Ceritasilat Novel Online

Racun Puri Iblis 1


Pendekar Cambuk Naga Racun Puri Iblis Bagian 1


RACUN PURI IBLIS 0leh Barata Penerbit Wirautama, Jakarta Cetakan Pertama, 1991 Dilarang mengutip, memproduksi Dalam bentuk apapun Tanpa ijin tertulis dari penerbit Serial Pendekar Cambuk Naga Dalam episode . Racun Puri Iblis 128 Hal.; 12 x 18 Cm.
http.//duniaabukeisel.blogspot.com CAHAYA petir berkelebat terang di angkasa, bagai hendak merobek langit.

   Disusul suara guntur bergemuruh, dan Bukit Tanah Iblis bagai bergetar.

   Hembusan angin kencang bagai menda-tangkan selaksa jarum dingin yang menembus tulang.

   Begitu mencekamnya dingin, namun tak mampu membuat seorang gadis beranjak dari puncak Bukit Tanah Iblis.

   "Sebentar lagi kita akan kehilangan matahari, Putri Ayu. Apakah tidak sebaiknya kita kembali ke pondok?"

   Seorang lelaki pendek bertubuh kekar mengajak bicara gadis asuhannya.

   Lelaki yang hanya mengenakan baju buntung seperti rompi itu tak lain adalah Ludiro.

   Sedangkan gadis berba-dan kurus yang sejak tadi berdiri tegak menatap cakrawala itu sesungguhnya adalah Putri Ayu Sekar Pamikat.

   Hanya saja, ada sesuatu hal yang membuatnya resah dan merasa janggal dengan mengaku sebagai Putri Ayu Sekar Pamikat.

   Ia sering menahan nafas di dalam dada jika seseorang mau memanggilnya Sekar Pamikat.

   Awan mendung menggulung-gulung, menaungi Bukit Tanah Iblis, yang terletak sebelah barat hutan jati, sebelum hutan itu menjadi pusat kerajaan Majapahit.

   Dari atas Bukit Tanah Iblis itu, dapat terlihat jalan berbatu yang bagai menyusuri kaki bukit.

   Sesekali mata Sekar Pamikat tertuju di jalanan itu, bagai ada sesuatu yang ditunggu-tunggu.

   Ludiro sendiri juga ikut memperhatikan jalanan berbatu cadas, sesekali menggumam, sering kali menggerutu.

   "Saya rasa mereka tidak akan lewat daerah ini, Putri."

   "Kalau kau bosan, pulanglah ke pondok lebih dulu. Biar aku sendiri yang akan menghadapi mereka, Paman Ludiro."

   Suara Sekar Pamikat begitu lem-but, namun sesungguhnya cukup menggetarkan hati Ludiro.

   Ia tahu, itu suara geram.

   Ludiro tidak beranjak pergi, melainkan justru mendekat ke tebing dan duduk di sebuah batu besar.

   Punggung Putri Ayu Sekar Pamikat tepat ada di depannya.

   Pada punggung berkulit mulus itu terlihat sebatang gagang cambuk berkepala naga.

   Cambuk berwarna hitam melingkar dalam tempat khusus yang diatur sedemikian rupa, sehingga jika ditarik gagangnya, maka cambuk itu akan meluncur deras ke suatu arah.

   Dan Putri Ayu Sekar Pamikat paling jago menggunakan senjata cambuk itu, daripada menggunakan sebilah pedang yang terselip di pinggang kirinya.

   Cambuk itu sangat tersohor di dunia persilatan, sehingga dari cambuk itulah maka Putri Ayu Sekar Pamikat mengumandangkan gelarnya sebagai Pendekar Cambuk Naga.

   Mendung kian pekat.

   Ludiro geli-sah, sebab ia paling benci dengan air hujan.

   "Bagaimana jika mereka menunda keberangkatan? Apakah kita akan langsung datang ke Kadipaten Jangga?"

   Tanya Ludiro sekedar menghalau kegelisahannya.

   "Kalau memang begitu kenyataannya, apa boleh buat, Paman Ludiro,"

   Jawab Sekar Pamikat tanpa berpaling ke arah Ludiro. Ia tak tahu kalau Ludiro saat itu mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju dan mengerti betul apa yang menjadi rencana Sekar Pamikat.

   "Lalu, apakah Raden Praja, putra Adipati Jangga itu harus kita bunuh sekalian? Bukankah ia tidak tahu permasalahan yang sebenarnya?"

   Kali ini, Sekar Pamikat berpaling memandang Ludiro.

   "Aku tidak pernah menyuruh Paman untuk membunuh Raden Praja. Aku hanya bermaksud menjelaskan kepadanya siapa sebenarnya Nawang Puri itu. Aku hanya ingin menyarankan agar Raden Praja membatalkan perkawinannya dengan Nawang Puri. Jika Raden Praja menolak saranku, baru aku akan membunuhnya, Paman."

   "Dan itu berarti kita akan berhadapan dengan orang Kadipaten Jangga, Putri Ayu."

   "Apakah kau gentar, Paman Ludiro?"

   Bisik Sekar Pamikat. Ludiro gelisah, bingung memberi jawaban. Ia hanya menggeleng dan membuang pandangan matanya ke arah lain. Pada saat itulah tiba-tiba ia berteriak.

   "Awasss...!"

   Sebatang anak panah melesat menuju arah mereka.

   Ludiro menggulingkan tubuhnya ke arah samping, dan kepalanya sempat terbentur batu sehingga lecet dan memar.

   Matanya mulai tegang, membelalak memandang Sekar Pamikat yang masih berdiri dengan tenang.

   Lebih terheran-heran lagi bagi Ludiro, ia melihat anak panah itu berada dalam genggaman Sekar Pamikat.

   "Putri...! Awas...!"

   Ludiro memekik melihat sebatang anak panah melesat Lagi dan kali ini menuju punggung Sekar Pamikat.

   Sekar Pamikat masih berdiri memandang Ludiro.

   Namun tangan kirinya dengan gesit menyambut luncuran anak panah yang nyaris menembus punggungnya.

   Anak panah itu berhasil ditangkap kendati ia tidak melihat ke arah datangnya benda kecil itu.

   Ia membalikkan tubuh, memandang kearah datangnya anak panah itu.

   Tepat pada saat ia berbalik, ia disambut oleh tiga anak panah yang meluncur sekaligus.

   Lalu tiga menyusul lagi, dan tiga lagi menyusul beruntun.

   "Hiaaatt...!"

   Sekar Pamikat meloncat kesamping sambil bersalto melingkar. Pada kesempatan itu, sebilah pedang berkelebat dari pinggang Sekar Pamikat, lalu terdengarlah bunyi.

   "krak, krak, krak..,"

   Secara beruntun. Ketika Sekar Pamikat berdiri kembali dengan tegak di atas sebuah batu besar yang datar, ia melihat anak panah itu telah patah semua. Teriris rapi bagai sebuah timun terpotong.

   "Mereka ada di bawah!"

   Seru Sekar Pamikat.

   Lalu tanpa menunggu komando lebih lanjut, Ludiro melayang berjumpalitan menuruni lereng bukit.

   Setibanya di bawah ia disambut oleh sebatang tombak yang nyaris menancap di ubun-ubunnya.

   Ia berkelit seraya membuang pisau kecil dari balik ikat pinggangnya.

   "Wess...!"

   Pisau itu menerjang rerumputan tinggi, menembus terus ke satu arah dan menancap di dada seorang lelaki yang bersembunyi di sana.

   "Aaaakh...!"

   Lelaki itu memekik, lalu rubuh.

   Ludiro hendak memeriksa di balik rerumputan itu, namun tiba-tiba sebuah serangan meluncur dari samping kirinya.

   Ten-dangan itu begitu kuatnya sehingga ketika rahang Ludiro terkena, ia terpelanting ke kanan dan jatuh tersungkur.

   Dua orang berpakaian kembar itu menerjang dengan tombak mereka.

   Nyaris mengenai tubuh Ludiro jika ia tidak segera berguling-guling ke tempat lain.

   Tombak mereka menancap di tanah.

   Ludiro bergegas bangkit dan melayangkan jurus tendangan ganda yang diberinya nama.

   jurus Tendangan Dewa.

   "Bangsat kalian...!"

   Pekik Ludiro setelah kedua lawannya terhuyung-huyung ke belakang sambil memekik kesakitan.

   Pada saat itu, Ludiro hendak menyerang lagi, tapi sebilah pedang menebas arah kepalanya sehingga Ludiro merunduk lalu berguling ke arah kaki lawan.

   Dengan suatu hentakan keras, kaki Ludiro menendang alat vital salah seorang dari kedua lawannya itu.

   Orang tersebut menjerit kuat-kuat, pedang di tangannya terlepas.

   Ludiro tak mau menunggu lawan yang satunya membabat habis tubuhnya, ia segera berdiri dan menghentakkan kakinya di leher orang yang kesakitan pada alat vitalnya.

   Ludiro tetap menekan leher orang tersebut dengan sebelah kaki ketika musuh yang satu lagi menyerangnya dengan sebilah pedang yang serupa dengan pedang milik temannya.

   Ludiro nyaris robek dadanya oleh pedang itu.

   Hanya sebuah goresan tipis yang membekas di dada Ludiro.

   Untung ia segera mengandalkan jurus Pukulan Hati Dewa, sehingga orang tersebut terpental ke belakang, kepalanya membentur pohon.

   Kaki Ludiro yang menekan leher musuhnya dilepaskan, sebab orang itu telah berhenti menggelepar-gelepar dan mati tanpa basa-basi lagi.

   Ludiro segera menghampiri musuhnya yang sedang keliyengan itu.

   "Setan mana kau sebenarnya?! Apa perlunya mengganggu kami, ha?.'"

   Bentak Ludiro.

   Orang itu tidak menjawab, namun bahkan melambung ke udara seraya mengayunkan pedangnya berkali-kali.

   Kecepatan ayunan pedang begitu mengagetkan Ludiro sehingga ia buru-buru berguling ke tanah.

   Ketika ia bangkit lagi, ia sudah menemukan kekuatan dan kesadarannya.

   Namun orang bertubuh kekar tadi telah melarikan diri.

   Langkah larinya begitu cepat dan mengagumkan hati Ludiro.

   Walau begitu, ia tetap berusaha untuk mengejarnya melalui arah lain.

   Ia yakin dapat mencegat orang tersebut.

   Dan betul juga dugaannya, ia berhasil memotong jalan sehingga lebih cepat berada di jalan depan orang itu.

   Namun ia terpaksa menggerutu tak jelas, sebab ia melihat Sekar Pamikat sudah berdiri menghadang orang tersebut.

   Ludiro sendiri melihat betapa beraninya orang itu, menyerang Sekar Pamikat dengan sebilah pedang.

   Tapi agaknya Sekar Pamikat tidak memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk menyerang kedua kalinya.

   "Sreet...!"

   Sekar Pamikat mencabut pedangnya.

   Sekelebat.

   Cepat.

   Musuhnya tak sempat terkejut ketika tahu-tahu dadanya robek dan jantung nya pun terbelah menjadi dua bagian oleh ujung pedang Sekar Pamikat.

   Maka orang itu pun rubuh tanpa sungkan-sungkan lagi.

   Mati tanpa berkelojot.

   Sekar Pamikat dengan tenang menyarungkan pedangnya yang bernama Pedang Jalakpati.

   Tubuhnya yang kurus dengan pakaian bergaya dodotan sebatas dada, dibiarkan dihembus angin pembawa embun hujan.

   Ludiro mendekatinya dengan langkah-langkah kecewa.

   "Maaf, Paman... terpaksa aku percepat masalah ini."

   "Itu sama saja menganggap saya tidak mampu mengalahkan orang itu, Putri,"

   Ludiro berbicara bagai orang menggerutu. Ia masih memandangi mayat musuhnya.

   "Bukan soal tidak mampu, tapi lebih cepat lebih baik. Sebab sebentar lagi daerah ini akan dilalui rombongan Raden Praja yang akan berembuk soal perkawinannya dengan Nawang Puri"

   "Dari mana Putri tahu kalau sebentar lagi mereka akan lewat?"

   Ludiro berkerut dahi.

   "Paman tidak mengenali ketiga orang itu?"

   Ludiro memperhatikan mayat yang masih terkapar tak jauh dari kaki Sekar Pamikat.

   "Apakah orang ini ada hubungannya dengan Raden Praja?"

   "Ya,"

   Jawab Sekar Pamikat sambil melangkah.

   "Mereka adalah prajurit Kadipaten Jangga. Mereka prajurit pengintai. Merekalah yang berjalan paling depan dari rombongan Kadipaten, tugasnya menyelidiki tempat yang akan dilalui kerabat dan keluarga Kadipaten. Dan kurasa mereka telah mendengarkan pembicaraan kita di atas tadi, Paman. Sebab itulah mereka ingin membunuh kita."

   Ludiro manggut-manggut, mengelus cambangnya yang tipis. Ia menggumam lirih.

   "Hemm... rupanya mereka pengawal depan dari rombongan Kadipaten..."

   Guruh menggelegar di angkasa, namun hujan belum juga turun.

   Sekar Pamikat duduk di sebuah batu, di balik cadas besar yang layak sebagai tempat persembunyian.

   Ludiro yang bertugas mengawal keselamatan Sekar Pamikat, kali ini sengaja berlindung di sebuah batu cadas, di seberang jalan.

   Suara langkah kaki kuda berderap-derap di kejauhan.

   Roda kereta bergeretak samar-samar.

   Itu pertanda rombongan dari Kadipaten Jangga sedang menuju ke arah Lembah Bukit Tanah Iblis.

   Sekar Pamikat dan Ludiro semakin bersiaga dari tempatnya masing-masing.

   Derap kaki kuda semakin jelas.

   Debu beterbangan berbaur dengan kelembaban embun hujan.

   Sekar Pamikat memberi isyarat kepada Ludiro, dan beberapa detik kemudian Ludiro keluar dari tempat persembunyiannya, ia berdiri menghadang derap-derap kaki kuda.

   Dua penunggang kuda paling depan segera menarik tali kekang kuda.

   Dalam jarak kurang lebih 50 meter rombongan itu berhenti.

   Ranggowo dan Darmala turun dari punggung kuda, namun mereka tidak mendekat.

   Ranggowo berbicara kepada ketiga penunggang kuda yang berada di belakangnya.

   "Katakan kepada Raden, ada penghalang yang mau cari mampus. Biar kuhadapi dulu bersama Darmala!"

   "Hati-hati, Kakang Ranggowo,"

   Ujar penunggang kuda yang bertugas menghubungi kereta berkuda empat itu. Ludiro mendekat, menampakkan sikapnya yang tidak bermusuhan. Suaranya cukup tegas kendati disertai dengan senyum sedikit hambar.

   "Maaf, saya terpaksa mengganggu perjalanan Tuan-tuan."

   Tanpa bicara sepatah kata pun, Darmala yang berkumis lebat itu langsung melancarkan pukulan ke arah Ludiro.

   "Heaaat...!!"

   "Wuss... wus..."

   Ludiro menghindari pukulan itu dengan sedikit menggeragap. Ia tak sempat berpikir akan datang serangan secara tiba-tiba. Darmala dan Ranggowo mengepung Ludiro dengan jurus-jurus yang siap dilancarkan.

   "Tunggu, Tuan-tuan...! Tahan emosi Anda!"

   Ludiro mengingatkan. Namun ia sendiri bersiap mengambil jurus untuk menanggulangi serangan dari kedua orang Kadipaten Jangga itu. Agaknya Darmala lebih bernafsu untuk membunuh ketimbang Ranggowo yang botak dan bercambang lebat itu.

   "Apa perlumu menghadang perjalanan kami, hah?!"

   Bentak Ranggowo dengan matanya yang nanar.

   "Saya ingin bertemu dengan Raden Praja. Ada pesan yang harus saya sampaikan kepada beliau."

   "Ciih...! Puih...!"

   Darmala meludah kasar. Setelah menggeram dan memandang penuh selidik kepada Ludiro, Ranggowo pun bertanya lagi.

   "Apakah kamu termasuk rakyat Kadipaten Jangga?"

   "Bukan. Saya tinggal di luar wilayah Kadipaten."

   "Hemm... jadi kau harus melangkahi mayat kami berdua jika ingin bertemu Raden Praja,"

   Geram Ranggowo. Ludiro mengendurkan urat-uratnya yang sudah menegang. Ia jadi lebih tenang dari semula. Sementara itu, delapan orang penunggang kuda lainnya telah mengelilingi mereka, membuat suatu lingkaran yang siap mematikan Ludiro.

   "Saya punya maksud baik,"

   Kata Ludiro dengan tenang.

   "Alangkah sayangnya jika maksud baik ini harus disertai dengan darah korban tak berdosa."

   "Dalam setiap kebaikan memerlukan pengorbanan. Itu wajar,"

   Ranggowo mencoba berkilah.

   "Memang. Tapi tidak semua niat baik harus membutuhkan korban nyawa. Sayangilah nyawa Tuan-tuan. Jangan mau mati karena kepicikan dan kesalah pahaman."

   "Orang ini terlalu banyak bacot, Kakang Ranggowo!"

   Geram Darmala.

   "Serang dia!"

   Perintah Darmala sudah merupakan suatu rumusan bagi prajurit Kadipaten.

   Tiga orang penunggang kuda yang berada di posisi belakang Ludiro segera menghunjam tombak mereka secara bersamaan.

   Hal itu terjadi tepat pada saat Darmala memekikkan semangat untuk menyerang.

   Hampir saja perhatian Ludiro terpusat pada gerakan Darmala itu.

   Untung kewaspadaan Ludiro begitu tinggi, sehingga dengan sekali lompatan ketiga tombak itu dapat dihindari.

   Begitu kakinya menyentuh tanah, Ludiro disambut oleh suatu pukulan hebat bertenaga inti.

   Darmala itulah orangnya yang menyerang, dan membuat Ludiro terguling-guling.

   Belum sempat ia bangkit, kaki Ranggowo nyaris menginjak batang lehernya.

   Dengan cekatan Ludiro menangkap kaki kokoh itu, kemudian ia berputar cepat sambil mengayunkan kakinya ke atas.

   Tendangan Dewa Mimpi dilancarkan bagai sebuah sapuan angin.

   Tendangan itu masuk ke perut Ranggowo sehingga lelaki botak bercambang lebat itu terpental ke belakang beberapa meter.

   Ia jatuh menerjang tubuh Darmala yang hendak melancarkan serangannya.

   Ludiro bergegas berdiri.

   Ekor matanya sempat menangkap dua orang penunggang kuda sedang membidikkan anak panah ke arahnya.

   Dengan gerakan yang tak terlihat oleh mata manusia, Ludiro melemparkan dua bilah pisau kecil yang menjadi senjatanya selama ini.

   Kedua pisau itu menancap di mata musuhnya, yang satu lagi tepat di tenggorokan pemanah sebelahnya.

   Kedua pemanah itu menjerit histeris dan rubuh dari punggung kuda.

   Darmala dan Ranggowo mengambil posisi, lalu siap melancarkan jurus andalan mereka, yaitu jurus Tapak Darah Harimau Kembar.

   "Hiaaaattt...!!"

   Ludiro sigap.

   Ia meletik bagai belalang dan berguling di udara, melancarkan jurus Tendangan Dewanya dengan pekik yang tak kalah keras dari suara Darmala dan Ranggowo.

   Kedua pengawal depan Kadipaten itu terpental, pecah kedua arah.

   Mulut Darmala menyemburkan darah kental.

   Sedangkan Ranggowo mengucurkan darah dari telinganya yang kiri.

   "Seraaang...!!"

   Teriak salah seorang penunggang kuda. Seketika itu kuda mereka bergerak mendekat! Ludiro. Tombak dan pedang teracung, siap mencabik-cabik tubuh Ludiro yang tengah berdiri tegak menantang maut.

   "Hentikaaan...!!"

   Sebuah teriakan berhasil membuat prajurit-prajurit Kadipaten membatalkan serangannya.

   Mereka menjauh, lingkaran menjadi lebih lebar lagi.

   Darmala dan Ranggowo berdiri dengan masih sempoyongan.

   Semua mata tertuju pada kereta bangsawan berkuda empat.

   Mereka begitu patuh terhadap suara tadi.

   Ludiro pun ikut memandang kereta tersebut.

   Dari kereta berpintu rapat, yang terbuat dari kayu berukir dilapisi perak, turunlah seorang lelaki yang mengenakan pakaian kebangsawanan.

   Tinggi, tegap dan mencerminkan wibawa yang cukup menggetarkan hati.

   Dari balik tempat persembunyian-nya, Sekar Pamikat menggumam dan berdecak sendiri.

   Matanya tak berkedip memandang lelaki bangsawan yang turun dari keretanya itu.

   "Oh, itu rupanya yang bernama Raden Praja. Hemm... pantas Nawang Puri tidak menolak cintanya, dia... oh, laki-laki itu memang tampan dan sangat mempesona. Alangkah sayangnya jika ia harus beristri perempuan seperti Nawang Puri. Alangkah bodohnya Raden Praja jika ia benar-benar bertekuk lutut dihadapan Nawang Puri."

   Raden Praja mendekati Ludiro dengan langkah-langkah pelan.

   Matanya memandang lembut tak berkedip, penuh selidik.

   Ludiro yakin betul, orang yang di hadapannya itu sungguh seorang anak Adipati.

   Sebab itu ia membungkuk, sekedar memberi hormat selayaknya.

   "Apa perlumu menghentikan perja-lananku, Ki sanak?"

   "Ada pesan yang harus saya sampaikan kepada Raden,"

   Jawab Ludiro dengan sopan.

   "Pesan dari siapa?"

   "Dari..."

   Jawaban Ludiro ter-potong oleh suara.

   "Dari aku!"

   Semua mata berpaling, memandang sosok perempuan kurus berwajah layu.

   Hidungnya tak begitu mancung dan bulu matanya sangat tipis.

   Ada sebuah codet di dekat matanya yang kiri.

   Meski codet bekas luka yang kecil, namun sangat mempengaruhi wajahnya.

   Ia tak memiliki daya tarik sama sekali.

   Hanya rasa keingintahuan mereka yang membuat ia dipandang oleh sekian banyak mata lelaki.

   Dialah Putri Ayu Sekar Pamikat.

   Ia berjalan lebih mendekat, bahkan masuk dalam lingkaran pasukan berkuda, dan berhadap-hadapan langsung dengan Raden Praja.

   Putra Adipati itu menggumam dan memandang sinis pada Sekar Pamikat.

   Di ujung gumamnya ia bertanya.

   "Apa yang kau inginkan, dan siapa kau sebenarnya?"

   Sekar Pamikat tahu, ia tidak menarik di mata pria. Ia merasa dipandang jijik oleh Raden Praja. Namun kesedihan hatinya itu ditekannya kuat-kuat. Ia berusaha untuk berbicara sejelas-jelasnya.

   "Saya mohon... Raden mau membatalkan perkawinannya dengan Nawang Puri."

   Suara Sekar Pamikat membuat Raden Praja terperanjat dan berpaling memandangnya. Kata Raden Praja.

   "Kau bicara apa sebenarnya? Siapa yang mau menikah dengan perempuan yang kau sebutkan itu?"

   Sekar Pamikat saling berpandangan dengan Ludiro. Lalu Ludiro memberani-kan diri bertanya.

   "Bukankah Raden ingin memperistri Nawang Puri?"

   "Siapa bilang?!"

   Raden Praja berkerut dahi semakin tajam. Sambungnya lagi.

   "Saya akan mengawini seorang putri cantik, tapi bukan Nawang Puri. Melainkan... Sekar Pamikat!"

   Sekar Pamikat dan Ludiro sama-sama terperanjat. Mereka tampak kebingungan, sebab itu Raden Praja menjelaskan lagi.

   "Calon istriku bernama Putri Ayu Sekar Pamikat. Bukan Nawang...? Nawang Puri, seperti yang kalian duga."

   Sekar Pamikat masih terpana. Kesedihan mulai tergambar jelas di wajahnya. Ludiro menelan ludah beberapa kali, mencari ketenangan.

   "Kamu siapa?"

   Raden Praja bertanya sinis.

   "Saya... sayalah Sekar Pamikat, sebenarnya,"

   Jawab Sekar Pamikat dengan ragu. Dan Raden Praja tertawa dingin. Kemudian para prajurit Kadipaten itu ikut menertawakan dirinya juga. Geram dan dendam membakar hati Sekar Pamikat.

   "Dasar pengacau! Bunuh saja mereka, Raden!"

   Teriak Darmala yang ada di belakang Sekar Pamikat.

   "Sudah wajahnya memuakkan, berlagak tahu lagi! Huhhh...!"

   "Kau mengigau,"

   Ujar Raden Praja yang mulai menjauh.

   "Sekar Pamikat berwajah cantik, lemah lembut dan sangat menggairahkan. Ia mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi. Dan ia pula yang bergelar Pendekar Cambuk Naga. Ia yang menolong keluargaku dari ancaman perampok gunung Sewu."

   Terdengar suara Darmala membakar hati.

   "Orang ini memang hanya mengacau saja! Bunuh dia!"

   Sejumlah tombak menghunjam ke arah Sekar Pamikat dan Ludiro.

   Dengan gesit Ludiro menghindar, sedangkan Sekar Pamikat menyambut tombak-tombak itu dengan kibasan cambuk naga.

   Tombak-tombak itu patah menjadi serpihan kayu dan besi.

   Raden Praja sempat tertegun memandang kilatan cambuk yang mengeluarkan warna biru.

   "Seraaang...!"

   Seru Darmala. Sejumlah prajurit turun dari kuda dan menghambur menyerang Sekar Pamikat dan Ludiro. Namun Sekar Pamikat melompat keluar dari kepungan dan menghantamkan cambuknya dengan jurus Naga Penjilat Nyawa.

   "Tar... tar... tar..."

   Prajurit Kadipaten itu menjerit ketika tenaga yang keluar dari ujung cambuk menghantam mereka.

   Yang kepalanya pecah, tak sempat menjerit, namun yang dadanya bolong sempat memekik kesakitan lalu meregang, dan mati tak berkutik lagi.

   Sementara itu Darmala dan Ranggowo maju bersamaan, mengkombinasikan jurus Cakar Harimau dipadukan dengan jurus Elang Berbisa.

   Namun sebelum keduanya menyentuh tubuh Sekar Pamikat, cambuk naga telah menyambutnya lebih dulu.

   "Tar... Tar..."

   Darmala melengking tinggi karena sebelah kakinya terpotong sebatas lutut, sementara itu Ranggowo pun melengkingkan suara kesakitannya karena tangan kirinya buntung seketika.

   Pada saat itu ada seorang prajurit yang hendak membokong Sekar Pamikat dari belakang.

   Namun Ludiro lebih dulu melemparkan senjata kecilnya mata pisau yang tajam dan beracun.

   Senjata itu tepat menancap di pelipis Si Pembokong.

   Menjeritlah orang itu dan berguling-gulinglah ia menahan kesakitan yang membuat jiwanya tak dapat tertolong lagi.

   Sekar Pamikat tak sempat memperhatikan orang itu, karena sebuah cambuk rantai berduri sedang menghantamnya dari tangan Darmala.

   Lelaki itu mencoba menyerang dalam posisi duduk dan menahan rasa sakit pada kakinya yang terpotong.

   Tetapi Sekar Pamikat sempat menghindari serangan cambuk rantai berduri itu.

   Cambuk naganya meluncur dan membelit pada rantai berduri, Dengan sekali sabet, tali rantai itu putus menjadi beberapa bagian.

   "Hentikan...! Hentikan semua ini!!"

   Teriak Raden Praja. Prajurit Kadipaten tak ada yang menyerang. Mereka tinggal empat orang; dua prajurit, Darmala dan Ranggowo. Darah membasahi di beberapa tempat. Raden Praja memandang mayat-mayat Prajuritnya dengan rasa prihatin.

   "Benarkah kau yang bernama Putri Ayu Sekar Pamikat? Yang bergelar Dewi Cambuk Naga itu?"

   Tanya Praja.

   Sekar Pamikat belum sempat men-jawab, tiba-tiba Raden Praja menjerit kesakitan dengan mata terbelalak.

   Sebuah pisau kecil telah menancap di punggungnya, dan ia pun rubuh.

   Hal ini sangat mengejutkan Ludiro dan Sekar Pamikat, juga yang lainnya.

   Raden Praja menggelepar sebentar, kemudian menghembuskan nafas terakhir.

   Suasana semakin tegang, Ludiro sempat berteriak.

   "Siapa yang telah membunuhnya?!" * * * SEJENGKAL penyesalan masih menye-kat di hati Sekar Pamikat. Hal itu membuatnya tidak berselera menyantap makanan yang telah dihidangkan oleh pemilik kedai. Belakangan ini Ludiro memang lebih sering menemukan Sekar Pamikat sedang melamun, daripada berlatih seperti biasanya. Bahkan di kedai itu pun, Ludiro dapat mengetahui bahwa Sekar Pamikat sedang dalam keadaan menerawang pikirannya.

   "Berapa lama lagi saya harus menunggu Putri Ayu selesai makan?"

   Tanya Ludiro memancing pembicaraan.

   Sekar Pamikat hanya menghela nafas.

   Ia tidak berpaling memandang Ludiro, melainkan hanya memandang lurus pada permukaan meja.

   Ludiro meraih guci tuak, dan menenggaknya beberapa kali.

   Ia telah kenyang, dan badannya kembali segar bergairah setelah seharian penuh ia tidak menemukan makanan yang mengenyangkan perut.

   "Kita jadi mencari penginapan, Putri?"

   Pancing Ludiro lagi.

   Sekar Pamikat hanya mengangguk.

   Sebenarnya Ludiro tahu apa yang sedang dipikirkan oleh momongannya itu.

   Sudah berulangkali Ludiro menyarankan agar Putri Ayu Sekar Pamikat melupakan soal Raden Praja.

   Tapi agaknya gadis itu belum dapat mengikuti sarannya.

   Ini sangat membahayakan jiwa Sekar Pamikat, menurut Ludiro.

   Sebab itu, ia harus tak bosan-bosannya mengalihkan perhatian atau memberinya saran agar Pendekar Cambuk Naga itu melupakan peristiwa di lembah bukit Tanah Iblis itu.

   "Menurut saya, penyesalan itu adalah suatu kesia-siaan belaka, Putri. Hanya orang bodoh yang lemah jiwanya yang mau melakukan penyesalan sampai berlarut-larut begini."

   Barangkali tak tahan menghadapi ketekunan Ludiro dalam mengajaknya bicara, akhirnya Sekar Pamikat pun menyahutnya.

   "Aku bukan menyesal, melainkan penasaran."

   "Penasaran dengan... dengan ketampanan Raden Praja?"

   Sekar Pamikat mendesis pertanda menyepelekan pendapat itu. Ludiro menenggak tuaknya lagi. Waktu itu, Sekar Pamikat berbicara pelan, sepertinya ditujukan pada diri sendiri.

   "Mengapa waktu itu aku tidak memberi penjelasan yang sebenarnya kepada Raden Praja, atau kepada para pengawalnya itu? Mengapa waktu itu...terburu nafsu mengejar sesosok bayangan di atas bukit, yang diperkirakan sebagai pembunuh gelap Raden Praja?"

   "Kita memang terburu nafsu, memang,"

   Kata Ludiro.

   "Tetapi kematian Raden Praja itu bukan lantaran kekejaman kita, toh? Kita tidak menyerang ataupun..."

   "Tapi senjata yang dipakai membunuhnya itu, Paman!"

   Sahut Sekar Pamikat dengan geram.

   "Mengapa senjata itu serupa betul dengan senjata andalanmu. Mata Pisau Beracun?!"

   Ludiro tertegun. Sekar Pamikat bagai menggumam.

   "Aku yakin, orang-orang Kadipaten Jangga yang berhasil membawa pulang mayat Raden Praja itu akan beranggapan bahwa kematiannya itu sangat berkaitan dengan kita. Mereka akan menyelidiki mata pisau beracun yang ada pada punggung Raden Praja. Mereka akan bersepakat mengatakan bahwa senjata itu sama persis dengan senjata yang menancap pada tubuh korban lainnya, yang memang kau bunuh dengan senjata andalanmu itu."

   "Sejauh itukah mereka akan berpendapat?"

   "Tentu,"

   Jawab Sekar Pamikat cepat.

   "Kita pergi dengan maksud mengejar sosok bayangan yang kita perkirakan sebagai pembunuh Raden Praja. Kita pergi sampai lama melakukan pengejaran tanpa hasil. Dan ketika kembali, orang-orang Kadipaten Jangga yang selamat maupun yang tewas oleh tangan kita telah tiada. Hilang. Dan tentu mereka melapor kepada Adipati Jangga, bahwa kitalah pembunuh Raden Praja."

   Sekar Pamikat mendesah panjang, bernada kesal. Ia berkata lirih.

   "Hahh...?! Menjengkelkan sekali masalah ini. Kita telah dianggap menantang orang-orang Kadipaten Jangga. Padahal kita sebelumnya tidak mempunyai sangkut paut apapun dengan Kadipaten itu."

   "Sebenarnya..."

   Ludiro tak-jadi melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba mereka mendengar sebuah siulan panjang yang aneh..

   Siulan itu semakin lama semakin melengking.

   Bangku, meja dan lain-lainnya mulai bergetar bagai digoncang gempa kecil.

   Jelas siulan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi.

   Dan Sekar Pamikat mengetahui, siapa pemilik siulan itu.

   Seorang lelaki tua berambut panjang dan berwarna putih muncul dari sisi lain.

   Ia duduk di bangku bagian depan kedai, dekat dengan pintu masuk.

   Ia tertawa terkekeh kepada orang yang ada di sebelahnya.

   Dari pakaiannya yang sangat sederhana dan kantong kulit yang digembolnya, pemilik kedai sudah tahu siapa laki-laki tua itu.

   Pemilik kedai segera menyambut dengan ramah dan sopan.

   "Selamat siang Pendekar Burung Bangkai..."

   "Hei, Sakrosan...?! He, he, he... kukira anakmu yang akan menyambutku,"

   Ujar Pendekar Burung Bangkai yang tersohor dengan ilmu siulnya di rimba persilatan.

   "Mana dia anakmu. Pambayun? Sudah besarkah dia?"

   "Dia sedang bermain dengan teman-temannya, Pendekar Burung Bangkai. Dia dalam keadaan sehat. Sejak dia sembuh, bisa berjalan karena bantuan Anda, ia jadi nakal. Jarang membantu kami dan lebih sering bermain dengan teman-temannya di sungai,"

   Pendekar Burung Bangkai itu terkekeh lagi.

   "Biarkanlah ia. Yang dibutuhkan adalah kebebasan dan kasih sayang. Aku tahu, hatinya masih terkesan oleh kesembuhan kakinya. Selagi ia bisa berjalan, tentu ia ingin berlari. Itulah salah satu sifat manusia yang dirintisnya sejak kecil."

   Pemilik kedai tertawa kecil.

   "Anda pasti membutuhkan arak Jariwangi, bukan?"

   "He, he, he... kamu benar-benar manusia cerdas di dalam kebodohahmu, Sakrosan. Arak Jatiwangi memang bermutu tinggi, mudah memabokkan, tapi kau tetap saja menyuguhkannya untukku, sebab kamu tahu kalau aku selalu membutuhkannya."

   Pendekar Burung Bangkai terkekeh lagi.

   Namun kali ini Sakrosan pun ikut terkekeh walau sambil pergi menyiapkan arak kesukaan lelaki tua berambut uban itu.

   Ludiro dan Sekar Pamikat memper-hatikan secara sembunyi-sembunyi.

   Mereka hanya berbisik-bisik sambil berusaha menghindari tatapan mata Pendekar Burung Bangkai.

   Ludiro berkata lirih.

   "Eyang Gati..."

   "Ya. Aku tahu. Tapi aku tak berani menemuinya."

   "Mengapa, Putri?"

   "Ia akan marah kepadaku, karena pasti ia telah dibayar oleh Adipati Jangga untuk menangkap aku. Dan ia juga tidak akan percaya kalau aku ini sebenarnya Sekar Pamikat."

   Meskipun Sudah cukup umur, namun suara Eyang Gati alias Pendekar Burung Bangkai itu masih cukup lantang. Ia berseru kepada Sakrosan, pemilik kedai.

   "San, sebentar lagi aku akan mendapat rezeki yang cukup untuk melebarkan kedaimu ini."

   "O, ya...? Rezeki dari mana itu?"

   Sakrosan juga berseru dari tempatnya.

   "Hadiah dari Kanjeng Adipati Jangga. Lima ratus keping uang emas akan kuterima, jika aku berhasil menemukan pembunuh Putra sulungnya."

   "Astaga...!"

   Sakrosan terbelalak, juga para pengunjung kedai yang lainnya. Hampir setiap orang yang mendengar suara Pendekar Burung Bangkai itu menjadi tegang dan memusatkan pandangan matanya ke arah lelaki tua itu.

   "Jadi, putra Sulung Kanjeng Adipati Jangga ada yang membunuhnya?"

   "Ya. Dibunuh dengan curang,"

   Ujar Eyang Gati.

   "Sebuah mata pisau beracun dilemparkan dari tempat persembunyian. Dan pelakunya adalah kawanan rampok kelas teri yang dipimpin oleh seorang perempuan murahan. Perempuan itu telah mengaku bernama Sekar Pamikat. Padahal aku tahu betul siapa gadis yang bernama Sekar Pamikat itu. Ia putri bekas seorang Patih di Kepatihan Anjar Puspa. Aku kenal baik dengannya, dan aku tahu prilakunya yang tak mungkin dapat bertindak sekeji itu..."

   Pendekar Burung Bangkai meneguk tuaknya dan mendesah keras, menandakan dia amat puas dengan tuak Jatiwangi.

   "Aku yakin, San..."

   Sambungnya lagi.

   "Perempuan yang mengaku Sekar Pamikat itu hanya perempuan murahan yang haus harta dan kepuasan seorang lelaki. Nanti, San... kalau aku sudah berhasil memboyong kepala perempuan jalang itu ke hadapan Adipati Jangga, dan hadiahnya sudah kuterima, kedaimu ini akan kusumbangi modal untuk memperlebar dan menambah daganganmu, San..."

   Ia meneguk tuak lagi ketika Sakrosan tertawa girang. Setelah meneguk tuak, ia berkata lagi.

   "Katanya... perempuan itu bersedia adu tanding dengan Adipati Jangga. He, he, he... Bagaimana dia akan berani adu tanding dengan Sang Adipati, jika melawanku saja ia harus mengalami sekarat selama tujuh hari tujuh malam. Betul kan, San?!"

   "Betul...! Betul sekali pendapat Anda itu...!"

   Sekar Pamikat berbisik.

   "Apakah paman Ludiro pernah menantang adu tanding dengan Kanjeng Adipati?"

   Ludiro yang bertubuh kecil namun kelihatan kekar itu hanya menggeleng. Mulutnya masih terbengong dan keresahan terlihat jelas di wajahnya.

   "Aku sendiri tidak pernah mengatakan demikian."

   "Itu cuma fitnah, Putri Ayu. Fitnah itu memang lebih kejam dari pada tidak difitnah..."

   "Ssstt... siapa orang yang berdiri di ambang pintu itu?"

   Bisik Sekar Pamikat sambil matanya memandang ke arah orang yang dimaksud.

   Orang itu masih bisa dikatakan muda.

   Ia menyandang sebilah pedang di punggungnya.

   Badannya terlihat kekar, rambutnya panjang, diikat dengan kulit macan tutul.

   Ia mengenakan baju rompi dari kulit beruang, demikian juga dengan celananya.

   Namun ikat ping-gangnya itu terbuat dari kulit buaya.

   Cukup tebal dan lebar.

   Sepanjang ingatan Sekar Pamikat, ia belum pernah bertemu dengan pemuda itu.

   Juga menurut Ludiro, pemuda itu masih asing di dunia persilatan.

   Jadi kesimpulan mereka, dia adalah pen-datang asing dari perguruan yang jauh entah di sudut bumi sebelah mana.

   Pemuda itu bertanya kepada lelaki yang duduk di seberang Pendekar Burung Bangkai.

   "Maaf, Paman... boleh saya bertanya, ini daerah mana?"

   Yang ditanya meneliti sebentar, kemudian baru menjawab dengan ragu.

   "Ini Kabupaten Abangan. Anda orang mana? Pendatang dari mana?"

   "Saya dari Pesanggrahan Cendana Manik..."

   "Silakan duduk, Tuan..."

   Sakrosan melayani.

   "Hemm... terima kasih, Pak. Saya hanya ingin bertanya di mana arah Kadipaten Jangga itu?"

   Hampir semua mata tertuju kepadanya, kecuali Pendekar Burung Bangkai dan Sekar Pamikat yang berlagak tidak tertarik dengan kemunculan pemuda itu.

   "Anda ingin datang ke Kadipaten Jangga?"

   "Benar, Pak. Saya ada undangan khusus dari Raden Praja untuk..."

   Tiba-tiba suaranya terhenti oleh celetukan Pendekar Burung Bangkai.

   "Raden Praja telah tewas!"

   Pendekar tua berkulit hitam itu memandang sinis kepada pemuda tersebut.

   "Kau tak perlu datang ke Kadipaten Jangga."

   Pemuda itu tertegun beberapa saat, lalu berkata.

   "Benarkah Raden Praja telah tewas?"

   "Ya, benar!"

   Jawab Pendekar Burung Bangkai dengan tegas.

   "Mau apa kamu?"

   "Kalau begitu, tolong berikan arah letak Kadipaten itu. Saya harus segera ke sana untuk..."

   "Untuk mengetahui pembunuhnya? Mencoba menangkap pembunuhnya?"

   Sahut Pendekar Burung Bangkai. Ia tersenyum sinis.

   "Itu tidak perlu. Sayalah yang mendapat tugas menangkap pembunuh Raden Praja! Sayalah yang berhak mendapatkan hadiahnya itu."

   "Saya tidak mengejar hadiah. Saya hanya ingin..."

   "Jangan banyak mulut! Pulang ke tempat asalmu sana!"

   Pendekar Burung Bangkai kelihatan berang. Sekar Pamikat hanya geleng-geleng kepala sambil menyembunyikan wajah di tempat duduknya yang memojok itu. Ia berbisik kepada Ludiro.

   "Sifatnya masih juga belum berubah. mata duitan!"

   Ludiro hanya menggumam pendek, namun hatinya masih diliputi perasaan cemas.

   Ia pun tak berani memandang ke arah depan, takut ada yang mengenalinya dan diketahui Pendekar Burung Bangkai.

   Sementara itu, pemuda tersebut berkata dengan nada menahan kejengkelan.

   "Apa kuasamu mengusirku begitu, Pak Tua?"

   "Eit...! Jangan sebut-sebut aku pak tua, ya? Julukanku Pendekar Burung Bangkai! Tahu...?!"

   "Baru sekarang saya tahu seorang pendekar yang takut kehilangan uang hadiah,"

   Pemuda itu tersenyum sinis. Pendekar Burung Bangkai semakin geram. Ia berdiri dan bertolak pinggang di hadapan pemuda tersebut.

   "Lancang sekali mulutmu...!"

   Kemudian tanpa diduga-duga Pendekar Burung Bangkai melancarkan pukulannya ke arah perut pemuda tersebut. Pukulan mengena telak di ulu hati pemuda tersebut. Tapi yang dipukul hanya tersenyum menjengkelkan. Bergeming sedikit pun tidak.

   "Sabar, Pak Tua. Jangan mengumbar kemarahan di masa lanjut usia, dapat mengakibatkan pendek umur!"

   Kata pemuda berotot dan tegap itu. Rupanya Pendekar Burung Bangkai merasa lebih dihina dengan kata-kata itu. Sebuah pukulan yang dinamakan jurus Jalak Pemecah Karang dilancarkan.

   "Hiaaat...!"

   "Buk... buk... buk..."

   Pemuda gagah itu terdorong keluar sedikit limbung.

   Dalam hati Pendekar Burung Bangkai merasa heran baru kali ini jurus Jalak Pemecah Karang-nya tidak mampu merubuhkan lawan.

   Biasanya jurus itu tak akan sempat membuat lawan berdiri sedikit pun.

   Aneh, rupanya kali ini ia mendapatkan lawan yang cukup tangguh.

   Dengan rasa penasaran Pendekar Burung Bangkai memburu keluar kedai.

   Di sana, pemuda tangguh itu telah menanti dengan suatu sikap siap melayani Pendekar Burung Bangkai.

   "Kau memaksaku untuk melawan, Pak Tua."

   "Anggap saja ini suatu syarat untuk dapat menuju Kadipaten Jangga! Bersiaplah untuk mampus, Anak lancang!"

   Kemudian Pendekar Tua itu melayang tinggi, meluncurkan kakinya yang masih kekar ke arah wajah pemuda tersebut.

   Kali ini serangan Pendekar Burung Bangkai tidak sekedar salam perkenalan belaka, namun benar-benar diperhitungkan.

   Sebab ia tahu, pemuda bersabuk kulit buaya itu mempunyai ilmu kanuragan yang cukup tinggi.

   Kendati sampai saat ini pemuda tersebut hanya menghindar dan bertahan, tapi Pendekar Burung Bangkai yakin, bahwa pada suatu kesempatan pemuda itu akan melancarkan serangannya yang mungkin amat mengejutkan.

   Sekali pun masih terbatas perkelahian tangan kosong, namun banyak orang yang sudah mulai tegang dan was-was.

   Mereka menyaksikan dari kejauhan, termasuk Sakrosan, pemilik kedai.

   Sedangkan Sekar Pamikat dan Ludiro masih berada di tempat duduknya semula.

   Keduanya masih diliputi kegelisahan.

   Hanya saja, Ludiro lebih nyata menanggung kegelisahannya, sedangkan Sekar Pamikat masih bisa berusaha menenangkan diri, menekan kegelisahan yang ada.

   "Melihat penampilannya, pemuda itu bukan orang sembarangan, ya Paman?"

   "Ya. Tapi... biarlah dia berurusan dengan Eyang Gati. Kita bisa manfaatkan untuk segera pergi dari sini sebelum Eyang Gati mengetahui kehadiran kita, Putri Ayu."

   Sekar Pamikat mengangguk-angguk.

   "Gagasan yang bagus. Tapi sebenarnya aku mengkhawatirkan keselamatan Eyang Gati. Kali ini Eyang Gati salah perhitungan, pemuda itu punya ilmu silat yang tidak bisa diremehkan, Paman. Bisa jadi Eyang Gati akan..."

   "Sudahlah, Eyang Gati juga belum tentu mau mengerti siapa Putri sebenarnya. Ia tetap akan menangkap kita, dan itu berarti pertarungan tak dapat dielakkan lagi."

   Ludiro semakin memperlihatkan kecemasannya.

   Kemudian mereka bergegas pergi meninggalkan kedai setelah membayar makanannya.

   Ludiro dan Sekar Pamikat bermaksud pergi lewat jalan belakang.

   Tetapi mendadak mereka pun berhenti melangkah.

   Sebuah siulan menirukan suara burung terdengar melengking tinggi.

   Semua orang tak tahan mendengarnya.

   Siulan itu mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup dahsyat dan mampu membunuh setiap pendengarnya.

   Sekar Pamikat dan Ludiro sama-sama terkejut.

   "Gawat, ia mengeluarkan jurus siulan Jalak Pematok Jantung...!!"

   Ucap Sekar Pamikat dengan tegang.

   "Sampai sejauh itukah Eyang Gati harus bertindak karena soal sepele tadi?!"

   Sekar Pamikat bergegas mengham-piri kerumunan orang yang menutup telinga masing-masing dengan menyeringai kesakitan.

   Dari sana, tampak Pendekar Burung Bangkai berdiri tenang sambil bersiul.

   Pemuda lawannya juga turut berdiam diri.

   Ia berdiri, memejamkan mata, memusatkan konsentrasi untuk melawan siulan maut itu.

   Sekar Pamikat merasa heran sekali dan kagum terhadap pemuda itu.

   "Orang lain menutup telinga kuat-kuat, dia hanya memejamkan mata dengan tenang,"

   Bisik Ludiro yang ikut merasa kagum dan secara tak langsung mengakui kehebatan ilmu pemuda itu.

   Sekar Pamikat tak dapat bersabar diri, ia segera mencabut Cambuk Naga dari punggungnya.

   Cambuk itu melesat ke udara, bagai memutar-mutar dengan menimbulkan suara letusan kecil berulang-ulang.

   "Tar... tar... tar... tar...."

   Suara itu bertujuan untuk mengimbangi lengking siulan Pendekar Burung Bangkai.

   Dengan diimbangi suara Cambuk Naga, pengaruh kekuatan tenaga dalam yang meluncur lewat suara siulan itu mulai berkurang.

   Pemuda gagah terbelalak matanya memandang kibasan cambuk yang nyaris tak terlihat oleh mata awam.

   Sedangkan Pendekar Burung Bangkai segera menghentikan siulannya dan berpaling memandang Sekar Pamikat.

   "Setan betina! Kau sengaja mencampuri urusanku, hah?!"

   Pendekar Burung Bangkai geram sekali dan segera menghampiri Sekar Pamikat.

   Sekar Pamikat menghentikan permainan Cambuk Naganya.

   Sementara itu Ludiro tampil ke depan, menghadang kehadiran Pendekar Burung Bangkai.

   Orang tua berkulit hitam dan berambut uban itu menghentikan langkahnya.

   Ia bagai terkejut melihat Ludiro berdiri di depannya.

   "Ludiro...?! Kau ada di sini?!"

   "Benar, Eyang Gati."

   Pendekar Burung Bangkai tertegun sejenak.

   Tak banyak orang yang tahu nama aslinya, hanya keluarga Kepatihan Anjar Puspalah yang mengetahuinya.

   Dan kini, Ludiro dapat menyebutkan nama itu, berarti ia benar-benar Ludiro bekas pengawal setia Putri Ayu Sekar Pamikat.

   "Ludiro...? Kau bersekongkol dengan setan betina yang berdiri di belakangmu itu?!"

   "Tidak, Eyang. Dia bukan setan betina. Eyang salah sangka."

   "Hemm...!"

   Gumam Pendekar Burung Bangkai.

   "Lalu, apa maksudmu berdiri di depanku? Minggirlah, aku akan menghajar perempuan yang suka mencampuri urusan orang lain itu."

   "Sabar, Eyang. Kami perlu bicara disuatu tempat yang cukup sepi. Maukah Eyang mengikuti kami?"

   Pendekar Burung Bangkai menim-bang-nimbang.

   Sementara itu, Sekar Pamikat lebih dulu pergi meninggalkan Ludiro dan Eyang Gati.

   Namun tak lama, tanpa menunggu jawaban dari Eyang Gati, Ludiro pun ikut pergi menyusul Sekar Pamikat.

   Dan akhirnya, dengan rasa penasaran Pendekar Burung Bangkai pun pergi menyusul kedua orang tersebut.

   "Berhenti!"

   Seru seorang yang tiba-tiba.

   muncul didepan Sekar Pamikat.

   Lelaki itu mengenakan busana kebangsawanan, umurnya belum seberapa tua.

   Di belakang lelaki itu ada tiga orang prajurit Kadipaten dan seorang lelaki brewok bertangan buntung.

   Sekar Pamikat tahu, lelaki bertangan buntung itu adalah Ranggowo.

   Dengan begitu, Sekar Pamikat pun tahu, mereka pasti utusan dari Kadipaten Jangga.

   Sekar Pamikat ingin angkat bicara, namun Ranggowo lebih dulu membuka mulutnya dengan berkata.

   "Perempuan inilah yang membunuh Raden Praja, adik Anda Raden Panewu."

   "Ya. Aku sudah bisa menebaknya lewat wajahnya yang mirip setan rakus. Dia pasti pembunuh adikku!"

   Sekar Pamikat menjadi tegang, sukar dijelaskan.

   * * * RADEN Panewu mengambil posisi, kuda-kuda jurus Brajamusti.

   Sekar Pamikat bermaksud mengalah dan ingin menjelaskan hal yang sebenarnya.

   Tapi Panewu sudah terlanjur maju dan menyerang tanpa tanggung-tanggung lagi.

   Pukulan jarak jauhnya tak sempat dihindari oleh Sekar Pamikat.

   Akibatnya gadis itu pun terjengkang ke belakang.

   Bahu kirinya terasa panas dan membiru.

   "Orang ini cukup membahayakan,"

   Pikir Sekar Pamikat.

   Tak ada waktu untuk berembuk dan mengadakan musyawarah.

   Naluri Raden Panewu sudah merupakan naluri untuk membunuh.

   Karenanya, Sekar Pamikat pun berteriak nyaring sambil, tubuhnya melejit tinggi.

   Ia bersalto di udara beberapa kali.

   Ketika ia mendarat kembali, kaki kanannya sempat mengenai dagu Raden Panewu.

   "Hiaaat...!"

   Sekali lagi pukulan Badai Angkasa telah mengenai tengkuk kepala Raden Panewu.

   "Aachk...!"

   Raden Panewu terhuyung-huyung.

   Secepatnya ia berbalik dan melancarkan serangan jarak jauhnya yang disertai dengan aliran hawa murninya.

   Sekar Pamikat berkelit, melesat kembali ke udara, Dalam masa itu, ia pun melancarkan pukulan tenaga dalamnya dari jarak 5 meter.

   Pukulan itu membuat Raden Panewu menjerit kesakitan.

   Dagunya terdongak ke atas dengan keras, kemudian darah kental mulai meleleh dari mulutnya.

   Secepatnya Penewu menjaga keseimbangan tubuh.

   Berkonsentrasi memulihkan tenaga dalam dirinya.

   "Setan jalang...! Hadapilah aku!"

   Teriak Ranggowo ketika ia tahu Sekar Pamikat hendak menyerang Panewu.

   "Tunggu!"

   Seru Sekar Pamikat.

   "Jangan menambah korban untuk kesalahpahaman ini. Jangan sia-siakan nyawa buat masalah yang belum jelas maknanya!"

   "Hanya orang dungu yang belum jelas makna pembunuhan Raden Praja, heeaaaatt...!!"

   Dengan menggunakan satu tangan Ranggowo menyerang Sekar Pamikat.

   Hampir saja Sekar Pamikat terpanggang trisula yang ada di tangan Ranggowo.

   Untung ia segera bersalto ke belakang, sehingga trisula itu hanya merobek udara kosong.

   Sekar Pamikat segera mencabut pedang dari pinggangnya untuk menandingi trisula Ranggowo.

   Trang...

   trang...

   trang...

   nyaring mengiris hati bunyi benturan pedang dengan trisula Itu.

   Agaknya Ranggowo bukan sekedar memenuhi tugas membunuh pelaku pembunuhan terhadap diri Raden Praja, namun juga ada unsur dendam atas sebelah tangannya yang buntung akibat sasaran Cambuk Naga.

   Ranggowo kelihatan sangat bernafsu.

   Ia memutar-mutar senjata trisulanya, menyerang dengan tendangan-tendangan mautnya, dan sejauh ini, Sekar Pamikat selalu lolos dari serangan Ranggowo.

   Sebaliknya, kali ini Ranggowo sendiri yang jatuh terpental akibat menghindari pedang Sekar Pamikat.

   Karena pada saat ia menghindari kibasan pedang itu, Sekar Pamikat mengirimkan pukulan jarak jauhnya yang diberi nama Badai Pembelah Bumi.

   Ranggowo sempat mendelik dan memuntahkan darah segar dari mulutnya.

   Tiba-tiba terdengar suara keras dari arah belakang Sekar Pamikat.

   "Seraaang...!!"

   Komando Raden Panewu membuat ketiga prajurit Kadipaten melancarkan serangan serentak kearah Sekar Pamikat. Ketiganya mengandalkan senjata tombak bermata dua yang begitu ganas menghunjam tubuh Sekar Pamikat.

   "Jangan biarkan dia lolos!"

   Seru Raden Panewu.

   Ketiga prajurit itu bertambah semangat.

   Mereka semakin gila dan punya nafsu membunuh lebih ganas lagi.

   Pekik dan teriakan saling bersahutan.

   Denting suara pedang beradu dengan senjata mereka nyaris tak ada masa senggangnya.

   Ranggowo bangkit pada saat Sekar Pamikat berada dalam posisi yang tepat.

   Ia melemparkan trisulanya kearah punggung Sekar Pamikat.

   "Wusss..."

   Trisula meluncur cepat. Namun sebelum menyentuh punggung Sekar Pamikat, trisula itu tertahan oleh sebuah lempengan besi tipis, mirip piring kecil seukuran telapak tangan.

   "Tring...!"

   Ranggowo dan Raden Panewu terbelalak kaget, kemudian keduanya memandang ke arah datangnya senjata aneh itu.

   Di sana, mereka memandang seorang lelaki bertubuh pendek, berkulit hitam namun kelihatan kekar.

   Ludiro.

   Sekar Pamikat mengetahui keha-diran Ludiro yang masih berdiri bagai menyaksikan pertarungan itu.

   Sekar Pamikat tak peduli apa yang dilakukan Ludiro, yang jelas ketiga Prajurit Kadipaten itu agaknya lebih tangguh dari yang sudah-sudah.

   Ia terpaksa semakin gesit menghindari serangan dari tiga arah.

   Pedang dipermainkan bagai sebuah kipas penghalau lalat.

   Sementara itu, Pendekar Burung Bangkai pun tiba di tempat tersebut.

   Ia bersungut-sungut menyaksikan pertarungan tersebut.

   Mulanya ia tidak ingin ikut campur, sebab ia melihat Ludiro sedang menghindari serangan Ranggowo.

   Pendekar Burung Bangkai sedikit merasa bingung, mengapa Ludiro sampai berurusan dengan orang-orang Kadipaten.

   Tetapi demi mendengar seruan Raden Panewu.

   "Burung Bangkai...! Mengapa kau diam saja! Bunuh perempuan itu. Dia yang telah menewaskan adikku. Praja!"

   Maka serta merta Pendekar Burung Bangkai memutar-mutar kantong kulitnya di udara.

   Agaknya tali kantong kulit itu dapat terjulur menjadi panjang.

   Dalam satu hentakkan sarung kulit yang berputar dan menjadi sekeras besi itu menghantam pinggang Sekar Pamikat.

   "Aaakhh...!"

   Sekar Pamikat mengaduh dan tersungkur jatuh terkena kantong kulit itu. Pendekar Burung Bangkai tertawa terkekeh-kekeh. Merasa senang dapat menjatuhkan musuhnya.

   "Ingat, aku yang menjatuhkan! Jika ia mati, akulah yang membunuhnya!"

   Seru Pendekar Burung Bangkai.

   Entah ada yang mendengarkan seruan itu atau tidak, tapi yang jelas saat ini Sekar Pamikat merasa keteter menghadapi serbuan ketiga tombak prajurit Kadipaten itu.

   Ia berguling-guling sambil mempermainkan pedangnya untuk menangkis tombak-tombak tersebut.

   Lalu pada suatu kesempatan, ia berhasil meloncat tinggi, bersalto di udara dan mengibaskan pedangnya seketika itu.

   Dua orang prajurit berteriak nyaring.

   Mereka roboh dengan kepala terluka par ah, untuk kemudian tak sempat berkutik lagi.

   Di lain sisi, Ludiro nyaris keteter oleh serangan beruntun dari Ranggowo.

   Mereka sama-sama menggunakan tangan kosong, namun agaknya Ranggowo lebih menguasai ilmu tenaga dalam, dalam berbagai gerakan.

   Bahkan dari kakinya pun Ranggowo mampu menendang Ludiro disertai hembusan angin yang membuat mata menjadi perih.

   Dalam suatu pukulan Tapak Darah Harimau Kembar, telinga Ludiro sempat berdarah dan kepalanya menjadi pening.

   Ranggowo tak menyia-nyiakan waktu sedikit pun.

   Ludiro terhuyung-huyung, dan Ranggowo segera menyempatkan peluang itu untuk melancarkan pukulannya secara bertubi-tubi ke dada Ludiro.

   "Hiaaatt...! Heeeaaat...!"

   "Aaaakhhh..."

   Ludiro terpental jatuh dengan nafas tersengal-sengal. Wajahnya pucat. Mulutnya memuntahkan darah segar. Namun tepat pada saat Ranggowo berteriak.

   "Mampus kau, Bangsaaat...!!"

   Dan ia sentakkan kaki ke atas, lalu melayangkan tendangan menuju dada Ludiro. Pada detik itu pula, Ranggowo terpaksa berteriak kuat-kuat. Dari arah belakangnya terdengar suara.

   "tarrr...!"

   Cambuk Naga mulai beraksi.

   Meluncur cepat, menyabet pinggang Ranggowo dengan mengeluarkan nyala sinar birunya.

   Pinggang itu robek seketika, dan Ranggowo jatuh.

   Isi perutnya terburai, ia mengerang sambil kelojotan.

   Untuk beberapa saat ia masih kelojotan bagai ayam dipotong.

   Lalu...

   diam untuk selamanya.

   Raden Panewu semakin terbelalak matanya.

   Wajahnya yang sempat pucat menjadi memerah dibakar amarah.

   Ia segera mencabut keris yang sejak tadi terselip di pinggang belakang.

   "Setan betina...! Terimalah pusaka Layon Ragaku ini...!"

   Kegeraman Raden Panewu begitu kuat.

   Matanya yang mendelik bagai memancarkan nafsu membunuh yang berapi-api.

   Ia menggenggam keris pusaka Layonraga dengan gemetar.

   Ketika ia berusaha merobek dada Sekar Pamikat, gadis itu berkelit.

   Keris pusaka Layonraga tak jadi merobek kulit, namun kekuatan anginnya sempat membuat dada Sekar Pamikat jadi membiru.

   Biru kemerah-merahan.

   Garis itu membentang panjang dari belahan dada hingga ke ujung pundak.

   Ada rasa perih yang menjalar di kulit, namun tak begitu parah.

   Cambuk Naga tak mau tinggal diam.

   Ia melecut ke arah Raden Panewu.

   Menimbulkan suara ledakan yang amat menggetarkan tubuh.

   Agaknya Panewu pun telah siap menghadapi keampuhan Cambuk Naga.

   Ia hanya terguncang sebentar, kemudian menyerang lagi dengan garangnya.

   Sementara itu, seorang prajurit Kadipaten yang telah lemas dan berkeringat segera melemparkan tombaknya ke arah Sekar Pamikat.

   Namun pada saat ia hendak melemparkan tombak, tiba-tiba sebuah logam berwujud mata pisau meluncur dari arah Ludiro.

   Mata pisau beracun itu menancap di paha prajurit tersebut.

   Ia memekik kesakitan.

   Lemparan tombaknya menjadi salah arah.

   Hampir saja tombak itu meluncur mengenai Pendekar Burung Bangkai yang sejak tadi terpana menyaksikan pertarungan tersebut.

   Untung lelaki beruban itu segera melejit ke atas dan jatuh kembali ke tanah dengan posisi sigap.

   "Edan...! Sinting!"

   Teriaknya dalam makian.

   Ia bersungut-sungut dan memandang prajurit itu.

   Namun rasa-rasanya ia tak perlu banyak berbuat, karena prajurit itu kini dalam keadaan mengerang menahan sakit pada pahanya.

   Sementara itu, Ludiro bagai lumpuh akibat serangan Ranggowo tadi.

   Ia hanya bisa duduk menggelosot dan matanya mengawasi Sekar Pamikat yang kali ini sedang melancarkan serangannya ke arah Raden Panewu.

   Dewi Cambuk Naga berteriak lengking sambil melecutkan cambuknya.

   Pada saat itu tangan Panewu bergetar.

   Keris pusakanya jatuh.

   Ia mengaduh sambil memegangi tangannya.

   Cambuk naga memang tak sempat membelit di tangan, tetapi rasa ngilu begitu kuat, bagai hendak mematahkan pergelangan tangannya.

   Sebuah tendangan meluncur dari Sekar Pamikat.

   Panewu terjengkang karena rahangnya terkena telak tendangan Sekar Pamikat.

   Sambil berguling ke tanah ia meraih keris pusaka Layonraga.

   "Set...!"

   Panewu siap dengan senjata pusakanya kembali.

   Tapi demi melihat satu-satunya prajurit Kadipaten yang masih hidup dan hanya terluka itu melompat ke punggung kuda, Panewu menjadi grogi.

   Gerakan matanya yang nanar dan garang itu menjadi sangat tak teratur.

   Prajurit itu sudah melarikan diri dengan menunggang kuda secepat angin.

   Panewu sangat tegang.

   Ia sendirian.

   Ia berseru.

   "Burung Bangkai...! Bantu aku menangkap perempuan jalang ini! Lekas!"

   Pendekar Burung Bangkai tergera-gap sejenak setelah namanya dipanggil.

   Agaknya ia tadi keasyikan menyaksikan pertarungan seru itu.

   Namun setelah ia menyadari seruan Raden Panewu, ia tidak langsung bergerak, melainkan justru semakin kikuk dan ragu-ragu.

   "Cepat! Cepat tangkap atau bunuh perempuan ini! Ingat, hadiah itu akan kau peroleh, Burung Bangkai!"

   Bujuk Panewu dalam teriakannya, sambil ia berusaha menghindari lecutan cambuk naga.

   "Heeeaaaa..!!"

   Teriak Pendekar Burung Bangkai seraya maju menyerang Sekar Pamikat dengan jurus Capung Loncat.

   Sekar Pamikat lolos kontrol, pinggangnya terhantam oleh pukulan Pendekar Burung Bangkai.

   Gadis itu sempat meringis kesakitan.

   Kemudian ia limbung sejenak, karena Pendekar Burung Bangkai menghantamkan kantong kulitnya tepat di rusuk Sekar Pamikat.

   "Rasakan jurus Ayunan Gagakku itu, he... he... he...."

   Sekar Pamikat menjadi serba salah.

   Ia ingin menghantam tangan Pendekar Burung Bangkai, dengan cambuk naga, tapi ia ingat bahwa lelaki tua itu sangat baik kepadanya.

   Hanya saja saat ini lelaki berkulit hitam itu tidak tahu, siapa yang menjadi musuhnya saat itu.

   Sekar Pamikat menjadi kebingungan.

   Terutama terhadap jurus Capung Loncat itu, Sekar Pamikat merasa keteter jika harus menghindar dan menghindar lagi.

   Ah, memang sulit menentukan sikap pada saat itu.

   Dilawan, bukan musuh.

   Dibiarkan, ia bisa mati.

   Ludiro bergegas melemparkan senjata rahasianya, berupa mata pisau kecil yang beracun.

   Ia lemparkan ke arah Raden Panewu yang hendak melarikan diri dengan menunggang kuda.

   Tetapi kali ini senjata andalan Ludiro bisa disingkirkan oleh kibasan keris pusaka Layonraga.

   Senjata itu melesat jauh kibasan keris pusaka Layonraga.

   Senjata itu melesat jauh, dan menancap pada sebatang pohon.

   Kesempatan itu digunakan Raden Panewu untuk menghalau kudanya, melarikan diri dari pertarungan tersebut.

   Ia merasa belum saatnya ia harus mengimbangi kesaktian musuhnya.

   Ia merasa akan mati konyol jika tetap bertahan di situ.

   Harus ada akal untuk melenyapkan perempuan iblis yang amat dibenci itu.

   Pendekar Burung Bangkai mengge-rakkan tangannya ke samping.

   Kedua tangan itu mengembang kokoh, salah satu kakinya terangkat ke samping.

   "Jalak Pemecah Karang!"

   Serunya dengan girang hati.

   Ia yakin akan dapat membunuh Sekar Pamikat pada saat itu, sebab kali ini Sekar Pamikat sedang menahan sakit akibat terkena pukulan Kutilang Jantan.

   Sekar Pamikat mengetahui, betapa bahayanya jika jurus Kutilang Jantan dikombinasi dengan jurus Jalak Pemecah Karang.

   Sedangkan untuk menghindar dalam saat yang amat sempit itu ia tak akan mampu.

   Paling tidak payudaranya akan pecah terkena kombinasi jurus.

   tersebut.

   Maka Sekar Pamikat hanya mempunyai satu harapan yang tidak mengandung resiko bagi lawannya.

   Ia berseru dengan mata memandang tajam pada mata Pendekar Burung Bangkai.

   "Eyang Gati..,!!"

   Lelaki berkulit hitam, keriput, namun masih kokoh itu tiba-tiba berhenti seketika dari gerakan.

   Salah satu kakinya masih terangkat ke samping, kedua tangannya masih mengembang bagai ingin terbang.

   Ia berkerut dahi pada saat Sekar Pamikat memanggilnya.

   "Eyang Gati."

   "Kau tahu namaku?"

   "Eyang Gati, redakan dulu amarahmu. Kita bicara secara nalar."

   "Siapa kau sebenarnya, Gombal?!"

   Tanya Eyang Gati sambil kedua tangannya masih mengembang dan salah satu kakinya terangkat ke samping. Sekar Pamikat menjelaskan secara singkat.

   "Aku Sekar Pamikat. Aku putri Ki Juwanata, Patih di Kepatihan Anjar Puspa...."

   "Kau? Kau Sekar Pamikat? Ah, omong kosong!"

   "Eyang tidak melihat cambuk naga di tanganku ini?! "Aku belum rabun. Aku melihatnya dengan jelas. Itu senjata andalan Putri Ayu Sekar Pamikat yang bergelar. Pendekar Cambuk Naga. Tapi... kau curi dari mana cambuk itu, ha?"

   "Ini barang milikku, Eyang. Ini pusakaku. Akulah Sekar Pamikat. Aku Pendekar Cambuk Naga yang sebenarnya."

   Eyang Gati tertawa terkekeh, tangan dan kaki masih dalam posisi sama seperti tadi.

   "Bohong! Aku kenal betul dengan wajah Pendekar Cambuk Naga. Tidak sejelek kamu!"

   "Ceritanya cukup panjang, Eyang. Kita perlu bicara dengan tanpa dibe-bani kemarahan dan nafsu membunuh."

   "O, ya? Coba ceritakanlah sekarang juga..."

   "Tapi, tolong turunkan kaki Eyang lebih dulu. Lepaskan kedua tangan Eyang supaya kita bicara tanpa ketegangan."

   "Astaga...!"

   Mata Pendekar Burung Bangkai terbelalak sekejap.

   "Aku lupa kalau masih dalam posisi seperti ini...."

   Kemudian ia bergerak cepat, kedua tangannya berkelebat ke atas bagai hendak menopang langit.

   Dan pada saat itu terjadilah sebuah ledakan yang menyemburkan asap hitam tebal di angkasa.

   Itulah curahan dari kombinasi jurus Jalak Pemecah Karang dengan jurus Kutilang Jantan.

   Sekar Pamikat tak dapat membayangkan andai ia terkena serangan itu, oh...

   sedikit sekali harapan baginya untuk hidup lebih dari sehari.

   Ia tahu betul keampuhan kedua jurus itu.

   "Nah, jelaskan dengan singkat dan tepat siapa dirimu sebenarnya. Kalau aku percaya, kau tidak akan mati di tanganku. Tapi kalau aku tidak percaya, aku akan segera membunuhmu, tanpa pertarungan sedikit pun. Mengerti?"

   Sekar Pamikat menghela nafas dalam-da-lam. Sejak tadi ia masih dalam posisi setengah merebah di tanah, dan kali ini ia telah berdiri dengan tegap.

   "Aku memang Sekar Pamikat, Eyang. Roh dan jiwaku adalah milik Sekar Pamikat. Tetap ragaku ini adalah milik Nawang Puri. Perempuan itu telah berhasil mencuri ragaku pada saat aku dalam keadaan pingsan karena suatu pertempuran."

   Beberapa saat lamanya Eyang Gati terbungkam, bibirnya mencucu dan manggut-manggut. Sekar Pamikat berharap tegang, menunggu reaksi Eyang Gati. Karena terlalu lama tanpa ada komentar, maka Sekar Pamikat pun berkata.

   "Aku bisa menjelaskan siapa diri Eyang Gati sebenarnya. Bahkan aku sanggup menceritakan bagaimana hubungan Eyang Gati dengan perempuan yang bernama Arum Kusuma. Aku tahu ada hubungan antara...."

   "Sudah... sudah... sudah...!"

   Eyang Gati kelihatan menggeragap dan ketakutan waktu mendengar nama Arum Kusuma. Matanya melirik ke kanan, ke kiri, clingak-clinguk sebentar, kemudian mendekatkan wajah dan berbisik.

   "Tolong, jangan terlalu keras-keras menyinggung nama Arum Kusuma, ya? Dan... sebaiknya lupakan saja nama itu. Aku percaya sama kamu. Begitu sajalah...!"

   Sekar Pamikat hanya menahan geli.

   "Aku ingin mendengar ceritamu selengkapnya, tapi... lihat pengawalmu itu. Ludiro. Agaknya ia perlu pertolongan kita secepatnya. Aku tahu, ia terkena pukulan Tapak Darah Harimau Kembar dari Ranggowo."

   "Astaga... Aku hampir lupa dengan keadaannya..."

   Sekar Pamikat langsung melompat tiga kali lompatan, dan ia telah berada di samping Ludiro.

   "Paman...?! Paman Ludiro...?!"

   Ludiro lemas. Di sela kepucatan wajah dan birunya bibir, tampak darah membasah dari telinga dan mulut. Keadaannya cukup mengerikan. Sekar Pamikat sempat mencemaskan keselamatan Ludiro.

   "Eyang... Aku perlu tempat khusus untuk menyelamatkan jiwa paman Ludiro ini,"

   Kata Sekar Pamikat dengan memperlihatkan kecemasannya.

   "Dia cukup parah,"

   Ujar Eyang Gati.

   "Tak lama lagi ia akan mati. Hemm... kasihan kau Ludiro..."

   "Eyang, di mana ada tempat yang bisa kupakai menolong paman Ludiro?"

   Ulang Sekar Pamikat dengan jengkel.

   "O, tempat?"

   Pendekar Burung Bangkai seakan baru menyadari pertanyaan itu.

   "Hemm... ada. Aku punya tempat di Kabupaten Abangan ini. Sebuah kamar sederhana."

   "Dimana? Di mana, Eyang?"

   "Di penginapan."

   "Oh, syukurlah. Kalau begitu izinkan aku membawanya ke penginapan Eyang Gati, ya?"

   Jawab Pendekar Burung Bangkai.

   "Boleh-boleh saja. Tapi kau perlu tahu, bahwa aku menyewa kamar itu semalam harganya 5 keping. Kalau kau mau membayarku 2 keping untuk satu malamnya, silakan Ludiro kau bawa ke sana. Tapi kalau cuma gratis... wah, nanti dulu. Masalahnya..."

   "Keterlaluan!"

   Gerutu Sekar Pamikat dengan dengus kejengkelan.

   "Orang sakit masih dijadikan bahan perasan."

   "Eit, jangan salah sangka dulu,"

   Ujar Eyang Gati.

   "Aku bukan semata-mata mencari keuntungan pada diri orang sakit, tapi... ini sekedar timbal balik antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Harus ada. Jelas harus ada rasa timbal balik itu. Hanya dalam bentuk uang atau jasa, itu tergantung kebijaksanaan masing-masing manusianya."

   "Baiklah..."

   Tukas Sekar Pamikat sambil menggotong tubuh Ludiro.

   "Baiklah bagaimana? Jelaskan dulu!"

   Sergah Eyang Gati.

   "Baiklah, akan kupertimbangkan setelah jiwa paman Ludiro ini tertolong."

   Eyang Gati ingin mengatakan sesuatu, mulutnya telah menganga, namun tak jadi berkata apa pun karena Sekar Pamikat telah terlanjur berjalan cepat.

   Eyang Gati hanya dapat menghempaskan nafas, lalu mengikuti Sekar Pamikat yang kebetulan berjalan ke arah yang benar menuju penginapannya itu.

   Entah gerutu apa yang dilontarkan dari mulut Pendekar Burung Bangkai, Sekar Pamikat tidak peduli lagi.

   Di dalam penginapan yang sangat sederhana itu, tubuh Ludiro dibujurkan di atas dipan yang hanya satu-satunya ada di dalam kamar tersebut.

   Sekar Pamikat mencoba menyalurkan hawa murni ke tubuh Ludiro.

   Ia bersemedi sejenak, kemudian tangannya bergerak bagai meraba seluruh tubuh Ludiro.

   Hanya bagai orang meraba namun sebenarnya menyentuh sedikit pun tidak.

   Sementara itu, Eyang Gati masih bersungut-sungut dan merasa khawatir jiwa Sekar Pamikat tidak jadi membayarnya 2 keping untuk izin penyembuhan di dalam kamarnya itu.

   Malam mulai menjelma, dan kesunyian pun kian merambah.

   Pendekar Burung Bangkai masih meneguk tuak yang sempat diambilnya kembali dari kedai Sakrosan.

   Sesekali ia melontarkan gerutu tentang kegagalannya mendapat hadiah jika ia berhasil menangkap atau membunuh orang yang telah menewaskan Raden Praja.

   Sekar Pamikat yang mendengar gerutuan itu, lama-lama jadi tak enak juga.

   Dan ia menjelaskannya kepada Eyang Gati.

   "Ada pembunuh gelap yang memancing di air yang keruh, Eyang. Mereka atau pembunuh itu memanfaatkan saat pertikaian kami dengan rombongan dari kadipaten. Pembunuh itu sengaja mencari atau membuat senjata yang serupa betul dengan senjata andalan paman Ludiro. Dengan begitu, maka orang Kadipaten akan menuding kami lah sebagai pembunuhnya. Dan... agaknya ia berhasil,"

   Geram Sekar Pamikat. Eyang Gati manggut-manggut. Ia mulai memahami persoalan yang sebenarnya. Lalu ia bertanya.

   "Tapi... apakah kematian Raden Praja mempunyai hubungan dengan persoalanmu sendiri bersama Nawang Puri?"

   Ketika itu, Sekar Pamikat terbungkam sejenak, mempertimbangkan kemungkinan itu.

   Barangkali saja memang Nawang Puri itulah yang menewaskan Raden Praja dengan suatu maksud tersendiri.

   * * * SEKAR PAMIKAT merasa perlu menuturkan peristiwa yang terjadi hampir satu tahun yang lalu.

   Ia berharap Eyang Gati dapat memberinya jalan keluar bagi persoalan yang cukup rumit baginya.

   Memang sejak kepergian Eyang Gati dari Dalem Kepatihan 4 tahun yang lalu, mereka tak pernah saling mengetahui perkembangan masing-masing, sehingga Eyang Gati pun terkejut ketika Sekar Pamikat mengatakan, bahwa Dalem Kepatihan telah menjadi abu.

   "Jahanam busuk!"

   Geram Eyang Gati.

   "Mengapa hal itu sampai terjadi?"

   "Hal itu bermula dari perseli-sihan antara Singasari dengan Jayakatwang, raja Kediri. Prabu Kertanegara gugur, dan Singasari menjadi lemah. Lalu Dalem Kepatihan pun menjadi akibat dari serangan prajurit Jayakatwang. Mereka mengira Kepatihan Anjar Puspa punya hubungan politik dengan Singasari, sehingga kekuatan Kediri pun menghantam kami. Kekuatan itu tidak sebanding, Eyang. Lalu, Kepatihan Anjar Puspa dibumi hanguskan oleh mereka."

   Wajah sendu terbias lewat sorot mata Sekar Pamikat.

   Ia berhenti sejenak dalam penuturannya, menelan ludah beberapa kali guna menenangkan kepedihan di hatinya.

   Agaknya Sekar Pamikat enggan menitikkan air mata untuk suatu malapetaka yang amat pahit itu.

   Ia ingin tampil sebagai sosok Pendekar Cambuk Naga yang kokoh dan tak mengenal tangis.

   Memang sulit.

   Tapi ia selalu berusaha mati-matian untuk hal itu.

   Kemudian, segumpal ketenangan mulai menetralisir guncangan jiwanya.

   Nafas terhirup dalam-dalam, dan ia kembali mengangkat wajahnya, menatap Pendekar Burung Bangkai.

   Lelaki tua itu mengangguk, sabar, seraya berkata lirih.

   "Teruskan..."

   "Saat itu, saya dan Nawang Puri sedang menghadiri pemakaman Eyang guru Purbaseto dan Nyai guru Sukmalaras..."

   "Tunggu..."

   Sergah Pendekar Burung Bangkai.

   "Kalau tidak salah Purbaseto dan Sukmalaras adalah suami istri, bukan? Mereka pasangan abadi yang tak pernah bertengkar selama perkawinan mereka."

   "Benar, Eyang. Dan mereka pun meninggal dalam kebersamaan yang memilukan. Eyang Guru Purbaseto meninggal akibat usia lanjutnya, sedangkan Nyai guru Sukmalaras berusaha menyalurkan prana dalam tubuh Eyang guru Purbaseto. Tapi mereka hanya dapat bertahan tujuh hari, lalu keduanya meninggal dalam keadaan berdampingan di peraduannya."

   Terdengar keluhan lirih dari Pendekar Burung Bangkai.

   Keluhan itu bak menyimpan segumpal duka yang dalam di hati lelaki tua berkulit hitam keriput itu.

   Sekar Pamikat memberi peluang waktu yang cukup bagi Eyang Gati untuk merenungkan kematian Eyang gurunya.

   Setelah itu ia berkata kembali.

   "Aku dan Nawang Puri menjalani masa berkabung di lereng gunung Panembahan selama tujuh hari lamanya...."

   "Nanti dulu..."

   Sekali lagi Eyang Gati memotong kata.

   "Jadi kau dengan Nawang Puri itu satu guru?"

   "Bisa dikatakan begitu, bisa juga tidak, Eyang. Sebab, murid Eyang guru Purboseto hanya ada satu, yaitu aku sendiri. Dan murid Nyai guru Sukmalaras juga hanya satu, yaitu Nawang Puri. Karena itulah di antara kami ada satu perbedaan dalam ilmu yang diajarkan kepada guru-guru kami. Entah kalau sekarang Nawang Puri berhasil menemukan kitab Prana Sukma yang berisi ilmu-ilmu kadigdayan yang tak boleh diajarkan kepada siapapun, mungkin aku berada di bawah kepandaian Nawang Puri."

   "Ooo... ya, ya... aku paham sekarang. Nah, terus...?"

   "Singkatnya cerita, masa berkabung kami sudah usai, kemudian kami pulang ke rumah. Nawang Puri ikut aku, sebab ia sebenarnya terlibat percintaan dengan Tamtama, adik sepupu denganku, yaitu anak dari...."

   "Dadung Manca, pamanmu yang buta itu?"

   Tukas Eyang Gati.

   "Benar. Dan... begitulah, Eyang. Sewaktu kami tiba di Kepatihan Anjar Puspa, kami hanya menemukan reruntu-hannya yang telah menjadi abu."

   Suara Sekar Pamikat kian lemah.

   "Apakah tak ada satu pun yang selamat?"

   Putri Ayu Sekar Pamikat mengge-leng lemah.

   "Kami menemukan mayat mereka bergelimpangan baik yang terbakar hangus maupun yang membusuk tak terurus."

   "Lalu bagaimana dengan Ludiro? Bukankah dia orang kepercayaan ayahanda mu?"

   Eyang Gati semakin ingin tahu.

   "Paman Ludiro bertugas mendam-pingi saya dalam pemakaman Eyang guru. Jadi dia berada bersama saya dan Nawang Puri selama itu. Kemudian... melihat keadaan yang amat memilukan hati dan membakar am arah, maka Nawang Puri membujuk aku untuk menyerang Kediri. Jelas itu suatu tindakan yang konyol dan tanpa perhitungan. Tetapi Nawang Puri berhasil membakar semangatku, sehingga tanpa pikir panjang lagi kami menuntut balas kepada Jayakatwang. Tapi... seperti yang sudah kukatakan tadi, itu adalah tindakan yang konyol. Sia-sia. Seperti ketimun menyerang durian. Tindakan itulah yang membuat aku jatuh sakit, nyaris mati di tangan Senopati Kediri."

   "Tapi nyatanya kamu tidak mati, bukan?"

   Eyang Gati memancing pertanyaan bersifat santai.

   "Memang, Eyang. Paman Ludiro berhasil melarikan tubuh saya yang dalam keadaan sekarat pada waktu itu. Agaknya kondisi saya yang seperti itu sudah menjadi bahan incaran bagi Nawang Puri. Ia menyimpan niat jahat selama ini. Niat Jahat itu tak sempat saya ketahui sebelumnya. Lalu... pada saat paman Ludiro menghubungi Resi Garba, gurunya, yang tinggal di goa Ciptakawekas, pada saat itulah Nawang Puri melaksanakan niat busuknya."

   Pendekar Burung Bangkai manggut-manggut. Setelah menghela nafas sekali, Sekar Pamikat melanjutkan kisahnya.

   "Dalam keadaan luka parah dan tak sadarkan diri, Nawang Wulan mematikan raga sendiri. Lalu dengan ilmu peninggalan Eyang gurunya, yaitu Nyai guru Sukmalaras, Nawang Puri menjalankan salin raga dengan diriku...."

   "Salin raga? Uh, aneh dan hebat sekali dia. Ilmu apa yang dipakainya?"

   Eyang Gati terheran-heran.

   "Ia memang memiliki ilmu Giling Sukma, di mana ia mampu memasukkan atau memindahkan sukmaku ke raganya, dan sukmanya sendiri masuk ke ragaku. Dan setelah itu... Nawang Puri pergi, melarikan diri entah ke mana. Ia membawa lari raga saya, dan membiarkan jasad kasarnya menampung rohku, roh Sekar Pamikat yang sebenarnya. Sehingga... seperti yang Eyang lihat saat ini, aku memang roh Sekar Pamikat, tapi Ragaku adalah raga Nawang Puri..."

   Sekar Pamikat menunduk, menahan gejolak dendam dan kesedihan.

   "Ketika aku sadar dari pingsan yang panjang, aku menemukan paman Ludiro dan Resi Garba telah berdiri di sampingku. Tapi agaknya Resi Garba dapat mengetahui apa yang telah terjadi pada diriku. Sebab itu, paman Ludiro percaya bahwa aku adalah Sekar Pamikat asli yang bergelar Pendekar Cambuk Naga..."

   Sambung Sekar Pemikat dengan suara mulai bersemangat. Eyang Gati menggumam. Manggut-manggut. Menggumam lagi. Manggut-manggut lagi. Rupanya ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sehingga ia lontarkan pertanyaan yang bersikap menyelidik.

   "Lantas, apa sebenarnya maksudmu mencegah perkawinan Raden Praja dengan Nawang Puri?"

   "Jelas aku tidak akan mengizinkan ragaku dinodai oleh lelaki mana pun, Eyang. Jika Nawang Puri yang memakai ragaku dan memakai namaku juga itu menikah dengan Raden Praja, mau tidak mau, apabila rohku dapat kembali ke ragaku yang sebenarnya, maka aku akan memperoleh kebusukan. Aku sudah tak perawan lagi, Dan... dan itu adalah salah satu kebanggaan mahkota hidupku, Eyang. Aku tak ingin mahkotaku hancur dan dirusak oleh orang lain. Jadi aku harus menjaga dengan caraku sendiri agar aku tetap menjadi gadis yang suci. Bukan hanya sukmaku saja yang masih perawan, tapi aku berharap agar ragaku sendiri tetap suci, sampai saatnya nanti aku jatuh cinta pada suamiku, dan kami menikah dengan kemurnian cinta sejati."

   Eyang Gati manggut-manggut. Menggumam. Manggut-manggut lagi. Menggumam... tak jadi. Sebab Sekar Pamikat telah berkata dengan semangat yang membara.

   "Aku harus mendapatkan kembali ragaku, namaku dan kesucianku. Harus!"

   Terdengar Pendekar Burung Bangkai mendesis.

   "Suatu pekerjaan yang cukup sulit. Apalagi dalam keterlibatan kasus kematian Raden Praja. Hemmm... jelas ini bukan pekerjaan yang mudah. Lebih sulit daripada mencari kutu busuk!"

   "Apakah Eyang Gati mengira usahaku ini akan gagal?"

   Lelaki beruban rata itu tersenyum, memperdengarkan kata yang tak terdengar oleh telinga Sekar Pamikat, namun dapat jelas diterima hati nuraninya.

   "Jadi Eyang sangsi dengan usaha saya?"

   Desak Sekar.

   "Aku tidak berkata begitu. Betapapun sulitnya suatu usaha manusia, semuanya tergantung tekad dan kesungguhannya dalam berupaya. Jika kau disuruh mencari air Prawitasari, yang sebenarnya air tersebut tidak ada, maka karena tekad dan kesungguhanmu dalam mencari, maka akhirnya akan kau dapatkan juga air yang semula tak pernah ada itu."

   "Kesimpulannya apa itu, Eyang?"

   "Keyakinan atau kepercayaan seseorang menentukan gagal dan berhasilnya suatu upaya. Jika kau tidak yakin akan dapat mengangkat batu kerikil, maka batu sekecil itu pun tak akan mampu kau angkat."

   Malam semakin jauh melantur. Terdengar Ludiro menggeram lirih, mengerang dan akhirnya menggeliat dari pembaringannya. Sekar Pamikat ter-senyum lega.

   "Paman Ludiro telah selamat, Eyang."

   "Keyakinanmu yang membuatnya selamat,"

   Gumam Pendekar Burung Bangkai dengan sorot matanya yang mulai redup karena diserang kantuk.

   Sekar Pamikat tidak peduli status Ludiro dalam hidupnya.

   Meski Ludiro hanya sebagai pengawal, namun kesetiaannya sudah layak mendapat penghargaan dari Sekar Pamikat.

   Bahkan mungkin, apabila Kepatihan Anjar Puspa masih utuh, dan ayahandanya Sambang-bumi, akan mengangkat Ludiro sebagai bekel, atau lurah, atau penuwu, bisa jadi malah sebagai manggala yuda Kepatihan Anjar Puspa.


Sengketa Cupu Naga Karya Batara Pendekar Bloon Karya SD Liong Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH

Cari Blog Ini