Mencari Bende Mataram 10
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 10
Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto
Ini bukan sifat anak buah Otong Surawijaya yang pantang menyerah.
Dwijendra sendiri menjadi kaget.
Dengan perasaan tak puas ia minta keterangan.
"Basanta mengapa engkau memutuskan demikian? Pamanmu bukan seorang banci. Mungkinkah anakku kurang menarik hatimu?"
Andi Basanta tertawa meringis. Dengan perlahan ia mengangkat lengannya, kemudian menggulung lengan bajunya. Dan tampaklah seleret luka panjang yang dalam. Tulang lengannya hampir saja kena sintuh.
"Hai! Kau kenapa?"
Dwijendra terperanjat. Andi Basanta melayangkan pandangnya ke bawah panggung.
"Kemarinkeponakanmu inilagi ber-tiduran di atas perahu. Tak tahunya seorang pencoleng datang menikam selagi aku tertidur lelap."
Mendengar keterangan itu, semua tetamu menjadi gempar. Pantaslah, dia tadi hampir-hampir tak dapat melompat ke atas panggung. Sastradirjapaman pengasuhnya menyambung.
"Tuankukemarinatas persetujuan saudara-saudara kita, kami ditugaskan untuk memburu seekor kambing yang memasuki daerah terlarang. Sama sekali tak terduga, bahwa kambing itu ada penggembalanya yang tangguh. Andi Basanta kena dilukai."
Istilah kambing merupakan kata-kata sandi.
Maksudnya dia lagi memburu mangsanya.
Tentu saja Dwijendra terkejut berbareng heran.
Sastradirja adalah salah seorang kepercayaan Otong Surawijaya.
Ilmu kepandaiannya tinggi.
Masakan tak mampu melindungi Andi Basanta? Ini merupakan kabar yang menggemparkan.
Siapakah penggembala yang dapat mengalahkan mereka berdua?"
"Bagaimana menurut pendapat tuanku?"
Sastradirja minta keputusan. Dwijendra diam sejenak. Kemudian tertawa panjang.
"Penggembala kambing itu benar-benar tinggi ilmu kepandaiannya. Siapa dan sekarang berada dimana, aku tak tahu. Hm, ingin aku menemuinyaagar aku dapat mendamaikan."
Wajah Andi Basanta merah padam, la tahu akan arti kata mendamaikan. Artinyadia diharapkan mengalah. Maka katanya dengan penuh kedengkian.
"Pamanselamanya belum pernah aku memikirkan tentang perdamaian. Yang benardia harus dibekuk."
Setelah berkata demikian, ia melayangkan pandangnya ke arah bawah panggung. Kemudian dengan tangan kirinya, ia menuding. Berteriak sengit.
"Binatang itu sekarang berada disini. Dia besar kepala sampai berani mengunjungi pesta Paman. Apakah ini bukan suatu penghinaan lantaran memandang rendah kewibawaan Paman?"
Sastradirja pun lantas berseru pula.
"Hai orang pandai! Kami paman dan kemenakan ingin berdamai denganmu. Kau hendak pergi kemana? Ha! Kemari?"
Bagaikan dilemparkanSastradirja dan Andi Basantamelompat turun dengan gesit. Semua hadirin heran dan memutar kepalanya mengarah ke arah gerakan mereka.
"Dimana dia?"
Berteriak seorang yang bercambang tebal.
Dia bernama Cecep Surayateman sekerja Sastradirja.
Maka ia bermaksud membantu.
Tepat pada saat itu, Sastradirja melompat ke depan Kilatsih.
Dengan sebelah tangannya ia menyambar sedang tangan kanannya terbuka untuk mencengkeram.
Kilatsih mengelak ke samping dengan memutar tubuhnya.
Tepat ada detik itu belati Andi Basanta menikam dari samping, la tak gentarbahkan sambil menangkisia tertawa.
"Ooo.... jadi kalianlah penjahat- penjahat bertopeng semalam?"
Di antara suara kagetnya hadirin, terdengarlah suara berkelontangan.
Ternyata belati Andi Basanta terlempar di atas batu-batu kerikil.
Dan hampir pada saat itu pula, Cecep Suraya dan seorang temannya kena ditendang Kilatsih saling susul.
Mereka jatuh ber-gabrukan menelungkupi meja.
Sesudah itu dengan ringan sekali, ia melesat di atas meja.
Sastradirja menghunus goloknya, la pun memburu dengan melompat pula.
Kilatsih gusar.
"Orang bermuka tebal! Kamu main keroyok lagi?"
Setelah membentak demikian, Kilatsih melompat turun sambil mendepak meja.
Meja yang penuh mangkok- mangkok sayur terbalik berhamburan.
Sastradirja sedang melompat.
Tak dapat ia berkelit di tengah udara.
Tak ampun lagi.
Muka dan bajunya tersiram kuah sayur yang muncrat seperti disemprotkan.
Ia memekik lantaran mendongkol dan gusar.
Begitu turun di tanah, ia mengulangi serangannya kembali.
Kilatsih terpaksa mencabut pedang pendeknya yang bersinar kemilauan.
Sebat ia menangkis sambil membentak.
"Ehbenar-benar engkau manusia kejam!"
Dengan menjejakkan kaki, ia meletik ke udara.
Pedangnya menyambar.
Prak! Dan golok Sastradirja terkutung menjadi dua.
Untung Kilatsih tiada niatnya hendak membunuh.
Dengan demikian, selamatlah jiwa Sastradirja.
Tapi Sastradirja ternyata seorang yang mau menang sendiri.
Jangan lagi ia merasa berterimakasih.
Sebaliknya sesudah terperanjat sejenaktangannya menyambar.
Kilatsih membabatkan pedangnya.
Melihat terkelebatnya pedang, dengan hati kecut Sastradirja terpaksa menarik tangannya.
la gentar terhadap pedang Kilatsih yang tajam luar biasa.
Meskipun demikian Sastradirja tak sudi mundur.
Dihadapan orang banyak hendak ia memperlihatkan kegarangan dan kegagah-annya.
Dia tetap melibat dengan serangan-serangan kaki dan tangan.
Dalam pada itu teman-temannya meluruk membantunya.
Dengan demikian, Kilatsih tak dapat meloloskan diri dari suatu kepungan rapat.
"Nahsekarang rasakan!"
Ancam Sastradirja setelah melihat Kilatsih kena libat.
Kilatsih terkejut, la melihat tangan Sastradirja biru kehitam-hitaman.
Itulah suatu ilmu tangan beracun.
Di Jawa Tengah orang menyebutnya dengan istilah Aji Kembang Teleng.
Barang siapa kena pukulan atau cengkeraman tangan yang memiliki Aji Kembang Teleng, akan kejalaran racun berbisa.
Dia seumpama kena pedut ular berbisa ia tewas dalm waktu seperempat jam.
Cepat reaksi Kilatsih.
Begitu melihat menyambarnya tangan, dia pun menyambar lengan seorang lawan dan ditubrukkan sebagai perisai.
Tentu saja Sastradirja tak mau melukai kawan.
Buru- buru ia menarik tangannya dengan hati mengutuk kalang kabut.
Dan kesempatan itu dipergunakan Kilatsih untuk melesat ke meja satunya dan satunya.
Setiap kali mendarat di atas meja, ia menyambar mangkok- mangkok berkuah dan dihantamkan kalang kabut.
Muka pembantu-pembantu Sastradirja lantas saja menjadi matang biru kena hantaman mangkok yang berkuah panas.
"
"Hebat! Hebat!"
Terdengar seorang memuji di antara keriuhan hadirin.
Memangtetamu-tetamuyang berada di sekitar pertempuran itu, jadi kacau balau.
Mereka menyibak berdesakan, dengan teriakan-teriakan kaget.
Dalam pada itu dengan diam-diam, Andi Basanta mengangkat sebuah kursi sebagai alat pemukul.
Kilatsih bermata tajam.
Pedangnya menyambar dan kursi Andi Basanta terkutung menjadi dua bagian.
Tepat pada saat itu Sastradirja mengulangi serangan tangannya yang beracun.
Tatkala Kilatsih berputar arah untuk menghadapi Sastradirja, berkelebatlah sesosok bayangan di antara kerumun penge-royok-pengeroyok.
Dengan tangan terpentang, bayangan itu.
mendorong mereka sehingga terpental mundur.
Dialah Raja Muda Dwijendra.
Kata raja muda itu dengan suara berpengaruh.
"Sastradirjacoba mundur. Dan engkau anak muda kau tariklah seranganmu. Aku hendak berbicara sedikit."
Sastradirja dan teman-temannya lantas berhenti berkelahi. Dwijendra sendiri lantas berpaling kepada Kilatsih. Dengan pandang kagum, ia berkata di dalam hati .
"Pemuda apakah inibegini cakap. Seumpama aku tidak menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri, tidak bakal aku percaya bahwa Sastradirja, Andi Basanta dan semua teman-temannya bisa dikalahkan."
Sesudah berkata demikian di dalam hati, ia lalu membuka mulut. Tapi belum lagi bersuara, Kilatsih mendahului. Kata gadis ini dengan membungkuk hormat.
"Tuanku Dwijendramaafkan aku. Aku telah berbentrok dengan tetamu-tetamu tuanku. Sedang sebenarnya aku datang kemari dengan maksud untuk ikut mengucapkan selamat panjang umur terhadap tuanku. Tak kusangka disini terjadi suatu peristiwa di luar keinginanku sendiri. Aku terpaksa mempertahankan diri lantaran diserang beberapa orang. Sekarang aku menghadapkan diri kepada tuanku. Silakan tuanku menghukum aku....". Tergerak hati Dwijendra mendengar katakata Kilatsih. Sebagai tuan rumah, dia akan bertanggungjawab terhadap semua tetamu undangannya. Meskipun Kilatsih bukan termasuk tetamu yang diundang, tetapi sebenarnya dia termasuk seorang tetamu yang sopan. Maka sudah selayaknya ia harus mempertanggungjawabkan. Sebaliknya Sastradirja mendongkol mendengar kata- kata Kilatsih. Kutuknya di dalam hati.
"Licin benar binatang ini!"
Gundu matanya berputaran. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya. Segera ia menghadap Dwijendra dengan membungkuk hormat pula. Katanya dengan suara rendah.
"Tuankusebenarnyakami belum pernah kenal dengan saudara ini. Siapa namanya dan dari mana asalnya, kami masih buta. Kami terpaksa bertindak demi memberi sedikit hajaran kepadanya."
"Apakah engkau hendak minta keterangan kepadaku?"
Tegur Dwijendra tak senang hati. Sastradirja tertawa berkakakan. Katanya puas.
"Kalau begitutuanku belum kenal kepadanya. Saudara-saudara hadirinsiapakah di antara saudara-saudara yang kenal dengan anak muda itu?"
Mereka yang segan terhadap Raja Muda Dwijendra, segera datang merumum atau mengamat-amati. Mereka semua menggelengkan kepala atau membungkam mulut. Kembali Sastradirja tertawa senang. Lalu berkata kepada Raja Muda Dwijendra.
"Tuankubaiklah tuanku ketahui. Jahanam ini menyusup kemari, sebenarnya dalam usahanya melarikan diri. Tak apa dia menganglap makan dan minum. Tetapi dia mengacau dalam daerah pengintaian tuanku Otong Surawijaya."
Dwijendra nampak berbimbang-bimbang, la pun lantas tak senang terhadap Kilatsih.
"Lalu bagaimana sikap Otong Surawijaya?"
Ia menegas.
"Dan engkau sendiri menghendaki apa?"
"Dia harus dipaksa untuk menyerahkan semua barang orang yang dikawalnya,"
Jawab Sastradirja.
"Suruh dia pula menyerahkan kuda Lang-lang Bhuwana. Setelah itu dia pun harus menyerahkan lengannya pula untuk ditikam anakku Andi Basanta sebagai piutang. Dengan begituperkara inibisa didamaikan."
Tercekat hati Kilatsih mendengar Sastradirja menyebut nama kuda Lang-lang Buwa-na.
Menurut ceritera yang di dengarnya, kuda Lang-Iang Bhuwana adalah kudanya Ratu Bagus Boang.
Sedang kuda yang ditunggangi pemuda semalam berwarna hitam lekam dengan gelang putih pada keempat kakinya.
Apakah kudanya keturunan kuda Ratu Bagus Boang yang termah-syur? Seketika itu juga terbayanglah wajah pemuda semalam yang cakap dan polos.
Sekarang ia menaruh curiga kepadanya.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena teringat kepada pengalamannya semalam, Kilatsih tertegun seperti kehilangan diri.
Dwijendra mengira, ia kaget mende-.
ngar tuntutan itu.
Pelahan ia menepuk pundaknya seraya berkata.
"Bagaimana anakku? Apakah engkau menerima tuntutannya?"
Kilatsih tersadar.
"Dia menyamun seorang pemuda. Aku lalu menolong. Begitulah duduk perkaranya. Jikalau mereka tidak puas, biarlah mereka maju. Asal mereka anak dan pamandapat mengalahkan aku, jangan lagi baru ditikam sekali dua kali, meskipun aku diranjam sampai mati pun, takan aku menyesal. Mendengar pernyataan Kilatsih, Dwijendra tercekat hatinya. Pikirnya.
"bocah ini ternyata baru keluar dari kandangnya. Ia belum mengerti bahwa pertengkaran dalam suatu pesamuan, tuan rumahlah yang bertang- gungjawab. Dia menantang mereka. Artinya menantang aku."
Sastradirja menang pengalaman. Ia tertawa terbahak- bahak. Dan mendengar tertawa itu, Kilatsih melotot. Bentaknya.
"Kau mentertawakan apa? Kamu ayah dan anak silakan maju! Apakah kamu kira aku takut?"
Kilatsih sengaja menantang mereka berdua saja.
Itulah pesan Adipati Surengpati manakala ia menghadapi orang-orang tersohor diusahakan agar yang berkepentingan saja dan jangan sampai melibat yang lain.
Terhadap Sastradirja dan Andi Basanta, ia merasa diri cukup untuk melawannya.
Ia merasa cerdik dapat mengucapkan tantangan terhadap mereka berdua di depan umum.
Sebaliknya pesan Adipati Surengpati itu bukan demikian pengetrapannya.
Di dalam suatu pesamuan adalah lain sifatnya.
Menantang salah seorang tetamu berarti menantang tuan rumahnya.
Kesalahan itu segera dipergunakan Sastradirja.
Katanya membakar.
"Tuanku Dwijendra! Tuanku menyaksikan sendiri betapa besar kepalanya. Tuanku sendiri tidak dipandang mata."
Wajah Dwijendra lantas berubah. Sahutnya.
"Aku tahu."
Kemudian kepada Kilatsih.
"Kau menantang aku dengan pedang atau pukulan kosong?"
Tentu saja, Kilatsih kaget tak terkira. Jawabnya gugu.
"Apa? Aku harus bertanding dengan Tuan? Tuan seorang raja muda yang namanya menggetarkan dunia. Bagaimana aku anak kemarin sore berani berlawanan dengan tuanku. Yang kutantang adalah mereka berdua."
"Tutup mulutmu!"
Bentak Dwijendra.
"Siapa yang ingin bertempur di tengah halamanku ini?"
Matanya kemudian menyapu ke semua hadirin.
Bentakannya sendiri itu dialamatkan kepada Sastradirja walaupun pandangnya tadi menatap Kilatsih.
Kilatsih tercengang.
Tak tahu diaharus menjawab bagaimana.
Ia lantas nampak tertegun dengan mulut membungkam.
Dwijendra sendiri tidak menggubrisnya.
Katanya menghardik.
"Jika kau gentar menghadapi pedangkumari kita mencoba-coba mengadu kepalan."
"Mengadu tinju pun aku tak berani,"
Jawab Kilatsih. Wajah Dwijendra berubah sengit lagi.
"Jadi kau menghindari suatu pertarungan? Itu tidak bisa. Tapi mengingat engkau seorang muda yang berkelakuan baikbiarlah aku tidak usah melayanimu. Hai, Sekar Kuspaneticoba tolong ayahmu melayani anak ini. Nah, kau naiklah ke panggung!"
Keputusan Raja Muda Dwijendra membuat semua hadirin keheran-heranan.
Kalau pu-terinya disuruh mewakili dirinya menghajar pemuda itu, artinya pertarungan yang bakal terjadi di atas panggung termasuk pemilihan bakal menantu.
Karena itu Sastradirja dan Andi Basanta mendongkol bukan main.
Tetapi terhadap Raja Muda Dwijendra, tak berani mereka mengumbar adat.
Pada saat ituDwijendrakembali menatap wajah Kilatsih.
Desaknya.
"Hai bocah. Jika kau berani menyelundup ke dalam pekarangan rumahkukau un harus berani pula naik ke atas panggung. Eh, apakah kau masih tak berani naik ke atas panggung? Apakah kau hendak memaksa aku melemparkan tubuhmu ke atas panggung!"
Dwijendra mendesak dengan wajah bengis.
Hati Kilatsih gentar.
Tetapi di dalam hati para hadirin terbintiklah suatu tertawa geli.
Jelaslah sudahbahwa Raja Muda Dwijendra berkenan terhadap pemuda pendatang itu.
Kilatsih mendongak.
Di atas panggung Sekar Kuspaneti menunggunya dengan wajah bersemu merah.
Pandang mata mereka lantas kebentrok.
Tiba-tiba saja, Kilatsih seperti memperoleh akal.
Lalu berkata memutuskan.
"Baiklah aku patuh pada perintah tuankuuntuk menerima pelajaran dari puteri tuanku."
Begitu ia mengambil keputusan, para tetamu segera menyibakkan diri memberi jalan.
Kilatsih segera menjejakkan kakinya.
Tubuhnya melesat tinggi melebihi ketinggian panggung dan mendarat dengan diiringi tepuk tangan bergemuruh.
Dwijendra lalu duduk di antara pembantunya.
Sastradirja lalu dipersilakan duduk pula di sampingnya.
Berkata sambil meng-urut-urut jenggot.
"Kau duduklah. Aku adalah sahabat pe-mimpinmu. Masakan aku akan membuatmu kecewa."
Sastradirja sedang mendongkol. Tetapi terhadap seorang raja muda seperti Dwijendratak berani ia membangkang perintah dan kehendaknya. Ia pun menggapai anak buahnya dan diajak duduk pula di belakangnya.
"Kami sudah tua,"
Kata Dwijendra.
"Sudah selayaknya memupuk bakat-bakat muda yang bakal tumbuh. Kalau kita main bunuh seperti dahulusungguh tidak tepat...."
Dwijendra adalah seorang pemimpin laskar panji-panji Bintang Nusantara. Karena itu betapa mendongkol hati Sastradirja terpaksa ia harus menunjukkan muka terang. Maka jawabnya menyetujui.
"Pendapat tuanku sangat bijaksana. Sekarangbiarlah kami memohon diri."
Baru saja Sastradirja hendak bangkit dari tempat duduknya Dwijendra berkata memerintah.
"Kau saksikan dahulu pertandingan ini. Kau tak perlu tergesa-gesa. Waktu masih banyak. Lihatlahmereka bertempur sangat serunya."* Sesungguhnyatatkala itudi atas panggung Kilatsih sudah bertempur melawan Sekar Kuspaneti. Kedua- duanya mempunyai kegesitan melebihi manusia lumrah. Itulah sebabnya tubuh mereka berkelebatan bagaikan bayangan. Banyak penonton yang menjadi kabur penglihatannya. Mereka hanya menangkap pakaian mereka yang saling beraduk dan bergulungan. Yang satu putih bersih. Yang lain hijau mudasehingga perpaduan dua warna itu mirip pelangi di senja hari. Dengan ilmu kepandaian warisan Adipati Surengpati, sebenarnya Kilatsih dapat merobohkan Sekar Kuspaneti dengan mudah. Akan tetapi dia tadi melihat Sekar Kuspaneti bisa melakukan gerakan ilmu petak Ratna Dumilah. Karena itu, ingin ia menyelidiki. Sesudah melampaui lima puluh jurus, berpikirlah Kilatsih di dalam hati.
"Benarinilah ciri-ciri Ratna Dumilah. Hanya saja belum sempurna. Apakah Kakak Titisari mengajarinya tidak penuh?"
La mencoba mendesak.
Dan seratus jurus telah lewat dengan sebentar saja.
Dalam pada ituSekar Kuspaneti mempunyai pikirannya sendiri.
Ia mengerti kehendak ayahnya.
Ayahnya berkenan pada pemuda ini.
Ilmu kepandaiannya ternyata berada di atas dirinya sendiri.
Tetapi dengan sengaja, ia tak mau bertempur sungguh- sungguh.
Nampaknya seakan-akan sedang berlatih.
"Aku calon isterinya,"
Katanya di dalam hati.
"Kalau aku tidak memperlihatkan ketangguhankudi kemudian hariia akan memandang rendah padaku."
Memperoleh pikiran demikian, tiba-tiba ia menyerang dengan dahsyat.
Sekarang ia tidak hanya menggunakan ilmu petak, tapi pun bergabung dengan ilmu cengkeraman warisan ayahnya sendiri.
Gesit gerakannya.
Tangannya kadang-kadang memapas, membabat dan menyodok.
Inilah berbahaya.
Asal saja menyentuh tubuh, pastilah Kilatsih akan roboh terjungkal.
Menghadapi perlawanan demikian, betapapun juga hati Kilatsih menjadi gusar.
Tak berani lagi ia main selidik atau bergurau.
Terpaksa ia mengeluarkan ilmu sakti Witaradya ajaran Adipati Surengpati.
Biasanya ilmu sakti itu dipergunakan sebagai ilmu pedang.
Tetapi sebenarnya, ilmu sakti Witaradya sendiri bukanlah Ilmu Pedang.
Di tangan Adipati Surengpati Ilmu sakti Witaradya menjadi ganas.
Kedua tangan dan kedua kakinya bergerak sangat lincah dan bahayanya melebihi pedang sendiri.
Akan tetapi mengingat muridnya seorang gadis, maka Adipati Surengpati memperlengkapi dan menggubahnya sebagai ilmu pedang.
Sekarang Kilatsih tidak berniat membunuh lawannya.
Maka di luar dugaan gurunya sendiri, ia menggunakan ilmu sakti Witaradya tanpa pedang.
Justru itulah aslinya.
Maka dengan tiba-tiba saja gerakannya menjadi gesit dan ganas.
Angin lantas terasa bergulungan dan memperdengarkan suara menderu-deru.
Sebentar saja kegesitan Sekar Kuspaneti habis perbawanya.
Setiap gerakannya kena dipegat gerakan tipu Ilmu sakti Witaradya yang memang dahsyat luar biasa.
"Ah kiranya dia masih mempunyai simpanan ilmu kepandaian cukup tinggi,"
Pikir Kilatsih.
"Biarlah kupaksanya lagi mengeluarkan kepandaiannya yang lain."
Sedikit demi sedikit, Kilatsih merangsak dan mempersempit daerah gerak Sekar Kuspaneti.
Karena gerakannya sangat gesit, dengan tiba-tiba saja Sekar Kuspaneti masuk ke dalam pelukannya.
Dan gadis itu lalu menyambar lengannya.
Kaget Kilatsih menghadapi kejadian di luar perhitungannya.
Tak dapat lagi ia mundur.
Dalam kebingungannyamau tak mauia harus memeluk Sekar Kuspaneti dengan tangan kirinya.
Tiba-tiba tangan Sekar Kuspaneti menyambar lengan dan nyaris mencengkeram dadanya.
Buru-buru tangan kanan Kilatsih menusuk tulang rusuk.
Tubuh Sekar Kuspaneti tergetar dan gerakan tangannya macet di tengah jalan.
Oleh rasa malu, Kilatsih memekik pela-han.
Tetapi penonton di bawah panggung sudah bersorak mengguntur.
Itulah suatu kesaksian mereka, bahwa dia telah memperoleh kemenangan mutlak.
Maka cepat- cepat ia melepaskan pelukannya sambil membebaskan tusukan jarinya.
Lalu dengan halus ia mendorong tubuh Sekar Kuspaneti mundur terpisah.
"Maaf, neng,"
Bisiknya sambil memberi hormat.
Di bawah panggung Raja Muda Dwijendra tertawa dengan wajah berseri-seri.
Dengan hati puas ia mengurut-urut jenggotnya.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebaliknyatampang muka Sastradirja merah padam seperti kepiting terebus.
Tapi masih ia bisa memaksa diri.
"Selamat! Selamat! Akhirnya tuanku memperoleh calon menantu yang tepat. Sekarang perkenankan kami memohon diri."
Sastradirja berdiri tegak di sampingnya. Kemudian membungkuk hormat. Ia melihat Raja Muda Dwijendra memanggil Pasong Grigis pembantunya yang setia. Lalu berkata kepada Sastradirja.
"Kau hendak pergi juga? Maafkan kami tetapi kebetulan sekali kami mempunyai sebungkus permata. Hitung-hitung sebagai pengganti kerugianmu. Tentang kuda Langlang Bhuwana janganlah engkau terlalu kikir. Kau jenguklah kandang kuda kami. Pilihlah sepuluh ekor yang paling berkenan di dalam hatimu. Adapun permintaan kami hanya begini, kau bebaskan calon menantu kami itudari pertanggunganjawabnya terhadap seorang yang kebetulan sedang dilindungi."
Dwijendra sudi mengalah dan bermurah hati karena dua sebab.
Yang pertama, mengingat hubungannya dengan Raja Muda Otong Surawijaya untuk menghindari suatu perselisihan.
Kedua ia bermurah hati, lantaran sudah memperoleh menantu yang sangat berkenan di dalam hatinya.
Sastradirja waktu itu terperanjat sampai tergugu.
Sama sekali tak terduga, bahwa dia memperoleh rejeki begitu besar.
Dasar licin dan berpengalaman segera ia dapat menebak latar belakangnya.
Lalu tertawa terbahak-bahak.
"Terima kasih tuanku. Tetapi dengan setulus hati kami tak berani menerima pengganti tuanku. Kami masih mempunyai majikan. Kalau kejadian ini sampai terdengar tuanku Otong Surawijaya jiwa kami susah kami pertahankan. Hanya saja perkenankan kami mengajukan suatu permohonan. Hendaklah tuanku mentaati undang- undang persahabatan. Tegasnya manakala kambing itu pada suatu hari menyelundup kemari, sudilah tuanku menangkapnya. Sekarang perkenankan kami mohon diri."
Sesudah berkata demikian, Sastradirja membungkuk rendah.
Kemudian dengan menarik tangan Andi Basanta ia meninggalkan perjamuan itu dengan langkah panjang.
Dwijendra tidak puas namun tak sudi ia menahannya.
Dengan perintah pendek ia memberi perintah kepada Pasong Grigis agar mengantarkan tetamunya.
Ia sendiri lantas melesat naik ke atas panggung.
Merah wajah Sekar Kuspaneti begitu ayahnya naik ke atas panggung.
Dengan meruntuhkan pandang tangannya meremas-remas ujung bajunya.
Kilatsih sendiri merasa dirinya kikuk.3) Tak tahu diaharus berbuat bagaimana.
Tetapi Dwijendra tidak menghiraukan keripuhan hati mereka.
Dengan tertawa ber-kakakkan ia berkata.
"Inilah yang dikatakan orangbahwa tulang-tulang muda bakal menggantikan tulang-tulang keropos. Kau anakku adalah seorang pemuda yang gagah dan berkepandaian tinggi. Engkaulah seorang pemuda yang sukar dicarikan bandingannyasehingga hari depanmu sangat cemerlang. Siapakah namamu, anakku?"
Sebenarnyanama Dwijendra sudah dikenal Kilatsih semenjak tumbuh menjadi seorang dara remaja.
Ayahnya Suhanda dan ibunya Rostika, pada akhirnya menjadi salah seorang kepercayaan laskar perjuangan yang tergabung dalam Himpunan Sangkuriang.
Hanya saja ayahnya termasuk di dalam laskar panji-panji Garuda pimpinan Raja Muda Andangkara.
Karena ituia bingung menghadapi pertanyaan Dwijendra.
Selamanya belum pernah terpikirkan bahwa pada suatu kali ia bakal terpaksa memperkenalkan nama samarannya.
Padahal ' belum terlintas dalam pikirannya bahwa ia perlu mempunyai nama seorang laki-laki.
Tetapi dasar seorang gadis cerdas, tiba-tiba terlintaslah namanya sendiri.
Kilatsih.
Lantas saja dia menjawab.
"Paman, namaku Guntur."
Bukankah Guntur segolongan dengan kilat. Dalam selintasan itu, ia mengumpamakan kilat adalah sifat perempuan. Dan guntur yang serba dahsyat bersifat laki- laki.
"Bagus! Namamu bagus!"
Dwijendra tertawa lagi.
"Nama itu cocok dengan ilmu kepandaianmu yang dahsyat. Orang semuda dirimu dan sudah memiliki ilmu kepandaian sedahsyat tadi mempunyai hari depan sangat cemerlang. Apa sebab engkau memilih pekerjaan sebagai pengawal pribadinya seseorang?"
"Aku bukan seorang pengawal,"
Ujar Kilatsih.
"Secara kebetulan saja kemarin aku berkenalan dengan seorang sahabat di tengah perjalanan. Aku menolong dia mengusir serombongan penjahat. Sama sekali tak menyangka, bahwa rombongan penjahat itu pimpinan paman tadi."
"Oh, begitu!"
Dwijendra berlega hati.
"Berapa jumlah saudaramu? Apakah engkau sudah gantung kawin4) dengan seseorang?"
Kilatsih berbimbang-bimbang.
"Sekarang aku hidup seorang diri. Aku sendiri belum dijodohkan orang tuaku."
"Ah, bagus. Tapi, benarkah itu?"
Dwijendra minta suatu keyakinan.
"Biasanya seorang pemuda malu apabila ditanya bakal jodohnya. Tapi anakku, engkau kini memperoleh kemenangan. Maka wajib aku memberikan suatu hadiah padamu."
Dwijendra merogoh sakunya, la mengeluarkan serenceng kalung berlian.
"Inilah tasbeh sembahyang. Peninggalan almarhum isteriku, ibu anakku itu. Sebelum pulang ke Rahmatullahdia berpesan agar menghadiahkan tasbeh ini kepada seseorang yang berkenan di dalam hati anakku. Itulah engkau sendiri, anakku."
"Tetapi tasbeh itu adalah benda pusaka keluarga tuanku. Tak berani aku menerimanya,"
Jawab Kilatsih.
Itulah alasannya belaka.
Sebagai seorang gadis yang sudah menanjak' dewasa penuhtahulah dia bahwa benda pemberian itu sendiri, merupakan ikatan nikah.
Setidak-tidaknya ikatan pertunangan.
Karena merasa diri seorang gadis pula, ia jadi risih sendiri.
Dwijendra tertawa gelak.
"Ini bukan suatu perampasan atau suatu j'ual-beli. Tapi suatu tanda mata pertunanganmu berdua. Mengapa kau tak berani menerimanya? Sekalian tetamu itu adalah saksimubahwa benda ini kuterimakan padamuatas kerelaan kami. Alasan pemberian hadiah itutiada tercela. Akan tetapi betapa Dwijendra mengetahui perasaan Kilatsih pada saat tu. Dia boleh berpengalaman dan merupakan seorang pimpinan laskar yang kenamaan. Namun dia tak pernah mengira, bahwa pemuda di hadapannya adalah seorang gadis remaja seperti puterinya. Itulah sebabnyaapabila Kilatsih tetap menolak pemberian hadiahnyawajahnya berubah seketika.
"Apakah anakku kurang pantas menjadi isterimu?"
Tanyanya perlahan.
"Ahsiapa bilang puteri tuankukurang menarik? Hanya saja....."
Sahut Kilatsih berbimbang-bimbang, la mengerling kepada Sekar Kuspaneti yang tetap menundukkan kepalanya.
Pikirnya lantas menjadi sibuk tak keruan.
Terhadap Raja Muda Dwijendra ia menaruh hormat.
Karena kedudukan raja muda bukan main tingginya.
Selain itutak patut ia mempermainkan.
Kalau di kemudian hari sampai terbongkar, akan besar akibatnya.
Maka ia hendak membuka kedoknya.
Tetapi di depan umumalangkah tak mungkin! Besar sekali kemungkinannya akan membahayakan dirinya.
Kalau Dwijendra sampai tersinggung kehormatannyadia bisa lupa daratan akibatnya ia bakal.....
"Tapi.... Tapi... dapatkah aku memenuhi harapan tuanku di kemudian hari?"
Ujarnya tersekat-sekat.
"Mengapa?"
Sepasang alis Dwijendra terbangun.
Kilatsih tergugu.
Tiba-tiba ia melihat kedua mata Sekar Kuspaneti basah.
Setitik air mata menetes di bajunya.
Ia jadi iba hati.
Sebagai seorang gadis ia dapat merasakan penderitaannya dan perasaannya.
Alangkah sakit hatinyabahwa dirinya ditolak seorang pemudadi depan umum.
Seketika itu juga terbangunlah rasa nalurinya.
Pikirnya.
"baiklahdemi untukmu dan untuk kehormatan ayahmuaku akan menerima tanda mata pengikat ini. Sedikit demi sedikit aku akan berusaha melepaskan diri. Bukankah tidak perlu tergesa-gesa? Memperoleh keputusan demikian, ia lantas tersenyum seraya maju selangkah.
"Sebenarnyaaku mempunyai seorang kakak laki-laki dan seorang kakak perempuanyang kuanggap sebagai orang tuaku sendiri. Betapa aku bisa menerima ikatan perjodohan ini sebelum memperoleh izin mereka. Bukankah aku menjadi seorang pemuda yang tercela?"
"Dimanakah kakakmu berdua sekarang?"
Dwijendra agak mempunyai harapan.
Kilatsih berbimbang-bimbang lagi.
Mau ia menyebut nama Sangaji dan Titisari.
Mereka berdua berkedudukan sebagai pemimpin Raja Muda Dwijendra sendiri.
Tetapi suatu pertimbangan lain menyekat maksud itu.
Maka segera ia menjawab.
"Aku berpisah dengan orang tuaku semenjak kanak-kanak. Dimana mereka kini beradatak tahulah aku."
Kilatsih tidak terlalu membohong. Kedua orang tuanya Suhanda dan Rostika meninggal sewaktu dia masih kanak-kanak. Dwijendra mengerutkan keningnya. Menegas.
"Lantas dimana dan kepada siapa lagi aku hendak memberi khabar tentang ikatan perjodohan ini?"
"Biarlah kuterangkan dengan jelas Orangtuaku sendiri sudah meninggal. Tinggal kedua kakakku. Tapi dimana mereka kini berada, tak tahulah aku."
Ia berhenti mengesankan. Memang ia tak tahu dimana Sangaji dan Titisari kini berada. Lalu meneruskan.
"Aku masih mempunyai seorang kakek berbareng guruku. Maka aku sendiri yang akan datang menghadap Beliau untuk mengabarkan peristiwa ikatan perjodohan ini."
"Siapakah nama kakekmu itu?"
"Tak dapat aku menyebutnya di sini. Dia seorang kenamaan,"
Jawab Kilatsih.
Dwijendra tercengang sejenak.
Kemudian tertawa gelak.
"Kalau dia seorang kenamaanpastilah dia mengetahui siapa aku.
Atau setidak-tidaknya kenal namaku.
Baiklahtentang permohonan izinmutak usah kau berce-mas hati.
Aku sendiri nanti bersedia membicarakan."
Tak dapat lagi Kilatsih menghindari.
Ia benar-benar terdesak.
Maka tiada jalan lain, kecuali cepat-cepat berlutut dan menyebut Dwijendra sebagai bakal mertua.
Sorak-sorai bergemuruh seumpama hendak meruntuhkan langit.
Dwijendra puas luar biasa.
Wajahnya nampak cemerlang.
Dengan kedua tangannya ia mengalungkan tasbeh berlian itu ke leher Kilatsih.
"Semenjak kinikau menyebut aku sebagai ayah atau paman. Dan kepada Sekar Kuspanetikau panggilah namanya saja atau adik. Terserah kepadamu. Dia kini sudah menjadi setengah milikmu."
Sesudah berkata demikian, ia menggandeng tangan Kilatsih. Kemudian diajaknya berdiri tegak menghadap hadirin di atas panggung. Katanya nyaring.
"Saudara- saudaraku ini adalah bakal menantuku. Karena dia bakal menjadi bagian dari tubuhku maka mulai saat ini dia sudah menjadi setengah anakku sendiri. Karena itu kupinta bantuan saudara-saudara sekalian. Apabila dia lagi melakukan perjalanantolong saudara-saudara membantu memberinya petunjuk-petunjuk yang dibutuhkan atas namaku."
Hadirin menyambut dengan tepuk tangan dan suara meriuh. Disamping itu banyak pula yang menyerukan ucapan selamat dan syukur, Dwijendra menunggu keredaan mereka. Kemudian berkata lagi.
"Aku sudah berusia lanjut. Karena itubaiklah kami umumkan bahwa pesta perjamuan ini, kami rubah menjadi pesta perjamuan pernikahan. Dengan begitudi kemudian kami tidak akan menyusahkan saudara-saudara untuk menghadiri hari pernikahan mereka."
Mereka bersorak-sorai. Beberapa pendekar melompat ke atas penggung dan menjabat tangan Kilatsih dengan mengucapkan selamat, Kilatsih menjadi bingung. Katanya dengan suara menggeletar.
"Tapi... tapi... usiaku masih terlalu muda... Pernikahan ini, baiklah ditunda dahulu!"
"Anakku.ayahmu ini sudah terlalu tua,"
Sahut Dwijendra dengan bernafsu.
"Belum tentu ayahmu mampu mengumpulkan kehadiran sahabat-sahabat ayahmu. Karena itu lebih baik pernikahan ini kita rayakan pada saat ini pula. Apalagi yang kau tunggu-tunggu? Bukankah ayahmu mendirikan sebuah panggung arena untuk memilih calon menantu? Kau masuki penggung ayahmu ini. Artinyasiang-siang sudah ada keputusan di dalam hatimubahwa engkau sudah merencanakan membentuk mahligai rumah tangga. Bukankah begitu? Kalau belum mempunyai cita-cita hendak menikah, mustahil engkau membiarkan dirimu berada di atas panggung arena pemilihan calon menantuku."
Hadirin tertawa.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka tahu belaka bahwa Raja Muda Dwijendramau menang sendiri.
Sebenarnya Kilatsih tadi melesat naik ke atas panggung untuk memenuhi tantangannya.
Tetapi sebaliknyaapabila ditimbang-timbangnasib Kilatsih yang bagus.
Seumpama Raja Muda Dwijendra tidak berkenan melihat dirinyaseumpama Raja Muda Dwijendra bukan berkepentingan mencari seorang calon menantusikap Kilatsih yang menantang kedua tetamunya mempunyai akibat sendiri.
Dia tidak bakal bisa keluar dari rumah pekarangannya dengan selamat.
Kecuali ituputeri Raja Muda Dwijendrabukan momok yang menakutkan.
Puterinya sangat cantik melebihi anak jin atau anak setan.
Dwijendra sendiri adalah seorang raja muda.
Meskipun main paksatapi tidak tercela.
Siapa saja akan merasa bahagia menjadi menantunya.
Hari depannya bakal terjamin.
Puterinya cantik jelita pula.
Sebaliknyamereka semuatak tahu, siapakah Kilatsih sebenarnya yang mengenakan pakaian pria.
Pada saat itu, Kilatsih gelisah bukan main.
la mengeluh di dalam hati.
Tak dapat ia meloloskan diriseolah-olah ia berada di tengah-tengah dinding batu yang tebal dan tinggi.
Tatkala digandeng para hadirin beramai-ramai untuk diajak turun dari panggung, ia tak sanggup menolak.
Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benaknya.
Dia lantas main sandiwara.
Dengan gembira ia ikut minum arak.
Sebentar saja hampir menghabiskan satu botol penuh.
Tiba-tiba ia limbung.
Dengan mengerahkan tenaga saktinya, ia memuntahkan araknya kembali.
Hadirin lantas berseru-seru.
"Tuanku Guntur mabuk... Tuanku Guntur mabuk...."
KILATSIH MEMANG TAK biasa minum minuman keras, meskipun dia seorang gadis yang dilahirkan di bumi Priangan yang dinginkemudian dibesarkan di tengah pulau Karimun Jawa yang banyak anginnya.
Kecuali itu hatinya gelisah tak keruan.
Inilah yang dinamakan main- main menjadi sungguh-sungguh.
Maka tak mengherankanbegitu menghabiskan minuman keras hampir satu botol penuhia lantas menjadi limbung.
Dasar cerdikmaka sasaran robohnyaberada dalam pelukan Sekar Kuspaneti.
Sebab kalau sampai kena periksa para ahli minum, pastilah sandiwaranya bakal ketahuan.
Sebaliknya dalam pelukan Sekar Kuspaneti, ia aman tenteram.
Pastilah tiada seorang pun yang berani mendekati calon mempelai perempuan.
Dwijendra sendiri kala itu terlalu gembira.
Melihat calon menantunya menjatuhkan diri dalam pelukan gadisnya, ia tertawa berka-kakkan.
Teringatlah dia pada masa mudanya sendiri yang seringkali bermanja-manja terhadap kekasih hati.
Dengan demikian ia kena dikelabuhi khayalnya sendiri.
"Eh, anak-anak muda memang belum tahan minum- minuman keras,"
Katanya dengan tertawa berkakakkan.
"Kuspaneti, bawalah calon suamimu ke dalam kamar temanten. Hihaha..."
Lalu berteriak girang kepada para hadirin.
"Anak menantuku belum-belum sudah mau rukun. Silakan kalian minum sepuas-puas hati!"
Para hadirin bersorak dan tertawa bergegaran.
Kilatsih tak berani mendengarkan semua olok-olok mereka.
Memandang pun tak berani pula.
Ia memejamkan kedua matanya rapat-rapat dan meletakkan kepalanya di atas pundak Sekar Kuspaneti.
Dan tatkala para pelayan datang memayangnya, ia tak membantah.
Hanya dengan diam-diam ia melindungi dadanya, lantaran takut kena intip.
Ia direbahkan di atas pembaringan yang lunak harum.
Tanpa menanggalkan pakaian, ia terus melakukan peran sandiwaranya.
Ia berpura-pura mabuk terus.
Tetapi karena memang tak biasa minum, lambat-laun kepalanya terasa pusing juga dan ia tertidur dengan tak setahunya sendiri.
Tatkala menyenakkan matakamar tidurnya sudah terang benderang.
Ia melihat cahaya lampu berkelap- kelip dan Sekar Kuspaneti duduk di tepi pembaringan.
Gadis itu pun belum menanggalkan pakaiannya.
Rupanya dia berniat menemaninya.
Dengan memejamkan mata lagi, ia mulai mengingat- ingat semua peristiwa yang dialami.
Pertandingan memilih calon menantu tadi dimulai tatkala matahari condong ke barat dan ia berhasil memenangkan pertandingan hampir memasuki petang hari.
Sekarang ia melihat lampu kamar berkelap-kelip dan suasananya sunyi hening.
Apakah sudah jauh malam? Sekonyong- konyong ia mendengar ayam berkokok.
Kemudian dingin hawa merayapi seluruh tubuhya.
Maka tahulah dia bahwa hari sudah mendekati pagi hari.
Sekar Kuspaneti ternyata tidak pernah melepaskan pandangnya dari wajah calon suaminya yang cakap luar biasa.
Begitu melihat Kilatsih menyenakkan matanya sebentar tadi dan kemudian memejam kembali, segera ia berkata dengan tertawa girang.
"Akang mabuk tadi. Iddiii.....salahnya sendiri, kenapa minum berlebih-lebihan. Akang, kau minumlah teh keluaran Majalengka. Pastilah rasa mabukmu akan sirna. Biarlah aku meminumkan!"
Kilatsih menurut, la hanya mengangkat kepalanya sedikit dan Sekar Kuspaneti menyangga punggungnya.
Kemudian membawa secawan air teh pahit ke mulutnya.
Kilatsih menurut.
Ia hanya mengangkat kepalanya sedikit dan Sekar Kuspaneti menyangga punggungnya.
Kemudian membawa secawan air teh pahit ke mulutnya.
Dan begitu Kilatsih meneguknya, rasa segar menyelimuti dirinya.
Teh itu ternyata masih hangat dan harum.
Sekarang pandang matanya dapat menangkap sekalian perabot kamar temanten.
Kamar itu ternyata terbuat dari dinding batu dan bertiang kokoh dari kayu jati.
Hiasannya sangat cemerlang.
Di depannya terpaku lima piring besar terbuat dari emas murni.
Di tengahnya diteretes permata ratna mutu manikam.
Itulah sebabnya hiasan tersebut mampu memantulkan cahaya kemilau begitu kena sinar pelita.
Di pojok sebelah barat berdiri sebuah almari kecil yang terbuka.
Di dalamnya tergantung sebatang pedang bersarung emas dan berteretes berlian pula.
Kemudian penutup pembaringan dihiasi dengan mutiara-mutiara yang mahal harganya.
Kilatsih tahuDwijendrasalah seorang Raja Muda Himpunan Sangkuriang.
Ia seorang pendekar yang gagah perkasa.
Ternyata ia kaya raya pula.
Tak mengherankan Kilatsih tercengang melihat hiasan kamar yang serba berlebihan.
Dan melihat rasa tercengangnya, Sekar Kuspaneti tertawa lembut.
"Akang! Apakah yang membuat hatimu heran? Apakah segala perhiasan ini? Sebenarnya bosan aku melihatnya. Sudah semenjak kanak-kanak aku melihat hiasan semuanya ini. Katanya kamar ini disebut kamar temanten. Mengapa hiasannya hanya itu-itu saja?"
Heran Kilatsih mendengar ujar Sekar Kuspaneti.
Barang-barang-hiasan yang dilihatnya itu, harganya mahal luar biasa.
Memangtadinya ia mengirahiasan kamar ini merupakan pepajangan kamar temanten.
Tak tahunya hiasan semuanya itu rupanya merupakan hiasan dinding belaka yang sudah ada semenjak Kuspaneti masih kanak-kanak.
Maka bisa dibayangkan betapa kaya Raja Muda Dwijendra.
Pantaslah dia sanggup membiayai pasukannya yang jumlahnya lebih dari sepuluh ribu orang.
"Paman Dwijendra adalah bawahan Kang-mas Sangaji. la kaya raya begini. Kalau begitusungguh mengherankanapa sebab Kakak Manik Angkeran menjual Gedung Paguyuban Sunda? Walaupun Kang-mas Sangaji seorang pendekar sejati, akan tetapi bawahannya pastilah tidak rela apabila dia sampai menjual rumah,"
Pikir Kilatsih di dalam hati. Tatkala itu, mendadak Sekar Kuspaneti berkata mengalihkan perhatiannya.
"Akang! Sebenarnya Akang putera siapa?"
Kilatsih terkejut.
Inilah pertanyaan tak terduga sehingga terasa sulit.
Terhadap orang lain, ia bisa menolak pertanyaan itu dengan leluasa.
Akan tetapi terhadap Sekar Kuspanetibakal isterinyatidaklah mungkin.
Maka terasalah di dalam hati, makin lama ia bakal terancam pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab.
"Untuk apa kau menanyakan ayah bundaku?"
Sepasang alis Sekar Kuspaneti terbangun. Menyahut dengan suara agak heran .
"Bukankah Beliau berdua bakal ayah-bun-daku pula? Lagipula, aku wajib mengenal siapakah suamiku."
Kilatsih memanggut. Dalam hati terasa pahit. Lalu menjawab sekenanya saja.
"Ayah-Bunda telah lama wafat tatkala aku masih kanak-kanak. Kata orang, Ayah seorang pembesar negeri."
Sebenarnya keterangannya bukan sekenanya saja.
Memang orang tua Kilatsih tewas, tatkala dia masih kanak-kanak.
Hanya ia menjawab dengan sikap acuh tak acuh sehingga berkesan sangat tawar.
Itulah sebabnya Sekar Kuspaneti menjadi tak' senang hati.
Setelah menatap wajahnya, dia minta ketegasan.
.
"Akang, katakan terus terangsebenarnya Akang bisa mencintai aku atau tidak?"
"Kau cantik sekali!"
Jawab Kilatsih gugup.
"Pandang matamu lembut. Kukira tidak hanya aku belaka yang menaruh perhatian. Pemuda-pemuda lain pun akan cepat jatuh cinta."
"Tidak! Aku hanya untukmu,"
Tungkas Sekar Kuspaneti.
"Aku ingin minta ketegasan hatimu. Aku menunggu pengucapan perasaanmu dan bukan perasaan orang lain. Apa peduliku?"
"Ah benar, adikku,"
Kata Kilatsih dengan suara setengah berbisik.
"Seumpama kakakku...."
"Kakak? Kau berkata apa?"
Potong Sekar Kuspaneti dengan wajah berubah.
"Aku mempunyai kakak. Baik kepandaian maupun roman wajahnya melebihi diriku. Hanya sayang, aku berpisah semenjak 'belum pandai beringus."
Sekar Kuspaneti tercengang. Ia merasakan sesuatu yang tak wajar. Pikirnya di dalam hati.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berpisah semenjak belum pandai beringus. Akan tetapi bisa meyakinkan kepadaku, bahwa baik kepandaian maupun roman wajahnyamelebihi dirinya. Sebenarnya apakah maksudnya?"
Setelah berpikir demikian, dengan alis terbangun Sekar Kuspaneti berkata.
"Akang! Dia kakakmu atau bukansama sekali tiada hubungannya dengan diriku. Sebenarnya apakah maksud Akang? Ah, mengertilah aku sekarang. Sebenarnya Akang menolak diriku. Pantaslah semenjak bertemu pandang, Akang selalu bersikap menolak. Bukankah Akang enggan menerima hadiah tasbeh mustika ayahku?"
Ditegur demikian, hati Kilatsih benar-benar gugup. Hatinya berdebar-debar. Dia sendiri seorang perempuan. Secara wajar bisa merasakan keadaan hati Sekar Kuspaneti. Maka cepat-cepat berkata mayakinkan.
"Bukan begitu. Bukan begitu. Siapa bilang, aku menolak dirimu? Maksudku..... Cobalah dengar dahulu!"
Malu, mendongkol, gusar dan rasa sesal berkecamuk di dalam hati Sekar Kuspaneti sehingga dengan tiba-tiba ia menangis sedih.
"Aku ingin mendengar kata hatimu dan bukan orang lain. Sekali lagi Akang menyinggung-nyinggung diri kakakmu lagi, aku akan membunuh diri di hadapanmu. Katakanlah dengan terus terang, apabila Akang tak senang padaku! Mengapa Akang mesti melalui jalan yang berputar-putar,"
Gerendeng Sekar Kuspaneti.
"Nanti dahulu! Dengarkan aku! Dengarkan aku!"
Potong Kilatsih.
"Memang aku anak seorang pemberontak! Anak seorang berandal. Anak seorang yang melawan undang- undang negeri. Sebaliknya engkau putera seorang Pembesar Negeri. Pastilah ayahmu anak emas majikan- majikan besar di Jakarta."
"Nanti dahulu!"
Kilatsih kuwalahan. Akhirnya ia tersenyum dan membiarkan Serkar Kuspaneti mengirimkan rasa gusar dan mendongkolnya. Setelah agak reda, dia mencoba.
"Ayahmu seorang pendekar yang sangat kukagumi. Dia seorang kusuma bangsa yang hidup bukan semata- mata untuk diri sendiri. Tetapi andaikata ayahmu seorang penjahat besar pun, aku tidak peduli..."
Sekar Kuspaneti membuang pandang. Hatinya mendongkol amat. Dengan pandang cemberut, ia menggerendeng lagi.
"Kau selalu menyebut-nyebut kakakmu. Sebenarnya apakah sih maksud Akang?"
Kilatsih mengawasi wajahnya.
Tahulah dia, Sekar Kuspaneti panas hatinya.
Memang wajar dan tak dapat dipersalahkan.
Masakan pada malam temanten membicarakan seorang pemuda lain? Oleh pertimbangan itu, tak terasa ia menarik napas.
Lalu berkata di dalam hati.
"Khabarnya Kangmas Manik Angkeran masih hidup menyendiri. Kalau Sekar Kuspaneti ini kujodohkan dengan dia, alangkah pantas. Akan tetapi aku tak boleh terburu nafsu. Menyambar ikan jangan sampai keruh airnya."
Setelah berpikir demikian, perlahan-lahan ia berkata mengalihkan pembicaraan.
"Kuspaneti! Eh, bukan begitu namamu?"
Sekar Kuspaneti mengangguk. Hatinya sedikit lega, karena calon suaminya sudah sudi memanggil namanya, la mendengarkan kata-kata calon suaminya sambil mengusap air matanya perlahan-lahan.
"Sekarang ini umurmu sudah berapa?"
Kilatsih minta keterangan.
"Duapuluh tahun lebih sedikit. Bagaimana? Apakah sudah terlalu tua bagimu?"
Sekar Kuspaneti kembali akan menjadi salah paham.
"O, tidak tidak,"
Kata Kilatsih cepat.
"Suamimu bukankah wajib mengerti berapa tahun usia isterinya?"
Kembali lagi hati Sekar Kuspaneti tenteram lega. Kilatsih sudah sudi menyebut dirinya seorang suami dan dia pun sudah disebut isterinya. Alangkah terasa nikmat. Lantas saja ia berpaling dan minta keterangan.
"Dan Akang sudah berumur berapa?"
"Aku sudah tua,"
Jawab Kilatsih dengan tertawa.
"Gmurku sudah dua puluh dua. Eh malahan hampir mencapai dua puluh tiga."
Tetapi di dalam hati, ia berkata.
"Aku baru berumur sembilan belas tahun. Dia sudah berumur duapuluh atau duapuluh satu. Benar.benar pantas apabila kuperjodohkan dengan Kangmas Manik Angkeran."
"Akang dua puluh tiga dan aku dua puluh. Bukankah pantas dan seimbang?"
Ujar Sekar Kuspaneti.
"Benar. Hanya saja engkau belum kenal aku,"
Kata Kilatsih.
"Semenjak aku lagi belajar berjalan, ayah bundaku tiada di sampingku lagi. Beliau berdua telah wafat karena mengalami bencana. Kemudian aku dipungut seorang tua yang kelak menjadi guruku. Namanya Sorohpati. Aku bersama dia sampai berumur empat belas tahun. Dia mati kena fitnah. Aku lantas pindah rumah lagi. Aku dibawa ke sebuah pulau dan hidup dengan kakek berbareng guruku. Kakakku ka- dangkala menjenguk diriku. Tetapi jarang sekali. Pendek kata aku ini seorang... seorang pemuda yang tak mempunyai harta dan kepandaian. Apakah engkau tidak menyesal mempunyai seorang suami seperti aku?"
"Akang pun belum mengenal diriku,"
Sekar Kuspaneti menimpali.
"Semenjak kanak-kanak aku mengikuti ayah menjelajah pegunungan, hutan dan jurang. Setelah dewasa entah sudah berapa banyak orang yang melamar diriku. Tetapi aku tak sudi menikah dengan siapa pun, kecuali manakala hatiku berkenan. Seumpama seorang yang berkenan di hatiku kemudian dia menolak diriku, aku bersumpah hendak membunuh diri di hadapannya. Dialah engkau, Akang. Aku telah menyerahkan hatiku kepadamu. Tadi di atas panggung pertandingan, engkau memeluk aku. Kau letakkan kepalamu di atas pundakku, ih hampir-hampir saja menyentuh dadaku. Tetapi sekarang di dalam kamar ini, engkau membicarakan seorang pemuda lain. Apakah engkau bermaksud hendak menghina diriku semata untuk kesenanganmu belaka?"
Kilatsih tercengang. Sama sekali tak terduga, bahwa Sekar Kuspaneti seorang gadis yang keras hati. Mengingat ayahnya seorang Raja Muda yang keras hati pula, ia jadi mulai mengerti. Katanya di dalam hati.
"Aku sendiri belum pernah melihat Kangmas Manik Angkeran dan aku dengan sembrono hampir menyerahkannya kepadanya dengan terus terang. Apakah hati seseorang bisa dipaksa-paksa? Perkawinan merupakan tangga hidup yang paling penting di dalam hidup ini. Sekali menjatuhkan pilihannya, dia akan memikul akibatnya untuk selama hidup. Ah, kalau begitu tak boleh aku menimbulkan masalah Kangmas Manik Angkeran di hadapannya. Seumpama kelak dia sudi menjadi isterinya lantaran permintaanku lalu menyesal di dalam hati karena pekerti kangmas Manik Angkeran yang buruk dapatkah aku mengembalikan kegadisannya? Malaikat sendiri barangkali tak dapat menolongnya."
"Katakanlah dengan terus terang!"
Kata Sekar Kuspaneti mendesak lagi.
"Akang sudi menerima diriku sebagai isterimu atau tidak?"
Kilatsih benar-benar menjadi bingung.
Tak dapat ia mengambil keputusan dengan segera.
Tadinya dia merasa bisa menjawab dengan tegas bahwa ia sudi memperisteri dirinya karena kelak akan diperjodohkan dengan Manik Angkeran.
Akan tetapi setelah menimbang bahwa soal perkawinan adalah suatu soal yang gawat tak berani dia main gegabah.
Itulah sebabnya, ia tergugu.
Mulutnya membungkam dan pandang matanya gelisah.
Dan melihat hal itu, Sekar Kuspaneti salah tafsir lagi.
Ia mengira, Kilatsih menolak cinta kasihnya.
Maka ia lantas menangis sedih, pilu, malu dan gusar.
"Kuspaneti!"
Akhirnya ia membujuk.
"Siapa kata aku tak sudi memperisterimu? Cobakau menghendaki apa? Atauaku harus berbuat bagaimana agar engkau tidak menangis lagi!"
Mendengar bujukan Kilatsih, tangis Sekar Kuspaneti berhenti dengan mendadak.
Mulutnya bergerak hendak menyatakan sesuatu, akan tetapi batal.
Wajahnya nampak bersemu merah, ia malu untuk memohon penyerahan cinta kasih suaminya pada malam-malam temanten.
Kilatsih masih berhati polos.
Tak dapat ia menggerayangi keadaan hati seorang gadis seusia Sekar Kuspaneti.
Melihat dia membungkam, ia meraih tangannya.
"O, yakau tadi berumur berapa?"
"Dua puluh tahun,"
Sahut Sekar Kuspaneti pendek sambil mengusap air matanya.
"Kalau begitu aku harus memanggilmu kakak,"
Kata Kilatsih. Sebenarnya itulah pernyataan hatinya yang jujur. Sebab umurnya sendiri belum mencapai sembilan belas tahun penuh-penuh. Sebaliknya, Sekar Kuspaneti tercengang. Mendadak ia tertawa di antara sedannya.
"Ah, kutahu sekarangmabukmu belum hilang!"
Hati Kilatsih tercekat. Segera ia sadar ucapannya tadi. Maka cepat-cepat ia membenarkan sambil menggolekkan badannya.
"Benar... apakah aku masih mabuk? Baiklah aku tak berbicara lagi. Jam berapa sekarang?"
Sekar Kuspaneti kena dikelabui. Gadis itu tertawa bersyukur.
"Benar-benar kau masih mabuk. Mulutmu masih meruapkan bau minuman. Kalau memang tak tahan minum, janganlah minum terlalu banyak. Kau tidurlah lagi. Tanggalkan pakaianmu dahulu. Lihat! Selimut kasur jadi begini kotor kena kakimu...."
Cepat sekali hati Sekar Kuspaneti bisa menyesuaikan diri.
Tadi dia merasa berkecil hati dan segan-segan terhadap calon suaminya.
Tetapi setelah tahu, bahwa calon suaminya masih dalam keadaan mabukia jadi bisa memaafkan semua kata-katanya yang menyakitkan hati.
Sikapnya lantas menjadi berani dan wajar.
Berkata setengah menegur.
"Hai! Kenapa tak cepat-cepat ganti pakaian? Apakah... apakah harus aku pula yang menanggalkan pakaianmu?"
"Berkata demikian, wajahnya merah muda. la merasa kelepasan kata. Gntunglah Kilatsih seolah-olah tidak menghiraukan. Dia memejamkan mata dan berpura-pura berusaha mengusir rasa mabuknya.
"Baiklahkau boleh tidur tanpa membuka pakaian. Sebentar kalau mabukmu benar-benar sudah hilang, aku akan menjengukmu,"
Kata Sekar Kuspaneti sambil menyelimuti.
Kemudian dengan tertawa perlahan ia keluar kamar dan menutup pintunya.
Kilatsih tetap memejamkan matanya.
Sesudah berada dalam kamar seorang diri, pikirannya sibuk lagi.
Memang pengaruh minuman keras sebenarnya belum lenyap seluruhnya.
Setelah bergulak-gulik beberapa saat lamanya, ia benar-benar tertidur.
Entah berapa jam, ia tidur di dalam selimut yang hangat.
Tatkala menyenakkan mata, matahari telah melampaui titik tengah.
Ia terperanjat tatkala melihat sinar cerah menembus dinding kamar.
Selama hidupnya belum pernah ia tidur begitu lama.
Benar-benar hebat arti minuman itu.
Akan tetapi dalam dirinya kini terasa suatu kesegaran luar biasa.
Serentak ia bangun sambil mengucak-ucak matanya.
Dan pada saat itu, ia mendengar suara Sekar Kuspaneti berkata kepada pelayannya.
"Kau ganti selimut kasurnya!"
Sekar Kuspaneti mendahului masuk kamar. Begitu melihat Kilatsih, ia tertawa manis.
"Bagaimana Kangmas?5) Apakah rasa mabukmu kini benar-benar telah lenyap?"
Geli hati Kilatsih dipanggil dengan kangmas.
Akan tetapi kali ini, ia dapat lebih bersikap tenang dan wajar daripada semalam.
Maka ia membalas suatu senyum pula.
Dalam pada itu seorang pelayan perempuan segera menarik seprei kasur.
Melihat tapak-tapak bekas kaki Kilatsih, ia mengira yang bukan-bukan.
Dengan mendekap mulut ia bergegas keluar kamar.
Kilatsih yang masih muda belia tentu saja tak mengerti arti tertawanya si pelayan.
Malahan Sekar Kuspaneti sendiri yang pandai merajuk, tidak menaruh perhatian khusus.
.Mereka berdua mengira, bahwa pelayan itu tertawa geli menyaksikan cara pergaulannya yang sudah berkesan rukun.
Dengan berjalan berendeng, Sekar Kuspaneti mengantarkan Kilatsih ke kamar mandi.
Selama Kilatsih mandi, gadis itu tetap menunggu dengan duduk di atas batu.
"Kangmas! Kalau sudah siap, Kangmas dipanggil Ayah.
Ayah menunggumu di atas."
"Di atas bagaimana?"
Kilatsih menyahut dari dalam kamar mandi.
"Di kamar loteng."
"Eh, apakah rumahmu bertingkat?"
"Kau lihat saja nanti,"
Ujar Sekar Kuspaneti dengan tertawa geli.
Kilatsih tak menyahut lagi.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk berdandan ia membutuhkan waktu yang lama.
Maklumlah, dia harus pandai mengatur rambut dan dadanya agar tak nampak menyolok.
Kepandaian menyamar diperolehnya dari Sirtupelaheli tatkala nenek itu berada di tengah kepulauan Karimun Jawa.
Karena dia berperawakan singsat dan padat, maka penyamarannya boleh dikatakan sempurna.
Demikianlah setelah makan siang ia diajak keluar Sekar Kuspaneti menghadap ayahnya.
Dengan cermat, Kilatsih melayangkan pandangnya.
Mula-mula ia melewati beberapa ruang besar.
Kemudian menyeberangi petak rumput yang teratur rapih.
Itulah sebuah taman khusus untuk kamar-kamar tamu.
Tatkala lewat beberapa tetamu yang menginap memberi hormat dan ucapan selamat.
Ia membalas dengan ramah pula.
Agar tak terlibat suatu pembicaraan, cepat-cepat ia meraih lengan Sekar Kuspaneti untuk dibawanya berjalan.
Justru demikian, para tetamu tertawa lebar.
"Selamat! Selamat! Moga-moga tahun depan Raja Muda Dwijendra dianugerahi dua cucu sekaligus,"
Kata mereka.
"Iddih dua cucu?"
Gerendeng Kilatsih di dalam hati.
Betapapun juga ia seorang gadis.
Mendengar olok-olok itu, wajahnya cepat sekali bersemu merah.
Maka ia mempercepat langkahnya, sehingga ia menginjak jari-jari isterinya.
Dan orang-orang bertambah tertawa berani.
Setelah menyeberangi petak taman itu, nampaklah sebuah gedung tinggi bertingkat dua.
Sekar Kuspaneti membawanya naik melalui tangga.
Dan ruang tingkat dua ternyata hanya merupakan sebuah kamar yang sangat sederhana.
Di pojok sebelah timur berdiri sebuah almari terbuat dari besi.
Perabot lainnya tiada, kecuali sebuah meja tulis dan empat kursi tetamu.
Di dinding tergantung sebuah lukisan Cisadane yang menggambarkan suatu pertempuran seru di seberang menyeberang sungai itu.
Tiada keistimewaannya kecuali kesan kunonya.6) Raja Muda Dwijendra telah menunggunya di belakang meja tulis.
Begitu melihat menantunya memasuki kamar kerjnya, ia lantas berdiri dengan tertawa menyambut.
Katanya penuh syukur.
"Anakku Guntur dan kau Sekar Kuspaneti. Ayahmu mengucapkan selamat. Cobalah lihat apa yang berada di atas meja itu."
Kilatsih memalingkan kepala. Di atas meja nampaklah puluhan butir permata dan seonggok emas dan benda- benda kuno yang mahal harganya. Pikirnya.
"Benar- benar kaya raya dia. Apakah maksudnya ia memperlihatkan harta bendanya kepadaku? Apakah dia hendak menghadiahkan semuanya kepadaku sebagai bekal hidup?"
"Kau berdua sudah menjadi setengah suami isteri. Hatiku sangat bersyukur. Kamu berdua boleh memilih yang paling baik. Masing-masing sebuah saja. Sebab lainnya bakal untuk sahabat-sahabat kita yang datang dari jauh."
Kilatsih heran. Tak dapat ia membuka mulutnya. Sekar Kuspaneti rupanya tahu keadaan hatinya. Cepat-cepat ia menerangkan maksud ayahnya.
"Inilah kebiasaan Ayah. Kau pilihlah sebuah benda yang kau senangi!"
Kilatsih menurut.
Ia memilih sebatang cundrik7) yang berteretes berlian.
Sarungnya terbuat dari emas murni.
Barang demikian tidak ternilai harganya.
Sedangkan Sekar Kuspaneti memilih sebatang tusuk-konde emas bermata berlian pula.
Sesudah menggenggam benda pilihannya, Kilatsih melayangkan pandangnya kepada* lukisan yang tergantung pada tembok itu.
Ia merenungi pertempuran seru yang berlangsung di seberang sungai yang agung airnya.
Karena tertarik kepada lukisan itu, alisnya terbangun.
"Apakah engkau menaruh perhatian kepada lukisan kuno itu?"
Kata Raja Muda Dwijendra dengan tertawa penuh pengertian.
"Besok aku akan mengisahkan isi lukisan itu. Walaupun nampaknya sederhana akan tetapi inilah lukisan yang mempunyai harga sejarah. Baiklah sekarang kamu berdua boleh kembali ke kamar. Atau, eh, Kuspaneti kau bawalah suamimu berjalan-jalan menjenguk pertamanan."
Sekar Kuspaneti memanggut dan segera membawa Kilatsih menuruni rumah tingkat. Begitu sampai di tangga, tiba-tiba Kilatsih yang bertelinga tajam mendengar salah seorang tetamu berkata kepada temannya.
"Katanya tuanku Dwijendra, kali ini merupakan hubungan dagang kita yang terakhir....."
"Apakah tuanku hendak pindah tempat?"
"Bagaimana aku tahu? Kabarnya gedung Paguyuban Sunda pun telah ada yang membelinya."
Kilatsih terkejut.
Ingin ia mendengarkan pembicaraan itu lebih lanjut.
Akan tetapi Sekar Kuspaneti sudah menarik tangannya untuk diajak menuruni tangga rumah tingkat.
Sampai petang hari Kilatsih diajak berkuda mengelilingi perkampungan dan pegunungan yang merupakan pagar alam istana Raja Muda Dwijendra.
Tatkala tiba kembali di rumah, hari sudah malam.
Seprei sudah diganti, sehingga pembaringan itu nampak lebih indah dan menarik.
Bau harum semerbak memenuhi kamar te-manten.
Pada saat itu, terdengarlah kentong sembilan kali.
"Hai! Hampir satu hari penuh kita berkuda!"
Kata Sekar Kuspaneti.
"Kau capai tidak?"
"Malam ini tidak ingin aku tidur mendengkur seperti kemarin malam,"
Sahut Kilatsih.
"Sekarang ceriterakan apa arti perdagangan ayahmu tadi siang. Apakah ayahmu seorang pedagang?"
"Seorang pedagang?"
Sekar Kuspaneti tertawa.
"Bukankah sudah kuterangkan, bahwa ayahku seorang penjahat besar yang memerintah hampir separo bumi Priangan?"
"Baiklahkalau begitu, aku pun menantu seorang penjahat besar. Karena itu, aku ingin pula menjadi seorang penjahat gede,"
Ujar Kilatsih mengambil hati.
Pada malam hari kedua itu, Sekar Kuspaneti sudah berani bermanja-manja.
Mendengar kata-kata suaminya, lantas saja ia merebahkan diri pada pundaknya.
Cepat- cepat Kilatsih menyambut dengan lengannya dan dipeluknya untuk menghindarkan dadanya.
Bujuknya.
"Hayo ceriterakan! Kalau tidak aku akan mencari kabar sendiri."
"ldih!"
Sekar Kuspaneti memberengut sambil menegakkan badan.
"Kukira Kangmas seorang alim. Alihkan tak sabar-an...."
"Benarkah begitu!"
Kilatsih tersenyum lebar.
"Ayahku seorang penjahat besar, kataku tadi,"
Sekar Kuspaneti mulai.
"Seumpama bukan, rasanya samalah saja. Sebab ia mengangkat senjata melawan pemeritahan Belanda. Laskar Ayah sebanyak duapuluh ribu orang lebih. Tersebar mulai dari pantai barat Bantendan batas Cirebon. Untuk membiayai laskar sebanyak itu, ayah perlu merampok atau membegal saudagar-sauda-gar yang datang dan pergi ke Jakarta. Kadang-kadang mencegat laskar Kompeni Belanda apabila mereka membawa belanja dan barang rampasan itu, lantas dijualnya.
"Kemana?"
Potong Kilatsih tertarik.
"Tak perlu Ayah berkisar dari tempat, Ayah sudah mempunyai empat orang tukang tadah. Merekalah tadi yang berbicara di bawah tangga,"
Jawab Sekar Kusaneti.
"Kemana barang rampasan itu hendak dijualnya, terserah kepandaian mereka. Kabarnya mereka membawa barang dagangannya ke Jawa Tengah dan Jawa Timur."
Kilatsih membiarkan Sekar Kuspaneti bercerita berkepanjangan sampai tiga jam lebih.
Dia sendiri berbaring di atas kasur menikmati pikirannya sendiri.
Gcapan pedagang-pedagang tadi yang menyinggung tentang gedung Paguyuban Sunda menarik perhatiannya.
Tetapi untuk bisa memperoleh keterangan dari mulut Sekar Kuspaneti ia harus berani bersabar hati.
Demikianlahmanakala suara Sekar Kuspaneti sudah terdengar redaia mencoba.
"Orang-orang tadi berkatabahwa kali ini merupakan perdagangan yang terakhir. Apakah maksud mereka?"
"Apakah kau menghendaki aku berbicara sepanjang malam?"
Sekar Kuspaneti mem-berengut.
"Hayooo! Sekarang engkaulah yang ternyata tidak sabaran,"
Kilatsih ganti berolok-olok. Wajah Sekar Kuspaneti bersemu dadu.
"Baiklahtentang hal itu, belum dapat aku memberi keterangan."
"Kata merekamungkin ayahmu hendak berpindah tempat."
"Berpindah tempat bagi keluarga kami merupakan soal biasa. Kalau tidak, Kompeni bisa sampai disini."
"Lantas rumah ini?"
"Ayah tak pernah mau menderita kerugian. Rumah ini pastilah sudah dijualnya sebelum mengangkat kaki,"
Jawab Sekar Kuspaneti. Kilatsih heran berbareng kagum. Katanya perlahan.
"Pantaslahayahmu termasyur sebagai seorang pemimpin perjuangan yang pandai dan bijaksana."
Sekar Kuspaneti tersenyum puas mendengar suaminya memuji ayahnya. Dan pada saat itu, kentong dua kali terdengar di kejauhan. Gadis itu lantas nampak berge- lisah. Kilatsih tahu arti kegelisahan itu. Lalu berkata lembut.
"Kau tidurlah di sampingku. Tetapi aku masih ingin minta keterangan dua hal lagi."
Wajah Sekar Kuspaneti merah jambu begitu mendengar suaminya mempersilakan berbaring di sampingnya. Tatkala ia beragu, Kilatsih menarik lengannya. Dan ia tak membantah. Demikianlahmaka ia berbaring di samping suaminya dengan jantung berdeburan.
"Kau ingin menanyakan apa lagi?"
Ia bertanya untuk menenteramkan diri. Akan tetapi suaranya bergemetaran.
"Yang pertama, tahukah engkau tentang gedung Paguyuban Sunda yang tadi disinggung-singgung mereka?"
Sahut Kilatsih dengan suara bersungguh- sungguh. Karena heran berbareng terkejut, degup jantung Sekar Kuspaneti hilang dari perhatian dirinya. Dengan suara tinggi ia membalas bertanya.
"Apakah hubungannya dengan dirimu? Eh, sebenarnya Kangmas siapa?"
Kilatsih segera sadar akan kekeliruannya. Cepat-cepat ia memeluk isterinya sambil berbicara setengah berbisik.
"Beberapa hari yang laluaku lewat di depan gedung itu. Begitu melihat gedung tersebuttimbullah keinginanku hendak membelinya. Kalau aku bisa membeli gedung tersebut, bukankah aku.... pendek kata aku akan menjadi orang bahagia."
"Untuk apa?"
Sekar Kuspaneti heran.
"Untuk... untuk... Ah, buat apa membicarakan lagi. Bukankah sudah jatuh pada orang lain?"
"Belum tentu! Kalau Kangmas senang, biarlah nanti aku membicarakannya dengan Ayah."
"Eh, mana bisa begitu. Aku melihat sendirigedung itu sudah kena dibeli seorang Tionghoa."
"Itulah perkara gampang,"
Tungkas Sekar Kuspaneti.
"Ayah mempunyai perantara banyak sekali."
Mendengar ucapan Sekar Kuspaneti, terbukalah hati Kilatsih.
"Apakah gedung tersebut tadinya dijual lewat perantaraeh, tengkulak-tengkulak seperti mereka?"
"Demikianlah cara teman-teman Ayah menjual semua hartanya."
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekarang mengertilah Kilatsih apa sebab gedung Paguyuban Sunda bisa jatuh ke tangan seorang Tionghoa yang hendak membuka sarang perjudian. Bagi seorang tengkulaksiapa calon pembelinyabukan merupakan soal utama. Pokoknya asal untung besar.
"Baiklahsekarang tinggal satu pertanyaan lagi,"
Kata Kilatsih.
"Lukisan yang berada pada dinding kamar atas, rupanya sudah tergantung semenjak lama sekali. Apakah kau mengerti kisah lukisan tersebut?"
"Aku tak tahu. Tentang itu, belum pernah Ayah menceritakan kepadaku,"
Jawab Sekar Kuspaneti. la berpikir sejenak. Kemudian bangkit dari tidurnya. Berkata lagi seperti kepada dirinya sendiri.
"Benar..... aku pun merasa aneh pula, selamanyaAyah selalu menceritakan segalanyakecuali gambar itu. Apakah engkau melihat sesuatu yang aneh?"
Kilatsih tertawa sambil menggeleng. Tatkala hendak membuka mulut, kentongan terdengar lagi.
"Hai! Hampir jam tiga!"
Seru Sekar Kuspaneti.
"Kau hendak bertanya apa lagi?"
Kilatsih memutar otaknya. Tiada lagi ia menemukan alasan untuk memperlambat waktu. Tanpa alasan lain sebagai calon suamiia harus memenuhi syarat rukun. Bagaimana mungkin? Dan ia jadi sibuk sendirinya.
"Kangmas!"
Sejenak kemudian Sekar Kuspaneti membuka suaranya dengan perlahan.
"Benarkah engkau tidak mencela padaku?"
"Tidak! Untuk selamanya engkau adalah kakakku,"
Sahut Kilatsih dengan tertawa.
"Ahlagi-lagi engkau berlagak mabuk,"
Damprat Sekar Kuspaneti.
"Baiklahkalau engkau senang memanggil aku kakak. Aku pun akan memanggilmu adik yang manis. Bagaimana?"
"Baik, baik...,"
Sahut Kilatsih dengan tertawa. Sekar Kuspaneti jadi gregetan. Ia mencubit sekuat- kuatnya sambil berdiri. Katanya setengah berputus asa.
"Baiklahkalau malam ini engkau belum menghendaki. Kau perlu istirahat."
Kilatsih meraba kancing bajunya sambil menjawab.
"Benaraku perlu beristirahat dahulu."
Akan tetapi ia hanya meraba kancing baju. Tidak berani ia membuka baju luarnya di depan Sekar Kuspaneti. Itulah berarti akan bunuh diri saja. Justru pada saat itu, tiba-tiba ia mendengar suara ribut. Beberapa orang berteriak bersambung-sambung.
"Ada penjahat! Tangkap! Tangkap!"
Heran Kilatsih mendengar bunyi teriakan.
Benarkah istana Raja Muda Dwijendra sampai kena dimasuki seorang penjahat? Itulah mustahil dan lucu sekali.
Ia mendengar suatu kesibukan para tetamu yang pada lari berserabutan keluar kamar.
Dan teriakan lantas saja jadi bersambung-sambung.
Kilatsih tertawa.
"Kuspaneti! Benar-benar kita tak diperkenankan tidur* malam! Penjahat itu sampai berani mengadu jiwa karena ayahmu mempunyai harta luar biasa banyaknya. Mari!"
Sekar Kuspaneti mendahului keluar kamar, Kilatsih melompat pula sambil menyambar pedangnya.
Tatkala sampai di luar ambang pintu, ia melihat Sekar Kuspaneti lari mengarah ke kamar loteng, tempat penyimpan harta benda.
Kilatsih sempurna ilmu larinya.
Dengan beberapa kali lompatan, ia sudah mendahului para tamu dan bujang- bujang rumah tangga.
Malahan ia meninggalkan Sekar Kuspaneti pula.
Dan melihat hal itu, sekar Kuspaneti mendongkol, berbareng bersyukur.
Ia bergirang hati karena suaminya ternyata seorang pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya dan nampaknya benar-benar hendak membela keluarganya.
Sebaliknya ia mendongkol, karena Kilatsih tidak menggubris panggilannya.
Bahkan larinya kian cepat dan cepat.
CJntuk mencapai kamar loteng penyimpan harta benda, seorang harus melintasi petak pertamanan dahulu.
Akan tetapi Kilatsih dapat mencapai kamar bertingkat itu dengan sekejap mata saja.
la menoleh dan melihat Sekar Kuspaneti sedang berlari-larian menyeberangi petak rumput.
Tak mau ia menunggu, lantaran khawatir penjahat itu telah merajalela di atas sana.
Dengan menjejakkan kaki, ia melesat mencapai atap.
Begitu tiba di atas atap, ia melompat lagi.
Segera ia mendarat di ruang tingkat dua.
Telinganya yang tajam mendengar suatu suara meringkik.
Hatinya tercekat.
"Penjahat dari mana sampai berani mencoba-coba mengadu jiwa di sini?"
Bentaknya di dalam hati.
Karena loteng sangat gelap, ia perlu menyalakan sumbu lentera yang berada di pojok kamar.
Kemudian sambil menenteng lentera itu, ia memasuki kamar dengan menghunus pedangnya.
Dan begitu masuk, ia melihat empat orang berperawakan tinggi besar menghadang di depannya.
Tetapi anehnyamereka tak berkutik sama sekali.
Melihat letak kakinya, mereka bergerak hendak lari menuruni tangga.
Wajahnya berkerut-kerut seperti lagi menanggung sakit.
Dan melihat mereka, Kilatsih hendak menyambarkan pedangnya.
Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya.
"Nampaknya mereka tidak wajar, seperti kena gendam ilmu sakti,"
Pikirnya di dalam hati.
Dan memperoleh pikiran demikian, hati-hati ia menghampiri.
Benar saja mere^ ka berempat tak berkutik sama sekali.
Mulutnya pun bungkam seperti gagu.
Meskipun demikian, Kilatsih tak berani sembrono.
Ia mengamati-amati sekian lamanya.
Dan ia menjadi kagum.
Pikirnya di dalam hati.
"Luar biasa hebat ilmu yang digunakan orang yang menghantam mereka. Mereka seperti mati saja. Ilmu gendam apakah yang dipergunakan memukul mereka ini?"
Kilatsih adalah murid Adipati Surengpati seorang pendekar yang berpengetahuan luas.
Banyak ia mengenal beragam ilmu sakti dan ilmu mantram.
Hanya saja dia belum mempunyai pengalaman.
Itulah sebabnya, tak dapat ia memunahkan dengan segera.
Sesudah mengadakan percobaan empat kali, baru salah seorangnya bisa menggerakkan tangannya.
Dan begitu tangannya bergerak, terdengarlah suara berisik.
Batu- batu permata rontok beran-takan di atas lantai.
Itulah harta benda yang berharga puluhan ribu ringgit.
Kilatsih tercengang.
Jelaslahbahwa orang yang menghantam mereka bukan bermaksud untuk merampas harta benda.
Seumpama demikian, harta benda itu sangat berharga untuk diangkut.
"Apakah penyerang kalian sudah kabur?"
Kilatsih minta keterangan.
Sambil menekap dada mereka masing-masing, salah seorang menuding ke arah timur.
Mereka belum dapat berbicara atau bebas dari rasa sakitnya.
Suatu tanda bahwa ilmu gendam penyerang mereka sangat hebat.
Dengan berani Kilatsih melompat keluar lewat jendela.
Ternyata di sebelah timur kamar tingkat dua, terdapat sebuah jembatan penghubung yang sampai pada suatu loteng bertingkat empat.
Dari sana, Kilatsih mendengar suara Dwijendra.
"Kami sudah menunggu sampai dua keturunan. Tahun depan sudah mencapai tujuhpuluh dua tahun. Apakah benar engkau tak sudi memperlihatkan wajahmu kepadaku?"
Mendengar suara Dwijendra, Kilatsih melesat memburu. Pada saat itu, ia mendengar suara jawaban.
"Baikmari!"
Kilatsih kaget.
Serasa ia pernah mendengar dan mengenal suara itu.
Hanya kapan dan dimana, ia tak dapat mengingat-ingat dengan segera.
Oleh sinar lampu, Kilatsih melihat Dwijendra mengambil gambar yang terletak di atas meja.
Itulah gambar yang dilihatnya tadi siang di kamar tingkat dua.
Dan dengan kedua belah tangan, gambar itu diserahkan kepada orang yang berdiri di depannya.
Dan orang itu menerima dengan sebelah tangan.
Sedang tangan yang lain dipergunakan untuk menepuk-nepuk pundak Dwijendra seperti lagak seorang pembesar negeri merasa puas terhadap bawahannya.
Mendadak sajaKilatsih merasa tersinggung kehormatannya.
Terus saja ia membentak.
Tetapi berbareng dengan bentakannya, ia kena serang senjata bidik.
Cepat ia menyampok dengan pedangnya.
Di luar dugaan, tenaga lemparannya sangat kuat.
Benarpeluru bidikan itu hancur kena sabetan pedangnyaakan tetapi ia tak dapat mempertahankan diri kena dorongan tenaga lemparan.
Tubuhnya lantas terhuyung mundur.
Hampir saja ia jatuh terlempar dari jembatan penghubung.
Gntung dia gesit.
Selagi badannya berada di udara, tangan kirinya menjambret papan jembatan dan dengan sekali mengayunkan badan, ia berhasil mendarat di jembatan dengan tak kurang suatu apa.
Malam itu sangat gelap.
Walaupun mata Kilatsih sangat tajam, namun tak dapat menembus bentuk tangannya sendiri.
Apalagi untuk bisa menangkap bayangan seseorang.
Tatkala baru saja hendak menenteramkan napas, kembali lagi terdengar kesiur angin tajam.
Itulah senjata bidik lagi yang dilemparkan dengan tenaga dahsyat.
Dengan pedangnya, Kilatsih dapat menangkis lagi.
Benturan itu menerbitkan letikan api dan senjata bidik itu jatuh di atas alas jembatan.
Segera ia memungut dan merabanya.
Ternyata hanya sebutir batu.
Maka dapat dibayangkan betapa hebat tenaga sambitan itu, sehingga bisa melawan tajamnya pedang.
Waktu itu, Dwijendra melongokkan kepalanya.
Menegur.
"Siapa?"
Belum lagi Kilatsih menyahut, suara teguran Dwijendra berubah dengan suara terkejut.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah anakku Guntur? Kau kembalilah ke kamarmu! Ini bukan perkaramu,"
Serunya gugup.
Kilatsih heran mendengar seruannya.
Sudah terang penjahat itu datang untuk merampas harta miliknya.
Apa sebab mertua justru membantu perampasnya? la menyambit dirinya dengan dua butir batu.
Terang sekali maksudnya.
Ia mencegah kedatangannya.
Pada saat itudi bawah jembatan penghubung datanglah beberapa tetamu untuk memberi bantuan kepadanya.
Dwijendra melihat kedatangan mereka.
Tanpa menunggu reaksi Kilatsih, ia melompat keluar dan berkata dengan suara nyaring.
"Saudara-saudarasilakan kembali tidur dengan nyenyak. Aku telah berhasil mengusir penjahat itu."
Tetapi Kilatsih bermata jeli.
la melihat si pencuri melesat keluar jendela belakang.
Gesit gerakannya.
Tanpa berpikir panjang lagi, ia melompat pula untuk mencegatnya.
Dengan sebat, penjahat itu sudah berhasil mencapai tembok pekarangan.
Kilatsih tak sudi mengalah.
Ia segera memperlihatkan kesehatannya pula.
Aneh penjahat itu.
Sesudah berada di atas tembok, mendadak ia menoleh dan melambaikan tangannya.
Mukanya bertopeng, namun pandang matanya sangat tajam seolah-olah bisa menembus kegelapan malam.
Kilatsih tidak memedulikan lambaian tangannya, la mengejar terus.
Di luar tembok pekarangan terdapat beberapa deret belukar lebat yang teratur rapi.
Belukar lebat itu merupakan hiasan pekarangan istana.
Di balik belukar itu, Kilatsih mendengar suara ringkik kuda.
Tepat pada saat itu, bulan sipit muncul dari balik awan.
Kilatsih melemparkan pandangnya.
Ia kaget dan heran setengah mati.
Kuda yang meringik itu berwarna hitam.
Itulah kuda yang dikenalnya.
Kuda milik pemuda berbaju biru muda yang membuat hatinya jengkel.
GURU SANGAJI DAN SANJAYA MELIHAT KUDA ITU Kilatsih berdiri tertegun, la mengucak-ucak kedua matanya hendak meyakinkan dirinya sendiri.
Benarkah kuda itu milik pemuda sinting berbaju biru muda? Bukankah pemuda itu sama sekali tak mempunyai kepandaian? Kenapa dia datang kemari sebagai pencuri? .
Kilatsih jadi berbimbang-bimbang.
Maklumlah, dia sudah menguji pemuda itu dan sama sekali tidak mengerti ilmu berkelahi.
Maka ia tidak yakin bahwa orang yang bertopeng itu, si pemuda berbaju biru muda.
Tetapi ftalau bukan dia, bagaimana jawabannya tentang kuda hitam yang meringik di belakang belukar? Dia datang kemari pasti bukan untuk mencuri.
Kalau benar- benar bermaksud mencuri, apa sebab tidak mengangkat harta benda empat tengkulak tadi yang harganya puluhan ribu ringgit? Sebaliknya dia hanya minta lukisan kuno dari tangan tuan rumah sendiri.
Memang lukisan itu mempunyai harganya sendiri.
Tetapi kalau dibandingkan dengan harta empat tengkulak tadi, rasanya masih sangat jauh selisihnya.
"Dia baru bermur duapuluh tahun lebih,"
Kata Kilatsih di dalam hati.
"Dan paman Dwijendra telah menunggunya selama tujuh-puluh tahun. Ah, kalau begitu terang sekali bukan dia. Lantas siapa?"
Masih saja Kilatsih terlongong-longong seorang diri, kalau saja tidak diganggu suara berisik yang mendatangi. Tatkala menoleh, ia mendengar suara Dwijendra berseru nyaring.
"Anakku! Kau baliklah kemari!"
Mendengar seruannya, Kilatsih kian tercengang.
Aneh dan mengherankan bunyi seruan itu.
Artinya, mertuanya berusaha melindungi orang bertopeng tadi.
Memikir demikian, ia malah tak menggubris seruannya.
Lantas saja ia melesat keluar tembok.
Dengan sekali meloncat ia tiba di belukar.
Begitu menjenguk belukar, ia heran setengah mati karena terjadi suatu peristiwa ajaib lagi.
la mendengar suara terantuknya kaki kuda.
Setelah diamat- amati ternyata, kudanya sendiri, si Megananda! Sewaktu datang ke rumah Dwijendra, Kilatsih menitipkan kudanya di kampung.
Dia sendiri yang menambatkan pada tiang kandang.
Apa sebab tiba-tiba kini tertambat pada sebatang pohon belukar? Tatkala itu orang bertopeng yang dikejarnya sudah berada di atas kudanya.
Ia lari selintasan, kemudian berhenti dengan mendadak.
Ia menoleh dan melambaikan tangannya.
Sekarang Kilatsih hilang keragu-raguan-nya.
Dia benar-benar anak muda sinting yang pernah dikenalnya.
Tiba-tiba saja ia mempunyai perasaan tak senang padanya.
"Hai, anak edan! Apa sebab kau mempermainkan aku berulang kali?"
Serunya gemas.
Terus ^ija ia melompat ke atas kudanya dan lari mengejarnya.
Megananda segera mementangkan kakinya.
la baru melintasi petak hutan yang berada di sebelah barat bukit, tatkala mendengar suara derap beberapa kuda di belakangnya.
Tahulah dia, bahwa Dwijendra sedang mengejarnya beramai-ramai.
Akan tetapi kuda mereka tak dapat dibandingkan dengan Megananda.
Sebentar saja mereka ketinggalan makin jauh.
Megananda kabur makin cepat mengejar kuda hitam si pemuda.
Jarak pengejaran tetap tak berubah, walaupun Megananda sudah berusaha lari secepat-cepatnya.
Sebentar saja mereka telah meninggalkan kota Sumedang.
Tak lama kemudian pemuda bertopeng itu mengendorkan lari kudanya, la nampak menoleh sambil melambaikan tangannya.
Kilatsih jadi mendongkol.
Dengan penasaran ia mengeprak Megananda dan melihat Kilatsih menghentakkan kudanya, pemuda itu pun segera melarikan kudanya cepat-cepat pula.
Malam itumereka terus berkejar-kejarandi bawah sinar bulan sipit.
Tak terasa fajar hari telah menyongsongnya.
D^ depan sana tergelar sepetak rimba lebat dan begitu memasuki rimba, pemuda itu menoleh dan berseru nyaring.
"Saudara! Tak dapat lagi aku menemanimu. Sampai bertemu!"
"Ehkau hendak lari kemana?"
Damprat Kilatsih dengan hati panas.
"Walaupun kau lari ke ujung dunia, masakan aku tak dapat mengejarmu?"
Pemuda itu tertawa meriah tatkala ia mendengar dampratan Kilatsih.
Tetapi ia benar-benar dapat membuktikan ucapannya.
Sekali mengedut kendali, kudanya melesat bagaikan terbang melintasi pagar pepohonan.
Dan ia lenyap dari penglihatan seperti dilindungi iblis.
Kilatsih berbimbang-bimbang.
Teringatlah dia peringatan gurunya, bahwa mengejar orang yang memasuki hutansangatlah besar bahayanya.
Sebab dia bisa menikam dari belakang.
Memperoleh ingatan demikian, segera ia berwaspada seraya melambatkan kudanya.
Benar sajasekonyong-konyong kuda hitam milik pemuda itulari keluar hutan tanpa penunggangnya.
Kilatsih segera menahan kudanya.
Ia lantas meraba pedangnya, la tahu orang bertopeng itutinggi kepandaiannya.
Apakah dia hendak menikam dari belakang? Selagi berpikir demikian, terdengarlah teriakan-teriakan saling susul dari dalam hutan.
Sedetik Kilatsih menimbang-nimbang.
Kemudian turun melompat dan melesat ke atas dahan.
Tepat pada saat itubeberapa orang berlari-larian saling berlomba sambil berseru kecewa.
"Larinya ke timur. Kuda hitam itu mahal harganya. Hayo, kau ke sana! Hai, di sini ada kuda putih. Sayang, binatang itu pun lari ke timur pula. Hayo kejar!"
Kilatsih tak khawatir kudanya kena tangkap.
Seumpama terpaksa lari jauh lantaran diubar-ubar, dia pun bisa memanggilnya dengan bersiul.
Karena itu, ia segera mengayunkan tubuhnya dan melompat dari dahan ke dahan.
Dalam waktu sebentar saja, sampailah dia ke dalm rimba raya.
Segera ia mendengar suara berbisik.
Dengan hati-hati Kilatsih turun ke tanah.
Kemudian maju dengan berindap-indap.
Di depannya terjadi suatu peristiwa yang mengherankanyang memberi penjelasan kepadanya.
Di atas sebuah batu besar, duduklah si pemuda berbaju biru muda.
Topengnya sudah dibuangnya.
Karena waktu itu pagi hari telah tiba, maka Kilatsih dapat melihat mukanya dengan jelas.
la dikepung delapan orang masing-masing bersenjata tajam.
Kilatsih segera mengenal beberapa orang di antara mereka.
Sastradirja, Andi Basanta, Podang Winangsi, Sukra Sakurungan dan empat orang lainnya.
Dua orang di antara mereka sangat menyo-lok.
Mereka berperawakan kasar, berambut panjang dan menyandang seperti haji.
Kilatsih tak khawatir kudanya kena tangkap.
Seumpama terpaksa lari jauh lantaran diubar-ubar, dia pun bisa memanggilnya dengan bersiul.
Karena itu, ia segera mengayunkan tubuhnya dan melompat dari dahan ke dahan.
Mereka berdua bersenjata sepasang kapak pada tangannya masing-masing.
Terdengarlah suara Sastradirja setengah menggeram.
"Walaupun kau sangat licin jangan harap bisa lolos dari mata kami. Bagaimana? Kau masih senang pada jiwamu atau tidak?"
Pemuda itu lantas menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Jangan bilang begitu! Jangan bilang begitu! Kau pun tahu sendiri, sedang semut pun masih sayang jiwanya. Apalagi manusia. Kenapa sih kata-katamu begitu sembrono?"
"Kalau begitu nah serahkan semift bekalmu dan panggil kudamu tadi! Hayo cepat!"
Hardik Sastradirja galak. Pemuda itu tetap saja bergeleng kepala.
"Ini kan uang-uangku sendiri. Ini kan harta bendaku sendiri. Mengapa harus kuserahkan kepadamu? Kuda itu, kudaku sendiri pula. Dia mempunyai empat kaki. Larinya cepat pula. Bagaimana aku bisa memanggilnya. Seumpama suaraku senyaring guntur pun, dia juga tak mengerti...."
Mendongkol hati Sastradirja mendengar jawaban pemuda itu.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saking mendongkolnya, ia lantas tertawa.
Katanya memberi peringatan.
"Ingatlah! Kau di sini seorang diri saja.
Pengawalmu telah menjadi tamu Agung Istana Bintang Nusantara.
Malahan dia telah menjadi anak kesayangan Raja Muda Dwijendra.
Siapakah yang akan menolongmu lagi?"
Pemuda itu tiba-tiba berputar tubuh sambil menunjuk ke arah gerombolan belukar tempat Kilatsih bersembunyi.
"Siapa bilangpengawalku menjadi anak kesayangan Raja Muda Dwijendra. Dia berada di sini. Lihat di situ!"
Kemudian dia berseru nyaring.
"Hai, pengawal pribadiku! Kau tolonglah aku!"
Kilatsih mendongkol bukan main di sebut sebagai pengawal pribadinya.
Sama sekali tak diduganya, bahwa pemuda sinting itu ternyata tahu dimana dia sedang bersembunyi.
Mau tak mau terpaksalah dia muncul dari belukar.
Salah seorang pengepung pemuda itu, kaget.
Sekali berputar lantas melepaskan tiga butir senjata bidik.
Kilatsih terperanjat.
Sama sekali tak diduganya, bahwa dia bakal diserang demikian selagi tak berjaga-jaga.
Ia belum menghunus pedangnya, sehingga tiada alat untuk bisa dipergunakan menangkis.
Satu-satunya jalan, ia melesat tinggi.
Tetapi berbareng dengan gerakannya, kembali lagi ia diserang tiga butir peluru tajam.
Inilah bahaya! Ia berada di udara.
Untuk mengelak tidak mungkin lagi.
Justru pada saat itu terdengar suara nyaring dan ketiga peluru itu runtuh di atas tanah melanggar batu.
Orang yang memiliki senjata peluru itu, terkejut.
Cepat ia mengambil senjata bidiknya lagi.
Tetapi Sastradirja tiba- tiba berseru mencegah.
"Tunggu dulu! Meskipun bocah bagus itu mempunyai sayap, dia takkan bisa kabur. Daripada membuang- buang peluru, mari kita kepung berbareng pengawal bayarannya!"
Mendengar perintah itukedelapan temannyalantas saja mengepung Kilatsih. Andi Basanta merah matanya begitu melihat munculnya Kilatsih. Ia cemburu karena Sekar Kuspaneti berada di tangannya. Maka dengan tertawa aneh ia membentak.
"Binatang! Bukankah engkau menjadi tamu agung tuanku Dwijendra? Apa perlu kau keluyuran sampai di sini? Aku tahu tangan tuanku Dwijendra memang panjang jangkauannyaakan tetapi jangan harap dia bisa memberi pertolongan kepadamu."
Setelah membentak demikian, ia mengangkat goloknya dan menerjang dengan tangan kiri. Akan tetapi Sastradirja buru-buru mencegah. Katanya menegas kepada Kilatsih.
"Apakah tuanku Dwijendra yang memberi perintah kepadamu datang kemari?"
La berlaku sabar, karena sesungguhnya dia takut terhadap Raja Muda Dwijendra.
Siapa tahuraja muda ituberada di belakangnya.
Karena itu perlu ia mencari keterangan terlebih dahulu.
Sebelum Kilatsih sempat membuka mulutnya, pemuda sinting berteriak nyaring.
"Hai, pengawal! Kenapa kau tak mengindahkan perintahku? Hai, orang-orang biadab! Bukankah kamu tadi telah mendengar, bahwa kedatangannya justru karena kupanggil? Dialah pengawal pribadiku.
Melihat aku hendak kalian rampok, sudah sewajarnya dia datang.
Karena minum dan makannya, aku yang membayar dan aku yang mengatur.
Hai pengawal, kenapa kau tidak cepat-cepat datang kemari? Kenapa kau tak mengindahkan perintahku? Lekas kau bereskan mereka semua!"
"Apakah benar-benar kamu berdua tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan tuanku Dwijendra!"
Sekali lagi Sastradirja menegas dengan hati-hati.
Kilatsih mendongkol bukan main.
Bukan terhadap perkataan Sastradirja, akan tetapi terhadap ucapan pemuda sinting itu yang mengatakan dirinya sebagai pengawal bayaran.
Walaupun demikianmelihat pemuda sinting itu di dalam bahayatak dapat ia bersikap masa bodoh.
Ia dahulu sudah terlanjur melindungi sehingga menanamkan bibit permusuhan terhadap Sastradirja dan kawan-kawannya.
Maka ia menghunus pedangnya sambil membentak.
"Apa perlu kau menyebut-nyebut nama tuanku Dwijendra? Yang kuandalkan hanya pedangku ini. Dengan pedang ini aku bisa datang dan pergi sesuka hati. Dengan pedang ini aku akan mengatasi semua kesukaranku sendiri dan tidak main perintah kepada orang lain agar melindungi kepentingan diri sendiri."
Dengan ucapan itu, Kilatsih hendak menyindir pemuda sinting itu dan pemuda itu agaknya mengerti kena sindir, la tidak merasa tersinggung. Malahan tertavja terbahak- bahak seperti orang gendeng.
"Ha, benar-benar! Hai, kalian tahu? Dialah pengawalku yang membuat hatiku tak kecewa. Benar-benar dia seorang pengawal laki-laki jempolan!"
Kedua orang yang berpakaian pendeta segera ikut mengepung dan menyerang dengan sepasang kampaknya.
Kilatsih tak gentar.
Dengan sekali menyabet, pedangnya menikam tiga orang sekaligus.
Kemudian dengan sekonyong-konyong pula menikam pundak Sastradirja.
Sastradirja menangkis sambil melompat mundur satu langkah.
Kemudian ia membenturkan goloknya.
Trang! Dan begitu berbenturan, ia terperanjat.
Hebat benturan itu.
Tangannya terasa panas.
Kilatsih pun demikian pula.
Tangannya tergetar sehingga ujung pedangnya melesat dari bidikan.
Justru pada saat itu, kampak si pendeta menghantam.
Buru-buru ia memutar tubuh.
Tak urung lengan bajunya kena terobek.
Brebet! Hatinya jadi panas.
Pedangnya berkelebat membalas menyerang dan kapak pendeta itu rompal sebagian.
Dia jadi kaget.
Buru-buru dia melompat mundur sambil berseru.
"Awas! Pedangnya senjata mustika!"
Sesudah berseru demikian, pendeta itu maju lagi. Sama sekali ia tak takut menghadapi pedang mustika Kilatsih. la malahan tertawa besar, pendeta satunya berteriak keras.
"Bagusjika ia bersenjata pedang mustika. Kudanya binatang jempolan pula. Ini namanyarezeki tak dicari datang sendiri."
Terus saja ia merangsak dengan penuh semangat.
Kilatsih menangkis.
Tapi pendeta itu licin.
Tahu pedangnya lawan pedang mustika, tak sudi ia mengadu senjatanya, la membiarkan pedang Kilatsih ditangkis golok Sastradirja.
Kapaknya sendiri lantas menyambar sambil berteriak nyaring.
"Mampus kau!"
Kilatsih sama sekali tak terkejut atau gentar. Melihat pendeta itu gesit, ia pun seera memperlihatkan kegesitannya pula. Sesudah pedangnya kena tangkis, ia melesat dan menikam.
"Hati-hati!"
Kaget pendeta itu.
la sedang menyerang, tetapi sasarannya melesat.
Sehingga tubuhnya agak mendoyong ke depan.
Justru pada saat itu, pedang Kilatsih berkelebat sangat cepatnya.
Buru-buru ia melintangkan kapaknya yang lain.
Prak! Dan tangkainya tertabas putung.
Kilatsih kecewa, karena serangan balasannya gagal.
Apalagi dia harus menangkis golok Sastradirja dan sepasang kapak pendeta lainnya.
Sedetik itu, ia memiringkan tubuhnya dan membabatkan pedangnya.
Terhadap sepasang kapak si Pendeta, ia berani membenturkan pedangnya.
Syukur meskipun bengis pendeta itu tahu ketajaman pedang lawan.
Cepat-cepat ia menarik sepasang kapak dan disodorkan berbareng mengarah dada.
Pada saat itu terdengar Andi Basanta berteriak.
"Paman! Jika tak dapat ditangkap hidup hidup, mati pun boleh! Hayo, semuanya maju berbareng!"
Inilah suatu aba-aba serbuan berbareng dan Kilatsih benar-benar kena kepung rapat.
Sastradirja dan Andi Basanta merupakan lawan yang tangguh.
Sedangkan kedua kapak pendeta itu, bukan main dahsyatnya.
Podang Winangsi dan Sukra Sakurungan bukan pula musuh enteng.
Apalagi mereka ikut penasaran, karena Sekar Kuspaneti gagal dalam tangannya.
Maka Kilatsih harus mengandalkan kegesitannya.
Pedangnya menyambar-nyambar tiada hentinya.
Tatkala ituAndi Basanta yang menaruh cemburu kepada calon menantu Raja Muda Dwijendramaju memagaskan goloknya.
Inilah keadaan yang sangat berbahaya bagi Kilatsih.
Sebab ia sedang membela diri terhadap serbuan tujuh orang pengeroyoknya.
Tapi tatkala Andi Basanta sedang mengayunkan tangan, mendadak sikutnya terasa sakit luar biasa.
Goloknya pun runtuh bergelontangan di atas tanah dan ia menjerit kaget.
Kilatsih terperanjat melihat berkelebatnya golok menyambar padanya.
Dengan sebat ia berkelit.
Dan pada saat itu seorang lawan yang bersenjata tombak menjerit pula seperti Andi Basanta.
Malah dia roboh dan tak berkutik lagi.
Itulah disebabkan, ia kena hantam senjata kawannya sendiri yang tak dapat dielakkan.
"Bagus! Bagus!"
Pemuda sinting memuji-muji di atas batu. Masih saja ia bercokol di atas batu dengan tertawa gelak, la gembira bukan main, menyaksikan betapa tangguh pengawal pribadinya dan bisa pula meloloskan diri dari bahaya. Serunya.
"Hai, pengawalku yang setia! Senjata bidikmu bagus sekali!"
Mendengar seruan itu, Kilatsih mendadak tersadar. Pikirnya di dalam hati.
"Benar! Aku kena keroyok begini banyak. Untuk melawan mereka tiada jalan lain lagi kecuali senjata biji sawoku."
Memperoleh pikiran demikian, tangan kirinya lantas merogoh saku.
Lalu menyerang dengan mendadak.
Hebat kesudahannya.
Kilatsih memperoleh pelajaran menembakkan biji sawo dari Titisari dan dengan mengandalkan kepandaiannya menembakkan senjata jauh itu, ia disegani lawan dalam waktu singkat saja.
Mundingsari pernah terkejut pula.
Maka tak mengherankan, sekali menyerang empat pengeroyoknya lantas saja roboh terguling.
Yang selamat hanya tiga orangSastradirja dan kedua pendeta.
Mereka bertiga memang gesit gerak-geriknya.
Dengan senjatanya masing-masing mereka berhasil menangkis sambaran biji sawo Kilatsih.
Dua orang yang menyandang pendeta itu bernama Dengkek dan Dempil.
Mereka dua saudara kembar dan memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk bisa menangkap pemuda sinting itu, Sastradirja meminta bantuan mereka.
Sebagai upahnya, Sastradirja menjanjikan kuda dan pedang milik perguruannya.
DemikianlahDengkek dan Dempil heran menyaksikan bentuk senjata Kilatsih.
Bentuknya jauh berbeda dengan senjata bidik yang mengenai Andi Basanta dan seorang temannya yang bersenjata tombak.
Apakah senjata bidik Kilatsih memang dua macam.
Hal itu tidak mustahil.
Hanya yang tidak nalar, bagaimana Kilatsih bisa melepaskan senjata bidiknya kepada Andi Basanta selagi dia sibuk membela diri? Sebaliknya apabila bukan dia, lantas siapa yang melepaskan senjata bidik? Apakah di belakang belukar bersembunyi seseorang yang berkepandaian tinggi? Jangan-jangan Raja Muda Dwijendra.
Karena tak bisa menjawab teka-teki, Dempil berteriak.
"Dengkek! Kau tahan dia dan libatlah! Tuanku Sastradirjakau rampaslah pedangnyamewakili aku. Aku hendak memeriksa belukar dan gerombolan daun itu...."
Selagi berteriak demikian, tiba-tiba terdengarlah suara menyambarnya benda halus dan lengan Dempil kena tusuk sehingga berkaing-kaing berjingkrakan.
Dengkek^sebaliknyabermata tajam.
Memang dialah yang berkepandaian paling tinggi di antara ketiga lawan Kilatsih.
Semenjak menyaksikan dua pembantunya roboh, diam-diam ia memasang mata.
Itulah sebabnya, begitu Kilatsih menebarkan biji sawonyaia dapat menangkis dengan baik dan tepat.
Kemudian ia melirik kepada si Pemuda sinting yang bercokol di atas batu.
la melihat tubuh pemuda sinting bergerak.
Lantas saja ia berseru.
"Dempil! Ternyata dialah yang bermain gila!"
Segera ia melompati Kilatsih dan menerjang si Pemuda sinting. Melihat bahaya mengancam dirinya, pemuda itu bergemetaran dan terus berteriak bercatukan.
"Toto... tolong!"
Dengkek sebenarnya seorang ahli pedang.
Dia membawa-bawa sepasang kapak sebenarnya untuk merigelabuhi orang.
Begitu melompat menerjang, kapak yang berada di sebelah tangan kanannya dilemparkan.
Tahu-tahu ia telah membawa pedang.
Dapat dibayangkan betapa dahsyat sambitannya dan berbareng dengan sambit-annya, ia menikam pula.
Akan tetapi sungguh heran, baik kapak maupun pedangnya tak memperoleh sasaran.
Kedua senjatanya menikam udara kosong.
Ia kaget dan cepat-cepat mengulangi serangannya sampai empat kali beruntun.
Tetapi tetap saja ti-kamannya luput.
Sebaliknyapemuda sinting itunampak sibuk bukan main.
Ia berteriak-teriak ketakutan dan bingung.
Dia berlompatan dan bergerak asal bergerak saja untuk mengelakkan setiap tikaman Dengkek.
Anehnya, semua tikaman pendeta gadungan itu tak pernah menyentuh dirinya.
Kilatsih kaget mendengar jerit pemuda sinting itu.
Ia agak ringan, setelah Dengkek meninggalkannya.
Walaupun demikian menghadapi golok Sastradirja dan kapak Dempilia harus berkelahi dengan sungguh- sungguh.
Sekarang dengan sekali-sekali mengerling, ia melihat pemuda sinting itu berlari-larian seakan-akan sedang bermain kejar-kejaran.
Tangan dan kakinya berserabutan dan semua tikaman Dengkek dapat dielakkan dengan mudah.
"Ahapakah mataku sudah lamur sehingga keliru melihat seseorang?"
Kilatsih diam-diam terkejut.
"Benarkah dia tak mengerti ilmu silat? Benarkah dia tak pandai berkelahi? Jangan-jangan..."
Karena pikirannya sibuk, hampir saja ia kena bacok8) golok Sastradirja. Ia lantas jadi uring-uringan pada pemuda sinting itu yang membuat dirinya hampir celaka. Makinya di dalam hati.
"Anak menjemukan! Sekian lamanya aku menolongnya, sebaliknya dia mempermain- mainkan aku. Sekarangbiar dicacah bagaikan daging kerbauapa peduliku?"
Kilatsih mendongkol terhadap pemuda sinting itu. Sebaliknya Dengkek pun demikian pula. Sekian lamanya ia meni-kamkan pedangnya, namun tak pernah berhasil. Ia jadi kalap. Yang memanaskan hati, pemuda itu selalu saja berteriak-teriak ketakutan.
"Tolong! Tolong!"
Tetapi sekonyong-konyong dia tertawa terbahak- bahak seakan-akan berubah ingatannya. Setiap kali ditikam, ia menghitung sambil mengelak.
"Eh, bagus ya! Kau main gila. Satu! Dua! Tiga!"
Begitulah sampai ia menghitung dua-puluh kali.
Pada saat itu, Andi Basanta yang kena bidikan jarumnya sudah dapat merangkak bangun.
Diam-diam ia memungut goloknya.
Kemudian dengan mengin-dap-indap ia menghampiri pemuda itu.
Pemuda itu sendiri sibuk menghitung jumlah tikaman Dengkek.
Itulah sebabnya Andi Basanta dapat menghampiri dengan leluasa.
Begitu pemuda itu berkelit mengelakkan tikaman pedang Dengkek, ia terus me- nyambarkan goloknya.
Tetapi tangan pemuda itu ternyata dapat mendahului gerakan golok Andi Basanta.
Tangannya berserabut ke belakang dan tepat menyodok hidung Andi Basanta, Duk!maki pemuda itu.
"Telah kutolongi jiwamu dari pagasan pedang pengawalku". Mengapa engkau membalas kebaikan dengan begini? Apakah pamanmu Sastradirja yang mengajari?"
Andi Basanta kelabakan karena hidungnya sakit bukan main.
Dia gagal menyam-barkan goloknya.
Akan tetapi kata-kata pemuda tadi, menyadarkan Sastradirja, dirinya dan Kilatsih.
Teringatlah Andi Basanta tatkala ia bersama pamannya hendak mencuri permata pemuda itu.
Mestinya, dadanya bakal kena tikam pedang Kilatsih.
Akan tetapi suatu pertolongan datang di luar dugaan.
Tangan Kilatsih terhajar sehingga gagal menikam dadanya.
Kejadian itu dibicarakan kepada pamannya.
Lolosnya dari bahaya adalah lantaran memperoleh pertolongan entah dari siapa.
Sama sekali tak terduga, bahwa justru pemuda itulah yang menolongnya.
Itulah sebabnya, ia jadi tercengang.
Sastradirja yang mendengar Ucapan pemuda itu, tercengang pula sehingga tertegun.
Tetapi justru pada saat itu, pedang Kilatsih menyambar dan rambut depannya terpapas rata.
la kaget setengah mati.
Namun masih ia sibuk menimbang-nimbang.
"Aku hendak merampas harta dan kudanya. Tak tahunya, dialah yang malah menolong aku. Tidakkah ini suatu kejadian yang aneh?"
Sebaliknya Dempil tidak mengetahui persoalannya.
Melihat dia hampir kena pedang Kilatsih, dengan panas hati ia menghantam muka Kilatsih.
Belasan tahun lamanya, ia dan kakaknya merupakan sepasang pendekar kembar yang disegani orang.
Ilmu sakti gabungan mereka tak pernah terkalahkan.
Kini, ia hampir roboh di tangan Kilatsih.
Keruan ia memutuskan hendak merobohkan Kilatsih dahulu.
Sesudah itu membantu kakaknya meruntuhkan pemuda itu.
Repotlah Kilatsih kena desakan sepasang kapak Dempil yang hebat luar biasa.
Tak sempat lagi ia memperhatikan gerak-gerik pemuda yang mendengkikan dan aneh itu.
Justru pada saat itu, mendadak Dempil menjerit tinggi.
Kedua kapaknya terlontar ke udara dengan meletikkan api.
Kemudian terdengarlah teriakan pemuda itu.
"Hai, pendeta gadungan! Aku paling jemu melihat monyongmu. Karena itu engkau harus diberi hajaran dahulu."
Habislah keberanian Dempil.
Setelah bergulingan di atas tanah, ia terus kabur dengan diikuti Sastradirja.
Inilah akibat kesehatan pemuda itu.
Dengan mendadak saja, pemuda itu dapat merampas pedang Dengkek.
Lalu melompat ke arah Dempil.
Sepasang kapaknya kena ditabas kutung.
Hebat tenaga tabasannya.
Selama hidupnya baru kali ini Dempil mengalami peristiwa demikian.
Sepasang kapaknya kena terlem- # par ke udara.
Hatinya lantas saja meringkas.
Berbareng dengan kaburnya semangat tempurnya, ia lari terbirit-birit dengan diikuti Sastradirja.
Pemuda itu lantas tertawa berkakakkan.
Kemudian sambil melemparkan pedang rampasannya kepada pemiliknya ia berkata menasehati.
"Menipu dan merampas itulah perbuatan melanggar undang-undang kemanusiaan. Apalagi kalau sampai merampas jiwa. Kau ternyata tak dapat mengukur tenaga kemampuanmu sendiri. Alangkah tolol! Manusia tak berperikemanusiaan dan tolol goblok, benar-benar akan menjadi manusia yang selalu membuat huru-hara di kemudian hari. Ini! Kukembalikan pedangmu, agar kau bisa belajar sepuluh tahun lagi..."
Meskipun gaya bahasa pemuda itu mirip kata-kata seorang murid yang menghafal sejarah di depan kelas namun Dengkek menjadi lesu kuyu. Habislah sudah kegarangannya. Lalu berkata pelahan sambil memungut pedangnya.
"Baiklah, tolong saja sebutkan namamu!"
Pemuda itu tertawa. Menegas.
"Apakah kau berniat hendak menuntut balas kepadaku di kemudian hari?"
"Tidak."
"Jikalau tidak, apa perlu menanyakan namaku?"
Tegur pemuda itu.
"Tak berani aku bermusuhan dengan engkau. Aku pun tak ingin pula bersahabat denganmu. Nah, apa perlu kita saling mengenal? Bukankah kita tidak bermusuhan atau pun tidak bersahabat?"
Dengkek membungkam.
Hatinya mendongkol, sehingga menarik napas panjang.
Pedang di tangannya kemudian dipatahkan.
Lalu berjalan dengan kepala kosong.
Ia bersumpah seorang diri bahwa semenjak itu tak sudi lagi ia menggunakan pedang.
Sesudah mengikuti kepergian Dengkek dengan pandang matanya, kembali lagi pemuda itu tertawa terbahak-bahak.
Ia menghampiri Andi Basanta, Sukra Saku-rungan dan pamannya.
Dengan mendepaki mereka, ia berkata memerintah.
"Kamu pun pergilah dengan damai!"
Mereka yang kena serangan biji sawo tadi, roboh terkulai.
Akan tetapi begitu kena depak pemuda itu mereka bangun seperti seseorang tersentak dari tidurnya.
Tanpa berkata sepatah pun, mereka segera memanjangkan kakinya.
Heran Kilatsih menyaksikan cara pemuda itu menolong mereka memperoleh kesadarannya sendiri.
Padahal ilmu bidiknya diperolehnya dari Titisari.
Memang ilmu bidik Titisari bukan mempunyai sasaran mengambil jiwa seseorang.
Walaupun demikian tidak gampang-gampang seseorang bisa menolong menyadarkan.
Sebab ilmu bidik itu adalah warisan pendekar sakti Gagak Seta.
Pemuda itu agaknya bisa menebak rasa heran Kilatsih.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Segera berkata di antara tertawanya.
"Mengapa engkau mesti heran? Semalam engkau pun bisa menyadarkan empat saudagar yang kena ilmu gendamku. Nah bukankah kepandaian kita setali tiga uang."
Kedengarannya seperti sama kuat.
Akan tetapi Kilatsih tetap heran.
Sebab ilmu pamudaran9) Kilatsih belum berhasil mengatasi ilmu gendam pemuda itu dengan sekali jadi.
Keempat saudagar memang sudah bisa menggerakkan lengan, akan tetapi mulutnya masih tetap terkunci.
Andi Basanta yang terluka hebat oleh senjata sesama rekannya, belum berjalan terlalu jauh.
la dapat menyaksikan sepak-terjang pemuda itu.
Mendadak saja ia berbalik.
Dan seperti tidak menghiraukan lukanya, ia menghampiri pemuda itu dan membungkuk hormat.
"Tuan telah menolong jiwaku.
Akan tetapi karena Tuan pula, aku sampai menderita luka begini.
Karena itudi kemudian hari aku akan mengampuni jiwamu satu kali berbareng menghajar Tuan satu kali juga.
Bukankah adil?"
Pemuda itu tercengang mendengar ucapan Andi Basanta. Kemudian tertawa geli.
"Aku menolong jiwamu karena mengingat nama pamanmu yang besar. Itulah Raja Muda Otong Surawijaya. Karena itutak usahlah engkau membicarakan perkara hutang budi atau utang-piutang. Kau hendak memberi ampun jiwaku satu jailhal itu tak usahlah kita bicarakan. Tapi bahwasanya kau hendak membayar sebelah tanganmu yang dahulu hampir terkutunghaitulah yang kutunggu. Kau kalah jauh daripada dua pendeta palsu tadi. Karena itu, engkau harus belajar duapuluh atau tigapuluh tahun lagi sebelum bertemu dengan aku. Nah enyahlah! Cepat!"
Andi Basanta seorang pemuda yang cupat pikir.
Itulah sebabnya, ia mendongkol terhadap sikap pemuda itu yang memandang rendah dirinya.
Dengan gundu mata hampir copot dari kelopaknya, ia melototi Kilatsih dan pemuda itu.
Kemudian berputar tubuh dan ngeloyor10) tanpa berbicara lagi.
Pemuda itu menarik napas dengan menggelengkan kepalanya.
Katanya seperti kepada dirinya sendiri.
"Otong Surawijaya adalah seorang Raja Muda yang tangguh dan berani. Akan tetapi kemenakannya ini sama sekali tiada artinya. Benar-benar tak pernah kusangka demikian..."
Setelah berkata demikian, ia nampak kecewa dan prihatin dan diam-diam Kilatsih heran di dalam hati mendengar dan melihat kesan wajah pemuda itu. Sebenarnya hendak ia meninggalkan tempat itu akan tetapi hatinya jadi tertarik. Katanya di dalam hati.
"anak ini besar kepalanyasampai berani menghina kemenakan Raja Muda Otong Surawijaya. Apakah dia tak memikirkan akibatnya?"
Memikir demikian, Kilatsih mencoba.
"Bagaimana menurut pendapatmu tentang Manik Angkeran? Apakah dia seorang pendekar yang pantas menjadi tauladan anak-keturunan bangsa di kemudian hari?"
Mendengar pertanyaan Kilatsih, wajah pemuda itu berubah. Akan tetapi hanya sebentar saja. Setelah itu, ia menggoyangkan kepalanya sambil menjawab.
"Manik Angkeran memang seorang pendekar yang mempunyai kepandaian sendiri. Akan tetapi kalau dia dikatakan seorang pendekar gagah yang pantas menjadi tauladan rasanya belum dapat. Dia justru manusia yang hanya memikirkan diri sendiri."
Pertarungan Dikota Chang An Karya Wen Rui Ai Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung