Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 12


Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Bagian 12



Kemelut Tahta Naga (2) Karya dari Stevanus SP

   

   Dan seratus persen penanggung-jawab keadaan yang memburuk itu ditimpakan ke pundak...

   Wan Lui, yang kini entah berada dimana., Lagi susah tidur karena jengkel, malah dari kamar sebelah dia mendengar kakeknya, In Te serta tamunya itu bicara terus, kadang-kadang tertawa.

   Keruan Tong Hai Long tambah jengkel, tapi tidak berani berbuat apa-apa.

   Masa ia harus mendamprat ke tiga orang yang termasuk angkatan tua itu? "Urusan apa yang dibicarakan malammalam begini?"

   Gerutunya.

   "Seolah-olah besok pagi sudah tidak ada waktu lagi."

   Hanya bantal dan nyamuk yang mendengar gerutunya itu.

   Apa mau dikata, percakapan berjalan terus.

   Suara percakapan itu mau tidak mau menyusup juga ke kupingnya, lewat celah-celah langitlangit papan yang menghubungkan kedua ruangan itu.

   Ternyata, makin mendengarkan, makin tertariklah Tong Hai Long.

   Rasa mengantuknya hilang, penuh minat ia menguping pembicaraan di ruang sebelahnya itu.

   Barangkali merupakan kecerobohan Pak Kiong Liong,saat dia mengira sepasang cucu kembarnya itu sudah tidur semua.

   Padahal cuma Tong San Hong yang tidur, sedang Tong Hai Long yang berangasan dari suka bertindak sembrono itu masih asyik mendengarkan yang bukan haknya.

   "Nah, Teng Heng, bagaimana jawaban Kim Seng Pa?"

   "Dia begitu gugupnya sehingga aku disuruh mengambilkan arak. Akhirnya dia bilang, kalau aku bertemu lagi dengan Goan Swe, dia menitipkan salam hangat untuk Goan Swe dan siap bekerja-sama....sedangkan soal ucapan terima kasih itu, dia memohon dengan sangat agar tidak usah diumumkan..." Bicara sampai di situ, Teng Jiu tertawa geli diikuti Pak KiongLiong dan In Te. Pembicaraan berhenti sebentar untuk meredakan rasa geli. Sedang bagi Tong Hai Long yang menguping di ruang sebelah, tidak ikut tertawa. Apanya yang lucu? Cuma "salam hangat"

   Dan "siap bekerja sama"

   Saja kok ditertawakan? Tetapi dia terus mendengarkan, mengharap akan mendengar semacam berita yang hebat. BaikPak KiongLiong maupun ln Te merasa agak lega. Dalam "permainan tingkat tinggi"

   Itu sekarang Kim Seng Pa sudah menja di "kartu"

   Di tangan mereka yang bisa dimainkan. Dan kalau menguasai Kim Seng Pa dengan Ci-ih Wikunnya, berarti juga menguasai anak Kim Seng Pa yang bernama Kim Thian Ki, panglima sebuah pasukan di Pak khia, meskipun untuk "memainkan"

   Kim Thian Ki harus lewat Kim Seng Pa. Tetap semuanya bisa digunakan untuk menanding langkah-langkah Liong Ke Toh. Kemudian Pak Kiong Liong berkata.

   "Teng Heng, mengingat watak Kim Seng Pa yang tidak mudah digertak begitu saja, apalagi diperintah20 perintah yang tidak sesuai dengan kemauannya, tentu dia akan berusaha menemukan aku di seluruh Pak-khia. Karena itu, ketika Teng Heng menuju kemari, tidakkah dia membuntutimu?"

   "Tentu saja dia mengikuti aku, sejak aku keluar dari pintu Hou-cai-mui di bagian belakang istana,"

   Sahut Teng Jiu tenang.

   Mendengar jawaban itu, In Te terkesiap.

   Kalau Teng Jiu dibuntuti Kim Seng Pa, janganjangan sekarang rumah obat ini sudah dikepung pasukan yang dikerahkan Kim Seng Pa? Tentu komandan Ci-ih Wi-kun itu lebih senang membunuh orang yang mengetahui rahasia yang membahayakan dirinya, daripada membiarkan pemegang rahasia itu tetap hidup dan mencoba menyetirnya.

   Karena itulah ln Te tiba-tiba melompat ke dinding, untuk menyambar pedang yang tergantung di situ.

   Tapi dilihatnya Pak Kiong Liong tetap duduk tenang-tenang saja.

   "Bagaimana Teng Heng melepaskan diri dari kuntitan-nya?"tanyanya. Jawab Teng Jiu.

   "Begitu aku merasa kalaudia mengikuti aku dari kejauhan, aku pura-pura tidak tahu dan terus berjalan, tapi bukan ke arah ini. Di suatu persimpangan, kutemui seorang gelandangan tidur di bawah pohon. Kubangunkan dia, kuberi satu tahil dan kusuruh dia berlari ke suatu arah. Aku yakin komandanku yang tercinta itu terus mengintai aku. Setelah itu aku berjalan kembali ke istana, seolah-olah hendak pulang, sementara Kim Congkoan memburu gelandangan itu akupun cepat-cepat mengambil jalan lain kemari..."

   "Kau telah mempermainkannya, Teng Heng. Seandainya dia bisa menyusul, menangkap dan menanyai gelandangan itu, tentu dia sadar bahwa kau telah menipunya. Apakah ini tidak membahayakan dirimu diistana, Teng Heng?"

   "Ya mana ada pekerjaan tanpa resiko., apalagi di pusat pemerintahan yang penuh intrik ini? Tapi menurut perhitunganku, dia tidak akan berani mengapa-apakan aku. selama masih menganggapku sebagai satu satunya penghubung dia dengan Goan Swe dan ln Heng. Dia tentu kuatir kalau sampa kehilangan hubungan dengan Goan Swe dan ln Heng, biarpun maksudnya itu bukan maksud baik..."

   "Komandan sial dia, punya anakbuah macam Teng Heng..."

   Kata ln Te sambil tertawa. Teng Jiu pun menjawab sambil tertawa.

   "Akulah yang sial, punya komandan penakut seperti dia. Kalau tidak digertak dengan ucapan terima kasih Goan Swe itu dia maunya bermalas-malasan saja sambil mencaplok keuntungan..."

   Sesaat mereka sunyi dari percakapan. Khong Yan Ki datang menyuguhkan minuman, dan ketiga-tiganya langsung menghirup minumannya.

   "Goan Swe, ln Heng, agaknya aku pun harus segera kembali ke istana, agar kepergianku yang terlalu lama ini tidak menimbulkan kecurigaan. Apakah ada pesan untukku, atau untuk Kim Congkoan?"

   "Untuk Kim Congkoan, ingatkan saja pesan yang semula, dia harus berusaha membendung pengaruh Liong Ke Toh, dan caranya terserah dia. Untuk Teng-heng, ingatkan terus Kim Seng Pa akan pesan itu."

   "Hanya itu?"

   Pak Kiong Liong nampak ragu-ragu sejenak, tapi akhirnya berkata juga.

   "Teng-heng hubungi kawan-kawan sepaham dan susun dalam suatu barisan yang kuat. Bila kelak peristiwa berdarah itu benar-benar terjadi, sedangkan Pangeran Hong Lik belum kembali, maka kekuatan kawan-kawan sepaham yang tersusun itu harus cukup kuat untuk merintangi Liong Ke Toh mencaplok tahta."

   "Peristiwa berdarah?"

   Teng Jiu terkesiap.

   "Ada komplotan yang berniat membunuh Kaisar. Kami pernah bertemu dan berbicara dengan- salah satu anggota komplotan itu, dan aku sudah sepakat untuk membiarkan mereka mewujudkan niatnya. Yang akan kami lakukan hanyalah cepat-cepat ke Pak-khia untuk menyiapkan Pangeran Hong LiK sebagai pengganti. Begitu pembunuh-pembunuh itu berhasil, Pangeran Hong Lik harus cepat menduduki tahta dengan dukungan kekuatan yang memadai. Itulah sebabnya, ketika kami dengar Pangeran Hong Lik tidak ada di istana, kami sungguh bingung. Padahal pembunuh itu mungkin sekarang sudar ada di Pak-khia dan mulai menyusun rencana mereka."

   Wajah Teng Jiu terasa kaku karena tegangnya, seolah wajah itu dituangi selapis semen basah yang cepat keringnya. Kini di paham betapa dalam makna pesan In Te ten tang "semua harus serba cepat"

   Itu.

   "Siapa yang mengincar nyawa Kaisar?' tanya Teng Jiu.

   "Kang-lam Tai-hiap Kam Hong Ti dan teman-temannya. Mereka menyesal dulu telah mendukung Yong Ceng naik tahta, dan kini mereka ingin menebus kekeliruan itu dengan membunuh Yong Ceng."

   "Ah, itu jalan pikiran yang gampang gampangan saja,"

   Kecam Teng Jiu.

   "Tidakkah mereka menghitung akibatnya?"

   "Mereka orang-orang rimba persilatan,yang jalan pikirannya lain dengan kita yang terbiasa main berbelit-belit di panggung kekuasaan," kata Pak Kiong Liong.

   "Mereka pikir Yong Ceng jahat, kalau si jahat dibunuh, habislah masalahnya. Begitu."

   Teng Jiu begitu tegangnya mendengar berita itu, sehingga ia bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-mandir sambil meremasremas jari-jarinya sendiri.

   Sementara mereka bingung, Tong Hai Long yang menguping di ruang sebelah justru tidak bingung, malah ia berpikir.

   "Ah, kakek dan paman In Te ini katanya ahli-ahli strategi ternama, kenapa menemui soal sekecil ini saja jadi bingung? Kalau mau mengamankan tahta buat Pangeran Hong Lik, kenapa tidak bunuh saja Liong Ke Toh? Kalau mereka ragu-ragu, biar aku yang membunuh dorna tua itu."

   Untung itu tidak diucapkan didepan kakeknya.

   Kalau diucapkan, entah bagaimana gusarnya Pak Kiong Liong kepada si cucu ge gabah ini.

   Tong Hai Long sendiri amat puas dengan hasil pemikirannya itu, menganggap dirinya sudah mengungguli kakeknya dan In Te dalam soal "mengamankan tahta"

   Itu. Dasar Tong Hai Long, pemikiran itu segera disusul rencana untuk mewujudkannya, supaya ia dapat membuktikan diri sebagai "pahlawan besar", sehingga bukan Wan Lui saja yang terus disanjung-sanjung.

   "Tapi rencanaku ini tidak boleh sampe ketahuan kakek, atau paman In Te atau lain nya, nanti mereka akan menghalang-halangi,"

   Pikirnya.

   "Sebab dalam pandangan mereka, aku ini dianggap tidak becus apa-apa dan cuma Wan Lui saja yang serba hebat."

   Demikianlah semangat Tong Hai Long berkobar-kobar untuk ikut "menyelesaikan' masalah.

   Dalam pemikirannya, pintu gerbang ke arah kemasyhuran sudah terbentang di depannya, dan ia tinggal melangkah memasukinya.

   Sementara itu, di ruangan sebelah, Pak Kiong Liong berkata.

   "Kalau Kam Hong bisa dihubungi, tentu takkan sesulit ini soalnya. Kita bisa memohon kepada mereka agar mengundurkan rencana sampai kembalinya Pangeran Hong Lik, tapi aku tidak tahu bagaimana menghubungi mereka di kota besar ini."

   Sesaat suasana masih sepi dan cuma terdengar langkah Teng Jiu yang bolak-balik di ruangan itu, atau gonggongan anjing di kejauhan. Bunyi gembreng tanda tengah malam dari menara sudah tidak kedengaran lagi, sebab tengah malam memang sudah le wat.

   "Teng-heng, sebaiknya kau cepat kembali ke istana. Tapi kuharap apa yang kita bicarakan di sini tetap dirahasiakan rapat-rapat."

   "Jangan khawatir."

   "Kita akan tetap mengadakan kontak. Kalau bukan kau yang menghubungi kami, kamilah yang akan menghubungimu, dengan isyaratisyarat seperti biasa."

   "Baik. Aku pamit dulu."

   Teng Jiu pun pamit meninggalkan rumah itu.

   Sementara itu Tong Hai Long jadi sulit tidur, karena sudah tidak sabar membayangkan dirinya sebagai pahlawan yang termasyhur .

   di seluruh wilayah kekaisaran.

   * * * Pagi itu di rumah obat Khong Yang Ki tidak ada yang curiga ketika mengetahui Tong Hai Long tidak ada di rumah itu.

   tidak ada yang mempersoalkannya.

   Sudah biasa, selama ada di Pak-khia, pemuda penaik darah itu memang sering berjalan-jalan keluat melihat-lihat kota besar itu, dan semua orang menganggap itu lebih baik daripada terus-terusan menggerutu di rumah.

   "Apakah A-hai baru saja bertengkar de nganmu lagi?"

   Tanya Pak Kiong Liong kepada Se-bun Hong-eng yang sedang melatih ilmu silatnya di halaman samping.

   Ilmu silat dengan pedang di tangan kiri, sedangkan sarung pedang yang berujud tongkat besi berrongga itu dimainkan sebagai tongkat di tangan kanan.

   Wajah Se-bun Hong-eng jadi merah malu mendengar pertanyaan itu.

   la cuma menjawab dengan gelengan kepala sehingga kuncirnya bergoyang.

   Pak Kiong Liong pun tersenyum.

   "Ya, sudah. Biar anak itu ngelayap semaunya, melihat-lihat macam-macam tontonan daripada marahmarah terus di rumah ini."

   Demikianlah anggapan Pak Kiong Liong. Ia tidak tahu kalau cucunya itu pergi bukan cuma ingin menonton keramaian, tapi mau "membuat keramaian"

   Yang tidak tanggung-tanggung.

   Dengan bertanya-tanya sepanjang jalan, dapatlah Tong Hai Long mencari tahu dimana kediaman Liong Ke Toh, Pamanda Kaisar.

   Tekadnya tidak menyusut sedikitpun ketika diberitahu bahwa Liong Ke Toh tinggal di salah satu bagian istana yang dijaga ketat.

   "Makin berbahaya tempat yang akan kuserbu, makin terkenal namaku kelak,"

   Pikirnya mantap, pantang mundur.

   Tapi ia tidak mau bertindak sembarangan.

   Siang hari menyerang sama saja dengan bunuh diri.

   Padahal ia ingin menjadi pahlawan tapi tetap hidup, bukan pahlawan anumerta.

   Maka siang itu ia hanya bermaksud melihat-lihat keadaan sekitar dinding istana, sambil mencaricari bagian mana yang nanti malam kiranya bisa ditebus.

   Tetapi cara Tong Hai Long bertanya-tanya mencari keterangan itu memang agak sembrono, terlalu menyolok.

   Bukannya menyamar, dia malahan berpakaian ringkas dan menggendong pedang segala, cara bertanya juga bukan dengan memancing perlahan-lahan, tetapi terlalu langsung.

   Karna itulah gerakgeriknya segera menarik, perhatian suatu golongan manusia yang secara diam-diam juga sedang mengamat-amat istana.

   Setelah mengelilingi dinding luar istana, satu kali sambil melihat-lihat, dan beberapa kali berpapasan dengan peronda-peronda istana yang menatapnya dengan curiga, maka Tong Hai Long mulai merasa lapar.

   Maklum, saking bersemangatnya ingin membunuh Liong Ke toh, Tong Hai Long berangkat dari rumah obat Khong Yan Ki itu tanpa makan pagi lebih dulu, dan kini sudah hampir tengah hari.

   Kebetulan di mulut sebuah lorong, tidak jauh dari istana, nampak seorang penjual mi pikulan sedang duduk terkantuk-kantuk di bawah sebuah pohon rindang, agaknya d gangannya kurang laku.

   Selain sebuah bangku kecil yang didudukinya sendiri, didepan pikulannya juga ada sebuah bangku kecil yang rupanya disediakan buat pembeli.

   Bakul berusia hampir setengah abad, kurus dan berbaju rombeng itu, nampak begitu lelahnya sehingga ia duduk sambil tertidur.

   Apalagi di bawah pohon itu udaranya sejuk sekali.

   Tong Hai Long berpikir.

   "Kalau bakul mi pikulan ini berjualan secara tetap di tempat ini, barangkali dia tahu juga sedikit seluk-beluk istana, terutama bagian yang menjadi kediaman Liong Ke Toh. Hem, bisa kudapat tambahan keterangan dari dia."

   Lalu dia mendekati penjual itu dan langsung duduk di bangku kecil di depan pikulan itu sambil berkata.

   "Pak, beli mi-nya." Si penjual tergeragap bangun. Lalu sambil terkekeh ia menunjuk pikulannya sambil bertanya dengan suaranya yang gemetar dan lemah.

   "Mau beli?"

   "Betul, pak. Semangkok saja, komplit."

   Si penjual mulai mengambil mangkok dan meracik masakannya. Dan beberapa saat kemudian Tong Hai Long harus merasakan seporsi mi pangsit yang tidak keruan rasanya. "Pantas tidak ada yang beli,"

   Pikirnya. Tapi makan mi pangsit memang cuma urusan nomor dua, yang nomor satu ialah mengumpulkan keterangan tentang kediaman Liong Ke Toh. Setelah memaksa diri menghabiskan satu mangkok, ia keluarkan potongan perak seberat setengah tahil.

   "Ini uangnya, pak. Kembalinya untuk bapak saja, tapi tolong jawab pertanyaanku."

   Terkekeh-kekeh si tukang mi memasukkan uang itu ke laci pikulannya.

   "Pak, apa benar jalan di samping timur istana itu menuju ke gedung kediaman Liong Ke Toh.... eh, maksudku Liong Ong-ya, Pamanda Kaisar?"

   Si tukang mi pangsit melirik sekejap ke tangkai pedang yang mencuat dari belakang pundak Tong Hai Long. Jawabannya dengan suara yang gemetar itu melenceng jauh dari pertanyaannya.

   "Wah, memang bahan-bahan di pasar sekarang naik semua harganya, jadi daganganku ju ga harus ikut naik, kalau tidak ya rugi. Tapi pembeli-pembeli jadi sepi... susah..... susah......."

   Memang susah. Tong Hai Long pun susah payah menyabarkan dirinya, tanyanya tambah keras sambil menunjuk jalan yang dimaksud.

   "Pak, apa betul kediaman Liong Ong-ya di jalan ini?"

   "Jalan itu? O.ya, benar. Dulu ramai sehingga daganganku laris. Tapi sekarang...ah, susah... susah...."

   Tong Hai Long mendongkol sekali.

   Percuma ia memaksa diri makan semangkuk mi pangsit tak keruan rasanya, mengeluarkan uang setengah tahil, dan yang diperolehnya cuma jawaban simpang-siur macam ini.

   Pembicaraan jadi ketemu jalan buntu, terpaksa Tong Hai Long siap-siap meninggalkan tempat itu.

   Belum seempat ia bangkit, tiba-tiba dilihatnya dari ujung jalan itu muncul serombongan orang.

   Sebuah tandu yang indah, diiringi pengawal berjumlah puluhan orang yang berjalan di depan, belakang dan kedua samping tandu itu.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Yang menarik, ada pula enam pengiring yang berjubah merah dan di atas kepala gundul mereka memakai topi kecil lancip yang diikat ke bawah dagu.

   Lima di antara mereka berusia empatpuiuh sampai limapuluh tahun, dan satu orang yang berjalan di samping tandu berusia tinggi, sekitar tujuhpuluh tahun, alisnya putih, tapi jalannya tetap tegap dan sorot mata nya tajam.

   Melihat pendeta-pendeta Ang-ih-kau itu, Tong Hai Long jadi ingat pengalaman pahit masa kecilnya, ketika ia bersama Tong San1 Hong dan Se-bun Hong-eng diculik dari Tiauim-hong, dibawa ke istana dan disekap dalam kerangkeng yang dijaga pendeta-pendeta Angih-kau ini.

   Tong Hai Long tahu kalau para pendeta ini berkedudukan terhormat dalam istana, bahkan berkedudukan lebih tinggi dari komandankomandan pasukan istana.

   Hampir-hampir para pendeta ini merupakan orang-orang kepercayaan atau pengawal-pengawal pribadi Kaisar Yong Ceng sendiri, begitu kabarnya di luaran.

   Para pendeta ini pula yang berjasa, bukan dalam darma-bakti keagamaan mereka, namun menciptakan senjata Hiat-ti-cu, kantong kulit terbang yang bisa membunuh dari jarak jauh dengan seutas rantai.

   Tapi kini para pendeta itu mengawal tandu dengan sikap seorang bawahan, tentunya orang dalam tandu itu berkedudukan cukup istimewa.

   Apakah Liong Ke Toh yang dalam tandu itu?"

   Tong Hai Long mulai menduga-duga.

   "Kalau benar, buat apa susah-susah aku menunggu sampai malam untuk menyelundup ke kediamannya? Sekarang juga bisa kubereskan dia di sini." Bukan Tong Hai Long kalau membuat perhitungan yang rumit-rumit. Soal apapun dianggapnya gampang saja. Sementara Tong Hai Long dengan sikap tetap duduk memperhatikan rombongan itu, si tukang mi pangsit malah memperhatikan Tong Hai Long dengan sikap cemas, seolah mengetahui apa niat pemuda itu. Tandu itu memang berisi Liong Ke Toh. Mengingat pengalaman buruknya ketika. dulu dicegat oleh perwira-perwira pengikut fanatik Ni Keng Giau, maka kini Liong Ke Toh apabila keluar dari istana-nya selalu membawa barisan pengawal yang cukup kuat. Apalagi hari-hari dimana persaingannya dengan Pangeran Hong Lik menghangat, Liong Ke Toh tambah hati-hati, sebab diapun tahu kalau Pangeran Hong Lik juga memiliki pendukungpendukung yang tidak kalah gigihnya dengan pengikut Ni Keng Giau dulu. Pemimpin pengawal Liong Ke Toh ialah Toh Hun yang melangkah tegap di depan tandu. Namun bola mata Toh Hun yang selalu bergerak itu menunjukkan hatinya yang tengah gelisah. Maklum, dulu dia diserahi tugas oleh Liong Ke Toh untuk menghubungi Pek-lian-kau lagi, ingin menanyakan bagaimana kelanjutan "urusan lama"

   Tentang Pangeran Hong Lik.

   Ternyata urusan sudah makin kacau.

   Ada kabar kalau kaum Pek-lian-kau malah pecah sendiri, baku hantam, dan tidak jelas lagi nasib Pangeran Hong Lik.

   Buat Liong Ke Toh dan komplotannya, syukur kalau Pangeran Hong Lik mampus dalam huru-hara itu, tapi bagaimana kalau masih tetap hidup dan tetap digunakan untuk memeras pihak mereka? Kini Toh Hun tinggal mengharap ter ciptanya kontak dengan "pengkhianat Pek liankau"

   Yang dulu mengaku bernama "Gan Hong Lui"

   Dan sudah diberinya uang sepuluh tahil emas dari janjinya yang limaribu tahil emas.

   "Inilah akibatnya kalau berhubungan dengan orang-orang yang tamak uang itu, urusannya malah jadi ruwet tak keruan,"

   Kutuk Toh Hun dalam hati sambil mengingat peristiwa di gedung Cong-peng-hu di kota Seng-tin dulu.

   "Mereka saling bunuhpun pasti gara-gara rebutan Pangeran Hong Lik untuk digunakan memeras kami, hem."

   Karena itulah sambil berjalan di depan tandu Liong Ke Toh, ia juga memperhatikan orang-orang di jalanan, kalau-kalau di antara mereka ada "Gan Hong Lui".

   Hatinya melonjak ketika di mulut jalan ia melihat seorang pemuda duduk membelakangi jalan, di hadapan seorang tukang mi pangsit pikulan.

   Apalagi ketika melihat pemuda itu berbaju hitam dan menggendong pedang.

   Bukankah dulu "Gan Hong Lui"

   Juga berbaju hitam dan juga membawa pedang ? Gan Hong........."

   Seruan Toh Hun yang penuh harapan itu terputus ketika melihat pemuda itu menoleh dan ternyata bukan orang yang diharapkannya.

   "Tapi mudah-mudahan teman Gan Hong Lui."

   Toh Hun belurn putus harapan.

   Dilihatnya pemuda itu tiba-tiba melompat ke tengah jalan, menghadang rombongan Liong Ke Toh sambil mencabut pedang di punggungnya.

   Kecepatan gerak lompatnya dan menghunus pedangnya cukup mengejutkan, menunjukkan ilmu silat yang tangguh.

   "Liong Ke Toh, mampuslah!"

   Tong Hai Long melompat deras bagaikan harimau, menerjang pengawal-pengawal Liong Ke Toh yang di depan tandu.

   Para- pengawalpun mencabut senjata, tapi hanya itu yang sempat mereka lakukan sebab kecepatan pedang Tong Hai Long mendahului semua prakarsa mereka.

   Jadinya mereka cuma sempat menghunus senjata tapi belum sempat menggunakannya.

   Pedang Tong Hai Long dengan gerak Tai-boh-liu-soa (Pasir Beterbangan di Gurun) berputar kencang membentuk piringan perak yang berpusar dengan diri Tong Hai Long sebagai sumbunya.

   Sekaligus empat orang pengawal roboh dengan dada tergores dalam oleh pedang itu.

   Berkobarlah semangat Tong Hai Long oleh hasil pertama yang begitu gemilang akan membuat namanya disanjung oleh Se-bun Hong-eng melebihi nama Wan Lui.

   Sambil membentak, jurusnya dirubah menjadi Thai-peng-tian-ci (Garuda Mem-[buka Sayap).

   Piringan cahaya pedangnya mendadak lenyap dan berubah menjadi dua jalur cahaya perak yang bercabang memanjang ke kiri dan kanan.

   Kembali dua orang pengawal Liong Ke Toh tertikam roboh.

   Barisan pengawal Pamanda Kaisar itupun jadi kacau.

   Merasa bertanggung-jawab untuk kelelamatan junjungannya, Toh Hun menghadang.

   Senjatanya ialah sepasang Hou-thau-kou (kaitan kepala harimau) yang berpelindung di pegangannya.

   Ketika Tong Hai Long tiba dihadapannya dengan gerak tipu Tok-coa-cut-tong (Ular Berbisa Keluar Gua).

   Kaiatan kiri berusaha mengait pedang untuk dipelintir dan diseret ke samping, sedangkan kaitan kanan menyerang dari bawah untuk "membongkar"

   Perut Tong Hai Long.

   Namun Tong Hai Long bukan cuma menang semangat, tapi juga menang jauh dalam urusan ilmu silat.

   Toh Hun gagal mengait pedang, dan serangannya ke arah perut juga tertangkis.

   Ketika lawannya yang berumur separuh dari umurnya itu menendang secara kilat, Toh Hun tak bisa menangkis atau menghindar lagi, janggutnya kena tendangan sehingga ia terhempas roboh dengan mulut berlumuran darah.

   Teknik tendangan Tong Hai Long diambil dari Pek-pian Lian-hoan-tui (Tendangan Berantai Seratus Tipuan).

   Bukan saja amat cepat, tapi gerakannya juga membingungkan dan sulit diduga arahnya.

   Toh Hun menjaga perutnya, ternyata janggut yang kena.

   Kalau Toh Hun sebagai komandan pengawal saja begitu gampang diminggirkan, nampaknya pengawal-pengawal Liong Ke Toh lainnya takkan ada lagi yang bisa membendung amukan cucu Macan Selatan dan Naga Utara ini.

   Dengan semangat berkobar, Tong Hai Long menjejak tanah dan melompat datar, seperti sebatang panah raksasa dengan pedang yang diacungkan ke depan, ia menyerang tandu.

   Dua pengusung joli sudah bertiarap di tanah sambil memeluk kepala.

   Sementara Liong Ke Toh di dalam joli sudah menjerit panik.

   Namun tandu itu tiba-tiba seolah I terbang ke atas ketika pinggiran bawahnya dicongkel dengan kaki si pendeta Ang-ih-kau beralis putih itu, lalu disangga tinggi-tinggi dengan satu tangannya saja, seolah-olah tandu yang berat itu menjadi seringan kurungan burung gelatik saja.

   Tandu berhasil dihindarkan dari serangan ganas Tong Hai Long, namun kini dada si pendeta tua itulah yang menjadi sasaran ujung pedang Tong Hai Long yang meluncur cepat membelah udara.

   Orang lain boleh kaget menghadapi Aerangan hebat Tong Hai Long itu, namun pendeta tua itu, Biau Beng Lama, malahan mendengus congkak sambil berkata.

   "Bocah kemarin sore, jangan coba-coba jual tampang di sini." Jubahnya berkibar ketika kakinya melakukan tendangan Pai-lian-ka (Batang Te ratai Bergoyang) untuk menendang lengan Tong Hai Long yang memegang pedang. Kekuatan maupun ketangkasan pendeta tua itu mengejutkan Tong Hai Long, menyadarkan bahwa dia telah kepergok seorang jago angkatan tua. Dengan agak gugup Tong Hai Long mengubah arah luncuran tubuhnya dengan membantingkan tubuh ke sisi. Biau Beng Lama tertawa terbahak, lengan yang tidak menyangga tandu itu mengebas dengan lengan jubahnya. Segulung arus udara kuat menerpa Tong Hai Long sehingga pemuda itu seperti bola ditendang saja, terpental sampai menabrak tembok di pinggir jalan. Si "calon pahlawan"

   Itu kini berkunang-kunang matanya, tapi pedangnya masih terganggam erat di tangannya.

   Memang jadi agak konyol.

   Tapi Biau Beng Lama sendiri biarpun kelihatan tertawa-tawa, sebetulnya kaget dalam hatinya.

   Baik tendangan Pai-lian-kanya tadi maupun kebasan lengan jubahnya itu harusnya bisa langsung membunuh pemuda baju hitam itu.

   Tendangan itu harusnya kena dan mematahkan tangan si pemuda, nyatanya luput.

   Kebasannya seharusnya membuat di pemuda muntah darah, namun si pemuda nampaknya cuma terbanting dan pusing-pusing sedikit.

   Biau Beng Lama kecewa dalam hati.

   Dulu ia pernah dikalahkan Ketua Hwe-liong-pang Tong Lam Hou, sejak itu ia berlatih ilmunya dengan keras, dan belakangan ini mengira kalau ilmunya sudah mencapai tingkatan yang luar biasa.

   Ternyata peristiwa dengan Tong Hai Long itu mengecewakan hatinya.

   Tambah kecewa lagi ketika melihat Tong Hai Long dalam waktu singkat telah berhasil melompat bangun kembali, biarpun sambil berkernyit kesakitan namun tidak ada cidera serius nampaknya.

   Sementara itu, Liong Ke Toh yang di dalam tandu itu berteriak-teriak ketakutan.

   "Turunkan aku ..... turunkan......turunkan...." Pelan-pelan Biau Beng Lama meletakkan tandu itu. Lalu ia membungkuk hormat kepada Liong Ke Toh dan berkata.

   "Hamba minta maaf, Ong-ya. Karena keselamatan Ong-ya terancam, hamba telah menyelamatkannya dengan cara tadi."

   Liong Ke Toh berseru gusar.

   "Siapa berani coba membunuhku? Cincang dia tanpa ampun!"

   "Baik!"

   Sahut Biau Beng Lama. Lalu dia memberi isyarat kepada kelima pendeta Ang-ihkau yang menjadi muridnya itu.

   "Tangkap pengacau itu hidup atau mati!"

   Lima pendeta yang lebih ahli dalam mencincang orang daripada membaca doa itupun berlompatan maju untuk menjalankan perintah guru mereka.

   Sedangkan sisa pengawal Liong Ke Toh bersiaga di sekitar tandu Liong Ke Toh untuk melindungi.

   Kelima murid Biau Beng Lama itu masingmasing adalah Po Goan Lama yang ber senjata Hong-pian-jan (toya yang ujungnya berbentuk bulan sabit), Hoat Kheng Lama yang bersenjata golok melengkung, Ci Long Lama yang berkulit hitam dan berhidung panjang karena keturunan India dan bersenjata sebatang tongkat bambu hitam yang mengkilap, Hwe Lun Lama yang memegang sepasang gelang baja besar, dan Kim Leng Lama yang bersenjata sepasang tongkat pendek, dengan ujungnya berbentuk lonceng dari emas.

   Tiap satu orang dari mereka adalah jagoan tangguh, apalagi kalau maju lima orang sekaligus.

   Namun mereka merasa malu juga kalau harus mengeroyok seorang "anak ingusan"

   Macam Tong Hai Long. Karena itu Po Goan Lama berkata kepada keempat adik seperguruannya.

   "Kalian jaga di empat penjuru agar dia jangan sampai lolos. Biar aku yang mencoba menangkapnya!"

   Keempat saudara seperguruannya itu pun berlompatan mengambil "pos"nya masingmasing sehingga Tong Hai Long terkurung.

   Sedangkan Po Goan Lama mendekati Tong Hai Long dengan waspada.

   Tadi sudah! dilihatnya kehebatan pemuda ini, dan ia tidak mau kurang hati-hati agar tidak menelan pil pahit.

   Sebaliknya Tong Hai Long pun merasa sudah lenyap peluangnya untuk "menjadi pahlawan".

   Kalau bisa melarikan diri, sudah boleh dibilang beruntung.

   Sesaat kedua orang itu berhadapan.

   Ta pi belum lagi pertempuran dimulai, dari u-jung jalan kembali muncul serombongan pra jurit.

   Liong Ke Toh langsung melambai-lam baikan tangan dari jendela tandu, sambil berteriakteriak.

   "He, kemari! Kemari! Ada pengacau!"

   Para prajuritpun berlarian mendekat.

   Hal itu makin mengkhawatirkan Tong Hai Long.

   la sadar, mungkin takkan ada lagi peluang untuk kabur kalau sampai tempat itu semakin banyak prajuritnya.

   Maka begitu Po Goan Lama menyerang, ia tidak menangkis atau membalas serangan, tapi langsung melompat untuk kabur.

   Tapi di hadapannya tiba-tiba muncul bayangan tongkat bambu hitam, menderu hendak memukul ubun-ubunnya.

   Si pendeta Ang-ih-kau keturunan India, Ci Long Lama, menghadang larinya.

   "Minggir, Hoan-ceng (pendeta asing)!"

   Bentak Tong Hai Long tergopoh-gopoh.

   Karena ingin secepatnya pergi dari situ, bukan saja pedangnya yang dimainkan dengan hebat, tapi tangan kirinya ikut memukul dengan ilmu Hianim-ciang yang menimbulkan udara sangat dingin, ajaran kakeknya almar hum, Tong Lam Hou.

   Juga sepasang kakinya pun langsung memainkan Pek-pian Lian-hoan-tui yang tadi sempat meremukkan janggut Toh Hun.

   Serangan total itu mengejutkan Ci Long Lama.

   Tapi pendeta ini kelasnya jauh di atas pengawal-pengawal yang tadi dibabat dengan mudah.

   Memang mulanya Ci Long Lama terkejut oleh serangan yang membanjir itu, namun setelah melompat mundur untuk mengambil jarak, ia berhasil menyusun pertahanan yang memadai.

   Maka Tong Hai Long tak lagi bisa menembus "pos jaga"

   Murid Biau Beng Lama ini.

   Bertarunglah kedua orang ini dengan sengit.

   Cahaya pedang yang keperak-perakan dan tongkat bambu yang kehitam-hitaman terlibat Bertarunglah kedua orang ini dengan sengit.

   Cahaya pedang yang keperak-perakan dan tongkat bambu yang kehitam-hitaman terlibat rapat seperti sepasang naga yang bertarung sengit di angkasa.

   rapat seperti sepasang naga yang bertarung sengit di angkasa.

   Kemudian Ci Long Lama mulai merasa kehebatan lawannya, ia telah bersin beberapa kali akibat kena aliran udara dingin Hian imkang yang begitu tajam melingkupi tubuhnya.

   Pedang bisa ditangkis, tapi udara yang tak kelihatan mana bisa ditangkis? Ruang gerak tongkatnya juga perlahan-lahan mulai berhasil ditekan dan dipersempit terus oleh gerak pedang Tong Hai Long.

   Melihat kesulitan Ci Long Lama itu, saudara seperguruannya, Hwe Lun Lama segera ikut terjun ke gelanggang, la melakukan tubrukan dari samping dengan gerakan Au-cu-hoan-sin (Elang Berputar Badan), tubuhnya yang gemuk itu ternyata mampu berputar ringan dan berputar bagaikan gasing, sepasang gelang bajanya dengan gerak melingkar hendak menghantam pelipis Tong Hai Long kiri kanan.

   Pemuda itu terpaksa harus memecah perhatian, tekanan terhadap Ci Long Lama mau tidak mau mengendor.

   Dan si pendeta India bukan cuma menggunakan kesempatan itu untuk memperbaiki posisi, melainkan balik menekan bersama-sama Hwe Lun Lama.

   Tak lama kemudian, biarpun hawa dingin akibat ilmu Hian-im-ciang itu masih membuat Ci Long dan Hwe Lun Lama bersin beberapa kali, tetapi kedua Lama-itu berhasil balik mendesak Tong Hai Long.

   Kini Tong Hai Long harus banyak mengurangi sikap menyerangnya yang ganas, dan lebih banyak bertahan saja.

   Para pengawal Liong Ke Toh dan prajurit yang baru datang kini cuma menonton di pinggir arena, karena merasa sulit ikut campur dalam pertempuran serba cepat antara orangorang berilmu tinggi itu.

   Dimana gerak pedang, tongkat bambu hitam dan sepasang gelang baja itu tak bisa diikuti dengan mata, belum lagi hawa dingin Hian-im-ci-ang yang bagi para prajurit berilmu rendah itu pasti akan membekukan darah, bukan sekedar bersin seperti Ci Long Lama dan Hwe Lun Lama yang cukup tinggi tenaga dalamnya.

   Sementara itu Biau Beng Lama yang bermata tajam itu pelan-pelan mulai mengenali gaya bertempur Hong Hai Long.

   Dilihatnya bagaimana pemuda itu kadang-kadang merunduk rendah, meluncur sambil menyeret kaki, langkah berputarnya maupun lompatan pendeknya menunjukkan gaya khas ilmu pedang Tiam-jong-kiam-hoat, ilmu andalan almarhum Tong Lam Hou, ketua lama Hweliong-pang yang pernah mempecundangi Biau Beng Lama.

   Tapi dilihatnya juga ong Hai Long sering melompat tinggi, berputar dan bergeliatan di udara, dengan gerak pedang memanjang bengkang-bengkok, kadang-kadang melengkung seperti pelangi.

   Gaya itu dikenali oleh Biau Beng Lama sebagai gaya khas Thianliong-kiam-hoat andalan Pak Kiong Liong.

   Artinya, dalam diri pemuda itu memiliki dua macam aliran silat dari dua tokoh termasyhur itu.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sebuah seringai mengembang di wajah Biau Beng Lama, katanya kepada Liong Ke Toh.

   "Ongya, kali agaknya ada kakap masuk jaring kita. Pemuda baju hitam itu nampaknya ada hubungannya dengan Tong Lam Hou maupun Pak Kiong Liong. Mungkin dia salah satu dari cucu kembar mereka yang dulu pernah kita tawan ketika masih kecil."

   Liong Ke Toh yang sudah agak tenang, terkekeh-kekeh ketika mendengar penjelasan itu. Katanya.

   "Kalau benar dia cucu Pak Kiong Liong, dia bukan cuma kakap, tapi arawana! Jangan sampai dia lepas!"

   Tidak usah diperintah, memang Ci Long dan Hwe Lun Lama telah mendesak Tong Hai Long sedemikian rupa sempat terjepit kepayahan.

   Soal menangkapnya tinggallah soal waktu saja.

   Sedang ketiga Lama murid Biau Beng Lama lainnyapun berjaga-jaga, agar "arawana"

   Ini tidak sampai kabur.

   Tong Hai Long memang sudah dalam ke sulitan hebat.

   Betapapun gigihnya, setapak demi setapak ia terus didesak, bukan semakin menjauhi arena namun malah semakin ke tengah-tengah arena, ke tengah-tengah musuhmusuh mereka.

   Saat itulah tongkat Ci Long Lama mengulung dari depan bagaikan mega hitam.

   Sedangkan Hwe Lun Lama mengintai dari samping, menunggu terbukanya peluang untuk sebuah serangan pamungkas.

   Tong Hai Long mengertak gigi dengan geram.

   Tekadnya sudah bulat sekarang, kalau harus gugur hari itu, ia ingin "mengajak"

   Paling tidak satu dari para Lama itu.

   Terjangan Ci Long Lama disongsongnya dengan terjangan pula, sedangkan serangan Hwe Lun Lama dengan gelang baja yang siap merontokkan tulangtulang punggung Tong Hai Long itu malahan tidak digubrisnya sama sekali.

   Tindakan nekad itu memang mengejutkan lawan-lawannya, maupun orang-orang yang menonton di seputar arena.

   Tibalah detik-detik kritis di arena itu, semuanya merasa mungkin akan segera jatuh korban jiwa, entah siapa.

   "Mampus!"

   Hwe Lun Lama memperhebat serangan untuk menyelamatkan saudara seperguruannya. Namun tiba-tiba...."ha-ep!"

   Sepotong benda lunak, bahkan gurih, meluncur deras dan masuk ke mulutnya.

   Pangsit.

   Itu barang enak kalau dicampur mi, telur dan kuah panas lalu diseruput pelan-pelan, tapi siapa bilang enak kalau cara masuknya ke mulutpun dengan merontokkan dua gigi depan Hwe Lun Lama? Serangan Hwe Lun Lama yang hampir rhasil jadi buyar, ia terhuyung mundur dengan mulut berlumuran darah.

   Dan karena robohnya Hwe Lun Lama, dalam sedetik itu Ci Long Lama harus sendirian menghadapi Tong Hai Long yang tengah nekad itu.

   Dua jurus maut bertabrakan.

   Ci Long Lama hebat juga jurusnya, namun karena tekadnya tak sebulat tekad lawannya, ia harus menerima akibatnya.

   Tongkatnya memang berhasil menghantam pundak kanan Tong Hai Long sedemikian kerasnya sehingga lumpuh dan pedangnya lepas.

   Namun pedang yang lepas itu tidak jatuh ke tanah sebab mendapat "sarung"

   Yang baru, bersarang mantap di perut Ci Long Lama sampai tembus ke belakang.

   Biau Beng Lama kaget melihat nasib ke dua muridnya, namun tak sempat menolong mereka.

   Segera ia tanggap adanya pihak lain yang ikut campur, pihak lain yang amat lihai sebab mi pangsitnya begitu super sampai bisa merobohkan Hwe Lun Lama yang bukan pesilat kelas kambing.

   Di samping itu, alangkah gusarnya Biau Beng Lama melihat Ci Long Lama meringkuk diam di kubangan darahnya sendiri.

   Mata Biau Beng-lama seolah menyemburkan api kemarahan, menyapu ke sekelilingnya, mencari si tangan jahil itu.

   Mungkinkah tukang mi pangsit yang terkantukkantuk di bawah pohon itu? Kecurigaan Biau Beng Lama menghebat.

   Kalau tukang mi-pangsit itu orang biasa, tentu sudah lari ketakutan melihat perkelahian di situ, bukannya tetap duduk menunggui pikulannya sambil terkantukkantuk macam itu.

   "Orang ini bosan hidup rupanya!"

   Geram Biau Beng Lama. Kepada tiga muridnya yang belum cidera, dia memerintah.

   "Tangkap tikus kecil itu. Keterlaluan kalau kalian sampai tidak bisa melakukannya."

   Biau Beng Lama berkata demikian, sebab saat itu tangan kanan Tong Hai Long sudah terkulai akibat gebukan keras Ci Long Lama tadi.

   Setelah memberi perintah itu, Biau Beng Lama melangkah lebar ke arah tukang mipangsit itu.

   Namun tukang mi-pangsit itu tiba-tiba mengangkat wajahnya, dan sorot matanya yang amat tajam mampu menghentikan langkah Biau Beng Lama yang terkesiap.

   "Bapak pendeta, mau mencicipi pangsitku?"

   Tanya si penjual itu sambil terkekeh kekeh.

   Habis berkata demikian, sungguh berlawanan dengan gerak-geriknya yang serba mengantuk tadi, si tukang mi-pangsit dengan kecepatan kiiat melompat bangkit dari duduknya sambil melolos bambu pikulan dari sepasang kotak pikulannya.

   "Tapi hari ini biarlah aku beramal, aku berikan semua dengan cuma-cuma..."

   Kata tukang mi-pangsit itu sambil mencongkel-kan bambu pikulannya ke kotak pikulannya, sambil membentak pula.

   "Silahkan makan!"

   Kelihatannya saja dia mencongkel ringan, tapi angkring itu tiba-tiba terangkat dan berpusing, seolah diangkat angin putingbeliung, deras ke arah Biau Beng Lama.

   Karena dalam angkring itu ada beberapa susun lagi berisi mangkuk, sumpit, sambal, kecap dan lainlainnya, maka benda benda inipun seolah ikut ditebarkan ketika angkring yang terbang berpusing itu.

   Si tukang mi-pangsit tertawa berkakakan.

   "Beramal tidak boleh tanggung-tanggung, nih, kutambah lagi!"

   Dan ia mencongkel lagi dengan bambu pikulannya ke arah angkring yang satu lagi, pasangannya.

   Yang inipun terbang berpusing ke arah angkring inipun terbang berpusing ke arah para pengawal dan prajurit.

   Isinya ialah pangsit mentah, mi, tahu, telor, rajangan kobis, dan yang paling berbahaya ialah kuah yang masih mendidih serta arang membara dari anglo.

   Biau Beng Lama terkejut menemui lawan yang tak diduga ini.

   Segera ia memutar sepasang lengannya, sehingga lengan jubahnya berkibaran seperti sepasang bendera.

   Maka sumpit, mangkok, sambal, kecap dan sebagainya tersapu menyingkir dari tubuhnya, tak ada yang mengenainya.

   Yang sial adalah prajurit dan pengawal di sekitarnya.

   Ada yang terluka oleh pecahan mangkuk, tertancap sumpit, matanya kecipratan sambal dan sebagainya.

   Biau Beng Lama tak peduli penderitaan kaum bawahan itu.

   Terhadap kotak pikulan yang terbang ke arahnya, ia melancarkan pukulan jarak jauh Pek-gong-ciang(Pukulan Udara kosong) yang dahsyat.

   Angkring itu bagaikan meledak di udara, pecah berkepingkeping menjadi serpihan-serpihan kayu dan bambu.

   Lagi-lagi para pengawal dan prajurit yang menjadi korban.

   Sedangkan angkring yang satu lagi menerjang ke arah kawanan pengawal dan prajurit, setelah menciderai beberapa orang dan "memandikan"

   Beberapa orang dengan kuah panas, barulah daya lontarnya habis sendiri dan tergeletak di tanah.

   Begitulah sepasang angkring itu menim bulkan korban yang cukup banyak.

   Alangkah gusarnya Biau Beng Lama karena ada orang berani malang-melintang di depan hidungnya, seakan menantangnya.

   Ia hendak menubruk ke arah tukang mi pang-sit itu, namun tempat itu sudah kosong.

   Si bakul sudah melesat di udara bagaikan elang, sambil menjinjing kayu pikulannya melompati kepala Biau Beng Lama dan para pengawal, tujuannya ialah Tong Hai Long yang sudah dalam detikdetik kritis, hampir kehabisan perlawanan menghadapi Hoat Kheng dan Kim Leng Lama.

   Biau Beng Lama cepat lompat menyusulnya.

   (Bersambung

   Jilid XXI) 21-22 KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid XXI Namun saat itu si tukang mi-pangsit sudah terjun di antara Tong Hai Long dan lawanlawannya, langsung menjadikan dirinya sebagai penyekat antara dua pihak yang bertempur itu.

   Tong Hai Long didorong lembut dengan tangan kiri, sebaliknya kayu pikulannya ber sikap keras terhadap kedua Lama.

   Membentuk cahaya melebar yang bertenaga amat kuat yang memukul mundur kedua Lama itu dalam satu jurus.

   Secepat kilat si tukang mi-pangsit.

   menyambar pinggang Tong Hai Long untuk dikempit dengan tangan kirinya, kelihatan ringan seperti menjinjing anak kucing saja layaknya.

   - "Jangan lari!"

   Hoat Kheng Lama masih penasaran, sambil membentak maka goloknya yang melengkung itupun menabas dari atas dengan gerakan Thai-san-ap-teng (Gunung Thai-san Menimpa Kepala), dengan arah tengkuk si tukang mi-pangsit.

   Tanpa menoleh ke arah serangan dari be lakangnya itu, si tukang mi-pangsit berkelit lincah.

   Bambu pikulan yang dipegang dengan satu tangan itu menyapu telak kedua lutut Hoat Kheng Lama.

   Pendeta Tibet itu melolong kesakitan membarengi ambruknya tubuhnya ke bumi, la merasa kedua kakinya begitu nyeri, seolah-olah kaki itu hendak di cabut mentahmentah dari badannya.

   Masih ada Kim Leng Lama yang nekad merintangi dengan sepasang tongkat pendek nya, yang ujungnya berbentuk lonceng emas Baru saja ia mengangkat sepasang senjatanya untuk menghantam kepala si tukang mi pangsit, tahu-tahu batang bambu pikulan sudah lebih dulu deras menabrak rusuknya, membuatnya - terpental dengan beberapa tulang rusuk berpindah tempat.

   Dan tak tertahan lagi si tukang mi-pangsit lolos dari murid-murid Biau Beng Lama itu dengan membawa Tong Hai Long.

   Namun ada Biau Beng Lama yang menubruk dari udara.

   Sepasang tinjunya sekaligus mengincar ke batok kepala dan punggung si baku! mi-pangsit dengan Pek-gong-ciang.

   Tidak usah kena tangannya, cukup kena tekanan udaranya saja pasti bangsat ini bakal jadi pangsit benar-benar, begitu perkiraan banyak orang yang menyaksikan adegan itu.

   Tapi manusia sasarannya licin menyingkir bagaikan belut.

   Tanah yang baru saja diinjaknya segera berdebum keras kena angin pukulan Biau Beng Lama.

   Debu mengepul, dan lalu nampak di tanah itu ada dua lubang cekung yang hampir sejengkal dalamnya.

   "Hebat tenagamu!"

   Seru si tukang mipangsit. Ketika Biau Beng Lama melayang turun, ujung bambu pikulannya tiba-tiba di-sodokkan secepat kilat ke hidung pendeta itu. Tersentuh - sedikit saja, akan runtuhlah nama besar Biau Beng Lama sebab bisa dianggap kalah.

   "Bangsat!"

   Dengan kegeraman makin me luap, Biau Beng Lama mengangkat cengkeramannya untuk mencengkeram remuk bambu pikulan itu.

   Geraknya cepat, tapi gerakan bambu itu lebih cepat, menghindari ceng keraman dan berhasil menyapu jatuh topi kecil lancip di atas kepala Biau Beng Lama.

   Yang dikehendaki si tukang mi-pangsit terlaksana, meruntuhkan pamor Riau Reng Lama.

   Tukang mi-pangsit itu tertawa terbahak.

   Sebaliknya Biau Reng Lama merasa harus menghapus malu dengan tindakan kejam.

   Langkahnya secepat kilat ketika memburu si tukang mi-pangsit.

   Tinjunya yang sebesar kepala bocah itu menjotos sekuat tenaga sehingga angin menderu dan jubah merahnya meiembung seperti layar perahu menampung angin.

   Itulah pukulan sekuat tenaga dalam kemurkaannya yang memuncak, kemurkaan karena dipermalukan.

   Tak ada yang bisa - membayangkan, kalau pukulan sedahsyat itu sampai kena ke tubuh si tukang pangsit berperawakan cecak kejepit pintu itu.

   Semua penonton menduga, tentunya si tukang pangsit akan mengandalkan kelincah annya.

   untuk mengelakkan pukulan gugur gunung itu.

   Namun semuanya tercengang, ketika melihat tukang pangsit itu tiba-tiba malah berhenti melangkah dan memutar tubuh untuk menghadapi lawannya, lalu dengan beraninya menyongsongkan tangan kanannya untuk menyongsong pukulan itu keras lawan keras, sementara tangan kirinya tetap mengempit tubuh Tong Hai Long.

   Si tukang pangsit merendahkan kuda-kudanya ketika tangannya hampir membentur tinju Biau Bcng Lama.

   Bentrokan tenaga terjadi, lengan si tukang pangsit tertekuk sedikit ke belakang, tubuhnya pun agak mendoyong ke belakang.

   Orang-orang mengira bahwa sebentar lagi tubuh kerempeng itu akan terbang dengan tulang-tulang remuk.

   Bentuk tubuhnya terlalu tidak sebanding - dengan lawannya yang mirip menara berjalan itu.

   Baru saja gelegar bentakan Biau Beng Lama lenyap, gantian si tukang pangsit yang membentak pula sambil menegakkan pinggangnya dan meluruskan lengannya untuk mendorong ke depan.

   Tukang pangsit ini telah menggabungkan dua macam teknik bertempur.

   Ketika pukulan Biau Beng Lama datang, ia gunakan Su-nio-pojian-kin (Empat Tahil Merobohkan Seribu Kati) untuk mementahkan dorongan tenaga Biau Beng Lama yang membanjir dahsyat.

   Lalu disambung dengan teknik To-pah-kim-ciong (Memukul Balik Lonceng Emas) untuk membalikkan tenaga lawan plus tenaganya sendiri.

   Biau Beng Lama mula-mula merasa seperti memukul kubangan lumpur saja, bukannya berhasil mendapat dampak benturan yang diharapkannya, malah tubuhnya hampir saja terseret ke depan.

   Tapi sedetik kemudian tenaga lawannya balik membanjir ke arahnya - dan ia terlambat untuk memperkokoh diri.

   Ia terhuyung mundur dua langkah dengan wajah pucat karena kaget.

   Tidak diperlukan wasit untuk memutuskan siapa yang menang atau kalah dalam adu tenaga itu.

   Semuanya sudah jelas terlihat.

   Tukang pangsit tak dikenal itu sudah mengalahkan Biau Beng Lama, jago nomor dua dalam istana di bawah Kim Seng Pa.

   Si tukang pangsit Jertawa terkekeh dan melangkah mundur, di bekas tanah yang diin jaknya tadi nampak jejak telapak kakinya yang amblas sedalam dua jari.

   Katanya.

   "Kalau tidak sekali-sekali kuladeni kau mengadu tenaga,tentu penasaran bukan?"

   Sebenarnya, bukannya penasarannya hilang, malahan Biau Beng Lama tambah penasaran, tetapi tidak berani gegabah lagi. Dengan menahan diri, ia bertanya.

   "Sobat, siapa kau sebenarnya?"

   Tukang pangsit itu tidak menjawab.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba tiba tubuhnya melesat tinggi dan jauh, mem bawa Tong Hai Long melompati kepala para - pengawal dan prajurit yang bertebaran di tempat itu, dan akhirnya menghilang di sebuah kelokan.

   Biau Beng Lama merasa kebingungan dan agak serba salah.

   Mau tidak mengejar ya kurang pantas, tapi mau mengejar pun khawatir kalau mendapat pengalaman pahit lagi mengingat lihainya si tukang pangsit.

   Nama baiknya bisa kedodoran.

   Ketika itulah dari ujung jalan tiba-tiba muncul lagi serombongan pengawal yang kali ini berseragam Ci-ih Wi-kun, kelompok pengawal jubah ungu.

   Yang paling depan ialah Kiin Seng Pa yang didampingi Teng Jiu, di belakangnya barulah Toh Jiat Hong, Sat Siau Kun, Su-ma Hek-long dan beberapa jagoan Ci-ih Wi-kun lainnya.

   Biasanya kalau Kim Seng Pa berjalan bersama rombongannya, yang berjalan di sebelahnya tentu Toh liat Hong sebagai wakil nya.

   Tapi kini malah Teng liu, dan Toh .liat Hong berjalan di belakang Teng liu.

   Dilihat dari sini - saja nampaknya bisa diduga kalau Teng liu sedang "naik ranking"

   Nya. Begitu melihat mereka, Biau Beng Lama berseru.

   "Ha, kebetulan Kim Cong-koan datang! Cong-koan bisa membantu kami mengejar seorang pengacau yang mungkin belum lari jauh."

   Waktu itu sikap dan mimik wajah Kim Seng Pa nampak tidak seperti biasanya.

   Bia sanya gagah dan tegap, berani melotot kepa da siapa saja kecuali kepada Kaisar.

   Namun kali ini nampak ragu-ragu, sikapnya seperti murid nakal yang dituntun oleh ayahnya untuk dibawa menghadap gurunya yang galak.

   Cepat-cepat Teng liu mendekatkan mulut ke kuping Kim Seng Pa untuk berbisik-bisik, nampak wajah Kim Seng Pa amat sedih.

   Setelah itu, dengan sikap ragu-ragu Kim Seng Pa berkata kepada Biau Beng Lama.

   "Maaf, Toasuhu, aku tidak punya waktu untuk mengurus yang lain-lainnya. Kedatanganku hanya untuk mengingatkan Toa-suhu agar segera kembali - bertugas di istana, bukan malah berjalan-jalan di luar istana macam ini."

   Biau Beng Lama menjawab.

   "Cong-koan, apa kau tidak lihat kalau sekarang ini aku sedang mengawal Liong Ong-ya, untuk suatu keperluan penting? Bagaimana kau bisa bilang kalau aku hanya berjalan-jalan di luaran?"

   Lebih dulu Kim Seng Pa memberi hormat kepada Liong Ke Toh di dalam tandu, setelah itu barulah ia melanjutkan berkata kepada Biau Beng Lama.

   "Tapi kurasa kurang baik kalau kita sebagai abdi-abdi Sriba ginda malahan meninggalkan tugas di istana untuk keperluan lain, apapun dalihnya. Bukankah melayani Sribaginda adalah tugas utama kita?"

   Sikap Kim Seng Paitu menyinggung pera saan Liong Ke Toh.

   Biarpun Kim Seng Pa tidak lupa memberi hormat kepadanya, tapi bicaranya terus dengan Biau Beng Lama dan Liong Ke Toh dianggapnya tidak ada di situ.

   Lagi pula, Biau Beng Lama sedang mengawal dirinya, kini tiba-tiba Kim Seng Pa menyuruh Biau Beng Lama meninggalkan dirinya, bukankah soal ini - seperti menampar mukanya? Sebagai bangsawan tinggi, bagaimana kata orang kalau sampai didengar bahwa perjalanannya dihentikan di tengah jalan lalu pengawalnya "dipereteli"

   Disuruh pulang? Ini soal muka. Karena itulah Liong Ke Toh menyingkapkan tirai tandu, dan membentak gusar.

   "Kim Seng Pa, apakah kau lupa siapa aku?!"

   Sebagai orang yang kerjanya "menunggu arah angin", sungguh Kim Seng Pa tak pernah siap mendapat bentakan macam itu dari kaum atasan. Ia tergagap-gagap, nampak takut kepada Liong Ke Toh.

   "Harap.....harap...Ong-ya maklumi kalau hamba hanyalah meng......................meng"

   La bingung melanjutkan kata-katanya dan menoleh ke arah Teng Jiu. Buru-buru Teng Jiu membisikinya, setelah itu barulah Kim Seng Pa bisa melanjutkan.

   "... hamba hanya ingin setiap tugas dijalankan dengan tertib di dalam istana."

   Biau Beng Lama tertawa perlahan sambil geleng-geleng kepala.

   "Kim Cong-koan. biasanya kerjamu kan cuma duduk santai sambil minum arak, kenapa sekarang jadi punya pokal macam - ini? Sejak kapan kau mentang Liong Ke Toh, namun datanglah "suntikan keberanian"

   Lewat bisikan Teng Jiu di kupingnya. Sesaat wajah si jago tua yang perkasa itu nampak begitu serba salah, memelas. Lalu dengan wajah pucat Kim Seng Pa berkata.

   "Maaf, Ong-ya. Kalau Ong-ya keberatan Biau Beng Lama pulang ke istana, hamba juga tidak bisa memaksa. Hamba terpaksa akan melapor kepada Sribaginda bahwa.... bahwa... orang-orang yang seharusnya bertugas dalam istana untuk melindungi Sribaginda, telah digunakan secara tidak semestinya sebagai pengawal di luar istana."

   Habis berkata demikian, tergopoh-gopoh Kim Seng Pa hendak mengajak pergi rombongannya. Tapi terhenti oleh bentakan Liong Ke Toh.

   "Kim Seng Pa, berani kau hendak mengadu domba Sribaginda dengan aku, he?! Akulah pamannya dan penasehatnya yang terpercaya, jangan harap kau akan berhasil! Dan bekerja untuk komplotan busuk yang mana kau?" - Kim Seng Pa semakin mengerutkan kepala seperti kura-kura.

   "Hamba tidak berani..hamba cuma menginginkan ketertiban."

   "Diam! Pergi dan biarkan Biau Beng Lama tetap bersamaku!"

   Kim Seng Pa benar-benar memelas dipandang saat itu.

   Berdiri kebingungan, berkeringat dingin dijidatnya sehingga jidatnya nampak berkelap-kelip.

   Apalagi ketika Teng Jiu membisikinya lagi.

   Gerak-gerik Teng Jiu itu terlihat oleh Liong Ke Toh, yang segera membentaknya.

   "He, siapa kau? Membisik-bisiki Kim Seng Pa buat apa? Apakah dia tidak punya otak sendiri sehingga kau harus membantunya berpikir?"

   Teng Jiu memberi hormat, dan segera terlihat keanehannya. Dia berpangkat jauh lebih rendah dari Kim Seng Pa, namun sikapnya malah jauh lebih tenang. Sahutnya.

   "Hamba cuma mengingatkan Cong-koan agar menjalankan tugasnya sesuai dengan pesan itu, supaya tidak mendapat kesulitan." - "Siapa yang memberi pesan itu?"

   Tanya Liong Ke Toh.

   "Hamba dilarang memberitahu kepada siapapun, pemberi pesan itu hanyalah meng harapkan semua petugas dalam istana bekerja sesuai tugasnya masing-masing, tidak me lenceng kesana kemari."

   Sengaja Teng Jiu menimbulkan rasa ingin tahu Liong Ke Toh tentang "pemberi pesan"

   Yang dibuat nampak misterius itu. Memang segera nampak akibatnya, Liong Ke Toh menduga bahwa Kim Seng Pa dan Teng Jiu berani bersikap macam itu tentu ada "backing"nya yang kuat.

   "Mungkinkah si setan Hong Lik itu diam diam sudah kembali ke istana, dan mulai menggerakkan orang-orangnya untuk membendung pengaruhku?"

   Pikir Liong Ke Toh waswas.

   "Kalau benar begitu, aku harus ber sikap lebih luwes."

   Dugaan Liong Ke Toh tambah kuat ketika ia memperhatikan Teng Jiu, ia ingat pengawal itu - yang dulu sering kelihatan bersama-sama Pangeran Hong Lik.

   Pamanda Kaisar itu tidak tahu kalau sampai detik itupun Teng Jiu masih bingung memikirkan Pangeran Hong Lik yang tak keruan kabarnya.

   Tapi Liong Ke Toh terlanjur takut untuk cari permusuhan terbuka dengan Putera Mahkota yang betapapun pasti lebih kuat diangkat menjadi kepala penertiban di istana?"

   "Toa-suhu, hamba .... eh, aku....,"saking gugupnya hampir saja Kim Seng Pa me nyebut dirinya "hamba"

   Di hadapan Biau Beng Lama, padahal kedudukannya sejajar.

   "Toa-suhu, aku ... aku hanya mendambakan ketertiban dalam tugas, dan kita semua mengutamakan keselamatan Sribaginda."

   Sementara itu Liong Ke Toh di dalam tandu telah berkata keras.

   "Kim Seng Pa! Apakah keselamatanku tidak penting? Biau Beng Lama baru saja menyelamatkan aku. Kalau kausuruh dia pulang ke istana, berarti kau memang ingin melihatku celaka, ya?" - "Lho, aku kan cuma.......eh, hamba hanya ........................"

   "Diam! Biarkan Biau Beng Lama mengawal aku sampai selesainya urusan ini. Kau tidak berhak mengatur Biau Beng Lama! Lebih-lebih tidak berhak mengganggu perjalananku dan menentang kemauanku!"

   "Ya___ ya__ hamba____hamba tidak berani lagi...."

   Nyaris Kim Seng Pa tidak berani lagi mehadapan Kaisar daripada dirinya yang cuma paman, sedang Pangeran Hong Lik adalah anak. Karena itu, terpaksa dia mengalah.

   "Baik. Pulang ke istana!"

   Rombongan itu kembali ke istana dengan membawa mayat-mayat dan orang-orang terluka. Setelah rombongan itu jauh, berkatalah Kim Seng Pa kepada Teng Jiu dengan sedih.

   "Permintaan Pak Kiong Liong itu benar-benar menyulitkan aku. Hem, tidak tahu membalas budi dia. Kapan dia menghentikan ini atas diriku?" - Teng Jiu pura-pura menunjukkan wajah sedih sambil berkata.

   "Memang kurang ajar Pak Kiong Liong itu, berani-beraninya dia menggertak Cong-koan agar menuruti kehendaknya seperti ini. Ah, seandainya saja kuketahui tempat persembunyiannya, tentu akan kubantu Cong-koan menangkan dia. Sa yangnya aku benar-benar tidak tahu dimana dia bersembunyi di kota seluas ini, dialah yang datang dan pergi menemui aku seperti hantu saja."

   Sebenarnya Kim Seng Pa tidak percaya kalau Teng Jiu tidak tahu, namun untuk memaksa Teng Jiu menunjukkan juga belun tentu berhasil.

   Akhirnya Kim Seng Pa pasrah untuk sementara dijadikan "bidak catur"nya Pak Kiong Liong untuk membendung pengaruh Liong Ke Toh.

   Dengan perasaan kurang enak, terpaksa, Kim Seng Pa kembali ke istana, la bahkan tidak peduli ketika Teng Jiu memisahkan diri dengan alasan "ada suatu keperluan".

   Kim Seng Pa ingin - membuntuti, karena khawatir hanya akan terkecoh seperti semalam.

   Sementara itu, sambil berjalan semakin jauh dari Kim Seng Pa dan rombongannya, Teng Jiu beberapa kali menoleh ke belakang dan yakin bahwa Kim Seng Pa tidak membuntutinya.

   Maka berpikirlah ia dengan puas.

   "Mulai jinak dia, setelah semalam dia cuma berhasil menangkap gelandangan yang kuberi uang dan kusuruh berlari itu."

   Teng Jiu lalu mengayunkan langkah hendak menuju ke rumah obat Khong Yan-ki untuk berbincang dengan Pak Kiong Liong dan ln Te.

   Tetapi, selagi ia berjalan di tempat yang ramai, mendadak ada seorang pemuda mena braknya sehingga Teng Kiu menoleh.

   Waktu itu, dilihatnya pemuda itu dengan gaya seolah tidak sengaja menunjukkan jari-jari tangannya.

   Dan Teng Jiu terkejut melihat cincin batu giok hijau di tangan si penabrak itu, sebuah benda yang sudah amat dikenalnya, sedang wajah pemuda itupun ia lupa-lupa ingat seperti pernah dilihatnya pula.

   Tapi kapan dan entah dimana, - ia lupa.

   Hanya cincin batu giok hijau itulah yang tidak dilupakannya, itulah milik Pangeran Hong Lik.

   Cepat-cepat Teng Jiu menjambret pemuda itu sambil membentak.

   "Siapa kau?"

   Tapi pemuda itu dengan licin menghindari tangkapannya sambil berkata.

   "Ikutilah aku."

   Terus dia menghilang ke tengah-tengah orang yang ramai di jalanan itu.

   Urusan yang paling memusingkan Teng Jiu saat itu ialah belum kembalinya Pangeran Hong Lik, sementara pengaruh Liong Ke Toh semakin kuat, dan Pak Kiong Liong sudah memberi kabar tentang adanya komplotan pembunuh yang akan masuk istana membunuh Kaisar.

   Kini tiba-tiba Teng Jiu melihat seorang yang memakai cincin Pangeran Hong Lik, tentu saja ia tak mau melepaskan nya lagi.

   Tidak peduli di depannya ada perangkap atau tidak, dia terus mengikuti pemuda itu.

   * * * - Tong Hai Long tidak tahu berapa lama ia dikempit dan dibawa "terbang"

   Oleh' si tukang pangsit yang ternyata adalah seorang tokoh silat berilmu tinggi itu.

   la dibawa cukup jauh, namun masih dalam lingkungan tembok kota Pak-khia juga, sampai akhirnya dibawa melompati dinding sebuah rumah dan tiba di sebuah halaman belakang.

   Seorang lelaki nampak tengah bersila dengan mantap di halaman itu, berlatih me mainkan Sam-ciat-kun (ruyung tiga ruas), gerakannya hebat sehingga jemuran pakaian di sisi halaman itu nampak berkibaran kena angin senjatanya.

   Tapi ia menghentikan geraknya, ketika si tukang pangsit melompat masuk dengai mengempit tubuh Tong Hai Long.

   "He, Kam heng (saudara Kam), siapa yang kaubawa itu?"

   Kam Hong Ti, si tukang pangsit itu, menurunkan Tong Hai Long sambil menjawab.

   "Bocah ini telah melakukan suatu tindakan gegabah yang nyaris mengacaukan rencana kita. Terpaksa kubawa dia kemari..." - "Siapa dia, dan apa yang sudah dilakukan nya?"

   "Kalau melihat ilmu pedangnya, seperti cucu ketua lama Hwe Liong Pang, betul tidak?"

   Pertanyaan itu ditujukan kepada Tong Hai Long dan dijawab dengan satu anggukan. Sementara Karn Hong Ti berkata lagi kepada lelaki yang habis latihan silat itu.

   "Dia mau membunuh Liong Ke Toh. Bukankah itu sama saja dengan memukul rumput mengagetkan ular? Makanya aku cegah..."

   Sementara itu Tong Hai Long membungkuk hormat kepada Kam Hong Ti dan berkata.

   "Aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan Tuan. Bolehkah aku mengetahui siapa nama Tuan yang mulia?"

   Kam Hong Ti mencabuti jenggot-jenggot dan kumis putihnya yang ternyata palsu semua, sehingga kelihatan tampang sebenarnya yang lebih muda umurnya, baru sekitar limapuluh tahun. Tanpa menjawab pertanyaan Tong Hai Long, dia malah berkata.

   "Tindakanmu ngawur sekali, anak muda. Apakah ini yang - diperintahkan oleh kakekmu Pak Kiong Liong, pamanmu In Te atau kedua orang tuamu, Pak Kiong Eng dan Tong Gin Yan?"

   Tong Hai Long heran mendengar si tukangpangsit ini ternyata kenal kakeknya dan keluarganya yang lain. Kecuali itu, ia masih merasa malu juga karena kegagalannya untuk "menjadi pahlawan". Sahutnya agak tersipu.

   "Tidak, aku cuma berpikir bahwa salah satu tugas kaum pendekar ialah membasmi biang malapetaka macam Liong Ke Toh. Kalau dia mati kan bagus?"

   "Bagus gundulmu!"

   Bentak Kam Hong Ti.

   "Kalau dia mati, di kota ini akan diadakan penangkapan, pemeriksaan besar-besaran, dan siapa yang menderita? Lagipula kematiannya akan membuat sasaran kami yang lebih penting lebih terjaga, dan berarti lebih sulit dijangkau pula. Tahu tidak?"

   Tong Hai Long menyeringai, mencoba tersenyum ramah biarpun dalam hatinya dia mendongkol. Bakul pangsit ini seenaknya saja membentak-bentaknya seperti kepada anaknya - sendiri saja. Namun bagaimanapun juga orang ini sudah menolong nyawanya. Katanya.

   "Sungguh aku amat berterima kasih untuk nasehat berharga ini. Sekarang aku mohon diri..."

   Terus saja ia hendak mengeloyor pergi. Tapi Kam Hong Ti membentak garang.

   "Tidak boleh! Demi kerahasiaan rencana kami, kau tidak boleh pergi dari sini sampai selesainya pelaksanaan rencana kami!"

   Mula-mula Tong Hai Long terkejut, namun lalu marah.

   "Maaf, Tuan, aku kurang paham..."

   "Kau tetap di sini sampai kami selesai membunuh Yong Ceng, paham?"

   "Alasan apa tuan pakai untuk bertindak sewenang-wenang atas diriku? Apakah aku perlu bersumpah untuk tidak membocorkan letak tempat ini dan pertemuan dengan tuantuan?"

   "Pokoknya tidak boleh. Sebab kau adalah seorang pemuda yang berangasan serta suka bertindak ceroboh. Untuk itu kau harus tetap di sini sampai besok pagi. Selain demi keamanan - rencana kami, juga demi keselamatanmu sendiri!"

   Watak asli Tong Hai Long muncul kembali "Dengan hak apa Tuan berbuat demikian atas aku? Memangnya kau ini kakekku?"

   Kain Hong Ti melangkah mendekati Tong Hai Long sambil tertawa dan berkata.

   "Kalau aku kakekmu, tentu tidak akan tega mengurungmu. Justru karena aku bukan kakekmu, aku tega melakukannya."

   Lalu kedua jarinya meluncur untuk menotok pinggang Tong Hai Long, tanpa sempat dihindari anak muda itu. Lumpuhlah Tong Hai Long seketika. Kam Hong Ti lalu berkata kepada lelaki yang tadi bersilat dengan Sam-ciat-kun.

   "Ma-heng (saudara Ma), tempatkan bocah ini di gudang. Tidak usah diikat, tapi kunci saja dari luar. Jangan sampai lolos, tapi perlakukan dengan baik sebab bagaimanapun juga dia bukan musuh. Setelah rencana kita selesai, aku sendiri akan mengembalikannya kepada Goan-swe Pak Kiong Liong dengan permintaan maaf." - Begitulah Tong Hai Long menjadi "tamu terpaksa"

   Di rumah itu. Selesai mengurung Tong Hai Long, lelaki she Ma itu bertanya kepada Kam Hong Ti.

   "Kamheng, dimana pikulan pangsitmu?"

   Kam Hong Ti menyeringai sambil mengusap-usap mukanya dengan air, untuk membersihkan dari sisa-sisa perekat untuk menempelkan jenggot-jenggot palsu tadi.

   "Ketika aku sedang mengamati keadaan di jalan sebelah timur istana, muncul bocah itu hendak membunuh Liong Ke Toh, tapi malah bocah itu sendiri yang hampir celaka. Dengan memandang muka Pak Kiong Liong dan mendiang Tong Lam Hou yang pernah menyelamatkan aku, ku tolong dia dan kubawa kemari. Pikulan pangsitku pun berantakan."

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ma Sun Hian tertawa.

   "Jadi, mulai besok Kam-heng sudah tidak jualan pangsit lagi?"

   "Ini hari terakhir aku menyamar jadi tukang pangsit. Nanti malam kita laksanakan rencana, dan besok pagi mungkin kita harus secepatnya kabur dari kota ini." - "Kam-heng,"

   Ma Sun Hian merendahkan suaranya dan sikapnya berubah menjadi seri us.

   "Bagaimanakah peluang keberhasilan rencana maut ini? Ada resiko gagal atau tidak?"

   "Mana ada rencana manusia yang begitu sempurna sehingga tidak mungkin gagal Tentu saja resiko itu ada. Namun tidak perlu kita membebani pikiran kita dengan itu. kita lakukan saja sebaik-baiknya. Mati atau hidup, gagal atau berhasil, kita serahkan suratan takdir saja. Begitu pula teman-teman yang lain sudah bertekad sama."

   Semangat Ma Sun Hian berkobar mende ngar kata-kata itu.

   "Benar, Kam-heng. Sean dainya mati, kematian kita itu berharga. Aku hampir-hampir tidak sabar menantikan pelaksanaannya malam nanti. Mudah-mudahan tidak ada pengunduran rencana lagi."

   "Ya. Malam nanti."

   Begitulah Kam Hong Ti dan puluhan pen dekar berani mati lainnya sudah siap dengan rencana mereka.

   Membunuh Kaisar Yong Ceng.

   Mereka adalah orang-orang rimba persilatan, - dengan demikian tidak berpikir serumit Pak Kiong Liong, In Te dan Teng Jiu.

   Kalau Pak Kiong Liong berpikir setelah begini lalu bagaimana dan bagaimana dan bagaimana, maka orangorang macam Kam Hong Ti begitu memutuskan bertindak ya langsung bertindak.

   Mereka cuma ingin menghukum Yong Ceng yang telah ingkar janji kepada sahabat-sahabatnya yang pernah mendukungnya sampai ke singgasana.

   Malam nanti.

   * * * Matahari baru saja membelakangi bumi dan sorepun tiba.

   Jalanan mulai gelap, tapi sinar lentera dari warung-warung pinggir jalan menyorot dan berusaha menahan kekuasaan mutlak sang kegelapan.

   Di warung arak gang Pek-toh-kang ada seorang tamu yang sudah datang sejak siang, menjelang sore tadi, namun sampai hari benarbenar gelap dua masih juga nongkrong di - warung itu.

   Padahal makanan dan minuman yang di hadapannya sudah habis, namun ia masih duduk sambil terus menatap ke pintu warung, memperhatikan tiap orang yang masuk ke warung.

   Ia seorang pemuda berbaju hitam dan menggendong pedang.

   Si tukang warung arak jengkel terhadap tamu ini, namun lebih takut kepada pedang si pemuda, maka terpaksa dibiarkan saja tanpa ditegur.

   Di ibukota kekaisaran itu memang tidak kurang orang berperangai aneh, orang yang kalau tersinggung sedikit saja bisa menimbulkan kerusuhan.

   Para tukang warung sudah hafal hal ini dan lebih suka banyak mengalah daripada warungnya berantakan.

   Pemuda baju hitam itu nampaknya sabar sekali menunggu.

   Di mejanya dia menumpul dua buah mangkuk, yang bawah telungkup dan yang atas menghadap ke atas.

   Sejak ia datang, posisi mangkuk itu tidak berubah ubah.

   Untuk meredam ketidak-sabarannya pemuda itu - sering bertopang dagu sambil memain-mainkan sumpit.

   Dan si tukang warung tambah gentar untuk mengusik pemuda baju hitam ini, sebal dilihatnya pemuda itu dengan gaya santai se enaknya, sambil tetap bertopang dagu, menggunakan sumpitnya untuk menangkap lalat-lalat yang beterbangan di atas meja Pada jari tangan pemuda itu juga nampak bentuk cincin batu giok hijau.

   Hampir saja pemuda itu, Wan Lui, angkat kaki dari warung itu untuk kembali saja keesokan harinya.

   Namun saat itulah yang ditunggu-tunggunya muncul di pintu warung Toh Hun, kepala pengawal pribadi Liong Ke Toh.

   Hampir-hampir Wan Lui tidak mengenalinya, sebab orang yang dulu di Sengtin nampak gagah ini, sekarang nampak janggut nya diperban dan bibirnya bengkak, kelihatan begitu menderita.

   "Sudah lama menunggu, Gan Hong Lui?"

   Ia bertanya sambil menyeringai kesakitan, bicaranya pelan, lambat dan susah-payah. - Namun toh sinar matanya penuh harapan ke tika menemui "Gan Hong-lui"

   Yang dikenalnya di Seng-tin sebagai "pengkhianat Pek-lian-kau"

   Itu. Apalagi ketika melihat cincin batu giok hijau di jari tangan "Gan Hong Lui".

   "Lho, kenapa mukamu, Tai-jin?"

   "Tadi siang kutemui seorang muda yang mulanya kusangka kau. Dialah yang menendang mukaku sampai jadi begini...aduh....hhh..."

   Wan Lui mengangguk-angguk. Kemudian tidak lupa peranannya sebagai "pengkhianat rakus uang"

   Yang dulu telah ditunjukkan kepada Toh Hun, kini diapun mulai nyengirnyengir sambil bertanya.

   "Tai-jin, kalau sekarang sudah kubawakan Pangeran Hong Lik untukmu, aku mau dibayar berapa?"

   "Sesuai kesepakatan kita dulu. Lima ribu tahil emas. Dan kau sudah dapat sepuluh."

   "Tidak ditambah sedikit?"

   Wan Lui kembali nyengir-nyengir sambil menggosok gosok sepasang telapak tangannya.

   "Tapi... benar sudah kaudapatkan Hong Lik?" - Wan Lui mengangkat tangannya sehingga cincin batu giok hijau itu berkilau kena cahaya lampu warung.

   "Bukti ini cukup tidak?', "Hem, aku tidak tolol, Gan Hong Lui. Dulu si tangan panjang Hoa Cek Gui juga menunjukkan cincin itu kepadaku di Seng-tin, dan nyatanya dia tidak membunuh Hong Lik, tapi malah hendak memeras kami. Hem, tidak. Bukti itu tidak cukup. Kalau kulihat sendiri mayat Hong Lik, barulah kuam bilkan uangnya."

   Karena bicara banyak itu, rahang Toh Hun terasa berdenyut. Wan Lui pura-pura jengkel.

   "Dan akupun tidak goblok. Masa harus kuusung mayat Pu tera Mahkota itu di jalan seramai ini, apalagi di Ibukota, supaya aku ditangkap dan dipancung?"

   Toh Hun termangu-mangu. Sedangkan Wan Lui bertanya pula.

   "Bagaimana dengan tambahan duaribu tahil, setuju tidak?"

   "Baik. Asal sudah kulihat sendiri mayat Hong Lik." - "Kalau mau lihat, ikuti aku. Mayat itu kusembunyikan di suatu tempat. Tapi jangan lupa uangnya, lho."

   Dua hal yang membuat Toh Hun percaya ialah, pertama, cincin kumala hijau di jari-jari "Gan Hong Lui". Ke dua, sikap "Gan Hong Lui"

   Yang nampaknya benar-benar mata duitan.

   Toh Hun pikir, orang macam ini asalkan diberi uang, disuruh mencekik mertuanya sendiri pun pasti disanggupi.

   Keduanya kemudian pergi meninggalkan warung, lalu menyusup ke lorong-lorong kota Pak-khia yang semakin gelap disungkup malam.

   Sambil berjalan.

   "Gan Hong Lui"

   Bercerita bagaimana beratnya usaha merebut Pangeran Hong Lik.

   Toh Hun cuma mendengarkan sambil mengangguk-angguk.

   Tabib di istana sudah berpesan, kalau rahangnya mau cepat sembuh haruslah mengurangi gerakan rahang sesedikit mungkin, termasuk bicara.

   Mereka tiba di sebuah gubuk kayu yang suram, karena di dalamnya hanya diterangi sebatang lilin.

   Wan Lui mengajak Toh Hui - masuk, lalu menutup pintunya dari dalam.

   Toh Hun tidak melihat orang lain lagi di dalam rumah itu.

   "Silahkan duduk dulu, Tai-jin."

   "Mana bangkai Hong Lik?"

   Tanya Toh Hun tidak sabar.

   "Sabarlah, Tai-jin,"

   Kata Wan Lui dengan lagak yang meyakinkan.

   "Biar kusuruh temanku membawa mayat itu kemari untuk Tai-jin lihat."

   Lalu Wan Lui menjenguk ke halaman belakang gubuk yang gelap gulita lewat pintu, dan berkata keras.

   "Hei, ambil barang itu ke mari! Yang mau beli sudah datang dan ingin melihat!"

   Toh Hun cuma mendengar di halaman be lakang itu ada yang menyahut dengan suara tidak jelas, seperti gumaman saja. Namun hal itu cukup menimbulkan rasa percayanya.

   "Lho, apakah mayat itu tidak di sini?"

   Tanya Toh Hun sambil menahan nyeri di rahangnya yang dibalut.

   "Tidak jauh dari sini, biar diambil dulu oleh temanku,"

   Kata Wan Lui sambil tersenyum. - "Kita bisa menunggu sambil minum-minum dan berbincang-bincang. Wan Lui lalu menyuguhkan teh. Sementara Toh Hun begitu patuh kepada anjuran sinshe agar tidak banyak menggerak kan rahang, maka Wan Lui lalu mengoceh.

   "Aku ingin mengucapkan kekagumanku kepada junjunganmu, Liong Ong-ya, yang kabarnya belakangan ini kedudukannya makin kokoh. Apalagi setelah Pangeran Hong Lik kubunuh, Liong Ong-ya pasti tak punya saingan berarti lagi..."

   "Ong-ya adalah pamanda Sri Baginda, jadi dipercayai sekali..."

   Kata Toli Hun bangga.

   "Hampir tidak pernah ada usulnya yang ditolak oleh Sri Baginda..."

   Wan Lui lalu menarik napas sambil gelenggeleng kepala, menimbulkan kesan seolah amat iri kepada Toh Hun. Lalu kata nya.

   "Ah, Taijin betul-betul beruntung menpunyai tempat berlindung yang makin lama makin kuat. Beda benar dengan nasibku Masuk Pek-lian-kau karena tertipu bujukan manis, nyatanya cuma - omong kosong semua. Bukan saja perjuangan tidak tercapai, malah akhirnya hancur karena berselisih antara sesama teman. Berarti masa depan ku ikut suram pula..."

   Perangkap Wan Lui agaknya amat menarik Toh Hun, apalagi setelah mendengar suara Wan Lui yang makin sedih.

   "Taijin, jangan memandangku sebagai bekas orang Pek-liankau. Aku masuk Pek-lian-kau karena tidak tahu apa-apa, bahkan kaget ketika tahu tujuan Peklian-kau ternyata adalah melawan pemerintah yang syah. Aku benar benar tidak setuju tujuan itu. Aku cuma ingin hidup dengan nyaman, karena itu bisa kah Taijin menolong aku?"

   "Bukankah setelah kaubuktiKan kematian Pangeran Hong Lik, kau akan segera menerima empat ribu Sembilan ratus sembilan puluh tahil emas, ditambah lagi duaribu yang kusetujui malam ini? Nah, apakah ini kurang cukup untuk hidup enak?"

   Wan Lui menggeleng-gelengkan kepala dan berkata.

   "Aku mau kedudukan, tempat bernaung sampai hari tua. Karena itu kumohon - Taijin mengusahakan agar aku bisa bekerja mengabdi Liong Ong-ya. Aku siap mengabdi dengan bersungguh-sungguh, disuruh mengerjakan apapun mau. Tolonglah aku, Taijin..."

   "Soal ini aku tidak bisa memutuskan sendiri..."

   Sahut Toh Hun.

   "Aku cuma bisa menyampaikan permohonanmu kepada Ong-ya. Tapi ingat, Ong-ya tidak mau punya anak buah yang tidak berguna, yang hanya menghabiskan beras dan terima gaji setiap bulan.."

   "O, jangan kuatir, aku pasti takkan menjadi orang macam itu. Hampir lima tahun aku menjadi orang Pek-lian-kau, aku bisa Hoat-sut (ilmu gaib), biarpun tidak sepandai para pimpinan Pek-lian-kau."

   "Membunuh dengan tenung dari jarak iauh, bisa tidak?"

   "Bisa, asal aku ketahui tanggal kelahiran dan shio dan bintang pelindung orang itu. Kubuatkan boneka dan kutusuk boneka itu dengan jarum, nah, orang itu akan muntul darah lalu mampus..." - "Kau berani membunuh siapa saja yang diperintahkan Ong-ya?"

   "Berani saja, kenapa tidak? Toh tidak akan ada yang tahu, sebab, yang melakuku. pembunuhan itu ialah mahluk-mahluk gaib tidak kelihatan. Kami menyebutnya Thian peng (prajurit langit)...nah, bisa segera diterima bekerja tidak?"

   "Seandainya...seandainya Ong-ya memerintahkan membunuh...membunuh..."

   Sam pai di sini Toh Hun ragu-ragu melanjutkan.

   "Membunuh siapa?"

   Tanya "Gan Hong Lui"

   Bernafsu. Beberapa saat Toh Hun bergulat dengan keraguannya, akhirnya iapun berkata.

   "Tapi kau harus merahasiakan, kaulah si kambing hitam yang paling malang dan bakal mampus paling dulu..."

   "Ya...ya...harus kutenung siapa?"

   "Sri Baginda...." , Jantung Wan Lui berdenyut keras. Ternyata telah sebegitu jauh keberanian komplotan Liong Ke Toh, sehingga setelah menyingkirkan Hong - Lik, sekarang ingin pula menyingkirkan Kaisar Yong Ceng sendiri. Ketika itulah tiba-tiba dari balik pintu halaman belakang terdengar suara orang menggeram marah, sehingga Toh Hun terperanjat. Lalu dari balik pintu itu muncul seseorang yang membuat Toh Hun hampir pingsan. Mula-mula ia mengira yang muncul itu cuma sesosok arwah gentayangan. Setelah melihat orang itu ada bayangannya di dinding oleh cahaya lilin, dan kakinya menginjak tanah, barulah Toh Hun yakin bahwa yang dihadapinya itu adalah manusia hidup. Namun manusia hidup yang jauh lebih menakutkan dari arwah gentayangan.

   "Pep...Pangeran...Hong Lik..."

   "Betul,"' sahut Pangeran Hong Lik dngin."Tidak senang melihat aku belum disem belih oleh orang-orang Pek-lian-kau?"

   Toh Hun merasa tulang-tulangnya seolah dilolosi, ketakutan dan keputus-asaan mencengkam jiwanya, jauh lebih hebat daripada nyeri di rahangnya.

   Mau membantah bagaimana - "Betul,"' sahut Pangeran Hong Lik dngin."Tidak senang melihat aku belum disem belih oleh orang-orang Pek-lian-kau?" - lagi, kalau Pangeran Hong Lik sudah mendengar pembicaraannya sejak tadi dari balik dinding? Sedang "Gan Hong Lui"

   Itu ternyata cuma menjebaknya... Kini dilihatnya "Gan Hong Lui"

   Itu melepas cincin hijaunya untuk dikembalikan kepada Pangeran Hong Lik, sambil bertanya.

   "Nah, Kuiheng, percayakah sekarang apa yang kukatakan, bahwa tindakan orang orang Pek-lian-kau itu didalangi pengkhianat pengkhianat dalam istana?"

   Dengan wajah merah padam, Pangeian Hong Lik berkata.

   "Memang sudah lama aku tahu Liong Ke Toh Udak menyukai aku, karena aku sering menjegal tindakannya yang bertentangan dengan keadilan. Tapi sungguh tidak kusangka kalau dia sampai meminjam tangan gerakan terlarang macam Pek-lian-kau, untuk melenyapkan aku. Hem, ingin kulihat bagaimana mukanya, kalau sampai besok kulaporkan soal ini kepada Hu hong (ayahanda Kaisar)." - Sementara itu, kini Toh Hun bertiarap di lantai, mukanya kini jauh lebih putih dari kertas kwalitas nomor satu. Suaranya gemetar lak keruan.

   "Ampun....ampun.... Pangeran... hamba.....hanya diperintah Ong-ya...mohon kebijaksanaan dan belas kasih un Pangeran."

   Pangeran Hong Lik memang marah, tapi akhirnya berhasil meredakan kemarahannya dan berkata.

   "Aku akan mohon Hu-hong me ringankan hukumanmu, asal kau bersedia menjadi saksi untuk membongkar kejahatan Liong Ke Toh di hadapan sidang kerajaan. Bersaksi sesuai dengan kenyataan."

   "Hamba.... hamba.... ber.... sedia...."

   Sesaat ruangan itu sunyi mencekam.

   Hanya cahaya lilin yang melenggok genit membuat suasana jadi tidak begitu mati.

   Toh Hun belum berani bangkit dari sujudnya, hanya dengus napasnya yang tidak teratur itulah yang membuat dia belum disangka mayat.' "Kui-heng, sekarang bagaimana?"

   Pertanyaan Wan Lui mengakhiri kesenyapan pendek itu. - Setelah mengetahui "Kui Thian-cu"

   Adalah Putera Mahkota, sebetulnya Wan Lui ingin bersikap resmi dengan memanggil "Pangeran"

   Serta membahasakan dirinya "hamba".

   Tapi Pangeran Hong Lik menganggapnya sebagai sahabat yang sederajat dan tidak ingin kehilangan seorang sahabat hanya untuk ke tambahan seorang bawahan, maka menolak keinginan Wan Lui itu.

   Ia tidak mengijinkan Wan Lui menyebut "Pangeran"

   Dan "hamba"

   Kecuali dalam acara-acara resmi di hadapan banyak orang.

   "Aku ingin segera ke istana untuk menghadap Hu-hong dan menggulung komplotan jahat Liong Ke Toh malam ini juga!"

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Geram Pangeran Hong Lik.

   "Tidak sabar lagi aku ra sanya."

   "Jangan ceroboh, Kui-heng,"

   Cegah Wan Lui.

   "Tempat ini memang sudah tidak jauh lagi dari istana, namun dalam situasi tak menentu, apalagi dalam malam gelap ini, apapun tidak mustahil terjadi di tengah perjalanan pendek itu. Juga hal-hal yang buruk. Sabarlah. Sore tadi - dengan petunjuk Kui-heng, aku berhasil menghubungi orang yang bernama Teng Jiu dengan menunjukkan cincin Kui-heng kepadanya, maka tidak lama lagi tentu akan sepasukan pengawal terpercaya yang menjemputmu. Sabarlah."

   Baru saja ucapan Wan Lui selesai, di luar rumah terdengar derap kaki orang banyak yang berhenti di depan rumah.

   Lalu pin tu itu diketuk dengan keras.

   Wan Lui tidak membiarkan Pangeran Hong Lik sendiri yang membuka pintu, melainkan dialah yang melompat ke pintu untuk membukakan dengan sikap penuh kewaspadaan.

   Di depan rumah itu telah berbaris sebuah pasukan yang terdiri dari kirakira seratus orang, bersenjata lengkap dan membawa obor-obor.

   Agak berbeda dengan prajurit-prajurit biasa yang pernah dilihat Wan Lui, pasukan ini bukan saja berseragam kuning emas yang mentereng, juga rata-rata mereka lebih tegap dan berdiri dalam sikap lebih sempurna dari prajurit-prajurit biasa.

   Karena - inilah Gi-cin Si-wi (Pengawal pribadi Kaisar) yang terdiri dari prajurit-prajurit pilihan.

   Yang tadi mengetuk pintu adalah seorang perwira gagah yang memanggul tombak Hongthian-kek, seperti senjata Si Jin Kui, tokoh dinasti Tong yang terkenal.

   Namun dua orang yang mengapit di kiri kanan si "Si Jin Kui"

   Ini ternyata lain seragamnya.

   Keduanya memakai seragam Ci-ih Wi-kun.

   Yang membawa Hong-thian-kek itu adalah Be Kun Liong, komandan Gi-cian Si-wi.

   Sedang kedua jagoan Ci-ih Wi-kun di kiri kanannya adalah orang pertama dan kedua dari Heng-sansam-kiam (tiga pedang dari Hong-san) masingmasing adalah Jian-ing-kiam (Pedang Seribu Bayangan) Ho Seliang dan Lam-thai-hong (Prahara Selatan) Au-yang Kong.

   Keduanya adalah kakak-kakak seperguruan dari Teng Jiu yang bergelar Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang).

   Be Kun Liong yang bertanya kepada Wan Lui.

   "Mana Pangeran Hong Lik?" - Wan Lui sudah mendengar dari Pangeran Hong Lik bahwa pengawal-pengawal istana saat itu terpecah-pecah dalam beberapa golongan yang bersaing satu sama lain. Wan Lui raguragu, apakah pasukan yang datang dari golongan yang mendukung ataukah memusuhi Pangeran Hong Lik? Tengah ia ragu-ragu, tiba-tiba Pangeran Hong Lik mendekati ke pintu dan menepuk pundaknya dari belakang, sambil berkata.

   "Wan-heng, mereka teman-teman terpercaya."

   Hembusan napas lega keluar dari hidung Wan Lui. la minggir dari ambang pintu dan membiarkan Pangeran Hong Lik menampakkan diri. Seluruh pasukan penjemput serempak berlutut dan menggelegarlah seruan serempak.

   "Hormat untuk Thai-cu!"

   Pangeran Hong Lik mengangguk dalam sikap anggun dan berkata.

   "Bangun."

   Sekali lagi seman penghormatan serempak, setelah itu barulah pasukan itu bangkit dalam sikap tegap hormat. - Bergetarlah hati Wan Lui melihat peristiwa itu. Kemudian Pangeran Hong Lik menunjuk ke dalam rumah, sambil berkata.

   "Ada seorang tawanan penting di dalam sana. Bawa dia."

   Be Kun Liong memberi isyarat kepada pasukannya.

   Empat prajurit segera masuk untuk menyeret keluar Toh Hun yang amat lemah dan pucat, wajahnya memancarkan kepasrahan.

   Dan biarpun rahangnya diperban, tapi masih juga wajahnya bisa dikenali di bawah cahaya obor, sehingga Be Kun Liong terkejut.

   "Lho, bukankah ini Toh Hun, komandan pengawal pribadi Liong Ong-ya? Apa yang telah dilakukannya terhadap Pangeran?"

   "Besok akan terbongkar sebuah komplotan jahat dalam istana yang hendak mencelalakai aku dengan meminjam tangan orang luar. Untung ada Wan Lui yang menolongku..."

   Katakata Pangeran Hong Lik itu membuat semua orang memandang pemuda gagah berbaju hitam yang berdiri di samping Pangeran Hong Lik itu. - Sementara Pangeran Hong Lik berkata lagi.

   "Be Congkoan, tawanan ini kuserahkan ke bawah tanggung jawabmu, dan tentang dia tidak boleh ada perintah lain kecuali yang langsung dari mulutku,"

   "Hamba siap, Pangeran,"

   Sahut Be Kun Liong. Melihat betapa bersungguh-sungguh Pangeran Hong Lik ketika berpesan tentang tawanan itu, semuanya sadar bahwa Toh Hun sekarang adalah "kunci"

   Untuk membongkar komplotan jahat dalam istana.

   Dan mengingat bahwa Toh Hun adalah orang kepercayaan Liong Ke Toh, maka semua orang tidak susah menebak siapa "kepala ular"nya.

   Selain girang karena komplotan yang memuakkan itu akan segera tergulung, Be Kun Liong juga cemas mengingat bahwa Liong Ke Toh pun punya pendukung yang kuat.

   Bahkan Kaisar Yong Cer.g sendiri amat mempercayai hampir semua katakata pamannya ini.

   Pasukan itu kemudian mulai berbaris mengiringi Pangeran Hong Lik.

   Sebetulnya - sudah dibawakan sebuah tandu untuknya.

   Tapi Pangeran Hong Lik memilih untuk berjalan kaki saja bersama pasukan itu.

   Yang dinaikkan tandu malahan Toh Hun, tapi dengan kaki dan tangan terikat.

   Sambil berjalan, kemarahan Pangeran Hong Lik agaknya mulai reda.

   Lebih dulu ia bertanya kepada Ho Se Liang dan Auyang Kong sambil tertawa.

   "He Toako, Auyang Kong, baik-baik saja kalian selama ini?"

   "Baik-baik saja. Terima kasih, Pangeran..."

   Sahut Ho Se Liang yang sudah biasa bersikap akrab terhadap Pangeran Hong Lik.

   "Cuma urat syaraf hambamu ini yang rasanya hampir putus dan hampir-hampir membuat hamba gila..."

   "Lho,kenapa?"

   "Karena Pangeran menghilang tanpa kabar, sedangkan Liong Ke Toh semakin malangmelintang di istana..."

   Pangeran Hong Lik, Be Kun Liong, Au yang Kong dan Wan Lui tertawa mendengar kata-kata Ho Se Liang itu. - "Dimana Teng Samko? Bukankah sore tadi dialah yang berhasil kami hubungi?"

   Tanya Pangeran Hong Lik pula.

   "Memang benar, Pangeran, tadi sore dia tergopoh-gopoh bilang kepada hamba berdua agar segera menyiapkan penjemputan dan pengamanan Pangeran. Sesudah itu, dia terus pergi lagi entah kcrnana..."

   Kata Ho Se Liang.

   "Bukannya dia tidak menghormat Pangeran sehingga tidak ikut menjemput Pangeran, tapi beberapa hari terakhir ini ia nampak sibuk sekali. Sering keluar istana sendirian, pergi entah kemana, dan kalau pulang dari bepergiannya terus bicara dengan Kim Cong Koan saja, entah apa saja yang mereka omongkan..."

   "Oh begitu? Dan bagaimana dengan Kim Congkoan? Apa masih suka bersiul-siul?"

   "Belakangan ini tidak, mukanya murung terus."

   "Kenapa? Sakit gigi?"

   "Entahlah. Sejak Teng Jiu sering mendekatinya dan mengajaknya bicara, maka - semua kegembiraan hidup Kim Congkoan seperti lenyap semua. Tidak pernah tersenyum, tidak pernah bersiul..."

   "Tapi ada kemajuan, lho ."

   Tukas Be Kun Liong.

   "Kemajuan bagaimana?"

   "Biasanya Kim Congkoan acuh saja demi mengamankan kedudukannya. Tapi beberapa hari ini dia berani menentang Liong Ke Toh biarpun dengan lutut gemetar..."

   "Dengan didampingi Teng Jiu."

   Pangeran Hong Lik tercengang mendengarnya.

   Sementara itu, ketika Wan Lui melihat betapa akrabnya Pangeran Hong Lik terhadap para bawahannya, mulai ikut merasakan juga bahwa Putera Mahkota itu lebih merupakan orang yang dicintai bawahan dari pada ditakuti.

   Kemudian Pangeran Hong Lik bertanya pula.

   "Be Congkoan, bagaimana dengan gerombolan orang-orang mencurigakan yang terus mengikuti aku dari Hong-yang sampai ke Pak-khia ini?" - Be Kun Liong menjawab.

   "Sudah diambil tindakan, Pangeran, begitu kami mendengarnya, segera saudara Siau Ting Peng dan Ciu Hong Siau dan Ci-ih Wikun. dengan petunjuk Teng Jiu lalu menghubungi pasukan duri tangsi ke sembilan untuk diajak menghadang orangorang yang mencurigakan itu. Sore tadi, pasukan dari tangsi sembilan serta saudara Siau dan saudara Ciu su-I dah berangkat ke arah larinya orang-orang mencurigakan itu."

   Pangeran Hong Lik bertanya dengan heran.

   "Tangsi ke sembilan? Bukankah komandauntangsi itu adalah Kim Thian Ki, putera Kim Cong-koan?"

   "Ya. Entah dengan cara apa, belakangan ini memang Kim Congkoan dan puteranya itu seolah tergenggam di tangan Teng Jiu, dimintai tolong apa saja mereka mau..."

   "Aneh sekali. Dengan mantera ajaib macam apa Teng Samko bisa menyuruh-nyuruh Kim Seng Pa, sehingga bisa pula memerintahkan Kim Thian Ki?" - Bahkan Ho Se Liang dan Auyang Kong sebagai kakak-kakak seperguruan Teng Jiu pun tidak tahu bagaimana "mantera ajaib"

   Itu. Yang lain-lainnya lebih-lebih tidak habis mengerti bagaimana Teng Jiu, pengawal biasa yang tadinya tidak menonjol itu, tiba-tiba saja bisa menjadi "kunci"

   Yang begitu berpengaruh? Tapi pernah mereka tanyakan itu kepada Teng Jiu, dan Teng Jiu cuma tertawa saja. Tapi Pangeran Hong Lik tidak risau akan "keanehan"

   Teng Jiu itu.

   Toh Ternyata Teng Jiu menggunakan kelebihannya itu untuk tetap berpihak kepadanya.

   Sambil berjalan ke istana, Ho Se Liang dan Au-yang Kong juga mengajak Wan Lui bercakap-cakap.

   Mereka ternyata bisa mengingat, kalau mereka pernah berhadapan sebagai lawan dulu.

   Ho Se Liang dan Auyang Kong sedang mengawal Ni keng Giau ke Hengciu, sedangkan Wan Lui waktu itu menolong Tong Hai Long dan lain-lainnya yang berusaha membunuh Ni Keng Giau, namun gagal dan malahan hampir saja tertangkap oleh kawanan - Ci-ih Wikun.

   Namun kali ini karena sama-sama berpihak kepada Pangeran Hong Lik, maka merekapun dapat segera saling berbicara dengan ramah.

   Wan Lui menceritakan pengalamannya ketika menghadapi orang-orang Pek-lian-kau.

   Ketika ceritanya sampai tentang gugur nya Koh lian Hong, maka Ho Se Liang dan Auyang Kong menjadi berduka.

   "Kami kehilangan seorang teman yang jujur..."

   Suara Ho Se Uang terdengar seperti keluhan.

   "Berpuluh tahun Koh Hian liong bekerja di Hou-po Ceng-tong (kantor keuangan negara). Teman-teman seangkatan-nya dengan cepat berhasil mengumpulkan kekayaan yang mencengangkan, sedang Koh Hian Hong tetap saja hidup sederhana karena jujurnya. Ia benarbenar hidup hanya dari gajinya..."

   Wan Lui mengangguk-angguk.

   Namun dari situ ia dapat semakin lengkap mengenal pribadi Pangeran Hong Lik secara tidak langsung.

   Kalau Pangeran Hong Lik begitu menghargai orang semacam Koh Hian Hong, maka bisa - disimpulkan sendiri bagaimana pula sikap Pangeran Hong Lik terhadap nilai-nilai kehidupan yang dipegang teguh Koh Hian Hong., Sambil berjalan dan bercakap-cakap, tak terasa atap istana kekaisaran yang bersusunsusun itu sudah kelihatan di depan mata.

   Di kegelapan malam nampak kehitam hitaman seperti deretan puncak pegunungan.

   Tapi di sudut-sudut atap |uga digantung kan lenteralentera kaca yang entah berapa jumlahnya, dan cahayanya terpantul di genteng istana yang terbuat dari kaca pula.

   Mau tidak mau bertambah juga debar jantung Wan Lui melihat itu.

   Ia akan memasuki tempat yang selama berabad-abad menjadi lambang kekuasaan dinasti yang silih berganti, sejak Kim, Goan, Beng dan sekarang Ceng (Manchu).

   Padahal dirinya cuma bocah gunung dari Tiang-pek-san yang terpencil.

   Kini ia akan memasuki tempat itu, berdampingan bersama Pangeran Hong Lik, Putera Mahkota.

   Bukan - sebagai pengiring biasa, namun sebagai sahabat yang dihargai..Sebagai manusia biasa, tentu boleh-boleh saja ia merasa bangga karena kehormatan itu.

   Entah bagaimana girangnya kedua orangtuanya kelak kalau diceritakan tentang hal itu..

   Tapi tiba-tiba Pangeran Hong Lik dan lainlainnya terkejut, ketika sayup-sayup di istana itu terdengar suara genta dibunyikan malammalam seperti itu, ada bahaya mengancam istana! Pangeran.Hong Lik terkejut.

   "Mungkinkah Liong Ke Toh sudah tahu kedatanganku, lalu sekarang nekad hendak merebut kekuasaan dengan pengikut-pengikutnya?"

   Maka rombongan Pangeran Hong Lik itu tidak lagi berjalan santai sambil bercakapcakap, melainkan mulai berlari-lari kecil.

   Namun toh ada semacam firasat, mereka akan kalah berlomba dengan goresan pena sejarah yang hendak memulai era baru dengan lebih dulu menutup era lama.

   - Firasat disingkirkan dulu.

   Kaki diayun lebih cepat lagi.

   * * * Malam hari, bagian dalam istana yang disebut Ci-kim-shia (kota terlarang) itu biasanya sepi, tak ada suara ribut karena kuatir mengganggu anggota-anggota keluarga kerajaan yang umumnya sudah beristirahat.

   Memang para hamba istana dan para pengawal masih hilir mudik sekali-sekali, namun dengan mulut bungkam dan langkah dilembutkan hampir tanpa suara.

   Aman tapi sepi.

   Namun malam itu, suasana sepi mendadak buyar dan digantikan suara gaduh di salah satu sudut istana.

   Sekelompok prajurit Gi Cian Siwi yang sedang meronda liba -tiba saja melihat sesosok bayangan asing berkelebat.

   Ketika dibentak disuruh berhenti, sosok tubuh itu tetap saja kabur dengan arah ke bagian dalam bangsal peristirahatan keluarga istana.

   Tentu saja para pengawal tidak membiarkannya, dan terus memburu.

   Namun - bayangan tinggi besar itu bergerak terlalu cepat, membuat para pengawal pontangpanting tak mampu menyusul.

   Karena itu, kepala regu terpaksa berteriak.

   "Gunakan senapan!"

   Sambil tetap berlari, terburu-buru para pengawal mengisikan bubuk mesiu lewat moncong bedil, tidak banyak yang berceceran, sebab mereka sudah terlatih untuk itu.

   Lalu mengisi peluru dan memasang sumbu serta menyalakannya, dan siaplah bedil bedil itu dibidikkan.

   Yang agak aneh, orang yang dikejar itu bukannya cepat-cepat mencari tempat tersembunyi, melainkan terus berlari-lari di tempat-tempat terbuka, seolah-olah malah kuatir kalau sampai pengejar-pengejarnya tak bisa mengikuti lalu berhenti mengejar.

   Kepala regu pengawal berpangkat Sip-huthio (kepala sepuluh prajurit) itupun terpaksa memberi aba-aba.

   "Tembak!" - Sesuai dengan perkembangan persenjataan abad delapan belas itu, yang sudah banyak dipengaruhi cara-cara Eropa, maka para pengawal Gi-cian Siwi itu bukan cuma pesilatpesilat tangguh, tapi juga penembak penembak yang cukup latihan. Mereka bukan asal menembak saja, tapi mengincar dengan cermat, bahkan ahli juga menghadapi sasaran yang bergerak. Sedetik kemudian terdengarlah letusan bedil berturut-turut. Di luar dugaan bahwa bayangan berkepala gundul dan bertubuh tinggi besar itu tiba-tiba malah berhenti, berbalik, dan membusungkan dada, hempasan peluru-peluru itu ditadahinya dengan kulit dada dan perutnya! Biarpun pelor di jaman itu masih berbentuk kelereng tumpul, tapi lontarannya hebat sekali sebab terdorong ledakan bubuk mesiu yang dipadatkan di dalam laras. Kelereng besi itu bisa menembus sehelai papan. Namun kini para prajurit Gi-cian Si-wi melongo melihat "kelereng-kelereng panas"

   Mereka cuma melubangi baju tapi tak bisa menembus kulit. - Setelah orang itu berhenti, nampaklah dia seorang hwe-shio berkulit hitam, bertubuh raksasa, dan memakai jubah keagamaan berwarna abu-abu. Pendeta itu berteriak.

   "Mana si iblis haus darah Yong Ceng, murid murtad Siau-lim-pai itu?! Suruh dia keluar, dan bilang bahwa paman gurunya Pun-seng Hwe-shio datang untuk mengantarkan hukuman!"

   Lalu hwe-shio itu menyambar sebuah jarnbangan bunga besar yang tentunya berat sekali, apalagi berisi tanah.

   Namun dengan ringannya benda itu dilontarkan dan disambitkan ke arah kelompok pengawal itu.

   Para pengawal berlompatan minggir.

   Pun-seng Hwe-shio kemudian maju menerjang dengan hebat seperti seekor gajah mabuk.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Para pengawal tidak sempat lagi mengisi bedil, secepatnya mereka menghunus pedang masing-masing untuk melawan.

   Perkelahian pun berkobar.

   Pun-seng Hwe-shio yang terhitung paman guru Kaisar Yong Ceng itu adalah seorang yang telah mempelajari banyak ' ilmu silat Siau-lim21-22 pai, namun kemudian tidak sabar kalau harus melatih ilmu-ilmu itu satu persatu, maka "diperasnya"

   Saja ilmu itu sampai ke intisarinya untuk dilebur dan terciptalah sebuah ilmu silat yang diberi nama seenaknya saja, Hong-gu-kunhoat (Silat Kerbau Gila).

   Suatu ilmu silat yang jelek gayanya, jelek namanya, dan berkali lipat lebih jelek akibatnya terhadap lawan.

   Sebab kekuatan ilmu itu diambil dari Thai-lik-him kong-ciang (Pukulan Malaikat Raksasa) dan kulitnya dilindungi oleh ilmu kebal Tiat-po-san (Pelindung Baju Besi).

   Karena itulah dalam pertempuran, Pun-seng Hwe-shio tidak terlalu menggubris kalau tubuhnya kena senjata lawan, asal bukan tempat-tempat yang memang tidak mungkin dikebalkan, seperti mata, kemaluan, bagian bawah dagu, di belakang telinga dan sebagainya.

   Tapi sebagian besar permukaan kulitnya kebal senjata.

   Maka biarpun jubahnya robek-robek kena senjata, tapi kulitnya tetap utuh.

   Sedangkan sepasang tinju dan sepasang - kakinya benar-benar senjata yang berbahaya, bahkan juga kepalanya yang mengkilap itu.

   Begitulah, kelompok pengawal itupun mendapat pekerjaan berat.

   Kemudian datang pula dua kelompok pengawal lainnya ikut membantu, tapi tetap tidak mudah menundukkan Pun-seng-Hwe-shio biarpun dengan tiga puluh pengawal tangguh.

   Tetapi Pun-seng Hwe-shio pun terkepung dan tidak bisa semaunya, sebab ketiga puluh lawannya adalah prajurit-prajurit pilihan yang telah disaring ketat dari semua pasukan.

   Ketika mereka tahu Pun-seng Hwe shio kebal, mereka tidak lagi sembarangan menyerang, tapi memilih sasaran-sasaran yang lemah.

   Keruan si pendeta muka hitam itu jadi tambah kerepotan.

   Selagi Pun-seng Hwe-shio belum bisa diatasi, tiba-tiba di bagian lain Ci-kim-shia terdengar suara teriakan para pengawal dan letusan senjata api pula.

   Ternyata di situ muncul Ma Sun Hian, si jagoan main Sam-ciatkun yang tidak kalah merepotkannya dengan Pun-seng hwe-shio biarpun ia tidak kebal.

   - Ma Sun Hian belum teratasi, di bagian lain muncul lainnya pula, muncul lagi di sini, muncul lagi di sana.

   Puluhan orang muncul mengamuk di mana-mana.

   Semua yang datang itu berilmu tinggi, sehingga para pengawal jadi sibuk bukan main.

   Bahkan kemudian beberapa bagian istana telah terbakar.

   Maka pihak pengawal istanapun sadar bahwa malam itu mereka mendapat serangan yang terencana.

   Itulah maka genta besar tanda bahaya yang menganggur bertahun-tahun itu kini terpaksa dibunyikan kembali.

   Gi-cian Si-wi sebagai pasukan yang paling bertanggung-jawab untuk keselamatan Kaisar dan keluarganya, segera mengatur diri.

   Tetapi mereka agak bingung, sebab komandan mereka Be Kun Liong, tidak nampak batang hidungnya.

   Maka si wakil korrian dan He Hou Ciang segera mengambil alih komando.

   "Lindungi Yang-wan-kiong, jangan terpancing jauh dari Yang-wan-kiong!' teriaknya ketika melihat di mana-mana terjadi pertempuran dan kebakaran.

   "Musuh yang - meninggalkan lingkungan Yang-wan-kiong, akan diurus pasukan lain. tugas kita hanyalah mengamankan Yang-wan-kiong!"

   Berulang kali kata "Yang-wan-kiong"

   Di ucapkan, tanpa sadar memberi petunjuk kepada para penyerbu bahwa di bangsal itulah Kaisar Yong Ceng berada malam itu.

   Selain Gi-cian Si-wi, di istana itu banyak pasukan lain seperti Lwe-teng Wi-su (bayangkara Istana), Han-lim-kun (bayangkara Ruang Pusaka), serta kelompok-kelompok lain yang berjumlah lebih kecil tetapi tangguh seperti Hiat-ti-cu yang dipimpin Hap To, Ci-ih Wi-kun yang dipimpin Kim Seng Pa, para pendeta Ang-ih-kau yang dipimpin Biau beng Lama, lapi ketiga kelompok ini, dalam keributan itu belum muncul di arena.

   Sementara para penyerbu bermunculan, memang munculnya satu demi satu, tapi karena semuanya berilmu tinggi, tidak heran kalau para Gi-Cian Si-wi kebingungan menghadapi gerak cepat para penyerbu yang berpindahpindah tempat seperti hantu itu.

   Hanya dengan - kegigihan yang mendekati semangat berani matilah maka para pengawal itu masih berhasil membendung para penyerbu agar tidak memasuki bangsal Yang-wan-kiong.

   Tapi karena beratnya tekanan, pasukanpasukan istana yang lainpun terpaksa ditarik ke lingkungan Yang-wan-kiong untuk membantu Gi-cian Si-wi yang tak sanggup lagi sendirian membendung amukan para pe nyerbu itu.

   Bahkan setelah semua pasukan istana ikut membantu, tak ada tanda-tanda kalau ! para penyerbu bakal terpukul mundur, maka para komandan pasukan istana pun mulai mempertimbangkan untuk minta bantuan dari pasukan Kiu-bun Te-tok (Garnisun Ibukota) yang sebenarnya bukan termasuk pasukan istana, tapi kalau mendesak ya terpaksa akan dipanggil ke istana.

   Dulu, laskar gabungan Pek-lian-kau dan Jitgoat-pang juga pernah hampir-hampir berhasil merebut istana.

   Tapi saat itu bisa dimaklumi, karena penyerbunya berjumlah puluhan ribu orang.

   Kini, penyerbu yang datang tidak lebih - dari limapuiuh orang, namun beratnya tekanan yang mereka hasilkan sungguh-sungguh lebih berat dari tekanan orang-orang Pek-lian-kau dan Jit-goat-pang dulu.

   Ketika akhirnya pasukan Kiu-bun te-tok pun ditarik masuk istana, para pendekar penyerbu saling bertukar isyarat dengan suitan-suitan pendek.

   Para penyerbu pun berganti siasat.

   Mereka tidak lagi bertempur di satu tempat, namun mulai berlari-larian ke segala arah sambil memancing para pengawal agar menyebar dan kacau.

   "Semua pengawal Gi-cian Si-wi jangan terpancing!"

   He Hou Ciang mencoba mengendalikan pasukannya menghadapi perubahan itu.

   "Utamakan melindungi Yangwan-kiong! Pengejaran bisa oleh pasukan la in!"

   "Saudara He Hou, mana itu para Hiat-ti-cu, pendeta Ang-ih-kau dan Ci-ih Wi-kun?"

   Dengan wajah mengkilat karena keringat, Hap Lun si komandan Kiu-bun Te-tok berlari-lari - mendekati He Hou Ciang.

   "Apa mereka tidur semua?"

   "Entahlah. Setelah mendengar tanda bahaya, mestinya mereka segera muncul. Tapi nyatanya sampai detik ini mereka tidak kelihatan batang hidungnya."

   "Kantong-kantong nasi yang tidak becus! Pantas kalau dulu Ni Keng Giau membenci pemalas-pemalas yang cuma pintar jual tampang selagi keadaan aman itu! Kebiasaan mereka cuma melakukan intrik-intrik busuk, tapi dalam keadaan ini mereka tak berguna!"

   "Sudah, tidak perlu kita bicarakan mereka, membuat tambah mendongkol saja. Lebih baik kita tanggulangi dulu perusuh-perusuh itu!"

   Waktu itu para penyerbu seperti sekawanan burung pipit yang sarangnya diusik, beterbangan kesana kemari, namun tidak pernah jauh dari Yang-wan-kiong.

   Maka yang menyerbu dan yang bertahan segera terlibat dalam pertempuran yang campur aduk dan bergerak kesana kemari.

   Seperti beras ditampi.

   - Letusan-letusan senapan yang masih sering terdengar dan hamba-hamba yang berteriakteriak ketakutan, membuat suasana di bangsal Yang-wan-liong malam itu benar benar "meriah"

   


Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Si Pedang Kilat -- Gan K L Siluman Rase Souw Tat Kie Karya Siao Shen Sien

Cari Blog Ini