Ceritasilat Novel Online

Mencari Bende Mataram 12


Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 12



Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto

   

   Anaknya bernama Sasi Kirana.

   "Kau pun boleh memanggilku Kiki. Ha, bukankah sama pula?"

   "Eh, ya. Bagaimana bisa kebetulan begini?"

   Sasi Kirana tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepalanya.

   "Lantas bagaimana baiknya? Masakan kita memanggil nama kita masing-masing. Kiki?"

   "Kilatsih tertawa geli.

   "Panggillah aku Kilat saja."

   "Kilat, Kilat! Ah hebat nama itu. Selain indah kesannya menakutkan pula,"

   Kata Sasi Kirana dengan perlahan.

   "Tetapi panggilan Kilat, rasanya kurang sedap. Bagaimana kalau aku memanggilmu adik saja dan kau memanggil aku Kiki?"

   Kilatsih memiringkan kepalanya, la menimbang- nimbang. Sewaktu hendak menyatakan pendapatnya, Sasi Kirana berkata lagi.

   "Tetapi kalau seseorang tiba- tiba memanggil Kiki kepadaku, kita berdua maju berbareng. Sekiranya dia musuh, ha boleh dia berhadap- hadapan dengan Kiki Besar dan Kiki Kecil sekaligus."

   "Menarik cara pemuda itu mengemukakan pendapat dan jalan pikirannya, sehingga Kilatsih tersenyum geli. Gadis itu lantas saja menyatakan persetujuannya. Selanjutnya pembicaraan mereka jadi lancar. Kilatsih lantas mengetahui, bahwa Sasi Kirana seorang pemuda yang luas pengetahuannya, la sendiri murid Adipati Surengpati yang berpengetahuan luas, maka dapatlah ia menerima pembicaraan mengenai ilmu alam, ukur pasti, ilmu bumi, ilmu ketabiban, ilmu tata-negara dan kesusasteraan. Karena asyiknya tiba-tiba sore hari datang dengan tak terasa.

   "Sebentar lagi kita memasuki Cirebon. Nanti malam kita menginap di losmen saja,"

   Ujar Sasi Kirana.

   Setelah berkata demikian, ia mencambuk kudanya dan Kilatsih segera melarikan kudanya pula.

   Setelah saling berkejar- kejaran sampailah mereka di Cirebon menjelang malam hari.

   Dengan menahan kendali kudanya, mereka memasuki Kota Cirebon dengan perlahan-lahan.

   Dua kali Kilatsih melintasi Cirebon, akan Jetapi kali ini kesannya menyenangkan dan manis sekali.

   Setelah berputar-putar memasuki jalan-jalan kota mereka memperoleh sebuah penginapan yang cukup besar.

   "Berikan kami sebuah kamar besar menghadap ke selatan,"

   Sasi Kirana minta kepada penguasa rumah penginapan.

   "Dua kamar,"

   Kilatsih menyambung. Kuasa rumah penginapan itu jadi berbimbang- bimbang.

   "Yang betul bagaimana? Satu atau dua kamar?"

   "Dua kamar!"

   Sahut Kilatsih cepat dengan suara tegas.

   "Dua kamar!"

   Ia mengulangi. Kuasa rumah penginapan itu melemparkan pandang kepada Sasi Kirana,"minta keputusan. Sesudah melihat Sasi Kirana bersikap mengalah, ia tertawa.

   "Jadi.... dua kamar? Apakah tuan-tuan hanya berdua saja?"

   Katanya.

   "Benar,"

   Sasi Kirana menyahut.

   "Mestinya lebih baik satu kamar. Bukankah lebih.....".

   "Dua kamar!"

   Potong Kilatsih dengan suara keras.

   Kuasa penginapan itu tercengang.

   Akan tetapi ia tak membuka mulut lagi.

   Bukankah dua kamar lebih baik baginya daripada satu kamar? Segera ia berdiri dari kursinya dan mempersilakan kedua tetamunya menentukan kamar pilihannya masing-masing.

   Lalu ia memerintahkan pelayan-pelayannya menyediakan makan malam.

   Dua kamar penginapan itu berdekatan.

   Sasi Kirana lalu berseru keras dari dalam kamarnya.

   "Adik! Sebenarnya aku mempunyai bekal cukup untuk menyewa dua atau sepuluh kamar. Akan tetapi sebenarnya, kita lebih senang tidur bersama dalam satu kamar. Kita bisa beromong-omong dengan cukup berbisik-bisik. Tidak seperti sekarang ini. Aku harus berteriak seperti orang lagi bertengkar. Kau pindah saja kemari, adik!"

   "Kau jangan cerewet tak keruan!"

   Bentak Kilatsih di dalam hati.

   "Kikikau tahu sebabnya aku tak mau tidur di kamarmu? Selamanya, aku paling takut tidur bersama- sama orang lain."

   Mendengar jawaban Kilatsih, Widiana Sasi Kirana tertawa.

   "Pantas! Kau tak mau tidur satu ambin dengan Sekar Kuspaneti."

   Merah wajah Kilatsih digoda demikian. Segera ia mengalihkan pembicaraan.

   "Kiki! Kau lapar, tidak?'; Widiana Sasi Kirana tahu perasaannya. Tak mau ia minta keterangan lagi apa sebab temannya itu tak mau tidur bersama di dalam satu kamar. Ia lantas menyahut.

   "Benar! Perutku lapar pula."

   Malam itu mereka makan malam dalam kamarnya masing-masing.

   Karena lelah setelah makanmereka tidur pula.

   Tetapi sebelum tidur, Kilatsih perlu berjaga- jaga.

   Ia memalang pintu kamar dan jendelanya.

   Lalu merebahkan diri di atas tempat tidur tanpa membuka pakaian.

   Meskipun terasa sangat lelah, tak dapat ia segera tertidur.

   Sepak terjang dan lagak-lagu Widiana Sasi Kirana selalu saja merumun dalam otaknya sehingga kedua matanya tak dapat dipejamkan rapat- rapat.

   Tak lama kemudian ia mendengar kentung tiga kali.

   Kamarnya tetap aman sen-tausa.

   Hatinya lantas menjadi tenteram.

   Katanya di dalam hati.

   "Bocah itu walaupun berandalan, nampaknya bukan seorang pemuda kasar. Ah, aku terlalu curiga kepadanya."

   Ia lantas tertawa geli sendiri.

   Lantaran hatinya tenteram, ia tertidur pulas dengan tak disadarinya sendiri.

   Entah berapa jam ia tertidur pulas, tiba-tiba rasa sadarnya membangunkannya.

   Widiana Sasi Kirana serasa menghampiri dengan bersenyum dan membungkukkan badan.

   Ia kaget dan gusar.

   Serentak ia menghunus pedangnya dan menikam.

   Pemuda itu menjerit tinggi.

   Dadanya lantas berlumuran darah.

   Kilatsih kaget bukan mainsehingga mulutnya berteriak.

   Tepat pada saat itu, ia mendengar suatu ketukan di jendela.

   "Adik! Lekas keluar!"

   Terdengar seruan Widiana Sasi Kirana.

   Kilatsih berbangkit sambil mengucak-ucak matanya.

   Insyaflah dia, bahwa tadi ia bermimpi.

   Hanya sajaapa sebabjustru pemuda itu berada di luar jendela.

   Jangan- jangan, ia tadi benar-benar menikam dan pemuda itu berhasil melompat keluar jendela.

   Dalam kesangsiannya, ia berpaling mencari pedangnya.

   Ternyata pedangnya masih di dalam sarung.

   "Adik! Cepat!"

   Terdengar suara Widiana Sasi Kirana agak gugup.

   Kali ini, Kilatsih mendengar ringikan kuda.

   Mendengar suara ringikan kuda itu, Kilatsih terbangun.

   Itulah suara kudanya yang meringik sedih.

   Mengapa? Bergegas ia melompat dari pembaringannya.

   Untung dia tadi tak menanggalkan pakaiannya.

   Maka dengan cepat, ia dapat membuka pintu kamar dan terus lari ke pendapa.

   Dari atas rumah, terdengarlah Widiana Sasi Kirana berseru nyaring kepadanya.

   "Adik! Kuda kita kena tercuri. Mari kita kejar!"

   Kuda hitam dan Megananda adalah kuda-kuda pilihan.

   Selain jempolan, galak terhadap seorang asing.

   Tidak sembarang orang dapat mendekati, kecuali majikannya masing-masing.

   Seumpama seseorang memiliki kekuatan untuk menaklukkan akan tetapi setelah ditunggangi tidak mungkin sudi takluk lagi.

   Mereka akan membangkang.

   Berputar-putar, berjingkrakan dan berusaha melemparkan penunggangnya.

   Itulah sebab baik Widiana Sasi Kirana maupun Kilatsih percaya benar kepada kudanya masing-masing.

   Walaupun diumbar12) di tengah lapangan, tidak bakal ada seseorang yang bisa mengusiknya.

   Di luar dugaankedua kuda ituternyata bisa dicuri orang.

   Pastilah pencurinya bukan sembarang orang.

   Selain cerdik, mungkin pula seorang ahli.

   Memperoleh kesimpulan demikianWidiana sasi Kirana yang biasanya dapat berlaku berandalankali ini hatinya gentar juga.

   Dalam pada itu Kilatsih telah berada di atas genting pula.

   Minta pertimbangan.

   "Dapatkah kita menyusul pencurinya?"

   "Kuda kita tidak gampang-gampang takluk kepada orang lain."

   Widiana Sasi Kiraha yakin.

   "Karena ituada harapan untuk menyusul."

   Sesudah berkata demikian, ia melemparkan sebuah mata uang emas. Berkata kepada penguasa penginapan yang ikut terbangun oleh kesibukan mereka berdua.

   "Sisanya boleh kau ambil."

   Ia mendahului melompat turun dan lari kencang bagaikan bayangan.

   Kilatsih segera mengikuti.

   Dalam hal kegesitan dan kecepatan bergerak, Kilatsih tak usah takut merasa kalah.

   Sebentar saja ia dapat menjajari.

   Tak jauh di depan mereka, terdengar ringikan Megananda dan kuda hitam.

   Mendengar ringikan kudanya, Widiana Sasi Kirana lantas berseru.

   "Panut! Panut! "Jangan takut."

   Kuda Widiana Sasi Kirana bernama Panut.

   Mendengar seruan majikannya, ia berbenger keras.

   Akan tetapi binatang itu tak dapat membangkang kemauan penunggangnya.

   Di bawah penerangan cahaya bulan Panut nampak berada di depan.

   Sedang Megananda di belakang.

   Baik Panut maupun Megananda lari berjingkrakan dengan kepala mendongak.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jelaslah, bahwa kedua binatang itu tak sudi tunduk kepada penunggangnya.

   Mereka berusaha berontak, akan tetapi sekian lamanya berdaya- upaya tetap saja penunggangnya dapat menguasainya.

   Kedua pencuri yang berada di atas punggung Panut dan Megananda nampak jelas pula.

   Yang satu mengenakan pakaian hitam.

   Yang lain putih.

   Kedua- duanya mengenakan topeng.

   Pada tangannya masing-masing, nampak obor menyala.

   Setiap kali Panut atau Megananda berjingkrak hendak berontak, obor itu lantas diselomotkan sehingga meringik kesakitan.

   Kecuali disakiti demikian, perut kedua binatang itu dijepit kencang-kencang.

   Mau tak mau Panut dan Megananda terpaksa lari juga.

   Akan tetapi karena sering berjingkrak atau berputar-putar, lari mereka tidak sepesat biasanya.

   Widiana Sasi Kirana dan Kilatsh dapat menyusul.

   Sakit hati Widiana Sasi Kirana mendengar ringik kudanya.

   Kilatsih tak terkecuali.

   Baik Widiana Sasi Kirana maupun Kilatsih, tak pernah menyakiti kudanya.

   Membentak dengan kata-kata keras, jarang sekali terjadi.

   Itulah sebabnya, mereka lantas saja mempercepat larinya sambil memanggil-manggil.

   Panut mendengar panggilan majikannya.

   Terus saja ia meringkik sambil berjingkrak berputaran.

   Lagi-lagi ia kena selomot.

   Tak dapat lagi Widiana Sasi Kirana menguasai diri.

   Dengan seruan nyaring, ia melepaskan senjata bidiknya yang berbentuk jarum.

   Kemarin sewaktu Kilatsih bertempur melawan keroyokan delapan orang, dengan tertawa saja Widiana Sasi Kirana dapat menjatuhkan mereka dengan sambitan jarumnya.

   Apalagi, kini dia sedang marah dan sakit hati.

   Sambitan jarumnya keras dan mematikan.

   Akan tetapi diluar dugaan, kedua pencuri itu seakan-akan ' mempunyai mata pada punggungnya.

   Begitu mendengar sambaran angin, mereka lantas saja membungkuk dan bersembunyi dengan menjatuhkan diri kke samping.

   Dengan demikian, mereka menggunakan perut kuda sebagai tameng13).

   Tak dapat Widiana Sasi Kirana mengumbar rasa sakit hatinya dengan menyerang perut kudanya.

   Itulah sebabnya, semua jarumnya gagal mengenai sasaran.

   Celakanyasambil berlindungkedua pencuri itu terus menyelomoti.

   Panut-dan Megananda kaget hingga meringkik keras.

   Lalu kabur memasuki petak hutan yang berada di pinggang sebuah bukit.

   Widiana Sasi Kirana dan Kilatsih mengejar terus sampai tiba-tiba mereka mendengar tertawa pencuri kudanya.

   Aneh nada suara tertawanya.

   Terdengarnya seperti bunyi tawa wanita.

   Mereka berdua terperanjat dan heran.

   Di atas tanjakan segera nampak cahaya api berkeredepan bagaikan kunang-kunang hinggap di atas rerumputan.

   Suasananya sunyi sepi menyeramkan perasaan.

   Tak dikehendaki sendiri bulu roma Kilatsih ber- geridik Sekonyong-konyong Widiana Sasi Kirana tertawa nyaring.

   Katanya dengan suara garang.

   "Benarkah seorang wanita cantik jelita menjadi pencuri kuda? Apakah kalian sudah pada tempatnya bergaul dengan iblis? Kembalikan kudaku! Tak sudi aku bertempur melawan wanita."

   Setelah berkata demikian, ia melompat menghampiri tanjakan. Kilatsih yang berada di belakangnya melompat pula bersiaga. Lalu terdengarlah seorang wanita berkata cukup terang.

   "Berani juga hati si pencuri mustika Dwijendra ini....."

   Ucapan itu mengenai dua sasaran.

   Widiana Sasi Kirana memperoleh lukisan Sungai Cisadane dan Kilatsih merampas Sekar Kuspaneti.

   Hanya yang menyakitkan hatimereka disebut sebagai pencuri.

   Kilatsih lantas menebarkan penglihatannya.

   Megananda dan Panut berada di bawah tanjakan.

   Kedua binatang itu seperti lagi berdiri tegak.

   Anehnya tidak bergerak sama sekali.

   Di bawah penerangan bulan cerah, kesannya menyeramkan.

   Tak terasa Kilatsih memekik tertahan.

   Sebaliknya Widiana Sasi Kirana memperdengarkan suara tertawa.

   "Ooo... jadi kamulah yang main gila?"

   Kilatsih tak mengerti apa maksud pemuda itu.

   Segera ia.

   menajamkan matanya dan pada saat itu, ia melihat empat orang laki-laki berdiri berjajar.

   Kaki mereka terangkat sebelah seperti seseorang yang hendak menuruni tangga.

   Juga mereka tidak bergerak sama sekali bagaikan patung.

   Mereka berempat itulah para saudagar pengunjung rumah Raja Muda Dwijendra.

   Mengapa mereka diam tak berkutik? Apakah mereka kena ilmu gendam lagi? Siapakah yang memiliki ilmu gendam hebat pula? Diam-diam Kilatsih menarik napas, la kagum terhadap seorang yang membuat mereka berempat tak dapat berkutik sama sekali.

   Kilatsih tidak takut menghadapi segala kemungkinan, la mengira, mereka berempat itulah biang keladi pencuri kudanya.

   Tapi mendadak kena totok seorang yang bersembunyi di dalam hutan itu.

   Maka ia menghampiri mereka terus menegur.

   "Kamu berempat pernah kutolong.

   Kenapa sekarang kalian mencuri kudaku? Pernahkah aku salah terhadap kalian?"

   Mereka tak menjawab. Juga sama sekali tak berkutik. Pada saat itu mendadak terdengarlah suara seserang dari balik hutan.

   "Kalau para tetamu sudah tiba, bawalah mereka masuk!"

   Kilatsih terkejut.

   Suara itu terang sekali datang dari balik hutan.

   Akan tetapi terdengar memantul dari dinding bukit, sehingga seolah-olah keluar dari dalam bumi.

   Suaranya kuat perkasa dan lunak.

   Itulah suatu bukti, bahwa pemilik suara itu memiliki ilmu sakti yang tinggi.

   Maka insyaflah Kilatsih, bahwa ia tengah menghadapi lawan yang berat.

   Sesudah suara itu lenyap, muncullah dua bayangan yang gesit sekali gerakannya.

   Mereka mengenakan topeng sehingga mukanya tak nampak jelas.

   Akan tetapi pandang mata mereka bersinar tak ubah bara api.

   Dan orang-orang yang berada di tanjakan lantas saja membungkuk hormat.

   "Bawalah mereka masuk!"

   Perintah salah seorang dari mereka kepada yang sedang membungkuk hormat.

   Dengan sekali menjejakkan kaki, bayangan mereka berkelebat memasuki hutan.

   Sama sekali tak mirip seorang wanita.

   Seorang lantas datang menghadap Widiana Sasi Kirana dengan membungkuk hormat.

   "Silakan masuk, Tuan."

   "Kau lepaskan dahulu kuda kami. Baru kami bersedia berbicara,"

   Ujar Widiana Sasi Kirana.

   "Hal itu tak usahlah Tuan berkecil hati. Majikan kami tidak bermaksud jahat. Kalau tidak diambil tindakan demikian, mustahil Tuan sudi mengunjungi gubuk majikan kami."

   "Siapakah majikanmu?"

   Kilatsih menimbrung. Orang itu tertawa perlahan sambil berpaling kepada temannya.

   "Ah! Sampai lupa. Tapi pastilah- Tuan muda sudah mengenal. Coba berikan tanda panji-panji kita!"

   Dari belakang belukar muncullah dua orang membawa dua helai panji kebesaran. i Lalu berkatalah orang pertama.

   "Beliau berdua adalah majikan-majikan dari laskar panji-panji ini."

   Melihat gambar panji-panji itu, Widiana Sasi Kirana berubah wajahnya. Kilatsih terperanjat pula, akan tetapi dia dapat menguasai diri. Itulah panji-panji Obor Menyala dan Kuda Semberani.

   "Kalau begitu Raja Muda Otong Surawijaya dan Raja Muda Dadang Wiranata,"

   Kata Kilatsih di dalam hati.

   "Menurut khabar almarhum ayahku adalah salah seorang laskar Beliau. Pantaslah Megananda dan Panut dapat dikuasainya."

   "Biarlah aku memberi hormat dahulu,"

   Ujar Widiana Sasi Kirana. Dan ia benar-benar membungkuk. Setelah mengangkat kepalanya, dahinya nampak berkerinyut. Jelaslah, dia baru sibuk memecahkan teka-teki apa sebab kedua raja muda Himpunan Sangkuriang sampai mencuri kudanya.

   "Mari!' kata penerima tamu. Orang ini lantas mendahului berjalan memasuki hutan lebat yang berada di balik bukit. Widiana Sasi Kirana mendekati Kilatsih. Lalu berbisik dengan suara cemas.

   "Adik! Kaburlah kau cepat-cepat. Kukira yang diincar mereka adalah engkau. Karena engkau melukai atau mengalahkan kemenakan mereka dalam arena pertandingan. Kau tahu siapa mereka berdua?"

   "Raja Muda Otong Surawijaya dan Raja Muda Dadang Wiranata,"

   Jawab Kilatsih.

   Widiana Sasi Kirana tercengang.

   Bagaimana dia bisa kenal nama kedua raja muda itu? pikirnya di dalam hati.

   Otong Surawijaya adalah seorang Raja Muda bawahan Sangaji yang kejam dan tak pernah memberi ampun kepada lawan, la sakti dan besar pengaruhnya.

   Gerak geriknya liar dan sukar diduga-duga.

   Sedang Raja Muda Dadang Wiranata memiliki suatu ilmu sakti yang disegani rekan dan lawan.

   Dahulu saja tatkala mengadu kesaktian melawan para penyerbu, diam-diam Sangaji pernah mengagumi14).

   Maka tidak mengherankan, apa sebab Widiana Sasi Kirana berkecil hati begitu mengetahui siapakah yang mencuri kudanya.

   Tetapi Kilatsih mempunyai pikirannya sendiri.

   Sama sekali ia tidak mundur.

   Malahan ia nampak tersenyum.

   "Bukankah semenjak kita berkenalan, aku menjadi pengawalmu? Nah, kini pun aku bersedia menjadi pengawalmu."

   Dalam hati Widiana Sasi Kirana mengeluh.

   Tahulah dia, bahwa Kilatsih belum mengenal kesaktian Otong Surawijaya dan Dadang Wiranata.

   Segera ia hendak memberi penjelasan, siapakah mereka berdua.

   Akan tetapi waktu tidak memungkinkan lagi.

   Sebab untuk memberi keterangan yang jelas tentang dua raja muda itu harus membutuhkan waktu lama.

   Sedangkan para penyambut tetamu kedua raja muda itu, kerap kali berpaling ke arahnya dengan pandang menyelidiki.

   Menghadapi kesulitan demikian, Widiana Sasi Kirana benar-benar mengeluh.

   Katanya di dalam hati.

   "Maksudnya memang baik. Tetapi pastilah dia belum pernah mendengar betapa tinggi kesaktian dua raja muda itu, bagaimana baiknya?"

   Widiana Sasi Kirana sebenarnya salah duga, bahwa Kilatsih tidak sadar akan bahaya yang mengancam.

   Kalau dia tak mau kabur, semata-mata karena ingin mendampingi justru dalam keadaan demikian.

   Inilah pengucapan seorang wanita, manakala sudah terbintik rasa cinta dalam dirinya.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Penyambut tetamu kedua raja muda itu terdiri dari empat orang.

   Dua pria dan dua wanita.

   Secara bergantian, mereka selalu berpaling sambil berjalan mendahului.

   Hutan yang dimasuki sangat padat.

   Penuh semak belukar, penjalin dan duri.

   Tanahnya terdiri dari batu-batu pula.

   Pastilah sengaja ditaburi batu-batu demikian rupa, sehingga menyulitkan orang-orang yang berani menginjakkan kaki, untuk yang pertama kalinya.

   Tidak lama kemudian nampaklah sebuah gedung batu yang berdiri di antara lebatnya pepohonan.

   Gedung itu serba gelap.

   Sama sekali tiada penerangan.

   Begitu mereka mendekat, terdengarlah suara bergelora.

   "Apakah yang datang dua bocah ingusan itu?"

   Para penyambut tetamu tertawa menyambut. Salah seorang menyahut.

   "Benar. Tetapi kedua bocah ini mempunyai keberanian melebihi bocah lumrah."

   "Baik. Nah, bawalah mereka masuk!"

   Orang yang berada paling depan, maju mendekati pintu batu.

   la mendorong dan dengan suara berisik, terbukalah pintu batu itu.

   Samar-samar nampaklah suatu penerangan jauh di dalam.

   Justru pada saat itu, Widiana Sasi Kirana melesat maju dan menghantam daun pintu itu.

   Brak! Daun pintu itu roboh dengan suara gemeretakan.

   Berbareng dengan robohnya daun pintu, Widiana Sasi Kirana tertawa berkakakan.

   "Di hadapanku, tak usah kalian berlagak mengundang tetamu. Aku bisa datang sendiri."

   Tuan rumah ternyata tidak menyahut.

   Sebagai gantinya, muncullah dua puluh empat lilin besar dari pintu-pintu samping.

   Kena sinar nyala lilin, ruang itu menjadi terang benderang.

   Gedung batu itu ternyata mempunyai pendapa yang luas mirip sebuah istana.

   Perabotnya sangat indah.

   Hampir semua hiasannya terbuat dari emas dan permata.

   Hawanya segar dan lapang.

   Baunya harum pula.

   Kilatsih menebarkan penglihatannya.

   Di tengah ruang itu nampak sebuah meja besar dan panjang.

   Di belakang meja duduklah dua bayangan.

   Bayangan itu sama sekali tak bergerak.

   Mirip dua buah patung yang menakutkan.

   Setelah diamat-amati ternyata dua orang hidup yang mengenakan topeng.

   Hebat perbawa dua orang itu.

   Rambutnya tebal dan terurai panjang.

   Perawakan mereka gagah perkasa.

   Yang duduk di sebelah kiri, berkulit kekuning-kuningan.

   Dialah Raja Muda Otong Surawijaya dan kulit Raja Muda Dadang Wiranata hitam.

   Hidungnya agak bengkung, matanya tajam luar biasa.

   Sehingga perbedaan antara kedua orang raja muda itu nampak jelas dan tegas.

   Di sisi mereka, berdiri empat orang yang mengenakan pakaian jubah putih dengan memegang dua panji-panji bergambar Obor Menyala dan Kuda Semberani.

   Dan yang berada di dekat dinding, empat orang saudagar tengkulak yang datang mengunjungi Raja Muda Dwijendra.

   Melihat mereka berempat timbullah gagasan Kilatsih.

   "Ah, rupanya empat orang saudagar itu dijadikan saksi mereka untuk menuntut aku dan Sasi Kirana."

   Dugaan Kilatsih ternyata tepat sekali. Pada saat itu, terdengar suara Otong Surawijaya kepada empar Saudagar.

   "Apakah mereka berdua inilah yang mencuri permata dunia?"

   Salah seorang dari mereka menyahut dengan suara bergemetaran.

   "Yang usianya lebih tua itu, tuanku. Yang berusia muda adalah calon menantu tuanku Raja Muda Dwijendra. Sama sekali ia tidak ikut mencuri. Malahan dialah yang menolong kami bebas dari ilmu gendam pemuda itu."

   Otong Surawijaya memanggut. Lalu menuding kepada Kilatsih dengan dibarengi suara perintahnya yang menggelegar.

   "Kau minggir! Berdiri di sana!"

   Tetapi Kilatsih membangkang.

   "Kami datang bersama-sama. Kenapa aku harus berdiri berpisah?"

   Dadang Wiranata yang sejak tadi berdiam diri, mengerutkan alisnya. Membentak.

   "Kau bocah cilik dengarkan perintah kami. Kami tidak bisa menghukum orang yang tidak bersalah."

   Lalu menuding Widiana Sasi Kirana.

   "Hai, bocah gede! Benar-benar besar keberanianmu. Kenapa kau berani memasuki istana Raja Muda Dwijendra untuk mencuri sebuah mustika dunia? Kenapa kau pun berani menghajar pintuku sampai roboh? Apakah kau anggap kami ini barang permainanmu?"

   Widiana Sasi Kirana tidak menjawab, la malahan membalas dengan pertanyaan.

   "Sudah berapa tahun kamu berada di sini?"

   "Eh, binatang! Apa maksudmu?"

   Bentak Otong Surawijaya.

   Otong Surawijaya adalah seorang raja muda yang berangasan dan jahil mulutnya.

   Mendengar sikap Widiana Sasi Kirana yang angkuh, hatinya lantas saja terbakar.

   Akan tetapi Widiana Sasi Kirana tidak menggubris.

   "Kalau kamu ingin memperoleh keterangan yang benar, apa sebab tidak minta penjelasan kepada Dwijendra? Taruh kata aku memang mencuri barang mustikanya apa hubungannya dengan kamu berdua? Kukira, Paman Dwijendra pun tidak akan membiarkan kalian ikut usilan dalam perkara ini."

   Mendengar perkataan Widiana Sasi Kirana, Otong Surawijaya dan Dadang Wiranata menggerung dahsyat. Kehormatan mereka tersinggung. Akan tetapi Widiana Sasi Kirana benar-benar tidak gentar.

   "Siapakah yang tidak tahu, bahwa Otong adalah seorang pemimpin laskar perjuangan yang ringan tangan dan bermulut jahil? Dalam hal ini, kamulah yang memutar balikkan suatu kenyataan. Kamulah yang mencuri kuda kami. Sekarang kami menghajar daun pintu kamu sampai roboh. Siapakah yang memulai terlebih dahulu? Bukankah kamu? Lagipula, istana ini bukan milik kamu berdua! Mengapa kalian berlagak seperti majikan!"

   "Bagus! Kau pun pandai menggoyangkan lidah,"

   Bentak Otong Surawijaya.

   "Kau bilang, istana ini bukan istana kami. Lantas istananya siapa?"

   "Inilah istana perjuangan Ratu Bagus Boang pada zaman tujuh puluh tahun yang lalu. Benar tidak?"*5) Mendengar jawaban Widiana Sasi Kirana, mereka berdua nampak tercengang sehingga tergugu sejenak. Namun dalam hal mengadu ketajaman lidah, tak sudi Otong Surawijaya mengalah.

   "Apakah kamu bermaksud hendak menguasai kami?"

   "Apakah kalian kiradi dunia inihanya kalian yang boleh menguasai jiwa orang lain?"

   Balas Widiana Sasi Kirana dengan cepat. Pemuda itu lalu tertawa.

   "Lebih baik kamu berdua bermukim saja di atas pegunungan!"

   "Binatang! Kau bilang apa?"

   "Ini adalah istana Ratu Bagus Boang pu-tera Pangeran Purbaya, putera mahkota Kerajaan Banten." 15) Bacalah Bunga Ceplok Ungu dari Banten.

   "Kami pun dua Raja Muda Himpunan Sangkuriang. Kau mau apa?"

   Bentak Otong Surawijaya.

   "Kalian mengangkat diri menjadi pemimpin laskar perjuangan. Kalau kerja kalian hanya duduk seperti seorang raja di istana ini, apakah harganya? Lihatlah laskar bertebaran di seluruh penjuru bumi Priangan tanpa pimpinan dan tanpa pengendalian. Sehingga mereka merampok, merusak, memperkosa dan membuat gelisah penduduk. Apakah artinya kalian menjadi dua raja muda laskar yang sudah bejad akal budinya?"

   Gusar bukan main Otong Surawijaya dan Dadang Wiranata, dikatakan sebagai dua raja muda laskar yang sudah bejad akal-budinya.

   Tanpa terlihat gerakannya tahu-tahu mereka telah mencelat dari kursinya.

   Lalu dengan berbareng mereka berdua menggempur kepala Widiana Sasi Kirana.

   "Binatang tak tahu diri!"

   Bentak mereka berbareng pula.

   KILATSIH TERKEJUT SAMPAI berseru tertahan.

   Tetapi tepat pada saat itu, ia melihat berkelebatnya cahaya putih.

   Itulah pedang mustika Widiana Sasi Kirana.

   Ternyata dengan suatu kesehatan luar biasa, dia masih sempat menghunus pedangnya dan terus ditabaskan dalam pembelaan diri.

   Melihat pedang ituOtong Surawijaya dan Dadang Wiranataberteriak kagum.

   "Pedang bagus!"

   Di antara suara membrebetnya lengan baju yang kena tertabas sobek, kedua raja muda itu bergerak lincah bukan kepalang bagaikan bayangan hantu.

   "Bagus! Beginilah caranya dua raja Himpunan Sangkuriang. Tak pernah kusangka, bahwa kalian tebal muka sampai perlu mengerubut seorang lawan,"

   Seru Widiana Sasi Kirana dengan tertawa mengejek.

   Mendengar ejekan Widiana Sasi Kirana, kedua raja muda itu mundur dengan berjumpalitan.

   Sekali mengejapkan matanya, Kilatsih melihat mereka sudah duduk bercokol di atas kursinya.

   Betapa gesit dan cepat gerakannya tak usah dikatakan lagi.

   _ Muka mereka menyeringai.

   Dengan mengenakan topeng, mereka benar-benar mirip raja jin yang bengis luar biasa.

   Kedua raja itu semenjak mudanya terkenal sebagai pendekar yang berangasan.

   Sebenarnya, mereka tidak memandang mata terhadap Widiana Sasi Kirana.

   Hanya oleh dorongan rasa amarahnya, mereka sampai lupa daratan.

   Lantas saja menerjang berbareng sampai seperti saling berjanji.

   Tujuan mereka hendak menghajar mulut pemuda itu yang menusuk kehormatannya.

   Mereka yakindengan sekali bergerak Widiana Sasi Kirana akan dapat dibuatnya membungkam.

   Tak tahunya, mereka menumbuk batu.

   Keruan sajadalam hati mereka malu bukan main.

   Apalagi pemuda itu justru mengejeknya handak main keroyok.

   Memang gerakan Widiana Sasi Kirana sangat cepat.

   Siapa pun tak mengira, bahwa dalam keadaan demikian masih sempat ia menghunus pedang berbareng mengadakan pembelaan.

   Walaupun lengan bajunya terobek oleh cengkeraman kedua raja muda itu, tapi lengan baju mereka pun terobek pula oleh pedangnya.

   Dengan demikian gebrakan pertama tadisama kuat dan sama tangguh.

   Dadang Wiranata lantas menatap wajah Widiana Sasi Kirana.

   Katanya memuji.

   "Bagus ilmu pedangmu sampai bisa menahas lengan bajuku. Mari.... mari kita mencoba- coba!"

   Pengalaman dalam satu gebrakan itu, membuat Raja Muda Dadang Wiranata berkesan lain. Tak berani lagi ia memandang rendah. Bocah itu sudah pantas disebut dewasa. Karena itudia menantang. Widiana Sasi Kirana tersenyum.

   "Sebenarnya bagaimana kehendakmu? Apakah kamu hendak maju berbareng atau satu lawan satu? Atau bergiliran? Bagaimana pula menentukan kalah menangnya? Kukira perlu diatur dahulu."

   Dadang Wiranata gusar sekali.

   "Kami berdua dan kamu berdua. Bukankah sudah seimbang?"

   Dadang Wiranata tidak berani menantang tanding satu lawan satu. Artinya ia agak merasa segan juga terhadap pemuda itu. Akan tetapi Widiana Sasi Kirana berkata.

   "Aku dengan saudaraku ini tiada hubungannya dalam perkara ini. Aku akan melayani kamu berdua."

   "Kau bilang apa?"

   Bentak Dadang Wiranata.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kau menantang kami berdua? Seumpama menang pun tiada harganya. Tidak! Aku sendiri akan melayanimu..."

   Mendadak Kilatsih menimbrung.

   "Kami datang berdua. Karena itu kami berdua akan melayani kalian."

   "Bagus! Bagus!"

   Seru Otong Surawijaya di atas kursinya setengah bersorak.

   "Jika kamu berdua turun ke gelanggangaku pun akan segera menemani pula. Bagus!"

   Otong dan Dadang merupakan dua sejoli raja muda yang bisa bekerja sama seumpa- -ma satu jiwa.

   Selama hidupnyaapabila mereka berdua turun ke gelanggang belum pernah terkalahkan.

   Itulah sebabnya Otong Surawijaya garang bukan main begitu mendengar ucapan Kilatsih.

   Sebaliknya Dadang Wiranata tidak dapat bersabar lagi.

   Ia menganggap pembicaraan itu terlalu bertele-tele dan tiada gunanya.

   "Sudahlah! Jangan omong kosong tiada gunanya. Aku akan melayani engkau seorang diri. Jika saudaramu tidak turun gelanggang, saudaraku pun akan tetap bercokol di atas kursinya. Jelas?"

   Kilatsih hendak membuka mulutnya. Akan tetapi Widiana Sasi Kirana mencegahnya.

   "Sudahlahbiar aku mencoba tenaganya. Sekiranya aku benar-benar tak dapat melawannya, nah barulah engkau membantuku."

   "Apakah tidak terlambat?"

   Kilatsih minta pertimbangan.

   Dadang Wiranata tak memedulikan pembicaraan mereka.

   Dengan sebelah tangannya, ia mengambil senjatanya dari dinding.

   Itulah sebuah penggada yang panjang setengah tongkat.

   Penggada itu terbuat entah dari logam apa.

   Akan tetapi bersinar cerah.

   Begitu dikibaskan, ruang pendapa istana yang terang benderang oleh cahaya lilin berkejap seperti kemasukan kilat.

   Dadang Wiranata sebenarnya jarang menggunakan senjata.

   Ia memiliki ilmu sakti yang disegani lawan.

   Itulah Aji Gineng yang dahulu pernah merobohkan pendekar Suryakusumah dengan sekali pukul.1) Tapi kali ini ia merubah adatnya.

   Itulah disebabkan pengalamannya dalam sege- ') Baca .

   Bende Mataram

   Jilid XU1. brakan tadi. Kemudian dengan langkah yakin memasuki gelanggang.

   "Mari!"

   Tantangnya.

   "Kalau aku menang, maka kuda dan permatamu akan menjadi milikku."

   "Kalau aku yang menang bagaimana?"

   Tanya Widiana Sasi Kirana.

   "Kalau kau menang, istana ini dengan semua perabotannya akan menjadi milikmu,"

   Jawab Dadang Wiranata dengan tegas.

   Istana di belakang bukit adalah tempat penyimpan harta benda kedua raja muda itu.

   Di antaranya terdapat suatu benda yang harganya melebihi sebuah kota2).

   Karena itu pertaruhan tersebut sudah pantas sekali.

   Akan tetapi Widiana Sasi Kirana berpendapat lain.

   Dengan tertawa ia menyahut.

   "Siapakah kesudian menjadi majikan dari istana hantu ini?"

   "Lantasapa kehendakmu?"

   Dadang Wiranata tercengang.

   "Kau harus mengobati kudaku sampai sembuh benar."

   "Ah, itulah perkara gampang,"

   Sahut Dadang Wiranata. 2) Beberapa buah di antaranya pernah dipersembahkan kepada Sangaji. Lihat Bende Mataram

   Jilid XII hal. 41. Raja muda ini berganti tertawa bergelak.

   "Aku seorang raja muda. Selain itu biasa menjadi pedagang. Seorang pedagang harus menghargai mulut. Dengarkanaku sama sekali tidak menginginkan harta bendamu. Sebab di antara harta benda kita sukar ditaksir berapa nilainya. Marisekarang maju!"

   Widiana Sasi Kirana lantas merapikan letak pakaiannya. Ia menanggalkan baju luarnya yang tadi kena robek tangan kedua raja muda itu.

   "Dengan berpakaian begini, aku mirip seorang pengemis,"

   Katanya sambil merobek lengan bajunya.

   Sekarang ia nampak berpakaian singsat.

   Baju yang dikenakan berwarna putih dengan bersulam sebatang pedang melintang sarungnya.

   Di atas sudut garis lintang nampak bunga Kamboja sedang mekar.

   Kena pantulan cahaya lilin, alangkah indahnya serta meresapkan.

   Kilatsih heran melihat lukisan sulamannya.

   Pikirnya di dalam hati.

   "Inilah pedang Sangga Buana milik kakak Titisari. Bagaimana bisa tersulam pada bajunya? Apakah... apakah..."

   Tak sempat lagi gadis itu menebak-nebak. Sebab pada saat itu pertandingan sudah dimulai.

   "Mari!"

   Tantang Widiana Sasi Kirana. la memanggut memberi hormat dan berkata lagi.

   "Kau sajalah yang mulai!"

   Puas hati Dadang Wiranata menyaksikan tata-santun pemuda itu.

   Kesannya baik baginya.

   Lantaran itu, ia bersenyum.

   Walaupun demikian, tiba-tiba ia melompat dan menerjang tanpa segan-segan lagi.

   Serangannya mengarah kepada muka.

   Sambaran tongkatnya memadamkan sebagian lilin-lilin yang menyala tegak panjang.

   Widiana Sasi Kirana sama sekali tak kaget menghadapi serangan yang datangnya dengan tiba-tiba itu.

   Gesit ia mengangkat pedangnya dan menangkis.

   Kedua senjata mustika itu lantas berbenturan suaranya nyaring bening memekakkan telinga.

   Sinar pedang bergemerlap menyilaukan mata.

   Kilatsih terperanjat melihat bentroknya kedua senjata tersebut, hingga hatinya tergetar.

   Pikirnya.

   "Tak pernah kusangka tongkat Raja Muda Dadang Wiranataadalah tongkat mustika.

   Sinarnya hijau kemilau.

   Terbikin dari bahan apa, tongkat itu?"

   Setelah bentrokkedua senjata mustika itusaling menempel.

   Biasanya apabila kedua senjata bentrok, masing-masing akan berusaha menarik senjatanya secepat mungkin untuk mempersiapkan serangan balasan selanjutnya.

   Akan tetapi mereka tidak berbuat demikian.

   Masing-masing justru menekankan senjatanya.

   Mereka berdiri tegak bagaikan patung dengan mengerahkan seluruh tenaganya.

   Tak mengherankan dalam sekejap mata saja dahi mereka berkeringat.

   Menyaksikan adu tenaga dan keuletan itu, hati Kilatsih sibuk sendiri.

   Pikirnya di dalam hati.

   "Belum-belum mereka sudah mengadu tenaga sakti. Apakah mereka tidak bakal terluka?"

   Tak lama kemudian terdengarlah teriakan Dadang Wiranata. Raja muda itu mencelat mundur. Terdengarlah lagi suara bentrokan senjata. Tapi kali in, Widiana Sasi Kirana tak sudi kena tempel. Ia melesat mundur sambil mengeluh.

   "Celaka!"

   Terkejut Kilatsih mendengar keluhan Widiana Sasi Kirana. Hampir saja ia menghunus pedangnya. Tapi selagi tangannya meraba hulu pedangnya, terdengarlah suara tertawa Widiana Sasi Kirana. Kata pemuda itu.

   "Tak apa..... tak apa..... Ahkiranya engkau seekor keledai goblok! Sekian lamanya, pedangku terkait tongkatmu akan tetapi kau tak bisa berbuat suatu apa pununtuk memukul aku. Terang sekali, kau tak sanggup memukul bocah ingusan. Ah, namamukosong melompong. Benar-benar tak pernah kusangka sebelumnya. Hahaha... Hahaha... Hahaha....". Suara tertawa Widiana Sasi Kirana belum habis tahu- tahu Dadang Wiranata sudah menyerang dahsyat. Dalam murkanya, raja muda itu berseru nyaring.

   "Binatang! Benar-benar kau tak mengenal terima kasih!"

   Tongkatnya berkelebat.

   Tahu-tahu sudah menyambar dahi Widiana Sasi Kirana dengan sinarnya yang hijau kemilau.

   Hebat serangan itu.

   Apalagi Dadang Wiranata sedang murka.

   Kilatsih kala itu nyaring tertawa pula begitu mendengar ejekan Widiana Sasi Kirana.

   Mendadak gerakan mulutnya terhenti di tengah jalan.

   Sebaliknya ia menjerit kaget.

   Itulah disebabkan, ia melihat serangan Dadang Wiranata yang hebat luar biasa.

   SebaliknyaWidiana Sasi Kiranatenang-tenang saja.

   la malahan tertawa gelak lagi.

   Katanya di antara tertawanya.

   "Eh, kau benar-benar tolol! Nah, lihatlah aku akan mengemplang kepala keledaimu!"

   Widiana Sasi Kirana hendak membuktikan ucapannya.

   Dengan sebat ia mengelak ke samping satu langkah.

   Pedangnya lantas berkelebat mengadakan serangan balasan.

   Bidikannya mengarah lengan Dadang Wiranata.

   Dadang Wiranata tajam penglihatannya, la dapat menebak maksud lawannya.

   Cepat ia menarik tongkatnya untuk menghadapi serangan yang tak terduga.

   Melihat gerakan itu, diam-diam Widiana Sasi Kirana memuji di dalam hati.

   Semenjak tadipemuda itu sadarbahwa lawannya seorang raja muda yang berilmu sangat tinggi.

   Karena itu ia sengaja menggunakan ketajaman lidahnya.

   Dengan sepintas lihat, tahulah dia bahwa kelemahan kedua lawannya terletak pada sifat berangasannya.

   Dan ia berhasil membakar hati lawannya.

   Karena menuruti hati panas, Dadang Wiranata hanya mengumbar rasa mendongkolnya saja.

   Benar serangannya dahsyatakan tetapi tanpa tujuan yang tertentu.

   Dengan kalap, ia menyerang dan menyerang.

   Itulah suatu pantangan besar.

   Dengan demikian, ia sudah kena jebak kecerdikan lawannya yang muda belia.

   Satu kali, Widiana Sasi Kirana berhasil menabas lengannya.

   Pemuda itu kaget, lantaran pedangnya terpeleset.

   Benarkah di dunia ini ada suatu ilmu kebal yang tidak mempan kena tebasan pedang mustika? Itulah pengalamannya untuk yang pertama kali bahwasanya di dunia inimemang ada ilmu kebal yang tidak mempan tajamnya senjata.

   Sebaliknyatebasan itumembuat hati Dadang Wiranata kian menjadi panas.

   Walaupun lengannya tak sampai terkutung, akan tetapi tebasan senjata itu sendiri menyakitkan urat-uratnya.

   Lantas saja ia membentak.

   "Binatang! Kalau begitu aku terpaksa mengambil jiwamu!"

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan serta merta Dadang Wiranata melancarkan serangan balasan.

   Akan tetapi Widiana Sasi Kirana tak gentar.

   Dengan berani ia menangkis setiap serangan berbareng membalas menyerang.

   Beberapa kali Dadang Wiranata gagal dalam serangannya.

   Akan tetapi dia seorang raja muda andalan Sangaji.

   Semenjak zaman mudanya, ia sakti dan merupakan seorang bangsat yang tangguh.

   Baik kawan maupun lawan segan kepadanya.

   Pengalamannya dalam suatu pertarungan tidak terhitung lagi jumlahnya.

   Itulah sebabnya setelah beberapa kali gagalia merubah cara menyerangnya.

   Sekarang ia berkelit sebelum melancarkan serangan.

   Kemudian dengan berjumpalitan ia melesat maju untuk memundurkan lawan.

   Begitu kakinya tiba di atas lantai, mendadak ia roboh.

   Tetapi dengan tiba-tiba ia menyo- dokkan tongkatnya.

   Itulah suatu serangan kilat yang sebat dan aneh luar biasa.

   Untunglah Widiana Sasi Kirana seorang pemuda cerdik dan tajam penglihatannya.

   Kecuali itu, gerak geriknya sangat lincah dan gesit.

   Diserang dengan cara demikian, dia tak mati langkah.

   Sebat ia mengelak atau berkelit.

   Lalu dengan tiba-tiba pula ia membalas menyerang.

   Kilatsih telah menyaksikan suatu pertarungan yang dahsyat.

   Kedua belah pihak tidak sudi mengalah.

   Bedanya hanya pada cara mereka berkelahi.

   Dadang Wiranata ganas, garang dan bertenaga besar.

   Sebaliknya Widiana Sasi Kirana tenang dan lincah.

   Pemuda itu, kini tak terdengar suara tertawanya.

   Bahkan senyumnya lenyap dari wajahnya.

   Ia nampak bersungguh-sungguh.

   Sinar pedangnya yang bercahaya putih berkeredepan di antara gulungan sinar hijau tongkat mustika Dadang Wiranata.

   Ilmu andalan Dadang Wiranata bernama Aji Gineng.

   Konon khabarnyailmu sakti berasal dari Dewa Kalalodra yang diberikan kepada raja raksasa Niwatakawaca.

   Letak kekuatannya kepada pukulan telapak tangan.

   Sewaktu mudanyadengan berbekal ilmu sakti Aji Gineng Dadang Wiranata menjagoi bumi Priangan.

   Itulah sebabnya ia bisa menanjak terus.

   Akhirnya bisa menduduki kedudukan Raja Muda Himpunan Sangkuriang pimpinan Ratu Bagus Boang.

   Sesudah bertahun-tahun berlatih, ia mengalihkan kesaktian pukulan Aji Gineng pada pukulan-pukulan tongkatnya.

   Selamanya belum pernah seorang musuh dapat mempertahankan diri dalam tujuh gebrakan saja.

   Akan tetapikali iniia sudah melampaui seratus jurus lebih.

   Tetap saja, ia belum dapat menjatuhkan Widiana Sasi Kirana.

   Diam-diam ia menyenak napas dingin.

   Otong Surawijaya yang bercokol di atas kursi mengetahui, bahwa rekannya runtuh semangat.

   Akan tetapi karena sudah terikat suatu perjanjian, tak dapat ia lantas ikut menyerbu ke dalam gelanggang.

   Itulah sebabnya, ia hanya dapat menonton dari luar gelanggang belaka.

   Selagi pertempuran berjalan sangat serunya, terdengarlah tengger ayam di kejauhan.

   Lalu burung- burung terdengar berkicau pula.

   Itulah suatu tanda, bahwa fajar mulai memasuki pagi hari.

   Mendengar tengger ayam dan kicau burung, hati Dadang Wiranata menjadi tegang sendiri.

   Sekian lamanya ia berusaha merobohkan lawannya yang masih muda beliatetap saja tak berhasil.

   Lantaran penasarannya, ia hanya dapat menyerang lebih dahsyat lagisehingga pertarungan makin menjadi sengit.

   Widiana Sasi Kirana melayani serangan Dadang Wiranata yang dahsyat, dengan tenang.

   Tak sudi ia membiarkan dirinya menjadi kalap.

   Walaupun demikian, terus menerus ia meningkatkan kewaspadaannya.

   Sedikit pun tak berani ia berlengan.

   Gerakannya tetap sebat.

   la menangkis dan mengelak dengan teratur.

   Dan membalas menyerang pada saat-saat tertentu.

   Kilatsih mengikuti pertarungan itu dengan hati tertarik.

   Semenjak kanak-kanak ia belajar ilmu berkelahi.

   Mula- mula memperoleh pengertian dari ayah angkatnya Sorohpati.

   Kemudian berada di bawah asuhan Adipati Surengpati.

   Enam atau tujuh tahun ia menekuni ilmu sakti Witaradya.

   Di samping itu, ia memperoleh warisan ilmu menimpuk, ilmu petak dan ilmu pukulan sakti dari Titisari dan Sangaji.

   Dari Sirtupelaheli ia pun memperoleh sepercik kepandaiannya.

   Itulah perkara ilmu menyamar dan ramuan racun.

   Berkat didikan Adipati Surengpati yang berpengetahuan luas, ia mengenal berbagai ragam ilmu pedang.

   Dengan berbekal ilmu pedang Witaradya, ia sudah merasa diri menjadi seorang ahli pedang.

   Akan tetapi setelah menyaksikan ilmu pedang Widiana Sasi Kiranaia jadi heran.

   Sekian lamanya ia mengamat- amati ragam ilmu pedangnya, tetap saja ia tak dapat menebak asal usulnya.

   Memang kadang-kadang ia merasakan suatu kemiripan atau suatu kesamaan akan tetapi tiba-tiba lenyap tak keruan.

   Tegasnyakadang ia melihat suatu kesamaankadang berbeda.

   Seolah-olah, pernah ia melihat.

   Akan tetapi dimana dan kapan, tak dapat ia menjawab.

   Itulah sebabnya, ia jadi heran dan berbimbang-bimbang sendiri.

   "Ah! Pastilah ada hubungannya antara ilmu pedangnya dan ilmu pedangku,"

   Katanya yakin di dalam hati. Tiba- tiba suatu ingatan menusuk benaknya.

   "Nanti dulu, apakah ..... apakah bukan sehubungan dengan ilmu sakti ayunda Titisari? Ah ya! Jangan-jangan ada hubungannya dengan ilmu sakti Tunggulmanik."

   La lantas sibuk sendiri.

   Ia mengawasi dengan seksama lagi.

   Tiba-tiba kabur seakan-akan bayangan yang bergerak karena dengan tak disadarinya tenggelam dan menjangkau pada masa-masa lampau.

   Teringatlah dia akan kata-kata Titisari tatkala hendak menurunkan hafalan ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik kepadanya.

   Kata Titisari waktu itu.

   "Aku sendiri belum paham ilmu sakti ini. Kalau aku hafal, hanyalah mengenai kulitnya belaka. Untuk bisa menggunakan secara sempurna, engkau harus memiliki tenaga sakti yang dahsyat seperti kakakmu Sangaji. Itulah sebabnyadalam dunia ini hanya kakakmu seorang yang bisa melakukan rahasia ilmu sakti Kyai Tunggulmanik. Kau mengerti, apa sebab aku menyebut ilmu sakti ini dengan keris Kyai Tunggulmanik?"

   Kilatsih menggelengkan kepalanya. Titisari lalu menerangkan.

   "Karena ilmu sakti ini diperoleh kakakmu dari ukiran- ukiran3) yang terdapat pada sebatang keris bernama Kyai Tunggulmanik. Itulah salah satu benda warisan orang sakti pada zaman purba. Menurut khabarada tiga benda warisan. Yang pertama. Bende Mataram. Yang kedua. keris Kyai Tunggulmanik. Dan yang ketiga. Jala Karawelang. Bende Mataram dan Kyai Tunggulmanik berada di tangan kakakmu, walaupun inti rahasianya belum kita ketahui. Sebaliknya Jala Karawelang menurut cerita kuno babad Rengganisjatuh di Jawa Barat. Yang mewarisi mula-mula seorang Adipati wilayah Cianjur. Namanya Arya Wira Tanu Datar. Karena itu, ilmu sakti Jala Karawelang disebut pula ilmu sakti warisan Arya Wira Tanu Datar.4) Ilmu sakti Jala Karawelang itu dialihkan menjadi dua buah kitab. Kitab bagian atas dan kitab bagian bawah. Yang menyimpan seorang pendekar sakti bernama Arya Pancapana. Dialah adik Ki Tapa, murid guru besar Darmaraja. Dia sendiri tidak mewarisi. Kedua kitab itu disimpannya pada suatu tempat yang sangat dirahasiakan. Konon diberitakan, 3) baca . pamor 4) baca . Bunga Ceplok Ungu dari Banten bahwa suami isteri Harya CIdaya dan Ratu Naganingrum mewarisi separohnya dengan mengakali Arya Pancapana. Kalau tidak salah, bagian atas. Sedangkan yang bagian bawah lenyap tak keruan. Di kemudian hari Ratu Bagus Boanglah yang mewarisi dengan sempurna. Tetapi ilmu sakti tersebut hilang dibawa ke liang kubur. Sampai sekarang, tiada seorang pun yang mengetahui coraknya secara keseluruhannya. Yang diketahui hanya kutipan-kutipannya, seperti ilmu sakti Jala Sutra yang sangat dahsyat milik anggota Himpunan Sangkuriang."

   "Apakah ayunda tak pernah melihatnya pula?"

   Sela Kilatsih.

   "Tidak,"

   Jawab Titisari.

   "Berbagai ragam ilmu pedang di persada bumi ini, kuketahui dan kukenal dengan baik. Hanya satu itu yang belum sama sekali."

   Heran Kilatsih mendengar jawaban Titisari.

   la sangat mengagumi kecerdasan Titisari dan luasnya pengetahuannya.

   Memang corak ragam ilmu pedang, sangat besar jumlahnya.

   Akan tetapi berkat otak yang cemerlang, Titisari dapat menerangkan dengan sekali pandang saja.

   Sebaliknya terhadap ilmu pedang Jala Karawelang Titisari mengakui dengan tegas bahwasanya ia sama sekali belum pernah melihatnya.

   Itulah sebabnya, diam-diam Kilatsih terkejut.

   Sebab apabila Titisari tak dapat menerangkan, akan besar bahayanya di kemudian harimanakala pada suatu saat mendadak bertemu dengan ilmu pedang yang sama sekali masih asing.

   Syukur, apabila pemiliknya adalah kawan.

   Tetapi apabila yang memiliki kebetulan musuh, akan menyusahkan benar.

   "Apakah gurutak dapat menjelaskan?"

   Kilatsih mencoba. Yang disebutnya guru adalah Adipati Surengpati.

   "Ayah pun tidak,"

   Jawab Titisari.

   "Ayah mempunyai kebanggaan sendiri terhadap ilmu pedang Witaradya. Walaupun Ayah luas pengetahuannya, akan tetapi mengenai ilmu pedang Jala Karawelang yang hilang ditelan sejarahpastilah belum mengetahui. Tetapi aku sendirimempunyai prasangka mengenai ilmu pedang tersebut. Kukiraada hubungannya dengan ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik."

   Kilatsih ternganga-nganga mendengar keterangan Titisari.

   "Bagaimana Ayunda bisa menduga demikian?"

   "Sebab yang disebut Dewi Rengganis itu menurut ceritera babad5)adalah puteri bungsu Ratu Purana Negeri Pejajaran yang hidup di Majapahit. Dialah yang disebut Dyah Mustika Perwita. Karena pergaulannya dengan Pangeran Jayakusuma, kukira dialah yang mengetahui jelas tentang semua rahasia ilmu sakti yang terdapat dalam gua Kapakisan6) Setelah berkata demikian, Titisari mengisahkan sejarah asal-usul tiga benda warisan sakti Pangeran Semono. Kemudian riwayat hubungannya antara Pangeran Jayakusuma dan Dyah Mustika Perwita.7) Selagi Kilatsih tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba ia tersentak kaget oleh suara tawa Widiana Sasi Kirana dan bentakan dahsyat Dadang Wiranata. Dengan pandang nanar ia mengawaskan kedua orang itu yang sedang bertempur seru. Sesudah mengawaskan beberapa waktu lamanya, tahulah dia apa sebab Widiana Sasi Kirana dan Dadang Wiranata membentak-bentak. Ternyata mereka berdua tengah meng-nadapi saat-saat yang berbahaya. babad . setengah sejarah setengah dongeng f baca . Patih Lawa ljo T) Semuanya terdapat dalam "Patih Lawa ljo"

   Dadang Wiranata telah menyerang dengan dahsyat.

   Tongkatnya menyambar dengan melintang.

   Tetapi serangannya gagal.

   Sebaliknya, ia malahan kena ditikam Widiana sasdi Kirana pada iganya.

   Itulah sebabnya, Widiana Sasi Kirana tertawa.

   Dan Dadang Wiranata tak berani lagi menyerang dengan sembrono.

   Melihat gerakan-gerakan pedang Widiana Sasi Kirana, tiba-tiba Kilatsih seperti tersadar.

   Serunya di dalam hati.

   "Bukankah ilmu pedang Widiana Sasi Kirana inilah yang belum pernah dilihat Ayunda Titisari! Tetapi bagaimana dia bisa mewarisi ilmu pedang Jala Karawelang? Siapakah gurunya? Pastilah gurunya mengasuh semenjak kanak-kanak. Sebab tak mungkin dia bisa memainkan ilmu pedangnya begitu sempurna, apabila tidak berlatih belasan tahun lamanya."

   Kilatsih terbenam dalam suatu keraguan lagi.

   Teringatlah dia, bahwa yang memiliki ilmu pedang Jala Karawelang dengan sempurna adalah Ratu Bagus Boang.

   Tetapi Ratu Bagus Boang hidup pada tahun 1750.

   Kemudian hilang tiada khabarnya.

   Taruh kata dia masih hidup sampai tahun 1780, maka Widiana Sasi Kirana belajar ilmu pedang semenjak empatpuluh tahun yang lalu.

   Sedangkan pemuda itu, usianya baru duapuluh tiga tahunan.

   Tengah ia menebak-nebak, terdengarlah seruan Dadang Wiranata dan suara Widiana Sasi Kirana.

   Karena itu, kembali ia memperhatikan gerak-gerik mereka.

   Sekarang terjadilah suatu perubahan.

   Dadang Wiranata tidak lagi bergerak dengan lincah dan dahsyat seperti tadi.

   Sebaliknya ia nampak seakan-akan ayal-ayalan.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Gerakannya seperti lagi menarik suatu benda yang berat sekali.

   Tongkat mustika bergerak ke kiri dan ke kanan dengan lambat.

   Beratnya seperti bertambah seratus kilogramsehingga ia perlu menggunakan tenaga besar.

   Widiana Sasi Kirana melintangkan pedangnya di depan dada dengan pandang tenang dan sungguh-sungguh.

   Teranglah, bahwa ia lagi mengerahkan seluruh semangat tempurnya untuk mengikuti gerakan tongkat lawan.

   Beberapa saat lamanya, mereka berdua masih saling menyerang.

   Tetapi serangan mereka kali ini, sama ayalnya.

   Keadaan mereka seolah-olah lagi menyeberangi hujan badai yang kemudian sirap dengan tiba-tiba.

   Jalan yang mereka ambah penuh Lumpur sedalam lutut.

   Kilatsih tahu, bahwa justru mereka berdua lagi mengadu kepandaiannya masing-masing.

   Setiap serangan menggenggam ancaman maut.

   Ilmu pedang Widiana Sasi Kirana sangat hebat.

   Anehnya, tak dapat menembus daerah pembelaan tongkat Dadang Wiranata.

   Kilatsaih jadi berpikir.

   Apa sebabnya? Apakah Widiana Sasi Kirana kalah dalam hal tenaga sakti? Atau ilmu pedangnya belum sempurna? Kalau belum sempurna artinya, dia hanya mewarisi sebagian ilmu pedang Jala Karawelang.

   Sayangtak dapat gadis itu mengambil suatu kesimpulan, karena belum pernah melihat Imu pedang Jala Karawelang.

   Yang diketahui kini ialahbahwasanya Widiana Sasi Kirana memang kalah dalam hal tenaga sakti.

   Gerakan pedangnya, hanya untuk melindungi diri semata.

   Tatkala itu matahari sudah sepenggalah tingginya.

   Cahayanya, mulai menembus rimbun hutan dan memasuki ruang pendapa lewat pintu depan yang kena gempur Widiana Sasi Kirana.

   Karena pintu belum sempat ditutup, maka pantulan cahaya itu sangat mengganggu.

   Apalagi Widiana Sasi Kirana justru menghadap arah pintu.

   Dadang Wiranata menggunakan kesempatan yang bagus itu.

   Terus saja ia mendesak.

   Tiap serangannya menerbitkan angin dahsyat.

   Sebaliknya cahaya pedang Widiana Sasi Kirana makin lama makin ciut perputarannya.

   Akhirnya hanya berputaran di atas kepalanya saja.

   Dan pada saat itu, mendadak sambil berteriak kerasDadang Wiranatamenurunkan serangan dahsyat.

   Tongkat menetak kepala pemuda itu.

   Kilatsih kaget, la menjerit.

   "Celaka!"

   Tanpa berpikir panjang lagi, ia melepaskan tiga biji sawonya. Justru pada saat itu, Widiana Sasi Kirana berseru.

   "Adik! Cepat lariiii!"

   Ketiga biji sawo menyambar sangat cepat.

   Akan tetapi kesudahannyatiada gunanya.

   Ketiga-tiganya terpental jatuh kena benturan tongkat dan pedang yang sedang bergumul.

   Tepat pada saat itu, terdengarlah suara tawa Otong Surawijayayang selama itu tetap bercokol di atas kursinya.

   Tahu-tahu raja muda itu telah melesat bagaikan terbang menyambar Kilatsih.

   Kedua tangannya yang panjang mencengkeram kepala.

   Kilatsih menangkis serangan itu.

   la merasakan pinggangnya menjadi kaku.

   Itulah sebabnya, segera ia melesat mundur lima langkah lebih.

   Dengan napas lega ia melintangkan pedangnya sambil memasang matanya.

   Cepat luar biasaOtong Surawijaya menyambar sebatang tongkat pendek berwarna putih kemilaui Dengan tongkat itu, ia mengulangi serangannya.

   Kedua orang itu lantas saja bertempur dengan sengit.

   Otong Surawijaya sama sekali tak mengira, bahwa senjata Kilatsih adalah pedang mustika, la baru terkejut, tatkala ujung pedang Kilatsih dapat memecahkan baju luarnya dan terus melukai pundaknya.

   Hal itu terjadi, berkat kegesitan Kilatsih yang memiliki tubuh sangat enteng.

   Walaupun demikian, gadis itu pun tak dapat bebas dari serangan tongkat Otong Surawijaya.

   Pantatnya kena tersapu miring.

   Syukur kedua-duanya memang termasuk golongan pendekar kelas utama maka luka itu tidaklah berarti.

   Dengan demikian, pertempuran terjadi lagi.

   Tongkat mustika Otong Surawijaya bernama Limpung Anggara dan tongkat Dadang Wiranata, Limpung Trisula.

   Kedua-duanya merupakan tongakt mustika yang jarang terdapat di dunia.

   Kedua-duanya pun memiliki ilmu sakti yang hebat.

   Tenaganya luar biasa besarnya.

   Dibandingkan dengan tenaga sakti Otong Surawijaya, Kilatsih masih kalah jauh.

   Akan tetapi di bidang lain, Kilatsih memiliki keunggulan.

   Yaitu, kegesitan tubuhnya, la pun cerdik pula.

   Sadar bahwa lawannya bertenaga dahsyat, tak sudi ia mengadu senjata.

   Setiap serangan Otong Surawijaya, dielakkan dengan kegesitannya.

   Otong Surawijaya adalah seorang raja muda yang jahil mulut dan berangasan.

   Setelah beberapa serangannya dapat dielakkan Kilatsih, ia jadi penasaran.

   Terus saja ia mendesak dan mengurung.

   Ukuran tongkatnya lebih panjang pula dari pada lengan Kilatsih.

   Itulah sebabnya, maka jangkauan serangannya menjadi dua kali lipat panjang lengan Kiltasih yang berpedang pendek.

   Dengan mengandalkan kegesitannya, Kilatsih mengelakmelesatdan berbelit.

   Akan tetapi lambat laun, ia merasa kuwalah-an juga.

   Hal itu segera diketahui Widiana Sasi Kirana.

   Gerakan pedang Widiana Sasi Kirana yang makin lama makin ciut tadi, merupakan daya pertahanan yang sebenarnya hebat luar biasa.

   Itulah suatu cara untuk -ung serangan dahsyat Dadang Wiranata.

   Dengan demikian, tongkat Dadang Wiranata tak dapat menembus.

   Tetapi Kilatsih salah duga.

   Ia mengira, Widiana Sasi Kirana dalam bahaya.

   Itulah sebabnya, ia menyerang dengan tiga biji sawonya.

   Widiana Sasi Kirana lantas saja mengeluh.

   Menghadapi Dadang Wiranata, ia memang kalah dalam hal tenaga dahsyat.

   Cara perlawanan dan pembelaannyahanya mengandalkan ilmu pedangnya yang hebat tak terkatakan.

   la yakin walaupun diserang terus menerus dalam tiga hari tiga malam masih dapat ia bertahan.

   Yang disangsikan adalah tenaga keuletannya sendiri.

   Dapatkah ia bertahan sampai tiga hari tiga malam lagi? Barangkali menjelang malam nanti, belum tentu.

   Itulah sebabnya, ia berseru kepada Kilatsih agar melarikan diri.

   Setelah Kilatsih lari, dia sendiri akan berusaha untuk menyusul.

   Sekarang Kilatsih sudah terlibat dalam suatu pertempuran.

   Ia tahudalam hal tenaga saktiKilatsih masih kalah jauh daripada Otong Surawijaya.

   Karena itu ia tadi mengikat perjanjian agar Otong Surawijaya jangan melibat Kilatsih.

   Segalanya kini berubah.

   Kilatsih kena desak.

   Dan ia jadi gelisah.

   Padahal tenaga tekanan Dadang Wiranata tak pernah berkurang.

   "Ah, adikku.....,"

   Keluhnya di dalam hati. Tiba-tiba suatu pertimbangan lain menusuk benaknya.

   "Dia menimpukkan senjata bidiknya, karena memikirkan keselamatanku. Dengan demikian, ia kini jadi terlibat. Pastilah dia tahu akan akibat sambitannya tadi. Inilah semua dilakukan demi aku karena dia mengira aku berada dalam bencana. Karena itumasakan aku memikirkan keselamatanku sendiri dengan membiarkan dia terancam bahaya?"

   Tadinya dia bermaksud bertahan, karena merasa kalah tenaga.

   Tapi setelah memperoleh pikiran demikian, tiba- tiba ia menjadi ganas.

   Pedangnya lantas menikam dengan dahsyat.

   Sambil membentak-bentak ia mendesak.

   Kalau tadi ia kena desak kini dialah yang berganti mendesak dan mengurung.

   Dadang Wiranata tahu maksudnya.

   Raja muda itu lantas tertawa terbahak-bahak.

   Bentaknya dahsyat.

   "Haibinatang! Kamu berdua hendak bekerja sama atau bermaksud hendak kabur? Jangan mimpi!"

   Dadang Wiranata kenyang dengan pengalaman.

   Kena didesak Widiana Sasi Kirana.

   lantas saja bisa menebak.

   Pastilah Widiana Sasi Kirana bermaksud hendak membebaskan diri dari libatannya untuk bergabung dengan Kilatsih.

   Hal itu, malahan kebetulan.

   Artinya mempercepat saat robohnya.

   Sebab semenjak belasan tahun yang lalu, Otong dan Dadang sudah berlatih bersama seumpama satu jiwa.

   Kalau mereka berdua maju berbareng, kerjasamanya rapih bukan main.

   Baik serangan maupun pembelaannya rapat dan berbahaya.

   Widiana Sasi Kirana tidak menghiraukan ejekan Dadang.

   Lagi-lagi ia mendesak Dadang Wiranata menangkis sambil tertawa besar, la percaya, bahwa pula Otong Surawijaya berada di atas angin.

   Pada saat Widiana Sasi Kirana bergelisah, sekonyong-konyong terdengarlah seruan Kilatsih bernada girang.

   Tatkala mula-mula maju menangkis serangan Otong Surawijaya, Kilatsih menggunakan ilmu pedang Witaradya yang gesit dan cepat, la berhasil mengelakkan serangan Otong Surawijaya berkat kegesitannya.

   Kemudian ia melihat Widiana Sasi Kirana bergerak mendesak Dadang Wiranata.

   Dengan serta-merta timbullah niatnya hendak mencoba menimpali serangan Widiana Sasi Kirana dengan jurus sakti keris Kyai Tunggulmanik yang pernah diajarkan kulitnya oleh Titisari dan selamanya belum pernah dipergunakan.

   Di .luar dugaannya sendiri, mendadak saja ujung pedangnya berhasil menikam kedua kaki Otong Surawijaya dua kali berturut-turut, walaupun tikamannya tidak sampai merobohkan.

   Kejadian itu, membuat ia berseru gembira lantaran rasa syukur dan heran.

   Dadang Wiranata mendengar pula seruan girang itu.

   Melihat Otong kena tikaman dua kali, ia menggerung.

   Tongkatnya lantas berkelebat menerjang Widiana Sasi Kirana.

   Akan tetapi pemuda itu dapat menangkisnya sampai tongkatnya terpental ke samping.

   Inilah suatu kejadian yang aneh dan baru untuk pertama kali itu terjadi.

   Hatinya terkejut.

   Dalam pada itu setelah memperoleh hasil di luar dugaan mereka sendiri, Widiana Sasi Kirana dan Kilatsih lantas segera bekerja sama dengan rapih seperti saling berjanji.

   Widiana Sasi Kirana menggunakan tipu-tipu ilmu pedangnya.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kilatsih menimpali dengan jurus ilmu sakti Tunggulmanik yang telah digubah menjadi ilmu pedang oleh Titisari.

   _-_--r ' .e- =k Dadang Wiranata.

   "Ang-gpn 7rs - e "-e- eDas bumi!"

   Hiah kata-kata sandi.

   Maksudnya susun-a~ penggabungan ilmu tongkat Anggara dan Trisula dengan secepatnya.

   Mendengar teriakan Dadang Wiranata, Otong Surawijaya cepat-cepat menahan rasa nyerinya.

   Dengan gerakannya yang gesit ia mengambil kedudukan empat mata angin.

   Sedang Dadang Wiranata berada pada empat mata angin lainnya.

   Ilmu gabungan mereka sangat disegani lawan dan kawan.

   Pada zaman Ratu Fatimah memerintah Kerajaan Banten, ilmu gabungan mereka tiada seorang pun yang dapat memecahkan.

   Seseorang apabila kena terkurung, tidak bakal bisa lolos.

   Tak peduli ia memiliki.kepandaian tinggi sekalipun.

   Hal itu disebabkan oleh kerjasamanya yang rapi dan rapat.

   Mereka sudah berlatih puluhan tahun yang lalu.

   Hati dan firasatnya seperti pengucapan satu jiwa.

   Otong Surawijaya yang menahan rasa nyeri, berdendam terhadap Kilatsih.

   Serangan balasannya bagaikan badai menampar gundukan tanah.

   Dahsyat, gesit dan bengis.

   Gerakannya yang dahsyat diikuti oleh gerakan Dadang Wiranata yang bertenaga penuh pula.

   Dapat dibayangkan betapa hebat dan menakutkan.

   Keempat saudagar yang berada di luar gelanggang dan semenjak semalam mengikuti adu kepandaian itu terpaku keheranan.

   Mata mereka seperti kabur.

   Beberapa kali mereka mengucak-ucak matanya agar memperoleh penglihatan yang lebih tegas lagi untuk bisa mengikuti jalannya pertarungan.

   Pada saat itu Dadang Wiranata yang tiba-tiba beralih di bidang gerak Kilatsih, menyo-dokkan tongkatnya ke arah tenggorokan Kilatsih.

   Hebat perbawanya.

   Akan tetapi, sebenarnya ia lagi melakukan tipu muslihat.

   Nampaknya ia membidik Kilatsih.

   Sebenarnya yang diarah Widiana Sasi Kirana.

   Kilatsih tak sudi membiarkan dirinya kena terjebak tipu meslihat lawan.

   Tetapi ia memainkan jurus-jurus ilmu pedang Tunggulmanik.

   Tahu-tahu pedangnya memotong gerakan tongkat Dadang Wiranata yang meluncur mengarah Widiana Sasi Kirana.

   Kemudian ia membalas.

   Cepat Dadang Wiranata menarik serangannya.

   Ia selamat dari suatu tikaman, berkat pengalamannya.

   Di pihak lain Otong Surawijaya berhasil menghajar Widiana Sasi Kirana dengan pukulan tongkatnya yang keras luar biasa.

   Terpaksalah Widiana Sasi Kirana mengadu kekerasan melawan kekerasan.

   Kedua-duanya kaget.

   Berbareng dengan suara nyaring, tiba-tiba pedang Widiana Sasi Kirana terpental kesamping dan terus menikam Dadang Wiranata.

   Inilah suatu serangan di luar dugaan.

   Dadang Wiranata terperanjat.

   Terpaksa ia meninggalkan perhatiannya kepada Kilatsih dan buru-buru menangkis pedang Widiana Sasi Kirana yang meluncur hendak men- cubles lehernya.

   Gerakan Dadang Wiranata memang sebat luar biasa.

   Dalam keadaan terkejut, masih bisa ia menangkis pedang Widiana Sasi Kirana berbareng memindahkan kakinya.

   Ia memberi peluang kepada Otong Surawijaya untuk masuk.

   Benar-benar Otong Surawijaya tak menyia-nyiakan kesempatan bagus itu.

   Tongkatnya lantas menyambar untuk menggebuk Widiana Sasi Kirana dari samping.

   "Celaka!"

   Widiana Sasi Kirana mengeluh.

   Ia tidak sempat menangkis gebukan Otong Surawijaya, karena pedangnya kena ditangkis Dadang Wiranata.

   Akan tetapi pada saat itu, mendadak pedang Kilatsih menyapu tongkat Otong Surawijaya.

   Tibatiba saja gadis itu sudah menggeser kedudukannya pula.

   Dengan demikian, selamatlah Widiana Sasi Kirana dari ancaman Otong Surawijaya.

   Lantas saja ia mempunyai kesempatan pula untuk menggerakkan pedangnya.

   Kalau tadi, kena keroyok Dadang dan Otongkini Otong berganti kena keroyok Widiana Sasi Kirana dan Kilatsih.

   Ia jadi repot membela diri.

   "Bagus!"

   Seru Kilatsih dengan suara girang.

   "Benar- benar ilmu pedang Jala Karawelang. Kini kita dapat membalas menyerang!"

   La mendahului menyerang.

   Widiana Sasi Kirana segera menimpali.

   Sepasang pedang muda-mudi itu, bergerak- gerak sangat lincah sampai Dadang dan Otong berulangkali mundur selangkah demi selangkah.

   Diam-diam Widiana Sasi Kirana heran dan kaget mendengar seruan Kilatsih.

   Ia jadi bercuriga.

   Ia mengerling dan melihat Kilatsih tertawa girang.

   Seru temannya itu.

   "Kau lihatlah sekarang! Bukankah tidak mengecewakan hatimu, aku menjadi pe-ngawalmu! Marikita maju berbareng!"

   Luar biasa girangnya Kilatsih, sehingga semangat tempurnya nampak penuh.

   Gerakan pedangnya mengandung kepastian dan keyakinan bulat.

   Sama sekali ia tak pernah beragu.

   Dan hal ini membuat Widiana sasi Kirana heran bukan kepalang.

   Karena tertarik kepada luapan rasa girang temannya, terus saja ia menimpali.

   Ia maju mendesak.

   Maka terpaksalah Dadang dan Otong mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk membela diri.

   Meskipun demikian, tetap saja mereka kerepotan.

   "Benar! Benar-benar bagus!"

   Akhirnya Widiana Sasi Kirana bersorak kagum.

   "Apakah benar-benar memperoleh jodoh?"

   Maksud Widiana Sasi Kiranailmu pedangnya menemukan suatu jodoh di luar pengertiannya sendiri.

   Akan tetapi Kilatsih salah tangkap.

   Ia terkejut sehingga wajahnya menjadi merah.

   Itulah disebabkan, di dalam dirinya rasa jenisnya belum luntur walaupun mengenakan pakaian pria.

   Tetapi setelah melihatbetapa Widiana Sasi Kirana dengan tertawa gelak menggerakkan pedangnya sebat dan hebathilanglah prasangkanya yang buruk.

   Ternyata pemuda itu menyebut jodoh untuk ilmu pedangnya yang mendadak bisa bergabung dengan sempurna.

   K.

   Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya benar-benar terdesak.

   Walaupun dengan mati-matian mereka mengambil kedudukan yang tepat dan kuat, tetap saja kena desak sepasang pedang lawannya.

   Mereka sibuk menggebu dan membela diri.

   Dan pelahan-lahan mereka mundur dan mundur.

   Akhirnya merasa kuwalahan juga kena dicecar suatu rangkaian serangan yang cepat serta rapat.

   Keadaan mereka benar-benar tak ubah dua ekor ikan terjebak dalam suatu jaring berkembang.

   Sepasang pedang Widiana Sasi Kirana dan Kilatsih saling menimpali.

   Apabila yang satu ke kananyang lain mengarah sudut kiri.

   Manakala turun yang lain ke atas.

   Gerakannya saling susul dan sangat rapi.

   Daerah pembelaan dan balasan serangannya saling berganti.

   Heran Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya melayani ilmu pedang gabungan lawannya.

   Tak peduli mereka luas pengalaman dan pengetahuannya, tetap saja mereka asing.

   Kerapkali mulutnya ternganga keheranan dengan pandang mata penuh pertanyaan.

   Mereka seperti teringat sesuatu yang berkelebat-kelebat dalam benaknya.

   Akan tetapi apa itumereka tak sanggup menebak.

   Karena terpukau, tiba-tiba Otong Surawijaya kena tusuk lengannya dan gelang emas Dadang Wiranata terpapas kutung.

   Menghadapi kenyataan itu, Dadang Wiranata menghela napas.

   Terus saja ia berkata mengakui.

   "Ini dia yang dinamakanmakin tua makin keropos tulang-belulangnya. Aku sudah berumur delapan puluh tahun. Walaupun demikian kena dipermainkan bocah belum ingusan. Sudahlah.... Sudahlah. Buat apa dilanjutkan!"

   Sesudah berkata demikiandengan menarik lengan Otong Surawijayaia berjumpalitan mundur keluar gelanggang. Dengan melintangkan tongkat mustikanya, ia berkata nyaring.

   "Bocah! Kalian menang. Seterusnya istana ini adalah milik kamu.....". Ucapannya ini disusul dengan suatu teriakan yang panjang. Ia memberi isyarat kepada sekalian hamba sahayanya untuk berangkat meninggalkan istana. Setelah itu dengan Otong Surawijayaia mendahului keluar pintu. Keempat saudagar tengkulak itu pun melangkahkan kakinya pula dengan wajah pucat lesi. Widiana Sasi Kirana tertawa. Katanya kepada Kilatsih.

   "Kedua raja muda itu bertabiat aneh. Hanya sayang, mereka terlalu menuruti perasaannya yang berlebih- lebihan. Adikku.... Hai kenapa kau?"

   Kilatsih waktu itu lari keluar pintu.

   Widiana Sasi Kirana heran.

   Pada saat itu, ia mendengar derap dan ringkik kuda.

   Maka mengertilah dia, apa sebab Kilatsih lari keluar pintu.

   Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya ternyata memegang teguh janjinya.

   Mereka mengembalikan Panut dan Megananda dengan sehat tak kurang suatu apa.

   Setelah itu mereka benar-benar meninggalkan istana bukit.

   Panut mendahului kawannya memasuki istana.

   Binatang itu girang melihat majikannya kembali.

   Dengan berjingkrakan ia menjilati tangan Widiana Sasi Kirana.

   Kilatsih menghampiri Megananda.

   Binatang ini pun nampak tegar lantaran girang.

   Dengan cumbu rayu, Kilatsih mengusap-usap lehernya.

   Kata Kilatsih dengan suara lembut.

   "Megananda, kau kena siksa dua raja muda yang aneh tabiatnya. Syukurlah, berkat ilmu pedang.... Eh, Kiki!"

   Gadis itu menoleh kepada Widiana Sasi Kirana hendak minta keterangan tentang ilmu pedangnya.

   Walaupun ia sudah dapat menebak, akan tetapi rasanya kurang Setelah berkata demikiandengan menarik lengan Otong Surawijayaia berjumpalitan mundur keluar gelanggang.

   mantap apabila belum mendapat pembenaran Widiana Sasi Kirana.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mendadak suaranya terhenti di tengah jalan.

   Dadanya terasa sesak.

   Widiana Sasi Kirana menoleh mendengar seruan Kilatsih.

   Tatkala melihat wajah Kilatsih, ia kaget.

   Segera ia lari menghampiri.

   "Adik, kau kenapa? Apakah kau kena ta* ngan jahat mereka?"

   Kilatsih tak dapat menjawab. Dadanya serasa hendak meledak. Maka cepat-cepat Widiana Sasi Kirana berkata.

   "Jangan kau berbicara!"

   Kilatsih bebas dari tangan jahat Dadang atau Otong.

   Sebaliknya, ia terluka akibat ilmu sakti Tunggulmanik.

   Memang untuk melakukan gerakan jurus-jurusnya seseorang harus memiliki tenaga sakti raksasa seperti Sangaji.

   Hal itu disadari Titisari pula.

   Itulah sebabnya, ia menggubah ilmu pedang Tunggulmanik berdasarkan jurus-jurus saktinya.

   Maksudnya untuk mengurangi dibutuhkannya tenaga lontaran yang besar.

   Dia sendiri dapat memainkan dengan tak kurang suatu apa, lantaran tenaga saktinya seimbang.

   Sebaliknya tidaklah demikian halnya dengan Kilatsih.

   Kecuali gadis itu belum memiliki tenaga besar setinggi Titisari, dia pun bertabiat keras.

   Inilah suatu pantangan.

   Seumpama tabiatnya seperti Sangaji yang sederhana, sabar dan ulat atau setidak- tidaknya seperti Titisari yang pandai membawa diri, tidak bakal keampuhan tenaga sakti Tunggulmanik menghantam dirinya.

   "Jangan berbicara! Kau lepaskan napas-inu sebebas- bebasnya!"

   Widiana Sasi Kirana mencoba menolong. Kilatsih mengangguk mengerti.

   "Tunggu! Aku akan mengambil obat. Engkau terluka dalam, adikku. Biarlah aku mengobatimu."

   Setelah berkata demikian, pemuda itu mengulur tangannya hendak memijat punggung.

   Tentu saja Kilatsih tak mau kena raba.

   Tanpa memedulikan akibatnya, ia bergerak menggeser tubuhnya dengan menggelengkan kepala.

   Pada saat itu juga ia jatuh terduduk dan melontakkan darah segar.

   "Tak usah!"

   Ia memaksa diri untuk berbicara.

   "Aku dapat mengobati diri sendiri."

   Mendengar penolakan Kilatsih, Widiana Sasi Kirana tercengang sejenak. Kemudian tertawa mengerti.

   "Adikku, biarlah aku berkata terus terang. Sebenarnya aku sudah tahu, siapakah dirimu. Engkau bukan seorang.!..."

   Merah wajah Kilatsih, karena kena dibuka rahasianya. Akan tetapi ia segera merenggut penutup kepalanya. Rambutnya yang hitam panjangterurai di atas punggungnya. Ia jadi nampak cantik sekali.

   "Sebenarnya tak pantas dan tak selayaknya aku mengelabui dirimu. Memang aku seorang wanita....". Widiana Sasi Kirana tersenyum. Akan tetapi wajahnya bersungguh-sungguh.

   "Kita berdua dapat bersahabat. Karena itu apa sih keberatannya kita dilahirkan sebagai pria dan wanita. Adikku apakah engkau sepaham dengan orang yang berpandangan cupatbahwasanya tak layak seorang pria bersahabat dengan wanita dan sebaliknya?"

   Mendengar ucapan Widiana Sasi Kirana yang tulus dan sikapnya yang sungguh-sungguh, Kilatsih bersenyum. Pikirnya di dalam hati.

   "Dia bukannya seorang pemuda yang malanggar tata-santun. Hanya saja bagaimana aku bisa bersahabat "dengan diasedang siapa dirinya belum pernah kukenal."

   Widiana Sasi Kirana menatap wajah Kilatsih dengan pandang penuh selidik. Ia bersenyum lagi seraya menggoyangkan tangannya.

   "Adikkuaku tahudi dalam hatimu timbul suatu rasa sangsi terhadapku. Aku pun demikian pula. Sebenarnya ingin aku minta keterangan beberapa hal kepadamu. Tetapi sekarang, engkau sedang menderita luka dalam. Kau tak boleh banyak berbicara. Biarlah kita berbicara tiga sampai lima hari lagi . Kau setuju, bukan?"

   Kilatsih memanggut dengan membungkam mulut. Widiana Sasi Kirana tersenyum. Ia lantas menatap wajah Kilatsih.

   "Adikkubagaimana lukamu? Maksudku, bagaimana caramu hendak mengobati? Sebenarnya aku harus berkata dengan terus terang kepadamu tentang luka dalam yang sedang kau derita."

   Kilatsih membalas pandang. Katanya di dalam hati.

   "Polos dan sopan pemuda ini. Aku senang padanya. Akan tetapi apa sebab ia terus menerus bersenyum kepadaku?"

   Widiana Sasi Kirana tidak menunggu jawaban Kilatsih. Terus saja ia berkata.

   "Lukamu ini bukan akibat kena tangan jahat kedua raja muda tadi. Akan tetapi lantaran kena tenaga sendiri yang memukul balik. Rupanya tenaga sakti yang kau miliki tidak seimbang dengan tenaga lontaran yang kau gunakan. Seperti ini. Kau seumpama kanak-kanak yang berumur sembilan tahun yang bermain memutar-mutar martil besi seberat badannya sendiri. Tatkala memutar martil itu, kau bisa lancar karena tenaga berat hilang dihisapan gerak berputar. Akan tetapi begitu berhenti, engkau kehilangan keseimbangan. Akhirnya kau kena terpukul putaran martil yang membalik. Inilah luka yang berbahaya, karena yang terpukul justru urat jantung. Bukankah nadimu berdenyut sangat keras? Nampaknya memang ringan, karena tak nampak dari luar. Akan tetgpi apabila tidak cepat-cepat mendapat rawatan yang tepat untuk menyalurkan tenaga membalik itu pernapasanmu akan rusak. Seseorang akan tewas dengan perlahan-lahan atau akan menjadi cacat seumur hidupnya. Syukur meskipun tenaga saktimu belum bisa mengimbangi jurus yang membutuhkan pemusatan tenaga kelewat8) batasnamun dasar tenaga saktimu bagus dan kokoh. Setidak-tidaknya tidak bertentangan sebagai landasan jurus-jurusmu yang membutuhkan tenaga besar. Dengan 8) kelewat. melebihi. meminjat-mijat urat-urat nadi yang berhubungan dengan jantung dan pinggang napasmu akan bisa berjalan teratur kembali. Apabila engkau bisa mengatur pernapasanmu dengan tertib serta perlahan-lahan, kau akan tertolong. Adik, biarlah aku menolong menyalurkan tenaga himpunan itu dengan memijit urat-urat nadimu."

   Kilatsih kagum mendengar ceramah Widiana Sasi Kirana yang lancar dan meyakinkan. Pikirnya di dalam hati.

   "Kemarin ia nampak seperti pemuda sinting. Ia menangis dan tertawa tak keruan jun-trungnya sehingga mirip seorang pemuda tolol. Kusangka dia seorang pemuda aneh yang sedang berkeliaran di dalam percaturan masyarakat. Tak tahunya, ia bisa berbicara baik. Malahania seperti mengenal ilmu ketabiban. Dia pun berilmu sangat tinggi. Apakah dia benar-benar pandai di dalam segala hal?"

   Sesudah berbicara, Widiana Sasi Kirana tertawa sekilas.

   "Bolehkah aku mohon sesuatu dari padamu?"

   "Silakan,"

   Sahut Kilatsih dengan suara perlahan. Kembali Widiana Sasi Kirana tertawa.

   "Permohonanku adalah begini. Sewaktu aku berusaha menyembuhkan lukamu, aku mohon agar engkau melupakan dirimu sendiri. Lupakanlah diriku pula, bahwa aku adalah seorang pria. Yang ada hanyalah, bahwa aku seorang yang sedang mengobati dan engkau seorang yang sedang diobati. Bagaimana? Sanggupkah engkau memenuhi permohonanku ini?"

   Kilatsih tergugu menimbang-nimbang. Pikirnya.

   "Dia hendak membantu menyalurkan darahku, dengan memijit-mijit. Artinya ia bakal meraba-raba tubuhku. Eh, bagaimana ini? Tetapi bukankah kita sudah mengikat tali persahabatan? Apakah halangannya, dia meraba tubuhku demi untuk menyembuhkan luka dalamku?"

   Memperoleh pertimbangan demikian, Kilatsih menatap wajah Widiana Sasi Kirana yang menyungging senyum. Melihat senyum itu, mendadak wajah Kilatsih merasa panas. Widiana Sasi Kirana segera membuang pandang.

   "Adik! Istana batu ini mirip dengan rumah sakit militer Belanda,"

   Katanya.

   "Tenang, bersih dan tentram. Tempat ini tepat untuk merawat dirimu berbareng beristirahat. Hanya sajakuda kitatak dapat kita ajak tidur bersama di dalam istana ini. Kalau bertelur bisa berabe.....". Bisa saja pemuda itu membuat hati Kilatsih geli. Setelah itu, ia menghampiri kudanya. Dengan suatu tepukan lembut, Panut seolah-olah mengerti kehendak majikannya. Lantas saja binatang itu lari keluar istana dengan tegar. Megananda yang sudah bersahabat ikut pula menyusul. Widiana Sasi Kirana keluar ke halaman memeriksa letak istana itu. Karena kurang jelas, ia mendaki tanjakan. Dari tanjakan itulah ia memperoleh penglihatan luas. Kemudian dengan sungguh-sungguh ia memeriksa kamar-kamar. Ia menemukan sebuah kamar dalam yang terang benderang. Letaknya di pojok tenggara. Dindingnya berjendela lebar. Cahaya matahari masuk tanpa rintangan. Di sudut kamar terdapat sebuah meja panjang penuh dengan tumpukan permata. Kena cahaya matahari permata-permata itu memantulkan sinar berkeredepan. Widiana Sasi Kirana tidak menghiraukan tumpukan permata tersebut. Dengan tangannya ia menyibakkan sampai runtuh di atas lantai. Setelah alas meja dibersihkan, segera ia memayang Kilatsih masuk ke dalam kamar.

   "Meja ini terbuat dari marmer. Sifatnya dingin. Inilah baik untuk membantu menghisap hawa panas yang tersesat,"

   Katanya.

   Dengan hati-hati ia menidurkan Kilatsih di atas meja itu.

   Kemudian ia mulai mengobati.

   Apa yang dikatakan mengobati bukannya ia mencekoki Kilatsih dengan ramuan-ramuan obat tertentu.

   Akan tetapi hanya memijit-mijit, tanganjari-jarilengan dan kaki Kilatsih.

   Beberapa saat kemudian ia nampak berlega hati.

   "Sekarang aliran darahmu sudah lancar kembali. Kau hanya memerlukan istirahat dan mengatur pernapasanmu. Beberapa hari lagi, engkau bakal pulih. Biarlah satu jam lagi aku menolong menyalurkan pula.""

   Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya menggunakan istana batu itu sebagai markasnya.

   Karena ituselain dipergunakan sebagai tempat menimbun harta rampasanmerupakan tempat bekerjanya pula.

   Makanan dan minuman berlimpah-limpah.

   Maka dengan tak segan-segan, Widiana Sasi Kirana menyapu makanan dan minuman yang terdapat di atas meja yang terletak di luar kamar.

   Sesudah kenyang, ia menyanyi dan bersenandung, la melagukan sajak-sajak peperangan yang bersemangat.

   Kadangkala mengutuk Kompeni Belanda yang selalu ikut campur dalam pemerintahan suatu kerajaan.

   "Banten hancur! Cirebon lumpuh. Kerajaan Mataram terpecah belah menjadi beberapa bagian. Bukankah ini menyedihkan?"

   Gerutunya.

   "Dan sekarang Belanda bersiap-siap untuk menyerbu Kasultanan Yogyakarta. Belanda menggunakan istilah pembersihan dan pengamanan. Pastilah pendekar-pendekar gagah akan dilenyapkan dari muka bumi. Juga Banten! Juga Cirebon."

   Kilatsih tertarik kepada kata-katanya. Tak terasa ia menyambung.

   "Sekiranya Belanda berani mengusik kesejahteraan Pangeran Diponegoro yang bermukim di istana Tegalrejopastilah rakyat Mataram tidak akan tinggal diam. Priawanita, tua-muda dan kanak-kanak akan bangkit mengangkat senjata. Demi bangsa dan negara, biarlah mereka gugur bagaikan ratna. Tetapi namanya akan tetap abadi di sepanjang zaman."

   Tergetar hati Widiana Sasi Kirana mendengar ucapan Kilatsih. Ia berpaling sambil meletakkan cawan minumannya. Berkata penuh sesal.

   "Adik! Maaafkan aku. Aku terlalu banyak meneguk minuman keras, sehingga otakku jadi sinting. Aku mengganggu dirimu, sehingga engkau merasa tak enak kalau tidak menyambung. Adikkau belum berbicara...!"

   "Tetapi benarkah pendapatku tadi?"

   Kilatsih minta penjelasan. Widiana Sasi Kirana meneguk cawannya.

   "Benar, benar, adikku. Ah, kau beristirahatlah! Kau tidak boleh berbicara. Pikiranmu harus mengaso pula."

   Kilatsih membungkam mulut. Kesannya baik terhadap pemuda itu. Hanya saja ia merasa aneh. Apa sebab, dia nampak berduka? Lantas saja ia mengawaskan pemuda itu dengan mata penuh selidik. Melihat pandang mata Kilatsih, Widiana Sasi Kirana menghampiri.

   "Adik! Sebenarnya ingin aku berbicara banyak sekali denganmu. Akan tetapi kau masih perlu istirahat. Aku ingin berbicara tentang semuanya. Moga-moga engkau puas dan mengerti. Biarlah aku menunggu sampai engkau pulih kembali."

   Kilatsih mengangguk.

   "Bagusternyata engkau seorang yang penurut,"

   Seru Widiana Sasi Kirana fecnyvkw. 'Baiklah begini saja. Aku i imJu ii"

   I risetelah kau sembuhaku afcaa mengetahui siapa dirimu dan engkau acan mengetahui pula siapa diriku.

   Soalnya sexarangbagaimana engkau bisa mengerti aku tanpa engkau menggunakan pikiranmu agar kesehatanmu tidak terganggu.

   Ah, ya...

   Hari ini, kau tidurlah! Nanti malam aku akan menceritakan sebuah dongeng.

   Dongeng ini akan kubagi menjadi tiga babak dan akan kuceritakan pada setiap malam.

   Pada hari keempatkau akan mengerti siapa diriku dan pada hari kelima, aku akan mengerti jelas siapakah engkau sebenarnya.

   Nahselamat tidur!"

   Hati Kilatsih tergetar.

   Ia menangkap suatu pengaruh besar dari pandang mata Widiana Sasi Kirana.

   Teringatlah dia kepada masa kanak-kanaknya.

   Ayah angkatnya selalu menyertai tidur.

   Dia mendongeng tentang sesuatu untuk menghibur dan membesarkan hati.

   Pandang matanya berwibawa.

   Cahayanya lembut penuh kasih sayang pula.

   Itulah suatu padang mata yang besar pengaruhnya.

   Suatu pandang yang tak dapat ditentang.

   Memang pandang mata ayah angkatnya Sorohpati berbeda jauh dengan pandang mata kakaknya seperguruan Gandarpati yang keruh dan terlalu tenang.

   Pandang mata Widiana Sasi Kirana mengingatkan dirinya kepada pandang mata ayah angkatnya.

   Mendadak ia seperti memperoleh suatu pelindung.

   Hatinya lantas tenteram dan tenang.

   Benar-benar ia bisa beristirahat satu hari penuh.

   Kamar peristirahatan Kilatsih berada di tenggara.

   Jendelanya berkaca.

   Itulah sebabnya matahari bisa menembus tanpa rintangan.

   Istana batu itu sendiri berada di pinggang bukit.

   Istana itu seperti bersandar.

   Seseorang yang berada dalam kamar kaca itu, bisa melihat keluar dengan leluasa.

   Sebaliknya yang berada di luar, tidak dapat melihat ke dalam.

   Maka kerapkali Kilatsih melihat keindahan alam di luar istana sambil beristirahat.

   Benar-benar ia merasa nyaman sekali.

   Persediaan makanan dan minuman berlimpah-limpah.

   Sesudah Widiana Sasi Kirana menyediakan makanan malam baginya, ia berpamit hendak mandi.

   Dalam hati Kilatsih merasa terharu.

   Pemuda itu berkesan sebagai seorang tabib merangkap juru rawat.

   Berbareng dengan tibanya malam hari, Widiana Sasi Kirana muncul kembali dengan -r sebongkok lilin.

   Lilin-lilin itu segera di sulutnya, la membawa masuk sebuah meja panjang pula yang diletakkan z.

   sebelah sudut yang bertentangan.

   Di tengah kecerahan nyala lilin, berkatalah dia.

   "Adik kau makanlah kenyang-kenyang agar badanmu kuat. Aku akan mulai mendongeng dongengku yang pertama. Kau tak usah membuka mulut. Dengarkan saja sambil makan."

   Kilatsih tidak menjawab. Ia hanya mengangguk. Dan mulailah Widiana Sasi Kirana mendongeng.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Pada zaman dahulu hiduplah seorang raja yang memerintah kerajaan di sebelah barat kekuasaan Kompeni Belanda. Dia mempunyai dua orang putera yang menanjak dewasa. Sultan itu-besar pengaruhnya. Dia bermusuhan dengan kompeni. Sebagian bumi Priangan, Cirebon dan Tegal didudukinya. Melihat kedua puteranya sudah besar, ia memerintahkan agar mereka berdua belajar hidup di dalam masyarakat. Apabila sudah cukup berpengalaman mereka berdua akan dipanggilnya menghadap untuk memikul tugas negara. Yang pertama ternyata seorang muslim. Ia bergaul rapat dengan para alim ulama. Beberapa tahun kemudian, ia naik haji. Sesudah pulang membawa fahamnya yang baru. Ia bercita-cita hendak mendirikan suatu negara yang berlandaskan agama. Putera yang kedua lain pula fahamnya. Ia tetap berada di tanah airnya. Bergaul dan hidup di tengah masyarakat, la mendaki gunung dan menuruni jurang untuk mendalami ilmu dan mengenal hati nurani rakyat. Sikapnya terhadap Kompeni Belanda seperti ayahnya. Tak mengherankan Sultan itu berkenan di dalam hatinya. Pada suatu hari, putera itu dipanggilnya menghadap. Sultan ingin mendengar cita-citanya. Putera itu berkata bahwa ia ingin mengusir semua bentuk penjajahan dan pengaruh asing. Kemudian hendak membawa martabat bangsa setinggi mungkin berdasarkan budayanya yang sudah tinggi. Tentu saja cita-cita ini disambut dengan gegap gempita oleh segenap pendekar bangsa. Ia dipuja oleh rakyat. Hal itu membuat gelisah putera yang sulung. Dengan diam-diam putera sulung itu menyusun kekuatan dengan bantuan para alim ulama, la pun berhubungan dengan pihak Kompeni Belanda. Setelah merasa dirinya kuat, mulailah dia mengangkat senjata melawan ayahnya sendiri. ?\yahnya tak dapat berperang melawan T-.e-anya sendiri. Dengan sukarela ia turun tahta. Akan tetapi rakyat tidak menyetujui. vaka meletuslah peperangan sengit antara keluarga sendiri. Putera bungsu sangat berduka melihat peristiwa itu. Maka pada suatu hari ia berkirim surat kepada kakaknya. Dalam suratnya ia menyatakan, bahwa siapa yang menjadi pengganti tahta ayahnya tidak penting. Sebaliknya yang harus diutamakan ialah. bersatu padu untuk mengusir kompeni Belanda dari bumi tanah air. 'Mari! Kau seberangi sungai Cisedane dan kita akan bertemu' bunyi surat itu. 'Siapa pun yang menjadi raja sama saja. Kita perlu bertemu dan berunding. Setelah kita bersepakatmari kita berbareng menggempur kubu- kubu penjajah!' Di luar dugaan, kakaknya mereobek-robek surat itu. Dia tidak sudi memenuhi ajakan adiknya. Malahan ia memotong telinga utusan adiknya. 'Bilang pada majikanmubahwa di udara tiada dua matahari. Di bumi tidak ada dua raja. Dia dan aku mempunyai pengetahuan dan kepandaian masing- masing. Mari kita adu kekuatan. Siapa yang menang, itulah suatu bukti bahwa Tuhan meridhoi. Tegasnya kalau bukan akudialah yang mati.' Adiknya sangat marah mendengar jawaban kakaknya. Semenjak itu terjadilah perang saudara. Ayah mereka berdua ternyata memihak puteranya yang bungsu. Itulah sebabnya berkali-kali laskar putera yang sulung kena dikalahkan. Putera sulung itu lantas mohon bantuan Kompeni Belanda dengan pembayaran yang tinggi. Setelah berperang beberapa waktu lamanyaterjadilah suatu pertempuran yang menentukandi tepi Sungai Cisedane. Raja kena ditawan dan dibuang ke kota kompeni. Sedangkan adiknya lenyap tidak keruan. Entah mati entah hidup, sejarah tak dapat menerangkan dengan jelas. Dengan demikianputera sulung itu berhasil mencapai cita-citanya. Ia menjadi raja dan membuka zaman baru. Tetapi ia harus membayar upah kepada Kompeni Belanda. Yang pertama. harus membayar biaya perang sebesar enam ratus ribu ringgit. Yang kedua. memberi hak monopoli kepada Kompeni Belanda untuk memasukkan dan mengeluarkan barang-barang dagangan dari kerajaan yang diperintahnya. Yang ketiga. dia harus melepaskan kasultanan Cirebon. Dan yang keempat. dia harus berhamba kepada Kompeni Belanda. Artinya dalam segala tindakan harus mohon persetujuan pihak Belanda. Tentu saja rakyat dan pihak-pihak yang dirugikan menggugat perjanjian itu. Akan tetapi putera sulung itu, tidak peduli. Setelah ayahnya wafatia malahan memperkenankan Kompei Belandamendirikan ben- teng-bentengnya....."

   Sampai disini Widiana Sasi Kirana mengakhiri dongengnya yang pertama. * "Adik! Bagaimana pendapatmu tentang raja ini? Jahat atau tidak?"

   Kilatsih mengerutkan keningnya.

   "Putera.ini besar dan keras kemauannya. Demi mengabdi kemauannya, ia sampai melupakan adiknya. Malahan ia tak memikirkan dan menghiraukan nasib rakyat yang harus memikul beban akibat peperangan. Walaupun demikian, ia berhasil mencapai cita-citanya. Dia pun dapat digolongkan manusia gagah pula."

   Mendengar pendapat Kilatsih, wajah Widiana Sasi Kirana berubah. Ia nampak berduka.

   "Kau pun mempunyai pendapat begini juga, adikku? Putera sulung itusetelah naik di atas tahta kerajaan main bunuh terhadap orang-orang yang dianggapnya sebagai musuh dengan dalih menghindari kemungkinan munculnya pemerintah bayangan. Korban itu tentu saja jatuh pada keluarganya. Ayahnya sendiri, ia sampai hati menawan dan membuangnya. Apalagi paman, bibi dan sanak saudaranya. Terlebih-lebih terhadap keluarga adiknya. Ia mengerahkan laskar untuk menjelajah ke delapan penjuru dunia, dengan perintah mencari sisa- sisa keturunan adiknya. Terhadap mereka tiada seorang pun yang dihidupi. Pendek kata dia hendak menghabiskan seluruh keturunan dan yang termasuk keluarga adiknya. Maka tak mengherankanbahwa para menteri dan para panglimaikut mengungsi bersama anak keturunan majikannya. Mereka hidup berpencaran menunggu angin baik. Ah, adikkukau bisa menghabiskan semang-kok buburmu. Bagus, bagus! Nah biarlah dongengku yang pertama ini kutamatkan saja sampai disini."

   Kilatsih mengangkat kepalanya. Dengan pandang penuh pertanyaan, ia menatap wajah Widiana Sasi Kirana.

   "Kiki! Bukankah dongengmu itu adalah sejarah Kerajaan Banten pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa? Putera sulung itu Abdulkahar. Setelah naik haji ia disebut Sultan Haji di kemudian hari. Sedangkan adiknya, bernama Pangeran Purbaya. Laskar Sultan Haji menghancurkan laskar Pangeran Purbaya di tepi sungai Cisedane. Menurut sejarah yang pernah kudengar Sultan Haji bertindak tegas terhadap ayah dan adiknya bukan karena melanggar perikemanusiaan, akan tetapi semata-mata demi mengabdi kepada kesucian agama. Sebabbaik ayah maupun adiknyaadalah orang kafir. Kedua orang itu hendak menghidupkan serba berhala di dalam kera-jaannya. Hal ini dikutuk Tuhan! Karena itu sifat perang Sultan Haji terhadap ayah dan adiknya adalah perang suci. Perangnya kaum sadar terhadap kaum sesat."

   Widiana Sasi kirana tertawa melalui hidungnya.

   "Ada suatu pepatah yang berbunyi begini. 'Siapa yang berhasil, dia akan menjadi raja. Sebaliknyasiapa yang gagaldia akan menjadi berandal yang tidak berhak bersuara lagi. Rupanya pepatah ini akan berlaku terus sampai akhir zaman. Tentang pemutarbalikan bunyi sejarah, mengapa kita perlu heran? Dia yang menang akan menghalalkan semua perbuatannya. Tetapi meskipun agama sendiri, pastilah tidak membenarkan seorang anak membunuh ayahnya atau saudaranya. Apalagi kedua-duanya. Yameskipun dia. mempunyai dalih apapun juga. Bukankah Nabi mengampuni orang- orang yang dahulu justru menjadi lawannya? Mereka yang kelak membantu perjuangan Nabi adalah orang- orang kafir. Sekiranya benar Sultan Haji menggunakan istilah sadarmaka dia akan menyadarkan yang dianggapnya sesat. Bukan membunuh habis sampai ke akar-akarnya. Ha dimanakah letak kelapangan dada seorang yang sudah beragama seperti Sultan Haji?"

   Memang sejarah Sultan Haji sesungguhnya banyak yang diputarbalikkan.

   Dia mencapai maksudnya berkat pertolongan Kompeni Belanda.

   Sesudah naik tahta, hal itu menjadi larangan keras untuk dibicarakan, la memperkenankan Kompeni Belanda mendirikan benteng- benteng di wilayah Kerajaan Banten dengan dalih membangun suatu peradaban baru yang hikmah dan khitmad.

   Barangsiapa berani mengemukakan pendapat lain, akan segera dituduh sebagai kaki tangan pemerintah bayangan atau setan-setan pemerintah gelap9).

   Kilatsih mendengar tutur kata itu dari ayah angkatnya.

   Dia sendiri anak Suhanda.

   Dan Suhanda salah seorang laskar Himpunan Sangkuriang yang didirikan Ratu Bagus Boangputera Pangeran Purbaya.

   Karena itu dia berpikir sibuk di dalam hati."

   "Mereka bunuh membunuh, apa peduliku? Mereka saling berebut negara dan kekuasaan, apa hubungannya denganku? Bukankah itu suatu peristiwa sudah jauh lampau? Apa maksud Widiana ini menceritakan sejarah itu kembali? Nampaknya ia sangat benci kepada Sultan Haji. Mengapa?"

   Tiba-tiba Widiana Sasi Kirana berkata memutuskan.

   "Sudahlahjangan engkau berbicara terlalu banyak. Biar kuuruti lengan dan kakimu dahulu sebelum tidur."

   Benar-benar pemuda ini menghampiri dan mengurut- urut lengan dan kaki Kilatsih. Gadis itu tidak menolak. Tahu-tahu matahari telah bersinar terang di luar jendela kaca.

   "Ehkalau begitu semalam aku ketiduran!"

   Pikirnya dalam hati.

   Ia menyenakkan mata dan melihat Widiana Sasi Kirana terpekur di sisinya.

   Pemuda itu belum merapikan pakaiannya.

   Terang sekali dia belum mandi.

   Hanya yang membuatnya heran, kedua matanya nampak pendul seperti habis menangis.

   Melihat hal itu, hatinya terharu.

   "Sewaktu semalam aku tertidur, pastilah dia menangis lantaran bersedih hati. Entah apa yang disedihkan. Dia telah mengorbankan waktunya untukku. Apa yang harus kulakukan untuk menghiburnya?"

   Pikirnya di dalam hati. Tatkala itu Widiana Sasi Kirana menoleh. Melihat Kilatsih sudah menyenakkan mata, ia tersenyum.

   "Bagaimana pernapasanmu?"

   Tanyanya.

   "Rasanya sudah pulih seperti sediakala,"

   Sahut Kilatsih. Kemudian mengalihkan pembicaraan.

   "Pastilah semalam engkau tak tidur."

   Widiana Sasi Kirana tertawa.

   "Bagiku berjaga atau tertidur beberapa hari samalah saja. Kau tak usah memikirkan diriku. Sekarangcoba lihat kakimu."

   Kilatsih patuh.

   Ia menyerahkan kakinya.

   Widiana Sasi Kirana segera mengurut-urut seperti kemarin.

   Kali ini, Kilatsih merasakan kesakitan.

   Itulah suatu tanda, bahwa urat yang kena pijat Widiana Sasi Kirana tepat sekali.

   Setelah kena pijat beberapa waktu lamanya, kekejangan urat menjadi kendor.

   Suatu rasa lega merayap ke seluruh rongga dada Kilatsih.

   "Pagi inicukuplah!"

   Kata Widiana Sasi Kirana.

   "Nanti malam aku akan mengulangi kembali. Hari ini engkau boleh beristirahat sambil bersemadi."

   Sesudah berkata demikian, ia melompat ke mejanya dan mengeluarkan gambar Sungai Cisedane.

   Ia merenungi dengan meneliti sangat cermat.

   Selagi demikian, telinganya yang tajam mendengar langkah terantuk-antuk batu.

   Lalu ia menggulung gambarnya.

   * "Ehsiapakah yang datang? Adik! Apapun yang terjadi di luar kamar ini, kau tak boleh bergerak."

   Kilatsih mengangguk.

   Ia mendengar suara langkah makin lama makin mendekat.

   Segera ia memasang matanya dan menjenguk dari kaca jendela.

   Samar-samar ia nampak sesosok bayangan memasuki pendapa.

   Setelah diamat-amati, tergeraklah hatinya.

   Dengan lengan baju ia menggosok kaca di depannya agar memperoleh penglihatan yang tegas.

   Hampir saja ia memekik keras, karena yang datang adalah Sekar Kuspanetiputeri Raja Muda Dwijendra.

   "Akang! Akang!"

   Seru Sekar Kuspaneti dengan melangkah masuk. Kilatsih tertawa geli di dalam hatinya. Pikirnya.

   "Dia baru menjadi isteri satu malam. Walaupun demikian, ia sangat memikirkan diriku."

   Ruang pendapa tempat pertempuran kemarin malam nampak guram walaupun di siang hari cerah.

   Hati-hati Sekar Kuspaneji memasuki.

   Tatkala melihat puluhan lilin berjajar di tepi dindingsegera ia menyalakan.

   Pendapa lantas menjadi cerah.

   Oleh kecerahan nyala lilin itu, Kilatsih dapat melihat wajah Sekar Kuspaneti dengan tegas.

   Ia jadi terharu.

   Puteri Raja Muda Dwijendra nampak kuyu.

   Wajahnya kucaisuatu tanda bahwa ia sangat berduka dan bingung.

   Sekar Kuspaneti berjalan modar-mandir mengamat- amati tiap dinding istana.

   Mulutnya terus memanggil- manggil suaminya.

   Tiba-tiba matanya melihat sesuatu di atas lantai.

   Segera ia berjongkok dan melihat percikan darah.

   Itulah percikan darah Otong Surawijaya yang kena tikam Kilatsih.

   Sekar Kuspaneti salah duga.

   Mengingat kesaktian Raja Muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya, ia mengira itulah darah suaminya.

   Hatinya tergetar dan pikirannya pepat.

   Ia lantas menangis dengan sedih sekali.

   Tak sampai hati Kilatsih menyaksikan adegan yang mengharukan itu.

   Segera ia hendak melompat turun dari meja.

   Akan tetapi Widiana Sasi Kirana mencegahnya.

   "Tidak peduli apa yang bakal terjadi di Liar, kau tak boleh memperlihatkan dirimu."

   Sesudah berkata demikian, pemuda itu memijat telapak tangan Kilatsih. la segera mengurut-urut urat nadi sambil menyalurkan tenaga saktinya. Dada Kilatsih lantas terasa menjadi kian lapang. Dalam, pada itu Sekar Kuspaneti terus menangis.

   "Akang! Kau pasti menemui ajalmu di tangan Paman Dadang dan Otong.... Ah nasibmu sungguk buruk."

   Terharu hati Kilatsih mendengar suara keluhan Sekar Kuspaneti. Katanya di dalam hati.

   "Nety! Aku masih hidup. Kau tak perlu menangis!"

   Tentu saja Sekar Kuspaneti tidak mendengar kata hatinya. Masih ia menangis dengan sedihnya. Tiba-tiba saja ia menghunus pedangnya dan ditudingkan ke atap sambil berdiri.

   "Aku bersumpah demi bumi dan langit... Walaupun Paman Dadang dan Otong sakti, akan kupinta pertanggunganjawabnya. Aku akan menuntutkan dendam suamiku..."

   Ia meruntuhkan pandang ke tanah.

   Mendadak ia melihat tebaran benda lain.

   Segera ia berjongkok dan memungutnya.

   Itulah tebaran gelang emas Dadang Wiranata yang tertabas kutung pedang Widiana Sasi Kirana dan Kilatsih.

   Melihat gelang emas itu, Sekar Kuspaneti tercengang-cengang.

   "Apakah benar Paman Dadang dan Otong tidak mengelabui diriku?"

   Pikirnya sibuk.

   Ia membolak-balikkan patahan gelang emas itu, dengan pandang berteka-teki.

   Benaknya kembali sibuk menduga-duga.

   Malam itu Sekar Kuspaneti segera mengejar Kilatsih setelah membawa pedangnya serta.

   Ia menunggang kuda.

   Di tengah jalan, ia berpapasan dengan Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.

   Sebagai puteri raja muda pula, ia kenal kedua raja muda itu.

   Segera ia minta keterangan kepada mereka, barangkali melihat seorang pemuda yang dikehendaki.

   Ia menggambarkan bentuk dan perawakan serta pakaian suaminya.

   Ia pun menerangkan pula, bahwa suaminya berkuda putih.

   "Siapa dia?"

   Otong Surawijaya menegas dengan tertawa.

   "Dialah suamiku,' jawab Sekar Kuspaneti terus terang.

   "Hm,"

   Dengus Dadang Wiranata.

   "Bagus! Engkau mempunyai seorang suami yang serasi dengan kedudukan ayahmu. Kecuali cakap, ilmu pedangnya bagus."

   Sekar Kuspaneti terkejut dan heran.

   "Bagaimana Paman mengetahui?"

   Kembali Otong Surawijaya memperdengarkan suara tertawanya.

   "Dia telah berhasil merampas semua harta bendaku. Kami berdua kalah. Ah, benar-benar besar rezeki ayahmu. Mempunyai menantu seperti dia, tak perlu lagi ayahmu bekerja seperti sediakala."

   Otong Surawijaya memang bermulut jahil. Apalagi hatinya masih panas. Sebaliknya Sekar Kuspaneti menjadi bingung. Ia tak dapat segera menangkap maksud Otong Surawijaya.

   "Apakah dia berani bertempur melawan Paman berdua?"

   Dadang Wiranata tak senang mendengar pertanyaan itu.

   Ia merasa diri kena hina.

   Segera ia mengajak Otong Surawijaya meneruskan perjalanan dengan wajah guram.

   Sekar Kuspaneti tahu dimanakah letak istana batu yang bersandar pada sebuah bukit.

   Segera ia melarikan kudanya.

   Di sepanjang jalan ia membantah pertanyaan kedua raja muda itu, bahwa mereka kena dikalahkan suaminya.

   Sekarang Sekar Kuspaneti mendapat bukti gelang emas yang tercecer.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia jadi berbimbang-bimbang.

   "Paman Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya adalah dua sejoli yang sakti. Ayah sendiri belum tentu bisa mengalahkan. Masakan mereka kena dikalahkan Akang? Ah, pastilah ada orang lain yang membantunya.... Tapi siapa? Dia datang seorang diri. Rupanya orang asing pula..... Apakah Paman Dadang berbohong? Tidak mungkin! Baik Paman Dadang Wiranata maupun Paman Otong Surawijaya terkenal kejujurannya, walaupun kasar tingkah lakunya. Tapi darah itu, darah siapa? Benar-benar sibuk dia. Hatinya penuh rasa khawatir. Tengah begitu, ia mendengar suara langkah kuda.

   "Siapa? Apakah Akang kena dibunuh orang yang datang ini?"

   Pikirnya kacau.

   Sekar Kuspaneti sangat memikirkan keadaan Kilatsih.

   Ia percaya keterangan Dadang dan Otong bahwa suaminya menang dalam suatu pertarungan.

   Tapi mengingat kedua raja muda itu sakti, walaupun menang pasti menghabiskan tenaga.

   Bukan musjtahil ia kena dicelakai orang lain.

   Mendadak ia melihat kuda putih milik Kilatsih ditunggangi orang itu.

   Melihat kuda itu hampir saja ia memekik karena rasa kaget.

   Gntungdia puteri seorang raja muda yang sudah kenyang makan garam.

   Pada detik itu ia dapat menguasai diri.

   Segera ia lari memipit dinding sambil melintangkan pedangnya.

   Yang datang seorang laki-laki berberewok.

   Dialah Mundingsari.

   Sesudah berpisah dengan Kilatsih ia pulang ke Cirebon untuk mengurus uang belanja kompeni yang dikawalnya.

   Dari mulut Letnan Matulesi dan Letnan Johan, ia mendengar khabar tentang Kilatsih.

   Gadis itu berada di bumi Priangan.

   Mundingsari menduga, Kilatsih sedang berusaha mencari Sangaji untuk melaporkan semua peristiwa yang dilihatnya.

   Maka timbul ah niatnya hendak menyusul.

   Dalam hatinya, ia ingin merebut jasa pula.

   Syukur, Sangaji bisa menerima pengabdiannya.

   Dengan begitu, ia bisa mencuci noda yang pernah dibuatnya dahulu tatkala mengabdikan diri kepada Pangeran Bumi Gede.

   Demikianlah selagi lewat di daerah perbatasania melihat Megananda.

   Segera ia mengenalnya dan dihampirinya.

   Megananda kenal pula kepadanya.

   Itulah sebabnya, ia tidak binal tatkala Mundingsari menunggangi.

   Malah kuda itu membawa Mundingsari masuk ke dalam halaman istana.

   Melihat istana batu itu, hati Mundingsari gentar.

   Sebagai seorang pendekar yang hidup di Cirebon tahulah diabahwa istana batu itu dahulu adalah milik Ratu Bagus Boang sewaktu berjuang melawan Kompeni Belanda.

   Kemudian ditempati Raja Muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.

   Ia kenal siapa kedua raja muda itu.

   Ia kenal pula sepak terjangnya yang ganas.

   Maka tidaklah mengherankan, bahwa keringat dingin lantas saja membasahi tubuhnya.

   Hati-hati ia melompat turun dari kudanya dan menuntunnya.

   Pikirnyadengan menuntun kuda Kilatsihpastilah kedua raja muda itu tidak akan menurunkan tangan jahat kepadanya.

   Bukankah kedua raja muda itu termasuk bawahan Sangaji.

   Setelah memasuki pendapa ia melihat cahaya lilin.

   Hati-hati ia maju.

   Mendadak ia melihat bayangan seseorang yang berambut panjang.

   Mau ia membuka mulut dan bayangan itg telah muncul di depannya.

   Tahu- tahu sebatang pedang menyambar padanya.

   Mundingsari terkejut.

   Ia melompat mundur sambil berkelit.

   Lalu memasuki ruang pendapa dengan maksud memperoleh penglihatan lebih jelas lantaran cahaya lilin.

   Sekar Kuspaneti seakan-akan kalap.

   Gagal dalam serangannya yang pertama, ia mengulangi dengan yang kedua.

   Kemudian yang ketiga dan yang keempat.

   Dicecar demikian, lambat-laun Mundingsari khawatir pula.

   Segera ia menghunus goloknya dan menangkis.

   "Tahan!"

   Serunya.

   "Kita tak pernah bermusuhan. Apa sebab tiba-tiba engkau menyerang aku?"

   Sekar Kuspaneti hendak menyerang yang kelima kalinya. Tiba-tiba timbullah pertimbangan.

   "Empat kali aku menyerang. Melihat caranya dia mengelak, kepandaiannya hanya setingkat denganku. Orang semacam dia masakan melukai akangku."

   Walaupun ia memperoleh pertimbangan demikian, tetap saja ia menyerang sampai dua kali berturut-turut. Kemudian barulah dia membuka mulut.

   "Penjahat? Bagaimana kau bisa menunggangi kuda putih itu?"

   Mundingsari terhenyak. Mendadak tertawalah dia penuh pengertian. Cepat ia berba-lik dan mengusap-usap Megananda. Katanya memberi keterangan.

   "Aku pernah bergaul beberapa minggu lamanya dengan kuda ini. Itulah sebabnya, dia mengenal aku. Mengenal kudanya mengenal pula majikannya."

   Sambil memberi keterangan, ia mengusap-usap leher Megananda.

   Megananda sedikit pun tidak bergerak seolah-olah hendak berkata kepada Sekar Kuspaneti bahwa keterangan Mundingsari benar belaka.

   Sekar Kuspaneti hendak menggerakkan pedangnya lagi.

   Tiba-tiba ia membatalkan.

   Katanya di dalam hati.

   "Kuda akangku biasanya binal. Apa sebab dengan dia jinak sekali?"

   Selagi ia berbimbang-bimbangMundingsari melayangkan pandangnya.

   Tiba-tiba ia terkejut.

   Ia melihat tiga biji sawo tercecer di atas lantai bercampur tetesan darah.

   Wajahnya lantas saja berubah.

   Ia melompat dan memungut tiga buah biji sawo itu.

   Melihat gerakkan Mundingsari, Sekar Kuspaneti salah duga.

   Gadis itu mengira, Mundingsari hendak menggunakan senjata bidik.

   Maka cepat-cepat ia mencegah dengan pedangnya.

   "Hm? Kau mau kemana?"

   Mundingsari pun salah duga pula.

   Ia mengira, Sekar Kuspaneti ini anak Dadang atau Otong.

   Kalau bukan anaknyapaling tidak begundalnya.

   Ia mengira, Kilatsih dalam bahaya.

   Kalau tidak dalam bahayamungkin pula sudah kena dicelakai.

   Sebab ia tahu Kilatsih tidak akan menggunakan senjata bidikapabila keadaan tidak memaksanya.

   Maka ia membalas membentak pula.

   


Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl

Cari Blog Ini