Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 10


Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Bagian 10



Kemelut Tahta Naga (2) Karya dari Stevanus SP

   

   Sahut anggota Pek-lian-kau yang lainnya.

   "Sembahyangnya Thio Hiang-cu kali ini sebagai ucapan terima kasih, agar para Thian-peng itu biarpun sudah pergi, kelak masih berkenan datang kalau kita mintai bantuan. Jangan sampai sakit hati." "Ooooh, begitu?"

   "Selain itu juga meminta para Thian-peng agar tetap membelenggu sukma dan naga pelindung Pangeran Hong Lik."

   "Naga pelindung?"

   "Lho, kau ini kak apa-apa tidak tahu, seperti bukan anggota Pek-lian-kau saja tawanan kita ini bukan sembarangan. Bahkan Cu-peng Cin-jin dari Pak-cong pernah menujumnya, dan melihat si Hong Lik kelak akan menjadi Kaisar selama enam puluh tahun. Orang yang dipilih Langit semacam dia, biasanya didampingi naga pelindung yang biarpun tidak nampak tetapi amat kuat. Kalau naga pelindung itu tidak ditahan para Thian-peng yang memihak kita, entah apa jadinya. Kita semua bisa terancam bahaya."

   Orang Pek-lian-kau itu bicara dengan serius, bahkan hampir-hampir khidmat, sebaliknya Wan Lui tanpa sadar garuk garuk kepala, karena tak menyangka sekuat itu keyakinan orangorang Pek-lian-kau terhadap unsur-unsur gaib.

   Namun Wan Lui juga tidak mungkin tidak percaya begitu saja, toh dua malam yang lalu diapun mengalami peristiwa menyeramkan di sekitar kemah itu.

   Tapi dalam hatinya ada semacam keyakinan yang tak tergoyahkan.

   "Bumi yang nyata ini kepunyaan kami, manusiamanusia yang masih hidup. Dalam urusan apapun, tidak perlu campur tangan Thian-peng segala. Aku harus berhasil menyelamatkan Pangeran Hong Lik, biar berhadapan dengan apa saja."

   Sementara itu, Thio Yap telah selesai bersembahyang.

   Sejumlah anggota Pek lian-kau maju untuk menyingkirkan meja sembahyang dan segala perabotannya.

   Setelah itu, mereka maju dengan membawa cangkul dan sekop untuk menggali beberapa tempat di sekitar kemah.

   Tidak lama mereka menggali, bau busuk luar biasa mulai tersebar di tempat itu.

   Beberapa anggota Pek-han-kau sampai menutup hidungnya, apalagi Wan Lui yang belum terbiasa, hampir saia muntah-muntah tapi ditahannya kuat-kuat.

   Ternyata dari tempat-tempat yang dicangkul itu tergalilah benda-benda busuk.

   Dan sebelah utara kemah, digali tubuh seorang perempuan hamil yang sudah membusuk karena dikubur beberapa hari.

   Tangan mayat perempuan itu terikat kebelakang, dan menilik wajah maupun posisi tubuhnya, agaknya perempuan itu telah dikubur selagi masih hidup.

   Dari sebelah timur digali keluar sepasang bocah lelaki dan perempuan, masing-masing sekitar sepuluh tahun, dan tangan merekapun diikat |adi satu.

   Di sebelah selatan digali dua butir batok kepala tanpa tubuh, masih ada rambutnya namun wajahnya sudah hancur penuh belatung.

   DI sebelah barat tergali tubuh busuk yang melihat pakaiannya dan kepala gundulnya, agak-nya adalah seorang hwe-shio, juga terikat tangannya.

   Tanpa diterangkan lagi, Wan Lui mulai paham.

   Korban korban itu, entah diculik dari mana tentu dijadikan semacam "persembahan"

   Untuk memperkuat keampuhan Thian-peng Ngo-lui-tin yang disebut Thio Yap tadi. Tak terasa timbul kemarahan Wan Lui terhadap Pek-lian-kau.

   "Benar-benar sebuah kepercayaan sesat. Entah berapa banyak orang tak berdosa yang telah dan akan menjadi korban upacara-upacara mereka yang tidak masuk akal." (Bersambung

   Jilid XVII) (Bersambung

   Jilid XVII) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid XVII Tubuh-tubuh busuk yang digali itu ditumpuk di satu tempat. Kepada "mereka"

   Thio Yap berkata.

   "Kalian jangan penasaran. Kami cukup berterima kasih karena bantuan kalian selama ini. Sekarang kembalilah ke alam kalian yang semestinya, tanpa penasaran, dan akan kami sempurnakan jasad kalian."

   Sejumlah orang Pek-lian-kau lalu menumpukkan kayu bakar ketumpukan daging busuk itu, menyirami dengan minyak, lalu menyalakannya.

   Si jago merahpun mulai menelan tubuh orang-orang malang itu untuk dijadikan abu.

   Thio Yap membungkuk hormat sekali lagi ke arah kobaran api itu, lalu menuju ke kemah tawanan.

   Setelah pengaruh gaib di sekitar kemah itu dibersihkan, maka kemah itu jadi tidak ada bedanya lagi dengan kemah-kemah lainnya.

   Dengan tegang Wan Lui mengikuti langkah Thio Yap dengan tatapan matanya.

   Sesaat lamanya Wan Lui tergoda untuk menerjang dan menyelamatkan Pangeran Hong Lik.

   Asal gebrakannya dilakukan dengan mendadak Wan Lui yakin betul bahwa di antara orang-orang Pek-lian-kau yang ada di situ takkan ada yang bisa merintanginya.

   Namun begitu melihat Pangeran Hong Lik dituntun keluar dari kemah itu oleh Thio Yap, kagetnya Wan Lui bukan kepalang.

   Pangeran Hong Lik yang sebelum ini segar, cerdas dan periang itu, kini kelihatan kurus dan pucat.

   Tapi yang lebih menyedihkan Wan Lui ialah ketika melihat tatapan mata Pangeran Hong Lik itu cuma lurus ke depan, kosong, seolah tidak ada sukmanya.

   Pangeran Hong Lik masih hidup, masih bisa menggerakkan kaki menuju tandu yang telah disiapkan, namun raga yang hidup itu "kosong" semangat.

   Hidup macam itu patut disebut "hidup-hidupan".

   Bergolak hebat dada Wan Lui oleh kemarahan yang hampir tak tertahan.

   Tapi pertimbangan akal sehatnya masih mampu mengatasi gejolak emosinya, la sadar kalaupun berhasil merebut Pangeran Hong Lik saat itu, takkan menguntungkan apa-apa bagi Pangeran Hong Lik.

   Apa artinya berhasil membawa tubuh yang "kosong semangat"? "Harus kuselidiki dulu, ilmu siluman macam apa yang membuat Pangeran Hong Lik jadi seperti itu.

   Setelah kupunahkan ilmu itu, barulah aku bisa membawa Hong Lik pergi,"

   Tekad Wan Lui.

   "Benar-benar harus sabar menghadapi penyembah-penyembah setan ini."

   "Anjing Manchu cilik ini terbelenggu oleh Sohun Hoat-sut (Ilmu Gaib Pembelenggu Sukma) yang diterapkan oleh Thio Hiang cu,"

   Anggota Pek-lian-kau di sebelah Wan Lui itu menerangkan dengan bangga.

   "Itu jauh lebih sulit dipatahkan daripada sekedar belenggu fisik yang berupa tali atau rantai." Namun begitu melihat Pangeran Hong Lik dituntun keluar dari kemah itu oleh Thio Yap, kagetnya Wan Lui bukan kepalang. Wan Lui tidak menjawab, khawatir kalau suaranya yang bergetar oleh kemarahan itu terdengar orang-orang Pek-lian-kau dan menimbulkan kecurigaan. Setelah perkernahan dibongkar, pengaturan perjalananpun ditetapkan. Karena rombongan itu berjumlah hampir empat ratus orang, maka tentu akan mencolok sekali kalau berjalan seperti pawai, maklum Pek-lian-kau adalah gerakan terlarang di jaman Manchu itu. Karena itulah mereka dipecah-pecah dalam rombongan kecil-kecil yang akan menyamar dalam berbagai wujud, dan berjalan berpencaran pula, tapi tidak terlalu saling berjauhan agar kalau ada musuh bisa cepat saling membantu. Khusus untuk tandu yang membawa Pangeran Hong Lik, rombongan pengiringnya agak melebihi rombongan-rombongan lain. Dipimpin sendiri oleh Thio Yap dan Hoa Cek Gui, yang dengan bangga akan memamerkan "hasil buruan"nya itu dihadapan orang-orang Pek-lian-kau yang akan berkumpul di Hongkak-si. Sedang orang-orang terpilih mengawal tandu itu adalah anggota-anggota pilihan yang dikenal tangguh dalam ilmu silat, ilmu gaib dan kesetiaan terhadap cita-cita Pek-lian-kau. Maka tidak heran kalau Wan Lui tidak terpilih dalam kelompok itu, biarpun ingin, sebab ia belum termasuk anggota yang "tangguh dan setia". Namun dengan usahanya sendiri yang menggunakan bermacam-macam akal, Wan Lui berhasil masuk ke rombongan kecil yang tepat di belakang rombongan pembawa Pangeran Hong Lik itu. di punggungnya tergendong bungkusan barangbarang yang dibelinya dari rombongan wayang kelilingan di Seng-tin itu. Lalu berangkatlah kelompok demi kelompok, menuju Kuil Hong-kak-si di distrik Hong-yang, siap mengikuti upacara besar Kaum Pek-liankau setahun sekali. Meninggalkan api unggun yang melahap tubuh-tubuh membusuk korban Pek-Lian-kau itu. * ** Semakin dekat ke tujuan, semakin sering berpapasan dengan kelompok-kelompok Peklian-kau, baik cabang-cabang Pak cong (sekte utara) maupun cabang-cabang, Lam-cong (sekte selatan). Semuanya menuju ke arah yang sama. biarpun semuanya menyamar, tetapi sesama anggota Pek lian-kau bisa saling mengenali dengan kode kode rahasia mereka. Entah kode itu berupa gerakan tangan, ucapan, coretan di tembok, bahkan cara memegang mangkuk atau sumpit di warung makan. Diam-diam Wan Lui memperhatikan semua itu, laiu mengingatingatnya dalam otak. Kalau yang tidak mudah diingat, dicatatnya di sebuah buku kecil yang selalu disembunyikan dalam bajunya. Semakin dekat dengan kelenteng Hong-kaksi yang bersejarah itu, semakin banyak orangorang Pek-lian-kau yang kebanyakan menyamar sebagai peziarah. Bahkan di sekitar bukit tempat berdirinya Hong-kak-si, ada belasan desa yang semua penduduknya adalah orang Pek-lian-kau semua. Sengaja mereka berdiam di situ, agar setiap ada upacara tahunan itu mereka dapat menyediakan tempat tinggal, makanan dan keperluan lain. Bersamaan dengan itu, Wan Lui juga semakin jelas melihat ketidak-rukunan antara cabang Pak-cong dengan Lam-cong. Biarpun belum sampai bertikai terang-terangan, namun sudah kentara dari sikap dingin masing-masing pihak kala bertemu dengan pihak lainnya. Dengan memperhatikan beberapa percakapan, Wan Lui bertambah pengetahuan bahwa sumber keretakan itu antara lain karena kedua cabang Pek-lian-kau itu mendukung calon-calon yang berbeda untuk kelak menduduki tahta setelah "Kerajaan Beng dipulihkan". Cabang-cabang Pak-cong erat hubungannya dengan Jit-goat-pang (Serikat Rembulan Matahari) yang bersikeras agar hak tahta tetap harus dalam garis keturunan Pangeran Cu Leng Ong. Cabang-cabang Pakcong dan Jit-goat-pang malahan pernah menyelenggarakan "operasi gabungan"

   Di Pakkhia, mengerahkan puluhan ribu pengikut berani mati yang hampir berhasil menguasai seluruh kota Pak-khia, bahkan istana.

   Namun akhirnya gagal.

   Sedangkan cabang-cabang Lamcong dekat hubunganny dengan Thian-te-hui (Serikat Langit Bumi yang berpangkalan di Pulau Taiwan, pendukung setia garis keturunan Cu-sam That cu.

   Pulau Taiwan bahkan tetap mereka kuasai dan menjadi semacam "Kerajaan Beng kecil"

   Yang tak bisa direbut oleh armada Manchu.

   Kapal-kapal dagang Thian-te-hui yang legendaris dengan bendera putri hitam mereka, berlayar jauh sampai ke pulau-pulau di selatan untuk berdagang.

   Dengan keuntungan dagang itulah Thian-te-hui dapat gigih bertahan dalam perlawanan terhadap kekuasaan Manchu.

   Cabang-cabang Lam-cong maupun Thian-te-hui menganggap bahwa "operasi gabungan"

   Cabang-cabang Pak-cong dan Jit-goat-pang di Phak-khia itu tidak lebih dari suatu ketololan yang tidak ada gunanya.

   Itulah sumber pertengkaran abadi antara Pak-cong dan Lam-cong, dan hari-hari belakangan itu, satu sumber pertikaian lagi muncul.

   Yaitu siapa yang lebih berhak mengatur tentang diri Pangeran Hong Lik.

   Pak-cong dan Lam-cong seperti dua anak kecil yang mula-mula bekerja sama untuk mengambil sarang burung di atas pohon, dan setelah didapat, mereka berebutan siapa yang akan memiliki anak burung itu.

   Di lereng utara bukit tempat Kuil Hong-kaksi, orang-orang Pak-cong mendirikan pesanggrahan sendiri.

   Sedang orang Lam-cong menggerombol di lereng selatan dan mendirikan perkemahan pula.

   Anak buah rendahan tidak kebagian tempat di barak, tapi disuruh mengambil tempat sembarangan di lereng, dan ditempat itulah Wan Lui kebagian tempat Sedang Pangeran Hong Lik sebagai tawanan penting sudah tentu diamankan dalam pesanggrahan orang-orang Lam-cong lapisan atas.

   Satu yang diherankan Wan Lui.

   Kuil itu tidak jauh letaknya dari kota Hong-yang entah kenapa pembesar-pembesar di kota itu diam saja melihat berkumpulnya orang sebanyak itu, tanpa curiga? Betul orang Pek-lian-kau itu berlagak sebagai para peziarah biasa, tetapi pihak keamanan di Hong-yang agaknya benarbenar lengah ato memang mengabaikan, sebab bukankah Pek-lan-kau adalah gerakan yang menjadi musuh pemerintah Manchu? Atau pihak keamanan takut Atau kena suap?Atau pancaindera petugas-petugas di Hon-yang sudah dipengaruhi ilmu gaib Pek-lian-kau yang terkenal ampuh? Ketika malam tiba, Wan Lui mulai berjalan mengendap-endap membawa bungkusan pakaian wayang di panggungnya.

   Dengan berusaha agar tidak dilihat oleh siapapun, dia berusaha mendekati barak pimpinan Lam-cong di lereng selatan bagian atas yang dekat dengan Kuil Hong-kak-si.

   Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi.

   Wan Lui tidak berjalan di atas tanah, melainkan berlompatan di pucuk-pucuk pepohonan dengan menimbulkan suara gemerasai dedaunan yang tidak lebih keras dari guncangan angin.

   Dengar demikian, biarpun di lereng itu penuh bertebaran orang-orang Peklian-kau yang bergerombol-gerombo ngobrol sambil mengerumuni api unggung, akhirnya ia tiba di dekat barak kayu, tempat para pimpinan cabang Lam-cong Bangunan kayu itu sepi, tidak Nampak di jaga sama sekali.

   Tapi Wan Lui tidak berani langsung masuk begitu saja, ingat pengalamannya yang lalu ketika terperangkap barisan "Thian-Peng".

   Karena itulah sebelum masuk, Wan Lui merasa perlu untuk lebih dulu memeriksa keadaan.

   Memeriksa bukan dengan mata atau inderaindera Jasmaniah lainnya, melainkan dengan naluri dan perasaannya yang terdalam dan terhalus.

   Biarpun ia tidak punya ilmu gaib atau penangkalnya, namun ia punya keyakinan yang teguh bahwa iiwa manusia cukup mampu, peka dan tajam untuk menangkap kenyataan yang ada di seberang batas jangkauan panca-indera.

   Itulah sebabnya Wan Lui menyandarkan diri di pohon, tenang, matanya dipejamkan, jiwanya dijernihkan, perasaannya ditajamkan untuk menangkap suasana, wajar atau tidak? Ada Thian-peng atau tidak ? Tapi belum lagi "radar"nya bekerja sempurna, telinganya malah lebih dulu kemasukan suara, suara langkah-langkah yang semakin mendekat.

   Ketika ia membuka mata, di lihatnya tiga orang berjubah seperti iman tengah berjalan meninggalkan barak pimpinan kaum Lam-cong itu.

   Satu dari mereka sudah dikenalnya, Cu-sian Cin-jin, tokoh Pek-han-kau golongan Pak-cong yang bertengkar terus dengan Thio Yap.

   Satu lagi berjubah warna merah tua, pada jubahnya terlukis macammacam huruf asing yang agaknya adalah lambang-lambang sihir.

   Tubuhnya kurus, memakai topi lancip yang menjulang ke atas sehingga nampak lebih jangkung, matanya tajam mengerikan.

   Kemudian orang ketiga bertubuh gemuk, beralis tebal, bertampang ketolol-tololan dan memakai jubah kelabu polos.

   Sambil menjauhi barak, mereka bercakap-cakap.

   Menyaksikan itu, Wan Lui jadi berpikir.

   "Apa gunanya susah-susah masuk ke barak, sedang dengan membuntuti mereka saja aku bisa menguping banyak keterangan."

   Maka dengan meringankan langkah sernganseringannya, Wan Lui membuntuti mereka bertiga dengan berlindung di balik satu pohon ke pohon yang lain.

   Ketiga tokoh Pek-lian-kau yang diikutinya itu boleh menepuk dada sebagai ahli-ahli Hoat-sut (ilmu gaib), tapi ilmu silat mereka tidak luar biasa.

   Tidak heran kalau mereka tak merasa diikuti Wan Lui.

   "Suheng, sudah kaudengar sendiri, bukan? betapa memuakkan jawaban orang-orang Lamcong itu!"

   Hasut Cu-sian Cin-jin kepada si jubah merah.

   "Mereka sudah tidak memandang kita sedikitpun dalam penangkapan si Hong Lik itu. Padahal di Kim-teng dulu, kalau bukan aku yang melepaskan ilmuku untuk membuat ngantuk para pengawal gedung Cong-peng-hu, mana bisa Thio Yap dan Hoa Cek Cui berhasil menangkap Pangeran Hong Lik? Tapi kini mereka merasa bahwa semua hasil ini adalah hasil kerja mereka sendiri, kita tidak dianggap apa-apa lagi! Mereka bahkan berani lancang menghubungi orang dari istana itu tanpa mengajak aku, sampai aku tidak tahan lagi dan minggat dari perkemahan mereka!"

   "Memang keterlaluan!"

   Ngo-yap Cin-jin yang gemuk dan bermuka ketolol-tololun itupun menyahut sambil membanting kaki.

   "Tanpa kau ceritakan juga sudah kulihat sendiri sikap menjemukan orang-orang Lam-cong itu. Mereka menjaga sendiri si Hong Lik, pihak kita tidak diperkenan kan ikut menjaga. Tampaknya memang mereka akan menyerakahi sendiri manfaai si Hong Lik. Teman seperjuangan macam apa itu?"

   "Mereka tidak mau mengakui jasa kita sampai tertangkapnya Hong Lik!"

   Cu-sian Cinjin memanaskan hati.

   "Di hadapan ribuan wakil cabang-cabang yang sekarang berkumpul di Hong-kak-si ini, mereka ingin menanamkan kesan kalau Lam-cong lebih hebat dari Pakcong. Hong Lik akan mereka jadikan semacam lambang keunggulan, makanya mereka jaga sendiri"' Setelah berkata demikian, Cu-sian Cin jin lalu memandang wajah si jubah merah Cu-peng Cinjin untuk melihat bagaimana reaksi wajahnya. Terlihat wajah Cu peng Cin-jin memang menjadi kelam, agaknya mulai terpengaruh ucapan kedua rekannya itu.

   "Orang-orang Lam-cong memang serakah. Mereka akan menggunakan Hong Lik sebagai tambang emas untuk memadatkan kantong mereka sendiri, dan setelah mereka gemuk-gemuk karena makmur, pasti lupa akan tujuan perjuangan mula-mula Mereka lupa bahwa mula-mula akulah yang membuat kontak dengan pihak dari istana yang ingin menyingkirkan Hong Lik. Aku pula yang mematangkan pembicaraaan dengan seorang suruhan Liong Ke Toh di ke lenteng Tin-kangbio dekat Hang-cu. Sekarang enak saja mereka mau menguasai Hong Lik sendirian!"

   "Suheng, kita harus mengambil tindakan. Jangan diam saja!"

   Kata Cu-sian Cin-jin lagi.

   "Kalau kita bersikap mengalah terus, lama-lama anggota-anggota Pak-cong kita pun akan terpesona oleh propaganda kaum Lam-cong itu dan mengikuti mereka! Kita harus bertindak!"

   Cu-peng Cin-jin menghentikan langkah lalu berkata dengan penuh.tekanan.

   "Sute berdua, soal mengambil tindakan, akupun sudah memikirkannya. Aku takkan membiarkan kita makin suram dan sebaliknya Lam-cong makin bercahaya cemerlang. Takkan kubiarkan itu, aku sumpah. Tapi caranya bertindak harus tepat, bukan asal berani saja!"

   Hampir bersamaan Cu-sian dan Ngo-yap Cinjin membanting kaki karena ketidak-sabaran mereka. Tapi sebelum mereka memprotes lagi, Cu-peng Cin-jin telah berkata keras.

   "Kalian jangan cuma bisa marah-marah, bantingbanting kaki, mendesak desak aku! Akupun akan bertindak, tapi tidak tergopoh-gopoh macam kalian! Kalian pikir sekarang ini kita bisa menang kalau adu pengaruh terangterangan dengan orang-orang selatan itu Mengandalkan apa kita? Jumlah? Orang kita kalah banyak karena banyak yang gugur di Pakkhia ketika huru-hara dulu. Mengandalkan teman-teman kita orang-orang Jit-goat-pang? Mereka sama babak belurnya dengan kita, lagipula kalau mengundang mereka sama saja dengan mengundang orang luar ikut menyelesaikan pertikaian dalam keluarga, biarpun orang luar itu sahabat baik tetapi tetap kurang pantas. Apalagi, kalau kita undang Jitgoat-pang masuk, mereka akan mengundang Thian-te-hui yang lebih kuat, nah, tambah susah tidak? Pakai otak kalian!"

   Cu-sian dan Ngo-yap Cin-jin menunjukkan sikap tidak puas, tapi melihat pimpinan mereka begitu marah, mereka tidak berani mendesak atau mengusulkan apa-apa lagi. Kemudian Cu-peng Cin-jin berkata dengan suara lebih rendah.

   "Beri aku ketenangan untuk memikirkan tindakan itu. Agar tindakan kita kelak cukup matang, tidak tergesa-gesa. Kalian juga dapat membantu menjaga ketenangan, jangan lagi menghasut dan memanas-manaskan hati orang-orang kita seperti selama ini. Jangan kalian kira aku buta dan tuli sehingga tidak bisa tahu kalian menyebar hasutan untuk memusuhi orang-orang selatan. Hentikan itu. Tunggu keputusanku, kalau kalian masih mengakui aku sebagai pemimpin Pak-cong!"

   Habis berkata demikian, Cu-peng Cinjin melangkah lebar meninggalkan kedua rekannya dengan wajah cemberut. Sedang kedua Cinjin yang ditinggalkan nya itu cuma saling pandang sambil mengangkat pundak dan geleng kepala.

   "Bagaimana sekarang?"

   Tanya Ngo yap Cinjin.

   "Apanya yang bagaimana?"

   Cu-siu Cinjin malah balas bertanya.

   "Aku khawatir kalau kita terlambat bertindak, pengaruh Lam-cong semakin kuat. Jangan-jangan dalam sembahyang besar nanti, mereka akan mencalonkan seorang tokoh mereka untuk menduduk jabatan Kau-cu (kepala agama)? Itu bisa terjadi kalau mereka anggap dukungan buat mereka cukup kuat. Kalau sampai demikian bukankah kita sebagai pengabdi-pengabdi cita-cita luhur ini akan dibawah pimpinan orang-orang mata duitan itu?" "Kita tunggu saja apa tindakan Suheng dalam satu dua hari ini, kalau tidak ada tindakan apaapa ... yaah ..."

   "Kita bertindak sendiri!"

   Cu-sian Cinjin yang licin itu terlalu takut untuk bilang "ya"

   Tapi juga tidak ingin bilang "tidak".

   Maklum ia terlalu segan kepada Cupeng Cin-jin yang ilmunya lebih tinggi dari padanya.

   Bahkan kakak seperguruannya itu terlalu mudah kesurupan roh yang mengaku sebagai roh Kaisar Cong-ceng, penguasa terakhir dinasti Beng.

   Cu-sian Cinjin pun kemudian melangkah pergi, meninggalkan Ngo-yap Cin-jin yang belum sempat meluapkan emosinya.

   Ngo-yap Cinjin memang penasaran sekali.

   Ia lalu melangkah ke sebuah hutan yang terletak di lereng sebelah belakang Kuil Hong-kak-si.

   Tempat yang sepi karena orang-orang Pek-liankau tidak menggelar perkemahannya sampai di situ.

   Sambil berjalan, Ngo-yap Cinjin sering menyepak kerikil-kerikil dan ranting-ranting yang berserakan di tanah, sambil menggerutu.

   Tiba di hutan pun dia tidak melakukan apaapa kecuali berjalan bolak-balik sambil mencaci-maki entah kepada siapa.

   Tengah ia begitu kebingungan, tiba-tiba dilihatnya di sebuah pohon berjarak duapuluh langkah darinya, terlihat ada asap putih mengepul sambil berdesis makin lama makin tebal sampai menjadi tirai kabut.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Adegannya mirip di panggung wayang saja.

   Tapi karena kini terjadinya di larut malam dan di tengah hutan sepi sja, karuan Ngo-yap Cmjin kaget dan menduga-duga yang teriadi ? Kebakarankah' tapi kenapa tidak kedengaran gemeratak kayu terbakar? Dan alangkah terkesiapnya si imam ketololtololan itu ketika tiba-tiba melihat di tengah kabut usap nu ada sesosok tubuh berdiri.

   Mengejutkan, karena sosok kabur itu tidak menginjak tanah, tapi seperti terapung di udara, bergoyang-goyang seolah tidak berbobot, Sosok dalam asap itu berpakaian seperti seorang Kaisar di Jaman Kerajaan Beng, lengkap dengan mahkotanya, sorot matanya tajam menatap Ngo-yap Cinjin.

   Dengkul si imam totol itu lemas seketika, apalagi ketika mendengar sosok tubuh itu menggeram seram.

   "Berlutut. Aku Kaisar Congceng dari Kerajaan Beng."

   Memang kaum Pek-lian-kau amat memuja kepada kaisar terakhir dinasti Beng yang matinya menggantung diri di bukit Bwe-san itu.

   Ngo-yap Cinjin memang melihat segores bilur merah melintang di leher sosok dalam asap itu, mungkin bekas terjerat tali gantungan dulu.

   Tanpa pikir panjang lagi Ngo-yap Cinjin berlutut sambil berseru.

   "Banswe..Banswe.."

   Sosok di tengah asap itu terkekeh seram dan lirih.

   "Bagus, dari alam seberang ini kulihat siapa pengikutku yang setia, dan siapa yang tidak setia. Kalian, Pak-Lian-kau cabang-cabang Pak-cong kunilai paling lurus memperjuangkan cita-cita. Melebih teman-teman kalian dari Lamcong melebihi pula gerakan-gerakan lain seperti Jit-goat-pang. Thian-te-hui dan sebagainya!" Dengkul si imam tolol itu lemas seketika, apalagi ketika mendengar sosok tubuh itu menggeram seram.

   "Berlutut. Aku Kaisar Cong Ceng dari Kerajaan beng." "Terima kasih, Yang mulia. Dengan restu Yang Mulia kami akan terus berjuang sampai tegaknya kembali dinasti Beng yang diperintah oleh keturunan Yang Mulia. Hamba juga amat berbahagia, karena malam ini untuk pertama kalinya hamba diperkenankan memandang wajah Yang Mulia, biarpun sudah berbeda alam tempat kita berada."

   "Aku tahu. Perjuangan gigih kalian sungguh membuatku besar hati dan terharu, tetapi ... ah ..."

   Sosok tubuh dalam asap itu menarik napas dengan sedih sambil geleng-geleng kepala.

   "Tidak semua hamba-hambaku sesetia kau. Ada yang mulai gila harta sehingga melupakan kesetia-kawanan dengan teman-teman seperjuangan."

   Campur aduk antara rasa bangga mendapat pujian dengan pengabdian yang amat fanatik, membuat Ngo-yap Cinjin bergolak darahnya ketika melihat "roh Kaisar Cong Peng"

   Nampak begitu sedih. Sambil mengangkat wajahnya, dia berkata penuh tekad.

   "Ampun yang Mulia, kalau ada teman-teman seperjuangan yang mengecewakan Yang Mulia, hamba sanggup menumpas mereka. Berilah restu kepada hamba, Yang Mulia!"

   Asap putih itu perlahan-lahan menipis terhembus angin malam yang lembut, maka sosok tubuh di tengah asap itu tanpa membuang-buang waktu lagi segera mengutarakan maksudnya.

   "Hamba-hamba tidak setia itu tidak menghiraukan petunjukpetunjuk gaib ku lewat mimpi. Mereka mendukung calon raja yang tidak kukehendaki. Dulu aku memang menunjuk Cu-sam Thai-cu sebagai pewaris tahtaku, tapi aku menyesal dan mengubah wasiatku. Aku ingin keturunan Ci Leng Ong yang harus memegang tahta Kerajaan Beng, sebab mereka lebih berani dalan perjuangan menentang kaum Aishin Gioro itu!"

   Kebetulan memang garis keturunan Pa ngeran Cu Leng Ong ini yang dijunjung cabangcabang Pak-cong dan Jit-goat pang. Mendengar pesan "gaib"

   Itu, kontan Ngo-yap Cin-jin bersujud sampai jidatnya, menyentuh tanah. "Hamba menjunjung titah Yang Mulia sepenuh jiwa raga."

   Waktu itu asap putihnya sudah semakin menipis sehingga "arwah Kaisar Cong ceng"

   Pun agaknya tergesa-gesa ingin segera pergi dari situ. Melihat gelagatnya Nyo-yap Cin-jin hendak mengucapkan "ikrar setia"

   Yang panjang lebar.

   "arwah Kaisar"

   Itu buru-buru membentak.

   "Tidak usah banyak omong, buktikan dengan tindakan nyata! Siapa menuruti pesan-pesanku, dialah yang ku restui dalam setiap pertempuran sehingga menang terus! Laksaan Thian-peng (prajurit langit) bisa kuperintahkan membantu perjuangannya!"

   "Hamba mohon doa restu, Yang Mulia."

   "Cepat laksanakan!"

   Ngo-yap Cin-jin bersujud sekali lagi, lalu kembali ke perkemahannya dengan langkah tegap, penuh keyakinan bahwa perjuang annya akan menang karena sudah mendapat perintah langsung "Kaisar Cong Ceng".

   Hanya beberapa detik setelah imam tolol itu pergi, angin bertiup keras dan menyapu sisa17 sisa asap putih di tempat itu.

   Sisa asap putih yang memancar dari bumbung bambu bersumbu, berisi sejenis campuran kembang api yang biasa digunakan di panggungpanggung wayang untuk mendramatisir adegan-adegan "turunnya dewa"

   Atau "munculnya siluman" ... Bersamaan dengan sirnanya asap yang sama sekali tidak gaib itu.

   "Kaisar Cong ceng"

   Juga cepat-cepat melompat turun dari seutas tali hitam yang direntangkan di batang pohon, satu meter dari tanah, yang tadi diinjaknya dengan ilmu meringankan tubuh yang amat lihai.

   Cepatcepat ia melepas dan melipat jubahnya, mencopot kumis dan janggut palsu yang direkatkan di pipinya, melepas tali dan menggulungnya Semua itu disatukan dalam sebuah bungkusan yang segera digendongnya.

   "Kaisar Cong-ceng"

   Itu segera "menjelma"

   Menjadi Wan Lui.

   "Sekali-sekali asyik juga main hantu-hantuan di depan orang tolol ..."

   Pikir Wan Lui.

   "Mudahmudahan aku tidak kualat kepada yang sudah mati. Tapi kala kubiarkan Pek-lian-kau merajalela, aku lebih takut lagi kualat kepada orangorang yang masih hidup."

   Lalu Wan Lui berkelebat cepat bagaiku hantu, meninggalkan tempat itu.

   Bagaikan hantu, tapi bukan hantu, cuma bekas hantuhantuan.

   * * * Di barak pimpinan cabang-cabang Pak-cong yang terletak, di lereng sebelah utara dari kelenteng Hong-kak-si, sedang terjadi perdebatan seru.

   "Kalau suheng memang tidak mau mempercayai, akupun tidak bisa memaksa. Aku tidak bersalah lagi kalau sampai Suheng kena murka roh Sri Baginda, yang agaknya sudah benar-benar murka terhadap penyelewengan kaum Lam-cong!"

   Seru Ngo-yap Cinjin sambil menggebrak meja.

   "Dan Sri Baginda pun tidak sabar melihat kelambanan kita dalam menindak orang-orang Lam-cong yang menyimpang dari perjuangan suci itu! Orang-orang yang telah mengubah perjuangan suci menjadi sekedar arena pemerasan ala bandit-bandit kelas teri untuk mencari uang!"

   Selama ini Cu-peng Cinjin memimpin kaum Pak-cong, antara lain karena dia dipercayai sebagai satu-satunya orang yang bisa mendengar "pesan-pesan dari alam gaib"

   Dan bahkan sering kesurupan, sehingga tiap katakatanya ditaati, tak ada anak buahnya yang berani membangkang.

   Kini mendengar Ngo-yap Cinjin mengaku telah bertemu muka dengan "roh Sri Baginda sendiri, kontan saja Cu-peng Cinjin merasa disaingi, kedudukannya sebagi pemimpin bisa goyah.

   Maka laporan Ngo-yap Cinjin ditanggapinya dengan dingin saja.

   "Sute, makanya sering kuperingatkan agar kau jangan keseringan melamun atau kebanyakan minum arak. Bukankah kau tahu sendiri bahwa arwah Sri Baginda selalu memberikan perintahperintahnya hanya melalui aku? Bukankah sering kau lihat sendiri Sri Baginda memasuki tubuhku, lalu memakai mulutku untuk memerintah?"

   "Tapi, Suheng, sekali ini benar-benar kulihat dengan mataku sendiri roh Sri Baginda melayang di tengah-tengah segumpal asap putih di hutan di belakang kuil itu. Dia melayang, tidak menginjak tanah, persis Suheng ketika sedang kemasuk an ..."

   "Lancang mulutmu! Mana bisa aku disamakan dengan Sri Baginda? Kau ini agar aku kualat kena kutukannya?"

   "Oh..maaf, maksudku...aku ben..benar melihat Sri Baginda mengapung didepanku. Benarbenar mengapung, tidak menginjak apa-apa, bahkan aku berbicara dengannya..."

   "Aku kira, ucapan Ngo-yap Sute ini perlu dipertimbangkan..."

   Cu-sian Cinjin ngotot mendesak Cu-peng Cinjin agar bertindak, maka Cu-sian Cinjin tinggal "membonceng"

   Saja.

   Jadi bukan urusan percaya atau tidak percaya.

   Di dalam ruangan barak itu bukan cuma ada ketiga Cinjin itu, melainkan juga beberapa tokoh Pak-cong.

   Ada yang imam ada yang bukan.

   Tapi ada persamaan mereka.

   Pertama, semuanya mempercayai bahwa perjuangan itu dipimpin sendiri oleh roh Kaisar Cong-ceng, lewat pesan-pesan gaibnya.

   Kedua, semuanya merasa jengkel oleh sikap orangorang Lam-cong yang memandang remeh mereka.

   Ketiga, mereka percaya, siapa yang paling mampu menangkap "pesan gaib Sri Baginda"

   Lah yang paling patut memimpin Pakcong, bahkan bukan cuma Pak-cong tapi mestinya ya seluruh Pek-lian-kau, bahkan seluruh gerakan yang menentang pemerintah Manchu.

   Sayangnya kaum Lam-cong tidak setuju cara menentukan pimpinan hanya berdasarkan "Yang paling kesurupan", begitu ejekan kaum Lam-cong.

   ...

   Kini mendengar Ngo-yap Cinjin kini juga mengakui "ketiban wangsit", orang-orang Pakcong mendapat kesempatan untuk mendesak Cu-peng Cinjin agar segera bertindak kepada kaum Lam-cong.

   Bukan cuma menegur, sebab teguran sudah tidak digubris.

   Cu-peng Cinjin cukup peka menilai gelagat, la pikir, kalau orang-orangnya tidak puas, bisabisa kedudukannya sebagai pimpinan akan goyah.

   Karena itulah terpaksa dia berkata.

   "Baik, untuk terakhir kalinya aku akan bicara kepada teman-teman kita dari Lam-cong itu, agar kita diperbolehkan ikut menentukan nasib Hong Lik itu."

   "Tidak perlu minta ijin! Hak untuk menghukum Hong Lik memang hak kita, bahkan perintah dan Sri Baginda yang pernah diterima Suheng sendiri, kenapa kita, harus seolah mengemis kepada mereka sergah Cu-sian Cinjin penasaran.

   "Sute, jangan menghasut. Bagaimanapun juga orang-orang Lam-cong adalah teman-teman seperjuangan kita. Kalau sikap kita menimbulkan bentrokan, bukankah kita yang akan rugi sendiri? Bukankah anjing-anjing Manchu yang akan ambil keuntungan?"

   "Orang yang sudah lupa tujuan perjuangan, bukan teman seperjuangan lagi!"

   Sahut Ngo-yap Cinjin keras.

   "Sri Baginda sendiri telah memerintahkan kepadaku! Sri Baginda sendiri tidak puas kalau kita terus bersikap lunak terhadap mereka!"

   "Tunggu, sekarang juga biarlah kutemui pimpinan Lam-cong untuk bicara terakhir kalinya dengan dia!"

   Cu-peng Cinjin tidak mampu lagi menahan desakan anak buahnya.

   "Kalian tetap di sini dan jangan membuat keributan!"

   Lalu Cu-peng Cinjin keluar dari situ untuk menuju ke barak pimpinan kaum Lam-cong.

   Seharian itu, entah bagaimana hasil pembicaraan pimpinan Pak-cong dan pimpinan Lam-cong, namun hasilnya tetap tidak memuaskan orang-orang Pak-cong.

   Biarpun dengan kata-kata yang halus, Lamcong tetap menyatakan keberatan kalau orang Pak-cong ikut mengawasi Pangeran Hong Lik.

   Apalagi menyerahkan mentah-mentah, sebab pihak Lam-cong kuatir kalau "angsa ajaib yang bisa bertelur emas"

   Itu akan disembelih begitu saja oleh orang-orang Pak-cong. Keruan penolakan itu memperhebat ketidak-puasan di kalangan Pak-cong. Sementara itu, di kalangan Lam-cong sendiripun juga tidak sedikit yang mulai jengkel terhadap orang-orang Pak-cong.

   "Orang-orang Pak-cong itu mau seenaknya saja."

   "Seenaknya bagaimana?"

   "Siapa yang mempertaruhkan nyawa dalam penangkapan Pangeran Hong Lik, dan bertempur dengan anjing-anjing Manchu di Kim-teng?"

   "Aku yang baru datang dari Ou-pak tentunya tidak ikut. Tetapi sudah kami dengar betapa kawan-kawan kita, terutama Thio dan HOa Haiangcu dengan berani serta cerdik berhasil menangkap Hong Lik Bahkan memukul mundur pasukan anjing Manchu yang mencoba mengejarnya. Benarbenar suatu operasi yang gemilang!"

   "Hampir sepenuhnya operasi itu ditangani Lam-cong kita. Pihak Pak-Cong cuma mengirim Cu-sian Cinjin untuk membantu dengan ilmu gaibnya, tapi sebenarnya tanpa bantuan Cu-sian Cinjin pun operasi kita akan berjalan lancar. Nyatanua begitu. Nah, pikir, siapa yang berhak atas diri Hong Lik?"

   "Tentu saja kita!"

   "Semua teman juga berpendapat begitu. Tetapi orang Pak-cong tetap saja menganggap tertawannya Hong Lik sebagai usaha bersama, ha-ha...mana bisa? Kita yang berjuang, kenapa mereka mau ikut makan nasilnya?"

   "Benar. Mereka itu tolol tapi serakah dan mau berlagak!"

   Begitulah, orang-orang Lam-cong pun membicaraku orang Pak-cong dengan berapiapi penuh kemarahan. Dan kemudian datang lagi benerapa orang Lam-cong yang langsung bergabung dan ikut bicara.

   "He, sedang membicarakan apa?"

   "Membicarakan pahlawan-pahlawan kesiang angan, teman-teman kita dari Pak-cong itu!"

   "Oh ya, kawan-kawan, sudah dengar kabar terbaru dari antara mereka belum? "

   "Kabar apa lagi?" "Begini, katanya Ngo-yap Cinjin telah...

   "Ngo-yap Cinjin? Yang seperti Put-to-ong itu?"

   Keruan para pimpinan cabang-cabang Lamcong yang sedang berkumpul dan berkelakar itu tertawa serempak.

   Put-to-ong adalah boneka mainan berbentuk bulat, cuma terdiri dari kepala dan tubuh tapi tanpa anggota tubuh, bagian pantatnya diberi pemberat timah.

   Maka biar digoyang atau digulingkan bagaimanapun juga, akhirnya akan tetap bisa berdiri di pantatnya.

   "Ya ... ya ... dia itulah Ngo-yap Cinjin "Aku pernah berpapasan dengannya, kusapa dia tapi dia malah memelototi aku. Hampir saja kutabok jidatnya ..."

   Kembali orang-orang itu tertawa riuh rendah.

   "Tenanglah kalian mau dengar berita itu tidak?"

   "Ya, ya. Bagaimana ceritanya?" "Begini, katanya si Put-to-ong itu telah Bertemu dengan roh Sri Baginda dan mendapat perintah-perintah langsung ..."

   Belum selesai kalimat itu, ujung kalimatnya sudah tenggelam oleh gemuruh tertawa yang meledak kembali.

   Termasuk di antara yang tertawa itu adalah Wan Lui yang di pipi dan dagunya masih ada bekas-bekas lem untuk menempelkan kumis dan jenggot palsu semalam.

   Tapi ia tidak ikut bi cara.

   "Pantas orang-orang Pak-cong itu selalu gagal, karena pikiran mereka selalu dipenuhi hal-hal yang serba tahyul. Itu beda mereka dengan kita. Kitapun belajar ilmu gaib, namun tidak meninggalkan akal sehat ini ..."

   Kata seorang sambil mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke jidat.

   "Benar tidak?"

   "Benar. Itulah sebabnya kita di wilayah selatan semakin disegani. tidak sekedar dianggap segerombolan orang yang percaya kepada tahyul."

   Begitulah, di perkemahan Pek-lian-kau itu soal "Ngo-yap Cin-jin ketemu Sribaginda"

   Itu segera menjadi pembicaraar hangat, oleh orangorang Pak-cong maupun Lam-cong.

   Cara membicarakannya tentu saja juga berbeda.

   Orang-orang Pak-cong bicara dengan nada bangga, penuh keyakinan dan bahkan khidmat.

   Sedangkan orang-orang Lam-cong membicarakannya dengan cengengesan, menganggapnya sebagai bualan yang dilebihlebihkan belaka.

   Perbedaan sikap itu menghasilkan apalagi kalau bukan kebencian yang semakin menghebat di antara dua golongan Pek-lian-kau itu ? Malam tiba.

   Ketika lereng-lereng bukit di sekitar Kuil Hong-kak-si itu mulai sepi, diam-diam Wan Lui bangkit dan menyelinap meninggalkan perkemahan.

   Sebisa-bisanya menghindari anggota-anggota Pek-lian-kau yang masih berjaga di dekat api unggun.

   Setelah cukup jauh dari lokasi berkumpulnya orang-orang Pek-lian-kau tersebu Wan Lui mulai berani mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.

   Maka bagaikan seekor burung saja, dia melesat ke arah kota Hong-yang yang tidak jauh.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tembok kota dipanjatnya dengan Ilmu Piahou-yu-jio (Cecak Merayap), dan sesaat kemudian Wan Lui sudah ada di atas tembok kota, lalu melompat turun.

   Karena malam memang sudah larut, maka keadaan kota pun sudah sepi.

   Tapi Wan Lui terus berjalan, dan kepada seorang penjual makanan yang baru mau pulang, ia menanyakan letak kediaman Panglima Kota (Cong-peng) kota Hong-yang.

   Setelah mendapat petunjuk, langkahnya pun mantap menuju ke sana.

   Gedung Cong-peng itupun tentu saja sudah ditutup pintunya, tapi sebagai pejabat penting, pintunya tetap dijaga empat orang prajurit.

   Dengan langkah tanpa ragu-ragu, Wan Lui melangkah lurus ke arah para penjaga, membuat para penjaga itu menunggu dengan bersiaga.

   Kepada penjaga-penjaga itu, Wan Lui berkata dengan gagah.

   "Aku bernama Lui Hong Gan, berpangkat Cam-ciang dari Pasukan Rahasia Istana. Aku harus bertemu muka dengan panglimamu sekarang juga!"

   Kata-kata Wan Lui yang diucapkan dengan gaya begitu meyakinkan, membuat para penjaga terpengaruh, biarpun semasa dinas mereka belum pernah didengarnya tentang "Pasukan Rahasia Istana".

   Mungkinkah sebuah pasukan yang baru dibentuk? Namun mereka tidak berani langsung mengijinkan masuk begitu saja.

   Pimpinan penjaga segera berkata dengan hormat.

   "Lui Cam-ciang, bolehkah kami memeriksa suratsurat dan tanda-tanda resmimu?"

   Wan Lui melotot dengan lagak gusar, dan menjawab.

   "Aku sedang dalam tugas penyamaran yang amat rahasia di tengahtengah musuh, apakah harus kubawa semua tanda pengenalku agar ditemukan musuh, lalu aku disembelih?"

   "Tetapi sekarang saatnya orang beristirahat, mungkin Cong-peng sendiri juga sudah ..." "Bangunkan! Ada urusan penting. Kalau tidak mau bangun, terpaksa harus kulaporkan Kaisar bahwa dia bersikap amat tidak membantu dalam urusan gawat yang menyangkut keselamatan negara. Di istana, aku punya wewenang dan hak khusus untuk menghadap Kaisar, kapanpun aku mau!"

   Para penjaga betul-betul kalah gertak oleh lagak Wan Lui itu. Si pemimpin penjaga terpaksa membungkuk dengan amat hormat, lalu berkata.

   "Baiklah, maafkan kami. Silahkan Cam-ciang menunggu sebentar di Sini, biar aku melapor kepada Cong-peng."

   "Cepat!"

   Terbirit-birit si pemimpin regu penjaga melangkah masuk. Beberapa saat kemudian, ia sudah keluar kembali dan berkata.

   "Silakan masuk, Lui Cam-ciang. Cong-peng sudah bangun dan siap menemui Cam-ciang di ruangan tengah. Silakan."' Dengan gagah Wan Lui melangkah masuk, di ruangan tengah nampak lilin sudah dinyalakan. Kwa Cin Beng, si Hong-yang Cong-peng, sudah duduk menunggu dalam pakaian seragamnya yang nampaknya tergesa-gesa dikenakan, sementara matanya baru separuh terbuka. Ketika melihat Wan Lui melangkah masuk, Kwa Cin Beng bangkit dan duduknya untuk memberi hormat. '"Silakan duduk, Lui Cam-ciang ... sambutnya. Wan Lui lebih dulu membalas hormat.

   "Aku benar-benar minta maaf telah mengganggu tidur Cong-peng, karena amat terpaksa membawa satu urusan penting ..."

   "Kenapa tidak datang siang-siang saja "Cong-peng tahu, sebagai komandan Pasukan Rahasia Istana, aku harus bertindak serba terselubung dan hati-hati. Tak mungkin aku datang kepada Cong-peng dengan membawa barisan pengawal, mengibarkan bendera dandiiringi pula barisan tambur dan terompet. Tapi ya seperti sekarang inilah cara kerjaku, sekali lagi aku mohon maaf ..."

   Menyaksikan kefasihan bicara Wan Lui, di hati Kwa Cin-beng mulai timbul perasaan tamunya itu benar-benar orang dari istana. Maka ia tidak berani bersikap kurang hormat ataupun menunjukkan ketidak senangannya.

   "Jangan sungkan, Cam-ciang. Kita sebagai abdiabdi negara memang setiap saat harus siap demi tugas-tugas kita ..."

   "Rupanya tidak keliru aku menghubung Cong-peng. Ternyata aku menghubung. Congpeng yang tepat, yang mengabdi dengan ppenuh hati. Kalau kulaporkan hal ini kehadapan Kaisar, tidak mungkin masa depan Cong-peng tidak diperhatikan..."

   Begitulah wan Lui lebih dulu menyanjung untuk melancarkanrencananya.

   Kwa Cin Beng memang senang, tapi ia masih harus mengetahui siapa orang yang duduk di depannya itu, sebab selama ini belum pernah satu kalipun kalau di Pak-khia ada yang namanya "Pasukan Rahasia Istana".

   "Maaf, Cam-ciang. Aku memang agak terkejut mendengar Cam-ciang mengaku dari Pasukan Rahasia Istana yang mengunjungiku di malam selarut ini. Apakah Pasukan Rahasia Istana ini baru dibentuk? Aku yang picik ini belum pernah mendengarnya." Karena sudah menduga akan menghadapi pertanyaan itu, Wan Lui juga siap dengan jawabannya,"Memang belum lama dibentuknya. Tugas kami ialah melindungi anggota-anggota keluarga istana, namun dengan cara diam-diam dan tidak menyolok mata."

   Sementara Kwan Cin Beng mengangguk angguk, Wan Lui melanjutkan kata-katanyu hanya dalam hati sambil tertawa.

   "Dibentuk nya memang baru beberapa menit yang lalu. Akulah komandan merangkap satu-satunya anggota."

   "Dan maksud-Cam-ciang menemui aku?"

   "Begini, Cong-peng. Hampir dua bulan yang lalu, Pangeran Hong Lik, Putera Mahkota, meninggalkan istana secara diam-diam dalam penyamaran, dikawal beberapa anak-buah,"

   Bual Wan Lui dengan mantap.

   "Tapi rombongan itu tiba-tiba hilang jejak-nya, pengawalpengawalnya pun tidak lagi mengirimkan berita dengan burung merpati kepadaku. Antara kami yang di istana dan rombongan Pangeran Hong Lik jadi putus hubungan sama sekali. Tentu saja Kaisar jadi gelisah, lalu aku dipanggil menemuinya untuk membicarakan soal ini."

   Tiap kata-kata Wan Lui menyiratkan betapa tinggi kedudukannya dalam istana, sehingga anggukan kepala Kwa Cin Beng semu kin gencar. Dibiarkannya Lui "Cam-ciang"

   Ini melanjutkan bicaranya.

   "Kaisar menugaskan aku langsung mencari Pangeran Hong Lik. Setelah kuselidiki dengan seksama, baru tahu kalau Pangeran Hong Lik ternyata diculik orang-orang Pek-lian-kau. Pantas kalau kalau kami di istana jadi kehilangan kontak."

   Kwa Cin Beng terperanjat.

   "Pek-lian-kau? Sekte yang sudah dinyatakan sebagai gerakan terlarang itu?"

   "Ya, kalau bukan mereka, mana ada Pek liankau yang lainnya lagi?"

   Sesaat suasana tegang mengisi ruangan itu, api lilin yang berlenggak-lenggok seper ti seorang penari itupun membuat bayangan di dinding jadi ikut bergoyang.

   Kwan Cin Beng memang mulai tegang.

   Pangeran Hong Lik hilang diculik Pek-lian-kau, kemudian "Lui Camciang"

   Ini menemuinya malam-malam. Tentunya bakal ada hubungan antara kedua hal itu.

   "Lalu bagaimana, Cam-ciang?"

   "Kwa Cong-peng, apakah kau tahu orang orang macam apa yang sekarang sedang berkumpul di sekitar Kuil Hong-kak-si, tidak jauh dari kota ini?"

   "Oh, mereka itu para peziarah biasa. Me mang setahun sekali, mereka berkumpul disana, berkemah beberapa hari, lalu membuat semacam upacara menurut kepercayaan mereka, entah upacara apa, setelah itu bubar. Begitu terus dari tahun ke tahun, tidak membahayakan. Maka ya kubiarkan saja."

   "Apakah Cong-peng tidak pernah menyuruh orang-orangmu untuk menyusup di antara mereka, melihat upacara macam apa yang mereka selenggarakan itu?"

   "Belum. Karena aku rasa mereka itu hanyalah ". Ucapan Kwa Cin beng terpotong ketika Wan Lui keras-keras menepuk permukaan meja, sambil menggertak.

   "Ini kelengahan-mu, Cong-peng. Karena kau tidak menyelidiki, jadi kau kena dikelabuhi mereka. Mereka bukan peziarah-peziarah biasa, tapi orang-orang Peklian-kau!"

   Mulut Kwa Cin Beng kontan jadi sulit di katupkan, seolah rahangnya kejang, matanya terbelalak lebar. Sementara Wan Lui melanjutkan kata katanya.

   "Mereka rajin berkumpul, tak lain untuk mengatur siasat pemberontakan terhadap pemerintah kita. Ya, mereka merencanakan pemberontakan tepat di bawah hidungmu, Kwa Cong-peng! Sedangkan kau masih saja bilang aman, tidak berbahaya, hanya peziarah dan sebagainya. Bisa kaubayangkan hukumanmu kalau sampai Kaisar mendengar ini?"

   Wajah Kwa Cin Beng memucat, tubuh-nya gemetar, katanya kepada Wan Lui bernada amat memohon.

   "Lui Cam-ciang, tolonglah aku. Jangan laporkan kepada Sribaginda. Malam ini juga akan kukerahkan pasukanku untuk menggempur mereka!"

   "Jangan!"

   "Maksud...maksud Cam-ciang bagaimana?"

   "Pangeran Hong Lik ditawan mereka. Kalau kauserbu mereka secara sembrono, sama saja dengan mempercepat kematian Pangeran Hong Lik. Kesalahan macam ini jauh lebih berat daripada kelengahanmu selama ini!"

   "Lalu....aku harus bagaimana?"

   "Bukan aku melarang bertindak, tapi ber tindaklah dengan terencana, jangan sampai membahayakan jiwa Pangeran Hong Lik. Untuk itu, Cong-peng harus bekerja-sama denganku. Aku punya satu rencana."

   "Aku .... aku akan menurut saja."

   Demikianlah siasat Wan Lui, lebih dulu menakut-nakuti Kwa Cin Beng agar "jinak", setelah itu barulah bisa diatur rencana berikutnya. Tanyanya.

   "Cong-peng, pertamatama aku tanya, berapa kekuatan prajurit yang ada di bawah perintahmu saat ini?" "Kira-kira empatribu limaratus orang."

   "Kumohon Cong-peng siapkan mereka, tetapi jangan menyolok, jangan sampai sasaran kita mengetahui kalau hendak kita serang. Dan maaf, biarpun Cong-peng berpang kat lebih tinggi dari aku, tapi hendaknya menuruti rencanaku. Demi keselamatan Pangeran Hong Lik. bagaimana?"

   "Aku setuiu."

   "Terima kasih, Cong-peng. Untuk rencana selanjutnya, Cong-peng harap menunggu petunjukku. Kalau bergerakdi luarpetuniuk ku, berarti mencelakakan Pangeran Hong Lik dan byangkan sendiri akibat yang bakal kautcrima."

   "Aku paham. Akan aku siapkan pasukan."

   "Ingat, persiapan tempurnya jangan menyolok."

   Wan Lui bangkit untuk memberi hormat, lalu pergilah ia. Tidak lagi melewati pintu depan, melainkan melompat keatap dan langsung "terbang"

   Menghilang ke luar kota Hong-yang.

   Setelah melewati dinding kota, ia lebih hebat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya melintasi padang perdu, menuju ke Kuil Hong-kak-si.

   Tapi padang perdu itu baru dilintasinya separuh lebarnya, ketika dari dalam hutan di depannya tiba tiba muncul segumpal asap hitam yang berputar kencang, hendak menelannya.

   dengan kaget Wan Lui menghentikan langkah dan menghindar.

   Asap hitam buyar, dan muncullah Cu-peng Cin-jin dengan wajah bengis di hadapan Wan Lui.

   Tangan kanannya memegang pedang, tangan kirinya memegang Hud tim (kebut pertapa), pada ikat pinggangmu bagian belakang tertancap macam-macam bendera jimatnya seperti Hong-hun-kui (bendera awan dan angin), Ciao-hun-ki (bendera penianggil roh), Ngo-lui-ki (bendera lima guntur), Sip-hunki (bendera penyedot semangat) dan sebagamya.

   Kalau Cu-peng Cin-jin berjalan di pasar dengan dandanan macam itu, tentu dikiranva penjual bendera mainan untuk anakanak.

   Tapi Wan Lui tahu, bendera-bendera itu adalah senjata-senjata gaib yang ampuh.

   Wan Lui menyeringai dan memberi hormat.

   "Oh, kiranya Cu-peng Cin-jin. Maafkan, hampir saja aku tidak melihat Cin-jin. Apakah Cin-jin juga sedang meronda perti aku?"

   Cu-peng Cin-jin mendengus dingin Bangsat cilik, kau masih mengira aku bisa kaukelabui' Siapa kau sebenarnya?"

   "Aku Gan Hong Lui. Anggota Pek-lian-kau wilayah selatan."

   "Bohong!"

   Bentak Cu-peng Cin-jiin gusar. Kaupikir aku tidak memperhatikan gerakgerikmu se|ak tadi kautinggalkan Hong Kak-si seperti maling takut ketahuan Dan sekarang au.t malam kau oatang dari arah kota HongYang, untuk apa?"

   "Ah, memang aku memasuki kota Hong-yang untuk menjenguk seorang kerabat. Hanya itu."

   "Anjingg cilik pintar sekali kau bohong ya? Aku justru curiga mendengar onmongan-mu yang berbelit-belit. Atau jangan-jangan kau adalah kaki tangan para anjing Manchu yang menyusup ke tubuh Pek-lian-kau untuk mengacau perjuangan kami?"

   Lebih dulu Wan Lui memandang ke sekelilingnya, keapdang perdu yang tidak terlalu luas itu, dan yang ada hanya kesunyian.

   Hanya dia dan Cu-peng Cin-jin yang ada di tempat itu.

   Agaknya cu-peng Cin-Jin begitu percaya dirinya sendirian saja akan dapat menangkap "anggota yang mencurigakan"

   Itu, mengorek keterangan secara diam-diam, lalu akan digunaka sebagai sakski untuk menyudutkan kaum Lam-cong. Sedangkan Wan Lui setelah yakin tidak adanya orang ketiga, lalu terang-terangan membuka diri.

   "Benar, memang nama yang sebenarnya ialah Wan Lui, dari Liang-pek-san alias orang Manchu asli. Aku memang tidak suka Pek-lian-kau dan akan menghancurkan kalian, nah, hidung kerbau, mau apa kau?"

   Di samping marah, Cu-peng Cin-jin sebetulnya juga merasa kebetulan kalau bisa menangkap "Gan Hong Lui"

   Ini hidup-hidup, lalu memaksanya mengaku di depan sembahyang besar beberapa hari lagi, tentu pihak Lam-cong akan malu karena telah ke-susupan orang Manchu.

   Cu-peng Cin-jin tidak buang-buang waktu lagi.

   Sekali melompat tinggi, hud-tim di tangan kirinya ditebarkan di depan wajah Wan Lui, untuk menyamarkan gerak pandang di tangan kanannya yang menikam ke arah perut.

   Itulah jurus Hun-li-tiau-toh (ditengah mega memetik buah toh).

   Ternyata imam itu bukan cuma lihai dalam ilmu gaib atau kesurupan saja, namun ilmu silatnya boleh juga.

   Namun menghadapi Wan Lui, imam itu kaget sendiri.

   Tadinya dia mengira, kalau yang dihadapinya cuma mata-mata biasa, tentu akan dibereskannya dalam waktu singkat.

   Sama sekali tidak disangkanya kalau yang dihadapinya kini adalah murid Pak Kiong Liong, tokoh yang puluhan tahun malang-melintang di lapisan teratas dunia persilatan dengan julukan Pak-liong (Naga Utara).

   Cu-peng Cin-jm terkejut karena serangannya cuma menerpa angin, Wan Lui seperti belut telah menghindar ke samping, lalu maju merunduk sambil meninju ke pinggang Cu-peng Cin-jm.

   Itulah gerak Cim-jip-Uong-tong (masuk ke gua naga).

   Kelabakan Cu-peng Cin-jin menyelamatkan diri dengan melompat menjauh, tapi gerak Wan Lui tanpa dihentikan terus disambung dengan Au-cu-hoan-sin (elang berputar).

   Wan Lui melompat mengikuti lawannya, dengan kedua tangannya mencoba merangkul pundak lawan untuk mematikan semua gerak senjata lawannya.

   Kalau mematahkan serangan cuma satu.

   Pedangnya tidak bisa cepat membela diri sebab letaknya sedang jauh di sebelah kiri, sedang serangan Wan Lui menembus dari sudut kanan dan begitu dekat dengan tubuh.

   Terpaksa Cupeng Cin-jin harus membanting diri bergulingan di tanah, dan ketika bangkit kembali, jubahnya sudah berlepotan tanah.

   Sementara itu, Wan Lui sudah bertekat untuk membereskan Cu-peng Cin-jin secepatnya, sebab ia sudah terlanjur mengaku siapa dirinya sebenarnya.

   Kini Wan Lui mencabut pedang yang tergendong di punggungnya.

   Baru saja Cu-peng Cin-jin melompat bangun, ujung pedang Wan Lui tahu-tahu tinggal sejengkal dari dadanya, meluncur cepat dengan gerak Pek-ho-tiok-hi (bangau putil mematuk ikan).

   Melompat mundurpun tak sepenuhnya bisa lolos, karena lengan atas Cu-peng Cin jin tertikam sehingga pedang di tangan kanannya terjatuh.

   Untuk menahan musuh, kebutannya disabetkan ke muka Wan Lui sambil melompat mundur sekali lagi.

   Detik detik itu Cu-peng Cinjin menyadari betapa kelirunya kalau mengajak Wan Lui adu silat.

   Maka peluang untuk menang tinggal ter sedia lewat jalan Hoat-sut (ilmu sihir).

   Wan Lui terus memburu dengan pedangnya lawannya terus mundur.

   Hati Wan Lui kaget ketika melihat tubuh Cu-peng Cin-jin tiba-tiba lenyap terbungkus asap hitam yang entah dari mana datangnya, Ujung pedang Wan Lui menusuk jauh ke dalam gumpalan asap hitam, tapi tidak apa apa.

   Dan ketika asap hitam itu lenyap kembal Wan Lui melilhat Cu-peng Cin-jin sudah menjauh belasan langkah.

   "Jangan lari!"

   Bentak Wan Lui.

   Namun mulut Cu-sian Cin-jin telah komatkamit membaca mantera.

   Hud tim di tangan kiri sudah diselipkan di sabuknya, ganti memegang bendera Ciao-hun-ki (bendera pemanggil roh) yang berwarna kuning dan dikibar-kibarkan di atas kepala.

   Tangan kanan memegang beberapa helai orang-orangan dari kertas kuning yang digunting.

   Teringat pengalamannya di kota Kam-teng dulu, Wan Lui bisa menduga apa yang bakal dialaminya.

   Cepat Wan Lui menerjang maju.

   Tapi Cu-peng Cinjin cepat menebarkan guntingan-guntingan kertas kuning berbentuk orang itu, dibarengi kibasan bendera Ciao-hunkinya.

   Guntingan-guntingan kertas kuning itu tibatiba menggelembung besar, setidaknya begitulah kelihatannya, menjadi seukuran manusia biasa, yang terus mengerubut Wan Lui.

   Ada tujuh "orang"

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Yang semuanya mengamuk dengan hebat karena dirasuki kehidupan entah dari mana. Wan Lui tidak lagi kaget menghadapi "mereka", tapi lumayan kerepotan juga.

   "Mereka"

   Tidak menyerang dengan jurus silat yang teratur, melainkan sekedar mengamuk membabi buta, hanya saja amukan itu cukup berbahaya.

   Bahkan ketika pedang Wan Lui mengenai "mereka", biarpun tubuh itu terkoyak tetapi tidak berakibat apa-apa dan terus mengamuk...

   Dari jarak belasan langkah, Cu-peng Cin-jin puas melihatnya.

   Bendera Ciao-hun-ki disimpan, ganti mengeluarkan bendera Ngo-luiki (bendera lima guntur) yang berwarna lima macam.

   Bendera yang dipercayai bisa mengundang Ngo-lui sin (lima malaikat guntur).

   Sesaat kemudian Cu-peng Cinjin sudah khusyuk sekali membaca manteranya, sambil menggoyang-goyang bendera itu.

   Angin yang keras mulai datang, mengguncang pohon-pohon perdu dan ilalang sekitar tempat itu.

   Bahkan sayup-sayup di dalam angin itu ada juga suara gemuruh pelan, beberapa kali.

   Biarpun tengah sibuk melayani tujuh lawannya "manusia kertas"

   Itu, Wan Lui pempat melirik gerak-gerik Cu-peng Cinjin dan ia terkejut.

   Bendera di tangan Cu-peng Cinjin itu persis dengan yang pernah Wan Lui lihat di tangan Thio Yap, ketika menghajar In Kiu-liong dari kejauhan dengan serangan-serangan tidak nampak.

   Wan Lui ingat betapa payahnya In Kiuliong waktu itu, bajunya robek-robek dan berbekas terbakar.

   Tak berani berlambat-lambat lagi, Wan Lui cepat-cepat menggigit bibirnya keras-keras sehingga berdarah, lalu ludah berdarah itu disemprotkan ke arah lawan-lawannya.

   Dua kena dan langsung roboh menjudi guntinganguntingan kertas kembali.

   Roh gaib yang menggerakkannya terusir pergi kena darah hangat manusia hidup.

   Tinggal lima, Wan Lui terus mendesak sambil menyemburkan ludah berdarahnya, dan membuat semua lawannya akhirnya kembali asal sebagai guntingan-guntingan kertas kuning biasa yang tidak menakutkan lagi.

   Tapi saat itulah Cu-peng Cin-jin mulai membentak sambil mengayunkan bendera Ngolui-ki.

   Wan Lui yang baru bebas dari tujuh manusia jadi-jadian, tiba-tiba saja merasa disambar suatu kilatan cahaya yang entah darimana datangnya, sesuatu yang menyala-nyala tapi tak diketahui apa itu sebenarnya.

   Wan Lui menggulingkan diri menghindar, dan penyerangnya itu lenyap entah kemana.

   Tiba-tiba Cu-peng Cinjin membentak dan mengayunkan benderanya lagi, dan kembali suatu kilatan cahaya menyambar Wan Lui.

   Ketika berhasil dihindari, lalu lenyap entah kemana.

   Saat-saat berikutnya Cu-peng Cinjin pun semakin tenggelam dalam praktek ilmunya.

   Topi lancipnya sudah dilepas, rambutnyapun dilepas gelungannya sehingga terurai bebas, sebagian menutupi mata.

   Matanya makin terpejam dan kesadarannya makin kabur, mulutnya terus menggumamkan mantera bahasa aneh yang nadanya pndah menggeram.

   Tubuhnya tidak lagi diam, tapi melangkah hilir mudik dengan bergoyang ke kiri dan kanan secara berirama.

   Kibasan bendera Ngo-lui-kinya semakin gencar.

   Itu berarti kerepotan Wan Lui juga bertambah.

   Cahaya kilat yang menyambarnya makin sering, sehingga Wan Lui makin jungkir balik tak keruan.

   Celakanya, sambaran itu juga bisa muncul dari mana saja, dari arah yang tak terduga.

   Sejak semula Wan Lui sudah menjauhkan diri dari anggapan bahwa serangan itu bukan sekedar "tipuan mata".

   Bukan, sebab akibatnya nyata.

   Segumpal semak-semak hangus jadi abu ketika kena sambarannya.

   Untung ketangkasan Wan Lui juga luar biasa, sejauh ini ternyata belum bisa dikenai.

   Inilah pertandingan seru antara manusia melawan makhluk halus.

   Sementara Wan Lui sadar tidak mungkin terus-terusan begitu, la tidak mau jungkir-balik sendirian, sementara Cu-peng Cinjin enak-enak "bersenandung"

   Sambil "menari bendera" ...

   Suatu saat setelah berhasil menghindari kilatan api kehijauan itu, secepat kilat Wan Lui bergulingan ke arah Cu-peng Cinjin.

   Tapi hanya kurang beberapa langkah dari lawannya, suatu kilatan menyambarnya dari atas, tegak lurus dengan bumi.

   Terpaksa Wan Lui harus melompat bangun, sebelum tempatnya semula hangus disambar kilatan gaib itu.

   Sambaran berikutnya memaksa Wan Lui malah semakin jauh dari Cu-peng Cinjin.

   Betapa masygul dan gusarnya Wan Lui sulit dikatakan.

   Ilmu silatnya yang tinggi itu jadi tak berguna kecuali untuk terus terusan menghindar, tanpa bisa menyerang Cu-peng Cin-jin secara langsung, dan kalau sampai ia kehabisan tenaga, berarti itulah saat terakhirnya.

   Membayangkan hal itu, Wan Lui jadi ne-kad.

   "Secepatnya menang atau binasa,"

   Ia membulatkan tekad dalam hati.

   Begitu mendapat kesempatan, dengan se genap tenaga ia menghentakkan kaki ke tanah.

   Tubuhnya dengan gerakan Ban-liong-seng-thian (selaksa naaga naik ke langit) langsung ke arah Cu-peng Cm-jin.

   Wan Lui bahkan tidak mau membiarkan pikirannya terpecah untuk meladeni kilatan kilatan hijau yang berseliweran menyambar nya.

   Satu kilatan melayang satu jari di atas jidatnya, berpapasan, Wan Lui tetap tak peduli.

   Bahkan setelah luncurannya pasti kearah sasaran, dia menutup matanya agar perhatiannya tidak terurai.

   Sedetik setelah pedang Wan Lui menembus dari depan ke belakang, Cu-peng Cin-jin masih belum sadar apa yang terjadi, bahkan setelah ambruk ke tanah, masih sempat mengayunkan benderanya satu kali sebelum sukmanya pergi "menghadap Sribaginda".

   Begitu keras Wan Lui menerjang, sampai dia roboh bersama-sama ke atas tubuh Cu-peng Cin-jin.

   Namun Wan Lui cepat melompat bangun.

   Waktu itulah kibasan terakhir bendera Nuolui-ki tadi masih membuahkan serangan kilat terakhir.

   Kali ini Wan Lui tak sempat menghindar, sambaran itu kena ke dadanya dengan kekuatan seperti jotosan seorang raksasa.

   Wan Lui terpental ke belakang dengan baju bagian dada hangus.

   Beberapa saat lamanya Wan Lui tergeletak di tanah dengan napas terasa sesak.

   Sambil mengatur napas, ia melihat bahwa suasana seram yang tidak wajar itu pelan-pelan sirna, pulih ke suasana semula yang wajar.

   Wan Lui heran juga, dirinya kena serangan setelak itu di dada, kenapa tidak mati? Padahal kalau melihat betapa hebat "kilat hijau"

   Itu mengenai tanah, mestinya dia mati.

   Ketika ia bangkit perlahan, dirasanya sesuatu jatuh dari badannya, sebuah salib perak kecil berkilau di rerumputan kena cahaya bintang.

   Bandul kalung yang tadi tergantung di dadanya, namun tali rami yang untuk menggantungkannya sudah jadi abu kena "kilat hijau"

   Tadi.

   Penuh rasa syukur Wan Lui memungutnya, mendekapkan ke dekat jantungnya dengan rasa mesra, sebelum dimasukkan ke kantong dalamnya.

   la lalu bangkit dan meninggalkan tempat itu, jalannya perlahan.

   Pertempuran melawan ilmu gaib yang baru saja dijalaninya benar-benar menguras tenaganya.

   Tapi sekaligus ia bersyukur bahwa ia merasa tidak sendiri.

   Sejenak dipandangnya tubuh Cu-peng Cin-jin yang seolah terpaku di tanah oleh pedangnya, guntingan-guntingan kertas kuning berbentuk orang-orangan yang kini bertebaran oleh angin, semak-semak maupun tanah yang hangus oleh "kilat hijau"

   Tadi.

   semuanya itu tentu akan dianggapnya sebagai mimpi belaka.

   Tapi robek hangus di baju bagian dadanya itu adalah kenyataan.

   * * * Wan Lui tiba diam-diam di perkemahan Peklian-kau golongan Lam-cong, di lereng selatan Kuil Hong-kak-si yang nampak megah di bayangan malam.

   Setelah menyembunyikan bajunya yang terbakar dengan yang masih utuh, Wan Lui tidur.

   Pagi harinya, dia dibangunkan oleh seorang anggota Pek-lian-kau "teman"nya.

   Cara yang gegabah untuk membangunkan seorang pesilat tangguh, sebab orang itu menggoncang tubuh Wan Lui keras-keras.

   Wan Lui yang bangun dengan terkejut itu hampir saja melepaskan sebuah pukulan maut, untung dapat segera menguasai diri, dan beruntunglah si anggota Pek-lian-kau itu.

   "Kenapa?"

   Tanya Wan Lui mendongkol.

   "Kau amat mengagetkanku?" (Bersambung

   Jilid XVIII) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid XVIII Kata orang itu.

   "Gan Hong Lui, cepat bersiap dengan senjatamu dan berkumpul de ngan teman-teman. Ini perintah Toa-hiang-cu (hulubalang utama)."

   "Ada apa? Ada serangan anjing-anjing Manchu?"

   "Bukan, bukan anjing Manchu, tapi orang orang Pak-cong. Entah kesurupan apa lagi mereka, kali ini mereka marah-marah mendatangi perkemahan kita sambil membawa senjata. Kalau mereka hendak memperlaku kan kita semau mereka, kita ya terpaksa harus melawan!"

   "Oh, begitu?"

   Sahut Wan Lui sambil melompat bangun, lalu ia mengambil pedang nya, dan berjalan bersama "teman"nya itu ke satu arah.

   Bahkan tanpa lebih dulu cuci muka atau membersihkan mulut.

   Dilihatnya di lereng selatan itu orang-orang Lam-cong berbondong-bondong menuju ke satu arah sambil membawa senjata, ke lapangan luas di depan Kuil Hong-kak-si itu.

   Suasananya benar-benar seperti mau berangkat perang.

   Sebagian dari mereka berjalan dengan sikap diam dan prihatin.

   Mereka inilah orang-orang Lam-cong yang bagaimanapun perselisihannya dengan Pak-cong, masih tetap menganggap orang-orang Pak-cong sebagai teman seperjuangan.

   Tidak pantas perselisihan itu diselesaikan dengan main senjata.

   Tapi orang macam ini kecil jumlahnya, sedang sebagian besar adalah orang-orang yang memang sudah jengkel kepada Pak-cong dan kalau perlu ya bertempur.

   Rombongan orang-orang Lam-cong memenuhi sebelah selatan kuil Hong-kaksi,suasananya benar-benar suasana perang.

   Ujung senjata berkilat-kilat di mana-.mana.

   Wan Lui memilih agak di depan, agar bisa memperhatikan apa yang terjadi.

   Tak lama kemudian, orang-orang Lam-cong bersorak-sorak melihat keluarnya pemimpin mereka.

   Itulah seorang tua berjenggot putih dan berjubah biru, tatapan matanya tajam.

   Tangan kanannya buntung sebatas siku, namun lalu disambung dengan cakar besi yang kehitamhitaman warnanya.

   Thio Yap dan Hoa Cek Gu.

   Mengiring dibelakang orang tua ini.

   Ketika orang-tua itu mengangkat tangan kirinya, sorak-sorai orang-orang Lam-cong reda seketika, bahkan semuanya segera mengatur diri menjadi barisan yang rapi Melihat ini, Wan Lui diam.-diam merasa bahwa gerombolan ini cukup terlatih dalam kedisiplinan militer.

   Kalau benar mereka ber-siteguh dalam cita-cita membangun kembali Kerajaan Beng, maka orang-orang mi memang cukup berbahaya.

   Mereka Dukan cuma semacam gerombolan liar, tapi sudan mirip pasukan yang berdisiplin.

   "Pasukan Kwa Cin Beng akan mendapat lawan berat di sini,"

   Pikir Wan Lui.

   "Golongan ini benar-benar tidak boleh dibiarkan tumbuh kuat menjadi gerakan yang berbahaya. Kalau mereka bisa ditumpas selagi masih berkumpul di sini, terutama tokoh-tokohnya, itu lebih bagus. Tapi biarkan dulu mereka bentrok sendiri agar kekuatan mereka melemah dari dalam."

   Sementara itu, setelah orang-orang Lam cong reda soraknya, orang tua bercakar besi itu berkata kepada anak-buahnya.

   "Kalian kularang bertindak tanpa perintahku. Sejauh kita bisa, kita akan tetap menganggap orang-orang Pakcong itu sebaga teman seperjuangan!"

   Saat itulah dari arah utara muncul rombongan Pak-cong, yang dipimpin Ngo-yap Cin-jin dan Cu-sian Cin-jin yang berwajah keruh menahan amarah.

   Di belakang mereka, dua anggota Pak-cong membawa usungan mayat Cupeng Cin-jin.

   Orang-orang Pak-cong yang berbaris di belakang kedua orang itupun nampaknya sangat marah.

   Tiba di depan rombongan orang-orang Lamcong, Ngo-yap Cin-jin memerintahkan rombongannya berhenti, lalu dengan satu isyarat dia menyuruh kedua pengusung mayat untuk meletakkan tubuh Cu-peng Cin jin di hadapan pemimpin-pemimpin Lam-cong.

   Seolah mau menunjukkan bukti.

   "Apalagi dalihmu tentang mi, Tiat Beng Hou?"

   Tanya Cu-sian Cm-pn dengan geram sambil mengurai cambuk yang membelit pinggangnya.

   "Ayo jawab'"

   Menyusul Ngo-yap Cin-jin memukulmukulkan tongkat besarnya ke tanah dan berkata dengan suara mengguntur.

   "Tega sekali kaum Lam-cong berbuat sekeji ini terhadap teman seperjuangan sendiri. Kenapa Karena iri bahwa selama ini roh Sribaginda menyampaikan perintah hanya kepada kami dari Pak-cong dan melalui Cu-peng Cin-jin, lalu kalian bunuh Cu-peng Cin-jin Atau karena serakah ingin memanfaatkan si Hong Lik guna kepentingan kalian sendiri-"

   Di antara orang-orang Lam-cong yang hampir dua ribu orang itu, Wan Lu diam-diam tersenyum geli, apalagi ketika mendengar Ngoyap Cin-jin berkata semakin keras.

   Apakah kalian tidak merasa kalau roh Sribaginda sudah kecewa terhadap kalian? Hal itu dikatakannya langsung kepadaku.

   Ya! Roh Sribaginda juga memberiku perintah, aku harus menyadarkan kalian kembali ke garis perjuangan yang murni.

   Kalau kalian tidak menuruti pesan Sribaginda, kami diberi hak untuk menghukum kalian.

   Tapi ternyata kalian malah semakin nekad, karena merasa iri bahwa kami yang dipilih oleh Sribaginda, lalu kalian membunuh Cu-peng Cinjin!"

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Disusul dengan caci-maki yang sengit dan menyeramkan dari orang-orang Pak-cong. Setelah caci-maki kehabisan suara, baru lah pemimpin Lam-cong, Tiat Beng Hou, berkata dengan tenang.

   "Kawan-kawan dari Pak-cong, kalian sungguh keliru kalau mengira pihak kami yang membunuh Cu-peng Cin-jin. Harap tahu, pihak kami juga amat menghormati Cu-peng Cin-jin yang paling sering dipilih oleh roh Sribaginda untuk menyampaikan perintahperintahnya."

   Ujung kalimatnya tenggelam dalam gemuruh caci-maki kaum Pak-cong. Dan yang suaranya paling keras ialah Ngo-yap Cin-jin.

   "Menghormati? Kalau kalian percaya Cu-peng Cin-jin adalah saluran perintah Sri baginda, kenapa selama ini Kalian tidak menuruti katakatanya? Kenapa kalian bersikeras tidak mau menyembelih si anjing Manchu cilik Hong-lik itu? Padahal Cu-peng Cinjin sudah mendapat pesan gaib, kalau Hong-lik dikorbankan, kebangkitan Kerajaan Beng tak tertunda lagi, seperti terbitnya matahari di ufuk timur! Tapi kalian malah bersikap seperti bandit-bandit picisan saja, hendak menggunakan Hong Lik untuk memeras guna mendapatk. uang! Huh, rendah sekali niat kalian."

   Wajah Tiat Beng Hou mulai bersemu merah.

   Sebagai pimpinan Lam-cong yang punya harga diri, ia tersinggung dihadapan anak buahnya dihujani dampratan setajam itu oleh orangorang Pak-cong.

   Namun demi keutuhan Peklian-kau, ia masih mencoba bicara baik-baik.

   "Cin-jin berdua, tidakkah kurang baik kalau kita bicara begini emosional di hadapan anak buah kita? Mari masuk ke depan altar, lalu bersujud agar roh Sribaginda memutuskan perselisihan kita. Kita akan mencapai kesepakatan tanpa menimbulkan perpecahan di antara sesama teman sepejuangan."

   "Tidak perlu!"

   Ngo-yap Cinjin ngotot.

   "Perintah Sri Baginda sudah jelas kudengar, buat apa masih mengganggu ketenteramannya di alam baka? Kami harus menindak siapapun yang menyeleweng dari garis perjuangan, kecuali kalau kalian cepat-cepat sadar dan selanjutnya mohon ampun dan mengikuti semua pesan Sribaginda.' Tiat Beng-Hou tertawa dingin sambil berkata mengejek.

   "Perintah Sri Baginda yang mana? Kalian ini keseringan mencatut nama Sri Baginda untuk kepentingan kalian sendiri. Apapun yang menjadi selera kalian, lalu kalian umumkan atas nama Sri Baginda dan semua orang harus menurut kalian. Hem, memangnya gampang bagi kami untuk menelan segala omong kosong kaitan?"

   Kata-kata yang mulai tajam ini disambut sorak-sorai orang-orang Lam-cong, dipelopori oleh Wan Lui. Ngo-yap Cin-jin murka, sekonyong-konyong dia melompat untuk memukul kepala Tiat Beng Hou dengan tongkatnya, sambil berseru sengit.

   "Kaulah yang kesurupan arwah Co Huasun!"

   Co Hua-sun adalah pemimpin para sida-sida di jaman Kaisar Cong Seng dulu, yang sering menyelewengkan dan memcatut nama Kaisar demi kepentingannya sendiri, membuat pemerintahan morat-marit dan akhirnya ambruk diterjang pemberontakan Li Cu-seng.

   Semua orang yang berjuang untuk kebangkitan kembali dinasti Beng, amat membenci Cu Hua-sun, tidak terkecuali Tiat Beng Hou.

   Maka makian Ngo-yap Cinjin itu benar-benar menghabiskan kesabarannya.

   Pukulan tongkat Ngo-yap Cinjin dengan berani ditangkis dengan lengan kanannya yang palsu dari besi itu.

   Terjadi benturan, keduaduanya tergeliat mundur.

   Sekali mulai bertempur, ternyata Tiat BengHou amat ganas.

   Ngo-yap Cinjin mundur, dia |ustru mendesak ma|u dengan tangan kiri mengancam leher, dan tendangan kaki kanan mengancam pinggang.

   Begitulah, perselisihan antara dua cabang Pek-lian-kau itu makin menghebat, berubah menjadi pertikaian terbuka dengan senjata.

   Bukan lagi para anak buah sekedar mengejek dan para pemimpin mengendali kan, namun kini para pimpinan sudah baku hantam secara fisik dan anak buah mereka menyoraki, mendukung, kalau perlu terjun ke gelanggang.

   Sementara pertarungan Tiat Beng Hou dan Ngo-yap Cin-Jin semakin seru dan seluruh perhatian terpusat ke gelanggang itu, Wan Lui ingin mencari kesempatan untuk mengetahui dimana Pangeran Hong Lik diseKap.

   Kepada orang Lam-cong di sebelahnya, ia bertanya.

   "Orang-orang Pak-cong itu sebenarnya punya sasaran utama merebut Pargeran Hong Lik, kita harus memperkuat penjagaan di tempat itu. Kau tahu dimana terpat bangsat Manchu Hong Lik itu disekap?"

   "Di salah satu ruang barak pimpinan, tapi tidak tahu ruang yang mana, sahut yang ditanya.

   "He, Gan Hong Lui, kau mau kemana?"

   "Ke barak untuk ikut menjaga di sana. Siapa tahu orang-orang Pak-cong menggunakan siasat "memancing harimau meninggalkan gunung*? Mereka memancing kita semua ke lereng utara itu untuk diajak bertengkar, sedangkan lereng selatan tempat itu mereka gerayangi diam-diam dengan mengirimkan orang untuk mencuri bangsat Manchu Hong Lik itu?"

   "Tempat itu sudah dijaga."

   "Ah, berjaga-jaga lebih dulu, apa salahnya?"

   "Apakah kau sudah gila? Kita belum diperintahkan oleh Toa-hiang-cu. "Toa-hiang-cu sedang sibuk meladeni kerbau gila dari Pak-cong itu, mana sempat memberi perintah? Kita harus mengambil. prakarsa sendiri demi. tetap menguasai Hong Lik! Orang-orang Lam-cong tak sanggup membantah dalih yang dikemukakan oleh Gan Hong Lui"

   Itu, dan tak sanggup mencegah ketika "teman mereka yang kelewat sadar kewajiban"

   Itu berjalan meninggalkan barisan, tanpa raguragu menuju ke lereng selatan. Beberapa Hio-cu (pemimpin cabang) juga melihat Wan Lui keluar dari barisan, tapi mereka diam saja sebab sama-sama berpikir.

   "Tentu dia anak buah salah satu Hio-cu yang entah sedang disuruh apa."

   Waktu itu, perkelahian antara Tiat Beng Hou dan Ngo-yap Cin-jin sudah meningkat makin panas, belasan jurus jurus hebat sudah mereka pertukarkan.

   Kedua pihak sama-sama merasa sulitnya menundukkan lawan, tapi justru membuatnya semakin ngotot untuk mengalahkan.

   Pimpinan mana yang sudi kehilangan muka di hadapan anak-buah masing-masing? Namun sampai sejauh itu, kedua orang itu belum punya ingatan untuk menggunakan ilmu gaib, sebab masing-masing sadar bahwa pihak lawan terlalu mudah untuk menangkal.

   Kini keduanya menaruh harapan pada tipu-tipu silat mereka.

   Sementara itu, dengan berjalan terangan seolah-olah memang sedang ditugaskan pimpinan, Wan Lu.

   sampai ke barak di lereng selatan.

   Barak itu dijaga oleh puluhan anggota Lam-cong yang terpercaya.

   Melihat datangnya Wan Lui, mereka heran belum mengenalnya dan bertanya.

   "He, siapa kau? Kenapa berani masuk kemari. Lebih dulu Wan Lui memberi hormat, lalu berkata.

   "Di lereng utara sudah terjadi bentrokan kita dengan kaum Pak-cong. Karena Thio Hiang-cu khawatir kalau ada orang Pakcong yang diam-diam menyelundup kemari untuk mengambil Hong Lik, dia menyuruh aku untuk melihat bagaimana keadaan di sini." "Kau sendiri siapa? Kenapa belum menyebut nama?"

   Wan Lui menjawab dengan berlagak bangga.

   "Aku Gan Hong Lui, ikut menyumbangkan tenaga melawan anjing-anjing Manchu di Kim-teng, ketika dulu kita menculik Hong Lik!"

   Penjaga-penjaga barak itu mulai percaya.

   Namun karena tugas menjaga Pangeran Hong Lik itu berat tanggung-jawabnya, mereka tak bisa membiarkan sembarangan orang yang tidak mereka kenal menyelonong masuk ke tempat itu.

   Tak peduli orang yang mengaku pernah "ikut menyumbang tenaga melawan anjing-anjing Manchu sekalipun."

   "Jadi apa maksudmu kemari?"

   Beberapa detik sambil bertanya-jawab itu digunakan oleh Wan Lui untuk menyapukan pandangannya melihat keadaan bagian dalam barak itu.

   Di satu pojokan nampak sebuah tempat tertutup yang mirip panggung, dijaga berlebihan, maka gampang saja Wan Lui menerka bahwa tempat itulah tempat Pangeran Hong Lik disekap.

   Kalau Wan Lui mau bertindak, dengan ilmu silatnya yang tinggi tentu bisa melumpuhkan penjaga-penjaga itu untuk membawa lari Pangeran Hong Lik.

   Tapi tindakan macam itu hanya akan menyadarkan Pak-cong maupun Lam-cong bahwa pertikaian mereka telah dimanfaatkan oleh pihak ketiga, dan mereka akan bersatu kembali biarpun cuma untuk sementara.

   Wan Lui tidak mau hal itu terjadi, la ingin Pak-cong dan Lam-cong saling gempur, makin hebat makin baik, agar kekuatan mereka menjadi lemah, dan berarti makin ringan tugas pasukan dari Hong-yang untuk menumpas mereka nanti.

   Menjawab penjaga-penjaga barak itu, Wan Lui .cuma bilang.

   "Syukurlah kalau tawanan itu tetap aman di tempatnya. Thio Hiang-cu berpesan agar kalian tetap waspada, sebab orang-orang Pak-cong siap merebut Hong Lik dengan cara apa saja. Mungkin sebentar lagi mereka akan menyerbu kemari." "Katakan kepada Thio Hiang-cu, kami akan menjaga sebaik-baiknya."

   "Kalau begitu, akan segera kulaporkan kepada Thio Hiang-cu agar lega,"

   Kata Wan Lui dengan berlagak sungguh-sungguh, lalu pergi dari situ. Dari depan kuil sayup-sayup masih terde ngar sorak-sorai orang Pak-cong maupun Lamcong yang mendukung "jago"

   Mereka masingmasing.

   Nampaknya situasi makin hangat.

   Namun Wan Lui tidak segera kesana untuk "laporan kepada Thio Hiang-cu", malahan ia berjalan memutar lewat belakang Kuil yang berupa lereng berhutan, dan tiba di perkemahan orang Pak-cong di sisi utara.

   Sebagian besar orang Pak-cong memang mengikuti Ngo-yap Cin-jin, tapi ada sebagian yang tinggal di perkemahan.

   Ketika berpapasan dengan seorang yang berdandan seperti imam, masih muda, Wan Lui mendekatinya dan menyapa.

   "Maaf, Cin jin."

   "Siapa kau?" "Aku adalah seorang anggota Pek-lian-kau dari cabang Pak-cong, ingin menyampaikan kabar penting kepada Ngo-yap Cin-jin atau Cusian Cin-jin, tetapi kedua Cin-jin itu sedang sibuk."

   "Sampaikan saja kepadaku, berita penting soal apa?"

   "Bukankah kita perlu Hong Lik untuk disembelih dan dipersembahkan kepada arwah leluhur Kerajaan Beng, sebagai titik awal bangkitnya kembali Kerajaan beng?"

   "Benar, tapi kaum Lam-cong mengangkangi sendiri tawanan itu."

   "Cin-jin, baru saja aku diam-diam menyelidiki lewat belakang kuil ke barak pimpinan Lam-cong, dan sekarang aku sudah tahu dimana mereka menyembunyikan Hong Lik."

   Si imam muda itu tertarik oleh berita yang dibawa Wan Lui.

   Memang soal yang belakangan itu membuat kaum Pak-cong mas-gul dan penasaran ialah soal Pangeran Hong Lik itulah.

   Pak-cong merasa pihak merekalah yang lebih besar jasanya dalam penangkapan Pangeran Hong Lik, sebab merekalah yang lebih dulu "merintis kontrak"

   Dengan komplotan Liong Ke Toh di istana. Arti penting Pangeran Hong Lik bertambah setelah Cu-peng Cin-jin mengaku mendapat "pesan gaib"

   Roh Sribaginda bahwa kalau Hong Lik disembelih di altar, kebangkitan dinasti Beng akan segera terwujud. Dan seluruh ang gota Pak-cong mempercayainya. Maka alangkah murkanya mereka ketika malah kaum Lam-cong yang me "monopoli"

   Pangeran Hong Lik, bahkan tidak setuju kalau Pangeran itu disembelih, tapi hendak untuk memeras pihak istana saja.

   Sejak itu, keinginan orang-orang Pak-cong hanyalah merebut Pangeran Hong Lik, tapi belum menemukan ke sempatan.

   Kini laporan Wan Lui itu dianggap sebagai munculnya sebuah kesempatan.

   Imam muda itu segera mengumpulkan puluhan ang gota Pakcong yang masih tertinggal di perkemahan.

   Lalu dengan membawa senjata, mereka merundukrunduk di antara pepohonan di lereng belakang kuil Hong-kak-si, menuju ke tempat yang akan ditunjukkan Wan Lui.

   Sambil ikut bersama mereka, Wan Lui berkata kepada si imam muda.

   "Keserakahan orang-orang Lam-cong itu benar-benar menjemukan. Mereka bahkan tega membunuh Cu-peng Cin-jin hanya agar bisa tetap menguasai Hong Lik yang akan mereka tukarkan dengan uang. Uang saja yang mereka pikirkan, sampai lupa tujuan perjuangan yang sebenarnya!"

   Imam itu adalah keponakan murid Cu-peng Cin-jin, namanya Siok Sim Cu, wataknya agak berangasan mirip Ngo-yap Cin-jin. Kata-kata Wan Lui itu membakar hatinya.

   "Kau tahu Cupeng Su-siok di bunuh orang-orang Lam-cong itu benar-benar melihat sendiri atau cuma ikutikutan pendapat orang banyak?" . Dengan sikap meyakinkan Wan Lui menjawab.

   "Kalau pembunuhan itu memang tidak kulihat sendiri. Tapi semalam kulihat Toat Beng Hou dan Thio Yap berjalan meninggalkan barak pimpinan, tidak lama setelah Cu-peng Cin-jin menuju ke arah yang sama, di padang ilalang itu."

   Dalam suasana penuh kemarahan itu, orang takkan sempat menyaring lagi mana yang benar dan mana yang salah.

   Bualan atau bukan bualan tak dibedakan lagi, semua pihak hanya membutuhkan lebih banyak dorongan untuk menghancurkan pihak yang dibenci.

   Maka kata-kata Wan Lui itu menggusarkan Siok Sim Cu dan orang-orang Pak cong yang mengikutinya.

   "Memang, menilik bekas-bekas pertarungan di sekitar mayat Cu-peng siok itu kukira telah terjadi pertarungan dengan menggunakan bendera jimat tao-hun-ki dan Ngo-lui-ki. Ada orang-orangan kertas kuning dan semak-semak yang terbakar hangus. Di antara orang-orang Lam-cong pun tokoh-tokohnya bisa menggunakan bendera-bendera jimat itu, jadi hai ini jelas perbuatan mereka!"

   Geram Siok Sim Cu....Lebih licik lagi, Cu-peng Cin-jin pasti dikeroyok dua oieh si tua tangan buntung itu dan Thio Yap,"

   Seorang anggota membakar hati. "Kita sudah tahu sendiri bagaimana tinggi ilmu silat Cu-peng Cin-jin sampai dia bisa dengan mudah bicara dengan roh Sribaginda. Kalau tidak dikeroyok secara licik, mana bisa Cu-peng Cin-jin dikalahkan."

   "Makin rendah saja watak orang-orang Lamcong itu. Mereka sudah lebih mementingkan uang daripada kesetia kawanan dan cita-cita kebangkitan."

   "Memangnya baru sadar sekarang Ingat saja beberapa tahun yang lalu ketika kita menyerbu Pak-khia bersama teman-teman dari. Jit-goatpang, malahan orang orang Lam-cong tidak membantu. Membiarkan teman-teman kita ditumpas di Pak-khia sampai laksaan orang korbannya.

   "Kaum Lam-cong sudah menjadi bonekanya Thian-te-hui, mendukung Cu-sam Thai-cu yanR bercokol di Pulau Taiwan tanpa mau tahu beratnya perjuangan di daratan.' Itulah percakapan yang seperti minyak, mengobarkan kemarahan dan mengikis habis semua keraguan. Mereka menyusup hutan di lereng belakang kuil itu, dan sampai di bagian belakang barak pimpinan Lam-cong di lereng sebelah selatan.

   "Begitu kurobohkan tembok itu, kalian, langsung menyerbu dan merebut Pangeran Hong Lik, ya?"

   Pesan Siok Sim Cu kepada "pasukan"

   Nya yang nekad itu.

   Semua pengikutnya mengiakan, sedang Wan Lui diam-diam mengharap jangan sampai Pangeran Hong Lik benar-benar jatuh ke tangan orang-orang Lam-cong ini, bisa langsung disembelih.

   Tujuannya membawa orang-orang Pak-cong ke situ hanyalah untuk memperhebat bentrokan kedua cabang Pek-lian-kau itu.

   Sebab bagi Wan Lui, golongan seganas Pek-lian-kau tidak patut dibiarkan bercokol lebih lama lagi di kolong langit.

   Supaya jangan lagi ada perempuan hamil, anak-anak dan orang-orang tak berdosa lain yang disembelih atau dikubur hidup-hidup demi menyenangkan para Thianpeng pujaan Pek-lian-kau.

   Sementara itu Stok Sim Cu telah mengeluarkan bendera Ngo-lui-ki yang lima warna itu, sambil mulai komat-kamit membaca mantera, bendera itupun mulai digoyanggoyang di atas kepala.

   Di tempat itu tiba-tiba muncul asap hitam di atas kepala yang makin lama makin tebal, menebar beberapa meter diatas tanah seperti payung yang menahan sinar matahari.

   Angin yang mula-mula lembut menyejukkan, tiba-tiba makin keras dan dingin, debu dan pasir yang terangkat pun menambah suasana tambah gelap.

   Wan Lui tinggal menunggu saja bendera itu dikibaskan, lalu kilat hijau akan menyambar.

   Tapi sebelum Siok Sim Cu sempat mengibaskan bendera Ngo-lui-ki, tiba-tiba dia malah disambar lebih dulu.

   Imam muda itu sempat mengelak, tapi seorang anggota Pak cong yang berdiri di belakangnya telah tersambar hangus dan terkapar tak berdaya lagi Semuanya terkejut.

   Sementara itu dari atas dinding-dinding barak tiba-tiba berlompatan keluar orang-orang Lam-cong yang bertugas menjaga Pangeran Hong Lik.

   Salah satu dari mereka juga memegang bendera Ngo-lui-ki dan juga sedang berkomat-kamit menggumamkan mantera.

   Dua bentakan berbareng, berbareng pula Siok Sim Cu dan pemegang Ngo-lui-ki di pihak Lam-cong itu mengayunkan jimat mereka.

   Dua jalur hawa panas yang gaib menyambar berlawanan.

   Siok Sim Cu kaget karena pundak kirinya kena dan hangus, sedang lawannya roboh sempoyongan karena paha kirinya tersambar hangus pula.

   "Keparat! Serbu!"

   Perintah Siok Sim Cu berangasan.

   "Pertahankan!"

   Seru orang-orang Lam cong pula. Orang-orang Pak-cong dan Lam-cong pun segera saling gempur dengan hebat. Ketika orang-orang Lam-cong mulai terdesak, karena jumlah lawan mereka lebih banyak, maka salah seorang dari mereka berseru.

   "Pergi panggil bantuan! Orang-orang Pak-cong hendak merebut tawanan!" Siok Sim Cu tidak mau kalah, dan berseru pula.

   "Panggil orang lebih banyak kemari!"

   Sementara pertempuran berlangsung sengit sambil menunggu bantuan dari pihaknya masing-masing, Wan Lui ikut bertempur pula, namun hanya "bertempur sekedarnya"

   Saja.

   Artinya tidak sungguh-sungguh menunjukkan ilmu silat ajaran Pak Kiong Liong, melainkan sekedar lompat-lompat dan menunjukkan jurus-jurus picisan yang tidak lebih baik dari rata-rata kemampuan orang kedua pihak.

   Namun dia bertempur sambil meneriakkan slogan-slogan yang bersemangat dan memanaskan hati.

   Memanaskan hati, itulah tujuannya.

   Wan Lui sendiri secara tidak kentara bergeser sedikit demi sedikit, sambil bertempur, sampai ia berhasil keluar dari gelanggang yang semakin panas itu lalu bersembunyi di balik sebatang pohon.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sesaat ia berpikir, haruskah menolong Pangeran Hong-lik lebih dulu? Setelah ditimbang-timbang, akhirnya ia memutuskan untuk lebih dulu pergi ke Hong-yang untuk menghubungi Kwa Cin-beng.

   Pertempuran Pakcong dan Lam-cong dibiarkan dulu, toh Pangeran Hong Lik untuk sementara juga akan tetap aman dalam sekapannya.

   "Biar kaum sesat ini lebih dulu saling melemahkan, agar nanti pekerjaan tentara kerajaan lebih ringan."

   Perlahan dia bergeser meninggalkan perkemahan kaum Pek-lian-kau yang tengah dilanda kemelut hebat itu. Bibit kemelut yang memang sudah "dimatangkan"

   Selama bertahun-tahun, memuncak ketika Pangeran Hong Lik ditangkap, lalu Wan Lui tinggal "menekan tombol"

   Saja .

   Setelah cukup jauh dari perkemahan dan rasanya tidak terlihat lagi oleh orang-orang Pek-lian-kau, Wan Lui tidak ragu-ragu lagi memakai ilmu meringankan tubuhnya untuk melesat ke arah kota Hong-yang.

   Seperti sebatang panah meninggalkan busurnya, tubuh Wan Lui melesat menyeberangi padang perdu, dan tidak lama kemudian pintu kota Hong-yang sudah di depan mata.

   Karena Wan Lui memakai baju hitam bergambar teratai putih, seragam Pek-lian-kau kalau sedang berkumpul dengan sesamanya, maka bisa timbul masalah dengan para penjaga kota.

   Untuk menghindarinya, lebih dulu Wan Lui membalik bajunya sehingga gambar teratai putih jadi tidak terlihat.

   Setelah itu, ia berjalan dengan wajar memasuki kota, dan bergegas langsung ke gedung kediaman Kwa Cin Beng.

   Kebetulan berpapasan dengan Kwa CinBeng di depan pintu, agaknya si Hong-yang Cong-peng itu baru pulang dari tangsi, nampak ia berseragam tempur dan menunggangi kuda.

   Tapi begitu melihat "Lui Hong-gan, Komandan Pasukan Rahasia Istana"- maka buru-buru ia melompat turun dari kuda dan menyapa dengan hormat.

   "Lui Cam-ciang, ada perkembangan baru?"

   Wan Lui membalas hormat dan berkata.

   "Benar, Cong-peng. Bisa kita bicara di dalam?" Merasa bahwa dalam urusannya dengan "Lui Cam-ciang ini dirinya sedang mempertaruhkan kedudukannya plus batang lehernya, karena menyangkut keselamatan Putera Mahkota, maka Kwa Cin Beng tidak berani ayal-aylan. Kuda diserahkan seorang prajuritnya untuk ditambatkan, dan Kwa CinBeng sendiri menggandeng tangan Wan Lui ke ruangan tengah. Begitu duduk di ruang tengah, Wan Lu. tidak mau menggunakan kata pembukaan yang bertele-tele, tapi iangung ke pokok masalah.

   "Kwa Cong-peng, pasukan mu sudah siap?"

   "Sudah. Detik inipun bisa kugerakkan."

   "Bagus. Kalau kita berhasil menyelamatkan Putera Mahkota kali ini, pasti tidak lupa kupujikan Cong-peng kepada Sri Baginda untuk kenaikan pangkat." "Terima kasih."

   Semangat Kwa Cin Beng tambah, berkobar.

   "Kuharap pasukan Cong-peng tetap bersiap, namun jangan dulu bergerak sekarang, tunggu isyaratku. Sisa setengah hari sebelum hari menjadi gelap ini, kuharap Cong-peng melakiAan suatu hal..."

   "Aku menunggu petunjuk Cam-ciang."

   "Cari ayam hitam, kucing hitam, anjing hitam, kambing hitam, kelinci hitam sebanyakbanyaknya dan sembelih. Kumpulkan darah binatang-binatang itu disebuah gentong besar. Pasukan Cong-peng yang berangkat bertempur haruslah membuat bumbung bamboo kecil, diisi darah binatang-binatang itu untuk dibawa bertempur. Tapi lakukan ini ditempat tertutup, jangan sampai penyembelihan hewan besarbesaran ini dilihat orang dan menimbulkan keheranan."

   "Kwa Cin Beng tercengan.

   "Buat apa darah hewan-hewan itu dibawa ke medan perang.?"

   "Untuk memunahkan ilmu silumah orangorang Pek-lian-kau. Selain itu, tiap komandan regu hendaknya membawa sekantong jerohan binatang-binatang itu. Kalau menemui hal-hal gaib yang tidak masuk akal merintangi pasukannya, sambitkan benda-benda itu. Paham?" "Paham. Kenapa gerak pasukanku harus menunggu sampai hari gelap?"

   "Pertama, agar gerakan kalian tak sempat diketahui orang-orang Pek-Lian-kau, Kedua sisa setengah hari sebelum gelap ini akan kugunakan untuk menyingkirkan Pangeran Hong Lik ke tempat aman, Ketiga, menunggu sampai kekuatan orang-orang Pek-lian-kau berkurang banyak, sebab antara mereka sedang terlibat bentrokan antara cabang mereka sendiri. Antara cabang Pak-cong dan cabangcabang Lam-cong"

   "Oh, bisa begitu?"

   "Ya. Karena diantara mereka banyak ketidak-cocokan, dan setelah berhasil menangkap Pangeran Hong Lik, bukan mereka tambah rukun, malahan memperebutkan Pangeran Hong Lik sehingga timbul pertikaian terbuka"

   "Kalau mereka babak belur oleh teman sendiri, tentu akan meringankan pekerjaan ku" "Tapi hati-hatilah dengan ilmu gaib mereka yang lihai"

   "Baik, Tanda apa yang akan Cam-ciang gunakan, kalau Cam-ciang sudah berhasil menyingkirkan Pangeran Hong Lik ke tempat aman, sehingga kami boleh menyerbu?"

   "Kembang api luncur saja. Apakah Cong Peng bisa memberiku sebatang?"

   "Tentu saja ada."

   Lalu Kwa Cin Beng menyuruh seorang anak buahnya untuk mengambilkan sebatang kembang-api-luncur yang biasa digunakan sebagai isyarat kemiliteran di malam hari.

   Seperti juga roket-asap di siang hari.

   Sambil memasukkan benda itu ke balik bajunya Wan Lui berkata lagi.

   "Soal siasat penyergarpan, aku percaya Cong-peng iebih mahir daripadaku yang cuma mahir bertempur perorangan. Itu sepenuhnya ada di pundak Cong-peng. Cuma soal pemunah ilmu gaib itu jangan sampai lupa. Pasukan di Kim-teng pernah menelan pil pahit ketika menghadapi ilmu gaib kaum Pek-lan-kau. "Aku takkan lupa."

   "Atas nama keluarga istana. aku mengucap terima kasih."

   Kata Wan Lui berlagak orang istana tulen.

   "Jangan begitu, Cam-siang. Akukan abdi kekaisaran, seperti kau juga."

   "Nah, selamat bekerja."

   Lalu Wan Lui cepat-cepat pergi dari situ.

   Sementara itu Kwa Cin Beng benar-benar menyiapkan apa yang dipesankan Wan Lui tentang mengumpulkan darah binatangbinatang berbulu serba hitam itu, setelah itu tinggallah menunggu saatnya matahari terbenam untuk bergerak menggempur para peziarah gadungan yang berkumpul di kuilHong-kak-si itu.

   * * * Kembali menggunakan ilmu meringankan tubuhnya setelah berada di luar tembok kota Hong-yang, Wan Lui menuju ke kuil Hong-kaksi.

   Di suatu tempat sunyi, kemba li Wan Lui membalik baju hitamnya, sehingga gambar teratai putih kembali nampak di dada sebelah kirinya.

   Makin dekat ke kuil bersejarah itu, makin jelas suara riuh-rendahnya pertempuran cabang Pak-cong dan Lam-cong yang agaknya sudah menjadi pertarungan massal.

   Bukan lagi cuma pertarungan antara pimpinan, bukan pula sekedar sekelompok dengan sekelompok, tapi menyeluruh.

   Bahkan orang orang yang tidak suka bentrokan intern itu-pun terpaksa terseret pusaran pertentangan yang makin ganas.

   Kedua cabang Pek-lian-kau itu rupanya sudah ketemu jalan buntu menyelesaikan perselisihan mereka dengan cara damai, kini masing-masing pihak mencoba menemukan jalan dalam mengadu tajamnya senjata.

   Di suatu tempat sunyi Wan Lui berhenti sebentar.

   Beberapa detik lamanya ia tenggelam dalam keheningan untuk mencari kekuatan jiwa.

   Ia sadar, di sekitar kuil Hong-kak-si itu akan banyak kekuatan-kekuatan adikodrati ikut campur, karena kaum Pek-lian-kau memang menghamba kepada penguasa-penguasa gaib itu.

   Tapi Wan Lui yakin bahwa manusia pun sebenarnya bukan boneka di tangan penguasapenguasa seberang kubur itu karena manusia dicipta-kan berdaulat atas dirinya dan seisi jagad.

   Berdasarkan keyakinan itulah Wan Lui masuk ke gelanggang.

   Diiihatnya di lereng-lereng sekitar Hong kak-si itu orang-orang Pak-cong maupun Lamcong benar-benar sudah bercampur-aduk dalam nafsu kemarahan yang agaknya hanya akan bisa terpuaskan kalau lawan sudah mampus binasa.

   Tidak peduli yang mereka anggap "lawan"

   Saat itu sama-sama sebaju hitam bergambar teratai putih.

   Baju tinggal baju.

   Pusat bentrokan paling sengit adalah di sekitar barak pimpinan Lam-cong di lereng selatan, tempat Pangeran Hong Lik disimpan oleh orang-orang Lam-cong, sementara pihak Pak-cong ingin merebutnya dengan taruhan apapun.

   Wan Lui langsung mengayun langkah ke lereng selatan itu.

   Tak pelak lagi, setiap langkah Wan Lui harus melalui ribuan orang yang tengah bertempur bercampur aduk.

   Karena baju Wan Lui bertanda Lam-cong, maka ia banyak mendapat serangan dari orangorang Pak-cong.

   Tapi kali ini Wan Lui tidak berpura-pura lagi.

   Dengan ilmunya yang tinggi, yang kini ditunjukkannya tanpa sembunyisembunyi lagi, maka setiap lawan diterjang atau disingkiri dengan mudah, sampai mengejutkan kedua belah pihak.

   Bagaikan seekor burung elang terbang di udara, ia melewati atas kepala orang-orang yang bertempur itu untuk langsung ke barak penyekapan Pangeran Hong Lik.

   Diluar barak, pertempuran cukup sengit.

   Namun di dalam barak, jauh lebih sengit iagi.

   Begitu padat.

   Tidak ada sejengkal tanahpun kosong dari orang-orang yang saling serang dengan penuh kebencian.

   Teriakan gusar, jeritan menyayat, gemerincing senjata, semuanya campur aduk menghanguskan jiwa yang lemah, sebaliknya makin menegarkan jiwa-jiwa yang penuh kebencian menjadi lebih membenci lagi.

   Wan Lui menerjang terus sampai ke rumah berbentuk panggung yang digunakan untuk menyekap Pangeran Hong Lik, terlihat betapa ketatnya penjagaan oleh orang-orang cabang Lam-cong.

   Ke bagian ini agaknya orang-orang Pak-cong berusaha menembus, namun belum berhasil, masih bertahan belasan meter dari arah panggung.

   Namun Wan Lui tidak bisa disirnakan de ngan orang-orang Pak-cong.

   la melompat seperti elang, sepasang tangan dan kakinya berkelebat merobohkan beberapa orang Lam cong.

   Keruan para penjaga Pangeran Hong Lik itu kaget ketika melihat si penyerang yang hebat itu berseragam sama dengan me reka.

   "He, siapa kau?"

   Wan Lui tidak menjawab, tinju dan kakinyalah yang "Menjawab"

   Secara amat tidak bersahabat. Lagi beberapa penjaga roboh. "Halangi dia! Mungkin sekarang dia sudah menyebrang ke pihak Pak-cong untuk merampas si bangsat Manchu kecil Hong Lik.!"

   "He, bukankah dia itu Gan Hong Lui yang ikut rombongan pembawa Hong Lik dari perkemahan di tepi danau kecil itu? Kenapa sekrang ia mengamuk kita macam orang gila begini.?"

   "Tidak peduli.! Halangi dia!"

   Berarti Wan Lui harus berhadapan dengan bekas "teman-temannya"

   Sendiri "Gan Hong Lui, kau kesurupan?! Kenapa menyerang kami?"

   "Bebaskan Pangeran Hong Lik,"

   Itulah jawaban pendek dari Wan Lui sambil menerjang hebat.

   Biarpun orang-orang Pek-Lian-kau itu bersenjata dan Wan Lui belum mencabut pedangnya, tapi Wan Lui mampu membuat perintang-perintangnya berpelantingan babak belur.

   Setelah Wan Lui menunjukkan ilmu silat yang sebenarnya, maka lawan-lawannya jadi seperti helai-helai jerami yang dilintasi badai.

   Maka sesaat kemudian Wan Lui sudah berada dibawah rumah panggung itu, ia bisa saja sekali lompat tiba diatas namun sengaja ia melewati tangga kayu tebal itu sambil mengerahkan tenaga penghancur di sepasang kakinya.

   Maka anak-anak tangga yang dilewatinya itu langsung berantakan tak bisa dilewati lagi, dengan demikian sedikit banyak bisa menghambat kejaran lawan-lawannya.

   Setelah itu Wan Lui baru mendobrak pintu rungan kecil berbentuk panggung itu.

   Itulah sebuah ruang kecil yang benar-benar tertutup, sehingga disiang hari pun merasa gelap, muram.

   Merapat di dinding ada meja kecil yang diatasnya penuh sesajian sembahyang dan ada sebatang lilin menyala.

   Ada pula sebuah guci kecil yang tertutup kain merah di tengah meja sesajian itu.

   Entah apa isinya.

   Sedang Pangeran Hong Lik terbaring di sebuah dipan dengan mata terpejam rapat, mukanya jauh lebih pucat dan kurus daripada ketika terahir dilihat Wan Lui dulu.

   Cepat Wan Lui mendekati tubuh itu menggoyang-goyang pundaknya perlahan, dan memanggil.

   "Pangeran..Pangeran. Sekian lama ia berbuat demikian, tidak juga Pangeran Hong Lik membuka matanya Tidurnya benar-benar pulas, pulas yang tidak wajar. Dibilang mati juga tidak, sebab masih ada napasnya yang mengalir biarpun lemah, begitu juga masih terdengar denyut jantungnya. Tapi kalau masih hidup, kenapa tidak bisa dibangunkan? Wan Lui menggoncang tubuh Pangeran Hong Lik lebih keras, dan tetap tidak ada hasilnya. Ia mulai kebingungan, haruskah ia menggendong tubuh itu melewati kancah pertempuran yang begini ganas, apalagi Pangeran Hong Lik adalah orang yang dikehendaki oleh kedua belah pihak? Selagi Wan Lui kebingungan, tiba, tiba didengarnya dalam guci kecil di altar itu ada suara kelitak-kelitik lirih. Cepat Wan Lui menyambar guci itu dan membantingnya pecah di tanah. Isinya ternyata seekor kepiting hidup. Cepat Wan Lui mendekati tubuh itu menggoyanggoyang pundaknya perlahan, dan memanggil.

   "Pangeran..Pangeran. Anehnya, kepiting itu ditempeli selembar kecil kertas kuning yang. bertuliskan huruf kecil-kecil pula, ditempelkan di punggungnya. Sedang seluruh tubuh kepiting itu diikat benang-benang merah, sapit-sapitnya ditekuk dirapatkan namun kepiting itu masih hidup, masih sanggup bergerak-gerak sedikit dan itulah tadi yang menimbulkan suara kelitakkelitik dalam guci. Hampir saja Wan Lui menginjak mampus hewan itu. yang dikiranya cuma sekedar perlengkapan ilmu gaib. Namun sebuah pikiran lain melintasi benaknva, ia batal menginjaknya, melainkan memungut untuk membaca tulisan yang tempelkan di punggung hewan terbelenggu itu. Tulisan kecil-kecil itu nampaknya seperti angka-angka dan huruf-huruf berisi tanggal kelahiran, shio, bintang pelindung serta beberapa huruf yang seolah tanpa makna. Wan Lui heran, tanggal kelahiran siapa yang ditulis di situ? Mendadak pikiranran Wan Lui terbuka. Kepiting itu dibelenggu diruangan tempat Pangeran Hong Lik dikurung. Jangan-jangan apa yang diperbuat atas hewan itu ada hubungannya dengan Pangeran Hong Lik, biarpun semacam hubungan gaib yang diluar nalar? la lalu ingat, ketika Pangeran Hong Lik hendak dimasukkan tandu, dibawa dari perkemahan di tepi danau itu menuju ke kuil Hong-kak-si, seorang anak buah Pek-lian-kau pernah mengatakan bahwa Pangeran Hong Lik dikuasai oleh yang disebut Soh-hun Hoat-sut (ilmu gaib Pembelenggu Sukma). Mungkinkah kepiting itu adalah salah satu sarana ilmu tersebut? Berpikir sampai ke situ, War Lui meletakkan kepiting itu di meja, menyobek kerta kuning bertulisan di Punggung kepiting itu, merantaskan benang-benang merah yang membelenggu kepiting itu. Baru saja bertang merah terahir diputuskan, dan sang kepiting mulai bergerak-gerak menikmati kebebasannya terdengarlah suara mengeluh perlahan di belakang Wan Lui. Ia menoleh dilihatnya Pangeran Hong Lik sudah membuka matanya, dan mengangkat tangan untuk memegangi jidatnya. Cepat Wan Lui melompat mendekatinya.

   "Pangeran... Pangeran sudah bangun?"

   Sesaat Pangeran Hong-lik menatap Wan Lui dan bicara dengan suara yang lemah. Kau...kau... Wan-heng bukan?"

   "Benar..Kui-heng.."

   Wan Lui mengubah panggilangannya atas Pangearan Hong Lik. Dalam keadaan Pangeran itu masi kebingungan setelah "tidur amat panjang"

   Itu Wan Lui harus membantu menghilangkan kebingungan itu dengan menampilkan dirinya sebagai yang paling dikenali dan mengenali Pangeran Hong Lik. Kalau ingatan Pangeran Hong Lik bisa "digiring"

   Ke peristiwa terakhir sebelum menjadi tawanan Pek-lian-kau, yaitu peranannya sebagai Kui Thian-cu, tentu akan lebih cepat lagi ingatanya pulih. Pangeran Hong Lik menggoyang-goyang kepalaanya sebentar.

   


Komplotan Kelelawar Hitam Karya No Name Misteri Kapal Layar Pancawarna -- Gu Long Pertarungan Terakhir Karya Saini KM

Cari Blog Ini