Ceritasilat Novel Online

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 3


Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP Bagian 3



Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya dari Stevanus SP

   

   Tan Wan-wan amat terharu mendengar pembelaan Li Giam yang terang-terangan atas dirinya, ia lalu memberi hormat kepada sekalian hadirin sambil berkata.

   "Aku memang bekerja bagi Sri Baginda di jaman perjuangan dulu, tetapi jasaku tidak terlalu besar. Hanya menyelundupkan keterangan-keterangan penting ke luar dinding istana saja. Saudarasaudara seperjuangan yang menyabung nyawa di medan tempur pastilah jauh lebih berjasa dari aku."

   Suara merdu Tan Wan-wan itu membuat banyak orang tidak lagi menatapnya dengan bernafsu, melainkan memandangnya dengan hormat, ada yang berbelaskasihan juga.

   Sementara Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing merasa malu, bahwa mereka telah bertindak dalam ketidaktahuan mereka menangkap seorang yang berjasa bagi kaum Pelangi Kuning, malah hampir mempermalukannya di pesta itu.

   Namun Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing tidak menyesal, malahan semakin benci kepada Li Giam.

   Kemudian Li Giam berkata pula.

   "Aku sudah menceritakan jasa-jasa Nona Tan kepada Sri Baginda Tiong-ong, maka Sri Baginda berkenan menganugerahkan gelar sebagai seorang puteri, dan juga nama kebangsawanan yang akan ditetapkan kemudian. Malam ini aku diperintahkan Sri Baginda untuk membawanya ke istana."

   Lau Cong-bin cuma menarik napas.

   Sebagai seorang hidung-belang "kelas berat", ia benarbenar kecewa karena belum sempat mencicipi korbannya yang satu ini.

   Tetapi sudah tentu ia tidak bisa menolak perintah Kaisar Tiong-ong.

   Begitulah, malam itu juga Tan Wan-wan boyong dari rumah Lau Cong-bin ke istana, dari seorang tawanan bakal berubah menjadi seorang Puteri dari dinasti yang baru.

   Untuk melampiaskan kekecewaannya, Lau Cong-bin memerintahkan pestanya dilanjutkan dan dipanaskan dengan acara-acara gila-gilaan yang tidak lagi menggubris ukuran-ukuran moral.

   Pesta memang menjadi sangat meriah, dan usai larut malam, para tamu kembali ke rumah masing-masing dengan kepala pening dan pakaian berbau kecut kena muntahan makanan.

   Nampak juga rombongan Gu Kim-sing dan pengiring-pengiringnya.

   Sebagian besar teler, tetapi Ciong Ek-hi tidak.

   Di suatu persimpangan jalan, Ciong Ek-hi begitu saja keluar dari barisan tanpa minta ijin kepada Gu Kim-sing yang sedang teler dalam jolinya.

   Tak ada yang menggubrisnya.

   Ciong Ek-hi mencari suatu jalan yang agak berputar sedikit, dan tiba di belakang warungnya Go Liong.

   Dengan ketukan berisyarat seperti biasanya, ia dibukai pintu, dan tidak lama kemudian ia sudah duduk berhadapan dengan atasannya maupun rekanrekannya, di antaranya adalah Hulan Biao yang tadi ikut menyerbu rumah Lau Cong-bin dan sempat "bertempur"

   Dengan Ciong Ek-hi.

   "Bagaimana?"

   Tanya Kat Hu-yong. Ciong Ek-hi yang nama aslinya Ha Cao itu tertawa-tawa sambil menjawab.

   "Hebat, tidak kusangka kalau semuanya bisa berjalan selancar ini. Hubungan Lau Cong-bin dan Li Giam semakin panas......."

   Lalu dengan singkat Han Cao menceritakan selengkapnya apa yang baru saja terjadi di tempat kediamannya Lau Cong-bin. Kat Hu-yong tertawa, lalu menoleh kepada Go Liong alias Goh Lung.

   "Kelihatannya, dengan dua atau tiga langkah lagi, Li Giam akan bisa terdepak. Aku ingin kau hubungi orang-orang kita yang ada dalam istana, agar mereka segera menemui aku di tempat ini."

   "Baik, Kun-su." * * * Beberapa hari kemudian, seorang keponakan perempuan Li Giam tiba-tiba saja diperkosa dan dibunuh oleh beberapa orang lelaki berkedok. Belum sempat perempuan itu dimakamkan, toko anak sulung Gu Kim-sing terbakar habis dengan seluruh penghuninya ada di dalamnya dan ikut menjadi mangsa api. Beberapa orang saksi yang selamat dari api memberikan kesaksian bahwa di antara orang-orang yang menyerbu, terdapat seorang yang bersenjata sepasang cambuk dan seorang lagi bersenjata sepasang pedang. Tuduh-menuduh antara Li Giam di satu pihak dan Lau Cong-bin serta Gu Kim-sing di pihak lain, tak terhindari lagi. Li Giam masih berusaha menahan diri dalam perkara musibah keponakan perempuannya, sambil berulang kali menyatakan kepada Lau Cong-bin maupun Gu Kim-sing bahwa ia tidak menuduh mereka, melainkan hanya akan menyelidiki pelaku sebenarnya, sekaligus memperingatkan kepada Jenderal Lau maupun Jenderal Gu agar tidak mudah diadu-domba. Tetapi dalam peristiwa kebakaran toko kain anaknya, Gu Kim-sing tidak bisa bersikap setenang Li Giam. Disokong oleh Lau Cong-bin, langsung saja Gu Kim-sing menuntut agar Li Giam menyerahkan Oh Kuihou dan Yo Kian-hi agar "batok kepala mereka bisa ditaruh di meja sembahyang anakku", bahkan melancarkan pengaduan sampai ke depan Sidang Kerajaan. Lau Cong-bin yang selalu menganggap Li Giam sebagai "duri dalam daging"

   Juga menyokong tuntutan Gu Kim-sing.

   Tentu saja Li Giam menyangkal kalau kedua perwiranya, Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, terlibat pembakaran itu.

   Ketegangan antara ketiga Jenderal Pelangi Kuning itu pun meningkat.

   Kaisar Tiong-ong tidak membiarkan pertentangan itu berlarut-larut dan membahayakan pemerintahannya yang berumur belum sampai sebulan, la tidak ingin salah satu dari ketiga jenderalnya menjadi sakit hati, maka Kaisar bersikap netral.

   Dalam suatu sidang kerajaan, ia mengangkat Jenderal Li Giam menjadi Tin-se Tai-ciangkun (Panglima Pengamanan Wilayah Barat), yang akan berkedudukan di kota Ling-he jauh di barat.

   Alasannya, wilayah itu berbatasan dengan Propinsi Se-cuan, propinsi lumbung besar, yang masih dikuasai oleh Jenderal Thio Hian-tiong, seorang jenderal dinasti Beng yang tetap setia kepada pemerintahan lama.

   Diam-diam Kaisar berharap, dengan pindahnya Li Giam dari Pakkhia, akan meredam perselisihan tidak habishabisnya antara Li Giam dengan Gu Kim-sing maupun Lau Cong-bin.

   Gu Kim-sing kelihatan sangat kurang puas dengan keputusan Kaisar, yang sama sekali tidak menghukum Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi yang dituduhnya sebagai pembakar anaknya, namun karena Kaisar bersikap tegas, Gu Kimsing tidak berani berbantah-bantah lagi.

   Di saat Gu Kim-sing masih penasaran akan kematian anaknya itulah datang sebuah gagasan ke kupingnya, berasal dari mulut Ang Bik, tanpa Gu Kim-sing sadari bahwa gagasan itu sebenarnya aslinya dari sebuah komplotan Manchu yang berpusat di sebuah warungbakmi.

   Suatu gagasan untuk melenyapkan Li Giam di tengah perjalanan, dengan meminjam "tangan pihak ketiga"

   Yang mudah dicari asal ada hadiahnya.

   Atas bisikan Ciong Ek-hi, Ang Bik menyatakan sanggup mengurus segalagalanya sampai beres.

   Penugasan itu disambut Li Giam dengan hati terbuka, sebagai seorang prajurit yang patuh kepada rajanya.

   Begitulah, beberapa hari Li Giam mengadakan persiapan, kemudian berangkatlah ia menuju ke tempat tugasnya.

   Dengan kereta, pasukan berkuda dan seribu prajurit.

   Di tempat tugasnya ia akan membawahi ratusan ribu prajurit bekas laskar Pelangi Kuning yang belum sempat diurus sejak Kaum Pelangi Kuning menduduki Pak-khia.

   Tentu saja dua pembantu kesayangannya dibawa, yaitu kakak-beradik seperguruan Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi.

   Yo Kian-hi nampak menunggangi kudanya di sebelah kereta yang ditunggangi Li Giam sendiri.

   Wajah Yo Kian-hi nampak murung, ia berkuda sambil terus-terusan menunduk.

   Sampai Li Giam melalui jendela kereta menyapanya.

   "Tidak ada yang perlu disesali, Saudara Yo. Aku sama sekali tidak merasa terbuang, biarpun ditempatkan jauh di sebelah barat, bahkan dekat dengan kampunghalamanku. Lagi pula aku sudah merasa sumpeg dengan udara kota Pak-khia yang penuh dengan fitnah dan kedengkian..."

   Yo Kian-hi menarik napas dan menjawab.

   "Jenderal, aku cuma masih penasaran akan tuduhan Lau..... eh, maksudku Jenderal Lau dan Jenderal Gu yang mengatakan bahwa aku dan Kakak-seperguruanku terlihat tampil dalam pembakaran toko anak-sulung Jenderal Gu. Sungguh aku penasaran. Aku dan Kakakseperguruanku benar-benar tidak melakukan itu."

   "Aku percaya."

   "Aku merasa lega bahwa Jenderal tetap mempercayai aku, tapi aku benar-benar penasaran sebelum menangkap orang yang berani menyamar sebagai aku dan Kakakseperguruanku itu."

   "Ya, aku juga penasaran. Sayang kita tidak punya waktu yang cukup untuk menyelidikinya, karena harus buru-buru ke tempat tugas..." "Jenderal, aku khawatir ini adalah kerja pihak ketiga yang berusaha mengadu-domba sesama pembesar-pembesarnya Sri Baginda untuk keuntungan mereka."

   "Siapa pihak ketiga yang kau maksud?"

   "Kalau bukan sisa-sisa dinasti Beng, ya orang-orang Manchu. Atau malah bisa keduaduanya mengadakan semacam persekutuan taktis, persekutuan sementara sampai kita kalah, sesudah itu mereka sendiri akan mengadu kekuatan."

   "Mudah-mudahan Jenderal Lau dan Jenderal Gu menyadari kemungkinan ini..."

   "Jenderal, masalah yang dipertaruhkan terlalu besar, terlalu penting untuk dipertaruhkan hanya dengan sekedar kata 'mudah-mudahan' saja. Maaf kalau aku kurang ajar, tetapi terang-terangan saja, pemikiran Jenderal Lau dan Jenderal Gu terlalu jauh dari kemungkinan itu. Jenderal Lau cuma sibuk mengumpulkan perempuan-perempuan cantik, dan Jenderal Gu sibuk mengumpulkan harta lewat anak-anaknya yang memegang berbagai hak monopoli barang-barang perdagangan. Mereka tidak waspada terhadap ancaman orang-orang Manchu atau sisa-sisa dinasti Beng. Mereka menganggap kemenangan saat ini sudah tuntas dan semua musuh sudah lumpuh...."

   Karena luapan perasaannya, Yo Kian-hi sampai-sampai terengah-engah bicaranya.

   "Saudara Yo, jangan kau anggap kekhawatiranku lebih kecil dari kekhawatiranmu. Tetapi kita bisa apa? Kita sudah ditugaskan jauh dari Pak-khia."

   "Jenderal, ijinkan aku kembali ke Pak-khia secara diam-diam untuk menyelidiki orangorang yang memalsu diriku dan Kakakseperguruanku itu."

   "Jangan, Saudara Yo, kalau sampai kehadiranmu di Pakhia terlihat oleh kakitangan Jenderal Lau dan Jenderal Gu, bisa menimbulkan masalah baru. Bisa saja mereka menyebarkan fitnah baru tentang diri kita. Begitu pula, pihak ketiga yang kita curigai itu juga akan melakukan banyak hal atas namamu dan Kakak-seperguruanmu...."

   "Tentu saja aku akan memasuki Pak-khia dengan menyamar, Jenderal, tidak terangterangan dengan wajah aslinya.."

   "Tidak. Aku tetap ingin kau bersamaku. Bukan aku meragukan kelihaian penyamaranmu, melainkan aku khawatir kalau ada yang melihat kau tidak ada di sampingku untuk beberapa saat, dan kalau di Pak-khia kebetulan terjadi sesuatu lagi, bukankah amat gampang menuduhmu, dan aku akan jadi semakin repot membelamu?"

   Yo Kian-hi bungkam tak menjawab lagi, tetapi dalam hatinya ia masih meronta penasaran.

   Sementara itu, beberapa penunggang kuda yang disuruh berjalan mendahului pasukan untuk mencari tempat berkemah yang memadai, telah kembali dan melaporkan bahwa di sebelah depan, di kaki sebuah bukit, ada tempat berkemah yang ideal untuk Jenderal Li dan pasukannya.

   "Ada sebuah kolam kecil di kaki bukit yang airnya mengalir dari atas bukit.

   Airnya jernih dan bagus....."

   Lapor orang itu.

   "Bagus, kita akan mendirikan perkemahan di sana. Apakah di dekat-dekat situ juga ada pemukiman penduduk?"

   "Ada sebuah desa. Penduduknya juga mempergunakan air dari danau kecil itu."

   "Kalau begitu, umumkan kepada seluruh pasukan, kita akan berkemah di situ dan larangan untuk mengganggu rakyat sipil tetap diberlakukan."

   "Baik, Jenderal."

   Menjelang terbenamnya matahari, pasukan itu tiba di tempat yang dilaporkan oleh prajurit berkuda itu.

   Sebuah dataran sempit di kaki sebuah bukit, ada rumput untuk kuda, ada air berlimpah, memang cocok untuk mendirikan perkemahan di situ.

   Para prajurit pun segera mendirikan perkemahan.

   Seribu prajurit berkemah di satu sisi dari danau di kaki bukit itu.

   Dan kehadiran dari prajurit-prajurit itu segera terasa di desa yang tidak jauh dari situ.

   Desa itu langsung menjadi sepi.

   Orang-orang bersembunyi dalam rumah, pintu-pintu ditutup, gadis-gadis desa bersembunyi lebih rapat dari siapa pun juga, takut menjadi korban keganasan para serdadu.

   Melihat tidak seorang pun penduduk yang nampak di tepi danau kecil, sebagai orang yang pernah hidup di pedesaan, Li Giam menjadi heran.

   Tanyanya.

   "Katanya penduduk desa juga menggunakan air telaga ini, kenapa tidak nampak seorang pun? Padahal sore hari begini, biasanya orang-orang desa, terutama. perempuan-perempuan suka mengambil air...."

   "Mungkin mereka takut, Jenderal,"

   Sahut seorang perwiranya.

   "Takut?"

   "Ya, begitu. Orang-orang desa selalu takut kepada orang-orang berseragam tentara seperti kita ini. Mereka dihantui anggapan lama, bahwa serdadu selalu merampas perbekalan, memperkosa dan menjatuhkan hukuman semena-mena....." Li Giam menarik napas, la menoleh kepada Yo Kian-hi yang berdiri di sebelahnya.

   "Pergi ke desa itu. Katakan kepada penduduk desa bahwa kita adalah sahabat-sahabat mereka sehingga mereka tidak perlu takut. Kalau mereka ada keperluan dengan air telaga kecil ini, suruh mereka lakukan seperti biasa, kita tidak akan mengganggu mereka."

   "Baik, Jenderal."

   Yo Kian-hi melangkah menyusuri tepian melihat desa yang terlihat dari seberang telaga kecil itu.

   Jadi antara perkemahan tentara Li Giam dan desa itu berseberangan.

   Matahari sudah tenggelam ke bawah garis cakrawala, tinggal sisa-sisa cahayanya di langit, ketika Yo Kian-hi melangkah memasuki desa itu.

   Dan ia tidak begitu heran lagi ketika melihat lorong di tengah-tengah desa itu begitu sepi, deretan rumah-rumah di kiri-kanannya menutup rapat-rapat pintu-pintu mereka.

   Tak seorang pun kelihatan, bahkan tak sebuah pelita pun dinyalakan meski hari sudah mulai gelap.

   "Seragam prajurit ini agaknya menakutnakuti orang-orang desa ini,"

   Yo Kian-hi berkata dalam hatinya sambil mengamat-amati pakaiannya sendiri.

   "Orang-orang desa yang patut dikasihani. Mereka selalu ketakutan melihat orang-orang berpakaian prajurit, sebab mereka selalu mengalami nasib kurang baik dari para serdadu, dari pihak mana- pun, di masa perang atau damai. Bahkan juga dari pihak Pelangi Kuning kami yang mengaku sebagai pembela-pembela rakyat. Ternyata kemenangan kami atas dinasti Beng tidak sertamerta diartikan oleh rakyat sebagai kemenangan mereka. Mereka tetap saja ketakutan. Dulu takut kepada prajurit-prajurit Beng dan sekarang kepada kami........"

   Yo Kian-hi pernah mendengar bagaimana kelakukan prajurit-prajurit bawahan Lau Congbin maupun Gu Kim-sing. Bagaimana mereka yang mengaku "pejuang-pejuang pembebasan"

   Itu menjadi momok-momok rakyat kecil dan sudah membangkrutkan banyak warungmakanan dengan kerakusan mereka.

   Kalau ditagih, mereka hanya mengingatkan kepada si pemilik warung akan jasa-jasa mereka.

   Selain itu, Lau Cong-bin yang punya kegemaran berburu di luar kota dengan "pasukan bidadari"nya itu juga tidak kalah menimbulkan bencana pada rakyat pedesaan di luar kota Pakkhia.

   Tak terhitung kembang-kembang desa yang direnggut Lau Cong-bin si Jenderal Hidung Belang itu, sebagian masuk "koleksi"

   Nya dan sebagian hanya "sekali pakai"

   Langsung dibuang.

   Jadi rakyat yang dulunya diperintah dinasti Beng, kemudian sekarang diperintah kaum Pelangi Kuning, hanya mengalami pergantian bendera tetapi tidak pernah mengalami pergantian nasib.

   Yo Kian-hi yang melangkah di lorong desa yang sepi itu jadi teringat kata-kata Jenderal Li yang diulang-ulang senantiasa di hadapan perwira-perwiranya.

   "Berakarlah di hati rakyat, kalian akan kokoh. Rebutlah hati rakyat di suatu negara, dan kalian akan merebut negara itu."

   Itu bukan teori belaka buat Li Giam dan pasukannya, melainkan dipraktekkannya di jaman perjuangan duJu.

   Waktu itu pasukan Li Giam mendapat sokongan dari rakyat, baik dalam hal perbekalan makanan maupun tenaga, tidak sedikit pemuda pedesaan yang bersimpati, lalu bergabung menjadi laskar Pelangi Kuning.

   Akhirnya Yo Kian-hi memutuskan untuk mengetuk pintu salah satu rumah.

   Ia mengetuk, mula-mula perlahan, tetapi ketika lama tidak dibukai pintu, maka ketukannya pun jadi keras.

   Ketika ketukannya mulai keras, pintu dibuka dan seorang lelaki desa setengah baya langsung menyambutnya dengan berlutut di ambang pintu, apalagi setelah melihat pakaian perwira Yo Kian-hi.

   "Ampun.....ampun.... Tuan Perwira, bukan kami penduduk desa ini yang meracuni air telaga itu... bukan kami..... kami diancam oleh orang-orang itu dan bahkan ada yang sudah dibunuh..."

   Yo Kian-hi terkesiap mendengar omongan itu.

   "Hei, Pak, apa maksudmu?"

   "Siang tadi ada belasan orang menebarkan racun di telaga itu. Penduduk desa kami diancam agar tidak memberitahu siapa-siapa tentang perbuatan mereka. Bahkan seorang warga desa yang banyak bertanya-tanya telah dibunuh mati oleh orang-orang kejam itu...."

   Akhirnya batallah Yo Kian-hi melakukan seperti yang diperintahkan kepadanya oleh Jenderal Li Giam, yaitu menenteramkan hati penduduk.

   Bagaimana bisa tenteram, kalau Yo Kian-hi tiba-tiba membayangkan prajuritprajuritnya bergelimpangan keracunan? Karena itu, Yo Kian-hi tiba-tiba saja meninggalkan tempat itu dan berlari sekencang-kencangnya menuju ke perkemahan, meninggalkan si lelaki desa yang terlongong-longong.

   Ketika Yo Kian-hi tiba di perkemahan tentara, ia memang melihat kesibukan yang agak lebih dari biasanya.

   Ia bertanya-tanya, dan diberitahu kalau ada puluhan prajurit yang muntah-muntah setelah meminum air telaga kecil itu, beberapa di antaranya dalam keadaan gawat.

   Maka tabib tentara pun menjadi sibuk.

   "Di mana mereka sekarang?"

   "Di kemah pengobatan." Yo Kian-hi berlari-lari ke kemah yang disebutkan itu, dan melihat di sekitar kemah itu banyak tubuh bergelimpangan, sementara para tabib dibantu serdadu-serdadu yang, masih sehat sedang berusaha mati-matian menolong mereka. Ada yang ditekan-tekan perutnya agar muntah, ada yang diminumi obat dan sebagainya. Ada juga beberapa korban yang sudah diminggirkan karena sudah tidak tertolong lagi. Tidak lama kemudian, Li Giam dan pengawal-pengawalnya pun datang ke tempat itu. Rupanya ia sudah mendapat laporan, dan dia heran melihat Yo Kian-hi sudah kembali ke tempat itu.

   "Secepat ini kau kembali?"

   Tanya Denderal Li. Yo Kian-hi memberi hormat dan menjawab.

   "Dari orang desa pertama yang aku jumpai, aku langsung tahu tentang peristiwa keracunan di sini, lalu aku secepatnya kemari."

   
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seorang perwira Li Giam mengomentari dengan geram.

   "Pasti ini adalah ulah busuk sisasisa dinasti Beng. Banyak kabar yang mengatakan bahwa mereka masih sering berkeliaran di sekitar kota Pak-khia, di hutanhutan dan gunung-gunung. Mereka pengecut yang tidak berani bersikap jantan, beraninya hanya menebarkan racun....."

   Yo Kian-hi menyahut.

   "Bukan hanya sisa-sisa dinasti Beng yang ingin kita mampus, bahkan orang-orang yang mengaku seperjuangan dengan kita juga....."

   "Yo Kian-hi!"

   Li Giam cepat-cepat memotong.

   Li Giam tahu Yo Kian-hi masih panas hati terhadap Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing, namun Li Giam khawatir kalau Yo Kian-hi mengeluarkan uneg-unegnya secara terbuka dan didengar oleh perwira-perwira lain, maka perpecahan akan menghebat di golongan Pelangi Kuning sendiri.

   Golongan yang sekarang sedang memerintah.

   Seorang bertubuh pendek dan kurus yang sejak tadi berdiam diri dengan wajah murung di samping Jenderal Li, seorang yang berpakaian biasa dan tidak berseragam perwira, kini membuka suara, "Kejadian ini menyedihkan, tetapi kita tidak harus kehilangan pengendalian diri.

   Jangan sembarangan mengeluarkan pendapat yang akan lebih membingungkan seluruh pasukan, lebih baik kalau kita selidiki."

   Lelaki pendek kurus itu agaknya mempunyai cukup kewibawaan atas diri Yo Kian-hi, sebab lelaki itu adalah Kakak-seperguruan Yo Kian-hi yang bernama Oh Kui-hou yang berjuluk Thailik Ku-hou (Macan Kerempeng Berkekuatan Raksasa).

   Meskipun ia gigih membantu perjuangan Li Giam sejak dulu, namun setelah Li Giam menjadi salah seorang tokoh di pemerintahan yang baru, Oh Kui-hou tetap emoh menerima kedudukan untuk jasa-jasanya.

   Itulah sebabnya ia tidak berpakaian prajurit, bahkan tidak punya pangkat apa-apa, meskipun tetap berada di dekat Li Giam dan suaranya disegani siapa pun.

   Malahan Oh Kui-hou secara berkelakar pernah berkata.

   "Tubuhku terlalu kecil untuk berpakaian seragam prajurit. Nanti malah dikira anak kecil sedang bermain prajurit-prajuritan." Ketika itu, langit sudah gelap, obor-obor sudah dinyalakan. Prajurit-prajurit yang kehausan terpaksa hanya berani minum sedikitsedikit dari bekal air yang mereka bawa dari Pak-khia, tidak berani minum dari air telaga itu. Jenderal Li berunding dengan pembantupembantu kepercayaannya, dan akhirnya memutuskan untuk menyuruh Yo Kian-hi mencoba menyelidiki pihak mana yang meracuni air itu.

   "Tentu saja dalam penyelidikanmu tidak dalam pakaian seragam prajurit seperti itu.."

   Kata Jenderal Li.

   "Pakai-lah pakaian preman. Dan ingat, ada batas waktunya. Besok pagi-pagi hari haruslah kau sudah kembali ke perkemahan ini untuk melapor, tidak peduli penyelidikanmu berhasil atau tidak."

   "Baik, Jenderal..."

   Sahut Yo Kian-hi sudah akan beranjak pergi, namun langkahnya tertahan karena Jenderal Li berkata.

   "Tunggu!"

   "Masih ada pesan apa lagi, Jenderal?"

   "Kau hanya boleh menyelidiki di sekitar tempat ini, tidak boleh sampai masuk kembali "Baik, Jenderal___"

   Sahut Yo Kian-hl sudah akan beranjak pergi, namun langkahnya tertahan karena Jenderal Li berkata.

   "Tunggu!" ke Pak-khia, meskipun Pak-khia belum jauh dari sini."

   Yo Kian-hi menarik napas. Kadang-kadang sikap Jenderal Li yang kelewat berhati-hati itu membuatnya kesal juga. Toh ia menjawab juga.

   "Baik."

   "Satu hal lagi."

   Yo Kian-hi mendengarkan dengan patuh, sekali pun hatinya sudah tidak sabaran. Ternyata hanya ini yang dikatakan Jenderal Li Giam.

   "Tugasmu hanya menyelidiki, tetapi tidak untuk bertindak menangani sendiri. Menyelidiki lalu melaporkan kepadaku, hanya itu, paham?"

   Rupanya Li Giam khawatir kalau-kalau dalam urusan itu Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing berada di belakang layar sebagai dalang, dan kalau kepergok Yo Kian-hi yang berdarah panas itu, akan terjadi pertentangan terbuka antar jenderal-jenderal Pelangi Kuning.

   Li Giam juga jengkel terhadap Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing, tetapi dalam kejengkelannya ia masih ingat bahwa pemerintahan Pelangi Kuning yang masih "bayi"

   Itu membutuhkan persatuan, karena ada bahaya sisa-sisa dinasti Beng dan orang-orang Manchu di luar perbatasan.

   Itulah sebabnya ia tidak mengijinkan Yo Kian-hi bertindak sendiri, melainkan harus melaporkannya lebih dulu.

   Yo Kian-hi pun berangkat, menembus gelapnya malam di luar perkemahan.

   Dalam pakaian orang biasa, namun sudah tentu tidak ketinggalan adalah sepasang pedang tebalnya yang tergendong menyilang di punggungnya.

   Di perkemahan sendiri, suasana tegang melingkupi di segala sudutnya.

   Suara orang bercakap-cakap terdengar jarang-jarang, sehingga suara keluhan dari prajurit-prajurit yang keracunan yang dikumpulkan di kemah pengobatan terdengar nyata.

   Malam itu, beberapa prajurit lagi menyusul temantemannya ke akherat, tetapi ada juga yang membaik setelah muntah-muntah dan minum obat.

   Dengan demikian, muncul masalah baru buat Li Giam.

   Sudah tentu dia tidak dapat membawa pasukannya untuk melanjutkan perjalanan, setidak-tidaknya dalam beberapa hari, sampai prajurit-prajurit menjadi sembuh semuanya.

   Namun berkemah di tempat itu pun menimbulkan masalah, yaitu air.

   Suasana perkemahan begitu sunyi, penjagapenjaga disebar di pinggir-pinggir perkemahan, mengawasi setiap gerakan di luar perkemahan dengan waspada.

   Api unggun dinyalakan di beberapa tempat untuk menerangi keadaan.

   Menjelang tengah malam, ketika sebagian besar penghuni perkemahan sudah lelap, dari sisi perkemahan yang berhadapan dengan hutan lebat, tiba-tiba meluncurlah dua butir batu yang langsung menghantam jidat dari dua prajurit yang berjaga di sebelah situ.

   Kedua prajurit itu tumbang seketika.

   Suasana jadi gempar.

   Prajurit-prajurit lain bersiaga sambil berseru-seru.

   "Awas, ada serangan musuh!"

   "Awasi pinggiran hutan itu!"

   "Awasi tempat lain juga!"

   Belum sampai diketahui siapa pelempar batu-batu itu, dari balik semak-semak di arah lain tiba-tiba berluncuran panah-panah, kembali beberapa prajurit menjadi korban.

   Bahkan ada panah-panah api yang membakar perkemahan.

   Sementara batu-batu pun kembali beterbangan dari tempat gelap, mengincar jidatjidat sasarannya.

   Bersambung

   Jilid V Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu 16/07/2018 20 . 36 PM ( Bagian II )

   Jilid V Karya . STEVANUS S.P. pelukis . WIDODO Percetakan & Penerbit CV "G E M A"

   Mertokusuman 761 RT 02 RW VII Tilpun 35801 - SOLO 57122 KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid V P ara prajurit Li Giam yang terlatih itu, meskipun pada mulanya terkejut, namun segera dapat mengatur diri.

   Serangan batu-batu dan panah-panah tidak banyak berarti lagi ketika prajurit-prajurit Li Giam mulai menggunakan tameng-tameng mereka.

   Bahkan kelompok-kelompok yang berani mulai bergerak mendekati tempat asal serangan gelap itu, sambil membalas memanah meskipun sasarannya masih belum kelihatan, masih bertabir kegelapan.

   Dari pinggir hutan dan dari semak-semak kemudian muncul puluhan orang yang pakaiannya beraneka ragam, dengan bersenjata beraneka ragam pula.

   Mereka segera bertempur dengan prajurit-prajurit Li Giam di pinggir perkemahan.

   Salah seorang perwira Li Giam yang bertugas di tempat itu, agaknya otaknya jalan juga, la melihat orang-orang yang muncul itu hanya berjumlah puluhan, biarpun setangguh apa pun mereka, pasti tidak mungkin mengalahkan orang-orangnya Li Giam, sebab dalam perjalanan ke barat itu Jenderal Li membawa seribu prajurit.

   Mungkinkah orangorang yang menyerang itu tidak punya perhitungan, tidak bisa menghitung kekuatan sendiri dibandingkan dengan kekuatan lawan? Rasanya mustahil.

   Maka si perwira lalu meneriaki rekan-rekannya.

   "Jangan semuanya ke sini. Perketat penjagaan di sekitar kemah Jenderal Li! Orang-orang ini hanya berusaha memancing kita kemari agar penjagaan di tempat Jenderal Li lemah!"

   Agaknya perkiraan perwira itu benar.

   Orang-orang yang muncul dari pinggir hutan maupun dari semak belukar itu tidak berusaha merangsak ke tengah perkemahan, melainkan hanya bertempur di pinggir perkemahan yang gelap, tidak terjangkau cahaya obor, sambil berputar-putar di antara pepohonan dan bebatuan besar.

   Taktik itu selain karena mereka jumlahnya kalah jauh dari prajurit-prajurit Li Giam, sekaligus juga memperkuat dugaan si perwira bahwa tugas mereka cuma memecah perhatian.

   Karena itulah, prajurit yang menangani kekacauan di pinggir perkemahan itu juga hanya beberapa regu, dan itu sudah cukup untuk menanggulangi pengacau-pengacau itu.

   Mula-mula, para pengacau itu agak memandang remeh terhadap serdadu-serdadu itu.

   Dianggapnya serdadu-serdadunya Li Giam itu tidak ada bedanya dengan serdadu-serdadu "kantong nasi"

   Lainnya yang hebat gerakannya tetapi tidak becus.

   Tetapi setelah bertempur, nyata bahwa prajurit-prajurit Li Giam yang selalu dilatih itu berbeda dengan prajuritprajurit lain.

   Prajurit-prajurit Li Giam bertempur tangguh baik dalam ikatan kelompok maupun secara perorangan, maka para penyerbu itu pun bertambah hati-hati.

   Bahkan ketika mereka bersuit, mereka mengundang teman-teman dengan suitan mereka itu.

   Para penyerbu di pinggir hutan itu agaknya memang ditugaskan sekedar menarik perhatian, sebab tidak lama setelah mereka bertempur, dari dalam hutan muncul sekelompok orang lain yang berjumlah sedikit namun nyata adalah orang-orang yang tangguh.

   Jumlahnya hanya belasan orang, tetapi mereka berlari amat kencang seperti angin, menyeberangi gelanggang pertempuran dan langsung hendak menembus penjagaan para prajurit ke dalam perkemahan.

   Senjata mereka juga aneh-aneh, ada yang bersenjata cangkul, kipas, bahkan ada yang di tangannya cuma membawa sepasang keranjang rotan.

   Prajurit-prajurit Li Giam pernah mendapat petunjuk, kalau ketemu lawan yang aneh-aneh macam itu, tidak boleh memandang rendah.

   Begitu juga, munculnya sepuluh orang aneh ini membuat seorang perwira langsung mengingatkan pasukannya,"Perketat penjagaan! Awas musuh-musuh baru!"

   Ternyata prajurit-prajurit lapisan pertama yang mengawal perkemahan itu, tidak sanggup menghadang sepuluh orang aneh itu.

   Bukan saja karena kesepuluh orang itu berlari amat kencang dengan berkelok-kelok, juga karena mereka amat tangkas dan punya gerakangerakan aneh yang tidak terduga oleh para prajurit.

   Para prajurit juga dilatih silat, namun dalam gerakan-gerakan dasar yang sederhana, dan kini menghadapi gerakan-gerakan "tidak normal"

   Maka mereka pun bingung.

   Salah satu dari kesepuluh orang itu bertubuh pendek dan kurus mirip Oh Kui-hou, tetapi senjata yang dipakainya justru adalah sebatang toya yang panjangnya hampir tiga kali panjang badannya sendiri.

   Orang mungkin bisa geli kalau melihat dia membawa senjatanya, sedang orang-orang bertubuh normal saja senjatanya tidak sepanjang itu.

   Namun dalam pertempuran itu, begitu si pendek kerdil beraksi, tidak ada lagi yang sempat merasa geli.

   Mula-mula ia berlari kencang dan berkelokkelok, menghindari para prajurit, dan ketika langkahnya terhadang oleh sekelompok prajurit yang membuat pagar betis sambil menodongkan tombak-tombaknya, si kerdil tiba-tiba menjatuhkan diri bergulingan dan menderulah toya maha-panjangnya, menyapu kaki para prajurit, sehingga para prajurit roboh berpelantingan.

   Si pendek kerdil pun melompat bangun dan memasuki perkemahan karena pertahanan sudah bobol.

   Di pihak lain, ada seorang musuh berpakaian jubah macam kaum terpelajar, begitu pula topinya, dan senjatanya juga cuma sebuah kipas bersulam gambar kembangkembang.

   Ketika langkahnya dihadang beberapa prajurit, ia cuma mengebutkan kipasnya, dari kipas itu menghambur bubuk lembut seperti pupur, baunya pun wangi seperti pupur, namun ternyata para prajurit bertumbangan jatuh setelah menghisap "pupur"

   Itu.

   Si kipas-kembang pun melaju ke dalam perkemahan tanpa tertahan.

   Yang paling aneh adalah seorang penyerbu yang bertubuh tegap gempal, jelas-jelas seorang lelaki, namun ia memakai pakaian wanita dan senjatanya adalah sepasang keranjang rotan, seperti orang hendak berbelanja ke pasar saja.

   Menghadapi hadangan para prajurit, ia terkikik-kikik genit, berlenggang-lenggok menghindari para prajurit, lagaknya seperti perempuan yang hendak dicubit lelaki kurang ajar di tengah pasar.

   Sambil meliuk-liukkan tubuhnya menghindar, ia berkali-kali menjerit kecil seperti perempuan.

   Namun begitu ia "mengaktifkan"

   Sepasang keranjang rotannya, hasilnya pun mengejutkan. Seorang prajurit menebas dengan goloknya, dihindarinya sambil menjerit seperti perempuan genit.

   "Iiiiih, jangan kurang ajar, ah aku panggilkan kakakku lho..."

   Lalu sambil menjerit manja.

   "Ini lho, Kak, Adikmu dinakali orang......."

   Keranjang di salahsatu tangannya menghantam ke wajah si serdadu yang "menakalinya itu.

   Si serdadu tidak bisa nakal lagi karena wajahnya remuk seperti semangka dijatuhkan dari atap rumah.

   Para prajurit segera sadar kalau Si Banci ini ternyata cukup berbahaya.

   Mereka mencoba menahan, tetapi tidak berhasil.

   Si Banci langsung melesat ke dalam perkemahan sambil tertawa terkikik-kikik genit.

   Perwira yang memimpin pertempuran di pinggir perkemahan itu segera insyaf betapa gawatnya keadaan, keselamatan Jenderal Li benar-benar terancam oleh munculnya sepuluh orang jagoan aneh yang tak terbendung itu.

   Namun perwira itu juga tidak dapat meninggalkan prajurit-prajuritnya bertempur tanpa pimpinan di situ, maka ia hanya menyuruh seorang prajuritnya untuk melapor kepada Jenderal Li tentang ancaman bahaya itu.

   "Mudah-mudahan para pengawal pribadi Jenderal dapat menahan orang-orang gila itu.."

   Memang Li Giam punya 30 orang pengawal pribadi yang kelasnya di atas rata-rata prajurit.

   Di samping itu, di samping Li Giam masih ada Thai-lik-ku-hou Oh Kui-hou yang membuat perwira itu sedikit lega.

   Sementara itu, sepuluh jagoan aneh itu terus merangsak ke tengah-tengah perkemahan.

   Meskipun perlawanan para prajurit Li Giam cukup gigih, namun belum berhasil menahan mereka.

   Mereka benar-benar regu pembunuh yang diupah untuk membunuh Li Giam.

   Dan mereka tidak menyembunyikan maksud mereka.

   Ketika mereka dibentak oleh para prajurit, ditanyai apa maksudnya, Si Banci menjawab sambil cekikikan.

   "Kami datang cuma untuk berbelanja, membeli batok kepalanya Li Giam untuk dibuat sup. Hi-hi-hi... kalian prajurit-prajurit manis-manis dan tampantampan, lebih baik minggir. Tulang-tulang kalian tidak seenak tulangnya Li Giam, kami tidak berselera.."

   Sudah tentu para prajurit yang setia kepada Li Giam itu tidak mau disuruh minggir begitu saja.

   Mereka melawan dengan gigih, meskipun beberapa orang jatuh menjadi korban keganasan regu pembunuh itu.

   Prajurit-prajurit Li Giam juga sudah menggunakan senjatasenjata jarak-jauh seperti panah dan lembing, tetapi rupanya tidak banyak berarti buat kesepuluh orang itu.

   Akhirnya orang-orang itu tiba juga di depan kemah Li Giam.

   Kemah Li Giam mudah dikenali di antara kemah-kemah sebanyak itu, sebab di puncak kemah berdiri bendera besar bertulis huruf "Li".

   Li Giam sudah berdiri di depan kemahnya dengan pakaian perang, didampingi oleh Oh Kui-hou, dan dikelilingi pengawal pribadinya yang bersiaga.

   Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bagaimanapun besarnya nyali para pembunuh itu, namun kini mereka agak tergetar juga oleh kewibawaan Li Giam.

   Li Giam bukanlah orang yang mahir dalam pertempuran perseorangan, tetapi nama-besarnya sebagai seorang Jenderal Pelangi Kuning yang banyak jasanya, mau tidak mau ada wibawanya juga.

   Sementara itu, prajurit-prajurit Li Giam yang tidak termasuk pengawal pribadi, juga telah melingkari tempat itu.

   Bagaimanapun hebatnya pembunuh-pembunuh itu, mereka takkan membiarkan begitu saja Li Giam dibunuh.

   Para perwira yang kemampuan tempur perorangannya lebih baik dari prajuritprajurit biasa, menempatkan diri di depan, dan siap bergabung bersama para pengawal pribadi untuk menghalang-halangi niat kesepuluh orang itu.

   Beberapa saat suasana sunyi mencekam, sampai Oh Kui-houlah yang memecahkan kesunyian dengan suara tertawanya.

   "Luar biasa. Tujuh Pembunuh dari Gurun Utara dan Tiga Serigala Perbatasan yang biasanya berebutan rejeki, kini bergabung dalam satu regu dan melakukan kunjungan tak terduga ini.........Selamat datang, sobat-sobat. Tetapi barangkali aku hanya bisa mengucapkan 'selamat datang' namun takkan dapat mengucapkan 'selamat jalan' sebab kalian takkan bisa pergi dari sini, kecuali ke rumah nenek-moyang kalian. Kalian sudah membunuhi prajurit-prajurit kami." Seorang bertubuh sedang, berambut panjang terurai dengan wajah pucat yang ganas, menjawab perkataan Oh Kui-hou itu.

   "Kami bertujuh bisa datang, tentu bisa pergi juga, tidak peduli perkenan kalian. Kami mau mengambil batok kepala Li Ciam, setelah itu kami akan pergi, coba kalian bisa menghalangi kami atau tidak."

   Seorang lainnya, yang berwajah penuh bulu dan memegang Long-ge-pang (Tongkat Gigi Serigala), yaitu tongkat besi yang di salah satu ujungnya "dihiasi"

   Berlarik-larik gigi tajam yang mirip geraham serigala, mendengus dingin dan membantah Si Muka Pucat.

   "Toat-sat, jangan bermulut besar. Kamilah yang akan membawa pergi kepalanya Li Giam."

   Rupanya, seperti kata-kata Oh Kui-hou yang mengenali mereka bersepuluh, sepuluh orang itu tidak terdiri dari satu kelompok saja, melainkan dua kelompok yang bergabung.

   Bergabung sambil sekaligus bersaing juga memperebutkan hadiah, siapa yang berhasil membunuh Li Giam.

   Kelompok yang tujuh orang disebut Pak-bok-jit-sat (Tujuh Pembunuh Gurun U-tara), Si Muka Pucat tadi adalah orang pertamanya.

   Sedang yang bersenjata Long-gepang adalah orang tertua dari kelompok Tiga Serigala Perbatasan.

   Mereka datang bersama-sama ke perkemahan itu, karena tenaga mereka disewa orang, dan mereka mengajak anak buah masingmasing.

   Saat itu, suara pertempuran di pinggir perkemahan masih terdengar.

   Mereka pula yang menyebarkan racun di telaga, dengan harapan Li Giam dan pengiringpengiringnya akan keracunan dan mati semua, atau setidak-tidaknya menjadi lemah sehingga perkemahannya gampang diterobos.

   Itulah yang membuat mereka berani menerjang ke perkemahan.

   Demikianlah, meskipun batok kepala Li Giam masih nongkrong di atas lehernya, mereka sudah berani memperebutkannya, seolah-olah kepala itu sudah copot dan sudah boleh diperebutkan.

   Keruan Oh Kui-hou menjadi gusar, dan berkata.

   "Kalian tidak usah berebutan. Lebih baik bersatu, menggabungkan tenaga, dengan demikian perlawanan kalian akan sedikit lebih kuat, meskipun akhirnya akan sama saja, kalian akan mati juga di tempat ini."

   Si Banci bersenjata sepasang keranjang rotan itu menyahut, pura-pura berkata kepada pemimpinnya yang berambut panjang dan bermuka pucat.

   "Kak, siapa Si Kerdil ini? Mulutnya besar juga, aku jadi ingin membawa kepalanya juga....."

   Sementara itu, meskipun Oh Kui-hou sedang marah karena "tamu-tamu"

   Kurang ajarnya itu, namun tidak kehilangan perhitungannya.

   Ia merasa berat juga harus menghadapi sepuluh pembunuh profesional yang seumur hidupnya memang hanya berlatih mdmahirkan teknikteknik membunuh itu.

   la mengukur dirinya sendiri paling-paling hanya bisa mengimbangi Tiga Serigala Perbatasan, sedangkan Tujuh Pembunuh Gurun Utara harus ditangani oleh orang lain kecuali Oh Kui-hou sendiri.

   "Andaikata Yo Kian-hi ada......"

   Pikir Oh Kui-hou.

   Yo Kian-hi adalah adik seperguruannya, tetapi lebih jago dari dirinya, sebab lebih berbakat.

   Sayang, saat itu Yo Kian-hi justru sedang pergi, seandainya tidak, paling tidak empat orang dari Tujuh Pembunuh akan bisa dihadapi sekaligus oleh Yo Kian-hi dengan sepasang pedang tebalnya.

   Namun tidak ada gunanya berandai-andai di hadapan lawan-lawan kejam yang sudah di depan hidung itu.

   Oh Kui-hou memberikan petunjuk seperlunya dengan berbisik-bisik kepada komandan pengawal pribadi, bagaimana menghadapi Tujuh Pembunuh itu.

   Sudah tentu mereka bertujuh tidak bisa dilawan secara perseorangan, sebab hal itu hanya akan menambah jumlah korban di pihak Li Giam.

   Oh Kui-hou mencoba membesarkan hatinya, dengan mencoba memberi "nilai"

   Kepada beberapa pengawal pribadi Jenderal Li.

   Meski tak seorang pun yang setara dengan Yo Kian-hi, tetapi ada beberapa orang dan mereka akan maju bersama-sama.

   Sementara itu, Si Banci melangkah mendekat Oh Kui-hou sambil tertawa terkikikkikik, sambil berkata.

   "He, orang kerdil, apa yang sedang kau bisik-bisik-kan? Apakah kau sedang menitipkan pesan untuk keluargamu di rumah sebelum kau mampus?"

   Suatu gagasan tiba-tiba melintas di benak Oh Kui-hou.

   Si Banci itu agaknya memandang remeh aku, pikir Oh Kui-hou, kalau begitu malah bagus.

   Dengan serangan kilat bisa kuhabisi dia, jadi mengurangi jumlah lawan dan meringankan pihakku.

   Karena itulah Oh Kui-hou sengaja menunjukkan sikap gentar dan melangkah mundur sementara Si Banci mendekatinya.

   Namun Si Muka Pucat berambut panjang agaknya punya naluri yang tajam, yang dapat "mencium"

   Gelagat betapa berbahayanya Oh Kui-hou yang tampangnya tidak seberapa itu. Karena itu, dia pun memperingatkan Si Banci,.

   "Hati-hatilah, Si Kerdil ini jangan kau anggap remeh, sebab..." Kata-kata peringatannya belum selesai karena Oh Kui-hou sudah bertindak mendahului dengan gerakan yang cepat, bahkan maha cepat, tidak memberi kesempatan calon korbannya menjadi waspada oleh peringatan kawannya. Oh Kui-hou tiba-tiba saja melejit laksana seekor belalang ke arah Si Banci. Sepasang tangannya terkembang seperti sayap-sayap elang, namun sepasang cambuk panjangnya masih tergulung di kedua genggamannya, belum diurai. Gerak lompatannya itu barulah suatu gerak pancingan. Si Banci memang amat kaget melihat lompatan kilat itu, dia mengira mukanya akan ditendang, maka menggunakan sepasang keranjang rotannya sekaligus untuk membela diri dan balas menyerang. Dengan keranjang di tangan kiri ia hendak "menangkap"

   Kaki Oh Kuihou, sekaligus keranjang rotan yang lain hendak menghantam lambung Oh Kui-hou.

   Saat itulah cambuk di tangan kanan Oh Kuihou menggeletar dahsyat mengguncang udara malam di tepi telaga kecil itu, membuat lingkaran-lingkaran panjang untuk menjerat sepasang lengan Si Banci.

   Tujuan Oh Kui-hou dengan lompatan kilatnya tadi memang memancing agar sepasang lengan musuh "keluar"

   Untuk bisa dijerat.

   Sepasang lengan Si Banci memang tak sempat ditarik mundur, masuk ke dalam lingkaran-lingkaran itu dan terjerat erat .

   Tetapi Si Banci agaknya juga seorang yang tangkas, ia malah melompat maju mengikuti tarikan cambuk Oh Kui-hou atas lenganlengannya yang terjerat.

   Ia bermaksud membenturkan tubuhnya yang tinggi gempal itu ke tubuh Oh Kui-hou yang pendek-kecil supaya Oh Kui-hou "ringsek"

   Dan mendapat kesempatan untuk melepaskan lenganlengannya.. Tak terduga saat itulah cambuk di tangan Oh Kui-hou "keluar"

   Pula.

   Si Banci terkejut, tidak menyangka kalau lawannya bersenjata sepasang cambuk.

   Maklum malam cukup gelap sehingga ia tidak melihat cambuk yang tergulung rapi di telapak tangan itu.

   Lagi pula tidak lazim orang bersenjata sepasang cambuk, sebab kalau tidak benar-benar mahir maka cambuk itu malahan akan saling membelit dan merepotkan diri sendiri.

   Maka "keluar"nya cambuk kiri Oh Kui-hou yang bagaikan kilat itu mengejutkan Si Banci dan untuk sedetik mematikan seluruh reaksinya untuk menangkalnya.

   "Lan-lan, awas....."

   Beberapa temantemannya dari kelompok Tujuh Pembunuh serempak berseru dengan cemas.

   Rupanya Si Banci ini benar-benar lebih senang jadi perempuan, sehingga namanya pun nama perempuan.

   Bahkan salah seorang dari rekannya, yaitu Si Cebol yang bersenjata toya yang tiga kali panjang tubuhnya, sudah menubruk maju dengan nekad untuk menolong Lan-lan si banci.

   Ujung toyanya yang amat panjang itu disodokkan ke ulu hati Oh Kui-hou.

   Sayangnya, segala seruan peringatan dan tindakan pertolongan itu terlambat semuanya.

   Pertama, karena Oh Kui-hou sudah menyiapkan serangan dadakannya itu dengan baik dan gerakannya tanpa ragu-ragu, sebaliknya Si Banci Lan-lan ketika serangan itu terjadi sedang dalam sikap memandang remeh lawannya, karena belum kenal siapa lawannya.

   Dua faktor yang membuat rencana Oh Kui-hou sukses, yaitu mengurangi jumlah lawan dengan segebrakan saja.

   Cambuk Oh Kui-hou yang sebelah kiri menyambar samping leher Lan-lan.

   Cambuk itu hanyalah helai-helai kulit tipis yang dianyam tiga helai jadi satu, namun di tangan Oh Kui-hou menjadi begitu tajam sehingga leher Lan-lan sampai hampir putus.

   Si Banci yang jadi anggota kelompok Tujuh Pembunuh Gurun Utara itu pun roboh dan menggelepar sebentar di rerumputan seperti ayam disembelih sebelum terdiam selama-lamanya.

   Sementara Oh Kui-hou harus cepat-cepat bergulingan menghindari ujung toya Si Cebol yang hampir saja menyodok ulu-hatinya.

   Si Cebol itu menatap tubuh Lan-lan, air matanya tiba-tiba mengalir deras, tanpa malumalu berlutut di samping tubuh Lan-lan sambil terisak-isak dan berkeluh-kesah.

   "Lan-lan.... tak kuduga hanya sampai sekian saja kita bersamasama. Sungguh aku tidak akan melupakan saatsaat indah..."

   Dan seterusnya. Cukup panjang kata-katanya, yang cukup untuk dijadikan lima buah lagu cengeng sekaligus. Orang-orang dari kelompok Tujuh Pembunuh memang tahu kalau antara Si Banci Lan-lan dan Si Cebol bertoya panjang itu ada "hubungan istimewa"

   Meskipun kedua-duanya adalah laki-laki.

   Tidak mengherankan Si Cebol begitu meratapi kematian "pacar"nya.

   Sementara Oh Kui-hou sudah berdiri bersiap di depan tubuh Jenderal Li, menjadi perisainya, sepasang cambuknya sudah tergulung rapi di tangannya kembali.

   Begitu cepat ia melakukannya, secepat seekor ular menarik lidahnya, atau seekor kodok menarik lidahnya sehabis menyambar seekor nyamuk di udara.

   Oh Kui-hou lega "rencana jangka pendek"nya sukses, tetapi sadar bahwa pekerjaan bagi pihaknya cukup berat.

   Seperti rencana yang dibisikkannya kepada perwiraperwira pengawal pribadi Jenderal Li tadi, Oh Kui-hou akan mencoba menahan Tiga Serigala Perbatasan sekaligus, dan para pengawal akan mencoba menahan Tujuh Pembunuh yang sekarang tinggal enam.

   Tetapi segalanya bisa saja berjalan melenceng dari rencana.

   Sementara itu, Si Cebol yang kehilangan kekasih itu sekarang menjadi kalap, la bangkit dengan mata berapi-api memandang Oh Kuihou, sambil memungut toyanya.

   Geramnya dengan gigi gemeretak.

   "Manusia cebol, kau sudah membunuh Lan-lan, sekarang kau harus membayar dengan jiwamu sendiri!"

   Demikianlah dia mencaci Oh Kui-hou sebagai "manusia cebol"

   Padahal ia sendiri lebih pendek dari Oh Kui-hou. Dan begitu selesai kata-katanya, ia melompat seperti serjgala dengan toya menyodok ke arah Oh Kui-hou. Oh Kui-hou melompat menghindar sambil berdesis.

   "Sesuai rencana!" Oh Kui-hou melompat menghindar sambil berdesis.

   "Sesuai rencana!" Sesuai dengan rencana yang tadi sudah dirundingkan secara berbisik-bisik dengan para perwira, Oh Kui-hou akan menghadapi Tiga Serigala sekaligus, karena itu ia tidak akan terpancing menghadap Si Cebol bertoya panjang itu. Demikianlah Oh Kui-hou bergulingan cepat menjauhi Si Cebol. Sementara Si Cebol dengan penuh dendam kesumat terus memburu sambil memutar toyanya, dan berteriak sengit.

   "Hei, Cebol! jangan menghindari aku! Kau harus membayar hutang darah kekasihku!"

   Dari tempat yang tak terjangkau toya orang itu, Oh Kui-hou membalas mengejek.

   "Hei, orang yang lebih cebol dari aku, jadi lelaki jelek yang bukan manusia bukan siluman itu kekasihmu?"

   Si Cebol tambah gusar, biarpun Si Lan-lan itu di mata orang lain adalah lelaki banci jelek yang tingkah-lakunya membuat bulu-kuduk berdiri, tetapi bagi Si Cebol adalah kekasih yang tak tertandingi kejelitaannya.

   Bahkan andaikata Si Cebol disuruh memilih antara Lan-lan dan Tan Wan-wan yang disebut-sebut sebagai perempuan tercantik di kolong langit, pastilah Si Cebol akan memilih Lan-lan.

   Ejekan Oh Kui-hou seperti minyak disiramkan ke dalam api, toya-super-panjang si pendek itu membawa deru angin keras menyambar lagi ke pinggang Oh Kui-hou.

   Namun para pengawal pribadi Jenderal Li Giam juga bertindak sesuai dengan rencana seperti yang dibisikkan Oh Kui-hou.

   Seorang pengawal yang bersenjata tameng besi di tangan kiri dan golok di tangan kanan, segera melompat maju dan menyodorkan tamengnya untuk menahan laju toya Si Cebol.

   Terdengar suara berdentang amat keras ketika tameng digebuk toya.

   Tameng itu menjadi cacad permukaannya, memunculkan sebuah jalur bekas toya, sedangkan lengan si pengawal yang memegangnya terasa linu, seolah-olah persendiannya copot semua, dan tubuhnya yang tegap itu sampai rebah ke rerumputan saking kuatnya gebukan Si Cebol.

   Dengan amarah meluap-luap, Si Cebol berteriak kepada si pengawal.

   "Kau menghalangi aku membalaskan kematian kekasihku, kalau begitu biarlah kau dulu yang mampus!"

   Dan toyanya menyambar ke kepala si pengawal yang belum sempat bangkit dan tentu saja belum dapat membela diri dengan baik kecuali mengangkat perisainya tinggi-tinggi.

   Tetapi pengawal-pengawal lain tidak membiarkan rekan-rekannya terancam bahaya.

   Seorang pengawal lain, yang juga bersenjata toya tetapi berukuran "normal", menghadang toya Si Cebol dengan toya sendiri, sementara seorang pengawal lainnya melompat menyerang dengan pedangnya, dan dari arah lain seorang rekannya menyerang Si Cebol dengan bandringan berantai.

   Begitulah, karena Si Cebol ini bersenjata kelewat panjang, maka pengawal-pengawalnya Li Giam harus bekerjasama untuk menghadapinya.

   Ada yang menahan senjata musuh dan ada yang menyerang.

   Pengawal-pengawal itu juga bukan orang bodoh, mereka merangsek dan berusaha dalam pertempuran jarak dekat yang pasti akan merepotkan sekali lagi Si Cebol yang bersenjata amat panjang.

   Tak terduga Si Cebol agaknya sudah siap menghadapi kejadian seperti ini.

   Ia melompat mundur beberapa langkah, dan seolah-olah ia mematahkan toya panjangnya menjadi beberapa bagian, dan berubahlah toya super panjang itu menjadi empat batang tongkat sedang yang satu sama lain dihubungkan dengan cincin-cincin.

   Orang lazimnya mengenal senjata yang disebut Sam-ciat-kun (Toya Tiga Ruas), tetapi yang dipegang Si Cebol ini adalah Si-ciat-kun (Toya Empat Ruas).

   Dengan toya empat ruasnya inilah dia menghadapi empat orang pengawalnya Li Giam, termasuk yang bersenjata tameng tadi.

   Rupanya toya panjang Si Cebol itu bagian dalamnya berongga, sehingga bisa menjadi toya panjang, bisa juga menjadi toya empat ruas.

   Para pembunuh bayaran dari Gurun Utara tidak membiarkan rekan mereka dikeroyok.

   Atas perintah pemimpin mereka, sisa lima orang lainnya termasuk pemimpinnya yang berambut panjang itu, maju menyerbu.

   Sesuai dengan rencana, pengawal-pengawal Li Giam pun menghadang mereka, dibantu perwira-perwira bukan pengawal yang sedikit banyak harus diperhitungkan juga.

   Demikianlah, sementara di pinggir perkemahan terjadi pertempuran yang belum selesai, di dalam perkemahan, dikemah Li Giam pun terjadi pertempuran yang lebih hebat.

   Orang-orang yang bertempur lebih sedikit jumlahnya, namun lebih hebat sebab yang sedikit itu adalah jagoan-jagoan ulung.

   Karena perkemahan Li Giam itu menghadap ke arah danau, maka pertempuran antara pembunuh-pembunuh bayaran dengan pengawal-pengawal Li Giam pun meluas sampai ke tepian danau, bahkan ke dalam air yang dalamnya sampai ke lutut.

   Sementara itu, Tiga Serigala yang datang bersama dengan Tujuh Pembunuh namun tidak benar-benar bersatu hati, sekarang melihat kesempatan untuk merebut pahala bagi kelompok mereka sendiri tanpa mengikutsertakan kelompok Tujuh Pembunuh.

   Di kalangan hitam, saling sikut di antara sesama teman adalah soal biasa, bahkan seandainya mereka sedang terikat dalam perjanjian kerjasama.

   Tiga Serigala itu adalah tiga kakak-beradik, dua lelaki dan satu perempuan, yang wajahnya mirip satu sama lain.

   Dan kalau dilihat dari senjata-senjata yang mereka bawa, bisa ditebak kalau mereka adalah orang-orang yang mengandalkan kekuatan.

   Si Kakak Tertua bersenjata Long-ge-pang (Toya Gigi Serigala) yang bobotnya berat, si Nomor Dua bersenjata sepasang tongkat masing-masing satu meter panjangnya, dan untuk menegaskan ciri kelompok Tiga Serigala, di batang tongkat itu juga diberi berlarik-larik gerigi yang mirip gigi serigala.

   Yang nomor tiga adalah perempuan, tidak muda lagi, tetapi dengan dandanannya dan rias wajahnya yang dahsyat dia berusaha tampak muda, senjatanya juga sepasang Tongkat Gigi Serigala seperti Kakak-keduanya, namun agaknya lebih ringan bobotnya, disesuaikan dengan pembawaannya sebagai seorang perempuan.

   Melihat sebagian besar pengawal Li Giam sudah terlibat dengan kelompok pembunuh Gurun Utara, ketiga "serigala"

   
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ini saling bertukar isyarat mata, dan mereka pun merencanakan suatu sergapan mendadak atas Li Giam. Tanpa sepatah kata pun mereka "berunding"

   Dengan isyarat mata mereka.

   Dan mereka memutuskan Li Giam akan mereka tangkap hidup-hidup dulu, sebagai sandera agar mereka bisa meninggalkan tempat itu.

   Nanti setelah tidak dikejar Jagi, barulah Li Giam akan mereka sembelih dan batok kepalanya akan ditukar dengan hadiah dari orang-orang yang menyewa mereka.

   Tetapi, mereka tidak mau langsung menerjang begitu saja, sebab mereka telah melihat Oh Kui-hou bergeser ke dekat Jenderal Li.

   Agaknya Oh Kui-hou tidak pernah lengah mewaspadai ketiga serigala itu.

   Tiga Serigala itu mulai bergeser maju, membuat sisa pengawal Li Giam yang belum "kebagian"

   Lawan berwaspada, begitu pula Oh Kui-hou. Tetapi sekian lama ketiga "serigala"

   Itu belum bertindak juga, mereka rupanya sedang membuat perhitungan-perhitungan.

   Oh Kui-hou juga menghitung-hitung.

   Menurut teori, menghadapi keroyokan musuh yang lebih dari satu, tidak boleh membiarkan musuh mendekat dalam garis menebar, sebab itu berarti membiarkan musuh menyerangnya dari sudut yang berbeda-beda dan akan sangat merepotkan.

   Harusnya Oh Kui-hou mengambil posisi sedemikian rupa, sehingga ketiga lawannya akan selalu dalam posisi "antri"

   Ke belakang hingga tidak bisa menyerang serempak.

   Harusnya begitu menurut teori.

   Tetapi keadaan itu begitu khusus, di situ ada Jenderal Li Giam yang harus dilindunginya, sehingga Oh Kui-hou tidak bisa menerapkan teori "mengantrikan lawan", meskipun Li Giam masih ditemani beberapa pengawal namun cukup riskan kalau harus menghadapi pembunuh-pembunuh bayaran itu.

   Begitulah, Oh Kui-hou mau tidak mau harus menghadapi tiga lawan dalam keadaan menebar itu.

   Namun Oh Kui-hou diam-diam mengincar si "serigala"

   Ketiga kelihatannya paling lemah, untuk dibereskan lebih dulu dengan serangan mendadak seperti tadi dia membereskan Si Banci Lan-lan. Kalau pun tidak seberhasil tadi, kalau bisa menciderainya akan bisa menjadi "keuntungan awal"

   Yang barangkali saja bisa mengendorkan semangat lawan. Maka Oh Kui-hou pura-pura melangkah maju menyongsong si "serigala"

   Pertama, sudut matanya mengincar ke "serigala"

   Ke tiga. Si "serigala"

   Pertama menunggu dengan tegang karena tadi sudah melihat kehebatan Oh Kuihou ketika menjatuhkan satu dari Tujuh Pembunuh hanya dalam segebrakan.

   Sementara kedua adikpya bersiaga di kiri kanannya.

   Bentakan Oh Kui-hou menggelegar, cemeti panjangnya yang di tangan kiri tiba-tiba menggeletar pula memenuhi angkasa seperti seribu petir mengamuk berbareng.

   Ketika perhatian ketiga lawannya tertarik ke cemeti yang kiri, cambuk kanan "keluar sarang"

   Tanpa suara dan menyapu pasir di tanah sehingga muncrat ke wajah ketiga lawannya.

   "Licik!"

   Seru Si Serigala Pertama, sambil memalingkan muka menghindari pasir masuk ke mata, la mengira dirinyalah sasaran utama Oh Kui-hou, sebab bukankah tadi Oh Kui-hou sudah memelototinya terus? Begitu juga kedua adiknya menyangka, sehingga kedua-duanya serempak berseru.

   "Awas, Kakak!"

   Kedua "serigala"

   Yang lain pun harus menghindari pasir yang beterbangan itu.

   Namun mereka sama sekali tidak menduga kalau Oh Kui-hou tiba-tiba menubruk ganas ke arah Serigala Ketiga dengan sabetan sepasang cambuk yang beruntun dan membingungkan.

   Serigala Pertama dan Serigala Kedua kaget, berlomba-lomba mereka hendak menyelamatkan adik mereka.

   Tetapi agak terlambat, sepasang tongkat gigi serigala di tangan si adik perempuan itu sudah dibelit cambuk dan direnggut lepas sehingga terlempar ke dalam danau kecil oleh cambuk kiri Oh Kuihou.

   Sedang cambuk kanan Oh Kui-hou berhasil menyabet betis si Serigala Ketiga sehingga celana dan kulitnya robek.

   Serigala Ketiga menjerit.

   Serigala Pertama dan Serigala Kedua beringas menerjang.

   Oh Kui-hou meladeninya dengan semangat berkobar, namun pada saat pertempuran dimulai, Oh Kui-hou sudah memetik keuntungan lebih dulu.

   Begitulah di depan kemah Jenderal Li di tepi telaga itu terjadi pertarungan sengit antara para pembunuh bayaran dan pengawat-pengawalnya Li Giam.

   Para prajurit yang kurang tinggi ilmunya hanya bisa menonton di sekeliling arena, sambil mengangkat obor-obor mereka tinggi-tinggi.

   Sementara suara pertempuran di pinggir perkemahan juga masih terdengar.

   Pengawal-pengawal Li Giam yang berjumlah banyak, untuk sementara bisa menahan Tujuh Pembunuh yang tinggal enam setelah matinya Si Banci itu.

   Namun kemudian terlihat bahwa pemimpin dari kelompok Tujuh Pembunuh itu, si lelaki berwajah pucat dan berambut panjang, memiliki kelebihan dari rekan-rekannya dan di sini Oh Kui-hou agak salah hitung.

   Orang ini bersenjata pedang yang bentuknya sempit dan ujungnya amat runcing, agak berbeda dengan pedang-pedang biasa.

   Caranya bermain pedang sungguh ganas didukung gerakannya yang cepat dan langkah kakinya yang lincah menyelinap ke sana kemari.

   Oh Kui-hou sudah "menjatah"

   Orang ini dengan lima orang pengawal pilihan, dan ia menganggap itu cukup.

   Ternyata yang lima orang itu dalam waktu singkat sudah tinggal dua orang yang kebingungan menghadapi kecepatan gerak Si Muka Pucat.

   Beberapa pengawal lagi terjun ke gelanggang, menghadang Si Muka Pucat ini, tetapi kelihatannya tidak akan banyak menolong.

   Kecepatannya terlalu sulit ditandingi oleh pengawal-pengawal biasa, yang bagaimanapun juga hanyalah prajurit-prajurit biasa yang memiliki kelebihan dari temantemannya lalu dipilih menjadi pengawal pribadi.

   Tidak jarang para pengawal itu malahan saling bertubrukan sendiri karena sasarannya menghilang begitu saja dengan gerak mahacepatnya.

   Dari jarak agak jauh, Oh Kui-hou juga bisa melihat kesulitan para pengawal menghadapi pimpinan Tujuh Pembunuh Gurun Utara itu.

   Beberapa pengawal sudah tewas, dan korbankorban berikutnya pasti akan menyusul kalau keadaan tidak segera berubah.

   Tetapi Oh Kuihou tidak tahu harus berbuat apa, sebab dirinya sendiri sibuk menghadapi Tiga Serigala.

   Serigala Ketiga yang kehilangan sepasang tongkat gigi serigala dan luka betisnya itu pun ternyata masih mampu bertempur mengeroyok Oh Kuihou bersama kakak-kakaknya, yaitu setelah membalut betisnya dengan robekan baju, lalu mengeluarkan sepasang pisau belati.

   Dengan demikian, si pimpinan kelompok Tujuh Pembunuh itu agaknya takkan bisa dihadang dalam usahanya mendekati Li Giam.

   Para pengawal Li Giam tidak segan-segan kehilangan nyawa demi pemimpinnya, namun keberanian dan ke-nekadan saja tidak cukup untuk membendung Si Muka Pucat.

   Para prajurit lain, yang tidak termasuk pengawal Li Giam, agaknya juga merasakan gelagat ancaman terhadap Jenderal mereka, maka mereka menempatkan diri berlapis-lapis di depan Jenderal Li, sedangkan jenderal Li sendiri diungsikan agak jauh dari kemah.

   Si Muka Pucat menjadi gusar karena jadi lebih sulit mendapatkan Li Giam.

   Tetapi dalam gusarnya ia malahan tertawa melengking dan berkata.

   "Percuma menyembunyikan Li Giam biar sampai ke ujung bumi sekalipun. Biarpun sampai ke langit juga. Kalau aku sudah mengincarnya, aku akan mendapatkannya. Dan semakin banyak orang yang dipasang untuk melindungi nyawanya, hanya akan menambah jumlah korbanku saja!"

   Ucapannya mungkin kedengaran amat sombong, yang terang, satu detik setelah ucapannya itu, pedang tipis-runcingnya berkelebat amat cepat dalam gerak tipu Thaipeng-tian-ci (Garuda Membentangkan Sayap), dengan tusukan dua kali ke kanan dan kiri, dia merobohkan lagi dua pengawal.

   Para pengawal yang terlatih itu jadi kelihatan begitu lamban di hadapannya.

   Namun sesosok bayangan tiba-tiba meluncur datang seolah-olah dijatuhkan dari langit, dan langsung menjawab.

   "Apa iya?"

   Seorang pemuda bertubuh tegap dan beralis tebal, dengan sepasang gagang pedang yang mencuat dari belakang sepasang pundaknya yang kekar.

   Dialah Yo Kian-hi yang sore tadi ditugaskan Jenderal Li untuk menyelidiki siapa yang meracuni air telaga kecil itu, namun Yo Kian-hi belum sempat menemukan apa-apa ketika mendengar suara pertempuran di perkemahan Jenderal Li, sehingga ia bergegas balik ke perkemahan.

   Si Muka Pucat menudingkan pedangnya.

   "Siapa kau?"

   "Salah seorang bawahan Jenderal Li." Si Muka Pucat tidak mempercayai jawaban itu begitu saja, cara datangnya maupun penampilan Yo Kian-hi yang lain daripada yang lain menunjukkan kalau Yo Kian-hi pasti bukan pengawal biasa. Kata Si Muka Pucat.

   "Nampaknya kau memang melebihi pengawalpengawal lain, anak muda. Tetapi ketahuilah, di hadapanku, kelebihanmu itu percuma. Kau akan mati seperti yang lain-lainnya.."

   Sambil berkata, Si Muka Pucat menuding mayat para pengawal yang bergelimpangan. Sahut Yo Kian-hi, menirukan kata-kata lawannya.

   "Nampaknya kau memang melebihi pencoleng-pencoleng lain, Muka Pucat. Tetapi ketahuilah, di hadapanku, kelebihanmu itu percuma. Kau akan tertangkap seperti pencoleng-pencoleng lainnya di pasar...."

   Dada Si Muka Pucat hampir meledak oleh kemarahan, tetapi ia menahan diri dan malah tertawa dingin.

   "Kau pintar bercanda, anak muda, sayang kau memilih saat dan tempat yang salah untuk bercanda. Lebih baik pulanglah, Ibumu akan menetekimu....." Yo Kian-hi menjawab.

   "Kau pintar bercanda, pencoleng kecil, sayang kau memilih saat dan tempat yang salah untuk bercanda. Lebih baik pulang saja, Ibumu akan menetekimu....."

   "Keparat! Cabut pedangmu, agar aku tidak dituduh membunuh orang yang tidak bersenjata!"

   "Keparat! Gerakkan pedangmu, agar aku tidak dituduh membunuh orang yang tidak melawan!"

   Si Muka Pucat habis sabarnya, tak peduli Yo Kian-hi belum menghunus pedangnya, ia sudah menyerang lebih dulu.

   Pedangnya bergerak secepat lidah seekor ular yang menyambar ke depan, ke tenggorokan Yo Kian-hi.

   Seperti kebiasaannya, waktu menikamkan pedangnya, ia langsung mengerahkan seluruh kecepatan, kekuatan, bahkan seluruh jiwa dan semangatnya diikut-sertakan juga.

   Permainan pedangnya tidak kenal segala macam gerak kembangan yang dianggapnya hanya membuang-buang waktu saja.

   Suatu kebiasaan lain, ia sering memejamkan mata waktu begitu yakin bahwa serangannya kena.

   Ia menganggap sebagai suatu kenikmatan kalau ujung pedangnya tertancap di leher lawan, getarannya sampai ke dalam jiwanya setelah melalui batang pedang dan lengannya.

   la benar-benar membunuh bukan sekedar untuk uang, melainkan karena kenikmatan.

   Begitu pula kali ini, terasa nikmatnya merasakan ujung pedangnya sudah terjepit daging tubuh lawan.

   Tetapi ia kaget dan membuka mata ketika merasakan lambungnya kena tumbukan keras sehingga ia terpental ke belakang dengan perut terasa mual.

   Ia melihat lawan muda yang diremehkannya itu telah menjepit ujung pedangnya dengan sepasang telapak tangan yang ditangkupkan.

   Itulah sebabnya tadi ia merasa pedangnya seolah-olah sudah kena sasaran, ternyata bukan.

   Dan tumbukan keras ke lambungnya tadi adalah tendangan Yo Kian-hi.

   Sekarang ia melihat Yo Kian-hi dengan sikap amat menghina mematah-matahkan pedang tipis kebanggaannya itu menjadi empat potong, hanya dengan jari-jari tangannya.

   Si pemimpin kelompok Tujuh Pembunuh ini pun gusar bukan main, ia mencabut sepasang pedang belati yang tersembunyi di sepatunya, lalu menerjang Yo Kian-hi.

   Begitulah, terjadi pertempuran baru.

   Ternyata dengan sepasang belatinya, Si Muka Pucat tidak kalah berbahayanya dengan ketika masih memegang pedangnya.

   Cuma kali ini karena kebentur Yo Kian-hi, mau tidak mau harus tersudut pada pengakuan dalam hati, bahwa lawan yang satu ini tidak bisa "dilewati".

   Pengakuan dalam hati yang diperkuat oleh nyeri-nyeri di sekujur tubuhnya yang sering terkena tangan atau kaki Yo Kian-hi dan membuatnya sering jatuh terguling-guling.

   Dengan demikian, rasanya regu pembunuh upahan itu sudah kehilangan harapan akan menerima upah dengan membawa batok kepala Li Giam.

   Tidak peduli dari kelompok Tujuh Pembunuh Gurun Utara (Pak-bok 3it-sat) maupun Tiga Serigala Perbatasan (Koan-gwa Sam-long), justru para pembunuh itulah yang terancam bahaya.

   Mungkin merekalah yang bakal kehilangan batok kepala di tangan algojoalgojonya Li Giam.

   Tetapi rupanya masih ada "kartu"

   Yang belum keluar di pihak pembunuh-pembunuh itu.

   Salah satu dari mereka tiba-tiba bersuit nyaring.

   Biasanya, isyarat seperti itu berarti menyuruh mundur semua orang-orangnya.

   Namun, kali ini nampaknya suitan itu bukan isyarat untuk mengundurkan diri, melainkan semacam mengundang bantuan.

   Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi bisa merasakannya, sehingga kakak-beradik seperguruan itu biarpun masingmasing sedang sibuk bertempur dan berjauhan satu sama lain, seolah digerakkan oleh satu pikiran, bersama-sama memperingatkan para pengawal.

   "Awas! Tetap lindungi Jenderal U!"

   Li Giam pun seperti terkurung di tengahtengah sekelompok pengawal pribadi dan perwira-perwira yang dengan senjata terhunus mengitarinya dengan membelakangi Jenderal Li, menghadap ke segala arah dengan waspada.

   Dan mereka yang menghadap ke arah telaga adalah yang pertama-tama menyaksikan suatu pemandangan yang mencengangkan.

   Dari kegelapan di tengah-tengah telaga, ada sesosok tubuh yang...berjalan di atas permukaan air telaga! Sesosok tubuh kurus, memakai jubah, namun wajahnya tidak kelihatan, sebab dikerudungi kantong kain hitam yang dilubangi hanya pada sepasang matanya.

   Bahkan jagoan-jagoan sekaliber Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi pun berdesir jantungnya, sekilas pandang saja mereka sudah tahu kalau yang datang ini adalah tokoh yang sekaliber guru mereka.

   Mereka berdua bergabung pun belum tentu bisa menandingi tokoh yang baru datang ini.

   Bersama-sama mereka mengeluh dalam hati.

   Agaknya upaya untuk melindungi Jenderal Li harus menghadapi tantangan berat, bahkan berhasil atau tidaknya juga diragukan.

   Orang yang datang dari tengah-tengah telaga itu melangkah dengan santai ke tepian, nampak tidak membawa senjata apa-apa, namun terang jauh lebih berbahaya dari gerombolan regu pembunuh bayaran itu.

   Apakah orang ini juga pembunuh bayaran? Pertempuran seolah dikomando sehingga berhenti, semua mata memperhatikan orang ini.

   Ketika orang itu mulai naik ke tepian, terlihat pada sepasang sepatunya diikatkan papan-papan kecil, jadi ia tadi tidak benarbenar "berjalan di atas air", melainkan dibantu papan-papan itu.

   Toh ilmu meringankan tubuh setinggi itu menunjukkan kelasnya di dunia para jagoan.

   Ketika ia mendarat, sepasang papan itu dikebaskannya lepas dari kakikakinya seperti orang melepaskan sandal.

   Ia menatap para pembunuh bayaran itu, sambil bertanya dengan suara dingin.

   "Kenapa kalian memanggil aku?" Si Muka Pucat yang pongah itu pun kini bersikap hormat, bahkan agak takut-takut, ketika berkata.

   "Kami mohon maaf, terpaksa merepotkan Tuan. Perkara upah, kami rela dikurangi separuh karena kegagalan kami. Sekarang kami hanya berkedudukan sebagai pembantu Tuan..."

   Cukup dengan kata-kata dari Si Muka Pucat, orang-orang di pihak Jenderal Li Giam sudah dapat menyimpulkan kalau orang yang datang lewat telaga itu tidak sekomplotan dengan pembunuh-pembunuhnya, tetapi bahkan orang yang mengupah pembunuh-pembunuh itu.

   Dengan demikian, orang itu akan lebih berbahaya dari pembunuh-pembunuh bayaran itu, bukan karena ilmunya saja yang tinggi melainkan juga pastilah pamrih kepentingannya akan lebih kuat.

   Oh Kui-hou, Yo Kian-hi, pengawal-pengawal pribadi dan lain-lainnya sudah berjajar merapat di depan Li Giam, siap melindungi junjungan mereka mati-matian.

   Sambil mengamat-amati orang kurus berjubah yang datang dari telaga itu, Oh Kuihou samar-samar teringat sepertinya pernah melihat orang itu.

   Tetapi kapan dan di mana, ia sudah tidak bisa mengingatnya, lagi pula saat itu pikirannya sedang dikerahkan untuk mengamat-amati gerak-gerik musuh, tidak sempat melamun ke masa lalu.

   Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Orang kurus berjubah itu melangkah dengan santai mendekati orang-orang yang siap melindungi Li Giam.

   Gayanya benar-benar amat santai, tidak sedikit pun mirip dengan orang yang hendak berkelahi, melainkan seperti orang sedang berjalan-jalan mencari angin saja.

   Kata-katanya juga tidak membentak atau berteriak atau mengancam, tetapi lembut seperti orang membujuk anak-anak yang sedang menangis.

   "Aku cuma ingin batok kepala Li Giam seorang, tidak mau yang lain-lainnya. Maka yang lain minggirlah, aku kasihan kepada kalian."

   Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi mengertak gigi dengan geram, tapi mereka sadar juga bahwa Sambil mengamat-amati orang kurus berjubah yang datang dari telaga itu, Oh Kui-hou samar-samar teringat sepertinya pernah melihat orang itu.

   lawan kali ini jauh lebih tinggi kemampuannya dari mereka berdua digabung sekalipun.

   Namun mereka tidak mau minggir.

   Mereka sudah bertekad, kalaupun mereka kalau gagal melindungi Jenderal Li, mereka sendiri rela ikut mati.

   Dan tekad yang sama agaknya juga menyala di hati pengawal-pengawal Li Giam lainnya.

   Orang kurus berjubah itu menunggu sejenak, dan ketika melihat tak seorang pun pengikut-pengikut Li Giam itu yang mau minggir, ia menggeleng-gelengkan kepala sambil menarik napas berulang-ulang.

   Katakatanya bernada sesal.

   "Kenapa kalian begitu bandel, anak-anak? Apakali kalian menyangka aku tidak dapat membunuh kalian semua? Apakah kalian menyangka aku hanya memiliki ilmu berjalan di atas air saja?"

   Lalu Si Kurus Berjubah itu memutar tubuh, menghadap ke sebuah pohon yang batangnya sebesar paha, mengayunkan telapak tangannya seperti membacok ke batang pohon itu.

   Telapak tangannya tidak mengenai pohon itu, sebab jaraknya ada sepuluh sebelas langkah, namun pohon itu roboh.

   Sebab batangnya terpotong rapi seperti dibacok dengan golok tajam yang diayunkan dengan kekuatan raksasa.

   Semua orang terkesiap, Oh Kui-hou bahkan langsung mengenali ilmu itu dan tanpa sadar berdesis.

   "Bu-heng To-hoat (Ilmu Golok Tak Berwujud)..."

   Tetapi ada hal mengejutkan lainnya yang terjadi. Sebab dari atas pohon yang tumbang itu tiba-tiba melompat keluar seorang yang berpakaian hitam dan mengenakan kedok pula. Orang itu mengumpat.

   "Kat Hu-yong, kalau kau cuma mau pamer ilmu picisanmu, kenapa kau paksa aku keluar dari persembunyianku?"

   Maka seolah terjadi rangkaian kejutan di tempat itu, termasuk orang kurus berjubah itu sendiri, karena namanya segera dikenali oleh orang yang melompat dari pohon itu.

   Begitu juga karena sekian lama ada orang bersembunyi di dekatnya namun tidak diketahuinya, menandakan kalau orang yang baru muncul itu bukan orang sembarangan juga.

   Sedangkan bagi Jenderal Li, Oh Kui-hou dan lain-lainnya, nama Kat Hu-yong yang disebutkan oleh orang berkedok yang datang belakangan itu pun mengejutkan.

   Mereka tentu saja pernah mendengar nama Kat Hu-yong biarpun belum pernah melihat wajahnya.

   Nama itu adalah nama seorang penasehat militer Pangeran Toh Sek-kun, Panglima Angkatan Perang Manchuria yang terkenal.

   "Musuh bersama"

   Baik sisa-sisa Dinasti Beng maupun kaum Pelangi Kuning.

   Sebab orang Manchu dianggap sebagai penyerbu asing yang senantiasa berambisi menyerbu negerinya bangsa Han.

   Orang Han dari golongan Dinasti Beng maupun golongan Pelangi Kuning, samasama menganggap bangsa Manchu sebagai musuh berbahaya yang tidak layak diberi kesempatan.

   Sementara ingatan Oh Kui-hou sendiri langsung menjadi cerah, ingat kapan dan di mana ia pernah melihat Si Kurus Berjubah yang ternyata adalah tangan kanan Pangeran Toh Sek-kun itu.

   Dulu ketika kaum Pelangi Kuning masih berjuang menumbangkan Dinasti Beng, Oh Kui-hou ada di pihak Pelangi Kuning.

   Dan saat itu pun orang-orang Manchu sudah ikut campur dalam pertikaian antara sesama bangsa Han itu.

   Waktu itu Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi tertangkap oleh prajurit-prajurit Dinasti Beng, dan hendak dibawa ke Pak-khia untuk dihukum mati.

   Di tengah jalan, guru Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi, yaitu Tiat-thau-siang (Gajah Berkepala Besi) Ko Beng-seng menghadang iring-iringan dengan maksud membebaskan muridmuridnya.

   Ko Beng-seng hampir berhasil, tetapi kemudian gagal karena munculnya Kat Hu-yong yang saat itu juga berkedok.

   Kini ternyata yang mendalangi usaha pembunuhan terhadap Li Giam bukannya Lau Cong-bin dan Gu Kim-sing, melainkan justru orang Manchu ini pula.

   Tidak heran kalau pihak Manchu pun menghendaki lenyapnya Jenderal Li, panglima yang paling berwibawa dan berotak cemerlang yang diperhitungkan akan menjadi lawan paling berat buat pihak Manchu apabila kelak menyeberangi perbatasan.

   Kat Hu-yong, Si orang kurus berjubah itu menjadi gusar karena identitasnya dikenali orang yang baru datang itu.

   Sesaat ia mengamati orang yang baru datang itu.

   Dilihatnya di belakang pundak orang mencuat sebuah gagang pedang yang pelindung pegangan pedangnya berbentuk seekor elang yang mengembangkan sayapnya.

   Maka Kat Huyong pun segera bisa mengenali siapa yang datang itu.

   Katanya.

   "Helian Kong, kau pun percuma bersembunyi di balik kedok itu, sebab aku sudah mengenalimu. Lebih baik kalau malam ini kita bekerja sama membunuh Li Giam. Bukankah pihakmu dan pihakku samasama mengingini kematiannya? Bukankah Li Giam juga yang menyerbu istana Kerajaan Beng dan memaksa rajamu, Yang Mulia Sri Baginda Cong-ceng, menggantung diri di Bukit Bwe-san? Inilah kesempatan untuk membalaskan sakit hati rajamu.."

   Begitulah, untuk membujuk Helian Kong bekerja sama, Kat Hu-yong tidak segan-segan menyebut Kaisar Cong-ceng dengan "Yang Mulia Sri Baginda"

   Segala.

   Sementara di pihak orang-orangnya Li Giam pun berdebar-debar menunggu bagaimana tanggapan Helian Kong terhadap tawaran Kat Hu-yong itu.

   Kalau Helian Kong menerima tawaran itu, pihak Li Giam akan bertambah kedodoran.

   Orang berkedok yang datang belakangan itu membuka kedoknya, dan ternyata ia memang Helian Kong.

   Panglima setia Dinasti Beng yang masih buron dan diketahui masih memiliki pasukan yang kuat yang entah bersembunyi di mana.

   Helian Kong adalah buronan kelas kakap bagi pihak Pelangi Kuning.

   Tak terduga sekarang berani muncul di perkemahannya Li Giam.

   Suasana sunyi senyap, menunggu jawaban Helian Kong.

   Lalu terdengar kata-katanya sepatah demi sepatah.

   "Aku membenci kaum Pelangi Kuning yang sudah menumbangkan junjunganku, Baginda Cong-ceng. Aku harus menyelesaikan sakit hati ini suatu kali kelak, tetapi dengan syarat..."

   Helian Kong berhenti beberapa saat, dan suasana tetap sunyi mencekam, sampai kelanjutan kata-kata Helian Kong terdengar.

   "Dengan syarat tidak ada pihak ketiga yang mengambil keuntungan dari pertikaian sesama bangsa Han. Apalagi kalau pihak ketiga itu adalah bangsa asing dari luar perbatasan."

   Kat Hu-yong tertawa dingin.

   "Jadi, buat apa kau muncul kemari?"

   "Buat memukul mundur kau, orang Manchu!"

   Sahut Helian Kong sambil menatap tajam Kat Hu-yong.

   "Dan memperingatkan setiap bangsa Han di pihak mana pun, bahwa ada kekuatan asing yang mengintai di luar perbatasan dan menyebar jaring mata-matanya di dalam negeri."

   Hampir bersamaan Jenderal Li Giam dan pengawal-pengawalnya menghembuskan napas lega. Orang menghembuskan napas mestinya suaranya tidak terlalu keras, tetapi karena banyak orang melakukannya bersama-sama, maka jadi seperti "paduan suara"

   Yang aneh.

   Dalam hatinya, Li Giam, Oh Kui-hou serta Yo Kian-hi sangat menghormati sikap satria Helian Kong yang tidak mau mengambil keuntungan atas pihaknya selagi dalam keadaan terjepit, tetapi lebih mengutamakan keselamatan seluruh tanah air daripada golongan politiknya sendiri.

   Sikap yang sama juga pernah ditunjukkan Li Giam ketika ia mengambil keputusan untuk melindungi keluarga Siangkoan dari gelombang hukuman mati yang sedang "diobral"

   Oleh Lau Cong-bin sebagai Panglima Tertinggi, tidak peduli keluarga Siangkoan adalah keluarga pembesar Dinasti Beng.

   Li Giam tahu Siangkoan Hi adalah seorang pembesar yang jujur dan dicintai banyak orang.

   Kalau sampai orang seperti Siangkoan Hi dihukum mati, banyak orang akan memendam kemarahan yang pada waktunya nanti bakal tidak menguntungkan kaum Pelangi Kuning, Jadi Li Giam dan Helian Kong, biarpun musuh, punya pikiran yang sama, yang menomorsatukan tanah air dari kepentingan golongan.

   Sedangkan Kat Hu-yong yang orang Manchu pun hormat kepada sikap itu, meskipun ia menentangnya dalam kedudukannya sebagai orang yang memperjuangkan kepentingan bangsanya.

   Kata Kat Hu-yong.

   "Helian Kong, golongan manusia yang kau sebut bangsa Han itu dulu-dulunya juga memiliki berbagai asalusul yang beraneka ragam, dengan hak apa kau menganggap dirimu sebagai orang Han asli kemudian merasa berhak menganggap kami, orang-orang Manchu, sebagai orang asing? Bukankah nama depanmu saja menunjukkan bahwa kau bukan orang Han asli melainkan orang Liao?"

   Memang nama keluarga Helian berasal dari kawasan barat laut.

   Kawasan itu pada jaman ratusan tahun yang lalu, dihuni bangsa Liao yang tidak termasuk bangsa Han, sedangkan yang termasuk bangsa Han hanyalah penduduk Kerajaan Song waktu itu.

   Kemudian setelah Song runtuh, disusul ratusan tahun pemerintahan dinasti-dinasti Goan dan Beng yang mencakup kawasan barat laut, maka orang-orang barat laut itu ikut-ikutan menyebut diri mereka "orang Han"

   Juga, bersatu dengan orang-orang kawasan tengah dan selatan, meski tampang muka dan logat bahasanya sedikit berbeda.

   Sanggahan Kat Hu-yong tidak membuat Helian Kong mundur.

   Ia mencabut pedang di punggungnya, pedang Tiat-eng Po-kiam (Pedang Pusaka Elang Besi), ujung pedang ditudingkan ke arah Kat Hu-yong sambil berkata.

   "Kat Hu-yong, menyingkir dari sini bersama orang-orangmu!"

   Menurut tingkatan-tingkatan di kalangan para jagoan, Helian Kong belum pantas menantang Kat Hu-yong, sebab Kat Hu-yong setingkat dengan guru Helian Kong yang sudah almarhum.

   Tetapi sikap Helian Kong yang begitu mantap tak tergetar sedikit pun, menimbulkan dugaan kalau Helian Kong punya sesuatu yang diandalkan untuk menghadapi Kat Hu-yong.

   Kat Hu-yong jadi gatal tangannya melihat sikap Helian Kong itu.

   Katanya.

   "Baiklah, sebelum aku ambil kepala Li Giam, aku ambil dulu kepalamu."

   Lalu tubuhnya terlontar cepat ke arah Helian Kong, dengan sepasang lengan menerkam bersamaan.

   Agaknya dalam gebrakan-gebrakan pertama, Kat Hu-yong tidak langsung menggunakan Bu-heng To-hoatnya.

   Ia ingin menjajal dulu kecepatan, kekuatan dan ketangkasan Helian Kong yang mengingatkannya kepada muridnya, Sek Honghua.

   Ternyata Helian Kong dapat mengimbanginya, sehingga terjadilah pertarungan seru antara dua jagoan dari angkatan yang berbeda itu.

   Meskipun Helian Kong menggunakan pedangnya sedang Kat Huyong bertangan kosong, tetapi tidak seorang pun menganggap pertandingan itu tidak adil, sebab Kat Hu-yong itu tingkatannya sama dengan guru Helian Kong.

   Apalagi Kat Hu-yong punya "golok tak berwujud"

   Yang belum digunakan dalam pertempuran itu.

   Bahkan Kat Hu-yong sendiri juga tidak merasa diperlakukan tidak adil.

   Demikianlah, pertarungan satu lawan satu itu berlangsung makin sengit disaksikan orangorang dari kedua pihak.

   Kat Hu-yong menerjang bagaikan angin puyuh yang menggulung, Helian Kong mencoba mengimbangi setangkas harimau jantan yang perkasa.

   Berguling, melompat, menerjang dengan amat cepat, pedangnya yang cuma sebatang itu seolah pecah menjadi belasan batang yang bayangannya berkelebatan ke sana ke mari.

   Melihat ketangkasan Helian Kong, Yo Kianhi diam-diam menarik napas.

   Dulu Helian Kong itu tingkat ilmunya bisa dibilang seimbang dengan Yo Kian-hi, kalau pun ada sedikit kelebihan di pihak Helian Kong, maka kelebihan itu hanyalah selapis tipis.

   Jaman itu ada tiga jago muda yang setingkat, yaitu Helian Kong, Yo Kian-hi dan Sek Hong-hua.

   Sekarang Yo Kian-hi harus mengakui bahwa Helian Kong sudah maju pesat dan beberapa langkah di depannya.

   Seandainya Yo Kian-hi yang disuruh melawan Kat Hu-yong, pastilah tidak lebih dari dua puluh gebrakan Yo Kian-hi akan keok, tetapi sekarang dilihatnya Helian Kong dapat begitu gigih melawan seorang angkatan tua macam Kat Huyong, mau tidak mau Yo Kian-hi jadi kagum.

   Namun lama kelamaan, setelah hampir seratus jurus gebrakan, kelihatan juga kalau Helian Kong belum mampu mengimbangi Kat Hu-yong, tidak peduli betapa hebat semangatnya dan betapa pesat kemajuannya.

   Helian Kong mulai sering terdesak, dan kadangkadang sempoyongan kalau serangan Kat Huyong mengenainya.

   Waktu itu Kat Hu-yong masih menggunakan pukulan biasa, belum "golok tanpa wujud"

   Nya.

   Yo Kian-hi tidak tahan lagi melihat Helian Kong sering dikenai, bahkan dijatuhkan serangan lawannya.

   Sejenak lupa kalau Helian Kong berasal dari golongan yang bertentangan dengan golongannya, Yo Kian-hi saat itu hanya tidak rela melihat Helian Kong bakal menjadi korban dalam usahanya membela Li Giam.

   Maka ketika melihat untuk ke sekian kalinya Helian Kong agak pontang-panting menghadapi hujan serangan yang gencar dari si Penasehat Militer Manchu itu, Yo Kian-hi melupakan permusuhannya dengan Helian Kong dan melompat ke tengah gelanggang dengan sepasang pedangnya sudah terhunus, langsung menyabet bersilangan ke arah Kat Hu-yong.

   Karena serangan itu, Kat Hu-yong terpecah perhatiannya, dan ini memberi kesempatan kepada Helian Kong untuk memperbaiki posisinya.

   "Adik Yo!"

   Oh Kui-hou memanggil adik seperguruannya, khawatir tindakan tanpa ijin itu akan kurang berkenan di hati Li Giam. Tetapi Li Giam yang menyahut.

   "Biarkan saja, Saudara Oh, aku setuju dia membantu Helian Kong."

   Begitulah, pertempuran sekarang jadi satu lawan dua. Ada dua orang dari kelompok pembunuh bayaran yang juga hendak memasuki gelanggang untuk membendung Yo Kian-hi, tetapi Kat Hu-yong sendiri yang membentak para pembunuh bayaran itu.

   "Jangan ikut campur! Aku sendiri senang bermain-main dengan kedua anak manis ini!" (Bersambung

   Jilid VI.) Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu 17/07/2018 10 . 07 AM I ( Bagian II )

   Jilid VI Karya . STEVANUS S.P. pelukis . WIDODO Percetakan & Penerbit CV "G E M A"

   Mertokusuman 761 RT 02 RW VII Tilpun 35801 - SOLO 57122 I I KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid VI D emikianlah Kat Hu-yong dikeroyok dua.

   Sebagian besar beban perlawanan ada di pundak Helian Kong sebab tingkat kepandaiannya lebih dari Yo Kian-hi, namun Yo Kian-hi bukannya tanpa arti.

   Perwira muda yang bersenjatakan sepasang pedang yang tebal dan berat itu seperti seekor gajah yang mengamuk, dan biarpun tidak sepesat Helian Kong, ada juga kemajuan Yo Kian-hi.

   Sekarang pertempuran itu kelihatannya seimbang.

   Tetapi yang masih mengherankan semua orang adalah Kat Hu-yong belum juga memakai "golok tak berwujud"nya.

   I Dan seandainya orang-orang yang menonton pertempuran itu tahu isi hati Kat Huyong, mereka akan lebih heran lagi.

   Sebab diamdiam Kat Hu-yong timbul rasa sayangnya kepada kedua anak muda lawannya itu! Ya, rasa sayang! Itulah yang terjadi.

   Kalau seorang panglima Dinasti Beng seperti Helian Kong sampai bisa bekerja sama dengan seorang panglima Pelangi Kuning seperti Yo Kian-hi saja sudah sesuatu yang mengherankan, maka timbulnya perasaan sayang Kat Hu-yong kepada kedua lawannya yang muda itu tentunya sesuatu yang tidak masuk akal.

   Tetapi memang itulah yang terjadi di gelanggang itu, meski tidak dapat dilihat dengan mata jasmaniah.

   Muncul ikatan-ikatan batin antar sesama manusia yang secara kebetulan berdiri di pihakpihak yang bermusuhan.

   
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Helian Kong dan Yo Kian-hi tentu saja belum sempat merasakan getar hati Kat Hu-yong itu.

   Mereka cuma masih heran kenapa "golok tak berwujud"

   Itu tidak keluar-keluar juga, meski I mereka sudah siap-siap menghadapinya sejak tadi.

   Akhirnya ilmu golok yang dinantinantikannya keluar juga.

   Pada suatu gebrakan, Kat Hu-yong tiba-tiba meluncur mundur dengan sepasang kaki tetap menempel di tanah, sepasang lengannya dengan telapak tangan terbuka menyilang di depan dadanya, matanya menyorot tajam dari balik kain kedoknya.

   "Awas!"

   Helian Kong dan Yo Kian-hi saling memperingatkan. Bahkan Oh Kui-hou yang di luar gelanggang juga ikut berseru.

   "Awas!"

   Sepasang telapak tangan Kat Hu-yong sudah terayun sejajar ke depan dan dua jalur angin tajam juga mendesis ke depan.

   Bu-heng To-hoat akhirnya keluar juga.

   Tetapi ternyata Kat Huyong tidak mengarahkan serangannya ke tubuh Helian Kong maupun Yo Kian-hi, melainkan hanya ke senjata-senjata mereka.

   Helian Kong merasakan pedang Tiat-eng Pokiamnya seperti ditabrak halilintar, telapak tangannya yang memegang pedang terasa panas I dalam satu detik dan saat itu pulalah pedangnya terbang dan jatuh menancap di tepi telaga.

   Untung saja pedang pusaka perguruannya itu tidak nyemplung dan tenggelam di tengah telaga.

   Demikianlah pula yang dialami Yo Kian-hi.

   Sepasang pedangnya seolah tersapu mendatar oleh kekuatan tak terlihat yang membuat sepasang pedangnya lepas dari tangannya pula.

   Menyangka bahwa serangan susulan jarak jauh akan dilancarkan, Helian Kong dan Yo Kian-hi sama-sama bersiaga.

   Tetapi ternyata Kat Hu-yong tetap berdiri di tempatnya dengan sikap santai dan berkata.

   "Cukup sekian permainan kita, anak-anak muda. Ketangguhan kalian membuat aku merasa cepat tua......"

   Helian Kong dan Yo Kian-hi termangumangu, tidak tahu harus menjawab yang bagaimana terhadap kata-kata yang tidak bersifat bermusuhan itu.

   Bingung juga mereka.

   Di satu pihak mereka tahu Kat Hu-yong adalah musuh, di lain pihak mereka berdua bukan orang tolol, mereka memahami bahwa baru saja I Demikianlah pula yang dialami Yo Kian-hi.

   Sepasang pedangnya seolah tersapu mendatar oleh kekuatan tak terlihat yang membuat sepasang pedangnya lepas dari tangannya pula.

   I Kat Hu-yong berbelas kasihan kepada mereka dengari hanya merontokkan senjata mereka namun tidak menciderai mereka.

   "Sekarang mau apa kau?"

   Akhirnya Oh Kuihaulah yang bertanya. Sambil menempatkan diri di depan tubuh Jenderal Li, bersiaga kalaukalau tokoh Manchu itu masih berniat membunuh Jenderal Li, Ternyata jawaban Kat Hu-yong di luar dugaan.

   "Aku mau pulang, makan, lalu tidur sampai pagi."

   Keruan orang-orang di pihak Li Giam senang mendengar kata-kata itu, namun tidak dapat segera mempercayai.

   Khawatir kalau kata-kata itu sekedar untuk melengahkan kewaspadaan mereka.

   Sementara itu, kelompok para pembunuh bayaran yang sudah terlanjur mengerahkan anak buah, menyabung nyawa, dan yakin bahwa tentu saat itu ada anak buah mereka yang sudah terbang ke akherat, malahan dari kelompok Tujuh Pembunuh juga sudah kehilangan satu teman mereka, yaitu Si Banci Lan-lan, tentu saja I menjadi penasaran mendengar keputusan Kat Hu-yeng yang membatalkan untuk mengambil kepala Li Giam itu.

   Lalu buat apa pengorbanan mereka yang sudah sekian jauh, kalau akhirnya harus pulang dengan tangan kosong? Sedangkan mereka yakin Kat Hu-yong dengan kepandaiannya yang tinggi akan bias membunuh Li Giam.

   Tetapi sebelum kelompok pembunuh itu menyatakan rasa penasaran mereka, mereka lebih dulu terkejut karena sorot mata Kat Huyong menatap penuh kemarahan dari balik lubang kedoknya.

   Menatap penuh kemarahan ke arah pembunuh-pembunuh itu sendiri, bukan ke arah lawan-lawan mereka.

   Para pembunuh itu terkejut dan bertanyatanya dalam hati, apa salah mereka? Yang kemudian terdengar adalah suara Kat Hu-yong yang dingin.

   "Kita pergi dari sini."

   Si pemimpin kelompok Tujuh Pembunuh memberanikan diri bertanya.

   "Bagaimana dengan rencana kita membunuh Li Giam? Kami sudah terlanjur..."

   I "Tutup mulutmu! Ada yang harus kalian pertanggung-jawabkan terhadapku."

   "Apa?"

   "Kita pergi dulu dari sini."

   Kemarahan yang terpancar dari mata Kat Hu-yong agaknya menggetarkan para pembunuh itu.

   Sehingga mereka tidak membantah lagi diajak pergi dari situ, sambil membawa mayat Si Banci Lan-lan yang masih saja ditangisi oleh Si Cebol bertongkat panjang.

   Jenderal Li Giam memerintahkan seluruh anak buahnya agar tidak menghalang-halangi kepergian mereka.

   Li Giam sendiri boleh merasa lega bahwa Kat Hu-yong tiba-tiba saja "tidak berselera"

   Lagi kepada kepalanya, entah kenapa sebabnya.

   Mungkin sudah punya perhitungan baru.

   Dengan mundurnya Kat Hu-yong serta pembunuh-pembunuh bayaran itu, tentu saja anak buah para pembunuh itu juga ikut pergi, maka pertempuran di perkemahan itu pun selesai, dengan korban-korban di kedua pihak.

   Sementara itu, setelah perginya Kat Huyong, Helian Kong kini sendirian menghadapi I Jenderal Li dan orang-orangnya yang bersikap canggung.

   "Nah, apakah sekarang kalian hendak menangkap aku, si buronan sisa-sisa Kerajaan Beng ini?"

   Meskipun baru saja bekerja sama menghadapi Kat Hu-yong, Yo Kian-hi menjadi panas hati mendengar kata-kata Helian Kong yang bernada menantang itu.

   Ia memungut sepasang pedangnya yang tadi dijatuhkan oleh Kat Hu-yong, memegangnya erat-erat sambil menggeram.

   "Di hadapan iblis Manchu tadi kita bersatu, sekarang iblis itu sudah pergi, dan kita tentukan nasib melalui pedang-pedang kita. Jangan kau sangka kami takut melihat kemajuan permainan pedangmu."

   Helian Kong melangkah ke tepi telaga, mengambil pedangnya yang tadi juga terlempar, namun untuk langsung disarungkan. Yo Kian-hi menjadi gusar karena menyangka Helian Kong sedang meremehkan dirinya.

   "Helian Kong, kau ingin menghadapi aku dengan tangan kosong? Sungguh congkak kau!"

   I Namun sebelum Yo Kian-hi melabrak Helian Kong, Jenderal Li Giam agaknya lebih peka menangkap sikap Helian Kong, cepat-cepat mencegah Yo Kian-hi.

   "Saudara Yo, agaknya kedatangan Tuan Helian ke perkemahan ini punya maksud lain dari yang kita sangka. Tidakkah kita membiarkannya bicara?"

   Helian Kong kemudian berkata.

   "Memang, aku datang untuk sekedar melunasi hutangpiutang. Aku mengucapkan terima kasih karena selama ini kalian telah melindungi isteriku, ayah mertuaku dan saudara iparku di Pak-khia. Sekarang aku sudah menolongmu dari iblis Manchu dan pembunuh-pembunuh upahan itu, dengan demikian utang-piutang kita impas. Selanjutnya kalau kita bertemu di medan tempur, kita tidak akan saling sungkan-sungkan lagi."

   "Sungguh besar mulut orang ini...."

   Geram Yo Kian-hi sambil menoleh kepada Jenderal Li, minta persetujuan untuk diperbolehkan menyerang. I Ternyata sikap Jenderal Li malahan lain. Li Giam mengangguk ramah dan berkata.

   "Baik. Aku juga mengucapkan terima kasih secara pribadi kepadamu, Tuan Helian, karena kedatanganmu bagaimanapun membuatku batal bertamasya ke akherat melalui tangan orang Manchu tadi. Kalau Tuan mau menerima, aku mengundang Tuan untuk minum arak bersama sambil sejenak melupakan permusuhan kita."

   "Tidak,"

   Sahut Helian Kong getas.

   "Aku harus pergi."

   "Tuan takut kami suguhi arak beracun?"

   "Tidak. Aku percaya orang sejantan Jenderal Li takkan melakukan tipu-daya serendah itu. Tetapi aku ada pekerjaan lain. Apakah aku diijinkan pergi dengan baik-baik, atau harus kuterobos dengan pedangku?"

   Yo Kian-hi kembali mengertakkan gigi dengan geram mendengar kata-kata ini. Tetapi sikap Li Giam tetap lebih terkendali, sahutnya sambil tersenyum.

   "Malam ini kuanggap kita dapat saling lebih mengenal pribadi masingI masing, meskipun itu sama sekali tidak akan mempengaruhi kedudukan kita dalam pihakpihak yang masih bermusuhan. Selamat jalan, Tuan Helian, aku akan memerintahkan orangorangku untuk tidak merintangimu."

   Helian Kong mengambil dua potong papan yang ditinggalkan Kat Hu-yong tadi, papanpapan yang digunakan Kat Hu-yong untuk menyeberangi telaga, lalu sekarang Helian Konglah yang menggunakannya untuk pergi dari situ dengan melewati air telaga.

   Dengan itu, Helian Kong seolah mampu menunjukkan bahwa seandainya Li Giam menyuruh orangorangnya untuk menghalangi, tentunya juga takkan ada yang bisa.

   Tak ada orang-orangnya Li Giam yang bisa berbuat seperti itu, termasuk Oh Kui-hou dan Yo Kian-hi sekalipun.

   Tetapi agaknya Yo Kian-hi merasa tertantang oleh kepongahan itu.

   Ia berdiri di tepi telaga sambil mengatur napas dan memusatkan tenaga, tiba-tiba kakinya menghentak ke permukaan tanah di tepi telaga itu, berulang kali, sambil berteriak ke arah I Helian Kong yang sudah belasan kaki dari tepian.

   "Hati-hati, Tuan Helian, ada gelombang besar!"

   Memang hasil hentakkan kaki Yo Kian-hi itu menimbulkan gelombang air yang meskipun tidak sebesar gelombang lautan, namun tingginya lebih setengah meter, mendampar keras ke tengah-tengah telaga yang semula airnya bening bagaikan kaca.

   Dengan datangnya "gelombang buatan"

   Itu, Helian Kong tidak dapat lagi meluncur di air dengan santai, melainkan terguncang dan harus melakukan beberapa gerakan agak panik agar tidak tercebur ke dalam telaga itu. Helian Kong berhasil menyelamatkan "perahu-perahu kecilnya"

   Dari damparan gelombang, tetapi tak urung sekujur tubuhnya basah kuyup.

   Sebelum Helian Kong menghilang di kegelapan milam di tengah telaga, Helian Kong masih sempat mengacungkan jempolnya kepada Yo Kian-hi.

   Padahal Yo Kian-hi sendiri sedang masygul karena gagal menjungkirkan Helian Kong ke air.

   I Sementara, yang terpikir oleh Li Giam adalah sesuatu yang lebih besar, yaitu keselamatan seluruh tanah air yang wajib dipikirkan setiap orang Han, entah dari "golongan Pelangi Kuning maupun Dinasti Beng, yaitu dengan ikut campurnya orang-orang Manchu dalam masalah itu.

   Dan Li Giam sungguh prihatin membayangkan bahwa baik Lau Cong-bin maupun Gu Kim-sing pasti tidak waspada akan hal itu.

   Akhirnya di tengah-tengah kesibukan pasukannya mengurusi orang-orang yang terluka dan terbunuh, Li Giam memikirkan untuk mengirim orang ke Pak-khia, memberi peringatan kepada Kaisar Tiong-ong tentang keterlibatan orang-orang Manchu.

   Keterlibatan yang tidak tanggung-tanggung sebab Penasehat Militer Pangeran Toh Sek-kun sendiri, Kat Huyong, muncul di Pak-khia dan sekitarnya.

   Sementara, dengan pikiran yang sama dengan Li Giam, Helian Kong juga sedang pusing memikirkan keterlibatan orang-orang Manchu.

   la bermusuhan dengan orang-orang Pelangi I Kuning, tapi kalau pihak Manchu mengancam, ia akan lebih senang bergandengan dengan orang Pelangi Kuning untuk menghadapi Manchu.

   Biarpun musuh, Helian Kong menganggap Li Giam lebih baik daripada Lau Cong-bin yang mata keranjang maupun Gu Kim-sing yang rakus harta, dan sungguh celaka bahwa orang semacam Li Giam justru sedang "dibuang"

   Dengan ditempatkan ke pos yang jauh dari ibukota. Sambil berlari-lari menembus kegelapan malam, menuju tempat persembunyian pasukannya di tengah hutan, Helian Kong berpikir-pikir.

   "Selama keadaan masih sama saja, pembesar yang baik disingkirkan dan pembesar yang korup makin berpengaruh, maka kesengsaraan orang-orang kecil akan sama saja. Keadaan negeri yang rapuh juga akan memberi kesempatan kepada orang-orang Manchu......."

   Tempat persembunyian Helian Kong dan pasukannya, adalah sebuah desa buatan yang terbenam jauh di tengah hutan pegunungan. I Setiap lelaki dewasa di "desa tiban"

   Itu adalah prajurit anak buah Helian Kong, yang sehariharinya hidup berladang namun oleh Helian Kong tidak pernah lupa diwajibkan latihan agar setiap saat dapat digerakkan untuk kembalinya dinasti Beng ke singgasana.

   Tidak heran kalau di desa itu amat jarang ditemui wanita dan anak-anak, sebab ketika para prajurit mengungsi ke tempat itu, mereka tidak sempat membawa keluarga mereka.

   Kebanyakan keluarga para prajurit masih ketinggalan di Pakkhia atau sekitarnya.

   Helian Kong mengijinkan orang-orangnya menengok keluarganya di Pakkhia dan sekitarnya secara bergantian, asalkan berhati-hati, jangan sampai tertangkap oleh orang-orang Pelangi Kuning yang sedang berkuasa, apalagi kalau sampai disuruh menunjukkan tempat persembunyian.

   Keluarga Helian Kong sendiri sudah berkumpul bersama di tempat itu, yaitu ayah mertuanya, Siangkoan Hi yang adalah bekas seorang menteri di jaman Kerajaan Beng, lalu saudara iparnya, Siangkoan I Heng, dan isterinya, Siangkoan Yan yang tengah hamil muda.

   Ketika Helian Kong tiba di tempat tinggalnya di tengah hutan itu, sebuah gubuk berdinding tanah liat dan beratap ilalang, di tengah-tengah ratusan gubug serupa dari para prajurit, Helian Kong melihat masih ada cahaya api menyorot dari celah-celah pintu rumahnya, per-tanda isterinya masih menunggu kedatangannya biar sudah larut malam.

   Helian Kong mengetuk pintu dan Siangkoan Yan isterinya membukakan pintu.

   "Sudah tidur semua?"

   Tanya Helian Kong lirih agar tidak membangunkan ayah mertua dan saudara iparnya yang sudah tidur. Siangkoan Yan cuma mengangguk. Helian Kong melepas pedang dari punggungnya sambil bertanya pula.

   "Ada kejadian penting?"

   "Tidak."

   "Tidak ada laporan dari orang-orang kita di Ibukota Pak-khia atau dari tempat lain?"

   I Hampir saja Siangkoan Yan menggeleng pula, ketika dari kejauhan terdengar suara derap kuda yang dipacu kencang, makin lama makin dekat, di kesunyian malam.

   Helian Kong memiringkan kepalanya sedikit untuk mempertajam pendengarannya.

   Didengarnya derap kuda itu berhenti sekejap, mungkin dihentikan oleh penjaga-penjaga yang dipasang oleh Helian Kong di sekitar tempat itu.

   Kemudian derap kuda itu terdengar kembali meskipun tidak sekencang semula, dan berhenti tepat di depan gubug kediaman Helian Kong.

   Penunggang kuda itu seorang yang berpakaian seperti pengemis, tetapi kuda tunggangnya adalah kuda yang sangat baik, kuda yang benar-benar mahal.

   Buat orang yang mata duitan, pasti akan memilih kudanya, bukan penunggangnya.

   Tetapi Helian Kong telah membuka pintu rumahnya dan menyongsong orangnya, bukan kudanya.

   "Saudara In.."

   Si pengemis gadungan yang bernama In Kaipeng itu membungkuk hormat dan berkata, I "Maaf kalau mengejutkan Cong-peng. Ada hal penting yang harus aku laporkan."

   Wajah Helian Kong menegang, tetapi ia berusaha untuk tenang.

   "Katakan, Saudara In."

   "Si jenderal hidung-belang Lau Cong-bin memutuskan untuk menggerakkan pasukan besar menggempur San-hai-koan...."

   Jantung Helian Kong berdesir.

   San-hai-koan adalah sebuah kota perbatasan di timur-laut, sebuah kota kecil tetapi punya posisi kunci, sebuah kota yang masih tetap mengibarkan bendera dinasti Beng di bawah pimpinan Bu Sam-kui, sahabat baik Helian Kong.

   Sebuah kota yang letaknya terjepit antara wilayah Manchu di utara dan timurnya, dan wilayah kaum Pelangi Kuning di sebelah barat dan selatannya.

   Tiba-tiba Helian Kong berkeringat dingin, ia adalah sahabat Bu Sam-kui si penjaga San-haikoan, dan ia paham betul bahwa Bu Sam-kui bukan seorang yang teguh pendirian.

   Gencetan dari pihak Lau Cong-bin bukan tidak mungkin akan mendorong Bu Sam-kui masuk ke dalam rangkulan pihak Manchu, dan kalau kota kunci I San-hai-koan jatuh ke tangan orang Manchu, berarti balatentara Manchu yang dahsyat itu akan mendapatkan jalan masuk yang leluasa ke seluruh daratan tengah.

   "Gila! Apa yang mendorong Lau Cong-bin melakukan hal itu?"

   In Kai-peng tampaknya tahu jawabannya, tetapi beberapa saat lamanya ia seperti raguragu.

   "Cepat katakan, Saudara In. Kau tahu awabannya bukan?"

   "Ya, tahu.."

   "Nah, katakan!"

   "Cong-peng, aku... aku hanya mendengar berita yang kurang jelas tentang.... tentang.. yang mendorong si Hidung Belang itu memutuskan demikian. Ini... ini menyangkut diri.. Nona Tan Wan-wan...."

   Helian Kong menarik napas mendengar disebutnya nama Tan Wan-wan.

   Pantas kalau In Ka-peng yang biasanya bicara dengan tegas itu sekarang ragu-ragu mengatakannya, rupanya karena tahu kalau Tan Wan-wan bekas kekasih I Helian Kong.

   Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tan Wan-wan pernah juga menjadi mata-mata andalan Li Cu-seng dalam pemberontakannya menggulingkan dinasti Beng, mestinya setiap orang dinasti Beng membenci Tan Wan-wan, tetapi setiap anak buah Helian Kong tetap sungkan kalau menyebut Tan Wan-wan mengingat "hubungan khususnya"

   


Si Rase Terbang Pegunungan Salju Karya Chin Yung Pendekar Cacad Karya Gu Long Pedang Langit Dan Golok Naga Karya Chin Yung

Cari Blog Ini