Ceritasilat Novel Online

Mencari Busur Kumala 13


Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 13


meluap.

   Persoalan ini lebih penting daripada pemuda itu.

   "Serahkan dulu tawananku itu atau kau mampus. Aku tak perduli orang lain dan jangan mengalihkan perhatian!"

   "Tunggu!"

   Laki-laki ini mengelak.

   "Aku akan menyerahkannya baik-baik asal permintaanku kau penuhi, Sia-tiauw-eng-jin. Bunuh penghuni Liang-san dan kita bersatu-padu!"

   "Aku tak perlu bersekutu untuk membunuh musuh-musuhku. Apa urusanmu dengan Liang-san dan kenapa membawa-bawa aku!"

   "Eh, kau tak ingat peristiwa empat-puluh tahun lalu itu? Kau tak ingat betapa Dewa Mata Keranjang mengeroyokmu dan akhirnya membuatmu roboh? Sungguh menggelikan, rupanya kau takut. Ha-ha, kalau begitu kau takut, Sia-tiauw-eng-jin. Kau takut kepada penghuni Liang-san yang pernah merobohkan mu!" Kakek ini memekik marah sementara Tan Hong tiba-tiba terkejut. Ia berdebar dan tegang oleh katakata orang bertopeng itu ketika tiba-tiba seseorang menyerangnya dengan cepat. Serangkum angin dingin menyambar dari belakang dan isterinya berteriak. Seorang kakek berkepala gundul menyerang. Namun ketika ia cepat membalik dan mendorong isterinya ke kurtan, secepat kilat menangkis atau menyambut pukulan kakek itu maka Tan Hong terkejut betapa wajah yang amat dikenal menyeringai dan berteriak tertahan.

   "Dukk!"

   Kakek itu, lawan yang curang ini tibatiba terlempar.

   Tan Hong tertegun dan membelalak kan mata namun isterinya melengking.

   Kiok Eng membentak dan melompat maju.

   Akan tetapi ketika pemuda ini menahan isterinya dan kakek itu bergulingan meloncat bangun, tergelak-gelak maka pemuda ini mengerutkan kening dengan mata berkilat.

   "Siang Lun Mogal, kau kiranya yang menyerang puteraku tadi. Pergilah dan jangan main-main di sini atau nanti kuhajar!"

   "Ha-ha-heh-heh-heh. Kau anak kecil bermulut besar, anak muda. Siapa takut padamu dan kenapa harus pergi. Aku pergi kalau Cit Kong bersamaku. Ayo kembalikan atau kalian berdua kubunuh!"

   Tan Hong berkelit dan mengelak ketika kakek ini menyerang dan menubruknya.

   Ia harus mendorong dan menyuruh isterinya menjauh ketika kakek itu semakin keras lagi.

   Kakek ini mengeluarkan Ang-mokangnya yang hebat itu.

   Namun ketika ia menangkis dan kakek ini terpental, heran dan kaget maka Kiok Eng melengking dan tiba-tiba menerjang tak tahan.

   "Inilah biang keladi semua kejahatan itu. Kebetulan sekali kalau ia di sini, Hong-ko. Inilah penculik anak kita dan pembunuh nenek May-may!"

   "Ha-ha, majulah, kutangkap dan akan kuroboh kan kau nanti. Nenek itu memang telah kubunuh, Tanhujin, dan sekarang giliranmu menyusul. Akan tetapi akan ku telanjangi dan kupermainkan kau nanti. Ha ha, kau dan suamimu ini tak mungkin me ngalahkan aku. Ayo maju dan mari kurobohkan... plak-duk!"

   Nyonya itu menjerit dan terpelanting ketika kakek ini menangkis dan tertawa-tawa.

   Memang Tan-hujin masih bukan lawannya meskipun tak semudah dulu ia merobohkan wanita ini.

   Akan tetapi karena ia memiliki sinkang kuat dan betapapun semuanya ini cukup merepotkan lawan, nyonya itu terbanting maka kakek ini menantang dan menganggap Tan Hong seperti dulu juga.

   Hanya Fang Fang yang ditakutinya.

   Akan tetapi bayangan putih menyambar dan angin bersiut menghantam kepalanya.

   Tiba-tiba Tan Hong berkelebat dan membentak kakek ini.

   Dan karena masih tak percaya dan penasaran akan tangkisan tadi, kakek ini berseru keras maka ia menangkis dan bahkan menyambut.

   "Kau anak muda tak tahu diri. Hayo mundur atau aku membunuhmu... dukk!"

   Siang Lun Mogal berteriak kaget ketika tiba-tiba untuk ketiga kalinya ia terlempar.

   Bukan hanya terlempar melainkan juga terbanting! Maka ketika kakek itu berseru keras dan baru percaya, pucat bergulingan meloncat bangun maka ia terbelalak memandang pemuda itu.

   "Kau...?!"

   Akan tetapi Kiok Eng menerjang.

   Nyonya ini marah sekali oleh ke licikan dan kecurangan kakek ini.

   Sekarang sudah diketahuinya siapa sumber petaka di tengah keluarganya itu.

   Garagara kakek inilah ia ribut-ribut dengan Beng Li dan nenek May-may.

   Gara-gara kakek inilah hubungan keluarga pecah.

   Maka ketika melengking dan mendesingkan tangan pedangnya, Kiam-ciang berkelebat sementara suaminya ada di situ maka wanita ini tak kenal takut dan wajahnya bahkan beringas.

   "Kau boleh sombong dan memandang rendah kami. Akan tetapi hari ini aku akan membalas dan membunuhmu!"

   Kakek itu mengelak.

   Ia masih kaget dan pucat oleh pertemuan tenaga tadi.

   Apa yang dirasakannya dari putera Dewa Mata Keranjang ini sungguh mengejutkan.

   Sinkang (tenaga sakti) yang hebat membuat ia ngilu dan seakan retak-retak! Maka ketika ia mengelak dan masih terus menghindar seranganserangan Tangan Pedang yang hebat, Kiok Eng melengking-leng-king dan mengejar serta terus menyerangnya maka kakek itu melotot ke arah Tan Hong bagai melihat hantu.

   Akan tetapi apa yang dilakukan kakek ini justeru membuat sang nyonya bertambah gusar.

   Kakek itu mengelak dengan sama sekali tak menoleh sedikitpun.

   Pandang matanya masih lekat kepada suaminya.

   Maka ketika wanita itu memekik dan mengelebatkan rambutnya, barulah kakek itu terkejut maka nyaris pipi kiri kakek ini tersambar.

   "Tar!" Siang Lun Mogal mulai marah. Ia menggeram dan melotot memandang nyonya itu namun sang nyonya sudah beterbangan mengelilingi. Wanita ini meledakkan rambut dan Tangan Pedangnya bertubitubi. Dan ketika kakek itu mulai menangkis dan melepas Ang-mo-kangnya, pukulan Katak Merah ini membuat perutnya mengeluarkan bunyi kok-kok-kok maka wanita itu terpental akan tetapi nyonya ini menerjang dan menyerang kembali ka rena suaminya ada di situ. Tan Hong mengerutkan kening. Ia tiba-tiba bertemu Siang Lun Mogal di sini. Tiba-tiba ia menjadi marah akan tetapi laki-laki bertopeng itu membuatnya lebih waspada. Sejenak ia memandang isterinya dan kembali berkerut. Tidak aneh kalau isterinya terdesak, kakek itu memang hebat. Dan ketika tiba-tiba isterinya terpekik oleh satu dorongan Ang-mo-kang, terlempar dan berjungkir balik akhirnya ia bergerak dan sepasang kakinya tahu-tahu menyambar dagu kakek ini disertai bentakan.

   "Siang Lun Mogal, pergi dan enyahlah atau aku menghajarmu!"

   Kakek itu terkejut.

   Siang Lun Mogal terkekeh ketika nyonya itu terlempar dan bergulingan, la mengejar dan berkelebat dan kedua tangannya tibatiba mencengkeram, bukan ke bahu nyonya itu melainkan ke bokongnya.

   Sekali kena tentu ia akan tergelak-gelak dan mengangkat bokong nyonya itu dengan cara menghina.

   Akan tetapi ketika tiba-tiba sepasang ka ki menyambar bergantian ke dagunya, cepat sekali maka kakek ini terkejut dan otomatis membalik dan menangkis serang an kilat itu.

   "Duk-bress!"

   Kakek ini tetap terlambat dan ia menjerit serta terbanting dengan amat kagetnya.

   Tahu-tahu dagunya terangkat naik dan tendangan bagai halilintar mengenainya, la merasa rahangnya bagai pecah.

   Maka ketika kakek itu bergulingan dan kaget sekali, sadarlah dia bahwa Tan Hong ada di situ maka kakek ini menjadi marah bukan main den tibatiba memekik dengan amat buasnya.

   "Keparat, jahanam terkutuk. Kubunuh kau!"

   Kiok Eng sudah ditolong suaminya dan wanita ini merah padam dengan mata berapi-api.

   Tentu saja ia akan terhina dan malu sekali apabila tadi kakek itu berhasil mencengkeramnya.

   Bokongnya ba kal diremas-remas dan entah apalagi yang akan dilakukan kakek itu.

   Sungguh kurang ajar.

   Akan tetapi ketika ia mendesis dan hendak menerjang lagi, dicekal dan didorong suaminya maka Tan Hong berkelebat mencegah isterinya.

   "Biarkan aku yang menghadapinya dan kau jagalah Cit Kong. Kakek ini tak akan mundur kalau belum menerima pelajaran!"

   Memang benar, Siang Lun Mogal memekik dan sudah menubruk pemuda itu.

   Marah dan kaget oleh tendangan yang mengenai dagunya membuat kakek ini gusar sekali.

   Selama ini hanya Dewa Mata Keranjang atau Fang Fang yang mampu mengalah kannya.

   Murid-murid Liang-san, termasuk pemuda ini tidaklah masuk hitungan.

   Maka ketika ia menubruk dan begitu marah, Tan Hong berkelit dan menampar dari samping tiba-tiba kakek itu kehilangan lawan dan...

   plak, tamparan amat keras membuat ia terbanting dan berteriak kaget lagi.

   "Kau telah mengacaukan rumah tangga orang dan menambah dosa lagi. Marilah kuberi pelajaran, Siang Lun Mogal. Terima pukulanku dan tamparanku ini...plak-dess!"

   Sang kakek menjerit dan bergulingan ketika tiba-tiba tamparan dan pukulan mendarat lagi di pipinya.

   Empat kali ia menerima serangan dan empat kali itu pula ia kaget setengah mati.

   la me ngelak dan sudah bergulingan akan tetapi pemuda itu tiba-tiba lenyap.

   Yang ia rasakan ialah rasa sakit yang tahu-tahu mengenai pipinya.

   Empat kali ia ditampar pulang balik.

   Dan ketika kakek itu kaget dan marah sekali, melengking dan membentak mengeluarkan Hoat-lek-kim-ciong-konya tiba-tiba ia berseru sambil mencabut kancing bajunya, melempar atau menyambitkan itu kepada pemuda itu.

   "Bocah she Tan, kau jahanam keparat. Lihat pembalasanku dan apakah harimau ini mampu kauhadapi!"

   Seekor harimau tiba-tiba mengaum dan membuka mulutnya di depan pemuda itu ketika kancing baju ini berubah ujud.

   Dengan kesaktiannya dan tenaga batin yang hebat kakek ini mendorong mundur lawan, la mengerahkan Hoat-lek-kim-ciongkonya itu dan ilmu sihir bercampur ilmu pukulan ini menghantam Tan Hong.

   Kiok Egg sendiri menjerit betapa seekor harimau buas tiba-tiba berada di depan suaminya.

   Kancing baju itu menyambar amat cepat dan tiba-tiba menyerang pemuda ini, berubah menjadi seekor harimau raksasa bergigi pedang.

   Akan tetapi karena Tan Hong bukanlah pemuda tujuhdelapan tahun lalu, pemuda ini sudah memiliki kesaktian tinggi dengan tapanya yang luar biasa maka pemuda itu mengebut dan tiba-tiba seruannya membuat kakek ini terbelalak.

   "Mainan seperti anak-anak ini tak berguna di depanku.

   Kembalilah, Siang Lun Mogal, lihat harimau mu menyerangmu sendiri!"

   Kakek itu berteriak membanting tubuh.

   Harimau jejadiannya tiba-tiba membalik, tidak berubah kancing baju lagi melainkan harimau juga.

   la sampai kaget dan terpekik karena sekarang dialah yang tersihir.

   Kancing bajunya itu terlihat bagai harimau sungguhan, tanpa ia mampu menolak atau menyangkalnya balik.

   Maka ketika ia membanting tubuh dengan seruan keras, ia harus menggosok matanya untuk memulihkan pengaruh sihirnya itu maka harimau itu meluncur terus dan...

   menabrak pohon untuk akhirnya lenyap dan amblas di batang yang kokoh dan gemuk itu.

   Kancing baju itu kembali semula dan menancap lenyap di kulit pohon yang keras.

   "Ahh!"

   Siang Lun Mogal sudah meloncat bangun dan kakek ini menggosok-gosok matanya.

   Ia seakan tak percaya bahwa sihirnya dilontar balik pemuda itu.

   Bahkan, hebatnya, ia tak mampu melawan balasan sihir itu hingga melihat kan cing bajunya sebagai harimau sungguhan.

   Luar biasa! Akan tetapi karena kakek ini terkejut dan marah serta penasaran, ia sungguh tak percaya pemuda ini sudah demikian hebat maka ia mengeluarkan teriakan panjang dan tiba-tiba dengan cara kasar dan cepat ia menyambar kembali ke depan.

   Kini kesepuluh jarinya tiba-tiba lepas dan keluarlah bentakannya yang hebat itu, bentakan Hoat-Iek-kim-ciong-ko lagi.

   "Anak muda, kau tak mampu mengalahkan aku. Ada sepuluh Siang Lun Mogal di sini!"

   Kiok Eng kembali menjerit.

   Nyonya ini tiba-tiba melihat sepuluh Siang Lun Mogal berkelebatan menyambar suaminya.

   Sepuluh jari-jari itu lepas dengan sendirinya dan kini berubah menjadi kakekkakek gundul yang amat buas dan ka sar sekali.

   Akan tetapi ketika Tan Hong mengebut dan kedua lengan bajunya meniup lebih cepat maka bentakan pemuda itu membuat nyonya ini bengong.

   "Siang Lun Mogal, biarlah teman-temanmu ini menyerangmu sendiri!"

   Kakek itu kaget.

   Ia mengerahkan delapan bagian Hoat-lek-kim-ciong-konya dengan amat penasaran.

   Ia memang masih tak percaya dengan kejadian pertama tadi.

   Akan tetapi ketika untuk kedua kalinya ia melihat kenyataan dan betapa ia terjebak sihirnya sendiri, kini sepuluh "temannya"

   Itu menyambar dan menyerang dirinya maka kakek ini membanting tubuh bergulingan namun terdengar suara robekan ketika wajah dan tubuhnya tersambar benda-benda kecil yang ternyata merupakan kukunya sendiri.

   "Cret-cret!"

   Siang Lun Mogal mengeluh dan menjadi pucat ketika meloncat bangun dan terhuyung di sana.

   Ia tadi melepaskan kuku-kuku jarinya dan saking cepatnya seolah jari-jarinya sendiri.

   Kini bendabenda itu menyambar dan menggores tubuhnya.

   Luku di pipi dan dahi mengeluarkan darah.

   Dan ketika kakek itu menjadi kaget dan pucat serta jerih, barulah sekarang ia mengenal gentar tiba-tiba kakek ini mengeluh dan...

   membalikkan tubuh melarikan diri.

   "Jangan lari!"

   Kiok Eng tiba-tiba membentak dan berseru.

   "Kau telah mem bunuh nenek May-may, Siang Lun Mogal. Bayar hutang jiwa itu dan jangan lepaskan dirimu. Pengecut!"

   Akan tetapi kakek ini menyambar daun-daun di sekitarnya.

   Bentakan dan serangan nyonya itu ditangkisnya.

   Ia membuat daun-daun itu meluncur dan menampar.

   Dan ketika sang nyonya terhuyung dan Tan Hong cepat menyambar lengannya maka pemuda inilah yang mencegah isterinya itu.

   "Yang kita cari dan butuhkan adalah Busur Kumala.

   Biarkan ia pergi karena di lain waktu masih banyak kesempatan!"

   Akan tetapi tiba-tiba berkesiur angin dahsyat.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bersamaan dengan perginya kakek itu mendadak serangkum pukulan kuat menghantam pemuda ini.

   Tan Hong terkejut karena isterinya di belakang.

   Kalau ia mengelak tentu isterinya itulah yang kena, padahal pukulan ini amat dahsyat.

   Maka membalik dan melihat siapa penyerangnya tiba-tiba pemuda itupun membentak sambil mengerahkan Pek-in-kangnya (Dorongan Awan Putih).

   "Siapa berbuat curang!"

   Dan benturan menggelegar amat keras.

   Pek-inkang bertemu uap hitam dan Tan Hong tiba-tiba terpelanting.

   Karena tergesa dan amat terburu-buru maka pemuda itu berseru tertahan.

   Ia kalah kuat dan terbanting.

   Dan ketika isterinya juga terlempar dan berteriak di sana, untunglah pukulan itu sudah tertahan tangkisan Tan Hong maka nyonya ini hanya terlempar bergulingan dan meloncat bangun.

   Akan tetapi Tan Hong dikejar dan disusul penyerang cepat yang tak kenal ampun ini.

   Kiranya dia adalah lelaki bertopeng yang tadi bertanding dengan kakek sakti Sia-tiauw-eng-jin.

   Begitu melihat kakek gundul melarikan diri mendadak lelaki ini mencelat meninggalkan lawannya.

   Ia menghantam Tan Hong dengan pukulan uap hitamnya.

   Akan tetapi ketika Tan Hong hanya terbanting dan sudah berdiri tegak lagi, terbelalak dan menggoyang kepalanya yang sedikit pusing maka pemuda itu terkejut betapa lawan yang menyerangnya ini adalah laki-laki bertopeng yang tadi bertanding seru dengan Sia-tiau eng-jin.

   Dan pemuda ini semakin terkejut lagi betapa kedua lengan lawan sudah menghitam berkilauan, menyambar dan menebarkan bau amis dan ia mengerutkan kening.

   Dari benturan tadi dapatlah diketahui bahwa lawan lebih hebat dari Siang Lun Mogal.

   Lengan yang hitam itu seakan besi atau senjata yang amat kuat, berkilat dan menebarkan bau amis hingga perut terasa mual.

   Dan ketika tiba-tiba lawannya ini berkelebat dan melancarkan kembali pukulan itu, bentakannya menggelegar mengguncang isi hutan maka Tan Hong terkesiap betapa dari balik lengan yang hitam mengkilat ini menyambar pula benda-benda berkeredep menyusul serangan uap hitam itu.

   "Mo-tok-ciang (Lengan Racun Iblis)!"

   Tan Hong tiba-tiba berseru keras dan lawan tahu-tahu sudah berada di depannya.

   Mo-tok-ciang alias Lengan Racun Iblis ti ba-tiba saja muncul di situ.

   Lawan berto peng tertawa bergelak dan saat itu sinarsinar hitam melesat pula.

   Inilah hui-to atau golokgolok terbang yang amat berbahaya, di samping kecil dan amat tajam juga mengandung racun jahat yang bisa membuat nyawa melayang.

   Bau wangi yang menyambar bersamaan benda-benda kecil itu bukanlah jaminan, justeru bau ini membuat lawan lengah ketika melengak.

   Maka ketika pemuda itu menjadi kaget dan mengibaskan kedua lengannya ke depan, yang kiri penuh pukulan Pek-in-kang sementara yang kanan bergetar mengandung Im-biankang (Kapas Dingin) maka benturan hebat tak dapat dihindarkan lagi dan saat itulah dengan tiupan mulutnya pemuda ini menghalau golok-go lok terbang dengan pengerahan tenaga saktinya.

   "Dess-irak-trak-trak!"

   Golok-golok runtuh dan saat itu dua orang ini sama bergoyang-goyang, Tan Hong tetap dapat bertahan akan tetapi akhirnya lawan terdorong dan mundur selangkah.

   Mata di balik topeng itu membeliak namun tiba-tiba ada yang membuat Tan Hong lebih kaget lagi, yakni ketika tibatiba bayangan putih berkelebat dan Sia-tiauw-eng-jin menyambar.

   Dan karena perbuatan kakek ini benarbenar di luar dugaan dan tamparannya tepat mengenai tengkuk Tan Hong maka pemuda itu terbanting dan mengeluh.

   "Kau telah mewarisi kesaktian bapakmu, akan tetapi kau lancang mencampuri urusanku. Pergilah... duk!"

   Tan Hong tak mungkin mengelak dan saat itu sang isteri tentu saja marah sekali.

   Kiok Eng masih tertegun dan terbelalak oleh serangan laki-laki bertopeng terhadap suaminya.

   Ia baru saja meloncat bangun dan girang bahwa suaminya dapat memukul mundur lawan yang mencurigakan ini.

   Akan tetapi ketika tiba-tiba kakek itu berkelebat dan suaminya dipukul dari belakang maka nyonya ini marah sekali dan berkelebat menusuk kakek itu.

   Tangan Pedangnya terjulur lurus dan tepat sekali mengenai leher sebelah kiri.

   "Jahanam, pengecut dan curang. Kau tak seharusnya menyerang lawan yang baru beradu tenaga. Terimalah Kiam-ciang-ku... tak!"

   Akan tetapi leher sang kakek yang begitu liat dan keras ternyata membuat sang nyonya menjerit dan malah terbanting sendiri.

   Dan saat itu laki-laki bertopeng menyambar wanita ini.

   "Ha-ha, ia galak akan tetapi menyenangkan.

   Biarlah kita bawa dan kelak kita jadikan jaminan!"

   Saat itu Kiok Eng tak mungkin berkelit apalagi menangkis.

   Ia masih terbanting dan terkejut oleh sinkang kakek sakti itu.

   Tangan Pedangnya sia-sia.

   Maka ketika lawan berkelebat dan menotok ser ta menyambarnya maka iapun mengeluh dan saat itulah Tan Hong baru saja terhuyung bangun mendengar jerit puteranya.

   "Ayah!"

   Sia-tiauw-eng-jin berkelebat.

   Tiba-tiba kakek ini terkekeh dan entah apa sebabnya mendadak ia menyambar anak laki-laki itu.

   Tan Hong terbelalak dan kaget sekali.

   Ia baru saja menerima pukulan lawan dan hantaman kakek itu.

   Isterinya di sambar dan kini puteranyapun ditangkap.

   Laki-laki bertopeng berkelebat memutar tubuh lalu meninggalkan tempat itu.

   Dan ketika kakek ini juga menyambar puteranya dan sia-sia Cit Kong berkelit, tertotok dan roboh pula mendadak kemarahan yang sangat membuat darah pemuda ini mendidih.

   "Sia-tiauw-eng-jin, kau kakek buruk tak tahu malu!"

   Tan Hong mencelat dan tiba-tiba kesepuluh jarinya berkejotok.

   Bersamaan itu berkesiur angin dahsyat, lengan terkembang dan tahu-tahu mencengkeram tengkuk kakek ini.

   Dan ketika kakek itu terkejut akan tetapi terkekeh membalik, ia sudah berkali-kali bertemu tenaga maka ia sama sekali tak menduga bahwa di saat seperti itu Tan Hong mengerahkan segenap kekuatannya dan hawa amarah yang amat besar membuat sinkang di tubuh pemuda ini meningkat.

   "Desss!"

   Sia-tiauw-eng-jin mencelat dan terbanting untuk kemudian berteriak panjang.

   Kakek ini merasakan betapa kuatnya cengkeraman pemuda itu.

   Ia menangkis dan menjulurkan lengannya akan tetapi kuku-kuku jari pemuda itu tiba-tiba terbenam.

   Ia kaget setengah mati ketika betapa kekebalannya tembus.

   Cengkeraman pemuda itu amat kuatnya hingga ia kaget setengah mati.

   Kalau Cit Kong tak terlempar dan terlepas darinya mungkin kesepuluh jari-jari pemuda itu masih mencengkeram.

   Terasa oleh kakek ini betapa tulang lengannya seakan remuk.

   Daging dan kulitnya terkupas.

   Maka ketika kakek itu kaget setengah mati akan tetapi saat itu pemuda itu melepaskannya un tuk menyambar puteranya maka kakek ini bergulingan meloncat bangun dan ngeri betapa hampir saja ia dibinasakan pemuda ini.

   Terasa olehnya betapa sinkang pemuda uh di seluruh "Bedebah!"

   Kakek ini pucat.

   "Kau melukai lenganku, Awas lain kali kubalas dan biarlah sekarang kutinggalkan dulu dirimu!"

   Tan Hong tak perduli.

   Memang kan mendapat U ketika mencelat dan genta sen iga yang amat hebat n menyambar kakek i-a bergetar oleh hawa rasanya dapat dicengkram khawatir dan marah o-jv t eranya tadi.

   Ia be-mbunuh kakek itu kain Cit Kong.

   Maka ke amat dan saat itulah apat bergerak lagi ma idine dan berseru letu.

   Seluruh tubuh sinkang dan apppi keram remuk.

   !n leh tertangkapnya nar-benar aknn n lau tidak melepas tika puteranya s anak laki-laki ini ka Cit Kong me mah.

   "Ibu...!"

   Pemuda itu sadar.

   Sia-tiauw-eng-jin tiba-tiba menghilang dan hutan kembali gelap-pekat.

   Ledakan terdengar di sana-sini dan bau busuk menyusul hebat.

   Akan tetapi ketika pemuda ini menjejalkan obat penawar dan menyuruh puteranya merangkui lehernya maka pemuda itu berkelebat dan membentak.

   "Tikus busuk, kembalikan isteriku!"

   Akan tetapi lawan menghilang. Hutan tiba-tiba gelap kembali dan saat itu muncul dua bayangan berkelebat. Tan Hong menyangka kakek dan lawannya itu. Maka mendorong dan melepas pukulannya ia pun tak perduli lagi.

   "Heiii...!"

   "Tan-siauwhiap!"

   Tan Hong kaget.

   Ia terlanjur melepas pukulannya ketika dua orang itu tiba-tiba berteriak.

   Mereka adalah Kui Yang dan Kang Hu.

   Akan tetapi ketika dua orang itu melempar tubuh ke kiri dan pukulan menghantam pohon maka terdengar suara berderak ketika pohon itu roboh dan dua muda-mudi itu bergulingan pucat, meloncat bangun.

   "Tan-siauwniap, ini kami berdua!"

   "Maaf,"

   Tan Hong sadar dan mengangguk.

   "Mereka menculik isteriku, Kang Hu. Aku harus mengejar dan menangkap mereka. Tak ada apa-apa lagi di tempat ini. Mereka keluar!"

   "Penculik-penculik itu?"

   "Maksudku satu di antara penculik, ia innya adalah Sia-tiauw-eng-jin kakek keparat itu. Iapun hampir saja membawa puteraku Cit Kong!"

   "Ah, tadi kami bertemu Siang Lun Mo gal. Akan tetapi kami akan membantumu dan kenapa kakek itu hendak menculik Cit Kong pula."

   "Aku tak tahu, akan tetapi kedua-dua nya sudah pergi. Maaf aku harus meninggalkan kalian mencari isteriku!"

   Tan Hong tak menjawab lagi dan tiba-tiba pemuda ini berkelebat pergi. Ia melihat dua mudamudi itu tak apa-apa dan menjadi lega. Akan tetapi ketika ia melesat dan pa sangan ini berseru memanggil maka Kang Hu dan Kui Yang menyusul.

   "Tan-siauwhiap, tunggu dulu. Di mana kira-kira penculik Busur Kumala pergi!"

   "Aku tak tahu. Hutan dibuatnya gelap dengan Ban-hwa-sin-hoat-sut. Hati-hati dengan keparat itu karena ia licik dan curang. Ia memiliki pula pukulan keii Mo tok-ciang!"

   "Mo-tok-ciang?" "Ya, maaf aku tak dapat menemani kalian lagi dan silakan cari di lain tempat!"

   Dua muda-mudi itu terbelalak ketika betapa dengan lengan kanannya tiba-tiba pendekar Liang-san itu mendorong-dorong uap hitam.

   Pek-in-kang mengebut dan membuyarkan kabut Ban-hwa-sinhoat-sut itu dan sebentar kemudian pendekar ini telah keluar dari hutan.

   Ia bergerak begitu cepat hingga tahu-tahu sudah di ujung bukit.

   Dan ketika dua mudamudi ini tertegun dan berhenti, mereka tak mampu mengejar pendekar itu maka keduanya menghela napas akan tetapi masing-masing berpegangan tangan dan tiba-tiba gadis ini terisak berkata.

   "Kita ikuti dan kejar dia. Bantu mencari isterinya yang diculik!"

   "Eh, bukankah kita mencari Busur Kumala?"

   "Tidak, enci Kiok Eng lebih penting. Aku terharu oleh sikapnya, Kang Hu, betapa Tan-siauwhiap lebih mementingkan isterinya daripada Busur Kumala. Ayo susul lagi dan kejar sebisanya!"

   "Akan tetapi..."

   "Eh!"

   Gadis itu tiba-tiba berhenti, pandang matanva membuat Kang Hu ngeri.

   "Kau masih hendak cerewet seperti nenek bawel atau cepat membantu Tan-siauwhiap mencari isterinya? Apakah kalau akupun diculik orang kau tetap saja lebih mementingkan benda lain daripada isteri sendiri? Kalau begitu carilah Busur Kumala, Kang Hu. Biar kita berpisah dan aku membantu Tan-siauwhiap!"

   "Heii...!"

   Pemuda itu terkejut.

   "Tunggu aku, Kui Yang. Siapa bilang tak mau membantu dan membiarkan Tan-siauwhiap sendiri. Tentu saja akupun akan menyusul dan menemukan isterinya seperti juga a-ku tak akan perduli Busur Kumala kalau kaupun diculik orang!"

   Gadis itu melengos, pura-pura tak mendengar.

   Iapun pura-pura tak tahu ketika temannya ini sudah berada di sebelahnya.

   Akan tetapi ketika Kang Hu menyambar lengannya dan menyuruh berhenti, ia terkejut maka ia lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba pemuda itu sudah merangkulnya, mendekap dan mencium.

   "Kui Yang, kau tahu perasaanku kepadamu. Kalau kau sudah menjadi isteriku tentu saja semua persoalan tak akan kugubris lagi. Sekarangpun aku tak perduli Busur Kumala dan akan kucari serta kubunuh orang yang berani menculikmu!" "Ih, aku masih di sini, tak diculik!"

   "Benar, akan tetapi siapapun pengganggumu maka akan kulabrak dan kubunuh dia, biarpun dewa sekalipun!"

   Kang Hu su dah mendekap kekasihnya ini ketika gadis itu pura-pura menolak.

   Tanpa ragu-ragu lagi iapun sudah mendaratkan ciumannya yang mesra di kening, Kui Yang mengeluh.

   Akan tetapi ketika gadis itu mendorong kekasihnya dan mengingatkan akan Tan Hong maka pemuda itu mengang guk akan tetapi jari-jarinya masih menggenggam lengan gadis ini, erat.

   "Aku tahu, akan tetapi katakan dulu bahwa kau tak akan meninggalkan aku lagi. Dua kali kau membuatku bingung!"

   "Dua kali?"

   "Ya, pertama ketika kau memasuki hutan itu, Kui Yang, dan kedua adalah sekarang ini. Kau selalu membuatku cemas dan ketakutan apabila pergi begitu saja. Gadis ini tertawa, tiba-tiba geli. la melepaskan diri akan tetapi gagal ketika pemuda itu justeru berkerut dan penasaran kenapa ia tertawa. Kang Hu merasa ditertawakan. Dan ketika ia dibentak kenapa tertawa maka gadis ini membalik dan meloncat pergi, Kang Hu tentu saja terseret. "Aku tertawa karena memang tiba-tiba ingin tertawa. Apakah tidak boleh?"

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau mengejekku, bukan ketawa sekedar ketawa. Hayo katakan kenapa tertawa dan apa yang salah pada diriku!"

   "Kalau aku tidak mau bilang?"

   "Aku menghukummu, Kui Yang, tidak boleh pergi!"

   "Eh,"

   Gadis ini berhenti, tiba-tiba memutar tubuh.

   "Kau menghukumku dan tidak boleh pergi? Memangnya kepandaian-ku sudah begitu jauh di bawahmu? Hati-hati. Jangan sombong, Kang Hu. Aku dapat menyerangmu dan mengalahkanmu ka lau aku mau. Aku bukan orang yang mudah kauhukum!"

   "Ha-ha!"

   Sekarang ganti pemuda ini yang tertawa, malah tergelak.

   "Inilah yang kumaksud, Kui Yang. Kau tak mung kin pergi karena percekcokan ini menahanmu. Aku menghukummu bukan dalam arti menyakiti melainkan hukuman seperti inilah. Aku cinta padamu!"

   Lalu ketika pemuda itu menangkap dan memeluk kekasihnya, mencium dan melumat bibirnya maka Kui Yang tiba-tiba tersedak dan ka get akan tetapi bahagia, tertawa dan sadar bahwa ia dipermainkan pemuda ini dan tentu saja iapun menyambut.

   Bahkan digigitnya bibir pemuda itu dengan gemas.

   Dan ketika Kang Hu mengaduh namun tertawa, begitulah mereka bercanda maka gadis ini mendorong kekasihnya dan kali ini menampar pula pundak Kang Hu.

   "Kau selalu mengecoh dan memperma inkan aku. Nah, kita tak perlu bergurau lagi dan ingat enci Kiok Eng. Mari kita kejar Tan-siauwhiap dan bantu menangkap penculik isterinya!"

   Kang Hu tertawa dan mengusap bibirnya yang bekas digigit.

   Tentu saja iapun pura-pura mengaduh dan menggoda kekasihnya itu.

   Kui Yang akan menggigitnya sungguh-sungguh apabila ia tidak berteriak.

   Maka melompat dan mengejar gadis ini segera ia menyambar dan menggandeng lengan itu, mengerahkan ginkang dan sama-sama berlari cepat dan keduanya tersenyum-senyum.

   Kui Yang melirik sementara Kang Hupun membalas.

   Kalau saja tak teringat Tan-hujin (nyonya Tan) tentu suasana ini akan berlanjut semakin mesra.

   Mereka memang telah saling jatuh cinta dan selalu memberi dan menerima apa yang dibutuhkan masing-masing pihak.

   Dan karena Kang Hu dapat memaklumi perasaan gadis ini betapa Kui Yang menyamakan dirinya sendiri seperti Tan-hujin, bagaimana kalau diculik orang dan betapa gadis itu terharu oleh sikap Tan-siauwhiap yang menunjukkan kasih sayang dan perhatian besar maka pemuda ini menarik napas dalam-dalam dan selan jutnya iapun meremas jari-jari lembut hangat itu, membayangkan bahwa iapun pasti seperti pendekar Liang-san itu.

   Tak akan perduli lagi kepada Busur Kumala ka lau isteri diculik.

   Pasti akan dicari dan dihajarnya jahanam itu, bakal dibunuhnya dan tak akan diberi ampun.

   Maka ketika ia berendeng dan masing-masing sama mengerahkan ilmu lari cepat mereka maka tak terasa lagi mereka telah melewati bukit yang tadi dilalui Tan-siauwhiap.

   Dan ketika masih terlihat titik kecil di sana dan mereka mempercepat ilmu meringankan tubuh mereka maka dua mudamudi ini berkelebat menuruni bukit dan jurang-jurang lebar untuk akhrnya hanya tampak dua bayangan biru dan hijau yang saling berpegangan untuk akhirnya lenyap dan mengikuti jejak Tan Hong.

   Kiok Eng tak tahu apa yang terjadi setelah ia tertotok dan dirobohkan.

   Nyonya ini juga tak tahu betapa puteranya nyaris pula diculik Sia-tiauw-eng-jin kalau Tan Hong tak menyerang kakek itu.

   Akan tetapi ketika ia mulai sadar dan membuka kedua matanya, silau oleh sinar matahari di atas mukanya maka ia terkejut ketika ia merasa betapa tubuhnya bergerak36 gerak di atas pundak seseorang dan betapa bersamaan itu terdengar kekeh tawa yang amat dikenalnya.

   "Heh-heh, serahkan wanita ini dan biar kupondong. Kau pasti lelah, Omei-hud. Mari kita bergantian dan lihat Sia-tiauw-eng-jin menyusul kita. Kakek itu masih berbahaya untukmu!"

   "Tidak, kita masih terus melanjutkan perjalanan dan aku tak merasa lelah membawa wanita ini. Kau jugalah di belakang dan biar Sia-tiauw-eng-jin bersama kita, Mogal. Aku telah mempengaruhi kakek itu dan tak berapa lama tentu ia akan menjadi teman yang baik. Kita harus berhati-hati terhadap keluarga Liang-san yang lain dan juga sahabat-sahabatnya."

   "Uh, kau jngin merasakan lembutnya tubuh wanita? Kau masih seperti puluhan tahun lalu yang doyan paras cantik?"

   "Ha-ha, tak usah iri. Kaupun tua bangka yang tak pernah melewatkan daun-daun muda, Mogal. Akulah yang menangkap wanita ini dan aku pula yang berhak. Kita masih dapat menangkap anak cucu Dewa Mata Keranjang lainnya yang cantik-cantik. Nyonya ini tampaknya bagianku!" "Akan tetapi ia musuhku yang paling meng gemaskan. Puteranya menipuku dan mempermainkan aku!"

   "Ha-ha, tak usah sewot. Paling tidak kita dapat bergantian, Mogal, akan tetapi yang lebih dari itu adalah ia merupakan sandera yang amat penting. Kita dapat memaksa Liang-san untuk tunduk dan memenuhi tuntutan-tuntutan kita. Hmm...!"

   Kiok Eng hendak menggeliat ketika tiba-tiba orang yang membawanya ini menotok dan melumpuhkannya lagi.

   Kiranya orang telah tahu bahwa ia sadar dan membuka mata.

   Nyonya ini hendak berteriak dan melepaskan diri akan tetapi kalah dulu.

   Maka ketika ia mengeluh dan roboh kembali, Siang Lun Mogal terkejut maka kakek itu mendapat keterangan bahwa nyonya ini sudah siuman.

   "Ia hendak melompat dan melepaskan diri. Haha, untung keburu kutotok lagi!"

   "Hm, ia sadar? Kalau begitu berhenti dulu, Omei-hud. Biarkan ia melihat kita dan aku ingin menakut-nakutinya sebentar. Tentu kau tak keberatan kalau aku melampiaskan sedikit kedongkolanku ini!" Laki-laki yang membawa nyonya itu tergelak dan tiba-tiba ia mengangguk dan berkelebat ke kiri. Kiok Eng merasa kesiur angin dingin dan mendadak darahnya tersirap. Orang yang membawanya ini me lompat ke sebuah jurang. Dan ketika ia merasa melayang-layang akan tetapi kemudian tiba-tiba berhenti di tengah jurang yang licin bertebing-tebing, pohon-pohon besar berderet di kiri kanan namun bersamaan itu terdengar desis dan suara ular berbelitbelit maka nyonya ini seakan mati kaku betapa ia sudah berada di tengah ratusan ular-ular berbisa yang tiba-tiba menyibak dan berhamburan begi tu penculiknya ini datang.

   "Ha-ha, pergilah, anak-anak. Kami hendak beristirahat sejenak di sini!"

   Nyonya itu melotot. Penculiknya ini mengibas dan semua ular mencelat beter bangan. Besar kecil tumpang-tindih. Dan ketika bersamaan itu meluncur lah Siang Lun Mogal ke bawah jurang maka kakek ini berseru ngeri dengan seruan tertahan.

   "Omei-hud, kau tua bangka gila. Kenapa harus di sini!"

   "Ha-ha, tempat ini aman. Muridku menemukan nya bertahun-tahun, Mogal, dan Sia-tiauw-eng-jin barangkali akan sejenak kebingungan. Ayolah, bukankah kau ingin melampiaskan sakit hatimu sedikit kepada wanita ini. Asal tak berlebihan dan membunuhnya tentu kuijinkan!"

   Kiok Eng tiba-tiba dapat mengeluarkan suara dari tenggorokannya.

   Setelah ia dibawa terjun dan berada di tengah jurang ini maka ia hilang kagetnya.

   Masuknya Siang Lun Mogal membuatnya mendidih pula.

   Maka ketika ia memaki-maki namun tak dapat meronta di pundak penculiknya itu tiba-tiba ia dibebaskan dan tubuhnya dilemparkan ke atas.

   "Hujin, biar kita beristirahat sejenak di sini. Hayo turun dan jangan membuat pundakku pegalpegal!"

   Kiok Eng merasa mendapat kesempatan.

   Tibatiba ia dibebaskan dan tentu saja girang sekali.

   Akan tetapi lemparan itu begitu tinggi.

   Dan nyentuh bibir jurang, ia terpekik dan meluncur lagi ke bawah maka nyonya ini cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya berjungkir balik, tentu saja tak sudi berada di tengah dua laki-laki itu akan tetapi meluncur dan hinggap di dahan pohon yang tinggi yang menjulur di tengah tebing.

   Di bawahnya menganga udara gelap tanda betapa dalamnya isi jurang, hal yang membuatnya bergidik.

   Dan begitu ia berada di sini memandang ke bawah maka dibentaknya musuhmusuhnya itu.

   "Siang Lun Mogal, dan kau tikus busuk tak tahu malu. Hayo kembalikan aku kepada suamiku atau aku mengadu jiwa sampai titik darah terakhir. Kalian dua laki-laki pengecut yang tak tahu malu dan curang!"

   "Ha-ha-ho-ho-ho! Lihat dan saksikan betapa cantik dan gagahnya tawananku ini, Mogal. Ia tiada ubahnya kutilang berkicau yang merdu dan nyaring bunyinya. Lihat, ia mementangkan kaki menantang kita. Ha-ha, baru ini kutemukan wanita gagah perkasa yang jelita dan berani mati. Ah, patut benar menjadi cucu Dewa Mata Keranjang!"

   Kiok Eng marah dan berapi-api akan tetapi tibatiba tertegun memandang siapa penculiknya ini, lakilaki yang tertawa dengan amat girang itu.

   Ternyata dia adalah seorang hwesio berjubah hitam, gagah dengan kepala gundul seperti Siang Lun Mogal akan tetapi rasanya jauh lebih mengerikan.

   Sepasang mata berkilat men corong menatapnya kagum.

   Tawa yang di lancarkan itupun membuat dahan pohon berderakderak.

   Dan ketika hwesio itu bertepuk dan memanggilnya kuat mendadak dahan pohon yang diinjaknya patah dan tiba-tiba tanpa dapat ditahannya lagi ia terlempar dan jatuh ke tangan hwesio ini.

   "Tan-hujin, ke marilah dan jangan takut. Tinggalkan tempatmu!"

   Aneh, Kiok-Eng terjungkal dan roboh ke arah lawannya itu.

   Tepukan hwesio itu kiranya mengandung getaran mujijat membuat dahan yang diinjaknya pecah.

   Semacam ilmu pukulan dilancarkan hwesio berpakaian serba hitam itu.

   Dan ketika ia menjerit namun tentu saja tak mau tertangkap, ia mengelak dari sepasang telapak lebar yang siap menamanya itu mendadak hwesio ini mengebutkan ujurg lengan bajunya dan...

   hup, tanpa dapat dicegah lagi iapun tersedot dan ditangkap hwesio itu.

   Keadaannya bagaikan seekor burung pipit yang ditangkap sepasang tangan raksasa yang amat kuat dan lebar.

   "Ha-ha, cantik dan gagah. Benar-benar cantik dan gagah!"

   Wanita itu diusap dan dielus-elus tiada ubahnya seorang penangkap burung membelai-belai tubuhnya.

   Hwesio ini tergelak dan bersinar-sinar kagum sementara wanita itu menggeliat dan merontaronta.

   Ia berusaha melepaskan diri akan tetapi daya sedot amat kuat mengusapnya.

   Ia tak dapat mengelak atau menghindar ketika jari-jari hwesio itu membelai nya.

   Dan ketika hwesio ini tertawa-tawa namun akhirnya melepaskan tawanannya maka wanita itu dilempar dan dilepaskannya lagi ke atas.

   "Cukup, aku puas. Kembalilah ke tempatmu dan biar Siang Lun Mogal main-main denganmu!"

   Kiok Eng amat kaget dan marah serta malu bukan main oleh perlakuan yang baru saja dialaminya ini.

   Ia dielus-elus dan diusap bagai burung tak berdaya.

   Dirinya seperti pipit yang begitu ringkih dan lemah.

   Maka ketika ia merah padam dan menuding-nuding namun tak satupun suara yang keluar dari tenggorokannya, ia begitu marah sekali maka Siang Lun Mogal melompat dan tahu-tahu berkelebat di atas pohon yang dipakainya itu.

   Nyonya ini masih mendelik dan menuding-nuding hwesio berpakaian serba hitam itu.

   "Heh-heh, tak perlu memaki dan mengeluarkan tenaga tak berguna. Kau sudah di tangan kami, hujin, dan apapun da pat kami lakukan. Ayo menyerahlah baik-baik kepadaku dan barangkali akulah yang akan mintakan ampun agar rekanku Omei-hud tak perlu menawanmu lagi. Berilah hadiah cium dan kau akan kami bebaskan." "Keparat!"

   Wanita ini tiba-tiba menerjang, suaranya kini keluar.

   "Kau dan temanmu itu laki-laki iblis, Siang Lun Mogal. Kau atau aku yang mati atau aku terjun dan mampus di dasar jurang!"

   "Ha-ha,"

   Kakek ini berkelit, maju dan coba menangkap lengan akan tetapi sang nyonya membalik dan menyabetkan rambut.

   "Semakin ganas semakin menggairahkan, anak baik. Ingatlah ketika dulu kaupun periah menjadi tawananku. Jangan sombong dan mengira dapat mengalahkan aku!"

   Kiok Eng melengking dan berkelebatan serta menyerang bertubitubi.

   Dengan Sin-bian-ginkangnya yang hebat ia mengelilingi dan beterbangan di empat penjuru kakek itu.

   Tangan dan rambutnya tak berhenti bergerak.

   Kiam-ciang atau Sin-mau kang (Rambut Sakti) meledak-ledak.

   Akan tetapi ketika dengan enak kakek ini berkelit dan menangkis, ia terpental dan selalu terdorong maka wanita ini menjadi marah sekali dan akhirnya ia mencabut tusuk kondenya.

   "Mampuslah!"

   Akan tetapi Siang Lun Mogal terkekeh.

   Begitu ditusuk dan hiasan rambut ini menyambar matanya maka ia mengelak.

   Bersamaan itu tangan kirinya bergerak, jari telunjuk dan tengah menjepit.

   Dan ketika ia menekuk dan Kiok Eng terpekik maka senjata itu patah dan saat itu kakek ini menggerakkan tangan yang lain menangkap atau meraih pinggang yang langsing ini.

   "Bedebah!"

   Kiok Eng membuang tubuh dan berjungkir balik jatuh di bawah.

   Ia hinggap di dahan yang lebih kecil akan tetapi Siang Lun Mogal mengejar.

   Kakek itu meluncur turun dan balas menyerangnya.

   Dan karena berkali-kali terpental membuat nyonya ini pucat, Kiok Eng menggigit bibir maka nyonya tu balik berkelit dan akhirnya melompat atau menghindar dari dahan yang satu ke dahan yang lain, melengking dan memaki-maki dan tiba-tiba timbul niatnya untuk mendaki secara tak kentara.

   Banyak pohon-pohon di situ yang kedudukannya bagai tangga, kian ke atas kian kecil bentuknya.

   Dan karena ia tadi telah hampir mencapai bibir jurang namun gagal karena dilempar dan jatuh kembali ke bawah maka wanita ini mulai berpindahpindah dari pohon yang terbawah sampai pohon yang paling atas.

   Akan tetapi tiba-tiba ia melotot, begitu kurang dari sebatang pohon lagi dari bibir jurang mendadak terdengar desis-an.

   Belasan atau mungkin puluhan ular bergelantungan.

   Kalau ia nekat maka bukan dahan atau ranting lagi yang diinjak melainkan tubuh ular yang licin-licin itu, belum lagi serangan mereka yang tentu tak tinggal diam.

   Maka ketika ia memekik dan kaget serta marah, tiba-tiba dilihatnya hwesio itu melempar-lemparkan ular ke atas maka sadarlah dia bahwa po hon yang tadi bersih itu kiranya sengaja dipasangi kakek ini agar ia tak jadi naik dan hinggap di pohon itu.

   "Ha-ha, turun dan kembalilah lagi ke bawah. Kau tak akan dapat melarikan diri, anak manis. Kau harus menyerah baik-baik kepada Siang Lun Mogal. Hayo, akupun rasanya tak sabar!"

   Kiok Eng tiba-tiba begitu marah dan membentak kakek itu.

   Apa boleh buat ia terjun dan menghantam kakek itu, bukan hanya dengan sepasang Kiam-ciangnya akan tetapi juga gin-ciam atau jarum perak yang dipunyainya.

   Ia telah merogoh dan menghamburkan itu, juga kepada hwe sio berpakaian hitam di bawah.

   Tapi ketika Siang Lun Mogal mengebutkan lengan bajunya dan jarum-jarum itu terpental, runtuh dan jatuh ke dalam jurang makaj kakek ini menyambut sepasang Tangan Pedang dan seruannya membuat nyonya itu menggigit bibir dan nekat.

   Hwesio di bawah membiarkan jarum-jarum mengenai nya dan tertawa-tawa, runtuh tak berbekas.

   "Sekarang kau roboh dan jatuh di pelukanku. Mari menyerah!"

   Kiok Eng kaget.

   Ia sudah menduga bahwa jarum-jarum rahasianya tak bisa berbuat banyak terhadap kakek gundul ini.

   Akan tetapi karena ia nekat dan me-.

   ngerahkan seluruh sinkangnya, Tangan Pe dang menyabet deras maka ia kaget kare na kakek itu tiba-tiba berubah menjadi Tan Hong.

   Dalam detik yang amat cepat itu kakek ini mengerahkan Hoat-lek-kimT ciong-konya.

   "Eng-moi!"

   Nyonya ini melayang-layang.

   Dalam detik yang amat cepat mendadak seruan itu membuyarkan konsentrasinya.

   Suara Siang Lun Mogal yang lembut berubah menjadi suara Tan Hong, begitu pula wujudnya.

   Akan tetapi karena Kiok Eng yakin bahwa semua ini adalah pengaruh sihir, bisikan hati nuraninya tak dapat ditipu maka mendadak wanita ini melencengkan pukulannya dan menghempaskan diri ke samping, memberobot dan lolos di bawah ketiak kakek itu untuk akhirnya terjun ke dasar jurang! "Heiii...!" Siang Lun Mogal tentu saja tak menduga dan kaget sekali.

   Kakek ini sudah bersiap dengan mulut tersenyum lebar ketika sang nyonya mengeluh.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia melihat betul betapa pengaruh Hoat-lek-kim-ciongkonya bekerja.

   Akan tetapi ketika tiba-tiba nyonya itu memejamkan mata dan membuang diri, melenceng kan pukulan dan terjun ke samping maka ia tak dapat berbuat apa-apa dan hwesio baju hitam juga terhenyak di bawah.

   Dua-duanya sama kaget.

   Akan tetapi hwesio ini melempar jubahnya dengan cepat.

   Dalam saat yang amat kritis ia tiba-tiba membentak sambil mendorongkan kedua lengannya.

   Jubah melayang dkn menerima nyonya itu, tepat di bawah.

   Dan ketika jubah menggulung dan dihentak ke depan maka tenaga sakti hwesio ini menarik nyonya itu dan bagai terbawa kekuatan gaib tubuh wanita ini melayang dan ditangkap hwesio itu.

   "Bret!"

   Akan tetapi sang nyonya telah pingsan.

   Dalam saat yang begitu berbahaya dan membuatnya putus asa tiba-tiba nyonya ini menutup semua jalan darahnya.

   Ia telah mati sekejap sebelum benar-benar mati di bawah.

   Ia tak akan me rasakan apa-apa lagi jika terbanting dan remuk disambut batu-batu runcing di dasar jurang.

   Maka ketika sang hwesio menyelamat kannya dan tertegun betapa nyonya itu tak bernapas, Kiok Eng melakukan apa yang disebut Pi-khi-hu-beng (Tutup Hawa Serahkan Nyawa) maka nyonya itu bagai sebatang pohon pisang ketika di tangkap dan diterima hwesio ini.

   Siang Lun Mogal berkelebat dan turun berjungkir balik ke bawah.

   "Ia tak bernapas, jantungnya berhenti bekerja!"

   "Apa?"

   "Lihat, ia mati, Mogal, akan tetapi aneh dan ganjil sekali. Bukankah ia tak menerima pukulanmu!"

   "Benar, aku belum memukulnya. Aku hanya mengerahkan Hoat-lek-kim-ciong-ko dan justeru terkejut ketika tiba-tiba ia melempar tubuh ke samping!"

   Siang Lun Mogal juga terkejut dan membelalakkan mata ketika betapa iapun merasakan tubuh wanita ini tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dingin bagai batang pisang.

   Dan ketika ia tampak menyesal dan memandang khawatir maka ia cepat mundur berkata kepada rekannya yang tiba-tiba berubah sikap itu.

   Pancaran bengis muncul di wajah hwesio ini.

   "Tunggu, sabar. Liang-san memiliki ilmu-ilmu aneh yang tak kita ketahui. Aku benar-benar tak membunuhnya, Omei-hud. Ingat pemuda itu ketika dapat memasuki hutan rtrnmn_litan_ fagninpm melalui kulitnya VI "Maksudmu ia masih hidup?"

   "Aku tak mengatakannya begitu, akan tetapi..."

   Siang Lun Mogal berhenti ketika tiba-tiba terdengar suitan panjang pendek.

   Suitan ini bagai siulan burung memberi tanda, atau tikus hutan yang terpijak kesakitan.

   Dan ketika tiba-tiba hwesio berpakaian serba hitam itu berubah dan mencelat ke atas mendadak ia sudah melampaui tebing tinggi dan tahutahu berada di luar jurang.

   "Mogal, bantu aku dan cepat lari. Su-hengku di sini!"

   Siang Lun Mogal terkejut.

   Iapun berubah dan kelihatan gentar.

   Suitan itu berulang tiga kali dengan tergesa-gesa.

   Akan tetapi ketika ia berjungkir balik dan melewati tebing jurang mendadak terdengar bentakan dan Omei-hud, rekannya sudah menyerang seseorang di atas sana.

   "Suheng tak perlu mencampuri urusanku dan harap pergi, atau aku melawanmu dan maaf kali ini aku bersungguh-sungguh!" Seseorang tiba-tiba mengelak dan bergerak maju-mundur. Seorang kakek gundul seperti Siang Lun Mogal tahu-tahu berada di situ, bertempur atau lebih tepat mengelak dan menghindari semua seranganserangan Omei-hud sementara mulutnya berkali-kali mengucap puja-puji, ringan dan tak membalas serangan-serangan lawan akan tetapi hebatnya hwesio berpakaian serba hitam itu malah pucat. Ia terdorong atau terhuyung mundur jika kakek gundul ini, hwesio berkulit gelap akan tetapi berpakaian serba putih meng halau pukulan-pukulannya. Dan ketika Siang Lun Mogal terkejut namun segera tertegun di situ, menjublak maka hwesio berpakaian serba putih ini mengeluarkan kembali seruan atau kata-katanya.

   "Sute, berkali-kali kukatakan agar tak perlu turun gunung dan tetap tinggal di pertapaanmu. Akan tetapi kau selalu melanggarnya, dan kini bahkan menculik seorang wanita. Omitohud, kau tersesat, su te, dan pinceng sekarang menjadi sedih melihat kau bersama Siang Lun Mogal. Ah, semoga Buddha mengampunimu dan lepaskan wanita itu dan mari kembali bersama pinceng ke Nepal. Lihat, tak baik mengganggu negeri orang."

   "Keparat, kau selalu mengganggu dan mencampuri urusanku. Dari dulu sampai sekarang masih juga kau selalu menasehati aku, suheng. Aku bukan anak kecil dan baik-buruk kupikul sendiri. Pergilah dan jangan membuat segalanya bertambah kacau atau aku membunuhmu!"

   "Omitohud, berkali-kali kau mengancamku. Semoga Buddha mengampuniku, sute, kali ini kita harus kembali bersama dan pinceng tak dapat lagi bersabar. Lepaskan wanita itu... desss!"

   Kakek ini menggoyangkan tangannya ke depan dan tiba-tiba Tan-hujin mencelat.

   Wanita ini terlempar dan terbanting akan tetapi karena telah mengerahkan Pikhi-hu-beng maka wanita itu tak merasa apa-apa.

   Kiok Eng atau Tan-hujin ini masih mati semu.

   Dan ketika Siang Lun Mogal tiba-tiba berkelebat untuk menyambar wanita itu, hwesio berpakaian putih ini berseru perlahan mendadak ia mendorong lengan kirinya ke kakek gundul ini.

   "Siang Lun Mogal, kaupun tak berhak atas wanita itu. Biarkan dan jangan sentuh!"

   Siang Lun Mogal kaget.

   Ia tiba-tiba ditahan sebuah tenaga tak kelihatan yang amat kuat sekali.

   Tangannya sudah terjulur dan siap menyambar wanita ini ketika tiba-tiba tak dapat digerakkan maju lagiHwesio itu menahannya dari jauh.

   Dan ketika ia berseru penasaran dan menambah tenaganya mendadak ia malah terpelanting dan bergulingan.

   "Omei-san tua bangka terkutuk. Kau benarbenar suka mencampuri urusan orang dan tak tahu malu!"

   "Omitohud, kaulah yang mengganggu dan mencampuri urusan orang lain. Tiong goan bukanlah daerahmu, Siang Lun Mogal, akan tetapi kau keluyuran sampai ke sini, dan kau membawa pula suteku Omei hud. Ah, semoga Buddha mengampuni kalian pula dan harap kembali sebelum semuanya terlanjur parah."

   Kakek gundul itu memaki-maki dan meloncat bangun.

   Inilah hwesio sakti dari pinggiran Nepal yang berdekatan dengan pegunungan Himalaya.

   Mereka kakak beradik dan sang kakak begitu saktinya hingga bagaikan dewa, memiliki pukulan yang disebut Hongsian-pai-thian-sut (Angin Dewa Menyembah Langit), sekali digerakkan mampu membuat bukit dan gununggunung berguguran.

   Dan ketika tadi ia telah merasakan sedikit kesaktian kakek ini, Siang Lun Mogal menjadi pucat maka Omei-hud, rekannya menjadi gusar sekali.

   Dalam beberapa tahun ini kakak beradik seperguruan itu memang sering terlibat pertentangan sengit, dengan sang kakak tentu saja bersifat mencegah dan melarang adiknya berbuat jahat.

   "Suheng, kau tak boleh mencampuri urusan kami. Biarlah aku berjanji bahwa ini adalah yang terakhir. Aku akan pulang dan berkunjung kepadamu dan tunduk seumur hidup. Akan tetapi biarkan yang ini kuselesaikan dulu dan kau kembalilah seorang diri!"

   "Omitohud, tak bisa. Kau sudah kelewat batas, sute. Kau menculik wanita pula. Pinceng tak dapat memberimu ijin lagi dan pulang atau pinceng paksa. Kau berteman pula dengan orang jahat seperti Siang Lun Mogal."

   Keparat!"

   Hwesio berpakaian hitam itu tiba-tiba mendelik.

   "Bantu dan serang dia, Siang Lun Mogal. Bunuh jahanam pengacau ini... dess!"

   Dua pukulan didorongkan ke depan dan hwesio berpakaian putih tiba-tiba bergoyang-goyang.

   Ia tak menangkis atau menyambut pukulan itu melainkan membiarkannya saja.

   Jubah putihnya tiba-tiba hangus, baju di bagian dada berlubang.

   Namun ketika hwesio itu masih berdiri tegak dan sepasang alisnya tiba-tiba berdiri, Siang Lun Mogal berkelebat dan menghantamnya dari belakang maka kakek ini menarik napas dan membalik serta menangkis pukulan kakek gun dul itu.

   "Desss!"

   Siang Lun Mogal menjerit dan terbanting.

   Kakek ini bergulingan dan pucat akan tetapi temannya sudah memukul lagi.

   Omei-hud begitu gusar.

   Dan ketika hwesio berpakaian hitam ini menerjang dan mengerotokkan buku-buku jarinya maka kedua lengannya sudah menjadi mengkilat dan Mo-tok-ciang disambarkan ke depan.

   "Omitohud, kau sudah mempelajari ilmu sesat!"

   Akan tetapi tidak seperti terhadap Siang Lun Mogal maka kakek ini tak menangkis atau menyambut.

   Lagi untuk kedua kali ia membiarkan pukulan itu.

   Mo-tokciang yang amat ganas menghantamnya dari depan.

   Namun ketika terdengar benturan dan asap mengepul maka lawannya itulah yang terbanting dan terlempar.

   "Suheng, kau tua bangka keparat!"

   Sang kakek tak menjawab.

   Ia masih bergoyanggoyang dipukul hebat dan terdengar mulutnya mengeluarkan seruan lirih.

   Sepasang matanya sedih memandang sutenya itu.

   Dan ketika ia mengucap puja-puji namun sudah diterjang lagi, Omei-hud bangkit dan menyerangnya ganas maka Ban-hwa-sin55 hoat-sut menyebar pula dan sebentar kemudian tempat itu menjadi gelap-gulita.

   Dan bersamaan dengan pekik atau bentakan menggelegar maka bayangan lenyap dibungkus gulungan awan hitam sementara Siang Lun Mogalpun berkemak-kemik dan menerjang di balik kekuatan batin temannya.

   "Des-dess!"

   Akan tetapi dua orang itulah yang berteriak.

   Setiap kali pukulan mereka mengenai kakek itu maka Ban-hwa-sin-hoat-sut membuyar.

   Kakek ini tampak di tengah-tengah asap hitam yang pekat.

   Dan ketika berkali-kali gagal dan terbanting sendiri tiba-tiba Omei-hud memutar tubuh dan membawa lari Kiok Eng.

   (Bersambung

   Jilid 20) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara

   Jilid XX *** "SUHENG, kau selalu memusuhi aku!"

   "Omitohud,"

   Kakek ini membuka mata, lawanlawannya melarikan diri.

   "Aku menyayang dan justeru menyelamatkan dirimu, sute. Kembalikan wanita itu dan kita kembali ke pertapaan kita."

   "Aku tak akan kembali sebelum maksudku tercapai. Jangan kaukejar aku atau wanita ini kubunuh!"

   "Benar,"

   Siang Lun Mogal berseru, ia-pun gentar dan mengikuti temannya ini.

   "Bunuh dan habisi dia kalau tua bangka itu memaksamu, Omei-hud. Sungguh tak tahu malu memaksa orang lain dan menasihati seperti anak kecil!"

   Akan tetapi tiba-tiba berhembus angin kencang.

   Seorang pemuda muncul di depan mereka dengan bentakannya yang kuat.

   Bayangan putih meluncur dan menghantam hwesio berpakaian hitam ini sementara Siang Lun Mogal juga dibuat kaget.

   Tubuhnya terdorong dan tahu-tahu terjungkal ketika bayangan itu menyambar mereka.

   Dan ketika Omei-hud berteriak keras dan kaget mengelak ke kiri, dikejar dan apa boleh buat menangkis maka ia terbanting dan bergulingan karena serangan itu amat cepat dan tibatiba.

   Tan-hujin di tangannya terlepas dan diserobot pemuda itu.

   "Dess-plak!"

   Hwesio ini kaget dan marah sekali akan tetapi tiba-tiba ia tertegun.

   Tan Hong, pemuda itu berdiri di depannya dengan mata bersinar-sinar.

   Kiok Eng telah berada di tangan pemuda ini dan kini dengan mata berkilat pemuda itu memandangnya.

   Tan Hongpun tertegun karena laki-laki bertopeng tak ada lagi, yang ada ialah hwesio berpakaian hitam ini dan baru sekaranglah ia tahu wajah, lawan.

   Penculik isterinya itu kiranya hwesio ini, seorang laki-laki sekitar lima puluh lima tahun dengan kulit coklat gelap.

   Mata mencorong dan tajam akan tetapi wajah kasar itu menyiratkan kelicikan.

   Baru sekaranglah Tan Hong melihat lawannya ini dengan jelas.

   Akan tetapi ketika ia meraba isterinya dan terkejut betapa isterinya berubah dingin, detak jantung itu tak terdengar lagi maka Tan Hong yang tak tahu akan Pikhi-hu-beng yang dilakukan isterinya tiba-tiba menjadi merah dan marah sekali memandang hwesio itu.

   Sepasang matanya yang berkilat mendadak mencorong dan mengeluarkan api.

   Tubuh pemuda ini bergetar dan seluruh hawa sinkang tiba-tiba naik ke atas kepala.

   "Kau membunuh isteriku?"

   Omei-hud terkejut.

   Ia tadinya kaget dan marah ketika tiba-tiba tawanannya terlepas.

   Iapun masih tak gentar ketika pemuda ini memandangnya dengan mata berkilat.

   Akan tetapi ketika wajah pemuda itu berubah dan betapa mata yang berkilat tiba-tiba mencorong bagai mengeluarkan api, kekuatan sinkang pemuda itu menyerangnya lewat pandang mata tibatiba hwesio ini menggigil dan Siang Lun Mogal yang sudah merasakan hebatnya pemuda itu tiba-tiba berseru melarikan diri.

   Kakek ini teringat bahwa di situ masih ada Omei-san, hwesio sakti berpakaian putihputih itu.

   "Omei-hud, pergi saja. Suhengmu tak akan membantumu!" Akan tetapi Tan Hong bergerak dan sepasang lengannya tiba-tiba melakukan dorongan aneh ke delapan penjuru. Hawa gaib menyambar, meledak dan tahu-tahu telah mengurung hwesio. itu. Dan ketika pancaran cahaya mengelilingi hwesio ini bagai pagar sinar mujijat, Tan Hong berkelebat dan masuk ke situ maka kedua-duanya sudah tak mungkin keluar dan hwesio berpakaian serba hitam ini terkejut berseru keras, mendorongkan tangannya dan memukul pagar mujijat itu akan tetapi terpental dan ia sendiri terbanting, bukan main kagetnya. Dan ketika pemuda itu tertawa dingin dan pandang matanya kian mencorong maka sang hwe sio berseru keluar.

   "Suheng, tolong aku. Pemuda ini mengurung ku!"

   Akan tetapi Tan Hong membentak.

   Pemuda itu berkelebat dan menyerang lawannya dan Pek-in-kang menyambar.

   Ia telah mengurung tempat itu dengan Pat-sian-hut-si (Delapan Dewa Mengebut Kipas), sebuah ilmu gaib atau kesaktian yang diperolehnya setelah bertapa, menjaga dan tak mungkin lawannya lolos biar Kwan-kong (Dewa Kwan Kong) sendiri yang masuk.

   Maka begitu ia membentak dan kemarahan nya membangkitkan tenaga sakti, mirip dengan apa yang dialami Sia tiauw-eng-jin maka hwesio itu terkejut sekali ketika betapa tiba-tiba dari lengan pemuda itu meluncur tenaga yang amat kuatnya yang membuat ia terbanting.

   "Duk!"

   Hwesio ini mengelak dan menangkis akan tetapi tetap saja kalah kuat.

   Ia ngeri oleh pandang mata pemuda itu yang seakan menghanguskan tubuhnya.

   Dalam adu tenaga ini ia benar-benar gentar.

   Akan tetapi karena tak mung kin bertahan dan harus membalas akhirnya iapun membentak dan Ban-hwa-sin-hoat-sut tiba-tiba dilepaskan.

   Tepukan tangannya melakukan ledakan dan udara sekitar tiba-tiba gelap-gulita.

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bocah she Tan, kau tak dapat mengalahkan aku!"

   Tan Hong tak menjawab.

   Ia berkelebatan dan mendorong serta mengibas udara hitam pukulan lawannya, lapun mengganti pernapasannya lewat kulit.

   Dan ketika dorongan atau pukulan tangannya membuyarkan Ban-hwa-sin-hoat-sut, lawan terlihat dan dikejar serta diserang maka hwesio ini kelabakan dan menangkis serta melempar tubuh ke sana ke mari.

   Ia selalu kalah kuat dan terpental.

   "Des-dess!" Kemarahan Tan Hong memang mengerikan. Pemuda yang bagai pertapa dan biasanya lemahlembut ini mendadak saat itu berubah seratus delapan puluh derajat. Ia menggeram dan mendesis-desis dan ke dua tangannya terus bergerak-gerak. Lawan terus mendorong-dorongkan pukulan uap hitamnya akan tetapi pemuda ini terus membuyarkannya. Dan ketika hwesio itu memekik dan melepas Mo-tok-ciangnya, Tangan Racun Iblis maka pemuda ini menangkisnya dan Im-bian-kang membuat pukulan itu lenyap ke dalam hawa dingin.

   "Des-dess!"

   Omei-hud menjadi pucat akan tetapi hwesio ini melempar tubuh bergulingan.

   Ia mengelak dan membuang tubuh ke kiri ketika pukulannya tiba-tiba lenyap.

   Ia tersedot dan terbawa pukulan lawan.

   Dan ketika hwesio itu.

   memekik dan melepas lagi Ban-hwasin-hoat-sutnya maka udara kembali gelap dan hwesio itu bersembunyi di situ, berteriak keluar.

   "Suheng, bantu aku!"

   Tiba-tiba terdengar ledakan.

   Pat-sian-hut-si yang tadi dipasang Tan Hong mendadak pecah.

   Hwesio berpakaian putih tiba-tiba berkelebat dan membuat pemuda itu terkejut.

   Belum pernah ada orang mampu membuka pagar gaibnya.

   Maka ketika ia terbelalak dan tertegun di tempat, saat itulah hwesio ini menyambar sutenya maka kakek itu membungkuk di depan Tan Hong.

   "Anak muda, maafkan suteku. Biarlah ia kubawa pergi dan tak akan mengganggu siapapun lagi!"

   Tan Hong hilang terkejutnya, la sedang marah dan geram sekali terhadap hwesio berpakaian hitam ini.

   Hwesio itu telah membunuh isterinya.

   Maka ketika sadar dan hwesio itu dibawa pergi, hwesio berpakaian putih bersikap hormat tiba-tiba ia membentak dan tak perduli.

   "Orang tua, aku tak mungkin membiarkannya pergi. Kalau ia dapat menghidupkan isteriku biarlah aku mengalah!"

   "Omitohud...!"

   Hwesio ini mengelak.

   "Pinceng akan menghukum kesalahan saudaraku, anak muda. Beribu maaf pinceng mintakan dan biarlah kelak pinceng menghadap padamu."

   "Tak bisa!"

   Tan Hong membentak dan mengejar.

   "Isteriku telah dibunuh, orang tua. Hanya kalau ia hidup aku membiarkan keparat itu pergi. Atau aku menghalangimu pula dan kaupun tak akan kuampuni!"

   Pemuda ini memang benar-benar marah dan kini Im-bian-kang menghantam punggung hwesio itu dari belakang.

   Tan Hong tak lagi menyerang Omeihud melainkan kakek ini.

   Ia tak perduli rasa kagetnya tadi betapa Pat-sian-hut-sinya dipecahkan.

   Dan ketika hwesio itu berhenti dan membalik, terpaksa menangkis maka Hong-sian-pai-thian-sut bertemu Imbian-kang.

   "Omitohud, maafkan pinceng. Kau keras kepala, anak muda, akan tetapi pinceng tak menyalahkanmu... dess!"

   Benturan amat kuat menggetarkan udara dan tiba-tiba Tan Hong tertahan, merasa didorong sinkang luar biasa dan untuk kedua kalinya pemuda ini terkejut.

   Kuda-kudanya bergeser.

   Dan ketika ia membentak dan menambah tenaga, saat itulah kakek itu mendorong dengan tangannya yang lain maka pemuda ini terhuyung dan Tan Hong pucat sekali memandang kakek itu.

   Dan saat itu menyambar bayangan Sia-tiauw-eng-jin.

   "Omei-san tua bangka, kiranya kau di sini lagi!"

   Tan Hong semakin terkejut ketika tiba-tiba kakek ini menyerang punggungnya.

   Sebenarnya yang diserang adalah kakek itu namun karena ia membelakangi maka dialah yang disambar.

   Maka berkelit dan masih terkejut oleh kesaktian kakek itu pemuda ini membiarkan lewat pukulan Sia-tiauw-engjin.

   "Dess!"

   Serangan ini amat tiba-tiba dan kakek itu bergoyang-goyang.

   Ia masih membawa sutenya dan saat itulah Sia tiauw-eng-jin tergelak.

   Kakek ini berkelebat dan menyambar ke depan dan tahu-tahu iapun telah merampas Omei-hud, memang inilah tujuan sebenarnya.

   Maka ketika ia merampas hwesio berpakaian hitam itu dan menurunkannya maka Omei-hud mendesis dan melarikan diri.

   Ia telah terbebas ketika kakek ini menolongnya.

   "Sia-tiauw-eng-jin, budimu takkan kulupakan. Tahanlah suhengku itu dulu dan Busur Kumala akan segera kuberikan kepadamu!"

   "Ha-ha, ke mana kau pergi!"

   Kakek ini menyusul, berkelebat mengejar.

   "Aku tak perduli siapapun kecuali Busur Kumala, Omei-hud, justeru kalau tak ada perjanjian ini tak sudi aku bersahabat denganmu. Hayo, mana itu si gundul Siang Lun Mogal dan bagaimana tua bangka suhengmu itu ada di sini!"

   "Ia datang tak kusangka. Kau harus menahan nya dulu. Biar kuambilkan busur itu dan jangan biarkan ia mengejarku!" "Ha-ha, sudah kubilang aku tak perduli yang lain. Aku perlu Busur Kumala, Omei-hud, bukan siapapun juga. Biarlah kuiringi kau mengambil busur itu dan akan kubantu kalau tua bangka Omei-san mengganggumu!"

   Sia-tiauw-eng-jin tertawa bergelak menyusul temannya itu dan saat itu dua bayangan lain berkelebat.

   Kang Hu dan Kui Yang tiba-tiba juga muncul di situ dan mereka ini langsung membentak Omei-hud dari kiri kanan.

   Mereka telah mendengar percakapan itu dan kaget bahwa hwesio ini membunuh Tan-hujin.

   Mereka memang berada di belakang Tan Hong ketika pemuda itu mengejar dan menyerang Omei-hud.

   Maka melihat hwesio itu melarikan diri sementara Sia-tiauw-eng-jin menyusul berendeng maka dua muda-mudi ini tak perduli dan langsung melepas pukulan kepada hwesio Nepal itu.

   "Hwesio murtad, berhenti dan pertanggung jawabkan dulu perbuatanmu terhadap Tansiauwhiap!"

   Omei-hud terkejut, mengelak.

   Ia sedang berlari cepat ketika tiba-tiba dua muda-mudi ini menyerang nya.

   Akan tetapi ketika ia dikejar dan Kang Hu maupun Kui Yang mencabut busurnya, menghantam dan membuatnya marah maka ia menangkis dan saat itu Tan Hong menyambar tiba.

   "Des-plak!"

   Busur terpental dan dua anak muda itu juga terhuyung akan tetapi saat itu Tan Hong meluncur datang.

   Pemuda ini mengucap terirpa kasih kepada dua muda-mudi itu dan tentu saja me nyerang hwesio ini, kemarahan dan geramnya tak dapat diredakan.

   Dan ketika hwesio itu semakin kaget dan berteriak kepada Sia-tiauw-eng-jin, terlempar dan bergulingan oleh pukulan Tan Hong maka kakek itu terkekeh menotok pemuda ini.

   "Bocah she Tan, jangan ganggu dulu temanku!"

   Tan Hong membalik. Ia menjadi marah kepada kakek ini karena beberapa kali melindungi lawan. Maka menangkis dan membentak iapun membuat kakek itu terdorong.

   "Dukk!"

   Sia-tiauw-eng-jin tertekeh-kekeh akan tetapi saat itu temannya sudah melarikan diri.

   Iapun tak berniat melayani Tan Hong kecuali tak ingin pemuda itu menyerang temannya.

   Di tangan Omeihud itulah Busur Kumala berada.

   Maka meloncat dan meninggalkan anak muda itu kakek ini tergelak menyusul sahabatnya.

   Akan tetapi Kang Hu dan Kui Yang membentak.

   Juga saat itu hwesio berpakaian putih berkelebat.

   Hwesio ini tahu-tahu menghadang sutenya dan sinar matanya penuh teguran, alisnya terangkat dan tentu saja sang sute terkejut.

   Terhadap suhengnya inilah ia paling gentar.

   Akan tetapi karena Sia-tiauw-eng-jin berada di sampingnya dan saat itu muncul pula pemuda tegap yang bukan lain Siauw-toh adanya maka hwesio ini berseru pada Sia tiauw-eng-jin agar menyerang dan mendorong suhengnya itu.

   Ia sendiri melepas Mo-tok-ciang dan membentak marah.

   "Jangan ganggu aku atau kau mampus!"

   "Omitohud...!"

   Sang kakek mengangkat lengan nya.

   "Kau sudah bersahabat dengan orang-orang yang seharusnya tak boleh mendekatimu, sute. Dan kau rupanya membawa Busur Kumala pula. Sungguh berdosa!"

   Pukulan sutenya diterima akan tetapi saat itu Sia-tiauw-eng-jin menusuknya dari samping.

   Kakek ini menjadi marah dan tersinggung sekali oleh katakata hwesio ini.

   Secara tidak langsung ia dianggap bukan orang baik-baik.

   Maka membentak dan menusuk kakek itu iapun memaki.

   "Omei-san, kau tua bangka sombong. Memangnya kenapa kalau sutemu bersahabat denganku. Apanya yang salah!"

   Tusukan kakek ini mengenai hwesio itu dan sang hwesio menggeliat sejenak.

   Ia terserang dan dua telunjuk Sia-tiauw-eng14 jin bukanlah main-main.

   Jari telunjuk itu panas dan mampu menusuk dinding beton sampai berlubang.

   Akan tetapi ketika kakek ini hanya menggeliat dan kemudian mengibas ke belakang, Sia-tiauw-eng-jin terdorong maka kakek itu mendelik dan saat itu Omeihud lari lagi.

   Di depan ada sebuah sungai dan hutan lebat.

   "Sia-tiauw-eng-jin, bantu aku dan jangan biarkan tua bangka itu menangkapku. Kita ke Liangsan!"

   "Apa, Liang-san? Heh-heh, jangan ma cammacam. Kau tadi bilang tak jauh da ri sini, Omei-hud, kenapa tiba-tiba ke Liang-san. Hayo jangan kau main gila atau menipu aku!"

   "Tidak, ini sungguh-sungguh. Busur Kumala ada di sana, tua bangka. Yang ada di sini hanya tiruan. Ayo bantu aku dan kita masuki hutan itu dan keluarkan anak-anak panahmu. Juga suruh muridmu itu bekerja!"

   Hwesio berpakaian hitam ini ke lihatan gugup sementara mereka yang lain terkejut dan membelalakkan mata.

   Kui Yang dan Kang Hu masih mengejar akan tetapi mereka terhalang hwesio berpakaian serba putih itu.

   Sia-tiauw-eng-jin menyerang kakek ini akan tetapi sang hwesio berkali15 kali mengibaskan jubah ke belakang.

   Dan ketika Siatiauw-eng-jin selalu terdorong dan memaki-maki, kebutan sang hwesio juga menahan serta mendorong dua muda-mudi itu maka Kui Yang maupun Kang Hu kaget sekali.

   "Tua bangka ini hebat, siapa dia!"

   "Dia si sombong Omei-san, anak-anak, pertapa atau keledai gundul yang tinggal di perbatasan Nepal dan Himalaya. Ia hebat akan tetapi tak perlu memujinya, akupun belum kalah!"

   Sia-tiauw-eng-jin tiba-tiba mengeluarkan panah emasnya dan dalam marah serta penasarannya tiba-tiba kakek ini melepas pula panah-panah rahasianya.

   Tujuhbelas panah kecil menyambar hwesio itu sementara Po-sia-kim (Panah Emas) meluncur di belakang punggung, hebat serangan ini karena semuanya hampir berbareng.

   Akan tetapi ketika tanpa menoleh hwesio itu membiar kan punggungnya dihujani panah-panah rahasia, runtuh dan akhirnya jatuh sendiri-sendiri maka hanya terhadap Panah Emas ia membalik dan mengetuk.

   "Plak!"

   Bunga api berpijar dan Sia-tiauw-eng-jin terdorong.

   Senjatanya hampir dijepit namun secepat itu ditarik menyelamatkan diri, Dari ujung jari sang hwesio memancar sinar gaib menepis sinar kuning warna emasnya.

   Maka ketika kakek ini terkejut dan cepat menyelamatkan senjatanya, hwesio itu berkelebat lagi maka saat itu Omei-hud sudah berada di tepi sungai siap berjungkir balik.

   "Sute, tunggu dari kembalikan dulu barang curianmu. Busur Kumala tak berhak kau miliki!"

   "Ah, kau mengganggu dan selalu merepotkan aku. Busur itu di Liang-san, suheng, tak ada di sini. Justeru bantulah aku untuk mendapatkannya dan kita akan hidup mulia jika menyerahkannya kepada rakyat Nepal!"

   "Omitohud, apa maksudmu?"

   "Ha-ha, menjadi raja, suheng. Hidup terhormat dan menguasai orang banyak. Aku akan memilikinya dan hidup mulia di dalam sisa umurku!"

   "Omitohud, kau berpikiran sesat. Seorang paderi tak layak berpikiran seperti itu, sute, dari mana iblis menguasai hatimu dan membuatmu melenceng begini. Murid Buddha tak layak bersikap seperti Itu."

   "Masa bodoh. Kau selalu menyuruhku hidup sederhana dan menderita. Cukup se muanya Itu. Kini aku ingin menikmati sisa hidupku, suheng, dan justeru kalau kau menyayangi aku maka kau harus membantu dan mendukung cita-citaku ini!"

   "Heii, bagaimana dengan perjanjian kita!"

   Siatiauw-eng-jin tiba-tiba berteriak.

   "Kau berjanji hendak menyerahkan busur itu kepadaku, Omei-hud, bagaimana tiba-tiba ada omongan seperti ini. Apa maksudmu!"

   "Ha-ha, aku menyerahkannya setelah menjadi raja di sana. Kaupun tetap mendapat bagianmu, Siatiauw-eng-jin, dan bahkan kalau mau hidup mulia pula di sana. Kau dapat menjadi Perdana Menteri. Sakit hatimu dapat terlampiaskan di sana!"

   "Perdana Menteri? Aku tak suka. Aku hanya ingin menjadi jago tanpa tanding dan dengan Busur Kumala tentu kepandaianku meningkat. Kau tak boleh menjilat janji atau aku membunuhmu!"

   "Ha-ha, jangan sewot. Aku akan menyerahkan nya dan mari bantu agar secepatnya membawa benda keramat itu. Ayo, usir bocah-bocah itu atau bunuh mereka!"

   Sia-tiauw-eng-jin terbelalak dan tampak ragu akan tetapi tiba-tiba berseru ke ras.

   Tan Hong meluncur di sampingnya dan membentak hwesio itu, Pek-in-kang menyambar Omei-hud.

   Dan karena ia tak ingin pemuda ini merobohkan temannya dan di saat itu temannya sudah berjungkir balik, muncul pula muridnya yang ber teriak padanya maka kakek ini menggerakkan panahnya ke pinggang Tan Hong.

   Panah Emas alias Po-sia-kim yang mengandung getaran gaib menyambar cepat.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jangan menemani!"

   Ganggu dia dan biarkan aku Tan Hong marah.

   Ia membentak dan menangkis itu dengan pukulannya.

   Biasanya ia tergetar dan silau oleh senjata di tangan kakek ini.

   Namun karena saat itu kemarahannya sedang terbakar dan sinkangnya meningkat luar biasa maka ia membuat senjata kakek itu terpental dan Sia-tiauw-eng-jin malah terpelanting.

   "Heii-plak!"

   Kakek iri kaget dan bergulingan akan tetapi saat itu Tan Hong melesat ke depan.

   Ia mengejar lawannya dan saat itu hampir berbarengan dengan hwesio berpakaian putih itu.

   Kakek ini membentak sutenya untuk berhenti dan kembali ke rumah.

   Dan karena Tan Hong juga marah kepada kakek ini yang tadi membuyarkan Pat-sian-hut-sinya maka ia pun mendorong hwesio itu agar dapat menangkap lawan, ia tak mau didahului.

   "Minggir dan biarkan ia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.

   Ia membunuh isteriku!"

   Sang hwesio menghela napas.

   Didorong dan dibentak Tan Hong ia malah membiarkan diri.

   Pukulan pemuda itu membuatnya terangkat dan terlempar ke depan, jauh melewati sungai.

   Dan ketika Tan Hong terkejut betapa pukulannya malah dipergunakan kakek ini maka iapun menjejakkan kakinya dan berjungkir balik melewati sungai, kaget dan terbelalak.

   "Keparat!"

   Lawan ternyata lebih dulu tiba akan tetapi Omei-hud sudah melarikan diri ke hutan.

   Hwesio Ini dengan licik dan licin meninggalkan lawanlawannya, la merasa beruntung betapa pemuda lihai itu dihadang Sia-tiauw-eng-jin dan ada suhengnya.

   Maka mengerahkan ginngnya dan melewati sungai lebar, bergerak dan terus melarikan diri memasuki utan maka lenyaplah hwesio Itu dan suhengnya berseru mengejar, hilang pula.

   "Sute, pinceng tak akan melepaskanmu sampai kau benar-benar menyerah. Omitohud, kau semakin menambah dosa saja!"

   Dan bayangan Sia-tiauw-eng-jin menyusul pula.

   Kakek ini memaki dan uring-uringan dan tangan kirinya telah menggandeng muridnya yang baru tiba.

   Tadi Ketika muridnya berteriak kakek ini menyambar.

   Dan ketika ia melewati Tan Hong dan melepas lagi panah-panah kecil nya panah rahasia maka kakek itu melotot dan berseru.

   "Anak muda, nanti setelah urusan selesai akan kutantang dan kuajak kau bertanding seribu jurus. Aku masih penasaran akan tetapi keledai gundul itu harus kukejar. Biarlah lain kali kita main-main lagi dan jangan sombong dulu untuk keunggulanmu sementara ini. Aku masih belum mengeluarkan semua kepandaian ku!"

   Tan Hong menangkis dan sebagian membiarkan panah-panah kecil itu runtuh.

   Iapun sebenarnya tak berkepentingan banyak dengan kakek ini.

   Yang dicari adalah hwesio berpakaian hitam itu.

   Maka menahan marah dan tak meladeni kakek itu, ia mengejar dan berkelebat pula menghilang di dalam hutan segeralah dua orang ini susul-menyusul dan lenyap di dalam.

   Kang Hu dan Kui Yang kalah cepat akan tetapi dua muda-mudi itu telah mendengar semuanya.

   Dan karena Tan-siauwhiap terus mengejar sementara mereka pasti ke Liang-san maka dua muda-mudi ini memotong jalan dan merekepun menyimpan senjata mereka untuk kemudian berlari cepet dan mengelilingi hutan lalu menuju ke barat.

   Liang-san! *** Pria di atas batu hitam itu hening bermujasamadhi.

   Sejak tadi alisnya berkerut-kerut.

   Ia cuduk tak bergeming dan napasnya yang begitu lembut seakan tak bergerak saja.

   Ia lebih pantas disebut patung hidup daripada manusia.

   Dan ketika awan putih berarak di atas kepalanya, turun dan akhirnya membungkus tubuh itu maka pria ini lenyap dan anehnya awan itu berhenti di sini dan tak bergerakgerak lagi.

   Orang tak akan menyangka bahwa di balik halimun putih itu terdapat seorang manusia yang sedang duduk bersamadhi! Siapakah pria ini? Siapakah dia yang begitu tahan akan hawa dingin menyusup tulang? Kalau orang mengetahui di mana ia berada tentu ia tak akan heran oleh kejadian ini.

   Pegunungan Liang-san pagi itu berkabut tebal dan awan berarak bagai domba-domba menuju kandang.

   Satu per satu gumpalan uap naik ke atas dan berkumpul di situ.

   Dingin menggigit tulang dan sungai yang mengalir jernih telah be ku seperti es, apalagi di puncak, tempat yang paling tinggi di mana pria itu berada.

   Dan karena batu hitam itu telah lenyap karena awan membungkus dan menyelimuti sekitar maka apapun tak tampak termasuk pria yang duduk bersila ini, pria berusia empatpuluhan tahun mendekati setengah abad, tenang dan tak bergeming dan sesungguhnya telah berminggu-minggu di situ.

   Fang Fang, pendekar sakti ini! Maka ketika dari bawah gunung berkelebatan tiga bayangan susul-menyusul, hijau merah dan kuning maka pendekar itupun masih tetap di tempat dan ia justeru terlindung di balik bungkusan awan putih yang menyelimuti dirinya.

   Pendekar inipun tak tahu ketika tiga bayang an di bawah gunung berlompat-lompatan, yang hijau berada paling atas sementara yang kuning berada di bagian bawah.

   Melihat gerak dan arah mereka yang datang seakan ketiganya tidak saling berjanji, artinya mereka tak sengaja bersama-sama dan hanya kebetulan saja jika ketiganya saat itu berbarengan mendaki bukit terjal.

   Akan tetapi ketika masing-masing mulai naik tinggi dan puncak semakin sempit didaki akhirnya masing-masing sama tahu bahwa mereka didului yang lain untuk menuju puncak.

   "Enci Eng!"

   Wanita baju merah tiba-tiba berseru dan ia menyatakan kegembiraannya dengan seruan nya itu.

   Ia adalah wanita yang di tengah sementara bayangan hijau paling atas.

   Ternyata tiga orang itu wanita semuanya.

   Dan ketika wanita baju hijau berhenti dan membalik, tampaklah olehnya bayangan merah dan kuning di bawah maka wanita ini berseri akan tetapi tiba-tiba juga terkejut.

   "Ming Ming! Ceng Ceng!"

   Wanita baju merah berjungkir balik.

   Dialah yang tadi berseru paling awal akan tetapi tiba-tiba berkerut dan tak senang oleh panggilan nama terakhir.

   Otomatis ia memandang ke belakang dan tampaklah bayangan kuning itu, yang me lompat-lompat dan akhirnya berjungkir balik pula di situ, turun dan hinggap di tebing terjal berhadapan dengan mereka.

   Dan ketika wanita baju kuning juga berjebi dan berdiri dengan kaki dipentang, mengangguk akan tetapi sama sekali tak menghiraukan wanita baju merah maka wanita ini menghadapi lawannya si baju hijau.

   "Enci Eng, kau di sini pula?"

   "Ya, benar. Dan kau... ah!"

   Wanita ini melompat dan menyambar lengan wanita baju kuning itu.

   "Kau datang dan mencari siapa pula? Ada apa dan bagaimana dengan anak dan mantumu? Apakah ada sesuatu?"

   "Tidak, aku datang karena hendak menemui suami yang tidak bertanggung jawab itu. Kenapa ia tak pernah muncul dan kini hendak kulabrak dan kutuntut janjinya. Di mana dia!" "Ah, akupun baru datang. Sudah delapan minggu ini ia tak menemuiku pula dan katanya berada di puncak. Aku khawatir dan kini datang. Dan kau, ah... kau berobah, Ceng Ceng, sekarang kau galak dan mudah marah-marah!"

   "Ini semua gara-gara suami tak bertanggung jawab itu. Ia selalu membuatku panas dan kini tibatiba siluman ini bera da di sini. Mau apa dia apakah hendak menghasut lagi? Apakah tidak cukup semua itu bertahun-tahun lewat? Kaukah yang mengajak nya?"

   Ceng Ceng, wanita itu bicara sengit dan tiba-tiba menuding pula lawannya yang berapi-api.

   Tak pelak lagi tudingannya dibalas semprotan.

   Dan ketika Ming Ming, wanita itu berkelebat ke depan maka dua singa betina yang sudah lama terlibat permusuhan ini tibatiba berseru.

   "Kau! Kaulah yang siluman dan tukang menghasut. Aku datang bukan untuk melakukan apaapa, Ceng Ceng, aku datang karena suami tak bertanggung jawab itu tak menghiraukan aku lagi. Aku hendak menuntut dan melabraknya dan tak perlu hasut-menghasut. Tentu kau datang karena rindu dan cintamu yang gatal itu. Cih, wanita tak tahu malu. Siluman, kuntilanak yang manja dan ingin dininabobok!" "Apa, gatal karena cinta? Aku rindu? Puih, tutup mulutmu dan jangan sembarangan bicara. Kaulah yang gatal dan rindu, Ming Ming. Tentu maksud kedatanganmu ke sini minta dibelai dan disayang. Hayo, mengaku saja!"

   "Apa, dibelai dan disayang? Oleh laki-laki tak bertanggung jawab itu? Lebih baik mati dan mencekik lehernya, Ceng Ceng. Kaulah yang rindu dan minta dibelai. Tentu sudah bertahun-tahun cintamu gatal dan kini tak malu-malu datang. Ha yo mengaku dan jangan memanaskan hatiku!"

   Ceng Ceng, wanita baju kuning itu tiba-tiba menjerit.

   Ia kalap dan mencabut senjatanya dan sebatang cambuk panjang tiba-tiba meledak.

   Sekali berkelebat ia menyambar dan menyerang wanita itu.

   Akan tetapi ketika Ming Ming berkelit dan meloncat mundur, dikejar dan menye rang lagi maka wanita inipun melengking gusar dan rambutnya meledak di atas kepala.

   "Tar-tar!"

   Dua wanita itu tiba-tiba bertanding dan mereka tiba-tiba sudah saling berkelebatan dan sambar-menyambar.

   Umpat caci dan pekik kebencian saling berhamburan dari mulut masing-masing.

   Dan ketika wanita baju hijau terkejut dan berseru tertahan, cemas dan sudah menduga maka Eng Eng, isteri pertama ini berteriak sambil melompat menengahi.

   "Ceng Ceng, Ming Ming, berhenti! Berhenti dan jangan kalian bertempur'"

   Akan tetapi cambuk dan rambut malah menyambar wanita ini.

   Dalam ganasnya serangmenyerang dan hebatnya kemarahan yang membakar dada maka keduanya tak perduli lagi akan musuh masing-masing.

   Mereka tiba-tiba ingin saling bunuh dan kebencian bertahun-tahun lewat serasa ingin ditumpahkan.

   Semua tahu bahwa itu bermula dari percekcokan akibat kesalah-pahaman, betapa Ming Ming menangis mendapat ramalan suaminya sementara Beng Li salah sangka mengira ibunya dimarahi sang ayah, pilih kasih dan melabrak ibutirinya Ceng Ceng.

   Dan ketika dalam labrakan itu ia terkena tendangan Kiok Eng, anak yang dikandung seketika gugur maka selanjutnya nenek May-may membalas dendam dan menculik Cit Kong untuk akhirnya membawanya ke Mongol dan akibatnya bertahun-tahun dua wanita ini bermusuhan hebat dan masing-masing menganggap yang lain sebagai biang bencana.

   Ceng Ceng mengira cucunya diculik keluarga Ming Ming sementara Ming Ming menganggap musuh nya itulah yang membunuh May-may, gurunya.

   Kini dua orang itu bertanding hebat.

   Mereka tiba-tiba seakan mendapat kesem patan melepas dendam dan kebencian.

   Kehadiran masing-masing pihak justeru menyulut cemburu di hati masingmasing.

   Tentu masing-masing hendak menemui suami mereka dan minta dicumbu.

   Bukankah bertahuntahun ini mereka kering dari kasih sayang orang yang mereka cinta.

   Maka ketika bayangan itu membuat keduanya semakin mendidih dan ingin membunuh yang lain, yang mengeluh adalah Eng Eng yang mundur dan tersabet rambut maupun cambuk maka wanita baju hijau itu akhirnya menangis dan berulang-ulang melerai.

   Seruannya tak digubris dan membuat keduanya justeru semakin sengit.

   "Ming Ming, Ceng Ceng, sudahlah. Sudah. Hentikan pertandingan ini dan mari sama-sama kita cari suami kita. Fang Fang sudah delapan minggu ini tak pernah muncul. Hentikan pertempuran dan jangan saling bermusuhan. Berhenti! Berhenti!"

   Akan tetapi dua orang itu justeru semakin ganas.

   Mereka memekik dan melengking-lengking dan senjata atau rambut mereka meledak-ledak.

   Tiga kali masing-masing tersabet pundaknya akan tetapi darah yang mengucur malah membuat keduanya semakin beringas.

   Baik Ceng Ceng maupun Ming Ming tersabet pecah, sudah mengerahkan sinkang akan tetapi gagal juga.

   Kemarahan dan kebencian masing-masing pihak menimbulkan tenaga yang berlipat.

   Maka ketika mereka memaki-maki dan Eng Eng gagal melerai pertandingan itu maka keduanya tak dapat ditahan sampai satu di antaranya roboh, bahkan mungkin binasa.

   "Biar, biar kubunuh dan kuhajar dulu wanita ini. Ia penghasut dan akan kurobek mulutnya nanti, enci Eng. Lidahnya akan kucabut keluar dan nanti kupotong-potong!"

   "Keparat, tak tahu malu. Kaulah pemfitnah dan penghasut keji, Ceng Ceng. Aku sama sekali tak menculik cucumu dan semoga ia diculik iblis. Semoga ditelan dan menjadi kerak neraka!"

   "Jahanam, tutup mulutmu. tak membunuh nenek May-may! Keduanya saling terjang lagi dan pertandingan menjadi kian hebat. Eng Eng menangis dan tersedusedu namun gagal memisah kedua madunya itu. Mereka sama-sama nekat dan bertempur kian ganas. Dan ketika pertandingan berjalan me negangkan dan kini masing-masing pihak berada di tempat sempit di mana jurang menganga di kiri kanan mereka akhirnya Eng Eng menjadi pucat dan berseru.

   "Ceng Ceng, Ming Ming, hati-hati. Ada jurang di kiri kanan kalian!"

   Namun dua wanita itu tak perduli.

   Mereka membentak dan terus menyerang satu sama lain dan masing-masing tak menghiraukan teriakan itu.

   Lebih cepat pertarungan itu selesai lebih baik, mereka sudah sama-sama gelap mata.

   Dan ke tika satu saat cambuk meledak namun di tangkis rambut, Ming Ming adalah murid nenek May-may yang ahli mainkan Sin-mauwkang (Rambut Sakti) maka wanita ini menyambut dan bahkan membelit serta menarik cambuk lawan.

   "Rrt-tar!"

   Ceng Ceng terkejut ketika ujung cambuknya tiba-tiba ditahan dan di belit rambut lawan.

   Ia adalah murid nenek Bwee Kiok yang berjuluk Si Cambuk Sakti, jadi senjatanya adalah cambuk dan biasanya cukup ditakuti lawan.

   Akan tetapi karena madunya ini adalah murid May May dan sesungguhnya tingkat mereka berimbang, terjadilah tarik-menarik maka rambut dan cambuk sama-sama menegang dan siapa kalah bakal tertarik dan jatuh di jurang di belakang lawan mereka.

   Eng Eng menjerit tak dapat menahan diri lagi.

   "Ceng Ceng, Ming Ming, sekali lagi sudahilah persoalan ini dan mari sama-sama mencari suami kita di puncak! Awas kalau kalian terlempar di jurang itu!"

   "Biarlah, biar dia atau aku mampus. Aku akan membunuhnya, enci Eng, atau dia yang akan membunuhku. Aku tak dapat hidup bersamanya lagi sejak ia mendakwaku membunuh nenek May-may!"

   "Dan kau menuduhku menculik Cit Kong. Akupun tak mau hidup bersamamu, Ceng Ceng. Kau dan puterimu Kiok Eng, Wanita iblis. Kiok Eng malah membunuh cucuku yang belum lahir!"

   "Salah sendiri, anakmu Beng Li seperti wanita tidak waras. Ia mengamuk dan melabrak seperti orang gila. Itu hukuman untuknya!"

   "Ah, kau menyalahkan anakku? Kubunuh kau, kuhajar dan kupotong lidahmu nanti!"

   Ming Ming yang gusar tiba-tiba menyentak dan menambah tenaganya akan tetapi lawanpun berbuat serupa.

   Ceng Ceng juga marah teringat peristiwa itu, iapun tak kalah gusar.

   Maka ketika ia menarik dan menambah tenaganya, rambut dan cambuk semakin tegang mendadak...

   tas, putuslah keduanya dan dua orang wanita ini tiba-tiba terjengkang dan terlempar ke dalam jurang di belakang mereka.

   Masing-masing tak ada yang kalah atau menang.

   "Ceng Ceng! Ming Ming!"

   Yang kaget tentu saja Eng Eng.

   Ia melihat betapa ke dua madunya tak dapat menahan keseimbangan.

   Mereka terjungkal dan masuk ke dalam jurang.

   Dan ketika dua wanita itu sama terkejut dan mengeluarkan teriakan ngeri, Ceng Ceng dan Ming Ming terlempar ke jurang di kiri kanan maka Eng Eng wanita baju hijau ini tak kalah berteriak ngeri, berkelebat dan melongok ke bibir jurang untuk kemudian melihat kedua madunya itu melayanglayang dan lenyap di bawah.

   Ceng Ceng dan Ming Ming tak mungkin selamat lagi.

   Dan ketika wanita ini menjadi histeris dan menangis sejadi-jadinya, meloncat dan terbang ke puncak akhirnya wanita ini memanggil-manggil suaminya dengan suara memilu kan.

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Fang Fang, tolong dan selamatkan mereka itu. Ceng Ceng dan Ming Ming, jatuh ke jurang. Tolong... tolooongg...!"

   Akan tetapi tak terdengar jawaban dan puncak Liang-san sunyi-sunyi saja.

   Hal ini membuat wanita itu kalap dan akhirnya terbang menembus hamparan awan putih.

   Hawa dingin menyusup tulang akan tetapi tak dihiraukannya.

   Semua diterjang dan wanita ini menabrak apa saja, terlempar dan jatuh akan tetapi meloncat bangun untuk kemudian berteriak-teriak lagi.

   Liang-san diisi jerit tangisnya yang menjadi-jadi.

   Namun ketika sampai di puncak tak melihat apa-apa, yang ada hanya gumpalan mega yang diam tak bergeming, wanita ini roboh maka ia tak tahu bahwa di balik selimut mega yang aneh itulah pria yang dicari-cari berada.

   Entah berapa lama Eng Eng tak sadar iapun tak tahu.

   Berkali-kali wanita ini mengigau dan bermimpi buruk.

   Dan ketika malam menjelang tiba untuk kemudian membungkus tubuhnya, mega putih itu juga masih tak bergerak dan menyembunyikan tuannya maka keesokannya barulah wanita ini membuka mata.

   "Ceng Ceng... Ming Ming..."

   Keluhan itulah yang pertama kali keluar dari mulutnya.

   Eng Eng bangun dan menangis lagi.

   Ia berkejap-kejap dan tiba-tiba merasa aneh.

   Hawa dingin di tempat itu menggigit tulang akan tetapi dirinya justeru merasa hangat.

   Ganjil sekali.

   Dan ketika ia terbelalak betapa samarsamar batu hitam itu tampak di depan mata, sinar matahari mengusir kabut putih maka ia tiba-tiba menjerit dan meloncat bangun ketika tubuh di atas batu hitam itu samar-samar terlihat pula.

   "Fang Fang, suamiku!"

   Pendekar ini terguncang.

   Ia tiba-tiba ditubruk dan nyaris roboh kalau saja tidak dipeluk.

   Eng Eng menciumi dan memanggil-manggil namanya seraya menangis tersedu-sedu.

   Dan ketika wanita itu terus menangis dan mengguncang-guncang, sadarlah sang pendekar maka Fang Fang membuka matanya perlahan-lahan dan yang pertama dilakukannya adalah senyum.

   "Eng-moi...!"

   Suara lembut halus itu bagai menerbangkan semangat wanita ini ke sorga loka.

   Eng Eng berteriak dan girang akan tetapi roboh.

   Ia tersedusedu dan malah menumpahkan semua kesedihannya di kaki suaminya itu.

   Dan ketika Fang Fang membelai rambut isterinya dan bangkit berdiri, sang isteri meraung-raung mendadak wanita ini meloncat dan menyambar lengan suaminya itu, dibawa terbang ke jurang.

   "Ceng Ceng...Ming Ming, mereka... mereka...!"

   Wanita ini tak dapat melanjutkan kata-katanya karena begitu sesak dan penuh kata-kata yang hendak diucapkan.

   Ia hanya berlari jatuh bangun sambil mencekal erat-erat pergelangan suaminya itu.

   Fang Fangpun anehnya tak kelihatan gugup, bertanya juga tidak.

   Dan ketika wanita itu berhenti dan menudingnuding, itulah jurang di mana kedua madunya jatuh maka Eng Eng tergagap.

   "Mereka... Ceng Ceng dan Ming Ming... mereka jatuh...!"

   Aneh, Fang Fang tenang-tenang saja.

   Pria ini mengangguk dan memandang tepi jurang dengan sikap tak penuh khawatir.

   Ia bahkan menganggukangguk.

   Dan ketika Eng Eng menjerit dan menampar suaminya itu maka wanita ini membentak, suara dan keheranannya membangkitkan kemarahan.

   "Kau hanya memandang dan menganggukangguk saja? Kau tak segera menolong mereka? Keparat, suami macam apa ini. Ceng Ceng dan Ming Ming jatuh di sini, Fang Fang, dan aku membawamu bu kan hanya untuk menonton. Mereka terlempar ke bawah, mungkin mati. Ambil dan bawa mayatnya dan jangan hanya mengangguk-angguk. Kau suami tak bertanggung jawab. Kau pertapa pikun yang tak tahu kewajiban terhadap anak isteri!"

   "Hm, sabar dan jangan marah-marah. Aku baru saja bangun, Eng-moi, kalau kau tak mengganggu tentu aku masih lelap dalam tapaku." "Mengganggu? Isteri masuk jurang dan minta tolong kaukatakan mengganggu? Ah, suami macam apa kau ini, Fang Fang. Kalau kau tak menemukan mayat mereka akupun tak sudi berdekatan denganmu lagi. Turun dan ambil mereka atau aku yang terjun ke bawah!"

   "Baik, baiklah. Jangan marah-marah dan biar kulihat mereka."

   Pria ini tetap tenang-tenang saja dan sikapnya itu membuat sang isteri hampir menjerit.

   Eng Eng sungguh tak sabar, rasanya ia sendiri yang ingin terjun.

   Akan tetapi ketika pendekar it


Si Pedang Kilat -- Gan K L Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Pertarungan Dikota Chang An Karya Wen Rui Ai

Cari Blog Ini