Sengketa Cupu Naga 6
Sengketa Cupu Naga Karya Batara Bagian 6
Sengketa Cupu Naga Karya dari Batara
"Dess....!"
Bun Hwi hampir roboh oleh serangan dari belakang ini dan karena dia terkejut maka cekikannyapun terlepas.
Bhong Kiat sudah meronta dan menggulingkan tubuh.
Lalu ketika dia tertegun sekejap tahu-tahu bocah itu sudah berada di atas tubuhnya! "Ha-ha, kau masih tidak mau menyerah setan cilik?"
Bhong Kiat tertawa mengejek.
"Kau ingin kucekik mampus agar melapor pada Giam-lo-ong?"
Bun Hwi mendelik gusar.
Dia ganti berada pada kedudukan yang tidak menyenangkan.
Tapi bocah yang tidak kenal menyerah ini tiba-tiba mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak mungkin.
Lalu begitu dia merasa pusarnya bergolak mendadak Bun Hwi berteriak.
Tenaga yang kembali bergulung- gulung di dalam pusar ini dia kerahkan memberontak terhadap kekuatan lawan.
Dan begitu Bhong Kiat terkekeh kegirangan sekonyong-konyong Bun Hwi menggulingkan diri.
Tubuh yang ada di bawah itu dia putar kuat-kuat, lalu sekali membentak nyaring tahu-tahu Bhong Kiat terguling roboh dan berhasil dia cekik! Kejadian ini mengejutkan Bhong Kiat, dan anak laki-laki yang merasa betapa kekuatan dahsyat tiba-tiba bergetar di tubuh Bun Hwi membuat dia kaget setengah mati.
Itulah hal yang sama sekali tidak disangkanya.
Tapi Bun Hwi yang sudah marah itu mana dapat dia tahan? Maka Bhong Kiat yang terbelalak pucat ini tiba-tiba memekik.
Tubuh yang ditindih Bun Hwi dia coba digerak-gerakkan kesana kemari.
Digoyang, diputar dan dihentak-hentak seperti kerbau disembelih.
Tapi Bun Hwi yang mendengus-dengus di atas tubuhnya tidak mau melepaskan.
Akibatnya Bhong Kiat mengeluh, dan ketika Bun Hwi memperkeras cekikannya hingga dia tak berdaya lagi maka habislah harapan anak laki-laki ini.
bhong Kiat sudah pucat pasi, dan lidahnya yang terjulur keluar itu menjadikan anak ini tak mampu bergerak lagi.
Tapi sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat ke depan.
"Bocah tak tahu diri, lepaskan muridku....!"
Dan bayangan tinggi besar yang sudah melakukan bentakan ini tiba-tiba mencengkeram tengkuk Bun Hwi.
Bun Hwi terkejut ketika lehernya dicengkeram sebuah tangan yang kuat, dan ketika dia berteriak kaget sekonyong-konyong tubuhnya sudah terlempar jauh bergulingan di atas tanah! "Aah...!"
Bun Hwi melompat bangun dan ketika dia memandang tampaklah seorang kakek bermuka merah yang sudah membantu Bhong Kiat menepuk- nepuk punggungnya dengan mata berputaran.
Kiranya itulah si kakek iblis, Ang-sai Mo-ong yang menjadi guru Bhong Kiat! Maka begitu Bun Hwi tertegun tiba-tiba membaliklah si raksasa tinggi besar ini.
Ang-sai Mo-ong mendelik, dan suaranya yang bagaikan guntur menggelegar itu membentak keras.
"Bocah, kau yang bernama Bun Hwi, bukan? Kau yang telah menangkap Naga Lilin di dusun ini?"
Bun Hwi terkejut. Dia masih terbelalak memandang si kakek iblis, tapi Ang-sai Mo-ong yang tampak kemerahan mukanya itu tiba-tiba melompat. Sekali gerak dia tahu-tahu mencengkeram leher baju Bun Hwi, dan Bun Hwi yang terkesiap kaget otomatis meronta.
"Kakek jahat, apa yang hendak kaulakukan?"
Bun Hwi berteriak. Tapi Ang-sai Mo-ong yang tiba-tiba menotok jalan darahnya itu membuat Bun Hwi tiba- tiba lemas. Anak ini tak dapat lagi meronta, dan Ang-sai Mo-ong yang berputaran matanya itu tiba- tiba tertawa girang.
"Ha-ha, kau memang anak she Bun, anak jantan. Tubuhmu yang kuat dan tulang lehermu yang tidak remuk kucengkeram memang membuktikan kenyataan ini. Eh, Bhong Kiat, bukankah dia kebal senjata?"
Kakek iblis itu tiba-tiba menoleh ke arah muridnya. Dan Bhong Kiat yang masih kesakitan ini mengangguk.
"Ya, anak setan itu memang kebal senjata, suhu. Tapi dia sama sekali tidak pandai bermain silat! Lepaskan dia, suhu. Biar teecu membalas kekurangajarannya ini....!"
Dan Bhong Kiat yang tampak mendendam oleh cekikan tadi tiba-tiba melompat maju. Namun Ang-sai Mo-ong mengibaskan lengannya.
"Bhong Kiat, mundur. Bocah she Bun ini yang justeru kita cari-cari. Kenapa kau berkelahi dengannya?"
Bhong Kiat mengepalkan tinju.
"Dia membantu orang-orang dusun ini, suhu. Dia datang ketika teecu hendak membunuh kepala kampungnya!"
Ang-sai Mo-ong tiba-tiba tertawa bergelak.
"Ha-ha, tikus-tikus ini berani menentangmu, Bhong Kiat? Mereka berani menentang murid Ang-sai Mo-ong?"
Bhong Kiat mengangguk marah.
"Mereka memang kurang ajar, suhu. Tikus-tikus busuk ini memang manusia-manusia tidak tahu diri!"
Dan Ang-sai Mo- ong yang tiba-tiba memandang kaum nelayan itu sekonyong-konyong menghardik.
"Tikus-tikus busuk, kenapa kalian berani melawan muridku? Tidak tahukah kalian hukuman apa yang harus kalian terima?"
Orang-orang itu menjadi gentar.
Mereka pucat mendengar ancaman dalam suara si datuk iblis ini.
Dan bahwa Bun Hwi yang amat mereka harapkan bantuannya itu tidak berdaya di cengkeraman kakek tinggi besar ini membuat mereka pucat.
Bagaimanapun, baru anak laki-laki she Bhong yang menjadi muridnya itu mereka tidak mampu menandingi.
Apalagi kalau harus menghadapi gurunya! Maka orang-orang yang sudah menggigil gemetar ini tiba-tiba beberapa di antaranya ada yang menyelinap masuk.
Mereka hendak melarikan diri dari pandangan kakek raksasa itu, tapi Ang-sai Mo-ong yang menyeringai keji mendadak mengebutkan tangannya.
Seraup pasir hitam yang entah dari mana asalnya tahu-tahu disambitkan ke arah orang-orang ini, dan begitu sinar-sinar hitam ini menyambar tiba-tiba terdengarlah pekik ngeri di depan sana.
Sebelas orang roboh hampir berbareng, dan kaum nelayan yang hendak melarikan diri secara diam-diam itu tiba-tiba sudah terjengkang roboh dengan tubuh kehitaman! "Aah....!"
Orang yang lain tersentak kaget, dan Ang- sai Mo-ong yang tertawa bergelak itu memandang penuh ancaman.
"Ha-ha, siapa berani lagi pergi secara diam-diam?"
Kakek itu mengawasi bengis.
"Siapa di antara kalian yang berani menentang Ang-sai Mo-ong?"
Bun Hwi melotot gusar.
"Ang-sai Mo-ong, kau iblis keji tidak berjantung! Kenapa kau membunuh mereka?"
Kakek raksasa ini menampar punggung Bun Hwi.
"Bocah she Bun, jangan banyak cerewet. Tidak tahukah kau bahwa orang yang berani melawanku harus mendapat hukuman?"
Tapi Bun Hwi memaki-maki.
"Kau yang harus dihukum, kakek iblis. Kaulah yang harus dipersalahkan karena kau dan anak buahmu yang mengacau ketenangan dusun ini.....!"
Ang-sai Mo-ong terkekeh.
"Ha, kau rupanya bernyali naga, bocah. Kalau bukan kau yang bicara tentu sudah kuhancurkan mulutmu ini. Sudahlah, diam dan jangan pentang bacot lagi!"
Dan Bun Hwi yang tiba-tiba ditotok urat gagunya itu mendadak tak mampu berteriak kecuali mengeluh tanpa sedikitpun suara yang keluar dari mulutnya. Dan Ang-sai Mo-ong yang kembali mengawasi orang-orang dusun itu membentak.
"Tikus-tikus bodoh, sudahkah kalian mempersiapkan perahu untuk kami?"
Orang-orang dusun ini kontan menggigil. Mereka menatap ketakutan dengan muka pucat. Taip Bhong Kiat yang sudah melompat maju dengan cambuk buntung di tangannya itu menghardik.
"Hai, tidak dengarkah kalian perintah suhu? Minta dibuntungikah telinga kalian itu?"
Kaum nelayan itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.
"Ampun.... ampun, siauw-ya.... kami tidak berani membantah...."
Dan mereka yang tiba-tiba sudah bangkit berdiri lalu berlarian ke tepi sungai itu tiba-tiba sudah melaksanakan ancaman ini dengan kaki gemetaran.
Mereka tidak berani lagi melawan, dan dua puluh perahu yang ada di tempat mereka segera dikumpulkan dan dibawa ke tepi sungai.
Di sinilah mereka bekerja keras, dan Ang-sai Mo-ong yang melihat perbuatan kaum nelayan itu tersenyum dingin.
Dia memerintahkan Bhong Kiat mengawasi semua pekerjaan ini.
Lalu ketika semua perahu terkumpul dan sudah siap di tepi sungai maka tiba- tiba berkatalah kakek iblis itu.
"Bhong Kiat, masukkan mereka ke rumah kepala kampung. Ikat semuanya dengan tali yang kuat!"
Dan Bhong Kiat yang sudah kegirangan itu segera memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengikat orang-orang dusun itu.
Dengan paksa mereka semua digiring masuk, dan anak buah Ang- sai Mo-ong yang bersikap kasar itu telah mengikat puluhan kaum nelayan ini di dalam rumah Kwa- chungcu.
Lalu begitu pekerjaan ini selesai menghadaplah Bhong Kiat.
"Suhu, tikus-tikus busuk itu telah kami masukkan semua. Apa selanjutnya yang hendak suhu perbuat?"
Kakek iblis itu tertawa.
Dia tidak menjawab, melainkan mengambil sejerigen minyak di luar pendapa.
Lalu melempar minyak itu ke dalam rumah tiba-tiba menudinglah jarinya.
Sinar merah yang amat panas mendadak menyambar sebuah batu hitam.
Dan begitu batu ini meletik tiba-tiba menyambarlah lidah api ke minyak yang sudah tumpah itu.
Tak ayal, jerit kaget memenuhi mulut orang-orang yang terikat di dalam rumah ini dan begitu api menyambar segeralah terjadi kebakaran hebat.
Orang-orang di dalam rumah itu dikelilingi api yang berkobar-kobar, dan Bun Hwi yang melotot menyaksikan kekejaman datuk iblis ini hampir saja tak percaya kepada penglihatannya sendiri! Tetapi itu memang telah terjadi.
Dan pekik ngeri yang membubung ke udara mengiringi jilatan api yang membakar orang-orang itu.
Kaum nelayan ditambus hidup-hidup oleh kakek iblis ini, dan Ang- sai Mo-ong yang tertawa bergelak dengan perbuatannya itu tampak gembira menyaksikan perbuatannya ini.
Datuk iblis itu terkekeh-kekeh, dan ketika api sudah membakar rumah dengan hebatnya tiba-tiba kakek itu melompat ke dalam perahu.
"Kiat-ji, suruh orang-orangmu mengikutiku. Sekarang juga kita melayari sungai....!"
Dan Ang-sai Mo-ong yang sudah memasuki perahu rampasan itu melempar Bun Hwi ke atas lantai.
Dan begitu Bhong Kiat beserta anak buahnya sudah memasuki perahu pula maka menghilirlah perahu ini mengikuti arus sungai.
Bun Hwi tidak mengerti apa sebenarnya yang dikehendaki kakek iblis itu.
Tapi teringat kekejaman Ang-sai Mo-ong mau tak mau dia merasa ngeri juga.
*S*F* Siang itu juga datuk iblis ini tampak sibuk.
Dia sudah melajukan perahu sampai belasan li jauhnya.
Tapi ketika berputar-putar belum juga apa yang dicari terdapat maka mulailah mukanya menjadi gelap.
Ang-sai Mo-ong mulai marah-marah, dan kakek raksasa yang berputaran matanya itu mulai berang dengan sikapnya yang kasar.
Dia memerintahkan dua orang pendayung di atas perahunya menuju ke hulu, dan persis tiba di suatu tikungan mendadak mereka terbentur dengan dua puluh lebih perahu yang bercat hitam.
"Bhong Kiat, siapa mereka itu?"
Ang-sai Mo-ong membentak. Anak laki-laki ini meneropong, dan melihat sebuah bendera bergambar tengkorak menjulang tinggi di atas sebuah perahu yang paling besar, tiba-tiba anak laki-laki itu menjawab.
"Teecu tidak tahu, suhu. Tapi perahu di tengah memasang bendera bertengkorak hitam!"
Ang-sai Mo-ong yang mendengar ini mendengus.
"Hm, si bajak sungai Hui Tu. Suruh setan itu menyingkir, Bhong Kiat. Bawa tanda pengenalku ini ke sana....!"
Dan Ang-sai Mo-ong yang sudah melempar sebuah tombak kecil kepada muridnya cepat disambut baik oleh anak lelaki ini. Bhong Kiat mendahului maju. Dan begitu dekat dengan sekumpulan perahu di tengah sungai tiba- tiba anak ini berteriak.
"Hei, tikus-tikus busuk.... suhu Ang-sai Mo-ong meminta kalian supaya pergi secepatnya dari tempat ini. Cepat....!"
Dan Bhong Kiat yang sudah berdiri di ujung perahunya itu bertolak pinggang dengan sikap sombong.
Orang-orang di perahu hitam menoleh, dan melihat serombongan perahu tiba-tiba meluncur mendekati mereka, orang-orang itu tampak terkejut.
Seorang lelaki berbadan kekar melompat di buritan perahunya, dan melihat Bhong Kiat berkaok-kaok di sana, tiba-tiba dia membentak.
"Bocah setan, kau siapakah bicara besar di sini? Tidak tahukah kau bajak sungai Tengkorak Hitam sedang berlabuh?"
Bhong Kiat tertawa dingin.
"Tikus busuk, kau rupanya mencari penyakit. Apakah kau yang bernama Hui Tu?"
Laki-laki itu menjawab.
"Aku wakilnya, bocah siluman. Huang-kiang Hui-liong (Naga Terbang dari Sungai Huang) Ma Cin Su!"
Tapi baru dia bicara sampai di sini mendadak Ang- sai Mo-ong di dalam perahu membentak.
"Bhong Kiat, tunjukkan tanda pengenalku. Aku sebal dengan segala macam gonggongan anjing....!"
Dan datuk iblis yang tiba-tiba menggerakkan tangannya itu mendadak melontar sebuah pisau ke arah laki-laki ini.
Dan begitu sinar putih berkeredep tiba-tiba saja wakil Tengkorak Hitam yang berjuluk Huang-kiang Hui-liong itu berteriak keras.
Pisau yang dilontarkan Ang-sai Mo-ong tiba-tiba saja telah menancap di ulu hatinya, dan begitu Naga Terbang ini menjerit robohlah dia terjungkal di dalam air.
"Ah....!"
Semua orang di perahu hitam terkejut.
Dan tewasnya Huang-kiang Hui-liong yang amat cepat itu membuat mereka terbelalak.
Tapi sementara mereka ribut-ribut dengan suara gaduh mendadak seorang laki-laki berbadan pendek melompat keluar.
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia adalah pemimpin bajak sungai ini, dan begitu melihat robohnya Cin Su disusul keluarnya sebatang tombak beronce merah di tangan Bhong Kiat tiba- tiba dia gemetaran.
Pemimpin bajak sungai itu langsung menjatuhkan diri berlutut, dan berseru kepada kakek yang mengerikan itu berteriaklah ketua Tengkorak Hitam ini.
"Mo-ong, mohon ampun atas kekhilafan kami. Kami tidak tahu bahwa engkaulah yang datang....!"
Dan Hui Tu si pemimpin bajak sungai yang tampak ketakutan itu tiba-tiba membentak kepada semua anak buahnya.
"Kawan-kawan, minggir. Ang-sai Mo- ong hendak lewat....!"
Dan Hui Tu yang sudah mengibarkan bendera hijau itu menyuruh semua perahu menepi.
Tak ayal, semua anak buah pemimpin bajak sungai ini menyingkir dan begitu nama Ang-sai Mo-ong disebut pucatlah muka orang-orang ini.
Mereka memang sudah mengenal baik nama datuk iblis itu.
Tapi mengira Bhong Kiat mengada-ada dan juga karena anak laki-laki itu tidak menunjukkan tanda yang dimiliki kakek iblis ini maka mereka mengira Bhong Kiat main-main.
Tak disangka, bahwa datuk iblis itu ternyata benar-benar hadir dan membunuh Huang-kiang Hui-liong Ma Cin Su! Maka anak buah bajak Tengkorak Hitam yang tergesa-gesa menepi itu kontan saja menjadi ketakutan.
Mereka menyingkir dengan cepat, dan rombongan perahu Bhong Kiat yang meluncur maju membuat mereka memandang pucat.
Tapi tiba-tiba Ang-sai Mo-ong berseru.
"Bhong Kiat, berhenti....!"
Dan datuk iblis yang tiba- tiba muncul dari dalam perahunya itu membuat Hui Tu menggigil. Pemimpin bajak sungai itu tampak gemetar, dan kakek tinggi besar yang dipandangnya seperti malaikat maut itu disambutnya ketakutan.
"Mo-ong, apakah kami masih harus menerima dosa?"
Tapi Ang-sai Mo-ong menjengek.
"Tergantung dari sikapmu orang she Hui. Aku hanya ingin bertanya sedang apa kau di sini?"
Maka pemimpin bajak laut itu terbelalak. Dia tampak bingung untuk menjawab, tapi laki-laki yang sudah menjatuhkan diri ini rupanya tidak berani membohong.
"Kami... kami sedang mencari sesuatu, Mo-ong.... harap kau suka mengampuninya....!"
Dan Ang-sai Mo-ong yang tertawa dingin itu mengeluarkan suara dari hidungnya.
"Hm, apa yang kaucari, orang she Hui?"
Pemimpin bajak sungai ini menggigil.
"Naga... Naga Lilin, Mo-ong..."
"Dan sudah kau dapat?"
"Belum... belum...!"
Laki-laki itu cepat-cepat menjawab.
"Kami baru mengikuti jejaknya, Mo-ong. Dan sama sekali kami belum mendapatkannya!"
"Hmm...!"
Ang-sai Mo-ong kembali mengeluarkan suara dari hidungnya dan kakek iblis yang tiba-tiba memandang tajam ke arah pemimpin bajak sungai itu membentak.
"Orang she Hui, betulkah kau belum memperoleh buruanmu?"
Laki-laki ini membenturkan jidatnya.
"Sama sekali belum, Mo-ong. Dan bila aku berbohong bolehlah kau penggal leherku!"
Dan Ang-sai Mo-ong yang percaya ucapan ini tiba- tiba mendengus.
"Baik, kalau begitu kau carikan ikan itu untukku, orang she Hui. Dan suruh orang- orangmu menyelam ke dasar sungai. Sekarang juga...!"
Dan datuk iblis yang sudah memutar tubuhnya itu kembali memasuki perahu dengan sikap dingin. Si pemimpin bajak terkejut, dan Hui Tu yang kebingungan itu tiba-tiba berseru.
"Tapi Mo-ong, bagaimana kami harus melakukannya?"
Ang-sai Mo-ong memutar kepalanya.
"Apa maksudmu, orang she Hui?"
Laki-laki ini kelihatan gugup.
"Kami... kami belum tahu di mana sesungguhnya ikan itu berada, Mo- ong. Bagaimana harus memulainya?"
"Hm, tapi kau bilang jejaknya telah dapat kau ikuti, orang she Hui. Apakah ini tidak benar?"
Hui Tu pucat ketakutan.
"Ya... ya... tapi... tapi itu baru jejaknya, Mo-ong. Naga Lilin berpindah-pindah secara aneh!"
"Maksudmu?"
"Ikan itu melarikan diri setiap kali mencium bau manusia. Dan kami yang sudah memburunya setengah hari ini sekarang kehilangan jejak sama sekali!"
"Hm..."
Ang-sai Mo-ong memandang penuh selidik dan melihat pemimpin bajak sungai itu menggigil dengan muka berkeringat tiba-tiba dia bertanya.
"Jadi kau tidak mampu melaksanakan perintah ini, orang she Hui? Kau hendak bilang bahwa pekerjaan ini tidak mampu kau jalankan?"
Hui Tu siap menganggukkan kepalanya.
Tapi begitu pandangannya beradu dengan sinar mata yang penuh ancaman dari kakek iblis ini mendadak dia tertegun.
Tak jadi dia anggukkan kepala itu, dan Ang-sai Mo-ong yang sudah melangkah maju mendadak disambutnya dengan benturan dahi berulang-ulang.
"Maaf.... maaf, Mo-ong... ampunkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu...!"
Dan Hui Tu yang sudah melompat bangun ini berlari ke anak buahnya.
"Kawan-kawan, hayo terjun semua. Kita membantu Mo-ong mencari Naga Lilin....!"
Dan Hui Tu yang sudah memberi komando itu tiba-tiba terjun ke dalam sungai memulai penyelamannya.
Dan begitu pemimpin bajak ini mencebur di air maka berturut- turut masuklah puluhan orang anak buahnya itu mengikuti jejak sang kepala.
Mereka tampaknya dapat merasakan ancaman yang keluar dari mata si datuk iblis itu.
Maka begitu pemimpin mereka melempar diri di sungai merekapun tidak mau banyak cingcong.
Sebentar saja seluruh anggota Tengkorak Hitam ini meninggalkan perahunya, dan Ang-sai Mo-ong yang bersinar matanya itu tampak puas.
Dia menoleh kepada muridnya, dan berkata pada anak laki-laki ini kakek itu berseru.
"Kiat-ji pecah anak buah kita menjadi dua kelompok. Yang satu menjaga di hulu dan yang lain menanti di hilir. Lihat, apa ada yang lolos bunuh saja mereka itu....!"
Dan kakek iblis yang sudah memasuki perahunya itu mengibaskan lengan memutuskan percakapan. Dia langsung memasuki bilik perahu, dan Bun Hwi yang mendengar semua pembicaraan di luar memandang kakek ini dengan mata terbelalak.
"Ha-ha, kau merasa tersiksa, bocah?"
Ang-sai Mo- ong menjambak rambut Bun Hwi.
"Kalau begitu bangunlah. Kubebaskan totokanmu asal kau tidak membuat ribut di sini!"
Dan jari Ang-sai Mo-ong yang sudah menyentuh pundak Bun Hwi membuat pemuda itu tiba-tiba merasakan jalan darahnya lancar kembali. Bun Hwi melompat bangun, dan menegur marah kepada kakek ini Bun Hwi membentak.
"Ang-sai Mo- ong, apa sesungguhnya maksudmu menangkap aku?"
Kakek iblis itu tertawa.
"Hm, jangan tanyakan sekarang, bocah ingusan. Tapi yang jelas aku hendak membawamu ke tempat seseorang."
"Pangeran Ong?"
Kakek itu tampak terkejut.
"Darimana kau tahu?"
Tapi Bun Hwi sudah menerjang kalap.
"Kalau begitu kau tidak akan berhasil, Mo-ong. Aku muak melihat kekejianmu!"
Dan Bun Hwi yang sudah menerjang kakek ini mengayunkan tangannya menghantam dada kakek itu.
"Bluk!"
Ang-sai Mo-ong tidak mengelak. Dan kakek yang sudah tertawa itu mendadak menampar kepala Bun Hwi.
"Bocah she Bun, jangan membuat ribut disini. Tidakkah kau dengar kata-kataku tadi?"
Dan Bun Hwi yang tahu-tahu sudah ditampar kepalanya itu terpelanting roboh dengan caci makinya.
"Mo-ong, kau iblis tidak berperasaan. Mampuslah...!"
Dan Bun Hwi yang nekat melompat bangun itu menyerudukkan kepalanya. Dia menumbuk perut kakek ini, dan Ang-sai Mo-ong yang marah sekonyong-konyong menghardik.
"Anak setan, tidak dengar kau laranganku tadi? Baiklah, boleh kaucoba seluruh kekuatanmu agar tahu diri!"
Dan kakek iblis yang tiba-tiba mengempiskan perutnya itu mendadak menerima serudukan Bun Hwi dengan mata terbelalak.
Dia gemas terhadap anak lelaki ini, maka begitu kepala Bun Hwi menerjang perutnya tiba-tiba saja kakek itu tertawa bergelak.
Dengan pengerahan tenaga sinkangnya dia menerima kepala Bun Hwi, lalu begitu terdengar suara "cep"
Perlahan tiba-tiba saja kepala Bun Hwi melekat di perut kakek ini! "Ha-ha, kau ingin main-main terhadap Ang-sai Mo- ong, bocah? Nah, rasakanlah....!"
Dan datuk iblis yang tiba-tiba "menghisap"
Kepala anak ini mendadak semakin mengempiskan perutnya hingga seluruh kepala Bun Hwi melesak di bawah rongga dadanya. Tak pelak, Bun Hwi meronta-ronta dan ketika kakek itu terkekeh mengejeknya dia tiba-tiba menghantamkan kedua tinjunya.
"Mo-ong, kau manusia laknat!"
Dan Bun Hwi yang sudah menyerang marah itu memukulkan kedua kepalannya dengan keras sekali.
"Buk-buk!"
Dua kali pinggang kakek itu dihantamnya keras tapi Ang-sai Mo-ong yang tertawa bergelak tiba-tiba mengayunkan lengan. Tengkuk Bun Hwi yang ada di bawahnya sekonyong-konyong ditampar, dan begitu terdengar suara "plak"
Yang nyaring mendadak saja kedua tangan Bun Hwi lumpuh! Pemuda ini tak dapat menggerakkan tangannya lagi, dan Bun Hwi yang terkejut itu tiba- tiba melayangkan lututnya menendang selangkangan kakek ini.
"Dess!"
Ang-sai Mo-ong menyeringai ewah dan Bun Hwi yang baru melepaskan tendangan itu kaget bukan main karena merasa bagian bawah tubuh kakek ini "kosong".
Bun Hwi tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.
Tapi baru dia berteriak kecil sekonyong-konyong kakek itu sudah menggelembungkan perutnya.
"Anjing cilik, pergilah....!"
Dan Bun Hwi yang ditolak suatu tenaga dahsyat tiba-tiba memekik ketika tubuhnya terlempar di dinding perahu.
"Bres!"
Bun Hwi terguling-guling dan ketika dia melompat bangun mendadak nanarlah pandangan matanya. Dia merasa pusing bukan main, dan Ang- sai Mo-ong yang tampak geram itu memandangnya gusar.
"Bocah, masih berani kau menyerang lagi?"
Bun Hwi mengepal tinju. Dia hendak menerjang kakek itu lagi, tapi kepala yang berputar mendadak membuatnya roboh terjerembab.
"Bluk!"
Bun Hwi tersungkur di lantai perahu dan bocah yang merasa kepalanya diserang rasa panas itu tiba-tiba mengeluh. Dia terhuyung-huyung, dan Bun Hwi yang bangkit berdiri seperti orang mabuk itu berseru gemetar.
"Mo-ong, apa yang kau lakukan terhadapku?"
Kakek itu tersenyum mengejek.
"Kau menderita pukulan Ang-mo-kang, Bun Hwi. Dan sekali kau coba-coba melarikan diri maka tidak ada seorang pun yang sanggup menyembuhkanmu. Hanya akulah yang dapat menyembuhkan pukulan itu yang menyerang syaraf otak!"
Bun Hwi melotot.
Dan gusar oleh kekejaman kakek ini tiba-tiba dia berteriak nyaring.
Sekali lompat dia menerjang kakek itu.
Tapi baru setengah jalan sekonyong-konyong Bun Hwi mengeluh.
Dia tidak mampu melanjutkan serangannya, karena begitu mengerahkan tenaga tiba-tiba Bun Hwi sudah roboh di atas perahu dan....
terguling pingsan! Inilah akibat pukulan Ang-mo-kang.
Dan datuk iblis yang tertawa dingin itu sudah menyepak tubuh Bun Hwi ke sudut perahu.
Ang-sai Mo-ong menyeringai, dan memandang keji ke arah Bun Hwi tiba-tiba diapun berkelebat keluar menutup pintu bilik.
Bun Hwi dibiarkannya tergeletak, dan anak laki-laki yang pingsan oleh pukulannya itu ditinggalkannya begitu saja.
*S*F* Siang itu matahari naik semakin tinggi.
Anak buah Tengkorak Hitam sudah tiga jam melakukan pencarian.
Dan akhirnya, setelah matahari condong ke barat tiba-tiba mereka itupun muncul.
Yang pertama-tama nongol adalah si lelaki pendek, pemimpin kaum bajak sungai itu.
Dan Hui Tu yang tampak kelelahan ini memerintahkan semua anak buahnya keluar.
Dia menghadap Ang-sai Mo-ong, dan gelisah oleh hasil kerjanya yang sia-sia itu sang pemimpin bajak ini mengeluh.
"Mo-ong, kami gagal. Naga Lilin telah kami cari di seluruh perairan ini namun tetap saja tidak berhasil. Apa yang harus kami lakukan, Mo-ong?"
Demikian mula-mula pemimpin bajak itu memberikan laporannya. Ang-sai Mo-ong mengerutkan alis, dan mendengus oleh laporan yang tidak menyenangkan ini datuk iblis itu menjawab.
"Tengkorak Hitam, kenapa kegagalan begini harus kau beritahukan padaku? Tidak dapatkah kau mencari jalan keluarnya sendiri?"
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemimpin bajak itu menundukkan kepala.
"Kami telah bekerja mati-matian, Mo-ong. Tapi nasib rupanya belum mengijinkan bagi kami. Bolehkah kiranya kami mengajukan usul?"
Kakek iblis itu memandang tajam.
"Apa yang hendak kau bicarakan, orang she Hui?"
Pemimpin bajak ini mengangkat mukanya.
"Kami ingin pergi ke muara, Mo-ong. Tapi arus yang amat berbahaya di tempat itu membuat kami takut. Bisakah seorang pembantumu membantu kami?"
Ang-sai Mo-ong membelalakkan mata.
"Apa Tengkorak Hitam, kau ingin dibantu seorang pembantuku?"
Pemimpin bajak itu mengangguk.
"Kalau kau tidak keberatan, Mo-ong. Karena Naga Lilin yang kami cari itu menunjukkan jejak ke muara. Ikan ini mengikuti arus sungai, dan karena arus di muara amat berbahaya terus terang kami tidak berani ke sana tanpa bantuan seorang yang pandai."
"Hm....!"
Ang-sai Mo-ong memutar bola matanya. Dan melihat pemimpin bajak itu rupanya tidak bicara bohong diapun tiba-tiba bertanya.
"Kalau begitu, siapa yang kau kehendaki, orang she Hui?"
Pemimpin bajak ini memandang takut-takut.
"Muridmu, Mo-ong. Kalau kau tidak keberatan!"
Maka Ang-sai Mo-ong yang mendengar pernyataan itu tiba-tiba tertawa menyeringai.
"Orang she Hui, kenapa harus muridku yang membantu di muara? Tidak dapatkah orang lain misalnya?"
Laki-laki pendek itu menunduk gugup.
"Kukira tidak mungkin, Mo-ong. Karena arus yang amat besar di muara itu mengharuskan seseorang menjaga perahu kami."
"Maksudmu?"
"Kami akan berada dalam satu perahu. Dan bila kami semua menyelam di dasar sungai maka seseorang harus menjaga perahu itu. Membantu bila kami terseret arus....!"
Dan Ang-sai Mo-ong yang tampak tertegun itu tak segera menjawab. Kakek iblis ini sejenak melotot, tapi melihat orang bicara sungguh-sungguh diapun akhirnya mengangguk.
"Baiklah. Kau boleh meminjam muridku, orang she Hui. Tapi hati-hati atas keselamatan dirinya....!"
Dan kakek iblis yang tiba-tiba bersuit nyaring itu memanggil muridnya. Bhong Kiat yang ada di depan diberi tanda, dan begitu anak laki-laki ini muncul bersama perahunya berserulah kakek iblis itu.
"Kiat- ji, kau diminta Tengkorak Hitam ini untuk menyertainya ke muara. Sanggupkah kau?"
Bhong Kiat menggerakkan dayungnya.
"Untuk apa, suhu? Kenapa dia meminta bantuanku?"
Ang-sai Mo-ong menoleh.
"Kau jawablah, orang she Hui....!"
Dan pemimpin bajak yang sudah dihampiri Bhong Kiat ini berseri mukanya, menjawab dengan mata berbinar-binar.
"Karena kami memerlukan seorang yang dapat diandalkan, kongcu. Karena arus di muara itu terlampau berbahaya tanpa pengawasan seseorang!"
"Maksudmu?"
"Kami hendak mencari Naga Lilin itu di sana. Ikan itu melarikan diri ke muara, dan karena kami memerlukan seseorang untuk menjaga perahu maka kami mintakan bantuan kongcu!"
Kini Bhong Kiat memandang gurunya.
"Bagaimana, suhu? Haruskah aku ikut?"
Kakek itu tertawa.
"Terserah padamu, Kiat-ji. Tapi aku terlanjur menyetujuinya!"
Dan Bhong Kiat yang tiba-tiba mendapat isyarat dari gurunya ini mendadak tersenyum. Dia tertawa kepada pemimpin bajak sungai itu dan melompat ke perahu si Tengkorak Hitam diapun berkata.
"Baiklah, aku ikut bersamamu, orang she Hui. Tapi mudah-mudahan saja kau tidak menyembunyikan maksud buruk...!"
Dan Bhong Kiat yang sudah menangkap dayung itu memukulkan ujungnya.
Perahu melesat bagaikan didorong tenaga raksasa, dan pemimpin Tengkorak Hitam yang tampak kemerahan itu terbelalak.
Dia tersentak oleh ucapan murid Ang-sai Mo-ong ini, tapi Hui Tu yang sudah terbawa gerakan perahunya tiba-tiba menyeringai kecut.
"Ah, mana berani aku menyembunyikan maksud buruk, kongcu? Kau ini ada-ada saja...."
Dan laki-laki pendek yang meringis seperti monyet kebingungan itu sudah menggapaikan tangannya kepada beberapa anak buahnya.
Tujuh orang di tepi sungai melompat masuk, dan perahu yang segera melaju ke arah timur ini sebentar saja lenyap di kejauhan sana.
Bhong Kiat sudah menuju ke muara seperti apa yang diminta pemimpin bajak sungai itu.
Dan si Tengkorak Hitam yang tampak tersenyum diam- diam di ujung perahu melempar dayung menyuruh anak buahnya membantu.
Kini meluncurlah rombongan kecil itu mengikuti aliran sungai dan Hui Tu yang tidak banyak bicara dalam perjalanan ini memandang ke depan dengan mata bercahaya.
Sementara Ang-sai Mo-ong, yang melihat muridnya itu pergi bersama si bajak sungai tiba-tiba bersuit nyaring.
Dia memanggil orang-orangnya yang ada di hulu dan hilir.
Dan begitu mereka muncul menudinglah kakek ini kepada sisa rombongan Tengkorak Hitam.
"Hak Bu, bawa mereka ke perahu kalian. Hitung apakah ada di antaranya yang kurang. Kalau ada yang tidak beres bunuh saja mereka itu. Aku ingin pergi sebentar....!"
Dan Ang-sai Mo-ong yang tiba- tiba melompat masuk itu mengambil tubuh Bun Hwi.
Dia memanggul anak laki-laki yang masih pingsan ini di atas pundaknya, dan begitu semuanya beres diapun melompat keluar menuju ke daratan.
Orang tidak tahu kemana kakek iblis itu pergi.
Karena baru kakinya menotol tanah tiba-tiba saja bayangan kakek itupun telah lenyap di kejauhan sana! Ang-sai Mo-ong benar-benar seperti iblis, dan ketika bayangan kakek itu lenyap di kerimbunan sebuah hutan kecil, orangpun juga tidak tahu apa yang dilakukan kakek ini.
Sementara Bhong Kiat, yang mengikuti perahu si bajak sungai Hui Tu tampak bersikap sombong di dalam perjalanan.
Anak ini rupanya mengandalkan nama besar gurunya, karena Hui Tu yang bersikap hormat kepadanya itu sama sekali tidak menganggapnya sebagai bocah sembarangan.
Dan hal ini membuat anak itu semakin besar kepala.
"Orang she Hui, berapa jauh perjalanan dari sini menuju ke muara?"
Demikian Bhong Kiat mula-mula membuka percakapan. Dan Hui Tu tersenyum ramah.
"Lebih kurang dua puluh li, kongcu. Ada apakah?"
"Tidak apa-apa. Tapi berapa lama perjalanan ini?"
Hui Tu tertawa.
"Tidak kurang dari tiga jam, kongcu. Tapi itupun kalau tidak ada halangan,"
Katanya. Bhong Kiat mengerutkan alis, dan mendengar kata- kata itu dia jadi bertanya.
"Apa maksudmu dengan tidak ada halangan, orang she Hui? Apakah di sini banyak bahaya?"
"Maksudmu?"
"Aku melihat berkeliarannya orang-orang kang-ouw. Dan kalau ini bukan gejala bahaya apalagi yang hendak kita katakan, kongcu?"
Pemimpin bajak sungai itu menyeringai. Dan melihat Bhong Kiat tertegun laki-laki pendek itupun menyambung.
"Dan ini tentu ada hubungannya dengan ikan keramat itu, kongcu. Naga Lilin yang juga ternyata dicari-cari gurumu!"
Dan Hui Tu yang sudah tertawa kecil itu tampak melirik halus pada anak laki-laki ini. Bhong Kiat menaikkan dagunya, dan melihat orang meringis kaku dia tertawa mengejek.
"Hm, siapa saja yang kau lihat, orang she Hui? Adakah tokoh- tokoh ternama di antaranya?"
Hui Tu mengangguk.
"Ada, dua orang, kongcu. Yang satu pengemis dan yang lain seorang wanita cantik!"
"Siapa mereka itu?"
"Hwa-i Sin-kai dan Thian-san Giok-li!"
"Oh, pemimpin kaum jembel itu, orang she Hui?"
"Ya, dan pertapa dari Thian-san itu, kongcu. Tapi tidak kuketahui apakah mereka secara tidak sengaja berada di tempat ini!"
"Hm, berapa lama kau melihatnya, orang she Hui?"
"Kira-kira empat hari yang lalu."
"Dan mereka datang sendirian?"
"Tidak, tapi bersama dua orang gadis yang cantik- cantik!"
Bhong Kiat tiba-tiba tertawa dan sinar matanya yang berseri-seri itu menunjukkan anak lelaki ini gembira.
"Eh, mereka betul cantik-cantik, orang she Hui? Siapa kira-kira, muridnyakah?"
Hui Tu tersenyum lebar.
"Barangkali, kongcu. Tapi yang bersama Hwa-i Sin-kai aku belum tahu karena kabarnya ketua Hwa-i Kai-pang itu masih hidup menyendiri."
"Belum mempunyai murid, maksudmu?"
"Ya, begitulah,"
Laki-laki ini mengangguk.
"Tapi mungkin saja murid barunya, kongcu. Atau sanak kerabatnya sendiri!"
Dan Bhong Kiat yang tertawa oleh keterangan itu tiba-tiba memandang ke kiri.
"Ah, mudah-mudahan kita bertemu dengan mereka, Tengkorak Hitam. Dan kalau mereka betul cantik aku ingin berkenalan dengannya!"
Dan murid Ang-sai Mo-ong yang menoleh ke kiri itu tiba-tiba berseru.
"Hei, ada orang....!"
Dan pemimpin bajak bersama seluruh anak buahnya itu serentak menengok.
Mereka melihat sebuah perahu kecil mendekati perahu mereka, dan begitu perahu itu muncul di belakang tampaklah siapa penumpangnya.
Kiranya dua orang wanita cantik, yang seorang gadis belia remaja sedangkan yang lain seorang wanita setengah baya.
Dan begitu melihat dua orang penumpang ini sekonyong-konyong wajah si Tengkorak Hitam berubah.
"Ah, Thian-san Giok-li!"
Serunya perlahan. Dan Bhong Kiat yang mendengar seruan itu tiba-tiba nampak berseri mukanya.
"Ah, jadi mereka ini yang kau lihat, Tengkorak Hitam?"
Bhong Kiat bertanya. Dan begitu pemimpin bajak itu mengangguk tiba-tiba tertawalah anak laki- laki ini. Bhong Kiat tampak gembira, dan ketika perahu berpenumpang dua orang itu menyusul perahu mereka tiba-tiba anak ini berteriak.
"Hei adik manis, hendak kemanakah kalian?"
Dua orang penumpang di atas perahu itu menoleh.
Mereka mengerutkan alis, tapi melihat keceriwisan Bhong Kiat mereka tiba-tiba menjengek.
Yang setengah baya tiba-tiba memukulkan ujung dayungnya keras-keras di atas air, dan begitu air muncrat mengenai muka Bhong Kiat wanita ini berseru pendek.
"Bocah kurang ajar, jangan menggonggong seperti anjing. Kami tidak ingin berkaok-kaok denganmu....!"
Dan wanita cantik yang sudah menusukkan dayungnya ke dalam air itu mendadak mengayuh dengan kekuatan luar biasa.
Dayung yang disontek perlahan sekonyong-konyong membuat perahu itu terangkat naik, dan begitu tangannya bergerak maka tiba-tiba perahu itupun melayang cepat mendahului perahu Bhong Kiat! Hal ini mengejutkan Bhong Kiat, dan anak lelaki yang terbelalak itu sejenak tertegun.
Tapi Bhong Kiat tiba-tiba berseru penasaran.
Hui Tu yang mendayung bersama tujuh orang pembantunya disuruh mengejar, dan begitu delapan pasang tangan menggerakkan dayung di dalam air maka berkecipakanlah delapan buah dayung itu mengejar perahu si wanita cantik.
Tapi wanita di depan mendenguskan hidungnya.
Perahu Bhong Kiat yang mengejar perahunya dipandang dingin, dan sekali dia melempar dayung di tangan kiri kepada gadis cantik di sebelahnya berkata wanita itu.
"Kiok Lan, kau layani mereka. Pusatkan perhatianmu dan dayung perahu ke muara. Cepat....!"
Dan wanita cantik yang tiba-tiba melompat di buritan perahunya itu memandang perahu di belakang dengan mata bersinar marah.
Ia memang betul Thian-san Giok-li adanya.
Dan gadis cantik yang bukan lain Kiok Lan adanya itu bersungut gemas menerima dayung dari tangan subonya.
Gadis ini tampak mendongkol, maka begitu perahu di belakang mengejar perahunya diapun menggantikan subonya mengayuh perahu.
Jelek- jelek ia memiliki keterampilan juga, maka begitu dayung diangkat dan diputar bertubi-tubi maka meluncurlah perahu ini membelah sungai tak kalah cepatnya dengan dayungan Thian-san Giok-li sendiri.
Maka melajulah dua perahu di tengah-tengah sungai itu.
Mereka kejar-mengejar, namun si bajak sungai Hui Tu yang sudah tahu siapa penumpang di depan sengaja tak bersungguh-sungguh.
Dia memberi kedipan pada semua anak buahnya, dan mereka yang maklum akan isyarat ini mengurangi tenaga.
Tak ayal, perahu Bhong Kiat semakin tertinggal jauh di belakang dan ketika perahu Thian-san Giok-li hampir lenyap di kejauhan sana tiba-tiba murid Ang- sai Mo-ong ini berteriak gemas.
"Orang she Hui, kenapa kalian begini lemah? Aih, tolol kalian. Kemarikan sebuah dayung....!"
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan Bhong Kiat yang tahu-tahu sudah merampas sebatang dayung dari tangan seorang anak buah bajak tiba-tiba memukulkan dayungnya itu ke permukaan air.
Dan begitu anak laki-laki ini mengerahkan tenaganya tiba-tiba melompatlah perahu itu.
Sebuah guncangan besar menghentak di depan sana, dan begitu perahu meluncur maju maka terbanglah perahu ini mengejar perahu Thian-san Giok-li! Hal ini mengejutkan Hui Tu.
Pemimpin bajak yang tertegun bersama tujuh orang anak buahnya itu terbelalak.
Tapi karena mereka tidak berdaya dan juga tidak ingin dicurigai Bhong Kiat terpaksalah mereka itu mengayuh sekuat tenaga.
Delapan pasang tangan yang menggerakkan perahu kecil ini benar-benar merupakan gabungan tenaga yang amat hebat.
Karena begitu Bhong Kiat maju membantu dan menggerakkan dayungnya maka tampaklah kembali perahu wanita sakti itu.
Bhong Kiat sudah berteriak girang, dan anak laki-laki yang gembira mukanya itu mendesiskan mulut dengan mata bersinar-sinar.
Tapi sekonyong- konyong semua orang terkejut.
Sebuah perahu lain mendadak muncul dari samping, dan seorang kakek bersama seorang dara manis yang terkekeh-kekeh di dalam perahu itu tampak memasuki sungai memotong jalan laju perahu Bhong Kiat! Tentu saja murid Ang-sai Mo-ong ini terkejut.
Dan anak laki-laki yang marah di atas perahunya itu berteriak.
"Hei, orang gila, tidak tahukah kau di depan ada perahu orang lain? Hayo belokkan perahumu itu, awas menubruk....!"
Dan Bhong Kiat yang terbelalak memandang perahu "orang gila"
Ini tiba-tiba berseru kaget ketika perahu yang memotong jalan lajunya itu tidak dibelokkan arahnya.
Kakek yang terkekeh-kekeh itu tampaknya tidak mendengar seruannya, dan begitu perahu semakin dekat dengan perahunya sendiri maka tubrukanpun tak dapatlah dihindari.
"Brakk.....!"
Perahu kakek itu tiba-tiba sudah menghantam perahu Bhong Kiat dan karena ujung perahu yang lancip menumbuk perut perahu anak laki-laki ini maka pecahlah perahu yang ditumpangi Bhong Kiat itu.
Tak pelak, semua orang terlempar jatuh dan Bhong Kiat yang terpelanting dari atas perahunya melakukan bentakan keras dengan jungkir balik yang indah.
Murid Ang-sai Mo-ong itu bersalto, dan begitu tiga kali tubuhnya berjumpalitan di udara maka tiba-tiba mendaratlah kakinya di atas perahu kakek ini! "Wah....!"
Kakek itu berseru kagum.
"Dia rupanya cecunguk paling lihai, Mei Hong. Lihat, dia hinggap di perahu kita....!"
Dan kakek pengemis yang tertawa-tawa itu tiba-tiba sudah menggerakkan dayungnya, memukul punggung kaki anak laki-laki ini.
"Buyung, jangan mendarat di sini. Kami tidak menerima penumpang!"
Dan mata dayung yang sudah menyambar kaki Bhong Kiat itu mendadak mendorong anak laki-laki itu agar tercebur di sungai.
Tentu saja Bhong Kiat berseru marah.
Dan begitu dayung menghantam kakinya tiba-tiba dia berteriak keras.
Mata dayung yang menyambar punggung kakinya ditendang ke samping, tapi baru dia mengangkat sebelah kakinya mendadak kakek itu tertawa.
Tubuh yang meliuk ke depan sekonyong- konyong berkelebat di depan matanya, dan persis dayung ditendang kakek itu tiba-tiba sudah menariknya kembali, cepat sekali.
Dan ketika tendangan Bhong Kiat mengenai angin kosong tahu- tahu dada anak itu sudah ditamparnya perlahan.
"Buyung, pergilah....!"
Dan telapak si kakek jembel yang menyentuh dada anak ini sudah mengeluarkan suara "plak"
Yang nyaring dan.... Bhong Kiat tercebur di sungai.
"Hai, keparat....!"
Bhong Kiat memekik. Tapi baru dia membuka mulutnya tahu-tahu air sungai sudah memenuhi seluruh mukanya. Tentu saja anak laki- laki ini berteriak-teriak, dan begitu dia gelagapan di tengah sungai terkekehlah si kakek tua di atas perahunya itu.
"Ha-ha, jangan membuang-buang suara, buyung. Pergunakan tenagamu itu untuk menyelamatkan diri. Aku dikejar orang. Awas banyak setan di sini!"
Dan kakek yang tertawa gembira itu tiba-tiba menggerakkan dayungnya membelokkan perahu melaju ke depan.
Dia membiarkan Bhong Kiat dan delapan orang temannya berkaok-kaok di tengah sungai, dan Bhong Kiat yang marah oleh perbuatan kakek ini mengejar dengan tinju terkepal.
"Jembel tua bangka, jangan pergi. Hadapi kami kalau kau jantan....!"
Dan Bhong Kiat yang berenang cepat itu tiba-tiba menyambitkan pisaunya ke punggung pengemis tua itu.
Namun kakek ini tertawa.
Dengan ringan dia menyampok senjata gelap itu, dan ketika pisau mental ke udara diapun meluncur laju meninggalkan anak laki-laki itu sambil terkekeh-kekeh.
Tentu saja Bhong Kiat naik pitam, dan sementara dia berenang ke pinggir mendadak tiga buah perahu lain muncul dari belakang.
Mereka ini rupanya mengejar si pengemis jembel, karena teriakan mereka yang memaki-maki kakek itu terdengar parau sampai jauh di depan.
Dan Bhong Kiat serta delapan orang temannya yang mendengar caci makian ini serentak menoleh.
Mereka melihat belasan orang berdiri di atas tiga buah perahu itu, dan begitu perahu mendekat tiba- tiba berteriaklah pemimpin bajak sungai ini.
"Hei, Sui-liong Gu Thouw Sam, tolong kami sebentar....!"
Dan pemimpin bajak yang tampak girang itu tiba-tiba melambaikan tangannya memberi isyarat.
Dia rupanya kenal dengan orang- orang ini, dan belasan orang di atas perahu itu juga tiba-tiba terbelalak.
Seorang di antaranya yang berkumis panjang sekonyong-konyong melompat, dan melihat si bajak sungai ini mendadak dia berseru.
**SF** BERSAMBUNG
Jilid 9 Bantargebang, 04-04-2019, 14.52 SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book
Jilid 09 * * * "TENGKORAK HITAM, kaukah kiranya?"
Dan laki-laki berkumis yang tiba-tiba mendayung perahunya mendekati kepala bajak itu sudah menyeringai lebar. Dia cepat menolong pimpinan Tengkorak Hitam ini, dan begitu orang melompat ke dalam perahunya diapun bertanya.
"Hui-twako, bagaimana kau ada di tempat ini? Siapakah bocah itu?"
Tengkorak Hitam menepis-nepiskan bajunya. Dia basah kuyup tercebur di air sungai itu, dan menjawab pertanyaan orang dia menuding Bhong Kiat sambil nyengir.
"Ia murid Mo-ong, Thouw Sam. Bhong-siauwya yang pergi bersamaku atas perintah gurunya!"
Laki-laki berkumis itu terkejut.
"Murid Ang-sai Mo- ong, Hui-twako? Kau dan dia...."
"Ya, kami bertemu secara kebetulan, Thouw Sam,"
Orang she Hui ini memotong.
"Kami bertemu dengan mereka diluar dusun Cun-eng!"
Maka si Naga Air (Sui-liong) yang mendengar keterangan temannya itu jadi tertegun dengan mata terbelalak.
Dia sudah menolong rombongan pimpinan bajak sungai ini seluruhnya, dan mendengar bahwa anak laki-laki itu adalah murid Ang-sai Mo-ong yang amat ditakuti semua orang tiba-tiba diapun menjura di depan anak laki-laki ini.
"Bhong-siauwya, maaf bahwa kami bermata lamur. Apakah gurumu ada di sini?"
Pemimpin bajak tertawa menyela.
"Kau bodoh Thouw Sam. Kalau Mo-ong ada di sini bagaimana kami semua bisa dipermainkan pengemis bangkotan itu?"
Si Naga Air tertegun.
"Jadi kalian dirobohkan tua bangka itu, Hui-twako? Kalian dipecundangi dengan mudah?"
Bhong Kiat kini mengepal tinju.
"Tengkorak Hitam, siapakah temanmu ini? Dan siapa pula kakek itu?"
Laki-laki pendek ini buru-buru menjura.
"Aih, maaf Bhong-siauwya. Aku hampir saja lupa. Sahabatku Thouw Sam ini adalah bajak sungai pula, berjuluk Sui-liong ber-she Gu. Dia beroperasi di sungai Liong- kiang, dan karena kami sudah saling kenal maka kami sering bantu-membantu pula. Untuk pertanyaan pengemis jembel itu barangkali orang she Gu ini tahu. Bagaimana, Thouw Sam?"
Tapi bajak berjuluk Naga Air itu menggeleng.
"Tidak, Hui-twako. Aku tidak tahu siapa kakek itu. Dia mengganggu kami ketika kami sedang berlayar. Apakah kau tahu siapa dia?"
Pimpinan Tengkorak Hitam ini menyeringai kecut.
"Dialah Hwa-i Sin-kai, Thouw Sam!"
Katanya. Dan si Naga Air yang mendengar keterangannya itu kontan saja berseru kaget.
"Apa Hui-twako, dia Hwa-i Sin-kai ketua Hwa-i Kai- pang itu?"
"Ya, Hwa-i Sin-kai mana lagi?"
Si orang she Hui mengangguk.
"Bukankah dapat kau lihat dari pakaiannya yang berkembang-kembang itu?"
Maka si bajak sungai Thouw Sam yang mendengar kata-kata ini tiba-tiba saja melenggong.
Dia terkejut dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi, dan Bhong Kiat sendiri yang mendengar keterangan itu juga ikut tertegun.
Anak laki-laki ini terbelalak, tapi menggeram dengan muka merah tiba-tiba dia berseru.
"Kalau begitu cepat kita kejar dia, Tengkorak Hitam. Kita harus membalas kekurangajarannya ini....!"
Dan Bhong Kiat yang sudah melompat di ujung perahu itu membuat dua orang bajak ini tercekat.
Pimpinan Tengkorak Hitam tampak ragu-ragu, sedangkan si orang she Gu juga menunjukkan kebimbangan yang besar.
Mereka berdua saling pandang, dan Bhong Kiat yang melihat dua orang itu tertegun di tempatnya bertanya heran.
"Tengkorak Hitam, ada apakah? Kenapa kalian berdua mendelong?"
Pimpinan bajak sungai itu tersenyum tawar.
"Aku tidak tahu apakah rekanku si Naga Air ini setuju, kongcu. Karena kalau dia tidak setuju barangkali kita terpaksa mencari perahu lain!"
Pimpinan bajak itu menoleh kepada temannya.
Dia bermaksud memberitahukan secara halus kepada anak laki-laki ini bahwa mereka bagaimanapun juga saat itu sedang menumpang di perahu orang lain.
Jadi bagaimana hendak bersikap seperti di perahu sendiri? Tapi si Naga Air yang rupanya maklum itu tertawa.
"Hui-twako, jangan sungkan untuk meminjam perahu kami. Tapi apa sebenarnya maksud kalian berada di perairan ini?"
Bajak sungai she Hui itu tertegun. Dia tak mampu menjawab, dan Bhong Kiat yang melihat keragu- raguan temannya tiba-tiba melompat turun.
"Orang she Gu, jangan tanya-tanya keperluan pribadi orang lain! Apakah kau ada urusan pula di perairan ini?"
Pimpinan bajak yang ditanya itu terkejut.
Dia melirik si Tengkorak Hitam, dan melihat rekannya itu kelihatan tidak tenang tiba-tiba diapun merasakan adanya suatu ketegangan.
Tak ayal, mukanya tiba- tiba menjadi pucat dan melihat murid Ang-sai Mo- ong itu bertanya kepadanya mendadak saja laki-laki ini gugup.
Dia mempunyai suatu maksud yang dirahasiakan.
Jadi bagaimana harus bicara? Tapi belum dia membuka mulut sekonyong-konyong anak laki-laki itu telah menyerangnya.
"Kau juga bermaksud mencari ikan keramat itu, orang she Gu? Kau ingin menangkap Naga Lilin?"
Si Naga Air jadi kaget setengah mati. Dia tak terasa melangkah mundur, dan menganggukkan kepala tanpa sadar diapun berseru.
"Kongcu, dari mana kau tahu?"
Tapi anak laki-laki itu tertawa mengejek.
"Hm, kalau begitu kaupun harus membantu kami, orang she Gu. Suhu telah memerintahkan kepadaku bahwa siapapun yang mendapat ikan itu harus diserahkan kepada kami. Orang lain tidak berhak!"
Dan anak laki-laki yang sombong itu tiba-tiba memandang tajam lawannya.
"Kau merasa tidak senang, orang she Gu?"
Bajak berkumis panjang ini terkesiap. Dia terpengaruh benar oleh nama besar Ang-sai Mo-ong. Maka begitu muridnya membentak tiba-tiba diapun tertawa licik.
"Bhong-kongcu, kau salah paham. Kami sama sekali tidak mengetahui bahwa Mo-ong menghendaki pula ikan keramat itu. Siapa berani menentangnya? Kalau Hui-twako sudah siap membantumu biarlah aku ikut-ikutan, kongcu. Dan kalau benar binatang langka itu berhasil kudapatkan tentu akan kuberikan kepadamu, he he... bukankah begitu, Hui-twako?"
Pemimpin Tengkorak Hitam tersenyum hati-hati.
"Tentu saja, Thouw Sam. Kau kira kami berani main gila terhadap Mo-ong?"
Dan dua orang bajak yang sudah saling mengedipkan mata itu tiba-tiba menyeringai dengan muka dibuat-buat.
Mereka tidak membuka suara lagi, dan Bhong Kiat yang melihat dua orang itu sudah mengambil dayung segera memerintahkan agar cepat mengejar perahu Hwa-i Sin-kai dan Thian-san Giok-li yang sudah jauh meninggalkan mereka.
Maka berangkatlah rombongan baru ini mengikuti aliran sungai.
Dan Bhong Kiat yang sama sekali tidak menaruh curiga terhadap dua orang kepala bajak itu memimpin mereka dengan sikap tidak sabaran.
Anak laki-laki ini terlampau percaya terhadap diri sendiri, dan sikapnya yang sombong serta merendahkan orang lain membuat dia lengah.
Tidak tahu betapa kesulitan besar bakal dialaminya gara-gara perbuatan dua orang kepala bajak itu.
*S*F* Hari itu Ang-sai Mo-ong membawa Bun Hwi ke sebuah kuil tua.
Kakek iblis yang meninggalkan perahunya ini tampak berseri-seri, dan Bun Hwi yang langsung dilemparnya di halaman kuil itu ditotoknya agar siuman.
Bun Hwi menggeliat, dan totokan Ang-sai Mo-ong membuatnya membuka mata.
Pertama-tama yang dilihat Bun Hwi adalah wajah kakek ini, yang terkekeh memandangnya.
Dan Bun Hwi yang mengeluh oleh totokan itu menggerakkan tubuhnya, mencoba bangkit duduk.
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi pemuda ini mengerotkan giginya.
Dia merasa sakit-sakit oleh sedikit gerakan itu, dan Ang-sai Mo-ong yang tertawa memandangnya berkata mengejek.
"Bocah, jangan mengerahkan tenaga. Kau tidak mampu berdiri kalau melotot seperti itu. Tenanglah, biar kubantu..."
Dan Ang-sai Mo-ong yang benar- benar membantu Bun Hwi menyandarkan punggung pemuda itu di dinding kuil.
"Nah, bagaimana sekarang? Apa yang hendak kau bicarakan?"
Kakek itu tertawa. Bun Hwi memandang penuh kebencian, dan melihat kakek itu menyeringai keji diapun langsung memaki.
"Mo-ong, kau iblis tua yang tidak tahu malu. Untuk apa kau membawaku ke sini?"
Kakek itu tersenyum jahat.
"Aku ingin mempertemukanmu dengan Ong-taijin, bocah. Dan kalau benar kau bocah yang dicari maka besarlah rejekiku hari ini, ha-ha....!"
Ang-sai Mo-ong tertawa dan Bun Hwi yang melihat sinar mata kakek itu menyorotkan cahaya ganjil tiba-tiba membelalakkan matanya.
"Tua bangka, apa sebetulnya yang dikehendaki tuanmu itu? Apa yang kau inginkan?"
Tapi kakek ini tersenyum dingin.
"Jangan tanyakan, bocah. Aku tidak mau bilang kalau kau belum bertemu dengannya."
"Maksudmu Ong-taijin?"
Bun Hwi mencari ketegasan.
"Ya, siapa lagi? Bukankah kau tahu bahwa Pangeran Ong yang akan menemuimu?"
Dan kakek yang menyeringai gembira ini tiba-tiba melompat masuk.
Dia meninggalkan Bun Hwi sejenak, dan ketika keluar lagi tiba-tiba kakek itu sudah membawa penampan kecil berisi penuh makanan.
Kakek itu tertawa-tawa, dan dia yang langsung duduk di muka Bun Hwi ini melempar penampannya di atas tanah.
"Kau lapar, bocah?"
Bun Hwi menggeleng.
"Kau ingin minum?"
Bun Hwi juga menggeleng.
"Eh, apa yang kau inginkan kalau begitu?"
Ang-sai Mo-ong tampak tertegun. Tapi Bun Hwi tetap menggeleng dan menjawab pertanyaan itu pemuda inipun membentak.
"Kakek iblis, tidak perlu kau bermanis-manis sikap terhadapku! Bukankah kebaikanmu ini hanya pura- pura saja?"
Ang-sai Mo-ong terkejut. Dia terbelalak memandang anak laki-laki ini, tapi begitu dia sadar tiba-tiba kakek itu tertawa.
"Bocah, kau rupanya keras hati benar. Betulkah kau tidak ingin minum ataupun makan?"
Bun Hwi tersenyum dingin.
"Aku tidak lapar dan tidak haus bila melihat kepura-puraanmu ini, Ang-sai Mo-ong. Dan bila kau lapar makanlah semua makanan itu!"
"Weh, kau memerintah?"
"Kalau aku bisa memerintahmu!"
Dan Ang-sai Mo-ong yang tertawa bergelak oleh ucapan itu tiba-tiba mencengkeram pundak Bun Hwi.
"Ha-ha, kau mengagumkan, bocah. Tapi tahukah kau akibat dari keberanianmu ini?"
Bun Hwi mendengus.
"Paling-paling hanya kematian, Mo-ong. Kalau itu bisa kau lakukan terhadapku!"
Dan Ang-sai Mo-ong yang tiba-tiba melotot itu mendadak menyala mukanya.
"Anak iblis, tahukah kau bahwa ucapanmu itu bisa mengantarmu pada gerbang kematian? Tidakkah kau takut binasa di tanganku?"
Bun Hwi mengejek.
"Jangan main ancam kakek iblis. Aku tahu kau tidak akan membunuhku!"
Ang-sai Mo-ong melengak.
"Dari mana kau tahu?"
Serunya. Tapi Bun Hwi menghentakkan kaki. Dia merasa dadanya tiba-tiba kembali sesak dan nyeri begitu kemarahannya timbul, dan marah oleh perbuatan kakek ini Bun Hwi membentak.
"Ang-sai Mo-ong, jangan banyak cakap kau. Aku ingin tidur....!"
Dan Bun Hwi yang tiba-tiba menggulingkan dirinya dari sandaran dinding itu mendadak roboh tengkurap dan.... tidur! Bocah ini memejamkan mata, dan Ang- sai Mo-ong yang melihat Bun Hwi menghinanya sedemikian rupa jadi berang bukan main.
"Bocah, berani kau menghinaku?"
Ang-sai Mo-ong sudah mengangkat tangannya, tapi baru telapaknya bergetar tiba-tiba kakek ini menahan serangannya.
Dia siap memukul tengkuk Bun Hwi, namun teringat sesuatu mendadak dia merandek.
Agaknya ada sesuatu yang membuat kakek itu merasa gemas, dan mendongkol bahwa ucapan Bun Hwi benar dia tiba-tiba menjadi tertegun.
Itulah perihal berani dan tidaknya dia membunuh Bun Hwi.
Dan bahwa benar dia tidak berani membunuh anak itu mau tak mau membuat kakek ini terkesima juga.
Setan, bagaimana anak ini tahu bahwa dia tidak akan membunuhnya? Dan dari mana bocah itu memiliki keberanian sedemikian besarnya? "Keparat, pasti dari ibunya!"
Ang-sai Mo-ong mengepal tinju. Dan Bun Hwi yang mendengar kakek itu mengumpat tiba-tiba membalikkan tubuh.
"Mo-ong, apa yang kau bicarakan? Siapa yang kau maki?"
Kakek ini memandang marah.
"Ibumu, bocah. Wanita yang tidak tahu malu itu!"
Dan Bun Hwi yang mendengar kakek ini tiba-tiba menyebut-nyebut nama ibunya mendadak saja membelalakkan mata.
"Mo-ong, apa yang kau katakan? Ibuku...? Kau mengenal ibuku...?"
Dan Bun Hwi yang tampak tegang itu tiba-tiba menyinarkan roman muka yang aneh. Kakek iblis itu terkekeh, dan mendengus oleh pertanyaan ini kakek itu berkata.
"Bocah, bukankah kau kemenakan Ma-taijin?"
Bun Hwi terkejut.
"Siapa itu Ma-taijin, Mo-ong?"
Bun Hwi balas bertanya.
"Bukankah aku sebatangkara?"
Tapi kakek itu tertawa mengejek.
"Ya, sekarang kau sebatangkara, bocah. Tapi sewaktu ibu dan pamanmu masih hidup kau adalah seorang anak yang memiliki orang tua. Bukankah kau ini yang berasal dari dusun Cun-leng?"
Bun Hwi semakin terkejut. Dia tersentak sekarang, dan kaget serta heran oleh pertanyaan itu diapun berseru.
"Mo-ong, bagaimana kau tahu tentang asalku? Dari mana kau tahu ini?"
Kakek itu menyeringai.
"Dari Bhong-loya, bocah. Bekas majikanmu yang hendak kau bunuh itu! Bukankah kau ini anak lelaki yang membuat ribut di sana?"
Maka Bun Hwi yang mendengar ucapan ini tiba-tiba saja tertegun. Dia menjadi heran dan terkejut oleh keterangan kakek iblis itu, namun sedikit ragu dan kurang percaya dia memandang kakek ini.
"Mo-ong, kau agaknya betul. Tapi bagaimana kau ada hubungan dengan tuan tanah itu? Anteknyakah kau ini?"
Kakek itu tertawa serak.
"Kau rupanya pandai membakar hati orang, bocah. Tapi tidak kau lihatkah muridku itu?"
"Maksudmu?"
"Lupakah kau bahwa dia juga bershe Bhong?"
"Ah, maksudmu...."
"Ya, dia adalah puteranya, bocah. Dan Bhong Kiat yang menjadi muridku itu sesungguhnya memang putera tuan tanah Bhong Tek! Ha-ha, kini kau mengerti, bocah?"
Dan Ang-sai Mo-ong yang tertawa bergelak itu tiba-tiba saja nampak kegirangan.
Dia memandang Bun Hwi dengan mata bersinar-sinar, dan Bun Hwi yang tertegun untuk kedua kalinya itu tampak melenggong.
Tapi Bun Hwi tiba-tiba tersenyum getir.
Dan bocah yang mulai cerdik ini menahan kemarahannya.
"Mo- ong, sungguh tidak kukira bahwa kau mengambil murid putera si hartawan jahat itu. Tapi bagaimana tuan tanah itu tahu tentang ayah ibuku? Dari mana kau tahu ini?"
"Ha-ha, itu bukan dia yang tahu, bocah. Tapi Ong- taijinlah! Bukankah benar kau ini kemenakan Ma- taijin?"
"Hm, aku tidak tahu, Mo-ong. Tapi kalau pamanku memiliki she Ma itu memang betul."
"Dan kau tidak tahu nama lengkapnya, bukan?"
Bun Hwi terkejut.
"Apa hubungannya ini, Mo-ong?"
"Ha-ha, banyak sekali, bocah. Dan justeru karena itulah Pangeran Ong ingin melihatmu. Kau harus menemuinya, bocah. Dan sekali dia selesai mengerjaimu maka gilirankulah yang ingin mengerjaimu!"
Dan kakek iblis yang kembali tertawa bergelak itu tiba-tiba melompat masuk ke dalam. Dia mengambil sesuatu di sana, dan ketika keluar lagi tiba-tiba di tangan kakek ini telah tercekal sebuah golok tajam.
"Hm, aku ingin main-main sebentar dengan kulitmu, bocah!"
Katanya menyeringai.
Dan begitu dia melompat di depan Bun Hwi tiba-tiba kakek ini memutar-mutarkan goloknya di mata pemuda itu.
Lalu sekali dia berteriak sekonyong-konyong Ang-sai Mo-ong menusuk Bun Hwi bertubi-tubi.
Sekali dia menusuk dada, tapi begitu golok berseliweran di tangannya tiba-tiba saja golok itu telah menikam delapan belas kali di seluruh tubuh Bun Hwi! Tentu saja Bun Hwi terkejut, tapi karena dia kebal maka diapun tidak menangkis.
Bun Hwi memang tidak berdaya, hanya setelah kakek itu selesai menusuknya seperti orang gila pemuda inipun berteriak gusar.
"Mo-ong, tidak waraskah otakmu itu? Apa yang kau inginkan?"
Ang-sai Mo-ong terkekeh.
"Aku ingin menguji keadaanmu, bocah. Benarkah kau ini yang dicari-cari Bhong-loya!"
Dan kakek yang agak terengah itu memandang kagum kepada Bun Hwi.
Dia tadi telah melakukan tusukan bertubi-tubi, tapi bahwa setiap kali goloknya mental bertemu tubuh pemuda ini membuat kakek itu terkejut juga.
Hm, sedemikian hebatnyakah kekebalan anak ini? Apa yang tersembunyi di dalamnya? Kakek itu tiba-tiba memandang tajam.
"Bocah, mau kau tukar-menukar denganku?"
Bun Hwi tersentak.
"Apa maksudmu?"
Kakek itu tertawa mengejek.
"Jangan sombong, Bun Hwi. Jelek-jelek aku membawamu ke sini karena ingin menerangkan orang tuamu itu. Tapi kalau kau tidak mau dengar ya sudahlah! Siapa mau memaksamu?"
Dan kakek yang pura-pura membalikkan tubuh itu berjalan menjauhi dengan sikap acuh tak acuh. Bun Hwi terkejut, dan bimbang serta setengah percaya tiba-tiba diapun memanggil.
"Mo-ong, apa yang ingin kau ceritakan tentang mereka? Tidak membualkah kau ini?"
Kakek itu membalikkan tubuhnya.
"Aku tidak menjual berita kosong, Bun Hwi. Dan sebagai bukti pertama bolehlah kau lihat...."
Kakek itu berhenti sebentar. Lalu melihat Bun Hwi tertarik perhatiannya tiba-tiba dia menuding.
"Bukankah kau memiliki sebuah tembong di pangkal pahamu?"
Bun Hwi terkejut. Dia memang memiliki tanda hitam kebiruan itu di atas pahanya, bagaimana kakek ini tahu? Maka ketika kakek ini meminta jawabannya diapun lalu mengangguk.
"Betul, itu tidak salah, Mo-ong. Tapi siapa tahu kau telah melihatnya?"
Anak ini mencoba menyerang.
"Dan kau telah membuatku pingsan, Mo-ong. Ingat akan kelicikanmu ini!"
Ang-sai Mo-ong tersenyum mengejek dan melihat Bun Hwi menaruh curiga kepadanya tiba-tiba diapun membalas.
"Baik, kalau itu yang menjadikan keraguanmu sekarang boleh kau buktikan yang kedua, Bun Hwi. Dan bila ini tidak betul bolehlah kau menuduhku berbuat kecurangan!"
Dan Ang-sai Mo-ong yang kembali berhenti sebentar itu tiba-tiba memandang penuh selidik.
"Bun Hwi, bukankah beberapa waktu yang lalu kau diberi sebuah mainan oleh pamanmu itu? Bukankah mainan itu adalah seekor anjing yang terbuat dari batu hijau?"
Bun Hwi membelalakkan mata.
Dia sampai duduk mendengar kata-kata kakek itu, dan ketika kakek itu tertawa memandangnya diapun menjadi bengong.
Benar.
Itupun tak dapat dibantah! Tapi bagaimana kakek ini tahu? Maka heran dan terkejut oleh keanehan ini Bun Hwi tiba-tiba berseru.
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mo-ong, bagaimana kau tahu ini? Siapa yang menunjukkanmu?"
Tapi kakek itu tertawa dingin.
"Tidak ada yang menunjukkan hal ini kepadaku, bocah. Tapi kalau itu betul berarti kau ini memang putera si wanita busuk itu, orang yang menjadi ibumu!"
Dan Ang-sai Mo-ong yang tiba-tiba menjengek itu mengeluarkan hinaan dari hidungnya. Bun Hwi tercekat, tapi marah oleh ucapan ini dia membentak gusar.
"Mo-ong, jangan kau memaki- maki orang tuaku! Berani kau menghinanya?"
Kakek ini mendengus.
"Kalau kau tidak mau tukar- menukar denganku aku akan mencaci maki ibumu, bocah. Dan sekali aku memakinya kutanggung kau tak tahan mendengarnya!"
Dan Ang-sai Mo-ong yang tiba-tiba menyeringai itu memandang lawannya.
Bun Hwi merasa mati kutu.
Tapi melihat ancaman ini mau tak mau dia menjadi marah juga.
Bagaimanapun, kakek itu adalah seorang iblis yang tidak malu-malu melakukan perbuatan apapun.
Dan kalau dia bilang hendak memaki ibunya sampai ia tak tahan mendengar tentu tidak jauh kenyataannya.
Maka Bun Hwi yang marah sekaligus berdebar ini melotot dengan mata terbelalak.
Dia jadi ingin tahu siapakah ibunya yang dikatakan kakek ini, dan bahwa benar beberapa waktu yang lalu dia menerima sebuah mainan berupa seekor anjing terbuat dari batu giok hijau membuat Bun Hwi gelisah.
Dia memandang kakek iblis itu dan tak nyaman oleh perasaan hatinya sendiri diapun bertanya.
"Mo-ong, apa yang kau maksud dengan tukar- menukar ini? Tidak tahukah kau bahwa aku tidak memiliki sesuatu yang berharga?"
Kakek iblis itu tertawa.
"Aku tidak mengharapkan harta bendamu, bocah. Apa yang kau punyai kalau begini?"
"Jadi apa maksudmu kalau begitu?"
"Aku ingin kau menyanggupi beberapa hal. Pertama, kau membantuku mencari Naga Lilin dan menangkapnya sedang yang kedua adalah dimana bangkai Ular Tanduk Hijau!"
Bun Hwi terkejut.
"Apa, Ular Tanduk Hijau, Mo-ong?"
Kakek itu tertawa dingin.
"Ya, Ular Tanduk Hijau, Bun Hwi. Bukankah kau telah tiba di bukit sarang ular itu?"
Maka Bun Hwi yang mendengar kata-kata ini tiba- tiba saja tertegun. Dia melihat kakek itu memandangnya tajam, dan sinar mata Mo-ong yang berkilat memandangnya membuat dia terperanjat. Tapi Bun Hwi tiba-tiba menghela napas panjang.
"Mo-ong, kau agaknya telah tiba di tempat ular itu. Tapi apa yang kau lihat di sana?"
Kakek ini mendengus.
"Kau telah membunuh binatang itu, Bun Hwi. Dan bangkai Ular Hati Kosong yang berserakan di tepi telaga membuat aku mudah menduga apa yang terjadi. Bukankah kau yang membunuh ular-ular itu?"
Bun Hwi hendak mengelak. Tapi Mo-ong yang tajam pandangannya itu menegur.
"Jangan bohong, bocah. Aku tahu bahwa sebelum ke Bukit Ular dahulunya kau adalah seorang anak biasa. Kalau tidak, darimana kau bisa memperoleh kekebalan ini?"
Maka Bun Hwi yang kembali tertegun untuk kedua kalinya itu tak mampu bicara. Dia benar-benar di- K.O. oleh kakek ini, dan Bun Hwi yang akhirnya nyengir tertawa kecut.
"Ang-sai Mo-ong, kau agaknya selalu mengikuti gerak-gerikku. Ada apakah sebenarnya yang ingin kau peroleh? Aku memang betul telah membunuh ular-ular itu, Mo-ong. Tapi salahkah hal ini?"
Kakek itu mengerutkan keningnya.
"Dan Ular Tanduk Hijau itu mati di tanganmu, bocah?"
Bun Hwi mengangguk.
"Ya, karena terpaksa."
"Dan kau meminum darahnya?"
"Begitulah."
"Dan dimana sekarang bangkai ular itu?"
Bun Hwi memandang tak acuh.
"Mo-ong, kau rupanya tertarik benar oleh ular sakti itu. Tidak kau lihatkah bangkainya di sana?"
Kakek ini menggeram.
"Jangan main-main, Bun Hwi. Aku bertanya karena aku tidak melihat bangkai ular itu di sana!"
"Oh, begitukah? Jadi kau kira aku membawa-bawa bangkai ular itu?"
Kakek ini mendesis.
"Bun Hwi, jangan kurang ajar kepadaku. Aku bertanya sungguh-sungguh, dimana bangkai ular itu? Kau makan sekaliankah dagingnya?"
Bun Hwi akhirnya tertawa hambar.
"Memang betul, Mo-ong, aku lapar setelah bertempur melawan ular itu. Ada apakah?"
Tapi kakek itu tidak menjawabnya.
"Dan kau seorang diri di sana, Bun Hwi?"
Dia bahkan melanjutkan pertanyaannya. Bun Hwi merasa heran, dan sebal dengan percakapan yang tidak ada gunanya ini diapun menjawab.
"Mo-ong, kau sudah bertanya satu kali kepadaku. Lalu sekarang apa jawabmu tentang janji tadi?"
Kakek ini tertegun. Dia tampaknya marah, tapi raja iblis yang tiba-tiba tertawa itu berseru.
"Bagus, tapi kau harus menjawab sebuah pertanyaan lagi, Bun Hwi. Dan kalau ini tidak kau lakukan maka perjanjian kita batal!"
"Maksudmu?"
"Aku tidak akan menceritakan siapa ayah ibumu. Dan kalau kau keras kepala akupun terpaksa menarik janjiku!"
Bun Hwi meremas tinju.
"Kau memang licik, Mo-ong. Beginikah watak seorang tokoh besar?"
Tapi kakek itu tertawa tak menghiraukan.
"Kau sanggup memenuhi permintaanku, Bun Hwi?"
Bun Hwi terpaksa mengangguk. Dia mendongkol sekali, tapi didorong rasa ingin tahunya diapun menyetujui permintaan kakek itu.
"Baiklah, kau ingin aku membantumu masalah Naga Lilin, Mo-ong? Inikah yang kau kehendaki?"
Kakek itu menyeringai.
"Ya, tapi kau harus membantuku sampai tuntas, Bun Hwi. Artinya kau harus ikut segala perintahku sampai urusan ini selesai. Sanggupkah kau?"
Bun Hwi menekan kegusarannya.
"Aku tidak mau sampai sedemikian jauh, Mo-ong. Kalau kau tidak setuju tidak usahlah kita bicara lagi!"
"Eh, maumu apa?"
"Aku hanya mencari dan menangkap ikan itu. Dan untuk urusan selanjutnya aku tidak mau tahu lagi!"
Dan Bun Hwi yang sudah memalingkan mukanya ini melotot sejenak ke arah kakek itu. Ang-sai Mo-ong terkejut, tapi kakek tinggi besar yang menyeringai licik ini tiba-tiba mengangguk.
"Baiklah, tapi ada sebuah permintaanku lagi, Bun Hwi. Bisakah kau memenuhinya?"
Bun Hwi memandang dingin.
"Permintaan apa, Mo- ong? Kau ingin menjerumuskan aku kepada kesulitan lain?"
"Ha-ha, tidak, Bun Hwi. Tapi sekedar bertanya dimanakah sekarang mainan anjing dari batu giok itu! Kenapa tidak ada di tubuhmu?"
Bun Hwi terbelalak.
"Jadi kau sudah meraba di tubuhku, Mo-ong? Untuk apa mainan anak-anak itu?"
Kakek ini tersenyum.
"Tidak untuk apa-apa, Bun Hwi. Tapi sekedar bertanya kenapa mainan itu tidak kau bawa."
"Hm..."
Bun Hwi mengernyitkan dahinya, dan melihat kakek itu tampaknya bersinar-sinar dia pun bertanya.
"Perlu sekalikah kau mengetahuinya jawabannya, Mo-ong?"
Kakek itu mengangguk.
"Perlu sekali, Bun Hwi. Dan kuharap kau tidak berbohong!"
Bun Hwi tertawa mengejek.
"Permintaanmu sudah melebihi perjanjian, Mo-ong. Bagaimana kalau aku juga minta sebuah permintaan kepadamu?"
Ang-sai Mo-ong menyeringai.
"Apa yang kau inginkan, Bun Hwi?"
"Membebaskan diriku dari siksaan ini!"
"Ah, gampang....!"
Kakek itu tertawa.
"Sekarang pun dapat kubebaskan dirimu, Bun Hwi. Tapi berani kau tidak menipuku?"
Bun Hwi mendengus hina.
"Jangan samakan aku dengan dirimu, Mo-ong. Jelek-jelek Bun Hwi bukanlah manusia penipu!"
Maka kakek iblis yang mendengar janji ini tiba-tiba tertawa bergelak.
Dia melompat maju dan sekali tangannya bergerak tiba-tiba raja iblis itu telah menotok ulu hati Bun Hwi di tengah lambung.
Itulah pembebasan pukulan kejinya, dan Bun Hwi yang merasa tiba-tiba kepalanya segar dan tidak pusing- pusing lagi tiba-tiba meloncat berdiri.
Bun Hwi masih terhuyung tapi Ang-sai Mo-ong yang sudah mengeluarkan sebutir obat berwarna kuning muda itu berkata kepada Bun Hwi.
"Bocah, telanlah obat ini. Bekas Ang-mo-kang akan lenyap seluruhnya setelah dua jam!"
Dan Bun Hwi yang tidak ragu-ragu menelan pil ini segera mengangkat mukanya.
"Sekarang kau mau bicara tentang ayah ibuku, Mo- ong?"
Kakek itu tertawa licik.
"Kau belum bicara tentang batu giok-mu, Bun Hwi. Mana bisa bicara tentang ayah ibumu?"
"Jadi kau minta aku menunjukkannya sekarang?"
"Tentu saja!"
"Dan kalau sudah?"
Bun Hwi memancing.
"Kau ingin memilikinya juga?"
Kakek ini terkejut. Dia tertawa sejenak, tapi menganggukkan kepala diapun menjawab tak malu- malu.
"Begitulah, Bun Hwi. Tapi aku tidak ingin memilikinya melainkan sekedar pinjam belaka!"
Dan Bun Hwi yang tertawa dingin ini sudah memandang hina lawannya.
"Ang-sai Mo-ong, kau benar-benar iblis tak tahu malu. Bagaimana kalau barang itu tak diperbolehkan kau pinjam?"
Kakek ini melotot.
"Kau harus meminjamkannya kepadaku, Bun Hwi. Ini tidak boleh kau tawar!"
Bun Hwi menegakkan kepala.
"Dan kalau aku tetap melarang?"
Kakek itu tertegun.
Dia tampaknya marah mendapat tantangan ini, tapi melihat kesungguhan Bun Hwi akhirnya diapun melemaskan mukanya.
Dia cukup maklum kekerasan hati anak ini, maka daripada bersitegang saat itu sebaiknya dia mengalah saja.
Maka kakek inipun lalu tersenyum.
"Bun Hwi, kau memang anak kurang ajar. Kalau bukan kau yang bicara tentu sudah kuhancurkan kepalamu itu. Baiklah, aku tidak memaksa dan kalau kau suka menunjukkan dimana kau simpan batu giok-mu itu aku tidak akan merampasnya!"
Bun Hwi tersenyum mengejek.
Dia tahu kakek ini tak dapat dipegang kata-katanya, tapi daripada berdebat pulang-balik lebih baik dia mengikuti kehendaknya.
Batu giok itu dianggapnya tidak berharga, mainan kanak-kanak yang tidak pantas dipakainya.
Jadi untuk apa mempertahankan benda seperti itu? Dirampas kakek inipun ia juga tidak terlalu penasaran.
Kecuali sedikit sayang bahwa mainan itu adalah satu-satunya hadiah pamannya Ma.
Maka Bun Hwi yang mengangguk tak acuh inipun lalu berkata.
"Baiklah, Mo-ong. Mari kita ke dusun Cun-leng. Di sanalah aku menyembunyikan mainan batu giok itu,"
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan Bun Hwi yang tiba-tiba memutar tubuhnya ini mulai berjalan meninggalkan kakek itu. Tapi Ang-sai Mo-ong tertawa bergelak dan baru Bun Hwi memutar tubuhnya tiba-tiba kakek ini berseru.
"Bun Hwi, mari kugendong kau....!"
Dan Bun Hwi yang tiba-tiba ditotok pundaknya itu sudah disambar kakek ini dibawa lari.
Ang-sai Mo-ong terbang bagaikan iblis, dan karena tempat itu memang belum jauh dari dusun Cun-leng maka sebentar saja merekapun sudah berada di tempat ini.
Bun Hwi diturunkan, dan kakek iblis yang berseri- seri itu memandang anak ini dengan mata bersinar- sinar.
"Dimana kau taruh, Bun Hwi?"
Ang-sai Mo-ong mengawasi anak itu.
"Di sekitar sinikah?"
Bun Hwi menggerakkan lehernya.
Dia meminta kakek itu agar berhenti di situ, tidak langsung memasuki dusun.
Karena di bawah poho besar itulah dia dahulu menyimpan mainan batu giok itu.
Benda yang dikhawatirkannya hilang di dalam perjalanan.
Maka Bun Hwi yang sudah menghampiri pohon besar di tepi sungai itu langsung melangkah dengan tetap.
Tapi Bun Hwi tiba-tiba merandek.
Ingatan bahwa kakek itu adalah manusia yang amat licik membuat dia menahan langkah.
Dan Ang-sai Mo-ong yang melihat kebimbangan anak ini terbelalak.
"Ada apa Bun Hwi?"
Kakek itu berseru. Bun Hwi memutar tubuh.
"Aku khawatir kau menipuku, Mo-ong. Bagaimana kalau sekarang kau menyicil sedikit janjimu itu? Siapa ayah ibuku?"
Kakek ini meringis.
"Kau tidak percaya kepadaku, Bun Hwi?"
"Hm, tidak perlu kujawab, Mo-ong. Kau tahu sendiri apa yang ada di hatiku!"
Maka Mo-ong yang tertawa bergelak ini mengumpat Bun Hwi.
"Setan, kau bocah sialan, Bun Hwi. Tapi apa ruginya kalau aku sekarang memberitahumu? Baiklah, ibumu adalah Tang Wi Hong, Bun Hwi, seorang wanita cantik dan pandai memikat hati pria....!"
Bun Hwi terkejut.
"Kau main-main, Mo-ong? Kau menghina nama ibuku?"
Tapi kakek itu tertawa mengejek.
"Siapa main-main kepadamu, Bun Hwi? Kau tidak percaya pada keteranganku ini?"
Bun Hwi tertegun.
"Tapi apa buktinya keteranganmu ini benar, Mo-ong? Siapa menjamin kau tidak menjelek-jelekkan ibuku?"
"Hm, itu boleh kau selidiki sendiri, Bun Hwi. Aku tidak perduli kau percaya atau tidak percaya kepadaku. Pokoknya, ibumu adalah Tang Wi Hong dan bagiku ia adalah siluman cantik yang pandai memikat orang!"
Dan kakek yang melotot ini sudah membentak Bun Hwi.
"Hayo, mana itu batu giokmu, Bun Hwi? Kau mau menunda-nunda janjimu lagi?"
Bun Hwi merasa penasaran.
"Tapi kau belum bercerita lengkap, Mo-ong. Kau belum memberitahukan siapa ayahku!"
"Keparat, bukankah kau juga belum semuanya menepati janjimu, Bun Hwi? Bukankah kau masih belum memberitahukan dimana bangkai ular yang kau makan itu?"
"Hm, untuk bangkai ular ini sudah tidak ada lagi, Mo-ong. Semuanya sudah habis kumakan."
"Dan kau menikmatinya seorang diri?"
Bun Hwi terdiam. Dan Ang-sai Mo-ong yang melihat anak laki-laki itu tidak menjawab segera membanting kakinya.
"Nah, bukankah kau juga belum lengkap memberi keterangan, Bun Hwi? Mana bisa aku melengkapi ceritaku pula?"
Maka Bun Hwi yang terbelalak ini segera menarik napas panjang. Dia tidak menanggapi omongan itu, dan kakek iblis yang mencengkeram pundaknya segera mengguncang kasar.
"Bocah, cepat tunjukkan dimana kau simpan mainan batu giokmu itu!"
Dan Bun Hwi yang melangkah gontai segera menghampiri pohon besar yang hendak ditujunya itu.
Dia berjongkok di bawah pohon ini, dan sekali tangannya bekerja maka digalilah gundukan tanah di dekat akar yang menonjol.
Di situlah dia menyembunyikan mainannya, dan Ang-sai Mo-ong yang tampak bersinar-sinar mukanya memandang anak itu dengan dengusan napas yang aneh.
Tapi Bun Hwi tiba-tiba tertegun.
Gundukan tanah yang sudah digalinya cukup dalam itu ternyata tidak membawa hasil.
Mainan batu gioknya hilang! Maka terkejut dan heran oleh kejadian yang tidak disangka ini Bun Hwi malah melenggong.
Dia mengingat-ingat, meneliti dan mengawasi gundukan tanah itu.
Mencoba melihat apakah dia tidak keliru menggali.
Tapi setelah diamat-amati tempat itu tidak salah adanya Bun Hwi-pun tiba-tiba saja menjadi bingung.
"Ada apa, Bun Hwi?"
Kakek iblis di belakangnya menegur. Bun Hwi bangkit berdiri, dan setengah gugup setengah heran dia berkata.
"Mo-ong, mainan batu giokku hilang. Siapa yang mencurinya?"
Kakek ini terbelalak.
"Hilang, Bun Hwi? Kau bilang mainan batu giokmu itu tidak ada di tempat?"
"Ya, dan kau lihat sendiri aku tidak berhasil menemukannya, Mo-ong. Siapa yang mencurinya?"
Kakek itu tiba-tiba menggereng.
"Kau menipuku, Bun Hwi? Kau mencoba membohongiku?"
Bun Hwi memutar tubuh.
"Jangan kau menuduhku, Mo-ong. Mainan batu giok itu betul-betul hilang!"
"Dan kau cukup menepati janjimu dengan kenyataan ini?"
Bun Hwi terkejut. Dia tertegun oleh geraman kakek ini, dan Mo-ong yang menaruh curiga ini tiba-tiba membentaknya bengis.
"Bocah, jangan permainkan lidahmu dengan mengatakan batu giokmu hilang! Bukankah tidak orang lain selain kau di sini?"
"Ya, tapi.... tapi...."
"Tidak ada tetapi, Bun Hwi. Kau harus mencari mainan batu giokmu itu!"
Dan kakek yang tiba-tiba menjadi marah ini tahu-tahu mencengkeram leher Bun Hwi. Dia melotot gusar, dan Ang-sai Mo-ong yang merah mukanya itu menghardik.
"Hayo, mana benda yang kau janjikan itu, Bun Hwi? Kau tidak main-main, bukan?"
Bun Hwi sesak napasnya. Dia tercekik oleh cengkeraman yang amat kuat itu, tapi karena dia tidak berdusta maka diapun menggeleng terengah- engah.
"Mo-ong, lepaskan jarimu... aku sungguh- sungguh tidak tahu....!"
Tapi kakek iblis yang marah ini tiba-tiba membanting kakinya. Ang-sai Mo-ong mempererat cekikan, dan ketika Bun Hwi tetap menggelengkan kepalanya diapun menggeram.
"Bun Hwi kau mau menipuku, hah?"
Bun Hwi memandang terbelalak.
"Aku betul-betul tidak tahu, Mo-ong. Itu... itu..."
"Keparat, itu memang kau sengaja, Bun Hwi. Kau memang bocah kurang ajar!"
Dan kakek yang tiba- tiba menghentakkan tangannya itu tahu-tahu sudah membanting Bun Hwi di atas tanah.
"Bruk.... aduh!"
Bun Hwi berteriak kesakitan ketika tubuhnya dibanting dan punggung yang serasa remuk beradu dengan tanah yang keras itu membuat anak laki-laki ini marah.
Dia tidak sampai patah tulang, tapi Bun Hwi yang mendongkol oleh kekasaran kakek ini memekik gusar.
"Ang-sai Mo-ong, kau iblis tua bangsat laknat....!"
Tapi Bun Hwi yang baru melompat bangun ini tahu- tahu sudah disambar bokongnya oleh jari-jari Ang- sai Mo-ong yang sekuat baja.
Anak ini meronta- ronta, dan Bun Hwi yang menyepak-nyepak seperti seekor kelinci di tangan penjagalnya itu berteriak marah.
"Ang-sai Mo-ong, kau iblis tak tahu malu. Lepaskan aku.... lepaskan...!"
Dan Bun Hwi yang menendang- nendang di cengkeraman kakek itu berusaha melepaskan diri. Namun kakek ini menyeringai, dan sekali dia menggentakkan tangannya lagi-lagi Bun Hwi dibanting untuk kedua kalinya.
"Bun Hwi, kaulah iblis cilik laknat. Mampuslah kau.... bruk!"
Dan Bun Hwi yang kembali dibanting di atas tanah itu berteriak kesakitan.
Dia marah benar oleh perbuatan kakek ini, dan sementara dia terguling- guling Bun Hwi-pun sudah melompat bangun.
Namun lagi-lagi kakek itu mencengkeram tubuhnya.
Ang-sai Mo-ong yang tahu-tahu sudah mengangkat tubuhnya itu kembali membantingnya di atas tanah, dan begitu Bun Hwi dibanting ketiga kalinya mulailah anak ini mengeluh.
Bantingan demi bantingan yang dilakukan Ang-sai Mo-ong ternyata kian lama kian kuat, maka begitu tiga kali berturut-turut dia dibanting kakek ini Bun Hwi mulai meraung.
Dia naik pitam diperlakukan seperti itu, maka begitu dia melompat bangun caci makilah yang dikeluarkannya sebagai pelampias kemarahan.
Tapi Ang-sai Mo-ong rupanya sengaja menyiksa anak ini.
Karena begitu Bun Hwi bangkit berdiri diapun sudah menyambar anak itu berkali-kali.
Akibatnya Bun Hwi terbanting bertubi-tubi, dan ketika kakek itu melemparkan tubuh anak ini yang ke lima belas kalinya Bun Hwi tiba-tiba mengeluh pendek, pingsan! Bun Hwi tak tahan lagi oleh siksaan ini, dan kulitnya yang memar kehitaman itu membuat Bun Hwi tak sadarkan diri.
Bagaimanapun, tenaga Ang-sai Mo-ong bukanlah tenaga main-main.
Dan Bun Hwi yang dapat bertahan lima belas kali bantingan sesungguhnya mau tak mau membuat kakek iblis itu kagum juga.
Namun Ang-sai Mo-ong yang marah itu menggeram beringas.
Bun Hwi yang dikira mempermainkannya itu sudah diseret menuju ke kuil tua, dan sekali dia berlari cepat maka terantuk-antuklah tubuh anak laki-laki itu di atas tanah berbatu.
Langsung menuju ke dalam hutan dimana kuil tua itu berada! *S*F* Bun Hwi mengeluh ketika dia sadar kembali.
Tapi begitu membuka mata yang pertama-tama dilihat adalah langit yang biru disaput awan tipis.
Bun Hwi tertegun, tapi ketika mencoba bangkit duduk tiba- tiba pemuda ini terkejut.
Dia tidak dapat bergerak sama sekali, dan begitu mencoba meronta tiba-tiba saja dia merasa kulitnya pedih-dedih.
Ternyata dia diikat di sebuah balok melintang di atas api unggun.
Dan pikirannya yang sudah terang kembali itu mengingatkan dia akan si kakek iblis, Ang-sai Mo-ong yang entah dimana itu.
Tapi baru dia melirik sana-sini dengan amat sukar mendadak dia mendengar tawa orang yang dibencinya itu.
"Ha-ha, kau mencari aku, bocah?"
Ang-sai Mo-ong tiba-tiba sudah berkelebat di depannya. Dan begitu kakek ini muncul yang dikeluarkan Bun Hwi adalah makiannya.
"Mo-ong, kau jahanam keparat! Kenapa kau mengikatku seperti ini?"
Kakek itu terkekeh.
"Aku memang bukan orang baik- baik, Bun Hwi. Siapa bilang aku dewa? Lihat, aku ingin membuatmu mati tidak hidupmu bukan. Kau tahu apa yang kupegang ini, bukan?"
Bun Hwi melihat api yang menyala di atas sebuah obor. Dia tidak mengerti apa yang akan dilakukan kakek ini, tapi ketika kakek itu menyiram minyak di atas kayu-kayu kering di bawah tubuhnya tiba-tiba saja dia menjadi pucat.
"Mo-ong, kau ingin membakarku hidup-hidup?"
Kakek itu tertawa.
"Kalau kau tidak mau menunjukkan mainan batu giokmu itu, Bun Hwi. Atau kau ingin merasakan nikmatnya dipanggang api?"
Bun Hwi terbelalak. Dia merasa ngeri oleh ancaman kakek ini, tapi begitu teringat kekejaman Ang-sai Mo-ong yang juga membakar hidup orang-orang di dusun Cun-leng tiba-tiba saja kegagahannya bangkit.
"Ang-sai Mo-ong, kau memang bukan manusia. Kau sungguh iblis biangnya iblis. Kenapa masih tidak percaya bahwa mainan batu giok itu betul-betul hilang?"
"Ha-ha, kau memang pandai menggoyang lidah, Bun Hwi. Dan kau benar-benar persis ibumu. Tang Wi Hong juga wanita yang pandai bicara, dan sekali ia memutar lidah kaisarpun bisa saja dijungkirbalikkannya!"
Bun Hwi mendesis penuh kemarahan.
"Ang-sai Mo- ong, siapapun ibuku janganlah kau memakinya! Tidak bisakah kau menahan lidahmu?"
Kakek itu tersenyum dingin.
"Aku justeru ingin memaki-maki ibumu sepuas hati, Bun Hwi. Kenapa tidak boleh? Gara-gara ibumu itulah Pangeran Ong nyaris saja celaka. Kau tahu apa tentang ibumu itu?"
Bun Hwi meronta di atas balok.
"Ang-sai Mo-ong, tutup mulutmu! Apa hubungannya Pangeran Ong dengan ibuku?"
Ang-sai Mo-ong tiba-tiba tertawa bergelak.
"Ha-ha, hubungannya banyak sekali, Bun Hwi. Dan justeru karena hubungan itulah majikanku ingin membunuhmu dengan cara yang paling disukainya. Kau putera wanita yang berbahaya, dan sekali kaisar tahu kau masih hidup tentu semua orangpun bakal celaka!"
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bun Hwi tertegun.
"Siapa yang celaka, Mo-ong?"
Kakek itu mendengus.
"Banyak orang, Bun Hwi. Dan satu di antaranya adalah Pangerang Ong itu!"
"Kenapa?"
Kakek itu tidak menjawab. Tapi ketika dilihatnya Bun Hwi memandangnya penasaran tiba-tiba kakek ini menyeringai.
"Bun Hwi, kau ingin mendengar ceritamu secara lengkap, bukan? Nah, dengarlah, bocah..., dengarlah apa yang ingin kuceritakan ini...."
Lalu Ang-sai Mo-ong yang sudah terkekeh itu memandang Bun Hwi tajam-tajam.
"Kau sudah mendengar tentang Naga Lilin, bukan?"
Bun Hwi mengangguk.
"Dan kau sudah mendengar pula tentang Cupu Naga?"
Bun Hwi pura-pura tidak tahu.
"Aku baru mendengarnya kali ini, Mo-ong,"
Katanya menunjuk keheranan.
"Benda apa itu?"
Ang-sai Mo-ong menyeringai tertawa.
"Itu adalah benda yang amat penting, Bun Hwi. Benda yang ada sangkut pautnya denganmu!"
Dan Bun Hwi yang mendengar keterangan ini mau tak mau terkejut juga. Dia memandang terbelalak si raja iblis itu, dan Bun Hwi yang terperanjat ini bertanya.
"Bagaimana bisa ada hubungannya denganku, Mo-ong?"
Kakek iblis itu menarik muka.
"Karena gara-gara ibumu, bocah. Ibumu itulah yang mencuri Cupu Naga dari tempat asalnya!"
Dan Ang-sai Mo-ong yang tampak gusar ini melotot kepada Bun Hwi.
"Ibumu itu menipu kaisar, Bun Hwi. Dan dia yang mengambil benda keramat itu mencurinya pada enam belas tahun yang lalu!"
"Ah...!"
Bun Hwi berseru kaget. Tapi belum ia membuka mulut kakek iblis itu menggoyang tangannya.
"Jangan memotong, bocah. Dengarlah dulu cerita selengkapnya!"
Dan Ang-sai Mo-ong yang tampak berapi itu mengepalkan tinju.
"kau belum tahu tentang Cupu Naga, kan? Nah, benda itu dan Naga Lilin sesungguhnya mempunyai hubungan erat dengan kalian ibu dan anak. Karena justeru dari perbuatan ibumu inilah terjadi keributan besar di dalam istana!"
Kakek ini berhenti sejenak, dan Bun Hwi yang tak tahan berdiam diri kini berseru gemetar.
"Mo-ong, kenapa ibuku ada sangkut-pautnya dengan istana?"
Kakek itu mendelik.
"Karena dia merupakan selir tersayang sri baginda, Bun Hwi! Tahukah kau?"
Bun Hwi kaget setengah mati.
"Apa.... ibuku.... ibuku selir sri baginda....?"
"Ya!"
"Jadi, kalau begitu.... aku.... aku..."
"Kau memang putera sri baginda, Bun Hwi. Jadi jelek-jelek kau ini adalah seorang pangeran!"
"Oh...?!"
Bun Hwi hampir tak percaya dan Ang-sai Mo-ong yang melihat anak itu tertegun tiba-tiba tertawa mengejek.
Dia membiarkan Bun Hwi terbelalak di kayu melintang itu, dan Bun Hwi yang tercekat oleh keterangan ini tiba-tiba saja menjadi bengong.
Dia jadi teringat ucapan Thian-san Giok-li dan Siauw-bin Lo-koai.
Betapa dua orang tua itu berkali- kali memberitahunya bahwa dia adalah seorang pangeran.
Dan kini setelah untuk ketiga kalinya Ang- sai Mo-ong bercerita lebih jelas tentang asal-usulnya tiba-tiba saja Bun Hwi tertegun.
Dia jadi berdebar, dan cerita Mo-ong yang menyingkap rahasia hidupnya tiba-tiba saja membuat dia merasa tegang.
Jadi benarkah dia keturunan kaisar? Seorang pangeran? Tapi kalau benar begitu kenapa sikap Mo- ong demikian kasar? Apa yang terjadi di balik kisah yang berikutnya ini? Bun Hwi terbengong dan Ang-sai Mo-ong yang membiarkan anak itu terperangah sendirian kini berkata.
"Sekarang kau tahu asal-usulmu, kan? Nah, dengarlah cerita selanjutnya ini, Bun Hwi. Karena mumpung kau masih hidup bukalah baik-baik telingamu itu!"
Dan kakek yang sudah tertawa mengejek ini melanjutkan ceritanya.
"Ibumu itu adalah selir yang paling disayang sri baginda, Bun Hwi. Tapi ibumu yang amat cerdik itu rupanya mempergunakan kasih sayang itu untuk mencetuskan ambisi pribadinya secara diam-diam. Dia banyak meminta ini-itu kepada kaisar, dan dari sekian banyak permintaannya yang dikabulkan kaisar adalah dua kejadian yang mengejutkan banyak orang. Kau tahu apa yang diminta ibumu itu?"
Bun Hwi tentu saja menggeleng. Dia tidak tahu apa yang diminta ibunya itu, maka kakek iblis yang sudah melanjutkan ceritanya ini menyambung sendiri.
"Yang pertama adalah Cupu Naga itu, Bun Hwi. Dan yang kedua adalah mengangkatmu sebagai putera mahkota!"
Dan kakek iblis yang tiba-tiba tertawa tergelak itu memandang Bun Hwi yang kaget bukan main. Pemuda ini sampai berseru tertahan, dan Bun Hwi yang benar-benar terkejut itu memekik.
"Apa, ibuku meminta agar aku menjadi putera mahkota, Mo- ong? Kau.... kau tidak menipuku...?"
Ang-sai Mo-ong terbahak-bahak.
"Aku tidak menipumu, Bun Hwi. Dan bila Cupu Naga itu berada di tanganku tentu kau akan melihat pernyataan itu di cupu ini....!"
"Aah....!"
Bun Hwi terkesima, dan anak laki-laki yang tertegun ini memandang kakek itu seakan tidak percaya.
Tapi Ang-sai Mo-ong tiba-tiba mendengus.
Dia menghentikan ketawanya yang serak bergemuruh itu, dan Bun Hwi yang mendelong tak percaya dibentaknya dingin.
"Kau menyangsikan keteranganku, bocah? Kau mengira Ang-sai Mo-ong main-main?"
Bun Hwi menekan napasnya yang sesak.
"Aku sukar menerima ceritamu, Mo-ong. Dan kalau benar ibuku adalah selir kaisar itu aku tidak percaya beliau meminta seperti itu!"
"Hm, jadi kau tidak percaya, Bun Hwi?"
"Sebagian besar!"
"Baiklah!"
Ang-sai Mo-ong membentak.
"Kau tidak percaya atau percaya itu bukanlah urusanku, Bun Hwi. Tapi kalau kukatakan bahwa Cupu Naga itu amatlah penting bagimu kau percaya, bukan?"
Bun Hwi memandang tawar.
"Barangkali Mo-ong. Tapi lalu apa hubungannya dengan Naga Lilin?"
"Hm, itupun akal licik ibumu, Bun Hwi. Karena setelah dia mendapatkan cupu wasiat itu ia menyembunyikannya di perut ikan ini."
"Maksudnya?"
"Ibumu tahu bahwa Cupu Naga adalah satu dari tujun benda istana yang paling keramat. Dan maklum banyak orang mengincarnya diapun menyembunyikannya hati-hati. Kau tahu mengapa Cupu Naga dikeramatkan sri baginda?"
Bun Hwi pura-pura tidak tahu.
"Aku terlampau dangkal pengalaman, Mo-ong. Tahukah kau kenapa?"
Kakek ini menjengek.
"Karena Cupu Naga itu mengandung rahasia ilmu silat paling tinggi di dunia ini, Bun Hwi. Hadiah seorang pendeta sakti yang berasal dari puncak Pegunungan Himalaya!"
"Oh....?"
Bun Hwi pura-pura tertegun. Tapi keterangan kakek iblis yang sama dengan pembicaraan Thian-san Giok-li ini membuat dia percaya.
"Jadi cupu itu mengandung warisan seorang sakti, Mo-ong?"
Kakek itu mengangguk.
"Dan karena itulah banyak orang mengincarnya, Bun Hwi."
"Dan kaupun menginginkannya?"
Ang-sai Mo-ong menyeringai masam.
"Kira-kira begitulah, bocah. Tergantung tinggi rendahnya warisan ilmu silat itu!"
Dan kakek iblis yang tertawa mengejek ini memandang Bun Hwi.
"Sekarang kau sudah jelas semuanya, bukan?"
Bun Hwi bersikap tak acuh.
"Belum semuanya, Mo- ong. Karena masih ada beberapa hal yang ingin kuketahui."
"Tentang apa itu?"
"Tentang batu giok yang kau kejar-kejar. Juga tentang mengapa Pangeran Ong mencari-cari diriku!"
"Ha-ha, itu memang betul, Bun Hwi. Aku hampir saja lupa....!"
Ang-sai Mo-ong tertawa bergelak.
"Bukankah kau ingin mendengar kelanjutan cerita Cupu Naga ini? Nah, dengarlah, bocah, dengarlah baik-baik sebelum kau mampus di tanganku!"
Kakek itu mendesis gembira. Tapi Bun Hwi tersenyum dingin.
"Jangan bicara sombong, Mo-ong. Hidup mati seseorang bukanlah di tangan orang lain!"
Kakek itu menjengek.
"Ya, tapi hidup matimu jelas di tanganku, Bun Hwi. Kenapa kau besar kepala?"
Bun Hwi tidak menanggapi. Dan Ang-sai Mo-ong yang menyeringai kaku itu melanjutkan bicaranya.
"Bun Hwi, untuk pertanyaan batu giokmu itu aku tidak mau bicara panjang lebar. Yang jelas, mainan batu giokmu itu ada hubungannya dengan Cupu Naga. Singkatnya, mainan batu giokmu itu merupakan kunci bagi ilmu-ilmu silat di Cupu Naga yang terdiri dua jenis, gwakang dan lweekang dimana untuk tingkat lweekang (tenaga dalam) yang paling tinggi tingkatnya kita harus melihat pemecahannya di batu giokmu itu!"
Bun Hwi tertegun. Dia masih tidak memberikan komentar, dan kakek iblis yang tertawa gembira itu bicara lagi.
"Dan kau tidak tahu darimana pamanmu itu mendapatkan mainan batu giok itu, bukan?"
"Nah, dengarlah, Bun Hwi,"
Kakek itu melanjutkan ceritanya.
"Pamanmu Ma yang sebetulnya bekas pembesar di Propinsi Kiang-si itu mendapatkannya dari ibumu. Dan ibumu sendiri, darimana ia mendapatkannya kalau bukan dari istana? Ibumu itu mencurinya dari gudang pusaka, Bun Hwi. Dan batu giok yang akhirnya diberikan pada pamanmu itu disuruh menyembunyikannya di tempat yang aman dengan maksud kelak akan diberikannya padamu!"
Ang-sai Mo-ong berhenti bicara dan Bun Hwi yang masih memandang kakek ini lekat-lekat kembali tak memberikan reaksi. Dia hanya memutar bola matanya sekejap, dan kakek iblis yang agaknya banyak tahu tentang kejadian itu bicara lagi.
"Kini tentang maksud Pangeran Ong mencarimu. Tidakkah dapat kau tangkap maksud pangeran ini, Bun Hwi? Dia hendak membalas dendam sakit hatinya. Karena enam belas tahun yang lalu ibumu memfitnah ibu pangeran ini hingga ia dihukum bunuh!"
Bun Hwi melebarkan matanya.
"Kenapa ibuku memfitnah ibunya, Mo-ong?"
Kakek itu menjengek.
"Hm, apalagi kalau bukan karena sentimen? Dahulunya Pangeran Ong disiapkan kaisar sebagai putera mahkota nomor dua, Bun Hwi. Tapi semenjak ibumu muncul maka kedudukannya jadi tergeser jauh di belakang!"
Bun Hwi mendesis tidak percaya.
"Kau bohong, Mo- ong. Kau hanya melempar bukti-bukti sepihak!"
"Heh, untuk apa aku bohong?"
Ang-sai Mo-ong mendelik.
"Bukankah kau sebentar lagi harus menghadap Giam-lo-ong?"
Bun Hwi tertawa hambar.
"Jangan mengada-ada, Mo-ong. Jangan menakut-nakuti aku seperti itu. Apakah kau kira aku takut menghadapi kematian?"
Ang-sai Mo-ong semakin marah.
"Kalau begitu apa maumu, bocah? Kau ingin mati dengan mata mendelik?"
Bun Hwi ganti menyeringai.
"Mo-ong, jangan mengancamku seperti itu. Aku hanya ingin tahu lebih lanjut, apakah Cupu Naga melulu berisi warisan ilmu-ilmu silat itu sehingga kau memperjuangkannya untuk memperoleh?"
Kakek ini tiba-tiba tersenyum dingin.
"Bukan hanya itu, Bun Hwi. Melainkan ada kelanjutannya yang lebih jauh!"
"Maksudmu?"
"Cupu Naga itu di samping menjadi incaran orang kang-ouw juga dia diperlukan oleh beberapa orang pangeran di istana kaisar. Karena, siapa yang berhasil mendapatkan cupu ini dia akan resmi diangkat oleh sri baginda untuk menjadi putera mahkota!"
"Ah, jadi kau ingin mendapatkan cupu itu karena ingin menjadi putera mahkota, Mo-ong?"
Kakek itu tertawa mengejek.
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa pingin menjadi putera mahkota, Bun Hwi? Aku hanya ingin mendapatkan cupu itu karena ingin melihat warisan ilmu silatnya!"
"Dan kedudukan putera mahkota?"
"Kuserahkan kelak pada Pangeran Ong!"
"Hm, tapi aku mendengar ada dua pangeran yang mencari cupu itu, Mo-ong. Karena bukankah Pangeran Yin juga mengejar-ngejar cupu ini?"
"He, kau tahu?"
Ang-sai Mo-ong terbelalak. Dari mana kau tahu ini?"
Tapi Bun Hwi tersenyum dingin.
"Aku hanya mendengarnya dari perjalanan, Mo-ong. Tapi bukankah berita itu benar adanya?"
Kakek ini tiba-tiba memutarkan bola matanya.
"Bun Hwi, kau rupanya jelek-jelek banyak mendengar juga. Kau tahu siapa itu Pangeran Yin?"
Bun Hwi menggeleng.
"Aku tidak tahu, Mo-ong. Dan kukira aku juga tidak perlu tahu!"
Dan kakek iblis yang tiba-tiba terbahak itu mendadak bersinar mukanya.
"Bagus, kau memang tidak perlu tahu, Bun Hwi. Dan sebaiknya kau memang tidak usah tahu! Ha-ha, kalau begitu pekerjaanku harus cepat kuselesaikan, bocah. Karena sekali pangeran itu muncul barangkali semuanya pun jadi berantakan!"
Ang-sai Mo-ong sekonyong-konyong memandang Bun Hwi, dan sinar matanya yang beringas merah tiba-tiba disusul bentakannya yang dingin tajam.
"Bun Hwi, kau masih tetap tidak mau menunjukkan mainan batu giokmu itu?"
Bun Hwi tersenyum tenang.
"Aku sesungguhnya tidak tahu, Mo-ong. Tapi setelah mendengar ceritamu itu akupun jadi tidak ingin menyerahkannya padamu bila benda itu ada padaku!"
"Hm, ini sudah kau tetapkan, Bun Hwi?"
"Ya, apalagi? Bukankah kau ingin menyiksaku, Mo- ong? Nah, lakukanlah itu. Aku juga ingin tahu apakah kau akan berhasil dengan cara penyiksaanmu itu....!"
Dan Bun Hwi yang tertawa mengejek ini membuat kakek itu menggedruk bumi.
"Baiklah, aku akan melihat kekerasan kepalamu, Bun Hwi. Dan bila caraku ini tidak berhasil jangan kau sebut aku Ang-sai Mo-ong!"
Dan kakek tinggi besar yang tiba-tiba sudah menyalakan kembali api obornya yang padam itu bersiap-siap membakar Bun Hwi hidup-hidup.
Tapi sesosok bayangan tiba-tiba berkelebat maju.
Bhong Kiat tahu-tahu sudah menyusul gurunya, dan begitu anak laki-laki ini berteriak nyaring merandeklah si kakek iblis itu.
"Suhu, tahan....!"
Dan anak laki-laki yang sudah menghadap gurunya ini tampak gelisah dengan muka pucat. Ang-sai Mo-ong terkejut, dan melihat muridnya muncul di situ diapun tertegun.
"Kiat-ji, kenapa kau di sini? Mana itu si Tengkorak Hitam?"
Bhong Kiat tergesa-gesa melangkah.
Dia menghampiri gurunya itu, lalu berbisik-bisik dengan amat perlahan dia berganti-ganti memandang Bun Hwi dan suhunya.
Dan Ang-sai Mo-ong yang mendengar bisikan muridnya tiba-tiba saja juga nampak berubah mukanya.
Kakek ini terkejut, dan berseru kepada muridnya diapun mengibaskan lengan.
"Baiklah, nanti malam kita hajar mereka itu, Kiat-ji. Sekarang kau di sini saja bersamaku. Kita tunggu pangeran sampai datang...!"
Dan kakek tinggi besar yang matanya mendelik itu kembali sudah menghadapi Bun Hwi.
"Bocah, kau masih tetap tidak mau menyerah?"
Bun Hwi tersenyum mengejek.
"Jangan membuat telingaku semakin gatal, Mo-ong. Kalau kau ingin menyiksaku cepat lakukanlah maksud hatimu itu."
"Baik, aku akan memanggangmu seperti babi, Bun Hwi. Dan kalau kau tidak berteriak minta ampun aku akan menambusmu hidup-hidup!"
Dan Ang-sai Mo- ong yang marah ditahap ini tiba-tiba sudah melempar obornya ke atas api unggun.
Tak ayal, api segera berkobar menjilati kayu-kayu itu dan Bun Hwi yang merasakan panasnya kobaran api mulai terkejut di dalam hatinya.
Dia bersikap tenang di hadapan kakek itu karena dia merasa yakin bahwa kakek itu tidak mungkin berani membunuhnya.
Karena mainan batu giok yang dicari-cari masih disangka kakek itu dia yang menyembunyikannya.
Dan Bun Hwi yang diam-diam merasa heran dan terkejut oleh hilangnya mainan batu giok itu sebenarnya merasa tertegun juga.
Siapa yang mencuri mainan batu gioknya itu? Siauw-bin Lo-koai kah? Karena hanya kakek itu satu-satunya orang yang membuntutinya secara diam-diam.
Dan kalau betul kakek itu yang mengambilnya Bun Hwi justgeru merasa kebetulan! Ang-sai Mo-ong kini marah-marah karena ingin mendapatkan mainan batu giok itu.
Dan kakek iblis yang membakarnya hidup-hidup ini mencoba memaksa dia agar suka menyerahkan benda itu.
Tapi Bun Hwi yang sudah mulai banyak mendengar cerita tentang dirinya ini tersenyum mengejek.
Dia tidak mungkin mau menyerah mentah-mentah kepada kakek iblis itu.
Dan kalau Ang-sai Mo-ong mencobanya untuk menggertak dia tentu dia akan tertawa dingin.
Tidak, bagaimanapun juga dia tidak akan menyerah oleh semua ancaman kakek itu.
Dan kalau benar pamannya Ma mendapatkan mainan itu dari ibunya dia justeru akan bertahan sekuat tenaga.
Ang-sai Mo-ong tidak boleh mendapatkannya, dan sekali dia bertahan apapun akan dihadapinya! Dan Bun Hwi tiba-tiba berdebar teringat cerita kakek itu tentang ibunya.
Jadi benarkah dia seorang pangeran? Ibunya selir tersayang sri baginda kaisar? Hm....
nikmat juga rasanya mendengar berita itu.
Dan bahwa ibunya bernama Tang Wi Hong tiba-tiba saja membuat Bun Hwi ingin mengetahui segalanya lebih lanjut.
Juga tentang pamannya Ma itu, yang menurut Ang-sai Mo-ong konon katanya pernah menduduki jabatan gubernur di Propinsi Kiang-si.
Eh....
Propinsi Kiang-si? Bukankah itu wilayah Kam- taijin, pembesar yang menyuruh Thian-san Giok-li mencari dirinya? Bun Hwi mendadak berdebar keras.
Disebutnya Propinsi Kiang-si tadi oleh kakek ini tiba-tiba saja membuat dia teringat akan wanita sakti itu.
Dan teringat kepada wanita ini otomatis pula membuat dia teringat pada Kiok Lan! Astaga, dimana kini gadis itu berada? Kenapa dia tiba-tiba ingin bertemu dengan gadis cantik itu? Karena menghadapi ancaman maut inikah? Bun Hwi sekarang berkeringat.
Api di bawah tubuhnya membuat dia kepanasan, dan asap yang membuat matanya pedas menjadikan dia gelagapan.
Seluruh kulit tubuhnya sekarang membuat dia mengeluh.
Namun Bun Hwi yang mendesis di atas api unggun itu tetap saja tidak berteriak.
Bun Hwi tidak mau melakukan hal ini.
Tidak sudi minta ampun.
Dan ingatan yang membuat dia terbayang pada murid wanita sakti itu tiba-tiba saja membuat Bun Hwi bersinar-sinar matanya.
Kiok Lan....
ah, Kiok Lan....
betapa ada sebuah kenangan manis dari gadis remaja itu terhadapnya.
Betapa dia pernah menunggang satu kuda bersama gadis itu ketika Kiok Lan melindunginya dari kejaran pasukan Hu-nan yang dipimpin Pek-bong Lo-mo.
Dan teringat betapa dia pernah menjambak gadis itu karena Kiok Lan menggigit pundaknya tiba-tiba saja Bun Hwi tersenyum! Aduh, manis nian kenangan itu.
Seakan mereka bercanda bagai sahabat dua sekawan.
Padahal, siapa mengira mereka sesungguhnya sedang maki- memaki karena sama-sama marah? Hm, ini semua membuat Bun Hwi tiba-tiba seperti orang sinting.
Api unggun yang membakar tubuhnya sedetik seolah tak dirasa, karena bayangan gadis itu muncul jelas di kelopak matanya.
Dan ketika Bun Hwi meringis di atas balok melintang itu menghadap ke timur tiba- tiba saja dia terbelalak.
Semak belukar yang ada di kanan tubuhnya dikuak orang.
Sepasang mata bening muncul mengintai.
Dan begitu beradu pandang dengan pemilik mata ini sekonyong-konyong Bun Hwi tersentak kaget.
Dia mengenal baik sinar mata itu, sinar mata yang jernih tapi penuh keberanian.
Dan begitu sinar mata ini disusul dengan kuakan yang lebih lebar pada daun- daun di kerimbunan tanaman perdu itu tertegunlah Bun Hwi melihat wajah yang terpampang.
Mula-mula dia merasa mimpi, tidak percaya pada apa yang dilihatnya itu.
Tapi begitu wajah yang sudah dikenalnya ini mengeluarkan isak tertahan tiba-tiba saja Bun Hwi mendesis lirih.
"Kiok Lan....!"
Bun Hwi kaget bukan main.
Dan gadis yang mendengar seruannya ini tiba-tiba mengangguk sambil melompat keluar.
Kiok Lan muncul dalam saat yang tidak terduga, dan murid Thian-san Giok-li yang tampak terharu itu sudah menjerit kecil sambil melompat memutuskan belenggu ikatan di tubuh Bun Hwi.
"Ang-sai Mo-ong, kau tua bangka keji....!"
Dan Kiok Lan yang sudah melompat ini menggerakkan tangannya empat kali berturut-turut memutuskan semua ikatan Bun Hwi. Tak ayal, sekejap saja Bun Hwi telah bebas dan Bun Hwi yang terkejut oleh kehadiran murid Thian-san Giok-li ini berseru gelisah.
"Kiok Lan, mana subomu?"
Gadis ini terpaku.
Dia tidak menjawab pertanyaan ini, dan seruan Bun Hwi yang seolah tidak didengarnya membuat Bun Hwi memegang kedua pundaknya.
Anak laki-laki ini terharu bukan main, dan Kiok Lan yang memandangnya berkejap kejap dengan mata basah itu tak mampu membendung tangisnya.
"Bun Hwi, kau.... kau benar masih hidup....?"
Bun Hwi tergetar. Dia tak tahan melihat kegembiraan dalam air mata yang membasahi seluruh muka gadis ini, dan terdorong oleh rasa harunya yang amat mendalam tiba-tiba Bun Hwi-pun memeluk gadis itu.
"Kiok Lan, kau.... kenapa menangis?"
Bun Hwi menggigil kakinya.
Kiok Lan tidak menjawab, tapi isak tangisnya yang naik menjadi sedu-sedan membuat gadis itu balas menubruk Bun Hwi.
Kiok Lan tampak gembira bukan main, dan murid Thian-san Giok-li yang lupa segala-galanya ini menumpahkan luapan hatinya lewat pelukan Bun Hwi.
Tapi sesosok bayangan tinggi besar tiba-tiba melompat ke depan.
Ang-sai Mo-ong yang terkejut melihat munculnya gadis remaja itu di tempat mereka sudah menggereng marah.
Dan sekali dia mencengkeram pundak keduanya membentaklah kakek iblis ini.
"Siluman betina, dari mana kau datang....?"
Dan Bun Hwi serta Kiok Lan yang sudah terlempar bergulingan itu menjerit kaget dengan mata terbelalak. Mereka cepat melompat bangun, dan Kiok Lan yang sadar akan keadaan sekitarnya ini sudah cepat mencabut pedangnya.
"Ang-sai Mo-ong, jahanam keparat kau! Kenapa Bun Hwi hendak kau bakar hidup-hidup?"
Kakek itu tertegun.
"Kau siapakah, bocah?"
Tapi Bhong Kiat sudah melayang ke depan.
"Dia murid Thian-san Giok-li, suhu. Gadis yang kukejar- kejar di tengah sungai itu....!"
Dan Ang-sai Mo-ong yang tampak terkejut ini mengangkat alisnya tinggi- tinggi.
"Heh, kau murid pertapa itu, bocah?"
Kiok Lan mengangguk.
"Benar, Mo-ong. Dan muridmu yang ceriwis itu seharusnya sudah dihajar di tengah sungai ketika dia menggangguku!"
Ang-sai Mo-ong tertawa bergelak dan memandang muridnya kakek itu berseru.
"Kiat-ji, beranikah kau menghadapi kucing liar ini?"
Bhong Kiat tersenyum kurang ajar.
"Tentu saja, suhu. Kenapa tidak? Bukankah kucing betina ini pantas menjadi mainanku?"
Dan Bhong Kiat yang sudah melangkah tiga tindak itu memandang lawannya.
"Adik manis, mari kita main-main sebentar. Bukankah pedangmu itu sudah siap diluncurkan? Nah, seranglah aku, adik manis. Mari kita lihat berapa jurus kau akan roboh di tanganku!"
Dan anak laki-laki yang menyeringai memuakkan itu memandangi Kiok Lan dari atas sampai ke bawah. Kiok Lan marah, tapi melihat orang tidak membawa senjata ia masih sempat memperingatkan.
"Iblis cilik, kau cabutlah senjatamu itu!"
Namun Bhong Kiat tertawa.
"Jangan khawatir, adik manis. Untuk sementara ini biarlah kau kulayani dengan tangan kosong!"
Dan anak laki-laki yang bersikap sombong itu menggapaikan tangannya kepada Kiok Lan.
Tentu saja Kiok Lan naik darah, dan begitu anak laki-laki itu menyuruhnya menyerang iapun sudah melengking tinggi dan melompat ke depan.
Pedang di tangannya menerjang ulu hati orang, lalu begitu menyontek dan menukik dua kali berturut-turut iapun sudah menyerang lawannya ini bertubi-tubi dengan kemarahan meluap.
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka diseranglah bocah she Bhong itu dengan tikaman dan tusukan yang amat gencar, dan Bhong Kiat yang mula-mula memandang ringan tertawa sambil mengegoskan diri mengelak kesana kemari.
Murid Ang-sai Mo-ong itu mula-mula berhasil menghindarkan dirinya dari patukan mata pedang.
Pendekar Cacad Karya Gu Long Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung