Ceritasilat Novel Online

Sengketa Cupu Naga 1


Sengketa Cupu Naga Karya Batara Bagian 1



Sengketa Cupu Naga Karya dari Batara

   
REWRITERS & PDF MAKERS. MUJAHID ILMU & FERRISIA "HADI"

   VIRGATA

   Jilid 01-03 SAIFUL BAHRI & DERRY ADRIAN SALEH (DAS)

   Jilid 04-07 SITI FACHRIAH & OZ

   Jilid 08-26 SENGKETA CUPU NAGA

   Jilid 01-26 * * * Hasil Karya . B A T A R A Pelukis . YANES SOEBAGIO * * * Percetakan & Penerbit C V "G E M A"

   Mertokusuman 761 Rt.

   14 Rk.

   11 Telpun No.

   5801 SOLO Hak cipta dari cerita ini sepenuhnya berada di tangan pengarang, di bawah lindungan Undang- undang.

   Dilarang mengutip/menyalin/menggubah tanpa ijin tertulis pengarang.

   CETAKAN PERTAMA CV GEMA SOLO 1982 SENGKETA CUPU NAGA Karya .

   Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA .

   AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 01 Semenjak Dinasti Ting berdiri (618-907), maka agaknya Kaisar Tang Tai Cung atau sri baginda Li Shih Min itulah barangkali paling disukai rakyatnya.

   Hal ini tidak lain karena tindakan-tindakannya yan bijaksana bagi rakyat jelata, seperti umpamanya masalah undang-undang tanah dan peraturan- peraturan pajak yang amat terkenal dalam sejarah itu.

   Kaisar ini memang pandai, juga dia terkenal berani dan bakatnya sebagai militerbesar itu telah berhasi membuat kaisar ini memperluas wilayah kerajaan sampai jauh di perbatasan Tibet dan Korea.

   Tapi yang barangkali memikat bagi rakyatnya adalah dua peraturannya yang luar biasa itu.

   Yakni undang- undang tanah yang mengatur pembagian tanah bagi setiap lelaki sebanyak 100 mou (lebih kurang 7 ha) dan peringanan pajak yang istimewa sekali bagi setiap warganya, terutama kaum petani.

   Dan turunnya dua undang-undang baru inilah yang membuat "gempar"

   Semua orang. Seperti diketahui, Tiongkok pada waktu itu masih banyak memperkuda orang untuk kepentingan diri pribadi bagi golongan ningrat atau bangsawan. Dan golongan orang-orang kaya ini lah yang "mendominir"

   Kehidupan sehari-hari.

   Mereka memiliki tanah yang luasnya ratusan hektar, bahkan ada yang ribuan hektar.

   Dan tanah yang dipakai umtuk bercocok tanam atau perkebunan yang luas itu telah menghasilkan uang yang berlimpah-limpah bagi kaum bangsawan ini.

   Tenaga petani digunakan untuk mengendutkan perut sendiri dan kaum jelata yang digencet dengan upah yang kecil itu telah banyak sekali membuat penderitaan dikalangan rakyat banyak.

   Maka, ketika Kaisar Tai Cung menurunkan undang- undang tentang tanah ini segera saja terjadi kegaduhan.

   Tentu saja dari golongan ningrat, karena golongan inilah yang paling "menderita"

   Akibat keputusan sri baginda yang hebat itu.

   Mereka bisa kehilangan kuda-kuda yang selama ini dipakai tanpa kenal ampun, dan kaum petani yang mendapat anugerah itu bisa melarikan diri mereka untuk menggarap tanah hadiah.

   Dan ini memang kenyataan golongan tertindas yang selama ini hidup bagai sapi perahan tiba tiba saja bersorak, mereka memuji setinggi langit kebijak- sanaan sri baginda Li Shih Min ini, dan hampir berbareng mereka semua mengadakan "PHK"

   Alias pemutusan hubungan kerja dengan sang majikan lama! Kaum petani itu mendadak sontak seakan terlepas dari tindihan batu sebesar gajah, dan tanah garapan yang dijanjikan kaisar segera mereka terima dengan kegembiraan meluap.

   Tetapi itu adalah teori hitam diatas putih.

   Kaum petani yang tiba-tiba saja mendapat rejeki tiban itu juga ternyata tidak gampang-gampang untuk menerima hadiah ini.

   Mereka diharuskan montang- manting terlebih dahulu untuk mendapatkan "sertifikat"

   Dan dimana kerajaan telah mengutus orang-orang tertentunya untuk memberikan pelayanan kepada rakyat banyak inilah terjadi permainan kotor orang tidak bertanggung jawab.

   Kaum petani itu diwajibkan lapor ini itu, dan siapa yang tidak berhasil memenuhi syarat dinyatakan tidak berhak atas hadiah kaisar.

   Inilah celakanya! Kaum petani memang orang yang buta undang- undang.

   Mereka orang-orang lugu (polos) yang tidak banyak adat, dan menghadapi pegawai-pegawai yang menang kedudukan dan "pinter-pinter"

   Itu mereka banyak jatuh. Tanah yang seharusnya 100 mou tiba- tiba saja ada yang menerima seperempat atau separohnya. Dan sisa yang lain dimiliki pegawai- pegawai tidak bertanggung jawab itu yang katanya sebagai "pajak"

   Negara! Inilah pukulan pahit bagi kaum petani. Mereka tidak bisa apa-apa karena mereka terbentur oleh kenyataan bahwa "syarat"

   Yang diminta oleh pegawai-pegawai kerajaan tidak semuanya bisa mereka penuhi. Dan itu memang harus mereka terima dengan mengelus dada. Maka jadilah orang-orang yang seharusnya tidak menerima tanah tiba-tiba saja bisa memperoleh "rejeki"

   Ini dengan cara yang mudah.

   Membodohi orang-orang lugu dengan kepinteran mereka.

   Tetapi ini masih mending.

   Petani yang memperoleh tanah itu masih boleh dibilang beruntung.

   Karena disamping mereka, kaum petani yang jauh dari pusat pemerintahan (kota/raja) tidaklah menikmati apa yang seharusnya mereka terima itu.

   Mereka inilah petani-petani yang mengarap tanah kaum bangsawan didaerah yang ratusan kilometer dari kota raja, dan petani-petani yang buruk nasibnya ini tidak dapat berbuat apa-apa.

   Mereka tidak diperbolehkan keluar dari wilayah sang juragan, dan karena itu mereka tidak dapat mengurus apa yang seharusnya menjadi anugerah mereka dari kaisar.

   Jangankan mengurus, setiap pagi keluar dari gubuk- gubuk mereka untuk mengarap sawah saja sekarang mereka sudah dikawal ketat oleh tukang- tukang pukul juragan yang mengawasi dengan mata mengancam.

   Ditangan mereka itu tersedia cambuk berduri, dan siapa yang berani coba-coba lari tentu deraanlah yang bakal mereka terima.

   Kalau hanya rasa sakit saja masih mending, tapi kalau kematian yang mereka terima itulah hukuman yang kelewat kejam! Tapi itu terjadi di tempat-tempat yang jauh dari kota raja.

   Kaum bangsawan yang tidak rela menghadapi keputusaan kaisar itu diam-diam "berontak"

   Dan mereka tidak memperbolehkan semua petani yang mengarap tanah mereka untuk keluar sejengkalpun dari wilayah mereka.

   Dan kalau sudah begini, apa yang bisa diperbuat oleh orang-orang kecil itu? Mereka paling-paling hanya bisa mengeluh dan menangis sampai kehabisan air mata.

   Kaum petani selalu tertindas, dan keputusan yang dijatuhkan kaisar Tai Cung ternyata belum mengena pada sasarannya secara menyeluruh.

   Dan ini gara- gara pokal beberapa orang-orang tidak bertanggung jawab yang merusak citra kebijaksanaan Kerajaan Tang.

   Dan untuk itu tentu saja timbul pergolakan- pergolakan kecil di sana-sini yang melibatkan kaum bangsawan dengan buruh-buruh petaninya.

   Akan tetapi, karena orang kecil selalu kalah maka mereka itulah yang menjadi korban.

   Kaum bangsawan yang menguasai tanah ribuan hektar semakin sewenang-wenang dan para petani yang lemah segala-galanya ini benar-benar merasakan kepahitan hidup yang luar biasa.

   Mereka sekarang bekerja dengan pengawalan ketat, dan siapa yang tampak malas atau beristirahat tiba-tiba saja harus memperoleh cambukan kejam pada tubuh mereka yang kering.

   Dan satu di antara semua kejadian menyedihkan itu adalah pada dusun Ki-leng.

   Disini bercokol tuan tanah Bhong Tek, atau atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bhong-loya.

   Dan tuan tanah yang keji ini memiliki tiga ratus buruh untuk mengarap tanahnya yang penuh gandum.

   Dia juga mencak- mencak ketika mendengar undang-undang kaisar Tai Cung itu, dan karena undang-undang itu bisa merugikan kekayaan nya maka dia tidak mau turut perintah.

   Dengan berang dia malah menyuruh orang untuk memasang kawat berduri sebagai pagar diseluruh wilayahnya, dan kaum petani yang semula bebas bekerja sekarang tiba-tiba saja seakan berada di sebuah tempat terkurung yang membatasi gerak- gerik mereka.

   Tentu saja kaum petani ini sakit hati, namun karena banyaknya tukang pukul yang di siapkan Bhong - loya untuk menghadapi mereka membuat kaum jelata itu memendam perasaannya.

   Mereka tidak dapat berbuat apa-apa, dan kekuasaan Bhong-loya yang semakin bertambah menjadikan mereka tidak berkutik.

   Bhong-loya kini semakin kurang ajar, dan tuan tanah yang serakah itu menempatkan pula tukang-tukang pukulnya disetiap keluarga petani.

   Isteri dan anak dijaga, dan kaum laki-laki yang bekerja disawah seketika maklum apa artinya itu.

   Bukan lain sebagai sandera, kalau ada yang meloloskan diri! Itulah awal cerita kisah sedih ini.

   Dan awal pergolakan di dusun Ki-leng itu memang mem- perihatinkan sekali.

   Bhong-loya menjadi raja tanpa mahkota, dan kaum buruhnya yang seakan-akan di kuasai jiwa dan raganya itu betul-betul tersiksa sekali.

   Tetapi, apa yang dapat mereka lakukan? Tidak ada.

   Kaum petani benar-benar telah dikuasai oleh tuan tanah Bhong itu, dan anak isteri mereka dijaga ketat ketika para suami ini sedang bekerja benar-benar membuat rakyat kecil itu menderita lahir batin.

   Di lahir menderita oleh pekerjaan yang tak kenal ampun mengarap sawah sedangkan di batin menderita oleh dendam ditahan akibat penyanderaan terhadap keluarga di gubuk-gubuk reyot itu.

   Sungguh mengenaskan! Tetapi itu tidak semua.

   Ada sebuah gubuk yang bebas dari "penjagaan", karena gubuk ini tidak berpenghuni.

   Dalam arti kata, penghuninya bekerja semua karena tidak ada wanita atau anak-anak disitu.

   Dan gubuk yang satu-satunya kosong ini lah yang ternyata pagi itu membawa "sejarah".

   Ma- lopek (Paman Ma), penghuni gubuk reyot itu ternyata pagi itu membuat keributan.

   Dia sebagaimana orang-orang lain juga pagi-pagi benar sudah bekerja di sawah Bhong-loya.

   Tetapi karena akhir-akhir ini tubuhnya sudah gampang sakit- sakitan dan sering masuk angin maka tiba-tiba ketika matahari belum seberapa tinggi mendadak kakek tua itu mogok bekerja! Dia meletakkan cangkul, dan pantatnya langsung di banting di atas tegalan, itu membuat beberapa temanya terbelalak.

   "Hei, Ma-lopek, kenapa kau mengaso?"

   Seorang temannya yang melihat kejadian ini segera berseru keheranan dengan muka khawatir. Tapi Ma-lopek malah menelungkupkan punggungnya.

   "Aku capai A-swi, badanku tidak enak. Semalam aku meriang dan pagi ini ingin tidur."

   "Ah, tapi itu berbahaya, Ma-lopek. Apakah kau tidak tahu hukumannya? Lihat, mandor Wu datang Book kesini. Cepat kau bangun dan bekerja seperti biasa! "Namun Ma-lopek malah mengeluh. Dia benar- benar merasa sakit, karena itu seruan temannya yang penuh kekhawatiran tidak ditanggapi. Dan mandor Wu yang tinggi besar dengan muka menyeramkan itu sudah datang mendekat dengan mata melotot.

   "Hei, anjing tua, apakah kau tidak tahu aturan di wilayah Bhong-loya? Apakah kau kira Bhong-loya mengupahmu untuk tidur? Hayo bangun keparat, dan ambil cangkulmu itu lalu bekerja seperti biasa tarr!"

   Mandor tinggi itu membentak keras dan cambuknya yang mendera tubuh kakek Ma menjeletar nyaring.

   Ma-lopek mengaduh, dan punggungnya yang di cambuk sampai merah kebiruan itu terasa pedih.

   Tapi kakek ini tidak mau berdiri.

   Dia bangun setengah jongkok, dan tubuhnya yang gemetar oleh rasa sakit itu tampak menghibakan sekali.

   Dengan tertatih-tatih dia berlutut di depan mandor yang galak ini, lalu suaranya yang mengigil serak tampak bergetar.

   "Tuan Wu, ampunkan aku, hari ini aku mohon cuti, tubuhku sakit"

   "Hm, alasan sakit untuk bermalas-malasan ya? Tidak bisa, hari ini semua orang harus bekerja dan kau yang sudah keluar rumah tidak boleh kembali sampai petang nanti !"

   "Ah, tapi aku tidak kuat bekerja tuan Wu, mana bisa dipaksa? Memegang cangkul pun rasanya sudah berat setengah mati, apalagi kalau harus menanam gandum ini."

   "Keparat, kau membantah omonganku, setan tua? Apakah minta dihajar kembali? Hayo berdiri, ambil cangkulmu itu dan bekerja seperti biasa, tarr..!"

   Cambuk Wu Houw meledak lagi dan kakek Ma yang kali ini disabet lehernya menjerit kesakitan.

   Kakek itu terguling, dan matanya yang tadi kuyu penuh penderitaan itu mendadak beringas.

   Kakek ini tiba- tiba menyambar cangkul, dan si mandor Wu yang mengira kakek itu mau bekerja kembali sekonyong- konyong berteriak kaget karena Ma-lopek ini membacok dirinya! "Hei, kau gila, Ma-lopek ?"

   Namun kakek itu mendelik.

   "kau anjing penjaga yang kelewat kejam, Wu Houw. Aku tidak tahan lagi, terimalah!"

   Cangkul ditangan kakek ini menyambar kepala mandornya dan Wo Houw yang terkejut oleh perbuatan kakek itu menjeletarkan cambuknya.

   "Tar-tar ..! cangkul itu disambut cambuk dan Ma- lopek yang menerjang maju tertahan gerakannya. Gagang cangkulnya digubat cambuk, tapi Ma-lopek yang agaknya sudah kalap ini tidak perdulikan diri. Dia ditarik oleh tenaga yang besar dari mandornya itu, namun tiba-tiba dengan tergulingnya tubuh akibat tarikan itu Ma-lopek mengentakkan paculnya ke bawah. Dia menyerang kaki Wu Houw, dan mandor Wu yang terkejut oleh perbuatan kakek ini tidak sempat menyelamatkan diri.

   "Crak..aughh !"

   Wu Houw berteriak kaget dan cambuknya yang masih melibat gagang pacul di tangan Ma-lopek seakan-akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

   Dia tidak dapat menarik, dan pacul kakek Ma yang mengentak kearah kakinya itu kontan mengenai sasaran.

   Ibu jarinya putus, dan punggung kakinya yang terluka oleh cangkul kakek kalap ini berdarah! "Aih, keparat .

   .!"

   Wu Houw membentak penuh kemarahan dan kakek Ma yang melukai dirinya itu ditendang sekuat tenaga, tentu saja dengan kaki yang tidak terluka. Dan kakek Ma yang sudah nggelosor di depan mandor tinggi besar ini tak dapat mengelak.

   "Bukk . .!"

   Kakek Ma mencelat dan pacul yang tadi dipegangnya terlempar. Dia mengaduh hebat oleh tendangan si mandor tinggi besar itu, dan kakek Ma yang terbanting di atas tanah ini tiba-tiba melontakkan darah segar.

   "Auhh"

   Kakek tua itu mengelepar dan dia yang tidak dapat bangkit lagi itu mengeluh.

   Tendangan Wu Houw terlampau hebat bagi kakek yang kering tubuhnya ini, dan Ma-lopek yang terengah-engah di atas tanah itu tampak gemetar.

   Dia memejamkan mata dengan mulut penuh darah, dan Wu Houw yang marah bukan kepalang oleh luka di kakinya itu sudah melompat maju.

   "Anjing tua she Ma, berani kau melukai diriku? Jahanam keparat, kau sungguh-sungguh manusia tak tahu di untung. Terimalah balasan ku ini, crak!"

   Wu Houw yang sudah mengambil cangkul kakek Ma yang terlempar itu menggerakkan senjata ini ke kaki orang tua itu, dan Ma-lopek yang tidak berdaya di atas tanah menjerit kesakitan ketika tiba-tiba pergelangan kakinya di babat pacul.

   Kakek itu kontan berteriak ngeri, dan pergelangan kakinya yang di bacok oleh cangkul di tangan Wo Houw putus terpenggal! "Auh!"

   Semua orang berteriak tertahan dan kejadian pagi itu yang mengemparkan kaum pekerja ini segera saja menjadi ribut.

   Wu Houw yang sudah membacok Ma-lopek tampak masih melampiaskan kemarahannya, dan orang tua yang menggelepar- gelepar di atas tanah itu menerima siksaan bertubi- tubi.

   Tubuh dan pakaiannya luka-luka, tetapi ketika mandor yang kejam ini hendak mengakhiri perbuatan nya dengan babatan ke leher Ma-lopek sekonyong- konyong seorang remaja tanggung menghantamkan benda keras ke tengkuk laki-laki itu.

   "Jahanam Hu Houw, jangan semena-mena menghukum pamanku. Kau iblis tak berperi kemanusiaan. Mampuslah! Dan sebatang linggis dengan tepat mengenai belakang kepala mandor Wu ini.

   "Tak!"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Wu Houw mengeluh pendek, dan mandor tinggi besar yang hendak membunuh kakek Ma itu roboh terjungkal. Dia pingsan seketika, dan pemuda tanggung yang menyerang tengkuknya ini sudah menghambur ke tubuh tua yang penuh luka-luka itu.

   "Ma-lopek!"

   Remaja tanggung itu berteriak ngeri dan kakek Ma yang mendengar suaranya ini membuka mata. Kakek ini sudah setengah mati, dan nafasnya yang naik turun dengan susah tampak tersengal- sengal di rongga dadanya. Tapi kakek itu tersenyum.

   "Bun Hwi ... kaukah ini ...?"

   Pemuda tanggung itu mencucurkan air mata.

   "Ya, aku Ma-lopek. Kenapa kau hendak dibunuh mandor Wu..?"

   "Ah..."

   Kakek itu tiba-tiba mengeliatkan tubuhnya.

   " Wu Houw hendak memaksaku bekerja, Bun Hwi padahal aku sakit. Anjing penjaga itu tidak percaya, dan dan kami lalu bertengkar. Dia kubacok kakinya dan dia membalasku seperti ini.. oh . .!"

   Kakek Ma mengerang, dan Bu Hwi yang mendengar keterangannya tiba-tiba beringas mukanya.

   Dia memandang mandor tinggi besar yang masih pingsaan itu, dan sinar matanya yang penuh kebencian sekonyong-konyong berkilat.

   Dengan cepat dia menyambar cangkul yang terlepas dan penuh darah itu, lalu tiba-tiba dengan pekik mengejutkan pemuda ini melompat ke depan.

   "Wo Houw kau anjing penjaga yang berhati iblis. Mampuslah untuk selamanya di dasar neraka wut !"

   Pacul yang digerakkan ke leher mandor yang sedang pingsan inimenyambar dengan kekuatan penuh, dan orang-orang di sekeliling yang melihat kejadian balas dendam itu terbelalak.

   Dengan jelas mereka melihat mata cangkul yang siap membabat putus leher mandor yang sebenarnya juga mereka benci itu, namun sebuah bayangan mendadak berkelabat.

   "Siluman cilik, berani kau main bunuh orang- orang Bhong-loya? Mundurlah, ini bukan pekerjaanmu! Dan seorang laki-laki tinggi kurus tahu-tahu menerima mata cangkul ini.

   "Plak!"

   Cangkul di tangan Bun Hwi bertemu telapak yang ringan dan Bun Hwi yang terkejut oleh kedatangan laki-laki ini berteriak kaget. Da merasa cangkulnya bertemu benda lunak, dan kaki yang kuat tahu-tahu menendang pinggangnya.

   "Dess!"

   Pemuda tanggung itu mengeluh tertahan dan sepakan yang seperti potongan besi dipukulkan ke tubuhnya itu membuat pemuda ini mengaduh.

   Dia terguling-guling, dan ketika melompat bangun akhirnya dia berhadapan dengan seorang muka tirus yang memandang bengis.

   "Mo Kwi-pa !"

   Pemuda tanggung itu berseru kaget dan laki-laki bermuka tirus yang dipanggil namanya ini tersenyum mengejek. Dengan mata berkilat dia memandang remaja ini lalu tangannya yang berkacak pinggang digerakkan sedikit dengan sikap memandang rendah.

   "Bocah she Bun, apa yang hendak kau lakukan terhadap anak buahku? Berani kau menyerang Bu Houw?"

   Pemuda cilik itu terbelalak.

   "Dia hendak membunuh pamanku, Kwi-pa. dan aku menyerangnya sebagai balas dendam!"

   "Hm, kau sekecil ini sudah bisa mendendam orang lain? Apakah minta dibunuh supaya tidak lancang tangan? Hayo kemari, bocah she Bun. Angkat tubuh Wu Houw dan menghadap Bhong-loya untuk menerima hukuman!"

   Akan tetapi pemuda bernama Bun Hwi itu menolak. Dengan mata bersinar penuh kemarahan dia malah melangkah maju, dan tangannya yang menuding muka laki-laki bermuka tirus itu membentak.

   "Mo Kwi-pa, pamanku sendiri yang sudah sekarat belum aku urus, bagaimana hendak menolong mandor keparat itu? Tidak, kau uruslah anak buahmu itu dan aku mengurus pamanku sendiri!"

   Lalu dengan tinju terkepal anak laki-laki ini membalikkan tubuh dan menghampiri Ma-lopek.

   Sungguh berani!.

   Dan tentu saja keberaniannya ini membuat Mo Kwi- pa mendelik penuh kegusaran.

   Di situ ada banyak orang menonton, bagaimana si anak cecungguk itu berani menghinanya? Maka begitu Bun Hwi membalik kan tubuh tiba-tiba laki-laki bermuka tirus ini menjentikkan kakinya.

   Cambuk Wu Houw yang menggeletak di atas tanah tahu-tahu sudah melayang ketangannya, dan sekali tangannya bergerak kedepan maka dilecutlah pemuda tanggung itu.

   "Tar!"

   Bun Hwi dicambuk punggungnya dan ledakan nyaring yang mengiringi suara pecut itu terdengar seperti petir menyambar. Bun Hwi terpelanting, dan Mo Kwi-pa yang melihat anak laki- laki itu mendesis sudah melompat di depannya.

   "Bocah kurang ajar, apakah kau masih hendak melawan perintahku? Hayo bangun, angkat tubuh mandor Wu dan menghadap Bhong-loya!"

   Tapi Bun Hwi malah mendelik dengan mata berapi- api.

   "Mo Kwi-pa, kau setan busuk yang tidak berjantung. Apakah kau tidak lihat bahwa pamanku sedang di pintu maut? Kau angkat lah sendiri mandor jahanam itu dan pergilah ke Bhong-loya!"

   "Keparat, kau berani melawanku?"

   Bun Hwi tiba-tiba menegakkan kepala.

   Dengan mata penuh kebencian dia menatap laki-laki bermuka tirus ini, lalu tiba-tiba dengan tidak banyak bicara lagi dia merunduk dan menyerang laki-laki bercambuk itu dengan kepalanya.

   Seperti seekor kerbau saja anak laki-laki ini menerjang, dan perut Kwi-pa yang diseruduk itu seakan diterjang kerbau gila! "Mo Kwi-pa, kau jahanam yang setali tiga uang dengan anak buahmu.

   Mampuslah!"

   Dan Kwi-pa yang sejenak tertegun oleh kenekatan anak ini tiba- tiba tertawa keras. Dia membiarkan perutnya ditumbuk, lalu ketika kepala Bun Hwi menempel diperutnya sekonyong-konyong tengkuk anak ini ditotok gagang cambuk.

   "Tukk! Bun Hwi merasa kepalanya gelap dan Kwi- pa yang sudah menedang tubuhnya itu membuat anak ini terpental tanpa mengeluh lagi. Bun Hwi sudah pingsan ditotok, dan Kwi-pa yang gemas terhadap keponakan Ma-lopek itu tiba-tiba menjentarkan cambuknya tiga kali. Ledakan nyaring mengetarkan udara di sekitar situ, lalu cambuk yang ada ditangan laki-laki itu meluncur ke depan. Sekali libat dan tarik leher Bun Hwi tahu- tahu sudah di lasonya, kemudian tanpa banyak bicara lagi Kwi-pa sudah melangkah lebar menyeret tubuh Bun Hwi yang dijerat cambuknya! Jadilah Bun Hwi terpanting-panting di atas tanah, dan seretan kasar yang dilakukan laki-laki bermuka tirus itu sebentar saja membuat tubuhnya memar dan sobek- sobek. Akan tetapi Bun Hwi sedang pingsan, dan badannya yang terantuk-antuk tanah bebatuan itu tidak dirasakannya. Sementara suitan Kwi-pa telah memanggil beberapa anak buahnya, mandor- mandor lain, untuk membawa tubuh Wu Houw dan menyeret pula kakek Ma yang sudah sekarat itu menuju rumah Bhong-loya! Pagi itu juga dua tawanan ini dibawa menghadap Bhong-loya, tuan tanah ini adaah seorang laki-laki berperut buncit dengan muka seperti babi. Matanya yang sipit setengah terpejam tampak membelalak sedikit, menyinarkan rasa tidak senang yang kentara jelas dari mimik mukanya. Dan Bun Hwi yang mengeletak di samping tubuh pamannya masih belum sadarkan diri.

   "Kenapa kau bawa dua anjing kotor ini kemari, Kwi- pa?"

   Demikian tuan tanah Bhong itu membuka suara. Dan Kwi-pa melangah maju.

   "Mereka membuat keributan di ladang gandum, loya. Bahkan hendak membunuh Wu Houw. Setan cilik ini membela pamannya, maka terpaksa dia ku robohkan dan minta hukuman loya!"

   "Hm, bukankah anjing tua adalah Ma-lopek?"

   "Benar, loya. Dia bersama keponakannya bocah she Bun itu telah mengacau di tempat pekerjaan. Kalau tidak diberi hukuman keras tentu teman- temannya yang lain akan berani terhadap kita. Apakah loya akan memberi ampun terhadap manusia macam ini?"

   "Hmm!"

   Tuan tanah she Bhong itu mendengus kan hidungnya.

   "Siapa akan memberi ampun terhadap kakek itu, Kwi-pa? Tidak. Biarkan ku tanya dulu. Coba sandarkan anjing itu ke dinding."

   Kwi-pa mengangguk dan dua orang penjaga yang ada di situ disuruh menyeret tubuh Ma-lopek yang sudah setengah mati ini lalu menyandarkannya ke dinding.

   Kakek Ma membuka mata dan mulutnya yang merintih dengan erangan memilukan itu tidak diperdulikan Bhong-loya.

   "Ma-lopek!"

   Demikian tuan tanah she Bhong itu membentak.

   "Apa yang kau lakukan terhadap mandor Wu? Kenapa kau hendak membunuhnya dan mengacau di tempat pekerjaan?"

   Ma-lopek terengah-engah.

   "Dia dia menghajarku, loya tidak percaya bahwa hamba sakit. Wu Houw hendak memaksa ku bekerja dan karena tidak tahan dia lalu kuserang"

   "Hm, dan kau tahu apa akibat perbuatanmu ini, anjing tua? Tidak tahukah kau bahwa menyerang anak buah Bhong-loya berarti memberontak terhadap majikan mu sendiri?"

   Kakek Ma membelalakkan mata.

   "Tapi tapi hamba benar-benar sakit, loya mana bisa di suruh bekerja? Wu Houw sewenang-wenang melaksanakan tugasnya, dan hamba tidak tahan atas perbuatannya yang kejam itu. Mandor loya itu tidak kenal peri- kemanusiaan, dan orang-orang lain pun selalu disakitinya hanya untuk rusan kecil!"

   "Hm, kau hendak melaporkan diri, setan tua? Mengatakan bahwa para mandor bersikap kejam terhadap kalian?"

   Huh, kalau tidak dikejami kalian justru akan bekerja seenaknya.

   Ma-lopek, dan apa pun yang dilakukan mandor tidak seharusnya kau lawan! Kau jelas bersalah, dan perbuatan mu hari ini bisa menimbulkan pemberontakan bagi teman- teman mu yang lain.

   Kwi-pa, bunuh kakek itu dan canangkan kepalanya di pintu gerbang dusun Ki- lieng!"

   Kakek Ma mengeluh tertahan dan tubuhnya yang lemah itu sekonyong-konyong berdiri tegak "Bhong- loya, apakah keputusanmu ini sudah adil? Hamba tidak bersalah, dan mondor Wu itulah yang sepatutnya menerima hukuman"

   Tapi tuan tanah itu mendengus. Dia tidak menghiraukan seruan kakek Ma itu dan Kwi-pa yang sudah melecutkan cambuk terkekeh ketawa.

   "Ma-lopek, jangan kau mengumbar suara nyaring disini. Bhong-loya sudah menetapkan keputusan, dan apa yang sudah dijatuhkan Bhong-loya tidak mungkin di cabut lagi. Nah, bersiaplah! Aku akan mengantar nyawamu ke tempat Giam-lo-ong (raja akhirat). Tar!"

   Pecut itu meledak ditengah udara dan Ma-lopek yang mendengar keputusan tentang dirinya tiba-tiba mendelik.

   "Bhong-loya, kau sungguh-sungguh manusia berhati binatang. Apakah kau tidak menghargai tenaga ku yang sudah belasan tahun bekerja di tempatmu? Apakah kau tidak mengingat betapa cucuran keringatku telah ikut menimbun kekayaanmu? Ah, kau manusia keji, Bhong-loya kau manusia terkutuk!"

   Kakek Ma terengah-engah dalam bentakannya yang penuh kemarahan, dan Bhong- loya yang di maki-maki itu hanya tersenyum mengejek.

   "Ya, dan kau pun tidak ingat betapa telah belasan tahun pula aku memberimu makan minum, Ma- lopek. Betapa belasan tahun pula kau telah menikmati upah untuk menyambung umurmu itu. Apakah kau tidak ingat betapa seluruh jiwa ragamu selama ini adalah berkat kemurahan Bhong-loya? Dan karena pemberontakan mu ini kau harus menerima hukumannya, Ma-lopek, jangan sesalkan nasib mu yang buruk. Kwi-pa, cepat bunuh tua bangka itu agar tidak membuka mulut lagi!"

   Tuan tanah Bhong itu sudah memutar kursinya dan laki-laki bermuka tirus yang mendengar perintahnya ini menganggukkan kepalanya dengan mata bersinar keji.

   "Baik loya, memang dia harus dibunuh!"

   Dan pecut yang sudah menjeletar nyaring di tangan orang kepercayaan hartawan Bhong ini mendadak menyambar leher kakek Ma.

   Kwi-pa adalah jago silat keluaran partai utara, dan senjata tajam maupun senjata tumpul baginya sudah biasa untuk dipergunakan sebagai apa saja.

   Maka ketika cambuknya menyambar kakek ini tiba-tiba saja benda itu sudah menjadi lurus kaku seperti pedang.

   Itulah berkat saluran tanaga Iweekang, dan Ma- lopek yang tidak bisa membela diri itu mana mungkin melawan seorang jago pukul? Seandainya kakek itu bisa bermain silat pun belum tentu juga ia mampu menandingi kepandaian Mo Kwi-pa itu, apalagi hanya sebagai petani lemah! Maka ketika pecut menyambar kakek ini pun tidak mampu mengelak.

   Tetapi kegagahan serta keberanian kakek itu ternyata di luar dugaan.

   Senjata yang siap menyambut nyawa nya itu di sambut dengan mata terbuka lebar, dan Kwi-pa yang dipandang penuh kebencian sempat di kutuk.

   "Mo Kwi-pa, semoga iblis jahanam kelak akan membunuh mu pula seperti anjing!"

   Dan kakek Ma yang membuka matanya lebar-lebar siap memasrahkan diri.

   Tetapi sesuatu yang tidak diduga tiba-tiba terjadi.

   Bun Hwi yang pingsan di atas lantai sekonyong- konyong membuka mata, dan begitu melihat pamannya di ancam kematian mendadak saja anak laki-laki ini berteriak.

   "Mo Kwi-pa jangan bunuh pamanku!"

   Dan secepat kilat seakan memperoleh tenaga ajaib tibatiba saja anak laki-laki itu melesat ke depan menubruk lawannya. Gerakannya seperti siluman bersayap dan Kwi-pa yang tidak menduga kejadian ini berseru kaget.

   "Hai?"

   Tapi semua sudah terlambat.

   Bun Hwi tahu-tahu sudah membentur punggung lawannya ini dan Kwi-pa yang ditumbuk oleh loncatan anak itu terjungkal roboh.

   Keduanya sama terguling, dan Ma-lopek yang nyaris dari sambaran cambuk maut itu terkejut.

   Kakek ini baru sadar bahwa keponakannya ternyata ada di situ, dan bahwa Bun Hwi telah menolongnya dari ancaman Mo Kwi-pa sungguh membuatnya kaget dan terharu.

   Tapi Ma-lopek yang melihat tidak ada untungnya Bun Hwi membela dia tiba-tiba sudah berseru.

   "Bun Hwi larilah. Aku tidak mungkin kau tolong! Tapi Bun hwi menggelengkan kepala.

   "Tidak, Ma- lopek. Mati hidup kita harus bersama!"

   Dan anak yang sudah melompat bangun itu tahu-tahu telah berdiri di depannya dengan sikap gagah! "Bun Hwi"

   Ma-lopek bergetar," kenapa kau tidak mau turut perintahku? Pergilah, Bun Hwi pergilah sebelum terlambat! Tapi anak ini tidak mau pergi dan Mo Kwi-pa yang sudah berdiri di depannya dengan mata berapi- api itu tampak gusar sekali.

   Laki-laki ini sudah berdiri tegak, dan Bun Hwi yang dipandang seakan hendak ditelan bulat-bulat itu melihat mata yang berkilat mengerikan.

   "Bocah she Bun, apakah kau minta mati seperti pamanmu?"

   Bun Hwi menegakkan kepala.

   "Mo Kwi-pa, kau dan Bhong-loya ternyata merupakan manusia-manusia tidak berjantung. Apakah kau kira demi membela pamanku yang tidak bersalah aku harus takut padamu? Tidak, Kwi-pa, demi pamanku dan demi kebenaran aku tidak takut menghadapi ancamanmu! "Keparat, kau sudah menentukan kematianmu sendiri, anjing cilik. Kalau begitu terimalah ini... tarr"! Kwi-pa tahu-tahu telah meledakkan ujung cambuknya dan Bun Hwi yang dilecut secepat kilat itu berkelit. Anak ini dengan berani menggerakkan tangannya mencoba untuk menangkap ujung cambuk, tapi Kwi-pa yang merupakan tukang pukul itu mana dapat dilawan anak ini? Begitu Bun Hwi mencoba menangkap pecutnya tiba-tiba ujung cambuk sudah meliuk seperti ular dan begitu menggeliat tahu-tahu pundak Bun Hwi sudah dipatuknya! "Tarr...! suara nyaring kedua ini di iringi desis tertahan Bun Hwi dan pundak yang dipagut senjata di tangan Kwi-pa robek berdarah. Anak itu menyeringai dan Kwi-pa yang sudah bertubi-tubi menggerakkan ujung cambuk nya itu menghajar Bun Hwi. Lecutan dipundak segera di susul dengan cambukan di leher muka, dan Bun Hwi yang mencoba main tangkis atau coba-coba untuk menangkap ujung cambuk itu akhirnya sia-sia. Anak laki-laki ini akhirnya dibuat bulan-bulanan, dan pecut ditangan Kwi-pa yang ganas itu terus memagutnya. Kiri, kanan, muka, belakang dan akhirnya Bun Hwi yang diserang laki-laki bermuka tirus itu mulai terguling-guling. Anak ini dikejar, dan Kwi-pa yang melampiaskan nafsu kemarahannya itu tertawa menyeramkan dengan cambuk meledak- ledak. Bun Hwi dijadikan anjing tak bertuan, dan remaja tanggung yang sebentar saja mengalami kekejian tangan kanan hartawan Bhong itu penuh darah sekujur tubuhnya. Kulit Bun Hwi pecah-pecah, dan Ma-lopek yang melihat keponakannya ini disiksa gemetar tubuhnya. Dia melihat Bun Hwi seperti tikus yang dipermainkan seekor kucing, dan Bun Hwi yang sama sekali tidak mengeluarkan keluhan dari bibirnya sungguh membuat kakek ini terkesima. Sampai akhirnya Ma-lopek tidak tahan lagi dan Bun Hwi juga sudah terguling roboh dalam keletihan nya yang amat sangat tiba-tiba kakek ini mengerahkan tenaganya yang terakhir. Mo Kwi-pa yang hendak menghabisi nyawa anak itu tampak di lihatnya terkekeh keji, dan cambuk yang tadi lemas mematuk- matuk tubuh keponakannya itu mendadak tegang. Inilah bahaya maut bagi Bun Hwi, dan Kwi- pa yang sudah menggerakkan cambuknya yang sudah berobah lurus dan kaku seperti tadi ketika hendak membunuh Ma-lopek sekonyong-konyong menyambarkan senjata nya ke dada anak itu.

   "Bocah she Bun, susullah arwah orang tuamu di alam baka. Mampuslah untuk kelancangan mu ini... wutt"

   Cambuk yang tiba-tiba berobah seperti mata pedang itu menusuk dada Bun Hwi yang tergolek lemas di lantai tidak dapat mengelak.

   Dia hanya memandang penuh kebencian pada laki-laki bermuka tirus itu, dan Kwi-pa yang merasa yakin akan serangannya itu tertawa bergelak.

   Tapi tiba-tiba kakek Ma bertindak.

   Orang tua yang setengah mati itu mendadak seakan mendapat tenaga terakhir, dan dia yang melihat ancaman maut bagi keponakannya itu tiba-tiba menjerit.

   Tubuh yang setengah lumpuh digulingkan ke depan, dan persis ketika ujung cambuk tiba sejengkal di muka Bun Hwi tiba-tiba kakek ini sudah mengantikan diri.

   Bun Hwi terpental oleh gulingan tubuhnya, dan ujung cambuk yang sedianya hendak menyelamatkan diri remaja tanggung itu mendadak mengenai dirinya.

   "Cepp...!"

   Cambuk yang penuh getaran Iweekang seperti mata pedang itu menancap di dada kakek ini, dan Mo Kwi-pa yang tidak menduga perbuatan nekat kakek itu tertegun.

   Dia terbenggong sejenak oleh kejadian yang tiba-tiba itu, akan tetapi setelah akhirnya dia melihat Ma-lopek roboh tak bergerak lagi dan Bun Hwi selamat di sebelah sana membuat tangan kanan Bhong-loya itu mengumpat.

   Dia mencabut senjata pecutnya, dan Bu Hwi yang terlentang di atas lantai itu diburu.

   "Bocah she Bun, pamanmu sudah mendahului ke alam baka. Sekarang terimalah kematian mu ini dan susullah dia...tarr!"

   Kwi-pa yang kecewa oleh serangan pertamanya itu mengeram keji dan cambuk yang disabetkan ke leher pemuda itu berkelabat.

   Tetapi lagi-lagi kejadian tak diduga datang untuk kedua kalinya.

   Kwi-pa yang sudah merasa yakin atas serangannya itu mendadak tertegun kembali karena ketika ujung pecutnya sudah terang-terangan men- dekati leher anak itu mendadak berhenti di tengah jalan.

   Tidak jauh, hanya sekitar setengah jengkal saja.

   Dan ketika dia masih belum lenyap herannya sekonyong-konyong tubuh anak di atas lantai itu terangkat lalu...

   lenyap dari depan matanya! "Aih...!"

   Kwi-pa kaget setengah mati dan belum dia melihat apa yang terjadi tahu-tahu cambuknya sudah dirampas orang dan berpindah tangan entah kemana! "Ooh...?!"

   Kwi-pa mendelong tak habis pikir dan ketika sebuah suara nyaring melengking tertawa di belakangnya tiba-tiba saja lelaki bermuka tirus itu memutar tubuh.

   Dan...apa yang dilihatnya? bocah perempuan sedang menimang-nimang cambuk nya di tengah ruangan itu.

   Dan dibelakang bocah itu berdiri dengan sikap dingin dan tenang tampaklah seorang wanita tua memanggul Bun Hwi yang sudah pingsan didera.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ahh...! Kwi-pa berseru untuk ketiga kalinya dan bocah perempuan yang melihat laki-laki ini ter- benggong dengan mulut terbuka lebar sudah tertawa terkikik.

   "Hi-hik, dia rupanya seperti tikus kurang makan, subo. Apakah mulutnya yang terbuka itu perlu teecu jejalkan seekor kadal besar? Lihat. Dia terbelalak kepada kita. Dan matanya yang liar itu mirip tikus selokan!"

   Kwi-pa berjengit kaget dan mukanya yang merah oleh ejekan anak perempuan ini jelas menandakan kemarahannya.

   "Siluman betina, kau siapa dan mengapa datang ke tempat ini?"

   Kwi-pa membentak garang, tapi wanita tua yang dipandang bengis itu hanya ter- senyum dingin. Dia tidak mengubris pertanyaan Kwi-pa, tapi menoleh ke anak perempuan yang menimang- nimang cambuk Kwi-pa itu.

   "Kiok Lan, apakah kau berani menghadapi si muka tirus ini? Kalau berani beri dia hajaran, agar tahu hormat terhadap orang lain."

   Dan anak perempuan itu terkekeh "Hi-hik, kenapa tidak berani, subo (ibu guru)? Asal subo ada di sini biar menghadapi setan pun teecu berani.

   "Eh, tikus gede, apakah kau pernah makan kadal? Lihat, aku membawanya seekor untukmu!"

   Dan seperti main- main saja bocah perempuan ini tiba-tiba merogoh saku bajunya dan mengeluarkan seekor kadal. Kadal hidup! "Keparat!"

   Kwi-pa marah bukan main.

   "Apakah kau pernah di hajar orang, setan cilik? Kalau begitu mari rasakan ini, biar kau mengenal adat!"

   Dan tanpa sungkan lagi tangan kanan Bhong-loya itu sudah menerjang ke depan dengan kedua tangannya mencengkeram. Dia bermaksud menangkap dan membanting anak ini, tapi gadis cilik yang dipanggil Kiok Lan itu tiba-tiba terkekeh.

   "Hei, kau mau menangkap aku, tikus gede? Hati- hati, jangan-jangan kau nanti terjungkal...!"

   Dan entah bagaimana caranya tahu-tahu tubuh yang kecil itu sudah menyelinap di selangkangan Kwi-pa lalu menjegal.

   "Bluk...!"

   Kwi-pa terbanting dan tukang pukul Bhong-loya itu berseru kaget. Dia terkejut oleh kejadian tak disangka ini, tapi si gadis cilik yang di panggil Kiok Lan itu kembali terkekeh.

   "Hi-Hik, jangan terburu-buru, tikus gede. Awas mukamu itu. Hati-hati kalau sampai mencium lantai!"

   Maka Kwi-pa yang diejek ini mendelik setengah mati.

   Dia seperti kambing kebakaran jenggot, dan gadis yang tertawa-tawa di depannya itu tiba-tiba kembali di tubruk.

   Dengan geraman seperti seekor singa marah laki-laki ini melompat ke depan, kini kedua kaki dan tangannya ikut bergerak.

   Yang atas berusaha mencengkeram kepala Kiok Lan sedangkan yang bawah mendupak perut gadis itu agar sekali roboh tidak bakalan menganggunya lagi.

   Tapi apa yang diperkirakan laki-laki ini ternyata tidak dapat dilaksanakan semuanya.

   Kiok Lan gadis cilik itu luar biasa lincah.

   Tubuhnya gesit seperti tupai, dan Kwi-pa yang menubruk dengan mata merah itu lagi-lagi disambutnya dengan kekeh menggoda.

   Kepala yang hendak dicengkeram di rundukkan ke bawah, lalu kaki lawan yang menedang perutnya itu ditangkap.

   Cepat sekali gerakannya ini, dan Kwi-pa yang terkejut ole kehebatan lawan ciliknya itu terkesiap.

   Dia tahu- tahu suda dipencet ibu jari kakinya, dan Kiok Lan yang merundukkan kepala kebawah itu tiba-tiba mengigit.

   Gigi yang kecil-kecil menancap di ibu jari tangan kanan Bong-loya itu, dan Kwi-pa yang terpekik kaget seketika mengaduh.

   "Augh...!"

   Laki-laki ini berteriak kesakitan, dan Kiok Lan yang tertawa dalam kenakalannya itu tiba- tiba mengentak.

   Kaki lawan yang digigit mendadak di dorong, dan Kwi-pa yang di sentak kakinya itu kontan roboh bergulingan.

   Laki-laki bermuka tirus ini marah bukan kepalang, dan dia yang terguling- guling itu mendadak tertahan tubuhnya oleh sepasang kaki wanita.

   Itulah wanita tua yang dipanggil "subo"

   Oleh anak perempuan ini, dan Kwi- pa yang sudah kelewat gusar langsung menangkap kaki itu dan membanting.

   Tapi tiba-tiba tangan kanan Bhong-loya itu tertegun.

   Kaki yang di tarik dan hendak di banting ternyata tidak bergeming, dan dia yang mengerahkan seluruh tenaga untuk mengangkat kaki itu ternyata tidak berhasil.

   Jangankan mengangkat, menggeser seinci saja dia tidak sanggup.

   Dan sementara laki-laki ini tertegun mendadak wanita tua itu mengeluarkan suaranya dari hidung dan mendupak.

   "Muka tikus, pergilah...!"

   Dan seperti daun kering saja tiba-tiba tubuh laki-laki itu terangkat dan terbanting membentur tembok di belakang kursi Bhong-loya.

   "Brak...!"

   Kwi-pa mengeluh tertahan dan tulang punggungnya yang beradu dengan dinding ruangan itu serasa patah-patah.

   Dia merasa matanya nanar, tapi setelah menggeleng kepala mengusir kepeningan tiba-tiba laki-laki itu sudah bangkit berdiri sambil mencabut goloknya.

   "Betina tua Bangka, apakah kau minta ku antar ke tempat Giam-lo-ong menyusul arwah Ma-lopek? Kalau begitu bersiaplah, golok ku sudah lama tidak minum darah orang!"

   Dan Kwi-pa yang membentak penuh kemarahan itu sudah siap menerjang dengan golok mengigil.

   Tapi Kiok Lan tiba-tiba melompat maju "Tikus selokan, jangan kau memaki subo! Aku masih ada di sini untuk menghajarmu.

   Ayo majulah, lihat kadal di tanganku ini akan menutup mulutmu...!"

   Dan tiba- tiba tanpa mengenal takut sedikit pun juga bocah perempuan ini sudah menyerang Kwi-pa yang memegang golok.

   Tentu saja Kwi-pa naik pitam, dan tanpa banyak bicara lagi dia pun melompat maju dan menggerakkan senjatanya.

   Golok yang dibabatkan ke depan menyambut terjangan gadis cilik itu, dan bacokan dari atas ke bawah itu rupanya di maksudkan Kwi-pa untuk membelah tubuh gadis itu menjadi dua potong.

   Tapi anak perempuan itu mentertawakan perbuatannya ini.

   Kiok Lan yang lincah sudah menyelinap gesit di samping tubuhnya, dan kadal yang di pegang kepalanya itu tiba-tiba menyambar muka Kwi-pa.

   buntut yang menggeliat mendadak hampir menyentuh hidung si muka tirus itu, dan Kwi-pa yang menjadi berang ini memaki sambil menarik kepalanya.

   Cepat gerakan Kwi-pa itu, dan dia memang berhail menyelamatkan mukanya dari sabetan buntut kadal.

   Tapi, sesuatu yang di luar dugaan sekonyong- konyong terjadi.

   Karena persis ketika laki-laki itu menarik kepalanya mendadak Kiok Lian terkekeh.

   Kepala kadal yang ada di tangannya itu sekonyong- konyong di pencet, dan kadal yang kesakitan oleh perbuatan anak perempuan ini menjerit.

   Binatang itu meronta, berusaha melepaskan diri.

   Tapi, karena Kiok Lian tidak melepaskan gencetannya malah justru semakin memperkuat tekanan, maka tiba-tiba binatang yang kesakitan dan marah itu memekik.

   Ekornya yang menggeliat-ngeliat mendadak terangkat ke atas, dan begitu kadal ini menungging tiba-tiba saja binatang itu telah "menembakkan"

   Kotorannya ke depan.

   "Crott...!"

   Tahi dan kencing binatang itu melesat tanpa disangka. Dan Kwi-pa yang kebetulan berada di bawah ekornya berteriak kaget. Laki-laki ini baru saja menarik kepalanya dari sabetan buntut, dan bahwa dia masih "ditembak"

   Oleh ceprotan tahi kadal itu tentu aja hal ini di luar perhitungannya. Maka begitu Kwi-pa berteriak keras sekonyong- konyong mukanya sudah penuh oleh kotoran binatang itu! "Auh, keparat... setan jahanam...!"

   Kwi-pa berteriak marah oleh semprotan tak disangka ini dan laki-laki yang segera mencak-mencak oleh perbuatan kiok Lan itu mendelik dengan sumpah serapahnya yang kalang kabut.

   Dia jingkrak-jingkrak dengan mulut dan hidung penuh percikan berbau busuk, sementara Kiok Lan yang melihat hasil kerjanya itu terkekeh geli sampai terpingkal-pingkal.

   "Hi-hik, kau benar-benar mirip tikus yang jatuh di pencomberan, siluman tua. Dan kalau misaimu di perpanjang sedikit tentu kau tiada bedanya dengan seekor tikus besar! Eh, subo, bagaimana kalau orang ini dijadikan raja tikus dalam selokan?"

   Kiok Lan terpingkal-pingkal dengan perut sampai terlipat melihat kejadian itu sementara subonya yang berdiri di tengah ruangan tak tahan untuk tidak tersenyum mendengar pertanyaan muridnya.

   "Hm, aku tidak sudi bermain-main dengan seekor tikus, Kiok Lan, biar dia itu raja tikus sekalipun. Apakah kau tidak jijik menyentuh kulitnya?"

   "Hi-hik, aku juga jijik bermain-main dengan tikus, subo. Karena itulah aku tidak mau menyentuh tubuhnya. Tapi apakah subo pernah melihat seekor tikus makan kadal? Nah lihatlah subo, aku akan memberinya makanan itu...!"

   Dan sementara Kwi-pa menyumpah-nyumpah dengan mata mendelik sekonyong-konyong anak perempuan ini sudah melemparkan kadal di tangannya ke mulut Kwi-pa.

   "Hei, hati-hati, awas mulutmu yang terbuka itu...!"

   Kiok Lan masih sempat memberi peringatan tapi Kwi- pa yang berkaok-kaok dengan tangan sibuk membersihkan mulut dan hidungnya itu tidak menanggapi.

   Dia sudah hampir selesai dengan pekerjaannya ini, dan ketika mau menerjang maju dengan golok ditangan mendadak saja mulutnya yang menyumpah serapah disambar kadal.

   "Plep...!"

   Kwi-pa tertegun dan maki-makiannya yang kalang kabut tiba-tiba terhenti.

   Kadal yang dilempar Kiok Lan tepat sekali memasuki mulutnya, dan binatang berkulit licin yang masuk separoh lebih dimulut laki-laki itu tampak meronta.

   Kwi-pa terkejut, dan mulutnya yang otomatis mengatup rapat karena "disumbat"

   Kadal ini tiba-tiba gemeretuk.

   Laki-laki itu sejenak terbelalak, tapi begitu dia sadar dan melihat binatang apa yanag memasuki mulutnya itu mendadak dia sudah berteriak ngeri dan memuntahkan isi mulutnya.

   Kadal itu terlempar keluar, dan Kwi-pa yang marah bukan kepalang ini tiba-tiba menggerak kan goloknya membabat binatang menjijikkan itu.

   "Crat...! kadal itu memekik lirih dan kepalanya yang ditabas buntung oleh golok Kwi-pa tampak memuncratkan darah mengelinding di lantai. Lalu Kwi- pa meraung seperti singa lapar, dan Kiok Lan yang mempermalukannya sambil terkekeh-kekeh di depan itu di terjang penuh kemarahan.

   "Budak hina-dina kau sungguh kurang ajar sekali. Mampuslah oleh golokku ini...!"

   Kwi-pa berteriak dengan mata mendelik dan terjangannya yang amat buas itu disambut Kiok Lan dengan mata bersinar.

   "Hi-hik, kau yang kurang ajar, orang she Mo. Berani amat memaki suboku!"

   Lalu Kiok Lan yang di serang laki-laki bermuka tirus ini sudaah melompat ke samping menjelentarkan cambuknya. Itulah cambuk Kwi-pa yang tadi dirampas, dan begitu cambuk ini meledak tiba-tiba saja sudah menangkis golok di tangan Kwi-pa.

   "Tarr...! Kwi-pa terkejut dan laki-laki itu mengeluarkan seruan kaget. Golok yang ditangkis lawan ciliknya itu tiba-tiba bertemu tenaga lemas yang amat kuat, menahan majunya golok. Dan sementara dia terbelalak tiba-tiba senjatanya itu sudah di lilit cambuk mirip ular membelit. Lalu tanpa di sangka- sangka mata cambuk yang bergerak cepat itu sudah menyambar dahinya! "Hai...?"

   Kwi-pa berteriak kaget dan karena goloknya masih "ditahan"

   Oleh belitan cambuk di tangan gadis itu dia lalu melempar kepalanya ke samping sambil membetot kuat-kuat. Dan dia ternyata berhasil. Kiok Lan yang kalah tenaga itu terseret, dan gadis yang terkekeh geli melihat kekagetan lawan itu mengejek.

   "Hei, kau ketakutan oleh cambukmu sendiri, siluman tikus? Wah, menggelikan sekali...! dan Kiok Lan yang sudah melepaskan lilitan cambuknya itu tertawa-tawa sambil melompat mundur. Kwi-pa semakin naik darah, dan begitu dia berteriak keras tiba-tiba dia sudah menerjang lagi dengan lebih gesit dari pada tadi. Kini dia memutar- mutar goloknya, dan Kiok Lan yang mencoba membelit senjata di tangan lawan kini menjadi repot. Gadis cilik ini mendapat terjangan Kwi-pa yang sudah menggelegak kemarahannya. Dan golok yang dibacokkan naik turun itu mengeluarkan deru angin yang dahsyat. Kiok Lan kewalahan dan anak perempuan yang bersenjatakan sebatang cambuk lemas itu melompat- lompat seperti katak di buru kucing. Tapi anak perempuan itu memang menggagumkan sekali. Karena biarpun dia diserang bertubi-tubi oleh terjangan golok yang demikian gencar belum juga satu kali pun tubuhnya berhasil dibacok lawan. Jangankan membacok kulit dagingnya, menyentuh ujung baju atau ujung rambutnya yang berkibar saja Kwi-pa ternyata tidak dapat! Dan ini semakin membuat kegusaran Kwi-pa memuncak. Laki-laki itu mengerung, dan Kiok Lan yang dirangsak hebat itu akhirnya tersudut di pojok ruangan. Tapi aneh, Kiok Lan masih saja terkekeh-kekeh. Gadis ini tidak mengenal takut sedikitpun juga melihat sambaran golok yang berseliweran di sekeliling tubuhnya. Dan bahwa Kwi-pa yang telah menyudutkan nya sedemikian rupa di pojok ruangan itu juga sama sekali tidak membuat gadis ini gugup. Anak yang luar biasa ini tenang-tenang saja, dan ketika dalam satu pekik kegusaran yang amat dahsyat Kwi-pa mengayunkan goloknya ke atas kepalanya, tiba-tiba Kiok Lan meledakkan cambuknya sambil berteriak kepada gurunya.

   "Subo, gerakan apa yang harus kulakukan?"

   Dan wanita tua yang berdiri ditengah ruangan itu berseru.

   "Gunakan sikap Dewa-Dewi Memasang Dupa, Kiok Lan. Tangkis mata golok dengan gagang pecutmu!"

   Dan begitu seruan ini lenyap dikumandang kan tiba-tiba Kiok Lan sudah merendahkan tubuh sambil tertawa.

   Dengan cepat ia menggulingkan tubuh, menggelinding ke kaki Kwi- pa.

   dan persis golok datang tahu-tahu gagang pecut yang ada ditangannya bergerak ke atas menangkis dengan tepat.

   "Muka tikus jangan menganggu muridku...!"

   Dan begitu bayangannya berkelabat tiba-tiba saja leher Kwi -pa sudah ditamparnya dari samping.

   "Plak...!"

   Kwi-pa mengeluh pendek dan laki-laki yang hendak mencekik kiok Lan itu terpelanting roboh dengan muka kaget.

   Dia memang lupa mem- perhitungkan wanita tua yang menjadi guru dari bocah perempuan ini.

   Maka begitu dia terpelanting roboh segera Kwi-pa terkejut bukan main.

   Tamparan yang diterimanya terasa panas dan sakit bukan kepalang, tapi bahwa dia hanya menghadapi wanita setengah baya saja membuat laki- laki ini menjadi buta kesadarannya.

   Dia tidak ingat betapa menghadapi anak perempuan itu saja dia belum mampu merobohkannya.

   Padahal dia bersenjata.

   Dan kini setelah wanita itu sendiri maju Kwi-pa malah mengumbar nafsu amarahnya karena dengan tiba-tiba dia sudah melompat bangun dan membentak penuh kemarahan.

   "Siluman betina, apakah kau hendak membela muridmu? Bagus, kalau begitu mampuslah kalian guru dan murid...!"

   Dan Kwi-pa yang tiba-tiba sudah mencabut sepasang pisau belati di balik ikat pinggangnya itu sekonyong-konyong menerjang ke depan dengan mata melotot seperti mau meloncat. Tapi wanita itu mendengus.

   "Muka tikus berhati- hatilah. Kau rupanya kerbau dungu yang tidak mengenal orang...! dan ketika Kwi-pa sudah menyerangnya dengan belati di tangan tiba-tiba wanita ini menggerakkan kakinya. Ia tidak mengelak oleh serangan yang amat buas itu, dan Bun Hwi yang masih dibawa dalam pondongannya itu juga sama sekali tidak membuatnya kerepotan. Tapi ketika Kwi-pa sudah mengayunkan kedua pisaunya tiba-tiba saja sepasang belati di tangan laki-laki itu bertemu dengan kaki kirinya.

   "Duk-duk...!"

   Dua benturan keras itu terjadi serentak, dan Kwi-pa yang ditangkis kaki lawan yang tampaknya ringan itu mendadak menjerit kaget dengan suara tertahan.

   Pergelangan tangannya lumpuh, dan begitu dia masih terbelalak tiba-tiba pisaunya sudah mencelat dari tangan! "Auh...!"

   Kwi-pa terpekik benggong dan belum lenyap dari rasa kagetnya ini tiba-tba saja tangan kanan wanita itu sudah menampar dadanya.

   "Plak...!"

   Kwi-pa mengaduh perlahan dan begitu dadanya disentuh tangan lawannya itu mendadak dia sudah terjungkal roboh tak dapat bangun kembali.

   Kwi -pa benar-benar keok sekarang, dan laki-laki yang roboh dalam dua gebrakan cepat itu melenggong dengan mata terbuka lebar! "Ah, kau...

   kau siapakah, wanita tua?"

   Kwi-pa akhirnya tergagap dengan suara gemetar dalam pertanyaannya ini tapi wanita itu hanya tersenyum mengejek. Dia tidak menjawab pertanyan Kwi-pa ini, namun muridnya yang tadi hampir celaka di tangan laki-laki itu berseru nyaring di pojok sana.

   "Muka tikus, apakah kau tidak mengenal ciri-ciri suboku? Hah, dialah Thian-san Giok-li (Dewi Giok Dari Thian-san), lihat hiasan rambut di atas kepalanya itu!"

   Dan Kwi-pa yang mendapat makian ini langsung saja memandang hiasan rambut di atas kepala wanita itu.

   Dan begitu dia memandang Kwi-pa tiba-tiba jadi tertegun.

   Benar saja.

   Dia melihat hiasan batu giok yang melekat di atas rambut kepala wanita itu, dan begitu dia memandang ini kontan saja Kwi-pa jadi pucat mukanya.

   Ternyata tidak salah.

   Dia memang berhadapan dengan wanita lihai yang berjuluk Thian- san Giok-li.

   Maka begitu Kwi-pa mengenal keadaan segera saja laki-laki ini gemetar tubuhnya.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Peluh sebesar jagung mendadak memenuhi jidatnya, dan dia yang kenal bahaya itu sudah cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut.

   "Sian-li (Dewi), ampunkan aku... aku tidak tahu..."

   Demikian Kwi-pa mulai meratap.

   "Tapi kalau aku tetap bersalah aku siap menerima hukumanmu. Kau boleh kutungi tangan yang berdosa ini, atau lidahku... atau apapun juga... tapi jangan kau mengambil nyawaku...!"

   Namun Thian-san Giok-li menjenggekkan hidung nya.

   "Orang she Mo, kau menjemukan benar. Apakah begitu sikapmu kalau menghadapi anak- anak kecil, muridku ini misalnya, atau anak laki-laki yang hendak kau bunuh ini?"

   Tangan kanan Bhong-loya itu semakin pucat. Dia terang tidak mampu menjawab pertanyan wanita lihai ini. Dan Thian-san Giok-li sendiri yang tampaknya sebal dengan laki-laki itu sudah menoleh kepada muridnya.

   "Kiok Lan, seret laki-laki ini dan ikat tubuhnya. Aku tidak mau lagi berada di sini. Hayo keluar!"

   Namun Kiok Lan melompat maju.

   "Tapi tuan tanah she Bhong, subo, bukankah kita hendak memberinya hajaran?"

   "Hm, dia sudah meloloskan diri lewat pintu rahasia, Kiok Lan. Dan aku tidak ada nafsu untuk mencari- cari babi gemuk itu!"

   "Ah, tapi tuan tanah itu yang mencari gara-gara, subo, masa kita hendak melepaskannya begitu saja? Tidak, aku ingin mencari tuan tanah itu subo, dan memaksanya untuk memenuhi kehendak kaisar!"

   "Hm, kau hendak menyeret-nyeret gurumu dalam urusan negara, Kiok Lan? Melibatkan diri dalam masalah tanah dan pajak orang lain?"

   "Ah, ini bukan urusan orang lain subo, ini adalah urusan rakyat kita sendiri, urusan bangsa kita sendiri. Apakah subo tega melihat petani-petani kecil itu ditindas oleh kaum hartawan yang berhati keji? Lihat Bhong-loya itu, dia ternyata tidak segan-segan untuk membunuh kaum buruhnya sendiri yang tidak bisa bekerja!"

   "Hmm..."

   Thian-san Giok-li mulai mengerutkan alisnya. Kata-katamuridnya yang amat "patriotic"

   Itu membuat matanya bersinar, tapi ketika tiba-tiba diluargedung terdengar suara rebut-ribut mendadak dia mengangkat dagu.

   Pada saat itu kebetulan Bun Hwi membuka mata, dan remaja tanggung yang sudah sadar dari pingsannya ini sekonyong-konyong meronta.

   Thian-san Giok-li melepaskan anak itu, dan Bun Hwi yang mendengar ucapan terakir dari Kiok Lan itu tiba- tiba berseru penuh semangat.

   "Benar, orang macam Bhong-loya itu adalah iblis berkedok manusia. Dimana sekarang tuan tanah jahanam itu?"

   Dan Bun Hwi yang bentrok dengan Kwi- pa terbelalak di atas lantai ini mendadak beringas mukanya.

   Dengan penuh kemarahan dia melompat mendekati laki-laki bermuka tirus itu, akan tetapi ketika dia hendak menyambar golok di dekat Kwi-pa untuk membacokkan senjatanya, tiba- tiba wanita tua yang berdiri di situ mendorongkan lengannya.

   "Bocah she Bun, jangan membunuh orang, dan Bun Hwi yang hampir menyentuh golok Kwi-pa ini mendadak berseru kaget. Senjata tajam yang akan diraihnya itu sekonyong-konyong "terbang"

   Seperti mempunyai sayap, dan ketika dia menoleh ternyata golok itu sudah berada di telapak tangan si wanita tua! "Aah...!"

   Bun Hwi tertegun dan sementara dia membelalakkan matanya ini tiba-tiba suara ribut- ribut di luar semakin keras.

   Dan begitu suara ini memasuki gedung tiba-tiba saja pintu dalam di jebol orang.

   Sekarang tampaklah apa yang sebenarnya yang terjadi ini.

   Kiranya "pemberontakan"

   Kaum petani! Dan begitu mereka melihat Bun Hwi di dalam ruangan segera orang-orang itu berteriak-teriak memanggil namanya. Tiga ratus petani Bhong-loya meluruk masuk, dan mereka berteriak sambil menendang meja kursi itu tampaknya marah besar.

   "Bun Hwi, mana Ma-lopek...?"

   "Bun Hwi, mana itu jahanam she Bhong...?"

   Dan teriakan mereka yang senada dan mengaduhkan suasana itu menjadikan gedung Bhong- loya ramai sekali.

   Keadaan benar-benar menjadi kacau, dan Bun Hwi yang tidak menyangka akan kedatangan teman-temannya ini sejenak membelalakkan mata.

   Remaja tanggung itu tampak terpukau, tapi ketika tiba- tiba para temannya itu menyerang Kiok Lan dan si wanita tua yang dikira musuh, pemuda ini jadi terkejut sekali.

   Dengan cepat dia sudah melompat ke depan, lalu kedua tangannya yang di angkat ke atas disusul teriakannya yang lantang itu mengejutkan semua orang.

   "Kawan-kawan, jangan serang mereka ini. Mereka itu bukan musuh...!"

   Lalu Bun Hwi yang sudah menghadang gagah di depan guru dan murid itu sudah menangkap sebatang linggis yang dihantamkan kearah Kiok Lan. Perbuatannya ini mengejutkan penyerang, dan teman Bun Hwi yang tidak menyangka majunya pemuda itu berteiak kaget.

   "Bun Hwi, awas...!"

   Tapi karena serangan sudah terlanjur dilakukan dan melompatnya Bun Hwi juga amat tiba-tiba sekali maka hantaman linggis itu pun tidak dapat di hindarkan. Bun Hwi terpukul telak, dan suara "plak"

   Yang keras dari hantaman senjata itu membuat Bun Hwi terpelanting roboh.

   "Augh...!"

   Pemuda ini mengeluh pendek dan tubuhnya yang terguling-guling di atas lantai itu membuat semua orang merasa kaget.

   Si penyerang kontan memburu maju, dan kaum petani yang tadi berteriak-teriak itu tiba-tiba semuanya jadi tertegun.

   Hiruk-pikuk serbuan sekonyong-konyong dihentikan, dan keadaan yang tiba-tiba manjadi sunyi ini tampak aneh sekali.

   Orang yang menyerang Bun Hwi sudah membungkukkan tubuhnya, dan Bun Hwi yang menyeringai kesakitan itu di angkat.

   "Bun Hwi, kau terluka...?"

   Namun Bun Hwi tersenyum.

   "Tidak Lo-twako, tapi hanya sedikit pedih saja di telapak tanganku..."

   Dan pemuda yang sudah bangkit berdiri dengan tubuh terhuyung itu lalu menghampiri teman-temannya.

   "Kawan-kawan, jangan kalian menyerang ji-wi lihiap (dua pendekar wanita) ini. Mereka adalah tuan penolong ku..."

   Dan Bun Hwi yang sudah menjatuh kan diri berlutut di depan wanita tua itu berkata.

   "Locianpwe, menghaturkan ribuan terima kasih atas budi pertolonganmu, di sini aku mewakili teman- teman untuk memohon maaf bahwa mereka hampir saja menyerangmu. Mereka tidak tahu siapa engkau, dan didorong kemarahan terhadap Bhong-loya mereka mengira engkau kerabat atau sanak keluarga Bhong- loya. Maafkan, locianpwe... dan terima kasih sekali lagi atas budi pertolonganmu!"

   Lalu Bun Hwi membenturkan dahinya di atas lantai itu bangkit berdiri. Dengan tenang dia memutar tubuh, dan tiga ratus petani yang berdiri di hadapannya itu dipandang satu persatu.

   "Kawan-kawan megapa kalian datang kesini? Bagaimana dengan pekerjaan kalian?"

   Baru Bun Hwi mengeluarkan pertanyaan ini sekonyong-konyong kaum petani itu berteriak.

   "Kami ingin membebaskanmu, Bun Hwi. Kami ingin berontak terhadap kekejaman Bhong-loya!"

   "Ya, kami ingin mengikuti jejak keberanianmu, Bun Hwi. Kami ingin berontak terhadap Bhong-loya...!"

   Maka pekik ingin berontak terhadap Bhong-loya itu pun susul menyusullah.

   Mereka rata-rata meneriak kan kemarahannya dengan penuh kebencian, dan Bun Hwi yang mendengar suara mereka ini jadi terharu.

   Terutama maksud mereka yang hendak membebas- kannya dari tawanan Bhong-loya itu.

   Maka begitu teriakan mereka semakin meluap Bun Hwi tiba-tiba mengangkat tangannya ke atas.

   "Kawan-kawan...!"

   Bun Hwi berseru nyaring.

   "menanggapi maksud kalian yang ingin memberontak terhadap Bhong-loya aku setuju- setuju saja. Tapi kalian jangan bertindak serampangan. Bhong-loya memang manusia keji yang tidak berperikemanusiaan, dan dia patut di hukum. Tapi orang lain yang tidak tahu apa-apa seperti para pelayannya itu jangan kalian ganggu. Mereka tidak bersalah, mereka rakyat kecil 52 Kolektor E- - Book seperti kita juga. Karena itu jangan kalian menganggu orang-orang macam ini. Apakah kalian mengerti apa yang kumaksudkan? Hanya Bhong-loya serta kaki tangannya itulah yang boleh kalian hukum, sedangkan orang lainnya yang tidak bersalah tidak boleh kalian ganggu. Mengertikah kalian?"

   Serentak orang-orang itu menjawab.

   "Ya, kami mengerti Bun Hwi. Dan memang Bhong-loya serta kaki tangannya itulah yang menjadi sasaran kami!"

   "Tapi kalian hampir saja menyerang ji-wi lihiap ini, kawan-kawan...!"

   Bun Hwi memperotes.

   "Karena itu sekali lagi jangan serampangan. Mengertikah kalian?"

   Orang-orang itu mengangguk. Beberapa di antaranya ada yang merah mukanya, dan orang yang di panggil "Lu-twako"

   Oleh Bun Hwi tadi mendadak berlutut di depan Kiok Lan.

   "Nona cilik,"

   Demikian petani itu berkata dengan suaranya yang jujur.

   "Aku orang she Lu hampir saja memukulmu tanpa sengaja. Karena itu maafkan aku, nona. Dan percyalah bahwa aku tidak akan berlaku sembrono lagi...!"

   Lalu petani Lu yang sudah bicara blak-blakan meminta maaf di depan Kiok Lan ini bangkit berdiri. Dia tidak malu-malu, dan Kiok Lan yang melihat watak orang yang begitu jujur tak tahan untuk tidak tertawa.

   "Lu-twako, kau memang petani kasar, tapi hatimu ternyata halus. Siapa tidak tahu akan ketidaksengajaanmu ini? Sudahlah, Lu-twako, aku tidak apa-apa. Semua itu hanya kesalahpahaman saja!"

   Maka petani Lu yang melihat Kiok Lan tertawa malah tersenyum lebar. Dia menjadi girang, dan sambil melangkah mundur dia berkata kepada Bun Hwi.

   "Wah, kalau kau sudah di tolong oleh mereka ini tentu pamanmu juga selamat, Bun Hwi. Tapi dimanakah orang tua itu?"

   Dan Bun Hwi yang mendapat pertanyaan itu tiba- tiba tertegun.

   Tapi belum dia menjawab sekonyong- konyong orang sudah melihat Kwi-pa yang roboh di atas lantai.

   Dan begitu orang melihat tangan kanan Bhong-loya itu tiba-tiba saja mayat Ma-lopek yang ada di belakang laki-laki itu tampak! "Hei, itu Mo Kwi-pa...!"

   Orang-orang berteriak.

   "Ya, dan itu tubuh Ma-lopek...!"

   Maka begitu mereka melihat orang yang menjadi tangan kanan Bhong-loya ini segera saja kaum petani itu berhamburan menyerbu.

   Mereka berteriak-teriak dengan penuh kemarahan, dan Kwi- pa yang terluka oleh tamparan Thian-san Giok-li itu menjadi pucat mukanya.

   Dia tidak dapat meloloskan diri, dan kaum petani yang seperti iblis-iblis haus darah itu membuat dia berlaku nekat.

   Mayat Ma- lopek yang ada di dekatnya sekonyong-konyong di sambar, dan petani- petani yang tidak tahu bahwa Ma-lopek sudah tewas tiba-tiba dibentak "Hei, mundur semua! Kalau tidak kakek ini akan kubunuh...!!"

   Maka kaum petani itupun jadi tertegun di buatnya. Sejenak mereka terpaku oleh ancaman yang dikira sungguh-sungguh itu. Tapi Kiok Lan yang melihat keculasan itu melompat maju dengan bentakan marah.

   "Muka tikus, kau benar-benar keji sekali. Orang sudah menjadi mayatpun masih tega kau sandera. Hayo lepaskan mayat kakek itu...!"

   Dan Kiok Lan yang sudah menyerang Kwi-pa melayangkan tendangannya ke tangan laki-laki itu.

   Kwi-pa terkejut, dan laki-laki yang terkesiap oleh serangan Kiok Lan ini terpaksa melepaskan cekalan nya.

   Mayat Ma-lopek dilempar, dan kaum petani yang sadar telah di tipu oleh tangan kanan Bhong- loya ini serentak berteriak marah.

   Mereka meluruk maju, dan Kwi-pa yang semakin kalut oleh serbuan ini menjadi gugup.

   Dia berhasil menggelakkan tendangan Kiok Lan, tapi tamparan gadis itu yang menyambar pelipis nya tidak sempat dia hindarkan.

   Maka begitu terdengar suara "plak"

   Tubuh laki-laki inipun terjungkal.

   Kwi-pa mencoba menyelamatkan diri dengan bergulingan menjauh, tapi saking gugup dia tidak tahu bahwa tubuhnya yang bergulingan ini malah menyongsong serbuan kaum petani! Maka begitu laki-laki ini sadar semuanya pun sudah terlambat baginya.

   Kaum petani yang marah itu sudah menghujaninya dengan pukulan, dan mereka yang rata-rata membawa senjata apa adanya seperti kaki kursi atau linggis serta pacul itupun bertubi- tubilah menghujani tubuhnya.

   Kwi-pa tak dapat mengelak, dan laki-laki yang menjadi sasaran kaum petani yang memberontak ini akhirnya menjerit ngeri.

   Dia terkapar roboh, dan ketika sebuah golok menancap di dada laki-laki itu akhirnya Kwi-pa tak dapat lagi mengeluarkan teriakan dan roboh binasa! Sekarang tewaslah tangan kanan Bhong-loya ini, dan golok yang masih bergetar di dada kanannya itu dicabut.

   Ternyata yang mengakhiri riwayat laki-laki ini adalah Bun Hwi, dan remaja tanggung yang tampak beringas mukanya itu mengigil tubuhnya.

   Dia tidak tahu kalau pamannya sudah binasa, dan bahwa di tempat itu adalah Kwi-pa yang menganiaya mereka berdua maka maklumlah dia bahwa pamannya itu telah terbunuh oleh tangan kanan Bhong-loya ini.

   Maka begitu Kwi-pa mempermainkan mayat pamannya, Bun Hwi menjadi marah sekali.

   Dia benar-benar seperti setan haus darah, maka begitu dia berhasil mengakhiri nyawa laki-laki keji ini Bun Hwi lalu mencucurkan air mata.

   Dia menjadi sedih sekali oleh kematian pamannya itu, dan teringat akan jenasah orang tua ini Bun Hwi tiba-tiba menubruk mayatnya.

   Sambil menangis dia menelungkup kan mukanya didada orang tua yang sudah menjadi dingin itu, lalu dengan sumpahnya yang penuh dendam dia berbisik gemetar "Ma-lopek tenanglah engkau di alam baka sana.

   Percayalah aku tidak akan membiarkan Bhong- loya hidup di atas muka bumi ini.

   Dan biarpun Kwi-pa yang membunuhmu telah tewas namun tuan tanah itu beserta antek-antek nya itu pasti akan ku basmi.

   Dan disamping Bhong-loya, tuan tanah yang keji akan ku bunuh...! Maka begitu mengakhiri sumpah nya Bun Hwi tiba- tiba melompat bangun.

   Sinar matanya berkilat- kilat, dan para petani yang tampaknya menunggu "pahlawan cilik"

   Ini memberikan komandonya sekonyong-konyong juga menegakkan kepala mereka.

   Mereka memang kaum sederhana semuanya, dan diantara tiga ratus petani kecil itu, sesungguhnya hanya Ma-lopek dan Bun Hwi inilah yang "terpelajar".

   Dalam arti kata Bun Hwi dan pamannya itulah yang paling pandai diantara mereka semua karena, Ma- lopek sesungguhnya dulu adalah bekas seorang guru sastra.

   Maka begitu Ma-lopek terbunuh otomatis orang paling "pintar"

   Sekarang adalah Bun Hwi. Dan Bun Hwi yang sedang di amuk dendam pembunuhan itu mengangkat goloknya "kawan- kawan apakah kalian sudah puas dengan terbunuhnya si muka tikus ini?"

   Dan kaum petani itupun serentak mengacung kan senjata mereka "tidak, kami ingin membunuh Bhong-loya dan kaki tangan nya yang masih ada, Bun Hwi. Dan selama mereka masih ada kami tidak akan pernah puas...!"

   "Baik, kalau begitu mari kita dobrak tempat tinggal jahanam she Bhong ini. Dan siapa yang pertama kali berhasil menemukan tuan tanah itu dia berhak membunuhnya pertama kali!"

   Lalu Bun Hwi yang sudah melompat ke dalam gedung tuan tanah itu memutar-mutar goloknya dengan penuh beringas, itulah golok Kwi-pa yang dipakai menyerang Kiok Lan, dan dia yang memunggut nya ketika golok itu terjatuh, kini mempergunakannya sebagai senjata.

   Dan para petani yang tidak perlu di komando lagi itu sudah menyusulnya ke dalam dengan teriakan mereka yang hiruk-pikuk.

   Kaum petani ini sudah menyerbu seperti tentara liar masuk kampung, dan mereka yang mengikuti jejak Bun Hwi ini sebentar saja menendangi meja kursi yang menghalangi jalan.

   Kini suasana menjadi gaduh lagi lagi dan pekik kemarahan mencari cari hartawan she Bhong itu membuat keadaan hingar-bingar.

   Tiga ratus "pemberontak"

   Itu memecah diri, dan mereka yang menyerbu di delapan penjuru gedung hartawan Bhong ini membuat panik para pelayan yang bertemu para "demonstran"

   Itu.

   Semuanya gugup, dan semua pelayan yang terdiri dari kaum wanita itu gemetar tubuhnya.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka ada yang pingsan dan beberapa diantaranya yang sampai terkencing kencing ini nggelosor lumpuh seperti kain ambruk.

   Keadaan jadi lucu, dan juga menegangkan.

   Dan kaum petani kecil yang akhirnya tidak berhasil menemukan tuan tanah itu mulai merasa curiga.

   Mereka merasa aneh dengan menghilangnya hartawan itu, dan juga para kaki tangannya juga tidak tampak batang hidungnya membuat mereka memaksa seorang pelayan menunjukkan keganjilan nya.

   Dan disinilah mereka baru tahu.

   Kiranya hartawan she Bhong itu menuju ke gudang di belakang kompleks perumahannya.

   Dan begitu mereka men-yerbu kesini tiba-tiba saja mereka itu terbelalak.

   Dua buah mobil menderu lewat.

   Dan Bhong Loya yang melambaikan tangannya dengan ketawa ejekannya itu mengulurkan lengannya dari kaca mobil.

   Dan di belakang mobil si tuan tanah ini, melaju dengan tidak kalah cepatnya tampaklah para kaki tangan itu bersorak-sorak di dalam sebuah truk yang terbuka bagian belakangnya.

   Ah, kiranya si hartawan jahanam itu beserta kaki tangannya telah melarikan diri dengan kendaraan alam modern.

   Maka begitu kaum petani ini tahu segera saja mereka itu tertegun.

   Musih yang di cari-cari tiada dapat, dan mereka yang sudah bersusah payah dengan kemarahan yang meluap itu akhirnya mendapatkan hasil nol besar.

   Para petani ini tampak kecewa, dan mereka yang tidak dapat mengejar tuan tanah yang di benci itu akhirnya kembali kedalam gedung.

   Di sini mereka mengobrak-abrik harta si tuan tanah itu, dan kekecewaan akibat larinya Bhong Loya bertambah besar ketika di ketahui bahwa hartawan itu kiranya juga telah membawa serta belasan peti uang emasnya.

   Ini berarti Bhong Loya masih dapat hidup enak di tempat lain, dan kaum petani yang geram atas kelicikan hartawan ini akhirnya menerima saja apa yang tertinggal disitu.

   Terutama tanahnya yang ribuan hektar itu.

   Dan kaum petani yang memang dasarnya wataknya yang sederhana ini akhirnya "nrimo".

   Hari itu juga mereka mengadakan pembicaraan bersama, dan tanah Bhong Loya yang amat luas dibagi -bagi.

   Semua ini di pimpin Bun Hwi, dan bahwa pemuda tanggung itu tampak gagah di depan ratusan petani ini sungguh diam-diam membuat Thian-san Giok-li dan Kiok Lan kagum sekali di dalam hatinya.

   Akan tetapi tokoh wanita dari pegunungan Thian - san ini tidak mau turut campur.

   Dia memang sengaja membiarkan semuanya itu terjadi di depan matanya.

   Seperti kematian Kwi-pa tadi umpamanya.

   Karena kalau saja si muka tirus itu tidak bermain curang barangkali ia akan turun tangan mencegah orang membunuhnya.

   Tapi karena laki-laki itu ternyata curang dan tidak malu-malu menggunakan mayat Ma- lopek maka dia jadi dingin untuk membantu orang macam begitu.

   Thian-san Giok-li bersikap tawar.

   Tidak tergerak menyelamatkan orang semacam Kwi-pa.

   Tapi Bun Hwi yang sibuk memimpin "musyawarah"

   Kaum petani itu sebaliknya di pandang dengan mata bersinar-sinar.

   Dia ingin tahu apa akhirnya yang akan diperbuat pemuda ini.

   Dan Bun Hwi yang tampak sibuk membagi-bagi tanah rampasan itu dilihatnya selalu mementingkan keperluan orang lain daripada dirinya sendiri.

   Dan ini membuat wanita sakti ini semakin kagum.

   Keponakan Ma-lopek ini tampaknya tidak berpura- pura.

   Artinya apa yang dia lakukan itu sungguh- sungguh keluar dari pancaran hatinya.

   Dan ketika pemuda itu selesai membagi-bagi tanah untuk semua temannya barulah semua orang terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa Bun Hwi sendiri yang merupakan "pelopor"

   Itu tidak mendapat bagiannya! Dan orang pertama yang memgetahui keganjilan ini adalah petani she Lu.

   "He, kenapa kau tidak mendapat bagianmu, Bun Hwi?"

   Petani itu berteriak kaget. Tapi Bun Hwi tersenyum pahit.

   "Aku tidak membutuhkannya, Lu-twako. Asal kalian sudah memperolehnya cukuplah bagiku".

   "Ah, itu tidak mungkin, Bun Hwi. Kalau begitu ambillah bagianku!". Petani she Lu tiba-tiba mengangkat tangannya.

   "Atau kita boleh berbagi dua..."

   Namun Bun Hwi tetap menggeleng.

   "Tidak. Aku betul-betul tidak ingin memiliki tanah twako... Setidak- tidaknya untuk saat ini. Dan kalau kau memaksanya pun tentu juga akan sia-sia. Aku ingin keluar dari dusun Ki-leng ini, ingin merantau..."

   "Aah...!"

   Sekarang semua orang benar-benar terkejut dan pernyataan Bun Hwi yang amat di luar dugaan itu membuat mereka tertegun. Tapi petani she Lu mendadak melompat maju.

   "Bun Hwi...!"

   Petani yang berusia tiga puluhan tahun itu gemetar.

   "Kenapa kau berfikiran begini? Apa kami telah berbuat sesuatu kesalahan kepadamu? Melupakanmu dalam masalah pembagian tanah ini misalnya...? Ataukah kamu kecewa karena sejak mula kami tidak menolong pamanmu...?"

   Bun Hwi memandang petani ini.

   "Lu-twako, jangan menduga yang tidak-tidak. Aku tidak memiliki perasaan apapun terhadap kalian semua selain rasa persaudaraan. Aku tidak ingin mendapatkan bagian tanah ini bukan karena kekecewaan ku terhadap kalian melainkan karena aku ingin merantau, itu saja. Dan terus terang, hasrat merantau ini di dorong oleh kedukaan ku melihat tewasnya Ma- lopek..."

   "Ah, kalau begitu kau merasa kecewa terhadap kami yang tidak dapat menyelamatkan paman mu itu, Bun Hwi?"

   Bun Hwi menggelengkan kepalanya dengan mata terharu.

   "Tidak bukan begitu twako. Jangan kau salah paham! Aku tahu kalian adalah petani-petani lemah yang selama ini tidak berdaya menghadapi kekejaman Bhong Loya. Dan karena itulah selama ini kalian diam saja di dera dan di siksa. Tapi bukan itu masalahnya, twako. Melainkan semata-mata karena aku ingin meninggalkan tempat ini untuk melenyapkan kedukaanku. Aku ingin memburu Bhong-Loya, dan aku juga ingin membasmi orang- orang macam tuan tanah she Bhong itu agar kehidupan kaum petani tidak tertindas...!"

   "Ah...!"

   Sekarang semua orang tertegun dan petani Lu yang berkaca-kaca matanya itu mendadak mengepalkan tinjunya. Dengan muka berapi dia memandang ke depan, lalu Bun Hwi yang baru menyelesaikan kata-katanya itu di sambut seruannya yang penuh semangat.

   "Kalau begitu aku ikut bersamamu, Bun Hwi. Dan apapun yang terjadi di depan mata kita hadapi berdua...!"

   Sekarang Bun Hwi yang ganti merasa kaget.

   "Apa, twako, kau ikut bersamaku...?"

   "Ya, aku juga ingin memburu jahanam she Bhong itu, Bun Hwi. Aku juga ingin membasmi tuan-tuan tanah yang menindas rakyat!"

   "Ahh...!"

   Bun Hwi melangkah mundur dan petani Lu yang di pandang terbelalak itu akhirnya di awasi dengan kening berkerut. Dengan kepala di gelengkan tegas dia menolak keingginan temannya ini, dan Bun Hwi yang sudah memegang lengan petani she Lu itu berkata.

   "Lu-twako, maafkan sebelumnya bahwa aku tidak bisa menerima pernyataan baikmu ini. Bukannya aku tidak senang kau ikut melainkan karena aku melihat bahwa sudah semestinya kau tinggal bersama saudara-saudra yang lain di sini. Kalau aku pergi dan kau juga pergi, lalu siapa yang akan memimpin saudara-saudara kita di sini, Lu-twako?"

   Tidak, aku tidak setuju. Dan kalau kau ikut aku justru merasa tidak senang!"

   "He, kenapa, Bun Hwi?"

   Petani she Lu itu terkejut.

   "Karena kau harus memimpin saudara-saudara di sini, twako. Karena kau harus membimbing mereka dan menjaganya dari segala bahaya!" Bersambung

   Jilid II SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 02 Ah, tapi aku seorang diri, Bun Hwi. Aku tidak bisa apa-apa tanpa kau dan Ma-lopek! Mana mungkin itu?"

   "Hm, kau dapat dibantu Ouw Lui, twako..."

   Bun Hwi menunjuk seseorang di samping kirinya.

   "Dan kau dapat pula dibantu Hui-lopek atau orang-orang tua lain..."

   Bun Hwi memandang dua tiga orang tua disebelah.

   "Dan untuk itu kalian memang harus bekerja sama, Lu- twako! Tidak seperti Bhong loya yang menjadi raja tanpa mahkota. Sudahlah, aku ingin pergi untuk melenyapkan kedukaanku ini dan kelak jika pikiranku jernih kembali aku pasti kembali ke sini menemui kalian". Bun Hwi sudah memutar tubuh dan pemuda tanggung yang tidak mau dibantah kata-katanya ini tampak mengeraskan hati. Dia sudah siap untuk meninggalkan tempat itu, ketika tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat di depannya. Itulah Thian-san Giok -li, dan Bun Hwi yang tertegun oleh melompat nya wanita itu tampak terkejut.

   "Locianpwe kau masih di sini?"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Ya, aku mengikuti gerak-gerikmu Bun Hwi."

   Thia- san Giok-Li tersenyum.

   "Dan aku mau menunjukkan kekurangan mu dalam menyelesai kan pembagian tanah itu. Kau melupakan suatu hal dan kalau ini tidak kau selesaikan maka semua perjuanganmu hari ini bakal sia-sia, Bun Hwi. kau tentu kecewa!"

   "Ah, soal apa itu, locianpwe?"

   Bun Hwi terkejut. Thian-san Giok-li memandang dengan mata bersinar.

   "Soal pembagian tanah yang tidak sah ini! "Apa?"

   Bun Hwi melompat kaget.

   "soal pembagian tanah yang tidak sah, locianpwe, Apa... Apa ini maksudmu...?"

   Thian-san Giok-li kembali tersenyum dengan mata bersinar.

   Kiok Lam pada saat itu tiba-tiba melompat mendekati gurunya dan kaum petani yang melihat wanita ini menghadang Bun Hwi sudah pula melompat maju mendekati guru dan murid itu.

   Kini Thian-san Giok- li mengangguk.

   kan kepalanya, dan Bun Hwi yang tampak keget dipandang tenang.

   "Ya... pembagian tanah yang kau lakukan disini tidak sah, Bun Hwi. Dan karena itulah kau mesti mangesahkannya dengan cara yang berlaku."

   "Dengan cara yang berlaku? Ini... apa maksud locianpwe?"

   "Artinya kau harus ke Kota raja, Bun Hwi, hanya kerajaan yang bisa membagi-bagi tanah untuk teman- temanmu ini. Dan tanpa surat keputusan kaisar siapapun tidak berhak mendapatan bagiannya!"

   "Aaa...!"

   Bun Hwi benar-benar kaget! dan disebut sebutnya nama kaisar oleh wanita tua itu membuat pemuda ini pun pucat mukanya.

   Dia merasa terkejut, dan kaum petani yang lain juga tampak berubah sikapnya mendengar keterangan Thian-san Giok-li itu.

   Tapi wanita sakti ini sudah mengangkat lengannya dengan tenang.

   "Saudara-saudara, jangan kalian gelisah. Mestipun benar kalian belum sah mendapatkan bagian tanah ini secara hukum tapi aku dapat membantu kalian. Bun Hwi akan menyelesaikan persoalan ini. Dan asal dia man turut bersamaku tentu semuanya pun akan bares. Akan tetapi, apakah Bun Hwi bersedia ikut bersamaku?"

   Than-san Giok-Ii memandang pemuda ini.

   Dan Bun Hwi tertegun, dia balas menatap wanita sakti itu, tapi melihat bahwa wanita itu memang memberikan keterangan yang benar dia pun akhirnya menarik napas panjang.

   Sesungguhnya dia juga pernah mendengar keterangan semacam itu dari pamannya beberapa waktu yang lalu.

   Tapi mengingat kota raja terlalu jauh dan dia sendiri juga belum berkepentingan secara langsung maka diapun tidak banyak bertindak, Lain hal dengan sekarang ini.

   Di mana dia harus memperjuangkan nasib teman-temannya kalau tidak mau dirampas kembali haknya.

   Dan kalau Thian-san Giok-li sudah memperingat kannya seperti itu memang mau tidalk mau dia harus berpikir panjang.

   Ah...! Bun Hwi mengerutkan keningnya dan pertanyaan wanita sakti itu sedikit banyak membuat dia bingung juga.

   Sebenarnya, pada saat-saat seperti ini dia Iebih baik menyendiri seorang saja.

   Tidak berkawan untuk melenyapkan kedukaan hati.

   Tapi setelah wanita itu menawar kan jasa baiknya dia jadi tersudut juga.

   Hem, apa yang hendak dijawabnya? Dan Thian-san Giok-li sudah mengulang pertanyaannya kembali.

   "Bagaimana jawabanmu Bun Hwi?"

   Sekarang Bun Hwi pun tidak dapat menolak.

   "Baiklah locianpwe, Kalau itu merupakan penyelesaian terakhir bagiku untuk menolong kawan-kawan aku pun tidak berkeberatan. Tapi apakah ini memang perlu dilakukan, locianpwe? Karena kota raja terlalu jauh letaknya dan kaisar sendiri tidak pernah mengutus orang-orangnya untuk ber-hubungan dengan dusun Ki leng!"

   "Hm... tapi biar bagaimanapun juga dusun ini termasuk wilayah kekuasaan kaisar Bun Hwi, apakah kau tidak khawatir kalau sekiranya Bhong-loya mengadu dan memutar balik kenyataan? Sekali tuan tanah itu berhasil menghasut tentu semuanya pun akan kacau jadinya! Apakah kau tidak memikirkan kemungkinan ini?"

   Bun Hwi terjepit. Dia tidak dapat membantah lagi dan Thian-san Giok-li yang melihat pemuda itu tidak mampu menjawab sudah tersenyum lebar. la tidak mau berlama-lama lagi, maka begitu Bun Hwi "menyerah"

   Dia pun sudah cepat mengajak pemuda ini pergi dengan wajah gembira.

   Kiok Lan yang lekat memandang Bun Hwi sudah digentaknya perlahan, dan Bun Hwi sendiri yang tidak dapat menolak juga sudah disambar lengannya dengan muka berseri seri.

   Wanita itu tidak mau lagi banyak cing-cong, dan kaum petani yang melihat wanita itu tiba-tiba menggerakkan kakinya tampak terkejut ketika mendadak wanita sakti ini sudah melompati kepala mereka melayang menuju keluar pintu.

   Dan begitu wanita ini berkelabat di luar tiba-tiba saja dia sudah "terbang"

   Menggandeng Bun Hwi dan Kiok Lan meninggalkan kompleks perumahan Bhong- loya! Tiga orang ini sekonyong-konyong seperti siluman.

   Dan cara kepergian mereka yang sebentar saja telah lenyap dari pandangan mata itu membuat para petani ini jadi tertegun.

   Mereka tidak sempat meneriaki Bun Hwi, dan Bun Hwi sendiri yang tampaknya juga tidak sempat menoleh itu sama- sama tidak mampu berbuat apa-apa.

   Tiga orang itu sekejap saja telah jauh meninggal kan mereka, dan ketika akhirnya bayangan mereka lenyap di suatu tikungan maka dusun Ki-leng itu pun menjadi sunyi.

    "Locianpwe, kau hendak membawaku kemanakah?"

   Bun Hwi bertanya ketika wanita itu tiba di suatu tempat yang jauh dari dusun Ki-leng. Dan Thian-san Giok-li tertawa kecil.

   "Tentu saja membawamu ke kota raja, Bun Hwi. Kenapakah?"

   Bun Hwi tidak segera menjawab. Dia mengerutkan alis.

   "Tapi ini bukan jalan ke kota raja locianpwe. Kenapa kau hendak membohongi aku?"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pemuda itu tiba -tiba berhenti. Dan Thian-san Giok-li jadi tercengang.

   "He, kau mengenal jalan ini?"

   "Tentu saja. Kota raja di utara jalan, sedangkan locianpwe menuju ke arah timur!"

   Bun Hwi mulai memandang curiga. Dan Thian san Giok-li jadi tersenyum lebar. Hm, ternyata otakmu cerdas, Bun Hwi. Tapi apakah orang yang mengambil jalan ke timur juga tidak mungkin sampai ke kota raja?"

   Wanita itu balik bertanya.

   "Dan kalau kau menaruh curiga kita tentu tidak dapat melakukan perjalanan yang menyenangkan, Bun Hwi. Padahal aku tidak mempunyai niatan buruk kepadamu!"

   Bun Hwi memandang ragu-ragu.

   "Maaf, aku bukannya menaruh ketidakpercayaan kepadamu, locianpwe. Tapi apakah perjalanan yang kita tempuh sekarang ini tidak menyimpang dari ucapanmu sendiri? Locianpwe mengatakan kita ini hendak ke kota raja. tapi arah yang kita ambil sekarang ini tidak langsung kesana. Apakah maksud locianpwe dengan perbuatan ini?"

   Thian-san Giok-li memandang tertawa.

   Aku memang hendak melalui prosedur yang sebenar nya Bun Hwi.

   Karena sebelum ke istana kaisar kita harus terlebih dahulu menuju ke Gubernur Kiang-si.

   Di kota Nan- chang kita nanti bisa bertemu dengan gubernur ini, dan melalui dia baru kita menghadap kaisar.

   Apakah sangkamu kita boleh bertemu kaisar sesuka hati seperti kita menjumpai teman sendiri?"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Jadi kita hendak ke Nan- chang, locianpwe?"

   "Ya begitulah. Aku hendak menemui gubernur ini sebelum kita ke kota raja. Dia adalah seorang sahabatku yang baik dan melalui dia baru kita bisa ke istana menyelesaikan persoalan teman-temanmu itu."

   "Ahh....!"

   Bun Hwi tiba tiba nampak kecewa.

   "Kalau begitu kenapa kau tidak menerangkannya terlebih dahulu. locianpwe! Sebab kalau kutahu begini tentu aku tidak akan ikut bersamamu!"

   "Eh, kenapa, Bun Hwi? Thian-san Giok-li terkejut.

   "Karena locianpwe mulai memutar-mutarkan omongan!"

   "Ah....!"

   Thian-san Giok-li merah mukanya dan suara Bun Hwi yang amat getas nadanya itu mendadak membuat muridnya melompat maju denguan mata terbelalak.

   Kiok Lan tampak tersinggung, dan Bun Hwi yang memandang gurunya dengan muka tidak senang ini tiba-tiba dibentak.

   "Bocah she Bun, apakah kau tidak bisa menjaga mulutmu untuk tidak menghina subo? Baik-baik beliau mengajakmu ke kota raja untuk menyelesaikan persoalan ini tapi dengan sikap kurang ajar kau menghinanya sesuka hati. Apakah kau minta ditampar?"

   Bun Hwi menoleh pahit.

   "Aku tidak menghina subomu, nona. Tapi beliau sendirilah yang coba menipu aku."

   "Eh, apa. maksudmu?"

   Kiok Lan melotot.

   "Kau tanyalah gurumu itu, nona. Aku kira dirinya lebih mengerti dari siapapun!"

   Dan baru Bun Hwi menyelesaikan ucapan nya ini mendadak Kiok Lan sudah menggerakkan tangannya menampar.

   Gadis yang merasa subonya dihina itu sudah tidak tahan Iagi, dan begitu Bun Hwi menyelesaikan kata-katanya tiba tiba saja.

   ia sudah melayangkan tangannya menampar muka Bun Hwi.

   "Bun Hwi, kau anak kurang ajar... plak!"

   Dan begitu Kiok Lan menggaplok pemuda ini kontan saja Bun Hwi terjungkal.

   Pemuda itu tidak mengelak, dan ketika dia melompat bangun dilihatnya gadis cilik itu sudah berdiri di depannya dengan mata berapi-api.

   Kiok Lan tampak marah besar.

   tapi Bun Hwi yang menyaksikan kemarahan gadis itu tersenyum pahit.

   "Nona Kiok, kau agaknya berbakti sekali kepada gurumu itu. Tapi orang yang bersalah tetaplah bersalah. Tidak boleh kita lindungi dia. Apakah kau hendak menampar lagi?"

   Bun Hwi menengadah kan mukanya. Dan Kiok Lan menggigil tubuhnya.

   "Bun Hwi, apakah kau sedemikian rendah watakmu sehingga tidak kenal budi lagi? Jauh-jauh subo menolongmu dari ancaman Bhong-loya tapi kini dengan kurang ajar sekali kau menghina beliau. Apakah pamanmu tidak pernah memberi adat kepadamu?"

   Bun Hwi tiba-tiba mengepal tinju.

   "Nona Kiok, jangan kau mengungkit ungkit pamanku yang sudah tiada. Aku berbuat aku pula yang akan bertanggung jawab! Apakah kau tidak menanyakan kepada subomu itu kenapa aku mengatakannya dia penipu? Aku berani bertaruh disini bahwa guru mu itu ada maksud lain membawaku ke kota Nan-chang. Karena langsung ke kota raja pun sesungguhnya persoalan ini dapat diselesaikan. tidak perlu menghadap gubernur Kiang si!"

   Maka Kiok Lan yang mendengar ketegasan kata- kata itu jadi tertegun.

   Dia memandang terbelalak, tapi sebelum dia mengeluarkan suara tahu-tahu gurunya sudah melangkah maju.

   Thian-san Giok-li tampak merah mukanya, tapi matanya yang bersinar-sinar gembira itu tidak menunjuk kan kemarahan.

   "Bun Hwi, atas dasar apa kau mempunyai dugaan seperti itu?"

   Wanita ini bertanya.

   "Dan mengapa kau merasa yakin bahwa aku mempunyai maksud lain dengan membawamu ke Nan-chang?"

   Bun Hwi memandang wanita ini.

   "Locianpwe, terus terang saja aku jelek-jelek adalah keponakan ma- lopek. Pamanku itu adalah seorang terpelajar. Dan hanya nasib buruk saja yang membawa kami berdua jadi petani-petani kasar di dusun Ki-leng. tetapi apakah petani kasar macam kami ini melulu pengetahuannya hanya mencangkul di ladang? Tidak, locianpwe. Kalau itu dugaanmu maka dugamu ini salah besar! Aku telah banyak menimba pengetahuan dari mendiang pamanku itu, dan satu diantaranya adalah persoalan tanah ini. Dimana pamanku itu pernah berkata bahwa di kota raja, di kompleks istana, sri baginda kaisar telah memaklumkan sebuah badan penasehat hukum yang lugasnya khusus melayani pengaduan rakyat jelata yang mendapatkan perlakuan semena-mena dari petugas negara yang tidak bertanggung jawab. Dan lewat badan hukum inilah setiap orang boleh mengadukan kepincangan nasibnya untuk menuntut keadilan. termasuk bab pembagian tanah yang undang- undangnya baru saja di canangkan oleh kaisar itu!. Nah locianpwe, kalau aku sudah mengetahui ini, lalu apa maksudnya membuang- buang tempo ke Nan-chang? Hanya kalau locianpwce mempunyai maksud yang dirahasiakan sajalah baru kita akan kesana, tidak langsung ke kota raja"

   "Aah....!"

   Thian-san Giok-li terbelalak lebar dan kata-kata Bun Hwi yang penuh "bobot"

   Ini sejenak membuatnya tertegun.

   Dia sama sekali tidak mengira, dan Bun Hwi yang sama sekali boleh dikata sebagai pemuda dusun itu benar-benar membuatnya terkesima.

   Tapi Thian-san Giok-li tiba-tiba tertawa, dan wanita setengah umur yang masih cantik wajahnya ini tiba-tiba menepuk pundak Bun Hwi dengan mata berseri-seri.

   "Bun Hwi, kau hebat sekali. Sungguh tidak kusangka...!"

   Thian-san Giok-li berseru kagum "Tapi apakah kau tahu pula apa sebenarnya yang menjadi rahasia hatiku? Memang tidak kusangkal bahwa aku mempunyai sesuatu maksud dengan membawamu pergi ke Propinsi Kiang-si.

   Tapi apakah kau tahu apa yang kusembunyikan ini?"

   Bun Hwi menggeleng kepala dengan alis berkerut.

   "Locianpwe, itu adalah persoalan pribadimu. Bagaimana mungkin aku tahu? Tidak locianpwe. tanpa diberi tahu tentu saja tidak mungkin bagiku untuk mengetahui apa yang menjadi maksud tujuan locianpwe ini. Tapi kalau locianpwe hendak memberitahukannya secara bohong lebih baik locianpwe simpan saja rahasia itu!"

   "Ah..."

   Thian-san Giok-li tersenyum kecut. Tapi akhirnya tertawa gemas.

   "Kau sungguh luar biasa, Bun Hwi. Namun juga agak kurang ajar. Tahukah kau bahwa kalau orang lain yang bicara seperti ini tentu sudah kugaplok mukanya. Tapi kau memang bocah istimewa, pantas kalau dicurigai keberanian dan kecerdasan otakmu ini sebagai bocah dusun. Eh, Bun Hwi tahukah kau siapa sebenarnya pamanmu Itu? Maksudku, siapa nama pamanmu itu?"

   Bun Hwi tiba-tiba terkejut.

   "Apa, locianpwe, Pamanku....?"

   "Ya, maksudku nama pamanmu itu. Tahukah kau siapa nama pamanmu itu?"

   Dan Bun Hwi tiba tiba berobah mukanya.

   Dengan kaget dia memandang terbelalak kepada wanita sakti ini, dan pertanyaan yang tampaknya sederhana itu tiba-tiba tidak mampu dijawab! Bun Hwi tertegun, dan Thian-san Giok-li yang tersenyum senyum dengan mata berseri itu sekonyong-konyong dipandang pucat.

   "Locianpwe, ini.... pamanku she Ma... untuk apa kau tiba-tiba menanyakan mendiang pamanku?"

   "Hm... aku tidak tanya sepotong-sepotong Bun Hwi. Melainkan bertanya, siapakah nama lengkap pamanmu itu. Tahukah kau siapa dia."

   "Dia.... dia... Ah... aku memangilnya Ma-lopek locianpwe, dan itu adalah nama panggilannya sehari-hari. Untuk nama lengkapnya aku... aku..."

   Bun Hwi tiba tiba menjadi gugup, terus terang aku tidak tahu.

   "Hm, kalau begitu aneh, bukan? Bagaimana kau bisa tidak mengetahui nama pamanmu padahal kau berkumpul dengannya, Bun Hwi? Apakah kau tidak pernah bertanya?"

   Bun Hwi mendadak menjadi bingung.

   "lni... eh... pernah juga locianpwe. Tapi paman Ma tidak pernah mau menjawab dan menyuruhku cukup memanggil seperti biasa saja. Orang tua itu nampaknya tidak senang kalau aku bicara tentang ini dan karena aku sendiri merasa tidak ada sesuatu yang serius dengan persoalan nama itu maka diapun kukenal saja sebagai Ma-lopek. Apakah locianpwe mengetahui siapa sebenarnya pamanku itu?"

   Thian-san Giok-li tersenyum rahasia.

   "Aku belum dapat menjawabnya, Bun Hwi. Dan karena itulah aku ingin mengajakmu ke Nan-chang. Gubernur Kiang-si akan mampu menjawab pertanyaan ini, dan karena aku hanya dimintai tolong untuk membawamu ke sana maka akupun tidak banyak tahu."

   "Eh, kalau begitu kedatanganmu di dusun Ki-leng adalah suatu kesengajaan, locianpwe?"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Ya,"

   Thian-san Giok-li menganggukkan kepalanya.

   "Dan justru mencari-cari dirimu inilah aku sampai di tempat hartawan she Bhong.

   "Ooh..."

   Bun Hwi melangkah mundur dan matanya yang tiba-tiba mengerut itu menunjuk kan sinar curiga kepada lawan. Thian-san Giok-li dipandang penuh selidik, tapi tokoh wanita yang bersikap tenang ini menjadlkan Bun Hwi mereda kecurigaannya.

   "Locianpwe, kalau boleh aku bertanya, atas sebab- sebab apakah engkau mencari-cari diriku? Apakah ada hubungannya dengan tuan tanah she Bhong itu?"

   Thian-san Giok-li tersenyum kecil.

   "Tidak, Bun Hwi. Melainkan ada hubungannya dengan kaisar. Belasan tahun yang lalu putera sri baginda dari pihak selir lenyap tanpa bekas. Dan karena itulah aku diminta oleh seorang sahabatku yang kini menjadi gubernur Kiang-si untuk mencarinya. Dan karena menurut penyelidikan sementara anak itu berada di dusun Ki- leng maka aku pun lalu menuju ke sana untuk mengambilmu!"

   "Ah..!"

   Bun Hwi melompat kaget.

   "Bagaimana kau bisa mengambil kesimpulan bahwa aku adalah anak yang kau cari-cari, locianpwe? Dusun Ki-leng selamanya tidak kenal orang luar, dan dugaan yang terlampau cepat ini benar-benar terlalu gegabah. Tidak, aku yakin kau pasti salah mengenal orang dan paman Ma yang tidak pernah bercerita apa-apa tentang hal ini pasti membuatmu keliru Locianpwe, jangan kau bicara yang tidak-tidak tentang dugaan itu, dan kalau kau mau membawaku ke kota raja hanyalah untuk urusan tanah. bukan untuk urusan putera kaisar yang hilang!"

   Bun Hwi tiba-tiba menjadi marah dan Thian-san Giok-li yang dipandang dengan mata berapi api itu tampak tertegun.

   Wanita sakti ini kelihatan terkejut, namun sinar matanya yang bersinar tenang menghalau ketegangan Bun Hwi.

   Dia melangkah maju, dan Bun Hwi yang mundur-mundur oleh jangkauan lengannya itu tiba- tiba dicengkeram lembut.

   "Bun Hwi, jangan kau marah-marah di sini. Aku tidak bermaksud buruk. Aku hanya ingin membawamu ke gubernur Kiang-si untuk membuktikan siapa dirimu. Kenapa kau menjadi tegang?"

   Bun Hwi meronta.

   "Jadi kau hendak menipuku lagi, locianpwe? Jadi kau hanya ingin membawaku ke Nan- chang lalu melupakan persoalan teman- temanku di dusun Ki-leng?"

   Thian-san Giok-li tertegun.

   "Eh, tentu saja itu pun juga kulakukan, Bun Hwi. Tapi harap kau bersikap tenang. Aku tidak bermaksud buruk. dan kalau benar kau bukan pangeran yang ku cari kau tentu tetap ku bantu juga menyelesaikan persoalan tanah di dusun Ki- leng. Kenapa kau harus kelewat curiga?"

   "Huh, karena aku mulai tidak percaya kepadamu, locianpwe. Karena kau mulai berbelit-belit tidak berterus terang kepadaku sejak semula!"

   "Ah...!"

   Thian-san Giok-li merah mukanya dan "dampratan"

   Bun Hwi yang demikim blak-blakan itu sejenak membuat wanita ini berdiri terbelalak.

   Dia memandang Bun Hwi dengan mata berkilat.

   Tapi karena Bun Hwi merasa benar dengan kata katanya itu dan tidak nampak taku sedikitpun juga akhirnya membuat wanita sakti itu menarik napas panjang.

   Thian-san Giok- Ii harus mengakui kesalahannya itu.

   dan Bun Hwi yang telah berkata dengan jujur akhirnya ditepuk dengan sentuhan lembut.

   "Hm, kau benar, Bun Hwi, Maafkan aku..."

   Thian-san Giok-li akhirnya mengaku dengan senyum pahit.

   "Tapi bukankah sekarang ini aku telah berkata jujur kepadamu? Dan kalau kau masih tidak percaya kepadaku sungguh aku tidak tahu harus berbuat apa Bun Hwi, karena sesungguhnya aku tidak mempunyai maksud buruk .....

   "

   "Hm, sudahlah kalau begitu locianpwe. Aku pun juga tidak bermaksud kasar kepadamu. Tetapi bagaimana kalau seandainya aku bukan orang yang kau cari- cari, locianpwe? Dan bagaimana nanti sikap gubernur sahabatmu di Kiang-si itu? Jangan-jangan kau salah menduga orang dan membuang-buang waktu saja!"

   "Ah, untuk ini aku tidak yakin Bun Hwi. Aku tidak yakin bahwa aku keliru menilai orang!"

   "Maksud locianpwe?"

   "Aku yakin bahwa kaulah orangnya yang dicari- cari itu Bun Hwi. Karena beberapa kelebihanmu di sini sungguh menonjol sekali."

   "Ah... kelebihanku yang mana locianpwe?"

   "Kelebihanmu dalam banyak hal. Pertama, keberanianmu yang tidak seperti kebanyakan pemuda dusun itu. Lalu kecerdasanmu yang juga menonjol dan terakhir barangkali adalah wajahmu itu..."

   "Hm... Kenapa dengan wajahku locianpwe....?"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Hm... ini... Eh, bagaimana pendapatmu Kiok Lan?"

   Thian-san Giok-li tiba-tiba menoleh kepada murid perempuannya itu dengan muka sedikit merah.

   "Bagaimana pendapatmu dengan wajah Bun Hwi ini?"

   Kiok Lan terkejut.

   "Kukira wajahnya baik baik-baik saja subo. Dalam arti kata tidak ada jerawat di mukanya itu!"

   "Ah...!"

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Thian-san Giok-li tiba-tiba hampir tertawa.

   "Bukan itu yang kumaksud. Kiok Lan. Tapi apakah pantas Bun Hwi ini menjadi pemuda dusun? Maksudku patutkah pemuda ini hidup di tengah- tengah kaum petani yang setengah kasar itu? Patutkah dia hidup di kalangan rakyat kecil?"

   Kiok Lan mulai membelalakkan matanya.

   "Ah, kalau itu yang kau maksud barangkali memang tidak subo. Bun Hwi terlalu tampan untuk hidup di tengah- tengah kawannya yang setengah liar itu."

   Dan Thian-san Giok-li tiba-tiba tampak gembira.

   "Nah, kau dengar jawaban muridku, Bun Hwi. Kau memang terlalu tampan untuk hidup di tengah- tengah teman-temanmu di tempat Bhong-loya itu. Kau memiliki sinar kebangsawanan yang agung dan hanya putera seorang pangeran atau kaisar sajalah yang bisa memiliki muka seperti wajahmu itu. Dan inilah yang kumaksudkan."

   Thian-san Giok-li mendadak berseri muka nya dan Bun Hwi yang mendengar kata-kata wanita itu tertegun. Pemuda ini tampak bengong. Tapi ucapan Kiok Lan yang menyebut teman-temannya sebagai orang-orang "setengah liar"

   Itu membuat dia mengerutkan alis. Karena itu dia Ialu menoleh kepada gadis ini.

   "Nona Kiok, harap kau jangan merendahkan teman- temanku itu. Karena betapapun liarnya mereka ini mereka adalah petani-petani yang sederhana dan jujur sikapnya. Tidak seperti... hem, orang lain umpamanya....!"

   Bun Hwi hampir mengatakan "tidak seperti gurumu"

   Kepada gadis itu ketika tiba-tiba Thian- san Giok-li yang disindir sudah tertawa dengan senyum menyeringai.

   "Ah... kau amat perasa sekali Bun Hwi. Kiok Lan tidak bermaksud merendahkan teman-temanmu. Tetapi hanya hendak memberikan perbandingan di antara dirimu dan teman-temanmu itu. Bukankah begitu Kiok Lan?"

   Wanita ini menoleh ke kiri.

   "Tapi kalau kau tersinggung biarlah aku sebagai gurunya yang memintakan maaf Bun Hwi. Bahwa sesungguhnya kami tidak bermaksud menghina teman-temanmu....!"

   Dan Thian-san Giok-li yang benar-benar meminta maaf dengan jalan membungkukkan tubuhnya di depan Bun Hwi itu akhirnya membuat pemuda ini malah menjadi gugup dengan sendirinya.

   Bun Hwi jadi tersipu-sipu, dan kemarahannya yang kontan lumer oleh sikap orang yang demikian sungguh-sungguh itu akhirnya membuat pemuda ini seketika menjatuhkan diri berlutut dengan muka merah.

   "Locianpwe, jangan kau membuatku tidak enak begini. Bukankah jelek-jelek kau telah menolong jiwaku? Sudahlah locianpwe, aku tidak menyimpan di hati untuk kata-kata muridmu tadi. Dia memang benar, teman- temanku memang petani-petani yang setengah kasar wataknya...!"

   Dan Thian-san Giok-li yang melihat pemuda itu tidak marah jadi tersenyum lebar.

   "Jadi sekarang kau mau ikut denganku ke Nan- chang bukan, Bun Hwi?"

   "Kalau itu kau rasa perlu, locianpwe!"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Baiklah, kalau begitu mari kita segera berangkat...!"

   Tapi baru saja Thian-san Giok li yang tertawa girang itu menyambar lengan Bun Hwi, mendadak terdengar pekik seseorang disusul derap seekor kuda.

   "Thian-san Giok-li, tunggu dulu. Aku ingin bicara sebentar denganmu....!"

   Dan begitu seruan ini menggelegar di persimpangan jalan tiba-tiba saja dari belakang muncul seorang laki-laki pendek hitam di atas kuda.

   Dia mencongklang dengan kecepatan penuh, dan ketika sekejap kemudian pendatang baru ini tiba di depan mereka tampaklah siapa dia sebenarnya.

   Kiranya seorang laki-laki aneh.

   Kepalanya botak dan membawa sebatang tongkat emas!.

   Dan begitu dia muncul tiba-tiba saja di belakangnya terdengar ringkik belasan ekor kuda di susul munculnya pasukan berseragam kuning.

   Itulah pasukan gubernur Hu-nan, dan Thian-san Giok-li yang melihat kedatangan laki-laki ini di susul pasukan berseragam kuning jadi tampak kaget mukanya.

   Wanita itu mengeluarkan seruan tertahan, Tapi Bun Hwi yang tidak mengenal sama sekaIi akan rombongan baru ini hanya membelalakkan mata.

   Begitu pula dengan Kiok Lan.

   Dan ketika laki-laki bertongkat emas itu melompat turun dari atas kudanya tiba-tiba Bun-Hwi Jadi tercengang ketika tiba-tiba laki- laki ini berlutut di depannya.

   "Pangeran, hamba diutus Song-taijin menjemput paduka. Apakah pangeran baik-baik saja? maka Bun Hwi yang menerima penghormatan orang jadi melenggong. Dia tidak tahu kenapa kejadian tiba-tiba saja bisa berubah begitu rupa. Tapi Thian-san Giok-li yang tampaknya marah dengan kelancangan laki-laki botak itu tiba-tiba membentak bengis.

   "Pek Bong Lo-mo, atas dasar apa kau bermaksud kurang ajar di depanku? Tidak tahukah kau bahwa anak ini aku lah yang membawanya."

   Laki-laki pendek itu mendadak memutar tubuh.

   Dia tampak tersenyum mengejek, tapi kemarahan Thian -san Giok-li di sambutnya tenang.

   Dengan perlahan dia mencabut segulung kertas lalu sambil mengacungkan benda ini dia berkata "Thian-san Giok-li, Jangan kau berlagak di sini.

   Aku hendak membawa pangeran berdasarkan surat utusan gubernur Song.

   Apakah kau lebih berkuasa daripada gubernur itu?"

   Thian-san Giok-li tiba-tiba juga mencabut segulung kertas.

   "Hm, kau manusia tidak tahu malu, Pek Bong Lo-mo. Apakah kau seorang yang mendapatkan wewenang untuk membawa pangeran? Kalau kau mempunyai surat utusan itu maka akupun juga punya. Lihat ini, aku diutus Kam-taijin untuk mengantar pengeran. Dan kalau kau tahu diri di mana kau berada saat ini maka kau tidak perlu bersombong di depanku, Pek Bong Lo-mo!"

   "Ha ha ha, kau hendak mengandalkan nama gubernur Kiang-si itu Thian-san Giok-li? Jadi kau sekarang sudah pandai mencari muka di hadapan seorang pembesar? Uwah, baru kali ini kulihat pertapa suci juga mencari kekuasaan! Eh, Thian-san Giok-li kau diberi kedudukan apakah oleh gubernur Kiang-si itu? Apakah sekarang sudah menjadi pengawal pribadinya?"

   Thian-san Giok-li membentak marah.

   "Pek Bong Lo- mo, tutup mulutmu. Aku tidak mencari kedudukan di manapun aku berada! Apakah kau kira Thian-san Giok-li sudah tebal mukanya dengan mencari kedudukan macam dirimu yang hina ini? Huh, jangan sembarangan bicara Pek Bong Lo-mo. Aku mencari pangeran ini atas dasar persahabatanku dengan Kam-taijin, sama sekali bukan mengharap balas jasa seperti dirimu ini!"

   "Ha-ha, bagus, kalau begitu pencarianmu di sini sama sekali tidak berpamrih Thian-san Giok-li? kalau begitu kau tentunya tidak berkeberatan kalau pangeran ini ikut bersamaku bukan? Nah kalau begitu biarkanlah aku yang mengantar ke istana sri baginda, dan kau yang menemukan pangeran ini cukup lapor saja kepada Kam- taijin bahwa aku telah membawanya ke kota raja. Nah, bukankah ini sama saja bagimu?"

   Pek Bong Lo-mo tertawa menyeringai dengan tongkat di goyang-goyang sementara Kiok Lan tiba-tiba melompat maju.

   "Setan botak, apakah otakmu tidak pernah direparasi di sini? Jauh-jauh subo mencari bocah she Bun ini tapi dengan enak saja kau menentang bacot! Apakah kau tidak pernah sarapan tinju?"

   Pek Bong Lo-mo terbelalak.

   "Wah, ini muridmu Thian-san Giok-li?"

   "Ya, aku muridnya!"

   Kiok Lan mendahului membentak.

   "Apakah kau takut dengan murid Thian-san Giok-li?"

   Pek Bong Lo-mo tiba-tiba tertawa bergelak.

   "Ha ha... muridmu benar-benar seperti anak macan Giok-li. Banyak mengaum tidak pernah menggigit. Eh, bocah sinting apakah kau tidak pernah dI beri tahu subomu siapa aku ini sebenarnya? Tidak kenalkah kau dengan Pek Bong Lo-mo si iblis dari selatan?"

   Kiok Lan berkacak pinggang.

   "Huh, setan botak macam mu ini mana pernah subo memberitahu kannya padaku, orang hitam? Menyebut Pek Bong Lo-mo saja perutku tiba-tiba mual. Apalagi setelah melihat orangnya... phuihh!"

   Kiok Lan tiba-tiba menendang pusar lawan dan ucapannya yang amat berani itu membuat Pek Bong Lo-mo mendelik.

   Dengan gusar laki-Iaki ini menangkap kaki Kiok Lan, dan ketika perutnya didepak sekonyong-konyong jarinya yang sebesar pisang ambon itu tiba-tiba telah mencengkeram perlahan.

   Lalu, sementara Kiok Lan berteriak kaget tiba-tiba Pek Bong Lo-mo telah membantingnya didepan Thian-san Giok-li.

   "Anak setan, kembalilah ke gurumu....bruk!"

   Dan Kiok Lan yang terbanting hebat dengan bokong terlebih dahulu itu menjerit tertahan dengan muka kesakitan! Gadis cilik itu terkejut.

   


Hancurnya Sebuah Kerajaan Karya Siao Shen Sien Perguruan Sejati -- Khu Lung Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long

Cari Blog Ini