Ceritasilat Novel Online

Mencari Busur Kumala 5


Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 5


a si kakek bersinar-sinar.

   Inilah wanita muda yang lebih cocok lagi! Akan tetapi karena nenek itu maklum dan cepat melompat keluar, yang diincar adalah Cit Kong maka May-may mendesis bahwa yang lain tak boleh diganggu.

   Hatinya panas melihat sinar mata jelalatan kakek itu melahap Ceng Ceng.

   "Kita tak ada urusan dengan yang lain. Yang kucari dan kuincar adalah Cit Kong, Siang Lun Mogal, melanggar ini berarti batal!"

   "Heh-heh, akan tetapi ia manis sekali. Lagi pula ibunya Kiok Eng!" "Tutup mulutmu, aku hanya menghendaki Cit Kong dan jangan macam-macam!"

   Terpaksa kakek ini menahan kekehnya dan liur yang menetes melihat wanita muda itu dilampiaskan dengan usapan di tubuh May-may.

   Bwee Kiok yang ditotoknya lumpuh juga menjadi gerayangannya, Siang Lun Mogal memang kakek jahat.

   Dan ketika apa boleh buat ia terpaksa bersembunyi dan hanya melihat nyonya muda itu berkelebatan memanggilmanggil subonya, tentu saja tak mungkin ketemu maka di kaki gunung menyambarlah dua bayangan ke puncak.

   Yang satu berpakaian serba hitam yang lain putih.

   "Kiok Eng!"

   Ceng Ceng berseru dan langsung menubruk puterinya itu.

   "Subo-mu lenyap, ruang tengah berantakan!"

   Kiok Eng terkejut dan berhenti di puncak.

   Pemuda berpakaian putih itu bukan lain suaminya Tan Hong dan mereka baru saja pulang belanja.

   Di kedua pundak pria ini tampak bungkusan besar hasil belanja ke kota.

   Tan Hong juga terkejut dan mengerutkan kening.

   Akan tetapi ketika isterinya melengking dan berkelebat ke dalam, Kiok Eng marah mendengar ini maka benar saja ruangan tamu acak-acakan.

   Subonya Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok tak ada di situ.

   "Apa yang terjadi, kenapa begini. Kapan terjadinya, ibu, siapa jahanam keparat yang mengganggu tempat kita!"

   "Aku tak tahu, semuanya sudah begini. Hanya suara subomu sempat kutangkap, Kiok Eng, lalu lenyap."

   "Dan sudah lama atau belum, jahanam dari mana membuat onar di sini!"

   "Kira-kira sejam yang lalu. Aku berburu kelinci gemuk ketika suara cambuk subomu menjeletarjeletar. Kalau tidak salah... kalau tidak salah terdengar maki-makian subomu terhadap May-may!"

   "May-may? Keparat jahanam, kalau begitu ia menghendaki Cit Kong. Tan Hong, cari keparat ini dan kita memutari gunung, ibu ikut aku!"

   Lalu ketika wanita ini memekik dan turun lagi, berkelebat dan langsung memutari pinggang gunung maka Tan Hong berdetak melihat dan mendengar semuanya itu.

   Ia terkejut dan merah kalau benar ini yang terjadi.

   Akan tetapi karena isterinya sudah lenyap melengking-lengking, memaki dan menyumpah-serapah maka pemuda ini pun bergerak dan tak dapat berbuat apa-apa kecuali mencari dan menemukan biang keladi kerusuhan ini.

   Dan saat itulah di balik persembunyiannya nenek Maymay berkelebat keluar.

   Ia gentar dan pucat meng hadapi kemarahan Kiok Eng akan tetapi gadis itu kini sendiri, artinya tidak bersama suaminya lagi.

   Ceng Ceng tak ada artinya baginya.

   "Kau ganggu gadis itu dan rampas puteranya. Mari sama-sama menutupi kedok Mogal, jangan sampai ia mengenal kita. Di tikungan sana ada sebuah jurang dan aku bersembunyi di situ. Lemparkan putera nya kepadaku dan jangan sampai suaminya keburu membantu!"

   "Heh-heh, dan nenek ini?"

   "Terserah padamu!"

   "Kalau begitu kubunuh saja, ia tahu siapa kita!"

   May-may terkejut namun terlambat ketika jari kawannya mengetok ubun-ubun.

   Lui-pian Sian-li Yan Bwee Kiok luka parah dan tentu saja tahu dan mendengar itu namun tak dapat mengeluarkan suara.

   Ia kaget dan marah dan gusar sekali memandang rekannya yang keji ini.

   Tak disangkanya May-may bersekongkol dengan lawan, dan bakal tak disangka nya lagi kalau nenek itu memberi imbalan tubuh, menjual diri.

   Maka ketika ia terkejut Siang Lun Mogal menggerakkan jarinya, langsung menotok ubunubunnya maka nenek ini pun roboh dan tewas seketika.

   May-may terkejut dan menyesal kenapa dibunuh.

   "Kau...?!"

   "Tak ada lain jalan. Semuanya sudah kepalang basah, May-may, bukankah berbahaya untuk kita kalau ia memberi tahu Kiok Eng. Sudahlah tak perlu kecewa dan mari mengejar gadis itu. Aku mengenakan topeng!"

   May-may menggigit bibir dan menahan isak melihat rekan atau madunya itu dibuang Siang Lun Mogal.

   Memang berbahaya membiarkan nenek ini hidup, tindakan mereka dilakukan hati-hati dan kalau perlu tak boleh diketahui.

   Dan karena pada dasarnya kakek ini memang kejam dan tak memiliki welas asih, siapapun yang menghalang harus dilenyapkan maka kakek ini tertawa ringan membunuh Dewi Cambuk Kilat itu.

   Kiok Eng melengking-lengking dan berkelebat di sebelah kiri gunung, sang ibu jatuh bangun mengikuti.

   "Jangan cepat-cepat, aku tak mampu menyusul mu. Tenang dan sabar sedikit, Kiok Eng, lihat anakmu menangis pula!" "Aku tak ingin jahanam itu lolos. Ia harus ku temukan dan mempertanggung jawabkan perbuatan nya, ibu. Siapapun dia harus dihajar!"

   "Ya, tapi anakmu jadi ketakutan. He, kulihat bayangan di sebelah kanan!"

   Kiok Eng berhenti dan membalik. Benar saja ia melihat seseorang berkelebat amat cepatnya dan menghilang di pinggang gunung. Sepintas seperti seorang laki-laki. Akan tetapi ketika ia mendesis dan berkelebat ke sini maka ibunyapun menuding dan berseru.

   "He, itu ada pula!"

   Kiok Eng terkejut dan merasa dipermainkan.

   Bayangan ini berkelebat di tem pat gelap akan tetapi rambutnya yang berkibar jelas seorang perempuan.

   Kiok Eng memekik.

   Lalu ketika ia berkelebat mengejar bayangan ini, sang ibu terkejut dan ditinggal maka Ceng Ceng berteriak ketika sebutir batu hitam mengenai dahinya.

   Seseorang menimpuk dan tepat membuatnya roboh.

   "Aduh!"

   Kiok Eng jadi bingung.

   Ia kaget dan marah bukan main melihat ibunya terguling.

   Ibunya menjerit dan pingsan.

   Dan ketika ia melengking-lengking me nyambar ibunya, saat itulah Cit Kong menangis dan mengganggu konsentrasi maka ia memanggil suami nya bahwa musuh ada di sini.

   "Tan Hong, ke mari. Jahanam itu ada di sini!"

   Dan tujuh sinar hitam tiba-tiba menyambar cepat.

   Kiok Eng harus mengelak dan menangkis akan tetapi satu di antara batu-batu kecil itu mengenai kaki anaknya.

   Cit Kong menjerit dan berteriak kuat.

   Dan ketika wanita ini menjadi kalap namun juga bingung, saat itulah seorang bertopeng muncul dan menyerang maka wanita ini membentak dan memutar tubuh sambil menendang.

   Ia gugup dan marah karena anaknya menjerit kesakitan.

   Jangan-jangan tulang kakinya patah! "Jahanam, kau bangsat keparat siapa.

   Buka topengmu dan apa maksudmu mengganggu tempatku...

   dukk!"

   Wanita ini terpental sementara lawan terkekeh dan menyerang lagi.

   Laki-laki itu memberikan pukulan amat kuat dan Kiok Eng kaget bukan main.

   Ia merasa kakinya tergetar dan panas.

   Tulangnya seakan kiut-miut.

   Akan tetapi karena ia diserang dan sebentar kemudian lawan berkelebatan mengelilingi, bau amis dan busuk membuat ia ingin muntah maka yang membuat ia repot adalah tangis Cit Kong dan suaranya yang gaduh.

   Akan tetapi untunglah saat itu bayangan putih berkelebat.

   Tan Hong mendengar teriakan isterinya ini dan menyambar datang.

   Maka ketika Cit Kong kian menjadi-jadi sementara ia terdesak hebat oleh pukulan lawan, serangan dan totokan tiada berhenti maka wanita ini pun melemparkan anaknya kepada suami.

   "Tan Hong, tangkap anak kita. Jahanam ini lihai!"

   Akan tetapi laki-laki bertopeng tiba-tiba melarikan diri.

   Begitu Tan Hong muncul ia pun terkekeh, melepas satu pukulan keras lalu kabur.

   Dan karena ia sengaja menggoda dan membuat panik suami isteri itu, juga rupanya takut setelah Tan Hong datang maka iapun turun gunung akan tetapi mana mungkin Kiok Eng membiarkannya.

   Wanita ini membentak dan mengejar namun tiba-tiba berseru tertahan.

   Ceng Ceng, sang ibu mendadak lenyap, padahal tadi tak jauh di situ menggeletak pingsan.

   Maka ketika wanita ini berhenti dan menjadi kaget, Tan Hong berkelebat menanya isterinya maka Kiok Eng menuding.

   "Ibu... ia tadi di sini. Ia... ia, keparat, musuh mempermainkan kita, Hong-ko. Ibu diculik!" Tan Hong terkejut dan berubah. Memang di saat serang-menyerang tadi nenek May-may diamdiam berkelebat dan menyambar Ceng Ceng. Wanita itu telah dirobohkan Siang Lun Mogal dan nenek inilah yang menculik. Mereka hendak membuat keluarga muda itu panik, teror dilancarkan. Dan karena Tan Hong baru saja datang setelah Kiok Eng memanggil nya, perhatian tertuju pada Siang Lun Mogal yang bertopeng maka Kiok Eng marah bukan main karena di samping subonya kini sang ibupun disambar musuh.

   "Jahanam, keparat jahanam. Siapa pengecutpengecut yang melakukan semuanya ini, Hong-ko. Keji dan tak tahu malu benar mereka itu!"

   "Tapi laki-laki tadi bukan May-may..."

   "Benar, akan tetapi ibu melihat bayangan kedua berambut panjang. Ketika aku menoleh tiba-tiba ibu menjerit, seseorang menimpuk. Lalu ketika aku hendak menolong ibu maka jahanam itupun muncul dan menyerang. Kepandaiannya tinggi!"

   "Kita pulang dulu, jaga di rumah. Dan Cit Kong, hmm... agaknya dititipkan ibuku saja, Eng-moi. Dengan anak ini bersama kita tak akan tenang. Lagi pula gampang menjadi sasaran musuh. Kakinya bengkak!"

   Tan Hong terkejut dan memeriksa anaknya dan ternyata batu yang menyambar tadi membuat kaki puteranya lebam.

   Untung tak sampai patah atau retak namun cukup membuat anak itu menangis terus.

   Ia kesakitan.

   Dan ketika Kiok Eng membanting-banting kakinya dan mencaci serta mengepal tinju, tangis anaknya membuat ia marah bukan main maka iapun menyetujui bahwa Cit Kong dititipkan dulu pada neneknya yang lain, Mien Nio, ibu dari suaminya yang hidup dan mengasingkan diri di belakang bukit.

   Mien Nio wanita ini menghela napas melihat dan mendengar cerita anaknya.

   Sejak Dewa Mata Keranjang tewas dan ia menjanda maka ia mengasing kan diri dan ingin menjadi pertapa.

   Bersama seorang nikouw tua bernama Hiang Ci Nikouw ia ingin menikmati masa tua dalam ketenangan.

   Karena di Bukit Angsa sudah banyak pendamping maka wanita ini menyepi sendiri, mendapat ruangan belakang di kelenteng kecil di belakang bukit.

   Hanya Tan Hong dan Kiok Eng serta keluarga Liang-san saja yang tahu, orang luar sengaja dirahasiakan.

   Maka ketika suami isteri muda ini datang membawa Cit Kong, Mien Nio menerima dengan kening berkerut maka cerita anakanak muda itu membuat wanita yang rambutnya sudah berwarna ini menarik napas dalam.

   Hiang Ci Nikouw berulang-ulang menyebut nama Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im).

   "Menyedihkan, sungguh menyedihkan. Pertikaian dan kecurangan rasanya tak dapat dihindar kan manusia, Tan Hong, terbebas dari ini adalah kebahagiaan. Sebenarnya ibumu tak boleh diganggu, tapi bagaimana lagi. Semoga Pouwsat melindungi kalian dan pinni (aku) tak berani banyak mencampuri."

   "Maaf, suthai memang benar. Akan tetapi kami hanya hendak menitipkan anak ini sampai keadaan aman lalu mengambilnya kembali. Harap suthai maafkan kami dan semoga ibu tak keberatan."

   "Hm, Cit Kong adalah cucuku, darah dagingmu. Biarlah ia bersamaku, Tan Hong, semoga Kwan Im Pouwsat melindunginya. Akan tetapi..."

   Wanita ini menghela napas.

   "Kalau subomu Yan Bwee Kiok sendiri tak mampu menghadapi musuh lalu bagaimana aku? Bukannya berkecil hati, hanya kalau ada sesuatu di luar kekuasaanku harap kalian tahu. Sekuat tenaga tentu kulindungi cucuku satu-satunya ini, dan asal tak ada yang tahu keberadaanku di sini tentu semuanya aman. Omong-omong siapakah orang jahat itu." "Kami tak tahu, hanya ibu Ceng Ceng memberi tahu bahwa nenek Bwee Kiok menyebut-nyebut Maymay."

   "May-may? Ah, sungguh gawat. Tapi kalau hanya dia tentunya dapat kalian atasi."

   "Yang lihai adalah jahanam bertopeng itu. Aku sendiri belum bertemu dengan subo May-may, ibu, akan tetapi laki-laki yang menyerangku ini kepandaian nya tinggi. Entah siapa dia akan tetapi segera kabur begitu Tan Hong muncul!"

   "Baiklah, kalian kembalilah dan cari ibumu Ceng Ceng, juga enci Bwee Kiok. Mudah-mudahan semua selamat dan Cit Kong kulindungi di sini."

   Mien Nio menghela napas lagi dan ia berdebar menekan perasaannya yang terguncang.

   Ada sesuatu yang dirasanya akan meledak.

   Ada sesuatu yang terasa mencemaskan.

   Maka ketika Tan Hong berkelebat meninggalkan ibunya, Kiok Eng terisak meninggalkan puteranya di situ maka dalam perjalanan pulang dua orang ini terkejut melihat betapa subo mereka Luipian Sian-li Yan Bwee Kiok telah menjadi mayat.

   "Subo!"

   Kiok Eng menubruk dan tersedu-sedu tak dapat menahan dirinya lagi melihat keadaan nenek itu.

   Totokan Siang Lun Mogal menewaskan nenek ini.

   Dan ketika hampir saja Kiok Eng kalap mengamuk di situ, menghajar ini-itu maka Tan Hong cepat mem bawa jenasah ke puncak, sekaligus mencari Ceng Ceng dengan hati kian tegang.

   Akan tetapi sehari itu tak ada apa-apa di situ.

   Mereka telah merawat jenasah Dewi Cambuk Kilat ini di Bukit Ang sa.

   Lalu ketika hari kedua dan ketiga juga tak ada apa-apa, Kiok Eng seperti cacing kepanasan maka hari keempat muncullah ibunya Ceng Ceng dan Mien Nio.

   Dua orang itu pucat dan terhuyung naik bukit.

   "Ibu...!"

   Baik Tan Hong maupun Kiok Eng menyambut ibu mereka dengan gerakan cepat.

   Masing-masing berkelebat dan turun bukit dan Kiok Eng girang bukan main melihat ibunya selamat.

   Ibunya masih hidup! Akan tetapi ketika ibunya tersedu-sedu disusul ibumertuanya yang mengeluh dan roboh di pelukan Tan Hong, lung lai maka wanita ini pucat mendengar katakata tertahan.

   "Cit Kong, putera kalian... ia... ia diculik orang...!"

   Berbareng dengan itu pingsanlah Mien Nio di pelukan puteranya.

   Tan Hong tersirap dan seakan berhenti denyut jantungnya sementara Kiok Eng melengking dan mendorong ibunya.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Wanita ini berkelebat dan menyambar sang mertua.

   Akan tetapi ketika Tan Hong memanggul ibunya dan berkelebat ke puncak maka Ceng Ceng tersedu menyambar puteri nya itu.

   "Tenang, diam dulu. Gak-bomu lebih terpukul daripada aku, Kiok Eng, ia merasa tak dapat melaksanakan tugasnya. Kami tak berdaya."

   "Apa yang terjadi, kapan diculik!"

   "Mari ke atas dan bicara di sana. Aku... ah, ibumu pun inipun nyaris celaka!"

   Lalu ketika dengan terhuyung dan sempoyongan Ceng Ceng mendaki Bukit Angsa, puterinya gemetar namun menuntun tak keruan akhirnya dengan amat tak sabar dan penuh nafsu Kiok Eng mendesak ibunya. Mereka telah tiba di atas.

   "Aku... aku ingin minum. Berikan segelas air putih..."

   Kiok Eng menyambar dan memberikan itu.

   "Aku, ah... akhirnya aku dibawa ke tempat gakbomu, Kiok Eng. Di kelenteng itu semuanya tak mungkin disembunyikan lagi. Hiang Ci Nikouw bahkan tewas terbunuh..."

   "Jahanam! Siapa terkutuk itu dan bagaimana tahu puteraku di sana!"

   "Aku masih menduga-duga, mereka menyembunyikan diri dalam kedok. Dan... dan yang laki-laki itu gundul..."

   "Tapi yang perempuan adalah nenek May-may? Bukankah dia?"

   "Aku tak berani memastikan, Kiok Eng, tubuh dan wajahnya tertutup rapat."

   "Akan tetapi ibu dapat mengenal suaranya!"

   "Suara dapat dibuat-buat, serak parau atau tinggi kecil..."

   "Akan tetapi bentuk tubuhnya..."

   "Tunggu, tenang dulu. Tiga hari aku tertotok dan tak mampu memandang mereka, Kiok Eng, lagi pula aku sering pingsan. Baru pagi tadi ketika aku sadar tahu-tahu berada di tempat Hiang Ci Suthai. Akan tetapi, ah... nikouw itu terbunuh dan gak-bomu tersedu-sedu!"

   Ceng Ceng tak dapat bercerita lagi karena iapun menangis dan sudah mengguguk di pelukan puterinya ini.

   Kiok Eng merah padam mengepalkan tinjunya sementara Tan Hong menyadar kan ibunya.

   Lalu ketika wanita itu siuman dan membuka mata maka yang pertama diucapkan adalah permohonan maaf.

   "Aku... aku tak dapat melindungi cucuku. Lakilaki itu lihai dan terlampau kuat bagiku, Kiok Eng, aku terlempar dan terbanting ketika ia menyerang. Dan Cit Kong, ah... nyawapun siap kutukarkan untuknya. Aku tak mampu menjaga anak kalian. Aku bodoh dan lemah... maafkan aku!"

   Tan Hong memeluk dan mengurut-urut pundak ibunya ini.

   Dalam keadaan seperti itu pukulan batin lebih hebat daripada derita fisik.

   Ibunya mengguguk dan menangis tiada berkesudahan.

   Akan tetapi karena iapun maklum musuh betul-betul lihai, terbukti Isterinya sendiri terpental dan kaget oleh pertemuan tenaga maka ia menghibur ibunya agar tak terlalu susah, bertanya bagaimana atau siapa yang membawa Cit Kong, yang lelaki ataukah perempuan.

   "Aku tak tahu, yang masuk ke kamar ku adalah laki-laki itu. Akan tetapi samar-samar kulihat pula temannya wanita berkelebat di belakangnya. Aku menangkis dan roboh serta pingsan, anakku, selanjut nya... selanjutnya Cit Kong pun lenyap. Yang kudapati adalah Ceng Ceng ini...!"

   "Bagaimana orang tahu kau di kelenteng itu. Hanya keluarga besar kita saja yang tahu akan ini, ibu. Kalau bukan nenek May-may tak mungkin itu. Ia bersekongkol dengan seseorang!"

   "Aku tak berani menuduhnya begitu..."

   "Lalu siapa lagi yang harus dicurigai. Hanya dia yang menghendaki Cit Kong, ibu, hanya dia yang ingin membalas kematian cucunya yang tanpa sengaja itu. Keparat, aku akan mencarinya dan turun bukit. Subo, kubunuh kau!"

   Lalu memutar tubuh dan terbang meninggalkan Bukit Angsa, tak perduli ini-itu lagi Kiok Eng pun mengerahkan ilmu lari cepatnya bagai seekor kijang betina melesat dari sarang.

   Gerakannya amat cepat melebihi anak panah terlepas dari busur, wajahnya merah padam dan gigi yang gemeretuk itu penuh bahaya dan ancaman.

   Kiok Eng sudah menjadi seekor singa betina haus darah.

   Wanita mana merelakan anaknya diculik, apalagi dibunuh.

   Maka ketika ia meluncur dan Tan Hong kaget bukan main, isterinya bagaikan kesetanan maka ia pun meloncat dan terbang menyusul.

   Kedua ibunya ditinggalkan dengan seruan.

   "Harap ibu baik-baik di situ dulu, Eng moi seperti orang kalap!"

   Akan tetapi ilmu lari cepat Kiok Eng tak berbeda jauh dengan Tan Hong.

   Suami isteri ini tak berselisih jauh dan karena lebih dulu meninggalkan bukit maka Tan Hong tak mampu memperpendek jarak.

   Isterinya melengking-lengking dan hutan pun tergetar dibuat nya.

   Pohon dan apa saja roboh tumbang.

   Dan ketika pemuda itu berteriak-teriak namun tetap di belakang, Kiok Eng mengelilingi dan naik turun bukit akhirnya wanita ini melebarkan wilayah sambil memaki dan meme-kik-mekik.

   Tiga hari sang suami mengikuti sambil mengeluh sampai akhirnya menuju Liang-san.

   Di sana mereka bertemu Kui Yang dan Kang Hu yang dikibas roboh.

   Akan tetapi ketika tetap juga tak ketemu dan turun lagi, di sinilah Tan Hong menangkap isterinya maka enam hari setelah berputar-putar wanita itupun roboh dan terguling.

   Makan minum tak dihiraukan dan penat serta capai menggerogoti tubuh.

   "Kubunuh kau... kubunuh kau! Licik dan keparat jahanam kau, subo. Tak tahu malu dan curang serta keji. Awas kalau kau mengganggu puteraku Cit Kong. Kuhisap sumsummu!" "Sabar, tenang..."

   Tan Hong terguling dan mandi keringat pula di samping isterinya ini.

   "Kita belum jelas siapa pen culiknya, Eng-moi, belum tentu juga May may. Dugaan yang tak diperkuat mata kepala sendiri belumlah kuat!"

   "Kau!"

   Kiok Eng meloncat dan tiba-tiba menuding suaminya ini, tersedu-sedu.

   "Kau biang keladinya, Hong-ko. Kau awal malapetaka ini. Kalau bukan karena kau tak semudah itu orang menculik anakku!"

   "Aku? Bagaimana aku?"

   "Kenapa tidak? Kaulah yang membujuk agar memberikan Cit Kong kepada ibumu. Kalau Cit Kong tetap bersamaku dan tidak dengan ibumu tak mungkin semudah itu orang menculiknya. Kaulah malapetaka itu, kaupun harus bertanggung jawab!"

   Lalu ketika tiba-tiba wanita ini menerjang dan memusuhi suaminya tak ayal lagi Tan Hong pun terkejut dan bergulingan mengelak, dikejar dan menangkis dan selanjutnya isterinya ini memaki-maki dirinya.

   Ia disalahkan dan dianggap biang celaka.

   Dan ketika pemuda ini menjadi pucat isterinya demikian bersungguh-sungguh, serangan dan pukulan mulai menjurus kepada maut maka iapun meloncat bangun dan membentak isterinya itu.

   Kiam-ciang atau Tangan Pedang berdesingan menyambar-nyambar, sekali membuat sisi telinganya terbeset dan luka! "Keparat, kau seperti orang gila.

   Tuduhanmu sudah tidak waras lagi, Eng-moi.

   Ayah mana hendak mencelakakan anaknya.

   Berhenti dan jangan menyerang atau aku membalas!"

   "Balaslah, robohkan aku. Lebih baik mati daripada kehilangan anak... clap!"

   Dan Tangan Pedang yang kembali menyambar dan membelah batu di belakang Tan Hong akhirnya membuat pemuda ini benar-benar marah dan naik pitam.

   Isterinya menjadijadi dan semakin dibiarkan semakin kesetanan saja.

   Serangan-serangan itu benar-benar untuk maksud membunuh.

   Maka ketika ia menggeram dan menyambar sebatang dahan, menangkis dan mainkan Im-bian-kun menandingi kekalapan isterinya ini maka dua orang itu sudah bertempur dan Kiok Eng menjadi semakin gelap saja melihat perlawanan suaminya ini, berkelebat dan mengurung untuk akhirnya meledak kan rambutnya yang hitam gemuk menyambarnyambar.

   Wanita ini memang memiliki beragam ilmu dari sebelas gurunya yang beraneka macam.

   Iapun memiliki Bhi-kong-ciang dari nenek Lin Lin.

   Dan karena iapun memiliki Sin-bian-ginkang (Ginkang Kapas Sakti) yang diciptakan Dewa Mata Keranjang, suami dari para subonya yang hebat itu maka Tan Hong benarbenar kewalahan dan hanya karena ia tak seberingas dan kaku seperti isterinya ia bersikap banyak mengalah dan lemah, hal yang membuat ia terhuyung dan acap kali terpelanting! Akan tetapi dahan di tangan pemuda itu amat lah kuat.

   Tan Hong mainkan silat aneh ciptaan ayahnya yang bernama Silat Tongkat Merayu Dewi.

   Silat ini harus dilakukan sambil tersenyum-senyum dan kelihaian atau keampuhannya akan tampak.

   Akan tetapi karena mungkin harus tersenyum di saat seperti itu, dahan diputar untuk melindungi dan mempertahankan diri maka balasan atau serangan yang sebetulnya dilancarkan pada saat-saat yang tepat tak dapat dilakukan pemuda ini karena ilmu silatnya dimainkan tidak dengan sepenuh biasanya.

   Ia hanya bertahan dan membalas untuk pukulanpukulan keras.

   Kiam-ciang atau Bhi-kong-ciang bukanlah serangan main-main, apalagi Sin-mauwkang atau Rambut Sakti yang dilancarkan isterinya sering menyambar dan berubah menjadi batang kawat baja yang amat berbahaya.

   Maka ketika dengan dahan ini ia bertahan rapat sementara adu tenaga di antara mereka sering membuat isterinya terpental, dalam hal sinkang ia menang kuat akhirnya semalam suntuk suami isteri ini bertanding sampai akhirnya menjelang pagi Kiok Eng melompat pergi dengan air mata bercucuran.

   Tubuh keduanya gemetar dan nyaris roboh, tenaga benar-benar terkuras habis.

   "Aku tak mau bersamamu lagi sebelum puteraku ketemu. Dan kalau ada apa-apa dengannya seumur hidup tak mau aku menjadi isterimu, Tan Hong. Aku bersumpah!"

   Tan Hong roboh dan pucat jatuh terduduk. Ia begitu lelah dan habis daya melayani isterinya bertanding. Maka ketika isterinya meloncat dan memutar tubuh, jatuh lalu lari lagi pemuda ini mengeluh dan meratap.

   "Eng-moi...!"

   Akan tetapi Kiok Eng telah menghilang dan lenyap di luar hutan.

   Saat itulah suami isteri ini berpisah.

   Baru kali itulah kepedihan benar-benar dirasakan pemuda baju putih ini.

   Maka ketika Tan Hong bangkit dan jatuh lagi, bangun dan terhuyung serta terseok memanggil-manggil isterinya maka pasangan ini terancam pecah dan kebahagiaan sudah tak ada lagi.

   Yang ada hanya dendam dan permusuhan.

   Sakit hati! *** Memang betul nenek inilah yang memberi tahu di mana beradanya Cit Kong.

   Setelah melihat Kiok Eng tak bersama puteranya lagi dan Tan Hong menemani isterinya berdua di Bukit Angsa maka nenek itu berpikir apa yang dilakukan dua orang muda itu.

   Ia tak ingin dikenal dan karena itu harus selalu berhati-hati.

   Terlalu berbahaya kalau kelak ia harus berhadapan langsung dengan bekas muridnya itu.

   Ia tahu benar kekerasan dan tangan besi Kiok Eng.

   Maka ketika tiga hari bersembunyi sementara temannya menjadi tidak sabar, mengomel panjang pendek maka tiba-tiba ia teringat Mien Nio.

   Hanya keluarga besar Liang-san yang tahu di mana wanita ini mengasingkan diri.

   "Kwan-im-bio, benar, kelenteng itu! Sekarang aku ingat ke mana kita cari, Mogal. Pasti di sana Kiok Eng menyembunyikan anaknya. Hi-hik, ingat aku. Ah, benar itu. Pasti di sana. Kita tak perlu berdiam di sini lagi karena bocah itu menyembunyikan anaknya di Kwan-im-bio!"

   "Di mana tempat itu, benarkah kau begitu yakin. Kalau aku sendiri lebih baik maju dan naik ke atas, May-may, bekuk dan robohkan mereka lalu paksa mengaku. Aku tak takut dua orang itu!" "Jangan, bahaya untukku. Betapapun semuanya ini harus dilakukan tanpa diketahui mereka, Mogal. Aku tak ingin terlihat mereka dan harus bekerja secara diam-diam. Kau ikutlah aku dan kita ke Kwan-im-bio!"

   "Dan wanita itu?"

   "Aku yang membawanya, mari!"

   Lalu ketika nenek ini menyambar Ceng Ceng yang dibuat pingsan, dialah yang selama ini menjaga dan menghalangi kakek itu maka Siang Lun Mogal menyeringai dan diam-diam mengumpat.

   Dia tidak mengerti kenapa temannya ini ketakutan kalau terang-terangan, tentu saja tak tahu bahwa May-may memperhitungkan beberapa hal.

   Pertama, belum tentu kakek itu selalu bersamanya terus.

   Bahkan ia sudah merencanakan untuk secepatnya melepaskan diri dan jijik dengan si gundul ini.

   Kalau saja tidak mengharap bantuannya yang dapat diandalkan tak sudi ia bersekongkol.

   Siang Lun Mogal bukanlah teman menyenangkan.

   Maka ketika ia harus berhati-hati dan tak boleh sembrono, segala sepak terjangnya ini tak boleh diketahui Kiok Eng maka ia tak ingin berhadapan langsung dengan bekas muridnya itu.

   Tahu benar dia keganasan muridnya kalau marah.

   Kiok Eng tak akan memberinya ampun.

   Dan karena kedua ia akan secepatnya menyusul Beng Li dan Ming Ming menyeberang lautan, begitu Cit Kong dibunuh ia hendak menghindari pertikaian lebih dalam antara dirinya dengan Kiok Eng.

   Gadis itu tak bisa menuduhnya begitu saja kalau tidak dengan mata kepala sendiri! Maka nenek ini sudah berada di Kwan im-bio ketika pagi itu berkelebat dan masuk.

   Tentu saja ia mengenal Hiang Ci Nikouw yang baik itu.

   Akan tetapi karena ia menduga bahwa ketua kelenteng itu pasti tahu pertikaian ini, ia tak ingin bertemu maka ia memberi isyarat untuk berpencar dan mencari.

   "Tidak banyak orang di tempat ini. Kau ke kiri aku ke kanan, Mogal, jangan membunuh kalau tidak perlu. Kita cari anak itu lalu bunuh!"

   "Heh-heh, dan segera mendapat imbalannya, bukan? Uh, lapar beberapa hari ini berdekatan dengan mu, May-may. Kalau saja urusan ini segera selesai cepatlah bayar janjimu dan jangan membuatku panas dingin!"

   "Tak usah banyak mulut, semua kubayar sesuai janji. Hayo berpencar dan siapa lebih dulu dapat, Mogal, jangan bicara yang lain-lain dan pusatkan ke pekerjaan ini!"

   Kakek itu terkekeh dan merekapun sudah menutupi muka dengan selembar kain hitam.

   May32 may tak ingin dikenal dan kakek itupun mengikuti temannya saja.

   Maka ketika mereka bergerak ke kiri kanan ternyata kebetulan yang pertama kali menemukan adalah kakek ini.

   Waktu itu Cit Kong diminumi neneknya sebotol susu.

   Maka begitu kakek ini berkelebat dan Mien Nio berseru kaget, mengelak dan melempar cucunya ke tengah pembaringan maka kakek ini membentak menyerang nyonya itu.

   "Serahkan anak itu kepadaku!"

   Jelek-jelek Mien Nio adalah isteri De wa Mata Keranjang.

   Ia berhasil mengelak dan menyelamatkan cucunya akan tetapi sejauh mana ia menghadapi kakek Mongol yang lihai ini.

   Dewa Mata Keranjang pun harus bertanding mati-matian kalau berhadapan.

   Maka ketika jari-jari kakek itu terulur dan terus mengejar, tangan yang lain menampar dan bergerak maka plak, robohlah nyonya itu dan Cit Kong pun disambar, tepat ketika May-may mendengar ributribut ini dan masuk di belakang temannya.

   Akan tetapi tangis si bocah mengejutkan Hiang Ci Suthai.

   Ketua kelenteng yang berada tak jauh dari kamar itu dan sedang berdoa tiba-tiba bangkit dan berlari-lari.

   Iapun berteriak melihat adanya dua orang ini.

   Akan tetapi ketika Siang Lun Mogal tertawa dan mendorong nikou itu, tepat di dadanya maka sang nikouw-pun terjengkang dan tewas oleh pukulan Katak Merah.

   "Ha-ha, sudah kudapat. Kiranya ini anak lelaki yang kauinginkan, May-may, wah, montok benar. Tulang kepalanya bagus dan ia memiliki Ceng-bongtoh yang mentakjubkan. Lihat, ini Ceng-bong-toh itu!"

   "Berikan padaku!"

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Si nenek tiba-tiba mendesis.

   "Ia bagianku, Mogal, biar kubunuh!"

   "Wah, nanti dulu. Ada sesuatu yang lain dari pada yang lain. Ceng-bong-toh ini tak dimiliki satu di antara sejuta anak!"

   "Apa maksudmu!"

   "Keluar dan pulang dulu. Nanti kuterangkan!"

   Lalu ketika kakek ini terbang dan menimang-nimang anak itu, Cit Kong meronta dan menangis namun ditepuk akhirnya diam maka kakek itu pun telah menidurkan anak ini dengan totokannya yang lembut.

   Ia terkejut dan kaget serta girang bahwa anak laki-laki ini memiliki Ceng-bong-toh (Tanda Rejeki Dunia).

   Satu di antara sejuta anak belum tentu memiliki itu.

   Maka ketika Siang Lun Mogal terkekeh-kekeh dan Maymaypun cemas, mengejar dan mengikuti kakek ini maka di luar tembok besar barulah kakek itu berhenti.

   Wajahnya berseri dan bersinar-sinar.

   "Ha-ha, calon Thian-cu (Anak Tuhan) yang hebat. Wah, masa anak seperti ini hendak kau bunuh, May-may, bodoh sekali. Ia dapat mengangkat derajat hidup kita."

   "Apa maksudmu,"

   Nenek ini mendekat, diamdiam tangan kanannya siap menampar.

   "Aku tak mengerti dan kenapa sikapmu tiba-tiba begini aneh. Berikan kepadaku dan coba kulihat, Mogal. Apa itu Ceng-bong-toh!"

   "Wah, bodoh, dasar orang kampung. Lihat ini, May-may, lihat tanda "Toh" di dada kanannya ini. Dulu muridku Wi Tok hanya memiliki di bawah pusar akan tetapi bocah ini di dada kanan. Wah, ia calon kaisar atau wakil kaisar. Ia calon orang besar!"

   May-may memperhatikan dan ia mengerutkan kening melihat tanda kebiru-biruan di dada kanan.

   Kalau tanda ini di jantung maka ia bakal menjadi orang nomor satu di sebuah bangsa besar, kalau di dada kanan akan menjadi wakil atau orang nomor dua, begitu kakek itu bicara.

   Akan tetapi karena ia tak begitu menggubris dan perduli itu, yang penting sakit hati maka mendadak ia mengayun telapaknya dan cepat bagai kilat ia menampar kepala bocah itu dengan serangan maut.

   "Plak!"

   Siang Lun Mogal menangkis dan membentak nenek itu.

   Untunglah kakek ini waspada dan ia tak kalah cepat dibanding tamparan itu.

   Si nenek terjengkang.

   Dan ketika May-may memaki-maki dan bergulingan meloncat bangun maka nenek itu mendelik memandang rekannya.

   "Kau!"

   Bentaknya.

   "Kau melindungi anak ini? Kau tiba-tiba berobah pikiran?"

   "Heh-heh, tenang. Kau tak tahu dan bodoh amat, May-may. Bangsa Mongol tak pernah memiliki anak seperti ini dan sekarang tahu-tahu kudapatkan bocah seperti ini. Ia keturunan Tuhan yang harus dijaga. Ia pengangkat derajat dan hidup mulia orang tuanya!"

   "Akan tetapi ia anak Kiok Eng, musuh besarku!"

   "Tenang, bersabarlah sedikit. Dengan hilangnya anak ini saja kau telah membalas sakit hatimu. Bayangkan orang tuanya yang kelabakan. Bayangkan hati seorang ibu yang tak keruan rasanya. Eh, bocah ini hendak kupersembahkan Raja Sabulai, May-may, dan kau serta aku hidup mulia di sana!" "Kau tak membunuh anak ini?"

   Kakek itu membalik, sinar matanya tiba-tiba mencorong. Lalu ketika ia memandang dengan wajah keras dan membesi maka suaranya terdengar tidak main-main ketika berkata, bahkan mengancam.

   "Sudah kubilang bahwa anak ini adalah calon orang besar dan merupakan Thian-cu. Kalau saja ia tak memiliki Ceng-bong-toh mau bunuh boleh bunuh, May-may, akan tetapi ia memiliki tanda-tanda yang tak dimiliki satu di antara sejuta anak. Aku hendak memberikannya kepada Raja Sabulai, ia tentu girang. Di antara kami bangsa Mongol belum tentu terdapat keturunan seperti ini biarpun menunggu seribu tahun. Nah, jangan bicara seperti itu lagi atau kau tahu akibatnya!"

   May-may marah bukan main akan tetapi menyadari betapa lihainya kakek ini.

   Ia menangis dan membanting kaki dan merasa dikhianati.

   Perjanjian itu dilanggar.

   Maka ketika ia membentak bahwa ia pun tak sudi memberikan tubuhnya, kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk justeru ia berkata.

   "Tak apa, di tempat Sabulai banyak terdapat penggantinya. Seratus yang lebih baik dan lebih cantik akan mudah kudapatkan, May-may, pergilah dan tinggalkan tempat ini. Atau kalau kau mau ikut ikutlah baik-baik akan tetapi jangan berulah macam-macam!"

   May-may menjerit dan memutar tubuhnya.

   Kalau saja ia tahu bahwa ia dapat menandingi kakek ini tentu diterjang dan dilabraknya kakek itu.

   Akan tetapi Siang Lun Mogal terlalu lihai, ia tak boleh menurutkan hawa nafsu.

   Maka ketika ia memaki dan berkelebat meninggalkan kakek itu, lenyap di dalam tembok besar maka kakek ini tertawa-tawa dan memang benar ia kagum bukan main akan Ceng-bongtoh yang ada di dada kanan anak itu.

   Waktu itu bangsa Mongol dipimpin seorang raja bernama Sabulai.

   Dari isteri yang dinikahi raja ini ternyata tak melahirkan keturunan.

   Selirnya banyak akan tetapi semua melahirkan anak perempuan.

   Tujuh belas jumlahnya! Maka ketika raja mengambil selir baru akan tetapi semuanya kembali melahirkan anakanak perempuan maka Sabulai mengutuk isteriisterinya dan seorang ahli bintang meramal bahwa raja tak akan mendapatkan seorang anak laki-laki pun biar berganti seribu isteri.

   "Paduka hanya akan mendapatkan seorang anak laki-laki jika seseorang kelak memberikannya secara suka rela. Akan tetapi anak inipun bukan keturunan bangsa kita, ia berkulit kuning dan sedikit sipit. Kalau paduka bersabar dan hanya minum selama empat puluh hari maka paduka akan mendapatkan itu. Inilah keterangan hamba dan mohon ampun bila hamba salah bicara."

   Ahli perbintangan itu mundur dan Raja Sabulai termangu-mangu.

   Ia tergetar dan jengkel namun bingung juga mendengar kata-kata pembantunya.

   Siapakah yang akan memberikan anak secara suka rela? Lagi pula bangsa apakah anak itu hingga dikatakan berkulit kuning dan sipit? Di sebelah barat adalah suku bangsa Uighur, berkulit hitam.

   Sedangkan di timur dan utara adalah bangsa Turfan dan Huna.

   Hanya di selatan tinggallah bangsa Han yang kuning dan bermata sipit itu, tapi mereka musuh! Maka ketika Sabulai termangu-mangu dan bingung serta heran, juga jengkel akhirnya nasihat tukang ramalnya dituruti juga.

   Ia minum selama empat puluh hari agar mendapat anak laki-laki.

   Dan pagi itu kejadian menggegerkan itupun terjadilah.

   Siang Lun Mogal yang tahu kesedihan raja nya ini datang.

   Kakek ini berseri-seri dan menghadap raja dengan muka kemerah-merahan.

   Ia memondong seorang bayi lelaki yang menangis tiada hentinya, dibungkus atau digulung selimut bulu domba akan tetapi dasar goblok merawat anak kecil maka Cit Kong pun tak henti-hentinya melengking.

   Tangis anak ini demikian kerasnya hingga membangunkan semua orang.

   Ratusan tenda menguak dan berlompatanlah laki-laki maupun perempuan.

   Lalu ketika Raja Sabulai sendiri juga terbangun dan tersentak dari mimpi, ia mendorong tiga selirnya dari atas pembaringan maka pengawal melapor bahwa kakek itu minta menghadap.

   Sabulai melompat dan langsung membuka tendanya.

   "Ampunkan hamba, selamat pagi. Hamba membawa oleh-oleh untuk paduka, sri baginda. Maaf pagi-pagi mengganggu karena hamba tak dapat mendiamkannya. Hamba harus sering menotoknya kalau ingin ia diam. Hamba hendak menyerahkan seorang bocah bila paduka berkenan."

   Sabulai tertegun, membelalakkan mata.

   Para selir berhamburan dan para dayang berlutut dan cepat menyambar ini-itu.

   Mereka mengipasi raja sementara selir mengurut dan memijat-mijat tubuh junjungan nya.

   Siang Lun Mogal adalah kakek aneh yang meski pun merupakan bangsa Mongol akan tetapi jarang bertemu rajanya.

   Hal ini tidak aneh karena sejak ia mempunyai murid Wi Tok maka kiblatnya adalah bangsa Han.

   Ia menganggap bangsa Han lebih besar daripada bangsanya sendiri dan karena itu menaruh cita-cita pada muridnya yang memang berdarah Han itu.

   Akan tetapi sejak muridnya tewas dan ia hidup murung, kembali ke Mongol dan jarang saja menemui suku bangsanya maka hari itu ketika ia menghadap raja adalah seolah permintaan maafnya sekaligus mencari nama baik.

   Dan Sabulai tahu betul kakek itu, kakek lihai yang selama ini tak gampang didekati, meskipun diam-diam ia ingin kakek ini menjadi pembantunya, menjadi pelindungnya! "Kau, ah...

   Siang Lun lo-enghiong kiranya.

   Apa dan anak siapa yang kaubawa ini, Siang Lun loenghiong.

   Apa maksudmu dengan kata-katamu itu!"

   "Hamba menemukannya secara kebetulan, tak mampu mendiamkan tangisnya dan tiba-tiba teringat paduka. Kalau paduka berkenan dan mau menerima nya maka inilah persembahan hamba, sri baginda. Paduka boleh mengambilnya sebagai anak akan tetapi lima tahun lagi harus menjadi murid hamba. Anak ini memiliki Ceng-bong-toh!"

   Semua orang geger mendengar kata-kata itu.

   Bagi bangsa Mongol Ceng-bong-toh adalah idaman dunia, biasanya hanya merupakan dongeng dari mulut ke mulut dan orang tua mana tak ingin memiliki anak seperti itu.

   Anak yang memiliki Ceng-bong-toh adalah anak yang bakal memberi rejeki.

   Ayah dan ibunya bakal mulia seumur hidup! Maka ketika kakek itu bicara seperti itu dan semua tentu saja berhamburan ingin tahu, raja terkejut dan juga girang maka Sabulaipun mengangkat tangan mendorong orangorangnya menyesak.

   "Minggir, biarkan aku lihat. Siapakah anak ini dan benarkah ia memiliki Ceng-bong-toh!"

   Siang Lun Mogal tak membuang waktu lagi dan iapun membuka selimut anak itu.

   Disaksikan orang banyak dan Raja Sa bulai sendiri maka tampaklah tanda kebiruan di dada kanan itu, bentuknya seperti bintang.

   Dan ketika raja berseru takjub akan tetapi si bocah menangis keras maka raja tertawa bergelak dan tiba-tiba memanggil seorang dayang muda yang biasanya bertugas merawat bayi.

   "Anak ini, ha-ha, ia benar-benar memiliki Cengbong-toh. Siapa nama dan bagaimana kau memanggil nya, lo-enghiong, bagaimana pula aku menyebutnya!"

   "Hamba memanggilnya Cit Kong, akan tetapi setelah di sini tentu saja terserah paduka."

   "Cit Kong? Ha-ha, ia harus bernama Mongol. Biarlah namanya mirip namaku, Sabuci. Ya, anak itu kuberi nama Sabuci. Eh, bagaimana kau mendapatkan nya, lo-enghiong, dan siapa pula ayah ibunya. Bagaimana kalau tahu nanti di sini!"

   "Hm, hamba mendapatkannya secara kebetulan. Ibunya sakit di tengah jalan, sri baginda, lalu meninggal dunia. Ayahnya, maaf... tentu saja hamba tidak tahu."

   "Wah, bagus sekali, kalau begitu yatim-piatu. He, ambilkan hadiah untuk Siang Lun lo-enghiong dan adakan jamuan besar-besaran!"

   Raja bertepuk girang dan pagi itu juga bangsa Mongol dibuat gaduh.

   Datangnya Cit Kong di tengah-tengah mereka serta kegembiraan raja yang begitu besar cepat menjalar ke seluruh tenda.

   Siapa tak girang akan itu.

   Maka ketika raja menjamu besar-besaran sekaligus memberi hadiah kakek ini, jamuan itu untuk Cit Kong dan si kakek gundul maka di kemah bangsa Mongol mi putera Kiok Eng bernama Sabuci! Dayang yang pandai pintar sekali menghentikan tangis anak ini.

   Ternyata Cit Kong lapar.

   Akan tetapi karena dari sekian dayang tak ada yang menyusui, Sabulai tak ingin memberikan susu kambing maka selirnya termuda yang kebetulan baru saja melahirkan anak diminta menyusui Cit Kong.

   Dan anak itu demikian lahap menyusu.

   Raja tergelak-gelak! "Bagus, kau ibunya.

   Minum dan teteki dia setiap lapar, Kayima, dan Huni membantumu.

   Ah, jaga baikbaik anak ini dan jangan sampai menangis!"

   Selir dan dayang itu sama-sama girang.

   Kayima selir termuda ini bagai mendapat rejeki sorga, dari buah dadanya lah anak itu melahap makanannya.

   Lalu ketika Sabulai menghadapi kakek gundul dan menawarkan kedudukan, juga wanita maka inilah puncak hadiah bagi Siang Lun Mogal.

   "Lo-enghiong sudah seharusnya bersama kita. Sekarang ikatan di antara kita terjadi. Aku ingin memberimu kedudukan dan isteri apakah lo-enghiong siap menerimanya."

   "Isteri? Heh-heh, tak akan awet. Hamba tak suka itu, sri baginda, hamba tak ingin pusing memikirkan isteri anak. Hamba sudah cukup mempunyai murid Sabuci. Kalau paduka ingin memberikannya biarlah sifatnya hiburan saja, tidak mengikat. Dan tentang kedudukan, hmm... terserah paduka."

   Sabulai tertawa dan berseri-seri memandang kakek gundul ini.

   Sudah lama dia dengar keanehan dan sepak terjang kakek ini, juga tingkah lakunya akan wanita.

   Maka ketika ia mengangguk-angguk dan berkata bahwa siapapun boleh dipilih di situ, bahkan para selir kecuali Kayima maka raja menawarkan kedudukan sebagai panglima perang! "Aku telah mendengar akan kepandaianmu yang tinggi.

   Sudah lama aku menaruh kagum dan hormat kepadamu, lo-eng hiong, akan tetapi karena baru sekarang kau muncul biarlah tunjukkan kepadaku semuanya itu.

   Sekarang juga kau menjadi panglimaku.

   Wakililah aku dan bawalah bala tentara tundukkan suku-suku bangsa Uighur dan Turfan serta Huna di sekitar kita.

   Jadikanlah bangsa kita Mongol yang besar!"

   "Panglima? Hamba memimpin bala tentara?"

   "Ya, kau wakili aku tundukkan mereka yang membandel itu, lo-enghiong. Sudah lama ini aku gagal karena mereka memiliki beberapa orang pandai!"

   "Akan tetapi..."

   Kakek ini terkejut.

   "Hamba seorang ahli silat, baginda, bukan ahli perang. Mana mungkin membawa bala tentara!"

   "Kau akan didampingi pembantu-pembantuku terpercaya. Inilah mereka!"

   Lalu ketika raja bertepuk dan muncullah empat orang bertubuh kokoh maka Sabulai tersenyum menunjuk mereka, mulai yang muda sampai yang hampir lima puluh tahun.

   "Itu Sabhu, ini Honga. Dan. dua yang ini adalah singa-singa padang rumput, lo-enghiong, panglimaku Sodor dan Homba. Kau boleh buktikan kepandaian mereka menyerang musuh dan inilah para pembantumu sekarang. Ha-ha, kalian!"

   Raja berseru menuding mereka.

   "Perhatikan dan dengarkan baik-baik bahwa sejak hari ini juga Siang Lun lo-enghiong ini kuangkat mewakili diriku dan memimpin kalian menundukkan suku-suku bangsa Uighur dan Turfan serta Huna. Kalau ada di antara kalian yang ingin mengeluarkan suara harap lepaskan sekarang juga. Kita bangsa Mongol bukan bangsa yang suka bertengkar sembunyisembunyi!"

   Empat panglima terkejut dan mereka itu tampak berubah bahwa sebegitu tinggi penghargaan yang diberikan raja kepada kakek gundul ini.

   Belum apa-apa kakek ini sudah diangkat sebagai panglimanya panglima, siapa tidak penasaran.

   Dan karena mereka adalah orang-orang keras yang biasanya jujur dan suka bicara ceplas-ceplos jnaka setelah bisik-bisik dan saling pandang maka Homba, panglima tertua membungkuk di depan rajanya.

   Kata-katanya tenang akan tetapi gagah dan tegas.

   Singa padang rumput ini tampak memang berwibawa, biarpun rambutnya sudah berwarna dua.

   "Maafkan hamba. Siang Lun lo-enghiong ini memang telah kami dengar nama besarnya, sri baginda, akan tetapi sebagai orang baru di sini mestinya harus mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku, apalagi jika hendak memimpin kami yang sudah belasan tahun di sini. Kalau paduka tidak keberatan kami berempat mohon diperkenankan menguji dirinya sepuas mungkin. Calon pemimpin harus berani menerima itu!"

   "Hm, benar, tidak salah,"

   Sabulai menganggukangguk dan memandang kakek itu.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku terlanjur menaruh kepercayaan penuh kepadamu, lo-enghiong, akan tetapi tentunya engkau tak akan mengecewakan aku. Turutilah permintaan mereka dan justeru tunjukkan kepada kami semua bahwa kedudukan yang kuberikan tidaklah jatuh di pundak yang salah!"

   "Hamba tak akan menolak apapun yang diberikan. Sebuah kedudukan memang tidak seharus nya diberikan cuma-cuma, sri baginda, kalau para pembantu paduka ini ingin menguji hamba tentu saja hamba tak keberatan."

   Kakek itu tersenyum.

   "Baiklah, kalau begitu mari keluar." Siang Lun Mogal mengeluarkan tawa mengejek ketika empat calon pembantunya ini bergerak keluar. Untuk pamer dan membuat kejutan sengaja ia mengerahkan ilmunya meringankan tubuh, tahu-tahu lenyap dan mendahului orang-orang itu. Lalu ketika semua celingukan dan mencari-cari, Sabulai sendiri juga terkejut maka kakek itu ternyata di atas tenda lain berdiri di puncaknya, terayun-ayun santai.

   "Hamba di sini. Silakan persiapkan apa saja yang dikehendaki, sri baginda. Hamba akan turun kalau sudah selesai!"

   Semua tercengang, akan tetapi raja bertepuk takjub.

   Lalu ketika pengawal juga berseru kagum dan memuji riuh maka kakek itupun menggenjot tubuhnya dan...

   berjungkir balik naik turun di puncak tenda, tidak hanya berhenti di sini melainkan bergerak dan kemudian meloncat ke tenda lain, berkelebat dan akhirnya menyambar bagai burung beterbangan dan tentu saja demonstrasi itu disambut pekik gemuruh bangsa Mongol.

   Lalu ketika kakek itu lenyap dan muncul berganti-ganti, berpindah dan menyambar dan satu tempat ke tempat lain akhirnya terdengar seruan bahwa empat panglima telah siap di bawah.

   Lima ekor kuda berderap menghentikan gegapgempita.

   Siang Lun Mogal melayang dan berseri-seri mengejek empat panglima yang berwajah masam itu.

   Mereka telah melihat kepandaian kakek ini akan tetapi bukan itu yang hendak diuji.

   Ujian adalah ilmu menunggang kuda dan berperang, lima batang tombak telah disiapkan di situ pula.

   Dan ketika kakek ini tertegun menerima seekor kuda maka panglima tertua membungkuk dan berkata.

   "Lo-enghiong benar-benar luar biasa, akan tetapi semua itu bersifat perorangan. Kami hendak menguji lo-enghiong ilmu menunggang kuda dan melempar tombak, juga memanah. Kalau semua ini dapat dilewati maka lo-enghiong harus menghadapi keroyokan kami berempat. Dalam pertempuran sering terjadi keroyok mengeroyok."

   Kakek ini tertegun, menerima pula sebatang gendewa.

   Lalu ketika seorang lain menyerahkan segebung anak panah lengkap berikut perisai, inilah tak diduga maka lima ekor kuda pun ditepuk dan dengan sigapnya empat panglima itu tahu-tahu telah meloncat di kuda masing-masing.

   Gemuruh dan sorak riuh kini ditujukan oleh kelucuan kakek ini yang terbengong-bengong.

   Memang Siang Lun Mogal keblingsatan! "Naiklah!"

   Panglima Homba memberi aba-aba.

   "Kuda hitam itu untukmu, lo-enghiong, kita beradu cepat menuju ujung jalan itu. Siapa dapat menancap kan tombaknya lebih dulu di pohon besar itu dialah yang menang."

   Kakek ini merah padam.

   Seumur hidup belum pernah dia menunggang kuda.

   Andalannya adalah ilmu lari cepat.

   Kuda pun kalah kencang jika beradu lari dengannya.

   Akan tetapi karena ini berkaitan dengan kedudukan yang diberikan Raja Sabulai, mau tidak mau ia harus menerima itu maka iapun meloncat dan...

   jatuh tegak lurus di punggung kuda.

   Tubuhnya kaku dan orangpun terpingkal ketika kuda meringkik dan melonjak-lonjak, nyaris meloncat ke depan.

   "Pegang kendalinya, pegang kendalinya! Kuasai tali kekang itu, lo-enghiong. Awas jangan kabur!"

   Kakek ini melirik dan ternyata Raja Sabulai sendiri yang memberi petunjuk.

   Ia merah padam akan tetapi cepat menyambar tali kuda dan barulah kuda berhasil dijinakkan.

   Empat panglima tertawa tak mampu menahan geli.

   Akan tetapi ketika ia melotot dan menyambar mereka dengan pandangan berapi, kekuatan Hoat-lek-kim-ciong-ko muncul tiba-tiba maka empat orang itu terkejut dan menutup mulut.

   Panglima Sabhu kini membungkuk dan berseru pada Raja Sabulai agar mem berikan aba-aba start.

   "Mohon paduka hitung. Kami siap ber pacu!"

   Sabulai berdebar, ragu-ragu.

   Dia sendiri sebagai pemimpin bangsa Mongol yang tentu saja ratusan kali menunggang kuda segera maklum bahwa kakek gundul ini bukan ahlinya.

   Gerak ketika meloncat dan menarik tali kekang sungguh menggelikan.

   Akan tetapi karena empat panglimanya tidak salah dan kakek itu memang harus diuji, inilah sanggup tidaknya kakek itu maka raja pun mengangkat tinggi-tinggi sebuah bendera start.

   "Awas, perhatikan semua. Kuhitung! Satu... dua... tiga!"

   Tepat hitungan tiga maka empat kuda pertama meringkik dan mencongklang pesat.

   Baik panglima Sabhu maupun singa tua Homba menyentak dan menendang perut kuda masing-masing.

   Dari sini dapat dilihat tangkasnya dan kepandaian orang-orang itu.

   Akan tetapi ketika kuda hitam Siang Lun Mogal meringkik dan berputar-putar maka kuda inilah yang paling konyol karena si kakek menarik ke kiri kanan hingga sang kuda tak tahu ke mana tuannya menghendaki, bukan lurus ke depan! Terbahak-bahaklah bangsa Mongol melihat itu.

   Hanya Raja Sabulai yang pucat dan kaget melihat ini.

   Raja sama sekali tak tertawa.

   Dan ketika Siang Lun Mogal juga kaget dan marah kudanya berputaran, persis orang kena ayan maka saat itulah tali putus dan kakek ini menggeram lalu menyambar leher kudanya kuat-kuat dan sekali ia membentak tiba-tiba kudapun meloncat dan...

   terbang bagai kilat menyambar, bukan sekedar oleh kekuatan kaki melainkan oleh kehebatan kakek ini mengangkat kudanya dan dalam keadaan setengah melayang itulah kuda ini kabur! Bukan main hebatnya yang dilakukan kakek gundul ini.

   Marah bahwa kudanya tak keruan sementara empat ekor kuda di depan sudah puluhan meter maka kakek ini mempergunakan kepandaian nya.

   Dengan tenaganya yang dahsyat dan cengkeramannya yang kuat ia membawa terbang kuda ini.

   Orang sampai terlongong-longong melihat kuda itu tak menyentuh bumi.

   Sebenarnya kakek inilah yang "terbang"

   Membawa kudanya. Maka ketika ia bergerak begitu cepatnya sementara empat panglima tertawa dan menoleh ke belakang, saat itulah si kakek gundul lewat maka mereka kaget bukan main karena kuda dan penunggangnya lewat bagai halilintar cepatnya. "Siap!"

   Kuda hitam benar-benar bak kilat menyambar.

   Sebentar saja ia melewati empat kuda lawan dan berada di ujung jalan.

   Kakek ini tak membuang-buang waktu dan ditancapkannya tombak di pohon besar itu.

   Lalu ketika ia membalik dan kembali ke tempat Raja Sabulai, tepat di saat lawan masih setengah jalan maka riuhlah tepuk tangan sorak menggegapgempita.

   Kakek ini telah berada kembali di tempatnya dan kudanya bagaikan kuda iblis.

   "Siang Lun lo-enghiong menang. Hore, Siang Lun lo-enghiong menang...!"

   Bukan hanya Raja Sabulai yang takjub akan tetapi semua bangsa Mongol dan empat panglima juga kagum dan tercengang-cengang.

   Mereka begitu heran dan takjub akan apa yang dilihatnya ini.

   Kakek itu benar-benar luar biasa.

   Maka ketika mereka kembali dan berhenti mem balapkan kuda, siapapun tak menyangka bahwa kakek inilah yang sebenarnya "terbang"

   Membawa kudanya maka empat panglima itu menjura dan memberi hormat.

   "Lo-enghiong menang, kami benar-benar kalah. Akan tetapi masih ada sisa pertandingan lain melempar tombak. Kita berlima tetap di atas kuda dan menombak sasaran bergerak!"

   "Ha-ha, semaumu. Apapun kulayani, panglima Homba. Kalau belum puas mari-sampai puas!"

   Kakek ini tertawa bangga dan diam-diam ia mengusap keringat dinginnya.

   Kalau tidak berkat kepandaiannya itu tak mungkin ia menang.

   Sesungguhnya empat orang itu hebat.

   Maka ketika ia ditantang lagi dan masih tetap di atas kuda, ia tak boleh gentar maka lima ekor merpati dikeluarkan dan Homba berlutut di depan rajanya.

   "Mohon paduka lepaskan merpati-merpati itu dan harap beri tanda. Jelaskanlah kepada Siang Lun loenghiong mana-bagiannya dan mana pula bagian kami."

   Sabulai tersenyum, mengangguk-angguk. Lalu ketika ia menghadapi kakek itu dan empat panglima nya yang lain maka ia berkata bahwa masing-masing merpati tak boleh diserobot yang lain.

   "Kau, bagianmu adalah yang soklat ini. Lima merpati ini akan kuterbangkan dan lepas bebas di udara, lo-enghiong. Siapa yang tepat menombak putus lehernya dialah pemenang sejati. Mengenai bagian yang lain berarti kalah. Jadi kalian harus mengejar dan membunuh sasaran bergerak ini. Sekarang siap kumulai!"

   Sabulai telah memberikan tanda-tanda bagi empat merpati lain untuk empat panglimanya.

   Yang putih dan hitam adalah milik panglima Sabhu dan Honga, yang abu-abu dan blorok adalah bagian Sodor dan Homba.

   Maka ketika semua di siapkan dan lima merpati dilepas, tak boleh dikejar sebelum seratus meter maka berserulah Raja Sabulai setelah waktunya tiba.

   "Siap, perburuan dimulai!"

   Kakek gundul mengumpat.

   Bersama itu bertepuk riuhlah bangsa Mongol menggebah merpatimerpati itu.

   Burung yang kaget dan gesit ini membubung tinggi.

   Lalu ketika empat panglima mengejar namun sulit melepaskan tombak, jarak begitu jauh maka yang soklat menghilang lenyap di balik awan kelabu.

   Siang Lun Mogal mengutuk dan menyumpah-serapah dan tak tahu bahwa itulah merpati paling baik yang dimiliki bangsa Mongol, merpati kesayangan Raja Sabulai sendiri akan tetapi yang hari itu terpaksa dikorbankan untuk menguji kehebatan kakek ini! (Bersambung

   Jilid VIII.) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara

   Jilid VIII *** AKAN tetapi Siang Lun Mogal bukanlah tokoh kemarin sore.

   Sementara empat temannya mengejar dan siap dengan tombak di tangan, siap lontar maka kakek ini berkemak-kemik.

   Merpati coklat yang menjadi sasarannya menghilang entah ke mana.

   Sorak riuh bangsa Mongol membuat binatang itu ketakutan.

   Empat merpati lain juga terbang tinggi akan tetapi mereka itu kelihatan, dikejar dan diburu empat panglima ini dan diam-diam mereka girang bukan main bahwa sasaran di depan, tidak seperti kakek itu yang kehilangan buruannya.

   Maka ketika mereka mengejar dan yakin memenangkan pertandingan, mereka adalah ahli tombak berpengalaman maka justeru kakek itu tiba-tiba berhenti dan bersedekap.

   Orang tertegun.

   Raja juga tertegun dan kaget kenapa kakek ini mendadak berhenti.

   Akan tetapi ketika tiba-tiba dari langit yang berawan muncullah titik hitam menyambar turun, cepat dan luar biasa tahu-tahu merpati coklat yang hilang lenyap kini kembali.

   Jaraknya hanya beberapa tombak dari kakek gundul ini! "Cras!"

   Orang tak tahu apa yang terjadi namun semua melihat betapa dengan kecepatan kilat si kakek menggerakkan tombaknya.

   Merpati itu mendadak roboh dan jatuh ke tanah.

   Lalu ketika semua orang sadar betapa Siang Lun Mogal membunuh sasarannya, tepat di leher maka gemuruhlah sorak riuh di mana kakek itu berkelebat dan telah menyambar bangkai merpati ini, melaju dengan kuda hitamnya mendekati Raja Sabulai sementara empat panglima yang lain masih menguber-uber (mengejar-ngejar) binatang buruan mereka.

   Belum satupun berhasil! "Ha-ha, hamba sudah melaksanakan tugas.

   Inilah hasil perlombaan hamba, sri baginda.

   Harap paduka saksikan!"

   Raja terkejut dan girang lalu bertepuk tangan memuji kakek gundul ini.

   Rakyat riuh bersorak-sorai dan empat panglima tertegun menoleh.

   Mereka melihat keberhasilan kakek itu.

   Dan ketika raja memberi tanda agar semua kembali, pemenang telah ditentukan maka Homba dan lain-lain merah padam.

   Untuk kedua kalinya mereka pecundang! "Siang Lun lo-enghiong telah memenangkan pertandingan ini.

   Berhenti dan tak usah diteruskan pekerjaan kalian, Homba.

   Juara telah muncul!"

   Empat panglima terheran-heran dan kagum namun juga penasaran bagaimana kakek itu menang. Mereka tak tahu bahwa dengan Hoat-lek-kim-ciongko nya kakek ini "memanggil"

   Merpati itu.

   Hoat-lekkini-ciong-ko adalah sihir yang amat kuat di mana merpati coklat bergetar pikirannya.

   Ia kacau dan tersedot untuk akhirnya tertarik ke kakek gundul itu.

   Pengaruh magis membuatnya bingung.

   Maka ketika tanpa sadar ia tersedot ke kakek ini, itulah saatnya si kakek bergerak maka dengan kepandaiannya mudah lah Siang Lun Mogal melontarkan tombaknya, tepat dan membuat leher merpati putus! "Kami mengaku kalah, lo-enghiong benar-benar luar biasa.

   Akan tetapi karena masih ada dua pertandingan lagi kami harap akan mampu meng imbangi dan marilah sekarang bermain panah!"

   Homba panglima tertua membungkuk jujur, la dan kawan-kawannya telah dipecundangi akan tetapi masih ada dua pertandingan lagi, yakni panah kemudian pertempuran keroyokan.

   Maka ketika ia mengakui kekalahan akan tetapi dari dua yang terakhir ini akan diperebut kemenangan, Sabulai pun mengangguk-angguk maka untuk ke sekian kalinya lagi kakek ini mengerutkan kening.

   Ia diajak adu panah! "Bagaimana aturannya, apa yang kalian kehendaki.

   Coba terangkan dulu kepadaku, Homba.

   Bermain panah bagaimana yang kalian kehendaki!"

   "Kami masing-masing meluncurkan sebatang panah, lawan memukulnya dari samping. Kalau tiga kali berturut-turut tak mampu meruntuhkan maka dialah pihak yang kalah."

   "Hm, begitu? Coba tunjukkan dulu biar aku belakangan!"

   Homba mengangguk.

   Ia memerintahkan Sabhu bersiap sementara dia sendiri meloncat dan berlari ke samping.

   Dalam jarak lima puluh tombak ia berhenti.

   Lalu ketika ia memberi aba-aba dan Sabhu melepas sebatang panahnya, panglima itu sendiri siap dengan sebatang panah lain maka gendewa dijepret dan panah yang melesat dari tangan panglima Sabhu dibentur dan patah tengahnya.

   "Tak!" Bersoraklah bangsa Mongol memuji panglima itu. Tidak hanya sekali melainkan tiga kali berturutturut panglima Homba memukul runtuh panah lawannya. Dan ketika Raja bertepuk tangan dan selesailah satu babak maka panglima Sabhu ganti memukul runtuh panah yang dilepas panglima Homba. Akan tetapi hanya dua yang kena, yang terakhir dan melesat dengan kecepatan kilat tak mampu dipukul runtuh. Maka ketika dengan ini panglima tertua memenangkan pertandingan maka kakek gundul mengangguk-angguk dan tiba-tiba terkekeh gembira.

   "Wah, permainan kecil. Kalau ini saja tak perlu kutakuti, Homba, empat sekalipun dapat kupukul bareng. Biarlah kalian selesaikan dulu dan aku belakangan!"

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Orang terkejut dan para panglima memerah mukanya.

   Mereka menganggap kakek ini terlalu sombong akan tetapi tentu saja ingin membuktikan.

   Biarlah mere ka menyelesaikan babak mereka dulu baru kakek ini dilihat kepandaiannya.

   Dan ketika dua panglima lain yakni Sodor dan Honga mendapat nilai sama dua, masing-masing luput memanah yang satu maka kakek ini tertawa bergelak meloncat turun dari kudanya, langsung berkelebat dan menuju lima puluh tombak samping kiri, berhenti di sini.

   "Kalian semua lepaskan panah berbareng. Aku di sini meruntuhkan panah-panah kalian, Hombu. Lihat kepandaianku dan semua kupukul runtuh, tanpa gendewa!"

   Semua bersorak kecuali empat panglima itu sendiri.

   Setelah dua kali berturut-turut kakek ini memperlihatkan kepandaiannya maka orang pun menaruh kepercayaan.

   Sabulai pun juga begitu.

   Maka ketika raja bertepuk tangan akan tetapi empat panglima justeru cemberut maka kakek itu bersiapsiap dan telah memegang empat panah di kedua tangan, tertawa memanaskan.

   "Ayo, lepaskan panah kalian. Dari sini akan kubentur runtuh!"

   Terpaksa empat panglima melepaskan marah dengan melepaskan panah secara serentak.

   Tanpa babi-bu lagi akan tetapi sudah saling memberi isyarat mendadak mereka mementang busur.

   Masing-masing berjajar dan empat panah terlepas berbareng.

   Hebat mereka itu, tenaga diatur sedemikian rupa hingga dari samping empat batang panah terlihat satu.

   Yang sebelah kanan tertutup yang kiri.

   Jadi begitu empat panah melesat akan tetapi hanya kelihatan yang paling kiri, yang lain tertutup karena berjajar dengan panah yang dilepas panglima Homba ini maka Siang Lun Mogal terkejut karena pandang matanya tertutup panah paling dekat, tiga yang lain seolah menempel atau lekat menjadi satu! Akan tetapi Siang Lun Mogal adalah kakek yang juga bukan sembarangan.

   Meskipun dia mengumpat dan diam-diam mengakui bahwa empat panglima itu memiliki ilmu panah jempolan namun ia pun bertindak tak kalah mengagumkan dengan empat panglima itu.

   Semua orang, yang berada di belakang kakek ini juga melihat bahwa panah yang meluncur seolah sebuah saja.

   Membentur yang ini berarti gagal memukul runtuh yang lain, karena panah kedua dan seterusnya tentu terus menyambar dan terbang ke depan.

   Akan tetapi ketika kakek itu berseru keras dan menggerak kan kedua tangannya, empat batang panah meluncur secara beriringan maka secara lihai akan tetapi cerdik bukan main panah yang dilepas kakek ini melesat dan membentur empat panah itu secara bergantian, yakni ketika panah ke satu runtuh dan memperlihatkan panah kedua begitu seterusnya sampai panah terakhir, tentu saja selisihnya hanya sepersekian detik saja.

   "Tak-tak-tak-tak!"

   Gemuruhlah tepuk riuh sorak penonton.

   Mereka yang kebingungan dan merasa tak sanggup mematahkan empat panah itu tiba-tiba menjadi takjub dan kagum bukan main.

   Begitu hebat dan tepatnya kakek itu meruntuhkan panah panglima Homba dan kawan-kawan.

   Satu persatu di buat rontok dan saat itulah si kakek benar-benar memperlihatkan kepandaiannya.

   Maka ketika mereka terkejut dan sadar serta kagum memuji kakek itu, Siang Lun Mogal terbahak-bahak adalah empat panglima menjadi pucat dan kaget serta bengong.

   Dengan mata kepala sendiri mereka melihat betapa anak-anak panah mereka dijatuhkan satu persatu untuk kemudian runtuh dan patah ke tanah.

   "Ha-ha-ha, kurang apalagi. Biarpun licik dan cerdik kalian menyembunyikan panah akan tetapi semuanya dapat kurontokkan, Homba. Bukti apalagi yang ingin kalian peroleh sebelum benar-benar puas menjadi pembantuku!"

   Homba dan tiga rekannya terkagum-kagum akan tetapi segera sadar dan mengakui kekalahan.

   Raja bertepuk tak habis-habisnya dan semburatlah wajah mereka.

   Kakek ini benar-benar hebat! Akan tetapi karena masih ada sebuah pertandingan lagi dan itulah keroyokan satu lawan empat, di sinilah mereka habis-habisan hendak menguji kakek ini maka Homba melompat ke depan membuang busur dan anak panahnya, membungkuk dalam-dalam.

   "Lo-enghiong benar-benar luar biasa, juga cerdik menandingi kami. Karena kami kembali kalah maka dengan jujur kami akui kehebatan dirimu. Akan tetapi masih ada sebuah pertandingan lagi, sang gupkah lo-enghiong menghadapi kami ber empat!"

   "Ha-ha, jangankan berempat. Bersepuluh pun kalian bakal kurobohkan, Homba, tak ada yang kutolak. Hayo tambah dengan pembantu-pembantu terkuatmu dan biarlah kuhadapi kalian sepuluh orang sekaligus!"

   Bukanlah kesombongan kalau kakek ini bicara seperti itu.

   Sebagai seorang ahli silat sekaligus tokoh terkenal yang ditakuti dunia kang-ouw kata-kata Siang Lun Mogal tidaklah berlebihan.

   Dikeroyok seratus pun dia tak takut, bukankah empat panglima itu hanya orang-orang biasa saja, bukan golongan persilatan.

   Akan tetapi karena jelek-jelek mereka itu ahli perang yang baik, juga merupakan panglima-panglima pembantu Raja Sabulai maka ejekan atau kata-kata kakek ini memerahkan telinga memanaskan hati, membakar! Homba dan tiga rekannya saling lirik dan masing-masing bersuit, enam orang berloncatan dan itulah pemuda-pemuda Mongol yang gagah dan tegap kuat.

   Mereka adalah perwira bawahan empat panglima ini dan tantangan kakek itu disambut.

   Dan ketika masing-masing sudah menyambar tombak dan riuhlah penonton memberi tepuk tangan, Siang Lun Mogal terkekeh-kekeh maka Sabulai mengerutkan kening dan agak khawatir.

   Betapapun dia tahu bahwa sepuluh orang itu adalah pembantunya paling terpercaya dan juga ahli keroyok, terutama enam perwira muda yang matanya tajam bersinar itu, pemuda-pemuda gagah yang sekali maju bagaikan harimau-harimau kelaparan yang haus darah! "Siang Lun lo-enghiong sebaiknya beristirahat dulu, atau keroyokan dibatasi dan masing-masing sepuluh jurus!"

   "Ha-ha, tak perlu. Pembatasan hanya mengurangi kepercayaan saja, sri baginda. Biarlah mereka bertanding dan mengeroyok hamba sepuaspuasnya. Terima kasih atas kekhawatiran paduka!"

   Raja Sabulai tak dapat berbuat apa-apa.

   Ia telah melindungi kakek ini akan tetapi si kakek sendiri tak mau, apa boleh buat ia pun memandang saja dengan berdebar.

   Sepuluh orang itu telah berlompatan dan mengepung kakek ini, gigi mereka gemeretuk sementara tombak di tangan bergetar siap serang.

   Sekali aba-aba dilepaskan hancurlah kakek itu di tengah.

   Maka ketika Raja menarik napas dalam-dalam dan menganggap kakek itu keterlaluan juga, apa boleh buat ia harus merelakan para pembantunya membantai kakek itu maka Sabulai mengernyitkan kening sementara Homba berseru apakah kakek itu sudah siap.

   "Siap? Ha-ha, sejak tadi. Maju dan seranglah aku, Homba, jangan banyak cakap. Sedikit saja bajuku robek kalian kuanggap menang!"

   Bentakan dan kemarahan tak dapat di tunda lagi.

   Panglima itu menerjang dan tombak di tanganpun menusuk.

   Gerakannya ini disusul panglima Sodor dan Sabhu, juga Honga.

   Lalu ketika enam perwira lain juga bergerak dan menusuk cepat, masing-masing berlomba merobohkan kakek ini maka Siang Lun Mogal tertawa bergelak dan tiba-tiba menghilang.

   Kakek ini menotolkan kedua kakinya dengan amat cepat dan tahu-tahu melejit ke atas.

   "Trang-trang-tranggg!" Tak dapat dicegah lagi tombak di tangan sepuluh orang itu berbenturan. Masing-masing terkejut dan berseru keras dan saat itulah si kakek melayang turun. Hanya penonton yang melihat betapa kakek ini meloncat tinggi sekali, membiarkan tombak bertemu dan kini meluncur turun. Dan ketika dengan kedua kaki bergerak cepat ke kiri kanan, menyapu atau menendang maka Homba dan rekanrekannya terlempar dan tak ayal lagi mereka pun menjerit bergulingan. Sapuan itu bagai sepasang kipas besi menghajar pundak atau leher mereka.

   "Ha-ha, ayo bangun. Sambar dan cekal kuatkuat senjata kalian, Homba, jangan begitu lemah. Ayo, bangun!"

   Sepuluh orang itu bergulingan meloncat bangun dengan muka pucat.

   Mereka tak tahu kapan dan dari mana kakek itu tahu-tahu menendang.

   Yang mereka lihat adalah sasaran yang hilang dan sepasang kaki yang tahu-tahu begitu cepatnya menghantam mereka.

   Pundak atau leher seakan patah-patah.

   Akan tetapi karena itu baru segebrakan dan siapa puas, mereka tak melihat atau penasaran akan kepandaian kakek ini maka Homba dan rekan-rekannya bangkit lagi dan menerjang.

   Gaya serangan mereka tentu saja gaya orang perang, bukan ahli silat.

   Dan begitu mereka menerjang sementara kakek ini kembali tertawa bergelak maka Siang Lun Mogal menghilang untuk kedua kalinya dan kali ini berada di luar kepungan.

   Ia menunjukkan ginkang atau ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi.

   "Tring-crang-cranggg!"

   Kakek itu terkekeh-kekeh.

   Ia membiarkan sepuluh tombak berbenturan dan lawan tentu saja kaget.

   Mereka terhuyung bahkan ada yang terpelanting.

   Maka ketika tawa itu mengejutkan mereka sekaligus mengherankan pula, bagaimana si kakek tahu-tahu di luar kepungan maka Homba tak dapat menahan kemarahannya setelah sadar, begitu juga ketiga rekannya.

   Mereka ini seakan dipermainkan dan bagaikan anak kecil pula di hadapan kakek itu, padahal mereka adalah panglima Raja Sabulai yang terkenal.

   Maka merah terpukul perasaannya, juga geram sekaligus gusar akhirnya empat panglima ini membentak dan mengejar kakek itu.

   Enam yang lain terbengong-bengong akan tetapi sudah maju pula.

   Merekapun terkejut akan tetapi tak dapat berpikir panjang.

   Heran dan segalanya harus dibuang.

   Maka ketika melompat dan membantu pimpinan mereka, membentak dan menusuk akhirnya sepuluh orang ini kembali menyerang si kakek gundul akan tetapi kali ini Siang Lun Mogal berkelebatan terkekeh-kekeh, mengelak dan menangkis sementara kaki tangannya tentu saja tak tinggal diam.

   Ia menampar dan memukul akan tetapi mengendalikan tenaganya.

   Lawan berteriak dan terjungkal akan tetapi menyerang lagi.

   Bagian yang dipukul atau ditampar hanya terasa panas.

   Maka ketika menerjang dan melompat bangun lagi, begitu berulang-ulang akhirnya keluarlah bentakan kakek ini bahwa pertandingan akan diakhiri.

   Ia sudah empat lima kali merobohkan lawan.

   "Cukup, sekarang tak perlu diperpanjang lagi. Kalian orang-orang bodoh tak tahu betapa aku telah banyak mengalah. Awas!"

   Lalu ketika kakek ini berjongkok dan mengeluarkan suara aneh dari dalam perut, itulah Ang-mo-kang yang amat dahsyat maka sekali ia mendorongkan ke dua tangannya tiba-tiba sepuluh orang itu menjerit dan berteriak.

   Pukulan Katak Merah menyambar akan tetapi tetap dalam batas pengendalian.

   "Bresss!"

   Terlemparlah Homba dan kawankawan dan kali ini tombak di tangan patah-patah, tubuh berdebuk dan terbanting sementara mereka menggeliat dan roboh.

   Sepuluh orang itu terlempar dan terhembus bagai layang-layang layaknya, tak satupun kuat dan bangsa Mongol tentu saja bersorak gemuruh.

   Mereka tadinya terkejut dan pucat akan tetapi lega bahwa Homba dan kawan-kawan tidak tewas, mereka menggeliat dan mengerang-erang di tanah.

   Lalu ketika kakek itu berkelebat dan menyembuhkan bekas pukulan dengan usapan dan tepukan, bangkitlah sepuluh perwira itu akhirnya tepuk riuh tak dapat dicegah lagi.

   Kakek itu luar biasa dan betul-betul lihai.

   "Siang Lun lo-enghiong menang. Siang Lun loenghiong telah menyelesaikan semua ujian!"

   Yang paling berseri tentu saja Raja Sabulai.

   Tak menyangka bahwa sepuluh pembantunya dirobohkan demikian mudah Sabulai meninggalkan kursinya berlari-lari.

   Ia memeluk dan menepuk-nepuk kakek itu dengan penuh bangga.

   Lalu ketika pengawalnya mengangkat kakek ini tinggi-tinggi dibawa lari berputaran, rakyat sorak dan memuji maka Siang Lun Mogal terkekeh-kekeh di atas bahu pemuda-pemuda Mongol yang kuat ini.

   Homba dan rekannya termangu-mangu Sekarang tak ada lagi alasan untuk tidak mempercayai kakek ini.

   Mereka telah pecundang.

   Maka ketika semua menarik napas dan hari itu mengakui kekalahan, selanjutnya menjadi pembantu kakek ini maka Siang Lun Mogal menjadi panglima dan tugas menggempur suku-suku Uighur maupun Turfan dan Huna menjadi mudah.

   Begitu mudahnya hingga tak sampai enam bulan suku bangsa Mongol menjadi besar.

   Musuh yang takluk bergabung dengan mereka.

   Dan ketika selanjutnya suku-suku lain yang lebih kecil akan tetapi banyak jumlahnya diserang kakek ini, tentu saja Homba dan rekannya merupakan penasihat perang maka tak sampai setahun kemah bangsa Mongol telah menjadi puluhan ribu! Raja benar-benar meluap kegembiraannya.

   Cit Kong, si pembawa Ceng-bong-toh benar-benar membawa rejeki.

   Datangnya anak ini telah merobah segala-galanya.

   Maka ketika bangsa Mongol telah menjadi demikian besar terdiri dari gabungan sukusuku bangsa taklukan maka raja merencanakan untuk menyerang atau menyerbu bangsa Han! "Kupikir kekuatan kita cukup, bala tentara dan ahli-ahli perang siap.

   Bagaimana menurut pendapat mu kalau kita serang bangsa Han, Siang Lun loenghiong.

   Dengan pimpinan di tanganmu tentu semuanya berhasil!"

   Kakek ini tergetar, akan tetapi tersenyum pahit.

   "Paduka belum saatnya menyerang bangsa di selatan itu.

   Di samping banyak orang-orang ber kepandaian tinggi juga karena persiapan di sini sesungguhnya belum cukup.

   Untuk menyerang bangsa itu diperlukan ahli-ahli silat di samping ahli perang.

   Tidakkah paduka ingat peristiwa seminggu setelah hamba di sini."

   "Nenek itu?"

   "Ya, dan di sana masih terdapat yang jauh lebih tinggi. Padahal sepuluh perwira paduka tak mampu mengalahkan nenek itu!"

   Raja diam, menarik napas dalam-dalam.

   Lalu ketika wajahnya tampak kecewa dan mengepal tinju maka terbayanglah olehnya nenek gagah yang akhirnya tewas itu.

   Nenek yang hendak membunuh Sabuci! Malam, itu seminggu setelah kakek ini memenangkan pertandingan maka Siang Lun Mogal bersenang-senang di kemah seorang selir.

   Setelah ia mengalahkan Homba dan rekan-rekannya maka Siang Lun Mogal tiada ubahnya Raja Sabulai sendiri.

   Ia bebas keluar masuk kamar selir asal tidak dipakai Sabulai.

   Hanya satu larangannya, tak boleh mengganggu Kayima yang menyusui Cit Kong, yang kini berganti nama menjadi Sabuci itu.

   Maka ketika ia terlelap dan mabok dalam dekapan selir cantik, demikian bebasnya ia berbuat tak ubahnya Sabulai sendiri maka kakek ini akhirnya tertidur dan tergolek di paha selir itu sampai akhirnya jerit atau pekik gaduh menyadarkannya dan membuatnya mencelat dari paha selir itu, tepat di saat panglima Sabhu berlari-lari ke kemahnya dengan tubuh penuh luka.

   "Siang Lun lo-enghiong, tolong. Seorang nenek mengamuk. Ia hendak membunuh Sabuci. Tolong cepat ia sudah dekat... bruukk!"

   Panglima itu roboh tepat di saat kakek ini berkelebat keluar.

   Sebagai seorang ahli silat yang sudah begitu mendarah-daging maka segala kejadian membuat kakek ini bergerak secara refleks.

   Syarafnya cepat bekerja dan adanya bahaya membuat kakek itu bergetar seluruh tubuhnya.

   Sedikit gerakan membuat ia bergerak amat tangkas.

   Maka ketika Sabhu roboh terjerembab akan tetapi ia sudah melesat keluar maka tiga ratus meter dari tempat itu di mana bentakan dan bunyi nyaring dentang senjata membuat kakek ini terbelalak maka Siang Lun Mogal berdesir melihat seorang nenek berambut panjang menjeletar-jeletarkan rambutnya merobohkan pengawal dan juga Homba serta kawankawannya.

   "May-may!"

   Kakek ini tak dapat menahan marah ketika ia mengenal nenek itu.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Cepat ia membentak dan terlemparlah semua orang ketika ia mendorong dan melempar-lemparkan mereka.

   Nenek itu dikeroyok seratus lebih akan tetapi ia hebat dan amat ganas.

   Sin-mauw-kang atau Silat Rambut Sakti memang bukan lawan orang-orang Mongol ini.

   Nenek itu hendak menyerbu sebuah kemah di mana terdengar jerit tangis bayi.

   Itulah Cit Kong atau Sabuci.

   Maka ketika kakek ini berke lebat dan buyarlah kepungan dilempar kakek itu maka si nenek terkejut dan kaget serta gentar.

   "Kau!"

   Kakek itu menggigil.

   "Apa maksudmu datang ke sini, May-may. Benarkah kau hendak membunuh Sabuci!"

   Nenek itu mundur, akan tetapi kepalang basah. Dan karena para pengepung berteriak dan memakimaki, tak mungkin ia lolos akhirnya nenek itu melengking dan tanpa banyak bicara lagi menyerang kakek ini.

   "Kau begundal Raja Sabulai yang tak tahu malu. Aku hendak mengambil cucuku dan membawanya keluar, Siang Lun Mogal. Aku tak rela kau menyerah kannya kepada orang lain!" Kakek ini mengelak, maju mundur. Ia memaki nenek itu bahwa si nenek telah bersikap kelewat jauh, la tak mungkin mengampuni. Dan ketika nenek itu merangsek dan mendesak kian kalap, memang inilah May-may yang hendak membunuh Cit Kong maka kakek gundul tak mau mengelak lagi dan menangkis.

   "Dukk!"

   Nenek itu terjengkang dan menjerit.

   Selanjutnya ia bergulingan namun meloncat bangun lagi, tiga orang Mongol menyerangnya.

   Akan tetapi karena nenek ini tetap merupakan lawan berbahaya dan Siang Lun Mogal berseru agar jangan mendekat, terlambat maka rambut nenek itu menyambar dan...

   plak, robohlah tiga orang itu dengan kepala pecah.

   May-may memang bukan lawan orang-orang Mongol ini.

   "Minggir, kalian tikus-tikus busuk jangan banyak mencampuri. Kepung dan tetap berjaga saja di tempat!"

   Memang nenek ini tetap berbahaya.

   Sebagai bekas isteri Dewa Mata Keranjang yang lihai dan bukan sembarangan maka perajurit atau pengawal Mongol bukan apa-apa bagi nenek ini.

   Hanya karena berjumlah banyak dan menang kepungan membuat nenek itu tak mudah maju.

   la tertahan dan mengamuk di situ.

   Maka ketika puluhan orang tewas namun kini kakek gundul itu muncul dan datang, ini lah yang membuat nenek itu gelisah maka May-may menjadi mata gelap dan tidak menghiraukan keselamatan diri lagi.

   Malam itu, seminggu setelah Cit Kong diserahkan Sabulai nenek ini menunggu kesempatan.

   Enam hari ini ia mengintai di luar namun melihat bayangan kakek gundul itu.

   Ia meninggalkan Siang Lun Mogal akan tetapi bukan berarti meninggalkan tempat bangsa Mongol itu.

   Ia tetap mencari-cari kesempatan.

   Dan ketika ia menjadi marah dan gelisah kakek itu selalu muncul di antara kemah-kemah besar, enam hari bukanlah penantian yang tidak menghabiskan kesabaran akhirnya pada hari ketujuh itu ia nekat untuk masuk dan menerobos.

   Ia hendak membunuh Cit Kong lalu kabur! Maka masuklah nenek ini dengan amat hatihati.

   Ia sengaja masuk di malam gelap dan telah mengetahui bahwa di kemah berwarna hijau terdapatlah Cit Kong.

   Tangis anak itu dikenalnya.

   Akan tetapi karena Cit Kong adalah anak pembawa Rejeki Dunia (Ceng-bong-toh), belum tentu satu di antara sejuta anak memiliki ini maka Sabulai benar-benar memberikan perhatian khusus dan pengawal yang tek tampak maupun tampak diwajibkan melindungi kemah itu, apalagi Siang Lun Mogal sendiri mendukung.

   "Benar, hamba tak mungkin dua puluh empat jam menjaga terus-menerus. Pengawal yang resmi maupun tidak harus melindungi kemah itu, baginda. Kalau ada apa-apa maka yang bersembunyi ini dapat membantu. Hamba akan muncul kalau diberi tahu."

   Demikianlah, sepuluh pengawal berjaga melindungi kemah sementara sepuluh yang lain berada di sudut-sudut gelap.

   Inilah yang tak diketahui May-may dan ketidaksabaran nenek itu menjebloskan nya juga.

   Meskipun ia hati-hati akan tetapi perhatiannya lebih tertuju kepada sepuluh pengawal yang tampak ini.

   Yang tidak, yang bersembunyi terlewatkan.

   Maka ketika dengan mudah ia merobohkan sepuluh pengawal itu akan tetapi berbareng dengan itu terdengar jerit tangis Cit Kong, entah kenapa anak ini seakan mencium bahaya maka sepuluh pengawal jang bersembunyi berlompatan keluar ketika tepat nenek itu menghajar roboh teman terakhir.

   "Heiii...!"

   Bersamaan ini menyeranglah orangorang itu.

   Tidak hanya di situ akan tetapi satu di antaranya meniup terompet kecil.

   Terompet ini mengejutkan panglima Sabhu dan kawan-kawan dan serentak berlompatanlah mereka itu.

   Dan ketika tahutahu tempat itu telah dikepung akan tetapi si nenek telah meroboh kan sepuluh pengawal bayangan ini maka Homba marah bukan main melihat apa yang terjadi.

   Rekannya Sabhu telah menusuk dan memaki nenek itu.

   "Keparat, siapa kau. Berani benar malammalam membunuh orang!"

   May-may menjadi terkejut.

   Langkahnya yang semula hendak dilakukan sembunyi-sembunyi mendadak sudah tak dapat dilakukan lagi.

   Ia telah dikepung.

   Dan ketika obor-obor besar dipasang di mana-mana, ia tak dapat menyembunyikan wajahnya lagi maka bangsa Mongolpun terkejut bahwa seorang nenek asing tahu-tahu menyelinap dan memasuki kemah mereka.

   "Ia hendak menyerbu kemah Sabuci, nenek ini hendak membunuh. Awas kepung rapat-rapat dan jangan biarkan ia lolos!"

   "Keparat, kalian cacing-cacing busuk. Aku datang untuk mengambil dan membunuh cucuku sendiri yang bernama Cit Kong. Ia bukan milik kalian dan jangan macam-macam. Minggir!"

   May-may mulai mengamuk karena ia dihalang-halangi dan tak mampu menerobos kemah hijau.

   Di situ tangis Cit Kong semakin nyaring dan ia semakin tak sabar.

   Ia harus bergerak cepat sebelum kakek gundul datang.

   Akan tetapi karena anak itu sudah diserahkan Sabulai dan kini menjadi milik bangsa Mongol, omongan atau katakata nenek ini bahkan dianggap gila maka Sabhu menusukkan tombaknya dan berteriak.

   "Kau nenek tidak waras, mana mungkin cucu sendiri dibunuh. Robohlah!"

   Akan tetapi ketika tombak ditangkis rambut, terpental dan menyambar pundak panglima itu sendiri maka Sabhu menjerit dan melempar tubuh bergulingan.

   Akan tetapi Honga dan Sodor tak mendiamkan rekannya dicelakai, begitu juga panglima Homba yang merupakan panglima tertua.

   Maka ketika semua menerjang dan ribut-ribut pecahlah sudah, nenek ini marah maka May-may mengamuk dan ia membuat empat panglima terkejut dipaksa mundur dan terhuyung-huyung.

   Anak buah mereka pecah kepalanya disambar rambut! "Panggil Siang Lun lo-enghiong ke mari.

   Cepat, panggil dia datang!" May-may melotot.

   Sabhu meninggalkan pertempuran akan tetapi ia tak biarkan begitu saja.

   Belasan jarum menyambar.

   Dan ketika laki-laki itu menjerit dan terpelanting roboh, ia luka-luka maka nenek ini menggeram melampiaskan marah.

   Ia tahu apa artinya itu kalau si gundul datang.

   "Tak usah cuap-cuap. Aku akan pergi kalau cucuku sudah kubawa. Minggir dan biarkan aku membawa Cit Kong, tikus-tikus busuk, aku tak mengganggu kalian!"

   "Kau nenek gila tak tahu diri. Anak itu adalah putera junjungan kami Raja Sabulai, nenek tidak waras. Siapa kau mengaku-aku sebagai neneknya. Tunggu Siang Lun lo-enghiong dan kau boleh memintanya!"

   "Cerewet, untuk apa menunggu orang lain. Kau mampuslah dan jangan banyak mulut... tarr!"

   Honga hampir saja tersabet kalau laki-laki ini tidak melempar tubuhnya.

   Ia cepat menggerakkan tombak akan tetapi patah.

   Dan ketika ia bergulingan akan tetapi tiga sinar hitam menyambar, itulah jarum-jarum milik si nenek maka panglima ini berteriak dan May-may melepaskan pula pada lawan-lawannya yang lain.

   Sodor dan Homba ikut terkena dan puluhan yang lain saling mengaduh.

   Akan tetapi karena jumlah mereka banyak sementara persediaanpun habis, jarum si nenek hanya sekantung maka May-may tak dapat menerobos kepungan yang amat ketat.

   Roboh dua maju empat, roboh empat maju delapan! Dan bangsa Mongol memang akan mati-matian mempertahankan Cit Kong! Untunglah di saat itu muncullah si kakek gundul.

   Kaget dan marah kelelapan tidurnya terganggu kakek ini segera mendelik melihat siapa yang datang.

   Maymay tak akan sudah kalau tidak dibunuh.

   Dan karena diam-diam ia khawatir nenek ini memberi tahu Kiok Eng, bahwa Cit Kong ada di situ akhirnya timbul keputusan bulat di hati kakek ini bahwa nenek itu harus dilenyapkan.

   Dan inilah nasib yang harus diterima nenek itu.

   "Kau kelewatan menggangguku. Sudah berkalikali kubilang jangan ganggu anak itu, May-may, akan tetapi kau tak mau dengar. Baiklah, malam ini kematianmu dan menyesal aku tak mengampunimu lagi!"

   Kakek ini membungkuk dan berjongkok ketika Sin-mauw-kang menyambar.

   Tidak seperti ketika menghadapi panglima Homba dan kawan-kawan adalah kali ini kakek itu bersungguh-sungguh.

   Bunyi kok-kok dari perutnya amat keras, perut itu pun menggelembung dan menerima pukulan si nenek.

   Dan ketika tepat rambut menghantam sementara si kakek tak mengelak, kedua tangannya mendorong maka May-may roboh menjerit akan tetapi rambutnya melekat di perut kakek itu.

   "Desss!"

   Ang-mo-kang bukanlah pukulan main-main.

   Menyambut dan menerima Sin-mau kang sudah merupakan kehebatan tersendiri bagi ilmu pukulan ini.

   Rambut nenek itu tak dapat ditarik ketika mengenai perut, tersedot atau tertarik sementara dari kedua tangan kakek itu meluncurlah hawa pukulan kuat menyambar ke depan.

   Ang-mo-kang menghantam nenek ini tepat di depan, terdengar suara krek-krek ketika tulang dada nenek itu patah.

   Lalu ketika nenek ini mendelik akan tetapi bersamaan itu perut mengempis kembali, kakek ini melepaskan lawannya maka May-may roboh dan tewas terjengkang.

   Dari mulut dan telinganya keluar darah.

   "Kuburkan nenek ini baik-baik, jangan dibuang mayatnya!"

   Siang Lun Mogal membersihkan kedua ujung bajunya dan tentu saja kehebatannya ini semakin menambah pamornya.

   Tanpa banyak susahdan begitu gampang ia membunuh lawannya, padahal pengawal dan panglima Mongol mati-matian mempertahankan diri.

   Dan ketika malam itu keributan berakhir sementara Sabulai mendapat laporan, raja tentu saja kian kagum dan menaruh kepercayaan besar maka sejak itu Cit Kong atau Sabuci tak pernah diganggu musuh lagi.

   Anak ini telah aman dari ancaman nenek May-may.

   Sampai di sini Sabulai melempar kenangannya dan ia terpaksa mempercayai kata-kata kakek ini.

   Maksud menyerbu selatan ditunda.

   Siang Lun Mogal berkata biarlah menunggu Sabuci besar, mungkin anak itulah yang kelak dapat meraih cita-cita.

   Dan karena di tangan kakek inilah kegagalan atau keberhasilan didapat, Sabulai tak memaksa maka lima tahun kemudian anak ini telah menjadi seorang anak laki-laki yang sehat dan berpenampilan tangkas.

   Siang Lun Mogal diam-diam girang bukan main melihat tanda-tanda kecerdasan tingkat tinggi yang dimiliki anak itu.

   "Sekarang hamba menuntut janji hamba. Sabuci telah berusia lima tahun, sri baginda. Hamba ingin mendidiknya dengan ilmu silat, berarti sering keluar bersama hamba untuk digembleng atau menerima pelajaran!" "Ya, aku menepati janjiku. Tanpa kau mintapun aku ganti memintamu, lo-enghiong. Di bawah bimbinganmu aku ingin anakku pandai. Ia harus menjadi satu di antara putera Mongol yang hebat."

   "Jadi paduka tak keberatan?"

   "Tidak, justeru aku bangga. Kalau ia sehebat dirimu dan kelak memimpin bangsa ini maka kebanggaanku tak terlukiskan lagi. Panggil dia dan mana anak itu!"

   Kakek gundul berseri-seri dan ia telah membayangkan muridnya yang cilik ini.

   Di bawah bimbingannya akan diciptanya Wi Tok yang lain.

   Di bawah bimbingannya akan diaturnya anak itu agar kelak menggempur bangsa Han.

   Akan tetapi ketika anak itu datang dan Sabuci demikian gagah perkasa, menyandang panah kecil dan gendewa kecil maka anak ini berlutut di depan ayahnya berseru nyaring.

   Sikap dan kata-katanya membayangkan keberanian dan kejujuran besar.

   Selama ini, ia telah menjadi murid panglima Homba dan rekan-rekannya dalam hal memanah dan berburu.

   "Ayah ada keperluan apa memanggilku. Aku sedang berburu di tepi hutan. Kalau ayah ingin aku menangkap seekor harimau akan kucoba bersama paman Homba!"

   "Ha-ha, kau anak kecil terlampau bersemangat. Eh, taruh dan singkirkan busur dan panahmu itu, Buci, ayah takut melihatnya. Masa di depan ayahmu kau bersikap seperti pemburu. Hayo, ke sini dan dengar kata-kata ayah akan tetapi cerita kan dulu apa yang kau dapat!"

   Sabulai menyambar dan memeluk puteranya ini dan diciumnya anak itu penuh bangga.

   Dengan pakaian berburu dan mantol tebal puteranya ini tampak gagah perkasa.

   Cilik-cilik calon pemburu ulung.

   Lalu ketika anak itu meletakkan busur dan anak panahnya membalas ciuman sang ayah, inilah yang biasa dilakukan maka anak itu berkata bahwa ia baru mendapatkan seekor kelinci gemuk.

   "Seekor kelinci? Ha-ha, kukira singa. Wah, untuk apa itu dipamerkan ayahmu!"

   "Tunggu, ada seekor anak singa yang akan kukejar ketika panggilan ayah tiba-tiba datang. Kalau tidak tentu kutangkap dan kurobohkan dia!"

   "Benarkah? Bagus, itu baru mengagumkan. Akan tetapi jangan sendiri karena kau masih kecil dan terlampau lemah. Mana pamanmu Homba!" "Hamba di sini,"

   Panglima itu muncul "Hamba menjaga dan melindunginya, sri baginda, juga rekan Sabhu dan Sodor."

   "Bagus, akan tetapi aku mau bicara serius. Hm, kau..."

   Raja membalik dan menghadapi puteranya ini, Cit Kong berpakaian seperti layaknya pemburu Mongol akan tetapi kulit dan wajah anak itu jelas bangsa Han, hal yang diam-diam sedikit disesali lelaki ini kenapa bukan Mongol asli.

   "Aku memanggilmu karena suatu kepentingan, Buci, bahwa semakin sering kau ke hutan semakin besar bahaya yang mengancammu..."

   "Ada paman Homba dan lain-lain di sekelilingku. Bahaya apa, ayah, mereka akan menghalaunya!"

   "Diamlah, dengar dulu kata-kataku. Maksudku bahwa tak mungkin selamanya semua orang harus menungguimu. Suatu saat kau harus sendirian dan di situlah sesuatu diperlukan!"

   Anak ini mengernyitkan kening, akan tetapi tertawa dan menendang-nendang-kan kakinya secara lucu ia berkata.

   "Benar, kalau aku pipis atau buang air besar tentu saja para paman harus meninggalkanku. Mereka tak boleh melihat!" Sabulai tertawa, dan orang lainpun tersenyum. Akan tetapi mengelus dan mengusap-usap pundak anak ini raja berkata.

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bukan itu, itu tak masuk hitungan. Maksudku adalah bila kau sendirian dan bahaya mengancammu, Buci, kau harus dapat menyelamatkan diri dan gendewa serta sekedar anak panahmu itu kurang berarti!"

   "Maksud ayah?"

   "Berapa usiamu sekarang."

   "Lima tahun."

   "Dan tahukah kau bahwa usia seperti inilah yang tepat sekali untuk menempa dirimu menjadi orang pandai. Eh, aku hendak mengatakan bahwa sudah waktunya kau belajar ilmu yang lain, puteraku, ilmu silat dan kepandaian tinggi seperti yang dimiliki Siang Lun lo-enghiong ini. Anak itu tertegun, tampak terkejut. Akan tetapi diam dan tidak menjawab ia mendengarkan lagi katakata ayahnya.

   "Aku ingin kau menjadi seorang lihai seperti Siang Lun lo-enghiong ini. Ketahuilah bahwa saatnya aku membayar janji karena dulu lima tahun yang lalu lo-enghiong ini ingin mengambilmu sebagai murid, aku setuju. Dan karena waktunya sudah tiba maka bergur


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL

Cari Blog Ini