Ceritasilat Novel Online

Sengketa Cupu Naga 17


Sengketa Cupu Naga Karya Batara Bagian 17



Sengketa Cupu Naga Karya dari Batara

   

   Giginya berketruk dan hidung yang kembang-kempis oleh tangis yang masih di-tahan ini tampak merah dengan pandangan kuyu.

   "Bun Hwi..."

   "Ya?"

   "Kau laki keji... kau pemuda tak berperasaan....!"

   Bun Hwi menarik napas panjang.

   "Dua kali kau memakiku seperti itu, Kiok Lan. Lalu apa sebabnya aku kau sebut tak berperasaan?"

   "Karena kau pura tak tahu isi hatiku!"

   "Eh, isi hatimu yang bagaimana sih? Apa maksudmu, Kiok Lan?"

   Kiok Lan meremas jarinya.

   "Kau..."

   Ia tampak sukar bicara. Dan Bun Hwi yang heran memandang temannya ini membantu dengan pertanyaan lembut.

   "Kau katakanlah, Kiok Lan. Aku akan mendengarnya dengan sungguh. Apa sebabnya aku kau sebut laki tak berperasaan?"

   "Karena kau membiarkan aku seorang diri di luar, Bun Hwi. Kau tak mengejarku ketika aku keluar dari kelenteng itu!"

   Bun Hwi tertegun.

   "Jadi karena itu aku lalu kau sebut tak berperasaan?"

   "Ya, habis apa lagi? Bukankah kau..... kau telah menciumku....?"

   Bun Hwi tersentak. Mukanya tiba merah, dan pelukan Kiok Lan yang tiba dilepas perlahan membuat Bun Hwi melangkah mundur dengan jantung berdebaran.

   "Kiok Lan, jangan sebut lagi peristiwa itu. Aku melakukannya karena harus menolongmu dari racun Ang-tok-ciang!"

   Kiok Lan pucat mukanya.

   "Apa maksudmu, Bun Hwi??"

   Bun Hwi menarik napas panjang.

   "Maksudku, jangan kau perpanjang lagi masalah itu, Kiok Lan. Karena bagaimanapun juga aku harus malu telah melakukannya kepadamu."

   Kiok Lan menjerit tertahan. Dia mundur selangkah, dan muka Bun Hwi yang dipandang seperti orang memandang muka setan membuat Bun Hwi membelalakkan mata dengan kaget.

   "Kiok Lan, kenapa kau?"

   Tapi gadis ini tiba merintih.

   Ia terisak, dan ucapan Bun Hwi yang se-olah berarti pemuda itu menyesali diri sendiri karena telah menciumnya itu tiba dianggap sebagai pernyataan Bun Hwi tidak suka kepadanya! Karena, kalau suka, kenapa pemuda itu harus malu? Yang berarti menyesal? Dan kalau seseorang menyesali tindakannya sendiri berarti orang itu melakukan perbuatan karena dasar terpaksa atau bersalah! Kiok Lan tiba melengking.

   Ia tertawa, bercampur dengan sisa tangisnya yang masih ada.

   Dan kecewa serta marah oleh ucapan Bun Hwi yang dianggapnya sebagai pukulan berat, tiba gadis ini melompat jauh.

   Sekali menggerakkan kaki tahu ia mencelat dari tempat itu, lari bagai dikejar kuntilanak.

   Dan Bun Hwi yang kaget melihat perobahan ini segera berteriak.

   "Kiok Lan, tunggu...!"

   Tapi Kiok Lan tak menggubris teriakannya ini.

   Ia melesat bagai kijang terkena anak panah.

   Dan Bun Hwi yang semakin kaget dan ter-heran oleh kejadian itu tiba berseru keras melayang di atas kepala gadis ini.

   Lalu begitu dia turun di depan Kiok Lan, lengannya pun terkembang dengan bentakan tinggi.

   "Kiok Lan, berhenti dulu....!"

   Tapi Kiok Lan rupanya marah. la benar kecewa, karena begitu Bun Hwi mengembangkan lengannya untuk menghadang tiba gadis ini memekik dan menghantam dada Bun Hwi dengan sepenuh kekuatan.

   "Bun Hwi, minggir....!"

   Bun Hwi terkejut. Dia tak menyangka gadis itu akan menyerangnya demikian ganas dan baru dia terbelalak tahu pukulan sudah tiba mengenai dadanya.

   "Dess!"

   Bun Hwi ter-guling.

   Dia terlempar, sesak dadanya dan mengeluh.

   Tapi Kiok Lan yang tak menghiraukan keadaannya sudah meneruskan larinya, meninggalkan dia tanpa menoleh.

   Dan Bun Hwi yang jadi tertegun oleh kemarahan gadis ini tiba melompat bangun dan mengejar lagi.

   "Kiok Lan, tunggu dulu...!"

   Tapi seruannya kembali percuma.

   Kiok Lan tak menghiraukan seruannya itu, lari terus semakin kencang.

   Dan Bun Hwi yang gemas serta khawatir oleh keadaan gadis ini tiba teringat ucapan Mei Hong bahwa Kiok Lan telah mengacau di Hwa-i Kai- pang.

   Maka mengandalkan nama ini tiba Bun Hwi berseru untuk yang ketiga kalinya.

   "Kiok Lan, tunggu dulu. Aku hendak bicara tentang tuduhan Mei Hong bahwa kau telah membuat gara gara di Hwa-i Kai-pang.....!"

   Dan betul. Kiok Lan ternyata berhenti! Gadis itu tampak beringas, memandang Bun Hwi dengan mata ber-api. Dan Bun Hwi yang sudah melompat mendekatinya bertanya gugup.

   "Kiok Lan, benarkah kau telah membuat onar di Hwa-i Kai-pang seperti yang dikatakan Mei Hong?"

   Kiok Lan berkacak pinggang.

   "Kapan kau mendengarnya, Bun Hwi?"

   "Sebelum kau sembuh."

   "Di mana kau bertemu dengan siluman betina itu?"

   Bun Hwi tersenyum pahit.

   "Di luar kota raja, ketika aku membawamu ke kelenteng tua."

   "Dan apa saja yang dia tuduhkan kepadaku? "Bahwa kau membuat gara di sana hingga Tung-hai Lo-mo mengobrak-abrik sarang itu dan memusnahkan hampir seluruh anggauta Hwa-i Kai- pang!"

   "Bagus, memang aku yang melakukannya!"

   Kiok Lan tiba berkata tinggi, menantang Bun Hwi dengan sikap penuh kemarahan.

   "Lalu apa sekarang yang hendak kau lakukan kepadaku? Menangkapku dan menyerahkanku kepada kekasihmu itu?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Aku tidak bermaksud begitu, Kiok Lan. Kenapa kau tiba marah begini? Dan kenapa kau membuat onar di Hwa-i Kai-pang, apa maksudmu?"

   Kiok Lan membanting kaki.

   "Tak perlu kau tahu, Bun Hwi. ltu bukan urusanmu, Kalau kan mau tangkap aku, tangkaplah! Serahkan diriku pada siluman betina itu!"

   Bun Hwi jadi tertawa getir.

   "Kiok Lan, sungguh aneh kau ini. Kenapa kau dengan Mei Hong demikian saling bermusuhan? Bukankah sebenarnya di antara kalian berdua tidak ada hutang-piutang jiwa?"

   "Tak perlu cerewet, Bun Hwi. Kalau kau mau tangkap aku, tangkaplah. Kalau tidak, pergilah dari sini dan jangan ganggu aku!"

   Bun Hwi mengeluh.

   "Kiok Lan, kau benar membuat aku jadi binggung. Apa salahku hingga kau marah begini? Bukankah selamanya kita saling bantu- membantu?!"

   Kiok Lan tak menjawab. Ia terisak, memutar tubuh dan berkelebat meninggalkan Bun Hwi. Dan Bun Hwi yang mendelong sendirian mendengar desisnya yang tajam.

   "Aku akan bunuh siluman betina itu, Bun Hwi! Aku akan membunuhnya dan tak mau sudah sebelum salah satu di antara kami ada yang roboh binasa!"

   Bun Hwi pucat.

   "Kiok Lan.....!"

   Tapi Kiok Lan meluncur terus.

   Ia lenyap di luar hutan, dan Bun Hwi yang tersenyum pahit tiba membanting tubuhnya duduk di atas tanah.

   Dia bingung dan ter-heran melihat sikap gadis itu yang demikian luar biasa, tapi maklum Kiok Lan tak dapat dipaksa jika bukan atas kemauannya sendiri, diapun tepekur dengan pandangan kosong.

   Sekarang dia melamun memandang jauh tanpa arah yang pasti.

   Dan Bun Hwi yang termenung di atas tanah tiba terkejut melihat sebuah tangan halus menyentuh pundaknya.

   "Bun Hwi, kau tak mengejar kekasihmu itu?"

   Bun Hwi memutar kepala. Dia melihat Mei Hong muncul di belakangnya, dan Bun Hwi yang membelalakkan mata jadi melompat bangun.

   "Mei Hong, kapan kau tiba?"

   Tapi Mei Hong menghela napas tak menjawab.

   "Bun Hwi, kenapa kau tak mengejar kekasihmu itu?"

   Bun Hwi tertegun. Dua kali gadis ini menyebut Kiok Lan sebagai "kekasihnya", sama sekali tak menghiraukan pertanyaannya. Dan Bun Hwi yang tertawa getir tiba mengguncang pundak.

   "Mei Hong, kalian berdua rupanya gadis yang sukar kumengerti tabiatnya. Bagaimana kau menyebut Kiok Lan sebagai kekasihku padahal Kiok Lan sendiri menyebutmu juga kekasihku? Apa-apaan ini?"

   Mei Hong memandangnya bersinar.

   "Kalau begitu, sebutanku salah, Bun Hwi? Kau... kau tak mencintai Kiok Lan?"

   Bun Hwi terkejut. Dia tersentak melihat Mei Hong tiba bicara soal cinta, hal yang dianggapnya berani! Tapi Bun Hwi yang tiba tertawa tak dapat menahan rasa gelinya.

   "Mei Hong, kau aneh. Kiok Lan sama sekali tak bicara tentang cinta. Bagaimana aku harus menjawabnya?"

   "Tapi gadis itu mencintaimu, Bun Hwi. Dia kecewa karena kau tak menanggapi cintanya!"

   "Hm, dari mana kau tahu?"

   "Ah, kenapa kau tanya ini, Bun Hwi? Bukankah kami sama wanita?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Mei Hong, terus terang aku pusing melihat sikap Kiok Lan itu. Apa sebetulnya salahku hingga ia marah sedemikian rupa?"

   "Karena kau tak menanggapi cintanya, Bun Hwi. Karena kau laki tolol dan canggung!"

   "Eh, kau memakiku?"

   "Tidak memaki, Bun Hwi. Tapi itu memang buktinya. Kau canggung dan tolol sekali menghadapi wanita yang mencintaimu!"

   "Mei Hong, kau tampaknya membela Kiok Ian. Apa maksudmu dalam teguran itu?"

   Mei Hong tiba terisak.

   "Bun Hwi, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Cintakah kau kepadanya, atau tidak?"

   "Hm, Kiok Lan maksudmu?"

   "Ya. Siapa lagi?"

   Bun Hwi meringis. Dia bingung. Dan Mei Hong yang melihat dia cengar-cengir tak menjawab tiba membentaknya marah.

   "Bun Hwi, kau kira aku main-main?! Kau anggap aku tidak serius?!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Wah, siapa menganggapmu main, Mei Hong? Aku tahu bahwa kau serius. Tapi bagaimana menjawab pertanyaanmu ini? Aku tak tahu tentang cinta, Mei Hong. Aku tak tahu apakah aku cinta padanya atau tidak!"

   Mei Hong terbelalak.

   "Kalau begitu bagaimana?"

   "Ya, bagaimana? Apakah kau tahu definisi tentang cinta, Mei Hong?"

   "Maksudmu?"

   "Kalau kau tahu, barangkali aku bisa menjawabnya!"

   "Ah!"

   Mei Hong tertegun. Dia terkejut memandang Bun Hwi, dan Bun Hwi yang meringis kepadanya mendesaknya lagi.

   "Kau tahu definisi cinta, Mei Hong? Kau tahu bagaimana orang sedang jatuh cinta?"

   Mei Hong terpengaruh. Ia agaknya terpancing pertanyaan ini, dan mengerutkan kening iapun mencoba menjawab.

   "Barangkali begini, Bun Hwi...."

   Mei Hong mulai menerangkan.

   "Orang jatuh cinta itu seIaIu terbayang pada orang yang dicintainya. la ber-angan untuk selalu berdekatan dengan orang yang dia cintai. Ingin berkumpul dan menikmati kemesraan. Kalau ini tidak terkabul, dia akan marah dan putus asa!"

   "Ah, hanya begitu, Mei Hong? Tidak ada tambahan lagi? Bagaimana kalau dia belum tahu wajah orang yang dicintai?"

   Mei Hong terbelalak.

   "Kau gila, Bun Hwi? Mana mungkin seseorang jatuh cinta kepada orang lain yang belum diketahui wajahnya?"

   "Hm, mungkin saja, Mei Hong. Bukankah dunia ini sering terjadi hal yang dirasa tidak mungkin? Aku, umpamanya. Sama sekali tak menyangka bahwa diam ternyata putera seorang kaisar. Padahal beberapa tahun yang lalu aku hidup sebagai buruh tani di dusun Ki-leng! Siapa tahu aku betul seorang putera kaisar?"

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tapi itu tak dapat disamakan dengan soal cinta, Bun Hwi. Itu kurang tepat kalau kau bawakan di sini! "Ya, mungkin saja. Tapi yang hendak kutekankan di sini adalah ketidakmungkinan yang kau ragukan itu, Mei Hong. Bahwa terdapat hal yang tadinya tidak mungkin tahu bisa saja menjadi sebuah kemungkinan yang nyata!"

   "Lalu?"

   "Ah, kenapa tanya aku Iagi? Bukankah aku justeru bertanya padamu tentang definisi cinta? Kalau kau balik begini aku barangkali tak bisa menjawabnya!"

   "Baiklah. Cinta itu di samping seperti yang kusebutkan di atas tentunya masih ada tambahannya lagi. Yakni bagaimana bisa memperoleh orang yang sudah kita cintai. Tentu seseorang akan berusaha untuk mendapatkannya, bukan? Karena orang yang jatuh cinta berarti orang yang ingin memasuki sebuah kebahagiaan, Bun Hwi. Karena kalau tidak tentu orang tidak akan meneruskan usahanya untuk memperoleh cara bagaimana dia bisa mendapatkan orang yang dia cintai."

   "Hm, kalau cinta ternyata hanya sepihak saja?"

   "Aku tak bicara tentang itu, Bun Hwi. Yang kubicarakan adalah cinta yang sudah terjalin di kedua pihak!"

   "Lho, kau mau menangnya sendiri, Mei Hong. Kalau begitu tentu saja sudah tidak ada persoalan!"

   Bun Hwi tertawa. Mei Hong tiba tertegun. Dan gadis ini jadi bingung ini tiba menghentikan definisinya tentang cinta.

   "Bun Hwi, kau memutus anganku tentang cinta. Kalau begitu, bagaimana pendapatmu?"

   "Hm, barangkali begini, Mei Hong. Orang yang jatuh cinta itu adalah orang yang menginginkan sesuatu yang nikmat dari pasangannya yang dicinta. Kalau itu terdapat, barangkali itulah namanya kebahagiaan!"

   "Maksudmu bagaimana? Apa yang kau maksud dengan sesuatu yang nikmat tadi?"

   Bun Hwi tertawa.

   "Aku sukar menerangkannya, Mei Hong. Tapi orang jatuh cinta tentunya tertarik pada sesuatu bagian dari orang yang dicintanya. Entah itu hidungnya atau mulutnya atau apa saja yang ada di tubuh lawan jenisnya itu. Bukankah ini juga dapat kau terima?"

   "Hm, aku kurang mengerti, Bun Hwi. Tapi seIama ini apakah kau ter-bayang wajah Kiok Lan? Karena orang yang jatuh cinta tentu selalu ter-bayang wajah kekasihnya..."

   Bun Hwi terdiam. Tapi sejenak diapun bicara.

   "Aku tak begitu ter-bayang wajahnya, Hei Hong. Tapi bagaimanapun ada rasa suka di hatiku. Apalagi dulu dialah yang menyelamatkan aku dari kekejaman Bhong-loya."

   "Dan kau tidak ber-angan untuk selalu berdekatan dengannya? Tidak ingin merasakan kemesraan dengannya?"

   "Wah...!"

   Bun Hwi menyeringai.

   "Bagaimana harus menjawabnya, ya? Apakah cinta itu selalu berhubungan dengan kemesraan, Mei Hong? Apakah terbayang wajah kekasih berarti kita juga harus membayangkan kemesraannya?"

   "Tentu saja, Bun Hwi. Bukankah itu adalah cinta?"

   Bun Hwi memandang gadis ini.

   "Kalau begitu, kau pernah jatuh cinta, Mei Hong? Kau pernah membayangkan wajah kekasihmu itu dan meng- angankan kemesraan dengannya?"

   Mei Hong terkejut.

   "Bun Hwi, kau jangan kurang ajar! Aku tidak suka kau permainkan!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Lho, aku tidak meng-olokmu, Mei Hong. Tapi kalau kau tersinggung, sudahlah, aku tak bicara soal ini. Sekarang kuulangi lagi pertanyaanmu tadi. Apakah aku ter-bayang dan ingin berdekatan dengan Kiok Lan?"

   Bun Hwi terpekur sekarang. Dia tak segera menjawab pertanyaan ini, dan Mei Hong yang kelihatan tegang tiba bertanya lirih, suaranya agak bergetar.

   "Bun Hwi, coba kau ingat saja. Di antara kami berdua, siapakah yang paling mengesankan bagimu? Adakah kesan paling kuat yang pernah kau rasakan dari salah satu di antara kami?"

   Bun Hwi mengangkat muka.

   "Maksudnya bagaimana, Mei Hong? Apakah kalau ada kesan yang kuat dari seseorang berartii kita mencintai orang itu?"

   "Ya."

   "Hm, kalau begitu ada."

   Mei Hong tiba bergetar.

   "Siapa, Bun Hwi? Kiok Lan, kah?"

   Bun Hwi memandang aneh.

   Dia agak heran melihat Mei Hong tiba menggigil, mukanya pucat dan matanya basah.

   Bun Bun Hwi yang melihat gadis ini tampak gemetar tiba tertusuk perasaannya.

   Dia terharu, dan wajah Mei Hong yang lembut tiba membuat hatinya tergetar.

   Bagaimanapun, dia tiba saja teringat segala suka-dukanya bersama gadis ini.

   Mulai pertemuan mereka di kota Lauw-yang, sampai perpisahan mereka di dalam hutan, di saat Hwa-i Sin kai muncul dan membawa gadis ini bersamanya di markas Hwa-i Kai-pang.

   Dan bahwa Mei Hong diam menarik perhatiannya tak dapat disangkal membuat dia mempunyai kesan khusus terhadap gadis yang satu ini.

   Tapi Bun Hwi yang sukar bicara tiba menarik napas.

   "Mei Hong, coba kaujawab dulu satu pertanyaanku ini. Adakah kesan istimewa yang kau rasakan bersamaku?"

   Mei Hong menunduk.

   "Tak seharusnya kau tanyakan itu, Bun Hwi. Tapi kalau kau desak memang harus kujawab. .....ada!"

   "Hm, tentang apa, itu?"

   "Tentang terbelenggunya kita di ruang bawah tanah di kota Lauw-yang!"

   "Ah, apa anehnya itu, Mei Hong?"

   Mei Hong tiba mengangkat muka.

   "Ada yang aneh, Bun Hwi. Ada yang luar biasa yang terjadi waktu itu!"

   "Tentang apa?"

   "Waktu kau.... waktu kau......"

   Mei Hong tercekat. Ia kelihatan jengah, dan Bun Hwi yang melihat gadis ini tak meneruskan katanya jadi heran.

   "Waktu aku kenapa, Mei Hong? Adakah sesuatu yang demikian istimewa waktu itu?"

   "Ya, kau... kau ingat satu hal, Bun Hwi?"

   "Tentang apa?"

   "Waktu kau ingin buang air kecil. Betapa kita terbelenggu dan kau ngocor di sampingku begitu saja!"

   "Ah!"

   Bun Hwi jadi merah mukanya. Dia sekarang teringat kejadian waktu itu, betapa dia "pipis"

   Dalam keadaan terbelenggu, sementara Mei Hong melengos mendengar suara berkericiknya "hujan turun"! Dan Bun Hwi tiba tertawa bergelak tak dapat menahan rasa geli hatinya.

   "Ha-ha, memang waktu itu kita sama terbelenggu, Mei Hong. Betapa secara nakal aku terpaksa ngocor di sampingmu. Tapi bukankah itu merupakan masa kanak kita, Mei Hong? Kenapa kau demikian terkesan tampaknya?"

   Mei Hong tak menjawab. Ia sendiri merah mukanya, menunduk. Dan Bun Hwi yang menyeringai lebar tiba menarik napas.

   "Sudahlah, sejak kanak aku memang nakal. Kita boleh kembali pada pembicaraan semula, Mei long? Apalagi yang ingin kau tanyakan?"

   Mei Hong sekarang mengangkat mukanya.

   "Aku ingin mengulang pertanyaan tadi, Bun Hwi. Adakah yang paling berkesan di antara kami dua orang gadis."

   "Hm, ada, Mei Hong. Tapi semuanya sama berkesan. Baik kau maupun Kiok Lan meninggalkan kesan sendiri kepadaku, tidak ada yang paling unggul. Tapi kalau kau hendak menghubungkan ini dengan cinta, aku sendiri jadi bingung."

   "Apa maksudmu, Bun Hwi? Apakah Kiok Lan tidak kau cinta dengan arti seperti yang kuberitahukan tadi?"

   Bun Hwi mengangkat pundak.

   "Aku tak tahu tentang cinta, Mei Mong. Terus terang aku bingung kalau bicara tentang cinta."

   "Tapi kau tahu bahwa Kiok Lan mencintaimu, Bun Hwi. Kau tahu itu semenjak kita berdua mendengarnya di dalam hutan di luar kota Lauw- yang!"

   "Ya, memang. Tapi apakah berarti aku lalu juga mencintainya, Mei Hong? Aku tak tahu tentang cinta, bagaimana harus menjawabnya?"

   Mei Hong tampak sedikit marah.

   "Tapi kan se- tidaknya tahu tentang arti cinta, Bun Hwi. Bahwa orang yang mencintai orang lain selalu teringat dan membayangkan wajah orang yang dicinta. Setidaknya, ada perasaan indah di hatinya, ingin berdua dan berkumpul bermesraan. Masa kau tak mengerti ini?!"

   "Hm, mengerti juga, Mei Hong. Tapi"

   "Tapi tak usah berpanjang lebar lagi, Bun Hwi!"

   Mei Hong tiba memotong.

   "Sekarang jawab saja pertanyaan ini. Kau suka atau tidak kepada gadis itu?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Suka dan tidak suka apakah ada hubungannya dengan cinta, Mei Hong?"

   "Tentu saja. Sekarang bagaimana perasaanmu terhadap gadis itu? Adakah rasa suka atau tidak kepadanya?"

   Bun Hwi tiba meringis.

   "Wah, kalau rasa suka sih memang ada, Mei Hong. Tapi jangan hubungkan dulu rasa ini dengan cinta. Baaimana kalau aku juga suka kepadamu? Apakah itu juga namanya cinta?"

   Mei Hong terbelalak. Ia melangkah mundur, san muka Mei Hong yang merah sampai telinga membuat gadis ini kelihatan kaget dengan rasa jengah.

   "Bun Hwi, kau juga ada rasa suka kepadaku?"

   "Ya."

   "Dan mana yang lebih kau sukai? Aku utaukah murid Thian-San Giok-li itu?"

   Bun Hwi sukar menjawab.

   "Kalian berdua sama kusuka, Mei Hong. Tapi mana yang lebih menarik kiranya susah juga kujawab. Bagaimana kalau kubilang saja separoh-separoh? Artinya, baik kau maupun Kiok Lan mempubyai bagian yang sama banyak di hatiku!"

   "Hm...!"

   Mei Hong tiba berkilat matanya.

   "Kalau begitu kau pemuda mata keranjang, Bun Hwi. Benar juga kata puteri Hu taijin bahwa agaknya semua gadis cantikpun kau suka. Kau tidak bisa menaruh rasa cinta pada keduanya. Harus kau pilih salah satu. Kalau tidak berarti kau mempermainkan cinta!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Bagaimana kau bilang begitu, Mei Hong? Bukankah..."

   "Tak perlu banyak omong lagi, Bun Hwi. Aku sebal mendengar katamu yang ber-belit ini. Sudahlah, aku ingin mencari murid Thian-san Giok-li itu dan lihat siapa yang lebih kau suka!"

   Mei Hong tiba berkelebat, memutar tubuh dan lari meninggalkan Bun Hwi.

   Dan Bun HWi yang melenggong di tempatnya seketika pucat.

   Tapi sebelum dia memanggil gadis ini tiba suara batuk yang sudah dikenal mendadak muncul di sebelah kirinya.

   Dan Bun Hwi yang melihat wanita misterius itu tahu sudah batuk di sebelahnya jadi kaget bukan main.

   "Kouwnio....?!"

   Wanita berkerudung itu tersenyum. Ia masih batuk, tapi suaranya yang jelas terdengar menegur Bun Hwi dengan ucapan lembut;

   "Ya, aku, Bun Hwi. Sudah lama kudengar pembicaraan kalian tentang cinta. Kenapa kau tidak katakan terus terang saja kepada gadis nomor dua itu bahwa kau lebih mencintainya dari murid Thian-san Giok-li?"

   Bun Hwi tertegun.

   "Apa katamu, kouwnio? Aku.... aku......"

   "Ya, kau lebih mencintai gadis itu tadi daripada yang pertama, Bun Hwi. Aku melihat semuanya ini dengan jelas."

   "Ah....!"

   Bun Hwi melompat maju.

   "Kau siapakah, kouwnuo? Kenapa kau menyelidiki gerak-gerikku?"

   Wanita berkerudung itu tiba menghela napas.

   "Aku mendapat pesan seseorang untukmu, Bun Hwi. Ingin menyampaikan sebuah surat kepadamu!"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Surat? Dari siapa, kouwnio?"

   "Ibumu!"

   Bun Hwi kaget bukan kepalang. Dia sampai terlonjak, dan wanita berkerudung hitam yang tiba berkata keren membuka mulutnya.

   "Aku hanya ingin memberitahukan padamu, Bun Hwi. Bahwa kematian Ibumu sudah dekat. Kalau kau ingin ke dusun Ki- leng barangkali selamanya kau tak bakal lagi jumpa dengan ibumu. Dan dia yang menitipkan surat ini mohon kebijaksanaanmu sendiri untuk memutuskannya. Ke dusun Ki-leng dahulu ataukah menengok ibumu itu!"

   Bun Hwi tertegun.

   Dia melihat wanita berkerudung itu mengambil surat, melemparkannya dengan sikap acuh tak acuh.

   Dan Bun Hwi yang cepat menerima surat ini segera membuka dan membacanya.

   Ternyata di situ tergores tulisan tangan seorang wanita, lembut dan halus dengan huruf yang terang.

   Dan Bun Hwi yang berdebar jantungnya segera membaca.

   "Anakku..."

   Bun Hwi tergetar membaca kalimat pertama ini.

   "Berhubung ajal sudah dekat, bolehlah kau pilih mana yang hendak kau dahulukan. Menengok ibumu ini ataukah menyelesaikan urusan tanah temanmu di dusun Ki-leng. Ibu telah mendengar keberhasilanmu, melihat perjuanganmu dari jauh. Dan gembira serta bangga melihat semua sepak terjangmu ibu berharap kau kelak menerima kedudukan putera mahkota di Kerajaan Tang! Ibu berada di Lembah Duka, kalau ingin kau tengok boleh. Tapi, carilah dahulu Mustika Batu Bintang untuk menyelamatkan jiwa ibumu ini. Kau tentu telah mendengarnya dari pamanmu, bukan? Hanya kau yang kuharap. Nyawa ibu tinggal tiga hari! Sekian. Dari ibumu."

   Bun Hwi terkejut.

   Dia berdetak keras melihat surat itu yang menyatakan jiwa ibunya tinggal tiga hari.

   Waktu yang benar terlampau dekat! Dan Bun Hwi yang segera melipat surat mengangkat muka memandang gemetar wanita berkerudung hitam.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tapi Bun Hwi tertegun.

   Orang yang dicari tak ada lagi.

   Lenyap! "Kouwnio...."

   Bun Hwi terkejut.

   Dia melompat men- cari wanita ini, tapi wanita berkerudung hitam yang benar telah lenyap dari depannya tak meninggalkan jejak.

   Rupanya wanita itu telah pergi ketika dia membaca surat! Maka Bun Hwi yang jadi gelisah serta penasaran ini akhirnya me-manggil.

   "Kouwnio, tunggu dulu...! Di mana kau...?"

   Bun Hwi ber-putar.

   Dia mencari di semua sudut, tapi bayangan wanita berkerudung yang tidak tampak lagi akhirnya membuat Bun Hwi melayang naik di atas sebuah pohon.

   Dan begitu dia tiba di puncak pohon ini kelihatanlah sebuah titik hitam yang kecil sekali jauh di depan sana! "Ah, kouwnio, tunggu dulu...!"

   Bun Hwi melompat turun, kaget melihat wanita itu telah demikian jauh jaraknya dengan dia.

   Dan cemas serta gelisah oleh kabar ibunya tiba Bun Hwi mengejar mengerahkan ginkangnya.

   Dia berlari cepat mengejar wanita itu, dan begitu kakinya bergerak tahu Bun Hwi telah meluncur bagai terbang mendekati wanita ini.

   Sebentar saja Bun Hwi berhasil memperpendek jarak, dan begitu dia mendekati wanita ini berteriaklah Bun Hwi dengan suara parau.

   "Kouwnio, tunggu dulu. Aku ingin tahu di mana mencari Mustika Batu Bintang itu!"

   Wanita di depan tak menoleh. I melambaikan tangan, dan berseru perlahan ia menjawab.

   "Kau dapat mencarinya di Pegunungan Cin-Iing, Bun Hwi. Cari saja ular Pek-hui-coa yang bertapa di bukit Lilin Hitam.....!"

   Bun Hwi tertegun.

   Dia melihat wanita berkerudung hitam itu lenyap di balik sebuah tikungan.

   Dan Bun Hwi yang terbelalak memandang segera berhenti.

   Dia termangu, menjublak bengong bagai orang kebingungan.

   Tapi Bun Hwi yang menggigit bibir tiba memutar arah.

   Dia berlari lagi mengerahkan ginkangnya, menuju ke barat.

   Tidak mengejar si wanita berkerudung melainkan menuju ke Pegunungan Cin-ling.

   Dan Bun Hwi yang sudah ter- gesa menggerakkan kakinya segera terbang ke Pegunungan Cin-ling mencari bukit Lilin Hitam! *Oz* Kini Bun Hwi sudah tiba di Pegunungan Cin-ling.

   Dua hari dia melakukan perjalanan, siang-malam tak pernah berhenti.

   Dan Bun Hwi, yang sudah berada di pegunungan yang luas ini mulai ber-tanya pada penduduk dusun di mana itu letaknya bukit Lilin Hitam.

   Dan Bun Hwi akhirnya mendapat penjelasan di mana letak bukit Lilin Hitam itu, yang berada di sebelah utara Pegunungan Cin-ling.

   Dan Bun Hwi yang sudah berada di kaki bukit Lilin Hitam segera tertegun di sini.

   Dia mengusap peluh, memandang ke atas bukit yang merupakan gundukan batu karang gundul yang bentuknya bulat, mirip lilin.

   Dan warna hitam di puncak batu karang itu rupanya membuat orang menamai bukit ini bukit Lilin Hitam.

   Dan itu memang pantas.

   Tak ada yang aneh kecuali bentuk batu karang di puncak bukit itu.

   Dan Bun Hwi yang beristirahat sejenak tiba membanting pantat di atas tanah sambil mengebutkan bajunya.

   Dia harus mencari ular Pek-hui-coa.

   Tapi di mana ular itu bersembunyi? Bukit ini bukan bukit yang kecil.

   Wilayahnya cukup luas.

   Dan kalau dia harus mengitari bukit itu barangkali Iari juga belum ketemu! Bun Hwi mengeluh.

   Kalau bukan keadaan sudah mendesaknya sedemikian rupa barangkali ia tidak begitu bingung.

   Tapi surat ibunya yang menyatakan nyawa sudah tinggal beberapa hari lagi membuat dia berpikir keras dan harus memperjuangkan itu dengan kerja ekstra.

   Hm! Bun Hwi mendesis.

   Dia heran akan penyakit ibunya itu.

   Penyakit apakah? Kenapa hanya bisa sembuh dengan obat Mustika Batu Bintang? Dan bagaimana bentuk mustika itu? Tiba Bun Hwi menoleh.

   Ada seseorang muncul di sebelah kanannya, seorang nenek yang menggendong kayu di punggungnya.

   Dia melihat nenek itu muncul tanpa didengar lankah kakinya.

   Bun Hwi bangkit berdiri dengan kaget.

   "Hei, kau sedang apa, nek?"

   Nenek itu menoleh. Bun Hwi melihat mulutnya yang kempot, dan perempuan tua yang tiba terkekeh itu tampak terkejut juga ditegur Bun Hwi.

   "Anak muda, kau sedang melakukan apa pula di tempat ini? Kenapa mengejutkan aku yang mencari kayu bakar?"

   Bun Hwi melompat maju.

   "Aku hendak mencari sesuatu, nek. Tapi tidak tahu di manakah benda yang hendak kucari itu."

   "Hm, kau hendak mencari apa?"

   "Seekor ular. Ular besar yang sedang bertapa!"

   "Pek-hui-coa?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Dari mana kau tahu, nek?"

   "He-heh!"

   Nenek itu tiba tertawa.

   "Orang yang ke mari pasti ingin mencari ular sakti itu, anak muda. Tapi sebaiknya kusarankan dulu jangan coba mengganggu ular yang dahsyat. Dia merupakan dewa penjaga gunung, tak boleh diganggu sembarang orang apalagi orang asing!"

   Bun Hwi tertegun.

   "Kau tahu tempatnya? Kau tahu di mana ular itu bertapa?"

   Si nenek menyipitkan mata.

   "Tentu saja, anak muda. Tapi jangan nekat melanggar saranku. Ular itu kebal, tak mampu dibacok senjata apapun. Dan usianya yang sudah ratusan tahun tqk mungkin dapat dikalahkan manusia!"

   "Hem...."

   Bun Hwi tersenyum.

   "Aku tidak takut, nek. Asal kau memberitahukan di mana ular itu bersembunyi pasti aku sanggup membunuhnya!"

   Si nenek terbelalak.

   "Kau nekat?"

   "Terpaksa, nek. Demi menolong orang yang mempunyai hubungan dekat denganku."

   "Siapa?"

   "Ibuku!"

   "Hm...."

   Si nenek tiba tertawa mengejek.

   "Kau tak mungkin berhasil, anak muda. Pek-hui-coa sudah ber-kali ditangkap orang tapi selalu menang. Ular itu tak dapat dikalahkan. Kalau kau nekat sama artinya dengan bunuh diri!"

   Dan si nenek yang tiba memutar tubuh sudah mengayun langkahnya meninggalkan Bun Hwi dengan kedua kakinya yang bergerak cepat.

   Bun Hwi terkejut dan terbelalak memandang nenek ini tiba dia mengerahkan ginkang melompati kepala nenek ini dan turun dengan ringan di depannya.

   "Nenek tua, tunggu dulu. Aku ingin kau ceritakan di mana ular itu berada?!"

   Nenek ini terkejut. Ia terbelalak melihat Bun Hwi tahu menghadang di depannya. Tapi tersenyum aneh dia bertanya.

   "Kau ingin melanjutkan niatmu itu, anak muda? Kau ingin ditelan ular sakti itu?"

   Bun Hwi menyeringai lebar.

   "Aku ingin mencoba kehebatannya, nek. Aku terpaksa melakukan ini untuk menolong jiwa ibuku!"

   "Hm, baiklah....!"

   Si nenek tertawa aneh.

   "Kalau begitu terus saja naik ke batu karang itu. Dia bersembunyi di sana, di dalam sebuah lubang di puncak Lilin Hitam!"

   Bun Hwi girang.

   "Terima kasih, nek. Semoga aku berhasil mencari ular sakti itu.!"

   Si nenek tak menghiraukan.

   Ia ter-gopoh menuruni bukit, dan kayu bakarnya yang berkeriat-keriut di belakang punggungnya itu tampak naik-turun dengan lucu di atas pinggulnya yang tipis.

   Tapi Bun Hwi tak menghiraukan ini.

   Dia sudah bergegas naik menuju batu karang di atas sana, dan Bun Hwi yang dilanda rasa tegang serta gembira oleh penemuannya ini tak tahu betapa si nenek tua yang tadi menggendong kayu bakarnya itu mendadak melempar semua kayu yang ada di punggungnya dan memutar tubuh mengejar Bun Hwi, lincah mengikuti jejak anak muda ini merayap ke batu Lilin Hitam! Tapi Bun Hwi tak menyadari gerak-gerik si nenek tua itu.

   Dia sedang merayap hati menuju puncak Lilin Hitam.

   Dan Bun Hwi yang menahan napas serta memasang kewaspadaan itu tiba sudah berada di batu karang yang dimaksud dengan jantung berdebar.

   Batu karang ini tak begitu tinggi, paling limabelas tombak lebih sedikit.

   Tapi kerangka berserakan yang malang-melintang di sekeliling batu karang itu membuat Bun Hwi ngeri dan tergetar.

   Ada lima tengkorak yang dia lihat di mulut sebuah lubang.

   Satu di antaranya malah masih basah dengan darah yang mengental.

   Tanda belum lama seseorang terbunuh di situ! Dan Bun Hwi yang semakin ber-hati dengan semuanya ini tiba merundukkan kepalanya di celah dua buah batu.

   Dia melihat adanya sebuah lubang besar.

   Tpat di puncak batu karang itu.

   Dan Bun Hwi yang berdegup jantungnya tiba mendengar suara berkeresek lirih mirip ular yang sedang berjalan.

   Atau ular yang membetulkan letak duduknyal Dan Bun Hwi yang ingin mengetahui dari mana suara itu berasal tiba dengan berani mengangkat tubuhnya melongok di depan lubang! "Koakk...!"

   Bun Hwi kaget bukan main.

   Dia baru saja menyembulkan kepalanya di atas lubang itu, melihat betapa seekor ular besar tahu mengeluarkan pekik yang demikian dahsyat.

   Dan Bun Hwi yang hampir terpelanting dari tempat pijakannya se-konyong disambar sinar putih disertai desis yang buas! "Ah....!"

   Bun Hwi melempar tubuh. Dia berjumpalitan turun dari puncak karang hitam itu. Dan Bun Hwi yang sudah tegak di atas tanah tiba melihat munculnya seekor ular besar yang bentuknya menyeramkan.

   "Pek-hui-coa...!"

   Bun Hwi terkejut.

   Dia mendengar teriakan itu di belakangnya, suara si nenek tua yang tadi mencari kayu bakar.

   Tapi Bun Hwi yang tidak keburu menengok ke belakang tahu melihat ular di atas lubang itu meluncur turun bagai terbang.

   Ular ini menukik, jatuh dengan ekor terlebih dahulu di atas tanah.

   Dan begitu dia mendesis panjang tahu ular ini telah berdiri tegak dengan kepala terangkat memandang Bun Hwi yang ada di depannya dengan sikap buas! "Ssssh....!"

   Bun Hwi melompat mundur.

   Dia terbelalak, melihat betapa hebatnya ular putih yang ada di depannya itu.

   Karena ular yang panjangnya ada enam meter itu lingkaran tubuhnya melebihi paha seorang laki dewasa! Bun Hwi tertegun.

   Dia mendengar ular ini sekali lagi berkoak, suaranya menggetarkan dinding batu karang.

   Dan Bun Hwi yang mundur mendadak melihat ular itu menggeleserkan tubuh dengan cepat menghampirinya.

   "Ah, kau hendak membunuhku, Pek- hui-coa?"

   Bun Hwi tersenyum kecut, menenangkan hati yang berdebar tegang.

   Dan ular putih yang menghampirinya itu tiba berhenti ketika jarak mereka tinggal dua meter saja.

   Ular ini mengeluar- masukkan lidahnya, cepat sekali.

   Dan matanya yang bulat kecil tampak ber-api memandang Bun Hwi.

   Bun Hwi bersiap.

   Dia merasa tegang sekali menghadapi ular yang satu ini.

   Tampak demikian kuat dan dahsyat.

   Tapi Bun Hwi yang tak mengenal takut tiba tertawa.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Pek-hui-coa, kau ber-siap akan menyerangku?"

   Ular besar ini membuka mulutnya.

   Dia berkoak untuk yang ketiga kalinya, seolah menjawab tantangan Bun Hwi.

   Dan Bun Hwi yang melihat rongga mulut yang menganga lebar tiba tertegun melihat sinar biru yang berkilau terang di telak (langit-langit) ular putih ini.

   Ada sesuatu benda di situ, macam mustika berbentuk segi tiga.

   Dan Bun Hwi yang teringat tugasnya tiba terkejut menyadari bahwa itulah agaknya Mustika Batu Bintang.

   Tersimpan di rongga mulut ular besar ini! "Ah, itu Batu Bintang, Pek-hui-coa?"

   Pek--hui-coa mendesis. Dia tiba memanjangkan tubuh, merentang bagai seutas benang. Dan baru Bun Hwi berkata kepadanya tiba ular ini mengeluarkan pekik dan mengerutkan tubuh, melenting dan terbang menyambar kepala Bun Hwi! "Hei... !"

   Bun Hwi terkejut.

   Dia tak menduga ular ini akan menyambarnya seperti itu, terbang dengan cara mengerutkan tubuh dan melenting bagai busur melontar sebatang anak panah.

   Dan Bun Hwi yang kaget serta membelalakkan matanya tiba berkelit dan menggerakkan tangan kirinya menampar.

   "Plak!"

   Pek-hui-coa terlempar ke kanan.

   Bun Hwi merasa tangannya pedas, melihat ular itu terbanting di atas tanah untuk kemudian bangkit lagi menggoyang kepala seakan melempar pusing dan sudah menghampirinya dengan sikap penuh ancaman.

   Dan Bun Hwi yang tertegun melihat kehebatan ular ini jadi kagum dengan mata ber-sinar.

   "Kau tahan pukulan, Pek-hui-coa? Kau tak terpengaruh tamparanku?"

   Ular putih ini mendesis.

   Dia semakin marah, dan melihat Bun Hwi terbengong memandangnya se- konyong dia melompat lagi menyambar kepala Bun Hwi.

   Yang diincar selalu bagian ini, se-olah kepala Bun Hwi adalah benda yang paling nikmat dijadikan korban pertama.

   Tapi Bun Hwi yang tentu saja tidak mau menyerahkan kepalanya kembali sudah memutar tubuh dan menampar mengerahkan sinkangnya.

   "Pek-hui-coa, jangan sombong. Aku masih memerlukan kepalaku ini....plakk!"

   Dan Bun Hwi yang berhasil mendaratkan tamparannya untuk kedua kali kembali melihat ular putih itu terlempar.

   Pek-hui-coa memekik, roboh hingga ekornya meng- geliat.

   Tapi ular yang semakin marah ini tiba menjadi buas.

   Dia berkaok, lalu begitu kepalanya terangkat se-konyong tubuhnya bergerak menyambar ke bawah.

   Dia tidak lagi menyerang kepala Bun Hwi, melainkan mengincar kakinya.

   Dan Bun Hwi yang harus melompat tinggi menghindari tubrukan ini tiba dihadang ekor ular yang menggeleser memukul dari bawah.

   "Plak!"

   Bun Hwi terkejut.

   Dia terkecoh karena baru kakinya melompat turun tahu ekor Pek-hui-coa sudah bergerak dan membelit kakinya.

   Lalu, baru dia berteriak kaget tahu kepala ular ini telah menyambar dan mencaplok mukanya dengan pekik dahsyat! "Ah, kurang ajar kau, Pek-hui-coa....!"

   Bun Hwi berseru marah. Lalu begitu kepala ular menyambar hidungnya tiba Bun Hwi melengos dan menerkam leher lawannya ini.

   "Bret!"

   Bun Hwi terkejut.

   Terkamannya luput, karena leher ular demikIan licin.

   Dan Pek-hui-coa yang juga luput menerkam kepalanya tahu telah menggigit pundak dengan kedua taringnya yang tajam! Tapi Bun Hwi telah mengerahkan sinkang.

   Dia membuat dagingnya alot, dan Pek-hui-coa yang merasa pundak Bun Hwi berobah seperti karet kenyal berkoak melepaskan mulutnya.

   Dia menggigit leher Bun Hwi, dan Bun Hwi yang diserang cepat oleh ular ini tiba menggerakkan tangan menahan kepala Pek- hui-coa.

   "Rrrt...!"

   Bun Hwi berhasil.

   Dia mencekuk rahang bawah ular ini, tapi Pek-hui-coa yang memberontak tiba mengipatkan kepala.

   Ia membuat Bun Hwi terpontang-panting, dan karena leher ular ini licin maka tiba cekaman Bun Hwi lepas! Pek-hui-coa berkoak, lalu begitu ia menggerakkan tubuh tahu Bun Hwi sudah dilemparnya ke dinding batu karang.

   "Brukk!"

   Bun Hwi seakan patah tulangnya, ia merasa kedahsyatan tenaga ular besar ini. Dan marah serta kagum oleh kekuatan lawan tiba Bun Hwi membentak dan menyambar sebuah dahan yang ujungnya runcing.

   "Pek-hui-coa, kau tak dapat mengalahkan aku....!"

   Pek-hui-coa tertegun.

   Ular ini nampaknya heran melihat Bun Hwi bisa bangun lagi tak kurang suatu apa.

   Karena tenaganya untuk melempar tadi sesungguhnya dapat menghancurkan seekor kerbau yang paling kuat bagaimanapun! Tapi Bun Hwi yang sudah melompat dengan senjata di tangan disambut desis penuh kemahan oleh binatang ini.

   Dia melompat lagi, terbang menyambar Bun Hwi.

   Dan Bun Hwi yang menggerakkan dahan di tangannya tiba menusuk tubuh ular ini.

   "

   "Krak....!"

   Bun Hwi membelalakkan mata. Dia melihat dahan yang runcing di tangannya itu patah bertemu tubuh ular yang keras. Dan Pek-hui-coa yang sudah membalikkan tubuh tahu menyerang kepala Bun Hwi kembali.

   "Bocah, awas....!"

   Bun Hwi terkejut. Dia sadar oleh teriakan yang melengking ini, melihat betapa kepala Pek hui-coa sudah berada di depan matanya. Dan kaget serta heran oleh kecepatan gerak lawan Bun Hwi tiba membanting tubuh bergulingan.

   "Pek-hui-coa, kau lihai....!"

   Bun Hwi mulai pucat mukanya.

   Dia membuktikan sekarang bahwa ular ini benar hebat.

   Tapi Bun Hwi yang masih penasaran tak mengenal takut untuk mengulang lagi gebrakan selanjutnya.

   Dia melihat si nenek tua tiba muncul, berdiri terbelalak di ujung batu di seberang karang.

   Dan Bun Hwi yang tercengang oleh kehadiran nenek ini tertegun.

   "Nek, kau menyingkirlah. Tempat ini berbahaya untukmu...!"

   Si nenek tersenyum menyeringai.

   "Aku justeru ingin melihat pertarunganmu, anak muda. Pek-hui-coa tak dapat dikalahkan berkat kekebalannya. Tapi kaupun rupanya kebal, mampu menahan gigitan ular itu yang amat kuat. Heh-heh.. coba pakai belatiku ini, anak muda. Incar rongga mulutnya itu dan keluarkan mustika biru di atas telaknya!"

   Bun Hwi terkejut.

   Dia melihat si nenek melemparkan belati kecil yang panjangnya sejari, pisau yang bersinar kehitaman seperti mengandung racun.

   Tapi Bun Hwi yang mendengar pekik lawan di depannya tak dapat berpikir panjang.

   Dia sudah menerima lontaran pisau itu, dan tertarik oleh seruan nenek ini tiba dia menyambut tubrukan Pek-hui-coa yang menyambar mukanya.

   "Pek-hui-coa, hati-hati.....!"

   Bun Hwi memutar pinggang. Dia menghindar dari terkaman lawan, lalu begitu tubuh Pek-hui-coa meluncur di atas kepalanya mendadak pisau di tangannya dia tusukkan ke perut ular besar ini.

   "Crak!"

   Bun Hwi terbelalak.

   Pisaunya mental, membentur sisik yang keras bukan main.

   Dan Pek-hui-coa yang marah oleh tusukan itu tiba membalik.

   Dia mengibaskan ekornya, melecut tubuh Bun Hwi.

   Dan Bun Hwi yang terlempar oleh kibasan ini terbanting dahsyat di atas tanah.

   Bun Hwi terkejut, kaget oleh lecutan itu.

   Dan baru dia melompat bangun tahu Pek-hui-coa sudah menyerangnya ber-tubi dengan ekor dan kepalanya.

   Ular ini bergerak naik-turun, berkoak dengan penuh kemarahan.

   Dan Bun Hwi yang sebentar saja harus berlompatan ke sana-sini tiba dibuat gugup oleh debu yang berhamburan serta pohon yang ber-derak terkena angin pukulan ular sakti ini! "Ah, kau hebat, Pek-hui-coa .....

   !"

   Bun Hwi berseru kagum.

   Dia mainkan pisaunya menangkis semua serangan lawan.

   Bahkan menusuk dan menikam ber-tubi.

   Tapi balasan Pek-hui-coa yang semakin dahsyat dan tak mengenal ampun membuat Bun Hwi semakin terkejut dan tergetar perasaannya.

   Ular itu tak takut sentuhan pisaunya, bahkan siap menggigit pisaunya itu dengan mulut terbuka lebar.

   Dan Bun Hwi yang melihat ular ini men-dengus penuh kemarahan tiba dibuat kaget ketika kakinya dibelit dan dicekam ekor ular yang dahsyat tak mengenal ampun! "Ah...!"

   Bun Hwi berteriak tertahan.

   Dia tahu sudah diseret mendekati tubuh lawannya itu.

   dan kepala Pek-hui-coa yang menyambar mukanya mendadak menjulur maju mencaplok sambil berkoaj! Bun Hwi kaget bukan main.

   Dia membentak keras, dan begitu mulut Pek-hui-coa menyambar kepalanya tiba pisau yang ada di tangan digerakkan menusuk bagian dalam mulut ular raksasa ini.

   "Crep!"

   Bub Hwi berhasil.

   Dia melukai rongga mulut ular itu yang ternyata tak dapat dilindungi kekebalan.

   Tapi Bun Hwi yang dicaplok lengannya mengaduh ketika Pek-hui-coa mengatupkan mulutnya menggigit lengan Bun wi! Hal ini sakit sekali, karena kekuatan rahang ular itu mengandung tenaga yang amat dahsyat.

   Dan Bun Hwi yang menjerit oleh caplokan ular tiba menghantamkan tangan kirinya ke ubun kepala ular itu.

   "Dess!"

   Pek-hui-coa berkoak.

   Dia membuka mulut, kesakitan oleh pukulan Bun Hwi yang berat mengandung sinkang.

   Dan Bub Hwi yang sudah menarik lengannya dari mulut ular tiba melengking sambil menusukkan pisaunya ber-tubi ke bagian dalam mulut ular ini.

   Pek-hui-coa meronta, memekik dan menaikkan belitannya hingga ke dada Bun Hwi.

   Dan Bun Hwi yang sesak napasnya oleh belitan ini tiba mengeluh ketika Pek-hui-coa mencaplok dan menelan pisaunya! "Ahh....!"

   Bun Hwi membelalakkan mata.

   Ia kaget bahwa ular itu agaknya sudah mata gelap.

   Tidak menghiraukan lagi rasa sakit dalam mulutnya.

   Dan Pek-hui-coa yang memekik dahsyat tiba membuka mulut yang sudah berlumuran darah mencaplok kepala Bun Hwi! Bun Hwi terkejut, kaget oleh serangan ular raksasa ini.

   Tapi kedua tangannya yang sudah bergerak ke depan tiba menahan leher Pek-hui-coa! "Bocah, rogoh Batu Bintang di dalam mulutnya itu.

   Tarik agar dia tak dapat menyerangmu lagi!"

   Bun Hwi tertegun.

   Dia melihat si nenek tua tiba melayang turun, berseru kepadanya agar mengambil benda berkilau yang ada di telak ular raksasa ini.

   Dan Bun Hwi yang terkejut oleh seruan ini tiba lengah sekejap.

   Dia kendor, tertegun oleh ucapan si nenek tua.

   Dan Pek-hui-coa yang berkoak dahsyat tahu sudah mencaplok kepalanya dengan kekuatan dahsyat.

   Lolos dari pegangan Bun Hwi! "Crep!"

   Bun Hwi terkesiap kaget.

   Kepalanya tahu sudah masuk di dalam mulut ular, mencium bau amis yang hampir membuatnya muntah.

   Tapi Bun Hwi yang bergerak cepat tiba menggerakkan tangan kirinya mengganjal mulut ular.

   Dia menarik kepalanya lagi, melihat betapa Pek-hui-coa membelalakkan matanya yang bulat kecil, tampaknya terkejut kenapa batok kepalanya tak dapat dikeremus hancur! Dan Bun Hwi yang sudah mengganjal mulut ular itu dengan siku tangan kirinya tiba menggerakkan tangan kanannya membetot mustika di telak ular raksasa ini.

   "Rrtt....!"

   Bun Hwi mendengar raungan Pek-hui-coa yang menggetarkan dinding karang.

   Dia telah berhasil merenggut mustika Batu Bintang itu, melukai bagian dalam mulut Pek-hui- coa dengan tusukan jarinya.

   Dan begitu Bun Hwi menarik mustika biru ini dari rongga mulut lawannya, terdengarlah pekik dahsyat ular raksasa itu yang menggelepar roboh.

   Pek-hui-coa tiba lumpuh, mengatupkan mulut yang sudah luka.

   Tapi ekornya yang masih membelit Bun Hwi sebatas dada ternyata masih kencang tak berkurang tenaganya! Bun Hwi tentu saja terkejut.

   Dan sementara dia berusaha untuk melepaskan belitan ular ini, se- konyong terdengar kekeh si nenek tua yang berdiri di sebelah kanannya.

   Nenek itu berkelebat, menendangkan kakinya ke tangan Bun Hwi yang memegang mustika Batu Bintang.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan begitu Bun Hwi berteriak kaget karena batu di tangannya mencelat tiba si nenek telah menyambar mustika ini sambil ter-kekeh.

   "Hih-heh, kau benar hebat, anak muda. Tapi mustika Batu Bintang ini tak boleh kau bawa. Kau telah menghilangkan pisau hitamku, ini sebagai penggantinya. Nah, selamat tinggal....! Dan si nenek yang tiba kabur meninggalkan Bun Hwi terdengar ter-kekeh dengan amat gembiranya. Dia tak perduli Bun Hwi yang ber-teriak, dan Bun Hwi yang kaget serta marah oleh perbuatan nenek itu tiba menggeng.

   "Nenek setan, kau siapakah?"

   Si nenek sudah meluncur jauh.

   "Kau tak perlu mengetahui namaku, anak muda. Kau tentu Bun Hwi si bocah siluman itu. Aku tak mau kau kejar, hih- heh....!"

   Bun Hwi tertegun.

   Dia terkejut bahwa nenek itu ternyata sudah mengenalnya.

   Berarti dia yang terkecoh.

   Dan Bun Hwi yang marah serta khawatir melihat nenek itu kabur membawa mustika Batu Bintang tiba mengerahkan tenaga melepaskan diri dari gubatan ular besar ini.

   Tetapi Bun Hwi mencelos.

   Belitan Pek-hui-coa masih mencekamnya kuat.

   Tak dapat dia lepaskan! Dan Bun Hwi yang bingung serta gemas oleh belitan ular sakti ini mendadak menundukkan kepala dan....

   menggigit putus tubuh Pek-hui-coa! Sekarang Bun Hwi terbebas.

   Dan marah serta cemas oleh lenyapnya mustika di tangan si nenek yang tidak dikenal, Bun Hwi tiba melengking tinggi dan melompat ke depan.

   Dia mengerahkan kepandaiannya, mengejar nenek yang lenyap di kaki bukit.

   Dan Bun Hwi yang meluncur turun tiba saja telah terbang mengejar lawannya yang lenyap di sebuah tikungan.

   Bun Hwi sampai di tempat ini dalam sekejap saja, dan begitu dia men-cari tampaklah si nenek tua itu sedang berlari cepat sambil mengerahkan ginkangnya! Bun Hwi mengatupkan mulut.

   Dia gemas melihat tingkah nenek itu.

   Dan membentak nyaring tiba Bun Hwi melompat jauh menghantam pundak kanan nenek itu dengan pukulan sinkangnya "Nenek keparat, berikan mustika Batu Bintang itu....!"

   Si nenek terkejut. Ia tampak tercekat, dan kaget bahwa Bun Hwi tiba telah berada di belakangnya se-konyong nenek ini membalik dan menangkis.

   "Plak!"

   Si nenek terpelanting. Dia menjerit tertahan, dan Bun Hwi yang tahu telah menghadang di depannya membuat nenek ini terbelalak pucat dengan mata liar.

   "Bun Hwi, jangan paksa aku berlaku nekat. Pergilah... atau kalau tidak, aku akan menelan mustika Batu Bintang ini....!"

   Bun Hwi terkejut. Dia memandang marah nenek tua itu, tapi ragu bahwa si nenek mengeluarkan ucapan sungguh diapun melangkah maju dengan sikap bengis.

   "Nenek jahat, kau tak perlu menggertakku dengan ucapan kosong. Kembalikan mustika itu dan pergilah baik"

   Si nenek mundur.

   "Kau tak percaya, Bun Hwi? Kau mau minta mustika ini?"

   Bun Hwi membentak.

   "Itu bukan milikmu, orang tua. Aku yang bersusah payah dan itu diperlukan untuk menyelamatkan jiwa ibuku!"

   Si nenek tiba terkekeh.

   "Baik, kalau begitu aku akan menelannya, Bun Hwi. Dan lihat bagaimana kau hendak meminta mustika Batu Bintang ini!"

   Dan baru dia menyelesaikan bicaranya mendadak nenek itu telah benar membuka mulut dan menelan mustika Batu Bintang! Bun Hwi terbelalak dan kaget bahwa si nenek betul membuktikan omongannya tiba dia menampar nenek ini dengan pukulan sinkang.

   "Nenek jahat, kau benar keji...!"

   Dan Bun Hwi yang melompat maju tiba sudah menghantam leher nenek itu dengan penuh kemarahan.

   "Dess!"

   Si nenek terpelanting.

   Ia menjerit dan ketika Bun Hwi menyerangnya lagi untuk yang kedua kali tiba nenek ini meraup sesuatu dan melemparkan bubuk hitam ke udara.

   Bun Hwi melihat semacam pasir hitam dihamburkan nenek ini ke mukanya.

   Tapi baru dia menundukkan muka melindungi matanya se-konyong terdengar ledakan disusul lidah api menyambar ke depan.

   "Psssh...!"

   Bun Hwi terkejut. Dia mendengar si nenek terkekeh, dan perempuan tua yang sudah membalikkan tubuh itu berkelebat pergi.

   "Bun Hwi, kau tak dapat melawan api hitamku. Aku dewi api Hwee-tok Mo- li...!"

   Bun Hwi tertegun. Dia melihat si nenek melompat pergi, menghamburkan lagi bubuk hitamnya yang dapat meledak. Dan asap hitam yang segera melindungi nenek ini dari kejaran pandang matanya membuat Bun Hwi marah.

   "Hwee-tok Mo-li, kau tak boleh pergi.....!"

   Tapi si nenek tua terkekeh jauh di depan.

   Dia mengandalkan bubuk hitamnya, mengira Bub Hwi tak dapat mengejar terhalang asap tebal.

   Tapi Bun Hwi yang mengebutkan lengannya dua kali ber- turut telah berhasil membuyarkan asap hitam yang menghalangi pandang matanya ini.

   Dia melihat lagi bayangan si nenek tua, lari dengan cepat di bawah bukit.

   Dan Bun Hwi yang geram oleh tingkah laku nenek ini tiba berkelebat ke depan mengerahkan ginkangnya.

   Dia menyusul cepat, dan begitu Hwee- tok Mo-li tinggal selangkah di depannya tiba Buu Hwi menggerakan tangan mencengkeram bahu nenek tua ini.

   "Hwee-tok Mo-li, berhenti....!"

   Si nenek tua terkejut. Dia terpekik melihat Bun Hwi tahu telah menerkam bahunya, dan begitu Bun Hwi menghentikan larinya mendadak nenek ini memutar tubuh menghamburkan bubuk api ke mata Bun Hwi.

   "Bocah, lepaskan tanganmu...psshh!"

   Bun Hwi terkejut lagi.

   Dia diserang dalam jarak demikian dekat.

   Tapi geram oleh perbuatan nenek ini se-konyong Bun Hwi merendahkan tubuh dan membanting nenek itu di atas tanah.

   Hwee-tok Mo-li menjerit, dan begitu punggungnya menimpa tanah tiba saja tulang tuanya berderak seakan patah.

   "Krek!"

   Hwee-tok Mo-li mendesis. Ia mengeluh panjang, dan Bun Hwi yang sudah menginjak lehernya membentak bengis dengan penuh kemarahan.

   "Siluman tua, keluarkan mustika itu dan serahkan padaku!"

   Hwee-tok Mo-li terbelalak.

   Ia diam mengambil bubuk apinya lagi, tapi Bun Hwi hu sudah menotok pundaknya membuat nenek tua ini mendesis dengan tubuh kejang.

   Ia tak dapat menggerakkan tangannya, dan Bun Hwi yang gemas oleh perbuatan nenek ini kembali menghardik.

   "Hwee-tok Mo-li, keluarkan mustika Batu Bintang itu dan serahkan padaku....!"

   Nenek tua ini sekarang meringis. la tiba menangis, dan suaranya yang memelas terdengar gemetar memohon iba.

   "Bun Hwi, aku..... aku.... mana mungkin dapat mengeluarkan mustika itu? Kau tahu aku telah menelannya, Bun Hwi. Tak mungkin keluar kalau tidak buang air besar....!"

   Bun Hwi mengerutkan keningnya.

   "Tapi kau dapat muntahkan mustika itu, Hwee-tok Mo-li. Tak perlu menunggu sampai kau buang air besar!"

   "Ah, tapi....."

   Bun Hwi menginjak perutnya "Tak ada tetapi, nenek tua. Kau muntahkan mustika itu atau kupencet perutmu agar kau muntah sendiri!"

   Hwee-tok Mo-li pucat mukanya.

   Ia merasa Bun Hwi tidak main kini, dan gentar serta takut Bun Hwi membuktikannya tiba nenek ini mengeluarkan suara dari perut.

   la mendorong naik hawa sinkang, lalu begitu membuka mulut tiba Hwee-tok Mo-li teluh memuntahkan isi perutnya dan keluarlah mustika Batu Bintang itu! "Huekk..!!"

   Bun Hwi melepaskan injakan. Dia memungut mustika Batu Bintang itu, membersihkannya dari kotoran di atas tanah. Dan Hwee-tok Mo-li yang melompat bangun menyumpah serapah.

   "Bun Hwi, kau bocah keparat! Kau tak kenal aturan pada orang tua...!"

   Bun Hwi tak menanggapi makian ini. Dia telah menyimpan mustika Batu Bintang itu di dalam saku bajunya dan memutar tubuh tiba dia mengibaskan lengan.

   "Hwee-tok Mo-li, pergilah! Kau nenek busuk yang culas...!"

   Hwee-tok Mo-li menjerit. Nenek itu terlernpar, dan berteriak marah tiba dia melarikan diri sambil menyumpah serapah.

   "Bun Hwi, kau anak setan! Semoga terkutuk ibumu yang melahirkanmu itu....!"

   Bun Hwi memandang marah.

   Dia mau menampar mulut si nenek tua yang memaki ibunya, tapi melihat Hwee-tok Mo-li telah jauh melarikan diri diapun menarik napas panjang dan ber-sungut.

   Kurang ajar nenek itu.

   Berani benar mengutuk ibunya yang tidak bersalah! Tapi Bun Hwi yang sudah menyimpan mustika Batu Bintang tak mau lagi bercekcok dengan nenek itu.

   Dia segera memutar tubuh, dan kakinya yang bergerak menuruni bukit Lilin Hitam tiba telah kembali ke timur mencari di mana letaknya Lembah Duka! *Oz* "Bocah, perlahan dulu....!"

   Bun Hwi terkejut.

   Dia baru keluar dari Pegunungan Cin-ling ketika seorang laki memanggil namanya.

   Dia memutar tubuh, melihat seorang pengemis berjalan ter-seok dengan cepat.

   Dan Bun Hwi yang mengerutkan alis melihat pengemis ini tiba-tiba tertegun.

   "Kau siapakah?"

   Bun Hwi bertanya heran, serasa mengenal pengemis ini tapi lupa di mana. Dan si pengemis tua yang sudah terseok mendekatinya itu tiba menghela napas.

   "Kau Bun Hwi, bukan?"

   Dia balas bertanya, suaranya serak tapi cukup nyaring. Dan Bun Hwi yang mengangguk memandang curiga.

   "Ya, aku, lokai. Kau siapakah dan ada urusan apa menghentikan langkahku?"

   Pengemis itu tiba tertawa getir.

   "Aku It Tung Lokai, Bun Hwi, bekas pembantu mendiang Hwa-i Sin-kai yang tewas di tangan Ang-sai Mo-ong!"

   Bun Hwi terkejut. Sekarang dia teringat wajah pengemis ini, laki tua yang menjadi tangan kanan Hwa-i Sin-kai di samping dua orang saudaranya yang tewas di istana. Dan Bun Hwi yang kaget melihat pengemis ini mengejarnya di tempat itu bertanya heran.

   "Lokai, ada apa kau memanggilku di tempat begini jauh? Apa yang terjadi?"

   It Tung Lokai menghela napas.

   "Mei Hong tertangkap musuh, Bun Hwi. Dia terjebak di tangan Tung-hai Lo-mo bersama murid Ang-sai Mo-ong yang bernama Bhong Kiat!"

   "Ah....!"

   Bun Hwi membelalakkan mata.

   "Di mana sekarang gadis itu, lokai? Dan kapan terjadinya peristiwa itu?"

   "Dua hari yang lalu, Bun Hwi. Tepat ketika terakhir kalinya kau bertemu dengan Can Sio-cia!" .

   "Hmm..."

   Bun Hwi tergetar.

   "Lalu di mana sekarang mereka, lokai? Kau tahu tempat persembunyiannya?"

   It Tung Lokai mengangguk.

   "Di Lembah Duka, Bun Hwi. Di luar kota Ang-tong sebelah selatan kota raja!"

   Bun Hwi kaget bukan main.

   "Di Lembah Duka?"

   "Ya."

   Bun Hwi melangkah mundur. Dia seperti disambar petir, tapi It Tung Lokai yang baru selesai bicara tiba terjengkang roboh. Pengemis ini berkelojotan, dan Bun Hwi yang melihat It Tung Lokai mendelik pucat jadi semakin kaget hatinya.

   "Lokai, kau kenapakah?"

   It Tung Lokai ter-batuk.

   "Aku menelan racun, Bun Hwi.... jahanam si iblis Lautan Timur itu. Dia.... dia memberiku pil kematian tiga hari. Aku disuruh mencarimu dan akan mati kalau tidak menemukanmu dalam waktu tiga hari.....ugh!"

   It Tung Lokai kembali ter-batuk.

   Dia menyeringai, sesak dan sukar bernapas.

   Tampak kesakitan.

   Dan Bun Hwi yang tertegun oleh ucapan orang tiba berlutut untuk menolong.

   Tapi pengemis ini meng- goyangkan tangan, dan It Tung Lokai yang tiba sudah biru mukanya tersendat bicara.

   "Bun Hwi, tak usah... aku gembira telah berhasil menyampaikan berita ini... kau tolonglah gadis itu...., dia... dia mencintaimu.... !"

   It Tung Lokai tiba tiba berkelojotan, menghentikan katanya dan mengaduh hebat. Lalu begitu kepalanya ambruk di bumi pengemis tua inipun telah menghembuskan napasnya yang terakhir! "Lokai...!"

   Bun Hwi pucat mukanya.

   Dia berseru kaget, memanggil nama pengemis tua ini.

   Tapi It Tung Lo- kai yang telah menjadi mayat tak dapat menjawab seruannya.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tubuh pengemis itu telah dingin, dan Bun Hwi yang tertegun oleh kejadian ini tiba saja mendelong sambilmengepal tinju.

   Dia kaget bahwa pengemis ini menelan racun kematian, akibat perbuatan si iblis timur Tung-hai Lo-mo.

   Dan Bun Hwi yang menggeram penuh kemarahan, tiba bangkit berdiri.

   Dia menggali lubang mengubur jenasah pengemis tua itu.

   Lalu begitu pekerjaannya selesai Bun Hwi terbang ke selatan menuju ke kota Ang-tong, sebuah kota kecamatan di luar kota raja.

   Dia tidak lagi ayalan sekarang.

   Dan Bun Hwi yang sebentar saja meluncur meninggalkan Cin-ling-san telah berkelebat cepat menuju ke Lembah Duka! Sekarang dia tahu di mana lembah itu.

   Tempat yang dulu masih gelap baginya.

   Dan Bun Hwi yang mengerahkan kepandaiannya berlari cepat segera memasuki wilayah ini ketika melakukan perjalanan hampir semalam penuh.

   Dia tiba di pagi hari, tepat matahari baru muncul di langit timur.

   Dan Bun Hwi yang menggeram sambil menahan kemarahan itu tiba telah berada di mulut sebuah lembah yang masih berkabut.

   Lembah Duka! Bun Hwi mendesis.

   Dia melihat lembah itu masih mengantuk.

   Tanda keceriaan belum ada.

   Tapi Bun Hwi yang sudah melangkah memasuki mulut lembah tiba tertegun melihat sebuah bendera hitam menyanbutnya di pintu masuk! "Untuk Bun Hwi"

   Demikian dia membaca tinta putih di atas bendera hitam itu.

   Dan Bun Hwi yang melangkah lebar menghampiri bendera hitam itu segera membaca sebuah pesan untuknya, pesan dari Tung-hai Lo-mo bersama dua orang temannya, Bhong Kiat dan Pangeran Ong! Bun Hwi tertegun.

   Dia tak menyangka bahwa Pangeran Ong tiba ada di situ, bersama Tung-hai Lo-mo yang menawan Mei Hong.

   Tapi Bun Hwi yang mengepal tinju sudah menyambar bendera hitam itu dan membaca pesannya.

   Ternyata singkat saja.

   Tiga orang itu mengharap Bun Hwi datang ke Lembah Duka, mencari sebuah kuburan berbendera hitam sambil membawa Cupu Naga.

   Dan Bun Hwi yang merah mukanya tiba saja menjadi beringas.

   "Tung-hai Lo-mo, kau iblis pengecut...!"

   Bun Hwi mencampakkan bendera itu, meradang dan maklum sesuatu sedang diatur tiga orang lawan di depan.

   Dan Bun Hwi yang gelisah bahwa tiga orang musuhnya ada di Lembah Duka tiba menggerakkan kakinya berkelebat ke depan.

   Dia cemas sekali, khawatir nasib ibunya yang juga ada di lembah ini.

   Dan khawatir serta tidak tahu apakah tempat yang dipilih Tung-hai Lo-mo ini kebetulan saja atau bukan, Bun Hwi sudah cepat mencari kuburan berbendera hitam.

   Dan benar saja.

   Memasuki perut lembah ini tiba Bun Hwi telah mendapatkan banyaknya makam raja- raja di situ, kuburan keluarga Kaisar Tang yang diatur ber-deret.

   Dan Bun Hwi yang memasuki daerah ini tiba tertegun melihat sebuah bendera lagi menancap di atas sebuah kuburan paling besar! "Ha-ha, kau sudah datang, Bun Hwi?"

   Bun Hwi menoleh cepat.

   Dia melihat Tung-hai Lo-mo muncul di belakang bendera hitam itu, diiringi tiga orang laki dan dua orang wanita, Mei Hong dan si wanita berkerudung hitam! Dan Bun Hwi yang menjublak di tempatnya tiba tertegun dengan mata terbelalak.

   "Kouwnio, kau ada di antara orang jahat ini?"

   Tung-hai Lo-mo tertawa bergelak. Dia melambaikan tangan mengurung dua orang wanita utu, dan mendengar Bun Hwi bicara pada si wanita berkerudung, iblis lautan timur ini tampak gembira.

   "Bun Hwi, ibumu ada di sini. Kebetulan dia berbaik hati menyertai kami.....!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Ibuku...??!"

   Tapi sebelum dia melangkah maju tiba Pangeran Ong yang muncul di belakang Tung-hai Lo-mo tertawa mengejek.

   "Bun Hwi, tak perlu berlagak pilon. Kita bicarakan saja sekarang inti pertemuan kita!"

   "Ha-ha, menang betul, bocah. Mana itu Cupu Naga seperti yang kami beritahukan padamu?"

   Bun Hwi tergetar. Dia masih memandang wanita berkerudung hitam itu, mendengar isak tertahan yang lirih sekali. Tapi seruan dua orang lawannya membuat Bun Hwi mengalihkan perhatiannya.

   "Tung-hai Lo-mo, apa maksud kalian dengan semua perbuatan ini? Kenapa kau menangkap gadis itu dan wanita ini?"

   Tung-hai Lo-mo tertawa mengejek.

   "Seperti yang kami beritahukan, Bun Hwi. Kami ingin mengadakan tukar menukar ini dengan Cupu Naga!"

   Bun Hwi mengerutkan kening.

   "Tapi kau tidak berhak, Lo-mo. Itu warisan istana!"

   "Ha-ha, siapa bilang, Bun Hwi? Bukankah di sini ada kakakmu berdua Pangeran Ong dan Yin? Nah, tinggal kau pilih. Dua jiwa kami tukarkan dengan benda kecil itu!"

   Bun Hwi mengeram.

   "Kau licik, Lo-mo! Kau culas dan tidak berperikemanusiaan!"

   "Ha ha, terserah pendapatmu, Bun Hwi. Kau mau atau tidak membebaskan dua orang temanmu ini?"

   "Kalau aku menolak?"

   "Mereka terpaksa kami bunuh. Dan kami juga rela mati di tanganmu, Bun Hwi. Asal kami melihat kau menyaksikan ibu dan kekasihmu ini tewas di tangan kami!"

   Bun Hwi menggigil.

   "Kau manusia keji, Tung-hai Lo- mo. Kau iblis tak berjantung!"

   Bhong Kiat tiba melangkah maju.

   "Bun Hwi, tuntutan kami masih kurang. Serahkan juga tigaratus sertifikat itu kepadaku!"' Bun Hwi terbelalak.

   ""Kau memerlukannya untuk apa, Bhong Kiat?"

   "Hendak kumusnahkan. Budak di dusun itu tak boleh mendapatkan warisan tanah. Itu milik ayahku!"

   "Hm, kalau begitu kau juga bukan orang baik, Bhong Kiat. Aku tidak mungkin menyerahkan surat itu kepadamu!"

   "Dan kalau aku menghina pacarmu?"

   "Apa yang kau maksud?"

   Bhong Kiat tertawa mengejek. Dia tiba mencabut pedangnya, dan merobek baju di pundak Mei Hong dia berkata mengancam.

   "Aku akan menelanjanginya di depan matamu, Bu Hwi. Sebelum kau maju menolongnya, aku sudah me- robek seluruh pakaiannya... bret!"

   Bun Hwi terbelalak. Dia melihat Mei Hon menjerit, tapi suaranya lenyap di kerongkongan, agaknya ditotok gagu. Dan Bun Hwi yang marah oleh perbuatan pemuda ini tiba melompat maju dengan muka merah.

   "Bhong Kiat, jangan kurang ajar kau....!"

   Tapi Tung-hai Lo-mo membentaknya dari samping.

   "Bun Hwi, jangan mengancam. Setindak saja kakimu melangkah, berarti perjanjian gagal. Lihat ibumu...!"

   Bun Hwi tertegun. Dia melihat Tung-hai Lo-mo mengangkat tangannya di atas ubun wanita berkerudung, siap melempar pukulan maut! Dan Bun Hwi yang menghentikan langkahnya segera terbelalak.

   "Lo-mo, aku tak akan membiarkanmu lolos jika dua orang wanita itu kau ganggu!"

   Bun Hwi mendesis, menahan marah dan tampak ber-api mukanya. Dan Tung-hai Lo-mo yang tertawa mengejek kelihatan bersikap tenang.

   "Tak perlu mengancam, Bun Hwi. Sekarang ini kedudukanmu jelek sekali. Bagaimana keputusanmu tentang penawaran ini?"

   Bun Hwi melotot. Dia berpikir cepat menanggapi omongan iblis lautan timur itu. Tapi Tung-hai Lo-mo yang menyeringai lebar mengulapkan lengan.

   "Bun Hwi, kami tak mau lama di sini. Kau jawab saja, kau mau menerima permintaan kami atau tidak. Kalau setuju, kau dengarkanlah syarat kami yang akan kami ajukan!"

   "Hm, masih ada syarat segala, Tung-hai Lo-mo?"

   "Ha-ha, tentu saja, bocah. Bukankah kami tak mau dirugikan dalam masalah ini?"

   Bun Hwi marah. Dia menggigit bibirnya, dan mengangguk geram diapun menjawab.

   "Baiklah, aku setuju penawaran ini, Lo-mo. Dan katakan syarat apalagi agar kau segera membebaskan dua orang wanita itu!"

   Tung-hai Lo-mo tersenyum penuh kemenangan.

   Dia merogoh saku, mengambil benda kuning berkilau.

   Dan Bun Hwi yang terbelalak matanya terkejut melihat bahwa benda yang diambil kakclek iblis itu adalah tutup Cupu Naga.

   Milik Mei Hong! "Ha-ha, kau kenal ini, Bun Hwi?"

   Bun Hwi tak menjawab. Dia melihat Tung-hai Lo-mo mengangkat tinggi benda itu, dan berkata gembira dia berseru lantang.

   "Bu Hwi, seperti yang kau lihat sendiri tutup Cupu Naga telah ada di tangan kami. Kau serahkanlah sekarang bagian Cupu Naga yang lain, agar dapat kami miliki secara utuh. Dan kalau itu sudah, barulah kami akan memberitahukan syarat kami yang lain!" *Oz* (Bersambung

   Jilid 26) Pojokdukuh, 10-08-2019 ; 24.15 WIB SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 26 * * * BUN HWI membentak.

   "Tapi kau belum membebaskan mereka, Tung-hai Lo-mo. Mana mungkin aku dapat mempercayaimu?"

   "Ha-ha, kami ingin tahu dulu apakah Cupu Naga kau bawa atau tidak, Bun Hwi. Kalau tidak, menyesal sekali kami tak dapat melepaskan tawanan kami. Nah, tunjukkan dulu cupu itu dan serahkanlah kepada kami!"

   Bun Hwi hampir meledak marahnya. Tapi mengambil Cupu Naga itu, yang memang selana ini tersimpan baik di bajunya. Dan mengeluarkannya kepada Tung-hau Lo-mo dia berkata.

   "Lo-mo, terimalah. Kau memang setan keji yang tidak kenal aturan.!"

   Tung-hai Lomo segera menerima cupu ini.

   Dia tertawa bergelak dan segera memeriksanya untuk memastikan cupu tersebut asli atau bukan hingga tak menghiraukan betapa Bun Hwi diam mengambil senjata untuk merebut kembali cupu itu apabila Mei Hong dan si wanita berkerudung hitam telah dibebaskan! Tapi Tung-hai Lo-mo yang nampak puas dan berseri mukanya memandang cupu ini sudah tertawa lebar.

   Dia memasukkan cupu itu ke dalam bajunya, tak melihat betapa Pangeran Ong dan Yin mengerutkan kening melihat perbuatannya.

   Dan memandang Bun Hwi dia berkata sambil tersenyum.

   "Bun Hwi, kau memang anak jujur. Cupu ini asli... ha-ha, terima kasih atas kepercayaanmu. Nah, sekarang menyebut beberapa syarat yang hendak kami ajukan ketahuilah terlebih dulu bahwa kau harus berjanji tidak bakal mengejar kami setelah ibu dan kekasihmu di bebaskan!"

   Bun Hwi terhenyak.

   "Kau manusia siluman, Tung-hai Lo-mo!"

   Dia terkejut, memaki iblis itu yang berarti telah menggagalkan rencana untuk merebut kembali Cupu Naga. Tapi Tung-hai Lo-mo yang siap sedia melakukan pukulan maut di kepala wanita berkerudung hitam nyeringai penuh gembira.

   "Tak usah cuap, Bun Hwi. Itu sudah merupakan syarat kami yang pertama. Kau berjanji untuk tidak mengejar kami setelah kami membebaskan kekasihmu dan ibumu. Mau kan?"

   Bun Hwi berfikir. Dia tentu saja bingung mendengar perjanjian itu yang benar menyudutkan posisinya. Tapi Tung-hai Lo-mo yang tersenyum keji melanjutkan kata katanya.

   "Ini masih ada syarat lain, Bun Hwi. Karena tiga orang teman kami yang lain berhak pula mengajukan masing sebuah syarat kepadamu. Nah, kau siap mendengarnya sekarang?"

   Bun Hwi tak mampu menolak lagi. Dia menganggukkan kepalanya dengan muka merah, dan Tung-hai Lo-mo yang tertawa penuh kemenangan sudah berseru sambil memandang temannya.

   "Pertama, kutekankan kembali, kau tidak boleh mengejar kami, Bun Hwi. Kau tidak boleh merebut Cupu Naga ini dari tangan kami! Ke dua....."

   Dia menoleh ke arah Bhong Kiat.

   "dia hendak mengajukan syaratnya sendiri kepadamu..."

   Bhong Kiat sudah melangkah maju.

   "Kau harus menyerahkan surat tanah itu kepadaku, Bun Hwi!"

   "Dan ke tiga.."

   Tung-hai Lo-mo memandang Pangeran Ong dan Yin, yang meneruskan kata iblis tua itu.

   "Kau tidak boleh menduduki jabatan sebagai putera mahkota, Bun Hwi, dan kau harus segera keluar dari istana!"

   Bun Hwi tertegun mendengar tiga macam syarat yang diajukan tiga lawannya itu, dan berfikir bahwa dia harus menyelamatkan Mei Hong dan wanita berkerudung tiba saja tanpa berpikir panjang diapun mengangguk, menyatakan setuju.

   Tapi wanita berkerudung yang tidak ditotok urat gagunya se-konyong berteriak.

   "Bun Hwi, tolak semua syarat mereka. Aku tidak setuju terutama dengan syarat nomor tiga....!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Tapi ini untuk keselamatan kita semua. Mana mungin aku harus menolaknya? Ah...."

   Dan bingung dia harus menyebut wanita itu "ibu"

   Atau kouwnio karena dia belum yakin benar apakah wanita berkerudung ini betul ibunya Bun Hwi pun tiba menggeleng tegas.

   "Tidak, semua syaratmu kuterima, Lo-mo. Dan sekarang bebaskan dua orang wanita itu!"

   Tung-hai Lo-mo tertawa bergelak. Dia mendengar si wanita berkerudung mengeluh tertahan, roboh dan tiba pingsan dalam cengkeramannya. Dan iblis lautan timur yang sudah mengangkat tubuh wanita ini berseru pada Bun Hwi.

   "Bun Hwi, kau benar hebat. Ibumu sendiri berani kau tentang!"

   Katanya.

   "Nah, terimalah dia... dia ibu kandungmu...!"

   Syuuutt! Dan Tung-hai Lo-mo yang melemparkan tubuh wanita berkerudung yang pingsan itu segera diterima Bun Hwi dengan jantung berdegupan.

   Dia tidak sempat memeriksa wanita itu karena Bhong Kiat yang juga sudah mencengkeram tubuh Mei Hong tiba melemparkan tubuh gadis itu kepada Bun Hwi sambil tertawa.

   "Nah, ini juga boleh kau terima, Bun Hwi. Mudahan dia tidak sakit hati kepadamu.!"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan Bun Hwi yang cepat menerima tubuh Mei Hong melihat gadis ini mendelik kepadanya dengan baju robek di punggung akibat sentakan jari Bhong Kiat! Bun Hwi mendengar Tung-hai Lo-mo tertawa bergelak.

   Dja melihat empat orang itu memutar tubuh.

   dan Tung-hai Lo-mo yang membawa Cupu Naga berseru pada dua orang Pangeran Ong dan Yin.

   "Ji wi pangeran, sebaiknya jiwi kembali saja ke istana. Aku dan Bhong Kiat hendak pergi jauh mempelajari isi Cupu Naga yang hebat ini. Terima kasih atas bantuan jiwi yang menemukan tempat tinggal wanita yang menjadi ibu tiri kalian itu!"

   Pangeran Ong terkejut.

   "Apa maksudmu, Lo-mo?!"

   "Ha-ha, bukankah urusan kita telah selesai, jiwi pangeran? Kuulangi sekali lagi, sebaiknya jiwi kembali ke istana dan hidup baik di sana!"

   Pangeran Ong dan Yin kaget bukan main.

   "Jadi kau hendak mengkhianati kami, Lo-mo?!"

   "Ha-ha, apa gunanya cupu ini bagi kalian, pangeran? Bukankan ada putera mahkota di sana? Sekalipun Cupu Naga di tangan kalian tentu sri baginda tak mengijinkan kalian menduduki jabatan itu setelah kejahatan kalian terbuka. Sudahlah, kami pergi dulu dan selamat tinggal!"

   Tung-hai Lo-mo berkelebat, dan dua orang pangeran yang melihat kesudahan dari semua hasil rencana mereka tiba saja menjadi pucat dan berteriak marah.

   "Tung-hai Lo-mo, kembalikan dulu cupu itu....!"

   Iblis lautan timur ini tertawa bergelak.

   "Tak ada faedahnya, pangeran. Lebih baik kupelajari isinya dan kalian ber-senanglah di istana!"

   Pangeran Ong mengejar. Dia diikuti adiknya, dan sang kakak yang sudah berteriak marah ini kembali membentak.

   "Tung-hai Lo-mo, kembalikan cupu itu....!"

   Tapi Tung-hai Lo-mo tertawa menuruni lembah.

   Dia tak menggubris seruan pangeran itu, dan ketika dia melewati sebuah lubang yang merupakan pintu masuk di Lembah Duka ini dan siap keluar diikuti Bhong Kiat, tiba pangeran Ong mengambil sebuah benda yang mirip korek api.

   Benda ini sederhana bentuknya, mirip kabel kecil di sana-sini, bertombol lampu merah.

   Lalu begitu kaki Tung-hai Lo-mo menginjak daerah itu tiba saja pangeran itu menekan tombol yang mengandung arus listrik itu.

   Pengatur dinamit! "Blarr....!"

   Tung-hai Lo-mo yang ada di depan tiba berteriak dahsyat.

   Iblis tua ini terlempar, terbanting roboh dan tak bergerak lagi di atas tanah.

   Dan Bun Hwi yang terbelalak melihat kejadian tak diduga itu mendengar Pangeran Ong tertawa bergelak dan memburu menuruni lembah.

   l"Ha-ha, kau tak dapat mengkhianati kami, Tung-hai Lo-mo.

   Mampuslah....

   !"

   Bun Hwi tertegun.

   Dia melihat dua orang kakak beradik itu tertawa gembira menghampiri Tung-hai Lo-mo.

   Dan Bun Hwi yang tertarik oleh semuanya ini tanpa terasa tiba juga menggerakkan kakinya mengikuti mereka.

   Dia melihat Pangeran Ong menendang tubuh iblis tua yang tampaknya tidak bernapas lagi dengan luka disekujur tubuh terkena pecahan dinamit.

   Dan dua orang pangeran yang sudah membungkuk segera membalikan tubuh Tung-hai Lo-mo untuk mengambil Cupu Naga.

   Dan mereka ber-seri, pangeran Ong yang berhasil mendapatkan cupu ini bangkit berdiri dengan penuh kegembiraan.

   Tapi Tung-hai Lo-mo yang tak bergerak mandi darah tiba membuka mata.

   Iblis tua ini kiranya belum mati, pingsan sejenak oleh ledakan dinamit itu.

   Da begitu melihat Pangeran Ong dan Yin mengambil Cupu Naga, mendadak iblis ini merogoh sakunya dan melempar pelor beracun! "Ji-wi pangeran, kalian tak berhasil mendapatkan cupu itu...! "Dar!"

   Dan pelor beracun yang mengenai punggung dua orang pangeran ini membuat Pangeran Ong dan Yin terpekik.

   Mereka roboh terpelanting, dan jarum berbisa yang penuh mengenai tubuh mereka akibat ledakan pelor itu membuat keduanya terjerembab dengan muka pucat.

   "Tung-hai Lo-mo, kau iblis siluman....!"

   Tung-hai Lo-mo tertawa keji. Dia sendiri luka parah, melihat betapa dua orang pangeran itu berlumuran darah akibat ledakan pelor beracunnya. Dan Tung- hai Lo-mo yang tampak gembira ini terkekeh puas.

   "Kalian berdua tak patut disebut siluman, jiwi pangeran. Dan bahkan kalian tak seharusnya berbuat hal yang curang. Ha-ha, sekarang rasakan kalian akan mampus bersamaku ke dasar neraka!"

   Pangeran Ong dan Yin berkelojotan. Mereka tampak pucat sekali, dan Tung-hai Lo-mo yang masih sempat bicara, mengejek lagi.

   "Pangeran, kalian tak dapat diobati lagi. Racun jarum di pelorku ampuh sekali. Begitu memasuki urat nadj maka terus akan menuju jantung merusak jantung kalian....!"

   Dua orang pangeran itu mengeluh.

   Mereka gemetar mendelik penuh kemarahan pada Iblis lautan timur ini.

   Tapi Tung-hai Lo-mo yang tertawa mengejek se- konyong mengaduh.

   Ia berkelojoun pula, lalu begitu menjerit tertahan tahu kepala kakek iblis ini terlukai.

   Tung-hai Lo-mo tewas, dan Pangeran Ong serta Yin yang luka parah juga meng-erang.

   Mereka takut bukan main, tapi Bhong Kiat yang tiba muncul membuat keduanya terbelalak.

   "Pangeran, kalian benar jahat. Kalau sebelumnya tidak curiga pada sepak terjang kalian tentu aku telah binasa seperti Tung-hai Lo-mo ini. Nah, serahkan cupu itu kepadaku dan berbuatlah amal sebelum kematian!"

   Pangeran Ong tidak mau menyerahka cupu itu, dan Bhong Kiat yang marah oleh perbuatan pangeran ini tiba merebut secara kasar Cupu Naga yang dipegang pangeran itu.

   Lalu begitu dia menarik Cupu Naga tiba tangannya bergerak memukul tengkuk pangeran ini.

   "Pangeran, kupercepat kematian kalian untuk menyusul arwah Tung-hai Lo-mo....!"

   "plak!"

   Dan jari Bhong Kiat yang mengenai tengkuk lawannya ini membuat Pangeran Ong menjerit dan tidak bergerak lagi.

   Urat nadinya putus, dan Bhong Kiat yang juga sudah menggerakkan jarinya tiba menyelesaikan pula Pangeran Yi yang terbelalak melihat kematian kakaknya.

   Pangeran inipun menjerit, dan begitu keduanya roboh terkapar Bhong Kiat sudah tertawa bergelak mengangkat Cupu Naga.

   "Ha-ha, sekarang aku pemilik tunggal cupu ini, teman-teman. Maafkan dan sesali nasib kalian yang buruk!"

   Bhong Kiat memutar tubuh siap menuruni lembah dan meninggalkan tempat itu ketika Bun Hwi tiba muncul di depannya.

   "Bhong Kiat, kau pemuda keji!"

   Bhong Kiat terkejut. Dia mundur kaget melihat Bun Hwi tiba menghadang jalannya. Tapi Bhong Kiat untuk menenangkan diri membentak.

   "

   Bun Hwi, apa yang akan kau lakukan? Kau hendak mengambil cupu ini?!"

   Bun Hwi mengerutkan kening. Belum dia bicara Bhong Kiat pun melanjutkan kata-katanya.

   "Kau tak dapat membawa cupu ini, Bun Hwi. Kau terikat perjanjian bersama. Atau kau hendak menjilat ludah sendiri?"

   Bun Hwi tertawa hambar.

   "Aku tak akan merampas cupu itu, Bhong Kiat. Tapi kunasehatkan agar kau meninggalkan cupu itu di sini!"

   "Ah, kau hendak mengingkari janji, Bun Hwi?"

   "Tidak, tapi seseorang akan meminta cupu itu darimu."

   "Siapa?"

   Bun Hwi menuding ke belakang "Dia itulah!"

   Bhong Kiat terkejut. Dia memandang ke belakang, dan melihat siapa yang ditunjuk Bun Hwi tiba saja Bhong Kiat mengeluh dan terkesiap kaget.

   "Hu- taijin....!"

   Orang yang ditunjuk Bun Hwi menghela napas. Dia memang benar Hu taijin, Menteri Hu Kang yang sakti itu, bersama kaisar! Dan Bhong Kiat yang terkejut oleh kehadiran dua orang ini tiba berteriak nyaring dan melarikan diri.

   "Bun Hwi, kau harus melindungiku. Kau tidak boleh ikut merampas cupu ini...!"

   Bun Hwi tersenyum pahit. Dia melihat Bhong Kiat meluncur jauh, turun di kaki lembah. Tapi Menteri Hu yang mengebutkan lengannya sudah berkelebat menghadang pemuda ini.

   "Bhong Kiat, serahkan cupu itu...!"

   Bhong Kiat, memekik. Dia kaget melihat menteri ini tahu berada di depannya, tapi membentak marah tiba dia mendorongkan lengannya memukul dengan pukulan Ang-mo-kang.

   "Hu-taijin, mampuslah....!"

   Menteri Hu bersikap tenang.

   Dia tak mengelak dari pukulan ini, mengerahkan sinkang melindungi diri.

   Tapi begitu dadanya ditumbuk lengan lawan, tahu jari menteri ini telah bergerak menotok pundak Bhong Kiat.

   Bhong Kiat berteriak, merasa pundaknya lumpuh.

   Lalu begitu dia terdorong tiba Cupu Naga telah disambar menteri ini dan berada di tangannya! "Ah....!"

   Bhong Kiat tergagap. Dia pucat sekali, gemetar memandang menteri ini. Tapi Bhong Kiat yang memalingkan kepala berteriak kepada Bun Hwi.

   "Bun Hwi, kau tak boleh menjilat ludah sendiri. Kau harus melindungi dan menyerahkan cupu itu kepadaku!"

   Bun Hwi berkata keren.

   "Aku tak melanggar perjanjian, Bhong Kiat. Aku tak mengejar dan merampas cupu itu darimu. Kau berhadapan langsung dengan Hu-taijin. Kau bicaralah sendiri tentang urusan itu!"

   Bhong Kiat bingung. Dia mau membantah, tapi Hu- taijin yang menghadang keren membentak pemuda ini.

   "Bhong Kiat, kau tak boleh pergi. Kau telah membunuh Pangeran Ong dan Yin di tempat ini. Apa yang hendak kaukatakan lagi?!"

   Bhong Kiat mundur.

   "Tapi tanpa kubunuhpun mereka pasti mati sendiri, Hu-taijin. Aku hanya menolong meringankan penderitaan mereka!"

   "Hm.!"

   Menteri Hu menggeleng tegas.

   "Itu bukan jawaban, Bhong Kiat. Yang jelas kau harus mengikuti kami dan menerima hukuman!"

   Bhong Kiat melengking tinggi. Dia marah, tapi belum dia menyerang tahu Bun Hwi sudah mencengkeram bahunya.

   "Bhong Kiat, serahkan kembali surat tanah temanku itu. Nanti kumintakan ampun agar kau dapat pergi dari sini tanpa gangguan!"

   Bhong Kiat terbelalak. Dia tampaknya girang, tapi percaya Bun Hwi tidak mempermainkannya diapun sudah menyerahkan surat itu dengan mata berkedip.

   "

   Kau tidak akan bohong kan, Bun Hwi?"

   Bun Hwi memgambil surat tanah itu. Dia menarik napas panjang dan berkata sungguh dia menjawab pertanyaan pemuda ini.

   "Bhong Kiat, selama hidup aku tidak pernah mengingkari janji. Hu-taijin tentu mau mendengar pendapatku untuk membebaskanmu,"

   Lalu menoleh pada menteri pertahanan ini, Bun Hwi berkata.

   "Paman Hu, tolong kau bebaskan pemuda ini dari segala tuduhan. Dia telah kehilangan apa yang dicari. Paman tentu dapat mengerti hal ini, bukan?"

   Menteri Hu mengerutkan kening.

   "Tapi dia telah membunuh Pangeran Ong dan Yin, pangeran. Bagaimana bisa dibebaskan dari tuduhan ini?"

   "Hm, yang membunuh mereka bukan Bhong Kiat, paman. Tapi Tung-hai Lo-mo. Kakek iblis itulah yang menimpukkan pelor beracunnya. Juga, kalau di- hitung sebenarnya mereka terbunuh atas kesalahan mereka sendiri. Paman tahu tentang ini semuanya, bukan?"

   Menteri Hu mengangguk.

   "Memang tidak salah, pangeran. Tapi sebaiknya paduka minta nasihat ayahanda kaisar. Hamba kira yang lebih berhak menentukan adalah ayah pangeran..."

   Bun Hwi segera menghadap ayahnya dan mengutarakan permohonan tersebut, kaisar segera berkata.

   "Hu-taijin, permintaan puteraku adalah sama dengan yang apa yang kuucapkan. Bebaskanlah pemuda itu dan suruhlah dia pergi!"

   Bhong Kiat girang bukan main. Dia sudah melompat pergi, dan pemuda yang berteriak dengan muka gembira ini tidak menunggu perintah Hu-taijin lagi. Dia membalikkan tubuh, dan begitu kedua kakinya bergerak diapun sudah berkelebat menuruni lembah.

   "Bun Hwi, hari ini aku berhutang sebuah kebaikan padamu. Tapi ingatlah, nyawa suhu yang belum kaubayar kelak akan kuminta berikut segala perhitungannya.......!"

   Bun Hwi tertawa tak acuh. Dia tak memperdulikan ancaman pemuda itu. Tapi Menteri Hu yang mendengar ancaman ini menjadi tidah senang.

   "Pangeran, pemuda itu bisa menjadi duri kelak di kemudian hari. Kenapa kaubebaskan dia dengan cara begitu? Se-tidaknya, kita harus memberinya hukuman melenyapkan seluruh kepandaiannya!"

   Bun Hwi tak menghiraukan.

   "Ah, biarlah, paman. Bagaimanapun dia telah banyak kehilangan. Aku tak takut menghadapi ancamannya."

   "Tapi dia dapat mengganggumu dengan berbagai macam cara, pangeran. Dia itu seorang yang licik dan banyak tipu muslihatnya. Bun Hwi tersenyum maklum. Tapi sri baginda yang menjawab.

   "

   Sudahlah, Hu-taijin. Bun Hwi dapat menjaga dirinya dengan baik. Sekarang lebih baik kita tengok keadaan ibu Bun Hwi..."

   Bun Hwi dan Menteri Hu Kang terkejut, Mereka sadar, dan Bun Hwi yang sudah melompat mendahului berseru, suaranya gelisah.

   "Paman Hu, aku pergi dulu. Aku lupa memberi obatanya....!"

   Menteri Hu mengangguk.

   Dia menyusul bersama sri baginda, dan Bun Hwi yang ter-gesa menuju tempat semula jadi tertegun ketika melihat wanita berkerudung itu bersandar ter-engah di batu makam sementara Mei Hong tidak ada! "Kouwnio....eh, ibu, di mana gadis itu?"

   Wanita berkerudung berkata menggigil.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ia pergi, Bun Hwi. Menyadarkan aku dan meninggalkan sepucuk surat untukmu....!"

   Bun Hwi terkejut. Dia melihat tubuh wanita ini gemetar seperti orang kena demam. Dan kaisar serta Menteri Hu yang sudah sampai di situ tiba mengejutkan wanita ini yang membelalakkan kedua matanya.

   "Wi Hong....!"

   Wanita berkerudung hitam ini tergetar hebat. Ia nampaknya kaget dan tidak menyangka akan hadirnya kaisar di tempat itu. Dan Menteri Hu yang sudah menjura dalam segera menyampaikan permintaan maaf dengan suara lirih.

   "Sian-li (Dewi), maafkan hamba. Kerinduan kaisar tak dapat dibendung lagi untuk menemui paduka!"

   Wanita berkerudung menjerit kecil. Dia bangkit berdiri, ter-huyung dan tiba menangis. Lalu terisak memandang menteri ini ia menegur tajam.

   "Hu- taijin, kenapa kaubawa dia? bukankah kupesan aku tak mau ditemui lagi?"

   Menteri Hu menghela napas.

   "Hamba tak berdaya, Sian-li. Sri baginda sendiri yang memaksa hamba untuk menemui paduka. Beliau masih mencintai paduka dan ingin membawa paduka kembali ke istana....!"

   "Ah!"

   Wanita berkerudung terkejut. Ia menekan perut, dan kaisar yang sejak tadi tergetar memandang wanita ini tiba melangkah maju dengan suara serak.

   "Wi Hong, kenapa kan menutupi mukamu itu? Apa yang terjadi...?"

   Wanita ini meledak tangisnya. Dia menutupi muka, tampak sedih bukan main. Dan sri baginda yang tidak tahu apa yang terjadi pada wanita ini tiba segera memeluknya dan berkata.

   "Wi Hong, apa yang terjadi? Kenapa kau terlihat demikian berduka?"

   Wanita berkerudung itu semakin terguguk. Ia masih meneruskan tangisnya, tapi sadar kaisar memeluknya terharu mendadak ia melepaskan diri.

   "Sri baginda, jangan sentuh hamba....!"

   Kaisar terkejut.

   "Ada apa, Wi Hong?"

   "Hamba... hamba tak dapat lagi memberi kepuasan pada paduka sri baginda. Hamba sudah tua dan buruk rupa!"

   "Ah, tapi kau masih cantik, Wi Hong. Tubuhmu masih indah dan tidak berkeriput!"

   Kaisar menghibur, mencoba tersenyum agar selirnya yang hilang ini tidak berduka lagi. Tapi wanita berkerudung yang ternyata Wi Hong adanya itu tiba menggeleng kepala, bertambah deras tangisnya dan terhuyung.

   "Tidak, hamba. hamba tidak cantik lagi, sri baginda. Hamba tak ingin dijamah lagi oleh kasih sayang paduka..."

   "Ah, tapi aku masih mencintaimu, Wi Hong... Aku tersiksa belasan tahun lamanya semenjak kau meninggalkan istana!"

   Wi Hong masih menggeleng, ter-sedu.

   "Tapi hamba sekarang tidak sama dengan dulu, sri baginda. Hamba.... hamba.... ah!"

   Wi Hong tiba menjerit sambil me-nekan perutnya yang kesakitan dan kemudian menatap Bun Hwi dengan pandangan nanar dan tubuh gemetar.

   "Bun Hwi, anakku, kau tahu aku ibu kandungmu, bukan...?"

   Bun Hwi berlutut dengan muka berkeringat.

   "Ibu, aku... aku baru menyadari bahwa selama ini kau adalah ibuku. Kenapa tidak dari dulu kau bilang padaku...?"

   "Aku... aku malu, Bun Hwi. Ibumu ini tak berani unjuk rupa di depan orang lain"

   "Hm, kau sakit apakah, ibu?"

   "Perutku, nak. Racun Naga Lilin hari ini bekerja untuk yang terakhir kalinya. Aku kesalahan melatih lweekang... mukaku... mukaku...."

   Wanita ini tak dapat melanjutkan keterangannya. Dia merintih, menggeliat dan tiba mengejang. Lalu begitu napasnya sesak se-konyong ia berkelojotan.

   "Ibu....!"

   Bun Hwi terkesiap, kaget bahwa ibunya tiba berada dalam keadaan seperti itu.

   Dan pucat bahwa ibunya menderita penyakit berat, tiba dia teringat akan mustika Batu Bintang.

   Dengan cepat ia mengambil mustika tersebut.

   Dia segera memangku kepala ibunya seraya berkata.

   "Ibu, mustika Batu Bintang ini telah kudapatkan. Sekarang berikanlah petunjuk bagaimana cara aku mempergunakannya untuk mengobatimu, ibu..."

   Wi Hong membuka mata. Ia tampak terharu, menahan sakit dan memandang mustika Batu Bintang itu. Dan girang bahwa Bun Hwi berhasil mendapatkan mustika ini, iapun mendesis.

   "Bakar batu ini, Bun Hwi, masukkan dalam air segelas dan minumkan padaku...!"

   Bun Hwi bekerja cepat.

   Dia sudah membakar Batu Bintang itu yang tiba berkilau semakin terang.

   Dan Batu Bintang yang sebentar saja sudah panas ini segera dia masukkan dalam air dingin di sebuah mangkok.

   Aneh.

   Air yang tadinya putih mendadak berubah menjadi hijau, dan Bun Hwi yang melihat air ini mendidih jadi mengerutkan kening.

   "Ibu, airnya panas!"

   Wi Hong menggapaikan lengan. Ia meminta obat itu, memaksa Bun Hwi mendekatkan mangkok. Dan Wi Hong yang tersenyum dengan mulut gemetar itu berkata.

   "Tak apa, Bun Hwi. Air ini tampaknya saja mendidih. Tapi sebetulnya dingin...."

   Dan Wi Hong yang sudah meneguk obat Batu Bintang ini lima menit kemudian tak terlihat merintih dan kejang lagi, tubuhnya terlihat segar. Bun Hwi yang melihat perubahan ini terlihat ber-seri penuh rasa haru dan gembira.

   "Ibu, kau tak merasa sakit lagi?"

   Wi Hong bangkit berdiri. Ia mendekap Bun Hwi penuh keharuan, dan wanita yang nyaris binasa ini mendesis.

   "Berkat kau, nak. Sedikit saja terlambat, tentu ibu sudah tak bernyawa lagi di tempat ini!"

   Kaisar batuk.

   "Dan kau mau kembali ke istana, Wi Hong?"

   Wanita ini terkejut. Ia melepaskan dekapannya pada Bun Hwi, dan sadar bahwa di situ masih ada kaisar, tiba segera menjatuhkan diri berlutut.

   "Sri baginda, sebelumnya maafkanlah hamba yang telah meninggalkan istana tanpa sepwngetahuan paduka. Paduka maklum tentang kesalahan hamba, bukan? Hamba tak berdaya mencegah perbuatan Ma-taijin, sri baginda. Hamba telah mengikuti perbuatan sesat adik hamba itu. Hamba malu, di samping menyesali semua kejadian yang telah lalu juga karena hamba tak layak lagi untuk melayani paduka....!"

   "Hm, peristiwa lalu tak perlu diingat lagi, Wi Hong. Tapi kenapa kau tak mau kembali ke istana?"

   "Karena.... karena hamba sudah tua, sri baginda. Hamba sekarang tak seperti pada duapuluh tahun yang lalu...."

   Wanita ini tiba terisak. Kaisar tersenyum dan menyentuh kedua pundak selirnya, dia mengangkat bangun wanita ini.

   "Wi Hong, kau masih sama bagiku. Tak ada yang berobah selama duapuluh tahun ini. Bangkitlah, buka kerudungmu itu dan mari kita kembali ke istana....!"

   Wi Hong tiba terscntak.

   "Tidak.... tidak, sri baginda. Hamba malu menunjukkan rupa hamba pada paduka.....!"

   "Hm, kenapa, Wi Hong? Apa yang telah terjadi?"

   Wi Hong mundur-mundur.

   "Karena hamba tidak cantik lagi, sri baginda. Hamba takut paduka kecewa melihat wajah hamba.... !"

   Kaisar tertegub. Dia nampaknya terkejut mendengar ucapan ini, tapi kaisar yang melangkah maju menyentuh lengan selirnya dengan lembut.

   "Wi Hong, kau salah. Tubuhmu masih indah, sama seperti dulu. Kenapa bilang begitu untuk me-nakuti aku?"

   Wi Hong ganti tertegun. Ia tampaknya terkejut melih sikap kaisar ini, tapi melepaskan diri tiba merenggut dan siap lepas kerudung hitamnya.

   "Sri baginda, hamba tahu paduka mencintai kecantikan hamba secara lahiriah. Tapi sekarang hamba seperti ini, sri baginda. Hamba bukan Wi Hong pada duapuluh tahun yang lalu. Lihatlah...!"

   Wi Hong tiba membuka kerudungnya, dan begitu wanita ini menunjukkan wajahnya tiba saja tiga orang laki di depannya berseru kaget. Kaisar terhenyak, dan Bun Hwi yang terkejut melihat wajah ibunya ini tiba terpekik dengan seruan tertahan.

   "Ibu...!"

   Wi Hong tersenyum pahit.

   Dia melihat tiga orang di depannya itu tertegun, kaget melihat wajahnya yang luar biasa.

   Karena meskipun tubuhnya masih putih bersih adalah wajah bekas selir ini hitam, sehitam arang! Wajah yang tak dapat dibanggakan lagi, Wajah yang tidak memiliki kecantikan! Wi Hong kembali tersenyum pahit.

   "Bagaimana, sri baginda? Paduka masih menghendaki hamba kembali ke istana?"

   Kaisar menarik napas panjang. Dia menenangkan debaran hatinya yang terguncang, dan Wi Hong yang tak menyangka jawabannya mendengar kata kaisar ini, lirih dan tenang.

   "Wi Hong, sungguh tak kusangka malapetaka demikian buruk telah menimpamu. Tapi jangan menilaiku demikian rendah. Aku tak terpengaruh oleh perubahan wajahmu yg menjadi hitam. Mencari selir cantik bagi perkara yang mudah, tetapi mendapatkan seorang wanita yang luhur budi seperti engkau sangatlah sukar... Aku masih mencintaimu, Wi Hong, menyayangimu tak sebatas kulit. Kalau kau suka sekarang juga aku tetapkan menerimamu sebagai selir terkasih!"

   Wi Hong terbelalak.

   "Paduka masih mau dengan hamba, sri baginda?"

   "Ya, kenapa tidak? Bukankah kau rasakan sendiri kemurnian cinta kasihku, Wi Hong? Kita sudah sama tua, kecantikan lahiriah tak begitu berarti lagi bagiku!"

   "Ah...!"

   Wi Hong jadi terbengong. Tapi menangis keras tiba wanita ini menubruk kaisar dan ter- sedu.

   "Sri baginda, paduk tak jijik dengan wajah hamba? Paduka tak malu mempunyai selir demikian buruk?"

   "Hm, sudah kubilang, kita sudah sama tua, Wi Hong. Kecantikan lahiriah tak begitu berarti lagi bagiku. Kau masih menggairahkan, masih sama seperti duapuluh tahun yang Ialu! Kalau masalah hitam barangkali tabib istana bisa menolongmu untuk memulihkan wajahmu seperti dulu."

   Wi Hong menjerit girang.

   Wanita ini segera menyusupkan wajahnya di dada sri baginda.

   Dan Bun Hwi yang melihat ibunya dirangkul begitu mesra oleh kaisar, ayahnya, tentu saja wajahnya berubah merah dan segera melengos.

   Demikian pula Menteri Hu segera memalingkan wajahnya serta diam menyembunyikan senyum simpulnya.

   Tapi kaisar yang tengah asik meng-elus rambut selirnya ini mendadak mendengar sang selir terkasih ini mengeluh, melepaskan diri dan ber-kejap gemetar.

   "Sri baginda, bolehkah hamba bicara sesuatu hal?"

   "Hm, kau hendak bicara apa, Wi Hong?"

   "Tentang putera kita, sri baginda. Bun Hwi yang kini telah dewasa!"

   "Ya. Apa maumu?"

   Tentang perjanjian paduka itu, mewariskan tahta dan mengangkat Bun Hwi sebagai putera mahkota!"

   Bun Hwi terkejut. Kaisar juga tampaknya tertegun, dan sri baginda yang tiba murung mukanya ini menghela napas.

   "Wi Hong, sungguh persoalan kita ruwet. Duapuluh tahun kehilangan dirimu, permaisuri sekarang telah melahiran seorang putera. Bagaimana harus kukatakan hal ini?"

   Wi Hong tiba kecewa.

   "Jadi paduka menarik janji, sri baginda?"

   "Hm, bukan begitu, Wi Hong. Tapi seseorang telah terlanjur kuangkat sebagai putera mahkota menggantikan puteramu yang tak kunjung tiba. Pangeran Kao Cung telah resmi menjadi putera mahkota. Lalu bagaimana sikap yang harus kuambil?"

   "Kalau begitu paduka tak setulusnya hati mencintai hamba, sri baginda. Paduka rela menarik janji dan mengambil hak hamba!"

   Wi Hong tiba menangis, menyerang kaisar dengan kata tajam. Dan Bun Hwi yang masih bingung mendengar pembicaraan dua orang tua itu tiba melihat kaisar mengeraskan sikap.

   "Wi Hong, jangan menangis. Untuk membuktikan cinta kasihku, baiklah Pangeran Kao Cung kubatalkan kedudukannya sebagai putera mahkota. Bun Hwi telah datang, dia pewaris pertama yang pernah kutetapkan itu!"

   Wi Hong terbelalak.

   "Paduka tak main, bukan?"

   "Hm, siapa main, Wi Hong. Bukankah kubilang aku mencintaimu dengan tulus?"

   Wi Hong mengeluh gembira. Ia menubruk kaisar dengan penuh kegirangan, dan menciumi leher kaisar wanita ini berteriak lirih, Sri baginda, terima kasih. Paduka sungguh tak mengingkari janji...."

   Tapi Bun Hwi yang berdiri di belakang ibunya tiba berseru.

   "Ibu, aku tak dapat menerima anugerah ini...!"

   Wi Hong dan kaisar terkejut. Wi Hong membalikkan tubuh dan memandang puteranya dan kemudian bertanya heran.

   "Bun Hwi, apa yang kau katakan itu, nak? Kenapa kau menolak hadiah ayahmu sendiri?"

   Bun Hwi menarik napas.

   "Aku terikat peranjian, ibu. Dan kaupun juga harap ingat baik perjanjian bersama Tung-hai Lo-mo dan dua orang temannya itu, terutama Pangeran Ong yang telah tewas!"

   Wi Hong berobah mukanya. Ia jelas kaget, dan tertegun oleh ucapan ini mendadak wanita itu mengeluh dan menangis.

   "Bun Hwi, tapi... tapi pengorbanan pamanmu, juga pengorbananku selama ini, apakah tidak dapat kau terima, nak? Dan lagi, bukankah mereka semua telah binasa...?"

   Bun Hwi memeluk ibunya. Dia kembali menarik napas dan berbisik lirih di telinga ibunya, Bun Hwi berkata.

   "Aku tahu, ibu. Tapi bagaimanapun juga janji adalah janji. Aku tak dapat mengingkari janjiku, dan meskipun mereka telah tewas, bagiku janji tak dapat kujilat lagi...!"

   Wi Hong tiba mengguguk. Wanita ini tampak kecewa sekali, tapi Bun Jwi yang masih memeluk ibunya melanjutkan bicaranya dengan ucapan yang lebih lirih.

   "Dan masih ada hal lainnya, ibu. Pesan paman sebelum dia meninggal, akan kuberi tahukan nanti, setelah ayahanda kaisar pergi."

   Wi Hong melepaskan dirinya. Ia terkejut, membelalakkan mata mendengar Bun Hwi tiba bicara tentang pamannya. Dan melihat Bun Hwi memberi kedipan padanya, sang ibu hanya dapat menarik napas dan kemudian memandang kaisar.

   "Sri baginda, rupanya apa yang dikatakan Bun Hwi memang benar. Aku hanyut dalam nafsu pribadiku. Lupa bahwa kami berdua telah terikat sebuah janji. Baiklah, sri baginda, untu memutuskan apakah kami menerima anugerah ini atau tidak, biarlah beberapa minggu lagi Bun Hwi akan menemui paduka di istana. Kami berdua tak dapat tinggal di sana. Mogon paduka maafkan keputusan hamba!"

   Kaisar tertegun.

   "Kenapa demikian cepat perobahan ini, Wi Hong?"

   "Karena kami terikat sebuah perjanjian, sri baginda. Perjanjian bersama Tung-hai Lo-mo dan Pangeran Ong bahwa kami harus tinggal di luar istana!"

   Wi Hong lalu menceritakan asal-usul perjanjian itu, dan sri baginda yang mendengarkan keterangan ini tiba saja menarik napas.

   "Hem, begitukah, Wi Hong? Baiklah, nasib kiranya telah menakdirkan kita menjadi begini. Aku mengenal kelembutan watakmu, keluhuran budimu yang kujunjung tinggi. Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, baiklah aku pergi..."

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kaisar memutar tubuh, sedikit terhuyung dan tampak ecewa sekali. Dan Wi Hong yang terisak melihat keadaan junjungannya ini memeluk kaki sri baginda menjatuhkan diri berlutut.

   "Sri baginda, maafkan hamba. Hamba tak dapat kembali ke istana...!"

   Kaisar mengusap rambutnya.

   "Tak apa, Wi Hong. Tapi berjanjilah, kau suka kupanggil bila se-waktu aku merindukanmu....?"

   Wanita ini mengguguk.

   "Hamba siap, sri baginda hamba akan datang bila paduka kehendaki....!"

   Kaisar melepaskan diri. Dia menggapai pada Menteri Hu, dan berkata serak dia berseru.

   "Taijin, mari pergi. Urusan kita telah selesai....!"

   Bun Hwi cepat menjatuhkan diri berlutut.

   "Ayahanda kaisar, maafkan hamba yang mengecewakan paduka. Tapi beberapa minggu lagi hamba akan menghadap paduka di istana!"

   Kaisar tersenyum.

   "Kau persis ibumu, Bun Hwi. Tapi aku percaya, kau pasti memenuhi janjimu!"

   Menteri Hu sudah melompat maju.

   "

   Tapi bagaimana dengan cupu ini, sri baginda? Kita bawa kembali ke istana?"

   Kaisar tampak termenung sebentar, lalu ucapnya.

   "Oh ya, berikan itu pada Bun Hwi, taijin. Dia berhak mendapatkan cupu itu. Akupun tak mau menarik janjiku pada duapuluh tahun yang lalu!"

   Bun Hwi girang. Dia sudah menerima Cupu Naga dari Menteri Hu, yang memberikannya dengan penuh harap. Dan Hu-taijin yang berbisik perlahan berkata kepadanya.

   "Pangeran, cupu ini simbol sebagai putera mahkota. Kenapa kau tak mau menerima kedudukan itu?"

   Bun Hwi balas berbisik.

   "Karena aku teringat pesan mendiang pamanku, taijin, di samping terikat janji dengan Tung-hai Lo-mo dan kawannya itu!"

   "Ah, tapi putera mahkota yang sekarang kurang cakap, pangeran. Kao Cung bukanlah oiang yang baik untuk menggantikan sri baginda!"

   Bun Hwi mengejapkan mata.

   "Itu urusan nanti, taijin. Sekarang pergilah, sri baginda menunggumu. Terima kasih atas segala kebaikanmu padaku!"

   Hu-taijin tampak kecewa. Dia memutar tubuh, dan sebelum dia mengikuti kaisar kembali ke istana, berkatalah menteri ini kepada selir junjungannya.

   "

   Sian-li, hamba harap paduka tak lagi mengalami kesedihan. Paduka telah berkumpul kembali dengan putera paduka. Semoga sin-li berdua bahagia selamanya...."

   Hu-taijin yang sudah menjura di depan wanita ini berkelebat mengiring kaisar.

   Wi Hong tak dapat menjawab, kecuali menganggukkan kepala dengan air mata berlinang.

   Dan ibu serta anak yang' melihat perginya dua orang itu menuruni Lembah Duka tampak mengusap air mata yang menitik turun.

   Bun Hwi terharu juga, karena bagaimanapun kaisar ternyata masih mencintai ibunya.

   Tapi Wi Hong yang tak dapat mengendalikan diri tiba menangis.

   "Bun Hwi, ayahmu itu benar bijaksana sekali.....!"

   Bun Hwi menarik napas.

   "Memang tampaknya begitu, ibu. Tapi sudahlah, kita tak perlu bersedih lagi, bukan? Kita sekarang bertemu, sebaiknya kita isi pertemuan ini dengan kegembiraan."

   Wi Hong bersinar memandang puteranya.

   "Bun Hwi, sekarang apa yang akan kau lakukan? Dan apa pesan mendiang pamanmu hingga kau menolak menduduki jabatan putera mahkota?"

   Bun Hwi tersenyum pahit.

   "Tentang keserakahan, ibu. Tentang keserakahan manusia yang dapat mengakibatkan bencana bagi dirinya sendiri ataupun bagi orang lain...!"

   "Hm, hanya itukah?"

   "Ya, ibu. Hanya itu yang menjadi inti sari pembicaraan paman. Dia menceritakan segalanya kepadaku. Menceritakan semua keserakahan dan ketamakannya hingga mengakibatkan orang lain menderita. Terutama ibu harus ter-lunta dan sengsara akibat perbuatannya!"

   Wi Hong menghapus air matanya.

   "Pamanmu memang sesat, Bun Hwi. Tapi bagaimanapun juga dia adalah saudara kandung satunya bagiku!"

   "Tapi paman telah mengakui kesalahannya, ibu. Paman menyesal dan berduka sekali melihat akibat perbuatannya itu. Dan untuk ini paman menasehatkan agar aku tidak mengulang kesalahannya. Salah satunya ialah tidak menerima hadiah kaisar untuk menduduki jabatan putera mahkota!"

   "Hm, kenapa begitu, Bun Hwi? Apa hubungannya ini dengan kesalahan pamanmu?"

   Bun Hwi duduk di atas rumput.

   "Karena menerima kedudukan itu berarti mengulang kesalahan paman, ibu. Dan aku tidak mau mengulang perbuatan yang dapat berakibat buruk itu!"

   "Eh, kenapa begitu, anakku? Mana mungkin menerima hadiah dari seseorang ada sangkut- pautnya dengan itu?"

   Bun Hwi menjawab lembut.

   "Ibu, duduklah..."

   Dia menggandeng lengan ibunya, menyuruh sang ibu mendengarkan katanya. Dan Bun Hwi yang sudah berkata lebih lanjut memberi keterangan dengan sungguh.

   "Begini, ibu. Untuk mendapatkan sesuatu seyogianya kita mulai dari langkah yang bersih. Tak ada sesuatu yang dimulai dari langkah yang buruk dapat memberikan hasil baik. Ini dapat ibu setujui, bukan?"

   "Ya."

   "Nah, ibu tahu. Kedudukan putera mahkota yang diberikan ayahanda kaisar padaku mulai dengan langkah yang keliru. Langkah yang dibuat oleh paman dan yang diatur oleh paman dengan cara ber-liku. Ibu tentu tidak menolak bahwa asal pemberian ayahanda kaisar ini adalah gara paman Ma, bukan? Dialah yang menyuruh ibu meminta itu, menghendaki agar kelak dia dapat menjadi penasehat raja yang merupakan kedudukan paling tinggi setelah kaisar sendiri. Ini tentu ibu ketahui, bukan?"

   "Hm, memang, Bun Hwi. Tapi apa kesalahan hadiah itu sendiri untukmu?"

   "Ah, ada sangkut-pautnya, ibu. Hubungan yang justeru berkaitan dengan keserakahan itu! Ibu tahu paman telah menjabat sebagai gubernur Kiang-si, bukan? Namun ternyata paman kurang puas. Paman ingin memiliki kedudukan yang lebih tinggi lagi, sebagai orang nomor dua di seluruh kerajaan. Dan untuk mencapai citanya ini maka ibu dan aku diperalat untuk melampiaskan ambisi pribadinya itu!"

   "Bun Hwi...!"

   Bun Hwi buru mengulapkan lengan. Dia melihat ibunya marah, terbelalak dan siap menegur. Tapi Bun Hwi yang sudah melanjutkan katanya ini berkata tenang.

   "Nanti dulu, ibu. Jangan marah. Kita harus melihat kenyataan sebagai apa adanya sebuah kenyataan. Ibu tahu paman merencanakan semuanya ini, bukan? Kenapa hendak menegur aku?"

   Wi Hong merah mukanya.

   "Tapi kau menghina pamanmu, Bun Hwi. Kau mencerca orang tua sendiri dengan katamu yang kelewat berani itu!"

   "Ah, jadi kalau orang tua bersalah anak harus diam saja, ibu? Kau condong bersikap seperti ini meskipun orang tua jahat?"

   Wi Hong gemetar.

   "Tapi.... tapi jangan demikian kasar, nak. Bagaimanapun dia adalah adik kandung satunya bagiku. Juga dia pamanmu sendiri...!"

   Bun Hwi menjawab tegas.

   "

   Ibu, nabi Lo Cu bilang bahwa.

   "Kata baik tidak bagus dan kata bagus tidak baik. (????) Kalau ibu mendapat kata bagus tapi tidak baik, apakah ibu senang menerima kata seperti ini?"

   Sang ibu terdiam, dan Bun Hwi melanjutkan kan lagi.

   "Dan ibu tidak perlu menduga sejauh itu tentang watakku. Aku juga mencintai paman Ma, karena dialah satunya pamanku sejati. Tapi kalau dia bersalah, bagaimanapun juga aku yang muda akan menudingkan jari menunjuk kesalahannya. Kata kasar atau tidak itu tidak jadi soal. Yang penting, apakah kata itu diucapkan setulus hati atau tidak, inilah yang harus diperhatikan. Ibu tentu membenarkan pendapatku ini, bukan?"

   Wi Hong mulai terisak.

   "Kau tampaknya betul, Bun Hwi. Tapi...."

   "Ah, tak ada tetapi, ibu. Yang penting aku mengeluarkan kata tidak bagus tapi jujur! Ibu suka mengakui kebenaran nasihat ini, kan?"

   Ibunya mengangguk.

   "'Dan kalau paman bersalah kita harus mengakuinya, ibu. Tak boleh kita bela dia meskipun kerabat sendiri!"

   Bun Hwi melanjutkan. Wi Hong mulai mengerti. Dia mulai memandang kagum puteranya ini, tapi sang ibu yang masih tidak puas berkata lirih.

   "Kalau begitu, bagaimana dengan kelanjutan pembicaraan kita, Bun Hwi? Apakah kesalahan hadiah itu sendiri untukmu?"

   "Hm, hadiah itu sendiri tidak bersalah, ibu. Tapi tangan yang membawa hadiah itu yang tidak baik!"

   "Maksudmu?"

   "Paman telah membawakan hadiah ini untukku. Tapi paman yang memiliki tangan kotor tak selayaknya kuterima pemberiannya itu. Karena itu aku menolak, karena semua akalnya itu sebenarnya hanya bersumber dari nafsu pribadinya. Memperalat aku dan ibu untuk mencapai cita sendiri!"

   "Hm, aku kurang jelas, nak. Dapatkah kau lanjutkan lagi lebih gamblang?"

   Bun Hwi membetulkan letak duduknya.

   "Begini, ibu, kaisar memberikan kedudukan putera mahkota karena ibu yang minta. Sedangkan ibu sendiri melakukan perbuatan itu karena paman yang minta. Jadi, kalau ditelusur, pamanlah yang berkepentingan langsung dengan itu semuanya. Bukan ibu. Bukan pula aku! Dan kalau kita mengerti bahwa paman yang menghendaki semuanya ini, lalu apakah fungsi kita, ibu? Hanya alat saja, alat pelampias nafsu pribadi cita paman. Karena kalau tidak, maka tidak seharusnya terjadi kemalangan yang menimpa ibu dan aku....!"

   Wi Hong berkata lirih.

   "Kau terlampau keras, nak...!"

   "Ah, tidak ada yang keras, ibu. Aku bicara hanya karena fakta,"

   Bun Hwi membela diri.

   "Dan sekarang, ibu tahu kenapa paman menghendaki aku menduduki jabatan putera mahkota itu?"

   Wi Hong bersinar-sinar matanya.

   "Tentu karena ingin membahagiakanmu, Bun Hwi. Memberi hidup yang mulia bagi keponakannya sendiri!"

   


Pendekar Cacad Karya Gu Long Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto

Cari Blog Ini