Mencari Busur Kumala 2
Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 2
enemani ayah dan tingga di Wu-san yang tenang."
"Benar, akupun begitu. Daripada hidup senang tapi berjauhan denganmu lebih baik tetap di rumah kita, kong-kong. Aki tak mau meninggalkanmu dan biarlah segala kedudukan tinggi itu."
"Bodoh, kalian masih muda, kami orang-orang tua. Yang muda harus diberi kesempatan banyak, Kang Hu, yang tua sudah kenyang asam garam kehidupan!"
"Justeru itulah. Yang muda ingin berbakti kepada yang tua, kong-kong. Mumpung dapat berbakti kami ingin berbakti." "Ha-ha, tapi di sana kalian mengabdi negara, jauh lebih berguna daripada kami orang-orang tua ini. Kalau berulang-ulang kukatakan kepadamu maka maksudku tiada lain agar kalian berpahala lebih banyak, Kang Hu, bukan sekedar menemani kami yang sudah bebas tugas ini."
"Tapi di sana sudah banyak yang lain, kong-kong tak dapat membujukku dan aku tetap tidak mau."
"Heh-heh, sama-sama keras kepala. Cucumu ini sama benar denganmu, goanswe, sama-sama keras pendirian dan tak mau mengalah. Sudahlah kalau Kang Hu tak suka percuma didesak. Kalian kakek dan cucu tak usah meributkan ini."
Kok-taijin terkekeh, geli dan melihat persamaan itu dan Bu-goanswe tertawa bergelak.
Memang ia berkali-kali membujuk cucunya ini namun gagal, ada-ada saja tangkisan cucunya itu.
Maka ketika ia berhenti tertawa dan memukul pundak cucunya itu iapun berseru baiklah tak akan memaksa.
"Kau memang bocah keras kepala, selalu membandel. Baik, baik Kang Hu, ayo lanjutkan perjalanan dan kota raja sudah dekat!"
Kui Yang dan pemuda ini tersenyum.
Kebetulan seekor elang terbang lewat, secepat kilat Kui Yang melepas panahnya namun tak kalah cepat Kang Hu menjepret pula.
Dan ketika masing-masing menancap kan panah pada leher dan dada binatang itu maka sang elang roboh dan Kok-taijin bertepuk tangan memuji.
Sesungguhnya melihat bahwa Kang Hu seusap lebih lihai, gerakan pemuda itu sebenarnya sedikit terlambat dibanding Kui Yang, namun arah sasarannya tak kalah jitu.
"Bagus, hebat sekali. Kau mengagumkan dan pemanah ulung, Kang Hu. Harus kuakui bahwa ilmumu seusap lebih tinggi dibanding Kui Yang. Kau sebenar nya kalah cepat, namun panahmu meluncur lebih kuat!"
"Ah, Kok-lo-enghiong jangan memuji aku. Sebenarnya panah Kui Yang lebih berbahaya, sasaran nya ke dada, sedangkan panahku hanya mengenai leher."
"Tapi binatang itu bakal sama-sama terjungkal. Kalau kau sama-sama melihat dan membidik jatuh tentu panahmu lebih dulu mengenai binatang itu."
"Sudahlah, aku malu menerimanya. Betapapun adik Kui Yang juga hebat dan aku tak berani mengaku lebih tinggi."
Kakek ini mengangguk-angguk, melirik dan melihat wajah puterinya sedikit merah.
Biarpun hanya anak angkat namun Kui Yang sudah seperti anak kandungnya sendiri.
Iapun segera tahu bahwa pujian itu kurang menyenangkan hati puterinya, Kang Hu menolak dan menjaga benar perasaan Kui Yang.
Maka ketika ia kagum menarik napas panjang, pemuda itu rendah hati dan pandai membawa sikap mereka pun meneruskan perjalanan dan akhirnya sampai di istana.
Biarpun sebagai bekas jenderal dan menteri yang sudah pensiun akan tetapi dua orang ini tetap disegani dan dihormati pengawal.
Bahkan Caociangkun sendiri sebagai perwira berkedudukan tinggi buru-buru menyambut dua orang ini.
Kedatangan itu cepat didengar.
Namun ketika Bu-goanswe berkata bahwa ia ingin menemui Yok-ong, barulah yang lain maka perwira ini mengantarkan keduanya ke tempat tabib itu.
Di sini Kang Hu dan Cui Yang dilepas bebas, berkunjung ke bekas teman-teman lama, semasa kanak-kanak.
"Kami tak mengatakan kalian boleh meninggal kan istana, hanya sekitar sini saja. Kalau urusan kami sudah selesai harap kalian muncul."
Dua anak muda itu mengangguk.
Kang Hu, yang segera menemui temannya Cao Wi menuju ke tempat Cao-ciangkun.
Memang putera perwira inilah teman nya.
Dan Kui Yang yang mengunjungi teman perempuannya Ih Bing menuju ke tempat itu.
Bu-goanswe dan Kok-taijin segera bertemu Yokong.
Dapat dibayangkan betapa girangnya kakek itu bertemu dua orang ini, bukan sekedar saling kenal lama melainkan karena Bu-goanswe dan Kok-taijin adalah tokoh-tokoh senior.
Dari dua orang ini biasanya dapat diperoleh jalan keluar sebuah kesulitan, pengaruh mereka juga masih cukup besar di istana.
Namun ketika Bu-goanswe maupun Kok-taijin menggeleng masalah PKD, justeru dua orang ini datang untuk mengumpulkan bahan dan informasi maka kakek itu lemas.
"Ah, aku mengharap kalian dapat membantuku. Kalau begini jadinya aku bisa berputus asa. Semua dedaunan dan akar-akaran telah kucoba, goanswe, lihat tempat kerjaku sampai acak-acakan. Aku belum menemukan penangkalnya. Penyakit itu amat ganas!"
"Ya-ya, kami mengerti. Tapi sabar dan tenang lah dulu, Yok-ong, betapapun kedatangan kami bukan untuk menambah bebanmu. Kami ingin menolong, tapi sebelumnya perlu informasi dan keteranganketerangan yang dirasa perlu."
Kok-taijin yang bijak dan tahu kesulitan orang buru-buru menjawab dengan halus.
Kedatangan mereka memang justeru untuk menolong, bukan tabib ini seorang melainkan rakyat.
Ancaman kesehatan mengganggu rakyat, padahal negara yang kuat harus disertai rakyat yang sehat, lahir batinnya.
Maka ketika Yok-ong dihibur agar tidak putus asa, Bu-goanswe juga menganggukangguk maka jenderal tinggi besar ini minta cerita lengkap.
"Kami mendengar tentang Gok-ongya, tapi tidak yang lain. Coba kauceritakan kepada kami siapa tahu kami melihat titik-titik kecil di sini, jalan keluar."
Yok-ong segera bercerita. Ia mula-mula menceritakan pangeran pembawa sial itu, lalu kekasih-kekasihnya yang akhirnya menyebar berlarian. Dan ketika tiba-tiba ia teringat "balon karet"
Cerita Cung-taijin mendadak ia berhenti dan merasa ragu, sekaligus ingat kedatangan muda-mudi bule itu.
"Hm, ada apa, kenapa mendadak berhenti. Kau seakan ragu meneruskan ceritamu, Yok-ong. Rahasia apakah yang kau simpan dan masih tersembunyi."
"Maaf, aku hendak menceritakan sesuatu, tapi takut. Dapatkah kalian menyimpan rahasia ini, goanswe. Kalau kalian tak menceritakannya kepada orang lain aku akan menceritakannya kepada kalian." Bu-goanswe melotot, tersinggung. Tapi ketika Kok-taijin menginjak kakinya menyuruh bersabar maka menteri inilah yang bicara, mengangguk dan ramah.
"Kau mengenal kami bukan sekali ini. Kalau ini penting dan ada kaitannya dengan penyakit itu kami siap menyimpannya pula, Yok-ong. Ceritakanlah."
"Baik, masalah balon karet..."
"Apa, balon? Kau main-main?"
Bu-goanswe melompat dan mengira dipermainkan. Tapi ketika Kok-taijin menyambarnya dan tertawa berkata segera menteri itu menghilangkan kesan garang rekannya ini. Yok-ong ketakutan.
"Ah-ah, goanswe terburu-buru. Kalau setiap bicara dibentak-bentak begini mana mungkin Yok-ong bercerita, rekan Bu, Jangan membuat takut dan panik orang lain. Sahabat kita ini bingung, jangan buat bertambah bingung!"
Yok-ong lega, mengangguk-angguk.
Kalau tak ada Kok-taijin di situ bisa-bisa ia mati berdiri berhadapan dengan Bu-goanswe ini.
Bekas jenderal itu masih kuat sikap militernya, terlampau keras dan garang bagi orang seperti dia.
Maka ketika Kok-taijin menghibur sekaligus menegur rekannya maka Bu- goanswe duduk lagi melunakkan sikap.
Sang rekan mengedip rahasia.
"Baiklah, maaf. Asal kau tidak main-main tak mungkin aku marah, Yok-ong. Apa-apaan dengan segala macam balon. Memangnya orang-orang setua kami masih meniup balon. Kami bukan anak kecil!"
"Goanswe dengarkan dulu ceritaku, baru boleh membentak. Aku tidak berolok-olok atau memper mainkan kalian berdua, sebab yang hendak kucerita kan bukan balon seperti yang biasa ditiup anak-anak kecil melainkan balon, eh... balon karet."
"Ya, balon memang terbuat dari karet. Kalau balon dibuat dari kulit maka itu adalah kepalamu yang sudah melembung. Kau tak perlu menerangkan balon itu terbuat dari karet atau besi, Yok-ong. Langsung saja isinya. Kami sudah tahu bahwa balon dibuat dari karet!"
Bu-goanswe, yang lagi-lagi jengkel dan merasa bertele-tele menjadi tak sabar.
Yok-ong kembali gugup akan tetapi Kok-taijin buru-buru berbisik agar temannya jangan membuat takut.
Biarlah tabib itu bicara dan rekannya diam, Bu-goanswe memandang marah.
Dan ketika kembali Kok-taijin tertawa dan menghibur kakek ini maka Yok-ong dibujuk.
"Sudahlah, jangan lihat tampang Bu-goanswe.
Ia selamanya begitu, Yok-ong, bukan kali ini kau kenal.
Lihat tampangku saja dan teruskanlah tentang balon karet itu.
Aku tertarik."
"Taijin pernah melihat ini?"
Yok-ong lega, tibatiba mengeluarkan sesuatu, sebuah kemasan ber gambar pasangan yang mesra.
"Kalau belum maka inilah barangnya, aku hendak bicara tentang ini, juga pemuda-pemudi kulit putih itu."
Kok-taijin terbelalak, lalu menggeleng.
"Aku belum pernah melihat benda ini, seperti nya bungkusan sesuatu."
"Ya, benar, bungkusan balon karet itu. Orangorang Barat itu membawanya kemari dan Cung-taijin menyebarluaskan nya sebagai penangkal darurat!"
"Eh, penangkal darurat? Maksudmu..."
"Benar, taijin, penangkal Penyakit Kutukan Dewa itu. Mereka menyebutnya Ahiv, kami di sini menyebutnya PKD. Konon balon karet itu dapat dipakai sebagai penyelamat, meskipun sementara!"
Yok-ong nyerocos dan memotong pembicaraan Kok-taijin ini.
Segera ia mengeluarkan benda lain isi dari bungkusan itu, mengebutkannya di depan hidung Bu-goanswe.
Dan ketika Bu-goanswe berbangkis dan mengumpat, Yok-ong sengaja melepas jengkelnya maka Kok-taijin batuk-batuk namun tertarik dan terbelalak memandang barang kecil itu, terheranheran.
"Apa ini."
"Balon karet itu!"
"Untuk apa?"
"Wah, ya untuk penangkal penyakit itu, taijin, khusus barang pria. Dipakainya..."
Sang tabib agak jengah, lalu bisik-bisik.
Dan ketika Bu-goanswe tertawa bergelak dan hilang marahnya oleh bangkisan tadi maka Kok-taijin tersenyum-senyum dan agak memerah.
Tiga orang tua seperti mereka tak perlu malu-malu lagi bicara seperti ini, apalagi merekapun sesama lelaki.
"Hm-hm, begitu. Hebat orang-orang kulit putih itu. Mereka sudah lebih maju daripada kita, Yok-ong, dan tidak ada salahnya kalau Cung-taijin menyebar luaskan benda lucu ini. Itu penting untuk pria."
"Bukan pria saja, wanita pun tertolong dan terlindung dari penyakit ini, taijin. Dan aku sendiri menganjurkan semua pangeran memakainya. Apa boleh buat, sementara obat belum ditemukan."
Bu-goanswe masih tergelak-gelak. Ia terus memandangi benda lucu tapi antik itu dengan penuh kagum dan terheran-heran. Tapi ketika ia menghenti kan tawanya dan bertanya siapa orang-orang kulit putih itu maka Yok-ong menyeringai menjawab berbinar.
"Keluarga Liang-san, menantu Fang Fang."
"Ah, maksudmu Franky dan Yuliah. Puteraputeri Sylvia dari tanah seberang itu?"
"Benar, goanswe, siapa lagi. Mereka itulah yang datang dan membawa cerita serupa dengan yang terjadi di negeri ini. Di sanapun terdapat PKD, hanya namanya Ahiv."
Bu-goanswe terkejut.
Tiba-tiba sikapnya berubah dan mata pun bersinar-sinar.
Lenyap gelinya memandang benda lucu itu.
Kok-taijin memberi isyarat dan Yok-ong pun menyimpan kembali barang antik ini.
Dan ketika Bu-goanswe bertanya di mana anak-anak muda itu maka Yok-ong menggeleng.
"Sudah pulang, menuju Liang-san. Mereka ke sini setelah baru saja mendarat." "Hm-hm, Liang-san! Akupun tiba-tiba ingat itu dan ingin ke sana. Eh, bagaimana denganmu, rekan Kok. Apakah sebaiknya kitapun tidak menuju ke sana, siapa tahu Fang Fang dapat membantu kita!"
"Kita sudah di sini, tentu saja harus menghadap sri baginda dulu."
"Ya-ya, tentu saja setelah itu."
"Tunggu dulu, apakah Kalian tidak menengok Kam-ongya!"
"Eh, ada apa dengan pangeran itu, Yok-ong?"
"Ia pun sakit, kena PKD. Aku sudah mengobati nya dan sementara ini mencegah batuknya. Kalau kalian tidak keberatan sebaiknya menengok dulu pangeran itu, sri baginda tentu senang!"
"Hm, kurang ajar. Gara-gara Gok-ongya semuanya tercemar, Yok-ong. Biang penyakit itu sungguh jahat. Semoga ia mampus seribu turunan di akherat!"
Kalau bukan Bu-goanswe tak ada orang lain berani bicara seperti ini.
Yok-ong diam saja dan saling lirik dengan Kok-taijin sementara menteri itu menghela napas dalam.
Setiap teringat Gok-ongya jenderal ini dibuat mendidih, tak aneh karena orang tak berdosa pun menjadi kor ban, rakyat dan penghuni istana tak dipandang bulu.
Dan karena Bu-goanswe juga tak perduli dengan segala macam bulu, entah bulu kucing atau bulu harimau maka Kok-taijin mengangguk dan berkata akan menengok Kam-ongya itu.
"Baiklah, barangkali kau dapat mengantarnya. Kami akan menengoknya dan melihat keadaannya, Yok-ong, tapi tidak berbahayakah bagi pengunjung."
"Tidak, tidak. Penyakit ini hanya berbahaya bila sampai terjadi hubungan badan. Kalau hanya bersentuhan dan bercat-kap-cakap saja tidak menular. Namun sebaiknya kalian menelan dulu pil ini, untuk pencegahan."
Kok-taijin dan Bu-goanswe menerima dua pil hijau dari Yok-ong, langsung menelan. Tapi ketika semua bangkit dan hendak keluar tiba-tiba Bugoanswe berseru tentang penyakit di tanah seberang itu.
"Tunggu, bertanya sedikit. Apa nama penyakit di tempat orang-orang bule itu, Yok-ong. Apa namanya tadi. Ahing?" "Bukan, bukan Ahing, tetapi Ahiv. Penyakitnya sama dan penyebabnyapun sama, sama-sama ditular kan oleh pria-pria penyimpang."
"Singkatan apa itu?"
"Dari kepanjangan Akibat Hubungan Informal Variatif. Mereka itu memang pandai mencari istilah, tapi kamipun tak mau kalah. Apakah goanswe masih ingin bertanya lagi dan aku akan menjawabnya."
"Tidak, cukup itu. Baiklah kita berangkat dan temui Kam-ongya."
Tiga orang ini bergerak keluar.
Yok-ong memimpin dan tak lama kemudian tiba di kamar si sakit.
Kam-ongya terkejut melihat kedatangan mereka ini, terutama Bu-goanswe dan Kok-taijin.
Dua orang itu juga terkejut dan tergetar melihat wajah sang pangeran, kurus dan pucat.
Dan ketika buru-buru mereka memberi hormat dan Kam-ongya bangkit dari pembaringannya, roboh dan mengeluh maka Yok-ong berlari merangkul pangeran ini.
Ibu suri kebetulan tak ada.
"Sudah, jangan bangun. Aku datang untuk mengantar mereka ini, ongya. Bu-goan swe dan Koktaijin ingin menengok!" "Terima kasih, aku... uhh, aku lemah goanswe, maafkan aku..."
"Tak apa, harap pangeran tenangkan hati. Kami datang bukan untuk membuat repot, justeru ingin menengok dan mencarikan penyembuhan. Harap paduka berbaring saja dan biarkan kami berdiri."
Bu goanswe buru-buru mencegah dan orang tak usah heran melihat Kam-ongya tergopoh menyambut dua tamunya ini.
Kalau bukan Kok-taijin dan bekas jenderal ini tak mungkin pangeran gugup, itulah karena wibawa dan nama besar mereka.
Bu-goanswe dan Kok-taijin adalah tokoh-tokoh senior istana.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka ketika Yok-ong memeluk dan menyuruh pangeran tenang saja, dua orang itu lega karena si sakit benarbenar tak berbahaya bagi si pengunjung, kecuali kalau berhubungan badan maka kakek-kakek gagah ini segera menanyakan tingkat kesehatan pangeran apakah sudah ada kemajuan.
"Hm, masih lemah, tubuhku lemah. Yok-ong telah berusaha sekuat tenaga, goanswe, tapi ah... entahlah, aku tak dapat ke mana-mana."
"Hamba telah mendengar cerita tentang paduka, akan tetapi hamba bersumpah untuk menemukan obatnya. Kami datang memang untuk melawan penyakit ini, pangeran, meskipun bukan seorang tabib tapi kami berdua telah bertekad untuk menangkal dan melawan penyakit jahanam ini. Kami akan mencari informasi, dan segera memberitahukan nya kepada Yok-ong dan harap paduka bersabar."
"Terima kasih, kalian baik. Kedatangan kalian membawa semangat, goanswe, aku senang. Semoga berhasil dan kudoakan dari sini."
Bu-gounswe dan Kok-taijin merasa cukup.
Baru kali ini mereka melihat korban Penyakit Kutukan Dewa.
Tubuh yang kurus dan pucat itu memelas sekali, untung lah Yok-ong seorang tabib pandai yang dapat memberikan daya tahan bagi si penderita, paling tidak menahan penyakit itu tidak meluas jauh meskipun harus secepatnya ditemukan obat penawar.
Dan ketika mereka hendak pamit dan mendoakan kesembuhan mendadak masuklah pengawal memberi tahu bahwa Bu-goanswe dan Kok-taijin ditunggu kaisar.
"Sri baginda telah mendengar kedatangan kalian, diharap menuju Ruang Hijau. Kalau goanswe telah selesai hamba siap mengantar." "Ah, kami memang akan ke sana. Baiklah, pangeran, lain kali kami berkunjung lagi. Selamat beristirahat dan cepat menemukan obatnya!"
Tiga orang ini meninggalkan kamar.
Yok-ong mengikuti karena iapun mendapat perintah.
Lalu ketika mereka sudah berada di Ruang Hijau, sebuah ruangan, sejuk berdinding dan berlampu serba hijau maka sri baginda ternyata telah duduk di kursinya menunggu tiga orang ini.
"Kami memberikan sembah hormat,"
Bugoanswe dan Kok-taijin membungkukkan tubuh dalam-dalam, tak perlu berlutut.
"Semoga paduka panjang usia dan sehat selalu, sri baginda. Tak kami sangka paduka mendahului kami memanggil ke sini. Kami memang ingin menghadap paduka!"
"Duduklah, selamat datang. Beberapa hari yang lalu aku juga kedatangan tamu-tamu menyenangkan, goanswe, dan sekarang kalian berdua tiba di sini pula. Ah, senang sekali hatiku!"
Bu-goanswe dan Kok-taijin sudah dipersilakan duduk.
Ruang Hijau adalah ruang khusus di mana biasanya kaisar menemui pembantu-pembantu utamanya, para jenderal atau panglima perang.
Dan karena ruangan ini sejuk dan segar, enak untuk menentukan taktik atau strategi biasanya di tempat ini pulalah sri baginda menerima bekas jenderal itu.
Tapi kali ini tentu saja bukan untuk perang melawan musuh.
Tanya jawab segera dimulai.
Sri baginda menanyakan kapan dua orang itu datang dan apakah keperluannya.
Lalu ketika dijawab bahwa selain hendak menemui sri baginda juga menemui Yok-ong, mereka tergugah untuk melawan Penyakit Kutukan Dewa maka sri baginda menarik napas dalam-dalam dan tampak murung.
"Seharusnya kalian hidup tenang di tempat peristirahatan kalian. Kalian telah memasuki masa tua dan pensiun, goanswe, tak perlu memikirkan macammacam. Di sini telah ada yang memperhatikan."
"Benar, akan tetapi pengabdian dan rasa kemanusiaan kami bangkit. Mendengar rakyat terserang penyakit ganas ini mana mungkin kami berdua diam, sri baginda. Usia tua bukan halangan dan justeru mencambuk kami untuk memupuk pahala. Kami masih sehat dan mampu berbuat sesuatu!"
"Hm-hm, kau tak kehilangan sikap kerasmu itu. Kau masih gagah dan patriotik goanswe, selalu memikirkan orang banyak. Sungguh bangga aku di sini. Sekarang apa, yang hendak kaukerjakan dan kabarnya kalian berdua baru saja menengok adikku Kamongya."
"Benar, kami telah melihat si sakit, dan kami trenyuh. Kami semakin bangkit melihat tantangan ini, sri baginda. Kami akan menghabiskan sisa hidup kami untuk menumpas penyakit jahanam itu!"
Sri baginda mengangguk-angguk, tersenyum.
Watak keras dan pantang menyerah masih juga tak hilang dari bekas jenderal ini, sementara Kok-taijin tetap bersikap tenang akan tetapi sepasang matanya tajam berpikir ke depan.
Meskipun tak banyak mulut akan tetapi bekas menteri inipun tak kalah menonjol dengan Bu goanswe, sekali bertindak biasanya bakal membuat kejutan.
Yang satu diam sementara yang lain garang.
Dan ketika pembicaraan dilanjutkan lagi dan suasana tampak serius maka Yok-ong lebih banyak mendengarkan sampai akhirnya sri baginda bertitah.
"Baiklah, restuku untuk kalian. Kalau kalian hendak ke Liang-san sampaikan salamku untuk paman Fang Fang dan keluarganya, goanswe. Katakan bahwa aku kangen mereka dan kapan berkunjung. Kalian boleh membantu Yok-ong dan lakukan apa saja yang kalian butuhkan di sini. Terima kasih untuk kesediaan kalian."
Bu-goanswe memberi hormat.
Kunjungan kepada kaisar ini lebih dari setengah jam dan masingmasing puas.
Sri baginda telah mendengar maksud dan keinginan bekas jenderal itu, apa yang hendak dikerjakan dan rencananya menuju Liang-san.
Maka ketika semua selesai dan berpamit segera dua orang ini meninggalkan kaisar dan Yok-ong kembali ke rumahnya sendiri.
Dua kakek itu teringat cucu dan anak angkatnya.
"Cukup, sampai di sini saja. Lain kali kami datang lagi, Yok-ong. Kami sudah puas. Terima kasih untuk kesediaanmu sampai ketemu lagi!"
Akan tetapi Bu-goanswe tertegun.
Kang Hu, cucunya yang berada di gedung Cao-ciangkun ternyata berburu.
Kui Yang yang menemui temannya Ih Bing juga ke luar kota, mereka berempat berburu satu kereta dan dua anak muda itu meninggalkan pesan agar ayah dan kakek mereka bersabar dulu.
Dan ketika jenderal ini mengumpat memaki cucunya, Caociangkun tertawa maka perwira itu berkata bahwa ia tak dapat mencegah anak-anak muda itu melepas senangnya.
Dialah yang memberitahukan kepergian anak-anak itu.
"Maafkan kami di sini. Aku tak dapat mencegah dan menahan mereka, goanswe, mau apalagi. Entah siapa yang mengajak tapi yang jelas mereka tampak begitu gembira. Harap maklum saja, sudah lama mereka tidak saling bertemu." "Tapi kami akan segera ke Liang-san, kurang ajar cucuku itu. Kalau ia tidak segera kembali biar kuketok kepalanya!"
"Tidak, nona Kui Yang yang mengajak. Tadi gadis itu yang membujuk, goanswe. Mereka datang ke sini sudah membawa kereta."
"Sst!"
Cao-ciangkun menegur isterinya, terlambat.
"Nona Kui Yang telah meminta ijin padaku, goanswe, kalau salah maka akulah yang harus disalahkan. Jangan salahkan anak-anak itu!"
"Hm, anakku membuat ulah,"
Kok-taijin tertawa dan mengurut janggutnya.
"Tak kunyana anak perempuan bisa bikin gara-gara, goanswe. Kalau begitu aku ayahnya yang harus didamprat. Biarlah kau tegur aku dan terpaksa perjalanan ditunda dulu, jangan salahkan Cao-ciangkun."
Bu-goanswe tertawa juga.
Mana mungkin ia marah kalau sahabatnya dan Cao-ciangkun sudah bicara seperti ini, bukankah anak-anak itu sahabat karib dan mereka tak mungkin lama meninggalkan rumah.
Maka ketika Cao-ciangkun menjamunya dan perjalanan terpaksa ditunda, tuan rumah mengajak mereka masuk maka jenderal ini dan sahabatnya menunggu sabar namun mulailah kakek itu gelisah karena sampai hari mulai gelap belum juga anak-anak itu muncul.
"Keparat!"
Bu-goanswe mengutuk sambil mengepal tinju, tuan rumah mempersilakan mereka beristirahat.
"Apa-apaan si Kang Hu ini, taijin. Biarpun puterimu yang mengajak namun ia laki-laki, seharusnya tahu waktu dan tahu pulang!"
"Biarlah kuselidiki,"
Kok-taijin tak enak juga, malam mulai tiba.
"Kalau mereka sudah kembali biarkan di sini, goanswe, dua tiga jam aku pulang."
"Aku saja yang mencari, geram rasanya pada si Kang Hu ini!"
"Tidak, jangan. Betapapun anak-anak itu tak boleh kaumarahi, goanswe, kegembiraan bakal terganggu nanti. Kau di sini dan aku yang mencari. Ingat, jangan marah-marah!"
Lalu tak membiarkan rekannya melepas gusar menteri ini berkelebat dan meninggalkan gedung Caociangkun.
Kebetulan seorang pengawal tahu ke mana anak-anak muda itu berangkat, yakni ke hutan sebelah barat kota raja.
Dan ketika menteri itu menyelinap dan keluar lewat pintu gerbang barat maka penjaga mengucek matanya karena tahu-tahu bagai siluman saja tubuh Kok-taijin meluncur dan lewat sisinya, lenyap! "Eh, apa yang kulihat, hantu atau manusia!"
Temannya juga terbelalak.
Mereka hendak menutup pintu gerbang ketika tahu-tahu dengan kecepatan tinggi menteri, ini lolos dan menyelinap keluar.
Hampir saja tubuhnya tergencet, pintu berat itu luar biasa ukurannya, setinggi lima meter.
Namun karena sang menteri bukanlah orang biasa dan tadi kakek ini mengerahkan Jouw-sang-hui-tengnya (Terbang Di Atas Rumput) maka bak kilat menyambar ia melesat dan lenyap menerobos pintu gerbang itu.
Sang penjagu ketakutan.
Sambil berteriak buruburu ia mendorong dan menutup pintu raksasa itu, berdebam.
Lalu ketika gembok besar dan rantai panjang dililit-lilitkan cepat maka penjaga ini memutar tubuhnya dan...
lari lintang-pukang, disusul temannya.
"Hantu... siluman magrib. Awas dan ber sembunyi di rumahmu, A-bun. Ada setan-setan gentayangan!"
"Benar, ada setan gentayangan. Aih, kau pun cepat pulang ke rumahmu, A-lun. Aku akan berlindung di balik ketiak isteriku. Katanya setan tak tahan bau kecut!" "Aku akan bakar kemenyan, lalu membuang kembung setaman. Hihh, saat magrib saat hantu dan iblis berkeliaran!"
Kok-taijin tak mendengar ini dan sayangnya bergerak terlalu cepat.
Ia tak tahu betapa tiba-tiba dari sebelah kanan melaju sebuah kereta berderap-derap.
Jalan kecil menyusur tembok benteng tertutup rimbunnya semak-belukar.
Kereta inipun berderap memecah sunyi, menerabas dan memotong semaksemak di kiri kanan jalan yang sempit.
Dan ketika kereta berhenti tepat di pintu gerbang, dua anak muda meloncat keluar maka mereka tertegun melihat pintu tertutup rapat.
Itulah Kang Hu dan Kui Yang.
"Celaka, terlambat. Kita tak dapat memasuki kota, Kui Yang. Penjaga telah menutup pintunya."
"Benar, dan ini gara-gara si sombong itu. Kalau ia tak mengganggu kita dan tak memanaskan hati tentu kita sudah sampai. Ah, bagaimana sekarang dan apa kata ayah nanti. Tentu aku kena damprat!"
"Aku juga, tapi kita harus berusaha. Biar kupanggil penjaga siapa tahu dapat membuka pintu!"
Pemuda ini sudah menggedor-gedor pintu gerbang akan tetapi ia tak tahu bahwa perbuatannya itu justeru membuat si penjaga lari kencang.
Begitu dibentak dan digedor-gedor seketika dua orang ini lari cepat, mereka belum hilang kagetnya oleh bayangan Kok-taijin tadi.
Dan ketika sia-sia pemuda itu berteriak dan memanggil akhirnya dua anak muda lain keluar pula dari kereta, menggigil, inilah Cao Wi dan Ih Bing, putera Cao-ciangkun dan puteri Ih-taijin, masingmasing gemetaran.
"Tak usah berteriak-teriak, percuma kita minta tolong. Sebaiknya kita diam dan tinggal saja di kereta, Kang Hu, sampai besok. Tanpa dimintapun besok pasti dibuka."
"Mana mungkin, kakekku bisa marah-marah. Kalau malam ini aku tak pulang ia bakal menghajarku, Cao Wi, daripada dihajar lebih baik pulang!"
"Benar, ayahpun tak akan mengampuni aku. Biarpun ia sayang namun perbuatanku kali ini keterlaluan, Cao Wi, bisa tidak bisa harus masuk!"
Kui Yang tak kalah gelisah, memandang dan tiba-tiba ia mengangkat wajahnya mendongak tembok gerbang yang tinggi.
Kalau pintunya saja lima meter maka tembok benteng itu tujuh delapan meter, bukan main tingginya.
Dan ketika Kang Hu juga mendongak dan mengerti maksud temannya maka pemuda ini bergerak dan tahu-tahu telah meloncat dan...
mendaki dengan cara merayap, telapak kaki dan tangannya melekat seperti cecak.
Inilah Pek-houw-yuchong (Ilmu Cecak) yang diwarisi dari kakeknya yang membuat Ih Bing menjerit ngeri.
"Aih, apa yang hendak kaulakukan. Turun, Kang Hu, nanti jatuh!"
"Benar, akupun akan mencoba. Jangan berteriak dan membuat gaduh, Ih Bing. Kalau aku dapat merayap nanti kau kugendong!"
Kui Yang tak mau kalah dan tiba-tiba meloncat pula.
Bagai cecak betina ia telah menyusul dan mengejar Kang Hu, kedua kaki terutama tangannya mencengkeram dan melekat.
Namun karena Kang Hu lebih dulu dan lebih cepat, dua anak muda ini berlomba akhirnya tembok setinggi tujuh delapan meter itu terlampaui, menjejak dan melempar tubuh ke atas, selamat sampai di sana.
(Nyambung
Jilid 3) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara
Jilid III *** "AH, kalian... kalian mengagumkan!"
Ih Bing berseru, ngeri tapi kagum bukan main melihat sahabat-sahabatnya itu telah tiba di atas.
Kang Hu dan Kui Yang memang telah mencapai tembok tinggi itu dan tertawa di sana.
Di sini mereka memandang ke dalam, melihat gembok dan rantai melilit-lilit itu, tak ada penjaga dan siapapun.
Dan ketika pemuda itu memberi isyarat dan merasa cukup akhirnya Kang Hu mengembangkan kedua lengannya dan...
terjun bebas ke bawah.
"Kita naik lagi membawa mereka. Turun, Kui Yang, sudah cukup!"
Ih Bing menjerit tertahan melihat itu.
Kang Hu tentu saja mengerahkan ilmunya meringankan tubuh melayang ke bawah, disusul Kui Yang yang membuat temannya semakin ngeri.
Jantung lh Bing rasanya copot.
Namun ketika dua muda-mudi itu selamat tiba di tanah, bagai seekor kucing yang enteng dan ringan maka gadis ini membuka matanya kembali dan akhirnya menubruk Kui Yang.
"Kalian membuatku takut, jantung serasa copot. Ah, jangan naik turun seperti itu lagi, Kui Yang, aku ngeri!"
"Benar, kalian membuatku gemetaran,"
Cao Wi juga menggigil, lega namun ngeri.
"Kalian seperti burung besar hinggap di tanah, Kang Hu, hebat sekali ilmu meringankan tubuhmu itu. Tapi kami takut, tembok itu terlalu tinggi!"
"Tak usah khawatir,"
Pemuda ini tertawa.
"Justeru kami hendak membawa kalian naik, Cao Wi, kita harus cepat-cepat pulang. Mari kugendong dan tinggalkan kereta."
"Apa, naik dan terjun lagi ke bawah?"
"Tak ada jalan lain, Cao Wi. Pintu itu digembok dari dalam dan dirantai. Kita harus pulang, atau orangorang tua kami bakal marah-marah dan kami di hukum."
"Tidak, kalian saja pulang!"
Ih Bing berseru, pucat.
"Aku tak berani digendong seperti itu, Kang Hu, bagaimana ka lau jatuh. Kalian laporkan saja kepada ayah dan kami menunggu di sini!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar,"
Cao Wi mengikuti.
"Tembok itu terlalu tinggi dan berbahaya, Kang Hu, sekali jatuh tak mungkin selamat, Kalian pulang saja laporkan ayah dan kami di sini."
"Hm,"
Kang Hu berpandangan dengan Kui Yang.
"Bagaimana, Kui Yang, apa yang harus kita lakukan."
"Aku tak berani pulang tanpa mereka. Kalau ada apa-apa di sini selama kita pergi tentu kesalahan kita semakin berat, Kang Hu. Bagiku tetap bersama atau tidak sama sekali!"
Gadis ini mengerutkan kening.
"Benar,"
Kang Hu tak melihat jalan lain.
"Takut atau tidak kalian harus kami bawa, Cao Wi. Kami tak berani meninggalkan kalian sendirian di sini. Kalau ada apa-apa kesalahan kami semakin berat, naiklah ke punggungku dan ikat pinggang ini rasanya kuat!"
Pemuda itu melolos ikat pinggangnya dan menimangnimang itu di depan temannya.
Cao Wi membelalak kan mata dan ngeri akan tetapi Kui Yang juga melakukan hal yang sama.
Gadis itu tiba-tiba menotok roboh Ih Bing, puteri Ih-taijin ini mengeluh dan lemas.
Lalu ketika gadis ini membelit temannya di belakang punggung, mengikat erat dengan ikat pinggangnya pula tiba-tiba Kui Yang telah meloncat dan mendaki tembok tinggi itu.
"Kang Hu, menunggu mereka hanya membuang-buang waktu saja. Cao Wi laki-laki, masa kalah dengan wanita. Suruh ia naik atau robohkan pula!"
"Tidak,"
Pemuda ini mengertak gigi, terpukul oleh kata-kata itu.
"Aku naik ke punggungmu, Kang Hu, dan tak usah ikat pinggang itu. Mari naik dan aku berani!"
Kang Hu tersenyum, membalik dan memberikan punggung.
Lalu ketika Cao Wi meloncat dan memeluk lehernya erat-erat, tentu saja ia tercekik maka ia berseru agar tak terlalu kuat pelukan itu, meloncat dan mendaki pula tembok tinggi, menyusul atau mengejar Kui Yang yang sudah bergerak duluan.
Dan ketika dua anak muda ini memanjat bagai sepasang kera besar, cepat dan lincah serta cekatan maka tiba di tengah-tengah putera Cao-ciangkun itu memejamkan mata dan nyaris semangatnya seakan terbang.
"Pelan-pelan... pelan-pelan. Aku ngeri terjatuh ke bawah, Kang Hu, jangan cepat-cepat. Pelan-pelan saja...!" Kang Hu tak menggubris dan terus memanjat cepat. Kui Yang sudah hampir di atas dan sekali gadis itu membentak iapun berjungkir balik mencapai puncak tembok yang tinggi. Kang Hu menyusul dan tiba pula dengan selamat. Dan ketika keduanya tertawa dan mengangguk maka Cao Wi seakan lepas sukmanya dibawa terjun ke bawah. Kui Yang dan Kang Hu sama-sama mengembangkan lengan di kiri kanan tubuhnya.
"Mati aku!"
Akan tetapi Kui Yang dan Kang Hu mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka.
Kalau tadi di waktu merayap mereka mengerahkan sinkang di kedua kaki terutama tangan maka kini terjun ke bawah mereka memusatkan ilmu meringankan tubuh di telapak kaki.
Bagai jatuhnya seekor kucing yang empuk dan ringan dua anak muda ini telah selamat menginjak tanah, Cao Wi membuka mata dan kagum.
Dan ketika Kui Yang membebaskan totokan Ih Bing maka puteri Ih-taijin itu mengeluh dan seakan melewati mimpi buruk, menangis.
"Kau... kau membuatku takut. Bagaimana kalau kita terjatuh, Kui Yang, tentu hancur. Ah, aku ngeri dan kalian tak kasihan kepadaku!" "Maaf, semua sudah lewat. Lihat gembok dan rantai besar itu, Ih Bing, kalau tidak begini kapan masuk. Sudahlah hapus air matamu dan jangan buat ayah ibumu ketakutan. Biar kereta itu di luar dan mari pulang!"
"Benar, kita sudah selamat. Justeru kita harus berterima kasih dan bangga mempunyai sahabat seperti ini, Ih Bing, aku bahkan ingin belajar silat dan malu terhadap Kui Yang. Ia wanita namun lebih gagah daripada aku!"
Cao Wi bersikap mengiyakan dan katakatanya ini disertai pandangan mata bersinar-sinar.
Memang ia malu terhadap Kui Yang, gadis itu gagah sekali, jauh dibanding dirinya yang lemah.
Namun ketika Kui Yang hanya tersenyum saja dan memberi isyarat kepada Kang Hu maka gadis ini telah menyambar temannya dan sekali berkelebat meninggalkan tempat itu.
Kereta ditinggalkan di luar pintu gerbang.
"Kita pulang, ayah tentu menunggu-nunggu. Mari, Kang Hu, bawa temanmu itu!"
Kang Hu mengangguk dan menyambar pula Cao Wi.
Sama seperti tadi iapun me ngerahkan ilmu lari cepatnya meninggalkan tempat itu, di sana Kui Yang telah terbang dan membuat Ih Bing menjerit.
Puteri Ih-taijin itu memejamkan mata.
Dan ketika dua bayangan anak muda ini meluncur di antara rumahrumah penduduk, yang melihat terpekik dan menyangka setan maka tiba di istana Bu-goanswe tentu saja merah padam, lupa kepada nasihat Koktaijin.
"Dari mana saja kau, apa yang kaulakukan. Lihat perbuatanmu mengganggu perjalananku, Kang Hu, pamanmu Kok-tai jin mencari-cari. Keparat kau ini, ceritakan dan pertanggungjawabkan perbuatanmu, atau sekarang juga enyahlah dan tinggal di rumah!"
"Maaf, ada gangguan di jalan,"
Kang Hu cepatcepat menunduk dan menyabarkan kakeknya ini, merasa bersalah.
"Kalau tak ada gangguan itu kami berdua sudah pulang, kong-kong. Tapi anak itu..."
"Anak apa, jangan mencari-cari alasan!"
Bugoanswe memotong dan membentak cucunya ini, hampir saja melayangkan tangan.
"Kau laki-laki tak tahu waktu, Kang Hu, mana Ih-siocia dan Caokongcu!"
"Mereka sudah pulang,"
Kui Yang muncul dan gadis inilah yang menahan tempelengan Bu-goanswe.
"Kesalahan berada di pundakku, paman, jangan salahkan Kang Hu. Akulah yang mengajak dan akulah yang bertanggung jawab. Kang Hu hanya mengikuti kehendakku."
Jenderal itu menoleh dan kemarahannya berkurang.
Terpaksa ia bersenyum masam dan gadis ini melindungi Kang Hu.
Ia mencari-cari ayahnya namun tidak ada, muncullah pula Cao-ciangkun dan isterinya.
Dan ketika dua orang itu mengurangi lagi kemarahan Bu-goanswe maka Kui Yang bertanya di mana ayahnya.
Ih Bing telah dikembalikan di rumah orang tuanya sementara Cao Wi bersembunyi di belakang, kena damprat ayah ibunya pula.
"Aku mencari ayah, barangkali paman tahu."
"Ayahmu mencari kalian, sekarang kalian telah pulang. Eh, coba ceritakan apa yang terjadi, Kui Yang, kalian membuat kami khawatir di sini. Coba ceritakan dan kuharap kalian tidak mengulanginya lagi."
"Maaf,"
Gadis ini merasa bersalah, melirik Kang Hu.
"Semuanya ini bermula dari aku, paman, yang lain hanya ikut-ikutan saja. Aku mengajak mereka berburu ke hutan, dan tiba-tiba muncullah bocah keparat itu!"
"Hm-hm, siapa dia, apa yang dia lakukan." "Kami tak tahu siapa dia, tapi yang jelas seorang ahli panah yang baik dan sombong. Anak itu membidik setiap buru an kami dan berebut memiliki!"
"Benar,"
Kang Hu memotong.
"Kalau anak itu seorang bangsawan atau hartawan tentu kami tak mau mengalah, kong kong. Hasil buruan kami akhirnya kami serahkan semua. Hanya karena dia anak kecil dan kami orang dewasa maka kami mundur dan memberi kan itu. Tapi sikapnya yang membuat kami men dongkol!"
"Dia sombong dan pongah!"
"Akan tetapi harus diakui seorang ahli panah jempolan, sekecil itu sudah mampu menandingi kami!"
"Hm-hm!"
Bu-goanswe mengerutkan kening dan bersinar-sinar, tertarik.
"Kalau begitu lain kali kita cari, Kang Hu, sekarang baiklah beristirahat. Besok kita harus ke Liang-san."
"Ke Liang-san?"
Pemuda itu terlonjak.
"Benar, ada perubahan acara. Kami ingin menemui Fang Fang."
"Bagus, kalau begitu dapat menambah ilmu. Ah, rejeki kita, Kui Yang, untung sekali!" "Benar, dan aku dapat bertemu enci Kiok Eng. Wah, benar-benar kebetulan!"
Akan tetapi ketika Bu-goanswe melotot kepada Kang Hu maka pemuda itu mengkeret.
"Kita ke sana bertamu, bukan untuk bersenang-senang. Kalau di sana kau membuat ulah terpaksa aku memulangkan mu, Kang Hu. Sekali lagi harap ingat bahwa perjalanan kita ini untuk sua tu keperluan penting!"
Pemuda itu mengangguk-angguk, diam. Kui Yang juga menekan kegembiraannya dan tiba-tiba berkelebatlah bayangan sang ayah, Kok-taijin muncul. Dan ketika menteri ini mendesah namun lega anakanak muda itu di situ maka kakek ini berseru.
"Celaka, rupanya kalian sudah di sini. Mana Ih Bing dan Cao Wi, Kui Yang. Kenapa kereta di luar pintu gerbang. Kalian membuat aku khawatir mencari-cari!"
"Maaf,"
Kui Yang menyambut, cepat memegang lengan ayahnya itu, manja.
"Kami diganggu seorang bocah cilik, ayah, baru saja kuceritakan kepada Bu-loenghiong. Ih Bing dan Cao Wi sudah berada di kamarnya masing-masing dan kereta kami tinggalkan di sana karena pintu gerbang tutup."
"Wah-wah, kau anak nakal. Katanya kaulah yang menjadi gara-gara membawa teman-temanmu yang lain. Hayo minta maaf pada pamanmu dan jangan diulangi lagi lain kali!"
"Sudahlah,"
Bu-goanswe tertawa dan lega melihat rekannya kembali.
"Puteri-mu tak melakukan apa-apa, taijin, Kang Hu inilah yang seharusnya minta maaf ke padamu. Ia tak bersikap sebagaimana seharus nya seorang pemuda melindungi teman-teman puteri nya. Ia terbawa dan rupanya dibakar oleh bocah cilik ahli panah itu. Mereka sudah kembali, syukur. Biarlah sekarang beristirahat karena besok ki ta menuju Liangsan."
"Hm, baiklah, dan maaf terhadap Cao ciangkun. Anak-anak ini membuat repot tuan rumah. Kau benar dan besok kita ke Liang-san."
"Tak apa,"
Tuan rumah tertawa dan lega.
"Aku juga bersalah mengijinkan mereka, taijin, tapi sekarang semua sudah kembali dan selamat. Jangan marahi mereka berlebihan karena betapapun bukan salah mereka. Kereta akan kuurus, kuperintahkan orang mengambilnya. Silakan beristirahat dan selamat malam!"
Kui Yang dan Kang Hu saling lirik de ngan mulut tersenyum lega.
Dua anak muda ini mundur dan malam itu mereka beristirahat, ayah dan kakek mereka masih bicara sebentar.
Dan ketika keesokan nya mereka bangun pagi-pagi, dua orang tua mereka telah bersiap maka berangkat lah rombongan ini menuju Liang-san.
Tuan rumah memberikan empat ekor kuda yang bagus untuk perjalanan cukup jauh itu.
*** Marilah kita mendahului rombongan ini melihat Liang-san.
Pegunungan itu ada lah bekas tempat tinggal Dewa Mata Ke ranjang Tan Cing Bhok, kini dihuni oleh muridnya yang sakti, Fang Fang.
Dan karena pendekar ini memiliki tiga orang isteri, Ming Ming dan Ceng Ceng serta Eng Eng maka tinggallah empat orang itu di bekas kediaman Dewa Mata Keranjang ini.
Sebenarnya Fang Fang tak mau tinggal di situ.
Tan Hong, sutenya sekaligus putera Dewa Mata Keranjang lebih berhak.
Akan tetapi karena pemuda itu menolak dan mengikuti isterinya di Bukit Angsa, tempat di mana dulu gadis itu tinggal maka pendekar ini menerimanya dan Mien Nio, isteri mendiang suhunya akhirnya tinggal pula di bukit itu, tak jauh dari sebuah hutan kecil dan jadilah pewaris Dewa Mata Keranjang ini hidup sendiri-sendiri.
Fang Fang dan tiga isterinya di Liang-san sementara Kiok Eng dan Tan Hong di Bukit Angsa (baca.
Play Girl Dari Pak-King).
BARU! EDISI BARU! Telah terbit dengan gaya dan edisi baru kisah seru dan menarik berjudul PEDANG MEDALI NAGA.
Khusus untuk ini penulis Anda Batara menulisnya dengan naskah baru.
Tetap merupakan Serial Bu-beng Sian-su yang menarik itu.
Setelah tamat Anda akan mengikuti lanjutannya .
SEPASANG JAGO KEMBAR Menceritakan tentang keturunan si jago pedang Bu-tiong-kiam Kun Seng, juga keluarga Pendekar Gurun Neraka yang sakti itu.
Silakan Anda ikuti dan dapatkan di toko-toko buku langganan Anda.
Penerbit "Aku tak mau di tempatmu itu.
Kalau kau ingin berdekatan dengan aku tinggallah di Bukit Angsa, Hong-ko, atau silakan sendiri di sana dan biar aku di sini."
Kiok Eng, gadis yang membuat Tan Hong jatuh bangun itu mengajukan syarat kepada pemuda ini menjelang pernikahan mereka.
Bukan tanpa maksud kalau gadis itu mengajukan syarat, bukan apa-apa melainkan semata tak senang melihat Liang san.
Tempat ini sering membuat Kiok Eng berkerut kening, sebal dan bermacam perasaan mengaduk hatinya karena di tempat itulah ia banyak mengalami hal-hal tak menyenangkan.
Pertama adalah Dewa Mata Keranjang sendiri, betapa kakek itu menjalin cinta dengan sekian banyaknya wanita hingga isterinya selusin.
Lalu ayahnya, yang juga memiliki tiga orang isteri di mana semuanya itu berawal dari Liang-san.
Dan karena Tan Hong juga berasal dari sini dan ia takut pemuda itu seperti ayahnya kelak, galang gulung membagi cinta maka ia tak senang berada di tempat itu dan menghendaki tinggal di tempatnya sendiri, Bukit Angsa.
"Aku tak mungkin seperti ayah, cintaku hanya untukmu seorang. Hidup seperti ayah tak ada senangnya, Kiok Eng, lihat betapa ia dikejar-kejar dan dimusuhi. Aku tak ingin seperti itu, ingin hidup tenang dan damai. Kalau kau tak ingin di sana baiklah aku di sini, hanya bagaimana ibu, juga guru-gurumu." "Subo sekalian akan di sini menemani aku, tak masalah. Untuk ibumu terserah dia, Hong-ko, tapi sebaiknya di sini pula, kalau dia mau. Kalau tidak terserah kau, berat ibu atau aku!"
"Wah-wah, semuanya berat. Kau atau ibu adalah bagian hidupku, Kiok Eng, mana mungkin dipisah. Kupikir ibu mau di sini tapi Liang-san harus dijaga. Biarlah kuserahkan itu kepada ayahmu."
Jadilah, menuruti Kiok Eng pemuda itu akhirnya pindah tempat.
Mien Nio, wanita bijaksana itu mengikuti puteranya, tinggal pula di Bukit Angsa.
Dan ketika Fang Fang menerima usulan sutenya itu, yang sekaligus juga menantunya maka pendekar ini menarik napas dalam dan berkata, diam-diam maklum bahwa semua ini tentu bersumber dari puterinya.
"Aku tak keberatan menjaga Liang-san, hanya tempat ini tetap menjadi hak mu. Kalau sewaktuwaktu diperlukan atau ada sebab-sebab penting terimalah kembali, sute. Betapapun ini adalah peninggalan ayahmu."
"Tapi suheng juga pewaris ayah, bukan orang lain. Tempatku atau tempatmu sama saja, suheng, bagiku tak ada perbedaan. Kenapa suheng sungkan dan menganggap itu milikku. Liang-san juga milikmu!" "Baiklah,"
Fang Fang. tersenyum.
"Kita saling menjaga, sute, terima kasih untuk kepercayaanmu kepadaku. Tinggallah di sana dan aku di sini."
Dua orang itupun berpindah tempat.
Tan Hong, yang semula tinggal di Liang-san akhirnya berada di Bukit Angsa.
Tempat ini juga tenang dan damai, apalagi bersama isteri tercinta.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan ketika pemuda itu meninggalkan Liang-san sementara Fang Fang menjaga di situ maka hubungan mereka terjaga baik hanya untuk sebutan kadung-kadang pemuda ini kikuk.
Bagaimana tidak kikuk kalau ayah mertua disebut juga suheng (kakak seperguruan)! "Sebut-menyebut hanya tata-krama saja dalam kehidupan sehari-hari, yang penting adalah kelakuan atau sikap yang bersangkutan.
Percuma kita menyebut orang setinggi mungkin namun hati atau pikiran kita tidak sama, sute.
Menghormat dengan ucapan namun diam-diam memaki dan memusuhi.
Sebutlah seperti biasa karena akupun menyebut subo (ibu guru) ke pada ibumu.
Aku bukan orang yang gila sebutan!"
Begitu kata-kata Fang Fang ketika suatu hari pemuda ini tampak bingung dan gugup.
Fang Fang adalah pria bijaksana yang mampu menangkap yang tersirat ataupun tersurat, itulah sebabnya iapun cepat menenteramkan sutenya dalam soal sebut-menyebut.
Percuma membungkuk dan menyoja-nyoja kalau hati atau pikiran sebenarnya memaki-maki.
Lebih baik bersikap wajar saja namun tulus daripada munafik.
Maka ketika pemuda itu tenteram dan jadilah menyebut suheng kepada ayah mertua maka Fang Fang pun menyebut sute (adik seperguruan) kepada menantunya itu.
Orang seperti pendekar ini memang tidak terikat lagi oleh segala basa-basi yang biasanya palsu belaka! Dan kehidupanpun berjalan seperti biasa.
Baik Tan Hong maupun suhengnya menikmati hari-hari indah mereka di tempat masing-masing.
Pria sakti ini bahagia setelah dua puluh tahun berpisah dengan isteri-isterinya.
Dan ketika hari-hari dilewat kan cepat tanpa terasa, dua keluarga itu saling mengunjungi maka suatu hari datang berita bahwa Kiok Eng hamil.
"Ha-ha, sebentar lagi kita menjadi kakek dan nenek-nenek. Bagaimana perasaanmu, Ceng-moi, tidakkah kita semua semakin tua!"
Pendekar itu menggoda isterinya Ceng Ceng ketika sore itu mereka menghangati diri dengan sinar mentari senja.
Ceng Ceng, ibu Kiok Eng tampak berbinar-binar.
Ia tersenyum dan malu-malu digoda suaminya itu.
Namun ketika ia belum menjawab maka bayangan merah berkelebat.
"Untuk apa takut.
Tua tidak tua asal suami tetap mencinta tak apa-apa, Ceng moi.
Bukankah itu jawaban kita untuk pertanyaan ini!"
Ceng Ceng, wanita empat puluhan ini menoleh. Madunya, Ming Ming datang tertawa-tawa, men jawab dan mendahului itu. Dan ketika ia mengangguk dan bangkit tertawa maka iapun menyambut madu nya itu, memeluk.
"Kau benar, tua tidak tua tak menjadi masalah. Asal suami kita tetap mencinta tak ada artinya usia tua, Ming-ci-ci. Mari duduk dan mana enci Eng!"
"Aku di sini, membuat kue ini untuk kalian. Ih, nikmat benar kalian bercengkerama, Ceng-moi, aku bisa iri!"
Muncul wanita baju hijau dan inilah Eng Eng atau ibu dari Kong Lee.
Wanita itu tertawa-tawa membawa senampan kue kering, hangat dan masih mengepul lalu berturut-turut meletakkan minuman dan cawan di meja.
Kesibukannya ini membuat dua yang lain tergopoh-gopoh, baik Ceng Ceng maupun Ming Ming membantu.
Dan ketika semua siap dan duduk di meja, suami di tengah maka Fang Fang berseri-seri penuh bahagia.
Benar-benar nikmat dikerubung begini, tak ada iri atau cemburu.
"Wah, seperti di sorga saja.
Apa yang kalian lakukan ini, Eng-moi, ulang tahun siapa ini.
Dan kue ini, ah...
lapis legit kesukaanku.
Dan itu, wow...
Tart Pelangi Warna-Warni.
Aduh, kapan semua ini disiapkan, Eng-moi.
Hari bahagia siapa i-ni, ha-ha!"
Fang Fang disuguhi kue-kue itu dan minuman pun dituangkan ke dalam cawannya.
Eng Eng dan Ming Ming begitu gembira sementara Ceng Ceng sedikit tertegun.
Ia tak menyangka kesibukan madunya ini.
Dan ketika dua wanita itu tertawa dan Eng Eng berseru bahwa semua itu untuk menyambut calon bayi Kiok Eng maka Ceng Ceng tersipu semburat dengan wajah kemerah-merahan.
"Untuk siapa lagi semua ini kalau bukan menyambut kabar gembira itu. Kami berdua menyiapkannya diam-diam, suamiku, dan selamat untuk kebahagiaan Ceng Ceng. Ia akan menjadi nenek pertama di antara kami!"
"Benar, nenek di antara nenek-nenek. Hi-hik, kau pun segera menyusul, Eng-ci-ci, menantumu pasti hamil pula dan cucu mu berdarah Barat. Pasti cantik dan pirang seperti ibunya!"
"Hush, kaulah yang lebih beruntung. Menantumu laki-laki, Ming-moi, ayahnya orang Barat, pasti ganteng dan gagah. Kong Lee laki-laki kate dan anaknya pasti pendek kecil, keturunan Timur. Aku tentu kalah dan kau yang menang!"
Dua wanita itu terkekeh-kekeh dan Ceng Ceng tertawa pula melihat dan mendengar gurauan ini.
Memang Ming Ming bermenantukan Franky, karena puterinya Beng Li mendapatkan pemuda gagah ganteng itu, bangsa kulit putih dari negeri seberang.
Dan ketika semuanya tertawa dan membagi-bagikan kue maka wanita ini berkata.
"Yang paling beruntung tentu suami kita Fang Fang. Ia dapat memiliki bermacam cucu dari jenis berbeda-beda, enci Eng. Ada yang besar ada yang kecil, ada yang pendek ada yang tinggi. Biarlah semua ini untuk suami kita tercinta dan-mari kita berikan ucapan selamat!"
Fang Fang terkejut dan menyambar ketiga isterinya tertawa-tawa.
Ciuman pertama diberikan Ceng Ceng, diikuti yang lain hingga berturut-turut pipinya penuh gmcu.
Dan ketika semua terbahak sampai keluar air mata maka pendekar ini balas mencium isterinya dengan lembut dan mesra.
"Ceng-moi, Ming-moi, kalian bertiga tak pernah melupakan aku. Sungguh bahagia mendapatkan cinta kalian dan terima kasih untuk perhatian ini. Biarlah kukembalikan kepada kalian dan kebahagiaan ini untuk kita semua... cup-cup-cup!"
Ciuman hangat dan mesra itu diberikan masing-masing wanita dan tiga orang isteri ini bahagia sekali.
Mereka berseri dan merapatkan tubuh dengan manja, kalau sudah begini maka suami biasanya bingung, siapa yang lebih dulu dipegang.
Namun ketika Fang Fang mendorong masing-masing isterinya itu, berkata bahwa besok atau lusa mengunjungi Bukit Angsa maka Ming Ming dan Eng Eng mengerutkan kening, juga Ceng Ceng.
"Kalian duduklah baik-baik, besok atau lusa aku akan mengunjungi Kiok Eng. Kalian sebaiknya di sini dulu menunggu aku. Nanti saat kelahiran kita semua ke sana."
"Tidak adil, masa begitu!"
Eng Eng tiba-tiba berseru.
"Yang lebih berkepentingan adalah Cengmoi, suamiku. Ia ibunya Kiok Eng, seharusnya kalian berdua. Masa kau sendiri!"
"Benar,"
Ming Ming mengangguk, sependapat.
"Kiok Eng tentu kangen ibunya, suamiku, masa kau sendiri. Seharusnya kau dan Ceng-moi berdua."
"Hm, Ceng-moi sakit perut, masa melakukan perjalanan jauh. Kalian bertiga di sini saja kecuali..." "Tidak! Kalau begitu ditunda dulu perjalanan mu, suamiku, tunggu sampai ia sembuh. Betapapun Ceng-moi harus ikut!"
Eng Eng kembali berseru dan wanita ini memang paling keras. Akan tetapi ketika Ceng Ceng menghela napas dan terharu oleh pembelaan madunya ini maka wanita itu berkata bahwa biarlah suami mereka berangkat sendiri, ia tak apa-apa.
"Sebenarnya perutku sedikit mengganggu, tapi berita ini tentu harus cepat ditanggapi. Biarlah suami kita pergi dan besok kalau kelahiran kita semua samasama ke sana."
"Nah,"
Fang Fang tersenyum.
"Dengar sendiri kata-kata Ceng Ceng, Eng-moi. Kalau aku tidak cepat ke sana jangan-jangan dikira acuh. Menunggu Cengmoi bisa lima sampai tujuh hari, ini kebiasaan wanita."
Ceng Ceng semburat, menunduk.
"Bagaimana?"
"Baiklah,"
Eng Eng rupanya mengerti, tersipu juga.
"Kalau itu masalahnya tentu kami mengerti. Berangkatlah dan kami menunggu di sini."
Fang Fang mencium isterinya itu penuh kasih sayang.
Biasanya Eng Eng inilah yang sulit dikendali kan, Ming Ming dan Ceng Ceng lebih halus.
Dan ketika dua hari kemudian ia berangkat maka tak lama kemudian, beberapa bulan berikutnya keluarga ini menuju Bukit Angsa.
Kiok Eng telah melahirkan! Bukan main gembiranya keluarga Bukit Angsa.
May-may, nenek lihai itu meledak-ledakkan rambut nya terkekeh-kekeh.
Bhi-kong-ciang Lin Lin atau nenek kedua tertawa-tawa pula.
Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok yang merupakan nenek paling bahagia menjeletar-jeletarkan cambuknya.
Nenek inilah yang merupakan orang pertama bagi Ceng Ceng menyambut dengan tawa nyaring, hampir bersamaan dengan tawa si bayi yang melengking-lengking.
Dan ketika semua bergembira dan mengadakan selamatan keluarga, anak itu laki-laki yang sehat dan montok maka Kiok Eng sendiri menangis bahagia menyambut buah hatinya itu.
Betapa tidak bahagia kalau di saat kelahiran ini semua orang-orang tua hadir.
"Aku... aku minta ayah memberikan nama. Siapa nama anak itu, ayah, kuserahkan padamu."
Kiok Eng terbata-bata dan suaranya tersendat-sendat oleh keharuan dan kebahagiaan yang dalam.
Ibu mana tak bahagia mendapatkan anaknya, tugas mulia itu telah dilaksanakan.
Dan ketika Fang Fang berpikir sejenak maka pendekar itu tertawa.
"Bagaimana kalau dinamakan Tan Cit Kong.
Ia tampan dan bersinar, Kiok Eng, dan sinar itu tepat untuk namanya.
Siapa ada usul atau nama lain."
Semua mengangguk-angguk.
Kong (Sinar) memang tepat untuk anak laki-laki ini, wajahnya gagah dan tangisnyapun nyaring melengking, tanda atau petunjuk bahwa anak itu sehat dan kuat.
Dan ketika semua setuju bahwa anak itu bernama Cit Kong, Tan Hong begitu gembira akan puteranya ini maka pemuda itupun mengangguk berseru.
"Nama itu bagus, cocok sekali. Terima kasih untuk nama ini dan biar kubeli pakaian bayi yang bagus-bagus!"
Dan tidak menunggu waktu lagi segera Tan Hong berkelebat keluar mencari pakaian di kota.
Semua tertawa melihat sikap pemuda itu dan Fang Fang pun tersenyum le bar.
Ada kebahagiaan sendiri menyambut cucu pertama ini, gagah dan laki-laki.
Dan ketika hampir seminggu mereka berkumpul maka tibalah waktunya untuk pulang.
Akan tetapi Kiok Eng ternyata meminta ibunya di situ.
"Aku masih gugup, serba canggung. Biar ibu di sini dulu menemani aku. Bagaimana nanti kalau Cit Kong ingin pipis dan mandi!" Fang Fang pun tak keberatan. Memang sebagai ibu muda tentu puterinya itu masih canggung dan bingung. Mengganti popok saja gemetaran, apalagi memandikan. Namun ketika Ceng Ceng mengerutkan kening mendengar itu ternyata wanita ini tidak enak, berkata halus, melirik pula ibu Tan Hong yang ada di situ.
"Kau seperti kanak-kanak saja. Di sini banyak terdapat pendampingmu, Kiok Eng, selain subo masih juga ada ibu mertuamu pula. Bukankah ia dapat membantu, masa ibu harus di sini."
"Tapi aku ingin ibu!"
"Tak apalah,"
Mien Nio memotong lembut, cepat menyela bijak.
"Hubungan kalian ibu dan anak tentu lebih dekat Ceng Ceng. Biarlah kau di sini menemani cucumu ini. Aku tak apa-apa, semuanya wajar."
"Tapi..."
"Tapi apa?"
Ceng Ceng jengah.
Ia melirik suaminya dan Fang Fang cepat tanggap.
Isterinya ini ternyata tak mau ditinggal! Maka ketika ia menggenggam dan menyambar lengan itu segera ia melirik dua isterinya yang lain.
Ming Ming dan Eng Eng ternyata mengerti, berkelebat keluar.
"Kupikir besok saja baru pulang, sehari ini aku masih di sini!"
Ceng Ceng berbinar.
Ia tersipu-sipu malu men dengar batuk subonya, yang juga keluar penuh arti.
Dan ketika Kiok Eng tertegun namun mengerti pula kehendak ibunya akhirnya iapun tersenyum dan memandang Tan Hong penuh mesra.
Wanita memang butuh perhatian.
Hari itu Fang Fang menunda kepulangannya dan malam itu sepenuhnya untuk Ceng Ceng.
Ming Ming dan Eng Eng yang sengaja memberikan kesempatan membiarkan suami dan madu mereka itu bermandi cinta.
Mereka tak memiliki lagi cemburu atau panas, bahkan Eng Eng menggoda madunya itu dengan senyum nakal.
Dan karena masing-masing ada pengertian dan rasa ikhlas yang besar, dua puluh tahun cemburu sudahlah cukup akhirnya keesokan harinya barulah Fang Fang meninggalkan tempat itu bersama dua isterinya yang lain.
Ceng Ceng memeluk dan mencium haru dua madunya ini.
"Terima kasih untuk kesempatan yang kalian berikan. Jaga dan cintailah suami kita baik-baik, Eng28 cici. Sebulan dua lagi aku pulang. Bersenang-senang lah, bagianku sudah cukup!"
"Akan kusisakan untukmu. Betapapun orang yang kucinta adalah milik kita bertiga, Ceng-moi, selamat tinggal dan hati-hati di sini. Kutunggu pulang mu nanti!"
Tiga orang itu berkecup-kecupan.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang mereka sudah merasa sehati sejiwa setelah masing-masing berpisah dan bertengkar.
Badai telah lewat dan sekarang ini adalah kebahagiaan.
Masing-masing telah mendapatkan keturunan dari orang yang mereka cinta.
Dan ketika hari itu Fang Fang kembali ke Liangsan maka di sini pendekar itu tinggal bersama dua isterinya.
Ceng Ceng menemani Kiok Eng dalam merawat bayi.
Dan saat itu datanglah serombongan besar orang-orang kulit putih dipimpin dua muda-mudi Han.
Inilah Kong Lee dan Beng Li bersama isteri dan suami mereka.
Dua pasangan itu memimpin rombong an ini, menyuruh mereka berhenti di lereng gunung dan empat orang muda itulah yong mendaki puncak.
Dan ketika Eng Eng terkejut namun gembira bukan main, juga Ming Ming maka pertemuan itu disambut jerit dan peluk ketat.
"Ibu...!"
"Kong Lee... Beng Li!"
Empat orang itu saling tubruk penuh kebahagiaan.
Hal ini dapat dimaklumi karena sejak menikah baru kali itulah dua muda-mudi ini pulang.
Beng Li maupun kakaknya sama-sama di tanah seberang.
Dan ketika dua wanita itu bertangistangisan menyambut puteri-puteri mereka, menantu mereka mengusap air mata maka Franky maupun Yuliah menjatuhkan diri berlutut.
"Gak-bo...!"
Eng Eng dan madunya baru sadar.
Mereka baru tahu bahwa selain putera-puteri mereka juga dua menantu mereka itu menunggu di situ.
Gadis kulit putih itu tampak cantik dan bersih.
Maka ketika Eng Eng mengangkat bangun gadis ini sementara Ming Ming menyuruh bangun menantunya laki-laki maka Fang Fang muncul dan kegembiraan itu tentu saja bertambah.
"Ayah!"
"Gak-hu!"
Keluarga ini benar-benar mencapai ke bahagiaannya.
Fang Fang tersenyum menyambut anak dan dua menantunya itu dan masing-masing menitikkan air mata haru.
Pendekar itu menepuknepuk pundak putera dan menantunya laki-laki.
Dan ketika tiba giliran Beng Li dan Yuliah maka mata pendekar ini yang tajam melihat perobahan kecil di tubuh mereka.
Tubuh yang telah berisi.
"Hm, kalian datang membawa kabar bahagia, bukan? Dan tubuh kalian sedikit gemuk. Agaknya kalian benar-benar bahagia, Beng Li, dan Yuliah semakin canti jelita saja. Syukurlah dan ada berita bahagia pula di sini. Enci kalian Kiok Eng telah melahirkan. Ha-ha, kapan kalian berdua!"
"Ah, enci Kiok Eng melahirkan? Laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki, Beng Li, dan kebetulan kalian datang. Ayo duduk dan cerita yang enak."
"Nanti dulu, tunggu. Siapa namanya, ayah. Kami ingin ke sana!"
"Benar, kami akan ke sana. Dan Beng Li akan menyusul!"
"Ih, jangan bikin malu. Kau juga menyusul, Yuli. Hayo bilang pada kami kalau tidak!"
"Wah, jangan bongkar rahasia. Itu milik kita!" "Kau duluan, meledek aku. Hayo siapa yang nakal dan patut dihukum!"
Lalu ketika dua wanita itu tertawa dan saling cubit maka Fang Fang yang sudah melihat tanda-tanda itu mengerdip pada isterinya, memperhatikan dan barulah sekarang Ming Ming maupun Eng Eng bahwa tubuh menantu dan puteri mereka itu sedikit lain.
Tanda wanita hamil terdapat di situ.
Maka ketika dua wanita ini berseri dan memeluk Yuliah maupun Beng Li masing-masing berbisik bertanya, mata berbinar-binar.
"Kau... kalian, eh... telah sama-sama berisi, Yuli? Kalian akan memberikan cucu kepada kami?"
"Ah, Beng Li memang nakal. Ia lebih dulu, gakbo, selisih beberapa hari dengan aku. Kami... kami memang ingin punya turunan."
"Ha-ha!"
Fang Fang tergelak, pembicaraan orang-orang muda ini memang sudah terbiasa, lebih bebas.
"Kalau begitu kalianpun tak perlu iri, Ming Ming. Kalian sama-sama seperti Ceng Ceng, masingmasing menjadi nenek. Hayo rayakan berita ini dan mari minum anggur manis!"
Semua tergelak dan keadaan semakin gembira lagi.
Sebagai orang-orang yang hidup di alam Barat memang dua muda-mudi ini bersikap bebas.
Tak ada malu-malu atau canggung seperti kebanyakan wanita Han, semua begitu wajar dan terbuka.
Maka ketika pesta kecil menyambut berita gembira itu, juga datangnya anak-anak muda ini maka Beng Li hampir melupakan pertanyaannya tadi.
"Eh, siapa anak laki-laki enci Kiok Eng tadi. Siapa namanya!"
"Cit Kong, namanya Cit Kong. Ia gagah seperti bapaknya, Beng Li. Kalian boleh mengunjungi kalau kami sudah puas di sini. Ayo, ambil makanan ini'"
Pasangan itu betul-betul gembira.
Mereka melupakan yang di bawah gunung dan baru teringat menjelang senja.
Untunglah rombongan itu berbekal cukup dan Fang Fang menyuruh mereka naik.
Namun ketika Kong Lee menggeleng dan berkata biarlah di bawah saja maka pemuda itu berkata bahwa jumlah mereka terlalu banyak, empat puluh orang.
"Kami akan meninggalkan pesan sedikit saja, besok baru diurus. Biar mereka di sana dan kami di sini."
Malam itu keluarga ini hampir melupakan yang lain-lain.
Beng Li segera bercakap-cakap dengan ibunya sementara Kong Lee dan Franky menemani ayah mereka.
Yuliah di kamar Eng Eng.
Dan ketika empat orang muda itu bercakap tak habis-habisnya maka Kong Lee menyampaikan salam kaisar.
"Kami baru saja dari kota raja, menemui sri baginda. Ayah mendapat titipan salam dan kami menyampaikan pula hormat dan salam Gubernur. Sebenarnya kedatangan kami bukan sekedar melancong melainkan juga melaksanakan tugas."
"Benar, dan inilah yang penting. Negeri kami mendapat musibah, gak-hu, dan bangsa Han ternyata juga mengalami nasib serupa. Kami datang untuk menumpas bahaya besar!"
Fang Fang terkejut mendengar cerita anak dan menantunya itu.
Franky mengepal tinju sementara Koijg Le mengangguk-angguk, sikap mereka tiba-tiba begitu serius.
Dan karena ia begitu bahagia dan tenteram hidup di Liang-san, perobah an dan segala yang terjadi di kota raja tak ia ketahui maka pendekar ini bertanya apa bahaya itu.
"Kalian tampaknya bersungguh-sungguh Coba ceritakan masalah itu dan bahaya apa yang kalian hadapi."
"Penyakit. Ada penyakit ganas menyerang dunia, gak-hu. Pertama negeri kami, dan sekarang negeri ini!" "Hm, seingatku tenang-tenang saja."
"Salah, kota raja sudah gempar. Kau ternyata tak mengikuti ini, ayah. Penyakit ganas menyerang rakyat. Dan di sini Yok-ong kelabakan!"
Kong Lee mendahului dan kini pemuda itu mulai bicara.
Ia sambung-menyambung dengan temannya dan terbelalaklah Fang Fang mendengar ini.
Dan ketika dua orang muda itu mulai bercerita tentang PKD, sang ayah semakin terkejut maka Fang Fang berseru tertahan mendengar itu.
"Di negeri kami semua ini berawal dari Leiker. Dialah biang penyakit itu, ayah, dan kami mendapat tugas Gubernur untuk menangkap dan membawanya pulang. Ia bom berjalan yang dahsyat sekali, jejaknya kami temukan di daratan sini!"
"Dan di kota raja bersumber dari Gok-ongya. Pangeran inilah biang utama, gak-hu, dan kemungkin an ia pernah berhubungan dengan si Leiker itu. Keparat itu memang jahat!"
"Hm-hm, perlahan sedikit. Apa itu PKD dan siapa pula Leiker itu. Ia orang atau nama penyakit."
"Leiker adalah laki-laki sekitar tiga puluh delapan tahun, bekas penari balet di tempat Gubernur. Namun karena ia laki-laki menyimpang dan berhubungan secara kotor maka ia wadah penyakit dan sampah dunia!"
"Hm, maksudmu laki-laki menyimpang?"
"Ia seorang homo, ayah, suka berhubungan dengan sesama jenisnya. Ia tak petuah bergaul dengan wanita karena kesukaannya dengan laki-laki!"
"Hm!"
Fang Fang terkejut, menganggukangguk. Akan tetapi karena pendekar ini seorang yang luas pengalaman dan banyak tahu penyimpangan dunia maka pendekar itupun menarik napas dalam dan sorot matanya getir bercampur iba.
"Dan PKD itu..."
"Singkatan Penyakit Kutukan Dewa. Yok-ong menamakannya begitu karena ia bingung menemukan jenis penyakit yang belum dikenal sejarah pertabiban ini. Dianggap terkutuk karena penyimpangan seksual!"
"Hm-hm...!"
"Tapi di negeri kami ahli-ahli kami menamakannya Ahiv, gak-hu, singkatan dari Akibat Hubungan Informal Variatif!" Fang Fang kembali mengangguk-angguk. Ia tibatiba menerima berita itu dengan serius, sesuatu tibatiba menggetarkannya. Dan ketika ia minta dua pemuda itu bicara lagi maka dibeberkanlah semua itu, sampai jelas.
"Baiklah,"
Pendekar ini mengakhiri.
"Malam ini aku akan bersamadhi mencari penerangan batin, Franky. Kucoba menolong kalian dengan petunjuk getaran batin. Tugas kalian berat, akan tetapi penting. Beristirahatlah dan besok kuberi tahu."
Dua orang muda itu girang sekali.
Memang harus diakui bahwa di samping kepandaiannya yang tinggi ayah mereka ini memiliki kelebihan yang tak dipunyai orang lain, mampu menangkap petunjukpetunjuk dari getaran gaib.
Hal itu terjadi setelah pendekar ini melakukan tapa Hening, ketika dulu dalam meraih puncak kesaktiannya bertapa empat puluh hari empat puluh malam di Liang-san.
Kekuatan inilah yang membuat kesaktiannya bertambah, melampaui mendiang Dewa Mata Keranjang dan untuk saat itu barangkali hanya pendekar inilah satusatunya yang paling hebat.
Dan ketika dua orang muda itu beristirahat di kamar masing-masing, bersama pasangan mereka maka samadhi Fang Fang membuat pendekar ini tertegun.
Malam itu pria ini melihat sesuatu melayang-layang dari arah timur, bentuknya seperti panah dan tiba-tiba dengan kecepatan kilat panah ini melesat ke barat.
Lalu ketika dari arah utara muncul pula benda serupa tapi berwarna merah, bak api atau obor panjang maka benda inipun melesat ke barat menyusul benda pertama itu, lenyap dan tibatiba muncul lagi di atas.
Dari delapan penjuru menda dak muncul pernik-pernik biru menuju Liang-san, mengepung atau mengelilingi dua panah kuning dan merah ini.
Lalu ketika mereka meledak dan pecah berhamburan maka pendekar ini terkejut karena firasat jelek memberitahunya.
Liang-san akan diguncang malapetaka! Pagi-pagi pendekar ini mengenakan pakaian serba putih, berkelebat dan menuju tebing dari mana ia dapat memandang ke bawah.
Semalam dua panah kuning merah itu jatuh di kaki Liang-san, tepatnya di bawah tebing di mana rombongan orang-orang kulit putih itu berkemah.
Dan ketika pendekar ini mengerutkan kening merasa berdebar tiba-tiba dua isterinya berkelebat datang.
"Kau tampak tegang. Apa yang kau rasakan, suamiku. Apa yang kaulihat!" "Benar, semalam kau gelisah. Panggilan kami tak kau dengar,"
Ming Ming, isterinya berbaju merah sudah berada di kiri tubuhnya dan melihat baju merah ini mendadak Fang Fang berseru tertahan.
Dia mundur dan membelalakkan mata, arah itu jelas.
Dan ketika bagai kilat menyambar ia teringat isterinya Ceng Ceng, betapa isterinya itu berbaju kuning tiba-tiba pendekar ini mengeluh dan terhuyung, mukanya pucat.
"Tidak, jangan...! Oh, tidak, Thian Yang Agung. Jangan terjadi ini menimpa keluargaku!"
Ming Ming dan Eng Eng tentu saja terkejut.
Mereka berseru tertahan melihat sikap suaminya itu dan Eng Eng berkelebat menyambar lengan.
Ming Ming terisak memeluk pundak.
Lalu ketika Eng Eng bertanya apa yang terjadi maka Fang Fang pun sadar.
Panah merah dan kuning itu adalah pertanda dua isterinya ini! "Thian Yang Agung, cobaan akan datang.
Duh semoga kita semua waspada akan ini, Eng-moi.
Semalam kulihat tanda-tanda malapetaka.
Ming-moi dan Ceng moi akan bermusuhan!"
Ming Ming tersentak mundur. Ia menjerit mendengar ini dan Eng Eng pun berubah. Kata-kata itu bukan main-main, hebat sekali artinya. Dan ketika Eng Eng mencengkeram lengan suaminya sementara Ming Ming tersedu-sedu maka wanita itu mengguguk dan pucat.
"Apa... apa katamu itu. Jelaskanlah semua ini dengan terang, suamiku. Apa artinya kata-katamu itu. Kenapa Ceng-moi harus memusuhiku!"
Fang Fang tergetar dan masih terbelalak ngeri.
Ia melihat dua panah berapi itu sebagai lambang dua isterinya sendiri, mereka saling tabrak dan akhirnya jatuh di kaki gunung.
Dan ketika ia memejamkan mata menguatkan batin, sungguh tak diduganya kejadian itu maka pendekar ini akhirnya terhuyung dan duduk di sebuah batu besar, gemetar.
"Semalam kulihat tanda-tanda gaib. Franky dan Kong Lee minta tolong untuk menangkal bahaya, Ming-moi, kubantu dan kucarikan jalan keluarnya. Tapi... tapi panah api itu, ah, ia perlambang kalian sendiri. Ceng-moi harus segera kuambil dan kuberi tahu!"
"Ceritakanlah yang jelas, apa yang kaulihat."
"Aku melihat dua panah kuning dan merah meluncur ke barat, lenyap. Lalu muncul pernik-pernik biru dari delapan penjuru. Dan ketika dua panah ini muncul lagi di Liang-san, saling tabrak dan jatuh ke bawah maka pernik-pernik biru itu mengejar dan menyerang mereka. Kita harus waspada akan ini!"
Ming Ming tersedu-sedu dan ngeri serta ketakutan. Suami mereka ini tak pernah main-main dan dapat dipercaya. Maka ketika wanita itu mengeluh dan roboh lemas, ditangkap madunya maka Eng Eng bangkit dan berapi-api, bertolak pinggang.
"Aku tak menghendaki keluarga kita pecah. Kau yang pertama menemukan dan memberi tahu ini, suamiku, maka kau pula yang harus menangkalnya. Aku tak mau Ceng-moi maupun Ming-moi ber musuhan!"
Fang Fang tertegun.
Di wajah isterinya ini ia melihat api yang terbakar, mata itu merah sekali.
Akan tetapi ketika ia cepat menenangkan guncangan jantung nya dan sadar bahwa semua yang terjadi bakal terjadi, kehendak Yang Maha Kuasa tak mungkin ditolak maka ia berhasil menenangkan dirinya lagi dan saat itulah bayangan orang-orang muda itu muncul.
"Ayah, ibu, apa yang kalian lakukan di sini!"
Fang Fang cepat berbisik agar Ming Ming maupun Eng Eng tak memberitahukan itu.
Anak-anak muda ini tampak heran kenapa ibu mereka Eng Eng bertolak pinggang di depan sang ayah, marah-marah dan rupanya tampak cekcok.
Aneh, pagi-pagi sudah ribut! Akan tetapi ketika Fang Fang tersenyum dan telah dapat menguasai hatinya lagi, tidak seperti dua isterinya yang belum pulih maka anak-anak muda itu memandang curiga kepada ibu-ibu mereka ini, apalagi Ming Ming jelas menangis.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maaf, tak ada apa-apa. Kami sedang menikmati hawa segar, Beng Li, ada apa datang di sini. Sudahkah menyiapkan minuman atau makanan pagi untuk suami kalian."
"Tapi ibu menangis!"
Beng Li tak tedeng alingaling lagi, menyambar dan memeluk ibunya itu.
"Ada apa, ibu. Kenapa pagi-pagi menangis, apakah ayah mema-rahimu!"
Ming Ming masih teringat kata-kata suaminya tadi. Sebagai wanita tak mungkin ia cepat selesai, apalagi berita itu hebat sekali baginya. Maka ketika ia melompat dan tersedu-sedu iapun meninggalkan tempat itu membuat Fang Fang berkerut.
"Ayahmu tak melakukan apa-apa kepadaku, ia baik-baik saja. Aku hanya sedikit tak enak badan, Beng Li, jangan ganggu dan siapkan makanan bantu ibumu Eng Eng!" Beng Li bukanlah anak kecil lagi. Ia semakin terkejut melihat sikap ibunya itu, padahal semalam begitu gembira. Maka ketika ia melompat mengejar ibunya iapun tak perduli lagi meninggalkan pula suaminya Franky, disusul Yuli yang tak enak di situ.
"Ibu bohong, aku tak mau menyiapkan makan an siapapun. Biar kutemani kau kalau tak enak badan dan nanti makan bersama!"
Terganggulah suasana.
Franky dan Kong Lee mengerutkan kening dan masing-masing saling pandang.
Tentu saja mereka juga heran dan tak enak melihat pemandangan itu.
Maka tak ingin meng ganggu ayah ibunya pemuda inipun berkelebat dan naik lagi ke puncak, Franky menyusul.
"Maafkan kami, ayah. Biar kami siapkan keperluan kami sendiri dan harap jangan pikirkan sarapan pagi!"
Fang Fang semakin runyam.
Tiba-tiba ia melepas Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) kepada isterinya Ming Ming agar tak menceritakan apapun kepada anak-anak muda itu.
Mereka tak boleh tahu.
Dan ketika ia menggerakkan lengan bajunya menahan dua pemuda itu iapun berseru.
"Kau dan Franky di sini saja. Ada sesuatu yang hendak kusampaikan, anak-anak, jangan pergi!"
Kong Lee dan Franky terkejut.
Mereka sudah meluncur ketika tiba-tiba terta han di tengah jalan, Franky bahkan tertarik dan kembali lagi ke belakang, hampir saja terpelanting.
Dan ketika pemuda itu berseru membiarkan diri tertarik, berjungkir balik ke belakang maka iapun telah berdiri di depan gak-hunya itu dengan sinar mata kagum, juga kecut! "Kami sebenarnya tak ingin mengganggu gakhu..."
"Tak apa-apa, tidak. Tak ada apa-apa di antara kami. Duduklah dan tidakkah kalian ingin tahu hasilku semalam!"
Franky dan Kong Le girang.
Eng Eng akhirnya bergerak mengejar madunya itu sadar bahwa anakanak itu tak boleh melihat kelakuannya yang keras.
Ia telah mengejutkan menantu dan puteranya dengan berkacak pinggang tadi.
Maka ketika ia berseru bahwa tak ada apa-apa di antara suami isteri iapun memperbaiki sikap dengan kata-kata terhadap suaminya yang lembut.
"Maafkan aku tadi. Biarlah kususul Ming-moi dan kutunggu kalian di meja makan!" Dua pemuda itu lega. Ternyata Eng Eng bersikap halus dan tidak marah-marah lagi, Kong Lee melambai pada ibunya itu. Dan ketika dua anak muda itu membalik berhadapan lagi dengan ayah mereka maka keduanya yang tertarik berita semalam sudah melupa kan peristiwa tadi dan menganggap bahwa mungkin ada semacam pertikaian kecil di antara ibu-ibu mereka tadi. Bukankah wanita biasanya manja dan ingin perhatian penuh.
"Duduklah,"
Fang Fang menarik napas dalam, mencari akal bagaimana menceritakan semua itu kepada anak-anak muda ini. Ada hal-hal yang tak semuanya harus mereka ketahui.
"Semalam aku telah bersamadhi dan menangkap hasilnya, Kong Lee, akan tetapi justeru untuk diriku sendiri. Peristiwa itu akan berakhir di sini dan sementara ini dapat kujelaskan kepada kalian bahwa sesuatu yang hebat bakal terjadi. Dan kau,"
Pendekar ini menunjuk Franky.
"jaga diri baik-baik dan awasilah isterimu lebih dari biasanya. Aku tak dapat memberi tahu lebih jauh karena bersifat rahasia."
Dua anak muda ini tertegun.
Fang Fang adalah pendekar berhati bersih yang menjauhi segala kebohongan.
Sejak menemukan kesadarannya dan hidup bagai pertapa pendekar ini tak mau berkata dusta.
Untuk yang rahasia dikatakannya rahasia pula.
Namun justeru karena anak-anak muda itu menjadi penasaran, Franky saling pandang dengan Kong Lee maka dua anak muda itu memandang lagi ayah mereka.
"Tempat itu,"
Fang Fang menunjuk, kali ini ke rombongan orang-orang kulit putih itu.
"Hati-hati dengan orangmu, Franky. Ada asap hitam kulihat di sana. Aku belum tahu pasti namun tak perlu di ragukan bahwa dari rombonganmu akan muncul percikan-percikan kecil. Kalau ini tidak segera kau waspadai maka percikan itu bakal menjadi bahaya."
"Terima kasih,"
Pemuda ini menganggukangguk.
"Akan kuperhatikan semua pesanmu, gak-hu. Akan kuwaspadai orang-orangku itu dan kupadamkan apinya sebelum besar."
"Bagus, dan kau,"
Pendekar itu menunjuk Kong Lee.
"Jangan termakan oleh segala hasutan atau katakata manis, puteraku. Jangan buru-buru pulang karena tenagamu mungkin kuperlukan."
"Baiklah, aku terima. Lagi pula tugas ini berat dan rasanya panjang, ayah, tak mungkin aku cepatcepat pulang."
Pemuda itu mengiyakan.
Fang Fang tak bicara lagi karena tiba-tiba ia berkelebat naik.
Nasihat itu di rasanya cukup dan ia pun harus waspada akan sesuatu.
Terus terang debaran hatinya tak kunjung selesai, jantung di sebelah kirinya itu masih berdegup kencang.
Dan ketika pagi itu suasana menjadi terganggu oleh isak dan tangis Ming Ming, ternyata wanita ini tak mampu menguasai hatinya juga maka Beng Li menjadi jengkel mengajak ibunya ke Bukit Angsa.
Wanita muda ini tak berhasil mengorek apapun dari ibunya, hati diamdiam panas.
"Tak ada apa-apa... tak ada apa-apa. Aku dan ayahmu sama sekali tak bertengkar, Beng Li, aku... aku hanya tak enak badan. Sudahlah tak usah kautanya karena kami betul-betul tak ada apa-apa!"
"Tapi ibu menangis!"
Beng Li mendesak.
"Dan tadi ibu Eng Eng bertolak pinggang marah-marah. Kalau ayah tak adil biar kuhadapi dan kumarahi!"
"Tidak, jangan!"
Sang ibu tentu saja terkejut dan panik.
"Ayahmu adil dan bijaksana, Beng Li. Ia memper lakukan ibumu dengan lembut dan kasih sayang. Jangan marahi ayahmu karena ia tak bersalah!"
"Tapi ibu..." "Sudahlah tak perlu mencampuri urusan ibu tapi aku dan ayahmu benar-benar tak ada apa-apa!"
Lalu ketika wanita ini menyuruh puterinya diam, Beng Li bersungut-sungut maka tiba-tiba timbul pikirannya jangan-jangan ibunya ini ada masalah dengan Ceng Ceng, ibunya yang lain, dan sang ayah membela ibu tirinya itu! "Hm,"
Kata-kata selanjutnya mengejutkan sang ibu.
"Kau ada urusan dengan ibu Ceng Ceng, ibu? Ayah membelanya dan kau sakit hati?"
Ming Ming tersentak pucat.
Memang ia sedang terhimpit oleh madunya Ceng Ceng dan kini tiba-tiba saja puterinya itu menebak cocok.
Tak dapat disangkal saat itu seluruh kekalutannya bersumber pada katakata suaminya tadi, bahwa ia akan bermusuhan dengan Ceng Ceng.
Maka ketika ia terkejut dan berubah mendengar todongan ini, mengeluh dan membalik tiba-tiba tangis dan sedu-sedannya tak dapat ditahan lagi, pecah.
Gadis ini mengerutkan kening dan mulai merah, la menjadi curiga dan tak senang.
Dugaannya cocok! Maka ketika ia mendengus dan mendesak ibunya itu akhirnya Ming Ming hampir histeris dan men cengkeram puterinya itu, betapapun kata-kata suami nya masih diingat dan dipegangnya.
Ia tak boleh memberi tahu anak-anak.
"Kau tak perlu mencampuri urusan ibu, cukup. Tutup mulutmu dan tak perlu bertanya-tanya!"
Beng Li mengatupkan mulut.
Dia adalah wanita keras yang selama ini tertutup lembut oleh kasih sayang suami dan ayahnya.
Dulu sebelum ibunya ini bertemu ayah dia adalah gadis pemberani dan tak kenal takut.
Masa kecilnya yang penuh prihatin melihat penderitaan ibu membuat gadis ini mudah meledak.
Kini perasaan itu muncul lagi, dugaannya kuat bahwa ada apa-apa antara ibunya dengan Ceng Ceng.
Dan sang ayah rupanya membela ibu tirinya itu, ibu kandung disalah kan.
Maka ketika ia terbakar dan marah oleh bentakan ini, pagi itu juga ia berwajah gelap maka siapapun terkejut ketika tiba-tiba ia menyambar buntalan dan lari turun gunung.
"Akan kucari ibu Ceng Ceng, akan kulabrak dia. Siapa kira takut dan lihat bagaimana ayah nanti!"
Ming Ming terkejut setengah mati.
Sebagai ibu kandung tentu saja ia kenai baik watak anaknya ini, bahkan sebenarnya Beng Li lebih keras dari dirinya sendiri.
Maka ketika ia terkejut melihat anaknya menyambar buntalan, berkelebat meninggalkan Liang-san pucatlah wanita ini men dengar kata-kata itu.
Ancaman ini bukan bohong! "Beng Li, kembali!"
Bentakan itu disusul bayangan Ming Ming yang mengejar puterinya.
Dengan gugup dan panik wanita ini mengejar gadis itu, Beng Li tak perduli dan terus meluncur turun.
Akan tetapi ketika Franky dan lain-lain berkelebatan di kiri kanan, tentu saja ribut-ribut itu didengar maka gadis atau wanita muda ini disambar.
Sang suami malah berseru bingung.
"He, ke mana kau, Beng Li, ada apa. Berhenti dan dengar seruan ibumu!"
"Lepaskan aku!"
Wanita itu mengipatkan tangan suami.
"Aku pergi mencari angin, Franky, nanti kembali!"
Akan tetapi mana mungkin pemuda itu melepas kan isterinya.
Muka Beng Li merah padam dan jelas marah besar.
Ia tahu betul isterinya ini bohong.
Maka ketika ia melompat dan mengejar lagi, gagal dan terpelanting maka Kong Lee menghadang dan membentak adiknya itu.
"Beng Li, ada apa dengan ibumu. Berhenti!" Beng Li membalik dan tiba-tiba meledakkan rambutnya. Ia adalah pewaris nenek May-may dengan ilmu rambutnya Sin-mauw-kang (Rambut Sakti), sekali sabet kepala kerbau pun bakal pecah. Maka ketika Kong Lee terkejut oleh serangan itu, mengelak dan menangkis dengan pukulan Sinar Birunya (Bhi-kongciang) maka pemuda itu tergetar dan terhuyung akan tetapi Beng Li menjerit dan menjadi kalap, tiba-tiba tersedu-sedu.
"Aku tak ingin kalian halangi, pergi atau kubunuh!"
Untunglah sang ayah muncul dengan cepat. Fang Fang menyambar di belakang puterinya itu dan menotok, Beng Li roboh dan menangis. Dan ketika pendekar itu bertanya apa yang terjadi maka Ming Ming bungkam, justeru merasa bingung.
"Dia... dia kumarahi, tadi kuhardik. Aku menyesal dan biar Franky membawanya ke dalam!"
Fang Fang mengerutkan kening memandang isterinya itu.
Tentu saja ia tak menerima kata-kata isterinya ini begitu saja.
Akan tetapi karena di situ banyak orang dan Franky menerima serta membawa isterinya ke puncak maka di kamar pendekar ini meminta penjelasan.
Sungguh persoalan menjadi berkembang.
"Ia mendesakku dan membuatku marah, akhirnya kubentak dan ia ganti marah. Karena kuingat kata-katamu tadi ma ka aku tak berani mengatakan nya. Itulah yang terjadi dan ia tiba-tiba lari turun gunung!"
Fang Fang menarik napas dalam.
Ia tak mengira bahwa isterinya bicara sebagian saja.
Yang penting, tentang dugaannya terhadap Ceng Ceng disembunyi kan.
Ming Ming tak menceritakan itu semata agar suaminya tak menjadi marah.
Ia tak ingin semuanya marah-marah dan apa jadinya nanti.
Maka ketika suasana menjadi berubah dan tidak enak, sehari itu Beng Li tak mau menampakkan diri maka kegembiraan keluarga ini benar-benar terganggu dan yang paling bingung barangkali Franky! Betapa tidak.
Malam itu mengurung diri tibatiba isterinya berkemas.
Beng Li mengambil lagi buntalannya dan berkata mau pergi, entah suami ikut atau tidak.
Dan ketika pemuda ini kelabakan dan gugup serta panik maka Beng Li telah menyambar pedangnya dan menyisipkannya di punggung.
Sikapnya seperti mau perang! "Aku tak mau lagi tinggal di sini, ibu menyakiti ku.
Kalau kau ikut silakan, tidak juga tak apa.
Jangan ribut-ribut atau seumur hidup aku tak sudi kaudekati!"
Suami mana tak bakal seperti kambing kebakaran jenggot.
Beng Li keluar dan telah melompati jendelanya, masuk dan hilang di malam gelap.
Dan karena ancaman itu tak mungkin dilawannya, pemuda ini berseru mengejar maka Franky sempat menulis surat memberi tahu keluarga Liang-san.
"Aku buru-buru, maaf. Beng Li ngamuk dan marah-marah tak keruan juntrungnya. Kususul dia dan entah ke mana!"
Tentu saja Fang Fang dan lain-lainnya terkejut.
Mereka baru tahu keesokan harinya, melihat pintu kamar terbuka dan juga sepucuk surat itu.
Dan ketika semua menjadi kacau dan hanya Ming Ming yang tahu persis maka wanita inipun lenyap dan meninggalkan sepucuk surat pendek untuk suaminya.
Aku ke Bukit Angsa! Bagai dihentak jantungnya denyut nadi pendekar ini bertambah.
Fang Fang berubah dan pucat, tahulah ia apa yang bakal terjadi.
Akan tetapi ketika ia hendak pergi maka Kong Lee dan Yuliah pamit lebih dulu.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tinggallah dia bersama Eng Eng, berdua.
Dan ketika pendekar ini berubah dan bingung serta kaget, juga marah maka muncullah Bu-goanswe dan Kok-taijin.
Rombongan orang kulit putih itu telah meninggalkan Liang-san.
"Ha-ha, selamat bertemu. Apa kabar pangeran, paduka pagi ini tampak pucat. Eh, mana ketiga isterimu itu!"
Bu-goanswe maksudnya bergurau akan tetapi pendekar ini tambah pucat.
Eng Eng, isterinya lenyap pula di situ! Dan ketika ia terduduk dan terhenyak pucat, menggigil sendirian maka Kok-taijin memberi hormat dan tahu keadaan.
Ada sesuatu yang gawat di situ.
"Maaf, kedatangan kami rupanya tak tepat. Apa yang mengganggu dirimu, tai-hiap, bolehkah kami tahu dan mana penghuni lain. Atau kami pulang dan lain kali ke sini lagi."
Tak mungkin bagi Fang Fang menghalau tamutamunya ini.
Dua anak muda itu, Kang Hu dan Kui Yang mengkeret melihat wajahnya.
Sinar berapi dan muka gelap terbayang.
Dan ketika Fang Fang menahan semua gemuruh dan terpaksa menerima tamu, bicara apa adanya maka Kok-taijin dan Bu-goanswe terkejut.
Mereka tiba-tiba tak enak.
"Aku harus mengejar anak isteriku.
Ada sesuatu yang harus kucegah, goan-swe, kalau kalian tidak keberatan penuhilah permintaanku, yakni jagalah tempat ini.
Tunggu aku kembali dan setelah itu kita bercakap-cakap enak!"
Empat tamu itu melenggong.
Mereka tahu betapa gugupnya tuan rumah dan Bu-goanswe menekan guncangan hatinya pula.
Dari kegelisahan dan kemarahan pendekar itu dapat mereka rasakan kesungguhannya.
Maka ketika semua mengangguk dan Fang Fang berkelebat lenyap, bayangannya tahutahu di bawah gunung maka Kui Yang dan Kang Hu berseru kagum.
Pendekar itu bagai iblis saja melesat.
"Ih, dia sudah di sana. Lihat, ayah, Fang-taihiap di kaki gunung!"
"Dan gerakannya seperti siluman saja, cepat bukan main. Kong-kong kalah jauh dan kita ini bahkan bukan apa-apa!"
"Tentu, mana mungkin kalian. Mendiang gurunya sendiri sudah bukan tandingannya, anakanak. Lihat dia lenyap dan kita menjadi penunggu gunung. Eh, Liang-san berganti tuan rumah!"
Sayang empat orang itu harus mengernyitkan kening.
Kegembiraan bertemu kawan lama tak dapat dilepaskan dulu, pendekar itu mempunyai urusan penting.
Dan ketika mereka berada di Liang-san menunggu pemiliknya maka di Bukit Angsa memang terjadi geger! *** Wanita seperti Beng Li memang ber temperamen keras.
Ia mudah terbakar menerima sesuatu yang menyakiti perasaannya.
Dugaannya bahwa sang ayah membela Ceng Ceng menyalahkan ibu kandung membuat wanita ini panas.
Siapa sih wanita mau dimadu.
Kalau ada laki-laki berani begitu harap terima saja resikonya.
Kalau tidak membela sini ya membela sana, kalau tidak cekcok sini ya cekcok sana.
Dan karena ia hamil dan kelebihan hormon bagi wanita hamil merubah pula watak dan perilakunya, bisa menjadi lebih ganas dan keras maka seperti itu pula yang dialami wanita muda ini mendengar ibunya menangis sedih.
Dan ia didamprat padahal membela.
Siapa tidak naik darah.
Maka ketika ia meluncur dan malam itu meninggalkan Liang-san adalah suaminya yang jatuh bangun mengikuti di belakang.
Dalam ilmu silat memang pemuda kulit putih ini di bawah isterinya.
"He, tunggu, jangan seperti harimau kehilangan anaknya.
Apa-apaan demikian cepat, Li-moi.
Tunggu aku dan lihat di sini, aduh... bress!"
Pemuda itu jatuh terpelanting di semak terantuk akar perdu.
Beng Li terkejut dan menoleh, betapapun ia terharu.
Dan ketika ia berjungkir balik menyambar suaminya itu, pakaian dan baju serba kotor maka ia berkata sebaiknya suaminya berpegangan tangannya.
(Nyambung
Jilid 4) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara
Jilid IV *** "JANGAN berteriak-teriak, jangan ribut. Pegang tanganku dan mari sama-sama pergi!"
"Baik, tapi ke mana. Kau seperti kambing kebakaran jenggot."
"Kita ke Bukit Angsa."
"Bukit Angsa? Sendirian begini?"
"Tak perlu banyak tanya, Franky, kita ke sana dan titik!"
Pemuda ini mengangguk-angguk.
Ia tahu kapan istrinya marah dan kapan tidak, maka diam saja tak bertanya lagi ia pun sudah berpegangan tangan isterinya itu dan meluncur terbang di malam buta.
Kalau saja Beng Li tak mengenal medan tentu wanita ini tak berani mengerahkan ilmunya berlari cepat seperti setan.
Ia begitu buru-buru dan tak sabar.
Namun karena tempat itu cukup jauh dan tak mungkin dilalui semalam saja, keesokannya sang suami mengeluh dan kecapaian maka Franky berkata apakah tidak sebaiknya perjalanan dihentikan dulu.
"Aku capai, kakiku sakit-sakit. Pundak dan lututku ngilu semua, Beng Li, apakah tidak berhenti dulu. Untuk apa buru-buru."
"Kalau begitu kau naik di punggungku, jangan cecowetan. Kita terus melakukan perjalanan dan harus sampai secepat nya!"
Pemuda ini meleletkan lidah.
Ia dianggap monyet yang cecowetan, kalau saja dalam keadaan biasa tentu akan tergelak-gelak.
Akan tetapi melihat betapa sang isteri begitu serius dan marah besar iapun menjadi khawatir dan tiba-tiba ia mengaduh terantuk batu, terjerembab.
"Augh!"
Beng Li berhenti menolong suaminya itu.
Sang suami meringis akan tetapi ia mengertakkan gigi.
Suaminya ini memang tak sekuat, dirinya.
Maka menyambar dan menggendong suaminya di punggung iapun berseru agar suaminya itu berpegang erat-erat di belakang leher.
"Aku tak ingin tertunda, tak mau mengaso.
Pegang leherku erat-erat dan awas...!"
Wanita itu sudah meluncur lagi dan Franky menjadi tak enak.
Mulailah dirasakan adanya yang tidak beres.
Detak jantungnya mengatakan bahwa isterinya akan mengamuk di tempat orang.
Maka ketika ia tertegun namun meram-melek di belakang punggung, betapapun ia merasa nikmat mendadak dipeluklah leher itu dan diciumnya belakang tengkuk dengan lembut.
Ciuman yang membuat wanita itu gemetar! "Li-moi, kau membuatku seperti anak kecil saja.
Lihat apa kata orang kalau aku di punggungmu begini.
Ingatlah si kecil di perutmu itu, ia rasanya menendangnendang tumitku."
Beng Li menggigil, memejamkan mata.
Ia masih hendak meneruskan larinya lag
Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long