Ceritasilat Novel Online

Sengketa Cupu Naga 13


Sengketa Cupu Naga Karya Batara Bagian 13



Sengketa Cupu Naga Karya dari Batara

   

   "Kau melihatku menghajar orang she Lai ini, Topeng Hitam? Kau maksudkan bahwa kau ada di sana kemarin itu?" **SF** BERSAMBUNG

   Jilid 19 Bantargebang, 02-06-2019, 18.03 SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 19 * * * PEMUDA ini tertawa.

   "Ya, kebetulan saja, nona. Dan aku mendengar pula bahwa namamu Mei Hong!"

   Mei Hong menjadi marah.

   "Kalau begitu cabut senjatamu, Topeng Hitam. Aku akan menangkapmu hidup-hidup untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu!"

   Topeng Hitam terbelalak.

   "Wah, kau malah menyalahkan aku, nona Hong? Bukankah jelek-jelek aku melindungimu dari kecurangan pengemis muda ini?"

   "Hm, jangan bermulut besar, laki-laki pengecut. Meskipun aku terjebak di lubang itu namun belum tentu orang mampu mencelakai aku. Sudahlah, cabut senjatamu itu atau kau menyerah baik- baik...!"

   Si Topeng Hitam menyeringai. Dia melangkah mundur, berseri memandang lawannya yang tampak cantik ini. Tapi menggoyang kepala dia berkata.

   "Aku tidak biasa memakai senjata, nona Hong. Kalau kau dapat menangkap aku bolehlah kau paksa diriku menghadap ketua Hwa-i Kai-pang!"

   Mei Hong mendengus. Ia terbelalak, tapi melihat orang tersenyum-senyum iapun tiba-tiba menjawab.

   "Baiklah. Kau sendiri yang memintanya, Topeng Hitam. Sekarang hati-hatilah menjaga dirimu...!"

   Dan Mei Hong yang sudah membentak nyaring tiba- tiba berkelebat ke depan menotok dada lawannya ini.

   Ia tidak mau banyak cakap lagi, tapi si Topeng Hitam yang sebenarnya bukan lain Hong Lam adanya tertawa gembira.

   Dia berkelit, mengegos ke kiri.

   Lalu begitu tangan Mei Hong lewat di sisi kanannya mendadak diapun berseru.

   "Nona Hong, jaga pula dirimu. Aku ingin merasa kelembutan tubuhmu...!"

   Dan Hong Lam yang tiba- tiba mengangkat tangan kanannya sekonyong- konyong mengusap dagu Mei Hong dengan sentuhan perlahan. Tentu saja Mei Hong menjengek, dan melihat lawannya bersikap kurang ajar iapun menampar tangan Hong Lam dengan pukulan keras.

   "Plak!"

   Hong Lam berteriak kaget.

   Dia merasa jari tangannya panas, dan Mei Hong yang sudah menggerakkan tangan kirinya tahu-tahu mencolok kedua matanya dengan gerakan kilat.

   Tentu saja Hong Lam terkejut, dan merendahkan tubuh tiba- tiba dia menggerakkan kaki kanannya menendang lutut Mei Hong.

   "Des!"

   Sekarang Mei Hong ganti terkejut.

   Lututnya disambar kaki lawan, dan tubuhnya yang terpelanting roboh terguling dua tombak di dekat pemuda itu! Mei Hong terbelalak, tapi melihat lawan tertawa tiba-tiba dia melompat bangun menyambar ranting sambil berseru.

   "Bagus, kau rupanya cukup cekatan, Topeng Hitam. Tapi jangan tertawa dulu dengan sombong...!"

   Dan Mei Hong yang tiba-tiba mengeluarkan ilmu silatnya Hui-liong-sin-tung-hoat sudah berkelebatan menyambar-nyambar diri lawannya.

   Ia tidak mau mengalah lagi, dan Hong Lam yang melihat tubuh gadis ini berkelebatan di sekitar dirinya tiba-tiba juga tertawa bergelak dan mengerahkan kepandaiannya.

   "Bagus, kaupun kiranya tak mengecewakan, nona Hong. Kalau aku dapat merobohkanmu akan kuminta Hwa-i Kai-pangcu menerima lamaranku...!"

   Dan Hong Lam yang tertawa-tawa sudah mengerahkan ginkangnya mengikuti kemana tubuh lawannya bergerak.

   Dia melihat ranting di tangan gadis itu menyelinap ke sana ke mari bagai naga yang terbang mengelilingi bumi, tapi Hong Lam yang mampu menandingi kecepatan lawannya ini tidak begitu cemas.

   Dia menggerakkan kedua lengannya menangkis ke sana-sini, dan karena mereka mulai sering beradu tenaga maka pukulan-pukulan nyaring mulai terdengar berkali-kali.

   Mei Hong sekarang terbelalak.

   Ia mendapat kenyataan bahwa pemuda ini bukan lawan yang enteng.

   Hal yang diam-diam membuatnya terkejut.

   Tapi Hui-liong-sin-tung-hoatnya yang terus dilancarkan bertubi-tubi menyambar lawannya.

   Ia memang belum mempergunakan dua jurus Siu Sien yang diterimanya dari warisan Cupu Naga.

   Karena dia mengira mampu menundukkan lawannya ini dengan ilmu silat pengemis yang mengandalkan tongkat itu.

   Tapi setelah berkali-kali ranting di tangannya tertolak keras dan Hong Lam mengejeknya dengan kata-kata ceriwis tiba-tiba saja Mei Hong menggigit bibir dan merasa penasaran.

   Hui-liong-sin-tung-hoatnya itu bukan ilmu rendahan.

   Bahkan dengan ilmu silat inilah suhunya mendapat nama di dunia kang-ouw, menjadi ketua Hwa-i Kai- pang dan disegani banyak orang.

   Kenapa pemuda itu melawannya sambil tertawa-tawa? Kurang hebatkah ia menyerang? Mei Hong mendongkol sekali.

   Ranting di tangannya yang dipakai pengganti tongkat kini menyambar- nyambar lebih ganas lagi, diiringi bentakan- bentakannya yang nyaring penuh kemarahan.

   Tapi Hong Lam yang tetap tertawa-tawa melayaninya dengan muka berseri-seri.

   Lawannya ini tampak seakan bercanda saja, bukan bertanding.

   Dan Mei Hong yang gemas ini menjadi naik darah.

   Maka, ketika ia melancarkan serangan dengan jurus Naga Terbang Mencari Mustika tiba-tiba saja Mei Hong melengking tinggi dan menggerakkan rantingnya tiga kali berturut-turut.

   Ia menyerang dada, leher, dan kening pemuda itu.

   Tiga serangan berantai yang susul-menyusul.

   Dan Hong Lam yang tertawa menerima tiga macam serangan ini mendadak menggerakkan tangannya.

   "Nona Hong, hati-hati. Awas senjatamu patah...!"

   Demikian pemuda itu malah berseru memperingatkan lawan.

   Dan begitu tiga sinar hitam menyambar berturut-turut dengan cepat sekali ke arahnya tahu-tahu tangan kiri pemuda ini telah menjepit ranting di tangan Mei Hong dan menekuknya ke bawah.

   Lalu, sementara lawannya terkejut tiba-tiba ranting di tangan Mei Hong patah, putus menjadi dua.

   "Trek!"

   Mei Hong terkejut bukan main. Ia saat itu sudah menyerang leher, maka begitu senjatanya tinggal sepotong tiba-tiba saja ia meneruskan serangan terakhir menuju kening sementara tangan kirinya menangkis lengan kanan Hong Lam yang menotok pundaknya.

   "Plak-dess!"

   Mei Hong berseru tertahan.

   Ia mendapat pukulan ringan di pundak, tidak begitu keras.

   Tapi Hong Lam yang menyelinapkan lengannya tahu-tahu sudah menowel pipi sambil tertawa-tawa sementara rantingnya yang bertemu kening pemuda itu hancur berantakan tak dapat dipakai lagi! "Ah...!"

   Mei Hong terbelalak pucat. Ia tertegun sejenak, kaget oleh gebrakan terakhir ini. Dan Hong Lam yang melihat lawannya itu terkejut tiba-tiba sudah menubruk ke depan sambil berseru.

   "Adik manis, kau ikutlah aku. Sekarang kau terbukti kalah...!"

   Dan Hong Lam yang mengembangkan lengannya memeluk Mei Hong dengan penuh kegembiraan.

   Tapi Mei Hong tiba-tiba memekik tinggi.

   Tubrukan lawan yang dilakukan penuh kegembiraan sekonyong-konyong disambut tendangan kaki kirinya, mencuat menghantam dagu pemuda itu.

   Dan Hong Lam yang sama sekali tidak mengira Mei Hong melakukan tendangan ini kaget setengah mati.

   "Hei...!"

   Dia berteriak. Tapi sepatu Mei Hong yang sudah mendarat di dagunya tak dapat dia elakkan lagi.

   "Dess!"

   Hong Lam terpekik kaget dan tubuhnya yang terlempar roboh tahu-tahu terpental bergulingan lima tombak lebih.

   Dan, belum sempat dia melompat bangun tiba-tiba Mei Hong sudah melengking nyaring dan menyerangnya bertubi-tubi, mempergunakan kedua kaki menendang gencar naik turun! "Des-des-des!"

   Hong Lam mengeluh tiga kali.

   Dia bagaikan bola yang ditendang tak kenal ampun, dan ketika keempat kalinya Mei Hong menendang pinggangnya barulah Hong Lam terlempar jauh dan melompat berdiri.

   Sekarang Hong Lam terbelalak pucat, dan memandang Mei Hong dia bertanya gemetar.

   "Nona, ilmu iblis apa yang kau pakai itu?"

   Tapi Mei Hong tidak menjawab.

   Ia melompat mendekati lawannya itu, dan sementara Hong Lam terbelalak tahu-tahu kembali kakinya bergerak menendang lutut dan dada orang.

   Tentu saja Hong Lam terkesiap, dan berteriak marah tiba-tiba dia menggerakkan tangannya menangkis.

   "Des-dess...!"

   Hong Lam kaget bagai disambar petir.

   Ia jelas melihat tangannya menangkis kaki kanan.

   Tapi tendangan Mei Hong yang terpental miring ini tahu- tahu tetap saja menghantam lutut dan dadanya! Tak ayal pemuda ini mengeluh, dan tubuhnya yang kembali terguling-guling membuat Hong Lam menjadi pucat dan berpeluh mukanya.

   Dia tidak tahu bahwa Mei Hong telah mengeluarkan gerakan- gerakan dari dua jurus Siu Sien, jurus-jurus dari warisan Cupu Naga.

   Dan Hong Lam yang menjadi bulan-bulanan tendangan ini tiba-tiba saja menjadi marah bukan kepalang.

   "Nona sombong, kau kira dapat merobohkan aku sesuka hatimu?"

   Hong Lam berteriak gusar oleh tubuhnya yang dijadikan bulan-bulanan orang.

   "Baiklah, awas akan pembalasanku...!"

   Dan Hong Lam yang tiba-tiba berseru keras mendadak menggetarkan kedua lengannya ke kiri kanan.

   Dia mengerahkan ilmunya yang disebut Bianglala Mengitari Matahari, dan begitu Mei Hong melancarkan tendangan bertubi-tubi dia berkelebatan menangkis sambil membalas.

   Tubuh Hong Lam mendadak lenyap tertelan gulungan lengannya yang berputar cepat bagai kitiran ini dan Mei Hong yang melakukan tendangan bertubi-tubi tiba-tiba tertahan sepasang lengan yang bergerak membendung semua serangannya.

   Untuk sejenak Hong Lam mampu melindungi dirinya dari kedua kaki Mei Hong yang bergerak cepat.

   Tapi ketika beberapa kali dia harus menggigit bibir menahan sakit tahu-tahu kembali tubuhnya sedang diserang kaki yang bergerak naik turun itu.

   Suara "bak-bik-buk"

   Kembali membuat Hong Lam mengeluh, dan ketika dia terhuyung ke belakang tiba-tiba kaki Mei Hong menyambar mukanya.

   "Hei...!"

   Hong Lam berteriak kaget. Mengelakkan kepala ke belakang agar tidak disambar kaki lawan. Tapi tendangan Mei Hong yang cepat bagai kilat tahu-tahu tak dapat dia elakkan lagi. Menyambar muka dan merobek topengnya.

   "Bret!"

   Hong Lam berseru tertahan.

   Dia terpekik kaget oleh sambaran kaki itu, dan menggulingkan tubuh dia berusaha menghindar lawan tidak dapat melihat mukanya.

   Lalu begitu dia melompat bangun Hong Lam sudah berkelebat di balik pohon melarikan diri! "Nona Hong, kau curang.

   Biarlah lain kali kita bertemu lagi...!"

   Mei Hong tertegun. Dia melihat sekilas wajah seorang pemuda yang tampan, tapi karena orang menyembunyikan muka ia tak dapat melihat jelas. Maka melihat orang melarikan diri Mei Hong tiba-tiba mengejar.

   "Topeng Hitam, kau menyerahlah. Nyawa anggota Hwa-i Kai-pang harus kau pertanggung jawabkan!"

   Namun Hong Lam sudah melarikan diri di dalam kegelapan hutan.

   Dia jelas tidak mau ditangkap gadis ini, hanya suara ketawanya yang lantang menunjukkan kemana larinya pemuda itu.

   Namun ketika Mei Hong menyusul ke tempat ini bayangan pemuda itu tak nampak lagi batang hidungnya.

   Mei Hong gemas.

   Ia mengepal tinju.

   Tapi samar-samar bayangan seorang pemuda tampan tercetak di pelupuk matanya.

   Ia kelak harus menangkap pemuda itu.

   Dicari tahu siapa dia dan bagaimana asal-usulnya.

   Maka Mei Hong yang kehilangan jejak lawannya ini terpaksa kembali ke tepi hutan memeriksa mayat Lai Song.

   Tapi Mei Hong tiba-tiba tertegun.

   Gurunya mendadak ada di situ, dan Hwa-i Sin-kai yang mengerutkan alisnya itu bertanya dengan suara dalam.

   "Apa yang terjadi, Hong-ji? Kenapa kau diam-diam tak memberitahukan persoalan ini?"

   Mei Hong terkejut.

   "Teecu kedatangan seseorang, suhu. Dia membunuh Lai Song dan melarikan diri!"

   "Hm, dan kau diam-diam saja tak memberitahukan tantangan Lai Song kepadamu, Hong-ji?"

   "Ah, dari mana kau tahu, suhu?"

   "Ci Kang yang memberitahuku. Kemarin dialah yang disuruh manusia tak tahu diri ini menyelundupkan surat. Kenapa kau diam-diam saja tak memberitahuku?"

   Mei Hong menarik napas.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Teecu menganggap ini bukan persoalan penting, suhu. Maaf kalau teecu sengaja tak memberitahumu."

   "Hm, dan kenapa dia mendadak mengajakmu berselisih?"

   Mei Hong semburat merah. Ia jengah memberitahukan hal itu, tapi karena suhunya menunggu jawaban terpaksa iapun berkata.

   "Lai Song hendak kurang ajar kepadaku, suhu. Kemarin dia menyatakan cinta secara kasar dan hendak memaksa teecu. Lalu terjadi pertempuran. Dia teecu robohkan. Dan merasa penasaran dia lalu menantangku malam ini di tepi hutan."

   "Hm..."

   Hwa-i Sin-kai menggelapkan mukanya.

   "Kalau begitu suruh orang mengambil mayat ini, Hong-ji. Dan kalau ada apa-apa kau harus terus terang padaku!"

   "Baik, teecu menurut, suhu. Tapi kenalkah suhu dengan orang bernama Topeng Hitam?"

   Hwa-i Sin-kai membelalakkan mata.

   "Dia yang membunuh manusia tak tahu diri ini?"

   "Ya, dan kepandaiannya teecu lihat cukup tinggi, suhu. Orangnya mengenakan kedok dan rupanya masih muda."

   "Hm..."

   Hwa-i Sin-kai kembali mengerutkan kening dan ketua Hwa-i Kai-pang yang semakin murung itu bertambah gelap mukanya.

   "Rupanya musuh sudah mulai bergerak, Hong-ji. Hati-hatilah. Aku tak tahu siapa mereka dan siapa pula orang yang menamakan dirinya Topeng Hitam itu. Mari pulang...!"

   Hwa-i Sin-kai membalikkan tubuh.

   Dan Mei Hong yang mengikuti di belakang suhunya itu lalu berkelebat ke luar hutan menuju markas Hwa-i Kai- pang.

   Mei Hong tidak bertanya apa-apa lagi pada guruny itu, dan Hwa-i Sin-kai sendiri yang melompat pergi juga tidak banyak bicara kepada muridnya.

   Sementara mayat Lai Song yang menggeletak di tepi hutan akhirnya diambil dua orang anggota Hwa-i Kai-pang untuk diurus sebagaimana mestinya.

   *S*F* Kini markas Hwa-i Kai-pang ramai.

   Empat hari semenjak peristiwa di hutan itu tak terjadi sesuatu apa di perkumpulan pengemis ini.

   Dan Hwa-i Sin-kai sendiri yang berjaga-jaga setiap saat ternyata tak dapat gangguan.

   Pengemis tua itu tetap murung.

   Mukanya tak gembira.

   Tapi pagi hari yang telah ditentukan untuk pemilihan pangcu ini ternyata sedikit banyak membuat muka pengemis tua itu gembira.

   Dia berseri memandang muridnya yang duduk di sebelah kiri, memandang ke bawah di mana semua anggota Hwa-i Kai-pang berkumpul.

   Dan melihat semua orang memandangnya ke atas Hwa-i Sin-kai lalu bangkit berdiri dengan tongkat diangkat tinggi-tinggi.

   "Saudara-saudara,"

   Demikian pengemis tua itu mulai bicara.

   "mengawali pembukaan hari ulang tahun perkumpulan kita sebagaimana biasa aku hendak mengumumkan sebuah berita. Seperti yang kalian ketahui, hari ini juga merupakan hari pemilihan pangcu baru bagi perkumpulan kita Hwa-i Kai-pang. Dan karena orang yang telah kutentukan sudah hadir di depan mata maka biarlah kalian lihat siapa dia. Dia bukan lain adalah muridku sendiri, Mei Hong, dan Mei Hong yang siap menggantikan aku menduduki kursi pimpinan. Siapa ada usul untuk menolak keputusanku ini?"

   Semua anggota memandang ke atas.

   Mereka langsung menatap Mei Hong yang duduk di kursi sebelah gurunya, cantik dan gagah dengan pakaiannya yang sederhana, meskipun tambal- tambalan.

   Tapi para anggota yang rata-rata menyetujui pilihan ketuanya ini tak ada yang berkomentar.

   Mereka cukup maklum kelihaian murid sang ketua, walaupun selama ini jarang ada yang menyaksikan sendiri kepandaian murid Hwa-i Sin-kai itu.

   Tapi tiga orang wakil pimpinan yang duduk di deretan paling depan tiba-tiba bangkit berdiri.

   "Pangcu, bolehkah kami bicara sebentar?"

   Hwa-i Sin-kai menoleh.

   Yang bicara itu adalah orang kepercayaannya, Ji-lokai yang bertahi lalat di hidung.

   Pengemis yang dulu pertama kali mengganti baju Mei Hong dengan baju kaum gelandangan.

   Dan melihat tangan kanannya ini sudah angkat bicara Hwa-i Sin-kai tersenyum.

   "Kau hendak bicara apa, Ji-lokai?"

   "Hamba hendak bicara tentang peraturan kai-pang kita, pangcu. Betapa seorang calon ketua harus mampu merobohkan orang-orang yang dipilih anggota sebanyak tiga kali berturut-turut!"

   "Ha-ha, kau hendak menantang muridku Ji-lokai?"

   "Bukan begitu, pangcu. Tapi sekedar memenuhi peraturan kai-pang kita yang telah berjalan puluhan tahun...!"

   Hwa-i Sin-kai tertawa.

   Dia tahu Ji-lokai mengelak sungkan penggunaan kata-kata tantangan itu.

   Karena bagaimanapun tidaklah enak menantang seorang murid ketua, apalagi yang resmi diangkat sebagai hu-pangcu (wakil).

   Maka Hwa-i Sin-kai yang berseri mukanya ini mengangguk.

   "Bagus, itu memang peraturan kai-pang kita, Ji- lokai. Tapi sudahkah kalian bermusyawarah siapa yang hendak menguji calon ketua?"

   Ji-lokai mengangguk. Dia memandang dua orang rekannya yang lain, dan menunjuk kepada mereka pengemis bertahi lalat ini berkata.

   "Hal itu sudah kami musyawarahkan, pangcu. Tapi kalau kami dianggap lancang mohon untuk persoalan ini kami dimaafkan!"

   "Hm, bagaimana musyawarah kalian, Ji-lokai? Apakah semua anggota sudah ada yang tahu?"

   Ji-lokai menekan tongkatnya.

   "Kami mempunyai tiga usul, pangcu. Dan semua anggota sudah tahu tentang apa yang kami inginkan. Bolehkah sekarang hamba mewakili mereka?"

   "Bicaralah, Ji-lokai. Aku ingin mendengar apa yang kalian kehendaki!"

   "Terima kasih, pangcu."

   Ji-lokai menelan ludah.

   "Pertama kami ingin mengajak calon ketua bertanding seorang lawan seorang denganku. Kedua bertempur seorang lawan tiga. Dan yang terakhir kembali bertempur seorang lawan seorang...!"

   "Hm, bagaimana maksudmu, Ji-lokai? Saran yang kau ajukan dalam pertandingan nomor dua dan terakhir itu?"

   Ji-lokai sedikit seret.

   "Untuk yang nomor dua kami bertiga akan maju berbareng, pangcu. Sedangkan yang untuk nomor tiga...."

   Pengemis ini berhenti sejenak, memandang ragu-ragu seakan takut bicara. Maka Hwa-i Sin-kai yang melihat keraguan orang langsung saja menegur.

   "Kau bicaralah, lokai. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan di sini!"

   Maka Ji-lokai yang lenyap keraguannya itu tiba-tiba menjawab.

   "Yang terakhir itu permintaan semua anggota, pangcu. Yakni agar calon ketua baru dapat mengalahkan ketua lama!"

   Hwa-i Sin-kai terkejut.

   "Ah, peraturan apa itu Ji- lokai? Bukankah ini tidak tercantum dalam undang- undang kita?"

   Sam-lokai tiba-tiba memberi hormat.

   "Maaf, pangcu. Ini rumusan kami bertiga. Bukankah dunia sekarang bertambah kacau? Mana mungkin memilih seorang calon ketua yang kepandaiannya tidak lebih dari pangcu sendiri?"

   Semua orang tiba-tiba mendukung.

   "Benar, pangcu. Apa yang dilukiskan Sam-lokai memang tidak salah. Bukankah seharusnya ketua baru memiliki kepandaian lebih tinggi dari ketua lama? Kalau tidak begitu apa gunanya memilih ketua kalau calon masih belum matang?"

   Hwa-i Sin-kai tertegun.

   Dia mendengar banyak suara seperti itu, yang rata-rata menghendaki calon ketua harus lebih liha dari bekas ketua.

   Dan bingung oleh keinginan anggotanya ini tiba-tiba saja Hwa-i Sin-kai menjadi marah.

   Itu berarti Mei Hong tidak bisa menggantikan dirinya! Maka ketua Hwa-i Kai- pang yang membentak lantang itu mengetukkan tongkatnya.

   "Saudara-saudara, apa yang kalian ajukan sungguh tidak masuk akal. Mana mungkin muridku harus mengalahkan aku?"

   Su-lokai tiba-tiba angkat bicara.

   "Kalau begitu Hwa-i Kai-pang biar tetap saja kau pimpin, pangcu. Atau kalau tidak kau dapat menyerahkannya pada kami bertiga!"

   Hwa-i Sin-kai terbelalak.

   Dia memandang Su-lokai ini, orang ketiga atau yang termuda dari tiga bersaudara Sam-lokai, orang yang juga menjadi tangan kanannya.

   Maka mendengar orang itu tiba- tiba bicara sedemikian rupa kontan saja muka ketua Hwa-i Kai-pang ini merah.

   "Su-lokai, Ji-lokai, sudahkah kalian pikir baik-baik apa yang kalian katakan ini? Mungkinkah para anggota menyetujui maksud kalian?"

   Tiga orang itu mendadak menjatuhkan diri berlutut "Kami telah yakin pada rencana kami, pangcu. Bila ketua baru tak dapat memenuhi tiga syarat itu sebaiknya pangcu tetap memimpin kami atau kami bertiga saja yang ditunjuk untuk menjadi ketua!"

   Hwa-i Sin-kai terkeju.

   "Tapi lima tahun yang lalu aku telah menetapkan ketua baru, Sam-lokai. Kenapa sekarang mendadak bicara seperti ini? Bukankah itu melanggar perintah?"

   "Kami menyadarinya, pangcu. Tapi demi keselamatan partai kami meminta ketua baru harus dapat mengalahkan kami atau pangcu!"

   "Hm..."

   Hwa-i Sin-kai mengerutkan alisnya.

   Dia menjadi marah, karena permintaan tiga orang tangan kanannya itu berarti menghalangi keputusannya.

   Lalu apa yang menjadi sebab tiga orang ini tiba-tiba berpikiran seperti itu? Benarkah demi keselamatan partai? Hwa-i Sin-kai mengangkat kedua tangannya.

   "Sam- lokai, berdirilah. Aku dapat menerima dua usul kalian yang pertama, tapi tidak untuk yang terakhir!"

   Dia berkata keren.

   "Dan kalau kalian tidak puas boleh ajukan lain usul untuk mengganti yang nomor tiga...!"

   Tiga orang pengemis itu bangkit berdiri.

   "Kalau begitu bagaimana jika kami ajukan orang luar, pangcu?"

   Yang bicara ini adalah Ji-lokai, pengemis bertahi lalat yang tinggi besar itu. Dan Hwa-i Sin-kai yang terbelalak memandang pembantunya ini mengetruk tongkat.

   "Apa yang kau maksud, Ji-lokai? Kenapa orang luar harus kau ikut-ikutkan di sini?"

   Pengemis itu tersenyum aneh.

   "Begini, pangcu. Dalam peraturan kai-pang kita ada tertulis bahwa untuk menyelesaikan kemelut yang tak teratasi ketua partai maka boleh sahabat membantu menyelesaikan persoalan ini. Dan karena pangcu tak dapat mengatasi usul kami yang nomor tiga lalu bagaimana jika ada seorang sahabat yang mengganti pangcu untuk menguji calon ketua? Bukankah ini diijinkan undang-undang kai-pang kita, pangcu?"

   Hwa-i Sin-kai tertegun.

   Dia harus mengakui kenyataan itu.

   Karena memang ada sebuah undang- undang darurat dalam perkumpulan pengemis untuk menyelesaikan sebuah masalah yang tak teratasi ketua partai.

   Bantuan seorang sahabat yang boleh dipercaya.

   Orang luar yang tentu saja dapat menyelesaikan kericuhan di tubuh perkumpulan mereka dengan iktikad baik.

   Tapi apa yang dimaksud Ji-lokai ini? Hwa-i Sin-kai menaruh curiga.

   "Ji-lokai, siapa yang hendak kau ajukan sebagai orang luar itu? dapatkah dia dipertanggungjawabkan?"

   Ji-lokai tertawa.

   "Tentu saja, pangcu. Dan orang yang hamba maksud itu sebenarnya sudah ada di sini!"

   Hwa-i Sin-kai terbelalak. Dia tiba-tiba saja melihat sikap pembantunya ini demikian berani, bicara tanpa menaruh hormat lagi. Dan belum dia menegur pembantunya itu Sam-lokai pun sudah angkat bicara.

   "Benar, apa yang dikatakan Ji-suheng tidak salah, pangcu. Kalau pangcu keberatan mengalahkan calon ketua ada seorang sahabat yang dapat dipakai untuk mewakili pangcu...!"

   "Ya, dan kau tidak perlu ragu-ragu lagi pangcu. Sahabat yang mewakili dirimu ini boleh dijadikan ukuran pantas tidaknya ketua baru memegang tampuk pimpinan!"

   Su-lokai tiba-tiba juga menyambung, membuat Hwa-i Sin-kai semakin terkejut dan sekonyong-konyong naik darah.

   "Sam-lokai, Ji-lokai, kenapa kalian tiba-tiba saja menjadi begini? Tidak adakah sopan santun kalian?"

   Ji-lokai tertawa mengejek.

   "Pangcu, dalam saat seperti sekarang ini sebenarnya kedudukan ketua sedang kosong. Bukankah pangcu juga mengetahui hal ini?"

   Dan belum ketua Hwa-i Kai-pang itu menjawab pertanyaannya pengemis itupun melanjutkan.

   "Dan tata tertib perkumpulan ditentukan suara terbanyak, pangcu. Kau tentu menyadari kenyataan ini jauh hari sebelumnya!"

   Hwa-i Sin-kai membentak marah.

   "Ji-lokai, kau rupanya mempunyai maksud tidak baik. Apa yang kau kehendaki dari perkumpulan kai-pang kita?"

   "Ha-ha, tidak banyak, pangcu. Pertama mengijinkan orang luar itu masuk sebagai pengganti dirimu atau menyerahkan saja kedudukan ketua kepada kami bertiga!"

   "Keparat, kau hendak memberontak, Ji-lokai?"

   Pengemis itu tiba-tiba membusungkan dadanya.

   "Pangcu, jangan bicara sewenang-wenang terhadap kami bertiga. Kami hanya mengajukan usul-usul yang sekiranya dapat kau terima. Itu hak kami sebagai anggota Hwa-i Kai-pang yang menginginkan partai kita dipimpin seorang yang kuat!"

   "Hm, dan dengan begitu kau lalu hendak merebut kekuasaan, Ji-lokai?"

   "Tidak kalau kau tetap menduduki jabatan ketua, pangcu. Tapi karena kau telah mengundurkan diri dan mengajukan calon ketua baru terpaksa kami bertiga juga mengajukan usul!"

   Mei Hong tiba-tiba bangkit berdiri.

   "Suhu, rupanya tiga orang pengemis ini ada dendam kepada teecu. Kalau begitu bagaimana jika kita luluskan saja permintaan mereka?"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hwa-i Sin-kai terbelalak.

   "Tapi usul mereka kurang sehat, Hong-ji. Aku sendiri juga tidak mengerti mengapa mereka ini tiba-tiba saja berubah seperti itu!"

   Ji-lokai tertawa mengejek.

   "Tidak perlu mencari kambing hitam, pangcu. Kalau muridmu berani menghadapi lawan yang kami ajukan kami akan tunduk kepada ketua baru."

   Mei Hong melompat maju.

   "Baiklah, kuterima usulmu, Ji-lokai. Tapi jika jagomu kalah kalian bertiga harus menjelaskan sikap kalian yang luar biasa ini...!"

   Tapi Hwa-i Sin-kai yang gelap mukanya membentak marah.

   "Tidak, kau tidak boleh menerima usul mereka ini, Hong-ji. Kalau kita belum tahu siapa yang diajukan tidak boleh kita menuruti kemauan mereka itu!"

   Dan menoleh ke arah Ji-lokai ketua Hwa-i Kai-pang ini berseru.

   "Ji-lokai, kenapa sikapmu hari ini begini ganjil? Apa yang mendorong kalian bersikap kurang ajar?"

   Ji-lokai menyeringai.

   "Pangcu, kukira tidak perlu kita berdebat panjang lebar. Cukup singkat saja, beranikah ketua baru merobohkan ketua lama atau menghadapi orang lain pengganti dirimu?"

   Hwa-i Sin-kai hampir melompat turun menghantam kepala pembantunya itu. Namun Mei Hong yang kembali mencegah gurunya berseru.

   "Suhu, biarlah. Teecu sanggup melayani permintaan mereka."

   Ketua Hwa-i Kai-pang itu terpaksa menahan kemarahannya.

   Dia mendelik ke arah tiga orang pembantunya ini, dan suasana yang tiba-tiba gaduh membuat pertemuan itu ribut.

   Para anggota ada juga yang terkejut menyaksikan sikap tiga orang pembantu ini, tapi karena mereka tak mengerti apa sebenarnya yang dimaksudkan Ji-lokai dan dua orang rekannya itu merekapun jadi melenggong saja.

   Tapi Hwa-i Sin-kai, yang tiba-tiba melihat sesuatu yang ganjil di kepala pembantunya sekonyong-konyong melayang turun mendekati Ji- lokai.

   Orang tidak tahu apa yang dikehendaki ketua pengemis ini.

   Tapi Ji-lokai yang mendadak disambar rambutnya terkejut.

   "Hei, apa yang kau perbuat, pangcu?"

   Tapi Hwa-i Sin-kai sudah cepat bergerak. Dia tahu- tahu menjambak rambut pembantunya nomor dua ini, dan sementara Ji-lokai merendahkan tubuh tiba- tiba saja rambut kepalanya disambar dan direnggut "Brett!"

   Ji-lokai mengeluarkan teriakan kaget.

   Semua orang juga terkejut, dan begitu rambut kepala Ji-lokai ini dijambak tiba-tiba saja rambut di kepala pengemis itu copot dan tanggal! Yang tampak sekarang ini adalah seorang laki-laki gundul dan Ji-lokai yang ternyata Ji-lokai palsu itu disambut teriakan gempar di kalangan anggota Hwa-i Kai-pang.

   "He, siapa dia?"

   "Ah, siapa orang itu?"

   Dan Hwa-i Sin-kai sendiri juga tertegun. Ketua Hwa-i Kai-pang ini sungguh tidak menyangka, sementara laki-laki gundul yang menyamar sebagai Ji-lokai itu tertawa bergelak menjauhkan diri.

   "Hwa-i Sin-kai, kau sungguh lihai. Sungguh tidak kukira penyamaranku demikian cepat terbongkar!"

   Hwa-i Sin-kai melompat maju. Dia memberi aba-aba kepada semua anggotanya, dan para pengemis baju kembang yang tiba-tiba bangkit berdiri tahu-tahu sudah mengurung si gundul ini dengan mata marah.

   "Maling busuk, kau siapakah dan apa maksudmu menyelundup kemari?"

   Hwa-i Sin-kai membentak. Si gundul itu tertawa. Dia menyeringai memandang kesana kemari, sama sekali tidak gentar menghadapi demikian banyak orang. Tapi tatapan Hwa-i Sin-kai yang tajam menusuk membuat laki- laki itu menahan sikap main-mainnya.

   "Aku utusan Hong Beng Lama, pangcu. Apakah boleh sekarang aku bicara terang-terangan?"

   Hwa-i Sin-kai terkejut. Dia otomatis memandang Sam-lokai, dua orang pembantunya yang tadi menjadi teman si gundul ini. Dan membentak mereka Hwa-i Sin-kai bertanya bengis.

   "Sam-lokai, Su-lokai, dimana suheng kalian dan kenapa orang ini kau sembunyikan di balik tubuh Hwa-i Kai-pang?"

   Sam-lokai dan Su-lokai melangkah mundur. Mereka tampaknya terkejut, gentar tapi juga bimbang. Dan Sam-lokai yang mewakili adiknya menjawab.

   "Pangcu, kami tidak sengaja menyelundupkan utusan Hong Beng Lama ini. Dia datang mengancam kita dan membawa pergi Ji-suheng!"

   Hwa-i Sin-kai menoleh kembali ke laki-laki gundul itu.

   "Benarkah demikian, manusia curang? Kenapa kau menculik pembantuku dan menyebut-nyebut nama Hong Beng Lama? Dapatkah kau buktikan dirimu betul utusan Lama itu?"

   Si gundul itu tertawa.

   "Kau tidak percaya, pangcu? Bagaimana kalau kutunjukkan bukti kepadamu?"

   Hwa-i Sin-kai tidak sabar. Dia memukulkan tongkatnya, dan laki-laki gundul yang menyeringai itu tiba-tiba memandang ke belakang.

   "Hong- siauwhiap, tolong kau buktikan dirimu agar ketua Hwa-i Kai-pang ini percaya kepadaku!"

   Seorang pemuda tiba-tiba muncul seperti iblis.

   Orang tidak tahu kapan dia muncul, tapi suara ketawanya yang halus nyaring tiba-tiba membuat semua orang menoleh ke belakang mengikuti pandangan si gundul ini.

   Mereka melihat seorang pemuda masuk dengan tenang, melangkah maju dengan mulut tersenyum-senyum.

   Dan Mei Hong yang melihat munculnya pemuda ini tiba-tiba saja berseru tertahan.

   "Topeng Hitam...!"

   Pemuda itu tertawa ramah. Dia memang Hong Lam adanya, pemuda yang mengganggu Mei Hong di tepi hutan. Maka melihat gadis itu sudah mengenalnya langsung saja Hong Lam menjura di depan gadis ini.

   "Kau sudah mengenalku, nona Hong? Maaf, kedatanganku rupanya mengejutkan semua orang!"

   Hong Lam sekarang sudah maju ke tengah. Memberi hormat di depan ketua Hwa-i Kai-pang diapun berkata.

   "Pangcu, maaf kedatanganku demikian tiba-tiba. Aku adalah Hong Lam, murid dan juga putera Hong Beng Lama...!"

   Hwa-i Sin-kai tertegun.

   Dia melihat pemuda ini memiliki sinar mata yang tajam bersinar, tanda seorang ahli lweekeh yang tidak boleh dibuat main- main.

   Dan mendengar pemuda itu mengaku murid sekaligus putera Hong Beng Lama dia terkejut di dalam hati.

   Tapi ketua Hwa-i Kai-pang ini sudah membalas hormat orang, dan menjawab datar dia menegur.

   "Hong-siauwhiap, bisakah kau buktikan dirimu betul-betul utusan Hong Beng Lama?"

   Hong Lam tertawa.

   "Jangan kau sangsi, pangcu. Aku membawa langsung surat ayah untukmu pribadi!"

   Pemuda ini merogoh sakunya dan mengeluarkan segulungan kertas dia langsung menyodorkan surat itu kepada Hwa-i Sin-kai.

   "Ayah menyampaikan selamat ulang tahun, pangcu. Dan mengharap apa yang sudah dimiliki Hwa-i Kai-pang dapat lebih ditingkatkan lagi pada tahun-tahun mendatang...!"

   Hwa-i Sin-kai menerima gulungan surat itu. Dia belum mempersilahkan tamunya duduk, dan mengerutkan alis dia membuka surat ini dan membacanya. Dan begitu habis membaca sekonyong-konyong muka pengemis ini merah.

   "Hm, ayahmu benar-benar baik hati, kongcu. Tapi tolong beritahukan bahwa permintaannya tak dapat kukabulkan!"

   Hwa-i Sin-kai berkata dingin, memandang tak senang wajah si pemuda tampan. Tapi Hong Lam yang dipandang dingin tenang- tenang saja.

   "Aku tak mendapat kehormatan untuk duduk menyaksikan pemilihan ketua baru, pangcu?"

   Hwa-i Sin-kai terbelalak.

   "Tapi bagaimana dengan perbuatanmu membunuh seorang anggota Hwa-i Kai-pang, kongcu? Perlukah kuijinkan seorang musuh duduk di tempat kami?"

   Hong Lam tersenyum.

   "Itu urusan nanti, pangcu. Yang jelas aku saat ini adalah seorang utusan, bukan? Haruskah seorang utusan diperlakukan tidak hormat?"

   Hwa-i Sin-kai mendengus.

   "Kalau begitu silakan duduk, kongcu. Tapi maaf kami tak ada kursi yang pantas diberikan padamu. Hwa-i Kai-pang adalah perkumpulan jembel miskin, kalau kongcu sudi silahkan duduk saja di atas tanah...!"

   Hong Lam tertawa.

   "Ah, itu sudah tempat duduk yang baik, pangcu. Terima kasih untuk kesediaanmu menyambut kami!"

   Hong Lam tiba-tiba melambai ke arah si gundul.

   "Bik-twako, kemarilah. Kita mendapat kehormatan dari ketua Hwa-i Kai-pang sendiri."

   Si gundul tertawa menyeringai. Dia melompat mendekati pemuda ini, tapi Hwa-i Sin-kai yang merah mukanya membentak.

   "Manusia gundul, kami tak ada tempat untukmu. Kau berdirilah disitu untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu!"

   Si gundul terkejut. Dia terpaksa berhenti, dan Hong Lam yang memutar tubuh memandang ketua Hwa-i Kai-pang ini.

   "Tapi Bik Kong juga utusan ayah, pangcu. Kenapa harus kau pisahkan dari aku?"

   "Hm, itu harus kutanyakan dulu, kongcu. Yang jelas aku ingin tahu kenapa pembantuku nomor dua dia culik!"

   Lalu membentak si gundul ini Hwa-i Sin-kai mengetrukkan tongkatnya.

   "Manusia hina, kenapa kau harus menyamar sebagai Ji-lokai? Siapa yang menyuruhmu?"

   Laki-laki gundul ini terbelalak. Dia memandang Hong Lam, lalu kembali ke arah ketua Hwa-i Kai-pang ini. Dan menyeringai kecut dia menggoyang lengannya.

   "Itu urusan Hong-siauwhiap, pangcu. Sekarang dia ada di sini dan dapat kau tanyakan sendiri!"

   "Hm, betul itu, kongcu?"

   Hwa-i Sin-kai menoleh ke kanan. Hong Lam tertawa.

   "Memang betul, pangcu. Tapi jangan kau khawatir, kami tidak memperlakukan buruk saudara Ji-lokai!"

   "Dan ini tanggung jawab ayahmu?"

   "Ah, tidak pangcu. Ini melulu perbuatanku sendiri. Ayah tidak tahu apa yang kulakukan. Jika ini hendak kau mintakan tanggung jawabnya maka akulah yang akan maju!"

   "Bagus, kalau begitu boleh kutanya apa arti perbuatanmu itu, kongcu? Apakah sengaja kau hendak mengacau Hwa-i Kai-pang?"

   Hong Lam tersenyum lebar.

   "Hwa-i Kai-pangcu, kau tampaknya curiga benar. Selalukah kau memandang buruk seseorang yang justru ingin bersahabat dengan Hwa-i Kai-pang? Tidakkah kecurigaanmu itu berlebih-lebihan?"

   "Tapi kau telah membunuh seorang anggotaku, Hong-siauwhiap. Benarkah tindakanmu ini kau katakan ingin bersahabat?"

   Hong Lam tetap tertawa. Dia melihat Hwa-i Sin-kai melotot kepadanya, tanda gusar oleh kematian si pengemis Lai Song. Tapi bersikap tenang dia menjawab kalem.

   "Kai-pangcu, kematian seorang anggotamu sesungguhnya tidak perlu disesalkan. Bahkan kau sepatutnya berterima kasih padaku. Bukankah muridmu telah menceritakan sebab musabab kematian anggotamu itu? Kenapa harus menarik urat masalah ini?"

   Hwa-i Sin-kai menggedruk tongkat.

   "Tapi kau berlancang tangan, kongcu. Tanpa alasan yang kuat kau menghilangkan nyawa Lai Song!"

   "Ah, jadi kau lebih memberatkan nyawa tikus busuk itu daripada nyawa muridmu sendiri, pangcu? Kau hendak mengatakan bahwa nyawa pengemis itu lebih berharga daripada nona Hong?"

   Hwa-i Sin-kai terbelalak.

   "Apa maksudmu, Hong- siauwhiap?"

   "Begini, pangcu. Nona Hong tentunya telah bercerita padamu bahwa pengemis busuk itu memasang jebakan maut untuk muridmu itu. Sekali terperangkap tentu nyawa taruhannya. Nah, aku yang datang menolong kenapa sekarang malah kau salahkan? Bukankah perbuatan anggotamu itu lebih jahat, pangcu? Mengapa kau penasaran masalah ini?"

   Mei Hong tiba-tiba melompat maju.

   "Tapi belum tentu aku celaka di jebakan itu, orang she Hong. Kau terlalu lancang menyepelekan diriku!"

   "Ah, kau menganggap jebakan itu tidak berbahaya, nona Hong? Dan kau berani berkata bahwa dengan ilmu yang kau dapat dari Hwa-i Kai-pangcu kau dapat menyelamatkan dirimu?"

   Mei Hong tertegun. Disebutnya ilmu dari suhunya memang membuat ia jadi terkejut. Karena mungkin itu benar. Tapi penasaran oleh tangkisan pemuda ini membuat Mei Hong jadi marah.

   "Hm, kau rupanya menyepelekan aku, Topeng Hitam. Kalau begitu bagaimana jika kita coba-coba?"

   Hong Lam tertawa.

   "Asal murni ajaran Hwa-i Sin-kai aku berani, nona Hong. Tapi bagaimana jika kau mencampur tendanganmu yang seperti iblis itu?"

   Mei Hong tersentak.

   Ia paling merahasiakan ilmu yang didapatnya dari tutup Cupu Naga itu.

   Maka mendengar Hu Lan menyebut-nyebut ilmu ini tiba- tiba saja ia terbelalak.

   Dan Hwa-i Sin-kai, yang mengerutkan kening mendengar pemuda itu menyebut-nyebut tendangan Mei Hong tiba-tiba membentak.

   "Hong-kongcu, apa yang kau bicarakan ini? Kau menantang muridku?"

   Hong Lam buru-buru memberi hormat.

   "Bukan aku yang mengajak, pangcu. Melainkan muridmu sendiri. Bukankah sudah kau dengar kata-katanya tadi?"

   "Hm, tapi sikapmu tampak tidak bersahabat, kongcu. Memandang muka ayahmu biarlah urusan Lai Song kuhapus. Sekarang maaf, pergilah dari sini dan jangan mencari keributan dengan kami!"

   "Wah, kau mengusirku, pangcu?"

   "Demi kebaikan dirimu sendiri!"

   "Wah..."

   Hong Lam tertawa.

   "Kalau begitu mari pergi, Bik-twako. Hwa-i Kai-pangcu tidak bisa menerima kita baik-baik...!"

   Dan Hong Lam yang mengajak temannya itu memutar tubuh tiba-tiba siap meninggalkan Hwa-i Sin-kai yang gelap mukanya.

   Tapi ketua Hwa-i Kai-pang ini tiba-tiba melayang ke depan.

   Tongkatnya dipalangkan, dan membentak ke arah si gundul dia berkata pada pemuda ini.

   "Hong-kongcu, maaf tinggalkan temanmu ini. Dia baru kubebaskan bila Ji-lokai telah kau kembalikan baik-baik kepadaku!"

   Hong Lam terkejut.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau menyandera Bik-twako, pangcu?"

   "Tidak kalau pembantuku juga kau kembalikan!"

   "Ooh...!"

   Hong Lam tertegun. Tapi tertawa dengan tiba-tiba dia menepuk pundak si gundul itu.

   "Bik- twako, rupanya kita orang sial. Baiklah, kau tunggu sebentar di sini dan aku segera kembali...!"

   Hong Lam yang memutar tubuh itu tiba-tiba menjejakkan kakinya.

   Dia melompat di atas kepala banyak orang, dan Hwa-i Sin-kai yang tetap siaga dengan tongkat di tangan menjaga si gundul ini agar tidak melarikan diri.

   Tapi si gundul itu hanya meringis.

   Melihat Hong Lam pergi ia pun acuh tak acuh saja, seolah-olah tak ingin melarikan diri dari tempat itu.

   Tapi begitu temannya lenyap dan Hwa-i Sin-kai menarik napas lega sekonyong-konyong laki- laki gundul ini menghantam dada Hwa-i Sin-kai.

   "Hwa-i Kai-pangcu, robohlah kau...!"

   Hwa-i Sin-kai terkejut. Dia melihat laki-laki itu sudah menggerakkan lengan, menghantam dadanya, dan kaget serta marah oleh perbuatan lawan mendadak ketua Hwa-i Kai-pang ini mengelak dan memukulkan tongkatnya.

   "Plak-bress!"

   Hwa-i Sin-kai mengeluh.

   Dia terjengkang roboh, dan si gundul yang menangkis tongkat dengan tangan kirinya itu tiba-tiba tertawa dan terhuyung dua langkah.

   Dia sendiri harus menyeringai oleh pukulan tongkat, tapi matanya yang terbelalak lebar seakan tidak merasa .....

   bukan tongkat.

   Dan berseru keras tiba-tiba si gundul yang bernama Bik Kong ini sudah melompat dan melarikan diri! Sekarang gegerlah semua orang.

   Para pengemis melihat laki-laki gundul itu meluncur ke sebelah kiri, dan menggerak-gerakkan lengan sekonyong- konyong barisan pengemis di sebelah kiri porak- poranda dihantam angin pukulan si gundul.

   Mereka terpelanting jatuh, dan si gundul yang sebentar saja sudah keluar dari kepungan itu tertawa bergelak dengan muka berseri-seri.

   "Hwa-i Kai-pangcu, kau carilah kami di istana Gong- taijin. Aku menantimu dengan segala senang hati...!"

   Tapi Mei Hong sudah berkelebat maju.

   "Manusia hina, jangan berkaok-kaok seakan di rumah sendiri. Kau robohlah dan ikuti perintah kami... bluk!"

   Si gundul terkejut.

   Dia tahu-tahu mendapat tendangan Mei Hong di atas pinggangnya, dan berseru kaget dia cepat menggulingkan tubuh.

   Tapi baru dia melompat bangun tiba-tiba Hwa-i Sin-kai telah berdiri di depannya! "Kau hendak berbuat curang, setan gundul?"

   Si gundul itu tercekat. Dia langsung menghantamkan lengan kirinya ke lambung Hwa-i Sin-kai. Tapi Hwa-i Sin-kai yang telah siap sedia langsung menerima pukulan ini dengan tangan kanannya.

   "Plak!"

   Si gundul berseru tertahan.

   Dia terjengkang roboh, dan Hwa-i Sin-kai yang menggerakkan tongkat tiba- tiba sudah menyerang si gundul ini dengan penuh kemarahan.

   Dia tidak memberi kesempatan lagi, dan si gundul yang jatuh bangun oleh gebukan tongkat Hwa-i Sin-kai berteriak-teriak bagai kerbau dicambuk tuannya.

   Dia harus bergulingan menjauhkan diri, dan ketika Hwa-i Sin-kai tertolak tangkisannya tiba-tiba si gundul ini melompat bangun.

   "Hwa-i Sin-kai, tidak malu kau menyerang seorang utusan?"

   Ketua Hwa-i Kai-pang itu mendengus.

   "Kau bukan utusan, manusia hina. Kau hanya pengantar Hong- kongcu yang menyerahkan dirimu padaku!"

   "Tapi aku mendapat jaminan, Hwa-i Sin-kai. Kau tidak boleh memperlakukan aku seperti ini!"

   Hwa-i Sin-kai tidak menjawab.

   Dia terus mencecar lawannya itu, dan ketika si gundul kembali menerima hantaman tongkatnya tiba-tiba laki-laki itu mengeluh dan terlempar ke belakang.

   Dia tidak terluka, dan Hwa-i Sin-kai yang diam-diam terkejut melihat kekebalan tubuh lawannya ini menjadi semakin geram.

   Dia melompat lagi, menghantam kepala lawan agar roboh tak mampu bangun.

   Tapi si gundul yang tiba-tiba mencabut toya pendek sekonyong-konyong menangkis.

   "Trang!"

   Tongkat Hwa-i Sin-kai bertemu senjata di tangan si gundul itu dan Hwa-i Sin-kai yang tergetar lengannya terbelalak. Dia tertegun sejenak, dan si gundul yang kini balas menyerang itu membentak marah.

   "Hwa-i Sin-kai, kau tak tahu menghormat orang. Awas jika perbuatanmu ini kulaporkan pada Hong Beng Lama!"

   Hwa-i Sin-kai menjengek. Dia juga tidak menjawab ancaman lawannya ini, dan ketika tongkat kembali bertemu toya ketua Hwa-i Kai-pang ini sudah menggerakkan jarinya menotok pundak orang.

   "Plak!"

   Si gundul menyeringai kesakitan. Dia terhuyung ke belakang, dan ketika Hwa-i Sin-kai hendak menyusuli serangannya untuk merobohkan lawan yang kuat itu mendadak Hong Lam muncul.

   "Hwa-i Kai-pangcu, tahan. Aku membawa Ji-lokai memenuhi janjiku...!"

   Hwa-i Sin-kai terpaksa merandek.

   Dia menahan tongkatnya, dan Hong Lam yang melayang turun tahu-tahu sudah berada di depannya membawa Ji- lokai.

   Pengemis ini dia pondong di atas pundak, dan Hwa-i Sin-kai yang tertegun melihat pembantunya itu melihat Ji-lokai dibebaskan totokannya oleh putera Hong Beng Lama ini.

   Ji-lokai langsung memaki, dan pengemis Hwa-i Kai-pang yang memutar tubuh itu menghantam lawan dengan penuh kemarahan.

   "Manusia busuk, kau benar-benar iblis jahanam....!"

   Tapi Hwa-i Sin-kai menggerakkan tongkat. Dia menangkis serangan Ji-lokai ini, dan membentak keren dia berseru.

   "Ji-lokai, tahan. Dia utusan Hong Beng Lama...!"

   Namun pukulan pengemis ini sudah terlanjur tiba. Dia tidak dapat menahan kemarahannya, dan pundak Hong Lam yang dipukul sekuat tenaga tiba-tiba mengeluarkan suara keras.

   "Dess...!"

   Hong Lam tertawa mengejek. Dia tenang-tenang saja menerima pukulan itu, tidak mengelak, dan Ji- lokai yang menghantam pundaknya tiba-tiba terhuyung ke belakang. Tangannya membengkak, dan pengemis Hwa-i Kai-pang yang melotot ini mendelik.

   "Kau benar-benar jahanam, orang muda. Kau tak tahu malu dan curang!"

   Ji-lokai melampiaskan kegusarannya dengan memaki. Tapi Hong Lam menahan senyumnya, dan mengejek pengemis ini dia menjawab.

   "Dan kau pengemis tak tahu diri, Ji-lokai. Kalau bukan memandang muka ketuamu barangkali jari-jari tanganmu sudah patah- patah!"

   Hwa-i Sin-kai melangkah maju. Dia membentak pembantunya itu agar tidak bersuara lagi, dan menghadapi Hong Lam dia berkata keren.

   "Hong- kongcu, kenapa kau melukai orangku?"

   Hong Lam tertawa.

   "Kau membalik-balikkan kenyataan, pangcu. Bukankah kau lihat sendiri pembantumu itu yang menyerang aku?"

   "Hm, tapi sebagai utusan tak seharusnya kau membuat ribut, kongcu. Kau tidak berlaku simpatik di depan para anggota Hwa-i Kai-pang!"

   Hong Lam menarik napas.

   "Pangcu, kau agaknya salah paham dengan apa yang kuperbuat. Baiklah, setelah sekarang Ji-lokai kukembalikan apakah orangku ini boleh juga kuambil? Kenapa kau menyerang Bik-twako?"

   Hwa-i Sin-kai mengeraskan dagunya.

   "Dia hendak melarikan diri, Hong-kongcu. Aku terpaksa mencegah dan menghajarnya sedikit!"

   Hong Lam terbelalak.

   "Kau melakukan itu Bik- twako?"

   Dia pura-pura tidak tahu.

   "Ha-ha, aku tidak betah di tempat ini, kongcu. Pantatku sakit digigit semut harus duduk di atas tanah!"

   Si gundul itu menjawab. Hong Lam mengernyitkan keningnya, tapi tertawa geli akhirnya dia menjura di depan ketua Hwa-i Kai- pang ini.

   "Baiklah, kiranya orangku yang bersalah, pangcu. Maafkan kelakuannya itu tadi dan sekarang perkenankanlah kami pergi."

   Hwa-i Sin-kai tidak berpura-pura lagi. Dia mengangguk, dan berkata dingin dia memandang pemuda ini.

   "Dan katakan pada ayahmu bahwa permintaannya tak dapat kupenuhi, kongcu. Tolong sampaikan bahwa Hwa-i Kai-pang bukan perkumpulan lemah yang harus tunduk pada nama besar seseorang!"

   Hong Lam tersenyum.

   "Kau tidak khawatir ayah sendiri datang, pangcu?"

   "Hm, boleh dia datang, kongcu. Hwa-i Sin-kai akan menghadapinya dengan gagah!"

   "Baiklah, terima kasih, pangcu. Sampai jumpa di lain waktu!"

   Dan Hong Lam yang memutar tubuh itu tiba- tiba menghadapi Mei Hong. Tersenyum lebar dia berkata halus.

   "Nona Hong, mudah-mudahan kita dapat berjumpa dalam suasana yang lebih akrab. Doakanlah kita sering bertemu...!"

   Mei Hong mendengus.

   "Jangan ceriwis, orang she Hong. Kalau bukan kebetulan menghormat ulang tahun perkumpulan tentu kuhajar kau!"

   Hong Lam tertawa bergelak. Dia melompat pergi dan si gundul yang juga sudah tidak ditahan lagi itu menyeringai kepada semua orang. Tapi baru beberapa tindak mereka melompat tiba-tiba Hwa-i Sin-kai teringat sesuatu.

   "Hong-kongcu, tunggu dulu...!"

   Ketua pengemis itu berseru.

   "Apakah selama ini kau yang mengintai gerak-gerik Hwa-i Kai-pang?"

   Hong Lam memutar leher.

   "Aku tidak tahu apa yang kau maksud, pangcu. Tapi barangkali benar dan barangkali juga tidak...!"

   Hwa-i Sin-kai meremas tongkatnya. Dia melihat pemuda itu sudah pergi kembali sambil tertawa menyakitkan, dan Mei Hong yang gemas oleh sikap orang tiba-tiba melompat.

   "Suhu, perlukah dia kutahan?"

   Tapi Hwa-i Sin-kai mengangkat lengannya.

   "Tidak perlu, Hong-ji. Biarkan dia pergi. Lebih cepat lebih baik!"

   Mei Hong merasa tidak puas.

   "Tapi dia meninggalkan ancaman, suhu. Masa orang seperti itu harus dilepas?"

   "Hm, tapi ekor mengganggu pemuda itu berat resikonya, Hong-ji. Sudahlah, biarkan dia pergi dan kita melanjutkan urusan kita...!"

   Dan Hwa-i Sin-kai yang sudah menenangkan orang-orangnya lalu melayang kembali ke papan panggung.

   Dia langsung menanyai tiga orang pembantunya, terutama Ji-lokai bagaimana bisa tertangkap lawan.

   Dan Ji-lokai yang bersungut-sungut oleh pertanyaan ini langsung saja membanting tongkatnya.

   "Malam itu hamba tidur nyenyak, pangcu. Tahu-tahu pemuda itu muncul dan membangunkan hamba. Tapi baru hamba terkejut tiba-tiba dia menyerang dan menotok hamba...!"

   Demikian Ji-lokai memberi keterangan.

   "Tapi dia tidak melukaimu, lokai?"

   "Hm, memang tidak, pangcu. Tapi setan keparat itu menyeret hamba sepanjang jalan!"

   "Dan kemana kau dibawa?"

   "Hamba tidak tahu, pangcu. Tapi rupanya seperti di sebuah kuil kosong!"

   Hwa-i Sin-kai mengerutkan alis.

   "Dan kalian berdua, mengapa menyembunyikan si gundul itu di tubuh Hwa-i Kai-pang, Sam-lokai? Kenapa kalian tidak melaporkan kejadian ini padaku?"

   Sam-lokai menunduk.

   "Hamba diancam, pangcu. Jika buka mulut Ji-suheng akan mereka bunuh!"

   "Hm, dan berapa lama si gundul itu menyamar sebagai Ji-lokai?"

   "Dua hari, pangcu. Hamba melihat Ji-suheng dibawa orang-orang itu sebagai bukti."

   "Baiklah..."

   Hwa-i Sin-kai akhirnya mengangkat tongkat.

   "Mari kita selesaikan persoalan ini. Siapa di antara kalian yang tidak setuju dengan muridku sebagai calon ketua baru?"

   Semua orang mengangkat mukanya. Ji-lokai tampil paling depan, dan berkata sedikit gugup dia bertanya.

   "Pangcu, maafkan hamba. Betulkah hu- pangcu sudah dapat diandalkan tenaganya untuk memimpin perkumpulan kita?"

   "Itu dapat dibuktikan, lokai. Jika kalian setuju boleh dia diuji tingkat kepandaiannya sesuai peraturan kai- pang kita!"

   "Baiklah,"

   Ji-lokai bangkit berdiri.

   "Kalau begitu bagaimana pendapat Sam-sute dan Su-sute?"

   Dua orang ini memandang tidak enak.

   "Kami kira seperti biasa saja, Ji-heng. Yakni jika ketua baru mampu merobohkan kami bertiga bolehlah dia memangku jabatan ketua!"

   "Dan pangcu sendiri tidak perlu menguji calon ketua di hadapan semua anggota?"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ji-lokai bertanya ragu- ragu.

   "Hm, ini bisa saja kulakukan, lokai. Tapi tidak seperti usul si gundul tadi yang minta kedudukan ketua harus diserahkan pada kalian bertiga jika muridku kalah!"

   Ji-lokai terkejut.

   "Ah, si gundul tadi bicara begitu, pangcu?"

   "Ya, tanyakan saja dua orang saudaramu itu!"

   Sam-lokai dan Su-lokai menunduk. Mereka malu, karena sedikit banyak ambisi mereka ternyata diam- diam dibaca sang ketua. Tapi Ji-lokai yang menarik napas sudah menggoyang tongkatnya.

   "Pangcu, kukira usul si gundul tadi hanyalah usul untuk mengacau Sam-sute dan Su-sute saja. Kami bertiga tidak ada hasrat menduduki jabatan ketua. Bagaimana jika seperti biasa saja calon ketua baru menghadapi kami bertiga? Hamba rasa hamba yang maju pertama kali. Kalau kalah barulah dua orang sute yang lain yang mencoba-coba."

   "Hm, itu memang keinginanku, Ji-lokai. Tapi bila mereka tidak setuju boleh katakan saja!"

   "Tidak, hamba rasa itu sudah tepat, pangcu. Bila hu- pangcu tersinggung oleh ucapan hamba mohon pangcu berdua maafkan!"

   Sam-lokai mewakili adiknya bicara. Dan Hwa-i Sin-kai yang mulai tersenyum menganggukkan kepalanya.

   "Hong-ji,"

   Dia menoleh ke arah muridnya.

   "Sesuai undang-undang partai kita maka kau diharuskan menghadapi tokoh-tokoh nomor dua di perkumpulan kai-pang kita. Dan karena Ji-lokai yang ingin terlebih dahulu menguji kemampuanmu sanggupkah kau melayaninya?"

   Mei Hong masih cemberut. Sebenarnya dia mendongkol mengapa suhunya melepas putera Hong Beng Lama itu. Tapi menganggukkan kepala dia menjawab datar.

   "Teecu siap menghadapi siapapun, suhu. Kalau Ji-lokai ingin maju teecu siap melayaninya."

   "Bagus, kalau begitu naiklah, Ji-lokai. Mei Hong siap melayanimu untuk membuktikan kemampuan dirinya!"

   Ji-lokai sudah melayang naik. Dia mencekal tongkatnya erat di tangan, dan menjura hormat di depan gadis ini dia berkata.

   "Hu-pangcu (wakil ketua), hamba mohon maaf bahwa hamba ingin mencoba-coba kepandaianmu. Ini menyangkut urusan kai-pang kita. Kalau hamba bersikap kasar harap hu-pangcu maafkan!"

   Mei Hong tersenyum kecil.

   "Ji-lokai, kau tidak bersikap buruk. Kenapa harus sungkan-sungkan? Majulah, aku siap melayanimu dalam beberapa jurus. Sepuluh jurus saja kau harus roboh di tanganku...!"

   Ji-lokai menyeringai kecut.

   "Tapi hamba akan bertahan lebih dari sepuluh jurus, hu-pangcu. Harap buktikan omonganmu yang sudah didengar semua anggota ini."

   "Baiklah, mari kita coba-coba, Ji-lokai. Mulailah dan serang aku...!"

   Ji-lokai tidak membuka mulut lagi.

   Dia sudah menggerakkan tongkatnya, dan sekali membentak nyaring tiba-tiba dia menerjang ke depan menyerang Mei Hong dengan senjatanya.

   Mei Hong tidak mengelak, namun begitu tongkat tiba mendadak ia menggerakkan lengan kirinya.

   "Plak!"

   Ji-lokai tergetar mundur.

   Dia kaget, juga kagum.

   Karena tangkisan Mei Hong yang tampaknya perlahan itu tahu-tahu membuat lengannya hampir terkilir dan terus linu! Maka terkejut oleh tangkisan ini tiba-tiba Ji-lokai sudah menyerang kembali dengan sodokan tongkatnya.

   Dia berkelebatan, menggerakkan tongkat menyambar-nyambar tubuh lawannya ini dengan seruannya yang keras.

   Tapi Mei Hong yang juga sudah mencabut tongkat mengimbangi gerakan kakek ini dengan sikap tenang.

   Dan begitu tubuhnya berkelebat dibungkus gulungan tongkat tiba-tiba saja gadis ini lenyap berubah menjadi bayangan! Ji-lokai benar-benar terkejut.

   Dia sekarang kehilangan sasaran tongkat, karena Mei Hong yang bergerak cepat di antara gulungan sinar tongkatnya sendiri sudah tidak dapat dikejar oleh tongkatnya.

   Dan ketika gadis itu balas menyerang dan membentak perlahan tiba-tiba mata pengemis ini jadi silau.

   Dia tidak melihat dimana lawannya itu berada, dan ketika Mei Hong membentak pada jurus keenam sekonyong-konyong pahanya terpukul tongkat.

   "Bluk... jurus keenam, lokai!"

   Ji-lokai mengaduh. Dia tidak sampai terpelanting, namun gebukan tongkat yang mulai mendarat bagaimanapun membuat pahanya sakit. Dan baru dia berteriak dan coba membalas tahu-tahu tongkat Mei Hong sudah mengenai pinggangnya.

   "Awas, jurus ketujuh, lokai...!"

   Ji-lokai mengelak mundur.

   Dia berusaha menangkis tongkat, tapi senjata Mei Hong yang tahu-tahu menyambar pinggangnya sudah lebih cepat dari gerakannya.

   Tak ayal, suara pukulan kembali terdengar dan Ji-lokai yang mulai dihujani serangan tongkat berteriak kaget dengan mata terbelalak.

   Dia terpaksa melompat sana-sini untuk menghindari pukulan tongkat, tapi suara "bak-bik-buk"

   Yang mengenai tubuhnya tak dapat dia kelit lagi. Dan persis pada jurus ke sepuluh dia bertahan mati- matian tiba-tiba Mei Hong tertawa dan berseru lembut.

   "Ji-lokai, ini jurus terakhir. Hati-hati jaga dirimu...!"

   Dan Mei Hong yang tiba-tiba lenyap dari pandangan sekonyong-konyong menggerakkan tongkat menyilang ke atas dan ke bawah. Ia menyerang pundak dan punggung kakek itu, dan Ji-lokai yang kabur pandangannya tak dapat mengelak lagi.

   "Plak-dess!"

   Ji-lokai menjerit.

   Dia tak dapat menghindar, dan pundak serta punggungnya yang terpukul tongkat membuat kakek ini terpelanting roboh dan kalah tepat pada jurus ke sepuluh! Sekarang semua orang bersorak.

   Mereka melihat Ji- lokai tak mampu bangun lagi, dan Mei Hong yang melompat maju tertawa ringan membangunkan kakek ini.

   "Maaf, Ji-lokai. Pukulanku tidak terlalu keras, bukan?"

   Ji-lokai meringis. Sebenarnya dia merasa tulangnya remuk, tapi kagum oleh kelihaian gadis ini dia terpaksa menyeringai gembira.

   "Wah, tongkatmu ampuh, hu-pangcu. Agaknya kau benar-benar mampu mainkan Hui-liong-sin-tung-hoat dengan demikian baik!"

   "Ah, itu kebetulan saja, lokai. Kalau suhu tidak menggemblengku sedemikian rupa mana aku dapat merobohkanmu dalam sepuluh jurus?"

   Ji-lokai tertawa pahit. Dia mengambil kembali tongkatnya yang terlepas, dan Hwa-i Sin-kai yang gembira melihat muridnya menang sudah berkata sambil tertawa.

   "Itu belum semuanya, lokai. Kalau sudah dikerubut tiga barulah kalian akan melihat sampai dimana kepandaian muridku."

   Ji-lokai tersenyum.

   "Dia memang hebat, pangcu. Hamba mulai percaya pilihan pangcu tidak sia-sia!"

   "Dan sekarang kalian maju berbareng, Ji-lokai?"

   "Kalau tidak terlalu berat, pangcu. Hamba akan mencoba sekali lagi sampai dimana hu-pangcu mewarisi ilmu tongkat kai-pang kita."

   "Bagus, kalau begitu naiklah, Sam-lokai. Kalian bertiga boleh buktian sekali lagi kelihaian muridku...!"

   Ji-lokai sudah berjalan ke tengah panggung. Dia memberi isyarat pada dua orang saudaranya untuk melompat naik, dan Sam-lokai yang tidak sungkan- sungkan lagi melayang ke atas panggung dan memberi hormat.

   "Hu-pang, kau tampaknya tidak mengecewakan. Baiklah, kami akan coba-coba merasakan kelihaianmu secara langsung!"

   Sam-lokai berkata, mencabut tongkat dan menyilangkannya di depan dada.

   Sementara Su-lokai yang juga sudah mencabut tongkatnya berdiri mengurung Mei Hong dalam bentuk segi tiga.

   Tiga orang pengemis Hwa-i Kai-pang ini memang tiga orang bersaudara yang merupakan orang-orang kepercayaan Hwa-i Sin-kai.

   Di samping ilmu tongkat pengemis mereka juga memiliki kepandaian khusus, menyerang dan bertahan dalam bentuk segi tiga.

   Dan sha-kak-tin ini (barisan segi tiga), benar-benar amat diandalkan tiga orang pengemis itu dalam menghadapi musuh berat.

   Mereka sendiri roboh di tangan sang ketua setelah Hwa-i Sin-kai mengerahkan ilmunya hampir lima puluh jurus.

   Dan Mei Hong yang mewarisi ilmu tongkat gurunya sudah diberitahu kehebatan tiga orang kakek ini.

   Ia sudah diberi kunci-kunci penyelamatnya, tapi bagaimanapun juga Hwa-i Sin-kai tetap memesan muridnya agar berhati-hati.

   Maka sekarang, melihat dirinya dikurung tiga orang pengemis tua itu Mei Hong juga tidak berani memandang rendah.

   Dia pribadi belum pernah menghadapi barisan segi tiga dari tiga orang kakek itu.

   Tapi mengandalkan nasehat-nasehat gurunya dia tetap bersikap tenang.

   Maka Mei Hong berkata.

   "Sam-lokai, berapa jurus aku harus merobohkan kalian dalam pertandingan ini?"

   "Wah, kalau kau setingkat pangcu tentunya kami roboh sebelum lima puluh jurus, hu-pangcu. Tapi kalau kau lebih lihai tentu kami akan roboh sebelum waktu itu!"

   Ji-lokai menjawab.

   "Baiklah, kalau begitu tiga puluh jurus aku akan merobohkan kalian, Sam-lokai. Harap jaga baik-baik diri kalian...!"

   Ji-lokai terbelalak.

   "Tiga puluh jurus, hu-pangcu?"

   "Ya, dan kalian berhati-hatilah, lokai. Aku siap menyerang dan membobolkan kepungan kalian!"

   Tiga orang itu tidak banyak cakap lagi. Sekarang mereka ganti diserang, dan pertahanan kuda-kuda yang diperkuat sedemikian rupa membuat Ji-lokai memberi tanda pada dua orang saudaranya.

   "Sam- sute, Su-sute, waspadalah... hu-pangcu akan memulai serangannya!"

   Mei Hong memutar tongkat.

   "Kalian sudah siap, Sam-lokai? Awas, sebentar lagi serangan akan kumulai."

   Ji-lokai mengangguk.

   "Kami sudah siap, hu-pangcu. Boleh robohkan kalau kau mampu melakukannya dalam tiga puluh jurus!"

   "Baik!"

   Mei Hong tertawa.

   "Kalau begitu berhati- hatilah, lokai. Aku akan memulainya...!"

   Mei Hong tiba-tiba mendoyongkan tubuh dan baru ucapannya selesai sekonyong-konyong gadis ini sudah melompat menyerang Ji-lokai.

   Tongkatnya mengaung di tangan, tanda didorong tenaga yang kuat sekali.

   Dan Ji-lokai yang diserang sebagai orang pertama otomatis mengelak.

   Dua orang yang lain menggerakkan tongkat, dan persis Mei Hong berkelebat ke depan tahu-tahu tongkat Sam-lokai dan Su-lokai menangkisnya dari samping.

   "Trang!"

   Mei Hong tergetar.

   Setelah dua orang itu maju berbareng tenaga mereka ternyata hebat sekali, tapi Mei Hong yang sudah melejit ke tengah meneruskan pentalan tongkatnya ke belakang.

   Dan begitu dia mulai bergerak maka menyambarlah tongkat gadis ini menyerang bertubi-tubi ke kiri kanan muka dan belakang.

   Tiga orang pengemis itu dipaksanya untuk terpencar.

   Namun Ji-lokai yang selalu memberi aba- aba berhasil menyatukan kembali posisi mereka menjadi bentuk sha-kak-tin.

   Maka mulailah pertandingan satu lawan tiga ini dimulai.

   Mei Hong harus berkelebatan ke sana ke mari dalam usahanya memecah barisan sha-kak-tin.

   Tapi Ji-lokai yang rupanya menjadi pimpinan barisan ini selalu berhasil mengatur dua orang saudaranya.

   Mereka juga harus berkelebatan mengikuti bayangan Mei Hong.

   Dan tiga tongkat yang susul-menyusul naik turun menghadapi tongkat Mei Hong akhirnya sering berbenturan di tengah udara.

   Mei Hong mula-mula mengincar Ji-lokai.

   Lalu melihat Ji-lokai melompat mundur setiap kali diserang dan kedudukannya diganti Sam-lokai dia terpaksa menyerang pengemis nomor tiga ini.

   Tapi ketika Sam-lokai melompat mundur dan kedudukannya diganti Su-lokai dia terpaksa mengubah serangannya.

   Ji-lokai, Sam-lokai dan Su-lokai akhirnya mendapat serangan berganti-ganti, dan Hui-liong-sin-tung-hoat yang dimainkannya dengan tongkat di tangan membuat Mei Hong akhirnya beterbangan bagai naga betina menari-nari! Ji-lokai kagum.

   Dia memaksa gadis itu tetap berada di tengah, mempertahankan diri sekaligus menyerang.

   Tapi Mei Hong yang menggerakkan tongkatnya ke delapan penjuru membuat pengemis ini mendesah berkali-kali karena hampir disambar tongkat.

   Sebentar saja mereka sudah bertempur sepuluh jurus, tapi kedua pihak yang sama-sama bermain cepat tak ada satupun yang terdesak mundur.

   Mei Hong masih menyerang gencar dengan tongkat di tangannya, menyodok kiri kanan sambil mengerahkan ginkangnya.

   Tapi menginjak jurus kedua puluh tiba-tiba gadis ini merubah gaya serangannya.

   Kalau tadi ia selalu mencecar bagian atas tubuh lawannya mendadak sekarang Mei Hong mengarahkan tongkatnya pada kaki mereka.

   Dan begitu perubahan mendadak ini dilakukan tiba-tiba saja Ji-lokai dan Sam-lokai berteriak kaget.

   Mereka diserampang ke bawah, diincar kakinya untuk melompat menghindari babatan tongkat.

   Dan begitu mereka dipaksa naik turun oleh serangan Mei Hong tiba-tiba saja barisan sha-kak-tin ini jadi buyar berantakan.

   Sha-kak-tin memang barisan yang sepenuhnya mengandalkan kekuatan kaki.

   Maka begitu inti dari kekuatan barisan ini diobrak-abrik kontan saja Ji-lokai dan dua orang saudaranya mengeluh pendek.

   Sekarang mereka jatuh bangun oleh tongkat Mei Hong yang berkelebatan di bawah, dan persis jurus ke dua puluh delapan dilakukan terdengarlah bentakan Mei Hong.

   "Su-lokai, robohlah...!"

   Su-lokai berteriak kaget. Dia melihat tongkat Mei Hong menyerampang kakinya, dan baru dia melompat tahu-tahu tongkat itu sudah bergerak dan menghantam pinggangnya.

   "Bluk!"

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Su-lokai terpelanting.

   Dia roboh di lantai panggung, dan tongkatnya yang terlepas membuat peluang pada barisan sha-kak-tin yang lowong seorang.

   Dan Mei Hong yang tidak membuang- buang kesempatan sudah membentak pula pada jurus kedua puluh sembilan dan ketiga puluh.

   "Ji- lokai, buang tongkat kalian...!"

   Ji-lokai dan Sam-lokai menggigit bibir. Mereka mencoba menahan serangan Mei Hong. Tapi tongkat lawan yang sudah meliuk bagai naga terbang tahu- tahu mengenai lengan mereka.

   "Plak-dess!"

   Ji-lokai dan Sam-lokai mengeluh.

   Mereka melepaskan tongkat, kesakitan oleh hantaman pada lengan kanan mereka itu.

   Dan kaki Mei Hong yang sudah bergerak dua kali berturut-turut tiba-tiba ikut menyelesaikan pertandingan itu.

   Ji-lokai dan Sam- lokai ditendang bergulingan, dan begitu mereka roboh di lantai panggung tahu-tahu jari Mei Hong telah menotok lumpuh tubuh mereka.

   "Tuk...!"

   Sekarang keduanya benar-benar roboh.

   Ji-lokai dan Sam-lokai yang roboh tepat pada jurus ketiga puluh mula-mula hampir tak percaya pada pandangan mereka sendiri.

   Tapi sorak-sorai para anggota yang tiba-tiba riuh menggaduhkan suasana membuat mereka sadar.

   Ji-lokai terbelalak, dan Sam-lokai juga tertegun.

   Tapi Mei Hong yang sudah melompat maju membebaskan totokan mereka.

   "Kalian masih ingin coba-coba lagi, Sam-lokai?"

   Mei Hong tersenyum. Ji-lokai mengebut-ngebutkan bajunya.

   "Wah, kalau sudah begini mana berani kami coba-coba lagi, hu- pangcu? Kau benar-benar hebat sekali, sungguh di luar dugaan kami!"

   "Dan percaya penuh kemampuanku untuk memimpin kalian?"

   Ji-lokai tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.

   "Hu- pangcu, kami sudah percaya akan kelihaianmu. Kau agaknya bahkan melebihi pangcu sendiri!"

   Mei Hong tertawa kecil. Ia menyuruh bangun tiga orang pembantu suhunya itu, dan Hwa-i Sin-kai yang bersinar-sinar mukanya tertawa bergelak.

   "Ha- ha, kalian sudah tidak ragu-ragu lagi, Sam-lokai?"

   Dia berseru.

   "Baiklah, kalau begitu sekarang juga tongkat perkumpulan akan kuserahkan pada muridku!"

   Lalu menoleh pada semua anggota ketua Hwa-i Kai- pang ini berkata.

   "Saudara-saudara seperti yang kalian saksikan sendiri hari ini muridku telah berhasil menyelesaikan ujiannya dengan baik. Ji-lokai bersama dua orang adiknya roboh pada jurus ketiga puluh, padahal aku sendiri harus merobohkannya hampir lima puluh jurus. Dan sesuai aturan kai-pang kita mulai hari ini juga muridku akan memimpin kalian sebagai Hwa-i Kai-pangcu...!"

   Hwa-i Sin-kai mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, dan melihat semua anggota sudah menjatuhkan diri berlutut berkatalah kakek itu kepada muridnya.

   "Hong-ji, karena resmi hari ini kau menjadi ketua Hwa-i Kai-pang maka terimalah tongkat komando ini. Kau berhak memimpin mereka, dan nama perkumpulan yang selama ini telah kurintis harus lebih kau harumkan lagi namanya!"

   Mei Hong menerima tongkat. Ia mengucapkan terima kasih, dan mencium tongkat kai-pang yang selama ini dipegang gurunya iapun berjanji.

   "Teecu akan melindungi kai-pang kita sebagaimana mestinya, suhu. Tapi harap kau orang tua tidak melepaskan teecu begitu saja. Bagaimanapun, teecu masih memerlukan nasehat-nasehatmu demi perbaikan nama perkumpulan kita."

   Hwa-i Sin-kai mengangguk berseri.

   "Tentu saja, Hong-ji. Dan sesuai apa yang kucitakan selama ini maka hari ini juga aku tidak mengurus pekerjaan- pekerjaan ketua. Kaulah yang menjalankan segalanya itu, dan aku yang ingin bertapa hanya siap menjadi penasehatmu belaka!"

   Mei Hong menarik napas panjang.

   "Suhu kau rupanya ingin menikmati kedamaian hidup. Apakah ini berarti kau hendak meninggalkan kami sewaktu- waktu?"

   "Ha-ha, itu memang yang kuinginkan, Hong-ji. Aku jemu dengan kebisingan dunia ini. Tapi sudahlah, sebulan dua bulan aku masih mendampingimu, bukan? Nah sekarang terimalah, ini surat Hong Beng Lama yang ditujukan kepadaku tadi!"

   Mei Hong menerima surat dari suhunya yang tiba- tiba tidak tertawa lagi. Dan tampak serius kakek ini berbisik perlahan.

   "Lama itu menghendaki perkumpulan kita membantu Gong-taijin, Hong-ji. Tapi sesungguhnya isi surat ini bermaksud menjadikan kita sebagai bawahannya...!"

   Mei Hong mengerutkan alis.

   Ia membaca surat dari Hong Beng Lama itu, yang ternyata isinya meminta dengan hormat agar ketua Hwa-i Kai-pang datang ke istana Gong-taijin membantu pembesar ini dari sebuah kesulitan.

   Dan membaca isi surat yang sebenarnya cukup ramah Mei Hong jadi tidak mengerti.

   "Suhu, Hong Beng Lama ternyata hanya minta kita pergi ke kota raja. Lalu kenapa kau tampaknya demikian gelisah?"

   "Hm, kau tahu aku telah menolaknya, bukan?"

   "Ya."

   "Dan penolakan ini yang menggelisahkan hatiku, Hong-ji. Karena Hong Beng Lama yang angkuh itu pasti datang ke tempat kita memaksa dengan kepandaiannya!"

   "Ah, kalau begitu kenapa kau tolak, suhu? Bukankah membantu pembesar adalah tugas mulia bagi rakyat kecil?"

   Hwa-i Sin-kai tiba-tiba tertawa mengejek.

   "Kau tidak tahu siapa itu, Gong-taijin, Hong-ji. Kalau kau tahu tentu kaupun akan menolaknya seperti aku!"

   "Hm, kalau begitu bagaimana dengan pembesar ini, suhu?"

   Hwa-i Sin-kai mendengus.

   "Dia adalah pembesar yang korup. Rakyat kecil banyak yang ditindasnya secara diam-diam!"

   Mei Hong terkejut.

   "Kalau begitu kenapa tidak kau bela orang-orang yang dikerjai pembesar ini, suhu? Kenapa kau selama ini diam-diam saja?"

   "Hm, pembesar itu cerdik, Hong-ji. Dia tidak berhasil kubuka kejahatannya dengan mata kepala sendiri. Hanya kabarnya dia tamak, dan kaisar yang memberikan kepercayaan padanya tentang urusan tanah kabarnya diam-diam dilahap sendiri. Dia Menteri Urusan Tanah, diangkat kaisar dua tahun yang lalu!"

   Mei Hong terbelalak. Ia mau bertanya lagi, tapi Hwa- i Sin-kai yang mengulapkan lengan tiba-tiba berkata.

   "Hong-ji, ada orang-orang datang ke tempat kita...!"

   Mei Hong otomatis menengok. Ia melihat lima orang muncul di pintu, dan seorang di antaranya yang berkumis tebal mengeluarkan corong.

   "Hwa-i Sin- kai, kau diminta datang di gedung Hap-taijin untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu membunuh jaksa Bhe...!"

   Mei Hong terkejut. Ia langsung melompat, dan membentak orang-orang itu ia bertanya.

   "Tikus- tikus busuk, siapa kalian?"

   Orang berkumis tebal berdiri tegak.

   "Kami pengawal kota raja, nona. Diutus Hap-taijin untuk menangkap Hwa-i Sin-kai!"

   "Keparat, kalian tahu apa yang kalian bicarakan ini, tikus busuk?"

   Si tinggi besar itu marah.

   "Kami tahu apa yang kami ucapkan, nona. Hwa-i Sin-kai harus mengikuti kami sekarang juga untuk menghadap Hap-taijin!"

   Mei Hong menjadi marah. Ia mau menyerang si kumis tebal itu, tapi Hwa-i Sin-kai yang mencekal lengannya mencegah.

   "Hong-ji, tahan kemarahanmu. Ini tentu fitnah yang dilancarkan seseorang kepadaku...!"

   Dan menghadapi si tinggi besar itu Hwa-i Sin-kai membentak.

   "Tikus busuk, darimana kau menuduhku membunuh jaksa Bhe? Siapa jaksa Bhe itu?"

   Orang ini tertawa mengejek.

   "Jangan pura-pura, Hwa-i Sin-kai. Hap-taijin melihatmu sendiri membunuh jaksa Bhe. Kau kami tangkap atas dasar tuduhan ini. Jika menolak terpaksa kami mengambil jalan kekerasan!"

   Hwa-i Sin-kai terbelalak. Dan Ji-lokai yang bangkit kemarahannya oleh sikap lawan tiba-tiba melompat ke depan.

   "Sin Lok, jangan kurang ajar kau. Hwa-i Kai-pangcu tidak tahu-menahu urusan jaksa Bhe. Kau pergilah dan lempar semua berita bohong ini...!"

   Tapi si tinggi besar yang bernama Sin Lok itu menjengekkan hidungnya.

   "Ji-lokai, jangan ikut campur. Hap-taijin hanya memerintahkan kami untuk menangkap Hwa-i Sin-kai."

   Mei Hong tak dapat menahan diri lagi. Gadis ini tiba- tiba sudah melengking marah, dan melompat ke depan tahu-tahu dia telah menendang si kumis tebal itu.

   "Tikus busuk, enyahlah. Suhu tak mengenal siapa itu jaksa Bhe... dess!"

   Sin Lok terguling-guling. Dia kaget dan berteriak marah, dan melompat bangun dia mendelik ke arah Hwa-i Sin-kai.

   "Hwa-i Sin-kai, kau tak mau ikut perintah?"

   Kakek pengemis ini tertawa dingin.

   "Tak perlu menggertakku, orang she Sin. Aku tak merasa membunuh jaksa Bhe dan karenanya juga tak perlu menghadap Hap-taijin!" **SF** BERSAMBUNG

   Jilid 20 Bantargebang, 27-06-2019, 23.01 SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 20 * * * SI TINGGI besar mencabut golok.

   Dia berseru keras, dan memberi aba-aba tiba-tiba dia membunyikan corongnya kuat-kuat, meniup bagai terompet kerang.

   Dan begitu corongnya berbunyi tahu-tahu di tempat itu muncul dua ratus prajurit mengepung markas Hwa-i Kai-pang! "Orang she Sin, kau membawa-bawa pasukan pemerintah?"

   Hwa-i Sin-kai terkejut.

   "Ha-ha, salahmu sendiri, Hwa-i Sin-kai. Kalau kau menyerah baik-baik pasukan kami tidak membuat ribut. Tapi sekali kau melawan maka Hwa-i Kai-pang akan dicap pemberontak dan selamanya harus bubar!"

   Hwa-i Sin-kai tertegun.

   Dia melihat tempatnya sudah dikurung rapat, dan anggota Hwa-i Kai-pang yang kaget oleh kepungan ini tiba-tiba saja menjadi gaduh dan berteriak marah.

   Mereka melompat bangun, dan mencabut tongkat mereka sudah menghadap keluar membentuk barisan! Sekarang Hwa-i Sin-kai benar-benar merah mukanya.

   Dia maklum bahwa ada sesuatu yang berdiri di balik itu semuanya, seseorang yang mendalangi peristiwa ini.

   Dan tertawa mengejek tiba-tiba dia menghadapi si tinggi besar itu.

   "Orang she Sin, apa yang hendak kau lakukan terhadap kami semua? Kau benar-benar hendak menghancurkan Hwa-i Kai-pang?"

   Si tinggi besar mengacungkan goloknya.

   "Kalau kau menyerah kami tak akan bertindak apa-apa, Hwa-i Sin-kai. Tapi sekali melawan maka semuanya akan kami basmi!"

   "Bagus. Kalau begitu kau hanya memerlukan aku seorang, bukan? Nah, simpan golokmu itu. Aku bersedia menghadap Hap-taijin!"

   Mei Hong terkejut.

   "Suhu, kenapa begitu? Kenapa kau memberi hati orang-orang ini?"

   "Hm, aku ingin menyelamatkan kalian semua, Hong- ji. Aku tak merasa membunuh jaksa Bhe. Tentu ada orang yang memfitnahku. Biar kulihat mukanya di depan pembesar itu!"

   "Tapi kau tak bersalah, suhu. Orang-orang ini tak semestinya menangkapmu begitu saja!"

   "Ya, tapi melawan berarti keributan, Hong-ji. Aku tak inginkan ini bila dapat kucegah!"

   "Ah, tapi..."

   Mei Hong terputus. Hwa-i Sin-kai sudah menghadapinya dengan muka keren, dan berkata tegas kakek ini menukas.

   "Hong-ji, aku tak ingin Hwa-i Kai-pang dicap pemberontak. Karena itu biarlah aku ikut tikus-tikus ini menghadap pembesar she Hap. Percayalah, aku dapat menjaga diri dengan baik dan tidak mungkin celaka di tangan orang- orang ini!"

   Mei Hong tak dapat membantah lagi. Dia mendapat kedipan suhunya, isyarat rahasia yang tidak memperbolehkan dia bicara lagi. Tapi si kumis tebal yang menyeringai di depan tiba-tiba berseru.

   "Tidak, bukan hanya kau seorang yang kami tangkap, Hwa-i Sin-kai. Melainkan juga bersama muridmu yang galak itu!"

   Hwa-i Sin-kai membelalakkan mata.

   "Apa kesalahannya, orang she Sin?"

   "Aku tidak tahu, Hwa-i Sin-kai. Tapi Hap-taijin menyuruh muridmu ikut sekalian bila ada di sini. Nah, kebetulan ia ada. Apa kau tidak menerima permintaan ini?"

   Hwa-i Sin-kai mendelik gusar. Ia melihat si kumis tebal itu hanya mengarang-ngarang cerita, mengada-ada saja untuk membangkitkan kemarahannya. Dan melotot pada si tinggi besar ini Hwa-i Sin-kai terpaksa menolak.

   "Orang she Sin, Hwa-i Kai-pang tidak boleh ditinggalkan ketuanya. Kalau kau mau tangkap aku silahkan. Tapi muridku tidak boleh kau bawa-bawa namanya!"

   "Hm, kau menolak, Hwa-i Sin-kai?"

   "Kalau kau tahu diri...!"

   "Bagus. Kalau begitu kami akan melakukan kekerasan terhadapmu!"

   Dan si kumis tebal yang sudah mengacungkan goloknya itu tiba-tiba memberi aba-aba dan menyuruh orang-orangnya maju.

   Dia sendiri sudah melompat ke depan dan golok lebarnya yang meluncur deras membacok leher Hwa-i Sin-kai dengan teriakannya yang parau.

   Tapi Ji-lokai sudah mendahului maju.

   Sebelum Hwa-i Sin-kai sendiri turun tangan tokoh nomor dua dari Hwa-i Kai-pang ini membentak dan begitu tongkatnya menangkis tiba-tiba kakinya mendupak perut lawan.

   "Sin Lok, kau manusia kurang ajar. Pergilah sebelum kubunuh. Des...!"

   Sin Lok terpekik kaget. Dia tahu-tahu menerima tendangan Ji-lokai, dan terlempar roboh, dia melotot ke arah pengemis ini.

   "Ji-lokai, kau berani menyerangku?"

   Ji-lokai mendengus. Dia sudah menghadapi tujuh orang lawan yang meluruk ke arah ketuanya, menangkis sambaran golok dan tombak dari pasukan pengawal. Lalu begitu mereka terkejut dan terdorong mundur pengemis tua ini berseru.

   "Saudara-saudara, hayo bela Hwa-i Kai-pangcu. Orang-orang ini datang untuk mengacau ketenangan kita...!"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tapi Sam-lokai tiba-tiba melompat ke depan.

   "Ji- suheng, orang she Sin, tahan...!"

   Dan menjura di depan Hwa-i Sin-kai tiba-tiba pengemis ini berkata.

   "Pangcu, tidakkah sebaiknya jika ikut saja permintaan Hap-taijin ini? Bagaimana kalau Hwa-i Kai-pang dicap pemberontak dan ditentang pemerintah?"

   Ji-lokai pelototkan mata.

   "Itu bukan watak Hwa-i Kai-pang, Sam-sute. Kami siap pertaruhkan nyawa bila nama kami dihina!"

   "Ya, tapi ini menghadapi pemerintah, suheng. Mana mungkin harus bersikap seperti itu? Bukankah pangcu hanya dipanggil saja? Kalau pangcu benar tidak bersalah tentu beliau dibebaskan. Dan Hwa-i Kai-pang tidak perlu dianggap pemberontak gara- gara urusan ini!"

   Lalu menghadapi Hwa-i Sin-kai pengemis ini kembali berkata.

   "Pangcu, mohon pertikaian ini ditunda dulu. Menurut hamba sebaiknya pangcu ikuti saja permintaan mereka dan menghadap Hap-taijin. Ini hanya sebuah kesalahpahaman, kenapa harus menarik urat?"

   "Tapi si tinggi besar itu kurang ajar, Sam-lokai. Dia jelas mengada-ada dengan menyebut namaku segala!"

   Mei Hong melengking marah.

   "Hm, itu benar pangcu. Tapi bagaimanapun Hwa-i Kai-pang tidak boleh dianggap pemberontak bukan? Bahkan, jika pangcu ikut bersama hamba kira Hwa-i Kai-pangcu dapat dijamin keselamatannya dengan adanya ji-wi berdua."

   Hwa-i Sin-kai masih terbelalak. Dia mendengarkan semua omongan pembantunya nomor tiga itu, dan setelah dipikir-pikir bahwa pembantunya itu ada benarnya juga akhirnya dia menarik napas.

   "Baiklah, demi nama baik Hwa-i Kai-pang aku turut saranmu, lokai. Tapi siapa yang memimpin Hwa-i Kai-pang selama kami pergi?"

   Sam-lokai berseri mukanya.

   "Hamba bertiga sanggup memimpin sementara, pangcu. Kalau ji-wi sudah kembali hamba akan menyerahkan segalanya pada ji-wi."

   Mei Hong masih penasaran. Sebetulnya ia enggan mengikuti orang-orang ini, layaknya bagai tawanan saja. Tapi gurunya yang menowel lengannya berbisik perlahan.

   "Hong-ji, jangan membantah lagi. Memang ada baiknya kau bersamaku. Siapa tahu musuh di depan menanti kita berdua?"

   Lalu menghadapi si tinggi besar dia berkata.

   "Orang she Sin, demi keselamatan Hwa-i Kai-pang aku turuti kemauanmu. Nah, berjalanlah, aku mengikuti di belakang!"

   "Bersama muridmu pula, Hwa-i Sin-kai?"

   "Ya."

   "Kalau begitu kalian harus kami belenggu, Sin-kai. Kami khawatir kalian melarikan diri!"

   Hwa-i Sin-kai naik kembali darahnya. Tapi sebelum dia membentak marah lagi-lagi Sam-lokai berkata, mendahului sang ketua.

   "Sin Lok, jangan keterlaluan kau. Ji-wi pangcu tak mungkin melarikan diri!"

   "Aha, siapa berani menjamin ini, lokai?"

   "Kami semua para anggota, Sin Lok. Hwa-i Kai- pangcu tak mungkin melarikan diri. Bagaimanapun, kalau dia pulang tentu kembali kemari!"

   "Baik, kalau begitu ikuti kami, Sin kai. Dan kau nona, jangan coba-coba membuat ribut selama di perjalanan!"

   Mei Hong mengepal tinju.

   "Tikus busuk, kalau tidak menuruti kemauan suhu pasti kau sudah kuhajar. Siapa membuat ribut-ribut kalau bukan kau dulu yang memulainya?"

   Si kumis tebal itu tertawa mengejek. Dia memutar tubuh, menyuruh dua ratus prajurit itu menyibak. Lalu berjalan tenang dia mempersilakan ketua Hwa-i Kai-pang ini mengikuti dirinya.

   "Hwa-i Sin-kai, hayo cepat. Kau harus segera menghadap atasan kami!"

   Hwa-i Sin-kai mengerotkan giginya.

   Sebetulnya dia marah kepada si tinggi besar ini.

   Sikapnya pongah dan jumawa sekali.

   Mentang-mentang pengawal pemerintah.

   Tapi demi keselamatan Hwa-i Kai-pang agar tidak dicap pemberontak terpaksa dia menahan diri mengikuti laki-laki itu.

   Dan Mei Hong, yang diam-diam juga sengit pada si kumis tebal ini sudah merencanakan tindakannya untuk menghajar orang.

   Nanti, setelah urusan ini selesai! Maka ketua Hwa-i Kai-pang yang menjadi tangkapan pengawal Hap-taijin ini lalu keluar dari markas pengemis baju kembang, berjalan berdampingan dengan muridnya yang baru diangkat untuk menghadapi tuduhan membunuh jaksa Bhe, jaksa yang sebetulnya tidak dikenal sama sekali oleh Hwa- i Sin-kai! Sementara di belakangnya, mengurung rapat dengan senjata di tangan mengiringlah dua ratus pasukan pemerintah yang menjaga supaya kakek ini tidak melarikan diri! *S*F* Hap-taijin ternyata seorang laki-laki gemuk dengan perut buncit ke depan.

   Sekali pandang orang akan tahu bahwa pembesar ini bersifat licik, curang dan tidak segan-segan mempergunakan kekuasaannya.

   Terbukti dari sinar matanya yang sipit dan memandang rendah orang lain.

   Dia adalah komandan pasukan wilayah kota raja timur, meliputi wilayah Hwa-i Kai-pang yang mendirikan markasnya di luar hutan.

   Dan komandan Hap yang menerima kedatangan Hwa-i Sin-kai ini mula-mula menyeringai dingin ketika memandang ketua Hwa-i Kai-pang itu.

   Tapi ketika matanya melihat Mei Hong yang cantik dan gagah tiba-tiba pembesar ini bangkit berdiri dan tertawa serak.

   "Hwa-i Sin-kai, kau baik-baik menerima permintaanku datang kemari? Bagus, silahkan duduk, Sin-kai. Terima kasih untuk kesadaranmu ini. Dan itu, muridmu yang bernama Mei Hong, bukan? Hem, manis dia, cantik dan gagah...!"

   Mei Hong sudah mengangkat alis dengan mata bersinar marah.

   Dia hendak menyemprot pembesar she Hap itu atas kata-katanya yang dianggap tidak sopan, memuji orang tapi matanya jelalatan tidak karuan.

   Tapi gurunya yang menyenggol tangan memberi isyarat agar dia tenang.

   "Hap-taijin, kami sungguh tidak tahu kenapa kau memerintahkan orang untuk menangkap kami. Apa salah kami dan apa tuduhanmu tentang penangkapan ini?"

   Pembesar gendut itu menyeringai. Dia masih memandang penuh kagum kecantikan Mei Hong yang meskipun sederhana namun cukup menonjol. Dan tidak menjawab pertanyaan pengemis itu dia malah bicara pada gadis ini.

   "Nona, kau demikian cantik kenapa harus memakai baju tambal- tambalan? Ah, sayang sekali, nona. Kalau kau mau aku dapat memberi banyak baju bagus untukmu...!"

   Dan tertawa menyeringai baru dia memandang Hwa- i Sin-kai.

   "Hwa-i Sin-kai, kenapa kau memperlakukan muridmu sedemikian rupa? Haruskah gadis yang cantik begini kau jadikan jembel seumur hidup?"

   Hwa-i Sin-kai mengerutkan keningnya.

   "Hap-taijin, kami datang bukan untuk bicara urusan lain. Apa maksudmu memanggil kami?"

   Pembesar itu tertawa. Dia mendengar ucapan yang dingin dari pengemis ini, dan Mei Hong yang juga memandangnya dengan mata marah membuat pembesar gendut ini batuk-batuk.

   "Hwa-i Sin-kai, aku mengundanmu kemari atas satu tuduhan. Kenapa kau membunuh jaksa Bhe?"

   Hwa-i Sin-kai mengeraskan dagu.

   "Aku tak tahu siapa itu jaksa Bhe, taijin. Dan aku juga menyangkal tuduhan ini. Aku tidak membunuh jaksa itu dan tidak mengenal siapa dia!"

   "Hm, tapi seorang saksi melihatmu membunuh jaksa itu, Hwa-i Sin-kai. Kau dapat dijatuhi hukuman mati atas perbuatanmu membunuh aparat pemerintah!"

   Hwa-i Sin-kai terbelalak.

   "Siapa saksi itu, taijin? Dapat aku melihat mayat jaksa itu?"

   "Hm, tentu saja, Hwa-i Sin-kai. Tapi sebelumnya kau harus bersikap jujur. Saksi yang kau maksud ada di sini sekarang. Tapi mayat jaksa Bhe sebaiknya kau lihat lebih dulu. Duduklah...!"

   Pembesar itu menekan tombol, mempersilahkan Hwa-i Sin-kai duduk dan tertawa di atas kursinya.

   Dan Hwa-i Sin-kai yang curiga terhadap sikap orang tiba-tiba melihat dinding di sebelah kirinya terbuka.

   Sebuah peti meluncur di depan mereka, berhenti di meja Hap-taijin.

   Dan begitu peti ini muncul dinding yang terbuka tiba-tiba sudah menutup kembali.

   "Kau ingin melihatnya sekarang, bukan?"

   Pembesar itu menyeringai.

   "Nah, boleh kau lihat, Hwa-i Sin- kai. Ini adalah mayat jaksa Bhe...!"

   Hap-taijin membuka tutup peti, dan Hwa-i Sin-kai yang memandang ke depan melihat sesosok mayat yang retak tulang tengkoraknya. Dia tidak melihat keistimewaan dari jenasah ini, dan merasa tidak kenal diapun memandang pembesar itu.

   "Ini yang kau sebut jaksa Bhe itu, taijin?"

   "Ya, dan jangan kau pura-pura tidak mengenalnya, Hwa-i Sin-kai. Dia tewas oleh pukulan tongkatmu!"

   "Hm, darimana kesimpulan ini didapatkan, taijin?"

   "Dari tulang tengkoraknya yang retak itu. Bukankah kau yang membunuhnya semalam?"

   Hwa-i Sin-kai mengejek.

   "Taijin, kau rupanya gampang saja menuduh orang. Siapa jamin orang ini mati oleh tongkatku? Apakah Hwa-i Sin-kai saja yang memiliki benda tumpul?"

   "Tapi saksi mata yang memberitahuku jelas melihat kau yang melakukan pembunuhan, Hwa-i Sin-kai. Sebaiknya kau bersikap terus terang dan jujur saja!"

   "Hm, bagaimana harus terus terang kalau benar bukan aku yang membunuh, taijin? Apa orang harus dipaksa mengaku untuk perbuatan yang bukan dilakukan olehnya?"

   Pembesar itu bangkit berdiri. Dia menekan tombol di meja kanannya, dan peti yang sudah ditutup kembali itu tiba-tiba bergerak, memasuki dinding sebelah kanan yang tiba-tiba terbuka. Lalu menghadapi pengemis Hwa-i Kai-pang ini pembesar itu berkata.

   "Hwa-i Sin-kai, jangan coba-coba membohong di hadapanku. Kau jelas membunuh seorang petugas negara, kenapa hendak menyangkal di depanku? Saksi mata merupakan bukti kuat, Hwa-i Sin-kai. Dan kalau kau tidak mau mengaku dengan jujur barangkali perkumpulanmu harus dibasmi!"

   Hwa-i Sin-kai tertawa dingin.

   "Mana saksi mata itu, taijin? Boleh kulihat bagaimana macam orangnya?"

   "Hm, sebentar lagi, Sin-kai. Tapi kalau kau ingin selamat sebaiknya kita bekerja sama. Aku dapat membantumu melepaskan diri dari tuduhan ini. Dan bila kau suka mayat jaksa Bhe bisa kita lempar ke pundak orang lain!"

   Pembesar ini tiba-tiba menyeringai licik, dan Hwa-i Sin-kai yang terbelalak memandang lawannya jadi tidak mengerti.

   "Apa yang kau maksud, taijin?"

   "Begini, Sin-kai,"

   Pembesar itu tertawa dibuat-buat, melirik Mei Hong dengan sikap tengik.

   "Kalau kau tidak keberatan sukalah muridmu yang cantik ini kau tinggalkan di sini. Aku butuh seorang pengawal yang lihai, yang dapat menjaga keselamatan diriku. Dan bila muridmu setuju maka persoalan jaksa Bhe dapat kita hapus!"

   Hwa-i Sin-kai tertegun.

   "Kau hendak minta muridku tinggal di sini, taijin?"

   "Ya, sebagai imbalan tuduhan itu, Hwa-i Sin-kai. Aku mendengar muridmu lihai, cocok kalau dia mau menemaniku di sini!"

   Hwa-i Sin-kai tiba-tiba marah. Dia melihat mata pembesar itu secara kurang ajar memandang Mei Hong, dan membentak keren dia bangkit berdiri.

   "Hap-taijin, apa kau sudah memikir baik-baik kata- katamu ini? Kau berani menyuruh ketua Hwa-i Kai- pang menjadi budakmu?"

   Pembesar itu duduk dengan tenang.

   "Jangan marah- marah, Hwa-i Sin-kai. Aku hanya mengajukan usul."

   "Tapi usulmu amat menghina, taijin. Kalau bukan kau yang bicara tentu sudah kurobek mulutnya!"

   "Aha, kau hendak memberontak terhadap petugas negara, Sin-kai?"

   Hwa-i Sin-kai mengepalkan tinju.

   "Bukan memberontak negara, taijin. Tapi memberontak niat jahatmu yang terselubung di balik kepala itu!"

   Pembesar she Hap bangkit berdiri. Dia mengusap mulutnya, yang tanpa sadar mengeluarkan air liur melihat kecantikan Mei Hong. Dan menyeringai terhadap pengemis ini dia berkata.

   "Hwa-i Sin-kai, rupanya sama-sama sebagai lelaki kau mengetahui apa yang kupikir. Baiklah, kalau begitu bagaimana jika kita buka kartu saja? Aku... he-he, terus terang tertarik melihat muridmu ini, Sin-kai. Kalau kau tidak keberatan biarlah dia menjadi pengawal sekaligus selirku! Bagaimana pendapatmu, Sin-kai? Bukankah derajat muridmu kunaikkan tidak hanya sekadar pembantu saja?"

   Hwa-i Sin-kai tiba-tiba melompat. Dia tak dapat menahan kemarahannya, dan baru pembesar itu berhenti bicara tahu-tahu tangannya sudah mencekik leher pembesar ini.

   "Hap-taijin, benar kiranya dugaanku bahwa ada sesuatu yang busuk di kepalamu. Berani kau bicara seperti itu di depanku, hah? Keparat, kau tak tahu diri, taijin. Kau pantas kuhajar untuk kelancanganmu ini... brukk!"

   Hwa-i Sin-kai membanting pembesar ini pada lantai di bawah kakinya. Dan Hap-taijin yang tersentak kaget mengaduh kesakitan. Dia terbelalak bangun, tapi Mei Hong yang juga tak dapat menahan kemarahannya tahu-tahu sudah menggerakkan tangannya pula.

   "Kau melebihi anjing, Hap-taijin. Kau bukan petugas negara yang baik... plak!"

   Dan Mei Hong yang sudah menampar pipi pembesar ini membuat Hap-taijin terpekik dan roboh terguling-guling.

   Pembesar itu menjerit, dan lima orang pengawal yang muncul di pintu tiba-tiba menyerang Hwa-i Sin-kai dan Mei Hong.

   Tapi pembesar ini mencegah, dan berseru keras dia mengangkat tangannya.

   "Anak-anak jangan serang mereka itu. Biarkan yang tua ini kupisahkan dulu...!"

   Lalu begitu kakinya menyentuh sebuah tombol di bawah meja tiba-tiba lantai yang diinjak Hwa-i Sin- kai amblas ke bawah.

   Hwa-i Sin-kai terkejut, tapi baru dia berseru tertahan tahu-tahu tubuhnya telah terjeblos ruang bawah tanah.

   Mei Hong hendak membantu gurunya.

   Namun baru dia berteriak sekonyong-konyong Hap-taijin menekan tombol lagi dan Mei Hong ikut terpelanting jatuh! "Ha-ha, apa yang hendak kau lakukan Hwa-i Sin- kai? Berani kau mengandalkan ilmu silatmu itu?"

   Mei Hong dan Hwa-i Sin-kai terbelalak. Mereka terkurung di sebuah kerangkeng besar sementara Hap-taijin yang tertawa-tawa di atas menggapaikan lengannya.

   "Anak-anak, bawa kemari tabung asap itu!"

   Lima orang pengawal ini bergerak cepat. Mereka mengambil sebuah tabung besar, seperti alat penyemprot nyamuk. Dan Hwa-i Sin-kai yang merah mukanya memaki gusar.

   "Orang she Hap, kau benar-benar tak tahu malu. Berani kau berhadapan kembali dengan kami?"

   Pembesar itu tertawa. Dia menekan kembali sebuah tombol, menerima tabung itu dari tangan lima orang anak buahnya. Lalu mengejek pada pengemis ini dia berkata.

   "Hwa-i Sin-kai, kenapa harus takut berhadapan denganmu? Nah, baiklah, lihat aku berani bicara berdepan dengan kalian berdua...!"

   Dan kerangkeng besi yang tiba-tiba tertarik ke atas itu membuat Hwa-i Sin-kai dan Mei Hong berdiri kembali di lantai atas, meninggalkan lubang sumur yang ada di bawah kaki mereka.

   "Ha-ha, bagaimana, Sin-kai? Kau lihat aku lebih pandai dari kalian, bukan?"

   Hwa-i Sin-kai memegang jeruji kerangkeng.

   Dia mengerahkan tenaga, membetot jeruji itu dengan muka merah padam.

   Dan sekali dia mengeluarkan seruan keras tiba-tiba jeruji itu bengkok dan melesat ke dalam.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hwa-i Sin-kai sudah melompat keluar, dan Hap-taijin yang kaget oleh lolosnya pengemis ini tiba-tiba melompat mundur sambil berteriak.

   "Hei...!"

   Tapi Hwa-i Sin-kai keburu mencekal lehernya. Pembesar yang hendak menekan tombol rahasia lain untuk mencelakakan mereka itu tahu-tahu sudah ditangkap, dan Hwa-i Sin-kai yang marah oleh kecurangan laki-laki ini membanting lawannya.

   "Hap-taijin, kau anjing busuk tak tahu malu. Enyahlah... bress!"

   Hap-taijin terguling-guling.

   Dia menjerit kesakitan oleh bantingan itu, dan Hwa-i Sin-kai yang melihat lima orang pengawal maju membantu untuk menyelamatkan pembesar itu sudah melengking dan mengayun kaki tangannya.

   Dia memberi pukulan pada lima orang pengawal itu, dan baru mereka maju tahu-tahu kelimanya sudah terpelanting roboh dan memekik dengan senjata mencelat! "Hong-ji, bawa pembesar ini...!"

   Mei Hong tersenyum dingin.

   Dia juga sudah keluar dari kerangkeng besi itu.

   Mencontoh gurunya merusak jeruji, mengandalkan singkang mereka yang kuat.

   Dan Hap-taijin yang tentu saja tidak mengira dua orang guru dan murid itu mampu membengkokkan jeruji dan keluar dengan mudah tentu saja pucat dan ketakutan.

   Dia melihat Hwa-i Sin-kai merobohkan lima orang pengawalnya, lalu Mei Hong yang sudah melompat mendekatinya juga menyambar bajunya.

   "Babi gemuk, berdirilah. Usir semua anak buahmu yang maju kemari!"

   Hap-taijin menggigil. Bentakan Mei Hong yang galak serta dingin itu membuat dia gentar bukan main. Maka ketika belasan pengawal masuk mendengar suara ribut-ribut itu buru-buru pembesar ini berteriak.

   "Anak-anak, mundurlah. Biarkan Hwa-i Sin-kai bersama muridnya keluar dari tempat ini...!"

   Tapi si pengawal she Sin tiba-tiba muncul. Dia terbelalak melihat atasannya ditangkap, dan berseru marah dia memberi aba-aba pada belasan orang itu.

   "Pengawal, serang mereka dan bebaskan Hap- taijin...!"

   Lalu mencabut golok dia sendiri sudah menerjang Mei Hong untuk menolong atasannya.

   Tapi Mei Hong menjengek.

   Melihat si kumis tebal ini menyerang ia bahkan mendengus gembira.

   Dan begitu golok lawan menyambar dirinya tiba-tiba kaki Mei Hong bergerak dari bawah menendang si tinggi besar itu.

   "Plak!"

   Si kumis tebal terkejut. Dia berteriak kaget, goloknya terpental. Dan belum dia sadar tiba-tiba jari Mei Hong sudah menampar kepalanya.

   "Orang she Sin, kau terimalah hadiahku ini...!"

   Dan tangan Mei Hong yang sudah mendarat di pelipis orang disambut pekik tinggi oleh si kumis tebal. Dia merasa disambar petir, dan Mei Hong yang sudah mendupak laki-laki itu membuat orang ini terpelanting roboh di atas lantai.

   "Brukk...!"

   Si kumis tebal berteriak.

   Dia nanar pandangannya, dan belasan pengawal yang sudah melihat laki-laki ini bergerak juga menubruk Mei Hong dan Hwa-i Sin-kai.

   Mereka mengelebatkan golok dan tombak, dan jerit kaget serta bentakan keras yang menggaduhkan suasana tiba-tiba saja membuat tempat itu menjadi ribut dan kacau.

   Hwa-i Sin-kai dan Mei Hong tiba-tiba saja harus menghadapi serangan bertubi-tubi, dan pengawal yang jatuh bangun oleh sepak terjang guru dan murid ini segera memanggil teman-temannya.

   Tak ayal, semua pengawal menyerbu masuk dan dua ratus perajurit yang tadi menjaga diluar sekonyong- konyong masuk bagai laron melihat api! Mei Hong terkejut.

   "Suhu, bagaimana dengan babi gemuk ini?"

   Hwa-i Sin-kai menggerakkan kaki tangannya.

   "Jangan bunuh, Hong-ji. Paksa agar dia mengusir orang-orangnya...!"

   Tapi Hap-taijin sudah tak mampu bicara.

   Dia sebenarnya sudah berkaok-kaok menyuruh pengawal mundur.

   Tapi Sin Lok yang menjadi gara- gara membuat segalanya kacau tak karuan.

   Mei Hong menotok pembesar ini, lalu marah oleh serbuan pengawal tiba-tiba dia melempar tubuh Hap-taijin kepada gurunya.

   "Suhu, kau bawalah orang ini. Teecu akan mencari jalan keluar...!"

   Hwa-i Sin-kai menerima tubuh pembesar itu. Dia tetap tidak mencabut tongkatnya, maka melihat Mei Hong menyambut serangan para pengawal dengan tongkat di tangan tiba-tiba kakek itu berteriak.

   "Hong-ji, jangan menurunkan tangan berdarah. Orang-orang ini rupanya dikendalikan orang lain!"

   Mei Hong terlanjur gemas.

   "Tapi mereka tidak segan-segan membunuh, suhu. Apa teecu harus tinggal diam?"

   "Ya, tapi jangan bunuh mereka, Hong-ji. Hwa-i Kai- pang tidak ingin disebut sebagai perkumpulan pemberontak!"

   Mei Hong memutar-mutar tongkatnya. Dia terpaksa mengendalikan tenaga, membuat para pengawal hanya jungkir balik dengan senjata terlepas. Dan melihat beberapa di antaranya sudah tak dapat bangun dengan tulang patah-patah Mei Hong menoleh pada gurunya.

   "Suhu, larilah. Bawa pembesar itu ke markas kita!"

   Hwa-i Sin-kai mengangguk.

   Dia sendiri juga menggerakkan kaki tangannya merobohkan setiap pengawal.

   Maka mendengar seruan itu tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat di samping Mei Hong.

   Muridnya telah membuat jalan terbuka, merobohkan musuh yang sebentar saja bergelimpangan di dekat mereka.

   Dan berseru keras Hwa-i Sin-kai tiba-tiba melayang ke atas melarikan diri.

   "Hong-ji, kemari. Tinggalkan tikus-tikus busuk itu...!"

   Mei Hong mengiyakan.

   Ia sendiri memutar tongkatnya menyerampang tujuh orang pengawal di depan, dan begitu mereka berteriak Mei Hong pun sudah melompat menyusul gurunya.

   Tapi Mei Hong tiba-tiba terkejut.

   Dia melihat sinar putih menyambar bagai kilat ke lehernya, sebuah golok yang diterbangkan seseorang yang berkepandaian tinggi.

   Dan terkejut oleh serangan gelap ini Mei Hong merendahkan tubuhnya dan melempar kepalanya ke belakang.

   "Wuut!"

   Golok meluncur terus, menyambar Hwa-i Sin-kai yang berada di sebelah kiri muridnya. Dan Mei Hong yang kaget oleh serangan golok terbang ini berteriak.

   "Suhu, awas...!"

   Tapi Hwa-i Sin-kai rupanya juga sudah mengetahui bahaya.

   Melihat muridnya diserang golok terbang kakek pengemis inipun terbelalak, tapi melihat muridnya mampu menyelamatkan diri tiba-tiba Hwa- i Sin-kai mengulurkan tangannya, menangkap golok putih itu.

   "Plak!"

   Hwa-i Sin-kai terkejut.

   Dia berteriak kaget, dan golok yang berhasil ditangkap itu menggetarkan lengannya dengan hebat sekali.

   Dan baru pengemis Hwa-i Kai-pang ini pucat mukanya sekonyong- konyong golok kedua menyambar dirinya mengarah ulu hati! "Ah...!"

   Hwa-i Sin-kai berseru perlahan.

   Golok rampasan yang ada di tangannya otomatis dia gerakkan, menangkis serangan gelap itu.

   Dan begitu dua senjata beradu tahu-tahu Hwa-i Sin-kai berteriak keras melepaskan golok rampasannya.

   Dia tidak kuat bertahan, kalah hebat oleh tenaga yang melemparkan golok.

   Dan persis goloknya patah tahu-tahu patahan golok itu jatuh menancap di dada kiri Hap-taijin.

   "Crep... augh!"

   Hap-taijin berteriak, menjerit dengan pekik tinggi.

   Dan Hwa-i Sin-kai yang kaget oleh kejadian tak diduga itu terbelalak lebar dengan muka berubah.

   Dia melihat pembesar she Hap ini berkelojotan sejenak, lalu begitu pembesar ini mengejangkan tubuhnya dua kali tiba-tiba lelaki itu sudah tak bergerak lagi dengan mata mendelik.

   Tewas! Hwa-i Sin-kai terkejut.

   Dia sudah dikurung lagi oleh ratusan prajurit yang ribut melihat atasan mereka binasa di tangan pengemis ini.

   Dan Hwa-i Sin-kai yang sudah melempar mayat pembesar itu menoleh ke kiri.

   Dia melihat sesosok bayangan jubah merah muncul, dan seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya keren tahu-tahu telah berdiri di situ.

   "Hong Beng Lama...!"

   Semua orang tiba-tiba tertegun. Mereka melihat seorang Lama jubah merah muncul seperti iblis, dan tokoh yang ditakuti Hwa-i Sin-kai ini tiba-tiba mengebutkan jubahnya.

   "Hwa-i Sin-kai, kau telah mengenal aku?"

   Hwa-i Sin-kai menjublak.

   Sebenarnya dia belum pernah melihat tokoh ini, tapi dandanannya yang menyolok serta sikapnya yang penuh wibawa membuat dia mudah menduga bahwa itu tentulah Hong Beng Lama adanya.

   Dan bahwa orang tiba-tiba telah menyebut diri sendiri seketika membuat Hwa-i Sin-kai berdebar.

   Dia pucat memandang tokoh Tibet ini, Lama berkepala gundul yang tampak gagah perkasa itu.

   Tapi menekan kegelisahannya diapun melangkah maju.

   "Hong Beng Lama, apa maksudmu melempar golok? Kenapa kau menyerang kami?"

   Hong Beng Lama tidak bergeming.

   Dia memandang tajam ketua Hwa-i Kai-pang itu, lalu mengebutkan jubahnya tiba-tiba dia menyuruh semua pengawal mundur.

   Lalu begitu semua orang tidak lagi memenuhi ruangan itu tiba-tiba Lama ini menggapaikan lengan kirinya ke belakang.

   Hong Lam mendadak muncul, dan pemuda yang tertawa menyeringai di belakang ayahnya itu melompat maju.

   "Ayah, Hwa-i Sin-kai membuat keributan?"

   Hong Beng Lama tidak bergerak.

   "Dia membunuh Hap-taijin, Lam. Apa pendapatmu tentang ini?"

   Hong Lam terbelalak. Dia memandang mayat pembesar she Hap, lalu mengerutkan alis dia berseru.

   "Hwa-i Sin-kai, kenapa kau bunuh seorang pejabat negara? Apa yang kau lakukan ini?"

   Hwa-i Sin-kai tertawa mengejek.

   "Aku tidak bermaksud membunuhnya, Hong-kongcu. Tapi golok ayahmulah yang membuat pembesar itu binasa!"

   "Hm, tapi semua orang melihat kau membunuh Hap- taijin, Sin-kai. Mana mungkin mengelak dari tuduhan ini?"

   Hwa-i Sin-kai tidak menjawab. Dia melangkah maju, dan memandang Lama tinggi besar itu dia bertanya.

   "Hong Beng Lama, apa maksudmu datang kemari? Salahkah dugaanku bahwa ini semua adalah perbuatanmu?"

   Lama itu memandang dingin.

   "Aku hanya menghendaki kau datang baik-baik, Sin-kai. Tapi bukan untuk membuat keributan."

   "Hm, kalau begitu apa maumu, Hong Beng Lama?"

   Hong Beng Lama tidak menjawab. Dia memandang puteranya, dan Hong Lam yang menyeringai di sana menggantikan ayahnya.

   "Kau diminta mengulang kesanggupanmu, Sin-kai. Ayah mengundangmu baik-baik untuk pergi ke istana Gong-taijin...!"

   Hwa-i Sin-kai melangkah mundur.

   Sekarang dia tahu, apa sebenarnya yang terjadi di balik semuanya itu.

   Kiranya perbuatan Hong Beng Lama yang hendak memaksanya untuk menuruti surat permintaannya.

   Pergi membantu Gong-taijin! Maka Hwa-i Sin-kai yang tiba-tiba tertawa ini mengeraskan dagunya.

   "Hong Beng Lama, tidak perlu kutegaskan lagi jawabanku tentang pertanyaan itu. Aku tetap menolak dan tidak bisa memenuhi permintaanmu!"

   Hong Beng Lama tetap memandang dingin. Dia acuh saja mendengar jawaban pengemis itu, dan Hong Lam yang kembali mewakili ayahnya bertanya perlahan.

   "Dan ini tetap menjadi keputusanmu, Sin- kai?"

   "Hm, tentu saja, kongcu. Kalau ayahmu main paksa tentu saja aku semakin menolak!"

   "Bagus, kalau begitu kau tahu apa akibat penolakanmu ini, Sin-kai?"

   Hwa-i Sin-kai terbelalak marah.

   "Tidak perlu mengeluarkan ancaman, kongcu. Aku tak takut menghadapi akibat penolakanku ini!"

   Hong Beng Lama tiba-tiba mendengus. Dia tidak menggerakkan kaki, tapi tubuhnya yang tahu-tahu mencelat ke depan mengejutkan Hwa-i Sin-kai.

   "Kau sudah pikir baik-baik keputusanmu ini, Sin-kai?"

   Hwa-i Sin-kai melangkah mundur. Dia tergetar melihat sikap dingin Lama tinggi besar ini, yang demikian penuh wibawa dan penuh pengaruh. Tapi mengeraskan hatinya dia coba menegakkan kepala.

   "Hong Beng Lama, tidak perlu kau mengulang pertanyaanmu. Hwa-i Sin-kai bukan laki-laki yang suka menjilat kembali omongan yang sudah dikeluarkan!"

   Hong Beng Lama mendadak menggerakkan jarinya.

   Dia menotok pengemis itu dengan totokan jarak jauh, dan suara bercuit bagai tikus mencicit mendadak mengejutkan Hwa-i Sin-kai dari kemarahannya.

   Dia tidak melihat Lama itu mengeluarkan bentakan, tapi angin tajam yang tahu-tahu menotok pundaknya membuat Hwa-i Sin- kai menjadi pucat dan melempar diri ke belakang.

   "Crit!"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hong Beng Lama mendengus.

   Hwa-i Sin-kai berhasil menyelamatkan diri, tapi ketua Hwa-i Kai-pang yang melihat lantai di mana tadi dia berada meledak kecil dan mengepulkan asap tiba-tiba saja kaget bukan main.

   Dia melompat bangun sambil membentak marah, dan Hong Beng Lama yang kembali menggerakkan jarinya menotok dari jauh disambut tangkisan kuat.

   "Hong Beng Lama, jangan harap Hwa-i Sin-kai tunduk di bawah kepandaianmu. Meskipun kau lihai tapi Hwa-i Sin-kai bukan pengecut... plak!"

   Dan Hwa-i Sin-kai yang tergetar kaget tahu-tahu terpelanting roboh oleh totokan itu.

   Dia baru saja memaki, tapi tubuh yang tahu-tahu terjungkal roboh membuat pengemis ini terkejut bagai disambar petir.

   Tapi ketika Hong Beng Lama hendak mengulangi serangannya untuk yang ketiga kalinya tiba-tiba Hong Lam berkelebat maju.

   "Ayah, tahan dulu. Biarkan pengemis ini main-main dulu denganku!"

   Hwa-i Sin-kai mengusap peluh.

   Dua gebrakan ringan yang baru saja dialaminya itu membuat dia mengeluarkan keringat dingin.

   Maklum, betapa dahsyatnya Lama jubah merah ini.

   Maka mendengar Hong Lam tiba-tiba melompat maju dan mencegah ayahnya tiba-tiba Hwa-i Sin-kai menjadi girang.

   Bukan girang karena takut menghadapi Lama itu melainkan girang karena dia akan menangkap putera Lama ini untuk dijadikan sandera bagi paksaan ayahnya! Tapi Hong Beng Lama rupanya tidak mau main- main.

   Dia membentak menyuruh puteranya itu mundur, tapi Hong Lam yang tertawa di depan ayahnya membandel.

   "Ayah, jelek-jelek Hwa-i Sin- kai bukan kelas rendahan. Masa kau tidak memperkenankan anakmu main-main sebentar dengannya?"

   Mei Hong tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia sejak tadi memandang kejadian itu, melihat betapa suhunya jatuh bangun oleh dua totokan Hong Beng Lama. Maka melihat Hong Lam maju menawarkan diri tiba-tiba iapun melompat mengajukan diri.

   "Suhu, mundurlah biarlah cecunguk ini teecu yang melayaninya!"

   Namun Hwa-i Sin-kai menggelengkan kepala.

   "Tidak, Hong-ji. Biarkan pemuda itu main-main denganku."

   "Ah, tapi dia hanya murid saja, suhu. Kenapa tidak kau serahkan padaku agar seimbang?"

   Tapi Hwa-i Sin-kai tetap menggeleng.

   Dia tidak tahu kepandaian Mei Hong yang dirahasiakan, karena itu mengkhawatirkan nasib muridnya ini di tangan lawan.

   Dan Mei Hong yang tertegun memandang suhunya terpaksa menarik napas.

   Ia sudah ditarik suhunya, menyingkir di belakang, dan Hwa-i Sin-kai yang berbisik di telinganya berkata perlahan.

   "Tenanglah, Hong-ji. Aku akan menangkap pemuda itu untuk kita sandera!"

   Mei Hong terbelalak, tapi bisikan suhunya yang amat perlahan itu tiba-tiba disambut dengusan dingin Hong Beng Lama.

   "Hwa-i Sin-kai, jangan terlalu sombong. Kau tak dapat mengalahkan puteraku!"

   Hwa-i Sin-kai terkejut. Mei Hong juga kaget, dan Hong Lam yang tertawa di depan bertanya pada ayahnya.

   "Ah, Hwa-i Sin-kai hendak menangkap aku, ayah? Dia bilang pada muridnya?"

   Hong Beng Lama, tersenyum dingin.

   "Dia bilang hendak menangkap kau untuk dijadikan sandera, Hong Lam. Dia kira kau dapat dikalahkannya!"

   Hwa-i Sin-kai terbelalak pucat. Dia tak mengira bisikannya yang lirih tadi didengar lawan, dan kaget oleh kesaktian Lama itu tiba-tiba Hwa-i Sin-kai tertawa bergelak.

   "Hong Beng Lama, telingamu benar-benar telinga setan! Kau kira aku tak dapat merobohkan muridmu? Bagaimana kalau kita bertaruh?"

   "Hm, tak perlu bertaruh, Sin-kai. Kalah menang kau harus ikut permintaanku baik-baik!"

   Hwa-i Sin-kai tak tertawa lagi. Dia telah ditolak mentah-mentah untuk coba mengambil jalan damai, maka mencabut tongkat diapun berseru marah.

   


Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id Misteri Pulau Neraka Karya Gu Long

Cari Blog Ini