Mencari Busur Kumala 15
Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 15
duli."
"Aku tak membawa busur itu, dan tak akan menyerahkannya kalau ada. Daripada bicara sia-sia baiklah mengadu jiwa dan aku atau kalian mampus... duk-plak!"
Kakek ini tiba-tiba memindahkan busur emasnya ke tangan kiri dan telapak tangan kanannya menghantam atau menyambut serangan Omei-hud.
Laki-laki itulah yang melukainya tadi dan sambil membentak iapun mengerahkan Hoa-kut-ciang.
Tangan Pengaahancur Tulang ini amat dahsyat apalagi dilakukan dengan kemaraham meluap, ia dikejar-kejar dan terjebak di situ.
Maka ketika lawan terkejut di papak pukulan yang ganas, hawa panas mendahului dan tak mungkin gagang cambuk ditarik lagi maka jarijari kakek itu sudah bertemu senjata lawan dan tanpa ampun lagi Hoa-kut-kang alias Tenaga Penghancur Tulang menyambar sekaligus menyerang lewat batang cambuk.
"Cesss!"
Bagai ari mendidih masuklah pukulan itu ke jari-jari lawan.
Omei-hud terkejut oleh hawa yang panas namun ia pun mengerahkan sinkang.
Dengan cepat laki-laki ini menolak dan mengerahkan tenaganya, sedetik dua orang itu sama-sama menegang dan kesempatan ini tak di sia-siakan Siang Lun Mogal dari samping.
Kakek yang biasa curang ini mengayun tongkat keringnya, tepat ke tengkuk kakek itu dan Sia-tiauw-eng-jin tertunduk.
Tongkat menghantam dengan kuat akan tetapi mental, mengejutkan kakek gundul itu karena betapa kuat lawan melindungi diri.
Akan tetapi ketika ia tergelak dan menghantamkan tongkatnya lagi, Sia-tiauw-engjin tak mungkin mengelak tiba-tiba Omei-hud berteriak karena dengan cerdik dan tak kalah "licik"
Kakek ini menyalurkan hantaman itu untuk menghantam Omei-hud.
"Desss!"
Omei-hud terlempar dan melontarkan darah segar.
Bukan main kagetnya laki-laki itu dan tentu saja ia memaki-maki Siang Lun Mogal.
Kakeg gundul ini melengak namun tertawa lagi, menghantamkan tongkatnya untuk ketiga kali di saat lawan juga sedang terhuyung.
Dan ketika Sia-tiauweng-jin menerima tak mungkin mengelak, kakek ini roboh maka iapun melontakkan darah namun sa at itu berkelebat bayangan putih mendorong Siang Lun Mogal.
"Cukup, kau tak boleh membunuhnya dan pergilah!" Siang Lun Mogal terkejut, terdorong dan berseru tertahan, la melihat munculnya seorang kakek berpakaian serba putih yang sorot matanya lembut. Kakek itu hanya mengibas namun ia hampir saja terpelanting. Dan ketika kakek ini terkejut membelalakkan mata, berkelebat bayangan lain lagi maka Siauw-toh, pemuda itu membentak dan menyerangnya.
"Kau mencelakai suhuku!"
Siang Lun Mogal semakin terkejut dan mengelak. Pemuda itu membawa sebatang busur yang berkilau-kilauan, besar setinggi orang dewasa. Dan ketika ia ter henyak tak sempat berkedip, Omeihud bangkit duduk mendadak laki-laki itu berseru sambil menuding.
"Busur Kumala!"
Siang Lun Mogal terbeliak.
Tiba-tiba ia tertawa bergelak ketika melihat temannya itu terhuyung.
Omei-hud hendak melompat namun ia mendahului, membentak serta menyerang anak muda itu seraya tongkat menghantam.
Siauw-toh mengelak dan menangkis akan tetapi tangan kiri kakek itu melepas Ang-mo-kang, pemuda itu mengeluh.
Dan ketika cahaya gemerlap busur ini menerangi sekitar, kakek itu berkelebat maka ia merampas dan telah memperoleh busur ini.
"Ha-ha, sekarang ini milikku. Selamat tinggal, Sia-tiauw-eng-jin, muridmu biarlah kuampuni!"
"Tunggu!"
Omei-hud meloncat dan telah bangkit menerjang.
"Itu milik kita berdua, Mogal, bukan milikmu sendiri. Tunggu dan ingat perjanjian kita!"
"Ha-ha, sekarang milikku. Kau terluka Omeihud, jangan banyak tingkah. Mundur dan jangan kejar aku dan biarkan aku sendiri... dess!"
Kakek itu membalik dan melepas pukulannya dan lawannya terbanting.
Memang laki-laki itu terluka dan gampang saja Siang Lun Mogal merobohkannya.
Akan tetapi ketika kakek itu turun gunung dan gemerlap Busur Kumala membuat suasana terang-benderang mendadak berkelebat bayangan-bayangan lain dan tahu-tahu keluarga Liang-san mengha dangnya disusul orang-orang kang-ouw di bawah.
"Siang Lun Mogal, di mana kedua ibuku. Berhenti!"
"Ugh!"
Kakek itu terkejut, namun tertawa dan menuding.
"Ibumu di sana, hu-jin, akan tetapi yang satu masih dibawa temanku. Minggir dan biarkan aku pergi dan ingat perjanjian kita di bawah!" "Tunggu dan berhenti dulu!"
Kiok Eng melayang dan berjungkir balik mengejar kakek ini.
"Kalau belum kulihat dan ku-buktikan sendiri tak boleh kau lari, tua gundul. Perjanjiannya harus diserahkan kembali baikbaik dan kau baru bebas!"
"Baik!"
Kakek itu tergelak, melayang dan kembali ke tempat tadi.
"Inilah ibumu, nyonya, sekarang biarkan aku pergi atau kutuk nenek moyang mu menimpamu dan jangan salahkan aku!"
Sesosok tubuh dilemparkan kakek ini dan Ming Ming, wanita itu dilontarkan ke arah Kiok Eng.
Nyonya ini terkejut dan menangkup dan diam-diam kecewa.
Itu bukan ibu kandungnya! Akan tetapi ketika ia tertegun dan kakek itu tergelak turun ke bawah, ibu tirinya terisak maka Beng Li berkelebat dan menyambar ibu kandungnya itu.
Dua-duanya sudah saling tubruk dan menangis.
"Ibu, kau tentu tak diganggunya, bukan? Kau baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja, akan tetapi enci Ceng masih di tangun musuh. Seharusnya kakek itu tak boleh pergi dan jangan biarkan ia lari."
"Benar, dan enci Kiok Eng... eh!"
Beng Li menghentikan kata-katanya ketika mendadak Kiok Eng berkelebat dan melengking nyuring.
Nyonya itu tiba-tiba terbakar oleh pertemuan .ibu dan anak.
Ia menyelamatkan ibu tirinya sementara ibu kandungnya masih dalam bahaya.
Maka membentak dan mengejar kakek itu, juga sorot ketidaksenangannya ditujukan dua orang itu maka Beng Li dan ibunya sadar dan mereka membentak serta tiba-tiba mengejar pula kakek itu.
Beng Li menangkap sinar marah pada pandang mata Kiok Eng tadi.
"Kakek busuk tak tahu malu, hentikai langkahmu dan selesaikan dulu semua persoalan dengan tuntas!"
Nyonya itu memekik dan kedua tangannya tiba-tiba menghantam dengan pukulan Pek-in-kang yang amat dahsyat.
Kiok Eng terbang dengan Sin-bian-ginkangnya dan tubuh wanita ini menyambar amat cepat, pukulannya tahu-tahu sudah menyambar tengkuk Siang Lun Mogal dengan amat dekat.
Dan ketika kakek itu terkejut dan membalik, berseru keras maka setengah berjongkok kakek itu mengeluarkan Ang-mo-kangnya.
"Dukk!"
Nyonya itu terpental dan berjungkir balik dan sementara itu bayangan-bayangan lain menyambar tiba.
Sinar Busur Kumala memancar ke delapan penjuru, terang-benderang dan memancing da tangnya orang-orang kang-ouw yang sudah melihat pertempuran itu.
Maka ketika mereka datang namun saat itu Beng Li dan ibunya menyambar duluan, membentak dan menyerang kakek ini maka Siang Lun Mogal mengibaskan busurnya dan tangan kirinya tibatiba menotok lagi nyonya itu.
"Eh, kalian kenapa menjadi gila. Aku sudah bersikap baik-baik akan tetapi kalian tak menepati janji dan membiarkan aku pergi. Minggirlah akan tetapi kau i-kut aku, tuk!"
Kakek itu merobohkan Ming Ming dan memang wanita inilah yang paling lemah dibanding lainnya- Ia baru saja dibebaskan kakek itu dan kini ditangkap lagi, Siang Lun Mogal marah dan merobohkan kembali tawanannya.
Dan ketika Beng Li menjerit dihalau busur, ibunya tertangkap maka kakek itu tergelak-gelak memutar tawanannya di atas kepala.
"Hayo siapa melanggar janji kalau sudah begini. Siapa ingin wanita ini mampus dengan menghalangi aku pergi. Hayo minggir dan beri aku jalan!"
"Keparat!"
Beng Li melengking namun tiba-tiba disambar lengannya.
Ia menjerit dan hendak menyerang kakek itu namun suaminya menahan.
Saat itu bayangan orang-orang kang-ouw sudah penuh.
Mereka berkelebatan dan mengepung kakek itu.
Dan ketika kakek ini terkejut membelalakkan mata, keluarga Liang-san telah menyerangnya maka orangorang itu memekik menyerangnya.
"Siang Lun Mogal, serahkan Busur Kumala!"
"Benar, serahkan dan kau selamat. Berikan kepadaku, kakek gundul, dan aku membantumu!"
Kakek ini terkejut dan marah ketika si Huncwe Maut Hung-wangwe menotok dan menyemburkan asap huncwenya.
Asap tembakau mengebul tebal sementara itu si Palu Besi juga menghantam dan menyerangnya amat dahsyat.
Dua orang ini berada di antara orang-orang kang-ouw itu dan mereka inilah yang amat berbahaya, paling tinggi dan paling lihai namun ia tentu saja tidak takut.
Yang ia khawatirkan adalah keroyokan orang-orang lain itu, di mana jumlahnya terus bertambah dan mereka melihat Busur Kumala.
Mereka ini seperti laron melihat sinar lampu, cepat sekali bertambal dan membuat ia gelisah.
Maka ketika kemarahan membuatnya ganas dan serangan dua orang itu cepat ditangkis dan Busur Kumala digerakkan memutar maka ia menyambut semburan huncwe dan palu besi yang menyambar ke arahnya.
"Hung-wangwe, orang she Wee, kalian tak boleh menyerang aku kalau ingin bekerja sama.
Mundur dan cepat bantu aku kalau ingin baik-baik memiliki Busur Kumala...
duk-plak!"
Dua orang itu terpental dan terpelanting ketika senjata dan asap mereka menyambar balik membuat mereka hampir celaka sendiri.
Kakek itu memang hebat dan keduanya pucat.
Akan tetapi ketika kakek itu diserang lain-lain nya dan terkepung serta menjadi gusar maka ia mengangkat tubuh Ming Ming dan menerjang serta menangkis serangan-serangan lawan memperguna kan tawanannya, hal yang membuat keluarga Liangsan kaget.
"Ha-hu, mari mengadu jiwa atau mundur dan kalian mampus'"
Tentu saja Beng Li dan lain-lain melengking.
Tiba-tiba saja nyonya itu menerjang dan membentak kakek ini, rambutnya menyabet dan menyerang amat ganas.
Akan tetapi ketika kakek itu mengelak dan selanjutnya terkekeh dan berkek batan ke sana-sini maka kakek itu berseru agar keluarga Liang-san membantunya "Aku terpaksa mempergunakan wanita ini jika kalian tak mengusir orang-orang ini.
Hayo suruh mereka mundur atau ibumu mampus, ha-ha!"
Beng Li marah dan menyerang lagi akan tetapi terpental oleh busur di tangai kakek itu.
Siang Lun Mogal memindai wanita itu di tangan kirinya sementara Busur Kumala berkeredepan menghalau siapapun juga.
Terdengar dentang keras dan senjata para lawan terpental, ada di antara mereka yang patah-patah.
Dan ketika kakek itu menjadi girang betapa lawan terhalau mudah, Busur Kumala berkeredep semakin terang-benderang maka apa boleh buat Beng Li membalik dai menghalau orangorang kang-ouw itu.
le tak ingin ibunya celaka.
"Minggir... minggir dan mundur kalian. Jangan celakai ibuku dan biarkan kakek itu turun gunung!"
"Kami ingin merampas Busur Kumala, kami ingin memiliki itu. Ia tak boleh lari dan pergi menghilang!"
"Benar, ia tak boleh menghilang. Mundur dan jangan halangi kami, hujin, kami tak berurusan denganmu!" "Akan tetapi ia membawa ibuku, kalian tahu itu. Mundur dan kalian yang pergi atau tunggu sampai ia menyerahkan ibuku!"
"Kami tak mau tahu tentang ibumu atau tidak, kami ingin Busur Kumala. Kau yang mundur atau biarkan kami membunuh kakek ini!"
"Benar, biarkan kami merobohkan kakek ini dan harap kau mundur!"
Beng Li menjadi marah dan melengkinglengking ketika orang-orang itu menerjang dan me ngeroyok lagi Siang Lun Mogal.
Kakek itu terkekeh dan menyambut dan tubuh Fang-hujin (Ming Ming) kembali bak-bik-buk menerima hantaman.
Beng Li menjadi marah bukan main dan menerjang orangorang itu.
Akan tetapi ketika ia mengamuk sementara suami dan lain-lainnya maju membantu mendadak terdengar pekik aneh dan... sinar terang benderang lainnya meluncur lewat di sebelah kiri kakek ini.
"Heii, Busur Kumala! Itu Busur Kumala!."
"Benar, dan... ah, Omei-hud membawanya!"
Orang-orang kang-ouw menjadi kaget dan berseru terheran-heran ketika Busur Kumala kembar meluncur dan lewat dengan cepat.
Pembawanya adalah Omei-hud dan Siang Lun Mogal sendiri tertegun.
Ada dua Busur Kumala di situ, dua busur yang sama-sama terang dan keramat.
Dan ketika ia terbelalak dan pengroyokan otomatis berhenti, saat itulah bayangan putih menyambar maka kakek ini terkejut ketika tengkuknya tahu-tahu di sambar telapak lunak namun yang amat panas sekali.
"Siang Lun Mogal, kembalikan ibu Ming Ming!"
Kakek itu terbanting dan terguling-guling.
Tawanannya lepas dan Tan Hong, bayangan ini bergerak amat cepat.
Tahu-tahu ia sudah menyambar kembali isteri suhengnya itu, menjauh dan Beng Li menjerit menubruk ibunya.
Akan tetapi ketika ini.
ka ibunya muntah darah dan lunglai oleh pukulan orangorang kang-ouw, roboh dan mengeluh di pelukan Tan Hong mendadak ia membalik dan menerjang kakek itu.
"Jahanam keparat, kau melukai ibuku!"
Siang Lun Mogal terkejut.
Ia baru saja meloncat bangun oleh serangan Tan Hong, pucat dan diam-diam gentar oleh kelihaian pemuda itu.
Maka melihat nyonya ini menyerang dan menyabetkan rambutnya, betapa ia tak mungkin lolos dari keluarga ini mendadak ia menyeringai dan menyambut pukulan itu, menangkap dan kini hendak berganti tawanan.
"Dukk!"
Akan tetapi berkelebat bayangan lain dan Franky, pemuda tinggi besar itu menangkis.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Isterinya hendak ditangkap dan ia tentu saja bergerak, menangkis dan terpental akan tetapi isterinya selamat.
Rambut isterinya malah menyabet pipi kakek itu.
Dan ketika ia berteriak agar isterinya berhati-hati, Beng Li melengking dan marah sekali maka wanita itu menerjang lagi dan orang-orang kangouw mendadak membantunya.
"Bagus, serang dan robohkan kakek ini. Rampas Busur Kumala!"
"Ha-ha, serahkan kepadaku atau kau mampus. Ayo, Siang Lun Mogal, berikan Busur Kumala dan aku membantumu...des-dess!"
Kakek itu menjadi kaget dan marah ketika tiba-tiba saja orang-orang kang-ouw dipimpin Hung-wangwe mengeroyok dan membentak nya.
Huncwe maut itu kembali menyembur dan asap tembakau berhamburan.
Orang-orang sekitar ber batuk dan menyingkir sementara Ben Li memaki-maki.
Tentu saja ia melotot kepada hartawan ini.
Akan tetapi karena kakek itu lebih dibencinya karena ibunya terluka maka ia menyerang kakek itu dan suaminya bergerak mendampinginya pula.
Siang Lun Mogal membentak gusar memutar busurnya.
"Minggir, minggir atau kalian mampus. Siapa membantuku akan memiliki Busur Kumala!"
"Ha-ha, tak perlu bohong. Serahkan dulu baru kubantu, Siang Lun Mogal. Berikan kepadaku dan kau selamat!"
"Baik!"
Kakek itu tiba-tiba melontarkan busur.
"Terimalah, Hung-wangwe, dan cepat bantu aku!"
Hung-wangwe terkejut dan membelalakkan mata ketika tiba-tiba saja Busur Kumala dilemparkan kepadanya.
Otomatis ia menyambar akan tetapi seketika itu juga yang lain menghambur.
Mereka menghantam dan menyerang hartawan itu dalam usahanya merebut busur.
Dan ketika hartawan ini terpekik mengelak sana-sini maka busur berhasil ditangkapnya akan tetapi bersamaan itu tubuhnya menerima hujan serangan.
"Bak-bik-buk-crat!"
Sang hartawan mengeluh dan meloncat jauh sementara Siang Lun Mogal terkekeh-kekeh.
Kakek itu cepat mengalihkan perhatian lawan-lawannya namun bayangan merah menyambar.
Beng Li tahu-tahu menyerang dan menyabetkan rambutnya.
Dan ketika ia terkejut dan kembali berjengit, tengkuknya berdarah maka pemuda kulit putih itu membentaknya juga dan menyerangnya kuat.
"Dukk!"
Kakek ini terhuyung dan melotot dan tiba-tiba saja suami isteri itu menyerangnya lagi.
Busur Kumala tak di hiraukan keduanya dan nyonya itu melen king-lengking.
Dan ketika berkelebat bayangan hitam dan Kiok Eng membentaknya pula, Busur Kumala direbut orang-orang kang-ouw maka ia sudah dikeroyok tiga orang muda ini di mana yang paling ganas dan berbahaya tentu saja nyonya berbaju hitam itu, Kiok Eng.
"Plak-plak-dukk!"
Kakek ini kewalahan dan memaki-maki dan tiba-tiba saja Cit Kong menyerang nya pula.
Anak itu membantu ibunya dan Jouw-sanghui-teng di pergunakan menyambar-nyambar.
Ilmu meringankan tubuhnya dipakai anak itu.
Dan ketika ia memekik dan menjadi marah sekali mendadak ia merendahkan tubuhnya dan Ang-mo-kang menyambar orang-orang muda itu tak terkecuali Cit Kong.
"Dess!"
Akan tetapi kakek ini mencelat dan terbanting ketika bayangan putih berkelebat.
Tan Hong, pemuda yang ditakutinya itu maju.
Pemuda ini melindung anak isterinya dan tentu saja tak ingin mereka celaka.
Dan ketika kakek itu memekik merasa gentar, ia membalik dan meloncat tiba-tiba saja ia menyambar ke orang-orang kang-ouw yang masih berebutan Busur Kumala.
"Minggir dan enyahlah kalian!"
Orang-orang itu terlempar.
Di sini terjadi rebutan sengit antara Hungwangwe dengan orang-orang itu.
Huncwe hartawan ini menangkis dan menotok akan tetapi dia bukanlah Siang Lun Mogal.
Palu Besi Wee Yu bahkan membokongnya pula.
Maka ketika ia terjengkang dan bekas rekannya itulah yang merampas busur, ditendang Siang Lun Mogal dan dirampas kembali maka dua orang ini terguling-guling dan celakanya kakek muka merah ini mendekati Hung-wangwe.
"Dukk!"
Ujung huncwe langsung menyodok dan tepat sekali mengenai ulu hati kakek itu.
Palu Besi melotot dan terhenyak, napasnya seketika sesak.
Namun ke tika lawan terbahak dan ia marah sekali mendadak ia melontarkan palunya dan tepat sekali mengenai dahi sang hartawan.
"Pletok!"
Sang hartawan roboh dan terkulai namun tanpa disangka sama sekal sempat memencet gagang huncwenya.
Jarum-jarum hitam menyambar dan menyerang kakek itu.
Dan ketika Palu Besi ganti terbahak membuka mulutnya, menyambarlah jarum-jarum itu ke rongga mulutnya mendadak ia menjerit dan roboh berkelojotan.
Enam jarum menancap di langit-langit mulutnya dan semua beracun.
"Bluk!"
Kakek ini terguling bersamaan tawanya yang terhenti.
Ia benar-benai tak menduga bahwa lawannya itu melepas jarum-jarum beracun.
Dua sahabat ini tewas saling bunuh.
Dan ketika orangorang kang-ouw terkejut membelalakkan mata, Siang Lun Mogal meloncat dan melarikan diri maka ia mengejar rekannya yang membawa Busur Kumala.
"Omei-hud, tunggu dan kita bersama-sama!"
Omei-hud, pembawa busur kedua tiba-tiba mengeluarkan suara aneh.
Ia membalik dan meloncat naik dan tiba-tiba tak jadi turun.
Di bawah sana menghadang orang-orang kang-ouw lain.
Dan ketika in mengangguk dan kembali ke atas maka Siang Lun Mogal berseri girang betapa temannya ini tak marah kepadanya, bahkan mengajaknya menyingkir bersama-sama.
"Baik, kita ke kanan dan lihat sinar temaram itu. Ayo, Siang Lun Mogal, kita bersembunyi dan jangan biarkan orang-orang itu merampas milik kita!"
Tak pelak lagi kakek gundul ini mengiyakan dan setuju.
Ia terkejut dan berkerut betapa di bawah sana muncul musuh-musuh yang begitu banyak dan menghadang temannya.
Bukan tanpa maksud kalau ia ingin berdua.
Kakek itu akan merampas busur kedua dan memilikinya juga.
Maka ketika ia mengangguk dan benar saja di sebelah sana ada sinar temaram menerangi jalan setapak, rekannya berkelebat dan sudah lari ke situ maka ia teringat sesuatu dan tibatiba melepas baju luarnya.
"Omei-hud, bungkus dan padamkan cahaya Busur Kumala agar tak tampak. Balut dengan jubahmu!"
"Benar, sinar ini memandu mereka mengejar kita. Baik kusembunyikan dulu, Siang Lun Mogal, dan mari cepat bersembunyi di jalan setapak itu!"
Kakek ini mengikuti temannya namun tiba-tiba keduanya terkejut.
Sinar terang benderang lenyap dan lenyap pula jalan setapak itu.
Dan ketika keduanya tertegun da berseru tertahan, mendongak ke langit atas mendadak saja jalan itu terlihat lagi namun kini di sebelah kiri mereka.
Sinar temaram muncul lagi padahal langit gelap-gulita.
"Eh, itu dia. Cepat masuk!"
Siang Lun Mogal tak memperdulikan lagi segala keanehan.
Kakek ini berkelebat dan memasuki jalan setapak itu.
Namun ketika ia kehilangan pandang dan tak tahu ke mana arah jalan ini mendadak jalan itu lenyap lagi dan sinar temaram pun hilang.
Dan ia lebih terkejut lagi ketika terdengar seruan temannya di atas.
"Mogal, kau di mana!"
"Aku di sini!"
Kakek itu terkejut.
"Jalan ini gelap, Omei-hud, kau di mana dan bagaimana tiba-tiba di situ. Kau seakan di atasku!"
"Aku di sini, lihat!"
Dan ketika Busur Kumala berkeredep dikeluarkan lagi maka terlihatlah laki-laki itu di atas tebing, membelalakkan kakek ini akan tetapi Siang Lun Mogal berjungkir balik melayang ke atas.
Ia terkejut dan heran akan tetapi bentakan dan teriakanteriakan terdengar di bawah.
Dua batu hitam tiba-tiba menyambar mereka dan kakek ini cepat berkelit.
Ia melihat jalan setapak yang berlika-liku, naik dan entah ke mana akan tetapi bentakan dan teriakan ramai di bawah membuat kakek ini tak mau lama-lama di situ.
Ia berseru agar membungkus Busur Kumala, cahaya busur itu membuat mereka terlihat orang-orang di bawah.
Dan ketika Omei-hud mengangguk dan meloncat pergi akhirnya kakek inipun bergerak dan kini sinar temaram menunjukkan mereka dan betapa jalanan berliku serta naik turun mengharuskan mereka meloncat-loncat.
Suara air terjun sayup-sayup sampai dan kakek itu girang.
Di sana ia dapat menghilangkan jejak.
Maka lari dan mengikuti jalan setapak itu akhirnya ia tak mendengar suara orangorang kang-ouw akan tetapi betapa kagetnya ketika terdengar seruan dari Omei-san muncul di sebelah kiri mereka.
"Sute, kembalikan Busur Kumala dan jangan main-main di tempat ini!"
"Benar, dan kembalikan busur ditanganmu kepada yang berhak. Rakyat sri baginda memerlukan itu, Siang Mogal. Jangan lari dan serahkan semuanya baik-baik!"
Kakek itu dan rekannya menoleh.
Tiba-tiba di kiri kanan mereka muncul dua orang yang membuat mereka terkesiap.
Hian-ko Sin-kun dan hwesio sakti itu muncul.
Dan ketika keduanya membentak dan mengibas ke belakang maka dua orang itu menangkis dan Siang Lun Mogal maupun temannya terpelanting.
"Kalian mengganggu dan mengacau saja. Pergilah dan busur ini adalah milik kami berdua!"
Akan tetapi keduanya terlempar dan ber gulingan dan jalan setapak tiba-tiba pecah.
Siang Lun Mogal kaget dan gentar dan kebetulan menuju ke jalan sebelah kiri.
Temannya terlempar ke kanan dan kakek ini tak membuang-buang waktu, Ia meloncat dan menghilang di jalanan Itu.
Dan ketika kakek ini mengeluh sambil menendang kerikil-kerikil hitam, lenyap dan meninggalkan temannya maka Omei-hud juga bergulingan meloncat bangun dan melarikan diri lewat jalan sebelah kanan di persimpangan itu.
"Tunggu!"
Suhengnya membentak dan berseru.
"Kembali dan tinggalkan busur itu, sute. Kau tak berhak memilikinya, jangan mengangkangi milik orang lain!"
Akan tetapi laki-laki ini tak menjawab dan ia melarikan diri.
Sama seperti temannya iapun cepat menghilang di jalan setapak itu.
Sinar temaram lenyap kembali di tempat Siang Lun Mogal.
Kakek ini dipandu dan pucat serta gentar sekali.
Ia melarikan diri sambil membungkus Busur Kumala.
Dan ketika ia merasa cemas betapa dua lawannya yang lihai bermunculan di situ mendadak ia merasa tengkuknya dingin dan bayangan hitam tahu-tahu muncul di sebelah kirinya melepas serangan.
"Plak!"
Kakek ini terdorong akan tetapi lawannya terpental berjungkir balik.
Kiok Eng, wanita itu muncul dan tiba-tiba menyerangnya.
Ia hampir saja celaka.
Akan tetapi ketika ia terdorong dan ha m pir membentak sekonyong-konyong dan sebelah kanannya muncul bayangan kedua dan menyerangnya pula.
"Kakek jahanam tua bangka tak tahu malu!"
Kakek itu terkesiap.
Ceng Ceng, wanita itu mendadak muncul dan menyerang nya pula.
Kiok Eng berseru memanggil ibunya.
Akan tetapi karena ibunya menyerang kakek itu dan tali hitam menyambar cepat maka Siang Lun Mogal miringkan kepala dan menyambut serta mencengkeramnya marah.
"Plak!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ceng Ceng begitu bernafsu hingga terbawa dan tertarik ke depan.
Ikat pinggangnya tertangkap dan kakek itu membetot, sekali meraih tentu wanita ini tertangkap pula.
Namun ketika Kiok Eng berkelebat dan menendang ikat pinggang itu maka senjata ibunya putus dan Siang Lim Mogal terjengkang sementara ibunya disambar dan di selamatkan.
"Ibu, biarkan kakek ini kuhadapi dan menjauhlah selamatkan dirimu. Bagaimana kau datang!" "Aku diselamatkan ayahmu. Ia membebaskan namun aku benci sekali kepada kakek ini, Kiok Eng. Aku ingin membunuhnya dan mari kita keroyok!"
"Ah, kau mundur saja dan jangan dekat-dekat. Mana ayah!?"
"Ia menyuruhku menyingkir pula, akan tetapi aku bukan anak kecil yang penakut. Aku mencari musuh-musuhku ini dan kebetulan dia di sini pula. Ayo robohkan dia dan balas kematian subomu dan kekejamannya terhadap anakmu Cit Kong!"
Ceng Ceng menerjang dan menggerakkan cambuknya lagi dan sisa ikat-pinggang yang putus itu menyambar kakek gundul ini.
Ia begitu marah dan benci hingga tak mau mendengar kata-kata puterinya.
Maka begitu kakek itu bergulingan dan senjatanya mengejar maka bokong kakek itu terkena sabetan namun Siang Lun Mogal melancarkan pukulan jarak jauhnya, Ang-mo-kong.
"Dess!"
Kiok Eng menjerit melihat ibunya terbanting.
Ia berkelebat dan membantu ibunya itu dan dilihatnya muka ibunya pucat.
Akan tetapi ketika ibunya dapat meloncat bangun dan tak apa-apa, ia lega maka Siang Lun Mogal juga heran namun kakek itu tiba-tiba melarikan diri.
Ia melihat bayangan Hian-ko Sin-kuri.
"Mogal, kembalikan serahkan dirimu baik-baik!"
Busur Kumala dan Kakek ini melesat lenyap.
Ia tentu saja tak mau berhadapan dengan lawannya itu.
Terlalu banyak musuh-musuh tangguh.
Maka menghilang dan meninggalkan dua wanita itu kakek ini mengikuti jalan setapak di mana ia meloncat-loncat dan kadang kala berhenti sejenak menghapalkan sekitar, merasa naik dan berliku-liku sampai akhirnya sampailah di air terjun itu.
Ia girang dan lega melihat pohon-pohon lebat.
Maka melompat dan tiba di sini akhirnya terlihat pula sebuah gubuk kecil yang teduh dan aman, tempat yang membuat ia tiba-tiba merasa mengantuk! Akan tetapi Siang Lun Mogal menggeleng kepala kuat-kuat.
Angin sejuk menerpanya halus dan ia ingin sekali membaringkan tubuhnya di situ.
Tibatiba segala kepenatan terasa.
Akan tetapi menggeleng dan sadar akan bahaya ia tak mau tetap di situ dan gemuruh air terjun membuat ia tak tahu betapa dari empat penjuru muncul bayangan-bayangan ringan dan ia baru kaget ketika nyonya dan ibunya itu menghadang di sebelah depan.
Ia baru saja hendak melompat dan bersembunyi di air terjun itu.
"Jahanam Siang Lun Mogal, serahkan dirimu dan bayar segala hutang-hutangmu kepadaku!"
Kakek ini terbelalak, berkelit dan menghindar.
Kiok Eng menyerangnya dan sang ibu menubruk pula.
Ia terkejut beta pa dua orang ini tahu-tahu di situ.
Akan tetapi maklum bahwa mereka adalah pemilik Liang-san, tentu tahu dan hapal akan tempat-tempat di situ maka kakek ini mendengus dan akhirnya membalik ser ta membalas dua orang itu.
Tiba-tiba ia ingin merobohkan keduanya dan menangkap mereka.
"Bagus, malam ini aku akan merobohkan kalian. Kalian hanya mengganggu dan merepotkan aku saja!"
Akan tetapi ibu dan membentak dan mengelak serta menyerongnya pula.
Mereka berseru dan tak kelihatan takut dan Kiok Eng melepas saputangan di lehernya.
Benda ini meledak dan menyerang kakek itu sementara ibunya mempergunakan cambuk yang putus menjeletar-jeletar.
Sebentar saja mereka berkelebatan dan merangsek hebat.
Akan tetapi karena kakek itu amat lihai dan ia lebih menekan sang ibu daripada sang anak, Kiok Eng memang lebih lihai daripada ibunya maka wanita inilah yang berkali-kali didorong mundur dan Kiok Eng sering menyelamatkan ibunya dari ancaman kakek itu, dan kakek ini menggeram, berjongkok dan akhirnya melepas Angmo-kangnya itu.
"Dess!"
Dua-duanya terhuyung dan kakek ini terkekeh, la mendesak dan melepas pukulannya lagi dan tangan kirinya bergerak-gerak pula.
Kini Hoat-Iekkim ciong-ko dikeluarkan membantu Katak Merahnya.
Akan tetapi ketika berkelebat bayangan kecil dan Cit Kong tahu-tahu menerjangnya pula maka kakek itu berkelit membentak marah.
"Haram jadah!"
Cit Kong tak perduli.
la telah dibekali ibunya ilmu-ilmu Liang-san, menyerang dan memaki kakek itu pula dan mempergunakan ilmu meringankan tubuh nya Jouw-sang-hui-teng.
Siang Lun Mogal mendelik melihat anak itu mempergunakan ilmunya.
Jouwsang-hui-teng adalah ilmu yang ia berikan kepada anak itu.
Akan tetapi ketika Cit Kong merobah gerakannya dan kemudian tubuhnya melayang-layang seperti kapas ringan, itulah Sin-bian-ginkang yang dipelajarinya dari ibunya maka anak ini kian berbahaya membuat kakek itu kaget.
"Des-plak!"
Ia terlongong dan mengagumi anak itu sampai akhirnya tersabet senjata di tangan Kiok Eng dan ibunya.
Kakek ini terkejut dan terhuyung akan tetapi sinkangnya melindunginya, kakek itu memang kebal.
Akan tetapi ketika berkelebat bayangan lain dan Beng Li menyerangnya gusar maka kakek itu melotot betapa empat keluarga Liang-san tiba-tiba mengeroyoknya sengit.
"Tak tahu malu, curang dan pengecut. Kalian mengeroyok seorang tua bangka yang seharusnya kalian bebaskan. Aku sudah membebaskan tawanan ku dan mana janji kalian untuk membiarkan aku pergi!?"
"Tak usah banyak mulut dan serahkan dirimu yang kotor dan amat licik. Kat melukai ibuku dan membuatnya terancam bahaya, Siang Lun Mogal. Kau tak menepati janjimu sendiri dan memperdayai kami. Robohlah dan serahkan jiwamu atau biarkan tubuhmu kuhancur leburkan!"
Beng Li yang marah ibunya terluka membentak dan menerjang kakek itu amat dahsyat, la mempergunakan rambutnya dan kakek ini teringat Sin-mauw Sin-ni yang dibunuhnya.
Seperti itulah May-may kalau mengamuk.
Akan tetapi karena ia tak gentar dan terkekeh menyeringai maka ia mendorongkan kedua tangannya dan Hoat lek-kimciong-ko tiba-tiba menyambar.
"Heh-heh, kau bocah wanita tak tahu diri. Kalianlah yang roboh dan berlutut di bawah kakiku, siauw-hujin. Ayo tunduk dan buang senjatamu dan lihat betapa kalian membawa ular!"
Beng Li dan lain-lain terkejut ketika benar saja senjata yang mereka bawa mendadak berubah menjadi ular.
Ceng Ceng terpekik dan membuang ikat pinggangnya yang disangka ular, Kiok Eng juga begitu dan wanita ini kaget sekali.
Namun ketika bayangan putih berkelebat dan Tan Hong membentak di situ maka pemuda ini membuat Siang Lun Mogal terpekik dan melempar tubuh bergulingan ketika pukulannya ditangkis pemuda itu membuat ia terbanting dan kaget sekali.
"Tak ada ular atau apapun di sini. Hoat-lek-kimciong-komu tak berhasil, Mogal. Senjata di tangan mereka bukanlah ular dan lihat kau akan celaka olehnya... dess!"
Munculnya Tan Hong benar-benar mengejutkan kakek ini dan kakek itu mengeluh dan meloncat bangun bergulingan.
Tentu saja Siang Lun Mogal menjauhkan diri dan kakek ini pucat sekali.
Ia tak mungkin mencelakai lawan-lawannya apabila pemuda itu muncul di situ.
Maka bergulingan meloncat bangun dan hendak kabur meninggalkan tempat itu mendadak dua bayangan berkelebat dan seorang pemuda baju hijau dan seorang wanita asing berkulit putih tahu-tahu mencegatnya.
"Siang Lun Mogal, hutang kejahatan-mu kepada keluarga Liang-san banyak sekali. Lunasi dan jangan pergi dan terimalah hukumanmu!"
Kakek ini mengelak, menangkis dan menjadi marah karena tiba-tiba dirinya terkepung.
Kong Lee, putera Fang Fang menyerangnya.
Dan ketika dua orang itu terpental namun saat itu Kiok Eng dan lainlain berkelebatan datang maka ia diserang dan dikeroyok kembali.
Kiok Eng dan ibunya marah betapa mereka dikecoh kakek ini.
"Kau memang tua bangka jahat licik. Kau mengacau dan membuat keluarga Liang-san bermusuhan, kakek busuk. Hari kematianmu sudah tiba dan terimalah hukumanmu!"
"Dan aku akan membalas kematian nenek Maymay. Kau biang keladi segala kerusuhan dan hari ini ajalmu tiba!"
Ceng Ceng wanita itu menyerangnya pula dan nenek dari Cit Kong ini marah sekali.
Kakek itu menangkis dan mengelak akan tetapi dari manamana musuh mengejar dan menyerangnya.
Dan karena di sana masih ada Tan Hong di mana pemuda itu menunggu dan tak bergerak kecuali ada bahaya akhirnya kakek ini membentak dan keluarlah akal liciknya.
"Tunggu, tunggu dan berhenti dulu bagaimana kalau aku menyerahkan Busur Kumala. Aku dapat menghancurkan busur ini dan memusnahkannya kalau aku mau. Apa yang kalian berikan kalau aku memberi ganti rugi!"
"Kau tak dapat memberi ganti rugi. Dosamu terlalu banyak, kakek gundul, tanpa diserahkan kami dapat merampas Busur Kumala!"
"Dan membunuhmu!"
Ceng Ceng menerjang.
"Kau telah mempermainkan aku dengan temanmu yang kurang ajar itu!"
Siang Lun Mogal terkejut dan mengelak dan ia khawatir sekali oleh sikap nekat ibu dan anak.
Kiok Eng seakan tak perduli sementara ibunya juga sama saja.
Mereka begitu marah.
Akan tetapi menengok dan menyelamatkan diri dan semua seranganserangan itu kakek ini berseru kepada Cit Kong, suaranya gemetar, memelas, "Buci, bagaimana pikiranmu kalau aku hendak menyerahkan diri.
Pantaskah seorang yang hendak menyerah masih dikejar-kejar dan hendak dibunuh.
Bagaimana rasa keadilanmu!"
Anak ini terhenyak dan masuklah getaran gaib suara kakek itu ke dalam telinganya, la seperti ayah nya yang lemah hati dan amat sabar, pada dasarnya mudah mengampuni orang dan gerak-geriknya mirip Tan Hong.
Maka ketika kakek itu berseru dan betapapun ia pernah berhubungan dengan kakek ini, bahkan meru pakan bekas guru maka Siang Lun Mogal yang cerdik tak menyia-nyiakan kesempatan terakhir itu.
Kakek ini tahu baik watak dan kelembutan anak itu.
"Lihat!"
Serunya lagi.
"Keluargamu mengeroyok dan hendak membunuhku, Buci, di mana keadilan mereka apabila aku me nyerahkan diri. Tangkap Busur Kumala dan suruh kedua orang tuamu menghentikan serangan!"
Anak ini terkejut dan membelalakkan mata ketika tiba-tiba saja Busur Kumala dilontarkan kepada nya.
Otomatis ia menangkap dan semua orangpun tertegun.
Akan tetapi begitu tak ada yang menyerang dan kesempatan baik ini tak disia-siakan kakek itu mendadak kakek ini berkelebat dan ia memburu atau lebih tepat lagi menyerang Cit Kong.
"Tuk!"
Anak itu roboh dan selanjutnya kakek ini tergelak-gelak.
Siang Lun Mogal memperdayai lawanlawannya dan kakek ini girang sekali, la mengelabuhi mereka dengan sikapnya yang licik dan amat kotor.
Tan Hong sendiri tak menduga kejadian itu.
Maka ketika puteranya dicengkeram dan Busur Kumala direbut kembali akhirnya kakek ini membentak, kokok ayam hutan terdengar nyaring, pagi mulai tiba.
"Sekarang siapa berani menggangguku. Mundur dan beri jalan baik-baik atau anak ini kubunuh!"
Kiok Eng melengking namun nyonya itu tak berani bergerak.
Tentu saja ia memaki-maki dan mengumpat habis kakek ini.
Siang Lun Mogal terbahak dan tak perduli.
Dan ketika akhirnya Tan Hong berkelebat dan berdiri di depan kakek itu maka pemuda inipun gemetar berseru melihat kelicikan kakek itu.
"Siang Lun Mogal, kau katanya hendak menyerah. Akan tetapi apa yang kau lakukan ini dan kenapa menangkap Cit Kong. Kembalikan puteraku dan jangan mengganggunya sedikitpun. Pergilah dan kami tak akan menyerangmu dan aku bersumpah membebaskanmu sampai selamat di bawah gunung!"
"Ha-ha, tak cukup hanya sampai di situ. Aku ingin pulang, anak muda, ingin kembali ke Mongol. Berjanjilah bahwa ka lian tak akan menyerang dan menghabiskan persoalan ini sampai di sini saja!"
"Kami berjanji."
"Dan anak ini kulepas di perbatasan!"
"Tidak bisa!"
Kiok Eng berseru.
"Anak itu dibebaskan di sini, kakek jahanam, bukan di tempat lain. Suamiku telah berjanji dan kami tak akan menjilatnya!"
"Benar, kami membebaskanmu dan jangan minta berlebihan. Di bawah gunung sudah cukup dan kami tak akan mengganggumu!"
Tan Hong bicara lagi dan pemuda itu bersinar-sinar.
Diam-diam ia marah sekali kepada kakek licik ini akan tetapi keselamatan puteranya lebih penting.
Ia telah menjamin semua orang di situ membebaskan Siang Lun Mogal.
Maka ketika sikapnya begitu tegas dan kakek ini tergetar juga mendadak anak itu berseru.
"Ayah, ibu, tak usah hiraukan aku. Serang dan bunuh kakek ini dan jangan biarkan ia lolos!" "Tidak, aku telah berjanji. Kata-kataku tak dapat dijilat lagi, Cit Kong, biarkan ia pergi dan kau dibebaskan di bawah gunung. Kalau ia berani macammacam barulah semuanya berubah!"
Tan Hong lagilagi berseru dan sikap gagah pemuda itu tak mungkin ditawar.
Pandang matanya tajam menatap kakek itu dan Siang Lun Mogal tahu diri, kakek ini tergelak.
Maka ketika ia meminta jalan dan pemuda itu meloncat mendahului maka kakek ini tertegun betapa ia tak akan dapat keluar kalau tak diantar.
"Marilah, Siang Lun Mogal, ikuti aku dan jangan berharap mampu keluar dari jalanan pat-kwa di Air Terjun Dewa-dewi ini tanpa bantuan kami!"
Kakek itu menelan ludah, terkekeh gentar.
Baru sekarang ia tahu bahwa ia memasuki jalanan pat-kwa (segi delapan).
Pantas ia merasa berputar-putar dan tak pernah turun.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia terus naik dan melingkar-lingkar di situ.
Dan ketika ia berkelebat sementara Kiok Eng dan lain-lain memandang penuh benci maka kakek ini mengikuti Tan Hong dan akhirnya cahaya kemerahan muncul di puncak gunung dan pagi benar-benar datang.
"Cukup, di sini serahkan puteraku.
Kita telah di bawah gunung, Siang Lun Mo gal.
Pergilah dan tepati janjimu dan jangan menjilat ludah!"
"Heh-heh!"
Kakek itu berseri, girang namun lega melempar Cit Kong.
"Aku mempercayaimu, Tan Hong, kalian keluar ga Liang-san tak boleh menyerangku lagi dan hutang-pihutang kita habis di sini!"
"Enyah dan jangan tampakkan dirimu lagi di sini. Pergi, kakek busuk, pergi dan jangan pentang bacot atau aku bisa lupa diri!"
Kiok Eng membentak dan terisak menyambar puteranya dan kakek ini tergelak-gelak.
Ia merasa menang dengan perjanjian itu.
Ia telah membuat tak berdaya keluarga Liang-san.
Ia tak akan dicari dan dikejar-kejar.
Akan tetapi ketika ia membalik dan meloncat meninggalkan tempat itu mendadak terlihat bayangan-bayangan orang dan ratusan orang kang-ouw tahu-tahu membentaknya.
"Siang Lun Mogal, serahkan Busur Kumala!"
"Benar, serahkan dan kau selamat. Kiranya kau bersembunyi di sini, kakek gundul. Kau tak berhak memiliki busur itu sebagai orang asing. Serahkan kepada kami dan jangan menginjak bumi Tiong-goan lagi!" Kakek itu terkejut dan membelalakkan mata ketika ratusan orang membentak dan mengepungnya cepat. Tan Hong dan anak isterinya mundur dan kakek itu tiba-tiba sendiri. Ia tahu-tahu sudah dikurung orang-orang kang-ouw ini. Dan ketika ia masih tertegun sambil memegang Busur Kumala, orangorang itu demikian cepat berdatangan mendadak mereka menerjang dan merebut busur itu.
"Serahkan kepadaku!"
"Tidak, kepadaku!"
Kakek ini berkelit dan membentak ketika orangorang itu bagai harimau-harimau haus darah menyerang dan menusuknya sambil merebut busur di tangan kanannya.
Tentu saja ia melengking dan menyambut dan tangan kirinya bergerak.
Ang-mokang menderu dan lima orang terbanting menjerit.
Akan tetapi karena dari belakang menyambar yang lain dan tiba-tiba saja dari muka belakang berhamburan yang lain maka kakek ini menyambar dan selanjutnya ia berkelebatan melayani arus gelombang yang amat dahsyat itu.
Diam-diam kakek ini pucat.
"Tak tahu malu dan amat curang. Pergi, tikustikus busuk, pergi dan enyah kalian... bak-bik-buk!" busur di tangan kakek itu akhirnya bekerja pula dan mereka yang tersambar berteriak ngeri. Punggung dan tulang-tulang mereka patah. Akan tetapi ketika orangorang kang-ouw itu semakin marah betapa seorang kakek asing merobohkan teman-teman mereka maka terdengar bentakan dan seruan disusul pekikan berulang-ulang.
"Bunuh kakek ini. Hajar dan robohkan dia yang berani membunuh teman-teman kita. Bunuh dia!"
Kakek itu menjadi terkejut ketika orang-orang kang-ouw ini mendadak begitu beringas.
Ia telah mencari jalan keluar akan tetapi jalan itu tertutup.
Mereka se lalu mengisi lagi tempat-tempat kosong.
Begitu teman terbanting merekapun bergerak cepat mengisi kekosongan ini.
Dan ketika senjata serta pukulan menghajar kakek itu akhirnya Siang Lun Mogal tak mungkin menyelamatkan dirinya lagi.
Ia terpaksa menerima pukulan dan tangkisan.
"Des-des-plakk!"
Kakek ini terhuyung dan melotot akan tetapi sinkangrtya melindungi.
Tiba-tiba iepun menggeram dan digerak-gerakkannya Busur Kumala.
Angin menderu ketika kakek ini melompat.
Lalu ketika ia melengking dan kesakitan oleh pukulanpukulan itu, betapapun kulitnya terasa pedas dan panas maka kakek ini mengamuk dan selanjutnya dapat dibayangkan apa yang terjadi.
Dua tiga gerakan membuat belasan orang tertempa dan menjerit, terbanting dengan kepala pecah.
"Busur Maut... Busur Maut, awas Busur Maut'"
Orang-orang kang-ouw menjadi ngeri namun solidaritas sesama teman memaksa mereka kembali.
Kakek itu berkelebatan bagai harimau tua dan bentakan serta seruannya menggetarkan musuh.
Siapapun dipaksa mundur.
Tapi ketika berkelebat bayangan kuning dan Sia-tiauw-eng-jin muncul di situ maka kakek ini terkekeh-kekeh menangkis.
Ia membawa Po-sia-kim yang ampuh itu.
"Heh-heh, tua bangka Siang Lun Mogal tak tahu malu. Kau berhadapan dengan tikus-tikus lemah, kakek gundul, bukan tandinganmu. Ayo main-main sebentar dan lihat aku datang lagi. Kau telah memberiku pijatan yang lunak... desss!"
Kakek ini mengejutkan Siang Lun Mogal dan dua-duanya terpental.
Siang Lun Mogal terheran-heran dan kaget bagaimana lawan yang sudah terluka ini muncul lagi.
Apakah Sia-tiauw-eng-jin sudah sembuh.
Akan tetapi tergetar dan terpental oleh tangkisan kakek itu, Siang Lun Mogal melotot maka Sia-tiauw-eng-jin menyerang nya lagi dan kakek ini berseru agar orang-orang kangouw itu mundur.
"Kalian menonton dan jangan maju ke sini. Siapa maju dia mampus... dess-trakk!"
Panah di tangan kakek itu bertemu busur di tangan Siang Lun Mogai dan keduanya kembali terhuyung-huyung.
Kakek ini menjadi marah akan tetapi lawannya menyerang lagi.
Dan ketika Sia-tiau-eng-jin terkekehkekeh sementara orang kang-ouw mengepung lagi maka muncullah Siauw-toh berteriak khawatir.
"Suhu, kenapa kau bertempur lagi. Mundur dan jaga kesehatanmu dan ingat pesan supek (uwa)!"
"Diam, kau bocah cerewet tak tahu aturan. Pergi atau bantu aku dan jangan bicara macammacam!"
"Ha-ha!"
Siang Lun Mogal tergelak.
"Kau rupanya berlagak gagah, Sia-tiauw-eng-jin, sudah terluka namun pura-pura sembuh. Wah, mari kutangkis dan biar kulihat sampai berapa lama kau kuat bertahan... dukk!"
Kakek itu mengerahkan tenaganya dan Sia-tiauw-eng-jin mengeluh. Darah tiba-tiba meleleh di sudut bibirnya. Namun ketika muridnya berteriak dan masuk arena maka Siauw-toh menusuk kakek itu dengan anak panahnya. "Plak!"
Siang Lun Mogal membalik dan orangornag kang-ouw tiba-tiba riuh. Mereka melihat terdorongnya Sia-tiauw-eng-jin dan darah di sudut bibir itu. Maka bersorak dan menerjang lagi mendadak mereka menyerbu dan menyerang kakek itu.
"Plak-plak-dess!"
Kakek ini menjadi sibuk dan marah ketika menangkis orang-orang kang-ouw itu.
Ia tentu saja membentak dan memaki-maki namun Siatiau-eng-jin terkekeh.
Kakek ini melompat dan menyerang pula.
Dan ketika ia masih gagah meskipun terseok sana-sini, terhuyung dan terkekeh maju lagi maka Siang Lun Mogal gusar sekali kepada kakek ini.
Tentu saja biarpun terluka akan tetapi la wannya itu masih tangguh, apalagi kalau dibantu orang-orang kang-ouw.
"Sia-tiauw-eng-jin keparat busuk, kau pengecut dan curang melakukan keroyokan. Kau tak tahu malu!"
"Heh-heh-ha-ha-ha...! Aku justeru membantu mereka, Siang Lun Mogal, bukan dibantu. Merekalah yang maju sendiri dan kau harus menghadapinya. Lihat ketika kau mengeroyokku bersama Omei-hud dan berbuat curang pula!" "Pengecut, jahanam tak tahu malu. Keparat!"
Kakek itu tak mungkin berbantah panjang lebar lagi ketika ratusan orang-orang kang-ouw itu mengeroyok nya ganas.
Mereka berteriak dan memaki-maki namun Siang Lun Mogal adalah kakek lihai.
Ia seorang Mongol yang amat gagah biarpun dikeroyok.
Dan ketika ia membentak dan mengeluarkan Hoat-lek-kim-ciongkonya, sinar biru menyambar maka orang-orang kangouw itu tertegun.
"Baik, lihat apa yang kulontarkan ini. Kalian menghadapi naga raksasaku...koaakkk!"
Seekor naga yang besar dan dahsyat tiba-tiba menyambar dan mengeluarkan pekik menggelegar.
Ia menyemburkan lidah api dan orang-orang itu berhamburan.
Mereka yang terjilat seketika hangus dan terbanting.
Akan tetapi ketika Sia-tiauw-eng-jin memekik dan mendorongkan tangan ke depan mendadak air yang dingin memusnahkan naga ini.
"Ikat kepalamu hanya ikat kepala, tak ada naga. Hancurlah!"
Ledakan disusul lenyapnya naga itu dan kakek ini marah bukan main.
Siang Lun Mogal mencakmencak sementara Sia tiauw-eng-jin terkekeh-kekeh.
Akan tetapi ketika kakek gundul itu menggerakkan tangannya lagi dan seberkas sinar menyambar Siatiauw-eng-jin maka kini serangannya ditujukan langsung kepada lawannya itu.
"Kau memang kurang ajar dan suka mengganggu orang lain. Terimalah ular hitamku ini dan cobalah kekuatanmu!"
Orang-orang kang-ouw melihat ular hitam akan tetapi Sia-tiauw-eng-jin melihat tali pinggang dilolos kakek itu. Benda ini menyambarnya cepat hingga berdesis. Akan tetapi tertawa dan mendorongkan kedua tangannya ke depan kakek itu menangkis.
"Tar!"
Suara bagai kilat meledak mengejutkan penonton. Asap mengebul dan Sia-tiauw-eng-jin terdorong. Dan ketika Siang Lun Mogal tergelak dan berkelebat ke depan tiba-tiba kakek ini menyusuli serangannya dengan busur menghantam kepala.
"Tamat riwayatmu, kakek usil. Kematianmu sudah tiba!"
Akan tetapi berkelebat bayangan putih yang amat cepat.
Tan Hong yang tak dapat membiarkan ini tahu-tahu menangkis, tepat bersamaan dengan bayangan la in yang tak kalah cepat.
Dan ketika dua tenaga menangkis dari kiri kanan maka kakek itu terbanting dan muncullah Hian-ko Sin-kun menolong sutenya.
"Des-dess!"
Siang Lun Mogal mengeluh dan terjerembab dan Busur Kumala terlepas. Ia kaget dan membeliak kan mata sementara Tan Hong tak kalah terkejut. Kakek yang belum dikenalnya muncul di situ. Dan ketika bersamaan itu muncul dua muda-mudi memanggil "suhu"
Barulah pemuda ini tertegun betapa Kui Yang dan Kang Hu menubruk kakek berwajah lembut itu. Namun saat itu terdengar ributribut dan Busur Kumala yang terlempar dari tangan kakek itu mendadak dijadikan rebutan dan pekik orang-orang kang-ouw.
"Milikku!"
"Tidak, milikku!"
Lalu ketika pemuda itu menengok dan Busur Kumala berpindah-pindah tangan akhirnya bentakan dan seruan-seruan ganas memenuhi gunung.
Siang Lun Mogal masih terbanting dan sesak napas namun kakek inipun melotot.
Diam-diam ia marah sekali.
Maka ketika semua orang tertarik perhatiannya dan ia pun tak mungkin merampas kembali mendadak kakek ini melompat dan ia menyambar Cit Kong di saat semua keluarganya melihat adu rebut orang-orang kang-ouw itu.
"Cit Kong!"
Akan tetapi Ceng Ceng menjerit dan melihat tubrukan kakek ini.
Wanita itu membentak dan iapun menyadarkan lainnya, tidak sekedar itu akan tetapi meloncat dan menangkis kakek itu.
Akan tetapi karena lawan bergerak lebih cepat narnun untunglah Cit Kong membanting diri maka cengkeraman kakek itu diterima Ceng Ceng dan wanita ini menjerit betapa kakek itu menggerakkan tangan yang lain dan menghantam lehernya.
"Krekk!"
Kiok Eng memekik melihat ibunya terbanting. Tiba-tiba saja ibunya roboh tak bergerak. Tulang leher nya patah. Dan ketika wanita itu melengking dan menjadi marah maka ia membalik dan menerjang kakek ini. Keluarga Liang-san menjadi geger.
"Ia membunuh nenekku. Kakek itu membunuh nenekku!"
Cit Kong yang bergulingan meloncat bangun mendadak berteriak dan marah sekali.
Anak ini melihat neneknya terkulai dan lehernya patah.
Maka memekik dan meloncat bangun ia menerjang dan membantu ibunya di situ.
Gelisahlah kakek ini ketika bayangan-bayangan keluarga Liang-san berkelebatan.
Ia tak mungkin lagi menyelamatkan diri kalau begitu.
Maka membentak dan menyambut dua orang itu iapun bermaksud merobohkan secepatnya namun Beng Li dan lain-lain maju tak tahan.
Kakek ini menjadi pias.
"Siang Lun Mogal, kau mencari kematianmu sendiri. Kau menghancurkan semuanya!"
"Benar, tak perlu lagi terikat sumpah. Kau yang merusaknya, kakek gundul, dan kau pula yang menerima akibatnya. Terimalah hukumanmu!"
Kakek ini mengelak dan menangkis ketika tibatiba saja Kiok Eng dan semuanya menyerang.
Ia dikeroyok dan memaki-maki namun seruannya tak didengar.
Namun ketika berkelebat bayangan putih dan kakek ini menjadi gentar mendadak ia memutar tubuhnya dan lari ke orang-orang kang-ouw itu.
Tan Hong membentaknya dan disangka mengeroyok pula.
"Tak tahu malu, pengecut dan curang. Kalian tak pantas disebut keluarga gagah dari Liang-san!"
"Berhenti!"
Pemuda itu berseru.
"Aku ingin menuntutmu seorang lawan seorang, Siang Lun Mogal, kami tak akan mengeroyokmu dan jangan lari!" Akan tetapi kakek ini meloncat dan masuk dalam rebutan orang-orang kang-ouw itu. Tentu saja ia tak menggubris Tan Hong dan ingin menyelamatkan diri. Di balik ratusan orang-orang itu ia dapat menghilang. Akan tetapi ketika muncul sebuah wajah dan ia kaget sekali, wajah Fang Fang maka kakek ini berteriak dan menghantam.
"Dess!"
Pukulannya mengenai tempat kosong dan wajah itu lenyap, la tertegun dan mencari-cari namun orang yang ditakutinya tak ada.
Kakek ini bingung.
Mungkin ia melihat hantu.
Maka menyelinap dan masuk lagi ke tempat orang-orang kang-ouw itu ia menyusup dan bermaksud melarikan diri.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi ah...
wajah itu muncul lagi, tepat sejengkal saja di sebelah kirinya.
"Dess!"
Kakek ini memukul dan berteriak lagi akan tetapi lawannya lenyap. Ia menoleh dan berada di sebelah kanan namun lenyap lagi. Dan ketika kakek ini berteriak-teriak dan menjadi gentar tiba-tiba Siatiauw-eng-jin terkekeh di belakangnya dengan panah emas.
"Siang Lun Mogal, dosamu sudah bertumpuktumpuk. Ayo hadapi aku dan siapa yang akan mampus di sini!" (Bersambung
Jilid 23) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara
Jilid XXIII *** KAKEK itu kaget sekali.
Sia-tiauw-eng-jin tahutahu menusuknya dengan panah emas.
Lawan yang terkekeh dan menyeringai ini tak menghiraukan mengalirnya darah di sudut bibir.
Maka membalik dan marah sekali Siang Lun Mogal mencengkeram panah itu namun ia tak tahu betapa Siauw-toh muncul di sebelah kirinya dan membentak melepas panah tangan.
"Tua bangka jahanam, lihat seranganku!"
Siang Lun Mogal terkejut dan tak mungkin menghadapi pula serangan anak muda itu.
Ia telah membalik dan mencengkeram panah emas Sia-tiauweng-jin.
Saat itu ia mengerahkan tenaga dan menekuk, kaget tak dapat mematahkan dan panah emas hanya bengkok.
Dan ketika ia geram namun saat itu lawan melepas Hoat-kut-ciangnya maka iapun menyambut dan Hoat-lek-kim-ciong-ko Penghancur Tulang.
bertemu Tangan "Krek-dess!"
Sia-tiauw-eng-jin terbelalak dan mengeluh dan tubuhnya terdorong.
Ia bertahan akan tetapi tak kuat, terangkat dan tiba-tiba terlempar jauh sekali.
Panah emasnya terlepas akan tetapi saat itu panah tangan muridnya menyambar, mengenai pipi dan leher kakek ini namun terpental.
Siang Lun Mogal telah melindungi dirinya dengan sinkang.
Akan tetapi ketika menyambar dua panah lain dan kakek ini menjerit maka sepasang matanya tertusuk panah kecil dan kakek itu tiba-tiba membanting tubuh bergulingan sambil meraung-raung.
Dua bayangan berkelebat dan Kang Hu serta Kui Yang muncul di situ.
"Argghhhh... jahanam keparat, aduh mataku!"
Dua muda-mudi itu saling pandang dan kedua nya melihat kakek jahat yang kesakitan ini.
Siang Lun Mogal tak mungkin melindungi matanya dan dua muda-mudi itulah yang menyerangnya.
Panah mereka tepat mengenai sasarannya.
Dan ketika kakek itu bergulingan dan berteriak-teriak mendekati orangorang kang-ouw, mereka masih berebut Busur Kumala tiba-tiba saja mereka menghujankan senjata ke tubuh kakek ini.
"Crak-crik-crak!"
Siang Lun Mogal terbacok dan kakek yang kesakitan itu kehilangan kekebalannya.
Ia tak mungkin mengerahkan sinkang dalam kesakitan yang amat hebat itu.
Maka ketika orang-orang kangouw membacoknya dan tubuhnya bermandi darah akhirnya kakek ini terkulai dan potongan daging serta robekan baju berhamburan di tempat itu.
Siang Lun Mogal tewas dengan wajah yang sukar di kenali lagi.
"Berhenti!"
Tiba-tiba terdengar seruan meng getarkan.
"Berhenti dan lihat siapa itu, saudarasaudara. Berhenti dan mundur semua dan lihat siapa yang datang"
Tan Hong berkelebat di tempat itu dan pemuda ini menyambar Busur Kumala lalu terjungkir balik di atas sebuah batu besar.
Gerakannya yang cepat dan kibasannya yang kuat membuat semua orang terdorong.
Beberapa di antara mereka bahkan terjengkang.
Dan ketika semua orang terkejut dan menjadi marah, memaki namun saat itu terdengar suara genderang mendadak seribu pasukan besar muncul dan derap kuda mereka yang bergemuruh mendadak membuat semua orang berubah.
"Lihat!"
Pemuda itu tak menyia-nyiakan kesempatan.
"Istana telah mengutus orang-orangnya untuk menerima Busur Kumala. Kalian tak berhak dan hanya paduka kaisar pemiliknya yang sah!"
"Benar!"
Terdengar suara menggeledek.
"Kami datang dan diutus mencari Busur Kumala, cuwienghiong (orang-orang gagah). Hanya mereka yang tak tahu diri dan tak tahu malu ingin merampas milik orang lain. Harap cuwi mundur dan pulang baik-baik dan biarkan kami mengembalikannya ke istana!"
Seorang kakek gagah disusul kakek lain berderap dan tahu-tahu berdiri di situ.
Mereka berada di atas kuda hitam yang amat besar dan terdengar jerit panggilan.
Kui Yang dan Kang Hu tahu-tahu menubruk dua orang ini.
Dan ketika dua kakek itu sejenak tertegun dan meloncat dari kudanya maku dua mudamudi ini sudah menjatunkan diri berlutut.
"Ayah!"
"Kong-kong!"
"Ha-ha!"
Kakek pertama tertawa bergelak.
"Kau di sini, Kang Hu bagus sekali. Akan tetapi mundurlah dan biar kuhadapi dulu orang-orang ini dan benar kiranya kalau kau keluyuran di sini?"
Kakek itu mendorong dan mengibas dan sikapnya gagah sekali ketika menghadapi orang-orang kang-ouw itu.
Ia tak segan-segan membusungkan dada dan pandang matanya yang tajam menyambar semua orang di situ.
Inilah Bu-goanswe yang amat perkasa, sahabat dan sudah lama mengenal keluarga Liang-san.
Dan karena ia menghadapi orang-orang itu dan sementara itu pasukannya menyusul maka pasukan besar ini telah mengepung atau memagar betis tempat itu.
Liang-san tiba-tiba bergemuruh dicekam ketegangan yang sewaktu-waktu bisa meledak.
"Cuwi-enghiong!"
Kakek itu berseru dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Sebagai utusan dan orang yang dipercaya sri baginda maka telah kudapatkan Busur Kumala di tempat ini. Busur itu adalah milik istana, harus kembali ke istana dan tak boleh dimiliki siapapun. Karena kulihat ada pertumpahan darah di sini sementara hal itu tak seharusnya terjadi maka mohon pengertian cuwi bahwa barang yang kalian perebutkan adalah milik istana. Mohon dengan hormat agar cuwi meninggal kan tempat ini dan bagi yang telah melapangkan jalan boleh datang ke istana untuk menerima hadiah. Sri baginda tak akan menutup mata untuk jasa-jasa cuwi yang membantu dan menemukan Busur Kumala!" "Akan tetapi ada dua Busur Kumala di tempat ini!"
Seseorang tiba-tiba berteriak.
"Yang mana yang kaukehendaki, goanswe. Kalau ini duplikatnya tentu hak kami untuk merebut dan mendapatkannya secara gagah!"
"Benar, Busur Kumala ada dua. Semua orang menjadi saksi dan mana yang dikehendaki istana!"
Yang lain berseru dan tiba-tiba saja suara gaduh memenuhi tempat itu. Dan ketika bekas jenderal ini menjadi bingung dan tertegun di tempat maka seseorang maju dan berseru, seorang di belakang Bugoanswe yang berpakaian perang lengkap.
"Istana akan memeriksa kedua-duanya dulu. Kalau situ di antaranya hanya tiruan maka kami kembalikan kepada cuwi dan silahkan cuwi pakai!"
"Tidak bisa!"
Seorang pemuda tiba-tiba berseru marah.
"Biarpun hanya tiruan akan tetapi ciptaan ayahku, goanswe, harus kembali kepadaku dan bukan ke tangan orang lain. Ayahku telah menjadi korban atas peristiwa ini!"
"Siapa kau"
"Aku Siauw-toh, murid Sia-tiauw-eng-jin. Ayahku adalah Hanlun dan aku berhak atas busur kedua itu!" "Benar,"
Seseorang berkelebat dan tampil ke depan.
"Suteku telah menjadi korban atas semua ini, goanswe, kalau busur kedua diserahkan orang lain adalah tidak bijak. Aku mendukung murid keponakan ku dan busur itu harus diserahkan kepadanya!"
Semua terkejut dan memandang dan seorang kakek berwajah lembut mengangguk-angguk di depan jenderal berpakaian perang itu.
Inilah Poh-goanswe pengganti Bu-goanswe, terbelalak dan tak mengenal kakek itu akan tetapi Kang Hu dan Kui Yang berseru ke depan.
Mereka berlutut di depan kakek ini.
Dan ketika kakek itu tersenyum tak menghiraukan yang lain maka ia mempertegas bahwa Siauw-toh harus didukung.
"la benar, lagi pula ayah dan suhunyu menjadi korban. Kalau busur kedua diberikan orang lain maka aku menentang dan siapapun akan kuhalangi!"
"Omitohud,"
Berkelebat bayangan lain dan seorang hwesio muncul di situ.
"Bicara tentang ini berarti menyinggung-nyinggung pinceng, Hian-ko Sinkun, karena busur Ini di tangan pinceng dan siapa Ingin merebutnya!"
Orang kembali terkejut dan berseru tertahan ketika Omei-san, hwesio berkulit gelap berpakaian serba putih ini muncul di situ.
Ia tidak sendirian melainkan bersama Busur Kumala, jadi ada dua Busur Kumala di tempat itu yang sama-sama berkeredep dan berkilau-kilauan.
Dan ketika Tan Hong juga terkejut oleh hadirnya hwesio ini maka seruan di sana-sini menunjukkan kekaguman sekaligus keheranan semua orang.
"Mentakjubkan, dua-duanya serupa dan tak dapat dibedakan. Dua-duanya terang-benderang!"
"Benar, dan pamornya juga sama. Hawa dinginnya terasa sampai di sini!"
Hwesio itu tersenyum dan memandang kanan kiri dan iapun mengangguk-ungguk kepada semua orang.
Tak ada yang berani mendekat karena siapapun jerih.
Busur di tangan hwesio itu maupun Tan Hong sama-sama berbahaya.
Mereka orang-orang berkepandaian tinggi yang siapa ti dak kenal.
Maka ketika semua tertegun akan tetapi bersinar-sinar namun tak ada yang berani maju, Hian-ko Sin-kun terkekeh mendadak kakek ini berkelebat dan sudah berhadapan dengan hwesio itu.
"Bagus, aku tak perlu berpura-pura lagi. Yang terhormat Omei-san lo-suhu sudah di sini. Tentu kau akan mengalah kepada yang muda dan memberikan busur itu kepada keponakanku." "Omitohud, enak sekali kau bicara. Suteku mendapatkannya susah payah, Hian-ko Sin-kun, tentu harus susah payah pula orang lain merebutnya. Pinceng tak akan memberikannya begitu saja busur keramat ini!"
Sang hwesio tertawa.
"Akan tetapi pinceng tak tahu manakah yang asli dan mana tiruan!"
Penonton berdebar dan membelalakkan mata ketika dua kakek yang sama-sama sakti ini berhadapan.
Busur di tangan hwesio itu digerakgerakkan dan terdengar deru kuat.
Baju Hian-ko Sinkun berkibar.
Akan tetapi ketika berkelebat bayangan lain dan Tan Hong menjura di situ maka pemuda ini berkata dengan suara lembut.
"Ji-wi locianpwe, rasanya aku tak sependapat bila jiwi (kalian) berebut busur tiruan. Aku sependapat dengan Hian-ko Sin-kun locianpwe bahwa yang tiruan harus dikembalikan kepada yang berhak. Yang asli, entah ini atau itu harus diserahkan istana."
"Omitohud, berarti kau mengeroyok pinceng. Asli atau tiruan terus terang pinceng enggan menyerahkannya kepada orang lain. Ha-ha, kau membela kakek itu, anak muda, akan tetapi pinceng tidak gentar dan ingin memilikinya sendiri. Kecuali kalau orang dapat mengalahkan pinceng maka pinceng menyerahkan busur di tangan pinceng ini, entah tiruan atau asli!"
"Sombong!"
Bayangan hitam berkelebat dan Kiok Eng tahu-tahu berdiri di samping suaminya.
"Kau berada di Liang-san, hwesio bau, seharusnya kau menghormati kami dan tahu diri. Kami pribadi tak ada minat memiliki Busur Kumala dan justeru hendak kami serahkan ke istana. Serahkan busur itu dan biar diteliti keasliannya dan harap kau orang tua melihat keadaan!"
"Omitohud,... hwesio itu terkekeh-kekeh.
"Kau gagah dan mengesankan sekali, hujin, akan tetapi terpaksa pinceng tak dapat menyerahkannya karena di pihak pinceng pun jatuh korban, lihat sute pinceng itu yang harus pinceng bawa pulang!"
"Terserah!"
Nyonya ini tak perduli oleh terkulai nya sebuah tubuh di sana.
"Kami pun juga jatuh korban, keledai gundul, dan sutemu layak mampus di sana. Kau tak mungkin meninggalkan tempat ini sementara Bu-goanswe dan lain-lain menjagamu pula!"
"Omitohud, akan melakukan keroyokan? Pinceng tak takut, akan tetapi pinceng hanya ingin berhadapan dengan lawan yang setanding!"
Hwesio itu tertawa lagi dan Tan Hong mengerutkan kening melihat sikap lawannya. Hwesio ini amat sakti dan ia sendiri ragu mampukah mengalahkannya. Akan tetapi sebelum ia berkata mendadak terdengar suara halus namun kuat dan menggetarkan jantung.
"Omei-san, kami keluarga Liang-san bukanlah orang tamak dan ingin memiliki hak orang lain. Kalau kau melepaskan busur hanya setelah kalah bertanding silahkan naik ke atas namun sebaiknya diperiksa dulu mana busur asli dan mana tiruan. Bu-goanswe mungkin dapat menolongnya dan telah kusiapkan tanah lapang di sini agar orang-orang di bawah dapat menonton kita.
"Ayah!"
Sang nyonya tiba-tiba berkelebat.
"Kau dimana dan turunlah. Usir orang-orang ini dan jangan sampai tempat kita diinjak-injak!"
"Omitohud,"
Sang hwesio terkekeh.
"Kau sudah keluar, Fang-taihiap, lama ku cari-cari. Biar pinceng naik ke atas dan siapa menyusul!"
Hwesio ini mendadak berkelebat dan tahu-tahu iapun lenyap dari situ.
Bayangannya tahu-tahu kelihatan di atas dan ia pun sudah melewati Tan-hujin (Kiok Eng), begitu luar biasa hwesio ini.
Dan ketika Hian-ko Sin-kun terkekeh dan berkelebat pula maka Tan Hong sendirian di situ.
"Fang-taihiap kami dua orang mencari-carimu namun tak pernah kami dapat.
Sekarang kau mengundang, bagus dan biar kutemui kau di atas!"
Tan Hon mengerutkan kening dan saat itu semua orang kang-ouw tiba-tiba bergerak.
Ia memberi tanda kepada Bu-goanswe dan kakek inilah yang berkelebat.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan ketika bekas jenderal itu mengangkat tangan tinggi-tinggi sambil menge luarkan bentakan nya maka suaranya membuat semua orang merandek.
"Cuwi-enghiong, tak ada perebutan lagi di antara kalian semua. Keluarga Liang-san adalah sahabat kami, harap cuwi mundur dan biarkan tokohtokoh di atas yang menentukan nasib Busur Kumala. Siapa bergerak terpaksa kami tangkap!"
Gagah dan berwibawa sekali semai kakek ini dan orang-orang kang-ouw serentak mundur.
Kalau mereka tak gentar terhadap keluarga Liang-san tentu mereka harus berpikir seribu kali jika berhadapan dengan pasukan besar itu.
Melawai mereka bakal dianggap pemberontak.
Maka ketika kewibawaan kakek itu membuat siapapun mundur, Tan Hong tersenyun maka ia pun berkelebat dan berseru kepada orang-orang kang-ouw itu.
"Terima kasih jika cuwi tak mencampuri urusan lagi.
Apabila cuwi tak memiliki kepentingan di sini sebaiknya cuwi pulang!"
Akan tetapi mana mungkin orang-orang kangouw itu pulang.
Begitu mereka terbelalak dan bayangan Hian-ko Sin-kun bergerak ke atas maka semua mata melotot dan melihat kakek itu berkelebat di bawah bayangan hwesio sakti.
Pagi itu matahari sudah naik tinggi dan samar-samar seseorang tampak berdiri di sana, tidak kelihatan jelas akan tetapi semua dapat menduga bahwa itulah pendekar Liang-san yang amat sakti dan berkepandaian tinggi, Fang Fang alias murid Dewa Mata Keranjang yang sudah jauh melampaui gurunya itu.
Dan ketika Omei-san terkekeh sementara Hian-ko Sin-kun tertawa di sana maka tiga orang tiba-tiba sudah berdiri di puncak tebing di mana terdapat sebuah tanah lapang kecil di mana tuan rumah menunggu.
"Omitohud, kali ini pinceng tak akan kecele. Selamat pagi dan ini kiranya saudara Fang Fang yang gagah perkasa itu. Mohon maafkan kelancangan pinceng menahan Busur Kumal!"
"Betul, dan aku si tua yang lemah ini tak perlu lagi berputar-putar mencarimu. Selamat pagi, Fang15 taihiap, aku memenuhi undanganmu dan semoga kehadiranku tidak mengganggu!"
Dua orang itu sudah berada di atas dan mereka yang hampir berbareng menginjakkan kaki bersamaan hampir berbareng pula merangkapkan tangan.
Hwesio sakti itu maupun Hian-ko Sin-kun menyoja depan dada, terlihat dari bawah akan tetapi tak ada yang tahu betapa dari gerakan tangan dua orang ini tibatiba berkesiur angin dahsyat.
Angin itu menyambar dan mendorong ke depan, lima enam tombak menuju tuan rumah yang berdiri tak bergeming, sosok bak batu gunung yang wajahnya terselimuti uap putih, tak kelihatan namun sepasang mata mencorong keluar dari kabut uap ini.
Dan ketika dua pukulan orang sakti itu menyambar dan membuat pakaian berkibar-kibar, lawan tetap tak bergeming dan membuat mereka menambah tenaga, barulah sosok tubuh itu bergerak dan membungkuk.
Gerakan kedua tangannya menolak akan tetapi betapa dahsyatnya tenaga yang keluar.
"Maaf, dan selamat pagi pula untuk jiwilocianpwe yang terhormat. Mengingat bahwa persoalan memang harus segera diselesaikan maka kuundang kalian berdua ke mari. Selamat pagi dan semoga angin sejuk pegunungan tak membuat hati jiwi panas."
Lembut dan biasa-biasa saja kata-kata itu akan tetapi mendadak dua tenaga kakek-kakek sakti itu lenyap.
Mereka mendorong dan melepas serangan ke depan namun tiba-tiba hilang seakan memasuki ruang kosong.
Baik Omei-san maupun Hian-ko Sin-kun terkejut.
Dan ketika mereka cepat membuang tenaga agar tak terjadi sesuatu yang membahayakan, benar saja tenaga yang hilang itu mendadak muncul dan membalik menyambar mereka maka hwesio ini berseru tertahan dan cepat mundur sambil mengibas biasa.
"Omitohud, saudara Fang Fang rupanya memiliki Khong-hong-sin-sut (Ilmu Sakti Ruang Kosong). Sungguh luar biasa dan hampir tak dapat kupercaya!"
"Benar, dan aku merasakannya juga. Hebat kau, Fang-taihiap, mendiang gurumu saja tak pernah menguasai ilmu para dewa ini. Kau telah mencapai tingkat jin-jit-sui-mo (bukan manusia bukan pula siluman)!"
Hian-ko Sin-kun tak kalah berdecak dan kakek itu kaget dan tampak kagum sekali.
Iapun cepat mundur dan membuang tenaganya ketika tadi mereka berdua sengaja menguji.
Dari kiri kanan mereka melepas serangan.
Akan tetapi ketika pukulan mereka mendadak lenyap dan tiba-tiba muncul seakan dari ruang kosong disambarkan ke mereka, untunglah mereka tak sungguh-sungguh dan sekedar uji coba saja maka kakek itu mengulapkan lengan bajunya dan cepat mundur sambil mengebut dengan tenaga biasa saja.
Khong-hong-sin-sut hanya diwarisi para dewa atau manusia yang sudah amat luar biasa ilmunya, baik olah gerak ataupun batinnya! "Maaf,"
Kata-kata lembut dan halus itu meluncur lagi.
"Aku tak tahu apa itu Khong-hong-sinsut, lo-suhu, akan tetapi sedikit benar jika aku mencoba mengetahui apa yang ada di balik kekosongan untuk mengetahui isinya. Mungkin losuhu penasaran mencari di mana aku bersembunyi namun kini aku menemui Jlwi dan lo-suhu tentu tak berkeberatan menyerahkan Busur Kumala demi kepentingan orang banyak."
"Ha-ha,"
Hwesio itu terbahak dan mengerahkan pandang matanya menembus kabut di depan kepala lawannya.
"Kau mengagumkan, Fang-taihiap, rendah hati padahal masih muda. Omitohud, pinceng memang penasaran mencarimu dan tentu akan menyerahkan busur ini apabila kau mampu mengalahkan aku!" "Dan aku tampaknya hanya ingin sekedar mainmain. Busur yang asli tak kukehendaki, Fang-taihiap, akan tetapi bila tiruannya kaubawa tentu aku akan merampasnya untuk murid keponakanku!"
Hian-ko Sin-kun tak mau kalah dan kakek inipun tertawa sambil diam-diam mengerahkan pandang matanya menembus uap di depan lawannya itu.
Ia kaget dan kagum bahwa murid Dewa Mata Keranjang ini memiliki kesaktian demikian tinggi.
Hanya orang yang sudah mencapai tingkat tapa demikian dalam yang mampu melindungi wajah dengan cahaya gaib, pa dahal mendiang Dewa Mata Keranjang sendiri tak pernah mencapai itu.
Maka ketika ia terkejut dan diam-diam kagum serta terbelalak memandang pendekar itu, pria yang seharusnya pantas menjadi muridnya maka kakek ini pun mengerahkan tenaga batinnya akan tetapi yang terlihat hanya sepasang mata mencorong yang tajam dan amat berpengaruh.
Mata itu membuat ia hampir menunduk dan melengos! Bukan hanya kakek ini akan tetapi Omei-san hwesio itu juga terkesiap.
Sama seperti kakek itu maka hwesio ini pun mengerahkan tenaga batinnya menembus kabut dikepala lawannya itu.
Akan tetapi ketika ia merasa pedas dan yang terlihat hanya sepasang mata mencorong yang lembut namun amat tajam, demikian tajam hingga ia merasa perih maka hwesio itu kaget sekali dan diam-diam mencekal Busur Kumala sedemikian eratnya hingga busur itu berkeratak.
Hanya begini hwesio itu mampu bertahan! "Omitohud,"
Hwesio itu terhenyak "kau mengagumkan, Fang-taihiap, Akan tetapi bagaimana sekarang dengan urusan kita ini. Tentu pinceng tak akan melepaskan busur jika begitu saja caramumeminta!"
"Aku yang akan merampasnya darimu!"
Tan Hong berkelebat dan tahu-tahu berjungkir balik di puncak tebing.
"Aku bertanggung jawab pula, lo-suhu. Demi kepentingan orang banyak aku tak segan ber korban biarpun untuk itu harus roboh!"
"Benar!"
Bayangan hitam menyusul.
"Aku atau suamiku tak takut kepadamu, Omei-san. Heran bahwa keledai gundul macammu setali tiga uang dengan sutemu yang brengsek!"
Kiok Eng, wanita ganas yang pemarah ini berkelebat dan berjungkir balik pula di situ.
Ia telah mengejar orang-orang ini akan tetapi kalah dulu bahkan dilewati oleh suaminya dan kini ia berjungkir balik dan berdiri di samping Tan Hong.
Dan.
ketika ia menuding namun hwesio itu tersenyum-senyum, menoleh namun tak menggubris lagi wanita itu maka nyonya itu marah sekali akan tetapi Fang Fang mengibas puterinya ini.
"Kiok Eng, mundurlah. Yang dicari adalah aku dan bukan lain-lainnya. Beri tempat bagi tamu terhormat kita yang lain dan biarlah kau dan suamimu tetap di situ!"
Nyonya ini tak mengerti dan membelalakkan mata akan tetapi tiba-tiba terdengar kekeh tawa.
Entah dari mana munculnya mendadak seorang kakek datang pula, tahu-tahu berdiri di sebelahnya dan hampir bersamaan itu berkelebat dua bayangan susulmenyusul.
Dan ketika nyonya itu tertegun berseru tertahan, suami isteri gagah berdiri di situ maka kakek ini menjura dan berseru.
"Fang-taihiap, mata dan telingamu tajam sekali. Heh-heh, aku si tua yang sombong agaknya tak layak lagi menggunakan gelar Bu-tek (Tanpa Tanding)!"
"Ah, Sin-kun Bu-tek locianpwe (Malaikat Tanpa Tanding)!"
Kiok Eng terkejut dan berseru nyaring ketika tahu siapa kakek yang baru datang Ini.
lapun berseru dan memanggil suami Isteri Itu ketika mereka tersenyum-senyum pula.
Lalu ketika ia tertegun namun girang sekali, inilah sahabat-sahabat yang pasti membantunya maka Tan Hong mencekalnya dan ter dengar sang ayah berkata.
"Selamat datang dan selama bertemu bagi locianpwe yang terhormat. Akan tetapi maaf, kami tak dapat menjamu locianpwe sebagai mana layaknya. Ada tamu-tamu lain yang membawa persoalan ke Liang-san. Harap locianpwe maafkan sambutan kami dan semoga setelah selesainya urusan ini kami dapat membawa locianpwe ke atas."
"Ha-ha, di sini sama saja. Aku tak butuh jamuan, Fang-taihiap, aku tak butuh makan minum. Yang kubutuhkan hanyalah melihat tamu-tamumu ini dan menarik sekali bila seorang tokoh Nepal membawa Busur Kumala. Entah apa yang dimaui Omei-san losuhu ini dengan datang jauh-jauh ke Liang-san. Heran bahwa ia ikut-ikutan membuat ribut!"
"Omitohud,"
Sang hwesio berseru.
"Pinceng tak membuat keributan, Sin-kun Bu tek, justeru pinceng ingin menyerahkan busur kepada yang berhak. Kalau Fang-taihiap pantas menerimanya tentu pinceng akan menyerahkannya baik-baik!" "Ha-ha, bilang saja bahwa kau ingin bertanding. Tidak di sini tidak di sana ternyata sama saja, lo-suhu, kau gatal tangan bila mendengar kepandaian orang lain. Aku tak membela siapa-siapa selain menjadi saksi dalam urusan ini. Asal tak membela sutemu yang salah tentu akupun tak akan membantu Fang-taihiap, haha!"
Kakek itu terkekeh-kekeh dan hwesio ini tampak memerah.
Ia disambar terang-terangan akan tetapi mengangguk-angguk, tidak marah dan tetap tersenyum ramah.
Dan ketika beberapa bayangan berkelebat dan itulah Beng Li serta lain-lainnya, keluarga Liang-san berkumpul maka hwesio ini berdehem dan melirik Hian-ko Sin-kun.
Temannya inipun sebenarnya ingin menjajal kehebatan tuan rumah.
"Omitohud, pinceng tak akan banyak berdebat, dan pinceng juga tak akan membela sute yang salah. Akan tetapi karena ia terluka di tempat ini dan pinceng penasaran akan nama besar Fang-taihiap barangkali pinceng bisa mendapat sedikit petunjuk untuk bekal pulang. Di pertapaan nanti tentu pinceng akan tenteram setelah melihat kehebatan tuan rumah, sama seperti yang agaknya dikehendaki rekan Hian-ko Sin-kun!" "Heh-heh, kau selalu membawa-bawa aku. Aku pribadi hanya berurusan dengan busur tiruan, lo-suhu, yang asli tak ingin kuperebutkan. Baik itu di tanganmu atau di tangan Fang-taihiap tentu akan kurampas kembali. Aku tak mungkin tinggal diam untuk murid keponakanku yang telah ditinggal gurunya itu!"
"Bagus, dan sekarang ada dua busur di sini. Entah yang mana tiruan dan mana yang asli, di tangan pinceng ataukah anak muda itu!"
"Begini!"
Sesosok tubuh tinggi besar berkelebat.
"Aku membawa dua ahlinya dari istana, lo-suhu, mereka dapat menentukan mana asli mana tiruan. Asal kalian meminjamkannya sebentar kami dapat membedakan dua busur itu!"
Bu-goanswe muncul berjungkir balik dan bersamaan dengan kakek tinggi besar ini berkelebat pula kakek lain yang gagah.
Dua orang itu membawa masing-masing seorang renta bertubuh kurus, rambut digelung ke atas dan pakaian atau gerak-geriknya seperti seorang pande (empu).
Itulah dua ahli istana kakak beradik yang bernama Gi Hin dan Gi Sin, ahli barang-barang pusaka dan mereka mampu membedakan Busur Kumala.
Dan ketika dua orang itu diturunkan sementara dua kakek gagah ini menghadapi Omei-san maka Bu-goanswe, yang bersuara nyaring dan tegas tindak-tanduknya berkata lagi.
Seruannya lantang dan tidak kenal sungkan.
"Rekanku Kok-taijin telah menemukan dua orang ini, dan sri baginda mempercayakan kami untuk membawanya ke sini. Karena Busur Kumala ada dua dan masing-masing begitu mirip biarlah dua orang ini memeriksanya dan Tan-siauwhiai maupun Omei-san lo-suhu harap meminjamkannya sebentar untuk diteliti. Kalai satu di antaranya sudah jelas tentu akan segera dikembalikan dan kalian berdua dapat menentukan sikap dengan lebih tegas!"
"Ha-ha, itu baru cocok. Akan tetapi bagaimana kalau yang asli di tanganmu, Omei-san, tentu kau menghadapi banyak lawan ketimbang membawa yang tiruan!"
Sin-kun Bu-tek, kakek yang terkekeh itu mendadak berseru lagi. Ia mengejutkan hwesio ini dan semua orang memandangnya, sang hwesio berkerut. Akan tetapi ketika ia tersenyum dan menarik napas dalam maka hwesio ini berkata, mantap.
"Pinceng terlanjur membawa yang ini, kalau ini yang asli maka niat pincengpun tetap, yakni yang hanya dapat mengalahkan pinceng yang berhak mendapatkannya. Akan tetapi kalau yang ini tiruan bukan berarti pinceng harus takut menghadapi yang terhormat Hian-ko Sin-kun."
"Ha-ha, bagus sekali, dan mudah-mudahan yang kaubawa tiruan!"
Sin-kun Butek berseru lagi dan jelas kakek ini memanaskan hwesio itu.
Ia seakan-akan menganggap hwesio ini serba takut.
Kalau asli bakal menghadapi Liang-san dan pasukan Bu-goanswe sedangkan kalau tiru an akan dihadang Hian-ko Sinkun.
Dua-duanya tidak menguntungkan hwesio itu.
Akan tetapi ketika hwesio ini hanya tersenyum dan ganda ketawa maka tiba-tiba ia melontarkan Busur Kumalanya kepada Bu-goanswe.
"Pinceng hanya ingin mendapat petunjuk. Kalau Liang-san pantas memilikinya tentu pinceng serahkan dengan suka hati. Terimalah!"
Bu-goanswe terkejut, menangkap. Akan tetapi ketika dalam saat yang bersamaan Tan Hong melontarkan busurnya maka pemuda itupun berseru.
"Aku juga ingin bersikap jujur seperti Omei-san lo-suhu. Kalau goanswe ingin memeriksanya silahkan periksa, awas!"
Busur Kumala menyambar cepat dan tanpa dapat ditahan lagi menghantam atau membentur busur pertama, terjadi ledakan dan tibatiba asap membubung.
Dan ketika semua terkejut dan Bu-goanswe mencelat mundur, lelatu api memaksa ia mengelak maka ajaib sekali dua busur jatuh di tanah dan lengket serta menjadi satu.
Saling sedot menyedot! "Ha-ha, siapa dapat menariknya sekarang.
Dua Busur Kumala seakan saudara!"
Sin-kun Bu-tek tertawa bergelak dan kakek itu tiba-tiba berkelebat maju.
Gerakannya disusul Hian-ko Sin-kun dan lain-lain.
Akan tetapi ketika berkelebat bayangan putih dan bayangan ini berseru agar semua mundur, angin yang kuat mendorong semua orang maka Fang Fang, pendekar itu tak memperkenankan siapa pun mendekat.
"Mundur, harap minggir. memeriksa hanya dua ahli istana!"
Yang berhak Kakek itu dan Hian-ko Sin-kun terhuyung.
Mereka terkejut dan membelalakkan mata akan tetapi menyeringai dan mengangguk-angguk.
Hian-ko Sinkun mengira Sin-kun Bu-tek hendak merampas.
Maka ketika kakek itu maklum dan terkekeh maka ia berseru.
"Heh-heh, aku hanya ingin melihat saja. Tapi kalau disangka hendak merampas biarlah aku mundur. Periksalah, Bu-goanswe, akan tetapi aku jadi gatal juga melihat kepandaian tuan rumah. Biarlah setelah selesai semuanya ini akan kuajak main-main anak muda itu!"
Fang Fang menjura dan meminta maaf di depan kakek itu. Bukan maksudnya menghalau kasar. Maka berseru agar semua mundur, iapun mendorong anggauta keluarganya sendiri maka kata-katanya terdengar bijak biarpun halus dan tetap berwibawa.
"Dua Busur Kumala telah diserahkan untuk diteliti. Karena kita tak tahu lagi mana milik Tan Hong dan mana milik O-mei-san lo-suhu harap semua memberi jalan dan biarkan dua ahli istana memeriksa nya. Kami ingin bersikap adil dan selanjutnya kedua busur akan kutancapkan di puncak tebing. Siapa nanti yang dapat mengambilnya biarlah dia yang dianggap berhak dan yang tak mampu harap mengalah dan mundur!"
Lembut namun kuat sekali getar suara pendekar ini dan semua orang-orang kang-ouw di bawah terkejut dan terkagum-kagum.
Mereka setuju dan mengangguk-angguk dan tiba-tiba jantung semua orang berdebar tegang.
Busur Kumala sudah akan diperiksa aslinya.
Sang hwesio atau Tan Hong sudah tak diketahui sebagai pemegang yang mana, dan itu tiba-tiba juga tak penting.
Yang penting adalah seruan itu tadi, pertandingan orang-orang berkepandaian tinggi! Maka ketika semua melotot dan dua empu istana bergerak maju maka dua orang ini berhenti dan akhirnya membungkuk serta bersedekap dan memejamkan mata berkemik-kemik.
Tiba-tiba dua orang ini bergetar.
Mereka tidak lagi berkemak-kemik melainkan mengeluarkan suarasuara keras.
Mantra atau kata-kata ampuh dikeluar kan.
Lalu ketika keduanya mendorong dan menarik dalam usahanya menyedot busur yang asli, suara dari mulut mereka semakin keras mendadak kedua husur berdiri tegak akan tetapi keduanya hanya bergoyanggoyang dan maju mundur seakan orang bertahan dari tarikan dua empu istana itu.
"Hordah!"
Bentakan sang empu disusul mata yang melotot lebar.
Mereka telah mengeluarkan keringat akan tetapi kedua busur tak mau tersedot.
Kini dengan seruan keras mereka mengerahkan kekuatan berbareng, mendorong sekaligus menarik agar yang asli melayang ke arah mereka.
Akan tetapi ketika tiba-tiba keduanya mencelat dan berdesis menyambar mereka, tidak satu persatu melainkan kedua-duanya maka dua orang ini berteriak kaget dan mereka terbanting serta mengeluh bergulingan.
"Plak!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua busur jatuh lagi dan pamor keduanya semakin terang-benderang.
Dua empu istana bangkit terhuyung-huyung dan pucat memandang busur yang masih bersatu-padu itu.
Ada kepulan asap di tubuh keduanya.
Dan ketika dua orang ini terbelalak namun marah melihat dua busur yang masih lengket itu, betapa yang tiruan sama kuat dengan aslinya akhirnya dua orang ini menggosokgosok tangan mereka dan akhirnya berkemak-kemik lalu membentak dan mendorongkan lagi kedua tangan ke depan.
"Bress!"
Sama saja hasilnya.
Begitu membentak dan mendorong ke depan mendadak kedua busur bangkit berdiri.
Mereka bergoyang-goyang lalu tibatiba menyambar dua orang ini.
Dan ketika dua empu itu tak mungkin berkelit saking cepatnya gerakan busur, keduanya menyambar bagai kilat maka dua empu ini terbanting lagi dan menjerit serta tergulingguling.
Akan tetapi kedua empu istana semakin marah.
Mereka meloncat bangun dan menggosok-gosok tangan lagi.
Mereka berkemak-kemik lalu mengeluar kan bentakan.
Dan ketika kembali untuk ketiga kalinya mereka menyerang mendadak kedua busur mendahului lawannya dan tiba-tiba menghantam tengkuk dua orang ini.
"Aduh, plakk!"
Dua orang itu terbanting dan mengeluh dan selanjutnya mereka tak mampu berdiri bangun.
Mereka berkunang-kunang dan tengkuk melepuh terbakar.
Semua terkejut dan pucat memandang kejadian itu.
Namun ketika Fang Fang bergerak dan mengusap dua orang ini, keduanya menggigil dan menjatuhkan diri berlutut maka keduanya berseru hampir berbareng.
"Fang-taihiap, ampunkan kami. Kami tak mampu menaklukkan busur keparat itu. Ia menggabung dan menyatukan kekuatannya dengan yang asli. Selama ia belum dipisahkan dan kami tak mampu melawannya maka kami tak dapat mengadakan pemeriksaan!"
"Sudahlah, kalian mundur dan biar kuserahkan kepada yang mampu. Kalau jiwi locianpwe itu mampu memisahkannya biarlah kau yang memeriksanya nanti."
Dua orang ini mundur dengan muka pucat dan akhirnya pendekar itu tersenyum memandang sang hwesio dan juga Hian-ko Sin-kun.
Semua mata telah melihat betapa hebatnya dua busur Kumala, baik yang tiruan maupun aslinya begitu tangguh.
Maka ketika semua berdebar tegang dan terbelalak memandang pendekar itu, dua tokoh tua ini berkerut kening maka pendekar itu berkata, suaranya masih halus dan tenang.
"Jiwi telah melihat betapa dua empu istana ini gagal memisahkan kedua busur Kumala. Kalau jiwi mampu memisahkan keduanya dan menancapkannya di tebing, nanti dua empu itu memeriksanya lagi biarlah jiwi (kalian berdua) coba-coba dan kami di sini membuktikannya."
"Ha-ha,"
Sang hwesio berkelebat maju.
"Pinceng sanggup memisahkannya, Fang-taihiap, rasanya bukan pekerjaan sukar!"
"Tunggu...!"
Hian-ko Sin-kun berkelebat.
"Kalau memisahkannya harus dengan merusak maka itu tidak boleh, lo-suhu. Kupikir Fang-taihiap tidak bermaksud seperti itu dan kau jangan gegabah!"
"Benar,"
Fang Fang mengangguk.
"Memisahkan keduanya bukan harus merusak, lo-suhu. Apa yang dikata Hian-ko locianpwe benar dan kupikir lo-suhu mengerti." "Tentu, tentu pinceng mengerti. Pinceng tak akan merusak kecuali memisahkan keduanya baikbaik. Ha-ha, biar kau mundur dan pinceng mencoba!"
Omei-san terkekeh dan hwesio ini tertawatawa.
la tentu saja tak perlu takut dan sanggup memisahkan keduanya.
Satu di antara dua busur itu jelek-jelek pernah dipegangnya.
Maka tertawa dan menyambar Busur Kumala, merentangkan keduanya dan bermaksud menarik tiba-tiba hwesio ini terkejut berkerut kening.
Ada sesuatu yang membuat ia terkesiap dan heran.
Busur itu mendadak amat berat! Dan ketika ia melirik Fang Fang namun tak melihat pendekar itu berbuat apa-apa, hal yang membuatnya heran maka hwesio ini mengerahkan tenaga dan terdengar deru yang dahsyat ketika ia mengangkat Busur Kumala dari atas tanah.
"Wut!"
Semua orang terheran ketik mendengar suara berat itu.
Mereka lebil heran lagi ketika melihat sang hwesio berkeringat.
Aneh! Akan tetapi ketika hwesio itu tersenyum dan menggerakkan tangan yang lain maka ia telah merentangkan busur menarik dan berusaha memisahkan keduanya.
"Krek!"
Sang hwesio terkejut dan semua orang juga terkejut.
Begitu terdengar suara akan patah maka cepat-cepat hwesio ini mengendorkan tenaganya, tak boleh membuat patah.
Maka ketika terkejut dan heran betapa ia gagal untuk pertama kalinya, hwesio ini penasaran maka untuk kedua kali iapun mencoba lagi dan mengerahkan tenaganya.
Akan tetapi... krek, terdengar suara itu lagi.
Hian-ko Sin-kun berteria dan hwesio ini terkejut, la tersipu dan menjadi merah dan diam-diam terkejut sekali.
Dari dalam busur terdapat perlawanan hebat sekali.
Busur Kumala tak mau dipisah dan ia akan merusaknya kalau main paksa.
Maka tertegun dan kembali mencoba akhirnya hwesio ini berkemakkemik dan tiba-tiba ia membentak.
Semua orang melihat betapa hwesio ini mengerahkan tenaga, dari kedua lengannya keluar uap putih dan perlahan-lahan busur berhasil direntang.
Akan tetapi ketika semua orang bersorak betapa busur hampir terlepas mendadak terdengar ledakan dan... kedua busur melekat lagi sementara hwesio itu terhuyung pucat, mundur.
"Omitohud!"
Hwesio ini berseru memandang tuan rumah.
"Kau hebat, Fang-taihiap, pinceng mengaku kalah!" Orang-orang terkejut. Mereka memandang Fang Fang dan heran oleh seruan itu. Bukankah sang hwesio menghadapi Busur Kumala. Akan tetapi ketika terdengar tepuk tangan dan keluarga Liang-san diwakili Cit Kong maka Fang Fang justeru menjura dan mengebutkan lengan bajunya.
"Aku tak mengerti akan kata-kata lo suhu. Akan tetapi kalau lo-suhu tak mampu memisahkan Busur Kumala biarlah Hian-ko locianpwe menggantikannya."
"Heh-heh!"
Kakek itu berkelebat maju.
"Kau mengejutkan hatiku, Fang-taihiap, dan pengakuan rekanku membuatku semakin kagum. Akan tetapi tak ada kepuasan sebelum semuanya dicoba. Marilah, aku akan menggantikannya dan kalau aku gagal kaulah yang harus memisahkannya!"
Kakek ini tahu-tahu sudah menyambar Busur Kumala dan seperti rekannya tadi iapun merasa kedua busur amatlah berat.
lapun mengerahkan tenaga dan dengan sebuah bentakan kecil ia berhasil.
Orang lagilagi merasa heran betapa kakek itupun berkeringat.
Tak ada yang tahu betapa kedua busur beratnya melebihi seekor gajah.
Dan ketika kakek itu berseru dan mengangkat busur tinggi-tinggi, memutar dan mengayunkannya dua kali mendadak tangannya yang lain menjambret dan secepat kilat ia merentang atau menarik busur agar terlepas.
"Krek!"
Akan tetapi terdengar suara itu lagi.
Kakek ini terkejut dan semua orangpun terkejut.
Kalau ia meneruskan tenaganya tentu Busur Kumala patah.
Betapapun Hian-ko Sin-kun adalah seorang sakti.
Maka ketika kakek itu mengurangi tenaganya dan tersenyum masam tiba-tiba iapun membentak dan menarik lagi.
"Rrttt!"
Busur terentang dan kali ini orang bersorak.
Kedua busur hampir terpisah akan tetapi tiba-tiba terdengar ledakan.
Kakek itu terkejut ketika busur melekat lagi.
Gagal.
Dan ketika ia semburat mendengar kekeh Omei-san maka kakek ini berkemak-kemik dan sebagai suheng dari Sia-tiauweng-jin iapun mengerahkan kekuatan batinnya dan tampaklah betapa tubuh kakek ini bergetar dan kedua lengannya mendadak berotot menggelembung.
Lalu ketika ia membentak membaca mantra mendadak dua jari telunjuknya menegang dan tiba-tiba mencabut Busur Kumala.
"Kretekk!"
Busur terentang dan tiba-tiba orang bersorak riuh.
Kali ini dengan kekuatan batin dan rapalan mantranya kakek itu berhasil.
Badan kedua busur terpisah.
Akan tetapi ketika terdengar suara berdesis dan tali busur saling belit mendadak kakek itu terkesiap karena sekejap kemudian dua tali gendewa saling hisap dan mereka sudah menyatu bagai dua ekor ular jantan dan betina yang tak mau melepaskan diri! "Ha-ha!"
Omei-san tergelak-gelak.
"Kau gagal, Hian-ko Sin-kun. Busur Kumala tak mau melepaskan diri!"
"Benar, dan ia tak boleh memaksakan kehendak. Kalau busur sampai patah kakek ini harus mengganti rugi!"
Sin-kun Bu-tek juga terkekeh dan waja
Dendam Sejagad Legenda Kematian Karya Khu Lung Pedang Bengis Sutra Merah Karya See Yan Tjin Djin Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung