Ceritasilat Novel Online

Cindewangi Melanda Istana 1


Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo Bagian 1



Cindewangi Melanda Istana Karya dari Kirjomuljo

   
DISCLAIMER
Kolektor E-Book
adalah sebuah wadah nirlaba bagi para pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi pengetahuan dan pengalaman.

   Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan dipasaran dari kpunahan, dengan cara mengalih mediakan dalam bentuk digital.

   Proses pemilihan buku yang dijadikan abjek alih media diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan, usia,maupun kondisi fisik.

   Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek buku yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital sesua kebutuhan.

   Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.

   Salam pustaka! Team Kolektor Ebook4 TJINDEWANGI MELANDA ISTANA Seri Tjindewangi Karya KIRJOMULJO Gambar Luar & Dalam Drs.

   OYI SOEDOMO Penerbit SINTA RISKAN Jl Judonegaran 22 Jogja Idjin Pemeriksaan Naskah NO.

   POL.

   6/ Btj./02 /69/ Intel Jogjakarta 3-2 1969 Credit Ebook.

   Sumber Pustaka .

   Pak Gunawan AJ Sumber Image .

   Koh Awie Dermawan Editor Yons first share in
Kolektor E-Book
5 PRAKATA TERDJADI ATAU TIDAK kisah Tjindewangi-Wulung seto ini, seorang tidak bisa mengatakan dengan benar.

   Tetapi sampai sekarang didaerah pegunungan pualam, jang memandjang tidak kurang dari 30 km.

   dicaerah pantai Kediri Selatan masih sering terlihat, bajangan seekor elang putih jang melajang lajang ditengah malam.

   Disaat-saat akan terdjadi perubahan-perubahan besar, baik perubahan kearah jang baik maupun jang buruk.

   Merupakan bajangan pengharapan dari rakjat, merupakan bajangan pengharapan djaman jang kekal.

   Dan bajangan itu kata orang adalah pendjilmaan Wulung seto jang menjesal, jang mengharapkan dan mendorong hati nurani bangsa Indonesia untuk bisa kembali kepada kedjajaan dan kebesarannja, seperti djaimannja.

   Dan terus mentjari siapakah pendjilmaan Tjindewangi? Ja, sebab Tjindewangi berkata, bahwa mereka akan bisa bertemu kembali satu saat, diwaktu bangsa Indonesia kembali djaja dan besar.

   Entah kapan dan siapakah pendjilmaan Tjindewangi? Djaman akan mengatakan.

   Penulis6 BAGIAN I TIBA-TIBA sorak-sorai terdengar gemuruh, seakan-akan menggetarkan seluruh istana pualam dan menggontjangkan lapangan depan istana jang penuh sesak oleh rakjat, waktu Tindewangi sampai ditangga istana dan sedjenak berhenti, karena sorak-sorai itu makin gemuruh.

   Kemudian sorak sorai itu diseling oleh gelak-ketawa jang makin lama makin keras, setelah badut-badut istana menaiki tangga istana, sambil berdjumpalitan menari-nari sambil mengutjapkan perkataan"

   Perkataan hinaan jang menggelikan.

   "Oh Tjindewangi djelita, puteri kekasihku. Tidakkah kau berduka akan meninggalkan kanda?"

   Seorang jang bertubuh kerdil dan hampir-hampir menjerupai seekor monjet tiba-tiba membentak.

   "Hei djangkung, siapakah jang menjaksikan bahwa Tjindewangi kekasihmu? Aku jang telah melamarnja sedjak dia belum lahir. Tetapi sayang, kenapa kau sekarang berchianat kepada Radja? Oh dengan menjesal kanda terpaksa mengantarkanmu puteri djelita. keliang kubur."

   Dan melompatlah sikerdil, kemudian berlari mendahului jang lain menaiki tangga pualam, makin tinggi dan makin tinggi. Sampai ditengah-tengah ia berhenti dan menoleh.

   "Nah siapa sekarang jang masih mengatakan Tjindewangi kekasihnja? Demi bumi langit jang elok, kutentang kalian sampai titik achir hajatku. Tetapi sajang kau Tjindewangi, kenapa kau kemudian mendjadi lupa. Lupa sama kakanda. Lupa sama sumpah setia kepada Keradjaan Agung Gunung Tunggal? Nah sekarang siapa jang menjesal, kalau kau akan dilemparkan kelubang maut !-7 Sikerdil pura-pura menangis, terisak isak kemudian menangis dengan kerasnja hingga gelak tertawa, meledak seketika hingga seluruh lapangan istana.

   "Tjindewangi, Tjindewangi kenapa Tjindewangi."

   Tiba tiba sikerdil terkedjut karena seorang jang paling gemuk dan bundar berteriak.

   "Hei kerdil, monjet ketjil. Bilanglah sekali lagi bahwa kau menantang ku?" -Ja memang aku menantangmu, demi tjinta asmaraku"

   "Tetapi tidak kerdi apalah gunanja merebutkan puteri jang sebentar lagi akan lebur dadi abu?"

   "Masa kau tak akan sajang kepada djiwa ragamu?"

   Kemudian hampir semua badut badut istana sudah berada ditangga istana, dan semuanja kemudian duduk seakan2 merasa sedih dan mengusap usap air matanja.

   Gelak tertawa kemudian meledak kembli, setelah sikerdal kembali berteria- teriak menangis nangis dan lari menghampiri Tjindewangi jang masih berdiri tegak dipuntjak tangga istana.

   Hanja Panglima Galing waktu itu jang sebenarnja tidak bisa tersenjum, karena perasaan dan pikirannja terlibat kegelisahan akan kedjadian jng mendatang.

   Dimana saat akan menentukan sedjarah hantjur dan tidaknja gerakan Ki Ageng Tunggal.

   Radja sendiri sampai seolah olah perutnja membengkak menahan waktu sikerdil tiba tiba mentjium kaki Tjindewangi sambil menangis.

   "Oh, Tiindewangi kekasihku, kekasihku sepandjang djaman. Apakah dikau tidak berduka puteri djelita meninggalkan kakanda? Tetapi kenapa kau adinda sampai bersikap demikian? Apakah masih ada jang kurang dari kebesaran keradjaan Gunung Tunggal? Atau mungkin adinda tjemburu? Oh Tjindewangi Sadarlah bahwa wahju Radja hanja satu."

   Gelak ketawa kemudian kembali meledak waku sikerdil makin mendekat dan hendak mentjium tangan ljindewangi Jang terikat kebelakang, djadi nampak dari depan mentjium pantat Tjindewangi. Hingga sikerdil membentak kepada hadirin dibawah tangga8

   "Hai..kenapa paduka paduka tertiwa. Apakah dikira hamba mentjium pantat? "

   Tiba-tiba sikerdil benar.benar mentjium pantat Tjindewangi dan kemudian berlari turun sambil tertawa-tawa dan menggerakkan tangannja seakan akan mentjium bahu jang tidak enak.

   Gelak tertawa baru reda dan kemudian Sunji, karena setelah badut2 itu semua ikut turun, keluar Path Keradjaan hendak menjampaikan amanat Radja.

   "Hei ralkjat Gunung Tunggal. Atas nama Radja aku umumkan. Lahwa Tjindewangi puteri istana dari Pangeran Damarwangi, terpaksa harus mnerima hukum keadilan keradjaan Gunung Tunggal. Karena Tjindewangi telah melanggar. Ialah bersama sama Ki Ageng Tunggal pemberontak Keradjaan Gurung Tunggal benar2 telah berusaha hendak meruntuhkan Keradjaan Gunung Tunggal. Bukti bukti dan pengakuan telah djelas. Dan Keradjaan Gunung Tunggalpundengan bidjaksana telah menawarkan pengampunan, tetapi Tjindewangi dengan angkuhnja menolak. Menolak mentah-mentah. Djadi terpaksa Keradjaan Gunung Tunggal mendjalankan hukum keadilannja dengan mendjatuhkan hukuman mati?"

   Sorak-sorai kembali gemuruh dan sekarang makin menggegap gempita, benar - benar seluruh Istaaa terasa bergetar, sampai patih keradjaan tak bisa melandjutkan perkataan2nja.

   Tjindewangi sesaat terdesak pula oleh gemuruhnja sorak-sorai dari rakjat, sesaat mendjadi sangsi.

   Apakah seluruh rakjat itu memihak Radja, artinja pasukan Ki Ageng Tunggal sama sekali tidak mempunjai pengaruh ditengah-tenga ratusan ribu rakjat dan tentara jang membandjiri itu?.

   Tiba2 terdengar suara njaring.

   "Sajang semestinja. Ia sangat djelita."

   "Ja memang djelita. Tetapi apa boleh buat kalau dia memang pengchianat"

   Tetapi kemudian suasana berubah sesaat Tjindewangi mulai melangkah turun dari tangga ketangga, makin sunji dan makin sunji.

   Kebentjian dan kemarahan terhadap Tjiadewangi pelahan-pelahan surut setelah mereka melihat makin djelas wadjah dan tjahaja mata Tjindewangi, bahkan Tjindewangi kemudian tersenjum seakan-akan9 menerima semua jang terdjadi itu sebagaimana hal jang wadjar, Satu persatu mereka itu terdiam, sama sekali pandangan matanja terkait habis, merasakan sesuatu jang gugur dalam hati mereka, merasakan sesuatu jang tergontjang dan terharu, sedih, dan mengakui betapa kedjelitaan dan pantiaran tjahaja jang tjemerlang, djauh dan mejakinkan dimata Tindewangi.

   Lebih-lebih waktu Tjindewangi telah diseret dilemparkan keatas gerobak terbuka, hampir hampir seluruh jang membandjiri lapangan istana mendjerit djika tak takut akan akibat jang akan menimpanja djika hal itu dikerdjakan.

   Sunji dan sunji amat sunji seketika, mereka seakan.akan terpukau oleh satu pemandangan gaib.

   Terpukau pada satu titik, hingga beberapa pengawal jang ditugaskan mengawasi keadaan seketika menudju keistana dan melaporkan dengan penuh perasaan tjemas.

   "Baginda. Keadaan sangat aneh achirnja. Seluruh rakjat terdiam terpukau oleh Tiindewangi. Tak seorangpun meludahi, tidak seorangpun menghina apa lagi menjiksanja."

   Radja terkedjut bukan main, berbaur dengan perasaan gelisah.

   Heran dan tjemas djika hal ini achirnja bisa merubah keadaan.

   Artinja rakjat berbalik berpihak kepada Tjindewangi.

   Seketika Radja berteriak.

   -Kapan sudah kuperintahkan agar beberapa pengawal mendahului meludahi dan menjiksa Tjindewangi.

   Apa mereka itu sudah mendjadi goblok?"

   "Sudah Baginda. Mereka itupun terpukau, seakan-akan terkena kekuatan gaib dan terbungkam sama sekali. Bahkan tubuh mereka nampak lumpuh, Sama sekali tidak dapat menggerakkan djarinja."

   "Bangsat, perintahkan sekarang. Siapa jang tidak melakukan akan dihkum mati sendiri. Dan perintahkan beberapa algodjo istana, agar melepaskan panah djika dirasakan bahwa Tjindewangi akan merebut hati rakjat. Tjepat monjet. Keadaan akan mendjadi berbalik djika perintah ini terlambat,"

   "Ja, Baginda-10

   "Kau djuga patih goblok, ikuti mereka dan perintahkan seijepatnja apa jang perlu dikerdjakan setjepatnja. Apa kau tidak memikirkan bahwa keadaan ini bisa mendjadi malapetaka bagi keradjaan"

   "Ja laginda, satu malapetaka."

   "Nah. kenapa kau membantu?"

   "Hambapun seakan akan terkena pesona Jang tidak hamba kenal sedjak melihat Tjindewangi menuruni tangga."

   "Monjet, semua orang sekarang sudah mendjadi monjet. Oh. atau memang keadaan sudah akan harus berubah? O, semua panglima dan semua bangsawan sudah mendjadi monjet, monjet semuanja monjet. Mangkin termasuk aku sendiri. Hei, Panglima Galing harap menghadap sebelum berangkat."

   "Ja Baginda "

   "Hei. djangan lupa algodjo istana supaja membunuh Tjindewangi djika keadaan akan dirasakan berbalik, lautan manusia iu achirnja akan menjerbu istana."

   "Ja, Baginda"

   "O. memang aku sendiri merasakan adanja keadjaiban itu. pada diri Tjindewangi ada sesuatu jang luar biasa. Ada sesuatu jang tersembunji, dan ada sesuatu jang terpantjar demikian djauhnja. O, oh. Atau ini saatnja Keradjaan Gunung Tungga memulai sesuatu keburukan dan malapetaka? Ataukah memang saatnja datang bagi sesuatu jang bermula? Tjindewangi, Tjindewangi. Siapakah kau sebenarnja? Siapakah kau Tjindewangt, jang sebenarnja bermukim dalam djiwaragamu?"

   "Bagaimana Mamanda? Bitjaralah Mamanda Patih Keradjaan Gunung Tunggal. Bitjara lah apa jang terdjadi sebenarnja atas muntjulnja Tjindewangi ditengal- tengah kita? Apakah sebenarnja dan siapakah sebenarnja Tjindewangi?"

   Paiih Kcradjaan jang sudah mulai putjat pasi, makin mendjadi putjat sama sekali putih dan gemetar "Baginda. Hanba tidak tahu. Hanja memang terasakan bahwa Tjindewang bukan puteri biasa."

   "Tidak biasa bagaimana? Apakah kau maksud dia bajangan dewa dewa jang hendak meruntuhkan Keradjaan?-11 Atau bajangan roh-roh hitam jang hendak memusnahkan Keradjaan Gunung Tunggal?"

   "Tidak Baginda. Tjindewangi adalah sebenarnja wanita, sebenarnja puteri anak Pangeran Damarwangi. Hanja memang selama ini Tjindewangi mendapatkan tempat dihati rakjat Keradjaan Gunung Tunggal"

   "Djadi Tjindewangi djelas iebih mendapatkan tempat dihati rakjat? Baginda."

   "ltulah ketololanmu Mamanda, apakah tidak ada olakmu untuk melawan pengaruh itu hingga bisa kembali terpaut keistana?"

   "Ada Baginda. Mengampuni Tjindewangi"

   "Mengampuni Tjindewangi tanpa penjerahan dari dia, akan terjadi jang lebih buruk. Ialah bahwa Radja takut akan resiko pelaksanaan hukuman mati bagi Tindewangi sebagai pemberontak.

   "

   "Tapi itu satu2 nja hingga rakjat mendjadi agak reda dan kita ada kesempatan untuk bertindak setjara bidjaksana."

   "Apakah kau berpikir bahwa membunuh Tjindewangi tidak lebih baik?"

   "Tidak Baginda."

   "Kau sudah mendjadi monjet sekarang."

   Radja mendjadi makin gelisah dan benar2 kini merasa Tjemas, melihat kenjataan bahwa seluruh rakjat jang melanda lapangan istana bungkam.

   Sunji diliputi awan kepedihan, awan ketjintaan jang gugur oleh satu sebab.

   Dan perasaan tjinta jang mulai membersit dan tersapukan oleh angin jang bertiup dari lubuk hati nurani.

   Hinga waktu Panglima Galing menghadap Radja nampak kegelisahannja.

   "Menurut laporan keadaan sangat lain dengan jang seharusnja terdjadi ? Apa laporan itu tid goblok ?"

   "Tidak baginda"

   "Monjet. Djadi sekarang siapa jang sebenarnja monjet? Panglima atau rakjatku.? "

   "Tidak Baginda. Rakjapun hanja sekedar terdesak karena naluri insani. Tetapi hamba kira tidak akan sampai kepada satu hal jang menged)utkan. -12

   "Djadi tidak berbahaja ? "

   "Mungkin tidak Baginda "

   "Ja, kau satu-satunja jang masilh berpikir paling baik. Tetapi sekalipun demikian aku sudah perintahkan para algodjo untuk menebas leher Tjindewangi djika keadaan tiba-tiba akan berubah, Artinja kalau tiba"

   Tiba rakjat sama sekali terpikat oleh Tjindewangi dan komplotannja tiba"

   Tiba mempergunakan kesempatan jang baik ini untuk membakar dan memulai pemberontakannja. Kuidjinkan kau membunuh algodjoku sendiri djika nanti mereka itu ikut terpukau dan terpikat.

   "

   "Ja, Baginda. Panglima Galing akan mendjamin segala sesuatu berdjalan menurut rentjana.

   "

   "Nah sekarang arak-arakan boleh berangkat dan ingat sebelum tengah maam nanti Tjindewangi harus sudah mendjadi abu dalam kawah."

   "Ja Baginda."

   Panglima mengundurkan diri dengan hati jang sangat lapang, inilah jang diharapkan ia akan berhasil membunuh beberapa orang algodjo istana dan mungkin beberapa Panglima tanpa ada resiko besar bagi rentjana keseluruhannja.

   Seketika itu djuga Panglima Galing setelah menemui beberapa pembantunja.

   Memerintahkan untuk melindungi Tjindewangi dari antjaman pembunuhan algodjo-algodjo istana.

   Wulungseto telah mendengar hal ini dan sengadja menjelinap diantara rakjat dimana berada ditempat jang paling dekat dengan Tjindewangi, sesudah barisan pengawal jang tak lain tak bukan adalah pasukan Panglima Galing sendiri jang ditugaskan menjelamatkan Tjindewangi dari antjaman maut.

   Sedangkn pengawal-pengawal Keradjaan sendiri Sama sekali sudah runtuh hatinja melihat kenjataan Tjindewangi dan setelah melihat bagaimana achirnja sikap rakjat jang membandjiri ibukota diluar dugaan mereka.

   Mereka hanja berpandangan satu sama lain, mereka hanja saling bertanja dalam hati .

   apa jang harus dikerdjakan ? Waktu itulah, ketika badut-badut istana mulai kembali menari"

   Nari dan mengedjek-edjek Tjindewangi untuk didjadikan permainan.

   Tetapi tidak terdjadi seorangpun jang meludahi Tjindewangi, tiba-tiba Tjindewangi berhasil mentjari pandangan dari ratusan ribu orang itu13 sepasang mata jang ditjarinja, dirindukan dan dibanggakan sebagai sumber hidup matinja.

   lalah pandangan mata Wulungseto.

   Sebaliknjapun Wulungseto seakan akan kembali tjerah, hari jang selama ini penuh kegelapan dan mereka bertaut pandang selama beberapa saat.

   Bertaut dan seakan akan masing- masing saling mengutjapkan sesuatu jang sudah lama terpendamkan "Tjindewangi pertjajalah Tjindewangi, pertjajalah segala sesuatu akan sampai.

   Tjintaku, asmaraku dan rinduku Tjindewangi terimalah melalui tjahaja mataku.

   "

   "Ja, Wulungseto. Rinduku Wulungseto, asmaraku tjintaku hati hidup matiku Wulungseto tergantung dimatamu.

   "

   Iring iringan mulai bergerak didahului oleh rombongan badut"

   Badut istana, rombongan pengawal Keradjaan, kemudian peradjurit berkuda pilihan Radja dan barulah rombongan pengawal jang diselundupkan Panglima Galing mendampingi Tjindewangi.

   Tetapi jang berbahaja ialah barisan jang dibelakang pengawal-pengawal Panglima Galing.

   Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ialah pasukan Honggo, pasukan.

   pasukan jang lain jang sangat setia membabi buta kepada Radja, pasukan pasukan jang mewah dan dianak emaskan oleh Radja karena kebengisan serta kebengalan.

   mereka disegala tempat dan waktu.

   Pasukan-pasuka jang tjukup lengkap persendjataannja dan memang pasukan jang terlatih baik dalam olah perang ,Tetapi sampai iring2an meninggalkan lapangan menudju kedjalan djalan raja sepandjang wilajah ibukota, keadaan belum berubah.

   Tak seorangpun melakukan penghinaan terhadap Tjindewangi, tak seorangpun meludahi, ataupun menjiksanja.

   Tidak seorang terbakar kehentjian atau perasaan merendahkan.

   Sama sekali berbalik dan sama sekali lenjap semua maksud jang buruk.

   Para algodjlah jang diserahi hidap mati Tjindewangi, mulai gelisah.

   Apakah harus sudah membunuh Tjindewangi sebelum sampai dipuntjak kawah.

   Hingga mereka saling berpandangan.

   Kemudian salah seorang berkata "Baiklah kita tioba mulai meludahi dan menjiksanja.

   Itu lebih baik dari kita membunuhnja, *** BAGIAN II TIBA -TIBA dua orang algodjo istana mematju kudanja mengedjar iring-iringan dimana gerobak berada.

   Panglima Galing jang telah kembali diantara pasukannja melihat dan mengerdipkan matanja kepada salah seorang pengawal jang terkenal pandai memainkan sendjata berudjud tadi, menjelinap diantara pengawal jang mendjaga barisan.

   sambil mengatur rakjat sepandjang djalan.

   Seorang dari algodjo istana setelah sampai, sambil tertawa-tawa mendekatkan kudanja dengan gerobak Tjindewangi.

   "Lho, kenapa kau disini Tjindewangi? akan kemanakah puteri djelita ini gerangan?"

   Tjindewangi mendengar dan mengenal, mereka berdua adalah tukang-tukang siksa dipendjara jang terkenal paling kedjam.

   Tjindewangi mengetahui sendiri waktu masih berada ditahanan pengawal perbatasan, dua orang itu telah menggantung seorang wanita dengan kepala terbalik setelah diperkosa dan hampir terkelupas seluruh kulitnja karena tjambuknja.

   "Kabarnja kau sudah punja kekasih Tjindewangi. Mana sekarang tidak muntjul ekornjapun? "

   Seorang lagi menjahut.

   "Ja, mana berani kekasih Tjindewangi muntjul disini. Akupun belum pernah mendengar bahwa kekasih Tjindewangi berani melawan monjet."

   Wulungseto mendengar hinaan-hinaan ini, tetapi ia sadar bahwa harus menguasai perasaanja agar tidak menimbulkan huru hara sebelum waktunja.

   Ja hanja tersenjum pahit, hanja kemudian pikirannja terdesak gelisah, djika dua orang algodjo memulai menjiksa Tjindewangi dan15 kemudian rakjat jang takut akan hukuman Keradjaan ikut-ikut meludahi dan menjiksa Tjindewangi.

   Tetapi kedua orang algodjo itu kemudian seakan-akan terdesak perasaan lain, setelah merasa bahwa semua lelutjonnja tidak mendapat tanggapan apapun dari semua jang mendengarjna, hingga tiba-tiba membentak;

   "Hei kerdil badut. Tak ada otakmu sekarang? Kau bilang tadi bahwa kau akan mendahului menjobek dada Tjindewangi"

   Sikerdil waktu itu masih bingung entah karena apa, tiba-tiba seakan-akan urat - uratnja membengkak tak dapat digerakkan lagi untuk menari-nari dan mengedjek-edjek menoleh dan tersenjum.

   "Ja, tetapi kau masih banjak waktu kalau hanja untuk itu."

   "Waktu jang mana, memang kamu sendiri jang menginginkan sobek mukamu"

   Waktu itu tjambuk algodjo istana terajun dan sikerdil tiba-tiba menggelepar, terdjungkir dari gerobak, mendjadi tertawaan teman"

   Temannja dan rakjat jang melihatnja. Kemudian sikerdil bangkit kembali, kakinja telah berdarah.

   "Ja, ja hamba akan mengerdjakannja "

   Sikerdi bangkit dan meloncat hendak kembali menaiki gerobag, tetapi sampai ditepian gerobag waktu tangan sikerdil memegang kaju jang merupakan pagar gerobag, sekali lagi tjambuk algodjo terajun tepat mengenai djari - djari sikerdil dan sekali lagi ia menggelepar ditanah, smbil berteriak.

   "|a, ja, hamba akan mengerjakannja.

   " . Tetapi sekali lagi tjambuk itu terajun dan kini sama sekali sikerdil terkapar ditanah diantara penonton, tidak bergerak lagi. Iring2an terus berdjalan dan tak seorangpun merawat sikerdil. Bahkan kemudian salah seorang dari pasukan Ki Ageng Tunggal merasa bahwa hal itu perlu dikerdjakan. Mungkin sikerdil bisa berguna besar untuk melawan Radja, sikerdil ditolongnja dibawa pergi ketempat dimana pemusatan pasukan sedang diatur, sebelah perbatasan utara. Luka sikerdil benar-benar agak parah karena tulang pelipisnja petjah terkena udjung tjambuk jang dilengkapi sepotong besi tadjam. Algodjo istana berteriak lagi;16

   "Mana Tjidevangi kekasihmu? Apa mungkin kira-kira kau berani melawanku?"

   Tjindewangi menahan gedjolak perasaan marah, hanja menatap kepada algodjo istana itu dengan pandangan muak.

   "Mana? Atau sudah mendjadi bisu djuga sekarang.

   "

   Waktu itulah tjambuknja terajun hendak menjobek muka Tjindewangi, tetapi waktu itu pula sebah tadji melajang tepat mengenai siku algodjo istana itu, ia terguling seketika karena terasa lengannja patah dan berteriak "Pengchianat.

   Tangkap dia dan bunuh "

   Tetapi tidak seorangpun bergerak untuk mentjari Siapa jang melemparkan tadji itu.

   Semuanja seakan - akan terkena pesona oleh pemandangan jang mengedjutkan.

   Bahkan algodjo jang menjertainja, terpaku.

   Ia sendiri mendjadi tjemas.

   Karena mungkin temannja terkena kekuatan Tjindewangi sendiri, hingga menggelepar sebelum tjambuk itu mengenai Tjindewangi.

   Suasana mendjadi tegang seketika, masing-masing bertanja karena apakah algodjo jang hendak mentjambuk Tjindewangi terdjungkir dari kudanja dan tidak bangun lagi.

   Para pengawal Keradjaan tidak mendengar teriakan itu, hingga sebaliknja ter-tawa2 melihat algodjo istana terdjungkir dari kudanja.

   "Kalau belum bisa naik kuda, beladjar dulu"

   Jang lain menjahut dengan gelak tertawa jang melepas. -Ja, atau mestinja kau menaiki monjet agar tidak terguling."

   Panglima Galing dan Wulungseto jang telah gelisah melihat kedjadian karena mungkin akan menimbulkan suasana jang lain.

   Artinja kalau timbul ketjurigaan dan rentjana akan bisa berubah seketika waktu itu kembali bisa menarik nafas lega.

   Lebih-lebih setelah para pengawal makin keras tertawanja melihat algodjo istana itu berteriak marah2.

   "Ini ada pengchianatan. Kenapa kalian tertawa? "

   "Pengchianatan apa. Kau jang sudah mendjadi tolol untuk naik kuda monjet.

   "

   Kini perhatian rakjat dan hampir seluruh iring - iringan kepada algodjo jang sedang mulai bertengkar dengan pengawal-pengawal17 Keradjaan, seorang anggauta pasukan Wulungseto mengambil kesempatan jang baik ini dan berteriak.

   "ltu kesaktian Tjindewangi itu. Pasti karena saktinja Tjindewangi Seketika orang-orang disekitar gerobag Tjindowangi makin terpengaruh utjapan itu, tetapi algodjo-istana makin mendjadi marah.

   "Ini pengchianatan. Tidakkah kau melihat sikuku petjah karena sendjata-. -Hei para pengawal, tidakkah kau buka matamu bahwa lenganku sobek dan petjah sikuku ?"

   Para pengawal makin tertawa bergelak-gelak.

   "Mana? Itu kan petjah digigit kudamu sendiri.

   "

   Algojo-istana tak dapat menguasai perasaannja lagi dan dengan susah pajah bangkit mengajunkan tjambuknja dengan tangan kirinja.

   Tetapi sebelum tjambuk itu terajun sampai kepada salah seorang pengawal, sebilah pedang telah terajun lebih dulu dan lengan algodjo istana itu terlepas dari tubuhnja Kemudian menggelepar tidak bangkit kembali.

   Salah seorang pengawal berteriak.

   "Tinggal sadja algodjo goblok itu"

   Keadaan mendjadi tenang kembali, hanja kemudian rakjat benar-2 telah terpengaruh sama sekali, bahwa Tjindewangi memang mempunjai kesaktian jang luar biasa.

   Hingga Sama sekali tidak seorangpun berbuat apa apa terhadap Tjindewangi.

   Seorang algodjo jang menjertai itupun, terpukau dan kemudian kembali kerombongannja untuk melaporkan keadaan itu kepada kepala algodjo-istana.

   Kepala algodjo "

   Istana itu tiba- tiba membentak memaki-maki setelah mendapatkan laporan jang memalukan.

   "Kau djuga sudah mendjadi monjet sekarang. Sermestinja kau bisa periksa. Dan berpikir bahwa itu pasti karena sendjata rahasia dari pasukan Ki Ageng Tunggal."

   "Tetapi pengawal-pengawal Radjapun menertawakannja. Mereka itu djuga djadi monjet. Apakah puteri Tindewangi datang dari langit bisa mendjadi sakti?"

   Kepala algodjo istana mematju kudanja mendekati iring2-an gerobag Tjindewangi.

   Sementara itu keadaan memang makin mendjadi18 gawat bagi pasukan pasukan pemberontak.

   Karena selir Panglima Honggo jang termuda, kemudian berhasil meloloskan diri dari istananja melalui terowongan rahasia jang sudah disediakan, berhasil masuki istana dan berusaha menemui Prameswari jang telah berada dikamarnja karena terlampau letih.

   kebetulan kedua puteri masih ada hubungan keluarga sekalipun djauh, hingga selir Panglima Honggo berhasil menemui tanpa rintangan apapun.

   -- Panglima Honggo tewas Sang Puteri dan istana Panglima Honggo sebenarnja telah diduduki pasukan - pasukan Ki Ageng Tunggal jang telah berbaur dengan pasukan Panglima Galing."Prameswari sangat terkedjut menatapnja tadjam2.

   "Apakah katamu itu benar? " -Ja, sama sekali seluruh istana ditawan, untung aku bisa meioloskan diri melalui terowongan rahasia.

   "

   "Kalau begitu ini satu malapetaka"

   "Apakah Radja tidak mengira sesuatu dengan tidak hadirnja Panglima Honggo?" -Tidak. Radja sedang murka terhadap Panglima Honggo"

   "Tetapi hal ini harus disampaikan kehadapan Radja, ini satu malapetaka Sang puteri."

   Disana penuh, sama sekali penuh Sang Puteri dengan pasukan pasukan bersendjata dari Ki Ageng Tunggal dan mungkin djuga pasukan"

   Pasukan Panglima Galing jang telah berhasil memakai pakaian-pakaian pengawal istana Panglima Honggo. Gudang sendjata mungkin telah pula mereka bongkar."

   Prameswari sangat lebih terkedjut, kini terbajang sudah malapetaka jang akan mungkin menimpa istananja.

   Terbajang kini pasukan - pasukan jang akan lebih ganas melanda istana dan menghantjurkan seluruh isinja, termasuk prameswari sendiri pasti kemudian akan diseret kepengadilan pemberontak, disiksanja kemudian digantung ditengah-tengah lapangan istana.

   "Ja tetapi Radja sedang murka sekarkembar. Sedang murka kepada Panglima Honggo, bahkan sedjak tadi pagi Radja selalu mengutukinja. Apakah keadaan jang kau ketahui akan dipertjaja? -19

   "Pertjaja atau tidak, harus dihadapkan peristiwa ini pasti. Menurut hemat hamba, pasti ada pentingnja jang disampaikan." -Kau bisa dengar apa pembitjaraan mereka? "

   "Tidak puteri"

   Sang Prameswari mulai terdesak perasaan tjemas, keliwat jemas.

   iebih2 setelah kembali terbajang betapa kedjelitaan Tjindewangi.

   Pasti ketjenderungan rakjat akan mudah dibakar, pasti Panglima Galinepun akan mudah berbalik dan semuanja akan tjepat berbalik dan menjerbu istana.

   Pasti, itu pasti."Sang Prameswari mulai nampak akan menangis, kini ketjemasannja mulai bertambah dengan kegusaran jang berbaur dengan perasaan tjemburu jang terlampau besar.

   "Memang harus kita hadapkan peristiwa ini, ini malapetaka. benar benar malapetaka.

   "

   Tiba-tiba Sang Prameswari agak lapang hatinja, sebelum melangkah keluar. Tiba-tiba Radja masuk, terkedjut melihat Sekarkembar nampak putjat, bingung dan tjemas.

   "Kamu? Kenapa kemari?. Mana itu Panglima monjet kekasihmu"

   "Sudah tewas Baginda"

   "Tewas bagaimana?"

   "Ja, tewas Baginda?"

   "Oh "

   Tiba-tiba Radja tertawa keras-keras, hingga membingungkan kedua puteri itu.

   "Nah sekarang makin kelihatan gobloknja. Hanja dapat marah begitu sudah bunuh diri. Ini Panglima apa? Tjoba pikir, tjoba kalian pikir. Panglima goblok itu benar-benar sudah mendjadi lebih goblok. Bunuh diri, kena maki begitu sudah bunuh diri,"

   "Tidak Baginda. Panglima Honggo tewas, dalam pertarungan melawan musuh istana."

   Radja makin bergelak-gelak, menertawakan Sekarkembar jang kebingungan.

   "Panglima kekasihmu itu sedjak tadi malam berbuat goblok dan makin bertambah goblok mendjelang pagi hari. Nah aku terpaksa maki2 dia, Istana Gunung Tunggal tidak mempunjai musuh keltjuali Ki Agung20 Tungal dan Tjndewangi jang telah tertawan itu musuh jang mana ? Kau djuga djangan ikut ikut mendjadi monjet."

   "Tidak Baginda"

   "Tjoba pikir, ini hari seharusnja Panglima hadir dan ikut bergembira, sebab nanti tengah malam Tjindewangi harus telah hangus ditelan kawalh Gunung Tunggal. Panglima Honggo sembunji, dan sekarang ada kabar sudah mati"

   Sang Prameswari jang telah bingung bertambah bingung memikirkan mana jang benar. Radja melihatnja dan bertambah tertawa lepas2.

   "Nah kau apa ingin ikut djuga mendjadi bingung dan goblok?"

   "Tidak Baginda, sebaiknja kabar dari Sekarkembar diperiksa lebi djauh. Kalau hal ini benar djelas akan merupakan satu malapetaka besar bagi Keradjaan."

   "Malapetaka jang mana?/Keradjaan Gunung Tunggal tjukup tentera, tjukup Panglima tjukup persendjataan. Ki Tunggal hanja punaj orang beberapa gelintir. Djago pengikutnja Tjindewangi sudah ditanganku. Mau apa sekarang? Apa kau lihat ada panglima jang bisa disangsikan kesetiaannja ? Tjoba katakan apa ada? Jang ada disini hanja beberapa panglina goblok dan Mamanda Patih jang sudah linglung. Pengchianat kukira tidak akan ada."

   Radja malahan kembali keluar kemudian, sebelum Sekar kembar mendjawab lebih landjut, hingga kedua puteri itu makin kebingungan. Sekarkembar mejakinkan.

   "Benar. Sang Puieri, Semua kata kata Sekarkembar tidak bohong. Tidak bohong. Itu benar, benar. Dan memang benar Keradjaan Gunung Tunggal teranjam malapetaka."

   "Ja tetapi bagaimana selandjutnja. Baginda terlandjur murka dan tidak mempertjajai seorangpun ketjuali Panglima Galing."

   Panglima Honggo tewas.

   tewas dalam pertarungan.

   Istana dikuasai seluruhnja oleh pasukan2 liar.

   Ini benar puteri, Ini benar.

   Sekar kembar menjampaikan apa jang sebenarnja -21 Prameswari dan Sekarkembar kemudian keluar mentjoba mentjari Mamanda Patih keradjaan, agar setjepatnja mengusut kedjadian ini.

   Sebab waktu benar2 telah mendesak.

   Tetapi waktu mereka melihat Mamanda Patih jang sedang berdiri menghadap keluar djendela istana.

   kearah rakjat jang membandjiri lapangan besar.

   Mereka berdua keduluan Baginda jang iteah menghampiri Mamanda Patih dengan masih tertawa tawa.

   "Oh . Mamanda nampaknja djuga makin bertambah linglung. Menjesali Tjindewangi akan mati?"

   
Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tidak Baginda."

   "Memang istanaku sekarang penghuninja sudah harus dirombak, Panglima panglimakupun mulai sudah mendjadi hampir semuanja goblok. Kau tahu Mamanda ? Panglima Honggo bunuh diri. Sakit hatinja barangkali karena ku-maki2 semalam. Sakit hatinja, merana terlunta-lunta. hatinja remuk dan merasa tidak ada gunanja hidup diistana Gunung Tunggal. Tjoba pikirkan Mamanda. Seorang Panglima besar djagoan Gunung Tunggal, sakit hati dan sampai terdjadi bunuh diri. Apa itu tidak lutju ? Apa itu satu pertanda bahwa orang2 Keradjaan Gunung Tunggal sudah mulai rusak? "

   "Siapa jang menjampaikan kedjadian itu?"

   "Sekarkembar, selirnja jang paling tjantk dan paling muda. Tetaoi mungkin kau djuga akan merasa beruntung. Kalau2 Sekarkembar bersedia pindah keistana kepatihan."

   Mamanda Patih terkedjut, kini benar2 terpikir kerusakan istana. Sama sekali Mamanda Patih tidak pertjaja bahwa Panglima Honggo bisa melakukan bunuh diri. Pasti ada kedjadian jang lebih gawat, hingga terlontjat djuga waktu itu perkataanja.

   "Tetapi apakah bukan karena soal lain panglima Honggo tewas?"

   "Menurut Sekarkembar memang tewas, berkelahi. Tetapi berkelahi melawan siapa? Tjoba lawan siapa Panglima Honggo jang sedang sembunji dalam istananja sendiri? Tjoba pikirkan melawan siapa?" *** BAGIAN III TIBA TIBA Baginda memandang keluar bersamaan dengan terdengarnja sorak jang mulai gemuruh.

   "Nah lihat Mamanda. Itu semuanja rakjatku, rakjat jang patuh kepadaku sepandjang djaman. Memang mungkin tadi sedjenak keadaan mengejutkan bahwa rakjat diam, terharu. Itu djelas, karena Tjindewangi seorang wanita djelita. Djelas bahwa mereka terdesak perasaanaja, kasihan dan sajang. Tetapi kini djelas kalau para algodjo sudah mulai menjiksa dia. Djuga rakjat kembali kesadarannja harus mematuhi Keradjaan. Tjoba dengar sorak itu. Sorak itu sorak rakjat Keradjaan jang mengantarkan Tjindewangi menudju ke kuburnja. Apakah bisa dipikirkan bahwa semua rakjat dan semua orang membandjiri istana, tetapi Panglima Honggo tewas bertempur?"

   Mamanda Patih bingung, karena ia merasa ada sesuatu jang tidak beres dalam istana. tetapi melawan pikiran Baginda waktu itu sudah sulit, hingga Patihpun diam dan terpaksa mengiakan selandjutnja "Ja, Baginda mungkin demikian"

   "Nah, pasti. Itu pasti hanja karena sakit hati dan bunuh diri. Itu lebih baik bagiku, artinja tidak usah memetjat dan menggantung dia. Nah sekarang kukira semua persoalan sudak selesai. Aku akan tidur dan laporkan nanti malam djika Semuaj'a sudah selesai "

   Radja berlalu meninggakan Mamanda Patih jang masih gelisah, resah memikirkan segala kemungkina jang mungkin terdjadi mendadak.

   la mendengar memang mendengar sorak-sorai itu lain.

   Lain sekali.

   Bukan sorak kemegahan bagi Keradjaan.

   Hingga Mamanda Patih bergegas meninggalkan djendela itu dan dtengah djalan bertemu Prameswari dan Sekarkembar, jang nampak sangat gelisah djuga;23

   "Mamanda, berhenti sebentar Mamanda"

   "Ja. puteri"

   "Panglima Honggo tewas dan istana panglima dikuasai pasukan2 jang tidak dikenal."

   "Ah. Masak demikian "

   "Sekarkembar melihat sendiri dan satu2-nja jang selamat karena bisa meloloskan melalui terowongan rahasia."

   "Kau lihat sendiri?"

   "Ja Mamanda. Majat Panglima bahkan kemudian dilemparkan kehalaman belakang istana, tanpa ditimbun.

   "

   Mamanda Patih seketika itu pergi meninggalkan kedua puteri itu dan langsung mentjari Pimpinan Pengawal istana, dan mentjoba mejakinkan bahwa keadan sangat gawat.

   Tetapi sampai dipos Pimpinan Pengawal istana, terdapat kosong.

   Semuanja seakan-akan terkait oleh daja tarik jang luar biasa ingin melihat Tjindewangi.

   Hingga Mamanda Patih memaki maki.

   "Memang semuanja sudah mendjadi monjet, seperti apa kata Radja. Aku sendiri hampir mendjadi berubah demikian. Tetapi sekarang benar2 ini hari sangat kentara akan terdjadi sesuatu malapetaka. Tetapi kepada siapa sekarang kedjadian terachir ini bisa dibitjarakan? Monjet, istana ini sudah mendjadi istana monjet."

   Kemudian Mamanda Patih berteriak memanggil seorang pengawal jang sedang berdjaga salah satu pintu istana.

   "Hei, tjepat panggil Singalodra. Suruh mengumpulkan semua pasukan jang ada. Istana dalam antjaman bahaja."

   "Tetapi hamba berdjaga dipintu."

   "Panggil Singalodra. Apakah kau sudah djadi ikut bujar otakmu."

   "Tetapi hamba berdjaga dipintu dan akan dipantjung bila meninggalkannja."

   "Aku jang perintah. Suruh Singalodra memantjung leherku kalau dia marah. Apa kau pikir dia lebih berkuasa dari aku?"

   "Ja, Tuanku."

   "Lalu panggil semua perwira jang kau lihat, panggil semuanja. Djangan ada jang tinggal, disana. ltu kan perempuan biasa. Oh , Betapa24 Tjindewangi mempunjai kekuatan demikian luar biasa mempengaruhi hati seseorang. Tetapi ja memang tidak aneh. Aku sendiri hampir2 lupa bahwa aku jang bertanggung djawab keselamatan Keradjaan Gunung Tunggal"

   Pengawal pintu istana itu bergegas melontjat, keluar dan menghilang mentjari Singalodra dan perwira-perwira jang lain setjepatnja.

   Mamanda Patih terduduk, kakinja terasa gemetar karena letih dan sangat gusar.

   Memang kenjataan demikian, kepala agodjo sendiri jang hampir meledak kemarahannja mendengar berita, dan langsung menjepak kudanja untuk mengedjar gerobak Tiindewangi, setelah sampai disana sesaat terdesak dan terpukau oleh pemandangan, betapa djelitanja Tjindewangi.

   Betapa kenjataannja rakjat disekitar djalan-djalan dimana gerobak itu kemudian lewat, semuanja terpaku dan tersenjum.

   Tidak seorangpun kemudian melampiaskan dendamnja jang sudah mulai terbakar sedjak berangkat dari tempat masing2.

   Tidak Seorangpun berubah pendiriarnja untuk membentji atau menghinakan, apa lagi menertawakan pemberontak jang tertawan.

   Singopati, algodio kepala jang terkenal paling bengis sepandjang djaman hidupnja Keradjaan Gunung Tunggal, Sesaat tidak bisa bernafas dan hanja mendekati gerobak Tjindewangi.

   Sesaat itu pula orang2 jang melihatnja sudah menahan nafasnja, mereka berpikir bahwa pasti akan terdjadi sesuatu hal terhadap Tjindewangi.

   Tetapi tidak, Singopatipun tidak meludahi setitikpun, tidak menjentuh tubuh Tjindewangl.

   Bahkan menghinapun tidak.

   Sebaliknja kegusaran Mamanda Patih makin besar, bertambah besar setelah pengawal pintu istana kembali, menjampaikan "Semua perwira ikut serta dalam arak arakan Tuanku.

   Hamba sudah menjampaikan hal ini kepada salah seorang.

   Sebab hamba tidak berani meninggalkan tugas mendjaga pintu istana.

   "

   Mamanda Patih kemudian memahami, bahwa memang pengawal itu sudah semestinja tidak boleh meninggalkan pendjagaan pintu istana, hingga kemudian mengangguk "Ja ja ja, asalkan mereka segera akan tahu, Kau sempat melihat, Sampai dimana arak.arakan Tjindewangi? dan bagaimana keadaan.

   "Hampir sampai diperbatasan sebelah timur Tuanku.-25

   "Sementara itu tidak terdjadi keributan2?"

   "Suasana nampak sunji Tuanku. Rakjat tidak meriah menjambutnja. Bahkan nampak sedih dan terharu"

   "Semuanja?"

   "Hampir semuanja"

   "Rakjat Gunung Tunggal djuga sudah djadi monjet. Monjet, betul2 keradjaan Gunung Tunggal sudah djadi Keradjaan Monjet."

   Singopati dan beberapa perwira pengawal istana tiba2 mendadak mendjadi putjat, setelah ingat bahwa mereka itu meninggalkan tugasnja.

   mengerti apa artinja panggilan itu pasti ada keadaan gawat dan mereka pasti akan mendapatkan hukuman dan nasibnja tidak beruntung.

   Seketika mereka itu memaju kuda mereka, melarikan setjepat-tjepatnja untuk menghindari hukuman jang lebih berat, hingga ditengah djalan kuda mereka menubruk beberapa pendjual minuman, bahkan salah seekor kuda karena terkedjut oleh djeritan dan lolongan beberapa wanita, terbelok arahnja dan sama sekali masuk kedalam sebuah warung makanan jang sedang banjak pengundjungnja.

   Perwira itu terlempar dari kudanja masuk ketengah tengah pengundjung, terdampar ditengah-tengah medja jang penuh makanan.

   Djeritan bertjampur ter-tawa2 meledak dalam warung itu dan perwira itu bangkit memaki2 karena kedesak perasaan malu jang teramat besar.

   Sesaat mereka itu terdiam, tetapi setelah perwira itu pergi tertawa"

   Tawa kembali meledak hingga tukang warungpun lupa akan kerugiannja; Salah seorang kemudian menirukan bagaimana perwira itu terdjungkir menubruk makanan dimedja, hingga tertawa2 meledak lebih keras "Hei kan tadi dia terdjungkir disini? Dan mukanja sama sekali tertutup ketan jang bertjampur kelapa?"

   Tiba2 terdengar dari warung wanita melolong, karena sama sekali djualan tertumpah dan tak mungkin terdjual lagi.

   "Mati aku mati. Bagaimana aku bisa makan besok?"

   Tiba tiba seketia itu salah seorang dari pasukan Ki Ageng Tunggal entah karena terdesak perasaan bagaimana berteriak.26

   "He , Tak usah menangis. Besok keadaan sudah berubah. Dan aku berdjandji akan mengganti semua djualanmu jang tertumpah. Sekarang kau boleh ambil ini uangku jang ada."

   Beberapa orang terkedjut dan salah seorang bertanja keheranan.

   "Berubah bagaimana ? Maksudmu. Keradjaan ini akan bisa bertambah baik?"

   "Ja, djelas djika Ki Ageng Tunggal berhasil menggulingkan Keradjaan jang bobrok ini nanti malam?"

   "Nanti malam ? Bagaimaa kau tahu nanti malam?"

   Lelaki itu menjesal bahwa ia terlandjur melontarkan isi hatinja tanpa memikirkan apakah akibatnja. Tetapi semua sudah terlandjur.

   "Itu kira kira. Kabarnja Ki A geng Tunggal akan mulai berontaknja. Itu kabarnja, mudah- mudahan benar kau?"

   Tetapi malang bagi lelaki itu, tiba-tiba sebuah tjambuk terajun oleh seorang tentera Keradjaan jang kebetulan berada disebelah warung makan, sambil berteriak .

   "Monjet. Djadi kau tahu tentang Ki Ageng Tunggal?"

   Lelaki itu terguling, beberapa wanita mendjerit dan lelaki jang lain melontjat lari, takut akan terseret kena tjambuk.

   "Ajo bitjara iang djelas. Kau tahu bahwa Ki Ageng Tunggal akan memulai pemberontakan malam ini"

   Sekali lagi tiambuk itu terajun dan mengelupaskan kulit lelaki itu.

   Tetapi sesaat kemudian waktu tiatnbuk itu akan terajun lagi, sebilah pisau melajang dan menantjap dipunggung tentara keradjaan.

   Seketika tentara itu rebah tidak lagi berkutik, tjambuknja terkapar sebelum meletjut untuk ketiga kalinja.

   Kemudian tjepat-tjepat mereka menarik tentara itu.

   "Lemparkan kesebuah halaman kosong, untuk menghindari penggerebegan tentera jang lain djika mereka itu ada jang meninggal-. Lelaki itupun kemudian diangkat oleh teman temannja untuk menghindari akibat jang djelas akan menimpanja. keadaan mendjadi kembali reda, hanja mereka kemudian berbisik bisik mengenai kenungkinan Ki Ageng Tunggal akan memulai pemberontakanja nanti malm. Salah seorang kemudian meneriakkan.2728 Djelas aku akan mcnerdjunkan diri kedalam pemberontakan ini. Aku sudah lama sakit bati. Sudah lama keluarga hantjur karena perbuatan-perbuatan tentera Keradjaan jang kasar laknat ini"

   "Tetapi dari mana Ki Ageng Tunggal dapatkan tentera untuk melawan Keradjaan jang punja tentera beribu2 ini."

   "Pasti ada, Itu pasti. Semua orang sebenarnja masih mentjintai Ki Ageng Tunggal"

   Tiba-tiba mereka bujar berlarian, karena achirnja beberapa tentera mengetahui kedjadian itu dan hendak melandjutkan penangkapan-penangkapan.

   Tetapi warung itu sudah kosong.

   Hanja tinggal wanita pemilik warung jang gemetar dan putjat pasi mendjawab teriakan2 tentera Keradjaan.

   "Hamba tidak tahu Tuanku. Mereka ramai ramai disini kemudiaa lari semuanja, semuanja lari entah kemana "

   Tetapi tentera jang sudah kalap itu tidak menghiraukan apa itu hanja seorang wanita dan memang benar benar tidak mengerahui apa"

   Apa.

   Dilemparkannja beberapa tali, warung ketjil itu ditariknja oleh dua ekor kuda, seketika roboh berantakan.

   Sebaliknja Singopati bersama perira-perwira jang terhindar dari reruntuhan warung itupun tidak kurang gusarnja setelah mentjapai istana.

   Hingga terpaksa mereka berhenti untuk menenangkan perasaannja "Bagaimana ? Apakah nanti kita djawabkan djika beliau menanjakan?"

   "Ja, sekarang ini pasrahkan sadja hidup mati kita. Kita akan berputar-putar mentjari alasan, mungkin akan lebih memberatkan. Pokoknja kita benar-benar tertarik, ingin meramaikan arak-arakan Tjindewangi menudju maut. Habis perkara. Kalau hanja karena sebab demikian kita harus di gantung. ja, memang Keradjaan ini Keradjaan jang sudah remuk.

   "Tetapi sekarang tjoba katakan dengan terang. Kenapa kau sampai begitu ingin menonton?"

   "Entah, tetapi jang djelas aku belum pernah melihat Tjindewangi. Dan setiap orang mempertjakapkan. Hingga hatiku sama sekali tidak bisa tertahankan lagi.-29

   "Oh kalau begitu sama. Memang sebaiknja kita pasrahkan. Digantung atau tidak kita sudah nengatakan apa jang sebenarnja."

   Sampai distana, mereka tidak bisa langsung menemui dan menghadap Patih Keradjaan Karena diruangan semula tidak lagi terdapatkan.

   Hingga achirnja mereka dengan lebih gusar mentjari-tjari, achirnja ditemukan Mamanda Patih sedang ditaman keputerian, sedang menggoda seorang wanita muda jang tengah membersihkan taman.

   Djelas bahwa wanita muda itu bukan dari kalangan istana, hanja memang nampak djelita dan kenes.

   Seketika Mamanda Patih mendadak mendjadi putjat karena malu, sesaat kemudian kemerahan dan sesaat mendiadi putjat kembali.

   Hanja kemudian beliau berusaha menenangkan perasaannja dan untuk menghilangkan kegusaran itu, Patih mendadak membentak .

   "Kenapa kalian pergi? Kalian tinggalkan tugas diistana jang pada hal saat ini istana sedang terantjam bahaja. Pasukan Ki Ageng Tunggal sudah menjusup kedalam kota menurut laporan jang bisa dipertjaja. Bahwa istana Panglima Honggo telah dikuasai mereka. Maka segera perintahkan seiuruh pasukan bersiap, mendjaga istana, sebagian mengepung istana Panglima Honggo dan sebagian menjertai Tjindewangi. Ingat-Ingat. Kalau rakjat sekiranja meragukan kesetiaannja, bunuh Tjindewangi sesampainja dikaki gunung.

   "

   "Tidak usah menunggu sampai dipuntjak?"

   "Tidak, itu sangat berbahaja. Mungkin dalam keadaan gelap itu mungkinkah segera bisa terdjadi.

   "

   "Tetapi kalau keadaan tidak mengawatirkan ? -"

   "Boleh kau tunggu sampai Tjindewangi tiba di puntjak Gunung Tunggal. Tetapi kukira keadaan sudah sangat gawat "

   Singopati dalam hati tersenjum, Mamanda Patih bisa berkata demikian.

   Tetapi sampai sedemikian djauh Mamanda Patih jang telah putih hampir seluruhnja dari rambut tuanja, waktu itu masih menggoda seorang wanita muda.

   Tetapi untuk menanjakan hal itu, djelas tidak mungkin terdjadi.

   Singopati hanja menegas.

   "Apakah laporan itu bisa dipertjaja ?-30

   "Puteri Sekarkembar melihat dan mengetahui dengan mata kepala sendiri bahwa Panglima Honggo telah terbunuh."

   Seketika Singopati mendjadi gusar, karena ia mengakui balwa Panglima jang paling tangguh dari istana Gunung Tunggal tidak lain hanja Panglima Honggo.

   Dan sekarang panglima Honggo tak ada lagi, hanja tinggal mengharapkan Panglima Galing.

   Tetapi ia sendiri telah lama menjangsikan kepada Panglima Galing apakah beliau tetap akan berpihak keistana.

   Mamanda Patih mengetahui gusarnja Singopati dan membentak lebih keras .

   "Kau tidak usah gusar, monjet. Tjepat laksanakan apa jang kuperintahkan dan djangan sampai terlambat. Waktu hanja tinggal sehari, untuk menentukan apakah kita bisa mempertahankan keradjaan Gunung Tunggal.

   "

   "Ja Tuanku."

   "Nah sekarang pergi, kenapa kau terdiam sambil matamu melotot?"

   Singopati hampir terlondjak, karena memang sebenarnja ia serang terpukau oleh wanita muda jang sengadja memasang perhatian. Dan seketika melontjat langsung mundur, keluar dari taman, Sampai diuar baru terlontar maki2annja.

   "Kau kerdjakan sekarang waktu tinggal sehari. Tetapi dia sendiri masih menggoda-goda perempuan. Bangsat. Semua sama sadja. Semuanja dari Radja Gunung Tunggal.

   Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   " *** Koleksi Kolektor Ebook31 BAGIAN IV SINGOPATI sendiri achirnja jang memimpin pasukan Keradjaan menudju kekaki Gunung Tunggal, dimana akan diadakan upatjara terachir bagi pelaksanaan hukuman mati bagi Tjindewangi. Sebagian pasukan mengepung istana Panglima Honggo dan sebagian besar jang lain dipusatkan diistana untuk mendjaga kemungkinan penjerbuan keistana. Singopati telah bulat tekatnja betapa pun ia sendiri tidak senang achir achir ini dengan orang orang istana, tetapi iapun menjadari bahwa djika Ki Ageng Tungal berbasil berkuasa. Ia pasti kehilangan kedudukan, kehilangan segala-galanja. Dan memang kedatangan pasukan Singopati dikaki Gunung Tunggal tidak terlambat. Pasukan Ki Ageng Tunggalpun jang menjamar sebagai rakjat biasa belum semuanja lengkap dipedukuhan dan wilajah sekitar kaki Gunung Tunggal sebelah selatan. Hingga pasukan Singopati sempat mengadakan pemusatan kekuatan ditempat baik untuk menghadapi kemungkinan penjerbuan pasukan-pasukan KiAgeng Tunggal keistana. Sebaiknja jang lain menjiapkan diri dilapangan dan sebagian bersembunji untuk melepaskan panah. panah terhadap Tjindewangi djika keadaan memaksa harus membunuh Tjindewangi ditempat itu. Disinilah kenjataannja kedudukan pasukan KiAgeng Tunggal kalah baik, sebab sebagian besar belum datang, masih menjertai iring-iringan Tjindewangi dan sehagian bersembunji didalam kota untuk mengadakan perlawanan dari dalam djika waktunja tiba. Prameswari sendiri achirnja tidak dapat menaban perasaanja jang tiba-tiba mendjadi sangat gusar, mendengar bahwa sebagian besar berbalik menaruh perasaan senang terhadap Tjindewangi, perasaan32 hormat dan kagum. Seketika itu pula Prameswari mengadjak Sekarkembar untuk menjamar menudju kekaki Gunung Tunggal sampai menegaskan.

   "Djelas, bahwa Tjindewangi tidak boleh luput dari kematiannja. Aku sendiri akan membunuh Tjindewangi djika termjata achirnja rakjat dan pengawal istana tidak mau mengerdjakannja"

   "Sekarang djuga Puteri ?"

   "Ja, tidak ada waktu jang lain jang tak mungkin terlambat, Tjindewangi harus setjepatnja dibunuh sebelum ketjintaan rakjat makin bertambah dan kebentijiannja berbalik keistana."

   "Mungkin harus begitu Patih.

   "

   Waktu itulah sebentar kemudian, dari istana berangkat dua ekor kuda putih membawa dua orang wanita jang menjamar sebagai tentera wanita, menudju kekaki Gunung Tunggal.

   Mendjelang sore hari, ketika pasukan jang bermusuhan telah saling menduduki daerah kaki Gunung Tunggal.

   Ialah pasukan Ki Ageng Tunggal langsung dibawah pimpinan Karangselo, pasukan Singopati langsung dipimpin oleh Panglima Dobos, dan sebagian pasukan Panglima Galing jang nampaknja masih setia kepada Keradjaan.

   Sementara itu Prameswaripun bersama Sekarkemhar telah menjelinap diantara mereka, menunggu kesempatan jang terbaik untuk melepaskan panahnja membunuh Tjindewangi.

   Sebentar kemudian keadaan jang telah mereka tunggu2 datang.

   Iring-iringan arak arakan Tjindewangi berhasil mentjapai kaki Gunung Tunggal tanpa suatu keributan jang mengakibatkan kerusuhan jang lebih besar Langsung Tjindewangi ditempakan ditengah - tengah tanah lapang, dimana Radja Gunung Tunggal biasa mengadakan upatjara untuk persembaban korban kepada Gunung Tunggal.

   Tetapi selama korban itu hanja merupakan seekor kerbau, bukan seorang wanita djelita sebagaimana kali terachir ini.

   Tjindewangi masih tetap terikat dan tetap diatas gerobaknja jang terbuka dalam keadaan telah sangat letih, lapar dan haus.

   Haus terlampau haus, terlampau dahaga.

   Karena tidak seorangpun memberikan minuman sehari itu.Padahal waktu itulah para pengiring, semuanja33 diperbolehkan mengaso dan telah disediakan makan dan minuman berlimpahan.

   Matahari telah tjondong dan hampir tenggelam dari arah pegunungan sebelah barat Gunung Tunggal, tjahajanja mulai nampak agak kemerahan, tersamarkan warna mendung.

   Pasukan-pasukan Ki Ageng Tunggal telah menjelinap diantara rakjat dan sebagian telah berbaur dengan pasukan2 panglima2 Keradjaan.

   Sedangkan sebagian jang lebih besar lagi, bersembunji dihutan-hutan dan pedukuhan disekitar lapangan luas itu.

   Ja.

   menurut perhitungan dengan mudah pasukan Ki Ageng Tunggal akan mampu menjapu bersih pasukan-pasukan Radja jang ada disitu.

   Tetapi Sang Prameswari ? Prameswari waktu itu telah mendapatkan tempat jang sangat baik, tersembunji dan sangat leluasa untuk melepaskan anak panah kearah Tjindewangi jang terkulai terikat diatas gerobak, menghadap ke Gunung Tunggal.

   Hanja tinggal menarik tali busur sekuat tenaga dan melepaskannja, Waktu itulah Prameswari tersenjum senjum.

   Merasa jakin sekali bahwa dia akan bisa mengachiri riwajat Tiindewangi, tanpa rintangan apapun Prameswari jakin bahwa djika Tjindewangi mati, seketika pasukan"

   Pasukan Ki Ageng Tunggal akan mendjadi lumpuh semangat dan kehilangan kekuatan untuk melandjutkan perlawanan.

   Ini pasti Sebab memang terasa bahwa seluruh kekuatan pemberontakan terletak di pribadi Tjindewangi.

   Kemudian atjara jang telah ditentukan dimulai, dimana badut"

   Badut istana akan mengadakan pertundjukan pertundjukan jang aneh.

   Tidak lain maksudnja untuk mempermainkan tjalon korban hukuman mati.

   Sebelumnja Panglima Galing tidak tega hatinja memerintahkan, tetapi sagala sesuatu harus berdjalan tanpa mentjurigakan sebelum saatnja datang.

   Tetapi kemudian Wulungseto jang telah berada di tengah2 rakjat, mempunjai akal.

   Akal jang berbahaja dengan persetudjuan Panglima Galing.

   Wulungseto terdjun kedalam rombongan badut badut istana dengan alasan ingin ikut memeriahkan pesta maut itu.

   Kepala badut-badut dengan senang tanpa ketjurigaan sedikitpun, bahwa memberi sebuah topeng dan pakaian selengkapnja, telah mendapatkan pula petundjuk2 apa jang harus dilakukan.

   Sigemuklah jang mula-mula keluar dengan34 langkahnja penuh gojang pantat, pura - pura sedih dan setelah melihat kepada Tjindewangi, mulai menangis, Menangis dan makin keras hingga achirnja meraung-raung dan berhasil merubah suasana jang agak sedih mendjadi kembali riuh dan penuh gelak tertawa.

   Inilah jang dikehendaki Panglima Galing dan Ki Ageng Tunggal agar semuanja lupa akan sega kemungkinan malapetaka bagi mereka.

   Sigemuk mulai berhenti menangis dan ber-kata2 dengan kalimat jang terputus-putus "Oh.

   Tjindewangi anakku tersajang.

   Anakku terdjelita dan segala machluk djelita didunia ini.

   Tetapi kenapa kau bersikap jang sangat menjedihkan, ialah mentjoba melawan keluhuran dan kebesaran Keradjaan Gunung Tunggal."

   Tetapi belum sempat sigemuk melandjutkan ratapannja, tiba"

   Tiba keluar sidjangkung dengan topeng raksasa mentjambuk sigemuk hingga sigemuk terkapar dan meraung-raung. Si djangkung berteriak maki"

   Maki.

   "Kenapa kau menangis nangis disini ? Keradjaan Gunung Tunggal tidak menghendaki tangismu.

   "

   Sekali lagi sidjangkung mengajunkan tjambuk dan sigemuk bangkit. sebaliknja kemudian tertawa tawa.

   "Apakah Keradjaan Tunggal menghendaki aku tertawa?"

   "Jah, begitu. Sebab keradjaan Gunung Tungga! Keradjaan jang besar dan kuat, sarma sekali tidak mengenal kesusahan dan kesengsaraan."

   "Ja, aku akan tertawa sepandjang djaman, sepandjang djaman."

   "Nah lihat gemuk. Seluruh rakjat Keadjnan Gunung Tunggal selalu bersukaria. Tidak ada alasan sedikitpun untuk bersusah hati. Perkara Tjindewangi. dia djelita memang benar. Tetapi dia pengchianat sudah sewadjarnja mendapatkan hukuman maut."

   Seketika setelah sidjangung berhenti bitjara keluar badut-badut jang menari nari, berdjumpalitan dan masing2 bergaja Semua masing masing dalam satu gerakan gerakan jang lutju, Seorang jang hertopeng kerbau sama sekali menjerupai kerbau dan seorang jang bertopeng monjet sama sekali bergerak dan menari seperti monjet dan semuanja sesuai dengan topeng masing masing.35 Kemudian dari antara mereka keluarlah seorang dari rombongan itu jang bertopeng raksasa, melihat ke Tjindewangi dan nampak kasmaran.

   Benar-benar kasmaran makin kasmaran dan setelah melihat Tjindewangi makin lama dan makin dekat.

   Gerakannja benar2 mempesonakan sekalipun bersifat lutju.

   Lelaki bertopeng raksasa kemudian makin mendekat, bahkan kemudian melonjat keatas gerobak.

   Nampak Sama sekali tidak dapat lagi menguasai perasaan kasmarannja.

   Lelaki itu makin dekat dan tiba2 mentjium pantat Tjindewangi pelahan2, lalu nampak se akan2 pingsan.

   Tentu sadja geiak tertawa makin riuh dan sama meledak memenuhi tanah lapang itu.

   Lelaki itu kemudian bangkit kembali, sekarang ia mentjoba memegang tangan Tjindewangi, membelai belai.

   Mula-mula Tjindewangi merasa muak melihatnja, tetapi kemudian terdengar suara pelahan-lahan.

   "Rentjana tetap berdjalan seperti semula Tjindewangi. Tabahkan hatimu."

   Tjindewangi terkedjut, menahan Semua perasan jang hendak meledak mendengar suara itu, hanja terdengar utjapan jang lirih. sangat lirih.

   "Oh, Seto"

   "Tabahkan hatimu kasih. Aku selalu disampingmu dengan segenap tjintaku, tjintaku kasih."

   Tiba2 gelak tertawa sekali riuh, bertambah riuh karena lelaki bertopeng raksasa itu kemudian, mendekati Tjindewangi se-akan2 ingin mentjiumaja. Hingga salah seorang jang bengal berteriak keras-keras.

   "Tjium sadlja, tjium. Djangan terlambat. Sebentar lagi dia mati"

   Lelaki bertopeng itu menoleh, dan tiba. tiba menggelengkan kepalanja, hingga orang jang berteriak itu kembali berteriak "Goblok. Tjium sadja. Apa aku jang harus naik? Lagi tjium lagi. Djangan berhenti sebelum dia meninggalkan kau."

   Wulungseto tersenjum dibalik topeng, merasa bahwa segala sesuatu berdjalan lantjar, tanpa satu titik ketjurigaan darI semua orang jang ada ditanah lapang, saimpai kepada Singopati jang memimpin pasukan penjergapan, djika timbul hal2 jang buruk bagi keradjaan,3637 Wulungseto sekali lagi hendak mendekat kepada Tjindewangi, tetapi sigemuk jang sedjak tadi memandang penuh tjemburu, berteriak"

   Teriak dan melontjat keatas gerobak, menundjuk-nundjuk kepada lelaki bertopeng raksasa dan menundjuk ke Tjindewangi lalu kepada dirinja sendiri.

   Kemudian nampak gerakan gerakan jang menundjukkan dia marah2 dan memaki2.

   Tetapi waktu lelaki bertopeng raksasa itu menoleh dan berganti memandang dan memaki maki.

   Sigemuk djadi gemetar, hingga lututnja nampak berbenturan.

   "Ja. Ampun. Ampun raksasa"

   Lelaki bertopeng kemudian membentak dan menggerakkan tangannja hendak memukulnja, seketika sigemuk mendjerit menangis sedjadi2.nja, lalu melontjat kebawah djatuh terguling, sambil terus melandjutkan tangisnja, makin keras dan makin keras.

   Hingga Wulungseto sendiri sebenarnja tertawa tak dapat menahan gelinja.

   Tjindewangi sendiri hampir terlepas tertawanja, karena dalam hatipun sudah terpantjar tjahaja kegembiraan.

   Hanja dengan sekuat tenaganja ia menahan dan masih tetap bisa nampak muram, sedih, muak dan penuh dendam terhadap Keradjaan Gunung Tunggal.

   Lelaki bertopeng kemudian menoleh kepada orang2 jang berteriak, seakan-akan bertanja apakah dia harus mentjium Tjindewangi lagi.

   Tetapi orang2 kemudian berteriak sebaliknja "Sudah, sudah, Kau pikir dia punjamu monjet? Kau kan hanja badut-badut istana"

   Lelaki bertopeng itu kemudian nampak ketjewa dan langsung mendjauh, kemudian melontjat kebawab.

   Kembali menghilang di-tengah2 badut-badut jang lain jaag mulai lagi dengan menari-nari dan menggerakan tubuhnja semau mereka menurut irama gendang jang dipukul makin keras, makin keras.

   Kemudian terdengar suara gendang jang ditabuh lain, pertanda bahwa atjara badut2 ini sudah harus selesai, seketika mereka itu kembali menghilang di tempat semula.

   Seketika suasana tanah lapang itu mendjadi sunji.

   Mati dan nampak sedih setelah ingat bahwa sebentar kemudian akan datang waktunja Tjindewangi harus turun dari gerobak kaju dan langsung menudju puntjak Gunung Tunggal.38 Panglima Galing kemudian datang ketengah - tengah lapangan dibarengi olehl sorak sorai jang gemuruh, kemudian naik keatas gerobak mengumumkan sesuatu hal, hingga suasana tiba2 mendjadi kembali sunji.

   -Atas nama Radja Gunung Tunggal, dengan ini saja akan mengumumkan bahwa sudah tiba waktunjaa atjara terachir pelaksanaan hukuman mati bagi Tjindewangi.

   Segera Tjindewangi akan dilepaskan dari tiang gerobak dan akan segera diiring langsung menudju kepuntjak Gunung Tunggal.

   Memang Radjapun dengan sedih hati memutuskan hukuman mati ini, tetapi sedemikian djauh Tjindewangi menolak segala kesediaan Radja untuk memberi pengampunan.

   Hingga terpaksa Radja memutuskan hukuman dengan dilemparkan kedalam kawah Gunung Tunggal hidup-hidup."

   Suasana tiba-tiba mendjadi sunji, jang sebetulnja harus meledak sorak sorai kegembiraan kalangan Keradjaan Gunung Tunggal terutama. Sunji dan nampak diliputi kesedihan, Panglima Galing merasa sesuatu pertanda jang baik, melandjutkan pembitjaraannja.

   "Tetapi sebelumnja, dengan segala kebidjaksanaan dan kemurahan hati Baginda, Tjindewangi masih diperkenankan untuk mengutjapkan kata2 terachir dengan bebas. Djuga masih diperkenankan seorang dari rakjat jang mentjintai Tjindewangi untuk mengutjapkan selamat djalannja. Dan orang tersebut, dengan kemurahan hati Baginda diperkenankan melepaskan tali pengikat untuk terachir kali, sebagai tanda bahwa Radja Gunung Tunggal tetap bertindak bidjaksana. Nah, silahkan bagi seorang dari jang mentjintai Puteri Tjindewangi untuk madju. Tetapi ingat. Siapa Jang madju dan melepaskan tali pengikat Tjindewangi terpaksa harus ikut serta menjertai Tjindewangi terlempar kedalam kawah Gunung Tunggal."

   Suasana mendjadi kembali sunji dan beberapa orang jang sedianja ingin madju kedepan, nampak kembali mundur karena pengumuman Panglima Galing jang terachir.

   Hingga seorang dari perwira tentara Keradjaan berteriak "Nah, madjulah siapa hendak madju.

   Saja ingin sekali melihat seorang jang mentjintai Tjindewangi.

   Matjam mana tampang pentjintanja.

   Tjoba madjulah, hei monjet pengchianat Gunung Tunggal?-39 BAGIAN V SEORANG PERWIRA jeng lain bahkan berteriak lebih keras lagi dengan nada suara jang lebih sumbang.

   "Ja, matjam manakah jang akan membela Tjindewangi. Matjam manakah djelitanja kalau perempuan? "

   Suasana mendjadi makin sunji, karena teriakan teriakan itu seakan akan mengantjam dan mejakinkan bahwa tak seorangpun akan madju kedepan, menjatakan bahwa mereka menaruh tjinta dan setia kepada Tjindewangi.

   Tetapi kemudian dari antara teriakan- teriakan perwira - perwira itu, muntjullah Majangkembar dengan pandangan jang memantjar.

   seakan2 menantang antjaman antjaman dan edjekan-edjekan terhadapnja.

   Menjebaban semuanja djadi terbungkam, karena tidak menduga dan begitu terkedjut melihat ang madju kedepan, ketengah"

   Tengah lapangan seorang wanita jang tjukup djelita, bahkan mungkin paling djelita diantara jang ada sesudah Tjindewangi. Melangkah pelahan pelahan tetapi pasti, dan berhenti sampai dibawah gerobak Tjindewangi, kemudian menatap Panglima Galing.

   "Hambalah Panglima jang hendak menjatakan ketjintaan dan kesetiaan hamba kepada puteri Tjindewangi. Hambalah jang memohon idjin melepaskan ikatannja, sekalipun hamba harus menjertai puteri Tjindewangi terlempar kedaam kawah Gunung Tunggal"

   "Dengan hati jang tulus iklas? "

   "Dengan penuh keiklasan Panglima"

   "Siapa namamu?"

   "Majangkembar -40 Tiba-tiba suara mendjadi riuh karena nama Majangkembar seakan-akan telah mendjadi milik mereka bagi rakjat dibagian tepian hutan. Sekalipun banjak jang belum mengenalnja. Kemudian kembali sunji karena Panglima Galing memberi tanda agar mereka diam dan melandjutkan pertanjaannja;

   "Tetapi kenapa kau iklas mengorbankan dirimu?"

   "Karena hamba jakin bahwa Puteri Tjindewangi bukanlah pengchianat. Puteri membela kami semuanja. Puteri mentjinta kami semuanja dan kami semua mentjintai. Hanja itu Panglima."

   Panglima Galing berpikir, se-akan2 tidak tega hatinja Majangkembar.

   Seakan - akan berat hati untuk mengorbankan Majangkembar, hanja karena Majangkembar mentintai Tjindewangi.

   Tetapi sebenanja Panglima Galing hanja ingin memantjing kesempatan itu untuk menanti tanggapan rakjat dan para tentera Keradjaan jang masih setia kepada Radja Gunung Tunggal.

   Dan jang diharapkan memang terdjadi.

   Tiba-tiba salah seorang wanita jang tak dikenal berteriak dengan lantang;

   "Tidak hanja Majangkembar Paduka Panglima. Hamtba akan menjertai terkubur dalam kawah Gunung Tunggal.

   "

   Kemudian salah seorang wanita jang lain berteriak lebih lantang dan mengharukan.

   "Hambapun mohon menjertai Paduka, Pangima"

   Kemudian beberapa orang lelakipun berteriak memohon agar diperkenankan bela pati terhadap kematian Tjindewangi, hingga Panglima Galing tersenjum dalam hati dan mentjoba menghindarkan ketjurigaan kalangan istana.

   "Diam dan berhenti ditempat kalian. Aku hanja mengatakan bahwa hanja didjinkan Seorang. Seorang, tidak akan diperbolehkan jang lain. Sebab apapun jang terdiadi misalkan kalian mentjintai Tjindewangi. Tindewangi telah mendapatkan keputusan dari Keradjaan, terhukum sebagai pemberontak."

   Tetapi teriakan salah seorang wanita mendjawab lebih keras dari semula.41

   "Puteri Tindewangi bukan pemberontak Paduka."

   Susana tiba-tiba tidak bisa dikuasai karena beberapa wanita dan lelaki kemudian ternjata masuk ketengah - tengah lapangan dan berdiri dibelakang Majangkembar, hingga menjebabkan Panglima - panglima jang masih setia kepada Radja untuk menguasai keadaan dan berteriak.

   "Hei kalian djangan mengatjau disini. Djelas bahwa kalian pasti anak buah Ki Ageng, Kubunuh kalian jang berani madju ketengah lapangan."

   Tetapi teriakan Panglima Singopati tidak mengedjutkan mereka dan mereka tidak undur selangkahpun dari tempat mereka berdiri, hingga menjebabkan singopati memerintahkan kepada arak buahnja.

   -Angkat panahmu dan djika kuhitung sampai tiga mereka tidak mundur.

   Iepas panahmu semuanja.

   
Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Hanja Majangkmbar jang diidjinkan, menurut perintah Radia.

   Perintah Radja hanja seorang dan jang paling dulu, kuidjinkan."

   Majangkembar merasakan adanja satu hal jang buruk djika panah-panah itu terpaksa dilepaskan, hingga majangkembar berbisik kepada beberapa orang jang berdiri dibelakangnja.

   "Mundurlah dulu. nanti kudjelaskan bila datang waktunja. Keadaan akan mendjadi gelap dan mungkin putri Tjindewangi akan menemui malapetaka jang lebih besar."

   Mereka mengangguk dn kemudian kembali ketempat masing2 tinggal Majangkembar, kemudian diperintahkan kepadanja agar menaiki gerobak untuk melepaskan tali pengikat Tjindewangi dari tiang gerobak.

   Tjindewangi sendiri setelah bertemu Wulungseto dan mendengar teriakan-teriakan dari beberapa orang, mendjadi lebih kuat hatinja.

   lebih kuat dan kini terpantjar sesuatu jang bertjahaja dari matanja.

   Majangkembar, djongkok menjembah kepada Tjindewangi.

   air matanja mulai menitik dan memandang dengan penuh kepedihan terhadap kedjadian jang akan menimpanja, menimpa Tjindewangi dan menimpa seluruh rakjat djika rentjana Ki Ageng Tunggal melesed dari semula.

   "Hamba benar2 menjertai puteri, djika rentjana melesed puteri."

   "Apakah ada kemungkinan kita melesed?-42

   "Hamba tak tahu" -Ja, memang keadaan mungkin melesed dari rentjana jang telah matang dan terperintji itu, karena ternjata Waktu itu Sang Prameswari telah mempersiapkan panahnja setelah melihat keadaan mungkin membahajakan bagi Kekuasaan Keradjaan Gunung Tunggal.

   "Kau lihat Sekarkembar, keadaan mungkin memang bisa mendjadi buruk bagi keradjaan, Tjindewangi memang mempunjai kekuatan jang luar biasa, hingga tak seorangpun dari kalangan istana mampu menjiksa dia. Bahkan kemudian ternjata terlontar suara-suara rakjat Gunung Tunggal jang sanggup mati untuk Tjindewangi. Mungkin memang hanja seorang wanita jang bisa membunuhnja. Wanita jang lebih besar dari dia, wanita Jang mengerti bahwa memang bukan musuh sembarangan. Wanita jang mentjintai kekuasaan Keradjaan Gunung Tunggal dan tidak melepaskannja. Dengan demikian Sekarkembar, Radja akan mendjadi tahu bahwa akulah jang mampu membendung pengaruh Tjindewangi, Akulah jang mampu menandingi Tjindewangi, bukan orang lain, bukan Panglima manapun."

   Sekarkembar mengangguk tanpa dia sadari, karena sebenarnja hatinja sama sekali telah terkait dipandangan mata Majangkembar dan entah karena apa waktu itu timbul perasaan aneh dalam hati Sekarkembar. Prameswari melandjutkan.

   "Tetapi aku hendak bersabar hati, Sekarkembar Bagaimanapun hatiku telah terbakar untuk setjepatnja melepaskan anak panah itu, ada keinginanku djuga ntuk mendengar apakah jang dikatakan oleh Tindewangi. Sebelum dia diseret kepuntjak Gunung Tunggal. Baginja akan sama sadja, nanti atau sekarang. Tetapi bagiku barangkali lebih baik mengetahui apa jang dikatakannja.

   "Bagaimana? Dan sesudah aku melepaskan untuk Tjindewangi, kau segera menjusuli untuk mentijabut njawa Majangkembar."

   Sekarkembar masih mengangguk, sekalipun sebenarnja tidak mendengar lagi apa jang diutjapkan Prameswari.

   Hatinja telah mendjadi gusar tiba-tiba karena ia kemudian ingat bawa diapun menpunjai wadjah seperti Majangkembar.

   Perasaannja kini mendjadi sangsi dan kemudian mendjadi mungkin Majangkembar itulah seorang jang ditjarinja selama ini.43 Kakak kandungnja sendiri.

   Tetapi bagaimana bisa tahu.

   dalam waktu jang singkat demikian? Bagaimana bisa mengetahui? Sebentar lagi Majangkembar akan menjertai Tjindewangi dan sebentar lagi mungkin dia harus meiepaskan anak panahnja untuk Majangkembar? Sekarkembar makin mendjadi gusar setelah memandang lebih dan tepat waktu itu Majangkembar menoleh kearah dimana ia sembunji.

   Sekarkembar jakin sekali dialah kakaknja.

   dialah kakak kandungnja dan dialah jang selama ini mendiadi tempat bergantung rindu hatinja.

   Tetapi perintah Sang Prameswari, dia harus terpaksa membunuhnja.

   Sama sekali tidak ada kesempatan, dan itupun tidak mungkin dikatakan kepada Prameswari bahwa dia adik kandung Majangkembar.

   Seketika Sekarkembar mendiadi lumpuh rasanja.

   Pandangannja mendjadi gelap dan tak tahu apa jang harus dikerdjakan? Dan tiba - tiba Sekarkembar mendjadi sangat terkedjut.

   karena Prameswari tiba-tiba membentak.

   "Tetapi kenapa kau tiba2 mendjadi gusar Sekarkembar? Tak bisa kah kau membunuh seseorang? lnilah djalannja untuk mendjadi puteri istana. Kau tak akan mendjadi selir lagi sepulangmu dari sini.

   "Hamba tidak bisa mengerdjakanja Sang Puteri. Tak tahu kenapa rasaja mendjadi lumpuh tangan hamba.

   "

   "Perempuan goblok. Kau tahu hanja ini kesempatanmu untuk mendjadi pahlawan istana. Dan kau sudah kehilangan Panglima Honggo, akan menjebabkan kau mendjadi isteri siapapun dari istana.

   "

   Waktu itulah hati Prameswari telah mentjapai punjak kemarahannja karena melihat bagaimana Tjindewangi telah berdiri terlepas dari ikatannja dan djauh memandang kearah Gunung Tunggal, kemudian memandangi keseluruh arah di mana orang2 mendjadi terpukau, seakan akan dilanda pengaruh dan kekuatan gaib jang luar biasa besarnja.

   Bahkan Panglima dan perwira Keradjaa Gunung Tunggal se"

   Akan2 terkena tjahaja jang melumpuhkan hati mereka.

   "Bangsat Tjindewangi, bangsat perempuan. Tetapi ingat Tjindewangi usiamu hanja sampai saat kata2mu terachir terutjapkan. Memang mungkin hanja hati jang sakit sanggup melawanmu Tjindewangi dan akulah wanita itu.-44 Kemudian Panglima Galing jang telah jakin keadaan bisa dikuasai, segala sesuatu tak ada jang disangsikan akan datangnja malapetaka bagi Tjindewangi dan Majangkembar, dengan penuh perasaan bangga. atas pantjaran tjahaja dimata Tjindewatgi dengan perlahan2 ia berkata.

   "ja, Tjindewangi. Telah tiba waktunja Tjindewangi. sampai pada waktumu kau diidjinkan atas nama kebidjaksanaan Radja, untuk berbitjara. Sebelum sampai saatmu terachir. Kau diidjinkan menjampaikan apa jang terkandung dalam hatimu, ketjuali satu hal permohonan ampun. Waktumu untuk memohon pengampunan tak ada lagi, waktu hanja untuk mengutjapkan selamat tinggalmu dan mungkin kau ada pesan pribadi. Kawah Gunung Tunggal terpaksa telah menantimu Tjindewangi. Dan agar kau tahu pula bahwa akupun hanja menaati perintah Keradjaan Gunung Tunggal."

   Suasana mendjadi hening seketika, sunji dan mendebarkan.

   Semua orang menanti dan menanti, utjapan apa hendak tersampaikan dari bibir Tjindewasgi jang mulai senjum tanpa sebersitpun perasaan takut atau menjesal.

   Semua menanti dan berdebar, dimana perasaan kasih tjinta, perasaan kagum dan perasan sedih akan kehilangan mulai merajap dan mendesak Jang lain.

   Ketjuali seorang Pramesvari.

   Waktu itu telah disiapkan busurnja, tinggal merentang untuk melepaskan anak panah.

   Sendja telah mulai kemerahan langit diarah barat, tjahaja mulai tersamar dan semuanja mulai nampak remang-2.

   Waktu itulah Panglima Gali merasa tergesa gesa, setelah ingat bahwa rentjana seharusnja jang terachir ini harus terdjadi tepat seteah sendja tenggelam.

   Dimana orang2 akan segera menjalakan obor disekeliling Tjindewangi.

   tetapi tepat waktu obor akan segera dimatian djika keadaaa telah tenang bagi Ki Ageng Tunggal dengan seluruh pasukannja berbalik menjerbu istana Degan begitu Wulungeo akan bisa menjelamatikan Tjindewangi dari segala kemungkinan jang buruk.

   Ki Ageng Tunggal terkedjut karena melesednja waktu Tjindewangi mulai bijara, hingga terlonjar2 kata katanja .

   "Djika Tjindewangi selesai bitjara sebelum gelap mendatang. Akan menemu kesulitan. Tetapi sikerdil iang telah merasa sehat-kembali karena pertolongan dukun sahabat Ki Ageng Tunggal dan merasa bahwa45 selama ini ia benar2 mendjadi orang permainan,mendjadi boneka tertawaan dan mainan penghinaan. Dia hidup sekedar mentjari selamat dengan mendjual kekerdilan dan kelutjuannja tanpa harga sepeserpun sebagai manusia.

   "Djadi Ki Ageng menghendaki Tjindewangi bitjara sesudah sendja tenggelam?" -Ja. itu sebaiknja."

   "Hamba akan mengerdjakan sesuatu Ki Ageng."

   "Djika kau bersedia."

   Sikerdil melontjat dari tempatnja dengan masih agak susah pajah, tetapi karena dorongan hatinja jang me-luap2 bisa lari keluar dan berteriak dengan suara jang agak sumbang, melengking ditengah-tengah kesunjian jang makin tegang dan sedih.

   "Hei. Tunggu dulu. Kerdil belum kebagian. Kerdil belum kebagian mempermainkan Tjindewangi."

   "Hei tunggu dulu Paduka Panglima, tunggu. Kerdil belum kebagian.

   "

   Kerdil berlarian sampai terdjatuh djungkir balik, menjebabkan gelak ketawa kembali meledak.

   Panglima Galing merasa lega, mungkin hanja seorang tiba-tiba mendjadi djengkel ialah Prameswari.

   Sampai dibawah gerobak langsung sikerdil melontjat tersampir dipagar gerobak terhenti tergantung, tak bisa melandjutkan pandjatannja.

   Hingga gelak tertawa benar2 meledak pada puntjaknja, melihat sikerdil benar benar merupakan seekor kera jang terkena pasangan, melekat tak bisa bergerak dipagar gerobak, sedangkan kepalanja sudah terdjulur kedalam.

   Panglima Galing tahu bagaimana mempergunakan kesempatan jang baik itu, bertanja sikerdil.

   "Hei, kau belum kebagian apa?"

   "Hamba mesti tjium Tjindewangi. Mesti, mesti, mesti,mesti Panglima. Hamba sudah bersumpah sedjak hamba lahir harus pernah sesekali mentjium puteri Tjindewangi."

   Gelak-tertawa makin gemuruh berbaur dengan teriakan.2 kegembiraan karena kedjadian memang benar2 sangat menggelikan, setelah agak reda Panglima Galing mendjawab.46

   "Ja, kalau kau mau benar dan Tjindewangi bersedia? " -Ja, Panglima harus membantu hamba. Tetapi tidak dapatkah Panglima menarik hamba untuk memasuki pagar ini? "

   Panglima Galing terpaksa tertawa dan membantu menarik sikerdil melontjati pagar gerobak, tetapi sampai didalam terdjatuh tersungur diatas gerobak dan agak lama tidak bangun kembali. Hingga beberapa lelaki berteriak keras keras.

   "Mampus kau kerdil. Mampus. Tidak usah bangun lagi."

   Tetapi sikerdil tiba tiba bangun dan langsung me-nari2 dengan sangat baiknja dalam arti kelutjuan tubuh jang ketjil, pendek dengan muka jang menondjol dan kepala gundul. Lalu mendjawab dengan keras dan nada meninggi.

   "Siapa bilang aku mampus ? Aku sudah bersumpah bahwa sebelum aku mati harus pernah sesekali mentjium Tjindewangi. Baginda Radja telah mengidjinkan. Panglima Galing pun telah mengidjinkan. Segera akan kukerdjakan.-"

   "Turun dan tidur sadja bersama ibumu kerdil."

   Gelak tertawa makin mendjadi hangat kembali, setelah kerdil nampak marah dan matanja melotot menatap kearah datangnja suara suara edjekan itu "Aku udah besar, harus tidur bersama wanita djelita "

   "Tidur sadia bersama behekmu kerdil."

   Kerdl tiba-tiba membalik pura2 tidak mendengar teriakan"

   Teriakan itu, kembali menari seolah-olah gandrung kasmaran terhadap Tjindewangi. Tetapi dengan perlahan-lahan kerdil mengatakan "Ki Ageng Tunggal menghendaki puteri bitjara setelah sendja tenggelam. Bagaimana? Keadaan puteri baik2?"

   Tjindewangi hampir2 meneteskan air mata melihat sikerdil sampai melakukan hal jang sematjam itu untuknja.

   Untuk semuanja..

   Djuga Panglima Galing merasa agak lapang dadanja Kerdil sekali lagi kembali menari, berdjumpalitan nampak terlampau sangat girang.

   *** BAGIAN VI WAKTU ITULAH kira-kira ketika sikerdil berlarian ketengah lapangan, Baginda Radja baru terdjaga dari tidurnja.

   Hatinja merasa lapang, sekalipun ada djuga terasa menjesal bahwa sampai saat terachir, Baginda tak dapat merasakan kedjelitaan Tjindewangi.

   Tetapi lega karena merasa bahwa musuhnja terbesar selama ini sesudah Ki Ageng Tunggal akan segera lenjap dalam satu upatjara hukuman mati jang belum pernah terdjadi.

   Baru sekali ini dan Baginda Sangat bangga akan penemuan tjara hukuman mati jang dirasa sangat mengagumkan.

   Baginda menggeliatkan tubuhnja jang telah terlampau gemuk, hingga hampir-hampir mendjadi bulat dan menoIeh.

   Betapa terkedjutnja Baginda melihat kamar sama sekali kosong.

   Pada hal biasanja, saat - Saat Baginda terbangun dari tidur Prameswarina telah berada disisinja dalam pakaian serapi mungkin, seindah mungkin dan selalu sengadja dibuat sedemikian rupa, untuk merangsang kelaki-lakian.

   Baginda jang selalu terpanggang nafsu.

   Biasanja sang Prameswari akan mengatakan.

   "Bagaimana Baginda? Dapatkah Baginda mengaso dengan nikmat?"

   Dan Prameswari itu akan membelai-belai dahi Baginda tubnhnja akan sengadja menjentuh Baginda, dimana segera Baginda akan menggeliat dan kemudian memeluk Prameswari.

   Tetapi waktu itu kosong sama sekali kosong, selirnjapun seorang tak nampak.

   Padahal djika tidak Prameswari, misalkan sedang dalam kerepotan.

   Pasti ada seorang telah menunggu disisinja, dengan mengatakan.48

   "Baginda berkenan hendak minum apa? "

   Dan Baginda selalu mendjawab dengan hidungnja berkembarg lebar.

   "Aku ingin minum ketjantikanmu sajang.

   "

   Terang? Baginda dengan perasaan mendongkol bangkit, melompat dari peraduan jang terselimutkan beludru, hingga rubuhnja tergontang -gontjang, langsung keluar dari kamar dengan membentak"

   Bentak.

   "Mana Prameswari? Sudah meninggalkan aku puteri Sekar Agung "

   Suasana tetap sunji, tak seorangpun mendjawab. Baginda heran dan makin gusar berbaur dengan perasaan marah.

   "Sudah matikah. semua perempuan istana? Hei, dimana perempuan perempuan istana? "

   Baginda melangkah makin gusar, mondar-mandir menjusuri kamar - - kamar jang telah terbuka lebar, karena semuanja kosong .

   "Hei pengawal, Pengawal. Sudah tulikah kau. Atau Semua seisi istana sudah mampus semuanja?"

   Dengan gemetar seorang pengawal istana kemudian datang menghadap Baginda sambil menundukkan kepala karena takut, akan tertimpa kemarahan Baginda jang biasanja berachir dengan hukuman tjambuk bagi siapa jang kena marah.

   "Dimana Prameswari?"

   "Keluar Baginda, bersama-sama puteri Sekarkembar"

   "Keluar kemana?"

   "Hamba tidak tahu Baginda "

   "Keluar kemana?"

   "Hamba tidak tahu Baginda, sama sekali tidak tahu karena sang Puteri tidak mengatakan hendak kemana? "

   "Kau mestinja tahu. Prameswaripun sudah mulai mendjadi monjet, benar-benar monjet pergi sendirian tanpa pamit. Dan selir-selir dimana?."

   "Semua pergi Baginda, tadi bersama-sama satu rombongan.-49

   "Siapa jang mengantarkan ?"

   "Tidak ada Baginda, Mereka berangkat berkereta dengan tidak ada hanja seorang kusir."

   "Monjet-monjet itu pergi tanpa pengawal?"

   "Tanpa pengawal Baginda -"

   "Ja, tetapi kemana mereka? "

   "Menurut pembitjaraan para puteri-puteri istana, beliau-beliau ingin melihat Tjindewangi.

   "

   Baginda makin gusar berbaur perasaan marah, marah sekali karena merasa tersinggung, kenapa mereka melihat Tjindewangi. Belum puaskah mereka melihat Tjindewangi selama distana ? "Lalu Mamanda Patih? Masih disini?"

   "Beliau sudah kembali kemari Baginda. Tetapi hamba lihat beliau langsung menudju ketaman Keputerian.

   "

   "Monjet tua itupun telah mulai sinting.

   "

   Baginda makin berkobar kemarahannja dan sampai lupa bahwa Baginda mempunjai hak untuk memerintahkan memanggil. Tetapi langsung dengan tubuh jang tergontjang-gontjang menjusul Mamanda Patih sambil berteriak;

   "Monjet tua, monjtt-monjet muda dalam istana ini semuanja sudah mendjadi ling-lung,"

   Untunglah Mamanda Patih mendengar samar - samar teriakan agioda Radia, hingga sempat menghindar meninggalkan seorang wanita jang sedang hendak digodanja.

   Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan langkah gemetar meninggalkan taman, tepat bertemu Baginda dipintu taman.

   Baginda langsung membentak.

   "kenapa Mamanda disini? Apa ditaman Kepatihan semua puteri sudah mati ?"

   "Tidak Baginda. Hamba hendak mentjari Baginda untuk melaporkan sesuatu jang sangat penting.

   "

   "Apa "

   "Hamba sudah bertindak dengan tjepat dan baik."baik,"

   "bagaimana baiknja ?-50

   "Seluruh pasukan sudah hamba kerahkan untuk mendjaga istana, sebagian menjusul iring-iringan arak . - arakan Tjndewangi, untuk menjergap mereka djika terdjadi hal2 jang buruk bagi istana. Dan sebagian telah mengepung istana Panglima Honggo jang kabarja telah dikuasai tentera Ki Ageng Tunggal.

   "

   "Ja, ja. Memang sudah sangat baik tindakanmu."

   "Berkat keluhuran Baginda, hamba bisa berhasil bertindak tjepat Baginda.

   "

   "Ja, ja. Memang kau scorang jang jakap.

   "

   Baginda terdiam, pandangannja benar2 makin menjala menatap Mamanda Patih kemudian berteriak se-kuat2nja .

   -Tetapi jang mana pengawal-pengawal istana itu ? Mana orangnja.

   Dan semua apa telah mati, sampai mereka tidak tahu prameswari lolos dari istana ? Mana mata mereka, sampai tidak tahu semua selir-selir istana ber-bondong2 pergi melihat arak-arakan.

   "

   "Masakan Baginda?"

   "Apa kau jang sudah mendjadi monjet. Lihat semua kamar, kosong. 'Tidak seekor njamukpun terikat.

   "

   Mamanda Patih tiba-tiba mendjadi gemetar seluruh tubuhnja, karena Baginda benar nampak murka dan gusar, Ja memang dalam istana sangat terlampau sunj dan mati nampaknja.

   Baginda Radja kemudian menundukkan kepalanja seakan-akan merasa lumpuh hatinja, melihat satu kemungkinan jang buruk.

   Hingga terutjapkanlah beberapa kata jang tiba tiba bernada metana dan patah semangatnja.

   "Mamanda Patih. Tidakkah Mamanda melihat sesua itu bajangan jang buruk bagi istana?"

   Mamanda Patih terdiam, hanja menunduk.

   Karena memang terasa ada suatu tjahaja suram bagi Keradjaan Gunung! Tunggal.

   Tetapi apakah akan didjawabkan kepada Baginda.

   Apakah ia akan berbitjara sebagaimana apa jang dirasakan ? Hingga Baginda membentak lebih keras "Mamanda.

   Tidak dapatkah Mamanda mengatakan apa jang sebenarnja terdjadi ?-51

   "Baginda tidak merasakan adanja kemuraman suatupun dlistana Gunung Tunggal Hanja Tuhan tentunja jang mengetahui."

   Radja kemudian dengan suara jang makin merendah, merasakan adanja suatu titik tjahaja kemuraman istana dan Keradjaan Gunung, Tunggal memandang djauh melalui sebuah djendala, kearah tangga istana jang megah djauh menudju kebawah sampai dibatas lapangan istana, dimana Tjindewangi melangkah melewati tangga demi tangga, menudju kearah ribuan rakjat jang berdjedjal ditanah lapang.

   Langkah itu pasti, terlampau pasti dan menggontjangkan hati siapapun jang melihatnja "Tetapi Mamanda.

   Tidakkah Mamanda melihat apa jang terdjadi setelah Tjindewangi melangkah menurun tangga demi tangga?"

   "Ja, Baginda. Hamba merasakan adanja satu suara jang membisu."

   "Nah. Tangga demi tangga Tjindewangi melangkah dan ratuan ribu rakjat Gunung Tunggal seakan-akan tersumbat nafasnja, sesaat demi sesaat.

   "Ja Baginda. Hamba mendengar suara suara jang hidup dalam hati sanubari rakjat Gunung Tunggal. Tetapi hamba masih mendengar pula suara-suara jang setia akan Keradjaan. Itu pasti Baginda. -Ja tetapi berapa orang Mamanda. Dan berapa orang? Berapa ratus ribu dan mungkin berdjuta hati nurani rakjat Gunung Tunggal mendengar langkah Tjindewangi, seakan2 langkah pengharapan mereka?"

   "Hamba tidak merasa sampai sekian djauh.

   "

   "Aku merasa Mamanda. Aku mendengar dalam hatiku. Suara angkah Tjindewangi adalah suara langkah pengharapan mereka. Pengharapan jang tidak tersampaikan oleh kebesaran Keradjaan. Aku mendengar Mamanda. Hingga dalam tidurku tadipun aku mendengar suara-suara langkah itu. Tjinewangi akan sampai kedalam hati nurani rakjat. Dan aku mungkin tidak bisa membendungnja.

   "

   "Tetapi Tjindewangi akan mati sebentar kemudian Baginda. Kalau terdjadi sesuaru jang buruk, bagi Keradjaan, Panglima Singopat akan segera membereskannja. -52

   "Aku tidak jakin Mamanda Singopati tidak akan tergontang hatinja melihat kenjataan Tjindewangi. Deluruh Kerajaan Gunung Tunggal nampaknja tak mampu melawan pantjaran tjahajanja."

   Baginda kemudian melibat keseluruh Istana, , kemegahan istana pualam jang ia banggakan, seaan-akan mendjadi muram dan tak ada artinja. tetapi kemudian Baginda ingat bahwa pembangunan benteng dari batubesi akan segera selesai malam nanti.

   "Tetapi Mamanda, tidak Mamanda ingat bahwa malam ini akan selesai benteng dari batu besi itu disebelah utara istana Keradjaan?"

   "Ja, Baginda. Hambapun baru ingat."

   "Djadi sekarang soalnja. Kerahkan semua pasukan untuk mempertahankan benteng itu, djelas bahwa 1empat itu memang tepat untuk mempertahankan kemungkin serbuan dari pasukan Ki Ageng Tunggal jang mungkin sekarang telah berkumpul dilereng Gunung Tunggal. O. ja Mamanda. Aku baru ingat Mamanda . Memang segala sesuatu terdjadi bersama-sama kebesaran Keradjaan jang akan tetap abadi. Ja, Mamanda.. benteng akan selesai malam ini dan sekarang Mamanda sendiri akan memimpin seluruh pasukan jang tinggal untuk mempertahankan istana dari benteng batu besi itu. Mamanda sendiri harus memimpinnja."

   "Ja Baginda.." -Tidak djadi apa sekalipun aku harus membajar ribuan gadis untuk benteng itu , sudah sewadjarnja kita mengorbankan jang perlu dikorbankan untuk mempertahankan apa jang harus dipertahankan. -Ja, Baginda. Apa artinja seribu gadis Gunung Tunggal.

   "

   "Ja. Apa artinja? Tidak lama lagipun Gunung Tunggal akan segera penuh dengan gadis-gadis djelita. Nah sekarang aku agak merasa lega. Hanja tetap sangat mendjengkelkan, mengapa seluruh perempuan istana pergi tanpa memberi tahu. Kenapa ? ah ini tanda- tanda djuga bahwa perempuan-perempuan akan meninggalkan . istana ?"

   "Tidak Baginda. Ini hanja kebetulan puteri puteri terdorong ingin melihat keanehan jang belum terdjadl, ialah hukuman mati didalam kawah Gunung Tunggal.-53

   "O ja ja, aku sampai lupa bahwa aku sendiri jang mentjiptakan keanehan itu.

   "

   "Ja, ja tidak apa.

   "

   Demikian perasaan gembiranja Baginda Radlja hingga lupa Baginda melontjat dan berlari kearah pintu gerbang istana, berdiri diatas puntjak tangga jang megah dan menurun djauh kebawah, berkilauan dan berkilatan terkena tjahaja sendja hari.

   Baginda kemudian berteriak.

   "Ja, aku lupa Mamanda bahwa benteng batu besi akan segera selesai. Dan benteng itu pasti akan bisa digunakan untuk mempertahankan istana Keradjaan.

   "

   Kemudian Baginda memandang kearah tjahaja kemerahan sendja diarah barat dan kemudian kearah utara. kearah Gunung Tunggal dimana Tjindewangi akan segera lenjap dari bumi Gunung Tunggal.

   "Sekarang sendja hari hampir tenggelam Mamanda. Sebentar lagi turun malam. nanti kemudian akan sampai ketengah malam. Waktu itu lenjaplah Tjindewangi. Lenjaplah tjahaja jang menakutkan istana, lenjaplah tjahaja jang memberi harapan rakjat dan lenjapah Suara Suara langkah jang menjampaikan Suara suara pengharapan seluruh Gunung Tunggal."

   Mamanda Patin agak bingung karena melihat Baginda nampak agak tidak sadar dan makin mendjadi gusar, sekalipun ujapan utjapannja agak menggembirakan. Tetapi nampak tjahaja jang gelap dimata Baginda. Gelap dan tjemas.

   "Mamanda. Kenapa Mamanda diam ?"

   "Tidak apa-apa Baginda "

   "Tidak jakinkah kau Mamanda bahwa benteng batu besi akan bisa mempertahankan serbuan tentara Ki Ageng Tunggal?"

   "Hamba jakin Baginda.

   "

   "Nah tetapi kenapa terdiam. Tjahaja dimatamu seakan-akan mati dan tidak memberi pengharapan apapun." -Hamba tidak merasakan hal itu Baginda. Mati hidup hamba akan kuserahkan untuk mempertahankan kebesaran Keradjaan.-54

   "Ja, ja aku bisa jakin sekarang. Tetapi kenapa tjahaja kemerahan disebelah barat terasa menakutkan Mamanda. Tjahaja kemerahan itu Mamanda, seakan-akan bitjara kearah jang lain.

   "

   Baginda kemudian nampak mendjadi makin gusar setelah makin lama memandang tjahaja kemerahan dilangit diarah barat dan makin gusar setelah langit mendjadi makin gelap, makin gelap.

   Dan waktu langit diarah barat itu benar-benar mendjadi gelap dan hilang tjahaja jang tinggal tersamar.

   Baginda berteriak "Tetapi kenapa tjahaja itu hilang dan menjadi gelap hatiku? " *** Tjindewangi Melanda Istana Kolektor Ebook55 BAGIAN VII SENDJA MULAI tenggelam dan gelap telah pelahan2 turun.

   Sikerdil jang masih mendapatkan sambutan gelak-tertawa sangat riuh, karena tiba-tiba telah berdiri tepat didepan Tjindewangi, akan mentjium tangan Tjindewangi mendjadi sedih, karena Panglima Galing memerintahkan "Maafkan saudaraku sikerdil.

   Waktu bagimu telah habis, karena gelap telah mulai turun dan obor obor akan dinjalakan sebagai pengantar Tjindewangi menudju kematiannja.

   "Maafkan saudaraku.

   "

   Sikerdil menirukan dengan suara akan menangis "Maafkan saudaraku. Tidak bisakah Panglima mengidjinkan waktu bagi hamba untuk mentjium Tjindewangi. Dan menolong sama sekali mengangkat tubuh hamba."

   Panglima Galng tersenjum dan tak bisa menahan perasaan gelinja. Tetapi masih mendjawab.

   "Maafkan saudaraku. Waktu telah habis"

   "Ja, waktu telab habis. Waktu telah habis. Habis bagaimana?"

   "Habis untuk siapapun."

   Kemudian keluarlah lelaki lelaki jang ditugaskan menjalakan obor untuk dipasang disekeliling gerobak Tjindewangi, dan beratus obor jang lain memenuhi hampir seluruh bagian tanah lapang itu sampai dipedukuhan sekitarnja.

   Rakjat makin banjak, makin banjak dan hampir sama sekali melanda seluruh lereng Gunung Tunggal.

   Sangat mengharukan suasana waktu itu.56 Permaisuri mulai merasa lega setelah melihat keadaan tidak membajangkan malapetaka, belum membajangkan dan ia berharap tidak ada kedjadian apapun.

   Tetapi waktu obor-obor mulai menjala dan Prameswari melihat betapa tjahaja jang terpantjar diwadjah Tjindewangi, tjahaja jang terpantjar dimata Tjindewangi merasa suatu menggentarkan, hingga waktu itulah Prameswari telah merentangkan busurnja untuk seketika tinggal melepaskan pada waktu harus dilepaskan.

   Puteri Sekarkembar, sama sekali gusar.

   Setelah makin lama djelas melihat Majangkembar jang sama sekali bersamaan rupa dengan dirinja sendiri.

   Sekarkembar berpikir sekarang bahwa Majangkembar pasti tidak salah lagi, adalah saudaranja sekandung jang selama ini ditjarinja.

   Tetapi apa jang akan dikerdjakan.

   Prameswari telah memerintahkan agar dia membunuh Majangkembar.

   Sang Prameswari tiba tiba berpaling, gusar melihat Sekarkembar agak gelisah dan tangannja gemetar, hingga tak mengangkat busurnja "Angkat busurmu Sekarkembar.

   Tunggu perintahku.

   Djangan sampai terlambat sesaatpun,.

   "

   "Ja puteri."

   Tetapi sama sekali tangan Sekarkembar sukar untuk digerakkan mengangkat busur, hingga ia sekali lagi dibentak oleh Prameswari Gunung Tunggal jang telah memuntjak ketegangan dalam hatinja.

   Ketegangan bermatjam-matjam, ketegangan jang sangat gelap dan berbaur ketjemburuan jang makin terbakar oleh pemandangan dimatanja.

   "Angkat Sekarkemhar, apakah kau ingin kubunuh sendiri!"

   Seketika itu Sekarkembar tersentak, mendengar perkatan Prameswari jang menganjam hendak membunuhnja.

   Apakah salahnja djika ia tidak tega hati membunuh Majangkembar karena dirasanja Majangkembar adalah kakaknja sendiri ? Tetapi untuk meredakan Ketegangan itu Sekarkembar terpaksa mengangkat busurnja sambil berpikir, apakah jang akan dilakukan djika perintah sang Prameswari itu diutjapkan lagi.

   Obor-obor beribu obor telah dinjalakan memenuhi daerah lereng Gunung Tunggal, terutama disekitar gerobak Tindewangi.

   Panglima Galing mulai menjiahkan Tjindewangi berbitjara.5758

   "Waktume datang Tjindewangi. Kau boleh berbitjara untuk terachir kali. Silahkan."

   Suasana mendadak djadi hening, hening dan seakan-akan membeku.

   Angin terhenti.

   Semuanja menanti.

   Bahkan Singopati sendiri jang diperintahkan untuk membunuh Tjindewangi terpaku, ingin mendengarkan apakah jang hendak dikatakan Tjindewangi.

   Prameswari sendiri menanti utjapan jang menggetarkan itu.

   Dan terutama Sekarkembar menanti diatas ketegangan jang makin memuntjak.

   Sebab ia tahu selesainja Tjindewangi bitjara ia harus melepaskan anak panahnja untuk Majangkembar.

   Bagaimana bisa dia mengerdjakan ? Bagaimana ia bisa melepaskan anak panahnja? Untukseseorang jang dirasakan saudara sekandung? Bagaimana bisa.

   Bagaimana akan terdjadi dan dapatkah ia akan melupakan kedjadian ini bila benar2 terdjadi "O ajah, dimanakah ajah? Dapatkah ajah mengatakan apakah dia sebenarmja saudara kandungku"

   "Apa Sekarkembar. Kau djangan mengigau, Djangan kendorkan pegangan busurmu. Dan tunggu perintahku."

   Sementara itu, ketika suasana sama sekali beralih perhatian kepada tingkah laku sikerdil, dan sama sekali mereka dihanjutkan oleh kegembiraan karena lelution jang luar biasa itu.

   Pasukan-pasukan Ki Ageng Tunggal.

   Pasukan Karangselo dan Panglima Galing telah sama sekali berhasil berbuat diantara pasukan"

   Pasukan Keradjaan. Hanja tinggal menanti perintah terachir bagi pertanda penjerangan ialah matinja obor - obor disekeliling Tjindewangi. Tak ada satu tanda apapun jang dapat diketahui oleh Panglima"

   Panglima Keradjaan bahwa,akan terdjadi sescatu hal.

   Tak ada gerakan seketjil manapun jang bisa merisaukan rentjana.

   Waktu iulah setelah Ki Ageng Tunggal merasa bahwa segala sesuatu akan berdjalan baik, dan kekuatan pasukan pasukan Keradjaan jang ada disitu tidak terlampau besar maka Ki Ageng Tunggal menjampaikan rentjana selandjunja "Seto.

   Kukira keadaan disini tidak terlampau berat diselesaikan.

   Ternjata bahwa Radjapun sudah merasakan sesuatu jang gelap, hingga perlu memusatkan tenteranja di istana.59 sekarang tugasmu jang paling penting Wulungseto, memimpin pasukan jang tinggal diibukota untuk merebut istana dari dalam.

   Ada sebuah terowongan rahasia melalui bawah tanah istana Honggo, kau harus bisa menemukannja.

   
Cindewangi Melanda Istana Karya Kirjomuljo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mungkin akan sulit Wulungseto, karena terowongan itu hanja dua orang jang tahu setelah Panglima Honggo.

   Ialah Radja sendiri, dan kemudian selirnja jang paling ditjintai Sekarkembar.

   Hanja oleh bantuan Sekarkembar terowongan itu bisa diketemukan.

   Pertjajalah, Tjindewangi akan selamat.

   "

   Wulungseto mengangguk, hatinja berat sebenarnja meninggalkan Tjindewangi dalam keadaan jang belum menentu, apakah akan bisa diselamatkan dari penjergapan penjergapan tentara Radja jang tidak sedikit djumlah disekitar Tjindewangi berada.

   Sedangkan Panglima Galing hanja sendiri dalam gerobak ? Pasukannjapun belum berhasil mendekati lebih dekat dari pasukan-pasukan Keradjaan karena merekapun merasa penuh bertanggung djawab akan tidak lolosnja Tjindewangi.

   achirnjapun mengatakan.

   "Bagaimanapun Seto akan menjelesaikan pekerdjaan Ki Ageng. dan Tjindewangi kuserahkan ketangan ki Ageng "

   "Ja, djelas aku akan bertanggung djawab.

   "

   "Begitu lampu-lampu obor mati. berangkatlah."

   Wulungeto merasa jakin bahwa akan berhasil memimpin pasukan pasukan dalam kota, tetapi satu hal untuk menemukan Sekarkembar bukanlah hal jang mudah.

   Karena menurut laporan dari pasukan jang menguasai istana Panglima Honggo, satu - satunja jang lolospun selirnja jang termuda.

   Pasti Sekarkembar sekarang telah berada diistana, dan tentu telah membuntu terowongan itu untuk mendjaga segala kemungkinan jang buruk bagi istana.

   Sama sekali Wulungseto tidak mengetahui bahwa waktu itu ia mentjari tempat persembunjian jang memungkinkan ia segera berangkat meninggalkan wilajah lereng Gunung Tunggal menudju keibukota Keradjaan, mengambil tempat jang tidak djauh dari tempat Sekarkembar bersembunji bersama sama Prameswari.

   Sama sekali tak mengetahui dan60 sedikitpun tak mengira bahwa didekatnja adalah puteri jang seharusnja ia tjari.

   Waktu Wulungseto mendapatkan tempat persembunjiannja, dan menoieh untuk melihat kearah Tjindewangi, Tjindewangi tepat waktunja memulai utjapannja.

   Satu kata demi satu merenggut kesunjian dan kegelapan malam jang mulai turun.

   "Sahabat2-ku, seluruh rakjat Gunung Tunggal. Bahkan seluruh kalangan istana jang hendak mengantarkan kematianku. Apakah jang hendak kusampaikan, kurasa semuanja telah kalian rasakan.Sedjak aku melangkah menuruni tangga demi tangga istana Keradjaan Gunung Tunggal, langkahku itu kurasa akan telah bersuara seperti suara jang terkandung dalam hati sahabat sahabatku semuanja. Ialah langkah jang menjuarakan pengharapan akan datang, suasana kehidupan jang lebih baik bagi suatu bangsa. Langkah jang mejakinkan bahwa tjita tjita suatu bangsa akan sampai pada suatu waktu, karena langkahku kejakinanku itu merupakan tjita-tjita jang timbul dari hati nurani seluruh rakjat Gunung Tunggal jang telah terlampau lama menderita. Menderita karena tidak adanja ketenteraman, tidak adanja kepastian hidup dan kepastian hukum bagi dirinja jang merupakan perlindungan bagi hak-2nja dan kewadjibannja.

   "

   Sesaat Tjindewangi 1erdiam, airmatanja mulai membasah dan menetes kepipinja, saat mana airmata beberapa orangpun mulai membasah, dan makin banjak lagi bahkan kemudian beribu mata mulai membasah air matanja, himgga sangat mentjengkan suasana waktu itu.

   Mentjengkam dan menggetarkan.

   Tjindewangi mempergunakan kesempatan jang baik itu sebaiknja, mempergunakan suasana jang mulai terenggut oleh kata katanja, tiba tiba Tjindewangi mengusap airmaia dari pipinja jang tjemerlang terkena tjahaja obor jang tertiupkan angin, hingga seakan"

   Akan selalu tergontjang.

   -Sahabat - sahabatku.

   Memang benar aku didudukkan oleh kalangan istana Keradjaan Gunung Tunggal, sebagai pengchianat.

   Benar sahabat-sahabatku, aku pengchianat bagi Keradjaan, kareaa aku melawan61 kekuasan Radja jang hendak melumpuhkan suara hatiku.

   Aku tanpa perasaan takut akan kekuataan jang membajangi hidup matiku melawan kekuasaan Radja jang hendak melumpuhkan suara rakjatnja.

   Tetapi tidak terhadap sahabat - sahabatku, karena aku jakin suaraku adalah suara kalian "

   Sementara itu Panglima Galing makin hati hati meneliti segala gerakan jang timbul dari rbuan tentara jang terpaku itu, bila terdjadi salah seorang melepaskan anak panah kepada Tjindewangi atau Majangkembar.

   Tetapi tidak ada tanda-tanda gerakan itu.

   Sama sekali tak ada, hingga Panglima Galing merasa lega, lapang dan makin tentram hatinja.

   Hanja, karena satu hal Panglima Galing tak mengetahui hadirnja Prameswari dan Sekarkembar jang bersembunji tidak djauh dari tempat Tindewangi berada.

   Tjindewangi melandjutkan pembitjaraanja dengan makin tegas, setelah meliliat tanggapan seluruh jang mendengarnja "Tetapi aku iklas sahabat sahabatku.

   Aku rela dengan segenap ketulusan hati mendjalani hukuman jang belum pernah terdjadi terhadap seorang manapun.

   Belum pernah terdjadi sepandjang djaman sedjarah Keradjaan Gunung Tunggal melemparkan seseorang kedalam kawah dalam keadaan hidup.

   Aku bersedia sahabat2ku.

   Karena akupun jakin bahwa sepeninggalku, akan lahir kembali sepuluh Tjindewangi.

   Mungkin sepuluh Tjndewangi akan masih terpaksa mengalami hukuman matinja seperti aku.

   karena kekuasaan Radja.

   Tetapi setelah itu akan muntjul seribu Tjindewangi jang akan melanda kekuasaan Radja sampai achir sedjarahnja.

   "

   Suasana makin sunji, perasaan haru dan merasakan bahwa apa jang dikatakan oleh Tjindewangi benar makin merajap kedalam hati sanubari mereka.

   Makin merajap djauh kedalam hati nurani.

   Kemudian Tjindewangi melandjutkan perkataan dengan suara terputus-putus karena terlampau dalam kepedihannja.

   "Tetapi sahabatku, kuminta sebelum aku lenjap dalam kawah Gunung Tunggal. Ingin aku mendengar suaramu jang sedjati. Ingin aku mendengar suara hatimu jang terpendam sepandjang masa kekuasaan62 Radja? Benarkah sahabatku sekalian selama ini hidup dengan perasaan damai?"

   Tjindewangi menanti beberapa saat, belum Seorangpun mendjawab.

   Karena rakjt masih diliputi ketakutan untuk berbitjara, sedangkan rakjat jang telah berpaling kepada Ki Ageng sengadja bungkam.

   Bahkan beberapa perwira Keradjaan sendiri mulai mengakui bahwa apa jang dikatakan Tjindewangi adalah benar.

   Tetapi hendak melakukan apa? "Ja, kalian belum bisa mendjawab.

   Karena bajangan kekuasaan Radja masih terlampau besar dikuduk kalian.

   Tetapi sekarang aku ingin bertanja jang agak lain.

   Dapatkah sahabatku selama ini merasa dilindungi dan sebaliknja merasa mentjintai Keradjaan karena adanja pertalian jang karib antara Radja dan seluruh rakjat? "

   Suasana masih sunji dan diam.

   Tak seorangpun mendjawab dan meneriakkan apa jang sebenarnja terpendam dalam hati masing2.

   Prameswari sendiri merasa kagum tetapi djuga lega karena seorangpun tidak mendjawabnja.

   Hingga Prameswari agak reda ketegangan hatinja.

   Tetapi niat akan membunuh Tjindewangi sebelum Tjindewangi mengachiri kata2-nja sudah pasti.

   Sekarkembarlah jang makin gusar karena mendengar perkataan2 Tjindewangi jang sangat menjentuh hatinja, Semuanja itu teralami selama hidupnja sebagai seorang puteri jang terdampar hingga mendjadi selir seorang panglima jang kedjam.

   Tetapi apakah jang hendak dikerdjakan? Djaraknja dengan Prameswari hanja sedjauh beberapa langkah, tak mungkin ia melarikan diri dari antjaman Prameswari.

   


Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Pendekar Sejati Karya Liang Ie Shen Pendekar Laknat Pendekar Tiga Jaman Karya SD Liong

Cari Blog Ini