Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 11


Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Bagian 11



Kemelut Tahta Naga (2) Karya dari Stevanus SP

   

   "Eh, dimana aku sekarang? Dimana prajurit-prajurit siluman yang menjagaku? Dalam waktu sesempit itu, tentu saja Wan Lui tak ada waktu untuk menjelaskan panjanglebar soal itu. Suara riuh renda pertempuran di luar belum mereda, dan sebentar lagi mungkin akan banyak orang-orang Pek-lian-kau menyerbu ke ruangan itu.

   "Kui-heng, kita harus secepatnya pergi dari sini..."

   Desis Wan Lui ketika mendengar derap langkah di luar rumah panggung itu.

   "Kau bisa berjalan tidak.?"

   Pangeran Hong Lik bangkit dari dipan dan mencoba berjalan, tapi ia sempoyongan hampir roboh, sehingga Wan Lui buru-buru menangkap tubuhnya. Diam-diam Wan Lui mengeluh dalam Hati.

   "Mana bisa aku membawa pergi Pangeran Hong lik tanpa menggedongnya, menerobos kancah pertempuran yang begini berbahaya?"

   Sementara itu, lima orang Pek-lian-kau telah berlompatan masuk ke rungan itu.

   Biarpun tangga sudah dihancurkan Wan Lu, orang-orang itu agaknya masuk dengan melompat.

   Yang paling depan dari orang-orang itu ternyata Hoa Cek Gui yang sudah dikenal oleh Wan Lui.

   Orang yang memiliki sepasang lengan yang panjangnya abnormal, ditambah dengan pedangnya yang juga panjangnya abnormal "Gan Hong Lui, rupanya kau kaki tangan Pak-cong!"

   Bentak Hoa Cek Gui, dan pedang nyapun menyambar deras ke leher Wan Lui.

   Saat itu Wan Lui belum menghunus pedang, namun cepat-cepat dia berguling dibawah sambaran pedang justru mendekati Hoa Cek Gui sambil menendang lutut dengan gerakan Bu-siang-toat-bang (setang Bu-siang mencabut nyawa).

   Hoa Cek Gui, sebetulnya bukan pesilat kelas kambing, tapi tidak disangkanya kalau "Gan Hong Lui"

   Mampu bergerak sehebat itu, padahal tadinya ia memandang "Gan Hong Lui"

   Hanya sebagai anak-buah biasa yang kepandaiannya rata-rata saja dengan anak buah lainnya. Agaknya Hoa Cek Gui kurang tinggi. lompatnya, pergelangan kakinyaa kena "digunting"

   Sepasang kaki Wan Lui begitu kuat nya sehingga persendiannya langsung terkilir lepas, sedang tubuhnya terpelanting menubruk dinding yang ada meja altar nya.

   Altar ambruk, sesajian berantakan, sang lilin terlontar.

   Hoa Cek Gui sendiri melolong kesakitan.

   Ternyata serangan Wan Lui belum habis sampai di Situ.

   Putaran kaki Wan Lui masih mematahkan lutut dari dua anggota Pek-liankau lainnya.

   Kemudian Wan Lui melompat bangun, mementang tangannya untuk menjotos dua arah, maka sisa dua orang Pek lian-kau yang masih tegakpun kini dijotos nya ambruk.

   Dengan demikian singkat sekali waktu yang digunakan Wan Lui uhtuk members kan kelima orang lawannya.

   "Kui Heng, mari kugendong ....."

   Kata Wan Lui kemudian.

   Sesaat kemudian, Pangeran Hong Lik sudah digendong oleh Wan Lui di punggungnya.

   Wan Lui mencabut pedangnya dan menerjang keluar ruangan panggung itu.

   Kini demi keselamatan orang yang digendongnya, Wan Lui terpaksa harus bersikap keras kepada perintangperintangnya.

   Tiba diluar, dilihatnya matahari sudah mendekati ujung busur langitnya, di sebelah barat, dan warna langit mulai kelam.

   Pertempuran Pak-cong dan Lam-cong belum reda tapi bahkan menghebat, biarpun jumlah orang di kedua belah pihak sudah berkurang banyak.

   Nafsu membunuh kedua pihak malahan semakin berkobar hebat.

   Dihadapan kuil leluhur Kerajaan Beng, dua pihak sama-sama mengaku "pejuang kebangkitan Kerajaan Beng"

   Itu malahan saling bantai demikian sengit.

   Wan Lui mengeluarkan kembang api-luncur pemberian Kwa Cin Beng dari dalam bajunya, disulutnya sumbunya, lalu dilepasnya meluncur ke udara sehingga membentuk garis api di langit kelam.

   Itulah isyarat buat Kwa Cin Beng.

   Setelah itu, sambil menggendong Pangeran Hong Lik, Wan Lui mulai mengamuk untuk mencari jalan keluar dari gelanggang Orang-orang Lam-cong masih ada belasan orang yang mengejar Wan Lui sampai ke luar barak pimpinan.

   Terpaksa Wan Lui bertindak ganas dengan pedangnya, apalagi ketika melihat lebih banyak lagi orang Lam-cong yang berdatangan memperkuat kepungan atas dirinya.

   Bukan dirinya sendiri yang dicemaskan Wan Lui, melainkan Pangerar Hong Lik yang digendongnya.

   Belum lagi rintangan itu teratasi, sudah kelihatan puluhan orang Pak-cong datang menyerbu ke arahnya.

   Pangeran Hong Lik diamdiam amat berterima kasih untuK kegigihan Wan Lui membelanya, namun ia memahami kesulitan Wan Lui, sehingga dia berbisik ke kuping Wan Lui.

   "Wan-heng, lihat, musuh datang lagi dalam jumlah banyak dan akan semakin mempersulit pelarian kita. Lebih baik kau tinggalkan saja aku, agar kau lebih gampang meloloskan diri. Orang-orang Pek-lian-kau ini takkan membunuhku."

   Tapi Wan Lui menjawab.

   "Jangan takut. Kuiheng. Kedatangan orang-orang Pak-cong itu justru menunjukkan jalan keluar untukku." Lalu sambil bertempur melawan orang orang Lam-cong yang mengejarnya, Wan Lui mencaci-maki dengan suara keras, sengaja diperdengarkan kepada orang-orang Pak-cong.

   "Bangsat-bangsat Lam-cong, kalian sudah menyeleweng jauh dari garis perjuangan suci Pek-lian-kau kita! Kalian mau mengangkangi Pangeran Hong Lik hanya untuk tujuan-tujuan duniawi! Sekarang biarlah Pangeran Hong Lik meniadi urusan kami dan Pak-cong!"

   Begitu rnertdengar kata-kata cacian itu orang Pak-cong yang semula menyerbu Wan Lui, lalu berbelok arah untuk-menyerbu orangorang Lam-cong.

   Mereka, mengira bahwa dWan Lui adalah teman mereka yang rupanya berhasil membawa Pangeran Hong Lik lalu dikejar orang-orang Lam cong.

   Maka orang-orang Pakcong segera menghadang pengejar-pengejar Wan Lui itu dengan anggapan bahwa mereka membela seorang tenian.

   Selagi kedua cabang Pek-lian-kau itu berbaku hantam dengan sengit, Wan Lui sendiri langsung menggunakan kesempatan untuk kabur.

   Sambil dalam hati mengucapkn terima kasih sedalam-dalamnya untuk ketololan orangorang Pak-cong itu.

   Sementara itu, kembang api yang meluncur di langit itu telah terlihat dari kota Hong-yang.

   Kwa Cin Beng yang memang menanti-nanti isyarat itu di atas benteng kota, begitu melihatnya langsung meneriakkan perintah.

   "Pasukan menuju sasaran masing-masing!"

   Para perwira yang tak pernah beranjak dari sekitar Kwa Cin Beng itupun segera menghambur menuruni tangga benteng. Menuju pasukan masing-masing yang sudah siap di dekat pintu-pintu kota Hong-Yang. Tidak melupakan pesan "Lui Hong Gan"

   Maka tiap pasukan itu tidak lupa membawa bumbungbumbung bambu berisi darah hewan, dan para komandan regu bahkan membawa sebungkus jerohan binatang yang dibungkus daun teratai,.

   Diikat, dan dikalungkan di leher mereka, tentu saja baunya amis, tapi begitulah perintah komandan yang mau tidak mau harus dijalankan.

   Kemudian terbukalah pintu-pintu gerbang kota hong-yang.

   Pasukan demi pasukan keluar dari kota, namun melewati jalan yang berbedabeda, sedapat mungkin menjaga jalan-jalan yang mungkin akan dipergunakan kabur oleh orang-orang Pek-lian-kau.

   Kwa Cin Beng sendiri maju memimpin pasukan utama yang terdiri dari seribu lima ratus prajurit, menempuh jalan yang paling langsung ke arah kuil Hong-kak-si.

   Dalam pasukannya juga terdapat seratus prajurit berseniata senapan.

   "penembak-penembak"' mahir yang dilatih khusus untuk menghantam musuh dari iarak jauh. Begitulah, dibawah langit yang mulai gelap, ancaman baru bagi Pek-lian-kau merayap keluar dari pintu-pintu gerbang kota Hongyang. Pasukan-pasukan itu tidak membawa obor. Itu disengaja, agar musuh jangan sampai lebih dulu melihat kedatangan mereka dari kejauhan. Pada saat yang sama, pertempuran di lereng-lereng sekitar kuil Hong-kak-si tambah sengit. Ratusan nyawa sudah melayang, ratusan lagi babak belur, namun itu bukannya menyadarkan kedua pihak bahwa pertern puran harus dihentikan, malahan kalau perlu habis-habisan nyawa sekalian. Lelah memang, tapi nafsu membunuh tak kunjung pa dam, bau darah dan tekanan jiwa yang berat menurunkan martabat mereka menjadi sama dengan binatang. Pihak Pak-cong masih fanatik dengan anggapan bahwa mereka sedang mengemban "perintah Sri Baginda". Karena itu, semua pihak yang berjuang untuk kebungkitan Kerajaan Beng harus menyesuaikan langkah dengan mereka. Sikap orang-orang Lam-cong membuat mereka gusar, dan mereka anggap sudah "menyeleweng". Apalagi setelah pihak Lamcong tidak mau menyerahkan Pangeran Hong Lik, dan matinya Cu-peng Cin-jin, pemimpin Pak-cong. Namun sebenarnya sikap keras Pak-cong terhadap Lam-cong itu juga "diboncengi"

   Persaingan Ngo-yap Cin0jm dan Cu-sian Cinjin yang sama-sama berambisi menjadi pimpinan setelah matinya Cu-peng Cin-jin.

   Hanya saja, kedua pesaing itu tidak berhadapan langsung, melainkan berlomba-lomba menunjukkan siapa yang lebih keras terhadap "penyelewengan"

   Lam-cong, dia tentu lebih mendapat dukungan sebagai pemimpin Pak-cong.

   Sebab kaum Pakcong sudah lama ingin munculnya seorang pemimpin yang kuat dan sanggup menaklukkan kaum Lam-cong.

   Tidak heran kalau Ngo-yap Cin-jin maupun Cu-sian Cin-jin berlomba-lomba menunjukkan sikap keras terhadap Lam-cong, seolah dengan tindakan itu mereka ingin menepuk dada di hadapan anakbuah mereka."Lihat aku yang paling Pantas memimping Pak-cong, sebab paling gigih menghukum Lam-cong!"

   Dan sikap keras mereka menghasilkan reaksi yang tidak kalah kerasnya dari pihak Lam- cong.

   Begitulah para anak buah yang bertarung mati-matian demi menuruti anjuran pemimpin mereka itu, tidak sadar kala, nyawa mereka ditarungkan demi ambisi pribadi para pemimpin yang tersembunyi.

   Para anakbuah itu tahunya bahwa mereka, bertempur demi "perjuangan luhur"

   Pertarungan antara Tiat Beng Hou dan Ngoyap Cin-jin sudah ratusan jurus tapi belum selesai |uga.

   Beberapa kali Nampak Ngo-yap Cin-Jin yang bersenjata tongkat besar berkepala naga itu terdesak oleh cakar besi Tiat Beng Hou yang lebih mahir bersilat.

   Namun keyakinan dalam hati agaknya berpengaruh pula sebagai suatu kekuatan.

   Ngo-yap Cin-jin yang yakin tanpa bimbang sedikitpun bahwa ia berjuang mengemban perintah "roh SriBaginda"

   Itu mempunyai semangat tempur tak habishabisnya.

   Inilah yang membuat Ngo-yap Cin-jin mampu bertahan ratusan jurus, biarpun ilmu silatnya dibawah Tiat Beng Hou.

   Meskipun Cu-sian Cin-jin menganggap Ngoyap Cin-jin sebagai saingan calon pimpinan, namun tidak tega juga melihat rekannya itu mengalami kesulitan dibawah tekanan Tiat Beng Hou.

   Beberapa kali Ngo-yap Cin-jin sudah berdoa mohon "Sri Baginda membantu"

   Toh. tetap terdesak. Hampir saja ia beranggapan "Sri Baginda"

   Mungkin sedang beristirahat, jadi tidak mendengar doanya.

   Waktu itulah Cu-sian Cin-jin mengurai cambuknya, dan bermaksud membantu Ngoyap Cin-|in.

   Bagaimanapun juga Ngo-yap Cin-Jin adalah sesama orang Pak-cong yang banyak bersamaan pendapat dengannya, dibandingkan orang Lam-cong yang lebih banyak ketidakcocokkan-nya.

   Untuk menghadapi gelanggang pertempuran Ngo-yap Cin-Jin dan Tiat Beng Hou itu, Cu-sian Cin-jin mengobat-abitkan cambuknya untuk menghantam orang-orang Lam-cong yang merintanginya.

   Beberapa orang roboh, dan korbannya bertambah-tambah setelah tangan kirinya menghunus pedang pendek pula.

   Hanya saja, sebelum ia berhasil bergabung dengan Ngo-yap Cin-jin, ia telah dihadang oleh Thio Yap, Hiangcu Lam-cong yang memegang tombak panjang,-"Minggir!"

   Bentak Cu-sian Cin18 jin. Kebetulan waktu itu Thio Yap juga sedang naik darah, karena baru saja mendapat kabar kalau Pangeran Hong Lik berhasil "'digondol orang Pak-cong"

   Dan Hoa Cek Cui cidera berat, Bentakan Cu-sian Cin-jin tidak dijawab dengan mulut, tapi dengan ujung tombaknva yang menikam ke dada, disusul sapuan deras tangkai tombak ke pelipis si imam.

   Itulah Jurus liong Liong-leng-hong-bu (naga melompat, burung hong menari).

   Kemarahan bertemu kemarahan, tak terelakkan lagi meledaklah pertarungan antara dua tokoh Pek-lian kau yang pernah bekerjasama menculik Pangeran Hong Lik di kota Kim-teng dulu.

   Kerjasama yang berhasil saat itu, namun keberhasilan itu justru memperhebat keretakan antara mereka, karena mereka berebutan menguasai Pangeran Hong Lik.

   Seandainya dulu mereka gagal menculik Pangeran Hong Lik, barangkali bentrokan berdarah kali inipun tak perlu terjadi.

   Namun semuanya sudah terlanjur terjadi.

   Yang terjadi kini adalah permusuhan yang sulit Bentakan Cu-sian Cin-jin tidak dijawab dengan mulut, tapi dengan ujung tombaknva yang menikam ke dada, disusul sapuan deras tangkai tombak ke pelipis si imam.

   diredakan.

   Korban sudah terlalu banyak, sementara yang masih hidup semakin bernafsu membalaskan kematian teman-teman mereka.

   Sampai hari menjadi gelap, perkelahian massal belum reda.

   Terjadi di mana-mana.

   Namun, betapapun sengitnya mereka bertarung, belum ada yang sampai berani melangkah ke halaman kuil Hong-kok-si yang sama-sama dikeramatkan oleh kaum Pak-cong maupun Lam-cong itu.

   Mereka sama-sama tidak mau mengotori kuil itu dengan darah, cukup di luarnya saja.

   Saat itulah dari kejauhan, terdengai gelegar meriam tiga kali berturut-turut.

   Menyusul teriakan orang-orang Pek-liankau dari beberapa arah.

   "Anjing-anjing Manchu menyerbu.'' .

   "Mereka datang dari beberapa arah!"

   Berita itu mengejutkan dan membingung kan orang-orang Pek-lian-kau. Teriakan itu menyebar dari mulut ke mulut dan menimbulkan bermacam-macam sikap dari orang-orang Pek-lian-kau itu. "Kita hadapi dulu anjing-anjing Manchu perampas negeri kita!"

   Teriak seorang Hiang-cu dari Pak-cong.

   "Urusan pembersihan rumah sendiri masih bisa dilakukan kemudian hari!"

   "Tidak. Kita hancurkan dulu penyelewengpenyeleweng itu, barulah menghadapi anjinganjing Manchu!"

   Dengan begitu, pertempuran jadi tambah kacau karena ada yang berpendapat begini, ada yang begitu, dan semuanya terus bertindak sendiri-sendiri tanpa pimpinan.

   Ada yang meninggalkan luwan untuk berlari menyongsong pasukan kerajaan, ada yang ne kad terus bertempur, sebagian larinya kesini dan sebagian lagi kesana.

   Masing masing berteriak-teriak mengajukan usul ini itu yang tenggelam dalam ribuan usul lainnya.

   Yang jelas, pasukan pemerintah dari beberapa arah teiah tiba di kaki bukit dan mulai bentrok senjata dengan kaum Pek-lian-kau.

   Kini obor-obor dinyalakan oleh pasukan kerajaan, untuk menerangi medan pertempuran.

   Di Kakikaki bukit ini, kaum Pak-cong dan Lam-cong mau tidak mau harus melupakan permusuhan dan bersama-sama menghadapi serbuan musuh bersama mereka.

   Tapi di tempat-tempat yang belum berhasil diterobos tentara kerajaan, pihak Pak-cong dan Lam-cong masih saling bantai dengan hebat.

   Tiat Beng Hou masih bertarung dengan Ngo-yan Cin-jin itupun menyadari, kalau kaum Pek-lian-kau terus saling bunung, alangkah enaknya tentara kerajaan yang bakal menggilas mereka karena itu tiba-tiba ia berganti sikap dalam pertempuran, ia mengendorkan serangan dan Cuma bertahan, katanya kepada Ngo-Yap Cin-jin.

   "Cin-jin, anjing-anjing Manchu dating menyerang. Akankah kita suguhkan nyawa kita gratis kepada mereka dengan senjata sesame Pek-lian-kau? Akan kita biarkan anjing anjing Manchu itu menajiskan kuil leluhur dinasti Beng?"

   Ngo Yap Cin-jin pun mengendorkan serangannya lalu berkata, Baik. Mari kita perintahkan anak-anak buah kita masing- masing agar berhenti bertarung dan menghadapi musuh."

   "Bagus, Cin-jin, bagaimanapun hebatnya perselisihan kita, jangan sampai menjadi tontonan konyol bagi anjing-anjing Manchu itu. Ketua Pak-cong dan ketua Lam-cong itupun berlompatan memisahkan diri, lalu meneriaki Cu-sian Cin-jin dan Thio Yap untuk memisahkan diri.

   "Berhenti dulu, kita diserang anjing-anjing Manchu !"

   Kata Tiat Beng Hou kepada kedua orang yang masih bertarung itu. Ngo-yap Cin-jin mengibaskan tongkatnya di udara, katanya.

   "Kita hadapi dulu musuh bersama. Tapi kalian kaum Lam-cong yang sudah menyeleweng dari garis perjuangan, jangan mengira kalian akan bebas dari hukuman yang diperintahkan oleh roh sribaginda."

   Tiat Beng Hou tertawa dingin.

   "itu urusan nanti, yang penting kita sama-sama tidak sudi dibunuh anjing-anjing Manchu bukan.? Begitulah pemimpin-pemimpin Pak-cong dan Lam-ong sama-sama memerintah kan anakbuah masing-masing untuk berhenti bertempur dengan sesama kaum, dan mengalihkan sasaran kepada pasukan kerajaan. Agak sulit juga melerai dua kelompok saling bermusuhan yang sudah terlanjur mabuk darah. Namun melihat obor-obor pasukan kerajaan yang sudah tiba di kaki bukit, mau tidak mau mereka menuruti perintah pemimpin-pemimpin mereka. Orang-orang Pak-cong menyusun pertahanan di sebelah utara dan timur kuil Hong-kak-si, sedangkan orang-orang Lam-cong bergerombol dilereng barat dan selatan. Biarpun menghadapi musuh bersama, pihak Pak-cong masih tidak sudi dipimpin orang Lamcong, begitu sebaliknya. Apa boleh buat, kedua kaum serumpun itupun akan sendiri-sendiri dalam menghadapi pasukan kerajaan. Tidak akan saling membantu dan mempersetankan nasib lainnya. Waktu itu, seperti rombongan serigala yang keluar dari dalam hutan, pasukan kerajaan terpecah dalam empat jalur, muncul dari empat penjuru. Obor-obor mereka nampak seperti kunang-kunang, selain dengan maksud menerangi medan juga untuk memudahkan menyalakan sumbu bedil-bedil mereka. Dari lereng yang lebih tinggi, Tiat Beng Hou melihat gerakan pasukan kerajaan itu, dan tertawa dingin.

   "Heh-heh-heh anjing-anjing Manchu itu mengira karena kita sedang bentrokan sendiri dengan sesama kaum, lalu mereka dengan gampangnya Iakan menangkap ikan di air keruh. Enak benar rencana mereka. Hem, sekarang akan kubuat rencana muluk mereka berantakan.."

   Lalu Tiat Beng Hou menguraikan rambutnya, mencabut bendera Hong-hun-ki yang berwarna hitam.

   Dengan Khusyuk ia duduk bersila sambil membaca mantera dan menggoyang-goyangkan bendera itu.

   Tidak lama kemudian, suasana malam yang sudah gelap itu jadi bertambah gelap karena gumpalan-gumpalan awan hitam tiba-tiba saja menyebar di langit bagaikan sebuah payung raksasa yang dikembangkan, kemudian mega hitam tebal itu bagaikan mahluk hidup saja, turun semakin lama semakin rendah.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lalu datang angin yang keras dan dingin, mengangkat batu-batu kerikil dan pasir menghantam ke arah tentara kerajaan .

   Sorak-sorai orang-orang Pek-lian-kau terdengar, ketika melihat pasukan kerajaan di kaki bukit itu terpukul mundur, bahkan banyak obor-obor mereka yang padam.

   Tiat Beng Hou menyimpan Hong-hun-ki (bendera angin dan awan), ganti mengeluarkan Ciao-hun-ki (bendera pemanggil roh) yang berwarna kuning.

   Katanya.

   "Sekarang, mari kita suruh anjing-anjing Manchu itu merasakan hebatnya Thian-kun (pasukan langit) kita!"

   Mendengar kata-kata sang pemimpin, masing-masing anggota Lam-cong mengeluarkan boneka rumput kering yang dibentuk seperti kuda, lalu guntingan kertas kuning berbentuk orang-orangan bersenjata yang ditunggangkan ke punggung kuda-kudaan rumput kering itu.

   Lalu mereka letakkan benda18 benda itu berjajar-jajar, menghadap ke kaki bukit.

   Benda-benda itu termasuk yang wajib dibawa oleh setiap anggota Pek-lian-kau kemanapun mereka pergi, kecuali ke dalam kakus atau ke tempat penyembelihan hewan.

   Tiat Beng Hou duduk bersila di belakang pasukan boneka itu, dengan tangan imemegang bendera Ciao-hun-ki dan tangan kanan memegang pedang kayu yang ujungnya ditancapi "hu"

   Atau kertas jimat. Khusus untuk tangan kanan, pengertian "memegang"

   Haruslah diartikan menyelipkan gagang pedang kayu antara jari-jari cakar besinya, sedemikian rupa sehingga tidak mudah jatuh. Setelah menggumamkan mantera, pedang kayu tiba-tiba ditudingkan ke lagit sehingga "hu"

   Itu terbakar tanpa kelihatan ada yang menyulutnya, lalu sambil membentak, Tiat Beng Hou berbarengan menudingkan pedang kayu dan bendera ke arah pasukan bonekanya.

   Bersamaan dengan tudingan itu, berjangkit angin keras yang menghembus dan meng angkat boneka-boneka itu ke kaki bukit.

   Bagi orang-orang yang suka main-main ilmu gaib, tindakan Tiat Beng Hou itu sebenarnya mudah dipahami, la hanya memanggil roh-roh gentayangan untuk disuruh masuk ke bonekaboneka itu agar "hidup", tak ada bedanya dengan permainan jailangkung atau mangkukarwah.

   Cuma bedanya, jailangkungjailangkungnya Tiat beng Hou ini disuruh untuk membunuh.

   (Bersambung

   Jilid XIX) (Bersambung

   Jilid XIX) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid XIV Sembarang orang bisa bermain jailangkung, tapi tidak sembarang orang berhasil mempelajari ilmu Tiat Beng Hou ini.

   Kalau kurang beruntung, bukannya berhasil menda patkan ilmu, malah bisa gila atau mati secara menyeramkan, ada pula yang seumur hidupnya terbelenggu penyakit aneh yang tidak bisa diobati.

   Karena itulah orang seperti Tiat Beng Hou jadi amat dihormati di kalangan Pek-liankau.

   Sorak-sorai orang Pek-lian-kau mengiringi terbangnya boneka-boneka iblis itu.

   Di pihak tentara kerajaan, Kwa Cin Beng sendiri yang memimpin untuk mendaki dari lereng barat.

   Gebrakan pertama menggembirakan, orang-orang Pek-lian-kau berhasil dipukul mundur dan dikumpulkan ke atas bukit dalam keadaan terkepung.

   Biarpun kemudian dilihatnya kaum Pek-lian-kau berhenti bentrokan untuk menyusun pertahanan bersama, tapi Kwa Cin Beng yakin pasukannya akan berhasil menumpas mereka.

   "Serbu ke atas! Yang membawa bedil jalan di depan!"

   Aba-abanya dengan semangat berkobar.

   Pasukannyapun sama bersemangatnya mendaki lereng itu, juga dari segala arah.

   Oborobor diangkat tinggi-tinggi untuk menerangi keadaan.

   Namun pasukan itu terkejut ketika angin keras dan dingin menerpa mereka seca ra mendadak, membawa pasir terbang yang amat mengganggu mata mereka, banyak obor yang padam.

   Sementara kabut hitam yang mengerikan tiba-tiba muncul begitu rendah, membuat obor-obor yang menyala pun jadi nampak berkelap-kelip sekecil kunang-kunang saja.

   Untunglah, dalam keadaan macam itu Kwa Cin Beng sudah pernah mendapat petunjuk Wan Lui.

   Sambil membelakangi arah angin supaya matanya tidak kemasukan pasir, dia berteriak.

   "Lemparkan barang-barang najis itu!"

   Para komandan regu segera ingat "bekal"

   Mereka yang tidak sedap itu.

   Segera mereka buka bungkusan-bungkusan itu, dan dilemparIemparkan ke asal angin.

   Segera angin dan mega hitam yang tidak wajar itu segera menyingkir entah kemana.

   Bintang-bintang di langit segera kelihatan lagi, angin malam yang wajar kembali terasa lembut seperti semula.

   "Bagus!"

   Seru Kwa Cin Beng yang begitu bernafsu untuk menang, sebab ia sudah dijanjikan oleh "Lui Cam-ciang", kalau berhasil menyelamatkan Pangeran Hong Lik dan menumpas Pek-lian-kau maka jasanya akan dilaporkan langsung kepada Kaisar.

   "Kita tidak perlu takut kepada ilmu silu man itu, kita sudah tahu cara melawannya! Ayo maju!"

   Seluruh pasukannya menjadi besar hati.

   Obor-obor dinyalakan kembali, dan pasukan itu kembali mendaki ke arah kuil Hong-kak-si.

   Di atas lereng, tokoh-tokoh Pek-lian-kau baik yang Pak-cong maupun Lam-cong samasama kaget melihat serangan gaib mereka dapat diatasi begitu cepat.

   Kini mereka melihat betapa obor-obor pasukan Kerajaan menyala kembali bagaikan ribuan kunang-kunang, dan jalur-jalur pasukan kembali merambat naik dari segala arah.

   Maka sadarlah orang-orang Pek-lian-kau itu bahwa pihak mereka tidak dapat terlalu menyandarkan diri kepada ilmu-ilmu gaib mereka.

   Pasukan pemerintah sedikit banyak sudah mengetahui cara memunahkan ilmu hitam itu.

   Sementara itu, pasukan kerajaan terus maju ke atas.

   Tiba-tiba di hadapan pasukan kerajaan itu kembali muncul gerakan angin menggemuruh.

   Entah darimana munculnya, tahu-tahu muncul sebuah pasukan berkuda orang-orang berbaju kuning yang seolah-olah terbang menunggangi angin.

   Penunggang-penunggang kuda itu semuanya berwajah kaku, nampak seperti memakai topeng kertas yang sembarangan saja dilukisi gambar mata, hidung dan mulut.

   Tapi serbuan mereka ganas dan secepat angin.

   Di pihak tentara kerajaan, prajurit-prajurit yang bersenjata senapan dan panah segera menempatkan diri di barisan terdepan, lalu mulai mengincar penyerbu penyerbu berkuda itu.

   Begitu aba-aba diteriakkan, hujan panah dan desing peluru pun berhamburan menyambut ke arah penunggang kuda itu.

   Namun para penembak dan pemanah itu melongo kaget, ketika melihat betapa peluru dan panah-panah mereka banyak yang kena, tapi para penyerbu itu tidak ada yang roboh, melainkan terus maju dengan lurus.

   Para prajurit anak-buah Kwa Cin Beng mulai gentar.

   Apakah mereka menghadapi pasukan yang bertubuh kebal, baik penunggang kudanya maupun kuda tunggangannya ? Ketika penyerbu-penyerbu itu sudah lebih dekat lagi, pelempar-pelempar lembing dari pihak tentara kerajaan mulai beraksi.

   Namun mereka pun terperanjat.

   Lembing lembing mereka sama gagalnya dengan serangan sebelumnya.

   Beberapa penyerbu berbaju kuning itu tubuhnya tertancap lembing, tertancap dalam di bagian yang mematikan, namun tidak mengeluarkan darah setetespun dan terus maju semakin dekat.

   Semangat tempur Kwa Cin Beng yang me nyala-nyala, kini telah berubah menjadi kebingungan.

   Nyaris ia meneriakkan aba-aba untuk mundur dulu, sebab bagaimana mungkin pasukannya yang tidak kebal harus meng hadapi pasukan berkuda yang tidak bisa mati ini?"

   Di saat kebingungan itulah tiba-tiba wan Lui muncul di sampingnya, masih memakai baju Pek-lian-kau. Teriak Wan Lui.

   "Cong-peng, suruh celupkan lembing atau panah lebih dulu ke darah hewan hitam, baru untuk menyerang!"

   Banyak para prajurit yang belum mengenal Wan Lui. Namun kata pepatah.

   "Bagi orang yang hampir tenggelam, sehelai jeram pun akan dipeganginya erat-erat". Begitu pula anjuran Wan Lui segera disambut. Tergese gesa para prajurit membuka bumbung bumbung mereka, mencelup ujung panat atau lembing mereka, laiu melontarkannya ke arah musuh. Ketika itu penyerbu-penyerbu aneh berbaju kuning itu sudah semakin dekat, beberapa langkah lagi pasti akan mencapai para prajurit kerajaan. Namun hujan panah dan lembing yang sudah dicelup darah menyambut "mereka"

   Dan penyerbu berkuda itu kini bergelimpangan jatuh.

   Roh-roh yang menghuni jasad-jasad buatan itupun beterbangan pergi ketika bersentuhan dengan darah, unsur kehidupan yang sebenarnya.

   Maka jasad yang ditinggalkan pun pulih menjadi kuda-kudaan rami dan orang-orangan kertas.

   Keberhasilan itu membesarkan kembali semangat Kwa Cin Beng dan pasukannya.

   na mun dalam semangatnya, Kwa Cin Beng sempat bertanya kepada Wan Lui.

   "Bagaimana dengan Putera Mahkota ?" "Sudah di tempat aman,"

   Sahut Wan Lui.

   "Yang penting sekarang adalah menumpas pe ngacau-pengacau ini. Mereka membahaya-kan orang banyak dengan cara hidup mereka yang sesat, tak segan menyembelih manusia sebagai korban dalam praktek-praktek ilmu hitam mereka!"

   "Baik. Pasukan maju!"

   Sementara itu para pemimpin Pek-lian-kau semakin kaget melihat betapa obor-obor tentara kerajaan semakin naik juga ke arah kuil Hong-kak-si.

   Suatu tanda bahwa tentara kerajaan itu tidak terbendung oleh Thian-peng (prajurit langit) yang mereka undang.

   Kepercayaan orang-orang Pek-lian-kau kepada ilmu-ilmu gaib itupun merosot banyak.

   Perpecahan antara Pak-cong dan Lam-cong sejenak dilupakan, mereka sama-sama menghadapi bahaya dari tentara kera-jaan yang ternyata tahu cara menangkal ilmu gaib.

   Buruburu Tiat Beng Hou menuju ke lereng utara untuk menemui Ngo-yap Cin-jin dan berkata.

   "Cin-jin, agaknya kita harus menggabungkan kekuatan untpk menembus kepungan musuh! Kalau tidak, kita akan dibantai di sini !" .. Ngo-yap Cin-jin tersenyum dingin, katakatanya malah bernada menyalahkan.

   "Tahukah kau, Hiangcu kenapa anjing-anjing Manchu itu sampai tahu cara melawan ilmu sakti kita? Itulah gara-gara cabang-cabang di Lam-cong terlalu longgar membuka pintu untuk menerima anggota baru, tentu saja gampang kesusupan anjing-anjing Manchu yang bermaksud jahat. Kini ilmu gaib kita sudah bukan rahasia lagi bagi mereka, mereka bisa memunahkannya!"

   Keruan Tiat Beng Hou jadi mendongkol. Diajak berunding mengatasi situasi gawat, malah Ngo-yap Cin-jin menggunakan kesempatan itu untuk "mengadili"nya. Namun demi keselamatan anakbuahnya, Tiat Beng Hou terpaksa bersikap mengalah.

   "Yah, setidaknya kami jadi bisa mengetahui kekeliruan ini untuk diperbaiki di masa datang. Sekarang bagaimana rencana kita menghadapi anjing-anjing Manchu itu Apakah kita hanya akan bertengkar saja?" "Setelah Cu-peng Cin-jin tiada, maka akulah sekarang pimpinan seluruh kaum. Aku sudah ditunjuk sendiri oleh Sri Biginda untuk memimpin pek-liankau, menyalurkan perintahperintah, dan berhak menghukum anggota yang menyimpang Waktu itu roh Sri Baginda telah menampakkan diri di hadapanku berdiri di tengah gumpalan asap putih, mengambang di udara. Anggun sekali, dan aku..."

   "Ya...ya..aku percaya..."kata Tiat Beng Hou tak sabar dan memotong ucapan Ngo-yap Cinjin yang kalau dibiarkan tentu bakal mengoceh panjang lebar.

   "Sekarang bagaimana menghadapi musuh?"

   Ngo-yap Cin-jin tertawa dingin.

   "Bagi kami kaum Pak-cong yang direstui Sri Baginda dalam perjuangan kami, musuh itu soal kecil. Tapi kalau kalian dari Lam-cong mau mengakuiku sebagai pemimpin, kami akan menolong kalian. Dan kelak juga memohonkan ampun atas! penyelewengan kalian kepada Sri Baginda..."

   "Ya, ya!"

   Tiat Beng Hou semakin tidak sabar, la mengakui hanya untuk menyenangkan hati si "Put-to-ong"

   Ini.

   "Dan musuh semakin dekat."

   "Kalau menurutmu, bagaimana?"

   Setelah bangga, kini Ngo-yap Cin-jin malah jadi kebingungan.

   "Cin-jin, menurut pandanganku..."

   "Tiat Beng Hou kalau kau mengakui aku sebagai pemimpin, kau juga harus mengubah panggilanmu. Panggil aku Kau-cu (kepala agama)."

   Hampir saja Tiat Beng Hou membatalkan kerjasama dengan Pak-cong ketika mendengar tuntutan Ngo-yap Cin-jin yang terlalu tinggi itu.

   Kedudukan Kau-cu dalam Pek-lian-kau sudah lama dibiarkan kosong karena cabang-cabang Pak-cong maupun Lam-cong ngotot mencalonkan orangnya sendiri-sendiri, tidak ada yang mau mengalah, akibatnya lalu dibiarkan kosong saja.

   Kini, selagi dirinya menawarkan kerjasama menghadapi musuh, malahan Ngo-yap Cin-jin "pasang harga"

   Karena dikiranya pihak Lamcong amat butuh "pertolongan"

   Pak-cong.

   Namun demi Tiat Beng Hou melihat barisan obor yang sudah sampai ke pertengahan lereng, disertai kesadaran bahwa Pak-cong atau Lam-cong secara sendiri-sendiri tak mungkin melawan pasukan yang kuat itu, maka Tiat Beng Hou merasa tak ada halangannya untuk mengalah sebentar.

   "Baik, Kau-cu..."

   Akhirnya Tiat Beng Hou menunduk hormat sambil memanggil Ngo-yap Cin-jin dengan sebutan yang dikehendak inya. Sementara dalam hatinya mengutuk tak keruan.

   "Ha-ha-ha...bagus...bagus, berarti mulai sekarang Pek-lian-kau sudah bersatu kembali, di bawah pimpinanku, dan harus melupakan permusuhan lama! Nah, Tiat Beng Hou, hulubalangku yang cerdas, sekarang bagaimana menghadapi keadaan ini?"

   "Toh akhirnya aku juga yang harus berpikir. Memang tidak bisa kuharapkan keluarnya pikiran bermutu dari dalam kepala keledai yang suka kesurupan ini... piker Beng Hou dalam hatinya. Namun dimulutnya ia menjawab juga.

   "Kau-cu, musti membagi pasukannya untuk menyerang dari beberapa arah. Kekuatan pasukan mereka tentu terbagi, maka kalau kita kekuatan pasti bisa mendobrak lolos dari salah satu sisi kepungan ini. Kulihat musuh di sebelah utara paling sedikit obornya, tentu tempat itu yang paling lemah. Kalau kita terjang ke sana, paling besar harapannya untuk lolos..."

   Dalam urusan siasat perang, tentu Ngo-yap Cin-jin yang ketolol-tololan itu tidak bisa dibandingkan para pemimpin Lam-cong vang berhubungan dekat dengan Thian-te-hwe.

   Sedang Thian-te-hwe merupakan suatu organisasi yang rapi dan mahir berbagai siasat perang maupun politik.

   Organisasi itu berpangkalan dipulau Taiwan dan menjadikannya negara tersendiri, punya armada kapal perang perang maupun niaga yang berlayar jauh.

   Armada kapal niaganya berdagang jauh melewati ujung semenanjung Malaka, terus ke selatan atau berbelok ke barat.

   Dengan keuntungan dagangannya itu Thian-tehwe sanggup membiayai gerakan bawah tanah di daratan Tiong-goan untuk merobohkan pemerintahan Manchu.

   Perjuangan gaya Thiante-hwe inilah yang ingin ditiru Pek-lian-kau cabang Lam-cong.

   Memupuk kekuatan dengan cara yang masuk akal, bukan cuma tiap hari ber "teman"

   Dengan arwah-arwah. Meskipun me reka juga mempelajari, ilmu gaib yang menjadi ciri khas Pek-lian-kau, namun semua tindakan dihitung menurut akal-senat, tidak ada tempat bagi "pesan gaib roh Sribaginda"

   Segala.

   Karena merasa usul Tiat Beng Hou cukup baik, Ngo-yap Cin-jin menyetujuinya.

   Begitulah, kedua cabang Pek-lian-kau yang habis bertikai itu kini bergabung dan menyerbu ke lereng utara.

   Seperti arus air dari bendungan jebol, mereka mengalir ke kaki bukit, tanpa obor, menggunakan gelapnya malam untuk selubung gerakan mereka.

   Di kaki bukit, benturan terjadi antara orang-orang Pek-lian-kau dengan tentara kerajaan yang mengepung dari lereng utara itu.

   Antara pihak yang hendak lari dengan yang menghalangi.

   Terjadi pertempuran sengit.

   Lereng itu segera menjadi ribut dengan gemuruhnya teriakan-teriakan pembakar semangat dan sekian ribu senjata yang gemerincing berbenturan.

   Karena tentara kerajaan dari Hong-yang itu maju dengan dipecah-pecat menjadi beberapa pasukan, sehingga masing-masing pasukan tidak terlalu besar jumlahnya, maka pasukan di kaki bukit utara itupun segera merasa berat menghadapi usaha kabur orang-orang Pek-liankau.

   Hampir-hampir pasukan di situ membiar kan rombongan Pek-lian-kau itu lolos.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Namun si komandannya memerintah agar bertahan, biarpun harus sambil mundur setapak demi setapak.

   Sementara itu pasukan-pasukan yang lain telah melintasi lereng-lereng untuk,membantu rekan-rekan di bagian utara yang tengah terdesak.

   Obor-obor mereka terlihat bergerak di lereng, seperti kunang-kunang berderet memanjang.

   Tetapi Kwa Cin Beng sebagai komandan utama, punya pikiran lain.

   Lereng-lereng terjal itu kurang menguntungkan bagi prajuritprajuritnya untuk melakukan pengepungan yang betul-betul rapat.

   Banyak lekuk-lekuk dan relung-relung bukit yang bisa dimanfaatkan orang-orang Pek-lian-kau untuk bersembunyi atau melarikan diri dari kepungan.

   Karena itulah Kwa Cin Beng berteriak.

   "Rencana Kedua!"

   Dalam pasukan itu ada prajurit-prajurit jago lari cepat yang tugasnya khusus menyampaikan perintah panglima kepada komandan-komandan pasukan bawahan.

   Kalau dalam tubuh manusia, prajurit-prajurit pembawa perintah ini sama dengan jaringan syaraf yang menyampaikan perintah otak ke anggota-anggota tubuh.

   Dengan demikian, pasukan itu akan bergerak dalam keselarasah, seperti tubuh yang sehat, bukannya tiap pasukan bertindak semaunya sendiri.

   Pasukan yang tengah membendung usaha kaburnya orang-orang Pek-lian-kau di kaki lereng utara itu, dipimpin seorang perwira yang bersenjata sepasang pedang.

   Perwira itu bertempur gigih, prajuritprajuritnya juga, tapi memang berat kalau pasukannya sendirian harus menghadang orang Pek-lian-kau sendirian.

   Sekedar untuk mengurangi beban sambil menunggu tibanya pasukan-pasukan lain yang membantu, komandan bersenjata sepasang pedang itu memerintahkan pasukannya agar bertahan saja.

   Pokoknya pasukan tetap utuh, terdesak sedikit tidak apa-apa.

   Memang benar orang-orang Pek-lian-kau telah kelelahan setelah hampir seharian penuh mereka baku hantam dengan sesamanya, bahkan juga berkurang banyak jumlahnya.

   Namun dalam usaha bersama untuk menerobos pergi itu, kini mereka bersemangat sekali menghadapi "anjing-anjing Manchu".

   Teriakanteriakan yang membangkitkan kebencian terhadap orang Manchu dan kebangkitan dinasti Beng menjadi semacam "obat kuat"

   Bagi mereka untuk terus menerjang dengan ganas dari atas lereng.

   Empat tokoh Pek-lian-kau yang mengamuk menjadi ujung-ujung tombak yang meperberat keadaan pasukan kerajaan itu.

   Cu sian Cin-jin yang dengan tangan kanan memegang cambuk dan tangan kiri memegang pedang pendek yang sudah berlumuran darah korban-kobannya.

   Ngo-yap Cin-jin yang dengan tongkatnya yang besar telah menyeruduk dan mengamuk seperti seekor babi hutan raksasa.

   Tiat Beng Hou dengan cakar besi yang disambung pada lengan kanannya yang buntung, adalah pengamuk yang paling hebat.

   Di samping Thio Yap dengan tom baknya yang berputar seganas prahara.

   Sedang si "lengan panjang"

   Hoa Cek Gui tidak kelihatan bayangannya.

   Setelah ia dirobohkan Wan Lui di ruang penyimpanan Pangeran Hong Lik, entah bagaimana nasibnya tidak ada yang tahu.

   Tapi sehebat apapun amukan orang Peklian-kau mereka belum berhasil menembus penjagaan di kaki bukit itu.

   Memang pasukan itu terdesak sedikit demi sedikit, namun barisannya tetap rapat dan belum bisa dipukul pecah oleh pihak Pek-lian-kau.

   Melihat kegigihan penghalang itu, orang orang Pek-lian-kau yang merasa terjepit itupun menjadi kalap.

   Itulah pertempuran dimana korban-korban kedua pihak jatuh dengan cepat.

   Bukan pertempuran mengulur-ngulur waktu, namun buat Pek-lian-kau ialah keinginan untuk secepatnya meninggalkan tempat sialan itu.

   Pasukan kerajaan beberapa kali menggeser garis pertahanan sampai ke kaki Bukit.

   Waktu itulah seorang prajurit pembawa perintah menerobos ke dekat si komandan, dan menyampaikan perintah Kwa Cin Beng.

   "Panglima memerintahkan Rencana Kedua!"

   Komandan itu mengerti, lalu memberi abaaba pasukannya agar melakukan perubahan gerak.

   Prajurit-prajurit pemanah dan pelempar lembing yang tadinya dibarisan belakang, tiba- tiba-maju ke depan untuk melontarkan panah dan lembing mereka bagaikan hujan deras.

   Karena pihak Pek-lian-kau memang tidak siap dalam pertempuran macam itu, maka tidak ada yang membawa perisai.

   Akibatnya banyak orang-orang mereka di bagian depan yang roboh oleh panah atau lembing.

   Apalagi malam gelap itu cuma diterangi obor tentara kerajaan yang remang-remang sehingga datangnya panah dan lembing Jebih sukar dilihat.

   Tokoh-tokoh Pek-lian-kau seperti Tiat Beng Hou dan lain-lainnya masih bisa menangkis hujan panas dan lembing itu dengan senjata yang diputar rapat, namun tidak sedikit anak buah mereka yang jadi korban.

   Pada saat orang-orang Pek-lian-kau tertahan gerak majunya, maka pasukan kerajaan dengan teratur membentuk barisan untuk menarik diri gelanggang.

   Pasukan itu seolah-olah terpukul mundur dan lari ke suatu jalan menuju utara, begitulah kesan yang diperoleh Ngo-yap Cinjin.

   Ngo-yap Cinjin percaya, itulah berkat "bantuan gaib"

   Sri Baginda, maka dia kegirangan. Apalagi dia tengah senangsenangnya karena belum lama Tiat Beng Hou telah memanggilnya sebagai "Kaucu"

   Tadi. Maka sambil memutar-mutar tongkatnya di atas kepala, berserulah dia.

   "Kejar mereka! Demi sakit hati Sri Baginda!"

   Orang-orang Pek-lian-kau dengan semangat yang sama menuruti perintah itu, mengejar tentara kerajaan.

   "Hidup Kerajaan Beng!"

   "Hidup Pek-lian-kau!"

   "Habiskan orang-orang Manchu!"

   Ngo-yap Cinjin sendiri bukan hanya menyuruh, tapi juga maju paling depan sambil membakar semangat.

   "Maju terus, para pahlawan Kerajaan Beng!Maju terus! jangan siasiakan detik-detik awal kebangkitan kerajaan kita! Sri Baginda dan para leluhur pasti akan merestui sampai tercapainya kemenangan!' Lucunya, orang-orang Lam-cong yang sebelumnya sering mentertawakan omongan Ngo-yap Cinjin sebagai omong-kosong belaka, kini juga ikut-ikutan bersemangat mengejar tentara kerajaan. Entah karena mulai percaya, entah karena kebencian terhadap orang Manchu. Pasukan kerajaan mundur terus secara teratur. Bagian belakang yang terdiri dari para pemanah dan pelempar lembing, sambil mundur teratur juga berusaha menahan kejaran orang-orang Pek-lian-kau dengan panah dan lembing mereka. Pasukan kerajaan tiba di sebuah simpang tiga. Jalan sebelah kiri nampaknya melewati ladang-ladang penduduk, lapang dan lurus, sedangkan cabang jalan yang kanan memasuki daerah perbukitan yang berhutan lebat. Jalan sebelah kanan jelas lebih cocok untuk penyelamatan diri pasukan yang sedang mundur, namun komandan pasukan malahan mengambil cabang jalan yang kiri. Tiat Beng Hou melihat kejanggalan itu, dan mulai curiga. Maka ia berseru kepada anak buahnya sendiri, orang-orang Lam-cong.

   "Kita ambil yang kanan!"

   Maka Tiat Beng Hou, Thio Yap dan orangorang Lam-cong lainnya memisahkan diri dari barisan Pek-lian-kau untuk memasuki jalan sebelah kanan.

   Ngo-yap Cin-jin yang sedang bersemangat untuk menghancurkan pasukan kerajaan yang telah memasuki jalan sebelah kiri, kaget melihat tindakan Tiat Beng Hou dan orang-orangnya itu.

   la membentak.

   "Tiat Beng Hou, kau lupa siapa sekarang yang menjadi Kau-cu, sehingga berani mengambil tindakan sendiri tanpa menunggu perintahku? Kita harus mengejar dan menumpas anjir,g-anjing Manchu itu, demi sakit hati dinasti leluhur kita!"

   "Ah, kau kejar mereka sendiri saja ..."sahut Tiat Beng Hou sambil tertawa.

   "Tidak lupa kami semua mengucapkan selamat berjuang dan selamat tinggal...."

   Habis berkata demikian, terus Tiat beng Hou mengajak anak buahnya pergi memisahkan diri. Keruan Ngo-yap Cinjin jadi mencakmencak karena merasa tertipu.

   "Pengecut! Kau sudah mangakuiku sebagai Kaucu, namun sekarang kau jilat ludahmu sendiri. Kau pasti kesurupan arwa; Co Hua Sun, Bu Sam Kui, Ang Seng Tiu, Siang Go Hi ..."

   Dan lain-lain nama yang semuanya adalah pengkhianat-pengkhianat yang dibenci pejuang kebangkitan dinasi. Beng, begitulah Ngo-yap Cinjin mencaci maki dengan sengit. Tapi Tiat Beng Hou dan rombongannya terus berlalu tanpa menggubris.

   "Sekarang bagaimana, Kaucu?"

   Orangorang Pak-cong bertanya. Mereka sudah tidak lagi memanggil "Cinjin"

   Melainkan Kaucu. Kuatir kalau dirinya sampai dikira telat menerima "wangsit palsu", Ngo-yap Cinjin dengan ngotot berkata.

   "Kita kejar terus, Biarpun sekarang kita lebih sedikit dari musuh, tapi Sri Baginda merestui kita. Kita pasti menang!"

   "Pasti menang! Pasti menang!"

   Anakbuahnya berusaha meyakinkan diri mereka sendiri untuk mengusir kebimbangan. Supaya lebih hebat, senjata-senjata pun diacungacungkan ke langit. Di kejahuan, masih nampak obor tentara kerajaan berkelip-kelip.

   "Kejar dan tumpas!"

   Perintah Ngo-yap Cinjin sambil mengibaskan tongkatnya ke depan.

   Sambil bersorak-sorai gemuruh menggun cang udara malam, orang-orang Pek-lian-kau cabang Pak-cong itupun mengejar musuh mereka.

   Ketika sucah dekat dengan yang dikejar, diluar dugaan tentara kerajaan kali ini tiba-tiba berbalik terus merangsek dalam bentuk barisan seperti lengkungan busur yang menjepit.

   Bahkan mereka juga melepaskan dua kembangapi-luncur ke langit, berturut-turut meluncur dengan menimbulkan dua garis api di langit gelap.

   Sementara di jalan yang lebar itu pertem puran berlangsung sengit, lalu melebar kiri kanan memasuki ladang-ladang penduduk.

   Kedua pihak saling tebas penuh kemarahan, senjata-senjata mereka seolah-olah tidak puas-puasnya menghirup darah.

   Kebun.

   sayuran penduduk pun jadi korban.

   Yang bertebaran bukan lagi cuma lengan yang putus atau kepala yang terpenggal, tapi juga terong, timun, semangka, labu, kacang panjang juga ikut beterbangan di udara "memeriahkan"

   Baku hantam itu.

   Ngo-yap Cinjin bertempur seimbang melawan komandan pasukan yang bersenjata sepasang pedang itu.

   Ketika tadi menghadapi gabungan Pakcong dan Lam-cong, memang pasukan ini kalah banyak dan harus mundur.

   Kini setelah Pakcong berpisah dari Lam-cong, kekuatan Pakcong sendirian tidak sanggup menahan gempuran balik pasukan itu.

   Pelan-pelan orangorang Pek-lian-kau itu mulai terdesak.

   Orang-orang Pek-lian-kau itu masih saja mengharapkan tibanya "restu Sri Baginda' tapi kok tidak datang-datang, sedang pasukan musuh sudah mendesak makin hebat? Beberapa orang Pek-lian-kau, sambii bertempur mereka juga berkaok-kaok memanggil "Sri Baginda"

   Agar cepat-cepat datang bantuan gaibnya. Melihat itu, komandan pasukan kerajaan tertawa dan mengejek.

   "Jangan ganggu Sri Baginda". Beliau pasti sedang tidur bersama Tan Wan Wan!"

   Tan Wan Wan ialah seorang pelacur terkenal di jaman menjelang runtuhnya dinasti Beng.

   Pelacur tingkat tinggi, sebab pernah bergantian tidur seranjang dengan Kaisar Cong Ceng, si kepala pemberontak Li Cu Seng, dan akhirnya menjadi isteri si pengkhianat Bu Sam Kui.

   Banyak orang berpendapat bahwa perempuan inilah penyebab utama runtuhnya dinasti Beng.

   Ejekan komandan pasukan itu membuat Ngo-yap Cinjin dan orang-orang Pak-cong lainnya gusar bukan main.

   Maklum, siapa yang rela kalau junjungan yang dipuja-puja itu diejek macam itu? Mereka tambah kalap bertempur, sambil terus berteriak-teriak.

   Namun kalau pasukan kalah banyak, kalahsegar, kalah perlengkapan, bagaimana pun juga mereka mulai terdesak mundur sampai kembali ke simpang tiga yang semula.

   Belum lama pertempuran berlangsung di simpang tiga itu, tiba-tiba terlihat dari cabang jalan sebelah kanan itu orang orang Lam-cong muncul kembali dai bergerak ke arah orangorang Pak-cong yang sedang terdesak hebat itu.

   Dengan perasaan harap-harap cemas orang-orang Pak-cong menatap datangnya "kawan yang sekaligus lawan"

   Itu. Penuh harap supaya orang-orang Lam-cong iti melupakan permusuhan dan membanti kesulitan mereka, sesama pengemban cita-cita kebangkitan Kerajaan Beng. Cemas, jangan-jangan orangorang Lam-cong itu datang justru untuk "mengail di air keruh"

   Di tengah kemalangan orang Pak-cong? Akhirnya jelas sudah, percuma kiranya menaruh harapan kepada datangnya orangorang Lam-cong itu.

   Bukannya mereka tidak mau membantu, tapi tidak mampu, sebab dibelakang mereka juga ada pasukan yang lain yang memburu dengan membentuk barisan lebar melengkung, seperti hendak menyerok ikan saja.

   Kaum Pak-cong dan Lam-cong yang selama ini berselisih, akhirnya terpaksa "bersatu"

   Juga di simpang tiga itu.

   Bersatu dalam kemarahan, keputus-asaan, dan siap-siap menghadapi kemusnahan yang ada di depan mata.

   Saat itulah dari jalan yang dari arah kuil Hong-kak-si muncul lagi satu pasukan prajurit yang lebih besar dari dua pasukan sebelumnya, sebab inilah pasukan utama yang dipimpin langsung oleh Kwa Cin Beng yang menunggangi seekor kuda coklat dibawah kibaran benderanya.

   Ketika pasukan ini menyebar, maka semua jalan untuk lari bagi orang-orang Pek-lian-kau benar-benar tertutup.

   Terkunci di simpang tiga itu, dan terpaksa harus bertempur gigih.

   "Jangan takut, saudara-saudara, kita siap gugur demi Kerajaan Beng!"

   Teriakan itu berasal dari Ngo-yap Cinjin, yang tidak lagi berteriak tentang "restu Sri Baginda".

   Namun kini orang-orang Pek-lian-kau itu sedang siap-siap saja menghadap Sri Baginda.

   Anggota-anggota fanatik segera menyambut seruan itu.

   Tapi anggota-anggota yang tidak fanatik mulai ragu-ragu tentang "restu SriBaginda"

   Itu. Tadinya mereka percaya, tapi setelah dipukul babak-beiur dan sekarang dikepung rapat tanpa harapan lolos, manakah "restu Sri Baginda"

   Yang digembar gemborkan Ngo-yap Cinjin itu? Kesadaran yang terlambat.

   Pasukan pemerintah mengurung dan menggencet seperti sebuah gelang raksasa yang pelan-pelan menyempit.

   Apalagi dengan persenjataan yang lebih lengkap.

   Tapi tidak ringan juga tugas menumpas orang-orang yang terlanjur nekad itu.

   Seperti binatang-binatang buas yang menggila tanpa akal sehat lagi, hanya bisa ditalukkan dengan dibunuh.

   "Hidup Kerajaan Beng!" "Mampuskan semua anjing Manchu!"

   "Berjuang sampai mati!"

   Seruan-seruan macam itu masih saja terdengar berulang kali, setiap kali seperti minyak di siramkan ke api.

   "Jangan tinggalkan satupun pemberontakpemberontak ini!"

   Teriakan Kwa Cin Beng menggelepar.

   "Bertahun-tahun mereka mengelabuhi kita sebagai penziarah-penziarah gadungan, ternyata merekalah penentangpenentang kerajaan!"

   Pembunuhan massal jadi tambah sengit.

   Tiat Beng Hou nampak rambutnya yang putih sudah awut-awutan, pakaiannya robekrobek dan berlumuran darah, cakar besinya terayun ke kiri kanan menjatuhkan banyak korban di antara prajurit-prajurit kerajaan.

   Namun pemimpin Lam-cong ini belum puas, masih ingin membunuh lebih banyak lagi.

   Karena itu ia terus menerjang menyusup, merusak barisan tentara kerajaan, menyebar maut.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba di hadapan Tiat Beng Hou muncul seorang pemuda dengan pedang di tangan.

   Pemuda inj tidak berseragam prajurit, malahan bajunya hitam dengan gambar teratai putih di dadanya, seragam Pek-lian-kau.

   Maka Tiat Beng Hou heran ketika "anakbuah"nya ini menghadang dengan sikap bermusuhan.

   "Apa maksudmu?"

   "Aku Wan Lui yang sekian lama sudah menyusup ke dalam Pek-lian-kau. Tujuanku hanyalah menyelamatkan Pangeran Hong Lik dan menghancurkan golongan sesat macam kalian. Yang pertama sudah berhasil, yang kedua hampir berhasil."

   "Keparat! Akan kusembelih kau sekarang!"

   Teriak Tiat Beng Hou gusar, sambil melompat dengan gerakan Ngo-eng-pok-tho (elang lapar menyambar kelinci), cakar besinya hendak digarukkan ke ubun-ubun Wan Lui.

   Itu bukan sekedar garukan pelenyap gatal, melainkan bisa melenyapkan gatal untuk selama-lamanya alias mampus.

   Karena Wan Lui kalau gatal ingin menggaruk sendiri tanpa minta tolong orang lain, maka cepat-cepat ia menggeser ke samping dan menebaskan pedangnya dengar, gerak Heng-kang-cat-tau (memotong dari samping).

   Menghadapi gerak setangkas itu, Tiat Beng Hou kaget.

   Cepat ia berputar di udara untuk menghindari serangan, namun Wan Lui mengejar dengan meluncur maju sambil menjulurkan pedangnya.

   Tiat Beng Hou benar-benar kelabakan, karena lawannya ternyata memiliki kecepatan yang melebihi dirinya.

   Dalam gerak pembelaan dirinya, ia melakukan gerakan yang mirip dengan Tin-jiu-kim-na (menurunkan tangan untuk menangkap), tapi dengan cakar besinya yang menghadap ke bawah untuk menjepit pedang Wan Lui.

   Tanpa berhenti sekejappun, Wan Lui mengganti jurus.

   Tanpa menarik pedangnya, di antara jari-jari besi runcing lawannya, ia dorongkan pedang sejauh-jauhnya dengan gerakan Sun -cui-tui-cui (mendorong menurut Karena Wan Lui kalau gatal ingin menggaruk sendiri tanpa minta tolong orang lain, maka cepat-cepat ia menggeser ke samping dan menebaskan pedangnya dengar, gerak Heng-kang-cat-tau (memotong dari samping).

   aliran air), ujung pedangnya jadi mengancam siku tangan Tiat Beng Hou.

   Tapi kalau Tiat Beng Hou menyelematkan sikunya, maka ujung pedang terus mengancam rusuk yang dibelakang siku itu.

   Tiat Beng Hou jadi serba salah menghadapi keadaan serumit itu.

   Tergesa-gesa ia memutar cakar besinya sekuat tenaga.

   Pedang Wan Lui berdenting patah karena terpilin, namun ujung pedangnya sudah sempat membuat jalur luka sepanjang satu jengkal lebih di bawah lengan Tiat Beng Hou.

   Kalau dua pesilat bertarung dan melaku kan gebrakan yang sama-sama gagal, biasanya mereka akan saling memisahkan diri se jenak untuk membuat perhitungan baru sebelum menyiapkan gebrakan baru.

   Demikian pula Tiat Beng Hou melompat mundur dan mengira lawannya pun akan berbuat sama.

   Ternyata perkiraannya salah.

   Wan Lui tidak mundur setelah gebrakan itu, malahan melompat maju dengan tendangan Hui-hou-tui (tendangan macan terbang) dengan tubuh miring dan kaki lurus ke samping.

   Tendangan yang biasanya dilakukan dengan lompatan tinggi untuk menendang kepala, kini oleh Wan Lui diubah jadi rendah untuk mengincar perut.

   Tiat Beng Hou benar-benar kehilangan waktu untuk membela diri.

   Tumit kanan Wan Lui menghunjam perut Tiat Beng Hou dengan kekuatan penuh, ditambah berat badan Wan Lui yang sekian puluh kilo dalam lontaran deras.

   Sedetik ketika kaki itu kena perut, kulit perut Tiat Beng Hou seolah mundur sampai hampir kena kulit punggung.

   Tubuh pemimpin Lamcong itu sendiri melambung seperti sebuah bola dan terhempas di tanah tanpa bernapas lagi.

   Kaum Lam-cong gempar, kaum Pek liankau gempar.

   Tokoh unggulan mereka, terbunuh dalam pertempuran singkat melawan seorang pemuda tak terkenal.

   Banyak beberapa anggota Pek-lian-kau cuma mengenalnya sebagai "Gan Hong Lui"

   Tapi tidak pernah ditanyai dari cabang mana anak buah Hio-cu yang mana.

   Wan Lui sendiri tidak mau membunuh kaum keroco yang betapapun juga, sebagian dari mereka pernah menjadi "teman-temarnya".

   Wan Lui cuma mengincar benggolan benggolannya saja.

   Waktu itu Thio Yap sedang mengamuk dengan tombak panjangnya.

   Tiga perwira berpangkat Pa-cong menggabungkan tenaga untuk membendung amukannya, tapi ketika lawannya tetap tak mencukupi.

   Suatu ketika, sambil berteriak Thio Yap melangkah maju, putaran tombaknya menusuk hebat.

   Di bawah cahaya obor yang kemerahmerahan, ujung tombaknya nampak menyala dan seolah pecah menjadi puluhan ujung tombak yang bergerak serempak.

   Terjangan nya membuat ketiga lawannya bertebaran meninggalkan titik pertahanan bersama, salah satu dari mereka senjatanya bahkan terpental ke udara karena benturan yang dahsyat.

   Dan malangnya nasib si perwira yang kehilangan senjata itu, sebab Thio Yap langsung menerkamnya bagaikan serigala kelaparan.

   Ujung tombaknya menembus dada perwira itu.

   Seolah telah kesurupan iblis, Thio Yap mengangkat tubuh itu dengan ujung tombak nya lalu diputar-putar di atas kepalanya, sampai darahnya menetes-netes ke wajah dan tubuh Thio Yap sendiri.

   Sambil berteriak-teriak.

   Lalu tubuh itu dihempaskan ke arah lawan-lawannya yang lain.

   Yang dilempari mayat buru-buru menghindar, namun tiba-tiba dilihatnya ujung tombak Thio Yap bagaikan kilat sudah tinggal satu jengkal di depan lehernya.

   Orang itupun memejamkan mata, siap menerima kematian karena merasa takkan lolos dari serangan secepat itu.

   Namun Perwira itu tiba-tiba, merasa lengannya dicengkeram dan ditarik ke samping, sehingga selamat dari maut, la membuka mata, dan alangkah herannya melihat Thio Yap kini dihadapi seorang pemuda bersenjata pedang namun berbaju seragam anggota Peklian-kau! Thio Yap heran dan gusar ketika mengenali lawannya.

   "Gan Hong Lui, apakah kau sudah gila sehingga berani melawanku?"

   Wan Lui tertawa sambil menjawab.

   "Memang aku pinjam baju dari seorang Peklian-kau, tapi aku tidak pernah mendaftar masuk Pek-lian-kau. Lebih jelas lagi, aku ini memang musuh Pek-lian-kau yang menyusup untuk merebut Pangeran Hong Lik dan menghancurkan kalian."

   "Jahanam, kau begundal orang Manchu!"

   "Malahan orang Manchu tulen."

   "Siapa kau sebenarnya, bangsat?"

   Namaku Wan Lui dari Tiang-pek-san di Liau-tong."

   "Untuk siapa kau bekerja "Untuk orang-orang yang telah dan akan menjadi korban praktek ilmu sesat kalian, tak peduli mereka orang Han atau Manchu "

   Kata-kata itu terputus ketika Thio Yap membentak dan menikam dengan jurus Tiauyang-hui-heng (elang terbang menyong song matahari).

   Geraknya yang cepat dan mantap membuktikan kalau Thio Yap memang pemain tombak yang ulung.

   Wan Lui cepat menggeser ke samping, namun Thio Yap menyongsong dengan gagang tombak yang disapukan ke pinggul lawan dengan gerakan Hek-liong-boan-jiu.

   Gerakannya menderu dahsyat.

   Murid Pak Kiong Liong itu tidak mau diserang terus tanpa membalas, apalagi ia berhasrat menyelesaikan lawan ini secepatcepatnya, agar bisa segera merampungkan tokoh-tokoh Pek-lian-kau yang lain, yang semuanya merupakan orang-orang berbahaya.

   Berbahaya dalam pertempuraran.

   berbahaya pula bagi masyarakat kalau mereka sampai bisa lolos dan mempraktekkan ilmu hitam yang menuntut darah manusia itu.

   Begitu Thio Yap mendesak hebat, silih berganti dengan ujung tombak maupun tangkai tombak, Wan Lui r mgumpulkan semangatnya lalu mulai memainkan Thian-liong-kiam-hoat (ilmu pedang naga langit) dengan pedang yang baru dipungutnya dari tanah itu.

   Cahaya pedang menebar tak terbendung memenuhi arena.

   Tak peduli betapa hebat deru tombak Thio Vap, kini tenggelamlah ke tengahtengah gulungan cahaya pedang yang berdesing-desing itu.

   Hampir copot semangat Thio Yap melihat kehebatan ilmu pedang itu.

   Napasnya jadi sesak, seolah-olah melangkah atau menghadap ke manapun yang dilihatnya hanyalah kilauan bayangan pedang di mana-mana, melingkari dirinya.

   Permainan tombaknya yang kuat dan dibanggakannya selama ini, sekarang jadi terasa kedodoran maupun compang-camping, sama sekali tidak memadai untuk diadu dengan ilmu pedang warisan Pak Kiong Liong itu.

   Namun sebagai pesilat tangguh dan sudah banyak pengalaman dalam menghadapi saatsaat kritis macam itu, Thio Yap tidak cepatcepat putus asa.

   Ia masih berusaha memperbaiki keadaannya.

   Lebih dulu ia me lompat mundur sambil membarengi menjulurkan tombak, untuk menahan lawan di luar jangkauan tombaknya, sementara ia merencanakan bentuk perlawanan yang sesuai, dan menguntungkan, dengan senjatanya yang berjangkauan lebih panjang itu.

   Ketika Wan Lui berusaha mengejar dengan pedangnya, Thio Yap melancarkan lagi serangkaian jurus dan berhasil menahan Wan Lui tetap di depan ujung tombaknya tanpa bisa lebih dekat lagi.

   Keruan Thio Yap kegirangan karena merasa berhasil melaksanakan rencananya, dan dengan semangat lebih hebat, dia mulai merencanakan serangan balasan.

   "Jangan senang dulu, Thio Yap,"

   Tiba-tiba Wan Lui menggeram.

   Memang pedangnya lebih pendek, sehingga sulit untuk dibawa mendekati lawan, namun mendadak ia melompat ke udara, memainkan jurus Ban-liong-seng-thian (Selaksa Naga Terbang), di sertai pengerahan tenaga sakti Hwa-liong-sin-kang.

   Pedang yang dipegang Wan Lui tiba-tiba nampak merah membara seolah baru saja dikeluarkan dari tanur peleburan.

   Berbareng dengan itu, setiap lubang pori-pori kulitnya seolah menyemburkan udara amat panas dalam lingkaran sepuluh langkah darinya.

   Bukan kepalang kagetnya Thio Yap.

   Udara segar di sekitar tubuhnya tiba-tiba menghilang entah kemana, diganti hawa panas luarbiasa yang serasa menghanguskan kulit.

   Udara jadi begitu tipis, sehingga Thio Yap harus megapmegap hanya untuk mendapatkan satu tarikan napas, dan udara yang berhasil dihirupnya pun begitu panas membuat kerongkongannya kering dan haus luar biasa.

   Tokoh Pek-lian-kau cabang Lam-cong itu kelabakan.

   Kalau bernapas saja sulit, mana bisa memusatkan perhatian untuk ilmu tombaknya? Baru saja ia gembira karena mengira berhasil menciptakan ruang gerak bagi tombaknya, kini jurus-jurusnya kacau kembali, bahkan terkurung lagi oleh cahaya pedang dan hawa panas itu.

   Jauh lebih menderita dari sebelumnya.

   "Ilmu iblis!"

   Jerit Thio Yap dalam keputusasaannya. "Bukan ilmu iblis. Inilah ilmu silat sejati yang didapatkan dengan ketekunan berlatih selama bertahun-tahun,"

   Sahut Wan Lui.

   "Jauh lebih berharga dari ilmu kalian yang cuma berkomat-kamit sambil menggoyang-goyang bendera, tapi kena darah binatang fsaja punah."

   Sambil mendamprat, pedang Wan Lui tak berhenti menekan terus.

   Thio Yap memang bukan tandingan Wan Lui dalam urusan silat, sedangkan untuk menggunakan ilmu gaibnya ia tidak ada kesempatan sama sekali.

   Karena itu nasibnya seperti sudah ditetapkan.

   Beberapa jurus kemudian Thio Yap menjerit kesakitan ketika sebuah tusukan pedang Wan Lui mengakhiri hidupnya.

   Seperti nasib pemimpin-pemimpin mereka, begitu pula nasib anak buahnya.

   Sesuai dengan perintah Kwa Cin Beng, tentara kerajaan menekan sisa orang-orang .

   Pek-lian-kau itu tanpa ampun.

   Tekanan dari segala jurusan, bahkan bedil-bedil pun mulai ikut "bernyanyi"

   Di sela-sela gemerincing riuh dari ribuan senjata kuno yang masih berbenturan ditengah kancah.

   Pertempuran itu memang makin berat sebelah.

   Orang Pek-lian-kau yang sejak semula kalah banyak, menyusutnya juga lebih cepat dari tentara kerajaan.

   Sebentar sebentar terdengar letusan bedil-bedil sundut yang serempak, dan itu berarti pembantaian orang Pek-lian-kau berjalan terus.

   Perlawanan orang-orang Pek-lian-kau makin kacau karena sudah tidak ada lagi pimpinan-pimpinan mereka, dan masingmasing bertindak semaunya sendiri.

   Sebagian yang fanatik terus melawan sambil tak hentihentinya meneriakkan slogan.

   Mereka melawan mati-matian dan akhirnya mati sungguhan.

   Biasanya ini adalah orang-orang Pak-cong.

   Yang sebagian lain, biasanya ini adalah orang-orang Lam-cong, mencoba mencari kesempatan untuk lari.

   Rupanya mereka masih enggan "menghadap Sri Baginda".

   Dan kalau melihat kesempatan, mereka langsung kabur secepatnya.

   Namun mereka yang berusaha kabur ini tidak usah lagi melewati tahap matimatian, melainkan langsung mati sungguhan.

   Punggung mereka adalah sasaran empuk panah, lembing atau peluru dari tentara kerajaan.

   Ketika langit di sebelah timur mulai kemerah-merahan, pembantaian pun selesai.

   Orang Pek-lian-kau boleh dikata tertumpas sebagian besar, sebagian kecil yang berhasil lari tak seberapa jumlahnya.

   Di pihak tentara kerajaan juga ada ratusan orang tewas.

   Pertempuran yang berjalan sejak sore hingga fajar itu benar-benar berakibat mengerikan.

   Cahaya fajar kali ini tidak menampilkan keindahan, melainkan menimbulkan kengerian.

   Apa yang tadinya tidak nampak karena gelapnya malam, kini tergelar nyata di bawah cahaya mentari.

   Ceceran mayat mulai dari simpang tiga itu sampai ke kuil Hong-kak-si, jarak yang kurang lebih sepuluh li.

   Mayat-mayat bertebaran di jalan, di kebun-kebun, di parit, dan yang paling mengerikan ialah di simpang tiga itu.

   Kwa Cin Beng mengatur kembali barisan nya.

   Lalu penduduk desa-desa terdekat dihubungi, diperintah membantu menguburkan atau membakar mayat orang-orang Pek-liankau.

   Sedang mayat para prajurit akan dibawa ke Hong-yang untuk dimakamkan atau diperabukan dengan upacara selayaknya.

   Sedih juga Wan Lui melihat orang mati sebanyak itu.

   Inilah sebuah harga untuk mengamankan sementara masyarakat dari ancaman penganut-penganut ilmu sesat ini.

   Tengah ia termenung, Kwa Cin Beng mendekati dan menepuk pundaknya.

   "Lui Cam Ciang, dimana Pangeran Hong Lik? Apakah dia berhasil kau selamatkan?"

   Wan Lui menjawab.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pangeran Hong Lik kusembunyikan di suatu tempat yang aman, dan aku akan segera membawanya ke Hong-yang. Aku harap Cong Peng menyiapkan tempat dan pelayanan yang memadai, juga pengamanan tempat itu harus cukup kuat, sebab siapa tahu masih ada pihak lain yang mengingini Pangeran Hong Lik. Siapkan juga makanan yang lembut, makanan untuk orang sakit. Sebab selama ditawan Pek-lian kau, Pangeran Hong Lik agaknya kurang diperlakukan baik sehingga kondisi tubuhnya agak lemas saat ini..."

   Sahut Kwa Cin Beng penuh semangat, Baik, baik."

   Tentu saja penuh semangat, sebab dengan berbuat baik terhadap Putera Mahkota bukankah sama dengan menyiapkan masa depan yang cerah terhadap diri sendiri Tidak banyak orang mendapat kesempatan macam itu.

   Lalu Kwa Cin Beng memanggil seorang perwira bawahannya, diserahi wewenang untuk membenahi rnayat-mayat di tempat itu, sedangkan Kwa Cin Beng sendiri dengan satu regu pengawal, mendahului pulang ke Hong Yang.

   Wan Lui pergi ke arah yang lain untuk mengambil Pangeran Hong Lik.

   Ketika Wan Lui menyuruh Kwa Cin Beng memperkuat penjagaan, dalam angan-angan Wan Lui masih ada ancaman, yaitu komplotan dalam istana yang selama ini mendalangi Pek- liar.-kau untuk mencelakakan (Pangeran Hong Lik.

   Tapi Wan Lui tidak sadar adanya ancaman dari fihak lain, yaitu In Kiu Liong yang terus mengikuti kemana saja perginya Pangeran Hong Lik, seperti anjing mengendus tulang.

   * * * Ibukota Pak-khia.

   Yang nampak sehari-hari di kota itu adalah biasa-biasa saja.

   Pedagang yang berangkat sehat pulangnya babakbelur.

   Namun di balik yang kelihatan tenang tanpa gejolak itu, Pak-khia tak pernah bebas dari intrik-intrik tersembunyi dari balik dinding-dinding istana kerajaan, gedunggedung para bangsawan, tangsi-tangsi para jenderal.

   Selalu saja ada yang ingin menguatkan posisinya dengan menyikut orang lain agar jatuh.

   Pak-khia tak pernah "libur"

   Dari urusan ini, sama dengan pusat-pusat kekuasaan lain di seluruh dunia dan segala jaman.

   Meskipun semuanya berlangsung di belakang layar.

   Siang hari itu, di sebuah jalanan yang ramai nampak seorang lelaki berjalan.

   Tubuhnya ramping, usianya sudah setengah abad, jubahnya dari kain ringan.

   Sepintas lalu memang tak ada istimewanya orang ini dengan ribuan orang yang tengah berlalu-lalang di jalanan itu.

   Kelainan orang ini hanya sikapnya, itu-pun tidak kentara, tidak menyolok.

   Matanya yang tajam seperti mencari-cari sesuatu di pinggir jalan itu, di pintu toko-toko dan warung-warung yang berderet.

   Ia bahkan tidak peduli penjaja-penjaja di pinggir jalan yang menawarkan macam-macam barang dagangannya.

   Entah buah-buahan, barang-oarang keramik dan seba-gainya yang tidau digubris.

   Sampai lelaki itu tiba-tiba berhenti melangkah, matanya bersinar-sinar menatap pintu sebuah toko obat yang kecil, terje pit di antara d ia toko besar.

   Di ambang pintu toko obat itu dipakukan secarik kain kuning yang lebarnya tidak lebih dari telapak tangan, kalau tidak diperhatikan benar-benar memang tidak terlihat dari jalanan yang penuh manusia hilirmudik itu.

   Lelaki itu laiu bergegas masuk ke toko obat itu.

   Penjualnya ada di belakang sebuah meja panjang dan di depan lemari yang merapat dinding, terdiri dari ribuan laci yang semua nya ditempeli tulisan nama-nama obat.

   Saat itu si penjual tengah meladeni seorang pembeli wanita yang amat cerewet.

   Wanita itu berumur limapuluh tahun, amat gemuk, hebat dalam bersolek, bahkan buah dadanya yang melorot itu juga diganjal entah dengan apa di balik bajunya agar tetap menantang.

   Dia sedang mencarikan ramuan "kebahagiaan suami-isteri"

   Buat suaminya. Namun setiap kali ditawari semacam obat, belum juga merasa cocok. Saat itulah si lelaki tadi masuk, langsung menyerobot dengan pertanyaannya.

   "Rumput nomor empatbelas dari Jing-hai, ada?"

   Si penjual nampak kaget, matanya tajam menatap si penanya, dan tiba-tiba ditinggal kannya saja pembeli wanita yang cerewet itu untuk mendekati lelaki itu.

   Si wanita cerewet yang belum menemukan ramuan kebahagiaan yang cocok itu tentu saja mencak-mencak.

   Tapi si penjual tidak peduli.

   Ia malah menanyai lelaki vang baru datang itu.

   "Tuan membutuhkan obat untuk apa?"

   "Mengobati borok naga."

   Si penjual tersenyum lebar dan berkata.

   "Ada. Mari kutunjukkan di dalam."

   Lalu ia mengajak tamunya masuk ke dalam, tak peduli lagi si wanita cerewet, keduanya menghilang kebalik tirai yang menghubungkan ruangan toko dengan lorong di belakang toko. Si wanita cerewet kontan memekik.

   "He, bagaimana ini? Obat yang kutanyakan belum kudapat ..." "Cari sendiri dan bawalah dengan cumacuma,"

   Itulah jawaban tak sabar dari balik tirai.

   "Suamiku belakangan ini tidak lagi bergairah, apa obatnya supaya bergairah lagi?"

   "Istri muda yang cantik,"

   Itulah jawaban terakhir dari balik tirai yang bernada menghendaki agar tidak dibantah lagi.

   Si wanita mencaci-maki lalu pergi untuk mencari toko obat lainnya, sambil bersumpah seumur hidupnya takkan mau lagi menginjak lantai toko obat kecil ini.

   Di pintu dia bahkan meludah.

   Sementara itu, si pemilik toko dan tamu nya melewati sebuah lorong sempit di belakang ruangan toko.

   Salah satu sisi lorong adalah ruangan-ruangan tak berpintu yang penuh tumpukan bahan-bahan obat.

   Sambil berjalan menyusuri lorong itu, si penjual obat bertanya.

   "Maaf, tuan ini siapa?"

   "Teng liu."

   "Oh, tuan ternyata adalah pendekar ketiga dari Heng-san-sam-kiam (tiga pendekar Hengsan). Pangeran In Te pernah menceritakan diri tuan sebagai salah satu dari sahabat sejatinya yang sedikit jumlahnya. Begitu pula kedua kakak seperguruan tuan, Jian-ing-kiam (pedang seribu bayangan) Ho Se-liang dan Lam-tahihong (prahara sela-nn) Auyang Kong."

   "Pangeran In Te terlalu baik kepada kami bertiga yang sebenarnya tidak becus ini."

   "Tapi kenapa kedua kancak seperguruan tuan tidak ikut serta kemar;?"

   "Kami sebagai anggota-anggota Ci-ih Wikun (pengawal jubah ungu) ada-tugas dalam istana yang teratur dua kakak seperguruanku itu sedang kebagian tugas, kalau tidak muncul tentu akan menimbulkan kecurigaan. Perlu tuan ketahui, belakangan ini di dalam istana, orangorang mudah merasa curiga satu sama lain..."

   "Oh, begitu. Kamipun hampir putus asa menantikan jawaban isyarat itu, menanti munculnya seorang yang mencari "rumput nomor enam belas dari Jing-hai" ..."

   Teng Jiu tertawa.

   "Aku benar-benar minta maaf. Isyarat rahasia dari Pangeran In Te itu sebenarnya sudah kuterima empat hari yang lalu. Tapi baru sekarang aku bisa keluar dari dinding istana untuk menemui kalian. Mudahmudahan belum terlambat."

   "Hampir terlambat. Kalau isyarat rahasia itu tidak terjawab hari ini, atau terjawab tapi jawabannya salah, Goan-swe Pak Kiong Liong dan Pangeran Jn Te sudah siap meninggalkan kota ini secepatnya, karena dianggap gagal menghubungi teman-teman. Untungiah kalau aku belum terlambat."

   Mereka sudah berjalan menghabiskan lorong itu mereka muncul di sebuah halaman tengah yang tidak terlalu luas, berlapis ubin, sehingga membuat udara terasa gerah, Namun ada pohon-pohon dalam jambangan-jambangan besar yang menjadi penyejuk.

   Di kedua samping dan di seberang halaman, nampak sederetan pintu kamar, di sebelah kiri ada pintu bundar yang menembus ke halaman samping.

   Baru saja Teng Jiu dan pengantarnya melangkah di halaman itu, tiba-tiba dari pintu bundar itu muncul seorang pemuda.

   Begitu muncul langsung membentak marah kepada Teng Jiu.

   "Anjing Kaisar, mau apa kau datang kemari? Mau menangkap kami agar kau mendapat hadiah dari Kaisar berhati iblis itu?"

   Bukan cuma membentak, tapi sebuah jotosan Wan-kiong-sia-tiau (menentang busur nemanah rajawali) yang cepat dan kuat ke muka Teng Jiu.

   "Sambutan"

   Macam itu tidak terduga oleh Teng Jiu maupun pengantarnya. Si penjual obat buru-buru berteriak mencegah.

   "Tong Siau-ya (tuan muda Tong), tahan!"

   Tong Hai Long tidak menggubris pencegahan itu, terus menyerang dengan sengit, la mengenali Teng jiu sebagai salah satu pengawal Ni Keng Giau ketika dalam perjalanan dari Tan-liu ke Hang-ciu.

   Di tengah perjalanan, Tong Hai Long, Tong San Hong dan Se-bun Hong-eng nekad hendak membunuh Ni Keng Giau sehingga bentrok dengan pengawalpengawal Ni Keng Giau, antara lain Teng Jiu inilah.

   Waktu itu, seandainya tidak muncul Wan Lui sebagai "dewa penolong"

   Malah ketiga anak muda itu bukan saja gagal, malahan hampir menjadi korban Sat Siau Kun dan pengawalpengawal Ci-ih Wi-kun lainnya.

   Tapi sejak itu, Tong Hai Long malahan sering makan hati dan mudah berang.

   Maklum, bagaimana tidak mendongkol kalau si "dewa penolong"

   Itu kemudian terus-terusan dikenang dengan manis oleh Se-bun Hong eng? Tong Hai Long merasa dirinya sudah tidak diperhatikan lagi, tersingkir oleh Wan Lui.

   Se-bun Hong-eng membandingkan dirinya dengan Wan Lui dan nampaknya Wan Lui memang lebih becus segala-galanya dalam penilaian gadis itu.

   Tambah mendongkol lagi Tong Hai Long ketika diapun gagal mengikuti dan menangkap Pangeran In Tong, si pengkhianat Hwe-liongpang yang jejaknya muncul kembali itu.

   Padahal tadinya ia sudah membayangkan, kalau berhasil menangkap pembunuh kakeknya itu, tentu dirinya akan menjadi "pahlawan"

   Yang dikagumi semua orang, terutama Se-bun Hongeng tentunya.

   Ternyata gagal, dan ia malah disalah-salahkan terus oleh kakeknya, dianggap bertindak gegabah sehingga buruan itu malah menghilang kembali, dan sebagainya.

   Siang itu ia habis bertengkar dengan Sebung Hong-eng, tiba-tiba melihat munculnya Teng jiu yang dulu dikenalinya sebagai salah seorang pengawal Ni Keng Giau, maka sertamerta muncul pula sifat "kepahlawanan konyol"

   Tong Hai Long, maka terjadilah seperti itu. Teng Jiu sebenarnya hanyalah "mewakili Wan Lui"

   Menampung kejengkelan Tong Hai Long selama ini.

   Teng Jiau bergelar Hui-kiam-eng (pendekar pedang terbang) karena kemahiran ilmu pedang dan ilmu meringankan tubuhnya.

   Ilmu meringankan tubuh itulah yang kini digu nakannya menghadapi serbuan kalap Tong Hai Long.

   la tidak membalas, namun lincah menghindar dengan langkah-langkahnya yang ringan mengambang, sekali meluncur dan sekali melompat.

   Jambangan-jambangan besar di halaman itu bukan merintangi geraknya, sebaliknya malah dimanfaatkannya untuk berputar-putar menghindar, seperti main petak umpet saja.

   Setelah sekian lama belum berhasil menangkap Teng Jiu, Tong Hai Long jadi semakin penasaran.

   Diapun mempercepat gerak serangannya, tak peduli si pemilik took obat itu berteriak-teriak melerai.

   Dengan meningkatnya kecepatan serang an, Teng Jiu mulai merasakan kesulitan juga.

   Bagaimanapun juga, Tong Hai Long bukan pesilat keroco, sebab dia adalah cucu dari dua tokoh persilatan sekaliber Tong Lam Hou dan Pak Kiong Liong, dan telah dididik kedua kakeknya itu sejak kecil.

   Hal lain yang menyulitkan Teng Jiu, ia tidak berniat membalas serangan, hanya menghindar saja, itulah yang menambah kerepotannya.

   Halaman sempit itu jadi terasa semakin sempit jadinya, biarpun langkah Teng Jiu masih kelihatan ringan berputaran.

   Waktu itulah salah satu pintu di tepi halaman itu terbuka, lalu Pak Kiong Liong dan In Te muncul dan bertepuk tangan melihat apa Diapun mempercepat gerak serangannya, tak perduli si pemilik toko obat itu berteriak-teriak melerai.

   yang terjadi di halaman itu.

   Terdengar In Te tertawa dan memuji gerakan kaki Teng Jiu.

   "Benar-benar Liu-cui Hoan-po (langkah berputar air mengalir) yang semakin matang, Teng-heng (saudara Teng)!"

   Sedangkan Pak Kiong Liong meneriaki cucunya.

   "A-hai, hentikan. Bersikap sopanlah kepada tamu!"

   Terhadap sang kakek yang belakangan ini lebih sering memarahinya, Tong Hai Long memang merasa takut.

   Maka tidak perlu bentakan itu diulang untuk kedua kali nya, Tong Hai Long menghentikan serangannya dan melompat mundur.

   Sedang Ten Jiu yang tadi datang dengan pakaian rapi, kini pakaiannya di bagian punggung telah basah dengan keringat, begitu pu la wajahnya.

   Kulit mukanya agak memerah napasnya agak terengah-engah.

   Katanya.

   "Wah, hampir saja langkah Berputar Air Mengalir ini tidak bisa mengalir lagi karena terbentur batukarang muda yang baru muncul di dunia persilatan." Lalu ia melangkah ke hadapan In Te dan berlutut.

   "Hamba mengucapkan selamat datang kembali ke Pak-khia, Pangeran. Hamba masih teguh berpegang kepada sumpah yang dulu untuk mendukung Pangeran merebut tahta dan menegakkan keadilan!"

   Rupanya Teng Jiu mengira munculnya kembali ln Te di Pak-khia itu bermaksud menyusun kembali kekuatannya, untuk merebut tahta.

   Pak KiongLiong dan ln Te bertukar pandangan sejenak, namun tidak berkata apaapa.

   Kepada Pak KiongLiong, Teng Jiu memberi hormat biasa dan berkata.

   "Isyarat Goan-swe sudah kuterima empathari yang lalu. Tapi maaf, baru sekarang aku datang memenuhi panggilan itu. Harap dimaklumi karena tugas-tugas di istana begitu berat dan padat, aku tidak sembarangan meninggalkan istana, agar tidak menimbulkan kecurigaan ..."

   "Aku bisa memaklumi ..."kata Pak Kiong Liong sambil tersenyum. "Silahkan duduk di dalam, Teng-heng..."

   In Te mempersilahkan.

   Sebelum melangkah masuk ke salah satu ruangan, lebih dulu Teng Jiu mengangguk hormat sambil tersenyum ke arah Tong Hai Long, yang membalas anggukannya dengan wajah kaku-cemberut.

   Kejengkelannya sebenarnya bukan kepada Teng Jiu, melainkan kepada Wan Lui yang saat itu tidak diketahui dimana beradanya ..."

   Sementara Pakkiong Liong dengan wajah angker menegur cucunya yang berangas an itu.

   "A-hai, hampir saja kau mengacaukan suatu urusan besar yang menyangkut masa depan kekaisaran. Lain kali pakailah otak mu, jangan main pukul seperti orang mabuk saja!"

   Tong Hai Long menunduk dalam-dalam. Tapi ketika kakeknya beserta In Te dan tamunya sudah menghilang di balik pintu, menggerutulah ia.

   "Yah, inilah teguran ke sebelas yang kudapatkan hari ini. Memang aku terus yang salah ..." Dari pintu bundar di samping halaman, muncul saudara kembarnya, Tong San Hong yang langsung mendekatinya dan menepuk pundaknya, Memang kau yang gegabah, A-hai. Seorang tamu yang datang kemari karena bisa mengartikan kode rahasia kita, tentunya ada urusan yang dibawanya. Tapi begitu dia datang terus kau labrak saja ..."

   "Jadi kaupun ikut menyalahkan aku, A-san? Baik, baik, akulah orang yang salah, aku orang paling besar dosanya di dunia, semua kegagalan dan bencana pasti disebab kan olehku. Ya, ya. Hanya Wan Lui pahlawan di dunia ini. A-eng bahkan sampai mem bawanya ke alam mimpi. Hem."

   "Bukan begitu maksudku. Hendaknya lain kali kalau mau bertindak apapun harus dipikir lebih...he, A Hai, mau kemana kau!? "Ke warung arak, daripada di sini disalahkan terus..."

   "He, sudah lupa pesan kakek? Dalam beberapa hari ini kita tidak boleh minum arak diluaran, kalau sampai mabuk bisa kacau semuanya. Kau lupa?"

   "Jadi tidak boleh?"

   "Ya jelas tidak boleh, sebab berbahaya. Orang mabuk akan bicara kacau, kalau tanpa sengaja membocorkan rencana kita dan sampai di dengar oleh seorang mata-matanya Yong Ceng nah, bayangkan saja akibat nya ..."

   "Inilah teguran ke duabelas untuk hari ini..."keluh Tong Hai Long lesu, sambil ngeioyor pergi. Kuatir kalau saudaranya itu benar-benar akan pergi ke warung arak, Tong San Hong tidak membiarkannya sendirian. Dia-pun ikut melangkah keluar. Sementara itu, di sebuah ruang belakang yang ditata sederhana, Pak Kiong Liong, In Te dan Teng Jiu telah mengambil tempat duduk masing-masing. In Te yang mulai bicara.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Teng-heng, kudengar kabar kau dan kedua kakak seperguruanmu selama ini akrab dan banyak mendukung tindakan Pangeran Hong Lik?" Mendengar kata-kata itu, Teng Jiu salah paham.

   "Hamba mohon ampun, Pangeran. Memang benar hamba banyak mendukung tindakan Pangeran Hong-lik, tetapi..."

   "Oh ya, Teng Heng. Mulai sekarang kau tidak usah lagi membahasakan dirimu sebagai hamba, jangan lagi memanggilku Pangeran. Kita sekarang sederajat..."

   Teng Jiu mengira ucapan In Te itu karena perasaannya yang tersinggung, maka ia berkata.

   "Pangeran jangan berkata demikian. Dukungan hamba sementara ini terhadap Pangeran Hong Lik, tak lain demi rakyat kecil yang banyak ditolongnya, sekaligus juga untuk membendung pengaruh Liong Ke Toh. Hamba menyokong Pangeran Hong Lik hanya selama Pangeran In Te sendiri belum pulang ke Pak-khia. Kini Pangeran telah pulang ke Pak-khia dalam keadaan sehat, tentu saja hamba siap untuk memenuhi sumpah hamba yang pernah diucapkan dulu. Kami bertiga Heng-san-samkiam, dan juga beberapa sahabat yang tetap setia kepada Pangeran, akan tetap menetapi sumpah dan mendukung Pangeran sampai ke singgasana. Betapapun berat akibatnya..."

   In Te tertawa.

   "Teng-heng, aku percaya. Tapi kau salah paham akan kata-kataku. Aku sama sekali tidak kecewa atau marah, bahwa selama aku tidak ada di Pak-khia, maka sahabatsahabat setiaku di sini menyalurkan gejolak perjuangan lewat saluran yang tepat, yaitu Pangeran Hong Lik. Aku setuju. Aku tahu Pangeran Hong Lik lebih pantas melanjutkan tahta daripada aku... (Bersambung

   Jilid XX) (Bersambung

   Jilid XX) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid XX Mendengar itu, Teng Jiu mulai merasa kalau ucapan In Te itu tidak main-main.

   "Pangeran, jadi..."

   "Teng Heng, maukah kau memenuhi permintaan pertamaku, yaitu tidak lagi memanggilku Pangeran? Panggil saja In Heng (saudara In), dan jangan lagi bahasa-kan dirimu hamba..."

   "Hem...eh, hem...ah, aku terus terang benarbenar bingung oleh maksud kedatangan... In Heng ke Pak-khia ini. Ketika aku melihat kode rahasia In Heng di tembok luar istana, semangatku berkobar, aku mengngira saat perjuangan yang sebenarnya sudah tiba. Menumbangkan manusia curang yang selama ini menduduki tahta. Tapi...sekarang setelah bertemu In Heng, aku malah jadi bingung..."

   "Baik, sekarang kuakhiri kebingungan kalian dan sahabat-sahabat lainnya. Dengar baik-baik. Aku tidak bermaksud mengecewa kan Teng Heng dan rekan-rekan lainnya, bahkan aku sangat berterima-kasih. Tapi aku sudah memutuskan untuk meninggalkan gelanggang perebutan tahta, dan memberi jalan bagi Pangeran Hong Lik untuk ke singgasana, bahkan mendukungnya..."

   Teng Jiu terlongong tak ada bedanya dengan Pak Kiong Liong ketika dulu pertama kali mendengar, keputusan In Te itu, begitu pula Teng Jiu kecewa.

   Kalau In Te benar-benar mengundurkan diri, lalu buat apa selama ini ia mempertahankan kesetiaan kepadanya, susah payah menyelubungi sikapnya yang asli dari tatapan menyelidik orang orang istana, bahkan jungkir-balik melakukan "akrobat politis"

   Yang berlawanan dengan hati-nurani untuk tetap bertahan di lingkungan istana demi siap menyambut kembalinya In Te? Kini yang ditunggu sudah muncul, tapi tidak mau lagi dipanggil "Pangeran"

   Dan malah mengundurkan diri dari gelanggang perebutan tahta. Bukankah sikap itu berarti kecurangan Kaisar Yong Ceng dibiarkan dilestarikan ke anak cucunya? Melihat wajah Teng Jiu, In Te dapat memahami perasaannya. Katanya.

   "Teng Heng, sungguh berat rasa hatiku harus mengecewakan sahabat-sahabat sejatiku. Saha bat-sahabat terpercaya yang biarpun dalam kemelut atau dibawah tekanan, tetap bertahan untuk tetap setia kepadaku. Aku hormat setinggi-tingginya, sampai matipun tak bisa kubalas budi-baik kalian. Tapi aku mengajak Teng Heng dan sahabat lainnya memikirkan keutuhan negara. Aku merasa tidak lagi perlu ngotot memperjuangkan hak pribadiku, kalau tahu bahwa tahta ini kelak akan dipegang orang seperti Pangeran Hong Lik. Kalau aku ngotot bersama pendukung-pendukungku, hanya akan menimbulkan perpecahan dan kebingungan, karena itu aku memilih untuk minggir..." Teng Jiu masih termangu-mangu beberapa saat, lalu menarik napas dengan berat dan berkata.

   "Yah, berarti berakhirlah perju angan terselubung kami selama ini. Sia-sia pula dulu aku bersusah-payah ikut merobohkan Ni Keng Giau demi menyiapkan jalan lurus bagi Pangeran, biarpun saat itu kami hanyalah membonceng Liong Ke Toh untuk memperkuat gebrakannya terhadap Ni Keng Giau, Memang ditakdirkan perjuangan kami demi keadilan harus sampai di sini saja..."

   "Aku paham perasaanmu, Teng Heng. Tapi kuanjurkan kalian tidak ikut-ikutan keluar gelanggang, sebab Pangeran Hong Lik membutuhkan dukungan kuat pula untuk menandingi ambisi Liong Ke Toh. Aku dan paman Pak Kiong Liong pun akan mendukung Pangeran Hong Lik, biarpun lebih terselubung dari kalian. Jadi perjuangan kalian yang dulu itu tidak sia-sia, ada kelanjutannya, cuma berubah arah. Merobohkan Ni Keng Giau yang kejam itu, bagaimanapun juga tidak sia-sia, sebab banyak orang terselamatkan dari kekejamannya. Jadi jangan hanya melakukan itu demi diriku pribadi. Begitu pula mendukung Pangeran Hong Lik, landasilah dengan niat untuk menjunjung keadilan, jangan memandang dia itu putera Kakanda Yong Ceng yang lalim."

   Teng Jiu mengangguk-anggukkan kepala, tapi agak lesu. Nyata, tidak mudah untuk "banting setir"

   Dari garis yang sudah diikuti nya dan dipegang teguh bertahun-tahun. Pak Kiong Liong yang jauh lebih matang itupun memerlukan waktu untuk mengubah pikirannya, dulu ketika di padang rumput Jinghai mendengar keputusan In Te.

   "Bisa memahami pertimbangan itu, Teng Heng?"

   Kini malah Pak Kiong Liong ikut "mengarahkan"

   Teng Jiu.

   "Yaaah...bisa saja,"

   Sahut Teng Jiu sambil menyeringai kecut.

   "Bagus. Segera hubungi semua kawankawan sepaham. Satukan dulu dukungan buat Pangeran Hong Lik, jangan memberi peluang kepada si ular tua Liong Ke Toh itu, sebab tidak lama lagi..."

   Bicara sampai di sini, In Te tiba-tiba menghentikan kata-katanya sendiri.

   "Sebab tidak lama lagi kenapa, In Heng? tanya Teng Jiu heran, ingin tahu kelanjutan dari kata-kata yang terputus itu. In Te nampak geleng-geleng kepala, wajahnya muram, sikapnya seperti menghin dari sesuatu yang tidak ingin dikatakannya.

   "Ah, tidak apa-apa. Cuma merasa bahwa dalam keadaan tak menentu seperti sekarang ini, segala-galanya harus serba cepat. Berlomba dengan waktu, tak boleh berlambat-lambatan..."

   "Serba cepat, tapi harus tetap hati-hati dan cermat..."

   Pak Kiong Liong buru-buru menambahkan. Ia kuatir kalau pesan "serba cepat"

   Itu nanti oleh Teng Jiu dan temantemannya lalu diartikan asal main tabrak saja.

   Sedang Teng Jiu heran melihat Pak Kiong Liong dan In Te mengucapkan kata-kata yang tak keruan arahnya itu.

   Agaknya merahasiakan sesuatu, tapi Teng Jiu percaya bahwa mereka tidak bermaksud jahat, sebab ia sudah kenal siapa Pak Kiong Liong dan siapa In Te.

   "Ya, memang harus cepat..."

   Kata Teng Jiu, lalu menarik napas dan berkata lagi.

   "Tapi sekarang muncul masalah baru..."

   "Apa?"

   "Pangeran Hong Lik yang harus kami dukung itu, kini menghilang entah kemana. Sudah beberapa bulan ia meninggalkan istana dengan menyamar, hal itu biasa dilakukannya, yang tidak biasa hanyalah begitu lama tidak ada kontak sedikitpun dengan istana. Pihak istana masih merahasiakan hal ini, tapi jelas amat gelisah..."

   Pak KiongLiong dan In Te mengerutkan alis.

   Kalau Pangeran Hong Lik tidak ada di istana, bukankah Liong Ke Toh lalu bisa malang melintang semaunya di sisi Kaisar Yong Ceng? Padahal dorna tua itu amat pintar menjilat dan pintar menyelubungi niat khianatnya di hadapan Kaisar, sehingga Kaisar malahan menganggap Liong Ke Toh sebagai satu-satunya penasehat yang terper caya.

   Yang mencemaskan Pak Kiong Liong dan In Te ialah ketika mereka ingat pertemuan mereka dengan Kam Hong Ti di kota Hang-ciu.

   Waktu itu Kam Hong Ti bilang akan "menebang tiang yang sudah busuk", yang dimaksud ialah usaha membunuh Kaisar Yong Ceng.

   Sedangkan Pak Kiong Liong dan In Te sepakat akan membiarkan saja "tiang lama"

   Roboh, namun akan mengokohkan "tiang batu"

   Agar negara jangan sampai roboh. Namun kini tiba-tiba mereka mendengar dari Teng Jiu bahwa "tiang baru"

   Itu hilang.

   Kalau Kam Hong Ti keburu meroboh kan "tiang lama", bukankah benarbenar semuanya akan ambruk? Jangan-jangan Liong Ke Toh yang akan mendapat keuntung an paling banyak? Melihat Pak kiong Liong dan ln Te seperti orang-orang kebingungan, suatu adegan yang langka terlihat, Teng jiu benar-benar heran.

   Urusan apa yang mampu membuat kedua bekas panglima perang termasyhur itu kebingungan? "Apa yang terjadi sebenarnya?"

   Beberapa saat lamanya pertanyaan Teng Jiu bergaung tanpa jawaban di ruang yang dicengkam kesunyian itu. Pak Kiong Liong dan ln Te cuma saling berpandangan tanpa kata.

   "Ada apa?"

   Teng Jiu bertanya lagi dengan suara lebih keras. Bukan menjawab, malahan Pak Kiong Liong balik bertanya.

   "Teng Heng, seberapa besar pengaruh Liong Ke Toh di istana saat ini?"

   "Kedudukannya sebagai penasehat Kaisar amat menguntungkannya, dia hampir sama ditakutinya dengan Kaisar sendiri, sebab hampir semua usulnya dituruti dan dilaksanakan oleh Kaisar. Bukti kekuatan pengaruhnya ialah jatuhnya Ni Keng Giau. Kalau Ni Keng Giau yang begitu kuat dapat dijatuhkan demikian rupa, apalagi pejabat-pejabat yang kedudukannya lebih lemah."

   "Kuat mana pengaruh Liong Ke Toh dengan Pangeran Hong Lik?"

   "Sulit dikatakan. Orang-orang yang tidak ingin melihat kekaisaran ini dikendalikan orang busuk macam Liong Ke Toh, tentunya lalu menaruh harapan kepada Pangeran Hong Lik. Tapi dengan menghilangnya Pangeran Hong Lik, para pengharap itu seperti kehilangan pegangan..."

   "Bagaimana sikap komandanmu, Komandan Ci-ih Wi-kun, Kim Seng Pa?"

   "Ya seperti biasa. Duduk enak-enak sambil melihat-lihat kemana arah angin..."

   Bicara sampai di sini, tak tertahan Teng Jiu tertawa sebentar.

   "Tiap hari ia tidak lupa berceramah kapada kami, anak buahnya, agar kami tidak ikut-ikutan memihak dalam persaingan dalam istana. Cukup menonton saja sambil mengharap keuntungan..."

   Mau tidak mauPak Kiong Liong dan ln Te ikut tersenyum pula. Kemudian ln Te bertanya kepada Pak KiongLiong.

   "Paman, kenapa tiba-tiba paman menanyakan soal Kim Congkoan?"

   "Dalam keadaan darurat ini, akan kugunakan Kim Seng Pa untuk membendung pengaruh Liong Ke Toh..."

   "Bagaimana caranya?"

   Sambil tersenyum, jawaban Pak Kiong Liong masih kabur.

   "Enak benar dia. Selagi kita kebingungan setengah mati, dia malah enakenak menunggu arah angin, berceramah, menonton sambil menunggu keberuntungan, hem, takkan kubiarkan dia sesantai itu."

   "Maksud Goan Swe?"

   Tanya Teng 3iu.

   "Teng Heng, begitu kau tinggalkan tempat ini, langsunglah menghadap Kim Seng Pa. Katakan bahwa kau sudah ketemu aku, tapi jangan bilang tentang tempat ini. Bilang saja kita ketemu di jalan, dan menerima pesan dariku. Minta dengan hormat agar Kim Seng Pa menggunakan segala pengaruh dan kemampuannya, untuk mencegah meluasnya pengaruh Liong Ke Toh..."

   Teng Jiu tercengang.

   Sudah miringkah otak Pak Kiong Liong karena bingungnya, sehingga orang macam Kim Seng Pa juga dimintai tolong? "Goan-swe, tentunya Goan Swe tahu bagaimana watak Kim Seng Pa itu.

   Seorang yang hanya memikirkan keuntungan diri sendiri, tindakan apapun akan dilakukannya dengan dasar itu.

   Mana mungkin dia mau melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan, bahkan membahayakan kedudukannya, seperti permintaan Goan Swe itu?"

   "Pasti mau..."

   Kata Pak KiongLiong yakin.

   "Kalau dia melakukan, memang aku tidak bisa menyebabkan dia menerima nasib yang jauh lebih buruk daripada Ni Keng Giau..."

   "Seumpama aku sudah sampaikan pesan Goan Swe kepadanya, dan dia bilang tidak mau, lalu apa yang harus kulakukan?"

   "Kalau dia menolak, bilang saja bahwa Pak Kiong Liong dan In Te akan mengucapkan terima kasih kepadanya secara tertulis dan terbuka. Ucapan terima kasih berupa selebaran yang akan ditempelkan di seluruh persimpangan jalan di Pak-khia ini, yang ditanda-tangani sendiri oleh In Te..."

   Tak terasa Teng Jiu mengangkat tangan nya untuk mulai garuk-garuk kepala, padahal kepalanya tidak gatal.

   Bagaimana tidak? Kalau Kim Seng Pa menolak, kenapa malah hendak diberi ucapan terima kasih? "Kenapa Goan Swe malah berterima kasih untuk penolakannya..." "Bukan.

   Bukan berterima-kasih untuk penolakannya sekarang, tapi untuk pertolongannya kepada diriku, dan kepada In Te dulu, waktu di Jing-hai dia secara diam-diam melakukan itu di belakang punggung Ni Keng Giau..."

   Waktu itulah In Te tiba-tiba tertawa terkialkial sampai membungkuk dan memegangi perutnya.

   Pak Kiong Liong pun terkekeh-kekeh, sedang Teng Jiu terlongong-longong karena belum tahu apanya yang lucu..

   Namun setelah dipikir sebentar, samarsamar Teng Jiu mulai bisa membayangkan masalahnya.

   Dulu ketika Ni Keng Giau dikirim ke Jing-hai untuk memadamkan pemberontakan kaum Nestorian, In Te diikut-serta kan dalam pasukan, agar ditempat yang jauh itu Ni Keng Giau bisa "membereskan"

   In Te tanpa ributribut.

   Namun ketika Ni Keng Giau pulang ke Pak-khia, ia tidak membawa kabar tentang In Te, lalu disusul kejatuhan Ni Keng Giau.

   Dua kejadian itu bisa dirangkai oleh Teng Jiu menjadi satu urutan.

   Rupanya Ni Keng Giau gagal "membereskan"

   Ln Te, entah kenapa, gagal dibereskan oleh Ni Keng Giau.

   Kini "entah kenapa"nya itu pelan-pelan mulai tersingkap.

   Dalam pasukan perang Ni Keng Giau, ln Te sudah ibarat anak burung dalam genggaman, kenapa sampai Ni Keng Giau gagal membunuhnya? Tidak lain tentu ulah "orang dalam"

   Yang siapa lagi kalau bukan Kim Seng Pa yang sudah lama membenci Ni Keng Giau? Agaknya Kim Seng Pa menyelamatkan ln Te bukan karena simpati kepada ln Te, tapi karena ingin menggagalkan rencana Ni Keng Giau agar mendapat hukuman Kaisar.

   Siasat itu boleh dikata berhasil.

   Kegagalan membunuh ln Te memang menjadi salah satu alasan Kaisar Yong Ceng untuk menyingkirkan Ni Keng Giau.

   Menjelang kejatuhan Ni Keng Giau dulu, selagi semua orang belum tahu Ni Keng Giau bakal jatuh, waktu itu malahan nama Ni Keng Giau sedang menjadi pujaan orang di Pak-khia, saat itu malah setiap hari terdengar Kim Seng Pa bersiul-siul riang.

   Seolah memang sudah tahu kalau gemerlapnya Ni Keng Giau saat itu akan segera disusul kejatuhannya.

   Tak terasa Teng Jiu mulai menganggukangguk.

   "Pantas, pantas..."

   Desisnya.

   "Jadi Kim Congkoan itukah yang menyelamatkan In Heng dari rencana jahat Ni Keng Giau?"

   "Benar. Karena Teng Heng adalah seorang sahabat yang kupercayai, aku katakan hal ini kepadaku. Waktu itu, sehabis menolongku, Kim Congkoan memohon kepadaku dan kepada paman Pak Kiong Liong agar merahasiakan tindakannya itu. Maklumlah tindakan Kim Seng Pa menggagalkan Ni Keng Giau itu sama halnya dengan menggagalkan keinginan Kaisar sendiri."

   Teng jiu menghembuskan napas lega.

   "Kalau begitu soalnya, akupun sekarang ikut-ikutan yakin bahwa permintaan Goan Swe Pak.KiongLiong pasti akan dikabulkannya...

   "Tapi haruslah Teng Heng ingat..."

   Kata Pak Kiong Liong dengan wajah bersungguhsungguh.

   "Suatu rahasia masih bisa digunakan sebagai senjata untuk menekan, selama rahasia itu tetap menjadi rahasia. Sebab orang yang kita tekan itu tak ingin rahasianya tersebar luas. Kalau rahasia ini sampai tersebar, paling-paling Kim Seng Pa akan minggat dari istana untuk menghindari hukuman Kaisar, namun dia tidak lagi bisa kita manfaatkan sebagai pembendung ambi si Liong Ke Toh saat ini. Jadi Teng Heng ingat-ingatlah hal ini."

   Dengan telunjuknya, Teng Jiu menunjuk bibirnya sendiri dan berkata.

   "Kalau sampai kubocorkan kepada satu orang lagi saja, biarlah mulutku membusuk. Bahkan kepada Toa suheng dan Ji suheng pun takkan kuberi-tahu. Bukan aku tidak percaya kepada mereka berdua, namun tidak berguna mereka mengetahuinya..."

   "Bagus, Teng Heng. Jawaban dari Kim Seng Pa sebaiknya juga melalui Teng Heng, jangan melalui orang lain, lebih-lebih jangan Kim Seng Pa sendiri yang menyampaikannya kemari..."

   "Baik. Ada pesan apa lagi?" Tidak. Bukannya kami mengusirmu, Teng Heng, tetapi seperti kata In Te tadi, semuanya harus serba cepat."

   Karena itu, cepat pula Teng Jiu bangkit dan meninggalkan tempat itu. Setelah Teng Jiu pergi, ln Te bertanya kepada Pak Kiong Liong.

   "Paman, bukankah dulu kita pernah berjanji kepada Kim Seng Pa akan merahasiakan perbuatannya itu? Kalau kita menyebarkannya, bukankah berarti kita menjilat ludah kita sendiri?"

   Pak Kiong Liong mengangguk.

   "Ya, tapi demi selamatnya kekaisaran ini dari keruntuhan, apa boleh buat, aku rela dimaki serendah apapun, sekotor apapun. Kalau tidak memanfaatkan Kim Seng Pa, dengan apa pengaruh Liong Ke Toh bisa dibendung?"

   "Sekarang soal Kam Hong Ti yang berniat membunuh Kakanda Yong Ceng, kapankah kirakira dia turun tangan?"

   "Di sinilah kita terpaksa hanya bisa pasrah tanpa bisa berbuat apa-apa. Kita cuma bisa mengharap mudah-mudahan tindakan Kam Hong Ti itu terlaksana setelah Pangeran Hong Lik kembali ke istana, agar tidak menimbulkan kekosongan tahta yang akan dimanfaatkan oleh Liong Ke Toh..."

   "Mudah-mudahan Pangeran Hong Lik segera kembali. Mudah-mudahan Thian mengasihi kita, mengabulkan harapan orang orang yang cuma ingin melihat ketenteraman di negeri ini..."

   Doa yang sungguh-sungguh memang jarang muncul sebelum manusia terpojok.

   Kini doa itu sudah keluar.

   Sehari itu dilewati dalam kegelisahan.

   Pak Kiong Liong dan In Te menduga, paling cepat besok paginya Teng Jiu akan datang membawa jawaban Kim Seng Pa.

   Tak terduga, malam itu selagi rumah obat itu sudah sunyi-senyap seperti juga seluruh kota Pak-khia, mendadak di halaman samping terdengar anjing penjaga peliharaan pemilik rumah obat itu menggonggong keras tak hentihentinya.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Seisi rumah yang adalah kaum persilatan semua, termasuk Khong Yan Ki si pemilik rumah obat yang sebenarnya adalah anggota Hwe-liong-pang, segera terbangun oleh gonggongan anjing itu, dan berlompatan keluar dari kamar masing-masing untuk menuju ke halaman samping dengan bersiap siaga.

   Merekalah Pak Kiong Liong, In Te, Tong San Hong, Tong Hai Long, Sebun Hong Eng dan Khong Yan Ki sendiri.

   Halaman samping yang sering digunakan untuk menjemur bahan obat-obatan itu sudah gelap, nampak anjing peliharaan Khong Yan Ki menggonggong keras ke atas dinding.

   Di atas dinding nampak bayangan hitam berjongkok.

   "Goan Swe, In Heng, inilah aku!"

   Suara orang yang berjongkok di atas dinding itu ternyata suara Teng Jiu.

   Cepat Khong Yan Ki menarik tali di leher anjingnya, menepuk-nepuk kepala dan moncong anjing itu untuk ditenangkan.

   Setelah tidak menggonggong lagi, berserulah ia ke atas dinding.

   "Teng-taijin, silahkan turun!" Teng Diu melompat turun dengan gerakan seringan anak kucing.

   "Aku mohon maaf telah mengejutkan kalian sehingga bangun semua..."

   Pak Kiong Liong mengerti kalau Teng Jiu ada keperluan yang penting. Karena "harus serba cepat"

   Maka Pak Kiong Liong segera menarik tangan Teng Jiu ke salah satu ruang belakang.

   Kecuali In Te, yang lain-lainnya disuruhnya tidur kembali.

   Tak lama kemudian, di kamar yang siang tadi untuk berbicara, kini mereka bertiga sudah siap berbicara kembali.

   "Kim Congkoan sudah menjawab..."

   Teng Jiu membuka pembicaraan tanpa bertele-tele lagi.

   "Bagaimana jawabannya?"

   "Dia kujumpai ketika sedang enak-enak minum arak di serambi bangsal Bwe-hoa-kiong, aku langsung menghadap dan mengatakannya. la begitu kaget sampai poci araknya jatuh dari meja. Lalu dia mendesak aku untuk memberitahu dia, dimana Goan Swe dan In Heng sekarang, tentu saja kujawab tidak tahu..."

   "Dia percaya?" "Aku tidak tahu isi hatinya. Dan untuk menghilangkan kecurigaannya, maaf, aku terpaksa mengarang sebuah cerita yang agak mengurangi nama baik Goan-swe. Maaf ..."

   "Lho, mengurangi nama baikku bagaima na?"

   "Aku bilang, aku disergap oleh Goan swe, diancam dan disiksa untuk menyampaikan pesan itu. Begitulah, sehingga Kim Seng Pa tidak terus mendesak aku untuk mengatakan tentang tempat Goan-swe dan In Heng. Sekali lagi aku minta maaf..."

   Sambil mengusap jenggotnya yang putih, Pak Kiong Liong tertawa sambil menjawab.

   "Tidak usah minta maaf. Seandainya Teng Heng bukan sahabat seperjuangan In Te yang kami percayai, barangkali aku akan memperlakukan Teng Heng tepat seperti itu..."

   Ketiga orang itu tertawa berbareng.

   Di sebelah ruangan itu adalah kamur tidur si kembar Tong San Hong dan Ton Hai Long.

   Tong San Hong sudah tidur pula seperti bayi kekenyangan, sebaliknya Tong Hai Long masih bolak-balik di dipannya sendiri seperti sedang sakit gigi.

   Namun giginya sehat semua, yang tidak sehat ialah perasaannya.

   Ia jengkel memikirkan hubungannya dengan Se-bun Hong Eng yang bukannya semakin mesra, malahan semakin sering diwarnai pertengkaran.

   


Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Kiang Chu Gie Karya Siao Shen Sien Kekaisaran Rajawali Emas Karya Khu Lung

Cari Blog Ini