Ceritasilat Novel Online

Mencari Busur Kumala 8


Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 8


a di Kui-cin, ibu, betapa ia duduk sekereta dengan aku. Waktu itu kami ditangkap dan dibawa menghadap Lam-tuijin!"

   "Lam-taijin?"

   "Ya, walikota Kui-cin. Aku membuat gara-gara ketika membeli seekor ikan Tampah enam ribu tail!"

   Buci menceritakan itu dan sang ibu berkerut kening. Akan tetapi ketika ibunya mengangguk-angguk dan tersenyum lebar maka ia memeluk puteranya ini penuh haru.

   "Semuanya ini gara-gara kakek gundul itu. Kalau ia tak mengejar dan kau rnela rikan diri tentu tak bakal terjadi itu, puteraku, akan tetapi dari mana kaudapatkan uang sebanyak itu."

   "Ibu kira dari mana?" "Hm, memangnya pemberian Raja Sabulai?"

   "Tidak!"

   "Kalau begitu dari mana? Masa kau..."

   "He, tidak, aku tak mendiri! Uang itu kudapat kan secara baik-baik, ibu, dari Pui-wangwe!"

   Anak ini memotong dan sang ibu tertawa.

   Memang ia akan mengatakan itu akan tetapi Buci mendahului, ia terkekeh.

   Dan ketika anak ini cemberut namun kagum betapa gigi ibunya bagai mutiara berderet, sebuah lesung pipit tersembul pula di sudut bibirnya maka anak ini memuji bahwa ibunya cantik, dan pujian itupun terlontar begitu saja.

   "Ibu cantik!"

   Kiok Eng terkejut.

   Ia menghentikan tawanya memandang puteranya ini, pandang matanya tibatiba tajam menyelidik.

   Dan ketika anak itu terkejut kenapa pujiannya meluncur begitu saja, sang ibu tampaknya tak senang maka ia meminta maaf bahwa ia tak bermaksud apa-apa.

   Hm, tidak, ibu tak marah.

   Akan tetapi ah...

   benarkah ibu cantik, Kong-Ji.

   Sejak kapan kau mengenal kecantikan wanita?" "Aku tak tahu, namun ibu memang cantik.

   Lesung pipit ibu melebihi ibu Kayima,"

   Anak ini malumalu, membandingkan ibunya sendiri dengan ibu angkatnya di Mongol itu. Dan ketika sang ibu bertanya siapa itu Kayima, Buci menarik napas dalam maka ia berkata bahwa itulah ibunya selama di perkemahan bangsa Mongol, isteri Sabulai.

   "Ia baik kepadaku, dan dialah satu-satunya ibu yang kusayang dan menyayangi sewaktu masih di sana. Lihat, tusuk rambutnya ini pemberiannya, ibu, dia benar-benar baik dan amat sayang padaku!"

   Buci mengeluarkan tusuk rambut itu dan Kiok Eng memandang terharu.

   Ia merasa bersyukur bahwa puteranya berada di tangan isteri Sabulai.

   Akan tetapi teringat kakek gundul Siang Lun Mogal akhirnya ia minta puteranya bercerita sewaktu masih di sana.

   Dan Buci pun lalu bercerita, sang ibu mendengarkan baikbaik.

   "Begitulah,"

   Sang anak akhirnya menutup.

   "Berburu dan menunggang kuda adalah pekerjaanku sehari-hari, ibu, juga melatih Jouw-sang-hui-teng itu. Akan tetapi ketika kakek itu memaksa dan menyuruh aku mempelajari ilmu silatnya maka aku-pun menolak, berontak. Dan akhirnya aku minggat setelah ayah Sabulai sendiri menuruti kakek itu!" "Hm, untung sekali, syukur kau tak mempelajari silatnya. Kakek ini memang jahat dan keji, puteraku, juga ganas. Dulu muridnya Wi Tok sampai tertimpa bencana."

   "Siapa itu Wi Tok!"

   "Putera sri baginda dari selir, akan tetapi sekarang tewas dan kakek itu rupanya tertarik pada mu. Hm, untung kau tak menjadi muridnya akan tetapi bagaimana kau tiba-tiba berada di tempat suku bangsa itu!"

   "Aku tak tahu. Tentu ayah Sabulai dan ibu Kayima tahu..."

   "Hm, ayahmu adalah Tan Hong. Biar lain kali kita selidiki ini, puteraku, pasti ada apa-apa di balik ini!"

   Benar, pasti ada apa-apa. Dan... dan ayahku itu ada di mana, ibu, kenapa tak kelihatan? Bukankah ia pun menghuni Liang-san? Dan nenek May-may!"

   Buci tiba-tiba teringat.

   "Siapa nenek ini dan betulkah dia nenekku!"

   Sang ibu tiba-tiba murung dan Buci heran melihat dua titik air mata mendadak meluncur turun.

   Begitu ditanya di mana sang ayah tiba-tiba ibunya ini menangis.

   Dan ketika ia terkejut dan merasa heran maka sang ibu tersedu dan menyambar serta memeluk dirinya.

   "Ayahmu, dia... ah, aku berdosa padanya, Kongji. Kami sering bertengkar hebat dan akhirnya ia meninggalkan tempat ini. Aku setengah mengusirnya. Dia... dia pria yang baik!"

   Buci terkejut.

   Ibunya segera mengguguk dan tangis itupun begitu kuat, kedua pundak ibunya berguncang-guncang.

   Dan ketika ia berdebar namun membiarkan saja, ibunya meremas dan mencium wajahnya berulang-ulang akhirnya tangis itupun terhenti tinggal sedu-sedan biasa.

   Buci terbelalak dan memandang ibunya penuh "Kau ingin tahu tentang ayahmu, bukan? Dan kau tentu ingin tahu pula siapa nenek May-may ini?"

   "Ya, dan... dan dua wanita tadi. Kenapa ibu bermusuhan dengan mereka padahal ibu menyebut nya bibi Ming dan adik Beng Li!"

   "Hmmm...!"

   Kiok Eng menarik napas panjangpanjang.

   "Peristiwanya lama dan terjadi secara tak sengaja, Kong-ji, yakni ketika kau baru lahir."

   Anak ini berdebar, tiba-tiba merasa tegang. "Bibi Ming adalah ibu tiriku juga sementara Beng Li adalah adikku satu ayah."

   Sang ibu melanjutkan dan Buci mendengarkan penuh perhatian, begitu serius. Dun ketika ibunya menarik napas panjang lagi dan mulai bercerita maka Buci hampir tak mengangkat kakinya dari tempat itu.

   "Peristiwa ini dimulai ketika kau lahir. Akan tetapi ketika tepat bersama itu datanglah mereka maka kejadian tak diduga membuat ekornya berlarut-larut dan tanpa sengaja aku membunuh anak di rahim Beng Li!"

   Buci pucat, melihat ibunya mengusap air mata dan tubuh ibunya tiba-tiba tampak menggigil.

   Sang ibu berhenti dan anak ini mendengarkan tanpa memotong, ia benar-benar tertarik.

   Dan ketika iapun tidak bertanya sementara sang ibu terisak tertahan maka ibunya melanjutkan lagi ceritanya itu.

   "Awalnya bermula dari kesalahpahaman Beng Li. Ia... ia mengira ibunya disakiti."

   "Hm, siapa yang menyakiti, ibu? Apakah yang ibu maksud adalah bibi Ming itu?"

   "Kau harus menyebutnya nenek, bukan bibi. Sedangkan Beng Li adikku itu harus kausebut bibi!" "Ya-ya, apakah bibi Beng Li mengira ibunya disakiti, siapa yang menyakiti!"

   "Yang menyakiti adalah ayahku, kakekmu. Akan tetapi karena kakekmu tak melakukan apa-apa dan Beng Li hanya salah paham maka bermula dari itulah semua kejadian berasal."

   "Kakekku? Siapa kakekku, ibu? Dia itukah ayahmu?"

   "Benar, ayahku adalah kakekmu. Bibimu Beng Li mengira ayahku menyakiti ibunya, ia marah-marah kemudian datang ke sini..."

   "Nanti dulu, tadi ibu menyebut bibi Beng Li adik satu ayah. Kalau begitu apakah kakekku beristeri dua?"

   "Hm, tidak dua, Kong-ji, melainkan tiga."

   "Tiga? Mata keranjang sekali. Aku teringat Raja Sabulai yang isterinya banyak! Apakah dia juga seorang raja!"

   Kiok Eng semburat merah, sejenak tertampar. Akan tetapi menggeleng dan menarik napas ia berkata bahwa ayahnya bukanlah raja.

   "Kakekmu bukanlah raja, akan tetapi pangeran..." "He, sama dengan calon guruku itu. Paman Fang juga pangeran!"

   "Hm, sebaiknya tak usah bicara ini,"

   Sang ibu mengelak, salah-salah bisa ketahuan.

   "Yang perlu kaudengarkan adalah sebab mula permusuhan ibu, puteraku, kenapa bibimu Beng Li memusuhi habishabisan dan tadi menghendaki kau dibunuh."

   "Benar, ia kejam. Tadi aku hendak dibunuhnya!"

   Kiok Eng mengerutkan kening. Tiba-tiba puteranya ini gemar memotong dan membuat ia jengkel. Maka menegur agar tak banyak dipotong, Buci mengangguk maka anak itu sadar bahwa ia harus mendengarkan saja, sang ibu belum selesai bercerita.

   "Maaf, aku lupa. Aku tertarik, ibu, akan tetapi juga penasaran. Baiklah nanti kuajukan pertanyaan kenapa aku penasaran!"

   Sang ibu mengerutkan kening akan tetapi melanjutkan ceritanya lagi.

   Peristiwa di Bukit Angsa dimulai sampai akhirnya ke Liang-san, betapa berkat kesalahpahaman itu Beng Li marah-marah kepada ibunya, nenek kandung Buci.

   Dan ketika Buci tertegun namun mendengarkan penuh perhatian, anak ini berdebar dan tak memotong lagi akhirnya tibalah pada peristiwa puncak itu, betapa ibunya menendang perut Beng Li yang waktu itu hamil muda.

   "Aku murah sekali karena nenek kandungmu diserang dan dimaki-maki bibimu. Dan ketika aku membentak namun ia tetap gila, kutendang perutnya maka tewaslah bayi di kandungannya itu. Aku tak tahu!"

   Buci berseru tertahan, sang ibu berhenti dan mengusap air matanya.

   Memang pada bagian ini tampak betapa ibunya menyesal sekali, sang ibu terisak-isak.

   Akan tetapi karena itu dilakukan tanpa sengaja, artinya tak tahu bahwa waktu itu bibi Beng Li hamil maka Buci mencekal lengan ibunya erat-erat.

   Anak ini seakan hendak membela dan berkata bahwa ibunya tak bersalah.

   "Aku... aku menyesal. Akan tetapi itulah awal petaka permusuhan itu, Kong ji. Itulah sebabnya bibimu Beng Li memusuhi aku. Dan ini ditambah lagi dengan hilangnya nenek May-may!"

   "Benar, sekarang aku ingin bertanya. Siapa nenek ini dan kenapa begitu banyak nenek yang kudengar, ibu. Bukankah nenekku seharusnya satu orang saja, bagaimana begitu banyak nenek!" "Ia adalah guruku, sekaligus guru bibi Ming. Akan tetapi karena sebelum aku menjadi muridnya maka bibi Ming itulah muridnya maka nenek itu sebetulnya nenek guru bagimu, bukan nenek kandung!"

   "Dan nenek kandungku, masih hidupkah dia, ibu? Siapa namanya dan di mana pula?"

   "Dia bernama Ceng Ceng, hidup namun kini entah ke mana. Sebab sejak peristiwa itu maka pecahlah bentrokan keluarga di antara ibuku dan ibu Ming."

   "Jadi nenekku masih hidup? Dan kakek?"

   "Ia... ia juga masih hidup, Kong-ji, akan tetapi tak ada di sini."

   Buci berdebar, tiba-tiba rasa ingin tahunya tak dapat ditahan lagi. Dan ketika ia mendesak di manakah kakeknya itu, juga sang ayah maka ibunya mengangkat mukanya memeluk dirinya, terisak-isak.

   "Kakekmu... kakekmu adalah orang luar biasa. Ia berkepandaian tinggi dan tak dapat diikuti jejaknya, puteraku, sedang ayahmu... ah, harus dicari!" "Bagus, kalau begitu giliran ayah. Keturunan siapakah ayahku ini dan bagaimana berpisah dengan ibu!"

   Kiok Eng terkejut, merasakan sesuatu yang aneh.

   Ia mendorong puteranya mengamati dengan heran karena tiba-tiba dilihatnya sepasang mata puteranya itu berkedip-kedip aneh.

   Ia tertegun dan mengerutkan kening.

   Akan tetapi ketika Buci menunduk dan menyusupkan kepala di dada ibunya, sadar bahwa sesuatu diamati ibunya maka ia mendesah bahwa ia penasaran ingin tahu siapa ayahnya itu, tidak lebih.

   "Ayahmu adalah keturunan orang gagah, akan tetapi kalau ia meninggalkan ibu maka ini adalah salahku. Aku terlalu keras, dan ia begitu lemah lembut. Ah, semua ini salahku, Kong-ji. Kalau saja aku tak merasa kehilangan dan belum menemukan dirimu maka seumur hidup tak mau aku bertemu ayahmu!"

   "Kenapa ibu sekeras itu? Dan bagaimana cerita nenek May?"

   "Hm, nenek ini lenyap dan kutuduh menculik mu, puteraku. Waktu itu kulihat bayangannya dan kukejar. Aku dan ayahmu mencari akan tetapi ia menghilang'" "Coba ibu ceritakan ini, bagaimana mula-mula."

   "Waktu itu kau hilang, aku dan ayahmu mencari. Dan karena nenek inilah yang kulihat bayangannya, aku begitu yakin maka ia kukejar akan tetapi ayahmu ragu. Pengejaran menjadi setengah hati!"

   "Nanti dulu, kenapa nenek itu menculikku."

   "Eh, bukankah ada hubungannya dengan bibimu Beng Li? Beng Li adalah cucu muridnya langsung, Kong-ji. Nenek May marah karena aku membunuh bayi itu. Dan karena ia lebih dekat dengan keluarga bibi Ming daripada aku maka tak heran kalau ia membela dan berusaha membalas sakit hati. Ia ingin menculik dan membunuhmu agar sakit hati Beng Li impas!"

   "Hm, begitu kiranya,"

   Anak ini mengangguk.

   "Kalau begitu aku mengerti, ibu, teruskan."

   "Aku tak menemukan nenek ini karena ayahmu yang masih ragu. Dan karena pengejaran menjadi tak menentu dan sia-sia maka akhirnya kutumpahkan kemarahan kepada ayahmu!"

   "Ibu bertengkar hebat?" "Ya, bahkan bertempur. Akan tetapi ayahmu mengalah dan akhirnya meninggalkan Liang-san!"

   Buci mengangguk-angguk.

   Ia telah melihat bahwa ibunya ini seorang wanita yang keras hati dan keras kemauan.

   Tak heran kalau sampai bertempur.

   Akan tetapi terharu betapa ayahnya seorang yang lemah lembut, timbullah iba dan rasa kasih maka ia bergumam dan menyesalkan kenapa ibunya sekeras itu.

   "Seharusnya ibu tak boleh berkelahi, di suku bangsa Mongol tak ada wanita berani terhadap suami nya."

   Kiok Eng merah, semburat tertampar. Akan tetapi karena suara puteranya bernada penyesalan bukannya menyalahkan, ia menarik napas dalam menggigit bibir segera ia berkata bahwa hal itu tak perlu dibicarakan lagi.

   "Kau sudah datang, dan kehadiranmu adalah segala-galanya. Kini ayahmu harus dicari, Kong-ji, tapi apa nasihat sahabat barumu itu kepadamu."

   "Hm, ia menyuruhku belajar kepandaian,"

   Anak ini tiba-tiba berseri.

   "Aku mengangkatnya guru akan tetapi ditolak, ibu. Sebelum menemukan kau atau ayah tak boleh menjadi muridnya." "Begitukah?"

   Sang bagaimana sikapmu?"

   Ibu tersenyum.

   "Lalu "Mula-mula keberatan, akan tetapi setelah bertemu dan tahu siapa ibuku tentu saja menjadi girang. Dan tak kusangka bahwa Tan Hong adalah ayahku pula, aneh paman Fang itu!"

   "Hush, jangan sebut paman, la orang besar, Kong-ji, seorang pangeran. Kalau begitu belajarlah ilmu silat di bawah bimbingan ibu lalu menjadi muridnya!"

   "Tidak, kalau belum menemukan ayah. Aku harus menepati janji, ibu, tak bisa begitu saja. Justeru sekarang aku bersemangat bahwa orang-orang yang kucari adalah ayah ibuku sendiri!"

   Sang ibu tertawa, menyambar dan menciumi puteranya ini. Lalu ketika Buci tertawa dan mendorong ibunya pula maka ia bertanya bagaimana dengan luka di be lakang ibunya itu.

   "Sembuh, sudah sembuh. Begitu jumpa kau maka tak kurasakan lagi sakitku, Kong-ji. Kebahagiaanku lebih besar daripada sakit itu. Marilah, turun gunung dan cari ayahmu. Kita belajar sambil jalan!" "Tunggu, bagaimana dengan kakek itu."

   "Kakek siapa?"

   "Si gundul itu, ibu, Siang Lun Mogal. Apakah ibu mampu mengalahkannya dan tak takut berhadapan dengannya!"

   Sang ibu tertegun, akan tetapi bertolak pinggang. Lalu mengedikkan kepala berkata gagah maka ia berseru bahwa ia tak perlu takut terhadap segala macam kakek siluman.

   "Memang ia berkepandaian tinggi, akan tetapi tak ada kamus takut di hati ibumu. Kalau ia datang maka ia kulawan, putera ku, siapa takut!"

   "Akan tetapi ibu dapat mengalahkannya?"

   "Ini..."

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sang ibu ragu.

   "Dulu tak pernah menang, Kong-ji, akan tetapi sekarang tak tahulah. Paling tidak dengan bertanding mati-matian kakek keparat itu tak mudah merobohkan aku!"

   "Kalau begitu kalah tinggi dengannya, ibu masih ragu!"

   "Hm, dulu memang begitu, akan tetapi sekarang belum tentu. Ia bertambah tua dan lemah, Kong-ji, sementara ibu belajar dan terus meningkat kan kepandaian. Sudahlah tak perlu takut karena tak mudah ia mengalahkan ibu!"

   "Aku tidak takut, hanya tak mau dibawa pulang ke Mongol. Bagaimana kalau misalnya ayah dan ibu menghadapi kakek itu berbareng!"

   "Maju mengeroyok? Tak mungkin ia menang. Ayahmu lebih tinggi daripada aku, Kong-ji, pasti ia roboh!"

   "Kalau dibanding paman Fang?"

   "Hush, jangan sebut paman!"

   "Ya-ya, kalau dibanding pangeran itu mana lebih tinggi antara ayah dan dia, ibu. Mampukah ayah mengusir kakek itu hanya dengan mengulapkan lengannya saja."

   "Kau selalu membanding-bandingkan, apa maksudmu!"

   "Aku terlampau kagum, heran dan takjub. la begitu tinggi dan hebat sekali, ibu. Mampukah kalian berdua misalnya mengalahkan laki-laki ini!"

   Kiok Eng mengerutkan kening, terkejut, tak menyangka puteranya mengejar dan mencari tahu siapa lebih hebat antara dirinya dengan "sahabat" puteranya itu.

   Akan tetapi karena semua ini didorong rasa kagum dan takjub yang kuat, diam-diam geli dan tertawa maka ia berkata bahwa dikeroyok duapun laki-laki itu masih lebih lihai.

   "Sudah kukatakan bahwa ia adalah jago di kolong langit ini. Biarpun berdua ddhgan ayahmu tak mungkin kami menang, Kong-ji, ia tak sekedar lihai ikan tetapi sakti. Dan orang sakti tak mungkin kami lawan!"

   "Bagaimana dengan mendiang Dewa Mata Keranjang."

   "Eh, kau tahu itu?"

   "Ya, dan... ehh!"

   Buci tiba-tiba pucat, mukanya berubah. Dan ketika ia terbelalak dan mengagetkan ibunya maka anak ini tiba-tiba terhuyung dan roboh, berseru.

   "Celaka, kalau begitu kakekku adalah Dewa Mata Keranjang, ibu. Bukankah ayah adalah keturunan Dewa Mata Keranjang!"

   Kiok Eng terkesiap, mukanya berubah.

   Ia melihat puteranya menggigil karena saat itu teringat lah anak ini akan pembicaraan dengan paman Fang itu.

   Terngiang oleh Buci betapa Tan Hong adalah putera Dewa Mata Keranjang.

   Dan karena ia putera ayahnya berarti cucu kakek itu, ia cucu Dewa Mata Keranjang maka anak ini tergetar pucat dan berdentang hebat.

   Padahal ia telah memaki dan bersikap keras kepada Dewa Mati Keranjang, yang ternyata kakeknya sendiri! "Kau...

   apa yang kaurasakan.

   Kenapa tiba-tiba kau begini berubah, puteraku, dari siapa kau tahu dan kenapa kau ini.

   Bangunlah, jangan mengejutkan ibu!"

   "Aku... aku cucunya, ibu? Jadi kakek itu adalah kakekku?"

   "Benar, akan tetapi ia telah meninggal. Orang meninggal tak usah diingat sepak terjangnya lagi. Kakekmu yaitu ayah dari ibumu sebagai pengganti. Inilah kakekmu sekarang. Bangkit dan katakan kenapa kau seperti ini!"

   Kiok Eng mengangkat puteranya dan kaget serta berdebar, juga tidak enak.

   Puteranya tibatiba bersikap begini aneh dan ada apa! Maka ketika ia bertanya dan Buci masih terbengong-bengong, antara kaget dan kecewa maka pertanyaannya tiba-tiba menyentakkan ibunya itu.

   "Ibu, apakah ayah juga mata keranjang? Tidak kah ia seperti ayahnya?"

   "Hm, kalau ia seperti ayahnya tak mungkin ibu sudi. Ayahmu lain dengan kakekmu, Kong-ji, ia pria sejati!" "Jadi... jadi ayah hanya beristerikan ibu? Ia tidak memiliki isteri lain?"

   "Tidak, kenapa kautanyakan ini. Ia suami baikbaik dan bangunlah, ibu bisa pusing!"

   "Akan tetapi ibu bisa menjamin?"

   "Apa maksudmu?"

   "Menjamin bagaimana?"

   Sang ibu tertegun.

   "Bahwa ia tak akan seperti kakek, bersikap mata keranjang!"

   "Huh, kalau ia mata keranjang bakal bertanding mati hidup dengan ibumu. Tidak, ia benar pria baikbaik. Ibu berani jamin tak mungkin ayahmu main gila!"

   "Akan tetapi ayah sudah meninggalkan ibu sekian lama, dan ibu selalu memusuhinya pula. Masih kah ibu berani menjamin?"

   "Keparat!"

   Kiok Eng marah juga.

   "Kalau ayahmu beristeri lagi maka kubunuh dia dan isterinya itu, Kong-ji. Aku bersumpah!"

   "Akan tetapi ayah lebih tinggi daripada ibu!"

   "Ia tak akan mudah mengalahkan aku begitu saja. Keparat, kenapa kau bertanya-tanya seperti ini? Apa maksudmu?" "Aku teringat kehidupan ayah Sabulai dan isteriisterinya,"

   Buci mendadak menangis.

   "Setiap hari tak pernah tenang, ibu, terutama di antara anak-anak mereka, keturunan ayahku itu. Persaingan dan iri hati selalu ada, hanya karena Sabulai adalah raja maka para isterinya tak berani ribut di depan. Sedangkan ayah, ia bukan raja!"

   "Hm!"

   Kiok Eng tergetar juga, mengakui itu.

   Ia melihat hal ini di antara ketiga isteri ayahnya, dulu sering cekcok! Akan tetapi karena ia tak suka mendengarkan itu dan Tan Hong bukanlah suami mata keranjang, ia yakin itu maka ia berkata bahwa puteranya tak usah khawatir.

   "Ayahmu lebih banyak mewarisi watak ibunya, lembut dan penyayang. Kau tak perlu takut atau khawatir, Kong-ji, percayalah kepada ibu dan ayahmu tak mungkin beristeri lagi!"

   "Baiklah, mudah-mudahan begitu. Sekarang apa yang hendak ibu lakukan dan benarkah lukamu sudah sembuh."

   "Sudah, tak perlu cemas. Sekarang yang ingin kulakukan adalah tentu saja mencari ayahmu, Kong-ji, mari turun gunung dan kita mulai!"

   "Dan belajar silat pula..." "Ya, sambil berjalan. Mari kita pergi dan betapa girang ayahmu kalau ia tahu dirimu masih hidup!"

   Buci mengangguk dan iapun disambar ibunya.

   Seteluh cukup berbincang-bincang dan memulihkan tenaganya maka wanita ini pun turun gunung.

   Ia berkelebat dan mengerahkan ilmu lari cepatnya itu.

   Dan ketika Buci merasa kagum namun ingin berendeng, Jouw-sang-hui-tengnya ingin diadu dengan ilmu meringankan tubuh ibunya maka sang ibu tertawa dan mengabulkan, melepas dan bergerak seperti terbang akan tetapi terkejut puteranya mampu mengikuti.

   Buci menyambar dan berjajar dengan ibunya ini.

   Lalu ketika sang ibu tancap gas namun dikejar pula, barulah setelah mengeluarkan seluruh ilmu lari cepatnya anak itu sedikit tertinggal maka wanita ini benar-benar percaya bahwa dalam hal ginkang puteranya benar-benar luar biasa.

   Tak aneh kalau Siang Lun Mogal harus berjuang matimatian menangkap anaknya ini! "Hi-hik, hebat, mengagumkan.

   Ginkangmu luar biasa sekali, Kong-ji, ibu percaya kalau kakek gundul itu harus bekerja keras mengejarmu.

   Ayo, mulai ikuti gerakan-gerakan ibu dan inilah Sin-bian-ginkang (Ginkang Kapas Sakti)!"

   Wanita itu terbang tak menginjak tanah lagi dan Buci benar-benar kagum.

   Tubuh ibunya meluncur bagai segumpal kapas ringan dan ia harus mati-matian mengejar, betapapun ibunya lebih matang.

   Dan ketika dalam perjalanan ini ibunya mulai memberi petunjuk-petunjuk, juga dasar atau pelajaran ilmu-ilmu silat maka Buci girang bukan main dan terlupalah sudah segala hal-hal yang memberat kan batin.

   Ia begitu gembira saling kejar dengan ibunya mencari ayah mereka Tan Hong, tak tahu sepasang mata memperhatikan mereka di bawah gunung.

   Mata Siang Lun Mogal! Dan ketika mereka lenyap dan mata itupun ikut bergerak, ibu dan anak tak tahu bahaya maka kakek ini berseri-seri sambil mengepal tinju! (Bersambung

   Jilid XII.) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara

   Jilid XII *** MARILAH kita tinggalkan dulu ibu dan anak untuk mengetahui atau melihat apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga Liang-san ini, bagaimana Tan Hong meninggalkan isterinya dan betapa pendekar itu tertekan berat oleh peristiwa puteranya yang hilang, juga sepak terjang atau sikap Kiok Eng yang keras.

   Sikap yang hampir saja membuat rumah tangga itu pecah berantakan! Waktu itu seperti diketahui suami isteri muda ini gagal mencari nenek May-may.

   Kiok Eng marahmarah dan memaki suaminya yang masih ragu-ragu.

   Dan ketika akhirnya mereka benar-benar kehilangan jejak karena saat itu nenek ini telah mengikuti Siang Lun Mogal, jauh di pedalaman bangsa Mongol maka wanita ini berhenti dan tersedu-sedu di kaki gunung.

   "Keparat, jahanam terkutuk.

   Sekarang kita kehilangan jejak, Hong-ko (kanda Hong), tak tahu lagi ke mana mencari.

   Kalau saja kau tak bersikap ayalayalan dan ragu mengejar tentu nenek itu kutangkap.

   Apa yang harus kita lakukan dan bagaimana dengan anak kita!"

   Tan Hong menarik napas dalam seraya mengerutkan kening dengan muka muram.

   Ia sendiri masih sangsi benarkah nenek itu menculik puteranya.

   Ia tak melihat sendiri dan karena itu selalu menyata kan ragu.

   Akan tetapi maklum isterinya marah-marah dan satu-satunya jalan hanya mengikuti dan mengiya kan kata-ka tanya maka ia tak menjawab selain mendekati dan menghibur isterinya ini.

   "Aku tak tahu lagi apa yang harus kita lakukan. Semua penjuru sudah kita tempuh, Eng-moi, akan tetapi anak kita Cit Kong tak ketemu juga. Terserah apa yang hendak kaulakukan dan aku mengikut saja."

   "Kau tak mau berpikir sedikit juga? Kau hendak menyerahkan segala-galanya kepadaku?"

   "Eh, bukan begitu,"

   Pemuda ini terkejut.

   "Aku hanya khawatir salah dan tak berkenan di hatimu. Biar kau saja yang memutuskan dan aku tinggal ikut!" "Bagus!"

   Akan tetapi Kiok Eng tiba-tiba gusar, bangkit dan berapi.

   "Kau sebagai laki-laki ternyata tak memiliki tanggung jawab, Hong-ko, enak saja menyerahkan semuanya kepada perempuan. Kalau begini caramu lebih baik tak usah punya suami!"

   "Eng-moi!"

   Akan tetapi wanita itu membalik dan meloncat pergi.

   Tan Hong jadi terkejut dan pucat bahwa katakatanya berakibat buruk.

   Ia sama sekali tak bermaksud begitu akan tetapi sang isteri marah besar.

   Ia dianggap tak bertanggung jawab, celaka.

   Maka berkelebat dan mengejar isterinya, Kiok Eng menangis maka pemuda itu berjungkir balik meredakan gugup.

   "Tunggu, jangan salah paham. Aku tak bermaksud menyerahkan segala-galanya kecuali menjaga kekeliruan semata. Kalau sikapku salah baiklah bagaimana jika kita ke ibu!"

   Kiok Eng berhenti, pemuda itu menyambar dan menahan pundaknya.

   Dan ketika ia terbelalak dan hilang sebagian marahnya, kata-kata ini menghibur maka pemuda itu sudah memeluk dirinya dan berkata lagi, kini lebih membujuk, halus namun bernada tegas.

   Kiok Eng memang suka kepada pria yang tegas daripada sekedar mengekor padanya.

   "Kita kembali dan lapor ke ibu.

   Kita dapat minta bantuannya pula, Eng-moi, paling tidak berupa petunjuk.

   Marilah kita pulang dan minta nasihat padanya, syukur kalau ayahmu ada!"

   Wanita ini tersedu.

   Ia membalas dan menubruk suaminya itu pula dan Tan Hong bernapas lega.

   Kemarahan isterinya dapat diredakan.

   Maka ketika ia berkata lagi bahwa sebaiknya orang-orang tua diberi tahu, mereka dapat dimintai bantuan dan tentu lebih berhasil maka Kiok Eng menurut saja ketika suaminya mengajaknya pulang.

   Mien Nio, sang ibu mertua menarik napas dalam.

   Wanita ini terkejut dan gelisah akan tetapi tak menunjukkan sikap berlebih.

   Kepada dua anak muda itu ia berkata sebaiknya mencari dan menemukan Fang Fang, dia sendiri akan membantu dan mencari nenek May-may, turun gunung.

   Dan ketika wanita itu tak menunda waktu lagi dan segera melakukan pencarian, diam-diam ragu dan juga tak percaya bahwa May-may lah penculiknya maka Tan Hong kembali berdua dan melihat isterinya mengepal tinju.

   Wajah wanita ini semakin keras dan berkesan tak sabar.

   "Akan kubunuh nenek itu kalau ia berani mengganggu Cit Kong.

   Hm, sebaiknya kita berpisah saja, Hong-ko, kau ke timur aku ke barat.

   Kita samasama mencari ayah sekalian nenek itu.

   Aku tak akan berhenti sebelum kutemukan anakku!"

   "Eh, kenapa begitu? Ibu sudah membantu, Engmoi, kita tetap bersama-sama saja. Aku tak setuju jalan sendiri-sendiri."

   "Tidak, kita harus berpisah. Dengan membagi tugas maka pencarian lebih berhasil, Hong-ko, aku ingin segera menemu kan Cit Kong atau seumur hidup tak usah kembali saja!"

   "Eng-moi!"

   Akan tetapi Kiok Eng benar-benar mengeras.

   Ia menggeleng dan berkata sekali lagi bahwa demi anak mereka harus sendiri-sendiri.

   Pencarian secara terpencar tentu lebih berhasil daripada searah saja.

   Dan ketika Tan Hong menjadi pucat betapa isterinya tak dapat ditekuk, mengeluh dan membelalakkan mata maka isterinya itu berkelebat dan turun gunung.

   Ia sama sekali tak diperdulikan dan cinta anak begitu besar melebihi cinta suami.

   "Tak ada lagi yang perlu dibicarakan.

   Kita berpisah menjalankan tugas masing-masing, Hong-ko, cari sampai dapat atau aku tak ingin menemuimu!"

   Pemuda itu gemetar.

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia tak ingin meninggalkan isterinya karena beberapa sebab.

   Pertama karena ia tak ingin isterinya menjadi ganas dan ringan tangan.

   Ia tahu benar siapa isterinya ini, wanita yang dapat menjadi kejam dan telengas kalau mengamuk.

   Dan karena iapun masih sangsi benarkah nenek May-may penculiknya, ia harus berhati-hati dan menjaga baik hubungan antar keluarga maka ia tak ingin isterinya sendirian dan kelak kesalahan tangan! Sudah cukup peristiwa pengguguran itu, tak boleh ada korban lagi.

   Maka ketika ia berkelebat dan diam-diam menyusul isterinya, mulailah pemuda ini membayangi dan bergerak dari jauh maka Tan Hong melihat betapa isterinya sering menangis dan gangguan di jalan mulai datang.

   Kiok Eng adalah wanita yang masih muda dan cantik menawan.

   Sebagai ibu satu anak yang berusia dua puluh dua tahun maka ia justeru menjadi wanita matang yang penuh daya tarik.

   Pinggulnya padat berisi sementara pinggangnya ramping menggairahkan.

   Pundaknya putih halus dan lehernya seperti leher angsa, panjang berkulit lembut.

   Maka ketika ia membuat mata banyak lelaki melotot penuh kagum, tak digubris maka suatu hari wanita ini beristirahat di sebuah hutan dan hampir saja mandi melepas gerah ketika tiba-tiba saja belasan lelaki kasar berlompatan dan mengepungnya.

   "Heh-heh, silakan mandi kalau mau mandi. Tempat ini aman, nona, kami menjagamu dan jangan khawatir diganggu orang. Mandilah, aku Tiauw Jit Pang pemilik hutan ini. Kau boleh mandi dan kami akan menonton!"

   Kiok Eng kaget dan berubah ketika tiba-tiba saja tak kurang dari duapuluh orang mengelilinginya.

   Ia baru saja masuk hutan itu menghentikan tangis.

   Dalam perjalanan lebih banyak merenung dan tak melihat kiri kanan, itulah sebabnya tak melihat pula orang-orang kasar ini ketika mereka melihatnya dari balik persembunyian.

   Maka ketika ia siap melepas baju sementara orang-orang ini muncul tertawa-tawa, air jernih di depannya itu tak menarik perhatiannya lagi maka wanita ini membalik dan kemarahannya di balik senyum mengejek itu tak ditangkap orang-orang bodoh ini.

   "Kalian siapakah berani main-main denganku.

   Aku tak ingin mandi, hanya cuci muka.

   Pergilah kalau tak ingin kuhajar."

   Tiauw Jit Pang, laki-laki pendek kekar tertawa.

   Dialah pimpinan orang-orang kasar ini dan sesungguh nya mereka adalah sekumpulan perampok yang menghuni hutan itu.

   Maka mendengar kata-kata Kiok Eng dan betapa wanita itu balik mengancamnya, tentu saja ia tak takut dan merasa geli maka ia melompat dan tahu-tahu sudah setombak saja di depan wanita ini.

   Laki-laki ini semakin kagum dan bergairah betapa wanita cantik berkulit putih bersih ini semakin menyilaukan saja di depan matanya.

   "Heh-heh, lucu dan menggelikan. Kami adalah sekelompok pendekar yang menamakan diri Harimau Emas, nona, penghuni hutan ini dan penarik pajak bagi sia pa saja yang lewat. Aku jelek-jelek murid Bu-tongpai pula, siapa takut pada gertakan nona manis begini? Ah, aku hanya ingin menjagamu, tak bermaksud mengganggu. Kalau kawan-kawanku ini membuat risih biar kuusir mereka. He, kalian!"

   Serunya membalik pada kawan-ka wannya.

   "Pergi dan jauhi nona ini. Biarkan kami berdua!" Belasan laki-laki itu tertawa. Mereka bersuit dan bersorak riuh diusir pimpinannya, ada yang malah mendekat dan coba-coba menampang, berdiri seperti layaknya ayam jago mengibas-ngibaskan bulu. Akan tetapi ketika pimpinannya menghardik dan menampar mereka, jatuh terpelanting barulah orang-orang itu terkejut sementara Kiok Eng tersenyum lebar, senyum yang ditangkap salah dan dikira menerima si pendek kekar ini, yang semakin sok dan gagah-gagahan.

   "Kalian keluar dan tinggalkan tempat ini. He, dengar dan patuhi perintahku, kawan-kawan. Nona ini risih terhadap kalian dan ingin berdua saja denganku. Per-gi!"

   Orang-orang itu menggerutu.

   Tadinya mereka berharap bahwa si cantik jelita yang terkepung ini buat semuanya.

   Mereka sudah mengeluarkan air liur dan nafsu kotor mengganggu pula.

   Siapa tak akan tertarik dan bergairah melihat wanita sedenok itu.

   Akan tetapi begitu diusir dan pimpinan tampak bersungguhsungguh, menyingkirlah mereka maka tinggallah sang pimpinan bersama Kiok Eng yang ayu ini, wanita yang sesungguhnya semakin marah dan buku-buku jarinya ditekuk memperdengarkan derit-derit kecil tanda siap melancarkan maut.

   "Nah, teman-temanku sudah pergi,"

   Lelaki itu tertawa.

   "Silakan cuci muka kalau ingin cuci muka, nona, atau mandi sekalian kalau ingin mandi. Aku menjagamu dan tanggung aman!"

   "Hm,"

   Senyum Kiok Eng kian melebar, tiba-tiba balas mendekati lelaki ini.

   "Kau menyebutkan diri sebagai murid Bu-tong-pai? Kalau begitu kau kenal Hoat-Su To-tiang?"

   "Tentu saja,"

   Laki-laki itu girang.

   "Ia bekas guru ku, nona, ia ketua Bu-tong-pai. Kau rupanya kenal dan kalau begitu kita berdua sahabat. Mari, siapa kau dan hendak ke mana. Kalau tak jadi cuci muka mari beristirahat di gubuk itu. Enak!"

   Kiok Eng tertawa dan tiba-tiba tawanya ini membuat lawan kaget.

   Si pendek kekar yang menuding gubuk di dekat sungai kecil itu mendadak kehilangan lawannya.

   Kiok Eng berkelebat begitu cepatnya dan tahu-tahu kelima jarinya sudah mendarat di pelipis lawan.

   Begitu lawan menyebut Hoat-Su Totiang sebagai "bekas guru"

   Maklumlah wanita ini bahwa laki-laki di depannya ini adalah murid murtad.

   Tak ada murid baik-baik dari Bu-tong-pai yang ceriwisan mengganggu wanita.

   Maka begitu ia berkelebat dan lenyap mempergunakan Sin-bian12 ginkangnya (Ginkang Kapas Sakti) maka si pendek kekar yang memang murid murtad Bu-tong-pai itu menjerit dan mengaduh serta tercebur ke sungai.

   "Plak-byurrr!"

   Teriakan dan jerit kaget ini membuat yang lainlain bermunculan.

   Sebagian di antara mereka ada yang bersembunyi di celah-celah dedaunan mengintai.

   Mereka ini terkejut ketika tahu-tahu wanita cantik itu menghilang.

   Mereka yang menonton ternyata tak mampu pula mengikuti bayangan Kiok Eng.

   Akan tetapi begitu pimpinan menjerit dan tercebur masuk sungai, gegerlah orang-orang itu maka si pendek kekar yang marah ini keluar megap-megap.

   Ia tak tahu siapa yang menyerang akan tetapi pastilah wanita itu, siapa lagi.

   "Jahanam, keparat terkutuk! Kau... kau berani memukulku? Kau menyerangku? Ah, kuntilanak betina, kuberangus kau nanti, kutelanjangi dan kuhukum! Kawan-kawan, robohkan dan tangkap dia itu. Tangkap hidup-hidup!"

   Laki-laki ini basah kuyup dan ia memaki serta menuding-nuding dengan gemetar.

   Ia begitu marah dan kaget hingga tak segera keluar.

   Ia masih berdiri dan menunjuk-nunjuk, sikap yang membuat Kiok Eng geli.

   Akan tetapi begitu ia ditunjuk dan belasan laki-laki ini memang ingin menangkap dan menjamahnya, mereka sudah memendam nafsu kotor maka teriakan dan riuh gaduh disusul tubrukan orang-orang itu ke arah Kiok Eng, mereka masih mempergunakan kaki tangan untuk meringkus dan menjamah.

   Siapapun ingin meremas dan merasakan tubuh halus lunak wanita menggairah kan ini.

   Akan tetapi Kiok Eng lenyap untuk kedua kalinya.

   Begitu ditubruk dan orang-orang ini seakan sekumpulan srigala menubruk seekor kelinci gemuk maka wanita itu mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya berkelebat ke atas.

   Ia begitu tinggi di atas mereka hingga lawan berteriak sendiri, cengkeraman dan tubrukan luput.

   Akan tetapi begitu wanita itu melayang turun dan saat itulah sang pimpinan berteriak memberi tahu, terlambat maka belasan orang ini terlempar ketika dagu atau rahang mereka dicium ujung sepatu Kiok Eng.

   Wanita ini memperguna kan sepasang sepatu berujung runcing.

   "Pergilah... tak-tak!"

   Belasan orang itu roboh dan berguling an mengaduh-aduh menahan sakit.

   Rahang atau dagu mereka kiut-miut sementara sakitnya bukan kepalang.

   Tulang di bagian itu seakan retak.

   Dan ketika semua merintih dan melingkar-lingkar, terkejutlah sang pimpinan maka laki-laki ini membentak dan mencabut goloknya.

   "Serang dan bunuh dia. Bangun!"

   Kiok Eng tak mengelak.

   Ia mendengus melihat laki-laki itu menerjangnya dari samping, akan tetapi lengan kirinya berge rak.

   Ia sudah tadi menahannahan marah dan kini akan dihajarnya laki-laki itu, lebih keras.

   Maka ketika golok menyambar dahsyat akan tetapi bukan apa-apa bagi wanita ini maka lengan kiri Kiok Eng berdesing dan golok seketika bengkok bertemu Kiam-ciang (Tangan Pedang) yang hebat ini.

   "Trangg!"

   Laki-laki itu seakan tak percaya.

   Ia berseru keras ketika terpental dan bengkok goloknya, terbelalak.

   Akan tetapi begitu Kiok Eng menggerakkan kakinya dan tepat menghantam perut maka laki-laki itu terbanting dan melontakkan darah segar.

   Isi perutnya seakan berantakan dihajar kaki indah itu.

   "Aduh! Serang dia, bunuh...!"

   Namun laki-laki ini terkulai dan pingsan.

   Ia masih sempat berseru pada teman-temannya untuk kemudian roboh.

   Usus buntunya pecah.

   Akan tetapi ketika yang lain-lain terkejut dan marah, sadar maka mereka yang sudah hilang rasa sakitnya mencabut senjata dan menerjang.

   Mereka ini sama tololnya dengan sang pimpinan.

   "Kau membunuh Pang-twako, keparat?"

   Kiok Eng tertawa dingin, la tak beranjak dari tempatnya berdiri ketika empat orang menubruk dan membacokkan goloknya.

   Mereka itu benar-benar tak tahu keadaan.

   Maka ketika ia menyambut dan senjata itu patah-patah, barulah orang-orang itu terkejut dan pucat maka Kiok Eng menggerakkan kakinya lagi dan orang-orang itupun terbang dan berdebuk dengan suara menyayat.

   "Heii, aduh...!"

   Yang lain terkesiap dan ngeri. Baru sekarang mereka melihat Tangan Pedang itu. Akan tetapi dasar orang-orang bodoh dan masih mengandalkan jumlah banyak maka mereka yang sudah berdiri tiba-tiba menyambar tombak dan melontarkannya kepada wanita itu.

   "Awas dan mundur!"

   Enam tombak melayang cepat.

   Pemiliknya berseru licik karena cepat menyelinap di balik pohon.

   Akan tetapi karena Kiok Eng sudah terlanjur marah dan menangkis tombak-tombak ini, menangkap satu di antaranya dan mematah-matahkannya maka potongan tombak ini menyambar pemiliknya dan enam jeritan terdengar.

   Enam orang yang bersembunyi di belakang pohon itu tertancap dadanya dan terpantek bagai kelinci kena tusuk! Gegerlah sisanya.

   Orang-orang itu terkejut dan pucat dan merekapun berserabutan.

   Barulah mereka sadar bahwa wanita di depan mereka ini ganas.

   Mereka bisa seperti enam teman itu kalau tak cepat lari.

   Maka ketika semua berteriak dan lintang-pukang, menyambar pula pimpinan mereka yang luka parah maka Kiok Eng tertawa dingin tapi tak mengejar orangorang itu.

   Wanita ini membalikkan tubuh.

   Semua perampok telah lari dan ia menghampiri lagi sungai kecil itu.

   Gemericik air yang jernih membuat ia kembali gerah.

   Sedikit gerakan menghajar orangorang itu membasahi tubuhnya pula, keringat merembes.

   Maka ketika ia berlutut dan membasuh mukanya, menggosok dahi dan pipi sampai kemerahmerahan maka wanita muda ini tak jadi mandi karena perasaannya yang tajam membuat ia berkerut merasakan adanya pengintai.

   Tan Hong! Pemuda ini memang ngamati dan mengikuti sepak terjang isterinya dari jauh.

   Tentu saja ia melihat dihajarnya perampok-perampok tadi, hampir keluar akan tetapi mengurungkan maksudnya setelah berpikir masak-masak.

   Ia tak ingin isterinya marah-marah melihat keberadaannya di situ, apalagi para perampok itu telah melarikan diri.

   Maka ketika ia kagum akan tetapi juga menghela napas melihat ketelengasan isterinya ini, enam orang terbunuh maka ia bersembunyi dan mengintai ketika isterinya hendak mandi.

   Ada sesuatu yang membuat ia berdebar.

   Ia tibatiba begitu bergairah untuk melihat isterinya mandi.

   Sudah lama ia tak melihat kemulusan tubuh isterinya itu, tentu sekarang amat menarik sekali.

   Akan tetapi ketika isterinya hanya membasuh muka dan ia cepat tanggap, mata isterinya yang mengerling ke kiri kanan menunjukkan kewaspadaan maka ia sadar bahwa dirinya tak boleh kelihatan.

   Isterinya tentu menyangka ia sudah ke timur mencari putera mereka Cit Kong! Tan Hong harus menjauh cepat kalau tak ingin diketahui isterinya.

   Ia harus menyelinap dan bersembunyi menahan gejolak hati.

   Dan ketika perlahan-lahan isterinya bangkit dan meninggalkan tempat itu, Kiok Eng meneruskan perjalanan maka pemuda ini kecewa juga kenapa sang isteri tak jadi mandi.

   Kiok Eng ke barat seperti rencananya.

   Hanya kalau malam wanita ini meng hentikan perjalanan dan tidur di hutan.

   Ia melompat ke atas pohon dan tidur tenang, tentu saja setelah merasa tempat itu betulbetul aman.

   Akan tetapi karena pandang mata dan getar perasaan Tan Hong selalu mengikuti, wanita ini berkerut kening maka timbul juga kecurigaan Kiok Eng bahwa ia dibuntuti.

   Akan tetapi wanita ini tersenyum mengejek.

   Ia tetap bersikap dingin dan acuh.

   Sudah beberapa kali ia melirik kiri kanan akan tetapi tak tampak bayangan pengintilnya itu.

   Dan ketika tiga hari ke mudian ia tiba di kaki gunung Mo-sin maka ia dipaksa berhenti ketika beberapa bayangan berkelebat dan tahu-tahu mengurungnya.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Berhenti, ini kiranya wanita yang melukai muridku. Heh, sembuhkan dan bayar kembali kekurangajaranmu, siluman betina. Kau membuat muridku Jit Pang luka parah. Serahkan obat dan sembuhkan dia!"

   Kiok Eng terkejut.

   Seorang kakek bermuka merah, didampingi seorang lain ber-huncwe hitam berdiri tegak menghadang perjalanannya.

   Di kiri kanan dua orang ini masih berdiri dua pria tiga puluhan tahun yang gagah namun bermata licik.

   Satu di antaranya berpedang, jelas menyembul di belakang punggung.

   Dan ketika terhadap orang-orang inilah dia terkejut, mundur dan membelalakkan mata maka si huncwe hitam yang bermata lebar terkekeh.

   Ia cepat mengisap huncwenya dan menyemburkan asap ke depan.

   Bau keras menyambar hidung Kiok Eng, tidak sekedar menyambar akan tetapi juga menyerang karena asap huncwe bergerak bagai ular menusuk lubang hidung.

   "Heh-heh, kiranya Kiok Eng si gadis binal dari Pak-king. Wah, inilah kuda liar menantu Dewa Mata Keranjang itu, Wee Yu. Tak heran kalau muridmu terluka bertemu siluman betina ini. Ia musuhku, penjilat kaisar!"

   Kiok Eng menjadi merah.

   Ia tiba-tiba begitu marah dimaki penjilat kaisar.

   Ia bukan penjilat! Maka ketika ia membentak dan menyampok asap huncwe ke arah tuannya, meledak dan membuat orang-orang itu mundur maka ia menuding dengan telunjuk yang runcing indah.

   Jari- jemarinya memang lentik dan siapa sangka dapat menjadi Tangan Pedang (Kiam-ciang) bila ia mau.

   "Heh, Hung Ji Bak tak tahu malu. Tutup dan tahan kotoran mulutmu yang bau kalau memaki orang. Siapa penjilat dan antek kaisar. Aku puteri Fang Fang seorang Pangeran, berarti jelek-jelek kerabat istana juga. Kau bekas pemberontak yang mendapat ampunan itu kini berani bercuap-cuap tidak pantas? Aku tak takut dan ingin kembali menghajarmu. Barangkali pelajaran dulu masih kurang. Dan kau!"

   Wanita ini menuding pula si pedang yang pongah.

   "Kalian rupanya masih juga mengekor hartawan yang bangkrut ini? Kau dan si Kaki Selatan ini rupanya tak dapat hidup tanpa belas kasihan si tua ini, Wong Sin Kiam. Sungguh memalukan melebihi seorang budak. Ada apa kalian ikut-ikutan dan menghadang perjalananku!"

   Dua laki-laki itu merah mukanya.

   Mereka memang benar si Pedang Kilat Wong Sin Kiam dan si Kaki Selatan yang dulu merupakan anak buah kakek ber-huncwe itu, Hung-wangwe.

   Sejak Wi Tok binasa dan usaha Siang Lun Mogal gagal total maka orangorang ini termasuk Hung-wangwe menjadi tawanan.

   Hanya berkat kebijaksanaan Fang Fang dan bujukan nya terhadap kaisar orang-orang ini dibebaskan.

   Maka ketika tiba-tiba mereka di situ dan Hung-wangwe menemani seorang kakek bermuka merah, sikap dan gerak-gerik mereka jelas mengajak bermusuhan maka Kiok Eng tak tedeng aling-aling la gi memaki kakek berhunewe itu, juga si Pedang Kilat dan Kaki Selatan.

   Orang yang dianggap melebihi budak karena me nempel di pantat Hung-wangwe.

   "Hm!"

   Si Pedang Kilat menjadi marah.

   "Gaya dan sikapmu masih saja sama seperti dulu, Kiok Eng, sombong dan seperti ratu. Aku bersahabat dengan siapa saja adalah urusanku, kenapa banyak tingkah. Kalau kami di sini adalah karena kami mendengar murid sahabat kami dilukai secara keji, tak tahu kaulah orangnya. Sekarang bersikaplah baik-baik atau kami membekukmu."

   "Benar,"

   Si Kaki Selatan menyambung.

   "Kalau kau bersikap baik-baik dan menghilangkan kesombonganmu ini dapatlah kami ampuni, Kiok Eng, atau kami menangkapmu dan jangan tanya dosa!"

   "Heh-heh!"

   Hung Ji Bak menutup.

   "Tapi orang seperti kau rasanya sulit dibujuk Kiok Eng. Kalau kau tak segera menyembuhkan murid sahabat kami ini berarti kematian menimpamu... wush!"

   Laki-laki itu menyembur dan asap beserta tembakau tiba-tiba melayang ke muka wanita ini.

   Serangan 'itu amat cepat dan berbahaya karena tiba-tiba kakek bermuka merah juga meloncat ke depan, ia memegang sebatang palu besi bermuka dua menderu ketika menyambar.

   Dari di saat asap tembakau menghalangi pandangan, saat itulah si Pedang Kilat dan Kaki Selatan mendapat aba-aba maka merekapun menyerang Kiok Eng dan si Pedang Kilat Wong Sin Kiam sudah mencabut pedangnya.

   Gerakan itu hampir serentak karena semburan asap tembakau merupakan isyarat bagi yang lain untuk menerjang dan tidak memberi kesempatan wanita ini! Kiok Eng melengking dan tiba-tiba mencelat ke atas.

   Ia sudah tahu benar siapa Hung-wangwe ini, juga Pedang Kilat dan Kaki Selatan.

   Maka ketika asap hitam menyambar disusul semburan tembakau, ia terkejut oleh asap yang menghalang pandangan maka saat itulah ia sudah mengerahkan Sin-bian-ginkangnya untuk mencelat dan berjungkir balik ke atas, tepat di saat kakek muka merah itu menerjang dengan palu besinya dan Pedang Kilat serta Kaki Selatan bergerak menyerang.

   "Plak-sing-brett!" Kiok Eng meluncur turun lagi dan di tangannya telah terdapat saputangan lebar yang biasa melilit lehernya itu. Dengan cepat dan amat marah ia meledakkan saputangannya ini menyabet ke bawah, tangan kiri melakukan Kiam-ciang dan pedang serta palu besi terpental. Hung-wangwe terhuyung ketika huncwenya terpental. Dan ketika empat laki-laki itu terkejut dan Kiok Eng berdiri tegak lagi maka lawan menjadi kagum betapa wanita itu menjadi merah namun wajahnya semakin cantik jelita! "Heh-heh, ia masih hebat. Hati-hati, Wee Yu, ingat ceritaku dulu. Jangan sembarangan akan tetapi berusaha tangkap hidup-hidup. la menggairahkan hatiku!"

   Kakek muka merah membelalakkan mata.

   Ia adalah Si Palu Besi Wee Yu yang menguasai gunung Mo-san ini, dulunya seorang perampok namun akhirnya mengambil murid dan hidup sebagai raja.

   Murid-murid itulah yang disuruhnya bekerja dan tiap bulan menerima upeti.

   Satu di antara muridnya adalah Jit Pang itu.

   Dan karena Kiok Eng melakukan per jalanan lambat dan kebetulan melewati daerah ini, anak buah Jit Pang membawa pemimpinnya kepada kakak muka merah Itu maka Si Palu Besi menjadi kaget dan marah melihat luka dalam muridnya.

   Luka seperti itu bakal membuat muridnya cacad, kalaupun sembuh setiap hari bakal merintih mulas-mulas.

   Ia harus membelek dan menjahit usus muridnya itu.

   Maka ketika kakek ini menjadi marah dan kebetulan di tempat itu ada tiga tamunya, yakni Hung-wangwe dan Pedang Kilat serta Kaki Selatan maka laporan bahwa wanita itu menuju ke situ segera disambut kakek ini dengan marah.

   Hung-wangwe dan dua temannya ikut dan mereka tentu saja kaget dan heran bahwa tanita yang disebutkan itu justeru Kiok Eng! Hung-wangwe bukan bertamu kosong kalau menjumpai kakek muka merah ini.

   Dulu ketika ia masih menjadi hartawan dan pernah dirampok Si Palu Besi ini maka permusuhan mereka menjadi persahabatan.

   Palu Besi tak menyangka bahwa orang yang dirampok adalah hartawan berkepandaian tinggi.

   Ia tak dapat memenangkan hartawan itu sebaliknya Hung-wangwepun tak dapat mengalahkan kakek ini.

   Maka ketika masing-masing menjadi kagum dan pertandingan itu berhenti menjadi persahabatan maka sejak itu hartawan ini tak pernah diganggu Si Palu Besi.

   Kakek muka merah ini memang perampok tunggal yang lihai dan menguasai wilayah Mo-san.

   Kini tiba-tiba wanita yang dbenci Hung-wangwe itu muncul.

   Siapa tak tahu sepak terjang Kiok Eng ketika gadis, yakni betapa ketika masih belum menjadi isteri Tan Hong wanita ini memporak porandakan kaum lelaki, menjerat dan mempermainkan mereka untuk akhirnya ditinggalkan.

   Dan karena Hungwangwe ini adalah satu di antara mereka, bekas hartawan yang berusia enam puluhan ini pernah tergila-gila namun belum sekalipun berhasil menjamah maka ia menjadi sakit hati dan marah ketika akhirnya sadar bahwa gadis itu sesungguhnya hanya main-main dan merendahkan lelaki sebagai balas dendam kelakuan ayahnya terhadap ibu.

   Dan kini hartawan itu bersinar serta bergairah untuk memiliki sekaligus menangkap hidup-hidup Kiok Eng yang masih cantik jelita ini, berseru agar Si Palu Besi sahabatnya mengepung tempat itu dengan anak buahnya yang memang sudah bermunculan di situ dan tiba-tiba semakin banyak, yakni mereka yang merupakan anak buah muridnya ditambah lagi dengan belasan yang lain yang selama ini melayani nya di atas gunung! Kini Kiok Eng terkepung oleh tak kurang dari lima puluh orang.

   Belasan perampok anak buah Jit Pang menjadi berani lagi setelah guru dari pimpinan mereka di situ.

   Kakek muka merah ini mempunyai sembilan murid yang bekerja terpencar-pencar.

   Murid-murid itu pun memiliki anak buah sendirisendiri hingga kalau di gabung tak akan kurang dari dua ratus orang.

   Dengan murid sebanyak inilah kakek itu ditopang hidupnya, tentu saja berlebih dan serba kecukupan.

   Maka ketika kakek itu menggereng dan sejenak kaget dan kagum bahwa senjatanya terpental oleh sabetan benda lembut, saputangan yang ternyata berisi tenaga sinkang itu maka kakek ini maklum bahwa wanita di depannya ini memang bukan sembarangan.

   Dan ia telah mendengar siapa itu keluarga atau pewaris Dewa Mata Keranjang, kakek yang tak pernah bertemu dengannya akan tetapi sudah didengar nama besarnya meskipun bukan berarti ia takut.

   "Maju!"

   Kakek ini membentak dan sudah menerjang lagi.

   Ia penasaran dan tak percaya bahwa senjatanya akan dipentalkan lagi.

   Ia akan menambah tenaganya dan akan dilihatnya apa yang terjadi, ma sa kalah kuat.

   Maka ketika palu itu menderu sementara Hung-wangwe sudah mengerdip dan memberi abaaba pembantunya maka Kiok Eng kembali menerima se rangan di kiri kanan dan bahkan belakang.

   Pedang Kilat meloncat di belakang untuk kemudian menusukkan pedangnya ke arah tulang belikat.

   Akan tetapi wanita ini adalah gemblengan nenek May-may dan lain-lain.

   Sebelas guru yang menggembleng secara berganti-ganti membuat Kiok Eng bukan wanita sembarang.

   Dulu dikeroyok sebelas gurunya saja dia sanggup bertahan, apalagi setelah bertemu ayahnya, mendapat petunjuk dan tambahan di sana-sini hingga membuatnya seakan seekor harimau tumbuh sayap.

   Kiam-ciang dan Sin-bianginkangnya sesungguhnya bertambah hebat.

   Maka ketika ia diserang dan kakek berpalu besi itu menerjangnya dari depan, di sebelah kanan Hungwangwe mengganggu dan menyemburkan lagi asap dari tembakau disusul Kaki Selatan yang menendang dan membabat pinggangnya maka Kiok Eng meliukkan tubuh dan secepat kilat membalik untuk kemudian me nyambut sekaligus mendorong tusukan si Pedang Kilat ke arah lawan-lawannya di depan.

   Tentu saja Tangan Pedang dan saputangan itu tak tinggal diam! "Plak-plak-cringg!"

   Bunga api berpijar.

   Kiok Eng telah membalik dan menggerakkan tangan kirinya ke belakang untuk menyambut pedang di tangan si Pedang Kilat.

   Laki-laki itu memang luar biasa dan cepat akan tetapi Kiok Eng lebih cepat lagi.

   Gerakan kakinya yang lincah dan putaran pinggang yang begitu mempesona membuat si Pedang Kilat ternganga.

   Pinggang itu mematah ketika ditekuk, membuat gerakan pinggang yang luwes dan pria ini terpesona.

   Akan tetapi begitu ia tertegun dan saat itulah Kiam-ciang menyambar, pedang terpental dan langsung membacok laki-laki ini maka si Pedang Kilat kaget bukan main dan melempar tubuh ke belakang, bergulingan! Pucat dan ngerilah laki-laki itu.

   Tangan Pedang mendesing di sisi telinganya dan membacok putus sebatang dahan sebesar lengan orang, dapat dibayangkan kalau tadi mengenai kepalanya dan menyabet telinga.

   Pasti putus dan kepalapun terbelah.

   Maka ketika ia meloncat bangun dan bergoyang di sana, menggigil maka Kiok Eng sendiri telah membuat mundur lawan-lawannya karena baik Hung wangwe maupun kakek muka merah dan Kaki Selatan tak kuat beradu sinkang dan saputangan lembut halus yang membentur senjata membuat mereka terhuyung dan harus mengatur posisi lagi.

   Mereka bergoyang-goyang pula seperti halnya si Pedang Kilat Wong Sin Kiam.

   "Keparat!"

   Kakek ini menggeram.

   "Bicaramu benar, wangwe, siluman betina ini lihai!"

   "Hati-hatilah,"

   Hartawan itu berseru.

   "Karena itu jangan gegabah, Wee Yu, ia benar-benar berbahaya akan tetapi menarik kalau dapat kita lumpuhkan. Serang dan jangan terlampau bernafsu dan percayalah kata-kataku!"

   Kakek ini mengangguk, ia penasaran dan marah sekali bahwa untuk kedua kalinya gagal.

   Wanita di depannya ini betul-betul lihai dan tangan halus yang lem but itu ternyata bisa berbahaya sekali.

   Sinkang yang terdapat di lengan halus itu dapat membacok kepala seekor kerbau sekalipun.

   Maka ketika ia berhati-hati dan membentak lagi, Hung-wangwe kembali menyemburkan asap tembakaunya maka iapun berkelebat sementara Kaki Selatan dan Pedang Kilat menyerang lagi.

   Mereka menunggu semburan asap tembakau untuk menghalangi pandangan Kiok Eng.

   Akan tetapi Kiok Eng bukanlah wanita bodoh.

   Begitu dibentak dan diserang lagi maka iapun mengebutkan saputangannya ke depan.

   Di antara semua yang ber bahaya itu adalah serangan licik Hung wangwe ini.

   Asap tembakau menyembur tebal menghalang pandangannya, bahkan akhirnya menyebar ke delapan penjuru membuat udara menjadi gelap gulita.

   Ma ka ketika ia membentak dan mengebutkan saputangannya, Kiam-ciang di tangan kiri menyabet dan menangkis muka belakang maka selanjutnya ia pun diserang dan dikeroyok lagi.

   Musuh berkelebatan dan tahu posisinya yang buruk.

   Ia selalu di tengah dan karena itu mudah menjadi sasaran.

   Maka ketika ia melengking dan berkelebatan menyambar-nyambar, asap dibuyarkan dan dipukul balik maka lawan terhuyung mundur akan tetapi Hung-wangwe kembali meniupkan asapnya dan kini pipa cangklong itupun diisi tembakau lagi, tembakau yang lebih keras dan membuat Kiok Eng tersedak.

   "Ha-ha, terbang dan berkeliling saja. Lakukan satu dua serangan mengecohnya, Wee Yu, jangan sungguh-sungguh. Ia akan pening!"

   Benar saja, Kiok Eng terkejut.

   Begitu tembakau diganti yang baru maka ada sesuatu yang dirasanya tidak beres.

   Bau menyengat hidung begitu kerasnya hingga membuat ia berbangkis.

   Hung-wangwe ter kekeh dan yang lain geli.

   Akan tetapi ketika rasa pening menjalar di kepalanya dan ia baru sadar bahwa semacam obat bius bercampur dengan asap tembakau itu maka Kiok Eng menjadi marah dan kaget akan tetapi terlambat.

   Ia gemetar dan lemah ketika mulai mengantuk.

   Kiam ciang dan saputangannya mulai membalik dan justeru menyerangnya sendiri! "Ha-ha, lihat!"

   Hartawan itu ngakak dan tergelak gembira.

   "Ia terpengaruh asap tembakauku, Wee Yu, yang ini memang lain dan tak mungkin ia dapat melawan Hong-sian-bai-hu (Bubuk Dewa Pelumpuh Syaraf)!"

   Kiok Eng marah.

   Ia melengking dan membentak akan tetapi kantuk semakin berat.

   Tenaganya semakin lemah dan iapun mulai terpelanting.

   Dan ketika wanita ini menjadi kaget sekaligus gelisah, ia terlampau pongah dengan kepandaiannya sendiri maka Kaki Selatan mulai mendaratkan tendangannya di pinggangnya, membuat ia terduduk dan Pedang Kilat menetakkan senjatanya.

   Untunglah karena bukan bagian yang tajam dan hanya punggung pedang, Kiok Eng terjungkal maka wanita ini mendengar sorak-sorai para perampok.

   "Jahanam!"

   Wanita itu bergulingan.

   "Kau licik dan tak tahu malu, Hung-wang we, dulu tak pernah kau berlaku curang!"

   "Ha-ha, itu dulu. Sekarang diriku lebih pandai, Kiok Eng, menyerahlah baik-baik atau aku merobohkanmu dan meminta semua hutang-hutang mu!" Kiok Eng pucat. Ia ngeri dan gelisah oleh sikap dan kata-kata Hung-wangwe ini. Bukannya ia tidak tahu betapa hartawan ini tergila-gila kepada tubuh nya. Ia dapat diperlakukan apa saja kalau nanti tertangkap. Ia akan terhina kalau sampai dirobohkan hidup-hidup. Akan tetapi karena ia semakin lemah dan rasa kantuk kian menghebat, ia semakin memperkuat pengaruh bius bila mengerahkan banyak tenaga akhirnya wanita ini terguling dan roboh ketika huncwe menotok pundaknya. Akan tetapi begitu Hungwangwe terkekeh girang dan siap menyentuh tubuh denok ini tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan... des-dess, terlemparlah hartawan itu oleh bentakan Tan Hong yang cepat menyambar tubuh isterinya.

   "Tak tahu malu, jahat dan licik. Kau mempergunakan bius, orang she Hung, aku tak dapat menerima ini dan terimalah pelajaranku!"

   Tan Hong tidak berhenti di situ saja akan tetapi membuka telapaknya dan menyambarlah pasir-pasir hitam ke hartawan itu dan kawan-kawannya.

   Bahkan para perampok yang bersorak dan mendekati pertempuran menerima sambitan senjata rahasia ini.

   Pasir-pasir itu berobah panas bagai api di genggaman Tan Hong.

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pemuda ini mengerahkan tenaga saktinya dan baju para perampok terbakar, kulit tubuhpun melepuh.

   Maka ketika semua berteriak dan kaget tergulingguling, Hung-wangwe sendiri mencelos mengelak pasir berapi itu maka ia melempar tubuh akan tetapi tiga lubang membuat ia berjengit dan satu di antara pasir panas tertanam di daging lengannya.

   "Augh!"

   Jangan tanya yang lain lagi.

   Palu Besi Wee Yu berteriak pula disambar pasir-pasir ini.

   Ia kaget oleh bayangan putih dan lebih kaget lagi oleh benda-benda hitam panas itu.

   Maka ketika ia mengelak dan menangkis akan tetapi palu di tangannya tergetar dan merasa pedas, dua di antara pasir panas mengenai pipinya maka kakek ini berteriak melempar tubuh dan kaget serta marah sekali.

   Kaki Selatan dan Pedang Kilat tak jauh berbe da karena mereka itupun menerima "hadiah"

   Tan Hong yang membuat tubuh mereka berjengit-jengit! Akan tetapi Tan Hong tak meneruskan serangan nya.

   Ia hanya membuat terkejut empat orang itu dan memukul mundur.

   Ia cepat menyambar isterinya meloncat pergi.

   Maka ketika empat orang itu bergulingan meloncat bangun akan tetapi ia berkelebat meninggalkan Mo-san maka kakek itu merah padam membentak parau.

   Anak buahnya kocar-kacir dan berteriak-teriak.

   Tubuh mereka terbakar oleh pasir-pasir api yang disambitkan Tan Hong tadi.

   "Kejar, bedebah keparat. Siapa pemuda itu!"

   Akan tetapi Tan Hong mempergunakan Sinbian-ginkangnya melarikan diri.

   Ia adalah keturunan langsung Dewa Mata Keranjang dan karena itu menguasai benar ilmu meringankan tubuh ini.

   Kiok Eng mendapatkannya dari isteri-isteri ayahnya dulu dan tak heran kalau pemuda ini lebih lihai.

   Maka ketika ia menghilang dan sebentar kemudian meninggalkan lawan-lawannya, Si Palu Besi mencakmencak maka Hung-wangwe tertegun setelah melihat Tan Hong.

   "Ia putera Dewa Mata Keranjang. Ia suami wanita itu!"

   "Apa, putera Dewa Mata Keranjang? Keparat, tak boleh ia lolos. Kejar dan bantu aku, wangwe. Tangkap dan rampas kembali wanita itu!"

   Hung-wangwe mengangguk.

   Ia gentar dan pucat akan tetapi mengejar juga.

   Sahabatnya itu bergerak duluan.

   Dan ketika si Pedang Kilat dan Kaki Selatan juga mengejar ragu-ragu, mereka pernah berhadapan dengan pemuda ini maka Si Palu Besi mengutuk dan menyumpah-serapah.

   Akan tetapi Tan Hong benar-benar lenyap.

   Kakek itu dan orang-orang lain heran betapa pemuda ini tak meninggalkan bekas.

   Ia begitu cepat melarikan diri.

   Dan ketika kakek ini berhenti sementara anak buahnya melebar di delapan penjuru, Hung-wangwe diam-diam heran dan terkejut juga maka mereka tak tahu betapa dalam usahanya menyelamatkan isteri nya pemuda ini masih berada di Mo-san, di sebuah guha bersembunyi di balik kerimbunan pohon! Tan Hong sebenarnya tak meninggalkan jauh tempat itu.

   Ia khawatir akan ke selamatan isterinya ini dan karena itu berhenti memasuki pepohonan lebat, meletakkan isterinya di sebuah guha dan ada dua sebab yang membuat ia tak begitu jauh.

   Pertama, ia harus menolong dan melihat keadaan isterinya secepat mungkin.

   Ia belum tahu benar apakah bius yang memasuki isterinya beracun.

   Kalau beracun, akan dikeluarkannya racun itu.

   Kalau gagal, dan inilah sebab kedua maka akan dicari dan dihajarnya orangorang itu.

   Ia masih dekat! Maka ketika ia meletakkan isterinya dan cepat melihat keadaan, ditotok dan dirabanya kening dan dada isterinya maka didapatinya bahwa isterinya pingsan hanya oleh pengaruh bius, dan bius itu tak beracun, hanya pelumpuh dan perampas tenaga! Tan Hong lega.

   Ia mengurut dan mengompres air dingin, bagian hidung dipencet dan cepat membuat napas buatan.

   Untuk ini ia tak ragu-ragu mencium mulut isterinya sendiri, menarik sekaligus memberi napas segar.

   Dan ketika tak lama isterinya mulai bergerak, Tan Hong girang maka isterinya mengeluh dan membuka mata.

   "Eng-moi...!"

   Kiok Eng serasa mimpi.

   Ia masih setengah sadar akan tetapi kejadian terakhir dengan hartawan she Hung itu diingatnya baik-baik.

   Wanita ini terkejut dan meloncat bangun.

   Akan tetapi ketika ia terjatuh dan sepasang lengan kokoh menahannya maka ia mengira itulah Hung wangwe dan tiba-tiba ia melengking dan melancarkan pukulan maut.

   Kiok Eng begitu kaget dan tamparannya membawa desing sebatang pedang.

   Kiam-ciang! "Jahanam, lepaskan aku!"

   Untunglah Tan Hong bukanlah pemuda sembarangan.

   Ia terkejut dan menangkis sementara jarinya menekan pundak.

   Tenaga isterinya lumpuh.

   Dan ketika ia melepaskan kembali tekanan jarinya dan berseru bahwa ia bukanlah Hung-wangwe, sang isteri terbelalak maka terkejut dan heranlah wanita itu betapa suaminya ada di situ.

   "Kau?!"

   "Benar, aku. Di sini tak ada Hung-wangwe, Engmoi, hanya kita berdua. Aku menyelamatkanmu."

   "Ah, dan jahanam itu!"

   Wanita ini berputar.

   "Mana dia, Hong-ko? Dan bagaimana kau di sini pula?"

   "Sabar, tenanglah. Aku kebetulan saja mendengar pertempuran itu, Eng-moi, datang dan menolongmu dengan tepat. Hartawan itu berbuat curang."

   "Benar, kubunuh dia. Mana jahanam itu dan di mana kita sekarang!"

   Tan Hong memeluk dan mencium isterinya ini.

   Ia sudah begitu girang bahwa isterinya sadar, isterinya selamat dan ia tak khawatir apa-apa lagi.

   Dan karena bahaya benar-benar telah lewat dan kembali rindu berahinya bergolak maka ia mendekap isterinya eraterat seraya sedikit menggigil.

   Bibirnya sudah mencari bagian-bagian lembut wajah isterinya ini.

   "Eng-moi, kau tak ingin memberikan tanda terima kasih kepadaku? Kau begini tegang dan selalu ingat orang lain saja? Aku butuh dirimu, isteriku, sudah berbulan-bulan memendam rindu. Berilah seteguk kesegaran batin dan jangan biarkan aku merana!"

   Kiok Eng terisak, menggigil juga.

   Akhirnya sebagai isteri ia tahu kewajiban juga.

   Tiba-tiba ia mengeluh dan merasa berdosa kepada suaminya ini.

   Tan Hong berbulan-bulan memang diacuhkan.

   Maka ketika ia terangsang dan pemuda itupun sudah menciumnya lembut, merebahkan tubuhnya dan ia pun menyambut maka untuk pertama kali Kiok Eng memberikan segala-galanya kepada suaminya itu.

   Bebas dari kekejian Hung-wangwe membuat ia sadar bahwa suami adalah yang terbaik! Akan tetapi dalam asyik-masyuk ini Tan Hong ketahuan.

   Dalam bisik dan dekap manja Kiok Eng pun teringat naluri di buntuti orang itu.

   Ia berkata kepada suaminya akan tetapi pemuda itu tertawa.

   Dan ketika semua selesai dan wanita ini menjadi penasaran, kebetulan terdengar suara orang mencari-cari mereka maka Kiok Eng yang membelalakkan mata ini menjadi curiga, menyambar pakaiannya dan mengenakan itu dengan cepat, sang suami terkejut.

   "Kau, kenapa tertawa? Aku sungguh-sungguh, Hong-ko, jangan ditanggapi main-main.

   Kalau begini tiada lain jawabannya bahwa orang itu adalah kau sendiri.

   Jawab, betul tidak!".

   "Hm,"

   Tan Hong bukanlah pembohong, lagi pula tak biasa bohong.

   "Aku, eh... memang benar, Eng-moi. Akulah yang mengintaimu itu, dan aku menyesali kenapa kau membunuh enam orang itu."

   "Bagus!"

   Wanita ini tiba-tiba berseru lantang.

   "Kalau begitu kau tak mencari Cit Kong, Hong-ko, kau tak memperdulikan anak kita. Kau mementingkan dirimu sendiri. Ah, aku tak sudi bertemu kau lagi dan jangan buntuti kedua kali, atau aku membunuhmu!"

   Lalu ketika wanita ini melengking dan berkelebat keluar guha, tersedu dengan marah maka Tan Hong terkejut sekali dan menyambar isterinya itu. Mukanya pucat.

   "Tidak, tunggu. Aku tak mementingkan diriku sendiri, Eng-moi, ada alasan kenapa aku melakukan itu. Aku tak mau hubungan keluarga antara kita dengan nenek May-may berantakan. Aku tak mau kau membabi-buta dan memusuhi Beng Li dan lain-lain. Aku... dess!"

   Kiok Eng membalik dan menghentikan kata-kata pemuda itu dengan serangan kilat.

   Wanita ini memekik dan melepas Kiam-ciangnya dan pemuda itu terdorong masuk.

   Tan Hong mencelat ke guha! Akan tetapi ketika pemuda itu keluar lagi dan memanggil isterinya, saat itulah tiga anak buah Palu Besi menemukan mereka maka kemarahan Kiok Eng menjadi sesuatu yang mengerikan bagi orang-orang ini.

   "Heii, itu wanita ini!"

   "Benar, ia di sini!"

   Akan tetapi begitu mereka berteriak dan menuding maka Kiok Eng yang sudah marah bukan main berkelebat ke arah mereka dan Tangan Pedangnya membacok orang-orang ini tepat di leher.

   Mereka berteriak dan menjerit akan tetapi roboh mandi darah.

   Senjata mereka putus dibabat Tangan Pedang, bahkan Tangan Pedang itu terus membelah kepala mereka.

   Dan ketika semuanya roboh dengan kepala terbacok, ngerilah Tan Hong maka ia melihat isterinya keluar dan menampakkan diri di antara rombongan yang se sungguhnya masih mencari-cari mereka.

   Tentu saja yang pertama-tama melihat adalah anak buah Si Palu Besi karena me reka itulah yang mengepung gunung dan menganggap Tan Hong telah pergi jauh.

   Gegerlah akibatnya.

   Kemarahan dan kekecewaan ditipu suami membuat wanita ini begitu ganas.

   Kiok Eng melengking-lengking dan melabrak orang-orang ini.

   Dan ketika tubuh-tubuh segera bergelimpangan dan ia mencari-cari hartawan she Hung menantang-nantang lawannya itu maka yang paling kaget dan pucat adalah Tan Hong.

   Pemuda ini sudah memangil meneriaki isterinya akan tetap tetap Kiok Eng begitu kalap.

   Ia ngeri oleh tubuh-tubuh darah.

   Ia berteriak dan menyuruh orangorang itu mundur.

   Dan ketika orang-orang itu mundur akan tetapi sang istri mengejar dan memekik-mekik, terbanglah nyali anak buah perampok ini maka Hong Tan tak dapat mendiamkan isterinya lagi dan menangkis bacokan-bacokannya kepada beberapa di antara mereka lagi yang jatuh bangun! Akan tetapi ini membuat isterinya meluap.

   Wanita yang sedang kesetanan ini mencabut tusuk rambutnya yang terbuat giok, menerjang dan meledakkan sapu tangan dan mainkan seluruh kepandaian menyerang pemuda itu, suaminya sendiri.

   Dan ketika lengkingan demi lengkingan disusul serangan bertubi-tubi, Sin-bian-ginkang membuat isterinya berkelebatan menyambar-nyambar maka Tan Hong mengeluh dan saat itulah Hung-wangwe dan kawan-kawannya muncul Kiok Eng tak perduli lagi.

   Ia menyerang suaminya begitu sengit hingga berkali-kali Tan Hong terpelanting, bukan karena kalah melainkan pemuda ini tak ingin bersungguh-sungguh juga ia selalu membatasi tenaganya agar isterinya tak celaka.

   Akan tetapi begitu musuh bermunculan dan ia menjadi pucat maka pemuda ini berteriak agar Kiok Eng berhenti.

   Akan tetapi apa jawab isterinya? Kiok Eng semakin mata gelap dan menerjang orang-orang itu pula, padahal Tan Hong bermaksud melarikan diri dan lebih baik meninggalkan tempat itu saja.

   Ia cemas kalau isterinya membuat tempat itu berkubang darah! Terkejut dan ngerilah orang -orang ini, terutama Hung-wangwe.

   Ia sudah meniupkan asap tembakau nya akan tetapi Kiok Eng mengebutnya terpental.

   Saputangan meledak sementara tusuk rambut batu giok dijentik.

   Benda kecil ini menyambar kerongkongan Hung-wangwe! Dan ketika hartawan itu melempar tubuh bergulingan, kaget dan berteriak maka Kiok Eng begitu ganas dan tak memberinya ampun.

   Akan tetapi Si Palu Besi Wee Yu tentu saja tak tinggal diam.

   Ia membentak menghantam gadis itu dan Kiok Eng membalik, terpaksa menangkis pukulan berbahaya kakek muka merah ini.

   Dan ketika senjata lawan terpental sementara Hung-wangwe menjadi lega, meloncat bangun maka Tan Hong membujuk agar isterinya meninggalkan tempat itu saja, gagal.

   "Tak usah banyak mulut dan kaulah yang pergi. Cari anak kita Cit Kong atau bantulah orang-orang ini dan aku cepat mati!"

   Tan Hong menghela napas.

   Kalau sudah begini percuma saja membujuk, ia pun segera dikeroyok anak buah Si Palu Besi.

   Orang-orang ini ternyata lebih gentar menghadapi isterinya daripada dirinya, hal ini dapat dimaklumi karena ia bersikap lunak, tidak ganas dan telengas seperti isterinya itu.

   Akan tetapi karena ia pun menjadi marah dan lama-lama dibuat gusar, orang-orang itu bangkit dan selalu menyerangnya lagi maka ia membentak ketika di saat itu isterinya kembali menerima semburan asap tembakau, tentu saja asap pembius.

   "Kalian tak tahu diri dan perlu dihajar. Roboh dan minggirlah, tikus-tikus busuk. Aku tak berurusan dengan kalian dan enyahlah!"

   Tan Hong mengibas dengan Im-bian-kunnya (Pukulan Kapas Dingin) dan orang-orang itu tiba-tiba berteriak.

   Mereka terbanting dan berdebuk dengan mulut berketrukan, otot dan tulang-tulang mereka serasa beku.

   Dan di saat mereka ini menjerit dan tak mungkin bangkit lagi, orang-orang itu merintih maka Tan Hong berkelebat ke arah isterinya akan tetapi dua jeritan terdengar.

   Pedang Kilat dan Kaki Selatan terlempar dan putus lengannya.

   "Aduh, crak-crok!"

   Tan Hong membelalakkan mata.

   Kiranya di saat empat orang itu mengeroyok isterinya dan Hungwangwe menyemburkan asap tembakau maka Kiok Eng melakukan balasan kilat.

   Ia begitu marah oleh kelicikan lawan-lawannya ini terutama si orang she Hung.

   
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hartawan itu terus menyembur-nyemburkan asap tembakaunya dan asap yang tebal membuat pandangan terhalang.

   Bau keras menusuk hidung juga membuat Kiok Eng hampir berbangkis.

   Akan tetapi karena wanita ini telah tahu adanya asap bius dan ia sudah menahan napasnya, aaat itulah palu besi dan pedang menyambar di kiri kanannya maka Hungwangwe licik menyerang di belakang sementara Kaki Selatan berada di depan.

   Kiok Eng membuat gerakan yang disebut Langtoh-hud-kim (Emas Buddha Memutar Tubuh).

   Ia sudah begitu habis sabar oleh keroyokan empat orang ini dan pandang matanya selalu tertuju kepada Hungwangwe.

   Akan tetapi karena saat itu hartawan ini meloncat di belakang dan ia menghadapi tiga yang lain, membalik dan memutar tubuh maka palu besi disabet saputangannya sementara Tangan Pedang alias Kiam-ciang membacok atau menyambut tendangan Kaki Selatan dan pedang di tangan Wong Sin Kiam.

   Dan hebat akibatnya.

   Pedang Kilat terpekik ketika senjatanya terbabat, pedang di tangannya patah-patah.

   Dan ketika Kiam-ciang alias Tangan Pedang menyambar lurus ke kepala, meneruskan gerakan setelah mematahkan pedang maka laki-laki ini melempar kepala ke belakang akan tetapi pangkal lengannya terbacok.

   Ia menjerit ketika darah memuncrat dan saat itu Kiok Eng terus memutar tubuhnya, memapak atau menyambut tendangan Kaki Selatan ini.

   Dan ketika lutut orang itu terbacok dan berteriaklah korban kedua maka Palu Besi terhuyung sementara huncwe di tangan Hung-wangwe terpental bertemu pundak yang halus akan tetapi penuh kekuatan sinkang.

   Kiok Eng telah melindungi dirinya sedemikian rupa hingga kekebalannya bekerja.

   "Tak-buk!"

   Dua orang itu terbelalak dan mereka pucat melihat hasil mengerikan dari balasan wanita ini.

   Kiok Eng menarik napasnya lagi setelah asap membuyar.

   Pedang Kilat bergulingan mengaduh-aduh kehilangan sebuah lengannya, sementara temannya, Kaki Selatan tak keruan pula dengan kesakitannya yang luar biasa.

   Lutut itu putus dibacok Tangan Pedang! Dan ketika wanita ini tertawa dingin sementara Hung-wangwe.

   menjadi pucat, ia gentar sekali tiba-tiba lelaki ini memutar tubuh nya melarikan diri.

   Si Palu Besi Wee Yu terkejut.

   Kakek inipun gentar setelah melihat kemarahan Kiok Eng.

   Anak buahnya kocar-kacir dihajar Tan Hong.

   Maka melihat temannya melarikan diri sementara wanita itu masih begitu ganas, di sana masih ada lagi pemuda itu maka ia meloncat pula dan terbang melarikan diri.

   "Berhenti!"

   Kiok Eng membentak dan membuat kakek itu terkesiap.

   "Bayar dulu dosa-dosamu, orang she Hung, jangan lari!"

   Belasan jarum bersuara halus ketika menyambar dlan lewat di atas kepala kakek ini.

   Si Palu Besi pucat namun bersyukur akan tetapi tiba-tiba menjerit.

   Sebatang gin-ciam (jarum perak) menancap di bahunya, ternyata ia pun tak dibiarkan begitu saja! Akan tetapi karena tujuan Kiok Eng memang hartawan licik curang itu, itu lah yang dibenci dan membuat kemarahannya sampai di ubun-ubun maka belasan jarum yang disambitkannya lebih banyak daripada ke kakek muka merah ini.

   Hung-wangwe berteriak ketika delapan jarum menghajar tubuhnya, tanda jarumjarum itu lebih cepat daripada larinya.

   Akan tetapi ketika hartawan itu terjatuh dan bangun lagi, lari dengan kencang maka siapapun akan kagum bahwa ia memiliki daya tahan kuat.

   Namun Kiok Eng meloncat dan terbang melewati kepalanya.

   "Berhenti, serahkan nyawamu!"

   Laki-laki ini pucat dan ngeri sekali.

   Ia baru meneruskan larinya dua tindak ketika Kiok Eng berkelebat dan melayang di atas kepalanya.

   Ia mengutuk kenapa harus terjatuh tadi.

   Akan tetapi karena jelek-jelek ia bukanlah seorang lemah, gadis itu menggerakkan Tangan Pedangnya maka iapun membentak menggerakkan huncwenya.

   "Trak!"

   Huncwe terpotong dan Tangan Pedang benar-benar ampuh.

   Laki-laki ini mengeluh dan terhuyung sementara Kiok Eng meneruskan gerakan nya.

   Ia mengejar lawan yang amat dibencinya ini, lawan yang hampir saja menghina dan mempermain kan tubuhnya.

   Akan tetapi ketika Tangan Pedang bergerak dan hartawan ini pasrah nasib, ia tak mungkin mengelak lagi maka bayangan putih menyambar dan Tan Hong menangkis Kiam-ciang isterinya itu.

   Pemuda ini benar-benar tak tahan dan ngeri oleh sepak terjang isterinya.

   "Jangan bunuh korban lagi. Cukup!"

   Dua lengan beradu dan kalau Tan Hong tak mengerahkan sinkangnya tentu lengannya putus terbacok.

   Kiok Eng mengerahkan seluruh tenaganya dan hanya pemuda ini yang mampu bertahan, itupun masih membuat Tan Hong tergetar dan terdorong.

   Akan tetapi ketika Kiok Eng terpelanting dan wanita itu berseru kaget, ia marah sekali maka pemuda ini menendang hartawan itu untuk menyingkir.

   "Pergilah, jangan di sini lagi!"

   Hung-wangwe berterima kasih dan heran.

   Ia tentu saja cepat angkat kaki dan kabur seribu langkah.

   Tak dimengertinya sikap pemuda itu, sikap yang diwarisi Tan Hong dari ibunya yang lembut dan halus budi.

   Akan tetapi ketika Kiok Eng begitu marahnya dan melengking-lengking, suaminya benar-benar melindungi dan mencegah ia membunuh maka pemuda inilah yang diterjang dan selanjutnya Tan Hong harus mengelak ke kiri kanan sambil mengeluh.

   Tak ada jalan bagi pemuda ini kecuali membiarkan isterinya mengamuk.

   Ia menangkis dan mengelak pukulan-pukulan berbahaya saja, yang lain, termasuk Kiam ciang dibiarkan mendarat beberapa kali di tubuhnya.

   Dengan sinkangnya yang sudah begitu tinggi pemuda ini memasang kekebalannya.

   Akan tetapi karena tak mungkin harus selalu mengelak dan menangkis tanpa membalas, mulailah pukulanpukulan keras diterima pemuda ini akhirnya Tan Hong mulai terguncang, la menderita luka dalam ringan akan tetapi masih mampu bertahan.

   Sehari itu mereka bertanding hingga malam tiba.

   Pohon dan batu-batu beterbangan.

   Mo-san menjadi saksi bisu.

   Dan ketika pertandingan itu melelahkan kedua pihak, Kiok Eng kehabisan tenaga akhirnya dengan jerit lirih wanita ini meninggalkan suaminya dan Tan Hong pun terseokseok memanggil isterinya.

   Akan tetapi sejak itu Kiok Eng benar-benar tak mau didekati.

   Wanita ini lenyap di balik kegelapan malam dan sejak itupun Tan Hong tak mengejar-ngejar isterinya lagi.

   Setahun ketika Kiok Eng menunggu dan kembali di Liang-san ternyata pemuda itu tak pernah muncul.

   Tahun kedua lewat sampai akhirnya tahun ke lima.

   Tan Hong tak kembali dan tak pernah datang ke Liang-san.

   Dan ketika wanita ini menjadi gelisah dan tersedu-sedu, mulailah kekhawatiran mengganggu hatinya apakah luka dalam itu membuat suaminya tewas maka Kiok Eng meninggalkan Liang-san dan pergi datang namun tak pernah bertemu.

   Tan Hong lenyap seperti ditelan bumi dan penyesalan besar mengganggu wanita ini.

   Mulailah terasa betapa ia keterlaluan.

   Mulailah disadarinya bahwa ia memang terlampau keras.

   Dan ketika akhirnya ia bingung dan menangis sepanjang hari, datanglah gangguan dari Beng Li dan lain-lain maka kesengsaraan wanita ini semakin bertambah dan serasa lengkap, la kehilangan suami dan anak serta dimusuhi adiknya satu ayah lain ibu.

   Gara-gara nenek May-may itu! Namun ketika hari itu terjadilah pertemuannya dengan Cit Kong, putera yang selama ini dicari-cari dan muncul secara aneh maka kebahagiaan wanita ini tak terperikan lagi dan ia harus mencari suaminya yang ganti menghilang! "Demikianlah,"

   Kiok Eng menutup ceritanya sambil menghapus air mata.

   "Sejak itu ayahmu tak pernah muncul lagi, Kong-ji. Ia menghilang dan entah berada di mana. Aku khawatir luka dalam akibat pukulanku itu membuatnya celaka. Kalau ia sampai tewas, ah lebih baik kususul ayahmu ke alam baka. Aku akan memintanya ampun dan tobat!"

   Cit Kong berhenti dan memandang ibunya dengan mata terbelalak.

   Mereka telah meninggalkan Liang-san dan kini berada di sebuah bukit kapur.

   Dalam perjalanan dan adu ginkang tadi ibunya menyempatkan bercerita.

   Dan ketika akhirnya cerita menjadi begitu serius sampai ibunya terisak-isak, Cit Kong mengajak berhenti maka di bawah batu besar itu terlindung dari terik matahari anak laki-laki ini begitu penasaran dan tak senang betapa ibunya terlampau kejam! Akan tetapi hubungan batin antara anak dan ibu cukuplah kuat, apalagi ibunya menyesali perbuatan nya itu.

   Maka ketika Cit Kong tertegun dan basah kedua matanya pula maka ia tiba-tiba menjadi ngeri kalau ibunya ini menyusul ayahnya ke alam baka! "Tidak!"

   Anak itu berseru.

   "Kalau ayah benar tewas tak boleh kau menyusulnya, ibu, bagaimana dengan aku masa hendak ditinggalkan begitu saja. Kau memang terlampau keras, akan tetapi semua itu sudah kausesali dan biang kesalahan ini sebenarnya berada pada Siang Lun Mogal. Kalau kakek itu tak menculikku dan menjadi penyebab semuanya ini tak mungkin kau akan bertengkar dengan ayah. Kakek gundul itulah biang keladinya. Ia sumber penyakit dan harus menerima dosa. Kau tak boleh meninggalkan aku!"

   Kiok Eng terharu dan menyambar serta memeluk puteranya ini.

   Memang baru saja mereka bertemu masakah dia akan meninggalkan anaknya.

   Itupun kalau betul Tan Hong tewas oleh pukulanpukulannya dulu.

   Akan tetapi karena suaminya bukan lah seorang lemah dan dugaan itu hanya sebuah dugaan saja, betapapun ia berharap suaminya masih hidup maka ia mencium puteranya ini penuh kelembutan seorang ibu.

   Terasa benar oleh Kiok Eng betapa ia telah memiliki buah hati yang berharga.

   Cit Kong adalah segala-galanya! "Baiklah, ibu hanya mengandai-andai saja.

   Akupun tak percaya ayahmu tewas oleh pukulanku, Kong-ji, ia laki-laki yang hebat.

   Akan tetapi kenapa ia tak pernah kembali dan membuat aku penasaran!"

   "Kita mulai saja di tempat kejadian itu. Mari ke Mo-san dan lacak jejaknya, ibu, siapa tahu ketemu!"

   "Ke tempat benggol perampok itu?" "Kita bukan menemui kakek itu, ibu, melainkan mencari dan menemukan jejak ayah. Siapa tahu dari situ dapat tercium dan kita berhasil."

   "Akan tetapi tempat itu menyebalkan. Aku benci dan tak ingin ke sana karena dari situlah perpisahan itu terjadi!"

   "Salah, dulu ibu masih sendiri. Sekarang ada aku, masa ibu masih membenci dan tak mau ke sana. Kalau kupikir-pikir justeru di sanalah kita mulai, siapa tahu guha di tempat itu merupakan persembunyian ayah!"

   Kiok Eng terkejut, jantungnya tiba-tiba berdetak.

   Mukanya seketika menjadi merah dan katakata puteranya ini membuat ia teringat kenangan itu.

   Di situlah ia terakhir kali bermesraan dengan suaminya.

   Di situlah dulu mereka bercumbu! Maka ketika ia bersemu dadu namun cepat menenangkan diri, tentu saja peristiwa di guha itu tak diceritakan kepada anaknya maka wanita inipun bersinar dan timbullah harapan baru.

   Guha itu sesungguhnya adalah guha yang manis."

   "Baiklah,"

   Ia berkelebat dan menyambar puteranya lagi.

   "Kita teruskan perjalanan kita, Kong-ji, ibu tak pernah berpikir ke sini karena tempat itu kuanggap malapetaka belaka!"

   Cit Kong girang, la tersenyum dan menghapus air matanya pula. Ibunya tam pak berseri dan penuh harapan. Akan tetapi begitu mereka meluncur meninggalkan batu besar sekonyong-konyong terdengar tawa bergelak dan seutas sinar panjang menyambar anak ini.

   "Ha-ha, cukup cerita kalian. Kembali dan serahkan dirimu, Buci. Ibumu tak ada artinya bagiku dan lihat aku datang!"

   Bukan main kagetnya anak ini.

   Ia yang sedang dibawa lari cepat oleh ibunya mendadak dibelit kain panjang mengenai pergelangannya.

   Kain itu menyentak dan menahannya.

   Dan ketika Kiok Eng juga kaget betapa puteranya berteriak keras, seseorang muncul di situ maka ibu ini membalik dan membetot serta menarik kuat puteranya yang disentak seseorang.

   "Jahanam!"

   Cit Kong ikut mengerahkan tenaga.

   Bersama ibunya yang bertindak cepat dan menarik dirinya maka tali atau kain itu pecah.

   Benda ini putus dan terbebaslah dia dari sambaran seseorang itu.

   Dan ketika Kiok Eng berjungkir balik menyelamatkan puteranya, berdirilah kakek gundul itu maka ibu dan anak benar-benar berubah dan terutama sekali Cit Kong menjadi pucat.

   (Bersambung

   Jilid XIII.) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara

   Jilid XIII *** "SIANG Lun Mogal!"

   Kakek itu terkekeh-kekeh.

   Siapa lagi kalau bukan kakek ini yang selalu mengejar-ngejar Cit Kong.

   Memang benar kakek itulah dan Buci alias Cit Kong terkejut bukan main.

   Ia hampir saja tertangkap kakek ini.

   Maka ketika anak itu menyambar ibunya dan Kiok Eng memeluk puteranya erat-erat pula, siapa tak marah anaknya diganggu orang maka wanita itu membentak dan Kiok Eng berapi menudingkan telunjuknya.

   "Kau, jahanam tua bangka tak tahu diri. Bagus sekali kau datang, Siang Lun Mogal, hutang dosamu harus kaubayar. Terlalu banyak kau berhutang padaku... wutt!"

   Dan wanita ini yang tak sabar menahan marahnya lagi tiba-tiba melepaskan putera nya dan menerjang kakek itu. Rambut meledak sementara kedua tangannya melakukan pukulan Kiam-ciang (Tangan Pedang).

   "Plak-plakk!"

   Kakek itu menangkis akan tetapi segera terpental dan berseru kaget.

   Siang Lun Mogal merasa betapa lengannya linu dan ia terkejut.

   Dulu wanita ini tak sehebat itu! Akan tetapi karena ia dibuat marah dan masih menyombongkan diri, betapapun wanita itu dipandangnya rendah maka ia terkekeh dan segera berkelebatan ketika Kiok Eng membentak dan mengelilinginya serta mengejar dan melepas pukulan bertubi-tubi.

   Wanita ini mengandalkan kecepatan dan Sin-bian-ginkang nya (Ginkang Kapas Sakti) di pergunakan.

   "Wut-plak-plak-plak!"

   Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Empat kali tamparan dan pukulan bertubi-tubi membuat kakek itu terkejut.

   Ia kembali terpental dan semakin kaget.

   Sinkang (tenaga sakti) wanita ini ternyata bertambah! Maka melengking dan menjadi gusar, tentu saja ia tak mau celaka maka kakek itu membalas dan Jouw-sang-hui-teng alias Terbang Di Atas Rumput menandingi Sin-bian-ginkang yang dipergunakan Kiok Eng.

   Serulah pertandingan itu.

   Cit Kong segera menonton dan iapun menjadi tegang.

   Ia tahu baik Jouw-sang-hui-teng yang dipergunakan kakek itu.

   Iapun memiliki! Akan tetapi ketika sejenak dua bayangan mereka berkelebatan menyambarnyambar, tak ada yang terdesak atau mendesak maka anak ini menjadi lega dan ia mulai berseri betapa ibunya benar-benar wanita lihai yang mampu menandingi kakek itu.

   Dan iapun mulai bersorak.

   "Bagus, hajar dan tempeleng kepalanya. Tendang pantatnya, ibu, dorong supaya jatuh. Aih, luput!"

   Kakek itu memaki-maki.

   Tentu saja Siang Lun Mogal terkejut karena tiga puluh jurus cepat yang berlangsung dengan seru ini malah membuat ia kerepotan.

   Kiam-ciang di tangan lawannya itu membuat lengannya tergetar.

   Sungguh ia terkejut oleh perubahan ini, atau mungkin tenaganya yang lemah! Maka ketika kakek itu membentak dan mulai mengempos semangatnya, mengerahkan tenaga di perut dan terdengarlah bunyi aneh seperti kokok ayam jantan maka kedua lengan kakek ini tiba-tiba berobah kemerahan dan akhirnya ia berjongkok dan mendorongkan kedua lengannya ke depan.

   Kiam ciang atau pukulan wanita itu disambutnya.

   "Desss!" Kiok Eng menjerit dan terlempar. Ang-mo-kang alias Katak Merah menyambut Tangan Pedangnya. Ia terdorong dan berjungkir balik dan tentu saja bergulingan menyelamatkan diri. Kakek itu tiba-tiba seakan bangkit kesaktiannya dan tampaklah Siang Lun Mogal yang gagah perkasa. Kakek ini memang hebat! Akan tetapi karena bukan wataknya untuk menjadi takut atau gentar, justeru wanita ini melengking dan menerjang lagi maka kakek itu terkekeh dan pukulan Katak Merahnya kembali menyambut.

   "Desss!"

   Dan...

   wanita itu terlempar lagi.

   Kiok Eng menjadi kaget dan marah dan tentu saja pucat.

   Dua kali Kiam-ciangnya tertolak.

   Akan tetapi karena ia tak hanya memiliki ilmu-ilmu itu, ia memiliki ilmu-ilmu lain seperti Sin-mauw-kang ataupun Bhi-kong-ciang (Pukulan Kilat Biru) maka keluarlah ilmu-ilmu ini dan digabung dengan Sin-bian-ginkang warisan mendiang Dewa Mata Keranjang maka kakek itu terbelalak dan meledaklah sinar biru dan Tangan Pedang bergantiganti, juga Sin-mauw-kang (Silat Rambut Sakti) yang membuat ribuan helai rambut itu berpencar dan menyabet bagai kawat-kawat baja! Kakek ini mendelik.

   Sin-mauw-kang mengingat kannya akan nenek May-may.

   Kalau nenek itu yang mainkan Sin-mauw-kang tentu saja ia tak perlu gentar, bahkan wanita ini pun juga tidak.

   Akan tetapi karena wanita itu memiliki bermacam-macam ilmu dan inilah yang sulit ditebak tepat, silih berganti tiga macam pukulan itu menghantam dirinya maka Ang-mo-kang terdesak juga dan sinkang atau tenaga sakti yang dimiliki wanita ini jauh di atas nenek May-may yang dulu dibunuhnya! Kakek itu menggereng.

   Sadarlah dia bahwa ada dua hal yang mengganggu.

   Pertama adalah karena ia kurang giat berlatih, harus diakui bahwa sejak berada di perkemahan raja Sabulai dan dicekoki kesenangan dan kenikmatan wanita maka ia menjadi lupa diri.

   Kini ia merasa betapa tenaganya berkurang sedikit, ia digerogoti ketuaannya pula.

   Dan karena wanita itu giat berlatih dan jauh lebih muda, di samping itu tentu mendapat tambahan dari suami atau ayahnya sendiri maka kakek ini memekik gusar dan sadar bahwa ia terlampau memandang rendah! "Keparat!"

   Siang Lun Mogal meraung panjang dan ia menjadi marah sekali.

   Pukulan dan serangan lawan yang berganti-ganti membuat ia terbakar.

   Jenggot kambingnya bergetar keras, wajah memerah api.

   Dan ketika ia membentak dan menangkis satu pukulan lagi, menambah dan mendorongkan tangannya kuat-kuat maka Kiok Eng hampir terbanting ketika betapa tibatiba kakek itu seakan seorang raksasa yang berlipat tenaganya.

   "Desss!"

   Wanita ini membanting tubuh bergulingan mengeluh tertahan.

   Ia sesak napas akan tetapi bangkit lagi, melengking dan menerjang sementara puteranya menjadi pucat.

   Cit Kong berubah melihat ibunya terguling-guling.

   Akan tetapi karena ibunya bangkit lagi dan menyerang sengit, lebih dari tadi maka anak ini menonton dan iapun mulai mengepal tinju.

   Ia siap maju kalau ibunya terdesak! Kini Kiok Eng mencabut senjata andalannya.

   Sinar putih meledak dan berkelebat ketika saputangan yang biasa melilit lehernya berpindah cepat.

   Benda itu tak lagi membungkus kulit yang halus lunak melainkan berada di tangan yang penuh sinkang.

   Sekali kedut menjadi keras dan tegak seperti toya.

   Dan ketika benda aneh ini menderu dan menusuk lawan, juga mengemplang dan membabat bagai tongkat maka kakek itu melotot lebar betapa lawan benar-benar menghadapinya mati-matian dan sepenuh tenaga.

   Menantu Dewa Mata Keranjang ini memang hebat.

   "Bagus, kau tak mungkin mengalahkan aku. Keluarkan seluruh kepandaianmu, Kiok Eng, setelah itu kau kurobohkan, ha ha!"

   Kiok Eng menggigit bibir.

   Mula-mula ia merasa girang dan bangga bahwa ia dapat menghadapi kakek itu.

   Semua ini karena gemblengan suaminya dan ayahnya sendiri.

   Sejak meninggalkan masa lajangnya dan menjadi isteri Tan Hong memang ia dapat tambahan petunjuk-petunjuk berharga, juga ayahnya yang hebat itu.

   Akan tetapi setelah kakek itu mengeluarkan Ang-mo-kangnya dan ia terpental kuat, diam-diam ngilu dan tergetar maka ia marah sekali akan tetapi bukannya takut.

   Ia justeru penasaran dan ingin mengalahkan kakek ini.

   Tadi ia dapat mendesak dan memukul mundur kakek itu! Maka ketika si kakek mengeluarkan Kat


Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id Kuda Putih Karya Okt Siluman Rase Souw Tat Kie Karya Siao Shen Sien

Cari Blog Ini