Selir Yang Dihadiahkan 1
Selir Yang Dihadiahkan Karya Widi Widayat Bagian 1
Kolektor E-Book
Aditya Indrajaja Foto Sumber oleh Awie Dermawan Editing oleh D.A.S3 SELIR YANG DIHADIAHKAN karya Widi Widayat Hak Pengarang dan Hak Mencetak buku ini dipegang sepenuhnya oleh Pustaka Penerbit "ANALISA"
C.v.
? Jakarta dibawah naungan UNDANG-UNDANG.
Harga Rp.
120,?5 I.
SELIR AYU YANG MALANG RAGAPADMI, seorang wanita cantik Madura yang berhasil merebut hati Raja Bidarbo sebagai selir.
Begitu cinta dan begitu kasih Raja Bidarbo terhadap selir muda yang ayu laksana bidadari turun dari langit ini.
Yah, siapa tak gandrung menyaksikan paras ayu dan badan langsing, yang dimiliki Ragapadmi.
Ia merupakan wanita tanpa tandingan di seluruh pulau Madura dan merupakan bunga indah nan menarik dalam kraton Pucangan.
Tapi kini bunga indah dalam kraton Pucangan ini menderita amat hebat.
Seluruh tubuh yang indah itu dipenuhi oleh luka yang bernanah dan menyebarkan bau busuk dan memabukkan.
Mula-mula Ragapadmi cuma menderita bisul- bisul kecil yang tumbuh diatas permukaan kulit yang kuning halus itu.
Sejak itu prabu Bidarbo telah berusaha untuk menyembuhkan, tapi sia-sia.
Bisul- bisul kecil itu kemudian mengandung nanah dan darah.
Dan kemudian pecah menyebarkan bau tak enak.
Tubuh yang indah itu rusak karenanya, dirusak oleh luka-luka.
Dan tubuh yang indah dihiasi oleh kemontokan dadanya itu kini tiada lagi.
Telah ditutup6 oleh luka-luka yang mengerikan.
Dan bibir yang semula mungil dan menjedapkan itu, kini telah pecah- pecah dan luka-luka disekitarnya merusaknya.
Bunga menarik kraton Pucangan itu kini tinggal merupakan "tengkorak hidup"
Yang menjijikkan.
Akan tetapi prabu Bidarbo masih amat cinta terhadap selir yang malang ini.
Karena itu masih selalu berusaha untuk menyembuhkannya.
Namun demikian sampai sekarang ini, bukannya sembuh oleh pengobatan, malah luka itu tambah parah.
Dan kalau bibir Ragapadmi yang telah pecah- pecah itu mengeluarkan rintihan, hati prabu Bidarbo bagai disayat sembilu.
Rintihan yang amat mengharukan, keluhan yang amat menusuk hati.
Ragapadmi yang telah amat rusak itu terbaring diatas tempat tidurnya dengan pakaian yang menutupi tubuhnya itu melengket ke luka.
Ragapadmi mengerang amat menyedihkan, karena amat sakit apabila bergerak.
"Sinuwun, ampunilah segala dosa hamba. Sinuwun, tak kuatlah hamba menderita lebih lama lagi. Terasa sakit seluruh raga hamba. Sinuwun, merasa bahagialah hamba apabila paduka berkenan7 mengakhiri hidup Ragapadmi, bunuh sajalah hamba yang tak berguna ini,"
Kata Ragapadmi sedih.
Sebenarnya kecantikan selir muda ini telah lenyap sama sekali, yang dapat disaksikan kini8 tingggallah tengkorak hidup yang menjijikkan.
Namun demikian prabu Bidarbo masih cinta sepenuh hati.
Prabu Bidarbo masih penuh keyakinan bahwa suatu waktu Ragapadmi akan mendapat pertolongan.
Ragapadmi akan dapat sembuh kembali.
"Padmi, kuatkan hatimu,"
Hibur prabu Bidarbo terharu.
"Padmi, kau tak bersalah mengapa harus diampuni? Dan sebenarnya Padmi, kau tahu juga daya upaya yang telah kulakukan untuk menyembuhkan sakitmu. Namun masih juga belum berhasil."
"Sinuwun, hamba percaya akan kebijaksanaan paduka. Tapi pada nyatanya segala usaha itu belum juga berhasil. Jangan lagi menyembuhkan, mengurangi penderitaan saja belum. Karena itu Sinuwun jalan satu-satunya cuma mengijinkan hamba mati."
"Padmi... jangan kau putus-asa. Menganggap tiada jalan lain kecuali mati. Tahukah kau Padmi bahwa kehidupan dalam dunia ini tak kenal abadi? Manusia wajib berusaha untuk mencapai maksud. Percayalah Padmi, bahwa kau masih akan bisa sembuh kembali."
"Duh Sinuwun, apa saja yang akan hamba jadikan pegangan untuk percaya bahwa hamba dapat9 sembuh? Telah berapa lama hamba menderita sakit ini, dan berapa saja orang datang mengobati? Namun nyatanya tak sedikitpun penderitaan hamba ini berkurang."
Terkejut Raja Bidarbo mendengar jawaban Ragapadmi yang tepat itu.
Jawaban itu menyadarkannya, bahwa seluruh Pendeta dalam wilayah Madura telah pernah berikhtiar untuk menyembuhkan luka Ragapadmi.
Tapi ternyata segala usaha yang dilakukan para pendeta itu tak pernah berhasil, luka-luka busuk masih tetap memenuhi raga Ragapadmi.
Segala usaha para Pendeta itu tak juga dapat mengurangi penderitaan Ragapadmi.
Luka busuk dan mengeluarkan nanah itu masih tetap melekat dan merusak tubuh Ragapadmi.
Raja Bidarbo dapat membenarkan kekhawatiran selirnya yang amat dicinta itu.
Tapi bagaimanapun, Raja masih berusaha agar dapat menghibur selirnya, katanya .
"Padmi, tahukah kau bahwa pada nyatanya obat yang mujarab itu sebenarnya kepercayaan yang hidup dalam dada? Sedang obat yang tampak dipandang mata itu merupakan syarat untuk penyembuhan? Sebab itu Padmi, pabila kau masih memiliki kepercayaan untuk10 sembuh, niscaya kau akan dapat kembali seperti sedia kala."
Ragapadmi menangis sedih, dan airmata menggenangi luka-luka yang memenuhi muka itu.
Luka busuk dan bernanah pula.
Kasihan benar putri Ragapadmi yang ayu itu, kini harus menderita sakit yang merusak keindahannya.
Hidupnya sekarang ini terasa telah tak berguna lagi, semua orang dalam kraton Pucangan jijik dan benci, kecuali Raja Bidarbo seorang yang masih bisa membesarkan hatinya.
Ragapadmi pun juga heran, mengapa abdi yang paling dipercaya kini tak suka lagi menunggui dalam kamarnya.
Kalau selesai melayani kebutuhannya, cepat meninggalkan kamar itu.
Raja Bidarbo menghela napas terharu.
Lalu minta diri, melangkahkan kakinya dengan terhuyung.
Sedih benar hati Raja Bidarbo ini memikirkan seorang selirnya menderita sedemikian rupa.
Lalu ia ingat bahwa semua Pendeta dalam wilayah Pucangan telah diundang.
Japamantra dan obat telah diberikan.
Sampai sedemikian jauh, derita Ragapadmi belum juga berkurang.
Dan luka busuk Ragapadmi makin11 menjadi.
Makin hari keadaan Ragapadmi lebih menjedihkan.
Raja Bidarbo tak bisa berpikir lagi.
Duduk lesu dan pikiran melayang jauh.
Kepada peristiwa- peristiwa nikmat beberapa waktu yang silam, kalamana Ragapadmi baru memasuki kraton.
Ragapadmi selir muda lagi ayu yang dapat merebut hatinya.
Ragapadmi yang banyak kali disambung, Ragapadmi yang dapat memberikan kebahagiaan.
Kecantikan selir muda ini tiada saingan dalam kraton Pucangan.
Dan keayuan Ragapadmi keseluruhannya milik Raja.
Dan Raja itu selalu berharap agar Ragapadmi dapat hidup seribu tahun tanpa mengenal hari tua.
Akan tetapi baik harapan Raja, baik harapan Ragapadmi tak ada yang terkabul.
Belum seribu tahun.
Belum seratus tahun.
Malah belum lima puluh tahun, dan belum tiga puluh tahun.
Kecantikan yang dibanggakan Ragapadmi, dan kecantikan yang menguasai hati Raja, kini telah musnah dirusak oleh kuman-kuman busuk.
Dan kini baik Ragapadmi maupun Raja yang amat cinta terhadap selir muda ini diamuk oleh12 gelombang sedih.
Taman yang banyak berjasa waktu- waktu lalu, dikala menikmati kebahagiaan hidup dengan Ragapadmi, sekarang dipandangi dengan lesu oleh Raja.
Taman yang indah dfimukanya itu kini tak memberi kenikmatan hidup lagi.
Lalu Raja melangkah dari tempat duduk, hilir mudik disekitarnya.
Tapi tak lama, dibantingkan pantatnya diatas kursi itu lagi.
Lalu mengeluh! Dadanya kembang-kempis, terasa amat sesak.
Dalam hati Raja terdapat pengakuan bahwa harapan Ragapadmi tipis sekali.
Tiba-tiba seperti tersentak dari impiannya yang indah, ia menyapu ruangan dengan pandangan matanya.
Sebab lalu mengiang suara patih Bangsapati yang mengajukan pendapatnya.
Yah suara patih Bangsapati dua hari yang lalu.
"Gusti, semua pendeta dalam praja Pucangan telah paduka undang. Akan tetapi demikian jauh usaha para pendeta itu tak juga membawa hasij. Gusti, ampunilah hamba, sudilah paduka berkenan menengok keadaan para kawula Pucangan. Sungkawa paduka menjadikan sendi-sendi praja Pucangan keseluruhannya lesu, dan para kawula gelisah menyaksikan usaha paduka yang tak membawa hasil.13 Gusti, hamba khawatir bahwa hal ini akan kian berlarut dan langsung mempengaruhi keadaan negara Gusti, berkenanlah paduka mendengar pendapat hamba. Tak mungkin gusti Ragapadmi sembuh lagi. Tak mungkin para pendeta dapat menolong. Raja Bidarbo terengah-engah. Dadanya kembang kempis. Baginda lalu tertunduk. Tak tahu apa yang harus dilakukan menghadapi sakit Ragapadmi yang aneh itu. Cuma luka-luka kecil, tapi mengapa berbau busuk dan merata seluruh tubuh? Dalam hati penuh pengakuan, bahwa Ragapadmi masih dicintai. Tapi keadaannya sekarang telah sedemikian rupa. Usaha pengobatan tak membawa hasil. Lalu Raja Bidarbo dapat membenarkan pendapat patih Bangsapti. Dan Ragapadmi tak berguna lagi dalam kraton. Mau diapakan kalau Ragapadmi tak bedanya tengkorak hidup yang mengerikan? Kalau Ragapadmi diusir dari kraton, amat kasian ia telah tak dapat bangkit dari tidurnya. Siapa yang akan merawat dan siapa yang sudi menolong? Tapi dalam kraton, Ragapadmi sekarang cuma menjebabkan hatinya sedilh. Raja Bidarbo mengeluh!14 Lalu Raja bangkit dan melangkah perlahan- lahan. Akhirnya sampail di pendapa agung. Angin halus itu mengusap-usap seluruh tubuh, terasa agak segar. Raja memandang sekeliling, dan dilihatnya seorang pemuda sedang lewat. Yah, ia abdi terdekat dan di cintai, Bangsacara. Dipanggillah Bangsacara, dan pemuda ini memberikan sembah lalu jalan berjongkok dalam pendapa agung itu. Raja duduk diatas kursi, dan Bangsacara duduk bersila dilamai. Raja Bidarbo menghela napas, lalu menyusuri tubuh Bangsacara penuh perhatian. Lalu katanya .
"Cara, kau tak perlu terkejut kupanggil. Kau takkan mendapat marah Raja, tapi kau akan kuberi hadiah yang amat besar."
"Sinuwun, pahala yang telah hamba terima telah lebih dari cukup. Hamba mengakui bahwa pahala yang hamba terima itu menyebabkan hamba malu, justru dalam pengabdian dihadapan paduka masih belum cukup,"
Jawab Bangsacara penuh hormat. Raja Bidarbo tersenyum, lalu katanya .
"Ketahuilah bahwa apa yang telah kau terima itu bukan merupakan hadiah. Apa yang telah kuberikan kepadamu sebenarnya baru merupakan upah sebagai15 buah jerih-payahmu mengerjakan pekerjaanmu. Upah bukan hadiah. Dan juga ketahuilah Cara, bahwa bagaimanapun orang memberikan jasa dan pengabdiannya, tapi apabila orang itu tak mendapat kasih dan hati dari pemegang kekuasaan, laiklah mungkin jasa dan pengabdianyja itu dicatat dan diterima oleh penguasa. Karena itulah Cara, maka semua itu tergantung kepada penguasa. Dan apabila kau merasa belum pernah memberikan jasa-jasamu kepada negara Pucangan, hal itu bukan alasan untuk tidak menerima hadiah. Sebab aku yang berkuasa dalam segala hal."
Raja Bidarbo kembali menyusuri seluruh raga Bangsacara, dan katanya lagi .
"Cara, kau tentu telah tahu dan mendengar bahwa Ragapadmi kini menderita sakit. Semua pendeta telah kuminta datang mengobati luka-luka yang merusak tubuhnya itu, namun segala usaha itu tak membawa hasil. Keadaan Ragapadmi sekarang ini sangat menyedihkan. Apabila Ragapadmi kuserahkan pada seseorang, aku kasian terhadapnya takut kalau disia-siakan. Sebab itu Cara, aku tak dapat mempercayai lain kecuali kau sendiri. Tolonglah Cara, terimalah Ragapadmi sebagai hadiahku yang terbesar selama ini, dan cintailah Ragapadmi. Aku percaya bahwa kau sedia menerima16 Ragapadmi, dan sedia mencinta seperti kepada dirimu sendiri. Yah, hanya kaulah yang berhak menerima Ragapadmi untuk kau peristeri. Dan aku juga percaya bahwa dalam tanganmu nanti, Ragapadmi akan dapat sembuh kembali."
Raja Bidarbo kembali mengusap-usap tubuh pemuda ini dengan pandangan matanya.
Dalam hati Raja Bidarbo telah menduga, bahwa hadiah yang diberikan kepada Bangsacara itu akan diterima dengan senang hati.
Sebab hadiah seorang selir Raja bukan sembarang orang dapat mengharapkan.
Tak disadari oleh Raja Bidarbo, pemuda ini amat terkejut mendengar keputusan Raja itu.
Amat menyedihkan bahwa yang dikatakan hadiah terbesar itu ialah seorang selir yang kini, menderita sakit yang menjijikkan.
Ragapadmi dulu ayu tapi sekarang amat mengerikan.
Kalau Raja telah berusaha untuk menyembuhkan tak membawa hasil, apalagi seorang miskin seperti dia.
Bangsacara amat sedih menghadapi suatu hal diluar dugaannya ini.
Hadiah yang amat menjedihkan! Hadiah yang amat kejam! Tidakkah amat kejam hadiah yang diberikan Raja itu, justru wanita yang hampir mati dan17 tak berguna lagi harus diterima sebagai istri yang dicinta sepenuh kasih? Raja Bidarbo tampak tak sabar menunggu jawaban Bangsacara yang lama tak diberikan itu.
Lalu menatap tajam seraya katanya .
"Cara, bisukah kau tak memberi! jawaban? Aku heran kau menerima hadiah sebesar itu dengan kemasygulan."
Bangsacara gugup, memberikan sembahnya, lalu jawabnya gemetar .
"Sinuwun, ampunilah hamba. Bukannya hamba masygul dan kecewa paduka berikan pahala yang amat besar ini, tapi karena terkejut hamba menjadi takut, apabila seseorang iri dengan pahala paduka sebesar ini."
Prabu Bidarbo tersenyum puas mendengar jawaban Bangsacara itu. Katanya kemudian .
"Cara, tak seorangpun akan berani mengusik dan iri atas hadiah yang kuberikan padamu. Berjanjilah Cara, bahwa kau akan mencintai Ragapadmi."
"Titah paduka akan hamba laksanakan sepenuh hati. Gusti Ragapadmi hamba berikan cinta kasih, dan gusti Ragapadmi sajalah cuma istri hamba selama hidup ini,"
Jawab Bangsacara sedih.18
"Bersiap-siaplah kau membawa pulang Ragapadmi. Peliharalah Ragapadmi, dan aku berharap dalam tanganmu ia akan menjadi sembuh."
Raja Bidarbo bangkit, lalu melangkah menuju kamar Ragapadmi.
Sedang Bangsacara mengeluh, amat sedih, mengapa harus memperisterikan seorang bekas selir Raja yang hampir mati? Tapi yah, bagaimanapun, siksaan batin yang berat itu harus diterima.
Bangsacara insyaf, bahwa penolakan terhadap hadiah yang diberikan itu berarti hukuman penjara yang harus diterima paling untung, dan salah- salah malahan harus mati ditengah algojo-algojo Pucangan atau harus mati oleh tali tiang gantungan.
Bangsacara cuma dapat mengeluh, lain tidak! Dan dalam pada itu, Raja Bidarbo telah masuk kamar Ragapadmi.
Disaksikannya Ragapadmi tidur terlentang memandang kedatangannya dengan sayu dengan matanya yang agak membengkak dicelah luka- luka yang berbau.
Dengan tak merasa ngeri dan jijik sedikitpun, Raja Bidarbo duduk di tepi ranjang itu, menyusuri wajah yang penuh luka, lalu katanya perlahan .
"Padmi, wanita yang kusanjung dan kukasihi. Aku datang lagi untuk bicara hal yang amat penting.19 Ketahuilah Padmi, aku telah menerima petunjuk Dewata dalam usaha penyembuhanmu."
Ragapadmi berusaha tersenyum tapi rasanya sakit, lalu dari bibirnya yang pecah-pecah itu meluncur pernyataan gembira.
"Sinuwun, hamba merasa hidup lagi mendengar titah paduka. Berkenankah paduka memberitahukan, apa yang harus hamba perbuat?"
Raja Bidarbo tersenyum lalu katanya .
"Kekasihku, dengarlah. Saran untuk penyembuhanmu itu menurut petunjuk Dewata, kau harus kuserahkan kepada orang lain. Kau harus diperisterikan Bangsacara..."
Kalau Ragapadmi tak sakit, ia akan menjerit sekuat-kuatnya.
Tapi mulutnya terasa sakit, maka jerit itu cuma lirih dan airmata menitik dari mata yang membengkak karena luka itu, menyasar ke bantal yang sudah kumal.
Ragapadmi amat sedih, Ragapadmi amat tertusuk hatilnya.
Mengapa sekarang harus diperisterikan oleh seorang Lurah Punakawan, seorang budak hina itu? "Siiuwun...
Selir Yang Dihadiahkan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bunuh...
bunuh sa...
ja...lah hamba...
yang hi...
n...
na ini."
Kata Ragapadmi terputus-putus.
"Bunuh... bun...bunuh sa...jalah hamba. Sinuwun... bunuh..."20 Ratap Ragapadmi ini amat menusuk hati Raja. Baginda menghela napas, mengeluh! Sedang Ragapadmi sedu-sedan. Tapi Raja Bidarbo cepat dapat menguasai diri, lalu bujuknya .
"Kekasihku, jangan kau lekas putus-asa. Padmi, apa yang telah kukatakan adalah petunjuk Dewata. Bukan aku bermaksud akan membuangmu. Tidak! Aku tak pernah menyia-nyiakanmu. Kau kekasihku, tapi kehendak Dewata tak dapat kubantah. Itu sajalah sarana yang harus kau terima agar kau dapat sembuh kembali. Manis, percayalah bahwa kau akan bahagia disamping Bangsacara. Kau akan merasakan hidup sebenarnya disamping seorang suami yang akan mencintaimu sepenuh hati. Akan lebih bahagia disamping Bangsacara daripada kuperisterikan. Percayalah Padmi, bahwa petunjuk Dewata itu benar."
Dalam keadaannya yang sekarang, Padmi sadar bahwa Raja tak membutuhkannya lagi.
Dirasakannya apa yang diderita sekarang ini merupakan suatu kenyataan yang tak dapat dibantah, bahwa hidupnya laksana selembar daun pisang.
Ketika masih dibutuhkan, ditempatkan pada tempat yang amat bagus dan tak boleh kotor.
Tapi setelah tak dibutuhkan, dibuang secara kejam.
Tak berguna21 bersedih dan masygul.
Toh hidup yang masih dapat dikenyamnya sekarang ini, tinggal beberapa hari lagi.
Maut akan segera datang mencengkam.
Apalagi yang harus disesalkan? Apalagi yang harus dipikirkan? Airmata Ragapadmi tiba-tiba kering, katanya tegas .
"Sinuwun, hamba amat gembira sekarang, kemanapun hamba akan jatuh akan hamba laksanakan penuh kebahagiaan. Hamba minta diri kepada paduka."
Raja Bidarbo amat gembira mendengar jawaban Ragapadmi yang tegas itu. Setelah tersenyum katanya .
"Terima kasih Padmi, kau tak membantah perintahku. Nyata benar kau seorang wanita yang susah dicari gantinya. Harapanku, bahagialah kau hidup disamping Bangsacara."
Ragapadmi dilboyong oleh Bangsacara keluar kraton, dengan sebuah tandu yang dipikul oleh empat orang.
Sedang sebuah peti berisi barang-barang milik Ragapadmi diusung oleh dua orang punggawa dari kraton.
Bangsacara berjalan kaki dipenuhi kesedihan dalam dadanya.
Ia tak mau berdekatan dengan Ragapadmi, karena merasa tak tahan oleh bau yang berhamburan dari luka-luka Ragapadmi.
Sekalipun luka-luka yang memenuhi tubuh Ragapadmi itu cuma22 kecil-kecil sebesar kedele, tapi baunya amat tak enak.
Dalam pada itu Bangsacara merasa ngeri melihat keadaan Ragapadmi yang sudah demikian rusak dan menjijikkan.
Bangsaca akan merasa bersyukur dan lebih senang apabila setibanya dirumah nanti, Ragapadmi menghembus napas yang penghabisan.
Cuma kematian Ragapadmi itu sajalah merupakan jalan satu-satunya untuk membebaskan diri dari siksaan yang amat kejam ini.
Dan apabila tidak merasa takut terhadap Raja, wanita yang mengerikan ini sampai dirumah nanti dibunuh saja cukup! Matinya Ragapadmi bukan merupakan kehilangan sesuatu yang susah dicari.
Apa kebahagiaan yang akan dikenyamnya memperisteri- kan wanita bekas selir Raja yang hampir mati itu? Kiranya takkan menyamai memperisteri salah seorang perawan didesanya, tak harus memelihara sakitnya yang telah parah seperti Ragapadmi.
Kemasygulan hatinya itu dibawa terus hingga tiba di rumah.
Dan wajah yang melukiskan kemasygulan itu mengejutkan nyai Jagahastana, ibu Bangsacara yang telah tua.
Ia menyambut kedatangan anaknya bertanya-tanya, apa sebab kedatangan sekali23 ini lain dari biasa.
Lalu bertanyalah ibu yang telah tua itu gugup .
"Mengapa sedih? Marahkah Raja padamu?"
Bangsacara tak segera menyawab. Matanya liar memandang pelataran lewat pintu. Tapi tandu Ragapadmi masih belum tampak, pelataran rumahnya masih kosong.
"Ada apa?"
Tanya ibu tua itu lagi seraya ikut memandang keluar.
"Mengapa kau tak menyawab anakku, diusirkan oleh Raja?"
Bangsacara menatap ibunya, lalu jawabnya sedih .
"Yung (biyung ? ibu), aku mendapat hadiah yang amat besar dari Raja. Salah seorang selirnya diberikan untuk istriku."
"O o, untung besar!"
Seru ibu tua itu seraya memukuli pantatnya.
"Maka anakku, dimana ia sekarang? Ah, selir Raja tentu cantik. Ah, bahagia hidupku bermenantukan seorang cantik..."
"Huh! Cantik...?"
Bangsacara mengeluh.
"Jijik! Ngeri! Jangan lagi harus kuperisteri."
"Oh, mengapa kau lancang mulut anakku?"24 Orang pemikul tandu dan peti telah masuk pelataran. Ibu tua itu lari-lari kecil menyambut kedatangannya. Tapi...
"Ya Allah,"
Seru ibu tua itu setelah menyaksikan wanita yang duduk di atas tandu.
Wanita yang amat mengerikan, penuh luka dan berbau pula.
Sadarlah ibu tua ini mengapa anaknya masygul, mengapa mulutnya lancang tak mau mengambilnya jadi isteri.
Namun demikian ibu tua ini bukannya ngeri dan jijik menyaksikan wanita yang penuh luka itu.
Malah iba hati ibu tua ini, malah kasih, dan diusapnya rambut Ragapadmi, lalu tanyanya .
"Mengapa putri menderita luka-luka begini?"
Ragapadmi tak dapat memberi jawaban, malahan lalu tersedu-sedu.
Mengapa menangis? Yah, hatinya terharu ada seorang yang mau memperhatikan keadaannya.
Ada orang yang masih menunjukkan rasa iba atas penderitaannya.
Ibu tua ini minta kepada pemikul tandu agar membawanya masuk ke rumah.
Dan Bangsacara cepat menyingkir seraya menutup lobang hidung, matanya dibuang ketempat lain.
"Putri, sayang benar kau menderita,"
Kata ibu tua itu setengah berbisik menahan keharuan.
"Tapi25 jangan bersedih dan khawatir. Aku sedia berusaha untuk kesembuhanmu."
Ragapadmi menatap nyai Jagahastana dengan pandangan matanya yang sayu, lalu jawabnya tak lancar.
"Bu... terimakasih. Tapi... tak perlu ibu ber... susah-susah. Saya tak... akan hid... hidup lebih... lama lagi..."
"Jangan! Jangan kau lekas putus-asa,"
Kata nyai Jagahastana gugup.
"Kau masih muda, masih berhak hidup lama lagi."
Ragapadmi akan mengucapkan sesuatu, tapi, Bangsacara telah lebih dahulu mengucapkan kata-kata begitu keras .
"Yung, aku bersumpah lebih rela hancur seperti debu daripada memperisteri Ragapadmi..."
Dan segenggam pasir ditaburkan kepelataran. Nyai Jagahastana sangat terkejut, diburunya Bangsacara, dipeluk seraya katanya gemetar .
"Jangan... jangan anakku. Oh... cabutlah sumpahmu itu. Mengapa... mengapa? Aku takkan memaksa... demi Allah aku tak memaksa... tapi anakku... jangan kau bersumpah... cabutlah sumpahmu. Oh... ingatlah anakku manusia hidup ini tak lepas... tak dapat menghindari... malapetaka yang datang tiba-tiba. Manusia... tak selalu sehat, bisa sakit... dan kau juga26 bisa menderita seperti dia... cabutlah anakku... cabutlah sumpahmu."27 Tapi jawab Bangsacara angkuh .
"Aku tak sudi menjilat ludah. Aku tak akan mencabut sumpahku. Selamat tinggal Yung..."
Bangsacara lari.
Tak menggubris teriakan ibu tua memanggil.
Dan para punggawa pemikul tandu dan peti tadi, tergopoh-gopoh mengikuti jejak Bangsacara.
Nyai Jagahastana mengikuti Bangsacara dengan pandangan mata sedih dan saju.
Setelah menghilang, barulah ibu tua ini melangkahkan kaki masuk rumah terhujung-hujung.
Lalu berpegangan pada tiang, dadanya kembang kempis, napasnya terengah-engah.
Baru setelah dadanya agak lapang, ia melangkah mendekati Ragapadmi.
Lalu dirangkulnya wanita yang malang ini penuh kasih.
Tapi segera dilepaskan ketika Ragapadmi merintih kesakitan.
Ibu tua ini baru sadar bahwa leher Ragapadmi juga penuh luka.
Lalu ditatapnya wanita yang malang ini, tuturnya "Putri, jangan kau sedih.
Benar aku telah tua tapi aku masih sanggup mengobati penyakitmu.
Mudah-mudahan oleh tanganku.
Dewata memberi ijin kau dapat sembuh."
Air mata Ragapadmi membanjir dengan hati terharu. Di tengah isaknya menyawab.
"Terimakasih28 bu, tapi saja menyesal... mengapa ibu harus lebih repot..."
"Oh tidak! Kehadiranmu malah menggembira- kan hatiku,"
Kata nyai Jagahastana seraya ketawa.
"Oleh kehadiranmu ini tak lagi aku kesepian dalam rumah ini. Anakku cuma seorang, cuma Bangsacara. Dan sekarang tambah kau, tak perlu kau menyesal, walaupun ia membencimu."
"Terimakasih bu,"
Jawab Ragapadmi.
"Tapi, saja dalam keadaan begini rupa. Tak berguna, tipis harapan saya sembuh kembali."
"Tidak anakku, kau akan segera sembuh. Aku akan berusaha sepenuh tenaga. Benar aku telah tua tapi masih sanggup berikhtiar."
"Tapi, saja telah menderita lama dalam kraton. Usahapun tak kurang. Beberapa pendeta telah memberi japamantra dan ramuan obat. Namun begitu semuanya tak memberi hasil."
Nyai Jagahastana tersenyum, lalu tanyanya .
"Tidakkah kau curiga terhadap sekelilingmu?"
"Curiga? Ada apa saya harus tak mempercayai lain orang'"29
"Bukankah selir Raja banyak jumlahnya? Dan siapakah selir yang amat dekat dengan Raja?"
"Bu, selir Raja sepuluh lebih. Dan yang terdekat saya, karena paling muda dalam kraton."
"Itulah sebabnya kau harus mencurigai sekelilingmu."
Ragapadmi tak mengerti maksud ibu tua ini, tanjanya heran.
"Mengapa bu? Karena saya dicinta Raja itukah saja menderita semacam ini?"
Nyai Jagahastana mengangguk seraya tersenyum. Ragapadmi makin tak mengerti. Ditatapnya ibu tua ini penuh pertanyaan.
"Anakku, seorang diperebutkan oleh beberapa orang wanita. Tentu akan menjebabkan timbulnya permusuhan. Kalau permusuhan itu dalam hati masing-masing, akan terjadi perang dingin,"
Ibu tua itu memberi penjelasan kepada Ragapadmi.
"Dan kau merupakan selir yang paling dekat dengan Raja. Tentu, selir-selir yang lain merasa iri atas keberuntunganmu. Mereka itu tak berani memprotes kepada Raja, tapi cukup benci padamu."
Nyai Jagahastana mengusap rambut Ragapadmi lalu sambungnya .
"Lalu mereka berusaha menjatuh-30 kanmu dengan cara-cara yang licik. Diusahakan agar kau menderita sesuatu penyakit. Air yang biasa kau pergunakan mandi, telah diisi dengan sesuatu, hingga jadilah kau menderita luka-luka seperti ini. Terang kau telah dimusuhi oleh beberapa orang yang menyelenggarakan persekutuan."
"Jadi, beberapa orang telah merusak saya bu, dengan usaha sekeji itu?"
"Benar anakku, dan bukan terbatas dalam kalangan kraton, tapi meluas hingga keluar. Para pendeta ikut serta didalamnya."
"Oh,"
Seru Ragapadmi terkejut.
"Mengapa mereka ikut serta?"
"Jah. kalau para pendeta yang telah datang mengobatimu tidak ikut serta bersekutu, obat yang diberikan memang obat benar. Tapi kemudian obat itu dibuang dan diganti orang dengan barang lain yang tak berguna bagi penyakitmu. Tapi bagi para pendeta yang termasuk berhati jahat, ia cepat menerima tawaran musuh-musuhmu akan sesuatu hadiah dan pendeta itu memberikan obat yang cuma pura-pura. Mengapa aku berpikir demikian jauh anakku, justru aku heran dan curiga. Penyakit yang kau derita ini31 cuma semacam gudig biasa yang tak berbahaya. Tapi mengapa obat-obat itu tidak dapat me- page 18 missing duduk. Jagahastana pula yang menanggalkan baju yang dipakainya. Luka-luka yang tak tertutup pakaian ini oleh ibu tua itu dibersihkan dengan menggunakan kapas yang dicelupkan dalam air panas. Terasa sakit, tapi Ragapadmi berusaha menahannya. Dan kemudian Ragapadmi merasa seperti anak kecil yang baru berumur tiga tahun, ketika wanita ini tanpa rasa jijik membersihkan luka pada bagian tubuh lain. Benar kata ibu tua itu, bau luka berkurang setelah dibersihkan. Pada permulaan ini usaha nyai Jagahastana baru untuk mengurangi rasa sakit Ragapadmi. Ia belum mempunyai obat yang akan dipergunakan menyembuhkan penyakit itu. Besok pagi masih akan dibelinya dulu ke pasar. Tapi sekalipun luka-luka itu belum dibubuhi obat, rasa sakit Ragapadmi banyak berkurang. Kalau semula ia hanya terlentang melulu sekarang ia bisa memiringkan tubuhnya. Malam pertama ia tidur dalam rumah buruk ibu ini, ternyata bagi Ragapadmi lebih nikmat dibanding dengan didalam kraton. Ia dapat tidur agak pulas,32 karena tidak begitu diamuk oleh kuman-kuman yang memenuhi luka-lukanya. II. BANGSACARA MENJILAT LUDAH PAGI itu nyai Jagahastana telah pergi ke pasar. Dibelinya "prusi"
Dan daun "sambilata."
Untuk orang- orang desa seperti nyai Jagahastana ini, cukup itu sajalah untuk melawan kuman-kuman gudig.
Daun sambilata yang amat pait itu direbus, dipergunakan untuk mandi, sedang prusi itu sebagai obat yang sebenarnya untuk luka itu.
Dan prusi itu oleh Jagahastana lebih dahulu dibakar hingga putih warnanya, sebab kalau tidak dibakar akan terasa amat perih.
Pengobatan yang amat sederhana ini ternyata membuat luka-luka yang semula amat sakit dan berbau busuk itu, kini berkurang, sedang bau busuk itu sekarang tiada lagi.
Sebagai pernyataan rasa kegembiraannya, Ragapadmi menyembunyikan mukanya dalam pangkuan ibu tua itu dengan menangis.
Tangan yang33 telah berkerinjut itu lalu membelai-belai rambutnya penuh kasih.
"Betapa bahagia hatiku bu, seakan mimpi,"
Kata Ragapadmi seraya menjeka air mata, ketika ia telah kembali duduk.
Selir Yang Dihadiahkan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sekarang saya baru tau, bahwa beberapa pendeta yang mengobati tidak melebihi kepintaran ibu. Padahal semula saya tak percaya bahwa saya akan dapat sembuh seperti sekarang ini, harapan saya cuma mati."
"Seperti aku pernah katakan padamu, bahwa komplotan dalam kraton telah berusaha untuk menyingkirkanmu,"
Jawab ibu tua ini seraya menatap wajah Ragapadmi yang kini berbintik-bintik putih bekas luka.
"Bukan aku lebih pandai, tapi akibat palsunya obat-obat yang diberikan padamu. Tapi masih untung anakku bahwa dalam usahanya itu tak menggunakan racun untuk membunuhmu.."
"Yah, aku kini makin insaf, Bu. Bahwa hidup dalam kraton sebagai selir Raja banyak musuh,"
Kata Ragapadmi.
"Derita yang telah kurasakan hampir mati merupakan kebenaran yang tak terbantah. Dan apabila saja tak diboyong oleh kakang Bangsacara keluar kraton, mungkin sekali ajalku telah sampai, karena saja telah tak kuat menderita."34
"Jadi kau tak ingin kembali ke kraton?"
Tanya ibu tua itu seraya memperhatikan.
"Aku tak keberatan anakku kalau kau menginginkan kembali hidup disamping Raja."
"Tidak ibu, tidak."
Jawab Ragapadmi, kemudian menangis lagi dan menutup mukanya dengan dua belah telapak tangannya.
"Kraton merupakan tempat siksaan yang amat kejam."
"Baik, terima kasih apabila kau lebih suka hidup dalam rumah bobrok ini,"
Ujar ibu tua itu seraya memeluknya.
Tengkorak hidup yang berbau busuk itu kini sudah dapat tersenyum, sudah dapat ketawa, dan ratap kesakitan sudah tak pernah terdengar lagi.
Ia telah dapat bebas bergerak seperti manusia lain.
Namun meski sekarang telah sembuh dan telah terbebas dari derita yang amat celaka itu, rasa kecewa dan kemasygulan sekarang menyesak dada.
Ragapadmi insaf, bahwa bintik-bintik pulih bekas luka itu merusak keayuan yang pernah dimilikinya dulu.
Ia merasa bahwa meski sekarang dapat sembuh tak dapat disebut seorang ayu lagi.
Tapi kemasygulan Ragapadmi itu cuma diketawakan saja oleh ibu tua yang pintar ini.
Lalu35 katanya pasti.
"Kau tak perlu kawalir. Aku masih bisa berusaha menghilangkan seluruh bintik putih itu."
Mata Ragapadmi bersinar bening, dan sekulum senyum menyungging wajahnya. Ditatapnya Jagahastana dan tanyanya .
"Benarkah bu, benarkah bintik-bintik putih ini dapat hilang?"
"Betul!"
Jawab ibu tua itu pasti.
"Aku punya cara untuk menghilangkan semua itu."
"Apa yang harus kulakukan bu?"
Tanya Ragapadmi tak sabar.
"Bukankah kau tau dalam beberapa hari ini aku telah mengumpulkan akar obat-obatan (empon- empon) yang terdiri dari "puyang emprit"
Dan "temu giring"? Dan kau juga yang mengupasnya serta membikin kepingan. Semua itu tak lain akan kupergunakan untuk keperluanmu."
"Oh!"
Seru Ragapadmi keheranan.
"Saya kira itu akan ibu jual ke pasar. Lalu untuk diapakan itu bu?"
"Kepingan-kepingan temu giring dan puyang emprit itu setelah kering nanti, kita tumbuk halus. Dan bubuk itu nanti kau campurlah dengan sedikit air, dan pergunakan untuk menggosok kulitmu pada tiap mau mandi. Sudah tentu telapak tanganmu akan menjadi36 kuning, sebab memang ramuan itu mempunyai warna kuning yang sukar luntur. Kulit yang kau gosok pun akan menjadi kuning. Tapi anakku, kesemuanya itu membutuhkan kesabaran dan ketekunan. Kau tahu sendiri hasilnya nanti."
Gembira sekali Ragapadmi mendapat keterangan Jagahastana.
Ternyata sekalipun orang desa, dia lebih pintar.
Dia lebih tahu daripada ia sendiri.
Dalam hati merasa malu, dan karena itu menjadikan lebih menebal dan mendalam rasa cinta kasih Ragapadmi terhadap ibu tua ini.
Petunjuk nyai Jagahastana itu diperhatikan benar-benar dan dilakukan pula secara tekun.
Ragapadmi sangat ingin agar keayuan wajah dan tubuhnya yang pernah hilang itu dapat menjelma kembali seperti semula.
Nyatanya, memang kata-kata nyai Jagahastana itu bukan obrolan kosong.
Baru beberapa hari dilakukan, bintik-bintik putih bekas luka yang mengembangi kulitnya itu telah samar-samar.
Kalau dilakukan terus, bintik-bintik putih itu akan hilang.
Dan nyai Jagahastana kagum menyaksikan perobahan-perobahan Ragapadmi.
Nyata benar dibalik tubuh rusak berbau dan mengerikan pada37 pertemuannya yang pertama itu, tersembunyi keayuan yang sangat menggairahkan.
Taklah mengherankan apabila Ragapadmi dalam kraton lekas dapat merebut hati Raja, merupakan seorang selir yang paling dikasihi.
Dan nyai Jagahastana juga dapat mengerti, mengapa selir-selir yang lain berusaha untuk menjatuhkannya dengan perbuatan-perbuatan keji.
*** Sementara itu punakawan kesayangan Raja yang bernama Bangsacara itu, bekali-kali sudah bermimpi ketemu ibunya.
Lalu rasa rindu menyesak dada dan ia takut ibunya menderita sakit terbayang dimukanya.
Ia mohon cuti.
Raja Bidarbo tak keberatan dan menyangka, bahwa Bangsacara telah kangen kepada Ragapadmi.
Diberinya pula sejumlah uang.
Tapi sebenarnya Bangsacara mengeluh, apa guna membawa uang itu justru Ragapadmi orang yang paling ia benci.
Kalau saja Bangsacara tak merasa kangen kepada ibunya, tak sudi pulang dan ketemu dengan Ragapadmi.
Gembira sekali nyai Jagahastana anak laki- lakinya pulang.
Dan disamping wajah berkerinjut itu berseri-seri, anak laki-laki itu dipeluk amat kasih.38 Bangsacara gembira ibunya diketemukan sendirian dan tak tampak sakit, menyangka Ragapadmi telah mati dimakan luka-lukanya.
"Telah beberapa hari ini kuharapkan kedatanganmu,"
Mulai ibu tua itu setelah duduk. Bangsacara tersenyum, lalu telinganya mendengar suara orang lagi menenun, ia menatap ibunya seraya tanyanya heran.
"Bu, siapa yang menenun itu?"
Nyai Jagahastana ketawa terkekeh, dan tidak menyawab pertanyaan Bangsacara malah memanggil orang itu .
"Kakang-mu datang Padmi, berhentilah dulu."
Suara kecil menjahut, suara perkakas tenun lenyap, dan...
Bangsacara hampir pingsan menyaksikan keayuan wanita yang baru muncul dari tempat menenun itu.
Dan apalagi ketika wanita itu melukis senyum manis pada bibirnya yang merah merekah, Bangsacara setengah mati Nyai Jagahastana tersenyum, lalu katanya bangga.
"Itulah Ragapadmi yang sekarang. Tidakkah kau bangga mempunyai adik yang demikian cantik?"39 Bangsacara masih belum kuasa mengucapkan kata-kata. Tapi ketika Ragapadmi telah duduk di dekatnya secara tak sadar menyanjung.
"Kau cantik sekarang. Laksana Supraba turun dari Suralaya."40 Ragapadmi gelisah oleh kata-kata Bangsacara itu. Mukanya disembunyikan dengan menundukkan kepala. Nyai Jagahastana memperhatikan tingkah laku anak laki-lakinya, mata Bangsacara menyusuri tubuh Ragapadmi itu tak puas-puasnya dengan sinar yang liar. Lalu kata ibu tua ini.
"Itulah adikmu sekarang. Ia anakku yang kedua, aku merasa bahagia sekarang, satu anak laki-laki dan satu perempuan yang amat cantik. Beberapa pemuda telah melamar, tapi Ragapadmi masih suka sendirian."
Lalu perintahnya kepada Ragapadmi .
"Ambillah daun sirih, suguhilah kakangmu agar berkurang kehausannya."
Ragapadmi bangkit, langkahnya gemulai dengan kepala menunduk.
Dan Bangsacara mengikuti dengan pandangan matanya yang penuh keheranan.
Yah, tak disangkanya bahwa tengkorak hidup dibawa dari keraton itu sekarang menjadi seorang wanita ayu yang menghias rumahnya.
Tak pernah disangkanya Ragapadmi yang mengerikan itu dapat hidup lagi.
Hati Bangsacara tertusuk, sukar dicari wanita ayu seperti Ragapadmi.
Tapi, lalu mengiang kembali suara yang pernah diperdengarkannya sendiri ketika itu, ketika ia41 mengucapkan sumpah tak sudi memperisterikan Ragapadmi.
Menyesal ia kini, mengapa mulutnya lancang.
Mengapa dulu menyia-nyiakan Ragapadmi.
Hati Bangsacara lebih gelisah lagi ketika Ragapadmi mengangsurkan racikan daun sirih itu kepadanya.
Tangannya gemetaran menerimanya.
Keayuan wajah Ragapadmi, dan senyuman yang dipamerkan itu menyiksa dirinya.
Bangsacara mengunjah daun sirih itu rasanya gigi tak kuasa mengoyaknya, matanya terpaku menyusuri tubuh Ragapadmi yang amat indah itu.
Nyai Jagahastana seakan tak memperdulikan tingkah laku Bangsacara itu, memerintahkan Ragapadmi agar membersihkan kamar tidur yang biasa dipergunakan Bangsacara kalau pulang.
Perintah ini amat menyenangkan Ragapadmi, berarti dapat menghindari pandangan Bangsacara yang menggoncang hatinya itu.
Pandangan Bangsacara liar, sejurus memandang pintu dan sejurus pula ia menatap Ibunya yang berseri-seri itu, menunjukkan rasa bangga dengan hasil jerih payahnya merawat Ragapadmi.
"Anakku sekarang telah lengkap laki-laki dan perempuan. Sekarang dua, lain waktu jika kau telah42 kawin dan Ragapadmi juga, anakku akan tambah dua lagi jadi empat. Ah amat bahagia aku sekarang,"
Kata nyai Jagahastana seperti kepada diri sendiri. Dan Bangsacara acuh tak acuh, memberikan jawaban tak tentu arah .
"Yah, itu baik."
Tapi gelora hati muda dalam dadanya makin tak tertahan menyaksikan keayuan wajah Ragapadmi.
Tiba-tiba Bangsacara bangkit, langkahnya cepat masuk ke rumah belakang.
Lalu berdiri ditengah pintu kamar yang sedang diatur Ragapadmi, pandangannya menyusuri tubuh indahnya.
Hati Bangsacara telah terkoyak-koyak oleh senyum Ragapadmi, dada Bangsacara telah terluka oleh tembusan mata Ragapadmi, karena itu Bangsacara tak kuasa lagi untuk menyembunyikan rasa gandrung kepada Ragapadmi.
"Manis, berilah aku senyum. Berilah aku tempat dalam hatimu. Aku laki-laki yang hina ini Padmi,"
Merayu Bangsacara dengan melangkah perlahan. Ragapadmi terkejut, berusaha lari keluar, tapi jalan satu-satunya telah ditutup oleh Bangsacara. Hatinya berdebar dan ketakutan menguasai dadanya.43
"Kakang, jangan kau berusaha menggangguku. Ingat kakang, aku adikmu sendiri. Mengapa? Mengapa kau segila ini?"
Kata Ragapadmi agak gemetar. Bangsacara tersenyum, lalu .
"Lupakah kau Padmi, akan perintah Raja kala itu? Bukankah kau harus kuperisterikan? Padmi, aku takut Raja marah kalau tak kuturut perintahnya."
Bangsacara merangsang maju, Ragapadmi memukul dengan gagang sapu. Bangsacara meringis, pandangannya terpusat kepada muka dan dada lalu bujuknya.
"Manis, berilah aku cium. Istriku, hatiku telah luka, hatiku telah parah. Berilah istriku, berilah, sekedar obat kerinduan. Manis..."
"Ingatlah akan sumpah kakang, jangan kau berusaha menerobos pagar larangan,"
Kata Ragapadmi gemetar.
"Aku takut! Aku takut kakang, kau akan hancur... seperti debu itu... kakang, jangan kau segila itu. Ingat! Ingat aku bukan istrimu, aku adikmu sendiri..."
"Tapi manis, perintah Raja... perintah Raja kau istriku. Kekasihku, cuma kaulah tempat berlindung. Manis, cuma kau yang berhak menerima cintaku. Berilah, berilah aku cinta kasihmu."44 Bangsacara melangkah maju. Pukulan sapu itu diterima dengan tangan kiri seraya tersenyum. Ragapadmi menjerit. Bangsacara melangkah keluar kamar terhuyung-huyung. Dibantingkan pantatnya keatas kursi, dadanya kembang kempis, menghela napas dan mengeluh. Dan Ragapadmi cepat keluar dari kamar itu, lari menuju kamarnya terus meniarap diatas balai, airmata membanjir. Ragapadmi menangis, kedatangan Bangsacara menyedihkan hatinya. Tak tahu apa yang harus dilakukannya, sumpah Bangsacara ketika itu masih diingatnya benar-benar, dan pandangannya yang jijik ketika itu juga masih sangat berkesan dalam dadanya. Yah, Ragapadmi masih ingat benar sikap angkuh Bangsacara terhadapnya, dan dirinya tak punya harga lagi. Ragapadmi juga masih belum lupa akan kebencian terhadapnya, tapi mengapa sekarang Bangsacara melupakan semua itu? Bangsacara merayu, Bangsacara berusaha menanam kasih, dan Bangsacara berusaha minta dikasihani. Anak muda itu duduk lunglai, pandangan matanya ingin menembusi dinding kamar Ragapadmi.45 Ingvin dapat melihat keayuan wajah Ragapadmi yang kini sembunyi dalam kamarnya. Ingin dapat mengusap-uasap rambutnya dan ingin menikmati tubuh yang indah itu. Kini ia menyesali perbuatannya yang lama telah lewat. Mengapa dulu mengucapkan sumpah itu. Mengapa dulu memandang Ragapadmi dengan jijik. Mengapa dulu menyia-nyiakannya. Mengapa dulu merasa ngeri melihat Ragapadmi. Ternyata semua itu dikalahkan oleh ibunya yang telah tua, yang berhasil menyembuhkan lukanya. III. MANUSIA TAMAK. PAGI itu amat bening. Matahari menyinari bumi dengan cahaya menyilaukan. Desa Bangsacara dihiasi kicau burung yang asyik diatas ranting-ranting bambu. Suara orang menumbuk padi terdengar nyaring, dan dua ekor anjing Bangsacara yang bercanda dipelataran itu sering memperdengarkan salaknya. Bangsacara membuka matanya, menggeliat, tapi istrinya telah tak ada disampingnya lagi. Tapi46 Bangsacara masih malas bangun, kembali ia meramkan matanya lagi. Ia ingin menikmati seluruh kebahagiaan hidup selama dirumah ini, mengenyam cinta dengan Ragapadmi dan rasanya amat sayang untuk berpisah dan kembali ke kraton menunaikan tugasnya. Ragapadmi ayu, Ragapadmi amat setia kepadanya, memberikan cinta sepenuh hati. Amat sayang untuk mengakhiri pandangan yang menyedapkan, meninggalkan rumah ini hingga beberapa bulan. Jangan lagi berbulan-bulan, seharipun Bangsacara tak pernah mimpi untuk meninggalkan istri yang molek itu. Lalu terdengar pintu kamar terbuka, tapi Bangsacara tak membuka mata. Ia telah mengerti tentu istrinya masuk kamar untuk membangunkan dan memberitahu bahwa kopi dan sarapan pagi telah tersedia. Benar juga sebentar kemudian terdengar langkah lembut mendekati tempat-tidurnya, lalu tempat-tidur itu bergerak perlahan dan ia merasa tangan halus meraba dada. Disertai suara yang lembut nikmat masuk lobang telinga Bangsacara.47 Bangsacara membuka mata, dan tangannya cepat mendekap istrinya itu dan bibir dari mulut mungil Ragapadmi itu lalu dikecupnya berulang-ulang. Ketika dilepaskan, sekulum senyum menyungging bibir dan menggairahkan. Ah. Bangsacara merasakan kebahagiaan yang amat sangat, memiliki seorang istri yang ayu ini. Istri bekas selir Raja wanita pilihan yang sukar dicari dalam seluruh wilayah pulau Madura. Dan apalagi semasa Ragapadmi masih dalam kraton, ia merupakan kesajangan Raja, merupakan bunga indah yang menghiasi kraton Pucangan. Seluruh penghuni dalam kraton Pucangan itu tak mendekati kecantikan Ragapadmi. Dan selama Bangsacara dirumah ini, Ragapadmi tak segera dapat menjelesaikan kain tenunannya. Karena Bangsacara juga selalu nakal. Akhirnya sampai pada suatu siang, kalamana Bangsacara dan Ragapadmi duduk bersanding dalam rumah, terkejut oleh salak anjing Cantuk dan Ceplok di pelataran. Bangsacara cepat bangkit ingin tahu apa yang terjadi. Lalu berlarian Bangsacara menuju rumah muka. Ragapadmi ingin tahu juga apa yang terjadi, tapi cepat-cepat masuk rumah lagi setelah mengetahui siapa tamu yang datang. Patih Bangsapati sedang turun dari kuda dan suaminya datang menyambut.48 Lalu Ragapadmi lari-lari kecil mencari nyai Jagahastana. Dan Bangsacara yang menyambut kedatangan Patih Bangsapati, amat keheranan justru tidak seperti kepergian yang biasanya, kedatangannya seorang diri. Dengan sangat menghormat, Bangsacara menerima kuda patih Bangsapati itu lalu ditambatkannya pada sebatang pohon, dan kemudian mempersilahkan tamu terhormat itu masuk rumah muka.
"Hamba amat terkejut, justru kedatangan paduka seorang diri,"
Kata Bangsacara seraya menatap tamunya.
"Ampunilah hamba gusti Patih, agaknya paduka membawa kabar penting."
Patih Bangsapati tersenyum, menyusuri wajah dan tubuh lurah Punakawan ini, lalu jawabnya .
"Aku datang tidak sendirian Bangsacara, tapi para pengiring menunggu diluar desa. Aku tak ingin mengejutkan para penduduk, dan tak ingin membikin kau repot. Ketahuilah Bangsacara, atas perintah paduka Raja supaya aku menyambangi keselamatanmu. Paduka Raja amat khawatir akan keselamatanmu, justru telah lebih dua bulan belum juga kau kembali ke Pucangan. Syukurlah aku bertemu sekarang ini ternyata kau49 sehat-sehat. Tampaknya kau malah lebih gembira selama di rumah."
"Gusti, hamba lama di desa melakukan perintah Paduka Raja. Mohon ampun gusti, beberapa bulan yang lalu Paduka Raja menganugerahkan gusti Ragapadmi yang sedang sakit itu untuk hamba peristerikan. Itulah sebabnya hamba tak segera kembali, sibuk merawat penyakitnya."
"Akupun telah mengerti soal itu. Yah, syukurlah apabila perintah Paduka Raja itu tak kau abaikan. Lalu sekarang, sudah sembuhkah Ragapadmi?"
"Doa dan berkah dalam Paduka Raja dan gusti Patih, harapan hamba terkabul. Ragapadmi telah sembuh kembali."
Ketilka itu muncullah Ragapadmi membawa hidangan kapur sirih.
Sebenarnya Ragapadmi tak ingin melakukannya, tapi mertuanya memaksa untuk menyuguh tamu terhormat itu.
Bangsacara tersenyum bangga dapat mempamerkan keadaan Ragapadmi yang sekarang kepada patih Bangsapati.
Dan tamu terhormat ini ketika menyaksikan munculnya Ragapadmi dari dalam jadi gelagapan, terkejut dan tak mempercayai matanya sendiri menyaksikan wanita berparas ayu50 dengan sekulum senyum datang kejurusannya.
Dalam hati Bangsapati sangat heran, mengapa wanita yang penuh luka itu kini dapat sembuh kembali, memiliki, wajah ayu dan bentuk tubuh yang menggiurkan.
"Terimakasih,"
Ujar patih Bangsapati setelah mengambil racikan sirih itu dari baki yang diangsurkan Ragapadmi.
Lalu dikunyahnya, dan terasa segar dalam mulut.
Ragapadmi telah kembali ke dalam rumah, Bangsacara berseri-seri, dan patih Bangsapati masih mengunyah kapur sirih seraya berkata .
"Ya kau beruntung dapat memperisterikan bekas selir Paduka Raja yang amat cantik. Mudah-mudahan kau dapat hidup rukun, kasih mengasihi dan bahagialah hidupmu."
"Hamba sangat berterima kasih atas pangestu paduka."
"Aku segera kembali Bangsacara, dan bersyukur pula bahwa kau selamat. Perintah Paduka Raja, aku harus menyambangi keselamatanmu. Sekarang telah bertemu dan selamat, ijinkan aku pulang dan jangan lupa dalam waktu singkat ini kau harus segera kembali kekraton. Sebab Paduka Raja telah rindu padamu."
"Hamba akan melaksanakan titah paduka gusti."51 Kepergian patih itu diiringkan Bangsacara hingga hampir pinggir desa. *** Tapi Bangsacara tak juga memenuhi perintah Raja itu untuk kembali ke kraton sekalipun beberapa hari telah lalu. Ia sangat berat untuk berpisah dengan Ragapadmi, ia amat masygul kalau tak dapat menyaksikan keayuan wajah istrinya barang sehari. Mengapa istri yang cantik itu harus ditinggalkan? Mengapa istri yang ayu itu harus tak disanjung tiap hari? Dalam hati Bangsacara malah timbul pikiran untuk tidak kembali mengabdi kepada Raja, tetapi akan hidup sebagai petani di desa. Hidup disamping Ragapadmi yang ayu dan setia. Kemudian tibalah hari yang amat mengejutkan Bangsacara, dengan kedatangan patih Bangsapati yang membawa perintah agar ia seorang diri berburu ke pulau Mandangin. Perburuan itu telah ditentukan harinya pula dan dalam waktu sehari itu harus dapat mengumpulkan rusa sebanyak tiga ratus ekor. Alasan yang diajukan dalam perintah itu, karena Raja akan menyelenggarakan pesta dengan seluruh punggawa, dan daging rusa itu akan dipergunakan sebagai52 hidangan dalam pesta yang akan diselenggarakan seminggu kemudian. Bangsacara menghempas diatas balai-balai dalam rumah muka itu, amat sedih, ia telah insyaf bahwa perintah itu merupakan hukuman Raja akibat melalaikan tugasnya, kesengsam berkasih-kasihan dengan Ragapadmi, kesengsam ia menyusuri keindahan tubuh dan wajah ayu Ragapadmi dengan pandangan matanya. Sekalipun benar telah beberapa lama ia bersanding dengan istrinya itu, tapi ia merasa belum puas dan amat sayang untuk meninggalkan desa itu kembali ke keraton. Akibatnya datang perintah yang sangat mengejutkan itu. Masih mengiang dalam rongga telinganya perintah patih Bangsapati.
Selir Yang Dihadiahkan Karya Widi Widayat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Cara, ketahuilah bahwa kedatanganku kali ini membawa perintah Raja untukmu. Raja berkeinginan untuk menyelenggarakan pesta dengan seluruh punggawa Pucangan seminggu yang akan datang. Karena itu maka Raja membutuh- kan tenagamu, untuk menyelenggarakan perburuan di pulau Mandangin. Tapi ketahuilah bahwa perburuan itu atas perintah Raja harus kau selenggarakan sendirian, dilarang untuk mengajak orang lain. Dalam pada itu juga ketahuilah Bangsacara, bahwa penyelenggaraan perburuan itu harus kau selenggara-53 kan lima hari setelah perintah ini kau terima, dan selesai pula mengumpulkan rusa sejumlah 300 ekor dalam waktu sehari. Kau tak perlu khawatir, karena di Mandangin terdapat ribuan rusa liar, hingga tidak begitu sukar kau melaksanakan perintah Raja itu. Sedang pengangkutan rusa ke Pucangan pun kau tak perlu mengusahakan, karena akan dikirim beberapa orang kuli dengan alat pengangkutannya. Itulah perintah Raja yang harus kusampaikan padamu, dan harus pula kau lakukan tepat pada waktunya. Cara, kau adalah abdi kekasih Raja, jangan sekali-kali kau mencoba untuk tidak melaksanakan perintah ini, agar Raja tidak murka kepadamu."
Demikian itulah perintah Patih Bangsacara yang menyampaikan perintah Raja Bidarbo.
Dalam waktu sehari harus dapat mengumpulkan 300 ekor rusa liar, seorang diri dan dilarang mengajak orang lain.
Pekerjaan yang amat mustahil, perintah yang sukar dilaksanakan.
Bangsacara sangat heran, mengapa hukuman yang harus diterima demikian berat? Rusa- rusa dalam hutan pulau Mandangin memang amat banyak, beribu-ribu jumlahnya.
Tapi rusa-rusa itu liar, akan sukarlah orang dan sendirian pula melakukan penangkapan.
Sejumlah 300 ekor sehari, berarti tiap- tiap duabelas menit harus bisa menangkap 5 ekor54 rusa.
Padahal tidaklah mungkin seorang dapat bekerja terus-menerus dalam waktu sehari, tanpa berhenti minum, makan dan mengaso.
Bangsacara gelisah diatas balai-balai ini memandang keatas, memandang langit-langit rumah dan mengeluh.
Apa yang harus dilakukannya menghadapi persoalan yang amat berat ini? Harus memilih satu diantara dua kemungkinan.
Pertama, melaksanakan tugas itu dengan segala ketabahan, dan berarti menepati wajib sebagai kawula yang tunduk kepada perintah Raja, menyadari kesalahannya telah melalaikan kewajiban.
Kedua, tidak melaksanakan tugas itu, mengingkari wajib, dan melarikan diri kelain daerah.
Sebab kalau masih hidup dalam praja Pucangan, punggawa Pucangan akan datang menang- kapnya.
Dan mengingkari perintah Raja, hukuman yang akan diterima tiang gantungan atau kepala dipenggal oleh algojo-algojo Pucangan.
Bangsacara menghela napas.
Dadanya terasa sesak, tak habis mengerti atas kesalahannya sekecil itu saja harus menerima hukuman yang sangat berat.
Hukuman yang tak adil, hukuman yang sangat mengherankan hatinya.55 Lama sekali ia gelisah.
Tak seorangpun mengusiknya, justru kala itu istri dan ibunya tak ada di rumah, sedang pergi ke ladang untuk memungut hasil ladang sejak habis makan siang tadi.
Kawan yang masih ada dirumah sekarang ini cuma dua ekor anjingnya yang setia Cantuk dan Ceplok.
Tapi anjing- anjing itu tak dapat bicara, tak dapat diajak berpikir.
Tapi ketika Bangsacara ingat kepada anjingnya ini, ia tersenyum.
Yah, terdapat titik api terang dalam dadanya yang menjebabkan hatinya agak gembira.
Bangsacara berpikir, bahwa larangan Raja cuma berlaku kepada orang, berarti tidak berlaku kepada anjing.
Sedang dua ekor anjingnya ini telah berpengalaman dalam perburuan, anjing-anjing itu akan memberi bantuan yang amat besar kepadanya.
Lalu ia duduk, dua ekor anjingnya sedang tidur- tiduran.
Bangsacara bersiul, dan anjing-anjing itu dengan mengibaskan ekarnya datang dan mencium tangannya.
Lalu kedua belah tangannya menepuk- nepuk kepala dan punggung anjing itu, seraya katanya setengah berbisik .
"Bantulah aku menunaikan tugas dan bantuanmu sangat berguna bagiku. Maukah kau Ceplok dan kau Cantuk berburu kepulau Mandangi?"56 Dua ekor anjing itu seakan-akan dapat menangkap kata-kata tuannya, mereka menatap dan menyalak kecil seakan-akan menyanggupkan diri. Bangsacara tersenyum gembira, kedua anjing itu ditepuk-tepuk perlahan penuh kasih. Lalu Bangsacara sangat terpesona menyaksikan wajah istrinya lebih ayu dari biasanya, dihiasi oleh pipinya yang memerah kena sinar matahari itu. Ragapadmi mengenakan caping diatas kepalanya, pakaiannya serba lurik, punggungnya diberati oleh tenggok berisi hasil ladang. Bangsacara cepai bangkit seraya tersenyum menyambut senyuman manis isterinya. Tenggok yang memberati punggung Ragapadmi diambilnya, dan mulut Bangsacara yang nakal kemudaan mengecup bibir isterinya yang merah itu. Tepat pada waktu itu nyai Jagahastana masuk rumah muka, dan cepat tangan Ragapadmi menghalau pelukan Bangsacara lalu lari kecil masuk rumah belakang agak malu. Malam itu diluar demikian gelap. Pohon-pohon dimuka rumah itu menghantu, serba hitam. Malam gelap kali ini sama pula dengan kegelapan Bangsacara dalam menghadapi istrinya, untuk minta diri57 melaksanakan perintah Raja berburu rusa di pulau Mandangin. Bangsacara yang kini duduk sendirian diatas kursi kaju panjang itu, sedang berpikir keras apa yang harus diJakukannya. Ia tahu apabila istrinya diberitahu soal ini tentu ikut serta, tak mau ditinggalkan dirumah. Tapi apabila pergi secara diam- diam, ia takut kalau-kalau istrinya bingung dan mencari. Bangsacara gelisah. Hati Bangsacara gelap, sama gelap dengan malam pada saat itu. Ketika istrinya menyusul dan duduk merapat disisinya, Bangsacara berusaha untuk menyembunyikan kegelisahannya itu. Dipandanginya Ragapadmi lama- lama, lalu sama-sama tersenyum, dan kemudian dagu dan pipi yang kuning halus itu disapu perlahan dengan hidungnya. Ragapadmi bercerita sekitar ladang yang dilihatnya siang tadi. Jagung mendekati panen, pohon ubi kayu telah setinggi dada, ketela rambat telah menjalar kesana-sini, sedang sayur-sayuran telah dapat diambil. Ragapadmi asyik menceritakan keadaan ladang itu, dihiasi senyum dan wajah berseri- seri. Semua tanaman dalam ladangnya itu akan memberi hasil yang tidak saja lumayan tapi lebih dari cukup.58 Bangsacara mencoba untuk memperhatikan cerita-cerita istrinya itu, untuk ikut gembira bahwa ladangnya mendapat kemajuan, tapi ternyata hatinya yang resah iitu sangat kuat pengaruhnya. Cerita Ragapadmi yang biasanya menarik itu kini malah merupakan siksaan yang maha hebat. Siksaan ja, justru besok malam istrinya tak akan dapat lagi! bercerita seperti ini, besok malam Ragapadmi akan tergolek tidur gelisah di pembaringannya, besok malam Ragapadmi akan merasa kesepian dan kehilangan. Malam yang gelap sekarang ini merupakan malam pertemuan terakhir selama menjalankan tugas berburu itu, dan baru dapat menikmati malam-malam yang begini apabila selesai tugasnya nanti. Tak lebih dua minggu termasuk perjalanannya pulang balik, tapi waktu selama itu bagi Bangsacara merupakan waktu yang amat panjang. Selama itu tak dapat menyusuri wajah dan keindahan tubuh istrinya dengan pandangan matanya. Selama itu tak dapat membelai rambut Ragapadmi yang ikal itu. Selama itu tak bisa mencium bibir Ragapadmi yang mungil itu. Selama itu tak akan bisa mengusap-usap pipi dan dagu Ragapadmi dengan hidungnya. Sangat menyedihkan!59 Karena itu sekalipun Bangsacara berusaha untuk menyembunyikan keresahan hatinya, tidak berhasil! Ragapadmi dapat menyelam, dapat merasai, karenanya seraya memeluk Bangsacara ia mendesak terus agar memberitahukan apa sebabnya gelisah.60
"Padmi, dengarlah. Kekasihku, jangan kau terkejut. Manis, jangan kau bersedih hati apabila aku telah menceritakan secara benar. Wong ayu, tenangkan hatimu. Siang tadi ketika kau tak ada di rumah datang lagi gusti Patilh Bangsapati..."
Pendekar Kembar Karya Gan KL Gembong Kartasura Karya Sri Hadijojo Tusuk Kondai Pusaka Karya SD Liong