Mencari Busur Kumala 16
Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 16
h Hian-ko Sin-kun berubah merah.
Kakek itu kaget dan marah sekali bahwa untuk ketiga kalinya ia gagal.
Tentu saja sebagai orang yang berkepandaian tinggi dirinya mampu memisahkan busur, akan tetapi keduanya tentu rusak.
Maka tertegun dan kecewa oleh kegagalannya akhirnya ia membanting busur itu berseru kepada tuan rumah, tertawa membuang rasa kecewa.
"Baiklah, aku memang gagal dan harus berlaku jujur. Karena aku dan Omei-san lo-suhu tak mampu memisahkan busur biarlah Fang-taihiap mengerjakannya dan kami menontonnya dari sini." "Bagus, benar sekali. Pinceng ingin melihatnya dan bagaimana Fang-taihiap mengerjakan itu!"
Sang hwesio mengangguk-angguk dan tentu saja ia menghentikan tawanya mengejek sang rekan.
Kini semua orang tahu betapa Busur Kumala tak dapat mereka lepaskan.
Ada kekuatan gaib melindungi kedua busur itu, baik yang asli maupun tiruan.
Maka ketika semua memandang pendekar itu dan Fang Fang melangkah maju akhirnya pendekar ini menjura kepada dua orang itu.
Sikap dan kata-katanya halus dan tetap hormat, hal yang membuat dua orang itu tersentuh.
"Jiwi-locianpwe telah mencobanya, dan jiwi gagal. Kalau nanti aku berhasil tentulah hal ini semata keberuntunganku saja, harap jiwi tak perlu kecil hati. Akan tetapi kalau aku gagal mungkin Sin-kun Bu-tek mampu melaksanakannya."
"Ha-ha, aku tak ikut campur. Busur Kumala adalah urusan kalian, Fang-taihiap, bukan urusanku. Kalau kau gagal hanya dewalah yang mampu melaksanakannya!"
Pendekar ini tersenyum dun memutar tubuh dan selanjutnya ia mendekati kedua busur yang sudah dibanting itu.
Pandang matanya tenang lembut dan sikapnyapun kalem.
Ada terbersit kepercayaan besar di situ, akan tetapi tidak berlebihan.
Dan ketika ia membungkuk mengangkat kedua busur, tidak membentak atau berkeringat seperti kedua kakek itu tadi maka orang memandangnya berdebar ketika tibatiba pendekar ini berseru perlahan.
"Mohon kalian melepaskan diri dan kasihanilah orang lain demi keselamatan orang banyak!"
Aneh, busur tiba-tiba terentang. Dua tali gendewa yang tadi saling belit mendadak melonggar. Lalu ketika dua ibu jari dan telunjuk pendekar itu menarik halus mendadak Busur Kumala terpisah dan keduanya sudah melepaskan diri.
"Hidup kong-kong!"
Cit Kong berteriak dan tibatiba teriakan anak ini menyadarkan lainnya.
Ibu dan ayahnya tiba-tiba bertepuk dan yang lainpun bertepuk riuh.
Mereka tercekam dan tegang oleh gerak-gerik pendekar itu tadi, lupa dan ternganga ketika dengan begitu mudahnya pendekar ini memisahkan Busur Kumala.
Maka ketika semua bersorak dan Omei-san maupun Hian-ko Sin-kun tersipu merah akhirnya dua orang inipun bertepuk tangan dan memuji tulus.
"Hebat, Fang-taihiap benar-benar hebat. Busur Kumala dilepas tanpa tenaga!" "Benar, dan aku merasa bodoh. Ah, tenaga tua memang tak perlu pamer dan aku mengaku kalah!"
"Ha-ha, jangan kabur dulu. Babak kedua masih dilanjutkan, Hian-ko Sin-kun, jangan pergi!"
Sin-kun Bu-tek berkelebat ke depan ketika kakek itu hendak memutar tubuh.
Ada penyesalan dan rasa lemah, Hian-ko Sin-kun lupa kepada busur tiruan.
Maka ketika kakek itu terkejut dan Sin-kun Bu-tek tergelak-gelak barulah ia sadar bahwa tuan rumah masih akan menancapkan busur dan nanti di tebing itulah ia dapat merebut busur tiruan untuk murid keponakannya.
"Ha-ha! ingat dan lihat murid keponakanmu itu. Bukankah kau hendak memperjuangkan warisan ayahnya untuk dibawa pulang!"
"Hm, hampir aku lupa. Kau betul, Sin kun Butek, akan tetapi bukankah kedua busur harus diteliti dulu untuk diketahui asli tidaknya."
"Benar, pinceng juga ingin tahu mana kah yang asli dan mana tiruan. Kalau setelah itu dipertanding kan di sini tentulah ramai!"
Omei-san hwesio itu juga berkelebat ke depan dan akhirnya semua orang memandang dua empu istana.
Mereka tak dapat melaksanakan tugas ketika dua busur tadi saling menyatu.
Kini busur terpisah dan seharusnya dua empu itu mampu.
Maka ketika dua orang ini menjura dan menjura di depan Fang Fang, sikap dan katakatanya hormat maka orang masih melihat betapa dua empu ini sebenarnya masih gentar oleh Busur Kumala.
Baik tiruan maupun aslinya begitu kuat dan sewaktuwaktu bisa membuat malu dua orang ini.
"Kami akan meneliti yang asli dan tiruan, akan tetapi kalau mereka berulah lagi maka hanya Ang-bito yang dapat memastikannya. Harap Fang-taihiap mengerti."
"Eh!"
Sin-kun Bu-tek berseru.
"Apa arti katakatamu, Empu Istana, kenapa membawa-bawa Angbi-to segala. Bukankah semuanya dapat diselesaikan di sini!"
"Benar, seharusnya begitu. Akan tetapi busur tiruan sehebat aslinya, lo-taihiap (pendekar tua). Terus terang kami ragu kalau nanti mereka berulah lagi. Jika kami gagal maka Ang-bi-tolah pembuktian terakhir,"
Jawab satu di antara mereka.
"Aku tak mengerti, coba kalian jelaskan!"
"Maksudnya adalah begini. Busur yang asli mampu mengobati penyakit, sedang tiruan tidak. Karena itu biarpun ia hebat dan sama dengan aslinya akan tetapi yang tiruan memiliki kelemahan. Ia hanya dibuat seorang yang tahan tapa akan tetapi bukan dimaksudkan untuk menangkal Penyakit Kutukan Dewa."
"Ha-ha, kalau begitu aku mengerti. Baiklah cobalah sekarang dan periksalah mereka sebagaimana yang harus kaulakukan!"
Dua orang itu mengangguk, menjura dan minta busur di tangan Fang Fang. Pendekar ini telah memisahkan keduanyn dan tersenyum memberikan itu. Tapi begitu kedua busur diserahkan mendadak mereka saling sedot dan... menempel lagi.
"Ha-ha!"
Sin-kun Bu-tek tertawa.
"Mereka tak mau denganmu, Empu Istana, mungkin tubuhmu bau. Ayo bersihkan dulu atau nanti mereka menghajarmu!"
Dua orang itu terkejut, mundur.
Mereka baru saja memegang akan tetapi ke dua busur membuat ulah.
Belum apa-apa sudah melekat lagi.
Dan karena maklum bahwa tak mungkin mereka berhasil, keduanya menjadi pucat akhirnya dengan tubuh menggigil mereka menyerahkan lagi Busur Kumala kepada pendekar itu.
"Kami tak dapat melaksanakan tugas jika mereka selalu begini. Baiklah kami kembalikan lagi dan selanjutnya terserah Fang-taihiap!" "Heh-heh, kalau begitu lempar saja ke atas tebing. Biarkan Fang-taihiap melayani dua orang tamunya!"
Semua orang bersorak.
Seruan Sin-kun Bu-tek tiba-tiba membuat semua orang sadar akan pertandingan besar itu.
Inilah puncak acara.
Maka ketika semua bertepuk dan berseru riuh-rendah akhirnya Hian-ko Sin-kun dan Omei-san melangkah maju.
Mereka telah saling pandang dan tersipu merah oleh sorak dan teriakan itu.
"Kami akan mencoba mengambil kedua busur kalau Fang-taihiap telah memulainya. Biarlah aku bersicepat dengan Omei-san lo-suhu dan siapa di antara kami yang menang."
"Benar, pinceng siap melakukan itu, tapi bagaimana dengan Fang-taihiap sendiri."
"Ha-ha, bagaimana kau ini. Fang-taihiap tentu saja akan melindungi Busur Kumala, Omei-san. Baik kau maupun Hian-ko Sin-kun harus merampasnya di atas tebing. Aku akan menjadi saksi dan juri di sini begitu semuanya dimulai!"
"Hm, bagaimana maksudmu,"
Hwesio itu mengerutkan kening.
"Apakah kau menghendaki kami mengeroyok seorang lawan, Sin-kun Bu-tek. Jangan merendahkan kami apabila itu yang kaumaksud."
"Ha-ha, aku tak menyuruh, akan tetapi keadaan yang akan memaksanya. Kalau Fang-taihiap meng hendaki mungkin akupun disuruh maju!"
"Omitohud!"
Hwesio itu menggeleng.
"Pinceng tak akan melakukan itu, kecuali tuan rumah bersikap telengas dan membahayakan rekan pinceng."
"Wah, kau sombong dan masih juga tinggi hati. Dikeroyok berduapun rasanya tak mungkin menang, hwesio tolol, bahkan bertiga sekalipun dengan aku. Lawan kita benar-benar tinggi akan tetapi ia rendah hati!"
"Maaf,"
Fang Fang menjura dan membungkuk di depan tiga orang itu.
"Pertandingan belum dilakukan, locianpwe, dan jangan membuatku lupa diri dengan segala pujian itu. Aku hanya ingin melindungi Busur Kumala demi kerajaan, bukan untukku pribadi apalagi lalu ingin pamer di depan jiwi-lo-enghiong (dua kakek gagah) ini. Kalau mereka ingin merampasnya dan aku menjaga busur tentu saja harus satu persatu dan mari kita mulai saja pertandingan ini."
"Lihat, ha-ha... lihat tuan rumah yang rendah hati ini. Ia tak ingin pamer dan segala macam kesombongan, Omei-san lo-suhu. Justeru dari sini seharusnya kita mengalah dan membiarkan saja Busur Kumala dimilikinya. Akan tetapi tidak, aku tahu watak kalian. Pertandingan harus berjalan dan silahkan kalian merebutnya. Ayo, ha-ha... aku menonton dan menjadi wasit di sini!"
Sin-kun Butek terkekeh-kekeh dan kakek itu memandang dua orang temannya yang sudah gatal tangan.
Sebagai orang-orang berkepandaian tinggi tentu saja dua kakek ini tak mau sudah.
Mereka sudah merasakan pil pahit ketika gagal memisah Busur Kumala.
Tentu saja sebagai orang-orang berkepandaian tinggi mereka tahu bahwa ada apa-apa di dalam busur itu, betapa ada semacam getaran gaib yang melindungi kedua busur.
Dan karena mereka sudah merasakan itu akan tetapi belum pernah bertanding silat, pertandingan tadi bersifat pertandingan gaib yang tidak semua orang mampu melihatnya maka dua orang ini penasaran dan tentu saja mereka ingin menjajal sampai di mana ilmu silat pendekar itu, bergebrak dan merampas Busur Kumala? "Baiklah, pinceng akan maju dulu dan biarlah Fang-taihiap menancapkan busur itu di atas tebing.
Karena pinceng tak akan tanggung-tanggung dan merampas ke duanya maka harap Fang-taihiap segera mulai dan biarkan pinceng mencobanya."
"Tidak, aku dulu!"
Hian-ko Sin-kun tiba-tiba berseru.
"Aku sudah maju dan ingin merampas milikku, lo-suhu. Aku cukup satu saja dan nanti menukarnya kalau yang kudapat adalah yang asli!"
"Omitohud, pinceng sudah bicara. Mohon kau suka mengalah dan membiarkan pinceng dulu."
"Tidak bisa, akupun sudah maju dan kaulah yang mundur!"
"Akan tetapi pinceng yang pertama kali maju dalam pertandingan tadi, seharusnya kau belakangan."
"Ha-ha, benar kata Omei-san. Kau belakangan, Hian-ko Sin-kun. Kau harus maju sesuai urutan. Mundurlah dan biarkan rekanmu duluan dan jangan khawatir tak akan kebagian. Mundurlah dan percayalah kepadaku dan jangan bercekcok!"
Sin-kun Bu-tek lagi-lagi tertawa dan kakek itu berkelebat maju di antara keduanya. Ia mengibas-ngibaskan lengannya dan Hian-ko Sin-kun melotot. Akan tetapi ketika ia tertawa dan ditarik lengannya akhirnya kakek ini bersungut.
"Baiklah, kau tua bangka menyebalkan. Biarlah aku mengalah tapi kau harus bertanggung jawab kalau keledai gundul ini menang!"
"Ha-ha, tak gampang terjadi. Ayo mundur dan kita saksikan berdua!"
Orang-orang tertawa melihat betapa secara lucu kakek itu menarik Hian-ko Sin-kun.
Kakek ini dipaksa dan mau tak mau harus mundur.
Dan ketika hwesio i-tu tersenyum menghadapi Fang Fang, sorot matanya tajam maka ia berseru agar kedua busur segera dilontarkan ke tebing.
"Pinceng sudah siap, mohon Fang-taihiap memulainya!"
Pendekar ini tersenyum, menjura dan mengangguk.
Sebagui tuan rumah yang bijak dan selalu lemah lembut maka ia benar-benar menghormati tamunya.
Dua tokoh tua itu selalu dipersilahkan dulu.
Maka ketika sang hwesio berseru menyuruhnya mulai, ia menggerakkan kedua busur tahu-tahu dua benda berkilat dan melesat ke tebing.
"Terima kasih dun mohon kemurahan lo-suhu. Karena lo-suhu menyuruhku memulai baiklah kulontarkan dua busur ini dan marilah kita mulai." Orang terkejut, busur menyambar tebing akan tetapi saat itu juga berkelebat bayangan putih. Sang hwesio tahu-tahu melesat dan mengejar Busur Kumala. Begitu busur menancap maka saat itu juga sang hwesio akan menunggang di atasnya. Akan tetapi ketika berkelebat bayangan lain dan pendekar itu tahu-tahu menyambar lebih cepat maka terdengar bentakan dan kakek itu membalik serta menggerak kan kelima jarinya mencengkeram pendekar itu.
"Hei-dukk!"
Sang hwesio terpental dan betjungkir balik dan Busur Kumala meluncur tanpa penghalang.
Terdengar ledakan ketika busur menancap dan amblas di dinding tebing, mengepulkan asap dan pendekar itu telah berdiri di puncak tebing tersenyum-senyum.
Dan ketika semua orang bertepuk riuh betapa Omei-san lo-suhu melayang turun kembali ke bawah, gagal oleh gerak cepat pendekar itu maka kakek ini merah padam akan ia tertawa memuji dengan mata bersinar-sinar.
"Omitohud, pinceng harus hati-hati. Sekarang pinceng mulai lagi, Fang-taihiap, jagalah Busur Kumala dan awas pinceng ke atas!"
Hwesio itu menjejakkan kakinya dan tahu-tahu bagai elang meluruskan sayap tubuhnya meluncur naik ke atas.
la mele set begitu saja dengan lengan merapat di sisi tubuh.
Akan tetapi begitu mendekati Busur Kumala dan lengannya terkembeng tahu-tahu ia membentak dan menyambar kedua busur, cepat dan luar biasa sekali.
"Awas!"
Yang berteriak adalah Cit Kong.
Anak itu kaget dan pucat sekali ketika kakeknya tak melakukan apa-apa.
hwesio ini sudah meluncur dan kedua tangannyapun siap menjambret busur, di cabut tentu kena.
Akan tetapi ketika meluncur sinar putih dari puncak te bing, meledak dan mengenai kedua lengan hwesio itu maka Omei-san lo-suhu terpekik dan terpental lagi ke bawah.
Sebuah ikat pinggang dari sutera halus menghantam kakek itu.
"Tar!"
Sang hwesio meluncur ke bawah akan tetapi kakek kosen ini tak sampai jatuh.
Ia menggeliat dan berputar un tuk kemudian terbang kembali ke atas.
Tepuk riuh meledak gaduh.
Dan ketika kakek itu membentak dan menyambar lagi Busur Kumala, lebih hati-hati dan ten tu saja lebih cepat maka iapun sudah ber siap ketika ikat pinggang menyambar ke bawah menyambut kesepuluh jarinya.
"Plak-bret!"
Ikat pinggang terhalau akan tetapi jari kaki kakek itu mengungkit.
Secara luar biasa dan cepat kakek ini mempergunakan ujung kakinya menyontek busur.
Busur di sebelah kiri hendak ditendangnya secara lihai.
Akan tetapi ke tika menyambar bayangan tubuh bagai rajawali menukik, mengelepakkan sayap dan kedua ujung lengan baju menghantam ujung jari kaki itu maka sang hwesio berseru keras ketika terpental dan tertolak lagi ke bawah.
"Plak-dukk!"
Tepuk riuh dan sorak gempita mengge tarkan gunung Liang-san.
Seribu pasang mata yang menonton dan terbelalak benar-benar terkejut bersorak.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Fang Fang lenyap dari puncak tebing menyerang kakek itu.
Akan tetapi ketika hwesio ini berjungkir balik dan lagi-lagi tak jatuh ke bawah, menendang dan mencelat lagi ke atas maka kakek itu melayang dan kembali menyambar Busur Kumala, kali ini yang di sebelah kanan.
Akan tetapi sang pendekar telah berjaga.
Fang Fang tentu saja tak membiarkan hwesio itu menyerobot, la berayun-ayun di busur sebelah kiri.
Maka ketika kakek itu menyambar dan hendak merampas busur sebelah kanan, Busur Kumala berpendarpendar maka pendekar ini melayang dan Im-bian-kun atau pukulan Kapas Dingin mendorong kakek itu, cepat sekali.
"Plak-plak!"
Sang hwesio menangkis dan terpaksa menahan maksudnya.
Diam-diam hwesio itu kaget sekali betapa dua kali dirinya terpental, la telah mengerahkan sinkangnya akan tetapi lawan lebih kuat.
Maka ketika untuk ketiga kalinye.
ia terpental namun cepat membentak dan melengking panjang tiba-tiba hwesio itu berkelebatan dan kini Busur Kumala hanyalah tujuan kedua.
Yang utama dan harus dilakukan adalah merobohkan lawannya yang lebih muda ini.
"Haiiittttt...!"
Kakek itu mengeluarkan seruan nyaring dan selanjutnya beterbangan di puncak tebing.
Ia tak lagi jatuh dan menggeliat berputar melainkan tahu-tahu menyambar-nyambar bagai elang yang amat ganas.
Tiga kali sudah cukup bagi kakek ini untuk menahan maksudnya.
Ia tak mungkin merampas Busur Kumala jika pendekar ini tak dirobohkan.
Maka ketika ia melayang-layang dan selanjutnya beterbangan menyambar lawannya itu, pukulan dan tamparan silih berganti menderu dahsyat maka orang dibuat ternganga betapa hwesio ini tak menginjak tanah dan benar-benar bertanding di atas udara.
Akan tetapi yang tak kalah mengagumkan adalah pendekar itu.
Fang Fang melayani dan beterbangan pula mengiringi hwesio ini.
Ke manapun sang hwesio pergi di situlah ia berada.
Pukulan dan tamparan selalu ditangkis.
Dan ketika suara dak-duk atau benturan selalu disusul terhuyungnya si hwesio, kakek ini terkejut maka hwesio itu mendesis dan tibatiba seruannya yang parau menggetarkan membuat tubuhnya berkelebat lenyap.
"Wut-slap!"
Orang terkejut ketika bayangan hwesio ini tak mampu dilihat lagi.
Bagai petir menyambar hwesio itu menghilang di balik gerakannya yang amat cepat.
Sebuah sinar putih meledak, pecah menghantam pendekar itu.
Dan ketika semua orang silau tak tahu apa yang terjadi, hanya Hian-ko Sin-kun dan beberapa saja yang mampu mengikuti maka siapapun tak melihat betapa Fang Fang tergetar dan terdorong mundur oleh pukulan dahsyat hwesio itu mengelak dan menghindar sana-sini dan tiba-tiba tubuh pendekar ini seringan kapas.
Hwesio itu penasaran dan kagel betapa lawannya melayang-layang, bukan oleh ginkang melainkan oleh semacam kesaktian tingkat tinggi, ilmu tanpa bobot di mana kemudian tubuh itu terdorong dan selalu terhempas oleh angin pukulannya.
Dan ketika hwesio ini terbelalak dan kagum melontarkan pujiannyu, ia mengeluarkan ilmunya yang dahsyat yang disebut Hong-sian-palthian-sut (Angin Dewa Menyembah Langit) maka kakek itu terbelalak betapa lawannya tak pernah terpukul karena selalu terdorong dan terdorong oleh angin pukulannya yang amat dahsyat.
Semakin dahsyat semakin kering pula tubuh pendekar itu.
"Omitohud!"
Sang hwesio melepas kekaguman nya.
"Kau tak membalas dan membiarkan pinceng, Fang-taihiap. Kalau begini tak ada yang kalah atau menang. Ayo balaslah dan pinceng pun tak mudah kau robohkan!"
"Maaf,"
Pendekar ini menjawab halus.
"Yang muda tak layak menyakiti yang tua, lo-suhu. Aku hanya menghalangimu kalau ingin merampas Busur Kumala. Selebihnya tak berani terlalu kurang ujar."
"Tapi pinceng tak ingin kau hanya bertahan, balas dan seranglah balik!"
"Aku tak berani, tamu tetap harus kuhormati dan kukira cukup begini saja."
"Ha-ha!"
Sin-kun Bu-tek tergeiak-ge-lak.
"Begini saja sudah cukup, hwesio bau, kau harus mundur dan mengalah. Ayo dan biarkan Hian-ko Sin-kun menggantikanmu!"
"Wah, Fang-taihiap membikin malu. Kalau begini caranya menghadapi tamu maka justeru menyakitkan sekali. Bagiku lebih baik menerima gebuk dan mundur daripada dikelit dan selalu terdorong dan terdorong!"
Hian-ko Sin-kun bersinar-sinar dan kakek itu tiba-tiba berseru marah, la tak setuju dengan caranya pertandingan dan kata-katanya membuat terkejut.
Hwe sio itu tentu penasaran dan belum merasa kalah.
Hanya kalau sudah dipukul mundur dan menerima pelajaran seseorang mengaku kalah.
Maka ketika kuta-kutanya mengenai sasaran dan sang hwesio memerah maka hwesio ini mengangguk dan berseru.
"Betul, pinceng akan lebih puas koin u benarbenar menerima pukulan. Kalau hanya dikelit dan menghindar saja maka pertandingan ini tiada ubahnya pertandaan seorang banci!"
"Ah, lo-suhu terlalu perasa. Kalau lo-suhu menghendaki begitu baiklah maafkan aku. Awas dan terimalah pukulanku!"
Pendekar ini berseru perlahan dan tiba-tib berhenti bergerak-gerak, la tak melayanglayang dan seperti daun kering lagi melainkan tiba-tiba tegak lurus di udara.
Kakinya merapat bagai menginjak sebuah batu besar dan sang hwesio terkejut.
Itulah kesaktian yang disebut Khong-hong san-jin-tee (Menjadikan Udara Tiada Ubahnya Sebagai Bumi).
Maka ketika ia terbeliak dan berseru keras, saat itu meluncurlah dorongan dari depan maka pendekar ini meluruskan lengannya dan kedua telapaknya memukul kedua bahu hwesio ini.
"Desss!"
Sang hwesio bagai tertindih sebuah gunung dan iapun mengeluh.
Dirinya sudah mencoba tegak akan tetapi tetap bergoyang-goyang.
Ia mengangkat kedua lengannya pula namun kalah kuat, i tekan dan akhirnya terlempar menumbuk tebing.
Dinding tebing melesak dimasuki punggung hwesio ini.
Sang kakek tertancap.
Dan ketika semua melotot namun sadar oleh hasil pertandingan itu, Fang Fang melayang dan berayun kembali di atas Busur Kumala maka pendekar ini menjura dalan-dalam dan saat itu meleduklah tepuk riuh seribu orang lebih.
"Maaf, lo-suhu menghendaki sendiri kejadian ini. Maaf dan sekali lagi lupakan kekurangajaranku ini kepada lo-suhu yang terhormat."
Hwesio itu bergerak dan melepaskan diri dari lekukan tebing yang mencetak tubuhnya.
Orang dapat membayangkan kehebatan hwesio ini pula.
la melesak akan tetapi tak apa-apa, padahal kalau orang lain tentu sudah retak dan hancur punggungnya.
Maka ketika siapapun bertepuk dan memuji hwesio itu pula, kakek ini bergerak dan melayang turun ke bawah maka siapapun melihat wajah hwesio itu merah padam akan tetapi matanya berseri-seri.
"Omitohud, sungguh pantas dan mengagumkan seperti dewa. Kalau pinceng kalah seperti ini sungguh tidaklah memalukan. Heh-heh, biarlah Hian-ko Sinkun merasakannya dan pinceng ganti menonton!" (Bersambung
Jilid 24) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara
Jilid XXIV *** "WUT!"
Hian-ko Sin-kun berjungkir balik dan terkekeh bergelak.
"Kalau kalah seperti ini memang tidak memalukan, Omei-san lo-suhu. Lihat sebuah kancing baju Fang-taihiap pun lepas. Kau kalah terhormat dan tidak terlalu kehilangan muka!"
"Omitohud,"
Hwesio itu tersenyum dan menjura.
"Semua ini tidak lepas dari kebaikan Fangtaihiap dan watak luhurnya. Kalau ia mau menghindar tentu dapat dan itu sekedar kemurahan belaka."
"Ha-ha, kalau begitu mundurlah. Biarlah aku mendapat kemurahannya pula dan kujajal sampai di mana tenagaku yang tua ini mampu menghadapinya!"
Kakek itu sudah menyambar turun dan kini ia terkekeh-kekeh menghadapi lawan.
Sebuah kancing baju tuan rumah memang copot dan itu adalah hasil serangan hwesio itu tadi, meskipun sang hwesio tak begitu gembira oleh keberhasilannya ini karena diamdiam ia tahu betapa tuan rumah berlambat menghindar untuk memberinya muka.
Maka ketika kakek itu berhadapan dengan lawannya dan Fang Fang tersenyum maka pendekar ini menjura memberi hormat.
"Locianpwe telah maju, dan aku tentu saja tetap akan mempertahankan Busur Kumala sesuai kekuatan ku. Karena aku adalah tuan rumah harap locianpwe tak perlu sungkan-sungkan lagi dan justeru akulah yang mohon kemurahan locianpwe agar dapat memenangkan pertand'ngan ini."
"Ha-ha, kau tuan rumah yang menyenangkan. Bersiaplah, Fang-taihiap, aku akan merebutnya dan tak perlu kita banyak bicara lagi!"
Belum habis katakata ini mendadak kakek itu lenyap dan sudah menyerang lawannya dengan amat cepat.
Sin-hocoan-in alias Bangau Sakti Menerjang Awan dikeluarkan, kakek itu bergerak amat cepatnya hingga tahu-tahu kelima jarinya sudah berada di ujung hidung lawan.
Sekali cengkeram wajah lawan bisa celaka.
Akan tetapi ketika pendekar itupun lenyap dan kakek ini terkejut lawan menghilang tak diketahui di rnana, angin berkesiur dan ia merasa panggungnya ditotok mendadak kakek ini menggerakkan kaki ke belakang dan bagai kuda menendang ia menangkis sekaligus mematahkan serangan tuan rumah yang begitu mengejutkan dan tak kalah cepatnya.
"Duk!"
Kakek itu terpental dan orang bersorak ramai ketika gebrakan yang ber langsung amat cepat ini berkesudahan seri.
Masing-masing pihak diserang dan menyerang amat cepatnya.
Akan tetapi ketika kakek itu terkekeh dan menyambar lagi maka iapun sudah membentak dan sekali ia meledakkan ujung bajunya maka ujung baju itu menampar dan siapapun tergetar oleh suaranya yang memekakkan telinga.
"Plak-plak!"
Tuan rumah menangkis dan kakek ini terdorong.
Dari adu pukulan ini ia merasa telapaknya pedas.
Hian-ko Sin-kun terkejut akan tetapi kakek itu tergelak.
Maka ketika ia menyerang dan menyambar lagi kakek ini sudah beterbangan amat cepat dan tubuhnya naik turun menyambarnyambar hingga akhirnya tak dapat diikuti mata lagi.
Bersoraklah para penonton oleh pertandingan mendebarkan ini.
Dua orang yang memiliki kepandaian tinggi sudah sambar-menyambar di puncak tebing.
Mereka tak kelihatan lagi setelah pendekar itupun mengimbangi lawan.
Sin-bian-gin kang alias Ilmu Kapas Sakti dikeluarkan Dan ketika pendekar itupun melayang-layang di antara bayangan kakek ini, betapa pukulan dan tamparan dihindari atau ditangkis maka berkali-kali kakek itu terpental namun ia maju lagi hingga pertandingan menjadi begitu ramai.
"Plak-duk!"
Sang kakek terhuyung lagi akan tetapi tergelak menyambar berputar.
Berkali-kali ia terdorong dan berkali-kali pula telapaknya semakin pedas.
Tanpa terlihat orang lain kulit kakek ini memar.
Akan tetapi karena ia penasaran dan selalu menyerang lagi maka kakek ini tak kenal sudah dan ia seakan tak memperdulikan kulit tangannya yang mulai pecahpecah.
Bahkan ujung lengan bajunya sudah robek dan betapa kakek itu meringis menahan sakit namun gerakan tubuhnya masih demikian cepat bagai rajawali berkelebatan menyambar-nyambar mangsa nya.
"Ha-ha, ini baru tua bangka berjiwa muda. Ayo keluarkan semua kepandaian-mu, Hian-ko Sin-kun, keluarkan senjatamu!"
"Omitohud,"
Omei-san menimpali Sin-kun Butek.
"Senjata dikeluarkan bukan untuk sebuah pibu, Bu-tek, melainkan untuk mencari lawan dan membunuh. Ini hanya pertandingan persahabatan (pibu) dan bukan untuk menghilangkan nyawa!"
"Ha-ha, kau keledai bau selalu sok suci. Kalau yang bertanding adalah anak kecil mungkin saja sebuah nyawa mudah dihilangkan. Akan tetapi pendekar itu bukan anak kecil, ia tahu menjaga diri dan sebaiknya Hian-ko Sin-kun mencabut senjata. Atau ia tak akan puas dan nanti dikiranya tuan rumah hanya bocah kemarin sore yang tak mampu mengalahkan kita tua-tua bangka ini!"
"Betul!"
Seruan nyaring seorang anak kecil mengejutkan semua orang.
"Kongkong tak akan mudah dirobohkan biarpun lawannya bersenjata, locianpwe. Aku berani bertaruh dan menjagoi kongkongku!"
"Cit Kong!"
Bentakan Tan Hong membuat anak itu mengkeret di balik punggung ibunya.
"Diam dan jangan bersikap sombong. Anak kecil tak perlu bersuara!"
"Ha-ha, itu pendukungku yang tak perlu disalahkan. Kalau dia tak mau mengeluarkan senjata biarlah aku yang mengeluarkannya, anak muda. Akupun sudah gatal-gatal dan ingin memasuki arena pertandingan kalau kakek itu tak mau mengeluarkan senjata!"
Sin-kun Bu-tek tiba-tiba mengeluarkan sulingnya dan begitu kakek ini meniup mendadak terdengar lengking menggetarkan yang membuat semua orang terkejut.
Kakek itu terkekeh-kekeh dan meneruskan tiupan sulingnya dan Omei-san sang hwesio terkejut.
Hwesio itu membentak dan berkelebat maju akan tetapi kakek ini tak perduli.
Lengking suling membuat orang berteriak, pasukan Bu-goanswe tiba-tiba roboh.
Dan ketika suling terus ditiup sementara sang hwesio menjadi marah mendadak hwesio itu menyambar Sin-kun Bu-tek disertai bentakannya yang menggeledek.
"Berhenti!"
Akan tetapi dua bayangan berkelebat.
Wanita bermata biru dan suaminya ganti membentak hwesio itu.
Inilah menantu dan puteri Sin-kun Bu-tek.
Maka ketika hwesio itu terkejut dua bayangan menyambar ke arahnya, betapa dua pukulan menangkis sekaligus membuatnya terdorong maka seruan suami isteri itu membuatnya terhenyak.
"Jangan ikut campur dan biarkan Fang taihiap menentukannya sendiri. Kalau ia masih kuat maka siapapun tak boleh membantunya... dukk!"
Hwesio itu tergetar miring sementara dua suami isteri itu sudah berhadapan dengannya dalam posisi siap tempur.
Yang wanita menyala-nyala sementara yang lelaki mengangguk menyetujui.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sin-kun Bu-tek masih meneruskan sulingnya dan bayangan lain berkelebat.
Tan Hong jago muda itu sudah menjura di depan hwesio ini.
Dan ketika sang kakek tertegun membelalakkan mata maka kata-kata pemuda itu membuat hwesio ini merandek.
Orang-orang kangouw tiba-tiba mengeluh dan roboh terduduk, suara suling semakin kuat membuat anak telinga mendengking-dengking.
"Apa yang dikatakan dua orang ini benar. Mundurlah dan biarkan suhengku melayani lawannya, lo-suhu. Kalau orang lain membantu salah-salah hasilnya berbeda. Terima kasih atas perhatian lo-suhu dan kami keluarga Liang-san tak akan tinggal diam bila ada kecurangan di sini."
Hwesio itu tertegun dan akhirnya mundur dan iapun tiba-tiba tersipu malu.
Ia lupa bahwa masih ada orang kuat di pihak Liang-san, masih ada pemuda itu yang ia tahu sendiri tak berada di bawah tingkatnya jika ingin membantu.
Maka mengebutkan bajunya berseru mundur iapun memandang pertandingan lagi sementara Sin-kun Bu-tek menambah kekuatan sulingnya hingga tembok mulai bergetar dan retakretak.
"Omitohud, pinceng lupa. Maafkan dan kalau begitu pinceng menonton!"
Kakek itu benar-benar menonton dan ia akhirnya mengangguk-angguk dan melihat betapa pendekar itu masih dapat melayani lawannya biarpun dibantu Sin-kun Bu-tek.
Tuan rumah masih tetap tenang dan menyambar-nyambar sementara dahi Sin-kun Butek mulai berkeringat.
Suara suling tiba-tiba menurun rendah dan akhirnya lenyap.
Pasukan Bu-goanswe dan orang-orang kangouw bangkit berdiri, meskipun terhuyung dan beberapa di antaranya roboh lagi.
Dan ketika kakek itu membuka mata dan tertawa bergelak, suara sulingnya tak banyak membantu mendadak ia berseru mencelat ke depan.
Suling di tangannya tahu-tahu menotok pundak kanan tuan rumah.
"Hwesio bau berlagak tengik. Ayo majulah sekalian dan kita uji murid Dewa Mata Keranjang ini!"
"Omitohud,"
Sang hwesio terkejut lagi.
"Kau curang, Sin-kun Bu-tek. Ini namanya bukan pibu!"
"Ha-ha, kau banyak sungkan dan terlampau banyak memakai peradatan. Maju dan gempur bertiga dan jangan khawatir lawan kita terluka!" Hwesio itu terkejut mem belalakkan mata akan tetapi iapun teringat keluarga Liang-san yang masih berdiri di situ, terutama Tan Hong, Pemuda itu ternyata tenang-tenang saja dan iapun merasa penasaran. Harus diakui bahwa ia terlampau sungkan. Dibanding Sin-kun Bu-tek yang tanpa tedeng alingaling ini memang dirinya bukan apa-apa, ia seorang pendeta. Maka terbelalak betapa tuan rumah dikeroyok dua, Sin-kun Bu-tek tergelak dan menotokkan sulingnya namun terpental barulah ia membuka mata lebar-lebar betapa sesungguhnya pendekar itu amat sakti, jauh di luar dugaannya.
"Ha-ha, maju dan jangan bengong di situ. Lihat hanya sekali ini kesempatan kita atau selanjutnya tuan rumah tak akan meladeni kita lagi!"
Hwesio itu batuk-batuk dan mukanya mendadak merah.
Teringatlah dia ketika gagal menemukan pendekar ini ketika Ia dan Sin-kun Bu-tek berkeliaran mencari.
Bahkan bersama Hian-ko Sin-kun mereka bertiga gagal menemukan pendekar itu.
Maka terbelalak mendengar kata-kata ini sementara pendekar itu tetap tenang melayani lawannya maka terdengarlah seruan Hian-ko Sin-kun yang gemas namun kagum bukan main.
"Keledai gundul, maju dan main-main di sini mumpung kesempatan kita ada.
Sin-kun Bu-tek betul, lawan kita betul-betul luar biasa dan harus kuakui behwa seorang diri aku tak kuat.
Berduapun tak mampu mendesak!"
"Omitohud!"
Hwesio itu bersinar.
"Pinceng belum melihat kekalahan kalian, Hian-ko Sin-kun. Meskipun tak mendesak lawan akan tetapi Fangtaihiap pun tak mampu mendesak kalian!"
"Ha-ha, sungguh tolol dan masih juga sungkan. Kalau kau tak mau maju biarlah kami mendesaknya atau kau lihat kami yang roboh... des-dess!"
Sin-kun Bu-tek membentak keras dan suling di tangannya mendadak lenyap menjadi sinar kebiruan.
Tak ada mata yang mampu melihatnya akan tetapi terdengar ledakan keras.
Tiba-tiba saja kakek itu menjerit dan terlempar.
Dan ketika Hian-ko Sin-kun juga mengeluh dan terhuyung beberapa tombak maka tampaklah baju pendekar itu robek namun ujung suling pecah dan tangan Sin kun Bu-tek menggigil kuat.
"Omitohud...!"
Sang hwesio berseru memuji.
"Kau tampaknya harus mengeluarkan Sian-kongciangmu, Sin-kun Bu-tek. Dengan senjata saja masih tak cukup!" "Hwesio bau!"
Kakek itu memaki.
"Kau hanya bercuap-cuap akan tetapi tak pernah maju. Hayo main-main di sini atau kupukul pantatmu nanti!"
"Heh-heh,"
Hian-ko Sin-kun tertawa.
"Rugi tak memasuki arena ini, keledai gundul. Daripada berkaok-kaok lebih baik membantu dan puaskan hati kita mumpung ada kesempatan!"
"Betul, atau kau pulang dan selanjutnya tidur di pelukan ibumu. Sudah tak perlu membujuk dia lagi dan mari keluar kan semua kepandaian kita!"
Sin-kun Butek melengking lagi dan kakek itu tampak gemas dan marah terhadap hwesio ini.
Berulang-ulang ia membujuk akan tetapi hwesio itu tak maju juga.
Maka mendongkol melepas kemarahannya dan maju lagi kakek itu menggerakkan sulingnya yang pecah dan tangan kirinya tiba-tiba menampar mengeluarkan kilatan tujuh warna.
Hian-ko Sin-kun juga berkelebat dan kini kakek itu mengeluarkan panah emas yang berkeredep menyilaukan mata.
panah yang mirip dimiliki sutenya Sia-tiauw-eng-jin.
"Plek-plak!"
Dua orang itu terdorong namun pendekar itu juga tergetar.
Suling dan panah disambut tuan rumah akan tetapi tenaga yang amat kuat menolak dua kakek itu.
Mereka terkejut akan tetapi menerjang lagi.
Dan ketika panah dan suling menyambar cepat, juga pukulan dan ginkang yang membuat dua kakek itu lenyap berkelebatan ke sana ke mari maka sang hwesio tertegun di tempat namun mukanya merah padam, la malu dan gusar juga disuruh pulang untuk tidur di pelukan ibunya! "Omitohud,"
Akhirnya hwesio ini menggosokgosok telapaknya.
"Kalau Fang-taihiap tak menyuruhku tak mungkin pinceng maju, Sin-kun Butek. Pinceng bukan anak bayi dan masih mengerti aturan. Hanya kalau tuan rumah menghendaki barulah pinceng maju, bukan karena takut!"
"Ha-ha, kau memang cerewet dan biar saja menonton di situ. Aku akan mengeroyoknya berdua dan tak perlu bantuanmu lagi... uh, dess!"
Kakek itu bergoyang-goyang dan tiba-tiba mengeluh ketika suling di tangannya terpental dan hampir menghantam kepalanya sendiri Tidak hanya itu melainkan pukulannya tertiup balik, menghembus dan menghantam dudanya sendiri membuatnya mengeluh.
Dan ketika hwesio itu terbelalak namun Sin-kun Bu-tek maju kembali, membentak mengeluarkan It-ho-kai-san (Suara Gugurkan Gunung) maka pasukan Bu-goanswe kembali menjerit dan orang orang kangouw yang menonton di bawah juga berteriak dan terlempar roboh.
"Auuugghhhhh-hiaaattttt!!"
Hebat bentakan atau suara It-ho-kai-san ini.
Tenaga yang dikeluarkan Sin-kui-Bu-tek tak mainmain.
Ia adalah tokoh tua yang kemampuannya setingkat mendiang Dewa Mata Keranjang.
Maka ketika ia mengeluarkan kesaktiannya itu dan suaranya yang dahsyat menggugurkan tebing hebat kakek ini maka yang lain harus mengerahkan sinkang untuk melindungi isi dada yang seakan hendak pecah.
"Blarrr!"
Ledakan dahsyat itu disertai muncratnya bunga api ke delapan penjuru.
Semua terpekik dan roboh mengaduh.
Kiok Eng dan lain-lain juga mundur dan duduk bersila, hanya Tan Hong dan hwesio itu yang berdiri berkerut kening.
It-ho-kai-san dikerahkan hampir sepenuh pekikan.
Dan ketika asap lenyap mengiringi bunga api, puncak tebing runtuh disertai hujan batu maka Busur Kumala terlempar oleh pekikan It-ho-kai-san ini namun secepat kilat sudah disambar pendekar itu sementara Sin-kun Bu-tek dan Hian-ko Sin-kun terguling roboh bersandar dinding.
Suling di tangan kakek itu hancur sementara panah emas di tungau Hian-ko Sin-kun menjadi dua.
Patah dan bengkok! "Ha-ha, luar biasa kemajuanmu.
Hebat dan mengagumkan kesaktianmu, Fang taihiap.
Sinkangmu luar biasa sekali sementara tubuhmu itu, ah...
kau telah menguasai Sap-thi-hong-te (Asap Baja Pelindung Bumi).
Pesat sekali kemajuanmu dan aku si tua bangka ini menyatakan takluk.
Akan tetapi masih ada Omeisan hwesio bau itu yang siap mengeroyokmu apabila kau minta.
Hayo jangan tanggung-tanggung dan biarkan tiga tua bangka ini tunduk luar dalam, ha-ha!"
"Benar, ia memiliki Sap-thi-hong-te Panah emasku tak mampu melukainya dan ia menolakku balik. Aduh, kalau lawan kita kejam tentu kita mampus. Heh-heh...!"
Hian-ko Sin-kun juga terkekeh serak dan tampak kakek itu bangkit susah payah.
Tadi berdua dengan rekannya mereka melakukan serangan hampir berbareng.
Panah menyambar tenggorokan sementara suling di tangan Sin-kun Bu-te menghantam kepala, setelah dekat diturunkan ke bahu akan tetapi sungguh tak diduga senjata itu tak mampu dibelokkan.
Hian-ko Sin-kun juga merobah serangan nya akan tetapi panah emas mendadak meluncur lurus, tak mampu dimiringkan ataupun diungkit ke bawah menuju pundak kiri.
Ada tenaga gaib yang tiba16 tiba memaksa mereka bagaikan robot saja.
Bukan maksud mereka untuk melakukan serangan membunuh.
Maka ketika ke duanya terkejut tak mampu merobah arah serangan, betapa Sian-kongciang menyambar pula dari tangan kiri Sin-kun Bu tek maka keduanya diam-diam menjadi pucat betapa serangan mereka ke tenggorokan dan batok kepala bisa berakibat fatal, paling tidak dapat membahaya kan keselamatan pendekar itu yang bisa luka parah.
Akan tetapi terjadi kejutan itu, yakni munculnya hawa dingin disertai kekuatan yang tak mampu membelok kan serangan mereka.
Sebagai tokoh-tokoh tua dan berkepandaian tinggi tentu saja mereka dapat merobah arah serangan setelah jarak begitu dekat.
Mereka tak bermaksud melakukan serangan maut karena pada detik yang sedemikian cepatnya itu mereka akan segera membelokkan sasaran.
Akan tetapi ketika tiba-tiba saja mereka menjadi kaku oleh serangkum hawa dingin bertenaga gaib, betapa mereka seakan robot yang tak mampu merobah arah serangan maka dua orang kakek ini mengeluh di dalam hati dan yang mereka lakukan hanyalah mengurangi tenaga tusukan akan tetapi itupun tiba-tiba membuat mereka terkejut betapa bawah lengan sampai ke ujung-ujung jari tak dapat dikuasai dan akibatnya serangan mereka membunuh.
tetap hebat dan mampu "Tas-plak!"
Akan tetapi yang terjadi justeru membuat dua kakek ini tertegun.
Panah dan suling mereka mengenai sasaran dengan tepat, tenggorokan dan batok kepala.
Akan tetapi ketika suling malah hancur sementara panah menjadi cengkok dan patah maka saat itulah mereka melihat dinding asap yang seketika diketahui sebagai Sap-thi-hong-te yang hanya dimiliki oleh orang yang sudah setingkat dewa! "Uh!"
"Ah!"
Dua kakek itu terhuyung dan akhirnya roboh terduduk.
Mereka pucat memandang pendekar itu akan tetapi kekaguman besar tak dapat disembunyi kan lagi.
Mereka begitu takjub akan kesaktian lawan mereka ini.
Muka ketika Sin-kun Bu-tek tergelak berseru sementara rekannya terkekeh mengusap panahnya yang patah maka keduanya bangkit berdiri dan kata-kata itu memancing keinginan bertanding di hati si hwesio Nepal.
Akan tetapi tuan rumah menjura dan tersenyum halus.
Pendekar itu menggeleng dan berkata bahwa semuanya cukup, tak ada yang perlu dipertandingkan lagi.
Dan ketika pendekar itu membungkuk merangkapkan tangan di depan dua kakek ini maka kata-katanya membuat Sin-kun Bu-tek tak puas.
Kakek itulah yang ingin menunjukkan kepada si hwesio Nepal bahwa pendekar ini mampu menghadapi mereka bertiga.
"Maaf, dan cukuplah kiranya main-main ini. Kalian telah membuatku susah payah, jiwi-locianpwe (dua kakek gagah). Hanya berkat daya tahanku saja aku dapat bertahan. Seandainya jiwi masih muda dan belum dimakan usia belum tentu aku mampu bertahan. Semua ini berkat nasib baik saja dan terima kasih atas ke murahan Jiwi."
"Wah, tidak bisa. Belum cukup. Masih ada Omei-san si keledai gundul yang belum turun arena. Tangannya gatal-gatal. Lihat betapa mimik mukanya kecewa kalau kau tak mau bertanding lagi!"
Sin-kun Bu-tek berseru menggeleng-geleng kepala dan katakatanya ini membuat si hwesio terkejut.
Memang tak dapat disangkal betapa tiba-tiba ia kecewa pendekar itu tak mau bertanding lagi.
Ia hanya menunggu isyarat tuan rumah.
Maka ketika mimik mukanya masam akan tetapi tentu saja ia terkejut oleh seruan itu maka buru-buru hwesio ini mengulapkan lengan melempar ujung jubah.
"Omitohud, Sin-kun Bu-tek amat tajam.
Karena pinceng sudah bertanding dan mengaku kalah maka tak selayaknya maju lagi menandingi Fang-taihiap.
Pinceng sudah mengakui kelemahan dan Sin-kun Butek jangan memaksa!"
"Ha-ha, kau seperti aku. Melihat lawan semakin lihai tak mungkin mau sudah, hwesio bau. Kau belum merasakan semua kepandaian Fang-taihiap dalam keroyokan bertiga. Kalau kau pulang dengan cara begini maka kuanggap kau munafik!"
"Omitohud, omongan apa ini. Munafik bagaimana?"
"Ha-ha, tak perlu pura-pura. Karena mimik mukamu tampak kecewa maka akuilah terus terang bahwa diam-diam kaupun ingin mengeroyok bertiga. Kami berdua sudah kalah, tapi karena kau belum ikut bertanding dan tak dapat mengeluarkan semua kepandaianmu maka kau masih menyimpan penasaran dan pulang ke Nepal tak seratus persen puas., Hayo mengaku atau kuanggap dirimu pendeta omong kosong!"
"Omitohud...!"
Hwesio ini memerah mukanya.
"Kata-kata Sin-kun Bu-tek sungguh tajam tapi pinceng tak akan memaksa Fang-taihiap maju lagi. Kalau ia meminta barulah pinceng masuk, akan tetapi kalau dianggap sudah tak perlu lagi maka tak selayaknya kau menyuruh ia bertanding!"
"Bagus, kalau begitu masuklah kelompokku. Aku akan menantangnya sekali lagi dan tak akan memaksa jika ia tak mau. Tapi kupercaya bahwa tuan rumah bukan seorang penakut yang harus mundur hanya gara-gara ditantang bertiga, ha-ha!"
Kakek itu tergelak-gelak dan sang hwesiopun berubah mukanya.
Kata-kata ini amat cerdik dan langsung mengena.
Pendekar itu tak mungkin menyuruhnya maju hanya kalau diminta Sin-kun Butek.
Akan tetapi begitu kakek itu mengeluarkan tantangan dan tak mungkin seorang gagah menolak maka sekali tepuk kakek ini menjaring dua keberhasilan.
Pertama adalah memasukkan hwesio itu dan kedua memaksa tuan rumah untuk maju bertanding lagi.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha-ha...!"
Hian-ko Sin-kun kali ini terkekeh.
"Kau pintar, Sin-kun Bu-tek, licin seperti ular pula. Kalau kata-katamu seperti ini tak mungkin Fangtaihiap menolak. Dan keledai gundul itu, heh-heh... iapun pasti maju dan mau!"
Hwesio ini memerah tersipu dan mau tak mau iapun pasti maju.
Sin-kun Butek telah mengajaknya seperti itu dan tak, mungkin ia mundur.
Hanya kalau tuan rumah menolak ia tak akan bertanding.
Akan tetapi karena sebagai orang gagah tak mungkin pendekar itu menolak maka benar saja pendekar ini maju ke de pan tersenyum menjura.
Sikap dan katakatanya masih halus membuat senang.
"Sin-kun Bu-tek locianpwe benar-benar memaksaku. Karena dia telah menantangku dan tak mungkin aku mundur biarlah sam-wi maju dan aku yang rendah tetap mohon kemurahan. Selanjutnya siapapun harap tak memaksaku lagi dan urusan Busur Kumala dianggap selesai."
"Ha-ha, sekarangpun sudah selesai. Dua orang itu telah kaukalahkan, Fang-taihiap, pertandingan ini bersifat tambahan. Hanya agar semua tahu kehebatan keluarga Liang-san maka kuminta kau melayani kami bertiga. Nah, majulah, aku tak ragu-ragu lagi dan akan mengeluarkan semua kepandaianku!"
"Benar, aku pribadi sudah menyerah kalah. Busur tiruan tak akan kurebut lagi. Akan tetapi kalau tuan rumah bermurah hati dengan memberikannya kepada murid keponakanku nanti tentu saja dengan senang hati akan tetap kuterima, ha-ha!"
Pendekar itu tersenyum ramah dan mengangguk berkata.
"Hian-ko Sin-kun locianpwe tak perlu khawatir. Kalau nanti semua urusan selesai tentu dengan senang hati akan kuserahkan yang tiruan. Betapapun kami hanya memerlukan yang asli."
"Bagus, terima kasih. Aku tak salah melihat orang, Sin-kun Bu-tek. Fang-taihiap benar-benar bijak, heh-heh!"
"Sudahlah tak perlu bergembira dulu. Gosok kedua tanganmu dan siap bertanding!"
Sin-kun Bu-tek tertawa gembira dan iapun menggosok-gosok kedua telapak tangannya dengan wajah berbinar-binar.
Kakek ini begitu girang bahwa lawan mau melayani mereka bertiga.
Inilah pertandingan akhir yang akan membuatnya puas seumur hidup.
Maka ketika ia tertawa-tawa dan dua rekannya tersenyum pula maka ia memberi tanda dan suling di tangan cucunya mendadak menyambar dan ditangkap kakek ini.
"Hayoh!"
Seruan itu melengking penuh semangat.
"Majulah dan kita mulai, Fang taihiap. Kami bertiga akan mengeroyokmu dan keluarkan senjata mu!"
"Aku akan tetap bertangan kosong saja,"
Pendekar ini membungkuk dan menjawab halus.
"Kalau nanti terdesak biarlah kukeluarkan senjataku, locianpwe. Sebagai tuan rumah biarlah locianpwe menyerang dulu dan aku yang muda menghadapi nya."
"Heh-heh, benar-benar luar biasa dan awas kalau begitu. Aku tak akan banyak bicara lagi dan terimalah seranganku!"
Kakek itu membentak dan suling di tangannya mendadak melesat dan mengeluarkan bunyi mengaung.
Belum habis suling bergerak maka tangan kiri kakek itupun me nyerang cepat.
Pukulan sinar putih menyambar.
Dan ketika pendekar itu menge lak namun kakek ini menyusul dan menggerakkan sulingnya berputar mendadak tertiuplah bunyi melengking dan...
sebuah lagu berirama cepat mengelilingi pendekar itu dan cahaya suling berkeredep dan membungkus pendekar ini untuk selanjutnya menyerang dan menusuk amat cepat tak mampu diikuti pandangan mata.
"Plak-plak!"
Orang hanya mendengar tangkisantangkisan cepat dan pendekar itu berkelebatan menghindar ketika Sin-kun Bu-tek tergelak dan menyambar-nyambar.
Kakek ini berseru dan menggerakkan senjatanya semakin cepat karena saat itu Hian-ko Sin-kun dan Omei-san berkelebat pula.
Hian-ko Sin-kun mempergunakan pa nahnya yang bengkok sementara sang hwesio ragu-ragu mempergunakan ujung lengan baju.
Dua lengan baju ini tiba-tiba mengeras dan berubah kaku, menyodok dan mengemplang tiada ubahnya to-ya.
Akan tetapi ketika kebutan- sbutan-nya terpental bertemu lengan pendekar itu, betapa dua rekannya juga tertolak dan terpukul mundur maka sang hwesio diserukan agar tidak setengah-setengah.
Sorak gemuruh segera meledak.
"Serang dan pukul sepenuh tenaga. Keluarkan semua kepandaianmu!"
"Ha-ha, benar sekali. Pukul dan serang sepenuh tenaga, keledai gundul, yang kita hadapi bukan anak kecil. Serang dan keluarkan semua kepandaianmu atau kita tak akan puas menjajal semua kehebatan lawan kita ini!"
Hian-ko Sin-kun terkekeh dan tergelakgelak ketika hwesio itu berubah merah oleh seruan re kannya.
Hwesio ini memang banyak sungkan dan terdengar pula tepukan anak kecil.
Cit Kong, bocah itu berseru pula memanaskan sang hwesio.
Anak ini terkekeh menjagoi kong-kongnya.
Dan ketika si hwesio semburat dan semakin merah padam maka iapun membentak dan keluarlah dorongan Hong-sianpai-thian-sut yang memang menjadi andalannya.
"Betul, keluarkan semua kepandaian kalian. Kakekku tak akan kalah, sam-wi locianpwe (tiga orang tua gagah). Ayo pukul dan serang semakin cepat atau nanti kalian roboh!"
"Diam, mundur dan jangan banyak bicara!"
Tan Hong membentak puteranya itu.
"Jangan ganggu mereka dengan teriakan-teriakanmu, Kong-ji. Biarkan mereka bertanding dan jangan ganggu konsentrasi nya!"
Cit Kong mengkeret dan kembali bersembunyi di belakang ibunya.
Seruan anak ini didengar semua orang dan berkelebatlah dua bayangan tinggi besar.
Bu-goanswe dan Kok-taijin tertawa-tawa.
Dan ketika dua orang itu bertepuk dan memuji tuan rumah maka jenderal ini tak ragu menyambar dan mengusap kepala anak itu.
"Bocah ini bicara jujur, tak perlu marah-marah. Karena aku juga menjagoi kong-kongmu marilah kita menonton di pinggir dan jangan hiraukan ayah ibumu!"
Anak ini tersenyum namun tak berani beradu pandang dengan ayahnya ketika sang jenderal memondong dan membawanya melompat mendekati pertempuran.
Empat bayangan sudah berkelebatan amat cepat akan tetapi jenderal itu berseru keras ke tika terdorong dan terpukul mundur oleh angin pukulan yang menderu-deru.
Tiupan suling kini mencicit dan membuat anak telinga sakit.
Dan ketika semua orang berteriak dan apa boleh buat menjauhi pertempuran maka jenderal ini duduk bersila dan akhirnya melempar kembali anak itu kepada ayah ibunya.
Tiupan suling semakin tinggi dan menusuk amat kuatnya, belum lagi ledakan-ledakan ujung jubah yung memekakkan telinga.
"Bagus, kau selalu berpihak kepada ke turunan Dewa Mata Keranjang. Rasakan telingamu, jenderal bau, mundur dan sumpal dengan cepat atau kau menari-nari, heh-heh!"
Sin-kun Bu-tek tertawa-tawa dan gemas menggerakkan sulingnya dengan kuat ketika jenderal itu menjagoi lawan.
Ia membuat nada suling berirama cepat hingga orang terbawa tanpa sadar.
Beberapa di antaranya sudah menari-nari.
Dan ketika kakek itu penasaran mempercepat serangan nya, suara suling meninggi rendah penuh kekuatan sakti maka Cit Kong dan bibi serta ibunya berjengit dan melenggang-lenggok untuk akhirnya...
menari-nari! Akan tetapi terdengar siulan halus.
Siulan ini menyusup di antara suara suling dan membawa nada sejuk.
Gerak cepat irama suling mendadak dikendali kan.
Dan ketika orang berhenti bergerak untuk menari-nari, siulan halus menetralisir suara suling maka semua semburat merah betapa menari-nari tanpa sadar.
Bahkan Kiok Eng sendiri melengganglenggok menari ular menurutkan tiupan Sin-kun Butek yang sengaja menggoda.
"Keparat, kakek ini usil. Kalau ayah tidak memberinya pelajaran jangan-jangan ia berbuat lebih gila lagi!"
"Ha-ha!"
Kakek itu tergelak.
"Justeru inilah kegembiraan kami, hujin. Kalau ayahmu mampu meredam tarianku biarlar ia mencobanya yang lain dan ingin kulihat mampukah kalian tak berjingkrakjingkrak!"
Suara suling tertelan siulan namun tiba-tiba saja memberontak dan melepaskan diri.
Memang pendekar itu mengerahkan khikangnya untuk meredam suara suling.
Sin-kun Bu-tek membuat orang melenggak-lenggok.
Maka ketika siulan halus meredam irama suling, kakek ini terkejut melepaskan diri tiba-tiba iapun sudah bangkit lagi dan irama keras membuat orang ingin berjingkrak dan pasukat Bugoanswelah yang pertama kali menjadi korban! Lucu melihat seribu orang menari kuat.
Tameng can tambur dipukul-pukul gencar.
Suasana menjadi riuh dan seketika ramai.
Akan tetapi ketika terdengar benturan keras antara suling dan telapak pendekar itu, juga ledakan ujung baju yang membuat dua orang itu terpukul mundur maka ujung suling pecah dan Sin-kun Bu-tek memaki-maki.
Suara sulingnya menjadi kacau dan otomatis buyar.
"Gila, keparat tengik. menghancurkan senjataku!"
Kau kembali "Maaf, tangkisanku terlalu kuat. Nanti kuganti sulingmu, locianpwe, bahkan kubuatkan yang lebih bagus. Aku terpaksa mengimbangimu atau nanti orang-orang itu menyerbuku termasuk anak isteriku sendiri."
"Heh-heh, kau lihai. Akan tetapi dengan sisa senjataku ini kupikir masih mampu membuatmu repot... plak-dess!"
Suling menghantam ke depan di saat Hian ko Sin-kun juga menggerakkan anak panahnya yang bengkok.
Hampir dalam saat yang sama Omei-sanpun menamparkan lengan bajunya.
Akan tetapi ketika ketiga-tiganya terpental dan kakek liu terkejut maka ia memuji dan selanjutnya mereka berkelebatan menyerang pendekar ini.
Penonton sudah tidak berjingkrak dan mengumpat kakek itu setelah ujung suling pecah.
Kini terbeliaklah semua mata menonton pertandingan ini.
Panah emas di tangan Hian-ko Sinkun mengeluarkan cahaya berkeredepan.
Suling di tangan Sin-kun Bu-tek juga mengeluarkan sinar menyilaukan akan tetapi yang paling mengetarkan justeru ledakan-ledakan ujung jubah Hwesio Nepal itu berulang-ulang gagal membuat lawan terdorong.
Kian lama ia menjadi penasaran oleh kehebatan lawannya yang muda ini.
Dan ketika ia mulai sungguh-sungguh tak sungkan lagi, betapa ia terpukul mundur dan tenaga sakti amat kuat membuatnya terpental maka kakek ini kagum sekali dan berulang-ulang memuji.
"Omitohud, Fang-taihiap benar-benar mengagumkan. Sekarang pinceng benar-benar percaya akan tetapi maaf pinceng akan mengeluarkan semua kepandaian pinceng.!"
"Ha-ha, tolol dan masih juga sungkan. Keluarkan semua kepandaianmu, hwesio bau, seperti juga aku mengeluarkan semua kepandaianku. Lawan kita bukan anak-anak lagi dan lihat betapa berkali-kali kita terpental!"
"Omitohud, Sin-kun Bu-tek benar dan aku tak perlu ragu-ragu lagi!"
Hwesio itu meledakkan ujung bajunya dan selanjutnya ia menggetarkan tempat itu dengan kebutan-kebutannya yang amat kuat.
Kini setiap ledakan membuat dada setiap orang tergetar.
Ada rasa sakit dan panas.
Dan ketika semua mundur apalagi ketika setiap kebutan mengeluarkan asap maka orang membelalakkan mata betapa hwesio ini melakukan dorongan dan pukulan yang membuat dahinya berkeringat.
Akan tetapi yang mengagumkan adalah pendekar itu.
Semakin kuat lawan memukul semakin kuat pula tangkisannya.
Ia benar-benar mengimbangi dan melayani lawan sesuai kekuatannya.
Dikeroyok bertiga masih tetap tenang aken tetapi cepat.
Dan ketika lawan semakin penasaran akan tetapi tak mampu memukul mundur justeru merekalah yang terhuyung dan mengeluh gemas maka Hian-ko Sin-kun berkemak-kemik dan mendadak ia berkelebat mempergunakan Sin-ho-coan-inn.
(Bangau Sakti Menerjang Awan).
"Fang-taihiap, aku mengeluarkan ilmu simpananku!"
Kakek ini menghilang dan lenyap ke kiri ketika tiba-tiba saja bentakan disertai disertai kepretan sepuluh jari.
Ia menyimpan panah bengkoknya dan kakek ini mengerotokkan tulangtulang lengannya.
Ajaib, lengan kakek itu memanjang dan mengelepak.
Dari kedua lengan itu muncullah sayap dan kini sayap itu menyapu wajah lawan.
Pandangan seketika gelap dan tentu saja membahaya kan.
Dan ketika kakek itu membentak dan lenyap mempergunakan puncak dari ilmunya yang disebut Sin-ciak-khai-peng (Merpati Sakti Membuka Sayap) maka saat ituh Sin-kun Bu-tek melempar sulingnya pula dan berseru sambil menepuk telapak tangannya, dahsyat sekali.
"Aku juga mengeluarkan simpanku!"
Penonton terkejut ketika kakek inipun lenyap dan sebagai gantinya melesatlah cahaya putih menyambar pendekar itu.
Cahaya ini meledak bagai petir dan pecah tujuh bagian, hebat berwarna-warni dan semua berteriak oleh silaunya cahaya itu.
Dan ketika cit Kong juga terperanjat betapa kong-kongnya tak mungkin menghindar, sayap dan tujuh sinar pelangi mengurung dari segenap penjuru maka sang hwesio Nepal mengembangkan lengan bajunya dan terdengarlah ledakan lebih dahsyat ketika sepasang lengan baju yang terbuka lebar itu melayang turun bagai lempengan baja menghantam kepala pendekar itu.
"Omitohud, pincengpun tak mau kalah!" Tiga serangan dahsyat menuju berbarengan ke tubuh pendekar itu. Siapapun menjadi ngeri dan dapat membayangkan akibatnya. Kalau pendekar itu tak kuat tentu hancur. Tan Hong hampir saja meloncat menangkis pukulan-pukulan itu. Akan tetapi ketika memancar cahaya terang benderang menerima tiga serangan kakek-kake itu, terdengar bunyi memekakkan yang membuat tebing bergemuruh maka tiga serangan mengenai pendekar ini dan terdengar jerit atau pekik kaget hampir serentak.
"Des-des-dess!"
Orang mematung ketika tiba-tiba saja pendekar ini berdiri bergoyang-goyang mentara tiga kakek itu melekat atau menempel di tubuhnya.
Lengan Hian-ko Silaui mengenai kepalanya sementara Sin-kun Bu-tek bergetar kuat di sebelah kanan.
Lengan jubah hwesio Nepal tertahan di atas kepala sementara hwesio matimatian menurunkannya.
Hawa mujijat melindungi pendekar itu.
Dan ketika semua terbelalak betapa pendekar ini mengeluarkan pancaran kuat ke segala penjuru, cahaya menyilaukan yang menangkis sinar pelangi dan pukulan-pukulan tiga kakek itu maka Sinkun Bu-tek dan lain-lain menggigil mengerahkan sinkang karena mereka tertahan atau diterima semacam tenaga gaib di mana lengan jubah hwesio Nepal tak mampu menyentuh kepala pendekar itu.
Ujung rambut pun tidak! Kini terjadilah pemandangan aneh yang membuat semua orang terpukau.
Lengan Sin-kun Butek maupun Hian-ko Sin-kun bergetar-getar.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari kulit kepala sampai ujung kaki mengepulkan uap.
Dan ketika tiga orang itu berjuang mati-matian men dorong lawan, tak terasa lagi dahi dan tubuh mereka mengeluarkan keringat maka perlahan-lahan tubuh pendekar ini tergencet sampai akhirnya menjadi tipis dan terjadilah pemandangan luar biasa di mana tibatiba pendekar itu lenyap berubah menjadi asap dan hilang tak berbekas.
"Awasi"
Yang kaget tentu saja tiga kakek itu sendiri.
Mereka sedang mengerahkan sinkang ketika mendadak lawan mereka hilang.
Mereka terbelalak dan heran betapa lawan tersenyum-senyum.
Digencet dari tiga penjuru tetap saja tenang.
Akan tetapi ketika perlahan-lahan pendekar itu menipis dan tubuhnya menjadi halus, sirna dan lenyap maka ketiganya kaget bukan main karena saat itu tenaga mereka memukul lawan dan kalau tidak cepat ditarik yang bakal celaka.
"Mundur!" Bentakan hwesio Nepal tak perlul diulang. Hilangnya lawan dan bertemunya tenaga mereka dapat membuat semuanya hancur. Begitu seruan dikeluarkan secepat kilat ketiganya melempar tubuh bergulingan. Akan tetapi karena mereka sedang matimatian dan tak mungkin semudah itu menarik pukulan maka dinding tebinglah yang menjadi sasaran dan... blarrr, pukulan tiga tokoh sakti itu membuat tebing runtuh dan mereka terkubur hidup-hidup oleh batu dan pasir yang berhamburan.
"Uhh!"
"Keparat!"
"Omitohud!"
Tiga kakek ini terpendam dan ketiganya batukbatuk oleh debu dan batu yang mengubur mereka.
Hampir sebatas leher ketiganya teruruk.
Dan ketika semua meleletkan lidah akan tetapi tertawa melihat akhhir pertandingan ini, tiga kakek itu susah payah mengeluarkan tubuh mereka maka terdengarlah kesiur angin dingin dan... plak-plak, batu dan segalanya terlempar dan muncullah pendekar itu membebaskan lawan-lawannya.
"Siluman!"
Sin-kun Bu-tek terkekeh gemas memaki kagum.
"Kau hebat, Fang-taihiap, kau benar35 benar seperti siluman dan ilmu apa yang kaumiliki tadi. Uh, rasanya seperti Ut-hong-san-sut (Manusia Kabut Mengubah Roh)!"
"Benar, Ut-hong-san-sut. Kita tak salah mengenali ilmu itu dan hebat sekali tuan rumah kita ini. Aku tak penasaran lagi dan menyerah mutlak!"
"Omitohud, pinceng juga menyerah mutlak. Fang-taihiap benar-benar luar biasa dan kesaktiannya jauh di atas lawan-lawan yang pernah pinceng kenal. Sungguh mengagumkan dan pinceng akan kembali ke pertapaan dengan perasaan puas luar biasa!"
Hwesio Nepal itu menjura dan mengebutkan lengan jubahnya berulang-ulang sementara dua temannya mendecak dan bersinar-sinar.
Hian-ko Sin-kun maupun Sin-kun Bu-tek harus mengaku kekalahan mereka akan tetapi yang membuat kagum adalah sikap pendekar itu, betapa lawan mereka menjura dan menolong mereka dari tumpukan batu dan debu, membersihkan dan turut menarik mereka dari lubang timbunan.
Sikap dan gaya pendekar ini amatlah bersahaja.
Maka ketika semua terkagum-kagum terutama sekali Sin-kun Butek, kakek inilah yang tahu masa muda pendekar itu maka kakek inilah yang tiba-tiba kecewa kenapa dulu ia tak bermantukan pendekar ini, hanya karena waktu itu diketahuinya pendekar ini sebagai seorang yang doyan wanita cantik menuruni watak mendiang gurunya.
"Ha-ha... hmm! Kau benar-benar hebat akan tetapi membuatku kecewa juga. Baiklah, Fang-taihiap, kukira cukup semuanya ini dan baiklah sekarang aku pergi. Hian-ko Sin-kun dan Omei-san tentu tak akan memperebutkan Busur Kumala lagi dan kupercaya kebijaksanaanmu. Terima kasih!"
Kakek itu memutar tubuh dan membalikkan langkahnya ketika sambil tertawa aneh ia mengajak menantu dan cucunya pergi.
Sekali berkelebat kakek itu menyambar turun gunung.
Lalu ketika menantu dan cucunya berkelebat mengikuti maka orang melihat tiga bayangan meluncur cepat, lalu lenyap.
"Ha-ha, aku juga. Kupikir tak ada gunanya aku di sini lagi, Omei-san. Biarlah semuanya kupercayakan pada Fang-taihiap. Barangkali murid keponakanku masih bernasib baik atau kami tak perlu bermimpi lagi!"
"Omitohud, pinceng juga!"
Sang hwesio berseru dan menyusul.
"Pinceng juga tak ada gunanya di sini lagi, Hian-ko Sin-kun. Terima kasih untuk semua pelajaran yang telah kuteria dan permisi kepada Fangtaihiap!" Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan memanggil. Bayangan putih bergerak dan tahu-tahu berada di depan dua tokoh ini. Fang Fang menjura di depan dua kakek itu. Lalu sementara keduanya tertegun maka pendekar ini berkata.
"Maaf, jiwi locianpwe dapat menjadi tamu kalau suka. Karena kami akan segera ke Ang-bi-to membuktian keaslian busur barangkali jiwi khususnya locianplwe Hian-ko Sin-kun tak keberatan tetap tinggal. Sementara Omeisan lo-suhu kalau tak ada keperluan dapat mengiringi kami minum teh. Dan Sin-kun Bu-tek locianpwe maaf... aku harus mengganti sulingnya dan semoga penggantian ini tak terlampau mengecewakan... siuutttt!"
Seberkas cahaya emas mendadak meluncur dai menyambar Sin-kun Bu-tek dan banyak orang terkejut oleh sinar yang mengaung itu.
Baru mereka tahu bahwa sebatang su!ing yang amat indah dan luar biasa menyambar atau mengejar Sin-kun Bu-tek yang sudah menghilang.
Kakek itu sudah di bawah gunung.
akan tetapi ketika terdengar ledakan halus dari lengan baju yang menangkap suling, juga kekeh atau tawa kakek itu maka orang menjadi kagum bahwa suling yang melesat dan menyambar bagai benda bernyawa ini dapat sampai ke tujuannya, padahal kakek itu sudah sedemikian jauh dan lenyap tak terlihat.
"Ha-ha-heh-heh-heh! Kau masih juga ingat janjimu sendiri, Fang-taihiap, suling penggantimu telah kuterima dan terima kasih banyak.
Aduh, emas murni dan amat mahal, heh-heh-heh...!"
Orang tak mendengar kekeh kakek itu lagi karena selanjutnya Sin-kun Bu-tek tak memperdengarkan tawanya lagi melayang jauh di sana.
Kakek itu menggenggam suling emas sambil berkaca-kaca.
Ia kian kecewa saja oleh kenyataan pahit ini.
Dan ketika ia meluncur sambil terus diikuti dua temannya maka terdenar Omei-san terkekeh mengebutkan lengan bajunya, ganti menyusul Sin-kun Bu-tek.
"Omitohud, pinceng masih ada keperluan. Paling tidak pinceng harus membersihkan pertapaan pinceng, Fang-taihiap, terima kasih atas undanganmu. Biarlah pinceng menemani minum teh di lain waktu saja dan sekarang perkenankanlah binceng pergi... wutt!"
Fang Fang menjura dan merangkapkan tangan ketika benar-benar hwesio itu tak mau dicegah.
Ia mundur dan memberikan jalan dan meluncurlah hwesio itu menuruni Liang-san.
Dan ketika sekejap pakaian putihnya berkibarkibar, di pundak kirinya tahu-tahu terpanggul sutenya yang tewas maka orang mendecak kagum akan kehebatan hwesio ini, terutama ketika hwesio itu tertancap dan melesak ke dalam tebing akan tetapi masih hidup.
Tanda seorang hwesio yang kosen dan tangguh! "Wah, tinggal aku!"
Hian-ko Sin-kun terkekeh dan menengok sana-sini.
"Agaknya aku pun ada keperluan sendiri, Fang-taihiap, kecuali..."
"Tunggu!"
Dua bayangan berkelebat dan itulah Kang Hu serta Kui Yang.
"Undangan Fang-taihiap jangan ditolak, suhu. Kami merasa berkepentingan pula di Ang-bi-to. Sebaiknya suhu menemani kami dan apa yang dikatakan Fang-taihiap diikuti saja!"
"Heh-heh, kalian anak-anak kecil mendikte orang tua. Akan tetapi coba kutanya tuan rumah, apa maksudnya. Kalau tidak begitu penting barangkali aku pergi saja dan lihat dua orang tua kalianpun telah ada di sini. Tentu mereka rindu kepada kalian!"
Kakek itu terkekeh dan menghadapi pendekar ini dan benar saja Bu-goanswe maupun Kok-taijin sama-sama melompat.
Begitu dua muda-mudi ini maju seketika merekapun maju.
Tak dapat disembunyikan lagi kebahagiaan dua orang tua itu.
Dan ketika masingmasing menyambar dan merangkul dua muda-mudi itu.
Kang Hu, maupun Kui Yang tak mampu mengelak maka pendekar ini berkata kepada kakek itu.
Sikap dan kata-katanya juga masih halus.
"Locianpwe kupikir ikut. Busur Kumala akan ditentukan aslinya di sana. Karena yang tiruan segera hendak kuberikan locianpwe maka mohon locianpwe tak keberatan menemani kami. Selanjutnya terserah locianpwe karena secepatnya pekerjaan ini harus dilakukan."
"Eh, apa maksudnya ke pulau itu? Memangnya asli dan tiruannya dapat ditentukan di Ang-bi-to?"
"Benar, locianpwe,"
Seseorang tiba-tiba berkata maju.
"Dua busur ini sama hebat dan sama ampuh. Akan tetapi karena yang tiruan tak dibuat untuk penawar Kutukan Dewa maka yang asli yang akan memperlihatkan dirinya. Di situlah kita semua menjadi saksi. Busur Kumala tak dapat ditandingi dalam hal yang satu ini."
Kakek itu menoleh dan membelalakkan mata dan ternyata yang bicara adaluh dua empu istana itu.
Satu di antaranya menjelaskan dan kakek ini mengangguk-angguk.
Lalu ketika ia terkekeh dan memandang pendekar itu maka ia berkata.
"Baiklah, aku ikut.
Akan tetapi rasanya aku harus berangkat duluan.
He, kau...
kakek itu memanggil muridnya.
"Kalian rasanya masih harus berdekatan dengan orang tuamu, Kang Hu. Menyusullah belakangan dan biar aku bersama Siauwtoh ke Ang-bi-to!" .
"Eh!"
Muda-mudi itu terkejut.
"Tunggu suhu, sebaiknya bersama-sama. Kenapa kau meninggalkan kami dan harus bersama orang lain!"
"Ha-ha, aku harus mengurus paman gurumu dan Siauw-toh inilah yang tepat mendampingiku. Hayo kau berangkat dan jangan hiraukan orang lain di sini!"
Kakek itu berkelebat dan menyambar ke kiri dan tahu-tahu ia membawa jenasah Sia-tiauw-eng-jin.
Bersamaan itu murid keponakannya ditendang, menyambar dan memondong laki-laki lain yang tewas pula.
Hanlun alias pembuat Busur Kumala tiruan.
Dan ketika kakek dan pemuda itu meluncur turun gunung, cepat sekali mendadak orang-orang kang-ouw bergerak dan mereka tiba-tiba memutar tubuh dan meninggalkan tempat itu menyusul kakek ini, apalagi karena saat itu seribu pasukan Bu-goanswe memberi jalan.
"Ha-ha, bagus sekali.
Kita berhasil!"
Jenderal itu menepuk-nepuk pundak puteranya akan tetapi berlompatan Kiok Eng dan lain-lain.
Setelah sekarang urusan selesai maka ketegangan akan Busur Kumala hilang.
Semua wajah gembira oleh keberhasilan pendekar itu memenangkan pertandingan.
Akan tetapi ketika terdengar tangis dan sedu-sedan di sanasini maka jenderal itu terkejut dan semua orang juga terkejut dan menoleh.
"Ibu... ibu luka parah. Kau harus menolongnya, ayah. Kita harus mendahulukan keselamatannya dan serahkan busur itu!"
"Benar, serahkan Busur Kumala kepada orangorang itu. Biarkan Bu-goanswe menyelesaikannya, ayah, sekarang selamatkan ibu dan utamakan keluarga dulu!"
Beng Li dan Kiok Eng berkelebat di depan ayah mereka itu dan mereka inilah yang menangis tersedusedu.
Seruan atau kata-kata itu mengingatkan semua orang dan mendadak merekapun berubah.
Barulah sekarang mereka teringat.
Dan ketika dua wanita itu meletakkan ibu mereka di depan sang ayah, Ming Ming dan Ceng Ceng kehilangan banyak darah maka dua orang nyonya ini megap-megap membuka mata.
Ceng Ceng tampaknya paling parah dan cahaya mukanya redup.
"Nenek!"
Cit Kong menambah keharuan lagi dengan jeritannya yang melengking. Anak itu melompat dan tiba-tiba mengguguk di samping ibunya pula. Lalu ketika Ceng Ceng mengeluh dan menyentuh anak ini maka wanita itu berkata, yang ditanyakan justeru orang lain.
"Mana nenekmu Ming Ming... mana dia..."
"Aku di sini..."
Suara lemah lainnya terdengar.
"Aku di dekatmu, enci Ceng. aku juga luka parah. Bagaimana keadaanmu..."
"Aku, ah... mana suami kita Fang Fang..."
"Aku di sini,"
Suara halus terdengar. Aku telah mencoba menyelamatkan kalian Ceng-moi, akan tetapi..."
"Aku hu... aku, uh!"
Ceng Ceng batuk-batuk dan tiba-tiba wanita itu menangis.
"Peluklah aku, suamiku. Aku... aku rasanya tak akan lama..."
"Ibu!"
Kiok Eng melengking dan menjerit menubruk ibunya.
"Jangan bicara seperti itu karena ayah ada di sini. Percuma saja kalau ia tak dapat menolongmu sementara orang lain dapat ditolong nya!"
"Hush, jangan bicara seperti itu. Ayahmu betapapun bukanlah dewa penyelamat Kematian, puteriku. Ia manusia biasa dan takdir akan menentu kan nasib siapapun. Aku tak mau kau memarahi ayahmu dan biarkan ia dekat di sini... juga dekatkan aku dengan ibumu Ming Ming..."
Ceng Ceng susah payah bicara dan Tan Hong lah yang menarik dan menekan pundak isterinya.
Wajah gelap dan penuh luka menunjukkan keadaan darurat.
Sekali pandang saja tahulah dia nasib gak-bonya Ini Maka ketika ditariknya isterinya itu dan juga Cit Kong, Beng Li meletakkan ibunya di samping wanita itu maka su hengnya itulah yang digenggam dan dipegangi dengan jari -jari gemetar.
Ceng Ceng menangis dan air matanya tiba-tiba membanjir.
"Suamiku, maukah kau memenuhi sebuah permintaanku...?"
"Kau minta apa?"
"Perjuangkanlah keselamatan Ming Ming dan biarkan ia tetap hidup." "Tidak!"
Ming Ming tiba-tiba menjerit.
"Kauselamatkanlah dia, Fang Fang, selamatkan enci Ceng dan jangan hiraukan aku. Keluargaku telah membuatnya susah bertahun-tahun. Kami telah membuatnya kehilangan cucu dan baru sekarang Cit Kong kembali!"
"Akan tetapi kaupun sama saja. Kau lebih parah, Ming Ming. Puterimu Beng Li keguguran. Aku masih mendapatkan cucuku akan tetapi kau dan keluargamu tidak...!"
"Aku tak mau bicara itu dan selamatkan dia. Biarkan enci Ceng sembuh atau aku tak mau mendampingimu seumur hidup. Aku bersumpah!"
Wanita itu tiba-tiba kejang-kejang dan Ming Ming menjerit-jerit agar suaminya menyembuhkan madunya itu.
Dua wanita yang sama-sama bertekad ini tak mau mengalah.
Lalu ketika madunya mencengkeram dan berseru agar dia diam, pecahlah tangis di sana-sini, maka Fang Fang menarik napas dalam-dalam.
Wajah pendekar ini berubah namun ia tetap mencoba tenang.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ceng-moi, Ming-moi, kalau kalian selalu bertengkar begini maka tak pernah ada habisnya. Siapa yang harus kuturut di antara keduanya. Kalian sama-sama keras kepala, akan tetapi kutahu bahwa kalian sama-sama mencinta. Sebaiknya mari kita ke atas dan lihat Eng-moi datang ke mari..."
Bayangan hijau berkelebat dan itulah Eng Eng alias madu mereka yang lain.
Wanita itu mengguguk dan menubruk dua madunya ini dan meledaklah sedu-sedu yang tiada habisnya.
Ceng Ceng terbatuk dan tiba-tiba menggeliat.
Lalu ketika ketiganya saling rangkul dan membuat basah semua orang, tangis dan jerit pilu menyayat-nyayat maka Eng Eng secepatnya naik ke atas.
Akan tetapi Ceng Ceng menggeleng, kuat-kuat.
"Tidak, tidak... aku ingin mendengar janjinya dulu atau aku tak mati meram di sini. Biarkan suamiku mendekat!"
Fang Fang mendekat akan tetapi Ming Ming ganti berteriak.
Wanita itu mengancam dan bersumpah tak ingin disembuhkan dulu, yang penting adalah Ceng Ceng.
Akan tetapi ketika Ceng Ceng membentak dan berseru bahwa dia isteri pertama di situ, dia lebih berhak mengajukan permintaan maka kenyataan bahwa Kiok Eng sebagai puteri tertua membuat Ming Ming tertegun.
Wanita itu menangis dan akhirnya mengeluh berulang-ulang.
"Aku...
mendekatlah dan dengar permintaanku.
Kalau kau tak mampu menyembuhkan Ming Ming biarlah makamku tak perlu dibong-pai (batu nisan).
Kelak akan kuminta pertanggungjawabanmu apabila kau melanggar!"
Fang Fang mengerutkan kening dan tiba-tiba memejamkan mata.
Teriakan dan seruan kecil terdengar di sana-sini.
Akan tetapi ketika pendekar itu mengangguk dan membuka kembali kedua matanya, basah namun tenang mendadak pendekar ini mengulurkan lengannya dan berkata.
"Kupenuhi permintaanmu, Ceng-moi, akan tetapi sebelumnya sudah kusadari bahwa segala kekuasaan berada di tangan-Nya. Aku berusaha akan tetapi Dia-lah yang menentukan. Semoga kesalahanku di ampuni dan hukumanmu yang berat ini kuterima."
Ceng Ceng terbelalak akan tetapi tiba-tiba mengeluh.
Pandang matanya beradu dengan suaminya itu dan mendadak ia menggapai.
Lalu ketika suaminya memeluk dan ia bergetar-getar keluarlah bisik-bisik serak dari mulutnya yang kering, hampirhampir tak terdengar.
"...kau... kau suami yang hebat. Maafkan semua kesalahanku dan sembuhkanlah Ming Ming... se... selamat tinggal!"
Cengkeraman kuat menekan pendekar itu dan Ceng Ceng tiba-tiba mengejang.
Sedetik ia membelalakkan mata namun menutup.
Dan ketika tubuh itu terkulai bersamaan jerit Kiok Eng, menghamburlah wanita itu menubruk ibunya maka yang lain ada yang roboh pingsan dan Ming Ming seketika menggeliat dan pingsan pula.
Fang Fang berdiri bergoyang-goyang akan tetapi pendekar itu tiba-tiba menyambar tubuh Ming Ming dan berseru kepada Tan Hong.
"Aku ke atas dan urus dulu gak-bomu ...!"
Tan Hong cepat menguasai keadaan dengan tidak membiarkan isterinya mengerung-gerung di situ.
Bu-goanswe dai Kok-taijin juga bergerak dan semua orang tiba-tiba saling menolong.
Cit Kong memanggilmanggil neneknya namun Kang Hu memanggulnya.
Dan ketika bayangan lain saling susul dan menghibur keluarga Liang-san, kini suasana penuh hujan tangis maka sejenak urusan Busur Kumala dilupakan dan semua perhatian tertumpah kepada jenasah Ceng Ceng.
Akan tetapi di puncak sana yang tak kalah menegangkan juga terjadi.
Fang Fang mencoba menyelamatkan Ming Ming sekuat-kuatnya.
Luka wanita itu semakin parah setelah mengetahui tewasnya Ceng Ceng.
Dan ketika semalam penuh ia tak tidur, Beng Li menemani ibu dan ayahnya itu maka keesokannya Ming Ming semakin lunglai namun anehnya wanita ini berkata agar suaminya itu meninggalkannya.
"Cukup, selesaikan dulu urusan Ang-Bi-to. Aku cukup sehat hanya butuh istirahat."
"Apa?"
"Aku tak mau berdebat, suamiku. Pergilah dan selesaikan urusanmu di Ang-bi-to. Ada yang lebih banyak kaulakukan di sana daripada menjagaku di sini. Di sini ada Beng Li!"
"Ibu,"
Beng Li terisak-isak.
"Seharusnya ayah tetap di sini menunggumu dari pada ke sana. Di sana sudah ada yang mengurus!"
"Tidak, dia berjanji kepada Hian-ko Sin-kun, Beng Li, dan aku ingin urusan Busur Kumala tuntas. Aku dan Ceng Ceng telah menjadi korban urusan ini dan sekarang aku tak mau ayahmu bekerja setengahsetengah. Suruh ia pergi dan kutunggu ia di sini!"
Siapapun tahu watak wanita ini sebagaimana halnya isteri-isteri Dewa Mata Keranjang yang lain.
Tidak muridnya, tidak subonya semua rata-rata keras.
Maka ketika Beng Li menangis sementara ayahnya bangkit berdiri mencium kening isterinya berkata, serak "Baiklah, Ming-moi maafkan semua kesalahanku.
Semoga kau benar-benar menungguku dan kita berkumpul lagi."
Pendekar itu melangkah keluar dan selanjutnya Tan Hong terutama Kiok Eng mengguguk di depan kakinya.
Pagi itu Liang-san berkabut dan segunduk tanah merah membujur sepi.
Semalam Ceng Ceng telah di makamkan dan pagi itu semua orang berkabung.
Keluarga Liang-san sedang berduka.
Dan ketika sejenak pendekar ini memejamkan mata lalu mengusap-usap kepala puterinya, membuka dan mendorong mundur akhirnya pendekar ini bersembahyang di depan makam isterinya itu.
Tak ada yang tahu apa yang dikatakan pendekar itu ketika berkemak-kemik.
Yang jelas tubuhnya sedikit bergetar lalu tenang kembali.
Dan ketika ia bangkit menghadapi semua keluarganya, di tangan ya tergenggam sepotong papan maka semua terbelalak melihat sebuah tulisan aneh.
MENDAHULUI.
"Tanamkan ini di makam ini. Ibumu Ming Ming menyuruhku ke Ang-bi-to, Tan Hong. Aku pergi sebentar dan selanjutnya kembali lagi." Tan Hong, sang sute berkerut. Sebagai orang yang jauh lebih muda tentu saja ia heran. Siapapun merasakan keganjilan itu. Akan tetapi maklum ada sesuatu yang tersembunyi di situ, sesuatu yang pasti merupakan pelajaran maka pemuda ini pun menggangguk dan menerimanya. Dan begitu suhengnya itu tidak banyak bertanya lagi maka tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu lenyap di situ.
"Ayah...!"
"Kong-kong!"
Sang pendekar hanya melambaikan tangannya.
Ia terus bergerak dan lenyap.
Dan Bu-goanswe serta pasukannya ternyata telah meninggalkan tempat itu.
Tak mau terlampau gaduh dan mengusik keluarga yang berduka jenderal ini mengajak pergi semua pasukannya setelah pemakaman Ceng Ceng, apalagi Tan Hong pun menghendakinya.
Maka ketika hanya keluarga itu yang berada di situ dan pagi itu semua telah meninggalkan tempat, Liang san benar-benar bersih maka pendekar ini langsung ke Ang-bi-to dan ternyata Bu-goanswe dan lain-lain berada di situ, juga dua empu istana yang paling berkepentingan.
Di sinilah terjadi yang mengagumkan.
Dua Busur Kumala yang sama-sama hebat dan begitu mirip itu teruji.
Masing-masing yang memiliki 14 batu giok direndam.
Sebuah gentong raksasa disiapkan.
Dan ketika satu di antaranya langsung membuat air menjadi hijau, satunya tetap putih maka air yang sudah kehijauan inilah yang menjadi obat bagi seluruh penghuni Ang-bi-to dan lenyaplah penyakit Kutukan Dewa itu ketika setiap orang meneguknya secawan dan langsung sembuh! Penghuni Ang-bi-to berjingkrak-jingrak.
Tepuk riuh dan sorak ramai tak dapat dicegah lagi.
Tempat itu benar-benar berguncang.
Dan ketika di sinilah busur yang asli ditemukan, yang tiruan diserahkan pendekar itu maka pendekar ini ganti menyerahkan nya kepada Hian-ko Sin-kun.
Kakek ini berada di situ pula dan jmenerimanya akan tetapi sambil terkekeh berkejap-kejap menangis.
Aneh.
"Heh-heh-ha-ha-ha! Terima kasih... terima kasih, Fang-taihiap. Ternyata murid keponakanku Hanlun demikian hebat, la mampu menandingi Busur Kumala begitu hebatnya. Ah, puas aku. Biarlah keturunannya menerimanya sekarang dan ijinkanlah kami pergi!"
Akan tetapi ketika berkelebat dua bayangan muda-mudi dan Kang Hu serta Kui Yang berada di situ maka kakek ini tertegun membelalakkan ata. Mereka protes kenapa hendak ditinggalkan begitu saja.
"Apa, kalian masih minta ditemani saja? Kalian seperti dua anak kecil yang menyusu ibunya? Ha-ha, aku dan Siauw-toh tak dapat dicegah. Kang Hu kalian telah bertemu orang-orang tua kalian dan semua ilmuku telah kalian warisi pula. Tidak, aku hanya datang setelah arak pengantin tiba, Lihat orang-orang tua kalian itu dan jangan halangi kami, ha-ha!"
Kakek ini menunjuk Bu-goanswe dan Kok taijin dan berkelebat menghilang ketika dua anak muda itu menoleh.
Tiba-tiba saja secepat kilat kakek ini menyambar Siauw-toh.
Dan ketika dua muda-mudi ini terkejut akan tetapi guru mereka lenyap, itulah watak Hian-ko Sin-kun maka keduanya bercucuran air mata berlutut menghadap suhunya itu, berseru, minta agar benar-benar datang, di hari pernikahan dan kakek itu tergelak-gelak di sana.
Dan ketika hari itu benar-benar selesai dan semua orang bergembira, kecuali pendekar itu maka Fang Fang kembali ke Liang-san dan Bu-goanswe serta Kok-taijin menyusul, begitu pula Kang Hu dan Kui Yang.
Apa yang diduga benar.
Ming Ming yang luka parah seperti Ceng Ceng hanya sebentar saja sehat.
Wanita itu benar-benar menunggu kedatangan suaminya dan apa yang seharusnya terjadi benarbenar terjadi.
Begitu bertemu iapun tertawa aneh.
Dan ketika suaminya memeluk dan ia berbisik-bisik sejenak, orang tak tahu apa yang dibisikkan maka wanita inipun roboh terkulai dan Beng Li serta lainnya menjerit nyaring.
Kematian untuk kedua kalinya menghampiri keluarga Liang-san.
Beng Li mengguncang-guncang tubuh ibunya sampai akhirnya roboh pingsan pula.
Dan ketika pemakaman akhirnya disiapkan dan untuk kedua kalinya keluarga Liang-san berkabung maka yang mengherankan adalah sikap atau wajah pendekar itu.
Wajah yang tenang bagai telaga yang dalam dan sukar diikuti ke mana gerakannya.
Untuk kesekian kalinya lagi orang dibuat tertegun.
Sepotong papan lagi-lagi berada di tangan pendekar itu.
Dan ketika semua selesai sembahyang dan masih terisak-isak maka pendekar itu menyuruh Tan Hong menancapkan papan ini di makam Ming Ming.
"Tanamkanlah, dan selanjutnya jangan ganggu aku. Biarkanlah aku sendiri dan kalian renungkan makna dari semua kejadian ini." Tan Hong berkerut, menarik napas dalam. Akan tetapi bersinar-sinar dan mengangguk menerima itu, untuk kedua kali menancapkan potongan papan ini maka ia dan lain-lain akhirnya duduk bersila dan sehari penuh menemani makam baru itu. Apa yang mereka lakukan? Merenung. Tak ada yang banyak bicara bahkan Cit Kong sendiri. Anak itu sudah mengusap air matanya dan tiba-tiba sebuah telapak kuat menepuk pundaknya. Dan ketika Bugoanswe dan Kok-taijin memberinya tanda, kakek tinggi besar inilah yang menepuk pundaknya tadi maka anak itu melompat dan selanjutnya mereka bergerak menjauhi makam.
"Kakek Bu, apa yang dimaksudkan kong-kongku itu dengan semuanya ini. Apa arti sepasang papan itu!"
"Hm, sebuah pelajaran mendasar. Kita semua tiba-tiba diingatkan akan itu, anak baik, dan aku tua bangka ini harus mengakuinya pula. Kong-kongmu hebat, akan tetapi seharusnya semua orang tahu."
"Tahu apa, aku bingung!"
"Tahukah kau apa yang ditulisnya itu?"
"Ya, papan yang aneh, tulisan yang singkat!" "Coba kau baca itu."
"Mendahului dan menyusul!"
"Bagus, apa yang kau tangkap di sini? Apa yang dapat kau terima dengan kecerdasanmu?"
"Aku terlampau muda, kakek Bu, aku tak menangkap apa-apa selain arti tulisan itu!"
"Cit Kong memang masih anak-anak,"
Kok-taijin menyela.
"Anak sekecil ini masih jauh dari mengerti, rekan Bu, kita rasanya memang harus memberi penjelasan."
"Benar,"
Dua bayangan berkelebat muncul.
"Ada yang amat dalam yang rasanya diberitahukan Fang-taihiap, ayah, kami juga ingin tahu dan cobalah kauterangkan!"
Kang Hu dan Kui Yang muncul di situ dan dua kakek tinggi besar ini tersenyum berseri-seri.
Dua-duanya menengok dan saling pandang.
Kok-taijin mengangguk m gembira puterinya muncul di situ.
Maka ketika ia mempersilahkan duduk dan Kui Yang merangkul Cit Kong maka kakek ini menarik napas dalam akan tetapi pandang matanya tertuju Bugoanswe.
"Barangkali anak-anak ini kaulah yang menjelas kannya." "Ha-ha, sama saja. Kaulanjutkan saja ceritamu, taijin, sama saja!"
"Baiklah, akan tetapi kita harus saling isimengisi. Kita, hmm... rasanya kita pun akan saling mendahului atau menyusul..."
"Nanti dulu!"
Kui Yang berseru.
"Apa yang hendak kalian bicarakan ini, ayah, apakah kematian. Kalau begitu mengerikan!"
"Ha-ha, semua orang akan ke situ. Kau atau aku akan sama-sama menghadapi pengadilan, Kui Yang. Karena itu berbuatlah kebajikan atau nanti terlambat dan menyesal kemudian!"
"Ih, apa maksud paman Bu...!"
"Jelas, itulah yang hendak dimaksudkan Fangtaihiap. Kita kelak akan menghadapi kematian dan karena itu ingat-ingatlah semua sepak terjang kita, atau nanti terlambat sementara sebelah kaki sudah di lubang kubur, ha-ha!"
"Mengerti aku,"
Kang Hu tiba-tiba berseru.
"Kiranya yang dimaksudkan adalah ini, kong-kong, yakni kita harus berbuat baik atau nanti menyesal tiada guna." "Tidak hanya berbuat baik, akan tetapi banyak berbuat baik. Berbuat baik sekali tempo tiada artinya, Kang Hu. Manusia sesungguhnya terlampau banyak dosa dan tak ingat bahwa akhirnya dekat atau jauh seperti Ceng Ceng atau Ming Ming itu. Kematian sewaktu-waktu dapat menjemput!"
"Ih, aku ngeri, akan tetapi pembicaraan ini menarik!"
"Ha-ha, ngeri atau tidak semuanya akan sama dihadapi, Kui Yang. Baik kau atau aku akan menghadapinya. Yang beda adalah hasil panen kita. Kalau bagus tentu memetik bagus, kalau jelek tentu jelek!"
"Benar, dan celakanya pada waktu menanam tak ingat masa akhir. Manusia seakan hidup sepanjang waktu dan tak akan bertemu Sang Pengadil."
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Padahal kelak kita bertemu, dan pasti bertemu. Ha-ha, inilah cermin sebagian besar orang, Kang Hu, dan aku setuju tanpa syarat peringatan yang diberikan pendekar itu. Dia benar, kalau tidak mendahului ya menyusul. Kalau tidak di depan ya di belakang. Ha-ha!"
Bu-goanswe terkekeh-kekeh dan kakek ini tiba-tiba bangkit berdiri mengebutngebutkan lengan bajunya.
Entah kenapa tiba-tiba air matanya bercucuran.
Dan ketika Kok-taijin juga bangkit berdiri menyusul rekannya itu, tertawa dan melangkah lebar tiba-tiba ia menyambar lengan rekannya itu berkata serak.
"Goanswe, pilihlah sekarang. mendahului atau menyusul!"
Kau ingin "Ha-ha, aku tak memilih yang manapun, terserah Dewa Maut. Kalau ia datang kusambut tawa lebar, taijin, belum datangpun aku tetap berhati-hati. Kau sendiri pilih yang mana!"
"Akupun seperti kau, menyerahkan sepenuhnya kepada Sang Penguasa Hidup. Kalau ia datang itulah saatnya timbangan baik burukku, kalau belum datang berarti bagian yang baik harus selalu kutambah, haha!"
"Benar, benar sekali. Dan kita sudah sama-sama tua, taijin, kita segera sama-sama menghadap Sang Pengadil. Ha-ha, berapa umurmu!"
"Tujuh puluh..."
"Wah, sama, akupun tujuh puluh. Mari timbangan kita tambah agar yang baik selalu lebih berat. Dan Kang Hu serta Kui Yang kita jodohkan. Lalu generasi penerus kita beri tahu bahwa kalau tidak mendahului kelak mereka akan menyusul, ha-ha...!" dua orang tua itu tergelak-gelak dan Kang Hu serta Kui Yang tergetar betapa mereka saling rangkul untuk akhirnya lenyap di balik gerumbul pepohonan, sunyi. Selanjutnya dua orang muda ini termangu-mangu akan tetapi tiba-tiba terdengar isak Kui Yang. Gadis itu melepaskan Cit Kong untuk berkelebat ke makam. Dan ketika Kang Hu bergerak mengikuti kekasihnya ternyata gadis itu sesenggukan di makam Ceng Ceng maupun Ming Ming. Keluarga Liang-san ternyata telah beristirahat meninggalkan tempat itu.
"Sudahlah,"
Pemuda ini merangkul dan menepuk halus pundak kekasihnya.
"Yang tiada sudah tiada, moi-moi, yang hidup harus selalu ingat dan waspada. Mari kita pulang dan menunggu orang tua kita di sana."
"Pulang?"
"Ya, tidakkah kau dengar kata-kata mereka tadi. Mereka hendak segera meresmikan kita. Semua sudah usai dan kita petik semua yang terjadi di sini, kita am bil hikmahnya."
"Akan tetapi aku takut..."
"Takut?" "Ya, siapa tidak takut. Kematian ada lah dunia gelap yang menakutku bagiku, Kang Hu, kenapa ayah dan kakekmu tadi bicara itu. Aku merasa ngeri!"
"Hm, ngeri bagaimana, semua akan mengalaminya."
"Betul, akan tetapi aku tak mau sendiri!"
"Maksudmu?"
"Kalau kelak kematian datang aku ingin bersamamu, Kang Hu, tak mau sendiri!"
"Akan tetapi mana kita tahu,"
Pemuda itu tertawa.
"Kematian adalah sebuah misteri dan siapapun tak dapat mengetahuinya. Kalaupun ada yang tahu maka hanya segelintir saja yang merasakannya. Sudahlah tak perlu ketakutan dan ingatlah kata orang-orang tua kita tadi, yakni tambahlah selalu bagian yang baik agar kelak menuai yang baik pula."
Kui Yang masih terisak dan membenamkan mukanya di dada kekasihnya ini.
Ia membiarkan saja ketika perlahan-lahan pemuda itu membawanya pergi.
Dan ketika keduanya menjauhi makam dan lenyap meninggalkan tempat itu maka perlahan-lahan muncullah sesosok tubuh kecil berindap-indap.
Cit Kong! Anak ini tertegun dan termangu-mangu.
Berulang kali ia menoleh dari makam yang satu ke makam yang lain.
Akan tetapi ketika ia mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya tiba-tiba ia berlutut dan gemetaran, lalu tak terasa lagi mengeluarkan titiktitik air mata untuk akhirnya menangis tanpa suara! Dua makam itu tak bergeming oleh tangis Cit Kong.
Mereka tetap beku.
Lalu ketika berkelebat bayangan hitam dan Kiok Eng menyambar puteranya maka terdengarlah isak lain dan selanjutnya sunyi.
Hidup telah berakhir.
Ceng Ceng dan Ming Ming telah meninggalkan dunia yang fana ini.
Dan sementara Liang-san mulai rintik-rintik disusul kabut dan salju yang dingin maka dua papan itu tetap abadi.
Yang satu bertuliskan "mendahului"
Sementara yang lain "menyusul".
Kalau tidak di depan ya belakangan.
Akan tetapi pasti, semuanya kelak ke sana...
TAMAT PERNYATAAN File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan bukubuku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih mediakan menjadi file digital.
File ini dihasilkan dari konversi foto menjadi teks yang kemudian di kompilasi menjadi file PDF.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
CREDIT untuk .
Awie Dermawan, beliau adalah sumber utama dari foto koleksi Batara ini.
Grup
Kolektor E-Book
s D.A.S
Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Tangan Berbisa Karya Khu Lung/Tjan Id Rahasia Kampung Setan -- Khu Lung/Tjan Id