Ceritasilat Novel Online

Sengketa Cupu Naga 5


Sengketa Cupu Naga Karya Batara Bagian 5



Sengketa Cupu Naga Karya dari Batara

   

   Thian-san Giok-li mengerutkan kening.

   "Kau tidak perlu mengada-ada, Hwa-i Lo-kai. Aku tidak perduli pada buruanmu. Aku hanya ingin bertanya, mengapa kau mencuri dengar pembicaraan orang lain?"

   Hwa-i Lo-kai meringis.

   "Wah, kau menyudutkanku. Thian-san Giok-li. Bukankah kukatakan aku mengejar dua orang buronan?"

   "Hm itu bukan jawabannya. Pengemis bangkotan!"

   Thian-san Giok-li marah.

   "Tapi ada hubungannya dengan kehadiranku di sini, Thian-san Giok-li!"

   Hwa-i Lo-kai membantah.

   "Karena justru mendengar kau menyebut-nyebut nama bocah she Bun itulah aku lalu menyelinap ke mari mendengar pembicaraanmu..!"

   "Maksudmu?"

   "Aku juga mencari bocah she Bun itu. Bahkan bersama seorang temannya yang sebaya muridmu perempuan ini!"

   Maka Thian-san Giok-li yang mendengar sekarang menjadi terkejut, ia terbelalak ke arah pengemis jembel ini, tapi melihat Hwa-i Lo-kai menyeringai ketawa ia tiba tiba membentak.

   "Hwa-i Lo-kai, kau main-main denganku?"

   Pengemis itu tersentak kaget.

   "Eh, apa maksudmu, Giok-li? Kenapa kaukira aku main-main denganmu?"

   Thian-san Giok-li mengepal tinjunya.

   "Kau tidak serius, jembel tua bangka. Kau tidak sungguh sungguh seperti apa yang kaukatakan itu!"

   "Eh, siapa bilang, Thian-san Giok-li? Siapa bilang aku tidak serius?' "Karena kau bicara sambil ketawa-tawa seperti monyet kelaparan, Hwi-i Lo-kai. Karena kau rupanya memang mau mempermainkau aku....!"

   Dan Thian- san Giok-li yang meraba tusuk kondenya itu tiba-tiba membuat Hwa-i Lo-kai melompat kaget.

   "Eit, tunggu dulu, Thian-san Giok-li. Jangan buru- buru....!"

   Kakek ini menekan tongkatnya, dan Thian- san Giok-li yang sudah siap menerjang maju itu ditahannya tergopoh-gopoh.

   "Thian-san Giok-li, tunggu dulu, sabar... aku tidak main-main!"

   Kakek ini tampak kebingungan. Dan ketika dilihatnya Thian-san Giok-li mau menunda kemarahannya tiba-tiba kakek ini tidak mau tertawa lagi.

   "Thian-san Giok-li, dengarkan dulu. Aku sungguh- sungguh dengan kata-kataku tadi. Siapa berani main-main denganmu?"

   Lalu ketika dilihatnya Thian-san Giok-li memandangnya tajam kakek jembel ini sudah menggoyangkan tongkatnya.

   "Giok-li aku tidak main main kalau tadi kukatakan bahwa aku mencari bocah she Bun itu. Dia bersama temannya telah membunuh Wong-taijin, dan aku sebagai hamba negara yang baik mana bisa membiarkan pejabat negara dibunuh orang begitu saja? Maka dari itulah aku lalu mencari anak celaka ini, tidak sengaja mendengar pembicaraanmu tentang bocah itu pula. Nah, siapa main-main denganmu....?"

   Thian-san Giok-li sekarang menegakkan kepala.

   "Kalau begitu, apa yang akan kaulakukan jika bocah itu kautangkap, pengemis bangkotan?"

   Hwa-i Lo-kai menyeringai.

   Tapi begitu dilihatnya Thian-san Giok-li hendak menggerak-hiasan rambutnya tiba-tiba kakek ini menutup sikap mainnya rapat-rapat.

   Dia tampak ketakutan, dan pengemis jembel yang mengetruk tongkatnya itu tiba-tiba berseru nyaring.

   "Kalau aku berhasil menemukan bocah itu tentu akan kutangkap. Giok- li. Dan kalau dia mau ikut secara baik-baik tentu dia akan kuhadapkan pada atasan Wong-taijin untuk menerima imbalan dosa-dosanya!"

   "Tapi kalau dia tidak mau ikat secara baik-baik?"

   "Hm, melawan maksudmu?"

   Kakek membusungkan dadanya. Lalu melihat Thian-san menganggukkan, kakek ini tiba-tiba tertawa.

   "Wah, tentu kugantung kepalanya itu Giok-li. Dan kalau dia masih nekat tentu aku tidak segan-segan menurunkan tongkatku ini ke batok kepalanya!"

   "Maksudmu dia kaubunuh?"

   Wanita sakti ini menegaskan.

   "Ha-ha, apalagi kalau bukan begitu, Thian san Giok- li? Bukankah menghadapi penjahat kita tidak boleh memberi ampun?"

   Tapi baru kakek mi menyelesaikan kata-katanya mendadak tusuk konde di tangan Thian-san Giok-li menyambar dadanya.

   "Bagus, kalau begitu kau harus berhadapan denganku, Hwa-i Lo-kai...!"

   Dan pengemis jembel yang diserang mendadak ini berteriak kaget. Dia membanting tubuh secepat kilat, dan tusuk konde yang menyambar dadanya itu ditangkis tongkat.

   "Crat!"

   Tusuk konde itu menancap di tongkat bambu si pengemis tua dam Hwa-i Lo-kai yang sudah melompat bangun itu berseru.

   "Thian-san Giok-li, apa-apaan kau ini? Mengapa menyerang aku si tua bangka ini?"

   Tapi Thian-san Giok-li malah melompat maju. Dengan mata bersinar marah dan mulut mendengus dingin ia menghadapi kakek berbaju kembang itu, lalu suaranya yang melengking nyaring menyatakan kegusarannya.

   "Hwa i Lo-kai bukankah kau bilang bahwa kau ingin membunuh bocah she Bun itu? Nah, ketahuilah pengemis sinting. Sekali kau berani menjamah rambutnya berarti kau harus mempertanggung jawabkannya kepadaku. Karena bocah she Bun itu sepenuhnya menjadi hak-ku!"

   Hwa-i Lo-kai terbelalak.

   "Tapi apa alasannya kau meng-hak-i anak itu, Giok-li?"

   "Hm, tidak perlu kau tanya, tua bangka!"

   Thian-san Giok-li membentak marah, dan Hwa-i Lo-kai yang mendengar kata-katanya ini tiba-tiba melotot.

   "Wah, kalau begitu kau ingin menang sendiri, Thian- san Giok-li!"

   Pengemis ini berang.

   "Kau ingin memaksakan kehendakmu dan bersikap sewenang- wenang terhadap orang lain!"

   "Terserah....!"

   Thian-san Giok-li menjawab dan Hwa- i Lo-kai yang mendengar jawaban seenaknya itu tiba- tiba menggedrukkan kakinya.

   "Thian-san Giok-li, kau tidak adil!"

   Kakek ini berteriak.

   "Kenapa kau harus menekanku seperti itu?"

   Tapi wanita ini tiba-tiba mencabut jarum emasnya.

   "Kau tidak terima, pengemis bangkot?"

   Thian-san Giok-li menjengek.

   "Nah, kalau bcgitu majulah. Mari kita main-main sebentar!"

   Thian-san Giok-li yang sudah siap memutar-mutar jarum emasnya itu tiba tiba membuat pengemis ini gemetar tubuhnya.

   "Kau mau menyerangku lagi, Giok-li?"

   "Kalau kau penasaran, tua bangka!"

   "Aah!"

   Dan Hwa-i Lo-kai yang tiba-tiba meloncat mundur itu terbelalak pucat memandang wanita ini.

   Dia tampak ngeri dan ketakutan nelihat jarum emas di tangan wanita sakti itu.

   Lalu ketika dilihatnya Thian- san Giok-li melompat maju dan mengayunkan lengannya tiba-tiba kakek jembel ini menjerit.

   "Hei, tahan dulu, Giok-li... jangan marah-marah...! Biar aku pergi kalau begitu...!"

   Dan Hwa-i Lo-kai yang tiba- tiba bergulingan menghindari tusukan jarum yang bertubi-tubi ke tubuhnya itu sudah berjungkir balik tidak karuan. Dia tampaknya gugup sekali, dan jarum emas yang menusuk dua kali ke arah matanya itu ditangkis tongkat.

   "Trik trak!"

   Hwa-i Lo-kai berteriak kaget, dan tongkat bambu yang terpental dari tangannya itu memuat kakek pengemis ini mengeluh.

   Dia tampaknya ketakutan, tapi ketika wanita sakti itu hendak nenyusulnya dengan sebuah tikaman mendadak pengemis jembel ini menjentik tongkatnya.

   Tusuk konde yang masih menancap di ujung bambunya sekonyong-konyong "melejit"

   Dan begitu Thian-san Giok-li mengayunkan tangannya tiba- tiba senjata ini menyambar! "Crit!"

   Thian-san Giok-li terbelalak ketika melihat tusuk konde yang diretour pengemis bangkotan itu menyambut telapak tangannya, tapi begitu dia mengeluarkan dengusan pendek sekonyong-konyong jarinya bergerak.

   Tusuk konde itu ditangkap dan sekali ia menekuk jarinya terjepitlah tusuk konde itu di antara telunjuk dan jari tcngah.

   Tapi Hwa-i Lo-kai yang sudah berguling menjauh itu terkekeh.

   Pengemis tua yang mempergunakan kesempatan selagi Thian-san Gm I menangkap hiasan rambutnya ini melompat bangun, dan dia yang sudah menggoyang-goyangkan tongkat itu tampak berseri memandang lawan.

   "Wah, kau semakin gesit, Thian-san Giok-li!"

   Kakek ini berseru kagum.

   "Lihat nih, hampir saja dadaku kebobolan...!"

   Dan kakek pengemis yang menunjukkan tiga buah lubang bekas tikaman jarum di atas bajunya itu tampak menyeringai memandang lawannya ini.

   Dia rupanya berpura-pura saja ketakutan terhadap wanita sakti itu, karena setelah dia berada jauh di depan wanita ini pengemis itu bersikap mcngejek dengan mulut tersenyum- senyum.

   Tentu saja Thian-san Giok-li semakin marah.

   Tapi sebelum wanita ini menggerakkan tubuhnya, tiba- tiba Hwa-i Lo-kai berseru tertawa.

   "Thian-san Giok-li jangan buru-buru melampiaskan api kemarahanmu. Tidakkah kaulihat muridmu itu bingung menyaksikan kelakuanmu?"

   Lalu sementara wanita ini menoleh tertegun tiba tiba pengemis itu berkelebat melarikan diri.

   "Thian-san Giok-li, biarlah lain waktu saja kita coba-coba mengukur kepandaian. Dan kalau aku bersalah mengintai pembicaraanmu sukalah kau memaafkannya, he-he....!"

   Dan Hwa-i Lo-kai yang sudah kabur sambil menyeret tongkatnya itu membuat Thian-san Giok-li naik pitam.

   "Hwa-i Lo-kai, kau pengemis busuk....!"

   Wanita ini membentak, dan merasa "tertipu"

   Oleh pengemis tua bangka itu mendadak Thian- san Giok- li menyambitkah jarum-jarum merahnya.

   Itulah senjata rahasia yang khas dimilikinya, dan Hwa-i Lo- kai yang ditimpuk dari belakang ini dikejar sinar sinar merah yang halus menuju punggungnya.

   Tapi Hwa-i Lo-kai masih tertawa tawa.

   Kakek pengemis yang disambit jarum - jarum merah itu bersikap ayal-ayalan.

   Karena begitu jarum menyambar punggungnya mendadak dia menggerakkan tongkat ke belakang seperti orang menyapu lalat, tanpa menoleh dan masih menyeret kakinya.

   Tapi begitu kakek ini menggerakkan tongkat bambunya terdengarlah suara "trik-trik-trik"

   Berkali-kali dan semua jarum merah itu pun runtuh.

   Thian-san Giok-li terkejut.

   Tetapi ketika wanita sakti ini hendak mengejar tiba-tiba bayangan kakek itu lenyap.

   Hwa-i Lo-kai telah keluar dari mulut hutan, dan ketika ia melayang naik di atas pohon tampaklah olehnya bayangan si pengemis jembel yang terkekeh- kekeh di kejauhan sana.

   Hwa-i Lo- kai masih menyeret tongkat dan ketika pengemis itu menyelinap di sebuah tikungan lenyaplah bayangannya dari pandang mata.

   Thian-san Giok-li memaki gemas.

   Dan ketika wanita itu melompat turun tampak muridnya yang terbelalak memandangnya.

   "Subo. siapakah sesungguhnya Hwa-i Lo-kai itu?"

   Kiok Lan bertanya. Tapi Thian-san Giok-li mengepalkan tinju nya.

   "Jangan banyak cakap lagi, Kiok Lan! Hayo kita kejar dia!"

   Dan Thian-san Giok-li yang sudah menaiki kudanya itu membuat Kiok Lan tertegun.

   "Subo, kita hendak mengejar kakek pengemis itu?"

   Thian-san Giok-li mengangguk tidak sabaran.

   "Ya dan cepat naiki kudamu itu, Kiok Lan. Aku melihat gerak geriknya yang mencurigakan, pengemis itu menyembunyikan sesuatu, dan aku harus tahu apa yang disembunyikannya itu....!"

   Dan Thian-san Giok- li yang sudah mengeprak kudanya ini membuat Kiok Lan buru-buru menyusul. Gadis ini melompat pula di atas kudanya, tapi begitu gurunya mencemplak kuda Kiok Lan sudah berteriak.

   "Subo, bagaimana dengan Bun Hwi? Tidakkah kita bermaksud mencarinya?"

   Thian-san Giok-li meledakkan cambuk.

   "Nanti saja. Kiok Lan. Kita kejar dulu si pengemis bangkotan itu. Cepat....!"

   Dan Thian-san Giok-li yang tidak menoleh ke kiri kanan lagi itu membuat Kiok Lan mengikuti jejak subonya.

   Gadis ini tidak sempat bertanya lagi, dan begitu gurunya sudah mcncongklang jauh iapun menarik napas seraya menyendal tali kudanya.

   Maka pergilah dua orang guru dan murid ini mengejar si pengemis berbaju kembang.

   Dan Bun Hwi serta temannya yang bersembunyi semenjak tadi memandang terbelalak semua kejadian ini.

   Bun Hwi tampak melenggong, tapi Mei Hong yang mengerutkan alisnya itu tampak tidak senang.

   "Kau sedih ditinggalkan gadis cantik itu, Bun Hwi?"

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mei Hong tiba-tiba bertanya dengan muka tidak senang. Bun Hwi terkejut, dan pemuda yang masih tertegun ini menoleh kaget.

   "Apa... apa maksudmu, Mei Hong?"

   Bun Hwi menjadi gugup. Tapi Mei Hong malah mendengus. Dengan muka gelap dan sikap kasar ia tiba-tiba melompat keluar dari tempat persembunyiannya, dan Bun Hwi yang masih tersipu-sipu itu didampratnya ketus.

   "Jangan berpura- pura, Bun Hwi. Aku tahu kau sedih ditinggalkan murid Thian-san Giok-li itu! Kenapa kau tidak mengejarnya?"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Eh, kenapa kau berkata begitu, Mei Hong? Bukankah dia... dia..."

   "Dia jatuh hati kepadamu?"

   Mei Hong memutus.

   "Nah, seharusnya kau memanggilnya, Bun Hwi. Dan minta kepadanya untuk memutus belenggu ini agar dapat pergi bersama!"

   Maka Bun Hwi yang mendengar kemarahan temannya ini tiba-tiba saja menjadi bengong. Dia tidak habis mengerti mengapa Mei Hong tiba tiba marah-marah seperti itu, dan diingatkan Kiok Lan "jatuh hati"

   Kepadanya membuat Bun Hwi sekonyong-konyong merah mukanya.

   Apa-apaan itu? Kenapa dia jadi berdebar mendengar Kiok Lan menangisi dirinya? Betulkah murid Thian-san Giok-li itu jatuh cinta kepadanya? Ah, Bun Hwi mengguncang kepalanya kuat-kuat.

   Dia masih bingung dan tidak habis pikir mengenai kemarahan Mei Hong yang tiba-tiba ini.

   Kenapa harus memikirkan-"cinta"

   Kiok Lan segala? Dan apa itu "cinta"? Oh... Bun Hwi tiba-tiba meringis dan melihat temannya melengos jauh ke sana pemuda ini tiba-tiba menarik napas panjang.

   "Mei Hong. kau agaknya melantur tidak karuan. Kenapa aku harus sedih melihat kepergian murid Thian-san Giok-li itu? Bukankah kenyataan ini seharusnya terbalik?"

   Mei Hong menjengek.

   "Apanya yang terbalik, Bun Hwi?"

   Gadis itu menoleh sinis.

   "Apakah murid Thian- san Giok-li itu yang harus bersedih kalau aku yang pergi?"

   Bun Hwi tersenyum.

   "Bukan begitu. Mei Hong. Tapi justeru akulah yang harus bersedih kalau benar- benar kau yang pergi!"

   Mei Hong terkejut.

   "Apa maksudmu, Bun Hwi? Bun Hwi tertawa kecil.

   "Mei Hong, kau tahu bahwa kita berdua telah menghadapi susah senang bersama. Maka anehkah kalau kukatakan bahwa aku bakal merasa sedih kalau yang pergi adalah dirimu? Untuk murid Thian-san Giok-li itu aku tidak merasa sedih, Mei Hong kecuali sedikit perasaan iba dan kasihan kepadanya. Tapi kalau kau? Hmm...."

   Bun Hwi sengaja berhenti dan Mei Hong yang terbelalak memandang temannya ini tampak penasaran.

   "Kenapa kalau aku, Bun Hwi?"

   Mei Hong bertanya ingin tahu.

   "Wah, tentu saja istimewa, Mei Hong!"

   Bun Hwi tersenyum lebar.

   "Bukankali kita sudah seia-sekata dan seborgol serantai jiwa?"

   Pemuda itu tertawa menggoda.

   "Dan masih ada yang lain lagi, Mei Hong. Tentang kelebihanmu dibanding murid Thian-san Giok-li itu, kelebihanmu yang membuat aku harus memperhatikanmu lebih dari Kiok Lan!"

   Dan Bun Hwi yang lagi-lagi berhenti bicara ini memandang temannya dengan muka berseri-seri. Tapi Mei Hong mencibirkan mulut.

   "Huh jangan mengada-ada, Bun Hwi. Aku tidak merasa memiliki kelebihan dibanding murid wanita sakti itu. Bukankah dia lebih pandai dan lebih cantik?"

   Bun Hwi tertawa.

   "Ah, bukan masalah itu Mei Hong, Tapi masalah kedudukan kalian yang berbeda."

   "Hm, kedudukan apa, Bun Hwi?"

   "Kedudukan kalian yang masih mempunyai keluarga dan tidak!"

   Bun Hwi bersungguh-sungguh.

   "Dan kedudukanmu ini mirip dengan kedudukanku, Mei Hong. Karena semenjak paman Ma dibunuh orang akupun sudah tidak mempunyai keluarga lagi!"

   "Ah, tapi kau dinyatakan sebagai putera kaisar, Bun Hwi!"

   Mei Hong memperingatkan. Bun Hwi mengangguk.

   "Ya, tapi itu menurut cerita orang lain, Mei Hong. Tapi aku yang tidak percaya ini menganggap itu semuanya sebagai berita bohong belaka!"

   Mei Hong yang melihat pemuda itu tampak bersinar mukanya tiba-tiba menarik napas panjang.

   "Bun Hwi kau agaknya menganggap tak acuh berita tentang dirimu ini Tapi tidakkah hal ini perlu kauselidiki?"

   Bun Hwi mengerutkan alis.

   "Aku tidak mau melibatkan diri dengan urusan kaisar, Mei Hong. Karena pernah kudengar bahwa siapa yang menjadi kerabat kaisar konon katanya tidak memiliki kebebasan seperti orang biasa!"

   "Ah, itu sudah wajar, Bun Hwi. Bukankah bangsawan-bangsawan tinggi seperti sri baginda dan para pembantunya merupakan orang-orang besar?"

   Bun Hwi tertawa pahit.

   "Hm, orang besar dan orang kecil apa bedanya, Mei Hong? Bukankah orang besar ada karena justeru ditunjang oleh orang kecil? Dan kalau aku harus menjadi orang besar seperti Wong- taijin itu sungguh lebih baik aku menjadi orang kecil saja!"

   Mei Hong tidak bersuara lagi dan Bui Hwi yang tampaknya kurang simpatik dengan kaum bangsawan itu membuat gadis ini mengernyitkan keningnya. Tapi baru beberapa jenak Mei Hong tiba- tiba bertanya. Bersambung

   Jilid VII SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 07 * * * "BUN HWI, hanya itukah kiranya kelebihan perhatianmu untukku?"

   Bun Hwi tercengang.

   "Maksudmu, Mei Hong?"

   Gadis ini menunduk.

   "Tidak apa, Bun Hwi.... aku tidak bermaksud apa..."

   Lalu merasa dia tiba menjadi gugup Mei Hong mendadak mengalihkan pembicaraanya.

   "Bun Hwi, bukankah murid Thian- san Giok-li itu lihai?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Ya, cukup lihai dai, Mei Hong. Dan juga berani!"

   "Dia cantik?"

   Mei Hong melanjutkan.

   "Ah, ini... bagaimana harus kujawab ya...?"

   Bun Hwi tiba merah mukanya, memandang aneh kepada temannya itu lalu menegur.

   "Mei Hong, kenapa kau bertanya seperti ini? Tidakkah kau merasa bahwa kau juga... cantik?"

   Mei Hong se-konyong semburat mukanya. Ia tampak terkejut oleh pernyataan Bun Hwi itu, tapi melihat Bun Hwi mengucapkannya dengan jujur tiba dia merasa bangga! "Bun Hwi, betulkah aku cantik?"

   Gadis itu mendadak bertanya lirih, meminta penegasan. Dan Bun Hwi yang melihat temannya itu memang cantik harus bilang apa lagi? Maka begitu dia melihat Mei Hong menundukkan wajah Bun Hwi pun tiba tertawa.

   "Mei Hong, kukira kau tidak kalah cantiknya dibanding murid Thian-san Giok-li itu. Tapi kenapa kau tanya tentang ini?"

   Mei Hong melengoskan muka.

   "Tidak apa, Bun Hwi... tidak apa..."

   Dan Mei Hong yang nampak girang ini menyembunyikan kebungahan hatinya di balik sikap malu. Tapi mendadak gadis itu menggerakkan rantai borgolnya, dan Mei Hong yang menjadi gelisah ini bertanya.

   "Bun Hwi, bagaimana dengan ikatan belenggu ini? Bukankah kita harus melepaskannya?"

   Bun Hwi menggangguk.

   "Ya itu memang harus kita lakukan, Mei Hong. Tapi bagaimana caanya? Kita tidak memiliki senjata tajam, dan kalau saja di tempat ini ada orang..."

   Tapi baru Bun Hwi menghentikan katanya sampai di situ mendadak seseorang mendengus di belakang mereka.

   "Kalau di tempat ini ada orang memangnya kenapa, bocah?"

   Bun Hwi dan Mei Hong kaget setengah mati. Dengan serentak mereka menoleh ke belakang, tapi begitu melihat siapa yang muncul tiba, mereka berteriak gembira.

   "Hwa-i Lo-kai...! dan dua orang muda-mudi yang sudah membalikkan tubuh itu sekarang benar berhadapan dengan pengemis jembel ini. Tapi Hwa-i Lo-kai menyeringai, dan kakek jembel yang tertawa mengejek itu mencemooh mereka.

   "Anak setan, kenapa kalian mengharap ada orang lain di tempat ini? Bukankah Thian-san Giok-li dan muridnya tadi lama di sini bersama kalian?"

   Bun Hwi menarik napas.

   "Memang betul, locianpwe. Tapi rasanya tidak mungkin bagi kami untuk mengharap bantuannya."

   "Hm, kenapa, bocah? Bukankah ia kaubilang pernah menolongmu?"

   "Benar. Tapi Thian-san Giok-li juga mau menangkap aku, locianpwe, dan terus terang aku tidak suka ikut dengannya!"

   Hwa-i Lo-kai terkekeh.

   "Ha-ha, tentu karena kau hendak dibawanya ke Kam-taijin, bukan?"

   Bun Hwi mengerutkan alis.

   "Barangkali saja, locianpwe..."

   "Eh, kenapa barangkali? Atau kau, ha-ha... tahu aku, tentu kau kikuk bersama muridnya, bocah. Dan karena gadis itu menangisi nasibmu kau jadi malu dan jengah!"

   Hwa-i Lo-kai ter-tawa dan Bun Hwi yang mendengar katanya ini merona mukanya.

   "Locianpwe, kau agaknya sudah lama di tempat ini,"

   Bun Hwi menegur.

   "Kenapa kau harus bersembunyi seperti itu?"

   Kakek ini menghentikan tawanya.

   "Karena ingin menyelamatkan kalian, bocah. Karena aku ingin tahu siapa kalian berdua ini sesungguhnya dan mengapa membuat ribut di kota Lauw-yang."

   "Hm, dan sekarang kau sudah tahu, locianpwe?"

   "Ya, dan malah lebih dari dugaan!"

   "Maksudmu?"

   "Aku tidak menduga kalau kau putera sri baginda kaisar!"

   "Ah, itu omongan orang, locianpwe. Kenapa kau harus percaya?"

   "eit, siapa bilang omongan orang, bocah?"

   Hwa-i Lo-kai tiba melotot.

   "Aku tahu dan yakin kalau kau ini memang pangeran yang hilang itu!"

   "Maksudmu?"

   Kakek ini tidak menjawab. Hwa-i Lo-kai tiba menyambar belenggu di tangan mereka berdua, lalu membentak kepada Bun Hwi dia bertanya.

   "Bocah she Bun, apakah kau tidak ingin membebaskan temanmu ini?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Ah, tentu saja, locianpwe. Tapi bagaimana kami dapat melepaskan diri?"

   "Hm, itu mudah, pangeran tolol,"

   Kakek ini mengejek.

   "Sekali aku mengerahkan tenaga tentu rantai tak berguna ini patah!"

   "Kalau begitu kenapa kau tidak melakukannya, locianpwe?"

   Bun Hwi bertanya. Tapi Hwa-i Lo-kai mendengus.

   "Hm, aku tidak mau kerja cuma, bocah. Hanya kalau kalian mau memenuhi permintaaanku barulah aku siap mematahkan belenggu ini. Eh, bocah she Bun, kau mau memenuhi syaratku?"

   Bun Hwi tertegun.

   "Syarat apa, locianpwe?"

   "Nanti saja kuberi tahu!"

   Kakek itu menjawab ketus.

   "Yang penting kau mau apa tidak belenggu ini diputuskan?"

   Mei Hong tiba menyahut.

   "Locianpwe, memutuskan belenggu ini tentu saja adalah keinginan kami berdua. Tapi bagaimana kami harus memenuhi permintaanmu? Bagaimana kalau seandainya kami tak sanggup memenuhinya?"

   Kakek itu tiba tertawa.

   "Bocah manis, tak usah khawatir. Lohu (aku) meminta yang pasti dapat kalian penuhi. Nah, apa yang kini kalian perbuat, anak? Bukankah kalian mau memenuhi syarat lohu?"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bun Hwi terdiam. Dia mengerutkan kening mendengar pertanyaan kakek jembel ini. Tapi Mei Hong yang percaya kakek itu bukanlah orang jahat tiba sudah menganggukkan kepalanya.

   "Baiklah, kami setuju, locianpwe. Asal kami dapat memenuhi permintaanmu semua syaratpun pasti kupenuhi!"

   "Heh-heh, tapi bagaimana dengan temanmu ini, bocah?"

   "Dia pasti mengikuti pendapatku, locianpwe,"

   Mei Hong memastikan dirinya.

   "Dan kalau dia menolak biarlah aku yang membayarnya dobel!"

   Hwa-i Lo-kai tertawa bergelak dan Bun Hwi yang mendengar ucapan temannya ini menjadi kaget sekali.

   "Mei Hong, bagaimana kau bicara seperti itu?"

   Bun Hwi berteriak.

   "Bagaimana kalau aku benar tidak dapat memenuhi permintaannya?"

   Tapi Mei Hong tersenyum manis.

   "Biarlah, Bun Hwi. Aku rasa locianpwe ini tak mungkin meminta yang tidak kepada kita. Bukankah dia telah menolong kita dari tempat Wong-taijin?"

   "Benar, tapi... tapi, ah... kau sembrono sekali, Mei Hong!"

   Bun Hwi akhirnya kebingungan.

   "Kau belum tahu apa dan bagaimana yang hendak diminta kakek ini!"

   Tapi Mei Hong kembali tersenyum.

   "Sudahlah, Bun Hwi. Hwa-i Lo-kai locianpwe tidak mungkin menjerumuskan kita. Aku percaya dia orang baik, dan sekali aku berjanji tak mungkin bisa kutarik kembali. Bukankah begitu, locianpwe?"

   Hwa-i Lo-kai tertawa bergelak.

   "Ha-ha, bagus sekali, bocah. Aku setuju dengan pendapatmu ini! Eh, anak, kalian sekarang ingin kubebaskan, bukan? Nah, lihatlah....! dan Hwa-i Lo-kai yang tiba sudah mencengkeram belenggu besi itu mendadak meremas perlaha. Dia tidak tampak mengerahkan tenaga ber-lebihan, tapi Bun Hwi dan Mei Hong yang melihat perbuatan kakek ini mendadak mendengar suara "krek-krek"

   Dua kali dan... putuslah belenggu besi itu! "Ahh...!"

   Bun Hwi dan Mei Hong sama berseru kaget, tapi si kakek jembel sendiri yang dipandang terbelalak itu ter-tawa tak acuh.

   "Nah, bagaimana, anak? Bukankah kini kalian bebas kembali?"

   Mei Hong tiba menjatuhkan diri berlutut. Dengan muka ber-seri dan wajah penuh keceriaan gadis itu berkata nyaring.

   "Ya, kami telah bebas kembali, locianpwe. Dan banyak terima kasih kami haturkan untuk budi pertolonganmu ini!"

   Tapi Hwa-i Lo-kai mengetrukkan tongkatnya.

   "Sudahlah, aku tidak butuh terima kasihmu itu, bocah, melainkan ingin menagih janjimu. Bukankah kalian ingin mendengar apa yang kuminta?"

   Mei Hong bangkit berdiri.

   "Ya, kami ingin mendengar apa yang kau minta, locianpwe. Dan kalau dapat kami penuhi tentu akan kami penuhi!"

   Hwa-i Lo-kai tertawa.

   "Hm, tentu dapat kalian penuhi, anak. Karena permintaan lohu sederhana saja. Tapi sebelum lohu mengatakannya baiklah lohu meyakinkan diri dahulu. Kau bernama Mei Hong, bukan?"

   Kakek ini menudingkan tongkatnya. Dan Mei Hong mengangguk.

   "Ya, Can Mei Hong, locianpwe."

   "Hm, kalau begitu kau anak perempuan Can- kauwsu?"

   "Benar. Tapi bukan anak kandungnya melainkan hanya anak angkatnya, locianpwe."

   "Bagus, itu tidak jadi soal,"

   Hwa-i Lo-kai tertawa.

   "Yang jelas kau sudah tidak bersanak saudara lagi, bukan?"

   Mei Hong tiba teringat kematian ayahnya.

   "Ya, dan aku berjanji untuk membunuh antek Wong-taijin itu, locianpwe. Karena mereka itulah yang telah membunuh ayah dengan kejam!"

   Hwa-i Lo-kai kembali tertawa.

   "Mei Hong, jangan kau memikirkan anjing itu kelewat batas. Bukankah kau lihat lohu mempermainkan mereka dengan mudah? Nah, kalau kau mau memenuhi permintaanku ini kaupun akan mampu menghajar tikus busuk itu, anak manis. Dan sekali kau turun tangan tentu semuanyapun akan mampus di tanganmu!"

   "Maksud locianpwe?"

   "Aku ingin mengangkat kalian sebagai murid!"

   "Ah....!"

   Mei Hong dan Bun Hwi berbareng mengeluarkan seruan, tapi begitu Mei Hong sadar lebih dulu tiba gadis inipun sudah menjatuhkan diri berlutut.

   "Locianpwe, betulkah kau tidak menipu kami?"

   Kakek ini terkekeh.

   "Hm, siapa mau tipuan di sini, anak bengal? Pernahkah lohu bicara tidak benar kepada kalian?"

   Mei Hong sudah menjadi girang bukan main.

   "Kalau begitu teecu mau ikut bersamamu, locianpwe. Dan asal ada bakat tentu semua kepandaianpun bakal kupelajari!"

   "Ha-ha, kalau begitu kau tidak menolak, Mei Hong?"

   "Kalau teecu tidak terlampau bodoh untukmu, locianpwe!"

   "Ha-ha, bagus. Kalau begitu hari ini juga aku mengangkatmu sebagai murid, Mei Hong. Dan siapa juga harus tahu bahwa Can Mei Hong adalah murid ke dua dari Hwa-i Lo-kai!"

   Dan Hwa-i Lo-kai yang sudah ter-tawa dengan muka gembira itu tiba mengetukkan tongkatnya perlahan ke pundak Mei Hong.

   Sekali ia mengerahkan tenaga lweekang tiba tubuh gadis itu terangkat naik, dan begitu ia me-mutar tongkatnya mendadak Mei Hong tertempel di ujung tongkat tanpa mampu melepaskan diri.

   Itulah sinkang menyedot yang didemonstrasikan kakek ini, dan Hwa-i Lo-kai yang sengaja menguji keberanian murid barunya itu tiba menggentak sambil tertawa nyaring.

   Mei Hong yang tertempel di ujung tongkat sekonyong diputar seperti baling, dan begitu dia meng-gerakkannya di atas kepala maka berputaranlah tubuh gadis ini seperti kitiran pesawat terbang.

   Mula perlahan, tapi ketika kian lama tongkat bambu itu diputar kian cepat maka lenyaplah tubuh gadis itu menjadi bayangan bulat seperti bola.

   Menempel ketat di ujung tongkat! Tapi Hwa-i Lo-kai yang mengharap gadis itu menjerit ketakutan ternyata sia-sia.

   Mei Hog yang memang kaget oleh perbuatan pengemis ini ternyata sama sekali tidak berteriak.

   Karena begitu ia di-putar di ujung tongkat tiba Mei Hong malah meramkan mata.

   Gadis yang serasa di-ayun dalam buaian ini malah berteriak gembira, dan Hwa-i Lo-kai yang memutar tongkat dengan amat gencarnya itu mendapat pujian girangnya.

   "Wah, nikmat, suhu. Enak sekali... terus... terus....!"

   Dan Mei Hong yang ter-tawa di ujung tongkat itu akhirnya membuat Hwa-i Lo-kai menyeringai gemas.

   "Sialan, kau cukup berani, anak setan. Kau memang pantas menjadi muridku!"

   Dan Hwa-i Lo-kai yang sudah menghentikan putaran tongkatnya ini mendadak melempar Mei Hong ke atas pohon.

   "Hei....!"

   Mei Hong terkesiap kaget, tapi baru ia menjerit ini tiba saja tubuhnya sudah terbanting lunak di atas dahan yang daunnya rimbun! "Ih...!"

   Mei Hong tertawa.

   "Kenapa kau sangsangkan aku di atas sini, suhu? Bukankah aku tidak bisa turun?"

   Hwa-i Lo-kai terkekeh.

   "Melompatlah, anak manja. Siapa bilang kau tidak bisa turun?"

   "Wah, dari tempat yang sedemikian tingginya ini, suhu?"

   Mei Hong mengomel.

   "Ya, kenapa tidak? Bukankah jelek kau sudah mendapat pelajaran ginkang dari ayah angkatmu?"

   Maka Mei Hong yang sudah tertawa nakal itu tiba berjumpalitan di udara dan melayang turun. Ia benar mengikuti kehendak kakek ini, dan begitu ia tiba di atas tanah Hwa-i Lo-kai pun terkekeh girang dengan ketukan tongkatnya.

   "Bagus, kau sudah memiliki dasar ilmu silat yang cukup lumayan, Mei Hong. Dan lima-enam tahun lagi kau belajar di bawah pengawasanku tentu burungpun dapat kau kejar!"

   Mei Hong tertawa.

   "Wah, betulkah itu suhu? Tidakkah kau membual?"

   Hwa-i Lo-kai melotot.

   "Siapa bilang membual, bocah? Kau ingin bukti? Lihatlah...!"

   Dan Hwa-i Lo- kai yang sudah mengeluarkan bentakan perlahan itu tiba melompat tinggi di atas pohon yang baru saja ditempati Mei Hong.

   Dia tidak berjungkir balik seperti apa yang dilakukan Mei Hong tadi, melainkan lurus seperti tombak meluncur.

   Tapi begitu ia melayang ke atas tiba kakek ini sudah menggerakkan tangan kirinya menyibakkan dedaunan.

   Dan begitu dia menggerakkan tangannya tiba terdengarlah kelepak burung yang terbang kaget.

   Seekor pipit tampak terkejut oleh kehadiran kakek tua ini, namun Hwa-i Lo-kai yang sudah tertawa geli itu tiba menyambarkan lima jarinya.

   Sekali raup dan gaet ia berhasil menangkap burung yang kecil ini, lalu begitu dia melayang turun tampaklah hasil buruannya yang meng-gelepar lemah itu! "Aih....!"

   Mei Hong terbelalak takjub.

   "Kau benar dapat menangkap burung, suhu?"

   Hwa-i Lo-kai tertawa.

   "Bagaimana pandanganmu, anak nakal, bukankah lohu bilang ini adalah pekerjaan mudah?"

   "Ya, tapi.... tapi....."

   "Hm, jangan main tetapi, Mei Hong. Lohu sudah bilang bahwa lima-enam tahun lagi kau belajar di bawah pengawasanku maka kaupun dapat melakukan pekerjaan ini! Kenapa tidak percaya?"

   Mei Hong tertawa mukanya.

   "Ah, tapi teecu tidak bilang begitu, suhu. Bukankah teecu sama sekali tidak mengeluarkan kata itu?"

   "Hm, kau memang pandai bicara, anak nakal!"

   Kakek ini memaki gemas.

   "Bukankah bilang atau tidak bilang itu sama saja? Kau telah memperlihatkan sikap ke-raguanmu terhadapku, maka lohu yang ingin membuktikannya kepadamu harus berbuat sesuatu. Nah, bagaimana pendapatmu, Bun Hwi?"

   Kakek ini tiba menoleh ke arah Bun Hwi, dan Bun Hwi yang semenjak tadi tidak mengeluarkan suara itu tiba menjadi terkejut.

   "Ya... ya, kau benar, locianpwe...!"

   Bun Hwi tergagap.

   "Kau memang benar kalau mengatakan Mei Hong pandai bicara!"

   Maka Mei Hong yang mendapat teguran ini kontan saja menjadi sengit.

   "Bun Hwi, kau juga ikutan memaki aku?"

   Gadis ini melotot marah. Bun Hwi terkejut, dia semakin gugup.

   "Eh, itu... oh, bukankah Hwa-i Lo-kai locianpwe sendiri yang mengatakannya, Mei Hong? Aku... aku hanya ikutan saja!"

   Mei Hong melompat maju. Ia hendak mendamprat gusar temannya ini, tapi Hwa-i Lo-kai yang sudah tertawa itu menggerakkan tongkatnya.

   "Mei Hong, jangan marah. Bukankah dia suhengmu sendiri? Seorang sumoi tidak boleh memaki suhengnya, Mei Hong. Dan kalau dia bersalah cukup kau laporkan saja kesalahannya kepada lohu!"

   Dan Hwa-i Lo-kai yang sudah memandang dua orang anak remaja ini ber-seri mukanya.

   "Anak, kalian akan ikut dengan lohu, bukan? Kalian tidak akan bertengkar lagi, bukan?"

   Mei Hong cemberut ke arah Bun Hwi.

   "Tentu saja, suhu. Bukankah kami sudah kau angkat sebagai murid?"

   Tapi Bun Hwi tiba-tiba mendadak menggelengkan kepalanya.

   "Tidak.... tidak..... bukan kami, Mei Hong, melainkan kau seoranglah! Aku tidak dapat memenuhi permintaan Hwa-i Lo-kai ini...!"

   Dan Bun Hwi yang tiba menjatuhkan diri berlutut itu berkata dengan penuh penyesalan.

   "Locianpwe, mohon dimaafkan bahwa untuk persoalan ini aku tidak dapat memenuhi keinginanmu. Aku sudah terikat oleh seseorang, dan karena aku sudah berjanji kepadanya maka akupun tidak mampu melepaskan diri!"

   Mei Hong terkejut.

   "Bun Hwi, apa katamu itu?"

   Dan Hwa-i Lo-kai juga membentak.

   "Bocah, apa yang kau katakan ini?"

   Bun Hwi bangkit berdiri. Dengan muka muram dan pandangan lesu dia sekali lagi memberi hormat kepada kakek itu, lalu setelah menarik napas panjang diapun menjawab.

   "Locianpwe, aku tidak berbohong kalau aku katakan di sini bahwa sesungguhnya aku sudah terikat oleh seseorang. Dan justeru karena ikatan inilah aku tidak dapat memenuhi permintaanmu. Siauw-bin Lo-koai telah memintaku sebagai murid, jadi bagaimana aku harus melaksanakan keinginanmu?"

   Hwa-i Lo-kai terbelalak.

   "Apa, Siauw-bin Lo- koai, Bun Hwi? Kau bertemu dengan keledai gundul itu?"

   Bun Hwi mengerutkaan keningnya.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Benar. Dan kami telah terikat pada sebuah pertaruhan, locianpwe. Dan kalau aku kalah barulah aku akan menjadi murid hwesio itu!"

   Hwa-i Lo-kai tiba tertawa serak. Dengan membanting tongkatnya tiba dia mendelik ke arah pemuda ini, lalu menoleh kepada Mei Hong dia bertanya gusar.

   "Mei Hong, kalau begitu apakah janjimu terhadap lohu tadi masih dapat dianggap berlaku?"

   Mei Hong tersentak.

   "Janji yang mana, suhu? Bukankah teecu sudah menjadi muridmu?"

   Kakek itu membeliakkan matanya.

   "Janjimu untuk membayar dobel itu, bocah. Janjimu kalau pemuda ini terbukti menolak keinginanku!"

   Mei Hong tiba mengatupkan bibirnya. Dengan pandangan sedih dan mata bercahaya buram ia memandang Bun Hwi, lalu terdorong oleh isak yang tiba naik ke kerongkongannya Mei Hong tiba bertanya.

   "Bun Hwi, betulkah kau tidak mau menjadi murid suhu? Betulkah kau tidak mau bersamaku lagi....?"

   Bun Hwi menarik napas panjang.

   "Mei Hong, aku tidak mau karena aku tidak dapat melakukannya. Bagaimana aku harus memaksa diri?"

   Maka Mei Hong yang mendapat jawaban inipun tiba mengeraskan dagunya. Dengan kepala tegak dan muka tengadah ia memandang gurunya, lalu menutupi kekecewaan hatinya diapun berseru nyaring.

   "Suhu, aku sudah berjanji untuk membayar dua kali jika Bun Hwi menolak keinginanmu. Dan karena terbukti Bun Hwi betul tidak dapat memenuhinya biarlah sekarang juga aku membayar kesalahannya ini! Apakah yang harus kulakukan, suhu?"

   Hwa-i Lo-kai menyeringai.

   Dai bersuit nyaring, lalu sementara dua anak remaja ini terheran tiba berkelebatlah tiga buah bayangan mendekati mereka.

   Mei Hong dan Bun Hwi tadinya terkejut, tapi begitu melihat siapa yang muncul mendadak mereka menjadi tertegun.

   Kiranya tiga pengemis tua yang berbaju kembang seperti Hwa-i Lo-kai ini, dan begitu mereka muncul terdengarlah seruannya yang nyaring serak.

   "Pangcu, ada keperluan apakah memanggil kami?"

   Hwa-i Lo-kai menancapkan tongkatnya.

   "Aku ingin memberi tahu kalian, Sam-lokai. Bahwa hari ini calon pengganti ketua telah kutetapkan!"

   Tiga orang pengemis ini terkejut.

   "Apa, pangcu? Pengganti ketua.....?"

   "Ya, dan dia itu bukan lain adalah muridku ini!"

   Hwa-i Lo-kai menunjuk Mei Hong.

   "Dia adalah calon tunggal ketua perkumpulan kai-pang kita!"

   Maka Mei Hong yang mendengar kontan saja menjadi kaget setengah mati.

   "Suhu, apa artinya ini?"

   Mei Hong berseru.

   "Mengapa belum apa aku sudah kau tetapkan seperti itu?"

   Tapi Hwa-i Lo-kai mengibaskan lengannya.

   "Jangan membantah, Mei Hong. Kau sudah berjanji untuk membayar dua kali untuk pelanggaran ini. Dan karena aku sudah lama mencari murid maka kaupun tidak boleh menolak lagi. Ini adalah peraturan kai-pang kita!"

   Dan Hwa-i Lo-kai yang ternyata seorang pangcu itu sudah menoleh ke arah tiga orang pembantunya.

   "Sam-lokai, kalian sudah dengar keputusanku ini?"

   Tiga orang pengemis itu sejenak saling pandang. Mereka tampaknya tertegun oleh berita yang diberikan oleh Hwa-i Lo-kai tadi. Tapi melihat sinar mata yang tajam menusuk tiba merekapun menjatuhkan diri berlutut.

   "Baik, kami menerimanya, pangcu. Tapi kapan peresmian itu akan dilakukan?"

   Hwa-i Lo-kai mencabut tongkatnya.

   "Lima tahun lagi, Sam-lokai. Dan beritahukan semua anggota di seluruh cabang tentang keputusanku ini....! maka tiga orang pengemis yang merupakan bawahan Hwa-i Lo-kai inipun sudah mengiyakan hampir berbareng. Mereka melompat bangun dengan sikap hormat, dan seorang di antaranya yang bertahi lalat di hidung bertanya.

   "Pangcu, siapakah gelar dari calon ketua kita ini?"

   Hwa-i Lo-kai mengernyitkan keningnya.

   "Kelak akan kau ketahui sendiri, Ji-lokai. Tapi kalau kau ingin memanggilnya sebut saja ia hu-pangcu. Mei Hong akan memimpin kalian pada lima tahun mendatang, dan siapa yang tidak puas boleh mengujinya kelak di atas panggung lui-tai!"

   "Ah, baik... terima kasih, pangcu!"

   Lalu pengemis yang dipanggil Ji-lokai ini tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Mei Hong.

   "Hu-pangcu, karena pangcu telah memilihmu sebagai calon penggantinya maka perkenankanlah kami bertiga memberimu penghormatan. Ini adalah peraturan partai, dan kami bertiga yang telah menjadi saksi atas keputusan pangcu mohon maaf untuk goresan tanda mata ini. Awas...!"

   Dan Ji-lokai yang tiba menggerakkan tongkat bambunya itu se- konyong menyerang Mei Hong. Dia menusuk ke atas pundak dua kali ber-turut, dan Mei Hong yang tidak sempat mengelak itu hanya mendengar suara "bret-bret"

   Dua kali dan robeklah bajunya! "Ah...!"

   Mei Hong terkejut, tapi baru dia hendak memberikan teguran tiba saja pengemis yang lain sudah berseru pula kepadanya.

   "Hu-pangcu, maaf untuk goresan tanda mata ini. Awas...!"

   Dan mereka berdua yang sudah menyerang Mei Hong itu menusuk dua kali ber- turut ke dada dan punggung. Empat tongkat bambu mematuk cepat, dan begitu mereka bergerak kembali terdengarlah suara "bret-bret"

   Empat kali dan.... terkuaklah baju Mei Hong lebar! "Aih, apa... apa artinya ini, suhu?"

   Mei Hong berteriak marah, siap menerjang tiga lawannya itu dengan muka merah padam tapi mendadak dicegah gurunya.

   "Mei Hong tahan...... jangan serang mereka. Sam-lokai memberimu penghormatan sesuai undang partai...!"

   Dan Hwa-i Lo-kai yang sudah melompat maju sambil tertawa itu memberikan penjelasan lebih lanjut.

   "Mei Hong, Sam-lokai tidak bermaksud menghinamu. Itu adalah peraturan kai- pang yang sudah berjalan ratusan tahun. Kau diberi kehormatan untuk mengganti baju!"

   Dan kakek jembel yang sudah melempar sebuah bungkusan kepada muridnya ini menyuruh Mei Hong menukar pakaian.

   "Mei Hong, gantilah pakaianmu itu dengan pakaian kaum jembel ini. Kau resmi menjadi anggota Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang)!"

   Dan Mei Hong yang terbelalak dengan muka tertegun itu menerima bungkusan dari suhunya ini dengan mulut melongo.

   Ia tidak tahu bahwa dirinya sekarang resmi masuk perkumpulan Hwa-i Kai-pang.

   Dan bahwa ia diharuskan mengganti pakaian dengan pakaian kaum gelandangan itu benar membuat ia terkejut.

   Tapi karena Hwa-i Lo-kai adalah suhunya dan pakaiannya pun sudah dibuat robek oleh tiga orang pengemis ini akhirnya Mei Hong tidak banyak bicara lagi.

   Ia cepat menerima bungkusan pakaian dari gurunya itu, dan ketika dengan ter-gesa ia mengenakan pakaian itu menutupi pakaiannya sendiri yang robek maka jadilah Mei Hong seorang pengemis remaja yang berpakaian tambalan! Bun Hwi hampir saja tertawa melihat temannya itu tiba saja "disulap"

   Seperti ini. Tapi melihat Mei Hong melotot kepadanya diapun berusaha menekan kegelian hatinya. Sementara Hwa-i Lo-kai yang sudah melihat muridnya berpakaian jembel tiba menoleh kepada tiga orang pembantunya.

   "Sam-lokai, kau sudah menyaksikan semuanya, bukan? Kalian sudah mengenal muridku, bukan?"

   Tiga orang pengemis itu mengangguk.

   "Ya, kami telah mengenalnya, pangcu. Dan sesuai perintah pangcu maka kamipun akan menyebarkan berita ini kepada setiap orang anggota."

   "Bagus. Kalau begitu pergilah kalian, Sam- lokai. Siarkan berita ini kepada setiap anggota dan tunggu kehadirannya kelak lima tahun mendatang di kota raja!"

   "Baik, kami mengundurkan diri, pangcu!"

   Dan Ji-lokai serta dua orang temannya yang tiba memberi hormat itu sudah memutar tubuh dan berkelebat pergi. Mereka lenyap di luar hutan, dan Hwa-i Lo-kai yang tampak puas ini tiba memandang Bun Hwi.

   "Bocah she Bun, laporkan kepada keledai gundul itu bahwa Hwa-i Lo-kai menantang muridnya untuk kelak diadu dengan muridku Mei Hong ini. Kalau kau berjiwa pengecut suruh gurumu itu yang maju. Tapi kalau kau berani kutunggu kedatangan kalian lima tahun mendatang di markas Hwa-i Kai- pang!"

   Dan Hwa-i Lo-kai yang gemas terhadap Bun Hwi tiba menyentak lengan muridnya.

   "Mei Hong, mari kita pergi!"

   Dan kakek jembel yang tahu menotolkan kakinya itu sudah mengetrukkan tongkatnya membawa Mei Hong. Sekali berkelebat dia telah melayang jauh belasan tombak, danMei Hong yang terkejut oleh sendalan ini berteriak.

   "Bun Hwi, selamat tinggal. Harap kau ber- hati....!"

   Lalu bayangan guru dan murid yang sudah lenyap ditelan kerimbunan pohon itu disambut Bun Hwi dengan sikap ter-mangu.

   Dia merasa tidak enak begitu ditinggalkan Mei Hong, dan gadis remaja yang masih sempat meneriakinya untuk ber-hati itu menjadikan pemuda ini melenggong.

   Tapi Bun Hwi tiba mengangkat mukanya.

   Tawa seseorang di balik sebatang pohon membuat ia terkejut.

   Dan ketika ia menoleh tampaklah bayangan seorang hwesio gundul bercelana kolor, Siauw-bin Lo-koai! "Ooh, locianpwe...!"

   Bun Hwi berteriak kaget. Dan begitu dia melompat maju terdengarlah kekeh si hwesio gundul ini.

   "Ha-ha, kau sudah berpisah dengan temanmu itu, Bun Hwi?"

   Bun Hwi memberi hormat.

   "Ya, dan kau agaknya juga tahu bahwa Mei Hong dibawa ketua Hwa-i Kai-pang itu, locianpwe. Sekarang ada keperluan apakah locianpwe datang kemari?"

   Kakek gundul itu tertawa.

   "Aku ingin memberitahumu, Bun Hwi. Bahwa sebaiknya sekarang juga kau cepat ke dusun Kwa-chungcu itu. Sebuah keributan besar bakal terjadi, dan kalau kau tidak ke sana barangkali bentrokan orang kang-ouw ini tidak dapat dicegah!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Bentrokan orang kang- ouw, locianpwe? Keributan di dusun Kwa- chungcu....?"

   Siauw-bin Lo-kai mengangguk.

   "Ya, dan ini semua garamu, Bun Hwi. Karena kalau kau tidak muncul di sana barangkali tersiarnya berita yang amat cepat ini tidak bakalan terjadi!"

   "Maksud locianpwe?"

   "Kau membuat kegemparan besar di kalangan istana. Dan dua orang Pangeran Ong dan Yin kini telah mengirimkan orangnya untuk mencari dirimu!"

   "Ah....!"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Mencari-cariku, locianpwe? Pangeran Ong dan Pangeran Yin....?"

   Siauw-bin Lo-kai mengangguk.

   "Ya, dan itu karena ulahmu di dusun Cun-leng, Bun Hwi. Betapa kau telah dikabarkan orang yang menangkap Naga Lilin!"

   "Astaga!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Aku dikabarkan seperti itu, locianpwe? Tapi bukankah aku tidak melakukannya?"

   "Hm, ini memang bumbu yang diberikan orang kepadamu, Bun Hwi. Dan karena kau yang lolos dari keganasan ikan itu maka kaulah yang dijadikan sasaran!"

   Maksud locianpwe, keganasan dari racun ikan itu?"

   "Ya, apa lagi?"

   Kakek ini tertawa.

   "Bukankah kau tahu bahwa pedagang she Cui dan nelayan she Hok itu mampus setelah menyentuh ikan ini?"

   Bun Hwi terbengong.

   "Tapi..., tapi....."

   Sudahlah, jangan main tetapi, Bun Hwi."

   Siauw-bin Lo-koai menukas.

   "Yang penting kau harus memecahkan persoalan ini, bukan?"

   "Hm...."

   Bun Hwi ter-mangu.

   "Tapi bagaimana caranya, locianpwe? Apakah aku harus menghadapi mereka itu...?"

   Siauw-bin Lo-koai menyeringai.

   "Wah, kau ingin ditangkap, Bun Hwi? Kau ingin menerima pil pahit dari mereka?"

   Bun Hwi menjadi bingung.

   "Kalau begitu apa yang harus kulakukan, locianpwe? Mestikah aku menyembunyikan diri?"

   Kakek itu tertawa.

   "Tidak, bukan begitu, Bun Hwi. Pinceng rasa justeru kau harus mendatangi dusun Kwa-chungcu itu dan benar menangkap Naga Lilin...!"

   Bun Hwi tersentak.

   "Menangkap Naga Lilin, locianpwe?"

   "Ya, kenapa tidak?"

   Kakek ini menyeringai.

   "Bukankah kau sudah dituduh orang mendapatkan ikan ini? Maka daripada kepalang tanggung menerima dakwaan sebaiknya tuduhan itu kau lakukan sekali, Bun Hwi. Dan begitu kau berhasil mendapatkannya barulah kau menyimpan ikan keramat itu di tempat yang aman!"

   Bun Hwi memandang terbelalak.

   "Locianpwe, kenapa kau menyuruhku seperti itu? apa dasarnya aku harus melakukan perbuatan ini?"

   Siauw-bin Lo-koai bersikap serius.

   "Begini, Bun Hwi. Tahukah kau mengapa Pangeran Ong dan Yin menyuruh orangnya mencarimu? Tahukah kau apa yang tersembunyi di balik semuanya ini?"

   Bun Hwi mengerutkan alis.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tentu saja aku tidak tahu, locianpwe. Tapi barangkali aku dapat menduganya sedikit."

   "Hm, apa itu?"

   "Tentu ada hubungannya dengan Naga Lilin!"

   "Bagus, memang tepat, Bun Hwi...!"

   Kakek itu berseru.

   "Memang itulah yang menjadi maksud utama mereka. Kau hendak dijadikan kunci pembuka rahasia dalam urusan Naga Lilin ini!"

   Dan Siauw-bin Lo-koai yang tampak bersinar matanya itu memandang Bun Hwi dengan muka ber-seri.

   "Bun Hwi, tahukah kau mengapa ikan beracun itu di-cari orang?"

   Bun Hwi sekarang mengernyitkan dahinya. Dia jadi teringat kata Thian-san Giok-li tentang "rahasia"

   Ikan keramat ini. Dan bahwa dua orang Pangeran Ong dan Yin dikabarkan mencari dirinya untuk masalah itu tentu ada hubungannya dengan apa yang dikatakan wanita sakti itu. maka begitu kakek ini bertanya kepadanya tiba Bun Hwi menghela napas panjang.

   "Hm, tentu masalah benda pusaka yang berada di perut ikan itu, locianpwe. Tidakkah demikian maksudmu?"

   Kakek ini terbelalak.

   "Wah, jadi kau tahu tentang itu, Bun Hwi? Kau sudah tahu bahwa di perut ikan ini terdapat sebuah benda?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Ya, dan kalau tidak salah katanya berujud sebuah cupu, locianpwe. Bukankah begitu menurut ceritanya?"

   Maka Siauw-bin Lo-koai yang medengar tiba saja tertawa gembira. Dengan mimik muka lucu dan perut ditepuk keras tiba dia melonjak, dan sambil terkekeh nyaring hwesio gundul ini berteriak.

   "Benar, memang benar itu, Bun Hwi. Sebuah cupu yang tersimpan di perut Naga Lilin. Cupu Naga...!"

   Dan hwesio itu tertawa ter-bahak. Dia tampaknya gembira luar biasa, tapi Bun Hwi yang dilihatnya acuh tak acuh membuat dia tiba berhenti tertawa.

   "Eh, Bun Hwi, kenapa kau tidak merasa gembira?"

   Bun Hwi menggerakkan lengannya.

   "Karena aku tidak tertarik sama sekali oleh berita ini, locianpwe. Dan siapa tahu itu adalah hasil omong kosong belaka!"

   Siauw-bin Lo-koai melotot.

   "Wah, siapa bilang omong kosong, Bun Hwi? Dari mana kau dengar berita ini pertama kalinya?"

   Bun Hwi tersenyum.

   "Dari Thian-san Giok-li, locianpwe."

   Kakek itu tampak terkejut.

   "He, kau sudah ketemu wanita galak itu?"

   Tapi Bun Hwi menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, tapi kami berjumpa dengan cara sembunyi, locianpwe..."

   Lalu Bun Hwi yang menceritakan secara singkat "pertemuannya"

   Dengan wanita sakti itu mendadak disambut ketawa geli oleh hwesio ini.

   "Ah, jadi begitukah, Bun Hwi? Jadi wanita itu tidak tahu kalau kau berada di dekatnya?"

   Bun Hwi tersenyum pahit.

   "Begitulah, locianpwe. Dan kudengar dari ceritanya bahwa locianpwe telah mempermainkannya. Locianpwe bilang aku masih hidup, tapi Thian-san Giok-li yang kau putar mencari diriku ini tampaknya marah. Locianpwe, kenapa kau harus mengabarkan pada wanita itu bahwa aku lolos dari kematian?"

   Siauw-bin Lo-koai tiba menyeringai.

   "Aku tak bermaksud memberitahukan pada wanita itu, Bun Hwi. Melainkan kepada muridnya. Tidakkah kau lihat murid Thian-san Giok-li itu kurus tubuhnya dan selalu berduka?"

   Bun Hwi terdiam.

   Dia melihat benarnya ucapan ini, maka begitu teringat keadaan Kiok Lan tiba diapun merasa terharu.

   Bagaimanapun, hatinya jadi berdebar kalau teringat pernyataan Thian-san Giok-li kepada muridnya itu.

   Betapa Kiok Lan jatuh cinta kepadanya! Tapi Bun Hwi yang merasa likat untuk meneruskan pembicaraan ini akhirnya mengalihkan perhatiannya.

   "Locianpwe, kau tadi bilang bahwa aku harus menangkap Naga Lilin itu. Kalau begitu, apa maksudmu? Apakah kau ingin mendapatkan cupu itu lewat tanganku?"

   Siauw-bin Lo-koai mendengus.

   "Bun Hwi, kau kira macam apakah pinceng ini? Apakah pinceng masih berminat terhadap benda duniawi?"

   "Hm, kalau begitu apa maksudmu, locianpwe? Kenapa aku kau suruh mendapatkan ikan beracun itu?"

   "Karena se-mata untuk kebahagiaanmu, Bun Hwi!"

   Kakek itu menyahut.

   "Karena pinceng ingin menyelamatkan dirimu dan mencegah tumpahnya darah ini gara perebutan Cupu Naga!"

   Bun Hwi jadi tak mengerti.

   "Locianpwe, ke mana arah maksud katamu ini? Kenapa bisa dibilang untuk kebahagiaanku?"

   Siauw-bin Lo-koai mengeraskan matanya.

   "Bun Hwi, kau memang anak bodoh. Tidak tahukah kau bahwa Cupu Naga itu menyembunyikan rahasia ilmu silat yang amat hebat? Tidak tahukah kau bahwa di Cupu Naga itu terdapat warisan tak ternilai harganya bagi orang persilatan?"

   "Ah, itu urusan orang kang-ouw, locianpwe. Aku sudah bilang bahwa saat ini aku sama sekali tidak tertarik oleh urusan Cupu Naga itu!"

   "Betul. Tapi kau tidak ingin kalau warisan yang demikian hebat jatuh ke tangan orang tak berhak, bukan, Bun Hwi? Tidakkah kau akan melindunginya bila jatuh ke tangan orang jahat?"

   Bun Hwi membelalakkan matanya.

   "Locianpwe, kau bicara se-olah barang pusaka itu lebih cocok untukku. Ada hubungan apakah kau bersikeras mempertahankan pendapat ini?"

   Kakek itu tiba tertawa.

   "Bun Hwi, Cupu Naga memang kaulah ahli warisnya. Tidak ada orang lain yang berhak di dunia ini selai kau! Nah, kenapa kau demikian tolol untuk tidak mengerti omongan orang? Bukankah pinceng pernah bilang kepadamu bahwa kau ini seorang pangeran?"

   Bun Hwi tercekat.

   "Locianpwe, jangan kau main. Aku tidak perduli apakah sebenarnya aku ini betul seorang pangeran atau bukan!"

   "Ya, tapi aku yang perduli, Bun Hwi! Pinceng yang akan membuka rahasiamu ini lewat Cupu Naga!"

   "Ah...!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Ada hubungan apakah diriku ini dengan benda itu, locianpwe? Kenapa kau tidak mau mebeberkannya kepadaku?"

   Siauw-bin Lo-koai tertawa mengejek.

   "Kau terlalu sombong untuk diberitahu sekarang, Bun Hwi. Dan hanya apabila kau mau memenuhi permintaan pinceng maka tidak lama lagipun pinceng akan memberitahukannya padamu!"

   "Maksud locianpwe?"

   "Kau harus ke kampung nelayan itu, sekarang juga. Dan kalau bertemu dengan seorang kakek bermuka putih maka kau harus ikut segala nasihatnya. Dialah yang mempunyai hubungan paling dekat denganmu, dan sekali Naga Lilin berhasil kau tangkap, segera larilah bersama kakek itu!"

   Bun Hwi tertegun.

   "Locianpwe, kau tampaknya main rahasia kepadaku. Siapakah kakek bermuka putih itu?"

   Siauw-bin Lo-koai memandang ragu. Tapi setelah mendapat tatapan curiga dari bocah ini diapun berseru lirih.

   "Kakek itu adalah kerabatmu terdekat, Bun Hwi. Dan kalau kau bertemu dengannya panggil saja paman Pek....!"

   Bun Hwi mengerutkan alisnya.

   "Paman Pek, locianpwe? Siapa dia itu sebenarnya?"

   Siauw-bin Lo-koai membanting kaki.

   "Bun Hwi, kau cerewet amat! Mengapa harus ber-tele seperti nenek bawel? Tidakkah kau lekas pergi saja agar pertumpahan darah ini dapat dicegah? Kau tahu orang kang-ouw akan memperebutkan Cupu Naga ini, Bun Hwi. Dan sekali kau didahului mereka tentu bencana pun akan melanda semua orang. Sudahlah. Pergi sekarang juga dan carilah Cupu Naga itu....!"

   Dan Siauw-bin Lo-koai yang sudah memutar tubuh itu tiba menjejakkan kakinya melompat pergi. Dia tampak tidak mau banyak bicara lagi, tapi baru belasan tindak dia melangkah mendadak kakek ini menoleh.

   "Bun Hwi, harap kau ingat satu hal lagi. Ber- hatilah terhadap Ang-sai Mo-ong (Raja Iblis Singa Merah) yang menjadi tangan kanan Pangeran Ong....!"

   Dan Siauw-bin Lo-koai yang sudah membalikkan tubuh itu benar melompat pergi sekarang.

   Dia meninggalkan Bun Hwi yang tertegun di mulut hutan, sementara Bun Hwi yang mendelong oleh ucapan kakek gundul ini ter-mangu.

   Bingung Bun Hwi.

   Apa sesungguhnya yang dirahasiakan Siauw-bin Lo-koai itu.

   Tapi karena orang telah meninggalkannya pergi maka diapun hanya dapat menarik napas penuh kecewa.

   Sebetulnya dia ingin menemui Gubernur Kam.

   Pergi secara diam menemui pembesar itu.

   Bertanya apa betul gubernur itu tahu banyak tentang dirinya.

   Dan kalau betul apa pula rahasianya.

   Dan kalau tidak betul dia akan melanjutkan perjalanan ke kota raja.

   Karena itulah sesungguhnya maksud tujuan utamanya, mengurus pesoalan tanah yang menjadi hak temannya di dusun Ki-leng.

   Tapi belum semuanya ini terlaksanakan mendadak saja persoalan baru menyusul menggelisahkannya.

   Siauw-bin Lo-koai meminta dia agar mencari Cupu Naga itu.

   Dan mencari benda ini berarti harus mencari Naga Lilin.

   Ikan yang dulu dilemparkannya kembali ke dalam sungai itu.

   Dan mencari ikan ini berarti mengharuskan dia kembali ke dusun Cun-leng.

   Ah! Bun Hwi mengatupkan mulut.

   Kenapa dia ditimpa ber-tubi oleh persoalan baru yang dianggapnya tidak berkaitan itu? kenapa dia harus menghadapi semuanya ini begitu keluar dari dusun Ki-leng? Hm, kalau saja paman masih hidup! Bun Hwi berpikir.

   Dan begitu ingatannya melayang pada pembunuhan pamannya ini tiba saja Bun Hwi mengepalkan tinju.

   Dia jadi teringat pada kebiadaban tuan tanah Bhong itu.

   Dan begitu ingatannya melayang pada tuan tanah ini mendadak saja muka Bun Hwi menjadi merah.

   Dia ingin mencari Bhong-loya itu.

   Dan kelak kalau ketemu tentu akan dia bunuh hartawan tamak yang keji ini! Dia ingin membalaskan dendam pamannya Ma, dan kalau sudah berhasil dia akan kembali ke tempat asalnya! Tapi Bun Hwi tiba tertegun.

   Ingatan pada paman Ma ini mendadak membuat dia ingat pula akan "paman"

   Lain yang disebutkan Siauw-bin Lo- koai tadi.

   Paman Pek! Hm, siapa dia itu? kenapa Siauw-bin Lo-koai menyuruhnya untuk mengikuti segala nasihat orang itu? Ada hubungan apa dengan dirinya? Betulkah masih kerabat dekat seperti yang dikatakan hwesio gundul itu? atau Siauw-bin Lo-koai berbohong....? Bun Hwi menjadi ragu.

   Dia tidak percaya kalau Siauw-bin Lo-koai membohonginya.

   Dan kalau benar dia akan mendapatkan sesuatu yang ada hubungannya dengan dirinya seperti apa yang dikatakan Siauw-bin Lo-koai tadi memang sebaiknya dia ikut nasehat ini.

   Sekarang juga harus pergi ke dusun Cun-leng! Maka begitu Bun Hwi menetapkan hatinya tiba diapun melangkahkan kaki, keluar dari mulut hutan itu dan menuju ke timur.

   Ke dusun Cun-eng di mana beberapa hari yang lalu dia berurusan dengan masalah ikan beracun.

   Naga Lilin! *Oz* Seperti biasa.

   Pagi itu dusun Cun-leng tampak sunyi.

   Kaum nelayan belum ada yang melakukan kegiatan.

   Dan sungai yang mengalir di tepi dusun mereka masih meluncurkan airnya dengan ogahan.

   Ada kesan malas dan acuh tak acuh menyelubungi perkampungan nelayan ini, kesan yang dingin dan kurang bersahabat.

   Sementara matahari pagi yang lembayung jingga tampak ber-seri menghangati bumi.

   Tapi tiba pagi yang tenang ini terkuak.

   Serombongan orang berkuda menderapkan langkahnya mengusik kesunyian dusun.

   Dan begitu mereka muncul terdengarlah teriakan kasar yang menyerupai lolong srigala.

   Tiga orang nelayan yang baru saja memasuki perahu butut mereka mendadak mendapat mentakan, dan seorang bocah yang meledakkan cambuknya di barisan paling depan dari rombongan berkuda ini membentak nyaring.

   "Hei, kecoa busuk, betulkah ini dusun Cun- leng?"

   Tiga orang nelayan itu mengangkat muka. Mereka marah dan tersinggung mendengar ucapan yang kasar ini, dan begitu melihat bahwa yang melakukan bentakan adalah seorang anak laki yang usianya belasan tahun tiba saja mereka melotot.

   "Bocah tak tahu aturan, begitukah caramu menanya orang?"

   Anak laki yang didamprat ini gusar.

   "Kecoa bususk, apa kau bilang? Berani kalian memaki aku?"

   Nelayan yang ada di depan mendelik.

   "Anak setan, siapa yang mulai memaki? Bukankah kau yang datang melontarkan hinaan?"

   Tapi baru nelayan ini mengeluarkan seruannya tiba anak di punggung kuda itu memekik. Dia tampaknya marah melihat orang menjawab pertanyaannya, dan begitu dia membungkukkan tubuhnya tiba cambuk yang ada di tangan berderak menyambar.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kecoa hitam, kau rupanya belum pernah dihajar orang. Nih, terimalah.... ada hadiah istimewa dariku."

   Tarr...! dan cambuk yang meledak di pipi nelayan berkulit hitam ini tiba membuat nelayan itu menjerit. Dia terjungkal roboh, dan anak laki yang telah melakukan serangan itu tertawa mengejek.

   "Ha-ha, begitu kiranya keberanianmu, nelayan busuk? Kau tidak tahu menghormat orang?"

   Nelayan berkulit hitam ini terbelalak. Dia sudah berdiri dengan muka merah kehitaman, sementara dayung yang tiba sudah dicekalnya itu tampak gemetar di tangan yang kokoh.

   "Bocah iblis, kau siapakah? Berani kau pagi begini menghina orang dusun?"

   Tapi anak laki itu malah tertawa semakin merendahkan. Dia mencibirkan mulut kepada nelayan berkulit hitam ini, dan tidak menjawab pertanyaan itu dia justeru melancarkan bentakan.

   "Kecoa hitam, tidak dengarkah kau pertanyaanku tadi? Betulkah ini dusun Cun-leng?"

   Nelayan berkulit hitam itu meraung.

   Dia merasa terhina sekali, dan begitu anak laki di atas kuda itu tertawa mengejeknya mendadak dia meloncat dari atas perahu.

   Dayung yang sudah dicekal di tangannya mendadak menghantam kepala orang, tapi begitu anak laki ini meliukkan kepalanya tiba saja cambuknya melecut menyambar pipi lawannya.

   "Nelayan busuk, kau rupanya tidak tahu mengenal orang. Beginikah caramu menyambut murid Ang-sai Mo-ong? Huh, pergilah, lepas dayungmu itu dan menceburlah...!"

   Lalu begitu anak laki ini mendupakkan kakinya tiba saja nelayan berkulit hitam itu menjerit. Dia tertusuk ujung sepatu yang dipasangi pisau kecil dan begitu dia berteriak se-konyong pipinya sudah dipukul ujung cambuk.

   "Tarr!"

   Laki berkulit hitam itu terpelanting, dan persis dia melepaskan dayungnya tiba anak laki itu melompat turun.

   Sekali tendang dia telah melempar tubuh nelayan ini, dan begitu tubuh nelayan itu terpental ke atas tiba diapun telah terlempar di air sungai.

   "Byurr...!"

   Nelayan berkulit hitam itu memekik keras, dan dua kali tendangan yang mengenai perutnya membuat dia menyeringai kesakitan.

   Rasa pedih yang amat menyayat membuat dia maklum apa yang terjadi, maka begitu kemarahannya menggelegak diapun tiba mencaci- maki.

   "Bocah iblis, berani kau melukai aku?"

   Dan nelayan yang sudah berenang ke pinggir dengan muka beringas itu mengerotkan giginya sampai berbunyi. Dia nampaknya marah bukan main, tapi si anak lelaki yang telah menyerangnya itu tertawa mengejek.

   "Kecoa hitam, kenapa aku tidak berani melukaimu? Jangankan melukai, membunuh- mu pun aku berani. Lihat!"

   Dan anak laki yang sudah menggerakkan tangan kirinya itu memebri bentakan.

   Dia menimpukkan sebuah pisau kecil ke arah nelayan yang baru muncul di permukaan air ini, dan begitu pisau itu menyambar, berteriaklah si muka hitam.

   Dia tidak mampu menyelamatkan diri, dan pisau yang tahu terbang menyambarnya itu menancap di leher.

   "Cepp...! Aughhh!"

   Nelayan berkulit hitam itu menjerit dan sekali dia mendekap lehernya tiba diapun terjungkal roboh.

   Pisau yang mengenai lehernya merobek urat nadi, maka begitu dia berteriak ngeri terjungkallah dia di dalam air.

   Nelayan berkulit hitam ini tewas, dan dua orang temannya yang berada di atas perahu menjadi kaget bukan main.

   "Kau... kau membunuhnya, anak setan?"

   Teman si kulit hitam yang bemuka kuning berseru terperanjat.

   Dia kaget bahwa dalam beberapa gebrakan saja temannya roboh dengan nyawa melayang.

   Dan bahwa anak laki itu tampak demikian ganas dan kejam sungguh membuat dia terkejut.

   Tapi anak laki ini tertawa mengejek.

   "Kau ingin menyusulnya, muka kuning?"

   Kau ingin membela temanmu si kecoa hitam itu?"

   Si muka kuning gemetar. Dia melihat rombongan di belakang anak laki itu memandangnya penuh ancaman, dan bingung serta gelisah oleh kejadian itu tiba diapun berteriak.

   "Bocah setan, kau terlalu keji...!"

   Dan si muka kuning yang sudah menyambar dayung itu mendadak melompat dari atas perahunya dan menghantam pinggang anak ini dengan kekuatan penuh.

   Tapi anak laki itu melilitkan cambuknya.

   Dayung yang menghantam pinggang disambut senyuman mengejek, dan begitu dia merendahkan tubuh menyambarlah papan dayung itu di atas rambutnya.

   Lalu sekali dia menjengek tiba bergeraklah ujung sepatunya mengantam dagu lawan.

   "Muka kuning, kaupun rupanya bosan hidup. Pergilah...!"

   Dan ujung sepatu yang tahu mengenai dagu nelayan itu membuat laki itu berteriak parau. Dia ditusuk pisau lipat yang mencuat dari ujung sepatu itu, maka begitu dagunya "dicium"

   Terpelantinglah laki ini.

   "Cratt...! Aduhh!"

   Dan laki yang sudah terluka itu bergulingan di atas tanah dengan pekik nyaringnya.

   Dia merasa sakit dan nyeri bukan main, sementara rahang yang terobek lebar itu membuat darahnya bercucuran deras.

   Laki ini pucat, tapi ketika dia hendak melompat bangun se-konyong anak laki itu tertawa.

   "Muka kuning, jangan ter-gesa. Kau susullah temanmu itu di dasar sungai!"

   Dan anak laki yang sudah melemparkan pisau kecilnya itu menyambit secepat kilat.

   Dia tampaknya tidak ragu sama sekali, dan begitu pisau kecilnya meluncur kembali terdengarlah jerit kematian.

   Si muka kuing roboh terjerembab, lalu ketika anak laki itu melompat maju dan menendang tubuhnya terlemparlah tubuh yang sudah tidak bernyawa itu.

   "Byurr...!"

   Untuk kedua kalinya sungai di dusun Cun-leng ini menerima korbannya dan bocah laki yang menjadi pembunuh bertangan dingin itu tersenyum mengejek.

   Dia memandang mayat yang tenggelam di dasar sungai itu, sementara nelayan terakhir yang berada di atas perahu menggigil pucat.

   Nelayan ini tampak ketakutan, tapi begitu dia sadar se-konyong nelayan ini berteriak.

   Dia melompat turun dari dalam perahu, melempar jaring yang tidak jadi dipakai.

   Lalu menjerit dengan muka histeris diapun berteriak-teriak menggaduhkan isi kampung.

   "Sam Houw dibunuh...! Sam Houw dibunuh...!"

   Dan nelayan terakhir yang lari pontang- panting dengan muka ketakutan itu sebentar saja membuat dusun Cun-leng terbangun.

   Orang sama terkejut dan ketika dengan sikap ter-gesa mereka keluar rumah tampaklah nelayan terakhir ini sudah terjungkal roboh.

   Dia tampaknya ketakutan bukan main, terperosok ke sebuah lubang yang tidak diketahuinya.

   Dan begitu dusun Cun-leng terbangun berlompatanlah temannya membantu nelayan ini.

   "Lui Kam, apa yang terjadi? Siapa yang membunuh Sam Houw...? orang bertanya kaget. Nelayan itu menggigil. Dia mencoba mengangkat tubuhnya, menengok ke belakang dengan mata terbelalak. Tapi belum dia membeberkan suaranya se-konyong anak lelaki yang tertawa dingin itu berseru.

   "Tikus bodoh, benarkah ini dusun Cun-leng?"

   Orang kampung kini menoleh.

   Mereka terkejut melihat seorang bocah dikawal demikian banyak orang berkuda yang bertampang ganas.

   Tapi melihat sikap kasar yang dipertunjukkan anak laki ini meeka mengerutkan kening.

   Sebagian besar merasa marah, tapi melihat orang bertanya kepada mereka maka seorang di antaranya pun melangkah maju.

   "Bocah tidak tahu aturan, kau siapakah? Mengapa pagi begini membuat ribut di kampung kami? Ini memang benar dusun Cun-leng. Ada keperluan apa kau menanyakan dusun kami?"

   Anak laki itu tertawa. Dia melepas cambuk yang tadi dililitkan di pinggang lalu menoleh ke rombongan temannya dan berseru.

   "Hak Bu, turunlah kalian semua. Ini memang kampung yang kita cari...!"

   Lalu kembali menoleh ke arah nelayan yang tadi bicara kepadanya, dan berkata.

   "Tikus busuk, kami serombongan minta disediakan seluruh perahu yang ada di tempat ini. Kami ingin ber- senang...!"

   Dan bocah laki yang sudah tertawa sambil me-ledakkan cambuknya itu tampak menyeringai dengan mata ber-sinar.

   Tentu saja orang yang diajak bicara terbelalak gusar.

   Dan kaum nelayan yang berkumpul di situ berteriak marah.

   Mereka melihat sikap yang amat pongah dan kurang ajar sekali dari anak itu.

   Maka seorang di antaranya yang bernama Ah Lam melompat maju dengan beringas.

   "Bocah tidak tahu adat, tahukah kau dengan siapa kau bicara? Tidak punya sopan santunkah bapak ibumu?"

   Anak laki itu tersenyum mengejek.

   "Tikus tua, siapa yang tidak tahu adat? Kau ataukah aku? Baik aku minta kepada kalian untuk menyediakan perahu bagi kami kenapa harus melotot seperti itu? minta dicukilkah matamu itu?"

   Ah Lam membanting kakinya. Dia gusar setengah mati mendengar hinaan ini. Maka begitu dia berteriak tiba diapun sudah menerjang ke depan. Golok yang ada di tangan menyambar leher lawannya. Tapi Lui Kam yang melihat itu justeru berteriak.

   "Ah Lam, jangan....!"

   Tapi semuanyapun terlambat. Anak laki yang dibacok golok itu sudah tertawa mengejek, dan begitu golok hampir mengenai kepalanya mendadak ia melompat ke samping.

   "Wuuttt....!"

   Golok Ah Lam mengenai angin kosong dan sementara laki ini berteriak kaget, tiba saja ujung cambuk di tangan anak itu meledak di mata kirinya.

   "Tarrr!"

   Cambuk mengenai sasarannya sehingga Ah Lam menjerit kesakitan. Bola matanya pecah. Dan sementara dia terpelanting roboh menyambarlah dupakan keras menghantam pinggang kanannya.

   "Desss..!"

   Ah Lam ter-guling seraya meraung kesakitan. Dia terlempar sampai tujuh tombak lebih, dan mukanya yang penuh darah itu tampak mengerikan sekali! "Aah...!"

   Semua penduduk berteriak kaget dan tertegun saat melihat Ah Lam yang mandi darah dan berkelojotan.

   Namun begitu mereka sadar se- konyong semuanya berteriak marah.

   Mereka mencaci-maki dan menerjang ke arah anak laki yang telah melukai Ah Lam dengan membawa bermacam senjata.

   Dayung, tombak, dan golok berkelebatan menghujani tubuh anak laki tersebut.

   Tapi yang diserang ini justeru tertawa mengejek.

   Dia menangkis semua serangan senjata itu dengan putaran cambuknya hingga semua senjata para penyerangny terpental lalu dilanjut membagi-bagi tendangan dan pukulan ke arah para pengeroyoknya.

   "Plak-plak-des!"

   Tomabk, golok dan bermacam sejata beterbangan disusul suara mengaduh dan tubuh berpelantingan diseling dengan suara lecutan cambuk yang meledak-ledak menghujani mereka semua.

   "Ha-ha-ha....... kalian semua ingin mengeroyokku, tikus busuk? Kalian ingin membalas dendam atas kematian teman kalian? Kurang ajar! Rasakanlah nikmatnya digigit ujung cambukku ini!"

   Dan mata cambuk yang me-matuk tubuh setiap orang itu disambut pekik kesakitan susul-menyusul.

   Lima belas orang mengaduh dengan kulit pecah berdarah.

   Namun ketika si anak laki ini hendak melanjutkan hukuman berupa lecutan cambuknya tiba berlarian mendekat seorang kakek tua diikuti puluhan orang lainnya.

   "Bocah iblis, tahan seranganmu itu... tahan....! kakek tua itu ter-gopoh menghampiri tempat itu seraya mengangkat tangannya. Dialah Liem-lopek, nelayan tua yang menjadi tokoh nomor dua di dusun ini. Lalu dia melanjutkan katanya.

   "Anak berhati keji, apa maksudmu membuat keributan di kampung kami? Mengapa kau melukai mereka dan menurunkan tangan ganas di sini?"

   Anak laki ini tersenyum.

   "Aku tidak akan mungkin melukai mereka kalau mereka tahu diri. Kakek tua, kau siapakah? Mengapa mencegahku menghajar tikus busuk ini?"

   Nelayan she Liem mendelik.

   "Aku Liem Su, anak setan! Kau siapakah datang membawa bencana? Tak tahukah kau bahwa dusun kami ini pantang dimasuki iblis macammu ini?"

   Si anak laki ini tertawa.

   "Ha, kau kepala kampung di sini, tua bangka? Kau ingin tahu siapa aku? Nah, dengarlah. Aku adalah Bhong Kiat, murid Ang-sai Mo-ong yang gagah perkasa. Datang ke sini untuk meminjam perahu kalian tapi ditolak dengan kasar. Jadi siapa yang harus didalahkan?"

   Liem-lopek terbelalak.

   Dia bukan orang kang- ouw, maka mendengar nama Ang-sai Mo-ong baginya tidak terlalu berpengaruh.

   Tapi mendengar di dunia ini ada seseorang yang mendapat julukan Mo-ong (Raja Iblis) mau tidak mau dia terkejut juga.

   Tapi Liem-lopek bukalah seorang pengecut.

   Maklum dirinya berhadapan dengan seorang bocah keji, diapun membentak.

   "Bocah she Bhong, apa maksudmu dengan meminjam perahu kami? Dan kenapa kau ditolak dengan kasar?"

   Anak laki yang bernama Bhong Kiat mendengus.

   "Hm, mana aku tahu, tua bangka? Bukankah anak buahmu itu memang orang kasar yang tidak tahu menghormat orang?"

   Nelayan she Liem mengepal tinju.

   "Tidak mungkin, anak iblis. Nelayan dusun Cun-leng selamanya tidak pernah bersikap kasar terhadap orang yang belum dikenal. Hanya kalau mereka dihina sajalah baru kami bertindak. Tidak, kaulah pastinya yang tidak mengenal aturan, bocah she Bhong....!"

   Baru saja selesai kata Liem Su, tiba Lui Kam menyambung.

   "Katamu memang benar, Liem- lopek. Bocah inilah yang datang memaki kami!"

   Si bocah laki ini melihat ke arah Lui Kam lantas tiba menggerakkan tangannya. Selarik sinar putih berkeredep menuju ke arah orang tua itu.

   ""Cepp!"

   Sebatang pisau kecil menancap tepat di leher orang she Lui, orang terakhir yang sempat lolos dari kematian tadi. Maka putuslah nyawanya! "Aih...!"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Liem-lopek terkejut. Para nelayan lainnya pun berseru kaget karena tidak menyangka karena kejadiannya berlangsung sangat cepat. Si orang tua berseru marah.

   "Bocah she Bhong! Berani kau membunuh penduduk dusun di depan mataku? Aih, keparat kau... iblis terkutuk kau...!"

   Dia berteriak sambil menyambar sebuah tombak dan maju menerjang dengan kemarahan meluap.

   "Tua bangka, jangan coba main denganku. Pergilah...!"

   Dan tombak yang meluncur deras ke arah dadanya itu ditangkis.

   "Plakk!"

   Liem-lopek terkejut karena senjatanya kena tangkis namun belum selesai rasa terkejutnya tiba tubuhnya terlilit cambuk lawan dan belum hilang rasa kagetnya, dia merasa tubuhnya terbang melintasi kepala banyak orang.

   "Blukk!"

   Lie-lopek terbanting di atas tanah dengan pinggang yang serasa patah semua sehingga tak hampir mampu bangkit kembali.

   Namun dengan semangat yang dipaksakan karena geram atas kekurang ajaran bocah itu, iapun bangkit dengan susah payah dan menyerang kembali dengan tombaknya.

   "Bocah keparat! Biarlah aku mampus saja membela kehormatan kampungku...!"

   "Tua bangka, kau masih ingin kupecundangi lagi? hm, baiklah..., robohlah kalau begitu!"

   Cambuknya menggeletar menangkis tombak Liem- lopek sehingga tombak itu terlepas. Menyusul lecutan itu menyasar pelipis si orang tua hingga dia hanya sempat mengaduh sebentar dan kemudian jiwanya melayang dengan pelipis kepala retak! "Ahh...!"

   Semua orang kaget dan marah melihat tewasnya Liem-lopek.

   Maka dengan tak menghiraukan keselamatan lagi mereka ber-teriak memaki sambil meluruk maju dengan membekal segala macam senjata seadanya.

   Si anak laki yang diserbu nampak tenang saja, bahkan sempat memberi perintah kepada anak buahnya.

   "Hak Bu, layani mereka. Basmi yang tidak mau menyerah!"

   Maka terjadilah perang kecil di dusun itu.

   Namun hanya dalam tempo singkat orang dusun yang tak memiliki kepandaian sebagian besar dapat disikat habis oleh para anak buah si bocah she Bhong yang semuanya memiliki kepandaian.

   Sisa orang kampung yang tinggal sedikit langsung tercerai-berai lari ketakutan melihat temannya terbantai dengan mengenaskan.

   Belasan orang yang selamat itu lari sambil berteriak-teriak masuk kampung dan langsung menuju rumah Kwa-chungcu.

   Itulah satunya tempat yang diharapkan aman.

   Kegaduhan tersebut terdengar oleh Kwa- chungcu sehingga diapun segera keluar untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.

   Begitu tiba di luar rumah, Kwa-chungcu melihat belasan orang yang berteriak dan berkata simpang siur mencoba menceritakan hal yang terjadi.

   Namun karena banyaknya yang mencoba menjelaskan sehingga apa yg yang menjadi pangkal permasalahan keributan tersebut belum bisa diketahuinya.

   Akhirnya salah seorang dari belasan penduduk yang sempat melarikan diri tersebut menjelaskan hal sesungguhnya yang telah terjadi di desanya itu.

   Kwa-chungcu kaget bukan buatan.

   Namun sebagai seorang kepala kampung dia segera mengambil sikap bagaimana harus diperbuat.

   Lalu dicobanya menghimpun tenaga dari para penduduk laki untuk berjaga-jaga kalau para pengacau itu masuk ke desa mereka.

   Baru saja sang kepala kampung mempersiapkan orangnya, mendadak serombongan orang berkuda telah datang memasuki kampungnya.

   Itulah rombongan Bhong Kiat dan anak buahnya.

   Kwa-chungcu yang melihat menjadi terkesima dan terheran karena ternyata rombongan orang jahat tersebut dipimpin oleh seorang anak laki yang usianya kira tidak lebih dari limabelas tahun! Namun rasa herannya tidak berlangsung lama sebab dia mengerti betul bahwa bencana akan segera menimpa desanya.

   Maka dengan rasa tanggung jawab tinggi sebagai seorang yang dituakan di kampungnya tersebut, Kwa-chungcu lantas mencabut goloknya dan bersiap menyerang rombongan tersebut tanpa menghiraukan resiko apapun! Pada saat yang gawat bagi keselamatan kampung Cun-leng, tiba muncul sesosok bayangan yang langsung melompat maju di tengah orang tersebut.

   Dialah seorang bocah yang sudah kita kenal, bocah she Bun alias Bun Hwi! Pagi itu sebenarnya Bun Hwi tidak berniat memasuki dusun ini.

   Dia semalam sudah berada di luar dusun dan tidur di hutan kecil yang letaknya berhadapan dengan dusun Cun-leng tersebut.

   Karena tidak ingin dikenal oleh para penduduk maka dia berencana memasuki dusun itu secara diam pada pagi buta nanti untuk menyelidiki tentang apa yang pernah diceritakan dan diperintahkan oleh Siauw-bin Lo-koai.

   Namun saat pagi dan baru saja dia bersiap untuk memasuki dusun secara diam, tiba terdengar suara jerit kematian ber-ulang dari arah sungai yang berada di tepi dusun.

   Segera Bun Hwi mencoba mendekati asal suara jerit kematian tersebut dan betapa kaget hatinya ketika dia melihat di sekitar sungai ternyata banyak mayat-mayat bergelimpangan! Bun Hwi tertegun beberapa saat, lalu secepatnya mendekati tempat tersebut untuk memeriksa barangkali saja ada di antara orang yang bergelimpangan itu belum mati.

   Dugaannya ternyata tak meleset, diantara mayat itu ada sesosok yang terlihat ber-gerak dan merintih.

   Bun Hwi segera melompat mendekat dan betapa kagetnya pemuda ini saat melihat siapa orang yang sedang merintih dalam sekarat tersebut! "Ah, Liem-lopek...!"

   Bun Hwi berteriak kaget dan segera berjongkok di samping tubuh orang tua yang dikenalnya itu.

   Setelah dipandangi dengan seksama keadaan orang tua itu, kekagetan Bun Hwi semakin men-jadi.

   Dia melihat pelipis yang retak dan mengucurkan banyak darah akibat terkena pukulan maut.

   Buru Bun Hwi mengangkat bangun tubuh itu dengan hati takut membuat si kakek kesakitan, namun tetap saja si kakek mengeluh kesakitan setelah tubuhnya diangkat.

   "Aduh, kepalaku sakit.... ouhhh...! tampak kakek she Liem menggelinjang dengan menggigit bibir kuat menahan rasa sakit yang hebat luar biasa. Namun begitu melihat sosok penolongnya, si kakek berseru tertahan.

   "Siauw-inkong, kau..."

   Dengan tenaga yang entah dari mana datangnya si kakek yang sedang menderita di ujung maut itu tiba bisa menegakkan badan dan mencengkeram lengan Bun Hwi sambil menudingkan jari telunjuknya yang gemetar ke arah dusun dan berkata.

   "Siauw-inkong, tolong.... tolong kau selamatkan penduduk Cun-leng dari kebiadaban iblis itu.... tolong cepat ke sana... ouhh...! bicara sampai di sini, tubuhnya pun roboh kembali dengan disertai seringai kesakitan.

   "Liem-lopek, apa sebenarnya yang telah terjadi? Siapa yang membuatmu begini...?"

   Kakek itu megap.

   "...aku.... aku diserang iblis itu, inkong... murid Ang-sai Mo-ong... dia bocah iblis berhati keji....!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Murid Ang-sai Mo-ong?"

   "Ya... ya... dia membunuhi warga dusun... kenapa kau baru datang sekarang, inkong....?"

   Bun Hwi mencelos kaget.

   "Ah, dan di mana sekarang bocah itu, Liem-lopek? Dan kenapa dia berbuat sekeji ini?"

   Liem-lopek tidak mampu bicara lagi, dia hanya mengeluarkan erangan yang tidak jelas serta berbisik patah.

   "dia.... dia memasuki dusun Cun- leng.... inkong... aku... aku....hegh!"

   Sebelum habis katanya diucapkan, tubuhnya telah terkulai dengan mata terbuka lebar menatap kosong.

   Nyawanya telah keburu putus sebelum bisa menyelesaikan kalimat yang dia ucapkan.

   Akhirnya dengan hati dan tubuh yang gemetar menahan haru Bun Hwi segera meletakkan tubuh kakek yang telah mati itu ke atas tanah.

   Dia terharu menyaksikan akhir hidup si kakek yang dikenalnya tersebut, lalu diapun mengatupkan kelopak mata si kakek yang tadi masih terlihat terbelalak.

   Kematian Liem-lopek di pangkuannya menggugah kenangan Bun Hwi atas kematian pamannya sendiri dulu.

   Ma-lopek pun terbunuh oleh orang itu dan menghembuskan nafas terakhirnya di atas pangkuan Bun Hwi.

   Tiba Bun Hwi mengepalkan tinjunya dan menggeram marah dalam hati.

   "Setan! Kenapa orang selalu saling bunuh seperti ini? Mengapa ada orang yang tega melakukan perbuatan biadab dan keji seperti ini? Kenapa Liem-lopek yang tak berdosa terbunuh dengan mengenaskan seperti ini?"

   Dengan tangan masih mengepal pandangannya di arahkan ke dusun yang berada di depannya, darahnya tiba bergolak naik! *Oz* BERSAMBUNG

   Jilid 8 Pojokdukuh, 09-07-2019, 19.27 SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 08 * * * ENTAH kenapa melihat keganasan itu tiba-tiba saja Bun Hwi menjadi marah sekali.

   Dadanya bergelombang, dan tubuh yang gemetar oleh guncangan peristiwa ini membuat Bun Hwi tiba-tiba ingin memekik.

   Marah dia.

   Benci dia.

   Dan segala perasaan yang bercampur aduk di dalam batin itu mendadak membuat Bun Hwi beringas! Dengan muka gelap dan mata semerah naga tiba-tiba Bun Hwi melompat dan sekali dia mengayunkan langkahnya mendadak Bun Hwi "terbang"

   Memasuki dusun! Darah Ular Hijau bergolak di dalam dirinya.

   Dan Bun Hwi yang sekonyong-konyong melakukan lompatan tinggi itu tahu-tahu sudah meluncur seperti bayangan iblis ke dusun Cun-leng.

   Menakjubkan! Tapi Bun Hwi yang tidak sadar akan perubahan ini tidak merasakan keanehannya.

   Dia sedang marah terhadap kekejian musuh yang telah mengotori perkampungan nelayan ini.

   Maka begitu dia berkelebat lenyaplah Bun Hwi dari tepi sungai ini.

   Sebentar saja dia telah menuju ke rumah kepala kampung.

   Dan persis dia tiba di tempat ini terjadilah peristiwa yang mengguncangkan hatinya.

   Karena kepala kampung Kwa, kakek tua yang sudah dikenalnya baik itu tampak bertanding sengit dengan seorang anak laki-laki yang usianya sebaya dia.

   Sementara penduduk Cun-leng, laki-laki yang jumlahnya tiga puluh orang lebih itu tampak terbengong memandang perkelahian ini! Mereka tampaknya tidak berani membantu.

   Dan kakek Kwa yang memutar-mutar golok di tangannya itu berkali-kali jatuh bangun mengha-dapi lawannya.

   Kakek ini rupanya tidak berdaya, tapi kenekatan dan kemarahannya membuat kepala kampung itu tidak mau menyerah.

   Sampai akhirnya, ketika cambuk di tangan anak laki-laki itu meledak nyaring bertubi- tubi maka robeklah baju Kwa-chungcu ini.

   Dia memang bukan tandingan Bhong Kiat, dan murid Ang-sai Mo-ong yang tertawa-tawa itu mempermainkan kakek ini dengan sikap sombong.

   "Ha-ha, kau masih tidak mau tunduk, tua bangka? Kau tidak mau menyuruh orang-orang-mu menyiapkan perahu untuk kami? Baiklah.... baiklah.... akupun akan membuatmu hidup tidak matipun tidak untuk kekerasan kepalamu ini... tar- tarr!"

   Dan cambuk yang kembali bertubi-tubi meledak itu menghantam tubuh kakek ini dengan tidak kenal ampun. Kakek Kwa itu dihajarnya habis-habisan, dan kepala kampung yang sebentar saja tersengal-sengal ini memaki kalang-kabut.

   "Anak setan, siapa mau menyiapkan perahu-perahu kepada kalian? Biar mampuspun aku tak sudi memerin-tahkan pendudukku untuk melayani kehendak kalian. Mampuslah...!"

   Dan golok Kwa-chungcu yang sudah menyambar ke depan itu membacok pundak lawannya.

   Tapi anak laki-laki ini menjengek.

   Sekali dia meledakkan cambuknya maka golok di tangan kakek tua itu tertangkis.

   Lalu sekali dia menggubat dan melilit tahu-tahu senjata di tangan Kwa-chungcu ini terbetot.

   "Tua bangka, lepaskanlah...!"

   Dan anak laki-laki yang membentak keras itu tiba-tiba menarik. Sekali sentak dia membuat kakek tua itu terhuyung dan sementara kakek ini terkejut tahu-tahu golok di tangannya itupun terlepas.

   "Aih....!"

   Kakek Kwa berseru kaget dan persis dia memandang tiba-tiba golok itupun sudah jauh terlempar di atas tanah.

   "Prang!"

   Anak laki-laki itu tertawa mengejek dan Kwa-chungcu yang terbelalak melihat senjatanya ini mendadak melompat. Dia bermaksud mengambil kembali senjatanya itu, tapi murid Ang-sai Mo-ong yang sudah meledakkan cambuknya ini terkekeh.

   "Tua bangka, jangan terburu-buru. Lihat permainan cambukku ini dahulu.... tar!"

   Dan cambuk yang tahu- tahu meledak di punggung kakek itu membuat kepala kampung ini mengaduh. Dia terjungkal roboh, dan kulit punggungnya yang pecah berdarah itu disambut ketawa bergelak oleh anak laki-laki ini.

   "Ha-ha, bagaimana rasanya, tua bangka? Enak, bukan? Nah, cicipi lagi kalau begitu...!"

   Dan cambuk yang kembali meledak-ledak ini sekarang mematuk bertubi-tubi ke tubuh kakek she Kwa itu.

   Bhong Kiat tidak memberi kesempatan kepala kampung itu bangkit, dan begitu dia menggerakkan cambuknya maka bertubi-tubilah sengatan tajam ini menghajar tubuh Kwa-chungcu.

   Kakek itu menjengit-jengit, dan setiap kali ujung cambuk mematuk tubuhnya pastilah dia berteriak kesakitan.

   Kepala kampung yang tersiksa ini be-nar- benar tidak diberi ampun, sementara Bhong Kiat yang tertawa-tawa itu selalu bertanya.

   "Bagaimana, tua bangka, mau kau menyuruh orang-orangmu mempersiapkan perahu?"

   Tapi kakek yang kesakitan ini selalu berteriak.

   "Aku tidak sudi melaksanakan perintahmu, bocah iblis. Biarlah aku mampus membela kehormatan warga dan kampungku....!"

   Dan kakek Kwa yang tampaknya bersikeras diri itu mempertahankan pendapatnya dengan sungguh- sungguh.

   Dia tidak mau menyerah, dan murid Ang- sai Mo-ong yang meledakkan cambuknya ini tentu saja menjadi marah bukan main.

   Dia semakin memperhebat siksaan, dan ketika akhirnya tubuh kakek itu sudah penuh berlumuran darah terdengarlah bentakannya yang terakhir.

   "Tua bangka, kau sungguh-sungguh tidak mau memenuhi permintaanku?"

   Kakek Kwa terengah-engah.

   "Jangankan memenuhi, mendengarkanpun aku sudah muak, bocah iblis. Kau bunuhlah aku....!"

   Dan kakek Kwa yang akhirnya terguling ini mengeluh dengan kulit pecah-pecah. Dia tinggal menanti maut, dan anak laki-laki yang terbelalak marah itu menjadi merah mukanya.

   "Baik, kau sendiri yang memintakan kematianmu, tua bangka. Jangan salahkan aku di hadapan Giam- lo-ong....!"

   Dan cambuk yang tiba-tiba menjeletar nyaring itu mendadak terayun keji.

   Bhong Kiat mengerahkan tenaga, dan leher Kwa-chungcu yang dibabat cambuknya menjadi sasaran utama.

   Benda yang tadi lemas meliuk-liuk seperti ular itu tiba-tiba berubah seperti toya kecil, atau pedang tajam.

   Dan sinar hitam yang menyambar leher kakek ini berkelebat seperti petir.

   Tapi sesosok bayangan tiba-tiba melompat ke depan.

   Bun Hwi yang sudah tidak tahan lagi oleh kekejaman anak laki-laki ini sudah berkelebat dari tempat persembunyiannya, dan begitu dia meloncat terdengarlah bentakannya yang mengejutkan semua orang.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bocah iblis, tahan....!"

   Dan Bun Hwi yang tahu-tahu menangkap ujung cambuk disambut pekik kaget oleh Bhong Kiat.

   Murid Ang-sai Mo-ong ini tidak menduga, maka begitu dia ditangkap ujung cambuknya gagallah serangan maut yang sedianya ditujukan kepada kepala kampung she Kwa itu.

   Bhong Kiat terkejut bukan main, dan Bun Hwi yang sudah berdiri dengan mata berapi-api itu dipandang kaget.

   "Kau siapakah, pengacau cilik?"

   Bhong Kiat membentak. Tapi Bun Hwi tidak menjawab. Pemuda remaja yang melepaskan ujung cambuk itu mengepalkan tinjunya, lalu berjongkok membantu Kwa-chungcu, Bun Hwi membangunkan kakek ini.

   "Kwa-chungcu kau tidak apa-apa?"

   Kakek she Kwa itu mengeluh. Dia terbe lalak melihat ada seorang anak laki-laki lain menyelamatkan nyawanya. Tapi begitu dia memandang Bun Hwi sekonyong-konyong kakek ini berseru terkejut.

   "Siauw inkong, kau...?"

   Dan kakek Kwa yang mengucek-ucek matanya itu seolah tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Tapi begitu dia mencengkeram lengan Bun Hwi dan mendapatkan kenyataan sesung-guhnya tiba-tiba saja kakek ini tertawa bergelak.

   "Ha-ha, kau datang kembali ke sini, inkong? Kau menyelamatkan aku si tua bangka ini...?"

   Kakek itu terhuyung-huyung. Lalu, menoleh kepada semua warga kampungnya Kwa-chungcu itu berteriak.

   "Saudara-saudara, tidak kenalkah kalian kepada penolong besar kita? Tidak ingatkah kalian pada Bun-kongcu ini? Dialah anak luar biasa itu, keturunan Dewa Sungai yang kebal senjata....!"

   Dan Kwa-chungcu yang tampak gembira itu tertawa nyaring dengan kegirangan yang amat sangat.

   Dia tampaknya merasa bersyukur sekali dan kepala kampung yang masih gemetar tubuhnya ini tiba-tiba terguling.

   Dia tidak menduga datangnya pertolongan yang amat tepat itu, dan karena tubuhnya letih disiksa cambuk maka tiba-tiba dalam kegembiraannya ini kepala kampung itupun pingsan! Bun Hwi terkejut, tapi penduduk Cun-leng yang sudah sadar oleh teriakan kepala kampungnya ini mendadak menjadi ribut.

   Mereka gempar dan girang bukan main, dan begitu Bun Hwi mengangkat tubuh Kwa-chungcu segera merekapun berteriak-teriak.

   "Betul, dia siauw-inkong kita....!"

   "Betul, dia juru penyelamat kita....!"

   Dan Bun Hwi yang sudah dirubung banyak orang itu tertegun melihat tiga puluh lebih kaum nelayan mendadak menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya! Pemuda ini gugup, tapi teriakan mereka yang berulang-ulang akhirnya membuat anak laki- laki ini mengangkat tangannya.

   "Saudara-saudara, harap kalian tenang. Bangun dan berdirilah, aku ingin bicara....!"

   Dan Bun Hwi yang sudah menghadapi para nelayan itu menyerahkan tubuh Kwa-chungcu kepada seorang di antara mereka. Dia berdiri tegak dengan mata bersinar- sinar, dan suaranya yang nyaring lantang menggetarkan halaman rumah kepala kampung itu.

   "Saudara-saudara, apa yang terjadi di sini? Mengapa kalian diam saja melihat Kwa-chungcu dihina orang lain?"

   Semua penduduk diam. Mereka tidak ada yang menjawab, dan baru setelah Bun Hwi mengulang pertanyaannya maka tiba-tiba seorang nelayan bertubuh pendek menjawab takut-takut.

   "Kami tidak berdaya melawan penjahat-penjahat ini, siauw- inkong. Dan karena banyak saudara kami yang lain dibunuh maka kamipun tidak berani membantu....!"

   Bun Hwi memutar tubuh.

   "Bocah inikah yang kalian takuti?"

   Dia menuding Bhong Kiat. Tapi seorang pun tidak ada yang mengiyakan. Mereka hanya mengangguk perlahan, dan Bun Hwi yang mereka gemas terhadap anak laki-laki itu membentak.

   "Bocah iblis, betulkah kau murid Ang-sai Mo-ong? Siapa namamu?"

   Anak laki-laki itu tertegun.

   Dia masih merasa kaget oleh kehadiran Bun Hwi yang amat tiba-tiba ini.

   Maka begitu mendengar bentakan Bun Hwi diapun terkejut.

   Cambuk yang ada di tangannya sekonyong- konyong diledakkan, dan begitu dia sadar kemarahannya pun membakar dada.

   "Pengacau cilik, siapa kau? Mengapa tanya-tanya tentang orang lain?"

   Bun Hwi menghentakkan kakinya.

   "Bocah iblis, tidak tahu aturankah kau? Kenapa belum menjawab sudah mendahului bertanya?"

   Anak laki-laki itu menjengek.

   "Hm, agaknya kau mencari penyakit, anak setan. Sudah tahu aku murid Ang-sai Mo-ong kenapa bertanya lagi? Tidak takutkah kau kepadaku?"

   Bun Hwi tiba-tiba tertawa.

   "Bocah iblis, siapa takuti dirimu? Menghadapi Mo-ong pun aku tidak takut apalagi hanya menghadapi muridnya! Kenapa kau hendak membunuh kakek Kwa?"

   Anak laki-laki itu mendelik.

   "Anjing cilik, aku tidak sudi bicara denganmu bila kau menyembunyikan nama. Siapa kau dan apa hubunganmu dengan tikus-tikus nelayan ini?"

   Bun Hwi membanting kaki.

   "Aku perantau biasa, anjing gede. Dan bila kau tidak mau bicara denganku pergilah segera tinggalkan kampung ini!"

   Anak laki-laki itu meledakkan cambuknya.

   "Kau berani menghinaku, anjing cilik?"

   "Kenapa tidak? Bukankah kau juga manusia biasa?"

   Bun Hwi mengejek.

   Maka anak laki-laki yang tidak dapat menahan marahnya itu tiba-tiba berseru keras.

   Cambuk yang ada di tangan diledakkan nyaring, dan begitu dia memutar pergelangan tangannya tiba-tiba menyambarlah ujung cambuk ini menghantam muka Bun Hwi.

   "Bocah sombong, kau makanlah cambukku!"

   Dana Bhong Kiat yang menjeletarkan cambuknya itu tahu- tahu sudah menggeserkan kakinya mendekati Bun Hwi. Dia langsung menyerang, dan Bun Hwi yang menghadapi ledakan cambuk itu menangkap.

   "Tarr!"

   Ujung cambuk dengan tepat mengenai telapak tangannya dan begitu Bun Hwi mengatupkan jari tercengkeramlah ujung cambuk yang menyambar mukanya.

   Tapi Bun Hwi tiba-tiba terkejut.

   Tubuh lawan yang berkelebat mendekatinya itu tahu-tahu mengangkat tumitnya, dan begitu kaki lawan menendang mencuatlah sebuah pisau lipat di ujung sepatu, persis menghantam lambungnya.

   "Dukk!"

   Bun Hwi berteriak gusar, dan murid Ang-sai Mo-ong yang terkejut itu terbelalak kaget. Ia melihat pisaunya mental, dan Bun Hwi yang sama sekali tidak terluka itu membuat dia terperanjat.

   "Aih, kau memiliki kekebalan, anak setan?"

   Bhong Kiat berteriak tertahan.

   Tapi Bun Hwi sudah menggentak ujung cambuk.

   Senjata lawan yang dia tangkap ini ditarik kuat-kuat, dan Bhong Kiat yang masih tertegun itu tiba-tiba terjerumus ke depan.

   Tentu saja anak ini berseru kaget, dan murid Ang-sai Mo-ong yang terkesiap itu cepat mengeluarkan bentakan pendek.

   Tubuh yang sudah mendoyong ke depan ditahan sekuat tenaga, dan begitu Bhong Kiat mengerahkan tenaganya tiba- tiba saja dia berhasil mempertahankan diri.

   Sekarang terjadilah tarik-menark yang amat seru di antara dua anak lelaki ini, dan mereka yang berkutat untuk memperoleh kemenangan itu sama-sama mengerahkan tenaga.

   Tapi Bun Hwi lagi-lagi membuat kejutan.

   Darah Ular Hijau yang bergetar di tubuhnya mendadak bangkit, bergolak oleh kemarahan Bun Hwi yang ingin merampas cambuk.

   Dan begitu tenaga sakti ini bergolak tiba-tiba saja pusar Bun Hwi dipenuhi arus kekuatan yang bergulung-gulung.

   Arus ini mula-mula hanya berputaran di dalam perut, sekitar pusar.

   Tapi ketika Bun Hwi melotot marah dan melakukan bentakan mendadak saja kekuatan dahsyat itu mengalir.

   Sinkang mujijat yang tadi berkumpul di tengah perut sekonyong-konyong "pecah", dan begitu Bun Hwi menarik ujung cambuk tiba-tiba saja Bhong Kiat berteriak kaget.

   Murid Ang- sai Mo-ong itu terseret, dan persis dia terhuyung ke depan kuda-kudanya pun gempur berantakan! "Aih....!"

   Bhong Kiat melengking tinggi, dan tepat tubuhnya terjungkal menubruk Bun Hwi murid Ang- sai Mo-ong itupun menjejakkan kaki.

   Dia bermaksud melepaskan diri, menyerahkan cambuk agar tidak begitu kehilangan muka.

   Tapi baru anak laki-laki ini melaksanakan niatnya mendadak Bhong Kiat tertegun.

   Gagang cambuknya tidak dapat dilepas, dan gelombang tenaga yang amat dahsyat sementara itu telah menyerang dan "menempel"- nya! "Ahh....!"

   Bhong Kiat serasa disambar petir dan anak laki-laki yang mencelos kaget itu tersirap darahnya. Dia tidak mengira bahwa tangannya tiba-tiba saja tak mampu dilepaskan dari gagang cambuk, dan bahwa dia tahu-tahu telah tertempel dan "terhisap"

   Gelombang serangan Bun Hwi menjadikan murid Ang-sai Mo-ong ini terkejut bukan main.

   Bhong Kiat mendadak pucat, dan anak laki-laki yang berteriak nyaring itu tiba-tiba meronta.

   Dengan sekuat tenaga dia mengipat-ngipatkan lengan kanannya, tapi gelombang serangan yang semakin dahsyat itu membuat Bhong Kiat panik.

   Anak laki-laki yang gemetar tubuhnya ini menjerit, dan ketika akhirnya dia semakin tersedot dan terseret mendekati Bun Hwi tiba-tiba saja murid Ang-sai Mo-ong itu berteriak kepada pembantunya.

   "Hak Bu, tolong.... serang anak setan ini....!"

   Dan Hak Bu si laki-laki bermuka kejam yang berdiri tak jauh dari majikan mudanya ini sekonyong- konyong melompat. Laki-laki itu tampak sadar setelah Bhong Kiat membentak namanya. Maka begitu dia melayang tiba-tiba saja goloknya bicara.

   "Bocah iblis, lepaskan Bhong-siauwya (tuan muda Bhong)!"

   Dan Hak Bu yang langsung membacok pergelangan jari Bun Hwi itu menetakkan goloknya dengan ganas sekali.

   Dia rupanya juga bingung mengapa Bhong Kiat tidak mampu melepaskan tangannya dari cambuk yang dipegang keduanya.

   Tapi menganggap Bun Hwi harus dibacok agar melepaskan cambuk tuannya maka diapun mengambil jalan pintas.

   Membacok pergelangan Bun Hwi agar buntung.

   Tapi apa yang diperkirakan laki-laki ini ternyata berbalik semakin mengejutkan.

   Karena begitu golok Hak Bu mengenai tangan Bun Hwi mendadak senjata itu tak mampu ditarik.

   "Takk!"

   Golok tepat mengenai Bun Hwi. Dan Hak Bu yang terkejut melihat Bun Hwi tidak terluka tiba-tiba berteriak keras ketika golok dan tangannya menempel di pergelangan Bun Hwi.

   "Ooh....!"

   Hak Bu terpekik kaget, dan baru dia membelalakkan mata sekonyong-konyong arus tenaga yang amat kuat menghisap dirinya. Kontan laki-laki itu menjerit, dan Bhong Kiat yang melihat pembantunya juga tertempel oleh sinkang Bun Hwi menjadi marah sekali.

   "Hak Bu, tolol kau! Kenapa tidak menyerang cambuk? Dia kebal senjata, kerbau dungu, putuskan cambuk ini....!"

   Dan Bhong Kiat serta Hak Bu yang meronta-ronta ketakutan itu akhirnya menoleh kepada anak buah yang lain.

   "Hei, manusia-manusia tolol, kenapa mendelong saja? Hayo putuskan cambuk ini.... tabas dengan senjata kalian....!"

   Dan Bhong Kiat yang sudah berteriak marah itu mengejutkan belasan orang- orang ini.

   Mereka sadar, dan bingung serta kaget oleh kemarahan Bhong Kiat tiba-tiba mereka sudah melompat maju dan membabat cambuk itu.

   Dua orang hampir bersamaan menggerakkan senjata, dan begitu mereka menabas maka putuslah cambuk yang dipertegangkan ini.

   "Tas!"

   Cambuk itu terbabat dan Bhong Kiat serta Hak Bu yang selamat dari hisapan tenaga sedot ini terpelanting bergulingan.

   Bhong Kiat mencaci maki, dan masih gentar oleh kekuatan Bun Hwi anak laki- laki itu menyuruh orang-orangnya yang maju mengeroyok.

   Dia sendiri melompat mundur, dan Bun Hwi yang segera dikerubut banyak lawan itu menjadi gusar.

   Sesungguhnya Bun Hwi tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan dia dan Bhong Kiat itu.

   Tidak mengerti betapa kekuatan sinkangnya berjalan sdnr dengan otomatis.

   Dan karena dia memang belum paham tentang tenaga sakti segala maka Bun Hwi tidak mengerti apa-apa tentang kejadian yang baru saja dialami.

   Tidak tahu betapa Bhong Kiat dibuat kaget oleh tenaga sinkang yang keluar dari tangannya dan menyerang serta menyedot anak itu! Maka sekarang, dikerubut banyak lawan yang menyerang dengan senjata tajam Bun Hwi mulai mengamuk.

   Dia menangkis dan menangkap senjata lawan dengan kedua kaki dan tangannya.

   Dan karena setiap bacokan maupun tusukan selalu mental bertemu tubuhnya maka orang-orang itupun terbelalak kaget.

   Mereka heran dan ngeri melihat kekebalan yang dimiliki Bun Hwi ini.

   Maka begitu Bun Hwi membalas kontan saja orang-orang ini berteriak kaget.

   Dua buah golok berhasil dirampas, dan ketika Bun Hwi membalik dan ganti menikam tiba-tiba saja dua orang roboh menjerit! Sekarang mulailah korban pertama jatuh.

   Dan Bhong Kiat yang terkejut menyaksikan kejadian ini menjadi tertegun.

   Dia menyelidiki sepak terjang Bun Hwi, mengawasi semua perbuatan anak laki-laki itu.

   Dan ketika dilihatnya Bun Hwi melakukan serangan yang membabi-buta tiba-tiba Bhong Kiat hampir tertawa geli.

   Tidak disangkanya Bun Hwi bertempur seperti itu, persis orang kampung yang tidak tahu dasar-dasar bela diri.

   Dan sadar bahwa anak laki-laki itu kiranya tidak memiliki kepandaian silat mendadak bocah ini menyeringai.

   Maklumlah Bhong Kiat sekarang bahwa Bun Hwi kiranya tidak bisa bermain silat.

   Terbukti dari sepak terjangnya yang main seruduk kesana kemari.

   Dan bahwa Bun Hwi mengandalkan kekebalannya untuk menghadapi orang-orangnya membuat anak laki-laki ini tersenyum.

   Tadi dia mengira Bun Hwi murid seorang tokoh sakti.

   Karena memiliki sinkang luar biasa dan membuat dia hampir saja pecundang.

   Tapi setelah dilihat dan dibuktikan anak laki-laki itu ternyata hebat dalam hal kekebalannya belaka tiba- tiba murid Ang-sai Mo-ong ini terkekeh.

   Bagaimanapun, Bun Hwi yang luar biasa itu tidak pandai bermain silat.

   Dan setelah dia tahu ini tentu mudah baginya untuk merobohkan anak laki-laki itu.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Maka begitu Bhong Kiat maklum melompatlah dia ke tengah arena.

   Bhong Kiat tidak mau anak buahnya menjadi korban lagi.

   Maka sekali berteriak diapun membentak orang-orangnya.

   "Hei, kerbau-kerbau tolol, minggir kalian semua. Biar aku yang menghadapinya....!"

   Dan Bhong Kiat yang sudah tertawa nyaring itu tiba-tiba menyerang Bun Hwi dari belakang. Dia membokong anak ini, dan Bun Hwi yang sibuk melayani hujan senjata tahu-tahu terpukul tengkuknya.

   "Duk!"

   Bun Hwi terguling-guling dan serangan gelap yang dilakukan Bhong Kiat ini membuat dia mengeluh.

   Tengkuknya serasa dipukul palu godam.

   Tapi Bun Hwi yang kebal terhadap segala macam pukulan itu sudah melompat bangun.

   Dia mengguncang kepala seperti anjing membersihkan bulu, lalu melihat Bhong Kiat tertawa-tawa diapun menjadi marah sekali.

   "Manusia curang, tidak malu membokong orang?"

   Bun Hwi membentak. Dan begitu Bhong Kiat tertawa mengejeknya diapun sudah balas menerjang. Bun Hwi langsung mendaratkan tinjunya di muka lawan, tapi Bhong Kiat yang menggeser kaki cepat menangkis.

   "Anjing cilik, jangan menyalahkan orang. Kaulah yang bodoh hingga mudah terpukul.... plak!"

   Dan Bun Hwi yang sudah tertangkis lengan Bhong Kiat ini tiba-tiba dijegal dari samping. Tak ayal, Bun Hwi yang memang tidak pandai bermain silat itu terjerembab.

   "Bluk!"

   Bun Hwi terpelanting roboh dan Bhong Kiat yang geli oleh kejadian itu terkekeh.

   "Ha-ha, kau mau bilang aku bermain curang lagi, anak bodoh? Kau hendak mencari kambing hitam?"

   Maka Bun Hwi yang marah ini kontan memekik gusar.

   Dia kembali bangkit, lalu terbakar oleh ejekan lawan diapun menerjang lagi.

   Kali ini menubruk seperti harimau kelaparan, tapi Bhong Kiat yang sudah mengelak dengan gesit itu tertawa-tawa menghinanya.

   Dia tidak menangkis seperti tadi, melainkan melompat-lompat mempermainkan Bun Hwi.

   Dan ketika beberapa kali dia menghindar hingga semua pukulan Bun Hwi mengenai angin kosong tiba-tiba murid Ang-sai Mo-ong ini berseru.

   "Anak bodoh, hati-hati. Sekarang aku membalasmu....!"

   Dan Bhong Kiat yang tiba-tiba berkelebatan itu mendadak berputaran mengelilingi tubuh Bun Hwi. Dia mengerahkan ginkang mempermainkan lawan, dan ketika Bun Hwi bingung mengikuti gerak tubuhnya sekonyong-konyong anak laki-laki ini berteriak.

   "Anjing cilik, awas kepala!"

   Dan Bhong Kiat yang menggerakkan tangannya itu tiba-tiba menampar. Bun Hwi sedang kebingungan tak mampu mengikuti putaran tubuhnya yang cepat. Maka begitu Bhong Kiat melakukan tamparan tak pelak lagi kepala anak inipun disambar.

   "Plak!"

   Bun Hwi terpelanting dan kepala yang ditampar Bhong Kiat serasa berputaran.

   Tapi Bun Hwi tidak mengaduh.

   Dan anak yang sudah melompat bangun itu berteriak.

   Dia mencoba mencengkeram, namun Bhong Kiat yang mengandalkan ginkang berkelebatan di sekitar tubuhnya itu benar-benar tak mampu diikuti.

   Akibatnya, lagi-lagi Bun Hwi menerima piil pahit karena baru dia bangun berdiri anak laki-laki inipun berseru kepadanya sambil tertawa.

   "Hei, sekarang ganti lehermu. Awas jaga serangan!"

   Dan Bhong Kiat yang tahu-tahu telah memukul leher Bun Hwi membuat anak ini menyeringai.

   Bun Hwi mengeluh dan kembali terbanting, dan Bhong Kiat yang kini bertubi-tubi melakukan serangan mulai meluncurkan pukulannya tanpa henti.

   Anak itu tertawa-tawa, dan Bun Hwi yang dipukul bertubi-tubi merasakan kulitnya pedas dan sakit- sakit.

   Akibatnya Bun Hwi naik darah, dan ketika untuk kesekian kalinya Bhong Kiat menampar dadanya tiba-tiba Bun Hwi memekik.

   Dada yang dipukul tidak dia kelit, dan ketika dia roboh terjengkang di atas tanah Bun Hwi justeru bergulingan menjauhkan diri.

   Dia tahu Bhong Kiat pasti mengejar.

   Dan persis lawan melompat menyerang perutnya mendadak Bun Hwi menendang dagu anak itu.

   "Dess!"

   Kali ini Bhong Kiat menjerit kaget dan sementara murid Ang-sai Mo-ong itu terperangah tiba-tiba Bun Hwi sudah mencengkeram bajunya! "Bret...!"

   Bhong Kiat tahu-tahu sudah ditangkap Bun Hwi dan Bun Hwi yang merasa girang mencengkeram lawannya ini tiba-tiba menarik kuat.

   Dia masih rebah di atas tanah, maka begitu Bhong Kiat disentak ke bahwa tak ayal anak laki-laki itupun terjerembab.

   Bhong Kiat menindih tubuh Bun Hwi, dan Bun Hwi yang tidak mau melepaskan lawannya ini tiba-tiba sudah menggulingkan diri dan berada di atas tubuh Bhong Kiat.

   "Ahh!"

   Bhong Kiat terbelalak kaget dan sementara dia terkejut tahu-tahu jari Bun Hwi sudah mencekik lehernya.

   Murid Ang-sai Mo-ong ini kaget setengah mati, dan begitu dia dicekik tiba-tiba Bhong Kiat menjerit.

   Tubuh yang ditumpangi Bun Hwi mendadak dia putar, berusaha agar tidak dikuasai lawan.

   Tapi Bun Hwi yang sudah marah ini mana mau begitu saja dibodohi lawan? Maka begitu Bhong Kiat hendak menggulingkan diri diapun berkutat mempertahankan posisinya.

   Akibatnya dua anak ini sama-sama mengadu kekuatan.

   Di satu pihak hendak mencoba di atas sedangkan di pihak lain mencoba untuk tetap menindih lawan.

   Maka terjadilah cekik-mencekik yang amat seru di antara dua anak lelaki ini.

   Namun Bhong Kiat yang kalah kedudukan tiba-tiba mendapatkan akal baik.

   Bagaimanapun juga dia adalah murid seorang tokoh sakti, bocah yang cerdik dan pandai mencari-cari jalan keluar.

   Maka ketika sadar Bun Hwi tidak mau melepaskannya begitu saja maka anak laki-laki inipun tiba-tiba melakukan tendangan membalik.

   Bun Hwi yang ada di atas tubuhnya sekonyong- konyong dihantam ujung sepatunya.

   Dan Bun Hwi yang berteriak kaget itu terpukul belakang kepalanya.

   Tak ayal, Bun Hwi terdorong ke depan dan Bhong Kiat yang merasa tekanan lawan berkurang akibat tendangan tadi tiba-tiba meronta kuat.

   Bun Hwi yang hampir lengah kembali ditendang, dan begitu tendangan kedua ini mengenai punggung Bun Hwi maka pemuda itupun mengeluh.

   


Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bunga Di Kaki Gunung Kawi Karya SH Mintardja Teror Elang Hitam Karya Stevanus SP

Cari Blog Ini