Ceritasilat Novel Online

Emas Di Ngarai Gelap 2


Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario Bagian 2



"Kalau begitu, kita terpaksa mencuri emas itu", kata si Tiong pada kawan2nya.

   "Tapi , bagaimana kita dapat mencurinya? Bagaimana kita akan dapat naik kerumah si Lengah dan kawan2nya itu? Dan bagaimana kita akan dapat keluar dari pintu gerbang yang selalu dikawal itu?"

   "Serahkan sajalah hal itu padaku, asal kalian mematuhi saja segala perintahku". Setelah pertemuan rahasia itu mereka bubar dan kembali ketempat masing2 dan berbuat seperti tidak ada terjadi suatu apa. Pada hari itu juga, ketika si Hitam ,tidak ada dirumah dan ketika isteri si Hitam membawakan kopi daun dengan beberapa potong kuweh kepada Si Tiong, orang asing itu berkata.

   "Ibu . apakah tidak mengenal minuman yang lebih enak dari kopi-daun ini?"

   "Mengapa begitu, Tiong?"

   Sahut isteri si Hitam segera.

   "Oh, bukan aku hendak mengatakan bahwa kaum ibu di Taratk Baru tidak pandai membuat minuman dan juadah yang lezat2, tapi .., dinegeriku sendiri kaum ibu pandai membuat satu macam minuman yang sangat enak, Mereka membuatnya dari beras yang direndam dengan nira".

   "Kami belum pandai membuat minuman seperti itu, Tiong? Maukah37 kau mengajarkannya padaku?"

   "Dengan segala senang hati, Ibu, Berilah aku beras ketan barang sesukat (2 liter) nanti aku ajarkan pada ibu bagaimana membuatnya".

   "Baiklah, beras ketanku banyak, Tiong, Kalau kau mau sepuluh sukat boleh juga".

   "Tidak perlu begitu banyak, Ibu, Satu sukat saja sudah cukup untuk, menjadikan minuman sebanyak lima buah parian besar".

   "Lima parian besar? Apakah minuman itu diisikan kedalam parian?".

   "Bukan diisjkan saja Ibu, tapi membuatnya juga dalam parian parian itu".

   "Oh, begitu. Tentulah satu macam minuman yang luar biasa benar, Tiong!"

   "Memang luarbiasa, Ibu, Dan kini berikanlah padaku lima buah parian supaya aku dapat membuatkan beras ketan itu menjadi minuman yang luarbiasa enaknya itu".

   "Baiklah, aku masih punya tujuh buah parian yang besar, biarlah aku berikan padamu lima buah, Nanti untuk persediaan air-minum, akan aku suruh buatkan lagi barang lima buah, Bambu cukup banyak dalam hutan". Setelah menerima parian2 besar lima buah serta beras ketan hitam, maka Si Tiong pergi masuk hutan, dimana kawan2nya sudah menunggu kedatangannya. Berdua diperintahkannya menyadap nira dari pohon2 aren didalam hutan, sedang -engan tiga orang memasak beras ketan dalam tabung bambu yang dibenamkan kedalam tanah dan kemudian dipasi dari atas. Setelah ketan itu masak, maka dibuatnyalah ketan itu menjadi tape setelah diberinya ragi secukupnya. Ketan yang sudah diaduk dengan ragi itu dibenamnya kedalam tanah. Tiga hari kemudian kawan2nya yang menyadap nira telah kembali membawa lima buah parian yang penuh berisi nira. Ketan yang dibenam kedalam tanah bersama tempatnya, sebuah tabung bambu besar, dikeluarkan dan sudah menjadi tape yang enak sekali. Tape itu dicampurnya dengan nira didalam parian dan disandarkannya parian2 itu dipohon kayu dalam hutan dimana mereka bermalam. Setelah tiga hari, mereka membuka tutup parian itu dan mencicip minuman nira yang telah menjadi tuak manis itu, Sambil men-capak2 si Tiong tersenyum pada kawan2nya.

   "Ayoh, kini kita kembali kerumah si Hitam. Aku tanggung si Hitam dengan isterinya akan ketagihan minum arak ini. Kalian berempat menunggu aku dirumah si Lengah. Nanti kita akan beri si Lengah serta kawan2nya minum sampai mabuk, dan bila mereka sudah mabuk betul. maka tukar saja parian tempat emas mereka dengan parian tempat arak kita ini".

   "Memang kau sangat lihay, Tiong", kata orang yang menamakan dirinya Beng itu.

   "Bukankah aku ini pemimpin kalan? Seorang pemimpin harus lebih38 pandai dari anak buahnya!"

   Kata si, Tiong pula dengan sombongnya. Ketika si Tiong sampai dirumah si Hitam, maka didapatinya si Hitam sendiri berada dirumah.

   "Hai, kemana kau selama lima hari; Tiong?"

   Tanya si Hitam.39

   "Oh, aku berjanji akan membuatkan minuman istimewa untuk isterimu dan kau, Inilah minuman itu aku bawakan. Kau cobalah dahulu, Nanti, kalau kau rasakan enak, aku bersedia mengajarkan bagaimana membuatnya". Isteri si Hitam serta anak2nya segera datang pula mendengar si Tiong telah kembali membawa minuman istimewa itu. Mereka berlomba- lomba hendak mencicipinya. Masing2 telah membawa galuak tempat minum. Si Tiong menuangkan arak manis itu kedalam galuak isteri si Hitam, setelah itu pada anak2nya yang dua orang pula. Setelah mencicip minuman itu, ketiga tiganya mengatakan serentak.

   "Aduuuuh. enaknya!"

   Si Hitam yang melihat isterinya nyiplak2 keenakan lalu ingin pula mencobanya.

   Setelah mencoba yang pertama lalu diminum yang kedua, setelah itu yang ketiga, isteri serta anak2nya demikian pula.

   Akhirnya keluarga itu semuanya tersandar didinding karena mabok.

   Si Tiong tidak membuang waktu.

   Segera ia mencari tabung tempat emas si Hitam dan ber jalan dengan pariannya kerumah yang didiami Lengah ber sama kawan2nya yang masih bujangan, dimana emas kekayaan Nagari disimpan.

   Si Lengah sebagai ketua dewan pemerintahan dipercayakan untuk menimpan emas itu dirumahnya.

   Kawan2 si Tiong sudah siap menunggu didekat rumah itu.

   Si Tiong langsung saja najk kerumah, dan mendapatkan si Lengah dengan kuwan2nya tiga orang dari anggauta dewan pemerintahan sedang berkelakar.

   Tabung emas si Hitam yang dicurinya tadi telah diserahkannya pada kawannya si Beng, yang menerimanya dengan mulut menganga karena heranny.

   "Hai, kau Tiong!"

   Teriak si Lengah setelah melihat si Tiong berdiri diambang Pintu.

   "Silahkan masuk Tiong . Bagaimana mereka yang kau ajar mempergunakan alat2 pertanianmu itu? Sudahkah mereka mendapat kemajuan?'' "Oh, tentu saja Angku Lengah. Pendeknya mereka seka40 rang tidak akan canggung lagi kalau aku kemball kekampungku di Jambi".

   "Oh, jangan buru2 pulang kekampungmu, Tiong. Disini kau boleh tinggal selama kau inginkan, tentang makanmu jangan khawatir, penduduk disini cukup banyak mempuniai beras. Kalau kau tambahan emas untuk jerih payah mu serta harga alat2mu itu. aku bersedia menambahnya dengan emas milikku sendiri".

   "Oh, terimakasih, Angku Lengah. Angku sangat pemurah hati. Aku ini sebenarnya sudah berniat hendak kembali ke kampungku, tapi41 sebelum aku berangkat ,aku ingin mencicipkan satu macam minuman pada Angku2 disini. Minuman yang aku buat sendiri. Kalau Angku2 rasa minumanku enak, maka aku bersedia mengajarkan bagaimana membuatnya supaya dapat dijadikan minuman istimewa disampng kopi- daun".

   "Baik, baik, Tiong. Mana minuman itu? Kemarikanlah supaya kami cicip bersama". Dimuka anggauta dewan pemerintahan itu memang telah ada, galuak2 bekas mereka minum kopi-daun. Mereka serentak mengangkat galuak mereka untuk diisi arak yang mengalir dari mulut parian si Tiong. Kemud!an mereka mencicip dan serentak pula mereka men-capak2 sambil mengedipkan mata karena alkohol yang masuk kedalam kerongkongan mereka itu.

   "Memang enak betul, Tiong!"

   Kata si Lengah dan kawan2 nya.

   "Minum sepuas2nya Angku2", kata si Tiong.

   "Minum sepuas2nya? Tapi Parianmu ini sudah hampir kosong".

   "Jangan khawatir kehabisan, Angku2, persediaanku cukup banyak. Kawan2ku dibawah sudah menunggu dengan empat buah parian lagi".

   "Suruhlah mereka naik Tiong, supaya mereka turut pula minum bersama kami".

   "Baiklah Angku Lengah", kata si Tiong dan segera ia menjulurkan kepalanya dari pintu untuk memanggil kawan2-nya. Keempat orang itu segera naik kerumah dan duduk diruang tengah menghadap dewan pemerintahan Taratak Baru.

   "Silahkan minum", kata si Lengah sambil membawa galuaknya kebibirnya, dan setelah meneguk arak itu sampai habis ia bertanya;

   "Tabung kecil juga berisi minuman seperti ini?"

   "Tidak, Angku Lengah'', sahut si Tiong segera.

   "Isi tabung kecil itu ialah emas yang kami dapat sebagai hadiah dari penduduk Taratak Baru".

   "Bagus, bagus, nanti aku akan menambahnya pula dengan emasku sendiri. Mari minum. Sungguh enak betul minuman ini, Tiong. Jangan kau kembali kekampungmu sebelum kami pandai pula membuatnya".

   "Baik, Angku Lengah", sahut si Tiong dengan senyum srigalanya. Dengan tidak mereka sadari, hari telah malam, dan si Lengah dengan kawan2nya sudah mabuk semuanya. Mereka ber sandar kedinding dan mata mereka hampir tak kuasa mereka bukakan lagi. Dalam keadaan mabuk itu Si Lengah masih mau saja minum. Akhirnya keempat orang itu tertidur karena mabuk. Segera si Tiong dengan kawan2nya bekerja, Mereka mengambil parian2 tempat emas Nagari, menukarnya dengan parian berisi tuak. Si Tiong tidak lupa untuk membawa sebuah parian yang berisi tuak yang akan diberikannya kepada pengawal2 pintu gerbang, sebagaimana telah di janjikannya tadi ketika mereka mencicipi arak itu seorang sedikit.

   "Hai, Tiong!"

   Teriak seorang pengawal.

   "Kau bawakan minuman itu42 untuk kami?".

   "Ini, ambil satu p.arian ini untuk kalian berdua. Kami di perintahkan untuk membuat minuman ini lagi, bukakanlah pintu gerbang ini".

   "Hai, malam2 begini kalian mau masuk hutan?"

   "Ya, atas perintah Angku Lengah". Pintu gerbang dibukakan, dan mereka berlima berjalan meninggalkan Taratak Baru dengan tujuan Daerah Jambi. Mereka berniat akan terus kepantai selatan dengan perahu kemudian menyeberangi selat Melaka, Ketiga orang kulit kuning yang bercacing itu masing2 membawa sebuah tongkat kayu yang panjang dan sebilah pedang tergantung dipinggang mereka, sedang dua orang yang berkulit sawo matang hanya memakai rudus seperti biasa dipakai orang di Minang Kabau. Dalam malam yang gelap itu mereka berjalan sampai ketepi sungai Batang Hari dan kemudian mereka menyusur Pinggir sungai itu. Tidak berapa lama setelah si Tiong dengan kawan2nya meninggalkan rumah si Lengah, si Kilaipun menaiki tangga rumah itu. Dengan heran Kepala Nagari itu melihat keadaan si Lengah dengan kawan2nya. Ketika ia mendekati si Lengah, ketua dewan pemerintahan itu berkata dengan lidah tebal.

   "Beri aku minuman lagi, Tiong! Sungguh enak betul minumanmu ini. Jangan kau kembali kekampungmu, Tiong, sebelum kau ajarkan pada kami bagaimana membuatnya".

   "Ha! Mengapa kau ini Lengah!"

   Teriak si Kilai, tapi si Lengah tetap saja mengatakan.

   "Beri aku minuman itu lagi, Tiong!"

   "Si Tiong? Apakah pendatang itu sudah meracuni, Si Lengah dengan kawan2nya ini?"

   Demjkian pikir si Kilai.

   Dengan cepat ia turun dari rumah dan berlari kerumah si Hitam untuk mencari si Tiong,.

   Tapi ketika ia sampai di ruang tengah, didapatinya keadaan yang sama.

   Hitam tertidur diatas tikar, isterinya dengan kedua anaknya juga sedang tidur nyenyak.

   "Hai, Hitam, bangunlah! Dimana si Tiong?"

   Si Hitam membukakan matanya. Rupanya karena tidur itu Si Hitam telah kembali segar, sungguhpun kepalanya sangat sakit mendenyut denyut.

   "Apa? Si Tiong? Dimana si Tiong?"

   "Ya, aku menanyakan padamu, dimana si Tiong?"

   "Oh, tadi dia ada disini. Dia memberi kami minuman yang sangat enak rasanya, setelah itu aku merasa pusing dan kemudian rupanya aku tertidur".

   "Kalau begitu dia memberi kau minuman itu dengan niat jahat, Hitam. Mana tabung tempat emasmu?"

   "Ha ..? Tabung tempat emasku? Tunggu dulu!"

   Si Hitam bangkit dan pergi kedalam biliknya tapi ia segera keluar.

   "Angku Palo! Tabungku sudah hilang! Tentu si Tiong yang mencurinya!"

   Si Kilai tidak menunggu lama lagi. Ia terus berlari turun dan43 kembali kerumah si Lengah, Diambang pintu ia bereriak pada Si Hitam.

   "Kumpulkan kawan2, Hitam. Kita mesti mengejar Si Tiong dengan kawan2nya itu". Tiba dirumah si Lengah, Kepala Nagari itu terus saja masuk kedalam bilik tempat menyimpan tabung2 emas kekayaan Nagari itu. Hidungnya segera mencium bau arak yang bergantung dalam biljk. Dipegangnya sebuah parian. Ringan saja rasanya, dan didalamnya terdengar bunyi air. Si Kilai mengangkat parian itu dan menuangkan sedikit isinya, maka mencurahlah tuak dari dajam parian itu.

   "Huh .., inilah minuman yang menyebabkan si Lengah dan kawan2nya itu mabuk", kata si Kilai seorang diri.

   "Kemana bangsat itu lari? Parian2 tempat emas sudah mereka bawa lima buah!"

   Si Kilai turun dengan berlari dan terus kepintu gerbang. Didapatinya pengawal yang dua orang itu sedang minum dengan tidak henti2nya.

   "Hai! Mengapa kalian ini? Buangkan minuman itu! Itu minuman memabukkan!"

   "Oh, Angku Palo? Apa kata Angku Palo? Buangkan? Angku Palo belum pernah mencoba minuman yang seenak ini!"

   Sahut pengawal itu dengan lidah tebal.

   Si Kilai karena marahnya merenggutkan parian itu dari tangan pengawal dan membantingkannya sehingga pecah.

   Pengawal yang melihat keadaan itu, karena mabuknya tidak pikir panjang lagi.

   Ia mencabut rudusnya dan hendak memancung Kepala Nagarinya, tapi si Kilai mengelakkan pancungan orang mabuk itu.

   Rudusnya berpindah tangan, dan tangan kiri si Kilai memberikan tamparan pada muka penga itu sehingga orang itu terjungkir jatuh ketanah.

   Pengawal yang seorang lagi menerima tamparan pula dan dia jatuh pula tersandar ketiang pintu.

   "Bukakan pintu!"

   Teriak si Kilai dengan garangnya.

   Pengawal yang sudah setengah mabuk dan matanya ber kunang2 kena tamparan tidak segera dapat mematuhi perintah si Kilai, maka Kepala Nagari yang sudah tidak sabar lagi itu, membukakan pintu gerbang itu sendiri.

   Setelah tiba ia berlari kearah pinggir sungai Batang Hari yang jauhnya kira2 sepuluh kilometer dari Taratak Baru.

   Kepala Nagari itu sudah pasti benar bahwa penjahat2 itu akan melarikan diri menyusur Sungai sampai pada suatu tempat di mana mereka menambatkan perahu mereka, juga ia tahu bahwa penjahat2 itu tidak akan dapat berlari cepat karena masing2 membawa beban yang sangat berat.

   Sebuah parian yang berisi emas murni beratnya kira2 tujuhpuluhlima kilo.

   Tidak mungkin mereka sudah terlalu jauh, sebab pengawal2 yang diberinya minuman itu masih berebutan dan belum begitu mabuk.

   Malam sangat gelap karena bulan belum terbit, tapi si Kilai tidak mengurangi kecepatannya.

   Rudus pengawal yang dirampasnya tadi masih terpegang ditangan kanannya.

   Dirasainya pinggangnya.

   Kebetulan benar44 ia tidak membawa rudus ketika meninggalkan rumahnya tadi, maka dengan rudus terhunus ia terus saja berlari.

   Tidak sedikitpun teringat olehnya untuk menunggu kawan2nya supaya lebih aman menghadapi lima orang penjahat itu.

   Jauh dibelakangnya terdengar tong-tong.

   Mertua si turun dari rumahnya, dan setelah ia mengetahui apa yang telah terjadi, maka dikumpulkannya lima orang yang tegap2.

   Dengan buru2 ia menyalakan obor.

   Lima orang kini bergerak dengan langkah cepat mengikut jalan kecil menuju sungai.

   "Hitam!"

   Kata mertua si Kilai.

   "Tiga orang yang pakai cacing itu adalah orang2 dari negeri Tiongkok. Biasanya mereka sangat pandai main pedang dan main toya. Tongkat yang mereka bawa itu adalah senjata2 ampuh mereka perkelahian. Aku sudah peringatkan si Kilai supaya jangan mempercayai orang2 itu, sebab mungkin benar mereka itu sebagian dari bajak2 laut yang mengarungi lautan, mendarat dipantai kita, atau mereka terdampar karena dipukul badai. Si Kilai tetap saja tidak percaya.

   "Masakan bajak2 laut pandai bertani"

   Demikian jawabnya. Si Hitam tidak menyahut, Ia sangat menyesali dirinya yang dapat ditipu mentah2 oleh si Tiong itu.

   "Lebih baik kita percePat jalan kita, aku khawatir si Kilai sudah dapat mengejar penjahat2 itu. Tidak mungkin dia sanggup menghadapi penjahat2 yang berpengalaman itu seorang diri. ayoh, lekaslah!"

   Maka orang tua itu mulai berlari, dan yang lain mengikutinya.

   Sementara itu si Kilai sudah merasa letih dan napasnya sesak.

   la memperlambat jalannya untuk mengembalikan napasnya.

   Ketika ia menoleh kebelakang, dari jauh tampak olehnya cahaya obor berkelap kelip, dan ia tahu bahwa kawan2nya telah menyusul pula.

   Si Kilat kembali berlari, dan bertambah tenang pikirannya ketika malihat bahwa bulan sudah mulai menyinarkan cahayanya diatas hutan lebat disebelah Timur.

   Dihadapannya rasa2 tampak olehnya bayang2an bergerak, dan tak berapa lama ia berlari bayang2an itu semakin jelas.

   Lima orang menyandang parian tampak sedang mendaki lereng bukit yang hanya ditumbuh rumput.

   Tiba ditengah2 pendakian orang itu berhenti, dan si Kilai dengan cepat bersembunyi dibalik belukar disisi jalan.

   Tampak bahwa salah seorang menunjuk, dan ketika Kilai menoleh kebelakang, tampak olehnya bahwa yang ditunjuk orang itu ialah cahaya obor yang tampak sudah makin dekat dibelakangnya.

   Kelima penjahat itu mempercepat perjalanan mereka, dan si Kilai kembali berlari mengejar mereka, Supaya jangan didengar musuh, maka ia berlari dengan berjingkat sehingga ia sendiri pun tidak mendengar bunyi langkahnya.

   Penjahat2 itu sudah sampai dipunggung pendakian, dan tak lama kemudian mereka hilang dari pandangan si Kilai yang ketika itu telah sampai bukit.

   Kepala Nagari itu mempercepat larinya mendaki bukit sebab ia khawatir kalau mereka akan membelok kedalam semak yang45 berada di balik punggung bukit itu.

   Tiba dipunggung bukit si Kilai menjatuhkan dirinya dan mnengintip dengan hati2.

   Jauh dibawahnya tampak sungai Batang Hari terbentang seperti Pita dari perak karena disinari cahaya bulan.

   Penjahat2 itu sedang menuruni lereng bukit dengan ber-hati2, mereka tidak dapat berjalan dengan cepat karena masing2 membawa beban yang sangat berat.

   Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Manalagi mereka sudah sangat letih karena sudah berjalan jauh.

   Bahu mereka serasa putus karena beban berat.

   Parian yang terbuat dari tiga ruas bambu besar itu mereka sandang seperti menyandang bedil.

   Kulit bambu yang licin menyebabkan kesulitan juga bagi mereka, sebab parian itu selalu meluncur saja dari bahu sehingga terpaksa selalu ditahan dengan tangan.

   Si Kilai yang tidak membawa beban dengan enak saja meluncur menuruni lereng yang ditumbuhi rumput itu, dan tepat ketika penjahat2 itu tiba didataran menjelang sampai ditepi sungai, si Kilai tiba pula dibelakang mereka.

   "Hai Tiong! Berhenti! Kau tidak akan membawa emas kami kekampungmu,,Tiong!"

   Rudus yang dirampasnya dari pengawai tadi masih dipegangnya.

   Orang yang menamakan dirinya si Beng, berjalan dibelakang sekalii.

   Rupanya dia khawatir bahwa si Tuding dan si Turi akan berkhianat dengan mengambil jalan lain, atau membuangkan beban mereka dan lari masuk hutan.

   Dihadapan si Beng berjalan di Tuding dan si Turi.

   Dihadapan si Turi berjalan si Tiong dan si Seng.

   Si Beng tampak membungkuk ketika ia mendengar suara Si Kilai dibelakangnya, dan ujung Pariannya diletakkannya ditanah, kemudian meluruskan tubuhnya sambil memegang parian dengan tangan kiri dan tongkat toyanya dengan tangan kanan.

   "Oh, Angku Kepala Nagali", kata orang itu dengan lidahnya yang tidak pandai menyebut 'R' itu. Kau seolang dili saja?'' Dengan cepat ia merebahkan parian ketanah, dan ketika ia kembali meluruskan tubuhnya tongkat toyanya sudah dipegangnya dengan kedua tanoan untuk menunggu kedatangan si Kilai. Kepala Nagari yang tidak tahu bagaimana caranya orang Tiongkok mempergunakan toyanya, hampir saja terbongkar perutnya kena ujung tongkat yang berbahaya itu, yang hampir pula membelah kepalanya. Dengan kegesitan yang mengagumkan si Beng, Kepala Nagari itu dapat mengelakkan serangan2 berbahaya itu. Untuk menyelamatkan dirinya si Kilai mundur dua langkah. Si Beng segera mengikuti langkahnya itu, tapi rudus yang berada ditangan si Kilai telah melayang diudara dan ujungnya menyelam kedalam dada penjahat itu. Sebentar si Beng tertegun seperti ia tidak percaya bahwa ajalnya sudah sampai. la melihat pada rudus yang terpancung pada dadanya, kemudian pada si Kilai, tapi beberapa saat kemudian ia terhuyung. Tongkat toyanya terlepas dari tangan dan si Kilai melompat dengan cepat untuk menyambar tongkat toya itu.46 Untuk mencabut rudus dari dada musuhnya tidak sempat lagi, sebab si Beng jatuh telungkup dan rudus si Kilai terbenam kedalam dadanya sampai kehulunya. Dengan tongkat toya itu ia hendak menyerang si Tuding dan si Turi yang telah meletakkan beban mereka, tapi ketika ia hendak memukulkan tongkat itu pada lawannya, kedua orang itu yang telah memegang rudus, se-konyong2 melemparkan senjata mereka ke tanah. Dipuncak bukit kedua orang itu telah melihat lima orang muncul, dan sudah meluncur menuruni lerang bukit. Si Kilai kini melemparkan tongkat toya jitu seperti melemparkan tombak pada si Tiong yang sudah pula meletakkan bebannya dan memegang tongkat toya dengan kedua tangannya. Tongkat yang dilemparkan si Kilai itu tepat mengenai dada lawannya. Si Tiong terjungkir kebelakang, tapi ia dengan cepat berdiri sambil mencabut pedangnya. Si Kilai memungut dua buah rudus yang ada dihadapannya. Sebuah dilemparkannya pada si Tiong, tapi orang itu rupanya sangat pendekar. Rudus yang seharusnya terpancang didadanya melayang saja disisinya dan terus mengenai paha si Seng yang masih hendak melarikan bebannya yang berat. Orang itu jatuh, dihimpit oleh bebannya yang berat. Bahunya sebelah kiri hampir patah karena dihimpit beban seberat tujuh pu47 Lu kilo, pahanya sudah luka kena mata rudes. Untuk beberapa lama ia tidak dapat berbuat apa2, tapi ketika ia dapat duduk, tampak olehnya abahwa si Tiong sedang berhdapan dengan Si Kilai. Dipuncak bukit tampak lima orang meluncur dengan cepat. Si Tiong mencabut pedangnya yang panjang dan yang makin besar keujungnya itu. Si Kilai kewalahan menghadapi si Tiong. Pedangnya yang panjang berputar seperti baling baling dimuka dadanya, dan dengan tiba2 orang itu menyerang. Nyaris benar si Kilai terbelah kepalanya, kalau ia tidak dapat melompat dengan cepat. Si Seng ingin membantu kawannya, tapi ia tidak sanggup berdiri, maka dilontarkannya pedangnya. Senjatanya itu melayang diudara berputar2, dan .., mata pedang yang tajam itu membelah tubuh si48 Tiong dari bahunya sebelah kanan sampai kedadanya. Si Tiong tewas kena pedang kawannya sendiri. Sementara itu mertua si Kilai dengan kawan2nya telah tiba ditempat pertarungan itu. Orang tua yang gagah berani itu, yang tidak mau kalah dengan yang muda2, terus saja melompat melewati menantunya dan rudusnya yang tajam telah membelah kepala si Seng sebelum ia insyaf bahwa pedangnya telah menewaskan kawannya sendiri. Dibelakang Kilai terdengar teriakan minta ampun dari si Tuding dan si Turi.

   "Ampunkan kami ini. Kami hanya budak2 yang dipaksa oleh majikan untuk melakukan perbuatan terkutuk ini!"

   Kilai berbalik dengan cepat mendengar terjakan si Tuding dan si Turi itu. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa kedua orang itu turut dengan tiga orang Cina itu sebagai budak2.

   "Kalau begitu, daerah Jambi sudah dikuasai oleh orang2 asing bermata sipit ini, Tuding?"

   Tanya si Kilai.

   "Nagari Muaro Tembesi sudah ditangan mereka seluruhnya, Angku Palo. Kami semuanya sudah menjadi budak2 mereka. Laki wanita kami disiksa, dan akan dibawa keseberang lautan. Kini mereka sedang membuat perahu, karena kapal mereka pecah dilanda badai, Angku Palo".

   "Baiklah, Tuding, pikullah bebanmu itu kemball, kau juga Turi, kita kembali ke Taratak Baru". Kedua tawanan itu dengan patuh memikul beban mereka kembali. Si Hitam sibuk mencari tabungnya yang berisi emas itu. Ditemukannya ruas bambu yang berisi emas itu dekat Parian yang dibawa si Seng. Segara dipangkunya miliknya itu, orang lain datang menegakkan parian yang berisi emas Nagari dan memikulnya. Karena cahaya bulan terang benderang, maka mereka tidak memerlukan obor lagi untuk menerangi jalan. Mertua si Kilai juga sudah lama membuang obornya. Tiba dipuncak bukit, si Tuding berhenti dan memandang kehilir sungai. Si Kilai mengikuti pandangannya itu, maka tampak olehnya jauh dihilir sungai cahaya api unggun berkelap kelip "Kau memperhatikan cahaya api itu, Tuding?"

   Tanya si Kilai.

   "Ya., Angku Palo. Dari sanalah kami berangkat ke Taratak Baru. Ditempat itulah bajak2 laut yang terdampar itu membuat dua buah perahu besar. Penduduk Muaro Tembesi yang kuat2 mereka bawa sebanjak empat puluh orang untuk memotong kayu dihutan. Jumlah mereka yang berada ditempat itu untuk membuat perahu2 besar itu ada duapuluh orang, Angku Palo''.

   "Siapa yang memerintahkan kalian datang ke Taratak Baru?"

   Si Tiong sendiri, Angku Pajo, sebab dialah yang menjadi kepala rombongan pembuat perahu itu".

   "Dari mana mereka mendapat alat2 pertanian yang kalian bawa ke Taratak Baru itu?"

   "Mereka buat sendiri, Angku Palo. Memang mereka pandai49 bertukang, Tukang besi dan tukang kayu, sampai2 tukang emas yang pandai membuat perhiasan yang halus2 juga ada diantara mereka".

   "Apa persenjataan mereka disana, Tuding?"

   "Lengkap, Angku Palo, Pedang, tombak, panah dan kayu toya".

   "Berapa orang yang ada di Muaro Tembesi?"

   "Kalau tidak salah, ada empat puluh orang, Angku Palo".

   "Baiklah, marilah kita pulang dahulu, nanti kita bicarakan hal ini lebih mendalam". Setelah melewati bukit itu barulah mereka berjumpa dengan rombongan yang menyusul kemudian. Lebih kurang empatpuluh orang berlomba lomba berlari, tapi ketika mereka melihat rombongan mertua si Kilai berikut si Kilai telah kembali maka mereka sama2 menyatakan kelegaan mereka.

   "Ini belum berarti bahwa kita semuanya telah luput dari bahaya", kata si Kilai.

   "Ada apa lagi, Angku Palo? Bukankah penjahat2 itu sudah dapat dibekuk semuanya, dan emas Nagari kita sudah selamat?"

   "Biarlah nanti saja aku terangkan pada kalian semuanya, bila kita sudah sampai di Taratak Baru kembali". Dengan penuh rasa heran rombongan yang datang kemudian itu mengikuti kawan2nya pulang ke Taratak Baru. MEMBEBASKAN KAWAN DARI BELENGGU PERBUDAKAN. TIBA KEMBALI di Taratak Baru mereka dapatkan si Lengah dengan tiga orang anggauta dewan pemerintahan masIh tidur nyenyak diatas tikar diruang tengah rumah gadang. Si Kilai dengan mertuanya diikuti oleh penduduk yang telah membawa pula dua orang pengawal yang setengah mabuk tadi. Mereka ber-ramai2 duduk memenuhi ruang tengah, Si Kilai membangunkan si Lengah serta kawan2nya. Mereka yang tertidur karena mabuk minum tuak itu, kini membukakan mata perlahan lahan. Kepala mereka serasa hendak pecah. Didalamnya serasa ada yang melonjak-lonjak. Mereka tidak tahu bahwa sakit kepala itu disebabkan oleh arak.

   "Ha, ada apa ini?"

   Tanya si Lengah sambil memegang kepalanya yang men-denyut2.

   "Tidak apa2 Lengah, duduklah baik2. Angku2 cerdik pandai duduk pulalah supaya dapat mendengarkan musyawarah penting yang harus kita langsungkan pada malam ini juga"

   Dengan penuh keheranan para anggauta dewan pemerintahan Taratak Baru itu berikut si Lengah yang menjabat ketua Dewan, memperbaiki duduk mereka.

   Keempat orang itu duduk dengan muka mengerut karena menahan rasa sakit dikepala, dan sekali2 seorang50 memegang dan me-mijit2 kepalanya.

   "Tuding", kata Kepala Nagari pada tawanan itu.

   "Dapatkah kau mengatakan minuman apa yang telah diberikan pada si Hitam serta yang lain2 itu sehingga mereka lupa akan diri mereka?".

   "Namanya ialah, ARAK. Angku Palo, Arak itu dicampur mereka dengan air nira. Minuman itu biasa mereka minum diwaktu berpesta pora, Angku Palo".

   "Apakah kalian berdua tahu bahwa mereka membuatkan minuman itu sebagai satu akal untuk mencuri emas kami?"

   Si Tuding ragu2, tapi si Turi menyahut .

   "Kami tahu, Angku Palo, tapi kami tidak berani memberitahukannya pada Angku Palo, atau pada orang lain, sebab kami diancam akan dibunuh. Disamping itu kami dijanjikan akan dibebaskan bila pekerjaan ini selesai dengan baik".

   "Kalian telah percaya saja pada janji mereka itu, dan kalian tidak memikirkan nasib sanak saudara kalian yang kini meringkuk dibawah kekuasaan mereka?"

   "Ampunkan kami, Angku Palo, Kami ini tidak berdaya apa2 terhadap mereka. Mereka orang2 ganas, Angku Palo".

   "Lengah dan Angku2 anggauta Dewan, tahukah Angku2 bahwa si Tiong dengan kawan2nya telah melarikan lima parian yang berisi emas Nagari?"

   "Hah ???? Melarikan emas Nagari? Si Tiong?"

   Kata si Lengah dan kawan2nya berganti2. Si Lengah berdiri dan meraba pinggangnya dimana biasanya rudusnya tergantung.

   "Mau kemana, Lengah?"

   Tanya si Kilai dengan senyumnya.

   "Mmmm .. mmmm .'' "Sudahlah, duduk sajalah kembali. Lihatlah parian yang tersandar didinding itu. Parian2 apakah itu?"

   Si Lengah, dan juga kawan2nya yang sedang sakit kepala memandang kedinding.

   Mereka melihat lima buah parian tersandar, dan mengira bahwa parian2 itu berisi minuman yang menyebabkan mereka lupa akan diri mereka, maka keempat orang yang merasa dirinya bersalah itu menundukkan kepala.

   "Parian yang berisi minuman itu", keluar dari mulut si Lengah perlahan.

   "Bukan, kawan", kata Kepala Nagari itu dengan tersenyum.

   "Parian2 itulah yang berisi emas Nagari, yang telah berhasil kami rampas kembali dari penjahat2 itu sementara Angku2 enak2 tidur disini sebagai akibat minuman jahanam itu". Si-Lengah dengan kawannya yang tiga orang tidak menyahut. Mereka menundukkan muka karena merasa sangat malu, sementara kepala mereka serasa mau pecah karena men-denyut2. Mereka insyaf akan kesalahan mereka dan menderita bathin.

   "Tapi .. sambung Kepala Nagari itu pula.

   "Tidak aku sesalkan51 benar bahwa Angku2 telah terjebak oleh tipu muslihat penjahat2 yang lihai itu, sebab aku sendiri, dan juga seantero penduduk Taratak Baru, tidak menyangka samasekali bahwa mereka itu penjahat. Baru setelah peristiwa ini terjadi kami mengetahui bahwa mereka itu sebenarnya bajak2 laut yang terdampar di pantai Selatan, naik kedarat dan menguasai nagari Muaro Tembesi seluruhnya. Mereka datang ke Taratak Baru sengaja untuk menyelidiki keadaan di Nagari kita ini. Juga para pengawal pintu gerbang tidak aku sesalkan benar, karena kita disini belum lagi berpengalaman dengan akal2 busuk dari orang2 asing itu. Karena itu, hendaklah kita jangan lekas2 terpengaruh oleh kata2 manis, jangan kita dapat dirayu dengan bantuan orang2 asing yang pada lahirnya tampak tapi dibalik perbuatan yang baik itu tersembunyi niat2 jahat. Janganlah kita lekas2 terperdaya oleh muka manis, makanan serta minuman yang lezat cita rasanya, jangan kita dapat dirayu oleh dendang dan lagu yang tidak sesuai dengan jiwa serta alam kehidupan kita. Hendaklah kita tetap pada kepribadian kita sendiri dan mempertahankan diri terhadap pengaruh2 dari luar yang mungkin tidak sesuai dengan jiwa serta alam kita". Sunyi senyap didalam rumah gadang itu ketika Kepala Nagari itu berhenti sebentar. Semuanya memperhatikan nasehat pemimpin mereka yang sangat mereka hormati.

   "Kini", sambung si Kilai lagi.

   "Marilah aku membentangkan suasana serta keadaan berbahaya yang kita hadapi sekarang ini". Kepala Nagari itu memperhatikan hadirin disekelilingnya.

   "Tidak berapa jauh dari tempat kami memusnahkan penjahat2 asing ini, ditepi Sungai Batang Hari disebelah hilir, terdapat perkemahan perompak2 yang sedang membuat perahu guna mengangkut kekayaan dari bumi kita ini serta penduduk yang akan mereka jadikan budak. Si Tiong itu adalah salah seorang dari pemimpin perompak2 yang menguasai Muaro Tembesi. Jadi . , karena si Tiong dengan nguasai Muaro Tembesi. karena si Tiong dengan kawan2nya dapat kita musnahkan, maka dapat kita pastikan bahwa mereka pada suatu waktu akan datang ke Taratak Baru ini untuk mencari pemimpin serta kawan2 mereka yang hilang itu. Dan mereka akan datang dengan pasukan yang bersenjata lengkap dan berpengalaman dalam peperangan. Ini si Tuding dan si Turi dapat menerangkan bahwa mereka itu adalah orang2 yang buas serta haus darah, mereka tidak segan2 membunuh. Bangsa kita penduduk Muaro Tem besi sudah mereka kuasai dan perbudak. Mereka menjajah dengan segala kekejaman. Maka sekarang ini aku ingin meminta pertimbangan Angku2 yang cerdik pandai dalam Dewan Pemerintahan, apakah kita akan menunggu saja kedatangan bajak2 laut itu di Taratak Baru ini, ataukah akan kita serang ditempat mereka untuk menghindarkan Nagari kita dari kehancuran sampai membebaskan sanak saudara kita di Muaro Tembesi yang telah mereka kuasai dan perbudak itu".52 Si Kilai berhenti bicara memberikan kesempatan pada Anggauta2 Dewan Pemerintahan untuk berpikir. Si Lengah dengan tiga kawan2nya tidak berani mengeluarkan pendapat, mereka menyerahkan saja hal itu pada kawan2 mereka yang belum kehilangan muka.

   "Memang sudah terbukti, kembali kebenaran arti pepatah kita.

   "Tiap2 kesalahan menjadi pengalaman, dan tiap2 pengalaman ada manfaatnya'. Manfa'at yang paling berguna dalam hal ini, ialah bahwa kita dengan terjadinya peristiwa ini dapat mengetahui bahaya apa yang sebenarnya mengancam diri kita disini. Karena itu maka aku ingin mendengar pendapat Angku2 yang cerdik pandai serta penduduk Taratak Baru seluruhnya, tentang apa yang sebaiknya kita lakukan menyelamatkan diri kita dari kehancuran". Angganta2 Dewan saling berpandangan, juga penduduk Taratak Baru yang hadir berbisik2. Akhirnya terdengar salah seorang Anggauta Dewan berkata.

   "Ampunkan kami, Angku Palo, Segala uraian Angku Palo tadi yang panjang lebar, sungguh meresap kedalam dada kami. Kami semuanya lnsyaf akan bahaya yang mengancam Nagari serta keselamatan diri kita semua, maka dengan ini kami menyatakan menyerahkan segala keputusan pada Angku Palo yang kami anggap mampu memimpin kami dalam segala keadaan, keadaan senang maupun keadaan susah seperti sekarang ini. Dan untuk mendapatkan ketegasan tentang buah pikiran kami ini, ada baiknya kami tanyakan pula pada segenap kaum pria yang hadir disini". Pembicara yang masih muda belia itu berdiri dan berkata dengan lantang.

   "Kawan2ku semua, beresdiakah kita mematuhi segala perintah yang akan dikeluarkan oleh Angku Palo kita dalam usahanya menghindarkan Nagari serta diri kita semua dari bahaya kehancuran ini? Bersediakah kita mengorbankan jiwa dan raga kita untuk mempertahankan kemerdekaan kita?"

   Dengan serentak serta bersemangat berkumandanglah jawaban yang spontan dari segenap hadirin.

   "B E R S E D I A ! "

   Pemuda yang tangkas itu menyusun jarinya pada Angku Palo.

   "Sudah kita dengar bersama, Angku Palo, bagaimana menyala2nya semangat kami semua untuk mempertahankan kemerdekaan kami, dan mempercayakan pimpinan pada Angku Palo. Kami semuanya bersedia menghunus rudus memasuki gelanggang berdarah. Aso hilang, kaduo tabilang, Angku Palo, demi untuk kemerdekaan kita bersama!"

   Gemuruh tepuk tangan orang yang mendengar pernyataan yang berapi2 dari pemuda itu. Rudus ber-kilat2 diatas kepala mereka. Setelah hadirin kembali tenang, Kepala Nagari, berkata dengan tenang.

   "Terimakasih atas kepercayaan serta kesetiaan sanak saudara semuanya, maka aku berjanji akan memimpin sanak saudara dengan sebaik2nya. Kita akan bertempur bahu membahu menghancurkan penjahat2 yang telah menindas sanak saudara kita di Muaro Tembesi dan yang mungkin pula akan menjajah kita disini, merampas harta kekayaan53 kita. Besok malam kita semua harus sudah berada dipinggir sungai Batang Hari lengkap dengan perbekalan serta alat senjata kita. Kini pulanglah semuanya kerumah masing2, dan semua pengawal2 hendaklah mulai malam ini memperkeras penjagaan. Tempatkan pengawal2 diatas seteling. Tinggalkan si Tuding dan si Turi disini, sebab kami dengan segenap Anggauta Dewan cerdik pandai akan melanjutkan perundingan, menetapkan siasat kita dalam menghadapi musuh2 yang berbahaya itu", Setelah semua penduduk Taratak Baru mengundurkan diri, maka tinggallah Kepala Nagari bersama si Tuding dan si Turi serta segenap Dewan cerdik pandai yang diketuai oleh si Lengah.

   "Tuding", kata si Kilai memulai pembicaraannya.

   "Bersediakah kalian berdua membantu kami dalam usaha membasmi penjahat2 itu? ".

   "Ampunkan kami, Angku Palo. Kami ini hanyalah budak2 dan sudah menjadi tawanan pula. Bagaimanakah kami dapat memberikan jasa2 kami dalam hal ini?"

   "Tuding, dan kau Turi. Kami disini tidak mengenal perbudakan, dan kami juga tidak sudi melihat sanak saudara kami yang lain dijajah dan diperbudak bangsa asing. Kalian disini sudah menjadi orang2 yang merdeka. Bersediakah kalian berkorban untuk membantu sanak saudara kalian di Muaro Tembesi itu?". Si Tuding dan S Turi yang menjangka bahwa mereka akan menerima hukuman pancung, atau se-kurang2nya dijadikan budak pula di Taratak memandang dengan mata terbelalak keheranan pada Si Kilai.

   "Ampun Angku Palo, tidakkah kami ini akan dihukum atas perbuatan kami yang telah membantu musuh Angku Palo itu? "Tidak, Tuding. Kami tahu bahwa kalian hidup dibawah54 tekanan majikan2 kalian, dan mau tak mau mematuhi segala perintah penjahat2 itu, maka kami tidak menganggap kesalahan kalian itu sebagai kesalahan yang amat besar. Kalian dapat menebus kesalahan kalian itu dengan membantu kami dalam usaha menghancurkan penjahat2 itu, dan membebaskan sanak saudara kita yang tertindas".

   "Terimakasih Angku Palo. Kami berdua bersedia untuk apa saja,55 sekalipun kami diperintahkan untuk menyusup ke dalam perkemahan mereka dipinggir sungai itu".

   "Baiklah, Tuding, dan kau juga Turi. Marlah kita rundingkan bersama dengan Dewan cerdik pandai yang sudah hadir disini, siasat apa yang akan kita lakukan dalam penyerangan kita besok malam". Ketika matahari terbit, barulah mereka selesai merembukkan cara2 yang harus mereka lakukan besok malam. Si Kilai pulang kerumahnya untuk beristirahat, dan si Lengah bersama kawannya yang tiga orang merasa sangat lega mendapat kesempatan untuk tidur guna melupakan derita jiwanya karena membuat kesalahan itu serta untuk menghilangkan sakit kepala. Sebelum senja Penduduk Taratak Baru yang terdiri dari kaum pria yang pandai mempermainkan senjata telah berkumpul dimuka rumah gadang yang telah dianggap sebagai rumah Nagari itu. Semuanya ada seratus orang, yaitu kepala2 keluarga penduduk Taratak Baru. Mereka sudah membawa senjata2 mereka, yang terdiri dari tombak, panah serta busur dan rudus yang telah diasah tajam. Dari yang seratus orang itu dipilih tujuh puluh orang yang kuat2. Tigapuluh orang harus tinggal untuk menjaga Taratak Baru, sepuluh orang nanti ditempatkan antara satu kilometer sepanjang jalan dari Taratak Baru kepinggir sungai Batang Hari. Yang sepuluh orang itu bertugas sebagaj kurir yang harus menyampajkan berita2 secara beranting dengan berlari cepat. Mereka harus menyampaikan berita untuk bersiap, andaikata pasukan Taratak Baru harus mundur kepangkalan. Setelah matahari terbenam barulah pasukan itu berangkat. Didepan sekali tampak si Kilai dengan mertuanya. Si Lengah dengan tiga orang kawannya yang terkena tipuan si Tiong tidak mau ketinggalan, karena mereka ingin menebus dosa mereka. Si Tuding dengan si Turi tampak menyandang parian. Ruas bambu parian yang sebelah atas diisi dengan emas murni sedang dua ruas kebawah diisi dengan batu kerekel. Nanti mereka berdua akan naik perahu menuju perkemahan pembuat perahu itu. Disana mereka harus melaporkan bahwa si Tiong dengan kawan2nya berhasil merampas segala kekayaan penduduk Taratak Baru, dan mereka meminta bantuan untuk melindungi keberangkatan mereka yang akan mengangkut parian2 berisi emas. Dengan demikian akan keluarlah segala kekuatan mereka bersama puluhan budak2 penduduk Muaro Tembesi sebagaj kuli Pengangkut. Budak2 bekas penduduk Muar. Tembesi itu harus diberitahukan akan keadaan sebenarnya oleh si Tuding dan Si Turi, supaya mereka dapat membantu pasukan Taratak Baru bila terjadi pertempuran. Sekalipun mereka itu akan berjalan dengan rantai dikaki, tapi sedikitnya mereka tentu akan dapat juga membantu. Tangan mereka masih dapat merampas senjata2 bajak2 laut itu. Pasukan Taratak Baru akan menunggu di dalam hutan Sungai Batang Hari. Setelah lebih kurang dua jam berjalan cepat, maka sampailah si56 Kilai dengan pasukannya ditempat yang dituju. Mencari perahu yang ditinggalkan oleh Si Tiong tidaklah susah, sebab si Tuding dan si Turilah yang membantu menambatkan perahu yang dua buah itu. Setelah menerima nasehat2 terakhir dari si Kilai, si Turi dan si Tuding berangkat dengan sebuah perahu. Keberangkatan kedua orang itu diikuti dengan pandangan oleh mereka yang bersembunyi didalam hutan. Orang2 yang berada di Puncak bukit dan mengikuti kedua orang itu dengan pandangan mereka. Menjelang bulan terbit, tidak ada yang tampak jelas oleh mereka. Seperti bayangan hitam saja kelihatannya perahu si Tuding itu. Tapi ketika bulan terbit di langit cerah, barulah mereka dapat melihat dengan lebih nyata Perahu si Tuding diikuti dengan pandangan sampai menghilang dibalik belokan sungai, tepat pada tempat dimana api tampak berkelap kelip. Sunyi senyap didalam hutan dikaki bukit itu. Semua kini menunggu kedadian2 mendatang dengan hati berdebar. Lama setelah si Tuding mendarat dibelokan sungai itu, barulah tampak kesibukan ditempat itu. Dari atas bukit terdengar isyarat seperti bunyi burung hantu, satu tanda bahwa orang2 dibelokan sungai sudah bergerak mudik sungai. Lima buah perahu, masing2 berisi empat orang berkayuh, diikuti oleh dua buah rakit bambu yang masing2 bermuatan sepuluh orang. Jelas benar dapat dihitung dari Puncak bukit ketika mereka satu persatu menaiki perahu atau rakit. Seorang yang berlari dari Puncak bukit datang melaporkan keadaan itu pada si Kilai. Dipuncak bukit telah ada sepuluh orang dengan senjata panah dan rudus, lima puluh orang yang berada didataran dipinggir sungai dibagi menjadi empat bagian, masing2 di kepalai oleh si Kilai, si Lengah, mertua si Kilai dan pemuda Dewan cerdik pandai. Dengan demikian pasukan perampok itu dapat dikepung dari lima penjuru mereka selesai mendarat. Setelah pasukan dibagi-bagi, dataran dipinggir sungai itu kembali sunyi sepi. Pasukan Taratak Baru telah bersembunyi dibalik semak. Dua bagian dikaki bukit, dan dua bagian lagi ditepi sungai, dikiri dan kanan pendaratan. Orang2 yang diatas puncak bukit dari tadi tiada kelihatan lagi. Perampok2 itu datangnya tidak dengan diam2 sebab mereka samasekali tidak menyangka akan disergap orang. Yang diatas rakit turut pula ribut2 pula supaya pasukan Taratak Baru dapat membedakan mereka dari perampok2 itu, sebab bahasa yang mereka pergunakan jauh sekali berbeda. Dari puncak bukit terdengar bunyi burung hantu, satu tanda bahwa sebuah perahu sudah mendarat. Semua orang yang mengintai dalam belukar kiri menunggu saat serangan panah dari puncak bukit. Mereka belum akan keluar dari tempat persembunyian mereka sebelum dimulai serangan dengan panah. Musuh yang nanti mencari tempat bersembunyi57 didalam belukar akan mereka sergap. Demikianlah perhitungan mereka. Setelah perahu yang pertama merapat kepinggir sungai, tiga orang segera melompat kedarat, yang seorang menambatkan perahunya. Setelah selesai, yang empat orang itu berjalan menempuh dataran. Perahu yang kedua mendarat pula, dan tiga orang segera menggabungkan diri dengan kawan2 mereka yang tadi kemudian disusul pula oleh yang seorang setelah selesai menambatkan perahu. Demikian pula dengan yang ketiga dan keempat. Perahu yang kelima menunggu sampai dua buah rakit dan budak2 yang kakinya dirantai turun kedarat. Mereka, didera dengan cemeti supaya turun dengan teratur dan bersusun didarat menunggu sampai kawan2 mereka selesai mendarat. Melihat kekejaman orang2 asing itu si Kilai hampir tak kuasa lagi menahan dirinya.. Akhirnya rombongan yang enam belas orang sampai dikaki bukit, kemudian terdengar bunyi mendesau desau dari puncak bukit, anak panah tampak melayang-layang kebawah dan enam orang menjerit, meraung kesakitan, tapi beberapa detik kemudian merekapun diam karena dimakan racun panah yang sangat berbisa. Yang sepuluh orang segera berpencar mencari tempat berlindung, didalam semak mereka ditunggu oleh prajurit2 Taratak Ba_ru yang diluar dugaan mereka menunggu didalam belukar itu. Terjadilah pertarungan yang seru. Yang tidak sempat mencabut pedang, terguling dimakan rudus, Yang sempat mencabut pedang bertempur mati-matian menghadapi lawan yang jauh lebih banyak dari mereka. Perampok2 itu terdiri dari orang2 yang sudah berpengalaman dalam peperangan dilaut maupun didarat, maka beberapa orang dari pasukan Taratak Baru gugur dalam mempertahankan kemerdekaan Nagari mereka. Keempat orang perampok yang menghalau orang2 Muaro Tembesi dengan cambuk hendak membuat budak2 mereka itu sebagai tameng, tapi mereka lupa bahwa orang2 dari Muari Tembesi itu hanya kaki mereka saja yang dirantai, tangan mereka masih bebas untuk berbuat sesuatu, sedangkan si Turi dengan si Tuding bersenjata rudus dan tidak dirantai. Sebentar terdengar bunyi rantai gemerincingan, yang kemudian disusul oleh raungan orang2 yang memegang cambuk tadi. Tubuh tampak bergulingan ditanah. Satu hendak merebut senjata, dan pihak yang lain hendak mempertahanan senjata mereka. Tapi pergulatan itu cepat berakhir dengan kemenangan dipihak si Tuding dengan kawan2-nya. Sebagaimana telah diperhitungkan oleh si Kilai, demikianlah berachirnya pertempuran itu. Waktunya sangat singkat, hanya. seperempat jam saja semenjak mereka mendarat. Si Kilai segera mengeluarkan perintah supaya orang Taratak Baru berkumpul untuk membantu menguburkan korban2 dipihak Taratak Baru ternyata jatuh dua korban, jenazah mereka diangkut ke Taratak Baru.

   "Bagaimana akal kita untuk membuka rantai kawan2mu itu,58 Tuding?"

   Tanya si Kilai.

   "Oh, mudah saja, Angku Palo. Salah seorang dari penjahat2 ini memegang kuncinya, mari aku cari kunci itu dahulu". Mencari kunci itu tidaklah lama. Si Tuding segera membebaskan kawan2nya yang segera berlari memilih senjata dari korban2 itu. Yang tidak kebagian pedang terpaksa memilih tongkat toya saja sementara belum mendapat senjata yang lebih cocok bagi mereka, tapi si Kilai telah memerintahkan seorang prajurit untuk mempersenjatai orang2 dari Muaro Tembesi dengan senjata2 cadangan yang mereka bawakan. Perjalanan diatas air menuju perkemahan perampok2 itu terpaksa dilakukan dalam empat kali. Perahu dan rakit pulang pergi dan akhirnya mereka berkumpul ditempat galangan perahu itu. Perahu2 yang sedang dibuat perampok2 itu sangat besar, baru. separo sudah. Satu perahu saja kira2 akan dapat memuat tiga ratus orang berikut barang2, demikian taksiran si Kilai dengan kawan2nya. Pada malam itu juga si Tuding dan si Turi mengumpulkan kawan2nya. setelah yang tinggal digalangan perahu itu dibebaskannya dari rantai2 besar yang mengikat mereka pada balok ditempat penginapan mereka. Tak putus2nya ucapan terimakasih mereka pada si Kilai. Untuk meneruskan perjalanan ke Muaro Tembesi harus dibuat beberapa buah rakit lagi, karena semuanya ada lebih kurang seratus orang yang akan diangkut melalui air.

   "Berapa jauh perjalanan kita ke Muaro Tembesi, Tuding?"

   Tanya si Kilai.

   "Dengan rakit, kira2 sehari semalam perjalanan, Angku Palo. Membuat rakit tambahan makan waktu kira2 dua hari, jadi kira2 empat hari lagi kita baru akan berada di Muaro Tembesi. Lebih baik kita kirim beberapa orang kesana untuk memberitatukan kedatangan kita, Angku Palo, supaya kita dari dalam juga dapat mengharapkan bantuan".

   "Apakah tidak berbahaya bagi orang yang kita kirim itu? Kalau dia tertangkap, maka kita akan terjebak oleh musuh".

   "Tidak, Angku Palo, Kita kirim dua orang nelayan yang pandai berenang dan menyelam lama dibawah permukaan air. Kami dari Muaro Tembesi kebanyakan adalah nelayan. Kami menangkap ikan di sungai ataupun di laut, kadang2 dengan menyelam jauh mencari sarang2 jkan, Nelayan yang kita kirim itu dapat mendekati Muaro Tembesi sambil menyelam, kemudian masuk kedalam saluran2 air yang melalui nagari. Dengan demikian mereka dapat menimbul dekat, atau lebih tepat, didalam lingkungan pertahanan yang telah dibuat oleh perampok2 itu".

   "Rencanamu itu sangat baik, Tuding, dan aku minta supaya salah seorang diantara mereka yang akan kita kirim itu, dapat pula menyusup keluar untuk memberi kabar pada kita tentang keadaan didalam lingkungan pertahanan itu, bagaimana dan dimana kita harus59 melancarkan serangan".

   "Baik, Angku Palo, Kami akan usahakan supaya mereka dapat kembali bila Angku Palo sudah tiba dengan pasukan didekat Nagari Muaro Tembesi".

   "Baiklah Tuding, pada hari yang keempat mulai hari besok, pada pagi2 benar sebelum matahari terbit, kami akan sudah berada didalam hutan dipinggir Sungai Batang Hari. Kau aturlah orang2 yang akan kau kirim itu". Si Tuding segera memanggil tiga orang tegap2 yang kulitnya hitam seperti keling karena selalu dijemur sinar matahari ditengah laut. Ketiga orang itu menyatakan bersedia melakukan tugas penyelidik itu, malahan mereka merasa sangat girang mendapat tugas seperti itu. Keesokan harinya mereka pada pagj2 benar sudah berkayuh kehilir dengan membawa perbekalan untuk empat lima hari. Senjata yang merekg bawa hanyalah rudus saja. Senjata2 lain tidak akan berguna bagi mereka. Maka seperti yang telah dimufakatkan itu. si Kilai dengan pasukannya telah mendarat dipinggir sungai kira2 lima kilo meter dari Muaro Tembesi. Dari tempat itu mereka bergerak melalui hutan menuju sasaran. Si Tuding dengan beberapa orang menjadi penunjuk jalan. Menjelang matahari terbit seluruh pasukan diperintahkan berhenti, dan dua orang dikirim untuk mengadakan kontak dengan orang yang akan kembali membawa berita dari dalam pertahanan musuh. Api unggun tidak boleh dinyatakan, sebab sudah terlalu dekat ke daerah musuh. Kini mereka harus berhati2, tidak boleh berbuat sesuatu yang membuat musuh jadi curiga. Mereka harus menghindarkan bentrokan dengan lawan yang membahayakan pihak mereka.

   "Sudah ada tanda2 dari dua orang yang mencari hubungan dengan orang dari dalam itu, Tuding?"

   Tanya si Kilai.

   Kapala Nagari Taratak Baru itu sudah mulai gelisah karena kawan yang akan datang dari dalam itu sudah terlambat benar.

   Menurut perjanjian, dia akan sudah menunggu kedatangan pasukan Taratak Baru itu.

   Rakit dan perahu2 sudah mereka tinggalkan ditempat pendaratan, kini mereka sudah berada kira2 dalam jarak satu kilometer dari perkampungan musuh yang baru mereka buat itu.

   Rumah2 nelayan yang mereka jumpai dipinggir sungai sudah kosong.

   Penghuninya sudah digiring masuk perkampungan yang dipagar dengan kayu2 balok.

   Dari tempatnya si Kilai dapat melihat puncak bangsal2, juga gerdu2 pengawal yang dibangun diatas pagar dapat dilihatnya.

   Hari makin terang, matahari makin tinggi, tapi orang yang dinanti2 belum juga muncul.

   "Belum lagi, Angku Palo'', sahut si Tuding yang juga sudah mulai gelisah.

   "Mungkinkah penyelidik2 kita itu dapat ditangkap musuh?"

   "Entahlah ., menurut perjanjian kita, memang dia sudah terlambat60 benar. Biarlah aku pergi pula kepinggir sungai itu, Angku Palo. Orang yang berdua tadi tidak pula kembali. Aku khawatir kalau ada sesuatu yang terjadi yang membahayakan jiwa mereka serta kita semua".

   "Baik, aku ikut dengan kau, Tuding. Aku juga ingin mengetahui bagaimana duduk perkaranya". Maka si Kilai dengan Tuding berangkat, pada si Lengah diberitahukannya supaya waspada menunggu tanda dari pinggir sungai. Kira2 duapuluh menit mereka berjalan, barulah mereka melihat punggung dua orang pesuruh tadi, yang sedang memperhatikan permukaan air dibagian hilir sungai. Mereka bersembunyi, dibalik belukar yang lebat.

   "Psssst!"

   Terdengar bunyi diantara bibir si Tuding, dan kedua orang itu menoleh kebelakang. Kedua2nya sama2 mengubik, meminta supaya si Tuding dan si Kilai datang pula kepinggir sungai.

   "Angku Palo", kata seorang ketika si Kilai sudah berada disisinya.

   "Lihatlah disebelah hilir itu. Kami sudah dari tadi memperhatikannya". Si Kilai memperhatikan permukaan air. Matanya mencari2 sampai jauh kehilir sungai, sampai2 ketempat dimana sebuah sungai lain mencurahkan airnya kedalam sungai Batang Hari, yaitu yang bernama sungai Tembesi. Karena itulah nagari yang dibangun didekat muara sungai itu mendapat nama Muaro Tembesi. Setelah lama tidak berhasil melihat apa2 maka Si Kilai bertanya;

   "Dimana yang kau lihat itu? Aku tidak melihat apa2".

   "Tunggulah sebentar, Angku Palo, Perhatikan saja pinggir sungai kira2 seratus depa dari tempat kita ini, tentu sebentar lagi dia akan menimbul lagi". Si Kilai memaksa matanya untuk kembali memperhatikan pinggir sungai, dan setelah beberapa lama, terdengar si Tuding berkata.

   "Tu Angku Palo, dipinggir sungai dekat semak yang menjulai keair itu". Barulah tampak oleh Si Kilai sesuatu bergerak. Permukaan61 air tampak bergerak sedikit, kemudian sebuah kepala menimbul. Perlahan2 orang itu mengangkat badannya sampai terlihat batas dadanya. Orang itu memperhatikan belukar di atasnya, dan terdengar bunyi siul burung Beo. Bunyi burung itu segera disahut oleh si Tuding, dan orang itu memandang arah kemudik. Sekali lagi si Tuding bersiul, kawannya menggerakkan belukar sedikit, maka orang itu kembali menyelam kedalam air. Keempat orang dipinggir sungai menunggu dengan tidak sabar. Tiba2, setelah beberapa lama menunggu tampak permukaan air bergerak tepat dibawah mereka berdiri, dan kepala penyelam itu menimbul. Orang itu memperhatikan daerah dihilir sungai, kemudian dengan cepat ja mengangkat badannya, dan sambil bergantung pada belukar dipinggir sungai ia melompat kedaratan, Orang itu hanya memakai cincut. Sebuah rudus tergantung dipinggangnya. Dibawah pohon kayu yang rindang mereka berkumpul.62

   "Angku Palo". kata orang itu, setelah menyeka air dimukanya.

   "Ini hari, sebanyak tigapuluh orang nelayan akan di keluarkan dari bangsal mereka untuk menangkap ikan di sungai dengan jaring. Lima orang perampok akan mengawasi mereka dari atas perahu dengan senjata panah dan tombak. Mereka yang mencoba melarikan diri akan dikejar oleh tombak atau panah mereka. Sepuluh orang sebelah sini, dan sepuluh orang dipinggir sebelah sana akan mengawal orang menangkap ikan itu. Senjata mereka lengkap, Angku Palo, panah dan pedang. Sebaiknya kita kirim sebagian dari pasukan kita keseberang untuk menyergap mereka yang mengawal diseberang itu, Angku Palo, atau kita mengundurkan diri dahulu masuk hutan dan menunggu sampai mereka berpesta pora besok malam". Sementara itu si Lengah yang rupanya tidak sabar lagi, telah datang pula ketempat mereka.

   "Tidak!"

   Sahut si Kilai segera.

   "Kita harus serang mereka yang mengawal nelayan2 itu dengan serentak. Perahu2 kita tidak ada disini, maka orang2 yang pandai berenang saja yang akan pergi keseberang sungai".

   "Sekalipun ada perahu2 kita disini, tidak mungkin kita menyeberang dengan perahu. Pengawal2 yang berada didalam gardu2 itu akan menampak kita. Orang2 yang menyeberang harus menyelam, Angku Palo. Tapi, kawan2 kita banyak yang pandai berenang dan menyelam, tentang itu Angku Palo tidak usah khawatir. Yang menjadi soal hanyalah siapa yang akan memimPpn serangan diseberang itu?" .

   "Biar aku turut keseberang itu",sahut si Lengah dengan tegas.

   "Kau, Lengah? Kau tidak pandai berenang, apalagi menyelam jauh2 dibawah permukaan air", kata si Kilai segera.

   "Tapi aku akan keseberang juga; sekalipum aku harus menyeberang dengan sebatang pohon pisang, namun aku akan keseseberang juga".

   "Itu sia2 benar, Lengah. Kau akan membahayakan kita semua. Musuh akan tahu bahwa kita sudah berada disini, dan mereka akan menyerang kita".

   "Kekuatan mereka sudah bertambah dengan duapuluh orang lagi, Angku Pal., Tadi malam serombongan telah datang, rombongan yang selama ini menjaga kapal mereka yang terdampar dipantai itu. Mereka sengaja datang untuk turut berpesta besok malam".

   "Jadi, kekuatan mereka sudah berjumlah enampuluh orang", kata si Kilai.

   "Betul, Angku Palo", sahut nelayan yang memakai cincut itu.

   "Baik kita mulai mengatur pasukan sekarang, kita pilih yang akan pergi keseberang, dan aku akan mulai menyeberang sekarang juga", demikian kata si Lengah. Rudusnya telah keluar dari sarungnya untuk memancung sebatang pohon pisang hutan yang besar. Si Kilai hanya63 dapat menggeleng gelengkan kepalanya saja, dan ia berniat hendak mencegah si Lengah sekalipun dengan kekerasan, taPi untung nelayan yang pakai cincut itu datang menolong.

   "Biarlah aku menyeberangkan Angku Lengah ini, Angku Palo. Asal beliau diam2 saja bergantung pada pohon pisang ini, dengan hanya menyumburkan muka dipermukaan aku kira pengawal2 itu tidak akan curiga. Biarlah kami menunggu diseberang saja, Angku Palo". Setelah itu nelayan itu mengikuti si Lengah yang telah menarik pohon pisangnya kepinggir sungai. Si Kilai kembali dengan cepat untuk mengatur pasukannya. Dengan bantuan si Tuding segera dapat dibentuk satu pasukan dengan kekuatan limabelas orang. Si Turi turut terpilih untuk bertempur diseberang sungai. Nelayan2 yang ditunjuk untuk pergi keseberang sungai itu dengan segera membuka baju mereka, dan kain sarung mereka dijadikan cincut. Rudus diikatkan dipinggang masing2 dan mereka berangkat kepinggir sungai. Setelah pasukan untuk diseberang sungai itu berangkat, si Kilai dengan Tuding merencanakan bagaimana mereka akan menyerang musuh yang berada diatas perahu itu.

   
Emas Di Ngarai Gelap Karya Darmo Ario di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Yang penting ialah, serangan kita harus dilakukan dengan serentak", kata si Kilai.

   "Sebenarnya kita sudah terburu nafsu benar memberangkatkan pasukan untuk diseberang itu. Mereka belum tahu mereka harus menyerang".

   "Tidak apa Angku Palo, Nanti, kalau kita sudah mendapat rumusan penyerangan ini, kita kirim saja dua orang lagi keseberang sungai".

   "Baiklah Tuding, bagaimana sebaiknya kita menyerang musuh yang diatas perahu itu?"

   Ketika itu, orang yang menjaga dipinggir sungai sudah datang berlari2.

   "Angku Palo! Dua buah perahu sudah menyeberangkan pasukan musuh yang mengawal diseberang itu, dan perahu yang membawa nelayan2 kIta dengan alat2nya sudah berada ditengah2 sungai. Pasukan yang mengawal disebelah sini sudah mulai pula bergerak!"

   "Tuding kita harus bertindak cepat sekarang ini. Bagaimana menurut pikiranmu sebaiknya kita menyerang musuh di atas perahu itu?"

   Si Tuding tinggal diam saja, sebab belum mendapat satu jalan yang betul2 meyakinkan.

   "Untuk memanah mereka dari seberang sini, tentu tidak mungkin, Tuding, sebab mereka diikuti oleh pengawal2 didaratan sebelah sini dan diseberang sana".

   "Kalau begitu lebih baik kita perintahkan sepuluh orang nelayan kita bersembunyi dibawah permukaan air dengan hanya mengeluarkan muka mereka saja untuk bernapas. Bila mereka sudah dekat, maka mereka menyelam dan membalikkan perahu musuh itu. Didalam air mereka harus memusnahkan musuh mereka. Sementara itu disebelah sini dan diseberang kita melakukan serangan serentak".

   "Bagus ., bagus betul, Tuding. Aku tidak menyangka bahwa, kau64 akan mengeluarkan pendapat seperti itu. Aturlah dengan cepat pasukan yang akan melakukan tugas berbahaya itu, dan kirim dua orang keseberang untuk memberitahukan taktik penyerangan kita pada si Lengah". Bagi si Tuding tidaklah susah untuk mendapatkan kawan2nya yang bersedia mengorbankan jiwa raganya umuk tugas berbahaya itu. Segera duabelas orang membuka bajunya, dua orang untuk pergi keseberang membawa pesan pada Si Lengah dan sepuluh urang untuk menyergap perahu ditengah sungai. Kini si Kilai mengatur pasukannya. Lima belas orang akan menyergap pengawal2 didaratan dari belakang, sedang sisanya sebanyak limapuluh delapan orang dikirim untuk mendatangi pertahanan musuh dari belakang. Sebelum para nelayan menurunkan jaring2 mereka kedalam air, pasukan si Kilai sudah siap ditempat mereka masing2, Kini mereka hanya tiuggal menunggu saatnya saja. Makin lama perahu musuh itu makin dekat. Para nelayan sudah mulai menurunkan jaring. Seorang diantara mereka, yaitu yang memegang kemudi memeriksa pinggir sungai. Juru mudi itulah yang kelak akan memberikan isyarat pada kawan2nya bila sa'atnya riba untuk berenang keseberang membantu kawan2 mereka. Semua jaring telah turun kedalam air, maka para nelayan itu seorang demi seorang masuk kedalam air untuk menghalaukan ikan serta merapatkan jaring. Perahu2 nelayan yang semuanya ada lima buah itu tampak ter-apung2. Sebuah berada diujung jaring untuk menjaga pusat jaring yang akan berisi ikan yang dihalaukan oleh kawan2nya. Perahu2 yang berada dihadapan perahu itu berada dekat kepinggir. Jurumudinya memegang tali jaring supaya dia tidak terpisah dari kawan2nya yang berada didalam air. Ketegangan ketika itu hampir2 tidak tertahankan oleh mereka, dan bagi perahu2 yang sedang mengintai tidak kurang pula ketegangannya. Urat syaraf serasa putus, peluh ber-bintik2 dikening. Didalam air dipinggir sungai tidak tampak apa2, tapi kalau diperhatikan dengan teliti akan tampaklah dibeberapa tempat muka orang menimbul dari dalam air. Ketika perahu musuh yang menjaga ditengah sungai telah dekat ketempat mereka, maka muka2 yang menimbul tiba2 menghilang. Permukaan air yang tenang itu, yang hanya disapu oleh angin, tampaknya hampir tidak bergerak. Lama setelah muka2 tadi menghilang, barulah dengan tiba2 perahu musuh itu terbalik. Orang2 yang memakai cacing itu sama2 berteriak kemudian mencebur kedalam air. Busur serta panah mereka ter-apung2 dipermukaan air. Satu per satu mereka menimbul kembali, tapi satu persatu pula kepala mereka dibelah oleh rudus nelayan yang sudah lama mengintai mereka itu. Pada waktu itu pula didaratan seberang terdengar teriakan orang265 yang menyerang dengan tiba2. Pasukan2 musuh yang mengawal itu sangat terkejut. Mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi. Mereka menampak perahu kawan mereka terbalik, kemudian dibelakang mereka terdengar teriakan yang mengerikan. Sebelum mereka dapat mengasai diri, beberapa orang diantara mereka telah rebah ketanah dimakan rudus. Yang masih selamat mempergunakan tombak yang mereka pedang untuk membela diri. Tombak itu bergerak kekiri dan kekanan untuk manyapu lawan. Tapi panah2 melayang diudara dan menyelam kedalam dada mereka, maka terhentilah perlawanannya yang sengit itu. Pasukan si-Lengah diseberang sungai telah berhasil memusnahkan musuh dengan cepat. Para nelayan yang berada didalam air atas petunjuk kawan2 mereka yang menyergap perahu musuh tadi segera merapatkan perahu2 mereka keseberang, sedang yang lain berenang untuk turut menyerbu pertahanan musuh. Pasukan si Lengah naik keperahu dan jurumudi perahu itu memutar haluan perahunya. Si-Lengah mendarat tidak berapa jauh dari pintu gerbang, dimana telah terjadi pertarungan hebat antara pasukan yang sudah dari tadi mengintai didekat pintu masuk itu. Ketika serangan tiba2 itu dimulai, pengawal2 didalam gardu diatas pagar pertahanan ber-teriak2 dalam bahasa mereka, maka keluarlah orang2 bersenjata dari dalam pertahanan itu untuk membantu kawan2 mereka, tapi dimuka pintu gerbang mereka telah disambut oleh pasukan yang dikirim untuk menyerbu pertahanan itu. Dibagian belakang pagar pertahanan sudah mulai pula dirobohkan orang. Dengan kampak dan rudus, balok2 yang memagari pertahanan itu dirusakkan, kemudian robohlah sebagian dan pasukan dari luar masuk kedalam pertahanan. Para nelayan yang keluar dari daiam air dengan cepat mencari pedang atau tombak musuh yang tewas. Yang sudah memperoleh senjata terus berlari menyerbu ke dalam medan pertempuran. Si Lengah menghindarkan pertempuran didekat pintu gerbang itu. Ia memimpin pasukannya langsung memasuki pintu gerbang dimana ia bertemu dengan pendekar2 yang sangat ulung. Pedang mereka men- desau2 diudara ketika si-Lengah mendekat. Segera terjadi pertempuran yang amat sengit di pintu gerbang itu. Si-Lengah dengan dibantu oleh empat orang anak buahnya berhasil menewaskan dua orang penjaga maka mereka terus menyerbu kedalam mencari musuh yang masih berada didalam benteng. Sementara itu pasukan yang masuk dari belakang telah mendobrak bangsal2 tempat kurungan tawanan. Mereka yang lepas terus berlarian untuk melepaskan dendam mereka, kecuali kaum wanita dan anak2 yang mencari tempat yang lebih aman supaya terhindar dari marabahaya. Si Lengah dengan empat orang anak buah telah memasuki sebuah bangunan. Tiba dlam sebuah ruangan si Lengah disambut oleh seorang66 yang bertubuh tegap dengan pedang yang panjang dan lebar daunnya. Muka orang itu sangat bengis. Matanya sipit, pipi seperti balon ditiup, kumisnya tergantung seperti dua utas tali disudut mulutnya. Pedangnya yang panjang dan lebar itu mendesau diatas kepala si Lengah ketika ia membungkuk untuk mengelakkan pancungannya. Pedang itu segera memancung kembali lurus kebawah, tapi si Lengah telah mengelak kesisi sambil membuang langkah. Lawannya rupanya sangat pendekar pula. Dengan membuang langkah ia telah dapat memperbaiki posisi dan kembali pedangnya menyerang dengan dahsyat, sehingga si-Lengah kewalahan menghadapinya. Empat orang anak buahnya serentak maju untuk menolong, tapi dua diantara mereka disambar oleh mata pedang yang tajam. Ke-dua2nya terguling ketanah dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Yang dua orang lagi maju pula dan ketika pedang musuh hendak memancung kedua orang itu, rudus si Lengah tiba dikuduk orang itu. maka dengan kepala terkulai ia jatuh kelantai. Si-Lengah segera melompat kepintu yang tampak terbuka, dari mana dua orang dengan pedang terhunus keluar. Anak buah si-Lengah segera pula maju, maka terjadilah pertarungan tiga lawan dua. Masing2 pihak tidak mau mengalah. Tapi tak berapa lama antaranya masuk pulalah si Kilai dengan mertuanya, diiringkan oleh empat orang anak buah. Mertua meskipun sudah tua, dalam perkelahian rupanya tidak hendak kalah dengan yang muda2. Orang tua itu segera menceburkan diri dalam perkelahian. Akhirnya si-Lengah dengan dua orang anak buahnya menghadapi satu orang lawan, dan mertua si-Kilai berhadapan dengan yang seorang lagi. Pedang orang bermata sipit itu melayang diudara karena sikunya kena tendangan mertua si-Kilai, dan ,kemudian rudus orang tua itu hendak membelah kepala lawannya. tapi musuh orang tua itu seorang yang berpengalaman. Ia dengan mudah mengelakkan rudus yang membahayakan jiwanya itu, dan tangannya menjangkau leher orang tua Dengan cepat mertua si-Kilai mengelak, dan tangan kiriya menyambar cacing lawannya. Rambur orang itu ditariknya sehingga musuhnya ter balik kebelakang, dan pada saat itu pula rudus yang tajam membelah dadanya. Si Lengah telah berhasil membuat lawannya tidak berkutik berkat bantuan dua orang anak buahnya. Ketiga orang itu kini menyerbu masuk ruangan darimana dua orang musuh tadi keluar. Ketika si-Lengah membukakan pintu, sebuah tombak melayang, dan melukai bahunya sebelah kiri. Si Lengah jatuh kelantai ketika tombak yang kedua melayang diatas kepalanya dan terpancang ditengah ruangan. Mertua si Kilai melompat masuk ruangan ketika tombak itu baru saja melewati pintu, dan orang tua itu berhadapan dengan seorang yang bertubuh gemuk serta besar. Pakaiannya dari sutera. Celananya pun dari sutera halus. Orang yang gagah itu segera mencabut pedangnya, dan terjadilah perkelahian pendekar dengan pendekar. Yang seorang pakai pedang67 panjang dan lebar yang seorang lagi rudus yang pendek. Hanya satu setengah hasta panjangnya. si Kilai tidak tinggal dtam. Setelah tubuh si Lengah ditariknya keruang tengah ia melompat pula masuk ruangan dimana mertuanya sedang bertarung mati2an. Ia menunggu saat yang paling tepat untuk melayangkan rudusnya, tapi lawannya tidak memberikan kesempatan. Mertuanya pun tampaknya terlalu gesit sehingga si Kilai khawatir akan mengenai mertua nya. Maka si-Kilai masuk dari sisi lawan sebelah kanan, mertuanya segera pmdah kesebelah kiri. Tapi . rupanya posisi yang seperti inilah yang sangat dinanti2kan oleh lawannya. Pedangnya yang panjang ttu segera mendesau kekiri dan kekanan. Nyaris saja mertua serta menantu menjadi korban. Mata pedang itu mendesau disisi mereka karena sempat mengelak sedikit. Lengan baju si Kilai terputus sebagian seperti disayat pisau cukur layaknya. Tapi rudus sudah melayang keleher lawannya, sedang mertuanya memancung pinggang orang itu. Selesailah pertarungan didalam ruangan ttu. Diluar telah terdengar sorak sorai sebagai tanda bahwa semua orang telah bergirang hati melihat musuh sudah musnah semuanya. Si-Lengah terbaring dilantai memegang bahunya sebelah kiri. Mertua si Kilai, telah datang membawa kain pembalut, yaitu kain sutera yang dirobekkannya dari lawannya yang sudah tewas ,iu, dan segera membalut luka dibahu si-Lengah. Untuk sementara aliran darah dapat ditahan dengan pembalut itu. Si Lengah dipapah keluar untuk menghadapi orang banyak yang berkumpul dilapangan dimuka bangunan itu. Tetapi sorak makin men-jadi2 ketika orang ramai melihat rombongan itu keluar dari bangunan itu. Seorang orang tua, diiringi oleh si-Tuding dan si-Turi menaiki tangga dan tiba diberanda rumah. Mereka datang menemui si-Kilai untuk mengaturkan terimakasih atas nama seluruh penduduk Muaro Tembesi yang telah dibebaskan dari belenggu perbudakan berkat tindakan yang gagah berani dari orang2 dari Taratak Baru itu. Sungguhpun puluhan anak muda mereka telah gugur dalam pertempuran itu, tapi pengorbanan itu rupanya tidaklah sia sia. Melihat si-Lengah berdiri dengan muka pucat diantara si-Kilai dan mertuanya itu, si-Tuding dengan cepat memanggil beberapa orang pemuda, dan bersama mereka membawa si-Lengah kedalam sebuah ruangan dimana terdapat sebuah tempat tidur yang dialas dengan kain sutera. Rupanya tempat tidur kepala perampok yang bertempur dengan mertua si Kilai tadi. Pembalut lukanya dibuka, kemudian bajunya sehingga dapat diperiksa keadaan lukanya itu. Si-Tuding berlari keluar dan kemudian masuk lagi membawa air dan obat luka. Setelah ia membershkan luka itu dengan air panas dan mengobatinya maka ia membalutnya kembali dengan baik2.

   "Angku Lengah tidur sajalah dahulu disini sementara kami memeriksa korban2 kita disekitar medan pertempuran ini"

   Kata si Tuding.68 Pada malam hari itu semua pekerjaan membereskan mayat2 musuh dan mengumpulkan korban dipihak mereka sendiri telah selesai.

   Yang luka2 telah dikumpulkan disatu ruangan, diobati serta dibalut.

   Dari Taratak Baru ada tiga orang yang gugur dan empat orang lainnya luka2, sedang dari penduduk Muaro Tembesi ada duabelas orang yang gugur dan lima orang luka2.

   Semua korban itu, kalau menilik pada keadaan lawan mereka yang telah berpengalaman dan terlatih untuk berperang boleh dikatakan masih sangat untung.

   Terutama sekali penduduk Muaro Tembesi yang tidak pernah mengalami serangan2 dari pihak lain, maka mereka tidak memikirkan untuk mempelajari ilmu mempertahankan diri.

   Dipihak Taratak Baru, meskipun kebanyakan diantara mereka berasal dari prajurit tawanan perang dari daerah pesisir, mereka itu sudah terlalu lama tidak berlatih semenjak mereka menjadi orang tani.

   Kemenangan mereka tak lain disebabkan oleh siasat perang si Kilai yang menjadi panglima yang sangat berjasa.

   Pada malam mereka mengadakan pertemuan didalam ruangan rumah kepala perampok.

   Semua penduduk Muaro Tembesi dan Taratak Bara duduk bersila disepanjang dinding ruangan yang luas.

   Kaum wanita sibuk mengatur makanan untuk disuguhkan pada orang2 yang telah membebaskan mereka dari penindasan kaum perampok.

   Si-Kilai dengan mertuanya duduk diujung ruangan dimana telah disediakan sebuah tempat duduk kehormatan.

   Disamping mereka duduk si Tuding dan si Turi.

   Diantara kedua pemuda itu duduk seorang tua yang menjabat kepala nagari Muaro Tembesi.

   Pidato ucapan terimakasih berikut segala puji pujian telah balas berbalas dalam ruangan itu.

   Pelita minyak kelapa berderet ditengah ruangan yang panjang itu, dan makanan mulai dibawa masuk oleh kaum wanita yang dibantu oleh beberapa orang pemuda.

   Tapi didalam kamar, dimana si-Lengah berbaring tampak pula kesibukan beberapa orang ibu bersama seorang gadis.

   Mereka menyediakan makanan untuk Pahlawan dari Taratak Baru yang telah mendapat cedera karena membebaskan mereka dari penindasan kaum penjahat asing itu.

   Seorang gadis mendekati tempat tidur si Lengah.

   "Makanan sudah kami sediakan Kak Lengah, apakah kakak dapat duduk untuk makan? Kalau tidak marilah aku suapi kakak'', demikian kata gadis itu. Si-Lengah yang sudah semenjak tadi memperhatikan gadis itu merasa terharu. Sudah lama ia mengimpikan seorang gadis untuk jadi teman hidupnya, tapi hingga waktu itu belum lagi dapat dijumpainya. Mungkinkah gadis ini, yang ditentukan untuk menjadi teman hidupnya? Demikianlah pertanyaan yang timbul dalam si-Lengah.

   "Oh, aku tidak usah disuapi, dik. Aku sanggup bangun kalau kau bersedia membantu aku sedikit".69 Gadis itu tidak malu2 lagi membantu si Lengah duduk diatas tempat tidurnya, dan dengan tangan sebelah kiri digendong dalam sebuah selendang si Lengah meninggalkan tempat tidurnya untuk duduk diatas tikar dimana telah disediakan nasi serta lauk pauknya. Gadis yang rupawan itu segera menyendokkan nasi, sementara ibunya datang membawa tempat cuci tangan. Ibu gadis itu kembali meninggalkan kamar untuk mengambilkan air minum. 92 === "Dik", kata si Lengah sambil menyuap nasinya.

   "Siapakah nama adik, dan siapakah yang menyuruh adik melayani aku dikamar ini?"

   Gadis itu tersenyum.

   "Namaku Rani, dan yang menyuruh aku melayani kakak disini ialah abangku, si Tuding. Ayah kamilah yang menjadi Kepala Nagari di Muaro Tembesi kak. Enam bulan yang lalu kami disergap dengan tiba2 oleh penjahat2 yang kejm itu. Kami telah lama meringkuk dalam bangsal2 yang buruk serta busuk itu. Tapi untunglah kakak serta Panglima Kilai itu datang membebaskan kami".

   "Hah"

   Apa? Panglima Kilai katamu? Darimana kau mendengar panggilan panglima itu?"

   "Dari Abang Tuding. Dialah yang mengatakan bahwa pemimpin pasukan Taratak Baru namanya si Kilai. Dan seorang yang memimpin70 pasukan tentu saja boleh dinamakan Panglima, Kak.

   "Kau pandai benar bicara Rani", kata si Lengah dengan senyumnya.

   "Abang Tuding juga mengatakan bahwa Panglima itu menjabat Kepala Nagari di Taratak Baru, dan kakak adalah ketua dewan cerdik pandai, betulkah begitu, kak Lengah?"

   "Betul, .dik Rani. Tapi mengapa kau menanyakan hal itu padaku?"

   "Oh, tidak apa2 kak, cuma aku teringat akan kata2 ayah itu. Ayah pernah mengatakan bahwa beliau sudah merasa beberapa bulan yang lalu, sebelum kami disergap penjahat2 terlalu tua untuk memimpin ank buahnya. Abang Tuding dan Abang Turi masih terlalu muda untuk mengepalai sebuah nagari, dan orang2 lajn tidak ada yang cukup cerdas untuk dijadikan pemimpin''.

   "Oh, begitu", sahut si Lengah.

   "Tapi aku ada menampak seorang yang cukup cerdas serta bijak pula untuk dijadikan kepala nagari disini".

   "Heh, siapa orang itu, kak?"

   "Kau sendiri, dik Rani. Apa salahnya seorang gadis dijadikan kepala nagari, asal dia cukup cerdik dan pandai memimpin anak buahnya". Gadis itu menundukkan mukanya dan sejurus lamanya ia tidak menyahut. Tapi akhirnya keluarlah kata2 dari mulutnya dengan suara perlahan.

   "Benar juga kata Kak Lengah itu, tapi penduduk Muaro Tembesi tidak akan bersedia menerima aku menjadi pemimpin mereka, kak . kecuali .".

   "Kecuali apa, dik Rani?"

   "Huuuh kecuali kalau kakak bersedia mendampingi aku .". Si Lengah terhenti menyuap nasi dan memandang pada gadis itu,.

   "Dik Rani", kata si Lengah pula dengan suara perlahan.

   "Aku sebenarnya sudah lama mencari seorang gadis seperti kau ini, dik. Rupanya nasib sudah mempertemukan kita di sini", * * * TIGA HARI kemudian, diadakan lagi pertemuan antara pasukan Taratak Baru dengan penduduk Muaro Tembesj di dalam ruangan besar itu. Si Lengah sudah cukup kuat un tuk menghadiri pertemuan itu, meskipun mukanya masih pucat karena banyak kehilangan darah. Pada pertemuan itu si Kilai telah menyatakan bahwa ia dengan pasukannya hendak kembali ke Taratak Baru.

   "Sembah kami pada Angku Palo dari Taratak Baru", kata kepala nagari Muaro Tembesi.

   "Sebenarnya kami belum lagi bersedia melepas Angku Palo serta kawan2 semua, tapi mengingat bahwa di Taratak Baru telah menunggu pula tugas2 Angku Palo serta kawan2 semuanya, dan71 juga keluarga Angku Palo tentunya sudah menunggu2 pula, maka kami terpaksa melepas Angku Palo serta kawan2 semuanya dengan hati nan suci serta muka nan jernih. Hanya satu permintaan kami disini, ialah supaya angku Lengah dibiarkan tinggal bersama kami disini menjelang beliau sembuh benar dari luka2 belau itu". Si Kilai memandang dengan senyum simpul pada si Lengah yang menundukkan mukanya. Kilai yang arif bijaksana, yang telah memperhatikan segala kejadian2 selama beberapa hari setelah pertempuran selesai, menjawab dengan suara lantang;

   "Angku Palo Nagari Muaro Tembesi yang kami muliakan. Terimakasih atas kesediaan Angku Palo serta kawan2 kami di Muaro Tembesi ini untuk melepas kami kembali kekampung halaman kami. Kami akan pulang dengan hati gembira karena kami telah dapat menunaikan tugas kami membebaskan kawan2 kami d sini dari belenggu perbudakan yang terkutuk itu. Kami berharap supaya kita selanjutnya dapat bersatu padu menghadapi tiap2 serangan dari luar. Janganlah hendaknya terjadi lagi keadaan seperti yang telah terjadi disini. Marilah kita bersama sama menjaga supaya kejadian seperti itu jangan terulang lagi. Janganlah kita biarkan bila tanah air kita dikuasai orang asing dan bangsa kita diperbudak dan dijajah mereka. Namun tentang Angku Lengah, kami tidak merasa keberatan bila beliau itu tinggal disini untuk sementara waktu, tapi bukannya karena kami takut kalau luka pada bahu beliau itu akan bertambah parah karena perjalanan pulang, tapi yang lebih kami khawatirkan, ialah bahwa hati beliau yang akan luka parah kalau beliau kami paksa pulang bersama kami. Kami sudah mengetahui bahwa beliau itu lebih suka tinggal disini dan menjadi keluarga orang Muaro Tembesi dari pada kembali ke Taratak Baru , dimana tidak ada seorangpun yang akan menunggu kedatangan beliau. Maka kami sangat senang melihat beliau tinggal disini dan menjadi keluarga anak nagari di sini pula".

   "Ampunkan kami, Angku Palo", sahut orang tua si Rani dengan muka merah karena niatnya terhadap si Lengah sudah diketahui oleh orang ramai.

   "Sungguh tepat sekali kata2 Angku Palo, sungguh arif benar Agku Palo. Rupanya bukan dalam siasat perang saja Angku Palo dapat membuktikan kecerdasan, tapi juga dalam ilmu menangkap yang tersirat dalam hati orang Angku Palo sangat pandai. Maka dengan terus terang kami menyatakan disini, bahwa kesempatan pertemuan ini kami gunakan untuk melamar Angku Lengah untuk menjadi anak menantu kami, untuk kami sandingkan dengan anak kami si Rani. Kami sungguh maklum bahwa seharusnya kami datang ke Taratak Baru untuk meminang, tapi karena kami tahu pula bahwa tidak ada sanak keluarga Angku Lengah yang akan kami datangi di Taratak Baru, maka kami berharap supaya kami dibolehkan menyampaikan niat kami itu pada Angku Palo serta kawan2 semuanya dari Taratak Baru disin saja, tapi bila masih dikehendaki juga supaya kami datang ke Taratak Baru membawa cerana72 untuk meminang, maka kamipun tidak akan keberatan. Kami tahu pula bahwa kami harus mengisi adat istiadat orang di Minang Kabau".

   "Manolah Angku Palo Muaro Tembesi yang kami muliakan", sahut si Kilai pula dengan senyum yang tak kunjung meninggalkan bibirnya.

   "Tentang niat baik Angku Palo itu, untuk mengambil Ketua Dewan Cerdik pandai kami menjadi menantu Angku Palo disini, sebenarnya kami merasa keberatan, karena kami akan kehilangan seorang kawan, seorang yang selama telah berjuang bahu membahu dengan kami, tapi sungguhpun demikian, kami tahu pula bahwa kami tidak boleh bersifat mementingkan diri serta nagari kami sendiri. Kami tahu bahwa kami pun harus memikirkan kepentingan beliau, Angku Lengah. Tidaklah adil rasanya bila bersitegang mempertahankan beliau sebagai ketua Dewan Cerdik Pandai kami, bila beliau harus meninggalkan kebahagiaan hidup beliau sendiri. Maka dengan ini kami menyatakan sekali lagi, bahwa kami semuanya dari Taratak Baru akan rela serela2nya meninggalkan beliau disini, dan kami berjanji akan datang bersama sama kemari untuk menghadiri hari perkawinan beliau". TAMAT737475

   

   

   


Pedang Pusaka Dewi Kahyangan Karya Khu Lung Pao Kong Karya Yang Lu Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja

Cari Blog Ini