Mencari Busur Kumala 6
Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 6
ulah kepadanya dan kurangi kegiatanmu berburu itu. Kau harus belajar silat!"
Aneh, anak ini tiba-tiba mengeluh. Lalu melepaskan diri dari ayahnya dan tampak khawatir ia berkata.
"Maaf, untuk ini aku tak suka. Ilmu silat adalah ilmu kasar, ayah, dipakai untuk memukul dan menyakiti orang. Aku tak mau!"
Raja melengak dan bukan hanya raja melainkan Siang Lun Mogal juga terkejut dan membelalakkan matanya.
Angan-angan besar di kepalanya mendadak terguncang, jawaban itu benar-benar tak disangka, la pi ketika Sabulai terbahak dan menangkap kembali puteranya itu maka raja ber seru.
"Bodoh, omongan apa yang kaulepaskan ini. Ilmu silat bukan ilmu kasar, Buci, ilmu silat adalah ilmu melindungi diri sendiri. Dengan ilmu itu kau dapat menjaga dirimu dan mempertahankan nyawamu!"
"Akan tetapi aku tak suka. Aku lebih senang bermain panah dan berburu, ayah, seperti kebiasaan bangsa kita. Aku tak suka ilmu silat!"
Sabulai terkejut dan semburat mukanya dan tampak mulai marah. Ia menganggap puteranya membantah dan ia tak suka. Akan tetapi sebelum ia bicara maka Homba menjatuhkan diri berlutut.
"Maafkan hamba. Pikiran dan omongan anak kecil biasanya berubah-ubah, sri baginda. Mendesak dan memaksanya sekarang hanya berakibat tidak baik. Sebaiknya paduka bersabar dan perlahan-lahan bicara lagi."
"Benar,"
Sabhu mengangguk dan muncul di situ, berlutut.
"Biarlah paduka biarkan anak ini berpikir panjang, sri baginda. Mendesak dan memaksanya sekarang hanya berakibat tidak baik."
Sabulai menarik napas, memukul permukaan kursi. Akan tetapi karena kata-kata kedua pembantu nya tidak salah dan omongan anak kecil bisa berubahubah, ju ga mendesak dan memaksa di saat itu hanya berakibat tidak baik maka dengan mendongkol ia berkata.
"Baiklah, tugas kalian membujuk dan menyuruhnya berpikir panjang. Bawa anak ini dan jangan ia membantah lagi, Homba, betapapun aku telah terikat perjanjian dan tak mungkin dibatalkan!"
Homba dan rekannya mengangguk sementara kakek gundul diam-diam berkelebat lenyap.
Ia kecewa anak itu berkata seperti itu akan tetapi karena masih menaruh harapan iapun tidak terlalu marah.
Ia tak tahu bahwa sesungguhnya anak ini tak senang kepadanya, ada sesuatu pada wajah dan pandang mata kakek itu yang tak disukai Sabuci.
Batin anak itu menangkap sesuatu yang tidak bersih pada kakek gundul ini.
Dan karena anak itu telah mendengar tewasnya May-may, betapa dengan kejam dan ringan hati kakek ini membunuh seorang nenek maka diamdiam timbul semacam ketidaksenangan di hati Sabuci terhadap Siang Lun Mogal, apalagi kalau bertemu sorot hijau di sepasang mata kakek itu.
Sorot seorang iblis! Sorot yang timbul dari Hoat-lek-kim-ciong-ko yang sesat! Dan ternyata tidak mudah membujuk anak ini.
Kalau dulu Homba maupun Sabhu menganggap pikiran seorang anak kecil berubah-ubah ternyata dua orang itu menghadapi kenyataan mengejutkan.
Sikap dan kata-kata anak ini dipegang teguh.
Maka ketika seminggu setelah peristiwa itu Homba membujuk namun gagal maka panglima ini pucat mendengar kata-kata anak itu.
"Paman jangan menganggapku main-main. Aku boleh jadi seorang bocah, akan tetapi pikiran dan sikapku tegas, aku tak suka belajar silat, apalagi kepada Siang Lun lo-enghiong itu!" "Sst, jangan keras-keras. Kenapa kau bersikap seperti ini, Buci, tidak tahukah kau bahwa ayahmu nanti marah. Aku dan pamanmu yang lain juga bakal kena hukuman. Kenapa kau demikian tak senang dan tampak benar-benar tak suka!"
"Aku tak suka karena matanya jahat. Siang Lun lo-enghiong itu bukan orang baik-baik, paman. Bahwa ia sering keluar masuk di kamar ibu-ibu tiriku cukup membuat aku tak suka. Ia tak memandang sebelah mata kepada ayah!"
"Hush, itu urusan lain. Masalah ibu tirimu adalah kehendak ayahmu sendiri, Buci, bukan keinginan kakek itu."
"Akan tetapi tak seharusnya ia menerimanya begitu saja, kesannya rakus dan jelas tidak baik. Masa begitu enak ia meniduri selir-selir ayah sementara ayah masih hidup!"
"Hm, ini...!"
Homba mengangguk-angguk dan terkejut.
"Anak sekecil kau tak seharusnya memikirkan hal-hal begini, Buci, itu urusan orang-orang tua dan jangan ikut campur. Itu hadiahnya atas jasanya yang besar."
"Baik, jasa apa. Jasa karena ia menyerahkan aku kepada ayah? Bahwa ayah tak mempunyai putera laki38 laki karena semuanya perempuan? Jasa seperti ini tak perlu dihadiahi berlebihan, paman, apalagi menyerah kan sekian banyak selir. Kakek itu rakus, aku tak suka!"
Kalau ada geledek di siang bolong barangkali tak sekaget ini panglima itu mendengar kata-kata Sabuci.
Kata demi kata menyambar pedas dan apa yang keluar tak selayaknya keluar dari mulut anak berusia lima tahunan ini.
Kata-kata dan sikap itu layaknya keluar dari mulut seorang dewasa! Maka ketika panglima ini tersentak dan mencengkeram serta menutup mulut anak itu agar tidak bicara lagi maka sang panglima menggigil bertanya.
"Buci, kau... dari mana tahu semuanya ini? Siapa yang bilang bahwa kau diserahkan kakek itu? Hatihati, ini bukan omongan biasa lagi. Ayahmu bisa marah besar dan kakek itu bakal lebih lagi!"
"Lepaskan aku, harap paman tenang,"
Si anak membuat sang panglima tertegun.
"Karena aku sudah besar dan dapat berpikir panjang maka semuanya itu kuketahui juga. Aku bukan bayi merah lagi, paman, aku bergaul dengan paman dan ibu-ibu tiriku serta teman-teman sebayaku yang lain. Di situlah aku melihat kejanggalan." "Kejanggalan apa,"
Sang panglima masih gemetar.
"Bahwa aku tidak seperti anak-anak Mongol lain. Bahwa kulitku, mataku... hmm, bahwa aku berbeda dengan mereka. Dan di saat aku berkumpul dengan teman-teman sebayaku maka kuketahuilah secara bisik-bisik bahwa kakek itu memberiku kepada ayah."
"Buci!"
"Tunggu, paman tak usah berteriak. Aku tetap dapat bergaul dengan bangsa kita hanya sukar rasanya bergaul dengan kakek itu, apalagi menjadi muridnya!"
Lalu ketika anak ini bangkit dan mengepal tinjunya maka ia berkata bahwa ia tak mau dipaksa.
"Aku tetap ingin belajar memanah dan berburu saja dari paman, atau aku minggat kalau menjadi murid kakek itu!"
"Ooh!"
Sang panglima menerkam dan mengguncang-guncang anak ini.
"Jangan... jangan katakan lagi kata-kata seperti itu, Buci. Jangan susahkan aku dan paman-pamanmu yang lain di sini. Sekarang mati hidup pamanmu tergantung padamu!"
"Apa maksud paman." "Kau tentu dengar bahwa aku dan pamanmu Sabhu mendapat tugas menyadarkan dirimu. Bahwa kau harus belajar silat. Kalau ini gagal tentu kami berdua menerima hukumannya, Buci, dianggap melindungi dan membelamu dan alangkah marah besar kakek itu. Ia dapat membunuhku. Sekarang mestikah semuanya itu terjadi dan kami menjadi korban atas ke kerasan kepalamu!"
"Jadi paman hendak memaksaku?"
"Tidak, tidak anak baik, akan tetapi selamatkan lah kami dari kemarahan ayahmu. Jangan-jangan kami dianggap membujukmu hingga tak mau belajar silat!"
"Aku dapat berkata sendiri kepada ayah!"
"Akan tetapi tidak kepada kakek itu!"
"Maksud paman?"
"Dengarlah,"
Panglima ini menggigil, wajahnya merah pucat berganti-ganti.
"Belajar kepada kakek itu tidak harus belajar secara keseluruhan, Buci, ambil saja yang penting dan kau suka, misalnya ilmu lari cepatnya itu. Kau dapat berpura-pura menuruti permintaannya akan tetapi katakan dulu bahwa kau ingin belajar ginkang. Kulihat bahwa ginkang atau ilmu meringankan tubuh kakek ini tak jahat. Yang jahat adalah pukulannya. Nah, kalau kau sudah belajar ginkang nanti dicari lagi ilmu-ilmunya yang lain yang kau suka. Kalau tidak, yach... pergi dan larilah saja dari sini. Aku melindungi mu dari belakang!"
"Benar!"
Panglima Sabhu tiba-tiba muncul dan berseru mendukung.
"Pamanmu Homba tidak salah, Buci, belajarlah ginkang saja dan selebihnya tolak. Aku pun sesungguhnya tak suka kakek itu terutama pukulannya yang ganas!"
Homba terkejut akan tetapi lega dan girang bahwa rekannya ini yang bicara.
Memang mereka berdua inilah yang paling dekat dengan Sabuci di samping rekan mereka yang lain Honga dan Sodor.
Di bawah bimbingan mereka empat panglima tangguh maka anak ini telah tangkas berburu dan memanah, juga naik kuda.
Maka ketika tiba-tiba rekannya ini muncul dan rupanya mendengar pembicaraan mereka, sesungguhnya terdapat ketidaksenangan secara diam-diam terhadap kakek gundul itu maka Homba menjadi girang mendapat pendukung.
Siang Lun Mogal sering menunjukkan kesombongan dan kepongahannya setelah menjadi tangan kanan Raja Sabulai.
"Ah, paman Sabhu!"
Sabuci juga terkejut akan tetapi anak ini girang mendapat pendukung.
Di bawah dua orang ini ia mendapat kasih sayang besar, bahkan demikian besar para panglima itu hingga sering berkorban.
Seperti sekarang ini misalnya, disuruh lari dan pergi kalau sudah mendapat ginkang, karena memang pukul an kakek itu dikenal jahat dan telengas.
Maka ketika pamannya ini muncul sementara Sabhu sudah berpandangan dengan rekannya maka Homba mengangguk dan sekali lagi berkata kepada anak itu.
"Pikirkan baik-baik kata-kataku tadi. Kami tidak membujuk, akan tetapi semua nya itu ada manfaatnya bagimu. Berlatihlah ginkang atau apa yang kau suka, Buci, lalu pergi dan larilah kalau dipaksa. Bila perlu kami mengiringimu!"
"Benar, kami mengiringimu. Asal belajar dan menuruti permintaannya berarti tak mempermalukan ayahmu, Buci, bukan kah janji seorang gagah harus dipegang teguh. Ayahmu memang sudah berjanji!"
Anak ini tersudut, menarik napas dalam.
Dan karena akhirnya ia menyadari bahwa dua orang ini bisa terancam bahaya kalau ia menolak maka iapun mengangguk dan kata-katanya menggirangkan dua panglima ini.
"Paman bicara benar, dan aku tak ingin mencelakai paman pula.
Baiklah kuterima perintah ayah akan tetapi pelajar anku bersyarat.
Aku hanya ingin belajar ginkang dulu!"
Jadilah, Sabulai tergelak-gelak mendengar jawaban puteranya ini.
Ia menganggap lucu anak sekecil itu memberi syarat.
Siang Lun Mogal mengangguk-angguk dan tersenyum serta geli juga.
Dan ketika hari itu anak ini benar-benar belajar ginkang, setahun dua tahun dan akhirnya lima tahun ternyata kakek gundul menjadi berang karena anak itu benar-benar hanya belajar ilmu meringankan tubuh tak mau yang lain.
Anak ini teguh pendirian! "Kau bukan kudidik untuk menjadi seorang pengecut yang kelak bisanya hanya melarikan diri saja.
Ginkang yang kumiliki sudah kauwarisi semua, Buci, sekarang harus ilmu silat.
Aku ingin menurunkan Angmo-kang dan kelak Hoat-lek-kim ciong-ko kepadamu!"
Anak ini mengerutkan kening, diam.
Dan karena sudah beberapa minggu ini gurunya marah-marah, kalau sudah begitu ia selalu diam dan tidak menjawab maka iapun mengeluarkan pekik nyaring dan...
berkelebat mempraktekkan ilmu lari cepatnya itu.
Seekor kijang melesat kaget oleh gerakannya.
"Hyehh, kutangkap kau.
Ayo lari, kijang emas.
Awas kunaiki punggungmu!"
Buci berkelebat dan anak yang kini berusia sepuluh tahun ini menyambar bak panah terlepas dari busurnya.
Orang akan kagum dan terkejut bahwa tubuh kecil itu lenyap ke depan, tahutahu meloncat dan telah duduk di punggung kijang betina ini.
Lalu ketika sang kijang menguak dan kaget serta ketakutan, itulah saatnya Buci tertawa-tawa maka anak ini melupakan pertengkarannya dengan sang guru.
Siang Lun Mogal bersinar-sinar.
Setelah lima tahun ia mendidik dan menggembleng anak itu dengan Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput) maka gerakan serta kelincahan muridnya ini benarbenar mengagumkan.
Seekor kijang atau harimau pun dapat dikejar, bahkan pernah dengan amat cepat dan luar biasa muridnya menyambar sepasang kijang yang melompat berlainan arah.
Akan tetapi karena kepandaian muridnya hanya ilmu meringankan tubuh dan inilah yang membuat ia tak puas, sama sekali anak itu tak mau belajar Ang-mo-kang akhirnya ia berseru keras dan ketika Sabuci tertawa-tawa mengendalikan binatang itu mendadak ia mendorong dan melepas pukulan jarak jauhnya di saat kijang itu lewat di depannya.
"Bukk...
suhu!"
Buci terpelanting dan kijang itu roboh akan tetapi anak ini berjungkir balik menyelamatkan diri.
Ia tak menyangka gurunya memukul binatang itu di saat ia tertawa-tawa.
Ia membuat binatang itu berputaran dan empat kali lewat di depan gurunya.
Maka ketika kijang itu roboh dan tentu saja tewas seketika, inilah Ang-mo-kang yang membuat isi perut binatang itu remuk maka Sabuci berjungkir balik dan telah melayang turun ke tanah.
Wajahnya pucat.
"Kenapa kau membunuhnya!"
Anak itu berseru.
"Kau kejam dan tak mengenal perasaan, suhu, apa dosa dan salah binatang itu kepadamu. Kau jahat!"
Kakek gundul ini menyeringai. Ia bahkan menendang dan membuang bangkai binatang itu sambil mendengus. Kalau bukan Sabuci tentu dilemparnya anak itu pula, ia dikata jahat! Lalu membalik dan menghadapi anak ini ia membentak.
"Kau! Baru kali ini seorang murid banyak membantah, Buci, kalau kulaporkan ayahmu tentu kau kena tendang! Ilmu meringankan tubuh sudah habis kuwariskan, masa ilmu silat benar-benar tak mau kaupelajari. Karena kau muridku dan sudah menyebutku suhu maka jangan buat aku malu. Bagaimana kalau tadi musuh menyerangmu, dan kau roboh. Masa murid Siang Lun Mogal pandainya berlari-lari. Memangnya aku mendidikmu untuk menjadi maling cilik, kabur kalau dikejar musuh. Tidak, besok kau harus belajar ilmu pukulan dan hari ini aku akan bicara dengan ayahmu. Kau akan berhadapan dengan ayahmu yang kuanggap ingkar janji kalau tidak belajar silat!"
Anak ini tertegun dan berubah-ubah mendengar semua omongan dan caci-maki itu.
Memang kakek ini habis sabar sementara kekagumannya kian memuncak.
Harap diketahui saja bahwa dulu muridnya Wi Tok sepuluh tahun baru menguasai ginkang, sementara anak ini hanya separuhnya saja.
Maka ketika ia uring-uringan dan lagi-lagi anak itu diam, inilah kebiasaan.
Sabuci bila dimarahi maka anak itu tak berkata apa-apa pula ketika suhunya berkelebat meninggalkan dirinya, menghadap sang ayah! Akan tetapi kegelisahan mulai tampak di wajah anak ini, apalagi ketika tak lama kemudian ia dipanggil ayahnya.
Sabulai marah-marah dan menganggap puteranya keterlaluan.
Laporan kakek gundul di terima sepihak dan Buci ditegur habis-habisan.
Dan ketika anak itu semakin diam dan menunduk, muncullah ibunya terisak-isak maka Kayima inilah yang menolong dan meredakan kemarahan suami.
"Mohon paduka ampunkan. Sejak dulu Buci tak ingin belajar pukulan, sri baginda, berburu atau memanah binatangpun tak pernah telak. Paling-paling ia merobohkan kakinya dan menangkap hidup-hidup. Putera paduka ini halus dan amat lembut perasaan. Mohon jangan dimarahi lagi dan biarlah hamba membujuknya di dalam kamar."
Sabulai tertegun dan reda sedikit.
Memang selama ini puteranya amat halus dan lembut perasaan.
Berburu atau memanah binatangpun tak pernah telak, paling-paling melukai kakinya agar dapat menangkap hidup-hidup, dirawat dan dipelihara baikbaik untuk kemudian tak jarang dilepaskan kembali.
Katanya kasihan! Maka ketika selirnya muncul dan wanita ini lah yang paling dekat dengan Buci, inilah ibu yang menyusui anak itu maka Kayima telah membawa puteranya ke dalam, dinasihati baik-baik.
"Kau tak boleh membuat ayahmu marahmarah, akan tetapi juga tak baik memaksa dan mendesakmu untuk melakukan hal-hal yang tak kau suka. Sekarang kata kan kenapa kau tak suka belajar silat, puteraku, kenapa demikian teguh kau menolak itu."
Anak ini menahan jatuhnya air mata, lalu menelungkupkan kepala di paha ibunya.
Dan karena ibunya inilah satu-satunya wanita yang paling dekat dengannya, juga amat sayang tak kalah dengan gurugurunya panglima Homba dan lain-lain maka tiba-tiba anak ini menangis.
Hal yang jarang terjadi! "Eh, ada apa.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kau layaknya seperti bukan putera seorang pemimpin suku yang besar saja.
Ada apa, Buci, hentikan tangismu!"
Akan tetapi anak ini bahkan tersedu-sedu.
Sang ibu sampai kaget dan menjublak akan tetapi akhirnya ikut-ikutan menangis.
Ia tak tahu bahwa saat itu terngianglah kata-kata panglima Homba bahwa kalau ia sudah tak suka dan menguasai ilmu meringankan tubuh lari dan tinggalkanlah tempat itu.
Kayima tak tahu betapa di saat tersudut dan terpojok seperti itu muncullah tekad besar untuk pergi.
Ya, anak ini ingin minggat! Maka ketika Buci tertusuk-tusuk dan perasaannya diguncang bermacam kenangan, betapa ia harus meninggalkan ibu dan semuanya di situ maka anak inipun tak dapat menguasai hatinya lagi dan mengguguklah dia begitu sedih! Kayima bingung dan tersedu-sedu memeluk puteranya ini.
Tak dapat disangkal ia jatuh sayang dan amat mencinta puteranya ini.
Sabuci adalah anak pembawa Ceng-bong-toh, dan sejak ia mengasuh anak ini maka perhatian raja kian besar.
Ia telah diangkat isteri oleh Sabulai, bukan sekedar selir.
Dan ketika kebahagiaan demi kebahagiaan menyusul dirinya, harta dan kedudukan membuatnya dihormat banyak orang maka ibu ini menjadi begitu gembira karena semua ini diyakininya sebagai berkah dari Sabuci.
Anak itu memang pembawa rejeki.
Akan tetapi kini pembawa rejeki itu menangis.
Siapa tak bingung dan sedih mendengar tangis yang demikian dalam.
Baru kali ini Sabuci terdengar begitu sedih, tangisnya menyayat-nyayat.
Akan tetapi ketika tak lama kemudian anak ini menghentikan tangisnya melegakan sang ibu, Kayima memandang di balik air matanya yang bening maka ibu itu bertanya kenapa puteranya menangis.
Dikecup dan diciumnya kening anak itu penuh sayang.
"Katakan kepada ibu, kenapa tangismu demikian sedih. Sedemikian hebatkah luka mu oleh marah ayahmu, Buci. Atau ada sesuatu yang mengganggu hatimu hingga tangismu demikian sedih." "Tidak, tak ada apa-apa. Hanya... hanya adakah sesuatu yang dapat kauberikan kepadaku, ibu. Aku... aku tiba-tiba saja ingin mendapatkan sesuatu darimu."
"Kau minta apa? Apa yang dapat ibu berikan padamu?"
"Apa saja, misalnya hiasan rambutmu itu. Maukah ibu memberikannya kepadaku."
Sang ibu melengak, bergetar.
Tak biasanya anak ini bersikap seperti itu dan mendadak ia pun tak nyaman.
Dan ketika dipeluk serta diciumnya pipi anak itu kenapa si anak bersikap demikian aneh maka Buci menjawab tenang, suaranya ditahan-tahan agar tidak menangis.
"Aku butuh semacam kekuatan untuk menghadapi tekanan batin ini. Kalau ibu tak keberatan tentu saja aku berterima kasih sekali."
"Ah, tentu tidak, tidak. Ambillah puteraku, tapi jangan hilang!"
Kayima mengambil tusuk rambutnya itu dan diberikannya kepada puteranya.
Buci bersinarsinar dan mencium benda ini penuh sayang.
Hiasan rambut itu terbuat dari gading dan pangkalnya yang melengkung bertahtakan intan permata, inilah hadiah Raja Sabulai untuk sang isteri terkasih.
Dan ketika anak itu menarik napas dalam-dalam lalu menyimpannya di balik bajunya, ganti mengeluarkan sebatang anak panah maka ia memberikannya itu kepada ibunya seraya berkata.
"Ini untukmu, juga jangan hilang. Sama-sama terbuat dari gading, ibu, simpan dan jagalah baik-baik. Anggaplah itu diri ku sendiri."
Sang ibu bertanya-tanya.
Tiba-tiba perasaan menjadi tak enak akan tetapi Sabuci mengembangkan senyum.
Garis-garis ketampanan mulai tampak.
Lalu ketika anak ini mencium ibunya kemudian berkelebat keluar, gerakannya sudah seperti siluman maka sang ibu terpekik lirih.
"Buci, ke mana kau!"
"Aku menghadap paman Homba. Tidur dan jaga dirimu baik-baik, ibu, selamat tinggal!"
Dan karena anak ini lenyap meninggalkan kamar maka sang ibupun tertegun mendekap anak panah gading itu, mengeluh dan bangkit akan tetapi duduk lagi dan malam itu wanita ini gelisah.
Firasatnya sebagai ibu menyatakan ada apa-apa.
Ia bingung dan tak keruan.
Dan ketika akhirnya ia menenangkan diri dengan duduk menyulam, lewat tengah malam tertidur tanpa sadar maka keesokannya bangsa Mongol gempar karena anak itu menghilang! Raja di peraduannya mendapat secarik mengembara! kertas bahwa Sabuci ingin Maafkan puteranda, Suasana di tempat ini sudah tidak membuat puteranda kerasan lagi, ayah.
Puteranda ingin mengembara dan kelak kembali lagi.
Maaf dan mohon pamit, semoga ayah tak berduka Sabuci Bukan main kaget dan marahnya raja Sabulai.
Sepuluh tahun ia memelihara anak itu tahu-tahu sang anak kabur.
Sepuluh tahun ia merasa bahagia mendadak kini dibuat hancur berantakan.
Dan ketika semua menjadi ribut dan pengejaran tentu saja dilakukan, yang paling kaget adalah Siang Lun Mogal maka kakek gundul ini maklum apa yang menjadi penyebabnya.
"Jahanam, dasar turunan Dewa Mata Keranjang. Keparat bedebah kau, Sabuci. Baik-baik kujadikan orang tapi diri sendiri minta jadi gelandangan. Awas kau, kubekuk dan kulempar ke kaki ayahmu nanti. Kuinjak-injak!" Yang tak kalah kaget tentu saja Kayima sang ibu angkat. Begitu bangun segera wanita ini menjerit. Ia roboh pingsan. Dan ketika bangsa Mongol benarbenar gaduh dan semua berpencar mengejar, hanya empat panglima yang diam-diam saling pandang maka semua dikerahkan untuk menangkap dan membawa kembali anak itu. Sabulai benar-benar marah dan berang bukan main.
"Tangkap dia hidup-hidup, ikat kaki tangannya. Bawa dan lempar ke sini biar kuhajar anak keparat itu!"
Akan tetapi mana mungkin.
Sabuci meninggal kan tempat itu dengan ilmu lari cepatnya semalam suntuk, hanya gurunya satu-satunya yang dapat mengejar.
Akan tetapi ketika kakek ini bingung ke mana harus mencari, ke barat atau timur maka kakek ini termangu di tengah jalan.
Akan tetapi Siang Lun Mogal tiba-tiba berkelebat ke selatan.
Barat timur dan utara adalah tempat suku-suku bangsa Uighur dan Turfan serta Huna.
Tak mungkin anak itu ke sana karena bakal dikenal dan dilacak.
Maka karena hanya selatan inilah kemungkinannya yang paling besar, di situlah tinggalnya bangsa Han yang belum pernah diserbu maka kakek ini melejitkan kakinya dan terbang sambil menyumpah-serapah.
Dan kakek ini benar.
Sabuci anak itu memang memasuki tembok besar.
Dan karena itulah satusatunya tempat paling aman dari kejaran bangsa Mongol maka anak itu melarikan diri ke sini berkat petunjuk-petunjuk pula dari keempat gurunya terutama Homba! *** Malem itu selesai meninggalkan ibunya memang anak ini menemui gurunya memanah.
Kebetulan panglima Sabhu juga ada di situ.
Maka ketika ia muncul mengejutkan dua orang ini, Sabuci sekarang bukanlah anak lima tahun lalu maka berkelebatnya anak itu ke dalam kemah membuat Homba dan Sabhu tersentak, akan tetapi segera girang bahwa murid mereka ini yang datang.
"Selamat malam, maaf aku mengganggu. Sekarang saatnya kita bicara serius, paman. Ayah telah memaksa dan mendesakku belajar silat. Aku ingin pergi, aku tak kerasan lagi. Sebelum aku benar-benar pergi mohon petunjuk atau nasihat paman ke mana sebaiknya aku pergi." Wajah panglima Homba berubah. Dialah yang pertama kali mengusulkan itu dan kini Sabuci rupanya benar-benar hendak memakainya. Tak ada jalan lain, ia menyambar dan berbisik-bisik di telinga anak ini. Lalu ketika Sabhu mengangguk dan berbisik-bisik pula, Homba mengeluarkan sesuatu maka panglima ini memberikan sebuah cincin Mutiara Sakti, cincin penangkis bisa ular.
"Aku tak dapat memberimu apa-apa untuk penawar racun, Buci, khususnya racun ular. Kalau kau tergigit atau terancam bahaya gosok dan tempelkan pada lukamu. Pasti sembuh!" (Bersambung
Jilid IX.) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara
Jilid IX *** "DAN aku ini. Gendewa dan lima panah ini jangan hilang, Buci, racunnya ganas dan hanya dipakai dalam keadaan darurat. Pergilah dan hati-hati,"
Sabhu mengeluarkan sebatang gendewa dan lima batang anak panahnya diberikan anak itu.
Berturut-turut dua orang ini memberi cindera-mata dan tiba-tiba muncul lah yang lain, Sodor dan Honga.
Lalu ketika dua panglima itu juga memberikan tanda matanya sendirisendiri, masing-masing sebilah pisau dan tali urat kerbau maka Honga berkata.
"Aku tak tahu kegunaannya bagimu. Akan tetapi urat kerbau ini tak mudah putus oleh bacokan, Buci, kecuali oleh pedang pusaka. Lilitkanlah di pinggang mu dan suatu saat mungkin berguna."
Anak itu menerima, mengucap terima kasih. Lalu ketika ia berlutut dan mohon diri, suasana tiba3 tiba begitu penuh haru maka anak ini berkata bahwa ia tak dapat memberikan apa-apa kepada gurunya.
"Aku tak memiliki sesuatu yang pantas untuk paman semua, aku tak dapat memberikan apa-apa. Kalau kelak kita bertemu lagi dan aku memiliki cendera mata biarlah kubalas semua ini di kelak kemudian hari."
"Sudahlah, jangan pikirkan kami. Hati-hati dan jaga diri baik-baik, Buci, kami gurumu tak mungkin mengantar dan selamat jalan."
"Selamat tinggal, dan... dan paman semua berhati-hati pula lah. Maafkan aku!"
Lalu ketika anak ini membalik dan menghapus air matanya, empat panglima itupun tersedak dan hampir menangis maka Buci meloncat dan hilang di luar perkemahan itu.
Anak ini hampir tersedu.
Ia menyelinap dan keluar dengan hati-hati dan untunglah berkat pengenalan medan membuat tak seorang penjaga pun mengetahuinya.
Bangsa Mongol baru terkejut ketika keesokannya Sabulai marah-marah.
Raja mendapat surat yang ditinggalkan itu.
Dan karena anak ini sudah jauh meninggalkan bangsanya, semalam suntuk berlari cepat maka Sabuci mendekati tembok besar dan langsung meloncat serta berjungkir balik melewati tembok tebal ini.
Geraknya ringan dan gesit bagai seekor burung garuda.
Akan tetapi setelah di sini anak itu bingung.
Di depannya menjulang sebuah gunung yang tinggi sementara di kiri kanannya sepi.
Tak ada tempat bertanya, kecuali kepada penjaga yang tentu saja tak akan dilakukannya.
Maka ketika sejenak ia tertegun dan perutpun berkeruyuk, pagi itu ia merasa lapar maka Buci menggigit bibir namun tiba-tiba iapun meneruskan perjalanannya menuju gunung di depan itu.
Ia harus mencari makan dan bukan hal sukar mencari binatang buruan.
Namun anak ini merandek.
Baru beberapa li ia bergerak maka sebuah sungai menghadangnya.
Dan di seberang sana berkumpul puluhan perajurit sedang makan! Anak ini menelan ludah.
Kalau ia tetap di situ maka kemungkinan gurunya mengejar besar sekali.
Sedang kalau ia maju dan menyeberangi sungai berarti harus menghadapi perajurit-perajurit itu.
Apa boleh buat, ia harus menyeberang.
Dan ketika dilihatnya sebuah perahu tertambat di situ, melompatlah anak ini maka Buci sudah mendayung dan mempergunakan perahu itu, tentu saja terlihat dan membuat kaget perajurit yang sedang makan.
"Hei, bocah cecunguk. Siapa kau dan mau apa!"
Buci tak menghiraukan.
Ia mendayung dan sebentar kemudian berada di tepi sungai.
Kehadiran nya membuat terkejut dan puluhan orang itu berlompatan.
Mereka sudah mengepung.
Akan tetapi ketika anak ini dengan tenang menarik perahu dan menyeretnya ke tepi, ia tak gentar dan membuat kagum orang-orang itu maka anak ini menjura dan sikap serta kata-katanya yang halus membuat perajurit-perajurit itu tertegun.
Mereka tercengang di samping kaget dan heran.
"Maaf, para paman, juga kakak-kakak. Aku pemburu cilik yang kesasar di tempat ini. Aku ingin mencari makanan dan ke gunung itu. Karena tak melihat jalan lain dan harus melewati ini maka kupergunakan perahu itu dan mohon maaf bila lancang. Aku numpang lewat."
"Hm!"
Seorang bertubuh tinggi besar berhidung bulat tertawa, maju dan menangkap anak ini.
"Kau datang-datang seperti siluman, bocah, dari mana asalmu dan siapa namamu. Agaknya bukan penduduk sini!" Buci berkelit, caranya mengejutkan. Dan ketika orang itu terbelalak dan tampak marah maka anak ini kembali menjura dan berkata, suaranya gugup.
"Aku memang kesasar dan bukan penduduk sini. Karena ingin lewat mohon paman semua memberi jalan. Maaf dan biarlah kalian lanjutkan makan-makan!"
Lalu menyelinap dan melewati ketiak si tinggi besar ini, licin bagai belut maka Buci lolos dan langsung kabur! "Heii!"
Si tinggi besar kaget, dialah pimpinan atau komandan di situ.
"Jangan lari, anak siluman. Berhenti!"
Akan tetapi Buci melesat bagai kijang.
Dibentak dan dikejar iapun tancap gas.
Jouw-sang-hui-teng ilmu andalannya dipergunakan.
Dan ketika ia lewat dan lolos begitu cepat, penghadang kelabakan ketika anak ini menyelinap dan lewat di bawah kaki, kabur bagai kancil kesiangan maka semuanya terkejut dan marah.
Si tinggi besar berteriak-teriak.
"Tangkap anak itu, ia pasti dari luar tembok besar!"
Buci kecut.
Begitu dibentak dan dituduh tepat ia pun mengerahkan ginkangnya berlari cepat.
Gerakan nya benar-benar mengejutkan hingga semua terbelalak.
Tubuh kecil itu lincah dan gesit bukan main, sungguh bagai anak kijang.
Dan ketika terdengar seruan agar menyerang dan melepas anak panah, berhamburanlah perajurit menyerangnya maka anak ini mengtanpa menoleh ia menangkis ke belakang.
"Trak-trak-trak!"
Semuanya runtuh.
Anak-anak panah tak ada satupun yang kena dan gendewa di tangan anak itu demikian tepat menangkis.
Semua terkejut.
Dan ketika sang komandan menjadi marah dan menyambar kudanya maka ia berseru agar semua mengejar dan mengambil kuda masing-masing.
Kini Buci dikejar oleh derap sekian banyak kuda.
"Berhenti, atau kau mampus!"
Akan tetapi alangkah kaget dan kagumnya orang-orang ini ketiku bocah itu berlari seperti terbang.
Bahkan jengkel di kejar pengepung anak ini menyambar sepanci makanan dan sepotong ayam besar.
Buci menggerogoti ayam itu sambil berlari cepat.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lucu! Dan ketika sang komandan mencak-mencak sementara Buci tertawa, perutnya terisi maka iapun bertambah tenaganya dan tentu saja larinya semakin kencang.
Puluhan ekor kuda tak mampu mengejar.
"Keparat, terkutuk. Serang kembali dengan anak panah!" Akan tetapi anak itu sudah mendekati hutan. Di sini ia berkelebat dan sosok tubuh kecil itu lenyapSang komandan menyumpah-serapah. Dan karena tak mungkin mencari anak itu di dalam hutan, si bocah lebih licin menghilangkan jejak akhirnya perajurit dan komandannya ini kembali ke tepi sungai. Tempat itu merupakan tapal batas mereka berjaga.
"Jahanam, kita kecolongan. Anak itu pasti musuh, Kian-hui, jangan-jangan seorang mata-mata. Celaka, bagaimana laporan kita terhadap panglima!"
"Ciangkun jangan berlebihan menduga. Kalau ia mata-mata tak mungkin terang-terangan menemui kita, tentu mencari tempat lain dan selalu ber sembunyi. Kusangka ia benar-benar tersesat atau seorang anak kebingungan yang lupa jalan."
"Atau pelarian dari Mongol. Ia nekat menerabas kita, ciangkun, sikapnya sederhana. Tak mungkin mata-mata!"
"Akan tetapi ia cerdik, dan ilmu lari cepatnya hebat sekali. Ah, anak itu seperti siluman dan betapa pun kita harus berhati-hati. Sebaiknya tak usah lapor panglima, hanya membuat malu diri sendiri!"
Sang komandan mengangguk-angguk.
Memang hanya membuat malu diri sendiri kalau lapor panglima.
Mereka bahkan mendapat cemoohan, salah-salah ditendang.
Dan ketika semua mengumpat namun kagum dan heran akan anak itu, bocah yang demikian cepat melarikan diri maka pagi itu di balik tembok besar anak ini menjadi buah bibir sementara Buci sendiri sudah keluar hutan dan tiba di sebuah perkampungan.
Ayam itu habis di gerogoti, sisa nasi dibuang dan Buci tertawa lebar.
Geli! Akan tetapi anak ini teringat nasihat gurunya, Homba.
Dalam tiga hari pertama ia tak boleh berhenti, masih terlalu dekat dengan bangsa Mongol.
Maka ketika ia terus melanjutkan perjalanan dan melewati perkampungan itu, tentu saja mengherankan penduduk kenapa seorang anak kecil berjalan sendirian maka malam harinya ia tersesat di hutan! Buci mengutuk.
Ia tak tahu bahwa dirinya diamati beberapa pasang mata bersinar, mata heran dan kaget akan tetapi juga bergairah.
Mata para lelaki yang buas, maka ketika ia duduk dan baru saja melempar pantatnya, penat dan haus tiba-tiba datang mendadak belasan orang melompat dan anak itu dikepung.
Buci berhadapan dengan sekelompok perampok aneh yang biadab.
"Ha-ha, daging segar.
Tak ada harta ikan pun jadi, Giam-twako.
Anak ini makanan empuk dan biar kita santap.
Eh, gendewanya bagus, dan ia memakai cincin bertuah.
Ha-ha, sungguh rejeki besar!"
Buci terkejut ketika tahu-tahu empat belas orang mengepung dirinya.
Mereka berpakaian hitam gelap sementara beberapa di antaranya kumal.
Bau tubuh pun apek! Dan ketika mereka sudah melingkari dan semua memandang cincinnya, di tempat gelap cincin itu bersinar maka Buci terkejut ketika tahu-tahu yang bicara itu menubruk dan menerkamnya.
Yang lain merebut gendewa dan sikap mereka kasar dan buas sekali.
"Hup!"
Buci menghilang dan tahu-tahu si perampok kasar terjelungup.
Dengan cepat anak itu mempergunakan Jouw-sang-hui-teng dan ia berkelebat di antara tangan-tangan rakus itu.
Memang inilah keistimewaannya hingga lawan terkejut.
Anak itu tahu-tahu sudah di luar kepungan.
Dan ketika si kasar berteriak menyumpah-serapah, hidungnya terantuk batu maka Buci terkekeh dan tawanya ini membuat semua membalik dan melihat anak itu terpingkal-pingkal.
"Hi-hik, kerbau menangkap batu.
Awas hatihati, twako, salah-salah menubruk tahi kambing.
Hei, apa maksud kalian dan kenapa datang-datang menggangguku!"
Semua terkejut dan heran.
Mereka tak melihat gerakan anak ini dan tahu-tahu lenyap.
Matahari belum gelap benar akan tetapi tak satupun dari mereka melihat berpindahnya anak itu.
Tahu-tahu anak ini sudah di luar kepungan.
Dan ketika si penubruk terhenyak dan kaget, segera marah ia membentak dan tiba-tiba mencabut goloknya.
Senjata itu lebar dan bergerigi.
"Bocah siluman, berani kau menghina aku. Ayo minta ampun atau nanti kubunuh!"
Buci mengerutkan kening.
Di antara bangsa Mongol juga terdapat orang-orang kasar akan tetapi karena dia putera raja Sabulai maka semua itu tak berani main-main dan tunduk.
Kini berhadapan dengan orang-orang ini ia pun marah.
Golok itu didengung-dengungkan penuh ancaman.
Dia percaya lawan tak main-main, mata itu melotot.
Akan tetapi karena ia bukan penakut dan kedudukannya sebagai putera seorang pemimpin besar menjadikan dia memiliki keberanian sendiri maka iapun membentak dan balas menuding laki-laki itu, kepungan kembali diperketat.
"Kau, siapakah kalian ini. Kenapa mengganggu dan mengancamku. Kalau tak ingin mencari perkara sebaiknya pergilah, atau aku menghajar dan membuat mu tobat!"
Kata-kata ini diterima melengak akan tetapi bukan main marahnya si penubruk itu.
Dialah wakil pimpinan perampok, bermaksud merampas cincin anak itu akan tetapi sekarang dibentak.
Anak sekecil itu berani menudingnya.
Maka ketika ia meraung dan menggerakkan goloknya, melompat ke depan maka golok mendesing dan kepala anak ini dibacok.
Buci mempergunakan Jouw-sang-hui-tengnya untuk lenyap kembali.
Ia melihat betapa berbahaya nya serangan golok dan berkelebat menghilang.
Suasana temaram membantu gerakannya yang tak dapat diikuti pandang mata, bahkan oleh pengepung yang lain.
Namun ketika ia memukulkan gendewanya ke kepala laki-laki itu, sebagai rasa marah maka terdengar suara keras ketika laki-laki itu menjerit dan bergulingan berteriak-teriak.
Kepalanya benjol sebesar telur ayam.
"Huwaduh, bangsat keparat!" Buci terkekeh-kekeh geli. Untuk kedua kali ia merasa lucu melihat lawan bergulingan kesakitan. Kepala itu seperti kepala angsa, bertanduk. Dan ketika kem bali ia keluar kepungan dan membuat ter kejut, semua membalik dan melihatnya di bawah sebatang pohon maka pimpinannya, seorang tinggi besar bermuka bopeng ber seru keras, marah dan kaget sekali.
"Serang anak itu, robohkan!"
Buci membelalakkan mata.
Ia terkejut dan marah ketika belasan laki-laki ini tak malu-malu menyerangnya.
Dia, seorang anak kecil dikeroyok begitu banyak orang dewasa.
Akan tetapi karena ia memiliki Jouw-sang-hui-teng dan inilah andalannya maka iapun berseru keras menjejakkan kedua kakinya, berkelebat dan lenyap mengejutkan orang-orang itu dan di saat semua senjata beradu iapun mengayunkan gendewanya.
Itu adalah pemberian gurunya Sabhu dan di kedua ujung gendewa terdapat pentolan besi berwarna hitam.
Besi inilah yang dipukul-pukulkan ke kepala perampok-perampok itu, termasuk pimpinan nya.
Dan ketika semua berteriak dan kaget serta kesakitan, kepalapun sudah "bertanduk"
Maka Buci menghentikan gerakannya bersamaan dengan roboh nya orang-orang itu. Mereka merintih dan menggeliatgeliat memegangi kepala.
"Aduh, tobat. Keparat anak itu!"
"Kepalaku benjut. Aduh, jahanam anak siluman itu, Giam-twako. Jangan-jangan ia penunggu hutan!"
"Atau utusan Pui-wangwe. Hei, hati-hati, kabarnya keparat she Pui itu menyewa orang!"
Semua terkejut dan terhuyung bangun.
Mereka terbelalak memandang anak ini sementara Buci mengerutkan kening.
Siapa itu Pui-wangwe (hartawan Pui), dan ada hubungan apa dengan orang-orang ke jam ini.
Dan ketika tiba-tiba sebuah pikiran menyelinap di benaknya, Buci mencorong marah maka ia melompat dan gendewa di tangan siap menjepret dengan sebatang anak panah siap mengancam, persis di tenggorokan kepala rampok.
"Hayo kalian ceritakan tentang Pui-wangwe itu. Di mana dia dan kalian apa kan. Tentu kalian merampas hartanya dan mengganggunya!"
Si kepala rampok gemetar, terbelalak.
Ia belum menyaksikan kepandaian memanah anak ini akan tetapi melihat pandainya anak itu lenyap dan muncul se perti siluman membuat ia gentar juga.
Anak ini seperti iblis! Dan ketika ia tak menjawab sementara anak itu mementang gendewanya, sungguh ia ngeri mendadak kepala rampok ini menjatuhkan diri berlutut, menggigil dan hampir menangis.
"Ampun... ampun, Sin-tong (Anak Sakti). Jangan kaubunuh aku dan lepaskanlah gendewa itu. Puiwangwe belum kami apa-apakan!"
"Hm!"
Buci mulai percaya, dugaannya betul.
"Kalau begitu di mana dia dan apa yang kalian lakukan!"
"Kami hanya menawannya, meminta uang tebusan. Dan... dan karena belum dikirim maka kami menunggunya di sini dan kaupun muncul."
Buci adalah seorang bocah.
Karena percaya dan belum banyak pengalaman ia pun menurunkan gendewanya.
Hal ini menggirangkan si kepala rampok dan tan pa diketahui bergeraklah wakilnya memutari anak itu.
Laki-laki ini paling sengit terhadap Buci karena dialah yang pertama kali mendapat hajaran.
Hidung yang terantuk batupun masih sakit, belum lagi kepala yang benjut.
Maka ketika pemimpinnya bercakap-cakap sementara ia bergerak memutar, anak itu tak tahu menda dak ia menyergap dan gendewa serta a-nak itu ditubruk.
Kesepuluh jarinya berkerotok berbahaya.
dan cengkeramannya pun amat "Mampus kau!"
Untunglah Buci adalah gemblengan kakek gundul Siang Lun Mogal.
Begitu terkejut dan sadar dirinya tertangkap, tubuh seakan diremas patah-patah iapun menggerakkan kaki ke belakang.
Gerakan ini otomatis seperti gerakan kuda menyepak, tepat sekali mengenai selangkangan laki-laki itu dan kontan wakil kepala rampok ini berteriak.
Tumit anak itu mengenai anggauta rahasianya.
Dan ketika gendewa terlepas akan tetapi tubrukannya juga lepas, ia menjerit dan terjengkang maka Buci mengumpat akan tetapi bersamaan itu belasan yang lain menyerang.
Bahkan si kepala rampok menyambar goloknya dan membacok anak itu.
"Serang dan bunuh!"
Marahlah anak laki-laki ini.
Dari sega la penjuru menyambar senjata perampok di saat ia belum tegak benar.
Ia masih terhuyung oleh tubrukan atau terkaman tadi.
Akan tetapi karena ia memiliki Jou sang-hui-teng dan inilah andalannya maka membentak dan berkelebat tergesa-gesa iapun menyelamatkan diri namun sayang ujung bajunya terbabat robek, terlambat.
"Brett!"
Lawan kehilangan anak ini akan tetapi si anak marah.
Buci nyaris terbacok dan gendewanya terlepas di sana, direbut dan disambar dua orang perampok akan tetapi jatuh ke tangan si kurus tinggi.
Saat itulah hilang kesabarannya dan melengkinglah dia.
Dan ketika golok saling beradu dan yang lain terhuyung dan berteriak, kaget anak itu lagi-lagi lolos maka Buci membalik dan tahu-tahu ia berkelebatan dan sebuah batu sekepalan tangan berada di tangannya menyambar kepala atau tengkuk orang-orang ini.
"Tak-tak-takk!"
Menjerit dan berteriaklah orang-orang itu.
Mereka kaget dan tak mungkin menghindar dan si kepala rampok bahkan terbanting.
Wakilnya mengaduh dan roboh pingsan sementara si kurus tinggi terpekik dahinya dihantam.
Ia kelenger.
Dan ketika Buci merampas gendewanya lagi dan berdiri gagah, semua menggeliat dan merintih-rintih maka barulah orang-orang ini merasa gentar dan betul-betul jerih.
Si kepala rampok pucat pasi, goloknya terlempar.
"Ampun...
benar-benar ampun.
Kami tak berani melawanmu lagi, Sin-tong, kami mohon ampun!"
Buci bergerak dan mementangkan gendewanya lagi dengan sebatang anak panah.
Ia membuat si kepala rampok semakin pucat dan menggigil, berlutut dan minta-minta ampun sementara yang lain gemetaran.
Lima di antara mereka pingsan, pukulan batu itu amatlah kuat.
Dan ketika anak ini menghardik di mana Pui-wangwe ditangkap, si kepala rampok tak berani bercuit maka ia menjawab bahwa hartawan itu berikut isterinya ditawan di tengah hutan, berikut keretanya.
"Kami tak membunuhnya, kami hanya menunggu saisnya kembali pulang ke kota. Kami mengancamnya untuk membawa uang tebusan, Sintong, selebihnya kami tak berbuat apa-apa!"
"Antarkan aku kepadanya, dan bebaskan suami isteri itu. Atau kau kubunuh dan panah ini menancap di tenggorokan-mu!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, jangan... ampun, Sin-tong, ampun. Aku akan membawamu ke sana dan simpan gendewamu itu!"
"Aku tak akan menyimpannya dan siap di belakangmu. Hayo bangun dan antarkan aku!" bentakan ini membuat si kepala rampok tak berani macam-macam lagi dan segeralah dia membawa anak buahnya ke tengah hutan. Mereka yang pingsan dipanggul, barisan itupun memanjang melalui jalan setapak. Dan karena suasana semakin gelap hingga Buci memerintahkan membuat obor, ia di belakang orang-orang ini maka anak panahnya yang siap meluncur membuat semua perampok tak ada yang melarikan diri, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah tempat di mana suami isteri Pui-wangwe menangis dan meratap. Mereka diikat di dalam kereta dan menunggu datangnya utusan, orang yang akan membawa uang tebusan. Alangkah heran dan terbelalaknya suami isteri ini. Mereka adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tujuh tahun dan seorang wanita yang usianya juga lima-puluhan tahun, masih cantik akan tetapi kusut dan mereka berdua membelalakkan mata ketika Buci dan kepala rampok membuka pintu kereta. Lalu ketika tali dilepaskan dan mereka bebas, anak sepuluh tahunan itu tersenyum kepada mereka maka suami isteri ini benar-benar tertegun ketika disuruh turun dan melihat kepala rampok serta anak buahnya terbungkuk-bungkuk di depan anak laki-laki ini. "Jiwi (kalian berdua) bebas, turunlah dan jangan takut. Aku yang akan mengantarkan jiwi pulang dan lihatlah mereka tak mengganggumu lagi."
Seketika tangis Pui-hujin (nyonya Pui) lenyap.
Nyonya itu terkesima dan hampir tak percaya namun dengan halus Buci memegang lengannya, berkata bahwa ia telah menundukkan perampok-perampok itu dan kini tak ada siapapun yang berani mengganggu.
Dan ketika nyonya itu mengeluh dan bertanya siapakah tuan penolongnya yang cilik ini, gagah dengan gendewa di tangan maka Buci berkata nama nya tak ada harganya dikenal orang.
"Nama tidak penting, yang penting jiwi bebas. Mari keluar dan jiwi kuantar pulang."
Bukan main girangnya suami isteri i-tu.
Mereka terkagum-kagum dan segera kepala rampok menjadi kusir.
Buci duduk di sebelah laki-laki ini sementara Puiwangwe suami isteri kembali masuk kereta.
Lalu ketika anak buah perampok mengiring jalan, obor berada di depan maka rombongan tiba di mulut hutan dan kini Buci melompat turun.
Anak panah tetap di tangan dan inilah yang membuat perampok ngeri.
"Cukup, kau turunlah. Sekarang Pui-wangwe mengusiri kereta dan kalian jangan macam-macam!" Kepala rampok memberi tempat duduknya. Puiwangwe meloncat keluar sementara isterinya tetap di dalam. Hartawan inilah yang mengendalikan kereta, ia menjadi sais. Dan ketika Buci meloncat di belakang menjaga kemungkinan, dia melindungi kereta maka Pui-wangwe menghentak dan berderaplah kereta meninggalkan hutan. Buci menodongkan anak panah jika ada musuh yang ingin menyerang. Kepala rampok mengumpat-caci. Tentu saja ia memaki-maki dalam hati akan tetapi tak dapat berbuat apa-apa. Korban nya yang gemuk lolos sudah, ia menggigit jari. Dan ketika kereta akhirnya lenyap dan Pui-wangwe tertawa-tawa, bukan main girangnya hartawan itu maka Buci diminta ke depan mengobrol dan menemani.
"Ha-ha, selamat sudah. Terima kasih, siauwinkong (tuan penolong cilik), bahaya sudah tak ada lagi. Tolong ke depan dan kita bercakap-cakap!"
Buci tersenyum dan berjungkir balik melewati atap kereta.
Ia membuat terke jut ketika tahu-tahu duduk di samping Pui-wangwe, gerakannya seperti setan.
Dan ketika sang hartawan tersentak namun terkekeh lebar, kagumlah dia akan kegagahan anak ini maka iapun memuji sambil mencambuk kudanya.
"Bagus, sudah kuduga.
Kau bukan bocah sembarangan dan perampok-perampok itu kaubuat jera."
"Di mana tempat tinggal wangwe, jauhkah dari sini."
"Rumahku di Cin-yang, siauw-inkong, sehari perjalanan dari sini."
"Dan bagaimana wangwe tertangkap orangorang itu."
"Ah, mereka memang orang-orang busuk. Aku baru saja menengok anak mantuku di Hok-yang dan dalam pulang dicegat dan ditangkap orang-orang jahat itu. Kalau saja Lu-kauwsu (guru silat Lu) mengawal aku tentu tak ada kejadian itu. Saisku pulang dan minta pertolongan dan tentu Lu-kauwsu akan datang. Akan tetapi aku sudah kaubebaskan, dan di tengah jalan tentu kita bertemu mereka. Ha-ha, terima kasih, siauw inkong, kau benar-benar gagah dan mengagumkan. Baru kali ini kujumpai seorang pendekar cilik sepertimu ini. Tolong tanya siapa namamu dan hadiah apa yang ingin kauperoleh dari aku!"
"Hm, aku tak ingin hadiah apa-apa. Kebetulan saja kita bertemu dan aku menolongmu, wangwe, jangan persoalkan itu. Aku tak butuh hadiah." "Dan namamu?"
Pui-wangwe kagum.
"Biar kukenang namamu seumur hidup, in kong. Harap kau tidak keberatan memperkenalkan diri!"
Buci mengerutkan kening, menggeleng.
Ia berkata tak ada gunanya menyebut nama dan iapun tak ingin diingat-ingat.
Semua yang dilakukan bukan untuk dicatat Pui-wangwe.
Dan ketika sang hartawan tampak kecewa akan tetapi tak dapat berbuat apaapa, Buci tak ingin memperkenalkan dirinya sebagai anak Mongol ma ka kereta berderap semakin kencang dan Pui-wangwe berada di jalan besar menuju Cinyang.
Memang hartawan ini mengenal jalan, tidak seperti Buci misalnya.
Dan ketika semalam itu mereka tak lagi bercakap-cakap, nyonya Pui tertidur nyenyak maka keesokannya mereka berpapasan dengan sebuah kereta lain menuju arah berlawanan.
"Itu Pui-wangwe!"
Seruan ini mengejutkan dan kereta i-tu tiba-tiba berhenti.
Saisnya yang berkopiah hitam meloncat, lari dan menghambur ke kereta hartawan ini.
Lalu ketika ia berteriak dan menangis kegirangan, dari dalam kereta muncul seorang laki-laki berpakaian silat maka Pui-wangwe turun dan Lu-kauwsu, guru silat itu terkejut dan girang serta heran.
"Wangwe!"
Hartawan itupun mengangguk dan berseri.
Guru silat itu bergerak dan sekejap sudah di depan hartawan ini.
Buru-buru ia menyoja.
Dan ketika Puihujin (nyonya Pui) melongok dan girang pula, mereka hampir tiba di Cin-yang maka wanita itu pun meloncat dan turun berseri-seri.
"Lu-kauwsu, A-lai! Lama nian kalian datang dan hampir saja kami celaka. Lihat, itulah tuan penolong kami dan karena dialah kami bebas!"
"Benar,"
Pui-wangwe teringat.
"Inilah yang menolong dan menyelamatkan kami, Lu-kauwsu. Perkenalkan, dia... eh, dia Bu-beng-siauw-inkong (Penolong Tak Bernama)!"
Karena bingung tak mengetahui nama Buci maka disebutlah anak itu Bubeng-siauw-inkong.
Guru silat Lu tampak tercengang akan tetapi segera ia maju dan memberi hormat.
Kalau anak sekecil ini mampu mengalahkan perampok tentu bukanlah anak sembarangan.
Ia melihat mata yang tajam dan bersinar-sinar dari anak itu.
Dan karena iapun seorang ahli silat yang banyak pengetahuan, tentu seorang guru lihai berada di belakang bocah ini maka ia menghormat Buci sebagaimana layaknya menghormat laki-laki dewasa.
Buci likat dan kikuk.
"Saudara cilik telah menyelamatkan majikanku, aku Lu-kauwsu menghaturkan terima kasih dan banyak untung.
Siapa nama siauw-inkong dan dari mana berasal.
Mungkin aku mengenal gurumu."
Buci mengelak. Ia jadi tak enak melihat penghormatan ini, semua orang tampak kagum. Dan karena lagi-lagi tak ingin memperkenalkan diri, nama Mongolnya ha nya mengundang keheranan iapun berkata bahwa semua itu tak perlu dipikir.
"Aku tak bermaksud melepas budi, semua terjadi secara kebetulan saja. Karena Lu-enghiong (orang gagah Lu) telah menyambut di sini biarlah sekalian kuserahkan Pui-wangwe kepadamu. Selanjut nya karena aku ingin melanjutkan perjalanan harap Lu-enghiong terima dan tolong tanya apakah kota raja masih dekat atau jauh, juga arah mana yang harus kutempuh."
Lu-kauwsu saling pandang dengan Pui-wangwe.
Ternyata anak ini hendak ke kota raja dan Pui-wangwe tiba-tiba girang.
Ia memiliki banyak kenalan di sana.
Maka ketika sejenak terkejut anak ini hendak meninggalkan dirinya, hubungan terasa begitu singkat maka iapun berseru agar anak ini tak tergesa-gesa.
Kota raja, adalah kampung halamannya.
"Siauw-inkong rupanya hendak ke kota raja, jangan khawatir.
Kalau inkong setuju apakah boleh kami antar? Kota raja masih cukup jauh, tiga hari berkereta.
Kalau tidak keberatan kami mengantarmu akan tetapi singgah dulu di rumahku.
Cin yang sudah dekat!"
"Benar, masa tiba-tiba saja kau hendak meninggalkan kami, inkong? Masuk dan duduk dulu di rumah kami, kamipun ingin menjamumu!"
Pui-hujin menyambung.
"Dan aku dapat menjadi petunjuk jalan ke kota raja. Hendak ke tempat siapakah inkong ini mungkin saja kami kenal."
Lu-kauwsu berseru pula.
Buci mengerutkan kening, bimbang.
Menurut gurunya ia diminta ke kota raja menyembunyikan diri.
Ke rumah siapa tak tahu, pokoknya bersembunyi! Maka ketika tiba-tiba ia bingung mendengar semua pertanyaan ini, ia ragu menjawab maka Pui-wangwe memegang lengannya dan berkata penuh harap.
"Urusan ke kota raja dapat diatur. Aku asli sana, inkong, banyak sahabat di sana pula. Kalau inkong setuju dan tidak keberatan marilah singgah dulu di rumah ku dan kita bicara. Siapapun yang kaucari dapat kutemukan, aku banyak mengenal pula pejabatpejabat di sana!"
Buci akhirnya mengalah.
Kalau dipikir-pikir maka tujuannya tak menentu pula.
Iapun tak tahu siapa dan apa yang harus dicari.
Tujuannya hanya bersembunyi, ia tak ingin ditangkap atau dikejar gurunya Siang Lun Mogal.
Maka ketika ia mengangguk dan bukan main girangnya hartawan itu, mereka dapat mengikat anak ini segeralah dua kereta berderap kembali memasuki Cin-yang.
Ternyata Puiwangwe sudah hampir di pintu gerbang.
Dan bukan main hebatnya keluarga ini menyambut Buci.
Segera anak itu menjadi buah bibir dan para pelayan maupun putera-puteri Pui-wangwe bersikap demikian hormat.
Hartawan itu memiliki tiga orang anak akan tetapi yang sulung telah menikah, baru saja melahirkan dan ditengok hartawan itu, dicegat dan akhirnya menjadi tawanan perampok akan tetapi Buci membebaskannya.
Dan ketika di rumah besar itu anak ini mendapat pelayanan dan hormat tiada habisnya, Pui-wangwe memberikan seperangkat pakaian bagus untuk Buci maka Buci menjadi kikuk dan amat jengah.
"Bukan, bukan hadiah.
Pakaian ini sekedar pengganti pakaianmu, inkong, kulihat tak banyak pakaian kaubawa.
Terimalah dan harap salin, yang kotor biar dicuci pembantu kami!"
"Dan ini untuk membeli makanan kecil. Kau perlu uang saku, inkong. Terimalah dan belanjalah sepuasmu. Kalau ki rang kami tambah!"
Pui-hujin tak kalah gencar dan sekantung uang diberikan Buci.
Anak itu menerima banyak hadiah akan tetapi suami isteri ini tak mau mengatakannya begitu.
Mereka cerdik dan halus sekali membujuk.
Dan karena bekal memang serba minim dan pakaian pun hanya dua stel, Buci menerima maka Pui-wangwe dan isterinya semakin girang dan uang saku itu membuat anak ini terhenyak.
Bukan main banyaknya, semuanya emas dan cukup untuk hidup sampai ia dewasa! Akan tetapi Buci pada dasarnya seorang bocah sederhana.
Tak beda jauh dengan ayahnya Tan Hong anak ini rendah hati dan cepat malu.
Bertubi-tubi dihujani hadiah membuat ia kikuk.
Semua orang di rumah besar itu menghormatnya berlebihan.
Ia bak pahlawan! Maka ketika ia termenung dan suatu saat masuklah pelayan menghidangkan makanan serba enak, juga anggur dan minuman sari buah tiba-tiba Buci mengambil kantung uangnya dan memberikan nya sebagian kepada pelayan itu.
"Pakailah, dan jangan bilang siapapun. Bawa temanmu yeng lain dan jangan sampai diketahui Puiwangwe."
"Ini..."
Pelayan itu terbelalak.
"Ini untukku, inkong? Kau memberikannya kepadaku?"
"Ya, punyaku terlalu banyak. Pakai dan gunakan lah sesuai keperluanmu, jangan bilang Pui-wangwe!"
Bukan main girangnya pelayan itu dan iapun menjatuhkan diri berlutut mengucap terima kasih Kemurahan Buci menambah kekaguman lagi.
Dan ketika anak itu menyuruhnya keluar memanggil yang lain, membagi dan memberikan sebagian uangnya dengari perasaan ringan hati maka semua pelayan terbengong-bengong aan tetapi tentu saja girang bukan main.
Siapa tak ingin uang! Dan ketika hal itu menjadi buah bibir pelayan, tentu saja dengan bisikbisik maka Buci mendapat penghormatan yang mulai bersifat menjilat! Anak ini mengerutkan kening.
Sebagai putera Sabulai pemimpin bangsa mongol yang besar tentu saja tempat kediamannya iapun dihormati dan disegani orang.
Akan tetapi penghormatan itu lebih ditujukan kepada ayahnya.
bukan kepadanya pribadi.
Maka ketika di rumah ini ia mendapat penghormatan pribadi, juga penjilatan tiba-tiba ia merasa tak senang.
Dan kalau ia tak senang maka Buci pun biasanya bertindak, ia pun tak kerasan lagi! Hal ini membuat anak itu merenung di dalam kamar.
Bukan maksudnya mencari penjilatan.
Bahkan ia jijik dan muak terhadap penjilatan.
Maka ketika malam itu semua orang pergi tidur, Buci bersiap tak ayal lagi iapun telah memegang buntalannya dan melompat keluar.
Dan begitu ia melayang melewati jendela maka anak ini pun kabur, betah lagi tinggal di rumah Pui-wangwe itu.
"Heii!"
Buci terkejut "Siapa kau dan berhenti!"
Sesosok bayangan berkelebat akan tetapi anak ini bahkan mengerahkan ginkangnya.
Sekilas ia menoleh dan mengenal suara itu.
Lu-kauwsu! Maka ketika ia berkelebat dan berjungkir balik melewati pagar tembok tinggi, gedung Pui-wangwe memang dikelilingi tembok tinggi maka Lu-kauwsu yang terkejut dan membentak itu tertegun melihat bayangan kecil Buci.
Segera mengenal dan tentu saja heran dan kaget kenapa anak itu keluar malammalam, juga jendelanya terbuka.
"Siauw-inkong!"
Buci jadi tak enak.
Ternyata ia dikenal dan apa boleh buat menoleh lagi.
Ia melihat laki-laki itu mengejarnya namun karena tak kerasan lagi iapun melambaikan tangan.
Lalu sekali bergerak dan melemparkan belasan uang emas, berkeredep menyambar dan ditangkap guru silat itu maka Lukauwsu tertegun mendengar kata-kata anak ini.
"Maafkan aku, aku ingin segera melanjutkan perjalanan lagi. Terimalah sedikit uang ini untukmu, Lu-enghiong, jangan cari dan biarkan aku pergi. Selamat tinggal!"
Guru silat itu membelalakkan mata.
Di kedua tangannya penuh uang emas dan ia pun bengong.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tentu saja terkejut dan heran serta girang.
Akan tetapi ketika sadar bahwa Pui-wangwe akan kecewa, pasti anak itu tak memberi tahu maka iapun mengejar lagi dan berseru, juga sekalian menguji kepandaian anak itu.
"Siauw-inkong, jangan pergi secara ini. Bagaimana Pui-wangwe, tentu bakal kecewa. Berhenti dan tunggu sebentar bukankah aku akan mengantar mu ke kota raja!"
Akan tetapi alangkah kaget dan kagumnya guru silat itu ketika si anak melesat dan lenyap.
Ia mengerahkan kepandaiannya berlari cepat akan tetapi anak laki-laki itu melejit bak seekor kijang jantan, dikejar namun tertinggal dan akhirnya dengan napas memburu ia melihat bayangan anak itu lenyap di balik pintu gerbang kota.
Dan ketika ia tertegun dan berhenti di sini, sungguh takjub maka Buci tak menghiraukan laki-laki itu dan berlari ke kota raja.
Ia telah tahu dan mendapat petunjuk jalan.
Semalam itu Buci bagai seekor burung gembira.
Udara malam yang dingin menjadi hangat setelah ia berlari cepat.
Keringat memanaskan tubuhnya.
Dan ketika keesokannya ia tiba di Kui-cin, sebuah kota kecamatan di pinggir sungai Huang-ho maka ia berhenti melihat ramainya nelayan menjual ikan.
Sepagi itu para nelayan sudah hilir-mudik, tawarmenawar terdengar riuh.
Buci adalah anak yang dibesarkan di padang rumput.
Keramaian seperti ini tentu saja menarik perhatiannya dan sebagai bocah lelaki ia merasa gembira.
Hiruk-pikuk kaum pedagang merupakan kenikmatan tersendiri bagi telinganya.
Semua hal itu belum pernah dilihatnya di bangsa Mongol.
Maka ketika berhenti dan melihat-lihat, tentu saja ia menyimpan dan membungkus busurnya agar tak menarik perhatian maka anak ini sudah berada di tengah-tengah para pedagang dan kaum nelayan itu.
Dan keramaian di pusat pasar tak terasa menggerakkan kakinya ke sini, ke tempat di mana seekor ikan besar ditawar dan dijadikan rebutan.
Ikan Tampah! "Kubeli tiga puluh tail.
Hei, berikan padaku, Asam.
Kubeli tiga puluh tail!"
Seorang laki-laki bercelana pendek berteriak dengan suaranya yang keras.
Buci berada di belakang laki-laki ini ketika laki-laki itu menawar.
Akan tetapi ketika di sebelah kirinya terdengar seruan empat puluh tail, disusul lima puluh dan akhirnya enam puluh tail maka A-sam, pemilik ikan tertawa lebar.
Ia seorang nelayan muda yang saat itu tampaknya di atas angin, gayanya sombong.
"Tidak, tidak. Ikan ini jarang kudapat. Seratus tail tak boleh kurang, sobat-sobat, kalau mau kuberikan. Siapa mau akan dapat."
"Terlalu mahal!"
"Benar, terlalu mahal!" "A-sam mata duitan!"
Nelayan muda itu berang. Ia menoleh pada seorang kakek yang terakhir bicara dan sikapnya hampir memukul. Akan tetapi ketika seorang nelayan lain menahan lengannya dan membujuk maka nelayan itu melotot pada kakek itu.
"Kau tak usah memaki kalau tak punya uang. Pergi dan jangan mencari gara-gara."
"Sudahlah,"
Temannya menarik.
"Tak usah kau hiraukan Phoa-lopek itu, A-sam, tujukan saja perhatianmu kepada ikanmu ini. Lihat, juragan Hok datang!"
Kerumunan menyeruak ketika seorang pendek gemuk memasuki arena.
Dia tersenyum-senyum ketika datang dan masuk, di kiri kanannya tampak dua laki-laki menemani.
Dan ketika A-sam berseri melihat pendatang ini, juragan Hok maka laki-laki itu tertawa besar menuding ikan di tangan si nelayan muda.
"Kau, berapa mintamu? Seratus tail? Kubayar kontan, A-sam, berikan padaku!"
Ributlah tempat itu ketika tanpa banyak cakap si pendek ini mengeluarkan uangnya.
Dari kantungnya yang hitam ia membuat bunyi gemerincing, semua mata terbelalak ketika seratus tail diberikan.
Dan ketika ikan besar itu diterima si juragan, yang langsung memberikannya kepada seorang pembantunya maka tempat itu pun berisik terutama oleh mereka yang gagal menawar.
Umpat dan caci meluncur tanpa kendali.
"Jahanam, A-sam memang mata duitan!"
"Dan ia tak menghiraukan kita yang lama menjadi langganan!"
"Awas, lain kali tak akan kuterima barang seekorpun!"
Akan tetapi nelayan muda itu tertawa-tawa di sana.
Ia tentu saja tak menghiraukan semua kutuk dan makian ini setelah uang di tangan.
Untungnya hari itu begitu besar.
Akan tetapi ketika ia menghitung-hitung uangnya dan ribut-ribut beralih ke lain tempat ternyata juragan Hok menerima rejeki lebih besar lagi.
Seorang berpakaian halus menawar ikan itu dua ratus tail! Terbeliak dan terkejutlah semua orang.
Laki-laki berpakaian halus itu, Song wangwe (hartawan Song) ternyata datang dan menawar ikan itu.
Tidak biasanya hartawan ini masuk pasar membeli ikan, apalagi sendiri, tanpa utusan.
Dan ketika semua orang heran dan terkejut maka hartawan ini tersenyum ketika sebuah kereta berderap dan berhenti di situ.
Seorang laki-laki melompat keluar dan langsung berseru.
"Song-wangwe, berikan ikan itu kepadaku. Berapa saja kubayar!"
Laki-laki berpakaian halus ini, tertawa. Itulah Khu-ciangkun utusan Lam-tai-jin, pembesar Kui-cin. Dan ketika laki-la ki itu tiba dan ingin merebut ikannya, di elak lembut Song-wangwe bertanya berapa Khuciangkun berani bayar.
"Berapa saja, aku tak akan menawar. Lam-taijin memerintahku dan katanya ikan ini didapat A-sam!"
"Ah, aku mendapatkannya dari tangan Hok Swi. Aku orang ketiga pemilik ikan ini, ciangkun, harganya sudah mahal."
"Tak apa, aku membutuhkannya dan berikan padaku. Berapa kau minta!"
"Bagaimana kalau lima ratus tail?"
"Apa?"
"Hm, tidak mahal, ciangkun, lima ratus tail saja. Atau kuberikan orang lain dan Kam-taijin (pembesar Kam) tentu mau." Khu-ciangkun tampak tertegun namun wajah nya berubah mendengar disebutnya Kam-taijin itu. Ini adalah saingan beratnya dan majikannya bisa marah kalau keduluan. Maka ketika tanpa banyak cakap ia lari ke kereta mengambil uangnya, membayar lima ratus tail maka orang sepasar heboh karena ikan itu sudah sedemikian mahal. A-sam membelalakkan mata dan mengumpat rejekinya kalah besar dengan yang lain, padahal dialah pemilik pertama ikan itu! Song-wangwe tertawa-tawa. Hok Swi alias juragan Hok mengepal tinju. Ia kalah cerdik dengan Song-wangwe ini. Kalau saja ia mau menunggu Khuciangkun dan langsung berhadapan tentu dia lah peraih rejeki paling besar. Manusia memang tamak. Dan ketika Khu-ciangkun berseri membawa ikannya, siap menaiki kereta mendadak muncullah seorang pria lima puluhan tahun, bertubuh sedang akan tetapi tegap.
"Tunggu, sebentar dulu. Bagaimana kalau ikanmu kubayar seribu tail, Khu-ciang kun. Berikan labanya kepada Lam-taijin dan kau kuberi seratus tail sendiri!"
Khu-ciangkun tertegun, membalik.
Ia siap meluncur ketika tiba-tiba lelaki ini datang.
Sikap dan gerak-geriknya jelas bukan penduduk Kui-cin.
Maka ketika ia terbelalak sementara lelaki itu sudah mengeluarkan uangnya, seribu seratus tail maka orang lebih gempar lagi betapa ikan itu sudah membubung tinggi.
A-sam mengepal tinju kuat-kuat! "Bagaimana?"
Laki-laki itu tersenyum.
"Seribu seratus semuanya, ciangkun, untungmu sudah besar."
Sejenak perwira ini menelan ludah, tiang itu begitu menggiurkan dan hampir ia mengangguk. Akan tetapi teringat majikannya iapun menggeleng, akan tetapi matanya enggan menolak mentah-mentah.
"Kau siapa dan apa keperluanmu dengan ikan ini. Kalau ingin menawar langsung saja ke majikanku, sobat, asal bagianku tetap dapat. Aku tak dapat memutuskan di sini."
"Hm, majikanmu pun akan menjualnya kepada orang lain. Kau tak akan kena marah, Khu-ciangkun, berikanlah dan jangan khawatir."
"Akan tetapi Lam-taijin pemiliknya, aku hanya utusan!"
"Kalau begitu bagaimana jika dua ribu tail. Aku harus segera pergi, banyak urusan. Kalau kau setuju di sini saja kita putuskan dan harganya kunaikkan!" berkata begini laki-laki itu mengambil uangnya lagi dan dua ribu tail penuh di tangan. Uang itu gemerlapan dan semua terkejut. Song-wangwe sendiri berubah dan tampak kaget. Betapa kayanya orang ini, padahal pakaiannya biasa dan sederhana saja. Akan tetapi sementara semua membelalakkan mata dan terkejut serta ngilar, harga itu sudah tak masuk akal lagi mendadak meloncatlah seorang bocah dan membanting sepuluh keping emas yang harganya tiga ribu tail perak! "Aku berani seperti ini, berikan kepadaku!"
Semua berteriak dan berseru tertahan.
Kalau semula laki-laki lima puluhan tahun itu menjadi pusat perhatian maka kini Buci, anak itu menjadi tumpuan.
Di antara mereka semua tak ada yang membawa uang emas, dan bocah ini mendadak muncul dan membanting sepuluh keping uang emasnya seperti orang bermain dadu! Maka ketika semua terkejut dan terheran-heran, wajah kaget tak dapat disembunyi kan lagi maka Khu-ciangkun menjadi guncang dan matanya meram-melek.
Kalau seperti inipun rasanya majikan sendiri berani dilanggar! Akan tetapi sebelum ia bergerak dan memberikan ikan itu maka laki-laki berpakaian sederhana itu tertawa bergelak, membanting lima belas keping emas.
Sungguh mengejutkan! "Ha-ha, lawan cilik membuatku malu.
Nih, lima belas keping emas penawaranku tertinggi, ciangkun.
Masa bocah itu berani lebih lagi!"
Akan tetapi Buci anak ini mengeluarkan sepuluh keping emas kedua.
Ia membanting dan memberikan itu di depan Khu-ciangkun, penonton benar-benar geger.
Dan ketika semua terbelalak dan laki-laki itu mengerutkan kening maka perwira ini tertawa nyaring meraup uang Buci, lupa sudah kepada majikannya karena jumlah uang itu enam ribu tail perak sungguh luar biasa.
"Kuterima! Tawaranmu tertinggi sobat cilik. Lam-taijin tentu tak akan marah kalau rejeki ini kubagi dua. Baiklah, ambil dan terimalah dan ikan itu milikmu!"
Pasar benar-benar terguncang dan hadirnya anak ini membuat semua terkejut.
Siapa tak akan kaget dan membelalakkan mata ada bocah membawa kepingan uang emas.
Songwangwe dan Hok Swi apalagi A-sam hampir meledak.
Mereka melihat betapa beruntungnya Khu-ciangkun itu.
Laba si perwira puluhan kali lipat dibanding mereka.
Dan ketika semua terbelalak dan tampak kecewa, A-sam serasa pingsan maka Khu-ciangkun membedalkan keretanya menuju pulang.
Ia tak membawa ikan itu akan tetapi dua puluh keping emas yang seharga enam ribu tail perak! Buci tersenyum-senyum.
Semula anak ini tak bermaksud mengajak jor-joran.
Jangankan jor-joran, membeli saja tak ingin.
Untuk apa ikan itu! Akan tetapi melihat betapa cepatnya ikan berpindah dengan harga yang mahal, sesuatu menarik perhatiannya maka dengan uang emas pemberian Pui-wangwe ia memborong dan layak nya seorang jutawan cilik! Akan tetapi hal-hal berikut tak menjadi perhitungannya.
Sikapnya yang demikian menyolek dan amat menarik perhatian segera menimbulkan problem baru.
Song-wangwe hartawan berpakaian halus tiba-tiba mengedip, begitu juga Hok Swi si juragan gemuk pendek.
Dua pembantunya di kiri kanan itu diberi isyarat.
Dan ketika Buci memanggul ikannya yang amat besar, sebesar punggungnya sendiri maka dua pembantu juragan itu saling dorong dan tiba-tiba menabrak anak ini.
Yang satu menyambar kantung uang! "Hei, apa yang kalian lakukan.
Minggir dan jangan merubung!"
Semua tiba-tiba terpelanting.
Penonton sudah demikian banyak hingga mengurung tempat itu.
Maka ketika dua laki-laki ini mendorong dan membuat kegaduhan, untuk akhirnya menabrak dan berpurapura memaki orang lain maka kantung Buci menjadi sasaran dan mereka lari sebagai perampas.
"Brett!"
Buci terkejut.
Ia bermaksud keluar kepungan setelah mendapat ikan itu.
Tiba-tiba ia bingung akan diapakan ikan itu.
Bukankah semua ini hanya sekedar iseng.
Maka ketika uangnya dirampas sementara dua orang itu lari cepat, penonton berpelantingan dan berteriak satu sama lain maka Buci menyinarkan kemarahan melihat uangnya dibawa lari.
"Maling hina, kembalikan uangku!"
Akan tetapi Song-wangwe dan Hok Swi tiba-tiba menghadang.
Seperti tidak sengaja dan terdorong orang banyak dua orang ini mendadak menahan Buci.
Maksudnya tentu saja agar si anak tak dapat mengejar.
Mereka memang berkomplot.
Akan tetapi karena Buci memiliki Jouw-sang-hui-teng dan inilah andalannya maka iapun membentak dan tubuhnya tahu-tahu menyambar di atas kepala dua orang itu, hal yang mengejutkan.
"Kembalikan uangku atau kalian mampus!"
Orang sepasar membelalakkan mata.
Mereka melihat tubuh Buci melayang dan terbang di atas kepala orang banyak, tahu-tahu keluar kepungan dan mereka tentu saja kagum.
Dan ketika Buci melayang turun dan tangan kirinya bergerak menimpukkan batu hitam, tangan kanan, masih memegangi ikan besar di belakang punggung maka dua butir batu itu menyambar ke arah dua laki-laki itu tepat di sambungan iga mereka.
"Aduh!"
Dua laki-laki itu menjerit dan roboh bergulingan.
Mereka serasa dibetot tulang iganya dan kantung uangpun terlempar.
Buci marah sekali menghajar mereka.
Akan tetapi ketika anak ini melayang turun dan hendak menangkap laki-laki pertama, si perampas uangnya mendadak Songwangwe dan Hok Swi si gemuk pendek berebut menyambar kantung itu.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berikan padaku!"
"Tidak, berikan aku!" Dua orang itu beradu kepala ketika sama-sama menyambar uang dan hendak merampas. Mereka tiba-tiba begitu tak tahu malu menyambar milik orang lain. Akan tetapi karena keduanya terantuk dan masing-masing berteriak, kejadian ini mengundang yang lain mendadak penonton berhamburan dan merekapun berebut uang itu. Dan saat itulah terdengar derap pasukan berkuda. Buci membelalakkan mata melihat betapa kantung uangnya menjadi rebutan. Orang sebanyak itu tiba-tiba tak tahu malu merampas miliknya, marahlah dia. Maka ketika ia membentak dan melepaskan lawan, berkelebat ke orang-orang yang berhamburan itu iapun mendorong dan kaki tangannya memukul atau menendang lawan.
"Pergi dan jangan ambil milikku, tak tahu malu!"
Namun tebalnya orang banyak tak mampu membuat Buci di pusat kerumunan.
Kantung uang sudah disambar dan dibawa seseorang akan tetapi dirampas dan jatuh ke tangan yang lain.
Tiga empat kali kantung uang berpindah tempat.
Dan ketika anak itu semakin marah sementara kerumunan mulai ceraiberai, uang tiba-tiba hilang maka Khu-ciangkun muncul dengan belasan anak buahnya.
Perwira ini berderap di atas kudanya.
"Minggir, serahkan anak itu kepadaku. Ia pencuri dan penjahat!"
Semua kerumunan lari berserabutan begitu belasan pasukan berkuda datang.
Mereka berteriakteriak dan minggir menyelamatkan diri tak mau ditabrak atau diinjak-injak kuda.
Dan ketika tinggallah Buci seorang diri, tepat pasukan mengepung maka anak ini marah dan kaget sekali dituduh Khu-ciangkun.
"Kau kami tangkap dan hendak dihadapkan Lam-taijin sekarang juga. Kami mencurigaimu dari mana sebanyak itu memiliki uang emas!"
Buci terbelalak, merah padam.
Uang-nya hilang sementara tiba-tiba dirinya hendak ditangkap.
Siapa tak naik pitam.
Dan ketika ia belum menjawab sementara perwira itu sudah memberi tanda, dua orang melompat turun maka pengawal mengecrek anak ini dengan borgol di tangan.
"Menyerah dan jangan melakukan perlawanan. Kami hendak memeriksamu!"
Buci tak dapat menahan diri lagi.
Jangankan belasan orang ini, puluhan pasukan di perbatasan saja dapat dihindarinya.
Maka begitu dua orang itu melompat dan menangkapnya, mereka memandang rendah seorang anak kecil maka anak inipun berkelebat dan tahu-tahu keluar dari kepungan, melayang atau terbang di atas kepala dua orang itu.
"Aku tak bersalah, apa-apaan ini!"
Semua terkejut.
Bagai belut yang licin anak ini lolos keluar, membentak dan berada di luar kepungan dan Khu-ciangkun serta anak buahnya tentu saja terkejut.
Mereka berteriak dan membalik.
Lalu melihat anak itu berkacak pinggang sementara penonton berseru penuh kagum, untuk kedua kalinya mereka melihat kelihaian anak ini maka Khu-ciangkun mem bentak dan mengejar lagi dengan pasukan nya.
Dua orang pertama terkejut dan berubah.
"Kau jangan membandel atau menentang. Lamtaijin mencurigaimu dari mana kaudapatkan uang sebanyak itu!"
Buci menudingkan telunjuknya. Ia marah sekali diganggu perwira ini sementara uangnya belum ketemu. Entah di mana dan siapa yang merampas. Maka membentak dan balas bersikap garang ia melengking.
"Kau! Adakah peraturan dan keharusan menangkap penduduk yang memiliki uang banyak, ciangkun. Apa sangkut pautmu dengan harta yang kumiliki ini. Aku bukan pencuri, aku mendapatkannya secara baik-baik. Kalau kau hendak memeriksa dan menangkap aku sungguh tak masuk di akal. Apakah semua orang di sini harus kaucurigai pula!"
"Kau bukan penduduk Kui-cin, kau bocah pendatang. Dari mana asalmu dan bagaimana kau mendapatkan uang itu harus kami periksa. Masa sekecil ini memiliki puluhan uang emas!"
"Bagus, jadi kau mencurigai aku yang membawa uang emas?"
"Tentu saja, dan Lam-taijin ingin menemui dirimu. Kau akan kami bebaskan kalau memang tidak bersalah!"
Tiba-tiba di antara penonton menyeruak lakilaki berpakaian sederhana itu.
Buci melihatnya dan kebetulan laki-laki ini tersenyum.
Maka teringat bahwa pria ini pun memiliki banyak uang emas, paling tidak lima belas keping tadi maka ia berseru dan menuding.
"Itu! Kalau begitu itupun harus ditangkap. Kau harus bersikap adil dan tidak berat sebelah karena orang itupun membawa uang emas!" Khu-ciangkun menoleh dan melihat laki-laki berpakaian sederhana ini. Ia pun tertegun dan mengernyitkan dahi akan tetapi mengangguk. Orang itu pun pria asing! Maka ketika tiba-tiba ia membentak dan memberi isyarat, delapan anak buahnya maju serentak maka orang ini dikepung dan ditangkap. Lakilaki ini tak melawan! "Nah, aku sudah bersikap adil. Dia sudah kutangkap dan kau pun harus menyerah. Kalian kami periksa dan kalau benar-benar tak bersalah tentu dibebaskan!"
Bukan main heran dan mendongkolnya Buci. Ia mengira laki-laki ini akan bersikap seperti dirinya, memberontak dan tak mungkin menyerah. Maka ketika tertegun dan membelalakkan mata, pria itu malah tertawa maka ia berkata menasihati Buci.
"Betul, kita orang asing. Sebagai pendatang yang memasuki wilayah orang seharusnya kita tunduk, anak baik. Serahkan dirimu dan jangan melawan. Kita tak bersalah, tentu bebas!"
Berat bagi Buci menuruti omongan ini karena mana mungkin ia menyerahkan dirinya.
Ia lebih dicurigai daripada laki-laki itu.
Dirinya seorang anak laki-laki yang membawa begitu banyak uang, tentu lain dengan pria itu sebagai orang dewasa.
Akan tetapi ketika ia hendak menggeleng dan membantah, ia siap melawan tiba-tiba seakan tak sengaja pria itu membetulkan tali sepatunya dan tampaklah ujung kain hitam di belakang punggungnya.
Kantung uangnya! Buci terkejut.
Tiba-tiba ia girang dan berseri.
Ternyata laki-laki itulah yang merampas.
Hm! Akan dihajarnya nanti! Dan menganggap pura-pura mengalah lebih baik daripada melawan, toh dengan mudah ia akan dapat melarikan diri maka Buci mengangguk dan ia berseru.
"Baik, aku menyerah, akan tetapi tak mau diborgol. Sekali kalian menggangguku maka siapapun akan kulawan!"
Kata-kata ini gagah dan penuh kesungguhan dan Khu-ciangkun menjadi kagum.
Kalau saja ia tak melihat anak ini mampu lolos dan keluar begitu mudahnya tentu ia tak akan perduli.
Akan ditangkap dan di borgolnya anak ini.
Akan tetapi karena bocah itu bukan bocah sembarangan dan ia harus berhatihati, si anak sudah menyerahkan diri maka ia bertepuk tangan dan muncullah kereta yang tadi dipakainya.
.
"Kaiian masuk dan kami kawal, jangan melanggar janji!"
Buci merengut akan tetapi pria kawan nya itu tertawa.
Tanpa ragu atau cemas sedikitpun laki-laki ini masuk.
Lalu ketika Buci mengikuti dan pintu ditutup, berdualah dia dengan laki-laki itu maka Khu ciangkun memberi aba-aba dan kereta bergerak.
Belasan kuda berderap dan pasukan itu mengiringi.
"Hm, kau..."
Buci tak segan lagi memandang pria ini, laki-laki yang ramah.
"Kembalikan kantung uangku atau aku merampasnya di sini. Kau perebut terakhir!"
Laki-laki ini tertawa, tidak bersandiwara lagi. Dan karena ia tadi sengaja menunjukkan itu untuk menarik perhatian Buci, si anak terbawa maka ia menggerakkan tangan ke belakang dan sekali tarik lepaslah kantung uang itu dari punggungnya.
"Kuambil ini untuk menyelamatkan milikmu. Terimalah dan jangan salah duga, anak baik, siapa akan merampas uangmu. Terimalah, dan hitung tak kurang sepeser pun."
Buci malah tertegun.
Tak disangkanya laki-laki ini memberikannya begitu mudah padahal di luar tadi semua orang berebut.
Dia terlanjur menganggap semua orang buruk.
Maka menerima dan tercengang tak menyangka, inilah lain dari yang lain maka ia pun tersipu dan berkata, 'Terima kasih, akan tetapi tak kusangka kaulah penyelamat uangku.
Kalau saja tak kulihat kantung uang ini tentu tak mau aku ditangkap Khu-ciangkun!"
"Sudahlah, sabar dan jangan marah-marah. Sekarang apa yang akan kaulakukan, anak baik. Eh, omong-omong siapa namamu. Aku Fang, namaku Lun, pedagang keliling dan menarik sekali bertemu dengan mu."
Buci menghela napas, lagi-lagi bingung.
Kalau orang sudah menanya namanya maka biasanya ia sukar menjawab.
Bukan apa-apa melainkan semata namanya nama Mongol, jangan-jangan hanya menaruh kecurigaan saja.
Maka ketika ia diam sementara laki-laki itu menunggunya, ia gugup maka laki-laki itu tertawa berkata.
"Sudahlah, aku tak mendesak. Mungkin kau pelarian hingga tak ingin dikenal, He-he, kecil-kecil sudah membawa uang, banyak mungkin milik ayah mu, sobat cilik. Akan tetapi aku kagum dan betapa pun suka kepadamu. Kau berani dan gagah. Dan ilmu meringankan tubuhmu tadi, wah... hebat dan luar biasa. Kau sebenarnya dapat melarikan diri kalau hanya berurusan dengan Khu-ciangkun itu."
Wajah Buci memerah, malu.
Ada rasa marah dikata pelarian akan tetapi karena sikap dan nada bicara laki-laki itu bersifat menggoda maka iapun tersenyum kecut.
Memang ia pelarian.
Maka diam dan serba salah, laki-laki ini seakan begitu tajam iapun menyeringai saja akan tetapi bangga dipuji ginkangnya.
Senang! Dan keretapun berguncangguncang, sejenak masing-masing sama diam.
Akan tetapi ketika laki-laki itu bertanya apa yang akan dilakukan setelah berhadapan dengan Lam taijin, juga ikan Tampah di belakang punggung maka Buci bingung untuk menjawab.
Tiba-tiba ia merasa orang ini sudah begitu akrab.
"Kau, apa yang akan kaulakukan jika berhadapan dengan pembesar itu. Apa jawabanmu kalau ia menanyaimu, terutama uang yang banyak di kantungmu itu."
"Hm, memangnya kenapa? Uang ini bukan kuperoleh mencuri, akan tetapi ku dapat secara baikbaik!"
"Bagus, pemberian ibumu?"
"Bukan, Pui-wangwe..." "Eh, kau dari kota Cin-yang?"
Buci kaget.
"Kau mengenal hartawan itu? Astaga, demikian murah hati hartawan itu kepadamu, sobat cilik, padahal tak gampang ia memberikan uangnya kepada orang lain!"
Buci jadi tertegun.
Tak disangkanya laki-laki ini mengenal Pui-wangwe dan ia tiba-tiba tak enak.
Jangan-jangan sahabat Pui-wangwe dan ia konangan.
Ia telah meninggalkan hartawan itu tanpa pamit! Akan tetapi ketika pria itu batuk-batuk dan berkata bahwa ia bukan apa-apa, sekedar kenal dan tahu selintas maka Buci lega mendengar kata-katanya.
"Tidak, tidak. Aku tak begitu kenal dengannya dan hanya tahu sekelebatan saja. Sebagai pedagang keliling kudengar namanya di kota Cin-yang. Siapa tidak kenal padanya? Aku bukan penduduk Cin-yang, sobat cilik, aku perantau. Tempatku berpindah-pindah dan tentu saja kukenal banyak orang. Justeru aku jadi tak enak kalau kau sahabat hartawan itu. Aku orang rendahan!"
"Hm, paman tak usah merendahkan diri. Aku... aku pun kebetulan saja bertemu hartawan itu. Sekarang ceritakan kenapa paman menghendaki ikan ini, apa keistimewaannya, kenapa ia dikejar-kejar!" "Ha-ha, kau betul. Aku tiba-tiba teringat persoalan ini, anak baik, justeru yang membuatku tiba di sini. Ikan itu milik istana dan semua pembesar mencarinya, tentu saja diam-diam. Dan karena Lamtaijin berharap besar dengan ikan ini maka ia pasti menekanmu dan hati-hati kalau berhadapan nanti. Ia akan mengembalikannya ke istana dengan harapan naik pangkat!"
"Milik istana?"
Buci terkejut.
"Ya, tepatnya milik keputren. Ikan itu berada di Kolam Emas akan tetapi beberapa waktu yang lalu hilang dicuri orang, dikejar dan kabarnya dibuang di sungai Huang-ho dan kebetulan nelayan itu mendapatkannya."
Buci berdebar, mulai tertarik.
Ia telah menyebut paman kepada laki-laki ini sementara orang pun tak keberatan.
Jenggot pendek putih itu seharusnya tepat disebut kakek.
Dan ketika pembicaraan mulai berkisar ke sini dan Buci bertanya apakah laki-laki itu butuh pangkat, kenapa mengejar dan berani dengan harga mahal maka Fang Lun atau pria ini terkekeh.
"Pangkat? Ha-ha, lucu sekali. Aku bukan pembesar atau pogawai pemerintah, anak baik. Maksudku adalah mencari keuntungan, itu saja. Ingat bahwa aku adalah seorang pedagang!"
Buci mengangguk-angguk, melebarkan mata nya yang bulat.
"Dan berapa paman jual? Kepada siapa pula?"
Laki-laki ini mengerutkan kening, tampak heran. Akan tetapi tersenyum dan tetap ramah ia berkata.
"Tentu saja kujual ke istana, harganya tinggi. Kalau tidak salah berani dibayar selaksa tail!"
Buci mendecak, kagum. Tak habis dimengerti nya bahwa untuk ikan seperti ini dibayar begitu mahal. Dan ketika ia memandang aneh laki-laki itu dan bertanya apakah laki-laki itu menginginkannya, pria ini terkejut maka ia menarik napas dan menggeleng.
"Rejeki bukan di tanganku, akan tetapi di tangan mu. Kau sudah mendapatkannya dan kaulah yang beruntung, anak baik. Aku tak menginginkannya dan tak cukup pula uangku, membayar. Milikku hanya lima belas keping emas itu."
"Kalau begitu ambil sajalah, aku sebenarnya iseng saja. Hanya kalau boleh kuminta dapatkah kau memberiku petunjuk siapakah di dunia ini pendekar paling hebat. Sebagai pedagang keliling tentu paman tahu dan dapat memberitahuku!"
Laki-laki itu terkejut, membelalakkan matanya. Akan tetapi sebelum ia menjawab maka kereta pun berhenti dan terdengar bentakan Khu-ciangkun bahwa mereka sudah tiba. (Bersambung
Jilid X.) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara
Jilid X *** "TURUN, kalian jangan di dalam saja!"
Buci mendongkol.
Percakapannya dengan lakilaki itu terganggu sementara pintu kereta pun dibuka.
Khu-ciangkun perwira itu menyuruh mereka turun.
Dan ketika ia melompat dan keluar dari kereta, paman Fang itu pun menyusul di belakang maka sikap perwira ini tampak galak dan para pengawalpun mengelilingi ketat.
Mereka tiada ubahnya pesakitan.
"Mari menghadap Lam-taijin dan kalian bersikaplah baik-baik. Kalau kalian memang tak bersalah dan bebas dari segala kecurigaan maka kalian boleh pergi! "Hm, sombong,"
Buci menggumam.
"Kalau kalian macam-macam akulah yang akan memberi pelajaran dan pergi atau tidak terserah aku." "Kau bicara apa?"
Khu-ciangkun mendelik.
"Tidak, dia bicara dengan aku,"
Fang Lun tertawa dan menyenggol lengan Buci.
"la berkata ingin bersikap baik-baik dan segera pergi, ciangkun. Kami merasa tak bersalah dan kalian tentu bersikap adil!"
"Hm, baik, tentu saja. Mari masuk!"
Dan gagah memasuki gedung besar itu, seseorang telah melapor pada Lam-taijin maka di ruang dalam, di dekat sebuah cermin besar duduklah seorang laki-laki gendut dengan baju indah bersulamkan benang emas.
Khuciangkun cepat berlutut dan berseru bahwa ia telah membawa para tawanan ini, hal yang membuat anak laki-laki itu berkerut kening dan tak senang.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi ketika ia disuruh berlutut dan menolak, begitu pula paman Fang maka Khu-ciangkun membalik dan berseru marah.
"Kalian menghadap seorang pembesar. Letak kan sopan-santun dan jangan seperti orang-orang liar!"
"Kami bukan orang-orang liar, dan kami pun datang bukan atas kemauan sendiri. Kau mengundang dan membawa kami ke sini, ciangkun, bersifat memeriksa. Kalau kau mengatakan kami tawanan padahal belum jelas salah tidaknya maka justeru kau lah yang tidak bersopan-santun. Kami tak ada hubungan dengan siapapun dan berhak menentukan sikap!"
"Akan tetapi ini Lam-taijin!"
"Kami tak perduli, kami bukan penduduk Kuicin!"
"Keparat!"
Perwira itu marah sekali, siap memerintahkan pengawalnya membekuk dan menangkap anak itu. Akan tetapi ketika Fang Lun kembali angkat bicara dan berkata meredakan suasana maka laki-laki inilah yang menghentikan pertikaian itu.
"Khu-ciangkun harap bersabar sedikit, apa yang dikatakan sobat cilik ini sebenarnya ada betulnya juga. Daripada ribut-ribut padahal sudah di sini bukankah sebaiknya bertanya kepada atasanmu apa yang harus dilakukan. Menangkap dan menyerang kami bolehboleh saja, akan tetapi pokok persoalan kenapa kami dibawa ke sini tentu tak bakal terselesaikan."
Perwira ini tertegun, ada benarnya juga.
Dan karena sesungguhnya yang dicari dan hendak ditangkap adalah anak laki-laki itu, bukan pria setengah baya ini maka iapun mengangguk dan menghadap lagi majikannya yang gendut itu.
"Lam-taijin sudah dengar, kami menyerahkan mereka ini kepadamu.
Karena laki-laki ini hanya terbawa saja oleh bocah ini maka mohon keputusan taijin apa yang harus dilakukan!"
"Siapa kau,"
Pembesar itu memandang laki-laki ini.
"Seingatku yang dipanggil dan dibawa menghadap adalah seorang anak laki-laki yang menurut Khuciangkun mencurigakan. Bagaimana kau ada di sini dan ikut-ikutan tertangkap."
"Hamba bernama Fang Lun, pedagang keliling. Hanya karena hamba sama-sama memiliki uang emas maka hamba ditangkap, taijin. Sebagai orang yang baik dan tak merasa bersalah hamba siap diperiksa."
"Hm, kaupun membawa uang emas?"
Lam-taijin mengerling Khu-ciangkun.
"Hanya lima belas keping, taijin, kalah banyak dengan sobat cilik ini. Hamba memang pedagang dan di manapun harus siap uang."
"Bagus, kalau begitu keluarlah. Kau seorang pedagang dan alasanmu masuk akal. Ciangkun, aku tak berurusan dengan laki-laki ini dan bawa ia keluar!"
Lam-taijin berseru pada pembantunya dan bergeraklah Khu-ciangkun bersama dua orang pengawalnya.
Ia menyambar dan menarik laki-laki ini supaya keluar.
Dan ketika laki-laki itu menurut dan tinggallah Buci seorang diri, anak ini terbelalak maka Khu-ciangkun muncul lagi dan kini berseri-seri.
Pintu ruangan ditutup dan berjaga lah para pengawal di luar ruangan.
Anak ini terkunci.
"Nah!"
Khu-ciangkun tertawa.
"Sekarang giliranmu, bocah. Dari mana kaudapatkan uang sebanyak itu dan bukan pedagang pula. Atau kau hendak mengaku bahwa dirimu pedagang seperti temanmu tadi? Jangan main-main, bicara yang jujur dan katakan dari mana uang itu kaudapatkan!"
"Aku menerimanya dari Pui-wangwe,"
Buci terpaksa mengaku.
"Aku memang bukan pedagang tapi tak mencuri atau hasil rampokan, ciangkun. Uang ini kudapat kan secara baik-baik dan boleh kautanyakan!"
"Pui-wangwe? Siapa yang kaumaksud?"
"Hartawan dari Cin-yang itu..."
"Eh, bohong!"
Khu-ciangkun memotong dan tiba-tiba membentak.
"Pui-wangwe adalah seorang pelit dan amat kikir, bocah, tak mungkin begitu gampang memberimu uang. Kau bohong!" "Kalau begitu tanyakan dan datanglah ke sana,"
Anak ini menjadi marah.
"Aku dapat membuktikannya dan jangan gampang menuduh, ciangkun. Kalau aku bohong boleh kauambil semua uangku!"
"Cukup, begini saja!"
Lam-taijin tiba-tiba berseru dan mengangkat tangannya.
"Kami akan menyelidiki dan membuktikannya, sobat cilik. Sekarang katakan siapa namamu dan untuk sementara ini kau tinggal di sini. Siapa namamu!"
Buci tertegun, merah. Adalah hal yang paling tak disukainya bila orang menanya namanya. Ia anak Mongol, mana mungkin mengaku. Maka bingung dan tertegun akan tetapi juga marah, ia tak segera menjawab maka perwira itu terkekeh berseru.
"Nah, kau mencurigakan. Menjawab nam a saja tidak diberitahukan, bocah, masa kau bebas begitu saja. Kau kami tangkap dan selidiki lebih lanjut!"
"Nanti dulu!"
Anak itu melengking.
"Namaku Bu-beng-siauw-inkong, ciangkun. Pui-wangwe memanggilku begitu!"
"Bu-beng-siauw-inkong (Penolong Cilik Tanpa Nama)? Kau mengada-ada, itu bukan nama. Kau tentu bohong dan ada apa hartawan itu menyebutmu siauw-in-kong. Ia memiliki pembantu dan guru silat she Lu yang lihai dan menjadi tangan kanannya!"
Khuciangkun tak dapat menerima ini dan tentu saja ia menolak.
Nama itu bukanlah nama.
D
Setan Harpa -- Khu Lung/Tjan Id Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Pengelana Tangan Sakti Karya Lovely Dear