Ceritasilat Novel Online

Sumpit Nyai Loreng 1


Pendekar Bayangan Sukma Sumpit Nyai Loreng Bagian 1


SUMPIT NYAI LORENG Oleh Fahri A.

   Cetakan pertama, 1991 Penerbit Gultom Agency, Jakarta Setting oleh.

   Trias Typesetting Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Fahri A.

   Serial Pendekar Bayangan Sukma dalam episode.

   Sumpit Nyai Loreng Pagi itu udara cerah.

   Kicau burung menyambut da-tangnya sang surya.

   Belahan dunia telah disinari oleh sang surya tak pernah berhenti bekerja atau mengeluh sedikit pun.

   Di sebelah barat sana, Gunung Kelud berdiri den-gan megahnya.

   Puncaknya ditutupi oleh kabut yang cukup tebal.

   Gunung itu bagaikan makhluk raksasa yang sedang tidur.

   Dan sekali-sekali bisa murka dengan memuntahkan lahar yang sangat panas.

   Pelan-pelan angin mencoba mengusir kabut yang tebal itu.

   Namun agaknya kabut itu masih enggan untuk pergi dari puncak Gunung Kelud.

   Dari kejauhan nampak tiga sosok tubuh menung-gang kuda mendekati tempat itu.

   Melihat dari cara ketiganya berpakaian yang ringkas dan sebilah pedang di punggung, menandakan ketiganya orang-orang yang memiliki kepandaian ilmu silat.

   Di salah seekor kuda yang ditunggangi oleh seorang yang berwajah kelimis, nampak sebuah buntalan besar berwarna hitam.

   Orang itu menghentikan laju kudanya.

   "Sebaiknya kita beristirahat saja dulu di sini, Kawan-kawan,"

   Katanya seraya melompati kudanya. Lalu merentangkan kedua tangannya yang terasa pegal dan memat (Editor. memat?). Kedua temannya pun segera melompat dari kuda mereka. Keduanya pun berbuat yang sama dan meng-hirup udara pagi.

   "Kita sudah dua hari dua malam melakukan perjalanan ini menuju Desa Bojong Karta,"

   Kata laki-laki berwajah kelimis yang bernama Bahar.

   "Benar, Bahar... kita harus memulihkan tenaga kita dulu,"

   Kata kawannya yang bernama Langgono, sambil menggeliatkan tubuhnya.

   "Setelah beristirahat, kita sebaiknya langsung saja menuju Desa Bojong Karta, Bahar,"

   Kata yang bernama Galur.

   "Sebaiknya ku pikir lebih cepat lebih baik. Karena kita masih ada satu tugas lagi, untuk mengantarkan emas permata itu ke Kepala desa di Desa Glagah Mentari."

   Bahar pun mengangguk.

   Ketiga orang itu adalah suruhan dari Ki Madrim, tukang emas dan permata untuk membawa dan men-girimkan barang-barangnya kepada pemesannya yang tinggal di Desa Bojong Karta dan Glagah Mentari.

   Ketiganya memang selalu berhasil secara baik men-girimkan barang-barang pesanan itu.

   Mereka pun sering mengalami gangguan dari orang-orang jahat di perjalanan yang hendak merebut emas permata yang me-reka bawa.

   Namun selama ini, mereka berhasil menye-lamatkannya.

   Ketiga orang itu pun mencari sungai untuk mem-bersihkan diri.

   Setelah itu mereka mencari buah-buahan yang banyak terdapat di tepi hutan itu.

   Selagi mereka asyik menikmati buah-buahan itu, tiba-tiba terdengar suara terkikik di dekat mereka.

   Ketiganya menoleh, dan melihat seorang nenek yang berdiri tidak jauh dari mereka.

   Diam-diam ketiganya kagum karena kedatangan nenek itu tidak terdengar sama sekali.

   "Selamat pagi, Nek..."

   Sapa Bahar yang memang di samping sebagai penjaga dan pengirim barang juga memiliki jiwa yang baik hati. Nenek itu terkikik.

   "Hikhikhik... aku tidak lapar..."

   "Kalau begitu, biar kami makan dulu, Nek..."

   "Hikhikhik... teruskanlah makan kalian. Tetapi aku cuma minta buntalan yang ada di kudamu itu..."

   Kata nenek itu lagi. Mendengar kata-kata nenek itu ketiganya menjadi bersiaga. Perlahan-lahan ketiganya pun bangkit. Namun Bahar masih berkata dengan suara yang sabar "Maafkan kami, Nek... kami tidak bisa memberikan buntalan ini pada nenek..."

   "Hikhikhik... kalau begitu... aku akan merebutnya dari kalian!"

   Kata nenek itu lagi, kali ini suaranya terdengar angker. Bahar yang mencoba bersabar, menjadi tidak enak mendengar suara dan nada bicara nenek itu. Dia pun menjadi makin bersiaga. Begitu pula dengan Langgono dan Galur.

   "Nek!"

   Galur buka suara.

   "Kami tidak menanamkan bibit permusuhan dengan nenek... dan hari ini kami pun tidak sedang memetik hasil dari permusuhan itu... mengapa nenek begitu memaksa untuk mengambil buntalan yang tak ada barang berharga itu?!"

   Nenek itu terkikik.

   "Kalian lucu sekali... aku tahu apa yang terdapat dalam buntalan itu. Emas permata, bukan? Nah, di pagi ini... aku... Nyai Loreng meminta kepada kalian secara baik-baik agar buntalan itu diberikan kepada-ku, hah!"

   "Nek! Kami sudah katakan, kami tidak menanam bibit permusuhan denganmu!"

   "Jangan panggil aku nenek! Namaku Nyai Loreng!"

   Seru nenek itu dengan sengit. Dia mengenakan pa-kaian yang berwarna loreng, mirip kulit harimau. Dengan kain yang berwarna hitam legam.

   "Nyai Loreng... dengan berat hati, kami tidak bisa memberikan buntalan ini padamu..."

   "Kalau begitu... kalian akan merasakan akibatnya dari kekeraskepalaan kalian ini!"

   "Kami siap untuk menyabung nyawa demi mempertahankan buntalan ini!"

   Kata Bahar gagah.

   "Hihihi... kalian mencari mati rupanya! Baik, tahan seranganku!"

   Setelah berkata begitu, Nyai Loreng menyerang dengan cepat.

   Jari-jarinya yang berkuku panjang men-gembang.

   Siap menghujam di jantung mereka.

   Namun ketiganya adalah pengirim-pengirim barang pilihan.

   Sudah tentu serangan dari Nyai Loreng berhasil mereka hindari.

   Dan secara serempak ketiganya pun menerjang.

   Namun di luar dugaan ketiganya, nenek peot yang sudah tua dan nampak lemah itu dapat bergerak dengan gesit.

   Dia bersalto dua kali ke belakang.

   Lalu begitu kakinya hinggap di tanah dia menderu maju menyerang kembali.

   Kali ini lebih cepat dan lebih gencar.

   Membuat ketiganya menjadi kaget.

   Dan secara se-rentak ketiganya mencabut pedang karena merasa Nyai Loreng memiliki kemampuan yang teramat lihai dan hebat.

   Di tempat itu pun terjadilah pertarungan yang sengit antara ketiganya melawan Nyai Loreng.

   Nyai Loreng sendiri nampak terkekeh-kekeh menghadapi serangan-serangan itu.

   "Hihihi... rupanya hanya begitu saja kemampuan kalian, hah?! Kalian tidak layak menjadi pengirim barang emas permata! Kalian lebih patut menjadi penjaga WC saja!"

   Mendengar kata-kata itu, ketiganya semakin berin-gas. Namun sampai sejauh itu Nyai Loreng dapat menghindar, bahkan membalas menyerang dengan he-bat dan gencar. Kuku-kukunya yang runcing dan tajam berkelebat ke sana-ke mari.

   "Hihihi... hati-hati kalian! Sekali tergores ujung kukuku, kalian akan menderita seumur hidup ataupun mati dengan mengerikan! Kukuku ini mengandung ra-cun buaya putih!"

   Ketiganya pun semakin berhati-hati. Tiba-tiba terdengar lengkingan keras Nyai Loreng dan menyerang Langgono bertubi-tubi.

   "Sreeet!"

   Kuku di tangan kanannya mengoyak baju bagian dada Langgono yang teramat terkejut.

   Dia menekap darah yang mengalir.

   Mendadak dirasakannya gatal yang teramat luar bi-asa menyerang sekujur tubuhnya.

   Langgono menjadi menggaruk-garuki seluruh tubuhnya dengan gatal yang teramat menyengat.

   Karena gatalnya dan karena kuatnya dia mengga-ruk, sebentar saja terlihat warna memerah di seluruh kulitnya.

   Dan kulit itu pun terkupas mengeluarkan darah.

   "Hihihi... itulah khasiat racun buaya putih yang ku oleskan di ujung kuku-kukuku!"

   Terkikik Nyai Loreng melihat salah seorang lawannya tengah berusaha keras untuk melawan rasa gatal yang teramat menyen-gat.

   Melihat kawan mereka nampak begitu tersiksa, Ba-har dan Galur menggeram marah.

   Lalu keduanya pun kembali menyerang Nyai Loreng dengan gencar.

   Pedang yang ada di tangan mereka menyambar ke sana-ke mari dengan hebat.

   Siap mencabut nyawa Nyai Loreng.

   Namun sampai sejauh itu tak satu pun pedang me-reka yang berhasil mengenai sasarannya.

   Hal ini semakin membuat mereka kesal, jengkel dan panik.

   Apalagi keduanya nampak sudah kepayahan dan mulai kehabisan tenaga.

   Nyai Loreng terkekeh.

   "Hihihi... rupanya kalian cuma pantas berlari sebentar... karena nafas kalian sudah ngos-ngosan seperti itu!"

   "Nenek keparat! Kubunuh kau!"

   Seru Bahar geram dan menyerang kembali.

   Dia sudah mengeluarkan segenap kemampuannya untuk menjatuhkan dan men-galahkan nenek peot itu.

   Sama halnya dengan Galur yang sudah mengelua-rkan pula segenap kemampuannya.

   Namun sampai sejauh itu, Nyai Loreng belum pula berhasil mereka kalahkan.

   Bahkan terdesak pun tidak.

   Kini keduanya sadar siapa lawan yang tengah mereka hadapi.

   Nyai Loreng sendiri tetap saja dengan santai menghindari setiap serangan yang datang.

   Bahkan dia pun mulai membalas kembali.

   Serangannya aneh dan berbahaya.

   Kadang-kadang tubuhnya berkelebat bagaikan burung, kadang bergerak selicin belut.

   Dan kuku-kuku beracunnya siap menghadang dan mengundang nyawa keduanya untuk pergi ke akhirat.

   "Hihihi... apa kalian sudah merasa tidak mampu menghadapiku?"

   "Nenek busuk! Kami akan mengadu nyawa den-ganmu!"

   Seru Galur.

   Sementara tubuh Langgono semakin banyak men-geluarkan darah akibat digaruk yang begitu keras.

   Ra-sa gatal itu amat menyengat dan tidak terhenti-henti menyiksanya.

   Bahkan semakin digaruk terasa semakin gatal.

   Dia menjadi putus asa.

   Dan tubuhnya sudah sema-kin terasa tersiksa.

   Dengan nekat dia pun menggigit li-dahnya hingga putus.

   Darah pun mengalir dengan hebat.

   Dan tubuhnya itu pun meregang, lalu nyawanya putus meninggalkan jasadnya.

   Melihat kenyataan itu, membuat Bahar dan Galur semakin nekat.

   Mereka pun menyerang dengan ganas.

   Tiba-tiba Nyai Loreng bergerak dengan cepat.

   Dan "Des!"

   "Des!"

   Tangannya memukul tangan keduanya hingga pe-dang yang ada di genggaman mereka terlepas.

   "Hihihi... kini kalianlah sasaran uji coba Sumpit Racun yang telah kuciptakan!"

   Desisnya sambil mengeluarkan sebatang sumpit kecil yang berwarna loreng pu-la. Lalu dia pun mengambil pelurunya yang terdapat di kantung kecil yang tercantel di pinggangnya. Dan memasang nya pada sumpitnya.

   "Kini bersiaplah kalian untuk menerima ajal kalian!"

   "Tahan!"

   Kata Bahar.

   "Hihihi... rupanya kau takut mati juga? Nah, cepatlah serahkan buntalan yang berisi emas permata itu padaku? Bila tidak... kalian pun akan mampus mengikuti teman kalian itu!"

   "Nenek... kami tak punya permusuhan denganmu. Dan kami tak punya masalah denganmu! Kenal pun baru sekarang ini!"

   Kata Bahar mencoba mengulur waktu. Dia tengah berpikir untuk menyerang kembali, namun melihat dulu di mana titik kelemahan dari nenek itu.

   "Itu bukanlah suatu masalah!"

   "Nenek... untuk apa kita harus saling menanamkan bibit permusuhan! Biarkan kami pergi... dan kami tak akan menuntut balas pada kematian kawan kami itu!"

   "Hihihi... kalian boleh pergi... bila kalian mau menyerahkan buntalan hitam itu padaku!"

   "Tidak! Sampai mati pun tak akan kami serahkan!"

   Seru Galur.

   "Bagus! Berarti kalian setuju dengan kematian yang akan kulepaskan pada kalian!"

   "Tunggu!"

   Kata Bahar yang melihat nenek itu sudah memasang sumpit di ujung bibirnya.

   "Nyai Loreng... kuminta sekali lagi, biarkan kami pergi. Dan kamu pun pergi secara damai..."

   "Kalian memang boleh pergi sejak tadi, tapi ingat, buntalan itu harus kalian tinggalkan..."

   "Nyai Loreng... sejak tadi kami mencoba untuk tidak menanamkan bibit permusuhan... tetapi agaknya kau sulit untuk menerimanya. Dan kami pun tak akan begitu mudah memberikan apa yang kau minta ini..."

   "Bagus!"

   Tiba-tiba saja Bahar menyerang dengan pukulan lu-rus ke muka.

   Begitu pula dengan Galur.

   Namun tubuh keduanya tiba-tiba terpental kembali.

   Dan jatuh ke tanah.

   Sumpit yang dipegang Nyai Loreng sudah menjalan-kan fungsinya.

   Dua pelurunya menancap ke tubuh masing-masing.

   Kedua tubuh itu kelojotan menahan sakit yang luar biasa.

   Dan tubuh keduanya bergulingan.

   Tiba-tiba sangat tiba-tiba sekali seluruh urat nadi keduanya pecah, dan darah segar pun berhamburan.

   Tidak lebih dari lima detik, nyawa keduanya pun terlepas.

   Nyai Loreng terkikik.

   "Bukan main, racun yang kuciptakan ini hebat! Hebat, hebat sekali! Dan aku pun menemukan senjata ampuh untuk melepaskannya! Sumpit! Hihihi... sumpit beracun Nyai Loreng!"

   Lalu nenek itu pun mengambil buntalan hitam yang ada di kuda Bahar.

   Lalu dia melesat pergi meninggalkan kikikannya.

   *** Juragan Seta Agung adalah orang yang paling kaya di Desa Bojong Karta.

   Di samping kekayaannya yang melimpah, Juragan Seta Agung juga seorang yang pe-murah dan baik hati.

   Dia memiliki rumah yang sangat besar.

   Dengan seorang istri dan dua orang putrinya yang jelita.

   Juragan Seta Agung juga memiliki banyak pengawal yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian.

   Dan pagi ini, di tempat kediamannya, Juragan Seta Agung tengah menanti kedatangan orang-orang yang hendak mengantarkan pesanannya.

   Seharusnya ba-rang itu sudah tiba kemarin, namun satu harian dia menunggu, orang-orang yang mengantarkan pesanannya tidak muncul juga.

   Barangkali saja hari ini orang-orang itu baru muncul.

   "Apakah perjanjiannya saat itu tepat, Tuan?"

   Tanya salah seorang pengawalnya yang bernama Suralaga. Dia seorang ahli yang pandai memainkan sepasang tombaknya yang bermata tiga.

   "Tidak salah. Pesanan itu seharusnya telah datang kemarin. Tapi nyatanya... sampai hari ini pun belum tiba,"

   Kata Juragan Seta Agung.

   "Hmm... tidak seperti biasanya Ki Madrim telat begini..."

   "Barangkali para pengantar barang itu mendapat gangguan di jalan, Tuan."

   "Mungkin... tapi selama ini, para pengantar barang pesanannya adalah orang-orang pilihannya yang gagah perkasa."

   "Atau... maafkan aku, Tuanku,"

   Kata Suralaga menghormat.

   "Mungkinkah para pengirim barang itu berkhianat sendiri pada Ki Madrim?"

   Sepasang mata Seta Agung berkilat-kilat.

   Dia tidak memikirkan kemungkinan itu.

   Mengapa tidak? Ini bisa saja terjadi.

   Mengingat barang-barang pesanan itu adalah emas dan permata.

   Akhirnya karena Seta Agung sudah merasa mem-bayar uang muka dan dia tidak mau terlibat kerugian, dia pun mengirimkan Suralaga dan Giri Lantang mendatangi Ki Madrim.

   Di samping itu, juga ingin memas-tikan apakah barang-barang pesanan itu memang su-dah dikirimkan atau belum.

   Lalu berangkatlah Suralaga dan Giri Lantang den-gan menunggang sepasang kuda hitam yang gagah perkasa.

   Pagi masih bersatu dengan butir embun saat keduanya memacu kuda mereka dengan cepat.

   Karena terus menerus memacu kudanya dengan cepat, maka menjelang malam tibalah keduanya di de-sa kediaman Ki Madrim.

   Keduanya segera mengarah-kan kuda-kuda mereka ke sebuah rumah yang nam-pak cukup besar.

   Para pengawal Ki Madrim yang telah mengenal ke-duanya sebagai pengawal dari Juragan Seta Agung.

   Karena setiap kali Seta Agung memesan emas permata, keduanya selalu menemaninya.

   Makanya tanpa susah-susah keduanya sudah me-masuki halaman rumah besar itu.

   Lalu salah seorang pengawal di sana, mengantar mereka menjumpai Ki Madrim.

   Ki Madrim seorang laki-laki berusia 60 tahun.

   Janggut dan kumisnya berwarna putih, cukup lebat.

   Di kedua pergelangan tangannya terdapat sepasang gelang bahar.

   Rambutnya yang tergerai panjang dikuncir mirip perempuan.

   Dia menyambut Suralaga dan Giri Lantang dengan senyum dan kedua tangan terbuka.

   "Hahaha... pengawal-pengawal perkasa? Bagaimana kabar dari Tuan Seta Agung?"

   Sapanya akrab.

   "Mari, mari silahkan duduk!"

   Kedua utusan dari Seta Agung itu duduk. Ki Madrim tertawa kembali.

   "Bagaimana? Apakah kedatangan kalian ke sini untuk memesan kembali emas dan permata? Hahaha... kalian memang tidak salah tempat mendatangi tempatku ini. O ya, bagaimana dengan Tuan Seta Agung? Puaskah beliau dengan pesanan yang beliau pesan itu?"

   Suralaga dan Giri Lantang saling berpandangan. Bi-la Ki Madrim berkata begitu, berarti barang-barang pesanan itu sudah dikirim. Untuk menegaskannya Suralaga berkata.

   "Ki... maafkan kami berdua yang telah lancang datang ke mari."

   "Hei, apa maksudmu, Suralaga?"

   "Ki... pesanan yang majikan kami pesan kepada mu... sampai hari ini belum tiba di tangan majikan kami..."

   "Tidak mungkin, tidak mungkin!"

   Seru Ki Madrim yang tadi di terlihat sedikit tegang.

   "Kami tidak bicara bohong, Ki... kedatangan kami kesini pun ingin menanyakan... apakah barang-barang itu sudah dikirimkan?"

   Wajah Ki Madrim tampak pias. Dan sebentar saja keringat sudah keluar membasahi wajahnya.

   "Sudah, sudah dikirim. Seminggu yang lalu barang itu dikirim..."

   "Siapa yang mengantarkannya, Ki?"

   "Seperti biasa. Bahar, Langgono dan Galur. Mereka adalah pengawal-pengawalku yang teramat setia..."

   "Maafkan aku, Ki... apakah tidak mungkin mereka mengkhianatimu?"

   Ki Madrim mengelap keringatnya. Dia menggeleng-geleng cepat.

   "Tidak, tidak mungkin... mereka telah bekerja padaku hampir tujuh tahun. Dan sekali pun aku tak pernah mendengar tentang kecurangan mereka terhadapku. Jadi tidak mungkin mereka akan mengkhianatiku..."

   "Tapi kalau begitu... mengapa barang-barang yang kami pesan tidak sampai di tempat kami? Itu pun kalau omonganmu benar, Ki..."

   "Suralaga! Apa maksudmu?"

   Tanya Ki Madrim dengan suara yang agak keras karena dia mendengar sua-ra Suralaga mengandung nada mencurigai. Suralaga hanya tersenyum dan mengangkat ba-hunya. Lalu sambil menyeringai dia berkata.

   "Ki Madrim... tadi kau mengatakan betapa setianya para pengawalmu itu... dan tak mungkin mereka mengkhiana-timu. Tapi aku jadi bertanya, mungkinkah kalau barang itu tidak kau kirimkan?"

   "Suralaga! Jaga ucapanmu!"

   Geram Ki Madrim gu-sar. Secara terang-terangan Suralaga telah menuduhnya. Dan dia tidak terima. Darahnya pun mendidih mendengar kata-kata Suralaga tadi.

   "Ki Madrim... mengapa pesanan itu tidak sampai kepada kami? Kau jangan coba-coba bermain api dengan kami! Selama ini hubungan antara kau dengan majikan kami begitu utuh, sempurna dan teramat baik. Namun kayaknya kau sudah mulai bermain api dengan semua ini. Nah, Ki Madrim... kami ke mari ingin meminta tanggung jawabmu, atau mengembalikan uang majikan kami yang telah separuh dibayar..."

   Wajah Ki Madrim merah padam. Tetapi dia sadar, kalau kedua orang ini jelas-jelas menuduhnya berbuat curang. Ki Madrim mencoba menahan amarahnya.

   "Suralaga... ketiga pengawalku itu kutugaskan pula ke Desa Glagah Mentari. Mungkin saja mereka ke sana lebih dulu..."

   Kata Ki Madrim.

   "Hmm... ke sana lebih dulu? Apakah mereka hendak memutar dan mengambil jalan yang terjauh, Ki?"

   Kata Suralaga dengan tatapan mengejek. Tiba-tiba terdengar tapak kaki memasuki tempat itu. Seorang pengawal Ki Madrim muncul kembali dengan dua orang muda mudi. Kedua remaja itu menghaturkan hormat pada Ki Madrim.

   "Jaka Raga dan Intan Wulan!"

   Sapa Ki Madrim.

   "Silahkan... silahkan duduk. Apa kabar Desa Glagah Mentari?"

   "Desa kami tetap dalam keadaan aman sentosa, Ki,"

   Kata Jaka Raga. Dia seorang pemuda yang berwajah tampan. Dia memakai pakaian berwarna hitam yang ringkas. Di sampingnya duduk Intan Wulan. Dia seorang ga-dis yang cantik jelita. Dengan kulit yang kuning lang-sat.

   "Ada apa gerangan hingga kalian berdua datang ke sini?"

   "Maafkan kami, Ki... kedatangan kami atas suruhan dari Kepala desa kami, Ki Santika..."

   "Hmmm..."

   Ki Madrim mendehem. Mendadak saja di benaknya dia merasa kejadian yang sama seperti utusan dari Seta Agung. Tetapi Ki Madrim berpura-pura tidak tahu.

   "Apakah beliau hendak memesan emas permata kembali?"

   "Maafkan kami, Ki... sebenarnya kedatangan kami hendak menanyakan... mengapa barang yang dipesan oleh Ki Santika sampai saat ini belum tiba?"

   "Belum tiba?"

   "Benar, Ki. Kami ingin mencari tahu ke sini. Apakah barang itu sudah dikirim?"

   "Belum dikirim? Ah, aku sudah mengirimkan barang pesanan itu,"

   Kata Ki Madrim. Dia melirik Surala-ga yang tersenyum mengejek.

   "Benar, Ki... hingga sekarang barang itu belum tiba juga..."

   Belum lagi Ki Madrim berkata, Suralaga sudah me-motong.

   "Nah... bagaimana, Ki? Apakah dugaanku salah tadi?"

   Ki Madrim menghapus keringatnya. Dia sangat ma-lu akan kejadian ini. Dan yang dikuatirkannya para langganannya akan menjadi tidak percaya kepadanya.

   "Saudara-saudaraku... maafkan aku terlebih dahulu. Percayalah... barang-barang pesanan itu sudah ku-kirimkan melalui tiga pengawal kepercayaanku..."

   "Tapi hingga sekarang barang-barang itu belum ti-ba, Ki..."

   Kata Jaka Raga. Kembali Ki Madrim mengusap keringatnya. Bila ma-salahnya begini ini merupakan suatu problem yang cukup besar dan pelik baginya. Dan dia tidak mau menanggung malu dari semua ini. Lalu dia pun bangkit.

   "Kalau begitu... sebentar..."

   Dia pun beranjak ke kamarnya. Lalu keluar lagi. Dan duduk kembali di hadapan para tamunya.

   "Saudara-saudara sekalian... aku tidak mau memperpanjang urusan ini. Nah, sam-paikan salah maafku kepada majikan kalian. Sebagai gantinya... uang muka yang telah dibayarkan oleh majikan-majikan kalian kuganti saja..."

   Para utusan itu pun segera menerimanya.

   Mereka pun tak mau memperpanjang masalah ini.

   Karena bagi mereka yang penting sudah mendapat kejelasan dari Ki Madrim.

   Dan mendapatkan uang muka itu kembali.

   Itu saja! Lalu para utusan itu pun segera meninggalkan tempat itu.

   Meninggalkan Ki Madrim yang menjadi termenung sendiri.

   Ada apakah sesungguhnya hingga barang-barang pesanan itu belum tiba di tempatnya? Apakah dugaan Suralaga menjadi kenyataan, orang-orang ke-percayaannya mengkhianatinya? Ki Madrim tidak tega menuduh seperti itu.

   Karena dia yakin akan kesetiaan dan kepatuhan, Bahar, Langgono dan Galur.

   Mereka memang selalu bertugas un-tuk mengantarkan barang-barang pesanan.

   Dan hasil yang mereka lakukan cukup memuaskan.

   Mengapa mendadak saja sekarang barang-barang itu tidak tiba di tempatnya? Ataukah...

   ada kejadian yang menimpa mereka di jalan? Mungkinkah mereka dibegal perampok? Tapi Ki Madrim pun yakin dengan kemampuan mereka.

   Tentunya mereka dapat mengatasi segala rintangan.

   Seperti biasanya! Tetapi mengapa sekarang barang-barang itu belum tiba? Ki Madrim lalu menyuruh beberapa pengawalnya untuk segera berangkat mencari ketiga orang itu.

   Malam ini juga! *** Lima orang yang ditugaskan untuk mencari ketiga pengirim barang yang mendadak hilang itupun segera memacu kuda-kuda mereka.

   Kuda-kuda itu dibawanya untuk menyelusuri jalan-jalan yang biasa dilalui oleh mereka.

   Menjelang pagi, mereka tiba di perbatasan Desa Bojong Karta dan menghentikan kuda-kuda mereka di tepi hutan kecil.

   Biasanya di tempat ini para pengawal itu beristirahat.

   Karena mereka sudah mendapat ancar-ancarnya dari Ki Madrim.

   Dan betapa terkejutnya mereka ketika mendadak di mata mereka terlihat tiga sosok mayat.

   Mayat-mayat itu keadaannya teramat mengerikan.

   Serentak mereka turun dari kuda dan memeriksa mayat-mayat itu.

   "Hei, ini adalah kawan-kawan kita!"

   Seru salah seorang yang bernama Jayengmoko.

   "Ya ampun... keadaan mereka begitu mengerikan sekali!"

   "Siapa gerangan yang telah membunuh mayat-mayat ini?"

   "Tentunya seorang yang sakti dan teramat kejam! Kalian lihat tubuh Langgono, yang terluka sekujur tubuhnya dan dibanjiri darahnya sendiri. Juga tubuh Bahar dan Galur yang tak kalah menyedihkan..."

   "Sebaiknya kita bawa saja sekarang mayat-mayat ini kepada Ki Madrim. Biar mereka tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi..."

   Ketiga mayat itu pun segera diangkut ke kuda. Dan dibawa ke Ki Madrim. Sudah tentu Ki Madrim teramat terkejut. Dia tidak menyangka hal ini akan terjadi.

   "Jahanam! Siapa yang telah berbuat begini kejam terhadap mereka?!"

   Serunya marah.

   "Dan tentunya orang itu amat sakti!"

   "Benar, Ki... Tubuh ketiganya mati dengan mengerikan..."

   Tiba-tiba di luar terdengar keributan.

   Matahari baru saja muncul.

   Memancarkan sinarnya ke seluruh dunia.

   Suara ramai-ramai itupun berubah menjadi pekikan dan jeritan.

   Serentak Ki Madrim dan lima orang pengawalnya itu keluar.

   Mereka melihat seorang nenek berbaju loreng ten-gah asyik membantai para pengawal yang menyerang mereka.

   Melihat hal itu Ki Madrim segera berseru.

   "Tahan!"

   Seruannya itu menghentikan sepak terjang memati-kan dari nenek yang tak lain Nyai Loreng. Nyai Loreng terkikik.

   "Hihihi... akhirnya kau keluar juga, Ki Madrim!"

   Serunya. Ki Madrim mendengus. Dia merasa belum mengenal nenek yang kejam ini.

   "Hhh! Nenek... mengapa kau berbuat seperti ini?"

   Tanyanya sambil memperhatikan beberapa tubuh pen-gawalnya yang telah menjadi mayat. Dan sebagian lagi telah mengurung nenek itu dengan senjata terhunus, siap untuk bergerak.

   "Hihihi... kakek... kaukah yang bernama Ki Madrim?"

   "Betul! Akulah Ki Madrim. Dan kau siapa adanya yang begitu telengas dan kejam membuat onar di pagi ini?!"

   "Hihihi... namaku Nyai Loreng..."

   "Nyai Loreng... apa maksudmu berbuat seperti ini, hah?!"

   "Hanya satu, Ki Madrim... hanya satu..."

   Nyai Loreng terkikik sambil mengacungkan jari telunjuknya yang keriput.

   "Apa itu, Nyai Loreng?"

   "Emas permata... hihihi... semua emas permata yang kau miliki... cepat serahkan padaku saat ini ju-ga..."

   "Apa maksudmu, Nyai Loreng?"

   Tanya Ki Madrim yang sebenarnya sudah tahu maksud dari Nyai Loreng.

   Namun dia mencoba mengulur waktu untuk mengukur kesaktian dari Nyai Loreng.

   Dan tiba-tiba saja melintas dalam benaknya siapa yang telah menjegal dan membunuh ketika pengawal pengirim barangnya.

   Nyai Loreng-kah? "Hihihi...

   jangan berpura-pura bodoh, Ki Madrim! Aku datang untuk meminta semua emas permata yang kau miliki!"

   "Hhh! Nyai Loreng... bagaimana bila tidak kuberi-kan?"

   "Hihihi... berarti kau membangkang! Dan itu artinya matilah untukmu! Seperti tiga pengawalmu yang sok mempertahankan emas permata yang mereka bawa!"

   Dan Ki Madrim berdetak lebih cepat "Nyai Loreng... kaukah yang telah membunuh ketiga pengawalku itu?!"

   "Benar sekali tebakanmu. Memang, akulah yang telah membunuh mereka. Karena mereka mencoba menghalangi perbuatanku dan menahan emas permata yang hendak aku rebut!"

   "Nyai Loreng! Kau begitu kejam sekali dan telengas menurunkan tangan pada mereka!"

   "Salah mereka sendiri! Karena berani menantang Nyai Loreng!"

   "Nyai Loreng... di pagi ini... aku hendak meminta nyawamu untuk tebusan nyawa ketiga pengawal setia-ku!"

   "Apa? Hihihi... kau sepertinya memang menginginkan kematian dan menyusul ketiga pengawal bodohmu itu, Ki Madrim! Majulah, aku pun sudah bosan dengan banyak cakap seperti ini! Hhh! Majulah, biar kau mampus sekalian!"

   Ki Madrim menggerakkan tangan kanannya.

   Seren-tak para pengawalnya yang berjumlah sepuluh orang yang sedang mengurung Nyai Loreng bergerak menyerang.

   Nyai Loreng cuma terkikik saja.

   Dia pun segera menyambut serangan-serangan itu dengan serangan ber-bahaya melalui kuku-kukunya yang mengandung ra-cun buaya putih.

   Para pengawal yang setia itu dengan gigih dan be-rani menerjang.

   Mereka seakan melupakan mati dan tak takut mati.

   Bagi mereka, mempertahankan kebe-naran lebih layak daripada mempertahankan nyawa! Namun sudah tentu mereka bukanlah tandingan dari Nyai Loreng yang sakti itu.

   Dengan sekali menggerakkan tangannya, terdengar jeritan yang menyayat hati.

   Dan yang menjerit itu pun terjengkang.

   Dan mera-sakan sekujur tubuhnya mendadak gatal sekali.

   Lalu digaruk-garuknya hingga mengeluarkan darah.

   Ki Madrim terkejut melihat keadaan anak buahnya yang kelojotan sekarat.

   Dia dapat menduga kalau ku-ku-kuku dari Nyai Loreng mengandung racun yang amat berbahaya.

   "Hati-hati! Jangan sampai terkena kuku-kukunya! Karena mengandung racun!"

   Serunya memperingatkan. Namun terlambat, karena sepuluh pengawalnya itu sudah sekarat kelojotan. Nyai Loreng tertawa di antara orang-orang yang mengerang kesakitan.

   "Hihihi... sudah kubilang sejak tadi, kau hanya membuang nyawa anak buahmu dengan percuma! Ki Madrim... cepat kau serahkan seluruh harta ke-kayaanmu! Karena emas dan permata itu kubutuhkan untuk membuat peluru sumpitku!"

   "Nyai Loreng... sedikit pun aku tak akan mundur dari hadapanmu! Kau harus membayar lunas semua yang ada di sini! Jayengmoko, hadapi dia!"

   Seru Ki Madrim pada Jayengmoko yang sudah sejak tadi mena-han geramnya melihat tangan telengas yang dijatuhkan oleh Nyai Loreng.

   Lalu sambil menjerit diapun bersalto dan menye-rang dengan pedang terhunus.

   Begitu pula dengan empat kawannya yang datang membantu.

   Nyai Loreng hanya terkikik.

   Dia bersalto menghin-dari pedang-pedang yang berkilat tertimpa cahaya matahari itu.

   Gerakannya lincah dan gesit.

   Dia pun membalas dengan gerakan yang tak kalah cepat dan berba-hayanya.

   "Awas serangan!"

   Kelima pengawal Ki Madrim harus tunggang lang-gang menghindari sabetan kuku-kuku beracun milik Nyai Loreng yang bergerak dengan cepat. Nyai Loreng terkikik.

   "Hihihi... rupanya pengawal-pengawal yang kau banggakan Ki Madrim, tak lebih dari anak perawan yang malu-malu terhadap seorang pemuda!"

   Jayengmoko murka dikatakan seperti itu.

   Dia me-nerjang secara membabi-buta dengan pedang di tan-gannya yang menyabet, menusuk dan menangkis den-gan cepat.

   Begitu pula dengan keempat kawannya.

   Mereka ber-juang dan bertahan mati-matian.

   Karena yang mereka takutkan hanya satu, sedikit saja tergores kuku-kuku Nyai Loreng maka mautlah ganjarannya.

   Dan ini membuat mereka bertindak berhati-hati.

   Tentu saja ini menguntungkan Nyai Loreng, karena dengan begitu, kelima lawannya tidak berani mendekatinya.

   Secara tiba-tiba terdengar jeritannya yang keras disusul dengan tubuhnya yang bersalto beberapa kali di udara.

   Saat bersalto itu tangannya pun bergerak mencari sasaran.

   "Sret!"

   "Sret!"

   Dua kali kuku-kuku beracunnya menggores dua lawannya yang langsung terjengkang dan merasakan sekujur tubuh mereka gatal yang luar biasa.

   Lalu diga-ruk-garuknya tubuh itu untuk menghilangkan rasa gatal yang teramat menyengat.

   Namun semakin diga-ruk gatal itu malah semakin bertambah.

   Hingga tenaga mereka pun ditambah untuk menggaruk, hingga tim-bullah luka akibat garukan yang cukup keras itu.

   Melihat keadaan yang menyedihkan, Jayengmoko makin menggeram marah.

   Dia pun menerjang kembali dengan hebat.

   Pedangnya menyambar bagaikan walet yang sedang mencari mangsa.

   Melihat keadaan yang tak seimbang itu pula, Ki Madrim bersalto ke depan.

   Lalu menerjang Nyai Loreng yang saat ini tengah menghadapi serangan-serangan dari Jayengmoko.

   "Des!"

   Kedua telapak tangannya mengenai tepat di dada Nyai Loreng yang terhuyung ke belakang. Mulutnya pun mengeluarkan darah. Tetapi dasar nenek liar itu, malah terkikik.

   "Hihihi... orang tua! Genit sekali kau memegang-megang dadaku! Apa kau memang menginginkannya, hah?!"

   Wajah Ki Madrim memerah.

   "Nyai Loreng... kuminta padamu untuk meninggalkan tempat ini... sebelum tempatku ini banjir darah akibat ulahmu."

   "Hihihi... mengapa tidak sejak tadi kau katakan itu, Ki Madrim? Baiklah... aku akan meninggalkan tempat ini, tapi... hihihi... cepat serahkan dulu emas permata yang kau miliki..."

   "Tidak!"

   "Dan berarti itu maut akan menyebar di halaman ini!"

   Kata Nyai Loreng dan terkikik kembali.

   "Kau ternyata kejam, Nyai Loreng!"

   "Karena kau terlalu berlama-lama menahanku di sini dan tak mau menyerahkan emas permata yang kau miliki!"

   "Baik, Nyai Loreng! Aku akan mengadu jiwa denganmu!"

   Seru Ki Madrim seraya bersiap. Dia telah dapat menduga-duga kehebatan ilmu yang dimiliki Nyai Loreng.

   "Majulah, Ki Madrim! Dari pada kau membuang-buang nyawa anak buahmu secara percuma!"

   "Baik, tahan seranganku, Nyai Loreng!"

   "Sejak tadi aku sudah siap menghadapimu, Ki Madrim! Dan kupikir lebih cepat lebih baik hingga aku tidak banyak tenaga untuk membunuhmu!"

   Ki Madrim pun menderu maju dengan pukulan lu-rus ke depan dan siap disusul dengan satu tendangan. Nyai Loreng menghindari pukulan Ki Madrim dengan memiringkan kepalanya dan menangkis tendangan Ki Madrim yang mengarah pada perutnya.

   "Des!"

   Nyai Loreng dapat merasakan tenaga dalam Ki Ma-drim yang cukup besar. Sedangkan dari tangkisan tangan Nyai Loreng Ki Madrim dapat merasakan pula tenaga dalam yang dimiliki Nyai Loreng.

   "Hhh! Tenaga dalam nenek iblis ini cukup besar pu-la!"

   Desisnya dalam hati dan menyerang kembali.

   Pertarungan antara dua orang sakti ini lebih hebat daripada saat Nyai Loreng menghadapi keroyokan anak buah Nyai Madrim.

   Keduanya sudah saling ber-tempur dengan hebat.

   Dan masing-masing mengelua-rkan segenap kemampuan mereka.

   Ki Madrim sendiri sudah membuka jurusnya, Elang Menembus Langit.

   Yang membuat gerakannya semakin cepat dan hebat.

   Kedua tangannya membentuk paruh elang dan berkelebat mematuk ke sana-kemari.

   Nyai Loreng sendiri pun tak mau kalah.

   Kuku-kuku beracunnya siap menghadang dan mengancam jiwa Ki Madrim.

   Berbahaya dan tak kalah ganasnya.

   Nampak pertarungan keduanya begitu seimbang.

   Masing-masing saling menyerang dan bertahan.

   Dan mata mereka pun tak kalah liarnya mencari titik kelemahan lawan.

   Tiba-tiba salah seorang anak buah Ki Madrim me-lemparkan pedang yang dipegangnya.

   Pedang itu me-luncur deras ke arah Nyai Loreng..

   Meskipun sedang menghadapi Ki Madrim, Nyai Lo-reng adalah seorang nenek yang sakti.

   Gerak refleknya begitu berbahaya.

   Dan pendengarannya pun tajam mendengar derasnya pedang yang meluncur ke arah-nya.

   Tangan kanannya pun mengibas.

   "Des!"

   Menangkis pedang itu.

   Pedang itu tiba-tiba berbalik dan meluncur dengan deras pada tuannya.

   Yang melempar pedang tadi tidak menyangka hal itu.

   Dia tak bisa menghindar lagi karena kecepatan lun-curan pedang itu sulit diikuti oleh mata telanjang.

   Dan "Bles!"

   Tanpa ampun lagi pedang itu tepat menghujam di jantungnya. Menembus ke belakang. Luar biasa! Terdengarlah pekikan yang teramat menyayat hati. Lalu disusul tubuh ambruk bersimbah darah.

   "Bandoroooo!"

   Pekik Jayengmoko yang juga tidak menyangka Bandoro akan membokong.

   Namun Bandoro telah mampus.

   Nyawanya telah ter-lepas dari jasadnya.

   Jayengmoko menggeram murka.

   Begitu pula dengan temannya yang tinggal seorang.

   Dengan secara serempak keduanya pun masuk ke pertempuran antara Ki Madrim dan Nyai Loreng.

   Nyai Loreng sendiri sejak merasa kewalahan meng-hadapi gempuran-gempuran itu.

   Belum lagi serangan-serangan Ki Madrim.

   Tiba-tiba dia bersalto ke belakang dua kali.

   Dan ketika kakinya hinggap di bumi, di tangannya sudah ter-pegang sebuah sumpit.

   Lalu dia pun segera mengambil pelurunya.

   "Hihihi... aku belum mengenalkan sumpitku ini pa-da kalian, bukan? Nah, inilah sumpitku yang mengandung racun yang luar biasa! Hihihi... kalian boleh me-rasakannya dan seketika kalian akan bertamasya ke akhirat! Bukankah ini perjalanan yang telah kalian tunggu?"

   Nyai Loreng terkikik.

   "Nyai Loreng!"

   Geram Ki Madrim marah.

   "Kami tak akan mundur sejenak pun dari hadapanmu! Kami akan mengadu nyawa denganmu!"

   "Hihihi... perbuatan kalian akan sia-sia belaka!"

   "Peduli setan!"

   Bentak Jayengmoko.

   "Kau pun harus menebus semua nyawa sahabat-sahabatku, Nyai Loreng keparat!"

   "Hihihi... apa kalian sudah merasa mampu untuk menghadapiku? Ki Madrim... sebaiknya kau serahkan saja cepat emas permata milikmu itu! Dan aku bersumpah akan membiarkan kalian hidup untuk me-nikmati indah dan megahnya dunia! Untuk menghirup udara pagi yang segar dan menyegarkan rongga dada kalian!"

   "Sedikit pun aku tak akan mundur dari hadapan-mu, Nyai Loreng!"

   "Bagus! Kalian berarti memang ingin mati di hari ini juga!"

   "Mati pun kami tidak akan penasaran, Nyai Loreng!"

   "Bagus, bagus! Nah kalian hadapilah Sumpit Bera-cunku ini!"

   Kata Nyai Loreng dan segera membidikkan senjatanya.

   "Sreet!"

   "Sreet!"

   "Sreet!"

   Tiga butir peluru melesat dari sumpitnya.

   Mengarah pada tiga lawannya.

   Peluru yang kecil itu sulit sekali untuk diikuti oleh mata.

   Ki Madrim dan Jayengmoko dengan sebisanya menghindar ke samping.

   Sayang, seorang anak buahnya malah bersalto ke belakang.

   Dan saat dia hinggap kembali ke tanah, tubuhnya pun menjadi sasaran peluru dari sumpit Nyai Loreng.

   Tubuhnya bagai dihantam sebuah peluru besar.

   Dia pun terhuyung ke belakang dan jatuh ke tanah.

   Peluru sumpit Nyai Loreng telah menancap dalam di jantungnya.

   Tiba-tiba sangat tiba-tiba tubuh itu kelojotan.

   Dan terjadilah pemandangan yang teramat mengeri-kan.

   Tubuh itu meregang dengan rasa sakit yang luar biasa.

   Dan mendadak seluruh urat nadi di tubuh itu pecah hingga darahpun menghambur ke luar.

   Dalam sekejap saja tubuh itu telah kering oleh darah.

   Dan seluruh kulitnya berubah menjadi putih lalu tubuh itu pun kehabisan darah! Ki Madrim menggeram.

   "Kejam!"

   "Itu belum seberapa, Ki Madrim! Setelah cukup emas dan permata yang kukumpulkan, akan kubuat menjadi peluru yang berbahaya. Dan kau bisa merasakannya nanti... tapi, bila saat ini nyawamu masih berada di jasadmu... hihihi..."

   "Nenek keparat!"

   Geram Jayengmoko.

   Dia sudah nekat untuk menyerang dan menyabung nyawa dengan Nyai Loreng.

   Melihat seluruh sahabatnya telah mampus menemui ajal secara mengerikan, membuatnya menangis.

   Kenyataan ini yang terlalu menyakitkan.

   Maka dia pun menyerang lagi dengan pedangnya.

   Tak peduli akan bahaya yang siap mengancamnya.

   "Jayengmoko...!"

   Seru Ki Madrim yang tak menyangka Jayengmoko akan berbuat nekat seperti itu.

   Tetapi terlambat, Jayengmoko telah meluncur den-gan deras ke arah Nyai Loreng.

   Nyai Loreng sendiri hanya terkikik.

   Lalu dia pun meniupkan sumpitnya ke arah tubuh Jayengmoko yang deras meluncur ke arahnya.

   Sebutir peluru itu kembali menerjang.

   Namun Jayengmoko yang melihat Nyai Loreng menempelkan senjatanya lagi ke bibirnya, segera bersalto ke samping.

   Dan sambil bersalto dia melemparkan pedangnya ke arah Nyai Loreng.

   Nyai Loreng sendiri tidak menyangka Jayengmoko bisa melakukan itu.

   Dia pun melompat ke samping dan sambil melompat kembali meniupkan sumpitnya.

   Peluru kembali mencelat ke luar.

   Dan kali ini me-luncur tepat ke jantung Jayengmoko.

   *** Tabuh Jayengmoko terpental ke belakang bagaikan didorong oleh angin yang keras dan kuat.

   "Aaaakkkhhh!"

   Tubuh itu pun ambruk.

   Dan sama seperti yang di-alami oleh Bandoro, tubuh itu pun meregang.

   Lalu seluruh urat nadinya pecah mengeluarkan darah yang cukup deras.

   Lalu tubuh itu pun mampus dengan seputih kapas.

   Sepasang mata Jayengmoko terbuka.

   Separuh mena-han sakit, separuh menyimpan dendam yang diba-wanya mati.

   Nyai Loreng terkikik.

   "Ki Madrim... kini tinggallah kau seorang yang masih hidup! Aku masih memberi kesempatan padamu untuk hidup lebih lama. Nah, serahkan cepat seluruh harta kekayaanmu yang berupa emas permata itu! Cepat, Ki Madrim aku tidak punya banyak waktu lagi! Cepat, kataku!"

   Ki Madrim mendengus antara marah dan sedih. Memang tak ada jalan lain. Tiba-tiba dia mengangguk.

   "Nyai Loreng... bila itu maumu... baiklah... akan kuambilkan emas permata untukmu...!"

   "Hihihi... bagus, bagus... mengapa tidak sejak tadi kau katakan itu, Ki Madrim? Sehingga tidak banyak nyawa anak buahmu yang kucabut!"

   "Tunggulah di sini! Biar aku yang mengambil sendiri!"

   "Hihihi... Ki Madrim, Ki Madrim... kau pikir aku bo-cah kecil yang bisa kau kelabui? Hihihi... tidak, biar aku menemanimu mengambilnya!"

   Ki Madrim mendesah.

   "Bila itu maumu, ikutlah denganku!"

   Kata Ki Madrim seraya melangkah lebih dulu masuk ke rumah-nya.

   Nyai Loreng mengikutinya dari belakang sambil terkikik.

   Di benaknya sudah terbayang akan banyaknya emas permata yang akan diperoleh.

   Dan emas permata itu akan diolahnya menjadi peluru sumpitnya yang akan lebih hebat nanti.

   Dia melihat Ki Madrim memasuki sebuah ruangan yang mirip tempat penyimpanan emas.

   Lalu nampak Ki Madrim membuka sebuah tembok rahasia yang persis menempel dengan tembok yang lain.

   Dia mempersilahkan Nyai Loreng untuk masuk.

   "Silahkan ambil semaumu, Nyai Loreng!"

   Kata Ki Madrim. Tetapi nenek itu hanya tertawa.

   "Ki Madrim... sudah kukatakan... aku bukanlah anak kecil yang mudah kau kelabui! Nah, masuklah kau sendiri ke dalam. Ambilkan seluruh emas perma-tamu untukku! Dan ingat, jangan coba-coba menipuku karena sumpitku ini masih haus oleh darah!"

   Ancam Nyai Loreng.

   "Kalau itu maumu, baiklah!"

   Kata Ki Madrim sambil memasuki tembok rahasia yang kini berbentuk sebuah pintu dan berongga itu. Nyai Loreng menunggu di luar. Namun secara tiba-tiba, pintu atau tembok rahasia itu menutup kembali.

   "Hei!"

   Seru Nyai Loreng kaget. Dari dalam terdengar suara Ki Madrim.

   "Nenek keparat! Selamat tinggal dan tunggulah aku di situ sampai seribu tahun!"

   "Anjing buduk!"

   Geram Nyai Loreng yang tidak menyangka akhirnya dia tertipu juga. Dengan geram di-hantamnya tangannya ke tembok itu. Namun tembok itu begitu kokoh dan kuat. Tidak bergeming. Nyai Loreng makin menggeram.

   "Bangsat!"

   Dia kembali menghantamkan tangannya ke tembok itu. Namun lagi-lagi tembok itu tidak bergeming. Dia menambah lagi tenaga dalamnya. Dan barulah tembok itu sedikit bergetar.

   "Aku tak akan mengampuni lagi nyawamu, Ki Madrim!"

   Geramnya murka dan menghantam lagi tembok itu sekuat tenaga.

   Setelah berkali-kali dihantam, barulah tembok itu pecah berantakan.

   Kepingan-kepingan batunya ber-muntahan.

   Nyai Loreng melihat sebuah lorong di dalam tembok itu.

   Lalu dengan perasaan geram dan marah dia berge-rak maju.

   Mula-mula lorong itu nampak sempit, namun lama kelamaan menjadi besar dan luas.

   Kini Nyai Loreng berada di sebuah tempat yang cukup besar yang diteran-gi oleh beberapa obor.

   "Ki Madrim!"

   Jeritnya.

   "Keluar kau! Biar kuremas kepalamu yang busuk itu!"

   Tak ada sahutan dari Ki Madrim. Hanya suara Nyai Loreng sendiri yang menggema di ruangan itu! "Ki Madriiiimmm! Keluar kau, Bangsat!"

   Lagi tak ada sahutan.

   Lagi hanya gema suara Nyai Loreng sendiri yang menggema.

   Dan tiba-tiba matanya melihat ada tiga buah pintu.

   Nyai Loreng mendengus.

   Pintu mana yang telah dilalui Ki Madrim.

   Lalu dia pun beranjak mendekati pintu yang terda-pat di sebelah barat.

   Didorongnya pintu itu.

   Namun mendadak beterbangan beberapa buah tombak ke arahnya.

   Nyai Loreng terkejut.

   Dan dengan sigap dia bergu-lingan.

   Tombak-tombak itu menancap di dinding.

   Menandakan cukup keras lontarannya.

   "Bangsat buduk! Ternyata banyak jebakan pula di sini!"

   Makinya.

   "Awas kau, Ki Madrim! Bila tertangkap, kau tak akan aku ampuni! Akan kusiksa kau sebelum mati, Ki Madrim keparat! Anjing buduk! Kau berani-beraninya bermain api dengan Nyai Loreng! Awas bila ketemu nanti!"

   Nyai Loreng pun mendekati pintu di sebelah timur.

   Tapi kali ini Nyai Loreng tak mau bertindak gegabah seperti tadi.

   Lalu diambilnya sebuah kursi yang terdapat di sana.

   Dan dengan sekuat tenaga dilontarkannya ke arah pintu itu hingga hancur berantakan.

   Lalu dia pun melompat ke samping.

   Pikirnya, akan terjadi jebakan seperti tadi.

   Namun tak ada lontaran tombak kembali seperti ta-di.

   "Sialan! Mungkin pintu inilah yang dilalui oleh Ki Madrim keparat itu!"

   Serunya, lalu bergegas untuk masuk.

   Tetapi mendadak dia gelagapan.

   Dari atas jatuh sebuah jaring besar dan langsung menerpa dirinya.

   Belum lagi dia sadar apa yang telah terjadi, mendadak saja tubuhnya terangkat dan terperangkap oleh jaring itu.

   Kini tubuhnya tergantung terperangkap oleh jaring itu.

   "Anjing buduk!"

   Makinya sambil berusaha membebaskan diri. Namun jaring itu bukan sembarang jaring. Jaring itu terbuat dari bahan yang cukup kuat dan alot. Tiba-tiba dari pintu yang berada di selatan, muncul sosok tubuh yang terkekeh. Ki Madrim.

   "Hehehe... mampuslah kau tergantung di sana, Nyai Loreng!"

   Serunya sambil membawa sebuah buntalan besar. Dan mengangkatnya ke arah Nyai Loreng.

   "Bukankah kau menginginkan emas permata ini? Nah, melompatlah turun dan ambillah!"

   Bukan main geramnya Nyai Loreng. Dia mencoba meloloskan diri. Namun jaring itu cukup kuat untuk meringkusnya.

   "Hehehe... kau tak akan bisa meloloskan diri dari sana, Nyai! Kau akan mampus di sana karena kelapa-ran!"

   "Lepaskan aku, Ki Madrim! Kita bertarung sampai mati!"

   "Hehehe... aku hendak melihat sampai di mana ke-hebatanmu, Nyai Loreng!"

   Kata Ki Madrim sambil menurunkan buntalannya. Lalu dia mengambil beberapa bilah pedang yang terdapat di sana. Diacungkannya pedang-pedang itu pada Nyai Loreng.

   "Nah, kini mampuslah, Nyai Loreng!"

   Lalu pedang-pedang itu pun dilontarkannya ke arah Nyai Loreng yang tergantung di atas.

   "Hei!"

   Seru Nyai Loreng kaget, lalu mengempos tenaganya.

   Dan jaring itu pun bergoyang.

   Tubuhnya luput dari serangan-serangan pedang Ki Madrim.

   Diam-diam Ki Madrim kagum dengan tenaga dalam Nyai Loreng, yang saat tergantung pun mampu mem-perlihatkan dan menggoyang jaring itu.

   Hingga luput dari sasaran.

   Tetapi Ki Madrim pun tak mau dia menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

   Kembali dilemparkannya pe-dang-pedang yang lain.

   Namun lagi-lagi serangannya luput karena dengan lincahnya Nyai Loreng menggoyang-goyangkan tubuh-nya hingga jaring-jaring itu pun bergerak-gerak.

   "Turunkan aku, Ki Madrim! Kita bertarung sampai mati!"

   "Hehehe... biarlah kau mati tergantung di sana, Nyai Loreng!"

   Kata Ki Madrim sambil mengambil buntalannya kembali. Lalu dia pun melangkah. Dan tanpa setahu Ki Madrim, Nyai Loreng kembali memasang sumpitnya. Dan "Sreet!"

   Peluru dari sumpit itu pun melontar ke luar. Untung pada saat itu, Ki Madrim menoleh ke arah-nya dan melihat Nyai Loreng sedang meniupkan sum-pitnya. Dengan sigap dia bersalto ke samping. Lau secara bergulingan kembali ke luar dari ruangan itu.

   "Hehehe... selamat tinggal, Nyai Loreng... tergantun-glah kau selama-lamanya di sana!"

   Serunya seraya melesat pergi. Nyai Loreng memaki panjang pendek. Tetapi bayan-gan Ki Madrim sudah hilang dari pandangan.

   "Awas kau, Ki Madrim! Bila suatu saat bertemu nanti, kau akan kulumat hingga habis bersatu dengan tanah!"

   Geramnya mengancam.

   Lalu berusaha membebaskan diri dari jaring yang meringkusnya.

   *** Senja itu matahari sudah bersiap-siap hendak kem-bali ke peraduannya.

   Dari kejauhan nampak dua ekor kuda berjalan perlahan.

   Di atas kuda-kuda itu duduk seorang pemuda dan seorang pemudi.

   Pemuda itu mengenakan pakaian berwarna biru-biru.

   Di pinggangnya nampak terlihat terselip sebuah seruling.

   Sedangkan yang pemudi berwajah cantik jelita.

   Di bahunya terdapat sebilah pedang.

   Hal ini menandakan keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan kanuragan.

   Keduanya tak lain adalah Pranata Kumala dan is-trinya Ambarwati.

   Setelah bertemu dengan orang tua mereka, Madewa Gumilang atau Pendekar Bayangan Sukma dan istrinya Ratih Ningrum, Pranata dan is-trinya pun kembali melanjutkan perjalanan mereka (Baca.

   Undangan Berdarah).

   Sudah lama keduanya melakukan perjalanan sema-ta-mata untuk mencari pengalaman, sama seperti halnya yang dilakukan oleh orang tua mereka.


Siluman Rase Souw Tat Kie Karya Siao Shen Sien Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung

Cari Blog Ini