Mencari Busur Kumala 9
Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 9
ak Merahnya dan ia terpaksa mengeluarkan semua kepandaiannya, menggabung dan silih berganti mengeluarkan ilmu-ilmu lain sejenak ia merasa girang bahwa akhirnya ia kembali mampu bertahan.
Akan tetapi kakek ini memang iblis tua yang amat luar biasa.
Bentakannya yang terakhir dan tangkisannya yang dahsyat membuat ia mengeluh.
Ia mengigit bibir sampai hampir pecah.
Tangkisan terakhir ini membuat telapaknya seakan terbeset.
Maka ketika ia melengking dan memaki gusar, sapu tangan dibelit dan diputar menjadi gulungan toya maka dengan senjata inilah ia berkelebatan dan menyambar atau menotok dari kiri kanan, dan kakek itu sejenak merasa bingung! Siang Lun Mogal memang bingung ketika betapa tiba-tiba benda keras yang penuh terisi sinkang mendadak lembek dan berubah menjadi lemas.
Sapu tangan itu kini berubah-ubah antara kaku dan lemas.
Dan karena perubahan ini tentu saja berbahaya dan membingungkan, sekali disangka keras akan tetapi tiba-tiba berubah lemas dan membelit lengannya maka hampir saja ia tersuruk dan roboh dibetot wanita itu.
Kiok Eng memang cerdik dan pemberani.
"Ha-ha, bagus. Kedut dan totok matanya, ibu, atau belit dan jerat kakinya. Heii, hampir kena!"
Cit Kong melonjak-lonjak dan anak laki-laki ini girang berseru kepada ibunya.
Ia tentu saja melihat itu dan kakek ini marah sekali.
Siang Lun Mogal hampir terpelanting.
Kakinya nyaris terjerat! Maka ketika ia memekik dan mulailah bibirnya berkemak-kemik, Cit Kong terkejut maka Hoat-lek-kim-ciong-ko tiba-tiba dikeluarkan kakek itu, silat berbau sihir.
"Celaka!"
Anak itu terkejut.
"Ia mengeluarkan Hoat-lek-kim-ciong-ko, ibu. Hati-hati!"
Kiok Eng juga berobah.
Ia sedang mendesak dan membuat kakek itu menari-nari ketika tiba-tiba saja cahaya kehijauan keluar dari sepasang lengan kakek ini.
Ang-mo-kang lenyap dan sebagai gantinya keluarlah cahaya hijau itu.
Bau amis meluncur pula dan kakek itu tiba-tiba tertawa ngakak.
Tawanya aneh, mirip kuda sedang birahi.
Dan ketika ia mendorongkan tangan dan kedua matanya tiba-tiba mencorong menakutkan maka meledaklah asap hitam disusul bentakan.
"Roboh dan menyerahlah. Siluman ini tak kuat kau tahan, Kiok Eng, senjatamu memukul dirimu sendiri!"
Wanita itu terkejut.
Tiba-tiba ia menjadi silau ketika dari sepasang lengan kakek itu menyambar cahaya putih sebesar gentong.
Cahaya ini bulat dan lonjong untuk kemudian tiba-tiba membentuk sebuah wajah mengerikan.
Gigi yang besar-besar dan tajam menyeringai terlihat di depannya, disusul kemudian oleh lompatan kaki-kaki berbulu.
Dan ketika ia berteriak dan saat itulah senjatanya tertiup, balik menghantam diri sendiri maka wanita ini kaget bukan main dan membanting tubuh menyelamatkan diri.
"Plak!"
Ia luput dari terkaman mahluk mengerikan itu akan tetapi senjatanya menghantam pundak.
Hampir saja senjata itu mengenai mukanya dan untung ia membuang kepala.
Akan tetapi ketika ia tak dapat meloncat bangun karena segera mahluk itu mengejarnya, kekeh mengerikan membuatnya pucat maka wanita itu dipaksa terus bergulingan dan sebentar kemudian Hoat-lek-kim-ciong-ko menguasai dan mengurung dirinya.
Tawa kakek ini berubah bagai tawa hantu yang menyeramkan.
"Ha-ha-heh-heh, menyerahlah anak manis, menyerahlah!"
Cit Kong menjadi pucat.
Ia akhirnya melihat ibunya bergulingan ke sana ke mari sementara mahluk itu menerkam dan terus mengejar ibunya.
Senjata digerakkan menangkis akan tetapi berkali-kali terpental.
Kakek itu selalu berseru bahwa senjata itu memukul balik ibunya.
Dan karena yang diserang kakek itu adalah ibunya, bukan dia maka Hoat-lek-kim ciong-ko tak begitu berpengaruh terhadap Cit Kong dan anak ini melihat bahwa sesungguhnya siluman jadi-jadian itu hanya baju luar Siang Lun Mogal yang dilepas dan kini terbang diisi sihir.
"Lepaskan ibuku!"
Anak itu tiba-tiba membentak dan ia tak kuat lagi.
Cit Kong berseru dan menerkam kakek iniyadari belakang dan langsung menggigit leher.
Siang Lun Mogal berteriak.
Dan karena kakek itu menujukan konsentrasinya kepada lawan, bukan anak ini maka serangan Cit Kong membuatnya marah dan sekaligus Hoat-lek-kimciong-konya buyar.
"Bedebah!"
Kakek itu memekik dan mencabut anak ini.
Cit Kong menempel bagai lintah dan bukan main marahnya kakek itu.
Jelas ia terganggu, juga kesakitan.
Maka ketika ia mencabut dan membanting anak itu, Cit Kong berdebuk maka anak itu mengeluh akan tetapi ibunya melompat bangun di sana.
Kiok Eng terbebas dari pengaruh Hoat-lek-kim-ciong-ko! "Kong-ji!"
Cit Kong disambar ibunya dan wanita ini sudah menangis melihat anaknya matang biru.
Anak itu kesakitan dan tentu saja meringis.
Kalau bukan dia tentu remuk.
Akan tetapi ketika ia berkata agar ibunya tak usah menghiraukan, kakek itu harus dilawan lagi maka Kiok Eng terharu betapa puteranya ini memberinya semangat.
"Maju dan tutup telingamu dengan kain.
Jangan dengarkan bentakannya ibu, ia hanya menipu.
Siluman itu hanya baju luarnya yang apek.
Lihat!"
Kiok Eng terisak-isak.
Tentu saja ia khawatir dan gelisah sekali betapa kakek itu amat hebat.
Melihat naga-naganya ahirnya pasti roboh dan kalah juga.
Ia masih bukan tandingan.
Maka mendorong dan berseru agar puteranya melarikan diri, saat itu Siang Lun Mogal membentak kembali maka Cit Kong terlempar ketika ibunya tiba-tiba menendang.
"Pergilah, kakek ini kuhadapi mati hidup. Kau lebih diperlukannya, Kong-ji, lari dan jangan di sini!"
Cit Kong membelalakkan mata.
Ia melihat ibunya melengking dan menerjang lagi sementara kakek itu berkemak-kemik membaca mantra.
Kegagalan Siang Lun Mogal tentu saja tak ingin diulangi.
Maka ketika kakek itu menangkis dan membentak, suaranya penuh pengaruh maka tiba-tiba ia berobah menjadi Tan Hong yang memarahi isterinya.
Kiok Eng terkejut.
"Eng-moi, jangan kurang ajar kepadaku. Lihat siapa aku!"
Wanita itu tertegun.
Asap yang aneh membubung di kepala kakek itu dan semacam bau dupa membuatnya tersentak.
Tan Hong tahu-tahu di situ.
Dan ketika ia berhenti dan otomatis terkejut, menganga maka saat itulah kakek ini menyambar dan Tan Hong lenyap terganti si kakek gundul.
"Ha-ha!"
Kiok Eng membanting tubuh bergulingan akan tetapi baju pundaknya robek tertangkap.
Ia kaget dan menjerit setelah kakek itu begitu dekat.
Dan ketika ia memaki dan tentu saja meledak gusar, kakek ini berbahaya sekali maka Siang Lun Mogal mengejar dan berseru lagi, Hoat-lek-kim-ciong-konya diperkuat.
"He, lihat, aku suamimu sendiri!"
Aneh, Kiok Eng lagi-lagi terpengaruh.
Kakek itu berubah lagi menjadi Tan Hong dan baru menjadi aslinya setelah tertawa menyambar.
Ia melempar tubuh dan menjerit dan kini baju punggungnya robek.
Dan ketika empat kali ia melempar diri ke sana ke mari hingga pakaiannya tercabik-cabik, melototlah kakek itu maka kakek ini tiba-tiba terserang berahi dan Hoatlek-kim-ciong-konya semakin diperketat.
Mata minyaknya tak tahan melihat punggung atau kulit pundak yang mulus.
"Heh, jangan lari lagi. Aku suamimu, Eng-moi. Tan Hong!" Wanita ini menangis. Akhirnya lumpuh lah Kiok Eng oleh bentakan dan sihir yang berulang-ulang itu. Kalau saja ia tak begitu memikirkan suami dan rindu akan pertemuan barangkali ia dapat mengeraskan hati. Akan tetapi saat itu wajah suami memang dirindukan. Ia merasa bersalah dan berdosa oleh peristiwa sepuluh tahun lalu. Maka ketika berulangulang kakek itu membentaknya dan berulang-ulang itu pula wajah Tan Hong dipergunakan maka wanita ini menjadi lemas dan akhirnya ia setengah telanjang dicabik kakek itu. Siang Lun Mogal tiba-tiba begitu buas dan penuh gairah melihat korbannya yang hampir tak berdaya Ini. Akan tetapi Cit Kong tentu saja tak membiarkan ibunya dimalui. Anak ini juga terkejut betapa ia pun melihat kakek itu sebagai ayahnya, seorang pria gagah berusia tiga puluhan yang tampan dan lembut. Akan tetapi karena ia tak diserang secara langsung dan wajah ayahpun sesungguhnya tak ia ketahui, lagi pula ia tak seperti ibunya yang merasa berdosa dan bersalah maka anak ini tak seberapa kuat dipengaruhi dan wajah kakek gundul itu lebih banyak terpampang daripada wajah gagah yang tampan dan lembut itu. Dan anak ini pun menjadi ngeri betapa wajah kakek Itu seganas harimau lagi birahi. Matanya mengerikan! "Lepaskan ibuku!"
Cit Kong meloncat dan iapun mempergunakan Jouw-sang-hui-teng menyambar kakek itu.
Gerakan nya amat ringan dan ia pun tahu-tahu berada di punggung kakek ini.
Dan ketika ia langsung menancapkan giginya di telinga, putuslah telinga itu maka Siang Lun Mogal menjerit dahsyat dan nafsu birahinya seketika buyar.
"Aduhh!"
Ia membalik dan langsung saja mencengkeram anak itu.
Dicabut dan dibantingnya Cit Kong hingga anak itu berkeratak.
Cit Kong mengeluh dan seketika pingsan.
Akan tetapi karena Hoat-lek kim-ciong-ko buyar dan Kiok Eng meloncat di sana, terhuyung maka wanita ini bebas akan tetapi ia pucat melihat puteranya menggeletak biru.
Entah mati atau hidup.
"Kau membunuh putera!"
Wanita ini histeris dan melengking menggetarkan.
Tentu saja Kiok Eng menjadi pucat dan tenaganya tiba-tiba bangkit lagi.
Bagai didorong kekuatan raksasa sekonyong-konyong ia mencelat, sapu tangan yang berubah menjadi toya menghantam kepala kakek itu.
Dan karena saat itu Siang Lun Mogal sedang kesakitan dan mendelik marah, ia mendesis-desis maka senjata itu mengenai kepalanya dan kakek ini berteriak.
"Tak!"
Akan tetapi kakek itu terlalu hebat untuk dirobohkan sekali saja.
Benda itu mental dan ia terjungkal sejenak, bangkit dan melotot dan sisi kepalanya yang penuh darah membuat kakek ini semakin mengerikan.
Telinganya putus digigit Cit Kong.
Dan ketika ia sadar dan marah bukan kepalang, rasa sakitpun menjadikan tenaganya berlipat maka kakek ini menggerakkan kedua lengannya dan serangan nyonya itu disambutnya tak kalah gusar.
"Plak!"
Kakek ini terdorong ukan tetapi lawan nya terpental.
Kiok Eng terkejut bahwa lawannya menjadi bengis, la yang berlipat mendapat tambahan tenaga ternyata menghadapi lawan yang sama bersemangat.
Kakek itupun bertambah kekuatannya.
Akan tetapi karena rasa marah membubung di ubunubun, ia menganggap puteranya tewas maka wanita ini menerjang lagi dan Siang Lun Mogal mendesis dan tak kalah marah pula, kedua tangannya ditepuk dan muncratlah bunga api hijau.
"Kau! Kali ini benar-benar kubunuh. Jaga kematianmu, bocah. Aku tak akan mengampunimu lagi!"
Cahaya Hoat-lek-kim-ciong-ko menyambar dan wanita ini menjadi silau oleh sinar terang berbau amis itu.
Ia batuk-batuk dan melempar tubuh akan tetapi ledakan nyaring terdengar.
Kakek itu tiba-tiba menjadi sepuluh banyaknya.
Dan ketika ia terkepung dan bergulingan ke sana ke mari, dicegat dan disambar pukulan maka nyonya ini kaget dan pucat akan tetapi menggigit bibir.
Lebih baik menghadapi sepuluh kakek itu daripada menghadapi bayangan suaminya.
"Haiiitt!"
Kiok Eng mengibaskan rambut dan kini menyambarlah belasan jarum-jarum perak.
Inilah Ginciam (Jarum Perak) yang amat berbahaya dan sinarnya yang berkeredep tak kalah menyilaukan dengan sinar hijau Hoat-lek-kim-ciong-ko.
Bahkan ini lebih berbahaya karena jarum itu berhamburan ke tubuh kakek gundul, dari kepala sampai ke kaki.
Akan tetapi karena Siang Lun Mogal sepuluh banyaknya dan yang asli tak diketahui siapa, ia hanya melempar jarumjarum itu maka sembilan tiba-tiba lenyap dan tawa di belakang membuat ia kaget bukan main.
Sembilan Siang Lun Mogal palsu ternyata hanyalah rumputrumput kering yang kini runtuh.
"Kutangkap kau!"
Wajah wanita ini menjadi pucat.
Yang asli ternyata di belakangnya dan ia terkejut sekali.
Sambaran angin dingin menuju punggungnya.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan ketika ia membanting tubuh ke depan namun ikat pinggangnya putus, nyonya itu menjerit maka kakek ini terkekeh karena Kiok Eng tak mungkin melompat bangun karena sekali melompat bangun maka pakaian bawahnya bakal kedodoran, terlepas, telanjang bulat! "Ha-ha, kau tak dapat lagi melawan aku.
Lihat diriku menjadi seratus banyaknya!"
Kiok Eng tak dapat lagi mengelak dan mengeluh dengan air mata bercucuran.
Ia benar-benar bakal terhina hebat dan saat itulah timbul niat membunuh diri.
Ia akan mengayun tangan ke kepalanya.
Akan tetapi ketika kakek itu lebih dulu bergerak dan secepat kilat menotok, lumpuhlah dia maka Siang Lun Mogal tertawa bergelak dan langsung menggulingkan tubuh memeluk wanita ini, menindih dan menciumi.
Akan tetapi saat itu mendesinglah sebuah panah ke punggung kakek ini.
Siang Lun Mogal tak menyangka dan ia lengah.
Akan tetapi karena ia bukan tokoh sembarangan dan panah itu berjengit di punggungnya, kakek ini tersentak maka dua bayangan menyambar dan tiba-tiba sepasang muda-mudi yang gagah dan mengejutkan mengangkat dan melempar tubuhnya dari atas tubuh Kiok Eng.
"Bedebah, tua bangka busuk!"
Kakek itu kaget bukan main.
Ia mengerahkan tenaga akan tetapi tubuhnya terangkat dan terlempar bagai daun kering.
Kakek itu berteriak dan tentu saja berubah.
Dan ketika ia terbanting dan berdebuk di sana, terguling-guling maka kakek itu mengeluh sementara gadis yang cepat menolong Kiok Eng membebaskan totokan dan kini berdiri berhadapan dengan pemuda di sebelahnya yang tadi mengangkat dan melempar kakek itu.
Kiok Eng pucat merah akan tetapi wanita ini lega bukan main bahwa ia selamat dari noda mengerikan! "Kau...
kalian?"
Wanita ini tertegun setelah ia melihat siapa muda-mudi yang menolongnya ini.
Sekilas ia seperti ingat dan ragu-ragu.
Gadis berusia dua puluh lima tahunan itu membawa busur, rambutnya disanggul sementara ujungnya yang lain berkibar manis, indah ketika digerakkan ke samping dan kini tersenyumlah gadis itu.
Gadis bermata burung hong! Dan ketika gadis itu mengangguk dan telah memberinya mantol bulu, ia nyaris telanjang dicabikcabik kakek itu maka gadis ini berkata.
"Benar, aku. Dan ini Kang Hu, enci Eng, tentu kau tak lupa kami ketika dulu bertemu di Liang-san." "Ah, benar. Kau Kui Yang! Dan ini Kang Hu! Oh, terima kasih Kui Yang, kau menyelamatkan aku dari aib yang lebih mengerikan daripada maut. Kalian kuingat kini!"
Kiok Eng tersedu dan tiba-tiba ia menubruk dan memeluk gadis itu.
Sekarang ingatlah dia siapa gadis ini, gadis yang dulu pernah dihajar dan dipukulnya pingsan di Liang-san.
Kini gadis itu malah menolongnya.
Maka ketika ia tersedu-sedu sementara Kang Hu pemuda itu melirik temannya maka kakek gundul marah bukan main di samping terkejut.
Kiok Eng memeluk ketat Kui Yang sementara gadis itupun memeluknya dan bersikap hangat.
"Keparat!"
Kakek itu melengking.
"Siapa kalian dan berani benar mengganggu kumis harimau, anakanak. Kubunuh kalian dan jangan harap mendapat ampun!"
"Kaulah yang kami hajar dan tak akan diampuni. Aku Kang Hu dan siapa kau, kakek busuk. Kau hendak memperkosa wanita secara tak tahu malu!"
Kang Hu pemuda itu melangkah maju dan mencegat kakek ini.
Ia melindungi temannya yang masih berpeluk-pelukan dan kakek itu tak dapat menahan marahnya lagi.
DI gerakkannya tubuhnya ke depan dan mencelatlah ia mendorongkan kedua tangannya.
Sepuluh jarinya memerah sementara perutnya mengeluarkan bunyi berkokok.
Ia tak perlu mengeluarkan Hoat-lek-kimciong-konya apabila lawannya rendahan saja.
Akan tetapi ketika pemuda itu menangkis dan menggerakkan pula kedua lengannya ke depan, menyambut dan berani menghadapinya maka pukulan beradu dan kakek itu tergetar.
Kang Hu terhuyung akan tetapi sudah tegak kembali.
"Dukk!"
Pemuda itu terkejut dan menahan seruannya sementara Kui Yang dan Kiok Eng tiba-tiba melepaskan diri.
Tentu saja dua orang itu marah.
Akan tetapi ketika Kui Yang berseru mengingatkan Kiok Eng, gadis ini melihat seorang anak laki-laki menggeletak di situ maka Kiok Eng sadar dan meloncat mendekati puteranya.
Dan saat itu Cit Kong mengeluh.
"Kau masih hidup!"
Wanita ini girang bukan main.
"Ah, kau masih hidup, Kong-ji. Kakek itu tak dapat membunuhmu. Akan tetapi kau terluka!"
Kui Yang terkejut dan mengerutkan kening dan tiba-tiba ia pun meloncat mendekati Kiok Eng.
Ia tentu saja tak tahu siapa anak laki-laki ini akan tetapi berubah mendengar panggilan itu.
Kiok Eng menyebutnya Kong-ji (anak Kong), berarti itulah putera wanita ini, anak yang dulu hilang! Maka ketika ia berkelebat dan bertanya menegaskan dugaannya, benarkah anak itu Cit Kong maka Kiok Eng tersedusedu mengangguk.
"Benar, ia puteraku Cit Kong. Ia anak yang dulu hilang itu, Kui Yang, dan kakek jahanam itulah penculiknya. Ia Siang Lun Mogal!"
"Apa, iblis Mongol itu?"
"Betul, karena itu berhati-hatilah akan tetapi tunggu sebentar dan nanti kita hajar bertiga. Ia melukai puteraku!"
Kiok Eng memondong dan membawa puteranya ke tempat aman dan Kui Yang tentu saja kaget sekali.
Ia mula-mula kaget bahwa anak itu betul Cit Kong, anak yang hilang.
Lalu ketika kakek itu ternyata adalah Siang Lun Mogal yang amat jahat, iblis Mongol maka ia membalik dan tiba-tiba menerjang kakek itu.
Kang Hu masih tergetar dan terkejut oleh adu pukulan tadi.
"Keparat, kiranya Siang Lun Mogal. Kau sudah kelewat banyak dosa, kakek busuk, dan kau pula yang kiranya menculik Cit Kong. Mampuslah!"
Kakek itu terbelalak.
Iapun tak mengenal dua muda-mudi ini akan tetapi tangkisan pemuda tadi menunjukkan kepadanya bahwa mereka ini bukan main-main.
Kini dibentak dan diserang gadis cantik itu, ia menjadi marah maka ia pun mendengus dan didorongkannya pukulan Katak Merah.
"Dukk!"
Kui Yang terpental akan tetapi gadis ini berjungkir balik, la telah membuang sisa pukulan dan gadis itu menyambar lagi dengan cepat.
Kedua tangannya membentuk cakaran rajawali.
Dari ujung tangan itu keluar bunyi mencicit bagai ujung pedang.
Maka ketika ia terkejut namun juga gusar, membentak dan mengerahkan Ang-mo-kangnya lagi maka kakek ini berjongkok dan kedua lengannya menyambut sepuluh jari gadis itu.
"Plak-plakk!"
Kui Yang tertolak akan tetapi kuku Jari gadis ini menggurat Siang Lun Mogal.
Kakek itu terkejut karena ujung kuku yang tajam menembus kekebalannya, padahal ketika dipanah tadi ia tak apa-apa, anak panah malah runtuh dan patah.
Maka ketika ia menggereng dan selanjutnya gadis itu beterbangan melengking-lengking, menyambar dan berkelebat an bagai rajawali mematuk mangsa maka kakek ini kerepotan dan diam-diam ia terkejut murid siapakah sebenarnya dua muda-mudi ini.
"Jahanam, kaupun minta mampus.
Kuhajar kau, siluman betina.
Kutelanjangi dan kucabik-cabik pakaianmu nanti!"
"Tutup mulutmu, akulah yang akan menghajar mu dan jangan sombong di depanku!"
Kui Yang mainkan silat Rajawali dan sebentar kemudian sepasang lengannya mengelepak-ngelepak bagai sayap burung besar itu.
Dari kedua lengan ini menyambar deru pukulan dahsyat dan Siang Lun Mogal tertegun.
Ia bergoyang-goyang! Akan tetapi karena ia bukanlah tokoh tak bernama dan cepat ia menggeram dan mempergunakan Jouw-sang-huiteng-nya maka kakek itupun menyambar dan berkelebatan bagai garuda menyambut rajawali.
"Plak-plak-plak!"
Kelepak sayap Kui Yang membuat gadis itu terpental akan tetapi ujung lengan bajunya menampar hidung.
Kakek itu berteriak meskipun si gadis terpental.
Dan ketika ia kaget dan marah serta heran, terguncanglah kakek ini maka Kui Yang berkelebatan kian cepat dan akhirnya bayangan gadis itu lenyap menjadi bayangan merah yang berputar demikian cepatnya.
Gadis ini mengelilingi kakek itu bagai seekor rajawali mengelilingi mangsa nya.
"Haighh!"
Siang Lun Mogal menjadi gusar "Hebat ilmu meringankan tubuhmu, bocah, siapa gurumu dan dari mana Kalian. Sebutkan atau aku merobohkan musuh yang belum kukenal!"
"Tak perlu banyak mulut. Guruku adalah Siatiauw-eng-jin, kakek busuk, dan aku adalah puteri Koktaijin. Coba roboh kan aku dan lihat siapa yang terkapar!"
"Sia-tiauw-eng-jin (Pemanah Rajawali)?"
Kakek ini terkejut.
"Kau tidak bohong?"
"Aku bukan pembohong dan orang yang suka menggertak. Kau boleh percaya atau tidak aku tak perduli. Mampus dan tebuslah dosamu... plak-plakplakk!"
Gadis itu menyerang amat cepat dan tiga kali pukulannya hampir mengenai kakek ini, tentu saja membuat kaget dan pengakuan bahwa gadis itu murid si Pemanah Rajawali membuat Siang Lun Mogal terkesiap.
Tentu saja ia tahu nama itu, tokoh yang sejajar dan mungkin setingkat di atas dirinya, tokoh yang sama dengan Sin-kun-bu-tek yang ditakuti! Maka ketika ia tergetar dan rasa kaget membuat tenaganya lemah, ia terhuyung maka gadis itu sudah mengejar nya dan kakek ini tiba-tiba berkemik dan ia terpaksa mengeluarkan Hoat-lek-kim-ciong-konya bila tak ingin pertandingan berlarut-larut.
"Dar!"
Tepukan tangan hijaunya tiba-tiba meledak.
Kakek itu membentak dan melempar sesuatu dan mendadak ia berubah menjadi sepuluh Siang Lun Mogal.
Bersamaan itu sepuluh Siang Lun Mogal ini beterbangan dan ganti mengelilingi Kui Yang.
Dan ketika gadis itu terkejut berseru keras, tadi ia tertegun oleh tepukan asap hijau maka terdengar lah kakek itu tertawa di balik serangannya.
"Ha-ha, sekarang kau tak dapat menyerang aku lagi. Ada sepuluh Siang Lun Mogal, bocah, kau terkepung!"
Akan tetapi Kui Yang tiba-tiba merogoh kantong bajunya.
Gadis itu melengking dan membentak dan sekonyong-konyong sepuluh panah tangan mendesing lewat jari-jarinya yang mungil.
Panah itumenyambar dan menyerang sepuluh Siang Lun Mogal.
Akan tetapi ketika sembilan yang lain lenyap dan terdengar kesiur di belakang punggung, itulah yang asli maka Kang Hu tak dapat berdiam diri lagi melihat temannya dalam bahaya.
"Awas!" Pemuda ini meloncat dan ia mempergunakan ginkang menyambar kakek itu. Dari belakang kakek ini menampar tengkuk Kui Yang. Akan tetapi karena ia menyambar dan kakek itu tahu kehebatan pemuda ini, membalik dan menangkis maka selamatlah Kui Yang dan kakek itu beradu tenaga dengan Kang Hu.
"Dukk!"
Dua-duanya tergetar dan Kang Hu terhuyung.
Sekali lagi pemuda ini pucat merasakan hebatnya lawan.
Kakek gundul ini memang bukan sembarangan! Akan tetapi karena tak perlu ia takut dan saat itu Kui Yang sendiri sudah melengking dan membalikkan tubuhnya, menyambar kakek itu maka Siang Lun Mogal menggereng ketika Kang Hu berkelebat dan menyambarnya pula.
Ia diserang dari kiri kanan.
"Cabut gendewamu dan biarkan aku mainkan anak panahku. Mainkan Eng-liap wan-sin-hoat, Yangmoi, kau di kiri aku di kanan!"
Gadis itu mengangguk, mencabut busur.
Ia memekik dan beterbangan menyambar kakek ini sementara Kang Hu mengeluarkan sebatang anak panah dari saku bajunya.
Sebenarnya pemuda ini pun juga memiliki sebatang busur akan tetapi disembunyikannya di balik punggung.
Ia tak akan mengeluarkan senjata itu bila tak perlu benar.
Dan ketika ia menerjang dan menusukkan anak panahnya ini, bercuit dan mendesing maka kakek itu menangkis nya akan tetapi lengan kakek ini tergurat.
Pinggiran batang anak panah itu rupanya seperti pisau dan ada kaitan pula di bawah ekornya.
"Augh, bret-plakk!"
Sang kakek terkejut.
Lagi untuk kedua kali kakek ini ditembus kekebalannya.
Pemuda inipun tak kalah berbahaya dengan gadis itu, yang tadi mengguratnya dengan kuku jari.
Maka ketika ia melotot dan menjadi gusar, berjongkok dan membalas maka dua mudamudi itu sudah mengepungnya dari kiri kanan dan senjata di tangan mereka mendesing dan menderuderu.
Busur itu menghajar pecah batu besar di belakang Siang Lun Mogal.
"Prakkk!"
Kakek itu semakin terkejut.
Ia meraung dan marah sekali dan berkemak-kemiklah mulutnya membaca mantra.
Dikeluarkannya lagi Hoat-lek-kimciong-ko.
Dan ketika ia membentak hingga udara tergetar, suaranya kuat penuh wibawa maka ia menciptakan lagi dua puluh Siang Lun Mogal.
"Heii, lihat.
Kalian masing-masing menghadapi sepuluh Siang Lun Mogal!"
Kui Yang dan Kang Hu terkejut.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benar saja sepuluh Siang Lun Mogal tiba-tiba berkelebatan dan menyambar-nyambar di sekeliling mereka.
Sepuluh kakek lihai ini menyerang dari delapan penjuru.
Akan tetapi ketika Kiok Eng melengking dan mencelatlah wanita itu, Kang Hu dan Kui Yang diserukan untuk menutup telinga maka wanita itu menerjang dan sepoci air kencing tiba-tiba disiramkan.
"Prat-prat-prat! Kau kakek busuk selalu bermain ilmu hitam. Mampuslah, Siang Lun Mogal, atau enyah dan jangan ganggu kami!"
Luar biasa, kakek itu tiba-tiba mengaduh.
Ia berteriak disiram air kencing Cit Kong dan mendadak dua puluh Siang Lun Mogal lenyap.
Yang ada ialah kakek itu yang menggeliat di tanah, ia lemas dan seakan kehabisan tenaga.
Dan ketika kakek ini pucat dan memaki-maki, tahulah dia bahwa Cit Kong membocorkan rahasianya maka kakek itu menyumpah dan bangkit melarikan diri.
Memang anak laki-laki itu tadi memberitahukan kepada ibunya untuk melumpuhkan Hoat-lek-kim-ciong-ko dengan air kencingnya.
Ia kebetulan kebelet! "Aku teringat kata-katanya sendiri di kala hendak mengajarkan ilmu itu.
Hoat-lek-kim-ciong-ko lemah bila disiram air kencing, ibu.
Aku kebetulan ingin kencing dan kau tadahilah air kencingku!"
Begitu Cit Kong bicara ketika sadar dan melihat pertandingan di sana.
Lengannya patah dibanting si kakek akan tetapi selebihnya sehat.
Ia tak apa-apa.
Maka ketika ibunya mengambil poci dan menadah air kencing puteranya, buru-buru dan sedikit merah maka air kencing itu akhirnya disiramkan ke tubuh Siang Lun Mogal dan benar saja kakek itu ambruk, nggelosor dan lunglai akan tetapi Kui Yang dan Kang Hu berbangkisbangkis.
Air kencing ini nyiprat ke mana-mana dan dua muda-mudi itu gelagapan.
Mereka tak tahu air kencing siapa, jangan-jangan Tan-hujin (Kiok Eng)! Maka ketika mereka sungkan menyumpah sementara kakek itu roboh dan bangkit lagi, tenaga seakan dilolosi dan cepat meludah tiga kali maka kakek ini melarikan diri dan gentarlah dia meneruskan pertandingan.
Rahasianya diketahui nyonya itu.
"Jahanam, terkutuk. Kau membocorkan rahasia ku, Buci, kelak kucincang kau!"
Anak ini terkekeh.
Ia bangun dengan lengan sengkleh akan tetapi sang ibu berkelebat dan mencegahnya.
Tentu saja Kiok Eng tak berani mengejar kakek itu dan lebih memberatkan puteranya.
Biarlah lain kali dicarinya kakek itu.
Maka ketika ia menolong puteranya dan cepat membalur kan penyembuh tulang, membebat dan menyobek sebagian bajunya sendiri maka Kui Yang dan Kang Hu merah padam menghampiri wanita ini.
Masingmasing saling lirik dan geli tapi juga mendongkol.
"Kencing Eng-cici sungguh manjur, iblis tua itu terbirit-birit!"
"Apa, kencingku? Bukan, itu milik Cit Kong!"
Kiok Eng membalik dan semburat merah dan tentu saja ia menangkis.
Kui Yang melepas dongkolnya dengan gurauan setengah menegur, tentu saja gadis ini tak senang juga.
Maka ketika tiba-tiba di jawab dan anak itu tergelak, Cit Kong memang geli maka ia berseru.
"Eh, siapa bibi dan paman muda ini. Kencing itu memang milikku, bukan milik ibu. Maaf kalau pesing dan harap kalian maafkan aku yang masih kanakkanak!"
"Ah, kencingmukah?"
Kang Hu tiba-tiba tertawa bergelak pula.
"Kalau begitu pantas, Cit Kong, ampuh sekali. Pesing-pesing harum, dan Hoat-lek-kim-ciongko rupanya lumpuh terkena air kencing anak-anak!" "Benar, dia sendiri pernah menceritakannya kepadaku, dan sekarang telah kubuktikan. Ha-ha, kakek itu terbirit-birit, paman. Lain kali kusimpan air kencingku banyak-banyak dan kucekokkan mulutnya!"
Akan tetapi Kang Hu tak mendengarkan gurauan terakhir ini.
Ia terkejut dan heran bahwa pelumpuh Hoat-lek-kim-ciong-ko diberitahukan anak itu lewat kakek itu sendiri.
Maka ketika ia bertanya bagaimana bisa begitu, tentu saja pemuda ini tak tahu maka Kiok Eng menerangkan.
"Ia bekas muridnya, bagaimana tidak tahu. Terima kasih atas pertolongan kalian dan kami ibu dan anak sungguh merasa bersyukur."
"Eh, siapakah mereka ini!"
Anak itu tak tahan.
"Kalian rupanya sudah mengenal baik, ibu. Siapakah paman dan bibi ini. Atau enci?"
"Hush, mereka lebih patut sebagai adik ibu daripada kakakmu. Ini adalah Kui Yang sedang itu Kang Hu, Cit Kong, beri hormat dan ucapkan terima kasih pula. Mereka adalah keluarga Kok-taijin dan Bugoanswe!"
Cit Kong memberi hormat.
Tentu saja ia hanya mempergunakan sebelah tangannya dan anggukan kepala.
Matanya bersinar-sinar dan jelas kagum kepada muda-mudi ini.
Akan tetapi karena ia tak mengenal Kok-taijin maupun Bu-goanswe, ia masih merah ketika itu maka ia bertanya siapakah itu dua orang besar itu.
Dan ibunya segera ingat.
"Kok-taijin dan Bu-goanswe adalah sahabat kakekmu, mereka sudah pensiun. Akan tetapi karena nama besar mereka cukup berpengaruh di istana maka mereka tetap disebut seperti itu dan sri baginda pun menaruh segan. Sudahlah biar kutanya mereka ini bagaimana tiba-tiba datang, seingatku mereka inipun menghilang!"
Kui Yang tersenyum-senyum.
Diam-diam tak ada yang tahu betapa api cemburu tiba-tiba lenyap.
Bagaimana tidak, gadis itu menyangka milik Tanhujinlah yang tadi menyiprat di muka mereka, juga Kang Hu.
Dan karena pemuda itu adalah kekasihnya dan siapa tak akan panas, meskipun tak sengaja maka hal kecil ini lewat tanpa diketahui siapapun, bahkan tidak oleh Kiok Eng! "Ibumu terlalu membesar-besarkan.
Ayahku bukan apa-apa dibanding keluargamu, Cit Kong.
Siapa tak tahu kakekmu Fang-taihiap dan ibumu yang diberi gelar pangkat oleh sri baginda.
Kami tak berarti apaapa dibanding keluargamu tapi sudahlah tak usah kita menyanjung puji.
Justeru kami heran bagaimana kau ditemukan dan bagaimana pula bertemu kakek iblis itu!"
"Kami hendak mencari ayah!"
Anak itu tiba-tiba berseru.
"Tapi bertemu kakek itu di sini dan sesungguhnya ia mengejar-ngejar aku!"
"Mengejar-ngejar dirimu?"
"Benar, hendak disuruh kembali ke Mongol, akan tetapi kutolak!"
Kiok Eng maju bicara dan kini dialah yang menceritakan itu.
Segera dipeluknya kepala anaknya itu dan dua muda-mudi itu melihat kasih sayang seorang ibu.
Diam-diam mereka saling lirik dan Yang tiba-tiba memerah.
Tentu seperti itulah kalau kelak ia punya anak! Dan ketika gadis ini melengos dan menghindarkan pandangan Kang Hu, ia mendengar cerita itu maka tahulah dua muda-mudi ini akan kisah penculikan Cit Kong.
"Dan kini puteraku telah kembali padaku. Aku bersyukur, Kui Yang, berterima kasih sekali. Akan tetapi karena sekarang ayahnya belum pulang dan kami mencarinya maka kami tiba di sini dan malah bertemu kalian. Sekarang bagaimana dengan kalian karena seingatku kalian pun menghilang." Dua muda-mudi itu menarik napas dalam dan mereka tiba-tiba saling lirik kembali. Tentu saja Kiok Eng tak menceritakan betapa pertengkarannya dengan Tan Hong membuat Tan Hong meninggalkan nya. Rumah tangga mereka nyaris pecah berentakan. Dan ketika dua muda-mudi itu mengangguk-angguk dan merasa paham, kakek Mongol itu kiranya menjadi gara-gara maka mereka berkata bahwa ada tugas yang mengharuskan mereka turun gunung.
"Suhu Sia-tiauw-eng-jin menyuruh kami ke Angbi-to (Pulau Alis Merah). Selama ini kami dididik dan digemblengnya, Eng-cici, dan baru sekarang boleh turun gunung. Kebetulan kami mendengar pertempuran di sini dan kami lalu datang."
"Benar, dan tak kami sangka bertemu dengan kakek jahat itu. Kalau kelak kami bertemu dengannya lagi tentu tak akan sudah apalagi setelah mengetahui kelemahan Hoat-lek-kim-ciong-ko!"
Kang Hu menimpali dan pemuda ini tertawa menyambung temannya.
Ia memang geli dan masih teringat itu.
Sekarang mudahlah menghadapi ilmu sihir! Akan tetapi ketika Kiok Eng berkerut dan heran ada apa di Ang-bi-to, pemuda itu menggeleng kan kepala maka iapun menjawab bahwa iapun tak tahu apa-apa.
"Kami tidak tahu jelas. Kami hanya menjalankan perintah suhu. Sekarang ke manakah Eng-cici hendak pergi dan bagaimana kabar kakek kami berdua."
"Hm, aku tak tahu apa-apa. Kesibukanku mencari Cit Kong membuat aku tak memperhatikan yang lain-lain, Kang Hu. Maaf. Akan tetapi siapa itu suhu kalian Sia-tiauw-eng-jin, aku tak pernah dengar! "Suhu memang pengembara. Ia orang biasabiasa saja, Eng-cici, tak memiliki ketenaran. Akan tetapi locianpwe Sin-kun bu-tek mengenalnya baik!"
Kui Yang seakan merendahkan diri namun kata-kata terakhirnya itu jelas bernada bangga.
Siapa tak tahu Sin-kun-bu-tek (Malaikat Tanpa Tanding).
Maka ketika Kiok Eng terkejut dan mengangguk-angguk maka wanita itu tersenyum dan berkata, ia telah melihat kepandaian dua muda-mudi ini.
"Kalau begitu guru kalian bukan orang biasa. Hanya orang-orang luar biasa yang dikenal Sin-kun-butek!"
"Ah, sudahlah, betapapun kami tak ingin menyanjung diri. Sekarang ke mana kau hendak pergi, Eng-cici, apakah bersama kami atau kau berjalan sendiri."
"Eh, aku tak ingin mengganggu orang-orang muda. Aku ada urusan sendiri. Karena aku hendak mencari suamiku sementara kalian juga ada tugas baiklah kita berpisah di sini. Sekali lagi terima kasih, Kang Hu, terima kasih pula kepada Kui Yang dan mudah-mudahan kita bertemu lagi. Aku akan mencari suamiku ke Mo-san!"
Pemuda itu tersenyum dan memandang Kui Yang.
Gadis ini mengangguk dan balas memandang kekasihnya itu.
Selama beberapa tahun ini memang hubungan mereka menjadi dekat sekali.
Mereka bebas akan tetapi Kang Hu adalah pemuda yang sopan.
Dulu ketika di Liang-san pun pemuda ini telah menunjukkan sikapnya yang baik kepada Kui Yang, meskipun berdua dan disuruh menjaga gunung.
Maka ketika gadis itu mengangguk dan berkata terima kasih kembali, memberi tiga butir obat kepada Cit Kong untuk cepat sembuh akhirnya dua muda-mudi ini berkelebat dan Kiok Eng pun lalu meninggalkan tempat itu menerus kan perjalanannya.
Diam-diam ia mengumpat dan mengutuk kakek itu yang mencelakai lengan puteranya.
*** Mo-san cukup jauh dari Liang-san.
Seminggu melakukan perjalanan barulah wanita itu tiba di sini.
Dan ketika Kiok Eng berhenti dan memandang mulut hutan, ia berdebar dan lupa-lupa ingat akan guha itu maka Cit Kong mengajak beristirahat.
"Inikah kiranya tempat itu. Menyeramkan sekali, ibu, pantas dengan namanya!"
Cit Kong mendesis dan Mo-san yang berarti Gunung Iblis memang terasa menyeramkan.
Hutan begitu lebat sementara mulutnya terasa dingin.
Di sini sang ibu melepaskan puteranya dan Cit Kong mulai sembuh.
Paling tidak ia telah dapat menggerakkan lengannya lebih baik, tulang yang patah itu mulai menyambung.
Dan ketika anak ini duduk dan ibunya mengeluarkan bungkusan, roti kering dan arak jernih maka Kiok Eng memilih bersembunyi di balik batu besar agar tak terlihat orang.
"Benar inilah tempat di mana dulu aku meninggalkan ayahmu. Waktu itu ia memanggilmanggilku, Kong-ji, akan tetapi tak kugubris. Sebaik nya aku mencari seorang diri dan kau di sini. Tempat itu gelap!"
"Ibu mau masuk sendirian?" "Kurasa begitu, kau di sini. Kalau ada apa-apa berteriaklah dan ibu segera keluar."
Anak ini mengangguk.
Cit Kong bukanlah penakut dan iapun memiliki Jouw-sang-hui-teng.
Kalau untuk kabur atau berlomba lari ia lebih dari cukup.
Orang biasa saja tak mungkin mengejarnya.
Dan karena sang ibu tahu kepandaian anaknya dan sedikit tenang, dua hari dalam perjalanan terakhir Cit Kong dapat berlari cepat mendampinginya maka Kiok Eng merasa aman bila masuk seorang diri saja.
Begitulah, wanita ini akhirnya memasuki Mosan setelah perut sedikit kenyang oleh roti kering dan arak putih.
Cit Kong melebihi ketenangan ibunya dan wanita ini kagum.
Dikecupnya dahi puteranya itu.
Dan ketika ia berkelebat dan berpesan hati-hati, Cit Kong mengangguk maka diam-diam anak ini membuntuti ibunya pula dan ternyata ia tak mau berpeluk tangan! "Hm, ibu aneh.
Memangnya kenapa harus seorang diri.
Kalau ada bahaya kenapa tidak bersamasama? Menghadapi kakek gundul tak ada takut, apalagi hanya hutan seperti ini!"
Anak itu berkelebat pula dan mudah baginya mengikuti ibunya yang hati-hati memasuki hutan.
Mosan adalah wilayah si Palu Besi Wee Yu.
Meskipun ia tak ta kut dan pernah menghajar kakek muka merah itu akan tetapi kalau ada temannya yang lihai maka ia tak boleh gegabah.
Justeru kejadian lama membuatnya berdebar.
Hung-wangwe, keparat itu mudah-mudahan tak di situ.
Dan ketika ia terus masuk dan menyibak tempat-tempat gerumbul tiba-tiba Kiok Eng terpekik ketika mendadak seutas tali menjirat kakinya dan...
srat!, ia terbawa naik oleh sebuah jala dan tertangkap bagai harimau hidup-hidup.
Wanita ini meronta-ronta.
Jala itu terbuat dari urat yang lentur dan amat kuat serta kenyal.
Semakin ditarik semakin merapat.
Dan ketika ia menjadi pucat dan marah, memaki-maki maka muncullah puteranya berseru tertahan.
"Ibu...!"
Kiok Eng tertegun.
Ia terkejut tak menyangka puteranya di situ.
Bagaimana Cit Kong di situ, padahal bukankah disuruhnya diam di mulut hutan! Akan tetapi ketika ia girang dan rasa gembiranya lebih dari rasa marah, anaknya ini seperti bapaknya saja maka ia berteriak agar Cit Kong memutuskan tali penjerat di atas kepala.
"Jahanam, ibu terjebak. Putuskan ikatan di atas kepala ini, Kong-ji, bagaimana kau datang!" "Baik, aku akan membabatnya dan harap ibu hati-hati. Awas!"
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak ini meloncat ke atas dan Jouwsang-hui-teng dipergunakannya. Ternyata kepandaian Siang Lun Mogal berguna juga. Dan ketika ia membacok namun pengikat terdorong, ulet dan kuat maka anak ini terkejut dan ia jatuh lagi ke bawah.
"Gagal,"
Serunya.
"Tali itu ulet dan kuat, ibu, harus dibacok pisau!"
"Pergunakan api dan meloncat saja ke dahan. Urat ini pasti putus!"
"Api?"
"Ya, letikkan dua batu kecil itu dan pasangkan lilin!"
Cit Kong teringat.
Dalam perjalanan ibunya membawa lilin.
Di kantongnya ada bekas semalam.
Maka ketika ia girang dan memukulkan dua batu memantek api maka segera dipasangnya lilin dan...
hup, iapun telah berjungkir balik dan kini hinggap di pohon.
Cit Kong tak perlu lama di sini karena segera disulutnya tali pengikat itu.
Benar saja, talipun putus.
Dan ketika ibunya berdebuk dan terbanting di bawah maka anak itupun berjungkir balik turun dan ibunya kini dapat meloloskan diri.
Kiok Eng menyumpahnyumpah.
"Jahanam, dianggapnya apa aku ini. Bedebah!"
"Hi-hi, mungkin harimau. Barangkali pemburu yang memasangnya di sini, ibu, kebetulan. Sekarang maafkan aku karena aku tak betah sendirian."
Kiok Eng memeluk dan mencium anaknya ini.
Justeru kedatangan Cit Kong menyelamatkan dirinya.
Ia terharu.
Dan ketika apa boleh buat dibawanya anaknya itu serta, Cit Kong gembira maka wanita ini masuk lebih dalam dan tentu saja ia lebih berhati-hati setelah peristiwa tadi.
Kini tusuk kondenya dicabut siapa tahu berguna nanti.
Akan tetapi hutan semakin gelap.
Wanita ini sudah lupa akan lika-liku di situ dan iapun hanya mengandalkan perasaan saja.
Dan ketika akhirnya guha itu tak berhasil ditemukan sementara udara sudah begitu gelap maka ia terpaksa berhenti dan bersyukurlah dia bahwa selama itu tak ada gangguan dari si Palu Besi atau anak buahnya.
Paling tidak ia akan merasa repot melindungi Cit Kong.
"Hm, untung hanya satu saja jebakan harimau itu. Sebaiknya kita kembali ibu, besok dapat dilanjut kan." "Baik, akupun berpikir begitu. Mari kembali dan... eh, mana petunjuk asal tadi!"
Cit Kong terkejut ketika ia dan ibunya tiba-tiba kehilangan asal petunjuk.
Tadi mereka memberi tanda-tanda di pohon namun semua itu tiba-tiba lenyap.
Entah udara terlalu gelap atau ada orang menghapusnya.
Maka ketika ia tertegun sementara ibunya bersungut marah, tentu saja tak tahu arah maka nyonya ini meng ambil langkah serampangan untuk kembali dan keluar hutan.
Akan tetapi celaka, udara mendadak gelapgulita.
Ibu dan anak tak tahu betapa asap hitam tibatiba menyelimuti tempat itu.
Dibantu oleh keremangan senja asap ini memang tak kelihatan.
Dan ketika cepat sekali ia menaungi tempat itu, bau keras menusuk hidung maka Kiok Eng terkejut ketika tibatiba ia seakan mengenal bau itu.
"Hung Ji Bak manusia keparat!"
Nyonya itu tibatiba membentak dan sadarlah dia akan bahaya.
Benar, kini dikenalnya bebauan itu, bau tembakau.
Dan ketika ia berbangkis dan mendadak pening maka Cit Kong tiba-tiba roboh dan mengeluh.
Dari delapan penjuru tiba-tiba terdengar suara bergelak.
"Ha-ha, selamat datang.
Kau sungguh berani mati, Kiok Eng, akan tetapi mengagumkan.
Selamat datang dan selamat bertemu lagi.
Ha-ha!"
Kiok Eng pucat.
Sadarlah dia bahwa dirinya terjebak, la mengira tenang-tenang saja padahal dirinya diintai.
Suara hartawan itu tak dilupakannya.
Dan ketika ia menjadi marah dan melengking tinggi, Cit Kong roboh telungkup maka tawa lain menggetar kan hutan dan kini si Palu Besi memperdengarkan suaranya.
Dua orang itu ternyata mengintai dan bersembunyi bersama anak buah mereka.
"Bagus, kelenengan di tempat kami berbunyi. Kiranya kau Tan-hujin, bagus sekali. Dan kali ini tak mungkin kau lolos, ha-ha!"
Kiok Eng terhuyung jatuh.
Ia pening dan mual karena itulah Hong-sian-bai-hu (Bubuk Dewa Pelumpuh Syaraf).
Dulu iapun terjungkal oleh asap bius ini milik Hung-wangwe.
Keparat hartawan itu.
Akan tetapi ketika ia memaki dan mengeluh terhuyung-huyung, puluhan obor tiba-tiba memenuhi tempat itu mendadak wanita ini terguling dan ia pingsan.
Bubuk Pelumpuh Syaraf bekerja dan ia tak kuat lagi.
"Bluk!" Terdengar sorakan dan riuh yang ramai. Kiranya hutan itu telah terkepung dan Palu Besi Wee Yuu berada bersama Hung-wangwe. Lagi-lagi dua orang itu menghadapi wanita ini. Akan tetapi ketika cahaya obor mengusir gelap, tempat di mana Kiok Eng berada belum begitu terang mendadak melesat bayangan putih dan ibu serta anak tahu-tahu disambar hilang.
"Siap-siap!"
Orang-orang masih tak tahu.
Bayangan ini melesat dan melayang ke atas pohon untuk kemudian terbang dan meloncat-loncat.
Lompatannya panjang dan amat mengejutkan.
Sepuluh sampai dua puluh meter dilalui.
Dan karena ia menyambar dari ranting satu ke ranting lain, ringan bak kecapung terbang maka orang-orang terkejut ketika wanita dan puteranya itu tak ada lagi.
"Hilang! Ia tak ada!"
"Eh, benar. Ia tak ada, Lo-hiap (jago tua). Nyonya dan anak laki-laki itu lenyap!"
Dua bayangan berkelebat dan itulah kakek muka merah Wee Yu dan hartawan she Hung.
Kakek hartawan ini menyembur-nyemburkan asap tembakaunya dan ia telah memberi penawar kepada sahabatnya dan orang-orang lain.
Bubuk Pelumpuh Syarat amatlah jahat.
Maka ketika ia tertegun dan kakek ini membelalakkan mata, kaget berseru heran mendadak hartawan itu meloncat pergi dan buru-buru menyelinap.
Ia takut kalau nyonya itu pura-pura roboh dan sebentar lagi datang membacoknya.
"Awas, hati-hati. Jangan-jangan ia di sekeliling kita!"
Berhamburanlah orang-orang lain.
Si Palu Besi Wee Yu berseru pucat dan iapun buru-buru kabur.
Sepak terjang dan keganasan nyonya itu diingatnya baik, betapa Pedang Kilat Wong Sin Kiam harus kehilangan sebelah lengannya sementara si Kaki Selatan terbabat lututnya.
Putus! Maka ketika ia berteriak dan cepat menyelinap kabur, berlindung atau bersembunyi di balik punggung anak buahnya maka serentak orang-orang ini berhamburan dan sejenak mereka melarikan diri, bersembunyi! Akan tetapi Tan-hujin tak tampak batang hidung nya.
Nyonya itu benar-benar tak kelihatan dan tentu keluar kalau pura-pura pingsan.
Nyonya itu rupanya benar-benar hilang.
Maka ketika kekagetan dan keheranan bercampur menjadi satu, Palu Besi muncul lagi maka kakek itu memerintahkan untuk memeriksa dan menyelidiki tempat itu.
Akan tetapi tak dapat apa-apa.
Siapa pun tak melihat bayangan putih yang tadi melesat dan menyambar ibu dan anak itu.
Siapa menyangka bahwa di balik itu ada iblis atau setan gentayangan.
Maka ketika kakek ini uring-uringan dan Hung-wangwe gelisah juga, ia menetap dan tinggal di tempat ini sejak dihajar Kiok Eng maka Palu Besi memerintahkan agar seluruh hutan diperiksa, tidak hanya tempat itu.
"Tak mungkin ia lenyap, tak ada siluman di sini. Cari dan temukan dan pasang jerat-jerat penangkap binatang!"
Kiranya jerat di mulut hutan tadi adalah jerat yang dipasang Palu Besi ini.
Tali jerat dihubungkan ke tempat tinggalnya dan bila seseorang tercekik maka kelenengan akan berbunyi.
Akhir-akhir ini seisi Mo-san dibuat jengkel oleh sesuatu yang ganjil.
Ransum dan dendeng kering sering lenyap.
Dan ketika uang dan harta benda juga lenyap, simpanan Palu Besi banyak yang raip maka kakek itu marah-marah dan seluruh anak buahnya kena damprat.
Mula-mula seseorang dituduh, akan tetapi bukan.
Lalu ketika yang lain dituduh dan bukan pula maka hampir seisi penghuni didakwa pemilik gunung ini sampai ke pada selir-selirnya.
Akan tetapi semua bu kan! Karena itu Palu Besi memasang jerat.
Ia merasa aneh dan ganjil dan merasa ada seseorang yang barangkali mengganggunya.
Akan tetapi setelah berbulan-bulan tak ada apa-apa sementara harta bendanya terkuras habis maka gusarlah kakek itu dan hari itu kelenengan di tempatnya berbunyi.
Kakek ini berharap besar.
Cepat ia memerintah kan orang melihat siapa yang datang, anak buah disuruh.
Akan tetapi ketika tiba laporan bahwa yang datang adalah nyonya itu, Tan-hujin yang ganas maka kakek ini gentar.
"Apa, wanita itu? Puteri Fang Fang?"
"Benar, Lo-hiap, dan seorang bocah lelaki. Akan tetapi sekarang lepas dan masuk semakin dalam."
"Ah, awasi dan kepung rapat-rapat. Hati-hati, dari jauh!"
Semua mengangguk.
Sebenarnya mereka ngeri namun perintah kakek itu tak boleh dibantah.
Mereka bisa dibunuh jika menolak.
Maka ketika dengan hatihati di awasinya ibu dan anak, tak bergerak dan bersembunyi jauh dari situ maka Kiok Eng tak tahu bahwa kehadirannya sesungguhnya telah diketahui anak buah si Palu Besi ini.
Hanya mereka menjaga jarak dan melaporkan kepada ketuanya.
Dan Pa lu Besi sendiri tentu saja segera menemui Hung-wangwe dan membicarakan ada nya Kiok Eng.
"Kiok Eng, keparat betina itu? Ah, ada apa dia datang, Wee Yu. Masa mencari kita!"
"Aku tak tahu, dan pikirku bukan. Ia telah menghajar kita dulu dan tak mungkin mencari kita."
"Akan tetapi ia di sini, dan siapa pula bocah itu!"
"Mana kutahu? Sebaiknya kita ke sana juga, wangwe, awasi dan lihat dari jauh. Hati-hati, dari jauh saja!"
Dua orang ini lalu berkelebat dan mengawasi nyonya itu.
Tentu saja mereka menjaga jarak dan Palu Besi diam-diam memerintahkan anak buahnya menghapus guratan-guratan yang dilakukan nyonya itu untuk pengenal balik.
Inilah sebabnya kenapa Kiok Eng tak menemukan tanda-tandanya.
Dan ketika malam semakin larut sementara Palu Besi begitu berhati-hati, Hung-wangwe mulai bekerja maka asap Hong-sian-bai-hunnya tak kentara melayang-layang di permukaan malam yang gelap.
Kiok Eng baru menyadari setelah terlambat.
Ia roboh dan pingsan.
Akan tetapi ketika tubuhnya disambar dan dibawa lari seseorang, begitu pula Cit Kong maka terkejutlah Palu Besi bahwa si nyonya lenyap bagai ditelan hantu.
Di mana sebenarnya nyonya ini.
Kiok Eng masih tak sadar ketika bayangan putih itu melayang turun di balik semak gerumbul lebat.
Sekali orang ini menggerakkan tangannya maka terkuaklah sebuah lubang gelap.
Guha yang amat rapi tersembunyi di situ.
Dan ketika ia melompat dan menghilang ke dalam maka orang ini memasang lampu minyak dan tampaklah kini siapa dia.
Kiranya seorang laki-laki tua.
Rambut dan jenggotnya serba putih sementara pakaiannya terbuat dari kain kasar.
Hanya hebatnya kakek ini memiliki sorot seperti anak muda.
Di dalam gelap sepasang matanya berkilau-kilauan, sungguh tiada ubahnya sepasang mata kucing, atau harimau! Dan ketika kulitnya juga halus tidak keriput, inilah keheranan kedua maka giginya juga utuh dan kuat layaknya orang muda.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakek yang seperti pertapa ini tak pantas sebagai pertapa.
Gerak-geriknya gesit dan juga lincah seperti anak muda! Kini kakek itu meletakkan Kiok Eng dan Cit Kong di pembaringan tipis terbuat dari rumput kering.
Sinar lampu minyak menerangi suram akan tetapi kakek itu tertegun.
Ia lebih banyak mengamat-amati wajah Cit Kong daripada Kiok Eng.
Dan ketika ia berseru tertahan sang matanya yang berkilat itu semakin berkilauan, cahaya menyambar dari sepasang mata ini maka anak itulah yang terlebih dahulu disadarkan daripada ibunya.
Usapan dan totokan membuat Cit Kong membuka mata dan melompat bangun.
"Ibu!"
Yang pertama dipanggil adalah ibunya.
Cit Kong terkejut dan membentur mata berkilauan itu dan iapun berseru tertahan.
Anak ini mundur dan ngeri.
Mata itu seperti pedang! Akan tetapi ketika mata ini tersenyum dan tiba-tiba basah, tahu-tahu ia disambar dan diusap lembut maka ia ditanya apakah ia anak ibunya.
"Itu ibumu? Kau siapa?"
Cit Kong tertegun.
Ia malah mendorong mundur dan tak tahu siapa kakek ini.
Siapa tahu si Palu Besi! Maka ketika ia membentak dan bertanya siapakah kakek itu, apakah si jahat Wee Yu maka lawan menggeleng.
Anak itu tak menjawab pertanyaan orang dan justeru balas bertanya.
"Bukan, aku Ho-tosu.
Aku yang menolong dan menyelamatkanmu, anak baik.
Apakah ini ibumu dan kau puteranya."
"Kau... kau yang menolongku?"
Cit Kong membelalakkan mata.
"Benar, akan tetapi tak usah dipikir. Kau belum menjawab pertanyaanku apakah benar kau putera wanita ini."
"Ah, terima kasih!"
Cit Kong lagi-lagi tak menjawab dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.
"Terima kasih, totiang, terima kasih. Maafkan kecurigaanku tadi karena kuanggap kau penghuni Mosan i-tu. Terima kasih dan benar ia ibuku!"
"Hm, siapa ibumu itu."
"Kiok Eng, puteri kakekku Fang Fang! Akan tetapi anak ini kecele. Ia mengira kakek itu terkejut akan tetapi sikapnya ternyata biasa-biasa saja. Apakah orang ini tak mengenal kakeknya atau kakek ini yang tak pernah turun gunung! Dan ketika ia penasaran kenapa kakek itu tak terkejut, padahal diam-diam ia ingin pamer maka ia didahului dan sudah ditanya. Kepalanya diusap dan anehnya jari-jari kakek itu gemetar. "Kau, sekarang siapa namamu. Kalau begitu siapa namamu!"
Cit Kong heran. Kakek ini seakan orang ketakutan dan ia merasa aneh. Nama kakeknya tak ditakuti akan tetapi menunggu namanya seakan kakek itu diguncang kecemasan. Akan tetapi karena ia harus menjawab dan disebutnya namanya maka iapun berseru.
"Aku Cit Kong, namaku Tan Cit Kong! Luar biasa, kakek itu tiba-tiba menangis. Matanya yang mencorong dan berkilat tajam itu mendadak pudar. Air matanya bercucuran! Dan ketika ia memejam dan roboh terduduk, Cit Kong terkejut sekali maka kakek itu tersedak dan menangis seperti orang sedih, atau mungkin girang! "He, ada apa. Kenapa dengan dirimu, Hototiang. Apakah namaku seperti hantu!"
Kakek itu berubah.
Tiba-tiba ia menghentikan tangisnya dan bangun berdiri.
Pipi dan wajah yang basah itupun sudah di usapnya.
Dan ketika kembali sepasang matanya mencorong dan berkilat bagai naga maka Cit Kong merasa seram karena kakek ini cepat menangis dan cepat berhenti pula.
Kini sikapnya seolah tidak ada apa-apa dan biasa.
Bagi Cit Kong malah mengerikan! "Kau, ada apa menangis.
Ada apa dengan namaku!" (Bersambung
Jilid XIV) COVER =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0= Karya . Batara
Jilid XIV *** "TIDAK ada apa-apa. Akan tetapi kau... eh, kapan kau bertemu ibumu? Sejak kapan kalian berkumpul?"
Cit Kong heran, melengak. Ia tentu saja terkejut dan heran dengan pertanyaan itu. Kakek ini mengetahui dirinya, hilangnya! Akan tetapi ketika ia tak menjawab dan kakek itu tersenyum maka ia semakin terlongong-longong betapa kakek itu lebih tahu lagi.
"Ya-ya, tak usah heran. Kalau namamu Cit Kong berarti kaulah si anak hilang itu. Keluarga Liang-san bukanlah keluarga tak terkenal, kau dicari dan semua orang bingung. Nah, jawab sejak kapan berkumpul dengan ibumu ini dan kenapa kalian ke mari."
Kini anak ini begitu herannya.
Kalau kakek ini serba tahu berarti sahabat Liang-san.
Tak pelak lagi ia berlutut dan bertanya siapa kakek itu, maksudnya bagaimana kakek itu serba tahu dan apakah sahabat kakeknya, Fang Fang.
Akan tetapi ketika kakek ini tertawa dan mengangkatnya bangun maka ia disuruh tak usah banyak tanya.
"Aku sahabat atau bukan tak usah tahu, yang jelas aku telah menyelamatkan dirimu dan ibumu. Nah, sebentar lagi ibumu sadar, anak baik. Aku hendak keluar sebentar dan jangan bicara macam-macam. Kenalkan saja bahwa aku Ho-tosu."
"Totiang mau ke mana?"
"Keluar."
"Totiang mau apa."
"Eh, perlukah segala keperluanku kulaporkan? Bertanya terlampau banyak adalah sebuah watak buruk, bocah, bisa bawel. Aku tak perlu menjawab dan lihat ibumu bangun!"
Benar saja, Kiok Eng membuka mata. Dan begitu puteranya berseru maka kakek inipun lenyap.
"Ibu!"
Kiok Eng terkejut.
Wanita ini melompat bangun dan ia tentu saja berseru girang.
Cit Kong masih bersamanya.
Akan tetapi teringat Hung-wangwe dan Palu Besi, juga asap tembakau itu maka wanita ini menyambar puteranya dan berseru, mata meliar ke kiri kanan.
"Mana jahanam-jahanam itu, di mana kita!"
Cit Kong memaklumi ibunya. Anak ini minta turun dan berkata bahwa mereka di tempat aman. Hotosu menolong. Dan ketika sang ibu terkejut dan mengernyitkan kening, Cit Kong menoleh namun kakek itu tak ada di tempat maka anak inipun bingung.
"Siapa itu Ho-tosu. Dan tempat ini, eh!"
Sang nyonya kaget.
"Ini guha di mana ayahmu dulu, Kongji. Itu bekas telapak Tangan Pedangku ketika menyerang ayahmu dulu. Ini tempat itu!"
Cit Kong malah tertegun.
Di bawah sinar lilin ibunya melompat dan mengamati bekas-bekas pukulan ketika dulu bertanding hebat.
Ayahnya didesak Tangan Pedang dan itulah guha ini.
Sang ibu terisak.
Dan ketika ia malah girang bahwa inilah guha itu, ibunya menangis mendadak wanita ini berkelebat keluar dan Cit Kong terkejut.
"Aku mendengar suara orang!" Akan tetapi tak ada siapa-siapa. Kiok Eng berhenti dan melihat kegelapan akan tetapi tak ada siapapun di situ, padahal jelas didengarnya helaan napas panjang. Helaan itu serasa dekat akan tetapi tak ada siapa-siapa, tak mungkin iblis! Dan ketika nyonya ini terbelalak dan berubah pucat, Cit Kong berkelebat menyusul ibu nya maka terlihat sinar merah di pohonpohon besar.
"Itu anak buah Hung-wangwe!"
Nyonya ini berseru dan berkilat marah.
"Kau ke dalam biar kuhajar mereka, Kong-ji. Tadi mereka berbuat curang merobohkan kita!"
Cit Kong terkejut.
Ibunya meloncat dan sudah memekik ke depan akan tetapi sebutir batu menotok tenggorokan wanita ini.
Jerit kemarahan itu lenyap.
Dan ketika batu kedua menyambar dan mengenai pundak, robohlah wanita ini maka Kiok Eng mengeluh dan Cit Kong tentu saja berkelebat menahan.
"Ibu!"
Wanita itu melotot.
Tiba-tiba ia kehilangan seluruh tenaga dan kaget serta heran bukan main.
Ada seseorang membokongnya dan membuatnya lumpuh.
Dan ketika ia ditahan puteranya dan seseorang berdesir di samping kanan maka Ho tosu pertapa itu berseru, lirih akan tetapi jelas.
"Ibumu masih lemah, baru saja sadar. Masuk dan sembunyi di dalam, Cit Kong, biar kuusir orangorang itu."
Kiok Eng berusaha menoleh.
Ia mengeluh ketika ternyata lehernya kaku tak dapat digerakkan.
Tahulah dia bahwa pertapa inilah yang main gila.
Akan tetapi heran puteranya disebut namanya, Cit Kong seolah dikenal baik maka ia menahan dongkol dibawa masuk.
Belum apa-apa di buat tak berdaya oleh seorang konyol yang tak diketahui jelas! Cit Kong girang.
Memang ia melihat bahwa banyak orang berkeliaran di situ dan sinar-sinar obor semakin tinggi.
Suara berisik mencari-cari ibunya dan ia tentu saja cemas.
Sungguh tak dikehendakinya bila ibunya mengamuk.
Musuh yang curang dan berbahaya tidaklah boleh dibuat main-main.
Maka melompat dan membawa ibunya ke dalam, Ho-tosu dipercayanya dan menggebah orang-orang itu maka Kiok Eng mengumpat caci setelah urat gagunya agak lemas lagi.
Ia kini dapat mengeluarkan suara.
"Keparat, jahanam itu yang melumpuhkan aku.
Siapa dia dan bagaimana rupanya, Kong-ji.
Ibu ingin kenal!"
"Jahanam siapa,"
Anak ini bingung.
"Apakah Hung-wangwe menyerangmu, ibu. Aku tak melihat orang lain."
"Bodoh, tolol goblok! Ya pertapa itulah yang menyerang ibumu, Kong-ji, ia licik dan berbuat curang. Dialah yang kumaksud!"
"Ah, Ho-tosu menyerangmu?"
"Siapa lagi!"
"Akan tetapi ia bermaksud baik. Ia mungkin tak ingin ibu mengamuk dan benar bahwa ibu baru sadar. Racun bius melemahkan tenagamu."
"Goblok, kau jangan percaya omongannya dan menelannya mentah-mentah. Sebentar lagi totokanku bebas dan akan kulihat manusia sialan itu!"
Cit Kong malah khawatir.
Ia membujuk ibunya agar tidak marah-marah karena iapun setuju perbuatan kakek itu.
Kalau kakek itu menotok ibunya tentu bermaksud baik, apalagi terdengar teriakanteriakan dan orang-orang itu berhamburan.
Jerit atau pekik menyebut setan riuh-rendah, tentu kakek itu yang membuat ulah.
Dan ketika semua sunyi dan api obor padam, saat itulah ibunya bebas maka Kiok Eng meloncat bangun dan langsung menyambar keluar.
"Ibu!"
Akan tetapi tak ada siapa-siapa. Cit Kong mengejar dan menahan lengan ibunya ini dan tampak betapa ibunya marah. Ibunya mencari-cari kakek itu. Dan ketika tetap tak ada siapa-siapa dan ibunya memaki maka ibunya membanting kaki.
"Mana Ho-tosu itu, mana dia. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
"Sabar dan jangan marah-marah. Hari sudah gelap, ibu, masuk dan kembali saja ke guha. Kita beristirahat."
"Aku ingin menyodok hidungnya. Ia mencegah aku menghajar tikus-tikus busuk tadi!"
Akan tetapi Cit Kong menarik dan membawa ibunya ke dalam guha.
Berteriak dan memaki-maki di luar adalah percuma, kakek itu tak ada.
Dan ketika malam itu Kiok Eng membiarkan puteranya menghibur dan membujuk, memang ia marah sekali oleh kelakuan Hung-wangwe tadi maka Cit Kong mengajak ibunya tidur dan besok mencari orang-orang itu, juga ayahnya.
"Kita datang bukan untuk bermusuhan, kita datang mencari jejak ayah. Kalau kau ingin melampias kannya biarlah besok pagi, ibu, baru setelah itu mengobrak-abrik isi hutan ini. Sekarang benarkah guha ini yang ditempat ayah dan apakah ibu tidak keliru."
Kiok Eng tertegun, menarik napas panjang.
Tibatiba ia terisak dan melihat lagi sudut-sudut guha itu.
Tidak salah, inilah guha di mana dulu ia dan suaminya tinggal.
Bahkan di situ masih ada bekas-bekas bercinta dulu, guratan ketika suaminya menyatakan cinta dan mengajaknya bercumbu! Maka semburat dan berdebar-debar, juga cemas dan gelisah agaknya suaminya tak ada di situ, tanda-tanda itu tak ada akhirnya wanita ini merebahkan tubuh di samping puteranya yang sudah beristirahat lebih dulu.
Cit Kong tampaknya begitu tenang dan adem-ayem saja.
Tak memikirkan persoalan.
Angin sepoi meniup lembut.
Udara dingin terhalang dinding dan hangatnya api lilin menyamankan tubuh.
Tiba-tiba wanita ini mengantuk.
Cit Kong menguap dan jatuh tertidur.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan ketika iapun melayang-layang dan mengantuk pula, letih ingin beristirahat tak terasa wanita ini menguap dan...
tertidur pula.
Kiok Eng bermimpi.
Mula-mula ia mendengar bisikan lembut dan suaminya tiba-tiba muncul.
Ia girang dan menubruk, tersedu-sedu.
Dan ketika dalam mimpi itu ia merangkul dan menciumi suaminya, begitu sebaliknya maka suaminya menghisap air matanya dan dengan lembut serta penuh kasih berbisik bahwa ia tak perlu cemas lagi.
Mereka sudah bertemu.
"Aku tak marah dan memaafkan semua kejadian itu. Akupun salah dan ingin meminta maaf, Eng-moi. Kita sudah berkumpul dan jangan berpisah lagi."
"Benar, dan anak kita Cit Kong ditemukan. Ia ada di sini, Hong-ko (kanda Hong). Lihat anak itu!"
"Aku tahu, aku sudah melihatnya. Dan aku girang bahwa anak kita telah kembali."
Wanita itu menangis dan menciumi suaminya lagi.
Dalam haru dan bahagianya muncullah kemanjaannya dulu.
Ia minta disisipkan setangkai bunga melati.
Dan ketika suaminya tersenyum dan memberikan itu, terhiaslah setangkai melati harum maka bentakan-bentakan membuat nyonya ini terkejut dan Cit Kong tiba-tiba membangunkannya.
Hung-wangwe dan orang-orangnya berada di luar guha.
"Ibu, kita dikepung!"
Kiok Eng mencelat kaget.
Wanita ini bangun dan tergagap dan ia terkejut sekali.
Mimpi indahnya buyar.
Semuanya pecah berantakan.
Akan tetapi ketika dengan tak terasa ia memegang kepalanya, teringat melati harum dalam mimpinya tadi tiba-tiba wanita ini tertegun.
Bunga itu ada di situ, tersisip di antara rambutnya yang hitam gemuk, rambut yang terurai dan entah bagaimana wajahnya bekas diciumi seperti dalam mimpinya tadi! Dan ketika ia menjublak akan tetapi segera merah, mungkin perbuatan jahanam Hotosu itu maka ia berkelebat dan sang anak kaget tersentak.
"Ho-tosu manusia jahanam. Kau rupanya mengganggu diriku!"
Akan tetapi di luar guha terdengar ribut-ribut.
Tiba-tiba terdengar dentang senjata beradu disusul teriakan dan pekik kesakitan.
Tubuh-tubuh terlempar dan bayangan putih menyambar-nyambar, cepat dan membentak serta menggebah orang-orang itu agar segera pergi.
Dan ketika Cit Kong tertegun sementara sang ibu terbelalak, itulah kakek pertapa Ho-tosu yang muncul melindungi guha maka Hung-wangwe terbanting sementara Palu Besi terlempar dan terjerembab.
Kakek itu berulang-ulang menyuruh pergi akan tetapi orang-orang ini keras kepala.
"Jangan masuk dan mengotori tempatku. Pergi dan enyahlah kalian, tikus-tikus busuk. Pergi dan jangan sampai kalian celaka!"
Akan tetapi orang-orang ini memang kerbau.
Mereka begitu dungu ketika dilempar dan tergulingguling.
Kakek itu menggerakkan kedua lengannya dan berkelebatan cepat dan setiap angin sambaran membuat terpelanting.
Hung-wangwe sendiri berteriak dan terjengkang.
Akan tetapi karena seorang tua dan amat memandang rendah, bangkit dan menyerang lagi maka orang-orang inipun tak tahu malu.
"Kami menemukan Tan-hujin (nyonya Tan) di sini. Kau tua bangka rupanya hen dak mengangkangi sendiri. He, mampus atau kau minggir, pertapa busuk. Lihat dia keluar!"
Memang saat itu Kiok Eng berkelebat keluar.
Nyonya ini hendak marah kepada sang pertapa akan tetapi tertegun.
Gerakan kaki tangan dan juga ginkang itu dikenalnya baik.
Itulah ilmu-ilmu Liang-san.
Ginkang itu malah Sin-bian Gin-kang (Ilmu Kapas Sakti)! Maka ketika menjublak dan malah terbelalak, wanita ini kaget dan berdiri mematung maka Hungwangwe bergulingan mendekatinya dan tiba-tiba asap beracun disemburkan dari ujung huncwe itu.
"Ibu, awas!"
Kiok Eng melempar tubuh ke kiri.
Saat itu totokan juga datang dan matahari pagi baru saja menyambut.
Kokok ayam hutanpun terdengar nyaring, sayang bercampur dengan suara gaduh dan pekik serta teriakan orang-orang itu.
Dan ketika ia membentak dan menampar huncwe itu, asap ditiup dan buyar berentakan maka Palu Besi tergelak dan kakek muka merah ini sudah mendapat aba-aba.
"Tangkap dan serang dia, biarkan tua bangka itu dibunuh anak-anak kita!"
Kiok Eng marah.
Ia baru saja meloncat bangun ketika dikejar dan diserang lagi.
Palu Besi mengayun kan senjatanya yang dahsyat, menderu dan disusul semburan asap tembakau yang mengandung obat bius itu, Hong-sian-bai-hu.
Maka menangkis dan mengepretkan jarinya ke kiri kanan, berkelebat dan meniup asap berbahaya segera dua orang itu terpental akan tetapi Hung-wangwe memberi aba-aba dan jala yang ulet serta lebar menyambar Kiok Eng, belum lagi teriakannya ke pada yang lain agar menangkap dan merobohkan Cit Kong.
"Jerat dan tangkap hidup-hidup bocah itu. Ia sandera paling berharga!"
Akan tetapi Cit Kong mempergunakan Jouwsang-hui-tengnya.
Bagai kijang atau anak lembu yang gesit bocah ini mengelak, tentu saja tak mau ditangkap dan ka kinya menendang.
Dua kali ia menghantam kepala lawan dan dua kali itu pula anak buah Palu Besi berteriak.
Tumit si bocah bagai palu godam.
Akan tetapi ketika menyambar jala lebar dan di sana sang ibu menjerit maka Cit Kong kalah cepat dan...
crep, ia pun terbungkus dan meronta-ronta.
"Cit Kong!"
Dua batu kecil menyambar pemegang jala.
Tibatiba dua orang itu menjerit ketika kepala mereka terhantam, roboh dan berteriak sementara Kiok Eng lega.
Iapun baru saja melempar tubuh bergulingan dari sergapan jala.
Hung-wangwe dan orang-orangnya ini curang.
Dan ketika ia meloncat bangun sementara puteranya sudah terbebas pula, keluar dan melempar jala akhirnya wanita ini menyuruh puteranya menyingkir di atas pohon.
Cit Kong tak memiliki ilmu silat kecuali ginkang-nya yang luar biasa itu.
Akan tetapi anak ini menggeleng.
Cit Kong marah dikeroyok kiri kanan, kebetulan sebuah golok terlempar dan disambarnya golok itu, dibalik.
Bagian tajam di dalam sementara yang tumpul di luar.
Lalu berkelebatan dan menyambar-nyambar, apa yang dulu dilakukannya terhadap para perampok terulang lagi maka emak ini mengetok kepala orang-orang itu dengan golok tumpul akan tetapi yang cukup membuat orang-orang itu menjerit.
Anak ini marah dan siapa dapat mengejarnya kalau ia sudah berhatihati mengelak jala.
Dan begitu ia membalas dan menghajar orang-orang itu anak buah si Palu Besi maka belasan orang menjadi korbannya dan Hungwangwe serta Palu Besi dihadapi ibunya yang sudah mengamuk.
Kiok Eng lega puteranya dapat menjaga diri.
"Bagus, kalian tikus-tikus busuk. Sekarang tak ada ampun bagimu, Hung-wangwe. Mampuslah dan terbang ke neraka!"
Hartawan ini melempar tubuh ke belakang.
Ia sudah menyemburkan asap tembakau akan tetapi buyar dihantam pukulan nyonya itu.
Kiam-ciang tibatiba menyambar dan ia berteriak.
Leher bajunya terbabat.
Dan ketika ia bergulingan dan selamat, mengeluarkan keringat dingin maka Kiok Eng membalik dan bokongan Palu Besi disambut.
"Crangg!"
Tangan Pedang benar-benar seampuh pedang.
Palu Besi terpental dan kakek itu menjerit, untunglah anak buahnya menyerang dan Kiok Eng menggerakkan kaki.
Dan ketika tiga orang menjerit dan terbanting, patah pinggangnya maka Kiok Eng mengamuk dan nyonya ini bagai seekor singa betina.
Di tempat lain terjadi seruan-seruan keras.
Lima puluh orang anak buah si Palu Besi yang tadinya mengeroyok dan ingin merobohkan si pertapa ternyata tunggang-langgang.
Dua pimpinan mereka meninggalkan mereka dengan menganggap nyonya itu lebih berbahaya.
Dengan jumlah lebih dari cukup mereka diharapkan mampu mengatasi kakek yang mula-mula mereka anggap ringan ini, tak perduli ke pada teriakan atau seruan tosu itu agar pergi.
Akan tetapi begitu kakek itu menyambar-nyambar kian cepat dan tiba-tiba tak dapat diikuti pandang mata lagi, kagetlah orang-orang ini mendadak mereka terangkat naik dan...
terlempar tinggi keluar hutan.
Puluhan tombak.
"Pergi dan enyah kataku, atau nanti nyonya itu membunuh kalian!"
Terkejutlah orang-orang ini.
Mendadak mereka bagai disapu angin topan dan senjata mencelat dari tangan.
Belum apa-apa mereka terangkat dan terlempar.
Dan ketika gedebak-gedebuk disusul keluh dan rintih kesakitan, lima puluh orang ini disapu bersih maka Hung-wangwe terkejut ketika tiba-tiba pundak nya dicengkeram seseorang dan kakek itu melempar nya jauh, tinggi melampaui belasan pohon.
"Pergi atau kalian semua terbunuh. Jangan kotori tempatku dengan darah!"
Hartawan ini berteriak.
Ia mendadak lumpuh dan huncwe pun terlepas, tubuh di lempar terbang dan jatuh di luar hutan, bukan main kagetnya.
Dan ketika Palu Besi menyusul dan orang-orang lainnya lagi, termasuk mereka yang terluka atau patah-patah maka guha tiba-tiba menjadi bersih dan tentu saja dua pimpinan ini jerih dan gentar, tunggang-langgang dan akhirnya melarikan diri! Kini guha itu sudah tak ada siapa-siapa lagi.
Bagai dihempas angin badai orang-orang itu lenyap.
Kiok Eng terhuyung dan terbelalak memandang pertapa ini karena iapun tiba-tiba tertotok, totokan ringan akan tetapi cukup membuat tenaganya lenyap.
Ia lumpuh sekejap dan Kiam-ciangnya macet, itulah sebabnya enak saja Ho-tosu ini melempar lawanlawannya hingga mereka selamat.
Ia sudah siap membunuh lawan-lawannya itu dengan kemarahan menggelegak.
Akan dibasmi dan dihancurkannya mereka itu.
Akan tetapi begitu ia terhuyung ketika kakek ini menyambar, pundaknya ditepuk dan ia lumpuh sekejap maka kini ia terbelalak memandang pertapa itu karena tahu betapa hebatnya kakek ini.
Ia merasa beberapa tingkat di bawah! "Kau...
kau siapa! Kau tak membiarkan aku membunuh tikus-tikus busuk itu! Dua pasang mata berhadapan, Kiok Eng dengan kemarahan yang ditahan-tahan sementara pertapa ini dengan tatapan lembut akan tetapi mencorong.
Kiok Eng terkejut dan hampir meruntuhkan pandang ketika tak kuat.
Tatapan itu seperti tatapan ayahnya yang penuh sinkang, bagai seekor naga sakti dan hanya karena lembut maka ia mampu bertahan.
Selebihnya ia kalah jauh! Maka terkejut dan heran serta kaget, akhirnya kemarahan lebih besar maka wanita itu bertolak pinggang dan kini berkata lagi, menuding.
Betapapun nyonya ini tak puas dan memang galak.
"Kau tak menjawab pertanyaanku. Siapa kau dan bagaimana kau memiliki pula ilmu-ilmu Liangsan!"
Aneh, pertapa ini tersenyum. Tiba-tiba ia seperti tertawa akan tetapi juga mengejek. Dan ketika sang nyonya menuding dan kian marah, ia tak menjawab tiba-tiba kakek ini memutar tubuhnya dan... melangkah pergi.
"Heii!"
Tentu saja Kiok Eng gusar.
"Jawab pertanyaanku, Ho-tosu. Kau siapa dan bagaimana memiliki ilmu-ilmu Liang-san!"
Akan tetapi kakek ini terkekeh.
Tiba-tiba ia mempercepat langkahnya dan sang nyonya terkejut.
Ia menyambar dan sudah berkelebat akan tetapi luput, cengkeramannya mengenai angin.
Dan ketika Kiok Eng membentak dan Cit Kong tentu saja berseru khawatir, kakek ini tak perduli maka ia berlenggaklenggok dan tiba-tiba saja keluar hutan.
Kiok Eng memaki-maki dan geram namun tak berhasil menangkap.
Akibatnya nyonya ini mengerah kan Sin-bian Ginkang akan tetapi kakek itu mempergunakan pula ilmu meringankan tubuh itu.
Dan ketika sang nyonya terkejut dan menjadi penasaran, berseru keras maka Cit Kong pun mengejar ibunya dan berteriak-teriak.
"Ibu, jangan serang dan musuhi kakek itu. Ia telah menolong kita!"
"Menolong apa, siapa yang ditolong. Ia mempermainkan kita, Kong-ji, jahanam ini mempermainkan kita. Lihat ia memiliki Sin-bian Ginkang pula dan apa artinya ini kalau bukan menghina kita!"
Cit Kong terkejut.
Akhirnya ibunya dan dia harus terbang mengerahkan ginkang.
Kakek itu seakan melangkah seenaknya saja akan tetapi tak pernah tertangkap.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ibunya boleh memaki dan melengkinglengking namun kakek ini begitu mudah mengelak.
Bahu dan atau bagian belakang tubuhnya seakan bermata.
Dan ketika ibunya terkejut dan menjadi semakin marah, tiga orang itu tiba-tiba berkejaran keluar masuk hutan akhirnya Mo-san mereka tinggalkan dan kini menuju Liang-san.
Aneh! "Ibu, berhenti dan tanya dia baik-baik.
Kakek itu bukan musuh!" "Bedebah, omongan apa ini.
Kita dibodohi dan dipermainkannya, Kong-ji, selama ia masih kulihat selama itu pula kuserang, kecuali kalau ia berhenti!"
Akibatnya anak ini berteriak-teriak.
Cit Kong akhirnya berseru kepada kakek itu agar berhenti.
Ia telah mengerahkan seluruh Jouw-sang-hui-tengnya akan tetapi tak mampu menyusul pula.
Jangankan menyusul, berendeng saja tidak.
Mereka tetap dalam jarak yang sama dan sesungguhnya kalau kakek ini mau mereka dapat ditinggalkan.
Nyata, kakek ini memang hebat.
Dan ketika ia berteriak-teriak sementara ibunya melengking-lengking, tak terasa sehari penuh berkejar-kejaran maka Cit Kong dan ibunya mandi keringat.
Kakek pertapa itu tenangtenang saja dan sama sekali tak basah kuyup.
"Ho-totiang, berhenti dan kasihanilah ibuku. Berhenti dan biarkan ia bertanya baik-baik!"
"Heh-heh, ibumu tak akan baik-baik. Ia galak seperti singa betina, Cit Kong. Kalau ingin bertanya langsung saja sambil berjalan. Aku mencari angin."
"Baik, kalau begitu perlahan sedikit, kami mandi keringat. Ibu memburu napasnya!"
"Diam!"
Sang ibu membentak.
"Aku masih kuat dan tak ngos-ngosan, Kong-ji, sampai ke ujung dunia pun kukejar. Ia sombong dan ingin pamer kepandaian akan tetapi awas kalau bertemu kong-kong mu. Pasti keok!"
Kakek itu tertawa-tawa.
Ia tak perduli dan benar-benar tak perduli dan tetap melangkahkan kaki lebar-lebar.
Kini mereka memasuki hutan kecil dan sungai serta bukit-bukit batu dilalui.
Sang surya hampir tenggelam di ufuk barat akan tetapi nyonya itu nekat.
Kiok Eng memang marah bukan main.
Dan ketika hutan dimasuki lagi dan untuk kesekian kalinya sang nyonya khawatir, ia takut kakek itu menyembunyikan diri maka bentakannya diganda kekeh geli pertapa ini.
"Kalau kau bukan penakut menyembunyikan diri. Berhenti!"
Jangan lari "Heh-heh, aku memang berhenti. Aku kasihan kepada puteramu, hujin, kita memang harus beristirahat. Aku tak akan lari dan percayalah tetap berada di depanmu!"
Kiok Eng berseru kaget.
Kakek itu tiba-tiba lenyap dan ia berkelebat menyusul.
Sayang udara sudah menjadi gelap akan tetapi terdengar tawa geli.
Tawa itu berada di sebelah kiri dan nyonya ini melompat.
Namun ketika tak ada siapa-siapa dan terdengar lagi tawa di sebelah kanan, dicari dan gagal lagi akhirnya nyonya itu membanting kaki.
"Aku tetap di hutan ini, sampai besok. Setelah ayam jantan berkokok barulah aku pergi."
Terpaksa wanita ini uring-uringan.
Ia sampai lupa kepada puteranya dan ketika anak itu terguling dan roboh di depannya barulah Kiok Eng terkejut.
Betapapun Cit Kong masih anak-anak.
Dan ketika malam itu menginap di hutan dan Cit Kong mengeluh panjang pendek maka Kiok Eng terisak dan marah serta mendongkol bukan main, percuma mencari.
Ayam jantan akhirnya berkokok.
Ibu dan anak sudah pulih tenaganya dan tawa itu terdengar lagi.
Si pertapa memberi tanda.
Dan ketika Kiok Eng meloncat bangun dan dilihatnya bayangan itu, si pertapa berpakaian putih maka wanita ini menyambar puteranya dan tak ayal mengejar lagi.
Herannya arah Liang-san yang dituju.
"Ho-tosu manusia busuk. Berhenti dan jangan mempermainkan kami atau kau mampus!"
Kakek ini terkekeh saja.
Ia melangkah lagi sementara sang nyonya beterbangan cepat.
Cit Kong jatuh bangun.
Dan ketika kembali kejar-kejaran itu terjadi lagi, naik turun bukit akhirnya Cit Kong mengeluh dan menganggap semuanya ini tiada guna.
Tiba-tiba ia mengingatkan ibunya bahwa mereka sedang mencari sang ayah.
"Jangan perdulikan dan tinggalkan saja kakek itu. Kita sedang mencari ayah, ibu, jauh lebih penting mencari ayah daripada mengejar-ngejar orang!"
"Ha-ha, kalian mencari ayah? Uh, ayahmu sudah mampus. Untuk apa dicari dan akulah satusatunya yang tahu!"
"Keparat!"
Kiok Eng melengking.
"Apa yang kau tahu, kakek busuk. Jangan omong sembarangan dan mengatakan suamiku mati!"
"Ha-ha, bagaimana tidak mati. Ia ngenas oleh pukulanmu dulu. Kalau tubuhnya mampu maka batinnya tidak kuat. Ia telah bertemu aku."
"Apa?"
"Heh-heh, tak usah menyesali dan biar saja. Bukankah kau sudah tak mencintai suamimu itu, untuk apa dicari!"
Kiok Eng kaget dan membentak.
Tentu saja ia marah sekali sekaligus kaget dan terheran-heran.
Hotosu ini ternyata tahu kejadian dulu.
Berarti suaminya pernah bertemu dan jangan-jangan kakek ini lah kuncinya.
Maka memekik dan mengejar lagi, kakek itu tertawa-tawa maka yang membuat ia paling terbakar adalah ejekannya yang mengatakan ia tak cinta suaminya lagi.
"Siapa bilang, bohong itu! Aku tetap mencintai nya dan seumur hidup mencintai nya!"
"Bagus, dan untuk itu tak muncul bertahuntahun? Heh-heh, buktinya sungguh berbeda. Cinta tidak seperti itu, hujin, meninggalkan suami dan membiarkannya merana. Ia mati ngenas tapi sempat meninggalkan pesan kepadaku."
"Pesan apa, kau rupanya banyak tahu. Berhenti dan tunggu dulu, Ho-tosu. Sikapmu menggemaskan!"
Kiok Eng penasaran.
"Heh-heh, pesannya tak perlu kusampaikan, percuma karena kau tak berubah. Mari mencari keringat saja dan kalau kau berhasil menangkapku biarlah kukatakan pesan itu."
Kiok Eng menjerit.
Tentu saja ia merasa dipermainkan dan kemarahannya bangkit lagi.
Kakek ini memang terlalu.
Dan ketika ia mulai menyerang dan melepaskan jarum-jarumnya, runtuh mengenai punggung maka ia terkejut dengan muka merah padam.
"Nah, suka berbuat curang lagi.
Ini satu di antaranya, hujin, suamimu tak suka tanganmu telengas.
Akan tetapi ia sudah mati, tak usah dicari.
Heh-heh!"
Kiok Eng marah bukan main.
Ia mengejar dan terus membentak sampai akhirnya sehari penuh terlewati lagi.
Kali ini kakek itu melemparkan buahbuahan kepada mereka akan tetapi ia tak mau menerimanya.
Hanya Cit Kong yang menangkap dan memakannya.
Kakek itu berlari di depan sambil terus tertawa-tawa.
Dan ketika nyonya ini gemetar dan kembali senja menghadang, lelah lahir batin akhirnya kakek itu lenyap lagi di sebuah hutan kecil.
Tawa dan sikapnya benar-benar membuat mendidih.
"Nah, cukup dulu, kau gemetaran. Salahmu sendiri kalau tak mau menerima buah-buahanku tadi."
Nyonya ini ambruk.
Ia lemas dan jengkel lalu menangis.
Kemarahan membuat pikirannya gelap.
Ia begitu kacau bahwa Tan Hong diberitakan tiada.
Sungguhkah suaminya mati.
Maka tersedu dan akhir nya mengguguk di situ, Cit Kong menghela napas maka anak ini menghibur agar sang ibu tak terlalu sedih.
Lain anak lain ibu.
Cit Kong malah bersimpati dan suka kepada kakek itu.
"Sudahlah dan jangan dipikir lagi.
Aku masih memiliki sisa buah-buahan itu, ibu.
Kupikir ia bukan orang jahat.
Isilah perutmu dan kucarikan minum."
Kiok Eng masih menangis.
Ia terlampau tersayat-sayat oleh bayangan Ho-tosu itu.
Ia benarbenar ngeri kalau Tan Hong tewas oleh pukulannya.
Maka ketika puteranya pergi mencari air minum, ia mengguguk-guguk akhirnya puteranya datang dan membawa seguci air jernih.
Wanita ini tertegun.
"Dari mana kaudapatkan itu. Apakah..."
"Benar, Ho-tosu yang memberikannya. Lihat ia begini baik, ibu, tak mungkin orang jahat. Minumlah dan jangan dibuang."
Kalau saja tenggorokan tak betul-betul kering dan ia lapar serta dahaga tentu dibantingnya guci air itu.
Ia tak mau menerima pemberian musuh.
Akan tetapi ketika puteranya mengingatkan bahwa besok masih melanjutkan perjalanan lagi, dan justeru semakin dekat ke Liang-san maka wanita ini menggigit bibir dan menenggak habis air jernih itu.
lapun terpaksa menerima buah-buahan penangsel perut.
Betapapun ia harus memulihkan tenaga.
Akan tetapi begitu selesai iapun membanting hancur guci air itu.
"Prangg!" Cit Kong menghela napas. Anak ini berkelebat ke atas pohon dan seperti biasa ia pun merebahkan diri. Ia pun letih dan ingin beristirahat. Dan ketika tak lama kemudian menguap dan tidur, sikapnya begitu tenang maka Kiok Eng tertegun dan tiba-tiba timbul keinginannya menyelidiki di mana tosu itu. Akan dicekik dan diinjaknya nanti kalau ketemu! Wanita ini berkelebat. Liang-san tinggal sehari lagi dan mudah-mudahan ayahnya di sana. Kalau ia tak dapat merobohkan kakek ini biarlah ayahnya yang menghadapi. Ingin dia tahu, sampai di mana hebatnya kakek itu! Maka bergerak dan melondat dari pohon yang satu ke pohon yang lain, kebetulan sinar bulan dan bintang membantunya maka seluruh hutan kecil itu sudah diperiksa. Akan tetapi bayangan tosu itu tak ada.
"Ehm!"
Kiok Eng terkesiap.
Suara batuk itu mengejutkan nya dan serentak ia menengok.
Kakek itu di situ, di luar hutan! Maka melayang turun dan merah padam, ia malu dan marah maka wanita ini sudah berhadapan dengan kakek itu yang kini tersenyum-senyum.
Sinar bulan menerangi mereka dan rambut keduanya tersapu warna keemasan.
"Bagus!"
Nyonya ini langsung membentak.
"Kau di sini, Ho-tosu, sekarang katakan di mana suamiku dan siapa kau sesungguhnya. Kau pencuri ilmu-ilmu Liang-san!"
"Hm, heh-heh, untuk apa mencari suamimu. Kau tak memperdulikannya, hujin, kau membiarkan nya merana bertahun-tahun, suamimu mampus."
"Keparat!"
Kiok Eng tiba-tiba menerjang.
"Kaulah yang mampus dan jangan main-main... wut!"
Tangan Pedangnya bergerak akan tetapi kakek ini mengelak.
Seperti biasa ia mempergunakan kelincah annya bergerak ke kiri kanan.
Apa yang diperlihatkan adalah gerak langkah Liang-san pula.
Dan ketika Kiok Eng menjadi marah dan melengking nyaring, berkelebatlah dia mempergunakan Sin-bian Gin-kangnya maka kakek itupun tertawa dan berkelebatan pula mempergunakan ilmu yang sama, hal yang membuat sang nyonya memekik gusar dan selanjutnya wanita ini menyambar-nyambar.
Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia benar-benar penasaran dan marah sekali dengan tingkah laku kakek ini.
Tosu itu seakan merendahkannya.
Maka ketika Im-biankun alias Silat Kapas Dingin menerjang disusul Pek-inkang (Tangan Awan Putih) dan ilmu-ilmu lain, juga jarum dan segala yang berhamburan maka kakek itu tertawa nyaring dan...
iapun menangkis dengan Pekin-kang atau Im-bian-kun pula.
"Plak-plak-plak!"
Kiok Eng kaget bukan main.
la terpental dan hampir terjengkang begitu ditangkis lawan.
Yang membuat ia naik darah adalah balasan ilmu yang sama.
Pemilik asli kalah kuat dengan pencuri! Maka melengking dan berkelebatan kian cepat, menyambar dan menukik naik turun akhirnya wanita ini melepas kan ikatan lehernya dan kini sapu tangan itu meledak dan menjeletar-jeletar.
Sungguh bak petir mengeri kan.
Akan tetapi mengejutkan.
Lawanpun tiba-tiba mengeluarkan sapu tangan lain berkembang sutera, sapu tangan harum yang membuat Kiok Eng terpekik.
Itu adalah sapu tangannya dulu yang dibawa Tan Hong.
Sapu tangan miliknya! Maka menjerit dan kaget serta marah sekali, kakek ini tak malu-malu membawa saputangan wanita maka nyonya itu menerjang dan serangan-serangannya menjadi kalap.
Tosu ini terkekeh-kekeh, tak perduli.
"Keparat, kau tak tahu malu. Itu milikku, Hotosu. Kau kakek hina-dina yang mencuri milik wanita!" "Ha-ha-heh-heh! Sapu tangan ini kudapat dari suamimu, hujin, ketika ia sekarat. Aku menyimpannya karena barang bertuah. Konon kau bisa manja kalau melihat saputangan ini."
"Manja hidungmu. Aku akan membunuhmu dan mengantarmu ke akherat. Kembalikan atau kau mampus... wut-tar-tar!"
Dua sapu tangan meledak di udara dan Kiok Eng terjengkang.
Ia terpekik dan bergulingan akan tetapi kakek itu tak mengejar.
Dibiarkannya sang nyonya meloncat bangun dan menyerang lagi.
Dan ketika bentakan dan lengkingan menjadi satu, sang kakek tiba-tiba terhuyung-huyung maka Kiok Eng mendaratkan Kiam-ciangnya mengenai tengkuk.
"Plak!"
Kakek ini tak bergeming.
Kiok Eng terkejut karena lawan tertawa ringan, Tangan Pedangnya malah membalik, hampir mengenai muka sendiri.
Dan ketika ia berseru keras menyerang lagi, sapu tangan menyambar muka mendadak kakek itu mencengkeram dan kini dua orang itu saling betot.
"Bret!"
Kiok Eng kalah kuat. Tahu-tahu ia terbawa ke depan dan dicium kakek itu, bukan main kagetnya. Maka memekik dan menggerakkan tangan yang lain, menghantam muka itu malah janggut dan sebagian kumis Ho-tosu terenggut.
"Brett!"
Kali ini sang nyonya ternganga.
Ia begitu mudah melepas kumis janggut itu, benda-benda ini sudah menempel di tangannya akan tetapi tak ada darah keluar.
Sebagai gantinya berdirilah seorang pemuda berwajah tampan yang tersenyum-senyum kepada nya, wajah yang amat dikenal.
Dan ketika "kakek"
Ini melepas rambut putih di atas kepala, membuang dan ternyata hanya rambut palsu maka wanita itu menjerit dan menubruk.
"Hong-ko!!"
Tangis dan sedu-sedan meledak.
Di bawah sinar bulan dan bintang yang berkedip-kedip itu mendadak terjadi perobahan tak disangka.
Ho-tosu lenyap dan sebagai gantinya berdirilah Tan Hong.
Memang pemuda inilah yang menyamar dan merekatkan rambut-rambut palsu.
Ia sengaja hendak mencium isterinya akan tetapi Kiok Eng menyambar, kumis dan janggut palsunya terenggut.
Dan ketika ia melepaskan rambut yang lain dan lenyaplah bekas-bekas samaran, Kiok Eng mengguguk dan memukul-mukul suaminya ini maka pemuda itu mendekap dan selanjutnya mencium bibir hangat itu.
Bibir yang gemetaran dan memaki-makinya.
"Kau... kau kurang ajar. Aku hampir mati dicium Ho-tosu tadi, Hong-ko. Main-mainmu keterlaluan. Kau membuatku tak keruan!"
"Maaf, aku mengujimu. Aku ingin tahu benar kah kau mencari-cariku, Eng-moi Bukankah selama bertahun-tahun ini kau tak pernah memperdulikan aku."
"Akan tetapi kau terlalu. Kau mempermainkan aku. Ah, kalau begitu kau pula yang menciumku dan menyisipkan melati itu di rambutku. Kau... hu-hukk, kurang ajar dan menggemaskan sekali. Ah ku hampir mati kaku!"
Wanita ini memukul-mukul dan memaki suaminya akan tetapi tiba-tiba tersedak.
Mulut Tan Hong menciumnya, segala puji lembut dan maaf dibisikkan.
Dan ketika wanita ini roboh sementara bulan tersenyum di angkasa, Tan Hong menahan dan membiarkan isterinya memukuli maka muncullah Cit Kong yang terbangun oleh ribut-ribut itu.
Anak ini mendengar lengking ibunya dan suara pertandingan.
"Ibu...!" Kiok Eng membalik. Wanita ini melepaskan diri dan tiba-tiba menyambar puteranya. Ia masih basah bercucuran akan tetapi tak dapat disangkal lagi dirinya begitu bahagia. Anak dan suaminya telah berkumpul. Jantung dan mutiara hati telah ketemu. Maka ketika terkekeh dan menciumi puteranya itu, dibawanya meloncat dan berlutut di depan sang suami maka ia berseru bahwa itulah Tan Hong.
"Inilah ayahmu yang kita cari-cari itu. Berilah hormat dan sebut dia ayah, Kong-ji. Inilah orang yang kita cari-cari itu!"
Anak ini terbelalak, tertegun.
Ia kaget bahwa di bawah sinar bulan purnama di luar hutan itu mendadak dirinya menemukan sang ayah.
Mana Hotosu! Dan ketika ia bertemu pandang dengan sepasang mata mencorong dan amat berpengaruh, lembut namun serasa sudah dikenal maka Cit Kong malah menjublak dan tak berkata-kata.
Ia merasa bingung karena pria ini seakan sudah dikenalnya! "A...
ayah!"
Akhirnya keluar juga suara itu akan tetapi tenggorokan anak ini serasa kering.
Ia betulbetul kaget dan heran bagaimana tiba-tiba terjadi pertemuan itu.
Betapapun ia mencari-cari Ho-tosu.
Dan ketika Tan Hong tertawa dan mengerti kebingungan puteranya itu, terkekeh seperti Ho-tosu maka anak ini terkejut.
"Ha-ha-heh-heh-heh. Kau mencari siapa, putera ku. Ho-tosu di depanmu."
"Ayah!"
Anak ini tiba-tiba menjerit.
"Kalau begitu kau Ho-tosu. Ah!"
Dan ketika anak ini menubruk dan memeluk ayahnya, inilah ayah kandungnya bukan seperti raja Sabulai maka ia tersedu dan tiba-tiba menangis di dada ayahnya itu.
Girang dan bahagia bukan main bahwa menemukan ayahnya yang sejati.
Kiok Eng bercucuran air mata pula.
Wanita ini masih belum dapat melupakan kejadian itu dan iapun memeluk suami dan anaknya.
Dua orang itu gantiberganti diciumi.
Dan ketika Tan Hong menurunkan puteranya sementara sang isteri menggandeng mesra, tentu saja Kiok Eng tak marah-marah lagi maka pemuda ini berkata bahwa semua itu sebagai batu ujian.
"Maafkan aku, ibumu terlalu keras. Bertahuntahun aku dibiarkannya, Kong-ji, akan tetapi kini aku bahagia sekali bahwa dirimu telah ditemukan. Kapan kalian bertemu dan bagaimana dapat bertemu." "Ia dibawa Siang Lun Mogal,"
Kiok Eng menukas dan tak sabar menerangkan.
"Anak kita diculik kakek jahanam itu, Hong-ko. Bagiku lebih baik diculik Hotosu daripada Siang Lun Mogal!"
"Siang Lun Mogal?"
Pemuda ini terkejut.
"Benar sekali, dan ia dibawa ke Mongol. Itulah sebabnya tak pernah kita temukan karena memang kita tak pernah keluar tembok besar. Kita selalu mencari di daratan!"
Tan Hong mengeluarkan seruan tertahan. Tentu saja pemuda ini terkejut dan tahu siapa kakek itu. Akan tetapi menarik napas dan memuji nama Tuhan, sikap nya begitu sareh maka Kiok Eng tertegun karena suaminya ini seperti pendeta saja.
"Ih, aku tak mau sikapmu seperti pendeta betulan (sungguhan). Kau tampak seperti kakek-kakek dan alim!"
"Hm, hidup har
Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Pertarungan Terakhir Karya Saini KM