Ceritasilat Novel Online

Mencari Busur Kumala 3


Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 3


i ketika tiba-tiba perutnya bergerak-gerak.

   Si kecil, yang masih ada di kandungannya meronta, dan iapun tiba-tiba melilit.

   Dan ketika sekali lagi Franky mendaratkan ciuman begitu lembut, berbisik halus di pinggir telinganya mendadak wanita inipun terisak dan jatuh terguling, untung pemuda itu melompat turun.

   "Sudahlah, sudah.

   Berhenti ya berhenti.

   Akan tetapi tidak lama-lama dan carikan buah-buahan.

   Perutku lapar!"

   "Si kecil memberontak?"

   "Kau gara-garanya, Franky, kau membuat perutku sakit. Biar istirahat sebentar dan carikan buah-buahan!"

   Pemuda itu menarik napas dalam.

   Ia lega bahwa sang isteri tak memaksa melakukan perjalanan lagi, bukan apa-apa karena iapun merasa khawatir akan janin di perut isterinya itu.

   Maka ketika dengan hatihati namun tersenyum mencarikan buah-buahan segar, kebetulan di hutan itu ia tak memperoleh kesulitan maka tak lama kemudian Beng Lipun telah mendapatkan apa yang diminta.

   Perutnya minta diisi.

   Franky tertawa manis.

   Ia segera duduk di samping isterinya itu memeluk lembut.

   Dengan usapan dan belaian kasih ia mencoba mengorek keterangan, kalau sudah begini biasanya sang isteri reda.

   Namun ketika jawaban yang keluar adalah dengus dan wajah ditekuk iapun tersenyum pahit mendengar kata-kata isterinya.

   "Aku marah kepada ibu, akan tetapi sumbernya di Bukit Angsa.

   Nanti kau tahu juga dan tak perlu mengorek-ngorek!"

   "Akan tetapi aku suamimu, betapapun perlu tahu. Kalau ada yang salah pasti aku terlibat, Li-moi, tak mungkin melepaskan dirimu."

   "Kelak kau tahu, sekarang ayo berangkat lagi!"

   Pemuda ini mengernyitkan dahi melihat sikap itu.

   Tahulah dia bahwa sesuatu yang besar disimpan isterinya ini, isterinya betul-betul marah.

   Maka khawatir dan mencari akal iapun mencoba membujuk atau menghalangi, namun sang isteri melompat dan malah terbang lari! "Baik, kau tak mau naik di punggung.

   Kalau begitu susullah dan biar aku duluan!"

   "Hei!"

   Pemuda ini berteriak.

   "Tunggu, Beng Li. Aku hanya main-main saja!"

   Akan tetapi wanita itu menghilang dan lenyap.

   Kali ini Beng Li tak mau perduli dan kelabakanlah pemuda kulit putih itu.

   Franky mengeluh dan berulang-ulang mengatakan celaka.

   Dan ketika ia sendirian mengejar tergopoh, jatuh bangun maka Beng Li telah tiba di Bukit Angsa keesokan harinya.

   Namun tempat itu lengang! Wanita ini tertegun mengusap keringat.

   Ia telah memasuki hutan kecil itu dan tak lupa tempat ini.

   Bukit di belakang hutan itu lengang, berkelebat dan tiba di sini akan tetapi suasananya tak berpenghuni.

   Ia tak tahu bahwa Kiok Eng dan seluruh keluarganya sedang ke kota.

   Cit Kong, si kecil telah berusia tiga puluh lima hari dan adat wanita Han untuk sekedar selapanan, itulah yang terjadi.

   Maka ketika ia menjublak tak melihat siapa-siapa, hanya rumah mungil itu tak ditutup jendelanya maka iapun melayang masuk dan sudah menunggu di ruang depan dengan wajah kemerah-merahan.

   Matanya berapi.

   "Akan kutunggu dan kutanya ibu Ceng Ceng. Kalau ia bohong kulabrak!"

   Beng Li sudah mengambil keputusan dan sikap ini tentu saja membuatnya semakin garang.

   Ia mirip harimau betina diganggu anaknya, siapapun bakal disikat.

   Dan ketika matahari naik di kepala maka muncullah orang yang dicari-cari, kebetulan bersama nenek gurunya May-may.

   "Bagus!"

   Wanita ini langsung meloncat keluar.

   "Sudah lama aku menunggu-nunggumu ibu. Apa yang kaulaporkan kepada ayah hingga ibuku menangis tiada hentinya!"

   Ceng Ceng terkejut dan nenek May-may juga melengak.

   Mereka sudah tahu bahwa di dalam rumah ada seseorang duduk menanti, berkelebat namun disambut bentakan itu.

   Beng Li merah padam dan berapi-api, sikap dan kata-katanya ketus hingga sang ibu tiri terkejut.

   Akan tetapi ketika Ceng Ceng tersenyum dan berseru girang, menganggap gadis ini sedang kemasukan "angin"

   Jahat maka ia tertawa menenangkan guncangan.

   "Beng Li, kau ini! Ah, ada apa dengan ibumu dan kapan kau datang. Mana suamimu dan yang lain!"

   Ceng Ceng tersentak ketika tiba-tiba ia didorong mundur.

   Kalau saja May-may tidak menahannya tentu wanita ini terjengkang.

   Beng Li sungguh-sungguh dan kasar! Dan ketika wanita itu semakin terkejut sementara Beng Li berapi-api, bertolak pinggang dan menuding calon ibu muda itu berseru, kata demi kata bak pedang berkarat yang ujungnya menyayat-nyayat.

   "Kau, tak usah berpura-pura! Aku datang menuntut tanggung jawabmu, bibi. Apa yang kau katakan kepada ayah dan laporan apa saja yang kaulontarkan. Ibu menangis tersedu-sedu. Kalian tentu cekcok dan ayah membelamu. Katakan apa yang kaulakukan atau aku tak menerima ini dan datang mencari keadilan!"

   Kagetlah wanita itu mendengar bentakan dan kata-kata ini.

   Ceng Ceng yang semula bertahan dan mengira gadis itu kesurupan tiba-tiba merah padam.

   Beng Li, anak tirinya ini menyebutnya bibi, bukan lagi ibu.

   Dan ketika ia berapi namun didahului May-may mendadak nenek itu berkelebat menegur keras.

   Nenek ini juga kaget dan marah.

   "Beng Li, apa yang kaulakukan ini. Ada apa dengan ibumu. Kau seperti setan kehabisan mangsa dan marah-marah di sini. Katakan atau nanti aku menghajarmu!"

   "Hm, nenek jangan membela wanita ini. Sudah cukup ibu menderita, nek, jangan ditambah lagi. Bibi Ceng Ceng menyakiti hatinya dan kini ibu menyakiti aku pula. Ia menghardik dan membuatku panas. Aku datang untuk bertanya dan bukan ditanya!"

   Nenek itu tertegun.

   Sebagaimana diketahui nenek ini adalah subo atau guru Ming Ming, ibu Beng Li.

   Meskipun hubungannya terhadap Ceng Ceng baik akan tetapi ikatan batin terhadap murid tentu lebih baik lagi.

   Maka ketika ia terbelalak dan memandang Ceng Ceng, mulai ragu maka nenek itupun curiga jangan-jangan Ceng Ceng berbuat yang tidak-tidak.

   Harap dimaklumi saja karena bukankah wanita ini bermadu dengan Ming Ming, muridnya.

   Dan karena ia juga bermadu dengan bekas isteri-isteri Dewa Mata Keranjang, tahu benar hasutan dan gosokan terhadap suami maka nenek ini tiba-tiba saja berbalik haluan dan matanya yang berkilat tentu saja membuat Ceng Ceng menjadi marah.

   "Kau!"

   Nenek itu menegur.

   "Apa yang kau lakukan hingga madumu menangis, Ceng Ceng. Tak mungkin Beng Li bohong kalau keadaan tak seserius ini. Katakan dan jangan bohong kepadaku!"

   "Aku tak melakukan apa-apa,"

   Ceng Ceng histeris dan melengking.

   "Justeru anak inilah yang membuatku penasaran, subo. Aku tak melakukan apaapa kepada Ming Ming dan hubungan kami selalu baik-baik saja!"

   "Dan begitu baiknya hingga aku dibentak dan dimaki-maki. Jangan bohong, bibi, atau aku menyeretmu ke Liang-san!"

   Beng Li mengejek dan kata-kata itu membuat sang ibu meledak.

   Ceng Ceng tak tahan dan tiba-tiba membentak, menerjang atau menampar gadis ini.

   Akan tetapi ketika Beng Li berkelit dan nangkis maka May-may berkelebat men cengkeram pundaknya.

   Nenek ini mulai percaya bahwa Ceng Ceng melakukan sesuatu.

   "Jangan menyerang kalau memang bersalah. Katakan atau aku menghajarmu!"

   Ceng Ceng menjerit.

   Merasa tak mampu menghadapi lawan tangguh wanita ini pun meronta, malu dan gusar dan akhirnya terlepas.

   May-may memang tak sungguh-sungguh menekankan cengkeraman.

   Dan begitu wanita itu memutar tubuh segera Ceng Ceng memanggil puteri atau menantunya.

   "Kiok Eng, Tan Hong, tolong! Ada siluman berbisa menyerang ibumu!"

   May-may terbelalak memandang Ceng Ceng.

   Nenek ini tergetar juga mendengar lengkingan itu, sadar bahwa di balik sana masih terdapat Kiok Eng dan Tan Hong.

   Dua orang muda itu bukanlah tandingannya dan ragulah nenek ini mengejar.

   Akan tetapi Beng Li yang seperti harimau haus darah tiba-tiba membentak dan mengejar.

   "Ketahuan belangnya. Berhenti dan akui dulu perbuatanmu, bibi, kembali ke Liang-san dan minta maaf kepada ibu!" Ceng Ceng panik. Ia mengira nenek itu mengejarnya pula, bayangan Beng Li dikelit. Akan tetapi karena Beng Li terus mengejar dan ia begitu gugup akhirnya jambakan kuat membuat Ceng Ceng tersentak dan terputar, kena tendangan dan tergulingguling. Namun ketika Beng Li hendak meneruskan serangannya dan merobohkan lawan, kebencian sudah menjadi satu tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan... tar-tar, gadis itu terpelanting.

   "Bocah kurang ajar, berani kau menghina ibumu sendiri. Berhenti dan jangan macam-macam, Beng Li, atau aku membunuhmu!"

   Beng Li terpelanting bergulingan meloncat bangun.

   Wanita seperti dia mudah sekali terbakar, ibu hamil memang mudah meledak emosinya.

   Akan tetapi ketika gadis itu melompat bangun dan mencabut pedang maka May-may, nenek gurunya berkelebat.

   Bayangan hitam itu adalah Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok, si Dewi Cambuk Kilat.

   "Tua sama tua, jangan mengganggu anak-anak muda. Kalau kau merasa gagah hadapilah aku, Bwee Kiok, biarkan Beng Li menghadapi Ceng Ceng dan urusan mereka diselesaikan tanpa dicampuri!" Bwee Kiok, nenek bercambuk itu terkejut. Maymay yang berang dan kemerah-merahan ini jelas membela muridnya sendiri. Ia datang mencegah Beng Li akan tetapi May-may terang-terangan membela murid. Sebenarnya ia belum tahu jelas duduk persoalannya, kebetulan datang karena Kiok Eng dan lain-lain masih di belakang. Mereka ini pulang susulmenyusul dan jadilah seperti itu, dengan Ceng Ceng dan nenek May-may sebagai yang paling depan. Maka ketika nenek itu mengerutkan kening sementara Maymay menghadang dan melecutkan rambut, sikapnya penuh tantangan maka Beng Li merasa dilindungi dan menyerang ibu tirinya lagi.

   "Bagus, bantuanmu sudah datang. Betapapun aku tak takut, bibi, yang salah harus ditindak dan yang benar pasti menang!"

   Ceng Ceng membentak dan menangkis.

   Setelah subonya datang dan ia sedikit tenang maka terjangan gadis itu diterima, pedang dikelit dan hampir saja mengenai lehernya.

   Dan ketika bertubitubi lawan menyerang dan menusuk lagi, kemarahan Beng Li jelas semakin menjadi maka wanita inipun mencabut senjatanya dan cambuk seperti gurunya meledak dan membentur.

   "Bocah tak tahu adat, kurang ajar.

   Kau seperti orang gila tidak waras, Beng Li.

   Kalau kau tidak takut akupun tidak takut...

   tar-tar!"

   Cambuk menangkis pedang akan tetapi karena tidak seperti anak muda maka nyonya itu terhuyung.

   Tenaga Beng Li lebih kuat.

   Dan ketika ia mengelak dan menangkis sana-sini, tergetar dan terhuyung maka wanita ini menjadi pucat karena harus diakui setelah bahagia dan hidup di samping suaminya ia jarang berlatih lagi.

   Siapa berani mengganggu Liang-san yang dihuni seekor naga seperti Fang Fang itu.

   "Plak-plak!"

   Rambut coba membelit akan tetapi malah putus.

   Sebentar kemudian ibu tiri ini terdesak dan nenek Bwe Kiok tentu saja marah.

   Siapa senang melihat murid dihajar.

   Maka ketika nenek itu memekik dan berkelebat maju iapun telah memutari nenek May-may menangkis atau mementalkan pedang Beng Li.

   "Pergi dan enyahlah buang sial. Kau memuak kan hatiku, Beng Li, panggil ayah mu dan ibumu itu... plak-plak!"

   Cambuk nenek ini lebih lihai dan Beng Li terpelanting.

   Wanita itu menjerit dan marahlah nenek May-may.

   Nenek itupun tak mau melihat cucu dihajar.

   Maka ketika ia melengking dan menyabet si Cambuk Kilat akhirnya Bwee Kiok berhadapan dengan musuhnya itu, sekaligus madunya.

   "Jangan menghina anak kecil. Tua sama tua, Bwee Kiok, mari hadapi aku dan biarkan yang muda bersama yang muda... tar-tar!"

   Rambut meledak dan May-may menerjang lawannya. Bwee Kiok tentu saja terkejut akan tetapi nenek ini pun marah. Maka ketika ia mengelak dan membalas lawan nenek itupun melengking dan berkelebatan cepat. Emosi sudah meledak-ledak.

   "Bagus, siapa takut. Mari lihat tulang siapa yang lebih rapuh, May-may. Kau selalu membela murid sendiri tak mau bersikap adil!"

   Jadilah dua nenek itu bertanding.

   Sebenarnya mereka masih setengah hati ketika mengelak dan menangkis, akan tetapi ketika kemarahan dan penasaran membuat panas akhirnya mereka bersungguh-sungguh dan rambut serta cambuk meledak-ledak bagai halilintar! Ceng Ceng marah sekali.

   Ia melihat betapa dua orang tua itu saling terjang dengan sengit, dan karena ini semua berawal dari Beng Li maka iapun marah kepada gadis itu, apalagi ketika tanpa ampun lagi gadis itu menyerang dan.

   mendesaknya, berulang-ulang hendak menyeretnya ke Liang-san.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan karena gadis itu adalah anak tirinya maka iapun membalas dan terjadilah pertempuran mati-matian di sini.

   Akan tetapi Ceng Ceng mengeluh.

   Dari benturan atau pertemuan pedang ternyata ia benar-benar kalah kuat.

   Menyesallah dia kenapa jarang berlatih.

   Dan ketika ia mulai terhuyung dan terdesak hebat, lawan begitu ganas akhirnya pedang membabat pundaknya.

   "Bret!"

   Darah mengucur, Ceng Ceng menggigit bibir dan melihat darah justeru lawan semakin beringas.

   Berulang-ulang gadis itu gagal memaksa lawan agar menyerah, sebenarnya Beng Li tak bermaksud melukai apalagi membunuh.

   Akan tetapi karena hati panas membuat darah cepat mendidih, kebandelan wanita itu membuat gadis ini gusar akhirnya sebuah tikaman mengenai lagi pangkal lengan wa nita itu.

   "Cet!"

   Ceng Ceng mengeluh dan terhuyung-huyung.

   Sebagai wanita yang lebih tua dan memiliki harga diri tentu saja wanita itu tak mau menyerah apalagi dibawa dengan paksa.

   Baginya lebih baik mati dan roboh di situ.

   Dan karena ia merasa tak bersalah sementara sikap lawan membuatnya naik pitam maka wanita inipun tak mau sudah dan ia atau lawan yang mati.

   "Bagus, kau atau aku roboh. Kau anak durhaka, Beng Li, tak tahu aturan. Tak sudi aku ke Liang-san dan mati hidup lebih baik di sini!"

   Beng Li menganggap kata-kata ini sebagai bukti tak langsung.

   Kata-kata itu dianggapnya sebagai jawaban takut, orang bersalah memang takut! Maka ketika ia mendengus dan terus mendesak, di sana Bwee Kiok pucat melihat keadaan Ceng Ceng maka satu babatan hampir saja membuat leher wanita itu putus.

   "Keji!"

   Cambuk Kilat Yan Bwee Kiok melengking.

   "Kau benar-benar ingin membunuh ibu tirimu, Beng Li, keparat. Terkutuk kau dan mampuslah!"

   Nenek ini meledakkan cambuknya akan tetapi May-may menangkis.

   Berulang-ulang lawannya itu menghalangi dia menyerang Beng Li, tua sama tua dan yang muda biar dengan yang muda.

   Namun ketika Ceng Ceng se makin kritis dan terdesak begitu hebat, roboh dan bangun lagi maka terdengarlah lengking menggetar kan disusul bayangan hitam.

   "Bedebah keparat! Berani kau menyerang ibuku, Beng Li, dan berani kau hendak membunuhnya. Aih, jahanam terkutuk!"

   Kiok Eng muncul dengan muka merah padam dan menyambar bagai seekor burung betina gadis ini melancarkan Kiam ciang (Tangan Pedang).

   Ilmu itu di tangan wanita ini amatlah hebatnya, sebelas gurunya saja kewalahan.

   Maka ketika tangan yang penuh getaran tenaga sakti itu menampar pedang di tangan Beng Li, gadis ini terpekik maka seketika itu juga pedang lawan patah.

   "Plak!"

   Beng Li terpelanting dan mengaduh.

   Ia menjerit dan bergulingan dengan muka pucat, di tangannya tinggal sepotong gagang tak berarti.

   Dan ketika ia meloncat bangun dan berhadapan dengan lawannya itu, Kiok Eng yang berapi-api maka entahlah siapa lebih membakar di antara dua pasang mata yang sebenarnya sama-sama jeli dan indah itu.

   Mata yang sebenarnya penuh daya pikat bak bintang kejora.

   "Kau!"

   Beng Li membentak.

   "Bagus kau membantu ibumu, Kiok Eng, jangan kira aku takut dan siapa gentar melawanmu!"

   Menerjang lagi dengan pedang buntung gadis ini melompat dan menusuk cepat.

   Kiok Eng mendorong ibunya mundur dan menangkis, kemarahannya bertambah.

   Dan ketika pedang mencelat dan gadis itu berkelebat menyambar maka Kiok Eng yang mirip singa betina ini membalas dan menampar lawannya, dikelit dan ditangkis akan tetapi Tangan Pedang membuat Beng Li menjerit.

   Kiam-ciang sanggup memukul patah pedang atau segala macam senjata.

   Maka ketika sebentar kemudian tangan gadis itu luka-luka, hanya dengan pengerahan sinkang sekuatnya Beng Li bertahan matimatian maka gadis ini terdesak hebat dan memang kepandaiannya kalah tinggi dengan Kiok Eng, mengeluh dan jatuh bangun dan celakanya Kiok Eng begitu ganas.

   Melihat sang ibu luka-luka membuat gadis itu haus darah.

   Harap dimaklumi bahwa masingmasing sama berwatak keras, temperamennya tak jauh berbeda dan ketika satu pukulan mendarat maka robohlah Beng Li.

   Tidak cukup ini saja tendanganpun dikeluarkan, tepat mengenai perut.

   Dan ketika jerit tertahan disusul robohnya gadis itu, Beng Li muntah darah maka bersamaan itu muncullah bayanganbayangan lain dan Franky serta Tan Hong dan Mien Nio berkelebat, juga Ming Ming dan Eng Eng! Terdengar pekik memilukan ketika Ming Ming menubruk puterinya itu.

   Franky yang terkejut dan pucat juga melompat dan menubruk isterinya.

   Ia ngeri oleh tendangan ke perut tadi.

   Dan ketika semua berhamburan dan May-may serta Bwee Kiok otomatis berhenti, pecahlah tangis anak kecil maka Cit Kong, yang berada di gendongan ayahnya melengkinglengking dan membuat keadaan semakin panas.

   "Beng Li, kau tak mendengar kata-kata ibumu. Kau keras kepala. Kau... ah!"

   Ming Ming tersedu-sedu dan berulang kali ibu yang cemas ini menotok dan mengguncang puterinya. Akan tetapi karena Beng Li tak sadar dan masih juga pingsan, pucat pasi maka sesuatu keluar dari bawah perutnya. Darah! "Beng Li...!!"

   Jerit histeris ini menggetarkan setiap kalbu.

   Kiok Eng yang terkejut oleh darah di bawah perut itu terkesiap.

   Ia tak merasa melakukan pukulan di sana.

   Dan ketika Ming Ming menjerit dan menyambar puterinya maka wanita itu telah memondong dan melompat masuk.

   "Kau... kau membunuh cucuku. Ah, kau keji, Kiok Eng. Keji!"

   Kiok Eng tersirap dan pucat.

   Tiba-tiba semua wanita merubung dan menolong Beng Li di dalam.

   Wajah adiknya itu pucat sementara Tan Hong melompat keluar, mengajak isterinya dan bergeraklah wanita itu mendiamkan tangis Cit Kong yang menjadi21 jadi.

   Dan ketika di dalam rumah itu terdengar raung dan jerit histeris, Beng Li mengalami pendarahan ternyata gadis atau wanita ini keguguran.

   Ngerilah semua yang menolong.

   Sungguh tak mereka sangka bahwa gadis itu hamil.

   Memang kehamilan yang masih muda belum begitu kentara, Kiok Eng sendiri juga tak tahu dan itulah sebabnya ia melepaskan tendangan.

   Kalau tahu tak mungkin ia begitu, siapa mau berbuat gila.

   Maka ketika Ming Ming menjerit dan melolong-lolong, Kiok Eng pucat di sana ternyata gadis itu hancur janinnya.

   Pendarahan terjadi, hebat.

   Berulang-ulang nenek May-may dan Bwee Kiok mengurut perut.

   Apa boleh buat mereka harus mengeluarkan sisa janin di perut Beng Li, anak atau orok kecil itu hancur.

   Dan ketika Beng Li tak sadarkan diri nyaris tewas, tiga hari dua nenek ini bekerja keras maka Fang Fang muncul di Situ.

   Wajah pendekar ini pucat, gelap berganti-ganti.

   "Kau membunuh cucuku, jahanam keparat. Kau membunuh cucuku, Kiok Eng, kubunuh kau!"

   Kiok Eng disembunyikan Tan Hong.

   Melihat keadaan begitu mengancam cepat saja pemuda ini menyingkirkan isterinya, bukan apa-apa semata menjaga persoalan kian keruh.

   Kiok Eng juga wanita keras yang temperamennya tinggi, sekali meledak susah dikendalikan.

   Dan karena Fang Fang juga setuju gadis itu menghilang sejenak maka Ming Ming memaki-maki dan hampir saja baku hantam dengan Ceng Ceng.

   "Kau!"

   Bentakan itu diterima Ceng Ceng dengan kening berkerut.

   "Puterimu membunuh cucuku, Ceng Ceng. Berikan Cit Kong dan biar kubunuh pula dia. Mana anak itu, mana Kiok Eng!"

   "Aku minta maaf,"

   Ceng Ceng menunduk dan berusaha menyabarkan madunya ini.

   "Kiok Eng tak sengaja membunuh siapapun, enci Ming, ia tak tahu Beng Li hamil. Puterimu datang marah-marah dan hampir membunuhku."

   "Aku tak berurusan denganmu, aku berurusan dengan Kiok Eng. Mana jahanam itu dan mana Cit Kong. Biar kubunuh dia!"

   "Anak kecil tak tahu apa-apa. Yang tua berurusan dengan yang tua, enci, Cit Kong tak berdosa kepadamu..."

   "Tapi aku ingin impas, hutang ini harus dibayar. Mana Kiok Eng atau bunuh sekalian aku!"

   Ming Ming melompat dan memaki-maki Kiok Eng dan lama-lama wanita ini panas juga.

   Kalau ditelusur obyektip justeru Beng Li itulah yang salah, datang-datang melampias marah padahal ia tak tahu apa-apa.

   Maka ketika batin seorang ibu memberontak melihat anaknya dimakimaki akhirnya Ceng Ceng pun marah dan menegur bahwa biang utama adalah Beng Li.

   Kalau gadis itu tidak ngamuk seperti orang gila tak mungkin Kiok Eng membela dan melindunginya.

   Tapi apa yang didapat? Ming Ming malah menerjang madunya ini, mata gelap.

   "Bagus, kalau begitu kau saja yang membayar hutang. Lihat Beng Li hampir mati sementara cucuku hilang jiwanya!"

   Siapa mau dibunuh. Ceng Ceng mengelak dan tentu saja membalas, ia dikejar dan menangkis. Namun ketika dua orang itu siap mati hidup maka Fang Fang melerai dan berkelebat datang.

   "Tahan, Beng Li memanggilmu. Hentikan seranganmu, Ming Ming. Dan kau menyingkirlah!"

   Fang Fang mengibas Ceng Ceng dan dua wanita itu terhuyung disapu minggir.

   Ceng Ceng tersedu melompat keluar dan Ming Ming mengguguk ke kamar puterinya.

   Beng Li sadar, merintih dan mencari ibunya.

   Dan ketika gadis itu menangis dan kesakitan ternyata ia minta pulang.

   "Aku...

   aku tak mau tinggal di sini.

   Bawa aku pulang, ibu, aku tak mau di sini...!"

   "Baik, tempat ini memang kotor untukmu. Mari pulang, Beng Li, kulindungi kau. Biar jahanam itu kita urus lain kali dan kita pulang sama-sama!"

   "Juga Franky..."

   "Ya, aku di sini, Beng Li, kita pulang sama-sama."

   Ming Ming bergerak dan menyambar puterinya. Tanpa ba-bi-bu lagi ia keluar, melompat dan turun bukit. Lalu ketika Franky mengikuti gak-bonya menuruni Bukit Angsa maka Fang Fang muncul dibentak sang isteri, mengira mereka akan ke Liangsan.

   "Pergi, aku tak mau kautemani, atau aku mengadu jiwa denganmu!"

   Fang Fang mengelak dan membiarkan sang isteri menangis tersedu-sedu.

   Sekilas Beng Li memandang ayahnya dengan sikap tak senang, kebencian dan kemarahan menyorot pula di situ.

   Dan karena mendampingi orang marah adalah pekerjaan berat, pendekar itu menarik napas dalam maka Fang Fang membiarkan tiga orang itu menuruni bukit dan tiba-tiba May-may nenek berangasan itu ikut pula, lewat dan mendengus di samping pria ini.

   "Tunggu, aku ikut. Kita sama-sama sepenanggungan, Ming Ming, biar kubantu kau!"

   Pendekar ini menarik napas dalam lagi.

   Wajahnya berkerut-kerut dan keadaan seperti itu tak mungkin dipulihkannya cepat, semua butuh waktu.

   Maka menganggap mereka kembali ke Liang-san maka pria ini kembali masuk dan karena ia sudah tahu duduk persoalannya maka dilewatkannya hari-hari berikut sambil menunggu redanya Ming Ming, sampai akhir nya seminggu kemudian pulanglah dia ke Liang-san, menyusul anak isterinya itu.

   "Kupikir cukup, hati-hati menjaga Cit Kong. Aku akan kembali ke Liang-san, Kiok Eng, biar ibumu di sini dulu dan aku ditemani ibumu Eng Eng."

   Memang wanita baju hijau inilah yang menemani Fang Fang.

   Tak berani mencampuri urusan ibu Kong Lee ini diam saja berdebar melihat semua itu.

   Ia ngeri oleh akibat dari semuanya ini.

   Dan ketika sang suami pulang ke Liang-san ia pun terisak mengikuti, tapi alangkah kagetnya ketika Beng Li dan ibunya tak ada di situ.

   "Jangankan datang, melihat bajunya saja tidak, taihiap.

   Sungguh mati tak ada siapapun datang ke sini.

   Maaf, apa yang terjadi dan bolehkah kami tahu!"

   Bu-goan swe yang bingung di tempat keheranheranan menyambut dan menjawab apa ada nya.

   Fang Fang tak tahu bahwa Ming Ming meninggalkan Tiong-goan ke negeri seberang.

   Beng Li meminta ibunya pulang ke mertua, bukan ke Liang-san.

   Dan ketika di tengah jalan kebetulan bertemu Kong Lee, juga Yuliah maka Franky minta agar adiknya itu mengantar isterinya pulang, menceritakan singkat tapi jelas semua peristiwa itu, yang tentu saja membuat wanita kulit putih itu terkejut setengah mati.

   "Aku masih harus melaksanakan tugas, kalian para wanita kurang berkepentingan. Bawa Beng Li pulang, Yuliah, dan suruh ibu merawatnya. Kong Lee akan menemaniku dan tugas Gubernur baru kulacak!"

   Yuliah lalu berbalik dan membawa pulang Beng Li.

   Ming Ming tentu saja ikut akan tetapi nenek Maymay ragu-ragu.

   Negeri asing itu masih aneh bagi nenek ini.

   Maka ketika ia berkerut dan mengepal tinju tibatiba nenek ini berkata bahwa ia di Tiong-goan saja, tak usah ikut.

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aku akan diam-diam menculik Cit Kong, kubunuh anak itu nanti.

   Kalian pergilah dan tenangkan hati!"

   Beng Li menangis dan memeluk nenek gurunya itu.

   Apalagi yang dapat dikerjakan nenek ini kalau bukan membunuh Cit Kong.

   Menghadapi Kiok Eng atau Tan Hong tak mungkin ia lakukan.

   Maka ketika ia berjanji dan tentu saja akan melakukan secara diamdiam, biarlah impas hutang keluarga itu maka nenek ini kembali dan berpisah.

   Ancaman baru menggetar kan keluarga Kiok Eng! Fang Fang tak tahu ini.

   Ia tertegun ketika Beng Li maupun ibunya tak ada di Liang-san.

   Bu-goanswe dan tiga tamunya itu menggeleng-geleng.

   Dan ketika ia menghempaskan diri dengan wajah begitu pucat maka peristiwa itupun akhirnya diceritakan kepada kakek gagah ini, juga Kok-taijin.

   *** "Begitulah,"

   Bu-goanswe dan teman-temannya terbelalak, bulu kuduk merinding.

   "Kiok Eng membunuh tanpa sengaja bayi Beng Li, goanswe, dan akibatnya ibu dan anak marah besar. Beng Li minta pulang, kupikir ke Liang-san, tapi ternyata tak ada dan mereka entah ke mana." "Mungkin ke Lembah Mawar, di telaga Chinghai!"

   Kok-taijin tiba-tiba berseru mengejutkan tuan rumah.

   "Sudahkah kaucari di sana, taihiap, siapa tahu mereka di sana!"

   Fang Fang tertegun, bersinar-sinar.

   "Lembah Mawar? Hm, mungkin saja, tapi aku belum ke sana. Coba kucari nanti dan sekarang biarlah urusan kalian. Ada apa kalian datang dan pasti membawa sesuatu yang penting. Ceritakanlah dan maaf bahwa beberapa hari ini kalian kutinggal."

   Bu-goanswe menelan ludah.

   Tentu saja ia terharu akan tetapi juga kagum akan pria di depannya ini.

   Urusan sendiri ditangguhkan dan urusan orang lain didengar, inilah benar-benar pendekar sejati.

   Akan tetapi ketika Kok-taijin menginjak kakinya dan melarang bicara, agaknya semua masih tak enak maka jenderal ini batuk-batuk dan ragu tak menjawab.

   "Kami, hmm... kami..."

   "Ceritakanlah, tak apa-apa. Aku siap menerima kalian, goanswe, sudah waktunya kita bicara. Atau aku harus pergi ke Lembah Mawar!"

   Tuan rumah tanggap.

   "Maaf,"

   Kok-taijin bangkit berdiri.

   "Urusanmu demikian berat, taihiap, kami tak sampai hati menambah persoalan lagi. Biarlah kami pulang dan maaf telah mengganggu."

   "Benar,"

   Bu-goanswe juga bangkit.

   "Tak enak menambah bebanmu, taihiap, biarlah kami selesaikan dan lain kali saja!"

   "Kalau begitu kedatangan kalian sia-sia. Aku sendiri sudah membuka hati, goanswe, tak apa kalian bicara."

   "Biar aku saja!"

   Kang Hu tiba-tiba melompat bangun.

   "Maafkan kalau kata-kataku lancang, taihiap. Kong-kong dan Kok-lo-enghiong sebenarnya datang ke sini untuk minta bantuanmu. Negeri terancam penyakit ganas, mereka berdua belum mampu mengatasi!"

   "Benar, kami datang untuk itu. Rakyat terancam bahaya besar, taihiap. Kalau saja tak ada persoalan ini tentu ayah dan Bu-lo-enghiong tak mungkin mengganggumu. Kami orang-orang muda juga ingin berbuat sesuatu!"

   Kui Yang, yang bangkit dan hilang takutnya sudah menyambung kata-kata atau seruan Kang Hu.

   Sebagai orang-orang muda bersemangat besar mereka tak tahan menutup-nutupi lagi, apalagi tuan rumah membuka diri.

   Maka ketika masingmasing begitu berani dan Kok-taijin serta Bu-goanswe tentu saja kaget maka dua kakek itu berdiri dan membentak.

   "Kang Hu, Kui Yang, jangan lancang di depan Fang-taihiap. Tutup mulut kalian dan ingat bahwa tuan rumah sedang berduka!"

   Akan tetapi Fang Fang bersinar-sinar.

   Tiba-tiba tanpa diketahui dua orang itu ia melihat adanya seberkas cahaya di atas kepala orang-orang muda ini.

   Ia terkejut dan memperhatikan, cahaya itu lenyap dan berdebarlah hatinya menangkap sebuah firasat asing.

   Dan ketika ia kagum dan tertarik memandang dua orang itu, menarik napas dalam dan tersenyum akhirnya ia berkata bahwa dua anak-anak muda itu tidak bersalah.

   "Semangat mereka tinggi, jiwa perjuanganpun menggebu-gebu. Biarkan mereka bicara dan jangan dihalangi, goanswe. Anak-anak muda ini menarik perhatianku."

   "Akan tetapi kau..."

   "Sudahlah, duduklah. Biarkan mereka bicara dan aku mendengarkan."

   Bu-goanswe duduk lagi dan dua anak muda itupun menjadi berani.

   Sejenak mereka mengkeret oleh bentakan tadi, Kui Yang menunduk namun wajahnya kemerah-merahan, jelas masih menyimpan tidak puas.

   Maka ketika pendekar ini membela mereka dan iapun bangkit lagi maka gadis ini mendahului temannya.

   "Rakyat terancam musibah, penyakit kutukan menyerang ganas. Kami telah datang di kota raja, taihiap, akan tetapi ayah dan Bu-lo-enghiong merasa tak mampu. Karena itulah kami datang untuk mohon petunjuk!"

   "Dan kami juga ingin berbuat sesuatu. Kami ingin menyumbangkan tenaga dan apa saja untuk negara, taihiap. Kami pun tak dapat berpeluk tangan melihat semuanya ini. Kami ingin menyingsingkan lengan baju!"

   Fang Fang mengangguk-angguk.

   Kok-taijin dan Bu-goanswe melotot tak dapat berkata apa-apa dan segera dua orang muda itu yang bicara begitu bersemangat.

   Kang Hu persis kakeknya yang gagah perkasa itu.

   Dan ketika tuan rumah bersinar-sinar dan kagum melihat keduanya, sinar itu tiba-tiba muncul dan lenyap lagi tahulah Fang Fang bahwa dua orang muda ini akan memelopori sesuatu dan iapun tertarik, berdebar.

   "Baiklah, terima kasih.

   Cerita itu sudah kudengar dari anak dan menantuku, Kang Hu, tapi betapapun cerita kalian tetap berharga.

   Kalau kalian ingin membantunya biarlah kalian di sini dulu menunggu Liang-san.

   Kakek kalian, hmm...

   kira nya boleh pulang karena aku juga akan ke Lembah Mawar mencari anak isteriku dulu."

   Bu-goanswe dan Kok-taijin girang.

   Sebagai orang-orang tua yang cepat mengerti tentu saja mereka gembira bukan main.

   Perintah itu berarti hadiah bagi anak-anak muda itu.

   Tuan rumah akan memberikan sesuatu.

   Maka ketika jenderal itu tertawa dan menyuruh cucunya berterima kasih cepat-cepat kakek ini mendorong kuat.

   "Tunggu apalagi, terima dan ucapkan terima kasih. He, calon gurumu ini bukan sembarangan menyuruhmu di sini, Kang Hu. Kau disuruh menjaga gunung akan tetapi disangoni oleh-oleh. Ayo, berlutut dan ucapkan terima kasih!"

   Kang Hu terkejut.

   Tentu saja ia tak menduga akan tetapi iapun cepat menjatuhkan diri berlutut.

   Kok-taijin juga berseru pada puterinya dan Kui Yang mengikuti dengan bingung.

   Dan ketika ia mengucap kan terima kasih dengan muka keheran-heranan, Bu33 goanswe tertawa bergelak maka Fang Fang tersenyum diduga maksudnya, menyuruh dua anak muda itu bangun.

   "Kakek dan ayah kalian berlebihan. Kalaupun aku memberikan sedikit kepandaian maka itu bukan berarti langsung menjadi murid, Kang Hu. Nanti setelah pulang kulihat dulu bakat-bakat kalian. Aku hanya memolesnya karena ayah atau kakek kalian pun bukan orang sembarangan."

   "Ha-ha, tapi mana menandingi pemilik Liangsan. Seribu tahun kami belajar tetap bukan tandingan mu, Fang Fang. Sedikit atau banyak sudah merupakan rejeki bagi anak-anak itu. Kami pun berterima kasih!"

   Kok-taijin mengangguk-angguk dan berseri.

   Memang dengan cepat mereka tanggap akan maksud tuan rumah.

   Kalau mereka disuruh pulang sementara anak-anak itu di situ apalagi maksudnya kalau bukan memberi kepandaian.

   Tentu saja mereka girang dan agak heran bahwa begitu tiba-tiba pendekar ini mengambil sikap.

   Mereka tak tahu bahwa cahaya di atas kepala itulah yang menggerakkan Fang Fang mendekati dua anak muda ini, berdebar dan menangkap sesuatu dan memang ingin melihat lebih jauh watak dan sepak terjang mereka.

   Untuk ini tentu saja mereka harus tinggal di situ.

   Akan tetapi karena ia harus mencari dulu Beng Li dan ibunya, biarlah anakanak itu di situ maka pendekar ini mempersilakan Bugoanswe pulang sementara pasangan anak muda itu menunggu Liang-san.

   Kok-taijin mengucap terima kasih dan girang bukan main memandang puterinya itu.

   Sekarang barulah gadis ini tahu dan tentu saja Kui Yang girang.

   Siapa tidak tahu kepandaian pendekar ini.

   Tapi ketika dua kakek itu akan meninggalkan gunung tiba-tiba Fang Fang berkata bahwa sebaiknya mereka kembali lagi ke istana.

   "Aku melihat sesuatu di sana, belum jelas. Coba sekali lagi kalian masuk namun secara diam-diam saja. Kalau benar tak ada apa-apa silakan kalian pulang dan tunggu di rumah."

   "Baik, akan kuikuti petunjukmu. Dan sekali lagi terima kasih untuk anak-anak ini, Fang Fang. Kugantungkan harapanku di pundakmu!"

   "Aku tidak mengambil murid, hanya memoles sana-sini saja. Kepandaian kalian tetap berharga, goanswe, dan itulah yang akan kutingkatkan. Jangan berharap berlebihan karena betapapun aku tak mau dipanggil guru." Jenderal itu tertawa. Bersama rekannya ia berkelebat keluar, turun gunung. Dan ketika ia melambai dan disambut anak-anak muda itu, Fang Fang tersenyum maka pendekar ini membalik dan memasuki rumahnya. Fang Fang berkata bahwa hari itu juga ia ke telaga Ching-hai, anak-anak muda itu diminta menjaga Liang-san. Dan ketika ia menunjuk kamar belakang ia berkata bahwa di situ anak-anak muda itu boleh tinggal.

   "Aku tidak akan lama, paling empat lima hari. Kamar besar di belakang itu cukup untuk kalian berdua dan silakan beristirahat."

   Kang Hu dan Kui Yang mengangguk terima kasih.

   Pendekar ini pun berkelebat dan tak lama meninggalkan Liang-san, Eng Eng tentu saja mengikuti suaminya.

   Namun ketika malam hari itu muda-mudi ini memasuki kamar yang dimaksud ternyata kamar itu hanya sebuah, memang besar namun hanya satu itu saja.

   "Eh!"

   Kang Hu tak tahu maksud Fang Fang.

   "Kamar ini ternyata satu saja, Kui Yang, mana mungkin tidur berdua. Kau saja yang di situ dan aku di luar!" "Benar,"

   Gadis ini kemerah-merahan.

   "Kamar ini hanya satu, Kang Hu, bagaimana Fang-taihiap tadi menyuruh kita tidur di sini. Masa berdua!"

   "Tak mungkin. Tentunya untukmu, Kui Yang, aku di luar. Biarlah kau masuk dan aku di sini!"

   Dua anak muda itu semburat sejenak namun karena berhati polos dan bersih merekapun tak berbuat lebih.

   Mereka tak tahu betapa dua pasang mata mengintai penuh perhatian, ingin tahu dan mengamati dua muda-mudi itu sampai Kui Yang masuk kamar.

   Kang Hu sendiri melempar tubuh di lantai, berbantal lengan.

   Lalu ketika pemuda itu pulas dan benar-benar tak ada apa-apa di antara pasangan ini maka dua pengintai itu saling pandang dan yang satu tiba-tiba menyambar temannya berkelebat lenyap.

   "Bagus, hati mereka benar-benar bersih. Sekarang kita benar-benar pergi, Eng moi. Mari ke Ching-hai dan kupercaya mereka!"

   Kiranya bayangan itu adalah Fang Fang dan Eng Eng.

   Pura-pura meninggalkan gunung sebenarnya pendekar ini kembali lagi dan mengintai.

   Ia sengaja menguji dua muda-mudi itu di Liang-san.

   Sekarang tak ada siapa-siapa di sana kecuali mereka berdua.

   Apapun dapat bebas dilakukan.

   Tapi ketika mudamudi itu tak melakukan apa-apa dan mereka benarbenar bersih, puaslah pendekar ini maka Fang Fang benar-benar meninggalkan gunung dan langsung ke bukit atau Lembah Mawar di telaga Ching-hai.

   Kang Hu dan Kui Yang lolos dalam sebuah ujian tanpa mereka sadari! *** Bu-goanswe dan Kok-taijin telah kembali ke kota raja.

   Seperti yang diminta pendekar itu agar datang secara diam-diam maka dua orang ini pun datang tanpa diketahui siapapun, bahkan Caociangkun pun tidak.

   Dan ketika mereka berada di istana sedikit kebingungan, apa yang harus dilakukan maka di sudut tembok tinggi mereka berhenti sejenak, untuk kesekian kalinya lagi jenderal ini keheranheranan oleh sikap pendekar Liang-san itu.

   "Aneh, apa yang dia lihat. Kalau kita disuruhnya pulang untuk apa diminta ke sini lagi, taijin. Daripada buang-buang waktu lebih baik mendengkur di rumah. Aku ingin menikmati kegembiraanku setelah Kang Hu berada di Liang-san!"

   "Benar, akupun gembira. Kalau anak-anak itu mendapat sedikit kepandaian tentu keuntungannya besar, goanswe, paling tidak orang tua seperti aku ini mendapat perlindungan lebih baik. Mereka tentu bakal lebih lihai!"

   "Tapi Fang Fang mendapat musibah, hmm... sungguh tak kusangka keluarga Liang-san bakal seperti itu. Aku ngeri oleh sepak terjang si Kiok Eng itu, dia masih ganas dan dapat sewaktu-waktu kumat!"

   "Akan tetapi ayahnya dapat mengendalikan. Aku juga prihatin oleh peristiwa itu, goanswe, namun apa yang dapat kita lakukan. Mudah-mudahan saja Beng Li dan ibunya dapat menerima itu sebagai sebuah ketidaksengajaan. Kalau tidak, hmmm... entahlah apa yang akan terjadi."

   Bu-goanswe mengangguk dan merasa ngeri. Akan tetapi karena ia tak mau berpikir itu maka ia pun bertanya apa yang akan mereka kerjakan di situ. Beberapa lampu di sudut istana tiba-tiba padam.

   "Eh,"

   Jenderal ini heran.

   "Lampu di sebelah barat itu mati, taijin, tadi masih hidup!"

   "Dan lampu di belakangmu itu juga padam. Eh, kenapa mendadak hampir berbarengan, goanswe, rasanya ada yang tidak beres!" "Coba kita selidiki. Kau di sebelah kiri aku di sebelah kanan!"

   Bu-goanswe membelalakkan mata dan sebagai seorang bekas perwira tinggi tentu saja ia mencium gelagat mencurigakan.

   Tanpa banyak cakap ia berkelebat.

   Dan ketika ia bergerak di sebelah kanan dan terkejut bahwa di sebuah pos penjagaan ada lima pengawal tidur mendengkur maka kakek itu marah akan tetapi menahan tangannya ketika hendak menampar lima penjaga itu.

   "Keparat!"

   Ia mendesis.

   "Ada maling hendak main gila!"

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kakek tinggi besar ini cepat melangkahkan kakinya dengan ringan dan ingat bahwa kedatangan nya tak boleh diketahui istana iapun menyelinap dan masuk dengan cepat.

   Matanya kian membelalak melihat tubuh-tubuh pengawal bergelimpangan, semuanya pulas tidur.

   Dan ketika ia mencium bau dupa dan kepalanya menjadi pening maka kakek ini kaget karena ilmu sirep menyebar istana.

   Ia baru sadar setelah masuk dan merasa kantuk.

   "Jahanam!"

   Jenderal ini mengutuk.

   "Apa maksudmu, maling hina. Kau hendak mengganggu istana!"

   Cepat mengerahkan batinnya kakek ini mengusir kantuk dengan hembusan kuat.

   Ia adalah seorang gagah yang matang dan cukup ber pengalaman, mengikuti bau dupa itu dan ternyata di mana-mana para pengawal tergolek malangmelintang.

   Dari situ dapat di ketahui betapa kuat ilmu sirep ini, semakin ke dalam rasanya semakin hebat.

   Ia harus menghembus dan menambah kekuatan batinnya berulang-ulang.

   Dan ketika jenderal itu berhasil menguasai ilmu sirep dan marah melacak jejak maka tiba-tiba bau dupa meluncur di luar dan seseorang mendadak berkelebat dari gedung pusaka.

   "Hei!"

   Bu-goanswe membentak.

   "Berhenti, tikus busuk. Siapa kau!"

   Orang itu terkejut.

   Ia membawa sesuatu di belakang punggung seakan gendewa, cepat menoleh dan jenderal itu berkelebat datang.

   Dan ketika Bugoanswe terbelalak melihat seorang laki-laki bertopeng, berpakaian serba hitam maka jenderal ini marah sekali dan kedua tangannya langsung menyambar.

   Kedok atau topeng itu menjadi sasaran.

   "Siapa kau, buka topengmu!"

   Orang itu mengelak.

   Rupanya ia kaget bahwa ilmu sirepnya tidak mempan terhadap kakek tinggi besar ini, meloncat dan lari meninggalkan jenderal itu akan tetapi Bu-goanswe tentu saja mengejar.

   Mana mungkin kakek ini membiarkan lolos.

   Maka ketika ia menghantam dan pukulan jarak jauhnya menyambar punggung, laki-laki itu membalik maka dua pukulan bertemu akan tetapi kakek ini terpental.

   "Dukk!"

   Bu-goanswe terkejut.

   Lawan ternyata amat lihai namun karena berada di istana ia tak mau melayani jenderal ini, buktinya ia membalik dan lari lagi.

   Akan tetapi karena Bu-goanswe marah dan menendang batu-batu kecil maka batu-batu itu merupakan amgi (senjata gelap) menyambar laki-laki ini.

   "Plak-plak-plak!"

   Semua batu dikebut runtuh.

   Bu-goanswe semakin terkejut akan tetapi karena ia terus mengejar maka pukulannya kembali menyambar.

   Kakek ini tak mencabut pedang di pinggang.

   Dan ketika lawan rupanya marah sementara Bu-goanswe bersuit memanggil Kok-taijin maka lakilaki berkedok itu membentak dan sebatang pedang panjang tahu-tahu dicabut dan mendesing ke leher Bu-goanswe.

   "Plak-wutt!"

   Hampir saja jenderal ini menjadi korban.

   Ia menarik tangan kanannya sementara tangan kiri memukul gagang pedang.

   Lawan melotot dan melihat bayangan Kok-taijin.

   Dan ketika ia gugup ada seorang lagi tak mempan ilmu sirep, ia mendesis maka laki-laki itu melompat dan lari meninggalkan ruangan.

   "Kejar, awas tangkap dia!"

   Bu-goanswe tak mungkin mundur dan kakek ini pun menendang lagi batu-batu kecil.

   Suara tang-ting disusul runtuhnya batu-batu itu, tanpa menoleh laki-laki berkedok ini menangkis.

   Dan ketika di sana Kok-taijin sudah menghadang dan membentaknya maka penjahat ini marah dan iapun menusuk tenggorokan lawan dengan mata berkilat.

   "Singgg!"

   Kok-taijin mengelak akan te tapi pedang membalik dan menyambar la gi.

   Tidak hanya itu melainkan kaki lawan juga menendang, nyaris mengenai selangkangannya.

   Dan ketika pembesar ini mun dur dan Bu-goanswe sudah melompat di situ maka jenderal ini berseru bahwa lawan cukup lihai.

   "Awas, pedangnya berbahaya. Cabut senjata dan robohkan dia!"

   Jenderal ini sudah mencabut pedangnya dan ia pun menerjang dengan amat marah, Meskipun usianya sudah enam puluhan tahun akan tetapi kakek ini amat tangkas, ia menggerakkan tangan kirinya mengiringi tusukan-tusukan pedang, tak kalah dengan lawan akan tetapi tenaga kurang kuat.

   Tiga kali jenderal itu terpental.

   Dan ketika rekannya juga mencabut senjata namun Kok-taijin berhati-hati, pedang di tangan tak bermaksud membunuh maka konsentrasi penjahat ini membuat ilmu sirepnya perlahan-lahan pudar, karena pengawal mulai bangun berdiri dan tiba-tiba berkelebat bayangan Cao-ciangkun sebagai komandan istana.

   "Hei, goanswe dan Kok-taijin kiranya.

   Siapa penjahat ini!"

   "Entahlah, ia keluar dari ruang pusaka dan aku memergokinya. Awas, ciang-kun, pedangnya ber bahaya dan panggil semua pengawalmu... tringtrangg!"

   Bunga api berpijar dan Bu-goanswe meng hentikan kata-katanya karena lawan menjadi ganas dan membentak marah.

   Tangkisannya membuat lawan mundur dan jenderal itu terhuyung, Kok-taijin juga terpental dan berseru kaget.

   Dan ketika Caociang-kun menerjang dengan goloknya namun mencelat terlepas, terpekiklah perwira ini maka seruan Bu-goanswe untuk memanggil dan mengerahkan pasukan cepat diikuti.

   Akan tetapi laki-laki bertopeng mendengus.

   Ia tak mau dikeroyok dan melompat kabur, tangan kirinya bergerak dan belasan jarum halus menyambar.

   Dan karena saat itu goanswe dan taijin terhuyung mundur maka laki-laki itu melarikan diri dan sekali kakinya mengenjot ia pun telah melewati tembok istana bertepatan dengan masuknya pengawal berlari datang.

   "Kejar, kepung dia. Tangkap!" Namun sinar-sinar hitam kembali menyambar. Pengawal yang ada di luar tembok menjerit, mereka roboh dan berkelebatlah laki-laki itu meninggalkan istana. Dan ketika Bu-goanswe mengejar dan menyumpah serapah, laki-laki itu menghilang di kegelapan malam maka sukar bagi kakek tinggi besar ini mengejar lawan. Sesekali penjahat itu meloncat di atas genting, berlarian dan turun lagi menghindar pengawal di bawah. Dan karena ilmu meringankan tubuhnya hebat sekali dan jarum-jarum hitam memaksa jenderal itu berhenti menangkis maka lakilaki itu lenyap dan Bu-goanswe merah padam di luar kota raja. Kok-taijin berkelebat dan berdiri di sampingnya, istana geger.

   "Busur Kumala lenyap. Penjahat itu membawa lari Busur Kumala!"

   Dua orang ini tertegun.

   Cao-ciangkun, yang menyambar dan turun di dekat mereka berseru dengan muka pucat.

   Pengawal berdatangan dan mereka telah memeriksa isi gedung pusaka, melihat bahwa yang hilang adalah Busur Kumala itu, satu dari sekian senjata keramat yang dituahkan istana.

   Dan ketika keributan itu membangunkan kaisar, laporan diberikan maka sri baginda terkejut dan merah padam.

   Bu-goanswe dan Kok-taijin diminta datang.

   Kembalinya dua purnawirawan ini akhirnya diketahui pula oleh istana, Cao-ciangkun dan anak buahnya melihat mereka.

   Maka ketika di pintu gerbang seorang utusan memberi hormat, datang menyampaikan permintaan kaisar maka dua orang ini tak mungkin menolak.

   "Sri baginda ingin jiwi berdua datang meng hadap. Cao-ciangkun silakan mengiringi."

   Tiga orang itu bergerak.

   Bu-goanswe melihat terakhir kalinya laki-laki bertopeng berjungkir balik melampaui pintu gerbang setinggi tujuh delapan meter itu, diam-diam terkejut karena ia sendiri tak mungkin mengenjot tubuh sekali jejak.

   Dan ketika Kok-taijin memandangnya dan menarik napas dalam maka rekannya itu memutar tubuh dan kejadian malam itu benar-benar mengejutkan.

   Sri baginda bermuka gelap.

   Betapapun Caociangkun adalah komandan di situ, harus bertanggung jawab dan masuknya penjahat mencoreng seluruh istana.

   Maka biarpun perwira itu bersama Bugoanswe dan Kok-taijin tetap saja wajah kaisar tak bersahabat.

   Dan Cao-ciangkun berlutut cepat tanggap, sadar akan kesalahannya.

   "Mohon ampun, hamba siap menerima hukuman.

   Tak ada yang perlu hamba bela, sri baginda, kesalahan sepenuhnya di pundak hamba.

   Hamba kecolongan dan tak akan membela diri."

   "Bagus, kesalahanmu berat. Dua pilihan yang harus kaupilih, ciangkun, letakkan jabatan dan pergi dari sini atau cari penjahat itu dan temukan kembali Busur Kumala!"

   Lalu memandang Bu-goanswe dan Kok-taijin sri baginda agak berubah sikap.

   "Kalian berjasa memergoki penjahat. Kalau tak ada kalian berdua entahlah apa yang akan diambil lagi, goanswe, kami ingin memberi penghargaan dan kedatangan kalian sungguh tepat sekali!"

   "Maaf,"

   Bu-goanswe mengerutkan kening.

   Kedatangan kami sebenarnya tak sengaja, sri baginda.

   Kami datang semata atas petunjuk Fang Fang.

   Dari Liang-san kami diminta ke sini lagi, dan tiba-tiba kami melihat penjahat itu.

   Kalau kami akan diberi sesuatu bolehkah kami usul, yakni bagaimana kalau Caociangkun bersama kami mencari penjahat itu, jangan dicabut kedudukannya.

   Maling itu amat lihai dan biarpun kami masih memegang kedudukan terus terang saja kami pun tak mampu menahan!" "Benar,"

   Kok-taijin mengangguk pula, di depan kaisar mereka bebas bicara.

   "Terus terang saja kami pun tak mampu, sri baginda. Kalau Cao-ciangkun seorang diri ia hanya akan celaka. Kalau boleh biarlah kami bawa serta dan paduka jangan buru-buru menjatuhkan hukuman."

   "Baiklah,"

   Sri baginda setuju setelah berpikir sejenak, pengaruh dua bekas pembantunya ini masih kuat.

   "Hanya tahukah kalian pentingnya busur itu, goanswe, karena di samping sebuah senjata yang dikeramatkan iapun memiliki sisi lain bagi istana ini, hubungan baik dengan negeri Tibet. Ketahuilah bahwa Busur Kumala itu hadiah persahabatan Raja Bhu Yung kepada mendiang kakek-buyut seratus tahun silam. Kalau ia hilang maka Tibet akan menyangka kita tidak menghargai pemberiannya dan ini berakibat renggang nya persahabatan dua negara, apalagi kalau sampai tercuri dan kita tidak cepat mencarinya!"

   Bu-goanswe mengangguk-angguk, bertemu pandang dengan rekannya dan dua orang ini diamdiam terkejut.

   Baru mereka tahu bahwa Busur Kumala itu berawal dari hadiah Raja Tibet.

   Kalau kini hilang dan dibiarkan saja jelas Tibet akan menganggap mereka acuh dan tidak menghargai cinderamata.

   Ini bisa berakibat buruk bagi negara dan persahabatan yang sudah dibina bisa hancur.

   Maka ketika mereka saling mengangguk dan mengerti betapa pentingnya Busur Kumala itu, apalagi kalau sampai dipakai mainmain maka beberapa keterangan didapat dari kaisar.

   Hanya sri baginda inilah yang tahu persis tanda-tanda busur keramat itu.

   "Gagangnya terbuat dari emas, ujung kedua busur dihiasai mainan batu giok (kumala) yang amat berharga, empat belas jumlahnya. Dan karena busur ini satu-satunya di dunia, terdapat gambar hong dan liong sebagai lambang kedua negara maka tak ada satupun yang mirip dan ia mudah dikenal sementara tali busurnya terbuat dari urat kerbau yang direndam belasan tahun lamanya."

   "Hamba akan memperhatikan semua itu, akan hamba cari dan rampas Busur Kumala itu. Biarlah kami bertiga mencari dan melaksanakan tugas ini, sri baginda, sekarang biarlah kami pamit dan mohon restu."

   "Baiklah, dan cepat dapatkan kembali busur itu. Jaga jangan sampai Tibet mengetahui ini, goanswe, atau hubungan kami buruk!"

   "Hamba mengerti, rahasia ini akan kami tutup rapat. Permisi, baginda, kami pamit mundur." Bu-goanswe dan Kok-taijin serta Cao-ciangkun meninggalkan ruangan. Kaisar memberikan restu dan malam itu juga semua orang dilarang bicara. Tibet tak boleh tahu kejadian ini, istana harus menjaga diri dan menjaga hubungan baik dua negara. Akan tetapi karena serapat-rapatnya penjagaan itu tetap juga rahasia ini bocor maka berita dari mulut ke mulut dilakukan secara bisik-bisik dan mulailah orang tertarik untuk mendapatkan Busur Kumala itu, terutama orang kang-ouw! Bu-goanswe sendiri sudah meninggalkan istana dan kembali ke Hutan Jago. Cao-ciangkun mengikuti mereka berdua. Dan karena di sanalah mereka hendak mengatur rencana maka selentingan ini baru mereka ketahui setelah datangnya orang-orang kang-ouw yang menguntit mereka, atau tepatnya menguntit Cao-ciang kun karena perwira itulah yang mendapat tugas langsung mencari dan menemukan Busur Kumala! *** Seorang anak kecil mendaki Liang-san. Usianya sekitar sebelas atau dua belas tahun dan wajahnya yang bulat dengan sepasang mata tajam bersinarsinar menunjukkan bahwa anak laki-laki ini seorang bocah pemberani dan cerdik. Ia membawa busur di tangan kanannya sementara di belakang punggungnya bergelantungan hasil buruan berupa dua ekor gagak dan tiga ekor kelinci hutan, juga belasan burung tekukur dan bajing. Gerak-geriknya gesit dan orang akan terheran-heran melihat sepasang kakinya demikian lincah mendaki tempat-tempat terjal, keheranan bercampur kagum. Dan ketika ia terus naik begitu tinggi dan berhenti di lereng terjal, kelepak seekor elang membuat matanya menyambar tajam tiba-tiba saja anak ini menyelinap dan bersembunyi di belakang sebuah batu besar, busur di tangan sudah meregang dan sebatang anak panah siap meluncur. Akan tetapi anak ini mendesah. Sang elang lenyap di balik gunung ketika dengan tiba-tiba muncul seorang dara menggebah nyaring. Seekor harimau kumbang meloncat terbang menggigit seekor kambing, melesat dan dikejar dan gadis itu marahmarah. Inilah Kui Yang yang berburu membuang sepi, dan tempat lain muncullah Kang Hu yang juga membawa busur. Mereka tak memperhatikan elang di atas karena harimau itu lebih berharga, dagingnya lebih sedap dan santapan ini jelas merangsang selera. Maka ketika tiba-tiba gadis itu berseru agar temannya mencegat di depan, sang harimau terkejut maka pemuda itu menjepretkan anak panahnya serentak dengan Kui Yang yang juga membidik dan berang bahwa lawan berkali-kali lolos.

   "Sing-sing-sing!"

   Tiga anak panah meluncur dari tiga arah.

   Kang Hu dan Kui Yang sama-sama terkejut karena dari balik batu hitam me nyambar panah lain, mereka tak melihat bahwa di balik itu bocah itu sedang bersembunyi, mengincar elang akan tetapi sang harimau kumbang berlari ke arahnya.

   Maka ketika panah dilepaskan dan anak inilah yang lebih beruntung, harimau itu menuju arahnya maka justeru panah di tangannya itulah yang paling dulu mengenai sasaran disusul dua panah Kang Hu dan Kui Yang yang menancap di pantat dan kaki depan harimau itu.

   Panah si bocah mengenai leher.

   "Crep-crep-crep!"

   Harimau roboh disusul sorak dan munculnya anak ini.

   Dia langsung berlari dan menubruk mangsanya, sebilah pisau dicabut dan dengan gagah berani ia telah menyerang dan menghujani harimau kumbang ini.

   Binatang itu meraung dan roboh akan tetapi belum mati, kambing di mulutnya terlepas.

   Maka ketika ia ditubruk dan semakin terkejut, mencakar dan menggigit namun anak ini telah menghunjamkan pisaunya berulang-ulang maka binatang itu roboh dan akhirnya mati.

   Sebelas luka menghias tubuhnya mandi darah.

   "Ha-ha-ha, kalian kalah cepat!"

   Kui Yang dan Kang Hu tertegun.

   Mereka telah berkelebat dan tiba di situ dengan mata terbelalak kaget, juga marah.

   Bocah ini adalah anak yang dulu mengganggu di luar kota raja itu, yang membuat mereka kemalaman dan terlambat pulang! Maka ketika Kui Yang berseru kaget dan merebut bangkai binatang itu, si anak terkejut maka anak itu menusukkan pisau belatinya ke tangan lawan.

   "Kembalikan dan serahkan buruanku!"

   Kui Yang menyampok. Ia marah oleh tusukan ini akan tetapi anak itu menggerakkan gendewa, kali ini dipukulan ke kepala gadis itu. Dan ketika Kui Yang semakin marah dan balas menangkis maka gendewa nya menghantam kepala anak itu.

   "Buk-takk!"

   Dua orang ini sudah saling pukul dan tangkis.

   Pisau mencelat akan tetapi lengan Kui Yang tergurat, anak itu terjengkang, kepalanya benjut.

   Dan ketika ia bergulingan bangun dengan pekik seorang pemburu, siap menerjang lagi maka Kang Hu meloncat buruburu mencegah dua orang ini.

   "Stop, tahan. Berhenti! Jangan serang anak ini, Kui Yang, dan kau sobat cilik juga jangan menyerang. Berhenti dan biarlah harimau ini untuknya!"

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apa, buat dia? Enak saja! Tidak kuberikan dan jangan serakah. Ia buruanku, Kang Hu, kukejar sejak tadi. Ia tinggal memanah dan enak menikmati. Tidak, tidak kuberikan!"

   "Kaulah yang tak akan kuberi. Aku yang membunuhnya, enci bawel. Tanpa panahku tak mungkin ia roboh, lagi pula pisauku mematikannya. Aku yang lebih berhak!"

   "Tak tahu malu!"

   "Kau yang tak tahu malu!"

   Lalu ketika dua orang ini ribut dan. Kang Hu menjadi bingung, harus diakui bahwa panah itu lah yang membuat si harimau roboh akhirnya ia mengangkat tangan tinggi-tinggi berseru.

   "Sudah, tunggu dulu. Kita bagi tiga saja kalau masing-masing ngotot. Kau sobat cilik harap jangan menarik urat dengan seorang wanita!" "Boleh, dan ia sedikit daging di pantat. Panahnya kena pantat!"

   "Siapa sudi makan pantat. Kau bocah cilik benar-benar kurang ajar dan menghina orang lain. Kalau bukan aku yang mengejar-ngejar dan memburunya sampai ke sini tak mungkin kau memanah. Kau leher ke atas dan yang lain punya kami!"

   Kang Hu sibuk melerai dan berteriak berulangulang.

   Saking jengkel akhirnya pemuda ini membentak, harimau ditendang dan terlempar ke dalam jurang.

   Dan ketika dua orang itu terkejut dan marah memandangnya maka Kui Yang berkelebat menuding hidungnya.

   (Nyambung

   Jilid 5) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara

   Jilid V *** "KAU! Apa-apaan kau ini? Berani kau melempar dan membuang buruanku? Hayo ganti, atau ambil kembali. Aku tak mau kau melempar buruanku, Kang Hu, itu milikku. Hayo ambil!"

   "Sabar, nanti dulu. Aku tak mau kalian ributribut."

   "Ribut apa!"

   Si bocah membentak dan maju pula, marah.

   "Kau yang kurang ajar membuat ributribut ini, engkoh gede. Kalau kau tidak membuang binatang itu rasanya mau aku berbagi adil. Kau kurang ajar, enak saja menendang harimau itu. Hayo ambil kembali atau aku menyerang mu!"

   "Wah-wah!"

   Kang Hu melotot dan merah mukanya.

   "Kau ikut-ikutan membela Kui Yang? Kau siluman cilik ini menyuruh aku mengambil kembali? He, dengarkan dan buka matamu baik-baik. Harimau itu pangkal keributan kalian. Kalau aku tidak melemparnya tentu kalian terus bertengkar. Daripada membuat sebal lebih baik dibuang. Nah, bukankah baik dan tidak ribut-ribut lagi!"

   "Baik gundulmu!"

   Anak itu memaki.

   "Aku susah payah memanahnya, siluman gede. Kalau sekarang kau membuangnya maka aku menuntut ganti rugi. Aku tidak dapat menerima omonganmu dan ambil atau ganti yang lain!"

   Kang Hu marah.

   Ia menampar anak ini akan tetapi ditangkis gendewa, maju dan menotok akan tetapi bocah itu berkelit.

   Dan ketika Kui Yang terbelalak melihat itu tiba-tiba gadis ini membentak dan berkelebat memaki anak itu, betapa pun merasa harimau itu adalah buruannya.

   "Kau tak berhak ikut campur, berani kau memaki temanku. Kalau sekecil ini sudah kurang ajar tentu kalau besar semakin menjadi. Hayo pergi dan jangan turut urusan!"

   Anak itu terkejut dan sibuk dan satu tamparan Kui Yang akhirnya mengenai pundaknya.

   Ia terjungkal dan roboh menjerit dan marah sekali.

   Gadis itu tibatiba mengeroyoknya.

   Maka ketika ia meloncat bangun dan mengayunkan gendewanya segera ia memukul gadis itu dan Kui Yang berkelit, Kang Hu mundur menjauh dan dua orang itu berkelahi seru.

   Kui Yang menggerakkan gendewanya pula menangkis dan memukul.

   Dan ketika masing-masing sama marah dan mengayun atau memukulkan gendewanya segera dua orang itu caci-mencaci dan Kang Hu menonton dengan perasaan bingung.

   Sebenarnya pemuda ini juga marah kepada anak laki-laki keras kepala itu.

   Sikap dan kata-katanya dinilai sombong akan tetapi satu yang membuat ia kagum, yakni keberanian anak itu.

   Maka ketika ia membiarkan keduanya bertempur namun perlahan tetapi pasti Kui Yang mendesak si bocah akhirnya anak ini mundur-mundur dan empat lima kali gendewa di tangan Kui Yang menghajar tubuhnya.

   "Buk-bukk!"

   Dan ketika masing-masing sama marah dan mengayun atau memukulkan gendewanya segera dua orang itu caci-mencaci dan Kang Bu menonton...

   Anak ini mendesis namun daya tahan tubuhnya kuat benar.

   Ia terhuyung namun maju lagi dan Kui Yang kagum akan keberaniannya.

   Memang anak ini pemberani dan gagah.

   Akan tetapi karena ia tak mau mengalah dan keberanian anak itu membuatnya terbakar maka sekali lagi ujung gendewa menghajar pundak, disusul tamparan kuat hingga anak itu terpelanting.

   Dan ketika anak itu mengeluh dan Kang Hu tak tahan maka pemuda ini melompat berseru pada temannya, "Cukup, stop! Jangan hajar lagi! Biarkan ia pergi, Kui Yang.

   Berhenti dan kasihan dia!"

   "Aku tak mau pergi, kalian licik dan curang. Aku berhak atas binatang buruanku itu, engkoh siluman. Biarpun mati aku tetap di sini. Aku tak mau pergi!"

   "Nah, lihat itu, apa katanya!"

   Kui Yang berseru marah.

   "Anak seperti ini tak perlu dikasihani, Kang Hu, biar kulempar ia ke dalam jurang agar tahu rasa!"

   "Jangan!"

   Kang Hu menangkis.

   "Kesalahan sekecil ini tak perlu mengorbankan jiwa, Kui Yang. Tahan dan jangan lempar dia ke dalam jurang... trakk!"

   Dua gendewa sama-sama terpental dan selamatlah anak itu dari keberingasan Kui Yang.

   Ia meloncat bangun dan babak bengap namun bersiap dengan gendewanya di tangan, sikapnya gagah dan pandang matanya berapi.

   Akan tetapi karena Kang Hu sudah menangkis temannya memukul mundur maka pemuda ini berseru mengangkat tangan tinggi-tinggi.

   "Cukup, aku mengalah. Biar binatang itu kuambil lagi dan dibagi dua. Bagianku untuk kalian semua. Jangan bertempur dan tunggu sebentar!"

   Lalu ketika pemuda ini terjun dan merayap di dalam jurang, cepat namun hati-hati maka pemuda itu mengambil lagi bangkai harimau yang untung terlempar tidak begitu dalam, diangkat dan dibawa naik dan tampak betapa pakaian dan wajah pemuda ini kotor.

   Susah payah juga Kang Hu mengambil buruan itu.

   Dan ketika ia meloncat naik dan tiba di atas maka anak itu berseriseri namun Kui Yang cemberut.

   "Nih, kalian sama-sama mendapat separoh. Bagianku untuk kalian berdua dan jangan bertengkar lagi."

   "Aku tak sudi lagi menerimanya!"

   Kui Yang tibatiba membalik dan meloncat marah.

   "Biar dia rakus menikmati bangkai itu, Kang Hu. Persetan dengannya tapi awas kalau lain kali bertemu lagi!"

   "He,"

   Pemuda ini terkejut.

   "Susah payah aku mengambilnya, Kui Yang, masa kautinggalkan begitu saja!"

   "Aku tak butuh bangkai itu, biar tikus busuk itu melahapnya!"

   "Akupun tak sudi!"

   Anak itu tiba-tiba berteriak pula.

   "Kalau kau menyebutnya bangkai siapa sudi makan bangkai, enci siluman. Biarlah kau yang melahapnya dan kaulah yang rakus dan awas pula kalau lain kali bertemu!" Kang Hu terkejut dan membelalakkan matanya. Baik anak itu maupun Kui Yang sama-sama meloncat dan meninggalkan dirinya. Mereka saling maki dan mengeluar kan kata-kata pedas. Dan ketika mereka menghilang di balik gunung, tinggallah dia bersama bangkai harimau dan kambing itu mendadak Kang Hu merasa gemas dan mendongkol.

   "Bocah siluman, akupun tak mau membawa bangkai-bangkai ini!"

   "Berikan kepada siluman betina itu. Aku tak sudi makan bangkai!"

   "Kalau begitu kubuang lagi. Keparat, aku bekerja sia-sia dan kalian enak saja meninggalkan bangkai-bangkai ini!"

   Kang Hu marah dan akhirnya ia menendang lagi bangkai harimau itu.

   Tidak itu saja bangkai kambing pun ditendangnya masuk jurang, tentu saja ia tak sudi memanggul atau membawa bangkai-bangkai ini, sementara Kui Yang maupun anak itu telah meninggalkannya begitu saja.

   Maka ketika ia melampiaskan kemarahannya dan meninggalkan tempat itu pula pemuda ini pun berkelebat ke atas menuju puncak, memaki-maki.

   Ia marah merasa dipermainkan namun tentu saja kemarahannya lebih tertuju kepada anak laki-laki itu, karena betapa pun sedikit banyak ia membela teman sendiri.

   Namun ketika ia mencari Kui Yang di puncak ternyata gadis itu tak ada.

   "Kui Yang, di mana kau!"

   Tak ada jawaban.

   "Hei, di mana kau, Kui Yang. Bocah itu sudah pergi!"

   Akan tetapi setelah tiga kali berturut-turut tak ada jawaban dan Kang Hu menjadi khawatir, tak mungkin Kui Yang meninggalkan puncak mendadak ia mendengar pekik dan jerit temannya di tebing sebelah kanan.

   Cepat pemuda ini menuju ke tempat itu dan alangkah heran serta kagetnya ke tika melihat temannya sedang bertanding sengit dengan seorang kakek bermuka merah.

   Kakek itu tertawa-tawa sementara Kui Yang mati-matian menggerakkan gendewanya.

   Senjata di tangan pletak-pletok bertemu jari-jari si kakek bagai batang bambu dipukul-pukul.

   Dan ketika ia tertegun dan membelalakkan mata maka kakek itu terkekeh berseru.

   "Heh-heh, segala macam gendewa tak ada artinya bagiku. Kau anak kecil tak pantas memegang busur, bocah, memegang panah saja belum bisa. Hayo buang senjatamu dan cepat menyebut suhu!" "Suhu apa, kau tua bangka berani nya hanya kepada anak perempuan. Kalau Fang-taihiap ada di sini tak mungkin kau berani mengganggu aku, kakek keparat. Aku tak mau menjadi muridmu dan siapa takut padamu... krakk!"

   Kui Yang menjerit marah, gendewa patah ditangkis kakek itu dan berhentilah ketawa si kakek menjadi bentakan.

   Rupanya ia hendak memaksa gadis ini menjadi muridnya, ditolak dan akhirnya terjadilah pertandingan itu.

   Namun melihat betapa si kakek mengelak mudah ke kiri kanan, juga tangkisan atau buku-buku jarinya membuat gendewa terpental maka Kang Hu semakin terkejut lagi ketika busur di tangan temannya malah patah.

   Dan saat itu kakek ini melotot, tangannya menyambar pundak dan angin berkesiur dahsyat.

   Kui Yang berteriak membanting diri berguling an.

   Akan tetapi ketika si kakek mengejar dan kelima jarinya mencengkeram ubun-ubun, Kang Hu menjadi marah maka pemuda itu membentak dan tak ayal lagi sebatang panahnya menjepret menyambar punggung tangan lawan.

   "Kau siapa berani menghina dan main-main dengan temanku. Berhenti dan jangan menyerang!" Akan tetapi Kang Hu terkejut. Kakek itu menoleh dan menampar dan panah yang menyambar patah, gagangnya menuju ke arah Kui Yang sementara mata panah menyambar ke arahnya. Tentu saja ia terkejut dan menangkis, gagang gendewa dipukulkan cepat. Namun ketika ia terpelanting dan kakek itu terkekeh maka Kui Yang juga mengeluh karena gagang panah menghantam pundaknya dan sejenak ia merasa remuk, terbanting dan meloncat bangun lagi.

   "Heh-heh, dua anak muda sama-sama memegang busur. Ha, siapa kau, anak muda. Seingat ku pemilik Liang-san tak mempunyai murid. Fang Fang bukan seorang ahli panah!"

   "Aku Kang Hu dan temanku ini Kui Yang. Kami menjaga gunung atas perintah Fang-taihiap. Kau siapakah dan kenapa mengganggu temanku!"

   Pemuda ini berubah pucat dan iapun memandang kakek itu dengan gentar.

   Kui Yang memaki-maki dan membersih kan pakaiannya yang kotor penuh debu.

   Ia terbanting dan bergulingan menghadapi kakek ini.

   Dan ketika Kang Hu melompat di dekatnya dan gadis ini merah padam maka ia menuding dan memberi tahu.

   "Kakek ini menghadang dan menggangguku di tengah jalan. Ia minta aku menjadi muridnya. Dan ketika aku menolak dan menyerangnya ia pun marah dan mempermainkan anak perempuan!"

   "Heh-heh, aku tertarik melihat gerak-gerikmu itu. Kau memiliki sepasang lengan lembut namun cekatan, bocah perempuan, cocok menjadi muridku dan calon ahli panah jempolan. Aku tak memak sa kalau kau mau ikut baik-baik, tapi kau menolak, yah... apa boleh buat harus kuberi pelajaran. Ilmumu memanah belum seahli aku. Dan kau!"

   Kakek itu menuding Kang Hu.

   "Kaupun memiliki bakat sebagai pemanah ulung, anak muda. Namun jepretanmu belum baik dan kalian harus menjadi muridku. Aku Siatiauw-eng-jin (Bayangan Pemanah Rajawali) tak pernah mengecewakan dalam hal memanah. Lihat ini!"

   Tiba-tiba kakek itu melontarkan sebutir batu kecil, tinggi dan lenyap melesat di angkasa biru.

   "Siapa mampu melakukan ini kalau bukan seorang ahli panah jempolan!"

   Kang Hu membelalakkan mata dan menajam kan penglihatannya akan tetapi ia tak mampu mengikuti melesatnya batu itu.

   Di samping terlalu kecil juga lontaran kakek itu hebat sekali, lebih dari sepuluh pohon kelapa.

   Betapa hebat tenaga yang melontarkan itu.

   Dan ketika ia terbelalak tak tahu yang terjadi mendadak terdengar suara keras dan di langit biru tiba-tiba memuncrat lelatu bunga api, tujuh jumlahnya dan kemudian runtuhlah batu itu terpotong-potong.

   Hampir bersamaan dengan ini jatuhlah pula sebatang panah kecil, tak lebih dari sejengkal panjangnya.

   Dan ketika kakek itu terkekehkekeh dan terkejutlah Kang Hu maka pemuda ini mendecak kagum dan Kui Yang juga terkejut sekali menyaksikan kepandaian luar biasa ini.

   Tadi dalam kecepatan yang amat mentakjubkan bagai meteor saja kakek ini menimpukkan panah itu membentur atau mengejar batu kecil yang kecepatannya sebenarnya sudah sukar diikuti pandangan mata! "Ha-ha, lihat itu, mampukah kalian mencoba nya.

   Kalau ingin yang lebih hebat lepaskan panah kalian dan aku akan menusuknya pecah tepat di tengah-tengah! Kang Hu benar-benar kagum.

   Tidak seperti Kui Yang biarpun kagum namun sudah tidak merasa senang maka pemuda ini ingin membuktikan kata-kata itu.

   Ia-pun mencabut dan melepaskan panahnya dengan cepat, tak memberi kesempatan kakek itu bersiap lebih dulu.

   Dan ketika ia berseru dan mendesingkan panahnya maka panah pemuda ini menyambar tinggi ke angkasa biru.

   "Coba buktikan!"

   Katanya.

   "Tunjukkan kepada kami omonganmu, orang tua. Kalau kau mampu mengejar dan memanah panah ini maka kau benarbenar hebat!"

   Kakek itu tertawa. Panah Kang Hu melesat dan tentu saja mendahului kata-katanya. Hal ini disengaja agar si kakek tak bersiap. Namun ketika kakek itu mengeluarkan sebuah gendewa kecil dan menjepret pula, lenyap menyambar maka ter dengar suara "tak"

   Dan... jatuhlah panah Kang Hu, tepat terbelah dua bagian belakangnya.

   "Ha-ha, lihat itu, apakah tidak hebat!"

   Kang Hu terkejut sekali. Ia melihat panah si kakek menancap di tengah-tengah panahnya dan tentu saja ia kagum bukan main. Akan tetapi belum puas akan ini iapun menjepret dan lagi-lagi berseru, cepat melebihi tadi.

   "Kau memang hebat, tapi coba sekali lagi. Nih, panahku meluncur lurus, orang tua. Kejar dan runtuhkan pula!"

   Kakek itu tersenyum.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Entah kapan dicabutnya tahu-tahu iapun telah memegang sebatang panah kecil, menyusul gerakan Kang Hu dan tiba-tiba dengan satu seruan nyaring ia melepaskan panahnya.

   Panah Kang Hu sudah meluncur lenyap akan tetapi terdengar denting keras, bunga api berpijar di depan.

   Dan ketika Kang Hu terkejut dan meloncat berlari maka ia mendapatkan betapa panahnya terhantam dan tersuruk patah di celah sebuah batu hitam.

   "Ha-ha!"

   Tawa itu menggetarkan pemuda ini.

   "Bagaimana hasilnya, anak muda. Masihkah tidak puas!"

   Kang Hu terguncang, benar-benar kagum.

   "Dan ini yang terakhir,"

   Kakek itu berseru.

   "Elang di atas itu kubidik punggungnya, anak muda. Lihat dan mampukah kau... sssinggg!"

   Bagai kilat menyambar tahu-tahu kakek ini melepaskan panah nya yang kecil ke arah seekor elang yang tiba-tiba berputaran di atas.

   Itulah elang yang tadi diincar si bocah lelaki, gagal dan kini dihantam kakek itu.

   Dan ketika Kang Hu terbengong betapa panah kecil itu meliak-liuk, si elang terkejut dan mengelepakkan sayapnya mendadak burung itu melesat ke atas akan tetapi bersamaan itu panah kecil menyambar punggungnya.

   "Cep-bluk!"

   Kang Hu bagai mimpi saja melihat elang itu roboh dan terbanting.

   Memanah dengan anak panah meliak-liuk baru kali itu dilihatnya seumur hidup.

   Juga memanah punggung burung yang sedang terbang! Maka ketika ia berseru tertahan dan kagum serta takjub, itulah ilmu memanah tingkat sempurna maka pemuda ini terbengong-bengong sementara Kui Yang juga mengerutkan kening dan terkejut.

   Kakek itu terkekeh-kekeh.

   "Bagaimana,"

   Serunya.

   "Adakah kau mampu menandinginya, anak muda. Atau siapa di dunia ini mampu mengimbangi Sia-tiauw-eng-jin, heh-heh!"

   "Kau hebat,"

   Kang Hu memuji jujur.

   "Baru kali ini kulihat sebatang panah meliak-liuk, orang tua. Aku suka menjadi muridmu akan tetapi dalam hal memanah saja."

   "Bukan hanya kau,"

   Kakek itu berseru.

   "Temanmu itu juga, anak muda. Kalian berdua harus menjadi muridku, bukan hanya ilmu memanah, melainkan juga yang lain!"

   "Aku tak sudi!"

   Kui Yang berseru dan tiba-tiba berkelebat pergi.

   "Kau boleh hebat ilmumu memanah namun tak mungkin menandingi pemilik Liang-san, orang tua. Sekali Fang-taihiap ada di sini kau tak berarti apa-apa!"

   "Eh!"

   Kakek itu terkejut, marah.

   "Kau mau pergi begitu saja? Tidak boleh, tanpa seijinku siapapun tak boleh pergi... wut!"

   Kui Yang terkejut, kakek itu meng gerakkan tangan kanannya dan tiba-tiba serangkum angin dingin menahan gerakannya.

   Dari depan dan kiri kanan ia dihadang pukulan ini.

   Dan ketika gadis itu berteriak meloncat ke belakang, berjungkir balik maka kakek itu terkekeh dan telah berada di depannya.

   "Heh-heh, susah payah mencari murid berbakat. Sekali ketemu tak akan kulepaskan, bocah. Kau harus ikut aku dan menjadi muridku!"

   Kui Yang marah sekali.

   Gendewanya telah dipatahkan kakek ini dan kini ia tak bersenjata.

   Akan tetapi tidak takut dan berseru keras ia menerjang dan menyerang kakek ini, dikelit dan menendang akan tetapi si kakek begitu lihai.

   Sambil mendoyongkan tubuhnya ke kiri kanan kakek itu berseru bahwa mau tidak mau Kui Yang harus menjadi muridnya.

   Dan ketika Kui Yang memaki-maki dan berkerutlah kening Kang Hu maka pemuda itu maju dan tiba-tiba membentak pula, membantu temannya.

   "Orang tua, kau tak boleh memaksa. Jangan serang temanku dan berhenti dulu, akupun ingin bicara!" "Ha-ha, bicara apa. Kaupun calon muridku, anak muda. Kalian berdua harus menjadi muridku... plakdukk!"

   Kang Hu terpelanting dan gendewanya terlepas mencelat, terkejut dan memekik akan tetapi kakek itu sudah menyerang dan mengejar temannya.

   Kui Yang tak mampu mengelak lagi ketika kakek itu menotok, roboh dan berseru tertahan.

   Dan ketika kakek itu tertawa bergelak menendang gadis itu, berkelebat dan menotok Kang Hu maka pemuda ini pun terguling dan mengeluh.

   Sekarang kedua-duanya tak berdaya.

   "Ha-ha, kalian harus menyebutku suhu. Ayo panggil namaku dan kalian menjadi murid Sia-tiauweng-jin!"

   "Aku tak sudi menjadi muridmu, aku tak mau belajar apa-apa. Calon guruku adalah Fang-taihiap, kakek keparat, aku tak mau menjadi muridmu!"

   Kui Yang memaki-maki dan wajah kakek itu tiba-tiba memerah.

   Ia menghentikan tawanya dan mendadak menjadi bengis.

   Lalu ketika gadis itu masih memakimakinya dan Kang Hu menjadi khawatir tiba-tiba kakek itu bergerak dan telah mencengkeram kepala gadis ini.

   Rambutnya dijambak.

   "Kau tak boleh merendahkan aku seperti itu.

   Siapa itu Fang Fang yang kau-agul-agulkan.

   Heh, ia anak kemarin sore yang tak perlu kutakuti, bocah.

   Akan kurobohkan dan kubunuh dia di depan mata mu.

   Kalau kau tetap menolak maka kau pun kubunuh!"

   Dan membalik menghadapi Kang Hu kakek inipun bertanya, bengis.

   "Kau pun tak mau menjadi muridku? Kau ingin menghina dan merendahkan aku pula?"

   Kang Hu tergetar.

   Setelah bergebrak dan melihat ilmu kepandaian kakek ini maklumlah dia bahwa kakek ini benar-benar lihai.

   Akan tetapi ia lebih tertarik ilmu panahnya itu, bukan kepandaiannya yang lain.

   Dan karena ia menganggap bahwa Fang Fang itulah yang pantas menjadi gurunya, diam-diam bersama Kui Yang ia ingin menjadi murid Liang-san maka pemuda ini menarik napas dalam berkata pucat, hati-hati.

   "Aku pribadi ingin menimba ilmu sebanyakbanyaknya, siapa tidak ingin menjadi pandai. Akan tetapi aku lebih tertarik ilmu panahmu, locianpwe. Kalau aku menjadi muridmu maka yang ingin kupelajari adalah ilmumu memanah itu. Yang lain, hmm... biarlah belakangan saja, gampang."

   Kakek itu berkerut.

   "Kalau begitu kau tidak sungguh-sungguh, niatmu hanya setengah-setengah. Rupanya kaupun menyangsikan kepandaianku di bawah si Fang Fang itu!"

   "Aku tidak berkata begitu..."

   "Tapi sikap dan kata-katamu jelas. He kau bocah lelaki tak usah plin-plan, anak muda. Kalau begitu akan kutunjukkan kepada kalian bahwa akupun dapat merobohkan pemilik Liang-san ini. Mari, kita tunggu di puncak dan kalau tiga hari ia tak datang kalian harus menjadi muridku. Atau, hmm... kucari yang lain dan kubunuh kalian!"

   Kang Hu bergidik.

   Sikap dan pandang mata kakek itu begitu bengis dan ia tergetar.

   Ancaman itu rupanya tidak main-main.

   Dan ketika kakek itu menyambar mereka berdua dan naik ke atas, memang gul dua anak muda ini di kedua pundaknya maka Kang Hu kagum karena dengan gerakan begitu ringan dan gesit kakek itu meluncur dan terbang ke puncak, berkelebat dan tahu-tahu telah berada di tempat tinggal bekas Dewa Mata Keranjang itu.

   Lalu melempar dua muda-mudi ini sambil bersungut kakek itupun berkelebat dan duduk di ruang depan, bersila.

   "Kalian tunggu dan lihat di situ. Kalau Fang Fang datang akan kuhajar dia. Siapa berani merendahkan Sia-tiauw-eng-jin!" Kui Yang mengeluh akan tetapi girang memandang Kang Hu. Kebetulan me reka berhadaphadapan. Maka ketika gadis itu mendesis semoga kakek itu celaka, Kang Hu mengedip bergumam hatihati maka dua anak muda ini saling berbisik melihat kakek itu memejamkan mata. Mereka terbanting di sudut sementara kakek itu bersila di tengah ruangan.

   "Sst, kakek ini rupanya tidak main-main. Kalau ia berani menantang dan menunggu Fang-taihiap tentu ia percaya kepandaian sendiri, Kui Yang. Jangan membuatnya marah dan tunggu sampai semuanya terjadi."

   "Aku tak sudi menjadi muridnya, biarpun ia lihai. Ia sombong dan merendahkan orang lain!"

   "Bersabarlah, tunggu sampai tiga hari dan lihat apa yang terjadi. Aku heran siapa kakek ini dan ilmu memanahnya luar biasa sekali!"

   Kang Hu maupun Kui Yang memang tak akan mengetahui siapa kakek ini karena Sia-tiauw-eng-jin adalah orang yang sejajar dengan mendiang Dewa Mata Keranjang dulu.

   Hampir empat puluh tahun yang lalu di saat Fang Fang sendiri masih kecil sebenarnya hidup empat tokoh besar yang kepandaiannya setingkat.

   Mereka adalah Dewa Mata Keranjang sendiri dan Sin-kun Bu-tek, Malaikat Tanpa Tanding yang suka berpindah-pindah tempat itu.

   Dan karena Dewa Mata Keranjang menempati Liang-san sebagai tempat tinggalnya maka dua yang lain, yang merupakan suheng dan sute (kakak adik seperguruan) adalah Sia-tiauw-eng-jin ini dan Hian-ko Sin-kun (Malaikat Penyuguh Buah) Ma Kim Beng.

   Akan tetapi dua orang ini tak pernah akur.

   Sia-tiauw-eng-jin adalah laki-laki yang suka membuat onar, kesenangannya mengambil benda-benda milik orang lain dan tak perduli kepada si empunya.

   Suatu hari ia memasuki kota raja membuat gempar, datang ke Wu-chi-koan (gudang senjata) mengambil tiga barang keramat, yakni sebuah tombak dan hio-lou (tempat abu) serta bendera kerajaan.

   Tentu saja perbuatannya membuat geger dan marah para perwira, dikepung dan dikeroyok akan tetapi tak ada satupun yang menang.

   Sia-tiauw-eng-jin memang seorang laki-laki tangguh.

   Dan ketika istana akhirnya melapor dan mencari Hianko Sin-kun, sang suheng maka Sia-tiauw-eng-jin berhadapan dengan suhengnya itu dan dalam sebuah pertandingan seru kakak beradik seperguruan ini nyaris sama-sama binasa.

   Akan tetapi muncullah Dewa Mata Keranjang Tan Cing Bhok.

   Karena mendengar sepak terjang Sia23 tiauw-eng-jin maka kakek ini membantu sang suheng.

   Sia-tiauw-eng-jin dikeroyok.

   Dan karena yang maju adalah tokoh setingkat maka Sia-tiauw-eng-jin terdesak dan akhirnya roboh, barang-barang curian nya dikembalikan.

   Kakek yang satu ini memang memiliki keanehan.

   Dalam setiap perbuatannya tak pernah ia sembunyi-sembunyi, semua dilakukan terangterangan.

   Maka ketika perbuatannya di kota raja itu diketahui orang dan iapun akhirnya berhadapan dengan sang suheng, roboh setelah Dewa Mata Keranjang membantu maka kakek ini berkata bahwa satu saat kelak ia akan membalas dendam, terutama kepada Dewa Mata Keranjang Tan Cing Bhok.

   "Aku tak akan melupakan peristiwa ini. Kau telah mencampuri dan mengeroyok aku. Lain kali aku akan datang dan menagih hutang, Dewa Mata Keranjang. Bersiaplah dan ingatlah bahwa pengeroyokanmu meninggalkan dendam di hatiku!"

   Dewa Mata Keranjang tak menjawab.

   Ia tahu kebiasaan buruk Sia-tiauw-eng-jin ini, seorang yang sejak kecil menderita sebuah kelainan jiwa dengan suka mencuri.

   Apa saja yang menarik dan meliarkan matanya disambar.

   Kalau bukan benda-benda keramat barangkali dibiarkan, karena biasanya setelah bosan dengan hasil curiannya itu Sia-tiauw-eng-jin akan mengembalikan kepada pemiliknya.

   Inilah keganjilan kakek itu.

   Akan tetapi karena yang diambil adalah pusaka istana, Sia-tiauw-eng-jin dianggap keterlaluan maka Dewa Mata Keranjang tak membiarkan itu dan kebetulan dilihatnya pertandingan seru antara suheng dan sute itu, di mana akhirnya Sia-tiauw-eng-jin roboh dan tombak serta benda-benda keramat lain dikembalikan.

   Akan tetapi sejak itu Bayangan Pemanah Rajawali ini tak pernah muncul.

   Ia menghilang sejak dirobohkan suheng dan lawannya dan bersamaan itu hilang pula si Malaikat Penyuguh Buah.

   Orang tak tahu betapa Sia-tiauw-eng-jin keluar meninggalkan Tionggoan untuk merantau ke Nepal, dikuntit atau dibayangi suhengnya yang mengawasi ke manapun dia pergi.

   Dan ketika di perjalanan ini Sia-tiauw-eng-jin bertemu raja Nepal, diangkat dan menjadi penasihat utama maka sejak itu kakek ini tinggal di negeri orang dan ia menikah dengan seorang puteri istana dan mendapatkan seorang anak perempuan, di mana bersamaan itu kakek ini mendapatkan seorang murid laki-laki yang dulunya adalah kacung istana dan amat disayangi.

   Bersamaan itu Sia-tiauw-eng-jin tak pernah melakukan pencurian lagi.

   Hal ini disebabkan dua hal, pertama rakyat atau penduduk Nepal yang bersifat lugu, tanpa dicuripun barang yang disuka boleh saja diambil.

   Ini yang mencengangkan Sia-tiau eng-jin.

   Dan karena ia sudah menjadi penasihat raja dan tentu saja memiliki kedudukan tinggi, juga isteri yang cantik berdarah biru maka kedudukannya itu menahan gatalnya tangan untuk melakukan kebiasaan aneh yang tidak terpuji itu.

   Perlahan-lahan kakek ini sembuh dengan sendirinya, melegakan sang suheng dan tentu saja Hian-ko Sin-kun Ma Kim Beng tak perlu lagi menguntit atau membayangi sutenya itu.

   Dan ketika dilihat bahwa sutenya sudah tobat dan sadar maka pendekar ini meninggalkan Nepal dan tidak mengawasi adik seperguruannya itu lagi.

   Keadaan barangkali benar-benar akan baik kalau saja tak terjadi perobahan.

   Pertama yang mengguncang adalah wafatnya raja.

   Sia-tiauw-eng-jin terpukul ketika tiga bulan kemudian kedudukannya di ambil.

   Raja sekarang adalah keponakan raja lama yang diam-diam mencintai isterinya.

   Hal ini baru diketahui kakek itu setelah terjadi geger besar, yakni ketika kedudukannya dicopot dan raja baru merasa tak perlu seorang penasihat.

   Ia memiliki pembantu-pembantu nya sendiri dan kakek itu diminta menanggalkan jabatan.

   Dan karena ia bukan bangsa Nepal dan keberadaannya mulai diusik-usik sebagai orang asing maka setahun kemudian ia di minta meninggalkan istana dan sang isteri tersedu-sedu dihadapkan dua pilihan.

   ikut suami dan hilang semua kedudukan dan kemuliaan itu atau tetap di istana dan menjadi janda! Sia-tiauw-eng-jin terpukul hebat.

   Ia membelalakkan mata dan timbul keberingasan.

   Hanlun, muridnya ketakutan melihat wajah guru yang memerah.

   Sinar berapi yang membakar kakek itu seakan lautan gemuruh yang penuh hawa kemarahan.

   Siapapun yang melihat pasti gentar dan ngeri.

   Kakek ini berbahaya kalau sudah mengamuk.

   Tak ada seorangpun di Nepal yang mampu menghadapinya.

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Akan tetapi karena keputusan raja dijunjung tinggi semua ponggawa, tinggallah kakek itu bersama isterinya maka di dalam kamar sang isteri tak dapat menentukan.

   Hidup di luar Nepal adalah hidup menyongsong sengsara, begitu bagi puteri yang terbiasa hidup enak ini.

   "Aku... aku tak tahu. Kau pergilah dan biarkan aku berpikir sesaat, suamiku. Aku tak dapat menjawab saat ini. Biarlah kauberikan waktu dan aku berpikir." "Tapi tiga hari lagi waktu kita habis. Aku telah memberimu kesempatan tiga puluh hari, Simuna, cukup bagimu menentukan sikap. Aku dapat membawamu ke Tiong-goan dan hidup di sana. Aku memiliki sahabat dan juga seorang suheng!"

   "Dan tinggal di puncak gunung atau berbaur dengan penduduk Han sementara aku bangsa Nepal? Membiarkan mereka mengejek dan ganti mencemooh aku? Ah berat, suamiku, aku rasanya tak sanggup. Kalau kau menempatkan aku seperti di istana ini tentu aku tak pikir panjang, akan tetapi di puncak gunung dan berbaur dengan penduduk dusun?"

   Sang isteri menangis tersedu-sedu dan Sia-tiauw-eng-jin terpaku bergetar.

   Memang harus diakuinya bahwa isterinya yang berkulit hitam manis ini bakal menjadi orang asing di tengah pedalaman Tiong-goan, sama seperti dia yang hidup di tengah-tengah bangsa Nepal.

   Maka ketika ia terpaku dan tertegun membelalakkan mata, semua ini benar-benar di luar dugaan dan membantingnya dari alam kenikmatan maka ia tibatiba merasa marah kepada raja baru itu.

   "Apa salahku dan kenapa dia tiba-tiba begini. Keparat saudaramu itu, Simuna. Ia mencopot kedudukanku dan sekarang mengusirku. Biar kubunuh dia atau kutanya sebab-sebabnya!" "Jangan!"

   Sang isteri terpekik.

   "Membunuh raja adalah bahaya, suamiku, rakyat bisa marah. Jangan kau ke sana dan biar kupikir hal ini baik-baik!"

   "Akan tetapi kau mengulur-ulur waktu, waktu kita habis. Biar kutanya si gila itu dan kenapa ia tibatiba membuatku begini!"

   Sia-tiauw-eng-jin berkelebat dan lenyaplah dia disusul jerit tangis isterinya.

   Dengan muka merah padam dan sinar mata berapi kakek ini memasuki ruangan di mana biasanya raja berada, kosong dan mencari di tempat lain dan tiba-tiba ia terkejut melihat raja bersama tiga orang pembantu nya.

   Mereka bercakap bisik-bisik dan kakek ini menghentikan langkah, menempelkan telinga di tirai tebal dan meledaklah marahnya mendengar sesuatu yang tidak disangka.

   Raja menyingkirkannya karena hendak mengambil isterinya.

   Tiga pembantunya berbisik-bisik membicarakan dirinya, membicarakan bahwa tampak keraguan di hati Simuna mengikuti suami.

   Maka ketika ia memekik dan berkelebat keluar, semua terkejut dan tampak kaget maka tepat ia melayang di dekat sri baginda maka saat itulah sri baginda menekan sesuatu dan lantai di mana Siatiauw-eng-jin terinjak seketika amblong dan sumur amat dalam menerima kakek ini.

   Sia-tiauw-eng-jin mengamuk.

   Raja cepat menyingkir dari tiga pembantunya tergopoh memanggil pengawal.

   Ponggawa dan perwira buru-buru berlarian.

   Dan ketika pintu lubang menutup akan tetapi secepat itu Sia-tiauw-eng-jin mencabut panah-panah kecilnya, menimpuk dan menancap di dinding maka dengan cepat dan luar biasa kakek ini telah menginjak dan berjungkir balik keluar, tepat di saat beberapa inci saja tubuhnya terjepit! Gemparlah istana.

   Kakek ini mengamuk dan pengawal maupun perwira disambar pukulannya.

   Panah-panah kecil dilepaskan lagi dan mereka menjerit, dada maupun leher mereka tertusuk tewas.

   Dan ketika kakek itu memaki-maki dan mencari sri baginda, melayang dan berkelebatan mendobrak pintu-pintu kamar maka Nepal dibuat geger oleh kemarahan Sia-tiauw-eng-jin.

   Pasukan khusus menyerang keluar.

   Cepat dan gempar kakek itupun dikeroyok.

   Puluhan bahkan ratusan pengawal mengepungnya.

   Akan tetapi karena ia berkepandaian tinggi dan memang tak ada yang mampu menandingi kakek ini akhirnya jatuhlah korban secara sia-sia.

   Balairung menjadi ajang pembantaian.

   Jerit dan pekik kematian susulmenyusul.

   Dan ketika sebentar kemudian istana menjadi banjir darah maka sebuah bentakan membuat kakek itu menoleh.

   "Berhenti, dan lihat ini. Menyerah atau kami membunuhnya, Sia-tiauw-eng-jin. Kau melawan istana dan menjadi pemberontak. Hentikan amukanmu atau anak ini kami bunuh!"

   Kakek itu merah kehitaman.

   Di atas menara, tinggi dijaga ratusan orang tampaklah Gadira mengamang-amangkan golok mengkilat di leher seorang anak perempuan kecil yang menjerit-jerit.

   Itulah panglima pasukan yang mengancam puterinya, Huli.

   Dan ketika di tempat lain terdengar jerit dan tangis melolong-lolong, itulah isterinya dalam tangkapan seorang perwira lain maka kakek ini benarbenar murka dan tiba-tiba dengan kecepatan kilat ia menimpukkan sebatang anak panah kecil menyambar leher panglima itu.

   "Kau bangsat keparat!"

   Akan tetapi Gadira menghindar lenyap.

   Begitu kakek itu menggerakkan lengannya maka panglima ini segera menghilang.

   Ia tak berani menangkis atau menerima serangan itu, tahu benar kelihaian Sia-tiaueng-jin.

   Dan ketika kakek ini berkelebat menerjang pengawal, berjungkir balik dan membobolkan kepungan maka panglima itu muncul lagi di tempat lain.

   Isterinya lenyap entah ke mana.

   "Berhenti, atau kami membunuhnya. He, dengar kata-kata dan ancamanku, Sia tiauw-eng-jin. Jangan bergerak dan kami membunuhnya!"

   Akan tetapi Sia-tiauw-eng-jin melepas panah tanpa membalik.

   Dengan kepandaiannya yang begitu mengagumkan ia membuat panglima lengah, tak menyangka ketika tiba-tiba dari bawah ketiak menyambarlah anak panah itu.

   Tanpa menoleh dan hanya mendengarkan lewat pendengaran kakek ini tahu di mana lawan berada, menjentik dan meluncurlah panah kecil itu ke kepala lawan.

   Dan ketika panglima menjerit tertembus dahinya, roboh dan tewas maka Sia-tiauw-eng-jin melesat namun sayang sekali seorang perwira di dekat panglima ini mengayunkan golok dan membabatkannya ke pinggang puterinya yang kecil.

   Memang telah diambil kenekatan bahwa anak itu benar-benar harus dibunuh kalau Sia-tiauw-eng-jin tidak menyerah.

   "Cratt!"

   Darah menyembur dari luka menganga itu.

   Anak perempuan itu terbelah dan kakek ini menjadi histeris.

   Ia memekik dan menyambar perwira itu, satu di antara tiga pembantu raja yang tadi bercakap di dalam ruangan.

   Dan ketika pengawal itu ngeri mengayunkan golok, badan golok masih bersimbah darah maka Sia-tiauw-eng-jin tak perduli dan menyambut bacokan itu dengan telapak tangannya yang hitam hangus, Hoa-kut-ciang (Tangan Penghancur Tulang).

   "Kraaakk!"

   Golok dan kepala perwira itu sama-sama remuk.

   Hantaman pukulan ini membuat tubuh si perwira terjengkang, darah dan otaknya berhamburan.

   Dan ketika Sia-tiauw-eng-jin mengguguk menyambar mayat puterinya, tak perduli darah yang membuat tubuh dan pakaiannya berlepotan maka kakek ini meraung-raung dan ia pun diserang hujan serangan oleh pasukan yang marah panglima mereka tewas.

   Panah dan tombak menyambar kakek ini akan tetapi Sia-tiauw-eng-jin meloncat.

   Sekali raup ia menangkap semua senjata-senjata itu.

   Lalu ketika ia memekik menimpuk dahsyat maka belasan senjata itu menyambar


Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Pisau Kekasih Karya Gu Long

Cari Blog Ini