Ceritasilat Novel Online

Kembang Jelita Peruntuh Tahta 4


Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP Bagian 4



Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya dari Stevanus SP

   

   Dengan Helian Kong.

   Apalagi Tan Wan-wan juga pernah melindungi keselamatan isteri, ayah mertua dan ipar Helian Kong.

   Itulah sebabnya orang-orangnya Helian Kong menyebut Lau Cong-bin sebagai Si Hidung Belang dan Gu Kim-sing sebagai Si Kerbau, bahkan Li Cu-seng alias Kaisar Tiong-ong juga mereka sebut "kaisar-kaisaran", tetapi terhadap Tan Wan-wan, semuanya tetap bersikap hormat dalam menyebutnya, setidak-tidaknya di depan Helian Kong.

   Helian Kong sendiri juga berusaha memendam dalam-dalam kenangan lamanya terhadap Tan Wan-wan, selalu berusaha mengingatkan diri sendiri bahwa betapapun istimewa Tan Wan-wan baginya, namun Tan I Wan-wan sekarang berkedudukan sebagai musuh, orang yang menyebabkan runtuhnya dinasti Beng, Lagi pula secara pribadi Helian Kong sudah punya isteri, dan Helian Kong harus belajar menyingkirkan perempuan lain dari hatinya.

   Namun kali ini, mendengar laporan yang begitu penting dan ada sangkut-pautnya dengan Tan Wan-wan, mau tidak mau Helian Kong ingin tahu juga.

   "Katakan saja, tidak usah sungkansungkan, Jangan ada yang disembunyikan, sebab antara aku dan.... Wan-wan sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi..."

   Di sini Helian Kong sedikit berbohong soal "sudah tidak ada hubungan apa-apl lagi"

   Itu. Bagaimanapun, kenangan masa lalu tidak mudah dihapuskan begitu saja. In Ka-peng menyahut.

   "Baiklah, Cong-peng, tetapi sekali lagi aku katakan bahwa yang aku dengar ini bukan laporan orang-orang kita melainkan cuma kabar angin dari sana-sini.."

   "Iya, iya, cepat katakan."

   I "Katanya, Lau Cong-bin bertekad menggencet Bu Sam-kui di San-hai-koan sebagai pelampiasan kejengkelannya ke pada Nona Tan.

   Seperti kita ketahui, Si Hidung Belang itu sebenarnya sangat menginginkan Tan Wanwan, dan berhasil menyekapnya.

   Tetapi selama dalam penyekapan itu, kabarnya ia tidak pernah berhasil menyentuh Tan Wan-wan biarpun cuma dengan ujung jarinya.

   Harga dirinya lebih terpukul lagi, katanya...

   tapi sekali lagi ini cuma kabar angin lho......katanya....

   katanya..."

   "Saudara In, kau biasanya bicara dengan tegas, singkat dan jelas, kenapa sekarang bicaramu plegukan macam ini?"

   "Maaf, Cong-peng. Katanya Tan Wan-wan setiap kali menolak ajakan Lau Cong-bin, Tan Wan-wan selalu membandingkan Lau Cong-bin yang gembrot dan jelek itu dengan Bu Sam-kui yang ramping dan tampan. Tetapi ini cuma kabar angin lho.."

   Masih saja In Ka-peng bersikap sungkan.

   Dulu sebelum runtuhnya dinasti Beng, kedok Tan Wan-wan sebagai mata-mata Pelangi I Kuning yang diselundupkan ke istana keburu dilucuti oleh Puteri Tiang-ping.

   Untung Puteri Tiang-ping menaruh belas kasihan karena mengetahui riwayat Tan Wan-wan yang penuh kepahitan, maka Puteri Tiang-ping hanya mengeluarkan Tan Wan-wan dari istana ke suatu tempat tersembunyi.

   Tidak dibunuh, asal tidak lagi berdekatan dengan Kaisar Cong-ceng dan mendapat bocoran rahasia kerajaan.

   Tetapi rupanya persembunyian itu diketahui oleh Bu Sam-kui yang sudah lama tergila-gila kepada Tan Wan-wan, padahal waktu itu Bu Sam-kui sudah punya kedudukan strategis sebagai penjaga San-hai-koan.

   Untuk "menenangkan"

   Bu Sam-kui, Tan Wan-Wan pun dijanjikan akan diberikan kepada Bu Sam-kui untuk menjadi isterinya.

   Sayang, sebelum janji itu terwujud, Kotaraja Pak-khia sudah direbut oleh kaum Pelangi Kuning.

   Tan Wan-wan menjadi tokoh Pelangi Kuning yang dihormati karena jasabesarnya, Bu Sam-kui tetap berada di bawah bendera Tit-goat-ki (bendera dinasti Beng) dan I terpencil sendirian di Pak-khia, terjepit di antara kekuatan-kekuatan besar.

   Kini urusan hubungan Tan Wan-wan dan Bu Sam-kui tiba-tiba menjadi penting kembali karena pertaruhannya menyangkut nasib seluruh negeri.

   Sesuatu yang barangkali tak terjangkau oleh pikiran Lau Cong-bin yang memang malas berpikir itu.

   Ada sesuatu yang menggigit hati Helian Kong, membayangkan betapa sakit hati Tan Wan-wan diperlakukan seperti benda mati yang dipindah-pindah tangankan ke sana ke mari.

   Tak terasa dia menggeram.

   "Buat orang semacam Lau Cong-bin pertimbangan apa yang lebih penting dari urusan perempuan? Memang cuma itu isi otaknya. Kini negeri bangsa Han ini benar-benar terancam oleh ulahnya yang tolol."

   "Cong-peng anggap tindakan Lau Cong-bin hendak menyerbu San-hai-koan itu sebagai tindakan tolol?"

   "Ya. Bukan cuma tolol, bahkan iuga membahayakan negeri. Aku kenal Bu Sam-kui bukan orang yang berhati teguh, kalau dia I bingung menghadapi situasi, dia bisa melakukan tindak tak terduga, dan yang tak terduga itu bisa sangat merugikan."

   "Astaga! Lalu..."

   Sementara itu, pikiran Helian Kong bercabang dua.

   Pertempurannya tadi di pinggir telaga memberitahu dia suatu hal, yaitu ikutcampurnya orang Manchu yang tentunya untuk kepentingan mereka sendiri, bahkan tidak tanggung-tanggung, Penasehat Militernya Pangeran Toh Sek-kun sendiri keluyuran di Tiong-goan, dan urusan yang lain adalah urusan bergeraknya Lau Cong-bin untuk merebut Sanhai-koan, yang seolah-olah bisa menghasilkan bencana mengingat tololnya Lau Cong-bin.

   Tetapi setelah pikirannya mulai tenang, Helian Kong memutuskan suatu tindakan dalam hatinya.

   "Meskipun Li Giam adalah musuhku, aku cukup percaya dia akan bersikap mengutamakan keselamatan tanah-airnya daripada golongannya. Entah dengan cara bagaimana, ia akan memberitahu Li Cu-seng akan keterlibatan orang-orang Manchu. Jadi I urusan ini tidak perlu aku memusingkannya. Yang aku harus lakukan sekarang adalah menimbulkan ketabahan Bu Sam-kui dalam menghadapi situasi, jangan sampai dia mengambil tindakan yang merugikan seluruh negeri tanpa pandang golongan politiknya.."

   Keputusan dalam hati langsung diterjemahkan ke dalam perintah kepada In Kapeng.

   "Saudara In, setelah seluruh prajurit kita terkumpul sebagian besar, kita berangkat ke San-hai-koan. Kita memang hanya punya sepuluh ribu prajurit, tidak sebanding dengan pasukan besar yang pasti akan dibawa oleh Lau Cong-bin, tetapi kehadiran kita di dekat-dekat San-hai-koan barangkali bisa menenteramkan hati Bu Sam-kui, sehingga pikiran jernihnya bisa timbul dalam mengambil keputusan-keputusan penting..."

   "Di dekat-dekat San-hai-koan? Kenapa tidak bergabung di dalam benteng San-hai-koan sekali?"

   "Ada dua pertimbangan. Pertama, kalau pasukan kita bergabung ke dalam kota dan I bergabung dengan pasukan Bu Sam-kui yang jumlahnya kurang lebih sama dengan kita, seandainya pasukan Lau Cong-bin datang dan mengepung Sanhai-koan maka kita akan ikut terperangkap di dalam kota itu seperti tikus dalam kerangkeng. Kedua, perbekalan pasukan Bu Sam-kui dalam kota pasti akan bertambah berat kalau ketambahan sepuluh ribu mulut prajuritprajurit kita."

   "Baik." * * * Hari itu, sebuah pasukan besar berangkat meninggalkan kotaraja Pak-khia, megah dengan ribuan kuda yang berderap dan benderabendera besar dan kecil yang memenuhi langit, seragam mentereng prajurit-prajuritnya. Tentu saja harus megah, sebab pemegang komando tertinggi dalam pasukan yang hebat itu adalah Jenderal Lau Cong-bin sendiri, Panglima Tertinggi kaum Pelangi Kuning. Keputusan Lau Cong-bin untuk menyerbu San-hai-koan itu sebenarnya kurang disetujui Kaisar Tiong-ong, I karena Kaisar sudah mendengar pertimbangan Tan Wan-wan bagaimana bahayanya menyudutkan Bu Sam-kui begitu rupa, mengingat Bu Sam-kui bukan seorang yang mampu berpikir panjang. Namun Lau Cong-bin terus mendesakkan usulnya, didukung Gu Kimsing dan panglima-panglima lainnya yang sudah dipengaruhi Lau Cong-bin. Usul Lau Cong-bin itu akhirnya diterima. Pasukan itu terdiri dari seratus ribu prajurit tempur, belum terhitung para tukang masak, perawat kuda, dan tentu saja pasukan pengawal pribadi Lau Cong-bin yang cantik-cantik itu. Pasukan sebesar itu tidak hanya yang berada di dalam kota Pak-khia, melainkan juga dari beberapa daerah di sekitar kotaraja. Pasukan itu langsung menuju ke timur laut, langsung ke sasarannya, San-hai-koan. Jauh di depan pasukan itu, seorang penunggang kuda memacu tunggangannya secepat-cepatnya, sehingga kuda itu lari bagaikan dikejar setan. Sepotong ranting pohon yang digunakannya sebagai cambuk kuda, I terus-menerus dihantamkan ke pantat kuda, tidak peduli kuda itu sudah berlari dengan tenaga maksimalnya. Di suatu desa yang dilewatinya, ia menukar kudanya, lalu melanjutkan perjalanannya. Bahkan ia makan bakpao sambil tetap berkuda. Tujuannya adalah San-hai-koan juga. Di San-hai-koan, kota perbatasan yang terjepit antara wilayah Manchu dan wilayah kaum Pelangi Kuning itu, siang itu Bu Sam-kui dan perwira-perwiranya sedang berada di atas tembok kota di sisi yang menghadap ke wilayah Manchu. Dengan sebuah teropong buatan Portugis yang jauh jangkauannya, teropong para pelaut, Bu Sam-kui menatap jauh ke timur laut seakan hendak melihat apa yang ada di balik cakrawala. Bu Sam-kui menurunkan teropongnya, menarik napas dan kelihatannya agak lega. Katanya sambil tetap menatap ke kejauhan.

   "Benar kata penglntai-pengintai kita. Perkemahan tentara orang-orang Manchu itu I sudah tidak kelihatan. Barangkali memang mereka menarik diri menjauhi perbatasan."

   Di antara orang-orang yang berdiri di dekat Bu Sam-kui itu ada seorang yang tidak berseragam perwira, melainkan berjubah seperti kaum saudagar kaya umumnya.

   Tetapi sebelum orang-orang berseragam perwira menyahut perkataan Bu Sam-kui, malahan si Saudagar yang menyahut lebih dulu.

   "Bukan barangkali, Panglima, tetapi memang pasti begitu. Aku melihat sendiri banyak perkemahan dibongkar dan banyak tentara yang pulang ke tangsi-tangsi di kota masing-masing, sukarelawan-sukarelawan kembali ke rumahnya masing-masing."

   Orang itu memang bukan perwira, ia memang seorang saudagar keliling seperti pengakuannya sendiri, dan sahabat baik Bu Sam-kui.

   Menurut pengakuannya, dia adalah orang dari Semenanjung Tiau-sian (Korea) yang bernama Jai Yong-wan, dan lagi-lagi menurut pengakuannya, ia tidak suka melihat Korea dikuasai orang Jepang maupun Manchu, katanya I lebih suka kalau Korea dibawah dinasti Beng seperti dulu.

   Itulah sebabnya la meninggalkan Semenanjung Tiau-sian dan menyeberang ke San-hai-koan untuk berdagang, bahkan katanya sudah berulang kali melihat pelabuhan Nagasaki dan Makao yang dikuasai Portugis sejak jaman Kaisar Wan-li.

   Bu Sam-kui senang berteman dengan orang ini bukan cuma karena sering mendapat oleh-oleh berharga setiap kali Jai Yong-wan pulang bepergian dari "perjalanan dagangnya", melainkan karena saudagar itu berpengalaman luas berkat pengalaman perjalanannya.

   Tidak jarang Jai Yong-wan berniga sampai ke wilayah Manchu, sehingga bisa memberi keterangan yang lebih tepat dan lebih cepat daripada para mata-mata Bu Samkui sendiri.

   Bu Sam-kui jadi sangat mempercayai orang yang mengaku saudagar keliling ini.

   Bu Sam-kui mengangguk-angguk.

   "Menurut Saudara Jai, apakah pihak Manchu membatalkan serangannya ke Tiong-goan?"

   I "Cong-peng, menurut aku, kata membatalkan yang Cong-peng pakai itu kurang tepat.

   Mereka tidak membatalkan, sebab sebenarnya mereka tidak pernah punya niat menyerang Tiong-goan.

   Nyali orang-orang Manchu itu pasti pecah melihat jumlah penduduk Tiong-goan yang belasan kali lipat dari jumlah rakyat mereka sendiri.

   Mereka sadar, bahwa menyerbu Tiong-goan sama dengan menjebloskan diri ke dalam rawa-rawa kesulitan.."

   Bu Sam-kui yang mudah percaya itu pun mengangguk-angguk, tetapi ada seorang perwiranya yang menukas.

   "Bagaimanapun juga, kita wajib tetap berhati-hati. Bukan mustahil orang-orang Manchu itu ingin mengulangi keberhasilan nenek-moyang mereka ratusan tahun yang lalu, ketika mereka mengakangi separuh wilayah Tiong-goan bagian utara dan mendirikan dinasti Kim. Jangan lupa bahwa orang-orang Manchu yang sekarang ini adalah keturunan orang-orang I Kim, sehingga mereka disebut juga Hau-kim (Kim Baru)...."

   Perwira muda berwajah keras itu adalah Kongsun Koan, keponakan Kongsun Hui, seorang panglima dinasti Beng sahabat Bu Samkui.

   Ketika Pak-khia jatuh ke tangan kaum Pelangi Kuning, kebetulan Kongsun Hui dan pasukannya sedang berada di luar kota.

   Dan sekarang di mana beradanya pasukan Kongsun Hui tidak diketahui, mungkin bergerilya seperti Helian Kong dan pasukannya.

   Keponakan Kongsun Hui yang bernama Kongsun Koan ini adalah bawahan Bu Sam-kui yang paling tidak senang melihat Bu Sam-kui terlalu mempercayai Jai Yong-wan.

   Jai Yong-wan bersikap tenang menghadapi debatan Kongsun Koan itu, katanaya.

   "Keadaan dahulu dan sekarang berbeda. Dulu wilayah utara Tiong-goan dikuasai bangsa Liau dan wilayah selatannya oleh bangsa Han dalam Kerajaan Song. Baik Liau maupun Song sedang lemah saat itu, sehingga orang-orang Kim dapat menguasai wilayah dengan gampang. Tetapi I sekarang lain. Sekarang tidak ada yang namanya bangsa Liao, sudah berabad-abad mereka melebur jadi, satu dengan bangsa Han sehingga bangsa Han sangat kuat. Biarpun sedang terpecah antara golongan yang setia kepada dinasti Beng dan golongan Pelangi Kuning, tetapi asal ada seorang Manchu saja berani melangkahi perbatasan, seluruh orang Han pasti bersatu menentang mereka. Orangorang Manchu rupanya menyadari ini, makanya mereka memilih mundur daripada mengutikutik perbatasan Tiong-goan...."

   "Aku tidak percaya orang-orang Manchu sebaik itu hatinya. Mereka pernah bertempur bertahun-tahun dengan kita di jaman Kaisar Thian-ke dan Kaisar Cong-ceng almarhum. Ingat kisah Jenderal Wan Cong-hoan yang gagah berani menahan serbuan mereka..."

   "Aku rasa, saat itu mereka lebih bersifat mempertahankan diri, mempertahankan wilayah mereka. Jadi waktu itu pihak Kerajaan Benglah yang menyerang, memasuki wilayah mereka...."

   I "Lho, bicaranya Tuan Jai ini kok jadi kedengarannya membela orang-orang Manchu?"

   Jai Yong-wan terkejut mendengar tuduhan terang-terangan dari Kongsun Koan itu. Matanya berkilat sekejap, namun buru-buru ditenangkannya sedikit, lalu dengan sikap terkendali dan amat tenang ia berkata.

   "Mana bisa aku malah membela orang-orang Manchu yang telah merebut negeriku, Korea? Tidak, aku tidak membela mereka. Aku hanya mengatakan bahwa orang-orang Manchu takkan punya keberanian untuk melangkah sejengkal pun memasuki wilayah Tiong-goan. Ini perlu aku katakan supaya kita jangan memandang orangorang Manchu itu sebagai hantu-hantu yang menakutkan dan siap menerkam kita....."

   Kongsun Koan tertawa dingin.

   "Siapa memandang mereka sebagai hantu-hantu, apalagi sampai takut kepada mereka? Hem, aku justru menunggu mereka maju tetapi mereka maju-mundur saja, tidak juga segera menyerang kemari...."

   I Jai Yong-wan tertawa.

   "Nah, itu tandanya omonganku benar. Mereka takkan penah berani menyerbu Tiong-goan...."

   "Tetapi kita jangan lengah, jangan lalu menganggap mereka sebagai domba-domba jinak yang tidak berbahaya lagi. Mereka tetap serigala-serigala berbahaya yang penuh tipu daya yang licik!"

   Kata Kongsun Koan penuh emosi. Jawaban Jai Yong-wan kalem saja.

   "O, tentu saja. Apakah aku tadi menganjurkan agar kita mengendorkan kewaspadaan kita? Aku tidak berkata seperti itu bukan?"

   Bu Sam-kui cepat-cepat menengahi.

   "Sudahlah, sudahlah, jangan bertengkar. Aku senang kalau orang Manchu tahu diri dan tidak menyerang kita, tetapi aku juga tidak akan mengurangi kewaspadaan terhadap mereka."

   Kongsun Koan bungkam, sementara Jai Yong-wan cepat-cepat memuji.

   "Sikap yang bijaksana..."

   Ketika itulah seekor kuda berderap di bawah tangga tembok benteng, penunggangnya I yang tidak berseragam prajurit, lusuh, berkeringat dan penuh debu, langsung menaiki tangga ke atas tembok benteng dengan diantarkan oleh seorang nrajuritnya Bu Samkui.

   Mereka memberi hormat kepada Bu Samkui, si perajurit pengantar lebih dulu melaporkan.

   "Cong-peng, orang ini mengaku datang dari, Pak-khia dan menyatakan ingin bertemu dan berbicara dengan Cong-peng. Katanya ada urusan penting..."

   Bu Sam-kui menatap penunggang kuda yang baru datang itu, dan mengenali bahwa orang itu memang orang yang diperintahkannya tinggal di Pak-khia untuk melaporkan hal-hal penting yang terjadi di pusat kerajaan itu.

   Orang itu penduduk asli Pak-khia, sehingga tidak dikenal oleh prajurit-prajurit Bu Sam-kui di San-haikoan, itulah sebabnya untuk menghadap Bu Sam-kui harus diantar.

   "Apa yang hendak kamu laporkan?"

   Tanya Bu Sam-kui. I Laporan orang itu singkat saja, tidak bertele-tele, namun membuat jantung pendengar-pendengarnya hampir copot.

   "Congpeng, Lau Cong-bin sedang membawa pasukan besarnya kemari."

   Bu Sam-kui berdehem untuk melegakan tenggorokannya sendiri yang seolah tersumbat mendadak akibat laporan itu. Lalu tanyanya.

   "Kekuatan mereka?"

   La berusaha kelihatan tenang, seolah-olah tidak gentar, ketika menanyakan itu. Yang menjawab pun tidak kalah tenang.

   "Seratus ribu prajurit tempur, ratusan gerobag perbekalan, dan kira-kira tiga puluh pucuk meriam besar."

   Seorang perwira matanya menerawang ke kejauhan ketika mendengar itu, yang lain menggaruk-garuk perutnya, yang lain lagi mengusap tengkuknya yang mendadak terasa dingin.

   Sedangkan Bu Sam-kui sendiri menatap ke arah bendera Jit-goat-ki (bendera Rembulan dan Matahari, bendera dinasti Beng) yang dipasang di puncak tiang di atas tembok I benteng itu.

   Tak ada angin bertiup saat itu, sehingga kain bendera itu terkulai seperti sebuah lengan yang lumpuh.

   Kalau ada angin yang datang sedikit dan menyentuhnya, bendera itu bergerak sedikit, seolah-olah "lengan yang lumpuh"

   Itu masih bermimpi dan berupaya untuk melakukan sesuatu yang besar.

   Bu Sam-kui tiba-tiba merasa kalau bendera itu adalah cerminan dirinya sendiri yang sudah terjepit namun masih berangan-angan muluk.

   Laporan dari orang di hadapannya itu seolah terngiang kembali di kupingnya.

   Seratus ribu prajurit tempur Lau Cong-bin, itu berarti sepuluh kali lipat dari tentaranya di San-haikoan.

   Ratusan gerobag perbekalan yang berarti jauh lebih banyak dari perbekalan di gudang tentara di San-hai-koan yang mulai menipis, itu saja masih bisa menambah dari luar sedangkan yang terkurung di San-hai-koan tentu tidak bisa menambah dari mana-mana.

   Dan tiga puluh pucuk meriam besar.

   Jumlah meriamnya seimbang dengan yang ada di San-hai-koan.

   Di San-hai-koan juga ada tiga puluh.

   Bedanya, I meriam-meriam yang di San-hai-koan tidak ada isinya, bubuk mesiu untuk pengisi meriam itu sudah begitu sedikit sehingga untuk membuat lima buah mercon kecil saja belum tentu cukup.

   Meriam-meriam di San-hai-koan adalah meriam-meriam bisu.

   Hati Bu Sam-kui jadi goyah.

   Suatu pertanyaan muncul dalam hatinya sendiri.

   "Apa yang aku pertaruhkan mati-matian di sini? Secarik kain kuning bergambar matahari merah dan bulan-sabit putih di tengahnya?"

   Lamunan Bu Sam-kui dibuyarkan oleh katakata Jai Yong-wan.

   "Nah, ancaman yang sejati ternyata bukan datang dari timur-laut, melainkan dari Pak-khia.."

   Kongsun Koan tidak memberi kesempatan Jai Yong-wan berbicara lebih banyak lagi, cepatcepat ia menyerobot kesempatan omong.

   "Cong-peng, sebaiknya kita segera rundingkan langkah-langkah untuk menanggulangi tindakan musuh ini..."

   Bu Sam-kui mengangguk, menegakkan tubuh membusungkan dada, rhenyembunyi-kan I kebimbangannya dari mata anak buahnya. Jawabnya gagah.

   "Baik. Mari kita kembali ke markas. Suruh semua komandan pasukan berkumpul di markas."

   Jai Yong-wan pun menanggapi usul itu dengan penuh semangat.

   "Betul, kita memang harus merundingkannya dengan cermat..."

   Kongsun Koan menoleh kepada saudagar itu dan berkata dengan sengit.

   "Kita? Tuan Jai, maaf, perundingan ini tentunya dimaksudkan hanya untuk para perwira, mengingat banyak rahasia militer yang dibeberkan. Kami tidak berani merepotkan dengan mengundang Tuan."

   Jai Yong-wan terperangah sekejap, lalu tertawa.

   
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"O ya, akulah yang harus minta maaf, Tuan Kongsun, aku begitu tak tahu diri. Karena merasa ikut memikirkan kota ini sebagai seorang warga kota San-hai-koan, aku sampai melangkah melewati batas. Sekali lagi aku minta maaf. Tentu saja aku tidak akan hadir dalam perundingan para perwira yang akan membicarakan banyak rahasia militer..."

   I Kongsun Koan hanya mendengus dengan muka dingin. Sedangkan Jai Yong-wan biarpun di luarnya kelihatan menyesal dan minta maaf bersungguh-sungguh, padahal dalam hatinya ia membatin.

   "Hem, memangnya kalau tidak hadir dalam pertemuan para perwira itu, lalu aku tidak bisa mengetahui hasil pembicaraan kalian?"

   Sementara Bu Sam-kui sudah mengajak perwira-perwiranya untuk menuju ke markas.

   Jai Yong-wan minta diri dan pulang ke kediamannya sendiri.

   Di markas, perundingan tidak segera di mulai, sebab masih ada beberapa komandan pasukan yang belum hadir dan masih ditunggu kedatangannya.

   Para perwira dan komandan yang sudah hadir saling berbicara sendiri dengan topik berita yang baru saja tiba di Sanhai-koan, ada yang sampai berdebat.

   Bu Sam-kui sudah duduk di kursinya, namun tidak ikut berbicara, cuma melamun sambil bertopang dagu.

   Angan-angannya I membayang jauh ke Pak-khia, namun bukan memikirkan soal politik atau militer sedikit pun, ia sedang membayangkan calon isterinya yang cantik jelita yang ditinggalkannya di Pak-khia.

   Tan Wan-wan.

   Entah sedang apa sekarang si jantung hati itu.

   Mungkin sedang menyiram bunga, atau menyulam, atau barangkali juga sedang melamunkan dirinya karena rindu? Hati Bu Sam-kui melonjak begitu gembira, sehingga ia menepuk meja sambil berseru gembira.

   "Ya, dia pasti sedang merindukan aku!"

   Para perwira yang sedang membicarakan berbagai taktik perang menghadapi musuh itu pun terkejut mendengar seruan panglima mereka.

   Serempak semuanya berhenti bercakap-cakap dan menatap heran ke arah panglima mereka.

   Bu Sam-kui jadi sadar sendiri akan ulahnya yang konyol, dan tersipu-sipu malu sendiri.

   Buru-buru ia merubah sikapnya, pura-pura geram memukul meja sambil berkata.

   "Ya, aku pasti akan menghancurkan Lau Cong-bin kalau I dia berani muncul di depan pintu kota San-haikoan.."

   Para perwiranya tidak ada yang berani bertanya tentang kejanggalan antara dua pernyataan yang susah dihubungkan secara logis itu. Antara "dia pasti sedang merindukan aku"

   Dengan "aku pasti akan menghancurkan Lau Cong-bin"

   Tadi, meskipun kedua pernyataan itu sama-sama diucapkan sambil menggebrak meja.

   Sementara itu, para perwira dan komandan yang belum hadir pun sekarang sudah komplit berkumpul di ruangan itu.

   Yang hadir bukan hanya orang-orang tempur yang bertanggungjawab di garis depan, tapi juga orang-orang garis belakang, seperti kepala bagian perbekalan, pengobatan dan sebagainya.

   Rapat dibuka dengan penjelasan Bu Sam-kui tentang laporan yang baru saja diterimanya, supaya perwira-perwiranya yang tadi belum mendengar, sekarang mengetahui situasinya.

   I "Nah, sekarang aku ingin mendengar pendapat Saudara-saudara,"

   Kata Bu Sam-kui mengakhiri kata pembukaannya. Kongsun Koanlah yang pertama kali mengajukan usul.

   "Ijinkan aku memberi usul, Cong-peng. Ada baiknya kita memecah-mecah pasukan, sebagian berada di dalam kota, sebagian berada di luar kota. Yang di luar kota bersembunyi di hutan-hutan pegunungan di luar kota, tugasnya mengganggu garis belakang pasukan Lau Cong-bin. Seperti membakar perbekalan, merusak jembatan-jembatan dan sebagainya, sehingga gerak maju pasukan Lau Cong-bin akan terhambat. Kalau semuanya berada di balik tembok kota, tentu semuanya akan ikut terkurung dan tidak berdaya..."

   "Siapa yang ada usul lain, atau ingin menambahkan pada usul Saudara Kong-sun?"

   Ternyata semuanya bungkam, sehingga Bu Sam-kui langsung memutuskan.

   "Baik. Usul Saudara Kongsun aku terima. Aku akan menempatkan tiga ribu prajurit di luar kota, prajurit-prajurit kita yang ada terlatih I bertempur di pegunungan. Sekarang, siapa yang akan memimpin pasukan itu?"

   Tidak ada yang menjawab, tetapi mata semua orang ditujukan ke arah Kongsun Koan, seolah-olah semua orang mau berkata.

   "Kamu yang mengajukan usul, kamulah yang bertanggung-jawab..."

   Kongsun Koan paham arti kata dari pandangan rekan-rekannya, sehingga ia tertawa lalu berkata.

   "Cong-peng, kalau Cong-peng mengijinkan aku memimpin pasukan itu.."

   Bu Sam-kui yang memang sedang malas berpikir itu, serta-merta menanggapi usul Kongsun Koan dengan bersemangat.

   "Bagus. Saudara Kongsun, kau yang memimpin pasukan itu. Pilih orang-orang yang tangguh dan berani. Biar Lau Cong-bin kelabakan karena pantatnya kau sundut dengan api..."

   Bu Sam-kui tertawa sendiri akan kelakarnya itu, dan beberapa perwiranya pun ikut nyengir sebagai basa-basi. Kongsun Koan kemudian menerima leng-ki (bendera wewenang) untuk tugasnya itu. I "Nah, ada usul atau laporan?"

   Tanya Bu Samkui. Seorang perwira yang sangat gendut melangkah ke depan dan bersuara.

   "Aku hendak melapor, Cong-peng...."

   Perwira itu bernama Li Lim-hong, penanggung-jawab bagian perbekalan makanan.

   Dan meskipun tubuhnya begitu subur, laporannya selalu bertentangan dengan keadaan tubuhnya.

   Bu Sam-kui sendiri agak segan mendengar laporan orang ini, sebab ia hampir pasti menebak apa yang hendak dilaporkan.

   Toh Bu Sam-kui harus mendengarkannya juga.

   "Silakan, Saudara Li."

   Sudah bisa ditebak, inilah laporan Li Limhong.

   "Cong-peng, aku melaporkan bahwa perbekalan sudah menipis. Nasi untuk makan pagi dan siang ini sudah harus dicampuri banyak air sehingga mirip bubur, kalau tidak begitu tidak akan cukup. Banyak prajurit memprotes, tetapi aku tidak bisa berbuat apaapa. Campuran air untuk makan malam nanti I bakal lebih banyak kalau sekarang tidak diambil tindakan....."

   Bu Sam-kui paling benci kepada kata "ambil tindakan"

   Dalam urusan perbekalan ini.

   sebab kedua patah kata itu berarti mengambil persediaan makanan dari penduduk di desadesa sekitar San-hai-koan.

   Hanya itulah cara untuk mempertahankan hidup prajuritprajuritnya sejak kota Pak-khia jatuh ke tangan kaum Pelangi Kuning dan tidak ada lagi kiriman perbekalan dari Pak-khia.

   Padahal penduduk di sekitar San-hai-koan itu sendiri sudah kempaskempis hidupnya.

   Bu Sam-kui sendiri tahu pasti bahwa tindakan perampasan perbekalan itu amat dibenci penduduk sipil.

   Makin sering tindakan itu dilakukan, berarti makin sering menggusarkan penduduk meskipun tidak terang-terangan dan berarti pula makin menjauhkan hati rakyat.

   Tidak berakar di hati rakyat adalah sesuatu yang tidak menguntungkan, tapi rasanya tidak ada jalan lain karena Bu Sam-kui tidak bisa membiarkan prajurit-prajuritnya kelaparan.

   I "Baiklah.

   Terpaksa kita harus kembali mengambil bahan makanan dari rakyat yang sehari-harinya saja sudah kelaparan..."

   Perintah Bu Sam-kui itu lebih mirip keluhan daripada perintah.

   "Tetapi jangan keterlaluan, jangan terlalu menyusahkan rakyat. Di mata mereka, kita ini sudah mirip perampok-perampok berseragam...."

   Biasanya kalau sudah mendapat ijin seperti itu, Li Lim-hong akan segera berangkat menjalankan tugasnya, tetapi kali ini ia bersikap lain. Katanya.

   "Cong-peng, keadaan kali ini berbeda..."

   "Apa?"

   "Bukankah tadi Cong-peng sendiri menjelaskan bahwa kita sedang diserbu musuh. Kita akan dikepung dalam kota ini entah berapa lama, jadi persediaan perbekalannya juga harus melebihi keadaan biasa."

   "Itu artinya mengambil lebih banyak?"

   Tanya Bu Sam-kui.

   "Apakah ada jalan lain, Cong-peng?"

   Li Limhong balik bertanya.

   I Bu Sam-kui menarik napas.

   Tidak tega ia mendengar anak-anak kecil di seputar San-haikoan menjerit kelaparan, bahkan mungkin ada yang akan mati kelaparan, karena persediaan makanan orang tua mereka dirampas tentara.

   Apalagi ketika seorang perwiranya yang bernama Miao Hu mengusulkan dengan suara dingin tanpa perasaan.

   "Dan perlu ditambahkan satu hal lagi, agar jangan persediaan perbekalan itu menguntungkan Lau Cong-bin, kita harus ambil seluruhnya ke dalam kota. Seluruhnya. Kalau ada juga yang tidak terbawa, haruslah dimusnahkan! Supaya jangan nanti dimanfaatkan oleh Lau Cong-bin!"

   Bu Sam-kui termangu-mangu, sekian lama, berat rasa hatinya. Miao Hu mendesaknya.

   "Cong-peng, hal ini harus segera diputuskan, semuanya menunggu, perintahmu, sementara waktu kita tidak banyak lagi sebab pasukan Lau Cong-bin sedang bergerak maju terus ke tempat ini."

   Akhirnya Bu Sam-kui menganggukkan kepalanya.

   I Hari itu juga, apa yang diputuskan rapat para perwira itu dilaksanakan.

   Kongsun Koan dengan tiga ribu prajuritnya berbaris keluar kota San-hai-koan dan langsung menghilang ke dalam hutan-hutan di pegunungan di luar kota San-hai-koan.

   Sebelum menghilang, jejak-jejak kaki di pinggir hutan pun mereka hapuskan.

   Sementara itu, Li Lim-hong dan pasukannya juga keluar kota San-hai-koan.

   menjalankan tugas lain.

   Mengambil apa yang bisa diambil dari bahan makanan kepunyaan penduduk dari desa-desa sekitar San-hai-koan.

   Dan sisa bahan makanan yang tidak terambil dikumpulkan untuk dibakar! Jerit tangis penduduk, terutama wanita dan anak-anak sudah terlalu sering memasuki kuping Li Lim-hong, sehingga ia sudah "kebal".

   Dan penduduk desa pun mencium gelagat bakal terjadinya perang besar, maka mereka pun berbondong-bondong mengungsi ke tempat lain.

   Ada yang masuk ke dalam kota San-hai-koan, ada yang justru menjauhinya.

   I Pasukan Bu.

   Sam-kui yang dalam kota Sanhai-koan sendiri segera mengadakan persiapan seperlunya.

   Prajurit-prajurit yang dibekali peringatan waspada setiap saat ditempatkan di atas tembok kota atau di tempat-tempat penting di seluruh kota.

   Meriam-meriam dipasang di atas tembok kota, biarpun meriam yang sudah tidak ada isinya namun moncong-moncong meriam sengaja ditonjolkan di atas tebok kota untuk menggertak lawan.

   Di atas tembok kota juga dipersiapkan banyak batu-batu besar, balok-balok kayu, panah dan lembing dalam jumlah amat banyak.

   Kaitan-kaitan besi bertangkai panjang juga disediakan untuk mengait jatuh kalau ada musuh yang coba-coba merambat naik.

   Suasana perang mencekam seluruh San-hai-koan.

   Untuk sedikit mengendorkan ketegangannya, Bu Sam-kui sering datang ke tempat tinggal Jai Yong-wan, saudagar Korea sahabatnya untuk minum arak, main catur dan ngobrol soal-soal ringan.

   * I * * Beberapa hari kemudian, yang dinantinantikan dengan tegang itu pun datanglah.

   Pasukan besar Lau Cong-biri langsung memasang perkemahan di sekitar kota San-haikoan.

   Sebagian menempati desa-desa yang sudah kosong karena ditinggal mengungsi oleh penghuni-penghuninya.

   Maka kalau dipandang dari atas tembok kota San-hai-koan, sejauh mata memandang di arah barat, barat-laut dan selatan dari kota perbatasan itu, yang terlihat adalah perkemahan tentaranya Lau Cong-bin dengan bendera-benderanya yang berkibarkibar.

   Namun apabila Bu Sam-kui meneropong ke arah pegunungan di belakangan perkemahan itu, setitik harapan muncul di hatinya, membayangkan Kongsun Koan dengan tiga ribu prajuritnya sedang mengendap-ngendap di balik pepohonan menunggu malam tiba untuk mengacau pasukan Lau Cong-bin dari belakangnya.

   I Sementara kepada prajurit-prajuritnya sendiri yang berjaga di atas tembok kota, Bu Sam-kui selalu mengeluarkan kata-kata yang membesarkan hati.

   Pasukan Lau Cong-bin hanya beristirahat satu hari setelah perjalanan mereka dari Pakkhia, kemudian keesokan harinya mereka mulai bertindak.

   Begitu fajar menyingsing, beberapa orang perwira Lau Cong-bin yang punya tenggorokan kuat dan bisa bersuara keras, mulai mendekati pintu kota dengan menunggang kuda.

   Lalu dari situ berteriak-teriak kepada prajurit-prajurit Bu Sam-kui yang di atas tembok kota, isinya ya menggertak, menyombongkan kekuatan pihaknya sendiri dan kemudian menganjurkan agar prajuritprajurit San-hai-koan menyerah saja.

   Di antaranya yang mendengar omongan perwiranya Lau Cong-bin itu adalah Bu Sam-kui sendiri, didampingi beberapa perwiranya dan juga Jai Yong-wan yang tetap saja berpakaian jubah saudagarnya.

   I Kata Jai Yong-wan kepada Bu Sam-kui.

   "Cong-peng, kalau si mulut besar itu dibiarkan membualkan terus, mungkin akan ada sebagian prajurit kita yang berhati kurang teguh akan terpengaruh oleh kata-katanya dan menjadi lemah semangatnya...."

   Apalagi para prajurit, sedangkan Bu Samkui sendiri saat itu sudah berkeringat dingin melihat besarnya pasukan Lau Cong-bin itu.

   Namun sebagai pimpinan tertinggi di San-haikoan, ia harus menyembunyikan rasa gentarnya.

   Lalu untuk menuruti anjuran Jai Yong-wan, ia mengambil busur dan sebatang anak panah dari salah seorang prajurit di dekatnya.

   Dari atas tembok kota ia memanah ke arah seorang perwira Lau Cong-bin yang berteriak-teriak itu.

   Biasanya Bu Sam-kui adalah seorang pemanah yang baik, tapi kali ini"

   Karena kurang konsentrasi dan tangannya terasa agak dingin, maka anak panahnya tidak mengenai sasarannya, lewat sejengkal di atas topi sasarannya. I Perwira bawahan Lau Cong-bin itu menjadi gusar, lalu berteriak ke atas tembok kota.

   "Kalian tidak menggubris tawaran baik kami, malahan berusaha membunuhku! Baik, kami pun tidak akan sungkan-sungkan lagi terhadap kalian!"

   Lalu perwira itu dan pengawalpengawalnya memutar kuda-kuda tunggangan mereka dan mundur ke perkemahan.

   Tidak lama kemudian, dari arah perkemahan Pelangi Kuning kelihatan meriammeriam beroda didorong maju, diikuti prajuritprajurit yang memanggul tong-tong mesiu dan peluru-peluru meriam yang berujud bola besi maupun bola batu.

   Mereka langsung menempatkan meriam-meriam itu di belakang gundukan-gundukan tanah yang dibuat sehari sebelumnya, dan mengarahkan moncongmoncongnya ke arah tembok San-hai-koan.

   Mereka tidak berani terlalu dekat sebab mereka rnelihat di atas tembok San-hai-koan juga ada beberapa moncong meriam.

   Mereka mengira meriam-meriam itu ada isinya.

   I Munculnya meriam-meriam dari pihak Lau Cong-bin itu membuat prajurit-prajurit Bu Samkui kecut.

   Bu Sam-kui sendiri memberi perintah.

   "Cari tempat perlindungan!"

   Sesaat kemudian, meriam-meriam dari pihak Lau Cong-bin pun menggelegar salingsusul, memuntahkan bola-bola besi dan bolabola batu yang menghantam tembok kota Sanhai-koan, terutama pintu gerbangnya, dengan dahsyat.

   Bumi seolah bergetar, pintu gerbang yang sudah dilapisi besi itu pun gemeretuk seakan hendak copot setiap peluru meriam menghantam daun pintunya.

   Dan setiap kali meriam berdentum, Bu Samkui dan prajurit-prajuritnya juga merasa digedor jantungnya.

   Sementara Bu Sam-kui dan orang-orangnya berlindung, Jai Yong-wan bersembunyi entah di mana.

   Sedangkan pihak Lau Cong-bin seakan ingin memamerkan betapa melimpahnya persediaan bubuk mesiu mereka, sehingga gelegar meriam mereka juga tidak pernah terputus.

   Mula-mula mereka heran juga melihat pihak San-hai-koan I tidak membalas sekian lama, dan akhirnya mereka mengambil kesimpulan, kalau meriammeriam di pihak San-hai-koan itu hanyalah meriam-meriam "bisu"

   Yang cuma dipajang untuk gertak-sambal. Mengetahui hal ini, perwira-perwira bawahan Lau Cong-bin semakin berbesar hati. Mereka melaporkannya kepada Lau Cong-bin, dan Lau Cong-bin pun dengan amat bersemangat menjatuhkan perintah.

   "Arahkan meriam-meriam hanya ke arah pintu-pintu gerbang. Panjat tembok dan rebut kota hari ini juga!"

   Perintah itu diteruskan ke garis depan.

   Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Meriam-meriam ditarik lebih dekat ke tembok San-hai-koan, digeser arah tembakannya ke arah pintu gerbang barat San-hai-koan.

   Sementara puluhan ribu prajurit serempak maju sambil bersorak-sorai.

   Mereka menyeberangi tempat terbuka antara perkemahan dengan tembok San-haikoan.

   Mereka membawa tangga-tangga kayu yang panjang-panjang untuk memanjat tembok.

   I Lau Cong-bin pun dengan amat bersemangat menjatuhkan perintah.

   "Arahkan meriam-meriam hanya ke arah pintu-pintu gerbang. Panjat tembok dan rebut kota hari ini juga!"

   I Menghadapi ini, prajurit-prajurit San-haikoan harus keluar dari persembunyian mereka, dan bersiap-siap di atas tembok untuk menanggulangi usaha musuh.

   Para pemanah dan pelempar lembing di atas tembok kota adalah yang pertama mendapatkan pekerjaan.

   Begitu aba-aba diteriakkan, hujan panah dan lembing pun menghambur dari atas tembok ke arah pasukan Lau Cong-bin yang sedang bergelombang mendekat tembok.

   Puluhan prajurit Lau Cong-bin yang terlambat mengangkat perisainya, segera roboh bertumbangan terkena panah atau lembing.

   Mereka yang roboh dilompati begitu saja oleh teman-teman mereka dari belakang.

   Kalau ada yang sedikit menaruh perhatian, mereka rhencari teman-teman yang belum mati dan masih bisa diselamatkan untuk diseret mundur ke belakang.

   Sementara yang lain seolah dibakar nafsu membunuh yang berkobar-kobar dan terus menerjang ke depan sambil mengangkat perisai untuk melindungi diri.

   Toh I tetap saja ada panah atau lembing yang lolos dari perisai dan mematuk tubuh si pemegang perisai.

   Sebagian besar berhasil mencapai kaki tembok, kemudian yang membawa tangga segera menegakkan tangga-tangga itu untuk menggapai bagian atas tembok.

   Prajurit-prajurit San-hai-koan yang di atas tembok tentu saja tidak membiarkan tangga-tangga itu mapan.

   Mereka berusaha mendorong tangga-tangga itu agar roboh, tetapi prajurit-prajurit musuh yang di bawah memeganginya kuat-kuat, sehingga terjadilah adu tenaga antara prajurit-prajurit San-hai-koan yang di atas dan prajurit-prajurit Lau Cong-bin yang di bawah.

   Adu tenaga yang tersalur lewat tangga panjang itu.

   Beberapa tangga berhasil didorong roboh kembali, namun kebanyakan tidak.

   Dan yang tidak roboh itu langsung digunakan memanjat oleh prajurit-prajurit Pelangi Kuning.

   Merekamemanjat sambil dengan satu tangan mengangkat perisai di atas kepala mereka, sedang pedangnya mereka bawa dengan digigit, I dan tangan yang tidak metjiegang perisai membantu memanjat.

   Mereka naik susulmenyusul.

   Sehingga pada tangga sepanjang belasan meter itu ada beberapa orang memanjat sekaligus.

   Tangga itu tetap digoyanggoyang dari atas oleh prajurit-prajurit San-haikoan, dengan maksud agar pemanjat-pemanjat itu runtuh ke bawah, namun pemanjatpemanjat itu agaknya berpegangan cukup kuat.

   (Bersambung

   Jilid VII.) Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu 17/07/2018 12 . 30 PM I II ( Bagian II )

   Jilid VII Karya . STEVANUS S.P. pelukis . WIDODO Percetakan & Penerbit CV "G E M A"

   Mertokusuman 761 RT 02 RW VII Tilpun 35801 - SOLO 57122 II II KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid VII P rajurit-prajurit di atas tembok kota lalu menggunakan cara lain.

   Menggunakan kaitan-kaitan besi bertangkai panjang, atau menggunakan panah-panah dan lembinglembing.

   Beberapa pemanjat berhasil dikait jatuh dan mati di ujung senjata teman-teman mereka sendiri yang di bawah.

   Atau kalau tidak mati di ujung senjata teman sendiri, mati terhempas dari ketinggian belasan meter.

   Namun ada juga yang berhasil memanjat terus, belasan orang jumlahnya, tidak terkait, juga tidak terkena panah atau lembing berkat perisai di atas kepala mereka.

   II Prajurit-prajurit yang di atas tembok tidak kurang akal.

   Kini mereka menggantikan panah dan lembing dengan batu-batu besar atau balok-balok kayu raksasa.

   Kalau lembing dan panah masih bisa ditangkis oleh perisai-perisai rotan para pemanjat, maka batu-batu besar biarpun bisa ditangkis dengan perisai, luncurannya tetap mampu menghempaskan para pemanjat bandel itu ke tanah.

   Kadangkadang tubuh yang jatuh dari atas itu juga menimpa pemanjat-pemanjat yang di bawahnya.

   Demikianlah kegigihan dari kedua belah pihak, satu pihak coba memanjat ke atas dan pihak lain bersikeras meng-halang-halanginya.

   Pada saat yang sama, peluru-peluru meriam dari pihak Pelangi Kuning juga terus menghantam daun pintu San-hai-koan tak henti-hentinya, namun agaknya pintu gerbang San-hai-koan amat kuat.

   Seorang panglima bawahan Lau Cong-bin yang bernama Ni Ho-liao menjadi gemas karena sekian lama belum dilihatnya tanda-tanda kalau II prajurit-prajurit San-hai-koan bakal menyerah kalah.

   Padahal ia tahu kalau meriam-meriam di pihak San-hai-koan tidak dipergunakan karena tidak ada bahan peledaknya.

   Saking penasarannya, Ni Ho-liao berteriak kepada regu-regu pemanjat.

   "Terus panjat! Terus panjat! Jangan berhenti! Kita lihat saja mereka punya berapa banyak persediaan batu dan kayu!"

   Begitulah, ia menganjur-anjurkan prajuritprajuritnya untuk maju terus, sementara ia sendiri duduk di atas kudanya tanpa mengeluarkan setetes keringat pun.

   Ia sudah terlanjur memBual di depan Jenderal Lau bahwa San-hai-koan akan jatuh paling lambat nanti sore, soalnya ia membandingkannya dengan Pak-khia.

   San-hai-koan jauh lebih kecil dari Pak-khia, dan prajurit yang menjaga Sanhai-koan juga jauh lebih sedikit dari yang mengawal Pak-khia, mutu prajuritnya juga kalah jauh, maka kalau dulu pasukan Lau Congbin berhasil menerobos masuk Pak-khia paling dulu sehingga Lau Cong-bin diangkat sebagai II Panglima Tertinggi, maka dalam anggapan Ni Ho-liao sekarang untuk merebut San-hai-koan akan sama gampangnya dengan merogoh barang di kantong bajunya sendiri.

   Yang terpikir saat itu ialah bagaimana untuk "menguras habis"

   Panah, lembing, batu dan kayu dari pihak lawan. Dan untuk "menguras"

   Itu tentu butuh umpan, umpannya ya nyawa prajuritprajuritnya sendiri yang disuruh terus menyerang supaya musuh terus memanah dan melempar batu sehingga cepat habis.

   Banyaknya korban jiwa sama sekali tidak pernah terpikir oleh Ni Ho-liao, sebab ia berpikir.

   "Namanya juga perang......"

   Begitulah, sambil mengangkat tinggi-tinggi pedangnya dengan gagah tetapi dari tempat yang aman, ia berteriak pula.

   "Pak-khia yang besar dan kuat pernah kita rebut, apalagi hanya San-hai-koan yang kecil dan dijaga prajuritprajurit kelaparan ini! Hayo, maju terus, pantang mundur!"

   II Namun ternyata prajurit-prajurit San-haikoan memang gigih luar biasa dalam bertahan, biarpun jumlah mereka jauh lebih sedikit. Pihak penyerbu harus lebih dulu "membayar"

   Dengan banyak nyawa dalam upaya merebut tembok itu.

   Hujan panah, lembing, batu dan kayu tidak henti-hentinya tercurah dari atas tembok.

   Bahkan yang dilemparkan dari atas itu ada juga pot-pot bunga yang berisi tanah yang kalau menimpa jidat pasti lumayan rasanya.

   Sementara itu, matahari semakin surut ke sebelah barat, dan kalau kegelapan sudah turun, nanti, pastilah panah dan sebagainya dari atas tembok akan semakin sulit dijaga, dan berarti akan semakin banyak korban di pihak Pelangi Kuning.

   Seorang panglima bawahan Lau Cong-bin yang lain, Ong Ling-po yang masih muda, agaknya memperhitungkan kerugian itu.

   Maka dengan satu aba-aba, ia memerintahkan pasukannya agar mundur menjauhi tembok, sambil mengangkut mereka yang luka-luka.

   II Melihat Ong Ling-po menarik mundur pasukannya, Ni Ho-liao memacu kudanya mendekati Ong Lirig-po sambil berseru.

   "Adik Ong, kenapa kau tarik orang-orangmu?"

   Di atas kudanya pula Ong Ling-po menjawab sambil menuding ke langit.

   "Sebentar lagi langit gelap, orang-orang kita akan lebih sukar menjaga serangan panah, lembing dan sebagainya. Lebih baik kutarik mundur daripada jatuh banyak korban....."

   "Aku tidak setuju!"

   Sahut Ni Ho-liao.

   "Mundur sekarang berarti akan memberi kesempatan semalam lagi kepada Bu Sam-kui dan cecunguk-cecunguknya untuk menyegarkan diri. Kalau kita lanjutkan serangan sekarang ini, mungkin tengah malam nanti musuh sudah akan kehabisan panah dan batu, dan besok pagi kita sudah menguasai seluruh kota....."

   "Tetapi korban di antara prajurit-prajurit kita pun akan mencapai jumlah ribuan..."

   "Jumlah itu kecil dibanding jumlah seluruh prajurit kita."

   II "Tetapi mereka manusia, mereka punya keluarga."

   Ni Ho-liao termangu-mangu, masih penasaran karena ia sangat berambisi mendapatkan nama besar dengan merebut Sanhai-koan hari itu juga tanpa mempedulikan korban yang bakal jatuh.

   Tetapi Ong Ling-po berpikiran lain agaknya, panglima muda itu benar-benar menarik orangorangnya karena sayang nyawa mereka.

   Sampai hari cukup gelap, Ni Ho-liao masih nekad menggempur San-hai-koan dengan pasukannya, namun akhirnya ia terpaksa mundur juga karena kegigihan prajurit-prajurit San-hai-koan.

   Pintu gerbang San-hai-koan yang seharian ditembaki meriam ternyata belum jebol juga, meskipun setiap kali engsel-engselnya berkeriut-keriut.

   Pasukan di San-hai-koan segera memperbaiki diri.

   Yang luka-luka diobati, dan ternyata ada juga yang gugur meskipun jumlahnya tidak seberapa karena mereka bertahan di atas tembok.

   Pintu gerbang II diperkuat kembali meskipun secara darurat dengan diikat tali-tali besar dan dilapisi papanpapan tebal.

   Di atas tembok kembali dikumpulkan panah, lembing, batu dan kayu, penduduk sipil San-hai-koan yang laki-laki diperintahkan untuk ikut membantu.

   Bu Sam-kui dan perwira-perwira pembantunya berjalan berkeliling untuk membakar semangat para prajurit.

   Bu Sam-kui sendiri kelihatan penuh debu, bahkan darah memercik di pakaiannya, karena tadi ia ikut bertempur dengan gigih di tengah-tengah para prajuritnya.

   "Kalian sudah bertempur dengan baik hari ini,"

   Demikian setiap kali Bu Sarii-kui berkata sambil menepuk pundak prajurit-prajuritnya.

   "Beristirahatlah malam ini agar besok kalian menjadi segar, tetapi harus ada yang berjaga secara bergantian, siapa tahu malam ini musuh membuat gerakan."

   Kemudian dengan tubuh lunglai, Bu Sam-kui berkuda ke tempat tinggalnya. Ketika melewati rumah Jai Yong-wan, ia bertanya kepada II seorang pembantu Jai Yong-wan yang sedang memasang lampu lampion di pintu depan.

   "Baik-baikkah keadaan Tuanmu?"

   Bujang itu membungkuk hormat dan menjawab.

   "Baik-baik saja, Tuan. Bukankah tidak ada peluru meriam musuh yang jatuh sampai ke tengah-tengah kota ini? Kami cuma mendengar suaranya saja di kejauhan."

   Bu Sam-kui mengangguk-angguk.

   "Kau bernyali besar. Apakah kau bisa bertempur?"

   Wajah bujang itu menegang.

   "Maksud Tuan... maksud Tuan....."

   Bu Sam-kui tertawa.

   "Tidak, tidak, aku belum akan menyuruh penduduk San-hai-koan bertempur. Kami, para prajurit masih mampu dengan tenaga kami sendiri mempertahankan kota ini sampai musuh terpukul mundur. Nah, sampaikan salam kepada Tuanmu, aku pulang dulu."

   "Tidak mampir dulu, Tuan Panglima?"

   "Tidak. Aku harus membersihkan diri, makan dan beristirahat. Tugas untuk besok pagi barangkali akan lebih berat dari hari ini."

   II Lalu berlalulah Bu Sam-kui.

   Tidak lama setelah Bu Sam-kui berlalu, Jai Yong-wan justru menyelinap keluar dari rumahnya melalui sebuah pintu kecil di samping rumahnya.

   Tidak memakai jubah saudagarnya yang longgar, melainkan berpakaian ringkas, dan langsung menghilang di lorong-lorong kota San-hai-koan yang gelap dan sepi.

   Sementara itu, di perkemahan Lau Cong-bin, Lau Cong-bin sendiri duduk di kursinya yang berlapis kulit macan, dan perwira-perwiranya berdiri berderet-deret di hadapannya.

   Di sekeliling tenda itu bagian luar maupun dalamnya, nampak pengawal-pengawal pribadi Lau Cong-bin yang terdiri dari wanita-wanita cantik itu berdiri dengan tegap dan gagah, memakai pakaian perang juga.

   Jenderal Lau sedang menerima laporan dan usul-usul dari panglima-panglima bawahannya tentang usahanya merebut San-hai-koan.

   Usaha yang gagal.

   II Lau Cong-bin menggeram gusar mendengar laporan itu.

   Hatinya panas.

   Setiap kali teringat kepada Bu Sam-kui yang masih bertahan di Sanhai-koan, Jenderal Lau ingat Tan Wan-wan si jelita yang gagal didapatkannya.

   Yang menyakitkan bahwa Tan Wan-wan pernah mengucapkan kata-kata yang membandingkan dengan Bu Sam-kui.

   Rasa panas hati itulah yang menggerakkannya untuk menyerbu San-haikoan, ingin membawa pulang batok kepala Bu Sam-kui ke Pak-khia untuk ditunjukkan kepada Tan Wan-wan.

   Begitulah, ribuan nyawa yang melayang hari itu ternyata ada sangkut-pautnya dengan sakit-hati pribadi Jenderal Lau yang pernah disebut "tua, gembrot dan jelek"

   Oleh Tan Wan-wan.

   Sekarang di tendanya, Jenderal Lau menumpahkan banjir caci-maki yang sengit kepada panglima-panglima bawahannya.

   Dan setelah puas memaki-maki, seorang pengawalnya yang cantik menyuguhkan minuman segar di atas nampan.

   Jenderal Lau menenggaknya dengan tegukan besar yang II membuat tenggorokannya berbunyi keras.

   Minuman itu agaknya meredakan kemarahan Jenderal Lau, sehingga setelah minum maka suaranya merendah.

   "Nah, sekarang kalian para kantong nasi, kalian mau omong apa? Kalian yang mengusulkan penyerangan, dan ternyata hari ini kalian gagal. Pastilah Bu Sam-kui itu semakin besar kepala..."

   Ong Ling-po tiba-tiba maju ke depan dan memberi hormat.

   "Jenderal, bolehkah aku berbicara?"

   "Mau omong apa lagi?"

   Usul Ong Ling-po ternyata menunjukkan nyalinya yang besar.

   "Jenderal, ijin-kanlah malam ini juga aku membawa seribu orang prajurit yang aku pilih dari pasukanku sendiri, untuk mencoba menyusup masuk ke dalam kota San-hai-koan, lalu membukakan pintu kota dari dalam. Aku juga mohon agar rekan-rekan panglima yang lain bersiap-siap di depan pintu kota, begitu pintu kota kami buka dengan isyarat obor, silakan langsung menyerbu masuk."

   II "Mau menyusup lewat mana?"

   "Aku yakin ada suatu tempat yang disusupi. Apakah usulku diterima?"

   Jenderal Lau melontarkannya kembali kepada panglima-panglima bawahannya.

   "Bagaimana menurut kalian usul Panglima Ong ini?"

   Semua panglima bawahan Jenderal Lau bungkam, mereka sebenarnya ingin istirahat malam itu, setelah seharian kelelahan menggempur San-hai-koan tanpa hasil.

   
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Namun mereka tidak berani terang-terangan menolak usul Ong Ling-po itu, khawatir disebut penakut dan pemalas, dan akan memberi muka terang buat Ong Ling-po.

   Mereka berharap agar Jenderal Lau menolak usul itu.

   Sesuatu yang kurang mereka ketahui, bahwa Jenderal Lau masih akan terngiangngiang kata-kata Tan Wan-wan yang membandingkannya dengan Bu Sam-kui, dan itu membuat Lau Cong-bin kurang puas sebelum dapat pulang ke Pak-khia membawa II kepala Bu Sam-kui.

   Ia ingin hal itu terjadi secepat mungkin.

   Perkara kelelahan para bawahannya dan korban yang bakal jatuh, tidak jadi soal buatnya.

   Karena itulah ia menyetujui usul Ong Ling-po itu.

   "Baik. Diam berarti setuju. Aku putuskan demikian. Ong Ling-po dengan seribu prajurit pilihan akan menyusup masuk ke San-hai-koan untuk membukakan pintu gerbang dari dalam, yang lain-lain harus bersiap-siap di luar pintu gerbang untuk segera menyerbu masuk. Tetapi jangan terlalu dekat, nanti dilihat oleh musuh dan mereka akan berjaga-jaga."

   Begitulah, usai makan malam, mereka pun bersiap-siap.

   Sementara pasukan-pasukannya berangkat mengendap-endap di gelapnya malam yang dingin, Jenderal Lau sendiri justru berhangathangat di dalam kemahnya bersama koleksi wanita-wanita cantiknya.

   Tinggal menunggu laporan yang mudah-mudahan laporan baik.

   Ong Ling-po dengan seribu prajurit pilihan yang masih segar, yang siang tadi belum ikut II berperang, mengendap tanpa obor mendekati tembok San-hai-koan, mengendap-endap di belakang pepohonan dan semak-semak belukar.

   Di atas tembok kota nampak obor-obor dipasang dalam jumlah banyak-banyak, nampak juga bayangan prajurit-prajurit San-hai-koan hilir mudik di atas tembok.

   Nampaknya pihak San-hai-koan benar-benar tidak mau lengah biarpun di malam hari.

   Ong Ling-po menyebar orang-orangnya untuk menyelidiki bagian mana dari tembok San-hai-koan yang kelihatannya tidak terjaga.

   Tentu saja sisi tembok yang menghadap ke wilayah Tiong-goan, sebab ada yang menghadap ke wilayah Liau-tong, wilayahnya bangsa Manchu.

   Orang-orang suruhan Ong Ling-po itu segera berpencar.

   Beberapa saat kemudian mereka sudah kembali satu persatu, dan bunyi laporan mereka sama.

   Tidak ada sejengkal pun tembok San-hai-koan yang menghadap wilayah Tiong-goan yang tidak terjaga.

   Setiap jengkal terjaga dengan ketat.

   II Ong Ling-po garuk-garuk kepala mendengar itu.

   Tiba-tiba sebuah pikiran melintas di benaknya.

   "Sepanjang tembok San-hai-koan yang menghadap kemari memang dijaga, tetapi bagaimana dengan sisi tembok yang menghadap keluar Tembok Besar?"

   Seorang perwira bawahannya tercengang.

   "Maksud Hu-ciang (Kolonel), kita akan memanjat tembok San-hai-koan dari sebelah timur laut? Dari wilayah orang Manchu?"

   "Bagaimana menurutmu?"

   "Berarti kita harus memanjat Tembok Besar lebih dulu untuk menyeberang ke wilayah Manchu. Itu makan waktu, Hu-ciang. Barangkali setelah fajar menyingsing barulah kita baru bisa mulai memanjat tembok San-hai-koan. Dan teman-teman kita yang menanti terbukanya pintu kota juga barangkali sudah tidur karena bosan menunggu kita...."

   Ong Ling-po mengetuk-ngetukkan ujung telunjuknya ke jidatnya sendiri, berpikir keras, sambil berkata.

   "Coba kalian ikut berpikir."

   II Salah seorang perwira bawahannya tibatiba berkata.

   "Ada jalan.."

   Semua menoleh ke arah orang ini, dalam kegelapan malam, hanya nampak sosok tubuhnya yang ramping.

   Dalam kegelapan, Ong Ling-po melihat semua orang di sekelilingnya bentuknya sama, meskipun demikian ia dapat mengenali setiap perwiranya yang dekat dengannya dengan mengenal suaranya.

   Kali ini, suara orang yang berbicara ini tidak dikenalnya.

   Tetapi Ong Ling-po tidak bersyak-wasangka, dianggapnya orang ini mungkin adalah seorang prajurit rendahan yang tidak terlalu dekat dengannya sehingga tidak dikenalnya, sekarang mencoba mengajukan usul.

   Mungkin untuk mempromosikan diri sendiri agar naik pangkat.

   Kata Ong Ling-po.

   "Katakan."

   Sosok bayangan di bawah pohon itu, yang mengaku dirinya hanya "sebagai prajurit biasa", segera berkata.

   "Aku tahu ada sebuah sungai kecil yang mengalir masuk ke dalam kota Sanhai-koan lewat bawah tembok kota. Kita bisa II merangkak di sungai kecil itu dan muncul ke dalam kota...."

   Saat itu udara sangat dingin, maka bisa dibayangkan bagaimana rasanya malam-malam merangkak di dalam sungai kecil. Tetapi bagi Ong Ling-po, itu agaknya adalah suatu jalan, dan ia langsung menyetujuinya.

   "Baik,"

   Sahut Ong Ling-po.

   "Kau jalan di depan untuk menunjukkan tempatnya."

   Orang itu mulai bergerak, memandu Ong Ling-po dan semua prajuritnya mendekati tembok San-hai-koan di suatu arah.

   Mereka tidak mendekat sampai ke kaki tembok sebab bisa terlihat oleh prajurit-prajurit di atas tembok.

   Si pemandu memimpin sampai ke sebuah sungai kecil yang airnya gemericik, sungai itu mengalir ke arah kota San-hai-koan.

   "Inilah sungainya..."

   Kata orang itu sambil menghentikan langkah di tepi sungai kecil.

   "Ini menembus langsung ke dalam kota melewati bawah tembok kota."

   Malam gelap, namun setelah berada di tempat yang tidak ada pepohonannya, Ong LingII po sempat juga mengamat-amati wajah orang itu dengan bantuan cahaya bintang yang lemah.

   Orang itu memang berpakaian seragam perwira Pelangi Kuning, namun wajahnya yang terlalu pucat itu belum pernah dilihat oleh Ong Lingpo.

   Namun Ong Ling-po tidak berprasangka, mungkin perwira ini berasal dari pasukanpasukan yang di luar Kotaraja Pak-khia, yang memang banyak diambil dan diikut-sertakan dalam pasukan penggempur San-hai-koan itu.

   "Kau dulu,"

   Perintah Ong Ling-po kepada perwira berwajah pucat itu.

   Orang itu tanpa ragu-ragu turun ke dalam air, kemudian mulai merunduk maju menyibak air setinggi lutut yang amat dingin itu.

   Belukar yang tumbuh di sepanjang tepian sungai itu melindunginya dari pandangan prajurit-prajurit San-hai-koan di atas tembok.

   Lagi pula cahaya obor dari atas tembok sudah lemah sekali sampai ke bawah.

   Menyusul Ong Ling-po juga turun, dan mengikuti orang itu.

   Begitu juga prajurit- II prajuritnya.

   Tubuh mereka menggigil sejenak karena dinginnya air, tetapi mereka maju terus.

   Ong Ling-po berkata perlahan kepada prajurit yang berjalan di belakangnya.

   "Pesankan kepada semua prajurit, agar melangkah perlahan supaya jangan menimbulkan kecupak air yang terlalu keras. Juga dilarang saling berbicara...."

   Perintah itu diteruskan kepada orang di belakangnya dan terus ke belakangnya lagi sehingga semuanya mendengar perintah itu.

   Tanpa rintangan mereka mencapai kaki tembok.

   Dan untuk menerobos lubang di kaki tembok itu, mereka harus merangkak dalam air, sehingga yang basah bukan hanya kaki saja melainkan seluruh badan kecuali kepala.

   Saking dinginnya, ada beberapa prajurit yang tidak tahan untuk tidak terkencing dalam air, sehingga prajurit-prajurit di belakangnya menggerutu dalam air.

   Tetapi tidak sedikit yang menggerutu itu pun ikut-ikutan terkencing dalam air, karena dinginnya.

   II Sementara, mereka yang sudah tiba di sebelah dalam tembok San-hai-koan segera keluar.

   Mereka muncul di sebuah kampung di tengah kota, banyak rumah-rumah namun suasananya sangat sepi sebab semua rumah tertutup, penduduk San-hai-koan tengah dicengkam ketakutan karena peperangan siang tadi.

   Begitu keluar dari air, Ong Ling-po dan prajurit-prajuritnya melakukan sedikit senam untuk menghangatkan badan mereka yang seolah hampir beku.

   Ong Ling-po ingin mencatat jasa perwira berwajah pucat tadi, ia menoleh ke sekelilingnya untuk mencari orang itu, dan memanggil-manggilnya meski belum tahu namanya, tetapi orang itu sudah menghilang entah ke mana.

   He, ke mana prajurit tadi?"

   Tanyanya kepada prajurit-prajuritnya. Prajutir-prajuritnya saling menoleh mencari orang yang dimaksud, .tetapi mereka juga hanya saling menggeleng. II "Orang aneh....."

   Desis Ong Ling-po heran.

   "Hu-ciang..."

   Kata seorang perwira bawahannya tertahan-tahan, dan tidak dilanjutkan. Ong Ling-po seolah dapat membaca pikiran bawahannya itu, lalu melanjutkan.

   "Kenapa? Maksudmu perangkap?"

   Perwira yang ditanya itu membungkam, dan ia mengiyakan dengan kebungkamannya. Ong Ling-po tidak menutupi kemungkinan itu.

   "Kemungkinan itu ada, tetapi kita sudah berada di dalam kota San-hai-koan sekarang, apakah akan mundur?"

   Para perwiranya saling toleh, kemudian yang terdengar adalah suara Ong Ling-po yang tegas.

   "Kita tetap dalam rencana. Mari kita rebut salah satu pintu gerbang. Kita serang secara mendadak."

   Mereka pun merunduk di antara loronglorong gelap kota San-hai-koan untuk mendekati ke pintu kota.

   Ong Ling-po maju paling depan dengan menggenggam erat II senjatanya, sepasang Hau-thau-kau (kaitan kepala macan).

   Mereka tiba di sebuah pintu gerbang, dan mengintip dari persembunyian mereka, melihat pintu gerbang itu pun ternyata dijaga kuat.

   Ada juga belasan ekor kuda yang tertambat di tonggak, setiap saat digunakan para penghubung untuk memberitahukan kepada yang lain kalau keadaan menjadi gawat.

   Ong Ling-po membisiki seorang perwira di sebelahnya.

   "Bawa orang-orangmu membunuh kuda-kuda itu begitu serangan dimulai. 3angan sampai musuh bisa saling berhubungan melalui para kurir. Paham?"

   Si perwira mengangguk, lalu membawa anak buahnya mengendap-endap memasuki sebuah lorong yang lain di antara rumah-rumah penduduk San-hai-koan yang gelap.

   Sedangkan Ong Ling-po tidak menunggu lebih lama lagi, dengan sebuah isyarat, hujan panah segera menghambur ke arah prajuritprajurit San-hai-koan yang menjaga pintu gerbang itu.

   II Prajurit-prajurit San-hai-koan itu jadi panik, tidak menyangka musuh menyerang malammalam bukan dari luar pintu gerbang, tetapi dari dalam pintu gerbang.

   Puluhan prajurit tumbang seketika terkena hujan panah.

   Yang lain-lain sempat mengangkat perisai-perisai mereka sambil berteriak saling memperingatkan.

   Tetapi para prajurit San-hai-koan segera membalas, meskipun agak sulit memanah sebab musuh bersembunyi di tempat-tempat gelap.

   Bahkan ada yang mulai menyerbu ke tempat yang gelap dengan berani.

   Perwira Ong Ling-po yang ditugasi membunuh kuda segera bertindak.

   Ia dan orang-orangnya menghujankan panah ke arah kuda-kuda itu sehingga dalam sekejap belasan kuda itu mati semua.

   "Sergap mereka!"

   Ong Ling-po mengomando orang-orangnya, la sendiri langsung menyongsong prajurit-prajurit San-hai-koan dengan sepasang Hau-thau-kau-nya.

   Sepasang II lengannya bergerak tanpa ragu-ragu, dan beberapa prajurit San-hai-koan dirobohkannya.

   Orang-orangnya mengikutinya, dan bertemu dengan pengawal-pengawal pintu Sanhai-koan, seperti dua gelombang yang bertabrakan, begitulah di belakang pintu kota itu segera terjadi pertempuran sengit di bawah cahaya obor-obor.

   Sengit, sebab prajuritprajurit Pelangi Kuning ingin merebut pintu gerbang secepatnya, sedang prajurit-prajurit San-hai-koan tentu saja mempertahankannya mati-matian karena pintu-pintu gerbang itulah kunci mati hidup mereka.

   Ong Ling-po masih sempat merobohkan beberapa prajurit San-hai-koan lagi, tetapi ulahnya terhenti ketika di depannya muncul seorang bertubuh tegap dan bersenjata sebuah kampak bertangkai sepanjang tombak.

   Orang itu adalah Miao Hu, seorang perwira bawahan Bu Sam-kui yang berdarah dingin.

   Tanpa berkata apa-apa, langsung saja Miao Hu mengayunkan kampak panjangnya ke ubunubun Ong Li-po.

   Biarpun kepala Ong Ling-po II mengenakan ketopong besi, namun kalau sampai terkena kampak besar yang digerakkan tenaga besar itu, pastilah ketopongnya akan penyok dan tengkorak kepalanya tetap saja bakal ringsek.

   Ong Ling-po tidak ingin mengalami nasib demikian.

   Dengan gesit ia berkelit ke samping, membiarkan kampak itu lewat di samping tubuhnya.

   Bukan itu saja, kaitan kirinya mengkait "leher"

   Kampak itu dan menariknya searah dengan gerakan awalnya.

   Miao Hu terseret selangkah ke depan, sementara kaitan kanan Ong Ling-po hendak mengkait ke kulit muka Miao Hu.

   Demikianlah sekarang balik Miao Hu yang terancam.

   Tapi Miao Hu juga cukup tangkas, ia cepat menegakkan pinggangnya sambil mengangkat kedua lengannya, bagian tengah dari kampaknya ia gunakan menangkis kaitan lawan yang menyerang muka.

   Sambil kakinya menyapu agak tinggi ke lutut Ong Ling-po.

   Ong Ling po membuat sebuah lompatan berputar, II sepasang kaitannya bergetar bersama seperti sepasang sayap garuda.

   Begitulah, kedua perwira yang sama-sama berani dan sama-sama tangkas itu bertarung dengan sengit.

   Kelihatannya mereka seimbang.

   Para pengawal San-hai-koan amat gigih mempertahankan pintu gerbang, mereka sadar betapa fatal akibatnya kalau sampai pintu itu dapat direbut dan pasukan musuh membanjir masuk ke kota.

   Di sekitar pintu gerbang itu para pengawal San-hai-koan kalah jauh dalam jumlah.

   Mereka hanya dua ratusan, sedang musuh yang menyelundup masuk itu seribu orang, lima kali lipat.

   Namun pengawalpengawal San-hai-koan itu berharap temanteman mereka akan berdatangan dan segera menumpas penyusup-penyusup ini.

   Prajurit-prajurit San-hai-koan yang berjagajaga di atas tembok kota pun mengetahui keributan itu.

   Segera mereka memanah dari atas tembok, bahkan menjatuhkan batu-batu.

   Kali ini bukan ke sebelah luar tembok kota seperti siang tadi, melainkan ke sebelah dalam.

   II Ong Ling po membuat sebuah lompatan berputar, sepasang kaitannya bergetar bersama seperti sepasang sayap garuda.

   II Banyak prajurit-prajurit Ong Ling-po menjadi korban.

   Para perwira bawahan Ong Ling-po segera mengambil prakasa untuk menyelamatkan orang-orangnya.

   Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Mereka memecah orangorangnya menjauhi tembok, menyusup ke dalam lorong-lorong kota San-hai-koan yang gelap.

   Dengan demikian, tekanan berat yang dirasakan semula oleh pengawal-pengawal pintu gerbang San-hai-koan, terasa sedikit kendor.

   Ong Ling-po menjadi cemas.

   Pintu gerbang harus direbut secepat mungkin dan dibuka, sebelum pihak musuh kedatangan balabantuan, tapi kalau tekanan orang-orangnya kepada pengawal-pengawal pintu mengendor, persoalannya bisa berlarut-larut.

   Salah-salah ia sendiri dan orang-orangnya takkan bisa keluar dari San-hai-koan dan malahan tertumpas di dalam kota.

   Ia meneriakkan kata-kata isyarat, agar orang-orangnya yang berpencaran itu II secepatnya kembali memberi tekanan ke pengawal-pengawal pintu gerbang.

   Ketika anak buah Ong Ling-po kembali menyusun diri untuk menekan musuh, unsur kejutannya sudah jauh berkurang.

   Meski pengawal-pengawal San-hai-koan tetap mengalami kesulitan karena jumlahnya kalah jauh, namun kegigihan dan semangat tempur mereka membuat pertahanan mereka jadi alot dan susah ditembus.

   Apalagi ketika pengawalpengawal San-hai-koan lainnya mulai berdatangan membantu teman-teman mereka mempertahankan pintu kota.

   Kebanyakan yang datang dari atas tembok kota, turun melalui tangga batu di kiri kanan pintu gerbang.

   Prajurit-prajurit Pelangi Kuning coba menyumbat ujung-ujung bawah tangga-tangga itu.

   Tetapi banyak pengawal San-hai-koan yang tidak sabar lagi turun dengan menyusuri tangga batu yang lebarnya cuma satu meter itu.

   Banyak yang baru sampai di tengah-tengah tangga dan langsung melompat turun begitu saja untuk II langsung terjun ke gelanggang, meringankan beban teman-teman mereka.

   Begitulah, makin malam pertempuran makin sengit.

   Korban-korban di kedua belah pihak sudah puluhan orang yang tewas, yang luka-luka lebih banyak lagi.

   Penduduk sipil Sanhai-koan gemetar ketakutan bersembunyi di rumah masing-masing, berkomat-kamit membaca doa, berharap keributan lekas selesai.

   Penduduk sudah acuh tak acuh, tidak peduli bendera apa yang bakal berkibar di atas kota San-hai-koan, asal perang dan permusuhan cepat selesai.

   Penduduk sipil San-hai-koan sudah merasakan betapa pahitnya permusuhan yang tidak berkesudahan itu, bagaimana bahan makanan yang tinggal sedikit pun dirampas untuk persediaan tentara, bagaimana jantung mereka setiap kali serasa diperas-peras mendengar dentum meriam, suara denting senjata, dan sorak orang berperang.

   Ong Ling-po yang merasa dipacu untuk segera merampungkan tugasnya, mengerahkan segenap ketangkasannya untuk segera II membereskan Miao Hu, lawannya.

   Lawannya itu bertenaga besar, Ong Ling-po tahu itu, maka Ong Ling-po justru memanfaatkan keunggulan dirinya, yaitu kecepatan, untuk menekan lawannya.

   Ia kerahkan seluruh kecepatannya, ia boyong keluar gerak-gerak tipu yang diharapkan bisa membingungkan lawannya.

   Dari keunggulan kecepatan Ong Ling-po itu memang segera menunjukkan hasilnya.

   Miao Hu mulai terdesak, bahkan kulit di pahanya sudah terkoyak berdarah oleh kaitan lawannya, dan langkahnya mulai terpincang-pincang.

   Sementara Ong Ling-po terus melabraknya bertubi-tubi, berlompatan mengitari lawannya, membuat lawannya semakin kebingungan harus menghadap ke mana.

   Dan meski pengawal-pengawal San-haikoan terus kedatangan bantuan,tetapi prajuritprajurit Pelangi Kuning terus mendesak dengan garang dan gigih, makin berhasil mendekat ke pintu gerbang.

   Prajurit-prajurit San-hai-koan sendiri juga tidak bisa seluruhnya datang ke pintu gerbang.

   II Sebagian besar tetap berjaga-jaga di atas tembok kota untuk mewaspadai keadaan di luar kota, biarpun tidak kelihatan apa-apa, juga harus menjaga pintu-pintu gerbang yang lain karena khawatir penyusupan di berbagai tempat, juga untuk menjaga tempat-tempat penting di dalam kota, seperti kediaman Bu Sam-kui, gudang perbekalan dan lain-lain.

   Prajurit-prajurit San-hai-koan jadi lebih sibuk lagi, ketika dari tengah kota tiba-tiba terlihat api berkobar menjulang tinggi.

   Terdengar teriakan.

   "Gudang bahan makanan terbakar! Gudang bahan makanan terbakar!"

   Prajurit-prajurit pun jadi kalang-kabut. Bahan makanan adalah "nyawa"

   Mereka yang terkurung di San-hai-koan itu, bahkan untuk mendapatkannya saja harus tutup-kuping dan tutup-hati dari jerit-tangis rakyat kecil yang dirampas bahan makanannya.

   Kini tiba-tiba tempat penyimpanan bahan makanan terbakar, keruan para prajurit San-hai-koan kebingungan.

   Meskipun mereka tahu ada teman-teman mereka yang berusaha memadamkan api, tetapi II prajurit-prajurit yang bertahan di pintu gerbang itu mau tidak mau terpengaruh semangatnya.

   Sementara mereka menyangka bahwa kota Sanhai-koan benar-benar mengalami serbuan dan penyusupan besar-besaran Prajurit-prajurit itu tidak tahu, bahwa Ong Ling-po sendiri sebagai pimpinan para penyerbu, juga tidak tahu dari mana tiba-tiba ada api di gudang perbekalan itu, sebab itu diluar rencananya.

   Sampai Ong Lingpo berpikir.

   "Malam ini sudah ada dua peristiwa ganjil. Tahu-tahu saja ada orang berwajah pucat mengaku-aku sebagai prajuritku, menunjukkan jalan memasuki San-hai-koan dan setelah itu menghilang begitu saja tanpa meninggalkan namanya. Sekarang, entah siapa yang menyalakan api di gudang perbekalan San-haikoan itu? Apakah ada sekelompok anak buahnya yang menyimpang dan melakukan hal itu tanpa perintahnya? Memang menguntungkan pihaknya, membuat prajuritprajurit San-hai-koan terpecah-pecah perhatiannya, tetapi sesuatu yang berjalan di II luar rencana selalu membuat Ong Ling-po berpikir. Namun yang lebih bingung adalah Miao Hu. Pikirannya sama dengan prajurit-prajurit Sanhai-koan lainnya, yaitu membayangkan ada serbuan besar-besaran dari kaum Pelangi Kuning. Karena pikirannya kacau, konsentrasinya dalam pertempurannya melawan Ong Ling-po pun semakin buyar, suatu ketika, senjata Ong Ling-po bukan hanya menambahi luka-luka di tubuh Miao Hu, tetapi juga menamatkan riwayat Miao Hu dengan sebuah sabetan ke perut. Gugurnya Miao Hu membuat semangat tempur pengawal-pengawal San-hai-koan merosot, sebaliknya prajurit-prajurit Pelangi Kuning bertambah semangatnya. Maka dipelopori Ong Ling-po yang mengamuk lebih hebat tanpa lawan yang setanding lagi. Beberapa saat kemudian, prajurit-prajurit Pelangi Kuning pun berhasil menghalau sisasisa pengawal pintu gerbang San-hai-koan dan merebut pintu gerbangnya. II Suatu ketika, senjata Ong Ling-po bukan hanya menambahi luka-luka di tubuh Miao Hu, tetapi juga menamatkan riwayat Miao Hu dengan sebuah sabetan ke perut. II Tetapi tidak berarti pertempuran selesai, meski pengawal-pengawal San-hai-koan sudah terdorong minggir dari pintu gerbang, mereka tetap berusaha merebutnya kembali biarpun tanpa pimpinan karena Miao Hu sudah mati. Seorang perwira mengambil alih pimpinan dan tidak membiarkan prajurit-prajuritnva bertempur tak terarah. Mereka berusaha merebut kembali pintu gerbang. Belasan prajurit Pelangi Kuning berhasil mengangkat palang pintu-pintu gerbang yang berat itu, dan menyingkirkannya, sementara mereka dilindungi teman-teman mereka. Kemudian dengan suara berkeriut-keriut hebat, pintu gerbang itu berhasil didorong sehingga terbuka dengan diiringi sorak gemuruh para prajurit Pelangi Kuning. Sementara prajurit-prajurit San-hai-koan semakin ciut nyalinya melihat pintu gerbang itu sudah menganga lebar, mereka sudah membayangkan pasukan musuh akan membanjir masuk tak terbendung lagi seperti II air bah, dan San-hai-koan akan jatuh dalam waktu singkat. Pada saat prajurit-prajurit San-hai-koan hampir putus-asa itulah Bu Sam-kui muncul, menunggangi kuda, diikuti beberapa perwiranya yang juga menunggang kuda, diikuti lagi ratusan prajurit yang agak ketinggalan di belakangnya karena tidak berkuda. Menerjangkan kudanya ke tengah-tengah para prajurit-prajurit Pelang. Kuning sambil menebas-nebaskan pedangnya dengan sengit, teriaknya gusar.

   "Bandit-bandit Pelangi Kuning! Aku ucapkan selamat datang di San-hai-koan sekaligus selamat jalan ke neraka!"

   Kedatangan Bu Sam-kui membuat orangorangnya jadi bersemangat kembali.

   Apalagi setelah perwira-perwira Bu Sam-kui ikut mengamuk pula, diikuti prajurit-prajurit yang baru datang.

   Tetapi saat itu pintu gerbang kota sudah terbuka lebar.

   Seorang prajurit Pelangi Kuning segera mencabut sebatang obor yang ada di pintu gerbang, lalu menghadap ke kegelapan di II luar pintu gerbang sambil mengayun-ayunkan obor itu sebagai isyarat yang sudah ditetapkan untuk pasukan-pasukan yang di luar kota.

   Prajurit-prajurit San-hai-koan menjadi panik, Bu Sam-kui berteriak di atas kudanya.

   "Cegah dia!"

   Ong Ling-po dengan berani menghadang di depan Bu Sam-kui meskipun ia tidak menunggang kuda.

   Satu kaitannya menangkis sabetan pedang Bu Sam-kui, kaitan lainnya bukan menyerang Bu Sam-kuinya melainkan menyerang kudanya.

   Kuda itu tergores lehernya sehingga melonjak-lonjak kesakitan, Bu Sam-kui terpaksa harus melompat turun sebelum dicelakakan oleh tunggangannya sendiri.

   Bu Sam-kui segera bertempur sengit dengan Ong Ling-po.

   Sambil bertempur, Bu Sam-kui masih sempat berseru kepada anak buahnya.

   "Cegah pemberi isyarat itu! Panggil pasukan-pasukan lain untuk memperkuat pertahanan di sini!"

   Rupanya Bu Sam-kui benar-benar mencemaskan pasukan musuh yang jauh lebih II besar itu akan menyerbu seperti air bah, menenggelamkan pasukannya. Sementara Ong Ling-po mengejeknya.

   "Terlambat, Bu Sam-kui. Lebih baik menyerah saja daripada mengorbankan banyak orangorangmu. Percuma mempertahankan wilayah dinasti Beng yang tinggal secuwil ini, tinggal San-hai-koan dan sekitarnya.."

   Bu Sam-kui tidak menjawab, tetapi semakin sengit menikam-nikamkan pedangnya.

   Pertempuran di pintu gerbang yang sudah terbuka itu memang menjadi mati-matian dan sangat berdarah.

   Yang bertemu di tempat itu seolah sudah bukan seperti dua kelompok manusia, tetapi dua kelompok serigala yang buas.

   Prajurit dari kedua belah pihak berlombalomba memamerkan kekejaman hewani mereka dengan maksud merontokkan semangat musuh.

   Namun di kedua pihak yang terjadi adalah sebaliknya.

   Masing-masing bukannya gentar melihat teman-teman mereka dicincang, malahan semakin buas dan terangsang untuk II melakukan hal yang sama, bahkan kalau bisa lebih hebat.

   Sementara prajurit-prajurit San-hai-koan lainnya mulai berbondong-bondong datang ke pintu gerbang itu, sehingga akhirnya berjumlah lebih banyak dari orang-orangnya Ong Ling-po.

   Sebaliknya pasukan Pelangi Kuning yang diharap-harapkan segera datang untuk memasuki pintu yang sudah terbuka itu, ternyata sekian lama belum juga datang.

   Belum satu batang hidung pun yang nampak, soraksorainya juga belum kedengaran, padahal itu bisa diharapkan menghancurkan semangat musuh dan menaikkan semangat di pihaknya sendiri.

   Karena sekian lama menunggu-nunggu pasukan itu belum muncul juga, Ong Ling-po menjadi kesal dan memaki teman-temannya sendiri dalam hati.

   "Dasar kantong-kantong nasi. Mungkin mereka tertidur semua, bahkan yang disuruh mengawasi isyarat dari sini mungkin juga tidur. Atau mungkin mereka berjalan kemari tetapi dengan merangkak....."

   II Begitulah kesalnya Ong Ling-po, namun ia harus tetap gigih menghadapi Bu Sam-kui yang ternyata lebih tangguh dari Miao Hu yang sudah dibunuhnya tadi. Dan kepada prajurit-prajuritnya ia tetap berusaha mengobarkan semangatnya.

   "Tetap pertahankan pintu gerbang! Sebentar lagi teman-teman kita akan datang untuk mengambil kota ini!"

   Orang-orangnya jadi bersemangat dan bertahan dengan gigih, namun yang datang membanjir ke tempat itu bukannya temanteman mereka malahan prajurit-prajurit Sanhai-koan.

   Si pemberi isyarat sampai pegal lengannya mengayun-ayunkan obor di depan pintu gerbang, tanpa tanggapan apa-apa dari teman-temannya di kejauhan.

   Dan seorang prajurit San-hai-koan "berbaik hati"

   Menghilangkan pegal prajurit Pelangi Kuning pemberi isyarat itu dengan menjatuhkan sebuah batu dari atas tembok tepat ke kepala si pemberi isyarat.

   II Ong Ling-po dan orang-orangnya berusaha bertahan gigih, masih dengan harapan temantemannya akan datang biar terlambat.

   Ternyata setelah sekian lama, tetap saja tidak ada yang muncul, sementara Ong Ling-po dan orangorangnya mau tidak mau terus terdorong mundur ke sebelah luar pintu gerbang.

   Begitulah, perjuangan Ong Ling-po dan penyusup-penyusup itu jadi sia-sia.

   Pengorbanan mereka dengan merangkakrangkak dalam air yang dingin bahkan tidak sedikit yang sampai terkencing-kencing, lalu sekian jam perjuangan memeras tenaga sampai bisa membuka pintu gerbang, akhirnya hanya begitu saja.

   Mereka didorong kembali ke luar.

   Sudah begitu, ketika mereka keluar pintu gerbang, prajurit-prajurit San-hai-koan yang di atas tembok menghujankan panah, lembing dan batu-batu, menambah jumlah korban di pasukannya Ong Ling-po.

   Maka ketika akhirnya Ong Ling-po dan orang-orangnya terbirit-birit menghilang ke dalam kegelapan malam di luar kota San-hai-koan, pasukannya itu tinggal II separuh.

   Berangkatnya seribu orang, kembalinya cuma lima ratus.

   Dari tempat yang cukup aman dari jangkauan panah, Ong Ling-po dengan sangat masygul melihat prajurit-prajurit San-hai-koan menutup kembali pintu gerbang yang tadinya sudah terbuka itu.

   Di balik pintu yang sudah dipalang kembali itu, Bu Sam-kui mengusap keningnya dan berkata.

   "Sungguh berbahaya, hampir saja mereka merebut kota ini. Perketat kewaspadaan, dan cari dari mana mereka menyelundup masuk.........."

   Dalam kegelapan malam, jauh dari San-haikoan, Ong Ling-po melampiaskan kekesalannya dengan menghentak-hentakkan kaki dan memaki-maki teman-temannya sendiri yang berjanji akan menyerbu pintu San-hai-koan begitu terbuka, tetapi nyatanya tidak sehingga jerih-payahnya dan prajuritnya tak ada hasilnya.

   Prajurit-prajuritnya hanya memandangi saja ulah komandannya itu.

   Sampai Ong Ling-po II tiba-tiba menoleh kepada mereka dan berkata.

   "He, kenapa kalian diam saja? Kalian ingin otak kalian jadi miring karena kekecewaan yang menumpuk di kepala kalian dan tak terlampiaskan? Ayo, kalian boleh berteriak, menangis, bahkan kalau mau memaki-maki para jenderal atasan kalian juga boleh, memaki aku juga boleh! Di sini tidak ada disiplin militer, kita hanya sekelompok orang-orang yang dikecewakan!"

   Prajurit-prajuritnya saling menoleh dengan kebingungan, seolah tidak percaya Ong Ling-po mengucapkan itu. Biasanya Ong Ling-po adalah seorang yang menerapkan disiplin yang baik.

   "He, apakah kalian mendadak jadi bisu semua? Ayo, keluarkan suara, kalian boleh memaki siapa saja dan aku tidak akan melaporkannya! Memaki aku juga boleh, memaki ketololanku, kegoblokanku, sehingga banyak dari kalian terbunuh secara sia-sia...."

   "Tidak!"

   Seorang prajurit dari pangkat vang paling rendah, tiba-tiba saja meletupkan gejolak jiwanya.

   "Hu-ciang tidak bersalah! Dengan II mataku sendiri aku melihat Hu-ciang mundur paling akhir untuk melindungi gerak mundur kami! Hu-ciang tidak bersalah, Hu-ciang mendapat luka-luka karena berusaha menyelamatkan sebanyak mungkin dari kami......"

   Ong Ling-po menyeringai kecut, desisnya.

   "Dalam kegoblokanku, masih ada juga yang memuji aku. Yang mau omong lagi siapa?" "Lau Cong-bin babi...."

   Seorang prajurit tibatiba nekad mengucapkannya, meskipun dengan takut-takut. Dan ketika merasa semakin berani, ia berteriak lebih keras.

   "Lau Cong-bin babi busuk! Babi kebiri."

   Padahal Lau Cong-bin adalah Panglima Tertinggi.

   Ucapan prajurit rendahan itu seolah mengawali ledakan perasaan prajurit-prajurit itu.

   Mulailah mereka memaki-maki, makin lama makin berani, ada juga yang melampiaskan kesalnya dengan menangis sambil tertelungkup di rerumputan sambil memukul-mukul tanah, atau berpelukan dengan teman-temannya, atau II menggunakan pedang untuk membacoki tanah dan pepohonan.

   Begitulah, tempat itu menjadi riuh-rendah dengan suara orang mencaci-maki, menangis, berteriak-teriak.

   Ong Ling-po membiarkannya saja, sampai semuanya akhirnya reda sendiri.

   Ia sendiri pun merasa sangat lega setelah melampiaskan kejengkelannya.

   Kemudian ia membawa pasukannya berbaris kembali menuju perkemahannya.

   Tetapi sebelum sampai ke perkemahan, tiba-tiba dari belakang segerumbul semak belukar terdengar seorang merintih perlahan.

   Ong Ling-po mendengarnya, lalu menghentikan langkahnya.

   Dengan sebuah isyarat, ia memerintahkan prajurit-prajuritnya yang membawa obor agar mengangkat obornya lebih tinggi supaya lebih menerangi keadaan di tempat itu.

   Ong Ling-po sendiri mendekati semak belukar itu sambil membentak.

   "Siapa di situ? Keluar!"

   II Sesosok tubuh melangkah keluar dari balik semak-semak itu, melangkah tertatih-tatih sambil memijit-mijit tengkuknya sendiri seperti sangat kesakitan, orang itu hanya memakai pakaian dalam di malam yang dingin itu.

   Semula Ong Ling-po tidak lagi menggubris, karena disangkanya orang itu mungkin orang desa sekitar San-hai-koan yang sedang bermain cinta di semak-semak itu dengan pasangannya, tetapi mungkin ketahuan orang dan dihantam tengkuknya dan perempuannya dibawa ke tempat lain.

   Kejadian seperti itu biasa saja.

   Ong Ling-po sudah bermaksud meninggalkannya begitu saja, kalau tidak seorang perwiranya tiba-tiba berkata dengan kaget.

   "Hei, bukankah ini Si A-lok?"

   Ong Ling-po menoleh ke arah perwiranya yang bersuara tadi dan bertanya.

   "A-lok siapa?"

   Sahut perwira bawahanpya itu;

   "A-lok juga seorang rekan kami, perwira yang berpangkat sama dengan aku dan satu pasukan denganku, tadi juga ikut berangkat untuk menyusup ke San-hai-koan..."

   II Ong Ling-po tercengang.

   "Kalau ikut berangkat, kenapa sekarang malahan ada di balik semak-semak itu, dan ke mana pakaian seragamnya?"

   A-lok si perwira yang baru keluar dari balik semak-semak hanya dengan pakaian dalam itu, cepat-cepat berlutut di depan Ong Ling-po untuk melaporkan.

   "Lapor, Komandan, aku sampai seperti ini bukan karena mengabaikan disiplin, melainkan karena mengalami sesuatu.."

   "Sesuatu apa? Ceritakan!"

   "Tadi ketika aku bersama pasukan berangkat ke San-hai-koan, aku mendapat tempat di barisan belakang. Tiba-tiba aku merasa ingin kencing, lalu diam-diam aku keluar dari barisan dan menghampiri semaksemak di pinggir jalan untuk kencing. Belum sempat kencing, tahu-tahu dari semak-semak melompat keluar seseorang yang langsung memukul aku sehingga pingsan. Aku tidak tahu apa yang terjadi selama pingsan, hanya begitu sadar aku Sudah seperti ini Seragamku lenyap entah kemana..."

   II Meskipun tidak diceritakan, Ong Ling-po dan lain-lainnya bisa menerka dengan mudah apa yang terjadi selama Si A-lok ini pingsan.

   Penyergap itu melucuti pakaian seragam A-lok, dan buat apa lagi kalau bukan digunakan menyamar ke tengah-tengah pasukan Ong Lingpo? Tak sengaja Ong Ling-po menoleh ke arah anak buahnya, seolah-olah ingin menemukan siapa yang palsu di antara mereka, yang memakai pakaian seragam kepunyaan A-lok.

   Lalu menoleh kembali kepada A-lok.

   "A-lok, kau bisa mengenali wajah orang yang menyerangmu itu? A-lok mengerutkan keningnya, berusaha mengingat-ingat."Saat itu terjadi begitu cepat, dan terjadinya di dalam gelap pula, aku tidak yakin benar apa yang aku lihat. Tetapi sekilas..... sekilas wajah. orang. itu sepertinya.... begitu pucat hanya itu, Hu-ciang."

   Ong Ling-po langsung teringat kepada seorang yang tiba-tiba saja muncul dan menunjukkan jalan untuk menyusup ke dalam II San-hai-koan, kemudian setelah tiba di bagian dalam tembok San-hai-koan, orang itu menghilang begitu saja.

   
Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Orang itu mengaku sebagai "seorang perwira rendahan"

   Saja bahkan, menyebutkan namanya saja tidak mau.

   Kemudian, selama pertempuran di pintu gerbang tadi, juga terjadi kebakaran gudang perbekalan makanan di tengah San-Hai-koan, padahal tidak ada satupun anak buah Ong-lingpo yang melakukannya.

   Sesuatu yang cukup aneh, dan tidak mungkin dijawab hanya dengan "Mungkin penjaga-penjaga gudang sendiri yang kurang hati-hati sehingga terbit kebakaran itu,"

   Dan semacamnya.

   Ong ling-po menganggap semuanya itu bukan secara kebetulan saja.

   Memang yang dilakukan orang berwajah pucat itu semuanya menguntungkannya.

   Menunjukkan cara masuk San-hai-koan, yang seandainya tidak ditunjukkan kepada Ong Ling-po dan pasukannya tentu sulit sekali memasuki San-hai-koan.

   Huga kebakaran di gudang perbekalan itu menguntungkan, membuat prajurit-prajurit San-hai-koan II kebingungan karena menyangka terjadinya penyusupan besar-besaran.

   Tetapi yang dipikirkan Ong Ling-po bukan soal menguntungkannya saja, tetapi apa maksud orang itu di balik tindakan-tindakannya? Maksud baik? Atau maksud-maksud lainnya? Namun saat itu Ong Ling-po dalam keadaan lelah lahir-batin, rasa kesal di hatinya juga belum bersih benar sehingga mempengaruhi otaknya yang biasanya rajin berpikir.

   Ia tidak memikirkannya lagi, meski bukan berarti melupakannya.

   Demikianlah ia mengajak orang-orangnya kembali ke perkemahan.

   Ketika mereka melewati sebuah lapangan di balik bukit tidak jauh dari San-hai-koan, tempat di mana seharusnya pasukan yang menunggu menyerbu masuk San-hai-koan apabila diberi isyarat, ternyata di tempat itu tidak kelihatan seorang pun.

   Tetapi di rerumputan ada bekasbekas kalau tadinya ada pasukan menunggu di situ, namun kemudian ditarik kembali ke perkemahan.

   II "Pantas, kita beri isyarat lama tidak ada tanggapan apa-apa...."

   Gerutu Ong Ling-po.

   "Mereka sudah di sini, tapi kemudian kembali ke perkemahan, entah ada apa..."

   "Mungkin karena mengantuk..."

   "Kalau hanya mengantuk saja lalu mempertaruhkan nyawa kita sebanyak ini, sungguh mereka semua keturunan babi..."

   Bermacam dugaan timbul, tetapi setelah dekat dengan perkemahan, mereka heran melihat kesibukan di perkemahan itu.

   Saat itu sudah larut malam, namun nampak kesiagaan yang tinggi di sekitar dan di dalam perkemahan itu.

   Biasanya juga ada penjagaan, tetapi tidak seperti ini.

   Ini berkali lipat.

   Seorang panglima bawahan Lau Cong-bin menyongsong Ong Ling-po, berkata dengan sungkan.

   "Saudara Ong, harap maafkan aku sebab....."

   Kata-katanya tak sempat diselesaikannya sebab Ong Ling-po tiba-tiba saja sudah menjotos rahangnya sehingga ia jatuh terkapar! Ong Ling-po berbuat demikiah sebab panglima II Kata-katanya tak sempat diselesaikannya sebab Ong Ling-po tiba-tiba saja sudah menjotos rahangnya sehingga ia jatuh terkapar! II yang menyongsongnya ini adalah yang ditugaskan menyerbu ke-pintu San-hai-koan kalau sudah diberi isyarat.

   Perwira itu cepat melompat bangun, dengan gusar mencabut pedangnya sambil berteriak "Kurang ajar Hendak diberi penjelasan! baikbaik kok malah main jotos seenaknya; saja "

   Ong Ling-po juga segera menyiapkan sepasahg kaitannya sambil menyahut.

   "Tidak perlu kau jelaskan kepadaku. Jelaskan saja kepada arwah prajurit-prajuritku yang malam ini gugur secara penasaran dan sia-sia di Sanhai-koan!"

   Kedua orang sesama panglima bawahan Jenderal Lau itu hampir saja saling gebrak dengan Senjata, kalau tidak muncul beberapa panglima lain yang melerai mereka.

   Di antaranya adalah Deng Hu-koan yang paling disegani oleh panglima-panglima lain, karena dia adalah orang yang kedudukannya paling dekat dengan Jenderal Lau.

   Kepada Ong Ling-po, Deng Hu-koan menjelaskan.

   "Saudara Ong, di antara rekanII rekanmu di perkemahan ini tidak ada satu pun yang bermaksud menjerumuskan kau ke dalam bencana. Memang seharusnya semua berjalan menurut rencana, begitu melihat isyarat di pintu gerbang San-hai-koan, Saudara Phui ini akan langsung menyerbu dengan pasukannya. Tetapi ada perkembangan lain yang membuat rencana tidak berjalan seperti semula. Tidak lama setelah kau dan pasukanmu pergi, perkemahan kita diserbu dari arah pegunungan. Mungkin sisa-sisa pasukan dinasti Beng yang menjadi kawan-kawan Bu Sam-kui. Mereka menyerbu dan membakar, kemudian menghilang kembali ke pegunungan dengan gerak cepat. Waktu itu Jenderal Lau mencemaskan keselamatan dirinya, sehingga menyuruh seluruh pasukan menghalau penyerbu itu. Termasuk pasukan Saudara Phui yang disiapkan untuk merebut pintu gerbang itu juga harus ditarik ke belakang....."

   "Kenapa aku tidak diberi tahu, sehingga penyerbuanku ke dalam kota San-hai-koan menjadi suatu tindakan yang percuma dan II bodoh?"

   Tanya Ong Ling-po penasaran.

   "Bahkan separuh dari pasukanku mampus sia-sia di dalam kota San-hai-koan. Pengorbanan mereka sepertinya begitu sia-sia!"

   "Kami menyesalkan itu, Saudara Ong. Tetapi kami juga sudah menyuruh seorang untuk menyusul pasukanmu dan membatalkan rencana penyusupan itu. Sayang, sudah tidak tersusul."

   Sudah dijelaskan seperti itu, Ong Ling-po merasa tidak pantas juga kalau terus menerus menyalahkan. Akhirnya ia cuma bisa menarik napas sambil berkata penuh sesal.

   "Kalau memang begitu kejadiannya, ya sudahlah. Memang prajurit-prajuritku yang gugur malam ini rupanya sudah ditakdirkan menjadi arwaharwah penasaran. Suatu saat harus kuadakan upacara sembahyang khusus untuk menenangkan roh mereka..."

   "Bagus kalau kau bisa memahami, Saudara Ong."

   "Besarkah kerugian yang disebabkan oleh penyerbuan itu?"

   Ong Ling-po kemudian II bertanya, pura-pura memberi perhatian, sekedar untuk mengalihkan ke-masygulannya yang tidak akan mudah dihapus hanya dengan penjelasan. Deng Hu-koan mengertakkan gigi.

   "Penyergap-penyergap itu betul-betul pengecut. Mereka menyerbu selagi kita tidur, dan yang mereka serang juga bukan perkemahan prajurit tempur, melainkan garis belakang, tempat perbekalan makanan kita disimpan. Sebagian besar perbekalan makanan kita musnah! Benarbenar sisa-sisa dinasti Beng itu berkelahi seperti perempuan!"

   Waktu itu, angin malam yang bertiup memang sayup-sayup membawa bau barangbarang terbakar.

   Mendengar, penjelasan tentang terbakarnya perbekalan, Ong Ling-po tiba-tiba teringat bahwa perbekalan pasukan di San-hai-koan pun telah dibakar seorang yang misterius.

   Tiba-tiba pula Ong Ling-po tertawa geli dan berkata.

   "Hehe-he, di luar kota San-hai-koan ini bakal berhadapan dua pasukan yang sama-sama II kelaparan, sama-sama bertempur dengan perut kosong..."

   "Apa yang terjadi di San-hai-koan?"

   Secara ringkas Ong Ling-po menceritakan pengalamannya.

   Ia ceritakan apa adanya, bahwa orang yang membakar gudang perbekalan pasukan itu tidak dikenalnya.

   Sedikit berbeda dengan perwira-perwira bawahan Lau Cong-bin yang biasanya suka menjilat dan suka mengakui jasa orang lain sebagai jasanya sendiri, Ong Ling-po membeberkan apa adanya.

   Meskipun seandainya ia mengakui pembakaran gudang perbekalan itu sebagai "hasil karya"nya juga takkan ada yang bisa membuktikan sebaliknya.

   Deng Hu-koan tertawa dingin.

   "Bagus. Tetapi posisi kita lebih menguntungkan. Biarpun bahan makanan kita habis, kita bisa mendapat kiriman. Besok pagi-pagi juga akan kukirim kurir ke Pak-khia untuk minta kiriman perbekalan baru. Sedangkan Bu Sam-kui yang terkurung di San-hai-koan takkan bisa ke manamana, ia hanya menunggu mati kelaparan bersama prajurit-prajuritnya......"

   II Ong Ling-po cuma menarik napas, kemudian berkata.

   "Maaf, Kakak Deng. Aku lelah. Prajurit-prajuritku juga banyak yang terluka dan harus diobati."

   "O, baik-baik. Istirahatlah." * ** Keesokan harinya, Jenderal Lau mengumpulkan perwira-perwiranya, dan sebagaimana sudah diduga oleh perwiraperwira itu, mereka berkumpul hanya untuk didamprat dan dicaci-maki. Tidak seorang pun diberi kesempatan mengemukakan pendapatnya, semuanya hanya harus memberi kuping kepada caci-maki-nya yang menghambur. Di dalam deretan para perwira, diam-diam Ong Ling-po membatin.

   "Kalau Panglima Tertinggi bisanya cuma marah-marah tetapi tidak menemukan jalan keluar dari masalahnya, entah bagaimana jadinya masa depan negeri ini. Sungguh mengherankan bahwa orang macam II inilah yang dulu berhasil memasuki Pak-khia untuk pertama kali, bukan orang seperti Jenderal Li..."

   Ong Ling-po jadi teringat Li Giam yang diam-diam dikaguminya.

   Sayang, dalam susunan ketentaraan, ia justru ditaruh di bawah Jenderal Lau yang kerjanya cuma main cewek ini.

   Sementara itu, selesai mendamprat semua orang, Jenderal Lau begitu terengah-engah, sehingga seorang gadis cantik pengawalnya buru-buru menyuguhkan secangkir minuman segar.

   Seorang pengawal jelita lainnya menyeka dahi Sang Jenderal dengan handuk yang lembut.

   Kemudian keluarlah perintah Jenderal Lau.

   "Hari ini, kerahkan seluruh kekuatan untuk menggempur San-hai-koan!"

   Tak sengaja seorang perwiranya menyeletuk.

   "Seluruh?"

   "Ya! Seluruh kekuatan! Apa maksudmu dengan pertanyaan tadi?"

   "Maaf, Jenderal, kalau seluruh kekuatan maju ke garis depan, siapa yang akan II melindungi Jenderal di perkemahan ini, seandainya saja pengacau-pengacau dari pegunungan itu datang kembali?' Jenderal Lau tercengang, lalu garuk-garuk kepala.

   "O, iya ya?"

   "Jenderal, tentu saja kami dukung seruan Jenderal untuk menggempur San-hai-koan sekuat tenaga biar Bu Sam-kui tidak sempat bernapas, kalau perlu kita gempur siang-malam secara bergantian karena prajurit kita jauh lebih banyak dari musuh sehingga prajuritprajurit San-hai-koan akan kelelahan. Tetapi keselamatan Jenderal juga suatu hal yang penting, kami semua masih membutuhkan pimpinan dan kebijaksanaan Jenderal yang sudah kami anggap sebagai ayah dan Guru kami sendiri...."

   Demikianlah perwira itu mengusulkan bercampur menjilat juga, dengan harapan menyenangkan hati atasannya, syukur-syukur kalau dipercepat kenaikan pangkatnya.

   Memang Jenderal Lau segera menganggukangguk puas, menikmati penjilatan terangII terangan itu.

   Lalu katanya kepada perwira penjilat itu.

   "Baik. Kau dan pasukanmu tetap berada di sampingku."

   Si perwira penjilat dengari berseri-seri berkata sambil memberi hormat.

   "Terima kasih, Jenderal. Sungguh besar kehormatan yang Jenderal berikan kepadaku, sehingga aku dipercayai tanggung-jawab akan keselamatan Jenderal. Alangkah berbahagianya orang seperti aku yang siap mengabdi..."

   Kata-kata penjilatan yang lebih dahsyat tentu akan berhamburan lebih banyak lagi seandainya Ong Ling-po yang mulai jemu itu tidak cepat-cepat menukasnya.

   "Jenderal, kalau melihat jejak yang ditinggalkan oleh pengacaupengacau dari pegunungan itu, aku perhitungkan jumlah mereka sebenarnya tidak besar. Hanya karena mereka menyerang di malam hari dan secara mendadak, mereka kelihatan banyak dan berhasil menimbulkan kerugian besar. Kalau Jenderal berkenan, ijinkanlah aku membawa orang secukupnya untuk mengejar mereka ke pegunungan. Aku II pernah melatih pasukan selama berbulan-bulan di pegunungan dan tahu bagaimana caranya hidup di pegunungan. Pengacau-pengacau di pegunungan itu harus dibasmi lebih dulu, kalau tidak mereka akan selalu menjadi duri di garis belakang kita."

   Jenderal Lau pura-pura berpikir sebentar, agar jangan sampai dianggap malas berpikir, lalu tanyanya.

   "Berapa kira-kira jumlah musuh yang menyerbu semalam,menurut taksiranmu?" (Bersambung

   Jilid VIII) Sumber Image . Koh Awie Dermawan first share in
Kolektor E-Book
Pringsewu 17/07/2018 14 . 33 PM II III ( Bagian II )

   Jilid VIII Karya . STEVANUS S.P. pelukis . WIDODO Percetakan & Penerbit CV "G E M A"

   Mertokusuman 761 RT 02 RW VII Tilpun 35801 - SOLO 57122 III III KEMBANG JELITA PERUNTUH TAHTA 2 Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid VIII "S ulit ditaksir secara tepat, tetapi mungkin tidak lebih dari empat ribu orang."

   "Aku ijinkan kau membawa jumlah prajuritmu, asal jangan banyak-banyak. Sebagian kekuatan harus digunakan untuk menggempur San-hai-koan dan melindungi aku."

   "Baik. Ijinkan aku membawa lima ribu prajurit gunungku."

   "Kapan akan kau selesaikan tugasmu dan kembali ke perkemahan?"

   "Tidak bisa ditentukan waktunya, Jenderal. Pegunungan itu luas dan banyak sudut-sudut persembunyiannya, sementara aku tidak tahu di III sebelah mana pengacau-pengacau itu. Mungkin akan terjadi kucing-kucingan antara pasukanku dengan mereka, dan aku tidak bisa memastikan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk selesaikan permainan itu."

   Banyak perwira-perwira yang termangumangu mendengar kata-kata Ong Ling-po itu.

   Banyak juga yang kurang menyukai Ong Ling-po diam-diam menganggap bahwa perwira muda she Ong itu terlalu berambisi dan sedang menjerumuskan diri sendiri ke dalam kesulitan besar.

   Mereka tahu betapa sulitnya "bermain"

   Di medan yang bergunung-gunung dan penuh hutan lebat, di mana kedua belah pihak saling tidak mengetahui posisi masing-masing.

   Kekuatan saja tidak cukup, tapi juga membutuhkan kecerdikan dan ketepatan perhitungan.

   Perwira-perwira lain selain Ong Ling-po lebih suka berada dalam pertempuran di tempat terbuka yang seganas apa pun, di mana kawan dan lawan bisa saling melihat secara terang-benderang, daripada mengendap- III endap dalam kegelapan hutan-hutan di pegunungan.

   Perwira yang semalam dijotos oleh Ong Ling-po mengejek dalam hati.

   "Hem, bocah ingusan she Ong, kau ini mau cari muka tetapi akan mendapat kesulitan besar. Mudahmudahan demikian, biar puas sakit hatiku, dan aku akan lebih puas lagi kalau kau dicaplok macan di tengah hutan..."

   Tetapi karena Lau Cong-bin tidak mau bersusah-payah memikir lagi, ia segera terima semua usul-usul itu.

   Dan memerintahkannya untuk segera dilaksanakan.

   Maka sebagian besar pasukan meninggalkan perkemahan, dan kembali menggempur Sanhai-koan seperti sehari sebelumnya.

   Sedangkan Ong Ling-po dan pasukan-gunungnya kembali melaksanakan tugas yang oleh rekan-rekannya sendiri dianggap tugas penuh resiko dan dihindari.

   Sementara itu, jauh di antara lipatan-lipatan pegunungan yang tertutup hutan lebat, Kongsun Koan dan pasukannya sedang beristirahat, III kecuali mereka yang bertugas untuk berjagajaga.

   Mereka adalah sebagian dari pasukan Sanhai-koan yang oleh Bu Sam-kui sengaja disuruh keluar dari San-hai-koan untuk mengacaukan garis belakang pasukan Pelangi Kuning.

   Dan semalam mereka berhasil mengejutkan Lau Cong-bin dengan serbuan mendadak mereka, selagi pihak Pelangi Kuning tidak menduga akan adanya serangan itu.

   Bahkan mereka berhasil memusnahkan sebagian besar dari perbekalan kaum Pelangi Kuning.

   Serangan yang berhasil gemilang, sebab pihak Kongsun Koan hanya beberapa prajurit luka-luka, dan setelah serangan kilat itu mereka menghilang dengan cepat.

   Siang itu, sayup-sayup di kejauhan terdengar suara dentuman meriam tak putusputusnya, Kongsun Koan tahu bahwa San-haikoan tentu sedang digempur seperti kemarin.

   Kemarin malam Kongsun Koan lega setelah mendengar laporan mata-matanya, bahwa kemarin San-hai-koan belum berhasil direbut oleh kaum Pelangi Kuning, namun gempuran III hari ini kedengarannya lebih dahsyat.

   Suara meriam tak ada putus-putusnya.

   Kongsun Koan merasa tegang juga, membayangkan jangan-jangan San-hai-koan akan jatuh hari ini? Tetapi ia tidak ingin perasaannya itu diketahui oleh prajuritprajuritnya, ia berpura-pura tetap tenang.

   Prajurit-prajnritnya yang bergeletakan beristirahat di sekitarnya, hanya melihat komandan itu berbaring di bawah pohon, menatap langit biru, berbantal lengannya, menggigit-gigit sehelai rumput di antara gigigiginya.

   Kelihatannya santai sekali, para prajurit tidak melihat kegelisahan hati perwira muda itu memikirkan San-hai-koan.

   "Jangan terlalu menggubris suara meriammeriam itu. Percayalah teman-teman kita di San-hai-koan akan bias bertahan dengan baik seperti kemarin......"

   Demikian Kongsun Koan membesarkan hati prajurit-prajuritnya.

   "Apalagi semalam telah kita musnahkan bahan perbekalan musuh. III Mereka takkan dapat bertahan lama tanpa makanan."

   


Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung

Cari Blog Ini