Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 4


Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Bagian 4



Kemelut Tahta Naga (2) Karya dari Stevanus SP

   

   Sementara Teng Jiu dan Oh Bun Kai telah tiba di sebuah lorong yang gelap, sepi, dan luar biasa bau air kencing di tempat itu.

   Begitu gelapnya, sehingga Teng Jiu dan Oh Bun Kai yang berdiri berhadapan itu hanya saling bisa melihat lawan bicaranya berujud cuma sebagai bayangan hitam yang tidak tegas garis-garisnya.

   Teng Jiu maju menyibakkan para gelandangan itu untuk menangkap tangan Oh Bun Kai, lalu diseretnya menjauhi tempat itu ke sebuah lorong lain yang sepi.

   Oh Bun Kai lah yang langsung menye rocos bicara.

   "Sam-ko, kau pernah billang kepadaku, bahwa kau tidak su a kepada Liong Ke Toh, si ular tua tukang memfitnah itu Nah, Sam-ko sekarang ini pemerintahan terancam akan dikuasai pengaruh Liong Ke Toh. Tidakkah Samko ingin mencegah bencana ini?"

   Teng Jiu bungkan, karena apa yang sudah dan akan diomongkan Oh Bun Kai itu sudah bisa ditebaknya.

   Diam-diam Teng Jiu merasa kurang enak dalam hatinya sendiri.

   Begitu tulus dan bersungguh-sungguh Oh Bun Kai memandangnya sebagai teman yang terpercaya, namun Oh Bun Kai belum tahu siapa yang sudah membocorkan ke pihak Hiat-ti-cu soal waktu dan tempat pembicaraan rahasia perwiraperwira fanatik itu Bukan lain adalah Teng Jiu sendiri, sehingga malam itu.

   terjadi pembantaian kejam oleh kawanan Hiat-ti-cu Apa boleh buat, dalam mencapai tujuan golongannya, rasa persahabatan kadang-kadang memang harus dipaksa minggir.

   Yang nomor satu, mencapai tujuan dengan segala cara.

   Oh Bun Kai yang masih mengira Teng Jiu sebagai teman segolongan itu-pun terus menyerocos.

   "Sam-ko, ketahui lah bahwa beberapa hari yang lalu di rumah Pui Toa-ko di Pak-khia terjadi pembantaian kejam yang dilakukan kaki tangan Liong Ke Toh. Hanya aku dan Bhe Hong Tek yang lolos. Pembantaian itu terjadi, karena kami para perwira telah mencium adanya rencana busuk Liong Ke Toh, dan kami tidak layak di biarkan hidup. Alangkah kejinya bangsat tua she Liong itu. Sam-ko, saat ini Bhe Hong Tek masih di Pak-khia untuk menyusun kekuatan dengan teman-teman sepaham, sedangkan aku kemari untuk menemui Goan-swe, karena sekarang hanya Goan-swe yang dapat menyelamatkan negara dari keserakahan Liong Ke Toh. Untuk ini aku butuh bantuanmu, Sam-ko. Tolong sampaikan peringatanku kepada Goan-swe agar ada langkah persiapan, jangan sampai Goan-swe masuk perangkap. Tolonglah, Sam-ko, demi keselamatan negara. Tolonglah." Teng Jiu menarik napas dalam-dalam, dan menjawab.

   "Setiap orang punya garis perjuangan sendiri-sendiri, Oh heng Kau begitu setia membela Ni Keng Giau, tapi maaf, aku tidak. Terang-terangan saja, aku membenci Ni Keng Giau yang kejam, dan aku ambil bagian dalam usaha untuk menyingkirkannya.!"

   Melebihi disengat kala kagetnya Oh Bun Kai ketika mendengar kata-kata itu.

   "Teng Jiu! Kau .... kau....."

   Teng Jiu melanjutkan kata-katanya.

   "Akupun minta maaf, harus kuakui bahwa kedatangan rombongan Hiat-ti-cu ke tempat pertemuan rahasia kalian itu adalah karena petunjukku."

   "Binatang! Ternyata selama ini mataku yang sudah buta, sehingga seorang pengkhianat busuk telah kusangka sebagai seorang sahabat yang terpercaya!"

   Teriak Oh Bun Kai kalap. Tiba.-tiba ia mengeluarkan sebilah belati dari bajunya, lalu kalang kabut menyerang Teng Jiu.

   "Ternyata kau adalah kaki tangan Liong Ke Toh! Ku bunuh kau demi arwah teman-teman seperjuanganku!" Oh Bun Kai bersenjata belati dan Teng Jiu bertangan kosong, namun hal itu cepat berakhir dengan kemenangan di pihak Teng Jiu. Karena ilmu silat Teng Jiu sebagai pengawal istana lebih tinggi dari perwira-perwira biasa yang lebih menguasai taktik-taktik kemiliteran daripada ilmu silat secara perorangan. Kedua, karena selama beberapa hari ini Oh Bun Kai menderita kelelahan dan ketegangan lahir batin, pikirannya setengah kacau, sehingga tenaganya banyak terkuras habis. Karena itu, dalam suatu gebrakan, Teng Jiu berhasil menangkap lengan Oh Bun Kai untuk langsung ditekuk ke belakang punggungnya, sehingga tak berkutik lah Oh Bun Kai. Sambil meronta-ronta, Oh Bun Kai berkata dengan gemas campur putus asa.

   "Ayo, bunuh saja aku, bangsat! Biar kau mendapat hadiah dari si bangsat tua Liong Ke Toh itu!"

   "Tenang, Oh-heng. Aku takkan membunuhmu, namun perlu kujelaskan satu hal kepadamu. Aku tidak bekerja untuk Liong Ke Toh, sebab pada saatnya nanti Liong Ke Toh juga harus disingkir kan. Namun dalam hal menyingkiran Ni Keng Giau, kami memang sengaja membonceng Liong Ke Toh dan membantu melancarkan rencananya. Oh-heng, kita bermain di gelanggang yang sama, dan tentunya juga sama-sama tahu betapa kotornya permainan ini, bukan?"

   "Kalau kau tidak bekerja buat Liong Ke Toh, lalu buat siapa? Pangeran Hong-lik?"

   "Bukan. Untuk Pangeran In Te."

   Roma Oh Bun Kai mengendor, mulutnya bungkam dan kepalanya menun duk. Sementara Teng Jiu melanjutkan.

   "Aku bukan seorang yang begitu gampang menjadi pengikut seseorang dengan membabi-buta, Bukan. Aku cuma meng harap kalau Pangeran In Te kelak bertahta, negeri ini akan ditata lebih baik, kesejahteraan rakyat ditingkatkan. Tidak seperti sekarang ini, dimana rakyat terus-menerus dicengkam ketakutan terhadap pemimpin-pemimpinnya sendiri, karena tiga serangkai penguasa itu. Yong Ceng yang lalim, Liong Ke Toh yang serakah dan Ni Keng Giau yang kejam dan gila hormat. Ketiganya harus disingkirkan menurut gilirannya masing-masing. Kalau sekarang Yong Ceng dan Liong Ke Toh mau menyingkirkan Ni Keng Giau, itu kebetulan sekali buat kami. Bukankah begitu?"

   Teng Jiu berkata lagi dengan tetap memegangi lengan Oh Bun Kai.

   "Karena itu harap Oh-heng pahami. Sebagaimana Ni Keng Giau punya pengikut-pengikut fanatik macam kau dan kawan-kawanmu, Pangeran In Te pun punya. Sebagaimana sakitnya Ni Keng Giau kalau kelak jatuh dari kedudukannya karena kena perangkap licik, begitu pula sakitnya Pangeran In Te dulu ketika disingkirkan dengan cara kotor oleh Yong Ceng dan Ni Keng Giau Aku tahu cara kotor itu, sebab saat itu aku masih berpihak kepada Yong Ceng 'yang ternyata menge cewakan dengan janjijanji kosongnya. Dalam urusan macam ini, tak ada soal perasaan, atau belas kasihan, atau lainnya. Yang ada hanyalah bagaimana mencapai tujuan. Tidak penasaran lagi, Oh-heng?" Oh Bun Kai masih menunduk. Tiba-tiba badannya tergetar sedikit, lalu diam lagi. Teng Jiu terkejut, ia lepaskan cengkeramannya, dan tubuh Oh Bun Kai langsung roboh terkulai.

   "Oh-heng!"

   Teng jiu terkejut.

   Cepat ia menelentangkan tubuh Oh Bun Kai, dan dilihatnya mata perwira itu masih terbuka lebar tapi sudah tidak ada cahayanya lagi.

   Dari sudutsudut bibirnya mengalir sedikit darah.

   Kiranya karena amat marah dan kecewa lantaran gagal menyampaikan peringatan kepada Ni Keng Giau, Oh Bun Kai lalu membunuh diri dengan cara menggigit lidahnya sendiri.

   Melihat kekerasan hati macam ini, Teng Jiu geleng-geleng kepala.

   Secara pribadi ia merasa sedikit bersalah, namun rasa bersalah itu tidak mewakili kelompoknya.

   Ia beranggapan, cukup wajar kalau dua benang tajam bergesekan menyilang, maka salah satu harus putus.

   Dulu "benang Pangeran In Te"

   Yang putus, tapi kini pengikut-pengikut Pangeran In Te menaikkan "layang-layang baru"

   Dan berharap kali ini agar Ni Keng Giau yang "putus".

   Sebagai teman secara pribadi, Teng Jiu juga tidak tega membiarkan mayat Oh Bun Kai tergeletak begitu saja di lorong penuh bau air kencing itu.

   Diangkatnya mayat itu, lalu dicarinya kalau-kalau ada sebuah wihara Buddha di sekitar itu.

   Di tempat macam itu biasanya ada tempat untuk memperabukan jenazah, serta pendeta-pendeta yang secara sukarela bisa dimintai tolong membakar mayat para musafir yang mati di perjalanan, asalkan ada yang mengantarkan mayatnya.

   Akhirnya Teng Jiu temukan juga rempat macam itu.

   Digedornya pintu depannya biarpun sudah malam.

   Ketika pendeta-pendeta membukakan pintu, Teng Jiu mengutarakan maksudnya dan pihak wihara bisa menyetujuinya.

   Teng Jiu pun lalu menyerahkan mayat Oh Bun Kai.

   "Aku mengucapkan terima kasih a-as kebaikan para Toa-suhu. Tapi bisakah kumohon agar abu jenazah temanku ini sudah bisa kuambil besok malam? Hwe-shio pemimpin wiha-ra itu mengangguk.

   "Baiklah. Kalau besok tuan datang seperti saat ini, abu jenazah teman sudah bisa diambil."

   Sebelum pergi Teng Jiu memasukkan uang lima tahil perak ke dalam guci derma. Begitulah, karena ia pernah ditraktir oleh Oh Bun Kai di Pek-goat-lau, maka sekarang diapun balas "mentraktir"

   Arwah Oh Bun Kai.

   Uang itu antara lain untuk mengganti pihak wihara guna membeli kayu bakar, lilin, dupa dan kelengkapan sembahyang lainnya.

   Ketika Teng Jiu melangkah pulang kembali ke Balaikota yang masih dalam suasana pesta, sedikit banyak sikapnya jadi murung juga.

   Biarpun demi menjunjung Pangeran In Te, menyingkirkan penghalang-penghalang bagi Pangeran In Tetapi tak bisa dibantah kalau dia sudah melakukan sesuatu yang buruk terhadap seorang teman macam Oh Bun Kai.

   "Maaf, Ohheng. Maaf."

   Namun sementara langkahnya makin dekat ke Balaikota, ingatan Teng Jiu melayang ke salah satu ucapan Oh Bun Kai sebelum matinya tadi.

   Di Pak-khia masih ada sisa seorang perwira fanatik pengikut Ni Keng Giau yang lolos dari pembantaian, berkeliaran menyusun kekuatan untuk "menyelamatkan Ni Keng Giau".

   Namanya Bhe Hong Tek, dan Teng Jiu berpendapat yang inipun perlu dipapas habis biarpun tidak usah dengan tangannya sendiri.

   Ketika Teng Jiu masuk kehalaman belakang Balaikota dengan lewat pintu kecil di belakang, tahu-tahu Hap To sudah menghadangnya dengan tatapan yang memancarkan kecurigaan.

   "Kau pergi meninggalkan tempat ini tanpa minta ijinku, darimana saja kau?"

   Tanyanya.

   Hap To adalah komandan Hiat-ti-cu regu pembunuh itu.

   Kalau sedang bertugas membunuh orang, pakaiannya ringkas hitam.

   Tapi sekarang ia sedang memimpin pengawalan Kim-che Tai-jin, maka seragamnya pun jubah satin yang mentereng.

   Pengawal Kim-che Tai-jin ada seratus orang, dan mereka diambilkan dari Hiat-ti-cu limapuluh orang, dari Uih Wi-kun juga limapuluh orang.

   Bukan karena pihak istana kekurangan orang, sehingga untuk menyusun pengawal Kim-Che Tai-jin saja harus comot sana comot sini, tapi hal itu memang disengaja oleh Kaisar Yong Ceng yang curiga janganjangan para pengawal itu akan berkhianat, berkomplot dengan orang liar, selagi bertugas jauh dari istana.

   Kaisar Yong Ceng selalu dihantui soal itu.

   Karena itulah regu pengawal Kim-che Tai-jin ini biarpun terbungkus seragam yang sama, sesungguhnya adalah campuran dari dua golongan pengawal yang bersaingan, agar satu sama lain bisa saling mengawasi kalau ada yang berkhianat.

   Karena bersaingan, ka lau satu pihak bertindak mencurigakan sedikit saja, maka pihak lain dengan gembira tentu akan melaporkan kepada Kaisar, demikianlah perhitungan Kaisar Yong Ceng.

   Dan komandan dari regu pengawal Kim-che Ta-jin itu adalah Hap To.

   Teng Jiu menenangkan hatinya menghadapi pemimpin regu algojo ini.

   Sahutnya.

   "Hap Thong-leng (komandan Hap), aku baru saja menjumpai Oh Bun Kai, salah seorang perwira pembangkang yang malam itu lolos dari rumah Pui Ciong, seperti pernah Thong-leng katakan. Ternyata perhitungan Thong-leng benar, dia rupanya menyusul sampai ke sini, dan mencari peluang untuk menyampaikan peringatan kepada Ni Keng Giau. Tentu saja aku mencegahnya."

   Ini baru berita, pikir Hap To. Tanyanya dengan penuh minat.

   "Ha, betul begitu? Di mana dia sekarang? Kenapa tidak kau laporkan kepadaku?"

   Di hadapan orang yang kejam ini, Teng Jiu juga pura-pura menjadi orang yang kejam.

   "Dia menyamar sebagai pengemis dan mencoba menyusup masuk lewat pintu belakang. Tapi aku memergokinya, dia lari dan aku mengejarnya. Aku tak sempat melapor kepada Thong leng, karena khawatir akan keburu kehi langan jejaknya. Aku kejar terus." ''Berhasil kau tangkap?"

   "Berhasil. Lalu aku siksa dia tanpa ampun agar mengaku tentang komplotannya. Dia mengaku akhirnya. Ternyata dia sendirian saja datang ke Ling-he ini, sedang satu temannya yang malam itu juga lolos dari rumah Pui Ciong, bernama Bhe Hong Tek, ternyata tetap di Pakkhia. Katanya untuk mencari dukungan dari perwira-perwira yang sepaham."

   Hap To mengangguk-angguk.

   "Laporanmu cocok dengan laporan-laporan yang aku terima sebelum ini. Memang malam itu hanya dua yang berhasil lolos, lainnya kutumpas habis. Dan sekarang, dimana Oh Bun Kai?"

   "Karena aku gemas mendengar rencananya yang menunjukkan ketidak-setiaannya terhadap Kaisar, aku bunuh dia setelah berhasil kukorek keterangan dari mulutnya."

   Hap To menepuk-nepuk pundak Teng Jiu.

   "Bagus. Bagus. Jasamu ini pasti akan mendapat penghargaan dari Sribaginda. Sekarang, tetaplah bertugas dengan baik di sini. Aku akan segera mengirim orang ke Pak-khia untuk melapor kepada Sribaginda atau Liong Ong-ya, agar segera diambil tindakan untuk mencegah pembela-pembela Ni Keng Giau itu." Teng Jiu mengangguk dengan sikap bangga, namun sambil merintih dalam hatinya.

   "Sekali lagi maafkan aku, Oh-heng. Komplotan teman-temanmu terpaksa harus kupatahkan demi perjuangan Pangeran In Te, agar seluruh negeri terselamatkan dari kesewenangwenangan tiga serangkai yang lalim saat ini."

   Malam itu juga, diam-diam Hap To mengirim pulang Tam Tai Liong, pulang ke Pak-khia untuk membawa surat laporannya.

   Tentu saja dalam surat itu ia tidak menyebut-nyebut jasa Teng Jiu, melainkan ditulisnya "karena jerih payah hamba yang berusaha mempertahankan keagungan Tuanku."

   Begitulah.

   Yang terjadi di permukaan seolaholah Ni Keng Giau disambut secara megah sebagai seorang pahlawan.

   Sedangkan, di bawah permukaan sudah siap sebuah rencana yang rapi untuk melucuti kekuasaan Ni Keng Giau lalu menyingkirkannya.

   Seperti sebatang pohon besar, bagian atasnya ditiup angin sepoisepoi yang membuat ngantuk dan nyaman, sampai tak merasa kalau akar-akarnya mulai digerogoti rayap.

   Di dalam gedung Balai kota pesta terus berlangsung dengan meriah.

   Ni Keng Giau.

   dengan deretan, pengawal-pengawal Kepercayaannya berdiri di belakang kursinya, nampak gembira sekali Sibuk sekali ia membalas ucapan selamat yang membanjirinya, karena setiap tamu dalam perjamuan itu tidak cukup hanya satu kali mengucapkan selamat, melainkan sampai beberapa kail.

   Semua nya khawatir, kalau hanya satu kali mengucapkan selamat, jangan-jangan akan gampang dilupakan oleh si "calon raja muda"

   Itu. Kim-che Tai-jin diam-diam terus memperhatikan Ni Keng Giau. Ketika dilihatnya Ni Keng Giau sudah cukup mabuk, bukan mabuk arak tapi mabuk sanjungan, maka si Kim-che Tai-jin merasa sudah tiba waktunya untuk melancarkan "jurus"

   Berikutnya Karena ia duduk bersebelahan dengan Ni Keng Giau, ia lalu mencondongkan tubuhnya agar mulutnya dekat dengan kuping Ni Keng Giau, lalu berbisik.

   "Goan-swe, bisakah aku meminta waktumu sebentar untuk bicara empat mata, guna menyampaikan pesan pribadi Sribaginda.?"

   Tentu saja Ni Keng Giau dengan wajah sangat cerah mengangguk dan menjawab lirih.

   "Baiklah, Tai-jin, sebentar, aku harus minta diri kepada sahabat-sahabat di ruangan ini."

   Lalu Ni Keng Giau berdiri sambil mengangkat tangannya dan berkata keras.

   "saudarasaudara."

   Ruang perjamuan seketika menjadi sunyi senyap, tak ada lagi gelak tawa.

   suara percakapan, atau kelitak- kelitak sumpit dan mangkuk.

   Yang makarnya sudah masuk mulut tapi belum sempat dikunyah.

   cepat-cepat ditelan begitu saja.

   Agar sang mulut nanti tidak terlambat melontarkan sanjungan dan jilatan pada saat yang dibutuhkan "saudara-saudara, silahkan melanjutkan perjamuan.

   Yang santai saja, dan aku mohon maaf harus meninggalkan ruangan ini sebentar, Kim-che Tai-jin membawa pesan pribadi Sribaginda untuku"

   Ada nada "Goan-swe, bisakah aku meminta waktumu sebentar untuk bicara empat mata, guna menyampaikan pesan pribadi Sribaginda?" bangga ketika mengucapkan itu, disertai lirikan kearah Kim Seng Pa yang sejak semula lebih banyak menunduk Kemudian Ni keng Giau dan Kim che Tai-jin itupun menghilang keruangan belakang.

   Delapan orang pengawal pribadi Ni Keng Giau yang mukanya angker-angker seperti topeng perunggu itu, juga mengikuti.

   Tapi ketika sampai ke sebuah ruang tertutup, kedelapan pengawal itu harus menunggu di luar saja.

   Sedang di dalam ruangan, Kim-che Tai-jin mulai bicara dengan nada amat bersungguhsungguh.

   "Goan-swe, sungguh keberuntungan Goan-swe membuat banyak orang menjadi iri. Selain anugerah Sribaginda yang kubacakan siang tadi, Sribaginda secara lisan berpesan lewat aku, supaya Goan-swe secepatnya tiba di Pak-khia untuk pelantikan kedudukan yang baru. Kalau ada pihak lain yang iri atau dengki, itu sudah biasa, tak perlu terlalu digubris. Tetapi Sribaginda ingin mempercepat pelantikan itu, agar terbungkamlah segera mulut-mulut usil tadi."

   Ni Keng Giau mengangguk mantap.

   "Aku bisa memaklumi. Aku akan mempercepat perjalanan pasukanku. Rencananya akan istirahat sepuluh hari di Ling he ini. Namun karena menjunjung tinggi pesan Sribaginda, aku hanya akan meng ambil istirahat tiga hari saja."

   Kim-che Tai-jin tersenyum sambil mengangguk-angguk.

   "Kepatuhan dan kesetiaan Goan-swe seperti inilah agaknya, yang membuat Sribaginda begitu kasih sayang kepada Goanswe, sampai, tidak menghiraukan suara-suara tak sedap yang santer terdengar di Pak-khia belakangan ini. Sribaginda mengharap, kalau Goan-swe kebetulan mendengar kabar-angin dari mulut-mulut jahil itu, Goan-swe tidak usah terpengaruh. Diseluruh kekaisaran ini, siapa lagi yang lebih dikasihi oleh Sribaginda, kecuali diri Goan-swe?"

   Ni Keng Giau menepuk paha sambil tertawa bergelak sampai kepalanya tertengadah.

   "Sungguh tidak percuma aku mengabdi dengan setia kepada baginda, hanya beliau yang tahu isi hatiku sedalam-dalamnya dan menghargai pengabdian. Akupun mencintai Sribaginda bukan saja sebagai junjungan, tapi sebagai kakak kandungku sendiri. Sejak kami berdua masih sebagai saudara seperguruan, sama-sama belajar di bawah pimbingan Pun-bu Hwe-shio."

   "Oh, ya, Goan-swe, bicara soal persaudaraan, bahkan,"

   Bicara sampai di sini, si Kim-che Taijin mendadak menghentikan ucapannya, sikapnya seolah-olah ragu-ragu, telah mengucapkan sesuatu yang diyakini kebenarannya atau kepastiannya.

   "Bahkan apa?"

   Ni Keng Giau yang penasaran itu lalu mendesak. Utusan Kaisar itu pura-pura bersikap canggung, lalu menjawab sambil menyapukan telapak tangan di depan hidung, seolah-olah mengusir lalat.

   "Ah, cuma kabar angin yang berasal dari orang-orang dekatnya Sribaginda, Goan-swe. Sribaginda sendiri belum pernah mengucapkannya. Hanya kabar angin." Kabar angin tentang apa? Apakah tentang keburukan diriku?"

   "Tidak, Goan-swe. Kabar angin yang ini justru kudoakan agar menjadi kenyataan. Kabarnya Sribaginda ingin mempererat hubungan pribadi dengan Goan-swe, dengan melakukan angkat-saudara. Tetapi hanya kabar angin lho."

   Biarpun sudah beberapa kali dijelaskan "hanya kabar angin", tubuh N i Keng Giau sudah bergetar kegirangan.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Menjadi saudara Kaisar? Luar biasa.

   Tak terasa Ni Keng Giau bangkit dari kursinya, lalu mondar-mandir di ruangan itu sambil meremas jari-jari tangannya sendiri sambil tersenyum-senyum sendiri pula.

   Kim-che Tai-jin ikut tersenyum, seolah ikut berbahagia, padahal sebenarnya mengejek dalam hati.

   "Anugerahnya belum menjadi kenyataan, tapi orang ini sudah menunjukkan gejala-gejala kesintingan."

   Demikianlah lembutnya si Kim-che lai-jin menuntun Ni Keng Giau masuk perangkap, dengan menggunakan dua cara sekaligus. Yang satu cara "penjelasan resmi"

   Dan yang lain cara "kabar angin". Kalau hanya cara "penjelasan resmi"

   Maka Ni Keng Giau malah akan curiga, mungkin akan merasa sedang dibujuk. Sebaliknya kalau hanya dengan "kabar angin"

   Saja, Ni Keng Giau jelas takkan menaruh minat sedikitpun. Maka ya campuran antara kedua cara itulah. Dan saat itu angan-angan Ni Keng Giau sudah melambung sampai ke awan awan.

   "Tapi cuma kabar angin lho, Goan-swe,"

   Kata si Kim-che Tai-jin sambil pura-pura merasa iri kepada Ni Keng Giau. Ni Keng Giau tertawa.

   "Ha-ha, aku cuma seorang keturunan rakyat jelata dari kalangan bawah, mana berani mimpi untuk menjadi saudara angkat Sribaginda? Anugerah yang kuterima hari ini pun sudah cukup berlimpah, tak berani mengharap apa-apa lagi.". Tapi dalam hati ia justru mengharap, alangkah bagusnya kalau "kabar angin"

   Itu bisa menjadi kenyataan.

   "Goan-swe, kecuali itu masih ada pesan pribadi Sribaginda yang lain lagi." "Katakan, Tai-jin....."

   Sergap Ni Keng Giau, sambil membatin.

   "Dasar bintangku sedang terang. Yang akan kuterima ini entah keberuntungan apa lagi?"

   "Ketika dulu Goan-swe berangkat perang ke Jing-hai, apakah benar Goan swe telah memperbesar jumlah pasukan Goan-swe dengan menyedot sebagian kekuatan daribeberapa mangkubumi wilayah, gubernur atau panglima wilayah?"

   "Memang benar. Tapi aku punya alasan yang bisa kupertanggung-jawabkan. Wilayah jing-hai yang harus kuamankan itu cukup luas, sedang pasukan yang kubawa dari Pak-khia kuanggap kurang cukup untuk tugas itu. Maka dengan meminjam kewibawaan Sribaginda lewat pedang pusaka Liong-hong Po-kiam yang ada padaku, aku bangkitkan kesadaran beberapa mangkubumi, gubernur atau panglima wilayah untuk ambil bagian dalam perjuangan menjaga kejayaan negara. Aku lalu mendapat tambahan perajurit, kuda dan perlengkapan. Apakah ada yang tidak senang dengan hal ini ?" "Jangan salah paham, Goan-swe. Sribaginda tidak marah, beliau malah memuji Goan-swe sebagai panglima yang cepat mengambil tindakan menurut situasi yang mendesak, tanpa harus menunggu perintah dari atas. Seorang Panglima berotak cemerlang, begitulah Sribaginda."

   "Kalau Sribaginda bisa memakluminya, aku sungguh- berbesar hati."

   "Sribaginda memang tidak menyalah kan Goan-swe. Tapi banyak gubernur dan panglima wilayah yang menjadi gelisah, karena mereka mengira telah berbuat kesalahan terhadap Sribaginda dan hendak dicopot dari kedudukannya, Banyak yang menghadap Sribaginda di Pak-khia sambil minta-minta ampun. Kalau hal ini tidak segera diatasi, Sribaginda khawatir akan mempertajam kritik dari pada mulut jahil, terhadap kebijaksanaan Sribaginda kepada Goan-swe sekarang ini. Karena itu Sribaginda memerintahkan agar pasukan-pasukan yang diambil dari mereka itu segera dikembalikan ke asalnya masing-masing. Sribaginda juga minta Goan-swe bertindak atas namanya pribadi untuk meredakan kegelisahan mereka."

   Tidak sembarangan orang bisa bertindak atas nama Kaisar pribadi, namun Ni Keng Giau justru diberi hak demikian, keruan saja kepalanya sampai hampir meletus karena bangganya.

   Kebanggaan yang mengendor.kan kewaspadaannya, sehingga ia tidak sadar kalau sampai berbuat demikian maka ia sama saja dengan mengurangi kekuatan pasukannya sendiri.

   Tapi ia menjawab tanpa pikir panjang.

   "Urusan gampang. Akan segera kulaksanakan."

   Utusan Kaisar itu tersenyum puas dan menyatakan pembicaraan itu selesai.

   Dua hari kemudian, rombongan Utusan Kaisar dan pengawalnya berangkat mendahului ke Pak-khia.

   Di antara mereka terdapat Teng Jiu yang membawa sebuah guci berisi abu jenazah Oh Bun Kai untuk diserahkan kepada keluarganya.

   Ni Keng Giau dan para perwira tinggi mengantar sampai keluar gerbang kota Ling-he.

   Juga Walikota di Ling-he ikut mengantar dan menyusahkan para pemikul tandu karena gemuknya yang Kelewat batas.

   Sebelum berpisahan di luar gerbang kota Ling-he, si Kim-che Tai-jin sekali lagi berpesan ulang tentang pengembalian pasukan dari beberapa gubernuran yang selama ini "dipinjam"

   Ni Keng Giau untuk berperang di Jing-hai. Kim-che lai jin menekankan sekali lagi bahwa "Tidak ada yang lebih pantas melakukannya, kecuali orang yang paling dikasihi oleh Kaisar."

   "Akan kulaksanakan secepatnya! sahut Ni Keng Giau sambil membusungkan dada. Sehari kemudian, pasukan Ni Keng Giau pun membongkar perkemahannya untuk berbaris kembali ke Pak-khia, dalam kemegahan sang pemenang perang. Walikota Ling-he kembali mengantarkan dengan penuh hormat sampai keluar ger bang kota. Setelah itu barulah kembali ke kantornya dan mulai menghitung berapa saja biaya yang sudah dikeluarkan untuk penyambutan besar-besaran itu. Agak tekor. Tapi bukan dia kalau sampai tak mampu mengatasi ketekoran itu dengan cara paling singkat, menyunat dana untuk keperluan lain. Sesuai dengan pesan Kim-che Tai-jin, dalam perjalanan pulang itu Ni Keng Giau mengembalikan pasukan-pasukan gubernuran ke asalnya masing-masing. Apa yang tidak diketahui Ni Keng Giau, para gubernur dan panglima wilayah itu sudah mendapat pesan rahasia dari istana pula. Begitu Ni Keng Giau mengembalikan pasukan, maka para gubernur itu harus segera mengirimkan la gi pasukan yang terbaik dan mampu bergerak cepat, untuk menuju sebelah timur kota Pakkhia. Di sana mereka harus "menunggu perintah lebih lanjut". Keberangkatan pasukan-pasukan gerak cepat itu ke Pak-khia, tidak diketahui Ni Keng Giau, sebab mereka mengambil jalan yang tidak dilewati Ni Keng Giau. Dengan demikian, pasukan-pasukan itu harus siap menghadapi pasukan lain yang tadinya di Jing-hai menjadi teman. Ketika tiba diluar kota Pak-khia, pasukan Ni Keng Giau tinggal sekitar 100.000 orang. Kirakira seimbang dengan pasukan dalam dan sekitar Pak-khia, yang setiap waktu bisa digerakkan oleh Kaisar Yong Ceng. Namun Kaisar tidak mau buru-buru turun tangan terhadap Ni Keng Giau, ia tidak mau hanya punya peluang setengah banding setengah untuk keberhasilan rencananya. Setidak-tidaknya harus tujuhpuluh banding tigapuluh, barulah bisa dicoba. Sambutan di Pak-khia begitu meriah, sehingga Ni Keng Giau semakin dinina-bobokan. Namun bagi para keluarga perajurit yang kehilangan, mana ada kegembiraan? Mana ada suasana kemenangan? Yang ada cuma air mata kesedihan. Bahkan jasad dari orang yang mereka cintai itupun tak bisa mereka lihat, karena terkubur jauh di Jing-hai sana. Beberapa hari kemudian, pelantikan dan penganugerahan gelar kepada Ni Keng Giau berlangsung di istana. Kaisar Yong Geng juga mengumumkan bahwa Ni Keng Giau dibebaskan dari kewajiban berlutut apabila menghadap secara pribadi, cukup menghormat biasa. Hari-hari berikutnya, Ni Keng Giau kebanjiran ucapan selamat dari kalangan atas di Pak-khia. Undangan untuk perjamuan makan pun sampai bertumpuk-tumpuk di mejanya. Dan ia menghadiri pesta-pesta dari gedung bangsawan yang satu ke gedung bangsawan yang lain, namanya melangit dan menjadi bahan pembicaraan yang tak habis-habisnya. Mendengar nama Ni Keng Giau dipuja-puja di mana-mana, mendidih juga Kaisar Yong Ceng. Rasanya di Pak-khia itu sudah banyak orang lupa kalau masih ada yang lebih tinggi dari Ni Keng Giau. Namun dengan bujukan susah-payah dari Liong Ke Toh, berhasillah Yong Ceng menahan diri.

   "Tahan sebentar lagi, Tuanku, takkan lama lagi kita melihat cecongornya yang penuh kecongkakan. Tak lama lagi. Kebanggaan yang diterimanya dalam beberapa hari ini sebenarnya malah menguntungkan kita, sebab membuatnya terlena."

   "Paman, yakinkah Paman bahwa sampai detik ini Ni Keng Giau benar-benar belum mencium rencana kita?"

   "Percayalah kepada hamba, Tuanku. Hamba tidak bekerja dengan ceroboh, tidak hanya mengamati tingkah-lakunya dari kejauhan, tapi juga memasang banyak orang kepercayaan hamba di sekitar Ni Keng Giau. Seandainya dia berhasil mencium rencana kita, dan barangkali juga menyiapkan rencana tandingan, pasti orang-orang hamba akan mengetahuinya dan melaporkannya kepada hamba. Pasti. Tapi sampai saat ini belum ada laporan macam itu. Jadi Ni Keng Giau benar-benar terlena oleh umpan-umpan yang kita sodorkan ke bawah hidungnya. Rencana kita aman, Tuanku."

   "Bagaimana dengan perwira-perwira fanatik yang setia kepadanya? Tidakkah mereka berhasil memberi peringatan ke padanya?"

   "Memang ada beberapa perwira keras kepala yang agaknya berhasil mencium rencana kita, dan coba menyusun kekuatan di kota ini. Tapi ada Hap To yang sudah menumpasnya. Ada satu orang berhasil lolos dan menyusul Ni Keng Giau ke Ling-he, namun berkat kesigapan Hap To, orang bernama Oh Bun Kai itu sudah berhasil dibinasakan sebelum sempat menemui Ni Keng Giau. Satu lagi bernama Bhe Hong Tek, berkeliaran di Pak-khia ini sambil mencari kesempatan, tetapi kemarin malam Hap To sudah berhasil memperotol kepalanya dengan kantong Hiat-ti-cu."

   Kaisar Yong Ceng mengangguk-angguk. Dalam hal membikin celaka orang, Pamannya ini bisa digolongkan "seniman", kerjannya amat rapi dan halus.

   "Baiklah, Parnan. Jalankan terus rencana kita. Dan aku mengharap laporan Paman setiap saat."

   "Hamba Tuanku.."

   Sementara itu, di Pak-khia semakin santer desas-desus bahwa Ni Keng Giau akan menjadi saudara angkat Kaisar Yong Ceng sendiri.

   Lalu desas-desus itu meningkat semakin "berani" lagi, katanya Kaisar Yong Ceng takkan kokoh kedudukannya kalau tidak ditunjang oleh Ni Keng Giau.

   Desas-desus pertama memang sengaja disebar Yong Ceng untuk melengahkan Ni Keng Giau.

   Tapi desas-desus ke dua yang "lebih berani"

   Itu entah dari-mana sumbernya, dan membuat Kaisar Yong Ceng merah kupingnya.

   Ia merasa bahwa ada pihak tertentu yang meragukan kekuasaannya, seolah-olah ia tak mampu berbuat apa-apa dan Ni Keng Giau-lah yang berbuat semuanya baginya.

   Maka, tanpa menunggu sampai Kaisar marah dan ngawur tindakannya, Liong Ke Toh buruburu menyodorkan usul untuk melaksanakan langkah berikutnya.

   Pada suatu hari, di hadapan Sidang Kerajaan yang lengkap, Kaisar Yong Ceng dengan sikap yang amat ramah, memerintahkan agar Ni Keng Giau segera menempati istananya di Seng-toh, ibukota propinsi Se-cuan.

   Menjabat sebagai rajamuda bergelar It-teng-kong yang berkuasa atas dua propinsi, Se-cuan dan Siam-sai.

   Bagi orang-orang politik yang peka dan dapat merasakan isyarat-isyarat halus, mulai merasa bahwa nasib Ni Keng Giau di masa mendatang belum tentu sebaik kelihatannya sekarang, Seng-toh.

   Kota itu memang terletak di pusat propinsi yang dijuluki "gudang beras"

   Karena suburnya, namun bagi yang percaya "tahyul politik", Seng-toh seolah juga lambang keruntuhan dan pembuangan.

   Orang jadi ingat sejarah lama tentang Bu Sam-kui, seorang rajamuda di jaman Kaisar Sun Ti dan Khong Hi, kakak dan ayah Kaisar Yong Ceng.

   Bu Sam-kui adalah seorang Panglima Kerajaan Beng yang bertugas menjaga perbatasan San-hai-koan, namun kemudian malah berbalik ke pihak Manchu dan mempermudah pihak Manchu menyerbu Tiong-goan.

   Karena jasanya, Kaisar Sun Ti mengangkatnya sebagai Peng-se-ong yang berkedudukan di Seng-toh.

   Di saat orang mengira itulah awal kejayaannya, justru kenyataannya adalah awal keruntuhannya.

   Ada persamaan antara Bu Sam-kui dan Ni Keng Giau.

   Keduanya sama-sama orang Han yang berhasil mencapai kedudukan tinggi dalam pemerintahan Manchu.

   Orang Han macam itu, dalam pandangan sementara orang, biasanya hanya dipakai tenaganya untuk mengamankan negara, sedang setelah tenaganya terpakai lalu disingkirkan jauh dari istana.

   Para "penebak nasib"

   Mulai bertanya-tanya dalam hati, adakah kota Seng-toh akan mengulangi kisah yang sama? Betapapun cerdik Kaisar Yong Ceng dan Liong Ke Toh menyembunyikan rencananya, tapi orang-orang politik berhidung tajam itu dapat merasakan tanda-tanda buruk pada masa depan Ni Keng Giau.

   Tetapi Ni Keng Giau sendiri malah tidak merasakan apa-apa, jiwa nya penuh dengan kebanggaan yang meluap-luap.

   Sedang orang-orang yang mencium gelagat buruk itu enggan memberitahu Ni Keng Giau, malahan bersyukur dalam hati mudah-mudahan Ni Keng Giau cepat jatuh, lalu....

   aku yang naik! Sementara itu, dalam hatinya Ni Keng Giau masih agak kecewa juga karena Kaisar tidak juga menyinggung-nyinggung soal "angkat saudara"

   Itu, padahal desas-desus sudah begitu santer, bahkan ada yang sudah terlanjur mengucapkan selamat.

   Pihak istana segera menyelenggarakan jamuan untuk mengucapkan selamat jalan dan selamat bertugas, yang tentu saja jauh lebih hebat dari pesta-pesta para bangsawan sebelumnya.

   Kaisar Yong Ceng sendiri mengajak N i Keng Giau mengeringkan tiga cawan arak.

   Keesokan harinya, berangkatlah Ni Keng Giau dari Pak-khia, dengan menunggangi keretanya yang bersepuh keemasan dan ditarik enam ekor kuda Persia.

   Pengawalnya berjumlah 500 orang, dengan seragam baru yang luar biasa mewah, Jubah satin kuning emas, sabuk berkepala batu giok hijau, topi biru berhias bulu merak, pedang-pedang yang sarungnya ukiran gading, sepatu kulit ular, bahkan sanggurdisanggurdi pun terbuat dari perak.

   Gemerlapannya seragam pengawal Ni Keng Giau itu.

   menjadi kelompok Gi cian-si-wi (Pengawal Kaisar) jadi suram seragamnya, kalah jauh kalau dibandingkan.

   Di bagian depan barisan Ni Keng Giau berkibarlah umbul-umbul bertuliskan "It-teng-kong".

   Kemudian masih adalah pengiring yang bukan pengawal, tetapi kawan bujang yang berseragam pula, berjumlah puluhan, dan merekalah yang akan menyiapan segala keperluan Ni Keng Giau seperti makan, ganti pakaian dan sebagainya.

   Ketika Ni Keng Giau siap mengibarkan pula mengibarkan bendera lambing Kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi, Kaisar Yong Ceng tiba-tiba memerintahkan agar bendera itu tidak usah dikibarkan, dengan dalih "karena negara sudah aman", dan disuruhnya menyimpan kembali bendera itu di Peng-po Ceng-tong.

   Ni Keng Giau pun menurutinya tanpa curiga.

   Kaisar Yong Ceng dan pejabat-pejabat tinggi lainnya, lalu mengantar keberangkatan Ni Keng Giau dengan menaiki kereta masing-masing, sampai diluar pintu gerbang barat kota Pakkhia.

   Kemudian antara yang diantar dengan para pengantarpun berpisahan setelah saling mengucapkan selamat.

   Ni Keng Giau bergerak dalam rombongannya yang megah.

   Menurut rencananya, sebelum menuju ke Seng-toh, rombongan itu akan lewat kota Tan-liu untuk menjemput Ayah ibu Ni Keng Giau dan sanakkeluarga lainnya, untuk sekalian diboyong ke Seng-toh.

   Sambil menatap rombongan Ni Keng Giau yang makin jauh.

   Liong Ke Toh tersenyum lebar dan berkata kepada Kaisar Yong Ceng di sebelahnya.

   "Sekarang, Tuanku, seandainya Ni Keng Giau mengetuhui rencana kita, ia tidak lagi bisa berbuat apa-apa untuk kekeliruannya. la berhasil kita potong dari pasukanya.

   "Tapi sungguh luarbiasa mentereng dandanan pengawal-pengawalnya, paman,"

   Gerutu Kaisar Yong Ceng.

   "Sampai dandanan pengawal-pengawalku jadi mirip jembel kalau dibandingkan mereka."

   "Biarkan saja, Tuanku. Dalam adat orang han, mayat yang akan dikuburkan pun juga didandani sebagus-bagusnya,"

   Sahut Liong Ke Toh. sambil terkekeh-kekeh. "Bagaimana menurut Paman, setelah ini kita bereskan dia secepatnya, atau harus tunggu apa lagi?"

   Kata Kaisar setelah duduk kembali dalam keretanya. bersama Liong Ke Toh. Liong Ke Toh menyahut.

   "Ni Keng Giau pernah melakukan suatu tindakan yang amat melukai kehormatan Tuanku. Dia pernah membawa pasukannya masuk istana, dan pasukan itu tidak mau tunduk kepada perintah Tuanku, hanya tunduk kepadanya. Kekurangajaran seperti ini terlalu enak kalau hanya dibayai dengan kematian yang cepat."

   "Paman punya rencana?" .

   "Hukuman secara badan akan kurang menyiksanya. Menurut hamba, buat orang congkak macam dia, hukum paling tepat adalah meruntuhkan kebanggaannya dan menghinanya habis-habisan. Hukuman batin itu pasti lebih menyiksa daripada dipukuli dengan cambuk berpaku." (Bersambung

   Jilid VII) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid VII "Tepat.

   Kebanggaannya itulah yang harus diambil daripadanya, supaya ia merasa amat terhina.

   Angkat dulu tinggi-tinggi, lalu hempaskan ke bawah.

   Sekaligus juga untuk menunjukkan kepada siapa saja, betapa hebatnya seseorang, mati-hidupnya tetap tergenggam di tanganku!"

   Ketika mengucapkan ini, suara Kaisar Yong Ceng bergetar sengit.

   Maka tahulah Liong Ke Toh bahwa keponakannya yang jadi Kaisar ini masih terpengaruh kejengkelan dalam beberapa hari terakhir ini, saat nama Ni Keng Giau seolah memenuhi udara kota Pak-khia melebihi nama Kaisar Yong Ceng sendiri.

   Dan sekarang Kaisar agaknya ingin menunjukkan kalau dia berkuasa untuk sama sekali menghapus nama yang pernah jadi pujaan itu.

   "Begitulah maksud hamba, Tuanku.

   "Apakah sore nanti Paman bisa menemui aku di Gi-sipong?"

   "Hamba selalu siap kapan saja, Tuanku." * * * Tan-liu adalah sebuah kota kecil yang tenang dan damai. Roda waktu seolah berjalan lebih lambat di tempat ini, daripada di tempat-tempat lain. Itu sebuah kota yang barangkali akan terlupakan seandainya di kota kecil ini tak pernah dilahirkan seorang bernama Ni Keng Giau. Tiba-tiba seolah ada angin topan menderu di atas kota kecil itu, kerita para pengembara yang melewati kota itu membawa kabar tentang Ni Keng Giau, jenderal penakluk Jing-hai, bergelar kbangsawanan It-teng-kong, calon mangkubumi di Siam-sai dan Se-cuan, calon saudara angkat Kaisar Yong Ceng, dan sebutan-sebutan dahsyatnya. Seluruh kota gempar dan tercengang. Orang-orang membicarakannya di mana mana, dan bangga, karena Ni Keng Giau berasal dari Tan-liu. Lebih gempar lagi ketika mendengar berita lain, bahwa rombongan Ni Keng Giau akan lewat kota itu, menjemput sanak-keluarganya untuk diboyong ke Seng-toh, ibukota Se-cuan. tak kurang dari gubernur sendiri datang ke Tanliu untuk menyiapkan penyambutan. Hari yang diperhitungkan sebagai hari datangnya rombongan Ni Keng Giau pun tiba. Gubernur dan pembantuu-pembantu dekatnya sudah siap di depan gerbang kota Tan-liu. Sedang penduduk Tan-liu sendiri sudah berjejal-jejal di pinggir jalan, mulai dari pintu gerbang sampai ke rumah orang tua Ni Keng Giau yang tergolong sederhana di pusat kota kecil itu. Tapi rumah sederhana itu sudah di dandani sebaik-baiknya, sebagai luapan rasa bangga para penghuninya. Bujang-bujang sudah memakai baju-baju yang paling bagus, biarpun tidak seragam. Wajah seisi rumah berseri-seri dan lak henti-hentinya membicarakan Ni Keng Giau yang menghadiahkan kebanggaan begitu hebat buat mereka. Bocah nakal yang dulu gemar memimpin teman-teman kecilnya untuk main perang-perangan dengan pedang-pedang kayu atau tombak berujung kain itu, kini akan kembali dalam kedudukan yang begitu tinggi, tak terbayangkan dulu. Di antara orang-orang di pinggir jalan, tak sedikit teman sepermainan Ni Keng Ciau semasa kecil dulu. Mereka tidak sabar menunggu kedatangan rombongan. Mereka siap melambaikan tangan dan meneriakkan salam untuk teman yang beruntung itu. Ah, alangkah menyenangkan nanti. Rombongan tiba. Gubernur sendiri menyambut dengan berlutut, lalu mengiringi rombongan itu masuk ke kota. Dan sorak-sorai orang-orang penyambut di tepi jalanpun menggelegar seolah hendak meruntuhkan langit, ketika mereka melihat barisan pengawal berkuda yang berseragam indah, dengan bendera kebesaran yang berkibar-kibar, mengiringi sebuah kereta berkilauan memantulkan cahaya matahari. Banyak bekas teman N i Keng Ciau melonjaklonjak kegirangan dan memanggil-manggil, Agiau! A-giau!"

   Namun Ni Keng Ciau yang duduk gagah dalam keretanya itu menjadi tidak senang melihat sambutan itu.

   Dari jendela kereta dilihatnya orang-orang yang melompat-lompat kegirangan sambil berteriak-teriak, yang dalam pandangan Ni Keng Ciau amat tidak pantas.

   Maka dia pun menggeram jengkel.

   "Dan. Orang-orang ini kenal adat atau tidak?"

   Seorang pengawal yang berkuda di samping kereta, mendengar gerutuan itu namun kurang jelas. Cepat ia mendekatkan diri ke jendela kereta dan bertanya dengan hormat.

   "Apakah Ong-ya memerintahkan sesuatu?" "Ya. Orang-orang udik ini belum tahu cara yang sopan untuk menyambut kedatangan seorang bangsawan tinggi"

   Seringai khas para penjilat muncul diwajah pengawal itu. ia segera, tahu apa yang dimaui junjungannya ini.

   "perkenankanlah hamba mendidik mereka, ong-ya"

   "lakukanlah!"

   Pengawal itu menderapkan kudanya ke depan umuk menjajari kuda si komandan barisan pengawal yang ada di paling depan, komandan itu di bisikinya tentang keinginan Ni Keng Ciau, dan mengangguk anggukkan kepalanya.

   Setelah itu, si komandan tiba-tiba menjadi beringas.

   Kudanya diterjangkan ke kerumunan penduduk di pinggir jalan Sambil mengayunayunkan cambuknya, ia membentak-bentak bengis.

   "Berlutut! Berlutut! Kalian kira ini arakarakan Toa-pek-kong?! Berlutut! Sambut dengan pantas Yang Mulia It-teng-kong, pemegang kuasa kedua di seluruh kekaisaran yang hanya dibawah Sang Putera langit sendiri! Ayo berlutut, orang-orang tidak tahu adat !"

   Tindakan si komandan pengawal itu segera diikuti seluruh anggota pengawal lainnya, mereka berlomba-lomba menunjukkan siapa yang lebih galak, siapa yang paling pantas menjadi pengawal "orang kedua di kekaisaran"

   Penduduk Tan-liu di kedua tepi jalan kontan menjadi gempar dan panik, wajah-wajah gembira menjadi taget dan ketakutan.

   Tangantangan yang melambai kini ditutupkan ke kepala atau muka, untuk melindungi dari cambukan para pengawal.

   Jeritan wanita dan anak anak terdengar riuh rendah ketakutan menghindari terjangan kaki-kaki kuda-kuda kekar itu.

   Keributan berlangsung tidak lama, sebab para pengawal Ni Keng Giau menjalankan perintah tuan mereka dengan keras tanpa raguragu.

   Para penyambut di pinggir jalan yang tak sempat melarikan diri, akhirnya berhasil dipaksa berlutut semuanya.

   Kesunyian mencengkam, menggantikan gejolak kegembiraan beberapa menit sebelumnya.

   Kini para penyambut seperti jangkrik disiram air, tak ada yang berani bercuit.

   Mengangkat kepala pun tidak berani, khawatir kalau kepala mereka dicambuk atau ditendang oleh para pengawal itu.

   "Nah, begini barulah memadai......"

   Ni Keng Giau tersenyum puas dalam ke retanya.

   Ketika ia menjenguk keluar lewat jendela kereta, senyum puasnya pun makin lebar.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tak ada lagi orang melompat-lompat, melambaikan tangan sambil berteriak-teriak memanggil-manggil nama kecilnya.

   Yang nampak hanya deretan punggung-punggung yang hampir rata dengan tanah, dan kepalakepala yang tertunduk dalam-dalam.

   "Bagus. Begini barulah kelihatan sedikit berbudaya, tidak seperti orang-orang liar."

   Dengan rasa puas, Ni Keng Giau menyandarkan punggungnya ke tempat duduknya dalam kereta. Namun entah apa lagi yang terjadi, tiba-tiba terdengar pengawal- penga wal di bagian depan berteriak-teriak dengan gusar.

   "He, siapa yang berani menyeberang jalan dan tidak mau berlutut? He, berhenti! Berhenti! Dengar tidak? Kurang ajar, tangkap dia!"

   Kiranya selagi semua orang berlutut, malah muncul seorang pemuda yang seenaknya berjalan menyeberangi jalan, kelihatannya memang sengaja menantang perintah Ni Keng Giau.

   Seorang pemuda yang berpakaian gaya Liau-tong, propinsi timur laut yang sepanjang tahun berselimut salju.

   Bajunya yang sederhana itu dirangkapi dengan rompi kulit binatang berbulu, kepalanya memakai topi bulu binatang pula.

   Usianya sekitar dua puluh tahun, kulitnya terlalu putih untuk orang-orang pedalaman Tiong-goan, begitu pula bola matanya berwarna coklat.

   Dengan demikian, ditilik dari tampang maupun caranya berpakaian, pemuda ini menunjukkan benar-benar berasal dari Liautong, tempat asal orang Manchu.

   Ketika para pengawal Ni Keng Giau meneriakinya, pemuda itu tidak cepat - cepat "He, siapa itu yang berani menyeberang jalan dan tidak mau berlutut? He, berhenti! Berhenti! Dengar tidak? Kurang ajar, tangkap dia !" berlutut dengan ketakutan, malahan berdiri kokoh di tengah jalan dongan sikap menantang.

   Sepasang matanya menyemburkan api kemarahan, karena tadi ia sudah melihat bagaimana para pengawal bertindak bengis terhadap penduduk, sehingga banyak penduduk yang luka-luka Si Komandan Pengawal murka sekali melihat sikap pemuda itu.

   Kudanya menderap deras ke depan, berbarengan dengan cambuknya terayun ke wajah pemuda Liau-tong itu.

   Namun si komandan kaget ketika merasa cambuknya cuma membelah udara, sebaliknya malah lengan dan pinggangnya tercengkeram oleh sepasang tangan yang kokoh kuat.

   Berikutnya, ia terangkat dari pelana kudanya.

   "terbang"

   Satu detik lalu terhempas setengah mati ke bumi. Para pengawal lainnya tercengang. Namun ketika melihat pemuda itu memutar tubuh dan hendak berlalu begitu saja, merekapun mengejar sambil berteriak-teriak.

   "Kejar dia!" "Dia harus mendapat hukuman berat !"

   Pemuda itu berlari belasan langkah menjauhi penyerbuan berkuda itu, namun tiba-tiba berbalik dan melompat dengan tangkas, seperti seekor garuda terbang menerjang lawanlawannya dari udara.

   Sepasang tangan dan sepasang kakinya bergerak tangkas nyaris tak terlihat, dan beberapa pengawal terpelanting dari kuda masing-masing.

   Keadaan jadi kacau tak terkendalikan.

   Mendapati lawan yang begitu tangguhnya, para pengawal memutar kuda menjauhi pemuda itu, lalu membentuk jajaran rapat dalam jarak belasan langkah dari pemuda itu.

   Tahu-tahu mereka telah mengambil bedil sudut yang tadinya diselipkan di pelana kuda mereka.

   Dengan cekatan mereka mulai memasukkan bubuk peledak lewat moncong bedil yang (di jaman itu) berbentuk seperti terompet kecil, memadatkannya dengan sebatang kawat tebal, mengisikan peluru berbentuk kelereng besi, memasang sumbu dan menyalakannya di pang kal larasnya.

   Semuanya dilakukan dengan cepat, karena sudah terlatih Ketika moncong senapan-senapan itu diarahkan kepadanya, pemuda Liau Tong itu sadar hahwa ia tak mnngkin melawan sekian hanyak senapan.

   Karena itu, tiba-tiba ia mengenjot tubuhnya dan melompat keatap rumah di pinggir jalan, berbarengan dengan meledaknya senapan-senapan itu.

   Ada untungnya juga penduduk Tan-liu tadi dipaksa berlutut, sehingga kini mereka luput dari hajaran kelereng-kelereng besi panas yang menyembur dan moncong senapan-senapan itu.

   Sementara itu, Ni Keng Giau tidak tahu persis apa yang terjadi di ujung barisannya.

   Cuma terdengar teriakan pe ngawal-pengawalnya, lalu ada letusan senapan segala.

   Dari jendela kereta ia lalu menanya seorang pengawal yang terdekat di luar kereta.

   "He, ada apa?"

   "Ada sedikit gangguan kecil di depan, Ongya."

   Namun mata Ni Keng Giau tiba-tiba menyemburkan api kemarahan.

   "Gangguan apa? Ada orang berani main gila di depanku? Apakah pengacau itu tidak ta hu siapa aku?"

   "Tapi perusuhnya sudah lari Ong-ya"

   "Apa? Perusuh itu berhasil lari? jadi pengawal-pengawalku tidak sanggup menangkap orang yang telah berani memandang rendah kepadaku itu? Harusnya dia ditangkap lalu dipaku di pintu gerbang kota dan dijemur sampai mati, supaya semua orang tahu bagaimana akibatnya kalau berani menentangku!"

   Pengawal yang diajak bicara itu makin gemetar suaranya.

   "Orang itu lari seperti terbang, Ong-ya, bisa melompati rumah. Kwa Thong-leng (komandan Kwa) tak bisa mengejarnya, karena cidera terjatuh dari kuda."

   Kemarahan Ni Keng Giau memuncak, ia tidak mau menganggap hal itu sekedar "gangguan kecil"

   Menurut istilah pengawalnya itu.

   Itu adalah hal sangat memalukan yang dianggap menantang kehormatannya, sangat membuatnya kehilangan muka.

   Bukankah terjadinya di hadapan ribuan pasang mata penduduk Tan-liu, justru pada saat ia memamerkan betapa besar kekuasaannya? "Suruh Kwa Seng-tek kemari!"

   Teriaknya.

   Si pengawal lalu cepat-cepat memangil si komandan.

   Si komandan bernama Kwa Seng Tek itu melangkah mendekati pintu kereta dengan langkah terhuyung-huyung, sambil menyeringai kesakitan dan menekan-nekan pinggangnya sendiri dengan telapak tangan.

   Sikap itu membuat Ni Kong Giau makin malu dan marah.

   Kenapa tidak bisa sedikit menahan sakit dan bersikap gagah sebagai komandan pengawal Bangsawan lt t eng-kong? Begitu tiba di depan pintu kereta yang sudah terbuka, Kwa Seng lek melapor dengan sikap hormat campur takut, tapi lebih banyak takutnya.

   "Hamba mohon ampun, Ong-ya. Hamba akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelidiki dan menangkap perusuh tadi, serta"

   "Biar dilakukan orang lain saja,"

   Suara Ni Keng Giau dingin sekali.

   Pedang liong hong Po kiam anugerah Kaisar Yong Ceng itu dihunusnya secepat kilat dan berkelebat keluar pintu, dan menggelundunglah batok kepala Kwa Seng Tok.

   Pedang yang basah oleh darah itupun menghilang kembali ke dalam kereta, seperti lidah ular yang masuk kembali ke mulut ular.

   Lalu dari dalam kereta terdengar suara Ni Keng Giau keras.

   "Cek Thai-hou!"

   Dengan gemetar, Cek Thai-Hou, si wakil komandan, maju ke depan pintu kereta setelah melangkahi mayat Kwa Seng tek, lalu berlutut.

   "Hamba di sini, Ong-ya."

   "Sekarang kau menjadi komandan. Wakilmu kau pilih sendiri!"

   "Hamba, Ong-ya."

   "Tahu tugasmu yang pertama?"

   "Hamba, Ong-ya. Hamba harus mencari perusuh tadi sampai ketemu, agar mendapat hukuman seberat-beratnya,"

   Sahut Cek Thai Hou dengan hormat.

   sambil dalam hatinya berhitung masih berapa hari lagi kiranya batok kepalanya bertengger dikepalanya? "Nah, jalan lagi!" Maka iring-iringan bergerak dibawah komandan yang baru, sementara si komandan lama dibiarkan tergeletak begiiu saja dengan tubuh dan kepala yang terpisah.

   Orang yang beberapa saat sebelumnya masih berteriakteriak garang sambil mencambuki penduduk, kini tidak bisa apa-apa lagi.

   Tidak ada anggota pengawal yang berani menanyakan mau diapakan mayat itu, khawatir kalau Ni Keng Giau jadi tidak senang apa bila ada anakbuahnya yang usil mengerjakan apa yang tidak diperintahkan.

   Peraturan militer yang amat keras, yang dulu pernah diterapkan dalam angkatan perang penakluk Jing-hai, masih tetap diterapkan oleh Ni Keng Giau demi "menjaga kewibawaan".

   Antara atasan dan bawahan tidak boleh kelewat akrab, apalagi kalau di bawahan sampai berani cengengesan.

   Setelah rombongan itu lewat jauh, barulah penduduk yang berlutut itu berani bangkit.

   Dengan wajah ketakutan mereka mengerumuni mayat Kwa Seng Tek, lalu mulai berbincang dengan ribut "Gila, tak kusangka semudah ini se karang A-giau membunuh orang, padahal dia dulu itu anak yang manis.

   "Kita semua telah salah sangka, karena mengira dia masih seperti dulu.

   "Dulu ya dulu. Sekarang ya sekarang."

   "Ia benar, waktu bisa mengubah apapun. Bukankah ibu mertuamu itupun main.... eh, terpulang dicakari monyet peliharaan yang dulunya begitu disayang-sayang?"

   "A-giau mirip monyet itu. 'Kecilnya lincah dan lucu, besarnya ganas."

   "He, jangan sekeras itu bicaranya. Kalau sampai suaramu didengarnya, bukan kau saja yang dibunuh, tapi mungkin juga kita semua yang ada di sini!"

   "Mudah-mudahan dia secepatnya angkat kaki dari kota ini. Dia tidak patut dibanggakan, setinggi apapun pangkalnya."

   Tiba-tiba seorang pemuda mendesak di antara kerumunan orang itu, langsung menubruk dan menangisi tubuh Kwa Seng Tek.

   "Toa-ko....

   Toa-ko kenapa dulu kau tidak mendengar nasehat ayah dan ibu agar fidak mengabdi kepada pembesar? Sekiranya kau tidak tamak akan kedudukan dan menuruti nasehat ayah ibu, tentu tidak seperti ini nasibmu."

   Lalu menghebatlah tangis pemuda itu. Ternyata, komandan pengawal yang naas itu juga orang kelahiran Tan liu. Keberhasilannya menjadi "orang dekat"

   Ni Keng Giau antara lain juga karena berasal dari satu kampung halaman, alasan yang terjadi di manapun dan kapanpun.

   Namun alasan itu toh tak bisa menyelamatkan lehernya dari sabetan pedang Ni Keng Giau, dan pemuda yang menangisinya itu adalah adiknya.

   Kesedihan si adik kemudian berubah menjadi kemarahan.

   Ia bangkit dan mengacungkan tinju ke arah kereta Ni Keng Giau yang sudah jauh, sambil ber teriak keraskeras.

   "Ni Keng Giau! Tunggulah pembalasanku!" Seandainya ayah dan paman dari pemuda iiu tidak segera muncul untuk mencegahnya, tentu pemuda itu sudah memburu kereta Ni Keng Giau. Setengah membujuk setengah menyeret, setengah marah setengah pasrah, mereka mencegah pemuda itu agar tidak melakukan perbuatan yang membahayakan. Biarpun mereka sedih juga melihat mayat Kwa Seng Tek, namun sebagai rakyat kecil tak mungkin punya peluang untuk membalas terhadap Ni Keng Giau. Akhirnya, hanya dengan duka-cita yang mendalam, mereka pulang membawa mayat yang dua potong itu. Sementara si "perusuh"

   Yang gagal ditangkap pengawal-pengawal Ni Keng Giau tadi, ternyata belum pergi jauh. Dari sebuah sudut jalan, ia melihat digotongnya mayat Kwa Seng Tek.

   "Seandainya aku tidak bertindak dengan gegabah, tentu orang itu sekarang masih hidup,"

   Katanya dalam hati, agak menyalahkan diri sendiri.

   Namun muncul pikiran lain yang membuat rasa bersalah berkurang banyak, "Tapi orang itu tidak segan-segan memukuli rakyat yang tak bersalah untuk menjilat kepada atasannya.

   Makin lama dia hidup, makin lama pula rakyat dibuatnya menderita."

   Dan di seberang jalan tempat pemuda itu berdiri, ada pula seorang lain yang juga memperhatikan peristiwa itu, namun dengan pikiran dan perasaan yang lebih dingin.

   Seorang lelaki setengah abad namun masih bertubuh tegap, sinar matanya rajam bahkan cenderung mengerikan, namun tersamar dalam bayangan topi rambutnya yang sengaja dipakai dengan ditekan rendah.

   Pakaian nya sederhana, rak ubahnya orang awam lainnya, dan tidak kelihatan membawa senjata.

   Tadi ketika semua orang dipaksa berlutut, orang ini pun ikut berlutut sambil menundukkan kepala dalam-dalam, takut kalau wajahnya dilihat oleh Ni Keng Giau.

   namun ulah si "perusuh"

   Tadi juga tidak lolos dari pengamatan diam-diamnya.

   "Asyik juga nonton Ni Keng Giau dengan lagak barunya,"

   Pikirnya sambil menyeringai sendiri.

   "Seperti monyet dalam tontonan topeng monyet. Tapi ini monyet itu didandani seperti manusia, dan juga bisa menirukan beberapa tingkah laku manusia, tapi monyet ya tetap monyet. Betapapun pintarnya tak kan berubah menjadi manusia. Begitu juga Ni Keng Giau. Bagaimanapun lagaknya, takkan mengubah darah keturunan rakyat jelata yang mengalir di tubuhnya. Akulah yang benar-benar berdarah bangsawan murni, biarpun saat ini harus hidup dalam buronan si bangsat In Ceng (nama kecil Kaisar Yong Geng) yang takkan puas sebelum mengunyah tulangku, tapi kelak kalau pendukungku sudah terkumpul, tibalah saatnya aku bergerak merebut tahta, dan aku yang lebih pantas disujudi orang daripada monyet dalam kereta tadi."

   Wajah di bawah naungan topi rumput yang lebar itupun menyeringai sekejap, puas menikmati angan-angannya sendiri.

   Matanya yang tajam tiba-tiba melihat si pemuda yang tadi berkelahi dengan para pengawal Ni Keng Giau.

   Si topi rumput ini merasa tertarik dan cepat-cepat menyeberangi jalan untuk menyusul pemuda itu.

   Pikirnya.

   "Pemuda itu tadi sudah memperlihatkan ilmunya yang hebat, menilik pakaiannya, agaknya diapun orang Manchu seperti aku. Baik lah kucoba mengajaknya berteman, siapa tahu kelak ada gunanya."

   Ketika pemuda itu berbelok menyusup ke sebuah gang kecil, si topi rumput menyusulnya dan mempercepat langkahnya. Pemuda itu agaknya merasa kalau dibuntuti, maka di lorong itu ia tiba-tiba membalikkan tubuh secepat kilat.

   "Apa maksudmu membututi aku sejak tadi"

   Tegurnya waspada. Si topi rumput tertawa dan menjawab.

   "Tadi kulihat kau mengobrak-abrik kawanan pengawal Ni Keng Giau dengan gampang, begitu pula kulihat caramu melompat ke atas atap rumah, langsung aku tahu kau seorang pendekar yang tangguh yang pantas kujadikan sahabat. Kalau boleh aku tahu, siapa namamu dan darimana asalmu, sobat?" Pemuda yang ditanyai itu memang masih hijau dalam pengalaman. Baru satu tahun kurang ia meninggalkan Liau-tong untuk masuk kepedalaman Tiong-goan. Nyalinya juga besar, maka tanpa takut ia menjawab.

   "Namaku Wan Lui. Nyalinya gunung dari lereng Tiang-peksen."

   Si topi rumput lalu tertawa lebar dan membuka topi rumputnya, sehingga tampak makin jelaslah raut wajahnya yang berbentuk agak persegi, dihiasi jenggot pendek campuran warna hitam putih, cocok dengan usianya yang ditaksir sekitar empatpuluh lima tahunan.

   Matanya seperti memancarkan kemauan yang hebat, dan hidungnya besar seperti singa.

   "Berani dari Liau-tong kan?"

   Sahutnya gembira.

   "Berarti Wan-heng (saudara Wan) ini satu suku denganku,! sebab leluhurku juga berasal dari Liau-tong."

   Wan Lui jadi gembira. Dalam pengembaraannya yang kesepian, siapa tidak gembira kalau tiba-tiba menemukan seorang yang mau menjadi temannya? "Siapa namamu, sobat?"

   Ia balas bertanya.

   "Namaku..... em.... In Kiu Liong. Untuk mengakrabkan kita, bagaimana kalau kau panggil aku Toa-ko (kakak) saja, biarpun umurku lebih dua kali lipat dari umurmu?"

   "Baik, Toa-ko,"

   Wan Liu tanpa pikir panjang menyambutnya.

   "Setuju tidak, kalau persahabatan kita ini di raya kan dengan minum-minum?"

   "Setuju sekali. Di mana?"

   "Di kota sekecil ini tidak ada arak baik yang dijual orang, tapi ada warung teh yang lumayan di dekat pasar. Bagaimana kalau kita ke sana?"

   Begitulah, kedua sahabat baru itu-pun berjalan mencari tempat minum.

   Sepanjang jalan, Wan Lui agak heran melihat gerak-gerik In Kiu-liong yang seperti takut dilihat orang.

   Topinya dipakai rendah-rendah, berjalannya lebih sering menunduk, namun dari bawah topi itu matanya selalu tajam mengamati orangorang yang lalu-lalang di jalanan.

   Kewaspadaan yang kelewat batas, komentar Wan lui dalam hati.

   "Padahal mestinya aku yang harus bersikap demikian, sebab aku baru saja memukuli pengawal pengawal pembesar congkak tadi."

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tak lama kemudian, mereka sudah duduk di warung teh dekat pasar, menghadapi dua poci teh wangi dan dua piring kacang goreng di meja.

   Percakapan dalam suasana santai dan sering diselingi tertawa, biarpun In Kiu Liong tiap kali kelihatan melirik waspada ke arah jendela atau pintu.

   "Ada apa, Toa-ko?"

   "Oh, tidak. Tidak. Wah, tehnya betul-betul wangi."

   Dalam percakapan berikutnya, biar pun tetap bersuasana santai, namun In Kiu Liong secara halus berusaha, mengorek lebih banyak keterangan tentang diri Wan Lui.

   Juga sambil berusaha mempengaruhi agar Wan Lui berkesan baik terhadapnya.

   Sebaliknya Wan Lui itu benar-benar polos, benar-benar anak gunung sejati.

   "llmu meringankan tubuhmu hebat, Wanheng."

   Sanjung In Kiu Liong.

   "Cara mu melompat ke atap rumah tadi begini cepat dan ringan, tak mungkin dilakukan oleh sembarangan orang. Kalau aku boleh mengetahuinya, siapa gurumu?"

   "Aku memanggilnya Kakek, tapi bukan karena hubungan keluarga. Hanya seorang lelaki tua yang begitu baik kepadaku, sehingga kami merasa benar-benar seperti kakek dan cucu."

   "Siapa namanya?"

   Wan Lui ragu-ragu untuk menjawab terusterang.

   Orang yang ditanyakan itu adalah seorang bekas jenderal kerajaan, namun kemudian menjadi buronan pemerintahan Kaisar Yong Ceng.

   Karena itu, menyebut namanya kepada seorang yang dikenal baru dalam waktu kurang dari satu jam, betapapun akrabnya orang itu, masih terasa berat bagi Wan Lui.

   "Maaf, Toa-ko. Kakek pernah berpesan kepadaku, agar setelah aku berada di daratan tengah ini, aku tidak sembarangan menyebut namanya. Kata kakek, bisa menimbulkan kesulitan buat diriku sendiri."

   Jawaban macam itu malah mengobarkan lebih hebat rasa ingin tahu dalam hati In Kiu Liong. Namun ia pun sadar, kalau terus mendesak dengan pertanyaannya, malah bisa menimbulkan rasa tidak senang Wan Lui. Maka ia cuma membatin dalam hati.

   "Eh, bocah gunung ini mau main rahasia-rahasiaan segala denganku? Baik. Asal ada kesempatan melihat jurus silatnya barang sepuluh jurus, pasti aku akan mengenali asal-usulnya."

   Begitu yang dipikirkan, lain pula yang keluar dari bibirnya.

   "Aku minta maaf untuk pertanyaan tadi. Kalau memang Wan-heng sulit mengatakannya, tidak apa-apa. Tidak akan mempengaruhi persahabatan kita."

   "Terima kasih, Toa-ko. Mari minum."

   Tengah mereka berdua makan-minum sambil ngobrol dengan asyik, mendadak dari luar warung itu menerjang masuk sekelompok pengawal Ni Keng Giau. Jumlahnya hampir duapuluh orang.

   "Itulah si perusuh yang membuat Ong-ya tersinggung! Tangkap dia!"

   Komandan regu berseru sambil menuding Wan Lui.

   Dandanan Wan Lui yang khas daerah Liautong itu memang gampang dikenali, berbeda dengan pakaian penduduk setempat.

   Di seluruh kota Tan-liu saat itu, barangkali hanya ada satu orang yang berdandan macam itu.

   Lalu pengawal-pengawal Ni Keng Giau itu menyerbu kedalam warung, sambil menunjukkan betapa berkuasanya mereka dengan menendangi perabotan warung sehingga jungkir-balik semua, dan membuai tamu-tamu di warung itu jadi kabur semua.

   Kebanyakan belum membayar.

   Namun Wan Lui dan In Kui Liong tetap duduk dengan tenang.

   Bahkan tangan mereka tidak berhenti menyentilkan butir-butir kacang goreng ke dalam mulut mereka, diselingi menghirup teh wangi.

   Kemudian Wan Lui menoleh ke arah para pengawal iiu dan bertanya.

   "Tuan-tuan yang terhormat, aku kalian sebut perusuh, tapi apa salahku? Dalam perjalananku ribuan li, belum Pernah seingatku aku melanggar undangundang Kerajaan. Kenapa kalian hendak menang kap aku?"

   "Jangan banyak cakap. Kau sudah membuat Ong-ya gusar dan harus kami tangkap untuk meredakan kegusarannya!"

   "Aneh...."

   Kata Wan Lui sambil mengunyah kacang goreng.

   "Sejak kapan orang yang menyeberang jalan saja harus kena hukuman? Kalau kalian memukuli orang-orang lak bersalah di pinggir jalan karena mereka tidak tahu harus berlutut, itu melanggar hukum atau tidak?"

   Komandan regu itu tak mampu menjawab, maka In Kui Liong lah yang menjawab.

   "Sejak kapan menyeberang jalan dianggap bersalah? Ya sejak kepala Ni Keng Giau melar sebesar gentong. Sejak dia merasa dirinya jadi orang ber pangkat tinggi dan boleh semaunya menghukum orang!"

   Hari itu, seluruh penduduk Tan-liu sedang dicengkam ketakutan hebat oleh kedatangan Ni Keng Giau.

   Setiap orang yang takut mendapat kesulitan harus menjaga mulutnya baik-baik.

   Maka ucapan In Kiu Liong itu memang amat mengejutkan.

   Si komandan pengawal segera meme rintahkan anak-buahnya.

   "Tangkap mereka!"

   Wan Lui bangkit dari duduknya sambil berkata kepada In Kiu Liong.

   "Toa-ko, urusan ini timbul karena ulahku, jadi biar aku yang membereskannya!"

   In Kiu Liong mencomot segenggam kacang goreng sambil menjawab.

   "Baik, Wan-heng. Aku yakin dengan kepandaianmu yang hebat, kecoak-kecoak ini takkan mampu menyulitkanmu!"

   Begitulah In Kiu Liong terus sengaja memanaskan hati pengawal-pengawal Ni Keng Giau itu agar segera berkelahi dengan Wan Lui.

   Dan ia dapat mengamari jurus-jurus silat Wan Lui untuk mengetahui alirannya.

   Wan Lui yang lugu itu sama sekali tidak merasakan maksud tersembunyi In Kiu Liong itu.

   Kepada para pengawal, Wan Lui berkata.

   "Kalau mau melawanku mari keluar dari sini. Jangan sampai menimbulkan kerusakan dan kerugian pada orang tak bersalah."

   "Kalau diluar, tentu kau akan melompat ke atap dan kabur seperti tadi, bukan?"

   Ejek si komandan pengawal.

   "Jangan harap aku akan termakan tipuan gombalmu, bocak busuk!"

   Lalu komandan regu itu mendahului bertindak.

   Ia bersenjata sebatang tombak panjang.

   Tangkai tombak melakukan serangan gertakan ke arah kepala, namun serangan sebenarnya ialah ujung tombak yang hendak meluncur ke bawah untuk memaku telapak kaki Wan Lui dengan tanah.

   Gerak tipu itu bagus juga, tapi Wan Lui berhasil menghindarinya dengan undur selangkah.

   Namun Wan Lui harus cepat-cepat menunduk pula untuk meng hindar tikaman ke arah leher.

   Ternyata perwira ini cukup tangkas dalam bermain tombak.

   Melihat pemimpin mereka sudah turun tangan, para pengawal pun serempak mengembut maju.

   Maka Wan Lui segera mendapatkan hujan serangan dari segala arah, Tangkai tombak melakukan serangan gertakan ke arah kepala, namun serangan sebenarnya ialah ujung tombak yang hendak meluncur ke bawah untuk memaku telapak kaki Wan Lui dengan tanah.

   begitu rapat dan tak henti-hentinya, sedang In Kui liong sudah siap melihat gerak-gerik silat dari aliran yang mudah-mudahan dikenalinya.

   Ternyata baik para perajurit maupun In Kui Liong sama-sama kecewa, sama-sama tidak mendapat apa-apa.

   Wan Lui cuma menunjukkan gerak-gerak sederhana seperti menghindar, menggeliat, menunduk, melompar, dan meskipun ruangan di situ sempit namun Wan Lui bisa bergerak seperti lalat di sela-sela lawan-lawannya.

   Para pengawal Ni Keng Giau tak berhasil mengenainya dengan senjata, sedangkan In Kiu Liong tak berhasil mengenal aliran silat Wan Lui, karena gerakan-gerakan itu ada di semua perguruan.

   Tapi biarpun nampak sederhana, tidak sembarangan pesilat bisa melakukannya segesit Wan Lui.

   Setelah sekian lama Wan Lui belum juga memperlihatkan jurus khas perguruannya, In Kiu Liong menjadi tidak sabar, lalu berseru.

   "Wan-heng ini bukan saatnya bermain-main. Kalau kecoak-kecoak itu kedatangan teman7 teman mereka lebih banyak lagi, kita akan repot."

   "Baik, Toa-ko."

   Ketika mengucapkan kata kata itu, Wan Lui tengah merunduk untuk menghindari sabetan sebilah pedang, namun tiba-tiba tubuhnya melambung dan menendang secepat kilat.

   Penyerangnya tadi terlempar dan pedangnya menancap di belandar atap.

   Selanjutnya, gerakan Wan Lui ni secepat kilat dalam membagi-bagikan serangan.

   Tiap langkahnya, lompatannya Wan lui membuai lawan-lawannya bertumbangan.

   entah dipukul, ditendang atau dibanting.

   Perlahan-lahan In Kiu Liong mulai mengenal pola serangan itu, dan tiba-tiba punggungnya pun basah oleh keringat dingin karena teringat seorang tokoh yang ditakutinya.

   "Ah, bocah gunung ini memainkan Thian-liong kun-hoat (silat Naga Langit). Kalau begitu, bias jadi gurunya adalah Pak Kiong liong. Pantas juga kalau dia enggan menyebut nama Pak Kiong Liong terang-terangan, sebab Pak Kiong Liong memang seorang buronan pemerintah yang bernilai tinggi."

   Pikiran tentang Pak Kiong Liong sudah membuat hati In Kiu Liong tergetar kecut. Sekilas pikirannya mulai bercabang, akan terus mendekati Wan Lui, atau harus menjauhinya demi keamanan dirinya? Akhirnya ia memutuskan.

   "Aku akan memperalat bocah gunung ini sejauh tidak membahayakan nyawaku. Dan bocah ini tidak boleh mengetahui siapa diriku sebenarnya,"

   Sementara itu, Wan Lui benar-benar telah merobohkan semua lawannya, termasuk komandannya pula. Mereka bergelimpangan sambil merintih-rintih kesakitan.

   "Selesai, Toa-ko,"

   Kata Wan lui sambil tersenyum. In Kiu l iong bangkit sambil memasang kembali topi rumputnya yang lebar. Katanya.

   "Kau hebat, Wan-heng, tapi kita harus segera pergi dari sini dan kalau perlu keluar kota. Keempat tangan kita tak mungkin melawan ratusan pasang tangan anjing-anjingnya Ni Keng Giau yang bakal membanjiri tempat ini."

   Sekilas Wan Lui melihat pemilik warung kecil itu berjongkok ketakutan di sudut.

   Wan Lui jadi iba karena tahu warung-warung macam itu biasanya tak punya modal cadangan, padahal warungnya saat itu sudah berantakan.

   Wan Lui ingin mengganti kerugian, tapi cuma mengantongi sedikit uang, maka tanyanya kepada In Kiu Liong.

   "Toa-ko, ada uang?"

   "Ada.... ada."

   Sahut In Kiu Liong sambil mengeluarkan dan membuka kantong uangnya, sekilas nampaklah gemerlapnya keping-keping emas dan perak dalam kantong itu, bahkan ada juga sebutir dua permata yang mahal.

   Tapi yang dikeluarkan In Kiu Liong dari kantong itu hanyalah uang recehan seharga pas untuk poci teh dan dua piring kacang goreng tadi.

   Soal ganti rugi kerusakan warung, sama sekali tidak masuk perhitungannya.

   Melihat In Kiu Liong hendak menyimpan kantongnya kembali, terpaksa Wan lui harus mengutarakan maksudnya, 'Toa-ko, mestinya pemilik warung ini mendapat ganti rugi dari diriku.

   Tapi karena uangku tidak cukup, tolong pinjami dulu."

   Namun In Kiu Liong tetap memasuk kan kantong uangnya ke balik baju, sambil menjawab tanpa perasaan.

   "Tiap orang dagang punya hari naasnya masing masing. Ayo pergi, Wan-heng. Biar orang itu nanti menagih ganti rugi kepa da N i Keng Giau."

   Seolah-olah mengusulkan suatu jalan keluar, namun jalan keluar yang tidak mungkin ditempuh, mana mungkin si pemilik warung berani menagih Ni Keng Giau.

   Dengan perasaan agak mendongkol ierhadap In Kiu Liong, Wan Lui menguras habis isi kantongnya sendiri yang tidak seberapa, semuanya diletakkan di meja sambil berkata kepada si tukang warung.

   "Maaf, pak, aku ingin mengganti untuk semua kerugian bapak, tapi hanya ini yang kupunyai. Kelak aku akan datang lagi untuk menutup kekurangannya." Dan kepada In Kui Liong, Wan Lui berkata.

   "Toa-ko, sampai jumpa lagi."

   In Kui Liong cepat-cepat mengejar dan mencegah.

   "Nanti dulu, Wan-heng. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu."

   Tanpa menggubris, Wan Lui sudah melangkah dengan cepat di luar warung. In Kiu Liong juga mempercepat langkah untuk menyusulnya.

   "Wan-heng, melihat jurus-jurus silatmu tadi, aku menerka bahwa gurumu yang kau panggil kakek itu adalah Goan-swe Pak Kiong Liong."

   Sebenarnya sikap pelit In Kiu Liong terhadap pemilik warung tadi membuat Wan Lui agak kecewa. Tapi ketika men dengar disebutnya nama Pak Kiong Liong, perhatian Wan Lui jadi tertarik dan i a pun menghentikan langkah.

   "Apakah Toa-ko mengenal kakek Pak Kiong Liong?"

   Tujuan Wan Lui meninggalkan Liau-tong masuk ke Tiong-goan memang untuk mencari gurunya itu.

   tidak heran ketika mendengar In Kiu Liong menyebut kannya, dia segera tertarik.

   In Kiu Liong berjalan mendekat lalu menepuk-nepuk pundak Wan lui, sambil melepaskan kata-kata penjerat n ya.

   "Wan heng, aku dan gurumu itu bukan hanya kenal, tapi bahkan satu garis perjuangan. Karena itu, kitapun bisa di bilang sebagai teman seperjuangan." 'Teman seperjuangan?"

   "Ya, teman seperjuangan menentang kekuasaan lalim yang sekarang mengangkangi istana. Gurumu buronan Yong Ceng, aku juga. Kami berdua adalah sama-sama korban kesewenang-wenangan Kaisar keparat itu!"

   Lupa akan sikap pelit In Kiu Liong tadi, Wan Lui timbul sedikit rasa simpatinya. Ia tahu Pak Kiong Liong orang baik, maka "teman seperjuangan"nya ini tentu orang baik juga, begitu anggapan. Ungkapan "sama-sama buronan"

   Itu cukup mengesankan.

   Seketika kegembiraannya meluap.

   Selama pengembaraannya, baru kali ini didengarnya kabar dari orang yang dicarinya "kalau begitu Toa-ko tahu dimana kakek berada? Aku sungguh senang kalau bisa menemuinya dan membantu perjuangannya."

   "Bagus, Wan-heng. Aku senang melihat seorang muda yang berilmu tinggi dan penuh semangat seperti kau. Tapi selama belum berhasil membantu perjuangan kakekmu, membantu perjuanganku juga sama saja. Kami kan sama-sama sedang menghimpun kekuatan untuk melawan penguasa jahat. Nah, sambil berjuang, sambil mencari jejak kakekmu."

   "Lho, jadi sekarang ini Toa-ko tidak tahu di mana kakek?"

   In Kiu Liong berlagak sedih dan marah.

   "Wan-heng, tentu kau sudah mendengar bagaimana si Kaisar keparat itu menumpas pendekar-pendekar budiman yang menentangnya. Sudah dengar belum?"

   "Ya. Sudah kudengar tentang pembantaian di llong-thian-lau di mana Yong Ceng membinasakan banyak pendekar yang pernah menjadi sahabatnya di masa muda. Lalu membakar kuil Siauw-im-si, perguruannya sendiri. Menghancurkan markas Hwe-liong7 pang di Tiau-im-hong sehingga serikat pembela rakyat itu jadi tercerai-berai. Tapi apa hubungannya dengan kakek? Apakah kakek menjadi korban dalam salah satu peristiwa itu?"

   "Ketika pembasmian di Tiau-im-hong, aku dan kakekmu sama-sama ada disana. Tapi suasana saat itu begitu ribut, di seluruh gunung ada orang bertempur dalam jumlah banyak. Pihak kami kemudian terpukul cerai-berai, semuanya berpencaran sendiri-sendiri, maka juga kurang jelas kuketahui nasib kakekmu. Ya mudah-mudahan saja selamat."

   Wajah Wan Lui bergantian pucat dan merah padam mendengar penuturan itu, geramnya.

   "Kalau sampai kakek menjadi korban Kaisar jahanam itu, aku bersumpah untuk mempertaruhkan nyawa membunuhnya di istananya sendiri."

   "Jangkrik aduan yang ganas dan kuat,"

   Pikir In Kiu Liong dengan gembira. Sedangkan dengan mulutnya dia memuji.

   "Bagus. Bagus. Itulah baru seorang pendekar sejati yang tidak takut kepada apapun. Mari kita bekerja keras bersama untuk mewujudkan cita-cita luhur kita."

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apakah kita akan tetap di kota kecil ini? Apakah kita tidak harus segera pergi untuk memulai perjuangan kita, Toa-ko?"

   "Agar aman, kita memang akan berada di luar kota, tapi tidak jauh-jauh. Dan kita tidak perlu tergesa-gesa pergi, kita nonton dulu tingkah-laku Ni Keng Giau."

   "Ah, buat apa menonton ulah manusia rendah yang sedang mabuk derajat macam itu? Memuakkan. Kalau Toa-ko mengajak aku membunuhnya sebagai bagian dari perjuangan kita, malah aku dengan senang hati akan mengikuti ajakan itu. Bukankah dia adalah jenderal ke sayangan si Kaisar jahanam itu?"

   In Kiu Liong tersenyum.

   "Jenderal kesayangan memang betul, tapi itu dulu. Sekarang agaknya dia hampir tak terpakai lagi, begitu desas-desus dari sementara pihak di Pakkhia. Nah, aku ingin menonton atau membuktikan benar tidaknya desas-desus itu. Kalau benar dia sudah hampir tidak terpakai, lalu mau jadi apa? Barangkali kita juga akan melihat sebuah tontonan besar. Karena itu, sabarlah, jangan buru-buru pergi jauh dari Tanliu."

   Wan Lui agak heran mendengar kata kata berbau "nujum"

   Itu.

   Selama Ni Keng Giau berada di Tan liu, selama itu pula penduduk Tan-liu dicengkam ketakutan.

   Rumah kedua orangtua Ni Keng Giau yang biasanya banyak dikunjungi para tetangga, karena kedua orangtua itu dikenal ramah dan baik hati, kini mendadak seperti rumah hantu yang dijauhi semua orang.

   Hanya untuk sekedar lewat di depan rumah itupun bagi penduduk Tan-liu sudah memerlukan keberanian yang ekstra besar.

   Nii Keng Giau amat di takuti dan dipatuhi oleh para pengawalnya, dan para pengawalnya itu ditakuti penduduk Tan-liu, bahkan perajuritperajurit setempat pun takut kepada pengawalpengawal berjubah kuning emas itu.

   Pada suatu hari, sepuluh orang penunggang kuda muncul di kota kecil itu, masuk kota dari arah timur.

   Rombongan ini kalah jauh jumlahnya jika dibandingkan rombongan Ni Keng Giau yang mencapai ratusan orang.

   Seragamnya jauh kalah mentereng dari pengawal-pengawal Ni Keng Giau, sebab rombongan yang ini cuma berseragam jubah pendek warna ungu.

   Tak ada bendera yang berkibar, tak ada kereta gemerlapan, tak ada penyambutan oleh gubernur sendiri.

   Yang berkuda paling depan adalah seorang tua, namun masih ramping dan padat tubuhnya, dan sepasang matanya merah menakutkan.

   Kemunculan mereka menggentarkan penduduk Tan-liu, yang masih dihantui pengalaman pahit ketika menyambut Ni Keng Giau beberapa hari sebelumnya.

   Orang-orang yang ada di jalanan lari bersembunyi, sehingga jalananpun jadi sepi ketika rombongan itu lewat.

   Beberapa orang memberanikan diri mengintip dari kejauhan, dan melihat bahwa rombongan orang berkuda itu me uju ke rumah orangtua Ni Keng Giau.

   "Bencana macam apa lagi yang bakal kita dapatkan?"

   Keluh seorang penduduk.

   "Merajalelanya Ni Keng Giau dan anjinganjingnya belum diketahui kapan berakhirnya, dan sekarang teman-teman mereka sudah berdatangan pula kemari. Mereka barangkali tidak kalah biadabnya membunuh dan memperkosa sewenang- wenang."

   Sementara itu, pengawal-pengawal Ni Keng Giau yang berjaga di depan rumah keluarga Ni, terkejut ketika mengenali siapa-siapa saja penunggang-penung-gang kuda berjubah ungu yang sedang mendekat itu.

   Merekalah para pengawal istana dari kelompok Ci - ih Wi-kun, yang dipimpin sendiri oleh Kim Seng Pa, disertai jago-jago tangguh lainnya seperti Toh Jiat Hong, Sat Siau Kun, Su-ma Hek-liong, Hengsan-sam- kiam dan lain-lainnya.

   Tanpa turun dari kuda, Kim Seng Pa membentak pengawal pengawal itu.

   "He, Ni Keng Giau ada di rumah atau tidak? Suruh dia segera keluar!"

   Kebanggaan para pengawal itu jadi tersinggung melihat sikap Kim Seng Pa tidak peduli Kim Seng Pa adalah komandan salah satu kelompok istana, karena Kaisar sendiri tidak berani bersikap kasar itu terhadap Ni Keng Giau.

   Pemimpin regu pengawal Ni Keng Giau lalu menjawab sambil membusungkan dada.

   "Kalau Cong-koan mau menghadap Ong-ya bersikaplah yang baik. Melapor kepada kami le bih dulu, dan sementara kami menyampaikan permohonan menghadap maka kalian harus menunggu dengan tertib. Kemudian apakah Ong-ya bersedia menemui atau tidak, itupun tergantung Ong-ya, tidak bisa digugat!"

   Seandainya yang menghadapi sikap garang itu adalah penduduk Tan-liu, pasti sudah ketakutan sampai terberak-berak.

   Namun Kim Seng Pa dan anggota rombongannya tiba-tiba malah tertawa riuh terbahak-bahak dan membuat pengawal-pengawal Ni Keng Giau salah tingkah.

   Kim Seng Pa lalu mengejek.

   "Waduh, rumah yang seperti kandang ayam ini rupanya sekarang sudah menjadi It-teng kong-hu, lengkap dengan segala protokol tengiknya. Haha, baik, baik. Nah, Bapak Pengawal yang maha terhormat, Tolong sampaikan kepada Ong-ya bahwa hamba yang hina dina ini mohon diperkenankan menghadap Ong-ya."

   "Tidakkah sikap Cong-koan ini keterlaluan dan bisa menjatuhkan martabat Ong-ya di hadapan penduduk kota ini? Dengan demikian juga berarti Cong-koan mempermalukan yang menganugerahi."

   Kim Seng Pa yang sudah habis kesabarannya itupun tiba-tiba menukas dengan nada bengis.

   "Diam! Cepat laporkan kepada Ni Keng Giau! Atau kami semua harus menerjang masuk dengan lebih dulu menumpas kalian semua?"

   Para pengawal N i Keng Giau yang biasanya galak, kini jadi ciut nyalinya.

   Mereka tahu bahwa tiap anggota Ci-ih Wi-kun adalah pesilat7 pesilat pilihan Kaisar Yong Ceng sendiri, masing-masing memiliki kepandaian yang tangguh.

   Kaisar tak mungkin salah memilih mereka, sebab Kaisar sendiri adalah pesilat tang guh pula keluaran Siau-lim-si.

   Maka rombongan yang datang itu adalah sebuah "pasukan kecil"

   Yang daya gempurnya sungguh mengerikan.

   Lebih dari itu, siapa tahu mereka pun membawa suatu hal penting yang perlu disampaikan kepada sang Ong-ya.

   Karena itu, si komandan pengawal Ni Keng Giau terpaksa masuk untuk melapor, meskipun sambil menggerutu.

   Ni Keng Giau sendiri heran ketika dilapori kedatangan Kim Seng Pa, juga tidak senang , mendengar pengaduan komandan pengawalnya, Cek Thai-hou, tentang sikap Kim Seng Pa.

   Namun Ni Keng Giau harus keluar menjumpainya juga, mungkin Kim Seng Pa membawa pesan penting dari Kaisar.

   Hanya perasaannya agak tidak enak.

   Kenapa Kim Seng Pa yang diutus, padahal antara dirinya dan Kim Seng Pa tak tersembunyi lagi saling membenci selama bertahun-tahun? Jangan-jangan pihak istana sedang mempraktekkan teori "kucinglah yang paling tepat untuk menguber tikus"? Sebelum keluar, Ni Keng Giau lebih dulu memakai segala kelengkapan pakaian seragamnya, untuk dipamerkan kepada Kim Seng Pa, sekaligus mengingatkan agar Kim Seng Pa bersikap sopan.

   Begitu Ni Keng Giau memasuki ruangan depan, langsung dirasakan situasi yang kurang beres.

   Dilihatnya Kim Seng Pa dan jago-jago Ciih Wi-kun lainnya sudah mengambil tempat duduk sendiri-sendiri dengan sikap gagah.

   Sedangkan pengawal-pengawal Ni Keng Giau yang biasa gagah-gagah menginjak kepada orang kecil, kini malahan nampak di halaman dan memegangkan tali kuda-kuda tunggangan para tamu.

   Kontan Ni Keng Giau merasa tidak puas, mengira pengawal-pengawalnya telah digertak oleh Kim Seng Pa.

   Dalam hati Ni Keng Giau sudah merencanakan, pengawal-pengawal yang memalukan itu akan disusulkan saja kepada Kwa Seng Tek, komandan lama mereka.

   Baru saja Ni Keng Giau hendak mengambil tempat duduk, Kim Seng Pa bangkit dari kursi dan membentak.

   "Ni Keng Giau! Berlutut dan dengarkan Titah Sribaginda!"

   Ni Keng Giau kalah gertak, apalagi ketika melihat kedua tangan Kim Seng Pa menjunjung tinggi segulung sutera kuning bercap kekaisaran.

   Terpaksa Ni Keng Giau berlutut dengan agak canggung.

   Sejak mencapai puncak kejayaannya, hampir-hampir ia lupa bagaimana caranya berlutut.

   Kim Seng Pa puas, namun lebih puas lagi ketika membeber gulungan sutera kuning itu dan membaca huruf-huruf yang tertera di situ.

   Huruf demi huruf dibacanya keras-keras agar Ni Keng Giau jangan salah dengar.

   "Perintah Yang Dipertuan Sang Putera Langit! Ni Keng Giau terbukti telah memberi laporan palsu tentang jalannya perang Jing-hai. Karena itu pemberian gelar It-teng-kong dan wilayah Siam-sian serta Se-cuan dibatalkan. Namun mengingat jasajasanya yang cukup besar, ia masih diberi kesempatan untuk mengabdi kepada negara, dengan menjadi pelatih tentara di Han-ciu. Diperintahkan untuk segera."

   Karena kagetnya, Ni Keng Giau menjadi lupa akan tata-tertib selama pembacaan Perintah Kaisar.

   Belum lagi Kim Seng Pa selesai membaca, Ni Keng Giau sudah melompat bangun dengan wajah pucat dan napas tersengal-sengal.

   Ditudingkannya telunjuk ke muka Kim Seng Pa sambil berteriak kalap.

   "Bohong! Bohong!"

   Lalu ia menerjang seperti seekor anjing gila, kedua tangannya terjulur untuk mencoba merampas lembaran sutera kuning itu dari tangan Kim Seng Pa.

   Namun dalam hal ilmu silat, mana bisa Ni Keng Giau menandingi Kim Seng Pa? Gampang saja Kim Seng Pa berkelit sambil menyapukan kakinya, dan Ni Keng Giau kontan roboh terguling.

   "Ni Keng Giau! Berani kau membangkang Titah Sribaginda?!"

   Bentak Kim tapi anehnya juga mengandung rasa gemhira yang tidak kecil.

   Bentakan itu seperti seember air dingin yang diguyurkan ke kepala Ni Keng Giau, memulihkan kesadarannya, meskipun perasaannya masih terombang-ambing hebat karena jiwanya benar-henar tidak siap menerima berita macam itu.

   Dengan tubuh menggigil dan wajah sepucat mayat, ia memaksa kembali berlutut untuk mendengarkan pembacaan Perintah Kaisar itu sampai selesai.

   Kim Seng Pa benar-benar menikmati kepuasan yang belum pernah dirasakan seumur hidupnya, la meneruskan membaca huruf-huruf yang sebenarnya tinggal sedikit.

   ".... diperintahkan untuk segera berangkat ke tempat tugasnya yang baru. Sekian."

   Ketika Kim Seng Pa sambil tersenyum lebar menggulung lembaran perintah itu, Ni Keng Giau tidak lupa menyerukan penghormatan sesuai dengan peraturan.

   "Banswe... Banswe....."

   Suaranya menyayat hati, mirip Banswe nya Kim Seng Pa waktu di Ling-he dulu.

   Beberapa saat lamanya Ni Keng Giau masih sulit bangkit dari berlututnya Jiwanya ambruk.

   Menjadi pelatih di Hang-ciu? Pelatih perajurit? Berarti tiap hari harus mandi keringat di alunalun, makanannya adalah makanan ransum yang harus diantri di dapur tangsi.

   "Ni Kau-thau (pelatih Ni),"

   Terdengar Kim Seng Pa berkata, sementara wajahnya berseriseri.

   "Terimalah Titah baginda ini. Tak kulupakan ucapan selamat yang sehangathangatnya untukmu."

   Hanya dengan mengerahkan segenap kekuatan lahir-batinnya, N i Keng Giau berhasil bangkit, lalu menerima gulungan sutera kuning itu.

   Kemudian Kim Seng Pa dan rombongannya pun meninggalkan rumah itu untuk menuju gedung Walikota dan menginap di sana.

   Ni Keng Giau yang ditinggalkan itu masih sekian lama berdiri linglung kehilangan semangat dan masih memegangi gulungan sutera kuning itu.

   Ia bahkan tidak merasakan ketika ibunya memeluknya dari belakang sambil berurai air-mata.

   "Kuatkan hatimu, nak." Tiba-tiba Ni Keng Giau membanting kuatkuat gulungan itu sambil berteriak.

   "Tidak mungkin Sribaginda mengeluarkan perintah ini karena dorongan kemauannya sendiri! Tidak masuk akal! Aku adalah orang yang paling dikasihinya, bahkan melebihi terhadap saudarasaudaranya sendiri! Akulah yang mengokohkan singgasananya pada saat ia masih diguncang oleh Pangeran In Te, Pak Kiong Liong, Siau-limpai, Hwe-liong-pang, kelompok pendekar Kanglam, Jit-goat-pang, Pek lian-kau dan entah apalagi! Akulah yang menunjukkan kesetiaan tertinggi terhadapnya! Tak mungkin Sribaginda mengeluarkan perintah ini kalau tidak dihasut oleh bangsat-bangsat yang dengki hatinya! Aku harus kembali ke Pak-khia untuk mendengar penjelasan langsung dari Sribaginda!"

   Sementara itu, ayah Ni Keng Giau dengan terburu-buru telah mengambil gulungan sutera yang dibanting itu sambil berkata dengan ketakutan.

   "Jangan kau lempar-lempar barang ini, anakku. Nanti bisa dijadikan bahan fitnahan untuk lebih menyudutkanmu oleh orang-orang yang tidak senang kepadamu."

   "Tidak! Tidak! Sribaginda takkan menghukumku, karena akulah saudara seperguruannya, jenderal kesayangannya yang bertumpuk-tumpuk jasanya, siapa yang bisa menaklukkan Jing-hai baginya, kalau bukan aku?"

   Teriak Ni Keng Giau kalap.

   "He, kalian dengar tidak? Ayo semuanya berlutut! Berlutut!"

   Bentakan itu ditujukan kepada para pengawal serta bujang-bujang keluarganya yang berkerumun di halaman untuk "menonton"

   Ribut-ribut itu. Ketika Ni Keng Giau membentak dengan beringas, mereka mundur-mundur ketakutan.

   "Berlutut! Kalian dengar tidak?!"

   Orang-prang di halaman itupun mulai berlutut, namun dengan sikap ragu-ragu.

   Maklum, setelah mendengar pembacaan Perintah Kaisar tadi, mereka tahu kalau bukan lagi berlutut kepada seorang calon rajamuda Se-cuan dan Siam-sai, melainkan cuma seorang pelatih, dan barangkah si pelatih inipun mulai kacau pikirannya.

   Melihat orang-orang itu berlutut, Ni Keng Giau tertawa puas.

   "Lihat! Lihat! Semua masih tetap menyembahku, berarti aku tetap penguasa nomor dua di kekaisaran ini! Aku berkuasa membunuh siapapun, lihat buktinya!"

   Dan sungguh diluar dugaan siapapun, bahwa Ni Keng Giau tiba-tiba menyambar sebuah kursi untuk dihantamkan kepada seorang bujang yang paling dekat berlututnya.

   Mampuslah si bujang itu.

   Yang lain-lain langsung bubar ketakutan tanpa menunggu aba-aba lagi, termasuk para pengawal yang tiap- hari oleh Ni Keng Giau dicekoki ajaran tentang disiplin baja.

   "Nak, tenanglah..... tenanglah..."

   Kedua orang tua Ni Keng Giau membujuk-bujuk sambil memegangi lengan Ni Keng Giau. Namun si anak, anak gila itu, mendorong mereka keras-keras sampai terhuyung-huyung sambil berteriak.

   "Orang-orang tua tak tahu diri! Siapa yang kalian panggil "nak"? Aku ini saudara angkat Sribaginda, mengerti?!" Dan sungguh diluar dugaan siapapun, bahwa Ni Keng Giau tiba-tiba menyambar sebuah kursi untuk dihantamkan kepada seorang bujang yang paling dekat berlututnya. Kedua orangtua itu masih beruntung bahwa Ni Keng Giau tidak menghantamkan kursi ke kepala ubanan mereka, namun hati mereka pedih melihat apa yang terjadi pada anak mereka. Kepedihan lebih dari hari-hari sebelumnya ketika anak mereka menjadi hantu penyebar bencana bagi penduduk Tan-liu. Kembali Ni Keng Giau tertawa seram. Tibatiba tubuhnya sempoyongan lalu ambruk tak sadarkan diri. Buru-buru ayah Ni Keng Giau mengumpulkan para bujang yang kabur jauh tadi, untuk membantu menggotong tubuh Ni Keng Giau sampai ke kamar tidurnya. Sehari penuh Ni Keng Giau "tidur". Ketika malam tiba, barulah ia membuka matanya. Meskipun ia tidak lagi berteriak-teriak kalap, tapi kedua orangtua-nya tak berkurang rasa sedihnya, sebab wajah Ni Keng Giau begitu pucat, sepasang matanya nampak kosong dari semangat hidup. Ketika seorang pembantu wanita masuk kamar dengan takut-takut untuk mengantarkan makanan, Ni Keng Giau tidak menggubrisnya, biarpun seharian belum makan. Bahkan tibatiba ia melompat dari pembaringan, merapikan jubah kebesarannya yang agak kusut karena selama tidur tidak dilepas, mengambil pedang di dinding dan menggantungkan-nya di pinggang, lalu hendak melangkah keluar kamar.

   "A-giau. mau ke mana?"

   Tanya ibunya cemas.

   "Ke Pak khia!"

   "Tapi kau belum..... belum makan, nanti masuk angin dan..."

   "Jangan mengatur aku!"

   Si ibu nekad hendak membujuk, tapi si ayah khawatir kalau isterinya itu sampai dibacok oleh Ni Kong Giau, buru-buru merangkul isterinya sambil membisiki.

   "Dia sedang bingung, biarkan saja dulu. Dia belum bisa menerima kata-katamu, nanti kalau sudah tenang."

   Sementara itu N i Keng Giau sudah sampai ke kadang kuda di belakang rumah. Seorang bujang yang tak sempat menghindari kedatangannya, cepat-cepat berlutut dengan ketakutan.

   "Ong-ya hendak apa di kandang kuda ini?"

   Tanyanya.

   Ketika Ni Keng Giau tidak menjawab dan cuma melototinya, bujang itu merasa tak ada perlunya menambah satu detikpun saat-saat penuh resiko itu.

   la lemparkan ember yang sedang dipegangnya sambil melompat bangun dari berlututnya, lalu kabur bagaikan kilat.

   Ni Keng Giau tak peduli, la sendiri memasang pelana kuda, lalu menuntunnya keluar lewat pintu belakang dan menaikinya.

   Tidak peduli malam sudah tiba, angan-angannya tetaplah pergi ke Pak-khia.

   "Sribaginda harus memberi penjelasan yang memuaskan. Kalau tidak memuaskan aku akan berontak dan kalau perlu bertahta membentuk dinasti baru,"

   Geram-sambil berkuda.

   "Kekuasaan militer masih bisa kugerakkan dengan perintahku"

   Sampai di pintu kota, pintu gerbang sudah tertutup rapat. Sekelompok perajurit sedang berkerumun santai. Ni Keng Giau lalu membentak mereka.

   "Buka pintu, cepat! Aku mau menghadap Sribaginda di Pak-khia sekarang juga!"

   Kalau ini terjadi sehari sebelumnya, para perajurit itu dengan ketakutan tentu akan membukakan pintu. Tapi berita "penggembosan"

   Ni Keng Giau sudah terdengar merata di seluruh Tan-liu Kini para perajurit di pintu gerbang itu malah mentertawakannya.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Selama beberapa hari, perajurit-perajurit itu kenyang dihina dan direndahkan oleh pengawal-pengawai Ni Keng Giau, dan kini mereka merasa mendapat kesempatan untuk membalas kejengkelan selama ini.

   (Bersambung

   Jilid VIII) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid VII Sikap acuh tak acuh para perajurit itu meluapkan darah Ni Keng Giau. Tiba-tiba ia melompat turun dari kuda sambil menghunus pedang. Sekali sabet, dua perajurit dirobohkannya.

   "Hukuman mati bagi yang tidak menghormati Bangsawan It-teng-kong!"

   Teriaknya.

   Para perajurit tidak menjadi takut, malahan mereka semua gusar.

   Tanpa pikir panjang merekapun meladeni Ni Keng Giau berkelahi dengan senjata.

   Begitulah, di situ terjadi pertempuran hebat.

   Dentang-denting senjata terdengar nyaring di malam sunyi itu.

   Ni Keng Giau tak menduga kalau perajurit-perajurit itu malah semakin berani.

   Terpaksa dia pun membela diri, baik dengan pedangnya maupun dengan mulutnya yang tak henti-hentinya menyebutkan sederetan tanda pangkatnya, gelarnya jasajasanya.

   Yang tidak dipedulikan oleh para perajurit.

   Ni Keng Giau adalah saudara seperguruan Kaisar Yong Ceng, sama-sama murid mendiang Pun-bu Hwe-shio yang berilmu tinggi.

   Mestinya kalau cuma menghadapi beberapa perajurit penjaga pintu gerbang itu Ni Keng Giau tidak perlu mengalami kesulitan.

   Tapi dalam beberapa tahun terakhir Ni Keng Giau tak pernah lagi latihan sungguh-sungguh, lapisanlapisan lemak sudah bertimbun-timbun di sudut-sudut tubuhnya.

   Selama ini memang ia beranggapan bahwa seorang jenderal tak perlu latihan silat, kerjanya cuma menunjuk-nunjuk di atas peta dan memberi perintah, lalu para perajuritlah yang maju.

   Karena itu, gerak-gerik Ni Keng Giau kini amat lamban.

   Sebentar saja ia sudah terengah-engah menghadapi lawanlawannya, biarpun nama besar Pun-bu llwe-shio pernah diakui sejajar dengan mendiang Ketua Hwe-liong-pang Tong lam Hou, tapi silat adalah ketrampilan praktek, bukan mengadu nama guru siapa yang lebih terkenal.

   Beberapa perajuril lagi datang dan menambah beban kesulitan Ni Keng Giau.

   Di antara mereka ada yang sanak keluarganya orang Tan-liu lelah menjadi korban kesewenang- wenangan Ni Keng Giau atau pengawal-pengawalnya.

   Ada yang adik perempuannya diperkosa pengawal Ni Keng Giau, atau pamannya dibunuh dan sebagainya.

   Kemarin masih tak berani membalas, tapi sekarang apa yang mereka takuti? Ni Keng Giau tambah resah.

   Disela-sela napasnya yang ngos-ngosan, ia masih berteriakteriak.

   "Kalian benar-benar gila, tidak tahu bagaimana menghormat seorang bangsawan! Kalau kulaporkan kepada Sribaginda, pasti lenyaplah batok kepala kalian sekeluarga!" "Kalau mau lapor, kepada Giam-lo-ong (Raja Neraka) saja!"

   Ejek seorang perujurit.

   "Senjataku bisa mengantarmu ke sana."

   Berturut-turut N i Keng Giau mendapat luka di pundak dan di betisnya.Perajurit yang lain lagi berkata.

   "Kami di Tan-liu sudah punya pelatih sendiri yang tidak secongkak kau. Lebih baik kalau mau sewenang-wenang di Hang-ciu sana, di daerah wewenangmu sendiri!"

   Kata-kata itu menghempaskan Ni Keng Giau dari langit angan-angan ke bumi kenyataan yang amat pahit.

   Pikirannya tiba-tiba jadi kacau, dan kembali tubuhnya mendapat beberapa luka rambahan.

   Untunglah, sebelum Ni Keng Giau habis dihajar perajurit-perajurir yang marah, itu, muncul tiga orang anggota Ci-ih Wi-kun dari arah jalan ke Balaikota.

   Di antaranya nampak Su-ma Hek-long.

   "Hentikan!"

   Perintah Su-ma Hek-long melihat perkelahian dekat pintu gerbang itu.

   Para perajurit tidak berani membantah perintah para anggota Ci-ih Wi-kun, yang hari itu terasa sebagai dewa-dewa pembawa berkah bagi penduduk Tan-liu.

   Para perajurit pun berlompatan mundur menjauhi Ni Keng Giau yang sudah luka-luka dan kecapaian itu.

   "Kenapa sampai ada ribut-ribut seperti ini?"

   Tanya Su-ma Hek-long. Salah seorang perajurit menjawab mewakili teman-temannya.

   "Dia hendak keluar kota tanpa ijin. Katanya hendak ke Pak-khia. Kami mencegah, tapi dua orang teman kami menjadi korban!"

   Sementara itu, Ni Keng Giau tidak mau kalah suara oleh perajurit-perajurit itu.

   "Perajuritperajurit rendah ini berani bersikap tidak tahu adat terhadap seorang bangsawan macam aku! Hukuman mati pantas buat mereka!"

   Su-ma Hek-long mengerutkan alisnya ketika melihat Ni Keng Giau masih saja mengenakan jubah kebesarannya. Jawabnya.

   "Tak akan ada hukuman tapi perajurit-perajurit yang menjalankan tugas dengan baik. Ni Keng Giau, kau sudah membuat keributan. Maka malam ini lebih baik kau menginap di Balaikota, agar lebih gampang kami awasi sebelum berangkat ke Hang-ciu."

   "Su-ma Hek-long! Kau pun ikut ikutan kurang ajar terhadapku? ingat siapa aku ini, seorang yang diberi gelar oleh Sribaginda sendiri, dan."

   "Apakah Titah Baginda yang dibacakan siang tadi itu masih kurang jelas bagimu, Ni Keng Giau? Kau sekarang adalah pelatih di Hang-ciu dan tidak lebih dari itu!"

   Ucapan Su-ma hek long ibarat seember air dingin yang diguyur kan untuk menyadarkan seorang yang tengah bermimpi indah agar bangun.

   "Bawa dia ke Balaikota!"

   Dua jago Ci-ih Wi-kun mendekati Ni Keng Ciau dengan sikap waspada, sebab Ni Keng CJiau masih memegangi pedang.

   Namun ternyata Ni Keng Giau masih berdiri terlongong longong, tidak melawan ketika pedang itu diambil dari tangannya, kemudian Ni Keng Giau sendiri digandeng pergi seperti orang ling-lung.

   Ternyata Su-ma Hek-long punya persamaan watak dengan Kim Seng Pa, yaitu senang menginjak-injak orang yang lagi menderita.

   Perintahnya kepada kedua anggota Ci-ih Wi-kun ini.

   "Buat apa seorang pelatih memakai jubah sebagus itu? Copot jubahnya!"

   Kali ini Ni Kong Giau meronta, ketika jubah kebanggaannya hendak direnggutkan dari tubuhnya dengan cara kasar, tapi ia tak sanggup menghalangi kemauan kedua jago Ci-ih Wi-kun itu.

   Bahkan karena Ni Keng Giau meronta, jubahnya malah robek-robek.

   Ni Keng Giau menangis tanpa suara ketika jubah itu berpisah dari tubuhnya.

   Lalu ia diseret menuju Balaikota, dan jubahnya ditinggalkan terpuruk begitu aja di tanah, dekat pintu gerbang itu.

   "Jubah, yang bagus,"

   Komentar seorang perajurit.

   "Kita buang sajakah?"

   "Kebetulan isteriku sedang bingung karena tidak punya lap dapur, cuma sepotong kecil saja kok."

   "Dan anak perempuanku butuh selimut untuk kucingnya."

   "Dan anak laki lakiku minta dibuatkan bendera-benderaan. Bagian jubah yang ada gam Kali ini Ni Keng Giau meronta, ketika jubah kebanggaannya hendak direnggutkan dari tubuhnya dengan cara kasar. bar sulamannya ini bagus sekali kalau dipotong segitiga, nanti tinggal kucarikan kayu tangkainya."

   "Cari gunting, jangan rebutan!"

   Begitulah jubah si bangsawan yang malang itu lalu digunting-gunting.

   Ada yang jadi lap dapur, ada yang jadi selimut kucing, benderabendera, ada pula yang sekedar ingin memiliki secarik kecil sebagai kenang-kenangan atas seorang tokoh kelahiran Tan-liu.

   Guntingan-guntingan yang tak terpakai lalu dibiarkan bertebaran begitu saja, sebagian tersapu angin dan masuk parit di pinggir jalan.

   Besok kalau tempat itu mulai ramai dilewati orang, bekas jubah itu akan diinjak-injak orang, dikencingi dan diberaki sapi, kuda atau keledai yang lewat di situ.

   Menjadi serpihan-serpihan gombal belaka.

   * * * Di kota sekecil Tan-liu, kabar "hebat"

   Seperti kejatuhan Ni Keng Giau beredar lebih cepat dari jalannya angin. Bermula dari bujang-bujang orangtua Ni Keng Giau yang selama ini 'kenyang"

   Dibentak, digampar atau ditendang oleh Ni Keng Giau, bahkan ada yang dibunuh.

   Merekalah yang menyiarkan kejadian itu Akhirnya seluruh penduduk Tan-liu mendengarnya dan merata pulalah kegembiraan.

   Bahkan perayaan Tahun Baru pun belum pernah dirayakan segembira itu, karena hari jatuhnya Ni Keng Giau dianggap sebagai "hari kemerdekaan".

   Pagi itu, Ni Keng Giau dikawal delapan anggota Ci-ih Wi-kun keluar dari gedung Balaikota dan siap melakukan perjalanan ke Hang-ciu.

   Dua tokoh tertinggi Ci-ih Wi-kun, Kim Seng Pa dan Toh Jiat-hong, tidak ikut, sebab mereka berdua sudah lebih dulu kembali ke Pak khia untuk melaporkan hasil kerjanya kepada Kaisar Yong Ceng.

   Sedangkan pimpinan pengawalan itu dipegang tokoh ketiga Ci-ih Wikun, Sat Siau-kun yang berjulukan Tiat-jiau-huiho (Rubah Per bang Berkuku Besi).

   Ketika mengetahui pemberangkatan itu, penduduk Tan-liu kembali berjejal-jejal di tepi jalan yang akan dilewati, tepat seperti hari kedatangan Ni Keng Giau dulu.

   Para perajurit terpaksa dikerahkan ke jalanan untuk menahan gejolak massa yang marah itu.

   Riuh-rendah suara teriakan agar Ni Keng Giau digantung, dicincang, dibakar dan entah diapakan lagi.

   Dan ketika rombongan yang mengawal Ni Keng Giau lewat, beterbanganlah batu, buahbuahan busuk, telur busuk, potongan kayu, arang, sepatu bejat, bakiak, bangkai tikus dan seribu satu benda tak terhormat lainnya ke arah Ni Keng Giau.

   Ni Keng Giau sendiri menunggangi seekor kuda dengan mata kosong hampir tak berkedip.

   Bahkan ia seolah tidak sadar ketika sebutir telur busuk mengenai jidatnya dan "menetas"

   Di mata.

   Nampaknya saja wajah Ni Keng Giau dingin dan acuh tak acuh, padahal kekecewaan yang hebat melukai jiwanya amat parah.

   Susah-payah dia mencoba menentukan jawabnya, kenapa bisa begini? Bukan jawaban yang ditemukan, malahan kebingungan yang membuat otaknya tambah sakit.

   


Pendekar Pengejar Nyawa -- Khu Lung Seruling Perak Sepasang Walet -- Khu Lung Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long

Cari Blog Ini