Ceritasilat Novel Online

Racun Puri Iblis 2


Pendekar Cambuk Naga Racun Puri Iblis Bagian 2



Jelas hal itu dianugrahkan atas dasar jasa dan dharma bhaktinya kepada tugas dan atasannya.

   Namun dalam keadaan seperti ini, penghargaan yang dapat diberikan kepada Ludiro hanyalah perawatan yang baik.

   Sekar Pamikat merawat Ludiro dari hari ke hari, sehingga pada saatnya tiba, Ludiro sudah mencapai kondisi kesehatan yang normal kembali.

   Sampai tiba pada suatu saat, ketika mereka telah meninggalkan penginapan dan berpisah dengan Eyang Gati, Ludiro datang dengan tergopoh-gopoh.

   Sekar Pamikat mulai tertarik dengan awal berita yang disampaikan Ludiro.

   "Saya membawa kabar yang menggembirakan, Putri Ayu."

   "Langsung saja katakan!"

   "Nawang Puri...!"

   Ucap Ludiro.

   "Nawang Puri? Sungguh? Kau tidak salah lihat?"

   "Tidak, Putri Ayu. Hampir saja tadi saya salah langkah, karena saya kira dia adalah Putri Ayu Sekar Pamikat. Dandanan, lagak lagunya, bahkan cambuk di punggungnya, sama persis dengan Putri Ayu."

   Debar-debar jantung Sekar Pamikat bertambah cepat. Ia terbungkam beberapa saat, matanya menerawang jauh. Kembali terngiang di telinganya kata-kata Eyang Gati yang terakhir, sebelum mereka berpisah karena tujuan yang berbeda.

   "Dewi Cambuk Naga...."

   Kata Pendekar Burung Bangkai.

   "Aku harus mencari kembali Gelang Pangasih warisan leluhurku. Aku harus memburu-nya ke arah mana pun. Dan kali ini, aku telah mendapat keterangan bahwa Gelang Pangasih ada di tangan seorang Pendeta Sarak, yang menjadi ketua partai di perguruan Lumbung Darah. Aku sudah tahu letak tempatnya, dan aku harus ke Sana. Jadi pesanku, berjalan-lah kau ke arah tenggelamnya sang surya. Di sana ada sebuah wilayah yang bernama Kadipaten Nilakencana. Cobalah datang ke sana. Sebab kudengar, dulu Raden Praja sedang dalam perjalanan ke Kadipaten Nilakencana untuk menemui calon istrinya. Memang dari Kadipaten Jangga, jika ingin menuju Kadipaten Nilakencana, harus melalui Kabupaten Abangan ini. Tapi kurasa itu bukan berarti calon istri Raden Praja berada di Kabupaten Abangan ini,..."

   Dan sekarang Sekar Pamikat memang sudah berada di perbatasan Kadipaten Nilakencana.

   Bukan hal yang mustahil bila Ludiro menyatakan telah bertemu dengan Nawang Puri yang masih mengenakan raga Sekar Pamikat.

   Tapi dapatkah ia dan Ludiro bebas bertindak di Kadipaten Nilakencana? Sebab setahunya, Kadipaten ini adalah sebuah Kadipaten yang senantiasa menjaga kerukunan dan kedamaian rakyatnya.

   Apakah dengan memaksa Nawang Puri agar mau menyerahkan kembali raga Sekar Pamikat, tidak akan dianggap suatu tindakan yang mengacaukan kedamaian di Kadipaten itu? "Putri Ayu...."

   Tegur Ludiro setelah mereka saling termenung dan membisu beberapa saat lamanya.

   "Saya rasa ini kesempatan baik untuk menemui Nawang Puri. Dengan mendekat kan diri kepada orang Kadipaten, mungkin kita bisa meminta bantuannya untuk menangkap Nawang Puri tanpa kegaduhan."

   "Mendekatkan diri, itu tidak mudah. Kecurigaan dapat memancing kita ke dalam lobang jebakan yang ada, Paman."

   Ludiro tersenyum.

   Saya baru ingat kalau Kadipaten ini adalah dalam kekuasaan Adipati Reksoguno.

   Kalau tidak salah ingatan saya, Reksoguno itu masih ada hubungan saudara dengan Resi Garba, guru saya itu.

   Dengan memperkenalkan diri sebagai murid Resi Garba, barangkali saya dapat menjalin hubungan dengan beliau, dan rencana kita dapat dilaksanakan.

   Bahkan bila mungkin kita akan mendapat bantuan dari pihak Adipati Reksoguno."

   Sekar Pamikat manggut-manggut. Sebenarnya hatinya sudah tak sabar lagi, ingin segera bertemu dengan Nawang Puri dan merebut kembali raganya. Tetapi tiba-tiba terselip sesuatu yang mengganjal di hati.

   "Rencana memang bagus. Tapi apakah Adipati Reksoguno itu masih menaruh hormat kepada Resi Garba?! "Saya yakin, pasti Reksoguno masih memandang Resi Garba sebagai kakak misannya. Ah, sebaiknya kita mencobanya. Jika gagal, pasti ada cara lain yang saat ini memang belum kita temukan, Putri Ayu."

   Ludiro selalu memberi semangat dan gairah kepada Sekar Pamikat.

   Akhirnya gadis itu pun nekad masuk ke wilayah Kadipaten Nilakencana.

   Untuk mencapai Dalem Kadipaten, mereka harus melalui beberapa desa dan pademangan.

   Geram dan dendam di hati Sekar Pamikat hanya membuat keresahan yang menyolok.

   Ludiro selalu mengingatkan agar Sekar Pamikat harus bisa menahan emosi dan memperkaya kesabaran.

   "Biasanya kesabaran itulah yang akan menghasilkan buah yang manis, Putri Ayu."

   Sekar Pamikat hanya menggumam.

   Ia tetap melangkah dengan tegap dan tegas.

   Matanya bergerak-gerak lincah, memasang kewaspadaan di sekelilingnya.

   Ketika mereka hendak memasuki pusat keramaian Kadipaten, mendadak langkah Sekar Pamikat terhenti, tangannya menarik tangan Ludiro seraya ia berbisik,"

   Paman... berlindunglah."

   Dengan keadaan bingung, Ludiro berlindung di balik pohon, menyatu dengan Sekar Pamikat.

   "Ada apa, Putri?"

   Ludiro balas berbisik.

   "Lihat penunggang kuda yang menuju regol Kadipaten itu? Bukankah dia Raden Panewu, kakak Raden Praja itu?"

   "Ya, Panewu..."

   Ucap Ludiro dalam desah keheranan.

   Lelaki bertubuh sedang dan mengenakan baju kebangsawanan warna putih berhias benang emas di setiap tepiannya itu, sempat berhenti sejenak di regol Kadipaten.

   Matanya memandang penuh curiga ke sekeliling.

   Setelah merasa aman, ia pun masuk ke pintu gerbang Kadipaten Nilakencana yang dijaga oleh dua orang prajurit bersenjata tombak dan perisai perak.

   "Rupanya ia memang sering datang kemari, Putri. Lihat saja, sewaktu dia masuk, kedua pengawal pintu regol hanya membungkuk, menghormat, kemudian membukakan pintu tanpa melalui beberapa pertanyaan seperti umumnya orang mau masuk Dalem Kadipaten."

   Sekar Pamikat hanya menggumam. Setelah kuda yang ditunggangi Raden Panewu menghilang, dan pintu regol ditutup kembali, Sekar Pamikat menghempaskan nafas panjang. Ada rona keheranan yang berbaur dengan perasaan resah.

   "Sudahlah,"

   Ludiro menghibur.

   "Mungkin itu hanya suatu kunjungan biasa."

   "Kunjungan tanpa pengawalan? Dari Kadipaten Jangga ia berani datang sendirian kemari tanpa pengawalan?"

   Sekar Pamikat berkerut dahi.

   "Aneh. Caranya masuk pun sangat mencuri-gakan."

   Di seberang Dalem Kadipaten, ada sebuah kedai bagi para penarik gerobak.

   Memang sedikit agak jauh dari pintu regol, tapi dari kedai itu orang dapat melihat jelas keadaan di pintu regol tersebut.

   Tak ada tempat lain yang strategis bagi Ludiro dan Sekar Pamikat selain ikut duduk di kedai itu, membaur dengan para penarik gerobak sayuran dan padi, sambil menyusun rencana dan mempelajari situasi yang ada.

   "Saya jadi penasaran,"

   Ujar Ludiro.

   "Ada apa sebenarnya di balik tembok Dalem Kadipaten itu?"

   "Hei, lihat...!"

   Sekar Pamikat nyaris terpekik kaget. Tangannya menuding ke arah pintu regol Dalam Kadipaten. Rupanya bukan hanya sepasang mata sayu bercodet saja yang membelalak lebar, melainkan sepasang mata Ludiro yang belo itu pun ikut membelalak lebar.

   "Itu dia!"

   Seru Ludiro bertahan, takut menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar situ.

   "Itu Nawang Puri!"

   Seorang perempuan berbaju warna ungu, tipis dan amat menarik, sedang berjalan menuju pintu gerbang Dalem Kadipaten.

   Perempuan itu amat cantik.

   Tubuhnya langsing, namun bukan ceking.

   Padat, berisi, dan sangat menggairahkan setiap lelaki yang memandangnya.

   Terbukti dari celoteh para pembeli kedai memuji-muji kecantikan gadis itu.

   Seseorang berpakaian hitam yang duduk di seberang meja berkata kepada temannya.

   "Cantik sekali gadis Itu. Serupa betul dengan bidadari dalam impianku."

   Yang lain menyahut.

   "Edan! Kenapa sejak lahir baru sekarang kuketahui ada gadis secantik dia. Putri Anggraini, anak kanjeng Adipati itu, tak ada sekuku hitamnya kecantikan yang ia miliki dibanding gadis itu. Wah, wah,wah...."

   Salah seorang berkata.

   "Dia bukan orang Kadipaten Nilakencana. Dia cuma seorang tamu."

   "Tamu?"

   Pemilik kedai menyahut, 'Ya, tamu istimewa Kanjeng Adipati.

   Dia itulah yang bernama Putri Ayu Sekar Pamikat.

   Ia bergelar Cambuk Naga.

   Lihatlah cambuk bergagang perak yang terselip di pinggangnya, membuktikan bahwa dia benar-benar seorang dewi, yang selain cantik, menggairahkan, juga berilmu tinggi."

   "Tapi mengapa ada dua pengawal yang menyertainya? Kalau sakti, punya ilmu kanuragan yang tinggi, tentunya ia tak perlu pengawalan,"

   Bantah yang lain.

   "Hei, Sobri... Kamu kira kedua pengawal itu benar-benar bertugas mengawal Putri Ayu Sekar Pamikat?"

   Kata pemilik kedai yang perempuan.

   "Kedua orang itu hanya sekedar pesuruh yang sewaktu-waktu siap melayani Sang Pendekar Cambuk Naga!"

   "Ooo... kalau begitu ia sudah nyaris menjadi seorang putri Adipati, ya?"

   "Lha, memang kok. Memang Pendekar Cambuk Naga itu saudara angkat Putri Anggraini, dan sudah disyahkan menjadi anggota keluarga Adipati Reksoguno.."

   "Berarti punya hak penuh sebagai wakil keluarga Kadipaten Nilakencana, ya? Wah, benar-benar ia menduduki jabatan yang enak dan menyenangkan hati...."

   Ludiro membisu.

   Matanya melirik putri momongannya.

   Ada selaput merah membungkus wajah sayu Sekar Pamikat.

   Ada genangan air bening di sudut mata bercodet dan berbulu mata tipis itu.

   Ada suara gemeretaknya gigi geraham.

   Ada hembusan-hembusan nafas tak teratur, dan semua itu jelas serangkaian emosi yang ditahan kuat-kuat oleh Sekar Pamikat.

   "Putri Ayu..."

   Bisik Ludiro hati-hati sekali. Suara sumbang dan datar terdengar dari mulut Sekar Pamikat.

   "Jahanam itu telah berhasil bermegah sanjungan dan pujian. Orang-orang itu... oh, mereka tak tahu kalau itu, yang mereka pandang itu adalah jasadku, Paman."

   "Sssttt... jangan keras-keras,"

   Bisik Ludiro cemas.

   "Sudan saatnya kita harus bertin-dak, Paman. Aku tak tahan menerima siksaan batin seperti ini. Aku tak tahan!"

   Suara Sekar Pamikat semakin ditekan, diendapnya agar tak menimbulkan kecurigaan bagi orang lain.

   "Jangan, jangan...!"

   Ludiro yang bertubuh kekar dan mengenakan baju tanpa lengan itu sangat mengkhawatirkan ledakan emosi yang bisa terjadi pada diri Sekar Pamikat.

   "Menahan emosi adalah belajar memahami pribadi setiap manusia, Putri Ayu. Jangan gegabah."

   "Tapi... tapi dapatkah aku bertahan seperti ini, sementara aku melihat ragaku yang banyak dikagumi orang itu berjalan masuk ke Dalem Kadipaten? Dapatkah aku menahan diri, sementara aku melihat bayangan pribadiku melintas di depan mataku, Paman?"

   "Harus bisa. Memang sulit, tapi segala yang sulit akan menelorkan sesuatu yang membahagiakan, Putri. Percayalah, ini bukan saatnya untuk bertindak. Jangan mau gagal karena diperbudak oleh emosi. Tapi bersabarlah untuk menggunakan perhitungan otak yang sehat."

   Sekar Pamikat menggigit bibirnya sendiri.

   Memang sosok Nawang Puri yang mengenakan raganya itu telah masuk ke Dalem Kadipaten, tapi rasa-rasanya Sekar Pamikat bagai masih melihat bekas bayangan sosok tubuhnya di depan regol.

   Tiba-tiba pemilik kedai berseru kepada orang-orang.

   "Nah, yang itu kabarnya calon suami Pendekar Cambuk Naga..."

   Ludiro serta Sekar Pamikat terbelalak tegang.

   * * * GEMETAR rasanya tulang-tulang dan persendian Sekar Pamikat ketika matanya tertuju pada seorang pemuda yang sedang berbicara dengan kedua pengawal regol.

   Pemuda itu pernah dilihatnya beberapa waktu yang lalu.

   Badannya tinggi, tegap, mengenakan rompi dari kulit beruang, demikian juga celana pangsi ketat dari kulit beruang juga.

   Pemuda itu berambut panjang, rapi.

   Diikat dengan ikat kepala dari kulit macan tutul.

   Sedangkan ikat pinggangnya jelas terbuat dari kulit buaya, lebar dan tebal.

   Sekar Pamikat memperhatikan sebilah pedang yang bertengger di pundak pemuda itu.

   Pedang berkepala kobra yang terbuat dari semacam gading.

   Mungkin gading gajah Uar.

   Sekar Pamikat juga ingat, pemuda itu pernah mengalami sedikit bentrokan dengan Pendekar Burung Bangkai, atau yang dipanggilnya Eyang Gati.

   Semua gerakan, sikapnya, ketangguhannya menghadapi ilmu Eyang Gati, masih terbayang dalam ingatan Sekar Pamikat.

   Bahkan saat pertama matanya bertatapan sekilas oleh sorot mata pemuda itu, Sekar Pamikat masih ingat betapa waktu itu sebenarnya hatinya berdebar tak tentu rasa.

   Namun ketika itu ia mampu segera menghilangkan kekacauan hatinya karena sikap Eyang Gati yang membuat suasana menjadi tegang.

   Dalam jarak yang bisa dibilang jauh untuk jarak pandang itu, Sekar Pamikat dapat memperhatikan dengan jelas otot-otot dan kegempalan badan pemuda itu.

   Kekar.

   Kencang.

   Bagai menggoda suatu kehangatan yang menggelitik hatinya.

   Wajahnya bersih, tanpa kumis atau pun cambang.

   Entah memang dirawat sedemikian rupa, atau memang tak ada selembar kumis pun yang dapat tumbuh di wajah kesatriaannya, yang jelas dengan keadaan wajah bersih itu, ia tampak seperti seorang pangeran yang baru pulang dari berburu rusa di hutan.

   Seorang perempuan muda, anak pemilik kedai, sempat memperhatikan ke arah pintu regol Dalem Kadipaten.

   Ia tak sadar kalau mulutnya sejak tadi melongo, memperlihatkan kekagumannya kepada pemuda berpedang kobra.

   "Katmi...."

   Tegur ibunya.

   "Apa-apaan kamu memandang lelaki kok sampai terbengong-bengong begitu?"

   Tawa beberapa orang terdengar. Gadis yang dipanggil Katmi itu tersipu-sipu. Namun Sekar Pamikat bagai kaku dan tak mampu berekspresi lain kecuali sendu. Namun telinganya masih sempat mendengar suara Katmi yang bertanya kepada ibunya.

   "Dia itu siapa sih, Mak?"

   "Kata Mbok Jirah, abdi Dalem Kepatihan itu, dia.. dia calon suami Pendekar Cambuk Naga."

   "Wah, cocok. Pendekar Cambuk Naga ayu, calon suaminya gantengnya bukan main. Cocok sekali ya, Mak? O, lalu... namanya siapa, Mak?"

   Ayah Katmi menyahut.

   "Namanya ash"

   Tidak ada yang tahu. Tapi dia punya gelar. Pendekar Pusar Bumi."

   Tanpa disadari Sekar Pamikat menggumam lirih.

   "Pendekar Pusar Bumi..."

   "Putri...."

   Sapa Ludiro.

   "Ada apa?"

   Ludiro memancing. Sekar Pamikat menghela nafas.

   "Tidak apa-apa..."

   Suaranya begitu parau, dan Ludiro tahu apa yang sedang bergejolak di hati Sekar Pamikat.

   Sangat pribadi.

   Karenanya ia tak perlu mendesak dengan pertanyaan lain.

   Namun secara tidak sengaja, telinga mereka sama-sama menunggu suara dari orang-orang itu yang diharapkan membicarakan tentang Pendekar Pusar Bumi.

   Ternyata harapannya terpenuhi.

   Ada seseorang yang bertanya kepada pemilik kedai.

   "Dia orang mana, Pak?"

   "Kabarnya sih. dari Pesanggrahan Cendana Manik. Itu kalau aku tidak salah dengar lho. Sebab sebelum dia masuk pertama kali ke Dalem Kadipaten, ia menyempatkan minum tuak dulu di sini sambil bertanya tentang ini-itu sama aku."

   "Ooo... jadi dia memang sudah lama tinggal di wilayah kita?"

   "Lama sih tidak. Mungkin sudah ada dua bulan, cuma tidak menetap di sini. Ia sering pergi entah ke mana, dan tahu-tahu muncul lagi."

   Sebenarnya pemuda yang konon bergelar Pendekar Pusar Bumi itu telah lama masuk Dalem Kadipaten, namun mereka masih saja membicarakan.

   Tanpa disadari, sesekali hati Sekar Pamikat merasa berbunga-bunga, karena seakan dirinya itulah yang sedang dibicara-kan.

   Jika ada yang mengatakan.

   "Alangkah bahagianya Pendekar Cambuk Naga bisa berdampingan dengan Pendekar Pusar Bumi yang tampan itu...."

   Sekar merasa seakan orang itu sedang menyindirnya dalam canda. Malahan ia sempat tersenyum ketika Katmi, anak pemilik kedai itu berkelakar dengan salah seorang lelaki yang sedang menikmati makanannya di situ.

   "Hei, Kang... kalau kau seumpama menjadi Pendekar Pusar Bumi, apa yang akan kaulakukan pada malam pertama? Kau ingin mencium Pendekar Cambuk Naga?"

   Orang itu menjawab.

   "Untuk apa kucium? Aku tahu pasti kalau Pendekar Cambuk Naga akan menciumku sendiri, seandainya aku Pendekar Pusar Bumi. Sayang... nyatanya aku toh cuma tukang ramban, cari rumput! Paling-paling yang cium aku kuda...!"

   Gelak tawa itu membuat Sekar Pamikat menjadi tersipu sendiri.

   Ia benar-benar seakan mereka sedang membicarakan percintaannya dengan Pendekar Puser Bumi.

   Wajah Sekar Pemikat saat itu menjadi merah dadu.

   Ia menunduk.

   Tersenyum-senyum sehingga Ludiro memandangnya dalam keheranan.

   Tak sengaja Ludiro bertanya sendiri.

   "Ada apa kok jadi tersenyum-senyum begitu?"

   Sekar Pamikat buru-buru menarik nafas panjang.

   Ia kembali dalam kesadarannya dan mengetahui bahwa orang-orang itu tidak sedang membicarakan dirinya.

   Pendekar Cambuk Naga yang mereka maksud, adalah Pendekar Cambuk Naga yang saat ini berada di dalam Dalem Kadipaten.

   Bukan yang berada di kedai itu.

   Yang berada di kedai, sama sekali tak dikenal oleh mereka, dan sama sekali tak mendapat perhatian karena tidak memiliki kecantikan seperti Pendekar Cambuk Naga yang ada di dalam Dalem Kadipaten itu.

   Hati Sekar Pamikat bagai menerima irisan-irisan yang memedihkan begitu ia menyadari hal itu.

   Secara lahiriah, ia memang tertarik melihat ketampanan, kegagahan dan ketegaran Pendekar Pusar Bumi.

   Tapi toh ia belum tahu isi hatinya.

   Ia belum mengenai watak dan pribadi pemuda itu.

   Karenanya, Sekar Pamikat buru-buru membuang perasaan simpati-nya, mengacau balaukan hati yang sedang berbunga-bunga.

   Ia tak mau tersiksa sendiri.

   "Paman, sebaiknya..."

   Kata-kata itu terputus.

   Sekar Pamikat memandang sekeliling.

   Oh, kedai itu telah sepi.

   Ludiro tidak ada di sampingnya.

   Hanya tinggal dua orang yang tengah menikmati makanannya.

   Dan...

   astaga, ia terlalu panjang melamun.

   Ia tak sempat menyadari kalau hari telah merayap menjadi petang.

   Ouw...

   luar biasa.

   Barangkali Ludiro maupun orang lain telah menegurnya berulangkali, namun agaknya ia telah terseret ke dalam lamunan yang dalam.

   Lamunan tentang Pendekar Pusar Bumi? Lamunan tentang kecantikan diri yang sebenarnya? Lamunan tentang bunga asmara yang berusaha ditekan dan dimatikan di dalam hati? Ah, entahlah.

   Ia sendiri tak tahu mengapa ia menjadi linglung seperti itu.

   Waktu ia menanyakan kepada Katmi.

   "Apakah kau melihat temanku yang tadi makan bersama aku?"

   Katmi hanya menjawab.

   "Dia pergi. Dia sudah berpesan kepadamu agar jangan kemana-mana sebelum ia kembali."

   "O, dia bicara kepadaku?"

   "Juga kepadaku, aku disuruh menjagamu. Tapi... itu tak mungkin kulakukan. Tugasku banyak. Sebentar lagi akan banyak orang yang datang untuk bersantap malam di sini."

   Jawaban-jawaban itu, perkataan-perkataan itu, sungguh bersifat menyepelekan diri Sekar Pamikat.

   Mungkin karena wajahnya tak secantik Katmi, dan sosok tubuhnya tak menggairahkan seperti Katmi, sehingga seorang perempuan pun enggan bersahabat dengannya.

   Memang, dengan gigi depan yang sedikit menjorok ke luar itu, ia benar-benar tak enak dipandang.

   Tapi, mengapa mereka harus bersikap demikian jika wajah yang dipakai ukuran? Tidak.

   Sekar Pamikat tidak mau berpikir hal itu.

   Terlalu ringan dan sia-sia.

   Ada persoalan lain yang lebih penting, lebih membutuhkan pikirannya.

   "Nawang Puri!"

   Ketika Sekar Pamikat mencoba berdiri di halaman depan kedai itu, ia melihat seseorang keluar dari pintu regol Kadipaten.

   Orang itu, menurutnya adalah dirinya sendiri.

   Tapi sebenarnya ia adalah Nawang Puri.

   Sekar Pamikat sempat gugup sebentar karena ia kebingungan, antara mencari dan menunggu Ludiro di kedai, atau berjalan mengikuti kepergian Nawang Puri.

   Apalagi kini dibelakang Nawang Puri berjalan seorang pemuda berambut panjang, rapi dan bersih.

   Dialah Pendekar Pusar Bumi.

   Oh, begitu gundahnya hati Sekar Pamikat saat ini.

   Mereka hanya berdua.

   Memang benar-benar hanya berdua.

   Mereka melangkah perlahan, bagai sedang menyusuri cahaya purnama yang malam itu begitu in dan, memancarkan warn a perak mendamaikan hati.

   Begitu romantis mereka melangkah seiring.

   Entah apa yang mereka bisikkan dari hati ke hati, namun hati Sekar Pamikat kian terpecah menjadi dua bagian.

   Salah satu hatinya merasa masygul, berdebar-debar, karena ia bagai sedang melihat dirinya berjalan rapat dengan pemuda segagah itu.

   Namun sebagian hatinya terbersit dendam kepada Nawang Puri.

   Gara-gara kelicikan Nawang Puri, saat itu ia hanya dapat menjadi penonton setia terhadap kemesraan yang ada di depan matanya itu.

   "Setan! Memang setan keparat dia! Malam ini juga aku harus menunjukkan siapa sebenarnya dirinya dan siapa sebenarnya Pendekar Cambuk Naga!"

   Geram Sekar Pamikat sambil melangkah di keremangan cahaya purnama, mengikuti ke mana arah kepergian sepasang remaja dalam kemesraan itu.

   Malam terus merayap.

   Ada hembusan udara yang membawa angin dingin.

   Rambut Nawang Puri yang tersanggul rapi itu bagai bertiras.

   Tepiannya beriap-riap bagai tarian serabut benang sutra.

   Sementara itu, baju longgar bergaya jubah warna ungu menari-nari karena hempasan angin.

   Baju itu tampak lebih lembut dan menakjubkan ketika terkena cahaya bulan purnama.

   Langkahnya maju setapak demi setapak, seakan sengaja menggoda hati Sekar Pamikat, yang berada dalam raga Nawang Puri sebenarnya.

   "Kalau sukmaku telah menjadi satu dengan ragaku, barangkali perasaanku saat itu sama dengan apa yang kurasa saat ini!"

   Kata Sekar Pamikat sendirian.

   Suaranya sedikit bergetar karena menahan kepedihan.

   Dalam jarak tertentu, Sekar Pamikat ikut melangkah, mengawasi sepasang muda-mudi itu.

   Dalam jarak pandangnya, ia dapat melihat betapa indahnya ikat kepala Pendekar Pusar Bumi di sela taburan cahaya rembulan.

   Ikat kepala dari bahan kulit macan tutul, kelihatan seperti sehelai kain emas bertaburkan manik-manik hitam yang indah.

   Pedang bergagang gading bentuk kobra itu, terasa begitu menggugah gairah.

   Pedang yang tersan-dang di pundaknya itu bagai mempunyai daya magnetisme tersendiri bagi Sekar Pamikat.

   Ia tak dapat membohongi dirinya sendiri, bahwa pemuda dan pedang itu telah memancing khayalannya untuk saling berdekap erat.

   Sayang...

   hanya segelintir khayalan.

   Debur ombak pantai terdengar.

   O, rupanya Pendekar Pusar Bumi membawa gadisnya ke pantai yang sepi dan memang sangat romantis.

   Sekar Pamikat masih mengikutinya terus dalam jarak yang diatur sedemikian rupa sehingga sukar diketahui oleh mangsanya.

   Debar-debar jantungnya sesekali bagai ingin meledak, manakala ia memperhatikan tangan Nawang Puri diremas oleh jemari tangan Pendekar Pusar Bumi.

   Tanpa sadar tangan Sekar Pamikat bergerak-gerak meremas udara hampa.

   Ia merasakan bagai sedang bergandengan tangan dengan Pendekar muda itu.

   Oh, alangkah melenakan jika ia dapat merasakannya langsung.

   "Aku harus bergerak. Bergerak sekarang,"

   Pikir Sekar Pamikat.

   "Tapi, oh... jangan. Jangan sekarang. Biar dulu ingin kutahu sehangat apa kemesraan itu berlangsung...."

   Sekar Pamikat menggelinjang kegelian ketika Pendekar Pusar Bumi menggelitik pinggang Nawang Puri.

   Ia bagai merasa sedang bercanda dengan pemuda itu.

   Ia nyaris terpekik kegelian.

   Buru-buru ia segera menutup mulutnya dan mengendap dalam semak tanaman perdu.

   Ombak pantai semakin jelas.

   Pendekar Pusar Bumi berdiri dengan kaki terentang tegak.

   Kedua tangannya bersedekap.

   Sementara cahaya bulan memancar dari arah depannya.

   Sekar Pamikat yang berada dalam persembunyian semak, mengeluh dan berdecak kagum berulangkali.

   Cuma dalam hati.

   Ia memandang tubuh yang tegar dan tegap itu membentuk dalam bayangan yang menampakkan kejantanannya.

   Pemuda itu bagai sedang menantikan kapal musuh dan siap menghancurkannya.

   Sekar Pamikat semakin merayap mendekat.

   Ketika itu Nawang Puri sedang memeluk pundak Pendekar Pusar Bumi, bahkan kini bergelayutan dengan manja.

   Tawa dan kata terdengar samar-samar, angin berhembus membawa kikik tawa mereka.

   Dan ketika tangan kekar nan tegap itu merangkul pundak Nawang Puri, tak sadar mulut Sekar Pamikat melontarkan keluh yang romantis.

   "Ooh..."

   Dan ia pun menggelinjang, bagai ingin merapatkan badan ke tubuh kekar yang menghangat itu.

   Tak tahan rasanya hati untuk mengeluh dan mengeluh terus.

   Sekar Pamikat merayap lebih mendekat, namun masih dalam rimbunan semak dan rimbunan pohon nipah.

   Matanya menatap tajam tak berkedip, memandang kemesraan Nawang Puri dengan Pendekar Pusar Bumi.

   Suara-suara mereka mulai terde-ngar sayup, namun Sekar Pamikat segera menggunakan aji Gineng memusatkan pikiran pada segala macam suara, lalu memilih suara mana yang perlu daya tangkap khusus.

   Sebab itu, Sekar Pamikat dapat mendengar Pendekar Pusar Bumi berkata.

   "Rasa-rasanya aku tak sabar untuk menunggu terlalu lama, Dewi."

   Terdengar pula Nawang Puri yang dipanggil Dewi itu menjawab lirih.

   "Ya, aku pun juga tak tahan, Kakang."

   "Dewi..."

   Pemuda itu mendesah punya makna tersendiri. Diam-diam hati Sekar Pamikat semakin berdebar-debar dan penuh desah juga.

   "Sayang kita harus menunggu ayah sembuh. Jika tidak, mungkin malam ini juga kita telah resmi menjadi suami-istri dan dapat... dapat...."

   "Dapat apa?"

   Goda Nawang Puri dengan tawa kecilnya.

   "Kau bisa menebaknya, bukan?"

   "Aku sudah tahu jawabannya. Dan... dan aku sudah siap menjawab tanpa kata, Kakang."

   Angin berhembus tak begitu kencang, cukup dipakai buat pelena suasana mesra itu.

   Sekar Pamikat menggigit bibirnya sendiri pada saat Pendekar Pusar Bumi memeluk tubuh Nawang Puri, yang sebenarnya tubuh Sekar Pamikat sendiri.

   Bahkan ketika Pendekar Pusar Bumi memeluk lalu menciumnya pelan-pelan, Sekar Pamikat merintih pelan.

   Pelan sekali.

   Bahkan ia sempat mengerang dalam nada rengekan.

   Ia tak tahan.

   Sangat tak tahan.

   Ia ingin segera muncul dan menampakkan diri, lalu adu kadigdayan dengan Nawang Puri.

   Tapi, hati kecilnya mengatakan, jangan! Masih ada sesuatu yang harus ditunggu.

   Entah apa dan kapan.

   "Kau tidak kecewa karena gagal bersuami Raden Praja?"

   Tanya Pendekar Pusar Bumi. Tampak dari semak-semak, Nawang Puri menggeleng. Lalu perempuan itu berkata.

   "Dia sudah tiada, yang sudah tiada tak perlu dibuat menjadi ada. Itu hanya menjadikan diri kita mayat tertunda."

   Pendekar Pusar Bumi tersenyum dalam tawa kecilnya.

   Cahaya bulan menerangi tawa kecil dan senyuman itu.

   Lalu mulut Sekar Pamikat semakin terperangah.

   Ia, pemuda itu, semakin memikat saja dengan tawa tipisnya itu.

   Apalagi saat ini ia mengusap lembut pipi Nawang Puri, merapikan anak rambut yang meriap di kening Nawang Puri, oh...

   Sekar Pamikat terpaksa memejamkan mata untuk meresapinya.

   "Kakang Seta..."

   Bisik Nawang Puri dalam desah yang telah memabokkan itu.

   "Kurasa tak ada salahnya jika kita berbulan madu lebih dulu sekarang ini. Aku..aku takut kehilangan kau, Kakang Seta."

   Terperanjat hati Sekar Pamikat. Ia buru-buru melepaskan diri dari penghayatannya. Ia mendengar pemuda yang dipanggil kakang Seta itu tertawa kecil, bercampur desah nafas yang memburu.

   "Apakah kau rela memberikannya malam ini?"

   "Ya. Aku rela. Aku rela, Kakang. Inilah bukti bahwa cintaku bukan mekar di tepian bibir saja, namun di ujungsukmapun cinta itu masih mewangi, Kakang."

   Tidak! Sekar Pamikat berteriak dalam hati.

   Ia tidak mau ternoda.

   Ia ingin mendapatkan jasadnya kembali dalam keadaan masih suci.

   Masih perawan! Sama persis seperti ketika raga itu dipakai sukma Nawang Puri.

   Namun agaknya sepasang kasih itu semakin hangat dan semakin merayap.

   Sekar Pamikat dalam kebimbangan.

   haruskah ia menampakkan diri saat ini? Tapi bagaimana dengan gejolak kewanitaannya yang telah tertawan kemesraan Pendekar Pusar Bumi dengan Nawang Puri itu? "Kakang..."

   Desah Nawang Puri semakin tipis.

   Gaun jubah berwarna ungu nan halus dan lembut itu sudah tidak lagi hanya dipermainkan oleh angin saja, tetapi jari-jemari tangan Nawang Puri sendiri sudah lebih berani mempermainkannya, bagai memberi kesempatan kepada Seta untuk menghangatkan hembusan angin pantai itu.

   Debur ombak pun semakin deras, seakan merupakan irama yang terselip di sela ketegangan Sekar Pamikat.

   "Ini harus dihentikan!"

   Ucap Sekar Pamit dalam hati.

   Tetapi sebelum ia berdiri dari jongkoknya yang telah lama itu, tiba-tiba ia merasakan ada benda dingin yang menempel di tengkuk kepalanya.

   Menempelnya benda dingin yang mendirikan bulu kuduknya itu diiringi dengan suara bisikan lembut, yang terlontar dengan sangat hati-hati sekali.

   "Jangan bertindak bodoh. Ikuti aku, lekas!"

   Suara itu, jelas suara Panewu.

   Sekar Pamikat hafal dengan suara yang sedikit serak, bagai orang kebanyakan madat, Benda dingin.

   yang menempel di tengkuk kepalanya jelas sebilah keris.

   Baunya yang khas sempat ter-hirup hidung, dan keruncingannya sempat membuat perih di kulit Sekar Pamikat.

   Di luar dugaan Panewu, Sekar Pamikat menggulingkan tubuhnya ke kiri bagai seekor kucing tersengat api Bersamaan dengan itu kakinya yang kecil dan keras menghantam pergelangan tangan Raden Panewu.

   Keris hampir saja terlepas.

   Untung hanya terhempas ke belakang dengan gagang masih kukuh terpegang tangan.

   "Jahanaaamm...!"

   Raden Panewu berteriak keras.

   Ia berusaha mengayunkan kerisnya ke arah pinggang Sekar Pamikat, tapi perempuan kurus itu lebih dulu melentik ke udara bagai anak belalang keluar dari persembunyian.

   Ia sempat melayang dan membuat gerakan salto di udara.

   Sarung pedangnya yang terbuat dari perak tembaga memantulkan cahaya bulan.

   Berkilat dan melesat, seperti seekor kunang-kunang menari di udara.

   Dengan sigap, tanpa goyah sedikit pun, Sekar Pamikat telah menampakkan kedua kakinya dengan sempurna di tanah berpasir lembut.

   Dan hal ini sangat mengejutkan Pendekar Pusar Bumi dan Nawang Puri.

   Terlebih Nawang Puri ia nyaris menjerit kaget sewaktu ia merasa melihat dirinya berada di depannya sendiri.

   Untung ia segera sadar bahwa saat ini ia masih mengenakan raga Sekar Pamikat, sehingga tubuh yang dulu pernah dimiliki sukmanya itu kini justru dipandanginya dengan sinis.

   "Nawang Puri...?!"

   Geram Sekar Pamikat. Pendekar Pusar Bumi sempat terperangah dan heran beberapa detik.

   "Nawang Puri, kembalikan ragaku itu!"

   Sekar Pamikat sengaja bicara terang-terangan di depan Pendekar Pusar Bumi. Nyatanya pemuda itu semakin terheran-heran setelah Sekar Pamikat berkata lagi.

   "Belum puaskah rohmu memakai ragaku, Nawang Puri? Belum puaskah kau meninggalkan ragamu ini yang sekarang dipakai sukmaku? Belum puaskah kau, Setan!"

   Bentak Sekar Pamikat.

   "Siapa dia?"

   Tanya Pendekar Pusar Bumi.

   "Entah, rasanya aku belum pernah berkenalan dengannya, juga bertemu pun baru kali ini,"

   Nawang Puri berlagak bego. Panewu yang sejak tadi telah geram-geram sambil memegangi keris pusakanya, kali ini menjadi bersuara lantang.

   "Hai, kamu... Perempuan jalang! Masihkah kau akan mengaku sebagai Cambuk Naga? Pendekar Cambuk Naga? Nah, sekarang kau berhadapan sendiri dengan tokoh sakti di kalangan persilatan di sini! Ayo, kalau berani mengaku, silakan!"

   "Aku tidak bicara soal berani mengaku atau tidak berani mengaku,"

   Kata Sekar Pamikat yang mulai menguasai ketenangan.

   "Aku hanya ingin berkata kepadamu, bahwa yang ia kenakan itu ragaku, Dan kenyataan dirinya, diri Nawang Puri ini, ada di depan Anda sendiri Tuan Pendekar yang agung...."

   "Bohong! Kau memang pengacau!"

   Bentak Nawang Puri.

   "Dari dulu kerjamu selalu mengacaukan hubungan cintaku dengan lelaki mana pun! Bah! Apa maumu sekarang, bah?"

   "Kembalikan ragaku. Titik". Sekar Pamikat menjawab tegas.

   "Perempuan mabok...! Terimalah jawabanku ini, hiaat...!"

   Nawang Puri menyerang dengan suatu jurus tendangan pembuka.

   Tubuhnya melayang dengan gesit dan luwes.

   Jubah ungunya bagai lautan berombak di tengah malam.

   Berkilauan dihempas angin, dan berayun-ayun begitu indah, Namun sayang tendangan pembuka itu tidak mengenai sasaran.

   Lengan gaun yang panjang berkelebat ke arah depan mata Sekar Pamikat.

   Dengan satu kali tangkisan cepat, pukulan itu meleset.

   Kini bahkan Nawang Puri meringis kesakitan, karena tulang hastanya bagai terasa mau patah ketika beradu dengan tulang lengan Sekar Pamikat.

   "Enyah kau dari sini, Iblis!"

   Bentak Nawang Puri yang benar-benar marah sekali.

   Bau harum dari tubuh Nawang Puri sangat menyegarkan, sebenarnya.

   Sayang sekali Pendekar Pusar Bumi tak mau banyak bergerak.

   Hanya sepasang mata yang bening itulah yang mengikuti gerakan Sekar Pamikat sejak tadi.

   Kelenturan tubuh Sekar Pamikat, kepandaiannya membuang serangan dan pukulan Nawang Puri itu membuat Pendekar Pusar Bumi terlolong-lolong melongo.

   Namun demikian ia masih kelihatan tenang dan menganggap ini hal yang sepele.

   Panewu menerjang dengan menghu-jamkan keris ke tubuh Sekar Pamikat.

   Tetapi usaha itu bagai sia-sia belaka.

   Gesit dan lincah Sekar Pamikat meliuk, melayang dan menerjang Nawang Puri yang dibantu oleh Raden Panewu.

   Panewu mencoba melakukan serangan beruntun ke arah Sekar Pamikat.

   Tetapi sekali lagi Sekar Pamikat meloncat bagai kupu-kupu melebarkan sayap, kemudian menghantam kuat kepala Panewu.

   Lelaki bertubuh sedang itu berputar-putar keliyengan.

   Sementara itu Nawang Puri hendak menyerangnya.

   Tetapi dicegah oleh Pendekar Pusar Bumi.

   "Tunggu! Jangan teruskan dulu!"

   "Apa maksudmu, Kakang Seta?"

   "Dewi... pulanglah bersama Kakang Panewu. Biar aku saja yang menghadapi perempuan ini. Pulanglah segera...! Jantung Sekar Pamikat berdebar-debar, ia harus berhadapan dengan pemuda itu, uuuh... celaka! "Aku tidak ada urusan dengan kamu, Bung!"

   "O, ya?"

   Pemuda itu tersenyum.

   "Tapi aku masih merasa kagum atas permainanmu ketika aku berhadapan dengan Pesiul Iblis yang bergelar Pendekar Burung Bangkai itu. Aku ingin berkenalan denganmu. Barangkali kau sudi mengajarku untuk bisa mengen-dalikan gelombang suara siulan itu."

   Sekar Pamikat kebingungan. Semen-tara itu ia melihat Nawang Puri sedang berbicara dengan Raden Panewu. Segera ia tidak menghiraukan pemuda itu, ia meloncat menerjang Panewu dengan satu jurus penghentak.

   "Hiaaat...!"

   Panewu sigap.

   Ia melompat mundur bagai menghindari lemparan api rokok.

   Pada kesempatan itu, Nawang Puri mengibaskan sapuan tangannya ke arah pelipis Sekar Pamikat.

   Gaun jubah berwarna ungu dan mengabarkan bau harum itu bagai percikan air panas.

   Rupanya Nawang Puri tidak hanya sekedar mengibaskan tangannya, melainkan diiringi hembusan hawa panas dari dalam tubuhnya.

   Sayangnya, Sekar Pamikat sudah mempunyai daya refleks untuk melapisi tubuhnya dengan hawa dingin, sehingga penyaluran tenaga dalam Nawang Puri tidak membuatnya menggelinjang atau sempoyongan sedikit pun.

   Hal itu cukup mengherankan Pendekar Pusar Bumi.

   Sebenarnya ia masih ingin menonton pertarungan itu beberapa jurus lagi.

   Namun, dalam hati Pendekar Pusar Bumi tidak rela jika calon istrinya harus memeras tenaga untuk mengalahkan perempuan yang belum dikenalnya itu.

   Dengan satu gerakan yang tak terlihat oleh mata, kaki Pendekar Pusar Bumi menebarkan pasir ke arah kaki Sekar Pamikat.

   Seketika itu pula Sekar Pamikat menjerit kesakitan Tulang-tulangnya menjadi linu, terutama tulang kakinya.

   Ia tak tahan untuk berdiri.

   Ia meringis kesakitan.

   Ia sempat mendengar Pendekar Pusar Bumi memerintahkan Nawang Puri untuk segera pulang.

   Dan perempuan itu pun pergi bersama Panewu.

   Kemarahan Sekar Pamikat meluap-luap.

   Ia ingin berjalan mengejarnya, namun kedua kakinya bagai sedang dijepit oleh suatu alat yang amat kuat.

   Ia nyaris tak tahan dicekam rasa sakit tersebut.

   * * * DEBURAN ombak mengganas.

   Sesekali memercik ke tubuh Sekar Pamikat, bagai usapan selaksa jarum.

   Kakinya yang sakit bukan kepalang itu berusaha untuk digerak-gerakkan.

   Oh, semakin bertambah sakit saja rasanya.

   Sekar Pamikat meringis, menegang nafas, namun tetap tak berhasil mengatasi rasa ngilu pada tulang kakinya.

   Sekar Pamikat merasa heran mendapat serangan ilmu semacam itu.

   Ia telah mengerahkan tenaga intinya, menyalurkan tenaga murni pada kaki, tapi tetap tidak berhasil.

   "Setan! Jahanam!"

   Teriak Sekar Pamikat sendirian.

   Orang yang dicaci, diam dengan tenang di depannya, kira-kira hanya berjarak 4 meter, darinya.

   Orang itu berdiri tegap, kedua kakinya terentang dengan jarak tiga jengkal.

   Kedua tangannya saling lipat di dada.

   Dan sepasang matanya yang bening namun tajam itu masih memandang lurus pada Sekar Pamikat.

   Dalam serangan kesakitan yang mengganas itu, Sekar Pamikat masih sempat menangkap senyuman tipis Pendekar Pusar Bumi.

   Seakan pendekar gagah perkasa itu sedang menertawakan kebodohan Sekar Pamikat.

   Kemarahan dan dendam membakar hati Sekar Pamikat.

   Kian lama kian tak dapat terkendalikan.

   Akhirnya ia mencabut senjata andalannya.

   Cambuk Naga.

   Cambuk itu bergagang hitam, talinya bukan terbuat dari serat yang kuat, melainkan hanya dari rajutan benang sutera.

   Namun kekuatan lecutnya sangat menghebohkan dunia persilatan.

   Dan kali ini Sekar Pamikat melecutkan Cambuk Naga ke arah Pendekar Pusar Bumi dalam posisi tak dapat berdiri.

   "Kau memang pantas dihancurkan, Jahanam!"

   "Tar... tar... tar...!"

   Air laut bagai bergolak mendengar 1ecutan Cambuk Naga.

   Ombaknya mengamuk bersamaan dengan deru angin yang bagai ingin membalikkan seisi lautan.

   Pendekar Pusar Bumi meletik ke belakang dengan gerakan saltonya yang sempurna.

   Sambil menahan sakit pada kedua tulang kaki, Sekar Pamikat melancarkan serangan Cambuk Naga berulang-ulang, bagai tidak memberikan kesempatan pada lawannya untuk berhenti bergerak.

   Semakin jauh Pendekar Pusar Bumi menghindar, semakin keras suara lecutan Cambuk Naga dan getaran yang ditimbulkan begitu kuatnya, sehingga mampu menaburkan berjuta-juta pasir pantai.

   Suara pekikan Sekar Pamikat bersahut-sahutan dengan letusan ujung cambuknya.

   Semakin jauh Pendekar Pusar Bumi menghindar semakin hebat daya lecut Cambuk Naga.

   Ia sempat kewalahan sejenak menghadapi kekuatan yang menghantam bagai tak memberi peluang sedikit pun untuk mengadakan balasan.

   Pasir yang beterbangan bertambah banyak, seperti telah terjadi pusaran topan yang hebat di depan mata Sekar Pamikat.

   Karena banyaknya pasir yang meluap-luap, maka pemandangan pun menjadi kabur.

   Pendekar Pusar Bumi tak terlihat sedikit pun batang hidungnya.

   Untuk mengetahui keadaan pendekar muda itu, Sekar Pamikat menghentikan lecutan Cambuk Naga.

   Jutaan pasir beterbangan ke arah di mana angin berhembus.

   Kemudian hilang.

   Mata Sekar Pamikat menyipit, memandang keadaan di depan dan di sekelilingnya.

   Ternyata Pendekar Pusar Bumi sudah tak tampak lagi.

   Entah lari ke mana, yang jelas Sekar Pamikat bagai ditinggalkan begitu saja dalam keadaan lumpuh.

   Suara debur ombak mereda, dan Sekar Pamikat memasang telinga, mempertajam pendengaran dengan aji Ginengnya.

   Ternyata ia tidak menangkap suara langkah kaki yang melarikan diri.

   Cahaya bulan yang berwarna perak itu pun tidak menampakkan adanya bayangan berkelebat.

   Sepi.

   Hanya Sekar Pamikat dan ombak yang ada di pantai itu.

   Sayang kedua kaki masih terasa bagai diremukkan tulang-tulangnya, sehingga Sekar Pamikat tak dapat mencari ke mana arah larinya Pendekar Pusar Bumi.

   Nafas dihempaskan lepas.

   Ia masih menyeringai menahan sakit.

   Keringat bercampur dengan butiran air laut yang membasahi sekujur tubuhnya yang kurus kering itu.

   Tetapi tiba-tiba Sekar terhentak kaget.

   pasir di depan hidungnya bergerak-gerak, dan seketika itu muncullah tubuh Pendekar Pusar Bumi dari dalam tanah.

   "Heaaaat..."

   Tubuh tegap berotot gempal itu meluncur ke atas, melayang sejenak dan, jatuh ke tanah dengan sikap berdiri yang tegap.

   Kokoh dan kekar.

   Kalau saja Sekar Pamikat masih mampu menggerakkan kakinya, maka saat itu ia pasti akan lari atau terlonjak kaget.

   Namun karena kedua kaki itu menjadi lumpuh dan terasa sakit yang luar biasa, maka Sekar Pamikat hanya dapat berteriak dalam satu kejutan.

   Cambuk naga dihentakkan ke arah Pendekar Pusar Bumi yang membuat pendekar itu berjumpalitan ke udara kian ke mari.

   "Bangsaaaattt...!!"

   Kemarahan itu meluap, sama seperti meluapnya air laut yang menimbulkan deburan ombak mengganas.

   Pasir-pasir beterbangan mendengar letusan ujung Cambuk Naga.

   Pendekar Pusar Bumi masih sibuk menghindari kekuatan hantam cambuk itu.

   Dan sebelum pasir beterbangan bagai disedot topan gila, Pendekar Pusar Bumi mencabut pedang kobranya "Sreet...!"

   Lalu terdengar suara halus yang kian lama kian tinggi.

   Suara denging yang timbul sejak pedang berujung kepala kobra itu dicabut dari sarungnya.

   Sekar Pamikat semakin menyeringai menahan sakit di kaki dan di telinga akibat denging yang keluar dari pedang itu.

   Namun amukan cambuknya masih terus melecut-lecut memburu sasaran.

   Bunyi denging yang bagai menembus gendang telinga itu beradu sendiri dengan letupan yang keluar dari hantaman Cambuk Naga.

   Pendekar Pusar Bumi mengibas-ngibaskan pedangnya sambil memekik berulang-ulang.

   Dan Sekar Pamikat pun melecutkan cambuknya seraya berteriak-teriak tiada henti.

   Sudah tentu gerakan-gerakan mereka tidak sekedar gerakan kosong, namun penuh getaran tenaga dalam yang hanya dimiliki oleh orang berilmu tinggi.

   Hal itu membuat air laut mengamuk.

   Gelombang laut bergulung, melonjak-lonjak setinggi rumah.

   Dan tanah pesisir itu tergoncang, miring ke kiri kekanan, seakan terjadi gempa setempat yang dapat menjadi hebat.

   Angin pun berhembus dengan kecepatan tinggi, memutar-mutar kuat seakan hendak menelan seisi bumi.

   Pada detik berikutnya, semuanya menjadi hening.

   Diam dan sepi.

   Nafas terengah dari kedua belah pihak.

   Dan Sekar Pamikat tercengang melihat ujung Cambuk Naga membelit pedang kobra yang dipegang erat-erat oleh Pendekar Pusar Bumi.

   Mereka sama-sama saling tatap dalam kebisuan.

   Sekar Pamikat mencoba menarik Cambuk Naga, namun tak berhasil.

   Dan baru sekarang ia melihat sebuah benda yang mampu menahan kedahsyatan Cambuk Naganya.

   Umumnya benda yang tersentuh Cambuk Naga akan hancur, namun kali ini tidak.

   Kesaktian yang luar biasa.

   Keduanya berpikir demikian.

   Sebab Pendekar Pusar Bumi juga sebenarnya merasa heran.

   Biasanya dengan angin kibasan pedangnya saja benda apa pun bisa hancur, namun kali ini seutas cambuk terbuat dari serat sutera tipis bahkan membelit di batang pedangnya, tak mau putus atau pun rantas sedikit pun.

   Diam-diam ia pun mengakui kehebatan cambuk tersebut.

   ".

   "Sudah berakhir riwayatmu, Perempuan malang!"

   Geram Pendekar Pusar Bumi.

   "Kau pun akan hancur juga, laknat!"

   Balas Sekar Pamikat menggeram.

   Tanpa disengaja, tangan kiri Sekar Pamikat merentang dan gemetar.

   Demikian juga tangan kiri Pendekar Pusar Bumi merentang dan gemetar.

   Keduanya bergerak lamban, searah dan seirama.

   Pemusatan tenaga pada telapak tangan masing-masing, sedangkan tangan sebelahnya memegang senjata masing-masing pula.

   Pedang teracungkan ke atas, kokoh.

   Cambuk Naga terentang membelit pedang, kokoh.

   Gerakan telapak tangan Sekar Pamikat semakin bergetar, kemudian ia menghentakkan tangan itu ke depan, tepat pada saat Pendekar Pusar Bumi juga menghentakkan tangannya ke depan.

   Mereka sama-sama berteriak tanpa disengaja.

   "Wiwahaaaaa!!!!"

   Mereka mengucap kata yang sama. Kemudian sinar hijau bening meluncur dari telapak tangan Sekar Pamikat, juga dari telapak tangan Pendekar Pusar Bumi. Sinar hijau bening itu beradu di pertengahan jarak mereka. Menimbulkan sebuah ledakan yang dahsyat.

   "blaaarr...!"

   Detik berikutnya bumi berguncang dan mereka sama-sama terpental ke belakang.

   Sekar Pamikat telentang nyaris mendekati seonggok karang pantai.

   badannya lemas dan nafasnya terengah-engah.

   Cambuk Naga masih tergenggam di tangan kanannya.

   Ia membiarkan dirinya terbaring lunglai.

   Ia tak tahu bahwa Pendekar Pusar Bumi pun terbaring lemas dengan pedang masih tergenggam di tangan kanannya.

   Hening dan sepi dibiarkan berlalu.

   Debur ombak menipis.

   Angin tidak lagi seperti puting beliung yang mengamuk.

   Guncangan tanah diam kembali.

   Sepi, dan memang dibiarkan bumi menjadi sunyi dalam sorot cahaya purnama.

   Entah sudah berapa kali angin bertiup berganti arah.

   Yang nyata adalah desah.

   Ya, desah yang terdengar mendekat di telinga Sekar Pamikat.

   Desah seorang lelaki yang merayap dengan merangkak mendekatinya.

   Sekar Pamikat melupakan rasa sakit pada kedua tulang kakinya.

   Ia menyempatkan memandang wajah lelaki itu, yang begitu mempesona dalam sorotan cahaya rembulan.

   Ikat kepala dari kulit macan tutul bagai sebuah tan da pengenal yang sengaja ditunjukkan kepada Sekar Pamikat.

   "Oh... kau.."

   Desah Sekar Pamikat sangat pelan.

   Ia membiarkan Pendekar Pusar Bumi berbaring di sampingnya dalam keadaan loyo, seakan habis terkuras tenaganya.

   Mereka sama-sama membiarkan kebisuan sejenak, sama-sama menatap langit berbintang dan bercahaya bulan.

   Kemudian di sela nyanyian ombak yang samar-samar terdengar suara Pendekar Pusar Bumi bertanya.

   "Siapa kau sebenarnya...?"

   Sekar Pamikat menyeringai menahan sakit di kakinya. Namun ia pun berkata.

   "Kau bertanya pada dirimu sendiri. Dan kau pula yang akan menjawabnya. Karena aku sukar memberi jawaban kepada lelaki yang tidak kukenal...."

   Pendekar muda itu menghela nafas beberapa kali, sengaja membiarkan keheningan sejurus. Setelah itu barulah ia berkata lirih.

   "Namaku... Lanangseta...."

   Sekar Pamikat mendesah antara sakit dan lega. Ia mengucap lirih.

   "Apa hubungannya dengan Eyang guruku yang bernama Purbaseta?"

   "Itu Eyang gurumu?!"

   Lanangseta terkejut, mengangkat kepalanya seketika dan memandang Sekar Pamikat dengan mata terbelalak. Sekar Pamikat tidak menjawab, ia hanya mengerang lirih seraya memegangi pahanya yang sakit.

   "Pantas kau menguasai jurus Wiwaha Moksa...."

   Kata Lanangseta dalam keluh.

   "Eyang guru berpesan untuk tidak mengumbar kekuatan Wiwaha Moksa. Tapi, aku tadi benar-benar terpepet.."

   "Aku juga..."

   Sahut Lanangseta.

   "Jadi kau telah mempelajarinya dari Eyang guruku juga?"

   Lanangseta menggeleng.

   "Kakekku yang mengajarkan dan menurunkan ilmu Wiwaha Moksa. Aku anak Gagakseta. Ayahku mempunyai seorang kakak yang bernama Purbaseta, kawin dengan perempuan luhur yang bernama Sukmalaras. Kau pasti mengenalnya, bukan?"

   "Ooh... pantas."

   "Pantas kalau kita sama-sama memiliki ilmu itu, bukan?"

   "Pantas kalau kau tega membiarkan kakiku remuk sampai saat ini,"

   Sindir Sekar Pamikat dengan perasaan dongkol. Pendekar Pusar Bumi tertawa lirih. Kemudian ia bangkit, menyarungkan pedangnya dan duduk di samping kaki Sekar Pamikat. Ia bagai bicara pada diri sendiri.

   "Kalau tahu kita satu aliran, mungkin tak kan kugunakan jurus Tebar Besiku tadi...."

   "Apakah kau tak sanggup memulihkan keadaan kakiku?"

   "Kau, sendiri? Kurasa kau bisa menggunakan ilmu Sembur Sawan untuk mengobati kakimu ini...."

   "Sudah kucoba, tapi tak berhasil. Tebar Besi adalah ilmu leluhurmu yang cukup dahsyat dan hanya diajarkan kepada darah keturunan leluhurmu. Kepadaku tidak. Uuhh..."

   Sekar Pamikat mengerang kesakitan. Hening sejurus, dan kemudian terdengar lagi suara Lanangseta bagai bicara dalam keraguan.

   "Kalau begitu... mungkin hanya akulah yang bisa memulihkan kakimu. Tapi... tapi..."

   "Tapi apa? Tapi kau menunggu saatmu puas menyiksaku?"

   "Aku belum tahu siapa namamu sebenarnya, dan paman Purbaseta tidak pernah menceritakan dirimu. Ia hanya pernah menceritakan seorang muridnya yang bernama...."

   "Sekar Pamikat!"

   Sahut Sekar Pamikat Sendiri.

   "O, kau mengenal dia, rupanya?"

   "Sangat mengenal, dan bahkan lebih dari kenal."

   "Maksudmu?"

   "Akulah... akulah Sekar Pamikat."

   "Kau...?!"

   Lanangseta mengernyitkan kening dan membelalakkan matanya.

   "Kau Sekar Pamikat? Ah, kau becanda, ya?"

   "Kau lihat permainan Cambuk Nagaku?"

   Lanangseta mengangguk.

   "Luar biasa. Konon, kata Eyang guruku, hanya seutas Cambuk Naga yang tak dapat terpotong oleh pedangku Wisa Kobra ini. Dan... dan cambukmu tadi..."

   Lanangseta memperhatikan Cambuk Naga yang masih di tangan Sekar Pamikat.

   "Semua benda, bahkan gunung pun akan sanggup kupotong dengan pedang Wisa Kobra, tapi cambuk ini...."

   "Karena akulah Pendekar Cambuk Naga yang sebenarnya,"

   Tukas Sekar Pamikat dengan suara parau.

   "Akulah Sekar Pamikat yang asli."

   "Yang asli? Lantas itu tadi...? Yang... yang...."

   Sekar Pamikat buru-buru menyahut.

   "Yang hendak kau kawini itu; Nawang Puri! Murid dari bibimu, Sukmalaras."

   Lanangseta dalam wajah kebingungan. Sepertinya ingin mengatakan sesuatu, namun tak tahu harus berkata apa. Sekar Pamikat memanfaatkan masa cengangnya dengan berkata.

   "Nawang Puri telah menguasai ilmu Giring Sukma, dan berhasil memindahkan rohku ke dalam raganya, dan rohnya sendiri masuk di dalam ragaku. Jadi yang kau dekap tadi, sesungguhnya ragaku sendiri. Yang kau... kau cium tadi, adalah pipiku sendiri. Sayang, aku tak merasakannya. Nawang, Puri yang merasakan, betapa hangatnya saat kau mencium-nya tadi...."

   "Nawang Puri...?"

   Lanangseta bicara dalam keraguan.

   "Pergilah temui dia. Ambil cambuk di pinggang Nawang Puri dan potonglah. Jika memang dapat terpotong oleh pedang Wisa Kobramu, berarti itu bukan Cambuk Naga! Dan aku yakin, pasti akan terpotong oleh pedangmu."

   "Murtad...!"

   Geram Lanangseta.

   "Harus kubunuh dia! Memalukan aliran kita!"

   "Jangan...!"

   Sekar Pamikat mencegah dengan menarik tangan Lanangseta sewaktu pendekar muda itu hendak bangkit.

   "Jangan kau lukai dia,"

   Pintanya.

   "Dia harus dihukum menurut ajaran keruhun Karangseta".

   "Tapi... tapi yang ada padanya adalah ragaku. Kalau ia sampai terluka, terpotong, itu sama saja kau melukai atau memotong anggota tubuhku. Tidak. Dia tidak boleh terluka. Aku masih menyayangi ragaku itu."

   "Kalau begitu akan kudesak ia untuk mengembalikan ragamu..."

   Lanangseta bergegas bangun, tapi sekali lagi tangannya ditahan Sekar Pamikat.

   "Bagaimana dengan kakiku?"

   Lanangseta menghempaskan nafas, menahan rasa geli. Lalu ia menundukkan kepala, memperhatikan sepasang kaki yang kurus kering bagai tanpa darah. Kaki itu membiru. Legam. Lanangseta berkata lirih.

   "Seharusnya jurus ini tidak untuk disembuhkan. Setiap orang yang telah menerima seranganku, tak pernah ada yang dapat pulih kembali."

   "Terima kasih, kau pasti akan memulihkannya, bukan?"

   Lanangseta mendengus.

   "Maaf... jangan salah duga dengan cara penyembuhanku ini."

   Sekar Pamikat sama sekali tidak menduga kalau penyembuhan itu sangat unik.

   Lanangseta merentangkan kedua tangannya, mengejang kuat-kuat, meng-hirup nafas banyak-banyak, kemudian bertahan beberapa saat, lalu melemas kembali.

   Itu tidak heran.

   Yang mengherankan adalah, gerakan berikutnya.

   Lanangseta menunduk, mendekatkan wajah ke kaki Sekar Pamikat, lalu menjilati kaki yang biru legam itu ke segala tempat.

   "Lanang...?!"

   Sekar Pamikat sempat terperanjat kaget.

   Ia hampir saja menampar wajah Lanangseta, namun segera menyadari bahwa sebelumnya lelaki itu sudah meminta maaf untuk cara penyembuhannya.

   Kedua kaki yang bagai remuk tulangnya itu menimbulkan bekas membiru sampai ke atas lutut.

   Dan Lanangseta terpaksa menjilat-nya semua.

   Sekar Pamikat resah, berdebar-debar hatinya.

   Lidah Lanangseta menghangat, menjalar dari telapak kaki terus merayap naik ke atas, ke tulang kering, ke lutut, dan Sekar Pamikat mendesah.

   Bukan sakit, namun menahan geli dan rasa syur yang membuat hatinya gemetar.

   Ia bagai sedang dipancing gairah kewanitaannya.

   Ia jadi berkeringat dingin dan menggelinjang dalam desah.

   Setelah beberapa saat Lanangseta mengobatinya, kaki itu terasa ringan.

   Rasa nyeri hilang, bahkan sudah.

   dapat digerak-gerakkan.

   Tetapi sebelumnya Sekar Pamikat terhempas lemas dengan keringat dingin bercucuran begitu Lanangseta selesai mengobati kakinya.

   Ia nyaris tak dapat bicara ketika Lanangseta berkata.

   "Bagaimana, masih terasa sakit...?"

   Sekar Pamikat hanya mampu menggeleng, nafasnya terengah-engah dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Apa yang mau dikatakan dalam keadaan seperti itu? Tak ada kata lain kecuali.

   "kelak, jika aku sudah kembali di dalam tubuhku, lukailah lagi kakiku, dan sembuhkan lagi dengan caramu...."

   Lanangseta tertawa, bagai tawa yang menggoda.

   Sekar Pamikat hanya dapat tersenyum malu, namun terselip suatu kebahagiaan yang membuat hatinya berbunga-bunga.

   Lanangseta menolong bangkit Sekar Pamikat dengan mengangkat kepala gadis itu.

   Kemudian wajah mereka berhadapan dalam jarak dekat.

   Namun Lanangseta hanya berkata.

   "Cepat, temui mereka sebelum temanmu, Ludiro mati teraniaya oleh murid murtad itu."

   "Hah...?!"

   Sekar Pamikat terbelalak.

   "Paman Ludiro ditawan mereka?"

   "Ya, tadi sore ia tertangkap saat mencoba menerobos masuk Dalem Kadipaten. Mungkin ia akan menyelidiki keadaan di dalam Kadipaten. Kemudian ia tertangkap, dan Panewu merencanakan untuk menyiksanya sampai mati, Waktu itu, aku tak mau tahu urusan tersebut, dan kutinggalkan kemari bersama...."

   "Calon istrimu, bukan?"

   Sahut Sekar Pamikat.

   "Ahh jangan bermain sindiran begitu. Sekarang aku tahu segalanya, dan tunggulah pada saatnya nanti, kau pasti akan kembali memperoleh ragamu."

   "Kau bersungguh sungguh, Lanangseta?"

   "Kau harus membuktikan kata-kataku. Ayo, sebelum segalanya terlambat...!"

   Pantai yang hening, pantai yang hanya menyanyikan irama ombak dan riak-riak pantai, segera ditinggalkan dengan suatu semangat baru.

   Sekar Pamikat tak mau berjarak jauh dari Lanangseta.

   Langkah mereka cepat, namun bukan lari.

   Langkah Sekar Pamikat bagai seorang prajurit yang bergairah untuk bertempur.

   Hatinya masih berbunga-bunga manakala ia menyadari bahwa pemuda tegar yang berjalan di sampingnya itu sejak tadi masih menggenggam tangannya erat-erat.

   Oh, semilir angin pun bagai tak mampu menembus genggaman tangan mereka.

   Di sela perjalanan cepatnya, Sekar Pamikat sempat menyinggung kemunculan Lanangseta ketika ada di Kabupaten Abangan.

   "Jadi untuk apa kau datang ke sana dan mencari arah Kadipaten Jangga? Apakah benar kau teman Raden Praja?".

   "Tidak. Justru aku ingin datang ke Kadipaten Jangga untuk membunuh Raden Praja, tapi... ternyata ia telah tewas di tangan seorang pembunuh gelap."

   "Membunuh? Ada urusan apa kau membunuh dia?"

   "Sekedar mas kawin bagi Sekar Pamikat, maksudku... Nawang Puri. Atas persetujuan kakaknya, Panewu, ia boleh menikah denganku jika aku bisa membunuh Raden Praja."

   Sekar Pamikat berhenti melangkah.

   "Jadi, Panewu itu adalah kakak Nawang Puri? Raden Bukankah Panewu mempunyai adik Raden Praja? Bukan Panewu anak dari Adipati Jangga?"

   Lanangseta tersenyum tipis, kemudian melangkah pelan.

   "Belakangan ini baru kuketahui, bahwa Panewu adalah anak angkat Adipati Jangga. Setelah Sang Adipati mengangkat anak Panewu, barulah istrinya bisa hamil dan melahirkan Raden Praja. Tetapi, Panewu agaknya khawatir akan dirinya yang bisa disingkirkan dari keluarga Kadipaten Jangga. Dengan membunuh Raden Praja, maka mutlak seluruh warisan akan jatuh ke tangannya, dan dialah yang berhak menggantikan Adipati Jangga yang saat ini dalam keadaan sakit berat."

   "Jadi... Panewu itulah yang membunuh Raden Praja?"

   "Bukan."

   "Lalu, siapa...? "Nawang Puri sendiri."

   Kening Sekar Pamikat berkerut tajam.

   "Nawang Puri sendiri yang membunuhnya? Dengan alasan apa?"

   "Dia tak mau melibatkan aku dalam kasus perebutan tahta kadipaten Jangga. Ia tak mau aku punya andil dalam alih kuasa yang, akan dipegang oleh kakaknya. Dengan ia bunuh sendiri Raden Praja, maka aku tak punya jasa apa-apa dan tak berhak menuntut imbalan warisan yang akan diperoleh Panewu. Sementara itu, ia sendiri berusaha keras untuk dapat menjadi bagian dari keluarga Kadipaten Nilakencana ini. Itu menurut penafsiran ku."

   Sekar Pamikat manggut-manggut.

   "Semakin jelas kebusukannya. Kurasa ia memerlukan pasukan yang kuat Untuk merebut tahta Kadipaten Nilakencana, sehingga ia berusaha menguasai dirimu dengan menjalin perkawinan kalian."

   "Menurut dugaanku juga begitu. Baru kusadari tadi, setelah ia berkata padaku, bahwa kelak akan ada seorang Adipati perempuan yang berkuasa di Kadipaten Nilakencana ini. Tanpa kutanya siapa orangnya, aku sudah menduga bahwa dialah calon adipati perempuan itu. Dan..."

   "Dan pasti putri Sang Adipati sendiri akan dibunuhnya. Sama persis dengan rencana Panewu terhadap Raden Praja."

   "Ya. Aku sependapat dengan jalan pikiranmu. Dan aku yakin, bahwa hatimu saat ini juga setuju jika kita melenyapkan orang-orang rakus, yang tamak dan gila jabatan itu."

   Sekar Pamikat menggenggam erat.

   Lebih erat lagi, dan Lanangseta pun membalasnya.

   Barangkali itulah persepakatan mesra yang penuh arti bagi hidup mereka.

   Untuk menghindari keributan di dalam Kadipaten, Lanangseta mempunyai siasat sendiri.

   Lanangseta memancing Raden Panewu dan Nawang Puri untuk keluar dari Dalem Kadipaten.

   "Kita bertiga harus menghadang orang-orang dap Kabupaten Abangan,"

   Ujar Lanangseta kepada Panewu dan Nawang Puri.

   "Ada apa dengan orang-orang Kabupaten Abangan? Selama ini hubungan kami baik-baik saja."

   "Memang. Tapi perempuan jalang yang telah bertanding denganku di pantai tadi, sedang menuju Kabupaten Abangan. Ia meminta bala bantuan dari sana. Konon, ia mempunyai pengaruh yang dapat membuat Bupati Abangan membelanya. Benar dari tidaknya omongan dia, aku tidak perduli. Yang kukhawatirkan kalau sampai terjadi keributan di dalam Kadipaten Nilakencana ini, kita sendiri akan menderita malu."

   Panewu geram, giginya mengge-letuk.

   "Mari kita hadang mereka. Tunjukkan kepada Kanjeng Adipati Nilakencana, bahwa kita mampu menjadi benteng kadipaten."

   "Kita cukup bertiga. Tak perlu banyak orang!"

   Usul Nawang Puri.

   "Baik. Tapi kuminta kau jangan jauh-jauh dariku, Dewi,"

   Kata Lanangseta, seakan masih mencintai Nawang Puri.

   , Dalam naungan cahaya bulan perak, ketiga sosok berjalan tegap menuju suatu perbukitan yang menjadi batas penghubung Kadipaten Nilakencana dengan Kabupaten Abangan.

   Di lereng perbukitan itu, ternyata seorang perempuan bertubuh ceking, sayu, telah menunggu kehadiran mereka.

   Panewu dan Nawang Puri tercengang.

   Segera mereka berdua menyadari bahwa mereka telah masuk dalam jebakan.

   "Kita terjebak, Kakang,"

   Ujar Nawang Puri kepada Panewu. Sekar Pamikat tersenyum sinis, berdiri tegap di depan Panewu.

   "Siapa memasang jerat akan terperangkap sendiri."

   Nawang Puri berpaling memandang Lanangseta yang ada di belakangnya. Dengan geram ia berkata.

   "Penghianat!"

   Kemudian meluncurlah sebuah pukulan keras ke arah Lanangseta. Pukulan itu dibiarkan mengenai dada. Lanangseta hanya tertawa pelan. Sementara itu, dengan garang Panewu melesat cepat menerjang Sekar Pamikat.

   "Bersiaplah bertarung untuk yang terakhir kalinya...!"

   Serangan itu berhasil ditangkis dengan gerakan tangan Sekar yang tangkas.

   Tubuhnya yang kecil kerempeng seakan sebuah tugu kokoh yang sulit ditumbangkan.

   Panewu membuka jurus yang belum pernah dipakai melawan Sekar Pamikat.

   Gerakannya mirip tingkah laku seekor kera.

   Gerakannya begitu cepat, meloncat ke sana, ke mari, dengan pukulan-pukulan yang menyerupai cakar monyet.

   Mulutnya sendiri bergerak-gerak, mengerang-erang mirip suara monyet.

   Berguling kesana, melompat ke sini, menendang sambil berjumpalitan, sedangkan Sekar Pamikat masih mampu mengatasi jurus tersebut.

   Sesekali ia memang terkena kibasan cakar monyet dari Panewu, tapi tak sempat membuat kefatalan.

   "Tak kusangka kau berani berkhianat padaku, Seta!"

   Seru Nawang Puri seraya menerjang dengan pukulan berantainya.

   Oleh Lanangseta pukulan itu masih dibiarkan mengenai dada, punggung dan anggota tubuh lainnya.

   Panewu sendiri tak sempat mengontrol pertarungan Nawang Puri, tetapi ia tahu bahwa perlawanan Lanangseta belum kelihatan nyata.

   Ia masih perlu mengkonsentrasikan dalam pertarungannya sendiri melawan Sekar Pamikat yang terasa alot dan susah ditembus.

   Cahaya bulan bagai kian terang.

   Bayangan mereka berloncatan terpantul pada dinding batu cadas yang ada di kaki bukit.

   Terlihat gerakan Nawang Puri begitu cepat sehingga tahu-tahu ia telah berada di belakang Lanangseta, melancarkan pukulannya yang mengandung tenaga dalam.

   Hal itu membuat Lanangseta bergegas bangun, dan siap menghadapi serangan berikutnya.

   Agaknya Nawang Puri sudah kelewat jengkel kepada musuhnya, ia berputar.

   Semula tubuh itu berputar pelan, kian lama kian cepat dan kini bagai sebuah gangsing.

   Ada hembusan angin yang keluar dari tubuh yang berputar secepat itu.

   Lanangseta segera melompat, bersalto di udara, menjauhi hembusan angin tersebut.

   Sebab ia mulai merasakan adanya kejanggalan pada udara di sekelilingnya.

   Lanangseta segera teringat kepada cerita ayahnya, bahwa bibi Sukmalaras mempunyai jurus yang sukar ditembus musuh, yaitu jurus Angin Beracun.

   Rupanya Nawang Puri sudah mewarisi jurus Angin Beracun yang sangat membahayakan musuhnya itu.

   Segera Lanangseta juga menggunakan jurus pilihannya.

   yang bernama Lindung Bumi.

   Tubuhnya yang kekar itu amblas ke tanah, dan tak kelihatan lagi.

   Rupanya jurus ini pula yang dipakai melawan Sekar Pamikat sewaktu di pantai tadi.

   Beberapa detik kemudian, tubuh Nawang Puri yang berputar-putar itu terlempar ke udara dengan teriakan yang sangat histeris.

   Pada saat itu, Lanangseta muncul dari dalam tanah dengan gerakan melempar sesuatu ke atas.

   Tubuh Nawang Puri bagai kehilangan keseimbangan, sehingga ia jatuh tersungkur ketanah, dagunya membentur batu.

   Dagu itu berdarah dan kecantikan wajahnya mulai berkurang.

   Mengetahui keadaan Nawang Puri demikian, Sekar Pamikat menjadi cemas.

   Ia berseru.

   "Jangan lukai dia. tolol!"

   Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Panewu untuk melancarkan pukulan cakar monyetnya sehingga lengan Sekar Pamikat pun terluka, berdarah dan ia terpaksa memekik kesakitan.

   Sekar Pamikat melompat mundur sambil memasang kuda-kuda siap serang.

   Ketika Panewu berguling bagai monyet mengkais makanan di tanah, Sekar Pamikat meloncat cepat.

   Begitu kakinya menginjakkan tanah, ia melancarkan pukulannya dengan kedua tangan ke arah kepala Panewu.

   Lelaki itu berguling sambil menjerit mirip kera hutan.

   Pada saat ia bangkit lagi, di tangannya telah memegang keris pusaka yang mempunyai kekuatan cukup hebat.

   Panewu menyerang dengan kerisnya, Sekar Pamikat berkelit bagai belut lincah.

   Ia segera mencabut pedang Jalak Pati.

   "Wuss...!"

   Pedang nyaris menyam-bar kepala Panewu. Namun pada saat itu, Panewu berhasil melompat cepat ke samping kiri, dan "juss...!"

   Keris itu menusuk pinggang Sekar Pamikat.

   Sekar Pamikat menjerit dan oleng ke kiri.

   Darah mengucur dari luka di pinggang.

   Sekar Pamikat bermaksud menyerang dengan pedang Jalak Pati, namun Panewu melompat ke atas, dan dalam keadaan kepala di bawah ia berhasil menggoreskan kerisnya pada lengan Sekar Pamikat.

   Luka semakin bertambah dan Sekar Pamikat menjerit kesakitan.

   Saat itu pedang Jalak Pati terlepas.

   Sekar Pamikat berusaha memungutnya, namun pada saat ia merunduk, tangan Panewu yang mirip cakar monyet itu dengan cepat menarik Cambuk Naga yang "terselip di punggung Sekar Pamikat.

   Kini, Cambuk Naga itu ada di tangan Panewu.

   Panewu tertawa keras, bagai suara kera liar berpesta pora.

   Sekar Pamikat tergeragap.

   Ia berusaha merebut Cambuk Naga.

   Namun Panewu menjauh, melompat-lompat seperti kera melarikan diri.

   Sekar Pamikat mengejarnya.

   "Tarr...!"

   Cambuk Naga meluncur, nyaris mengenai tubuh Sekar Pamikat Ia mulai gugup tanpa cambuk itu.

   Dan Panewu masih terus melecutkan cambuk sambil berlari.

   Buat Sekar Pamikat, tak ada cara lain untuk merebut kembali Cambuk Naganya, kecuali dengan menggunakan ilmu peringan tubuh yang dapat melompat tinggi dan berkecepatan luar biasa.

   Panewu sempat tergagap sewaktu ia menemukan Sekar Pamikat tahu-tahu sudah berdiri di depannya.

   Ia hendak melancarkan pukulan Cambuk Naga, namun kedua telapak tangan Sekar Pamikat telah lebih dulu bergerak maju seraya ia berseru.

   "Wiwahaaaa...!!"

   Ada sebuah ledakan yang mengge-tarkan perbukitan.

   Nyala sinar hijau muda bagai membakar tubuh Panewu.

   Dengan cepat Sekar Pamikat melayang, merebut cambuknya pada saat nyala sinar hijau muda itu redup.

   Kini Cambuk Naga sudah berada di tangannya kembali.

   Panewu masih berdiri tegak.

   Ia hanya tersenyum, merasa dirinya tak mampu dirubuhkan oleh ilmu Wiwaha Moksa.

   Tetapi pada detik berikutnya, ia tercengang melihat jari jemarinya berjatuhan satu persatu.

   Kemudian ia juga merasakan bahwa denyut jantungnya berhenti, lengannya lepas sendiri, kakinya, telinganya dan semua akhirnya rontok menjadi suatu onggokan daging yang makin lama semakin menjadi semacam serpihan, lalu berubah menjadi abu.

   Sekar Pamikat sempat merinding sendiri melihat lawannya terkena serangan ilmu Wiwaha Moksa itu.

   Namun perhatiannya segera beralih pada Pendekar Pusar Bumi yang sedang bertarung melawan Nawang Puri.

   Tetapi di sana pun agaknya sudah tak ada pertarungan lagi.

   Sekar Pamikat segera berlari mendekati Lanangseta, dan ia tercengang melihat tubuh Nawang Puri yang masih memakai raganya itu terkapar di tanah.

   Dagunya berdarah, namun tak ada luka lainnya.

   "Kau telah mencelakakan tubuhku, Lanangseta!"

   Geram Sekar Pamikat. Lanangseta tersenyum tenang.

   "Aku hanya menotok jalan darahnya. Dan sekarang giliran kamu, huuop...!"

   Secepat kilat Lanangseta menotok jalan darah sehingga Sekar Pamikat tak dapat menghindari lagi.

   Ia pun jatuh terkapar tak berdaya lagi.

   Kini, Lanangseta tertawa sedikit keras dan memperhatikan kedua perempuan itu terkapar.

   Malam kian larut dan mulai merembas ke dini hari.

   Samar-samar cahaya bulan masih menerangi alam sekitar.

   Cahaya warna perak itu masih sempat menerpa sesosok tubuh yang duduk bersila di depan kedua tubuh perempuan yang berbaring.

   Beberapa saat kemudian tubuh pemuda itu bergerak pelan.

   Tangannya terangkat keduanya, kemudian tangan itu mengeras kuat-kuat, bergetar beberapa lama hingga keringat semakin deras mengucur.

   Cahaya bulan menerpa dua sosok perempuan yang berbaring.

   Cahaya itu membuat jelas adanya kepulan asap putih yang keluar dari jasad kedua perempuan tersebut.

   Masing-masing tubuh mengeluarkan asap putih, lalu kedua asap itu saling bersilangan, dan masuk ke tubuh mereka kembali.

   Ada suara kokok ayam di kejauhan.

   Jauh sekali.

   Pada saat itu, tubuh perempuan cantik bergerak, menggeliat bagai seseorang yang sedang tertidur lelap.

   Tapi tiba-tiba ia bangkit dengan satu hentakan, kemudian memegangi luka pada dagunya yang terasa perih.

   Namun ketika itu, ia memandang Lanangseta dengan perasaan bimbang.

   "Dewi... kau telah kembali dalam ragamu...."

   Sekar Pamikat memandangi tubuhnya sendiri, tangannya, kakinya dan meraba wajahnya sendiri, kemudian ia berseru.

   "Ini tubuhku...?! Oohh... aku telah kembali dalam ragaku sendiri! Aku telah kembali...!"

   Ia melonjak kegirangan. Ia berlari dalam derasnya derai tawa keharuan.

   "Aku telah kembali dalam ragakuuu...!"

   Teriaknya keras-keras. Lanangseta bergegas menghampiri nya. Sekar Pamikat tertawa lepas, kemudian berlari memeluk Lanangseta. Ia memeluk erat-erat bagai merasa tak ingin melepaskannya.

   "Aku Pendekar Cambuk Naga....! Aku yang asli, Lanang!"

   "Dan aku menyukai keaslian, Dewi..,."

   Bisik Lanangseta.

   "Oh, terimakasih atas bantuanmu, Lanang. Aku ingin segera memperhhatkan hal ini kepada paman Ludiro."

   "Dia masih dalam tawanan, tapi kita akan bebaskan. Itu pekerjaan yang sangat mudah...."

   "Mendadak, mereka dikejutkan oleh sekelebat bayangan hitam. Bayangan itu bergerak dengan cepat, kemudian pergi sambil membawa tubuh Nawang Puri yang belum sadar diri.

   "Nawang Puri...? Dia diambil oleh orang itu...! Kejar!"

   Lenangseta menarik tangan Sekar Pamikat.

   "Ada saatnya untuk mengejar dia, dan ada saatnya sendiri untuk memadu kasih. Kau dapat membedakannya, bukan?"

   Sekar Pamikat tersenyum, lalu memeluknya erat-erat kembali.

   Meresap ke sanubari.

   Ludiro hampir tidak percaya kalau yang ada di hadapannya itu adalah Sekar Pamikat asli.

   Begitu ia keluar dari kamar tahanan Kadipaten, ia tak langsung menegur Sekar Pamikat.

   Ia bahkan memandang penuh curiga.

   Kemudian Pendekar Pusar Bumi menjelaskan kepada Ludiro peristiwa semalam.

   Dan, dengan rasa hormat yang penuh bahagia Ludiro membungkuk di depan Sekar Pamikat, alias Pendekar Cambuk Naga, yang berparas cantik, tinggi semampai, dengan kepadatan tubuhnya yang begitu sexy, punya daya tarik yang amat menggairahkan setiap lelaki.

   "Lalu kemana Nawang Puri pergi?"

   Tanya Ludiro. Sekar Pamikat hanya menjawab.

   "Kita tunggu saatnya untuk mencari, atau bahkan mungkin ia akan menemuiku sendiri. Kurasa kisah ragaku hanya cukup sampai di sini, Paman. Dan... tolong siapkan segalanya untuk perkawinanku dengan Lanangseta, Pendekar Pusar Bumi yang menggemaskan itu, ya?"

   Ludiro tertawa di sela senyum Sekar Pamikat yang memang sangat memikat itu. TAMAT Scan/E-Book. Abu Keisel Juru Edit. mybenomybeyes
http.//duniaabukeisel.blogspot.com/

   

   

   

Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Dara Pendekar Bijaksana Karya OPA Kuda Putih Karya Okt

Cari Blog Ini