Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 3


Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Bagian 3



Kemelut Tahta Naga (2) Karya dari Stevanus SP

   

   "Cong-koan ada pesan lainnya?"

   Kim Seng Pa berpikir sebentar, lalu berkata.

   "Oh, ya, selama kau ada di ibukota, sampaikan perintahkan kepada kelompok kita, agar mereka tidak gegabah ikut campur dalam kemelut istana. Semuanya harus tetap menahan diri sampai aku kembali dari sini. Mengerti?"

   Seperti telah diketahui, Kim Seng Pa adalah komandan dari sekelompok pengawal istana yang disebut Ci-ih Wi-kun (kelompok pengawal jubah ungu) yang mendiami salah satu sudut istana yang disebut Bwe-hoa-kiong (Bangsal Bunga Sakura).

   Kelompok pengawal inilah yang dikirimi pesan oleh Kim Seng Pa lewat Sat Siau Kun.

   Sat Siau Kun sendiri adalah orang nomor tiga di kelompok Ci-ih Wi-kun.

   Orang pertama adalah Kim Seng Pa, dan orang kedua yang bernama Toh Jiat Hong tidak ikut ke Jing-hai untuk tetap memimpin Ci-ih Wi-kum selama Kim Seng Pa tidak ada di istana.

   "Kemelut dalam istana?"

   Tanya Sat Siau Kun heran.

   "Kemelut apa lagi? Bukankah Ni Keng Giau sedang di tempat ini, jauh dari Ibukota, Pangeran In Te juga tidak ketahuan lagi dimana, jadi kemelut antara siapa melawan siapa?"

   Sahut Kim Seng Pa.

   "Nah, inilah kekuranganmu. Kau cuma sibuk latihan silat saja, tidak mengikuti perkembangan yang terjadi dalam pemerintahan. Kalau begitu terus, biarpun ilmu silatmu setinggi langit, palingpaling yang cuma kebagian tugas membunuh orang terus. Mana bisa kau mengatur siasat untuk mencapai kedudukan yang tinggi?"

   Sat Siau Kun menggaruk-garuk tengkuknya sambil menyeringai tersipu.

   "Ya, Cong-koan tahu aku memang cuma seorang kasar yang hanya memahami ilmu silat. Urusan politik segala memang aku benar-benar tidak paham. Karena itulah masa depanku kusandarkan sepenuhnya kepada Cong-koan. Tapi Cong-koan belum menjelaskan, di istana sedang ada kemelut siapa melawan siapa?"

   "Antara Liong Ke Toh, Pamanda Sribaginda, melawan Pangeran Mahkota Hong-lik. Mereka berebutan pengaruh."

   "Ha-ha, sungguh lucu. Seorang tua bangkotan macam Liong Ke Toh bersaing dengan seorang bocah cilik yang barangkali belum berhenti ngompol macam Pangeran Hong-lik? Apakah persaingan mereka begitu gawat?"

   "Sampai saat ini, arena persaingan masih terbatas di lingkungan dalam dinding-dinding istana. Namun setiap persaingan di kalangan atas akan bisa mempengaruhi nasib kita yang dibawahnya. Karena itu, kita harus mengetahui nya sedini mungkin, dan kalau perlu memanfaatkannya kalau ingin maju."

   "Baiklah. Jadi bagaimana pesan Cong-koan untuk kelompok kita?"

   "Ya seperti yang kukatakan tadi. Bersikap netral dulu, jangan memihak atau terseret oleh pihak yang manapun juga. Tetap tenang sambil menunggu kembalinya aku di Pak-khia.

   "Kenapa harus menunggu?"

   "Karena dalam persaingan itu aku belum bisa menilai siapa yang bakal menang di kemudian hari. Kita harus pandai melihat arah angin agar tidak salah memilih tempat bergantung di ke mudian hari. Kalau kita buruburu memihak, lalu ternyata golongan yang kita ikuti itu kalah, nah, bagaimana? Bukankah nasibku akan mengikuti jejak Pak Kiong Liong, menjadi buronan pihak yang menang?"

   "Ya, ya. Akan kusampaikan pesan Congkoan."

   "Nah, pergilah." Sat Siau Kun pun kemudian meninggalkan kemah itu. Begitulah, dalam saat yang bersamaan, dua surat laporan melayang ke alamat Kaisar Yong Ceng di Pak-khia. Dua surat melaporkan satu kejadian yang sama, namun dengan nada dan kecenderungan yang berbeda. Surat Ni Keng Giau berisi tentang "kemenangan-kemenangan gemilang", sedang soal Pangeran In Te disebutnya "mayatnya tak bisa dikenali lagi karena kena meriam". Sebaliknya Kim Seng Pa menulis antara lain "hanya untuk sebuah kemenangan kecil, Ni Keng Giau telah mengorbankan ribuan tentara". Soal Pangeran In Te, Kim Seng Pa mengabarkan "tidak kembali ke perkemahan, tapi mayatnya juga tidak diketemukan di arena pertempuran"

   Dengan laporan bergaya "ketotol-tololan"

   Itu Kim Seng Pa berharap akan membangkitkan kekecewaan Kaisar Yong Ceng terhadap Ni Keng Giau.

   Hari-hari berikutnya, Ni Keng Giau meneruskan perang di Jing-hai dengan nafsu menghancurkan yang mengerikan.

   Kekecewaan karena gagal membunuh Pa ngeran In Te, lalu dilampiaskan dengan menghancurkan pemberontak sampai se lumat-lumatnya.

   Desadesa dijadikan abu dan arang bersama penghuni-penghuni nya sekalian.

   Rumah-rumah ibadah ditebas rata.

   Ratusan ribu perajurit Ni Keng Giau sendiri tewas dalam perang gilagilaan itu, namun jumlah nyawa yang mati tak pernah masuk dalam per hitungan Ni Keng Giau.

   Ia cuma ingin kemenangan sehebat-hebatnya untuk menjaga agar kedudukannya di mata Ka isar Yong Ceng tidak goyah.

   Dan laporan-laporannya terus dikirim ke Pak-khia bak cerita bersambung yang isinya tentang kehebatan dirinya sendiri, dan cerita tentang kemenangan kemenangan yang dibesar-besarkan.

   Kim Seng Pa juga tidak mau kalah mengirim "cerita bersambung"

   Nya ke Pak-khia, yang isinya tentu saja berlawanan dengan ceritanya Ni Keng Giau.

   * * * Membaca cerita bersambung biasanya memang mengasyikkan, tetapi tidak bagi Kaisar Yong Ceng.

   Dua macam laporan dari Jing-hai yang berturut-turut sampai ke mejanya, bukannya menghibur, malahan seolah-olah berlomba-lomba membangkitkan penyakit tekanan darah tinggi sang pembaca, Kaisar Yong Ceng.

   "Celaka, kenapa aku kirim orang-orang gila macam ini ke medan perang?"

   Gerutu Kaisar ketika membaca laporan-laporan itu.

   "Menulis laporan yang jelas saja tidak becus!"

   Namun laporan terakhir yang ditulis Ni Keng Giau agak melegakan juga.

   "... angkatan perang kita akan segera ditarik pulang, karena kaum pemberontak sudah berhasil ditumpas habis,"

   Dan tidak lupa Ni Keng Giau menyanjung.

   "... hamba yang hina memberi selamat kepada tuanku, Putera Langit Yang Agung, yang berhasil menegakkan kewibawaan di kawasan barat."

   Namun juga timbul setitik kesangsian dalam hati Kaisar Yong Ceng. Mula mula Kaisar Yong Ceng memang sekedar mendongkol karena Ni Keng Giau dan Kim Seng Pa saling menjelekkan lewat surat. Kalau yang satu "meniup"

   Yang lain "menggemboskan", begitulah bergantian, ciri khas dua orang yang bersaing sengit.

   Namun berita dari Ni Keng Giau yang kelewat dahsyat dan bombatis itu malahan membuat ragu-ragu.

   Kalau benar "mayat Pangeran In Te tidak bisa dikenali", bagaimana bisa tahu kalau mayat hancur "kena meriam"

   Itu adalah Pangeran In Te?Penjelasan Ni Keng Giau terlalu dahsyat tapi kabur.

   Jangan jangan malah laporan Kim Seng Pa yang benar, bahwa Pangeran In Te berhasil menghilang dan diduga keras telah menyelamatkan diri? Jangan-jangan laporan Ni Keng Giau yang berlebihan itu hanya untuk mengalihkan perhatian dari kegagalannya membunuh Pangeran In Te? Dalam keadaan bimbang macam itu lah Kaisar Yong Ceng, seperti biasa, lalu ingat pamannya, Liong Ke Toh, yang nasehatnya sering dituruti.

   Diperintahkan nya seorang thaikam (sida-sida) untuk memanggil Liong Ke Toh ke Gi-si-pong (ruang membaca), dimana suratsurat dari garis depan itu ditumpuk di meja.

   Setelah Liong Ke Toh datang, segera disuruhnya membaca surat-surat Ni Keng Giau dan Kim Seng Pa untuk dibandingkan.

   Soal usaha membinasakan Pangeran In, Kaisar Yong Ceng tidak menyembunyikan dari pamannya ini, sebab gagasan itu dulu justru datangnya juga dari pamannya ini.

   "Bagaimana pendapat Paman?"

   Tanya Kaisar, setelah Liong Ke Toh selesai membaca. Liong Ke Toh ini diam-diam juga iri kepada kekuasaan Ni Keng Giau yang besar, maka jawabannyapun bernada menghasut.

   "Menurut hamba, laporan dari Goan-swe Ni Keng Giau lebih banyak membualnya. Hamba cenderung mempercayai laporan Kim Cong-koan yang lebih masuk akal. Dalam laporan Ni Keng Giau, nampak benar dia bernafsu menonjolkan kehebatannya, seolah semua tanda jasa hendak diborongnya sendiri. Ini suatu gejala yang berbahaya. Hamba khawatir kelak Ni Keng Giau akan lupa bahwa dia cuma anak rakyat jelata dari kota udik Tan-liu, dan Tuan kulah yang sudah berbelas kasihan mengangkatnya sampai kedudukan sekarang ini. Kalau kesombongannya tak terkendalikan lagi, jangan-jangan kelak dia merasa tidak perlu lagi tunduk kepada Tuanku?"

   Dalam tahun-tahun kejayaannya itu, Kaisar Yong Ceng tetap seorang yang gampang curiga kepada apapun yang bisa mengancam kedudukannya.

   Watak khas para diktator.

   Memang sudah banyak penentangpenentangnya yang dikirim ke lubang kubur, namun Yong Ceng tetap merasa was-was kalau ada bawahannya yang terlalu menonjolkan diri, semacam Ni Keng Giau itu.

   Namun Yong Ceng juga sadar, meskipun kedudukan Ni Keng Giau adalah pemberiannya, tidaklah gampang untuk memanggilnya kembali.

   Ni Keng Giau telah menanam pengaruhnya begitu kuat di kalangan militer, dan tidak sedikit pengikutnya yang fanatik secara membabi buta.

   Sedangkan Liong Ke Toh terus menghasut.

   "Hamba harap Tuanku tidak lupa ketika Ni Keng Giau secara kurang ajar membawa pasukan tempurnya memasuki istana ini, lalu memaksa Tuanku untuk membubarkan sebuah perjamuan yang sedang diselenggarakan oleh Kim Cong-koan di bangsal Bwe-hoa-kiong. Permohonan untuk membubarkan pesta itu masih masuk akal, tapi caranyalah yang benarbenar keterlaluan kurang-ajarnya. Ia agaknya meremehkan Tuanku sebagai penguasa berdaulat pemilik istana ini, bahkan sebagai yang dipertuan di seluruh negeri. Ingat saja bagaimana perajurit-perajuritnya tidak menghiraukan perintah Tuanku, dan hanya mau tunduk kepada perintahnya. Ini benar-benar berbahaya, Tuanku. Bagaimana kalau tiba-tiba muncul niatan jahatnya untuk merebut kekuasaan dengan kekerasan? Bukankah saat itu kita semua seolah sudah seperti anak burung dalam genggaman tangannya? Bagaimanapun juga, dia itu bangsa Han bukan?"

   Biarpun Yong Ceng diam saja, hanya berjalan hilir-mudik, namun hasutan Liong Ke Toh mulai merasuk di otaknya. Peristiwa-peristiwa yang diingatkan Liong Ke Toh itu bukan khayalan, melainkan kenyataan yang masih membuatnya jengkel kalau mengingatnya.

   "Lalu Paman punya usul tidak?"

   Tanya Yong Ceng kemudian.

   "Hamba punya sebuah siasat, Tuanku."

   "Coba katakan."

   "Begini ....."

   Keduanya lalu bercakap-cakap lama sekali di Gi-si-pong. Pada akhir percakapan, nampak wajah Yong Ceng men jadi cerah dan kepalanya banyak mengangguknya.

   "Akal yang hebat, Paman. Dan kuserahkan sepenuhnya kepada Paman untuk mengatur begitu, tapi aku harap selalu diberi laporan agar tahu perkembangannya."

   "Oh, terima kasih alas kepercayaan Tuanku kepada hamba. Semua yang hamba lakukan ini sama sekali tanpa pamrih pribadi, tanpa rasa benci kepada siapapun, semata-mata demi keselamatan Tuanku dan Kekaisaran ini. Hamba mohon diperkenankan mengundurkan diri, Tuanku." "Silahkan, Paman."

   Liong Ke Toh meninggalkan Gi-si-pong dengan semangat penuh, hati gembira, seolah tubuhnya hendak melayang.

   Seperti biasa, kalau Liong Ke Toh tertawa, berarti akan ada orang menangis.

   Kalau Liong Ke Toh kelihatan bahagia, berarti akan ada orang menderita.

   Kali ini sasarannya adalah Ni Keng Giau.

   Tapi langkah Liong Ke Toh terhenti, ketika melihat dari seberang kebun kebun bunga itu muncul Pangeran Hong lik bersama tiga orang pengawalnya, agaknya juga sedang menuju ke Gi-si-pong.

   Meskipun Putera Mahkota itu masih remaja, namun terasa benar wibawa nya, sehingga Liong Ke Toh yang berusia empat kali lipatnya itupun tergetar menatap matanya.

   Terpaksa ia berhenti agak minggir sambil mengangguk hormat.

   "Apakah Pangeran hendak menjumpai Sribaginda?"

   Tanya Liong Ke Toh. Terhadap Liong Ke Toh yang masih terhitung kakeknya, ternyata Pangeran Hong-lik tanpa sungkan menunjukkan sikap tidak senangnya. Terbukti dari sikapnya, dan jawabannya yang dingin dan singkat.

   "Ya."

   "Pangeran, nampaknya pikiran Sribaginda sedang menanggung semacam persoalan yang berat, karena itu alangkah bijaksananya kalau Pangeran tidak menghadap beliau sekarang ini."

   "Aku akan menghadap sekarang dan membantu memecahkan masalah yang sedang dipikirkan Hu-hong (ayahanda Kaisar),"

   Sahut Pangeran Hong-lik tanpa menatap muka Liong Ke Toh.

   "Tapi sungguh tepat kalau menghadap sekarang. Hamba bukannya bermaksud menghalangi Pangeran, tapi cuma usul demi kebaikan semuanya."

   "Usulmu kutolak,"

   Sahut Pangeran Honglik dingin dan langsung berjalan lagi tanpa menggubris Liong Ke Toh. Ketiga pengawalnyapun mengikuti. Liong Ke Toh menahan kemarahannya sambil menatap punggung Pangeran Hong-lik yang menjauh. Geramnya dalam hati.

   "Keparat, Bocah ingusan macam kau berani tidak menghormati sesepuh keluarga istana macam aku? Hem,, hati-hatilah, bangsat cilik. Setelah kusingkirkan Ni Keng Giau, akan tiba giliranmu. Jangan menganggap umur mu cukup panjang untuk menunggu tahta jatuh ke tanganmu. Jangan harap. Bangsat. Monyet. Keparat."

   Ternyata, sambil berjalan menuju Gi-si-pong, Pangeran Hong-lik juga menggerutu.

   "Tiga bulan yang lalu, sehabis Liong Ke Toh menemui Hu-hong, wajahnya nampak gembira. Dan esok harinya beberapa orang menteri setia langsung dipecat dengan alasan yang tak masuk akal. Karena ketiga menteri itu dalam sidang kerajaan pernah menanyakan darimana saja Liong Ke Toh berhasil mengumpulkan kekayaan begitu banyak. Satu- setengah bulan yang lalu, kembali kulihat Liong Ke Toh berseri-seri wajahnya, disusul dengan dihukum matinya beberapa panglima yang pernah menolak hadir di perjamuan yang diselenggarakan Liong Ke Toh." Ketiga pengawal Pangeran Hong-lik hanya mengikuti langkahnya tanpa bicara apa-apa. Namun mereka mendengarkan baik-baik.

   "Kalian lihat, bagaimana tadi wajah orangtua itu?"

   Pangeran Hong-lik tiba-tiba menanyai ketiga pengawalnya.

   "Nampaknya gembira sekali........"

   Sahut seorang pengawalnya.

   "Itu artinya ada orang bakal celaka, entah siapa. Aku mungkin bisa tanyakannya kepada Hu Hong."

   Sikap Pangeran Hong-lik terhadap ketiga pengawalnya itu memang nampak agak istimewa.

   Terlalu akrab, kurang terlihat sikap resmi antara atasan dan bawahan.

   Itu karena ketiga pengawal itupun bukan orang sembarangan, bukan orang-orang yang sekedar mengekor ke mana perginya Pangeran Hong-lik.

   Merekalah yang disebut Heng-san-sam-kiam (Tiga Pedang Heng-san).

   Tadinya mereka termasuk dalam kelompok Ci-ih Wt-kun yang dikomandani Kim Seng Pa, namun ketiganya kemudian dijadikan pengawal pribadi Pangeran Hong-lik.

   Ketiga pendekar itu bekerja di istana bukan untuk mencari nafkah, melainkan karena memendam cita-cita sendiri.

   Ketiganya adalah orang Han, yang ingin memperjuangkan martabat orang Han.

   namun tidak lewat pemberontakan, melainkan "bekerja dari dalam"

   Dengan jalan mencoba ikut mempengaruhi pergulatan kekuasaan di dalam istana.

   Sampai kelak munculnya penguasa yang bisa melindungi martabat Bangsa Han.

   Dulu mereka pernah mendukung Kaisar Yong Ceng, karena disangkanya Kaisar Yong Ceng akan menjadi raja yang baik.

   Ternyata mereka kecewa, Ialu merekapun beralih diamdiam memper juangkan Pangeran In Te.

   Dengan harapan kalau Pangeran In Te menjadi raja, ada harapan martabat Bangsa Han akan diangkat.

   Tidak perlu harus mengusir Bangsa Manchu, cukup asal kedua suku bangsa itu hidup berdampingan dengan martabat yang sama.

   Namun kabar dari Jing-hai menyebutkan Pangeran In Te yang tak keruan mati hidupnya.

   Lalu ketiga pendekar yang seperguruan itu menaruh harapan kepada Pangeran Hong-lik.

   Karena mereka sering melihat Pangeran Honglik meninggalkan istana dengan menyamar, untuk menolong rakyat secara langsung.

   Apalagi kalau ditinjau darah keturunannya.darah Han dalam tubuh Hong-lik "lebih kental"

   Dari pada darah Manchunya.

   Ada desas-desus bahwa Pangeran Hong-lik sebenarnya bukanlah anak yang dilahirkan deh Permaisuri resmi Kaisar Yong Ceng, melainkan hasil hubungan gelap Kaisar Yong Ceng dengan seorang wanita Han di luar istana.

   Lalu bayi hasil hubungan gelap itu diangkut diam-diam ke istana, dan diakui sebagai anak oleh Permaisuri yang tak bisa melahirkan anak.

   Bahkan kemudian menjadi Putera Mahkota.

   Barangkali, itulah sebabnya Hong-lik memiliki semacam ikatan batin dengan Bangsa Han yang tertindas.

   Maka ketiga pendekar Heng-san-sam-kiam itu jadi melihat semacam harapan baru bagi Bangsa Han, dalam diri Pangeran Hong-lik bila kelak bertahta.

   Dengan dasar persamaan tujuan, untuk menolong rakyat, maka antara Pangeran Honglik dan Heng-san-sam-kiam terjalin persahabatan akrab, meskipun Heng-san-samkiam tetap menyembunyikan latar belakang sikap mereka.

   Ketiga pendekar itu lalu bukan sekedar budak-budak pengiring, namun tidak jarang sebagai teman bertukar pikiran bagi Pangeran Hong-lik.

   Bahkan menyangkut urusan-urusan penting dalam istana.

   Tidak jarang juga menyatukan tindakan.

   Pangeran Hong-lik pun kemudian masuk ke Gi-si-pong untuk menghadap Kaisar Yong Ceng.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sementara itu, Liong Ke Toh segera pulang ke bangsalnya untuk mulai memikirkan masakmasak rencananya menjungkirkan Ni Keng Giau dari kedudukannya.

   Malam harinya, dengan menaiki sebuah tandu bertirai rapat, Liong Ke Toh diam-diam meninggalkan istana lewat pintu Hou-cai-mui, pintu belakang istana yang para penjaganya adalah ang gota komplotan Liong Ke Toh semua.

   Karena sudah larut malam, suasana kota Pak-khia juga sudah sepi, tapi tidak sepi benarbenar.

   Di tempat-tempat tertentu masih ramai.

   Misalnya di dekat warung-warung arak, atau di tempat kosong yang digunakan oleh para gelandangan untuk berjudi kecil-kecilan tapi bisa sampai pagi.

   Kedua pemikul tandu Liong Ke Toh maupun ke empat orang pengawal pribadinya, melangkah dengan santai.

   Langkah mereka seirama dengan keriat-keriut kayu-kayu pengusung tandu, sementara tandunya sendiri terayun-ayun lembut.

   Liong Ke Toh di dalam tandu seperti seorang bayi dalam ayunan, terangguk-angguk setengah mengantuk.

   Tapi di sebuah jalan yang sepi dan gelap, rombongan itu tiba-tiba harus berhenti.

   Sikap santai digantikan sikap tegang.

   Para pemikul tandu begitu kagetnya sehingga meletakkan tandu terlalu keras, membuat Liong Ke Toh yang tengah melenggut di dalamnya itu jadi kaget dan mengutuk gusar.

   Sementara, ke empat pengawal pribadi Liong Ke Toh telah menghunus senjata masing-masing dan bersiaga di depan tandu.

   "Ada.... ada apa?"

   Dengan cepat kejengkelan Liong Ke Toh berubah menjadi kepanikan.

   Tangannya gemetar menyingkap tirai tandu untuk melihat apa yang menghadang di depannya, dan jantungnya hampir copot ketika melihatnya.

   Tiga orang berdiri menghadang di tengah jalan.

   Mereka berpakaian seragam perwira, namun muka mereka tertutup kedok kain hitam, dan tangan kanan masing-masing memegang pedang terhunus.

   "Siapa kalian?"

   Liong Ke Toh membentak. Biarpun suaranya agak gemetar, namun dipaksakannya untuk bersikap berwibawa sebagai seorang bangsawan tinggi. Perwira berkedok yang berdiri ditengah menjawab.

   "Maaf kalau kami mengganggu perjalanan Ong-ya. Kami hanya ingin menanyakan beberapa hal, dan setelah Ong-ya menjawab dengan memuaskan, kami takkan mengganggu lagi. Pertama, apa yang Ong-ya bicarakan akhir-akhir ini dengan Sribaginda di kamar Gi-si-pong?"

   Sambil tetap duduk dalam tandu, Liong Ke Toh menudingkan telunjuknya dan berkata dengan gusar.

   "Kurang ajar! Perwira-perwira tak tahu adat, apa urusanmu dengan pembicaraan dan rencana-rencana Sribaginda? Minggir!"

   Si perwira berkedok yang ada di tengah itu tertawa dingin, mengibaskan pedangnya di udara tanda gertakan.

   "Kami cuma ingin tahu, siapa lagi yang akan kau fitnah dan kau celakai!"

   Liong Ke Toh benar-benar terkejut kali ini. Lalu dicobanya menutupi sikapnya dengan tertawa terkekeh-kekeh. Ini bukan begal biasa, tapi berlatar belakang politik. Yang diminta bukan uang, melainkan "bocoran"

   Kebijaksanaan istana yang masih dirahasiakan. Sahut Liong Ke Toh.

   "Omong kosong macam apa ini? Bukankah memang setiap harinya harus aku menghadap Sribaginda untuk membicarakan berbagai urusan? Kenapa sekarang mendadak kalian jadi usil ingin tahu?"

   Si perwira berkedok yang di tengah itu agaknya menjadi juru bicara bagi rekanrekannya. Jawabnya dingin.

   "Ribuan kali pembicaraan dengan Sribaginda yang sudah lalu, dan ribuan kali yang akan datangpun, kami tidak ambil pusing. Tapi pokok pembicaraan yang sekali ini, kami harus tahu!"

   "Soal apa?"

   "Soal Goan-swe Ni Keng Giau!"

   Hati Liong Ke Toh bergetar. Selama ini ia merasa kasak-kusuknya soal menjatuhkan Ni Keng Giau masih tertutup rapat, hanya dirinya dan Kaisar yang mengetahuinya, kenapa tibatiba sekarang sampai bocor keluar istana? Pikirnya.

   "Kalau begitu, memang Ni Keng Giau tidak boleh dipandang enteng. Ia punya sejuta mata dan sejuta telinga yang tersebar di manamana."

   Setelah menenangkan hatinya, Liong Ke Toh mulai memancing.

   "Siapa kalian sebenarnya? Kalau aku tahu siapa kalian, apa tujuan kalian, mana mungkin bisa kupertimbangkan untuk menjawab apa yang kalian tanyakan."

   Orang yang menyembunyikan wajah di balik kedok, sudah tentu juga tak mungkin - berteriak "mengumumkan"

   Siapa dirinya yang sebenarnya. Karena itu, pancingan Liong Ke Toh tak mendapat sambutan baik. Malahan orang berkedok yang di tengah itu dengan gusar berkata kepada temannya.

   "Agaknya kita perlu membawa ular tua ini ke suatu tempat, lalu kita bongkar mulutnya dengan golok!"

   Ucapan sekasar itu diperdengarkan kepada seorang gila hormat macam Liong Ke Toh, tentu saja membuat darahnya naik sampai hampir menjebol ubun-ubun. Perintah Liong Ke Toh kepada para pengawalnya.

   "Tangkap mereka! Kalau perlu, bunuh!"

   Ke empat pengawal itupun jago-jago silat pilihan, segera mereka berlompatan ke depan sambil mengayun senjata-senjata mereka.

   Perwira berkedok yang ada di tengah maju ke depan.

   Agaknya ilmu silatnya cukup tangguh, sehingga dengan penuh percaya diri dia langsung "mengambil"

   Dua lawan sekaligus.

   Sedangkan kedua perwira berkedok lainnya, masing-masing menghadapi satu lawan.

   Perkelahian hebat pun berlangsung di jalanan yang gelap dan sepi itu.

   Baik ke empat pengawal Liong Ke Toh maupun ketiga perwira berkedok itu segera menunjukkan ketangkasan masing-masing dalam main senjata, maupun dalam tekad untuk saling memusnahkan.

   Mulanya Liong Ke Toh mengharap pengawal-pengawalnya yang digaji tinggi itu akan dapat segera membereskan urusan.

   Menangkap, melucuti kedok, dan memaksa bicara para perwira berkedok itu.

   Namun kenyataannya tidak sama dengan harapannya.

   Ketiga perwira berkedok itu bermain pedang dengan tangguh, dan kemudian malahan ke empat pengawal Liong Ke Toh itu yang mulai megap-megap kelelahan.

   Salah seorang pengawai yang mengeroyok perwira berkedok berbicara tadi, malahan kemudian tertusuk perutnya sehingga roboh.

   Dan yang satu lagi ter desak.

   Begitu pula dua pengawal yang melawan perwira-perwira berkedok lain nya.

   Biarpun Liong Ke Toh tidak paham ilmu silat sama sekali, tapi ia mulai merasakan bahaya yang mengancam pihaknya.

   Tiba-tiba dia berkata kepada kedua pemikul tandunya.

   "Pulang ke istana secepatnya dan panggil pengawal-pengawal lain! Cepat!"

   Kedua pemikul tandu itu karena takutnya jadi agak salah paham menangkap makna perintah itu.

   Bukannya mengangkat tandu untuk dibawa pulang, malahan mereka berlari sendiri sekencang-kencangnya.

   Keruan Liong Ke Tong terkesiap.

   Cepat diapun melompat keluar dari tandunya sampai hampir terjerembab, dan memaksa sepasang kaki reyotnya untuk berpacu menyusul pemikulpemikul tandu kurang bertanggung jawab itu.

   Ketiga perwira berkedok itu ingin mengejar Liong Ke Toh, tapi masih tertahan oleh pengawal-pengawal Liong Ke Toh yang bertahan dengan gigih.

   Maka ketiga perwira berkedok itupun sadar kalau tidak berguna meneruskan niat mereka.

   Kalau sampai ada pengawal atau perajurit lain yang berdatangan ke situ dan menangkap mereka, mereka akan sulit memberi penjelasan.

   Apapun dalih mereka, mereka sudah jelas melakukan tindak kekerasan terhadap Pamanda Kaisar.

   Bukan kekeliruan, tapi kesengaja an.

   Setelah saling bertukar isyarat, ketiga perwira berkedok itu lalu melompat meninggalkan lawan-lawan mereka, ! kemudian kabur menghilang ke dalam kegelapan.

   (Bersambung

   Jilid V) (Bersambung

   Jilid V) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid V Sedangkan ketiga pengawal Liong Ke Toh kembali ke istana, sambil menggotong mayat seorang rekan mereka.

   Ketika mereka sudah bergabung dengan Liong Ke Toh serta kedua pemikul tandu di dekat pintu Hou-cai-mui di belakang istana, terdengar Liong Ke Toh menggeram sambil mengepal-ngepal tinjunya.

   "Bocah ingusan itu agaknya makin besar kepala. Caranya menentang aku sudah mulai kasar, cara kampungan. Baik. Besok akan kulaporkan semua ini kepada Sribaginda."

   Lalu Liong Ke Toh terbatuk-batuk lama sekali, sampai tubuhnya terbungkuk bungkuk.

   "Latihan lari"

   Malam itu benar-benar tidak direncanakan, sampai paru-parunya terasa hampir rontok.

   Pagi harinya, di bangsal kediaman Pangeran Hong-lik.

   Seorang thai-kam kecil yang menjadi pelayan pribadi Pangeran Hong-lik, dengan langkah lembut mendekati pintu kamar tidur Pangeran Hong-lik, lalu mengetuknya pelanpelan.

   "Thai-cu____ Thai-ciL..."

   Panggilnya agak takut-takut. Kemudian diulangi lagi beberapa kali. Dari dalam kamar, terdengar suara Pangeran Hong-lik menguap, dan terdengar suaranya yang masih ogah-ogahan.

   "Siapa di luar?"

   "Hamba Hi-cu. Mohon ampun sebesarbesarnya karena telah mengganggu Thai-cu."

   "Ada apa? Tidak biasanya kau bangunkan aku sepagi ini."

   "Ampun, Thai-cu. Ada panggilan dari Sribaginda yang sekarang menunggu di Bangsal Yang-wan-kiong, agar Thai-cu segera menghadap. Thai-cu juga dimohon membawa serta ketiga pengawal yang sering bersama Thai-cu."

   Terdengar suara perlahan di dalam kamar yang menandakan keheranan ngeran Hong-lik. Lalu.

   "Di bangsal Yang-wan-kiong itu ada siapa lagi selain Hu Hong?"

   "Di sana juga ada Ong-ya Liong Ke Toh."

   Sesaat lamanya dari dalam kamar tidur Pangeran Hong-lik cuma terdengar suara langkah hilir-mudik dan dehem-dehem kecil. Lalu kata Putera Mahkota itu.

   "Baiklah, Hi-cu. Suruhlah An-cu menyiapkan perlengkapan mandiku dan pakaianku, dan suruh Kui-cu memanggil tiga pendekar Heng-san-sam-kiam dari Bangsal Bwe-hoa-kiong kemari."

   "Baiklah, Thai-cu."

   Kemudian si thai-kam kecil Hi-cu itupun pergi menjalankan perintah.

   Tidak lama kemudian, Pangeran Hong-Lik dan ketiga pengawal kepercayaannya yang diambil dari Ci-ih Wi-kun (kelompok pengawal Jubah Ungu) yang berjalan bersama ke bangsal Yang-wan-kiong.

   Tiga pengawal itu masing5 masing adalah Jian-eng-kiam (Pedang Seribu Bayangan) Ho Se Liang, Lam-thai-hong (Prahara Selatan) Auyang Kong dan Hui kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang) Teng Jiu.

   Ketika mereka memasuki bangsal, segera terlihat Liong Ke Toh yang wajahnya merah padam, mirip orang ketika sedang mengejan dalam kakus.

   Juga nampak tiga pengawal pribadinya yang nampak babak belur, penuh balutan balutan berdarah di beberapa bagian tubuhnya.

   Selain itu masih ada pula sesosok mayat yang dibaringkan di lantai.

   Kaisar Yong Ceng sendiri nampak duduk di sebuah kursi beralas kulit macan tutul.

   Pangeran Hong-lik dan ketiga pengawalnya cepat-cepat berlutut kepada Kaisar.

   "Apakah Hu Hong memanggil hamba?"

   Tanya Pangeran Hong-lik.

   "Ya, bangunlah,"

   Kata Kaisar Yong Ceng yang suaranya terdengar ramah. Juga kepada ketiga pengawal Pangeran Hong-lik.

   "Kalian juga, sobat-sobat lamaku." "Terima kasih, Tuanku,"

   Sahut ketiga pendekar Heng-san-sam-kiam itu.

   Dulu, semasa Kaisar Yong Ceng masih mengembara sebagai pendekar dengan nama samaran Si Liong Cu, antara lain ia bersahabat dengan ketiga pendekar ini, sehingga ketika terjadi persaingan merebut tahta beberapa tahun kemudian, ketiga pendekar itu berhasil di rangkul menjadi pendukungnya.

   Itulah sebabnya ia bersikap seperti teman lama kepada ketiga orang itu.

   Kaisar Yong Ceng juga tidak tahu kalau ketiga bekas teman lama itu sebenarnya kecewa, setelah melihat cara pemerintahannya yang bertangan besi.

   Kaisar hanya merasa gembira melihat ketiga pendekar itu nampak dekat hubungannya dengan Pangeran Hong-lik, anaknya.

   Dikiranya dengan demikian ke tiga pendekar itu tetap setia kepada dirinya dan keturunannya.

   Sementara itu Liong Ke Toh telah berbicara.

   "Tuanku, apakah hamba sudah boleh diperkenankan bicara?" Kaisar Yong Ceng mengangguk sedikit.

   "Silahkan, Paman."

   Liong Ke Toh lalu menatap penuh kebencian kepada ketiga pengawal Pangeran Hong-lik, dan berkata kepada Pangeran Hong-lik.

   "Pangeran, hamba mohon dengan sangat agar ketiga pengawal Pangeran itu dijatuhi hukuman mati!"

   Pangeran Hong-lik mengerutkan alisnya, sedangkan Heng-san-sam-kiam terkejut.

   "Kehormatan"

   Macam apa ini, sehingga Liong Ke Toh yang biasanya cuma memfitnah pejabatpejabat kalangan atas, tiba-tiba sekarang mengincar pengawal-pengawal biasa seperti mereka? Ataukah Liong Ke Toh sudah tahu, kalau mereka bertiga diam-diam pernah berikrar untuk mendukung Pangeran In Te, setelah kecewa terhadap Kaisar Yong Qeng? Pangeran Hong-lik lah yang mewakili pertanyaan dalam hati ketiga pendekar itu.

   "Paman, mohon disebutkan alasannya kenapa aku harus menghukum mereka begitu berat?"

   "Karena mereka telah berani melakukan percobaan penculikan dan pembunuhan terha5 "Pangeran, hamba mohon dengan sangat agar ketiga pengawal Pangeran itu dijatuhi hukuman mati!" dap seorang anggaota keluarga istana. Semalam hamba telah diserang mereka. Biarpun mereka memakai kedok, tetapi hamba yakin merekalah yang melakukan. Lihat, seorang pengawal pribadi hamba tewas, dan tiga lainnya lukaluka, menandakan betapa bersungguhsungguhnya mereka hendak membunuh hamba."

   Dengan tuduhan ini, sebenarnya Liong Ke Toh bermaksud pula menuduh Pangeran Honglik di hadapan Kaisar.

   Namun karena tidak berani menuduh langsung, maka hanya berani menuduh ketiga pengawal Pangeran Hong-lik.

   Ia berharap agar Kaisar sendiri yang mendapat kesimpulan bahwa ketiga pengawal itu takkan berani bertindak kalau tidak disuruh oleh Pangeran Hong-lik sendiri.

   Dengan demikian Pangeran Hong-lik akan menimbulkan kesan jelek di mata ayahandanya sendiri, begitulah harapan Liong Ke Toh.

   "Peristiwa itu terjadi malam tadi?"

   Tanya Pangeran Hong-lik sambil tersenyum. "Ya!"

   Sahut Liong Ke Toh ngotot. Senyuman Pangeran Hong-lik pun semakin melebar, bahkan ketiga pendekar Heng-sansam-kiam itu pun ikut tersenyum. Kata Pangeran Hong-lik.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Paman, semalam kami bertiga tidak melangkah keluar dari dinding istana. Aku bermain catur dengan Ho Toa-ko sampai enam babak, sedang Auyang Jiko dan Teng Sam-ko menonton pertandingan kami sambil minum arak dan makan kacang. Kalau Paman tidak percaya, silahkan panggil pengawal-pengawal yang semalam tugas jaga sekitar pondok Jing-tiok-ting. Mereka akan menjadi saksi bahwa apa yang kukatakan ini be nar."

   Liong Ke Toh nampak jadi agak salah tingkah. Sebentar mengusap-usapkan telapak tangan ke jubahnya, sebentar lagi mengelus jenggotnya, dan macam-macam lagi. Dan setelah berdehem-dehem sebentar, ia masih juga mencoba ngotot dengan tuduhannya.

   "Tetapi... penjahat-penjahat itu berjumlah tiga orang, dan semuanya bersenjata pedang!" Pangeran Hong-lik tertawa lagi.

   "Di kota Pakkhia ini entah ada berapa ribu pemain pedang, apakah mereka juga Paman tuduh semua? Lagipula, kalau benar-benar Ho Toa-ko bertiga yang menghadang Paman, biarpun jumlah pengawal Paman dilipat-sepuluhkan, apakah Paman pikir pagi ini Paman masih hidup? Maaf."

   Merasa bahwa tuduhannya memang terlalu lemah, Liong Ke Toh lalu berpaling kepada Kaisar Yong Ceng dan berkata.

   "Ampun, Tuanku. Hamba mohon Tuanku memberi keputusan dalam urusan yang telah mengancam nyawa hamba ini."

   Nyata diapun mulai merengek, minta agar Kaisar membelanya. Kaisar Yong Ceng mengurut jenggot nya dan menjawab.

   "Bukankah Paman sudah mendengar keterangan Hong-lik? Aku rasa dia berkata benar. Aku sendiri kenal kepandaian hebat dari ketiga sobat masa mudaku dari Heng-san ini, ketika aku dulu masih berkelana di rimba persilatan." "Terima kasih, Tuanku,"

   Heng-san-am-kiam menjawab serempak demi kesopanan. Sedangkan Kaisar Yong Ceng melanjutkan.

   "maka kusarankan agar Paman menyudahi saja urusan kecil tak berarti ini, dan lebih memusatkan perhatian kepada pelaksanaan rencana besar yang sudah kita bicarakan kemarin."

   Yang dimaksud "rencana besar"

   Ialah rencana untuk menjatuhkan Ni Keng Giau tanpa membahayakan tahta. Keruan Liong Ke Toh jadi agak penasaran, sebab urusan keselamatan dirinya ternyata cuma dianggap "urusan kecil"

   Oleh Kaisar. Maka diapun nekad berkata.

   "Ampun Tuanku, ketiga perwira berkedok yang mencegat hamba itu ada hubungannya dengan rencana besar yang kita rancang. Mereka mencegat hamba untuk memaksa hamba memberitahukan mereka tentang."

   Kaisar Yong Ceng cepat mengangkat punggungnya dari sandaran kursi, lalu mencegah.

   "Tunggu, Paman!" Liong Ke Toh mengatupkan mulut. Sedang Kaisar berkata kepada Hong-lik.

   "Hong-lik, kau dan ketiga sobat dari Heng-san itu boleh mengundurkan diri,"

   Paling tidak disinilah Liong Ke Toh boleh merasa unggul dari Pangeran Hong-lik, sebab Kaisar mempercayainya untuk berbincang soal "rencana besar"

   Itu sedangkan Pangeran Honglik disuruh pergi tidak boleh ikut mendengarkan.

   Namun Pangeran Hong-lik bersikap tenang saja.

   Setelah berlutut ayahandanya, diapun mengundurkan diri dengan mengajak ketiga pengawalnya.

   Hanya saja, setelah sampai diluar Bangsal Yang-wan-kiong, Pangeran Hong-lik menggerutu sengit.

   "Hem, ayahanda menganggap aku masih sebagai anak ingusan yang tidak boleh tahu apa apa. Sebaliknya malah suka mendengarkan ucapan beracun dari ular tua itu."

   Ho Se Liang bertanya.

   "Bagaiamana dengan nasib kami, Pangeran? Jangan-jangan Sribaginda akan mempercayai bahwa kami bertigalah yang semalam menghadang Liong Ong-ya?"

   "Kalian bertiga jangan khawatir. Semalam bukankah kalian bertiga memang bersamaku sampai hampir pagi? Siapapun yang nekad menuduh kalian, berarti sama dengan menuduh aku sebagai pembohong, sebab aku akan menjadi saksi buat kalian."

   "Terima kasih, Pangeran."

   Sementara itu, di dalam bangsal Yang-wankiong, Liong Ke Toh belum pergi dari situ. Pengawal-pengawalnya sudah disuruhnya pergi lebih dulu, kemudian Liong Ke Toh sendiri terlibat dalam pembicaraan yang bersungguhsungguh dengan Kaisar Yong Ceng.

   "Jadi, ketiga perwira berkedok yang menghadang Paman itu mengancam Paman, agar Paman mengatakan tentang rencana kita terhadap Ni Keng Giau?"

   "Benar, Tuanku."

   "Apakah Paman tidak salah dengar?" "Tidak, Tuanku. Hamba bersumpah. Para pengawal hamba serta dua pemikul tandu itupun mendengar hal yang sama."

   Wajah Kaisar nampak menjadi gelisah.

   "Aneh. Bukankah kita baru membicarakannya berdua dan belum ada orang ketiga? Bahkan Hong-lik pun tidak kuberi tahu. Bagaimana perwira-perwira di luar istana itu tiba-tiba malah sudah menaruh kecurigaan?"

   "Hamba pun Keran sekali. Tuanku. Ini berbahaya sekali, pasti ada mata-mata di ..... istana ini. Mata-mata Ni Keng Giau yang tanpa kita ketahui telah mencuri dengar pembicaraan kita. Dan kalau sampai ke kuping Ni Keng Giau, dia bisa marah, padahal angkatan perang masih tergenggam di tangannya. Biarpun Kim Seng Pa setia kepada Tuanku, namun kalau Ni Keng Giau sudah nekad, tentu gampang saja Kim Seng Pa akan dipitasnya seperti semut!"

   "Paman....."

   Kata Kaisar Yong Ceng tiba-tiba sambil menyeringai bengis sehingga Liong Ke Toh merinding.

   "Hamba, Tuanku." "Sekarang kita perlu mengadakan langkah pengamanan, agar rencana kita berjalan aman. Untuk itu dibutuhkan pengorbananmu, Paman, betul tidak?"

   "Maksud Tuanku....."

   Suara Liong Ke Toh agak tercekik. Khawatir kalau tiba-tiba Kaisar menginginkan dirinyalah yang dijadikan tumbal rent ana itu.

   "Karena itu, Paman. Kedua pemikul tandu jolimu dan ketiga pangawal Paman yang masih hidup itu, harus dilenyapkan. Secepat mungkin, sebelum mulut mereka pun ikut-ikutan bocor. Sebab semalam mereka sudah ikut mendengar kata-kata para perwira berkedok itu."

   "Baik, baik. Segera hamba laksanakan. Tuanku,"

   Sahut Liong Ke Toh agak lega. Demi keselamatannya sendiri, ia tidak sayang lagi kepada orang-orang yang selama ini mengabdi kepadanya.

   "Tetapi siapakah mata-mata dalam istana ini, yang membocorkan pembicaraan rahasia kita kemarin?"

   "Aku punya caraku sendiri. Paman. Pasti pelayan-pelayan dekatku yang tak pernah jauh daripadaku. Karena itu, hari ini juga akupun akan mengadakan pembersihan."

   Ringan saja Kaisar Yong Ceng me ngucapkannya. padahal "pembersihan"

   Itu bisa melenyapkan puluhan nyawa kaum pelayan mana yang dicurigai sebagai mata-mata Ni Keng Giau.

   "Dan.....bagaimana dengan ketiga perwira berkedok itu?"

   "Aku sudah punya daftar nama para perwira yang selama ini ada hubungan dekat dengan Ni Keng Giau. Akan kuperintahkan Hap Toh dan Toh Jiat Hong untuk meneliti mereka satu persat."

   Liong Ke Toh mengangguk-angguk, lalu berkata.

   "Kalau begitu, hamba diperkenankan mengundurkan diri, Tuanku."

   "Silahkan, Paman."

   Hari itu juga terjadi kegemparan di istana.

   Dengan dalih "ada komplotan yang mengancam nyawanya", Yong Ceng menyingkirkan seluruh pelayan pribadinya.

   Ia yakin bahwa mata-mata Ni Keng Giau dalam istana itu ada di antara pelayan-pelayan pribadinya, namun daripada susah-susah "mencari tikus dalam rumah"

   Maka ia lebih suka "membakar rumahnya"

   Sekalian toh tikusnya akan ikut mati.

   Dengan demikian, puluhan pelayan yang tak bersalah ikut mengge linding batok kepalanya oleh golok algojo.

   * * * Di saiah satu ruangan dari salah satu rumah dari puluhan ribu rumah yang ada di Pak-khia, berlangsung sebuah pertemuan.

   Ada tujuh orang perwira di tempat itu, mereka saling berbicara dengan wajah amat bersungguhsungguh, kadang-kadang tegang, tidak jarang ada yang berbicara keras sambil menggebrak meja.

   "Pembunuhan para pelayan Kaisar itu membuatku semakin yakin, bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Sribaginda! Dan orang kita yang ada di antara pelayanpelayan itupun ikut terbunuh, dan aku yakin memang dia seoranglah yang sebenarnya diincar. Hanya karena Sribaginda tidak tahu pasti siapa yang telah memberitahu kita, maka Sribaginda membunuh semua pelayannya untuk gampangnya saja!"

   Kata seorang perwira berjenggot panjang, dengan hati yang panas.

   "Benar, saudara Oh Bun Kai!"

   Sambut seorang perwira lain yang mukanya gemuk bundar, di rahangnya ada bekas luka yang didapatnya dalam suatu pertempuran.

   "Kita semua yakin. Alasan adanya komplotan para pelayan yang hendak membunuh Sribaginda itu hanyalah dalih palsu untuk menyembunyikan hal yang sebenarnya. Aku yakin ada suatu rencana jahat yang sedang ditujukan kepada Goan-swe Ni Keng Giau. Aku yakin. Hanya karena takut rencana itu bocor, maka Sribaginda telah melakukan pembunuhan besar-besaran untuk menyumbat sumber berita kita di dalam istana!"

   "Aku menduga keras, ini pasti pokal nya si mulut busuk Liong Ke Toh. Bukan rahasia lagi buat kita, bahwa dia amat iri kepada kedudukan Goan-swe kita dan tentu tambah iri lagi setelah mendengar tentang kemenangan Goan-swe yang gemilang di Jing-hai. Pasti ulah bangsat tua itu! Coba pikir, saudara-saudara, masuk akalkah kalau kita anggap rentetan kejadian akhir-akhir ini hanya semacam kebetulan saja? Mula-mula Liong Ke Toh sering berbincang-bincang dengan Sribaginda, begitu laporan orang kita di istana sebelum matinya, lalu peristiwa pembunuhan itu. Masuk akalkah kalau ini dianggap kebetulan saja?"

   "Benar. Pasti ulah Liong Ke Toh Toh.yang iri!"

   "Selama ini, angkatan perang telah mengalami kemajuan yang membanggakan berkat pimpinan Goan-swe Ni Keng Giau, mengalami peningkatan disiplin. Tidak ada lagi perajurit yang berjiwa lemah. Semuanya adalah karena pimpinan Goan-swe kita. Kalau sampai Goan-swe kita berhasil disingkirkan, berantakanlah apa yang sudah dicapai selama ini!"

   "Ini harus kita cegah dengan pengorbanan apapun!" Lalu bersahut-sahutanlah perwira-perwira pengikut fanatik Ni Keng Giau di ruangan itu, beradu kerasnya suara, sambil mengacungacungkan tinju kelangit segala. Mereka bukan cuma mendukung Ni Keng Giau, tetapi juga berang karena semuanya bercuriga bahwa Ni Keng Giau sedang hendak disingkirkan. Hiruk-pikuk suara-suara emosional itu mereda, ketika seorang perwira ubanan bernama Pui Ciong mengangkat tangannya, meminta agar rekan-rekannya diam. Sesaat kemudian, ruangan itu sudah menjadi sunyi, semuanya siap mendengarkan apa yang akan dikatakan oleh Pui Ciong yang mereka segani karena umurnya.

   "Kita boleh marah, saudara-saudara, tapi jangan sampai kemarahan itu menyeret kita ke dalam tindakan gegabah, sebab ini bukan urusan kecil yang bisa diselesaikan sekedar dengan keberanian dan kekuatan saja,"

   Kata Pui Ciong.

   "Kita harus tetap mewaspadai Liong Ke Toh, tapi kita tak bisa bertindak apapun kalau tidak bisa membuktikan niat jahatnya. Kalau kita bertindak ngawur kita malah akan menjadi bahan tertawaan banyak orang, kehilangan simpati umum, dan berarti juga mempermalukan Goan-swe Ni Keng Giang sendiri!"

   Perwira-perwira lain bungkam semua, sementara Pui Ciong meneruskan.

   "Tidak ada gunanya kita berkumpul kalau hanya untuk saling membakar kemarahan seperti ini. Kita harus menetapkan langkah yang jelas yang akan kita laku kan, dengan kepala dingin dan kecermatan yang tinggi!"

   Oh Bun Kai, si perwira berjenggot painjang, tiba-tiba berkata.

   "Tapi jangan terlalu lambat bertindak. Goan-swe kita sedang terancam intrik jahat. Situasi di istana saat ini persis saatsaai menjelang jatuhnya Menteri Song dan Menteri Tan beberapa bulan yang lalu. Ada kasak-kusuk Liong Ke Toh, ada pembunuhan yang tak jelas latar belakangnya, persis sekarang ini. Itu semacam tanda bahwa Liong Ke Toh sedang ingin menjatuhkan seseorang!" Pui Ciong mengangguk-angguk.

   "Aku sependapat, apalagi kita sudah tahu betapa dengkinya Liong Ke Toh kepada Goan-swe, dan tentu berusaha menjatuhkan setiap ada kesempatan. Tapi aku tidak sependapat dengan tindakan kasar yang dilakukan saudara Oh, Ciu dan Koan dua malam yang lalu. Mencegat Liong Ke Toh di jalanan, memaksa dia bicara, dan apa hasilnya? Tidak ada hasil apa-apa. Malahan sekarang pihak istana mungkin akan bertindak semakin hati-hati, dan membabat sumber berita kita dalam istana. Nah, malahan merugikan kita dan menyulitkan tindakan kita selanjutnya bukan?"

   "Tetapi kami berhasil melarikan diri, dan bahkan Liong Ke Toh tidak tahu siapa kami,, sebab waktu itu kami bertiga memakai kedok,"

   Bantah Oh Bun Kai untuk meringankan kesalahannya sendiri.

   "Tapi kalau setiap dari kita bertindak sendiri-sendiri, tanpa menyesuaikan langkah atau merundingkan dulu dengan rekan-rekan lain, lama-lama gerakan kitapun akan berantakan dan ditumpas dengan mudah!"

   Suara Pui Ciong meninggi, setengah mendamprat. Ketiga perwira yang kena damprat itu menundukkan kepala. Suasana jadi, hening untuk beberapa waktu, sampai Pui Ciong memperdengar kan. suaranya yang kali ini sudah menurun kembali.

   "Kalau saudara-saudara semua mempercayai aku sebagai senior yang usianya paling tua, turuti kata-kataku. Agar kita dapat mengambil langkah bersama yang kompak dan rapi, bukan bertindak menuruti emosi kalian sendirisendiri. Bagaimana?"

   Ketika beberapa perwira menyatakan setuju, maka sisanyapun ikut mendukung pula. Gerakan itu memang harus ada pimpinannya.

   "Bagus. Kawanan tukang copet saja ada pemimpinnya, apalagi kita,"

   Kata Pui Ciong puas.

   "Kepemimpinanku atas saudara-saudara hanya dalam urusan ini, hanya di kalangan kita. Sedangkan di jalur resmi, atau di hadapan banyak orang, kita harus tetap seperti biasa sa tu sama lain, agar tidak menimbulkan kecurigaan pihak-pihak lain yang tidak sepaham dengan kita. Bisa diterima?"

   Semua perwira mengangguk-anggukkan kepala.

   "Sekarang ini kita belum tahu langkah apa yang akan dilakukan Liong Ke Toh dalam rencana jahatnya, karena itu, kitapun hanya akan menunggu sambil menyerap keterangan sebanyak-banyaknya. Tiga hari lagi kita berkumpul disini, dan kalian harus sudah membawa keterangan tentang gerak-gerik Liong Ke Toh. Tapi ingat, cara kalian mencari keterangan tidak boleh kasar. Kalau sebelum tiga hari ada perkembangan yang gawat, kalian harus saling berhubungan dan berkumpul di sini. Paham?"

   "Paham!"

   Sahut para perwira.

   "Pergilah kalian, jangan lupa pesanpesanku."

   Pertemuan rahasia para perwira yang fanatik kepada Ni Keng Giau pun bubarlah.

   Oh Bun Kai meninggalkan tempat itu dengan kepala agak menunduk, hatinya masih merasa penasaran.

   Menuruti dorongan hatinya, ingin rasanya menyerbu istana dan meringkus Liong Ke Toh, dan ia yakin Kaisar takkan berani bertindak kalau tahu dia anak-buah Ni Keng Giau.

   Namun agaknya Pui Ciong ingin menyelesaikannya "secara halus"

   Dan Oh Bun Kai terpaksa harus menurut. Ia cuma berharap agar Ni Keng Giau dan angkatan perangnya segera tiba di Pak-khia, supaya dapat segera memaksa Kaisar untuk "membersihkan"

   Istana dari Liong Ke Toh dan kaki tangannya. Tengah ia berjalan sambil menunduk, dengan pikiran melayang-layang, tiba-tiba di antara orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan itu ada seorang yang menepuk pundaknya dari belakang, sam bil menyapa.

   "Berjalan sambil melamun, Oh-heng (saudara Oh)?"

   Oh Bun Kai tergagap sambil menoleh ke arah penyapanya, dan dilihatnya Teng Jiau yang dikenalnya sebagai salah satu anggota pengawal istana.

   Namun kali itu Teng Jiu sendirian saja, pakaiannya pun bukan seragam pengawal, melainkan jubah preman yang sederhana dan berkesan santai.

   "Oh, Teng Sam-ko, kenapa sendirian saja? Sedang apa?"

   "Sekedar berjalan-jalan, mumpung tidak bertugas. Sumpek rasanya berada dalam istana terus, rasanya ingin juga sekali-kali melihat luar dinding istana."

   "Tidak sedang menemani Pangeran Honglik?"

   "Tidak. Hari ini Pangeran Hong-lik mengatakan ingin beristirahat saja dibangsalnya. Ch, ya, aku hampir saja lupa mengucapkan selamat kepadamu, Oh heng."

   Senyuman gembira tiba-tiba merekah di wajah Oh Bun Kai, ketika mendengar ucapan selamat itu. Sebagai manusia biasa, bagaimanapun juga ia senang mendapat perhatian dari orang lain.

   "Terima kasih, Teng Sam-ko. Yah, beginilah, untuk mendapatkan seorang anak laki-laki aku harus bersabar sebelas tahun lamanya. Enam anak yang kudapatkan terdahulu perempuan semua, baru yang ke tujuh inilah lahir lelaki."

   Teng Jiu merasa mendapat angin untuk menggabungkan langkahnya dengan Oh Bun Kai, maka diapun berjalan mendampinginya. Ditimbulkannya simpati da ri pihak Oh Bun Kai dengan bertanya lagi.

   "Apakah isteri Oh-heng dan bayinya dalam keadaan sehat semua?"

   "Oh, baik, baik semua. Teng Sam-ko, bagaimana kalau kubagi kegembiraan-ku denganmu? Mari, mari, aku traktir kau di Pekgoat-lau. Di sana ada Bwe-hoa-keh-ting (bunga bwe masak ayam), masakan Soh-ciu yang pasti akan membuatmu rindu kampung halaman. Bukankah Teng Sam-ko berasal dari Heng-san yang jauh di selatan?"

   "Sungguh beruntung perutku hari ini, Ohheng. Mari."

   Tidak lama kemudian, kedua orang itu sudah duduk menghadapi hidangan di Pek-goat-lau, salah satu rumah makan terkenal di Pak-khia.

   Sambil makan minum, yang mereka omongkan tak lain dari soal-soal ringan, jauh dari soal-soal dinas, apalagi politik.

   Namun, dalam hati Oh Bun Kai sebenarnya punya tujuan juga.

   Teng Jiu adalah pengawal istana, kalau dibaiki terus, barangkali Teng Jiu bisa dijadikan sumber berita baru tentang apa saja yang terjadi dalam istana.

   Untuk kepen tingan kelompoknya tentu saja.

   Kelompok pengikut fanatik Ni Keng Giau.

   Tak diketahui oleh Oh Bun Kai, ka lau Teng Jiu diam-diam juga punya tujuan sendiri.

   Hanya saja, kedua pihak masih berhati-haii dan belum mulai merintis pembicaraan untuk mencapai tujuan masing-masing.

   Keduanya masih saja bicara soal-soal ringan.

   Mereka berada di lantai atas rumah makan itu, dekat jendela, sehingga bisa melihat orangorang hilir-mudik di jalan raya.

   Tengah mereka makan minum dengan santai, biarpun menyimpan pikiran nya sendiri-sendiri, tiba-tiba terdengar tangga loteng itu berdetakdetak keras.

   Lalu muncullah dua orang lelaki memakai jubah longgar, namun nyata benar tubuh mereka yang berotot kekar.

   Tatapan, mata mereka tajam.

   Jelaslah mereka itu pesilatpesilat tangguh.

   Tetapi muka mereka justru pucat kekuning-kuningan, kelihatan kurang ajar.

   Juga ada kumis dan jenggot yang bentuknya agak tak karuan.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Begitu kedua orang ini duduk, mereka terus menatap tajam ke arah Teng Jiu.

   Teng Jiu sendiri sengaja menunjukkan sikap agak tegang, sehingga berhasil memancing Oh Bun Kai untuk bertanya.

   "Ada apakah, Teng Sam-ko?"

   Sambil agak membungkukkan tubuh di atas meja, mendekatkan mulut ke te linga Oh Bun Kai, Teng Jiu berbisik.

   "Tidak apa-apa, saudara Oh. Teruskan saja acara kita, kalau mereka kurang ajar, itu akan menjadi urusanku."

   Karena sudah dipesan begitu, Oh Bun Kai tidak tanya-tanya lagi.

   Namun memang dasar watak manusia umumnya, semakin dilarang mengetahui sesuatu, malah semakin besar rasa penasaran un tuk mengetahuinya.

   Begitu pula Oh Bun Kai, biarpun hanya disimpan dalam hati.

   Sambil makan minum, berkali-kali Oh Bun Kai melirik ke arah dua manusia bertampang aneh itu, dalam hatinya juga menduga-duga.

   Siapa mereka? Ada urusan apa dengan Teng Jiu si pengawal istana? Kedua orang bertampang janggal itupun mulai menyantap, daging ayam goreng, tidak menggunakan sumpit melainkan hanya menggunakan jari-jari tangan nya.

   Kemudian mereka mulai seenaknya melempar-lemparkan tulang-tulang ayam ke meja Teng Jiu dan Oh Bun Kai.

   Oh Bun Kai yang berangasan itu kontan menggebrak meja sambil berkata (lengan sengit.

   "Kurang ajar! Agaknya kalian mau cari perkara denganku, ya?"

   Oh Bun Kai hampir berdiri untuk menghajar kedua orang, itu, namun Teng Jiu cepat-cepat berdiri pula untuk menekan pundak Oh Bun Kai sambil berkata.

   "Oh-heng, ini urusanku."

   Oh Bun Kai menahan kejengkelannya dan duduk kembali.

   Sedangkan Teng Jiu meraup tulang-tulang ayam yang bertebaran di mejanya, lalu dengan tenangnya dibawa ke meja kedua orang itu untuk disebarkan kemeja mereka.

   Salah seorang dari mereka berteriak gusar, tiba-tiba ia berdiri dan langsung mengayunkan jotosannya ke arah hidung Teng Jiu.

   Namun Teng Jiu berkelit sambil menangkap tangan lawannya, sekaligus juga mengait kakinya.

   Lawannya terhuyung kehilangan keseimbangan.

   "Keluar!"

   Bentak Teng Jiu.

   Selagi keseimbangan lawannya belum mantap, tangan Teng Jiu yang satunya lagi telah mencengkeram ke punggung orang itu, lalu dengan dua tangan ia mengangkat dan melemparkan tubuh orang itu keluar jendela.

   Sedetik kemudian, dari bawah jendela itu'' terdengar suara gedubrakan bercampur jerit kesakitan orang tadi, disusul suara derap langkahnya yang berlari menjauh.

   Sementara itu, tamu bertampang aneh yang satu lagi juga telah menyerang dengan lebih ganas dari kawannya, la mengangkat bangku untuk diayunkan mengepruk ke kepala Teng Jiu.

   Tapi gerakannya terlalu lambat.

   Selagi ayunan serangannya baru setengah jalan, kaki Teng Jiu sudah menghunjam ke perutnya, dan cukup bertenaga untuk melemparkan tubuh orang itu beberapa langkah ke belakang.

   Tubuh orang itu langsung menggelundung ke lantai bawah tangga, dan dengan terpincang-pincang langsung ia kabur pula.

   Tentu saja si pemilik rumah makan merasa dirugikan, sebab kedua orang itu belum membayar dan tahu-tahu sudah kabur, tak mungkin disusul.

   Mau menagih ganti rugi kepada Teng Jiu juga takut karena melihat seragam perwira yang masih dikenakan Oh Bun Kai.

   Maklumlah, di jaman Kaisar Yong Geng itu tentara lebih ditakuti dari macan.

   Namun si pemilik rumah makan jadi lega ketika mendengar ucapan Teng Jiu.

   "Semua kerugian akan aku ganti!"

   Teng Jiu dan Oh Bun Kai pun lalu melanjutkan makan minum mereka. Tapi saat itulah Oh Bun Kai tak kuasa lagi menahan rasa ingin tahunya.

   "Sebenarnya, siapakah kedua orang tadi?" Dengan berlagak masih jengkel, Teng Jiu menyahut.

   "Mereka adalah begundalbegundalnya Liong....... Liong Ong-ya...."

   Lagaknya seolah-olah jengkel, namun tidak berani menyebut nama Liong Ke Toh begitu saja.

   Sikap yang seolah-olah benci tapi takut itulah yang di mata Oh Bun Kai kelihatan bersungguhsungguh.

   Kebetulan Oh Bun Kai baru saja bubar dari rapat perwira-perwira yang fanatik kepada Ni Keng Giau dan membenci Liong Ke Toh sampai ke tulang sungsum.

   Maka terhadap Teng Jiu, sedikit banyak timbul kesan "segolongan".

   "Anak buah Liong Oh-ya? Kenapa mereka mengganggu Sam-ko?"

   "Kurang pasti. Mungkin karena aku sering membantu Pangeran Hong-lik dalam menjegal beberapa rencana Liong Ong-ya, jadi dia sakit hati kepadaku,"

   Sahut Teng Jiu agak berani, untuk memancing bagaimana reaksi Oh Bunkai.

   "Emm... begitu?"

   Ternyata cuma sekian reaksi Oh Bun-kai.

   "Sam-ko, soal mengganti kerugian kepada rumah-makan ini, serahkan saja kepadaku. Bukankah aku yang berjanji mentraktirmu? Tentu-nya juga termasuk resiko-resiko seperti ini."

   Teng Jiu masih pura-pura sungkan.

   "Oh-heng, mana bisa begitu? Keributan tadi bersumber dari diriku, seharusnya..."

   Sambil tertawa dan menggoyangkan tangan, Ch Bun Kai tiba-tiba berkata.

   "Ah, jangan sungkan, Sam-ko. Kau bermusuhan dengan Liong Ke Toh, berarti tujuan kita satu arah."

   Bicara sampai di sini, tiba-tiba perwira itu cepat-cepat menutup mulut nya, karena merasa sudah bicara terlalu terbuka kepada Teng Jiu.

   Biarpun Teng Jiu adalah kenalan baik secara pribadi, di luar kedinasan, namun tidak termasuk dalam kelompok politik yang sepaham dan sekepentingan.

   Maka, cepat-cepat Oh Bun Kai mengalihkan pembicaraan kesoal lain.

   "Ah, masakan di tempat ini benar-benar lezat. Juru masaknya mungkin orang asli dari Soh-ciu." Dengan berlagak seolah tidak memperhatikan ucapan Oh Bun Kai tentang "tujuan kita satu arah"

   Tadi, Teng Jiu pun kemudian ikut memuji-muji masakan nya.

   Selesai makan minum, Oh Bun Kai benarbenar merogoh kantongnya untuk membayari semua makan minum itu, termasuk ganti rugi atas kerusakan akibat keributan tadi.

   Teng Jiu mengucapkan terima kasih.

   Setelah mereka keluar dari rumah makan itu dan hendak berpisahan, Teng Jiu berkata.

   "Dalam waktu dekat, aku ingin melihat anak lelakimu yang baru lahir, Oh-heng. Kuharapkan diapun akan menjadi seorang perwira segagah ayahnya.

   "

   "Terima kasih, Sam-ko."

   Sesaat Teng Jiu memperhatikan ke arah mana Ch Bun Kai berjalan, lalu diapun mengambil arahnya sendiri.

   Mula mula mengikuti jalan besar, lalu tiba-tiba membelok ke sebuah jalan cabang yang agak kecilan, berbelok beberapa kali, sampai akhirnya memasuki sebuah rumah kecil yang letaknya rapat berhimpitan dengan rumah-rumah kecil lainnya.

   Teng Jiu masuk tanpa mengetuk pintu, lalu menutup kembali pintunya.

   Di dalam rumah itu, ternyata telah menunggu dua orang bertampang aneh yang tadi berkelahi dengan Teng Jiu di rumah makan.

   Tanpa adanya orang lain di ruangan itu, mereka ternyata tidak menunjukkan sikap bermusuhan, bahkan akrab.

   "Bagaimana?"

   Tanya orang yang tadi dilempar lewat jendela, sambil mengusap-usap mukanya.

   Kumis dan jenggotnya tiba-tiba lepas, menyusul lapisan-lapisan tipis lilin kuning yang tadinya melapisi wujah mereka.

   Ternyata, kedua orang itu bukan lain adalah kakak-kakak seper guruan Teng Jiu sendiri.

   Jian-eng-kiam Ho Se liang dan Lam-thai-hong Auyang Kong.

   "Sabar, Ji Suheng (kakak seperguruan kedua). Kita semua sudah tahu bahwa kelompok perwira yang fanatik kepada Ni Keng Giau itu amat tertutup, gampang curiga terhadap orang yang tidak termasuk kelompok mereka. Maka untuk mendekati, apalagi mencoba memancing keterangan dari mereka, haruslah hati-hati sekali dan membutuhkan waktu lama."

   "Jadi apa hasilmu hari ini?"

   "Hanya mendekatinya dan bicara soal-soal ringan. Tentang anaknya yang baru lahir, tentang masakan dan sebagainya. Cuma satu kali mulutnya kelepasan bicara, katanya aku dan dia "bertujuan satu arah"

   Karena samasama bermusuhan dengan Liong Ke Toh, setelah itu ia ganti pembicaraan dan aku tidak berani mendesaknya, khawatir kalau dia merasa sedang diselidiki.

   Dia benar-benar mengira bahwa Tong suheng dan Ji-su-heng kaki tangan Liong Ke Toh yang memusuhi aku, maka dalam dirinya sudah timbul pandangan setidaktidaknya aku punya musuh yang sama dengan dia.

   Untuk langkah pertama, ini sudah cukup."

   Auyang Kong menepuk keras-keras jidat nyn sendiri, sambil menggerutu.

   "Astaga, jadi pengorbananku melompat dari jendela lantai dua tadi hanyalah mendapat sekecil ini, Samte?" "lalu harus bagaimana, Ji-suheng? Haruskah aku langsung bertanya sebanyak banyaknya, supaya dia segera mencurigai aku dan kitapun takkan mendapatkan keterangan apa-apa? Sabarlah, ini bukan urusan yang bisa dilakukan dongan sekali gebrak."

   "Tapi, apakah sudah pasti bahwa pengikutpengikut Ni Kong Giau itulah yang pernah mencegat Liong Ke Toh di malam hari?"

   "Gegabah sekali kalau kujawab sudah pasti, tapi dugaan kerasnya ya kearah itu. Di Pak-khia ini banyak orang membenci Liong Ke Toh si tukang fitnah itu, namun rasanya memang hanya pengikut Ni Keng Giau yang berani bertindak demikian. Lantaran kelompok itu merasa dirinya kuat di bawah pimpinan Ni Keng Giau. Ingat saja peristiwa ketika mereka berani menerobos masuk istana dengan senjata lengkap, lalu memaksa Kaisar agar membubarkan jamuan makan yang sedang diadakan oleh Kim Seng Pa. Itu tanda bahwa mereka berani berbuat apa saja karena merasa kuat." Sesaat ketiganya bungkam dan merenung, lalu Teng Jiu memecah kesunyian.

   "Sebenarnya kita begitu bersusah payah seperti ini, kita ini berjuang untuk keuntungan siapa?"

   Ho Se Liang sebagai saudara seperguruan yang tertua, lalu menjawab.

   "Tujuan kita terutama ialah mendepak Ni Keng Giau sebagai tiang utama pemerintahan yang sekarang sehingga agak gampang untuk merobohkannya. Agar kita dapat memaksa teman lama kita Si Liong-cu pensiun dari kedudukannya sekarang, sebab ternyata ia telah ingkar janji dan menipu banyak pendekar sahabatnya."

   Si Liong-cu adalah nama samaran Kaisar Yong Ceng semasa belum bertahta, ketika masih berkelana sebagai pendekar di rimba persilatan.

   "Setelah Ni Keng Giau roboh, menyusul Yong Ceng juga roboh, terus bagaimana?"

   "Setelah itu, ada dua pilihan calon Kaisar yang baik, yang akan mensejahterakan rakyat. Yaitu Pangeran Hong-lik dan Pangeran In Te, entah yang mana kelak harus menggantikan Yong Ceng. Kita bertiga masih terikat sumpah setia dengan Pangeran In Te, meskipun saat ini dia tak terdengar kabar beritanya.

   "Satu hal yang aku benci, dalam usaha merobohkan Ni Keng Giau ini seolah-olah kita bekerja untuk Liong Ke Toh si bangsat tua itu. Bukankah menurut Pangeran Hong-lik, si tua itu sedang merencanakan untuk merobohkan Ni Keng Giau karena iri?"

   "Kita seolah-olah membantu Liong Ke Toh, tapi hanya seolah-olah. Wujudnya, kita dan dia sama-sama ingin merobohkan Ni Keng Giau, tapi latar belakangnya berbeda. Kita bertindak karena menentang kelalimannya, sedangkan Liong Ke Toh didasari ambisi dan kebencian pribadinya,"

   Kata Ho Se Liang. Auyang Kong menggaruk-garuk kepalanya, sedangkan Teng Jiu mencoba melengkapi penjelasan itu.

   "Ji-suheng, boleh saja kau membenci Liong Ke Toh, dan akupun demikian. Namun kali ini kita harus memanfaatkan pengaruhnya untuk menyingkirkan Ni Keng Giau, sebab kekuatan kita sendiri jelas tidak cukup untuk menandingi Ni Keng Giau yang berkuasa atas hampir satu juta pe rajurit."

   "Kalau kekuatan kita terlalu kecil, apakah tidak kita coba untuk menghubungi dan menghimpun orang-orang yang masih setia kepada Pangeran In Te?"

   Usul Auyang Kong yang masih kurang puas karena harus "satu jalan"

   De ngan Liong Ke Toh.

   "Ji-sute, apakah kau pikir masih ada pendukung Pangeran In Te di Pak-khia ini, kecuali kita bertiga, dan mungkin satu dua gelintir lainnya yang kekuatannya tak berarti? Apa kau kira Si Liong-cu bisa hidup setenang sekarang kalau belum menyingkirkan semua pengikut Pangeran In Te dari Pak-khia ini? Ada yang dibunuh diam-diam, ada yang ditugaskan ke pos-pos perbatasan yang saling berjauhan, dan entah bagaimana nasib yang lain-lain. Kita bertiga masih hidup, ini merupakan suatu keberuntungan dan tidak semua pengikut Pangeran In Te seberuntung kita. Ini berkat ilmu bunglon kita. Karena itu, daripada susahsusah menghubungi pengikut-pengikut Pangeran In Te yang masih ada dan saling berjauhan itu, kenapa tidak numpang Liong Ke Toh dalam melucuti Ni Kong Giau? Ji-sute, kita sedang main politik, jadi berpikirlah praktis sedikit."

   "Baiklah. eh, Toa-suheng, rasanya kita sudah terlalu lama meninggalkan istana, kalau tidak segera pulang akan menimbulkan kecurigaan orang lain."

   "Baik. Kita pulang, tapi masuknya ke istana harus mengambil jalan yang berpencaran dan jangan bersama-sama.

   "Aku masih harus mampir ke toko lebih dulu, untuk membeli kado,"

   Kata Teng Jiu tiba-tiba.

   "Kado? Buat siapa?"

   "Buat bayinya Oh Bun Kai. Bukankah aku harus terus mendekatinya agar bisa menyadap apa yang akan dilakukan oleh para pendukung Ni Keng Giau?"

   "Kapan kau akan berkunjung ke rumahnya?"

   "Secepatnya." * * * Di dunia persilatan sering terdengar omongan gagah macam ini.

   "Aku baru puas kalau bisa membunuh dengan tangan ku sendiri!"

   Namun omongan macam ini tidak laku di arena intrik di seputar tahta. Kenapa harus dengan tangan sendiri? Kalau bisa memakai tangan orang lain, ya pakailah tangan orang lain untuk me nyingkirkan lawan politik, kemudian dengan tangan yang "bersih"

   Dia akan me ngunjungi si korban sambil menyatakan "ikut belasungkawa".

   Sepersepuluh kegiatan politik dilakukan untuk disorot rakyat dan diberi tepuk tangan.

   Sembilan persepuluhnya dilakukan di belakang layar untuk saling terkam dengan sengit, dalam rangka memperjuangkan tempat yang senyaman-nyamannya bagi diri sendiri.

   Berkat (istilah yang sebenarnya tidak tepat) hubungan baik antara Teng Jiu dan Oh Bun Kai, akhirnya Teng Jiu berhasil mengetahui tempat dan waktunya pendukung-pendukung Ni Keng Giau akan berkumpul lagi untuk merundingkan langkah-langkah rahasia.

   Tidak diberitahu terang-terangan oleh Oh Bun Kai, namun dengan mengambil kesimpulan setelah memperhatikan ucapan-ucapan dan sepak terjang Oh Bun Kai.

   Dan sambil minta maaf sebesar-besarnya kepada Oh Bun Kai, dalam hati, Teng Jiu membisikkan keterangan itu ke pihak Liong Ke Toh.

   Oh Bun Kai memang sahabat secara pribadi, sayangnya Oh Bun Kai terlalu setia kepada Ni Keng Giau, padahal Teng Jiu ingin Ni Keng Giau jatuh.

   Maka ya begitulah Malam itu di rumah Pui Ciong, perwira pendukung Ni Keng Giau yang usianya paling tua, dan oleh teman-teman sepahamnya diangkat sebagai pimpinan "operasi penyelamatan Ni Keng Giau"

   Itu, para perwira pendukung Ni Keng Giau sudah kumpul semua.

   "Jadi sudah jelasa, saudara-saudara!"

   Kata Pui Ciong berusaha tetap tenang, agar kawankawannya jangan kehilangan kendalri diri.

   "Dari keterangan-keterangan kalian, dan juga yang aku peroleh lewat beberapa sumber dalam istana, dapat kita pastikan kalau memang ada sebuah rencana licik yang ditujukan kepada Goan-swe, didalangi oleh Liong Ke Toh. Sayangnya, Sribaginda nampaknya malah merestui rencana Liong Ke Toh itu."

   Wajah para perwira menjadi tegang namun semuanya berusaha tetap bersikap disipling menunggu kelanjutan kata-kata Pui Ciong. Inilah kelanjutannya.

   "Saudara-saudara, inikah balas jasa yang harus diterima oleh Panglima Tertinggi kita, setelah beliau berjasa besar menaklukkan pemberontakan di Jing-hai? Inikah? Dia hendak disingkirkan lewat sebuah penghianatan! Dan bisakah saudara-saudara bayangkan, kalau sampai kedudukan Panglima Tertinggi itu diduduki orang lain kecuali Goanwe Ni Keng Giau?"

   Para perwira masi diam, tapi mata mereka mulai menyala, api fanatisme mulai menyala lebih hebat.

   "Disiplin baja yang selama ini dibina dengan susah payah oleh Goan-swe kita akan hancur! Hancur! Perajurit-perajurit akan kembali menjadi pemalas-pemalas yang sekedar menunggu gaji tiap bulan! Pembangkangpembangkang akan bermunculan kembali! Dan itu juga berarti negeri ini menuju ke jurang kehancuran!"

   Warna merah di wajah Pui Ciong kini sudah mulai menjalar ke wajah perwira-perwira lainnya.

   "Saudara-saudara, bisakah hal itu dibiarkan saja?"

   Kata Pui Ciong mulai membakar. Para perwira serempak berdiri tegap, hasil didikan keras Ni Keng Giau selama ini.

   "Malam ini kita kerahkan pasukan menyerbu istana!"

   Seru seorang perwira.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kita tuntut Sribaginda agar menyerahkan Liong Ke Toh untuk kita hukum dengan cara kita sendiri! Lalu kita telanjangi di depan umur, biar semua orang tahu!"

   "Benar! Kita tunjukkan kesetiaan kita kepada Goan-swe!"

   "Kita tunjukkan kekuatan kita!"

   "Istana harus dibersihkan dari tikus tua macam Liong Ke Toh!" Kalau orang lain tentu menghindari katakata "menyerbu istana"

   Atau "menuntut Sribaginda", maka bagi perwira-perwira Ni Keng Giau ini justru berani mengucapkannya dengan ringan saja.

   Maklum, mereka pernah menyerbu istana dan ternyata keluar kembali dengan selamat.

   Sampai saat itu tidak ada hukuman, dan itu mereka anggap karena wibawa Ni Keng Giau.

   Sejak itu mereka jadi bangga, bahkan rada besar kepala, menganggap bahwa "Kaisarpun takut ke pada kita".

   Tapi kali ini ada yang mengejutkan.

   Mendadak dari bagian belakang rumah Pui Ciong itu terdengar suara jeritan, lalu disusul suara perempuan menangis ketakutan.

   Pui Ciong yang sedang berpidato mengobarkan semangat rekan-rekannya itupun terkejut, wajahnya berubah hebat, sebab ia kenal suara itu adalah suara isterinya dan pembantu-pembantu rumah nya.

   Seperti seekor kijang yang dikejutkan, Pui Ciong melompat ke pintu.

   Perwira-perwira yang lain bangkit untuk mengikutinya, tetapi Pui Ciong mencegah, Tetap di sini! Kalau terjadi apapun yang tidak kita kehendaki, jangan mengadakan perlawanan yang sia-sia, tapi lebih baik langsung bubar berpencaran.

   Siapapun yang berhasil lolos haruslah langsung berusaha memberitahu Goan-swe kalau di Pak-khia ini ada renrana licik, cepat!"

   Segalanya memang berlangsung serba cepat rian mengejutkan, tapi perwira perwira didikan Ni Keng Giau itu tidak menjadi panik.

   Pui Ciong sendiri hendak menuju ke belakang untuk melihat apa yang terjadi.

   Namun tiba-tiba dari ambang pintu itu melayang masuk sebuah kantong kulit yang menggelembung dengan mulut kantongnya menghadap ke bawah.

   Apabila orang mendongak, terlihat di bagian dalam kantong itu ada kerangka besi tipis dan ringan, serta pisau-pisau kecil dilingkaran dalam mulut kantong yang sekilas nampak sepergi geraham seekor ikan hiu.

   Kantong itu melayang cepat, dan langsung turun menungkrup ke kepala Pui Ciong.

   Pui Ciong kaget, tak bisa menghindar.

   Namun sebelum kepalanya lenyap ke dalam kantong, masih terdengar teriakannya yang gagah.

   "Selamatkan Goan swe!"

   Di bagian pantar kantong kulit itu ada seutas rantai tipis.

   Ketika rantai itu ditarik dari luar, maka batok kepala Pui Ciong pun ikut terbawa dalam kantong maut itu, meninggalkan tubuhnya.

   Tubuhnya masih sesaat berdiri di ambang pintu, menabrak-nabrak dengan tangan menggapai-gapai sejenak, lalu ambruk.

   Dari bekas irisan di lehernya, ternyata hanya sedikit darah yang mengalir.

   Tepat seperti nama kantong maut terbang itu, Hiat-ti-cu yang artinya "setitik darah", sama dengan nama kelompok algojo yang diperintah sendiri oleh Kaisar Yong Ceng.

   "Selamatkan Goan-swe!"

   Ucapan terakhir Pui Ciong tadi diulang oleh para perwira dengan tak gentar.

   Dengan pedang-pedang terhunus, para Namun tiba-tiba dari ambang pintu itu melayang masuk sebuah kantong kulit yang menggelembung dengan mulut kantongnya menghadap ke bawah perwira itu siap menerjang keluar dari ruangan itu.

   Namun dari luar pintu terdengarlah bentakan menggeledek.

   "Hukuman mati buat semua penentang rencana Sribaginda!"

   Di ambang pintu itu munculah Hap To, komandan kelompok Hiat-ti-cu.

   Tangannya menjinjing kantong kulit yang rantainya sudah digulung di tangan.

   Ketika ia guncangguncangkan kantong itu, jatuhlah batok kepala Pui Ciong dari dalamnnya.

   Dan sambil tertawa dingin, Hap To mengulangi kata-katanya tadi.

   "Mati buat semua penentang Sribaginda!"

   Dan dari halaman luarpun terdengar sahutan yang sama.

   "Mati buat semua penentang Sribaginda!!"

   Jelaslah bahwa Hap To tidak datang sendirian, melainkan membawa regu algojonya.

   Belum hilang gema suara itu, jendela-jendela dan pintu-pintu didobrak dari luar, dan berlompatan masuklah anggota-anggota Hiat-ticu, dengan pakaian mereka yang khas.

   Ringkas hitam.

   Jumlah mereka hanya sepuluh orang, se paruh dari jumlah para perwira yang berkumpul di ruangan itu.

   Namun para anggota Hiat-ti-cu itu menunjukkan sikap yakin akan bisa melaksanakan tugas secara tuntas.

   Para perwira pun nampak tegang, menyadari betapa berat lawan-lawan mereka kali ini.

   Namun salah seorang perwira masih coba menggertak, ''Kami adalah perwira perwira yang langsung dibawah perintah Goan-swe Ni Keng Giau! Siapapun tidak berhak menghukum kami, kecuali Goan-swe Ni Keng Giau sendiri.

   Kaisar pun tidak.

   Bahkan Sribaginda amat mengasihi Goan-swe Ni Keng Giau yang menjadi adik seperguruannya!"

   Hap To tertawa terbahak-bahak.

   "Ni Keng Giau benar-benar berhasil membentuk kalian meniadi boneka-boneka wayangnya yang setia. Tapi urusan malam ini tak ada hubungannya dengan berhak atau tidak berhak, yang perlu kalian ketahui hanya satu ini, biarpun kami tidak berhak tetapi kamii mampu menghukum kalian, dan kami mampu melaksanakannya!" Dan kepada orang-orangnya, Hap To memerintah dengan suara bengis.

   "Sikat habis para pembangkang ini!"

   Para perwira menjadi gusar, namun mereka sadar, sudah tiba saatnya bahwa pedang akan berbicara lebih nyaring dari mulut. Sudah tentu mereka takkan menyerah mentah-mentah. Seorang perwira senior lalu mengambil pimpinan dan menyerukan aba-abanya.

   "Arus ke muara! Siapapun yang lolos, langsung melaksanakan rencana tadi!"

   Arus ke muara.

   Istilah itu dalam latihan pertempuran maupun pertempuran yang sebenarnya, dimaksudkan sebagai gerakan yang memusatkan seluruh kekuatan untuk mendobrak ke satu arah.

   Daya gempur dipusatkan ke satu sisi, sedang sisi-sisi lainnya hanya bertahan dan menjaga agar pasukan tidak pecah.

   Di ruangan sempit itu, para perwira tahu bahwa yang dimaksud "muara"

   Tentunya adalah pintu keluar.

   Para perwira segera membentuk barisan kecil untuk menembus penjagaan musuh di pintu depan.

   Benar dalam hal ilmu silat perorangan para perwira itu tak setangguh anggota-anggota Hiat-ti-cu, tetapi mereka juga bukan orang-orang lemah atau bernyali kecil Dalam suara pertempuran, para perwira tidak luput dari keharusan untuk bertempur langsung, sehingga.

   para perwira itu sedikit banyak melatih ilmu silatnya juga.

   Begitu para perwira bergerak ke pintu, para Hiat-ti-cu juga bergerak untuk berusaha mencegah.

   Di ruangan terbatas itu, para Hiat-ticu merasa tidak leluasa menggunakan kantongkantong maut mereka yang berantai panjang, maka mereka menggunakan senjata-senjata biasa.

   Pintu keluar dijaga Tam-tai Liong, tokoh nomor dua dalam kelompok Hiat-ti-cu yang kepandaiannya hanya dibawah Hap To seorang.

   Ia bersenjata sebuah tiat-koai, tongkat besi yang ujungnya melengkung dan lancip.

   Seorang perwira menerjangnya dengan golok, Tam-tai Liong menangkis sambil berusaha mengait golok lawannya.

   Si perwira itu terhuyung ke depan dan hampir saja melepaskan goloknya, namun seorang perwira lain yang bersenjata pedang telah maju ke depan untuk membantu temannya.

   Karena menyadari kalau secara perorangan kalah dari para anggaota Hiat-ti-cu, maka para perwira berusaha bertempur kompak dalam satu barisan, tidak mau terpancing bertempur sendiri-sendiri.

   Mereka juga membagi tugas.

   Yang menghadap kepintu keluar berusaha untuk mencari jalan, sedangkan yang lain mengambil sikap bertahan yang rapi.

   Akibatnya, Tam Tai Liong dan beberapa Hiatti-cu yang menghalangi pintu itulah yang paling berat menahan arus serbuan yang hendak menjebol pintu.

   Biarpun Tam Tai Liong pesilat tangguh, agak repot juga dia menghadapi ujungujung senjata musuh yang bergantian menyelonong dari berbagai arah.

   Lebih repot lagi karena ia tidak boleh meninggalkan ambang pintu, harus menjaga agar para perwira jangan sampai ada satupun yang berhasil kabur.

   Perintah yang didengarnya sudah jelas, semua manusia di rumah itu harus ditumpas habis.

   Melihat cara bertempur perwira-perwira itu, Hap To diam-diam kagum juga.

   Ia melihat betapa beratnya beban Tam Tai Liong, mungkin takkan bisa bertahan lama.

   Karena itulah Hap To siap-siap untuk turun tangan.

   Dilingkung-an istana, memang ilmunya tak setinggi Kim Seng Pa atau Biau Beng Lama, pemimpin kawanan pendeta-pendeta Ang-ih-kau dari Tibet, namun Hap To hanya selapis di bawah mereka.

   Setidaknya ia sejajar dengan To Jiat Hong, orang nomor dua bawahan Kim Seng Pa.

   Maka diapun memasuki gelanggang dengan tangan kosong, sikapnya memandang rendah para perwira itu.

   Begitu dia turun tangan, para pengikut fanatik Ni Keng Giau itupun seperti helai-helai ilalang dilewati angin kencang.

   Disertai bentakannya yang mirip singa meraung, sekali gebrak Hap To berhasil menjotos ringsek dada seorang perwira.

   Namun para perwira lainnya bukan saja bernyali baja dan fanatik, hasil ajaran Ni Keng Giau, juga dengan cerdik berusaha menerapkan taktik-taktik pertempuran.

   Tempat yang menjadi lemah karena gugurnya salah seorang teman mereka, segera "ditambali"

   Oleh Perwira lain agar barisan tidak rusak.

   Ketika dua orang terasa belum cukup untuk menahan amukan Hap To yang membadai, maka dua orang lagi membantu sehingga jadi empat orang.

   Begitulah, kerjasama para perwira itu begitu ulet.

   Pihak Hiat-ti-cu yang tadinya mengira akan dapat membantai mereka dengan mudah, terpaksa kini harus memeras keringat entah sampai kapan.

   Hap To terdengar meraung sekali lagi.

   Seorang perwira berhasil dicengkeramnya, ditarik keluar dari barisan, lalu tubuhnya ditendang mencelat sampai membentur langitlangit.

   Ketika tubuh itu turun kembali ke lantai, dia sudah jadi mayat.

   Di satu pihak Hap Ti berhasil mengurangi jumlah lawan, di lain pihak Tam Tai Liong gagal mempertahakan "pos"nya, karena tekanan para perwira yang menggunakan siasat "satu arus" itu.

   Tam Tai Liong tidak berilmu seting gi Hap To, biarpun ia berhasil merobohkan satu musuh, namun seorang musuh lain berhasil melukai lengannya.

   Sambil berdesis pedih, ia melompat mundur dua langkah, dengan demikian terbukalah ambang pintu yang seharusnya dia jaga.

   Seorang perwira berhasil menerobos keluar, disusul dua orang lagi lalu dua orang lagi.

   "Tahan mereka, Tam Tai Liong goblok!"

   Dari sebelah lain Hap To berseru marah. Tam Tai Liortg dengan gigih mencoba "menambal kebocoran"

   Itu.

   Dengan sebuah jurus yang ganas, perwira yang keluar paling dulu telah berhasil dibabatnya roboh.

   Tapi masih ada empat orang lagi yang sudah melewati ambang pintu.

   Padahal Tam Tai Liong yang sudah terluka lengannya itu cuma mampu menahan dua dari empat orang, itu, yang bertempur bagaikan kesetanan.

   Sedangkan yang dua lainnya sudah lolos dan langsung berlari ke pintu halaman depan.

   Lari bukan karena takut mati, tapi justru untuk memikul tugas berat, yaitu memberitahu Ni Keng Giau tentang adanya rencannya pengkhianatan di Pak-khia.

   Perwira-perwira lain yang masih bertempur dalam ruangan, gembira ketika mengetahui ada dua rekan mereka berhasil lolos.

   Itu sudah cukup.

   Supaya jangan sampai para Hiat-ti-cu berhasil mengejar mereka, seorang perwira yang paling senior meneriakkan aba-ba lagi buat teman-temannya.

   "Arus berputar!"

   Perintah itu berarti, sisa perwira yang masih bertahan di tempat itu harus melibat para Hiatti-cu dalam pertempuran campur-aduk agar tak bisa meninggalkan ruangan itu.

   "Arus berputar"

   Pun dilaksanakan.

   Semua perwira tanpa rasa takut segera berpencaran, mengamuk, tanpa memberi kesempatan para Hiat-ti-cu pergi dari ruangan itu.

   Mereka bahkan siap mati demi tujuan mereka.

   Bukan kepalang murkanya Hap To.

   Kalau sampai satu perwira saja yang berhasil lolos, berarti bocorlah rencana untuk menjatuhkan Ni Keng Giau, dan kalau sampai Ni Keng Giau mendengarnya, sudah pasti Ni Keng Giau takkan mentah-mentah menjulurkan lehernya untuk dikalungi borgol.

   Sedangkan Hap To sendiri pasti harus mempertanggungjawabkan kegagalan itu di hadapan Kaisar Yong Ceng, mungkin dengan batang lehernya pula.

   Karena itulah teriakannya menggelegar.

   "Jangan lolos seorangpun!"

   Lalu ditambahkannya perintah lagi untuk anak-buahnya.

   "Siapapun yang sempat keluar dari sini, kejar dan tumpas dua pembangkang yang melarikan diri tadi!"

   Seorang Hiat-ti-cu yang bertempur dekat jendela, bertubi-tubi menyabet-nyabetkan ruyungnya untuk memaksa mundur seorang perwira yang menjadi lawannya.

   Ketika lawannya terdesak mundur, secepat kilat ia membalik tubuh, hendak melompat keluar jendela untuk mengejar perwira-perwira yang kabur tadi.

   Namun diluar dugaan, perwira yang terdesak mundur tadi tiba-tiba melompat masuk ke jendela dan menikam punggung Hiat ti-cu itu.

   Si Hiat-ti-cu meraung kesakitan karena punggungnya tertembus pedang.

   Namun perwira yang membunuhnya itu pun terbunuh oleh seorang Hiat-ti-cu lainnya.

   Pertarungan jadi sengit dan habis-habisan.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Para Hiat-ti-cu sekuat tenaga berusaha mencari jalan keluar, sementara para perwira menghalanginya.

   Semuanya sudah lupa kalau mereka masing-masing cuma punya satu nyawa.

   Seorang anggota Hiat-ti-cu lagi dengan susah-payah berhasil mendesak mendekat jendela, asal mendapat kesempatan satu detik saja, dia pasti akan berhasil keluar.

   Tapi yang satu detik itu tidak diberikan begitu saja oleh lawannya, seorang perwira bersenjata sepasang tiat-pi (trisula bertangkai pendek), yang berkelahi dengan kalap macam anjing gila.

   Seorang anggota Hiat-ti-cu ain yang sudah kehilangan senjata, tapi agaknya ahli dalam Sutkau (gulat), berusaha menolong temannya yang dekat jendela itu.

   Ia menubruk dan memeluk perwira bersenjata sepasang tiat-pi itudari belakang, sambil berteriak kepada kawannya, "Cepat keluar dan kejar pembakang yang lolos tadi! Biar yang ini kutahan di sini."

   Si perwira yang dipeluk itu meronta sekuatnya ingin lepas, tapi lengan-lengan yang memeluknya terlalu kuat, lengan milik para pegulat.

   Perwira itu jadi nekad, pegangannya pada tangkai senjatanya dibalik, lalu senjata itu sekuat tenaga ditikamkan keperutnya sendiri sambil berteriak histeris.

   "Hidup Goan-swe Ni Keng Giau!" (Bersambung

   Jilid VI) (Bersambung

   Jilid VI) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid VI Dan senjatanya itu bukan cuma menembus perutnya sendiri, tapi juga masuk ke perut anggota Hiat-ti-cu yang memeluknya dari belakang. Si Hiat-ti-cu itupun berteriak marah.

   "Mampuskan semua pembangkang!"

   Keduanya roboh berdempetan seperti sate raksasa.

   Pengikut setia Ni Keng Giau dan pengikut yang tidak kalah setianya dari Kaisar Yong Ceng.

   Ironisnya Kaisar Yong Ceng maupun Ni Keng Giau adalah saudara seperguruan, sama sama murid Pun-bu Hwe-shio dari Siau lim-si, dan sama-sama pernah menumpas perguruan mereka sendiri.

   Sementara itu, Hiat-ti-cu yang ber hasil melompat keluar jendela itupun ternyata gagal melanjutkan langkahnya.

   Biarpun sudah sampai diluar, namun sebatang tombak yang dilemparkan sekuat tenaga oleh seorang perwira telah "me nyusulnya", si Hiat-ti-cu itupun roboh dengan tombak di punggung.

   Tapi perwira pelempar tombak juga terbantai oleh tangan Hap To sendiri.

   Pertempuran antara dua kelompok fanatik itu jadi amat berdarah.

   Kedua pihak sama kalapnya.

   Jendela dan pintu dipertahankan dan diperebutkan, seolah dua pasukan memperebutkan sebuah pos strategis.

   Karena sengitnya, belum ada seorangpun anggota Hiatti-cu yang berhasil keluar, namun korban di pihak para perwira jatuh lebih banyak.

   Hap To tidak sabar lagi melihat semuanya itu.

   Tiba-tiba ia melompat lurus ke atas, seolah hendak membenturkan kepalanya sendiri ke langit-langit ruangan.

   Tapi kemudian kedua tangannya diangkat, dan sekuat tenaga menghantam langit-langit.

   Terdengar suara gemuruh hebat ketika langit-langit serta atapnya sekalian jebol dan berlubang besar.

   Lalu tubuh Hap To bagaikan seekor burung saja telah melesat keluar lewat lubang itu.

   Ia hendak mengejar kedua perwira yang sempat lolos tadi.

   Tapi malam begitu gelap, dan di antara ratusan lorong-lorong kota Pak-khia itu, kemana bisa mencari kedua orang perwira tadi? Hap To mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, bagaikan beterbangan saja, ia melayang di atas atap-atap rumah sambil menebarkan pandangannya yang amat terganggu oleh gelapnya malam.

   Akhirnya komandan regu Hiat-ti-cu itu dengan gemas harus menghentikan pengejarannya yang tanpa hasil.

   Kiranya selama selisih waktu yang terbuang untuk melawan pengikut-pengikut Ni Keng Giau itu telah memberi kesempatan kepada perwira yang lolos tadi untuk Iari sejauh-jauhnya atau bersembunyi serapat- rapatnya.

   Kemudian Hap To menemukan cara penyelesaian yang gampang-gampang saja.

   Tidak peduli malam sudah larut, ia akan membangunkan Hap Lun, saudara sepupunya yang menjabat sebagai panglima Kiu-bun Te-tok (garnisun ibukota).

   Akan dimintanya tolong agar malam itu juga mengerahkan pasukannya untuk menutup semua jalan keluar dari Pakkhia, sekaligus mengadakan penggeledahan besar-besaran di seluruh kota, meskipun ketenangan kota akan terusik hebat.

   Tubuhnyapun berkelebat bagai kilat, menuju ke rumah saudara sepupunya itu.

   Sementara itu, dua perwira yang lolos dari pembantaian kaum Hiat-ti-cu itu, Oh Bun Kai dan Bhe Hong Tek, telah menemukan tempat persembunyian aman tapi tidak di rumah mereka masing masing.

   Mereka tahu kalau rumah mereka sudah bukan lagi tempat yang aman.

   "Bagaimana kita sekarang?"

   "Tinggal adu cepat dengan kaki-tangannya Liong Ke Toh, tidak boleh terlambat sedikitpun. Saudara Bhe, kau tetap di Pak-khia dan cari hubungan dengan orang-orang yang bersimpati kepada Goan-swe Ni Keng Giau, galang kekuatan dengan mereka di Pak-khia ini untuk menyambut kembalinya Goan-swe dari Jing-hai. Sedang aku akan berusaha menyelundup keluar kota, menyongsong Goan-swe dalam perjalanan pulang untuk beritahu dia situasi yang membahayakan baginya di Pak-khia ini. Setuju?' "Baik. Kau sendiri hati-hatilah, saudara Oh. Mungkin harus mempertaruhkan nyawa dalam usaha keluar dari kota, begitu pula sepanjang perjalanan."

   "Kau juga hati-hati, saudara Oh. Selagi kita yang berkumpul di rumah Pui Toa-ko, rasanya setiap orang bersikap meragukan. Karena itu, hati-hatilah memilih orang yang akan kau hubungi. Jangan sampai keliru menghubungi orang yang malahan anteknya Liong Ke Toh, nanti nyawamu sendiri yang terancam."

   "Saat seperti ini memang bukan saatnya membuat pertimbangan yang bertele-tele. Pokoknya bertindak cepat. Kalau berhasilya berhasil, kalau gagal ya gagal, dan mampus. Tapi kita puas bisa membela Goan-swe Ni Kong Giau."

   Sesaat kedua lelaki itu saling genggam tangan dengan erat, saling membesarkan tekad masing-masing.

   Lalu mengendap-endap keluar dari persembunyian mereka dan berpencaran membawa tugas masing-masing.

   Anak-bini di rumah tak terpikir lagi.

   Tak mereka ketahui pula pertempuran di rumah Pui Cjong sudah berakhir dengan kemenangan di pihak Hiat-ti-cu.

   Kemenangan yang berharga mahal, sebab para Hiat-ti-cu yang hidup tinggal tiga orang.

   Sedang di pihak para perwira Ni Keng Giau, yang hidup tinggal nol orang.

   Para Hiat-ti-cu, seperti biasanya, kemudian mulai mengganas terhadap seisi rumah Pui Ciong.

   Para pelayan, bahkan nenek Pui Ciong yang sudah berusia sembilanpuluh tahunpun dibasmi tanpa ampun.

   Setelah itu, api dilepaskan untuk membakar rumah, dan menghilangkan semua jejak.

   Dan tidak lama kemudian, tanpa menunggu sampai pagi, pasukan Kiu-bun Te-tok pun mulai bergerak di seluruh kota ketika Hap Lun sudah dibangunkan oleh Hap To.

   Perajurit-perajurit yang dalam keadaan masih mengantuk dibangunkan dan diberi tugas malam-malam seperti itu, tentu saja jadi lebih tidak ramah dari biasanya.

   Penggeledahan dilakukan dengan kasar.

   Pintu-pintu rumah yang diketuk dan tidak segera dibuka pun lalu didobrak.

   Gamparan tangan dan gebukan gagang tombak diobral.

   Penduduk jadi banyak berkorban uang, gigi rompal, kuping jadi budeg sebelah atau jidat benjol.

   Namun kedua perwira pengikut Ni Keng Giau yang lolos dari pembantaian itu tak berhasil diketemukan Ketika Hap To melaporkannya kepada Kaisar Yong Ceng, dia mendapat teguran pedas, namun untunglah tidak sampai dihukum mati.

   Dalam usahanya menyingkirkan Ni Keng Giau, Kaisar Yong Ceng mengharap punya kekuatan di pihaknya.

   Maka ia khawatir kalau sampai menghukum Hap To di saat dibutuhkan seperti itu, banyak bawahannya yang lain akan merosot semangatnya.

   Namun Hap To diharuskan meningkatkan pengawasan di seluruh Pak-khia agar jangan sampai ada gejolak yang merugikan rencana Kaisar.

   Setiap desas-desus yang tidak menguntungkan, haruslah dicari sumbernya dan dibungkam secepatnya, dan untuk itu Hap To diberi hak untuk menggunakan "cara sekeras apapun"

   Dengan catatan tambahan "asal tidak menyolok di permukaan". Dan dengan usul Liong Ke Toh, rencana menjatuhkan Ni Keng Giau itu akan dipercepat pelaksanaannya.

   "Ini perlu, Tuanku. Terlalu berbahaya kalau Ni Keng Giau lebih dulu sampai diberi kabar oleh pengikut-pengikutnya, lalu timbul pikirannya untuk berontak, pada hal di tangannya masih tergenggam kekuasaan atas pasukan yang begitu besar."

   "Jadi bagaimana, Paman?"

   "Pelaksanaan rencana dipercepat. Tidak usah menunggu sampai dia kembali ke Pak-khia, tapi di tengah perjalanan pulangnya dari Jing-hai. Jadi kalau ada tanda-tanda dia curiga dan akan membangkang, kita di sini masih punya wak tu untuk bersiap. Kalau sampai dia ada di Pak-khia dengan pasukannya, wah berbahaya sekali kita." * * * Pasukan besar Ni Keng Giau meninggalkan Jing-hai dengan membawa kemenangan besar, meskipun harus meninggalkan ratusan ribu mayat di padang rumput itu. Mayat lawan maupun kawan. Ketika pasukan itu tiba di kota Ling-he, Ni Keng Giau memerintahkan untuk berhenti. Namun kota Ling-he yang kecil itu tidak bisa menampung pasukan yang berjumlah begitu besar, sehingga pasukan itu harus beristirahat di luar kota. Hanya Ni Keng Giau dan perwiraperwira berpangkat Cam-ciang ke atas serta regu pengawal Ni Keng Giau, yang memasuki kota. Walikota Ling-he sudah menyediakan tempat di gedung Balaikota. Baru satu hari pasukan itu istirahat di Linghe, tiba-tiba datanglah utusan dari Pak-khia, yang mengaku membawa Titah Kaisar untuk Ni Keng Giau. Maka di aula Balikota Ling-he, Ni Keng Giau, Kim Seng Pa dan para perwira tinggi, menyambut pembawa Titah Kaisar itu dengan berlutut, seolah berhadapan sendiri dengan Kaisar. Utusan Kaisar itu dengan gagah berdiri, membuka gulungan satin kuning yang bercap kekaisaran, dan mengumandangkan huruf demi huruf yang tertera di atasnya.

   "Titah Yang Dipertuan Sang Putera Langit! Karena jasa-jasanya yang tak terhingga bagi tegaknya negara, Yang Dipertuan Sang Putera Langit menganugerahkan gelar kebangsawanan It-teng-kong kepada Ceng-se Tai-ciang-kun Ni Keng Giau! Selain itu, juga berkenan menganugerahkan wilayah Siam-sai dan Secuan sebagai wilayah turun-temurun bagi anakcucunya."

   Dan masih ada kata-kata sanjungan memabukkan lainnya.

   Biarpun masih berlutut, rasanya hati Ni Keng Giau sudah melonjak-lonjak karena kegembiraan yang tiba-tiba membanjiri hatinya.

   Anugerah yang tak terduga, padahal tadinya ia sudah khawa tir kalau Kaisar meragukan laporannya tentang Pangeran In Te dan menghukumnya.

   'Ternyata kepercayaan Sribaginda kepadaku tidak berkurang,"

   Pikirnya dengan lega.

   Ia membayangkan betapa akan menjadi mangkubumi di Siam-sai dan Se cuan, memiliki wilayah sendiri, pasukan sendiri, peraturan pajak sendiri, dan paling-paling setahun sekali ia harus menghadap Kaisar di Pak-khia untuk memperbaharui sumpah setianya sambil mempersembahkan upeti.

   Apalagi wilayah Siam-sai dan Se-cuan dikenal subur, maka tak terhingga anugerah yang dite rimanya itu.

   Yang berlutut tepat di sebelah Ni Keng Giau adalah Kim Seng Pa, yang bukan main kagetnya mendengar isi Titah Kaisar yang demikian itu.

   Hampir saja ia menangis meraung-raung mendengar orang yang dibencinya itu mendapat kedudukan begitu tinggi.

   Apakah berarti laporannya kepada Kaisar yang menjelek jelekkan Ni Keng Giau itu tidak dipercayai oleh Kaisar? Kalau Ni Keng Giau diberi gelar bangsawan dan diberi wilayah, lalu dirinya sendiri mendapat apa? Mungkinkah dalam sisa umurnya yang tidak banyak lagi itu, ia akan terus-terusan menjadi komandan Ci-ih Wi-kun saja? Namun ia terus berlutut dengan patuh, mendengar si Utusan Kaisar yang belum selesai membacakan.

   Dengan penuh harap Kim Seng Pa masih menunggu kalau-kalau dirinyapun disebut untuk mendapat suatu anugerah.

   Ternyata sampai si Utusan Kaisar berseru.

   "Demikianlah titah Yang Dipertuan Agung, Sang Putera Langit!"

   Nama Kim Seng Pa tidak disebut sama sekali.

   Seolah Kaisar sudah lupa kalau punya seorang bawahan yang namanya Kim Seng Pa.

   Kekecewaan yang amat dahsyat menyerbu jiwa Kim Seng Pa.

   Selesai pembacaan, semua yang berlutut serempak menyerukan penghormatan terhadap Kaisar.

   "Ban-swe! Ban-swe!"."Ban-swe! Banswe!"

   Suara Kim Seng Pa terdengar agak terlambat, juga bernada parau dan menyayat hati. Sebaliknya bagi Ni Keng Giau, belum pernah seumur hidupnya mendengar suara se "merdu"

   Itu. Ia melirik sekejap ke arah Kim Seng Pa sambil melontarkan senyuman mengejek. Utusan Kaisar menggulung satin kuning bercap itu, dan berkata.

   "Ni Goan swe, terimalah....."

   Ni Keng Giau bangkit dari berlutut nya, lalu dengan sikap hormat menerima gulungan itu dengan kedua tangannya. Katanya.

   "Kim-che Tai-jin (Tuan Utusan), kalau besok pagi atau kapan saja Tai-jin pulang ke Pak-khia, tolong sampaikan sembah sujudku dan rasa terima kasihku yang tak terhingga kepada baginda. Katakan, bahwa hambanya yang hina sedang kembali ke Pak-khia untuk mempersembahkan kejayaan ke bawah duli Sribaginda." Kim-che Tai-jin mengangguk sambil tersenyum lebar.

   "Aku akan menyam paikannya, Goan-swe. Dan akupun secara pribadi mengucapkan selamat kepada Goanswe."

   "Terima kasih."

   "Selain itu, Goan-swe, ada sebuah pesan pribadi dari Sribaginda yang khusus untuk Goan-swe sendiri."

   "Aku sediakan waktu untuk itu, Tai-jin, kapanpun Tai-jin menghendakinya,"

   Kata Ni Keng Giau dalam semangatnya kegembiraannya yang meluap-luap.

   "Tidak usah terburu-buru, Goan-swe. Nanti juga bisa. Sekarang lihatlah, banyak orang menunggu kesempatan untuk mengucapkan selamat kepada Goan-swe. Jangan biarkan mereka menunggu terlalu lama."

   Keakraban antara Ni Keng Giau dan si Kimche Tai-jin, juga percakapan mereka, seolah semuanya sengaja diperagakan untuk menyakiti hau Kim Seng Pa.

   Setidak-tidaknya begitulah perasaan Kim Seng Pa sendiri, membuat jago tua itu jadi merasa agak tersia-sia.

   Namun suka atau tidak suka, Kim Seng Pa kemudian memasang topeng senyumnya untuk memberi selamut kepada Ni Keng Giau, diikuti perwira-perwira lainnya dan Walikota Ling-he sendiri.

   Tidak sedikit yang menyusun sanjungpujian seperti deklamasi yang menggidikkan bulu tengkuk, dengan harapan akan "ke cipratan rejeki"

   Dari si calon mangkubumi wilayah Siarn-sia dan Se-cuan itu. Sedang Kim Seng Pa terlalu singkat mengucapkan selamatnya, lalu dengan alasan "tubuhnya masih lelah"

   Dia mohon diri dari ruangan itu, untuk kembali ke perkemahan perajurit di luar kota Ling-he. Walikota Ling-he buru-buru menyusul langkahnya dan berkata.

   "Kim Cong-koan, kenapa harus tidur di perkemahan? Cong-koan sudah kusediakan sendiri kamar di gedung ini. Biarpun amat sederhana, tapi aku ingin menjadi tuan rumah yang baik." "Tidak. Terima kasih,"

   Sahut Kim Seng Pa singkat.

   Dalam suasana hati macam itu, ia lebih suka tidur bersebelahan dengan kambing daripada harus di bawah satu atap dengan Ni Keng Giau.

   Tiap kali melihat Ni Keng Giau tersenyum, rasanya tekanan darah Kim Seng pa naik setingkat.

   Sang Walikota Ling-he pun tak berani mencegahnya lagi.

   Tiba diluar, begitu sengit ia melompat naik ke punggung kudanya, sampai tubuhnya hampir terperosot ke sisi lain dari tubuh kuda.

   Dan begitu duduk di pelana, si kuda yang malang langsung dicambuknya habis-habisan, dipacu keluar kota Ling-he.

   Di seberang gedung Balaikota ada seorang pengemis berjongkok di bawah dinding.

   Ketika Kim Seng Pa keluar, buru-buru ia menunduk, dan setelah Kim Seng Pa jauh barulah ia berani kembali mengangkat mukanya.

   Desisnya seorang diri.

   "Kenapa Kim Seng Pa tadi nampak marah? Ada hubungan apa dia dengan urusan itu?" Sesaat pengemis itu nampak berpikir berat, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Bukan urusanku, lebih baik aku memusatkan pikiran untuk mencari akal, bagaimana bisa berbicara dengan Goan-swe Ni Keng Giau. Kalau tidak bisa langsung, tidak langsungpun boleh, asalkan lewat orang yang bisa kupercayai. Namun selagi hari terang benderang seperti ini, sulit kutemui Ni Goan-swe, lebih baik aku tunggu sampai hari gelap."

   Kemudian pengemis itu bangkit, dan dengan langkah terbungkuk-bungkuk berjalan pergi dari tempat itu.

   Sore harinya, sebuah jamuan besar diselenggarakan oleh Walikota Ling-he di gedung kediaman resminya.

   Selain untuk menghormati Ni Keng Giau yang lagi "naik daun"

   Juga menghormati Si Kim-che Tai-jin sebagai wakil pribadi Kaisar.

   Medan perjamuan penuh makanan dan minuman yang berlimpah, dengan pelayan-pelayan yang sudah di "kursus kilat".

   Suasana riang gembira.

   Tapi yang hadir dalam ruang perjamuan cuma perwira-perwira tinggi.

   Sedang para perajurit rendahan tetap berjaga di luar, untuk memberi kesempatan agar nyamuk-nyamuk kelaparan juga bisa ber pesta.

   Di luar gedung, seorang pengemis berjalan tertatih menyeberangi jalan, wajahnya hampir sepenuhnya tertutup oleh topi rumputnya yang butut, la melihat-lihat gedung itu, nampak pula pen jaga-penjaga berwajah angker menjaga di setiap langkah keliling gedung itu.

   Melihat seragam penjaga-penjaga gedung itu, ternyata mereka bukan pcrajurit-perajurit Linghe sendiri atau pun perajurit-perajuritnya Ni Keng Giau, melainkan pengawal-pengawal yang dibawa oleh Kim-che Tai-jin.

   Melihat itu, si pengemis mengeluh dalam hatinya.

   "Goan-swe benar-benar sudah lengah. Tidak sadar kalau dia sudah dikelilingi musuh. Seperti harimau yang mengantuk dan tanpa sadar dipasangi jeruji-jeruji kerangkeng di sekitarnya. Apabila kelak kerangkeng itu sudah melingkar rapat, biarpun si harimau masih kelihatan gagah, namun sebenarnya tinggal menunggu saatnya untuk dicabuti gigi dan kukunya. Ah, aku harus mencarinya kesempatan untuk memperingatkan Goan-swe akan bahaya yang mengancam. Karena pengemis itu tak lain dari Oh Bun Kai, salah seorang perwira pengikut fanatik Ni Keng Giau yang sempat lolos dari pembantaian Hiatti-cu di rumah Pui Ciong di Pak-khia, beberapa hari yang lalu "He, jembel! Mau apa kau longak-longok di sini?!"

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Seorang penjaga tiba-tiba membentak.

   "Kalau mau sisa-sisa makanan, lewat pintu belakang sana!"

   Dengan terbungkuk-bungkuk mirip pengemis tulen, Oh Bun Kai menyingkir dari pintu depan.

   Tapi ia pantang mundur.

   Gagal dari pintu depan, diapun berputar mencari pintu belakang.

   Di lorong belakang gedung besar itu ternyata sudah penuh dengan pengemis.

   Ada yang berjongkok, bersandar dinding, atau seenaknya menggeletak di tanah beralas tikar.

   Semuanya dengan sabar menunggu terbukanya pintu kecil di belakang gedung itu, saat pelayan gedung keluar membawa sisa-sisa makanan.

   Tertatih-tatih Hh Bun Kai mendekati pintu kecil itu.

   Tiba-tiba pintu terbuka- Para pengemis segera berdesakan maju dan Oh Bun Kai terpaksa harus ikut sikut-sikutan pula.

   Namun yang muncul di pintu kecil itu bukan pelayan yang membawa sisa makanan, melainkan pengawal berseragam pengawal Kim-che Iai-jin yang tangannya menjinjing pedang.

   Agaknya dia ingin memeriksa keamanan di bagian belakang gedung itu.

   Keruan Oh Bun Kai jadi kegirangan ketika mengenali pengawal itu sebagai Hui-kiam-eng Teng Jiu, salah satu pengawal istana yang beberapa hari terakhir sebelum malapetaka itu punya persahabatan yang meningkat baik dengannya.

   Lebih-lebih Oh Bun Kai ingat betapa di rumah makan Pek-goat-Iau, Teng Jiu pernah menghajar dua orang kaki tangan Liong Ke Toh", sehingga Oh Bun Kai merasa bisa minta tolong kepadanya.

   Sungguh kebetulan bahwa Teng Jiu terpilih ikut mengawal Utusan Kaisar.

   Dengan bersemangat, Oh Bun Kai mendesak maju.

   Sampai lupa akan penyamarannya sebagai pengemis, ia memanggil-manggil.

   "Teng Sam-ko! Teng Sam-ko!"

   Teng Jiu terkejut mendengar seorang jembel memanggil-manggil namanya.

   Mula-mula ia mengira, tentunya seorang sahabat yang menjadi anggota Kai-pang (serikat pengemis).

   Namun ia terkejut ketika mengenali Oh Bun Kai yang berpakaian seperti pengemis, dan ia sudah menduga apa yang akan Oh Bun Kai katakan.

   Dan memang tepat seperti yang di duga.

   "Sam-ko..... sam-ko..... aku sangat membutuhkan bantuanmu."

   Oh Bun Kai terus mendesak ke depan, sehingga pengemis-pengemis lainnya mencacimaki dengan gusar.

   "Kelaparan ya kelaparan, tapi apa tidak bisa antri dengan sabar!"

   "Semuanya akan kebagian, tidak perlu main sikut seperti itu!"

   "Tahu aturan sedikit!" "Panggil-panggil "Sam-ko"

   Segala pura-pura kenal supaya mendapat bagian banyak sendiri ya?"

   "Kalau siasat begitu bisa berhasil, akupun akan mengakui Ni Keng Giau sebagai adikku, agar bisa diundang pesta,"

   Tetapi Oh Bun Kai yang tengah bergairah itu tidak peduli dan terus mendesak.

   "Teng Sam-ko! Ada hal penting yang harus kubicarakan denganmu!"

   Teng Jiu maju menyibakan para gelandangan itu untuk menangkap tangan Oh Bun Kai, lalu diseretnya menjauhi tempat itu, ke sebuah lorong lain yang sepi.

   Keruan para gelandangan lain jadi iri.

   Sementara itu, pintu kecil itu sudah ditutup kembali oleh beberapa pengawal galak.

   


Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Pendekar Bloon Karya SD Liong Pedang Bunga Bwee Karya Tjan ID

Cari Blog Ini