Ceritasilat Novel Online

Sengketa Cupu Naga 8


Sengketa Cupu Naga Karya Batara Bagian 8



Sengketa Cupu Naga Karya dari Batara

   

   "Paman Pek, kau dapat menolongku dalam hal ini, bukan? Dan kau pasti tidak keberatan menunjukkannya, paman Pek. Karena aku yakin bahwa kau tahu dimana pamanku itu berada!"

   Dan Bun Hwi yang memandang tajam laki-laki ini sudah menjatuhkan diri berlutut dengan muka sungguh- sungguh.

   "Paman Pek, karena kau menyatakan sendiri tahu lebih banyak tentang diriku maka sukalah kau menolongku tidak tanggung-tanggung. Aku ingin menemui ibuku itu, dan sekali aku bertemu dengannya biarlah seumur hidup akan kubayar jasamu itu dengan apa saja!"

   Pek-bin Tojin kembali tertegun.

   Dia termangu- mangu, dan Bun Hwi yang berlutut di bahwa kakinya dipandang nanar.

   Tapi tosu yang tiba-tiba mengatupkan giginya itu mendadak menggeleng kuat-kuat, dan Bun Hwi yang mengangkat mukanya terkejut melihat kakek itu tiba-tiba berseru.

   "Tidak, aku tidak dapat membantumu dalam hal ini pula, Bun Hwi. Dan bila kau ingin mencari pamanmu itu lebih baik kau batalkan saja niatmu yang sia-sia itu...!"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Kau benar-benar tidak mau membantuku dalam masalah ini, paman Pek?"

   "Ya."

   "Dan kenapa kau anggap pencarianku bakal sia-sia?"

   "Karena dia sudah mati!"

   "Ah, tapi kau tadi bilang bahwa pamanku itu pergi entah kemana, paman Pek. Lalu kenapa sekarang kau bilang dia sudah mati?"

   Bun Hwi terkejut. Tapi Pek-bin Tojin mendesis, dan mengepalkan tinju tosu ini berkata marah.

   "Bun Hwi, tidak perlu kau cerewet lagi. Kalau kau percaya padaku maka usirlah jauh-jauh niat mencari pamanmu itu. Dia manusia jahat, dan di samping jahat diapun manusia hina yang tidak perlu kau cari!"

   Bun Hwi tiba-tiba menjadi marah.

   "Paman Pek, kenapa kau menghina pamanku itu? Apa salah dirinya kepadamu?"

   Tosu ini mengerutkan kening.

   "Dia banyak melakukan kesalahan, Bun Hwi. Dan gara-gara kesalahannya inilah maka kau dan ibumu menjadi buruk nasibnya."

   Bun Hwi tertegun.

   "Dan kau tahu ini, paman Pek? Tapi kau tidak mau menceritakannya kepadaku?"

   Tosu itu mendadak menunduk. Dia tampak terpukul, tapi mengeraskan hati diapun mengangguk.

   "Ya, begitulah, Bun Hwi. Tapi sekali lagi kutekankan padamu janganlah cari pamanmu yang jahanam itu. Dia secara tidak langsung telah membuat nasib kalian ibu dan anak celaka. Jadi untuk apa kau mencari laki-laki itu?"

   Bun Hwi melompat bangun.

   "Kalau begitu, aku akan mencarinya sendiri, paman Pek!"

   Dia berseru.

   "Dan kalau kau tidak mau menolongku ya sudahlah. Aku bisa berangkat sendirian!"

   Dan Bun Hwi yang sudah memutar tubuh itu melompat melewati kakek ini dengan sikap marah. Namun Pek-bin Tojin tiba-tiba mencengkeram bocah ini, dan berkata geram dia membentak.

   "Bun Hwi, jangan langgar perintahku. Aku tekankah sekali lagi bahwa jangan cari laki-laki itu....!"

   Bun Hwi hampir terpelanting.

   "Paman Pek, kau terlalu sekali. Kenapa kau melarangku seperti itu?"

   Bun Hwi meronta keras, lalu berhasil melepaskan diri dari cekalan orang tiba-tiba dia sudah memandang berapi-api tosu tua ini dengan sikap penuh kemarahan.

   "Paman Pek, apa hakmu mencegahku seperti itu? Siapa kau ini yang demikian lancang melarang maksud tujuanku?"

   Pek-bin Tojin gemetar.

   "Karena pamanmu yang hendak kau cari itu manusia busuk, Bun Hwi. Dia manusia hina yang sepatutnya menerima siksaan!"

   "Dan kau melarangku karena alasan ini, paman Pek? Karena kau tampaknya membenci pamanku itu?"

   "Ya!"

   Pek-bin Tojin mengangguk. Dan baru dia menyelesaikan kata-katanya itu mendadak Bun Hwi sudah melompat ke depan dan menampar pelipis kakek ini.

   "Pek-bin Tojin, kau manusia busuk. Kaulah yang tidak tahu malu menjelek-jelekkan nama orang lain... plak!"

   Dan Bun Hwi yang sudah memukul kepala tosu itu mendengar kakek ini mengeluh tertahan dan terhuyung tiga tindak.

   Pek-bin Tojin tampak terbelalak, dan Bun Hwi yang siap menghadapi kemarahan kakek itu berdiri tegak dengan sikap menantang.

   Dia memandang tosu ini dengan mata berkilat-kilat, namun Pek-bin Tojin yang dikira Bun Hwi bakal menggeram dan membalasnya itu sekonyong-konyong ketawa terbahak.

   Kakek ini tertawa nyeri, dan Pek-bin Tojin yang tiba-tiba mencucurkan air mata itu membuat Bun Hwi melenggong! "Ha-ha, kau memang pantas menempeleng mukaku, Bun Hwi.

   Dan kalau kau masih kurang puas silahkan pukul lagi tua bangka bangkotan ini.

   Pek-bin Tojin memang manusia durhaka, dan sekali dia menerima hukuman sepatutnya seumur hiduppun dia harus menderita.

   Ha-ha...

   hayo pukul lagi, Bun Hwi...

   tampar lagi mukaku ini sampai dia roboh binasa...!"

   Dan Pek-bin Tojin yang melangkah maju dengan tubuh terhuyung-huyung itu membuat Bun Hwi jadi merasa heran sendiri. Dia terkesima, tapi ketika orang menubruknya tiba-tiba Bun Hwi cepat berkelit.

   "Bruk...!"

   Pek-bin Tojin roboh tersungkur. Dan tosu yang tertawa serak dengan air mata bercucuran itu mendadak menyeringai.

   "Bun Hwi, kau tidak mau memukulku lagi...? Kau tidak mau menamparku seperti tadi...?"

   Bun Hwi terbelalak. Lalu sementara dia menjadi berdebar tiba-tiba kakek ini sudah menganggukkan kepalanya dengan mulut meringis.

   "Baiklah... baiklah, Bun Hwi... kalau kau tidak mau menghajarku si tua bangka ini biarlah Pek-bin Tojin menghukum sendiri... plak-plak-plak...!"

   Dan Pek-bin Tojin yang tiba-tiba sudah menggaploki mukanya berulang-ulang itu membuat Bun Hwi mematung dengan mata tidak berkedip.

   Dia melihat kakek ini menampari mukanya bertubi-tubi, dan bibir serta hidung yang sebentar saja pecah berdarah itu membuat Bun Hwi menjadi ngeri.

   Tapi ketika kakek itu semakin sengit memukuli mukanya dan tiba-tiba tertawa melengking lalu siap menggaplok ubun-ubun kepalanya untuk menantang kematian mendadak jerit kecil memekik tertahan.

   "Wi Ma, jangan...!"

   Dan suara gedobrakan yang tiba- tiba mengejutkan suasana membuat Bun Hwi dan Pek-bin Tojin terkejut.

   Dua orang ini sama-sama menoleh, dan persis mereka tertegun tahu-tahu sesosok bayangan berkelebat di depan mereka.

   Seorang wanita berkerudung gelap tahu-tahu menotok Pek-bin Tojin, dan begitu tosu ini roboh terjengkang mendadak wanita itu sudah menyambar tubuhnya sambil menendang Bun Hwi.

   "Bocah tak tahu diri, jangan kau semena-mena. Dia ini pamanmu sendiri... bluk!"

   Dan Bun Hwi yang sudah didupak sampai mencelat beberapa tombak itu terpekik kaget dengan mata terbelalak.

   Bun Hwi melompat bangun, tapi baru dia mau menghadapi lawannya ini tiba-tiba si wanita berkerudung sudah melesat keluar ruangan membawa tubuh Pek-bin Tojin! Tentu saja Bun Hwi tercekat, dan begitu dia sadar Bun Hwi sudah mengejar lawan dengan teriakannya.

   "Hei, wanita berkerudung... mau kau bawa kemana kakek tua itu...?"

   Namun wanita berkerudung ini tidak menghiraukan teriakan Bun Hwi.

   Dia terus menyelinap di antara lorong-lorong bawah tanah itu, dan Bun Hwi yang mengikuti bayangannya melalui cahaya yang samar- samar gelap tiba-tiba kehilangan jejak ketika wanita itu menjejak lantai dan lenyap di ujung sebuah tikungan! Bun Hwi hanya mendengar sebuah isak kecil yang sendat ditahan, dan ketika dia tidak tahu lagi kemana lawannya itu menyembunyikan diri akhirnya tertegun di bawah langit-langit batu yang dingin menyeruap! Kini Bun Hwi termangu dengan hati tidak keruan rasa, tapi baru dia mau maju menyelidiki dimana wanita itu membawa Pek-bin Tojin sekonyong- konyong atap gua di atas kepalanya bergemuruh.

   Bun Hwi melangkah mundur, dan terkejut oleh suara gemeratak di atasnya diapun bersiap-siap untuk melakukan serangan.

   Tapi Bun Hwi tiba-tiba kembali tertegun, karena begitu dia mendongakkan kepala tahu-tahu sesosok bayangan pendek gendut terhuyung masuk dengan napas terengah-engah.

   Dialah Siauw-bin Lo-koai, dan Bun Hwi yang melihat munculnya hwesio gundul ini di tempat itu kontan saja celangap.

   "Locianpwe, kau...?"

   Kakek berkepala gundul itu tersentak. Dia rupanya tertegun juga melihat Bun Hwi ada di ruang bawah tanah ini, tapi berseru gembira tiba-tiba kakek itupun sudah melompat masuk dengan kaki gemetaran.

   "Bun Hwi, kau sudah disini? Mana pamanmu itu...?"

   Bun Hwi menjadi bingung.

   "Paman yang mana, locianpwe? Pek-bin Tojin itukah...?"

   Siauw-bin Lo-koai mengangguk tak sabaran.

   "Ya... ya... pamanmu Pek itu, Bun Hwi. Dimana dia sekarang? Di dalamkah...?"

   Bun Hwi menggelengkan kepala gugup.

   "Tidak... tidak ada disini, locianpwe. Paman Pek itu baru saja diambil seseorang yang tidak kuketahui siapa...!"

   Hwesio itu terkejut.

   Dia memandang Bun Hwi dengan mata terbelalak lebar-lebar, tapi Siauw-bin Lo-koai yang tampak gemetar kakinya ini mendadak menyeringai.

   Dia batuk-batuk parau, dan hwesio gendut yang biasanya berwatak periang itu tiba-tiba bersikap cemas dengan muka menggigil.

   Dia berusaha menahan batuknya yang gencar, dan Bun Hwi yang merasa heran oleh keadaan hwesio ini sudah cepat menyentuh lengan orang sambil bertanya.

   "Locianpwe, kau kenapakah? Sakitkah...?"

   Siauw-bin Lo-koai mengeluh.

   Dia terguncang- guncang hebat oleh batuknya yang parau itu, dan ketika tiba-tiba dia mendelik dan seakan tercekik oleh sesuatu yang mengganjal kerongkongannya mendadak hwesio gendut ini muntah-muntah dan menyemprotkan darah segar! Tentu saja Bun Hwi terkejut bukan main, dan persis kakek itu melontakkan darah segarnya tiba-tiba Siauw-bin Lo- koai terguling roboh dan menjerit kecil.

   "Bun Hwi, cepat bawa aku ke dalam... dadaku sesak... tubuhku keracunan pukulan Ang-mo-kang...!"

   Dan Bun Hwi yang melenggong sejenak ini akhirnya mengangkat tubuh kakek itu sesuai permintaannya.

   Bun Hwi berlarian tergesa-gesa membawa hwesio itu ke ruangan dalam, tempat dimana dia mula-mula bertemu dengan Pek-bin Tojin.

   Dan begitu dia tiba di tempat ini Siauw-bin Lo-koai kembali melontakkan darah segar berulang-ulang.

   Kakek itu tampaknya payah sekali, dan Bun Hwi yang kebingungan ini menjadi gugup.

   "Locianpwe, apa yang harus kulakukan...?"

   Hwesio ini terengah-engah.

   "Dudukkan aku, Bun Hwi... bantu aku menyandarkan diri di dinding...!"

   "Dan perlu kucarikan obat diluar, locianpwe?"

   "Tidak... tidak... dudukkan saja aku di dinding ruangan ini...!"

   Maka Bun Hwi yang sudah menyandarkan hwesio itu di dinding ruangan batu cepat membantu orang memegang pundaknya.

   Dengan hati-hati Bun Hwi menegakkan hwesio ini di atas lantai yang dingin, dan Siauw-bin Lo-koai yang berkerut-kerut mukanya itu bertanya.

   "Bun Hwi, bagaimana pertemuanmu dengan Ma- taijin itu...?"

   Bun Hwi terbengong.

   "Ma-taijin siapa, locianpwe? Siapa yang kau maksudkan itu...?"

   Siauw-bin Lo-koai menggigit bibir.

   "Sialan kau, Bun Hwi. Masa orang yang sudah ada di depanmu tidak kau kenal?"

   Bun Hwi terheran-heran.

   "Locianpwe, aku betul- betul tidak bertemu atau melihat Ma-taijin itu. Di ruangan ini tadi yang ada hanyalah Pek-bin Tojin!"

   "Ya, itulah!"

   Siauw-bin Lo-koai tiba-tiba berseru marah.

   "Dialah Ma-taijin yang kumaksudkan ini. Bukankah kau telah bertemu dengannya?"

   Bun Hwi sekarang terbengong. Dia sudah tidak mengira bahwa orang yang dimaksudkan hwesio itu adalah si tosu tua, maka begitu dia terkejut tiba-tiba saja Bun Hwi tertegun.

   "Locianpwe, jadi Pek-bin Tojin itu adalah Ma- taijin...?"

   Dia bertanya kaget.

   "Dan orang yang kupanggil paman Pek itu adalah bekas Gubernur Kiang-si...?"

   Siauw-bin Lo-koai mengangguk.

   "Ya, kau baru tahu sekarang, bocah? Tosu itu tidak menceritakannya padamu?"

   Bun Hwi tiba-tiba bangkit berdiri.

   "Sama sekali tidak, locianpwe. Dan sungguh mati aku tidak tahu bahwa dia adalah orang yang kucari-cari!"

   "Jadi kau belum tahu bahwa dialah pamanmu sejati, Bun Hwi?"

   Siauw-bin Lo-koai terengah-engah.

   "Dia tidak menceritakan apa-apa kepadamu...?"

   Bun Hwi menggeleng.

   "Dia tidak menceritakan apa- apa kepadaku, locianpwe. Bahkan orang yang kuanggap Pek-bin Tojin justeru memaki-maki Ma- taijin...!"

   "Ah...!"

   Kakek ini terbelalak dan Siauw-bin Lo-koai yang mengeluarkan tenaga untuk bicara singkat itu mendadak batuk-batuk. Dia terguncang-guncang, dan muka hwesio yang pucat pasi ini tiba-tiba menghijau.

   "Bun Hwi, coba kau tolong aku... cari pamanmu itu secepatnya... lekas, aku khawatir lukaku bertambah parah... augh..."

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Siauw-bin Lo- koai yang tiba-tiba mengeluh itu mendekap dadanya dan hwesio yang menggigit bibir ini tampak menahan nyeri yang amat sangat.

   Dia mau bicara lagi, tapi batuk yang menyerangnya bertubi-tubi membuat kakek itu tak mampu bicara.

   Dua kali lontakan darah segar menjadikan kakek ini gemetar keras, dan ketika akhirnya hwesio itu menuding- nuding memberi isyarat agar Bun Hwi mencari Pek- bin Tojin sekonyong-konyong kakek ini roboh terguling dan pingsan di atas lantai batu! Bun Hwi terkesima, tapi begitu dia sadar anak ini cepat meluruskan tubuh kakek itu agar terlentang di atas tanah.

   Lalu sekali dia melompat bangun Bun Hwi pun sudah berlari keluar mencari Pek-bin Tojin.

   Dia masih bingung dan ragu-ragu mendengar tosu itu adalah bekas Gubernur Ma, yang berarti paman kandungnya sendiri.

   Maka begitu dia berlarian di dalam lorong-lorong bawah tanah ini untuk mencari tosu itu Bun Hwi mulai berteriak-teriak memanggil kakek ini.

   Dia masih belum mengubah panggilannya menjadi paman Ma, karena hal itu terlampau mendadak baginya.

   Maka Bun Hwi yang memanggil- manggil tosu itu dengan sebutan "paman Pek"

   Mulai berteriak-teriak di ruangan bawah tanah.

   Tapi tosu itu ternyata sama sekali tak ditemukannya.

   Pek-bin Tojin yang dibawa lari si wanita berkerudung lenyap tanpa diketahui jejaknya, dan Bun Hwi yang menjadi gelisah ini akhirnya putus asa.

   Dia kembali ke ruangan dimana Siauw-bin Lo-koai dibaringkan, maksudnya ingin mencoba sebisanya menolong hwesio itu.

   Tapi ketika dia tiba disana sekonyong- konyong Bun Hwi tertegun.

   Pek-bin Tojin sudah ada disitu, dan laki-laki tua yang duduk bersila sambil menempelkan telapak kirinya di punggung Siauw-bin Lo-koai itu tampak memejamkan mata dengan keringat bercucuran! "Ah...!"

   Bun Hwi terkejut dan melompat masuk diapun berseru perlahan.

   "Paman Pek, kau ada di sini? Darimana kau masuk...?"

   Namun tosu itu tidak menjawab.

   Dia tegak lurus mengerahkan lweekangnya membantu Siauw-bin Lo- koai, dan ketika sepuluh menit dia mematung seperti itu tiba-tiba sadarlah hwesio gendut ini.

   Dia mengeluh, dan membuka mata dengan bibir gemetar Siauw-bin Lo-koai langsung bertanya kepada Bun Hwi.

   "Bun Hwi, kau sudah mengenal pamanmu itu...?"

   Bun Hwi melangkah terharu. Tapi belum dia membuka suara mendadak Pek-bin Tojin mendahuluinya menjawab.

   "Lo-koai, jangan pikirkan lain orang. kau pikirlah kesembuhan dirimu sendiri...!"

   Dan Siauw-bin Lo-koai yang tampak terbelalak itu kelihatan terkejut.

   "Eh, kau sudah disini, Ma-taijin? Kau yang menolong pinceng...?"

   Tosu tinggi kurus itu memandang buram.

   "Jangan panggil aku dengan sebutan itu, Lo-koai. Bukankah sudah kubilang bahwa Ma-taijin telah mampus belasan tahun yang silam? Yang ada di depanmu adalah Pek-bin Tojin, bukan Ma-taijin...!"

   "Ooh...!"

   Siauw-bin Lo-koai yang sudah sadar ini sekarang menyeringai tertawa, tapi napasnya yang masih sesak membuat hwesio itu manggut-manggut.

   "Baiklah... baiklah... aku yang keliru, Pek-bin Tojin. Tapi bukankah Pek-bin Tojin dan Ma-taijin itu orangnya sama? Dan... uh-uh..."

   Siauw-bin Lo-koai terbatuk-batuk.

   "... kau harus dapat menghormati pamanmu sendiri, Bun Hwi...!"

   Hwesio itu memandang Bun Hwi.

   "Kalau tidak kau merupakan anak yang durhaka terhadap orang tua!"

   Bun Hwi berlutut maju.

   "Locianpwe, sebaiknya masalah ini nanti saja kita bicarakan lagi. Itu urusan pribadiku. Sekarang bagaimana keadaanmu? Siapa yang membuatmu begini...?"

   Siauw-bin Lo-koai menyeringai.

   "Bangsat Mo-ong itu yang membuatku begini, Bun Hwi. Dia mengeroyokku bersama Tung-hai Lo-mo... uh!"

   Hwesio ini terbatuk berat, lalu mengepalkan tinju dia berkata penuh kemarahan.

   "Dan dia melakukan kecurangan itu untuk membunuh pacarmu, Bun Hwi. Pinceng datang menolong tapi hampir saja tidak keburu...!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Pacar yang mana, locianpwe? Kenapa kau dalam keadaan begini masih suka main- main?"

   Hwesio itu tertawa.

   "Aih, susah payah pinceng menolong pacarmu kenapa sekarang kau menganggapkku main-main, Bun Hwi? Bukankah kau bakal melotot kalau kekasihmu itu diganggu orang?"

   Bun Hwi merah mukanya.

   "Locianpwe, kau maksudkan nona Kiok Lan itu...?"

   "Ya, siapa lagi? Bukankah dia yang mati-matian jatuh hati kepadamu? Dan bersama gurunya mereka menghadapi bahaya, Bun Hwi. Karena Thian-san Giok-li yang dihadang Tung-hai Lo-mo ketemu batunya ketika bertempur satu lawan satu...!"

   Bun Hwi semakin terkejut. Tapi Siauw-bin Lo-koai yang tampak bersemangat ini tiba-tiba melanjutkan ceritanya, tidak menghiraukan cegahan Pek-bin Tojin yang menyuruh dia agar tidak banyak bicara.

   "Dan mereka hampir saja roboh, Bun Hwi. Kalau tidak kebetulan pinceng datang membantu barangkali Thian-san Giok-li sudah tewas ditangan dua kakek iblis itu!"

   Lalu Siauw-bin Lo-koai yang menceritakan pertemuannya dengan tiga orang tokoh itu berkisah panjang lebar.

   Ternyata dia berjumpa dengan Thian- san Giok-li di hutan Mawar Ungu, tempat dimana Thian-san Giok-li dihadang Tung-hai Lo-mo.

   Dan karena dua orang itu terlibat dalam pertikaian sengit yang membawa mereka pada pertempuran seorang lawan seorang maka hwesio ini tidak campur tangan.

   Ia hanya menonton, bersembunyi sambil mengawasi adu kepandaian itu dengan muka gembira.

   Dan Tung-hai Lo-mo yang tampak bertubi-tubi melakukan serangannya kepada Thian-san Giok-li rupanya menghendaki jiwa wanita pertapa ini.

   Tapi Thian-san Giok-li bukan wanita sembarangan.

   Tokoh Thian-san yang bersenjatakan jarum emas sepanjang sepuluh inci itu melawan gigih, dan karena mereka sama-sama tokoh yang memiliki kepandaian berimbang maka pertempuran di antara keduanya berlangsung seru dan hebat.

   Masing- masing berusaha menjatuhkan lawan, tapi Tung-hai Lo-mo yang tampaknya tidak sabar sekonyong- konyong menyambitkan beberapa senjata rahasianya berupa pelor-pelor beracun yang dapat meledak.

   Lima pelor yang menyambar wanita sakti ini berhasil dikebut runtuh, meledak membentur pohon.

   Tapi Tung-hai Lo-mo yang tiba-tiba menyambitkan senjata rahasianya ke arah murid wanita sakti ini membuat Thian-san Giok-li terkejut.

   Wanita itu berteriak keras memperingatkan muridnya, namun Kiok Lan yang menonton pertandingan dengan mata terbelalak tidak mampu berkelit.

   Akibatnya dua buah pelor mengenai tubuhnya, dan senjata rahasia yang langsung meledak dan mengeluarkan asap itu membuat gadis ini roboh terjungkal! Bun Hwi yang mendengar sampai di sini jadi tertegun pucat dan memotong cerita orang dia bertanya.

   "Tewaskah dia, locianpwe...?"

   Siauw-bin Lo-koai meringis.

   "Tampaknya tidak, Bun Hwi. Tapi racun berbahaya yang ada di dalam pelor itu siapa yang menjamin keselamatannya? Pinceng hanya melihat gadis itu roboh di tanah, dan paku- paku kecil yang berhamburan di saat pelor itu pecah tentu mengenai seluruh kulitnya yang dapat membuatnya tersiksa!"

   Bun Hwi menggigil.

   "Dan bagaimana kesudahannya, locianpwe?"

   "Pinceng terpaksa turun tangan. Thian-san Giok-li yang kaget melihat muridnya roboh tiba-tiba bersikap lengah. Dia meninggalkan iblis laut timur itu, dan persis ia berjongkok memeriksa muridnya tahu-tahu Tung-hai Lo-mo melempar peluru rahasianya ke kepala wanita itu."

   "Dan Thian-san Giok-li tidak sempat mengelak, locianpwe?"

   "Sebagian. Dua buah pelor berhasil pinceng tangkap, tapi yang sebuah lagi yang menyambar duluan tak berhasil kuhalau. Thian-san Giok-li hanya sempat kuteriaki, dan begitu dia membalikkan tubuh tahu- tahu senjata rahasia itu telah mengenai kepalanya dan meledak!"

   "Ah, dan wanita itu roboh, locianpwe?"

   Bun Hwi berseru tertahan, kaget membayangkan Thian-san Giok-li harus menerima akibat buruk itu. Tapi Siauw-bin Lo-koai yang menggelengkan kepalanya ini tertawa getir.

   "Itupun tak dapat kupastikan, Bun Hwi. Tapi kalau melihat wanita itu melengking tinggi dan tiba-tiba membawa kabur murid perempuannya barangkali mudah diduga bahwa ia terluka!"

   Bun Hwi tercekat. Sekarang dia menjadi tegang, dan Pek-bin Tojin yang menghela napas itu tiba-tiba menimbrung.

   "Dan Thian-san Giok-li tahu kalau kau datang menolongnya, Lo-koai?"

   "Ya, tapi pinceng sudah keburu memaki si iblis Laut Timur. Setan itu sudah kulabrak, dan begitu dia mau mengejar Thian-san Giok-li, pinceng sudah menyerangnya melampiaskan kemarahan!"

   "Dan kau lalu bertempur satu lawan satu dengan suheng Pek-bong Lo-mo ini, Lo-koai?"

   "Begitulah. Tapi Mo-ong tiba-tiba muncul, dan... uh- uh..."

   Siauw-bin Lo-koai terbatuk-batuk lagi dan kakek yang tampak melotot ini mengepal tinju. Dia berusaha keras menekan batuknya, lalu sedikit berhasil diapun sudah melanjutkan ceritanya dengan terengah-engah.

   "...dia... iblis itu... lalu mengeroyok pinceng, Pek-bin Tojin. Tapi pinceng yang melawan mereka mati-matian tetap saja tak berhasil menguasai mereka. Ang-sai Mo-ong dan Tung-hai Lo-mo merupakan iblis-iblis tua yang berat untuk dilawan secara berbareng, dan pinceng yang terkena dua kali pukulan Ang-mo-kangnya masih harus menelan pil pahit dari pelor beracun yang disambitkan si iblis timur...!"

   Kakek ini megap-megap seperti ikan dilempar di darat dan Pek-bin Tojin yang mengerutkan kening cepat menotok kembali jalan darah Ki-ceng-hiat di dada hwesio itu agar dapat melapangkan dada.

   "Lo- koai, sebaiknya kau jangan banyak bercerita lagi. Tenagamu belum kuat untuk dipaksa banyak bicara!"

   Tapi hwesio ini menyeringai.

   "Kau tahu lukaku gawat, Pek-bin Tojin. Apa gunanya diberi nasihat seperti itu? Bukankah pinceng bakal mampus beberapa jam lagi...?"

   Bun Hwi menjadi pucat.

   "Locianpwe, sedemikian beratkah luka-lukamu itu?"

   "Ha-ha, tanya saja pada pamanmu ini, Bun Hwi. Dia tahu betapa umurku tidak akan lebih dari enam jam... uh!"

   Siauw-bin Lo-koai mengeluh dan kakek yang dapat tertawa dalam keadaannya yang seperti itu sungguh membuat Bun Hwi tertegun.

   Bocah ini memandang Pek-bin Tojin, tapi tosu yang tiba-tiba sudah merobek pakaian hwesio itu menjadikan Bun Hwi semakin terkejut ketika melihat punggung dan dada kakek ini terdapat bekas pukulan telapak lima jari yang merah membara.

   Dia terbelalak, tapi Siauw-bin Lo-koai yang gemetar mukanya itu tiba-tiba mencengkeram leher.

   "Bun Hwi, kau lihat leherku ini...?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Ya, aku melihatnya, locianpwe. Ada apakah?"

   Siauw-bin Lo-koai menggigit bibir.

   "Kau tidak melihat sesuatu di leherku ini, Bun Hwi...?"

   "Tidak. Ada apakah, locianpwe?"

   Bun Hwi menjadi heran.

   "Hm, kalau begitu mendekatlah ke sini. Pandang baik-baik apa yang pinceng alami ini... augh!"

   Siauw-bin Lo-koai mendadak mengejang dan Bun Hwi yang sudah menjulurkan lehernya melihat dari dekat apa yang hendak dikatakan kakek ini.

   Dan...

   begitu dia melihat tiba-tiba saja Bun Hwi terkesiap.

   Ternyata banyak sekali titik-titik kecil berwarna hitam di kulit leher hwesio itu, tidak lebih dari ujung sebuah jarum besarnya.

   Dan Bun Hwi yang tertegun ini kontan saja terbelalak.

   "Locianpwe, titik-titik apa itu? Kau digigit serangga?"

   Siauw-bin Lo-koai tertawa serak. Dia terbatuk-batuk lagi sampai urat lehernya menggelembung, dan hwesio yang geli hatinya ini berkata terengah-engah.

   "Itu bukan gigitan serangga, Bun Hwi... tapi justeru gigitan paku halus yang tersimpan di pelor beracun Tung-hai Lo-mo. Pinceng tak sempat mengeluarkannya... karena sibuk melayani keroyokan mereka. Dan paku kecil yang menyusup di kulit leher pinceng ini telah memasuki urat nadi untuk akhirnya berhenti di jantung...!"

   Bun Hwi kaget bukan main.

   "Jadi ini yang kau katakan gawat, locianpwe?"

   "Ya, dan pamanmu tahu. Tapi karena sudah terlambat maka pinceng sekarang tinggal menanti ajal. Itulah sebabnya mengapa Thian-san Giok-li cepat-cepat lari meninggalkan musuhnya agar sempat mengeluarkan paku beracun itu yang mengenai kulitnya...!"

   "Ah...!"

   Bun Hwi menjublak dan kaget serta pucat mendengar keterangan ini dia berdiri menggigil dengan mata tidak berkedip.

   Bun Hwi sungguh gelisah mendapat kenyataan hwesio itu berada dalam keadaan berbahaya, dan membayangkan betapa sebentar lagi paku-paku halus yang mengikuti aliran darah di urat nadi besar bakal menamatkan riwayat kakek ini tiba-tiba saja Bun Hwi mencucurkan air mata! Bagaimanapun, Siauw-bin Lo-koai telah melepas budi yang tidak sedikit kepadanya.

   Dan dia yang menghadapi saat-saat mengerikan bagi kakek ini namun tidak mampu menolong seketika menjadi sedih bukan main.

   "Locianpwe, tidak adakah jalan lain untuk menyelamatkan jiwamu ini?"

   Siauw-bin Lo-koai tertawa getir.

   "Kalau benda-benda halus sebesar rambut dibelah tujuh itu belum memasuki urat nadiku tentu saja pinceng dapat selamat, Bun Hwi. Tapi bagaimana kalau sudah begini kelanjutannya? Tidak, pinceng rasa tidak ada jalan lain... dan kalau adapun tentu terlambat...!"

   Bun Hwi mencucurkan air mata semakin deras. Dia benar-benar merasa mati akal mendapat jawaban itu dan Siauw-bin Lo-koai yang terbatuk dua kali tiba- tiba menoleh ke arahnya dengan muka berseri.

   "Eh, bocah keras kepala, bukankah kau masih hutang satu kekalahan pada pinceng...?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Dan kau mau bayar kekalahanmu ini sebelum pinceng dijemput Giam-lo-ong?"

   Bun Hwi kini mengangkat mukanya.

   "Apa maksudmu, locianpwe?"

   Hwesio itu terkekeh.

   "Begini, Bun Hwi. Karena jelas kali ini pinceng menang satu kali kepadamu bagaimana kalau sekarang kau mengakui kekalahanmu itu?"

   Bun Hwi masih belum mengerti.

   "Apa yang kau maksudkan, locianpwe? Apa kau minta aku mengakui kekalahanku itu sekarang?"

   "Ah, bukan hanya mengakui, Bun Hwi. Tapi sekaligus membayarnya. Pinceng ingin minta dua hal kepadamu. Dan kalau ini kau penuhi matipun pinceng dapat meram!"

   Bun Hwi menegakkan punggungnya.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Locianpwe, apa yang hendak kau minta? Kalau dapat tentu sekarang juga kupenuhi."

   "Ha-ha, betulkah itu, Bun Hwi? Baiklah. Pertama, pinceng ingin kau menganggapku sebagai guru. Artinya, kau harus belajar ilmu silat. Dan karena pinceng tak lama lagi akan dijemput Malaikat Maut biarlah kau tak usah belajar silat dariku. Dari orang lainpun boleh, asal kau sudah belajar ilmu silat. Dan kedua, karena Mo-ong dan Lo-mo itu iblis-iblis yang berbahaya maukah kau mewakili pinceng melenyapkan mereka? Dua orang iblis itu amat berbahaya, Bun Hwi. Dan tanpa bekal kepandaian silat tak mungkin kau mampu membunuh mereka...!"

   Bun Hwi tertegun.

   "Locianpwe, untuk yang nomor dua itu aku rasa bisa kujawab sekarang. Tapi bagaimana dengan yang pertama? Kau tahu aku tidak suka dengan ilmu silat, locianpwe. Aku tidak suka ilmu yang mengandung kekerasan itu dan tidak ingin dilibatkan dalam perkelahian seperti tukang- tukang pukul!"

   Siauw-bin Lo-koai melotot.

   "Tapi tanpa ilmu silat kau tidak bisa membinasakan iblis-iblis tua itu, Bun Hwi. Bagaimana kau tidak bisa menerimanya?"

   "Ya. Tapi tidak semua orang-orang jahat dapat dikalahkan dengan ilmu silat, locianpwe. Dan masalah buruk baiknya tingkah iblis-iblis tua itu tergantung dari kita yang menanganinya. Aku tidak tertarik untuk mempelajari ilmu silat, dan kengerian yang kulihat berkali-kali dari orang-orang yang pandai silat ini sungguh membuat hatiku semakin tawar!"

   "Jadi kau tidak bisa menerimanya, boah?"

   "Untuk saat ini memang begitu."

   "Dan kau tidak mau membalaskan sakit hati pinceng?"

   Bun Hwi kebingungan.

   "Locianpwe, ini barangkali hal yang lain lagi. Bagaimana aku harus menjawabnya?"

   Kakek itu tiba-tiba memukul lantai.

   "Bun Hwi, kau benar-benar mengecewakan pinceng! Kenapa otakmu melulu dipenuhi pikiran bodoh itu? Tidak tahukah kau bahwa tanpa ilmu silat seseorang tidak dapat mengangkat dirinya? Dan tanpa ilmu silat kau tidak akan mampu menundukkan iblis-iblis jahat macam Ang-sai Mo-ong dan Tung-hai Lo-mo itu, Bun Hwi. Dan sekali kau terlambat menyesalpun bakal tidak ada gunanya lagi seumur hidup!"

   Siauw-bin Lo-koai batuk-batuk dan kakek yang meradang oleh jawaban Bun Hwi mendelik penuh rasa gemas.

   Dia rupanya mau memaki-maki anak ini, tapi batuk yang menyerangnya bertubi-tubi membuat dia kewalahan.

   Siauw-bin Lo-koai terengah-engah, dan memandang Pek-bin Tojin akhirnya dia berseru.

   "Ma-taijin, bagaimana sikapmu melihat keras kepalanya anak ini?"

   Tosu itu memandang muram.

   "Aku sudah terlalu banyak melakukan kesalahan, Lo-koai. Jangan sudutkan aku dalam sebuah kesalahan baru."

   "Ah, tapi tentunya kau dapat memberi nasehat bukan, Ma-taijin? Kau dapat mengatakan pada anak itu bahwa pikirannya yang bodoh ini salah! Masa begitu saja kau takut?"

   Pek-bin Tojin menarik napas panjang.

   "Lo-koai, kata-katamu memang betul. Tapi betulkah sikap kita yang hendak memaksa orang lain yang belum terbuka kesadarannya? Bukankah anak ini masih terlalu muda dan hijau melihat persoalan dunia? Kalau dia tidak mau kita memang tak dapat memaksanya, Lo-koai. Tapi kalau Bun Hwi setuju hal itu memang jauh lebih baik dan menggembirakan!"

   "Nah, jadi kau menyetujui keinginanku agar dia berlatih silat, taijin?"

   "Kalau dia suka."

   "Dan kalau tidak suka kita biarkan saja bibit yang istimewa ini membusuk ditelan jaman?"

   Tosu itu tiba-tiba menunduk. Dia rupanya susah menjawab, dan mengembalikan persoalan pada pemiliknya tiba-tiba dia berkata.

   "Lo-koai, karena ini menyangkut rasa hati seseorang biarlah kukembalikan saja persoalan ini pada yang berkepentingan. Aku tidak berani memihak salah satu, dan bila bocah itu mau menuruti permintaanmu biarlah itu sebagai bekal jiwamu menghadap di alam fana!"

   Siauw-bin Lo-koai tertawa.

   "Bun Hwi, bagaimana sikapmu sekarang? Tidakkah kau dengar pamanmu sendiri bicara seperti itu? Pinceng hampir mati, dan kalau kau mau memenuhi permintaan pinceng sungguh ini benar-benar akan pinceng anggap sebagai bekal pinceng menghadap akhirat!"

   Namun Bun Hwi tetap menggelengkan kepala.

   "Locianpwe, untuk yang pertama ini aku sukar meluluskannya. Karena bagaimanapun juga aku tidak suka belajar ilmu silat. Tidak kau lihatkah keadaanmu sekarang ini? Bukankah itu juga gara- gara ilmu silat?"

   Siauw-bin Lo-koai mencak-mencak. Dia marah sekali mendengar Bun Hwi "membalik"

   Dia dengan contoh dirinya itu, dan gusat serta kecewa terhadap anak laki-laki ini tiba-tiba kakek itu melontakkan darah segar.

   "Huak...!"

   Siauw-bin Lo-koai terguling dan hwesio yang berada di ambang maut itu sekonyong- konyong menggeliat-geliat.

   Dia mau bicara, tapi suara yang selalu didahului oleh batuk-batuk yang gencar itu membuat kakek ini tak mampu menyampaikan maksud hatinya.

   Kemarahan yang sangat membuat aliran darah kakek itu kencang, dan ketika Bun Hwi terbelalak dengan muka pucat tahu-tahu hwesio ini kembali terguling ke kanan dan roboh pingsan! "Aah..."

   Pek-bin Tojin menotok iga kiri hwesio itu dua kali di bawah dada, dan tosu yang cemas mukanya ini tiba-tiba berseru.

   "Bun Hwi, ambilkan air. Cari di ruang sebelah!"

   Dan Bun Hwi yang sudah meloncat keluar ruangan itu mencari air dengan tergopoh-gopoh. Dia rupanya gugup juga melihat hwesio itu pingsan, dan Bun Hwi yang sudah kembali membawa air ini bertanya kepada tosu itu.

   "Paman Pek, berbahayakah keadaannya?"

   Tosu itu menarik napas.

   "Memang begitulah, Bun Hwi. Dan hwesio ini telah mempercepat kematiannya dalam kemarahannya tadi."

   "Maksudmu?"

   "Dia marah dan kecewa mendengar penolakanmu. Dan aliran darahnya yang deras mengalir dalam kemarahan itu membuat paku-paku halus yang masuk di dalam nadinya hanyut lebih cepat dari biasanya. Tadi kurasa baru sampai di lengan atas, tapi setelah kemarahannya tadi kini benda-benda berbahaya itu telah memasuki rongga dadanya. Tak tertolong...!"

   Bun Hwi pucat sekali.

   "Jadi tak sampai enam jam lagi, paman?"

   "Begitulah perasaanku,"

   Pek-bin Tojin mengangguk.

   "Bahkan kukira tinggal setengah sampai satu jam saja, Bun Hwi. Karena itu harap kau cepat minta maaf kepadanya sebelum hwesio ini menghembuskan nafasnya yang terakhir!"

   Dan Pek- bin Tojin yang kembali menolong hwesio itu sudah membasahi muka Siauw-bin Lo-koai dengan air dingin.

   Dia mencoba menyadarkan hwesio ini, dan Bun Hwi yang tegak di sampingnya dengan kaki menggigil itu memandang semuanya tanpa bersuara.

   Tapi ternyata siumannya kakek ini lama sekali.

   Pek- bin Tojin harus bekerja keras untuk menyadarkan hwesio itu.

   Dan ketika menghabiskan totokan sembilan kali di leher dan dada barulah Siauw-bin Lo-koai membuka mata sambil mengeluh.

   Keadaannya benar-benar berat, maka Bun Hwi yang mencucurkan air matga memandang hwesio ini sudah menjatuhkan diri berlutut.

   "Locianpwe, harap maafkan kekecewaan yang telah kuperbuat. Kau tenangkanlah dirimu dan jangan hiraukan aku...!"

   Siauw-bin Lo-koai menyeringai sukar. Dia sulit tertawa seperti biasa, karena muka dan mulutnya sudah gemetrukan tidak karuan. Maka melihat Bun Hwi berlutut di sampingnya kakek ini tiba-tiba tersedak.

   "Bun Hwi, kau masih tidak dapat meluluskan permintaan pinceng...?"

   Bun Hwi menangis sambil menggigit bibirnya.

   "Jangan persoalkan diriku, locianpwe. Kau pikirkanlah dahulu keadaan dirimu..."

   "Ah, tapi kau dapat menjawab pertanyaanku bukan, Bun Hwi?"

   Siauw-bin Lo-koai semakin gemetar.

   "Itu... itu..."

   Siauw-bin Lo-koai tiba-tiba terbatuk.

   Dia menggoyang lengannya agar Bun Hwi tidak usah menjawab pertanyaan, dan maklum bahwa bocah ini tetap saja tak dapat memenuhi permintaannya yang terakhir mendadak kakek ini meremas tinjunya.

   Dia kecewa dan penasaran sekali, dan kemendongkolan serta kemarahannya yang ditahan terhadap anak laki-laki ini membuat kakek itu mengerang.

   Dia meraba dadanya yang sakit, tanda bahwa paku beracun telah mendekati jantung, dan begitu dia menyeringai menahan sakit kakek ini sudah berkata dengan suara serak.

   "Bun Hwi, pinceng rupanya orang sial sekali. Tak beruntung mendapatkan kau sebagai murid juga masih tak berbahagia untuk mendapatkan janjimu. Baiklah, pinceng serahkan saja semuanya ini kepadamu. Tapi ingatlah bahwa kesombonganmu yang menyatakan orang-orang persilatan saja yang bisanya membuat keributan bakal membuatmu menyesal seumur hidup setelah kau mendapatkan kenyataan yang sebenarnya. Orang-orang lemah yang tidak bisa silat itu juga bisa membuat keributan yang tidak kalah besarnya dengan orang-orang yang pandai silat. Dan sekali kenyataan ini kau dapat maka menyesali kematian pinceng seumur hiduppun tak bakal mengobati kekecewaanmu. Bersiaplah, kau akan menemui pukulan ini pada diri teman-temanmu di dusun Ki-leng...!"

   Dan Siauw-bin Lo-koai yang tiba-tiba mengeluh itu menghentikan bicaranya dengan tubuh berkelojotan.

   Dia mendekap dada kirinya erat-erat, lalu begitu dia menggeliat gemetar tiba-tiba hwesio ini mengaduh.

   Rupanya ujung paku beracun telah melukai jantungnya, dan Siauw-bin Lo-koai yang pucat mukanya itu menuding-nuding.

   "Bun Hwi, tolong... tolong kau balaskan kematian pinceng ini... ajal hampir menjemput tiba... bunuhlah dua orang manusia iblis yang berbahaya itu... dan... dan... carilah kekasihmu...!"

   Siauw-bin Lo-koai tiba-tiba terguling.

   Hwesio yang tidak dapat melanjutkan pesannya itu tampaknya mau bicara lagi, tapi suara yang tidak dapat keluar dari mulutnya membuat hwesio ini mendadak terkulai lemas.

   Dia tak dapat menggerakkan tubuhnya, dan Siauw-bin Lo-koai yang tiba-tiba menarik napas panjang sekali lalu diam tak berkutik untuk selama- lamanya itu ternyata telah menutup mata! Kakek ini tewas, dan Bun Hwi yang tertegun oleh kejadian di depan mukanya itu tiba-tiba menangis tersedu-sedu.

   Dia terharu dan merasa berdosa kepada kakek itu, dan Pek-bin Tojin yang berlutut di sebelahnya tiba-tiba menarik napas berat.

   Tosu ini juga muram, tapi Pek-bin Tojin yang lebih mampu mengendalikan rasa hatinya itu sudah bangkit berdiri.

   **SF** BERSAMBUNG

   Jilid 12 Bantargebang, 01-05-2019, 20.42 SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN
Kolektor E-Book
REWRITERS & PDF MAKERS. TEAM
Kolektor E-Book

   
Jilid 12 * * * "BUN HWI, Siauw-bin Lo-koai telah meninggalkan kita dalam kecewa dan penasarannya. Apakah tidak sebaiknya kita rawat jenasahnya supaya tenteram di alam baka?"

   Bun Hwi tersedu-sedu.

   "Aku memang menyesal sekali, Paman Pek. Tapi apa yang kau maksud dengan kata-katamu ini?"

   "Aku ingin memperabukannya, Bun Hwi. Apa kau setuju kita bakar jenasahnya?"

   Bun Hwi menengadahkan muka.

   "Aku ingin menemaninya dahulu semalam, paman. Tidakkah besok saja kita perabukan jenasahnya?"

   "Hm, sesungguhnya saat ini juga lebih baik, Bun Hwi. Tapi kalau kau ingin menemaninya semalam bolehlah. Aku tidak keberatan, hanya..."

   Pek-bin Tojin tiba-tiba memandang khawatir, dan Bun Hwi yang melihat kakek itu menghentikan bicaranya tiba-tiba menghapus air mata.

   "Hanya kenapa, paman?"

   Pek-bin Tojin sukar bicara. Tapi tosu yang sudah menekan perasaan gelisahnya itu tiba-tiba tersenyum.

   "Tidak... tidak apa-apa, Bun Hwi. Baiklah kau temani dahulu jenasah hwesio itu sementara aku keluar sebentar. Aku hendak melihat apakah suasana diluar aman, dan kalau ada apa-apa pasti aku segera kembali ke sini!"

   Dan Pek-bin Tojin yang sudah memutar tubuh itu mendadak berkelebat keluar. Bun Hwi terkejut, dan melompat bangun dia bertanya.

   "Paman Pek, kau hendak meninggalkan aku seorang diri?"

   Tosu itu menghentikan langkah.

   "Hanya sebentar saja, Bun Hwi. Dan bila kau ada perlu sesuatu carilah aku di tikungan nomor tiga dari kiri. Aku ingin beristirahat sebentar di sana."

   "Tapi kau tentu kembali kesini, Paman Pek?"

   "Ya, tentu saja. Bukankah aku juga harus merawat jenasah hwesio itu?"

   Maka Bun Hwi yang tertegun oleh jawaban tosu ini mengurungkan niatnya mencegah. Dia hanya memandang penuh selidik, lalu bertanya lirih dia mengawasi tosu itu.

   "Paman Pek, benarkah seperti yang dikatakan Siauw-bin Lo-koai tadi bahwa kau adalah Ma-taijin?"

   Tosu ini tiba-tiba mengerutkan kening.

   "Hal itu nanti saja kita bicarakan, Bun Hwi. Aku sekarang ingin keluar sebentar. Kau jagalah hwesio itu sebelum aku kembali!"

   Dan Pek-bin Tojin yang sudah membalikkan tubuh lalu meloncat keluar itu telah meninggalkan Bun Hwi termangu-mangu seorang diri di samping jenasah Siauw-bin Lo-koai.

   Anak ini menghela napas, lalu menundukkan kepala Bun Hwi pun sudah memutar tubuh dan kembali menghampiri jenasah Siauw-bin Lo-koai dengan air mata bercucuran.

   *S*F* Malam itu ternyata Bun Hwi tidak menemukan suatu halangan.

   Dia menunggui jenasah hwesio ini dengan tenang, dan ketika Pek-bin Tojin muncul setelah meninggalkan dia hampir dua jam lamanya barulah dua orang itu duduk bersama di samping jenasah Siauw-bin Lo-koai ini dengan muka saling berhadap- hadapan.

   "Kau tidak menemui suatu kesukaran, Bun Hwi?"

   Demikian Pek-bin Tojin mula-mula bertanya sambil memandang anak ini. Dan Bun Hwi yang murung mukanya menggeleng.

   "Tidak, paman. Dan kau sendiri tidak melihat sesuatu yang mencurigakan diluar?"

   Tosu ini menghela napas.

   "Tampaknya tidak, Bun Hwi. Tapi bagaimanapun aku harus waspada. pintu di luar terowongan kudengar diinjak sepasang kaki yang ringan. Tapi karena aku tidak mendengar gerak-gerik yang mencurigakan di luar pintu batu itu maka untuk sementara ini suasana kuanggap aman. Nah, ada hal-hal yang ingin kau tanyakan?"

   Bun Hwi tiba-tiba menjadi tegang.

   "Ya, paman Pek. Dan hal itu kukira banyak sekali! Kau siap bicara terbuka denganku?"

   "Sudah waktunya,"

   Tosu ini mengangguk.

   "Aku tak dapat lagi menyembunyikan rahasia kepadamu. Siauw-bin Lo-koai telah memulainya!"

   Maka Bun Hwi yang tiba-tiba membetulkan letak kakinya itu sudah memandang tajam ke arah tosu ini.

   "Paman Pek, benarkah kau ini orang yang disebut Ma-taijin?"

   Kakek ini menarik napas panjang. Lalu mengeraskan dagunya dia langsung mengangguk.

   "Ya, itu memang betul!"

   "Dan kau paman sejatiku?"

   "Kalau aku masih cukup terhormat untuk kau akui sebagai paman!"

   "Ah, mengapa begitu, paman Pek? Bukankah aku selamanya tidak pernah kau sakiti hatinya? Mengapa kau bicara begitu?"

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hm, ini panjang ceritanya, Bun Hwi. Tapi kalau kau mau dengar coba dengarlah...!"

   Dan Pek-bin Tojin yang sudah menegakkan kepala itu mulai bercerita.

   "Kau tentu sudah mendengar hal ihwal dirimu, bukan? Betapa kau putera sri baginda kaisar dari ibumu yang menjadi selir?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Dan kau dengar cerita pangeran di dalam kereta itu bahwa ibumu pergi secara diam-diam karena percekcokannya dengan seorang selir lainnya?"

   "Ya, katanya ibunda selir Can Kui Bwee."

   "Dan kau percaya kata-katanya ini?"

   Bun Hwi memandang heran.

   "Paman Pek, eh... paman Ma, kenapa aku harus meragukan ceritanya?"

   Tosu itu tiba-tiba mengepalkan tinjunya.

   "Bun Hwi, untuk memudahkan percakapan ini sebaiknya kau tetap saja memanggilku paman Pek. Ma-taijin sudah tidak ada disini dan kalau kau memanggilku seperti itu justeru aku bisa menjadi marah!"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Kenapa, paman? Bukankah kau memang Ma-taijin? Kau tentu bernama Ma, bukan?"

   "Hm, itu memang namaku yang dahulu, Bun Hwi. Aku memang Tang Wi Ma adik ibumu yang bernama Tang Wi Hong itu. Tapi karena aku sudah mengubur bertahun-tahun nama yang membawa sial itu maka aku telah merubahnya menjadi Pek-bin Tojin! Kau panggillah aku seperti semula, dan sekali ini terlanjur menjadi kebiasaanmu maka kita bakal berada dalam bahaya karena orang yang bernama Tang Wi Ma itu sedang diburu-buru pasukan pengawal istana akibat perbuatannya belasan tahun yang lalu...!"

   "Ah...!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Kau melakukan perbuatan apa sehingga dikejar-kejar pasukan istana, paman?"

   "Karena aku melakukan beberapa kegemparan. Dan satu di antaranya itu ialah pembunuhan terhadap selir Can Kui Bwee!"

   Bun Hwi tertegun. Dia kaget mendengar pamannya itu bercerita tentang nasib malang yang dialami selir ini, dan terbelalak hampir tak percaya dia berseru lirih.

   "Paman Pek, jadi kau yang membunuh ibunda selir itu?"

   Tosu ini mengangguk geram.

   "Ya, aku yang melakukannya, Bun Hwi. Dan barangkali tidak kau sangka bahwa selir yang bernama Kui Bwee itu justeru adalah ibu dari pangeran yang bersamamu dalam kereta!"

   Bun Hwi terkejut sekali.

   "Pangeran Ong, paman Pek...?"

   "Ya, dia itulah. Selir busuk itulah yang menjadi ibu dari Pangeran Ong!"

   "Ooh...!"

   Bun Hwi celangap. Dan kaget serta heran oleh cerita yang diluar dugaan ini Bun Hwi tiba-tiba menjadi bingung.

   "Paman Pek, kalau begitu mengapa dia bersikap demikian ramah kepadaku? Bukankah Can Kui Bwee itu adalah ibu dari Pangeran Yin?"

   "Hm, siapa yang bilang, Bun Hwi?"

   "Dia itulah... Pangeran Ong itu. Dia yang bercerita kepadaku bahwa selir Can Kui Bwee adalah ibu dari Pangeran Yin!"

   Pek-bin Tojin tiba-tiba tertawa mengejek.

   "Dan kau mau saja dibohongi pangeran yang berbisa ini, Bun Hwi? Kau percaya omongannya yang amat berbahaya? Dia itu tiada beda dengan mendiang ibunya. Culas, cerdik tapi ganas melebihi ular berbisa...!"

   Bun Hwi terbengong.

   Kalau bukan laki-laki tua ini yang bicara barangkali dia akan bersikap setengah percaya setengah tidak.

   Karena Pek-bin Tojin yang baru dikenal itu bukanlah orang yang sudah diketahui wataknya.

   Tapi karena Siauw-bin Lo-koai telah menyuruhnya untuk tunduk kepada tosu ini dan ternyata Siauw-bin Lo-koai sendiri telah memberitahunya bahwa Pek-bin Tojin adalah paman kandungnya yang bekas Gubernur Kiang-si itu maka mau tidak mau dia percaya penuh.

   Tosu ini ternyata adik dari ibunya sendiri, dan Bun Hwi yang kini menggantungkan kepercayaannya terhadap kakek ini mau tak mau terbelalak juga.

   "Paman Pek, jadi kau tahu jelas tentang segala peristiwa yang melatarbelakangi kejadian di istana itu?"

   "Ya, kenapa tidak? Bukankah semuanya itu aku yang melakukannya?"

   "Hm, kenapa, paman? Kenapa kau harus membunuh ibunda selir Can Kui Bwee itu?"

   "Karena dia berbahaya bagi ibumu. Dia hendak membunuh kau yang masih merupakan orok merah pada saat ibumu dipanggil kaisar!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Begitukah, paman? Ada keperluan apa sri baginda memanggil ibu?"

   "Karena dia meluluskan permintaan ibumu. Ibumu telah minta kepada kaisar agar kau diangkat sebagai putera mahkota...!"

   "Ah...!"

   Bun Hwi terhenyak.

   "Dan... dan beliau benar-benar dikabulkan permintaannya, paman?"

   Tosu itu mengangguk.

   "Ya, begitulah, Bun Hwi. Tapi Kui Bwee yang iri hati kepada ibumu ini telah menyuruh seorang suruhannya agar membunuh kau yang dijaga seorang dayang!"

   "Bun Hwi tertegun. Dia merasa tidak nyaman mendengar cerita itu, dan Pek-bin Tojin yang dipandang hambar tiba-tiba ditanya.

   "Paman Pek, apakah permaisuri tidak melahirkan seorang bayi laki-laki hingga ibu harus meminta kepada kaisar agar aku menjadi putera mahkota?"

   Tosu ini tersenyum pahit.

   "Dahulu memang begitu, Bun Hwi. Tapi sekarang aku tidak tahu!"

   "Dan ibu mengandalkan kasih sayang kaisar untuk mendahului permintaan itu, paman?"

   "Hm, ini..."

   Pek-bin Tojin tiba-tiba menarik napas panjang.

   "Sesungguhnya bukan ibumu yang meminta, Bun Hwi. Tapi akulah. Aku yang menyuruh ibumu itu untuk membujuk sri baginda kaisar agar mengangkatmu sebagai putera mahkota!"

   Bun Hwi tersentak.

   "Kau, paman...?"

   "Ya, lihat ini..."

   Tosu itu mengeluarkan mainan batu giok yang tadi belum sempat diperlihatkannya kepada Bun Hwi, dan begitu dia menyerahkan mainan ini tosu itupun sudah menekan titik kecil di bagian ekor.

   Bun Hwi mendengar suara berkelotak di dalam mainan batu giok itu, dan ketika dia memandang tahu-tahu tutup kepala anjing yang amat indah buatannya itu tiba-tiba terbuka.

   Seekor anjing kecil yang matanya dapat berkedip-kedip meloncat keluar dari dalam mainan ini, yang ternyata merupakan tempurung luarnya.

   Dan Bun Hwi yang terbelalak kaget memandang heran.

   "Eih, ini yang asli, paman?"

   "Ya."

   "Dan kau menyimpannya sudah lama?"

   "Tidak, baru beberapa hari saja. Karena inilah milikmu yang kau sembunyikan di bawah pohon diluar dusun Cun-leng itu!"

   "Ah...!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Jadi kau yang mencurinya, paman?"

   "Atas petunjuk Siauw-bin Lo-koai!"

   Maka Bun Hwi yang kembali tertegun oleh keterangan ini tiba-tiba saja terbengong.

   Dia merasa mendongkol dan juga gembira oleh perbuatan pamannya itu, karena nyaris saja benda ini dirampas Ang-sai Mo-ong.

   Tapi Bun Hwi yang diam-diam gemas karena merasa "dipermainkan"

   Ini memandang tidak puas. Namun Pek-bin Tojin sudah menepuk pundaknya, dan sambil tertawa tosu itu sudah berkata.

   "Bun Hwi, jangan sakit hati oleh perbuatanku itu. Bukankah ini semua demi kebaikanmu? Kalau tidak kucuri pada saat yang tepat tentu benda yang amat berharga ini berada di tangan Mo-ong. Dan sekali Singa Merah itu berhasil mendapatkannya tentu dia bakal menjadi semakin haus darah...!"

   Pek-bin Tojin sudah menghentikan rasa gelinya dan tosu yang tiba-tiba kembali bermuka murung itu melanjutkan kata-katanya.

   "Kau mendapatkan ini dari Ma-lopek, bukan?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Ya, tapi paman Ma itu tidak menceritakan apa-apa tentang mainan ini, paman. Umpama tentang darimana dia memperoleh benda itu dan apa gunanya benda ini!"

   Pek-bin Tojin tersenyum kaku.

   "Hm, benda ini amat berharga, Bun Hwi. Dan sekali kau memahaminya tentu kau akan kagum."

   "Menyangkut ilmu silat, paman?"

   Pek-bin Tojin tertawa pahit.

   "Memang benar, Bun Hwi. Tapi di atas semuanya itu benda ini adalah milik ibumu!"

   Bun Hwi tercekat.

   "Milik ibu, paman?"

   "Ya,"

   Tosu itu mengangguk.

   "Maka jagalah baik-baik benda ini, Bun Hwi. Dan ibumu yang telah memberikan benda ini kepadaku akhirnya kutitipkan pada Ma-lopekmu itu, Ma Sim!"

   Bun Hwi memandang bengong.

   "Paman, kalau begitu dimanakah ibuku itu? Dimana ia sekarang berada...?"

   "Hm, ini masih kurahasiakan, Bun Hwi. Tapi kalau kau mau menurut tiga syarat dariku tentu kau akan menjumpai ibumu itu. Kau dapat memenuhi permintaan itu?"

   Pek-bin Tojin menarik napas panjang.

   "Tidak sukar, Bun Hwi. Hanya beberapa pekerjaan yang mudah bagimu. Pertama, kau harus taat kepada semua kata-kataku semenjak saat ini. Kedua, besok malam kau harus sudah mendapatkan Cupu Naga. Dan ketiga atau yang terakhir ialah kau harus membawa mustika Batu Bintang ke Lembah Duka!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Apa itu mustika Batu Bintang, paman? Dimana pula aku harus mencarinya?"

   Tosu ini memandang bersinar-sinar.

   "Mustika Batu Bintang itu adalah sebuah mustika yang dapat dipakai mengobati berbagai macam penyakit, Bun Hwi. Dan kalau kau ingin mendapatkannya maka carilah ular Pek-hui-coa di daerah Propinsi Shen-si, di sekitar Pegunungan Cin-ling!"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Ular Pek-hui-coa, paman?"

   "Ya. Kau telah membunuh pasangannya bukan?"

   Bun Hwi terkesiap kaget.

   Setelah pamannya itu menyinggung-nyinggung tentang ular Pek-hui-coa atau Ular Terbang Putih mendadak dia menjadi berdebar.

   Teringat olehnya cerita Siauw-bin Lo-koai beberapa waktu yang lalu yang menyatakan bahwa ular ini jauh lebih hebat dibanding Cheng-kak-coa, ular yang telah dia bunuh di dasar jurang di Bukit Ular itu.

   Dan bahwa sekarang pamannya tiba-tiba menyuruh dia mencari mustika Batu Bintang di tubuh ular ini sekonyong-konyong Bun Hwi menjadi ngeri! Tapi, teringat pamannya menyuruh dia harus ke Lembah Duka kalau berhasil membawa mustika Batu Bintang itu tiba-tiba saja Bun Hwi menjadi heran.

   "Paman, kau menyebut-nyebut Lembah Duka. Dimanakah itu dan mengapa aku harus kesana?"

   Pek-bin Tojin menjadi murung.

   "Itu adalah tempat persembunyian ibumu, Bun Hwi. Tapi kalau kau coba-coba kesana tanpa membawa Batu Bintang jangan harap ibumu akan muncul!"

   "Ah, jadi ibu ada disana, paman? Tapi dimana tempat yang bernama Lembah Duka itu?"

   "Hm, ini jangan kau tanyakan dulu, Bun Hwi. Aku tidak menjawabnya bila kau belum memenuhi tiga macam syaratku. Terlalu banyak persoalan yang harus membuat aku dan ibumu berhati-hati. Dan sekali kau teledor menyepelekan peringatanku maka semuanyapun bisa jatuh berantakan!"

   Bun Hwi tertegun.

   "Jadi ibu menyembunyikan diri di tempat itu, paman? Dan beliau rupanya sakit?"

   "Tidak dapat diterangkan dengan cara begitu, Bun Hwi. Tapi asal kau berhasil membawa mustika Batu Bintang itu tentu ibumu akan bergirang hati!"

   "Dan aku harus ke Propinsi Shen-si, paman?"

   "Ya, mencari mencari ular Pek-hui-coa itu. Tapi sebelum ini kau harus mendapatkan Cupu Naga itu dan tunduk kepada semua omonganku! Kau bisa menerimanya?"

   Bun Hwi tiba-tiba mengeraskan dagunya.

   "Baiklah, paman. Asal kau dapat membawaku menemui ibu tentu semuanyapun akan kuturut! Kapan kita harus berangkat? Dan kenapa paman juga ikut-ikutan tertarik mencari Cupu Naga itu?"

   Pek-bin Tojin tersenyum gembira.

   "Inipun kulakukan demi kau, Bun Hwi. Dan ibumu yang mengharap- harap kau mendapatkan kembali Cupu Naga itu harus terlaksana besok malam. Tidak boleh terlambat!"

   "Dan paman ikut mengantarku?"

   "Tentu saja."

   "Tapi apa hubungannya cupu itu dengan kita, paman? Kenapa kau harus ikut-ikutan mencarinya?"

   Tosu ini tiba-tiba menundukkan kepala.

   "Aku yang menjadi gara-gara dari semuanya ini, Bun Hwi. Kalau dulu aku tidak menyeret ibumu barangkali semuanya itupun tidak akan terjadi."

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apa maksudmu, paman?"

   "Aku yang dulu menghendaki Cupu Naga itu. Dan ibumu yang kusuruh minta benda ini dari kaisar telah kubuat susah gara-gara perbuatanku. Kau tentu telah mendengar tentang ikan kaisar yang hilang, bukan?"

   "Ya."

   "Dan kau tahu siapa yang mencuri ikan itu?"

   "Tidak."

   "Hm, aku yang membawa lari ikan itu, Bun Hwi!"

   Pek-bin Tojin tiba-tiba berseru.

   "Dan aku yang mencuri ikan ini telah membuat ibumu jadi tidak karuan hidupnya...!"

   Bun Hwi terkejut. Dia melihat pamannya itu tiba-tiba mendekap muka, dan Pek-bin Tojin yang sudah menangis tanpa suara membuat Bun Hwi tertegun.

   "Paman, apa saja sebetulnya yang kau lakukan ini? Kenapa kau mencuri dan membuat heboh macam itu?"

   Pek-bin Tojin tersedak.

   Dia menghapus air matanya dengan kepalan tinju, dan laki-laki tua yang tampaknya menyesal ini berkali-kali menarik napas panjang.

   Dia membuka kembali muka yang ditutup itu, dan Bun Hwi yang melihat air mata kakek ini basah memenuhi wajahnya menjadi terharu.

   "Paman, bisakah kauceritakan padaku kenapa kau melakukan semuanya itu? Dan kenapa ibu bisa menjadi korban dari perbuatanmu ini?"

   Pek-bin Tojin mengeluh.

   "Karena aku terlibat dalam nafsu keserakahanku, Bun Hwi. Dan aku yang menginginkan jabatan lebih tinggi dari masa hidupku itu membuat aku tiba-tiba menjadi seorang ambisius. Aku terlalu tamak, dan ibumu yang menjadi korban dari segala perbuatanku itu kini banyak menderita menerima getahnya!"

   Bun Hwi mengerutkan alis.

   "Hm, dan kau mengejar cita-cita pribadimu itu melalui ibu, paman?"

   "Ya, bahkan melalui dirimu pula. Karena aku yang menyuruh ibumu meminta kaisar agar mengangkatmu sebagai putera mahkota itupun sebenarnya juga hasil kerja nafsu ambisiku yang tidak tahu takaran. Aku menghendaki kau menjadi ahli waris kerajaan, dan kelak bila ini terlaksana tentu aku dapat menguasai seluruh istana dengan segala harta benda dan kekuasaannya!"

   Bun Hwi membelalakkan mata.

   "Apa yang menjadi tujuanmu, paman? Bukankah dahulu kau sudah menjabat pangkat tinggi sebagai Gubernur Kiang- si?"

   "Hm, itu masih belum memuaskan diriku, Bun Hwi. Karena aku yang bercita-cita ingin menjadi penasehat kaisar mengharapkan yang lebih jauh dari pangkat gubernur itu. Aku tidak cukup puas dengan jabatan yang kuterima dulu, karena bagaimanapun juga seorang gubernur masih jauh di bawah seorang penasehat kaisar. Dan sekali penasehat kaisar ini berkuasa maka sebetulnya rajapun tunduk kepada pengaruhnya. Kekuasaan seorang penasehat kaisar ini luar biasa, hampir melebihi sri baginda kaisar sendiri!"

   Bun Hwi tertegun.

   "Jadi kau mengharapkan kedudukan yang amat tinggi itu, paman?"

   "Ya, dan ini bisa terkabul bila kau menjadi ahli waris tunggal kerajaan Tang!"

   "Ahh...!"

   Bun Hwi terkesima. Lalu terbelalak ke arah pamannya ini dia berseru.

   "Paman Pek, kalau begitu kau menyimpan sebuah rencana jarak jauh untuk aku dan ibuku itu?"

   "Hm..."

   Pek-bin Tojin menyeringai.

   "Sebetulnya memang begitu, Bun Hwi. Tapi setelah aku sadar dan melihat ibumu sengsara gara-gara perbuatanku maka semuanya itupun telah kuhapus. Aku tidak lagi ingin menjadi penasehat kaisar, dan melihat ibumu dapat hidup gembira seperti semula saja aku sudah merasa girang!"

   "Kalau begitu ada apa dengan ibu, paman?"

   "Ia menderita gangguan syaraf. Karena Naga Lilin yang menggigit jarinya membuat ibumu itu lumpuh!"

   Bun Hwi terkejut bukan main.

   "Ibu lumpuh, paman? Digigit Naga Lilin...?"

   Pek-bin Tojin mengangguk.

   "Ya, itu gara-gara kecerobohanku, Bun Hwi. Karena malam itu ketika aku mencuri sepasang ikan keramat ini tiba-tiba ibumu muncul. Dia mengejutkan aku, tapi kegugupannya melihat aku di kolam kaisar telah membuat segala-galanya berantakan!"

   Bun Hwi jadi terbengong.

   "Berantakan bagaimana, paman Pek? Apakah ibuku itu berteriak memanggil pengawal?"

   "Hm, bukan begitu, Bun Hwi. Tapi ibumu yang terlanjur kupukul karena kaget itu terjatuh di kolam dan membuat kaisar terbangun!"

   "Ah!"

   Bun Hwi terperanjat.

   "Dan kaisar tahu kalau kau yang membuat ribut, paman?"

   "Tadinya belum. Tapi sri baginda yang melompat keluar dari tempat peraduannya itu akhirnya tertegun melihat aku dan ibumu di kolam Naga Lilin. Tempat ini merupakan tempat yang dilarang untuk dimasuki siapa saja, dan kaisar yang mula-mula heran melihat aku basah kuyup di tempat itu menegurku dengan sikap baik-baik. Tapi... tapi aku yang gugup melihat sri baginda memergoki perbuatanku lalu tiba-tiba saja kuserang!"

   Bun Hwi membelalakkan mata.

   "Kau menyerang kaisar, paman?"

   "Ya, bahkan siap membunuhnya. Dan kaisar yang terpekik oleh perbuatanku itu tiba-tiba saja memanggil pengawal. Dia membunyikan genta pusaka yang bertubi-tubi berkeleneng nyaring, dan aku yang kaget serta gugup tiba-tiba saja meninggalkan kaisar itu dan melarikan diri!"

   Bun Hwi sekarang terpaku. Dan Pek-bin Tojin yang menghentikan ceritanya barang sejenak memukul- mukul dahinya.

   "Aku benar-benar ceroboh waktu itu, Bun Hwi. Karena kalau saja aku mau berlutut minta ampun tentu saat itu juga peristiwa yang tak kusangka ini bakal berhenti. Kaisar orang yang cukup bijaksana, dan memandang jasa-jasaku yang belasan tahun mengabdinya tentu beliau akan mengampuninya. Tapi aku orang celaka ini justeru membuat rentetan peristiwa yang tidak terpuji, dan ibumu yang ikut-ikutan kena getahnya harus mengorbankan diri gara-gara perbuatanku!"

   Bun Hwi melenggong.

   "Apa lagi yang kau lakukan, paman?"

   "Aku membunuh thaikam Li Sui. Karena manusia kebiri yang muncul pertama kali waktu kaisar membunyikan genta tanda bahaya itu telah kuserang dan kutikam perutnya. Padahal, dia adalah orang kepercayaan kaisar yang dulu telah menunjukku untuk diangkat sebagai gubernur!"

   "Ah, jadi hitung-hitung dia atasanmu juga, paman?"

   "Betul. Karena dia itulah penasehat kaisar yang mengendalikan jalannya pemerintahan di balik kekuasaan sri baginda!"

   "Ahh...!"

   Bun Hwi kembali terkejut.

   "Jadi kedudukan thaikam Li Sui ini yang sebenarnya kau incar, paman? Kau menginginkan supaya kelak kau bisa jadi juga seperti pembesar kebiri itu?"

   Pek-bin Tojin menjawab murung.

   "Itulah hasil keserakahanku, Bun Hwi. Kalau dulu aku tidak membuat kekacauan di kolam kaisar barangkali kedudukan itu akan jatuh baik-baik kepadaku. Tapi sejak aku membuat heboh itu maka semuanyapun jadi tidak karuan. Kaisar sebenarnya sudah mempersiapkan diriku untuk kelak menggantikan thaikan Li itu, yang sudah terlalu tua untuk dimintai tenaganya. Dan mengandalkan kasih sayang terhadap ibumu kaisar sudah menetapkan rencana ini. Tapi aku tidak tahu. Dan perbuatanku malam itu yang mencoba membunuh kaisar justeru berakibat fatal untuk kami berdua...!"

   Bun Hwi menahan napas.

   "Apa yang terjadi kemudian, paman? Kau tertangkap...?"

   "Tidak. Malam itu aku berhasil meloloskan diri. Tapi ibumu yang terjatuh di kolam mendapat sial. Ia secara kebetulan menimpa Naga Lilin yang betina, dan begitu ia tercebur di kolam tiba-tiba saja jarinya tergigit Naga Lilin!"

   "Dan ibu pingsan, paman?"

   "Tidak. Waktu itu ia belum pingsan. Tapi Naga Lilin yang amat berbahaya racunnya membuat aku mengambil tindakan drastis yang amat mengejutkan ibumu. Jari kelingkingnya yang tergigit langsung kubacok, dan ibumu yang kaget langsung menjerit pingsan melihat perbuatanku ini!"

   "Ah...!"

   Bun Hwi terbeliak.

   "Jadi kau membuat ibuku cacad, paman? Kau berusaha menyelamatkan jiwanya dari racun ikan yang ganas itu?"

   "Ya, demikian maksudku mula-mula, Bun Hwi. Tapi setelah aku tahu ternyata tindakanku itu masih belum mampu menolong sepenuhnya. Ibumu memang betul tidak tewas oleh racun ikan ini, tapi bekas gigitan Naga Lilin ternyata membuat ibumu lumpuh selang beberapa hari kemudian!"

   Bun Hwi tertegun. Dia pucat oleh kisah pamannya itu, dan Pek-bin Tojin yang tampak penuh penyesalan melanjutkan kembali ceritanya.

   "Dan malam itu aku langsung menyembunyikan diri, Bun Hwi. Tapi mata-mata kaisar yang banyak jumlahnya akhirnya menemukan diriku. Aku dikeroyok, tapi perlawananku yang gigih membuat aku lolos lagi. Ibumu kubawa dengan susah payah, dan para pengawal yang mengejar-ngejarku di belakang akhirnya hampir saja membuat aku dan ibumu binasa!"

   Bun Hwi tiba-tiba bertanya.

   "Tapi apa perlumu mencuri Naga Lilin, paman? Kenapa kau berani benar mengambil ikan yang berbahaya ini?"

   "Hm, untuk menyembunyikan wasiat ibumu, Bun Hwi. Cupu Naga itu!"

   "Dan kenapa harus bersusah payah seperti itu, paman? Bukankah Cupu Naga sudah baik-baik disimpan ibuku?"

   "Ah, tidak. Kau salah kira, Bun Hwi. Cupu Naga ini justeru diincar banyak orang untuk mendapatkan isinya!"

   "Maksudmu pelajaran silatnya itu, paman?"

   "Ya. Tapi yang lebih penting lagi ialah kegunaannya. Karena siapa yang membawa cupu itu dia ibarat kaisar sendiri yang harus dihormati semua orang!"

   "Ooh...?"

   Bun Hwi baru tahu.

   "Jadi cupu ini diperebutkan orang karena kegunaannya itu, paman? Orang ingin agar dia mendapatkan penghargaan seperti kaisar sendiri?"

   Pek-bin Tojin mengangguk.

   "Memang begitulah, Bun Hwi. Karena ketika ibumu resmi mendapat Cupu Naga itu banyak orang yang mereka terkejut dan iri hati kepada ibumu. Cupu Naga itu merupakan simbol bagi seorang putera mahkota, dan siapa yang mendapatkannya berarti dia sudah resmi menjadi calon pengganti sri baginda apabila beliau wafat!"

   Bun Hwi termangu-mangu. Sekarang dia merasa lebih jelas. Tapi Pek-bin Tojin yang melanjutkan kembali pembicaraannya itu sudah menerangkan dengan suara tinggi.

   "Tapi ibumu yang menerima penghormatan ini sekaligus juga menerima ancamannya, Bun Hwi. Karena sri baginda kaisar yang telah memberikan anugerahnya yang luar biasa itu sekaligus memperingatkan agar ibumu menyimpan baik-baik benda pusaka ini. Sekali hilang maka nyawalah taruhannya!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Kenapa begitu, paman?"

   "Karena orang yang mendapat anugerah ini akan dianggap tidak bisa mengimbangi kasih sayang kaisar dan dianggap menghina yang memberi!"

   "Ah, begitukah?"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Jadi ibu harus menjaga baik-baik benda pusaka itu, paman?"

   "Ya, hal ini memang semestinya. Dan kalau saja di istana tidak ada manusia-manusia busuk macam selir Kui Bwee dan lain-lainnya itu barangkali aku tidak perlu khawatir menjaga ibumu. Tapi orang- orang yang iri hati ini bergerak, dan mereka yang diam-diam mau mencuri cupu itu telah memasang mata-mata untuk satu hari kelak menjatuhkan ibumu!"

   Bun Hwi tiba-tiba bangkit berdiri.

   "Dan karena itu kau lalu mencuri Naga Lilin, paman?"

   "Benar."

   "Dan ibu mulai merasa terancam kedudukannya?"

   "Itu wajar, Bun Hwi. Tapi siapa yang mengira bahwa sahabat-sahabat baik ibumu juga akan ikut-ikutan menyerang dari dalam?"

   "Hm, siapa saja mereka itu, paman?"

   "Selir Kui Bwee itulah seorang di antaranya. Dia secara diam-diam memasang perangkap busuk, dan aku yang buru-buru mengetahui rencananya itu sudah cepat-cepat mengambil tindakan kilat. Aku lalu mencuri Naga Lilin itu, bermaksud mengamankan cupu ini di tempat yang paling dapat diandalkan. Tapi malam sial yang menimpa diriku itu ternyata berakibat buruk bagi kami berdua!"

   Bun Hwi mengerutkan kening.

   "Apa yang direncanakan selir Kui Bwee itu, paman?"

   "Dia mau membunuhmu, seperti yang kukatakan tadi. Dan selir jahat yang hendak mencuri cupu ini ternyata diam-diam menulis surat kaleng pada sri baginda bahwa ibumu bermain gila dengan seorang laki-laki lain!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Sampai sedemikian rupa perbuatan selir Kui Bwee itu, paman?"

   "Ya. Dan kau tahu siapa laki-laki yang dikatakan main gila dengan ibumu itu?"

   "Siapa paman?"

   Bun Hwi tentu saja tidak tahu.

   "Ma Sim itulah, orang kepercayaanku yang merupakan tangan kanan!"

   "Ahh...!"

   Bun Hwi terbelalak kaget, merah mukanya mendengar fitnahan ini.

   "Tapi sri baginda percaya, paman?"

   "Tentu saja tidak. Tapi ibumu dipanggil, surat kaleng itu ditunjukkan. Dan ibumu yang mengenal tulisan ini seketika tahu siapa yang menjadi biang keladinya. Dia mengenal tulisan Kui Bwee itu, tapi ibumu yang lemah hatinya tak memberitahukan hal ini pada kaisar. Dia secara halus justeru menegur langsung selir ini pada saat mereka ketemu, dan Kui Bwee yang tak mampu menyangkal mulai saat itu membenci ibumu dengan hebat. Percekcokan kecil- kecilan sering mulai terjadi di antara keduanya. Tapi Kui Bwee yang sakit hati ini justeru kian menggila sikapnya dan mengumpulkan selir-selir lain untuk membenci ibumu!"

   "Dan ibu diam saja, paman?"

   "Tentu saja tidak. Aku ikut membantunya, dan pengaruhku sebagai Gubernur Kiang-si untuk sejenak dapat meredakan ketegangan ini. Aku nasihati baik-baik selir yang busuk hati itu, tapi Kui Bwee yang tiba-tiba menjadi marah mendadak menyuruh orang membunuhku secara diam-diam. Dia menyewa seorang tokoh iblis yang amat ganas, tapi aku yang keburu tahu sudah mendahuluinya untuk membunuh selir jahanam itu. Dia kuracun lewat seorang pembantuku, dan istana yang gempar oleh perbuatanku ini kontan saja menjadi geger!"

   Pek-bin Tojin bangkit berdiri, dan Bun Hwi yang melihat muka tosu itu merah padam tiba-tiba tertegun. Dia dapat merasakan perasaan hati pamannya itu, dan menarik napas panjang dia akhirnya bertanya.

   "Paman, siapa iblis yang disewa selir Kui Bwee untuk membunuhmu itu?"

   Tosu ini membalikkan tubuh.

   "Dialah Ang-sai Mo- ong, Bun Hwi. Iblis tua yang sudah kaukenal itu!"

   Bun Hwi terperanjat.

   "O, kakek sesat itu, paman? Jadi dia ini yang disewa Kui Bwee untuk membunuhmu?"

   "Ya, dan sekarang datuk iblis ini ganti disuruh anaknya, Bun Hwi. Pangeran Ong yang telah bersama-sama denganmu di dalam kereta itu. Kalau aku tidak mempergunakan hio pembius tentu kau sudah mutlak dalam cengkeramannya. Dan sekali aku tak mampu mengawasimu lagi tentu nasibmu celakalah sudah!"

   Bun Hwi kembali termangu-mangu. Dia duduk lagi di lantai, dan merasa berdebar oleh semuanya ini tiba- tiba diapun memandang pamannya itu.

   "Paman Pek, kalau begitu apa sebenarnya yang hendak dikerjakan pangeran ini terhadapku?"

   "Hm, jelas menginginkan Cupu Naga dalam perut Naga Lilin, Bun Hwi. Tapi begitu dia berhasil tentu kau pun akan dibunuhnya. Aku melihat pangeran ini sudah mengatur rencananya dengan masak, dan kalau Mo-ong tidak terlibat dalam pertempurannya dengan Siauw-bin Lo-koai tentu kau pun tak mampu meloloskan diri!"

   "Dan kau juga berarti tak mampu menculikku, paman?"

   "Ya."

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tapi apa hubungannya ini dengan yang lain-lain, paman? Thian-san Giok-li itu umpamanya, atau Pangeran Yin yang juga mencari-cari diriku?"

   "Hm, ini menyangkut pahala yang ada di Cupu Naga, Bun Hwi. Bukankah sudah kukatakan tadi bahwa Cupu Naga merupakan benda luar biasa yang tak ternilai harganya? Bagi Pangeran Yin tentu saja dia mengharapkan kedudukan sebagai putera mahkota itu, tapi bagi Thian-san Giok-li tentu saja yang diincar adalah warisan ilmu silatnya!"

   "Dan kau tahu jelas tentang cupu ini, paman?"

   "Tentu saja! Bukankah aku yang menyembunyikan benda itu di perut Naga Lilin? Cupu ini mengandung ilmu silat luar biasa, Bun Hwi, dan aku yang baru mempelajarinya beberapa bulan saja sudah mendapatkan manfaat yang amat mengherankan hatiku!"

   Bun Hwi memandang tak acuh.

   "Tapi kau sudah mempelajarinya secara lengkap, paman?"

   "Belum. Aku diburu-buru musuh, mana dapat mempelajarinya dengan tenang? Maka itulah sebabnya aku lalu menyembunyikan cupu ini di perut Naga Lilin, Bun Hwi. Dan ibumu yang mengharap kelak kau yang mewarisi cupu ini dapat mempelajari pelajaran ilmu silat di cupu itu dengan pikiran tenang dan tidak terganggu!"

   Bun Hwi tertawa getir.

   "Paman Pek, barangkali ini satu harapan yang sia-sia. Mana mungkin aku tertarik pada ilmu silat? Melihat orang saling baku hantam karena pandai bermain silat saja aku sudah benci. Kenapa kau tiba-tiba bicara seperti itu?"

   Pek-bin Tojin mendadak bersikap keren.

   "Bun Hwi,"

   Tosu itu berkata dalam.

   "Rupanya sudah waktunya pinto mendobrak cara berpikirmu yang salah ini. Apakah kau kira semua orang yang pandai silat mesti saling baku hantam dan bertengkar memperebutkan sesuatu? Apakah kau kira seseorang yang pandai bermain silat harus dipandang kotor dan muak? Tahukah kau apa yang sebenarnya terjadi di balik semuanya ini?"

   Bun Hwi tetap tersenyum pahit.

   "Rupanya kau hendak memberikan pandangan baru, paman Pek. Apakah ini sejalan dengan perintah Siauw-bin Lo- koai kepadaku dahulu?"

   Tosu itu menyalang matanya.

   "Jangan menganggapku seperti itu, Bun Hwi. Karena apa yang dimaksud Siauw-bin Lo-koai belum tentu sama dengan apa yang kumaksudkan. Kau harus dapat melihat sesuatu yang benar sebagai apa adanya sebuah kebenaran. Bukankah demikian biasanya watakmu?"

   Bun Hwi mengerutkan kening.

   "Paman Pek, kalau kau ingin bicara sesuatu cobalah bicarakan itu. Aku tidak ingin berdebat dalam masalah ini!"

   "Baik,"

   Pek-bin Tojin duduk pula.

   "Kalau begitu dengarkan kata-kataku ini, Bun Hwi. Dan jika ini mampu kau tolak maka akupun tidak akan banyak cakap lagi...!"

   Dan Pek-bin Tojin yang sudah menghadapi keponakannya dengan pandangan keras itu bertanya.

   "Bun Hwi, setelah kau mendengar segala kisahku ini apa yang dapat kau simpulkan dari cerita itu?"

   "Hm, aku kurang mengerti maksud tujuanmu, paman. Tapi kulihat satu hal disini yakni kau tampaknya serakah sekali pada belasan tahun yang lalu."

   "Cocok! Dan keserakahan ini hanya dipunyai orang- orang yang pandai ilmu silat saja, Bun Hwi?"

   "Eh...!"

   Bun Hwi terkejut.

   "Agaknya tidak begitu, paman. Tapi apa hubungannya ini dengan masalah kita?"

   "Hm, dengar dulu, Bun Hwi. Kalau kau sudah mengakui bahwa keserakahan itu bukan milik orang- orang yang pandai silat saja maka semestinya kau mengakui pula bahwa keserakahan itu milik yang dipunyai semua orang. Yang tidak pandai silatpun bisa saja dihinggapi perasaan ini, dan aku yang telah menjadi korban dari nafsu keserakahanku itu menjadi bukti bahwa ini bisa terjadi pada semua orang. Baik dia itu orang yang pandai silat ataupun tidak! Bukankah demikian kenyataannya?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Ya, itu benar, paman. Lalu...?"

   "Hm, lalu itu menjadi mudah kelanjutannya, Bun Hwi. Bahwa sesungguhnya suatu ilmu tidak ada hubungannya dengan yang baik atau yang tidak baik terhadap yang memegang ilmu itu. Bukankah kau lihat disini bahwa yang pandai silat ataupun tidak kenyataannya sama-sama memiliki nafsu keserakahan, nafsu tidak puas diri yang menyeret mereka pada perbuatan-perbuatan tidak terpuji?"

   Bun Hwi mengangkat mukanya.

   "Ini memang benar, paman. Tapi kenapa kau bicara tentang nafsu keserakahan atau nafsu tidak puas diri ini? Bukankah kau hendak bicara tentang orang-orang dalam dunia persilatan?"

   "Hm, tunggu dulu, Bun Hwi. Jangan memotong! Bukankah kau tidak senang pada orang-orang yang pandai silat ini karena mereka itu kau anggap kasar dan kejam? Bukankah ini yang menjadi dasar kebencianmu terhadap orang-orang macam itu?"

   "Ya, tapi tidak semuanya kuanggap begitu, paman Pek. Aku hanya berkata bahwa sebagian benar saja. Bukan semuanya!"

   "Dan orang-orang yang tidak pandai silat ini kau anggap lebih baik dari mereka, Bun Hwi? Kau anggap mereka ini tidak mampu melakukan kekejaman seperti apa yang dilakukan orang-orang yang pandai silat?"

   Bun Hwi tiba-tiba bangkit berdiri.

   "Paman Pek, pernyataanmu itu memang tidak kusangkal. Bukankah jelas kau lihat sendiri bahwa orang-orang yang pandai silat ini main pukul dan serang terhadap orang lain? Pernahkah kau lihat orang-orang yang tidak pandai silat seperti orang-orang dunia kang- ouw itu melakukan kekerasan ataupun kekejian macam mereka?"

   Pek-bin Tojin tiba-tiba tertawa mengejek.

   "Bun Hwi, kau tampaknya sombong sekali. Benar kalau begitu kata-kata Siauw-bin Lo-koai! Dari mana kau bisa tahu bahwa orang-orang yang tidak pandai silat ini jauh lebih baik dari orang-orang dunia kang-ouw? Apakah kau kira mereka itu tidak bisa melakukan kekejian melebihi orang-orang dunia kang-ouw?"

   Bun Hwi merah mukanya.

   "Itu memang pandanganku, paman. Aku menganggap bahwa orang-orang dunia kang-ouw memang jauh lebih kasar dan jahat dibandingkan orang-orang biasa!"

   "Dan kau telah mengadakan perbandingan yang seksama tentang jalan pikiranmu ini?"

   Bun Hwi tergagap.

   "Kukira sudah, paman. Karena dari kejadian-kejadian yang kualami selama ini dapat kutarik kesimpulan bahwa orang-orang dunia kang-ouw itu memang jauh lebih tidak menyenangkan dibanding teman-temanku di dusun Ki-leng umpamanya....!"

   "Hm, jadi dari sifat teman-temanmu di Ki-leng itu kau lalu menjadikannya sebagai ukuran, Bun Hwi? Kau hanya melihat watak dari sekelompok kecil teman-temanmu yang tak berarti itu?"

   Bun Hwi terbelalak.

   "Apa ini salah, paman?"

   "Ah, tentu saja, Bun Hwi. Kau tidak dapat mengukur sesuatu yang besar dengan kacamata yang kecil! Mana mungkin watak orang dunia kang-ouw kau ukur dengan perbandingan yang seperti itu? Bukankah ini macam katak dalam tempurung?"

   Bun Hwi tiba-tiba meradang.

   "Paman Pek, kalau kau bicara seperti itu coba kau buktikan apakah pernah teman-temanku di dusun Ki-leng itu membuat keributan atau kekejian seperti yang biasa dilakukan orang-orang kang-ouw. Membakar orang hidup- hidup, misalnya. Seperti Ang-sai Mo-ong yang melakukannya di dusun Cun-leng itu!"

   Pek-bin Tojin tertegun.

   "Kenapa ini yang kau ajukan, Bun Hwi? Bukankah selamanya aku belum mengenal mereka?"

   "Hm, akupun pada mulanya juga belum mengenal orang-orang dari dunia kang-ouw ini, paman. Tapi begitu ketemu tiba-tiba saja mereka itu telah menggangguku!"

   "Ah, tapi itu lain, Bun Hwi. Mereka mengganggumu karena ada sangkut-paut dengan urusan Cupu Naga itu. Setidak-tidaknya karena kau adalah seorang pangeran yang dicari-cari banyak orang, pewaris tunggal putera mahkota Kerajaan Tang!"

   Bun Hwi cemberut.

   "Aku tak tertarik sama sekali dengan kedudukan itu, paman. Kenapa mereka harus mengejar-ngejarku? Bukankah aku selamanya suka menghindarkan diri...?"

   "Ya, tapi ini menyimpang dari pokok pembicaraan kita, Bun Hwi. Aku tidak mengajakmu untuk berdebat urusan itu. Bukankah kita sedang membicarakan masalah keserakahan atau nafsu tamak manusia? Nah, mari kita kembali. Aku tidak boleh melantur oleh benturan emosimu!"

   Dan Pek- bin Tojin yang tidak mau Bun Hwi menyeret dia dalam pertanyaan lain sudah buru-buru mengebutkan lengan bajunya.

   "Bun Hwi, kau tentunya tidak senang kepada orang- orang kang-ouw itu karena mereka suka membuat ribut-ribut, bukan? Nah, sekarang jawab pertanyaanku ini. kenapa mereka itu harus ribut- ribut dan siapa yang menjadi biang keladinya?"

   Bun Hwi terkejut.

   "Tentu saja mereka ribut-ribut karena mereka itu suka mengagulkan kepandaian, paman. Saling pamer kekuatan untuk dapat mengalahkan lawan lain yang lebih lemah kedudukannya."

   "Hm, ini jawaban yang picik sekali, Bun Hwi. Tapi baiklah. Lalu siapa yang menjadi biang keladinya?"

   Bun Hwi berpikir sejenak.

   "Kukira orang-orang yang menjadi pimpinan mereka, paman. Orang-orang yang tidak kuketahui siapa orangnya!"

   "Hm, baiklah. Untuk jawaban yang kedua ini kau ada benarnya. Dan sekarang kau tahu siapa orang-orang yang berdiri di belakang layar itu, orang-orang yang menjadi pemimpin segala keributan ini?"

   Bun Hwi tertegun.

   "Aku tidak tahu, paman. Tapi pasti orang-orang yang berwatak jahat!"

   Pek-bin Tojin tertawa.

   "Jawabanmu agak kurang tepat, Bun Hwi. Tapi baiklah. Mari dengarkan kelanjutan kata-kataku ini. Kau tentu kenal Pangeran Ong dan Yin, bukan? Siapa mereka itu? Bukankah mereka ini majikan-majikan dari dua orang iblis yang amat ganas?"

   Bun Hwi mengangguk.

   "Ya, itu benar, paman. Lalu kenapakah?"

   "Hm, kalau ini sudah kau ketahui kenapa tadi kau bilang tidak tahu, Bun Hwi? Bukankah jelas kau sekarang tahu siapa orang-orang yang menjadi pemimpin dari semua yang membuat ribut-ribut itu?"

   Bun Hwi tercekat.

   "Ini..."

   Pek-bin Tojin tiba-tiba memotong.

   "Nanti dulu, Bun Hwi. Jangan mendebat pinto! Yang jelas kau sekarang tahu siapa orang-orang yang berdiri di belakang layar itu, bukan?"

   Bun Hwi terpaksa mengangguk.

   "Ya, paman."

   "Dan kau lihat dua orang pangeran ini pandai silat?"

   Bun Hwi terkejut bukan main. Dia terbelalak memandang pamannya itu, dan Pek-bin Tojin yang sudah tertawa itu menggoyangkan lengannya.

   "Tidak... tidak, Bun Hwi. Kau akan mengakui bahwa dua orang Pangeran Ong dan Yin itu sama sekali tidak pandai silat. Mereka ini hanya pandai memerintah, dan kekuasaan mereka yang merupakan kelebihan dari orang lain ternyata membuat mereka dapat memimpin dua orang datuk sesat macam Ang-sai Mo-ong dan Tung-hai Lo-mo itu!"

   Bun Hwi tergetar. Dia seakan mendapat suatu kenyataan yang tiba-tiba menghentak jantungnya, dan Pek-bin Tojin yang sudah mengulapkan lengannya itu berkata kembali.

   "Dan ini akan kau jumpai banyak sekali dalam kehidupan, Bun Hwi. Betapa orang-orang yang tidak bisa silat itu ternyata banyak di antaranya yang menjalankan rol di balik segala peristiwa. Mereka itu sesungguhnya bisa saja membuat ribut-ribut, dan kalau kau menganggap bahwa semua ribut-ribut itu dilakukan orang-orang yang pandai silat maka ternyata pernyataan itu salah! Lihat saja dengan Pangeran Ong dan Yin ini, apa yang mereka lakukan terhadap dua orang pembantunya? Dan juga walikota Wong yang sudah kau bunuh itu, apa yang diperintahkannya terhadap para pembantunya? Keributan, Bun Hwi... keributan melulu! Dan kalau ini kau bilang bahwa keributan dimonopoli orang-orang dunia kang-ouw maka dengan gamblang kau akan melihat di sini bahwa dugaanmu itu salah. Orang kang-ouw ataupun orang biasa bisa saja membuat keributan, dan ini sesungguhnya masalah nafsu tamak atau keserakahan yang malam ini hendak kuberikan padamu itu!"

   Pek-bin Tojin berhenti bicara, dan tosu yang tampak berseri-seri mukanya itu memandang keponakannya dengan mata bersinar-sinar. Dia rupanya berhasil "menerobos"

   Kepongahan Bun Hwi yang menyatakan pendapatnya tentang orang-orang kang-ouw, yang di-"cap"

   Sebagai manusia pembuat ribut-ribut, dan Bun Hwi yang tertegun di tempatnya dengan mata tak berkedip itu tampak terkejut.

   Pemuda ini seakan diguyur air dingin, dan Bun Hwi yang mau tidak mau memang harus mengakui kebenaran yang dikatakan pamannya itu kelihatan termangu-mangu.

   Sekarang Pek-bin Tojin menyeka keringatnya dengan ujung baju, dan tosu yang kembali bicara itu melanjutkan ceritanya dengan suara tinggi.

   "Dan ini merupakan penyakit manusia, Bun Hwi. Karena kalau nafsu keserakahan itu tidak menghinggapi kita barangkali dunia ini sudah tenteram damai tidak ada keributan. Tapi manusia selalu bergerak, dan mereka yang kelewat dinamis ini telah membuat gaduh isu dunia. Mereka selalu riuh, dan rasa tidak puas diri yang menggebu-gebu di hati sanubari mereka telah membuat segalanya menjadi ribut. Orang-orang kang-ouw yang melakukan keributan itu sesungguhnya hanya diperalat saja, seperti yang kau lihat sekarang. Karena biang keladi yang bersembunyi di balik layar itu memang tidak kelihatan karena mereka tidak menonjolkan diri. Orang lainlah yang disuruhnya, dan dia yang tinggal menanti di belakang meja hanya menunggu laporan tentang berhasil atau tidaknya perintah yang diberikan! Nah, sekarang kau mulai mengerti, Bun Hwi?"

   Bun Hwi benar-benar tertegun. Dia mulai terbuka oleh kenyataan ini, tapi Pek-bin Tojin yang rupanya masih ingin "berkhotbah"

   Melanjutkan lagi dengan penuh semangat.

   "Dan yang terakhir akan kuberitahukan lagi padamu, Bun Hwi. Tentang mengapa kau sampai meninggalkan kampung halamanmu, dusun Ki-leng itu. Kau tentu ingat Wu Houw, bukan? Dan juga Mo-kwi-pa itu, atasan mandor Wu ini. Bukankah gara-gara mandor Wu ini terjadi keributan? Dia menganiaya Ma Sim, dan kau yang marah lalu membalasnya. Terjadi keributan di sini, dan Wu Houw serta Kwi-pa yang pandai silat itu rupanya mula-mula menjadi titik tolak bagimu untuk mengukur orang-orang dunia kang-ouw seperti dua orang tukang pukul itu. Mereka memang kasar, juga kejam. Tapi pernahkah kau teropong lebih jauh siapa sebenarnya biang keladi dari peristiwa itu, Bun Hwi? Tidakkah kau ingat betapa mereka itu sebenarnya hanya alat bagi orang lain, yang berdiri di balik layar? Dan orang yang berdiri di balik layar itu bukan lain adalah Bhong-loya, hartawan tamak yang tidak bisa silat itu! Nah, apa yang sekarang hendak kau katakan, Bun Hwi, masih berani kau mendakwa bahwa orang-orang yang pandai silat sajalah yang membuat keributan? Bukankah Bhong- loya ini justeru jauh lebih keji dan jahat dibanding Kwi-pa maupun Wu Houw? Karena gara-gara dialah sebenarnya peristiwa itu terjadi, dan kalau Bhong- loya tidak bersikap sewenang-wenang terhadap orang lain tentu kaupun tidak bakalan meninggalkan Ki-leng dan kini lontang-lantung seperti anak jembel...!"

   Pek-bin Tojin tampak puas melampiaskan kata- katanya ini dan Bun Hwi yang sampai pucat mendengar kata-kata tosu itu duduk terkesima dengan tubuh tidak bergerak.

   Dia benar-benar merasa terpukul, dan Bun Hwi yang terbelalak dengan mata tidak berkedip itu akhirnya mengeluh.

   Dia sekarang benar-benar melek mata batinnya, dan Bun Hwi yang mendadak seperti dicemplungkan dalam kubangan es yang dingin itu sekonyong- konyong mengalihkan pandangannya pada jenazah Siauw-bin Lo-koai.

   Disinilah dia mula-mula berdebat dengan hwesio itu, tapi Siauw-bin Lo-koai yang agaknya kurang pandai "berkhotbah"

   Membuat dia tetap tidak mau mengalah dengan kekerasan kepalanya.

   Dan setelah sekarang dia mengakui kekeliruannya itu ternyata hwesio itu telah tiada untuk selama-lamanya! Bun Hwi termangu, dan air mata yang tiba-tiba membasahi pipinya membuat Bun Hwi menggigit bibir.

   "Paman Pek, kalau begitu orang-orang yang pandai silat ini jauh lebih baik dibanding orang-orang biasa?"

   Bun Hwi bertanya menggigil.

   "Hm, tidak bisa disebut begitu, Bun Hwi. Karena tentang baik atau tidak baik sesungguhnya itu sama saja. Aku tidak mengatakan bahwa orang-orang biasa ini justeru lebih jahat daripada orang-orang persilatan, karena watak baik dan buruk itu tidak memilih wadagnya. Mereka bisa tinggal dimana saja. Tapi kalau kau menganggap bahwa orang-orang kang-ouwlah yang lebih buruk dibanding orang biasa inilah pendapat yang tidak bisa kuterima! Bukankah kau telah mendapat bukti bahwa orang-orang yang tidak bisa silat ternyata bisa juga melakukan kekejaman yang tidak kalah hebatnya dengan orang-orang yang bisa silat? Jadi hal ini perlu kau renungkan, Bun Hwi. Agar kau tidak berat sebelah dalam menentukan jalan pikiranmu. Kau harus tahu bahwa hidup ini selamanya mengandung dua unsur, Im dan Yang. Dan orang kang-ouw maupun orang biasa kedua-duanya sama-sama tak terhindar dari dua unsur alam ini. Jahat dan baik bisa melanda kelompok mana saja. Baik dia itu orang kang-ouw ataupun bukan!"

   Bun Hwi mengangguk-angguk.

   "Jadi kalau begitu aku tak boleh menganggap orang kang-ouw lebih jahat atau keji dibanding orang biasa, paman?"

   "Ya. Sama seperti kalau kaupun tak boleh menganggap orang biasa lebih jahat atau keji dibanding orang kang-ouw!"

   "Ah, kalau begitu bagaimana, paman?"

   Bun Hwi sedikit bingung.

   "Hm, baiknya begini saja, Bun Hwi. Kau ikutilah jalan pikiran pinto. Pinto selamanya menganggap semua orang setengah putih setengah hitam. Artinya, sebelum kita mengenal watak mereka dengan baik maka kedudukannya adalah 50-50. Kau jelas dengan apa yang kumaksudkan ini, Bun Hwi?"

   Bun Hwi mengangkat mukanya.

   "Lima puluh lima puluh, paman?"

   "Ya, 50-50. Artinya sebelum kau melihat, mendengar ataupun mengetahui baik watak lawanmu maka jangan sekali-kali kau mencap orang itu jahat atau tidak jahat, Bun Hwi. Karena pada permulaan itu kedudukan setiap orang sebenarnya 50-50. Dia setengah putih dan setengah hitam, dan baru pada saat orang itu bergerak lebih lanjut pada setiap gerak-gerik atau perbuatannya barulah kita tahu siapa sebenarnya dia itu. Jahat ataukah tidak jahat. Nah, kau mengerti apa yang kukatakan ini, Bun Hwi?"

   Bun Hwi menganggukkan kepalanya.

   "Ya, sekarang aku mengerti, paman."

   "Dan kau sudah tidak membenci orang-orang dunia kang-ouw?"

   "Ah, sebenarnya bukan begitu maksudku, paman. Aku tidak membenci semua orang-orang dunia kang- ouw ini."

   "Tapi sebagian besar tidak kau senangi, bukan?"

   "Hm, dahulunya memang begitu, paman. Tapi setelah mendengar uraianmu ini pikiranku menjadi lebih terbuka."

   "Dan mau mempelajari ilmu silat?"

   "Ini...."

   Bun Hwi mendadak tergagap.

   "Aku... aku belum tahu, paman. Kesadaran yang kuperoleh baru saja tiba-tiba! Bagaimana aku harus memutuskannya?"

   "Hm, itu mudah, Bun Hwi. Tapi perlu kiranya kuberitahukan di sini bahwa bagaimanapun juga kau harus mempelajarinya. Ilmu silat atau ilmu lainnya tidak ada hubungan dengan baik buruk seseorang. Ilmu adalah tetap ilmu. Dia seperti pisau yang siap dipakai. Nah, tinggal siapa kiranya yang memegang pisau itu. Kalau penjahat tentu saja dilakukannya untuk membunuh orang lain. Tapi kalau koki dapur tentu akan dipergunakannya untuk keperluan- keperluan berguna yang tidak merugikan orang lain!"

   "Ya, tapi... tapi aku masih bingung, paman. Bagaimana harus menentukannya? Aku juga belum melihat apakah sesungguhnya setiap orang itu perlu belajar ilmu silat?"

   Pek-bin Tojin bangkit berdiri.

   Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pertanyaanmu memang tepat, Bun Hwi. Aku sendiri memang belum tahu apakah setiap orang itu perlu belajar ilmu silat. Tapi untuk dirimu, bukankah ini penting sekali, Bun Hwi? Seseorang tanpa kepandaian tidak mungkin baginya untuk menolong orang lain. Dan sekali kau terlambat menginsyafinya maka semuanyapun itu bakal mubazir!"

   Bun Hwi juga mengiyakan.

   "Barangkali memang benar, paman. Tapi adakah manfaat bagiku dalam belajar ilmu silat itu?"

   "Hm, bagimu banyak sekali, Bun Hwi. Apalagi setelah adanya kejadian ini! Bukankah Siauw-bin Lo- koai telah memintamu untuk membalaskan kematiannya pada Ang-sai Mo-ong dan Tung-hai Lo- mo? Lalu apa jadinya kalau kau tidak memiliki kepandaian silat? Dengan apa kau hendak menundukkan mereka? Karena itu ilmu silat bagimu penting, Bun Hwi. Dan tanpa ilmu silat kau tidak mampu menolong orang lain pula. Camkan kata- kataku ini!"

   Bun Hwi masih ragu-ragu. Dia agak bimbang, tapi Pek-bin Tojin yang berdiri di depannya itu tiba-tiba nampak terkejut.

   "Bun Hwi, kau mendengar sesuatu?"

   Bun Hwi menggeleng.

   "Tidak, paman Pek. Ada apakah?"

   "Hm..."

   Tosu ini melompat, dan keningnya yang berkerut dalam tampak semakin tebal. Bun Hwi yang agak was-was tiba-tiba teringat wanita berkerudung hitam, dan Pek-bin Tojin yang sudah melayang keluar itu mendadak dipanggilnya.

   "Paman Pek...!"

   Tosu itu menahan langkah.

   "Ada apa, Bun Hwi?"

   "Kau mendengar sesuatu?"

   "Ya."

   "Apakah wanita berkerudung yang menolongmu tadi?"

   Pek-bin Tojin tampak terkejut. Dia sejenak tertegun, tapi menggelengkan kepalanya dia berkata hambar.

   "Bukan, Bun Hwi. Dia sudah pergi."

   "Ah, siapa dia, paman?"

   "Ibumu!"

   Bun Hwi bagai disengat kalajengking.

   "Ibuku, paman? Kenapa kau tidak menceritakannya sejak tadi...?"

   Tapi Pek-bin Tojin sudah melompat keluar.

   Tosu ini tidak memberikan jawabannya, dan Bun Hwi yang kaget setengah mati cepat memburu.

   Dia mau bertanya lagi tentang ibunya itu, tapi suara gemuruh diluar tiba-tiba membuat suasana mendadak berubah seratus delapan puluh derajat.

   Bun Hwi yang baru melompat beberapa tindak tahu-tahu mendengar pamannya memekik kaget, dan persis dia memburu pamannya itu tiba-tiba tubuh Pek-bin Tojin mencelat ke dalam, terlempar oleh pukulan jarak jauh yang amat dahsyat sekali.

   Dan, berbareng dengan ini tiba-tiba terdengarlah suara ketawa bergelak yang bergulung-gulung di dalam guha! "Ang-sai Mo-ong...!"

   Bun Hwi kaget bagai disambar petir, dan Pek-bin Tojin yang terlempar bergulingan itu tiba-tiba berteriak sambil menendang tubuh keponakannya.

   "Ya, benar dia, Bun Hwi. Cepat kau masuk...!"

   Dan tosu yang sudah terguling-guling bersama keponakannya itu melompat bangun dengan muka pucat sekali.

   Mereka terbelalak memandang ke depan, dan begitu sesosok tubuh muncul di pintu guha tertegunlah keduanya melihat seorang kakek tinggi besar dengan rambut riap-riapan telah berdiri disitu dengan mata bersinar mengerikan.

   Dialah Ang-sai Mo-ong, Iblis Singa Merah yang menyeramkan itu.

   Dan Bun Hwi yang melihat kehadiran kakek ini tiba-tiba mengetrukkan giginya.

   Dia mau melompat, tapi Ang-sai Mo-ong yang sudah tertawa bergelak itu melepaskan suaranya yang parau.

   "Ha-ha, kau ternyata bersembunyi di sini, Ma-taijin? Wah, pantas sekali. Mirip tikus dalam selokan...!"

   Dan Ang-sai Mo-ong yang tiba-tiba sudah menggerakkan kakinya itu melangkah maju sambil tertawa-tawa.

   Dia memondong seorang gadis remaja, dan Bun Hwi yang menatap penuh kebencian terhadap kakek ini tiba-tiba kaget sekali ketika mengenal siapa gadis yang dibawa iblis tua itu.

   Kiok Lan! Bun Hwi hampir menjerit ketika melihat keadaan gadis ini, tapi Ang-sai Mo-ong yang sudah melihatnya pula tiba-tiba menyeringai lebar.

   "Ha-ha, kau disini pula, Bun Hwi? Bersama bekas gubernur ini? Wah, kebetulan sekali. Aku tidak perlu kerja dua kali kalau begitu...!"

   Dan Ang-sai Mo-ong yang tiba- tiba melempar Kiok Lan di lantai guha mendadak bersikap bengis terhadap Pek-bin Tojin.

   "Ma-taijin, apa jawabmu tentang perbuatanmu lima belas tahun yang lalu?"

   Pek-bin Tojin menenangkan guncangan hatinya.

   "Aku tidak mengerti apa yang kau maksud, Mo-ong. Apa arti dari kata-katamu ini? Kenapa kau menyerobot masuk ke rumah orang lain?"

   Ang-sai Mo-ong tiba-tiba mendelik.

   "Jangan pura- pura, gubernur sialan. Kau telah membunuh bunda Pangeran Ong pada lima belas tahun yang lalu. Apa jawabmu tentang perbuatanmu itu?"

   Pek-bin Tojin menggelapkan mukanya.

   "Kau tidak perlu menghakimi orang lain, Ang-sai Mo-ong. Sekarang katakan saja apa keperluanmu datang kemari. Aku tidak banyak waktu untuk melayanimu bicara!"

   Kakek ini tiba-tiba tertawa bergelak.

   "Ha-ha, kau masih sombong samping jamanmu dahulu, Ma-taijin. Tapi ingat sekarang ini kau sedang dikejar-kejar pasukan pemerintah! Bagaimana kalau sekarang kau ikut baik-baik denganku?"

   Pek-bin Tojin mendengus.

   "Jangan mengharapkan yang muluk-muluk, iblis tua. Bagaimana kalau kau saja yang ikut baik-baik kepadaku? Lihat, arwah Siauw-bin Lo-koai masih hangat di tempat tidurnya. Dan kalau kau mau menyerahkan diri baik-baik aku akan memintakan ampun dosa-dosamu pada hwesio ini!"

   Kakek itu menyeringai kaku.

   "Ma-taijin, kau benar- benar sombong sekali. Kalau begitu bagaimana kalau kauserahkan saja nyawamu itu kepadaku? Mati di tangan Ang-sai Mo-ong lebih bagus daripada mampus di tangan pasukan pemerintah. Kau tentu akan berhadapan dengan sri baginda kaisar kalau kau jatuh di tangan mereka!"

   Pek-bin Tojin mendesis.

   "Jangan banyak bicara, Ang- sai Mo-ong. Kalau kau mau tangkap aku cobalah. Pantang mati bagiku tanpa melawan!"

   Dan Pek-bin Tojin yang tiba-tiba membentak nyaring sudah menerjang kakek ini dengan tamparan tangan kirinya. Dia menyerang kepala iblis itu, tapi Ang-sai Mo-ong yang tertawa bergelak mengibaskan lengan kanannya.

   "Plak!"

   Pek-bin Tojin terhuyung mundur dan tosu yang tergetar tangannya itu menggigit bibir.

   Dia merasa tangannya pedas dan ngilu, tapi laki-laki tua yang berkilat matanya ini mengempos semangat.

   Dia mengepal tinju, dan membentak nyaring lagi-lagi dia sudah menerjang iblis tua itu dengan kenekatan seorang yang kedudukannya sudah terjepit.

   Pek-bin Tojin tidak mau memberi kesempatan, dan tosu yang bertubi-tubi sudah menerjang lawannya itu mendahului melancarkan pukulan serta tamparan ke arah kakek ini.

   Dia rupanya khawatir Ang-sai Mo- ong mendahului serangannya, dan Bun Hwi yang melihat pamannya itu menyerang lawan dengan cepat dan kuat berdiri tertegun dengan mata bersinar-sinar.

   Baru sekaranglah Bun Hwi melihat permainan silat pamannya itu.

   Dan dia yang melihat gerakan- gerakan aneh dilakukan pamannya itu tampak terbelalak dengan mata tidak berkedip.

   Ada gerakan-gerakan seperti bangau atau ular pada ilmu silat pamannya itu, tapi pamannya yang selalu bingung pada setiap gerakan berikut membuat Bun Hwi terheran-heran.

   Kenapakah harus begitu? Kenapa pamannya tiba-tiba terhenti di tengah jalan setiap kali serangannya harus dilanjutkan? Bun Hwi benar-benar tidak mengerti.

   Dia sendiri pada dasarnya memang belum mengenal ilmu silat.

   Tapi gerakan-gerakan indah dalam sebuah pertarungan tentu saja dia banyak mengerti.

   Karena sudah berkali-kali dia menemui orang bertempur dengan ilmu silat yang beraneka ragam.

   Seperti ilmu silat yang dimiliki Thian-san Giok-li atau Pek-bong Lomo dan orang-orang lain macam Hwa-i Sin-kai yang menjadi suhu dari Mei Hong itu.

   Tapi ilmu silat yang kali ini dilihatnya dimainkan pamannya itu Bun Hwi benar-benar merasa bingung.

   Tapi Ang-sai Mo-ong yang melihat keganjilan pamannya itu justeru tertawa bergelak.

   "Ha-ha, ini hasil pelajaranmu mengikuti warisan di Cupu Naga, Ma-taijin? Wah, cukup hebat. Tapi sayang sedikit kau rupanya belum rampung mempelajari kelanjutannya. Lihat, patukan tanganmu itu seharusnya dilanjutkan pada colokan ke mata, taijin, dan cengkeraman jarimu yang kiri itu seharusnya dilanjutkan pada ulu hati. Lihat... lihat... kedua tangan seharusnya digerakkan begini, dan kaki ditendangkan begitu... ha-ha-ha, benar... benar...!"

   Dan Ang-sai Mo-ong yang tertawa-tawa itu malah memberi petunjuk pada gerakan ilmu silat pamannya! Bun Hwi tertegun, dan rasa kaget mendengar kakek itu menyebut-nyebut Cupu Naga tiba-tiba membuat Bun Hwi teringat pengakuan pamannya bahwa pamannya itu mempelajari ilmu silat di Cupu Naga.

   Tapi karena cupu itu sudah keburu dimasukkan dalam perut Naga Lilin rupanya pamannya itu tidak sempat mempelajari sampai selesai.

   Inilah agaknya! Maka Bun Hwi yang sekarang mengerti mengapa pamannya itu selalu bingung di tengah jalan untuk melanjutkan serangannya tiba-tiba berdiri bengong dengan hati berdebaran.

   Dia jadi gelisah melihat keadaan pamannya itu, dan Pek-bin Tojin yang pucat mukanya tampak gemetar dengan sikap gugup.

   Dia benar-benar kebingungan menghadapi lawannya itu, dan Ang-sai Mo-ong yang tertawa-tawa mempermainkan lawannya membuat tosu ini menggigit bibir.

   Pek-bin Tojin marah dan kecewa, tapi iblis tua yang tak mampu didesaknya itu memang terlampau kuat baginya.

   Maka Bun Hwi yang sudah cemas melihat keadaan pamannya itu tiba-tiba tak dapat menahan diri.

   "Paman, biar kubantu kau...!"

   Bun Hwi sudah berteriak, dan anak laki-laki yang mau melompat ini siap menubruk Ang-sai Mo-ong dari belakang. Tapi Pek-bin Tojin melepaskan pukulannya, dan berteriak kepada Bun Hwi tosu ini berseru mencegah.

   "Jangan, Bun Hwi. Lebih baik kau selamatkan saja bocah perempuan yang pingsan itu...!"

   Bun Hwi terkejut.

   Dia kembali teringat pada nasib Kiok Lan yang tadi dilempar Ang-sai Mo-ong di lantai guha, maka begitu mengerutkan kening tiba-tiba diapun sudah melompat mendekati anak perempuan ini.

   Kiok Lan memang pingsan, dan Bun Hwi yang sudah memondong gadis itu di atas bahunya tiba- tiba kembali mendekati pamannya.

   Dia melihat tosu itu terdesak oleh sambaran angin pukulan Ang-sai Mo-ong yang mulai melancarkan balasan, dan Bun Hwi yang gelisah melihat keadaan pamannya itu menjadi bingung.

   Tapi sebelum dia membantu pamannya lagi-lagi Pek-bin Tojin berteriak.

   "Bun Hwi, jangan maju kesini. Kau larilah...!"

   Bun Hwi menjadi marah.

   "Kenapa aku harus lari, paman? Bukankah iblis ini musuh kita?"

   Pek-bin Tojin mendelik gusar.

   "Jangan membantah omonganku, Bun Hwi. Kau larilah segera tinggalkan terowongan ini...!"

   Tosu itu berkata di antara serangan-serangannya yang membabi buta. Lalu ketika dia lagi-lagi terdorong oleh angin pukulan Ang-sai Mo-ong tiba-tiba tosu itu membentak.

   "Bun Hwi, cepat kau masuk ke terowongan nomor tiga dari kanan. Tunggu aku di sana....!"

   Bun Hwi terbelalak gugup.

   "Tapi kau kewalahan disini, paman. Mana mungkin aku membiarkanmu bertahan seorang diri?"

   Pek-bin Tojin membanting kaki.

   "Kau jangan cerewet Bun Hwi. Cepatlah lakukan apa yang kuperintahkan ini... aduh!"

   Pek-bin Tojin tiba-tiba menjerit, dan pukulan Ang-sai Mo-ong yang mengenai pundaknya pada saat dia lengah bicara membuat tosu itu terguling-guling.

   Ang-sai Mo-ong tertawa bergelak, dan kakek iblis yang tampaknya gembira dengan hasil pukulannya itu melompat maju.

   "Ma-taijin, percuma kau menyuruh bocah itu lari. Kalian tak dapat lolos dari tangan mautku!"

   Dan Ang-sai Mo-ong yang sudah mengayunkan lengannya itu tiba-tiba menampar kepala tosu ini.

   Pek-bin Tojin mengelak, dan Bun Hwi yang tampaknya ragu-ragu melaksanakan perintahnya itu mendadak disambutnya dengan geraman pendek yang penuh kemarahan.

   Pek-bin Tojin sudah menggulingkan tubuhnya ke dekat anak laki-laki ini, lalu begitu dia berteriak tiba-tiba paha Bun Hwi sudah didupaknya dengan hebat sekali.

   "Dess!"

   Bun Hwi yang tak menyangka pamannya bakal menyerang dia berseru kaget dengan tubuh terlempar sejauh lima tombak, dan Pek-bin Tojin yang sudah melihat anak laki-laki itu keluar pintu guha mendadak melengking tinggi.

   "Bun Hwi, larilah ke terowongan nomor tiga. Tunggu aku di sana...!"

   Dan tosu yang tiba-tiba sudah mencabut sebatang pedang itu ganti menggulingkan dirinya mendekati Ang-sai Mo-ong. Dengan membabi-buta dia menyerang datuk iblis itu dari bawah, dan Ang-sai Mo-ong yang terkejut melihat perbuatan tosu ini menjadi marah.

   "Ma-taijin, berani kau singkirkan bocah she Bun itu dari sini? Ah, keparat kau...!"

   Dan Ang-sai Mo-ong yang tiba-tiba mendorongkan kedua lengannya itu menghantam kepala tosu ini dengan pukulan sinkang.

   Pek-bin Tojin melihat sinar merah berkelebat keluar dari sepasang telapak iblis tua itu, dan dia yang terkejut melihat pukulan ganas kontan saja menjadi kaget.

   Dia cepat menggulingkan dirinya ke kanan, tapi pukulan kiri Ang-sai Mo-ong yang sudah mendahuluinya tak dapat dia kelit.

   "Bluk!"

   Pek-bin Tojin mengeluh tertahan, dan tosu yang terjengkang bergulingan di lantai guha itu mendadak menyeringai.

   Dia merasa panas dan sakit bukan main pada tempat yang dipukul, dan menyadari bahwa agaknya dia sudah terluka maka tosu inipun tiba-tiba melontarkan pedangnya.

   "Ang-sai Mo-ong, kau iblis busuk...!"

   Dan pedang yang meluncur menyambar mata kiri datuk iblis itu melesat dengan kecepatan kilat.

   Ang-sai Mo-ong terkejut, tapi kakek tinggi besar yang tiba-tiba tertawa mengejek itu menyampok.

   Dengan mudah dia meruntuhkan senjata berbahaya itu.

   Tapi Pek-bin Tojin yang sudah melompat bangun sekonyong- konyong melempar sesuatu ke arahnya.

   "Wutt...!"

   Ang-sai Mo-ong terkesiap, dan Pek-bin Tojin yang mengharap iblis itu menangkis senjata gelap ini mendadak menjadi girang karena kenyataannya memang dikabulkan.

   Ang-sai Mo-ong yang kelewat sombong itu mengebutkan lengan bajunya, dan datuk iblis yang mengira sambitan benda itu semacam am-gi atau senjata gelap yang biasa dipergunakan orang-orang dunia kang-ouw tiba-tiba saja terpekik kaget ketika benda yang ditangkis meledak.

   "Darr!"

   
Sengketa Cupu Naga Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Asap yang tebal bergulung-gulung memenuhi kamar batu itu dan Pek-bin Tojin yang tertawa serak sudah melayang keluar dengan muka penuh keringat.

   Tosu ini agak terhuyung, dan Ang-sai Mo- ong yang didengarnya menyumpah-serapah di dalam ruangan membuat dia terengah-engah.

   Pek-bin Tojin cepat menyambar Bun Hwi, dan Bun Hwi yang terbengong di luar guha batu itu mendapat omelan pamannya panjang pendek.

   "Bun Hwi, kenapa kau tidak segera ke terowongan nomor tiga? Bukankah kusuruh kau kesana? Hayo cepat, kita harus kesana sebelum asap itu membuyar...!"

   Dan Bun Hwi yang kini baru mengerti siasat pamannya itu menggigit bibirnya dengan perasaan menyesal.

   "Aku tidak tahu kau akan melakukan perbuatan ini, paman. Kalau tahu kenapa aku tidak akan memenuhi permintaanmu?"

   "Hm, kau memang bandel, Bun Hwi. Kalau tidak disakiti dulu rupanya kaupun tidak mau keluar dari ruangan itu!"

   Maka Bun Hwi yang tidak membantah lagi omelan-omelan pamannya sudah melompat- lompat di terowongan bawah tanah ini dengan tergesa-gesa.

   Dia mengikuti pamannya menyelinap menuju ke terowongan nomor tiga, dan setelah mereka melakukan perjalanan beberapa detik lamanya tibalah mereka pada terowongan yang dimaksudkan Pek-bin Tojin ini.

   Tosu itu sudah tergesa-gesa menyelinap masuk, dan begitu tangannya memukul dinding sebelah kanan mendadak Bun Hwi mendengar suara berkeratak.

   Sebuah pintu rahasia mendadak menganga di hadapan mereka, dan Pek-bin Tojin yang mencengkeram pundak Bun Hwi sekonyong-konyong melemparkan anak ini ke dalam.

   "Bun Hwi, masuklah...!"

   Bun Hwi terkejut.

   Dia tahu-tahu telah berada di sebuah tempat semacam sumur lebar, dan Pek- bin Tojin yang berada diluar tiba-tiba menarik sebuah batu yang menonjol di atas langit-langit guha.

   Bun Hwi mengira pamannya itu sedang mencari sebuah pintu rahasia lainnya, atau berusaha untuk mencari jebakan bagi Ang-sai Mo-ong.

   Tapi ketika pamannya itu tidak melompat masuk seperti dia bahkan pintu rahasia yang sudah terbuka mendadak menjeplak bergemuruh menutup kembali Bun Hwi tiba-tiba saja menjadi kaget setengah mati.

   "Paman, kenapa kau tidak masuk?"

   Bun Hwi berteriak. Tapi Pek-bin Tojin melambaikan tangannya.

   "Pinto sudah cukup merasakan hidup, Bun Hwi. Biarlah kau saja yang menyelamatkan diri. Aku hendak menghadapi iblis tua bangka itu...!"

   Dan Pek-bin Tojin yang tiba-tiba mengulapkan lengannya itu tersenyum kepada Bun Hwi.

   Bun Hwi benar-benar tertegun, dan kamar rahasia yang tiba-tiba sudah mengurungnya itu membuat dia panik.

   Dengan tergesa-gesa Bun Hwi menggedor-gedor pintu rahasia ini, tapi suara berkeratak yang tiba-tiba kembali terdengar membuat Bun Hwi terkejut.

   Lantai batu yang diinjaknya sekonyong-konyong menjadi ringan, dan ketika Bun Hwi sadar akan apa yang terjadi mendadak tubuhnya sudah terjungkal ke bawah memasuki sebuah lubang yang gelap gulita! Bun Hwi terbanting di tempat ini, dan pemuda yang sama sekali tidak menyangka perbuatan pamannya diluar itu tiba-tiba saja sudah roboh pingsan karena kepalanya membentur batu di lubang bawah tanah! *S*F* Ada kira-kira dua jam Bun Hwi tak sadarkan diri di lubang yang gelap pekat ini.

   Dan ketika dia sadar pertama-tama yang dilakukan Bun Hwi adalah mengeluh.

   Dia merasakan kepalanya sakit, berdenyut akibat benturan yang tidak disangkanya.

   Dan ketika dia meraba-raba dalam gelap tiba-tiba saja Bun Hwi merasakan adanya sesosok tubuh yang hangat membujur di sampingnya.

   Itulah Kiok Lan, gadis remaja yang masih pingsan sejak dibawa oleh Ang-sai Mo-ong.

   Maka Bun Hwi yang terhuyung- huyung bangkit berdiri segera menyalakan api.

   **SF** BERSAMBUNG

   Jilid 13 Bantargebang, 07-05-2019, 20.03 SENGKETA CUPU NAGA Karya . Batara SENGKETA CUPU NAGA - BATARA PUSTAKA . AWIE DERMAWAN

   


Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Pedang Tetesan Air Mata -- Khu Lung Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id

Cari Blog Ini