Ceritasilat Novel Online

Putri Raja Yang Dikorbankan 2


Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat Bagian 2



Kata-kata Ki Dalang Sandiguna ini mengetuk hati Wanabaya.

   Dan para penonton yang penuh sesak 1 sekeluarga38 di halaman itu ketawa riuh rendah dan bertepuk tangan.

   Ki Wanabaya menjaksikan pertunjukan wayang kulit di atas sebuah kursi yang letaknya amat dekat dengan tempat pertunjukan.

   Dan matanya selalu mencuri pandang untuk menikmati anak ki dalang yang molek lagi muda itu.

   Menyaksikan kemolekan paras Adiwati, hatinya tak bisa membantah kebenaran kabar yang tertiup luas itu, bahwa Adiwati nyata merupakan perawan cantik yang sukar dicari tandinganaya.

   Ki Wanabaya sekarang gandrung.

   Kemudian pada menjelang pagi, Wanabaya telah memerintahkan kepada seorang kepercayaan- nya untuk menahan rombongan itu, dengan alasan mau nanggap2 semalam lagi.

   Atas permintaan itu Ki Dalang Sandiguna mengiakan dan dalam hatinya pun amat gembira.

   Matahari sudah condong kebarat.

   Burung berkicau asyik di atas dahan pohon sawo di muka pendopo.

   Di pelataran, seekor jago berkokok.

   Lalu menemukan sesuatu dan mengundang si betina.

   Dengan penuh kasih jago itu memberikan makanan yang diketemukan itu kepada betina.

   Jago ini lalu 22 kontrak pertunjukan39 bersuara seraya mengitari si betina.

   Tapi betina malu dan menghindari, akhirnya mereka pergi bersama.

   Wanabaya tersirap oleh adegan jago tersebut.

   Terbayang keayuan wajah Adiwati, semakin Asmara menggelora dalam dada.

   Pandangannya dilayangkan ke gedung tempat Adiwati melepaskan lelah.

   Tapi dari jendela yang terbuka itu, ia juga melihat nyai Sandiguna.

   Kecewa mengapa Adiwati menyembunyi- kan diri.

   Lalu dipanggilah seorang punggawa agar memanggil Sandiguna.

   Tak kuat lagi rasanya menahan hati yang telah gandrung.

   Kala itu Sandiguna sedang duduk dengan para nayaga3, sambi bicara perlahan-lahan.

   Kemudian datanglah utusan Wanabaya yang minta kedatangan- nya.

   Panggilan itu disanggupi, dan cepat berangkat menghadap.

   Kedatangan Sandiguna disambut oleh senyum Wanabaya yang gembira.

   Dan ki Sandiguna memberi hormat seperti kepada seorang raja.

   Sandiguna kemudian akan duduk di lantai, tapi Wanabaya cepat memimpin dan mempersilahkan duduk di atas, seraya katanya .

   "Tak perlu kau takut paman. Duduklah di atas, lebih enak." 3 Para penabuh gamelan40 Wanabaya ketawa, lalu katanya lagi.

   "Nah, duduk di atas sini dapat berbicara lebih enak. Setelah aku menyaksikan pertunjukan semalam, berterus terang aku kagum akan kemahiranmu."

   Sandiguna sekilas menatap Wanabaya, lalu menjawab seraya tersenyum.

   "Paduka berlebihan memuji hamba. Gusti, hamba mengakui bahwa sebenarnya belumlah patut hamba mempertunjukkan pedalangan di hadapan paduka."

   Wanabaya ketawa lalu bertanya.

   "Kau jangan merendah paman. Saya pernah menyaksikan pertunjukan wayang. Tapi belum pernah terpikat seperti pergelaran semalam. Sudah lamakah kau sebagai dalang?"

   "Gusti, baru dua puluh tahun hamba sebagai dalang keliling,"

   Jawab Sandiguna.

   "Tapi selama ini hamba belum pernah masuk wilayah Mangir dan Mataram."

   "Pantas paman telah mahir. Dua puluh tahun bukan sedikit paman, jadi bisa di sebut sudah kawakan4, dalang yang sudah berpengalaman. Lagi pula rombongan paman amat lengkap"

   Wanabaya menatap Sandiguna lalu sambungnya "Pesinden nyai 4 Ahli berpengalaman41 Prekis mampunyai suara empuk yang memikat hati. Dan, dan anakmu di samping cantik juga punya suara emas."

   "Gusti, anak hamba baru dalam taraf belajar."

   Jawab Sandiguna "Mohon ampun Gusti, kalau paduka kecewa oleh sinden anak hamba yang masih agak gugup itu."

   "Ah, tapi sudah cukup bagus paman, ia toh masih muda dan belum berpengalaman."

   Kata Wanabaya diiringi ketawanya "Berapa umur Adiwati sekarang? sudah bersuami?"

   "Adiwati baru menginjak 18 tahun. Dan masih belum ada seseorang yang sudi mengambil anak hamba yang manja itu gusti."

   "Oh, masih amat muda, dan juga belum ada calon"

   Kata Wanabaja serayamatanya mencari sasaran dari jendela yang terbuka. Tapi Adiwati belum nampak, lalu ia menatap Sandiguna dan tanyanya.

   "Apakah ia anak kandungmu ?"

   Sand guna mengangkat kepala, memandang sekilas kepada Wanabaya, lalu memandang lantai kembali, dan kemudian jawabnya.

   "Benar gusti, anak hamba sendiri."42 Wanabaya ketawa terkekeh, lalu batuk-batuk kecil. Hatinya gembira mendengar jawaban yang terus terang bahwa Adiwati masih perawan suci, masih muda belia, lagi jelita. Lalu katanya.

   "Tahukah paman, mengapa aku berbicara empat mata denganmu? Sesungguhnya aku ingin membicarakan soal yang amat penting lagi rahasia. Kalau saja paman tak berkeberatan, setujukah paman kiranya Adiwati kuperisterikan? Paman tak usan takut-takut, kalau paman tak setuju, tidak apa."

   Sandiguna pura-pura gugup dan terkejut, jawabnya dibikin agak gemetar.

   "Gusti, hamba tak pernah mimpi bahwasanya anak hamba akan paduka persunting, Hamba cuma seorang dalang, kiranya kurang pantas"

   "Ah paman tak usah bicara soal keturunan."

   "Gusti, jika menang paduka menghendaki, hamba amat gembira. Tapi gusti, hamba agak takut."

   "Takut? Apa yang kau takutkan? Ya, baiklah jika paman tak setuju akupun tak akan memaksa."

   "Hamba merasa bahagia gusti, dan sudah tentu hamba setuju maksud paduka. Tapi. memang ada sesuatu hal yang menjebabkan hamba ragu-ragu dan takut."43

   "Katakan paman, apa yang kau takutkan itu?"

   "Mohon ampun guin, tidakkah paduka murka apabila hamba berkata terus terang?"

   "Baiklah, katakan lekas. Tak perlu paman takut."

   "Gusti, sebenarnya Adiwati bukanlah anak kandung hamba. Ia anak pungut sejak bayi."

   Sandiguna menerangkan.

   "Karena bukan anak hamba yang benar itulah, maka sebenarnya yang berhak memutuskan adalah orang tua Adiwati yang melahirkannya."

   Wanabaya agak kecewa mendengar keterangan Sandiguna yang demikian itu. Kemudian tanyanya.

   "Kalau begitu, anak siapakah dia paman? Katakan siapakah orang tua Adiwati. Kalau perlu aku akan menugaskan seseorang untuk melamarnya. Syukurlah apabila paman sendiri bedia menjadi perantara."

   "Hamba selalu bersedia gusti,"

   Jawab Sandiguna.

   "Benarkah gusti tak murka hamba berterus terang?"

   "Tak perlu takut paman. Mengapa aku harus marah?"44 Sandiguna menatap Wanabaya, lalu jawabnya gemetar.

   "Mohon ampun gusti, sesungguhnya Adiwati putri Panembahan Senapati Mataram"

   Wanabaya terlonjak karena kaget! Demi mendengar penjelasan Sandiguna bahwa Adiwati anak Panembahan Senopati.

   Matanya merah menyala, gigi gemeretak menahan marah.

   Sandiguna pun terkejut.

   Dalam hati gelisah kalau saja tugas yang dipikulnya gagal ditengah jalan.

   Dengan itu akan berarti pecah perang antara Mataram daa Mangir.

   Para pengawal yang bergerak di bawah tanah dan para pemukul gamelan yang terdiri dari para Tumenggung, Mantri, Lurah dan Perwira tentu segera mengangkat senjata untuk melindungi putri Pembayun.

   Dan ia sendiri yang diam-diam telah menyembunyikan sebilah keris dalam bajunya akan segera bertindak cepat menyerang Wanabaya apabila terjadi sesuatu.

   Ia bersedia mati dalam pergumulan dengan Wanabaya.

   Di dalam suasana yang amat genting ini, terdengar suara nyaring dari tempat tinggal Adiwati Yah, Adiwati Prekis dan nyai Sandiguna tengah bersenda-gurau begitu asyik dan mereka tertawa- tawa gembira.

   Tampaknya ketiga wanita itu senang45 sekali, tak ambil perduli bahwa sebenarnya Wanabaya tengah marah-marah.

   Wanabaya memandang ke arah jendela terbuka.

   Disaksikannya sekarang Adiwati tersenyum manis dan ketawa.

   Wajahnya yang jelita tampak jelas dari pendopo.

   Dipandangnya oleh Wanabaya puas- puas wajah dara jelita itu.

   Tingkah laku Adiwati yang kekanakan, wajahnya yang ayu serta dadanya yang indah itu menusuk jantung dan asmara berkobar dalam dada Wanabaya.

   Adiwati perawan ayu jarang tandingannya.

   Adiwati perawan ayu yang dapat memenuhi idamannya.

   Adiwati dara cantik yang masih belia.

   Haruslah dilepaskan begitu saja? Haruskah merana hari mudanya akibat asmara tak sampai? Tidak! Tidak! Wanabaya amat sayang untuk menggagalkan maksud- nya.

   Wanabaya tak rela dara ayu Adiwati ini dipetik orang lain.

   Wanabaya tak hendak membunuh tunas cinta yang telah tumbuh subur dalam dadanya.

   Sandiguna amat gembira dan memuji kepintaran raden aya Adisara yang dengan tepat berhasil meredakan ketegangan dan kemarahan Ki Wanabaya.

   Lalu Sandiguna memberanikan diri untuk memulai.

   "Gusti, ampunilah diri hamba. Sebenarnya46 hamba ini bukanlah rakyat Mataram dan bukanlah rakyat Mangir. Hamba rakyat Madiun gusti, perkenankanlah hamba mohon keterangan mengapa paduka tampak murka."

   Wanabaja tersenyum kemudian jawabnya.

   "O, kiranya tak mengerti ketegangan antara Mangir dan Mataram"

   "Oh!", seru Sandiguna pura-pura terkejut.

   "Paduka bersitegang dengan Panembahan Senapati? Ampun gusti, hamba yang hina dan buta Ini."

   "Paman tak dapat kusalahkan justru tidak mengerti"

   Kata Wanabaya seraya menatap Sandiguna.

   "Maafkan paman kalau aku tak dapat menahan perasaanku setelah mendengar keterangan- mu bahwa Adiwati putri Panembahan Senapati. Secara terus terang kuberitahukan padamu, bahwa antara Mangir dan Mataram telah putus hubungan- nya, ibarat pinggan yang telah pecah dua, ibarat selembar kain yang telah cabik, bagaimana pun orang berusaha untuk memulihkan kembali, cacat itu tak akan terhapus."

   "Gusti, kiranya tiada halangan hamba menceritakan suatu peristiwa delapan belas tahun yang lalu."

   Kata Sandiguna yang berusaha untuk47 meyakinkan Wanabaya agar mau mempercayai dongengnya.

   "Peristiwa ini terjadi ketika Panembahan Senapati masih di Pajang. Kala, itu hamba di undang Tumenggung Majang untuk menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit. Hamba masih ingat benar, bahwa ketika itu hamba sedang menyelenggarakan adegan gara-gara. Tiba-tiba garwa5 Panembahan Senapati bersalin, lalu bayi itu diserahkan pada hamba. Gusti, adat yang berlaku untuk menghindarkan malapetaka yang dapat menimpa si bayi yang baru lahir itu, kalau kelahiran bayi itu dalam perjamuan orang yang sedang menyelenggarakan pertunjukan wayang, maka baji itu diserahkan kepada dalang supaya diambil sebagai anak pungut. Sebenarnya gusti, hamba telah lama ingin mendapat seorang anak. Sangat kebetulan hamba mendapatkan anak itu. Maka dengan permohonan hamba akhirnya Panembahan Senapati merelakan anak itu untuk hamba akui sebagai anak. Bayi itu kemudian hamba pelihara dan setelah dewasa menjadilah Adiwati yang sekarang. Gusti, hamba tidak tahu apakah Panembahan Senapati telah lupa kepada anak ini, ataukah masih ingat. Sebab gusti, selama Adiwati menjadi anak hamba, beliau tak pernah mengirim 5 istri48 kabar, Dan sebaliknya karena hamba merasa cinta dan amat sayang, maka tak rela rasa nya apabila Adiwati diambil kembali oleh Panembahan Senapati, maka hamba juga tak pernah membaca Adiwati kehadapan Panembahan Senapati untuk memperkenalkan Adiwati."

   Wanabaya manggut-manggut, lalu katanya .

   "Paman, mungkinkah Adiwati mengetahui bahwa paman bukan orang tuanya?"

   "Mungkin belum gusti, justru hamba tak pernah membocorkan rahasia ini."

   "Kalau benar demikian paman, sebagai orang tua yang memelihara sejak kecil, paman mempunyai kekuasaan atas Adiwati."

   "Benar gusti, hamba mempunyai hak. Tapi sekalipun hamba berhak, lebih utama kiranya apabila orangtua yang sebenarnya itu dimintai persetujuan."

   "Aku bingung paman, apa yang harus kulakukan?"

   Wanabaya terdiam.

   Sementara itu dari jendela yang terbuka.

   Wanabaya masih dapat menyaksikan paras cantik Adiwati yang kini tengah bersenda gurau, tersenyum dan ketawa nyaring.49 Api asmara makin menggelora dalam dada Wanabaya.

   Hatinya melonjak-lonjak ingin segera berhasil mempesunting bunga mungil yang amat indah Itu.

   Sandiguna menatap Wanabaya, lalu katanya .

   "Menurut pendapat hamba, kiranya kurang perlu minta persetujuan Panembahan Senapati."

   "Itu benar. Itu benar!"

   Seru Wanabaya agak gugup.

   "Namun demikian gusti, hamba perlu minta persetujuan Adiwati sendiri."

   "Baik paman, aku menunggu persetujuanmu,"

   Sandiguna minta diri.

   Sedang Wanabaya masih pada tempatnya semula, menikmati paras ayu Adiwati yang masih asyik bersenda gurau dengan teman-teman wanitanya.50 Bab V.

   Penutup.

   Sementara itu putri Pembayun gelisah di atas pembaringannya.

   Mata tak mau dipejamkan dan ternyata wajah Wanabaya yang tampan lagi gagah itu selalu menggodanya.

   Kini putri Pembayun mengakui bahwa hatinya telah tercuri oleh Wanabaya.

   Kalau ketika menginjakkan kakinya yang pertama diluar tembok keraton tak pernah terlintas dihatinya akan terpikat oleh Wanabaya, kini keadaan jadi lain.

   Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ternyata Wanabaya seorang pemuda yang tampan.

   Mengapa tak harus mencurahkan cinta sepenuh hati, sebagai layaknya seorang isteri yang setia? Tak pantas, tak pantas, Wanabaya yang tampan itu tak mendapatkan balasan cinta yang setimpal.

   Wanabaya harus dicinta sepenuh hati.

   Raden ayu Adisara dapat menerka kandungan hati putri Pembayun yang tampak selalu gelisah diatas pembaringannya.

   Lalu didekatinya, membelai rambut- nya seraya katanya menghibur .

   "Putri, mengapa selalu susah? Saat selesai tugas kini hampir tiba. Mengapa agaknya bimbang?"

   Airmata putri Pembayun berbutir-butlr lepas dari di-tanya yang redup. Berbulir butir membasahi51 pipinya yang kuning montok Dengan suara yang agak parau jawabnya.

   "Kiranya bibi juga tau perasaanku karena pernah muda."

   Terharu raden ayu Adisara mendengar jawaban putri Pembayun yang singkat tapi tepat itu.

   Hampir ia ikat menitikkan air mata.

   Ia sebagai wanita yang pernah muda, ia sebagai wanita yang pernah mengenyam cinta batin, la tak dapat menjalahkan putri Pembayun yang masih muda dan belum kenal apa artinya cinta.

   Tapi meski begitu, tugas menyeIamatkan Mataram tak seharusnya dilupakan putri Pembayun.

   Maka nasihatnya.

   "Putri, bibi sadar dan bibi cukup mengerti akan maksudmu. Tapi putri, harus kita ingat bahwa kita memikul tugas yang maha berat. Bibi pun sadar bahwa putri berdiri di persimpangan jalan antara cinta dan kewajiban. Tapi sekalipun demikian putri adalah merupakan tindak utama seseorang dapat mengorbankan kepentingan pribadi unuk kebahagiaan sesama hidup. Putri harus pandai mengikis kepentingan pribadi untuk keselamatan Mataram. Putri, tidakkah putri sadar akan korban yang jatuh kalau terjadi peperangan antara Mangir dan Mataram? Dan siapa-siapa prajurit yang gugur dalam peperangan itu? Ia adalah ayah dari anak-anak dan suami dari isteri-istri yang setia. Coba52 tanyakan kepada para janda prajurit yang telah gugur dari medan perang itu, cinta kah kepada suami? Tentu! Tentu secara tepat akan memberi jawaban bahwa ia sangat cinta kepada suaminya. Demikian pula kalau putri bertanya kepada anak-anak yang telah ditinggal gugur ayahnya itu, tentu mereka akan menjawab serempak bahwa mereka sangat cinta kepada ayahnya. Tapi mereka itu merelakan juga suami atau ayahnya gugur dalam medan perang. Sebab mereka semua itu sadar dan insyaf, bahwa kepentingan negara di atas segalanya. Kepentingan pribadi harus disingkirkan. Dan putri adalah putri seorang raja. Putri pemimpin negara apakah tidak malu kepada rakyat yang bersedia mengorbankan jiwa raganya dalam peperangan itu?"

   Raden ayu Adisara membelai rambut putri Pembayun, lalu katanya lebih lanjut.

   "Putri, semua itu patut kita jadikan tauladan. Janganlah kita hanya mementingkan kebutuhan pribidi. Dan kalau putri dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik, tentunya putri juga sadar, bahwa peperangan antara Mangir dan Mataram yang tiap saat bisa meletus itu tak akan terjadi dengan terhindarinya peperangan, berarti bahwa putri telah menolong dan menyelamatkan ribuan prajurit yang mestinya gugur di medan perang53 Di samping itu, putri juga berhasil menyelamatkan anak-anak dan isteri-istri prajurit iu, mereka tak kehilangan ayah atau suami yang mereka cintai. Malah tidak cuma itu, karena pengorbananmu menjadi selamat. Itulah putri, akibatnya akan amat luas."

   Putri Pembayun menyembunyikan muka dalam pangkuan raden ayu Adisara.

   Ia merasa malu, merasa hina setelah mendengar nasihat bibinya itu.

   Semua benar, semua tak dapat dibantah.

   Kalau terjadi peperangan, akan sangat banyak korban yang jatuh.

   Akan tak terhitung rakyat menderita karena peperangan.

   Dan kalau ia berhasil menjalankan tugas dengan baik, bukan saja menghindarkan peperangan, bukan saja menghindarkan keruntuhan Mataram, tapi juga menyelamatkan rakyat dari malapetaka.

   Putri Pembayun menangis di dalam pangkuan raden ayu Adisara.

   Lalu setelah agak reda, katanya serak.

   "Tapi bibi, tiadakah jalan lain yang lebih baik?"

   "Apa yang kau maksudkan putri ?"

   "Tiada korban yang jatuh. Negara selamat, dan Wanabaya juga selamat."

   "Itu lebih bagus. Dan semua itu dalam tanganmu."54 Kemudian mereka terdiam. lsak putri Pembayun telah berhenti dan kini ia telah duduk di samping bibinya.

   "Putri, beberapa hari lagi kau masuk, dalam dunia yang baru sama sekali bagimu,"

   Kata raden ayu Adisara tersenyum "Putri bukan lagi seorang gadis yang bebas, tapi seorang isteri yang mencintai suaminya.

   Dan setelah kedudukan sebagai istri Wanabaya, kau masih menghadapi tugas yang lebih berat lagi.

   Sebab, putri harus dapat menundukkan hati Wanabaya.

   Tidaklah mudah menundukkan seorang pemimpin.

   Orang seperti Wanabaya akan curiga dan bisa gagal seluruh tugasmu kalau kurang pandai mengambil hati dan menempatkan diri."

   Putri Pembayun menatap bibinya tak mengerti lalu tanyanya.

   "Bagaimana saya harus berbuat?"

   Raden ayu Adisara tersenyum, lalu katanya.

   "Putri, dalam usaha untuk membujuk Wana- baya agar mau menghadap ke Mataram, jangan sekali- kali kau lakukan diluar peraduan. Diluar peraduan laki- laki itu akan dapat berpikir secara luas dan dapat menimbang-nimbang permintaanmu. Tapi putri, ketahuilah bahwa di dalam kamar, dengan keayuanmu ... ia akan mudah kau tundukkan. Jangan kau beri55 kesempatan untuk berpikir secara jauh, rayulah dan desaklah terus sampai ia berjanji dan sedia melaksanakan."

   Putri Pembayun tersipu malu mendengar penjelasan bibinya yang demikian.56 Perkawinan antara putri Pembayun dengan Wanabaya berlangsung dalam waktu yang amat singkat, yaitu beberapa hari setelah putri Pembayun berada di Mangir.

   Hal itu selalu atas desakan Wanabaya juga karena Tumenggung Martalaya.

   Untuk memeriahkan pesta perkawinan ini, Tumenggung Martalaya yang masih menggunakan nama samaran Ki Dalang Sandiguna menyelenggara- kan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk.

   Pesta perkawinan Ki Wanabaya itu merupakan hati kegembiraan bagi sekalian rakyat Mangir yang telah lama mengharapkan junjungannya beristeri.

   Sebab itu maka kota Mangir dalam suasana pesta pora dan bermandikan cahaya lampu dan wajah rakyat yang berseri-seri penuh rasa bahagia.

   Tapi semua kebahagiaan, semua kegembiraan sebenarnya adalah milik Ki Wanabaya pribadi.

   Betapa tak bahagia dapat mempersunting perawan jelita putri Pembayun, anak Raja Mataram.

   Dan kini, setelah duduk bersanding sebagai suami, ia tak lagi harus mencuri pandang.

   Dan putri Pembayun dalam menghindari pertemuan pandang itu duduk tersipu malu.57 Kala putri Pembayun harus meninggalkan kursi pengantin untuk masuk kamar yang telah disediakan, maka hatinya berdebar-debar dan kakinya gemetaran untuk melangkah.

   Ia tak tau apa yang harus diperbuatnya kalau nanti suaminya merayu? Ia serba merasa asing menginjak dunia barunya.

   Tak tau apa yang harus dilakukan, tak tau apa yang harus diperbuat.

   Dan ketika Wanabaya melangkah masuk dalam kamar dan menutup pintu, hati putri Pembayun berdebar-debar.

   Seminggu kemudian Ki Dalang Sandiguna dengan rombongannya minta diri.

   Wanabaya berusaha mencegah kepergian itu, karena ingin ditunggui lebih lama lagi.

   Dan putri Pembayun dalam pelukan raden ayu Adisara menangis tersedu-sedu.

   Dan menitik jugalah air mata raden ayu Adisara karena tak kuat menahan gejolak hatinya.

   Dalam kesempatan ini pula putri Pembayun menerima pesan terakhir agar selalu bersikap waspada, menggunakan segala kesempatan untuk menundukkan hati Wanabaya.

   Kepergian orang-orang itu menjebabkan Pembayun merasa kesepian.

   Hari-hari yang lalu Prekis dapat memberikan hiburan.

   Raden ayu Adisara dapat memberi nasihat-nasehat, kini semua itu sudah tak ada lagi.

   Seorang diri ditengah-tengah musuh.

   Oh,58 putri Pembayun merasakan kebahagiaan hidupnya disamping suami ini, seakan impian belaka.

   Batinnya menderita, ia sering duduk bersedih sering menitikkan air mata.

   Sementara itu rombongan Ki Dalang Sandiguna telah tiba kembali di Mataram dengan selamat.

   Dihadapan Panembahan Senapati dan perdana menteri Mandaraka, Temenggung Martalaya menceritakan pengalamannya selama melakukan tugas.

   Laporan Tumenggung Martalaya itu amat menggembirakan Panembahan Senapati.

   Lalu waktu dilewati amat cepat.

   Tapi Panembahan Senapati belum juga menerima kabar akan datangnya Wanabaya menghadap ke Mataram.

   Panembahan Senapati cemas, mulai khawatir putrinya telah melupakan tugas yang diberikan, karena lebih kuat cinta kasihnya terhadap suami.

   Semula kekhawatiran itu tak bagitu mempengaruhi Panembahan Senapati.

   Tapi setelah menginjak dua bulan masih belum juga tampak tanda-tanda.

   Panembahan Senapati segera mengutus mata-mata untuk menyelidiki Mangir.

   Beberapa hari telah berlalu.

   Panembahan Senapati dan Mandaraka berharap-harap camas akan59 perkembangan terakhir dari Mangir.

   Tapi pada akhirnya toh segala kecemasan dan segala kekhawatiran Panembahan Senapati itu tersapu bersih setelah Mandaraka dengan tergopoh-gopoh pada suatu hari menghadap dan melaporkan, bahwa ada perkembangan yang menggembirakan.

   Penyelidik-penyelidik itu melaporkan bahwa utusan Wanabaya telah berangkat dari Mangir yang membawa pesan Wanabaya bahwa ia bersama iitcrl akan menghadap ke Mataram dalam waktu singkat ini.

   Pada hari yang telah ditentukan, masih pagi benar alun-alun Mangir telah dipenuhi prajurit bersenjata lengkap.

   Prajurit-prajurit itu telah berbaris rapi dalam kesatuannya masing-masing, dan dengan pakaiannya yang aneka ragam dan menyedapkan pandangan mata.

   Prajurit Mangir yang telah berbaris rapi memenuhi alun-alun itu akan mengiring kepergian junjungannya ke Mataram.

   Sesudah sampai pada tapal batas nanti, sebagian akan pulang kembali ke Mangir untuk menjaga keselamatan Mangir, dan sebagian terus mengikuti junjungannya sampai Mataram sebagai pengawal.

   Oleh rakyat Mangir dan daerah-daerah sekitanya yang telah tunduk, Wanabaya dianggap seorang raja.

   Maka taklah mengherankan apabila60 sepanjang jalan yang akan dilalui telah dipenuhi manusia untuk menghormat.

   Di samping itu juga sebenarnya rakyat itu ingin dapat menyaksikan keayuan wajah putri Adiwati yang kini merupakan permaisuri Mangir.

   Wanabaya beserta istri dan pengiringnya mulai bergerak dari alun-alun didahului oleh pasukan berkuda yang amat gagah.

   Sesudah pasukan berkuda, lalu prajurit berjalan kaki yang bermacam ragam pakaiannya menyusul.

   Baru kemudian prajurit pengawal Wanabaya yang berkuda menampilkan diri.

   Di tengah pengawal berkuda ini, tampaklah Wanabaia dengan pakaian kebesarannya dan tombak pusaka Barukuping, menunggang kuda yang amat indah.

   Di belakang Wanabaya, kereta yang berisi putri Pembayun dengan para dayang.

   Dan sebagai penutup iring-iringan ini, prajurit berjalan kaki yang bersenjata tombak, pedang dan senjata-senjata tajam yang lain mengawal beberapa pedati yang memuat barang- barang persediaan makanan bagi para prajurit di samping bulubek i glondong pengareng-areng ( buah tangan tanda kesetiaan ) untuk Panembahan Senapati.

   Gerak prajurit Mangir yang bersenjata lengkap dengan bunyi-bunyiannya itu laksana prajurit yang bergerak maju menuju medan perang.

   Rakyat yang61 memenuhi jalan itu amat tembus menyaksikan iring- iringan yang demikian indah dan panjang, yang selama ini belum pernah mereka saksikan.

   Ketika perjalanan sampai pada tapal batas Mangir dan Mataram, sebagian prajurit Mangir berhenti untuk kemudian nanti kembali ke Mangir.

   Sedang prajurit yang bertugas mengawal Wanabaya terus mengurung-urung junjungannya itu.

   Lalu para prajurit Margir dan Wanabaya sendiri terlonggong-longgong keheranan, menyaksikan jalan- jalan yang dilalui itu dipenuh manusia-manusia yang mengelu-elukan kedatangannya di samping hiasan dengan janur kuning memberi keindahan.

   Wajah Wanabaya berseri, memandang prajurit dan rakyat Mataran yang mengelu-elukan.

   Dan Wanabaya kerapkali menoleh memandang putri Pembayun.

   Pandangan suaminya itu disambut putri Pembayun dengan senyum manis.

   Wanabaya makin bangga dan puas.

   Makin nyata bahwa permusuhan antara Mangir dan Mataram telah berakhir.

   Rombongan dari Mangir itu semakin dekat ibukota Mataram.

   Dan sekarang makin berjejal prajurit dan rakyat Mataram yang memberikan62 penghormatan.

   Hiasan-hiasan di sepanjang jalan lebih indah.

   Waktu tiba di alun-alun Mataram, Wanabaya makin tercengang dibuatnya oleh kepenuhan prajurit yang rapi menghormat.

   Setelah iringan itu sampai di bawah pohon beringin kurung, datanglah menyambut seorang Gandek utusan Raja yang memberitahukan agar Wanabaya sarimbit langsung menghadap kepada panembahan Senapati, yang telah lama menunggu di Sitihinggil.

   Tapi para prajurit Mangir diminta untuk mengaso6 di alun-alun bersama-sama dengan para prajurit Mataram.

   Wanabaya turun dari kuda dan putri Pembayun turun dari kereta.

   Lalu bergandengan tangan berjalan kaki menuju Sitihinggil dikawal olth para tamtama Mangir.

   Pagelaran itu telah dipenuhi aleh para bangsawan yang mengenakan pakaian kebesaran dan memberi sambutan yang hangat.

   Datang menyambut perdana menteri Mandaraka yang oleh putri Pembayun diperkenalkan kepada suaminya, bahwa Mandaraka adalah kakek dari putri Pembayun.

   Dalam menyambut kedatangan ini Mandaraka lalu menasihatkan kepada Wanabaya 6 beristirahat63 bahwa kurang baik jika menghadap mertua harus dengan pengawalan prajurit.

   Maka para tamtama Mangir itu lalu diperintahkan tetap tinggal diluar.

   Lalu Mandaraka, Wanabaya dan isterinya meneruskan perjalanan menuju Sitihinggil.

   Ketika akan menginjakkan kaki di Sitihinggil, Mandaraka berhenti lalu katanya kepada Wanabaya .

   "Cucu, kiranya akan sangat mengejutkan ananda panembahan Senapati apabila paduka menghadapnya dengan pusaka segala. Dalam pada itu pula cucu, juga kurang layak kiranya seorang menantu menghadap ayah mertua masih diliputi kecurigaan. Bukankah penghormatan yang diberikan Mataram berhubung kedatangan paduka merupakan suatu bukti, bahwa Mataram amat gembira dengan peristiwa ini? Karena itulah cucu, apabila pusaka paduka itu dipercayakan kepada saya untuk menyimpan selama paduka menghadap ayahanda."

   Wanabaya amat terkejut mendengar permintaan perdana menteri Mandaraka itu.

   Sebab, pusaka Mangir Kyai Barukuping selama hidupnya tak pernah terpisah dari sampingnya.

   Mengapa datang ke Mataram sekarang harus diserahkan kepada orang lain? Maka jawab Wanabaya curiga.

   "Eyang (kakek) maafkan saya. Pusaka Mangir tak pernah lepas dari64 tangan saya. Mengapa sekarang harus saya tinggalkan? Apakah ayahanada masih curiga kepada saya? Jika demikian halnya sebaiknyalah saya mengurungkan maksud saya. Saya akan kembali ke Mangir."

   Mandaraka terkejut mendengar jawaban Wanabaya itu, maka cepat katanya .

   "Cucu, saya harap paduka sabar dan jangan marah. Cucu tak ada alasan sama sekali mencurigai paduka akan menghadap Panembahan. Sebab kedatangan paduka memang telah lama diharapkan. Panembahan amat gembira bahasa paduka telah menjadi menantu Mataram, Cucu. Sebenarnya apabila pusaka Mangir itu saya terima, cuma mewakili menylmpan agar aman."

   Mandaraka menatap Wanabaya berganti-ganti dengan putri Pembayun, lalu sambungnya .

   "Cucu, paduka seorang yang bijak. Saya percaya bahwa paduka juga telah menguasai nasehat yang tersebut dalam Weda yang berbunyi antara lain, bahwa seorang yang bijaksana tentu berusaha membuat hati orang lain senang, dan dengan tulus ikhlas pula berusaha untuk menghargai orang lain. Sedang tingkah laku dan tutur sapa yang sopan itu merupakan tindak utama. Dan cucu merupakan seorang bijaksana dan merajai seluruh wilayah Mangir. Saya percaya65 bahwa cucu takkan khilaf akan petunjuk dalam Weda itu. Seorang ksatria, seorang perwira dan sakti tak layaklah mudah curiga terhadap mertua yang penuh cinta dan kasih."

   Setelah bersoal-jawab sementara lama pada akhirnya Wanabaya rela menyerahkan pusaka Barukuping itu.

   Kemudian beserta isteri dan diikuti pula oleh Mandaraka memasuki sitihinggil.

   Dan demi melihat kedatangan Wanabaya sarimbit, baginda tersenyum dan melambaikan tangan sebagai isyarat agar Wanabaya sarimbit segera maju mendekat.

   Wanabaya jalan berjongkok langsung menghadap Panembahan Senapati lalu duduk bersimpuh.

   Sedang putri Pembayun langsung diterima ibu suri yang menciumi penuh kasih diiringi air mata bening menitik.

   
Putri Raja Yang Dikorbankan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Oleh Panembahan Senapati beserta ibu suri, putri Pembayun lalu masuk kedalam keraton untuk mengaso serta ikut mempersiapkan pesta setelah selesai persidangan.

   Sebenarnya senyum penembakan Senapati itu adalah senyuman berbisa.

   Di balik senyum manis dan wajah berseri, berkobarlah kemurkaan membakar dada.

   Wanabaya yang datang menghadap seorang mertua seharusnya mencium telapak kaki untuk menujukkan bakti dan kesetiaannya.

   Dan Wanabaya66 sebagai menantu yang tahu diri, maka kemudian juga beringsut maju mendekati mertua, mencium telapak kaki panembahan Senopati.

   Memang upacara inilah yang diharapkan Senopati.

   Dibawah babat yang indah dan tepat dibawah telapak kaki panembahan Senopati telah di pasang batu hitam yang amat keras.

   Maka ketika Wanabaya mencium kaki, secara cepat kedua belah tangan Senopati menangkap kepala itu lalu dibenturkan kepada batu itu dengan amat kuatnya.

   Kepala Wanabaya pecah dan darah merah berhamburan membasahi sekitarnya.

   Wanabaya menghembuskan napas yang penghabisan.

   Mereka yang menyaksikan peristiwa itu terkejut dan menjerit.

   Putri Pembayun yang mendengar peristiwa itu di dalam keraton jatuh pingsan.

   Sementara Itu Mandaraka yang menjadi otak segala tipu muslihat dan pembunuhan itu setelah menyaksikan Wanabaya terkapar di muka panembahan Senapati, dengan cepat memberi tanda kepada sekalian prajurit yang ditugaskan, untuk melucuti prajurit Mangir dan menawannya.

   Peristiwa itu berjalan amat cepat, sehingga semua prajurit pengiring dan pengawal Mangir tak tempat memberikan perlawanan.

   Semua tertangkap dan tertawan tanpa pertempuran.67 Pada akhirnya jenazah Wanabaya dirawat dengan upacara kebesaran sesuai dengan kedudukan nya sebagai menantu raja.

   Jenazah Wanabaya itu lalu dikebumikan di astana Kutagede.

   Makam Wanabaya ini terbagi menjadi dua, separo di dalam pagar tembok dan separo diluar pagar tembok Pemakaman yang demikian itu, mempunyai arti, bahwa Wanabaya diakui sebagai menantu disamping sebagai musuh Panembahan Senapati.

   ? SELESAI ?68 ISI BUKU Halaman Bab I.

   Mengemban tugas..........................................

   6 Bab II.

   Permulaan perjalanan.................................

   15 Bab III.

   Ki Wanabaya.

   .............................................

   26 Bab IV.

   Masuk perangkap.......................................

   36 Bab V.

   Penutup.......................................................

   50 ? SELESAI ? ..........................................................

   6769 Sedia buku-buku seperti contoh dibawah ini.70 Korban untuk negara dan rakyat merupakan kewajiban yang mulia.

   Sebab negara dan rakyat di atas segala-galanya.

   Dan putri ini, meskipun putri seorang Raja, demi keselamatan rakyat dan negara dikorbankan.

   Tapi bukan korban melulu korban, untuk mati sia-sia.

   Korban ini adalah suatu siasat dalam bidang politik, untuk menghindarkan peperangan dan jatuhnya korban beribu-ribu rakyat dan prajurit.

   Berarti pula menghindarkan beribu-ribu wanita menjadi janda, menghindarkan beribu-ribu kaum ibu kehilangan putranya.

   dan menghindarkan beribu-ribu kanak-kanak menjadi anak yatim piatu.

   Ijin penerbitan No.

   Pol 5 / 93 / Intel / 12 / 1965 S.I.P.

   no.

   368 /Jl.

   / 65 Typ "Dahan Lima"

   SALA71 PERNYATAAN File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan buku- buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih mediakan menjadi file digital.

   Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.

   File ini dihasilkan dari konversi file ImagePDF menjadi file gambar PNG, kemudian melalui proses OCR untuk mendapatkan file teks.

   File tersebut di edit dan dikompilasi menjadi file TextPDF.

   Credit untuk .

   ? Gunawan A.J.

   ?
Kolektor E-Book
s

   

   

   


Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long

Cari Blog Ini