Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 5


Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP Bagian 5



Kemelut Tahta Naga (2) Karya dari Stevanus SP

   

   Pengawal-pengawal Ni Keng Giau sudah menghilang semua, tak satupun muncul untuk membela junjungannya.

   Kalau sebatang pohon roboh, maka burung-burung yang bersarang di pohon itupun akan bubar semua untuk mencari pohon baru.

   Beberapa dari pengawal-pengawal itu kurang beruntung.

   Biarpun mereka sudah menyamar ketika berusaha keluar dari Tan-liu, namun ada juga yang ketahuan, lalu dipukuli penduduk Tan-liu sampai mati.

   Sementara para jagoan Ci-ih Wi-kun yang ditugaskan membawa Ni Keng Giau sampai ke Hang-ciu itu, berkuda agak jauh dari Ni Keng Giau, supaya tidak ikut kena lemparan telur busuk dan lain-lainnya.

   Di antara orang-orang yang berjejalan di pinggir jalan itu, terdapat pula In Kui Liong dan Wan Lui, tapi mereka tidak ikut melemparlempar.

   "Wan-heng,perhitunganku tentang kejatuhan Ni Keng Giau tepat bukan?"

   Bisik In Kiu Liong bangga, berusaha menimbulkan kekaguman Wan Lui. Wan Lui yang masih agak polos itu memang sedikit kagum.

   "Bagaimana Toa-ko bisa memperhitungkan setepat itu?"

   "Dasar perhitunganku ialah sifat dari Kaisar keparat itu. Ketika kedudukannya masih belum kokoh karena banyak musuh, ia membutuhkan banyak pembantu umuk melenyapkan musuhmusuhnya, telah musuh-musuhnya habis, ia akan ketakutan terhadap pembantu-pembantu nya sendiri yang menjadi kelewat berkuasa, khawatir kalau mereka menyaingi kekuasaannya. Ni Keng Giau merasa dirinya disayangi Kaisar, makin lama makin besar kepada dan sepak-terjangnyapun tak terkendali lagi. Tanpa disadarinya kalau sikap itu seperti mengalungkan jerat ke lehernya sendiri."

   "Apakah watak Kaisar selalu seperti itu? Hanya menghargai pembantunya kalau masih dibutuhkan, dan setelah tidak dibutuhkan lagi lalu disingkirkan?"

   "Aku kelak tidak begitu,"

   Jawaban In Kiu l.iong terluncur begitu saja dari mulutnya, namun ketika sadar telah kelepasan bicara, buru-buru In Kiu Liong membungkam mulutnya sendiri. Sedang Wan Lui telah menolehnya dengan wajah heran, dan In Kiu Liong jadi kikuk.

   "Apa tadi Toa-ko bilang? Aku tidak mendengar, karena suara orang di sini begitu ribut."

   "Ah, hilang apa? Lihat, Tontonan yang menarik bukan?"

   "Apa menariknya melihat seorang bekas pembesar yang turun kursi lalu dilempari telur busuk?"

   "Wan-heng, berpikirlah lebih mendalam sedikit, apa yang di balik peristiwa ini? Tersingkirnya Ni Keng Giau berarti hilangnya satu pembantu tangguh bagi raja jahat itu, nah, bukankah berarti menguntungkan perjuangan kita kelak?"

   Wan Lui mengangguk-angguk.

   "Mari, Wan heng, kita ikuti Ni Keng Giau sampai ke Hang-ciu. Kita lihat peristiwa apa lagi yang bakal terjadi di sekitar dirinya, siapa tahu peristiwa-peristiwa itu mencerminkan perkem bangan di Pak-khia untuk dijadikan per hitungan langkah kita?"

   Wan Lui tidak begitu berminat atau terpengaruh tiap kali In Kiu Liong bicara soal "perjuangan"

   Karena Wan Lui tidak yakin. Kalau ia bersama In Kiu Liong, tak lain hanyalah mengharapkan bisa bertemu dengan gurunya, Pak Kiong Liong.

   "Toa-ko, kalau kira ikuti mereka sampai Hanciu, apakah ada kemungkinan bertemu dengan Kakek Pak Kiong Liong? "Ada kemungkinannya, Wan-heng. Sebab Ni Keng Giau itu orang penting, jatuh bangunnya dia menarik perhatian banyak pihak, dan gurumu mungkin sekali adalah salah satu dari pihak-pihak itu."

   In Kiu Liong mengucapkan hal itu agar Wan lui mau ikut dan bisa diperalat, namun membayangkan betapa akan bertemu dengan Pak Kiong Liong, ia jadi merinding sendiri.

   "Kalau begitu, marilah Toa-ko."

   Jadilah mereka berdua membuntui rombongan Ni Keng Giau dari kejauhan.

   Karena rombongan itu berkuda, In Kiu Liong terpaksa membeli dua ekor kuda, untuknya dan untuk Wan Lui.

   Hari pertama dan kedua, antara yang dibuntuti dan yang membuntuti tidak terjadi apa-apa.

   Juga nampaknya tidak ada pihak lain yang "berkepentingan"

   Dengan Ni Keng Giau seperti perhitungan In Kiu Liong.

   Wan Lui harus menahan diri agar tidak mengeluarkan gerutuan kesalnya.

   Hari ketiga.

   Selagi In Kiu Liong dan Wan Lui berkuda dengan santai, membuntuti rombongan Ni Keng Giau dari kejauhan, tiba-tiba dari belakang mereka berdua malah terdengar derap kuda yang dipacu kencang, makin lama makin dekat.

   Ketika Wan Lui menoleh, nampaklah tiga penunggang kuda dari arah yang sama dengan arahnya tadi.

   Setelah lebih dekat lagi, bisa lebih jelas bahwa mereka ternyata terdiri dari dua orang pemuda yang nampaknya sepasang saudara kembar dan seorang gadis.

   Ketiga-tiganya memakai pakaian ringkas yang lazim dikenakan oleh kaum pendekar pengembara, bahkan dari belakang pundak-pundak mereka ju ga nampak mencuat gagang pedang-pedang mereka.

   Wan Lui segera meminggirkan kudanya, namun saat itulah dia terkejut melihat kuda In Kiu Liong ternyata sudah tak berpenunggang entah sejak kapan.

   Entah ke mana pula perginya teman seperjalanannya, menghilang begitu saja tanpa bilang apa-apa.

   Maka terpaksa Wan Lui yang harus meminggirkan kuda temannya itu.

   Sepasang pemuda kembar penunggang kuda itu berumur kira-kira setahun atau dua tahun lebih muda dari Wan Lui.

   Sedang si gadis berusia sekitar sembilanbelas atau duapuluh, caranya menguncir rambut masih seperti kanak lanak saja, dikuncir dua.

   Matanya bulat dan indah, keseluruhan penampilannya menimbulkan kesan lincah dan riang, namun karena menggendong pedang, jadi agak angker juga.

   Sesaat Wan Lui terpesona menatap gadis ini.

   Ketika baru saja melewati Wan Lui, tiba-tiba salah satu pemuda kembar itu berteriak.

   "Berhenti!"

   Lalu menarik kekang kudanya kuatkuat, sehingga kuda itu meringkik sambil mengangkat kaki depan tinggi-tinggi.

   Detik berikutnya kudanya sudah diputar menghadapi Wan Lui.

   Kedua teman seperjalanannyapun berhenti.

   Mereka semua heran melihat Wan Lui yang hanya sendirian itu menuntun dua ekor kuda.

   Sedang Wan Lui sendiri agak menyesali dirinya, kalau tahu di tengah perjalanan bakal bertemu gadis secantik ini, mestinya tadi ia sedikit berdandan merapikan diri.

   "Maaf, sobat, kami mau numpang tanya,"

   Kata salah satu pemuda kembar kepada Wan Lui sambil membungkuk hormat. Biarpun kembar, yang menanyai Wan Lui itu nampak lebih sabar, lebih tenang dari saudaranya yang kelihatan agak tidak sabaran dan selalu gelisah itu.

   "Sobat, apakah tadi melihat rombongan orang-orang berkuda berseragam satin ungu, mengawal seorang laki-laki?" Tak pelak lagi, yang ditanyakan itu adalah rombongannya Ni Keng Giau. Wan Lui yang agak heran, ada hubungan apa orang-orang muda ini dengan Ni Keng Giau si "bintang yang sedang jatuh"

   Itu? Namun dijawabnya juga.

   "Betul. Mereka ke arah tenggara."

   "Terima kasih!"

   Si penanya memberi hormat, lalu memutar kudanya.

   Sesaat kemudian, ketiga orang muda itu sudah berderap menjauh dengan meninggalkan debu yang mengepul tinggi.

   Setelah ketiga orang itu jauh, In Kiu Liong melompat keluar dari balik semak-semak di pinggir jalan.

   Wajahnya nampak agak tegang menatap ketiga penunggang kuda yang menjauh itu, namun ketika menghadapi Wan Lui, ia kembali mencoba bersikap wajar.

   "Toa-ko, kenapa tadi kau bersembunyi?"

   Tanya Wan Lui.

   "Bersembunyi? Ah, tidak. Aku tadi cuma mendadak ingin kencing, lalu pergi ke balik semak-semak itu,"

   In Kiu Liong berdalih sambil tertawa-tawa. Namun Wan Lui tak bisa menelan jawaban itu begitu saja.

   "Apakah toa-ko kenal ketiga penunggang tadi?"

   "Kelihatannya cuma siswa-siswa sebuah perguruan silat yang sedang keluar untuk mencari pengalaman. Apa anehnya ?"

   "Mereka mengejar rombongan Ni Keng Giau."

   "Mm...."

   Cuma begitu jawaban In Kiu Liong, kelihatan benar-benar enggan membicarakan ketiga orang muda tadi.

   "Jadi Toa-ko tidak kenal mereka?"

   "Tidak."

   "Eh, aku juga mau kencing sebentar,"

   Kata Wan lui tiba-tiba.

   Diapun melompat turun dari kuda, lalu melangkah ke balik semak-semak darimana In Kiu Liong muncul tadi.

   Wan Lui benar-benar buang air kecil di situ, namun sambil memperhatikan tempat dibalik semak itu.

   Ternyata tidak ada tanah yang basah seperti habis dikencingi, kering semua.

   Itu artinya In Kiu Liong telah berdusta.

   "Kenapa soal sekecil ini saja harus membohongi aku?"

   Tanya Wan Lui sambil membenahi celananya.

   "Jangan-jangan segala hal yang dikatakannya kepadanya juga banyak bohongnya?"

   Pergaulan beberapa hari dengan In Kiu Liong, memang membuat Wan Lui semakin tidak percaya, gerak-gerik In Kiu Liong terlalu terselubung.

   Namun untuk sementara Wan Lui merasa tidak ada salahnya bersama-sama sebagai teman seperjalanan.

   Merekapun melanjutkan perjalanan dengan maksud semula, membuntuti Ni Keng Giau.

   In Kiu Liong ingin melihat nasib Ni Keng Giau guna meramalkan gejolak politik yang akan tiba.

   Seperti para ahli nujum memeriksa jatuhnya bilah-bilah bambu yang sudah dikopyok.

   Ketika sore tiba, mereka tiba di sebuah desa kecil.

   Sebuah tempat yang cuma terdiri dari satu jalan lebar ditengah, dan deretan bangunan di kiri kanannya.

   Di belakang deretan rumah tak ada rumah lagi, cuma lereng pegunungan.

   Tapi tempat kecil itu komplit juga dengan beberapa rumah penginapan, warung makan dan beberapa toko kecil yang terutama menjual perlengkapan para musafir.

   Ketika Wan Liu bertanya kepada seseorang, ia mendapat keterangan bahwa rombongan Ni Keng Giau juga berhenti di situ, memborong salah satu penginapan gaya desa.

   Maka ln Kiu Liong dan Wan Lui juga memutuskan untuk menginap semalam di tempat itu.

   "Bagaimana kalau kita ambil penginapan yang berseberangan dengan tempat rombongan Ni Keng Giau, supaya lebih leluasa mengawasi gerak-gerik mereka?' usul Wan Lui sambil menuntun kudanya memasuki desa.

   "Baik,"

   Sahut ln Kiu Liong tanpa pikir panjang.

   Tapi setelah mereka tiba di depan penginapan yang dimaksud, niat ln Kiu Liong dibatalkan secara mendadak.

   Soalnya di bagian depan dari penginapan yang dimaksud, In Kiu Liong melihat tiga ekor kuda yang ditambatkan di situ dikenalinya sebagai kuda-kuda tunggangan tiga pemuda yang tadi bertemu di jalanan.

   Rupanya ketiga pemuda itupun mengambil tempat tepat di sebarang penginapan Ni Keng Giau dan rombongannya.

   Karena itu, ketika Wan Lui hampir saja berbelok masuk, In Kiu Liong men cengkeram lengan Wan Lui sambil berdesis dengan nada panik.

   "Tidak, Wan-heng.... jangan di sini!"

   "Kenapa?"

   "Pokoknya tidak di sini!"

   Hanya itu yang dikatakan ln Kiu Liong sambil buru-buru menuntun kudanya menjauhi tempat itu.

   Terpaksa Wan Lui harus mengikutinya, sebab ia tidak mengantongi uang sepeserpun, dan semua biaya perjalanan selama ini ditanggung ln Kiu Liong.

   Gerak-gerik ln Kiu Liong itu juga mengherankannya.

   Di satu saat bersikap seperti jagoan yang gagah berani dan serba dingin menghadapi sesuatu, namun di lain saat mirip sekali maling amatiran yang baru pertama kali nyolong.

   Serba gugup dan ketakutan.

   Mereka akhirnya mendapat penginapan yang tidak bcrseberangan, tapi bersebelahan tepat dengan tempat penginapan Ni Keng Giau.

   Tempat itu penuh dengan manusia-manusia seperti pedagang keliling, pesilat tanpa kelas, pengantar barang dan sebagainya.

   "Toa-ko, tadi toa-ko bilang tidak kenal orangorang muda penunggang kuda tadi, namun kulihat sebenarnya toa-ko sudah kenal mereka,"

   Dasar bocah gunung, cara Wan Lui mengutarakan keheranannya juga langsung saja, tidak berbelit-belit. Mereka berdua tengah bersantap malam di dalam kamar mereka yang a-da di bagian belakang. In Kiu Liong mengerutkan alisnya.

   "Bagaimana kau sampai kepada pikiran sejauh itu, Wan-heng?"

   "Kusimpulkan dari sikap Toa-ko sendiri. Toako seperti enggan berpapasan dengan mereka, selalu menghindar. Kalau Toa-ko benar-benar tidak kenal mereka, kenapa bersikap demikian?"

   Wajah In Kiu Liong kelihatan gusar. Sama gusarnya dengan wajah seorang ayah yang kolot ketika mendengar pertanyaan anaknya yang polos "darimana datangnya adik?"

   Jawabnya kepada Wan Lui.

   "Itu urusan yang tidak ada sangkut pautnya denganmu, Wanheng."

   Wan Lui menarik napas dan berpikir.

   "Begitu bersemangat Toa-ko membuntuti Ni Keng Giau untuk melihat nasib akhirnya. Ini pasti bukan dorongan rasa ingin rahu biasa, pasti ada tujuan lain yang dia anggap begitu penting. Namun dia tak pernah mau berterus terang ke padaku."

   Di desa kecil itu, begitu matahari tenggelam, maka kesunyian menyerbu dan mengusai suasana.

   Suara manusia cepat menghilang, digantikan suara serangga-serangga malam dari lereng bukit.

   Dari balik bukit bahkan terdengar lolongan kawanan serigala bersahutan.

   Sepasang kelopak mata Wan Lui hampir saja direkat oleh kantuk, namun telinganya yang tajam tiba-tiba menangkap bunyi halus yang membuatnya terjaga kembali.

   Bunyi tepat di atas kepalanya.

   Suara telapak kaki yang dengan lembutnya menginjak genteng, begitu lembutnya, sehingga Wan Lui pun hampir tidak mendengarnya.

   Perlahan-lahan Wan Lui bangkit dari pembaringannya, memasukkan kedua kakinya bergantian ke sepatunya, lalu hendak melangkah keluar.

   Namun terdengar suara In Kiu Liong dingin dari bawah selimutnya.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Rasanya kita tidak perlu ikut campur dalam urusan yang tidak bersangkut paut dengan kita, Wan-heng."

   "Cuma sebagai penontonkan tidak ada salahnya?"

   "Sebagai penonton pun sebaiknya jangan. Sering seorang penonton pun tiba tiba terseret masuk ke dalam persoalan itu, diluar kemauannya sendiri. Tidur sajalah, Wan-heng."

   Wan Lui jadi merasa tidak senang mendengar suara bernada memerintah itu.

   "Maaf, Toa-ko, seingatku aku belum pernah berjanji untuk menjadi bawahanmu yang lurus tunduk kepada perintahmu bukan?"

   Habis berkata demikian, terus saja Wan Lui melangkah keluar.

   Di luar, awan mendung membuat langit jadi hitam sehitam-hitamnya, sehingga sekiranya tak ada cahaya lampion di beberapa sudut, suasana tentu akan seperti dalam peti mati yang sudah ditutup.

   Begitu keluar dari kamar, Wan Lui tidak langsung ke tengah-tengah halaman terbuka, melainkan merapatkan diri kedinding, menyembunyikan kehadirannya di bawah bayangan pinggiran atap.

   Di dengarnya suara langkah lembut itu sekarang di atas genteng bangunan sayap kanan, maka Wan Lui menyusur tembok menuju ke kiri.

   Sampai akhirnya pandangan matanya bebas menyeberangi halaman dan melihat ke atas genteng bangunan sayap kanan.

   Nampak tiga sosok bayangan sedang mendekam di atas genteng, ketiga-tiganya memakai ya-hing-ih (pakaian pengembara malam) yang serba hitam dan ringkas, lengan pedang-pedang tergendong di punggung mereka.

   Yang membangkitkan minat Wan Lui ialah ketika melihat salah satu bayangan itu biarpun membelakangi dan tak nampak wajahnya, namun ada sepasang kuncir rambutnya.

   Wan Lui Langsung menduga kepada gadis berkuncir dua yang ditemuinya siang tadi, dan yang dua lagi pun mudah ditebak, tentunya sepasang pemuda kembar itu.

   "Mungkinkah mereka sedang mengintip rombongan Ni Keng Giau?"

   Wan Lui mendugaduga dalam hati.

   Terlihat ketiga orang itu saling bicara dengan bahasa isyarat tangan.

   Salah satu pemuda kembar menuding-nuding ke penginapan sebelah, namun saudara kembarnya nampak menggoyang-goyang tangan untuk mencegah.

   Tapi yang dicegah tidak menurut, ia malah melingkarkan kuncir rambutnya ke leher agar tidak mengganggu, lalu menghunus pedang nya.

   Saudara kembarnya masih berusaha mencegah, namun tidak digubris.

   Pemuda yang berangasan itu tidak sekedar mengintai lagi, tapi muncul secara terangterangan, la melompat turun ke halaman penginapan sambil ber teriak.

   "Ni Keng Giau, pembunuh biadab! Terimalah pembalasan kami!"

   Lalu dari halaman sebelah terdengar suara pertempuran, senjata-senjata yang berdencingan gencar.

   Si kembar yang satu lagi dan si kuncir dua agaknya tidak tega membiarkan si kembar pertama tadi menghadapi bahaya seorang diri, maka merekapun terpaksa berlompatan masuk ke halaman penginapan sebelah, sambil menghunus pedang-pedang mereka.

   Suara pertempuran di halaman penginapan sebelah itupun jadi amat ramai.

   Wan Lui mulai tertarik untuk melihat, tapi lebih dulu ia memperhitungkan tempat.

   Dilihatnya di bagian belakang bangunan sayap kanan itu ada ranting-ranting pohon berdaun rimbun yang menjulur dari luar dinding halaman.

   Tempat itu bagus untuk mengintai.

   Sesaat Wan Lui mengatur pernapasan dan mengumpulkan semangat.

   Kakinya tiba-tiba tertekuk sedikit lalu menjejak tanah, melakukan gerakan Hui-niau-jip-lim (burung terbang ke hutan).

   Tubuhnya seperti panah lepas dari busurnya, membuat gerak lengkung di atas halaman menyeberanginya, dalam satu detik sudah mendarat ringan di belakang rimbunnya dedaunan yang menaungi genteng itu.

   Seandainya ada suara kakinya ketika menyentuh genteng, tentu suara itu tak lebih keras dari suara sehelai kertas yang jatuh ke permukaan meja.

   Dari tempat itulah Wan Lui melihat di halaman penginapan sebelah memang telah terjadi pertempuran seru.

   Tiga orang muda tadi menghadapi enam orang anggota Ci-ih Wi-kun.

   Ni Keng Ciau juga nampak dipinggir arena, berdiri dengan sikap anggun seolah-olah masih dalam kedudukannya yang belum dilucuti.

   Sementara ketiga orang muda itu masingmasing harus menghadapi dua orang lawan.

   Ternyata mereka bertiga menunjukkan ketangguhan silat mereka biarpun lawan-lawan mereka pun adalah anggota-anggota Ci-ih Wikun, orang-orang yang dipilih oleh Kaisar sendiri.

   Ketika Wan Lui memperhatikan lebih cermat ilmu silat orang-orang muda itu, nampak bahwa aliran silat sepasang pemuda kembar itu berbeda dengan aliran silat si gadis berkuncir dua, padahal tadinya Wan Lui mengira mereka bertiga adalah satu perguruan.

   Ternyata tidak.

   Dan di antara pernuda kembar itu, biarpun satu aliran ternyata masih bisa dibedakan gaya tempur mereka.

   Yang satu terlihat kuat dan ganas dalam menyerang, seperti gelombang lautan yang didorong badai.

   Serangannya bertubi-tubi dan mengalir tanpa putus, memaksa kedua lawannya lebih memusatkan diri untuk bertahan daripada menyerang.

   "Kalau gaya bertempur ini bisa lama dan tidak segera menghabiskan tenaga, tentunya pemuda ini hebat juga diam-diam Wan Lui menilai dalam hati. Sedangkan saudara kembarnya bertempur dengan tenang, kokoh, nampak bertahan rapat dan tidak tergesa-gesa, la nampak sekokoh sebuah bukit batu, biarpun serangannya tidak segencar saudara kembarnya. "Meskipun mereka memainkan ilmu pedang yang sama, namun Perikepribadian mereka menghasilkan cara bertempur yang berbeda pula,"

   Kaia Wan Lui dalam hati.

   "Memang, di dunia ini mana ada dua manusia yang sama presis, biarpun saudara kembar sekalipun? Wajah dan perawakan boleh sama, tapi tak mungkin tepat sama dalam kepribadian yang terwujud dalam sepak terjang sehari-hari."

   Lalu perhatian Wan Lui dialihkan kepada si gadis berkuncir dua.

   Bukan cuma cantik, ternyata caranya bertempur juga cukup istimewa.

   Sarung pedang si gadis ternyata adalah sebatang tongkat besi yang berlubang di bagian tengahnya.

   Kalau pedang dicabut, maka gadis itu berarti jadi memegang sepasang senjata, namun ternyata malah sarung pedanglah yang dimainkan lebih hebat dengan tangan kanan, sedang pedangnya malah hanya dimainkan dengan tangan kiri.

   "Wah, jadi gadis itu sebenarnya lebih pintar main tongkat,"

   Pikir Wan Lui kagum.

   "Dan pedangnya malah cuma menjadi senjata nomor dua."

   Keistimewaan lain, gadis itu bukan kuncirnya saja yang dua, namun seakan juga punya dua otak dan dua perasaan untuk mengendalikan tangan kanan dan rangan kirinya secara terpisah.

   Tangan kanan yang bertongkat itu menyerang dengan hebat dan kuat, gerakgeraknya sederhana tapi berdaya gempur hebar.

   Seperti seekor gajah yang mengamuk, seolah bukit pun akan hancur diterjangnya.

   Mengherankan juga bahwa seorang gadis yatig nampak lembut bisa bertempur macam itu.

   Sebaliknya lengan kirinya yang berpedang itu bergerak seperti lengan seorang penari yang gemulai, namun bukan berarti tidak berbahaya.

   Ujung pedangnya bergerak ringan dan cepat, gemerlapan seperti seribu lebah perak yang serempak keluar dari sarangnya.

   Sulit dibedakan mana yang lebih berbahaya antara tangan kanan dan tangan kiri, sama sulitnya menentukan mana yang lebih tidak disukai antara diseruduk gajah marah atau dikeroyok lebah beracun.

   "Hebat gadis ini,"

   Wah Lui tambah kagum dalam hati.

   Pertempuran meningkat makin seru, namun kedua pihak masih sama-sama dalam pergulatan merebut peluang.

   Betapapun hebatnya ketiga orang muda itu, namun para jagoan Ci-ih Wi-kun itu juga bukan jagoanjagoan kelas kambing.

   Di istana, merekalah kelompok yang bertanggung jawab atas keselamatan Kaisar Yong Ceng pribadi.

   Salah satu pemuda kembar, yang berwatak berangasan, harus menghadapi dua anggota Ciih Wi-kun yang sama-sama bersenjata pedang.

   Kedua lawannya itu berkelahi dengan kompak, saling mengisi, dan nampak jelas mereka juga se perguruan.

   Yang satu bertubuh jangkung, lengannya panjang, gerak pedangnya amat cepat sehingga menimbulkan banyak bayangan yang membingungkan, sulit membedakan mana bayangan pedang palsu dan mana pedang yang asli.

   Kalau salah membedakan, akibatnya bisa gawat.

   Sedang jago Ci-ih Wi-kun yang satu lagi bertubuh ramping, gerak langkahnya cepat berputaran seolah tubuhnya tanpa bobot.

   Serangan pedangnya dari segala penjuru.

   Tidak mengherankan kalau kedua orang itu begitu tangguh, karena merekalah Jian-ing-kiam (Pedang Seribu Bayangan) Ho Se Liang, dan Lam Thai Hong (Prahara Selatan) Au Yang Kong.

   Orang pertama dan kedua dari Heng-san-samkiam (Tiga Pedang Heng-san).

   Sementara si kembar yang lain juga menghadapi dua lawan.

   Satunya adalah Huikiam-eng.

   (Pendekar Pedang Terbanp) Teng Jiu, orang ketiga dalam Heng-san-kiam.

   Yang satunya adalah Wan Yen Coan yang bersenjata cambung Liong-jiu-pian (Cambung Moncong Naga).

   Ketika Kim Seng Pa pulang dari Jing-hai dan mengetahui bahwa Heng-san kiam ikut berperan dalam menjatuhkan Ni Keng Giau dengan cara menyelidiki dan melaporkan gerak-gerik perwira-perwira pendukung Ni Keng Giau sehingga hisa dihancurkan, maka Kim seng pa amat memuji peranan ketiga orang Heng-san-sam-kiam itu.

   Cuma satu yang Kirn Seng Pa tidak ketahui bahwa Heng-san-samkiam berbuat demikian demi Pangeran In Te, bukan demi Kim Seng Pa ataupun Liong Ke Toh.

   Begitulah, dalam perjalanan ke Tan liu untuk menghukum Ni Keng Giau, Kim Seng Pa mengajak pula ketiga saudara seperguruan itu.

   Kemudian mereka juga ditugaskan ikut ke Hang-ciu untuk mengawal Ni Keng Giau sampai di sana, sementara Kim Seng Pa sendiri pulang ke Pak-khia tersama Toh Jiat liong, orang terdekatnya.

   Menghadapi orang-orang muda yang bermaksud membunuh Ni Keng Giau itu, dalam hati Heng-san-sam kiam sebetulnya malah mengharapkan agar orang-orang muda itu benar-benar berhasil membunuh Ni Keng Giau.

   Pagi pendukung pendukung Pangeran In Te itu, lebih baik kalau Ni Keng Giau mati saja.

   Kalau cuma dibuang atau diturunkan pangkatnya, siapa tahu kelak bisa bangkit kembali dan pulih kedudukannya ? Namun dalam rombongan pengantar Ni Keng Giau itu, Heng-san-sam-kiam sadar hanya mereka bertigalah yang sejalan dan setujuan, sedang yang lain bersikap lain pula.

   Menghadapi pernuda yang beringas itu, Ho Se Liang dan Au Yang Kong sebenarnya tidak terdesak.

   Kalau maju satu persatu, mereka memang bisa kalah, namun kalau bergabung dua orang, untuk balik mendesakpun mereka bisa.

   Namun mereka tidak melakukan itu.

   Mereka justru pura-pura terdesak, mundurnya sengaja ke arah Ni Keng Giau yang berdiridi pinggir arena.

   Mereka bermaksud supaya pemuda beringas itu mendapat kesempatan untuk menyerang N i Keng Giau.

   Demikianlah, di balik pertempuran yang nampak bersungguh-sungguh itu ternyata juga terserbunyi intrik berlatar belakang politik.

   Ho Se Liang dan Au Yang Kong memang bermain indah dan sedap dipandang, namun tidak ber sungguh-sungguh.

   Lawannya yang tidak menyadari hal itu, masih bertempur dengan ganas.

   "Anjing-anjing Kaisar, kalian menghalangi aku membunuh Ni Keng Giau, biar kubunuh kalian lebih dulu!"

   Bentak pemuda itu sambil melancarkan gerak tipu Tai-peng-tian-ci (Garuda Mementang Sayap).

   Pedangnya terpecah menjadi dua jalur cahaya untuk menikam Ho Se Liang dan Au Yang Kong.

   Ho Se Liang pura-pura menangkis dan kalah tenang sehingga terhuyung-huyung ke samping.

   Sedang Au Yang Kong juga melompat menghindari "melebihi keperluan"

   Sehingga seolah meninggalkan penjagaannya. Dengan demikian, kedua saudara seperguruan itu seolah "mempersilahkan"

   Si pemuda beringas itu membunuh Ni Keng Giau yang kini tak terjaga lagi dan cukup dekat.

   Memang benar pemuda berangasan itu lalu menggunakan kesempatan untuk melompat secepat kilat, menikamkan pedang ke arah dada Ni Keng Giau.

   Tujuan utamanya memang membunuh N i Keng Giau, bukan sekedar cari perkara dengan "anjing-anjing Kaisar".

   Ni Keng Giau terkejut, tak menyangka kalau kedua "pelindung"

   Nya meninggalkan garis pertahanan secara demikian tak bertanggungjawab, dan kini seorang musuh yang ganas sudah menerjang ke arahnya, Cepat Ni Keng Giau pun melompat mundur, sambil menyambar sebatang sapu ijuk untuk dijadikan senjata.

   Sebagai murid Pun-bu Hwe-shio, harusnya Ni Keng Giau berilmu tinggi.

   Harusnya.

   Tapi sudah banyak tahun ia tidak berlatih silat, mempercayakan keselamatan dirinya kepada pengawal-pengawalnya, maka ilmu silat Ni Keng Giau pun kini kedodoran.

   Ketika pedang lawannya berkelebat sekali lagi, maka batang sapunya tertebas kutung, bahkan lengannyapun tergores sedikit.

   Ni Keng Giau lalu membalik tubuh untuk lari ke dalam, sedangkan Ho Se Liang dan Au Yang Kong sengaja berlambatlambat untuk menolong.

   Cepat Ni Keng Giau pun melompat mundur, sambil menyambar sebatang sapu ijuk untuk dijadikan senjata.

   Si pemuda terus memburu dengan tak kenal takut.

   Tapi ketika pedangnya hampir menembus punggung Ni Keng Giau, tiba-tiba tubuh Ni Keng Giau ditarik masuk ke dalam secepat kilat, oleh sebuah tangan yang kuat.

   Ni Keng Giau jatuh tertelungkup di dalam, namun nyawanya selamat.

   Kemudian dari balik pintu muncul cahaya keperak- perakan yang memukul balik pedang si pemuda.

   Pemuda itu terkejut ketika pedangnya terbentur begitu keras sehingga hampir lepas dari tangannya.

   Cepat-cepat ia melompat menjauhi ambang pintu untuk bersiaga.

   Saat itu Ho Se Liang dan Au Yang Kong merasa kurang pantas dilihat kalau diam saja.

   Maka kembali mereka menyerang pemuda itu.

   kendati tetap dengan setengah hati.

   Sementara itu, dari ambang pintu tadi muncul pula dua orang jagoan Ci-ih Wi-kun yang bertampang luar biasa.

   Yang satu tua, kurus, pucat bungkuk.

   tangannya memegang pipa tembakau sepanjang tiga jengkal, berwarna keperak-perakan yang tadi di gunakannya untuk menangkis pedang si Pemuda.

   Dialah Sat Siau Kun, tokoh nomor tiga dalam kelompok Ci-iH Wi-kun yang berjulukan Tiat-jiau-hui-hou (Rubah Terbang Berkuku Besi).

   Yang satu lagi bertubuh tinggi tegap, mukanya juga pucat namun nampak bengis, ada goresan bekas luka menyilang "menyeberangi"

   Wajahnya dari kuping kanan sampai ke rahang kiri dan hidungnya terpapas sebagian.

   Tak pelak, inilah wajah yang diperlukan oleh para ibu untuk menakut-nakuti anak-anak mereka yang nakal.

   Senjata yang dibawanyapun tidak lazim, sebuah payung hitam berujung lancip.

   Dia Su-ma Hek-liong, berjulukan Toat-beng-san (Payung Pencabut Nyawa), tokoh nomor empat dalam Ci - ih Wi-kun.

   "Siapa kalian, berani menyerang kami yang sedang menjalankan tugas dari Kaisar?"

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Bentak Sat Siau Kun garang.

   "Kalian bisa mendapat cap sebagai pemberontak-pemberontak tak berampun!" "Kami hanya ingin membunuh Ni Keng Giau!"

   Sahut pemuda berangasan tadi.

   "Siapa yang menyuruh kalian?"

   "Arwah dari ribuan orang tak bersalah yang menjadi korban kelaliman Ni Keng Giau dan si raja iblis Yong Ceng! Ribuan arwah dari seluruh negeri!"

   Pertempuran berlangsung terus, Su-ma Heklong memperhatikan dengan cermat dari pinggir arena. Tiba-tiba Su ma Hek-long tertawa dan berkat.

   "Biarpun kalian tidak mengaku, aku tahu kalian adalah bangsat-bangsat cilik dari Hwe-liong-pang (Serikat Naga Api). Cara kalian bermain pedang sudah kelihatan. Dan gadis itu tentu ada hubungan dengan keluarga Se-bun dari Lok-yang!"

   Sat Siau Kun mengangguk-angguk.

   "Begitukah? Bagus. Jadi si kembar itu adalah cucu Tong Lam Hou yang sudah jadi setan penasaran itu, sekaligus juga cucu Pak Kiong Liong si buronan itu. Bagus. Kalau berhasil kita tanggkap mereka, setidaknya bisa digunakan untuk memancing Pak Kiong Liong keluar dari lubang persembunyiannya yang entah di mana Pemuda kembar itu memang cucu-cucu mendiang Tong Lam Hou, ketua lama Hweliong-pang yang gugurnya karena dikhianati muridnya sendiri, Pangeran In Tong. Kedudukan ketua Hwe-liong pang kini dipegang Tong Gin Yan, ayah pemuda kembar itu. Di masa itu, Hwe-liong-pang bukan lagi sebuah kelompok kuat yang terang-terangan mendirikan markas di suatu tempat, melainkan sudah menjadi gerakan bawah tanah yang markasnya harus berpindah-pindah karena harus berhadapan dengan kekuasaan Kaisar Yong Ceng yang getol ingin menumpas mereka. Pemuda kembar itu masing-masing bernama Tong San Hong, yang lebih tenang sikapnya, dan Tong Hai Long yang berangasan dan tadi hampir saja berhasil membunuh Ni Keng Giau. Sedangkan gadis berkuncir dua itu adalah Sebun Hong-eng, puteri Se Bun Beng dari Lokyang, pendekar yang menjadi sahabat suamiisteri Tong Gin Yan dan Pak Kiong Liong. Tidak mengherankan setelah mengetahui siapa pemuda kembar itu, Sat Siau Kun dan Stima Hek-long jadi bernafsu untuk menangkap mereka. Kalau berhasil, besarlah pahalanya di hadapan Kaisar. Memang anak-anak muda itu bukan buronan, tapi anak dan cucu buronan buronan penting dan bisa digunakan untuk memancing para buronannya sendiri agar keluar dari persembunyiannya. Sebaliknya, Heng-san-sam-kiam diam-diam malah jadi mengkhawatirkan keselamatan pemuda kembar itu. Mereka tahu kalau pihak Hwe-liong-pang akrab dengan Pangeran In Te yang mereka dukung. Mereka juga menduga keras, Pangeran In Te yang dikabarkan "hilang di Jing-hai"

   Itu bukan mustahil disembunyikan dan dilindungi oleh orang-orang Hwe-liongpang.

   Maka Heng-san-sam-kiam mulai bingung bagaimana menyuruh pergi dengan selamat kepada anak-anak muda itu.

   Yang juga terkejut setelah mendengar siapa sebenarnya pemuda kembar itu juga Wan Lui yang berada di persembunyiannya.

   Pemuda kembar itu adalah cucu-cucu gurunya.

   Ia jadi ingat, dulu sebelum gurunya pergi meninggalkannya, gurunya berpesan kalau bertemu anak kembar bernama Tong Hai Long dan Tong San Hong agar dianggap sebagai saudaranya sendiri.

   Dan kini ia sudah bertemu, justru di saat si kembar itu terancam bahaya.

   "Benar kata In Toa-ko,"

   Pikir Wan Lui di persembunyiannya.ula-mula maunya memang cuma menonton, tapi akhirnya harus terlibat juga."

   Sementara itu, Sat Siau Kun telah masuk ke arena dengan sikap memandang rendah lawanlawannya.

   Ia mendekati Tong Hai Long sambil menghisap dan mengebul-ngebulkan pipa tembakaunya yang panjang keperak-perakan itu.

   kepada Ho Se Liang dan Au Yang Kong yang nampaknya "amat payah"

   Melawan pemuda itu, Sat Siau Kun rne merintah.

   "Minggir kalian!"

   Ho Se Liang dan Au Yang Kong cemas kalau sampai pemuda itu ditangani sendiri oleh Sat Siau Kun barangkali akan menemui nasib amat buruk. Karena itu, mereka tidak segera minggir, malah Ho Se Liang menjawab.

   "Sat Tai-jin, kami masih sanggup. Sebaiknya Tai-jin awasi Ni Keng Giau saja, nanti dia lari."

   "Minggir kataku!"

   Bentak Sat Siau Kun. Kalian saja yang mengawasi Ni Keng giau!"

   Ho Se Liang dan Au Yang Kong pun terpaksa berlompatan mundur, biar pun dalam hati masih mencemaskan nasib cucu Pak Kiong Liong itu.

   Ingin memberi isyarat, khawatir kalau dilihat Sat Siau Kun.

   Sedangkan Tong Hai Long sendiri malah menunjukkan sikap tak kenal takut.

   Sambil mengobat-abitkan pedangnya dengari gencar, ia berseru.

   "Ayo maju semua! Makin banyak begundal kaisar iblis itu yang mampus, akan makin amanlah kehidupan rakyat kecil!"

   Sat Siau Kun tertawa terkekeh.

   "Sikap hidup yang membahayakan hidupmu sendiri itu tentunya diajarkan oleh kedua orang tuamu bukan atau oleh kakekmu Pak Kiong Liong? Hehe-he.... selagi Hwe-liong-pang dipuncak kejayaan nya pun tak bisa berbuat apa-apa, apa- lagi sekarang tinggal sisanya yang tercerai-berai dan hidup sebagai pencoleng-pencoleng kecil."

   Tong Hai Long terbakar hatinya mendengar ejekan itu.

   Ia berseru sambil meluncur ke depan, ujung pedangnya mengarah ke leher Sat Siau Kun dengan gerak tipu Ya-long-tiau-kan (Serigala liar Melompati Parit).

   Ilmu pedang yang dimainkannya ialah Tiam-jong-kiam hoat ajaran kakeknya yang almarhum, Tong Lam Hou.

   Suatu ilmu pedang yang tidak peduli soal keindahan gerak, melainkan sepenuhnya harus diperhatikan daya gempurnya.

   Tak ada gerakan kembangan atau pemanis, tujuannya hanyalah memenangkan perkelahian.

   Tadinya Sat Siau Kun memandang remeh pemuda yang dalam hal usia pantas menjadi cucunya itu, namun kemudian dikagetkan oleh ilmu pedang yang hebat itu.

   Cepat ia memiringkan tubuh sambil memukulkan pipa peraknya ke pedang lawan, sekalian mendesak maju sambil mencakar leher lawan dengan tangan kirinya.

   Julukannya Rubah Terban Berkuku Besi, maka kekuatan jari-jarinya itu mampu meremukkan tulang leher.

   Tong Hai Long membiarkan pedang nya terpental sambil melompat pendek ke samping, lalu pedangnya tiba-tiba berkelebat rendah untuk membabat ke sepasang kaki lawan dengan gerak tipu Ji-kong-cam-coa (Ji Kong menebas ular).

   "Kau hebat, bocah cilik!"

   Geram Sat Siau Kun untuk menutupi rasa kagetnya.

   Ia melompat menyelamatkan sepasang kakinya berbareng dengan jurusnya Siok-liu-kik-ting (Petir Menyambar Kepala) yang sebenarnya adalah jurus toya, namun dimainkan dengan pipa tembakau untuk mengepruk ke kepala Tong Hai Long.

   Dengan keberanian luar biasa Tong Hai Long tidak menggubris serangan itu, malah membarengi menikam ke dada lawan.

   Pedangnya lebih panjang dari pipa lawan, maka kalau serangan sama-sama diteruskan, jelas pedangnya yang akan lebih dulu kena sasaran.

   Sat Siau Kun menggeram marah untung dia lincah, la juga malu kalau sampai dipaksa mundur oleh seorang bocah kemarin sore, maka ia menangkis dengan pipanya sambil terus mendesak, maju dengan cakaran-cakaran hebatnya.

   Begitulah, yang tua malu untuk mundur, yang muda berangasan dan tak kenal takut, ramailah jadinya pertempuran itu.

   Kemudian Su-ma Hek-Iong juga maju ke gelanggang sambil menjinjing payung hitamnya.

   Yang didekati ialah si kembar yang satu lagi, Tong San Hong, yang akan dibawanya sebagai oleh-oleh"

   Pulang ke Pak-khia setelah selesai mengamarkan Ni Keng Giau di Hang-ciu.

   "Biar aku yang menangkap cucu pemberontak ini!"

   Katanya kepada Liong juipian Wan Yen Coan dan Hui-kiam-eng Teng Jiu yang tengah menghadapi Tong San Hong. Namun Wan Yen Coan tetap memutar kencang cambuknya, sambil menyahut.

   "Su-ma Toa-ko (kakak Suma), aku sendiripun sanggup meringkus setan kecil Hwe-lioug-pang ini!" Rupanya Wan Yen Coan segan ke hilangan pahala. Tapi baru saja selesai kata-katanya, ujung pedang Tong San Hong berhasil menerobos pertahannya dan menikam pahanya. Selama ini Wan Yen Coan sanggup mengimbangi lawan karena di bantu Teng Jiu, maka ketika Teng Jiu mendadak keluar dari arena, ia tak sanggup membendung Tong San Hong se orang diri. Dengan kaki kesakitan, ter paksa ia harus melompat minggir dan memberi kempatan Su-ma Hek-long yang bakal mendirikan pahala.

   "Teng Jiu, kalau mau meninggalkan arena jangan begitu mendesak, sehingga mencelakai aku,"

   Kata Wan Yen Coan jengkel kepada Teng Jiu.

   "Ah, maaf, karena aku mentaati seruan Su-ma Toa-ko agar minggir,"

   Sahut Teng Jiu dengan sikap ketolol-tolol an, namun sebenarnya tertawa dalam hatinya.

   "Lagipula aku mengira kau benar-benar sanggup menangkap bangsat cilik itu seorang diri, seperti katamu tadi." Sementara itu, tanpa banyak main gertak atau mengancam dengan kata-kata, Su-ma Heklong langsung saja memainkan senjatanya. Selagi tertutup, payung hitamnya bisa dimainkan seperti gada atau tombak. Disertai deru angin kencang, digebuknya arah pinggang lawannya dengan gerak mendatar, dan ketika lawannya menghindar dengan mundur, ujung payungnya yang lancip ditusukkan ke depan dalam gaya ilmu tombak. Tong San Hong memperkokoh kudakudanya, lalu memainkan Hong-kui-lok-hoa (Angin Balik Menggugurkan Kembang). Menangkis lebih dulu, lalu membacok ke depan. Tiba-tiba payung Su-ma Hek-long mengembang, dan pedang Tong San Hong seolah membentur perisai lebar. Ternyata lembaran payung itu tidak terbuat dari kertas seperti lazimnya, melainkan anyaman benangbenang baja lembut dan liat, tahan bacokan pedang biasa. Belum lagi Tong San Hong sempat menarik pedangnya, payung hitam itu tiba-tiba diputar kencang bagaikan roda, amat bertenaga, membentuk tenaga menghisap yang mengakibatkan pedang Tong San Hong seolah masuk ke dalam sebuah pusaran air bertenaga rak sasa. Cepat Tong San Hong memperkeras genggaman atas tangkai pedangnya, lalu melompat mundur. Namun kini Su-ma Hek-long yang mengejar. Payungnya masih terkembang dan berputar kencang, seperti roda hendak melindas lawannya karena dibawa maju oleh Su-ma Heklong dengan langkah menyamping. Kalau sampai lawan terlindasnya, sulit dibayangkan akibatnya, sebab ruji-ruji payung ternyata runcing runcing, sehingga sekeliling tepi payung seolah dipasangi pisau-pisau kecil yang sanggup merajang kulit dan daging. Beberapa saat lamanya Tong San Hong jadi repot, la berputaran mencari sudut serangan yang bisa dilewatinya, tapi lawan tak kelihatan karena selalu berlindung di belakang payung lebar itu. Sementara payungnya terus menggu lung dengan hebat. Suatu saat Tong San liong coba melompat ke belakang lawannya, yang dalam teori silat disebut "melewati Bwe-mui"

   Namun lawan dengan tangkas memutar tubuh, tetap berada di belakang payungnya.

   "Bwe-mui"

   Yang hendak dilewati Tong San Hong itu tetap dijadikan "Toa-mui"

   Baginya.

   Tong San Hong juga mencoba menyerang dari atas, dan gagal pula.

   Begitulah, Tong San Hung jadi sama bingungnya dengan seekor macan yang gagah perkasa, namun menghadapi seekor kura-kura yang aman bersembunyi di balik batoknya yang tebal dan kuat, tak mempan kuku ataupun gigi sang harimau.

   Selain itu.

   "kura-kura"

   Yang satu ini tergolong istimewa juga.

   Tidak cuma bersembunyi, tapi juga bisa menyerang dengan hebat, baik dengan ujung runcing di ujung tangkai payung, maupun dengan ujung jerujijeruji tajam di sekeliling payungnya.

   Namun Su-ma Hek-long sendiri pun sesungguhnya berkeringai dingin menghadapi ilmu pedang Tong San Hong.

   Memang ia dapat bertahan rapat di balik payungnya, namun ia tak berani membayangkan bagaimana akibatnya kalau sampai ia menguncupkan payungnya, sebab "diluar"

   Sana ada jaringan gerakan pedang yang begitu rapat seperti air yang melingkari dari segala penjuru.

   Jadi pertempuran itu bisa juga digambarkan seperti banjir besar kontra benteng batu yang kokoh kuat.

   Jalan buntu.

   Banjir tak bisa memasuki benteng, sebaliknya orang di dalam benteng juga tak bisa keluar, kalau tidak mau diseret di mampuskan oleh sang banjir.

   Begitulah, sementara si kembar Tong San Hong dan Tong Hai Long "keasyikan"

   Ketemu lawan-lawan tangguh, yang tambah berat keadaannya ialah si gadis Se-bun Hong-eng Biarpun permainan tongkat dan pedangnya tergolong unik,namu daya tahan tubuh maupun pengalamannya tak begitu mendukung.

   Apalagi setelah lawannya bertambah dengan Wan Yen Coan.

   Hanya tiga bersaudara seperguruan Hengsan-sam-kiam yang tidak ikut maju dengan alasan ''menjaga Ni Keng Giau agar tidak kabur".

   Dua lawan Se-bun Hong-eng sebelum terjunnya Wan Yen Coan, adalah dua jagoan Ciih Wi-kun yang masing-masing bersenjata Jitgoat-siang-lun (sepasang roda matahari dan rembulan) serta Kau-lian-jio (tombak berkait) yang masing-masing taraf ilmunya tidak di bawah Wan Yen Coan.

   Ketika ditambah dengan Wan Yen Coan yang biarpun sudah luka namun tetap tangguh, Se-bun Hong-eng tak sanggup lagi menghadapi gabungan tenaga ketiga jago istana itu.

   Wan Yen Coan yang mengambil posisi di tengah, suatu ketika menyabetkan cambuknya bertubi-tubi dengan gerakan In-kong-ciok-eng (menembus cahaya menangkap bayangan).

   Bunyi cambuknya seperti petir beruntun yang menggetarkan.

   Sementara kedua rekannya merunduk dari kanan kiri untuk menanti peluang.

   Agar repot Se-bun Hong-eng menjaga serangan dari depan, sambil membagi perhatian ke kedua arah lainnya.

   Ia mundur meninggalkan titik silang garis-garis serangan ketiga lawannya.

   Mundur sambil serong agar kerjasama segitiga antara lawan-lawannya menjadi pincang.

   Begitu teorinya.

   Tapi ketiga lawannya adalah jago-jago berpengalaman pula, mereka bergerak menempati sudut-sudut baru yang membuat Sebun Hong-eng tetap terkurung.

   Karena masih kurang pengalaman, gadis itu jadi panik.

   Ketika geraknya melambat, tahutahu pedang di tangan kirinya telah berhasil dibelit oleh cambuk Wan Yen Coan.

   Si gadis melepaskan pedangnya dengan cara meluruskannya sejajar dengan tarikan cambuk lawannya, sedang tongkat kanan dipakai menggempur kepala Wan Yen Coan.

   Namun Wan Yen Coan berkelit menyamping, cambuknya tetap dibuatnya saling menyudut de ngan pedang yang dibelitnya, tak peduli Se-bun Hong-eng berusaha melurus kannya.

   Silat ternyata memang bukan sekedar adu "teori "kalau lawanmu begitu kamu harus begini", tapi juga adu ketrampiian dalam praktek.

   Dan adu banyaknya pengalaman, dan seberapa banyak bisa menarik pelajaran dari pengalaman-pengalaman itu.

   Disinilah kalahnya Se-bun Hong-eng.

   Biarpun pelajaran dari ayahnya maupun kakeknya tergolong pelajaran silat bermutu tinggi, namun ia kalah pengalaman dari lawan-lawannya yang memang tukang-tukang berkelahi itu.

   Lebih parah lagi, ia mulai panik karena pedangnya seolah terkunci oleh cambuk lawannya.

   Apalagi dua lawan dari kiri kanan juga mulai menyergap berbareng.

   Yang bersenjata Kaulian-jio berhasil mengait tongkat Se-bun Hongeng untuk langsung dipelintir lepas.

   Yang bersenjata Jit-goat siang-lun melancarkan tendangan kilat ke pinggang si gadis untuk melumpuhkannya, maka Se-bun Hong-eng benar-benar terancam.

   Tapi muncullah "dewa penolong".

   Si pemegang Jit-goat-siang-lun itu tendangannya belum sampai ke sasaran, ketika ia tiba-tiba menjerit kesakitan karena selembar genteng deras sekali menghantam tempurung lututnya.

   Begitu hebat tenaga pelontarnya.

   Genteng itu hancur, tapi si penyerangpun roboh dengan sebelah kaki terasa lumpuh.

   Serangan "genteng terbang"

   Belum berakhir.

   Dua lembar lagi melayang deras ke kepala Wan Yen Coan serta rekannya yang bersenjata Kanlian-jio i-iu.

   Wan Yen Coan mengangkat tinju kirinya untuk menangkis dengan meninju genteng itu.

   Genteng pecah berantakan, tapi tinju Wan Yen Coan menjadi bengkak dan nyeri.

   Rekan Wan Yen Coan menangkis dengan tombaknya, tapi cipratan pecahan genteng menyerempet pipinya sehingga berdarah.

   Kesimpulannya, pelempar genteng itu bukan lawan enteng.

   Sementara itu, Wan Lui sendiri telah melompat keluar dari persembunyiannya, dan langsung "membagikan"

   Pukulan kepada ketiga jago Ci-ih Wi-kun lawan-lawan Se-bun Hong8 eng tadi. Sambil berseru penuh gaya kepahlawanan.

   "Nona, bantu saja kawankawanmu. Tiga kecoak ini biar menjadi urusanku!"

   Wajar saja kalau seorang lelaki muda yang sedang tertarik kepada seorang gadis lalu pamer kehebatan agar mendapat sedikit pujian.

   Wajar pula kalau dalam pamer kehebatan itu si anak muda jadi sedikit takabur, gegabah dan tidak cermat memperhitungkan bahayanya.

   Begitu pula Wan Lui.

   Setelah sukses dengan lemparan genteng-gentengnya tadi, timbul anggapan bahwa lawan-lawan ternyata "cuma segitu saja ilmunya"

   Sehingga dengan besar hati ia langsung hendak "memborong"

   Tiga lawan sekaligus untuk diri sendiri. Semangatnya tambah berkobar ketika si gadis berkuncir dua tersenyum kepadanya sambil mengucap lirih.

   "Terima kasih."

   Urat-urat di sekujur tubuh Wan Lui kontan dialiri semangat keberanian tanpa perhitungan lagi.

   Kini ia harus menghadapi Wan Yen Coan dengan cambuk Liong-jiu-piannya, dan rekannya yang bersenjata Kau-lian-Jio ilmunya tidak dibawah Wan Yan Coan.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sedang jago Ci-ih Wi-kun yang bersenjata Jit-goat-siang-lun itu belum bisa bertempur, masih terduduk di tanah sambil meringis-ringis dan mengurut-urut lututnya yang tadi kena lemparan genteng Wan Lui.

   Setelah bertempur sungguh-sungguh dengan kedua lawannya itu, barulah Wan Lui sadar bahwa lawan-lawannya bukanlah jago-jago yang "cuma segitu ilmunya".

   Memang tadi mereka berhasil dikejutkan oleh lemparan genteng, bahkan mendapat cidera kecil, tapi hal itu terjadi hanyalah karena mereka tidak menduga serangan mendadak itu.

   Setelah menghadapi mereka berdua secara langsung, barulah Wan Lui merasa bahwa ia haruslah lebih sungguh-sungguh berkelahi, tidak sempat lagi bertempur sambil jual tampang kepada si kuncir dua.

   Dengan bersungguh-sungguh, Wan Lui mulai bersilat tapgan Thia-liong-kun hoat (pukulan Naga Langit) hasil ajaran tertulis Pak Kiong Liong dulu.

   Ketika Wan Yen Coan mencambuk dibarengi tikaman tombak berkait oleh rekannya dari sudut lain, mulailah Wan Lui menunjukkan keperkasaannya.

   Sepasang tangannya menggempur berturutan dengan jurus Siangliong-kui-thian (sepasang naga kembali ke langit) yang menimbulkan udara berguncang dahsyat.

   Juntai cambuk Wan Yen Coan sampai "berkibar"

   Terpental kena angin pukulannya, sedang si tombak berkait dipaksanya mundur dengan tendangan jarak dekat, yang membuat lawan itu malah merasa kerepotan dengan senjatanya sendiri. (Bersambung

   Jilid IX) KEMELUT TAHTA NAGA Bagian . II Karya . STEFANUS S.P.

   Jilid IX Di sebelah lain, Tong San Hong yang sekian lama sama-sama jalan buntu menghadapi Su-ma Hek-long yang berlindung rapat di balik payungnya, tidak sabar lagi, dan menggunakan tenaga dalam ajaran kakeknya yang disebut Hian-im-ciang (pukulan dingin).

   Ketika ia membentak, suhu udara dalam jarak beberapa langkah dari tubuhnya tiba-tiba anjlok tajam sekali, dan setiap geraknya kini membuat udara maha dingin itu mengalir, dan diarahkan untuk ''menyusup"

   Ke pihak lawan.

   Su-ma Hek-long terkejut sekali menghadapi turunnya suhu udara yang begitu tajam.

   Memang Hian-im-sin-kang Tong San Hong belum sampai ke taraf tertinggi yang bisa membekukan darah dalam urat-urat sehingga jantung tak mampu memompa lagi.

   Ayahnyalah yang sudah sampai ke taraf itu.

   Namun Hian-imsin-kang Tong San Hong itu sudah cukup membuat Su-ma Hek-Iong merasa kedinginan, seolah kulitnya tiba tiba ditempeli salju.

   Jagoan istana itu sampai bersin dua kali.

   Serangan pedang memang bisa ditahan dengan payungnya, tapi serangan yang berujud aliran udara dingin, mana bisa ditangkis ? Segera si "payung pencabul nyawa"

   Ini merasa kemanapun langkahnya terarah, ia selalu dihadang udara amat dingin yang membuat otot-ototnya kaku, sehingga dengan demikian juga memperlambat gerak-gerak silatnya.

   Sebaliknya Tong San Hong tambah gencar menggempur.

   la melancarkan jurus Hui-enghwe-soan (elang terbang berputar) yang tadi sebenarnya pernah digunakan tapi tanpa hasil.

   Namun kali ini berhasil menyudutkan lawannya yang bertahan sambil bersin-bersin beberapa kali.

   Tong San Hong terus mendesak.

   Tiba-tiba kakinya pun ikut menyapu rendah ke betis lawan dengan tendangan Tek-tou-tui.

   Kena.

   Suma Hek-Iong sempoyongan dan permaianan silatnya tambah kacau, ujung pedang Tong San Hong pun "mampir"

   Ke lengan atasnya tanpa permisi lagi.

   "Besok kau harus bikin paying yang lebih lebar lagi...."

   Ejek Tong San Hong yang kini di atas angin.

   "... dan jangan lupa membawa baju tebal yang hangat!"

   Pertempuran yang masih seimbang ialah antara Tong Hai Long si berangasan melawan Sat Siau Kun.

   Bahkan ketika Tong Hai Long juga menggunakan Hian-im-sin-kang seperti saudara kembarnya, Sat Siau Kun nampaknya tak terpengaruh apa-apa.

   Si kecil bungkuk ini ternyata memiliki tingkatan lwe-kang (tenaga dalam) yang kokoh.

   Barulah ketika Se-bun Hong-eng yang sudah kehilangan lawan-lawannya karena diambil alih oleh Wan Lui tadi datang ke arena itu, dan membantu Tong Hai Long, maka Sat Siau Kun mulai merasa berat.

   Pipa peraknya yang tiga jengkal itu harus menghadapi dua pedang dan satu tongkat masing-masing panjangnya hampir satu meter.

   Dalam repotnya, Sat Siau Kun jadi mendongkol melihat tiga bersaudara seperguruan Heng-san-sam- kiam malah enakenak di pinggir arena dan menonton saja.

   Terpaksa Sat Siau Kun membentak gusar.

   "He! Yang menjaga Ni Keng Giau cukup satu orang saja! Lainnya membantu menangkap berandalberandal cilik ini!"

   Ketiga pendekar Heng-san-sam-kiam itu sebenarnya sangat enggan bertempur dengan orang-orang muda Hwe-liong-pang itu.

   Tapi karena Sat Siau Kun berkedudukan lebih tinggi dari mereka, mau tak mau mereka harus menurut agar tidak dicurigai.

   Teng Jiu tetap menjaga Ni Keng Giau, sedangkan dua kakak seperguruannya masing-masing membantu kepada.

   Wan Yen Coan dan Su-ma Hek-long.

   Tapi bantuan yang hampir tak berarti sebab tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh.

   Ketika itu Wan Yen Coan dan pamannya yang bersenjata Kau-lian-jio tengah megapmegap kepanasan, karena Wan Lui mulai menggunakan tenaga dalam Hwe-liong Sin-kang ajaran Pak Kiong Liong.

   Hawa panas luar biasa seolah keluar dari segenap pori-pori kulit Wan Lui, membuat kedua lawannya jadi kesulitan menghirup udara segar, sebaliknya keringat mereka bagaikan di peras keluar dan cepat membuat tubuh jadi lemas.

   Lalu Ho Se Liang datang "membantu"

   Keduanya.

   Tapi Ho Se Liang pura-pura kepanasan dan cuma menyerang dari jarak agak jauh, tapi tak satupun serangannya yang berarti.

   Jadinya ia "pembantu yang tidak membantu".

   Tetapi Wan Lui sendiri tak bermaksud sungguh-sungguh menggilas lawan-lawannya.

   Ia merasa kelanjutannya cuma akan berlarutlarut dan entah pihak mana yang bakal mencapai maksudnya.

   Kekuatan kedua belah pihak hanya berselisih seujung rambut.

   Karena itu, setelah menggertak mundur ketiga lawannya, Wan Lui melompat mendekati Tong San Hong yang tengah mendesak Su-ma Hek-long yang kini dibantu Auyang Kong.

   Katanya.

   "Sobat, masihkah perlu diteruskan?"

   Tong San Hong yang mampu berpikir lebih tenang dari saudara kembarnya itupun memahami situasi dan tak menentu di gelanggang itu.

   Menang tidak, kalah juga tidak.

   Kalau diterus-teruskan juga cuma begitu-begitu saja, membuang tenaga.

   Maka diapun mengangguk dan menjawab.

   "Kau benar, sobat."

   Wan Lui dan Tong San Hong lalu mengubah cara bertempur mereka.

   Tidak lagi menghadapi lawan sendiri-sendiri, melainkan bergabung.

   Perlahan merekapun mulai, bergeser mendekati Se-bun Hongpeng dan Tong Hai Long yang tengah mengeroyok Sat Siau Kun.

   Kepada saudara kembarnya, Tong San Hong berbisik.

   "A-hai, lebih baik mundur dulu."

   Dia berbisik, dan saudara kembarnya yang berangasan itu malah menjawab dengan berteriak sekeras-kerasnya.

   "Kalau kita pergi, keenakan buat Ni Keng Giau, pembantai ribuan orang tak bersalah itu! Maka mereka tak segera bisa menarik diri dari arena, sementara orang-orang muda itu mencari akal bagaimana mengajak si berangasan pergi dari situ. Tiba-tiba Tong San Hong memberi isyarat kepada Se-bun Hongerig, maksudniya agar gadis itulah yang mengajak Tong Hai Long mundur dari situ. Sepasang pipi gadis itu agak memerah tersipu karena menerima "tugas"

   Itu, sebab ia paham pertimbangan apa yang digunakan Tong San Hong. Kiranya selama ini si berangasan Tong Hai long sedang rajin menaksir Se-bun Hong-eng. Maka kalau Se-bun Hong-eng yang mengajukan permintaan, tentu akan lebih "manjur"

   Daripada oleh saudara kembarnya atau orang lain.

   Saat itu, bentuk pertempuran sudah berubah.

   Masing-masing, kawan maupun lawan, tidak lagi sendiri-sendiri menghadapi musuh, tapi secara berkelompok, Wan Lui, Tong San Hong, Tong Hai Long dan Se-bun Hong-eng sudah membentuk semacam "front bersama" menghadapi gempuran para jagoan Ci-ih Wikun yang dipelopori Sat Siau Kun.

   Biarpun soal kalah menang masih belum bisa ditentukan, tetapi Se-bun Hong-eng juga sadar betapa tak berguna nya keadaan yang sama-sama macet bagi kedua pihak itu diterusteruskan.

   Ia bergeser mendekati Tong Hai Long sambil tetap menjaga diri dari sambaran senjata lawan-lawannya.

   Setelah dekat, ia membisiki Tong Hai Long.

   "A-hai, biar kita titipkan dulu batok kepala Ni Keng Giau di lehernya Masih ada lain waktu untuk memetiknya."

   Ternyata memang manjur. Tong Hai Long yang tadinya membandel terhadap ajakan saudaranya, namun setelah Se-bun Hong-eng yang mengajaknya, diapun menjadi "jinak"

   Seketika. Sambil memutar pedangnya dengan hebat, ia berseru.

   "Baik! Mundur ya mundur! He, Ni Keng Giau, awaslah lain kali!"

   Namun untuk mundurpun tak segampang yang diinginkan.

   Setelah Sat Siau Kun tahu bahwa si kembar adalah cucu cucu Pak Kiong Liong sekaligus Tong Lam Hou, dua pentolan penantang pemerintahan Kaisar Yong Ceng, maka Sat Siau Kun jadi bernafsu untuk menang kap mereka guna memancing keluarnya Pak Kiong Liong dari persembunyiannya.

   Maka Sat Siau Kun pun mengomando orangorangnya.

   "Kalau bisa tangkap semua, tangkap semua! Kalau bisa cuma menangkap satu, lebih baik daripada tidak sama sekali!"

   Maka seluruh barisan Sat Siau Kun lalu menggempur dengan lebih bersemangat, kecuali tiga orang Heng-san-sam-kiam yang diam-diam berpendapat "lebih baik tidak sama sekali", hanya sebagian ekor dari perintah Sat Siau Kun itu Mereka bertiga malah sibuk mencari jalan bagaimana supaya orang-orang muda itu dapat lolos dengan selamat.

   Pertempuran masih berlangsung sengit beberapa jurus.

   Satu pihak mau pergi, pihak lain ingin menangkap.

   Pada detik-detik gawat itulah Wan Lui kembali tampil sebagai pahlawan, mengambil tugas terberat untuk dirinya sendiri.

   Berserulah ia kepada ketiga kenalan barunya itu.

   "Kalian bertiga mundur dulu, biar aku yang tahan."

   "Sobat, jangan membahayakan diri mu sendiri."

   Tong San Hong memperingat kan.

   Tetapi Wan Lui telah bertindak tanpa menunggu pertimbangan orang lain, maklumlah dia sedang bersemangat-semangatnya jadi pahlawan di hadapan Se-bun Hong-eng.

   Sambil membentak sekeras sepuluh guruh, seluruh kekuatannya dilontarkan lewat dua tangannya.

   Berbareng dengan lompatan tubuhnya, ia lontarkan jurus Ban-liong-seng- thian (selaksa naga memenuhi langit), jurus paling sulit dari Thian-liong-kun-hoat ajaran Pak Kiong Liong.

   Dibarengi pengerahan tenaga sakti Hwe-liongsin-kang, tiba-tiba saja arena itu dipenuhi bayangan ribuan pukulan yang menghembuskan hawa panas menyengat.

   Memang jagoan-jagoan sekaliber Sat Siau Kun atau Su-ma Hek-long takkan mudah dijatuhkan oleh serangan itu, namun toh mereka terkejut dan sejenak gerakan mereka tertahan.

   Sedang jago - jago Ci-ih Wi-kun yang Dibarengi pengerahan tenaga sakti Hwe liong-sin kang, tiba-tiba saja arena itu dipenuhi bayangan ribuan pukulan yang menghembuskan hawa panas menyengat.

   berilmu se tingkat dibawah mereka seperti Wan Yen Coan, Heng-san-sam-kiam, biksu yang bersenjata Kau-lian-jio, mau tidak mau harus melompat mundur jauh-jauh untuk mengurangi sengatan aliran udara panas itu.

   Bukan cuma para jago-jago Ci-ih Wi-kun yang kaget, tapi juga si_ kembar Tong San Hong dan Tong Hai Long, sebab mereka mengenali jurus itu.

   Mereka juga sudah bisa, sudah diajari oleh kakek mereka, namun dengan jujur mereka harus mengakui bahwa dalam penggunaannya, mereka belum sematang Wan Lui.

   Pancaran udara panas yang bisa mereka lakukan juga belum semenyengat itu.

   Bukan karena si kembar itu kalah bakat, tapi kerena mereka mempelajari terlalu banyak aliran silat sehingga sulit mencapai kematangan, berbeda dengan Wan Lui yang cuma menekuni satu ajaran saja.

   Karena belum tahu siapa Wan Lui, si kembar itu heran, darimana Wan Lui dapat memainkan Thian-liong-kun-hoat dan Hweliong-si n- kang sehebat itu, bahkan lebih hebat dari mereka sendiri? Namun detik-detik itu terlalu berharga untuk dibuang-buang tanpa tindak an.

   Bagaikan tiga ekor burung raksasa, Tong San Hong, Tong Hai Long dan Se-bun Hong-eng telah melompat ke atas genteng selagi lawan-lawan mereka ditahan Wan Lui.

   Kemudian si kembar mengeluarkan jarum-jarum besi yang di lontarkan-lontarkan dari atas genteng kearah para jagoan Ci-ih Wi-kun.

   Cara melempar jarum-jarum itu mereka pelajari dari seorang tokoh Hwe-liong pang, Sai-kim-ciam Su-seng (sastrawan penyebar jarum emas) Siang Koari L.ong yang gugur ketika markas Hwe-liongpang di Tiau-im-hong diserbu tentara pemerintah.

   Karena keluarga Hwe-liong-pang bukan keluarga jutawan yang seenaknya saja "menyebar emas", maka jarum-jarum itu bukan benar-benar dari emas, melainkan dari besi saja.

   Besarnya sama dengan lidi, panjangnya se jengkal.

   Jarum-jarum raksasa itu berhamburan membelah udara dengan suara mencicil-cicit, menuju ke sasaran-sasarannya.

   Sambil menghamburkannya, Tong San Hong berseru kepada Wan Lui.

   "Sobat, naik kemari!"

   Kawanan jago-jago Ci-ih Wi-kun itu mau tidak mau harus memecah perhatian terhadap jarum-jarum itu, maka Wan Lui jadi memiliki kesempatan untuk melayangkan tubuh keatas genteng pula.

   Keempat anak muda itu kemudian kabur menghilang ke lereng bukit di belakang penginapan itu.

   Gelapnya malam amat membantu gerak mundur mereka.

   Sat Siau Kun dengan bernafsu masih ingin mengejar, kalau bisa ya setidak-tidaknya menangkap satu dari keempat "berandal cilik"

   Tadi. Namun Ho Se Liang cepat mencegahnya dengan alasan yang cukup masuk akal.

   "Sat Toako, hati-hatilah, jangan sampai kita termakan siasat memancing harimau meninggalkan gunung!"

   "Benar!"

   Dukung Auyang Kong "Bangsatbangsat Hwe-liong-pang sudah terkenal dengan kelicikarnnya.

   Kalau sampai kita terpancing mengejar mereka.

   jangan-jangan nanti akan muncul rombongan lain untuk mengambil Ni Keng Giau.

   Kalau sampai kejadian begitu, tentu kita tak punya, kesempatan lagi untuk menjelaskan kepada Sribaginda maupun Kim Cong-koan!"

   Karena alasan pendekar-pendekar Hengsan-sam-kiam itu cukup beralasan, maka Sat Siau Kun berhasil diyakinkan untuk tidak mengejar orang-orang muda tadi.

   Sebab tugas utamanya ialah mengantarkan Ni Keng Giau dengan selamat sampai ke Hang-ciu.

   Sementara itu, Wan Lui dan kawankawannya sudah lari cukup jauh dan tiba di suatu tempat yang sepi di lereng bukit.

   Ketika mereka tahu bahwa musuh tidak mengejar, merekapun berhenti berlari-lari.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ketika itulah awan hitam yang menaungi rembulan tersibak perlahan oleh angin, sehingga keempat orang itu dapat saling memandang.

   Dengan jengkel Tong Hai Long membanting kaki sambil menggerutu.

   "Untung benar si bangsat Ni Keng Giau itu. Biarpun sudah jatuh dari kedudukannya, ia masih dilindungi pengawal-penga wal setangguh itu, Huh!"

   Sambil menyarungkan pedangnya, Tong San Hong tertawa dan berkata untuk meredakan kejengkelan saudaranya.

   "Ni Keng Giau bukannya dikawal sebagai orang terhormat, namun sebagai narapidana yang dikhawatirkan akan kabur. Biarpun kita belum berhasil menghukumnya, tapi Ni Keng Giau sendiri pasti amat menderita jiwanya oleh kejatuhannya itu. Bayangkan, orang secongkak dia, tiba-tiba harus digiring sebagai seorang pesakitan."

   Kemudian Wan Lui juga ikut bicara.

   "Urusan sakit hati, akupun ingin membalas kepada Ni Keng Giau Dalam perang di Hek-liong-kang bertahun-tahun yang lalu Guruku pernah dikhianati Ni Keng Giau sehingga kehabisan pasukan dan hampir saja ikut mati. Tapi kita harus pandai memperhitungkan situasi, jangan bertindak sembrono."

   Suara Wan Lui menyadarkan mereka, terutama Se-bun Hong-eng yang belum mengucapkan terima kasih untuk pertolongan Wan Lui tadi.

   Maka diapun memberi hormat dan mengucapkan terima kasih kepada Wan Lui.

   Menghadapi gadis yang menarik perhatiannya sejak bertemu di jalan tadi, Wan Lui agak kikuk menghadapinya Namun ia membalas hormat juga, sambil mengharapkan bisa bercakap-cakap Jama dengan gadis itu.

   Tapi ada yang cemburu melihat sikap Wan Lui itu, tak lain adalah si berangasan Tong Hai Long.

   Cepat-cepat pemuda itu menyerobot berdiri antara Wan Lui dan Se-bun Hong-eng, sehingga pandangan Wan Lui jadi terhalang.

   Seolah-olah dengan sikapnya itu Tong Hai Long mau berkata.

   "Jangan menatap dia terlalu lama!"

   Namun, sambil memberi hormat pula Tong Hai Long berkata.

   "Aku juga mengucapkan terima kasih. Sobat, kalau kau ada keperluan. lain di tempat lain, tentunya kami tidak berani lama-lama menahanmu di sini." Itulah pengusiran yang dicoba untuk ditampilkan dengan halus, toh masih terasa kasar juga. Tong San Hong diam-diam geleng-geleng kepala melihat ulah saudara kembarnya itu. Tapi ia tahu bahwa saudara kembarnya itu tidak jahat, cuma kali ini sedang panas hatinya karena cemburu. Sebenarnya, makin lama Wan Lui bisa bercakap-cakap dengan Se-bun Hong-eng tentunya makin senang. Tapi, mendengar ucapan Tong Hai Long itu, Wan Lui jadi merasa tidak enak tinggal di situ lebih lama. Sekali lagi ia berpamit, terus memutar tubuh dan hendak melangkah pergi. Namun Tong San Hong tiba-tiba berkata.

   "Tunggu, sobat!"

   Wan Lui menghentikan langkah.

   "Ada apa lagi?"

   "Sobat, kalau tadi mataku tidak salah lihat, dalam pertempuran tadi kau menggunakan ilmu pukulan Thian-liong-kun-hoat dan tenaga dalam Hwe-liong sin-kang. Apakah benar?"

   "Benar." "Maaf, seandainya pertanyaanku di anggap lancang. Siapakah gurumu, sobat?"

   "Guruku bernama Pak Kiong Liong. Namun atas permintaannya sendiri, aku tidak memanggilnya Suhu, tapi kakek. Kakek Liong tidak memberi pelajaran kepadaku secara lisan, melainkan hanya meninggalkan catatan untukku sebelum dia pergi."

   Keterangan Wan Lui ini mau tidak mau menarik perhatian si kembar.

   Pak Kiong Liong adalah kakek mereka dari garis ibu, tak terduga kini bertemu seorang yang mengaku sebagai murid kakek mereka.

   Dan rasanya pemuda ini tidak bohong, kakek mereka memang pernah memimpin pasukan untuk berperang di Liautong selama hampir satu tahun, melawan serbuan tentara Jepang.

   Mungkin saat itulah sang kakek mendapat murid ini.

   Tong San Hong menganggap pertemuan ini menggembirakan.

   Sambil tertawa dia berkata.

   "Ha-ha, sungguh suatu kebetulan. Gurumu itu, sobat, bukan orang lain bagi kami berdua. Dia adalah.. Wan Lui tersenyum dan berkata ce pat mendahului.

   "Beliau adalah kakek kalian, itu kuketahui ketika tadi melihat gerak silat kalian. Aku pernah diberitahu guruku tentang cucucucu lelaki kembarnya. Yang satunya tenang dan mantap seperti Puncak Gunung (San Hong), satunya lagi berdarah panas, selalu bergelora seperti Ombak Laut (Hai Long), tapi... belum pernah kudengar kalau guruku itu punya cucu perempuan,"

   Sambil memandang Se-bun Hongeng, sehingga Tong Hai Liong lagi-lagi harus menggeser tubuh untuk menutupi pandangan Wan Lui. Tanpa menggubris ulah saudara kembarnya itu, Tong San Hong berkata dengan riang.

   "Kita benar-benar bukan orang asing sobat. Kita seperti saudara. Eh, aku belum tahu namamu."

   "Namaku Wan Lui."

   "Bagus, saudara Wan. Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan ini bersama? Kalau boleh kami tahu, kemana tujuanmu?"

   Buat Wan Lui, tawaran itu sungguh menyenangkan.

   Tetapi sikap Tong Hai Long membuatnya kurang enak.

   Lagipula, Wan Lui merasa kurang pantas kalau, harus memisahkan diri dari teman seperjuangannya, In Kiu Liong, dan bergabung dengan orang lain.

   Biarpun In Kiu Liong serba tertutup dan kadang-kadang aneh, tapi kurang pantas meninggalkannya begitu saja.

   In Kiu Liong nampaknya juga enggan bertemu dengan orang-orang muda ini.

   Karena itulah Wan Lui akhirnya memutuskan, untuk sementara ia tidak harus bersama-sama dengan ketiga orang ini.

   "Sungguh menyenangkan, melakukan perjalanan di alam bebas dengan teman-teman sebaya. Tapi maaf, saat ini aku belum bisa. Kalau saudara Tong tidak keberatan, tolong beritahu aku saja dimana Kakek Liong berada saat ini."

   "Kebetulan sekali, bulan depan kami akan bertemu kakek di Hang-ciu. Tapi di mana tempatnya yang pasti, kami agaknya masih harus saling bertukar isyarat dengan Kakek untuk menemukan tempat itu." Wan Lui mengangguk-angguk kepalanya. Sungguh suatu kebetulan, la dan In Kiu Liong sedang membuntuti rombongan Ni Keng Giau ke Hang-ciu, dan ternyata di kota itu ada harapan akan bertemu dengan gurunya yang dicarinya. Pikirnya.

   "Mudah-mudahan In Toa-ko akan senang pula berjumpa dengan Kakek Liong yang sering diakuinya sebagai teman seperjuangannya itu."

   "Apakah kesehatan guruku itu baik baik saja?"

   Tanya Wan Lui pula, untuk memuaskan sebagian rasa rindunya.

   "Usianya sekarang sudah hampir de lapanpuluh tahun,"

   Sahut Tong San Hong.

   "Tapi untunglah, kesehatannya baik sekali. Barangkali ini disebabkan oleh semangatnya yang tak pernah padam."

   Mata Wan Lui nampak agak berkaca kaca mendengarnya, ingin rasanya ia segera berada di hadapan gurunya itu untuk bersembah sujud kepadanya.

   "Baiklah, saudara Tong berdua dan nona Sebun, kita berpisah di sini dan mudah-mudahan kelak bertemu lagi....."kata Wan Lui akhirnya. 'Tolong sampaikan sembah sujudku kepada guruku itu."

   Habis itu, Wan Lui benar-benar melangkah pergi meninggalkan mereka. Se-bun Hong-eng menatap bayangan punggung yang tegap dan gagah itu lenyap di balik tirai kabut malam yang bergantung rendah.

   "Dia tampan sekali ya?"

   Tiba-tiba Tong Hai Long bertanya dengan nada mendongkol. Sebun Hong-eng menjadi merah mukanya dan mengalihkan pandangan ke arah lain tanpa menjawab. Sedang Tong San Hong lah yang menjawab saudara kembarnya itu.

   "Benar. Tapi se benarnya kau tidak perlu iri kepadanya, Ahai. Soal tampang, kau tidak kalah dari dia, hanya saja..."

   "Hanya apa? Ilmu silatku kalah tinggi dibandingkan dia?"

   Sambar Tong Hai Long dengan hati yang panas. Biarpun umurnya cuma tua beberapa menit, Tong San Hong memang sok berlagak orangtua terhadap saudara kembar nya, begitu pula kali ini.

   "Ya, ilmu silatnya memang lebih tinggi dari kita. Soal ini kita harus berani mengakuinya secara jantan."

   "Siapa bilang tidak mau mengakuinya? Tapi tingkat ilmu silat seseorang itu tidak berjarak tetap dengan tingkat orang lainnya. Ada yang ilmunya tinggi, karena malas latihan lalu jadi merosot. Sebaliknya ada yang tadinya berilmu rendah, karena rajin latihan lalu mening kat ilmunya. Kalau penilaian seseorang itu cuma berdasarkan ilmu silat, sungguh penilaian itu tidak kekal. Saat ini aku kalah dari si.. si..,., siapa tadi?"

   "Wan Lui!"

   "Ya.... si Wan Lui itu. Tapi lihat saja. Aku akan berlatih dengan giat, dan kelak harus menjajal kehebatannya!"

   Mendengar jawaban dengan hati panas itu, Tong San Hong jadi geli sendiri dan menggoda lebih hebat.

   "Lho, kesurupan apa kau malam ini, A-hai? Ada banyak orang yang ilmunya lebih tinggi daripadamu, tetapi kenapa kau tidak jengkel kepada mereka, dan hanya kepada Wan Lui saja? Ha-ha, aku tahu. Tentu kau jengkel kepadanya karena dia keseringan melirik kepada A-eng bukan?"

   Keruan wajah Se-bun Hong-eng menjadi merah padam karena dia "di-srempet"

   Padahal ia merasa "sudah minggir". Selagi Tong Hai Long masih gelagapan mencari jawaban, Se-bun Hong-englah yang sudah membalas Tong San Hong.

   "He, A-san kau sendiri tidak tahu malu, apakah kau tidak merasa?"

   "Tidak tahu malu? Dalam soal apa?"

   "Tadi kau memuji A-hai, katamu A-hai tidak kalah tampang dengan........dengan... dia tadi. Bukankah itu sama dengan memuji dirimu sendiri, sebab kalian kembar dan berwajah serupa?"

   "Oh iya..."

   Tong San Hong menganggukangguk dengan gaya ketolol-tololan.

   "Baik kuralat omonganku tadi. Memang menurut pandanganmu, mana bisa aku dan A-hai menyamai Wan Lui yang begitu gagah, tampan, lihai ilmu silatnya dan... huaaah!!" Tong San Hong tak sempat menyelesaikan olok-olok itu, sebab Se-bun Hong-eng tiba-tiba menginjak jempol kakinya keras-keras. Namun dalam hati Se-bun Hong-eng sebenarnya ada rasa senang juga. Baginya, Wan Lui memang lebih mengesankan dari Tong Hai Long. Soal tampang memang sama saja, namun sifat Tong Hai Long yang penaik darah dan sering tak terkendali itu lebih banyak menjengkelkannya daripada menyenangkan. Sedangkan Tong San Hong sebaliknya, kelewat sabar sampai mirip dengan kakek-kakek, kalau bicara seperti menasehati cucu-cucunya saja padahal umurnya baru duapuluh satu. Se-bun Hong-eng merasa kurang "pas"

   Dengan sifat masing-masing saudara kembar itu, yang "pas"

   Ya ya....ya Wan Lui itulah.

   Mereka lalu berjalan kembali ke tempat penginapan.

   Lewat jalan lain, Wan Lui pun kem bali ke desa itu.

   Dengan amat hati-hati Wan Lui mendekati dinding belakang penginapannya yang bersebelahan dengan penginapan lain yang digunakan oleh rombongan Ni Keng Giau.

   Tempat yang beberapa saat yang lalu menjadi ajang pertempuran itu, kini sudah sepi, namun Wan Lui tetap dalam kewaspadaan tinggi.

   Seringan sehelai daun kering diangkat oleh angin, Wan Lui melompati dinding dan mendarat di halaman belakang penginapan itu, dan berjingkat tanpa suara ke dalam kamarnya kembali.

   Ia sudah memutuskan, kalau In Kiu Liong terbangun dan menanyakan apa yang terjadi, ia akan bercerita terus-terang apa saja yang dialaminya.

   Namun begitu menyelinap masuk ke dalam kamar, dilihatnya lilin di kamar itu masih menyala, tapi In Kiu Liong sudah tidak ada lagi di pembaringannya.

   Cuma ada sehelai surat di atas bantal, yang cepat-cepat dibaca oleh Wan Lui.

   "Wan-heng, maaf aku meninggalkanmu karena ada urusan penting yang mendadak. Untuk biaya perjalananmu selanjutnya, Wanheng boleh menjual kuda yang kutunggangi, sebab aku melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Mudah-mudahan kelak kita bertemu lagi. Dari sahabat seperjuanganmu dalam cita-cita luhur."

   In Kui Liong. Wan Lui membaca surat itu tanpa kesan apa-apa, tawar saja hatinya. Yang ada hanyalah kesan bahwa In Kiu Liong ini memang rasa misterius sepak terjangnya. Melakukan apapun serba sembunyi-sembunyi. Ada "urusan penting"

   Macam apa sehingga harus pergi di larut malam itu? Wan Lui kemudian melepas sepatu dan baju luarnya, lalu tidur untuk membebaskan pikirannya dari macam-macam beban.

   Toh raut wajah Se-bun Hong-eng tak begitu gampang diusir dari pelupuk matanya.

   Belum-belum sudah kangen.

   Esok harinya, rombongan demi rombongan meninggalkan, desa kecil itu.

   Rombongan Ni Keng Giau lebih dulu, yang nampak bersikap waspada.

   Disusul dengan rombongan Tong San Hong bertiga yang belum kapok juga membuntuti nya dari kejauhan.

   Dan yang paling lambat berangkatnya adalah Wan Lui, karena sebelum berangkat ia harus menjual dulu kuda In Kiu Liong dan uangnya untuk membayar penginapan.

   Meskipun Wan Lui ingin sekali menyusul dan bergabung dengan rombongan Tong San Hong, tapi ia jadi merasa segan kalau membayangkan wajah Tong Hai Long yang angker.

   Begitulah tiga gelombang orang ber kuda itu menuju ke arah yang sama.

   Hang-ciu.

   * * * Itu adalah sebuah perjalanan yang paling menyiksa batin Ni Keng Giau.

   'Tiga perempat"

   Jiwanya masih dikuasai angan-angan bahwa dirinya adalah seorang bangsawan yang patut disembah sujud-i, sementara "seperempat"

   Sisanya sudah menginjak bumi kenyataan bahwa perjalananya dari Tan-liu ke Hang-ciu adalah perjalanan dari puncak kejayaan ke kehinaan.

   Karena itulah sepanjang perjalanan Ni Keng Giau bertingkah laku tidak seimbang.

   Kadang-kadang berteriak-teriak dan membentak-bentak, menyuruh semua orang menyembah diri nya.

   Dilain saat dia begitu menurut diperintahkan apa saja oleh jago-jago Ci-ih Wi-kun yang mengawalnya.

   Bahkan oleh Su-ma Hek-long atau Wan-yen Coan sering disepak pantatnyapun cuma nyengir saja.

   Sering dalam diri Ni Keng Giau muncul niat yang amat kuat untuk bunuh diri, namun niat itu selalu tertahan oleh munculnya pikiran lain yang diada-adakannya sendiri.

   "Jangan mati dulu, masih ada harapan aku kembali ke kedudukanku. Sribaginda hanyalah ingin menguji kesetiaan dan kepatuhanku, sebelum mengangkatku kembali. Tidak, aku tidak boleh mati. Kalau Sribaginda benar-benar berniat menyingkirkan aku, tentu akan langsung disuruhnya Hiat-ti-cu membunuhku, seperti ia pernah menyuruhku membunuh Pangeran In Te di Jing-hai. Ah, ini bukan hukuman. Ini cuma ujian kesetiaan."

   Dengan adanya pikiran macam itu, paling tidak niat bunuh dirinya bisa diredakan.

   Dan selagi semangatnya untuk terus hidup meninggi, ia sering ketakutan kalau melihat di antara jago-jago Ci ih Wi-kun itu ada yang berbicara bisik-bisik.

   Khawatir kalau mereka merencanakan untuk membunuhnya di tengah jalan.

   Pernah semalaman Ni Keng Giau tidak tidur di kasurnya di penginapan, melainkan cuma bertiarap di kolong ranjang, semalam suntuk tidak memejamkan mata sekejappun, sambil terus menerus menghunus pedang.

   Akhirnya tembok kota Hiang-ciu nampak di depan mata.

   Itulah sebuah kota yang dulu pernah juga disebut lim-an, ketika Kaisar Sengkhin-cong memindahkan ibukota Kerajaan Seng dari Pian-liang di utara ke Lim-an, tahun 1126, karena serbuan Kerajaan Kim dari utaraNamun kemudian Seng-khin-cong lari karena tekanan musuh, dan tahta diambil alih oleh Song-ko-cong, adiknya, dan mulailah era yang disebut Kerajaan Lam-seng (Seng Selatan).

   Jaman Kerajaan Beng, Hang-ciu pernah juga menjadi ibukota dengan nama Lam-khia, sebelum Pangeran Yan ong memberontak terhadap Kaisar Kian bun, lalu memindahkan ibukota ke Pak-khia sampai berakhirnya dinasti Beng.

   Ketika rombongan Ni Keng Giau tiba di Hang-ciu, sambutan penguasa Hang-ciu biasa saja, karena mereka sudah mendapat pemberitahuan dari pusat bahwa Hang-ciu akan mendapat seorang pelatih tentara "yang agak istimewa".

   Namun dalam pemberitahuan itu juga dicantumkan pesan agar Ni Keng Giau diperlakukan sesuai dengan pangkat barunya.

   Karena itulah Ni Keng Giau tidak disambut besar-besaran.

   Setelah diterima secara resmi dan dingin di gedung Cong peng-hu, Ni Keng Giau langsung dikirim ke salah satu barak tentara, jalan kaki memanggul sendiri buntalan pakaian-pakaiannya, dan pengantarnya cuma seorang serdadu tua yang biasanya bertugas mengantarkan surat-surat tidak penting antar tangsi.

   Sebelum itu, tugasnya adalah meniup nafiri setiap pagi di menara tangsi, namun sejak sakit batuknya menghebat, dengan pertimbangan kemanusiaan tugasnya diganti menjadi pengantar surat.

   Kinipun dia melangkah di samping Ni Keng Giau sambil terbatuk-batuk terus, sehingga Ni Keng Giau jadi kesal.

   Kemudian ia menunjukkan sebuah ruangan di salah satu tangsi, yang harus didiami Ni Keng Giau selama bertugas sebagai pelatih.

   Malamnya Ni Keng Giau harus tidur di sebuah ruangan besar bersama 'perajuritperajurit dan perwira-perwira rendahan yang paling tinggi saja cuma berpangkat tui-thio.

   Di ruangan itu direntangkan tali-tali silang menyilang, digantungi celana-celana para perajurit yang bau keringat atau habis dicuci sehingga airnya masih menetes-netes.

   Udara segar menjadi barang mewah diruangan itu.

   Sebelumnya, Ni Keng Giau harus ikut antri makan malam di dapur tangsi, karena tak seorangpun mau diperintah mengambil makanannya, tak peduli ia sudah menyebutkan serentetan pangkat, gelar dan kedudukan yang pernah dimilikinya.

   Ni Keng Giau hampir menangis mengalami semuanya itu.

   Namun senantiasa di kuat-kuat kannya jiwanya sendiri menghadapi ujian "kesetian dan kepatuhan"

   Dari Kaisar itu.

   Malam harinya, ia mendapat sedikit kebanggaan ketika ternyata masih banyak orang yang mau mendengarkan kisahnya ketika berperang di Jing-hai.

   Di Jing-hai dulu, ia dikitari pembantu-pembantu-nya yang paling rendah saja berpangkat Cam-ciang, bersikap amat tertib, dibawah lambaian ribuan bendera yang megah.

   
Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sekarang, ia dikelilingi pendengarpendengar yang paling tinggi berpangkat tuothio, mendengarkan kisahnya sambil mencungkil-cungkil gigi atau mengorek-ngorek hidung dengan jarinya sambil kentut berulang kali, dibawah lambaian puluhan celana luar maupun dalam yang digantungkan pada tali yang melintasi ruangan itu bagaikan bendera.

   Namun buat Ni Keng Giau sudah terasa lumayanlah.

   Setidak-tidaknya ia bisa bercerita untuk membanggakan kejayaan yang pernah dialaminya.

   Sebenarnya Ni Keng Giau masih ingin bercerita panjang lebar, tapi satu persatu pendengar-pendengarnya mulai menguap lalu berbaring di dipannya masing-masing.

   Terpaksa Ni Keng Giau berbaring juga.

   Namun ia tak dapat segera memejamkan matanya.

   Matanya berkedap-kedip menatap rusuk-rusuk atap di atasnya, namun angan-angannya menerawang jauh entah kemana.

   Masihkah akan terulang kejayaannya yang dulu? "Masih ada masa depan gemilang buatku.

   Semua yang sekarang ini hanyalah tindakan Sribaginda untuk menguji diriku,"

   Ia jawab sendiri semua keraguannya.

   Lalu dibawanya ke alam mimpi.

   Alam di seberang kesadaran itu sungguh nikmat, jauh dari kenyataan yang begitu keras dan pahit.

   Namun sial, kadang-kadang keras dan pahitnya kenyataan itu ikut menyeberang pula ke alam mimpi dan menghasilkan mimpi buruk! Keesokan harinya, dengan tekad akan melewati ujian ''kesetiaan"

   Itu sebaik-baiknya, Ni Keng Giau mulai tugas barunya sebagai pelatihnya.

   Para perajurit dibawanya kelapangan.

   Pertama-tama latihan main tombak dan pedang.

   Kemudian diajarinya bagaimana bergerak sebagai satu pasukan, bukan bertindak sendirisendiri.

   Sampai sekian, otaknya masih waras.

   Para perajurit dengan bersungguh-sungguh menuruti petunjuk-petunjuk Ni Keng Giau dengan berserrtangat, sebab pelatih mereka kali ini adalah bekas jenderal penakluk Jing-hai yang beberapa saat yang lalu naManya masih menjadi buah bibir di Pak-khia.

   Ni Keng Giau berdiri di atas sebuah panggung terbuka kecil di tengah lapangan, kedua tangannya memegangi bendera-bendera kecil yang dikibar-kibarkan untuk menggerakkan pasukannya dilapangan.

   Sebentar-sebentar terdengar gelegar sorak mereka.

   Mereka seolah menguasai lapangan itu dengan gerak pasukan maju lurus, menebar, melingkar, mengurung, mundur dan menjebak dan sebagainya.

   Tangkas sekali.

   Ketika Ni Keng Giau mengayunkan sepasang bendera kecilnya lurus ke depan, sayap kanan dan sayap kiri serempak menyerbu musuh di depan.

   Bukan musuh benar-benar, namun sederetan pepohonan di pinggir lapangan yang diumpamakan sebagai musuh.

   Dengan penuh semangat, para perajurit mulai melabrak pepohonan itu.

   Melihat gerak-gerik barisan di lapangan itu, Ni Keng Giau tersenyum bangga, merasa dirinya kembali menjadi jenderal agung yang memimpin jutaan perajurit.

   Ia mulai melamun, terbang ke alam mimpi..Sementara itu, para perajurit yang tengah "menggempur musuh"

   Itu mulai kelelahan.

   Juga malu, sebab banyak orang yang lewat di pinggir lapangan itu heran melihat ulah para perajurit.

   Belum pernah penduduk Hang-ciu melihat adegan perajurit bertempur sengit melawan pepohonan, biarpun cuma latihan.

   Perajurit-perajurit itu mulai agak menggerutu satu sama lain.

   "Kapan selesainya gempuran ini? Apakah sampai pohon-pohon besar-besar itu habis roboh semua?"

   "Dalam pertempuran yang benar-benar pun setelah sekian lama tentu sudah harus ada tindakan lanjutan."

   "Mestinya kita sudah mundur, lalu pasukan tengah yang maju menusuk ke pasukan musuh."

   "Kok belum terdengar aba-aba lagi?"

   Salah seorang perajurit menoleh ke panggung terbuka di tengah lapangan, dan terdengarlah seruan kagetnya.

   "Astaga, apa yang sedang dilakukan pelatih kita itu?"

   "Pertempuran"

   Berhenti secara otomatis, semua perajurit menoleh ke tengah apangan.

   Dilihatnya sang pelatih sudah turun dari panggung kecil itu, dan berjongkok sambil memunguti sesuatu dari tanah.

   Pasukannya sudah tidak dipedulikan lagi.

   Para perajurit saling berpandangan dengan heran.

   Seorang berpangkat tui-thio lalu mewakili rekan-rekannya untuk mendekati Ni Keng Giau dan menanyakan bagaimana kelanjutan latihan itu.

   Sementara perajuritperajurit mulai duduk-duduk berteduh di bawah pepohonan, tui-thio itu berjalan mendekati Ni Keng Giau di dekat panggung.

   Makin dekat tui-thio itu dengan Ni Keng Giau, keheranannya makin bertambah.

   Sebab dilihatnya Ni Keng Giau dengan asyik sekali tengah mengumpulkan benang-benang merah yang berceceran di rerumputan.

   Benang-benang merah itu adalah rontokan ronce-ronce tombak para perajurit selama latihan tadi.

   "Buat apa Goan-swe kumpulkan itu?"

   Tanya tui-thio yang tetap memanggil Ni Keng Giau dengan sebutan "Goan swe", namun sambil bertolak pinggang dengan tangan kiri dan tangan kanannya menggaruk-garuk pantat.

   Ni Keng Giau berdiri sambil tersenyum aneh, tanpa menjawab.

   Lalu mengeloyor pergi begitu saja sambil menggenggam segenggam berodolan ronce tombak.

   Si tui-thio mengikuti langkahnya sambil bertanya.

   "Goan-swe, bagaimana dengan latihannya? Dilanjutkan apa tidak?"

   Ni Keng Giau tiba-tiba membalik tubuh, berdiri dengan tegap dan membentak gusar.

   "Latihan? Kaukira perang di Jing-hai itu cuma main-main? Bahkan negara sebesar Rusia juga ikut mendalangi pemberontakan itu? Tapi, lihat, Jing-hai berhasil kutaklukkan!"

   Sambil menengadah bangga, ia melambaikan tangan menunjuk ke sekitar lapangan Sedang si tui-thio kebingungan dan berhenti menggaruk pantarnya.

   "Lalu.... lalu.... bagaimana dengan pasukan ini?"

   "Atur barisan, kibarkan semua bendera kemenangan. Lalu.... berbaris ke Pak-khia!"

   "Berbaris ke Pak-khia?!"

   Kopral itu terkesiap.

   "Berbaris ke Pak-khia? Apakah maksud Goan-swe, panggung ini pura-puranya dianggap Pak-khia dan setelah kita menang perang lalu berkumpul kembali di sini, begitu?" Dari mulut Ni Keng Giau keluarlah jawaban yang sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaannya.

   "Setelah pelantikanku di Pakkhia, pasukan akan langsung berbaris ke Sengtoh, ibukota Se-cuan. Di sana aku akan mulai memerintah sebagai raja muda dengan gelar It teng-kong!"

   Habis berkata demikian, Ni Keng Giau melangkah meninggalkan lapangan dengan langkah lebar dan anggun. Sebelah tangannya masih menggenggam be-rodolan ronce tombak, ditinggalkannya si tui-thio berdiri terlongonglongong.

   "Apa-apaan ini?"

   Gerutu si tui-thio sendirian sambil menatap punggung Ni Keng Giau yang menjauh.

   "Tadinya dia baik-baik saja, kenapa sekarang tiba-tiba mengeluarkan perintah yang tak keruan ini?"

   Karena merasa tak mampu sendirian mengartikan kata-kata Ni Keng Giau itu, tui-thio itu lalu melangkah ke arah teman-temannya yang sedang berteduh di bawah pohon.

   "Bagaimana?"

   Sambut seorang kawannya. "Atur barisan, naikkan bendera, lalu berbarislah ke Pak-khia. Setelah pelantikan, dari Pak-khia ke Seng-toh!"

   "Apa?!"

   Hampir semua perajurit yarg masih kelelahan itu berseru kaget dan melompat bangun.

   "Memangnya jarak dari Hang-ciu ke Pakkhia langsung ke Seng-toh itu dekat?"

   "Kenapa tidak sekalian diperintahkan sanhai-koan, lalu menyusuri tembok besar agar kaki kita patah semua?!"

   Beberapa saat para perajurit itu ribut membicarakan perintah tak masuk akal itu. Di antara komentar-komentar yang serabutan itu akhirnya muncul satu usul yang paling masuk akal.

   "Bagai mana kalau kita laporan kepada Cong-peng saja?"

   Semua perajurit berseru setuju.

   Begitulah, para perajurit bukannya berbaris ke Pak-khia, melainkan ke gedung Cong-penghu untuk laporan kepada Panglima Hang-ciu yang bernama Kang Bun Hou.

   Sang Panglima juga tak mampu memecahkan soal itu lalu menyuruh bubaran saja.

   Dari Cong-peng-hu para perajurit tidak berbaris ke Seng-toh, ibukota Se-cuan, tapi ke warung arak.

   Di sana ada makanan enak.

   Dan berangkatnya tidak usah mengibarkan bendera segala.

   Dari warung arak itu sekaligus beredar melu uaslah cerita tentang "keanehan"

   Pelatih baru di Hang-ciu itu.

   Hari-hari berikutnya Ni Keng Giau tetap menjalankan tugasnya sebagai pelatih.

   Kadangkadang waras, kadang-kadang sinting.

   Sial buat regu-regu perajurit yang kebagian giliran latihan selagi pelatihnya kumat, sebab mereka akan mendapat instruksi yang tak keruan.

   Tetapi bagi yang mengikuti latihan selagi Ni Keng Giau waras, haruslah mengakui bahwa taktik-taktik perang baru yang diajarkan Ni Keng Giau itu bermutu cu kup tinggi.

   **** Warung arak di dekat tangsi itu cukup laris, siang maupun malam.

   Sebagian besar pengunjungnya adalah perajurit-perajurit yang tidak sedang bertugas, namun ada juga orangorang lain yang bukan perajurit.

   Dengan langkah lamban dan pandangan kosong, Ni Keng Giau masuk ke warung itu, diiringi seorang perajurit yang berjalan di belakangnya.

   Sesaat la hanya berhenti melangkah dan berdiri di ambang pintu, tatapan matanya yang tanpa gairah nampak agak kebingungan melihat suasana tempat itu.

   Itulah pertama kalinya ia berkunjung ke situ.

   Beberapa perajurit yang sudah setengah mabuk, mengangkat cawan araknya tinggitinggi sambil berteriak.

   "Mari, Goan-swe! Nikmati arak di sini, lumayan rasanya!"

   Para perajurit memang sudah dikenal oleh si pemilik warung, karena jadi langganan di situ, namun Ni Keng Giau belum dikenalnya.

   Pemilik warung itu heran mendengar panggilan "Goanswe" (jenderal) terhadap Ni Keng Giau.

   la lihat pakaian Ni Keng Giau tak berbeda dengan perwira-perwira rendahan, apakah ini seorang jenderal yang menyamar? Tapi karena Ni Keng Giau berdiri tepat di ambang pintu yang sempit, sehingga mengganggu keluar masuknya para pengunjung warung, maka si pemilik warung memberanikan diri untuk mendekati Ni Keng Giau sambil terbungkuk-bungkuk hormat.

   Katanya.

   "Hamba sungguh berbahagia, sehingga Goan-swe berkenan mengunjungi tempat hamba yang buruk ini. Kalau Goan-swe berkenan, silahkan Goan-swe memilih tempat duduk, hamba akan melayani Goan-swe sehingga....... hah, apa?!"

   Kiranya, selagi si tukang warung bicara, ia melihat isyarat dari perajurit yang berdiri di belakang N i Keng Giau.

   Perajurit itu menempelkan jari telunjuknya miring di jidatnya sendiri, sambil menunjuknunjuk punggung N i Keng Giau.

   Sebenarnya saat itu Ni Keng Giau sedang terbuai sanjung puji si tukang warung yang melambungkannya ke awang-awang.

   Tapi ia heran ketika si tukang warung mendadak berhenti bicara dan memandang ke belakang Ni Keng Giau sambil menjulur-julurkan leher dan membelalakkan mata.

   Ni Keng Giau ikut menoleh ke belakang, dan perajurit di belakangnya buru-buru pura pura mengusapusap jidatnya seolah baru saja kejatuhan kotoran cecak.

   "Ada apa?"

   Tanya Ni Keng Giau kepada perajurit itu.

   "Tidak.... tidak apa-apa, Goan-swe.."

   Si perajurit menjawab dengan gugup, lalu cepatcepat mengalihkan perhatian.

   "Eh, itu, di sana ada tempat duduk kosong, Goan-swe......"

   Setengah menuntun setengah mendorong, perajurit itu mengajak Ni Keng Giau menuju ke tempat kosong itu.

   Lalu si Perajurit segera memesankan arak dan beberapa macam makanan.

   Si tukang warung menyiapkan pesanan, masih dengan perasaan kurang paham.

   Para perajiPit memanggil orang baru itu dengan sebutan "goan-swe"

   Tapi kenapa bersikap begitu tidak hormat Perajurit yang mengantarnya pun tidak mempersilahkan dengan hormat, tapi mendorong-dorong punggungnya.

   "Jenderal macam apa ini?"

   Pikir si tukang warung.

   "Ini pastilah si pelatih sinting yang sering dibicarakan para perajurit itu. Baru sekarang aku melihat orangnya."

   Setelah beberapa cangkir arak ditenggak, mulailah Ni Keng Giau berbicara dengan suara keras, sehingga seisi warung mendengarnya semua, la berkisah tentang masa kejayaannya, saat jutaan perajurit tunduk semua kepada perintah nya hanya dengan isyarat ujung jarinya, bagaimana dia menghancurkan musuh di Jing-hai, bagaimana Kaisar Yong Geng sendiri menganggapnya sebagai saudara! Para perajurit banyak yang menjadi jemu, sebab cerita itu sudah diulang entah berapa kali, ya begitu-begitu saja.

   Namun ada juga yang merasa iba kepada Ni Keng Giau, lalu berpurapura mendengarkan agar Ni Keng Giau merasa diperhatikan.

   Tengah asyik-asyiknya bercerita, tiba-tiba wajah Ni Keng Giau memucat, matanya terbelalak menatap pintu warung, mulutnya bungkam seketika.

   Sesaat kemudian, barulah ia mendesiskan ka ta-kata bernada ketakutan.

   "Hantu........hantu____ oh, tidak. Bukankah kau seharusnya sudah mati di Jing-hai?"

   Dan tubuhnya seolah membeku menjadi patung di kursinya. Banyak pengunjung warung ikut menoleh ke pintu untuk melihat macam apa "hantu"

   Itu.

   Ternyata cuma dua orang lelaki yang sama sekali tidak menakutkan.

   Kemelut Tahta Naga (2) Karya Stevanus SP di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Yang satu berusia kira-kira empat puluh tahun, bertubuh ramping, kulitnya yang bersih dan kerapian kumis serta jenggotnya membuat ia bertampang ningrat.

   Jubahnya sederhana tapi rapi.

   Yang seorang lagi adalah pemuda berusia kira-kira duapuluh tahun, menggendong pedang di punggungnya, tatapan matanya menyala, menunjukkan wataknya yang keras.

   Kedua orang itu sebenarnya hendak memasuki warung dengan maksud yang wajar saja, untuk makan minum.

   Namun begitu melihat Ni Keng Giau, pemuda itu sikapnya menjadi beringas, tangan kanannya dengan gerak kilat telah menjangkau tangkai pedangnya, siap untuk menghunusnya.

   Tapi gerakannya tertahan oleh lelaki bertampang keningratan itu, yang cepat-cepat memegang pundak pemuda itu, lalu menariknya menjauhi warung sambil membisiki si pemuda.

   "Tahan ke marahanmu, A-hai. Di tempat ramai dan di siang hari bolong macam ini, bukan hal tepat untuk melakukan tindakan yag menarik perhatian."

   Si pemuda nampak masih penasaran, tapi enggan membantah orang yang lebih tua itu. Sambil melangkah menjauhi warung itu, ia masih sering menoleh ke warung dengan tatapan penuh kemarahan. Gerutunya.

   "Inilah kedua kalinya bangsat Ni Keng Giau lepas dari pedangku. Hem, keenakan dia."

   "Jangan gegabah, A-hai. Ingat, sekali timbul keributan, jejak kita akan menarik perhatian penguasa militer kota ini, dan berarti kesulitan bagi kita. Ingat, kita ini buronan bukan? Lagipula, kakekmu takkan setuju kalau kau bunuh Ni Keng Giau dalam keadaan yang sekarang ini."

   "Kenapa? Dosa orang she Ni itu sudah terlalu bertumpuk-tumpuk, entah berapa banyak orang tak berdosa yang menjadi korbannya. Kakek sendiri pernah dikhianatinya di Hek-liong-kang. Paman sendiri juga pernah mengalami penghinaan dan penindasannya ketika ikut dalam pasukan yang menggempur Jing-hai, kenapa sekarang Paman mencegahku membunuh dia?"

   "Karena dia sudah jatuh, bahkan nampaknya otaknya sudah tidak waras. Tidak terlalu kejamkah kita kalau masih juga ingin membalas dendam kepada seseorang yang sudah cukup menderita seperti dia?"

   Pemuda itu, Tong Hai Long, akhirnya cuma bisa menggerutu dalam hati, Kakek Liong dan Paman In Te terlalu bermurah hati tapi tidak kepada orang yang tepat.

   Ni Keng Giau adalah serigala yang tega menggunakan cara sekotor apapun untuk mencapai tujuannya.

   Inilah barangkali penyebab utama kenapa Kakek Liong dan Paman In Te kalah dalam perebutan kekuasaan, sebab terlalu berperasaan dan terlalu menuruti peraturan.

   Bahkan terhadap orang yang patut dibenci sekalipun."

   Tapi ia tidak membantah lagi ketika In Te, yang emoh disebut "pangeran"

   Lagi itu, terus menuntunnya menjauhi warung tadi.

   Saat itu mereka berada di Hang-ciu dalam rangka perjalanan ke Pak-khia.

   Bukan karena In Te kembali berkecimpung dalam kancah perebutan kekuasaan, melainkan untuk menghubungi pendukung-pendukung setianya agar mengalihhkan dukungan mereka kepada Pangeran Hong lik saja.

   Pangeran Hong lik dianggap pantas didukung, sedang In Te sudah rela melepaskan semua peluang bagi dirinya sendiri.

   Inilah yang diam-diam kurang disetujui oleh Tong Hai Long.

   Kaisar Yong Ceng berhasil mendapatkan tahta dengan cara yang curang, kok malah sekarang akan dibantu diam-diam untuk mewariskan tahta kepada keturunannya? Tapi kalau Tong Hai Long mengutarakan protesnya, ia malah akan dihujani petuah panjang lebar oleh Kakeknya atau oleh In Te sendiri.

   Tentang keluhuran budi Pangeran Hong Lik, dan hendak nya jangan dilihat sebagai keturunan Yong Ceng yang kejam, dan sebagainya.

   Bahkan ayah ibu Tong Hai Long, saudara kembarnya, Se-bun Hong-eng, semuanya nampaknya juga sepaham dengan In Te.

   Mereka tiba di sebuah penginapan 'yang letaknya agak tersembunyi dari jalan besar, dan langsung menuju ke salah satu ruangan di bagian belakang.

   Di dalam ruangan itu, ternyata sudah nampak Pak Kiong Liong, Tong San Hong dan Se-bun Hong-eng yang sedang bercakapcakap sambil minum teh.

   "Lho,kenapa secepat ini kalian kembali?"

   Tanya Pak Kiong Liong heran, ketika melihat In Te dan Tong Hai Long memasuki ruangan itu.

   Tong Hai Long yang menyahut, "Kakek, baru saja aku kehilangan kesempatan bagus untuk membunuh si durjana Ni Keng Giau itu.

   Sayang sekali, Paman In Te mencegah aku."

   Lebih dulu In Te mengambil tempat duduk, baru berkata.

   "Memang kucegah A-hai bertindak sembrono. Selain akan merepotkan kita kalau jejak kita sampai menarik perhatian pihak penguasa, juga sudah tidak ada gunanya kini saat ini mencincang Ni Keng Giau sekalipun."

   "Tapi kita lalu berarti membiarkan kejahatan Ni Keng Giau tak terhukum!"

   Bantah Tong Hai Long yang masih pena saran. Pak Kiong Liong mengelus jenggotnya yang memanjang seperti helai-helai benang perak, sambil menyabarkan nya itu.

   "Siapa bilang tak terhukum? Memang bukan tangan kita yang menghukumnya, tapi dia jelas sudah terhukum. Buat orang yang sombong dan ambisius macam dia, kejatuhannya dari kedudukannya itu pasti lebih menyakitkan dari hukuman macam apapun. Buktinya, jiwanya tidak tahan sehingga menunjukkan tanda tanda kegilaan. Tapi kita tidak boleh membiasakan diri untuk mensyukuri kecelakaan orang lain, apalagi ikutikutan menambah berat penderitaan, biarpun terhadap musuh. Itu tidak perlu, merugikan diri kita sendiri, merusak watak kit a sendiri."

   Tong Hai Long menunduk mendengar katakata kakeknya itu. Sementara Pak Kiong Liong melanjutkan.

   "Dengan bercermin pada diri Ni Keng Giau, kita harus mewaspadai diri sendiri. Sejarah mencatat, tidak jarang suatu cita-cita yang mulanya nampak benar dan luhur, bersih dari kepentingan pribadi, tahu-tahu dalam prosesnya ketujuan tak terasa mulai diboncengi ambisi-ambisi pribadi yang mulanya tidak kentara. Akhirnya, pencapaian cita-cita perjuangan yang semula lalu bercampur aduk dengan perjuangan untuk diri sendiri. Tak jarang cita-cita luhur yang semula malahan terdesak minggir atau lenyap sama sekali. Artinya, pencapaian sasaran jadi melenceng dari arah yang semula," In Te mengangguk-anggukkan kepala dan ikut berkomentar.

   "Betul, Paman. Contoh paling nyata ya Ni Keng Giau itu. Dulu dia mengabdi dengan tulus kepada Kakanda Yong Ceng. Dan seandainya sampai sekarang ia masih memiliki ketulusan itu, tentunya mengabdi dalam keadaan apa saja akan dilakukannya dengan senang hati. Tapi karena dia sudah jadi ambisius dan gila hormat, maka ketika dia kehilangan apa yang membuatnya dihormati, sintinglah dia. Sedangkan contoh pengabdian yang tulus adalah Paman Pak Kiong Liong sendiri. Sebagai Panglima Hui-liong-kun dulu, Paman mengabdi sebaik-baiknya dan tetap mengutamakan keselamatan negara. Ketika paman dilucuti, bahkan hidup sebagai buronan pun, tujuan hidup Paman tetap tak tergeser, tetap mengutamakan keutuhan dan keselamatan negara. Pengabdiannya tidak terpengaruh apakah sedang memangku pangkat atau tidak."

   Pak Kiong Liong tersenyum dan balas memuji.

   "Dan kau sendiri, In Te. Rela melepaskan semua gelar kebangsawanan, semua pendukung, untuk memberi peluang kepada Pangeran Hong Lik melangkah ke tahta, tidak peduli dia adalah anak dari seorang yang telah merampas hakmu secara curang. Kau lakukan itu karena ingin menjaga keutuhan negara juga bukan?"

   Pak Kiong Liong dan In Te lalu bertukar senyuman.

   Rasanya mereka berhak juga menikmati sedikit rasa bangga, karena berhasil mengalahkan lawan terberat, ambisi pribadi mereka.

   Sehingga biarpun mereka terpental dari pusat kekuasaan serta menjadi orangorang buangan, tapi tidak perlu sampai menjadi sinting seperti Ni Keng Giau.

   Bagi mereka, Kedudukan setinggi apapun takkan berarti kalau tak memberi arti bagi kesejahteraan banyak orang.

   Pangkat bukan hak untuk bernikmat-nikmat melebihi orang lain, tapi malah menjadi kewajiban yang lebih berat dari orang lain.

   Sedang Tong Hai Long yang masih muda, kata orang darahnya masih panas, memang tidak gampang menerima sikap mengalah macam itu.

   Kendati sudah tersudut, ia masih coba membantah juga.

   "Kalau tidak boleh mendendam, kenapa sampai sekarang kita masih juga mencari-cari Pangeran In Tong yang telah mengkhianati Kakek Tong Lam Hou?"

   Pak Kiong menjawab.

   "Pengejaran kita terhadap ln Tong bukan karena kita ini budakbudak dendam, tapi bisa dikembalikan ke dasar keselamatan umum juga. In Tong seorang yang berilmu tinggi, ambisius dan cerdik, tapi bahayanya, dia itu tidak bermoral. Kalau dibiarkan berkeliaran bebas di kolong langit, entah berapa banyak orang yang bakal menjadi korbannya. Dia akan memperjuangakn ambisinya tanpa tanggung tanggung, tanpa menghitung berapa pun korban manusia yang bakal jatuh, apakah kita bisa tenteram hati membiarkan orang macam dia berkeliaran bebas di masyarakat?"

   "Benar. Kakanda In Tong seperti seekor harimau yang tak pernah kenyang, yang senantiasa merunduk di antara rumput-rumput ilalang untuk menunggu korbannya." Tong Hai Long bungkam mendengar debatan itu. Pembicaraan pun kemudian beralih ke diri Wan Lui, si pemuda dari Liau-tong. Tong San Hong sudah menceritakan kepada kakeknya, betapa pemuda itu mampu memainkan Thianliong-kun-hoat dan Hwe-liong-sin-kang lebih hebat dari cucu-cucu Pak Kiong Liong sendiri. Maka Pak Kiong Liong harus bicara untuk tidak membiarkan cucu-cucunya berkecil hati.

   "Bukan karena kalian kalah bakat, atau aku pilih kasih dalam menurunkan ilmu, sehingga Wan Lui jadi lebih matang dari kalian. Tapi bukankah pernah kukatakan banyak kali, bahwa kalian belajar terlalu banyak macam ilmu silat. Kalau cuma mempelajari ilmuku dan ilmu kakek Tong Lam Hou masih tidak apa-apa, tapi kalian juga belajar dari banyak tokoh-tokoh Hweliong-pang yang memiliki ilmu khas masingmasing. Sedang Wan Lui cuma mempelajari ilmuku. Itulah sebabnya dia menang dalam kematangan, tapi kalah dalam keanekaragaman. Kalian tidak perlu penasaran." Tong San Hong dapat lebih dingin menerima penjelasan itu, hanya Tong Hai Long yang masih tetap penasaran. Urusan dengan Wan Lui bukan cuma urusan ilmu silat, tapi menyangkut dengan Se-bun Hong-eng juga. Selagi Tong Hai Long susah-susah menaksir gadis itu, eh, tahutahu muncullah Wan Lui yang agaknya berhasil merebut perhatian Se-bun Hong-eng. Lelaki muda yang sedang mabuk asmara mana yang tidak panas hatinya? Mau ilmu silat Wan Lui setinggi langit pun ia takkan ambil pusing kalau tidak menyangkut Se-bun Hong-eng. Tapi ini. Sementara Pak Kiong Liong bercerita tentang pengangkatan Wan Lui sebagai muridnya dulu, nampak Se-bun Hong-eng menatap dan mendengarnya dengan penuh perhatian, matanya bersinar-sinar. Keruan Tong Hai Long semakin uring-uringan dalam hati. Kalau tahu akan begini "malang"

   


Senopati Pamungkas (1) Karya Arswendo Atmowiloto Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung Pedang Bunga Bwee Karya Tjan ID

Cari Blog Ini