Ceritasilat Novel Online

Sengketa Cupu Naga 12


Sengketa Cupu Naga Karya Batara Bagian 12



Sengketa Cupu Naga Karya dari Batara

   

   Dia tadi telah menyambar tubuh Bun Hwi.

   Yang melayang di atas tubuhnya sendiri.

   Dan Wen Tao yang maklum keselamatan dirinya tak dapat dielakkan lagi tiba-tiba mengambil keputusan cepat.

   Bun Hwi yang meluncur di atasnya tiba-tiba disambar, persis mengenai bajunya.

   Dan mereka berdua yang terbanting di atas jurang hampir berbareng terantuk dahan yang kokoh kuat itu.

   Hanya bedanya kalau Bun Hwi terantuk leher dan kakinya adalah pembantu Menteri Hu itu terantuk pinggangnya.

   Dan, seperti yang kita ketahui, jatuh di dalam jurang dengan ketinggian yang demikian luar biasa pasti seseorang tak dapat menyelamatkan jiwanya sendiri.

   Begitu pula dengan Bun Hwi dan temannya ini.

   Wen Tao langsung patah-patah tulangnya, pinggangnya putus menjadi dua, menghantam dahan yang besar tadi.

   Sedangkan Bun Hwi, yang secara "kebetulan"

   Telah minum darah Ular Tanduk Hijau memiliki tubuh yang luar biasa kuat.

   Tulang pemuda ini tak dapat patah, seperti yang dikatakan Siauw-bin Lo-koai dulu.

   Dan leher serta kaki Bun Hwi yang menghantam dahan pohon itu memang benar-benar "tahan banting".

   Bun Hwi hanya pingsan, tapi tulangnya yang tidak remuk menimpa dahan pohon yang besar itu telah menyelamatkan jiwanya.

   Sebuah keajaiban! Tapi Bun Hwi tak sadarkan diri.

   Ia nyangkut di atas pohon, lebih kurang lima tombak dari bawah jurang.

   Dan Wen Tao yang terus meluncur turun akhirnya terbanting di atas tanah dan tewas seketika itu juga.

   Pembantu Menteri Hu ini mengalami kematian yang menyedihkan, tapi karena itu sudah nasib barangkali memang tak perlu disesalkan.

   Bukankah laki-laki ini bersedia menjalani bahaya untuk melindungi orang lain? Dan Bun Hwi akhirnya siuman juga.

   sepeminuman teh lamanya dia pingsan, dan ketika membuka mata Bun Hwi tiba-tiba mengeluh.

   Dia merasa tubuhnya sakit-sakit, seakan remuk tapi tak ada luka yang membuatnya cidera.

   Dan ketika Bun Hwi bangkit duduk segera diapun teringat akan apa yang terjadi.

   Cepat dicarinya pembantu Menteri Hu itu, dan ketika didapatinya Wen Tao terkapar di lantai jurang tiba- tiba Bun Hwi melompat turun.

   Bun Hwi tertegun.

   Dia melihat laki-laki itu telah tewas, tulang-tulangnya patah sementara tengkorak kepalanya juga retak membentur batu.

   Dan Bun Hwi yang merasa terharu ini tiba-tiba menggigit bibir.

   Itulah ulah Ang-sai Mo-ong, datuk iblis yang berkali- kali membunuh banyak jiwa! Dan Bun Hwi yang bersinar matanya tiba-tiba menjadi marah sekali.

   Dia mengepal tinju, dan berbisik lirih dia bersumpah di dekat jenasah pembantu Hu-taijin ini.

   "Paman Wen, tenangkan hatimu. Aku berjanji untuk membalas sakit hatimu kepada iblis tua itu...!"

   Dan Bun Hwi yang sudah mengangkat tubuh orang lalu menggali tanah untuk menguburkan jenasah laki-laki ini.

   Dia tak dapat bertindak lain kecuali menguburkan laki-laki yang telah menjadi mayat itu.

   Dan Bun Hwi yang akhirnya selesai menguburkan jenasah ini lalu mendongak ke atas.

   Dia melihat sesuatu yang mengerikan jauh di atas sana.

   Sebuah titik kecil yang merupakan mulut jurang.

   Dan Bun Hwi yang mengerutkan kening akhirnya menarik napas panjang.

   Mungkinkah dia mampu merayap di dinding jurang itu untuk keluar dari tempat ini? Hm, harus dicoba.

   Bun Hwi lalu menghampiri dinding jurang dan termangu-mangu dia mendapat kenyataan bahwa dinding jurang yang tinggi itu basah dan penuh lumut! Ah...

   Bun Hwi menjadi bingung.

   Mungkinkah dia terkubur hidup-hidup di dasar jurang yang hampir tidak tersentuh cahaya matahari ini? Dan harus mati kelaparan di tempat yang asing itu? Bun Hwi menggigit bibir.

   Dia teringat Cupu Naga.

   Dan kaget bahwa cupu itu terjatuh di dekat Pek-bong Lo-mo tiba-tiba saja dia menjadi pucat.

   Dengan cepat saku bajunya dirogoh, tapi melihat Cupu Naga ternyata ada di situ mendadak Bun Hwi tertegun.

   Tentu ini perbuatan Wen Tao tadi.

   Laki-laki yang telah menyambar Cupu Naga dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.

   Dan dia yang tercekam perhatiannya oleh serangan Pek-bong Lo-mo ternyata tak merasa bahwa pembantu Menteri Hu itu telah mengembalikan barang miliknya kepadanya! Bun Hwi termenung.

   Dia memandang gundukan tanah dimana mayat Wen Tao dia kuburkan.

   Dan berbisik lirih dia mengucapkan terima kasih secara diam-diam atas jasa laki-laki ini.

   Bun Hwi lalu memutari jurang.

   Dia mencoba mencari tempat yang dapat dipakai untuk pijakan kaki.

   Tapi melihat dinding jurang yang semuanya licin tiba-tiba saja Bun Hwi menjadi kecil hati.

   Sehari penuh dia berusaha, tapi hasilnya yang nihil membuat Bun Hwi putus asa dan terkurung di dasar jurang dengan pikiran bingung! Malam itu dia terpaksa tidur di atas pohon, merebahkan diri di antara cabang dan ranting yang silang-menyilang.

   Dan ketika hari kedua bangkit dan sinar matahari muncul Bun Hwi tiba-tiba terbelalak.

   Dia teringat akan pohon yang dia tiduri ini.

   Pohon yang menyelamatkan jiwanya.

   Kenapa tidak dari sini dia mulai? Bun Hwi melompat turun.

   Dia memperhatikan tebing dimana pohon itu tumbuh.

   Menelitinya seksama dengan hati berdebar.

   Dan tiba-tiba saja Bun Hwi menjadi girang.

   Bagian ini dekok ke dalam, lumutnya banyak tapi tidak begitu basah seperti bagian lainnya.

   Dan ini berarti dapat dipakai untuk injakan kaki! Bun Hwi sudah mulai bekerja.

   Dengan penuh semangat dia menginjak tempat ini, naik ke atas, merayap perlahan.

   Dan ketika dengan sabar dia harus mengikis lumut yang ada di situ tak lama kemudian dia sampai di sebuah tempat yang agak kering.

   Tapi Bun Hwi tiba-tiba terbelalak.

   Dia melihat banyak ular di situ, saling belit dan tumpuk merupakan gundukan daging yang menjijikkan.

   Dan tertegun oleh penglihatan ini otomatis dia berhenti.

   Hatinya berdebar.

   Merayap lagi ke atas berarti harus menjamah puluhan ular yang tampaknya tiduran dengan tenang itu.

   Dan sekali mereka terbangun barangkali dia bisa celaka! Bun Hwi termangu.

   Dia bingung.

   Memandang ke atas dan melihat mulut jurang masih jauh ratusan tombak di atas kepalanya.

   Ah, bisakah dia merayap sampai sedemikian tinggi? Padahal merayap sekitar sepuluh dua puluh tombak begini dia sudah mulai terengah.

   Apa akal? Bun Hwi tiba-tiba menarik napas kecewa.

   Agaknya dia gagal.

   Dan mungkin harus terkubur hidup-hidup di jurang yang tak mengenal kasihan ini.

   Tapi Bun Hwi tiba-tiba tersentak.

   Dia merasa aneh bagaimana puluhan ular di atas itu dapat saling bergerombol.

   Bukankah dinding jurang ini terjal? Mana mungkin dipakai "lesehan"? Dindingnya yang licin tegak lurus saja tak mungkin bisa dipakai untuk beristirahat.

   Kecuali...

   ah, kecuali tempat itu merupakan bagian yang masuk ke dalam atau mulut sebuah gua! Bun Hwi tiba-tiba bersemangat.

   Dia harus menuju ke tempat itu.

   Mencari lihat apakah dugaannya ini benar.

   Dan mengeraskan hati tiba-tiba Bun Hwi merayap lagi ke atas.

   Ular-ular itu harus diusirnya.

   Bila perlu dia akan bertarung membunuh binatang melata ini! Dan Bun Hwi yang sudah naik ke atas sebentar saja tiba di tempat ini.

   Dan benar.

   Tempat itu merupakan sebuah mulut gua! Bun Hwi yang menjadi girang berseri mukanya.

   Tapi puluhan ular yang melihat kehadiran pemuda ini mendadak bangun melepaskan diri dan mendesis! Mereka tiba-tiba saja menegakkan kepala, dan Bun Hwi yang melihat lawan siap menyerang otomatis menghentikan gerakannya dan berhenti merayap.

   Kini dua musuh itu saling melotot.

   Seekor ular berkulit merah sekonyong-konyong menggeleser, menghampiri Bun Hwi dengan lidah keluar masuk.

   Dan Bun Hwi yang teringat pertarungannya dengan ular-ular Khong-sim-coa di bawah telaga di jurang lain seketika mengepalkan tinju.

   Dia rupanya harus mengulang kembali cerita lama.

   Bertempur dengan ular-ular yang menjijikkan ini.

   Dan maklum bahaya tak dapat dielak tiba-tiba Bun Hwi mengambil logam yang katanya milik Pek-mauw Sin-jin.

   Dia akan menimpuk kepala ular itu, menyerang sebelum diserang.

   Tapi ular merah yang melihat Bun Hwi mengeluarkan benda yang mengkilat berkilauan itu tiba-tiba terkejut.

   Dia mendesis, menegakkan kepala seakan takut atau marah.

   Dan Bun Hwi yang heran melihat sikap lawannya ini mendadak melihat ular itu membalikkan tubuh dan melarikan diri! Aneh.

   Bun Hwi hampir tak percaya.

   Dia melihat ular yang lain juga, tiba-tiba mendesis ketakutan, dan puluhan binatang melata yang tadi nampak ganas dengan lidah keluar masuk itu sekonyong-konyong kini berserabutan melarikan diri.

   Mereka masuk ke dalam gua, dan Bun Hwi yang bebas dari halangan ini tentu saja menjadi girang sekali.

   Dia merayap lagi, meraih mulut gua yang tadi dijadikan tempat berkumpul ular-ular itu.

   Dan sekali dia melompat naik maka tibalah dia di sebuah gua yang terang tapi dingin! Bun Hwi terbengong.

   Dia melihat sebuah mutiara tergantung di langit-langit gua.

   Sebutir mutiara yang besarnya tidak lebih dari sebuah kelereng.

   Dan mutiara yang kiranya menerangi bagian dalam gua ini membuat suasana yang gelap jadi terang seperti diterangi sinar matahari.

   Bun Hwi benar-benar tertegun.

   Dia tidak tahu mutiara macam apa itu.

   Tapi teringat Mei Hong tiba-tiba saja dia ingin memberikan mutiara itu kepada gadis itu! Bun Hwi melangkah maju.

   Dia meraih mutiara ini mengambilnya dengan muka terheran-heran.

   Tapi sebuah desis yang kuat di kiri mutiara itu tiba-tiba membuatnya terkejut.

   Seekor ular belang tahu-tahu menjulurkan kepalanya.

   Dia mematuk tangannya yang menyentuh mutiara.

   Dan Bun Hwi yang tak jadi mengambil se.....

   teringat akan puluhan ular yang tadi bergerombol di mulut gua.

   Dimana mereka sekarang itu? Bun Hwi memandang.

   Dia tak tahu seberapa dalam gua ini.

   Tapi sinar mutiara yang menerangi seluruh gua akhirnya membuat dia melihat ular-ular itu bergerombol di sudut.

   Tampak ketakutan dengan mata liar.

   Dan mereka yang saling tumpang tindih di sudut gua akhirnya membuat Bun Hwi tertawa.

   Bagaimanapun, dia merasa lucu oleh sikap puluhan ular itu.

   Dan melihat mereka tampak demikian ketakutan tiba-tiba saja Bun Hwi merasa kasihan.

   Ah, mereka itupun makhluk hidup.

   Kenapa harus diganggunya? Maka Bun Hwi yang tersenyum ini tiba-tiba melangkah maju.

   "Anak-anak, jangan takut. Aku tidak akan menyerang jika kalian juga tidak menyerangku."

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ular-ular itu mendesis.

   Mereka mengangkat muka, tidak memainkan lidah yang keluar masuk lagi tapi tampak memandang penuh curiga kepada Bun Hwi.

   Dan ketika Bun Hwi mendekati mereka tiba-tiba saja gerombolan ular ini menyebar dan melarikan diri! Mereka ketakutan benar, dan Bun Hwi yang merasa geli tiba-tiba menangkap seekor di antaranya.

   Itulah ular merah yang tadi siap menggigitnya, ular yang tampak paling galak di antara semuanya.

   Dan ular merah yang disambar Bun Hwi tiba-tiba seakan lumpuh.

   Dia menggeliat, tapi ketika Bun Hwi menekan belakang lehernya ular inipun diam tak bergerak- gerak lagi.

   Hanya matanya yang terbelalak liar menunjukkan dia ingin melarikan diri.

   Tapi Bun Hwi yang tertawa lebar tak mau menakut-nakuti lebih jauh.

   "Ang-coa (Ular merah), kau rupanya ketakutan sekali. Apakah kau kenal benda ini?"

   Ular merah terbelalak.

   Dia tiba-tiba mendesis, dan Bun Hwi yang melepaskan pegangannya tiba-tiba melihat ular itu melarikan diri menyelinap di sebuah celah.

   Bun Hwi menarik napas panjang.

   Logam yang ada di tangannya ini agaknya ampuh sekali.

   Terbukti semua ular takut kepadanya.

   Dan Bun Hwi yang kembali teringat pada mutiara di langit-langit gua tiba-tiba memandang.

   Dia masih melihat ular belang itu menjaganya di sana, memandangnya pula dengan sikap galak.

   Dan Bun Hwi yang ingin menggoda ular ini tiba-tiba melangkah maju.

   "Ular belang, kau rupanya menjadi penjaga mutiara itu. Kalau begitu bolehkah kulihat sebentar mutiara yang kau jaga itu?"

   Ular belang mendesis-desis.

   Dia marah melihat Bun Hwi maju.

   Tapi Bun Hwi yang merasa heran ular ini tidak ketakutan oleh logam di tangannya tiba-tiba menjadi penasaran.

   Dengan sengaja dia menyodorkan logam itu di depan muka ular, tapi begitu ular ini memagut tangannya tiba-tiba mutiara yang ada di atas gua direbutnya.

   Bun Hwi merasa gigitan ular panas dan sakit, tapi ular belang yang mematuk jarinya mendadak jatuh terkulai dan mati! Bun Hwi terkejut.

   Ada apa ini? Dia meneliti bangkai ular itu, mengamat-amatinya dengan penuh rasa heran.

   Dan ketika dia melihat bangkai ular ini hangus kehitaman Bun Hwi mendadak terbengong.

   Dia melihat jari yang digigit ular itu juga berbintil kehitaman, seperti bekas ditusuk jarum beracun.

   Dan mutiara yang ada di tangan kanannya tiba-tiba mengeluarkan bau harum yang menyengat hidung.

   "Ah...!"

   Bun Hwi mendelong.

   "Ada apa ini?"

   Tapi Bun Hwi tetap tidak mengerti.

   Dia tak tahu bahwa mutiara yang kini dibawanya itu adalah Mutiara Pengharum Sukma, sejenis mutiara yang membawa pengaruh aneh bagi yang berada di dekatnya.

   Karena siapa yang membawa mutiara ini dia bakal dikuasai semacam pengaruh mujijat.

   Memiliki kesegaran tubuh yang terus-menerus tapi gampang terjebak nafsu birahi melihat lawan jenis kelamin! Dan Bun Hwi yang telah mendapatkan mutiara ini benar saja tiba-tiba hilang semua kelelahannya.

   Dia merasa segar, juga hangat.

   Dan darah yang mengalir lancar di seluruh tubuhnya tiba-tiba terasa deras menggencar, membuat mukanya segar kemerah-merahan! Tapi Bun Hwi tidak tahu ini.

   Dia tidak dapat melihat mukanya sendiri yang berseri-seri aneh.

   Tapi perubahan rasa yang tiba-tiba membuat semangatnya berkobar dan ingin tertawa membuat Bun Hwi tersenyum lebar.

   Dia melangkah lima tindak, menuju mulut gua untuk melanjutkan pendakiannya.

   Tapi baru dia menggerakkan kaki sekonyong-konyong Bun Hwi berhenti.

   Sekarang timbul pikiran di benaknya.

   Kalau dia dapat naik ke atas, menuju puncak Batu Pedang, lalu apa yang akan dilakukannya di sana? Bukankah Cupu Naga telah berada di tangannya? Kenapa tidak segera dipelajarinya saja? Bun Hwi merandek.

   Mulut jurang di atas sana jauh ratusan tombak.

   Tidak kurang dari seribu kaki.

   Dan merayap ke atas kalau tidak ada untungnya barangkali lebih baik di sini saja dia berhenti.

   Bun Hwi lalu terpaku.

   Dia melihat gua ini enak, tampaknya cukup luas.

   Dan Bun Hwi yang tiba-tiba kembali masuk akhirnya meneliti ruangan gua yang menjadi sarang ular ini.

   Dan dia benar-benar girang.

   Kiranya gua itu cukup panjang.

   Bagian belakangnya malah lebar sekali, hampir dua puluh tombak persegi! Dan di celah-celah gua, di sebelah kanan bilik belakang tampaklah air mengucur tak pernah henti-hentinya.

   Itulah sumber air yang menyenangkan sekali! Bun Hwi menjadi girang.

   Dia tertawa seorang diri, dan membanting pantat tahu- tahu dia telah duduk di atas sebuah batu hitam, melempar Mutiara Pengharum Sukma dan mengambil Cupu Naga! "Ha-ha, agaknya hidupku ditakdirkan di gua ini.

   Biarlah, bukankah Cupu Naga harus kuketahui isinya? Dan sekali aku keluar maka Bun Hwi yang akan muncul bukanlah Bun Hwi yang dahulu...!"

   Dan Bun Hwi yang sudah mengangkat Cupu Naga lalu mengawasi cupu itu dengan wajah berseri-seri.

   Dia mengambil logam yang ditakuti semua ular, dan teringat kata-kata Menteri Hu diapun lalu menggosok bagian dalam cupu ini dengan logam peninggalan Pek-mauw Sin-jin itu.

   Dan begitu dia memandang tiba-tiba saja Bun Hwi tercengang.

   Cupu ini mendadak menjadi lebih berkilauan, dan huruf-huruf timbul yang tadinya tersembunyi di balik cupu ini mendadak nampak.

   Yang pertama dilihat Bun Hwi adalah tulisan berbunyi "Wi Tik Tong Thian" (Hanya Kebajikan Yang Disukai Tuhan).

   Dan Bun Hwi yang tertegun membaca tulisan ini tiba-tiba saja melenggong.

   Itulah ajaran sebuah agama.

   Kenapa muncul di cupu ini? Bun Hwi menggosok lagi.

   Dia mulai melihat huruf- huruf kecil yang penuh terukir di cupu itu.

   Dan bekerja keras satu demi satu akhirnya dia melihat semua isi dari Cupu Naga yang diperebutkan banyak orang ini.

   Kiranya pembuka pelajaran dari warisan manusia dewa Pek In Siansu itu adalah kalimat pertama tadi.

   Wi Tik Tong Thian.

   Dan Bun Hwi yang tersenyum lebar akhirnya manggut-manggut dengan sinar mata girang.

   Memang betul, yang disukai Tuhan ialah perbuatan bajik.

   Dan yang tidak bajik tentu saja tidak disukai Tuhan.

   Bun Hwi mulai membaca yang lain.

   Dia melihat goresan yang halus indah dalam setiap tulisan ini.

   Dan Cupu Naga yang penuh dengan ukiran huruf- huruf kecil itu akhirnya selesai juga dia baca.

   Ternyata cupu ini tidak banyak memberi pelajaran silat.

   Semuanya berpangkal pada Wi Tik Tong Thian tadi.

   Pelajaran silat yang didasarkan pada huruf- huruf di udara.

   Atau dengan kata lain, warisan Pek In Siansu ini dipelajari dengan cara menggores- gores udara, menulis huruf Wi Tik Tong Thian tadi dalam gerakan-gerakan silat! Ah, Bun Hwi tertegun.

   Dia merasa takjub, juga heran.

   Karena mungkinkah mempelajari sebuah ilmu silat hanya dengan cara "melukis"

   Begitu? Bagaimana sikap menyerang atau mempertahankan diri? Bun Hwi mulai mencoba.

   Dia membaca lagi semua petunjuk di dalam Cupu Naga itu, dan mengulang habis akhirnya dia mendapat kenyataan bahwa cupu ini pada intinya hanya memiliki empat jurus pokok.

   Pertama adalah "Wi", kedua adalah "Tik"

   Dan ketiga serta keempat adalah "Tong"

   Serta "Thian"

   Itu.

   Jadi, semuanya bersumber dari sini.

   Tidak lebih dari empat jurus saja! Bun Hwi melenggong.

   Dia hampir tak percaya bahwa warisan Pek In Siansu itu ternyata hanya empat jurus saja.

   Tidak lebih dan tidak kurang.

   Dan Bun Hwi yang hampir tertawa oleh isi Cupu Naga ini jadi geli.

   Dia teringat Ang-sai Mo-ong dan orang-orang lain yang mengejar-ngejar cupu ini.

   Betapa mereka itu mengira Cupu Naga berisi banyak warisan ilmu silat.

   Padahal, siapa sangka cupu ini hanya mewariskan empat jurus ilmu silat saja? Sekarang Bun Hwi bangkit berdiri.

   Bagian dalam sudah dia baca semua.

   Tapi bagian luar tiba-tiba menarik perhatiannya.

   Apakah di bagian ini tidak tersembunyi pula sesuatu yang tidak dia ketahui? Bun Hwi lalu coba-coba.

   Dia menggosok-gosok bagian luar ini, iseng-iseng dari rasa ingin tahu seorang bocah.

   Dan baru menggosok sebagian tahu- tahu Bun Hwi tertegun.

   Ternyata benar, bagian luar Cupu Naga ini berisi tulisan-tulisan halus yang sama dengan di bagian dalamnya.

   Hanya kalau di dalam memberi petunjuk- petunjuk tentang empat jurus pokok yang berbunyi "Wi Tik Tong Thian"

   Adalah di bagian ini terisi petunjuk-petunjuk tentang cara menghimpun tenaga sakti (sinkang).

   Orang harus berlatih samadhi dengan cara-cara tertentu.

   Dan siapa yang mencobanya dengan cara seperti yang diberitahukan di bagian luar cupu ini dia bakal memiliki kekuatan sinkang yang hebat sekali.

   Ada dua petunjuk pokok di situ tentang cara berlatih samadhi ini.

   Pertama melakukan jungkir balik dengan kepala di bawah kaki di atas sedangkan yang kedua dengan jalan duduk diam selama tujuh hari.

   Dan hebatnya, dalam jungkir balik dengan cara pertama itu seseorang harus melepas seluruh pakaiannya.

   Bugil! Bun Hwi tersipu.

   Dia sedikit jengah membaca petunjuk tentang siulian atau samadhi ini.

   Dia tidak tahu, betapa dengan telanjang bulat peredaran darah seseorang berjalan tanpa penghalang.

   Dan agaknya dengan maksud inilah Pek In Siansu memberitahukan caranya.

   Tentu saja di tempat tertutup, tak ada orang lain! Dan samadhi cara kedua ternyata juga tak kalah menariknya.

   Di situ Bun Hwi mendapat petunjuk bahwa duduk diam selama tujuh hari membuat seseorang kuat lahir batinnya.

   Menyimpan kekuatan sakti yang luar biasa sekali.

   Dan siapa yang melakukan samadhi macam ini diibaratkan mampu merobohkan gunung.

   Wah! Bun Hwi tersenyum lebar.

   Dia membaca habis petunjuk cara kedua ini.

   Dan melihat bahwa cara kedua ini memberitahukan "resep"

   Menunggang naga mengendalikan hawa tiba-tiba Bun Hwi tertarik perhatiannya di sini. Dia membaca lagi mengulang tiga empat kali. Dan setelah paham barulah dia mengerti bahwa yang dimaksudkan "menunggang naga mengendalikan hawa"

   Itu bukan lain adalah cara bernapas yang teratur dan sesuai petunjuk isi "kitab".

   Kini Bun Hwi benar-benar girang.

   Dia akhir-akhir ini merasakan adanya sesuatu yang tidak beres di tubuhnya.

   Betapa kadang-kadang ada semacam bola hawa yang menggelembung di pusarnya.

   Kadang-kadang bergolak tapi kadang-kadang surut.

   Dan bola hawa yang didapatnya dari darah ular Tanduk Hijau kadang-kadang membuat dia seperti orang meriang, tidak enak badan.

   Dan petunjuk samadhi yang diwariskan Pek In Siansu ini ternyata memberi keterangan lengkap, termasuk "mengempeskan"

   Gelembung hawa yang merupakan tanda bagi tercapainya seseorang melatih tenaga dalam! Bun Hwi benar-benar gembira. Sekarang dia menjadi lebih serius. Dan setelah sehari penuh dia membaca isi "kitab"

   Kontan pada hari itu juga dia mulai berlatih. Pertama-tama yang dipelajarinya adalah "menunggang kuda mengendalikan hawa"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Itu.

   Karena samadhi cara ini yang paling menarik perhatiannya.

   Tapi karena cara itu harus dilakukannya tujuh hari berturut-turut akhirnya Bun Hwi mencari tempat yang enak.

   Duduk di atas sebuah batu hitam dan...

   mematung seperti arca.

   Mulailah sekarang pemuda ini menerima warisan Cupu Naga.

   Dia berlatih tekun, mengatur keluar masuknya napas seperti yang diajarkan Cupu Naga.

   Dan setelah tujuh hari bersamadhi seperti itu Bun Hwi tiba-tiba memiliki sinar yang lebih bercahaya pada roman mukanya.

   Dia ganti berjungkir balik, menggabungkan kedua cara bersamadhi ini sesuai petunjuk Cupu Naga.

   Dan setelah ganti-berganti dia mempelajari dua macam cara menghimpun tenaga sinkang itu barulah Bun Hwi menginjak pada pelajaran silat yang hanya terdiri dari empat jurus saja.

   Dan hasilnya benar-benar hebat.

   Setahun saja dia belajar Wi Tik Tong Thian tiba-tiba jari tangannya yang menggores-gores udara mulai mengeluarkan suara bercuitan.

   Bun Hwi gembira.

   Dia benar-benar girang, dan ketika tahun kedua dia lalui untuk mempelajari seluruh isi warisan tiba-tiba saja Bun Hwi mampu mengeluarkan sinar putih yang berkeredep seperti Menteri Hu Kang.

   Inilah kemajuan istimewa! Bun Hwi sendiri barangkali tidak mengira bahwa sesungguhnya ilmu silat yang dia pelajari dari warisan Pek In Siansu itu paling tidak harus dipelajari sepuluh atau lima belas tahun baru sempurna.

   Karena empat jurus ilmu silat yang ditinggalkan Pek In Siansu itu sesungguhnya harus didorong tenaga sinkang yang kuat.

   Dan Bun Hwi yang setahun saja berhasil menguasai teknik menghimpun sinkang dengan cara bersamadhi seperti yang ditunjukkan Cupu Naga tidak menyadari bahwa keberhasilannya itu didorong oleh keberuntungannya memperoleh darah ular Cheng- kak-coa.

   Tanpa ini, tentu Bun Hwi harus mendekam belasan tahun untuk mempelajari warisan Pek In Siansu.

   Tapi karena rupanya "jodoh"

   Ada di tangannya Bun Hwi berhasil mempelajari itu semuanya.

   Tidak mengira, betapa kekuatan sinkangnya sekarang jauh lebih dahsyat daripada seorang ahli yang berlatih tiga puluh atau empat puluh tahun.

   Melebihi yang dimiliki Pek-mauw Sin-jin sendiri, suheng dari Menteri Hu yang mampu menandingi dua orang kakek iblis Ang-sai Mo-ong dan Tung-hai Lo-mo! Namun untuk semuanya ini Bun Hwi benar-benar harus berjuang keras.

   Wi Tik Tong Thian meskipun benar hanya empat jurus saja tapi tidak gampang dilatih.

   Empat jurus itu memerlukan waktu empat tahun bagi Bun Hwi untuk mencapai kesempurnaan.

   Dan setelah pada tahun kelima dia berlatih tekun barulah Wi Tik Tong Thian berhasil dia kuasai dengan cara yang betul-betul matang.

   Dan bersamaan dengan matangnya empat jurus pokok ini matanglah pula tenaga sinkang Bun Hwi.

   Dia sekarang dapat mengatur hawa di dalam tubuhnya sendiri.

   Hawa sakti yang dapat dia main- mainkan sesuka hati.

   Baik di dalam perut, di kedua lengan maupun di mana saja yang dia sukai.

   Dan Bun Hwi yang telah meninggalkan masa kanak- kanaknya ini beralih menjadi seorang pemuda yang tegap, gagah dan tampan.

   Dia sekarang bukan Bun Hwi yang dulu lagi.

   Seorang bocah yang serba tanggung dalam banyak hal.

   Tapi justeru pemuda matang yang gerak-geriknya menunjukkan kedewasaan sempurna seorang laki-laki jantan.

   Kini Bun Hwi mulai memikirkan jalan keluar.

   Dia ingin bebas dari kungkungan gua yang selama ini dihuninya.

   Dan puluhan ular yang dulu menemuinya masih sama banyak.

   Sebenarnya dalam hal ini Bun Hwi heran.

   Dia tak habis mengerti mengapa ular yang tinggal di gua itu tak pernah berkurang.

   Padahal, untuk menangsel perutnya acap kali dia membunuh ular-ular itu dan memanggang dagingnya! Bun Hwi tak mengerti bahwa sesungguhnya di gua itu ular-ular ini beranak-pinak.

   Pengaruh Mutiara Pengharum Sukma telah membuat ular-ular yang ada di sini selalu diamuk berahi.

   Dan mereka yang terus berada dalam "musim"

   Kawin itu selalu menelurkan bibit-bibit baru dan menetaskan keturunan-keturunan baru.

   Itulah soalnya! Tapi Bun Hwi tak mengerti masalah ini.

   Dia juga akhirnya tak ambil pusing dengan masalah itu.

   Dan suatu hari ketika dia berkemas-kemas Bun Hwi sudah berada di mulut gua untuk mencoba keluar.

   Dulu hatinya masih selalu berdebar melihat mulut jurang yang kecil di atas sana, jauh ratusan tombak di tempat dia berada.

   Tapi Bun Hwi yang kini telah menjadi seorang laki-laki gemblengan itu sekarang tersenyum di mulut gua.

   Dia tertawa kecil.

   Menganggap sepele memikirkan cara keluar dari jurang yang dalam itu.

   Dan sekali dia mengencangkan ikat pinggangnya tiba-tiba Bun Hwi telah menepuk dinding jurang dan...

   merayap ke atas.

   Tidak seperti dulu, dimana dengan susah payah dia merayap naik mencari celah-celah dinding yang dekuk adalah sekarang Bun Hwi tidak pilih-pilih tempat lagi.

   Dinding apapun yang disentuhnya pasti melekat di kedua tangannya.

   Seolah-olah di kedua tangannya itu terdapat lem mujijat yang tak mampu membuat dia terlepas.

   Dan Bun Hwi yang merayap naik dengan muka gembira itu membayangkan kembali asal mulanya dia terkurung di tempat itu.

   Inilah gara-gara Cupu Naga! Demikian dia membatin.

   Dan teringat betapa Ang-sai Mo-ong dan Tung-hai Lo-mo mengejar-ngejarnya untuk urusan cupu itu Bun Hwi tertawa kecut.

   Bagaimanapun dua orang kakek iblis itu bukan manusia baik-baik.

   Kalau tidak banyak dibantu Menteri Hu barangkali dia sudah sungsang-sumbal di tangan kedua kakek itu.

   Hm, Bun Hwi menyeringai.

   Sekarang dia ingin menemui dua orang datuk itu dalam kondisi lain.

   Dan Ang-sai Mo-ong yang melihat dia jatuh di bawah jurang tentu menyangkanya tewas.

   Setidak- tidaknya, terluka parah dan akhirnya mampus di dalam jurang! Bun Hwi menyeringai gemas.

   Datuk yang satu ini benar-benar paling dibencinya sekali.

   Karena di samping pernah menyiksanya juga telah membunuh pamannya.

   Bahkan, dengan cara keji sekali membakar hidup-hidup kepala kampung Kwa di dusun Cun-leng! Bun Hwi mengerot gigi.

   Dia geram sekali pada kakek iblis yang jahat itu.

   Ingin membunuhnya dan balas menyiksa.

   Tapi teringat betapa tugas-tugas lain yang penting masih banyak Bun Hwi akhirnya menahan diri.

   Dia terus merayap dan merayap, mempergunakan tenaga sinkangnya yang mampu dia perbuat sekehendak hati.

   Seperti sekarang ini misalnya.

   Betapa pikirannya menyuruh tenaga saktinya mengalir di tangan tiba-tiba saja hawa sakti itu sudah "jalan"

   Sendiri seperti yang dimauinya.

   Inilah berkat pengaruh samadhi seperti yang diajarkan manusia dewa Pek In Siansu.

   Betapa kakek itu menyatakan bahwa dengan berhasilnya seseorang menguasai sinkang dia ibarat menguasai dunia.

   Apapun yang dikehendaki jalan pikiran maka itulah yang bakal diperolehnya.

   Kini Bun Hwi sudah hampir tiba di mulut jurang.

   Sinar matahari semakin terang menembus uap tipis yang melayang ringan di tengah jurang.

   Sepuluh tombak lagi dia merayap maka tibalah dia di dunia bebas yang selama ini diangan-angankannya.

   Dan Bun Hwi benar-benar gembira.

   Dia tidak merasa perubahan dirinya yang sekarang hebat sekali.

   Tidak sadar, betapa ratusan tombak yang dia lalui sama sekali tidak mengurangi tenaganya.

   Tidak merasa lelah atau capai.

   Satu hal yang tentu bakal membuat orang yang menonton jadi terheran-heran! Tapi Bun Hwi yang tidak menyadari kekuatan dirinya yang sekarang ini memang tidak tahu.

   Belum ada perbandingan baginya yang dapat membuat dia terbuka kesadarannya, belum ada sesuatu yang akan membuatnya terperangah melihat kemampuan diri sendiri.

   Dan akhirnya Bun Hwi sudah tiba di mulut jurang itu! Dia tertawa gembira, melepaskan kedua tangannya di dinding jurang dan tiba-tiba menjejak sisi tebing.

   Sekali lenting tahu-tahu dia telah berjungkir balik di udara, dan begitu kakinya mendarat Bun Hwi tahu-tahu sudah berada di atas jurang di tanah datar! "Ha-ha, Thian agaknya memberiku umur panjang.

   Siapa kira jurang ini malah memberiku tempat berlatih yang enak?"

   Bun Hwi menggerak-gerakkan tubuh, melemaskan otot-ototnya dan berseri memandang sekitar.

   Lalu terdorong semangat yang tinggi tiba-tiba dia menghampiri sebuah batu karang yang besarnya melebihi tubuh seekor kerbau.

   Dengan sikap coba-coba dia melancarkan jurus pertama yang berbunyi "Wi", mengerahkan sedikit tenaga dan menusuk batu karang itu dari jarak dua tombak.

   Dan begitu jarinya bercuit perlahan tiba- tiba batu karang itu meledak dan bolong di dua tempat, persis ukuran jari telunjuk dan jari tengahnya! "Ah...!"

   Bun Hwi terkejut, terbengong dan kaget melihat hasil serangannya yang bersifat coba-coba itu.

   Tapi begitu dia sadar tiba-tiba Bun Hwi tertawa girang dan tersenyum lebar.

   Dia sekarang mendekat lagi, menepuk batu karang ini dengan tambahan sedikit tenaga.

   Dan begitu tangannya menyentuh perlahan tahu-tahu batu karang itu hancur dan roboh menjadi tepung! Bun Hwi kaget bukan main.

   Dia tidak mengira tenaga saktinya demikian hebat, dan terbelalak takjub Bun Hwi akhirnya menarik napas panjang.

   Dia mulai mengenal kekuatan dirinya sendiri.

   Mengenal betapa sinkangnya menjadi demikian menakjubkan.

   Dan menyeringai puas dia lalu membalikkan tubuh.

   Seperti itulah Ang-sai Mo-ong kelak dibuatnya.

   Hancur dan binasa di tangannya! Tapi Bun Hwi tiba-tiba tertegun.

   Tugas apa yang lebih dulu hendak dikerjakannya? Bun Hwi memandang sekeliling.

   Puncak Batu Pedang masih menjulang kokoh.

   Sedikit pongah di seberang jurang sebelah barat.

   Dan Bun Hwi yang termangu sejenak ini terpaksa memikirkan pekerjaan apa yang akan dilakukannya sebagai tugas pertama.

   Kalau menurut kemarahan hatinya, Ang-sai Mo-ong itulah yang akan dicarinya terlebih dahulu.

   Tapi maklum tugas-tugas lain ada yang lebih penting Bun Hwi terpaksa memilih.

   Di dalam hidupnya sekarang ada dua tugas pokok yang menghendaki penyelesaian.

   Pertama menyelesaikan persoalan tanah di dusun Ki-leng bagi teman-temannya dan kedua adalah mencari ibu kandungnya itu.

   Dua-duanya sama penting.

   Tapi Bun Hwi yang ingin menyelesaikan pembagian tanah bagi teman-temannya di dusun Ki-leng menganggap ini tugas yang harus diutamakan.

   Mencari ibunya adalah persoalan pribadi.

   Masih lebih penting mendahulukan persoalan orang banyak.

   Apalagi kalau menyangkut kesejahteraan kaum petani di dusun Ki-leng itu.

   Maka Bun Hwi yang menetapkan hati untuk menyelesaikan persoalan teman- temannya ini akhirnya mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja.

   Dia akan mencari Menteri Urusan Tanah itu, Gong Li Kiat atau Gong-taijin itu.

   Dan setelah ini beres baru dia akan mencari ibu kandungnya.

   Bun Hwi membulatkan rencana.

   Dia sudah mengambil keputusan tetap untuk menolong teman- temannya di dusun Ki-leng itu.

   Dan setelah urusan ini selesai barulah dia akan ke Lembah Duka.

   Tentu saja mencari Mustika Batu Bintang di Pegunungan Cin-ling sebelum dia bertemu ibu kandungnya itu.

   Dan Bun Hwi yang siap melangkahkan kaki sudah memutar tubuh untuk menuruni Bukit Batu Pedang.

   Tapi tiba-tiba dia terbelalak.

   Suara berkeresek yang halus terdengar di belakangnya, seperti langkah kucing atau kaki yang halus di atas tanah.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan Bun Hwi yang otomatis menghentikan langkah langsung menoleh.

   Tapi tak ada apa-apa di situ.

   Tak ada benda bergerak, ataupun kucing yang muncul.

   Namun telinga Bun Hwi yang tajam jelas telah menangkap suara itu di belakang sebuah batu karang.

   Hm, Bun Hwi tersenyum.

   Sekarang dia malah mendengar desah napas yang ditahan.

   Kalau begitu jelas manusia! Bun Hwi tiba-tiba melompat.

   "Sahabat di balik batu, kau siapakah?"

   Sebuah jerit kecil memecah keheningan suasana. Bun Hwi telah tiba di batu karang ini, dia berdiri di situ tiba-tiba dia tertegun melihat seorang gadis cantik melompat bangun dengan mata terbuka lebar-lebar! "Kau, eh.. kau manusiakah?"

   Bun Hwi hampir tertawa. Dia melihat gadis ini tampaknya terkejut sekali, mirip kelinci yang kepergok harimau. Terbelalak lebar dengan mata yang demikian jernih. Dan Bun Hwi yang tersenyum gembira otomatis memperhatikan dirinya sendiri.

   "Nona, kau kira aku ini apakah? Tidak miripkah aku dengan manusia?"

   Gadis itu menekan guncangan hatinya. Ia rupanya berhasil menenangkan diri. Namun masih gugup dia memandang pakaian Bun Hwi yang compang- camping.

   "Sahabat muda, kau siapakah? Kenapa muncul dari dalam jurang itu?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Wah, kau tahu aku muncul dari dalam jurang itu, nona?"

   "Ya. Dan kukira kau sebangsa siluman!"

   Bun Hwi jadi tertegun. Dia kaget bahwa gadis ini melihat kemunculannya dari dalam jurang. Yang tentu saja mirip bangsa siluman atau setan terbang. Tapi tertawa pahit Bun Hwi akhirnya menyeringai.

   "Nona, aku bukan siluman. Bukankah kau lihat kakiku menginjak bumi?"

   Gadis itu mengangguk.

   Ia memang melihat Bun Hwi menginjak tanah, bukti bahwa pemuda ini benar- benar manusia.

   Karena kalau bukan manusia tentunya siluman atau mahluk-mahluk halus lainnya berjalan di atas tanah melayang seperti roh-roh yang biasa dijadikan cerita nenek moyang.

   Tapi kalau betul manusia, lalu siapa pemuda ini? Kenapa muncul dari dalam jurang? Gadis ini tiba-tiba melompat mendekati jurang.

   Ia melongok ke bawah, dan melihat jurang yang demikian dalam dan gelap ia terheran-heran memandang Bun Hwi.

   "Kau tinggal di sana, sobat muda? Kau memiliki rumah di bawah jurang ini?" **SF** BERSAMBUNG

   Jilid 18 Bantargebang, 01-06-2019, 22.18 SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 18 * * * BUN HWI meringis.

   "Aku dipaksa keadaan, nona. Tapi jurang itu memang betul selama ini menjadi tempat tinggalku. Kau siapakah dan kenapa tiba-tiba ada di sini?"

   Gadis itu terbelalak.

   "Aku Hu Lan, mencari ayahku yang hilang di tempat ini!"

   Bun Hwi terkejut. Tapi belum dia bertanya gadis itu sudah mendahuluinya.

   "Dan kau siapakah? Kenapa pakaianmu demikian compang-camping?"

   Bun Hwi tertegun. Dia agak gugup dipandang mata yang demikian indah dan bening itu, mata yang memandang pakaiannya yang compang-camping. Tapi menarik napas panjang dia menjawab.

   "Aku Bun Hwi, nona. Anak yang lontang-lantung sebatangkara."

   Gadis itu mengeluarkan seruan kaget.

   "Kau Bun Hwi? Bocah yang dulu dikejar-kejar banyak orang?"

   Bun Hwi ganti terkejut.

   "Kau tahu itu, nona? Dari mana kau tahu ini?"

   "Ah!"

   Gadis itu tak menjawab. Ia tiba-tiba melengking, dan berseru marah ia tiba-tiba membentak.

   "Kalau begitu kau yang menjadi biang keladinya, Bun Hwi. Kaulah yang membuat ayahku hilang pada lima tahun yang lalu!"

   Dan Hu Lan yang tiba-tiba menerjang ke depan telah menyerang Bun Hwi dengan kedua tangannya bertubi-tubi. Bun Hwi tertegun. Dan terbengong oleh sikap gadis itu dua tamparan tahu-tahu mengenai pipinya.

   "Plak-plak...!"

   Bun Hwi terhuyung. Sekarang dia kaget, dan melihat gadis itu menyerangnya kembali dengan tendangan kaki tiba-tiba Bun Hwi melompat.

   "Nona, kau kenapakah? Mengapa datang-datang menuduhku seperti itu?"

   Hu Lan marah-marah.

   Ia tak menjawab pertanyaan ini, dan kaki kirinya yang menendang Bun Hwi tahu- tahu mencuat ke atas, menghantam dagu pemuda itu dengan kecepatan kilat.

   Tentu saja Bun Hwi terkejut, dan heran oleh serangan ini tiba-tiba Bun Hwi menggerakkan lengannya, menangkap kaki yang menendang itu "Plak!"

   Hu Lan menjerit.

   Kakinya tertangkap, dan gadis yang terpaksa berdiri dengan satu kaki itu menghentak-hentakkan kakinya agar terlepas.

   Dengan marah ia memaki-maki Bun Hwi, namun Bun Hwi yang terheran-heran oleh serangan gadis ini tak mau mengendorkan pegangannya.

   "Nona, kau katakanlah dahulu mengapa kau menuduhku seperti itu. Kenapa kau mengatakan aku menjadi biang keladi hilangnya ayahmu?"

   Hu Lan meronta-ronta.

   "Lepaskan dulu kakiku, Bun Hwi. Kau pemuda tak tahu malu...!"

   Hu Lan menjerit berteriak-teriak memaki pemuda itu namun tetap tak dapat melepaskan kakinya. Dan Bun Hwi yang tertawa kecut akhirnya mengancam.

   "Nona, kalau kau tetap tak mau memberitahukan sebab-sebab kemarahanmu akupun tak akan melepaskan kakimu ini. Biarlah kita berdua bertengkar sampai ada orang yang mendengar teriakanmu."

   Hu Lan melotot. Ia merasa ngeri, dan melihat betapa Bun Hwi tampaknya bersungguh-sungguh iapun akhirnya membentak.

   "Kau pemuda tak tahu malu, Bun Hwi. Kau anak tak mengenal budi. Beginikah balas sikapmu terhadap kebaikan ayah?"

   "Hm, siapa ayahmu, nona? Kenapa kau tampaknya penasaran sekali?"

   Hu Lan berapi-api mukanya.

   "Ayahku Menteri Hu, Bun Hwi. Sudah dengarkah telinganmu ini?"

   Bun Hwi terkejut.

   Dia seketika melepaskan cekalannya, dan Hu Lan yang gusar oleh perbuatan pemuda ini yang tak mau melepaskan kakinya tiba- tiba berkelebat maju.

   Sekali dia menempeleng muka pipi Bun Hwi kembali ditamparnya dua kali berturut- turut, dan Bun Hwi yang terhuyung mundur memandangnya dengan pipi bengap.

   "Nona, kau puteri Menteri Hu?"

   Hu Lan berkacak pinggang.

   "Kau kira aku mengaku- aku anak orang, Bun Hwi? Kau kira aku meminjam nama menteri it untuk menakut-nakutimu?"

   Bun Hwi terkesima. Dia benar-benar melihat gadis ini marah, dan menyesal oleh perbuatannya tadi Bun Hwi tiba-tiba menarik napas panjang dan menjura.

   "Nona Hu, maafkan aku. Karena tak tahu kau puteri Hu-taijin aku bersikap kurang sopan. Tapi kenapakah kau bilang ayahmu hilang? Bukankah beliau lima tahun yang lalu menghadapi Ang-sai Mo- ong dan Tung-hai Lo-mo dalam pembelaannya melindungi aku?"

   Gadis ini masih meradang.

   "Dan karena itu ayah lalu hilang, Bun Hwi. Dikabarkan orang kau menjerumuskannya ke dalam sebuah jurang!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Menjerumuskannya ke dalam jurang? Aku yang melakukan perbuatan itu?"

   Hu Lan mengangguk.

   "Ya begitu kata orang, Bun Hwi. Tapi aku pribadi menyangsikan hal ini. Tak mungkin ayah yang berkepandaian tinggi mampu dirobohkan seorang bocah macammu ini!"

   Bun Hwi menyeringai.

   "Dan karena itu hari ini kau kemari, nona? Menyelidiki kebenaran berita itu?"

   "Huh, siapa mau menyelidiki kebenaran berita ini, Bun Hwi. Aku tetap tak percaya kau mampu mencelakai ayah!"

   "Kalau begitu kenapa kau menyerangku tadi, nona?"

   Hu Lan tertegun.

   "Karena aku... karena aku benci padamu!"

   "Lho...?"

   Bun Hwi mendelong.

   "Kenapa harus benci, nona? Bukankah kita belum saling kenal? Baru hari ini kita berjumpa, tapi tanpa sebab tahu-tahu kau membenciku. Macam apa ini?"

   Hu Lan membanting kaki.

   "Karena kau ceriwis, Bun Hwi. Karena kau suka lancang terhadap wanita!"

   Bun Hwi tertegun. Dia terbelalak, dan tertawa geli dia akhirnya memandang temannya ini.

   "Nona Hu, kau aneh sekali. Kapan kau ketahui aku suka lancang terhadap wanita? Bukankah baru hari ini aku keluar dari bawah jurang?"

   Tapi Hu Lan membentak.

   "Jangan banyak bicara, Bun Hwi. Aku sebal melihat mukamu...!"

   "Uwah, ada apa dengan mukaku, nona?"

   Hu Lan pelototkan mata.

   "Karena... karena mukamu buruk, Bun Hwi. Mukamu persis monyet yang belum makan tiga hari!"

   Bun Hwi tertawa.

   Dia mendapat kenyataan bahwa betapapun galaknya gadis ini tapi sebenarnya Hu Lan seorang gadis yang polos, lincah dan ramah terhadap orang lain.

   Tapi mungkin karena marah kepadanya teringat ayahnya yang hilang gadis ini mengeluarkan sifat semu yang tak sesungguhnya menjadi watak asli.

   Maka Bun Hwi yang tiba-tiba menjadi gembira sudah bertanya.

   "Baiklah. Kalau mukaku seperti monyet lalu apa yang hendak kau lakukan terhadapku, nona Hu? Apakah kau ingin membawa monyet ini sebagai tontonan orang lain?"

   Hu Lan terbelalak.

   "Aku ingin membawamu, Bun Hwi. Tapi bukan sebagai tontonan melainkan sebagai orang yang akan kumintai pertanggungan jawab!"

   Bun Hwi tercengang.

   "Pertanggungan jawab tentang apa, nona? Bukankah..."

   "Sudahlah, jangan banyak cakap, Bun Hwi. Sudah kubilang aku sebal melihat mukamu. Kau harus kutangkap, dan kalau kau memang tidak bersalah kau tidak boleh menentang keputusanku!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Kau tangkap, nona? Jadi aku merupakan tawananmu?"

   "Ya. Dan aku akan membawamu pada seseorang!"

   "Ooh...!"

   Bun Hwi terbengong. Tapi tiba-tiba teringat rencananya sendiri Bun Hwi tiba-tiba mengerutkan kening.

   "Tapi aku banyak urusan, nona. Kenapa kau hendak menangkapku?"

   "Hm, hilangnya ayah dikaitk dengan dirimu, Bun Hwi. Kau hendak memakai alasan untuk mengelak dari pertanggungan jawab?"

   "Wah, bukan begitu, nona Hu. Tapi aku benar-benar ada urusan penting."

   "Dan menolak untuk kutawan?"

   Bun Hwi terbelalak. Dia kembali melihat mata yang lebar jernih itu menyinarkan kemarahan yang siap meledak, dan tertawa pahit akhirnya dia berkata.

   "Nona Hu, kau rupanya tak mengenal ampun. Baiklah, hendak kau bawa kemana aku ini? Bolehkah kutahu siapa orang yang akan menerimaku itu?"

   "Hm, tak perlu kau tahu itu, Bun Hwi. Pokoknya sekali kutangkap kau baru kubebaskan setelah bertemu orang itu!"

   "Dan menjadi tawanan sepanjang jalan?"

   "Tergantung sikap baik burukmu...!"

   "Wah, sikap baik buruk bagaimana, nona Hu? Bukankah aku tidak melakukan apa-apa kepadamu?"

   Hu Lan mendesah.

   "Kau cerewet amat Bun Hwi. Melebihi nenek-nenek!"

   Dan Hu Lan yang melompat ke depan tahu-tahu menotok Bun Hwi hingga pemuda ini terguling.

   Sebenarnya Bun Hwi hanya berpura-pura saja, pura-pura roboh agar gadis itu tidak naik pitam lagi.

   Dan Hu Lan yang mengeluarkan seutas tali dilihatnya berjongkok mengikat tangannya.

   Bun Hwi memandang melongo.

   Setelah sekarang gadis itu demikian dekat dengannya Bun Hwi melihat betapa cantik dan segar wajah dara yang satu ini.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dia terkesima, dan Hu Lan yang melihat pemuda itu memandangnya dengan mulut melongo tiba-tiba membentak.

   "Apa yang kau lihat, Bun Hwi? Ada apa dengan mukaku?"

   Bun Hwi terkejut. Dia tiba-tiba tertawa dan menyeringai masam Bun Hwi berkata dengan suara lembut.

   "Nona Hu, kau cantik sekali. Belum pernah seumur hidupku melihat wajah yang demikian halus dan segar seperti yang kau miliki!"

   Hu Lan semburat merah.

   "Kau ceriwis, Bun Hwi. Kau tak tahu malu memuji gadis yang baru kau kenal!"

   "Ah, tapi ini bukan pujian kosong, nona. Aku sungguh-sungguh bicara sesuai kenyataannya!"

   "Sudahlah!"

   Hu Lan membentak malu.

   "Aku tak mau dengar omonganmu yang kurang ajar itu...!"

   Dan Bun Hwi yang ditarik bangun tersentak kaget dengan tiba-tiba. Hu Lan semakin merah mukanya, dan Bun Hwi yang tertawa di dalam hati tersenyum lebar.

   "Nona Hu, kau hendak membawaku dengan cara begini?"

   "Ya, habis apa yang kau maui?"

   Hu Lan setengah menantang.

   "Memangnya kau minta jalan baik-baik di sampingku?"

   Bun Hwi nyengir.

   "Bukan begitu, nona. Tapi bagaimana kalau sesaat kemudian kau harus melepaskan ikatan ini?"

   "Apa?"

   Hu Lan melotot.

   "Aku akan melepaskan ikatan ini? Hm, jangan mimpi, Bun Hwi. Aku tidak akan melepaskan ini sebelum kita sampai pada tujuan!"

   "Wah, kalau begitu kau tidak malu kepadaku, nona?"

   "Apanya yang harus dimalui? Bukankah..."

   "Nanti dulu, nona Hu. Bagaimana kalau tiba-tiba aku ingin kencing?"

   Hu Lan terbelalak. Omongan Bun Hwi yang memutus omongannya membuat dia terkejut, dan Bun Hwi yang tertawa menyeringai membuat gadis ini tertegun. Hu Lan terpaku, tapi gadis yang merah mukanya itu membentak.

   "Bun Hwi, kau tak tahu malu. Berani kau bicara tidak sopan di hadapanku?"

   "Lho, tidak sopan bagaimana, nona Hu? Bukankah ini suatu fakta yang bisa saja terjadi? Memangnya aku harus kencing dengan kedua tangan terikat begini?"

   Hu Lan marah-marah. Ia gemas terhadap pemuda ini, namun karena omongan orang masuk akal iapun tiba-tiba membentak.

   "Baiklah, itu soal nanti, Bun Hwi. Sekarang kau tidak perlu cerewet lagi dan mari ikuti aku...!"

   Dan Hu Lan yang menyentak tali tiba- tiba menarik Bun Hwi dengan kasar. Ia merah padam, tapi Bun Hwi yang tiba-tiba nakal ini mendadak berseru.

   "Nona Hu, tunggu dulu. Aku ingin buang air kecil!"

   Hu Lan tertegun.

   "Kau main-main, Bun Hwi?"

   Bun Hwi tertawa.

   "Memangnya untuk buang air kecil aku harus pakai main-main begini, nona Hu? Kau tidak percaya?"

   Hu Lan mendesis. Tapi sebelum dia bicara tiba-tiba Bun Hwi berseru kepadanya.

   "Cepat, lepaskan tali ini, nona. Aku benar-benar ingin kencing...!"

   Hu Lan mendongkol bukan main. Ia merasa dipermainkan tawanannya ini, tapi Bun Hwi yang menunjukkan sikap "tak tahan"

   Lagi akhirnya membuat ia mengomel panjang pendek. Tali yang baru saja diikatkan ke tangan Bun Hwi terpaksa ia lepaskan lagi, dan Bun Hwi yang menyeringai kepadanya berkata.

   "Nona Hu, berbaliklah ke sana. Aku ingin kencing di sini...!"

   Hu Lan gusar sekali.

   "Kau tidak bisa bersembunyi di batu karang itu, Bun Hwi? Kau mau mengusirku terang-terangan?"

   "He-he, bukan begitu, nona. Tapi kalau aku bersembunyi di balik batu itu siapa jamin aku tidak melarikan diri?"

   Hu Lan menjadi gemas melihat tingkah tawanannya ini. Dengan marah ditahan ia membalikkan tubuh, melompat di batu karang yang seharusnya dipakai Bun Hwi. Tapi sebelum melompat ia sempat "menghadiahi"

   Bun Hwi dengan dua tamparan di pipi. Tak ayal, Bun Hwi terhuyung dengan pipi terasa panas dan Hu Lan yang melompat di balik batu karang itu memaki.

   "Kau benar-benar ceriwis, Bun Hwi. Sekali kita sampai di tujuan aku ingin menghajarmu agar berlaku sopan terhadap wanita!"

   Bun Hwi menyeringai kembali.

   Dia terbelalak, dan menghela napas akhirnya dia membuka celana dan melepas hajat kecilnya di situ.

   Sebenarnya dia tadi hanya berpura-pura saja, sekedar ingin menggoda puteri Menteri Hu yang cantik dan galak ini.

   Tapi setelah ditampar berkali-kali tiba-tiba saja dia benar-benar ingin buang air kecil di situ.

   Bun Hwi lalu membalikkan tubuh, dan berkata nakal dia menoleh ke batu karang itu.

   "Nona Hu, jangan memandang ke sini. Aku baru mulai...!"

   Hu Lan di balik batu karang tak menjawab.

   Ia sebenarnya marah kepada tingkah Bun Hwi yang ceriwis, dan kalau saja tidak ingat Bun Hwi diperlukannya untuk suatu urusan barangkali dia mau menghajar pemuda itu tunggang-langgang.

   Maka seruan nakal Bun Hwi ini tak dia hiraukan.

   Tapi telinganya yang mendengar suara "berkericik"

   Membuat Hu Lan tiba-tiba merah sekali mukanya. Kurang ajar Bun Hwi itu. Menyuruh matanya tak boleh memandang namun telinganya masih mendengar "lagu"

   Seperti hujan turun! Tapi akhirnya Bun Hwi selesai juga.

   Dengan tertawa ha-ha-he-he pemuda itu memanggil namanya, dan Hu Lan yang melompat keluar langsung mencengkeram tangan pemuda ini dan dibelit-belit tali.

   Sebentar saja kedua tangan Bun Hwi sudah diikat, dan Hu Lan yang tidak mau banyak bicara mendadak menyeret Bun Hwi turun dari Bukit Batu Pedang samping orang menyeret seekor kerbau! "Wah-wah, bagaimana sikapmu ini, nona? Memangnya aku patut ditarik-tarik begini seperti orang menarik kerbau yang siap diluku?"

   Hu Lan tak menjawab. Ia bahkan menarik lebih keras, dan ketika Bun Hwi mengeluh tiba-tiba dia malah berlari cepat menyeret pemuda itu! "Hei, jangan terlampau cepat, nona Hu. Aku bisa jatuh...!"

   Tapi Hu Lan kembali tak menghiraukan seruan tawanannya ini.

   Ia sedang merasa gemas dan mendongkol oleh sikap Bun Hwi tadi.

   Maka begitu Bun Hwi berteriak-teriak iapun semakin gemas dan meluncur turun dari Bukit Batu Pedang seperti trenggiling turun gunung.

   Tentu saja Bun Hwi berkaok-kaok, dan melihat gadis itu berlari cepat Bun Hwi terpaksa mengerahkan kepandaiannya dan mengikuti gadis itu agar tidak tersandung-sandung.

   Sekarang mereka berdua menuruni bukit beriringan.

   Hu Lan di depan dengan ujung tali di tangannya sedangkan Bun Hwi di belakang dengan kedua tangan terikat seperti kerbau! Tapi Bun Hwi enak-enak saja.

   Dia sebenarnya tidak merasa menderita diseret-seret seperti itu.

   Karena ilmu kepandaiannya yang tinggi telah membuatnya memiliki sinkang dan ginkang yang hebat.

   Jauh lebih hebat dari puteri Hu-taijin ini ataupun siapa juga.

   Dan Bun Hwi yang akhirnya keluar dari bukit Bukit Batu Pedang melihat gadis ini membawanya ke timur, membelok di sebuah jalan bertikung menuju kota raja! *S*F* Barangkali kita tinggalkan sejenak Bun Hwi yang diseret-seret Hu Lan ini.

   Kita tengok apa yang terjadi pada diri Kiok Lan dan Mei Hong.

   Karena seperti yang kita tahu, terakhir dua orang gadis itu muncul di sungai mengejar tutup cupu yang pecah menjadi dua.

   Seperti yang diceritakan di depan, Kiok Lan memburu tutup Cupu Naga yang hanyut di sebelah kiri sungai.

   Sedang Mei Hong yang mengejar di sebelah kanan akhirnya terpisah dengan Kiok Lan di sungai yang bercabang itu.

   Tapi baik Kiok Lan maupun Mei Hong akhirnya sama-sama memperoleh hasil buruannya.

   Kiok Lan lebih dulu mendapatkan tutup cupu yang dikejarnya itu, jauh belasan li dari tempat semula mereka berkumpul.

   Dan gadis yang terengah-engah di tepi sungai itu akhirnya mendarat dengan muka penuh keringat.

   Kiok Lan langsung membawa cupu itu di sebuah tempat terlindung.

   Mengamatinya dengan penuh rasa ingin tahu.

   Dan membersihkan cupu ini dari air sungai tiba-tiba dia melihat dua huruf berbunyi "Sing Sien" (Pemeriksaan Diri).

   Kiok Lan tertegun.

   Ia tak tahu apa arti dari dua huruf di tutup Cupu Naga ini.

   Tapi menajamkan pandangannya tiba-tiba dia melihat ukiran huruf-huruf kecil di luar dan dalam dari tutup cupu ini.

   Cepat Kiok Lan membaca.

   Ia mendapat kenyataan bahwa dua huruf "Sing Sien"

   Itu kiranya "dikupas"

   Lebih lanjut dalam garis-garis potong membentuk gerakan-gerakan orang bersilat.

   Yang kiri seperti orang tengadah sedang yang kanan menunduk dengan sikap hormat.

   Kiok Lan heran.

   Dia meneliti lebih lanjut, dan begitu habis membacanya tiba-tiba dia berjingkrak girang dengan mata berseri-seri.

   Kiranya huruf "Sing Sien"

   Itu merupakan dua jurus inti dari warisan manusia dewa Pek In Siansu ini.

   Dan gerakan-gerakan berikut yang menerangkan sikap-sikap atau bentuk-bentuk tangan menunjukkan bagaimana jurus-jurus itu harus dilakukan.

   Kiok Lan gembira bukan main.

   Dia melihat sebuah kehebatan tersembunyi di balik dua gerakan Sing Sien itu.

   Dua jurus inti yang masing-masing terpecah dalam delapan belas gerakan.

   Dan Kiok Lan yang jelek-jelek pernah menjadi murid seorang tokoh macam Thian-san Giok-li sebentar saja maklum bahwa dua jurus ilmu silat yang diajarkan di tutup Cupu Naga itu ternyata ilmu silat yang amat hebat.

   Tentu saja Kiok Lan gembira, dan mencari tempat yang lebih tersembunyi ia akhirnya mempelajari dua jurus Sing Sien itu di luar kepala.

   Lalu, begitu dia hapal Kiok Lan tiba-tiba melompat keluar.

   Berlari kembali ke tempat di mana dia dan Bun Hwi berkumpul di muara sungai.

   Tapi Kiok Lan kecewa.

   Jarak yang terlampau jauh dari tempat asal akibat mengejar tutup cupu membuatnya tersesat.

   Ia tak kembali pada tempat di mana Bun Hwi menunggu.

   Dan begitu dia keluar masuk di sebuah rawa tiba-tiba saja Kiok Lan terjebak di tempat yang benar-benar asing! Kiok Lan terkejut, tapi juga cemas.

   Dan setelah berjalan kian kemari dengan kesal dia tetap mondar-mandir di situ akhirnya gadis ini membanting tubuh di tepi rawa.

   Ia hampir menangis, hampir saja mengumpat caci tanpa tahu siapa yang dimarahinya.

   Dan Kiok Lan yang akhirnya tersesat di tempat ini tidak dapat lagi keluar.

   Seluruhnya rawa.

   Di mana-mana air melulu.

   Dan Kiok Lan yang putus asa tiba-tiba mengepal tinju.

   "Subo, haruskah aku mati di tempat ini?"

   Kiok Lan terisak.

   Ia teringat kematian subonya itu, pertapa wanita yang telah merawatnya bertahun- tahun.

   Dan kematian subonya yang menyedihkan di tangan Ang-sai Mo-ong itu tiba-tiba membuat kesedihannya memuncak.

   Kiok Lan akhirnya benar- benar menangis, dan mencucurkan air mata ia mengepalkan tinju untuk melampiaskan kemarahannya kepada datuk iblis itu.

   Tapi Kiok Lan tidak lama menangis.

   Setelah sadar tidak ada gunanya ia membuang air mata sia-sia gadis ini lalu bangkit berdiri.

   Ia mulai lagi meneliti rawa itu, mencari jalan keluar.

   Tapi rawa yang berkelak-kelok airnya itu benar-benar membuatnya kebingungan.

   Kiok Lan tidak tahu bahwa ia memasuki Rawa Delapan Lingkaran, yakni sebuah rawa yang membentuk jalur pat-kwa (delapan segi).

   Dan orang yang hendak mencari jalan keluar dari rawa ini tidak bisa menubruknya begitu saja seperti kucing tersesat di hutan.

   Kiok Lan harus mengukur jarak matahari yang menyorotkan sinarnya di celah- celah pepohonan, menarik garis-garis tertentu untuk mencari titik pusat dari delapan jalur lingkaran ini.

   Tapi karena Kiok Lan belum mengerti dan juga saat itu dia sedang sedih maka jalan keluar dari Rawa Delapan Lingkaran ini tak dapat ia temukan.

   Dan akhirnya Kiok Lan benar-benar terjebak di sini.

   Ia tak dapat keluar, dan setelah tujuh hari dia mondar-mandir tapi hasilnya selalu nol maka Kiok Lan tidak berupaya lagi.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia menggigit bibir, menyesali nasibnya yang buruk.

   Tapi teringat Cupu Naga tiba-tiba semangatnya bangkit.

   Di situ ada sebuah warisan ilmu silat, kenapa harus mencari jalan buntu? Bukankah ia dapat menyibukkan diri dengan dua jurus "Sing Sien"

   Itu? Kiok Lan lalu mengeraskan hati.

   Ia mencari tempat bersembunyi, sebuah gua di dalam sebuah pohon raksasa.

   Dan mempelajari kembali dua jurus inti ini gadis itu lalu melupakan nasibnya yang terkurung di tengah rawa.

   Dia menghapal sampai habis, dan begitu memahami semua isinya mulailah Kiok Lan mempelajari dua jurus warisan dari tutup Cupu Naga itu.

   Ternyata cupu ini hanya mengajarkan pukulan- pukulan tangan.

   Tak ada tendangan ataupun gerakan-gerakan kaki di situ.

   Dan Kiok Lan yang diam-diam heran oleh pelajaran ilmu silat ini tepekur dengan muka tidak mengerti.

   Kenapa Pek In Siansu hanya mengajarkan gerakan-gerakan tangan? Lalu di mana itu gerakan-gerakan kaki? Apakah seseorang tidak boleh melakukan tendangan atau kakinya? Kiok Lan merasa tidak puas.

   Sebenarnya dalam setiap ilmu silat pasti diajarkan gerakan-gerakan kaki maupun tangan.

   Tapi cupu yang dia dapatkan ini ternyata melulu mengajarkan gerakan-gerakan tangan.

   Memangnya pelatih warisan ilmu silat ini buntung kakinya? Kiok Lan menggerutu.

   Tapi bagaimanapun dia mempelajari juga dua jurus ilmu silat yang berbunyi "Sing Sien"

   Itu.

   Dengan hati-hati dan tekun dia mempelajari kauw-koat (teori silat) yang ditunjukkan dalam warisan tutup Cupu Naga ini.

   Dan setelah dia mempelajari dengan sungguh- sungguh Kiok Lan mendapat kenyataan betapa sukarnya warisan dua jurus itu.

   Ternyata sebuah jurus harus dilatihnya dua setengah tahun.

   Hal yang diam-diam membuatnya terkejut tapi juga hampir tak dipercaya! Tapi Kiok Lan yang maklum peninggalan Pek In Siansu ini pasti bukan barang murahan tidak mengomel.

   Jurus inti "Sien"

   Juga mempunyai delapan belas gerakan.

   Jadi kalau dua jurus ini diselesaikan berarti dia mempelajari tiga puluh enam gerakan yang masing-masing dilakukan oleh sepasang tangan.

   Dan ini berarti lima tahun ia harus mendekam di rawa itu.

   Sialan! Kiok Lan hampir patah di tengah jalan.

   Ia tidak menggerutu, tapi kalau untuk mempelajari dua jurus saja ia harus mendekam di rawa itu lima tahun lamanya tentu saja ia keki! Tapi gadis ini menekan rasa tidak puasnya.

   Ia terus belajar tekun, dan setelah lima tahun lewat ia akhirnya benar-benar mampu menguasai tiga puluh enam gerakan silat dalam dua jurus inti "Sing Sien"

   Itu.

   Maka mulailah Kiok Lan mencari jalan keluar.

   Ia mengitari rawa, kembali seperti dulu ketika pertama kali ia tersesat.

   Dan setelah tiga jam lamanya ia berputar-putar maka tiba-tiba rahasia Rawa Delapan Lingkaran ini berhasil ia ketahui.

   Ternyata jalan keluar rawa itu ditunjukkan oleh bayangan sinar matahari yang selalu bergeser dari titik pusatnya.

   Dan Kiok Lan yang secara tidak sengaja menemukan inti rahasia rawa ini tiba-tiba menjadi gembira.

   Ia mengikuti bayangan matahari yang mula-mula jatuh ke arah barat, tanda baru dimulainya matahari yang terbit di sebelah timur.

   Dan ketika matahari meruntuhkan bayangannya ke timur Kiok Lan lalu mengambil garis potong.

   Ia menentukan titik utara dan selatan, titik dua kutub yang ada di bumi.

   Dan begitu empat sudut ini berhasil ia temukan Kiok Lan tiba-tiba mematahkan sebatang dahan dan melemparkannya ke tengah rawa.

   Itulah jalan keluarnya! Kiok Lan tersenyum.

   Sekarang ia berseri dan melompat ringan di atas dahan yang jatuh di atas rawa itu Kiok Lan sudah menggerak-gerakkan tangannya "mendayung"

   Udara.

   Ia meluncur di atas dahan pohon itu.

   laju sungai didorong dari belakang.

   Dan Kiok Lan yang berseri-seri mukanya ini tertawa gembira.

   Sekarang ia menemukan jalan keluar rawa itu.

   Bahkan demikian mudahnya.

   Karena siapa yang hendak keluar dari Rawa Delapan Lingkaran ini sesungguhnya dia harus menentukan dahulu empat mata anginnya dan...

   mencari jalan keluar di atas rawa itu sendiri.

   Dengan lain kata, orang yang hendak keluar dari rawa ini tidak boleh menelusuri jalan setapak, jalan di atas tanah.

   Karena dia yang hendak keluar harus melalui tengah-tengah rawa itu sendiri dan memotong lurus ke utara, menuju seberang dengan bantuan sinar matahari.

   Inilah! Sekarang Kiok Lan benar-benar gembira.

   Ia terus menggerak-gerakkan kedua tangannya mendayung udara agar dahan yang dijadikannya semacam "perahu"

   Itu meluncur di atas air.

   Dan setelah sepenanakan nasi ia bekerja tiba-tiba daratan seberang di depan rawa tampak.

   Kiok Lan tertawa.

   Perahu anehnya diluncurkan lebih cepat, dan begitu tinggal beberapa tombak lagi dari tepi rawa tiba-tiba ia berjumpalitan dan hinggap di atas tanah.

   Gerakannya ini ringan, juga enteng sekali.

   Tapi Kiok Lan yang belum menyadari kemajuannya tersenyum-senyum saja.

   Ia sudah menguasai tiga puluh enam gerakan Sing Sien itu.

   Tapi sampai dimana kehebatan jurus ini sama sekali ia tidak tahu.

   Maka Kiok Lan yang sudah keluar dari Rawa Delapan Lingkaran itu lalu berlari cepat.

   Ia memasuki sebuah hutan kecil, dan begitu kedua kakinya bergerak tiba-tiba saja tubuhnya telah berkelebatan seperti iblis.

   Sebentar saja ia keluar dari hutan kecil itu.

   Dan Kiok Lan yang seperti burung baru terlepas dari sangkarnya ini tiba-tiba sudah keluar masuk hutan-hutan lain yang banyak terdapat di situ.

   Tidak tahu, betapa puluhan mata memandangnya terbelalak di dalam hutan, mata para perampok yang tidak sempat menghadangnya karena kalah cepat oleh gerakan gadis itu! Sekarang bagaimana dengan Mei Hong? Hampir mirip ceritanya dengan apa yang dialami Kiok Lan ini.

   Gadis itupun hanyut belasan jauhnya dari tempat semula, berhasil menangkap tutup cupu itu dan membawanya ke darat, dan seperti Kiok Lan iapun dengan hati-hati membawa tutup cupu itu di tempat terlindung mengamat-amati dengan penuh rasa ingin tahu seorang anak perempuan.

   Tapi kalau Kiok Lan menemukan dua huruf berbunyi Sing Sien adalah gadis ini menemukan dua huruf yang berbunyi "Siu Sien" (Pembinaan Diri)! Mei Hong tertegun.

   Iapun tak mengerti apa maksud dari dua huruf itu.

   Tapi setelah ia membalik-balik cupu itu dan menemukan beberapa huruf kecil-kecil yang membentuk goresan panjang pendek tiba-tiba ia melihat gambaran teori silat dalam tutup Cupu Naga ini.

   Hanya kalau Kiok Lan menggambarkan gerakan-gerakan tangan adalah yang ditemukan Mei Hong itu semuanya berdasarkan gerakan-gerakan kaki! Mei Hong terbelalak.

   Ia merasa gembira bukan main, dan berjingkrak girang tiba-tiba ia berlari ke hulu sungai mencari Bun Hwi.

   Ia hendak menceritakan penemuannya itu, tapi Mei Hong yang tertegun ternyata tak menemukan Bun Hwi di tempat semula.

   Anak laki-laki itu sudah jauh ke Bukit Pedang, tak sempat berdiam lebih lama di sungai yang bercabang itu karena kejaran dua orang datuk iblis Ang-sai Mo-ong dan Tung-hai Lo-mo.

   Dan Mei Hong yang menjadi kecewa akhirnya gelisah.

   Ia memutar tubuh, siap meninggalkan tempat itu.

   Tapi Hwa-i Sin-kai yang tiba-tiba muncul mengejutkannya dari lamunan.

   "Mana Bun Hwi, Hong-ji?"

   Mei Hong menggeleng.

   "Aku tak tahu, suhu."

   Hwa-i Sin-kai mengerutkan keningnya.

   "Tapi bukankah tadi bocah itu bersamamu?"

   Mei Hong bingung.

   "Memang tadi bersamaku, suhu. Tapi kami tiba-tiba berpisah dan tahu lagi kemana dia."

   "Dan kenapa pakaianmu basah?"

   Mei Hong terkejut. Ia melihat mata gurunya tiba-tiba memandang penuh selidik, dan Mei Hong yang berdebar hatinya terpaksa membohong.

   "Kami tadi tercebur di air, suhu. Murid Thian-san Giok-li yang galak itu menyerangku!"

   "Hm..."

   Hwa-i Sin-kai mengangguk-angguk. Dia memang melihat Kiok Lan ada di dekat muridnya ini, dan maklum anak perempuan itu memusuhi muridnya diapun menarik napas panjang.

   "Kalian berkelahi, Hong-ji?"

   "Ya."

   "Dan murid Thian-san Giok-li itu memisahkan diri?"

   "Ya."

   "Hm, kalau begitu dimana Bun Hwi sekarang? Apakah pergi begitu saja tanpa memberi tahu?"

   "Teecu juga heran, suhu. Tadi kami berkelahi dan hanyut sampai jauh dari tempat ini. Dan ketika teecu kembali tahu-tahu Bun Hwi tidak ada lagi."

   "Baiklah, kalau begitu mari ikuti aku, Hong-ji. Ang- sai Mo-ong dan Tung-hai Lo-mo tadi melarikan diri setelah berbuat curang...!"

   Mei Hong lalu mengikuti suhunya ini.

   Dia menyembunyikan tutup Cupu Naga yang diperoleh, bermaksud merahasiakan benda itu karena takut suhunya marah.

   Dan mereka berdua yang sudah meninggalkan tempat itu mencari Bun Hwi sampai mandi keringat.

   Tapi Bun Hwi tetap tak mereka temukan.

   Mereka tak tahu bahwa Bun Hwi telah jatuh di dalam jurang yang amat dalam.

   Dan kesal melihat Bun Hwi tak ada di situ Hwa-i Sin-kai lalu mengajak muridnya ke markas Hwa-i Kai-pang.

   Dia ada janji untuk menggembleng muridnya itu.

   Karena lima tahun lagi Hwa-i Kai-pang mengadakan pilihan pangcu (ketua perkumpulan).

   Maka Hwa-i Sin-kai yang mengajak muridnya ini segera menuju ke markas besarnya mendidik muridnya untuk menghadapi hari yang penting itu.

   Dan di sini Mei Hong diajar gurunya.

   Gadis itu harus berjuang sekuat tenaga mempelajari warisan ilmu silat kaum pengemis, yang disebut Hui-liong-sin- tung-hoat (Silat Tongkat Sakti Naga Terbang).

   Yakni silat tongkat yang menjadi ciri-ciri khas perkumpulan kaum pengemis ini.

   Dan Mei Hong yang digembleng gurunya selama lima tahun itu secara diam-diam mempelajari pula dua jurus silat yang berpangkal pada "Siu Sien", warisan ilmu silat yang didapatnya dari tutup Cupu Naga.

   Dan seperti yang ditemukan Kiok Lan, dua jurus "Siu Sien"

   Yang ditemukan Mei Hong ini juga mengandung tiga puluh enam gerakan.

   Masing- masing jurus delapan belas gerakan.

   Dan Mei Hong yang berlatih tanpa sepengetahuan gurunya itu akhirnya berhasil mewarisi dua ilmu silat ini.

   Semuanya melulu gerakan-gerakan kaki.

   Berupa tendangan miring, tinggi atau samping ke kiri dan ke kanan.

   Bahkan satu gerakan yang istimewa dari jurus Siu Sien ini mengajarkan tendangan ke atas, menghantam dagu lawan di belakang lewat atas kepala! Mei Hong gembira.

   Ia tidak mengomel seperti Kiok Lan, yang menggerutu karena hanya mendapat warisan dua jurus ilmu silat yang isinya berupa gerakan-gerakan tangan, sama sekali tak mengajarkan gerakan-gerakan kaki.

   Dan Mei Hong yang sama sekali tidak mengomel karena tidak mendapatkan gerakan tangan seperti Kiok Lan sama sekali tidak "menyalahkan"

   Pek In Siansu.

   Gadis ini lebih dapat bersikap "nrimo", menerima nasib dengan keadaan apa adanya.

   Sedangkan Kiok Lan yang menggerutu karena melulu diajarkan gerakan- gerakan tangan bertolak belakang dengan apa yang menjadi sikap Mei Hong.

   Tapi, bagaimanapun juga keduanya sama-sama hebat.

   Baik Mei Hong maupun Kiok Lan sesungguhnya telah mendapatkan warisan setengah lengkap.

   Karena masing-masing mendapatkan hak setengah bagian.

   Dan kalau dua orang gadis itu maju berbareng sesungguhnya tidak ada lagi lawan yang mampu mengalahkan keduanya! Tapi Mei Hong maupun Kiok Lan tidak mengetahui ini.

   Keduanya tidak mengira bahwa sesungguhnya masing-masing pihak menjadi pelengkap bagi pihak lain.

   Karena baik Mei Hong maupun Kiok Lan bila digabung menjadi satu maka orang paling lihai di dunia sekalipun belum tentu mampu mengalahkan dua orang gadis ini! Tapi sebagaimana yang diketahui, Kiok Lan maupun Mei Hong tidak dapat diakrabkan.

   Masing-masing pihak mau berjalan sendiri-sendiri.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan Mei Hong yang telah mewarisi dua jurus Siu Sien masih mendapat tambahan lagi warisan gurunya ilmu silat tongkat Hui-liong-sin-tung-hoat.

   Dan kalau gadis ini diibaratkan seekor burung maka ia adalah rajawali betina yang siap menghantam siapa saja yang berani mengganggunya.

   Itulah Mei Hong yang sekarang! Tapi Mei Hong adalah gadis sederhana.

   Ia tetap mengenakan pakaian tambal-tambalan dari perkumpulan pengemis yang dipimpin gurunya ini.

   Dan meskipun ia bukan pesolek tapi orang dapat melihat kecantikan alami yang dimiliki gadis ini.

   Mei Hong sekarang benar-benar sudah berangkat menjadi seorang gadis dewasa, cantik dengan sinar mata bercahaya tapi lembut.

   Dan gurunya, Hwa-i Sin-kai yang sama sekali tidak menduga muridnya diam-diam mewarisi ilmu silat Pek In Siansu tentu bakal kaget setengah mati kalau melihat muridnya memiliki kemampuan yang demikian tinggi.

   Mei Hong sekarang sudah bukan seperti Mei Hong lima tahun yang lalu.

   Dan kalau Hwa-i Sin-kai hendak diadu dengan muridnya ini belum tentu ketua Hwa-i Kai-pang itu menang! Tapi ini memang sebuah rahasia.

   Mei Hong gadis yang polos, jujur dan tidak banyak berlagak.

   Dan meskipun ia memiliki kemampuan yang sebenarnya jauh di atas kemampuan orang lain tapi dia tidak pernah menunjukkan hal itu di hadapan siapapun.

   Bahkan terhadap gurunya sendiri ia masih merahasiakan tutup Cupu Naga itu, dengan satu pikiran takut gurunya itu marah.

   Dan Mei Hong yang gerak-gerikny luwes dengan lenggang yang kalem itu sama sekali tak disangka orang memiliki kaki yang dapat mencuat-cuat, menendang ke atas dan ke bawah bagaikan kaki kijang yang menjejak musuh! Tapi ini justeru satu keberuntungan bagi diri gadis itu sendiri.

   Karena seorang pengemis muda Hwa-i Kai-pang yang diam-diam jatuh hati kepada gadis ini, Lai Song, jejaka dengan enam buli-buli di punggungnya pada suatu hari berniat mengganggu gadis ini! *S*F* Pagi itu Mei Hong baru saja mandi.

   Ia menjemur rambutnya, duduk di atas sebuah batu hitam sambil melamun.

   Ia teringat Bun Hwi mengenang betapa pengalaman pahit pernah mereka berdua alami.

   Yakni ketika di gedung Wong-taijin itu, betapa mereka dikejar-kejar musuh dan harus melarikan diri seperti anjing kecil diburu-buru tuannya.

   Diam-diam Mei Hong tersenyum.

   Ia terbayang wajah Bun Hwi yang tampan, wajah seorang anak laki-laki yang pemberani.

   Wajah seorang pemuda cilik yang menggegerkan Lauw-yang karena kekebalannya yang aneh itu.

   Hm...

   teringat sampai di sini mau tak mau Mei Hong menarik napas panjang.

   Ia bukan seorang gadis beruntung.

   Kedua orang tuanya mati, dan Bun Hwi yang mula pertama ditemuinya dalam kamar Lo-yaya itu tampak terkejut ketika ia datang.

   Begitu awal pertemuan mereka berdua.

   Dan Bun Hwi, yang waktu itu menjadi pembantu koki di rumah makan "Kim-hi"

   Tampak demikian gugup menerima kedatangannya.

   Pemuda itu gelisah, tapi dia yang pandai menguasai keadaan telah berhasil menghilangkan kecanggungan pemuda itu.

   Bun Hwi lalu menjadi sahabat dekatnya, dan mereka berdua yang sering bertemu akhirnya menjadi akrab dan saling menolong.

   Itulah mulai kisah persahabatan mereka.

   Tapi sekarang, bagaimana keadaan pemuda itu? Tentu Bun Hwi sekarang sudah menjadi pemuda yang gagah dan menarik, tampan dan banyak memikat gadis-gadis cantik.

   Eh...

   Mei Hong tiba-tiba saja menjadi cemburu! Ia teringat bahwa jelek-jelek Bun Hwi adalah putera sri baginda kaisar, seorang pangeran.

   Dan membayangkan Bun Hwi main gila dengan banyak wanita cantik begini Mei Hong tiba- tiba saja menjadi panas! Ia teringat Kiok Lan, gadis murid Thian-san Giok-li itu.

   Bukankah gadis ini pernah menyatakan cintanya di dalam hutan? Waktu itu gurunya yang memaksa, dan Kiok Lan yang menangis tersedu-sedu itu tampak demikian kurus memikirkan Bun Hwi yang disangka mati.

   Ah, Mei Hong menggigit bibir.

   Ia menggoyang kepalanya, mengusir jauh-jauh bayangan gadis itu menyatakan cintanya pada Bun Hwi.

   Dan gelisah bahwa Bun Hwi membalas cinta murid Thian-san Giok-li itu tiba-tiba Mei Hong mengepal tinju.

   Ia melihat betapa besar cinta yang ada di dalam hati murid Thian-san Giok-li itu.

   Dan Bun Hwi sendiri, yang sebelumnya telah lebih dulu berkenalan dengan gadis itu daripadanya tiba-tiba membuat Mei Hong menggigil.

   Tentu Bun Hwi juga pernah akrab dengan Kiok Lan.

   Dan kalau pemuda itu terus- terusan bergaul dengan murid Thian-san Giok-li ini tentu ia akan tersingkir.

   Mei Hong terbelalak.

   Ia merasa ada suatu perasaan nyeri menggores hatinya.

   Perasaan tidak tenang yang membuat ia ketakutan.

   Dan resah oleh perasaannya ini tiba-tiba Mei Hong bangkit berdiri.

   Ia melompat turun, mengibaskan rambut agar cepat kering.

   Dan Mei Hong yang mabok oleh lamunannya tadi tidak tahu betapa Lai Song telah berdiri di belakangnya dengan mata terbelalak penuh gairah! Pengemis muda ini terpesona.

   Ia kagum melihat Mei Hong demikian tinggi semampai.

   Pinggangnya ramping, pinggulnya bulat.

   Dan Lai Song yang terbengong di belakang gadis remaja ini tiba-tiba mengeluarkan seruan kagum dan mendecah tanpa sadar.

   "Aah....!"

   Mei Hong terkejut. Ia memutar tubuh, dan melihat Lai Song ada di situ tiba-tiba saja gadis ini berseru kaget dan melompat mundur.

   "Song-twako, apa yang kau perbuat di tempat ini?"

   Lai Song tertawa menyeringai.

   "Adik Hong, aku hendak menyatakan sesuatu yang selama ini mengganjal di hati!"

   Mei Hong mengerutkan kening. Ia melihat pengemis muda itu cengar-cengir, sikapnya sedikit kurang ajar karena tidak malu-malu memandangi dirinya. Dan Mei Hong yang sedang susah oleh pikirannya itu menjadi tidak senang.

   "Apa yang hendak kau katakan, Song-twako? Kau diperintah suhu?"

   "Ah, tidak adik Hong. Aku, he-he... aku hendak bicara soal pribadi!"

   Mei Hong membelalakkan mata.

   "Soal apa Song- twako?"

   Tapi pengemis muda ini tidak segera menjawab. Dia cengar-cengir seperti monyet mencium terasi, dan melangkah setindak dia menuding rambut gadis remaja itu.

   "Aku hendak mengatakan rambutmu indah, adik Hong. Dan aku benar-benar kagum akan kecantikanmu yang menawan ini...!"

   Mei Hong seketika menjadi marah.

   "Kau hendak kurang ajar, Song-twako?"

   "Ah, siapa kurang ajar, adik Hong? Bukankah aku memujimu setulus hati? Lihat, rambutmu demikian lebat dan hitam. Dan tubuhmu sekarang hem... menggairahkan dan benar-benar indah. Aku kagum padamu, adik Hong. Aku cinta padamu...!"

   Mei Hong terkejut.

   "Song-twako...!"

   Tapi Lai Song sudah menubruk ke depan. Pengemis muda ini menyeringai dengan muka menyebalkan, dan tertawa serak ia memeluk gadis remaja ini.

   "Adik Hong, aku benar-benar cinta padamu. Sungguh mati aku selalu terbayang dirimu!"

   Namun Mei Hong tiba-tiba mengelak cepat. Tubrukan orang yang memeluk dirinya diegoskan ke kanan, dan begitu Lai Song menyambar ke depan tahu-tahu tangannya menampar muka orang.

   "Song-twako, kau kurang ajar... plak!"

   Lai Song terhuyung. Ia terbelalak, memandang kaget gadis remaja ini. Tapi tertawa menyeringai dia tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.

   "Adik Hong, jangan kau biarkan aku merana. Aku sungguh mencintaimu. Kenapa kau bersikap kasar begini?"

   Mei Hong terbelalak. Sebenarnya ia marah, tapi melihat muka pengemis itu sungguh-sungguh mengharap belas kasihannya tiba-tiba ia mengeraskan hati.

   "Song twako, kau tidak tahu malu. Beginikah caramu menyatakan cinta?"

   Lai Song cengar-cengir.

   "Aku tak tahan menekan perasaan hatiku, adik Hong. Aku semakin tergila-gila setiap hari padamu!"

   "Hm, tapi kau harus tahu diri, Song-twako. Aku bukan gadis murahan yang boleh kau tubruk sesuka hatimu!"

   "Ah, maaf. Aku rindu padamu, adik Hong. Dan melihat kau melamun seorang diri aku jadi kehilangan pikiran. Bukankah kau melamunkan aku?"

   Mei Hong hampir tertawa.

   Ia gemas, tapi juga geli.

   Karena mana mungkin dia melamunkan pengemis muda ini? Meskipun Lai Song gagah tapi dia bukan tergolong tampan.

   Apalagi sikapnya juga sedikit kasar.

   Bagaimana dia melamunkan pemuda ini? Maka Mei Hong yang hampir tertawa itu tiba-tiba menahan kegeliannya.

   Dia sedang melamun, itu betul.

   Tapi bukan pengemis muda ini yang dilamunkan melainkan Bun Hwi! Mana mungkin Bun Hwi ditandingkan pengemis muda ini? Tapi Lai Song yang melihat Mei Hong tersenyum sedikit mengira mendapat angin.

   Dia semakin cengar-cengir, dan ketika gadis itu belum menjawab pertanyaannya diapun berkata mendahului.

   "Bukankah benar kau melamunkan aku, adik Hong?"

   Mei Hong akhirnya mengeraskan muka.

   "Itu tak perlu kujawab, Song-twako. Yang jelas aku tak melamunkan dirimu!"

   Lai Song tiba-tiba bangkit.

   "Kalau begitu siapa, adik Hong? Kau mencintai orang lain?"

   "Song-twako...!"

   Mei Hong membentak marah.

   "Haruskah urusan pribadi orang lain kau ketahui? Tak tahu malukah kau menanyakan persoalan ini?"

   Lai Song mendadak berubah.

   "Tapi aku mencintaimu, adik Hong. Aku sungguh-sungguh mencintaimu...!"

   Mei Hong merah mukanya. Ia melihat Lai Song tiba- tiba menjadi nekat, dan melihat pemuda itu gemetar pucat tiba-tiba Mei Hong memutar tubuh.

   "Song- twako, aku tak mau bicara urusan ini...!"

   Dan Mei Hong yang sudah membalikkan tubuh itu tiba-tiba melompat meninggalkan pemuda itu. Tapi Lai Song tampak marah. Pengemis muda ini juga melompat, dan sekali menggerakkan kaki tahu- tahu dia sudah menghadang di depan orang.

   "Adik Hong, kau katakanlah bahwa kau pun mencintai aku!"

   Bentaknya penasaran. Tapi Mei Hong justeru menaikkan alis. Melihat pemuda ini menghadang di depannya tiba-tiba Mei Hong menjadi gusar, dan sekali ia menampar maka pipi orang telah dia gaplok.

   "Song-twako, kau benar-benar kurang ajar... plak!"

   Dan Lai Song yang bengap pipinya seketika terpelanting jatuh. Dia terkejut, juga meradang. Dan Lai Song yang tiba-tiba menjadi beringas itu tertawa.

   "Adik Hong, kau tidak bisa baik-baik menerima cinta orang?"

   Mei Hong tertegun. Ia melihat pengemis muda ini mencabut tongkat, tanda akan dimulainya sebuah pertempuran. Dan Mei Hong yang tidak menyangka pemuda itu semakin nekat tiba-tiba saja keruh mukanya.

   "Song-twako, kau mau memaksa seorang gadis untuk menerima cintamu yang kotor?"

   Lai Song menyeringai.

   "Cintaku tidak kotor, adik Hong. Aku benar-benar mencintaimu dengan hati tulus."

   "Hm, dan dengan begitu kau main paksa kalau cintamu bertepuk sebelah tangan, Song-twako?"

   "Heh-heh, aku terlanjur tergila-gila padamu, adik Hong. Mana mungkin aku harus melihat cintaku bertepuk sebelah tangan?"

   "Jadi maumu?"

   "Kau kasihanilah aku, adik Hong. Kau terimalah cintaku ini, dan kita minta doa restu kai-pangcu!"

   Mei Hong tak tahan lagi.

   Ia membentak dan begitu kedua tangannya bergerak tiba-tiba saja ia berkelebat ke depan menampar kepala pengemis muda ini.

   Tapi Lai Song tak mau mandah seperti tadi.

   Pengemis muda itu tertawa, dan melihat Mei Hong menyerangnya dengan tangan menampar mendadak dia menggerakkan tongkat.

   Maksudnya hendak menangkis, lalu merobohkan gadis itu dan dipaksanya untuk menerima cinta kasihnya.

   Tapi Mei Hong yang seluruh geraknya sudah diisi dua jurus warisan Cupu Naga tahu-tahu tersenyum mengejek.

   Kecepatan kakinya tak mampu ditandingi lawannya ini.

   Maka baru Lai Song mengangkat tongkat tiba-tiba saja kedua pipinya sudah digaplok pulang-balik.

   "Plak-plak!"

   Lai Song terkejut.

   Pengemis muda itu menjerit, dan tubuhnya yang tahu-tahu sudah terjengkang roboh disusul dengan pecahnya mulut yang robek berdarah! Lai Song terkejut bukan main, dan melompat bangun tiba-tiba dia meraung dan menerjang Mei Hong dengan penuh kemarahan.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siluman betina, kau tidak mau menerima cintaku baik-baik dan sekarang malah melukai aku?"

   Pemuda itu berteriak, menerjang kalap dengan tongkat hitamnya di tangan kanan.

   Tapi Mei Hong yang sengaja ingin menghajar pemuda ini tidak mengelak.

   Begitu tongkat tiba tahu-tahu dia menggerakkan kaki, dan persis Lai Song menubruk tiba-tiba perut pemuda ini didupak kaki kanan Mei Hong.

   "Bluk...!"

   Lai Song terlempar.

   Dia ternganga, jatuh berdebuk di atas tanah dengan pekik kecilnya.

   Tapi begitu melompat bangun tiba-tiba pengemis muda ini sudah membentak marah dan menerjang lagi.

   Dia tidak mau menyadari kenyataan tadi, betapa dengan mudah Mei Hong menggaplok mukanya pulang-balik.

   Dan Lai Song yang memutar-mutar tongkat sudah menyerang gencar sambil berteriak-teriak.

   Dia marah juga terhina.

   Tapi Mei Hong yang berkelebatan ke sana kemari dengan lincahnya berhasil menghindari semua serangan itu.

   Dan ketika Mei Hong tidak tahan lagi mendengar umpatan-umpatan kotor yang mulai keluar dari mulut Lai Song tiba-tiba saja Mei Hong membentak perlahan dan mengayunkan kakinya, menangkis sambaran tongkat yang membabat pinggangnya.

   Lalu, begitu tongkat bertemu kaki mendadak jari Mei Hong menampar pundak pemuda ini.

   "Plak-dess...!"

   Lai Song menjerit.

   Tongkatnya patah, da n tubuh pengemis muda yang tahu-tahu telah terguling roboh ini tak mampu bangun lagi karena tertotok lumpuh.

   Jari Mei Hong telah mengenai jalan darahnya, dan Lai Song yang terbengong di atas tanah melotot kaget dengan muka gentar.

   Sekarang pemuda ini terbuka matanya.

   Ia melihat Mei Hong memandangnya dingin tiba-tiba Lai Song gugup.

   Dia melihat gadis remaja itu melompat menghampirinya, dan sebuah kakinya menendang leher tahu-tahu totokan yang membuatnya lumpuh membebaskan kembali jalan darahnya yang tersumbat! Lai Song bangkit berdiri dan Mei Hong yang memandangnya marah berkata mengejek.

   "Kau masih ingin menggangguku lagi, Song-twako?"

   Pengemis muda ini merah padam.

   Dia terbelalak, takut tapi juga dendam.

   Dan sinar matanya yang menyorotkan kebencian tersembunyi membuat pengemis muda itu tak menjawab.

   Tapi Mei Hong dapat memaklumi perasaan orang.

   Maka melihat lawan menunduk kalah tiba-tiba iapun membalikkan tubuh dan melompat pergi.

   "Baiklah, Song-twako. Kuharap lain kali kau dapat bersikap lebih sopan terhadap wanita...!"

   Dan Mei Hong yang sudah berkelebat lenyap dipandang penuh kebencian oleh pengemis muda ini.

   Lai Song tiba-tiba menaruh sakit hati yang besar sekali atas kejadian hari itu.

   Dan pengemis dengan enam buli-buli di punggungnya ini mengepal tinju.

   Sebenarnya, sudah lama dia ingin memperoleh gadis itu.

   Mendambakannya sebagai kekasih.

   Tapi Mei Hong yang telah mengalahkannya tiba-tiba membuat dia menaruh dendam kesumat.

   Dia harus membalas kekalahannya itu.

   Harus dapat merobohkan gadis itu dan melampiaskan cinta berahinya! Tapi Lai Song tiba-tiba terkejut.

   Seorang pemuda tahu-tahu berada di sampingnya, terkekeh dengan mulut tersenyum lebar.

   Dan Lai Song yang kaget bagai disambar petir ini melompat ke belakang.

   "Kau siapakah?"

   Lai Song berseru tertahan, pucat melihat kehadiran orang yang tahu-tahu muncul di dekatnya seperti setan.

   Tapi pemuda yang masih tertawa-tawa di depannya itu tak segera menjawab.

   Baru setelah dia puas terkekeh dan memandang penuh kegelian terhadap pengemis ini bicaralah pemuda itu.

   "Aku geli melihat caramu, orang she Lai. Kenapa demikian bodoh merayu seorang gadis. Hm, kalau aku yang melakukan itu tentu semuanya pun beres. Dia galak, tapi terus terang cukup lihai. Siapakah dia dan apa hubungannya dengan perkumpulan pengemis?"

   Lai Song ganti tak segera menjawab.

   Dia mengamati pendatang ini, seorang pemuda tampan dengan muka yang putih kemerahan.

   Dan melihat pemuda itu tersenyum-senyum kepadanya tiba-tiba Lai Song marah.

   Dia merasa ditertawakan pemuda ini akibat kegagalan cintanya tadi, maka membentak marah dia balik menegur.

   "Sobat, kau siapakah dan kenapa ada di sini? Apa urusanmu dengan persoalanku tadi?"

   Pemuda tampan ini tertawa.

   "Jangan gusar, orang she Lai. Aku orang baik-baik yang ingin menolongmu. Bukankah kau sakit hati terhadap kucing betina itu?"

   "Hm..."

   Lai Song mendengus.

   "Tapi kau bukan orang sini, sobat. Kenapa hendak mencampuri urusanku? Siapa kau?"

   Pemuda itu melangkah maju.

   "Aku Hong Lam, orang she Lai. Pelancong biasa yang ingin menghadiri ulang tahun Hwa-i Kai-pang. Bukankah empat hari lagi kai-pang ini akan merayakan ulang tahunnya sekaligus mencari jabatan pangcu?"

   Lai Song terkejut.

   "Kau undangan kami?"

   "Bukan, tapi justeru ingin resmi diundang. Bisakah kau sampaikan pada ketuamu bahwa aku ingin menghadiri perayaan ulang tahunnya?"

   Lai Song tiba-tiba terbelalak. Dia melihat pemuda itu tertawa, dan tongkat yang menggeletak di atas tanah dijumputnya. Itulah tongkatnya yang tadi dipatahkan Mei Hong, dan melihat pemuda bernama Hong Lam ini mengambil tongkat Lai Song menjadi heran.

   "Kau hendak apakan tongkatku itu, sobat?"

   "Ha-ha, ingin menyambungnya, orang she Lai. Aku merasa sayang tongkat demikian bagus harus terpotong-potong."

   Dan pemuda bernama Hong Lam itu tiba-tiba memilin-milin tongkat seperti orang memilin-milin sepotong roti.

   Dia meremas sana-sini, menggencet perlahan seperti orang menempa benda keras.

   Lalu begitu dia tersenyum mendadak tongkat yang tadi patah menjadi dua itu sudah bersatu kembali seperti semula! "Ah...!"

   Lai Song tertegun, hampir tak percaya akan apa yang dilihat ini.

   Tapi begitu pemuda tampan itu melemparkan kembali tongkatnya dan betul-betul sudah utuh seperti semula tiba-tiba saja pengemis ini terkejut.

   Dia terbelalak memandang lawan, tapi Hong Lam yang tersenyum-senyum itu berkata kepadanya.

   "Orang she Lai, tolong beritahukan ketua Hwa-i Kai- pang bahwa aku ingin diundang secara resmi. Kau bisa menyampaikannya, bukan?"

   Lai Song terbelalak.

   "Tapi... tapi Hwa-i Kai-pang tidak mengundang orang yang belum dikenal, sahabat. Bagaimana aku harus menyampaikannya?"

   "Ha-ha, itu mudah, orang she Lai. Beritahukan saja kepandaianku menyatukan tongkat itu dan Hwa-i Kai-pangcu tentu mengenalku!"

   "Tapi..."

   Pemuda ini tertawa.

   "Kau ingin menagih janjiku untuk mendapatkan gadis cantik tadi, orang she Lai?"

   Dia memotong.

   "Itu mudah. Tantang dia di luar hutan. Kubantu kau besok man..."

   Dan pemuda bernama Hong Lam yang baru menyelesaikan kata- katanya ini mendadak lenyap seperti iblis.

   Lai Song hanya melihat pemuda itu menggerakkan sedikit kakinya.

   Lalu begitu melihat orang lenyap tiba-tiba dia tertegun dengan muka berubah.

   Setankah pemuda itu? Kenapa tahu-tahu muncul dan pergi tanpa diketahui bayangannya? Lai Song akhirnya menjadi ngeri.

   Dia memutar tubuh, melompat dari tempat itu dengan bulu tengkuk berdiri.

   Tapi baru beberapa langkah dia berjalan tiba-tiba terdengar suara pemuda itu, halus di pinggir telinganya.

   "Orang she Lai, ingat pesanku tadi. Tantang gadis tadi di luar hutan. Aku akan membantumu besok malam...!"

   Lai Song semakin ketakutan.

   Dia mengira bertemu iblis, tapi mendengar orang mengulang permintaannya mendadak saja dia sadar.

   Tentu Hong Lam itu seorang pemuda hebat yang memiliki kesaktian tinggi.

   Dan kalau benar besok dia akan dibantu pemuda itu biarlah dia akan menentang Mei Hong sekali lagi! Maka Lai Song lalu menjadi girang, dan bergegas pulang dia buru-buru mempersiapkan segalanya, menulis secarik surat tantangan kepada lawannya dan menyuruh Mei Hong menantinya di luar hutan! *S*F* Sore itu Mei Hong mengerutkan kening.

   Dia telah menerima surat tantangan Lai Song.

   Besok malam.

   Di luar hutan! Mei Hong mengepal tinju.

   Apa orang she Lai itu? Kenapa tak tahu diri? Mei Hong bangkit berdiri, meremas-remas surat itu sampai robek lalu membuangnya di lantai.

   Sebenarnya dia ingin menghajar orang pada saat itu juga, tidak perlu menanti sampai besok malam.

   Tapi curiga oleh sikap Lai Song yang dinilainya aneh Mei Hong justru berhati-hati.

   Dan pintu kamarnya tiba-tiba diketuk orang.

   "Siapa?"

   Mei Hong bertanya lirih. Pintu dibuka dan Hwa-i Sin-kai tiba-tiba masuk.

   "Oh, kau suhu? Ada apa?"

   Mei Hong terkejut dan buru-buru menyambut suhunya ini. Hwa-i Sin-kai tampak muram, dan ketua Hwa-i Kai-pang yang langsung memasuki kamar itu menarik sebuah kursi.

   "Hong-ji, kau melihat sesuatu yang di luar kebiasaan akhir-akhir ini?"

   Kakek pengemis itu bertanya, memandang muridnya dengan muka setengah gelae tampak jengkel. Dan Mei Hong yang tidak mengerti maksud suhunya tentu saja menggeleng.

   "Tidak. Apa yang kau maksudkan, suhu?"

   Dia justeru merasa heran.

   "Hm, perkumpulan kita dibayang-bayangi seseorang, Hong-ji. Aku melihat ada sesuatu yang mengancam kita!"

   "Ah, siapa yang membayangi, suhu? Orang manakah?"

   "Aku tidak tahu. Tapi gerak-geriknya yang mencurigakan jelas mempunyai iktikad tidak baik!"

   "Dan kau telah menyuruh orang-orang kita menyelidik, suhu?"

   "Tidak. Kukira percuma saja. Orang yang membayangi kita memiliki kepandaian tinggi, dan kalau bukan musuh lama tentu musuh baru!"

   Mei Hong menghampiri suhunya.

   "Kalau begitu kita selidiki saja, suhu. Teecu siap membantumu kalau musuh sudah datang!"

   "Ya, tapi keadaan sudah mendesak, Hong-ji. Ulang tahun perkumpulan kita tinggal empat hari lagi. Mana mungkin melakukan tugas keluar?"

   Hwa-i Sin- kai tiba-tiba memandang tajam wajah muridnya ini.

   "Kau sudah siap menghadapi ujian itu? Kau sudah hapal benar semua jurus-jurus Hui-liong-sin-tung- hoat?"

   Mei Hong tersenyum.

   "Tentu saja, suhu. Apa kau masih meragukan lagi?"

   "Hm, tapi ujian kali ini berat, Hong-ji. Wakil-wakil Hwa-i Kai-pang akan mencoba ilmu yang kau miliki dan merobohkanmu untuk dapat merebut jabatan ketua!"

   "Ah, ini tak begitu kuhiraukan, suhu. Teecu sebenarnya enggan menjabat ketua. Bukankah suhu masih kuat dan sanggup memimpin anggota? Kenapa harus memilih pemimpin baru?"

   "Hm, ini peraturan Kai-pang kita, Hong-ji. Bila aku ingin melepaskan jabatan maka calon pengganti sudah harus ditetapkan sejak semula. Dan satu- satunya orang yang kuanggap tepat hanyalah kau!"

   Mei Hong cemberut.

   "Kenapa kau buru-buru ingin melepaskan diri, suhu? Bukankah Kai-pang kita sudah baik-baik kau pimpin?"

   "Ah, kau tidak tahu, Hong-ji. Hwa-i Kai-pang harus memiliki seorang pemimpin yang jauh lebih cakap lagi daripada aku. Sekarang dunia semakin keruh, dan kau yang masih muda harus belajar baik-baik sebelum aku mati!"

   Mei Hong terkejut.

   "Suhu, kenapa kau bicara begitu? Siapa yang dapat membunuhmu?"

   Hwa-i Sin-kai tiba-tiba tertawa bergelak.

   "Hong-ji, kau kira tua bangka macam aku ini tidak dapat terbunuh? Bukankah musuh-musuh Hwa-i Kai-pang banyak? Bagaimana kalau suatu hari seorang musuh datang mencariku dan membunuh si tua bangka ini? Banyak orang pandai di dunia, Hong-ji. Jangan kau anggap gurumu satu-satunya orang yang tidak dapat terbunuh!"

   Mei Hong tidak suka bicara ini.

   "Aku tak setuju pendapatmu, suhu. Kau tampaknya gelisah sekali. Apa yang kau pikir?"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hwa-i Sin-kai bangkit berdiri.

   "Ada sebuah berita yang mengkhawatirkan, Hong-ji. Seorang tokoh Tibet datang ke pedalaman atas bujukan Mo-ong. Aku dengar dia sudah datang, dan kalau tokoh ini muncul keadaan bisa lebih berbahaya lagi."

   "Hm, siapa dia, suhu? Kenapa kau kelihatannya gentar?"

   Pengemis tua ini merah mukanya.

   "Aku bukan gentar, Hong-ji. Tapi benar-benar khawatir dengan tokoh Tibet ini. Dia dahulu wakil Ketua Lama jubah merah di negerinya, tapi karena pelanggaran tata susila dia lalu dikeluarkan dan dipecat dari kelompoknya. Orang ini hebat, memiliki kesaktian yang dua tingkat di atas Mo-ong. Dan kalau dia berhasil dibujuk Mo-ong untuk melakukan kejahatan tentu negara bisa runyam!"

   Mei Hong sekarang terkejut.

   "Siapa dia itu, suhu?"

   "Hong Beng Lama!"

   "Hong Beng Lama...?"

   "Ya. Lama ini seorang sakti, Hong-ji. Kukira di dunia ini tidak ada orang lain yang mampu menandinginya. Hanya beberapa gelintir saja yang dapat menghadapi Lama ini, seorang di antaranya adalah Hu-taijin itu. Tapi karena Menteri Hu hilang pada lima tahun yang lalu sekarang tidak ada yang dapat diandalkan untuk menghadapi Lama ini!"

   "Ah...!"

   Mei Hong terbelalak.

   "Jadi dia benar-benar orang kosen, suhu?"

   Hwa-i Sin-kai mengangguk.

   "Memang benar, Hong- ji. Dan kalau Lama ini berhasil terbujuk tentu dunia kang-ouw bisa geger. Dia mendendam bekas ketuanya dahulu. Tapi karena kalah lihai dia lalu merantau di luar Tibet. Sekarang dia berada di daerah Tiong-goan, siapa tidak khawatir?"

   Mei Hong tergetar juga.

   "Tapi apakah benar Lama ini tidak ada tandingannya, suhu?"

   "Hm, dibilang begitu memang jelas tidak, Hong-ji. Karena bagaimanapun dia masih kalah oleh bekas ketuanya sendiri, Hong Sin Lama yang mengusirnya itu. Tapi kalau dicarikan tandingan di sini barangkali itu ada benarnya. Kecuali Menteri Hu yang lenyap secara aneh kukira ada satu dua orang lain yang mampu menahan Lama ini. Tapi karena mereka sulit dicari maka kukira tidak ada yang dapat menandingi Lama ini."

   Mei Hong tiba-tiba bersinar matanya.

   "Bagaimana kalau pewaris Cupu Naga, suhu?"

   Hwa-i Sin-kai terbelalak.

   "Kau melantur? Siapa yang mendapatkan warisan cupu itu? Bukankah, eh..."

   Hwa-i Sin-kai tiba-tiba terkejut.

   "Kau maksudkan bocah she Bun itu, Hong-ji? Kau maksudkan Bun Hwi yang menghadapi Lama ini?"

   Mei Hong tersenyum sambil mengangguk.

   "Memang begitu yang kumaksud, suhu. Apakah kira-kira Bun Hwi dapat menandingi Lama ini kalau dia berhasil mewarisi Cupu Naga?"

   Hwa-i Sin-kai tiba-tiba tertawa bergelak.

   "Ha-ha, itu memang benar, Hong-ji. Kukira hanya bocah she Bun itulah yang mampu menghadapi Hong Beng Lama! Tapi bukankah dia tak kelihatan lagi sejak lima tahun yang lalu? Apakah bocah ini mampus ditelan bumi?"

   Mei Hong melangkah maju. Dia melihat muka suhunya mendadak berubah muram membayangkan kalimat terakhir tadi, dan tersenyum lembut ia memegang lengan pengemis tua ini.

   "Suhu, teecu kira Bun Hwi belum mati. Kita kehilangan jejak karena kita memang tak tahu kemana dia lari. Tapi bukankah dia merupakan satu-satunya harapan untuk menghadapi Hong Beng Lama? Dan teecu tetap yakin dia masih hidup, suhu. Karena kalau tidak kita tentu menemukan mayatnya!"

   Hwa-i Sin-kai berseri gembira. Dia dapat mengerti itu, tapi belum dia bicara sesuatu tiba-tiba pintu diketuk orang. Seorang pengemis bernama Ci Kang muncul, dan Hwa-i Sin-kai yang menegur pengemis ini mengerutkan kening.

   "Ada apa, Ci Kang? Kenapa kau tampaknya buru- buru?"

   Pengemis ini memberi hormat.

   "Maaf, pangcu. Lai Song-twako menyuruh hamba memberikan berita!"

   Hwa-i Sin-kai melompat maju.

   "Berita apa Ci Kang? Kenapa tidak dia sendiri yang datang menghadap?"

   "Hamba tidak tahu, pangcu. Tapi Lai Song-twako memberi tahu bahwa seseorang minta diundang sebagai tamu resmi pada ulang tahun partai kita!"

   Hwa-i Sin-kai terbelalak. Dia tidak mengerti, dan Mei Hong yang mendengar nama Lai Song disebut-sebut tiba-tiba saja menaikkan alisnya. Tapi belum dia berkata sesuatu tiba-tiba gurunya telah bertanya.

   "Siapa yang minta diundang, Ci Kang? Bagaimana rupa orang itu?"

   Namun pengemis muda ini menggeleng.

   "Hamba tidak tahu, pangcu. Dan kabarnya Song-twako sendiri juga tidak tahu. Hanya tamu yang aneh itu memberikan ini..."

   Ci Kang memberikan tongkat pada ketuanya, tongkat Lai Song yang patah namun yang kini tersambung kembali dengan baik. Dan melanjutkan keterangannya pada sang ketua pengemis muda itu berkata.

   "Kabarnya kau mengenal tamu ini, pangcu. Dan kalau ini betul orang itu mohon pangcu memberikan undangan secara resmi!"

   Hwa-i Sin-kai melangkah mundur. Dia menerima tongkat dengan muka berubah, dan Mei Hong yang melihat muka gurunya pucat sudah melompat ke depan.

   "Apa artinya itu, suhu? Siapa manusia kurang ajar itu?"

   Tapi Hwa-i Sin-kai cepat-cepat menggoyang lengan.

   "Hong-ji, ini orang yang kuceritakan tadi..."

   Lalu menoleh pada Ci Kang dia berseru.

   "Baiklah, orang ini boleh menjadi tamu undangan kita, Ci Kang. Tapi panggil kemari orang she Lai itu!"

   Namun pengemis ini menggelengkan kepala.

   "Lai Song-twako tidak ada, pangcu. Katanya dia pergi untuk sesuatu urusan barang sehari!"

   Hwa-i Sin-kai tertegun. Tapi membelalakkan mata akhirnya dia menjawab.

   "Baiklah, kalau begitu pergilah, Ci Kang. Sampaikan pada Lai Song kalau dia kembali bahwa orang itu boleh menjadi tamu undangan kita...!"

   Dan Hwa-i Sin-kai yang mengulapkan lengannya itu menyuruh Ci Kang pergi. Sekarang pengemis tua ini memandang Mei Hong, dan menggigil sedikit dia mengepal tinju.

   "Bahaya mulai menaungi kita, Hong-ji. Sebaiknya besok malam kita kumpulkan semua orang!"

   Mei Hong mengerutkan kening.

   "Siapa yang datang, suhu? Orang siapa yang kau maksudkan itu?"

   "Hm, tidak tahukah kau, Hong-ji? Orang yang memberikan tongkat itu adalah Hong Beng Lama sendiri. Hanya Lama inilah yang mampu menyatukan tongkat patah menjadi utuh seperti semula!"

   "Ah, begitukah, suhu? Dan..."

   "Ya. Dan agaknya Lai Song bertemu Lama ini, Hong- ji. Dipatahkan tongkatnya lalu disuruhnya menghadap aku untuk pura-pura minta undangan!"

   Hwa-i Sin-kai memotong, memandang gemas dan melototkan matanya pada tongkat tapi tidak memperhatikan muka Mei Hong yang berubah.

   Dan Mei Hong yang membelalakkan mata jadi tertegun.

   Ia sebenarnya heran melihat semuanya itu.

   Karena ia juga mengenal tongkat yang dibawa Ci Kang tadi.

   Tongkat Lai Song yang dipatahkannya ketika pengemis itu coba mengganggunya di pagi hari.

   Tapi bahwa tongkat itu tiba-tiba menjadi utuh dan baik kembali seperti semula iapun diam-diam terkejut.

   Begitu lihaikah Hong Beng Lama ini hingga membuat suhunya khawatir? "Suhu, benarkah Hong Beng Lama demikian kosen?"

   Hwa-i Sin-kai membalikkan tubuh.

   "Kau kira aku main-main, Hong-ji? Bukankah kau buktikan sendiri dengan kesaktiannya ini? Dia memiliki ilmu Merekat Tulang Menyambung Nyawa. Konon, dengan ilmunya ini Lama itu tidak bisa mati!"

   Mei Hong tercekat.

   "Wah, ilmu apa itu, suhu? Kenapa manusia hidup tidak bisa mati?"

   "Hm, itu ilmu yang berbau pengaruh hitam, Hong-ji. Hong Beng Lama dapat menyambung nyawanya kembali bila dia terpukul binasa...!"

   "Aah...!"

   Mei Hong semakin terkejut.

   "Jadi demikian hebat Lama itu, suhu?"

   "Ya, dan kukira tidak ada orang yang dapat menandingi Lama ini, Hong-ji. Kecuali beberapa orang yang kusebutkan tadi. Bahkan Hu-taijin sendiri kusangsikan kelihaiannya bila menghadapi Lama ini!"

   Mei Hong sekarang benar-benar tertegun. Dia dapat membayangkan kini, betapa saktinya Lama jubah merah itu. Dan kalau dia dapat "menyambung"

   Kembali nyawanya yang hampir putus benar-benar Lama ini seorang tokoh yang dahsyat dan mengerikan! Pantas kalau suhunya gentar dan menjadi gelisah! Tapi Hwa-i Sin-kai tidak lama di situ.

   Dia bicara sejenak memberikan wejangan pada muridnya ini, terutama tentang firasat yang tidak enakk yang akhir-akhir ini dia rasakan.

   Lalu selesai menyuruh muridnya berhati-hati diapun keluar mengumpulkan orang-orangnya.

   Empat hari lagi Hwa-i Kai-pang akan mengadakan pemilihan pangcu, hari yang amat penting bagi semua anggota pengemis.

   Maka Hwa-i Sin-kai yang sudah menutup pintu itu tergesa-gesa menemui bawahannya.

   Sementara Mei Hong, yang masih tertegun oleh cerita suhunya duduk terbelalak dengan hati berdebar.

   Ia masih terkejut mendengar kelihaian Lama jubah merah ini.

   Terutama tentang ilmunya yang disebut Merekat Tulang Menyambung Nyawa, ilmu yang kata suhunya konon membuat Lama itu tak dapat mati seumur hidup.

   Wah, kalau begitu bagaimana caranya merobohkan Lama ini? Mei Hong bingung.

   Ia pribadi tidak merasa begitu khawatir seperti gurunya.

   Karena rupa dan kesaktian Lama itu tidak dilihatnya sendiri.

   Tapi kalau suhunya dapat terguncang mendengar kehadiran Lama ini tentu tokoh itu benar-benar seorang sakti yang hebat bukan main.

   Dan membayangkan Hong Beng Lama akan menjadi tamu Hwa-i Kai-pang tiba-tiba saja Mei Hong tergetar.

   Apa yang harus dilakukannya? Mei Hong menggigit bibir.

   Nanti sajalah! Pikirnya membuang resah.

   Dan bangkit berdiri Mei Hong lalu memutar-mutar lengan berlatih Hui-liong-sin-tung- hoat di dalam kamar itu.

   Sebenarnya ilmu ini sudah ia kuasai dengan baik.

   Bahkan, kalau gurunya mengajak berlatih acap kali gurunya itu berseru kagum atas kemajuannya yang demikian cepat.

   Dan ini disebabkan kemahiran Mei Hong melatih dua jurus Siu Sien di tutup Cupu Naga itu.

   Warisan ilmu silat yang membantu kelincahan gerak kakinya.

   Tapi Hwa-i Sin-kai yang tidak mengetahui rahasia muridnya hanya merasa kagum dan bangga atas kepandaian muridnya itu yang dirasa melebihi kemampuan murid lainnya.

   Dan Mei Hong sendiri, yang sengaja menutup rahasia dirinya juga masih diam-diam tak memberi tahu pada suhunya.

   Dia terus berlatih di kamar itu, mengulang-ulang ilmu tongkat Hui-liong-sin-tung- hoat.

   Dan setelah sehari penuh dia berlatih lalu malamnya diganti dua jurus Siu Sien yang seluruhnya ada tiga puluh enam gerakan itu.

   Dan keesokan harinya, setelah malam tiba Mei Hong lalu berkelebat keluar hutam, memenuhi tantangan Lai Song yang diterimanya sore kemarin! *S*F* Kini Mei Hong sudah berada di tepi hutan itu.

   Ia berdiri menanti, menunggu dengan perasaan gemas dan marah kedatangan Lai Song yang dianggapnya tak tahu diri.

   Sementara sinar bulan yang sudah muncul di langit yang pekat tampak menyorotkan sinarnya yang kuning keemasan menyapu lembut wajah gadis ini.

   Mei Hong memandang sekitar, melihat kalau bayangan Lai Song sudah ada di situ.

   Tapi mengepalkan tinju ia melihat suasana di tepi hutan itu sepi-sepi saja.

   Bohongkah Lai Song dalam surat tantangannya kemarin? Kenapa belum muncul? Padahal pengemis muda itu memberitahukan dalam surat tantangannya bahwa dia akan muncul sebelum sinar bulan membayangi bumi.

   Hem! Mei Hong memasang telinga.

   Sekarang matanya tidak menangkap apa-apa di tepi hutan itu.

   Dan kalau Lai Song bersembunyi maka dia harus mengetahui perbuatan lawannya itu dengan ketajaman telinganya.

   Tapi kembali sia-sia.

   Mei Hong tak mendengar suatu gerakan di tempat itu.

   Semuanya sunyi dan hening bagai di tempat kuburan! Mei Hong menjadi gusar.

   Apakah Lai Song membatalkan janjinya dan sengaja mempermainkannya? Dia mulai marah.

   Kalau benar pengemis itu mempermainkannya dia akan memberi hajaran keras.

   Setidak-tidaknya, kaki pemuda itu akan dipatahkannya seperti tongkatnya kemarin! Tapi Mei Hong tiba-tiba menajamkan telinganya.

   Ia mendengar suara berkeresek halus di balik sebatang pohon, suara seperti injakan kaki seseorang.

   Dan mengira itu lawannya langsung saja Mei Hong membentak.

   "Orang she Lai, keluarlah. Aku ingin menghajarmu agar kau jera...!"

   Tapi Lai Song tidak menjawab.

   Suara berkeresek itupun hilang, dan Mei Hong yang mendongkol oleh perbuatan lawannya ini kembali membentak nyaring menyuruh lawannya keluar.

   Tapi Lai Song yang tak menjawab kembali membuat keheningan di tepi hutan itu hanya dipenuhi suaranya.

   Maka Mei Hong yang menjadi marah ini tiba-tiba melompat.

   "Baiklah, kalau begitu aku akan menyeretmu keluar, orang she Lai. Jangan coba-coba berbuat curang!"

   Dan Mei Hong yang sudah berkelebat di balik pohon itu tiba-tiba menggerakkan kakinya menendang ke atas.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Brak!"

   Pohon besar itu berderak.

   Tendangan Mei Hong yang dilakukan dengan perasaan marah membuat gadis ini mengeluarkan gerakan dari jurus Siu Sien.

   Dan begitu kakinya mendupak tiba-tiba pohon itu roboh dan menerbitkan suara hiruk-pikuk! Tapi Mei Hong tertegun.

   Lai Song yang dikira bersembunyi di belakang pohon ini ternyata kosong, dan persis pohon itu roboh di depannya tiba-tiba sesosok bayangan dilihatnya terkatung-katung di atas sebuah dahan, di atas pohon lain! "Lai Song...!"

   Mei Hong berseru tertahan.

   Sekarang ia melihat pengemis muda ini ada di situ.

   Tapi bukannya dalam keadaan bernyawa melainkan sudah menjadi mayat dan digantung di atas sebuah dahan! Mei Hong melangkah mundur.

   Dilihat sepintas lalu, pengemis muda itu tampaknya seperti orang bunuh diri, menggantung leher di atas pohon.

   Tapi mata Mei Hong yang awas melihat tali yang naik ke atas, menyelinap di celah-celah daun dan dipegangi seseorang! Tentu saja Mei Hong tersentak, dan berseru marah ia membentak.

   "Siapa di situ?"

   Sebuah bayangan tertawa berderai. Mei Hong melihat seorang laki-laki melayang turun ke bawah, menotol ringan di atas tanah. Dan Mei Hong yang masih terbelalak ini mendengar pujian orang.

   "Wah, kau memiliki mata yang awas, nona. Aku sungguh kagum akan kejelian matamu ini...!"

   Dan seorang laki-laki muda yang mukanya ditutup topeng tahu- tahu berdiri di hadapan Mei Hong dengan mulut tertawa-tawa.

   Mei Hong mengangkat keningnya.

   Ia melihat laki- laki muda ini tegap, umurnya sekitar dua puluhan, dilihat dari bentuk tubuhnya yang kuat dan gagah.

   Tapi Mei Hong yang terkejut oleh kematian Lai Song tiba-tiba membentak.

   "Siapa kau? Kenapa membunuh seorang anggota Hwa-i Kai-pang?"

   Pemuda bertopeng itu menyeringai.

   "Aku pribadi tidak ada niat membunuh, nona. Tapi karena pikirannya busuk terpaksa pengemis ini kuhukum. Dia hendak menjebakmu. Lihat saja lubang di bawah pohon itu...!"

   Mei Hong memandang ke depan.

   Ia melihat sebuah lubang menganga di depannya, dan ketika ia melompat maju tiba-tiba mukanya berubah.

   Puluhan tombak runcing ada di dalam lubang itu, menancap di dalam lubang siap menerima tubuh orang yang kejeblos di dalam jebakan ini.

   Tapi Mei Hong yang memutar tubuh tetap saja membentak.

   "Kau siapakah, laki-laki pengecut? Kenapa mukamu kau tutupi?"

   "Ha-ha, aku perantau jalanan, nona. Orang menyebutku si Topeng Hitam!"

   "Hm, dan maksudmu kemari?"

   "Ingin berkenalan denganmu, nona. Mohon petunjuk jika kau dapat mengalahkan aku."

   "Keparat, kau menantangku, Topeng Hitam?"

   "Wah, tidak berani dibilang begitu, nona. Tapi melihat kepandaianmu kemarin aku jadi tertarik untuk coba-coba!"

   Mei Hong terbelalak. Ia terkejut mendengar orang menyebut-nyebut tentang kepandaiannya kemarin, tanda kalau laki-laki ini melihatnya bertempur melawan Lai Song. Maka membentak perlahan ia melangkah maju.

   


Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id Kisah Pendekar Sakti Putri Bulan Bintang Karya Lovely Dear Kembang Jelita Peruntuh Tahta (2) Karya Stevanus SP

Cari Blog Ini