Mencari Busur Kumala 10
Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 10
us penuh disyukur. Ini nikmat Tuhan, Eng-moi, kita berkumpul lagi. Betapapun kita tak boleh lupa dan harus memuji nama-Nya."
"Bagus, lihat ayahmu sekarang. Ia benar-benar mirip pertapa, Kong-ji, padahal dulu tidak begini. Dan kepandaianmu, eh!"
Nyonya itu teringat.
"Kau sekarang luar biasa sekali, Hong-ko. Kau hebat se kali!"
"Hm, puji Tuhan. Aku menenggelamkan diri ke dalam samadhi, Eng-moi, kalau sesuatu berhasil kuperoleh maka semua adalah rahmat-Nya. Ini kemurahan-Nya."
Kiok Eng terbelalak. Sekarang suaminya benarbenar seperti Ho-tosu dan mendadak ia khawatir. Jangan-jangan...! "Apa yang kau pikir?"
Mendadak ia di tanya.
"Aku, ah... tak apa-apa. Hanya sekarang ingin beristirahat. Apakah kita tetap di sini saja dan kau tak mengajak kami ke tempat yang baik!"
"Maaf, aku lupa. Kau betul, Eng-moi. Mari ke tempatku dan di sana ada lubang besar!"
Tan Hong tertawa dan tiba-tiba iapun menyambar anak isterinya ini.
Dibawanya mereka ke sebuah pohon besar yang tengahnya berlubang, pantas Kiok Eng tak menemukan ini karena ia mencari di atas.
Dan ketika semua masuk dan Cit Kong pun gembira, ia pun kagum akan kepandaian ayahnya ini maka malam itu mereka bercakap tiada habisnya sampai akhirnya anak itu tertidur.
Kini Kiok Eng memandang suaminya dan pandang matanya menuntut sesuatu.
Tan Hong tergetar.
Sinar mata itu penuh selidik.
Akan tetapi ketika ia bergerak dan memeluk isterinya ini, mengusap Cit Kong agar tidur pulas maka malam itu kekhawatiran Kiok Eng tak berbukti dan suaminya mampu membahagiakannya lahir batin.
Mereka berenang dalam lautan cinta yang memabokkan.
Dan ketika menjelang pagi ia ditanya kenapa sikapnya begitu aneh, kenapa pandang matanya bermakna menuntut maka nyonya ini tersipu akan tetapi menjawab.
Burung berkicau akan tetapi ia malah mengantuk.
"Aku khawatir kau tak bergairah lagi. Aku takut dirimu benar-benar seperti pertapa, Hong-ko, maksudku tak seperti dulu lagi."
"Dulu bagaimana?"
"Dulu ya dulu!"
"Aku tak jelas."
"Ih, aku malu!"
"Kalau begitu kau tak boleh tidur, aku akan mengganggumu!"
Dan ketika Kiok Eng terkekeh dan menggeliat digelitik suami, berbisik bahwa ia takut suaminya tak "jantan"
Maka Tan Hong tergelak namun isterinya menarik selimut. Ia berusaha menggoda akan tetapi Cit Kong terbangun. Ribut-ribut itu mengganggu nya. Dan ketika Kiok Eng menjadi geli dan bersuara "sst"
Agar suami tak mengganggu, terbatuklah Tan Hong ditanya puteranya maka pemuda ini pun purapura tidur namun diam-diam mengusap pinggul isterinya dengan mesra! Pagi itu perjalanan tak dilanjutkan.
Kiok Eng beristirahat dan Tan Hong pun melepas lelah.
Memang tak ada lagi yang buru-buru dikejar setelah ini.
Mereka telah berkumpul.
Akan tetapi ketika keesokannya mereka bergerak dan menuju Liang-san, tertegun di kaki gunung maka sebuah pesan ditujukan kepada mereka.
Pesan sang kong-kong.
"Pergi dan lanjutkan perjalanan kalian ke Angbi-to. Ada yang penting!"
"Ang-bi-to (Pulau Alis Merah)?"
Tiba-tiba Cit Kong berseru.
"Di mana dan tempat apa itu, ayah. Jauh atau dekat!"
"Hm,"
Tan Hong menjadi merah, akan tetapi segera mengangguk-angguk.
"Ang-bi-to adalah tempat pengasingan, Kong-ji, pulau tempat pembuangan." "Apa yang dibuang? Sampah?"
"Tidak, manusia."
"Manusia? Aneh sekali, kenapa dibuang. Apakah mereka kotor!"
"Hm, mereka memang orang-orang kotor. Mereka lebih kotor daripada sampah, puteraku, pembawa penyakit. Mereka orang-orang kutukan!"
Kiok Eng berkata dan puteranya meleletkan lidah.
Tentu saja Cit Kong tak tahu itu bahwa Ang-bi-to adalah pembuangan orang-orang yang kena penyakit kutukan dewa, mereka yang menyimpang dari perilaku biasa alias kaum laki-laki yang bercinta dengan sesama laki-laki.
Anak ini masih terlalu kecil mengenal itu.
Maka ketika perjalanan dibelokkan dan menuju Pulau Alis Merah, tentu saja berdebar dan penuh tanda tanya maka keluarga kecil bahagia ini merobah rencana dan kini Cit Kong di bawah gemblengan langsung ayah ibunya sendiri, terutama Tan Hong! Kiok Eng terkejut dan kagum bukan main melihat kemajuan suaminya.
Di sepanjang jalan ia pun mendapat petunjuk-petunjuk.
Bukan main, suaminya dapat melayang-layang di atas tanah mempergunakan Sin-bian Gin-kang itu.
Suaminya bagai dewa saja.
Dan ketika betapa dengan tepukan perlahan saja suaminya mampu menggetarkan gunung, inilah tingkat kesaktian yang menyamai ayahnya sendiri maka wanita itu merasa bukan apa-apa dan kagum serta hormatnya tiba-tiba begitu tinggi.
Apalagi sang suami begitu bijak.
"Aku hanya kebetulan saja menemukan sari pati hidup. Hidup ternyata untuk belajar, Eng-moi, apa saja dan di mana saja. Dengan belajar kita akan menjadi maju, dan dengan belajar kita semakin banyak tahu. Akan tetapi semua ini berkat, Sang Penguasa atau Sang Pemilik Tunggal masih di atas kita dan jauh di atas segala-galanya. Kita tetap hamba!"
"Astaga, uraianmu bagai kakek pertapa saja. Terangkan kepadaku inti pengetahuanmu itu, Hongko. Belajar bagaimana dan tentang apa!"
"Tentang apa saja, akan tetapi tak lepas dari tiga hal. Pertama netral alias diri sendiri dan kedua dan ketiga bersifat horisontal dan vertikal."
"Ah-ah, istilah apa ini. Asing bagiku!"
"Maksudku adalah begini. Kita tak terlepas dari tiga lingkup besar yang mempengaruhi diri kita, bahwa kita tak terlepas dari diri kita dan orang lain serta Tuhan." "Bagus, lanjutkan!"
"Bahwa kita selalu berkaitan dan berikatan dengan tiga hal tadi..."
"Bagus, bagus. Lalu?"
"Ya itu, Eng-moi. Kita belajar tentang diri kita sendiri dan yang di luar kita serta Tuhan. Bahwa ada sesuatu yang "di luar" dan "di dalam". Bahwa di atas yang dua ini masih ada yang atas. Kita belajar tentang diri kita lahir batin lalu dengan yang di luar lahir batin pula. Dan untuk yang atas, ini yang paling berat sudah dilakukan manusia lewat agama. Agama adalah jembatan bagi kita secara vertikal (garis lurus)!"
"Ah-ah...!"
Kiok Eng terbengong dan terlongong-longong.
"Dari mana kaudapatkan semua itu, Hong-ko, apakah dari tapamu itu!"
"Hm, tapa adalah jenis perilaku diri. Tapa hanyalah sebuah alat. Yang penting adalah kebersihan batin, Eng-moi, kecerdasannya. Biar tapa seribu tahun pun kalau tak bersih dan cerdas tak akan mencapai semuanya itu. Aku hanya mendapat anugerah."
"Luar biasa, akan tetapi kau sudah seperti ini. Ah, kelak akupun ingin bertapa, Hong-ko, aku juga ingin seperti ini!" "Mendapatkan kesaktian atau kesenangan?"
"Bukan, kebahagiaan. Aku merasa bahagia mendengar petunjuk-petunjukmu ini."
Tan Hong tersenyum, menggenggam tangan isterinya. Memang begitulah seharusnya orang bijak, yang dicari bukan kesenangan melainkan kebahagiaan. Kesenangan adalah kebahagiaannya orang tolol, sementara kebahagiaan adalah "kesenangannya"
Orang bijak.
Maka bergerak dan terus bercakap-cakap, semakin tahu semakin kagum akhirnya mereka meninggalkan Liang-san yang kini jauh di belakang.
*** Ang-bi-to memang benar adalah pulau pembuangan.
Pulau ini sekaligus pengasingan bagi pembawa penyakit yang amat ganas itu.
Rakyat tak boleh berdekatan dengan penderita-penderita ini.
Akan tetapi karena semakin lama jumlah penderita semakin banyak, pulau itu terasa kian sempit maka kaisar menjadi khawatir dan belum ditemukannya obat penawar membuat para pembantunya panik, terutama Yok-ong (Raja Obat) dan Cung-taijin, menteri kesehatan.
"Sepuluh tahun kalian bekerja, akan tetapi belum juga berhasil.
Bagaimana ini, taijin, juga Yokong.
Korban terus bertambah dan aku tak mau rakyatku habis!"
"Ampun...!"
Dua orang itu menggigil, menjatuh kan diri berlutut.
"Sementara ini sudah ada penangkal daruratnya, sri baginda, akan tetapi mereka orangorang ceroboh. Sebenarnya sudah berkali-kali hamba melakukan penyuluhan namun ada yang tak menghiraukan. Itu kesalahan mereka!"
"Benar, balon karet itu sudah cukup aman. Mereka banyak yang melepasnya, sri baginda. Salah sendiri. Hamba juga sudah berkali-kali memperingat kan akan tetapi beberapa di antaranya main api!"
"Hm, aku tak bicara balon karet atau apapun namanya. Aku menghendaki obat penawar dan penyakit ini lenyap!"
"Kami mengerti, akan tetapi..."
"Panggil Kiang-taijin, juga Poh-goanswe. Aku ingin bicara!"
Dua orang itu terbirit-birit.
Poh-goanswe adalah jenderal pengganti Bu-goanswe dan jenderal ini cepat datang.
Sementara Kiang-taijin, menteri Gawat Darurat juga berlari-lari.
Dan ketika empat orang itu berlutut dan menghormat di depan kaisar, titah atau sabdanya bisa membawa celaka maka empat orang yang sudah berkomplot ini serentak berseru.
Penjilatan segera terjadi.
"Hidup sri baginda yang mulia!"
Akan tetapi kaisar membentak dan menyuruh empat orang itu bangun.
Ia sebal melihat ini karena tak juga membawa hasil.
Poh-goanswe sudah diperintahkannya mencari orang-orang pandai, pertapa atau siapa saja untuk menolong rakyat.
Sedang Kiang-taijin menteri gawat daruratnya diminta mencekal seseorang bernama Leiker, bangsa kulit putih.
Orang yang belum juga berhasil ditemukan.
"Kalian tahu apa yang ingin kubicarakan? Kalian tahu tugas dan kegagalan kalian?"
"Ampun!"
Serentak dua orang itu berlutut.
"Kami tahu kesalahan kami, sri baginda, akan tetapi maafkan kami karena orang-orang yang kami cari belum ditemukan. Mereka orang-orang cerdik!"
"Hm, kau, bagaimana dengan Kiang-taijin!" "Ampunilah hamba, sri baginda. Laki-laki kulit putih itu belum hamba temukan. Ia bersembunyi bagai ular berpindah-pindah sarang!"
"Dan Poh-goanswe?"
"Sudah banyak orang pandai hamba datangkan, sri baginda, akan tetapi tak satupun yang sanggup!"
"Aku tak bertanya itu. Aku bertanya tentang hilangnya Busur Kumala, sudah ditemukan atau belum!"
"Belum..."
Jenderal ini menggigil, pucat.
"Untuk yang satu ini belum, sri baginda. Hamba... hamba mohon waktu!"
"Sepuluh tahun waktu yang cukup. Aku tak bisa bersabar lagi, goanswe, kuperpanjang setahun lagi atau kau pergi. Dan Kiang-taijin!"
Kaisar membentak.
"Temukan orang itu karena ia sumber segala biang penyakit!"
"Hamba terima perintah."
"Dan kalian berdua!"
Kaisar menuding Cungtaijin dan Yok-ong.
"Setahun lagi harus beres semuanya atau kalian menjadi orang-orang tak berguna dan lebih baik mundur. Yok-ong sudah harus menemukan obatnya bila Busur Kumala belum terampas, sedang Cung-taijin harus mempergiat penyuluhan dan jangan memikirkan diri sendiri saja!"
Cung-taijin bagai anjing melipat buntut.
Tentu saja ia mengangguk-angguk sementara Yok-ong berkeringat dingin.
Tugasnya terasa lebih berat dibanding yang lain-lain.
Kemampuannya sebagai Raja Obat diuji habis-habisan, celaka kalau terakhir kalinya ia tak mampu menunjukkan diri.
Maka mengangguk dan pergi terseok-seok, Cung-taijin mendata dan mengumumkan rakyat agar gencar memakai baIon karet maka rakyat terutama laki-laki menggerundel di belakang.
"Gila Cung-taijin itu. Ia menekan kita memakai balon karet akan tetapi setiap kali harganya dinaikkan. Sebungkus melebihi lima kati beras!"
"Benar, isterikupun mengomel. Uangku habis hanya untuk membeli itu, padahal sumpah mati aku tak pernah royal!"
"Atau kita harus bertapa?"
"Ha-ha!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa berat.
"Bertapa yang satu itu lebih baik mati, Cung-hin. Aku tak bakalan hidup disuruh bertapa. Jebol imanku nanti!" "Ah, juragan Sok. Dari mana kau datang tapi dirimu lebih untung. Kau banyak uang!"
Seorang laki-laki tinggi besar muncul dan ia menggandeng seorang wanita muda yang genit dan tersenyum-senyum.
Ini lah selir baru sang juragan, Sok Pi, pedagang sutera dan minuman keras.
Dan ketika ia lewat dan meninggalkan warung, itulah tempat orangorang berkumpul maka yang lain berbisik dan iri serta cemburu terhadap juragan itu.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia tentu saja tak perlu menghiraukan naiknya "balon karet".
"Hm, semua ini terpulang dari kita sendiri,"
Seorang kakek tiba-tiba berkata sareh.
"Kalau kesenangan kita hanya untuk hal-hal merugikan tentu semuanya tak membawa manfaat, kawan-kawan. Kalau kalian merasa bersih tak usah beli itu, kenapa diributkan. Benda itu hanya perlu bagi mereka yang suka jajan."
"Benar, Cong-lopek tidak salah. Kalau kau merasa bersih tak usah membeli itu, Mang-twako, belikan beras untuk keluargamu saja dan jangan hiraukan Cung-taijin!"
"Dan kau tetap bebas!"
"Akan tetapi hati-hati, bisa tambah anak. Haha!" Yang lain terbahak dan seisi warung tiba-tiba gemuruh. Pemiliknya yang tersenyum dan cepat menyuruh isterinya pergi membuat nyonya warung tersipu-sipu. Laki-laki memang begitu, suka jorok dan bersikap kurang ajar. Dan ketika Cung-taijin membuat tanggapan bermacam-macam di kalangan rakyatnya, hari demi hari terus dilewatkan maka Ang-bi-to bertambah juga dan belasan di antaranya mulai meninggal. Penderitanya panik, termasuk tentu saja keluarganya, kecuali sang isteri atau mereka yang dikhianati.
"Huh, biarkan saja. Biar A-ceng mampus. Ia pengobral dan pengkhianat cinta!"
"Akan tetapi ia pemuda yang rajin. Ia sanggup mengerjakan sawah berbau-bau, Ui-ma. Ia memiliki kelebihan juga di samping kelemahannya!"
"Aku tak perduli, kau ibunya. Uruslah sendiri dan biar ia mampus!"
Seorang wanita keluar dari sebuah rumah dan di dalam rumah itu terdengar jeritan.
Uwak Ceng yang menjadi ibunya melolong, menantunya enak saja ngeloyor pergi.
Dan ketika di mana-mana keluarga yang ditinggalkan merasa susah, terutama seperti nenek tua ini maka Ang-bi-to menjadi tempat angker dan pulau ini dikenal sebagai pulau menyeramkan.
Masuk Ang-bi-to berarti masuk ke alam maut! Kota raja menjadi geger.
Ternyata puteraputera hartawan atau bangsawan berjatuhan pula.
Mereka inilah yang lebih besar melakukan penyelewengan dibanding si miskin.
Mereka memiliki uang dan segalanya.
Dan ketika semua itu berawal dari istana sementara penyakitnya sudah menyebar, rakyat menjadi korban ikut terseret pula maka para penderita yang menularkan penyakitnya menjadi ngeri.
Di samping mendapat sumpah-serapah juga mereka ngeri mengalami kelumpuhan.
Alam maut terasa gelap dan serba menakutkan! Akan tetapi di pagi itu Ang-bi-to mengalami keanehan.
Orang-orang kang-ouw alias mereka yang berkecimpung di dunia persilatan berdatangan.
Ada kabar angin bahwa Busur Kumala di situ.
Maka ketika pagi itu berkelebat bayangan-bayangan asing, baik yang tinggi kurus maupun yang gemuk pendek maka pulau yang bia sanya ditakuti ini malah menjadi ramai.
Orang kang-ouw memang aneh! Dan yang lebih menarik perhatian adalah berderapnya sebuah kereta.
Sais menghentikannya di tepi pantai dan penghuninya keluar.
Kereta ini ditumpangi empat orang berpakaian indah dan satu di antaranya gadis muda.
Gadis ini berpakaian ungu dan cantik jelita dan kehadirannya tentu saja membuat terbelalak.
Mata mereka yang bersembunyi ataupun berada di pantai tak dapat dibuat pura-pura lagi.
Gadis ini cantik jelita dan berpakaian ketat, usianya tak lebih dari delapan belas tahun akan tetapi gagang pedang di belakang punggungnya membuat orang tak berani main-main.
Ia jelas gadis kang-ouw.
Dan ketika tiga yang lain adalah dua pemuda tinggi besar sementara yang terakhir adalah seorang kakek berwajah garang, codet atau sebuah luka kecil meng hias kening maka saisnya merupakan laki-laki empat puluhan yang menyimpan pula sebatang pedang di punggung.
Lima orang ini jelas gagah dan bukan sembarangan! Kini gadis itu menebarkan pandangan.
Ang-bi-to adalah pulau di tengah laut dan cukup jauh dari pantai, dapat terlihat akan tetapi merupakan sebuah garis hitam panjang.
Siapapun dapat melihat pulau itu akan tetapi siapa memperdulikan Ang-bi-to.
Pulau ini sarang penyakit! Maka ketika pagi itu muncul kereta ini disusul penumpangnya dan saisnya yang gesit, beberapa orang kang-ouw tertegun dan masih terpaku memandang gadis cantik jelita itu maka satu di antara dua pemuda itu berkelebat dan tiba-tiba menjura di depan seorang kakek berpakaian sederhana, seakan nelayan atau orang hendak mencari ikan.
Jala dan pancing berada di tangannya.
"Maaf, benarkah pulau di depan adalah Ang-bito. Di mana kami dapat menyewa perahu dan siapa yang dapat mengantar!"
"Hm, siapa kongcu (tuan muda). Aku pun orang asing di sini dan tak tahu-menahu. Hanya itu betul Ang-bi-to, selebihnya tak ada perahu yang disewakan."
"Ah, begitukah? Akan tetapi bukankah ada penjaga?"
"Heh-heh!"
Seorang lain tiba-tiba terkekeh dan melompat cepat, disusul belasan orang lain berpakaian kembang-kembang.
"Kalau ingin perahu dapat kuantar, kongcu. Berapa berani bayar dan apa maksud kalian mendekati Ang-bi-to!"
Pemuda itu terkejut, tahu-tahu dikepung delapan orang. Dan belum ia menja wab atau apa mendadak satu di antaranya, yang berada di belakang tiba-tiba menyambar kantung bajunya mengambil pundi-pundi uang. "Plak-plak!"
Akan tetapi pemuda ini bergerak cepat dan tiba-tiba ia menangkis atau menampar tangan jahil itu.
Lawan menjerit dan terbanting mengaduh-aduh, pergelangannya retak! Dan ketika kawan-kawannya terkejut berseru keras, kakek itu memberi aba-aba mendadak semuanya menyerang dan pemuda itu dikeroyok.
"Kau keluarga Pak yang tentu sombong itu. Angbi-to milik kami dan siapa pun tak boleh masuk!"
Pemuda ini marah. Ia tiba-tiba diserang dan berkelebatan ke sana ke mari. Lawan mencabut tongkat mengemplangnya. Dan ketika ia menangkis dan kedua lengannya menampar atau membacok ma ka tongkat patah-patah dan kakek berbaju kembang itu terkejut.
"Trak-trak-dess!"
Semua kaget.
Belasan senjata patah-patah sementara pemuda itu sudah berdiri tegak lagi.
Kakek lawannya mundur.
Dan ketika ia bersiap akan tetapi lawan bersuit panjang, mundur maka orang-orang yang sesungguhnya dari Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) ini berlarian.
"Ah, Pak-kongcu kiranya,"
Kakek seperti nelayan berseri dan menjura.
"Kami tentu saja mendengar namamu, kongcu, kalau begitu itu tentu ayahmu si Tangan Kilat Pak-Ju!"
Pemuda ini mengusap keringat.
Ia telah menghalau orang-orang Hwa-i Kai-pang akan tetapi kejadian ini membuat ia muram.
Belum apa-apa dihadang musuh.
Maka tak menghiraukan dan ber kelebat menemui ayahnya, Lui-ciang Pak-Ju dari Propinsi Se-kiang maka pemuda ini berkata sebaiknya dia mencari keluar dulu.
Pantai tak ditemukan sebuah perahu pun.
"Hm, tidak. Kita tunggu saja perahu dari pulau, Han-ji, biar kau dan kakakmu tetap di sini. Hwa-i Kaipangcu pasti mendapat laporan. Kau bisa dihadang di tengah jalan."
"Biar saja!"
Gadis itu tiba-tiba berseru.
"Kalau orang mencari penyakit biar kita hajar, ayah. Kalau tadi aku yang diganggu maka pedangku yang bicara!"
"Kita tak bermaksud membuat ribut,"
Kakek gagah ini berkata tegas.
"Kalau bisa dihindari lebih baik dihindari, Lian-ji. (anak Lian). Urusan kita masih banyak dan ibumu tentu menunggu di rumah."
"Akan tetapi musuh mencari gara-gara!" "Biarlah, yang penting bukan kita dan biar kutunggu Cao-ciangkun saja. Kita pasti diantar!"
Satu keluarga itu akhirnya diam.
Kusir atau sais kereta disuruh menepikan kudanya dan rombongan ini duduk di bawah pohon rindang.
Ada sebatang pohon kuat dan pendek cocok untuk berteduh.
Mereka dapat duduk di tonjolan akar besar.
Dan ketika orang-orang memandang keluarga ini akan tetapi surut dan cepat menyingkir, kegagahan pemuda tinggi besar tadi membuat keder maka gadis baju ungu yang gagah dan galak ini bersandar di sebelah ayahnya.
Mereka menunggu perahu dari arah Ang-bi-to.
Tiba-tiba terdengar bentakan.
Belasan anggauta Hwa-i Kai-pang yang tadi dihajar mendadak datang kembali.
Mereka dipimpin seorang tinggi besar bermuka pucat, usianya lima puluhan tahun dan di tangannya tergenggam tongkat hitam.
Kakek ini adalah Hwa-i Kai-pangcu (pimpinan) sendiri dan dialah yang membawahi anak buahnya langsung, mendapat laporan dan menjaga tepi pantai sepanjang alur.
Hwai Kai-pang tiba-tiba menyatakan wilayah itu adalah kekuasaannya, siapapun tak boleh ke Pulau Alis merah dan di tempat lain beberapa orang kena hajar.
Maka mendengar anak buahnya dirobohkan orang dan yang merobohkan adalah keluarga Pak dari Se-kiang, kebetulan sudah lama perkumpulan pengemis ini tak suka kepada keluarga itu maka Hwa-i Kai-pangcu muncul sendiri dan ia disertai empat sutenya yang berkepandaian tinggi.
Harap diketahui saja bahwa di Propin si Hu-nan nama perkumpulan pengemis ini ditakuti dan mereka biasa meminta sumbangan sampai ke propinsi sebelah, ketemu batunya ketika ditolak keluarga Pak yang sebenarnya merupakan hartawan besar ini.
"Bagus, Lui-ciang (Tangan Kilat) Pak-Ju sendiri yang kiranya berada di sini, dan puteramu telah melukai seorang muridku. Ang-bi-to saat ini berada di bawah kekuasaan kami, Lui-ciang Pak Ju, ini termasuk propinsi Hu-nan bukannya Se-kiang!" (Bersambung
Jilid XV.) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara
Jilid XV *** KAKEK ini bangkit berdiri, menghadapi lawan.
Dua laki-laki sama tinggi besar saling berhadapan dan masing-masing mengeluarkan sinar mata berkilat.
Jago dari Se-kiang ini tentu saja mengenal baik si kakek pengemis, diam-diam ia pun tak senang bahwa Hwa-i Kai-pang melakukan pemerasan terhadap orangorang kaya, dengan dalih sumbangan.
Maka ketika ia bangkit dan langsung menghadapi ketua pengemis itu, sinar matanya mencorong maka jago tua ini berkata, tegas namun singkat.
"Aku di sini atas undangan Cao-ciangkun, dan seingatku wilayah ini adalah ke kuasaan Cao-ciangkun (panglima Cao). Entah sejak kapan kau menguasai tempat ini, Hwa-i Kai-pangcu, akan tetapi akupun tak perduli sampai tuan rumah yang mengundangku kemari. Puteraku tak akan melukai orang lain apabila anak buahmu tak mulai dulu. Minggir dan jangan ganggu kami atau urusan bisa berlarut-larut."
"Sombong!"
Kakek itu gusar.
"Kau tak dapat mengusirku kalau tidak atas kehendakku sendiri, orang she Pak. Aku tak perduli Cao-ciangkun karena saat ini akulah yang berkuasa. Kami Hwa-i Kai-pang tak memperkenankan orang lain ke Ang-bi-to dan kau kembalilah baik-baik jika tak ingin mendapat pelajaran!"
"Hm, kau mengancamku? Kau marah-marah karena selama ini aku tak pernah menyumbang perkumpulanmu? Bagus, kau menyembunyikan kebencianmu berkedok Ang-bi-to, jangan kira aku tak tahu penyebabnya dan kami keluarga Pak juga bukan penakut."
"Serang dan tak perlu banyak bicara saja!"
Satu di antara empat sute kakek ini tiba-tiba berkelebat, tongkat di tangan menghantam kepala jago Se-kiang itu.
"Urusan tak akan selesai bila membuka mulut, suheng. Biarlah kuberi dia pelajaran dan agar keluarga Pak tak kurang ajar kepada kita!"
Akan tetapi kakek itu terkejut.
Lui-ciang Pak-Ju tiba-tiba menggerakkan tangannya menangkis dan sinar putih berkelebat.
Terdengar bunyi berdesing ketika jago Se-kiang ini menggerakkan tangannya.
Jarijarinya tiba-tiba berkerotok dan saat itu juga tongkat bertemu jari.
Dan ketika terdengar suara keras dan tongkat patah, kakek pengemis berseru tertahan maka ia terhuyung sementara jago tua itu tertawa dingin.
Semua terbelalak dan beberapa di antaranya memandang kagum.
"Jangan coba-coba dan cepatlah tahu diri. Lihat siapa yang mulai, Hwa-i Kai-pangcu, seperti itukah cara anak buahmu menyerang orang. Akulah yang akan memberikan pelajaran bagi siapapun yang nekat!"
"Sombong!"
Dua menerjang maju, satu ruyung.
"Mendorong kemenangan, orang she akan membela saudara!"
Di kiri kanan mendadak di antaranya memegang saudara kami bukanlah Pak, masih ada kami yang Jago tua itu mengelak.
Ia mundur selangkah dan berkilat marah akan tetapi lawan mengejar.
Dua pengemis yang berkepandaian lebih tinggi merangsek.
Dan ketika masing-masing membentak dan mengayun kan senjatanya, ruyung malah bercuit dan menyambar pula gadis baju ungu maka Pek Lian, puteri jago tua itu mencabut pedangnya.
"Keparat, siapa takuti orang-orang macam kalian ini...
cring-trangg!"
Bunga api berpijar dan pengemis pemegang ruyung terpekik. Ruyungnya terbabat, tinggal dua-pertiga. Dan ketika ia terbelalak dan meloncat mundur, sang jago tua menyambut lawan satunya maka ia berseru menangkis sambil mengerahkan tenaga.
"Lian-ji, biarkan saja orang-orang ini merasakan kelihaianku. Aku masih dapat mengatasi... krakk!"
Tongkat itu juga patah dan si jago tua tidak hanya berhenti di sini.
Ia membuat lawan terkejut dan terhuyung ke belakang akan tetapi jari-jarinya menusuk ke depan, kilatan putih menyambar.
Dan ketika kilat atau cahaya ini mengenai bahu lawannya itu, menjerit dan tak sempat mengelak maka pengemis itu roboh dan pundak atau bahu kirinya hangus.
Pakaiannya terbakar.
"Aughh!"
Dapat dibayangkan tusukan Jari Kilat itu.
Pengemis ini bergulingan menyelamatkan diri dan ia tentu saja berteriak.
Tulang pundaknya seakan hancur.
Akan tetapi ketika Hwa-i Kai-pangcu berkelebat dan menggerakkan tongkatnya menahan sutenya, itulah adik nomor dua bernama Kong Ciok maka ia menotok lembut dan sudah menghilangkan rasa sakit.
Sang su-te menggigil pucat namun ditolong su-hengnya bangun.
"Hati-hati, orang she Pak itu rupanya bukan omong kosong. Bagaimana keadaan mu, ji-te (adik nomor dua), masih sakit atau ada yang retak. Kau terlalu ceroboh dan maju tanpa perintahku."
"Maaf, ampunilah aku. Aku tak tahan oleh kesombongannya, suheng. Ia... ia memang lihai. Akan tetapi aku ingin maju kembali, aku tidak takut!"
"Hm, dia adalah lawanku. Kau putera-puterinya saja dan siapkan anak buah kita mengurung, jangan sampai lolos!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami tak akan melarikan diri!"
Gadis baju ungu tiba-tiba melengking.
"Kau dan anak buahmu kiranya orang-orang curang Hwa-i Kai-pangcu, tak segan melakukan kecurangan dan keroyokan. Lihat betapa aku menghajar kalian tak perlu ayah turun tangan sendiri!"
Akan tetapi jago tua Se-kiang tiba-tiba menahan puterinya.
Ia melihat betapa tiga puluh anggauta Hwai Kai-pang berlompatan memberi tanda.
Sang ketua telah mengangkat tongkat dan melepas perintah.
Dan karena terlalu berbahaya bagi puterinya untuk menyambut begitu saja, ia kenal baik watak para pengemis ini maka ia berseru kepada dua puteranya, juga saisnya yang ternyata sudah mencabut pedang.
Keluarga Pak memang sesungguhnya keluarga gagah perkasa, termasuk pelayan atau para pembantunya.
"Swi-ji, Han-ji, jangan kalian biarkan adik kalian dikepung musuh. Lindungi dan adu punggung. Dan kau, Hong-see, jaga tuan mudamu dari bokongan musuh!"
Hong-see, sais ini mengangguk.
Ia telah mencabut pedangnya berdiri gagah di belakang para majikannya itu.
Tanpa diperintah lagi ia telah bersiapsiaga, sikap dan pandang matanya gagah.
Dan ketika Hwa-i Kai-pangcu menjadi marah betapa keluarga itu tak kelihatan gentar, si jago tua maupun puteraputerinya betul-betul gagah maka iapun menerjang ke depan menggerakkan tongkat hitamnya.
"Maju dan biarkan Lui-ciang Pak Ju kuhadapi sendiri. Robohkan semua pengikutnya!"
Lima orang itu bergerak.
Majikan dan saisnya tahu-tahu berputar dan Lui-ciang Pak Ju sendiri tibatiba merendahkan tubuh.
Ia membentak menyambut tongkat hitam ketua.
Dan ketika sinar putih melesat berkeredep menyilaukan, Hwa-i Kai pangcu memekik menyambarkan senjatanya maka kakek itupun mengerahkan sinkang hingga tongkatnya bergetar dan penuh tenaga sakti.
"Dukk!"
Lengan dan tongkat beradu sama keras akan tetapi kakek pengemis terpental.
Tongkatnya memang tidak patah akan tetapi ia kalah kuat.
Sinkang atau tenaga sakti lawan lebih unggul.
Maka ketika kakek itu berjungkir balik dan kaget serta marah, Luiciang Pak Ju ternyata benar-benar hebat maka ia menerjang lagi dan empat sutenya menubruk atau menyerang tiga orang muda itu, dibantu para murid hingga membuat si sais Hong-see membentak melindungi tiga majikannya.
"Cring-tak-takk!"
Pertandingan menjadi ramai.
Dua pemuda berkelebat melindungi adik mereka di tengah namun Pek Lian tak mau meing gantungkan diri.
Iapun tak suka diperlakukan seperti anak kecil.
Dirinya sudah cukup dewasa dan kepandaiannyapun tinggi.
Maka ketika pedang bergerak dan meliang king serta berkelebatan, dua kakaknya bertangan kosong mainkan Lui-ciang Sin-hoat (Silat Tangan Sakti) maka dari lengan dua pemuda ini menyambar sinar putih berkilauan seperti ayah mereka, tangan atau jari-jari mereka menangkis dan sanggup meretakkan tongkat, terutama milik para murid.
"Trak-trak-kraakk!"
Tongkat patah-patah dan para murid menjerit.
Ternyata dua pemuda ini begitu lihai dan mereka-pun tidak berhenti di situ saja, maju mundur dengan cepat beradu punggung.
Pak Swi maupun Pak Han bergerak isi-mengisi begitu harmonis.
Tangan mereka pun semakin berkilauan mengeluarkan hawa panas.
Dan ketika hawa ini mendorong mundur siapapun yang tak tahan pukulan Tangan Kilat, mendesing dan menderu-deru maka empat sute Hwa-i Kai-pangcu terhenyak dan penasaran serta marah bahwa dua pemuda ini tak mampu mereka desak, bahkan merekalah yang sering terhuyung dan menjauh tak tahan pukulan panas! Akan tetapi mereka menang banyak.
Mereka berjumlah lebih dari tigapuluh orang sementara dua pemuda itu hanya di bantu sang adik dan si sais.
Mereka tentu saja berseru lantang memberi aba-aba lagi.
Masa tigapuluh orang tak dapat me ngalahkan empat orang, satu mengeroyok tujuh.
Maka ketika empat pengemis itu berkelebatan dan mereka mulai sambar-menyambar menusuk dan mengemplang akhirnya empat orang ini menjadi berbahaya apalagi ketika serangan atau pukulan mereka selalu dari belakang.
"Licik, curang dan pengecut. Kalian beraninya hanya dari belakang, pengemis-pengemis busuk, berhadapanlah secara jantan dan jangan membokong atau menyerang secara curang!"
"Biarlah, kau tetap di dalam. Mereka memang bukan orang baik-baik, Lian-moi (adik Lian), tak usah banyak bicara dan mari kita hajar!"
Pak Swi, saudara tertua menenangkan adiknya.
Pak Lian memang gadis yang mudah marah dan itu tidaklah menguntungkan.
Kemarahan hanya membu at kewaspadaan berkurang apalagi dikero yok demikian banyak orang.
Maka bergerak dan terus melayani puluhan orang secara berganti-ganti, berseru pada Pak Han agar adiknya tetap memasang kewas padaan tinggi maka pemuda itu menyuruh saisnya di dalam lingkaran pula.
Kini sais itu mencabut sebatang tombak pendek pula di tangan kirinya.
"Hamba menjaga bokongan musuh. Jangan khawatir, jiwi-kongcu (tuan muda berdua), hambapun menjaga siocia (nona)!"
"Akan tetapi masuk dan tetap di dalam lingkaran. Kami akan bergerak melebar, paman Hong11 see. Berilah kami kesempatan mendapat ruang gerak yang luas!"
Sais itu mengangguk.
Rupanya ia tahu apa yang akan dilakukan dua majikannya dengan kata-kata itu.
Iapun tetap menggerakkan kedua senjatanya menghalau dan menangkis musuh, terutama para mu rid Hwa-i Kai-pang yang begitu banyak.
Dan ketika benar saja ia masuk dan memberikan ruang gerak yang lebih lebar, Pak Swi berseru bersama adiknya tiba-tiba dua pemuda ini berkelebat dan menggerak kan kedua lengannya dengan cepat, tubuh mereka tiba-tiba lenyap.
"Augh-trak-trak-dess!"
Jeritan segera terdengar dan pekik atau suara kesakitan disusul gedebuknya tubuh-tubuh pengemis.
Mereka tiba-tiba saja disambar cahaya putih menyilaukan dan Lui-ciang atau Tangan Kilat mengenai mereka.
Pundak atau kulit tubuh hangus! Dan ketika satu dari empat sute Hwa-i Kai-pangcu juga terbanting dan merintih bergulingan, lehernya terluka maka yang lain terkejut dan berubah, apalagi ketika gadis baju ungu itu melengking dan menyambar pula di belakang kakaknya.
"Bagus, kita bunuh dan bantai saja mereka...
erat-erat!"
Pedangnya memotong gumpalan daging dan pemilik atau tuannya tentu saja berteriak.
Dua dari para murid terjengkang.
Lengan dan bahu mereka sompal.
Dan ketika sepak terjang gadis itu semakin ganas namun sang kakak berseru agar menahan diri, para pengemis berubah mukanya maka mereka-pun gentar apalagi ketika sang ketua berteriak memanggil sutenya.
Hwa-i Kai-pangcu ternyata terdesak dan menerima pula pukulan Tangan Kilat.
"Dess-plakk!"
Pertandingan di sini juga tak kalah seru dan ternyata pengemis itu kewalahan.
Ia telah menggerakkan tongkat hitamnya namun berkali-kali terpental.
Sinkang jago Se-kiang itu lebih kuat.
Maka ketika ia terhuyung dan mulai sering jatuh bangun, Luiciang Pak Ju i-ngin memberi pelajaran akhirnya kakek pengemis yang pucat itu semakin pucat.
Tongkat akhirnya pecah bertemu jari-jari Kilat.
"Trakk!"
Kakek ini membanting tubuh bergulingan dan saat itulah ia berseru memanggil sutenya.
Tentu saja ia gentar dan ngeri dan baru sekaranglah ia menga kui kehebatan lawan.
Keluarga Pak dari Se-kiang memang tak boleh dibuat mainmain.
Dan ketika dua sutenya berkelebat dan menyerang jago tua itu, Lui-ciang Pak-Ju membalik maka kakek gagah ini menangkis dan ia mengerahkan delapan bagian tenaganya.
"Krak-krakk!"
Tongkat pun patah dan dua pengemis itu melempar tubuh ke kiri kanan.
Sinar Luiciang masih menyambar dan hawa panas membuat muka terbakar.
Pakaianpun rasanya berbau sangit.
Akan tetapi ketika mereka meloncat bangun dan sang ketua menerjang lagi..., Hwa-i Kai-pangcu begitu marah maka kakek ini mengeroyok lawan dan tak segan-segan lagi mengembut dan berbuat curang.
"Bunuh dan robohkan dia!"
Jago Se-kiang berkilat matanya.
Setelah ia bertanding dan mengetahui kepandaian lawan maka dilihatnya bahwa Hwa-i Kai-pangcu tak perlu ditakuti.
Tongkat hitamnya memang hebat akan tetapi dengan Lui-ciang atau Tangan Kilatnya ia mampu menghalau.
Dari beberapa benturan dapat diketahui bahwa sinkangnya lebih kuat.
Kalau ia mau maka dapat didesak dan dilukainya ketua Hwa-i Kai-pang itu.
Akan tetapi karena ia menahan diri dan ingin lawan mundur dengan sendirinya, mengharap lawan tak nekat dan pergi baik-baik ternyata harapannya ham pa dan kini pengemis itu tak segan mengeroyok, bahkan ingin membunuh dan merobohkannya.
"Hm, kalian Hwa-i Kai-pang benar-benar tak tahu diri.
Baiklah kalau begitu, pangcu, aku tak akan memberi hati lagi dan jangan salahkan aku...
srat!"
Sebatang trisula kecil tahu-tahu menyambar keluar menyambut tongkat-tongkat para pengemis itu, cepat dan bagai kilat menyambut lalu melilit tongkat.
Gerakannya demikian luar biasa hingga tiga kakek itu terkejut.
Dan ketika mereka berseru keras menarik tongkat, maksudnya melepaskan diri mendadak jago tua itu memelintir dan...
krek-krek-krek, tongkattongkatpun patah dan saat itu tangan kanannya menyambar tiga orang ini.
Sinar putih menyilaukan pandangan.
"Awas!"
Hwa-i Kai-pangcu kaget sekali dan dialah yang pertama kali membanting dan melempar tubuh bergulingan.
Dua sutenya tampak tertegun dan membe lalak di tempat, mengelak namun terlambat.
Maka ketika keduanya mengeluh dan terbanting, Luiciang atau Tangan Kilat menghantam leher mereka maka dua orang ini roboh dan kulit mereka gosong.
Jago tua ini masih menahan tenaganya.
"Des-dess!"
Hwa-i Kai-pangcu menggigil dan meloncat bangun dengan muka berubah.
Ia tak mungkin menolong sute-sutenya karena ia sendiri harus menyelamatkan diri.
Saat itu terdengar teriakan dan jerit di mana-mana, anak buahnya dan sutenya yang lain terlempar.
Ternyata putera-pu-teri jago tua ini menyelesaikan pertandingan juga, separoh dari lawan-lawan mereka terkapar.
Akan tetapi ketika saat itu banyak orang berlompatan dan mereka inilah orang-orang kang-ouw yang ta dinya berseliweran di tepi pantai, menonton dan bersorak gaduh mendadak belasan di antara mereka menerjang dan menyergap orang-orang muda itu, terutama si gadis baju ungu Pek Lian.
"Tangkap dan bawa lari gadis ini, bantu Hwa-i Kai-pangcu!"
Keadaan tiba-tiba ribut.
Tanpa diduga belasan orang itu menyerang dan berkelebatan ke tiga orang muda ini.
Keluarga Pak diserbu.
Dan ketika Pak-hengte (dua saudara Pak) terkejut dan membalik serta menyambut, tentu saja mereka itu ka get dan marah maka Pek Lian, adik mereka melengking dan menggerakkan pedang membacok dan menikam.
Para penyerbu ini adalah kaum laki-laki berpakai an gelap dengan gelang akar-bahar di tangan.
"Jahanam pengecut, kalian pasti antek busuk Hwa-i Kai-pangcu...
cring-tring-trangg!"
Bunga api berpijar dan golok atau dayung yang bertemu pedang di tangan gadis itu sebagian besar terpental akan tetapi satu di antaranya mengenai bahu gadis ini.
Pek Lian menjerit dan terhuyung dan ujung dayung yang mengenai bahunya membuat ia kesakitan, la sudah melindungi dirinya dengan sinkang akan tetapi pukulan itu amatlah berat.
Seorang laki-laki berkumis tebal terkekeh padanya.
Namun ketika saat itu ayahnya berkelebat dan membentak, juga kakaknya tak mau tinggal diam maka mereka berlima mendorong dan memukul orang-orang ini.
Hong-see si sais keretapun tak mau kalah.
"Mundur dan jangan campuri urusan kami, atau kami bertangan besi!"
Orang-orang itu terlempar.
Begitu si jago tua mendorong dan menggerakkan ta ngannya ke kiri kanan maka Lui-ciang menyambar orang-orang itu.
Dayung besi berdentang ketika menangkis, tanda beta pa hebatnya Tangan Kilat jago Se-kiang ini.
Dan ketika mereka tergetar dan mundur terhuyung, tak kurang dari empat belas orang maka Hwa-i Kai-pangcu tibatiba berseru girang dan mengangkat tangannya tinggitinggi, berseru mencabut tongkat barunya.
"Bagus, terima kasih untuk bantuan ini, saudara Lo Yung.
Bunuh dan robohkan keluarga Pak!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heh-heh, jangan semuanya. Yang cantik ini bagianku, pangcu, yang lain terserah olehmu. Aku datang bersama anak buahku dan jangan khawatir, mari kubantu dan basmi habis keluarga sombong ini!"
Jago Se-kiang itu terkejut.
Sekarang ia melihat laki-laki berkulit hitam bersenjatakan dayung itu, orang yang tadi membuat puterinya menjerit.
Dan ketika sepasang matanya berkilat dan barulah dia tahu bahwa inilah kiranya si bajak sungai Sin-go Lo-Yung, Buaya Sakti yang biasa malang-melintang di perairan Huang-ho maka ia membentak dan tiba-tiba menggulung sepasang lengan bajunya.
Suaranya kini terdengar bengis dan tak memberi ampun.
"Hwa-i Kai-pangcu, kau kiranya membawa pula orang-orang kotor ini. Baiklah kuselesaikan tugasku dan kali ini kalian tak akan kuampuni!"
Berkata begitu tiba-tiba jago tua ini berjongkok dan mengeluarkan suara aneh dari tenggorokannya.
Ia mengerahkan tenaga dan mendorong, urat-urat lehernya menggembung.
Dan ketika dari dua lengannya menyambar pukulan dahsyat ke orang-orang itu, Hwai Kai-pangcu dan si bajak sungai Yo Lung maka dua orang itu menangkis akan tetapi mereka berteriak dan terbanting.
"Des-dess!"
Dayung terpental dan nyaris menghantam tuannya sendiri sementara Hwa-i Kaipangcu melempar tubuh berjungkir balik.
Ia tak mau tongkatnya patah lagi dan membuang tubuh ke belakang.
Ia merasakan dorongan yang amat dahsyat, jauh lebih dahsyat daripada yang sudah-sudah.
Maka ngeri dan kaget menyelamatkan diri, tentu saja ia berseru keras ternyata jago pedang itu mengejar akan tetapi anak buah bajak menghalangi "Des-des-plak!"
Dayung dan golok mencelat sementara dua pemuda gagah Pak-hengte tak tinggal diam.
Orang-orang lain termasuk murid-murid Hwa-i Kai-pang mengeroyok lagi.
Mereka sombong setelah mendapat bantuan dari luar.
Akan tetapi ketika Pak Lian juga membentak dan berkelebatan menyambar, pimpinan bajak sudah dihadapi ayahnya maka pedangnya tak kenal ampun lagi ketika membabat dan menusuk orang-orang itu.
Jerit kesakitan tak dapat dicegah lagi.
"Crat-crat-singg!"
Gadis ini begitu marah sehingga ia tak perduli seruan kakaknya.
Pak Swi, yang tampaknya lebih sabar dibanding Pak Han memperingatkan agar adik perempuannya tak usah membunuh.
Musuh cukup dilukai dan dirobohkan saja.
Akan tetapi karena gadis itu terlanjur marah dan iapun masih kesakitan oleh hantaman dayung si Buaya Sakti Lo Yung maka ia menimpakan ini kepada anak buahnya dan...
seorang di antaranya terpenggal, kejadian begitu cepat.
"Arghhh!"
Suara di tenggorokan ini bagai ayam disembelih.
Laki-laki itu roboh sementara pedang masih menyambar dan berkelebatan.
Tepi pantai menjadi gempar.
Dan ketika orang-orang kang-ouw lain tak senang dan berlompatan maju, tandang gadis itu dinilai kelewat kejam maka mereka berseru nyaring dan tahu-tahu membantu para bajak dan Hwa-i Kaipang ini.
Sebagian besar mengincar gadis baju ungu dan rata-rata ingin mengeroyok dan menangkap gadis itu, tentu saja dengan pandangan bergairah dan mata liar.
Akan tetapi kakek nelayan yang memegang pancing dan jala tiba-tiba meloncat.
Dialah orang pertama yang ditanyai Pak Han tadi, kakek berpakaian sederhana dan dikira nelayan biasa.
Dan ketika kakek ini terkekeh dan menggerakkan jalanya, juga pancing yang menjeletar-jeletar maka musuhpun menjadi kaget dan berteriak kesakitan betapa pancing kakek itu menggantol kulit tubuh mereka.
Ada yang tertancap bahu kirinya atau juga te linga, sobek.
"Ha-ha-heh-heh-heh! Ini perlakuan tak adil, buaya-buaya busuk. Kalian berpuluh-puluh orang mengeroyok sebuah keluarga saja. Hayo keluar,... keluar, atau pancingku menggigit kalian dan siapa tetap di sini, heh-heh-heh...!"
Anak bajak dan para pengemis menjerit.
Mata kail atau pancing itu menyengat.
Berulang-ulang kakek itu menyendal dan menyabetkan pancingnya dan seketika itu juga lawannya tergigit.
Siapa yang terkena lalu disontek, kulit atau secuwil daging kontan saja berhamburan.
Dan ketika ulah kakek ini juga mengejutkan Hwa-i Kai-pangcu, si pengemis mengelak dan bajunya yang tergantol maka kakek itu memakimaki namun tiba-tiba ia terbelalak dan mengingatingat.
"Kau... Chin Jiang Nelayan Timur. Ah, keparat jahanam, orang she Chin, ada apa kau mencampuri urusan kami!"
"Ha-ha-heh-heh... aku main-main dan kebetulan berada di sini, Hwa-i Kai-pangcu, tak mendapatkan ikan maka orang-orang pun boleh. Haha... biar kubawa pulang dan kuberikan cucu-cucuku, bret-brett!"
Dua gumpal daging kembali tersontek dan pemiliknya tentu saja menjerit dan mengaduh-aduh.
Mata kail itu tajam sekali, lagi pula ujungnya melengkung, mirip gigi ular.
Dan ketika Hwa-I Kaipangcu mengelak dan kembali memaki-maki, saat itulah semuanya menjadi kacau maka terdengar derap belasan kuda dan orang di luar pertempuran tiba-tiba menyibak mundur.
Sepasukan orang berkuda gagah muncul dipimpin seorang perwiranya berpakaian lengkap, dengan golok terhunus.
"Cao-ciangkun (panglima Cao)!"
Para pengemis dan anak buah bajak rupanya terkejut.
Mereka berubah dan sekonyong-konyong menghentikan pertempuran.
Hwa-i Kai-pangcu bersuit.
Lalu ketika ia membalik dan melarikan diri, masuk dan lenyap di balik pohon-pohon besar maka anak buahnya mengikuti dan saat itu pasukan berkuda itu telah datang.
"Pak-taihiap (pendekar Pak)!"
"Cao-ciangkun!"
Perwira di atas kuda meloncat turun sementara si jago tua Lui-ciang Pak-Ju berkelebat ke depan.
Mereka adalah dua sahabat yang kini bertemu.
Kedatangan keluarga itupun atas undangan Cao-ciang kun.
Maka ketika keduanya membungkuk dan saling memberi hormat, buyarlah keruntunan orang-orang lain maka perwira itu sudah menyimpan goloknya dan berseri memandang keluarga gagah perkasa ini, terutama gadis baju ungu yang tampak jelita dengan anak rambut menjuntai, dahi berkeringat.
"Ha-ha, ini puterimu Pak Lian? Aduh, pangling aku. Sudah besar dan gagah sekali. Bagaimana kalian bertempur dengan pengemis-pengemis Hwa-i Kaipang itu dan kenapa tidak memasuki kota dulu!"
"Kami mengira kau berada di pulau i-tu, menunggu dan mengharap perahu datang. Tak nyana kau di daratan, ciangkun Kalau tahu mungkin kami mampir ke kota."
"Ha-ha, aku baru saja mendapat panggilan, kemarin baru meninggalkan Ang-bi-to. Baiklah, Paktaihiap, terima kasih atas undanganmu dan barangkali sekarang juga kita ke pulau itu. Bicara di sana lebih enak!"
"Tunggu..."
Satu dari dua pemuda itu tiba-tiba berbisik kepada ayahnya.
"Di mana kakek nelayan itu, ayah. Aku tak melihatnya!" "Benar,"
Pemuda kedua, Pak Han, berseru pula.
"Kakek itu tak ada, ayah. Ia ternyata si Nelayan Timur Chin Jiang!"
"Apa yang kalian bicarakan,"
Sang perwira bertanya.
"Siapa orang yang kalian cari, jiwi-kongcu. Seingatku hanya orang-orang Hwa-i Kai-pang itu yang mengganggu kalian."
"Tidak,"
Si jago tua menjawab.
"Ada seorang yang telah membantu kami, ciangkun. Dan ia adalah Nelayan Timur Chin Jiang. Hm, ke mana kakek itu dan kenapa ia menghilang. Baru kutahu bahwa ia nelayan aneh itu!"
"Nelayan Timur? Ia juga ada di sini?"
"Benar, akan tetapi sekarang pergi. Aku tak sempat mengucap terima kasih dan sayang sekali ia tak mau menemui kita. Hm, biarlah lain kali kuucapkan terima kasih dan harap ciangkun membawa kami ke Ang-bi-to bila urusan memang penting."
"Ah, benar, amat penting. Mari, tai-hiap, mari pergi. Lihat aku sudah menyiapkan perahu dan biarlah semua tunggangan kita di sini. Ada yang jaga!"
Rombongan berkuda sudah turun dari kuda masing-masing dan benar saja saat itu tampaklah dua perahu meluncur dari depan.
Buih dan ombak yang kecil tersibak ke kiri kanan sementara pasukan Caociangkun yang berjumlah tiga lusin orang bersiap-siap.
Mereka menambatkan kuda dan beberapa menjaga.
Dan karena tempat itu segera sepi oleh orang-orang kang-ouw, mereka menyingkir dan rupanya gentar oleh kegagahan keluarga Pak dari Se-kiang ini maka tak lama dua perahu itu merapat.
Masing-masing perahu hanya ditumpangi dua orang, meskipun pe rahu itu dapat memuat sepuluh orang.
Dan ketika Caociangkun tertawa dan me lambaikan tangannya, dua orang itu meloncat turun maka perwira ini berkelebat dan berseru pada keluarga Pak itu, gerak an kakinya ringan dan tahu-tahu ia sudah di atas perahu tanpa menimbulkan guncangan berarti.
"Taihiap, jiwi-kongcu dan siocia, mari naik. Perahu ini untuk kita sementara yang kedua itu untuk pengawal-pengawal-ku!"
Kakek gagah itu mengangguk.
Tubuhnya yang tinggi besar tiba-tiba bergerak dan iapun tahu-tahu telah melayang dan berada di dalam perahu.
Hebat kakek ini, ia seakan kecapung yang hinggap dan sama sekali tak membuat perahu bergeming, padahal tubuhnya jelas lebih besar dan lebih berat dibanding Cao-ciangkun.
Dan ketika perwira itu tertawa sementara dua pemuda itu juga melayang seperti ayahnya, disusul sang adik yang berjung-kir balik dan hanya sedikit saja menimbulkan getaran maka perwira ini terbahak berkata memuji.
"Hebat, ilmu meringankan tubuh dua puteramu dan puterimu melebihi aku. Ah mereka orang-orang berkepandaian tinggi, Pak-taihiap, sungguh kagum aku melihatnya. Marilah kita ke pulau dan mudahmudahan kedatangan kalian banyak membantu kesulitanku!"
Cao-ciangkun memerintahkan orangnya mendayung dan tak lama kemudian perahu ke pulau Ang-bi-to.
Bersamaan itu muncullah orang-orang kang-ouw yang tadi menghilang.
Mereka mengamati kepergian orang-orang ini dengan mata bersinar-sinar.
Lalu ketika mereka tersenyum dan menghilang lagi, dua lusin pasukan yang ada di situ bergerak dengan sikap mengancam maka orang-orang itu lenyap lagi namun tak lama kemudian dari arah lain, jauh dari pantai tampaklah belasan perahu menyusul.
Mereka amat berhati-hati sekali membayangi perahu Cao-ciangkun, bahkan memutar dan mendekati Ang-bi-to dari belakang.
Dan karena mereka tak diketahui perwira ini dan hampir bersamaan mendarat di sana, jauh di belakang pulau maka Ang-bi-to tiba-tiba menjadi ramai dalam kesunyian yang mendebarkan.
Gerak-gerik mencuriga kan namun pasti membawa ketegangan.
-oPulau ini ternyata tidak begitu besar.
Setelah mendarat dan berloncatan turun maka Pak-taihiap dan putera-puterinya melihat betapa pulau itu ditumbuhi pohon-pohon tinggi yang langsing kecil, dari jauh seakan pinus namun ternyata bukan.
Cao-ciangkun menamakan pohon liu-song, sejenis cemara yang sudah bersilang dengan pohon lain yang daunnya bulat-bulat panjang.
Dan begitu menginjakkan kaki di tempat ini, rimbunnya pohonpohon dan daun segar menyambut mereka maka keluarlah beberapa orang penjaga pulau, yakni anak buah Cao-ciangkun juga.
"Selamat datang dan laporan,"
Satu di antara mereka berseru.
"Barak pesananmu sudah selesai, ciangkun. Akan tetapi kami tak berani menghalangi Lun-ongya yang masuk keluar berjalan-jalan. Kami dibentaknya."
"Hm, ia tak mau memasuki perkampungannya sendiri? Apa yang selanjutnya ia lakukan?" "Ia tak melakukan apa-apa, ciangkun, hanya... hanya berbangkis dan batuk-batuk di tempat itu. Kami tak berani mengusir."
Wajah Cao-ciangkun berubah.
Tiba-tiba ia menghela napas setelah berkerot sejenak.
Lun-ongya adalah satu dari sekian penderita yang berada di Angbi-to, pageran atau keluarga kaisar yang diasingkan.
Maka ketika ia mendengar laporan itu betapa sang pangeran meninggalkan perkampungannya sendiri, keluar dan berjalan-jalan di barak baru maka ia merasa gemas namun tak mampu berbuat apa-apa.
"Siapa itu Lun-ongya,"
Pak Han tiba-tiba bertanya heran.
"Dan kenapa kau kelihatan tak senang, ciangkun. Ada apa dengannya."
"Hm, ia penderita yang diasingkan. Menurut perhitungan hidupnya tinggal setahun lagi, kongcu, dan akhir-akhir ini ia sering membuat ulah. Aku tak senang karena ia mengganggu tempat baruku. Seharusnya tempat itu tak boleh dijamah para penderita."
"Kalau begitu pindah Saja, jangan ke sana!"
"Mana mungkiri? Tempat itu kusediakan untukmu, kongcu, maksudku untuk kalian semua. Kalau belum apa-apa sudah dikotori orang padahal tak sempat membangun yang lain maka apa yang harus kukatakan. Lun-ongya memang menjengkelkan, akan tetapi kita semua harus berhati-hati!"
"Apa maksudmu dengan kata hati-hati. Apakah ia seorang lihai, ciangkun, atau penderita berpenyakitan yang lemah dan bisanya menularkan penyakit."
"Itulah, tepat kata-katamu terakhir tadi. Ia penderita berpenyakitan yang berbahaya bagi orang lain, kongcu. Kalau ia mendekati kita sebaiknya menyingkir!"
"Hm, penyakit Kutukan Dewa hanyalah menular kalau kita berhubungan intim. Asal kita tak meladeni nya kupikir tak apa-apa, ciangkun. Bukankah begitu yang kudengar."
Lui-ciang Pak-Ju si jago tua bicara.
Ia tentu saja telah mengetahui ini sementara puterinya merona merah.
Bagaimanapun gadis itu juga tahu, begitu pula dua kakaknya.
Maka ketika gadis ini melengos sementara Cao-ciangkun menghela napas maka perwira itu mengangguk.
"Benar, kata-katamu tidak salah. Akan tetapi pangeran ini tampan dan menarik sekali, taihiap. lapun pandai membujuk. Kalau ia sudah mendekati seorang pemuda dan merayunya maka orang tak akan sadar dan jatuh di tangannya. Sudahlah tak usah kita bicarakan dia dan jiwi-kongcu sebaiknya menjauh!"
Pak Han, putera kedua mencibir.
Diam-diam ia malah ingin tahu dan membuktikan kata-kata Caociangkun itu.
Seberapa hebat daya bujuk dan ketampanan nya.
Coba ia lihat! Maka ketika semua orang bergerak lagi dan masuk ke dalam, tampaklah kini rumah-rumah kecil bertebaran di tengah pulau maka di luar perkampungan itu terpasang kawat berduri dan tiba-tiba terdengar jeritan dan keluhan menyayat.
"Biarkan aku mati... biarkan aku mati!"
Pak Han dan kakaknya berhenti.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sang ayah juga berhenti namun Pak Han tiba-tiba berkelebat.
Di sebelah kiri mereka tak jauh dari situ terdengar benturan seperti orang dihajar.
Dak-duk dan teriakan tiba-tiba lenyap.
Dan ketika semua terkejut dan berkelebat pula ke sini, Cao-ciang kun berseru hatihati maka semua tertegun melihat pemandangan menggetarkan.
Seorang pemuda bersimbah darah dan roboh telungkup, kepalanya bocor dan seluruh tubuhnya berkudis, penuh nanah.
"Kenapa kau!"
Pak Han berkelebat setelah terpaku sejenak.
"Siapa yang membuatmu begini dan biar kuhajar orang tak kenal kasihan itu!"
Akan tetapi Cao-ciangkun membentak dan menyambar serta menarik pemuda Se-kiang ini.
Perwira itu berseru agar membiarkan saja sang korban, saat itu muncul beberapa pengawal tergopohgopoh.
Dan ketika Pak Han tertegun kenapa Caociangkun menariknya mundur maka empat orang itu melemparkan karung dan...
bluk, tubuh pemuda menjijikkan itu terbungkus, disambar kemudian dibawa lari.
"Ia penderita yang tak tertolong. Ia ingin bunuh diri, kongcu, nyawanya tinggal sehari ini. Ia pemuda dari desa di seberang pantai!"
"Kenapa ia dibungkus? Kenapa pula ia diperlaku kan kasar?"
Pak Han terheran-heran dan tak puas memandang perwira ini, nada bicaranya setengah marah.
"Hm, semua itu demi keselamatan pengawalku. Kalau disentuh dan dipegang secara wajar maka bisulbisul di tubuhnya akan menular, kongcu, dan pengawalku akan terkena kutukan dewa itu. Ia sudah masuk kelompok amat berat!" "Akan tetapi tak akan menular kalau tidak..."
"Ya-ya, aku tahu. Namun koreng atau nanah di tubuhnya itu sudah membawa penyakit yang lain lagi. Pengawalku bisa terserang ini, kongcu, dan itu tak kalah berbahaya dengan penyakit utamanya!"
Pak Han membelalakkan mata ketika Caociangkun menjelaskan dan menarik napas dalam.
Tampak betapa wajah perwira itupun sedih, di samping jijik.
Dan ketika ia bergidik ngeri sementara adiknya hampir muntah-muntah, Pak Lian sejak tadi merasa mual maka muncullah satu dari empat pengawal tadi, berlutut dan melapor.
"Maafkan, ciangkun... A-lui telah tewas. Kami kecolongan ketika ia lari dan bunuh diri di sini."
"Sudahlah, betapapun ia tak mungkin selamat. Lakukan tugas kalian berikutnya, Sam-tong, kami hendak ke barak dan jaga jangan ada yang mengganggu."
"Baik, kami menjalankan tugas,"
Lalu ketika pengawal ini bangkit dan pergi bergegas maka tak lama kemudian tercium bau sangit yang aneh.
"Bau rambut terbakar!"
Pak Lian tiba-tiba berseru. "Atau orang memanggang anjing!"
Pak Han tak kalah cepat.
"Bukan,"
Cao-ciangkun berkelebat dan meninggalkan tempat itu.
"Mayat pemuda tadi disempurnakan, Pak-siocia (nona Pak). Maksudku dibakar dan dijadikan abu. Mereka yang mati tak boleh dikubur agar jasadnya tak membawa malapetaka."
"Dibakar?"
Gadis itu terpekik.
"Maksudmu dibuat seperti orang memanggang anjing, ciangkun? Kejam sekali!"
"Benar, kejam sekali!"
Pak Han tiba-tiba berseru pula dan kaget.
"Kalau begitu biar kulihat sebentar, ciangkun. Kalau anak buahmu kejam terpaksa kuhalangi!"
Sang perwira tersentak dan berhenti.
Pemuda itu sudah memasuki pagar berduri dengan cara berjungkir balik.
Ia melayang begitu cepat dan tak perduli siapa-pun.
Namun ketika bayangan tinggi besar berkelebat dan membentak pemuda itu, mencengkeram punggungnya maka Pak Han kaget betapa sang ayah melemparnya balik keluar.
"Berhenti dan jangan lancang. Kita tamu, Pak Han, tahu aturan sedikit!" Pemuda itu berjungkir balik dan turun dengan ringan. Akhirnya ia hinggap kembali di luar perkampungan sementara ayahnya bermuka merah. Kakek gagah ini melotot. Dan ketika pemuda ini sadar dan cepat meminta maaf, Lui-ciang Pak-Ju membungkuk di depan Cao-ciangkun maka iapun meminta maaf atas kelancangan puteranya.
"Mohon maaf atau biarkan puteraku kembali ke pantai. Ia tak tahu aturan, ciangkun, harap kau pandang mukaku dan tidak kecil hati."
"Ha-ha, ah, dia ini orang muda bersemangat. Justeru perbuatannya menunjukkan watak mulianya, taihiap. Ia ingin menentang apa yang dianggapnya kekejaman. Pemuda seperti ini tak perlu ditahan. Biarlah kuperlihatkan di sana agar hatinya puas!"
Berkata begini perwira itu menyambar lengan Pak Han dan tiba-tiba meloncat.
Ia tak jadi meninggalkan tempat itu malah memasuki perkampungan.
Dan ketika semua terkejut dan Pak Han tertegun, mandah saja dibawa maka Cao-ciangkun membawanya ke asal bau dan tampaklah sebuah tungku pembakaran menyala merah.
Tak jauh dari sini tampak berderet laci-laci batu tak berpintu, isinya abu tulang yang membuat Pak Lian bergidik! "Nah, itulah...
lihatlah.
Empat pengawalku bekerja di sini, kongcu, sementara itu adalah abu jenasah yang belum diambil kerabatnya.
Kami memang menyempurnakan jasad mereka dengan cara begini dengan dua maksud.
Pertama melenyapkan sumber penyakit agar bumi Ang-bi-to tetap bersih sementara yang kedua adalah mempertahankan lahan.
Bayangkan apabila ribuan orang harus dikubur di sini sementara pulau ini tak pernah bertambah!"
Pak Han membelalakkan mata akan tetapi tibatiba menutup hidung.
Adiknya dan yang lain-lain melakukan hal yang sama.
Bau menusuk tajam menyengat mereka.
Lalu ketika terdengar suara berkeratak dari rapuhnya tulang-belulang, juga suara pecah seperti tengkorak disambar api maka gadis itu mengeluarkan seruan pendek dan membalik serta meloncat pergi.
Cao-ciangkun tersenyum pahit memandang pemuda itu.
Pak Swi tiba-tiba menjawil adiknya dan meloncat pergi.
Sang ayah mengangguk-angguk.
Lalu ketika berpandangan dengan jago tua itu dan masingmasing memaklumi gejolak anak-anak muda akhirnya dua orang inipun berkelebat dan keluar meninggalkan perkampungan itu, apalagi ketika dari rumah-rumah yang bertebaran itu menyeruak tubuh-tubuh kuyu dan letih pucat.
Para penderita kutukan dewa! Sekali lagi Pak Han meminta maaf akan tetapi sang perwira tertawa kecil.
Diam-diam ia melihat semangat dan kegagahan pada pemuda ini, Pak Han anak muda yang peka lingkungan.
Dan ketika akhirnya ia membawa semua tamunya ke tempat yang dituju, yakni barak baru yang telah dipersiapkan maka di sini semua orang tertegun betapa di beberapa tempat di lantai itu terdapat timbunan tanah seperti menutupi kotoran ayam.
"Apa ini, kenapa tak dibersihkan."
"Ampun..."
Seorang penjaga muncul, berbisikbisik.
"... kami... kami... ah Lun-ongya tadi di sini, ciangkun, kami tak berani mengusir...!"
"Kalau begitu biar kusapu bersih!"
Lui ciang PakJu tiba-tiba berseru.
"Tak usah marah-marah kepada pengawalmu, ciangkun. Ini urusan kecil dan biarlah ku lenyapkan!"
Sang jago tua menggerakkan tangannya dan tiba-tiba dari kedua ujung bajunya menyambar angin kuat.
Sekali kibas mencelatlah hamburan tanah itu, tanpa bekas.
Lalu ketika pendekar ini tersenyum dan memandang tuan rumah maka Cao-ciangkun menghela napas dan menunjuk beberapa bangku kayu di situ, mengelilingi sebuah meja.
"Mari duduk, taihiap, sekarang kita bicara"
"Maaf,"
Si sais Hong-see mendadak berkata, suaranya pelan.
"Apakah hamba tak di luar saja, ciangkun. Hamba dapat melakukan penjagaan bersama pengawal-mu. Pak-taihiap serta kongcu dan siocia tentu lebih berkepentingan di sini."
"Baiklah,"
Sang majikan ternyata tanggap, mendahului.
"Kau boleh di luar, Hong-see, akan tetapi jangan jauh-jauh dan tetap dekat-dekat saja di sini."
"Terima kasih,"
Laki-laki itu membungkuk.
"Hamba menerima perintah, taihiap, hamba akan berjaga."
Cao-ciangkun menarik napas dan sedikit menegur sahabatnya akan tetapi Lui-ciang Pak-Ju tersenyum.
Kakek gagah ini memberi isyarat.
Dan ketika putera-puterinya duduk mengelilingi meja itu sementara Hong-see berkelebat keluar maka Caociangkun mulai bicara serius sementara Pak.
Han masih bertanya-tanya tentang tumpukan tanah kering yang tadi menutupi bercak-bercak di lantai.
Tak tahu bahwa itulah dahak sang pangeran dan yang tadi tak berani disentuh para penjaga kecuali menutupinya saja dengan pasir atau tanah kering.
Dahak dari orang yang kena penyakit Kutukan Dewa! "Baiklah kuceritakan apa yang hendak kuberitahukan kepada taihiap dan jiwi-kongcu serta siocia berempat.
Bahwa malam nanti, tepat tengah malam setelah bulan di atas kepala maka ada seorang tamu istimewa yang harus kami jemput.
Maksud kami, seorang tawanan yang harus dijaga ketat dan kelak diserahkan ke kota raja!"
"Tamu alias tawanan istimewa? Siapa dia ini, ciangkun? Dan kenapa harus malam-malam pula? Kenapa harus dijaga ke tat dan kau begitu mempercayakannya ke pada kami?"
Pak-taihiap tak tahan dan bertanya sambil mengerutkan keningnya sementara putera-puterinya mengangguk pula.
Mereka tak sempat bertanya karena sang ayah sudah mendahului.
Pak Han yang tadi berpikir tentang kotoran tanah itu terlupa pula, tertarik dan terbawa tanpa sadar.
Dan ketika perwira itu menangguk dan menoleh kanan kiri maka ia berkata hati-hati, jawabannya seakan tak boleh didengar orang lain.
"Sst, tenang dan perlahan-lahan sajalah. Sumber dari biang-petaka ini tertangkap, taihiap. Maksudku bahwa orang yang dicari-cari istana telah ditemukan. Seorang kulit putih, sumber bencana ini tertangkap. Dialah mula-mula yang diduga menyebarkan penyakit Kutukan Dewa itu. Ia bernama Leiker. Akan tetapi karena orang ini menyembunyikan sesuatu dan hendak dikompres, ia jahat dan licik maka atasanku menghendakinya ditahan di sini dulu dan malam nanti akan berdatangan orang-orang lihai keturunan Liang-san, penangkap atau pembekuk tawanan licik berbahaya ini!"
"Liang-san? Maksudmu keturunan atau muridmurid Dewa Mata Keranjang?"
Pak taihiap terkejut, tak dapat menyembunyikan kagetnya dan semua putera-puterinya ikut berubah.
Siapa tak mendengar nama Liang-san, tempat atau hunian tokoh-tokoh sakti, Dewa Mata Keranjang dan mu ridnya Fang Fang.
Dan ketika Cao-ciangkun mengangguk dan tampak bangga, ia akan menjemput orang-orang gagah itu maka keluarga ini dibuat terhenyak dan bersinar-sinar, terutama Pak Lian gadis baju ungu.
"Benar, akan tetapi semuanya berlangsung amat rahasia. Aku diperintahkan atasanku untuk memperkuat pulau ini, taihiap, dan karena itulah aku mengundangmu. Atasanku begitu khawatir, dan aku menangkap kesungguhan dalam perintah ini. Konon, kalau tidak salah maka Busur Kumala akan ditemukan pula malam ini. Ang-bi-to dijadikan tempat pertemuan tapi tak nyana orang-orang Hwa-i Kai-pang dan lainlainnya itu datang. Hidung mereka sungguh tajam!"
"Tunggu! Jadi, eh... jadi benar bahwa Busur Kumala berada di pulau ini? Jadi benda yang dicari-cari ini ada di Ang-bi-to?"
Pak-taihiap memotong dan wajahnya menunjukkan ketegangan.
"Sabar, aku belum selesai bercerita. Busur itu tak ada di sini, taihiap, maksudku hari ini. Akan tetapi malam nanti, bersamaan dengan datangnya tawanan itu maka Busur Kumala diharapkan hadir pula. Katanya orang kulit putih ini menyimpan benda itu. Karena itu ia hendak dikompres dan dipaksa mengaku."
"Astaga, dan siapa tokoh Liang-san penangkap nya itu. Apakah pendekar besar Fang-taihiap!"
"Aku tidak tahu, semuanya masih rahasia. Pokoknya malam ini kami diminta memperkuat pulau namun harus secara diam-diam. Aku mengundangmu untuk minta tolong ini, tak menyangka bahwa orangorang kang-ouw itu muncul seperti siluman dan mereka bisa mengacau tugas ku!"
"Hm-hm!"
Jago tua ini bersinar-sinar, tiba-tiba pembantunya masuk, membungkuk dan berkata, "Taihiap, ada sesuatu yang hendak ku laporkan. Boleh sekarang atau tidak."
"Apa laporanmu,"
Sang majikan berseru.
"Katakan dan jangan buang waktu, Hong-see, setelah itu keluarlah kami ada pembicaraan penting!"
"Beberapa orang mendarat di belakang pulau,"
Sais ini menjawab.
"Mereka tampaknya orang-orang kang-ouw itu, taihiap. Bolehkah hamba temui atau ada pesan khusus."
"Hwa-i Kai-pang?"
"Belum jelas benar, akan tetapi rupanya bukan."
"Kalau begitu biar kupanggil wakilku Unciangbu (kapten Un)!"
Cao-ciangkun tiba-tiba berseru, mendahului Pak-taihiap.
"Jangan khawatir, Hong-see. Biarlah kau bersama anak buahku dan Un-ciangbu me mimpin!"
"Aku ikut!"
Pak Han tiba-tiba berdiri, minta tanda kepada ayahnya.
"Kalau mereka bukan orangorang Hwa-i Kai-pang tentu orang-orang lain yang tak kalah berbahaya, ayah, paling tidak seperti pengemispengemis busuk itu. Biarlah ku-bantu paman Hongsee agar pembicaraan mu tidak terganggu!" "Betul, aku juga tiba-tiba tertarik,"
Pak Lian berseru dan meloncat bangun.
"Biarlah kubantu Hanko (kakak Han), ayah. Kalau mereka mendarat di belakang pulau tentu mereka menyembunyikan maksud tidak baik. Jangan-jangan semuanya jadi kacau sebelum tawanan penting datang!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku juga,"
Pak Swi tak mau kalah.
"Kami orangorang muda biarlah menjaga keamanan pulau, ayah. Karena malam nanti akan ada peristiwa penting biarlah sekarang juga kaum pendatang itu kami usir!"
"Terima kasih,"
Cao-ciangkun gembira dan bertepuk tangan, masuklah Un-ciangbu wakilnya itu, seorang laki-laki muda sekitar tiga puluh tahun dengan wajah cakap dan tubuh gagah, membawa pedang.
"Semangat dan bantuan kalian amatlah kuhargai, jiwikongcu, terima kasih untuk kesediaan Pak-siocia pula dan biarlah para pembantuku mengiringi. Unciangbu!"
Perwira itu berseru.
"Ada laporan bahwa di belakang pulau mendarat orang-orang asing yang mencurigakan. Halau mereka dan sebentar lagi kami datang!"
"Baik,"
Kapten itu membungkuk.
"Kami sudah mendengar pula, ciangkun, dan kebetulan, menunggu perintah. Biarlah kami berangkat dan kami lihat orang42 orang itu. Siap melaksanakan tugas!"
Lalu memberi hormat dan berkelebat keluar perwira muda ini sudah mengikuti Hong-see yang tak sabar mendahului lainnya, lenyap diikuti Pak Han kakak beradik tak kalah pula gadis baju ungu yang cantik jelita itu, yang sempat dikerling sejenak oleh Un-ciangbu namun ketegangan di be lakang pulau mengganggu mereka.
Cao-ciangkun melanjutkan kembali percakapan nya dengan Pak-taihiap.
Putera-puteri kakek gagah ini telah meninggalkan ruangan.
Dan ketika dua orang itu bicara perlahan sambil sesekali mengangguk-angguk, Pak-taihiap tampak bersinar dan tegang wajahnya maka di belakang pulau anak-anak muda ini menemukan sejumlah perahu yang penumpangnya tak ada.
Pak Han dan kakaknya hampir berbareng berkelebatan di tempat, itu.
Tiba-tiba terdengar suit nyaring.
Dari empat penjuru mendadak muncul pengawal yang tak mengenal dua orang muda ini.
Mereka adalah penjaga di kiri kanan pulau yang mendapat laporan tergesagesa.
Maka begitu melihat dua pemuda itu dan membentak sambil terus menyerang, Pak Han dan kakaknya terkejut maka dua orang ini menangkis dan berseru keras.
"Heiiii... kami orang-orang sendiri!" Senjata dan tubuh orang-orang itu berpelentingan. Mereka terpekik disambut pemudapemuda ini, tangan atau kaki Pak Han dan kakaknya sekeras baja. Akan tetapi ketika mereka meloncat bangun dan tak percaya begitu saja, dua pemuda ini tak mereka kenal maka mereka menyerang lagi dan saat itu muncullah Un-ciangbu yang membentak anak buahnya itu.
"Berhenti dan buka mata kalian baik-baik. Ini adalah Pak-kongcu dari Se-kiang Mereka tamu-tamu Cao-ciangkun... duk dukk!"
Perwira itu yang malu dan marah menendangi pengawalnya akhirnya membuat pengawalnya terkejut dan tentu saja berhenti.
Mereka baru percaya setelah Un-ciangbu muncul di situ, meskipun beberapa di antaranya terlanjur kesakitan oleh tendangan dan bentakan pimpinan mereka ini.
Dan ketika saat itu gadis baju ungu juga muncul dan mereka terkesima kagum, Pak Lian berkelebat di sebelah kakaknya maka gadis ini menampakkan ketidaksenangan akan tetapi Pak Swi menjawil dan cepat menahan adiknya untuk tidak mengeluarkan kata-kata keras.
Gadis ini seorang pemarah dan cepat tersinggung.
"Sst, mereka hanya salah paham. Kami dikira para penyerbu itu." "Benar, mereka salah paham,"
Un-ciangbu menjura dan cepat minta maaf.
"Anak buahku tak mengetahui kedatangan Kalian, nona. Sekarang bagaimana pendapat kalian setelah kita lihat perahuperahu kosong ini."
"Kita berpencar,"
Pak Han berkata.
"Kau dan anak buahmu ke sana, ciangbu, kami ketiga penjuru. Siapa menemukan musuh harap bersuit dan memberi tanda bahaya!"
"Benar, agaknya kita harus berpencar. Mereka tak di sini, ciangbu, marilah bergerak dan jangan buang-buang waktu lagi,"
Pak Swi, yang lebih sabar dan tenang menyetujui kata-kata adiknya dan Unciangbu mengangguk.
Sebenarnya pria ini ingin berdekatan selalu dengan tiga anak muda itu, terutama Pak Lian.
Akan tetapi maklum bahwa bahaya sedang-mengancam, orang-orang kang-ouw ini harus dicari maka ia berkelebat ke Selatan setelah lebih dulu menyuruh perahu-perahu kosong itu ditarik dan disembunyikan.
Ini agar para pemiliknya kelabaKan dan nanti tak dapat lari.
"Terima kasih, jiwi-kongcu, kami akan ke selatan dan silahkan jiwi ke barat atau tempat lain." Pak Swi tak menjawab melainkan meminta Pak Han ke timur. Ia sendiri bersama adik perempuannya berkelebat ke barat dan di tiga penjuru ini mereka mengepung. Tak mungkin orang-orang itu lolos. Dan ketika benar saja terlihat bayangan-bayangan gesit menyelinap dan merunduk di hutan kecil di luar perkampungan berpagar kawat, akhirnya mereka ini melayang dan turun ke dalam perkam pungan maka Pak Swi menjadi heran sementara adiknya tak sabar melengking.
"Tikus-tikus busuk dari mana berani menyatroni tempat ini. Menyerah atau ka mi menghajar!"
Orang-orang itu terkejut.
Mereka adalah orangorang berpakaian singsat dan senjata atau gaya mereka macam-macam, yang jelas beberapa di antaranya di kenal gadis ini, yakni ketika di pantai dan menonton pertandingan keluarganya dengan orangorang Hwa-i Kai-pang.
Maka ketika orang-orang itu terkejut namun mereka malah lari memasuki rumahrumah kecil di perkampungan itu maka gadis ini semakin berang sementara Pak Swi membelalakkan mata dan heran apa maunya orang-orang ini.
Kenapa malah berbaur dengan penderita Penyakit Kutukan Dewa.
"Heii, berhenti.
Atau aku membunuhmu!"
Pak Lian menyambitkan jarum-jarum halus dan orang yang dibentaknya tadi menggerakkan senjata ke belakang.
Tang-ting-tang-ting membuat jarum runtuh sementara orang itu menghilang di rumah terdekat, mengejutkan gadis ini karena jelas lawan bukanlah sembarangan.
Ia menangkis tanpa menoleh.
Akan tetapi marah dan membentak gusar gadis ini-pun tak perduli lagi dan menerjang memasuki pula rumah itu.
Lawannya menghilang di tempat ini.
"Hati-hati!"
Sang kakak berkelebat dan memperingatkan adiknya.
"Mereka tak kelihatan takut terhadap kita, Lian-moi, bahkan tampaknya berkesan buru-buru dan berani memasuki perkampungan ini. Awas penyakit menular!"
Gadis itu membacok pintu rumah dan terdengar teriakan kaget.
Dua laki-laki muda berhamburan sambil melipat celana dan mereka bertelanjang dada.
Tubuh mereka penuh bercak-bercak hitam.
Akan te tapi ketika mereka itu roboh ditendang gadis ini, mencelat dan terguling-guling maka Pak Lian berseru di mana lawannya tadi.
Ia begitu marah hingga tak perduli lawannya merintih-rintih, ada tanda-tanda mereka ini melakukan sesuatu yang ganjil.
Kolor celana mereka terbuka lepas.
"Katakan di mana jahanam yang masuk tadi atau kalian kuhajar. Ayo, di ma na dia!"
"Ampun, kami... kami tak tahu. Kami tak melihat siapa-siapa, lihiap... kami... kami sedang asyik bercintaan...!"
"Apa? Bedebah keparat!"
Gadis ini baru melihat bagian yang terbuka itu dan bukan main malunya.
Seketika ia menjadi jengah dan mengutuk dua laki-laki muda itu.
Sudah di ambang kubur masih juga menambah dosa.
Maka ketika ia meloncat sementara kakaknya menarik napas dalam, Pak Swi pun jengah maka pemuda ini menyusul adiknya dan dua laki-laki muda itu tampak mengeluh akan tetapi saling berangkulan dan...
akhirnya berciuman tanpa malumalu.
Dua kakak beradik ini ternyata tak gampang menemukan lawan.
Mereka memang melihat bayangan-bayangan berkelebat akan tetapi lenyap di rumah-rumah kecil itu.
Setiap dikejar dan menendang pintu maka yang terlihat adalah pemandangan memalukan, yakni dua laki-laki atau lebih yang berdekapan dan bermesra an di situ untuk kemudian terpekik dan berhamburan ketika pemuda atau gadis ini mendobrak rumah.
Mereka tunggang-langgang tiada ubahnya dua laki-laki pertama tadi.
Maka ketika Pak Lian menjadi gusar akan tetapi juga tersipu-sipu jengah, perkampungan itu ternyata perkampungan kotor maka Pak Swi tak kalah malu karena kaumnya melakukan hal menjijikkan.
Dan saat itu tiba-tiba terdengar jeritan minta tolong.
"Tolong... tolong... lepaskan aku!"
Kakak beradik ini keluar.
Tiba-tiba seorang di antara penghuni diculik.
Seorang kang-ouw bertubuh tegap gesit memanggul dan membawa lari seorang pria berkulit bersih dan sepintas seperti orang bule.
Tawanan di atas pundaknya itu meronta-ronta.
Akan tetapi ketika kakak beradik ini membentak dan berkelebat menghadang mendadak dari empat penjuru juga terdengar teriakan dan orang-orang kang-ouw dengan memondong seorang tawanan berkelebat keluar.
Para penghuni ternyata diculik.
"Keparat, apa yang kalian lakukan dan berani benar menculik orang di siang bolong. Lepaskan dan berhenti!"
Akan tetapi gadis ini ditahan kakaknya.
Pak Swi lebih tertegun oleh kejadian yang terasa ganjil ini.
Pedang di tangan adiknya dicengkeram.
Dan ketika gadis itu terkejut dan berseru tertahan, penculik dibiarkan lolos maka Pak Lian begitu herannya membentak kakaknya ini.
"Swi-ko, apa yang kaulakukan ini. Kau membiar kan musuh pergi!"
"Tenanglah, sabar. Mereka boleh lolos dari perkampungan ini, Lian-moi, akan tetapi di pantai tak mungkin lolos. Perahu-perahu mereka sudah disembunyikan."
"Akan tetapi mereka dapat membahayakan tawanan. Mereka dapat membunuh!"
"Tidak, lihatlah kejadian itu dan lihat pula Pak Han dan Un-ciangbu muncul."
Gadis ini menoleh dan tiba-tiba matanya membelalak lebar.
Semula ia tak tahu namun tiba-tiba melengos.
Para penghuni yang diculik dan dibawa lari tiba-tiba tertawa dan berhenti meronta-ronta.
Penculik mereka rata-rata bertubuh tegap dan kuat gagah.
Mereka ini tadinya terkejut namun sekarang berseri-seri, diam dan memeluk lalu menciumi tubuh penculiknya itu.
Dan ketika mereka terkekeh-kekeh termasuk pula penculik yang dihadang mereka tadi, menggelandot manja dan menyembunyikan muka dengan sikap kebanci-bancian maka Pak Lian tak dapat menahan umpatan hatinya lagi dengan berseru.
"Tak tahu malu, jahanam terkutuk. Mereka ternyata laki-laki yang sudah rusak dan benar-benar tak dapat diperbaiki lagi!"
"Dan orang-orang kang-ouw itu mem perlakukannya baik-baik. Mereka hati-hati dan tak berkesan menyiksa, Lian-moi, akan tetapi sungguh ganjil membawa lari orang-orang berpenyakitan."
"Benar, aneh sekali. Kalau begitu apa yang mereka kehendaki dan lihat Un-ciangbu dan Han-ko membentak dan mengejar mereka. Mereka lolos keluar!"
Pak Swi masih tertegun sambil mencengkeram pedang adiknya sementara orang-orang kang-ouw itu memang berkelebatan keluar membawa lari penghuni per kampungan, itu.
Yang diculik rata-rata yang berkulit putih kebule-bulean dan sikap mereka begitu hati-hati dan tidak kasar.
Merekapun diam dan membiarkan saja telinga atau tengkuk mereka diciumi.
Hanya kalau tawanan mencium wajah atau mulut barulah mereka ini menolak, itupun hati-hati dan mendorong serta halus.
Dan ketika para tawanan terkekeh-kekeh dan akhirnya bagai gadis manja dilarikan kekasih, sungguh keadaan ini membuat orang tertegun maka hanya yang diculik atau dibawa pengemis atau orang-orang tua para tawanan ini memberontak.
Ternyata Hwa-i Kai-pangcu pun tibatiba muncul di situ bersama anak buahnya, juga si bajak Lo Yung.
"Lepaskan... lepaskan aku dan kalian pengemispengemis busuk bertubuh bau. Lepaskan aku, orangorang apek. Aku tak mau dengan kalian!"
"Benar, kaupun kakek tua bertubuh ceking. Aku tak mau denganmu dan lepaskan aku!"
Pak Lian membuang mukanya dan gadis ini marah bercampur bingung. Iapun jengah dan tak mengerti maksud orang-orang itu, baik penculik maupun tawanannya. Akan tetapi ketika kakaknya berkelebat dan ia disendal maka Pak Swi seakan tersentak sesuatu.
"Ah, ini ada hubungan dengan cerita Caociangkun. Sekarang aku mengerti!"
"Mengerti apa, apa yang kau tahu!"
"Lihat yang dibawa penculik-penculik itu, Lianmoi, mereka rata-rata berkulit putih bagaikan bule!" "Ya, aku tahu. Tapi apa artinya?"
"Artinya adalah mereka menyangka tawanan rahasia itu. Maksudku mereka menyangka bahwa orang yang nanti malam akan kita jemput sudah ada di sini. Mereka hendak mencari Busur Kumala!"
"Aku bingung, apa maksudmu. Ah, kepalaku jadi pusing, Swi-ko, dan akupun tiba-tiba tak bernafsu menolong mereka itu. Biar saja!"
"Tidak, mereka akhirnya berada dalam bahaya. Para penculik itu akan membunuhnya, Lian-moi, setelah tahu bahwa salah tangkap. Aku sekarang mengerti dan mari kejar bersama kakakmu Pak Han!"
Gadis ini terbelalak lalu mengerutkan kening dan iapun tiba-tiba cemberut.
Setelah tahu dan melihat kejadian itu maka ia pun tiba-tiba mendongkol.
Perasaan muak tak dapat ditahan lagi.
Akan tetapi karena masih bingung dan tak mengerti jelas, keinginannya menolong orang-orang itu padam maka Pak Lian tak mau banyak tanya lagi dan diamdiam ia malah ingin orang-orang kang-ouw itu membunuh saja penghuni perkampungan yang menjijikkan ini.
Masih teringat olehnya dua orang lakilaki yang berciuman tadi, juga yang pakaiannya kedodoran dan setengah telanjang! Pak Lian memang tak tahu apa yang terjadi.
Dia tak tahu bahwa datangnya orang-orang kang-ouw itu adalah untuk menculik Leiker, tawanan rahasia yang tadi baru saja diceritakan Cao-ciangkun akan tetapi malam nanti baru datang.
Mereka sudah mendengar berita itu dan alangkah tajamnya hidung orang-orang kang-ouw ini.
Penciuman mereka tajam dan apapun agaknya sudah diketahui.
Akan tetapi karena mereka tak tahu bagai mana dan siapa Leiker itu, orang yang katanya membawa pula Busur Kumala ma ka mereka datang ke perkampungan ini dan menculik saja para penghuni yang kira-kira seperti orang kulit putih, jadi main sambar dan tidak banyak cakap, apalagi dalam ketergesa-gesaan dan kejaran waktu yang pendek, dikejar dan dibentak kakak beradik itu dan juga para pengawal dan Un-ciangbu! Apa yang diduga Pak Swi tidak salah.
Pemuda ini memang benar dan perkiraan nyapun tak bakal meleset jauh kalau orang-orang kang-ouw itu nanti tahu bahwa mereka salah ambil, membunuh dan mencampakkan korbannya begitu saja.
Maka ketika ia mengejar dan jumlahnya ternyata begitu banyak, tak kurang dari sembilan puluh orang menculik penghuni maka perkampungan itu ditinggalkan cepat dan tempat ini tiba-tiba begitu sepi.
Hanya rintihan dan keluhan di sana-sini bagi mereka yang terbanting atau ditendang lawan, mereka yang bukan seperti orang bule.
"Berhenti dan mau apa mengambil tawanan. Mereka orang-orang berpenyakitan, Hwa-i Kaipangcu, pembawa Kutukan Dewa. Kembalikan dan jangan main-main atau kami menghajarmu!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pak Han, yang mengejar bersama Un-ciangbu membentak dan memaki kakek pengemis itu.
Kebetulan yang dibawa adalah yang paling tampan dan halus sekali, sikap dan gerak-geriknya bagai bangsawan.
Dan karena pemuda ini meronta-ronta akan tetapi kakek itu tak pernah melepaskan, ia bahkan mengerahkan anak buahnya menghalangi pemuda itu maka Pak Han menjadi kaget ketika Un-ciangbu berbisik bahwa itulah Lun-ongya (pangeran Lun).
"Hati-hati dan jangan gegabah. Yang dibawa kakek itu bukan sembarang penghuni. Ia Lun-ongya!"
"Lun-ongya?"
"Benar, kongcu, karena itu hati-hati melepas pukulanmu. Biar kukerahkan anak buahku menghadapi anak buah pengemis itu dan kita menempelnya ketat!"
Un-ciangbu membentak para pembantunya untuk menghadapi para pengemis ketika murid-murid Hwa-i Kai-pang itu melindungi ketuanya.
Memang kebetulan sekali kakek ini menculik Lun-ongya.
Biarpun bukan tawanan rahasia akan tetapi ia dapat menyandera dan membahayakan sang pangeran.
Ketua Hwa-i Kai-pang itu licik.
Maka ketika Pak Han jadi tertegun sementara pengemis itu sudah memasuki hutan, lenyap dan menuju belakang pulau maka Hwa-i Kai-pangcu ini terkekeh dan menantang.
(Bersambung
Jilid XVI.) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara
Jilid XVI *** "SIAPA berani menyerangku berarti menyerang tawanan pula. Hayo, boleh coba-coba kalau ingin tawanan ini mampus!"
Gertakannya berhasil.
Un-ciangbu dan Pak Han memang tentu saja tak berani gegabah dengan menyerang kakek itu, a-palagi membokong.
Sekali kakek itu memindahkan tawanan tentu sang pangeran yang kena.
Licik benar pengemis itu.
Akan tetapi karena tak mungkin membiarkan saja dan kakek itu amat berbahaya, yang diculik bukan sembarang penghuni akhirnya Pak Han melihat bayangan kakaknya dan juga Pak Lian.
"Swi-ko, Lian-moi, kakek itu membawa Lunongya. Hati-hati dan cegat di depan akan tetapi jangan sampai menyerang pangeran!"
Pemuda ini mengerahkan Coan-im-jip-bitnya (Kirim Suara Dari Jauh) agar kakak dan adik perempuannya i-tu tahu.
Tentu saja seruannya ini tak didengar Hwa-i Kaipangcu karena memang dikerahkan lewat Coan-imjip-bit.
Akan tetapi ketika kakek itu melihat dua kakak beradik itu dan darahnya tiba-tiba berdesir, ia masih tetap dikejar Pak Han dan Un-ciangbu maka ia membentak dan jari-jarinya tiba-tiba mencengkeram tawanan.
"Jangan maju atau kubunuh dia. Pergi!"
Pak Swi membawa adiknya meloncat menjauh.
Untunglah ia telah mendengar Coan-im-jip-bit tadi dan tentu saja terkejut.
Kakek pengemis itu membawa Lun-ongya? Kurang ajar.
Maka pura-pura menyingkir dan lenyap lagi maka iapun memutari pulau berkelebat ke belakang.
Ke mana lagi kakek itu kalau tidak ke sana.
Hwa-i Kai-pangcu lega.
Kakek ini girang bahwa ancamannya berhasil.
Ia mempercepat larinya sementara Pak Han berseru di belakang.
Ia menoleh dan melihat pemuda itu mengepal tinju, tertawa dan berkelebat melihat pantai akan tetapi berdesir tak ada perahu.
Perahunya lenyap.
Dan ketika ia tertegun dan saat itu muncullah si bajak sungai, ia berseri lagi mendadak berkelebat bayangan tinggi besar dan tahutahu dengan amat cepatnya ia diserang dari samping.
"Lepaskan Lun-ongya atau kau mampus!"
Kakek ini kaget bukan main.
Ia hendak berteriak memanggil temannya ketika muncullah Lui-ciang Pak Ju si jago tua.
Lawan yang lihai itu mencengkeramnya sementara tangan yang lain menghantam muka.
Kuat dan cepat sekali ia diserang.
Dan karena tak ada waktu menangkis ataupun mengelak, ia melempar tubuh bergulingan mendadak jago tua itu menggerakkan kaki dari bawah dan...
dess, iapun ditendang dan menjerit serta terlepaslah tawanan.
Kejadian begitu cepat.
"Bagus, harap ongya tidak jauh dari kami dan biar puteraku menerimamu. Awas!"
Jago tua itu sudah menyambar dan menangkap sang pangeran dan tibatiba Lun-ongya dilontarkan ke arah Pak Han.
Saat itu pemuda ini memang sudah mendekat dan melihat ayahnya itu, juga Cao-ciangkun yang membentak dan menyerang si bajak sungai Lo Yung.
Maka ketika ia tertawa girang menangkap atau menerima pangeran itu, lembut namun ku at maka Lun-ongya mengeluh namun sepasang matanya berseri dan gembira bahwa seorang pemuda gagah menangkapnya.
"Terima kasih,"
Pangeran itu berkata halus.
"Akan tetapi lepaskan aku, kong-cu. Biar aku berdiri dan tak usah kaugendong."
Pak Han tergetar dan cepat menenangkan guncangan hatinya oleh pandang mata dan sikap serta kata-kata halus itu.
Sang pangeran memang teramat halus na mun pandang matanya amatlah tajam, de mikian tajam dan mengandung magnit yang khusus hingga jantung di dada Pak Han berdebar.
Entahlah, pandang mata i-tu aneh dan ganjil, terkesan mesra dan ingin bercumbu! Maka ketika pemuda ini melengos dan semburat merah, ia cepat mengalihkan pandang matanya pada Hwa-i-kai-pangcu ternyata pengemis itu membentak ayahnya dan marah sekali.
Tawan an lolos gara-gara jago Se-kiang ini.
"Keparat, licik dan curang. Kau tak jantan menyerang orang, Lui-ciang Pak Ju, akan tetapi aku tak takut padamu dan terimalah ini... wut-wut!"
Tongkat di keluarkan dan langsung saja kakek itu menyerang lawannya.
Ia bersuit dan mun cullah empat sutenya yang lain, berkelebat namun dihadang Pak Han dan adiknya serta Pak Swi, juga Un-ciangbu yang cepat memanggil pasukan melihat banyak nya orang-orang di situ.
Dan ketika tempat ini menjadi ramai oleh bentakan dan benturan senjata tajam, atau tongkat dan dayung yang riuh-rendah maka di mana-mana datanglah pengawal Cao-ciangkun yang disiapkan tersembunyi.
Sesungguhnya Ang-bi-to telah diperketat sejak akan da tangnya tawanan istimewa.
"Tangkap dan robohkan mereka, yang melawan bunuh!"
Cao-ciangkun sudah begitu gemas kepada orang-orang ini karena semua itu bakal membahayakan tugasnya.
Kalau belum apa-apa ia sudah diganggu dan diteror orang-orang ini, ia ba kal berkurang kekuatannya untuk malam nanti maka ia memerintahkan agar pasukannya menangkap atau membunuh orang-orang itu, terutama para bajak sungai pimpinan Lo Yung.
Sang bajak berkumis tebal terkejut.
Ia telah datang bersama Hwa-i Kai-pangcu dan lain-lain di belakang pulau ini, maksudnya tentu saja ingin mengail di air ke ruh.
Ia dan Hwa-i Kai-pang memang bersahabat.
Akan tetapi setelah Cao-ciangkun muncul dan celakanya perahu mereka tak ada, kelabakanlah pimpinan bajak sungai ini maka ia mendengar jeritan anak buahnya tertusuk Un-ciangbu.
Wajahnya menjadi pucat.
"Cari daun dan lajukan di atas telaga. Angin ribut terlampau berbahaya!"
Tak ayal lagi pimpinan bajak itu mengeluarkan kata-kata sandi.
Ia memerintahkan anak buahnya menemukan perahu mereka, lari dan mencebur ke laut karena Caociangkun dan lain-lainnya amatlah berbahaya.
Dan ketika anak buahnya ada yang mengerti dan mencari perahu, menemukan itu maka mereka melempar ini ke pantai dan ganti berteriak pada pimpinannya.
"Daun telah ditemukan, siap melaju!"
Lo Yung sang pimpinan bajak girang.
Ia tiba-tiba sudah didesak begitu hebat oleh Cao-ciangkun dan tentu saja gugup.
Saat itu tiga perahu telah dilempar ke air.
Maka menghantamkan dayungnya sekuat tenaga dan Cao-ciangkun terhuyung tiba-tiba lelaki ini memutar tubuhnya dan...
tak perduli lagi kepada Hwa-I Kai-pangcu.
"Heii!"
Sang pengemis berteriak.
"Bantu aku, Lo Yung. Kita bersama-sama ke tempat ini!"
Sang bajak pura-pura tak mendengar.
Ia telah berjungkir balik ke perahunya se mentara anak buahnya mendayung cepat.
Pekik dan suitan terdengar di sana-sini.
Lalu ketika ia meninggalkan pulau semen tara sang pengemis melotot lebar maka saat itulah Lui-ciang Pak Ju menghantam pengemis ini.
"Desss!"
Hwa-i Kai-pangcu terlempar dan terbanting bergulingan dan tentu saja ia mengeluh.
Dicaci-makinya bajak sungai itu.
Akan tetapi ketika empat sute-nya berkelebat dan jarum serta piauw (pi sau gelap) berhamburan ke tubuh jago Se kiang itu maka pengemis ini ditolong su-tenya dan kabur meninggalkan pertempur an.
Satu dari tiga perahu dirampas pengemis-pengemis Hwa-i Kai-pang ini.
"Suheng, tak perlu cemas. Kita masih dapat melarikan diri!"
Kakek itu girang.
Ia terpincang dan lari cepat dibantu sute-sutenya.
Sekali lompat akhirnya melayang pula di perahu yang disediakan.
Lalu ketika semua mendayung sementara para murid dan yang lain terkejut ditinggal pimpinannya maka mereka inilah yang menjadi korban.
Lui-ciang Pak Ju akhirnya mengibas atau me runtuhkan semua senjata gelap dengan ke dua tangannya yang hebat.
"Tangkap dan robohkan mereka. Bunuh kalau melawan!"
Habislah nyali orang-orang ini mendengar seruan itu.
Mereka bukanlah lawan jago tua ini maupun Cao-ciangkun.
Apa boleh buat melempar senjata dan cepat-cepat minta ampun, yang lain cerai9 berai dan entah lari ke mana, tentu ke hutan dan beberapa saja masih membawa tawanan.
Dan ketika mereka itu ditangkap dan dijadikan tawanan, Caociangkun marah sekali maka orang-orang ini dijebloskan di sebuah barak berdesak-desakan.
Enampuluh orang menyerahkan diri tapi sebagian besar orang-orang tak berguna, bukan para tokoh atau pimpinannya.
"Besok tenggelamkan saja ke laut, biar dimakan hiu!"
Cao-ciangkun melepas marahnya dengan ancaman mengerikan.
Tentu saja orang-orang itu ketakutan Akan tetapi ini sebenarnya hanya gertak kosong, lebih sekedar melepas jengkel da ripada sungguh-sungguh.
Dan ketika mere ka itu merintihrintih dan minta tobat un tuk menjadi budak, jangan dibunuh akhirnya Un-ciangbu menendangi orangorang itu dengan gemas.
Siluman Rase Souw Tat Kie Karya Siao Shen Sien Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id