Ceritasilat Novel Online

Sengketa Cupu Naga 7


Sengketa Cupu Naga Karya Batara Bagian 7



Sengketa Cupu Naga Karya dari Batara

   

   Tapi ketika Kiok Lan mengeluarkan ilmu pedangnya Hong-lui Kiam-sut (Ilmu Pedang Angin Ribut) maka tiba-tiba saja anak laki-laki itu terdesak.

   Bhong Kiat terbelalak kaget, dan ketika sepuluh jurus berlalu dengan posisi yang kian memburuk tiba-tiba anak laki-laki ini menjerit tertahan.

   Lambungnya tergores pedang, dan Kiok Lan yang menyerangnya bertubi- tubi itu sudah menyerampangkan pedangnya membacok dan menikam dadanya sebanyak lima kali! "Ah....!"

   Anak laki-laki ini terkesiap.

   Dan ketika lima kali berturut-turut tubuhnya dijadikan sasaran pedang sekonyong-konyong Bhong Kiat berteriak keras.

   Dia mengelit pada tusukan keempat, lalu ketika pada serangan kelima Kiok Lan membabatkan pedang ke atas pahanya mendadak anak laki-laki ini sudah menjejak tanah dan berjungkir balik di udara.

   Dia menghindarkan cecaran senjata itu dengan poksai manis di atas kepala Kiok Lan, lalu begitu dia melayang turun Bhong Kiat pun tahu-tahu telah mematahkan sebatang ranting dan menusuk ubun- ubun gadis ini.

   Balas menyerang! "Trak!"

   Kiok Lan berseru pendek.

   Lawan yang tiba-tiba mematahkan sebatang ranting lalu menyerang ubun-ubun kepalanya dari atas itu sudah cepat disambutnya dengan tangkisan menyilang.

   Tapi begitu dua tenaga beradu tiba-tiba gadis ini mendesis kaget.

   Lengan tangannya tergetar, dan pedang yang hampir saja terlepas dari cekalannya itu membuat Kiok Lan benar-benar kaget.

   Kiranya, tenaga sinkang lawan menang setingkat dibanding tenaga sinkangnya sendiri, dan Bhong Kiat yang melihat kekagetan gadis ini tertawa menyeringai.

   "Ha-ha, kau terkejut, adik manis?"

   Kiok Lan merah mukanya.

   Ia tidak menjawab ejekan ini, dan bentakan mulutnya yang melengking marah dibarengi tusukan pedangnya yang bertubi-tubi.

   Tapi Bhong Kiat kini menggerakkan rantingnya, dan begitu pemuda ini menangkis dan balas menyerang maka bertempurlah dua anak itu dengan sama ramainya.

   Bhong Kiat masih tertawa-tawa, dan tangkisan rantingnya yang selalu menggetarkan lengan Kiok Lan membuat gadis itu menggigit bibir.

   Tapi Kiok Lan mainkan Hong-lui Kiam-sut nya dengan sungguh-sungguh.

   Gadis yang kini tidak mau mengadu tenaga kalau tidak sangat terpaksa itu sepenuhnya mengandalkan kecepatan pedangnya.

   Dan Bhong Kiat yang ditusuk serta ditikamnya bertubi-tubi itu mau tak mau terbelalak juga.

   Anak laki-laki ini mulai menghentikan tawanya, dan Kiok Lan yang selalu menghindarkan bentrokan langsung membuat dia menjadi gemas juga.

   Tidak dapatkah dia merobohkan anak perempuan ini? Tidak mampukah dia mengalahkan lawan? Bhong Kiat tidak mau tersenyum lagi.

   Pedang Kiok Lan yang menyambar-nyambar tubuhnya selalu dihadapinya dengan ranting.

   Tapi ketika sadar bahwa gadis itu selalu mengelak dari bentrokan tenaga diapun lalu mencari akal.

   Sebuah tipu muslihat harus ditemukannya, dan sekali gadis itu terkecoh dan dia mampu memukul lepas pedang lawan tentu mudah baginya untuk mengalahkan gadis itu! Maka Bhong Kiat mulai mengincar kesempatan ini.

   Dia sengaja memperlambat gerakan, dan ketika Kiok Lan berseru keras menusuk lehernya dia pura-pura berteriak kaget.

   Mata pedang yang menikam tenggorokannya disambut lemparan kepala ke belakang dan ketika gadis itu masih menyusulinya lagi dengan bacokan ke pundak tiba-tiba Bhong Kiat membanting tubuh.

   Dia bergulingan di bawah kaki lawannya ini, dan begitu Bhong Kiat berteriak nyaring tiba-tiba dia sudah melenting bangun dengan kecepatan kilat.

   Inilah gerakan yang disebut Menggebah Ular Mengejutkan Anjing, dan Kiok Lan yang benar-benar terkejut oleh perbuatan lawannya itu terpekik kaget dengan mata terbelalak.

   Bhong Kiat tahu-tahu telah berada di samping kanannya, dan sementara ia tertegun tiba-tiba anak laki-laki itu telah memukul siku kanannya.

   **SF** BERSAMBUNG

   Jilid 10 Bantargebang, 08-04-2019, 18.50 SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 10 * * * "PLAK!"

   Kiok Lan menjerit lirih.

   Ranting yang memukul siku kanannya membuat pedangnya terlepas.

   Dan begitu anak perempuan ini terpekik Bhong Kiatpun tertawa terbahak dengan mulut menyeringai.

   Anak laki-laki itu sudah melakukan tendangan miring, dan begitu dia mendupak maka Kiok Lanpun terpelanting roboh dengan muka kaget.

   "Dess....!"

   Kiok Lan terguling-guling dan anak perempuan yang memekik marah ini melompat bangun dengan tinju terkepal. Ia hendak mengambil pedangnya yang terlepas, tapi Bhong Kiat yang menggerakkan rantingnya itu melakukan totokan sambil tertawa.

   "Adik manis, kemana kau mau lari?"

   Kiok Lan gusar bukan kepalang.

   Dia merasa diejek, maka begitu lawan menotok punggungnya tiba-tiba Kiok Lan membalik.

   Dengan gerakan setengah menggeliat dia memutar tubuhnya itu, dan begitu lawan menjulurkan ranting tiba-tiba iapun menendang pergelangan tangan orang.

   "Plak!"

   Bhong Kiat ganti berteriak kaget, ranting yang ada di tangannya mencelat dari cekalan, dan sementara dia tertegun tiba-tiba anak perempuan itupun memukul tengkuknya.

   "Des!"

   Bhong Kiat terguling-guling dan gerakan yang amat cepat yang dilakukan gadis itu membuat anak laki-laki ini mengeluh tertahan. Dia kaget bukan main, dan Bhong Kiat yang sekonyong-konyong menjadi marah ini melompat bangun.

   "Siluman betina, berani kau memukulku?"

   Tapi Kiok Lan tidak menghiraukan kemarahannya. Gadis ini sudah melayang mendekati pedangnya, tapi persis ia mau mengambil pedangnya itu mendadak suara menjeletar menghantam punggung tangannya.

   "Tar....!"

   Pecut Bhong Kiat tahu-tahu meledak nyaring, dan begitu cambuk ini menghajar Kiok Lan pedang yang akan diambil itupun mencelat ke atas. Bhong Kiat telah menggubat pedang ini, dan Kiok Lan yang sudah membalikkan tubuh menjadi marah bukan main.

   "Manusia pengecut, tidak malu kau menyerang lawan yang bertangan kosong?"

   Bhong Kiat tertawa mengejek.

   "Ha-ha, kenapa harus malu, siluman betina? Bukankah kau sendiri yang melepaskan pedangmu itu?"

   Dan Bhong Kiat yang sudah melompat maju ini meledakkan cambuknya bertubi-tubi.

   Dia mendahului Kiok Lan melakukan serangan, dan Kiok Lan yang menghadapi ledakan cambuk ini memekik gusar.

   Ia mengerahkan ginkang berkelebatan mengelak, namun kalah cepat oleh ledakan cambuk beberapa kali ia harus menerima pukulan.

   Kiok Lan naik pitam.

   Cambuk lawan yang mematuk-matuk tubuhnya mulai disambar dan ditangkap, tapi Bhong Kiat yang rupanya mahir mainkan senjata panjang itu tertawa-tawa dengan sikap gembira.

   Ia selalu menjauhkan cambuknya setiap kali gadis itu mengulurkan tangan untuk menangkap, dan Kiok Lan yang mulai robek-robek bajunya ini melengking- lengking dengan penuh kemarahan.

   Gadis ini bertahan mati-matian, dan ketika puncak kemarahannya telah mencapai titik tertinggi tiba- tiba ia menubruk ke depan.

   Bhong Kiat diterkamnya, tapi murid Ang-sai Mo-ong yang melompat ke kiri itu mengelak.

   Akibatnya Kiok Lan terperosok, dan Bun Hwi yang melihat kecurangan Bhong Kiat yang tidak tahu malu ini mendadak melayang tinggi.

   "Kiok Lan, larilah. Biar aku yang menerima cambukannya....!"

   Dan Bun Hwi yang sudah berteriak itu tiba-tiba menubruk Bhong Kiat. Anak laki-laki ini terkejut, tapi gurunya yang waspada di belakang mendadak mengayunkan lengan.

   "Bocah she Bun, jangan ikut-ikut. Kau minggirlah....!"

   Dan telapak Ang-sai Mo-ong yang tiba-tiba menyambar pelipis Bun Hwi tak mampu dielakkan anak laki-laki itu.

   "Plak!"

   Bun Hwi terjungkal roboh dan Kiok Lan yang melihat Bun Hwi terguling-guling berseru tertahan.

   Anak perempuan ini hendak melompat, bermaksud menghampiri Bun Hwi untuk menolong.

   Tapi Bhong Kiat yang sudah tertawa mengejek itu menghajarnya dari belakang.

   "Siluman betina, jangan menaruh belas kasihan pada orang lain. Kau uruslah dirimu sendiri itu....!"

   Dan cambuk yang mengenai punggung Kiok Lan ini mengeluarkan ledakan nyaring.

   "Tar!"

   Kiok Lan kembali terpelanting dan gadis yang mulai luka-luka kulitnya itu mendesis geram.

   Ia bangkit berdiri, namun Bhong Kiat yang sudah menyerangnya kembali itu meledakkan cambuknya bertubi-tubi.

   Ia dicecar tanpa ampun, dan Kiok Lan yang terengah-engah ini mulai lemah tenaganya.

   Gadis ini berusaha menghindar dengan kekuatan yang masih ada.

   Tapi kemarahan serta kekhawatirannya yang campur aduk tentang Bun Hwi membuat dia hilang konsentrasinya.

   Bagaimanapun, Bhong Kiat sesungguhnya lebih unggul setingkat daripadanya dan murid Thian-san Giok-li yang kewalahan diserang cambuk itu akhirnya mengeluh juga.

   Bhong Kiat mempermainkan gadis ini sesuka hatinya, dan setelah Kiok Lan terduduk dengan baju compang-camping dihajar cambuknya tiba-tiba anak laki-laki ini tertawa.

   Dia menjeletarkan cambuknya di udara, lalu ketika cambuk itu berputar-putar tiga kali sekonyong-konyong dia meledakkan cambuknya di pinggang Kiok Lan.

   Dia hendak menggubat dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya, dan Bhong Kiat yang menyeringai dengan mata bersinar-sinar itu sudah berteriak gembira.

   "Adik manis, hati-hati dengan ikat pinggangmu. Awas putus dia...!"

   Dan Bhong Kiat yang sudah tertawa terbahak itu meluncurkan mata cambuknya ke pinggang Kiok Lan. Tapi sesosok bayangan tiba-tiba melengking tinggi.

   "Bocah setan, tahan kekurangajaranmu ini....!"

   Dan Thian-san Giok-li yang sudah muncul di situ membabat cambuk Bhong Kiat dengan jarum emasnya.

   "Tas!"

   Cambuk itu putus dan Bhong Kiat yang terkejut oleh hadirnya wanita sakti ini memekik kaget. Dia terbelalak bengong, tapi Thian-san Giok-li yang sudah menggerakkan tangannya penuh kemarahan itu menampar kepala anak ini.

   "Plak!"

   Bhong Kiat mengaduh dan anak lelaki yang mendapat tamparan keras itu menjerit tertahan dengan tubuh terlempar.

   Dia terguling-guling lima tombak lebih, dan Bhong Kiat yang tak bergerak lagi dengan pipi bengap kebiruan itu akhirnya roboh di atas tanah.

   Pingsan! Ang-sai Mo-ong terkejut, dan kakek iblis yang melihat muridnya roboh tersungkur itu menggeram dengan mata melotot.

   Dia melompat mendekati muridnya, dan melihat pipi muridnya bengkak kebiruan kakek inipun memutar tubuh.

   "Thian-san Giok-li, berani kau melukai muridku?"

   Kakek itu membentak. Tapi Thian-san Giok-li tersenyum dingin. Wanita sakti itu memandang sinis, dan melihat Ang-sai Mo- ong marah-marah iapun menjengek.

   "Mo-ong, muridmu celaka orang lain kau tegur. Tapi bagaimana kalau muridku luka anak laki-laki itu tidak kau salahkan?"

   Kakek itu melompat bangun.

   "Kau cerewet seperti nenek bawel, Thian-san Giok-li! Apa maksudmu datang kemari?"

   "Hm, aku hanya ingin mencari murid perempuanku, Mo-ong. Dan juga kebetulan.... bocah she Bun itu!"

   Thian-san Giok-li menuding Bun Hwi.

   "Keparat, kau ingin mencampuri urusan yang lain, Giok-li?"

   Ang-sai Mo-ong membanting kaki.

   "Kau tidak tahu apa akibat kelancanganmu ini?"

   Thian-san Giok-li mengeluarkan suara dari hidung.

   "Jangan main gertak, Mo-ong. Aku tahu apa yang kau maksudkan. Bukankah kau takut aku mengambil bocah she Bun itu?"

   Ang-sai Mo-ong mendelik gusar.

   "Giok-li, tahan kesombonganmu itu! Tidakkah kau ingat betapa enam tahun yang lalu kau kurobohkan?"

   Thian-san Giok-li tiba-tiba merah mukanya.

   Ia memang harus mengakui kenyataan itu, betapa enam tahun yang lalu dia berhasil dikalahkan kakek ini.

   Tapi, bukankah waktu telah membuatnya jauh lebih pandai daripada enam tahun yang lalu? Maka bersikap dingin terhadap kakek itu Thian-san Giok-li tertawa mengejek.

   "Ang-sai Mo-ong, jangan takabur dengan kemenanganmu enam tahun yang lalu. Apa kau kira Thian-san Giok-li yang sekarang masih sama dengan Thian-san Giok-li yang dulu? Hm, kau yang sombong, Mo-ong. Kau besar kepala atas kemenanganmu yang tidak berselisih jauh itu. Beranikah kau menjamin bahwa kali inipun kau pasti menang?"

   Iblis tua itu memandang liar. Dia tampak ragu-ragu sejenak, namun tertawa bergelak kakek ini akhirnya menjawab parau.

   "Bagus, yang jelas keberanianmu masih utuh. Thian-san Giok-li. Tapi apakah kepandaianmupun masih mampu menandingi kepandaianku? Jangan kau membuka mulut besar, Giok-li. Karena sekali ini kau roboh maka aku tidak akan mengampunimu lagi!"

   "Baik, kita boleh membuktikannya, Mo-ong. Dan sekali ini kau kalah akupun tidak bakalan mengampunimu!"

   Dan Thian-san Giok-li yang tiba- tiba sudah menggetarkan jarum emasnya itu memandang tajam wajah lawannya. Wanita sakti ini tampak serius, tapi teringat Bun Hwi dan Kiok Lan tiba-tiba ia menoleh.

   "Lan-ji, bawa bocah she Bun itu keluar. Kalian jangan dekat-dekat di sini. Berbahaya....!"

   Tapi baru ia berkata sampai di sini tiba-tiba Ang-sai Mo-ong tertawa terbahak. Kakek iblis itu mendengus, dan menuding ke belakang wanita ini berkatalah kakek itu dengan sikap mengejek.

   "Giok- li, rupanya permintaanmu itu terlambat. Tidakkah kau lihat orang-orangku muncul di sini?"

   Dan Thian- san Giok-li yang tampak terkejut itu kontan saja menoleh.

   Ia mengira kakek itu menipu dirinya, tapi melihat beberapa buah bayangan berkelebat di belakang tubuhnya tiba-tiba saja wanita sakti ini tertegun.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ternyata benar.

   Belasan orang tahu-tahu telah muncul di situ, dan Thian-san Giok-li yang melihat orang-orang itu telah mengurung mereka dengan sikap mengancam mendadak saja jadi tercekat.

   Ia gelisah sekarang, namun belum mengeluarkan suara tiba-tiba saja sebuah kereta berkuda mendetakkan langkah memasuki hutan! Thian-san Giok-li terbelalak, dan Kiok Lan serta Bun Hwi yang mendengar derap kereta berkuda itu juga tampak tertegun.

   Mereka sama-sama memandang, dan begitu langkah kaki kuda ini berhenti di halaman kuil tampaklah seorang laki-laki meloncat turun dari tempat duduknya.

   Semua orang kagum.

   Mereka melihat wajah yang tampan dan sikap yang halus dari laki-laki ini, dan mukanya yang bersinar agung dengan baju indah bersulamkan benang emas itu menunjukkan kepada siapapun bahwa laki-laki yang baru datang ini pastilah bukan orang sembarangan.

   Dan ini ternyata benar.

   Ang-sai Mo-ong yang melihat laki-laki itu melompat turun sudah melangkah lebar dengan muka berseri-seri, dan kakek iblis yang sudah memberi hormat itu berseru nyaring.

   "Pangeran, paduka baru datang?"

   Laki-laki yang dipanggil pangeran itu tersenyum. Dia tertawa kecil memandang kakek ini, dan menganggukkan kepalanya dengan ramah diapun menjawab.

   "Ya, aku terlambat, Mo-ong. Seorang sahabat menjumpaiku di tengah perjalanan. Apakah kau baik-baik saja? Siapa dua orang wanita di depan kita ini?"

   "Ha-ha, dia adalah Thian-san Giok-li, pangeran. Dan yang kecil cantik itu adalah muridnya! Apakah paduka belum mengenal mereka?"

   Laki-laki muda itu terkejut. Dia terbelalak memandang wanita sakti itu, tapi tertawa ramah diapun buru-buru memberi hormat.

   "Aih, Thian-san Giok-li kiranya. Apa kabar, Dewi Giok? Bukankah Pegunungan Thian-san masih tenang-tenang saja?"

   Thian-san Giok-li tertawa hambar.

   "Pangeran Ong, kami guru dan murid baik-baik saja adanya. Terima kasih untuk doamu. Tapi bagaimana kakek iblis ini bisa berada bersamamu? Apakah ruang istana kini menerima kaki-kaki kotor macam tua bangka itu?"

   Pangeran muda ini tersenyum. Dia memberi isyarat pada raja iblis yang siap mengumpat itu, lalu suaranya yang halus ramah mendinginkan suasana yang agak panas.

   "Thian-san Giok-li, kukira saat ini tidak perlu kita masing-masing pihak beradu mulut. Bukankah kau mendambakan ketenangan? Nah, akupun juga begitu, Dewi Giok. Dan bila kau suka biarlah hari ini kita menggalang persahabatan untuk mengusir segala kesalahpahaman. Bukankah kau datang kesini atas suruhan Kam-taijin?"

   Wanita sakti itu terkejut. Dia memandang penuh selidik muka pangeran yang tampan itu, tapi bersikap kaku dan sedikit dingin diapun menggeleng.

   "Maaf, kukira ini bukan satu ajakan, pangeran. Karena bagi kaum pendekar tidak mungkin bisa menggalang persahabatan dengan iblis-iblis keji macam Ang-sai Mo-ong itu. Apakah paduka tidak tahu siapa orang yang membantu paduka ini?"

   Pangeran itu mulai mengerutkan kening. Dia tampak tersinggung, tapi senyumnya yang dikulum masih menunjukkan keramahannya.

   "Thian-san Giok-li, rupanya ada jurang pemisah yang membuatmu bersitegang leher. Kalau begitu, bagaimana jika lain kali saja kau kuundang kemari?"

   Wanita sakti itu tiba-tiba gelap mukanya. Ia merasa tersinggung, karena ucapan ini merupakan satu pengusiran halus kepadanya. Tapi Thian-san Giok-li yang bersikap dingin itu tertawa mengejek.

   "Pangeran, agaknya tidak perlu lain kali kau mengundangku. Asal hari ini Mo-ong menyerahkan baik-baik bocah she Bun itu tentu akupun akan pergi dengan baik-baik. Bagaimana pendapat paduka?"

   Pangeran muda itu tiba-tiba terkejut. Dia seolah baru sadar bahwa di tempat itu masih ada lagi seorang anak laki-laki, dan begitu dia memutar kepala maka tiba-tiba pangeran inipun berseru.

   "Mo- ong, inikah pesan yang telah kuberikan padamu itu?"

   Ang-sai Mo-ong mengangguk.

   "Ya, inilah bocah yang paduka cari itu, pangeran. Dialah Bun Hwi yang membuat heboh di kota Lauw-yang!"

   "Dan benar dia putera bibi Tang Wi Hong?"

   "Benar, pangeran. Seratus persen benar....!"

   "Aah....!"

   Pangeran Ong tiba-tiba berseru gembira dan melompat maju diapun langsung memegang kedua lengan Bun Hwi.

   "Adik pangeran kenapa baru sekarang kau muncul? Di mana kau selama ini?"

   Dan pangeran muda yang tampak berseri-seri itu merangkul Bun Hwi dengan penuh kegembiraan. Dia rupanya sudah lama mengharap-harap perjumpaan ini, tapi Bun Hwi yang gemetar mukanya itu mendadak melompat mundur.

   "Pangeran, jangan.... jangan sentuh aku....!"

   Dan Pangeran Ong yang terbelalak matanya itu terkejut.

   "Eh, ada apa, adik pangeran? Bukankah benar kau ini putera bibi Wi Hong?"

   Bun Hwi menggeleng dan mengangguk.

   "Aku.... aku tidak tahu, pangeran. Tapi siapapun adanya aku ini janganlah kalian bersikap munafik! Bukankah Mo- ong menangkapku atas suruhanmu?"

   Pangeran muda itu terkejut. Tapi tersenyum lebar diapun akhirnya tertawa.

   "Adik pangeran, jangan menggunakan istilah yang kasar. Siapa menyuruh Mo-ong menangkapmu? Aku hanya menyuruhnya mencari, adik Bun. Dan kalau kau salah paham atas sikapnya ini biarlah aku yang mintakan maaf!"

   Dan pangeran yang sudah melangkah maju itu siap pula memeluk Bun Hwi.

   Tapi Bun Hwi mengelak, dan anak laki-laki yang membelalakkan mata ini tampak tidak percaya.

   Dia sudah terlanjur mendapat perlakuan kasar kakek iblis itu, dan teringat betapa pangeran ini itu mencari-carinya untuk urusan sakit hati terhadap ibunya Bun Hwipun mengeraskan sikap.

   Dia curiga, dan berkata lantang kepada pangeran tampan itu diapun berseru.

   "Tidak.... tidak, pangeran. Aku tidak percaya kepada kata-katamu itu. Mo-ong memberitahukan kepadaku bahwa kau ingin membalas dendam. Dan kalau benar ibuku adalah Tang Wi Hong itu maka semua kegembiraanmu ini sebenarnya adalah pura-pura belaka!"

   Semua orang terkejut. Mereka kaget mendengar kata-kata Bun Hwi itu, dan Ang-sai Mo-ong sendiri yang namanya dibawa-bawa oleh anak ini sudah membentak parau.

   "Bocah siluman, berani kau bersikap demikian kasar kepada Pangeran Ong?"

   Dan kakek iblis yang siap memberi hajaran ini melompat ke depan. Tapi Pangeran Ong tiba-tiba tertawa pahit, dan pangeran yang tampan itu menepukkan kedua tangannya.

   "Mo-ong, jangan sakiti lagi hatinya. Dia bisa bertambah curiga kepada kita....!"

   Dan pangeran yang sudah melangkah maju itu memandang sedih kepada Bun Hwi.

   "Adik pangeran, bagaimana kau bisa mendapat pengertian yang salah itu? Siapa bilang aku menyatakan kegembiraanku dengan pura-pura? Hm, kau salah paham, adik pangeran. Kau salah mengerti betapa sikapku yang tulus kau anggap pura-pura....!"

   Dan pangeran yang tampak sedih ini memandang Bun Hwi dengan sungguh- sungguh.

   "Adik Bun, aku sesungguhnya diutus oleh ayah sri baginda kaisar untuk menemukan dirimu. Dan Mo- ong yang merupakan orang kepercayaanku ini sengaja kusuruh mencarimu. Siapa bicara tentang sakit hati segala? Aku tidak menaruh sakit hati kepada siapapun, adik Bun. Dan kalau Mo-ong bicarakan hal itu kepadamu tentulah Pangeran Yin yang dimaksudkannya!"

   Bun Hwi tertegun. Dia masih tidak percaya, tapi pangeran muda yang sudah mengembangkan kedua lengannya itu berkata lagi.

   "Dan ini memang masalah yang pelik, Bun-te. Karena itu kalau kau ingin tahu sebaiknya kita menghadap ayahanda kaisar sekarang juga. Beliau mengharap-harap kedatanganmu, dan ayah baginda yang ingin menyelesaikan masalah ini telah memerintahkan semua putera-puteranya menghadap. Beliau ingin mendamaikan segala kesalahpahaman, dan ayah baginda yang tidak menginginkan perpecahan di antara putera-puteranya sendiri telah memerintahkan semua pangeran untuk tidak bercekcok satu sama lainnya....!"

   Dan Pangerang Ong yang berhenti bicara itu tampak memandang Bun Hwi dengan muka sungguh-sungguh.

   Dia rupanya prihatin benar, sementara Bun Hwi yang mendengar ceritanya ini mulai bingung.

   Tapi sebelum pangeran itu melanjutkan bicaranya mendadak Thian-san Giok-li berseru mengejek.

   "Bun Hwi, jangan percaya omongannya. Siapa tidak kenal kwalitet kakakmu itu? Dia amat cerdik, Bun Hwi. Dan kalau kau percaya omonganku sebaiknya sekarang juga kau ikut bersamaku!"

   Bun Hwi menoleh heran. Dia terkejut mendengar celaan yang terang-terangan itu, dan Ang-sai Mo- ong yang kelihatan gusar membentak marah.

   "Giok- li, tahan mulutmu di depan pangeran! Berani kau menghinanya terang-terangan?"

   Namun Thian-san Giok-li menjebikkan mulutnya.

   "Mo-ong, tidak perlu kau berpura-pura kepadaku. Siapa tidak tahu watak pangeran ini? Bukankah dia pemutar balik fakta yang paling mahir?"

   Kakek iblis itu mencelat ke depan.

   "Wanita siluman, kau tidak tahu diri!"

   Dan Ang-sai Mo-ong yang sudah melancarkan serangannya itu menampar kepala Thian-san Giok-li.

   "Plak!"

   Thian-san Giok-li menangkis dengan jarum emasnya dan Ang-sai Mo-ong yang tertusuk lengannya tapi tidak terluka itu sudah menggereng murka. Dia hendak menerjang lagi, tapi Pangeran Ong yang diejek Thian-san Giok-li malah berseru mencegah.

   "Mo-ong, tahan...!"

   Dan pangeran yang sudah melompat maju itu mengangkat tangannya. Dia menghadapi wanita ini dengan alis dikerutkan dalam-dalam, dan menegur dengan suara sedih dia berkata.

   "Thian-san Giok-li, kenapa kau memfitnahku sedemikian rupa? Tidak tahukah kau akibat omonganmu yang amat berbahaya ini?"

   Thian-san Giok-li tertawa mengejek.

   "Pangeran, aku bukanlah anak kecil yang mudah kau tipu. Siapa memfitnah?"

   "Kau sendiri, Giok-li. Kau melancarkan tuduhan di hadapan adikku pangeran ini. Bukankah itu dapat memberi kesan tidak baik kepadanya?"

   Thian-san Giok-li tertawa dingin.

   "Itu terserah yang bersangkutan, pangeran. Kalau kau tidak melakukan kebusukan tentu orang lainpun tidak akan bicara,"

   Wanita ini mengejek.

   "Kenapa kau tampaknya gelisah?"

   Pangeran tampan itu merona mukanya. Dia tampak marah, tapi menahan diri dia malah menyerang lawannya ini.

   "Giok-li, kalau begitu dapatkah kau buktikan perbuatan busuk apa yang telah kulakukan? Dapatkah kau memberi tahu kesalahan apa yang membuatmu memusuhiku seperti ini?"

   Thian-san Giok-li terdiam. Ia agak tertegun dan memandang Bun Hwi tiba-tiba ia berseru.

   "Pangeran, tidak perlu kubeberkan rahasiamu ini di depan umum. Aku terikat janji dengan seseorang. Tapi kalau kau jujur tentu ada satu bukti yang tidak dapat kau sangkal!"

   Pangeran itu tersenyum mengejek.

   "Bukti apa yang tidak dapat kusangkal itu, Giok-li?"

   "Bukti yang ada pada diri Bun Hwi ini. Bukankah kau akan menahannya mati-matian agar ikut denganmu?"

   Pangeran itu mundur selangkah. Dia tampaknya terkejut, tapi menangkis halus pangeran itupun menjawab hambar.

   "Giok-li, itu bukan bukti yang dapat diandalkan. Bagaimana ini kau jadikan bukti?"

   "Tapi ini pasti tidak dapat kau sangkal pangeran. Dan berani bertaruh kau akan menyuruh orang- orangmu menggagalkan maksudku apabila aku berani membawa bocah itu!"

   Pangeran ini tertegun.

   Dia rupanya tersudut dan Bun Hwi yang mendengar percakapan dua orang itu memandang pangeran ini dengan mata bersinar- sinar.

   Ingin dia ketahui, apa reaksi pangeran itu atas pertanyaan Thian-san Giok-li.

   Dan Thian-san Giok-li sendiri yang tampak tersenyum penuh kemenangan memandang pangeran itu dengan mulut berjebi.

   Tapi pangeran ini tiba-tiba menggeleng, dan Thian- san Giok-li yang tidak menyangka jawabannya mendapat sikap yang tidak terduga.

   "Giok-li, kau salah bila mendasarkan kecurigaanmu ini pada diri adik Bun Hwi. Siapa berniat memakai kekerasan dalam masalah ini? Tidak, Giok-li, kau salah. Aku sama sekali tidak berniat memaksa adik Bun Hwi untuk ikut bersamaku, dan bila dia menolak ajakanku itulah hak pribadinya yang tidak akan kuganggu gugat!"

   "Eh, kau benar tidak akan memaksa bocah itu untuk ikut bersamamu, pangeran?"

   "Tidak, apabila dia memang tidak menaruh kepercayaan kepadaku."

   "Dan juga bentuk paksaan lain lewat pembantu- pembantumu?"

   "Itu juga tidak, Giok-li. Kenapa kau demikian curiga kepadaku?"

   Thian-san Giok-li sekarang tertegun. Dia terkejut mendengar jawaban pangeran itu, tapi tertawa gembira tiba-tiba iapun mengangguk.

   "Bagus, kalau begitu sekarang juga aku akan membawa Bun Hwi, pangeran. Dan bila kau menjilat kata-katamu ini berarti Bun Hwi pun menjadi saksi akan kebohonganmu!"

   Dan Thian-san Giok-li yang tiba- tiba sudah melompat mendekati Bun Hwi mencekal lengan anak laki-laki ini.

   "Bun Hwi, hayo ikut bersamaku. Kita lihat omongan pangeran itu....!"

   Dan Thian-san Giok-li yang tiba-tiba sudah menyentak lengan Bun Hwi menotolkan kakinya keluar dari kepungan semua orang. Tapi Bun Hwi tiba-tiba memberontak, dan melepaskan diri dari tangan wanita sakti itu anak laki-laki ini berseru perlahan.

   "Locianpwe, lepaskan dulu. Aku tidak ingin ikut bersamamu!"

   Dan Bun Hwi yang sudah melompat mundur membuat Thian-san Giok-li terbelalak.

   "Eh, apa-apaan kau ini, Bun Hwi?"

   Bun Hwi memutar tubuh.

   "Aku tidak ingin ikut bersamamu, locianpwe. Dan setelah kudengar semuanya ini justeru aku ingin ikut bersama Pangeran Ong!"

   Thian-san Giok-li terkejut.

   "Kau gila, Bun Hwi? Kau tidak tahu berbahayanya kakakmu itu?"

   Tapi Bun Hwi tertawa pahit.

   "Kukira semua orang pada dasarnya berbahaya, locianpwe. Dan kalau tadi aku ingin bebas adalah sekarang pikiranku tiba-tiba berubah. Aku mempercayai pangeran itu, dan apapun yang hendak kulakukan ini semua tergantung pada diriku sendiri!"

   Thian-san Giok-li tertegun. Tapi wanita sakti yang mendadak menjadi marah itu mencengkeram pundak Bun Hwi.

   "Bocah sinting, kau harus tahu mana serigala dan mana yang domba. Kenapa kau berpikiran tidak waras begini?"

   Tapi Bun Hwi menepis lawannya.

   "Locianpwe, jangan bersikap kasar. Aku berhak menentukan jalannya langkahku sendiri!"

   "Ya, tapi langkahmu itu keliru, Bun Hwi. Kenapa kau tidak merasa ini?"

   "Hm, keliru tidak keliru itu nanti dapat dibuktikan, locianpwe. Tapi yang penting sekarang ini aku mempercayai Pangeran Ong!"

   Thian-san Giok-li terkesima, tapi wanita yang marah ini tiba-tiba menghentakkan kakinya.

   "Baiklah, kau yang tidak dapat diatur, Bun Hwi. Kalau ada apa-apa denganmu janganlah kau harap pertolonganku lagi!"

   Dan Thian-san Giok-li yang sudah menoleh ke kanan itu berseru.

   "Kiok Lan, hayo kita pergi. Bocah she Bun itu tidak ada gunanya lagi bagi kita....!"

   Dan Thian-san Giok-li yang sudah melesat ke depan itu menarik lengan muridnya dengan muka merah padam. Kiok Lan terkejut, tapi tarikan gurunya membuat gadis ini meronta. Dia membelot, dan berseru gelisah murid Thian-san Giok-li itu berteriak.

   "Bun Hwi, apakah aku betul-betul tidak mau ikut dengan subo?"

   Bun Hwi menggeleng pahit.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Untuk sementara ini, Kiok Lan. Tapi tak tahulah kalau kita jumpa kelak....!"

   Dan Bun Hwi yang sudah memutar tubuh.

   Dia membuat kekecewaan di hati dua orang guru dan murid itu, dan Kiok Lan yang terisak tertahan memandang penuh kemasygulan ke arah Bun Hwi.

   Namun Thian-san Giok-li sudah menyeret muridnya, dan wanita sakti yang marah di dalam hatinya itu sudah berkelebat lenyap di luar hutan.

   Kini tinggal Bun Hwi dan pangeran muda itu, dan Pangeran Ong yang tak menduga pikiran Bun Hwi tersenyum gembira dengan muka berseri-seri.

   "Adik pangeran, bagaimana kau tiba-tiba berubah pikiran begini?"

   Bun Hwi mengangkat mukanya.

   "Karena aku mulai mempercayaimu, pangeran. Karena aku ingin membuktikan apa yang semua telah kau katakan."

   "Ha-ha, bagus. Kalau begitu jangan bersikap canggung lagi, adik Bun. Kau panggillah aku dengan sebutan kanda pangeran! Bukankah kau ini juga putera ayahanda kaisar?"

   Dan Pangeran Ong yang tampak berseri-seri mukanya itu tiba-tiba menggapai lengannya.

   "Bun-te (adik Bun), mari kita berangkat. Sebuah tugas lagi harus kita selesaikan sebelum menghadap ayahanda kaisar!"

   Bun Hwi terheran sekejap.

   "Tugas apa itu, pangeran?"

   "Hush, jangan panggil aku pangeran, Bun-te. Kau panggillah aku kanda pangeran! Bukankah tadi sudah kubilang padamu?"

   Pangeran itu tertawa.

   "Jangan bersikap canggung, adikku. Mari kita berangkat dan omong-omong di dalam kereta. Semua pertanyaanmu bakal kujawab!"

   Dan pangeran yang sudah menggandeng lengan Bun Hwi ini mendorong anak laki-laki itu memasuki kereta.

   Dia memberi isyarat mata kepada orang-orangnya, dan Mo-ong yang melihat kegembiraan memenuhi hati majikannya tiba-tiba tersenyum penuh arti.

   Dia tahu apa yang akan dikerjakan pangeran itu di dalam keretanya, dan kakek iblis yang tertawa menyeringai itu berseru dari luar.

   "Pangeran, harap hati-hati. Kami akan mendahuluimu di muka kereta!"

   Dan Ang-sai Mo-ong yang sudah membuka tirai kereta itu menjura di depan Bun Hwi, berkata dengan sikap dibuat-buat.

   "Bun-ongya (Pangeran Bun) maaf atas sikap hamba yang sudah-sudah. Hamba tidak tahu bahwa apa yang hamba dengar merupakan cerita yang demikian rumit. Mohon paduka maafkan....!"

   Dan kakek tinggi besar yang sudah menutup kembali tirai kereta itu berkelebat ke depan dengan isyarat tangannya, memberi aba-aba kepada belasan orang pembantunya yang semenjak tadi masih berdiri di situ.

   Dan begitu kakek ini mengangkat tangannya kepada kusir kereta maka berderaplah kaki-kaki kuda itu meninggalkan halaman kuil tua dengan detak langkahnya yang gemeratak.

   Ang-sai Mo-ong sendiri sudah lenyap, dan kuil tua yang menjadi saksi bisu atas semua kejadian di tempat itu kembali sepi dengan suasana mencekam.

   Kini meluncurlah kereta dengan dua ekor kuda itu menyusuri jalan setapak, dan Bun Hwi yang sudah duduk di dalam kereta bersama "kakak"

   Pangerannya itu terlibat dalam pembicaraan- pembicaraan yang serius. *S*F* "Kanda pangeran, sebuah tugas apakah yang hendak kau selesaikan ini? Kemanakah sekarang kita pergi?"

   Pangeran Ong tersenyum.

   "Kita menuju ke muara, adik Bun. Dan tugas yang hendak kuselesaikan ini mempunyai sangkut-paut dengan istana. Aku ditugaskan ayahanda kaisar mencari benda istana yang hilang, dan karena kebetulan ada kau di sini maka kuminta kesediaanmu untuk menolong, adik Bun. Setidak-tidaknya, sukalah kau meringankan pekerjaanku ini agar semuanya dapat berhasil!"

   "Hm, tentang apa itu, kanda pangeran?"

   Pangeran ini tertawa.

   "Tentang hal yang sebetulnya sudah kau ketahui, adik Bun. Tentang Cupu Naga!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Cupu Naga, kanda pangeran? Jadi kau...."

   "Ssst, jangan berpikiran terlampau jauh, Bun-te. Tentu kau menduga aku mempunyai ambisi pribadi, bukan? Kau mengira aku ingin menjadi putera mahkota seperti yang diceritakan Mo-ong kepadamu itu?"

   Bun Hwi tertegun.

   Dia memang hendak mengatakan seperti apa yang ditebak pangeran ini.

   Tapi bahwa pangeran itu telah dapat mengikuti jalan pikirannya maka Bun Hwi-pun terkejut.

   Dia tidak menjawab, dan pangeran Ong yang tertawa lebar itu sudah berkata melanjutkan.

   "Aku sama sekali tidak tertarik kepada kedudukan putera mahkota itu, adik Bun. Karena biar bagaimanapun juga aku merasa kurang pantas menduduki kedudukan itu. Putera mahkota sebenarnya sudah ditetapkan oleh sri baginda ayahanda kaisar, jadi untuk apa aku membuang- buang waktu dan tenaga untuk masalah kecil ini? Hm, tidak.... tidak, adik Bun. Aku mencari benda istana itu karena melulu didorong tugasku yang dibebankan oleh ayahanda kaisar, bukan karena ambisi pribadi yang tidak pantas dilakukan orang yang berpikiran bersih!"

   Bun Hwi mengangguk-angguk. Dia merasa sependapat dengan kata-kata itu, dan kakaknya yang tersenyum ramah di dalam kereta berkata lagi.

   "Menurut kau, bagaimana sebaiknya, adik Bun, tidak cocokkah apa yang menjadi prinsip hidupku itu?"

   Bun Hwi memandang jujur.

   "Aku setuju dengan pandanganmu itu, kanda pangeran. Tapi mengapa kau tidak cocok untuk menduduki jabatan putera mahkota?"

   Pangeran itu tertawa.

   "Karena aku kurang cakap dalam bidang pemerintahan, adik Bun. Dan kalau aku yang memerintah barangkali rakyat tidak bisa mengalami hidup senang di bawah pemerintahanku!"

   "Ah, tapi kau tampaknya pandai, kanda pangeran. Bagaimana kau bisa bilang begitu?"

   "Hm, tidak. Kau salah, adik Bun. Aku pandai bukan dalam soal-soal pemerintahan, tapi dalam hal-hal yang biasa dilakukan seorang pangeran. Misalnya, berburu atau memanah burung, dan hal-hal lain yang sifatnya mengejar kesenangan. Umpamanya saja, bercandadg wanita-wanita cantik....!"

   Pangeran itu tertawa.

   "Bukankah kau pernah melakukan ini, adik pangeran?"

   Bun Hwi merah mukanya.

   "Aku tidak pernah melakukan itu, kanda pangeran. Aku.... aku terbiasa hidup di dusun!"

   "Oh, maaf, aku lupa, Bun-te!"

   Pangeran Ong tersipu- sipu berkata, sadar bahwa Bun Hwi selama ini hanyalah sebagai "gelandangan"

   Kecil yang hidup di tempat keras. Dan mengalihkan pembicaraan pada pokok pembicaraan mereka pangeran itu akhirnya berkata.

   "Tapi kau tentu dapat berburu dan memanah burung bukan, adik Bun? Kau telah menjelajahi hutan dan gunung-gunung, bukan?"

   "Ya, tapi... hm, itupun karena terpaksa, kanda pangeran. Aku terpaksa mengelana dari satu tempat ke tempat lain karena keadaan."

   "Maksudmu, kau benar-benar hidup seorang diri, adik Bun?"

   "Begitulah, terutama setelah paman Ma meninggal dunia."

   "Oh, paman Ma....? Maksudmu Ma-taijin, adik Bun, adik dari ibumu itu?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Kau tampaknya mengerti banyak tentang kedudukanku, kanda pangeran. Bisakah kau ceritakan bagaimana asal mulanya nasib pamanku itu? Kenapa dia tidak pernah menceritakan tentang dirinya?"

   "Hm...."

   Pangeran Ong menghela napas.

   "Ini sebetulnya masalah intern, adik Bun. Tapi karena kau yang bertanya biarlah kuceritakan sedikit tentang kedua orang tuamu itu. Paman Ma atau yang kau sebut Ma-lopek itu sesungguhnya adalah Ma-taijin, bekas Gubernur Kiang-si. Tapi semenjak dia mengundurkan diri dan meninggalkan jabatannya orang tidak tahu lagi kemana dia pergi. Hanya desas-desus mengatakan pamanmu itu pergi ke utara. Tapi setelah dicari kemana-mana orang tidak pernah menemukan jejaknya, sama sekali tidak menyangka bahwa dia menyelinap di dusun Ki- leng dan tinggal disitu sebagai buruh tani yang amat rendah!"

   Pangeran Ong berhenti sejenak, dan Bun Hwi yang mendengarkan ceritanya itu tampak mengerutkan alis dengan sedikit rasa tidak senang.

   "Kanda Pangeran, apakah kau mempunyai pandangan bahwa buruh-buruh tani begitu memang orang rendahan semua?"

   Pangeran ini terkejut.

   "Eh, apa maksudmu, adik Bun? Kau.... ah, tahu aku! Kau kira aku menganggap mereka itu orang-orang hina, adik Bun? Wah, jangan salah paham. Aku tidak maksudkan begitu! Yang kumaksudkan ialah, buruh- buruh tani seperti yang ada di dusun Ki-leng itu adalah orang-orang lugu dan polos pikirannya. Tidak banyak yang pandai seperti orang kota misalnya....!"

   Pangeran itu tertawa.

   "Nah, itulah yang kumaksudkan, adik Bun. Jangan kau salah mengerti. Kau mengira aku menghina orang-orang itu, bukan?"

   Bun Hwi merasa lega.

   "Ya, kukira kau menganggap mereka orang-orang hina, kanda pangeran. Karena sesungguhnya mereka itu memang orang-orang polos yang lugu hatinya."

   "Nah, apa kubilang?"

   Pangeran ini melanjutkan sambil tertawa.

   "Dan kau tentu akan membela orang-orang seperti itu bukan, Bun-te? Kau tentu akan memperjuangkan nasib mereka agar tidak menjadi kuda tuan-tuan tanah yang tamak harta itu. Seperti, hem.... Bhong-loya umpamanya?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Kau mengenal juga tuan tanah ini, kanda pangeran?"

   Pangeran muda itu mengangguk.

   "Ya, tentu saja, adik Bun. Bukankah kau lihat anaknya laki-laki itu menjadi murid Mo-ong? Dan kau rupanya sudah berkenalan dengan anak laki-laki itu, seorang bocah yang cerdik tapi kasar!"

   "Hm, dan kau bersahabat dengan Mo-ong, kanda pangeran. Kenapa kau berbuat seperti ini?"

   "Ah, itu pertanyaan yang sederhana, Bun-te. Mempunyai pembantu macam Mo-ong sesungguhnya tidak perlu dikhawatirkan seperti apa yang orang kira. Apakah kau kira Mo-ong berbahaya bagiku?"

   "Tidak, bukan itu, kanda pangeran. Tapi bagaimana kakek jahat macam itu bisa kau jadikan pembantumu? Bukankah ada nasehat bahwa orang baik seyogyanya bergaul dengan orang baik pula?"

   Pangeran Ong tiba-tiba tertawa geli.

   "Adik Bun, kau rupanya berpikiran terlalu sempit. Dunia begini lebar mengapa harus memilih-milih teman? Bukankah kita harus bergaul dengan siapa saja dan kapan saja asal kita sendiri tahu membedakan baik buruk? Itu pendapat kuno, adik Bun. Sebaiknya jangan kau perhatikan! Lihat saja kenyataan sekarang ini. Asal orang jahat menguntungkan kita maka kitapun tidak perlu menjauhinya. Boleh orang lain menganggap Mo-ong orang kakek iblis yang berbahaya, tapi bagaimana kalau dia menguntungkan diriku, haruskah kujauhi dia itu?"

   Bun Hwi tertegun.

   "Mo-ong menguntungkanmu, kanda pangeran?"

   "Ya, seperti kau lihat. Kakek iblis itu tidak jahat kepadaku, dia baik. Jadi untuk apa mencari lain pembantu? Tapi sudahlah, adik Bun, jangan kita perdebatkan masalah ini. Kau tentu setuju kalau kukatakan baik dan buruk itu tergantung penerimaan tiap-tiap orang, bukan? Nah, sekarang kita bicarakan saja tentang paman dan ibumu itu. Kukira ini lebih berguna daripada membicarakan yang lain!"

   Bun Hwi tersenyum.

   "Itu memang betul, kanda pangeran. Tapi bukankah ibuku sudah...."

   "Tiada maksudmu?"

   Pangeran Ong menukas.

   "Ah, itupun sesungguhnya juga merupakan rahasia, adik Bun. Karena tidak ada seorangpun yang sesungguhnya tahu apakah ibumu itu betul telah tiada ataukah masih hidup!"

   Bun Hwi tercengang.

   "Kau bisa mengatakan seperti itu, kanda pangeran? Kalau begitu kau..."

   "Ya, aku pribadi menganggapnya 50-50, adik Bun. Dan kalau ini bisa kupecahkan tentu kelak ketentuannya bakal kita buktikan tidak lama lagi!"

   "Ah, maksudmu...."

   "Aku secara diam-diam menyelidikinya, Bun-te. Dan kalau kita berhasil kemungkinan kita bakal bertemu dengan ibumu itu, bibi Tang Wi Hong!"

   Pangeran Ong memotong. Dan Bun Hwi yang mendengar jadi terbelalak kaget.

   "Kanda pangeran, rahasia apakah yang sesungguhnya sedang kau simpan ini?"

   "Hm, sebenarnya tidak ada rahasia apa-apa, adik Bun. Dan rahasia tunggal sesungguhnya terletak di Cupu Naga itu!"

   Bun Hwi kaget. Pembicaraan orang yang tiba-tiba kembali pada masalah Cupu Naga membuat dia tertegun, dan pangeran muda yang tersenyum lebar itu memeluk pundaknya.

   "Adik Bun, kau tentunya tidak keberatan membantuku mencari benda yang hilang ini bukan? Aku benar-benar serius, adik Bun. Kalau kau bisa membantuku tentu masalah ibumu itu bisa dibuka pula rahasianya!"

   "Kanda pangeran,"

   Bun Hwi mulai berdebar.

   "bisakah kau memberi keterangan kepadaku apa sebenarnya maksud tujuan mencari benda pusaka itu? Benarkah kata Mo-ong bahwa yang mendapatkan Cupu Naga akan diangkat putera mahkota oleh sri baginda kaisar?"

   "Hm, ini memang benar, adik Bun. Tapi tentu saja peraturan itu berlaku bagi para pangeran, bukan untuk orang luar. Maka bila ada orang luar yang mendapatkannya maka dia harus menyerahkannya pada salah seorang pangeran yang menjadi andalannya untuk menduduki jabatan putera mahkota itu. Dan untuk saat ini, yang memperebutkan cupu itu sesungguhnya ada tiga orang. Pertama, Pangeran Yin yang cerdik dan berbahaya, kedua aku sendiri yang diutus ayahanda kaisar untuk menemukannya dan ketiga adalah seorang pangeran yang diam-diam menjadi jago dari gubernur Kiang-si yang sekarang, Kam-taijin yang dibantu Thian-san Giok-li itu!"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Kam-taijin, kanda pangeran? Gubernur di kota Nan-chang itu...?"

   "Ya, kau sudah bertemu muka dengannya, adik Bun? Kau kenal dengan pembesar Kam itu?"

   Pangeran itu mendadak menatap tajam wajah Bun Hwi, dan sinar matanya yang bersorot aneh mendadak membuat Bun Hwi keheranan.

   "Tidak, aku tidak kenal gubernur itu, kanda pangeran. Hanya beberapa waktu yang lalu Thian- san Giok-li memang mau mengajakku ke tempat Kam-taijin. Ada apakah?"

   Bun Hwi balas bertanya, dan ucapannya yang dikatakan dengan jujur tiba- tiba membuat pangeran itu tertawa lega.

   "Ah, syukur kalau begitu, adik Bun. Tadinya aku khawatir bila kau telah bertemu dengan pembesar itu. Seorang gubernur yang cerdik dan banyak akal!"

   "Tapi siapa pangeran yang menjadi jago gubernur itu, kanda pangeran?"

   "Hm, ini... ah, sudahlah, kelak akan kau ketahui sendiri, adik Bun. Kukira tidak perlu hal ini kujelaskan,"

   Pangeran Ong mengelak.

   "Dan kau sendiri, tentu akan segera menghadap ayahanda kaisar bukan, Bun-te?"

   Bun Hwi ragu-ragu.

   "Aku agak bimbang, kanda pangeran. Tapi memang ada maksudku untuk pergi ke kota raja!"

   "O, mencari siapa, Bun-te?"

   "Mencari seseorang yang dapat membantuku. Karena aku sedang mengemban tugas menyelesaikan urusan tanah bagi tiga ratus orang temanku yang tinggal di dusun Ki-leng!"

   "Oh, tempat tinggal Bhong-loya itu, adik Bun?"

   "Ya. Tapi hartawan jahat itu telah kami usir dari sana, kanda pangeran. Dan tanahnya yang luas kami bagi-bagi sesuai dengan keputusan kaisar tentang pembagian tanah yang diperuntukkan rakyat jelata!"

   Bun Hwi memandang pangeran ini.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau dapat membantuku, kanda pangeran?"

   Pangeran Ong tampak terkejut.

   "Oh, tentu... tentu saja, adik Bun!"

   Dia berseru sedikit gugup.

   "Tapi bukankah pembagian tanah itu harus dilakukan dengan cara-cara yang wajar?"

   "Hm, memang sebenarnya begitu, kanda pangeran. Tapi karena tuan tanah she Bhong itu tidak tahu diri dan bertahun-tahun menindas petani kecil maka terjadilah kekerasan di sini. Tanahnya yang ribuan hektar kami rampas, dan kaum petani kecil yang menginginkan haknya itu minta kepadaku agar urusan ini disyahkan oleh kerajaan. Mereka hanya menuntut apa yang telah dijanjikan kaisar kepada rakyat kecil!"

   "Ooh...!"

   Pangeran Ong tertegun, tapi sinar matanya yang berseri-seri tiba-tiba membuat pangeran ini menganggukkan kepalanya dengan sikap gembira.

   "Baik, itu memang hak mereka, adik Bun. Dan karena ayahanda kaisar telah mencanangkan undang-undang baru itu maka tidak salah jika kau mewakili teman-temanmu itu untuk mendapatkan haknya. Aku dapat membantumu, adik Bun, dan setelah urusan Cupu Naga ini kita selesaikan maka kita dapat secepatnya menghadap Menteri Urusan Tanah. Beliaulah yang diserahi kaisar untuk menyelesaikan hak-hak rakyat itu, dan bila kita bertemu dengannya tentu persoalan ini dapat kita tuntaskan!"

   Bun Hwi menjadi gembira.

   "Kau sungguh-sungguh dapat membantuku, kanda pangeran?"

   "Ya, kenapa tidak? Bukankah itu tugas mulia bagi kita, adik Bun? Dan sekali menghadap Menteri Urusan Tanah ini tentu semuanyapun akan beres!"

   Pangeran Ong meyakinkan, dan Bun Hwi yang berseri-seri mukanya itu bertanya.

   "Kanda pangeran, siapakah Menteri Urusan Tanah yang mengurusi soal-soal ini? Dapatkah kiranya dia tidak mempersulit persoalan ini?"

   Pangeran Ong tertawa.

   "Kalau aku yang minta tentu dia tidak berani mempersulit, adik Bun. Dan kutanggung pembagian tanah bagi teman-temanmu di dusun Ki-leng itu akan berhasil dengan sukses!"

   "Dan siapa nama Menteri Urusan Tanah ini, kanda pangeran?"

   "Dia adalah Gong-taijin. Gong Li Kiat yang menjadi teman baikku!"

   Pangeran itu menjawab.

   "Dan kau tidak usah khawatir tentang urusan ini, adik Bun. Karena pembagian tanah itu sesungguhnya merupakan undang-undang yang sudah disahkan oleh sri baginda kaisar!"

   Bun Hwi menjadi girang.

   "Ah, terima kasih kalau begitu, kanda pangeran!"

   Anak ini berseru.

   "Tentu teman-temanku di sana akan merasa berbahagia sekali mendapat keberuntungan ini!"

   Dan Bun Hwi yang berseri mukanya memandang "kakak"nya itu dengan sikap gembira. Tapi pangeran ini tersenyum aneh.

   "Ya, namun jangan lupa bantuanmu mendapatkan Cupu Naga, adik Bun. Karena kalau urusan ini belum selesai aku belum dapat pulang ke kota raja."

   Bun Hwi tertawa kecil.

   "Kanda pangeran, bantuan apakah yang sebetulnya bisa kuberikan? Bukankah orang-orangmu jauh lebih pandai daripada aku?"

   "Hm, tapi ini lain, adik Bun. Mereka tidak dapat diandalkan untuk mendapatkan benda pusaka itu."

   "Ah, masa begitu, kanda pangeran?"

   "Ya, itu memang hal yang sebenarnya. Bukankah kau telah mendengar bahwa cupu ini disimpan dalam perut Naga Lilin?"

   Bun Hwi mengerutkan alis. Disebutnya nama itu membuat dia tiba-tiba teringat akan laporan Kwa- chungcu tentang kematian empat orang nelayannya. Dan Bun Hwi yang menjadi murung ini tiba-tiba menarik napas panjang.

   "Kanda pangeran, bisakah kau beri penjelasan sedikit tentang Naga Lilin ini? Benarkah dia milik kaisar?"

   Pangeran itu mengangguk.

   "Itu memang benar, adik Bun. Ayahanda kaisar memiliki ikan yang aneh ini dua ekor, masing-masing jantan dan betina. Dan karena belasan tahun yang lalu ikan itu dicuri orang untuk menyembunyikan Cupu Naga maka ikan ini berbahaya sekali kalau dilepas diluaran."

   "Dan kau tahu siapa pencurinya, kanda pangeran?"

   "Hm, ini...."

   Pangeran itu mendadak mengerutkan keningnya.

   "Aku tidak tahu, adik Bun. Tapi menurut desas-desus justeru ibumulah yang mengambil ikan keramat itu. Maaf, aku tidak menuduh, tapi Mo-ong tentunya telah mengatakan kepadamu, bukan? Tapi aku sendiri tidak percaya, adik Bun. Aku tidak yakin kalau ibumu itu yang mengambil ikan beracun ini!"

   Bun Hwi sedikit bersinar mukanya.

   "Tapi bagaimana kau bisa mendapat kesimpulan seperti ini, kanda pangeran? Apakah kau telah mengetahui bagaimana wajah ibuku itu?"

   Pangeran Ong mendadak berseri matanya.

   "Ah, dia seorang wanita cantik, adik Bun. Ibumu itu seorang wanita yang benar-benar hebat luar dalam...!"

   Bun Hwi tercengang.

   "Luar dalam bagaimana, kanda pangeran?"

   Pangeran Ong tiba-tiba tertawa.

   "Maksudku dia adalah wanita pilihan, adik Bun. Dan karena dia memang paling cantik di antara semua selir maka tidak aneh kalau ayahanda kaisar paling sayang dan cinta kepada ibumu itu. Bibi Tang Wi Hong memang hebat, dan aku pernah mengagumi kecantikannya yang luar biasa ini!"

   Bun Hwi berdesir gembira.

   Dia terpengaruh oleh cerita pangeran itu tentang ibunya, tapi karena dia sendiri masih ragu-ragu apakah betul dia anak selir Tang Wi Hong itu maka diapun jadi berdebaran dengan mulut menyeringai.

   Pujian kakaknya terhadap kecantikan ibunya membuat dia besar hati, tapi ucapan orang bahwa ibunya mencuri barang istana tiba-tiba menjadikan dia bermuka kecut.

   "Kanda pangeran, kalau kau tidak percaya ibuku itu yang mencuri Naga Lilin, lalu apakah ada orang lain yang kau curigai?"

   Pangeran ini mengangguk.

   "Ya, itu sudah sepantasnya, adik Bun. Dan setelah bertahun-tahun aku menyelidikinya maka kudapat satu kesimpulan bahwa ada seseorang yang mempergunakan nama ibumu untuk mencuri ikan keramat itu!"

   "Dan kau tahu siapa orang itu, kanda pangeran?"

   "Baru kesimpulan saja, adik Bun. Tapi aku yakin bahwa kesimpulanku ini tidak akan meleset jauh."

   "Ah, siapa gerangan, kanda pangeran?"

   "Ibu selir Can Kui Bwee!"

   Bun Hwi terbelalak. Dia tidak kenal siapa itu Can Kui Bwee, maka bertanya heran diapun memandang pangeran ini.

   "Kanda pangeran, siapa itu ibu selir Can Kui Bwee?"

   "Hm, ia seorang ibu selir yang berbahaya, adik Bun. Ibu dari Pangeran Yin yang juga mencari-carimu itu!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Ibu Pangeran Yin, kanda pangeran? Jadi ia itu yang mencuri Naga Lilin...?"

   "Ini baru dugaan, adik Bun. Tapi sembilan puluh persen aku yakin bahwa ia itulah yang menjadi biang keladinya hingga ibumu minggat meninggalkan istana!"

   Bun Hwi semakin terkejut.

   "Kanda pangeran, bisakah kau terangkan bagaimana ibuku meninggalkan istana? Dan kenapa ia meninggalkan istana?"

   Pangeran Ong tiba-tiba mengembeng air matanya. Dia tampak terharu, dan memeluk pundak Bun Hwi pangeran muda yang tampan itu menjawab dengan suara bergetar.

   "Itu semua karena cemburu, adik Bun..., iri hati yang melanda ibunda selir Can Kui Bwee terhadap ibumu. Dia konon merasa benci kepada ibumu itu, dan setelah sri baginda kaisar mengumumkan sebuah kejutan di dalam istana tiba- tiba bibi Kui Bwee memfitnah ibumu itu sehingga terjadi kegemparan besar di istana!"

   Pangeran Ong mengusap air matanya dan Bun Hwi yang mendengar kata-katanya sampai di situ tiba- tiba terbelalak dengan hati berdebar.

   Dia tidak bertanya ini-itu, dan Pangeran Ong yang tampaknya sudah mampu mengendalikan rasa hatinya tiba-tiba bertanya kepada pemuda itu.

   "Adik Bun, apakah kau mendengar apa yang menjadi kejutan dalam pengumuman ayahanda kaisar itu? Sudahkah Mo- ong bercerita padamu?"

   Bun Hwi menggeleng.

   "Aku tidak tahu, kanda pangeran. Cerita yang manakah maksudmu?"

   "Hm, cerita tentang pengangkatanmu ini, adik Bun. Tidakkah kau dengar bahwa kaisar mengabulkan sebuah permintaan ibumu?"

   Bun Hwi tiba-tiba merah mukanya.

   Dia jadi teringat akan ucapan Mo-ong yang mengatakan dia diangkat sebagai pewaris tahta Kerajaan Tang oleh sri baginda kaisar atas permintaan ibunya, dan bahwa kini tiba-tiba Pangeran Ong bertanya tentang itu membuat Bun Hwi mendadak menjadi jengah.

   Dia menunduk, dan pura-pura tidak tahu dia balas bertanya.

   "Kanda pangeran, permintaan yang manakah yang kau maksudkan itu?"

   "Hm, permintaan tentang diangkatnya kau sebagai putera mahkota, adik Bun. Dan bibi Kui Bwee yang mendengar dikabulkannya permintaan itu oleh kaisar tiba-tiba saja marah-marah!"

   Bun Hwi mengangkat mukanya.

   "Dan ibu lalu difitnahnya, kanda pangeran?"

   Pangeran Ong mengangguk.

   "Benar, ibumu itu lalu difitnah bibi Kui Bwee, adik Bun. Tapi ayah-anda kaisar yang dapat menduga persoalan ini malah menyalahkan bibi Kui Bwee hingga terjadi percekcokan di antara dua ibunda selir itu!"

   Bun Hwi membelalakkan mata.

   "Kau tahu jelas tentang persoalan ini, kanda pangeran?"

   "Tentu saja. Bukankah kami sama-sama tinggal di sana, Bun-te? Tapi sesungguhnya semua pertikaian itu bukan aku yang mendengarnya, melainkan ibuku selir yang tinggal bersama-sama mereka. Dari ibu inilah aku mendapatkan ceritanya dengan jelas, dan ibu yang merasa simpatik dengan bibi Wi Hong lalu menolong bibi Wi Hong dari pertengkaran itu. Beliau memisah di antara kedua, tapi ibunda selir Kui Bwee yang melihat ibu campur tangan tiba-tiba saja dituduh mencari muka! Ibu ikut dimusuhi, dan bibi Wi Hong yang marah oleh kekejian bibi Kui Bwee esok harinya tiba-tiba saja hilang dari istana dan meninggalkan kegemparan baru dengan lenyapnya Naga Lilin yang konon katanya dicuri ibumu itu....!"

   Bun Hwi tertegun. Dan Pangeran Ong yang tampak menarik napas panjang menunjukkan sikap prihatin.

   "Adik Bun, tahukah kau apa yang terjadi setelah itu?"

   Bun Hwi tentu saja menggeleng. Dan pangeran muda yang mendesah murung itu melanjutkan keterangannya.

   "Ia akhirnya terbunuh, adik Bun, dan istana yang heboh oleh kematiannya ini gempar selama beberapa minggu!"

   Bun Hwi memandang kaget.

   "Ia siapa, kanda pangeran? Ibumu itukah?"

   Tapi Pangeran Ong menggeleng pahit.

   "Bukan.... bukan ibuku, adik Bun. Tapi ibunda selir Can Kui Bwee itulah!"

   "Ohh...!"

   Bun Hwi mendelong, dan kaget oleh cerita ini Bun Hwi berseru kepada pangeran itu.

   "Jadi ibunda selir Kui Bwee yang tewas, kanda pangeran? Siapa yang membunuhnya....?"

   "Hm, tidak ada yang tahu, adik Bun. Tapi menurut desas-desus ibumu itulah yang membunuh bibi Kui Bwee. Dia dituduh begini karena ibumu itu meninggalkan istana setelah kematian bibi Kui Bwee, meracun minumannya lewat seorang dayang....!"

   "Aah....!"

   Bun Hwi kembali tertegun tapi Pangeran Ong yang melihat pemuda itu termangu-mangu sudah menyentuh lengannya dengan lembut.

   "Tapi jangan kau khawatir, adik Bun. Aku tidak mempercayai tuduhan orang ini. Aku tahu benar watak ibumu itu, mana mungkin ia membunuh bibi Kui Bwee? Ibumu itu adalah seorang wanita yang berperangai halus, adik Bun, dan tewasnya bibi Kui Bwee bagiku tentulah dilakukan orang lain yang hendak mengeruhkan suasana di air kotor. Aku lebih condong kepada dugaan bahwa orang ketigalah yang menjatuhkan tuduhan ini di pundak ibumu, dan Pangeran Yin yang terpengaruh dugaan itu mendendam setinggi langit kepada ibumu. Karena itu berhati-hatilah, adik Bun. Dan sekali kau bertemu dengan pangeran ini sebaiknya kau menyingkir di tempat yang aman....!"

   Bun Hwi mengangguk hambar dan tatapan matanya yang kosong ke depan membuat anak laki-laki itu termenung. Dia mendapat tambahan berita yang lebih banyak, tapi Bun Hwi yang tiba-tiba mengerutkan alis itu teringat masalah Naga Lilin.

   "Kanda pangeran, lalu bagaimana dengan masalah Naga Lilin itu? Benarkah Cupu Naga disembunyikan dalam perut ikan ini?"

   "Hm, memang begitulah yang kudengar, adik Bun. Tapi aku merasa lebih yakin setelah melihat benda- benda ini. Kau kenal ini, bukan?"

   Pangeran itu tiba- tiba mengambil sesuatu dari balik bajunya yang indah, dan ketika dia mengeluarkan sebuah mainan anjing yang terbuat dari batu giok tiba-tiba Bun Hwi berseru tertahan.

   "Eih, dari mana kau peroleh ini, kanda pangeran?"

   Bun Hwi memandang kaget. Tapi pangeran itu tertawa, dan tersenyum lebar dia berkata kepada Bun Hwi.

   "Ini kudapat dari seseorang, adik Bun. Apakah kau kenal dengan mainan ini?"

   Bun Hwi mengangguk bingung.

   "Ya... ya, itu... itu bukankah kepunyaanku, kanda pangeran? Siapa yang memberikan mainan ini kepadamu...?"

   Bun Hwi terbelalak heran dan terkejut oleh mainan batu giok itu tiba-tiba dia sudah meraih barang ini dari tangan temannya. Pangeran Ong menyerahkan benda itu, dan tertawa dengan muka berseri dia berkata.

   "Adik Bun, rupanya benar benda ini punyamu. Apakah betul kau kehilangan benda ini?"

   Bun Hwi mengawasi teliti. Dia mengangguk dan terheran-heran, tapi melihat pangeran itu tersenyum kepadanya membuat Bun Hwi tiba-tiba gugup.

   "Kanda pangeran, ini memang persis punyaku. Tapi betulkah benda ini milikku?"

   "Hm, kenapa bukan, adik Bun? Bukahkah akupun menerimanya dari seseorang?"

   "Tapi... tapi, oh... menurut Mo-ong ada tertulis sesuatu di mainan batu giok ini, kanda pangeran. Tapi kenapa tulisan itu tidak kulihat?"

   "Ah, tulisan apa, adik Bun? Apa yang dikatakan Mo- ong padamu?"

   Bun Hwi menunduk gugup.

   "Tulisan... tulisan yang katanya menyatakan aku diangkat sebagai putera mahkota, kanda pangeran...!"

   "Ah, itukah?"

   Pangeran ini tertawa.

   "Mungkin Mo- ong main-main kepadamu, adik Bun. Bukankah ternyata di batu giok ini tidak ada tertulis apa-apa?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Ya, tapi... hm, sudahlah, aku juga sebenarnya tidak tertarik untuk menjadi putera mahkota segala, kanda pangeran! Hanya kenapa Mo-ong harus menipuku?"

   Pangeran Ong berkata halus.

   "Kakek itu memang suka mempermainkan orang, Bun-te. Jangan kau ambil hati dalam persoalan kecil ini. Yang penting, batu giokmu telah kembali seperti semula, bukan?"

   Bun Hwi menarik napas panjang.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ya, terima kasih, kanda pangeran. Mudah-mudahan kelak benda ini tidak sampai tercuri orang lagi. Tapi bagaimana hubungannya benda ini dengan keyakinanmu tadi?"

   "Hm, ini memang ada sangkut-pautnya, Bun-te. Karena orang yang meninggalkan batu giok itu memberikan bukti kepadaku bahwa Cupu Naga memang benar-benar disimpan dalam perut ikan beracun itu. Kau tentu tahu tentang keganasan racun Naga Lilin, bukan?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Ya, dan aku heran bagaimana ikan yang mengandung racun itu dapat dibawa keluar dari istana, kanda pangeran."

   "Ah, itulah karena benda yang kini ada di tanganmu itu, adik Bun. Karena mainan batu giok itulah yang sesungguhnya merupakan penolak bagi racun ikan berbahaya itu!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Mainan ini penolak racun Naga Lilin, kanda pangeran?"

   "Ya, dan kau lihat mengapa orang dapat membawa ikan beracun itu dari dalam istana, Bun-te. Karena tanpa ini sesungguhnya orang itu bakal tewas terkena racun ikan yang amata berbahaya ini!"

   "Aah...!"

   Bun Hwi terbengong. Lalu terkejut oleh jawaban itu berserulah Bun Hwi dengan muka keheranan.

   "Jadi orang yang mencuri Naga Lilin itu menggunakan mainan batu giok ini sebagai penangkal racun, kanda pangeran? Dia berani mencuri ikan itu karena pertolongan mainan batu giok ini?"

   Pangeran Ong mengangguk.

   "Memang begitulah, adik Bun. Dan aku sekarang yakin bahwa berita disembunyikannya Cupu Naga di dalam perut ikan itu memang sesungguhnya benar. Dan ini baru kuyakini setelah aku mendapatkan benda itu dari tangan seseorang....!"

   Bun Hwi memandang terbelalak.

   "Kanda pangeran, siapakah sesungguhnya orang itu?"

   Tapi pangeran ini tersenyum kecil.

   "Maaf, aku terikat perjanjian dengannya, adik Bun. Jangan desak aku untuk mengatakan hal itu."

   Bun Hwi tertegun. Tapi menganggukkan kepala diapun berkata.

   "Baiklah, aku tidak akan bertanya tentang orang aneh itu, kanda pangeran. Tapi bisakah kau katakan mengapa kau memilih aku untuk urusan Cupu Naga ini? Bukankah kukatakan tadi bahwa kau memiliki banyak orang-orang pandai?"

   "Hm, ini memang kusengaja, adikku. Karena untuk menghindar dari korban yang sia-sia aku sengaja mencarimu untuk menemukan Cupu Naga ini. Dan karena cupu itu disembunyikan di perut Naga Lilin maka kusuruh Mo-ong mencarimu. Bukankah sudah kau dengar betapa empat orang nelayan di desa Cun-leng tewas gara-gara ikan beracun ini?"

   Bun Hwi menarik napas menyesal.

   "Ya, dan hal itu sungguh tidak kuduga, kanda pangeran. Karena kalau aku tahu sebelumnya tentu akan kucegah mereka itu membawa ikan yang amat beracun ini."

   "Tapi kau sendiri tidak apa-apa, adik Bun! Bukankah kau kebal terhadap segala jenis racun seperti apa yang kudengar?"

   Bun Hwi tertawa kecut.

   "Itu memang betul, kanda pangeran. Dan agaknya karena inilah kau lalu mencariku. Bukankah demikian, kanda pangeran?"

   Pangeran itu menyeringai jujur.

   "Ya, memang tidak kusangkal, adik Bun. Tapi ini semua kulakukan karena aku tidak ingin ada korban-korban berjatuhan dalam usaha mencari Naga Lilin itu. Bukankah hanya kau seorang yang dapat menjinakkan ikan itu?"

   Bun Hwi menghela napas.

   Dia sebenarnya tidak ingin menonjolkan diri dengan menyatakan dia kebal terhadap semua racun.

   Tapi karena orang telah mengetahuinya maka diapun diam saja.

   Namun Bun Hwi tiba-tiba teringat sesuatu, dan mengangkat mukanya diapun bertanya.

   "Kanda pangeran, kalau seandainya Cupu Naga telah kau dapatkan apa yang akan kau lakukan? Ingin mendapat hadiah jabatan putera mahkota itukah?"

   Pangeran ini menyeringai aneh.

   "Aku tidak tertarik pada kedudukan itu, adik Bun. Bukankah dsh kukatakan tadi bahwa aku tidak cocok menjadi kepala pemerintahan? Tidak... tidak, adik Bun... aku melulu mencari cupu itu karena tugas yang diberikan ayahanda kaisar di atas pundakku. Dan masalah kedudukan yang dijanjikan sri baginda bukanlah soal utama bagiku!"

   "Hm, lalu bagaimana dengan hadiah itu, kanda pangeran? Bukankah ini adalah hak setiap orang yang mendapatkannya?"

   "Ah, itu kuserahkan saja kepada kebijaksanaan kaisar, adik Bun. Dan kalau benar aku yang mendapatkannya aku justeru hendak menjelaskan kepada beliau bahwa semua ini adalah berkat bantuanmu. Kaulah yang bakal kuusulkan kepada ayahanda kaisar untuk menduduki jabatan ini, karena kaulah yang sesungguhnya telah dipilih oleh kaisar untuk mewarisi tahta kerajaannya...!"

   Bun Hwi terkejut bukan main.

   "Tapi akuk tidak berminat untuk menduduki jabatan itu, kanda pangeran!"

   Serunay kaget. Tapi pangeran ini tertawa.

   "Hm, itu bisa saja dijadikan alasan, adik Bun. Kalau sri baginda sudah menentukan begitu masa kau menolaknya?"

   Bun Hwi bangkit berdiri.

   "Kalau begitu, aku tidak akan membantumu, kanda pangeran. Aku melepaskan janjiku bila kau mendesakku seperti itu!"

   Dan Bun Hwi yang pucat mukanya ini siap meloncat turun dari atas kereta. Namun Pangeran Ong menyambar lengannya, dan pangeran yang diam-diam menjadi girang luar biasa itu pura-pura kaget.

   "Aih, kenapa harus begitu, adik Bun? Masa begini saja kau lalu ngambek? Wah... wah, tahan dulu, adikku, jangan marah-marah kepadaku. Baiklah, kutarik maksudku kalau begitu. Biarlah kau tinggal bersamaku dan tidak akan kusinggung-singgung lagi masalah itu!"

   Dan Pangeran Ong yang sudah tertawa menyeringai ini memeluk pundak Bun Hwi dengan sikap lemah lembut.

   "Bun-te, kenapa kau jadi pemberang begini? Terlalukah godaanku tadi?"

   Bun Hwi gemetar mukanya. Dia memang "ngeri"

   Membayangkan bahwa dia betul-betul dijadikan putera mahkota.

   Maka ketika pangeran itu berjanji kepadanya untuk tidak mengungkit-ungkit lagi masalah ini diapun menjadi sedikit tenang.

   Hanya sikap Pangeran Ong yang dirasanya sedikit dibuat- buat itu membuat dia mengerutkan alis.

   "Kanda pangeran, lain kali jangan bersikap serius begitu kepadaku. Aku tidak suka."

   Bun Hwi cemberut.

   "Bukankah masih banyak pangeran yang jauh lebih tepat dibanding aku?"

   Pangeran itu tersenyum.

   "Ya, maafkan aku, adik Bun. Aku tadi hanya sekedar menjajagi isi hatimu. Siapa menyangka bahwa kau benar-benar menolak maksud baik itu? Bukankah kita sejalan kalau begini? Ah, sudahlah adik Bun. Kita tak usah lagi mengungkit-ungkit masalah ini. Biarlah itu kita serahkan saja kepada kebijaksanaan sri baginda kaisar...!"

   Dan Pangeran Ong yang tertawa gembira itu mendampingi Bun Hwi dengan muka berseri-seri. Tapi sais kereta tiba-tiba menghentikan kudanya. Pangeran Ong terheran, dan baru dia hendak bertanya mendadak kusir kereta itu sudah melongok ke dalam.

   "Pangeran, di depan ada sebuah kereta lain. Apakah hamba hentikan dulu perjalanan kita?"

   Pangeran ini terbelalak.

   "Kereta siapa, Hu Lai? Kau kenal kendaraannya?"

   Sais ini mengangguk.

   "Ya, hamba mengenalnya, pangeran. Kereta milik paduka Pangeran Yin!"

   "Oh....!"

   Pangeran Ong terkejut, lalu berseru kepada sais keretanya pangeran itu mengibaskan legnan.

   "Kalau begitu cepat kita bersembunyi, Hu Lai. Kita lihat apa yang dibawa adik Pangeran Yin!"

   Dan Pangeran Ong yang tampak tergesa-gesa itu menyuruh sais keretanya agar buru-buru menyembunyikan kereta.

   Tak ayal, kusir kereta ini menghentakkan tali les kudanya dan begitu dia memberi aba-aba kereta itupun sudah membelok di tempat yang rimbun.

   Sais kereta dan Pangeran Ong sudah sama-sama memberi isyarat mata tanpa diketahui Bun Hwi, dan pangeran muda yang melompat turun itu mengulurkan lengannya.

   "Adik Bun, mari ikuti aku. Kita lihat apa yang akan diperbuat oleh kereta di depan."

   Bun Hwi mengerutkan alis.

   "Kanda pangeran, kenapa kau harus bersembunyi? Bukankah kereta di depan adalah milik saudaramu sendiri seperti yang dikatakan sais keretamu?"

   "Hm, ini bukan masalah bersembunyi, adik Bun. Aku hanya ingin menolongmu. Bukankah kau dengar tadi bahwa Pangeran Yin mencari-carimu? Dan kalau dia bertemu kita dengan kau di sini keadaan bisa menjadi tidak enak, adik Bun. Karena itulah kita terpaksa bersembunyi.... semata-mata demi keselamatanmu!"

   Bun Hwi tersadar.

   "Ah, begitukah, kanda pangeran?"

   Anak ini terbelalak.

   Lalu berdebar tidak nyaman diapun melompat turun mengikuti ajakan temannyai itu.

   Pangeran Ong mengajak mereka bersembunyi di semak-semak yang lebat, kemudian menguak sedikit permukaannya pangeran itupun mengintai ke depan.

   Bun Hwi juga memandang, dan begitu mereka mengarahkan mata ke depan sudah terdengarlah derap kereta berkuda itu.

   Dan Pangeran Ong yang melihat ini cepat berbisik di telinganya.

   "Itulah kereta adik Pangeran Yin, Bun-te. Mengherankan benar bagaimana tiba-tiba dia bisa berada di tempat ini!"

   Dan pangeran yang tampak mengerutkan alis itu mengawasi jalan berbatu dengan penuh perhatian.

   Sekarang mereka melihat jelas rombongan pendatang ini, sebuat kereta yang dikawal empat ekor kuda.

   Dan Bun Hwi yang melihat seorang laki- laki pendek berkulit hitam berkepala botak berada di antara mereka tiba-tiba saja mengeluarkan seruan terkejut.

   "Eh, bukankah itu Pek-bong Lo-mo, kanda pangeran?"

   Pangeran Ong tercengang.

   "Kau kenal dia, adik Bun? Kau kenal si setan botak itu?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Ya, aku kenal cukup baik, kanda pangeran. Dia dulu pernah memburu-buruku!"

   "Ah!"

   Pangeran ini terkejut dan terbelalak memandang Bun Hwi dia bertanya perlahan.

   "Jadi Pek-bong Lo-mo pernah bertemu denganmu, Bun- te? Dan dia pernah menangkapmu?"

   "Hm, untuk itu dia tidak berhasil, kanda pangeran,"

   Bun Hwi menggeleng gemas.

   "Tapi sikapnya yang memuakkan benar-benar membuat aku tidak suka kepada si setan botak itu!"

   Pangeran ini tertawa dan menepuk pundak Bun Hwi dia menjawab.

   "Pek-bong Lo-mo memang setan yang memuakkan, adik Bun. Tapi kalau kau penasaran terhadapnya biarlah kelak Mo-ong yang akan menghajarnya. Dia memang pengawal adik Pangeran Yin, tapi setan botak itu sesungguhnya hanya merupakan pengawal nomor dua!"

   Bun Hwi tertegun.

   "Pek-bong Lo-mo pengawal nomor dua, kanda pangeran? Kalau begitu siapa pengawal nomor satunya?"

   Pangeran ini menyeringai.

   "Suhengnya sendiri, adik Bun. Iblis timur yang berjuluk Tung-hai Lo-mo. Dia itulah pengawal yang paling diandalkan oleh adik Pangeran Yin dan Pek-bong Lo-mo yang kali ini mengawalnya tentu tidak disertai si iblis dari timur itu!"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Tung-hai Lo-mo, kanda pangeran? Jadi Pangeran Yin mempunyai dua orang pembantu yang amat lihai itu?"

   "Hm, mereka memang lihai, Bun-te. Tapi kukira masih tidak lebih lihai dari Mo-ong yang menjadi pengawalku paling utama itu...!"

   Pangeran Ong menghentikan kata-katanya dan detak roda kereta Pangeran Yin yang sudah mendekati persembunyian mereka membuat pangeran itu tidak mengeluarkan suara lagi.

   Dia memandang tanpa berkedip sejenakpun, sementara Bun Hwi yang merasa heran oleh kebanggaan suara temannya ini memandang ke depan dengan penuh perhatian.

   Kereta yang dikawal empat ekor kuda itu kini benar- benar sudah dekat dengan mereka, dan Bun Hwi yang mendengar percakapan di antara orang-orang itu mulai mendengarkan suara-suara berat di antara suara ringan yang berasal dari dalam kereta.

   "Lo-mo, benarkah bocah itu membunuh walikota Lauw-yang?"

   Demikian Bun Hwi mula-mula mendengar percakapan ini, suara yang berasal dari dalam kereta. Dan Pek-bong Lo-mo yang mendapat pertanyaan itu tampak menjawab dengan suara parau.

   "Ya, memang demikian menurut kabar yang hamba terima, paduka pangeran. Tapi bocah yang membuat heboh di kota ini hamba dengar sudah melarikan diri bersama seorang bocah cilik, puteri Can-kauwsu yang konon katanya dibunuh pula oleh pembesar she Wong!"

   "Hm, dan kemana jejak bocah itu, Lo-mo? Apakah kau sudah mendapat beritanya?"

   Pek-bong Lo-mo mengerutkan alis.

   "Hamba sudah mendengarnya, pangeran. Tapi barangkali dalam waktu dekat ini kita harus berhati-hati sekali. Seseorang katanya telah menyelamatkan bocah itu, dan Hwa-i Lo-kai yang usil dalam persoalan ini kelak akan hamba cari untuk mendapatkan bocah itu!"

   "Tapi pengemis jembel itu membantu seseorang atau tidak, Lo-mo? Apakah dia melakukan ini atas perintah seseorang?"

   Iblis botak itu menggeleng.

   "Menurut hamba tidak, pangeran. Karena pengemis bangkotan itu tidak mau diperintah siapapun. Dia berdiri seorang diri, dan kalau dia menolong bocah she Bun itu tentu semuanya ini terjadi secara kebetulan!"

   Bun Hwi terkejut mendengar sampai di sini. Dan Pek-bong Lo-mo yang duduk di atas kuda putihnya menggerutu lagi.

   "Dan jembel tua bangka itu harus kita hajar, pangeran. Karena di samping itu hamba dengar dia mulai mempermainkan orang-orang kita. Di dusun Ceng-bun dia menawan tiga orang pembantu hamba, dan pengemis jembel yang bertanya tentang masalah cupu ini konon katanya bermaksud mencegat kita di ujung muara!"

   "Hm, dia mau melakukan itu, Lo-mo?"

   "Ya, ini menurut anak buah kita, pangeran. Tapi sebelum dia mencegat hamba justeru ingin mencari tua bangka itu untuk menghancurkan mulutnya. Dia harus membayar hinaan ini, dan sekali hamba bertemu dengannya tentu pengemis jembel itu akan tahu rasa...!"

   Orang di dalam kereta mengangguk.

   "Itu memang benar, Lo-mo. Tapi bukankah suhengmu juga mencari jembel tua bangka itu?"

   "Ah, ini urusan pribadi suheng sendiri, pangeran. Dia belum tahu kalau jembel kudisan itu telah mengganggu kita."

   "Dan bocah itu masih di tangan pengemis itu, Lo- mo?"

   "Hamba dengar tidak. Tapi berita baru menyebutkan sesuatu yang cukup mengejutkan, pangeran."

   "Apakah itu?"

   "Munculnya Mo-ong di sekitar tempat ini. Dia bersama muridnya konon telah bertemu dengan bocah she Bun itu dan hamba menjadi khawatir Mo- ong telah menangkap bocah ini!"

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah...!"

   Orang di dalam kereta berseru kaget. Dan melongokkan kepala di jendela kereta tiba-tiba Bun Hwi melihat wajah seorang laki-laki cakap mengenakan topi bulu burung rajawali.

   "Lo-mo, kapankah kau dengar berita itu? Dan apakah Mo-ong bersama majikannya?"

   Lo-mo menggeleng.

   "Hamba belum begitu jelas, pangeran. Tapi kalau Mo-ong telah menangkap bocah itu tentu Pangeran Ong juga segera muncul. Hamba menerima kabar ini baru kemarin, jadi kalau ada perubahan mendadak dalam waktu sehari ini tentu kita akan mendengarnya."

   "Hm, kalau begitu cepat kita ke muara, Lo-mo. Beri tahu orang-orang kita agar secepatnya memberi kabar kepada kita bila terjadi sesuatu perubahan!"

   Dan laki-laki cakap yang sudah menarik kepalanya itu menutup tirai kereta dengan muka berubah.

   Bun Hwi melihat laki-laki ini tampak gelisah, dan Pek- bong Lo-mo yang berjalan mengiring kereta menganggukkan kepala dengan sinar mata menyipit.

   **SF** BERSAMBUNG

   Jilid 11 Bantargebang, 30-04-2019, 16.43 SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 11 * * * TAPI seekor kuda tiba-tiba menderapkan langkah dari depan.

   Sesosok bayangan muncul, seorang laki- laki berpakaian hijau.

   Dan Pek-bong Lo-mo bersama rombongannya yang melihat kehadiran laki-laki itu seketika berhenti dengan tiba-tiba.

   Mereka sejenak terkejut, dan orang di dalam kereta yang bukan lain Pangeran Yin itu melongokkan kepalanya.

   "Ada apa, Lo-mo? Kenapa berhenti?"

   Pek-bong Lo-mo menuding.

   "Seseorang mendatangi kita, pangeran. Dia sedang kemari memacu kudanya!"

   "Hm, siapa, Lo-mo? Musuhkah...?"

   Tapi laki-laki baju hijau itu sudah dekat jaraknya. Kuda yang dipacu kencang ini sebentar saja telah tiba di depan mereka, dan Pek-bong Lo-mo yang semula berkerut mukanya itu tiba-tiba berseri.

   "Ah, bukan, pangeran. Justeru dia adalah kurir yang kita pasang di depan. Wu Lao...!"

   Lalu Pek-bong Lo- mo yang sudah melompat turun dari atas kudanya itu menyambut laki-laki ini.

   "Wu Lao, apa kabar?"

   Laki-laki baju hijau itu menarik tali kekangnya kuat- kuat. Dia rupanya tergesa-gesa, dan begitu kudanya meringkik keras diapun sudah melayang turun dengan muka penuh keringat.

   "Ciangkun, hamba membawa berita baru. Bocah she Bun itu dibawa Ong-siauw-ya...!"

   Pek-bong Lo-mo terkejut. Tapi belum dia bersuara tiba-tiba Pangeran Yin yang ada di dalam kereta berseru.

   "Wu Lao, apa yang kau bawa? Kapan kau dapat berita itu?"

   Laki-laki baju hijau ini berlari mendekati kereta. Lalu berlutut di samping kereta diapun berseru kepada pangeran ini.

   "Pangeran, hamba mendapatkan berita baru. Bocah she Bun yang paduka cari itu telah ketemu, tapi kini dia berada dalam tawanan Ong- siauwya!"

   Pangeran Yin terkejut.

   "Kapan kau lihat kejadian ini, Wu Lao?"

   "Baru saja, pangeran, dua jam yang lalu. Hamba mengikuti jejak kereta Ong-siauwya tapi tiba-tiba kehilangan jejak ketika kereta itu membelok di sebuah tikungan!"

   "Dan kau tahu kemana tujuan mereka, Wu Lao?"

   "Tampaknya ke timur, pangeran. Menuju muara seperti yang paduka lakukan ini!"

   "Hm..."

   Pangeran Yin tertegun, dan menoleh ke arah pembantunya pangeran itu bertanya.

   "Lo-mo, bagaimana pendapatmu? Kita teruskankah perjalanan ini?"

   Pek-bong Lo-mo menyeringai.

   "Hamba kira biar tetap seperti rencana semula saja, pangeran. Dan masalah bocah itu biarlah hamba cari kalau begitu. Hamba akan menggantikan tugas Wu Lao ini, menemukan jejak kereta Ong-siauwya. Dan kalau ketemu hamba akan mengambil bocah itu untuk paduka!"

   "Ah, tapi jangan bersikap kasar, Lo-mo. Kanda pangeran bisa marah kepadaku kalau kau bersikap kurang ajar!"

   "Ah, bukan begitu maksudnya, pangeran. Hamba artikan di sini bahwa hamba diam-diam akan menyelidiki kereta Ong-siauwya itu, dan bila telah hamba temukan hamba akan menculik bocah itu untuk dibawa ke paduka. Bukankah begini hamba tidak merepotkan anda, pangeran? Pek-bong Lo-mo tertawa. Pangeran Yin tersenyum, dan berseri kepada pembantunya itu pangeran ini berkata.

   "Baiklah kalau begitu boleh, Lo-mo. Tapi harap kau ingat satu hal bahwa jangan kau menyulitkan aku untuk penculikan ini. Berhati-hatilah kau mengambil bocah she Bun itu, dan kalau perlu kau gunakan kedok agar kanda Pangeran Ong tidak mengenalmu...!"

   Pek-bong Lo-mo tertawa lebar.

   "Paduka jangan terlalu khawatir, pangeran. Hamba akan berhati-hati sesuai dengan keinginan paduka. Tapi di tikungan mana Wu Lao terakhir bertemu dengan kereta Ong- ya?"

   Kini laki-laki baju hijau itu bangkit berdiri.

   "Hamba terakhir bertemu dengan kereta itu di tikungan luar hutan, ciangkun. Kira-kira tujuh li dari sini, utara jalan di bukit Siong. Tapi karena tempat itu penuh pohon-pohon tinggi hamba kehilangan jejaknya terhalang pandangan."

   "Baik, dan bersama siapa Ong-ya dikawal, Wu Lao? Apakah Mo-ong ada di sana?"

   "Hamba tidak melihatnya, ciangkun. Tapi kereta itu hanya berjalan sendirian bersama kusirnya."

   "Dan Ong-ya bertiga dengan bocah she Bun itu, Wu Lao?"

   "Begitulah, ciangkun. Tapi hamba tetap cemas bahwa diam-diam kereta Ong-ya itu pasti diikuti orang-orangnya karena membawa barang penting!"

   "Ah, ini wajar, Wu Lao. Tapi kau tidak tahu kemana Mo-ong pergi?"

   "Hamba tidak mampu mengikutinya, ciangkun. Kakek iblis itu terlalu lihai bagi hamba!"

   "Baiklah...!"

   Pek-bong Lo-mo tertawa.

   "Tapi yang jelas kereta Ong-ya hanya sendirian bukan, Wu Lao? Tidakkah pengawal lain mengiringi pangeran itu?"

   Wu Lao menggeleng.

   "Sepengetahuan hamba memang begitu, ciangkun. Tapi membeloknya kereta itu membuat hamba bingung kemana mereka ini sebenarnya pergi."

   "Sudahlah,"

   Pek-bong Lo-mo mengibaskan lengan.

   "Ini urusanku yang akan kuselesaikan. Asal pangeran itu sekitar tujuh sampai sepuluh li dari tempat ini tentu aku akan dapat menemukan mereka,"

   Lalu menoleh kepada Pangeran Yin, Pek- bong Lo-mo menjura.

   "Pangeran, perkenankan hamba pergi. Hamba akan mencari jejak kereta Ong-ya dan mengambil bocah she Bun itu untuk paduka!"

   Dan Pek-bong Lo-mo yang sudah memberi hormat itu memutar tubuh. Namun Pangeran Yin masih mengulangi seruannya.

   "Lo-mo, ingat pesanku tadi. Jangan sampai kanda pangeran tahu kehadiranmu. Berhati-hatilah!"

   Dan Pek-bong Lo-mo yang menganggukkan kepalanya itu sudah mengiyakan sambil tertawa lebar.

   Setan botak yang sudah melompat jauh itu berkelebat ke depan, dan begitu dia mengerahkan ginkangnya maka lenyaplah iblis hitam ini meninggalkan rombongan Pangeran Yin.

   Dia tampaknya gembira, dan Bun Hwi serta Pangeran Ong yang melihat semua kejadian itu di depan mata mereka jadi saling pandang dengan sinar mata geli.

   Mereka berdua merasa lucu atas semuanya ini, karena Lo-mo yang hendak mangsanya itu sama sekali tidak tahu bahwa orang yang dicari sebetulnya berada di depan hidung! Dan cerita Wu Lao itu, si kurir Pangeran Yin yang menyatakan Bun Hwi "ditawan"

   Pangeran Ong.

   Siapa tidak geli mendengar ceritanya ini? Bukankah itu semua kabar simpang- siur yang amat bertolak belakang dengan kenyataannya? Maka Bun Hwi yang merasa lucu ini diam-diam tertawa di dalam hati.

   Dia memandang Pangeran Ong, dan sang pangeran sendiri yang juga memandangnya sambil tersenyum lebar itu sama- sama merasa geli.

   "Adik Bun, mereka hendak menculikmu. Apa yang hendak kau lakukan?"

   Pangeran Ong berbisik geli dengan mata bersinar-sinar.

   "Ah, itu biarkan saja, kanda pangeran. Bukankah Lo- mo bakal kesasar-sasar mencari kita? Atau kanda mau pura-pura menjebak iblis botak itu?"

   Pangeran ini tertawa.

   "Aku tidak berani main-main dengan iblis botak itu, Bun-te. Karena sekali dia menemukan kita aku justeru khawatir kau betul- betul akan diculiknya...!"

   Bun Hwi tersenyum kecut.

   "Tapi aku dapat berteriak, kanda. Dan kalau betul Lo-mo mempergunakan kedok untuk mencari kita kau dapat meminta kembali diriku yang diculiknya secara paksa ini!"

   "Hm, tapi itu berarti aku harus berurusan dengan adik Pangeran Yin, Bun-te. Dan kalau ini terjadi tentu kita berdua bakal terlibat dalam pertikaian besar!"

   Dan Pangeran Ong yang sudah memberi isyarat itu tiba-tiba menuding ke depan.

   "Sst, lihat, mereka berangkat lagi, Bun-te. Perhatikan arah yang mereka lalui...!"

   Dan Pangeran Ong yang tampak tersenyum itu memperhatikan rombongan adiknya ini.

   Mereka melihat Pangeran Yin menyuruh kereta bergerak lagi, dan rombongan pengawal yang kembali mengiringi jalannya kereta berkuda itu sudah mendetakkan langkah menuju ke timur.

   Mereka rupanya benar akan menuju muara, dan Bun Hwi yang menarik napas ini berbisik.

   "Kanda, rupanya Pangeran Yin sama dan setujuan dengan maksudmu. Bagaimana sekarang dengan rencanamu semula?"

   "Ah, kita teruskan semuanya ini, Bun-te. Aku tidak khawatir bila berjumpa dengan adikku itu di muara. Tapi ancaman Pek-bong Lo-mo, bagaimana sebaiknya kita atur?"

   "Yah, terserah kau saja, kanda pangeran. Aku sih, tidak takut menghadapi setan botak itu. Dan kalau benar dia akan menculikku tentu aku akan melawannya!"

   "Hm, itu memang semestinya, Bun-te. Tapi karena sekarang kau bersamaku maka keselamatanmu adalah menjadi kewajibanku. Baiklah, kita teruskan saja perjalanan ini, dan kalau Pek-bong Lo-mo menemukan jejak kita sebaiknya kita berhati-hati. Lebih baik kau tetap di sisiku, Bun-te, hingga kalau Lo-mo datang aku dapat menegurnya dengan cara baik-baik agar dia membatalkan niatnya! Kau setuju, bukan?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Aku sependapat, kanda. Dan kalau betul iblis botak itu menggangguku tentu bakal kubalas perlakuannya yang dahulu!"

   "Aha, itu rencana bagus, Bun-te. Tapi sebaiknya kau berhati-hatilah menghadapi setan satu ini. Dia lihai, dan kalau tidak terpaksa janganlah kita melakukan kekerasan disini. Mari kita berangkat!"

   Dan pangeran muda yang sudah menarik lengan Bun Hwi itu mengajak anak laki-laki ini memasuki kereta.

   Bun Hwi menurut, lalu bersama kusir kereta mereka bertigapun sudah menderapkan langkah mengikuti kereta Pangeran Yin jauh di belakang.

   Kini berbaliklah keadaan pangeran itu.

   Bun Hwi yang sedianya dicari justeru mengintil di belakang dan Bun Hwi yang diam-diam merasa geli itu bercakap- cakap gembira dengan temannya yang duduk di sebelah kirinya.

   Tidak tahu, betapa sesosok bayangan tinggi kurus diam-diam mengawasi semua gerak-geriknya di belakang kereta! *S*F* Malam itu Bun Hwi dan Pangeran Ong berhenti di sebuah hutan kecil.

   Mereka telah memasuki daerah muara Sungai We-kiang, dan seharian penuh mengikuti kereta lawan di depan membuat mereka merasa penat juga.

   Pangeran Ong mengajak mereka bersembunyi di dalam hutan, sementara Pangeran Yin dan rombongannya yang berhenti di luar hutan membuat mereka merasa cukup aman.

   Tapi Pangeran Ong tetap bersikap hati-hati.

   Kusir kereta yang hendak menyalakan api unggun dia cegah, dan Bun Hwi yang sudah turun dari atas kereta diminta pendapatnya.

   "Adik Bun, bagaimana kalau malam ini kita beristirahat dalam gelap saja? Bisakah kau menerimanya?"

   Bun Hwi tertawa kecil.

   "Kukira itu terlampau tidak menyenangkan, kanda pangeran. Bagaimana kalau kita nyalakan pelita kecil-kecilan saja? Tidak perlu ditaruh diluar, di dalam keretapun cukuplah sudah."

   "Ah, tapi cahayanya ku khawatir menerobos keluar, adik Bun. Bagaimana kalau terlihat mereka?"

   "Hm, ini terlalu berlebihan, kanda. Jarak antara kita dengan mereka tidak kurang dari ratusan tombak. Mana mungkin nyala pelita akan tampak dari luar? Tidak, kanda pangeran. Kukira ini tidak bakal terlihat mereka, apalagi kita terlindung pohon-pohon besar begini. Masa kita harus demikian khawatir?"

   Pangeran Ong akhirnya setuju dan kusir kereta yang disuruh menyalakan pelita minyak sudah melakukan pekerjaan ini dengan cepat.

   Mereka bertiga samar- samar diterangi lampu kecil, yang terletak di dalam kereta, sementara Pangeran Ong dan Bun Hwi yang duduk melemaskan punggung diluar mengisi waktu dengan bercakap-cakap ringan.

   "Kanda pangeran, dimanakah kita sekarang ini?"

   "Kita berada dekat muara, adik Bun. Tiga atau lima li lagi dari tepi Laut Tung-hai."

   "Dan rombongan di depan juga sudah mengenal tempat ini, kanda?"

   "Tentu saja. Bukankah mereka orang-orang yang banyak berkelana? Eh, omong-omong.... kau lelah, adik Bun? Kalau begitu tidurlah dahulu, biar aku menjaga sebentar diluar."

   Bun Hwi tersenyum.

   "Aku tidak begitu lelah, kanda pangeran. Justeru kalau kau yang penat silahkan beristirahat dahulu. Kukira di dalam kereta cukup hangat, dan kalau nanti kantuk sudah datang akupun akan tidur."

   "Ah, kau menyuruhku beristirahat dalam keadaan seperti ini, adik Bun? Wah, bisa celaka aku! Bagaimana kalau Lo-mo tiba-tiba datang?"

   Bun Hwi tertawa.

   "Aku tidak takut dia datang, kanda pangeran. Tapi kalau benar dia menemukan kita tentu bakal kusambut dia dengan kepalan tinju!"

   "Dan memberi tahu rombongan di depan bahwa kita ada di sini, Bun-te?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Eh, kenapa begitu, kanda?"

   Pangeran ini menarik napas panjang.

   "Habis bagaimana tidak, adik Bun? Bukankah kalau kau ribut-ribut dengan setan botak itu kita bakal ketahuan rombongan di depan? Dan sekali mereka itu datang tentu kitapun bakal konangan. Tertangkap basah dan bakal diketahui bahwa kita secara diam-diam telah memata-matai tindakan mereka!"

   Bun Hwi tersentak juga.

   "Habis bagaimana kalau begitu, kanda pangeran? Apakah harus kubiarkan saja iblis botak itu menculikku?"

   "Hm, tidak begini, adik Bun. Tapi kalau benar iblis botak itu kemari sebaiknya kita usir dia dengan baik- baik. Artinya, jangan sampai terjadi keributan di antara kita dan kalau setan botak itu menyingkir sebaiknya kitapun cepat-cepat berpindah tempat dari sini!"

   "Wah, kucing-kucingan kembali, kanda pangeran?"

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pangeran itu tertawa.

   "Apa boleh buat, adik Bun. Bukankah kau tidak ingin tertangkap?"

   Bun Hwi tersenyum kecut.

   Dia merasa tidak enak membayangkan gangguan Pek-bong Lo-mo itu dan teringat betapa dia menjadi incaran banyak orang tiba-tiba dia merasa tidak nyaman.

   Pangeran Ong masih mengajaknya bercakap-cakap, dan ketika sekali dua dia mengangguk dan menjawab mendadak angin dingin meniup perlahan.

   Bun Hwi mula-mula merasa biasa saja dengan tiupan angin yang lembut ini, tapi ketika hawa dingin itu bercampur dengan bebauan yang aneh tiba-tiba dia menjadi heran.

   "Kanda pangeran, kau mencium sesuatu?"

   Pangeran Ong balik memandangnya.

   "Apa yang kau maksudkan, adik Bun? Mencium apa?"

   Bun Hwi semakin heran.

   "Eh, bau-bauan ini... wewangian yang aneh ini, apakah kau tidak menciumnya, kanda...?"

   Pangeran Ong malah terbelalak.

   "Bebauan apa, adik Bun? Wewangian apa...? Bukankah di tempat ini tidak ada tanaman berbunga?"

   Lalu menoleh ke arah kusir keretanya yang berdiri di dekat kereta pangeran ini berseru.

   "Biauw-ji, kau mencium sesuatu?"

   Kusir kereta ini menggeleng.

   "Tidak, pangeran. Bebauan apa yang paduka maksud?"

   Pangeran Ong tiba-tiba tertawa.

   "Ah, rupanya hidungmu yang mengada-ada, Bun-te. Ternyata kami berdua tidak mencium sesuatu, lalu bau apa yang ditangkap hidungmu ini? Memangnya bebauan kuntilanak yang tercium olehmu?"

   Bun Hwi nyengir.

   "Tidak, kanda pangeran. Hamba jelas membaui sesuatu yang aneh di sini. Apakah kuntilanak biasanya mengeluarkan bebauan seperti ini?"

   "Ha-ha, kuntilanak kudengar memang biasanya mengeluarkan keharuman yang khas dari tubuhnya, adik Bun. Tapi masa di hutan ini ada kuntilanak segala macam? Bukankah mereka itu biasanya muncul di kota?"

   Bun Hwi memandang tak mengerti.

   "Kuntilanak muncul di kota, kanda pangeran? Macam apa mereka itu?"

   Pangeran Ong tertawa geli dan ketika dia hendak menjawab tiba-tiba pangeran ini tersedak. Dia menguap, lalu mengucek matanya dia berkata.

   "Haih, kenapa tubuhku tiba-tiba terasa lemas? Apakah capai setengah hari dalam perjalanan?"

   Kusir kereta juga tiba-tiba menggerutu.

   "Wah, hamba juga begitu, pangeran. Kenapa tubuh mendadak menjadi lemas begini? Dan... hei, hamba mencium bau dupa...!"

   Kusir kereta berseru kaget dan Pangeran Ong yang juga tiba-tiba mengenduskan hidungnya itu terbelalak.

   "Ih, benar juga, Biauw-ji. Aku sekarang mencium bebauan ini. Dupa, atau agaknya hio berasap hijau...!"

   Dan Pangeran Ong yang tiba-tiba berubah mukanya itu menjadi gelisah. Dia rupanya mengenal firasat jelek, tapi ketika dia memandang Bun Hwi anak laki-laki ini justeru tertawa.

   "Nah, apa kataku tadi, kanda pangeran? Bukankah ada sesuatu bebauan di tempat ini? Dan kalau itu dupa agaknya memang betul juga! Tapi darimana dupa ini berasal? Dan hei... aku tiba-tiba mengantuk! Kanda pangeran, apakah kau juga merasakan kantuk ini?"

   Bun Hwi tiba-tiba menjadi heran.

   Dia melihat Pangeran Ong menggigil seperti orang kedinginan, lalu sementara tubuhnya bergoyang-goyang temannya itu sudah ambruk di atas tanah.

   Aneh sekali, Pangeran Ong itu sudah tidur tanpa bicara apa-apa lagi, dan ketika Bun Hwi menoleh ke arah kusir kereta mendadak kusir yang bernama Biauw-ji itupun sudah roboh di atas tanah dan tidur mendengkur! Bun Hwi menjadi kaget bukan main dan sementara dia tertegun sekonyong-konyong angin dingin yang meniup tubuhnya menerpa keras.

   Bebauan yang seperti dupa itu menyengat hidungnya, dan ketika Bun Hwi terheran-heran tiba-tiba diapun merasakan rasa kantuk yang amat luar biasa kuatnya menyerang dia.

   Bun Hwi kurang pengalaman, dan ketika anak laki-laki ini terbelalak seorang diri tahu- tahu diapun sudah bergoyang dengan kaki lemas.

   Bun Hwi roboh tanpa disadari, dan begitu dia roboh tiba-tiba Bun Hwi yang hampir menutup mata ini melihat sesosok bayangan tinggi kurus berkelebat ke arahnya.

   "Hei....!"

   Bun Hwi berseru kaget tapi tubuh yang sudah terjengkang di atas tanah ini tak dapat dia kendalikan lagi.

   Bun Hwi terguling lemas, dan anak laki-laki yang terserang kantuk yang amat luar biasa itu sudah tertidur pulas tanpa tahu apa-apa lagi! Bun Hwi telah mengikuti jejak dua orang temannya yang tidur mendengkur, dan bayangan tinggi kurus yang telah menyambar tubuh Bun Hwi berkelebat di kegelapan malam meninggalkan kusir kereta dan Pangeran Ong yang tak sadarkan diri oleh pengaruh aji sirap! *S*F* Malam itu juga Bun Hwi dibawa lari oleh laki-laki yang misterius ini.

   Bayangan tinggi kurus yang berlari cepat menerobos semak-semak belukar itu membawa anak laki-laki ini keluar hutan, dan ketika dia sampai di dekat padang ilalang yang penuh rumput-rumput tinggi mendadak dia membelok.

   Sebuah rumah kecil yang terbuat dari atap rumbia dihampirinya tergesa-gesa, dan begitu dia melompat masuk maka beradalah mereka di dalam sebuah ruangan yang sempit penuh debu.

   Tapi laki-laki tinggi kurus ini melompat ke sudut sebelah barat, lalu sekali tangannya memutar sebuah alat rahasia di dalam ruangan ini tiba-tiba tanah di atas kakinya bergerak.

   Sebuah lubang menganga di depannya, lalu begitu dia melayang turun maka tibalah laki-laki itu di sebuah gua yang gelap gulita.

   Laki-laki ini menyalakan sebuah lilin, dan cahaya redup yang remang-remang menerangi ruang bawah tanah itu membuat laki-laki ini termangu sejenak.

   Dia rupanya sedang menimbang, apa yang harus dilakukannya.

   Tapi begitu sebuah keputusan sudah didapatnya maka tiba-tiba diapun meneruskan langkahnya menyelinap di lorong-lorong bawah tanah yang berliku-liku itu.

   Ada tujuh delapan kali dia berbelok, dan ketika akhirnya dia berada di sebuah tempat semacam kamar batu yang tegak menjulang tiba-tiba laki-laki ini berhenti.

   Sesosok tubuh membujur diam di atas batu segi empat yang berfungsi sebagai tempat tidur, dan laki-laki yang sudah meletakkan Bun Hwi di atas lantai itu menghampiri tubuh yang membujur ini dengan kening berkerut.

   "Enci Hong, anak ini telah kubawa. Apa yang hendak kau perbuat?"

   Tubuh yang telentang itu mendadak bergerak. Sebuah rintihan lirih terdengar dari mulutnya, tapi wanita yang riap-riapan rambutnya ini tidak mampu memutar lehernya.

   "Adik Ma, kau telah berhasil membawa anak itu...?"

   Laki-laki tinggi kurus ini mengangguk.

   "Ya, enci. Apa perlu kau lihat?"

   Tapi wanita di atas tempat tidur batu itu terisak. Ia menggelengkan kepalanya lemah, lalu tersedu di atas batu hitam itu ia terbata-bata.

   "Wi Ma, jangan sentuhkan anak itu kepadaku... bukankah kau tahu penyakitku? Bawa dia ke ruang samadhi, Wi Ma... sadarkan dia di sana dan biar kulihat dari lubang pada celah-celah dinding ini..."

   Dan laki-laki tinggi kurus yang dipanggil Wi Ma itu mengangguk perlahan.

   Dia mengangkat kembali tubuh Bun Hwi yang belum sadarkan diri, lalu melompat dari pintu kamar batu ini dia memasuki ruangan di sebelah.

   Itulah ruang samadhi yang dimaksud wanita di kamar batu, dan laki-laki tinggi kurus yang meletakkan Bun Hwi di lantai ruangan samadhi ini sudah menotok anak itu dua kali berturut-turut di pundaknya.

   Tapi laki-laki ini tiba-tiba berseru tertahan, karena belum dia menyentuhkan ujung jarinya di pundak Bun Hwi sekonyong-konyong bocah itu sudah membuka mata.

   Kiranya Bun Hwi telah siuman, dan laki-laki tinggi kurus yang tampak terkejut ini melompat ke belakang ketika tiba-tiba Bun Hwi membentak dan menyerangnya! "Hei, kau laki-laki curang itu...!"

   Bun Hwi berteriak marah dan anak yang sudah melompat bangun lalu menyerang si tinggi kurus ini kontan saja membuat lawan terkejut setengah mati.

   Dengan cepat dia mengelak, tapi ketika Bun Hwi masih menubruknya dan menghunjamkan kepalannya tiba-tiba laki-laki ini menghardik.

   "Bun Hwi, tahan seranganmu. Aku bukan musuh...!"

   Dan Bun Hwi yang tiba-tiba ditampar itu roboh terpelanting dengan pekik kecilnya.

   Bun Hwi membentur dinding batu, dan ketika dia melompat berdiri dengan mata terbelalak anak laki-laki ini tertegun dengan mata tidak berkedip.

   Ternyata di depannya berdiri seorang laki-laki tua bermuka putih, dan Bun Hwi yang memandang penuh kecurigaan ini mengawasi lawan dengan sikap tidak bersahabat.

   Tapi laki-laki tinggi kurus itu menarik napas panjang, lalu menggapaikan lengannya dia berseru.

   "Bun Hwi, kemarilah. Kau mengenal ini, bukan?"

   Bun Hwi terkejut. Dia melihat laki-laki tua itu mengeluarkan sebuah mainan batu giok dari balik sakunya, dan Bun Hwi yang tercengang ini tiba-tiba saja menjadi marah.

   "Orang tua, kau mencuri barangku?"

   Tapi laki-laki tinggi kurus itu tersenyum pahit.

   "Bun Hwi, jelek-jelek aku adalah seorang tosu. Kenapa harus mencuri barang orang lain?"

   "Tapi kau mengambil barangku itu, kakek tua! Bukankah itu mainanku?"

   "Hm, coba raba dahulu isi bajumu, bocah. Jangan terburu-buru menuduh orang lain. Benarkah benda itu telah hilang dari sakumu?"

   Bun Hwi kini meraba isi bajunya.

   Dia cepat-cepat meneliti, dan ketika isi bajunya dikeluarkan dan mainan batu giok itu ternyata masih ada di dalam mendadak saja anak ini tertegun.

   Dia terbengong seakan bermimpi, dan Bun Hwi yang melihat dua buah mainan batu giok kembar kini ada di tangannya dan di tangan kakek tua itu tiba-tiba Bun Hwi terkejut.

   "Eh, ini... ini... kau juga punya mainan seperti yang kupunyai, orang tua...? Kau memalsu barang mainanku...?"

   Laki-laki tinggi kurus itu mendadak batuk-batuk kecil. Dia mengurut lehernya sejenak, lalu berkata serak dia menuding mainan di tangan Bun Hwi.

   "Justeru mainan itulah yang palsu, Bun Hwi. Kau ditipu mentah-mentah oleh sahabatmu di dalam kereta...!"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Pangeran Ong maksudmu, kakek tua?"

   "Ya, siapa lagi? Bukankah bersama dia kau kumpul? Dan dia menjebakmu dalam permainan yang berbahaya, Bun Hwi. Sekali aku lengah mengawasimu tentu keselamatanmu bakal terancam!"

   Bun Hwi terkejut sekali sekarang.

   "Kakek tua, kau siapakah? Dan kenapa kau menculikku ke sini?"

   "Hm, aku Pek-bin Tojin, Bun Hwi. Sahabat baik calon gurumu itu!"

   Bun Hwi terkesiap kaget. Disebutnya nama "Pek"

   Yang berarti "putih"

   Ini membuat dia teringat nasihat Siauw-bin Lo-koai bahwa dia harus tunduk kepada orang ini, orang yang bermuka putih.

   Dan bahwa laki-laki tua itu menyebut nama Siauw-bin Lo-koai sebagai "calon guru"-nya membuat Bun Hwi tiba-tiba teringat si hwesio gundul itu.

   Kontan, Bun Hwi melenggong dan laki-laki tua yang rambutnya digelung seperti tosu ini memandang kepadanya dengan alis dikerutkan.

   "Kenapa, Bun Hwi, kau curiga kepadaku? Atau Siauw-bin Lo-koai sama sekali belum memberitahumu tentang perkenalan ini?"

   Bun Hwi tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.

   Setelah sekarang laki-laki tua ini menyebut nama Siauw-bin Lo-koai secara langsung dan kakek itu tampaknya tidak bersikap memusuhinya Bun Hwi pun percaya penuh kepada bekas lawan ini.

   Dan berseru nyaring diapun bertanya.

   "Kakek tua, apakah benar kau ini yang dimaksud locianpwe Siauw-bin Lo-koai dengan panggilan paman Pek? Betulkah kau yang dikatakan mempunyai hubungan dekat denganku?"

   Laki-laki tua ini menarik napas panjang.

   "Siauw-bin Lo-koai memang tidak salah, Bun Hwi. Tapi kalau sebutan itu kukira tidaklah tepat. Namun karena hwesio itu telah memberitahumu begini biarlah kau sebut saja aku seperti itu!"

   Bun Hwi memandang heran.

   "Kenapa, locianpwe? Apakah nama itu sebetulnya salah?"

   "Hm, mau dibilang salah memang tidak, Bun Hwi. Tapi kalau dibilang betul itupun juga tidak tepat. Sudahlah, yang jelas aku memang Pek-bin Tojin dan kalau kau memanggilku paman Pek sesungguhnya boleh juga. Apa yang telah diceritakan Siauw-bin Lo- koai kepadamu?"

   Bun Hwi tertegun.

   "Orang tua itu tidak bercerita apa-apa tentang dirimu, locianpwe. Tapi dia menyuruhku agar aku taat kepadamu. Apa sebabnya?"

   Laki-laki ini sekarang memandang tajam.

   "Kau benar datang dari dusun Ki-leng, Bun Hwi?"

   Dia tidak menjawab pertanyaan Bun Hwi.

   "Dan kau melarikan diri dari dusun itu?"

   Bun Hwi berdiri tegak.

   "Aku tidak melarikan diri dari sana, locianpwe. Justeru aku pergi secara baik-baik dari tempat tuan tanah she Bhong itu! Kenapa kau menduganya seperti itu?"

   Laki-laki ini tersenyum.

   "Kau tampaknya tidak senang dituduh seperti ini, Bun Hwi. Kalau begitu kau kenal Ma-lopek, bukan?"

   "Tentu saja. Dia pamanku!"

   "Dan kau diasuhnya sejak kecil?"

   "Ya."

   "Tapi benar sekarang dia telah tewas di tempat hartawan she Bhong itu?"

   Bun Hwi tiba-tiba mengepal tinju.

   "Ini memang benar, locianpwe. Tapi..."

   "Eit, kenapa kau masih memanggilku locianpwe, Bun Hwi? Bukankah Siauw-bin Lo-koai telah menyuruhmu agar memanggil Paman Pek?"

   Laki-laki itu memotong. Dan Bun Hwi yang tergagap bingung menjadi malu sejenak. Tapi anak laki-laki ini telah menganggukkan kepalanya, dan tersipu-sipu gugup dia akhirnya berkata juga.

   "Ya... ya... itu memang benar, paman Pek. Tapi bagaimana kau bisa tahu bahwa aku berasal dari dusun Ki-leng? Siauw-bin Lo-koai locianpwe itukah yang memberitahumu?"

   Pek-bin Tojin tiba-tiba menarik napas panjang.

   "Tidak, aku mengetahui ini karena aku sendiri yang melakukan semuanya ini, Bun Hwi. Dan Siauw-bin Lo-koai yang bercerita sedikit tentang dirimu sesungguhnya telah kuketahui jauh lebih banyak...!"

   Bun Hwi terkejut.

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Apa maksudmu, paman Pek?"

   Laki-laki ini tiba-tiba memandang suram.

   "Bun Hwi, sebelum menjawab pertanyaanmu itu bagaimana rasa hatimu terhadap Ma-lopek? Benarkah kau menganggapnya sebagai pamanmu sendiri, maksudku paman kandung?"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Paman Pek, tidak janggalkah pertanyaanmu ini? Bukankah sudah jelas Ma-lopek pamanku? Dan tentang perasaan hatiku kepadanya tentu saja aku menganggap dia sebagai paman kandung!"

   Laki-laki itu mendadak tertawa getir.

   "Ya, itu memang tidak aneh, Bun Hwi. Karena sudah lebih sepuluh tahun kau berkumpul dengannya. Tapi pernahkah pamanmu itu bercerita padamu bahwa kau ini sesungguhnya bukan sanak kerabatnya?"

   Bun Hwi terkejut bukan main.

   "Locianpwe... eh, paman Pek, apa yang kau bilang ini? Aku bukan sanak saudara dari pamanku Ma itu?"

   Pek-bin Tojin menghela napas pendek.

   "Itu memang yang terjadi padamu, Bun Hwi. Bahwa sesungguhnya Ma-lopek memang bukan paman kandungmu. Dia hanyalah pelayanmu, karena Ma- lopek yang kau kira pamanmu itu sebetulnya adalah orang kepercayaan Ma-taijin!"

   Bun Hwi seperti disambar petir. Keterangan singkat yang diceritakan Pek-bin Tojin ini membuat dia tertegun hebat, tapi Bun Hwi yang tiba-tiba gemetar mukanya itu berseru.

   "Paman Pek, kalau begitu siapa pamanku yang sejati? Apa hubungannya dengan Ma-taijin itu...?"

   Laki-laki ini memandang buram. Dia menunduk sejenak, lalu mengangkat kembali mukanya dia berkata lirih.

   "Pamanmu yang sejati ialah Ma-taijin itu, Bun Hwi. Tapi karena dia telah menghilang belasan tahun lamanya maka tidak perlu kau cari lagi..."

   "Ahh...!"

   Bun Hwi menggigil, dan mukanya yang pucat terbelalak memandang Pek-bin Tojin lekat- lekat.

   Dia merasa laki-laki ini menyimpan sebuah misteri yang amat penting, dan Pek-bin Tojin yang tampak menutup mulut jelas menahan diri untuk tidak sampai mengeluarkan rahasia.

   Maka Bun Hwi tiba-tiba berlutut di depannya, dan bertanya dengan suara gemetar Bun Hwi memandang laki-laki ini.

   "Paman Pek, kalau kau tahu lebih banyak tentang diriku maukah kau ceritakan apa sesungguhnya yang sedang kualami ini? Mengapakah diriku banyak diincar orang dan berkali-kali menghadapi bahaya?"

   Pek-bin Tojin memejamkan mata. Dia tampak terharu memandang bocah ini, dan berbisik perlahan dia menjawab agak tersendat.

   "Kau memang anak yang malang, Bun Hwi. Tapi buah yang ditanam ibumu agaknya memberkahimu dengan bermacam- macam kejadian aneh. Kau sudah tahu tentang ayah ibumu, bukan?"

   Bun Hwi menatap gemetar.

   "Ya, tapi... tapi kusangsikan semuanya itu, Paman Pek. Bukankah aku hanya mendengar berita dari luaran saja? Dan Thian-san Giok-li yang mula-mula memberitahukan kedudukanku ini hampir kuanggap gila karena mustahil bagiku...!"

   "Hm, itu tidak mustahil, Bun Hwi. Dan apa yang telah kau dengar dari mulut orang-orang itu sesungguhnya benar. Kau memang keturunan kaisar sekarang, dan ibumu yang menjadi selir sri baginda memang berhak menyebutmu sebagai seorang pangeran!"

   Bun Hwi membelalakkan matanya lebar-lebar.

   "Jadi betul aku..."

   "Ya, itu memang betul, Bun Hwi!"

   Pek-bin Tojin memotong.

   "Kau memang betul pangeran dari Kerajaan Tang. Hanya karena nasib ibumu yang buruk di istana kaisar maka nasibmu ikut-ikutan jatuh dan kini banyak diburu-buru orang yang menjadi musuh ibumu!"

   Bun Hwi bangkit berdiri dan menganggap laki-laki tua ini orang yang dapat dipercaya diapun tiba-tiba mengeluh.

   "Paman Pek, kalau begitu bolehkah kutanya satu hal kepadamu...?"

   Pek-bin Tojin mengangguk.

   "Tanyalah, Bun Hwi. Apa yang ingin kau ketahui?"

   Bun Hwi gemetar mulutnya.

   "Ibuku... ibuku itu, paman Pek... dimanakah ia sekarang? Masih hidupkah ia atau sudah meninggal...?"

   Pek-bin Tojin tiba-tiba melangkah mundur. Muka yang kaget dan kaki yang mendadak menggigil itu membuat laki-laki tua ini tersentak, dan Bun Hwi yang heran oleh sikap orang menjadi terkejut.

   "Paman Pek, kau kenapakah? Bagaimana jawabanmu tentang ibuku itu....?"

   Pek-bin Tojin tertegun.

   Laki-laki ini tampaknya termangu, sementara sinar matanya yang gugup gelisah sejenak membuatnya bingung.

   Tapi ketika Bun Hwi mengulang pertanyaannya dan anak laki- laki itu memegang lengannya tiba-tiba tosu ini menarik napas panjang dan berkata.

   "Maaf, itu pertanyaan yang belum dapat kujawab, Bun Hwi. Tapi kalau tentang masih tidaknya ibumu itu maka dapat kujawab disini bahwa ibumu masih hidup...!"

   Bun Hwi mengeluh tertahan. Dia melepaskan cekalannya pada lengan orang, dan wajah yang cemas tegang itu memandang laki-laki ini dengan mata terbelalak lebar.

   "Paman Pek, benarkah... benarkah ibuku masih hidup? Tapi kenapa kau tidak mau mengatakannya dimana ia sekarang...?"

   Pek-bin Tojin memutar tubuh.

   "Aku belum dapat memberitahumu karena satu dan lain hal, Bun Hwi. Tapi kelak kalau saatnya tiba tentu kaupun akan mengetahuinya sendiri...!"

   Dan Pek-bin Tojin yang serak suaranya itu tiba-tiba menitikkan air mata membuat Bun Hwi terbengong.

   "Paman Pek, kau menangis...?"

   Pek-bin Tojin menggeleng. Dia sudah menyapu sudut matanya dengan lengan baju, dan tosu tua yang tampak prihatin ini batuk-batuk kecil.

   "Tidak... tidak, Bun Hwi. Tapi aku terharu melihat nasib kalian ibu dan anak..."

   Dan Pek-bin Tojin yang sudah berhasil menenangkan guncangan hatinya itu memandang kembali dengan mata suram. Tapi Bun Hwi tiba-tiba menyentuh pinggangnya, dan bertanya gemetar Bun Hwi membuat tosu itu tersentak.

   "Kalau begitu, kau dapat memberi tahu padaku dimana paman sejatiku berada, paman Pek?"

   Tosu ini terbelalak.

   "Untuk apa kau mencarinya, Bun Hwi?"

   "Untuk mencari keterangan tentang dimana ibuku sekarang berada!"

   "Ooh...!"

   Pek-bin Tojin tersurut mundur, dan Bun Hwi yang sudah mengeraskan dagunya itu memandang penuh tuntutan kepada laki-laki tua ini. Pek-bin Tojin tertegun, lalu sementara dia terkesima Bun Hwi sudah mengguncang tubuhnya.

   


Raja Naga 7 Bintang -- Khu Lung Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto

Cari Blog Ini