Mencari Bende Mataram 14
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 14
Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto
Sangaji sendiri semenjak menjadi pemuda tanggung hidup di dalam tangsi militer Belanda.
Meskipun tidak setertib dan secermat Titisari, tetapi pengaruh kebersihan serdadu-serdadu Belanda sedikit banyak diwarisinya.
Dengan demikian, kedua orang itu sesungguhnya termasuk orang-orang yang bersih, tata tertib dan cermat.
Kamar tidur mereka, baik yang berada dalam markas besar di Jawa Barat, maupun yang berada di Dusun Karang Tinalang, selalu dirawatnya dengan seksama.
Kilatsih tentu saja tahu akan kebiasaan itu.
Maka tak mengherankan.
Melihat Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya mengotori pembaringan kedua kakaknya, Kilatsih tak dapat lagi menahan marahnya.
Apalagi terhadap kedua orang raja muda itu pernah ia mengadu kepandaian.
Maka sambil mendorong Dadang Wiranata ia membentak.
"Kamu tidak melayani aku. Karena itu aku pun tidak akan segan-segan terhadap kalian. Pergi!"
Tetapi, begitu tenaganya menumbuk badan Dadang WiranataKilatsih kaget sampai berjingkrak.
Ternyata ia seperti menumbuk suatu benda yang lemah luar biasa bagaikan kapuk kapas.
Itulah suatu tanda, bahwa Dadang Wiranata, sebenarnya memiliki suatu himpunan tenaga sakti tinggi luar biasa.
Teringat betapa dia pernah mengadu kepandaian dengan mereka berdua, Kilatsih jadi meragukan kemenangannya dahulu.
Apakah mereka berdua sengaja mengalah terhadapnya? Selagi hendak memutar badannya Dadang Wiranata tertawa terbahak-bahak dan Kilatsih yang mudah tersinggung mengulangi hantamannya lagi.
Juga kali ini, dia terperanjat sendiri.
Kini bukan menumbuk benda lemas, akan tetapi seakan-akan menumbuk suatu dinding besi yang sedang panas membara.
Walaupun tubuh Dadang Wiranata tergoyang kena hantamannya, akan tetapi dia masih saja tertawa.
Sedangkan tinjunya terasa nyeri.
Karena mendongkol, gadis itu lantas menghunus pedangnya.."Kalian mau pergi atau tidak?"
Bantaknya.
"Kalian membuat kotor pembaringan, kakakku. Aku tak dapat membiarkan kalian berbuat begitu."
Tetap saja kedua raja muda itu membungkam seribu bahasa.
Malahan mereka mulai memejamkan matanya.
Kilatsih merasa diri dihina.
Hatinya jadi panas.
Pedangnya lantas berkelebat menikam pinggang Dadang Wiranata.
Pedang Kilatsih adalah pedang mustika pemberian Adipati Surengpati.
Gkurannya pendek, akan tetapi tajam luar biasa.
Dengan pedang Widiana Sasi Kirana merupakan sepasang pedang yang setimpal, karena ukurannya panjang.
Dalam suatu pertarungan kerjasama, daya tempurnya sangat hebat.
Kecuali itu merupakan sepasang pedang yang dapat menembus seorang sakti yang memiliki ilmu kebal.
Terdorong oleh rasa panas hati, Kilatsih menikam Dadang Wiranata dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi begitu pedangnya bergerak, hati gadis itu menyesal sendiri.
Cepat ia membelokkan arah bidikannya.
Tidak lagi menikam pinggang, akan tetapi menikam bagian tubuh yang tidak berbahaya.
Tenaga tikamannya dikurangi tujuh bagian pula.
Namun baru saja ujung pedangnya menyentuh baju mendadak saja terasa terpeleset seakan-akan menikam suatu benda yang licin.
Tentu saja, Kilatsih kaget luar biasa.
Pada saat itu Dadang Wiranata tertawa terbahak-bahak.
"Tikamanmu seperti menggaruk luka yang gatal. Coba tolong, kau tambah tenaga tikamanmu!"
Kilatsih menjadi kalap. Raja Muda itu ternyata tak mau mengerti maksud kebaikan hatinya. Terus saja ia mendorong pedangnya dengan tenaga penuh-penuh.
"Brt."
Baju Dadang Wiranata terobek.
Kilatsih terkesiap lantaran khawatir Dadang Wiranata benar-benar kena tercublas tubuhnya.
Maka buru-buru ia menarik kembali tikamannya.
Akan tetapi lagi-lagi, ia terkejut.
Gjung pedangnya seperti kena terjepit celah pintu baja, yang sifatnya lembek.
Segera ia menariknya dengan sekuat tenaga.
Namun masih saja tak berhasil.
Ia jadi heran.
Setelah diamat- amati, ternyata ujung pedangnya kena terjepit himpunan urat- urat besar.
Walaupun demikian daya lengketnya luar biasa kuatnya.
"Ilmu sakti apakah ini?"
Wajah Kilatsih merah padam.
Hal itu disebabkan ia teringat kepada pengalamannya beberapa hari yang lalu.
Tatkala dia dan Widiana Sasi Kirana dapat mengalahkan, ia mengira dirinya menang secara mutlak.
Akan tetapi menilik pengalamannya sekarang, benar-benar ilmu sakti Dadang Wiranata jauh berada di atasnya.
Sekarang soalnya apa sebab ia dahulu mengalah kepadanya? Tetapi sebenarnya, tidaklah demikian.
Kilatsih memang kalah jauh apabila bertanding seorang lawan seorang.
Juga Widiana Sasi Kirana tidak dapat mengalahkannya.
Hanya setelah kedua muda-mudi itu bergabung, baik Dadang Wiranata maupun Otong Wurawijaya benar-benar kalah.
Sebab ilmu pedang gabungan itu benar- benar merupakan ilmu pedang sakti Jala Karawelang yang merupakan salah satu warisan Pangeran Semono pada zaman purba.
Demikianlah selagi Kilatsih berkutat menarik ujung pedangnya, mendadak tengkuknya terasa kena ditiup seseorang dari belakang.
Berbareng dengan rasa terkejutnya, terdengarlah suara kanak-kanak.
Itulah Senot Muradi yang datang memasuki kamar dengan berjingkit-jingkit.
Kata pemuda tanggung itu.
"Kau memang manusia usilan! Kenapa kau berani mengganggu kedua guruku? Nah, kau sekarang menubruk tembok. Apakah kau memerlukan bantuanku atau' tidak?"
Pada saat itu sekonyong-konyong Dadang Wiranata mengendorkan himpunan ototototnya15) dan pedang Kilatsih terlepas dari jepitannya.
"Ah benar-benar tidak memalukan engkau menjadi adik angkat junjungan kami Gusti Sangaji,"
Kata Dadang Wiranata dengan bergelora.
"Kepandaianmu sudah cukup tinggi. Agaknya engkau pun mewarisi ilmu sakti Witaradya Adipati Surengpati. Bagus! Manakala kau berhasil menggabung ilmu sakti gurumu dan ilmu sakti warisan kakakmu berdua, engkau akan menjadi seorang pendekar wanita tiada tandingnya di kemudian hari. Hai, Senot! Kau jangan besar mulut! Meskipun engkau berlatih siang malam selama tiga tahun, belum dapat menyusul ilmu saktinya. Di kemudian hari engkau bakal membutuhkan petunjuk-petunjuknya. Nah, berilah hormat kepadanya!"
Mendengar pujian Dadang Wiranata, wajah Kilatsih merasa panas.
Apalagi dengan tiba-tiba Senot Muradi benar-benar memberi hormat padanya dengan membungkukkan badannya.
Dadang Wiranata tidak bermaksud mengejeknya.
Bahwasanya seorang gadis 15 Otot-otot = urat-urat seusia Kilatsih dapat menggoyangkan tubuh Dadang Wiranata yang sedang menghimpun tenaga sakti adalah suatu kejadian yang luar biasa.
Sekiranya tidak memiliki suatu tenaga ilmu yang hebat, mustahil dia dapat menembus dinding himpunan tenaga sakti Dadang Wiranata.
Kilatsih segera tahu diri.
Kedudukannya dengan kedua Raja Muda itu terpaut sangat jauh.
Kecuali usianya yang masih muda, ia pun hanya anak seorang laskar anggota Himpunan Sangkuriang.
Kalau kedua Raja Muda itu berbicara ramah kepadanya, seolah-olah dirinya salah seorang anggota keluarga mereka, adalah karena dia bersandar kepada nama Sangaji.
Maka cepat-cepat ia memberi hormat kepada kedua Raja Muda itu.
Katanya dengan suara rendah hati sambil menyimpan pedangnya.
"Paman sekalian, maafkan daku. Terdorong oleh suatu luapan hati semata, aku sampai berani mengganggu ketentraman Paman sekalian. Itulah disebabkan paman sekalian membuat kotor kamar kakakku Sangaji berdua."
Otong Surawijaya yang berada di pembaringan kedua tertawa bergelak.
"Anak manis, jika kami berdua tidak memikul tugas kakakmu, bagaimana bisa berada dalam dusun ini? Apalagi kamar kakakmu ini sangat menyesakkan napas kami."
"Apa?"
Seru Kilatsih heran. Otong Surawijaya tertawa melalui dadanya. Menyahut sambil menuding dada Kilatsih.
"Bukankah tadi siang engkau bertempur dengan kaki tangan anjing-anjing Belanda?"
"Tidak hanya bertempur, tetapi ia dihajar pulang pergi!"
Senot Muradi menyambung.
"Lihatlah, bukankah bajunya kini menjadi putih bersih. Tadinya bajunya penuh lumpur. Malahan ia berbedak lumpur sungai pula."
Sambil berkata demikian pemuda tanggung itu mengusap-usap pinggang Kilatsih.
Tentu saja Kilatsih menjadi risih.
Dengan sekali gerak ia menyambar tangan pemuda tanggung yang jahil mulut itu, lalu digencetnya sehingga pemuda jahil mulut itu berteriak kesakitan.
"Itulah gara-garamu!"
Kilatsih mengomeli.
"Awas! Jika kau nakal lagi, akan kuhajar sampai berkaing-kaing."
"Dahulu kau telah membikin badanku penuh lumpur,"
Kata Senot Muradi.
"Hari ini aku membalasmu."
Dadang Wiranata tertawa menyaksikan pertengkaran itu. Sejenak kemudian menyambung.
"Sedang engkau saja dikejar-kejar oleh laskar-laskar anjing Belanda. Apalagi terhadap kakakmu berdua."
Kilatsih terperanjat. Teringatlah dia kepada nasib Sanjaya. Kemudian bertanya kepada Dadang Wiranata.
"Apakah alasan ini yang membuat Kangmas Sangaji dan Ayunda Titisari meninggalkan markas besar Gunung Gede?"
Kilatsih biasanya mendewa-dewakan Sangaji dan Titisari.
la menganggap kedua kakaknya itu dapat mengatasi semua kejadian apa saja.
Sama sekali ia tidak mengerti, mengapa kedua kakaknya itu bisa didesak sampai harus menyingkir dari markas besar Himpunan Sangkuriang yang berada di atas Gunung Gede.
"Kakakmu segan terhadap segala kerewelan,"
Sahut Otong Surawijaya.
"Tetapi kami berdua, justru ingin melampiaskan rasa mendongkolnya."
"Sebenarnya, kemana perginya Kangmas Sangaji dan Ayunda Titisari?"
Kilatsih minta keterangan.
"Jauh, jauh sekali,"
Jawab Dadang Wiranata. Selagi hendak melanjutkan ucapannya, tiba-tiba ia berhenti dengan memasang kupingnya. Sejenak kemudian ia berkata lagi sambil tertawa.
"Anakku Senot Muradi! Apakah engkau masih ingat semua pelajaran Hasta Sila yang kuajarkan kepadamu?"
"Tentu saja,"
Jawab Senot Muradi.
"Apakah aku harus menghafalkan kembali?"
"Kalau hanya pandai menghafal tetapi tidak mengerti daya gunanya, apakah faedahnya?"
Kata Dadang Wiranata.
"Yang penting engkau harus dapat menggunakannya terhadap lawan. Baiklah, sebentar lagi aku akan mengajarkan ilmu Hasta Sila itu di dalam prakteknya. Kau nanti dapat melihat bagaimana harus menggunakan ilmu pukulan Hasta Sila terhadap musuh yang jumlahnya jauh lebih besar."
"Bagus!"
Seru Senot Muradi.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kita akan berlatih di lapangan belakang?"
"Tidak, tetapi di dalam kamar ini,"
Jawab Dadang Wiranata.
"Tetapi engkau harus memperhatikan dengan saksama! Nah, sekarang kalian berdua bersembunyi saja di belakang almari pakaian itu!"
Baik Senot Muradi maupun Kilatsih heran atas perintah Dadang Wiranata.
Tetapi selagi hendak menanyakan maksudnya, terdengarlah tiba-tiba langkah beberapa orang memasuki halaman.
Buru-buru Kilatsih menarik tangan Senot Muradi, dan dibawanya bersembunyi di belakang lemari pakaian.
Bisik Kilatsih kepada senot Muradi.
? "Hai, anak nakal! Sebentar lagi bakal ada tontonan yang menarik hati.
Gurumu berdua ingin menggunakan musuh untuk berlatih silat, agar engkau dapat mengamat-amati dengan saksama."
Setelah berbisik demikian, gadis itu tertawa girang. Tiba-tiba saja di luar kamar terdengarlah suara teriakan seram.
"Hai, Sangaji! Engkau diperintahkan berlutut dahulu sebelum aku membacakan surat perintah Patih Danurejo."
Dadang Wiranata gusar bukan kepalang mendengar bunyi teriakan itu. Dengan meniru-niru suara Sangaji ia menyahut.
"Aku tidak sudi menerima surat Patih Danurejo dan segala pembesar anjing!"
Mereka berdua berasal dari Jawa Barat.
Karena itu meskipun suaranya mirip dengan suara Sangaji, akan tetapi bahasa Jawa yang dipergunakan masih kaku dan kacau balau sebenarnya.
Mendengar hal itu Kilatsih tak tahan lagi.
Ia tertawa terpingkal-pingkal di tempat persembunyiannya.
Katanya di dalam hati.
"Kangmas Sangaji tidak pernah menggunakan kata-kata yang begitu kasar. Walaupun dia benci terhadap musuh, belum pernah ia memaki dengan istilah anjing."
Orang-orang yang berada di luar kamar, sangat heran mendengar jawaban yang berani mati itu.
"Sangaji!"
Demikian terdengar mereka membentak.
"Mengapa engkau berani bersikap kurang ajar terhadap Patih Danurejo? Apakah engkau tak takut nanti seluruh anggota rumah tanggamu ditumpas habis?"
"Dak!"
Pintu ditendang dan terpental.
Mereka yang berada di luar berdiri berjajar menghadap ke pintu.
Di antara mereka terdapat Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa.
Orang-orang itu datang dari Jogjakarta.
Mereka membawa surat perintah Patih Danurejo untuk menangkap Sangaji dan Titisari, yang khabarnya menghilang dari markas besarnya di Jawa Barat.
Sebenarnya Patih Danurejo hendak mengirimkan dua pasukan besar untuk menangkap Sangaji dan Titisari.
Mengingat kepandaian mereka berdua sangat tinggi.
Akan tetapi karena khawatir gerakan itu akan segera diketahui Sangaji, maka ia mengurungkan niatnya.
Lalu mengirimkan tujuh orang laskar pilihan yang didatangkan dari Surakarta.
Ketujuh laskar pilihan itu adalah anak buah Letnan Suwangsa, seorang ahli pedang kenamaan.
Mereka segera berangkat menuju Desa Karang Tinalang.
Akan tetapi Sangaji dan Titisari ternyata tidak berada di rumahnya.
Mereka jadi penasaran, dan pada setiap harinya dengan bergiliran mereka mengamat-amati rumah Sangaji itu.
Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa mendapat tugas mengamat-amati Sungai Serayu.
Teman-temannya yang lain beronda di sekitar pedusunan.
Tatkala sedang beronda di Sungai Serayu, Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa bertemu dengan Kilatsih dan Senot Muradi.
Mereka menubruk tembok gara-gara Senot Muradi yang dapat menyelam di dalam air dan membocorkan perahu mereka.
Begitu pintu terpental, Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa terkesiap tetkala melihat wajah Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya yang menyeramkan.
"Siapa kau?"
Bentak Sersan Komar. Otong Surawijaya tertawa terbahak-bahak.
"Kami adalah Dadang dan Otong. Dua hantu yang ditugaskan malaikat mencabut lengan dan kaki anjing-anjing Belanda!"
"Ah! Dua bangsat kecil itu berada pula di sini!"
Seru Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa dengan berbareng. Kopral Jayeng Dipa yang penasaran segera menghantam pintu almari dengan rantai besi.
"Hahaha...!"
Otong Surawijaya tertawa berkakakan.
"Aku justru sedang mencari seutas rantai untuk membelenggu setan. Bagus! Tak pernah kuduga bahwa engkau telah membawa rantai pembelenggumu sendiri!"
Sersan Komar tertawa seram seraya menyahut.
"Di hadapan malaikat janganlah engkau mencoba menakut-nakuti orang dengan berlagak menjadi setan!"
Sersan Komar sebenarnya adalah seorang penembak ulung.
Kecuali itu dia mempunyai kepandaian melepaskan senjata bidik pula.
Demikianlah berbareng dengan bentakannya ia melemparkan sepuluh biji pelor timah mengarah kepada Otong Surawijaya yang semenjak tadi masih duduk bersila di atas pembaringan.
Luas kamar tidur Sangaji berukuran tidak lebih dari empat meter persegi.
Baik Dadang Wiranata maupun Otong Surawijaya, duduk bersila di atas dua pembaringan yang berhadap-hadapan.
Jarak antara dua pembaringan itu sangat dekat.
Menurut perhitungan, sambitan pelor timah itu pasti mengenai sasaran.
Tetapi Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya menyambut sambaran pelor-pelor timah itu dengan tertawa gelak.
Kata Otong Surawijaya.
"Ha! Terima kasih. Badanku memang sedang gatal. Enak benar garukanmu!"
Semua senjata bidik Sersan Komar tepat mengenai badan Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya, dan kemudian jatuh meluruk di atas pembaringan. Sedang mereka berdua sama sekali tidak bergeming.
"Lagi! Lagi!"
Mereka berteriak-teriak sambil tertawa terbahak-bahak.
Sersan Komar tercekat hatinya, la tertegun karena tercengang.
Pikirnya di dalam hati, apakah benar-benar sedang menghadapi dua iblis yang tidak mempan pelor timah.
Sebaliknya Kopral Jayeng Dipa gusar bukan main, mendengar dan menyaksikan kesombongan mereka.
Sambil menggerung hebat dia melompat masuk.
Begitu tiba di dekat Dadang Wiranata ia menghantamkan rantai besinya kembali yang panjangnya kurang lebih dua meter.
Sementara rantai besinya menyambar Dadang Wiranata, tangan kirinya menghantamkan seutas rantai besi yang lain kepada Otong Surawijaya.
Itulah suatu kecekatan yang luar biasa cepatnya.
"Bagus!"
Seru Dadang Wiranata sambil mengebaskan lengannya dan rantai besi itu lantas saja terpental membalik.
Terkena hantaman tenaga sakti Dadang Wiranata, Kopral Jayeng Dipa yang menggunakan seluruh tenaganya, terpukul mundur sampai terhuyung-huyung.
Dalam pada itu, dengan tenang-tenang, Otong Surawijaya menangkap rantai besi yang lain.
Dengan cepat ia menggunakan untuk melilit kedua tangan Kopral Jayeng Dipa.
Katanya sambil tertawa riuh.
"Hihahaha...! Nah, seekor anjing buduk telah terantai!"
Pada saat itu kelima temannya melompat berbareng memasuki kamar.
Sekonyong-konyong Dadang Wiranata melesat tinggi dari pembaringan dan berdiri di tengah-tengah pintu.
Dengan demikian ia mencegat jalan mundur para penyerbu.
Lalu berkata kepada Senot Muradi.
"Senot! Nah, sekarang perhatikanlah baik-baik!"
Melihat gerakan Dadang Wiranata yang gesit luar biasa itu, diam-diam hati kelima teman Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa gentar.
Tetapi mengingat jumlah rekan-rekannya lebih besar, lantas saja memberanikan diri untuk menyerang dengan berbareng.
Seorang di antara mereka memukul kepala Otong Surawijaya yang masih duduk bersila di atas pembaringan dengan sepotong tongkat besi.
Bagaikan kilat Otong Surawijaya menangkis dengan tangan kirinya dan membabat dengan tangan kanannya.
"Krak,".
pergelangan tangan orang itu patah sekaligus.
"Senot, masih ingatkah kau, pukulan apa ini? Inilah salah satu jurus Dasa Sardula!"
Seru Otong Surawijaya. Hampir berbareng dua orang menerjang lagi. Otong Surawijaya mengelak ke kiri sambil menghantam hidung mereka dengan tinjunya.
"Dak!"
Hidung mereka berdua melesak ke dalam dan mata mereka melotot keluar.
"Itulah pukulan Dasa Griwa. Nah, kau ingat-ingatlah hal ini!"
Teriak Dadang Wiranata dari samping. Kemudian berkata kepada musuh-musuhnya.
"Hai! Kalian jangan memukul terlalu cepat. Perlahan sedikit, agar muridku Senot Muradi, dapat melihat dengan jelas!"
"Cukup jelas,"
Teriak Senot Muradi dari belakang lemari dengan suara kegirangan.
Melihat gelagat tidak baik, salah seorang buru-buru membalikkan diri dan mencoba kabur.
Orang itu agaknya mahir dalam ilmu tendangan.
Dalam usahanya melewati tubuh Dadang Wiranata yang menghadang seperti dewa maut di tengah ambang pintu, ia melompat sambil mendupak.
Melihat gerakannya, Otong Surawijaya berseru kepada Dadang Wiranata.
"Akang! Sekarang giliranmu!"
Dadang Wiranata merapatkan kelima jarinya.
Bagaikan sebuah pacul ia memukul lutut orang itu.
Dengan suatu teriakan yang mengerikan, orang itu mundur sempoyongan dan jatuh terkapar di atas lantai.
Ternyata lututnya yang kena pukul Dadang Wiranata remuk.
Dadang Wiranata lantas membarengi menghantam seorang lain lagi dengan tinju kirinya sampai terpental menubruk tembok.
"Senot, itulah yang dinamakan salah satu jurus Dasa Rewanda. Hai! Kau pun tak boleh memukul begitu cepat!"
"Hahahaha...!"
Senot Muradi tertawa berkakakan sambil bertepuk-tepuk tangan.
"Guru, benar-benar hebat pukulan Dasa Rewanda. Sayang sekali, seumpama Guru berjalan bergontai, pastilah tepat benar dengan namanya. Guru akan kelihatan sebagai gorilla menerkam lawan."
Selagi Senot Muradi mengajak Dadang Wiranata berbicara, diam-diam Kopral Jayeng Dipa mengerahkan tenaga saktinya.
Dengan sekali membetot, ia berhasil melepaskan diri dari rantai ikatan.
Begitu bebas, dengan sekuat tenaga ia menghantam ketiak Otong Surawijaya.
Dengan tinju kiri Otong Surawijaya memapaki pukulannya, sedangkan telapak tangan kanannya menghantam dari atas ke bawah.
Meskipun Kopral Jayeng Dipa bertenaga besar, tetapi tak dapat melawan tenaga hantaman Otong Surawijaya yang dahsyat luar biasa.
Dengan teriakan yang menyayatkan hati tangannya berdarah dan kelima jari-jarinya remuk.
"Itulah yang dinamakan pukulan Dasa Paksi!"
Seru Otong Surawijaya. Mulutnya berbicara, tetapi tangannya terus bekerja. Dengan gerakan melilit tangannya menghantam telapak tangan seorang lawan lagi. Dengan cepat tinjunya menyusul. Lagi-lagi seorang musuh menyusul roboh terjungkir balik.
"Haaku kenal pukulan itu!"
Teriak Senot Muradi.
"Bukankah itu salah satu pukulan Dasa Sarpa?"
"Benar,"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut Dadang Wiranata dari sebelah.
"Coba lihat apakah ini?"
Bagaikan kilat Dadang Wiranata menggerakkan tinjunya menghantam seorang lawan dengan gerakan mematuk.
Sebuah tinjunya menjotos punggung, dan tinju yang lain menghantam perut.
Buru-buru orang itu mengempeskan perutnya.
Ia mencoba berkelit secepat-cepatnya.
Ia berhasil meloloskan diri.
Tetapi tak urung ia berputar-putar beberapa kali akibat sambaran angin tenaga sakti.
"Itulah salah satu jurus pukulan Dasa Paksi!"
Teriak Senot Muradi.
"Hanya sayang tidak dapat mengenai sasaran."
Orang yang terkena salah satu jurus ilmu Dasa Paksi sebenarnya adalah kepala rombongan itu.
Pangkatnya letnan muda.
Ia bernama Jayalaga.
Salah satu tangan kanan Letnan Suwangsa.
Jika Dadang Wiranata menggunakan seluruh tenaganya, ia pasti akan terjungkal roboh pada saat itu juga.
Tetapi tujuan Dadang Wiranata hanyalah untuk memberi contoh pelajaran kepada Senot Muradi,- bagaimana mempraktekkan ilmu Hasta Sila yang diwariskan kepadanya.
Karena itu ia hanya menggunakan tenaga tiga bagian saja.
Sebagai seorang ahli, Letnan Muda Jayalaga mengetahui hal itu, ia tak berani lagi menyambut pukulan Dadang Wiranata yang kedua.
Buru-buru ia meloncat minggir, dan bersembunyi di belakang salah seorang temannya.
Dadang Wiranata tertawa terbahak-bahak, serunya nyaring bagaikan geledek.
"Engkau dapat menyambut sebelah pu-kulanku. Kau boleh dihitung sebagai seorang ahli yang susah sekali kutemukan. Karena itu kali ini aku mengampuni jiwamu. Akan tetapi di kemudian hari, tak boleh kau datang lagi kemari. Apabila sampai bertemu lagi denganku di tempat ini, aku akan memukulmu sungguh-sungguh."
Sambil berkata demikian, dengan sekali menghentak ia melemparkan seorang lawan yang berada di depan Letnan Muda Jayalaga.
Orang itu terbang sekaligus dan terbanting di atas pembaringan.
Dadang Wiranata bekerja tidak kepalang tanggung.
Dengan tangan kirinya, ia menyambar Letnan Muda Jayalaga dan dilemparkan keluar kamar seperti melempar seekor ayam.
Segera terdengarlah bunyi gedu-brakan dan pecahnya genteng.
Mungkin sekali Letnan Muda Jayalaga jatuh di atas genteng kamar sebelah.
"Bagus! Bagus!"
Teriak Senot Muradi.
"Tetapi itu bukan salah satu jurus Hasta Sila. Guru, pukulan apakah itu namanya?"
"Benar. Memang itu bukan salah satu jurus yang berasal dari ilmu Hasta Sila,"
Jawab Dadang Wiranata.
"Nah sekarang muncul lagi salah satu jurus pukulan Hasta Sila,"
Berbareng dengan perkataannya, dia menghampiri orang yang tadi terbanting di atas pembaringan.
Dengan sekali hantam, orang itu yang baru saja hendak merangkak bangun, roboh terjengkang di atas pembaringan yang lain.
Demikianlah Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya menghajar pulang pergi ketujuh lawannya, sehingga mereka menjadi babak belur dan mata mereka berkunang-kunang.
Sebenarnya mereka ingin melarikan diri, tetapi maksud itu tak dapat dilakukan karena di tengah pintu menghadang Dadang Wiranata seperti dewa maut.
Ilmu Hasta Sila yang dipergunakan Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya adalah ilmu sakti gabungan yang terdiri dari delapan macam.
Itulah sebabnya dinamakan Hasta (delapan) Sila.
Ialah.
Dasa GriwaDasa SardulaDasa Rewanda Dasa PaksiDasa HandakaDasa Sarpa Dasa Waraha dan Dasa Baruna.
Sebenarnya ilmu sakti Hasta Sila pada zaman dahulu, diambil dari nama tokoh-tokoh delapan Wasu yang terusir dari Sorgaloka.
Kedelapan Wasu itulah yang mewariskan ilmu saktinya masing-masing kepada seorang ksatria sakti bernama Dewabrata.
Masing-masing bagian terdiri dari sepuluh (dasa) jurus.
Kemudian hari ksatria Dewabrata menjadi seorang Brahmana yang sakti luar biasa.
Konon dikhabarkan, bahkan dewa-dewa sendiri tak ada yang mampu mengalahkannya, berkat ilmu sakti Hasta Sila.
Tetapi menurut tulisan Mahabharata, sesungguhnya ilmu sakti Hasta Sila dipergunakan sebagai latihan kesehatan tubuh dan latihan menghimpun kekuatan rohaniah.
Tetapi seorang sakti pada zaman kini merubah tata latihan rohaniah itu menjadi pukulan-pukulan sakti tiada tara.
Dia tetap menggunakan nama ilmu sakti Hasta Sila.
Sebenarnya pukulan-pukulan sakti yang diwariskan kepada angkatan mendatang adalah ciptaannya sendiri.
Barangkali ia begitu tertarik kepada ceritera tentang Dewabrata, sehingga ilmu ciptaannya dinamakan Hasta Sila.
Mungkin pula dimaksudkan untuk menjunjung tinggi dan meluhurkan dewa-dewa di khayangan.
Ilmu pukulan Hasta Sila dahsyat luar biasa.
Apabila tepat mengenai sasaran, ia merupakan ancaman bahaya yang sukar sekali untuk disembuhkan.
Setelah ilmu sakti Hasta Sila berada di tangan Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya, kedua pendekar itu menamakan ilmu sakti itu dengan Aji Gineng.
Menghadapi musuh tangguh betapapun tangguhnya, mereka berdua tak menggunakan senjata.
Hanya tatkala mereka menghadapi Widiana Sasi Kirana dan Kilatsih terpaksalah menggunakan senjata.
Tatkala kena dikalahkan oleh gabungan ilmu pedang mereka, tak mengherankan Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya heran bukan kepalang.
Tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa dalam satu kali nanti ilmu sakti Hasta Sila yang sangat dibangga-banggakan dapat dikalahkan oleh sepasang muda-mudi yang baru muncul dalam percaturan masyarakat.
Hal itu disebabkan karena sesungguhnya segala ilmu sakti yang terdapat di seluruh dunia ini bersumber satu.
Dan yang mewarisi ilmu sakti Jala Karawelang adalah seorang maha sakti yang sudah memiliki puncak-puncak dari semua ilmu sakti yang terdapat di seluruh jagad.
Tidaklah mengherankan, bahwa salah satu ilmu warisannya yang bernama Jala Karawelang dapat mengalahkan ilmu sakti Hasta Sila yang sesungguhnya merupakan percikan dan bagian dari puncak ilmu sakti warisan sang maha sakti pada zaman purba.
Seperti diketahui, ilmu sakti Jala Karawelang adalah warisan Pangeran Semono yang hidup entah berapa ribu tahun yang silam.
Kecuali ilmu sakti Jala Karawelang, Pangeran Semono mewariskan dua ilmu sakti lagi.
Ialah ilmu sakti yang terdapat pada ukiran keris Kyai Tunggulmanik dan yang berada pada pusaka Bende Mataram.
Semenjak Sangaji menjadi ketua Himpunan Sangkuriang, teringatlah dia selalu kepada saudara angkatnya Sanjaya yang telah menjadi orang cacat kaki.
Hal itu se-ringkali dikemukakannya di hadapan'para raja-raja muda.
Sebagai pembalas budi rakyat Jawa Barat kepada Sangaji, Raja Muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya menyediakan diri untuk menjadi guru Sanjaya.
Tentu saja kesediaan mereka berdua diterima oleh Sangaji dengan hati penuh rasa syukur.
Maka mulai saat itu Raja Muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya, seringkali berkunjung ke rumah Sanjaya.
Dengan tekun mereka melatih Sanjaya sehingga bekas putera Pangeran Bumi Gede ini menjadi manusia lain.
Meskipun cacat kaki, tetapi tubuhnya kuat luar biasa.
Ia memiliki pukulan- pukulan dahsyat berkat Aji Gineng yang diwarisinya dari kedua raja muda tersebut.
Sesudah Sanjaya meninggal dunia, kedua Raja Muda itu mengambil Senot Muradi sebagai muridnya.
Segala rahasia intisari ilmu sakti Hasta Sila diturunkan kepadanya.
Akan tetapi karena usianya masih sangat muda, Senot Muradi belum dapat menangkap seluruh intisarinya.
Sekarang dengan menyaksikan pukulan-pukulan kedua gurunya terhadap tujuh laskar Mangku-negaran yang dikirimkan Patih Danurejo ke Dusun Karang Tinalang, membuat anak muda itu maju dengan cepat.
Dengan mudah ia bisa memahami dan menangkap bagian- bagian yang tadinya masih gelap baginya.
Dalam pelajaran praktek itu, bukan saja Senot Muradi akan tetapi Kilatsih pun memperoleh keuntungan luar biasa banyaknya.
Selagi Kilatsih memusatkan seluruh perhatiannya ke arah jalannya pertarungan itu mendadak Senot Muradi bertanya.
"Hai, apakah pada hari itu engkau bisa bertemu dengan Ayah?"
Memperoleh pertanyaan dengan tiba-tiba itu-hati Kilatsih tercekat.
Barulah ia tahu bahwa bocah itu belum mengetahui kema-tian orang tuanya.
Di antara ketujuh laskar Kompeni yang menyerbu rumah Sangaji itu, Sersan Komar sudah dalam keadaan setengah mati.
Letnan Muda Jayalaga sudah terlempar keluar kamar, sedangkan kelima laskar lainnya kecuali Kopral Jayeng Dipamenderita luka-luka berat.
Bahkan Kopral Jayeng Dipa dapat terlolos dari luka berat, sama sekali bukan karena kepandaiannya lebih tinggi daripada kawan-kawannya, akan tetapi lantaran kelicikannya belaka.
Ia selalu main petak, dan bersembunyi di belakang kawan- kawannya.
Sesaat itu dengan satu pukulan geledeg, Dadang Wiranata memukul roboh dua orang temannya.
Sedangkan Kopral Jayeng Dipa pun terpental mundur sehingga jatuh terguling-guling ke dalam kolong pembaringan.
Selagi merangkak-rangkak bangun, mendadak ia melihat Senot Muradi sedang berbicara dengan Kilatsih di belakang lemari pakaian.
Melihat mereka berdua, hatinya geram dan panas bukan kepalang.
Dengan mendadak saja ia melepaskan dua batang senjata bidiknya yang berbentuk anak panah sepanjang jari.
Senot Muradi yang sedang menanyakan tentang keadaan ayahnya, sangat terperanjat tatkala melihat anak panah menyambar.
Buru-buru ia mengangkat tangannya hendak mencoba menangkis.
Tetapi Kilatsih sudah mendahuluinya.
Dengan suatu kecepatan yang luar biasa ia menyentilkan dua biji sawo yang semenjak tadi telah digenggamnya, untuk berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Kedua batang anak panah itu terpental jatuh di atas lantai.
Dan hampir berbareng dua biji sawo menyambar tenggorokan Kopral Jayeng Dipa.
Dengan suara teriakan yang menyayat hati Kopral Jayeng Dipa terpental tinggi hampir-hampir kepalanya membentur atap rumah.
Otong Surawijaya tertawa berkakakan dan tangannya menyambar.
Pada detik itu badan Sersan Komar juga terlempar keluar kamar dengan tulang remuk akibat kena remasan ilmu Hasta Sila.
Gerakan Kilatsih menyentil jatuh kedua anak panah dan dengan berbareng melepaskan dua biji sawonya.
Benar-benar mengagumkan Senot Muradi, karena gerakan itu cepat luar biasa.
"Ayunda, engkau benar-benar hebat!"
Katanya.
"Ilmu sakti guru yang diwariskan kepadaku sangat sukar dipelajari. Akan tetapi di kemudian hari aku dapat menyusul kepandaianmu. Pada hari ini saja hatiku sudah merasa puas sekali."
Mendengar ucapan Senot Muradi, Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya, yang tadinya mengira Kilatsih adalah seorang pemuda, menjadi heran berbareng kagum.
Entah apa sebabnya tiba-tiba saja mereka berdua menjadi iri hati.
Di dalam hatinya masing-masing mereka berjanji hendak mendidik Senot Muradi menjadi seorang pendekar yang ulung, barulah akan diserahkan kembali kepada Sangaji.
Sesudah berhasil melukai musuh, sedang Senot Muradi bertepuk tangan lantaran rasa girangnyaKilatsih sendiri nampak berme-nung-menung mengerutkan alisnya, seakan- akan sedang berduka.
"Ayunda! Kau kenapakah?"
Tanya Senot Muradi.
"O ya, sampai dimana kita tadi berbicara? Oh ya. Apakah hari itu kau dapat bertemu dengan Ayah?"
"Benar! Ia meninggalkan dua rupa barang. Sebentar akan kuserahkan kepadamu,"
Sahut Kilatsih.
"Kalau begitu, engkau benar-benar telah bertemu dengan Ayah!"
Kata Senot Muradi setengah bersorak.
"Biarlah barang itu nanti saja kuterima. Hai, coba lihatlah dulu! Indah sungguh pukulan Guru!"
Pada saat itu Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya sedang menghujani empat lawannya yang masih agak segar dengan pukulan-pukulan dahsyat.
Meskipun demikian pukulan- pukulan dahsyat tersebut sudah diperhitungkan daya tekanannya.
Setiap tinju membuat lawan terjungkal roboh di atas pembaringan.
Begitu merangkak-rangkak bangun, mereka segera menghantam lagi dengan pukulan yang lain, sehingga keempat lawannya kembali roboh terjengkang.
Begitulah mereka menghajar keempat lawannya pulang pergi, sehingga jatuh bangun tak keruan macam.
"Senot Muradi, perhatikanlah ini!"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seru Dadang Wiranata.
"Inilah pukulan Dasa Sarpa. Semuanya ada sepuluh jurus. Lihat! Akan kuperlihatkan kepadamu sejurus demi sejurus."
Benar-benar sial nasib keempat laskar itu.
Badan mereka dijadikan karung pasir untuk melatih pukulan.
Siapa pun mengetahui, bahwa barang siapa yang mempunyai ilmu kepandaian tata tempur, secara wajar akan.
mengerahkan tenaganya untuk melawan bilamana kena serang.
Itulah sebabnya dalam menghadapi hujan pukulan kedua Raja Muda itu mereka berempat sangatlah menderitanya.
Sebelum Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya menghabiskan sepuluh jurus pukulan Dasa Sarpa, tenaga keempat laskar itu sudah musnah sama sekali.
Keringatnya mengucur membasahi pembaringan.
Keadaan mereka tak ubah lampu yang kehabisan minyak, tinggal menunggu padamnya saja.
Dua di antara mereka sampai terkencing- kencing di tempat, sehingga hawa dalam kamar itu menjadi pesing.
Kilatsih yang mendewa-dewakan Sangaji dan Titisari menganggap kamar kedua kakaknya itu seolah-olah rambut kepalanya.
Melihat mereka terkencing-kencing di atas pembaringan, tanpa dapat menguasai diri, lantas saja berteriak.
"Hai! Jangan kau kotori pembaringan kakakku. Paman, lemparkan saja mereka keluar! Lama kelamaan kamar ini jadi basah tak keruan..."
Senot Muradi yang jahil mulut lantas menyambung.
"Biarkan saja ayunda. Ingin aku tahu manusia ini mempunyai persediaan air kencing berapa botol."
Mendengar ucapan anak nakal itu, Kilatsih mencibirkan bibirnya, tetapi ia tidak membuka mulut lagi.
Dalam pada itu Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya tertawa terbahak- bahak.
Saling bergantian mereka menyambar badan keempat lawan satu persatu, kemudian dilemparkan keluar kamar.
Yang terakhir Dadang Wiranata mencengkeram punggung Kopral Jayeng Dipa.
Kemudian dengan menggunakan tenaga saktinya dua bagian, tulang punggung Kopral itu dipatahkan.
Sambil melontarkan tubuh korbannya, Dadang Wiranata membentak.
"Hai, anjing! Laporkan semua pengalamanmu ini kepada majikanmu. Jika dia sampai berani memerintah orang lain lagi, mengganggu junjungan kami Gusti Sangaji, dia akan mengalami nasib seperti kamu semuanya ini. Tahu?"
Pada masa mudanya, baik Dadang Wiranata maupun Otong Surawijaya merupakan dua pendekar yang dapat membunuh orang tanpa berkedip.
Tetapi sesudah usiataya lanjut, adat mereka yang berapi-api lambat laun menjadi agak padam.
Kali ini kecuali Sersan Komar dan Kopral Jayeng Dipa yang telah dihajarnya sehingga menjadi cacad, empat orang laskar lainnya masih dapat menuntut penghidupan sebagaimana mestinya seperti orang lumrah.
Walaupun ilmu sakti mereka telah musnah seluruhnya.
Di antara ketujuh laskar yang memasuki rumah Sangaji, hanyalah Letnan Muda Jayalaga yang beruntung.
Di kemudian hari setelah luka-luka yang dideritanya sembuh, ilmu saktinya tidak musnah.
Bahwa Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya tidak mengambil jiwa ketujuh laskar itu, sudahlah membuktikan bahwa mereka telah melanggar adat kebiasaan sendiri.
Bagi orang yang mengenal siapa Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya, akan berkata bahwa kedua raja muda itu kini sudah memiliki rasa belas kasihan.
Sesudah menyapu bersih lawan-lawannya, Otong Surawijaya berkata kepada Senot Muradi.
"Senot! Hari ini engkau kurang mujur. Ilmu sakti Hasta Sila belum dapat kita perlihatkan seluruhnya. Kukira hanya setengah."
"Separo sudah cukup. Lainnya, bukankah bisa kita lanjutkan di kemudian hari?"
Sahut Senot Muradi dengan gembira.
"Separo ini saja sudah cukup memusingkan kepalaku beberapa bulan lamanya."
"Ah, anak edan! Bagaimana bisa kita memperoleh lagi kesempatan yang begini baik?"
Senot Muradi hendak membuka mulutnya kembali, akan tetapi Kilatsih segera menegur.
"Kau dengarkan perkataan gurumu itu!"
Kemudian kepada kedua raja muda.
"Paman berdua, jika kakakku Sangaji melihat kamarnya begini kotor, pastilah ia akan menyesali paman berdua."
Dengan tersenyum Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya keluar kamar. Kilatsih dan Senot Muradi mengikuti dari belakang.
"Paling sedikit tiga tahun lagi, kedua kakakmu baru bisa kembali pulang kemari,"
Kata Dadang Wiranata.
"Aku berani bertaruhdia tidak akan marah."
"Apakah paman berdua pernah bertemu dengan kedua kakakku?"
Tanya Kilatsih.
"Apakah ada sesuatu pesan yang diperuntukkan kepadaku? Sesungguhnya kema-nakah perginya kakakku berdua? "Aduh! Benar-benar hebat adik Gusti Sangaji ini!"
Kata Otong Surawijaya.
"Kami berdua mengadu jiwa demi kedua kakakmu, akan tetapi engkau hanya teringat kepadanya berdua saja. Sama sekali tiada ucapan terima kasih kepada kami."
Kilatsih memoncongkan bibirnya sambil menyahut.
"Paman berdua telah mengadu jiwa? Kapan? Sebentar tadi paman berdua berkelahi demi memberi pelajaran kepada muridmu ini. Sama sekali bukan untuk kepentingan kedua kakakku."
"Ha! Benar-benar engkau seorang gadis yang tidak mengenal budi!"
Seru Otong Surawijaya dengan tertawa riuh.
"Engkau tahu? Aku mengajar Senot Muradi ini sebenarnya untuk memenuhi kehendak kakakmu juga."
"Sudahlah,"
Potong Dadang Wiranata.
"Kami datang ke sini, tiga hari yang lalu. Pada waktu itu, kedua kakakmu baru saja berangkat. Mereka berdua mendesak kepada kami, agar cepat-cepat meninggalkan daerah Karang Tinalang. Sebab menurut warta yang didengar kakakmu, keadaan wilayah Jawa Tengah pada saat ini sangat genting. Rupanya Beliau mencemaskan kami. Tetapi justru kami ingin bertempat tinggal di dalam rumah Beliau untuk menghadapi lawan-lawan yang mengganggu ketentraman desa ini."
"Ayunda! Jangan kau telan mentah-mentah keterangan Guru!"
Tungkas Senot Muradi.
"Sebab hanya separuh benar separuh tidak."
"Separuh benar dan separuh tidak, bagaimana?"
Kilatsih tak mengerti.
"Guru hanya ingin menggodamu. Memang kami bertiga bertemu dengan Paman Sangaji. Tetapi di tengah jalan dan bukan di sini. Begitu bertemu Guru minta izin pada Paman Sangaji hendak meminjam pusaka entah apa namanya. Karena Paman Sangaji sedang tergesa-gesa, Guru dipersilakan menunggu kedatanganmu di sini. Itulah yang kumaksudkan separuh benar dan separuh tidak,"
Senot Muradi memberi keterangan.
"Bagaimana Kangmas Sangaji tahu, aku pasti datang kemari?"
Kilatsih heran.
"Sewaktu Paman Sangaji meninggalkan Jawa Barat, Guru berdualah yang ditugaskan mencarimu. Guru lantas memancingmu memasuki istana batu. Bukankah begitu? Kemudian Guru mendahului kemari. Beliau yakin, engkau bakal menyusul. Itulah sebabnya, aku diperintahkan menjemputmu."
"Ah! Sekarang barulah agak jelas,"
Kilatsih hendak membuka mulutnya tatkala Otong Surawijaya tertawa terbahak-bahak. Kata Raja Muda itu.
"Bagus! Belum lagi kalian berkumpul satu hari penuh sudah terjalin suatu persatuan. Inilah namanya sebuah botol bertemu dengan tutupnya. Baiklah, kami jelaskan! Memang kakakmu berdua sudah dapat menduga, bahwa engkau akan datang kemari. Karena itu Beliau berpesan kepadaku, agar engkaulah yang membawakan pusaka yang hendak kami pinjam."
"Pusaka? Pusaka apa?"
Kilatsih heran.
"Pedang Sokayana. Pusaka Bumi Priangan!"
Jawab Otong Surawijaya.
Pedang Sokayana dahulu dipersembahkan kepada Sangaji sebagai suatu hadiah.
Beratnya melebihi enampuluh kilogram.
Konon khabarnya dahulu adalah pedang pusaka Kyai Haji Lukman Hakim, pendekar sakti Cirebon.
Setelah berada di tangan Sangaji, ia hanya menggunakannya sebagai alat latihan penyalur tenaga sakti.
Sebab semenjak ia mencoba ilmu saktinya di atas dataran Gunung Cibugis menghadapi bermacam-macam puncak kepandaian tidaklah perlu lagi dia menggunakan senjata.
Dalam perjalanan pulang ke kampung halaman meninjau ayah mertuanya, pedang Sokayana disimpannya di Dusun Karang Tinalang.
Dimana ia menyimpannya, hanya Kilatsih yang mengetahui.
Mendengar dua raja muda itu hendak meminjam pedang Sokayana, Kilatsih sangat heran.
"Gntuk apa Paman pinjam pedang . Sokayana?"
"Seorang anak yang belum pandai beringus, janganlah mencampuri persoalan orang-orang tua!"
Sahut Otong Surawijaya.
"Serahkan saja kepada kami!"
"Baik, aku akan menyerahkan. Akan tetapi paman berdua harus memberi keterangan yang benar alasan meminjam pedang tersebut. Kecuali itu, Paman harus menerangkan dimana Paman bertemu dengan Kangmas Sangaji dan Ayunda Titisari. Dan Kangmas Sangaji berdua membicarakan soal apa? Sesudah Paman memberi keterangan tiga pertanyaanku tadi, barulah aku menyerahkan pedang Soka-yana."
Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya mendongak menatap awan. Paras mereka berdua hebat dan seakan-akan nyaris kehilangan kesabaran. Akhirnya Otong Surawijaya berkata.
"Ah! Kau benar-benar bocah edan! Apakah perempuan di seluruh jagad ini dilahirkan untuk mengacau rencana kerja laki-laki? Hayolahcepat! Kau tunjukkan dimana kakakmu menyimpan pedang pusaka. Sambil berjalan kami akan menceritakan semua. Hayo, berangkat!"
Melihat paras wajah mereka bersungguh-sungguh, tak berani lagi Kilatsih berayal-ayalan. Segera ia keluar rumah dan berjalan memutari sebuah anak bukit. Dadang Wiranata, Otong Surawijaya dan Senot Muradi mengikuti di belakangnya.
"Nah, dengarkan!"
Ujar Otong Surawijaya sambil berjalan.
"Sebenarnya kami pun mendaki Gunung Gede hendak memberi laporan tentang kedatangan dua musuh besar. Mereka berdua inilah guru besar para pendekar yang pernah dikalahkan kakakmu di atas dataran tinggi Gunung Cibugis. Rupanya mereka berpenasaran dan berniat hendak menantang kakakmu mengadu sakti. Akan tetapi kami berdua tidak sudi membiarkan mereka bisa menantang junjungan kami. Kami berdua lantas memancing mereka bertempur. Dengan demikian mereka berdua berbalik memusuhi kami. Sayang sekali, tatkala kami memasuki markas besar Himpunan Sangkuriang yang berada di atas Gunung Gede, kakakmu sudah meninggalkan tempat. Kami memperoleh keterangan bahwa Kompeni Belanda di Jakarta, sedang mengerahkan angkatan perangnya besar-besaran untuk menyerbu markas besar Himpunan Sangkuriang. Menimbang bahwa tenaga perlawanan tidak sebanding, maka kakakmu meninggalkan markas besar dengan tergesa-gesa. Sehingga terpaksalah kami mengejar. Dengan petunjuk rekan-rekan perjuangan, pada hari ketiga kami bertemu dengan kakakmu di tepi telaga. Segera kami laporkan tentang kedatangan dua orang guru besar yang hendak menantang beliau. Kedua musuh itu sebenarnya adalah dua saudara kembar yang tua bernama Windu Aji sedangkan yang muda bernama Guntur Aji. Kami pernah mencoba dan menjajal-jajal ilmu kepandaian mereka. Benar-benar gagah perkasa. Meskipun kami tidak perlu kalah melawan mereka, akan tetapi untuk memenangkan perkelahian itu kami membutuhkan senjata berat. Hal itu kami sampaikan kepada kakakmu. Dengan serta merta kakakmu menyetujui. Beliau menyarankan agar kami berusaha mencari kau. Sebab satu-satunya keluarga kakakmu yang mengetahui dimana pedang Sokayana tersimpan hanyalah engkau sendiri. Disamping masalah dua musuh besar itu sebenarnya kami hendak membicarakan tentang Senot Muradi. Akan tetapi kedua kakakmu nampaknya tergesa-gesa sekali, sehingga kami tidak berkesempatan untuk membicarakannya."
Kilatsih benar-benar heran mendengar keterangan itu.
Siapakah Windu Aji dan Guntur Aji itu? Nampaknya Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya agak kuwalahan.
Dari mulut ke mulut ia pernah mendengar kegagahan kedua raja muda itu, bahkan dirinya juga pernah menjajal kepandaian mereka, yang memang hebat luar biasa.
Menurut kakaknya, ilmu kepandaian Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya sukar dicari tandingannya dalam dunia ini.
Jika kedua raja muda itu nampak segan terhadap Windu Aji dan Guntur Aji, pastilah mereka merupakan dua lawan sakti yang luar biasa hebatnya.
Otong Surawijaya mendongak melihat cuaca.
Katanya agak mendesak.
"Celaka! Sekarang sudah memasuki hari keempat. Segera mereka akan datang. Sebab kami berjanji kepada mereka berdua akan memberi tanda-tanda di sepanjang jalan, kemana arah pergi kami. Di sepanjang jalan kami selalu meninggalkan suatu tantangan. Pada suatu tempat tertentu mereka akan kami lawan secara berhadap-hadapan. Maka itu cepatlah serahkan pedang Sokayana kepada kami!"
Sebenarnya Kilatsih masih ingin mengajukan beberapa pertanyaan.
Akan tetapi mendengar desakan itu, ia lalu mengurungkan niatnya.
Buru-buru ia memasuki sebuah gua yang terletak di belakang anak bukit.
Ternyata gua itu merupakan gudang mustika tempat menyimpan benda-benda berharga.
"Mari masuk!"
Kata Kilatsih mendahului memasuki gua.
Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya segera menyalakan obor, kemudian mereka bersama-sama masuk ke dalam.
Di tengah-tengah gua itu, nampaklah pedang Soka- yana.
Otong Surawijaya segera menghampiri dan mengangkat pedang itu, kemudian tertawa puas.
"Hahaha...! Hebat. Hebat sekali! Benar-benar cocok,"
Setelah berkata demikian ia memperlihatkan pedang itu kepada Dadang Wiranata. Kemudian ia mendahului keluar gua.
"Sebenarnya aku ingin minta bantuan kakakmu,"
Kata Dadang Wiranata kepada Kilatsih.
"Tetapi karena kakakmu tidak berada di sini, maka aku ingin minta bantuan kalian berdua."
Senot Muradi adalah seorang pemuda tanggung yang nakal.
Seperti pemuda-pemuda tanggung di seluruh dunia ini gemar sekali akan suatu keramaian yang membawa ketegangan.
Mendengar permintaan gurunya, segera ia menyanggupi.
Tetapi Kilatsih tidak menjawab.
Ia nampak heran dan menebak- nebak.
"Bagaimana kami berdua bisa melawan musuh Paman yang begitu perkasa?"
"Aku tidak memerintahkan kalian berdua bertempur melawan mereka. Aku hanya meminta agar kalian memancing mereka memasuki suatu tempat yang kami kehendaki. Lihatlah kedua bukit itu. Di sana kami menunggu mereka. Nah, berangkatlah sekarang juga memancing mereka!"
Tanpa berkata suatu apa lagi, Senot Muradi lantas mendahului berlari-lari kencang. Kilatsih segera menyusul, sambil berseru.
"Senot! Bagaimana kita harus memancing mereka? Tunggulah, kita berdamai dahulu!"
"Mau berdamai perkara apa?"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sahut Senot Muradi.
la hendak membuka mulutnya lagi akan tetapi tiba-tiba terlihatlah berkelebat -nya dua bayangan manusia di kejauhan.
Kedua orang itu mengenakan jubah panjang.
Pundaknya tertutup dengan sutera putih.
Kepalanya memakai sorban putih pula, mirip sorban haji.
Hidungnya mancung.
Bermata tajam dan dalam sekali.
Apa yang luar biasa ialah bahwa mereka tidak hanya berpakaian kembar, akan tetapi baik perawakan maupun bentuk wajah mereka seperti pinang dibelah dua.
Perbedaan yang terdapat pada badannya hanyalah terletak pada telinganya.
Yang berada di sebelah kanan tidak mempunyai kuping sebelah kiri, sedangkan yang di sebelah kiri tidak mempunyai kuping kanan.
"Benar-benar luar biasa!"
Seru Senot Muradi sambil tertawa.
"Mereka benar-benar sama rupa seperti yang digambarkan Guru. Tak bisa salah lagi, pastilah mereka saudara kembar itu. Ha! Dua saudara kembar berlawan- lawanan dengan kedua guruku yang aneh. Sungguh, merupakan tontonan yang menarik!"
Hebat gerakan mereka. Baru saja Senot Muradi menutup mulut, mereka dengan berbareng telah tiba seratus meter di depan. Kilatsih menjadi gugup. Segera ia menoleh kepada Senot Muradi. Anak nakal itu lantas berkata ketus.
"Nah, biarlah aku memancing mereka. Akan tetapi Ayunda harus pandai-pandai menggunakan biji sawomu! Sekarang aku pergi."
Sesudah berkata demikian dengan berlari-lari, ia menghampiri sebatang pohon asam.
Kilatsih tak tahu apa yang hendak 218 dilakukan anak nakal itu.
Tetapi segera ia mengikuti dan bersembunyi dalam jarak beberapa meter dari pohon itu.
Beberapa saat kemudian, Windu Aji dan Guntur Aji sudah memasuki Dusun Karang Tinalang.
Dengan berbekal ilmu kepandaiannya yang sangat tinggi, sudah barang tentu mereka mengetahui belaka bahwa di atas pohon ada seseorang yang bersembunyi.
Tetapi menimbang bahwa yang nongkrong di atas pohon hanya seorang anak-anak, mereka tidak begitu menaruh perhatian.
Mereka menduga, anak itu lagi memetik buah asam.
Demikianlah sambil berjalan, mereka berbicara dalam bahasa Sunda.
Tetapi, selagi mereka lewat di bawah pohon asam tersebut, mendadak ada air mancur mengucur ke bawah.
Itulah perbuatan anak nakal Senot Muradi, yang sengaja mengencingi mereka dari atas.
Melihat pancaran air mancur yang turun bagai hujan gerimis, mereka melompat mundur berbareng dengan gesit.
Meskipun cepat gerakan mereka, tak urung masih kecipratan air kencing juga.
"Hai, anak nakal!"
Bentak Windu Aji dalam bahasa Jawa.
"Apakah kau minta gebug?"
Hampir berbareng mereka menyerang, yang satu mengebas dengan tangan kirinya, yang lain menghantam dengan tangan kanan dari jarak kira-kira dua meter.
Itulah pukulan udara yang daya tekanannya luar biasa dahsyat.
Digempur dua kali, ranting dan daun-daun pohon asam itu rontok berguguran.
Bahkan pohonnya yang perkasa itu sendiri sampai bergoyang-goyang.
Menyaksikan kejadian tadi, Kilatsih yang bersembunyi tak jauh dari pohon asam tersebut, terkesiap hatinya.
Cepat luar biasa ia melepaskan dua biji sawonya.
Dengan bersuling dua biji sawo Kilatsih menyambar tangan mereka.
Setelah itu ia menyusuli dengan enam biji sawo lagi sekaligus.
"Ih!"
Mereka terkejut.
Windu Aji segera meloncat ke kiri dan Guntur Aji meloncat ke kanan.
Masing-masing menggerakkan tangannya saling memotong untuk menangkap sambaran delapan biji sawo.
Biji-biji sawo Kilatsih sebenarnya tajam luar biasa, karena ujungnya berlapiskan baja.
Tapi mereka sama sekali tidak menghiraukan.
Dengan sekali bergerak, delapan biji sawo masuk ke dalam tangannya.
Sesaat kemudian sambil tertawa terbahak-bahak mereka membuka tangan dan kedelapan biji sawo itu hancur berkeping-keping.
Dalam pada itu sambil berjungkir balik Senot Muradi hinggap di atas tanah dan segera lari terbirit-birit.
Bocah nakal itu sadar, bahwa tenaga pukulan udara yang dipergunakan Windu Aji dan Guntur Aji hanya tenaga bagian saja.
Hal itu disebabkan kare'-na mereka tidak bermaksud mencelakakannya.
Mereka hanya ingin merobohkan Senot Muradi ke tanah.
Kemudian hendak dicacinya kalang kabut.
Andaikata mereka menggunakan seluruh tenaganya, Senot Muradi pastilah sudah tidak bernapas lagi.
Windu Aji dan Guntur Aji memang sepasang saudara kembar.
Mereka berumur kira-kira tujuhpuluh tahun.
Meskipun demikian, berkat ilmu kepandaiannya mereka menjadi guru besar.
Banyak pendekar-pendekar sakti di Jawa Barat yang berguru kepada mereka.
Maka dapat dimengerti betapa kehormatan mereka tersinggung tatkala sekalian anak-anak muridnya kena dikalahkan Sangaji di dataran tinggi Gunung Cibugis.
Demi menjaga kehormatan diri, mereka turun gunung untuk mencari Sangaji.
Tetapi menimbang bahwa Sangaji bukanlah seorang pendekar lumrah, maka mereka berdua giat berlatih beberapa tahun lamanya.
Sesudah yakin bahwa dirinya kini telah mampu mengalahkan Sangaji, barulah mereka mengadakan perjalanan Tak terduga selagi mereka berusaha mencari Sangaji, di tengah jalan kena cegat Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.
Mereka lantas bertempur mengadu kepandaian.
Kekuatan kedua belah pihak seimbang.
Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya tak dapat mengalahkan mereka.
Sebaliknya, mereka pun tak dapat mengalahkan Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.
Seperti Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya mereka juga memiliki suatu pukulan sakti.
Ialah pukulan keras dan lembek, yang dapat dilakukan dengan berbareng.
Tadi tatkala hendak menjatuhkan Senot Muradi ke atas tanah, mereka menggunakan pukulan keras dan lembek dengan berbareng meskipun hanya menggunakan tenaga tiga bagian, namun mereka yakin, bocah itu akan jatuh dari pohon dalam keadaan pingsan.
Mereka heran tak terkira tatkala melihat Senot Muradi dapat melarikan diri tanpa luka sedikit pun.
Rasa keheranannya makin menjadi besar, sewaktu Kilatsih melepaskan delapan senjata bidiknya yang sangat dahsyat.
Windu Aji tertawa terbahak-bahak dan berkata dalam bahasa Sunda pada adiknya.
"Ah! Sama sekali tak kuduga, bahwa di dusun sesunyi ini muncul dua bocah belum pandai beringus yang berkepandaian tinggi. Eh, biarlah aku mengambil yang besar dan engkau yang kecil!"
Windu Aji bermaksud hendak mengambil Kilatsih menjadi muridnya, sedangkan adiknya dianjurkan hendaklah mengambil Senot Muradi menjadi ahli warisnya.
Seperti guru besar di seluruh bumi ini, selalu berusaha untuk menemukan calon-calon pewarisnya yang berbakat.
Mereka merasa sayang, bahwa ilmu kepandaian yang sudah mereka capai dengan susah payah akan hilang lenyap dari permukaan bumi tanpa bekas tanpa cerita.
"Bagus!"
Jawab Guntur Aji menyetujui usul saudaranya.
Dengan sekali menjejak tanah, mereka melesat duapuluh meter jauhnya, ke depan.
Berbareng dengan itu mereka mengirimkan pukulan-pukulan udara dengan menggunakan tenaga lima bagian.
Kilatsih yang sedang, lari terbirit-birit merasakan sambaran angin yang sangat tajam, menyusul larinya.
Secara wajar, ia meloncat ke pinggir.
Walaupun pukulan itu dilancarkan dari tempat yang agak jauh, namun badannya tak urung tergoncang juga beberapa kali.
* Windu Aji makin terheran-heran.
Setelah menyaksikan bahwa pukulannya yang lebih berat itu masih belum mampu merobohkan Kilatsih.
Sesudah mengubar seratus meter lagi, tiba-tiba saja dia menghantamkan kedua tinjunya sekaligus.
Kali ini ia menggunakan tenaga delapan bagian.
Mendengar kesiur angin, Kilatsih mengetahui bahwa ia sendiri masih mampu mempertahankan diri, akan tetapi Senot Muradi pasti akan roboh.
Benar-benar Kilatsih tak memalukan telah menyematkan nama sebagai murid Adipati Surengpati berbareng menjadi adik angkat Sangaji dan Titisari.
Pada saat yang genting itu, sambil menyambar Senot Muradi, ia melompat setinggi enam meter lebih.
Kemudian berseru kepada Senot Muradi.
"Jangan bergerak!"
Tepat pada saat itu berkelebatlah sambaran angin dahsyat di bawah kakinya.
Segera Kilatsih melemparkan Senot Muradi ke dalam barisan batu yang terdapat di bawah kaki bukit, la sendiri dengan suatu letikan yang sangat indah melayang turun di depan deretan batu, di sebelah Senot Muradi.
Dalam pada itu Windu Aji dan Guntur Aji telah menyusul pula.
Melihat mereka menyusul begitu cepat, Kilatsih berteriak dengan nada mengejek.
"Idiiih! Tak kenal malu, menghina anak kecil. Kalau berani, carilah Ayah kami!"
Diejek demikian kedua saudara kembar ini merandek. Karena tak mau kalah gertak, Windu Aji menyahut dengan suara gemuruh.
"Angkatlah aku menjadi gurumu. Engkau akan menjadi ahli warisku!"
"Apakah kepandaianmu sampai berani menawarkan diri menjadi guruku?"
Balas Kilatsih dengan tajam.
Tangan Windu Aji menyambar dan mencoba mencengkeram pundak Kilatsih.
Bagaikan kilat Kilatsih menikam dengan pedangnya yang bersinar berkeredepan.
Arah tikamannya menyambar dada.
Kemudian membelok menusuk ketiak.
Tikaman ini adalah serangan maut yang merupakan salah satu jurus terhebat dari ilmu pedang Witaradya.
Melihat serangan sehebat itu, Windu Aji agak tekejut.
Ia tak menduga bahwa seorang pemuda yang masih berbau kekanak-kanakan itu telah memiliki ilmu pedang yang begitu tinggi nilainya.
Meskipun ia seorang guru besar, namun tak berani ia berlaku sembrono.
Sambil mengelak, ia menyentil ujung pedang dengan jari tangannya.
"Tring!"
Dan pedang Kilatsih hampir-hampir terlepas dari tangan.
Oleh karena tujuan Kilatsih hanya untuk memancing mereka, tikamannya tadi tidaklah bersungguh-sungguh.
Di samping menyerang, mengandung unsur untuk mundur.
Demikianlah dengan meminjam tenaga tolak musuh, ia meloncat mundur membarengi pedangnya yang hampir terpental dari tangannya.
Cepat luar biasa ia menyelinap di balik jajaran batu-batu bukit.
Tentu saja.
Windu Aji tidak takut kepada deretan batu-batu yang berada di depannya.
Dengan sekali meloncat ia masuk pula ke dalam barisan batu.
Di luar dugaannya Kilatsih dapat menggunakan deretan batu itu dengan baiknya.
Dengan suatu gerakan yang sangat cepat, ia berputar-putar di antara jajaran batu-batu.
Dengan suatu isyarat Kilatsih dan Senot Muradi bermain kucing-kucingan.
Mereka muncul dan menghilang dengan cepatnya.
Windu Aji tidak mengkhawatirkan dirinya kena selomot bocah-bocah itu.
Akan tetapi dpermainkan secara begitu, mata mereka lambat laun terasa berkunang-kunang juga.
Dengan geram ia mempercepat larinya dan memanjangkan langkah, sambil sekali-kali menjambret dengan tangan terulur.
Meskipun telah berusaha dengan keras, namun kedua mangsanya tetap luput dari cengkeraman.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menyaksikan saudaranya kena dipermainkan dua bocah cilik, Guntur Aji ikut pula masuk ke dalam jajaran batu-batu tersebut.
Ia menjadi juru pencegat.
Tetapi dua bocah itu sangat licin.
Setiap kali akan kena hadang Guntur Aji, tiba-tiba mereka melesat ke samping dengan berputar-putar pada batu-batu yang di dekatnya.
Kemudian mundur mendaki bukit.
Melihat gerakan mereka, Windu Aji menjadi curiga.
Pikirnya.
"Agaknya mereka punya rencana tertentu. Celakalah kalau mereka berdua ini sebenarnya adalah utusan kedua iblis itu. Tujuanku memang akan mencari mereka. Tapi kenapa aku kini kena dipermainkan dua bocah cilik."
Memperoleh pikiran demikian ia tertawa geli sendiri. Kemudian ia menoleh kepada adiknya.
"Guntur! Jangan membuang-buang tenaga! Melihat tanda- tanda pengenal, kedua iblis itu berada di atas bukit ini. Kalau mereka sudah selesai kita bereskan, barulah nanti kita urus kedua bocah itu!"
Guntur Aji memanggut. Lalu ia mengarahkan pandangnya ke arah bukit. Dalam pada itu, Senot Muradi yang sudah berada di pinggang bukit berteriak.
"Hei! Kamu berdua tadi bilang hendak mengambilku menjadi murid. Hayolah tangkap aku! Kejar aku!"
Kena diejek oleh si bocah yang belum pandai beringus, hati Windu Aji dan Guntur Aji menjadi panas juga.
Seolah-olah saling berjanji, mereka melesat hendak menerkam bocah yang jahil mulut itu.
Tetapi lagi-lagi anak itu menghilang di balik jajaran batu-batu, seakan-akan tikus yang menyelusup kian kemari di antara batu-batu sambil terus berputar-putar.
Walaupun tinggi ilmu kepandaian mereka, namun lama kelamaan menjadi geregetan juga, karena sekian lama -belum juga berhasil menangkap kedua bocah itu.
Selagi mereka mengejar Senot Muradi, kembali lagi Kilatsih muncul dengan tiba-tiba di samping mereka, sambil berteriak-teriak mengejek untuk membuat hati mereka mendongkol.
Benar saja Guntur Aji menjadi dengki hatinya.
Menuruti rasa hati, sambil membentak ia mencabut jajaran batu yang beratnya entah berapa ratus kilogram.
Setelah mengeluarkan tenaga terlalu banyak, ia baru berhasil dapat merobohkan dan menyingkirkan beberapa batu-batu.
Dengan tak dikehendaki keringatnya mengucur sangat derasnya, sehingga bermanik- manik di muka dan merasa lemas pula.
Melihat hal itu, Windu Aji segera memperingatkan, agar jangan terlalu menuruti gejolak hati yang panas.
"Hayolah! Jangan hiraukan mereka! Mari kita daki bukit ini!"
Setelah berkata demikian, ia lalu mendahului mendaki.
Guntur Aji segera mengikuti.
Dan baru saja mereka berdua mencapai pinggang bukit, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang nyaring dan aneh.
Mereka segera mendongak ke atas.
Melihat Dadang Wiranata serta Otong Surawijaya berdiri tegak bagaikan dua raksasa yang sedang menghadang mangsa.
Dadang Wiranata memegang sebatang pedang raksasa, sedangkan Otong Surawijaya membawa sarung pedang berukuran besar sekali.
Itulah sarung pedang mustika Sokayana.
Dengan membekal senjata itu, mereka menatap kedua lawannya dengan pandang mata berkilat-kilat.
Windu Aji dan Guntur Aji kaget bukan kepalang.
Dan sebelum mereka sempat membuka mulut, kembali Dadang Wiranata tertawa berkakakan seraya berseru.
"Hihaha... menghadapi muridku saja kalian tidak berdaya. Bagaimana kalian berani mengejar kami, apalagi kalian ingin bertemu dengan junjungan kami Gusti Sangaji. Lebih baik kamu berdua pulang saja selagi badan dan nyawamu masih utuh!"
"Hmm!"
Dengus Windu Aji.
"Manusia yang memancing musuh dengan segala akal bulus, bukanlah seorang pendekar yang gagah. Jika kalian benar-benar pendekar jempolan hayo turunlahbertempur dengan kami sampai ada kenyataan siapa yang menang dan siapa yang mampus!"
"Bagus!"
Sahut Otong Surawijaya yang ringan mulut.
"Baiklah, jika kalian tidak mau menyerah kalah, kita boleh bertempur lagi." .Kedua belah pihak berasal dari Jawa Barat. Mereka bertengkar mulut dengan bahasa Sunda. Meskipun Kilatsih semenjak kanak-kanak berada di Jawa Tengah, akan tetapi ia mengerti bahasa Sunda lumayan juga berkat asuhan Titisari yang rajin memberi pelajaran bahasa kepadanya. Mendengar caci maki dari kedua belah pihak, hatinya ikut berdebar-debar. Hebat suara mereka masing-masing. Angker dan aneh luar biasa, seolah-olah bisa menggugurkan bukit-bukit. Tatkala itu terdengarlah Dadang Wiranata.
"Hai, Windu Aji dan Guntur Aji. Kami mau melayanimu berdua, apabila kalian sanggup menerima pukulan kami dari udara. Lihatlah! Aku bawa pedang tumpul ini. Pedang ini hendak aku lemparkan ke bawah. Nah, beranikah kalian menangkap!"
"Kenapa tidak? Hayolah lemparkan. Akan kuterima dengan dada terbuka,"
Sahut Windu Aji dengan suara menggeledek.
Sesudah masing-masing bersumbar16) baik Dadang Wiranata maupun Windu Aji saling bersiaga.
Dengan mendadak Dadang Wiranata melemparkan pedang Sokayana.
Hebat tenaga lontaran Dadang Wiranata..
Apalagi dia berada di atas bukit.
Sedang pedang itu sendiri mempunyai berat lebih dari enampuluh kilo.
Dengan suara mengaung, pedang Sokayana menyambar ke bawah.
Bagaikan kilat Windu Aji meloncat menyambar dengan mementangkan kedua lengannya guna menangkap pedang tersebut.
Di luar dugaan, tenaga lontaran pedang Sokayana hebat luar biasa.
Tiba-tiba saja ia terhantam dadanya sehingga tubuhnya terpental menumbuk batu gunung.
Guntur Aji melihat kakaknya dalam bahaya.
Dengan kecepatan yang susah dibayangkan, ia melompat menyambar tubuh kakaknya.
Tetapi tepat pada saat itu, kembali lagi terdengar suara meraung, dan tubuh Guntur Aji terpelanting ke bawah, kena hantaman sarung pedang Sokayana yang dilontarkan oleh Otong Surawijaya.
Saling susul, kedua saudara kembar tadi rebah di atas tanah dengan pundak mereka terluka.
Kepandaian Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya dengan Windu Aji dan Guntur Aji, adalah setanding.
Jika mereka bertempur dalam keadaan biasa di atas tanah datar, belum tentu dapat ditentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang dalam waktu tiga hari tiga malam.
Tetapi sebentar tadi, dengan mengandalkan berat pedang Sokayana, Dadang Wiranata berhasil melontarkan tubuh Windu Aji, dan Otong Surawijaya berhasil merobohkan Guntur Aji dengan sarung pedang.
Hal itu ada sebabnya.
Windu Aji an adiknya tadi kena dipermainkan oleh Kilatsih dan Senot Muradi, sehingga sedikit banyak mengurangi tenaganya.
Guntur Aji pun tadi terpaksa sibuk menyingkirkan batu-batu raksasa yang dipakai sebagai perlindungan oleh kedua anak nakal tadi, sehingga tenaganya berkurang banyak.
Untunglah dalam usahanya mengelakkan diri, mereka hanya terpukul pundaknya masing-masing saja.
Andaikata pedang mustika itu tepat mengenai dadanya, pastilah sudah jiwanya takkan tertolong lagi.
Begitu pula hantaman sarung pedang yang dilontarkan Otong Surawijaya, tidak mengenai kepala.
Dengan demikian, mereka berdua selamat.
Akan tetapi himpunan tenaga saktinya termusnah.
Gntuk memulihkan seperti semula harus dibutuhkan paling tidak satu tahun lamanya.
Senot Muradi adalah seorang pemuda tanggung yang tak kenal takut.
Akan tetapi menyaksikan adu tenaga yang demikian hebat, ia terkesiap dan hanya dapat mengawaskan dengan mulut ternganga-nganga.
Dengan hati kagum, ia menyaksikan bagaimana Windu Aji dan Guntur Aji berusaha hendak menangkap pedang Sokayana beserta sarungnya.
Apabila mereka tidak memiliki suatu himpunan tenaga dahsyat, urat-urat pundak mereka yang kena terhantam telak17) pasti akan putus.
Namun, ternyata tidak demikian.
Itu suatu tanda bahwa mereka berdua memiliki suatu tenaga sakti yang dahsyat luar biasa.
Setelah kena hantaman pedang Sokayana dan sarungnya, Windu Aji dan Guntur Aji terpental menabrak jajaran batu-batu.
Kena tumbukan tubuh mereka, jajaran batu-batu tersebut pecah hancur berhamburan.
Dapatlah dibayangkan, bahwa himpunan tenaga saktinya melebihi manusia yang sudah terhitung golongan pendekar.
Senot Muradi begitu kagumnya, sehingga ia tak melepaskan ucapan mengejek, tetapi buru-buru ia menghampiri mereka dan berusaha menolong membangunkan.
Windu Aji memelototinya sambil terus meletik bangun.
"Bocah! Hatimu baik sekali. Nampaknya engkau hendak mencoba menolong aku. Bagus!"
Berbareng dengan kata-katanya, tangannya menyambar dan dengan gampang dapat menangkap Senot Muradi.
Setelah dapat diputar-putar beberapa kali, dengan tangan kirinya, ia menepuk punggung dan pantat bocah nakal itu.
Tentu saja Kilatsih yang berada tidak jauh darinya terkejut bukan kepalang.
Gugup ia melompat hendak menolong.
Tetapi tangan Windu Aji bukan main cepatnya.
Dalam sekejap mata saja ia sudah berhasil menepuk punggung dan pantat Senot Muradi tiga kali berturut-turut, kemudian didorongnya pergi.
Mendadak saja Senot Muradi terbungkuk-bungkuk sambil memegang-megang perutnya.
Kemudian lari cepat-cepat bersembunyi di balik batu besar.
"Senot! Kau terluka?"
Tanya Kilatsih dengan suara cemas. Senot Muradi mencongakkan kepalanya lalu menjawab.
"Hai hai hai! Jangan kemari! Aku mau buang air....."
Kilatsih mendongkol berbareng geli hati. Tetapi melihat wajah Senot Muradi tiada berubah, hatinya menjadi lega. Tiba-tiba terdengarlah teriakan Dadang Wiranata.
"Kilatsih! Karena mereka telah berbuat baik terhadap adikmu, jangan kau permainkan mereka lagi. Biarlah mereka pergi dengan aman tenteram!"
"Dadang Wiranata!"
Teriak Windu Aji dengan suara mendongkol.
"Tak sudi aku menerima budi baikmu ini."
Dadang Wiranata tertawa terbahak-bahak.
"Apakah kalian masih ingin mengadu tenaga dengan kami? Jikalau kalian masih ingin mengadu tenaga, paling sedikit kami harus menunggu satu tahun lagi. Lihatlah aku masih mempunyai sebatang bindi."
Setelah berkata demikian, ia melontarkan bindinya ke arah bongkahan batu.
Kena hantaman bindinya, batu itu terbelah menjadi dua.
Baik Windu Aji dan Guntur Aji tahu bahwa Dadang Wiranata hendak memperlihatkan tenaganya, la hendak mengesankan bahwa tenaganya masih utuh.
Melihat kenyataan itu mau tak mau Windu Aji dan Guntur Aji harus bisa membawa diri.
Dengan mendongkol Windu Aji berkata.
"Baiklah. Engkau masih bertenaga utuh. Hanya sayang, tenagamu itu hanya bisa kau simpan dalam waktu satu tahun saja. Sebab pada tahun depan, kami berdua akan mencarimu sampai ketemu."
Setelah berkata demikian, dengan membimbing saudaranya ia menuruni bukit dengan tertatih- tatih. Kilatsih segera mengantarkan dengan hormat. Melihat Kilatsih berjalan di belakangnya, Windu Aji menoleh.
"Apakah engkau murid kedua iblis itu?"
Kilatsih menggelengkan kepala.
"Guruku bernama Adipati Surengpati, Sangaji dan Titisari adalah kedua kakakku yang memberi tambahan kepandaian pula kepadaku."
"Hm, Sangaji!"
Windu Aji menggerendeng.
"Baiklah, aku menerima kebaikanmu ini. Aku tidak akan melupakanmu."
Sesudah mereka berlalu, Kilatsih mendaki bukit.
Di tengah jalan ia bertemu dengan Senot Muradi yang baru saja selesai buang air besar.
Benar-benar mengherankan, dalam waktu sekejap saja wajah Senot Muradi yang sebentar tadi nampak segar bugar, menjadi pucat dan tubuhnya mendadak menjadi kurus.
"Kau kenapa?"
Kilatsih minta keterangan dengan cemas. Tetapi si Nakal itu tertawa saja.
"Tak kurang suatu apa. Aku tadi hanya bertelor terus menerus. Akan tetapi kini aku merasa nyaman sekali."
Semenjak mengikuti Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya, Senot Muradi diwarisi bermacam ilmu sakti.
Terdorong oleh nafsu ingin cepat pandai, anak nakal itu menggunakan tenaganya berlebih-lebihan.
Siang malam ia berlatih.
Akibatnya, kadang-kadang ia merasakan dadanya nyeri.
Akan tetapi belum sadar bahwa ia menderita semacam penyakit dalam.
Sebagai seorang guru besar, dengan sekali melihat saja, tahulah Windu Aji apa yang sedang diderita oleh bocah itu.
Menimbang bahwa bocah itu bersikap baik terhadapnya, ia segera menepuk punggungnya tiga kali, dengan maksud memberi pertolongan.
Kena tepukan himpunan tenaga saktinya, pada detik itu juga, hawa kotor yang merumun di dalam badan Senot Muradi turun ke bawah.
Dan mendadak isi perutnya keluar.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah Senot Muradi memperoleh hawa bersih kembali, badannya kembali menjadi segar.
Tepukan himpunan tenaga sakti Windu Aji di kemudian hari sangat besar faedahnya, karena membantu latihan-latihan Senot Muradi yang berat-berat.
"Pantas saja.....
"
Gerendeng Kilatsih.
"Pantas saja bagaimana?"
Senot Muradi menegas.
"Pantas saja kedua gurumu berada dalam kamar Kangmas Sangaji. Tak tahunya mereka sesungguhnya lagi menunggu kedatangan musuh yang perkasa tadi. Sebelum bertemu berhadap-hadapan mereka perlu berlatih dahulu,"
Tanya Kilatsih, sebelum Senot Muradi hendak membuka mulut.
"Pada malam itu sesudah mengurung Mundingsari di dalam kamar depan,"
Jawab Senot Muradi.
"Kemudian, aku meninggalkan rumah. Sewaktu tiba di mulut dusun aku bertemu dengan kedua guruku itu. Aku kenal mereka karena mereka pernah berkunjung ke rumah. Begitu bertemu, Paman Dadang Wiranata lantas berkata begini. 'Senot Muradi! Ada dua orang jahat mencari ayahmu. Lebih baik engkau jangan pulang ke rumah.' Aku lantas menjawab, bahwa bila benar- benar ada dua orang penjahat hendak mencari ayahku, samalah halnya dengan mencari maut sendiri. Akan tetapi kedua guruku tadi membujukku agar tidak pulang saja. Katanya. 'Senot, ke-pandaianmu masih sangat rendah. Tak dapat engkau membantu ayahmu. Jika engkau pulang, ayahmu harus melindungi dirimu. Engkau sendiri mungkin bisa kena dilukai penjahat itu. Dalam pada itu terpaksalah ayahmu harus membagi perhatian kepadamu. Percayalah. Kedua orang yang datang hendak mencari ayahmu itu bukanlah tandingannya. Karena itu lebih baik engkau ikut. Aku akan membawa engkau pergi menemui pamanmu Sangaji. Dahulu ayahmu dan pamanmu Sangaji merupakan saudara angkat. Terus terang saja, kami diperintahkan pamanmu Sangaji untuk mencarimu dan membawamu menghadap kepadanya. Itulah sebabnya kami datang ke tempat ini. Karena kami segan mengganggu ayahmu yang sedang mempunyai persoalan penting, lebih baik kami langsung mengajakmu pergi. Di kemudian hari, pamanmu Sangaji bakal menemui ayahmu untuk memberi khabar tentang dimana engkau berada. Sementara ini kami pun sudah meninggalkan suatu tanda, di depan rumahmu. Malam ini setelah berhasil mengusir kedua penjahat itu, ayahmu pasti melihat tanda-tanda itu. Mungkin sekali ayahmu terus menyusulmu pula untuk menemui pamanmu Sangaji.' Demikianlah kata-kata Guru kepadaku. Hm! Ayunda, engkau sudah bertemu dengan ayahku. Apa sebab sewaktu ayunda berangkat ke Jawa Barat dengan maksud hendak bertemu dengan Paman Sangaji tidak bersama-sama Ayah? Apakah Ayah tidak dapat melihat tanda yang ditinggalkan kedua guruku itu?"
Mendengar ceritera Senot Muradi serta pertanyaannya, Kilatsih menjadi sangat berduka. Katanya di dalam hati.
"Ah, sungguh sayang! Paman Dadang Wiranata dan Paman Otong Surawijaya, pastilah hanya melihat dua orang yang datang terlebih dahulu. Sungguh sayang! Pastilah yang dilihat Paman Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya, Ampyak Siti dan Taker CJrip. Mereka tidak mengetahui bahwa Kapten Kartasasmita dan Wiranegara datang pula berturut-turut. Jika Paman Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya tahu akan hal itu, pastilah mereka akan membantu."
Melihat Kilatsih tidak segera menjawab, Senot Muradi segera bertanya dengan tidak sabar.
"Ayunda, kau kenapakah? Hai! Kenapa tiba-tiba matamu menjadi merah? Apakah engkau kena maki ayahku? Atau hatimu masih mendongkol karena mungkin sekali Ayah memperlakukan engkau kurang manis. Benarkah begitu? Ah, sudahlah! Jangan menangis. Berkali-kali Ayah mengesankan padaku, bahwasanya seorang pendekar itu berkali-kali tidak boleh meneteskan air mata..."
Akan tetapi kedua mata Kilatsih yang nampak menjadi merah, dengan tiba-tiba, meneteskan air mata.
Melihat hal itu, Senot Muradi heran bukan main.
Teringat dia bahwa Kilatsih mengenakan pakaian seorang pemuda bukanlah seorang pria.
Sehingga mungkin sekali ada kata-kata ayahnya yang menusuk perasaannya.
Sekonyong-konyong Kilatsih membuka mulutnya dan berkata dengan suara terputus-putus.
"Senot....! Ayahmu...terbunuh!"
Rasa terkejut Senot Muradi seperti orang kena tersambar geledek, la seakan-akan tak percaya kepada telinganya sendiri, sehingga menjadi tertegun-tegun. Tetapi sejenak kemudian, ia berteriak.
"Apa? Kau bilang apa? Ayahku mati terbunuh?"
Kilatsih memanggut.
"Benar! Dibunuh beberapa manusia keparat!"
Senot Muradi menatap wajah Kilatsih dengan penuh selidik. Berteriak dengan suara menggeletar.
"Bohong! Dusta! Bohong! Ayahku seorang pendekar yang jarang tandingnya. Betapa mungkin ia sampai kena terbunuh mati! Kau bohong!"
Sambil menyusut air mata, Kilatsih memperlihatkan sebatang pedang dan sobekan baju yang berlumuran darah. Itulah pedang dan sobekan lengan baju Sanjaya yang diserahkan kepada Mundingsarikemudian kena dirampasnya.
"Senot benar katamu!"
Katanya sambil menyerahkan pedang dan sobekan legan baju yang berlumuran darah kepada Senot Muradi.
"Ayahmu seorang pendekar jarang tandingnya. Mereka pun kena terbunuh tangan ayahmu sendiri. Sakit hati ayahmu telah dibalasnya sendiri. Hanya saja... karena luka-lukanya, ayahmu meninggal pula..."
Melihat kesungguhan wajah Kilatsih, tak dapat lagi Senot Muradi menyangsikan. Seketika itu juga wajahnya menjadi pucat lesi. Suatu gumpalan suara tersumbat di dalam kerongkongan lehernya. Lalu meledak menyayatkan hati.
"Ayah....!"
Gugup Kilatsih melihat wajah Senot Muradi yang begitu pucat seumpama tiada berdarah. Ia berusaha membujuk.
"Meskipun ayahmu mati, akan tetapi dengan hati lapang. Pedang mustika ini diwariskan kepadamu. Beliau mengharap dengan pedang ini engkau akan mencari pamanmu Sangaji. Setelah bisa mewarsi ilmu sakti pamanmu itu, engkau didambakan kelak menjadi seorang ksatria sejati."
Mendengar ucapan Kilatsih yang lemah lembut kedua mata Senot Muradi justru menjadi merah.
Dengan pandang beringas ia menatap wajah Kilatsih.
Tiba-tiba ia menumbuk dadanya dengan tangan kiri.
Kemudian menangis dengan menggerung- gerung.
Dengan sedapat-dapatnya, Kilatsih mencoba membesarkan hati bocah itu.
Ia membungkuk dan menyusuti air mata Senot Muradi dengan sapu tangannya dengan hati berduka.
Bujuknya lagi.
"Senot! Ayahmu bukankah seringkali berkata kepadamu, bahwa seorang ksatria sejati tidak boleh meneteskan air mata?"
Senot Muradi masih menangis meng-gerung-gerung serintasan. Sekonyong-konyong ia menegakkan kepalanya. Kemudian menghunus pedang warisan ayahnya. Sambil membelah-belah udara, ia berteriak.
"Baiklah! Aku memang tak boleh menangis. Sekarang aku tak menangis lagi. Aku tak menangis lagi...."
Akan tetapi air matanya masih terus bertetesan tiada hentinya.
Kilatsih meraih Senot Muradi hendak menyeka air matanya.
Akan tetapi Senot Muradi mundur selangkah sambil menolak.
"Aku tidak menangis lagi! Dengarkan sumpahku! Aku bersumpah akan membunuh semua manusia jahat di seluruh dunia dengan pedangku ini.
Ayunda! Ajarilah aku ilmu pedang.
Engkau mau bukan?"
"Asal saja engkau mempunyai kemauan keras, dan rajin belajar serta berlatih, pastilah ilmu kepandaianmu di kemudian hari sangat tinggi,"
Kata Kilatsih.
"Kedua gurumu dan pamanmu Sangaji sudah pasti akan mewariskan semua kepandaiannya kepadamu."
Sedang mulutnya membujuk dengan kata-kata menghibur, sebenarnya hati Kilatsih sendiri seperti tersayat-sayat.
Betapa tidak.
Walaupun akhirnya mati, akan tetapi Sanjaya berhasil menumpas pembunuh-pembunuhnya.
Sebaliknya sakit hati ibunya yang mati penasaran, belum dapat ia membalaskannya.
Juga ayahnya yang mati tak keruan, kepada siapakah ia hendak menuntutkan dendam? Teringatlah dia pula kepada nasib ayah angkatnya.
Sorohpati pun mati terajang.
Sampai hari ini ia yang merasa berhutang budi kepada ayah angkatnya itu, belum dapat melampiaskan dendamnya.
Teringat akan hal tu selagi mulutnya menghibur Senot Muradi, ia menangis sendiri.
Mendadak terdengarlah suara menegur.
"Ah! Mengapa kamu berdua menangis?"
Mendengar teguran itu, kedua-duanya menoleh. Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya sudah berada di belakangnya tanpa mereka ketahui.
"Paman Sanjaya mati terbunuh. Aku sedang membujuk dan menghibur hatinya agar jangan bersedih,"
Sahut Kilatsih sambil menyusut air matanya.
"Ha? Sanjaya mati? Apakah dia dibunuh orang-orang yang datang pada malam itu?"
Tanya Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya berbareng dengan terkejut. Kilatsih kemudian menceritakan bagaimana Sanjaya mati sebagai laki-laki sejati. Betapa dengan gagah berani dia membinasakan keempat penyerangnya- dengan sekaligus.
"Bagus! Dia hidup sebagai laki-laki, mati sebagai laki-laki juga. Itulah benar-benar muridku!"
Seru Dadang Wiranata. Seperti diketahui setelah Sanjaya cacat kakinya, Sangaji yang sudah menjadi ketua Himpunan Sangkuriang memohon kepada Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya agar mewariskan ilmu saktinya Aji Gineng kepada saudara angkatnya itu.
"Senot!"
Kata Dadang Wiranata lagi.
"Engkau harus merasa bangga mempunyai ayah seperti dia!"
Kemudian berpaling kepada Kilatsih dan berkata pula.
"Sebenarnya aku hendak menyerahkan Senot Muradi kepadamu. Tetapi mengingat ilmu kepandaiannya masih jauh dari sempurna, maksudku itu segera kuurungkan. Aku malu kepada kakakmu. Apabila aku tidak sanggup memanjatkan ilmu kepandaian bocah ini, sejajar dengan ayahnya, maka tadi kami berdua sudah mengambil keputusan hendak membawanya ke Jawa Barat. Setelah ia mempunyai kepandaian yang berarti, barulah aku mengirimkan kembali kepada, kakakmu. Tolong sampaikan hal ini kepada Beliau. Bagaimana pendapatmu?"
"Aku setuju,"
Sahut Kilatsih.
"Rencana paman berdua adalah demi kebaikan Senot Muradi di kemudian hari. Hem! Sekarang aku mohon Paman menceritakan perihal kakakku!"
"Kakakmu memberi kabar kepada kami hendak menyeberang ke Karimun Jawa!"
Dadang Wiranata memberi keterangan.
"Ayah mertua kakakmu yang juga menjadi gurumu, pada tahun ini akan merayakan hari ulang tahunnya. Maka kepergian kakakmu ke Karimun Jawa mempunyai dua tujuan. Yaitu untuk menjauhkan incaran pihak Kompeni Belanda, dan berbareng memberi ucapan selamat kepada gurumu, Adipati Surengpati."
Kilatsih mengerutkan keningnya.
Meskipun keterangan Dadang Wiranata dapat dibuat pegangan, tetapi ia tidak percaya bahwa alasan kakaknya berdua meninggalkan Gunung Gede adalah semata-mata untuk menjauhkan diri dari incaran Kompeni Belanda.
Pastilah kakaknya mengandung suatu maksud dan tujuan yang lebih beralasan lagi.
Selagi hendak menyatakan .
pendapatnya itu, Dadang Wiranata berkata lagi.
"Kilatsih, sebenarnya kakakmu titip sepucuk surat untukmu. Tadi kusimpan di bawah alas pembaringan di dalam kamar tidur kakakmu."
Mendengar kakaknya menulis surat untuknya, hati Kilatsih menjadi terharu. Benar-benar kakaknya itu menaruh perhatian besar kepadanya, la hanya menyesal, apa sebab tidak dapat bertemu muka dengan berhadap-hadapan.
"Menurut dugaanku, sesudah tujuh anjing budak-budak Belanda mendapat hajaran keras, mereka tak akan berani mengganggu rumah kakakmu. Setidak-tidaknya untuk sementara waktu,"
Ujar Dadang Wiranata setelah berdiam sejenak.
"Bila engkau menyusul kakakmu ke Karimun Jawa, hindarilah kota-kota besar. Rupanya, di dalam ketenangan suasana kota, bersembunyi suatu persekutuan yang mempunyai maksud tertentu. Kudengar, Pangeran Diponegoro pulang ke Tegalrejo. Pastilah terjadi sesuatu di dalam lingkungan istana Sultan Jarot yang tidak enak. Kudengar pula bahwa Patih Danurejo bersekutu dengan pihak Belanda. Jangan-jangan dia sengaja menyingkirkan Pangeran Diponegoro agar pemerintahan dapat dikuasainya penuh- penuh. Itulah sebabnya aku berpesan kepadamu, agar engkau berhati-hati dan berwaspada. Sesudah kami berhasil mendidik Senot Muradi, kami berdua akan mencari kakakmu. Sekarang apabila engkau bertemu dengan kakakmu haraplah engkau menyampaikan sembah kesetiaan kami kepadanya. Sewaktu- waktu apabila Beliau membutuhkan tenaga kami, selalu bersedia."
Setelah berkata demikian, bersama Otong Surawijaya dan Senot Muradi, Dadang Wiranata meninggalkan Dusun Karang Tinalang menuju ke Jawa Barat.
Kini Kilatsih berada seorang diri di dalam kesenyapan alam yang melingkupi.
Kala itu matahari nyaris tenggelam di balik gunung.
Suasana alam telah menjadi remang-remang.
Burung-burung melintasi udara mencari sarang-sarang peristirahatannya.
Suasana dusun menjadi sunyi muram.
Sama sekali tiada nampak letikan dian.
Hal itu membuat hati Kilatsih heran semenjak tadi.
Dengan langkah perlahan-lahan Kilatsih balik ke rumah dengan berbagai masalah yang merumun di dalam benaknya.
Hawa dingin mulai meraba tubuh.
Angin kencang membungkuk-bungkuk puncak mahkota daun sehingga menggelisahkan burung-burung yang mencoba hinggap di dahannya.
Begitu memasuki rumah, Kilatsih segera menyalakan lampu.
Terdorong oleh rasa ingin tahu, segera ia memasuki kamar tidur Sangaji.
Cepat ia membuka alas pembaringan dan ia menemukan sebuah bungkusan yang berisi dua pucuk surat.
Surat yang pertama terang sekali adalah tulisan Sangaji.
la kenal akan gaya tulisannya yang angkar berwibawa.
Sedang lainnya surat dari Ayundanya Titisari.
Gaya tulisannya rapih dan tajam.
Suatu tanda bahwa penulisnya memiliki otak yang maha cemerlang.
Dengan hati berdebar-debar ia membuka sampul surat Sangaji.
Seperti orangnya, suratnya berbunyi sederhana saja.
Tiada kembangnya sama sekali akan tetapi terang gamblang.
Kilatsih, dewasa ini Kompeni Belanda sibuk benar.
Untuk mengurangi korban, aku hendak beristirahat dahulu ke Karimun Jawa.
Bukankah hari ulang tahun gurumu sudah dekat? Pemuda yang menemanimu adalah cucu Gusti Ratu Bagus Boang.
Aku menghendaki engkau membantunya.
kakakmu, Sangaji Membaca surat Sangaji, Kilatsih agak terhibur.
Ia merasa seperti berhadap-hadapan dengan pribadi kakaknya yang agung dan sederhana.
Akan tetapi setiap kalimatnya mengandung suatu masalah yang besar.
Pikirnya, eh! Apakah hubunganku dengan Sasi Kirana...
Ah, jangan-jangan Paman Dwijendra yang memberi laporan.
Akan tetapi dugaannya itu segera ditariknya kembali.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya di dalam hati.
"Paman Dwijendra mengira aku seorang pemuda dan menjadi menantunya. Tak mungkin dia bisa membawa cerita berkepanjangan. Satu-satunya yang bisa cerita hanyalah Paman Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya. Bukankah mereka berdua pernah bertemu dengan Kangmas Sangaji? Kalau bukan merekasiapa lagikalau bukan Paman Otong Surawijaya....."
Tetapi justru memperoleh dugaan demikian, hatinya sibuk tak keruan.
Apakah maksud kakaknya menghendaki ia membantu Widiana Sasi Kirana? Pikir Kilatsih lagi, Kangmas tahu, bahwa pada hari ulang tahun guru aku pasti berada di sana.
Apa sebab dia menyinggung Sasi Kirana? Apakah sebelum aku menyeberang ke Karimun Jawa, Widiana Sasi Kirana memerlukan tenagaku? Gntuk apa? Tentang apa? Makin ia mencoba mengerti teka-teki itu, makin ia tak mengerti.
Akhirnya ia meruntuhkan pandang kepada sampul surat Titisari.
Pribadi ayundanya jauh berbeda dengan Sangaji.
Selain pandai berceritera, ia cerdas luar biasa.
Eh, siapa tahuayundanya akan bisa menolong memberi penjelasan tentang arti kalimat-kalimat kakaknya itu.
Dengan pikiran itu Kilatsih segera membuka sampul surat.
Alangkah tebal dan panjang! Kilatsih membawa surat itu ke meja.
Didekatkan pelita yang berada di atas almari pendok.
Kemudian ia membaca.
Begitu menyentuh surat Titisari, hatinya terperanjat bukan main.
ASAP PERANG DIPONEGORO PADA HALAMAN terakhiria melihat corat-coret gambar dan angka yang kurang jelas.
Tulisan-tulisan yang mungkin dimaksudkan sebagai catatan, yang membawa himpunan saster sandi.
Makin ia mencoba mengerti makin ia jadi tak mengerti.
Tiba-tiba sajadarahnya bergolak dan hampir saja muntah.
Maka cepat-cepat ia menenteramkan diri.
Kemudian dengan hati-hati ia memeriksa lembaran pertama.
Pikirnya di dalam hati.
"Ayunda adalah seorang wanita yang paling cemerlang otaknya pada zaman ini. la menulis corat-coret pada halaman kertas penghabisan. Pastilah ada maksudnya. Biarlah aku membaca suratnya terlebih dahulu perlahan-lahan, la lantas membaca.
"Hampir dua tahun inikita tak pernah bertemu. Dan selama dua tahun itu, banyak yang akan kuceritakan kepadamukarena semuanya mengalami perubahan. Kakakmu Sangajiakhir-akhir iniseringkah mengigau. Katanya selalu.
"O Tuhan! Sekiranya aku diperkenankan memanjatkan satu permohonanberilah bangsaku seorang pemimpin yang lebih hebat daripada aku."
Aku bukan seorang pemimpin yang benar, katanya sering pula kepadaku.
Aku hanya seorang yang sangat cinta kepada tanah air dan bangsaku.
Dalam beberapa tahun iniaku hanya sekadarmembawa sekelumit bangsaku untuk kutunjukkan siapakah musuh mereka sebenarnya.
Itulah Kompeni Belanda yang mempunyai nafsu hendak menjajah bumi kita yang sangat indah ini.
Dan bukan lagi bermusuhan antara bangsa sendiri untuk sekedar mencari nama.
Sekarang aku mendengar khabarbahwa cucu Ratu Bagus Boang telah muncul.
Alangkah besar rasa syukurku.
Sebab sesungguhnya kita mengharapkan tenaga muda yang masih segar bugar untuk membawa nasib bangsa lebih maju lagi.
Aku mendengar pula bahwa Gusti Pangeran Diponegoro sudah bersiap-siap mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
Inilah tanda-tanda bakal munculnya seorang pemimpin bangsa yang lebih hebat daripada aku.
Adikku, Inilah alasan kakakmu Sangaji pulang ke kampung halaman untuk membantu kesulitan Pangeran Diponegoro menghadapi tekanan pemerintahan Belanda dan Patih Danurejo."
Sampai di sini, Kilatsih berhenti membaca.
Ia menghela napas.
Samar-samar ia melihat munculnya wajah Widiana Sasi Kirana di hadapannya.
Lalu kakaknya Sangaji.
Lalu Ki Tunjungbiru.
Ketiga tokoh itu seperti lagi berbicara.
Hanya apa yang sedang dibicarakan ia tak dapat menangkap.
Kemudian Kilatsih membaca lagi.
"Akan tetapi Manik Angkeran tidak menyetujui. Penyakitnya yang lama, kumat lagi. Gedung Paguyuban Sunda dijualnya kepada seorang penjudi. Aku tahu maksudnya. Ia hendak memberi gambaran kepada kakakmu Sangajibahwasanya Himpunan Sangkuriang akan rusak seumpama dilanda perjudian, apabila kakakmu Sangaji meninggalkan tempat. Setelah menjual gedung Paguyuban Sunda, ia lantas menghilang. Ia berusaha mencari tunangannya Fatimah. Adikkau tolonglah dia mencari Fatimah. Mungkin sekali engkau pernah mendengar dimana beradanya...."
"Ah! Pantas yang memiliki gedung itu seorang penjudi,"
Pikir Kilatsih.
"Sekarang jelaslah, bahwa yang menjual gedung Paguyuban Sunda bukan Kangmas Sangaji. Akan tetapi Kangmas Manik Angkeran. Dia kini hendak mencari Bibi Fatimah. Aku sendiri tak tahu dimana dia berada. Bagaimana aku harus membantunya?"
Kilatsih berpikir sejenak. Karena masih belum memperoleh jalan ia meneruskan membaca. Kali ini hebat bunyinya.
"Munculnya cucu Ratu Bagus Boang, membuat kakakmu Sangaji bergembira benar. Ia mendesak kepadaku, agar aku mau menulis kembali bunyi-bunyi hapalan dan penglihatan yang berada di atas pusaka Bende Mataram. Catatan ini akan diberikan kepada cucu Ratu Bagus Boang agar bisa dibuat modal untuk meneruskan perjuangan. Dengki aku mendengar maksudnya itu. Mengapa tidak dia sendiri yang mempelajari? Bukankah pendekar dari seluruh dunia ingin memiliki rahasia pusaka Bende Mataram? Karena didesak, aku segera meluluskan. Ah, tak kukira bahwa semenjak aku mengikuti kakakmu berjuang menghimpun api perjuangan di bumi Jawa Barat, otakku menjadi tumpul. Tak dapat lagi aku meng-ingat-ingatnya sampai sempurna. Sehingga apa yang dapat kutuliskan seperti tertera di halaman belakang. Selamanya tak pernah kakakmu Sangaji menegur aku dengan kata-kata keras. Juga kali ini. Meskipun ia nampak gelisah dan bernafsu besar untuk mempersembahkan catatan rahasia Bende Mataram kepada cucu Ratu Bagus Boang, namun tiada seatah kata pun ia menyesali aku. Hanya saja aku melihat wajahnya guram dan se-ringkali memandang padaku. Agaknya ia tidak percaya kepadaku, bahwa otakku benar-benar menjadi tumpul. Adikku, Teringatlah aku kepadamu. Sekian tahun lamanya engkau berada di samping Paman Sorohpati. Siapa tahu Paman Sorohpati pernah memberi kabar kepadamudimana dia menyimpan tulisan sandiku dahulu. Kalau Paman Sorohpati tak memberi kabar kepadamupastilah kepada Gandarpati. Coba, tanyakan kepadanya. Aku mendengar kabar pula, bahwa engkau erat hubungannya dengan cucu Ratu Bagus Boang. Karena itu setelah berhasil membawa surat sandi Paman Sorohpati kakakmu akan menyerahkan rahasia pusaka Bende Mataram kepada cucu Ratu Bagus Boanglewat dirimu...."
Tergetar Kilatsih membaca kalimat-kalimat penghabisan Titisari.
Titisari agaknya menulis dalam rasa duka, cemas dan tidak senang hati ia menyinggung tiga tokoh yang terasa dekat di hatinya.
Sorohpati, Gandarpati dan Widiana Sasi Kirana.
Menilik suratnyaagaknya Titisaribelum mengetahui bahwa Gandarpati telah tewas mengorbankan diri sebagai pengganti pendekar Wirapati.
Kalau Titisari belum mengetahui, pastilah Sangaji belum pula mendengar kabarnya.
Memperoleh kesimpulan demikian, hati Kilatsih berdebar-debar.
Ia seperti merasakan bakal terjadinya badai dahsyat di kemudian hari tentang peristiwa Wirapati.
Pastilah kakaknya Sangaji tidak mau sudah, apabila mendengar berita tentang pendekar Wirapati yang disekap antek-antek Belanda ke dalam penjara Magelang.
Sekarang soal Widiana Sasi Kirana.
Dia berhubungan kurang dari satu minggu dan baru mengenal siapa dia setelah berada bersama dalam kamar pada hari kelima.
Tegasnyadia baru kenal siapa Widiana Sasi Kirana sesungguhnyaselama dua hari saja.
Akan tetapi dunia seolah-olah mengarahkan pandangnya kepadanya semenjak beberapa hari sebelumnya.
Ah, kalau begitu semenjak dirinya memasuki bumi Jawa Barat laskar perjuangan sudah membuntuti, pikir Kilatsih.
Dengan pikiran penuh, Kilatsih menidurkan diri.
la mencoba mengamat-amati corat-coret sandi rahasia Bende Mataram kembali.
Dan setiap kali perhatiannya terhimpun, tiba-tiba darahnya bergolak.
Sebagai seorang gadis yang pernah menerima warisan ilmu sakti ia dapat meraba-raba sebab musababnya.
Maka halaman terakhir itu, digulungnya rapi.
Kemudian disimpannya baik-baik di dalam baju dalamnya.
"Coretan sandi ini mungkin sengaja diatur demikian rupa oleh ayunda sehingga barangsiapa yang membacanya akan terpukul peredaran darahnya."
Diam-diam Kilatsih menimbang-nimbang.
"Ayunda memperhitungkan pula bahwa ada kemungkinannya tulisannya jatuh di tangan seseorang. Apabila orang berani menggunakan untuk melatih diri, ia akan dihancurkan oleh pergolakan darahnya yang jadi tak seimbang....."
Kilatsih percaya akan kecerdasan otak Titisari yang luar biasa.
Pastilah setiap patah kata yang berada di suratnya, sudah dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan masak- masak untuk menghadapi segala kemungkinannya.
Maka hatinya jadi mantap.
Hanya saja tentang surat rahasia Bende Mataram yang berada di tengah ayah angkatnya Sorohpati benar-benar ia tak mengetahui.
Mengapa Ayunda Titisari tidak minta bantuan kepada Manik Angkeran saja? Bukankah Manik Angkeran adalah anak kandung ayah angkatnya Sorohpati? Apakah karena Manik Angkeran, tiba-tiba menghilang? Betapa pun juga hatinya terhibur oleh surat kedua kakaknya itu.
Kesedihannya memikirkan kematian pamannya Sanjaya dan nasib Senot Muradi agak tersisihkan.
Dan karena hatinya terhibur, malam itu ia tertidur dengan tenang.
Keesokan harinya Kilatsih berangkat pada pagi hari menyingsing.
Di dekat bukit tempat Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya melawan Guntur Aji dan Windu Aji kemarin, muncul seorang petani dari balik belukar.
Petani itu segera berseru kepada Kilatsih.
"nDorojeng! nDorojeng!1) nDorojeng hendak pergi kemana? Apakah cepat-cepat begini hendak meninggalkan Karang Tina-lang! Apa nDorojeng tidak kenal aku lagi! Aku . Pak Kartoperwiro. Ingat tidak?"
Di Desa Karang Tinalang banyak terdapat ratusan keluarga.
Akan tetapi Kilatsih seringkah datang ke dusun itu, dan kerap kali pula bergaul dengan mereka.
Walaupun tidak dapat mengenal mereka semua akan tetapi sebaliknya, mereka kenal siapa Kilatsih.
Sebab Kilatsih termasuk keluarga Sangaji dan Sangaji adalah penduduk yang paling terkenal di seluruh desa itu.
Demikianlah, setelah petani tadi menyebutkan namanya, Kilatsih segera mengenalnya kembali.
"Hmingatlah aku,"
Seru Kilatsih.
"Bukankah engkau yang kulihat berada di dekat sungai? Bukankah engkau berjalan dengan temanmu? Tak heran engkau tidak segera mengenalku, karena aku menyandang laki- laki. Engkau benar-benar berani. Penduduk Karang Tinalang agaknya sudah lama meninggalkan dusun ini. Akan tetapi Bapak masih juga berani keluyuran di sini."
X) nDorojeng = panggilan hormat kepada seseorang yang statusnya lebih tinggi.
"Benar, nDorojeng,"
Sahut Kartoperwiro.
"Sudah empatpuluh hari ini Dusun Karang Tinalang sering dikunjungi bangsat-bangsat yang banyak sekali jumlahnya. Mereka terdiri dari bermacam-macam golongan. Ada yang menyandang laskar, ada pula yang menjadi penunjuk jalan Kompeni Belanda dan ada pula yang datang kemari hanya untuk merampok barang-barang yang ditinggalkan penduduk. Aku sendiri orang yang cepat naik darah. Rasanya tidak rela membiarkan orang lain merampoki barang-barang rekan kita sekampung. Habis bagi kami, barang milik itu adalah hasil jerih payah bertahun-tahun lamanya. Sekarang nDorojeng hendak kemana?"
"Aku hendak segera menyusul kangmas sekalian,"
Jawab Kilatsih dengan tersenyum.
"Hm... aku sudah mengira,"
Seru Kartoperwiro.
"Tetapi tahukah nDorojeng bahwa di tempat-tempat tertentu Kompeni sudah membangun gardu-gardu pengintaian? Karena itu aku sengaja menunggu nDorojeng di sini, maksudku biarlah aku mengantarkan nDorojeng meninggalkan .Dusun Karang Tinalang dengan aman. Mari kita mengarah ke timur melalui rumpun bambu itu!"
Setelah berkata demikian, ia segera menuntun Megananda mengarah ke timur. Sambil berjalan ia berkata.
"Syukurlah kalian dapat mengalahkan orang-orang jahat kemarin,"
Kata Kartoperwiro.
"Jika tidak, kami semua tentu tidak berani muncul. Anakku Sangaji benar-benar anak"
Yang luhur budi.
Sebelum berangkat, ia sudah mengetahui bahwa Dusun Karang Tinalang bakal didatangi manusia-manusia tak keruan macam.
Maka ia menasihatkan penduduk agar segera meninggalkan dusun.
Hm...
dia sendiri pergi pula.
Entah kemana? Dan kapan pula pulangnya?"
"Jadi kangmas sekalian pulang ke dudun ini empatpuluh hari yang lalu?"
Tegas Kilatsih.
"Benar,"
Sahut Kartoperwiro.
Kilatsih jadi berpikir.
Kalau tahu kakaknya Sangaji berdua sudah berada di Dusun Karang Tinalang semenjak empatpuluh hari yang lalu, tidaklah perlu ia sampai bersusah payah merantau ke bumi Jawa Barat.
Tiba-tiba satu pikiran menusuk benaknya.
"Kalau kangmas sekalian sudah berada di sini, bagaimana caranya ia mengetahui aku berada di Priangan dan bergaul dengan Widiana.Sasi Kirana? Ah, pastilah semua ini hasil laporan Paman Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya."
Kala itu matahari sudah muncul di timur.
Cahayanya masih lembut.
Pucuk-pucuk gunung dan bukit mulai kena raba.
Sinarnya yang lembut memantul ke segala persada bumi.
Alangkah indah pemandangan di depannya.
Tak terasa ia menoleh ke arah Dusun Karang Tinalang yang agak jauh tertinggal di belakang, la menghela napas.
Katanya di dalam hati, kangmas sekalian sangat mencintai desa itu.
Akan tetapi demi mengabdi kepada cinta kasihnya, ia berada di bumi Priangan.
Karena dia menjadi pemimpin besar suatu laskar perjuangan, namanya segera terkenal ke seluruh penjuru.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Justru demikian ia menjadi musuh Kompeni nomer satu.
Sekarang tidak hanya dia sendiri yang dimusuhi, tetapi pun juga kampung halamannya.
Itulah sebabnya pula ia buru-buru pulang ke kampung untuk memberi kabar penduduk agar cepat meninggalkan kampung halaman.
Ia pun meninggalkan Dusun Karang Tinalang.
Menurut surat Ayunda Titisari, dia hendak berhubungan dengan Pangeran Diponegoro.
Kalau benar-benar terjadi demikian, entah berapa tahun lagi ia baru kembali ke kampung halaman.
Akan tetapi lama atau cepat ia pasti kembali ke kampung.
Sambil bercakap-cakap Kilatsih sudah meninggalkan Dusun Karang Tinalang jauh-jauh.
Di depannya kini tergelar pemandangan alam yang sangat indah.
Di sebelah utara Gunung Sumbing dan Sindara, men-congakkan diri dari dinding awan putih yang sedang berarak-arak.
Di sebelah timur, matahari memancarkan sinarnya yang lemah lembut.
Dan hawa pagi hari alangkah segar menggairahkan perasaan.
Tak lama kemudian tibalah Kilatsih pada suatu persimpangan jalan.
Menurut Kartoperwiro penjagaan Kompeni Belanda tidaklah seketat tadi.
Maka Kilatsih hendak melanjutkan perjalanan dengan seorang diri.
Dengan perlahan-lahan Kilatsih melarikan Megananda.
Di sepanjang jalan banyak kali ia berpapasan dengan orang- orang yang berkesan mencurigakan, la jadi heran.
Menjelang petang hari, Kota Magelang telah nampak di depan mata.
Segera ia mempercepat Megananda, agar dapat tiba di kota itu sebelum malam hari tiba.
Sekonyong-konyong dari arah barat ia melihat dua orang penunggang kuda yang berberewok.
Mereka melarikan kudanya cepat sekali.
Karena semenjak tadi Kilatsih menaruh curiga kepada orang-orang yang dijumpai, ia segera menaruh perhatian.
Yang berada di sebelah kiri, mengenakan pakaian tambalan.
Kesannya seperti seorang pengemis.
Akan tetapi kuda tunggangannya sangat besar dan garang, sedang pelananya pun indah sekali.
Begitu berpapasan dengan Kilatsih, ia menengok dan berkata sambil tertawa.
"Hai, bukankah ini tuan muda Kilatsih....Tuan, eh Nona, eh..... Tuan, eh... Nona.... perkenalanmu dulu sangat mengesankan hatiku. Bagus! Kau juga datang kemari. Atas nama majikan Daniswara perkenankan aku mengucapkan selamat datang."
Sambil berkata demikian ia mengangkat tongkatnya memberi hormat dengan lagak lucu sekali.
Kilatsih segera mengenal siapa dia.
Dialah Karimun alias Gmarmaya.
Perawakan tubuhnya seperti dulu.
Pendek bulat persis buah semangka.
Gerak-geriknya lucu.
Meskipun sekarang dia berlaku hormat, akan tetapi karena cara penghormatannya berkesan senda gurau dan dilakukan di tengah jalan pula, hati Kilatsih jadi mendongkol.
Terus saja ia melepaskan dua biji sawonya.
Bentaknya.
"Siapa kesudian menerima hormatmu?"
Senjata biji sawo Kilatsih menyambar jitu sekali, dan menghantam tongkat Karimun.
Hebat pukulan biji sawo itu.
Tongkat Karimun terpental dan jatuh berkelontangan ke atas tanah.
Dengan muka terkejut, Karimun mengapungkan badannya di atas pelana.
Dan dengan gerakan indah ia turun ke tanah.
Kemudian sambil memungut tongkatnya, ia melompat lagi berjungkir-balik dan duduk kembali di atas pelananya.
Itulah suatu pameran kepandaian yang hebat sekali.
"Eh, eh, biasanya orang akan senang sekali apabila aku berlaku hormat,"
Seru Karimun dengan suara pahit.
"Tetapi kau malah sebaliknya. Biarlah engkau jempolan, tetapi tak pantaslah menghajar seorang yang sedang memberi hormat kepadamu. Hmm! Engkau benar-benar susah diurus."
Dengan mengejek cepat-cepat ia menge-prak kudanya dan kabur dengan membabi buta.
Kilatsih seorang gadis yang gampang sekali merasa tersinggung.
Ia menjadi gusar.
Jika menuruti hatinya, sudah tentu ia akan mengejar dan kemudian memberi persen kepada si mulut jahil itu.
Akan tetapi karena sadar, bahwa dirinya sekarang lagi memikul tugas penting segera ia dapat menyabarkan diri.
Apalagi pada waktu itu ia mengenakan pakaian laki-laki pula.
Hal itu haruslah dirahasiakan.
Apabila sampai bertengkar mulut dengan Karimun, bisa-bisa ia malah dapat malu sendiri.
Itulah sebabnya ia segera menahan kendali kuda, dan Megananda dijalankan perlahan-lahan kembali, agar jaraknya tidak terlalu dekat.
Dengan pikiran demikian, ia segera meneruskan perjalanan menuju Magelang.
Kota Magelang makin lama semakin dekat di hadapannya.
Tiba-tiba ia mendengar suara gemuruh roda kereta dari arah belakang.
Dengan cepat ia menoleh dan melihat debu tebal mengepul ke udara.
Sebuah kereta dilarikan dengan kecepatan penuh melintasi dirinya.
Saisnya mencambuki de- t ngan cemeti panjang.
Nampaknya sangat tergesa-gesa sehingga tak henti-hentinya ia mencambuki kuda-kuda penariknya.
Entah disengaja atau tidak, tatkala melewati Kilatsih, cambuknya menyambar menghantam kepala Megananda.
Megananda adalah seekor kuda mustika yang belum pernah kena cambuk majikannya.
Tatkala melihat berkelebatnya sebatang cambuk, adatnya keluar.
Sambil meringik hebat, ia menendangkan kaki, depannya.
Si penunggang kereta ternyata seorang yang berbadan gemuk.
Mendengar kesiur cepat ia menyambar kaki Megananda lalu didorongnya pergi, sehingga Megananda terhuyung-huyung ke belakang.
Kilatsih terkesiap.
Betapa tidak.
Tendangan Megananda mempunyai tenaga paling tidak lima atau enamratus kilogram, akan tetapi laki-laki itu bisa menangkap dan membuatnya mundur beberapa langkah.
Betapa pun besar tenaga laki-laki itu sudah dapat dibayangkan.
Kilatsih tak sempat lagi berpikir panjang.
Sekali mengayunkan tangan, beberapa biji sawonya menyambar.
Pada saat itu, ia berada dalam jarak sepuluh langkah.
Pendekar Kembar Karya Gan KL Golok Halilintar Karya Khu Lung Rahasia Benteng Kuno Karya Chin Yung