat yang ketinggian itu".

   "Ayoh, mari kita berangkat sekarang juga!"

   Kawan si Lengah tadi tampaknya agak ragu2, tapi ketika dilihatnya ia telah tinggal seorang diri saja ditempat ia berdiri itu, maka iapun berlari mengejar kawan2nya tadi.

   Dua orang yang mengawal pintu gerbang yang rupanya juga telah mendengar seruan yang menakutkan itu sangat heran melihat keempat orang itu memerintahkan membukakan pintu gerbang, tapi karena kepala nagari mereka yang memerintahkan maka segera saja dipatuhi.

   Sambil ber-lari2 kecil keempat orang itu menuju Bukit Tinjauan.20 Bapak mertua si Kilai tampaknya agak kepayahan juga, tapi orang tua itu tidak mau mengaku kalah dengan yang muda2.

   Juga ketika mereka mulai mendaki lereng Bukit Tinjauan.

   malahan Si Kilailah yang lebih dahulu menghempaskan dirinya ketika mereka sampai didataran kecil di puncak Bukit Tinjauan itu, Setelah beristirahat sebentar maka mereka berbaris mendaki menara batu yang tinggi itu, dan sampai dipuncaknya, mereka berdesak desakan diatas dataran yang sempit itu memandang kebawah.

   Seruan Urang Gadang itu sudah bertambah jelas terdengar dari, tempat ketinggian itu, meskipun mereka belum terlihat.

   "Ooooooi ahuuuuu! Oooooi ahnuuu!"

   Sudah jelas bahwa suara itu datangnya dari dalam ngarai dalam itu, dan sahutan yang terdengar ada lebih dari tiga.

   "Kalau tidak salah, ada tujuh orang semuanya, nak Kilai", kata orang tua itu pada menantunya.

   "Ya, Pak, aku juga sudah menghitung suara yang menyahut tadi, dan aku juga sependapat dengan bapak bahwa ada tujuh orang semuanya yang telah berada dalam ngarai itu. Dan rupanya mereka sudah dekat kejembatan bergantung itu Pak". Ketika itu terdengar suara yang lain dari yang lain dari yang telah mereka dengar. Dari dalam ngarai itu terdengar suara.

   "Ha , ha .. uhaaaa!"

   Dan bersamaan dengan suara itu terdengar bunyi seperti barang berat tapi lembut jatuh keatas dasar yang basah, setelah itu terdengar suara menggeram. Dari bagian atas terdengar suara yang ramai. Ha .. , ha..., uhaaaa!"

   "Itu! Itu dia!"

   Teriak mertua si Kilai sambil menunjuk kebawah.

   Semuanya mengikuti petunjuk orang tua itu.

   Didalam ngarai itu yang hanya separo diterangi oleh cahaya bulan tampak tubuh hitam bergerak, tapi dikeliling tubuh itu tampak tubuh yang putih ke-kuning2an membelit.

   Terdengar bunyi tulang berderak dan berdetak.

   Batu2 teranjak tersentuh kaki21 atau tangan Urang Gadang itu.

   "Lihat! Urang Gadang itu sedang berkelahi dengan ular besar! Lihatlah. tubuhnya sudah dibeljt oleh ular itu. Tu! Kawan2 mereka sudah datang untuk membantu!"

   Demikian teriak mertua si Kilai.

   "Mari kita turun kebawah supaya dapat melihat dengan lebih nyata!"

   Dan sebagai bukti kesungguhan orang tua itu, ia langsung meluncur dari menara batu itu.

   Yang lain ragu2 tapi akhirnya mengikuti juga.

   Mereka berlari sambil meluncur2 kebawah, dan ketika sampai dmuka jembatan bergantung, perkelahian antara ular besar dengan Urang Gadang didalam22 ngarai sudah makin seru.

   Seorang kawannya telah datang, dan mencekek leher ular besar yang telah mencengkamkan giginya dileher Urang Gadang yang dapat disergapnya itu.

   Tangan Urang Gadang yang dibelit ular besar itu menolakkan tubuh ular yang makin mengencangkan belitan pada tubuhnya sehingga terdengar tulang ke-dua2nya berderak2.

   Tapi ular itu, karena lehernya sudah dipegang oleh Urang Gadang yang datang membantu itu, tidak dapat bertahan lama lagi.

   Ia segera melepaskan giginya dari leher lawannya.

   Tampak giginya yang mengandung bisa itu berkilat dalam cahaya bulan.

   Tak berapa lama antaranya, mulut ular itu berderak dan terbelah karena dikoyakkan Urang Gadang yang datang menolong kawannya itu.

   Si Kilai dengan mertuanya telah berdiri diatas jembatan rotan sedang yang dua orang jainnya memperhatikan kedua orang itu dengan ketakutan.

   Si Lengah dengan kawannya yang sudah gemetar ketakutan, berdiri dipinggir ngarai sambil berpegang pada tali jembatan.

   Lima tubuh besar lagi tampak datang ketempat kawan2 mereka diserang ular itu.

   Dengan perjahan tampak tubuh ular tadi melayu, dan Urang Gadang yang disergapnya tadi, masih bergerak tampaknya, tapi ia tidak dapat berdiri dgn, segera.

   Beberapa lama ia masih berbaring saja didasar yang basah dan penuh batu2 itu.

   Kawan2nya menarik tangan yang berbaring itu, maka barulah ia dapat berdiri.

   .,Ha ., ha., ha..

   !"

   Terdengar kawan2nya berseru.

   Yang tadi diibelit ular masih berdiri terhuyung2, tapi akhirnya ia menggerakkan kakinya selangkah demi selangkah.

   Kawan2nya yang enam orang telah mendahuluinya berjalan dengan gerakan yang lamban menuruni ngarai kesebelah bawahnya, Terdengar kaki mereka ber-lecek2 diair yang mengalir diatas batu2 didasar ngarai itu.

   Sambil berjalan yang enam orang itu menarik dan menghempaskan semak clan belukar yang dapat dicapai tangan mereka.

   Habis berpelantingan tanah dan batu2 kecil sampai2 mengenai si Kilai dan mertuanya yang berdiri diatas jembatan.

   Dalam keadaan berang itu keenam Urang Gadang itu meneruskan perjalanan mereka.

   Tak lama antaranya maka terdengar kembali suara perkelahian seperti tadi.

   Batu2 besar bergulingan karena ditolakkan Urang Gadang itu, dan terdengar suara seperti pelepah dibantingkan ke batu.

   "Pak! Pk! Pak!"

   Dan sesuatu melayang diudara, kemudian tersangkut diatas jembatan, Tampak oleh Kilai dan yang lain2 bahwa yang tersangkut itu tidak lain dari tubuh ular sebesar paha yang telah pecah kepalanya.

   Binatang itu masih bergerak meskipun kepalanya sudah hancur, kemudian menggelincir kebawah, Disebelah bawah ngarai itu terdengar suara, ,,Ha.

   , ha.

   , ha ."

   Rupanya, telah terjadi lagi pergulatan seorang Urang Gadang dengan seekor ular besar yang dengan tiba2 membelit tubuh seorang antara yang berenam itu, tapi karena mereka berada berdekatan, maka pergulatan itu tidak berlangsung lama, Segera ular yang tubuhnya23 sebesar pohon aren itu terpaksa mengalah dan melepaskan belitannya ditubuh lawannya.

   Urang2 Gadang itu meneruskan perjalanan mereka ke hilir ngarai, dan berkali2 lagi terdengar perkelahian mereka melawan musuh2 mereka yang mendiami ngarai gelap itu.

   "Apakah nak Kilai sudah tahu kemana beloknya ngarai ini?"

   Terdengar suara mertua si Kilai bertanya.

   "Ngarai itu berachir diujung bukit ini, Pak. Disana ada air terjun. Anak Sungai yang mengalir dalam ngarai ini di tempat itu menerjuni tebing batu yang sangat curam dan memecah batu2 keras kemudian mengalir mengairi sawah2 kita dibagian bawah".

   "Nah, kalau begjtu, Urang2 Gadang itu tentu akan, kembali mudik ngarai ini, dan keluar didataran diatas ini. Mari kita dahuluj mereka ketempat itu, Kita akan cari tempat yang cukup aman untuk memperhatikan perbuatan mereka".

   "Apakah tidak berbahaya bagi kita, Pak?"

   Tanya Kilai pula.

   "Tidak, nak Kilai, Gerakan Urang2 Gadang itu sangat lamban, apa lagi setelah melakukan pertarungan2 lang meletihkan mereka tentu gerakan2 mereka akan bertambah lamban. Mereka tidak akan dapat mengejar kita". Setelah itu keempat orang itu berjalan menyusur tepi ngarai sampai kedataran disebelah atasnya. Sampai dimuka dua buah batu yang merupakan pintu gerbang masuk nagari itu, maka mertua si Kilai mengambil bungkusan tembakau dari tangan menantunya. Bungkusan itu dibukanya dan gumpalan tembakau sebesar kepala itu dibaginya menjadi tujuh tumpuk, diletakkannya ditanah dalam jarak sedepa. Setelah itu mereka mencari tempat perlindungan didalam hutan tidak jauh dari pintu ngarai itu.

   "Karena bau tembakau itu, mereka tidak akan mencium bau kita disini, nak Kilai. Dan karena dimabuk tembakau mereka mungkin sekali akan tidur saja cditempat terbuka, didataran ini. Juga karena keletihan mereka akan duduk untuk beristirahat''. Lama juga mereka menunggu, barulah terdengar gerakan lamban didalam Pintu ngarai itu. Keempat orang didalam hutan kini dengan hati berdebar menunggu yang akan terjadi, Seorang demi seorang tampak Urang2 Gadang itu keluar dari lobang diantara dua buah batu besar itu. Mereka sangat letih tampaknya, tapi hidung mereka masih dapat mencium tembakau yang terletak didekat lobang itu.

   "Akau ..!"

   Kata seorang berseru sambil membungkuk menjangkau tembakau itu setumpuk.

   Segera datang yang seorang lagi mendesak, dan tangannya menjangkau pula.

   Yang lain datang bergegas pula dan akhirnya masing2 mendapat bagiannya.

   Sambil mengunyah tembakau mereka meneruskan perjalanan menyeberangi tempat terbuka itu, tapi karena sangat letih, seorang duduk, segera diikuti oleh yang lain.

   Mereka24 masih mengunyah tembakau.

   Tampaknya sangat memikat bagi mereka tembakau itu.

   Cepak mereka sampai terdengar ketempat keempat orang itu bersembunyi.

   Akhirnya seorang menggulingkan tubuhnya diatas rumput, kemudian yang lain mengikuti pula berbaring.

   Keempat orang didalam hutan masih menunggu sampai mereka mendengar dengkur yang menakutkan, Per-lahan2 mereka mengundurkan diri dan meninggalkan tempat dataran itu.

   Sampai dekat jembatan bergantung barulah mertua si Kilai bicara.

   "Nak Kilai, yakinkah anak bahwa kita tadi sudah akan sanggup membunuh Urang2 Gadang itu?"

   "Ya Pak", sahut Kilai segera.

   "Tapi tidak ada fa'edahnya membunuh mereka Pak".

   "Betul, maka kini, supaya mereka meninggalkan daerah kita ini dengan lekas, baiklah kita bangunkan beberapa orang, pada malam ini juga dan mulai mengeluarkan tulang belulang Urang Gadang dari dalam kuburan itu. Besok malam, bila mereka datang ketempat kita mereka akan menemukannya dan terus mengangkutnya dan tidak akan kembali lagi mengganggu kita disini".

   "Baikkah, Pak, Baik juga pekerjaan ini kita langsungkan sementara mereka sedang enak2 tidur,"

   Sahut si Kilai pula.

   BENCANA YANG MENGUNTUNGKAN.

   
Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
KEESOKAN harinya penduduk Taratak baru dapat melihat tulang belulang dari Urang2 Gadang yang telah dikeluar kan dari dalam kuburan itu memutih diluar, tersusun dengan baik.

   Pada malam itu seluruh penduduk Taratak Baru tidak tidur barang sepicingpun.

   Mereka semuanya berada dalam ketakutan yang amat sangat, lebih2 lagi keluarga si Hitam yang diam didekat Pinggir hutan, dimana Urang Gadang yang bertiga itu mengambil tembakau.

   Tapi mereka tidak tahu bahwa empat orang diantara mereka telah memberanikan diri untuk menyaksikan sekalian kejadian didalam ngarai yang dalam itu.

   Baru setelah mendengar dari pengawal Pintu gerbang serta orang2 yang dibangunkan untuk membantu mengeluarkan tulang belulang Urang Gadang itu, orang2 yang tadinya menganggap bahwa si Kilai sangat terkebur, menjadi insyaf bahwa mereka mempunyai seorang Kepala Nagari yang betul2 bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab.

   Pada siang hari itu tidak ada terjadi apa2.

   Urang2 Gadang yang diketehui berjumlah sepuluh orang itu rupanya masih tidur saja.

   Kalau mereka dapat melihat didataran diatas pintu ngarai, maka mereka akan dapat menyaksikan bahwa tujuh tubuh besar serta hitam, dengan muka25 serta tangan berdarahan, kini sudah pindah kedalam hutan untuk meneruskan istirahat mereka dibawah lindungan pohon2 kayu, Yang tiga lagi berada disatu tempat didalam hutan dekat rumah si Hitam.

   Keluarga di rumah itu sepanjang malam dapat mendengar dengkur yang menakutkan, sehingga tidak seorangpun dari mereka yang dapat memicingkan mata.

   Pagi2 benar si Hitam telah meluncur dari rumahnya dan berlari menemui Kepala Nagari untuk melaporkan keadaan itu.

   Tapi ia dengan heran mendengar bahwa si Kilai telah mengetahui tentang hal itu, dan menasehatkan supaya dia jangan berbuat apa2 menjelang malam.

   "Lihatlah didekat kuburan itu", kata si Kili.

   "Disana tulang belulang, Urang2 Gadang sudah kami keluarkan tadi malam, dan mereka yang berada didekat rumahmu itu tentu akan datang ketempat tulang belulang itu terletak, dan memanggil tujuh orang kawan2 mereka lagi yang kini berada didataran diatas ngarai dalam itu".

   "Hai, bagaimana Angku Palo (kepala Nagari) dapat mengetahui hal itu?"

   Tanya Hitam dengan heran.

   "Tadi malam kami keluar ketika mendengar seruan mereka dalam hutan. Kami menampak bahwa mereka mengambil tembakau disudut rumahmu itu. Kami juga sudah pergi menyaksikan perkelahian Urang2 Gadang itu memerangi ular2 besar yang mendiam ngarai yang dalam itu. Kini kita tidak usah khawatir lagi bahwa ternak kita akan dicuri oleh ular2 besar didalam ngarai itu. Rupanya selama ini ular2 itulah yang mencuri ternak kita yang dilepaskan didataran dibawah kaki bukit itu. Disanalah terdapat pintu masuk ngarai itu. Lobang diantara dua buah batu besar itu rupanya menjadi Pintu gerbang untuk masuk ngarai itu". Demikianlah si Kilai menerangkan pada si Hitam yang mendengarkannya dengan mulut menganga. Dalam perjalanan kembali kerumahnya, si Hitam sengaja berjalan melewati kuburan yang terdapat di-tengah2 ladang padi itu, dan disana disaksikannya tulang2 yang panjang2 ruasnya tersusun. Tengkorak2 Urang Gadang itu dengan giginya yang besar2 sangat menakutkan. Tapi disamping tengkorak yang ruasnya panjang2 itu, ada pula satu susun yang panjangnya hanya separo saja dari yang lain2. Tengkoraknya yang jauh lebih kecil tampak terbelah dua. Rupanya bekas kena rudus. Si Hitam kembali dengan cepat kerumahnya untuk mengabarkan pada keluarganya bahwa nanti malam mereka akan dapat menyaksikan kedatangan Urang Gadang itu untuk mengangkut tulang belulang kawan2 mereka yang telah dikelurkan dari kuburan. Sepanjang hari itu tidak ada seorangpun yang keluar mengerjakan sawah atau ladang. Seluruh penduduk Taratak Baru menunggu dengan hati berdebar kedatangan Urang2 Gadang itu, sebab kekhawatiran bahwa Urang2 Gadang itu akan mengamuk karena menemukan tulang belulang kawan2 mereka didekat perkampungan manusia. Sepanjang hari mereka26 memperhatikan pinggir hutan, kalau2 disana muncul tubuh2 yang besar itu. Tapi selama hari masih siang, tidak ada sesuatu yang terjadi. Setelah matahari tenggelam dan waktu senja telah ber ganti dengan malam, barulah didalam hutan dekat rumah si Hitam terdengar gerakan. Ranting2 kayu terdengar berderak dan patah2. Tak lama kemudian terdengar seruan.

   "Ooooi ahuuuuu!"

   Segera seruan itu disahuti oleh yang lain2 yang berada didekat pinggir hutan dekat rumah si Hitam.

   Tapi dari jauh27 terdengar pula seruan yang serupa.

   Ditempat yang jauh itu rupanya berada lebih banyak Urang Gadang lagi dari yang didekat rumah si Hitam itu.

   Seruan2 yang menakutkan itu ber ulang kali terdengar.

   Pada malam itu, atas perintah si Kilai, tidak boleh disediakan tembakau diluar rumah, sebab tembakau itu akan merayu Urang2 Gadang itu, dan melupakan mereka pada tugas mereka untuk mengangkut tulang belulang kawan2 mereka itu.

   Dari atas seteling dibalik pertahanan puluhan duduk Taratak Baru telah berdiri untuk menyaksikan kejadian yang mengerikan tapi juga mengharukan itu.

   Dengan gerakan yang lamban Urang Gadang dekat rumah si Hitam telah keluar dari hutan sambil berseru-seru, dan tak lama kemudian kawan2nya yang dua lagi mengikuti dari belakang.

   Yang pertama keluar dari tadi telah berdiri tegak dengan tidak bergerak2.

   Matanya tertuju pacia satu tempat di tengah ladang padi, kemudian menjelajahi pagar pertahanan.

   Urang Gadang itu telah melihat tulang belulang kawan2 mereka, tapi juga telah melihat orang2 Taratak Baru yang berderet diatas seteling dibalik pagar pertahanan.

   "Ha . ha ., ha ahuuuu!"

   Terdengar Urang Gadang itu berseru sambil bergerak maju.

   Kawan2nya yang menyusul dibelakang tampak agak bergegas berjalan.

   Yang datang dibelakang yang pertama tadi berdiri pula sejenak untuk memperhatikan tulang belulang kemudian mata mereka menjelajahi pula seteling dibalik pagar pertahanan.

   "Rupanya mereka memperhatikan kita", bisik mertua si Kilai.

   "Betul Pak", sahut si Kilai.

   "Bagaimana akal kita nanti kalau mereka mengamuk?"

   "Apa boleh buat .nak, kita harus hadapi mereka. Kita akan terpaksa membunuh Urang2 Gadang ini untuk menjaga keselamatan penduduk di Taratak Baru ini".

   "Perintahkanlah supaya kawan2 kita bersiap dengan rudus mereka". Demikian kata mertua si Kilai. Ketiga Urang Gadang tadi telah bergerak maju menempuh ladang padi yang sedang berbuah. Batang2 padi yang diinjak kaki2 mereka yang besar2 itu hancur luluh. Penduduk Tara tak Baru semuanya berada dalam ketakutan. Mereka semuanya menyangka bahwa Urang2 Gadang itu akan menyerang mereka. Menjelang sampai ketempat tulang belulang itu, ketiga Urang Gadang itu berhenti sejenak. Mereka memperhatikan seteling dibalik pagar pertahanan. Yang ketakutan sudah menyembunyikan diri dengan membungkuk dibalik pagar diatas seteling, dan ada pula yang meloncat kebawah. Melihat keadaan seperti, itu, beberapa orang wanita menjerit. Tapi si Kilai dengan mertuanya serta si Lengah tetap saja ditempat mereka dengan rudus ditangan.

   "Tampaknya seperti kita bertiga saja yang akan menghadapi Urang2 Gadang itu, Pak", kata si Kilai pada mertuanya.

   "Lihatlah kawan228 kita pada lari ketakutan".

   "Tidak apa nak Kilai, hanya kita harus bergerak cepat kalau umpamanya yang tujuh orang didataran itu datang pula membantu kawan2 mereka nanti. Tapi . marilah kita tunggu dahulu perkembangan keadaan. Belum tentu Urang2 Gadang itu akan menyerang kita".

   "Ha . ha , ha ., ahuuuu!"

   Terdengar yang tiga orang itu berseru.

   Kawan2 mereka yang tujuh orang dari dataran rupanya sudah sampai didalam hutan, sehingga sahutan mereka se-olah2 menggetarkan pohon2 kayu.

   Urang Gadang yang tiga orang maju kembali, dan .

   ketika seorang sampai pada tulang2 kawan2 yang mereka cari itu, ia segera duduk dan memegang tulang2 kawan2nya, menciumnya dan meletakkannya kembali.

   Diluar dugaan penduduk Taratak Baru, Urang Gadang itu mulai menangis dan meratap.

   Kawan2nya yang dua orang segera pula, duduk dan mencium tulang kawan2 mereka, dan mereka mulai pula menangis dan meratap.

   Kawan2 mereka yang tujuh orang telah sampai dipinggir hutan dekat rumah si Hitam.

   Mereka dengan bergegas datang ketempat kawan2 mereka yang tiga orang itu.

   Maka, tampaklah dimuka mata penduduk Taratak Baru satu kejadian yang mengharukan.

   Ketujuh kawan2 Uran.g Gadang yang baru datang itu sama mencium tulang2 kawan2 mereka dan mulai pula meratap.

   Demikian mengharukan keadaan itu, sehingga yang melihat turut pula mengeluarkan airmata.

   Lebih kurang selama satu jam Urang2 Gadang yang sepuluh orang itu menangisi tulang belulang kawan2 mereka.

   Akhirnya seorang mengumpulkan beberapa potong dan memangkunya dengan kedua belah tangan, dan berdiri menuggu kawan2nya memungut pula bagian yang akan dibawanya.

   Kemudian mereka ber-deret2 berjalan masuk hutan dengan tujuan hutan lebat didaerah Jambi, dimana terdapat kuburan bersama bagi Urang Gadang yang tewas atau mati karena sakit atau ketuaan.

   Si Kilai merasa sangat lega melihat keberangkatan Urang2 Gadang itu.

   "Akhirnya kita luput juga dari bahaya yang menakutkan itu Pak"; katanya pada mertuanya.

   "Ya, nak Kilai, kini kita tidak usah khawatir lagi bahwa Urang2 Gadang itu akan kembali ketempat kita ini. Tapi damhal ini ada yang sangat menarik bagiku, nak Kilai".

   "Apakah yang menarik itu", Pak?"

   Tanya si Kilai dengan segera.

   "Meskipun Urang2 Gadang itu makhluk2 yang bodoh, dan hidup menyendiri dalam hutan, tapi rasa kasih sajang mereka serta rasa persatuan antara mereka sangat mendalam. Meskipun dalam keadaan senang mereka hidup terpisah, tapi dalam kesusahan mereka bersatu padu. Ini adalah satu contoh teladan bagi kita penduduk Taratak Baru ini,29 nak". Sebentar si Kilai termenung mendengar ucapan mertuanya.

   "Benar, benar sekali, Pak"; sahutnya kemudian.

   "Demikian pulalah kita di Taratak Baru ini hendaknya. Hidup rukun dan damai dan bersatu dalam segala hal, baik menghadapi pekerjaan yang baik, maupun dalam waktu2 susah"

   "Inilah pedoman bagi nak Kilai sebagai Kepala Nagari di Taratak Baru ini. Pimpinlah anak buahmu menuju persatuan yang kukuh". Pada malam itu penduduk Taratak Baru tidur dengan nyenyaknya setelah sehari semajam bertanggung dan berada dalam kecemasan. Keesokan harinya, si Kilai dibangunkan oleh mertuanya pagi2 benar. Setelah minum kopi daun dan makan ketan sedikit mereka turun dari rumah bersamaan dengan munculnya matahari. Dengan rudus tergantung dipinggang masing, mereka berjalan menuju dataran diatas ngarai, dan ketika sampai dimuka lobang diantra batu2 besar itu mertua si Kilai mengumpulkan ranting2 kering yang dibuatnya menjadi empat ikat. Dua jkat diberikannya pada menantunya dan dua ikat dipegangnya sendiri setelah membakar ujung ikatan rantingnya sebuah. Per-lahan2 mereka memasuki lobang yang gelap menakutkan itu, Setelah beberapa lama berjalan melalui batu, yang licin berlumut dan menempuh anak sungai yang menimbul seperti mata air dari sela2 batu, maka sampailah mereka ke dekat jembatan bergantung. Dari jauh mereka telah melihat seperti pohon aren terbelintang dihadapan mereka, Setelah dekat barulah mereka mengetahui bahwa yang tampak itu adalah bangkai ular besar yang telah membelit Urang Gadang kemarin malam, Leher Ular besar itu ter-koyak2. Sebagian dari tubuh ular itu masih berada didalam sebuah lobang, Mereka meneruskan perjalanan sampai dibawah jembatan bergantung, dan mata si Kilai mencari cari didasar ngarai. Ia merasa heran apa sebabnya tidak menemukan tulang belulang dari Si Harimau Campo serta kawan2nya yang tiga orang, yang jatuh kedalam ngarai itu.

   "Apa yang kau cari, nak?"

   Tanya mertuanya.

   "Dahulu, ketika kami merebut Taratak Baru ini dari tangan penjahat si Cengkok itu, Pak, ada empat mayat musuh kami yang kami lemparkan kedalam ngarai ini. Kalau tulang belulang Urang2 Gadang itu masih utuh dalam kuburannya, tentu tulang, si Harimau Campo dengan kawan2nya akan kita jumpaj pula disini".

   "Tidak, nak Kilai. Mereka tentu mudah ditelan oleh ular besar yang bersarang dekat jembatan ini, dan tulang2 mereka tentu sudah hancur luluh didalam perut ular ini". Mereka meneruskan perjalanan sampai kehilir ngarai. Sepanjang ngarai itu mereka menemukan bangkai2 ular dari yang sebesar paha sampai yang sebesar pohon aren. Didinding ngarai mereka melihat banyak lobang2 yang gelap bekas sarang ular2 besar itu. Mertua si Kilai30 tiba2 membalik dan memasuki sebuah lobang yang terbesar dekat jembatan bergantung. Obornya ditinggikannya dan matanya membelalak memandang kedalam lobang. Orang tua itu makin jauh masuk kedalam lobang itu. Kemudian terdengar suaranya.

   "Nak Kilaikemarjlah". Si Kilai datang dengan cepat.

   "Ini tampaknya seperti bekas kediaman orang Lecoh nak Kilai, tapi mereka rupanya sudah dikalahkan oleh ular2 besar sehingga yang dapat menyelamatkan diri terpaksa mengungsi ketempat lain, Lihatlah simpang2 lobang dalam batu ini, seperti kamar2 saja".

   "Mari kita periksa sampai kedalamnya, Pak", kata si Kilai. Mereka berjalan terus. Mertua si Kilai berhenti sebentar untuk menyalakan obor yang kedua, Yang pertama sudah pendek, dan sebentar lagi akan habis terbakar.

   "Apa itu yang seperti api menyala diujung sana. Pak?"

   Tanya si Kilai.

   "Marilah kita periksa", sahut orang tua itu. Setelah dekat maka mereka berada dimuka tumpukan biji2 emas yang besr2 seperti biji pinang. Kedua2nya sama2 menjangkau dan menimang biji emas itu dalam tangan.

   "Emas, Pak!"

   Kata si Kilai dengan suara keras sehingga seruannya menggema dalam lobang itu.

   "Ya, nak Kilai, emas, Rupanya tempat ini adalah tambang emas yang dibuat oleh orang2 Lecoh".

   "Kita jadi kaya, Pak!"

   Kata si Kilai pula.

   "Kita? Siapa maksudmu dengan kita nak Kilai?"

   "Ya, kita berdua dan keluarga kita, Pak?!"

   "Bagaimana dengan penduduk Taratak Baru yang lain2? Apakah mereka tidak akan mendapat bagian?"

   "Tentu saja tidak, Pak, Bukankah kita berdua yang menemukan tambang emas ini?"

   "Betul kita berdua yang menemukannya, nak Kijai, tapi dengan demikian nak Kilai tidak lagi mengindahkan kata2ku kemarin malam, Kita harus rukun dalam segala keadaan dan segala, masa. Kita harus rukun dalam susah dan senang. Mengapa nak Kilai sekarang yang hendak senang sendiri dengan kekayaan ini? Kalau begitu, nak Kilai tidak akan lama menjadi pemimpin yang setia pada anak buahnya."

   Lama si Kilai termenung setelah mendengar ucapan mertuanya itu. Akhirnya ia berkata.

   "Jadi. , bagaimana sebaiknya Pak? "Nah, cobalah kau pikirkan sendiri, nak Kilai. Kaulah yang menjadi kepala nagari di Taratak Baru, kaulah yang menjadi pemimpin anak buahmu. Cobalah pikirkan satu jalan supaya kita dapat mengecap kebahagiaan dari kekayaan ini bersama''. Si Kilai duduk diatas sebuah batu sambil menimang nimang biji2 emas murni yang berat2 itu dalam tangannya. Lama ia tidak menyahut perkataan mertuanya.

   "Baiklah, Pak, Aku kira, jalan yang se-baik2nya31 ialah, bahwa sepertiga dari hasil tambang ini adalah milik Nagari, yang dua pertiga adalah milik penduduk bersama. Pembagian yang aku inginkan ialah, bahwa kita berdua mendapat hak masing2 dari dua saham kita yang menemukan tambang ini, dan penduduk yang lain kita berikan hak satu saham. Sebagaj tanda saham kita berikan mereka sepotong kulit ular setelah dijemur kering. Selanjutnya penduduk harus patuh pada peraturan yang akan kita tetapkan bersama, dan barang siapa menyeleweng akan menerima hukuman berat".

   "Bagus, nak. Itu tandanya nak Kilai akan menjadi seorang pemimpin yang adil dan dihormati anak buah''.

   "Lihatlah dalam lobang2 yang kekiri dan kekanan itu!"

   Teriak si Kilai.

   "Disana tampaknya lebih banyak tumpukan emas seperti ini!"

   Mereka berdua pergi memeriksa; ditiap2 sisi jobang yang mereka masuki itu, terdapat tumpukan emas yang sangat banyak. Tinggal mengangkut keluar saja. Selain itu yang belum dikeluarkan dari dalam batu2 masih sangat banyak pula.

   "Lihatlah sendiri, nak Kilai. Kita tidak akan kekurangan pembagian emas dengan memberikan hak pada kawan2 kita penduduk Taratak Baru", kata mertua si Kilai.

   "Betul Pak, Kita tidak boleh bersifat tamak".32 Mereka keluar dari lobang tambang itu lalu memeriksa pula lobang2 lainnya, dan menemukan keadaan yang hampir sama, hanya jumlah emasnya tidak sebanyak yang mereka temukan dalam lobang pertama. Demikianlah penduduk Taratak Baru menjadi orang2 yang kaya dengan emas. Untuk tidak mengurangkan pekerjaan diladang dan33 sawah2, maka secara bergiliran mereka mengerjakan tambang emas. Hasilnya mereka bagi menurut peraturan2 yang telah ditetapkan bersama yang sejiwa dengan buah pikiran Si Kilai didalam lobang tambang itu. Mereka hidup dengan rukun dan damai berkat pimpinan si Kilai selalu menerima nasehat dari mertuanya yang cerdik cendekia itu. KEMASUKAN PENGARUH LUAR. PANDAI2 emas telah didatangkan dari daerah2 lain untuk mengerjakan emas di Taratak Baru menjadi perhiasan. Sampai2 alat2 rumah tangga mereka diperbuat dari emas, seperti piring2, tempat2 minum dan cuci tangan dan sebagainya. Berita tentang kekayaan pendaduk Taratak Baru ini tersiar kemana mana, sampai2 kedaerah Jambi. Maka pada suatu hari datanglah lima orang ke Taratak Baru yang katanya ingin hendak berdagang, menukar alat2 keperluan pertanian dengan perhiasan emas atau biji2 emas. Mereka juga berjanji akan mengajarkan pemakaian alat2 pertanian yang mereka bawakan itu, sehingga beberapa orang memberikan tempat di-rumah2 mereka. Tiga orang diantara pendatang2 baru itu adalah orang2 yang berkulit kuning, mata dan rambut mereka yang panjang dijalin menjadi satu seperti buntut sapi. Yang tiga orang itu bagaimanapun diajar oleh penduduk Taratak Baru tidak pandai menyebut "R"

   Melain yang keluar dari mulut mereka ialah "L".

   Menurut keterangan mereka, mereka itu datangnya dari Muaro Tembesi didaerah Jambi.

   Mereka telah berjalan menyusur sungai Batang Hari dan sampai di Taratak Baru.

   Kebiasaan mereka yang bertiga itu ialah bila berjalan membawa sebuah tongkat yang panjangnya satu depa lebih, dan sebagai senjata tajam mereka membawa sebuah pedang yang keujungnya makin lebar.

   Yang dua orang lagi bentuk2nya adalah serupa dengan orang penduduk Taratak Baru, hanya logat mereka saja yang berbeda, sebagai tanda bahwa mereka datang dari daerah lain.

   Setelah beberapa lama pendatang2 baru itu tingggal di Taratak Baru, mengajarkan pemakaian alat2 pertanian seperti bajak dan sikat untuk mendatarkan lumpur di-2awah2, barulah tampak apa yang sebenarnya mereka maksudkan datang ke Taratak Baru itu.

   Tidak lain dan tidak bukan, untuk menyelidiki keadaan tambang emas serta kekayaan penduduuk Taratak Baru.

   Mereka berpendapat bahwa tanah tempat Taratak Baru itu sangat subur, dan tambang emas yang ada dalam itu sangat kaya raya, maka mulailah mereka memasukkan pengaruh mereka dengan tujuan menguasai kekayaan penduduk Taratak Baru.

   Yang pertama mereka lakukan, ialah mengadu dombakan penduduk34 dengan Kepala Nagari mereka yang jujur serta penuh rasa tanggung jawab itu.

   Seorang pendatang baru yang bermata sipit itu menerangkan bahwa namanya adalah Tiong, kawannya yang berdua ialah Beng dan Seng, sedang dua orang lagi ialah si Tuding dan Turi.

   Penduduk Taratak Baru, karena tidak pernah melawat ke daerah Jambi, tidak mengetahui bahwa daerah itu sudah banyak didatangi oleh bangsa2 asing, terutama sekall orang dari Tiongkok, mereka yang bertiga bermata sipit itu adalah orang Tiongkok dan mereka memberikan nama palsu.

   Biasanya mereka memakai nama yang terdiri dari tiga suku kata.

   Penduduk Taratak Baru, selama berada dibawah pimpinan Si Kilai tidak pernah bertengkar ataupun curiga mencurigai, hanya tahu pada kerukunan hidup bersama, tidak pula menaruh curiga terhadap pendatang baru itu.

   Yang menamakan dirinya si Tiong itu, orangnya berkumis yang bergantung seperti dua utas tali disudut bibirnya, dan rambutnya yang berjalin itu disebut orang Taratak Baru.

   "cacing''. Karena dia tinggal dirumah si Hitam, yang rumahnya paling dekat ke pinggir hutan dan ketambang emas didalam ngarai, maka si Hitam pulalah yang pertama sekali menerjma hasutan si Tiong itu. Kawan2nya yang lain tinggal bersama keluarga lajn, dan mereka masing2 atas petunjuk2 si Tiong telah mulai pula menghasut keluarga dimana mereka menumpang.

   "Hai, Hitam", kata si Tiong nada suatu malam.

   "Bagianmu dari tambang emas itu sudah ada satu ruas bambu, bukan?"

   "Ya, betul, satu ruas, Cuma sebagian sudah aku jadikan perhiasan dan alat2 rumah tangga"., sahut si Hitam.

   "Baiklah, satu ruas bambu, dan bambunya cukuplah besar nya, lebih kurang sama dengan betisku ini, bukan?"

   "Ya, tapi, apa maksudmu dengan menanyakan hal itu, Tiong?"

   Tanya si Hitam.

   "Oh, tidak apa2, cuma aku teringat keteranganmu dahulu, bahwa semua penduduk Taratak Baru yang berjumlah seratus kepala keluarga masing2 mendapat satu saham".

   "Betul, sahut si Hitam pula yang tidak menduga sedikit juga tentang niat jahat si Tiong itu, masing2 kami telah diberi satu saham meskipun kami tidak turut berjasa dalam menemukan tambang emas itu'.

   "Berjasa ataupun tidak, tapi kau sebagai penduduk Taratak Baru sudah selayaknya mendapat hak satu saham, Hitam, tapi yang aku maksud dengan pertanyaanku tadi ialah bahwa sungguh banyak benar hasil tambang ngarai itu, Seratus saham penduduk, berarti seratus ruas bambu sebesar betisku ini yang telah diterima oleh penduduk Taratak Baru ini, bukan?"

   "Ya, kira2 begitulah", sahut si Hitam pula.

   "Kecuali Kepala Nagari kami bersama Mertuanya mendapat dua saham, karena merekalah yang35 menemukan tambang yang kaya raya itu".

   "Oh, kalau begitu si Kilai mempunjai emas dua kali sebanyak emasmu ini. Hitam?"

   "Ya, dan mertuanya juga".

   "Hmmm, kau pernah juga menerangkan bahwa untuk kekayaan Nagari dikeluarkan sepertiga dari hasil tambang, bukankah begitu, Hitam?"

   "Ya, betul, tapi apa perlunya kau menyelidiki sampai sejauh itu, Tiong?"

   Tanya si Hitam dengan perasaan kurang senang.

   "Oh, tidak apa2, cuma iseng2 saja, sebab menurut perhitunganku tentu kekayaan nagari sekarang ini sudah ada lebih kurang tigapuluh ruas bambu yang sebesar2 betisku bukan?"

   "Ya, kira2 begitulah. Dan aku tahu juga bahwa emas itu disimpan dalam parian yang ruas2nya sebesar paha. Parian2 itu terdiri dari tiga ruas".

   Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Oh, kalau begitu, serupa saja dengan parian2 yang dipakai untuk mengambil air minum dipancuran, betulkah?"

   "Ya, memang parian2 penduduklah yang diminta untuk tempat emas itu. Tiap kali sebuah parian diisi penuh dengan emas, maka dimintakan pada penduduk sebuah parian, dan demikan seterusnya semenjak kami mempunyai tambang emas ini".

   "Hai, hitam. Apakah kau percaya bahwa emas itu sesungguhnya dipergunakan oleh si Kilai bersama si Lengah dan seluruh anggauta dewan pemerintahan untuk keperluan Nagari Taratak Baru ini. Tidakkah mungkin mereka menukarkan emas itu dengan ternak didaerah lain dan menyerahkannya pada orang didaerah itu untuk memelihara ternak itu?"

   "Hai, Tiong! Mengapa kau berkata seperti itu? Kami disini tidak pernah mencurigai Kepala Nagari kami beserta Dewan pemerintahan", sahut si Hitam dengan garangnya.

   "Oi, oi, Hitam, Janganlah kau marah karena perkataanku tadi. Aku berkata begitu, cuma karena aku melihat sendiri si Kilai menyuruh keluarga isterinya pergi ke Alahan Panjang, dan aku dengar pula bahwa mereka menyebut nyebut tentang ternak. Aku tidak menuduh si Kilai memakai emas Nagari untuk menukarnya dengan ternak itu".

   "Aku tidak percaya bahwa Angku Palo kami akan bertindak curang seperti yang kau gambarkan itu, Tiong! Dia adalah orang yang paling jujur serta pemurah, kalau tidak masakan dia bersedia memberikan kami semuanya saham dalam tambang emas yang ditemukannya sendiri itu?"

   "Ya, kalau si Kilai tidak akan berbuat curang, apakah anggauta dewannya tidak akan berbuat curang, Hitam? Seperti si Lengah itu bagaimana? Dia setiap waktu dapat mengambil sebuah parian yang berisi emas dan menyembunjikannya dimana-mana, bukan?"

   Si Hitam menjadi marah mendengar ucaoan si Tiong itu.

   "Hai Tiong! Kau rupanya mau mengadu dombakan kami dengan36 pemimpin2 kami! Kau orang pendatang disini, kau tidak berhak berkata seperti itu tentang pemimpin2 kami!"

   "Janganlah kau marah, Hitam. Aku cuma mengemukakan satu kemungkinan saja. Aku tidak menuduh bahwa mereka telah berbuat curang, Hitam. Samasekali sahut si Tiong yang pandai memutar lidah itu. Si Hitam tetap saja menggerutu. Dia samasekali tidak merasa senang mendengar ucapan2 yang berbisa yang keluar dari mulut orang asing seperti Si Tiong itu. Memang orang itu datang ke Taratak Baru dengan membawa pertanian yang belum mereka kenal, dan mengajarkan pemakaiannya sekali, tapi , bukankah dia dibayar untuk jerih payahnya itu. Dibayar dengan emas murni, dan penghidupan mereka berlima ditanggung pula oleh penduduk bersama. Si Hitam sudah menaruh benci terhadap si Tiong, tapi belum di nyatakannya benar. Perasaannya itu disimpannya sendiri. Si Tiong, seorang yang datang ke Taratak Baru sengaja dengan niat jahat, melihat jalan buntu untuk melanjutkan niat jahatnya dengan bantuan si Hitam. Tapi sebagai seorang penjahat yang lihay orang itu tidak putus asa. Masih banyak akal lain yang akan dipergunakannya. Lebih dahulu dia menunggu hasil2 yang dapat dicapai oleh kawan2nya yang empat orang itul. Keesokan harinya si Tiong mengadakan pertemuan dengan kawan2nya dan mendapat kenyataan bahwa penduduk Taratak Baru tidak dapat ditipu dan tidak dapat diadu dombakan. Mereka semuanya percaya serta patuh pada pemimpin2 mereka.

   

Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Pedang Gadis Yueh Karya Jin Yong Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung

Cari Blog Ini