Mencari Bende Mataram 15
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 15
Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto
Begitu mendengar suara menyambarnya senjata bidik dengan secepat kilat laki-laki itu melecutkan cemetinya, dan dapat mengenai dengan jitunya semua biji sawo yang menyambar pedangnya.
"Oleh karena dikejar waktu, aku sampai kesalahan tangan menyabet kuda mustikamu,"
Katanya sambil mengangguk memberi hormat.
"Kuharap saja Tuan memaafkan."
Kilatsih sudah bersiaga bertempur.
Tetapi mendengar dia minta maaf, hatinya jadi sabar kembali.
Di samping itu, ia sadar pula bahwa dirinya sedang memikul tugas berat.
Maka ia membiarkan orang itu meneruskan perjalanannya dengan damai.
Tatkala Kilatsih memasuki Kota Magelang, cuaca sudah gelap.
Sore hari sudah berganti malam.
Selagi hendak memasuki rumah makan, tiba-tiba ia melihat kuda Karimun alias Gmarmaya tertambat di depan.
Untuk menghindari adanya pertengkaran, ia segera membelokkan kudanya hendak mencari rumah makan lain.
Mendadak ia melihat sebuah gambar yang menarik hati.
Rumah makan itu berdiri di tepi jalan besar.
Gedungnya sangat indah dan bercat hijau muda serta kuning gading.
Memang Kota Magelang pada dewasa itu menjadi pusat gerakan militer Belanda.
Katakanlah saja Kota Magelang adalah kota militer Belanda.
Akan tetapi rumah makan itu terlalu indah buat Kota Magelang pada waktu itu.
Kilatsih yang sudah pernah mengembara sampai ke Jawa Barat, heran melihat kebagusannya.
Pikirnya di dalam hati, sejak kapan rumah makan ini didirikan.
Tiga kali aku pernah melintasi kota ini dan baru Kilatsih.
tak sempat lagi berpikir panjang.
Sekali mengayunkan tangan beberapa biji sawonya menyambar.
Pada saat itu, ia berada dalam jarak sepuluh langkah.
Begitu mendengar suara menyambarnya senjata bidik, dengan secepat kilat laki-laki itu melecutkan cemetinya, dan dapat mengenai dengan jitunya semua biji sawo yang menyambar pedangnya.
sekarang ini aku melihat ada rumah makan yang begini indah.
Setelah timbul rasa keheranannya, ia menjadi kaget melihat sebuah gambar tanda obor menyala.
Inilah gambar panji laskar himpunan Sangkuriang di Jawa Barat.
Apakah kakaknya Sangaji pernah memasuki rumah makan ini? Kakaknya Sangaji, ketua Himpunan Sangkuriang.
Akan tetapi, agaknya bukan dia yang membawa-bawa gambar panji-panji himpunan-nya.
Teringatlah dia bahwa Himpunan Sangkuriang mempunyai seorang duta luar dan merupakan penghubung.
Ialah Raja Muda Simuntang.
Apakah hal ini merupakan buah pekerjaan Raja Muda Simuntang? Dugaan itu sangat nalar, karena kakaknya Sangaji kini berada di Jawa Tengah.
Biasanya Raja Muda Simuntang selalu mendahului perjalanan kakaknya Sangaji.
Apakah dengan memasang gambar di depan rumah makan itu ia bermaksud untuk mencanangkan kepada penduduk atau para pendekar pencinta bangsa bahwa ketua Himpunan Sangkuriang pada saat ini berada di Jawa Tengah? Sesudah menimbang-nimbang beberapa saat lamanya, Kilatsih lalu turun dari kudanya.
Kemudian dengan hati-hati ia memasuki rumah makan tersebut.
Kilatsih melihat belasan orang duduk berhadap-hadapan dan berpencaran seolah-olah saling bersiaga untuk bertempur.
Biasanya jika suatu rumah makan mendapat kunjungan tetamu begitu banyak, ributnya bukan kepalang.
Sebaliknya keadaannya sunyi senyap dan semua orang memperlihatkan paras muka sungguh-sungguh, seolah-olah mereka berada dalam ruangan keramat.
Tiba-tiba Kilatsih melihat Karimun alias CJmarmaya.
Dengan temannya yang berewok, ia duduk menghadap meja di depan jendela sebelah barat.
Tatkala melihat Kilatsih, ia tersenyum sehingga hati gadis itu berdebar-debar.
Apabila tidak memperoleh kesan gawat, pastilah gadis itu sudah memakinya, karena Karimun tadi telah menyakitkan hatinya.
Syukurlah Kilatsih sadar akan keadaan.
Perlahan-lahan ia menoleh ke kanan dan melihat laki-laki yang melarikan keretanya secepat angin tadi duduk seorang diri menghadap meja.
Kalau begitu, apakah ia tadi membawa kereta kosong? Dengan mata berkilat-kilat, ia mengerling Kilatsih beberapa saat lamanya.
Dengan rasa tertekan-tekan, Kilatsih mengambil tempat duduk yang berdekatan dengan jendela.
Ketika pelayan menghampiri, timbullah niatnya hendak menyelidiki siapakah pemilik rumah makan tersebut.
Dengan sikap acuh tak acuh, ia meraba saku dan kemudian mengeluarkan gambar panji- panji obor menyala.
Pelayan itu memanggut-manggutkan kepalanya dan berkata dengan suara perlahan.
"Tuan ingin makan apa?"
Kilatsih lantas memesan sekilo daging kerbau yang dimasak dua macam hidangan.
Mendengar pesanan yang terlampau banyak bagi seorang, pelayan itu menyiratkan pandang berbimbang-bimbang.
Pada saat itu Kilatsih mengembarakan pandangnya.
Tiba- tiba saja ia menjadi heran, karena di atas setiap meja terdapat hidangan yang masih mengepul hangat.
Dan sekali pandang, tahulah Kilatsih bahwa hidangan yang mereka pesan sejenis dan serupa.
Mengapa tidak segera dimakan.
Mendadak saja laki-laki yang berkata tadi berteriak.
"Hai, mana makanan yang kupesan?"
"Tuan pesan apa?"
Pelayan rumah makan datang menghampiri.
"Hallah, begitu sampai tadi bukankah aku sudah lantas memesan?"
Ujar laki-laki itu dengan suara mendongkol.
"Aku kan minta makanan serba babi. Ah, baru saja dipesan sudah lupa lagi."
"Maaf,"
Sahut pelayan itu sambil tertawa.
"Di sini jarang sekali orang makan babi. Tatkala Tuan tadi pesan makanan serba babi, kawanku harus mencarikan ke rumah makan lain untuk melayani Tuan. Barangkali dia sudah datang. Biarlah kutengoknya sebentar."
Pada saat itu sekalian tetamu memandang orang tersebut dengan membungkam mulut.
Beberapa saat kemudian, salah seorang di antara mereka bangkit dan berbicara perlahan- lahan memasuki pintu tengah.
Entah apa maksudnya.
Mungkin sekali ia mencari kamar kecil.
Anehnya beberapa saat kemudian seorang lain lagi menyusul memasuki pintu tengah tersebut.
Begitulah sampai lima orang berturut-turut.
Laki-laki yang duduk seorang diri itu lantas mengulum senyum.
Tepat pada saat itu seorang pelayan keluar dari dapur dan membawa niru penuh hidangan.
Ia hendak mengantarkan hidangan tersebut kepada Karimun.
Tiba-tiba laki-laki yang berkereta itu bangkit dari kursinya sambil berteriak.
"Hai! Bukankah aku pesan lebih dahulu? Apa sebab engkau melayani dia?"
"Sabar Tuan! Sabar Tuan!"
Sahut pelayan itu dengan tertawa ramah.
"Pesanan Tuan sebentar lagi akan tiba."
Laki-laki itu terdengar menggerendeng.
Mendadak ia berjalan dengan langkah besar mengarah pintu keluar.
Mula- mula Kilatsih menduga orang itu segera akan meninggalkan rumah makan karena batinnya mendongkol.
Sama sekali tak pernah diduganya, begitu berdekatan dengan pelayan yang lagi membawa hidangan, sikunya bergerak dengan mendadak.
Dan pelayan itu lantas saja jatuh terjengkang ke belakang dan hidangan yang dibawanya jatuh berhamburan.
Karimun dan kawannya yang berewok itu segera melompat menyingkir menghindari.
Akan tetapi tetap saja mereka kecipratan kuah- kuah panas hidangannya.
Tak mengherankan, Karimun alias CJmar-maya mendongkol bukan main.
Terus saja membentak.
"Laki-laki bangsat! Apa kau cari perkara?"
Sedang ia berbicara kawannya yang berewok itu mendadak melayangkan tinjunya.
"Ah, kebetulan tanganku memang lagi gatal,"
Jawab laki- laki sais kereta itu. Ia bertubuh gemuk. Matanya sipit tetapi tajam luar biasa.
"Memang, tanganku ingin sekali menggampar muka kalian. Kalau tidak kalian, habis siapa lagi?"
Dengan tangan kiri ia menangkap tinju kawan Karimun, sedang tangan kanannya dengan gerakan meliuk menghantam dada.
Hebat dan jitu pukulannya.
Teman Karimun lantas terpental melalui beberapa meja mengarah pemilik rumah makan.
Pemilik rumah makan duduk di belakang meja.
Dan meja itu berada di sudut ruangan, la seorang tua yang berkumis putih.
Selagi tubuh kawan Karimun melayang padanya, ia mengangkat kedua tangannya dan mendorong.
"Celaka! Kalian merusak perabot rumah makan!"
Ia berseru.
Kelihatannya orang tua itu mendorong tanpa tenaga.
Akan tetapi mendadak saja tubuh kawan Karimun tadi terpental balik.
Kilatsih terkesiap.
Itulah ilmu menyerang dengan meminjam tenaga musuh.
Yaitu ilmu sakti tingkatan atas.
Akan tetapi kawan Karimun itu ternyata bukan orang sem- barangan pula.
Dengan meminjam tenaga dorong pemilik rumah makan, ia berjungkir balik di tengah udara dan kemudian mendarat sambil menendang sebuah meja.
Kena tendangan itu, meja terbelah menjadi empat potong.
Sepotongan di antaranya menyambar Kilatsih yang segera menangkisnya.
Dan tiga potongan lainnya melesat ke arah beberapa tamu yang lantas memukulnya jatuh.
Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa mereka yang berada di dalam ruangan rumah makan itutermasuk pengurus rumah makanadalah tokoh-tokoh yang mempunyai ilmu kepandaian tidak rendah.
Sementara itu laki-laki gemuk yang menyerang tadi mendadak kembali melancarkan serangan bertubi-tubi kepada kawan Karimun.
"Hayoo! Siapa yang tak tahu malu, boleh maju kemari!"
Tantangnya dengan berteriak.
Terang saja para tetamu lainnya mendongkol bukan main.
Akan tetapi karena mereka termasuk golongan ksatria yang agaknya berkedudukan tinggi dalam masyarakat, tiada seorang pun yang ikut turun tangan.
Beberapa saat kemudian, Karimun alias CJmarmaya bangkit dari kursinya dan berkata.
"Ada seorang yang paling tidak memedulikan soal nama atau soal muka."
Setelah berkata demikian, ia melesat maju dan menghantam pinggang laki-laki gemuk itu dengan tongkat.
Meskipun bertubuh gemuk, orang itu ternyata gesit sekali.
Sambil memutar tubuh ia menangkis pukulan Karimun dengan tangan kanandan tangan kirinya menghantam dada lawan yang lain.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karimun tahu, bahwa pukulan itu pukulan geledek yang berbahaya.
Apabila sampai kena dadanya, tulang iganya bisa patah.
Tak ayal lagi ia segera memunahkan pukulan itu.
Kemudian menyerang dengan ilmu tongkatnya.
Dibantu dengan pukulan-pukulan balas dendam kawannya, ia menyerang bagaikan hujan dan angin.
Pertempuran di dalam ruang rumah makan itu makin lama semakin hebat luar biasa.
Pengurus rumah makan berteriak-teriak tidak henti- hentinya.
Akan tetapi ketiga orang itu seperti sedang kalap.
Mereka sama sekali tidak menggubris.
Dalam pada itu masuklah dua tetamu lain.
Yang seorang sudah tua, sedang seorang lagi masih muda.
Yang tua berperawakan seperti orang dusun dengan tangan menggenggam sebatang bedudan.
Dan yang muda kira-kira berusia tiga puluh tahun lebih.
Perawakan tubuhnya pendek gemuk.
Mirip buah labu.
Begitu memasuki ruangan, semua mata lantas tertuju kepada mereka berdua.
Dengan menghisap bedudannya orang yang berkesan dungu itu mengelanakan pandangnya.
Kemudian menegur pengurus rumah makan.
"Keadaan kacau-balau begini mengapa Tuan biarkan saja?"
Pengurus rumah makan itu lantas berdiri sambil memanggut hormat.
"Ah, Kakang Teguh Jiwa dan Dengkek. Maaf. Maaf. Sampai aku tak sempat menyambut kedatangan kakang berdua. Memang kami tidak berani mencegah mereka, takut kena salah...."
Hati Kilatsih tergerak mendengar pengurus rumah makan menyebut nama mereka.
Pernah ia mendengar dari gurunya Adipati Surengpatibahwa di antara lembah Gunung Merbabu dan Merapi terdapat seorang penyamun berkesan seperti orang dungu.
Senjatanya berupa bedudan yang diperlengkapi dengan senjata bidik beracun.
Dengkekadalah nama orang yang badannya seperti labu itu.
Dia pandai berkelahi rendah dengan berguling-gulingan.
Dia sebenarnya adik seperguruan Teguh Jiwa.
Teringat akan hal itu, diam-diam Kilatsih memperhatikan mereka berdua.
Teguh Jiwa mengerutkan keningnya.
"Tetamu yang pantas dihormati memang perlu dihormati. Tetapi yang senang menerbitkan keonaran, harus ditindak. Nah, kau bertindaklah terhadap mereka. Jika tindakanmu nanti mengakibatkan perabot rumah makan ini rusak semua, akulah yang bertanggungjawab."
Pemilik rumah makan itu berbimbang-bimbang.
Setelah menimbang-nimbang sebentar, lantas ia memasuki gelanggang pertarungan.
"Tuan-tuan sekalian, karena rekan Teguh Jiwa tidak menghendaki kalian bertiga bertempur dalam ruang rumah makan ini, hendaklah tuan bertiga menyudahi pertempuran ini.
Aku bersedia memohon maaf kepadamu sekalian....."
"Kau menyebut-nyebut Teguh Jiwa. Siapa dia?"
Bentak laki- laki gemuk itu.
"Jika engkau hendak menghaturkan maaf kepadakumengapa tidak cepat-cepat bersimpuh di hadapanku dan mencium bumi tiga kali?"
Sambil berkata demikian kedua tangannya terus bekerja tiada hentinya.
Dua kali beruntun terdengar suara benturan.
Ternyata sebelah tangannya menghantam tongkat Karimun, sedang tangan kirinya menghajar tubuh kawan Karimun.
Kena hajarannya, kawan Karimun terjungkal menumbuk tembok.
Sedang tongkat Karimun terbang ke udara.
Kilatsih terkejut menyaksikan pukulan itu.
Itulah salah satu jurus Hasta Sila atau Aji Gineng milik Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.
Kalau tidak salah, itulah jurus pukulan Dasa Sardula dan Dasa Paksi yang pernah diperlihatkan Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya kepada Senot Muradi.
Tadinya pendekar gemuk itu melayani Karimun dan kawannya dengan pukulan-pukulan biasa.
Akan tetapi pada saat peng-Lfrus rumah makan menegur padanya, segera ia memperlihatkan kepandaiannya.
Teguh Jiwa memilin-milin kumisnya dan pengurus rumah makan terbatuk-batuk kecil.
"Tuanternyata engkau berniat membuat kekacauan di sini. Maka aku terpaksa meminta kepadamu keluar!"
Bentak pengurus rumah makan.
Setelah membentak demikian, tangannya menyambar pundak lakilaki gemuk itu.
Ia sudah tua dan perawakannya kerempeng.
Akan tetapi jari-jarinya mendadak bisa kaku seolah-olah terbuat dari baja.
Cengkeramannya tak ubah cengkeraman garuda.
Pendekar gemuk itu cepat merendahkan diri, untuk menghindari cengkeraman tangan pemilik rumah makan.
Akan tetapi pundaknya tak urung terasa sakit dan nyeri luar biasa.
Ia menjadi terkejut.
Sedang pengurus rumah makan itu heran.
Karena cengkeramannya luput dari sasarannya.
"Gangku sama dengan uang mereka. Engkau membuka rumah makan, mengapa aku kau larang makan di sini?"
Bentak pendekar gemuk itu.
"Hm, engkau malah hendak mengusirku pergi. Baiklah. Biar aku robohkan rumah makanmu dahulu!"
Sesudah berkata demikian, ia berbalik menyerang pengurus rumah makan.
Hebat serangannya.
Dalam satu gerakan saja, ia telah menyerang dengan tiga jurus Aji Gineng.
Itulah jurus- jurus Dasa Paksi, Dasa Sardula dan Dasa Sarpa.
Pengurus rumah makan lantas saja mundur terdesak.
Dalam pada itu Karimun menjadi penasaran.
Cepat ia memungut tongkatnya kembali dan segera hendak turun ke gelanggang.
Tiba-tiba ia melihat kawannya masih rebah saja.
Khawatir kawannya mendapat luka berat, ia segera menghampiri dengan maksud memberi pertolongan.
Si Dengkek tidak bersabar lagi.
Dengan sekali melompat ia menerjang pendekar gemuk itu.
Melihat terjangan tersebut, segera pendekar gemuk itu menggerakkan tangannya.
Dengan mata yang tajam, Kilatsih melihat bahwa pukulan- pukulannya luput dari sasaran.
Akan tetapi sungguh mengherankan.
Tiba-tiba Dengkek roboh terguling seperti bola bergelundungan.
Namanya termasyur di seluruh empat penjuru dunia.
Akan tetapi kenapa hanya dalam satu gebrakan ia sudah terpental bergelundungan, pikir Kilatsih di dalam hati..Mustahil dia roboh hanya karena terkena angin pukulan pendekar gemuk itu.
Tetapi sebenarnya tidaklah demikian halnya.
Dengkek bukan roboh akibat terkena angin pukulan atau pun kena pukulan telak.
Itulah justru pembukaan ilmu saktinya Esmugunting.
Ilmu sakti Esmugunting berdasarkan gerak rendah serendah tanah.
Ia roboh bergulingan untuk kembali menyerang dengan bergulingan pula.
Sasaran yang diarah adalah kaki dan perut.
Kedua tangan dan kakinya bergerak saling menyusul dengan gesit sekali.
Pendekar gemuk itu tahu akan ancaman bahaya.
Sekali dirinya kena terlanggar ilmu Esmugunting, tulang-tulangnya pasti akan rontok berantakan.
Maka terpaksalah ia mundur selangkah demi selangkah.
Walaupun demikian lututnya masih saja kena tendang, sehingga ia mundur terhuyung-huyung.
Dengan penuh perhatian, Kilatsih mengamat-amati gerak- gerik Dengkek.
Pendekar pendek"
Itu menyerang terus menerus dengan bergulingan di atas lantai.
Gerakan tubuhnya sangat lincah.
Malah ada kalanya kedua tangannya membantu dan tiba-tiba membal ke atas melepaskan tendangan.
Kemudian membiarkan dirinya jatuh lagi dan dengan bergulingan ia menghindarkan diri, untuk kemudian kembali menyerang.
Lucu sekali cara berkelahi si Dengkek.
Mau tak mau Kilatsih tertawa geli di dalam hati dan pendekar gemuk yang tadinya nampak gagah perkasa kini berkelahi dengan mundur terus.
Tiba-tiba pada saat itu terdengarlah suara orang berkata- kata kepada dirinya sendiri.
"Putar kakimu dan tendang punggungnya! Ambil kedudukan sudut timur dan mundur ke kanan! Melompatlah ke selatan, dan hantam hidungnya!"
Kata-kata itu menarik perhatian Teguh Jiwa.
Pendekar yang seperti orang dusun itu menoleh dengan pandang heran.
Ia melihat seorang pemuda duduk mengukurkan badan menghadap meja.
Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah dia bahwa pemuda itu teman pendekar gemuk itu.
Melihat kawannya kena desak, ia hendak mengajari.
Keruan saja Teguh Jiwa mendongkol hatinya.
Pendekar gemuk itu sebenarnya bernama Bantar Angin.
Sedang temannya yang masih muda bernama Paneker.
Ilmu kepandaian Bantar Angin sebenarnya berada di atas kepandaian Dengkek.
la jatuh di bawah angin karena masih belum menemukan titik Kelemahan ilmu kepandaian Dengkek.
Sekarang temannya mengkisiki.
Keruan saja ia seperti memperoleh sepasang sayap.
Terus saja ia menerjang dan menghantam Dengkek dengan tepat sekali.
Dan kena hantaman itu Dengkek terpental jungkir balik, menumbruk kaki meja.
Teguh Jiwa mendongkol bukan main.
Seumpama tidak ingat derajatnya ingin ia melabrak pemuda itu.
Sementara itu Karimun telah selesai membantu kawannya.
Ternyata kawannya itu tidak menderita luka parah, sehingga ia mempunyai kesempatan untuk mengawasi jalannya pertempuran.
Tatkala mendengar kata-kata Paneker ia segera mendekati sambil berkata agak nyaring.
"Jika tangan Tuan gatal. Aku pun bersedia menemanimu..."
Tanpa menoleh Paneker menyahut.
"Seorang pelajar menggunakan mulutnya dan tidak tangannya."
Kemudian meneruskan kisikannya kepada Bantar Angin.
"Nah, sekarang melompat ke kiri dan duduki sudut timur. Pancing dia dengan kaki kirimu. Begitu terancam, kau melompat dan hantamkan kaki kananmu. Aku tanggung dia tidak akan berkutik lagi."
Seperti mesin, Bantar Angin mengikuti petunjuk-petunjuk rekannya.
Benar saja.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah memancing dengan kaki kirinya, ia melompat dan menghantam kaki kanannya.
Kena tendangan itu, Dengkek terpental lagi berjungkir balik dan kepalanya membentur dua meja.
Bress! Pendekar berperawakan buah labu itu tidak dapat berkutik lagi.
Karimun tercengang menyaksikan peristiwa itu.
Selama hidup ia senang mempermainkan orang.
Akan tetapi pada saat itu ia malah dipermainkan.
Segera ia hendak turun tangan, namun tiba-tiba ia membatalkan niatnya.
Telinganya yang tajam mendengar langkah dari dalam rumah makan.
Segera ia berpaling dan bersikap hormat sekali.
Kilatsih heran menyaksikan perubahan itu.
Segera ia berpaling pula mengarah pintu tengah.
Tatkala itu muncullah sepasang pria dan wanita berumur empatpuluhan tahun.
Pakaian mereka indah dan romannya gagah.
Pantaslah ruangan menjadi sunyi kena per-bawanya.
Angker dan gagah mereka ini.
Siapakah mereka sebenarnya yang mempunyai pengaruh begini besar? kata Kilatsih di dalam hati.
Segera ia mengamat-amati dengan seksama.
Sekian lamanya ia mengamat-amati.
Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya.
Bukankah mereka ini sepasang pendekar pengikut Pangeran Diponegoro? Merekalah Manik Hantaya dan Sukesi.
Tiga tahun yang lalu, tatkala berkunjung ke markas besar Himpunan Sangkuriang, ia melihat kedua pendekar ini berbicara dengan kakaknya Sangaji di ruang depan.
Entah apa yang mereka bicarakan akan tetapi setelah mereka pergi kakaknya Sangaji menerangkan bahwa mereka datang sebagai penghubung Pangeran Diponegoro.
Kini kakaknya Sangaji turun gunung dan kembali ke Jawa Tengah.
Apakah ada hubungannya dengan pembicaraan yang mereka adakan? Melihat mereka berdua muncul, pengurus rumah makan mundur hendak keluar gelanggang.
Namun Bantar Angin menghalanginya.
"Manusia tua bangka, engkau hendak lari kemana? Tak dapat engkau mundur dengan seenakmu sendiri."
Setelah berkata demikian, Bantar Angin menyerang dengan tangan kiri, dan disusuli dengan tangan kanannya pula.
Pengurus rumah makan sama sekali tidak menduga bahwa ia bakal kena diserang dengan mendadak.
Punggungnya kena terhantam dan ia roboh terguling.
Robohnya bukan karena ia kalah.
Akan tetapi karena tidak mengira sama sekali, la keluar gelanggang dengan maksud hendak menghampiri Manik Hantaya.
Kejadian itu membuat para tetamu berpe-nasaran, karena Bantar Angin melakukan kecurangan.
Malahan Teguh Jiwa yang ingat kepada derajatnya, merah matanya.
Tak dapat lagi ia menguasai dirisegera ia maju memasuki gelanggang.
"Ah, Paman Teguh Jiwa! Engkau pun datang pula?"
Kata Manik Hantaya dengan maksud mencegahnya.
"Inilah suatu kehormatan besar bagi kami. Maaf.... Baru saja kami datang. Sehingga tak dapat menyambut kedatangan Paman dengan semestinya."
Wajah Teguh Jiwa nampak merah padam.
Teringatlah dia akan derajatnya.
Memang tak pantas ia melayani Bantar Angin.
Apalagi pada saat itu ia berada di depan Manik Hantaya dan Sukesi.
Dalam pada itu Manik Hantaya berputar menghadap kepada Bantar Angin dan menyiratkan pandang pada tetamu- tetamu lainnya.
Kemudian tertawa ramah.
Katanya dengan suara merendahkan diri.
' Sebenarnya apa yang telah terjadi? Segala perkara di dunia ini bukankah dapat diselesaikan dengan damai? Marilah kita semua duduk! Marilah kita berbicara.
Bukankah berbicara lebih bagus daripada mengadu tenaga?"
Bantar Angin agaknya seorang pendekar yang berangasan. Terus saja ja membentak.
"Aku tahu bahwa kamu berdua kawan pemilik rumah makan ini dan aku tahu pula, bahwa engkau pasti membantunya. Akan tetapi aku tidak takut."
Kasar ucapan pendekar Bantar Angin. Akan tetapi Manik Hantaya menyambut dengan tertawa ramah. Dengan sabar ia menyahut.
"Bagaimana engkau tahu, bahwa aku ini teman pemilik rumah makan ini? Cobatolong berikan alasanmu apa sebab engkau menuduh aku hendak membantunya? Dengan mendengarkan alasanmu, biarlah tetamu-tetamu yang memenuhi ruang makan ini menimbang benar dan tidaknya."
Dua orang anak muda tamu rumah makan, yang tak tahan menyaksikan sikap Bantar Angin yang dinilainya sombong itu terus saja melompat hendak menarik lengannya.
Akan tetapi begitu mereka mendekat, tangan Bantar Angin mengebas, dan mereka roboh terjungkal dengan berbareng.
"Bagus betul!"
Seru Teguh Jiwa.
"Tidak mengapa engkau menghina aku orang dusun. Akan tetapi perbuatanmu ini merendahkan nDoromas Manik....."
Belum sempat orang tua itu menghabiskan kata-katanya, Manik Hantaya menggoyangkan tangan kanannya. Dia memberi isyarat kepada Teguh Jiwa bahwa dirinya tak ingin diperkenalkan. Karena itu Teguh Jiwa lantas membentak.
"Baiklah, jikalau aku tidak menghajar gundulmu, agaknya engkau makin lama menjadi semakin sinting,"
Berkata demikian, ia lantas menghampiri Bantar Angin. Tetapi Bantar Angin malahan tertawa. Dampratnya.
"Kabarnya bedudanmu itu kau perlengkapi dengan alat beracun. Boleh, boleh, engkau boleh mencoba-coba kepadaku!"
Setelah melihat munculnya Manik Hantaya dan Sukesi mereka berdua ini ternyata bersikap hormat kepada Teguh Jiwa.
Kilatsih segera mengambil keputusan.
Teringat bahwa Manik Hantaya dan Sukesi pernah datang dan berbicara ramah dengan kakaknya Sangaji, segera ia berpihak kepada mereka.
Melihat Bantar Angin hendak bergebrak dengan Teguh Jiwa maka ia mendahului.
Dengan sekali melesat ia melompat ke dalam gelanggang.
"Kau belum pantas melayani Paman Teguh Jiwa. Biarlah aku saja!"
Dengan seman itu Kilatsih membarengi dengan serangan cepat.
Bantar Angin kaget bukan main.
Serangan Kilatsih adalah jurus-jurus Hasta Sila.
Pikirnya di dalam hati, ah dia pun mengerti ilmu sakti Hasta Silai Cepat ia menangkis dengan jurus Hasta Sila pula.
Kemudian tangan kirinya meliuk dan tangan kanannya menyodok dada.
Akan tetapi Kilatsih terlalu cepat baginya.
Tiba-tiba Kilatsih yang menyandang sebagai pemuda itu berada di sebelah kirinya.
Cepat Bantar Angin memutar tubuhnya dan menghantam.
Menurut perhitungan, pukulannya pasti mengenai.
Di luar dugaan ternyata pukulannya luput.
Keruan saja ia jadi ke-heran-heranan.
Karena heran, ia alpa sedetik.
Pada saat itu hanya menggunakan Hasta Sila tetapi juga dibarengi dengan intisari Aji Gineng, yang merupakan sari-sari Hasta Sila yang telah digodog dengan matang oleh Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya, Kilatsih menggebrak.
Tak ampun lagi Bantar Angin terbanting roboh di atas lantai.
Dengan muka merah padam Bantar Angin merayap bangun.
Ia memelototi Kilatsih dengan hati mendongkol.
Kemudian berjalan tertatih-tatih ke luar pintu depan.
Sama sekali tak diduganya! Sebenarnya dalam hal ilmu sakti Hasta Sila ia lebih unggul daripada Kilatsih.
Hanya saja Kilatsih pandai menggunakan tipu daya.
Ia menggabungkan antara intisari Hasta Sila dan Aji Gineng milik Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya, yang pernah dilihatnya di Desa Karang Tinalang kemarin.
Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya adalah dua orang Raja Muda Himpunan Sangkuriang yang berkepandaian sangat tinggi.
Tak mengherankan Bantar Angin kena terpukul roboh dalam satu gebrakan saja.
Melihat Bantar Angin hendak meninggalkan rumah makan, Teguh Jiwa yang sudah terlanjur mendongkol lantas berteriak nyaring.
"Ih, enaknya! Kau tadi menghalang-halangi rekan (Jdan Awu pengurus rumah makan ini karena hendak keluar gelanggang untuk menunjukkan hormatnya kepada majikannya, dan engkau menggebuknya dari belakang. Apakah aku tidak dapat menghajarmu sekarang?"
Bantar Angin menoleh.
"Adik kecil ini tinggi ilmu kepandaiannya. Aku menyerah kalah kepadanya. Tetapi engkau? Huu! Kalau mencoba menghalang-halangi kepergianku ini hayo engkau harus memperlihatkan kepandaianmu dahulu seperti adik kecil ini."
Teguh Jiwa berpenasaran dan gusar sekali mendengar sumbar Bantar Angin.
"Memang aku orang dusun yang goblok. Aku tidak mempunyai kepandaian sedikit pun. Akan tetapi kalau engkau hendak mencoba, mari! Jika engkau bisa lolos dari serangan bedudanku ini aku bersumpah tidak akan muncul lagi dalam pergaulan hidup."
Manik Hantaya heran menyaksikan kebandelan Bantar Angin. Akan tetapi pendekar itu jujur. Ia dituduh membuat keonaran akan tetapi nampaknya bukan orang jahat. Maka segera ia maju menengahi. Katanya ramah.
"Sebenarnya manusia di seluruh penjuru dunia ini adalah saudara. Apa perlu mengadu jiwa oleh suatu perkara yang tidak keruan juntrungnya?"
Pada saat itu Dengkek sudah dapat berkutik kembali. Ia merayap bangun dan berdiri di samping Teguh Jiwa. Dengan menuding ia memaki.
"Babi gemuk itu mengacau di sini. Semua orang menyaksikan perbuatannya."
Kedua mata Bantar Angin membelalak lebar.
"Ini rumah makan! Setiap orang yang datang kemari adalah tetamu. Aku pun membawa uang yang sama nilainya dengan uang kalian. Apa sebab pengurus rumah makan ini membeda- bedakan? Apakah aku ini anjing atau babi?"
Dengkek tidak mau mengerti, la lantas membuka mulutnya pula.
Dengan demikian mereka berdua lantas bertengkar mengadu ketajaman mulut.
Itulah sebabnya perlahan-lahan Manik Hantaya lantas mengerti sebab musabab terjadinya pertempuran itu.
Lantas saja ia tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu aku pun harus menghukum diriku sendiri. Aku harus sanggup menelan habis empat piring nasi dengan lauk pauk penuh!"
Dengkek yang masih penasaran dan mendongkol memelototkan matanya. Hendak ia menyemprotkan mulutnya akan tetapi tangannya kena tarik Manik Hantaya. Kata Manik Hantaya.
"Engkau pun harus dapat menghabiskan empat nasi dengan lauk pauk penuh!"
Selagi mereka yang berada di dalam ruang rumah makan mengambil tempatnya masing-masing, mendadak saja terdengarlah suara tertawa di serambi depan. Setelah suara tertawa itu lenyap, terdengar orang berkata.
"Bagus! Bagus! Kami pun hendak menghukum diri kami sendiri dengan menghabiskan empat piring nasi dengan lauk pauk penuh."
Kemudian muncullah dua orang perwira yang bertubuh gagah kekar dengan membawa pedang panjang di pinggangnya masing-masing.
Dengan sekelebatan saja Kilatsih segera mengenal mereka berdua.
Yang berada di depan adalah Letnan Suwangsa dan yang ketinggalan setengah langkah Komandan Laskar Istana Kasujtanan Yogyakarta, Kapten Wiranegara.
Melihat kedatangan mereka, sekalian tetamu berubah wajahnya.
Manik Hantaya membawa sikap sangat tenang.
Dengan tetap tenang tersenyum ramah ia membungkuk hormat.
"Bagus! Sungguh kebetulan sekali saudara berdua datang ke mari. Inilah yang dinamakan satu karunia Tuhan. Andaikata aku mengundangmu, belum tentu kalian sudi datang."
Dengan tertawa melalui dadanya Kapten Wiranegara dan Letnan Suwangsa mengangguk dan mengambil tempat duduknya. Pandang mata mereka tak pernah beralih dari wajah Manik Hantaya. Dan pendekar ini berusaha menguasai diri agar wajahnya tetap tenang.
"Perkenankan kami mengenal tuan sekalian. Siapakah tuan?"
Tanya Manik Hantaya dengan tetap tenang.
"Ah, kiranya karena urusan kecil saja. Hai, tuan rumah! Aturlah kembali meja, kursi, lantas kau sajikan hidangan yang istimewa. Pada hari ini aku mengundang tetamuku. Paman Teguh Jiwa dan saudara kecil juga para tetamu lainnya, silakan duduk kembali. Perkenankan aku menghidangkan beberapa masakan sekadarnya. Aku berharap agar kalian sudi menanggapi.". Hebat perbawa suara Manik Hantaya. Bantar Angin tidak berani membangkang lagi. Ia lantas mengedipi kawannya.
"Pendekar, mari kita pergi. Tak pantas kita mengunyah hidangan seseorang yang belum pernah kita kenal."
Manik Hantaya tertawa.
"Saudara! Apakah benar saudara belum pernah bergaul di dalam masyarakat? Saudara seorang gagah dan para tetamu ini pun pendekar gagah pula. Meskipun saudara lahir di selatan dan aku lahir di timur dan lainnya lahir di tengah atau di barat atau di utara, tetapi sebenarnya kita semua sesama saudara. Timurselatanutara dan barat adalah tempat lahir kita secara kebetulan saja. Tetapi asal kita satu, yaitu dari Roh Suci atau kehendak Tuhan. Karena itu mengapa saudara menolak hidangan kami? Apakah malu? Seperti perempuan?"
Sukesi memandang suaminya.
"Meskipun aku seorang perempuan belum tentu aku pemalu. Baiklah karena semenjak tadi aku membungkam diri, maka aku akan mendenda diriku sendiri dan denda itu sangat berat! Sebab aku harus dapat menghabiskan dua piring nasi dengan lauk-pauk penuh."
Manik Hantaya tertawa lebar.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, benar. Aku pun akan mendenda diriku sendiri pula. Aku harus meghabiskan tiga piring nasi dengan lauk pauk penuh-penuh!"
Mendengar percakapan mereka berdua yang tulus dan polos itu tertariklah hati Bantar Angin. Segera ia kembali dan duduk di atas kursi.
"Aku bernama Suwagsa dan ini kawanku Kapten Wiranegara, Komandan Laskar Istana Yogyakarta."
Mendengar nama mereka, sekalian tetamu terkejut.
Mereka semua tahu Raden Mas Suwangsa seorang ahli pedang termasyur.
Sedang Kapten Wiranegara memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi pula.
Sekiranya tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi tidak mungkin ia menjadi komandan laskar penjaga Istana Kasultanan.
Sekalian tetamu yang berada dalam ruang rumah makan itu menjadi tak tenteram hatinya.
Apalagi mereka lantas melihat, Letnan Suwangsa dan Kapten Wiranegara mengambil tempat yang berada dekat pintu depan.
Seolah-olah mereka berdua sengaja hendak memegat jalan keluar.
Akan tetapi Paneker ternyata seorang seorang pemuda yang cerdik.
Dengan menarik lengan Bantar Angin ia mengajak pindah di belakang meja yang berada dekat pintu besar, sehingga kedudukan mereka berdua seolah-olah menyaingi kedudukan Letnan Suwangsa dan Kapten Wiranegara.
Teguh Jiwa tak puas melihat kedatangan mereka berdua.
Berulangkali ia memperdengarkan tertawanya melalui hidung.
Sebaliknya Letnan Suwangsa seakan-akan tak menghiraukan.
Dengan mata tajam ia menyapu sekalian hadirin.
Tiba-tiba ia melihat wajah Kilatsih.
la jadi heran.
Kena pandang Letnan Suwangsa, Kilatsih membalas pandang pula.
Sama sekali ia tidak gentar dan tatkala itu ia mendengar Letnan Suwangsa berkata seolah-olah kepada dirinya sendiri.
"Sungguh! Inilah suatu pertemuan yang benar-benar menggembirakan. Kapten Wiranegara! Sekalipun engkau peroleh kesempatan begini bagus, bisa bertemu para pendekar gagah dengan sekaMgus. Karena itu kita harus makan sekenyang-kenyangnya!"
Tatkala itu pelayan sudah meletakkan hidangan-hidangan di atas meja mereka masing-masing.
Terus saja Letnan Suwangsa.
dan Kapten Wiranegara menyambar hidangan di depan mereka dan mengunyah dengan lahap sekali.
Mereka menghabiskan beberapa gelas minuman dingin dengan lahap pula.
Pada saat itu terdengarlah suara Manik Hantaya kepada Letnan Suwangsa dan Kapten Wiranegara.
"Kapten! Letnan! Nampaknya tuan berdua lagi menjalankan tugas kewajiban. Maka tidak berani kami menahan tuan berdua lama-lama di sini. Silakan apabila tuan berdua hendak lekas-lekas meninggalkan ruangan ini! Tuan berdua tak usah bersegan-segan. Dan saudara-saudara hadirin lainnya silakan minum dan makan sepuas-puasnya!"
Tak usah dikatakan lagi semua orang tahu maksud Manik Hantaya. Artinya mereka berdua tidak dikehendaki kehadirannya dalam rumah makan tersebut. Letnan Suwangsa sendiri bersikap acuh tak acuh. Dengan tertawa dingin ia menjawab.
"Saudara! Tugasku justru saudara yang menolong. Karena itu dengan ini perkenankan kami berdua mengucapkan terima kasih."
Mendengar kata-kata Letnan Suwangsa, Manik Hantaya heran.
Apa maksudnya dikatakan dia membantu tugasnya? "Tuan, apakah arti kata-kata Tuan tadi?"
"Sudah lama kami ingin bertemu dengan para pendekar gagah seperti pada saat ini.
Tak pernah kuduga justru lewat Saudara kami dapat mencapai maksud kami,"
Jawab Letnan Suwangsa dengan tertawa.
"Sri Baginda mengundang Saudara datang ke Yogya!"
Heran Manik Hantaya mendengar perkataan Letnan Suwangsa yang berani itu.
Apakah Letnan itu mengetahui siapa dirinya sebenarnya.
Sekalipun tahu, dia dapat berbuat apa karena di sini banyak kawan-kawannya.
Karena Letnan Suwangsa berkata dengan sungguh-sungguh, Manik Hantaya lantas mengimbangi.
Katanya dengan sungguh-sungguh pula.
"Tuan! Aku adalah seorang pelajar yang tolol. Bagaimana mungkin aku dipanggil Sri Baginda menghadap. Sri Baginda mengharapkan apa dariku? Selain tolol aku adalah seorang lemah pula. Beberapa kali aku mencoba mendaftarkan diri menjadi abdi dalem, akan tetapi selalu gagal saja. Kalau Sri Baginda sekarang tiba-tiba sudi memanggil aku, inilah suatu karunia besar. Ah, pastilah Letnan Suwangsa berkelakar saja."
Letnan Suwangsa tertawa terbahak-bahak.
"Di depan para hadirin yang begini banyak, janganlah kita bersenda gurau yang tiada gunanya. Marilah kita berbicara yang benar. Saudara! Engkau seorang pendekar yang tak hanya pandai berkelahi, akan tetapi paham pula tentang ilmu surat. Sri Baginda mengetahui semuanya itu. Itu pulalah sebabnya Sri Baginda mengharap kedatanganmu."
Manik Hantaya tertawa geli.
"Aku? Aku pandai berkelahi dan paham pula ilmu surat? Sungguh lucu....! Sungguh lucu!"
Letnan Suwangsa mendehem.
"Bukankah Saudara ini yang sesungguhnya disebut orang sebagai Arya Manik Hantaya?"
Letnan Suwangsa memanggil sebutan Manik Hantaya dengan Arya. Artinya ia menyebut Manik Hantaya sebagai salah seorang pemimpin pergerakan tertentu. Tiba-tiba Bantar Agin menyambung.
"Letnan Suwangsa! Saudara kecil itu pun hebat pula ilmu kepandaiannya. Maka dia pun harus kau undang pula!"
Bantar Angin ternyata seorang pendekar gemuk yang sembrono sekali.
Ia mengukur tiap orang dengan bajunya sendiri.
Karena dia seorang jujur, lantas mengira Letnan Suwangsa jujur pula seperti dirinya.
Ia mengira Letnan Suwangsa memanggil Manik Hantaya sungguh-sungguh.
Biasanya apabila seseorang dipanggil menghadap Sri Baginda setidak-tidaknya akan memangku jabatan yang bagus sekali.
Karena itu ia mengajukan pula Kilatsih.
Sebab tadi ia merasakan bogem mentah Kilatsih.
Seorang yang bisa mengalahkan dirinya, adalah seorang yang patut menjabat jabatan yang bagus di dalam istana Kesultanan.
Letnan Suwangsa tertawa pula mendengar usul pendekar Bantar Angin.
Sahutnya dengan gembira.
"Ah, bukankah Saudara ini yang bernama Bantar Angin? Perkataan Saudara benar belaka. Baiklah, semua orang wanita atau pria yang berkumpul di sini kami undang semua untuk menghadap Sri Baginda!"
Cara berbicara Letnan Suwangsa mengesankan bahwa ia tidak menghargai pendekar-pendekar yang hadir dalam rumah makan itu.
Tidak mengherankan Teguh Jiwa yang namanya terkenal seumpama menggetarkan jagad tersinggung hatinya.
Dia biasa hidup tanpa minta bantuan orang lain.
Dengan seorang diri ia merajai suatu daerah di kaki Gunung Merbabu dan Merapi.
Ia terkenal sebagai seorang begal yang menakutkan.
Akan tetapi dialah sebenarnya seorang pejuang sejati.
Hasil rampokannya dibagi-bagikan kepada penduduk sekitar celah Gunung Merbabu dan Merapi.
Karena itu bagi penduduk sekitar Gunung Merbabu dan Merapi ia dipandang sebagai pahlawannya.
Apa sebab ia hidup sebagai seorang begal? Tiap orang mengetahui alasannya.
Semenjak sepuluh duapuluh tahun yang lalu, ia mencanangkan diri memusuhi pemerintahan Danurejo serta kebijaksanaan Sri Sultan.
Ia menanggap baik Sri Sultan maupun Patih Danurejo terlalu lemah menghadapi Kompeni Belanda yang menindas kesejahteraan rakyat.
"Bagus!"
Serunya sambil menggeser kursinya.
"Letnan Suwangsa mewakili Sri Baginda membuat undangan.... Itulah suatu keberanian melampaui batas. Baiklah. Sekalipun aku sudah tua bangka akan mendahului teman-teman berangkat terlebih dahulu menghadap Sri Baginda."
Letnan Suwangsa kala itu mengarahkan pandangnya kepada Manik Hantaya. Ia tidak menggubris ucapan jago tua itu. Katanya mengalihkan pembicaraan kepada Paneker.
"Saudara Paneker dan saudara Bantar Angin hayo tolonglah pelayan-pelayan ini menghidangkan masakan. Dengan begitu para tetamu tak usah terlalu lama menunggu hidangan. Aku sendiri yang akan membayar semua masakan yang dihidangkan di sini."
Pemuda yang membantu Bantar Angin . tadi segera berdiri dari kursinya. Dengan lincah ia membungkuk hormat kepada Letnan Suwangsa kemudian menghampiri Bantar Angin.
"Kakang Bantar Angin, hayo kita berdua meramaikan pesta ini."
Diperlakukan demikian, keruan saja Teguh Jiwa mendongkol bukan main.
Dia lantas berdiri dari kursinya dan berjalan mengarah pintu keluar hendak meninggalkan rumah makan.
Akan tetapi Paneker yang hendak melaksanakan perintah Letnan Suwangsa telah menghadang di depan pintu.
Baru ia menggerakkan tangan, tiba-tiba bedudan Teguh Jiwa bergerak pula.
Tak ampun lagi, kaki Paneker mendadak menjadi lumpuh dan robohlah ia menggabruk lantai.
Akan tetapi Paneker bukan pendekar murahan.
Begitu roboh terbanting menggabruk lantai, tiba-tiba ia bergulingan dan mencabut sebatang golok.
Kemudian sambil bergulingan pula ia membabat kaki Teguh Jiwa.
Ternyata ia pun pandai berkelahi menggunakan ilmu sakti Esmugunting yang dipergunakan Dengkek.
Maka tak mengherankan tatkala Dengkek membuat repot Bantar Angin ia bisa mengkisiki temannya.
"Hmm!"
Dengus Teguh Jiwa dengan suara tawar.
"Di pintu neraka engkau berani berlagak seperti Batara Cingarabalaupata. Bagus, memang aku Raja Kasipu yang datang ke neraka hendak menghancurkan Kahyangan Dewa Suralaya."
Setelah berkata demikian, ia menggerakkan bedudan-nya yang tiba-tiba saja dapat dipergunakan semacam tombak pendek.
Dengan menerbitkan suara, ujung bedu-dannya membentur lutut Paneker yang bergerak lincah.
Tepat sekali tikamannya dan Paneker benar-benar roboh bergulingan tak dapat menghindarkan diri.
Melihat kawannya roboh dalam sege-brakan saja, Bantar Angin berseru meledak.
"Ah, Letnan Suwangsa mengundang kalian. Mengapa kalian begini kasar?"
Ia lantas memburu kawannya hendak menolong bangun.
Semenjak tadi Teguh Jiwa dengki kepada pendekar gemuk itu.
Betapa tidak, karena Dengkek kena dihajarnya pulang balik sampai tidak dapat berkutik, inilah sebabnya pula ia lantas menusuk pinggang Bantar Angin.
Tusukannya ini bisa menjadi tusukan biasa, juga bisa berubah kejam sekali menurut keinginannya.
"Benar-benar hebat!"
Seru Bantar Angin sambil memutar tubuhnya.
Kedua tangannya lantas bergerak menggunakan ilmu sakti Hasta Sila.
Teguh Jiwa tahu bahwa ilmu sakti Bantar Angin berdasarkan tenaga dahsyat.
Merasa diri sudah berusia, lanjut tak mau ia melayani dengan keras.
Dengan gesit ia mengelak ke samping.
"Ha ha!"
Bantar Angin tertawa merendahkan.
"Ternyata engkau hanya pandai meniup bualan kosong. Kau tidak berani mengadu tangan denganku."
Ia lantas maju mendesak dan menyerang tiga kali beruntun.
Benar-benar Teguh Jiwa tidak mau melayani keras melawan keras.
Dia mengandal kepada kegesitan tubuhnya.
Setiap kali dipukul, dia mesti mengelak.
Dengan demikian, tujuh delapan jurus telah lewat.
Dan pukulan Bantar Angin hanya menumbuk udara kosong.
Tiba-tiba saja pada jurus kesembilan Bantar Angin berhasil mendaratkan tinjunya yang dahsyat.
Pukulannya ini bisa mematahkan tulang belulang.
Di luar dugaan Teguh Jiwa ternyata mampu menerima pukulannya yang dahsyat.
Begitu kena hantaman, tubuhnya berputar atau mendadak bedudannya menikam dengan gesit sekali.
Bantar Angin terpaksa mundur.
Dengan demikian mereka jadi berimbang.
"Kiranya engkau hebat juga!"
Bantar Angin mengakui.
"Kalau begitu aku salah lihat. Tadinya aku menyangka engkau hanya pandai mengepulkan balon kosong!"
Bantar Angin seorang yang jujur sehingga berkesan sembrono.
Ia memuji setulus hati.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi pujian yang membersit dari hati yang jujur itu, justru menyinggung perasaan Teguh Jiwa.
Pendekar ini merasa dihina dan direndahkan.
Karena merasa terhina, ia jadi sungguh- sungguh.
Terus saja ia mendesah hebat.
Pertarungan ini membuat Letnan Suwangsa tidak bersabar lagi.
Terus saja ia meledak.
"Kami mengundang kalian baik-baik. Akan tetapi kalian menolak maksud kami yang baik ini. Dengan demikian kalian memaksa kami untuk main denda. Baiklah kami terpaksa main denda. Kami tak perlu lagi bersegan-segan."
Baru saja Letnan Suwangsa menyelesaikan perkataannya, Manik Hantaya menghunus goloknya.
"Saudara-saudara sekalian, serbu pintu! Saudara Letnan Suwangsa, dendamu kami terima. Silakan! Silakan.....!"
Semenjak tadi pandang mata Letnan Suwangsa diarahkan kepada Manik Hantaya.
Ia tidak memedulikan yang lain.
Begitu ia melihat gerakan golok Manik Hantaya, terus saja ia melompat dari kursinya, sambil menarik pedangnya.
Dan bentroklah kedua senjata itu dengan nyaringnya.
Traaang! Hebat kesudahannya.
Golok adalah senjata yang berat.
Sedang pedang Letnan Suwangsa ringan.
Meskipun demikian, golok Manik Hantaya kena dipentalkan.
Sukesi melihat suaminya dalam bahaya.
Terus saja ia menghunus pedangnya dan melompat maju.
Tak peduli ada meja menghalang di depannya.
Dengan gesit ia melompat, kemudian dengan suaminya menyerang berbareng.
Letnan Suwangsa tertawa berkakakkan.
Katanya dengan suara bergelora.
"Kamu suami isteri benar-benar sepasang mempelai yang manis sekali. Hayo majulah berbareng! Kalau aku sampai mundur satu langkah saja, katakan saja aku ini seorang pengecut yang tiada gunanya hidup di dunia ini!"
Dengan gagah perkasa ia menendang meja yang berada di sampingnya untuk menghalangi sambaran pedang Sukesi.
Kemudian dengan lincah pedangnya menikam perut Manik Hantaya.
Pada saat itu bidang gerak Manik Hantaya kurang leluasa.
Ia kena rintangan gerakan tetamu-tetamu yang berbareng menyerbu pintu.
Melihat tikaman pedang Letnan Suwangsa, ia mundur setengah langkah.
Sekali mengerling ia melihat sebuah mangkok berada di atas meja.
Mangkok itu masih mengepulkan asap hangat.
Tanpa berpikir panjang lagi ia menyambar dan menyambitkan.
Tentu saja Letnan Suwangsa tak sudi kena pukulan mangkok berisi kuah panas itu.
Dengan gesitnya ia melompat ke samping dan menggerakkan pedangnya, dan mangkok itu kena dipukulnya.
Kena pukulannya, mangkok berisi kuah itu terbelah menjadi dua, dan potongannya menyambar kepada Sukesi yang pada saat itu justru lagi menerjang maju.
Tanpa memedulikan mangkok itu, Sukesi melompat ke atas meja dan pedangnya terus menyambar.
Letnan Suwangsa menangkis sehingga kedua senjata itu bentrok dengan nyaringnya.
Setelah itu ia pun menangkis golok Manik Hantaya pula.
Dengan demikian dalam satu gerakan saja ia dapat menangkis dua serangan senjata suami- istri, Manik dan Sukesi.
Para tetamu yang berada di pihak suami istri Manik Hantaya dan Sukesi, kala itu sudah maju menyerbu pintu.
Akan tetapi di depan ambang pintu berdiri seorang perwira lain yang gagah perkasa.
Dialah Kapten Wiranegara.
"Kalian hendak keluar pintu? Hmm jangan mimpi,"
Kata Kapten Wiranegara dengan tertawa melalui dadanya.
Dua orang pemuda mendongkol dan gusar bukan main mendengar sumbarnya.
Terus saja mereka menyerbu dengan senjatanya masing-masing.
Akan tetapi Kapten Wiranegara nampak tenang-tenang saja.
Ia tertawa dingin.
"Kamu berdua rebahlah dengan baik-baik!"
Dengan sekali menggerakkan tangannya, ia menyambar senjata mereka dengan berbareng, entah senjata apa yang dipergunakan dua pemuda itu.
Tetapi begitu kena sambaran tangan Kapten Wiranegara, senjata mereka itu terlepas dari tangannya masing-masing.
Kemudian dengan menjerit tinggi mereka roboh terjengkang ke atas lantai.
Ternyata kedua lengannya telah patah.
Robohnya kedua pemuda itu, membuat yang lain tersadar.
Kapten Wiranegara ternyata paham ilmu Hasta Sila.
Segera mereka bergerak hendak menolong kedua pemuda itu, akan tetapi dengan gagah Kapten Wiranegara menghadangnya.
Tentu saja Letnan Suwangsa tak sudi kena pukulan mangkok berisi kuah panas itu.
Dengan gesitnya ia melompat ke samping dan menggerakkan pedangnya.
Dan mangkok itu kena dipululnya.
Kena rintangan Kapten Wiranegara, para tetamu lainnya gusar bukan main.
Serentak mereka menyerang dengan berbareng.
Inilah makanan yang enak sekali bagi Kapten Wiranegara.
Sebab ilmu sakti Hasta Sila justru menghendaki serbuan lawan dengan jarak dekat.
Kedua tangannya lantas menyambar dengan dahsyatnya dan gesit sekali.
Dan ia berhasil merobohkan beberapa orang hanya datem dua gebrakan saja.
Karena itu para penyerang lainnya lantas mundur dan tidak berani lagi merangsak terlalu dekat.
Tatkala itu perabot rumah makan jungkir balik dan hancur berserakan.
Pertempuran di dalam rumah makan itu terbagi menjadi tiga bagian.
Yang pertama pergumulan antara Bantar Angin melawan Teguh Jiwa.
Yang kedua Kapten Wiranegara melawan serbuan orang-orang dan yang ketiga Letnan Suwangsa menghadapi suami istri Manik Hantaya dan Sukesi.
Dalam pada itu Paneker yang kena terhantam lututnya, sudah dapat menolong diri.
Ia membebad lukanya erat-erat.
Kemudian berdiri di samping Kapten Wiranegara.
Dengan panah pendek ia menyerang beberapa orang-orang yang hendak mencoba membantu suami istri Manik Hantaya dan Sukesi.
Memang di antara tiga kalangan itu, suami istri Manik Hantaya dan Sukesi yang berada dalam keadaan bahaya.
Meskipun mereka berdua, akan tetapi Letnan Suwangsa terlalu hebat bagi mereka.
Pedang Letnan Suwangsa menyambar- nyambar tiada hentinya dan sangat tangkas.
Tikaman- tikamannya yang lincah dan berbahaya itu, membuat Manik Hantaya dan Sukesi nampak kerepotan.
Terpaksalah mereka hanya membela diri saja.
Tidak lama kemudian terdengarlah bentrokan nyaring dan Manik Hantaya terkejut bukan main.
Ternyata ujung goloknya kena terpapas pedang lawannya.
Pedang Letnan Suwangsa bukanlah pedang mustika.
Akan tetapi berkat ilmu saktinya yang sudah masak, ia dapat menabas kutung ujung golok Manik Hantaya dengan mudah.
Peristiwa itu membuat hati Sukesi tercekat juga.
Dengan patahnya ujung golok Manik Hantaya, membuat hati Letnan Suwangsa menjadi semakin besar.
Tak sudi lagi ia memberi hati.
Dengan pedangnya ia me-rangsak terus menerus, la tidak bersegansegan lagi.
Tikamannya mengarah tempat-tempat berbahaya dan suami istri Manik Hantaya Sukesi benar-benar kena dibuatnya kelabakan.
Selagi dalam keadaan demikian, tiba-tiba terdengarlah suara gemerincing beberapa kali.
Kilatsih melompat maju memasuki gelanggang dengan menaburkan beberapa biji sawonya.
Beberapa biji sawonya kena ditangkis pedang Letnan Suwangsa sehingga berbunyi gemerincingan.
Akan tetapi Kilatsih tak hanya membidik Letnan Suwangsa saja.
Beberapa puluh biji sawonya menyambar Paneker pula.
Letnan Suwangsa terpaksa membagi perhatiannya.
Setelah berhasil menyapu bersih biji sawo yang mengarah padanya, cepat ia berbalik dan pedangnya berkelebat menolong sambaran biji sawo yang mengancam Paneker.
Justru pada saat itu Kilatsih masuk dengan menyabetkan pedangnya.
Gadis itu sama sekali tidak gentar menghadapi Letnan Suwangsa yang berkepandaian sangat tinggi.
Letnan Suwangsa menggerakkan pedangnya menyambut serangan Kilatsih.
la bermaksud hendak menempel pedang Kilatsih dengan mengadu tenaga.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Manik Hantaya dan Sukesi.
Dengan berbareng mereka menghantam Letnan Suwangsa.
Kaget Letnan Suwangsa menghadapi serangan suami istri Manik Hantaya Sukesi.
Ia gagal pula hendak menempel pedang Kilatsih yang terlalu lincah bagi dirinya.
Selagi ia berputar arah hendak menghalau senjata Manik Hantaya dan Sukesi tiba-tiba pedang Kilatsih yang dapat meloloskan diri dari tempelannya membabat.
Dan ujung bajunya rantas seketika itu juga.
Letnan Suwangsa melompat dengan hati terkejut.
Kagum ia meyaksikan kecepatan dan kegesitan gerakan pedang Kilatsih.
Maklumlah dia seorang ahli pedang yang jarang memperoleh tandingan.
Pada dewasa itu terdapat empat orang ahli pedang kenamaan.
Di barat, Kapten Martasasmita yang tewas menghadapi Sanjaya.
Di utara, Arya Prawira, kelak diangkat menjadi Bupati Tegal.
Di selatan, Letnan Mangun Sentika dan di timur Letnan Suwangsa.
Di antara keempat orang ahli pedang tersebut Letnan Suwangsa merupakan ahli pedang yang paling berbahaya dan unggul.
Dengan keahlian pedangnya itulah, ia menarik perhatian Sri Mangkunegara.
Lalu dipungut menjadi menantunya.
Kilatsih pernah menyaksikan keunggulan dan kegagahan Letnan Suwangsa.
Karena itu gerakan pedangnya tidak kepalang tanggung, terus saja ia menyerang dengan mengguakan ilmu pedang Witaradya.
Karena dibantu oleh suami istri Manik Hantaya dan Sukesi, serangannya berhasil.
Dengan sekali berkelebat ia berhasil merantaskan ujung baju Letnan Suwangsa.
Dengan masuknya Kilatsih ke dalam gelanggang, Letnan Suwangsa menjadi sungguh-sungguh.
Meskipun kaget, tetapi ia menang pengalaman.
Segera ia dapat menguasai dirinya.
Sekarang tidak mau ia mendesak lagi.
Dalam lima sampai sepuluh jurus, nampaknya Kilatsih bertiga menang di atas angin.
Akan tetapi buktinya letnan itu dapat mempertahankan diri dengan baik.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kecuali dapat membela diri, kadangkala bisa membalas menyerang dengan gagah sekali.
Kilatsih bertempur di tengah di antara Manik Hantaya dan Sukesi.
Ia selalu dapat memecahkan serangan pedang Letnan Suwangsa.
Melihat gerakan pedang Kilatsih, baik Manik Hantaya maupun Sukesi heran bukan main.
Sambil menghalau serangan Letnan Suwangsa ia bertanya.
"Hei! Apakah engkau keluarga Adipati Surengpati? Bila tidak, apa engkau pernah kenal Beliau?"
"Dialah guruku,"
Sahut Kilatsih dengan terus terang.
"Kalau begitu, engkau kenal Sangaji dan Titisari pula,"
Seru Sukesi.
Kilatsh mengangguk.
Melihat anggukan Kilatsih, Manik Hantaya dan Sukesi bersyukur bukan main.
Mereka berdua pernah mendaki celah Gunung Gede untuk menemui Sangaji dan Titisari.
Tiga hari tiga malam mereka berada di markas besar Himpunan Sangkuriang.
Mereka bergaul dengan rapatnya.
Karena Sangaji berhati terbuka, dengan tidak segan- segan mereka mohon petunjuk untuk kesempurnaan ilmu pedang mereka.
Dengan tulus ikhlas pula Sangaji dan Titisari mengabulkan permintaannya.
Karena yang diminta mereka adalah ilmu pedang, maka yang mewakili Sangaji adalah Titisari.
Dalam hal ilmu pedang, Titisari memegang pokoknya.
Maka Titisari memperlihatkan ilmu pedang warisan leluhurnya.
Itulah sebabnya begitu Manik Hantaya dan Sukesi melihat gerakan pedang Kilatsih, segera mengenal corak dan keragamannya.
"Bagaimana engkau memanggil yang Mulia Sangaji suami istri?"
Tanya Sukesi.
"Mereka berdua adalah kakakku,"
Sahut Kilatsih.
"Ah!"
Seru Manik Hantaya dan Sukesi dengan berbareng.
"Bagaimana keadaan kakakmu berdua?"
"Kakakku berdua dalam keadaan sehat walafiat,"
Jawab Kilatsih.
"Baiklah kita singkirkan binatang ini dahulu, baru kita berbicara banyak-banyak."
Sesudah berkata begitu, Kilatsih mendahului menyerang dengan dahsyat sekali.
Diserang demikian, Letnan Suwangsa yang berpengalaman segera berusaha menguasai ketenangannya, la bersikap membela diri daripada menyerang.
Setelah bertempur duapuluh jurus, ia tertawa dengan tiba-tiba.
"Apa? Kamu berniat membunuhku? Hiha-ha... kau jangan bermimpi yang bukan-bukan! Kau tahu, sekarang ini aku justru telah mempersiapkan lima ratus serdadu yang mengepung rumah makan ini. Tegasnya, kamu sekalian telah terkurung rapat-rapat. Jika sayang akan jiwamu, nah letakkan senjata! Kemudian seorang demi seorang mengikuti kami berangkat ke Yogyakarta!"
Tentu saja Kilatsih tidak segera mempercayai gertakan Letnan Suwangsa.
Ia memasang kupingnya.
Benar saja ia mendengar langkah ribut di sekitar rumah makan.
Benar- benar rumah makan ini sudah terkepung rapat-rapat.
Dalam pada itu Bantar Angin terkejut tatkala mendengar nama Sangaji di sebut-sebut.
Tatkala itu ia lagi menghadapi serangan Teguh Jiwa yang dahsyat luar biasa.
Karena perhatiannya terpecah, lututnya kena tertusuk ujung bedudan Teguh Jiwa, sehingga ia berkaing-kaing.
Namun ia tidak menghiraukan.
Dengan memutar tubuhnya, berseru nyaring.
"Hai, Letnan Suwangsa! Bagaimana caramu hendak mengundang mereka?"
"Saudara Bantar Angin yang baik, mulutmu tak perlu usil,"
Sahut Letnan Suwangsa dengan tertawa berkakakkan.
"Gntukmu sudah cukup apabila engkau bisa melipat terus si tua bangka itu dan jaga baik-baik pintu keluar. Aku akan mengingat jasamu ini!"
Mendengar jawaban Letnan Suwangsa, Bantar Angin menjadi bingung dan heran. Telinganya yang tajam mendengar derap langkah pasukan Kompeni yang mengepung rumah makan. Di antara suara langkah-langkah kaki terdengar pula derap kaki kuda.
"Saudara-saudara serbu pintu!"
Manik Hantaya memberi aba-aba kembali, la sadar bahaya besar sedang mengancam keselamatan-para pendekar yang diundangnya.
Apa jadinya kalau rumah makan ini benar-benar terkepung rapat oleh lima ratus serdadu Kompeni yang biasanya bersenjata bidik? Lambat sedikit, pastilah akan terpaksa membayar dengan jiwa.
Kilatsih pun sadar akan ancaman bahaya.
Lantas saja ia maju mendekati pintu.
Justru dia berbuat demikian, merupakan kesempatan bagus bagi Letnan Suwangsa untuk menjaga Manik Hantaya dan Sukesi, maka terpaksalah Kilatsih berbalik kembali membantu Manik Hantaya dan Sukesi.
"Aku akan memegat di belakangnya!"
Kilatsih berseru.
Setelah berkata demikian, ia menyerang dengan tipu-tipu ilmu pedang Witaradya yang dahsyat luar biasa.
Menghadapi serangan demikian, mau tak mau Letnan Suwangsa mundur selangkah demi selangkah.
Itulah suatu peluang yang bagus bagi suami istri Manik Hantaya dan Sukesi.
Segera mereka berdua bergerak mendekati pintu.
Letnan Suwangsa hendak mencegah kaburnya suami istri itu, akan tetapi ke mana saja pedangnya bergerak, selalu kena dirintangi pedang Kilatsih yang gesit.
Walaupun ia berkepandaian tinggi, akan tetapi tak sanggup ia memukul atau mengenyahkan serangan pedang Kilatsih dalam tiga atau empatpuluh jurus saja.
Itulah sebabnya suami istri Manik Hantaya dan Sukesi berhasil mendekati pintu besar.
Pembantu Letnan Suwangsa yang mengalihkan perhatiannya kepada suami istri Manik Hantaya dan Sukesi adalah Paneker.
Melihat suami istri Manik Hantaya dan Sukesi berhasil mendekati pintu besar, segera ia berseru kalap.
"Kapten Wiranegara! Jaga pintu! Mereka berdua akan kabur. Jangan takut! Aku akan segera membantu!"
Dalam pada itu pendekar gemuk Bantar Angin kehilangan kesabarannya.
Dengan menggunakan kedua tangannya, ia menyerang hebat Teguh Jiwa.
Setelah itu, ia bergerak hendak menyerang suami istri Manik Hantaya dan Sukesi.
Akan tetapi baik Manik Hantaya maupun Sukesi sudah bersiaga menghadapinya.
Teguh Jiwa pun tidak tinggal diam.
Dengan senjata bedudannya ia melompat dan menikam perut Bantar Angin, la menggunakan jurus ilmu saktinya yang sangat berbahaya.
Bantar Angin menjadi kerepotan.
Pertama ia memang berimbang kepandaiannya dengan Teguh Jiwa.
Kedua, sekarang dia menghadapi ancaman Manik Hantaya dan Sukesi.
Selagi ia terancam bahaya, tiba-tiba berkelebatlah seorang masuk ke gelanggang.
Dengan sekali gerakan, orang itu berhasil menangkis bedudan Teguh Jiwa hingga terpental.
Orang berkepandaian tinggi yang menolong dirinya ternyata bukan lain adalah Letnan Suwangsa.
Dengan menggunakan kelincahannya ia berhasil meninggalkan Kilatsih.
Begitu terlepas dari libatan pedang Kilatsih ia melompat menolong Bantar Angin.
Dengan sekali gerak, ia menangkis serangan bedudan Teguh Jiwa sambil menarik lengan Bantar Angin ke arah pintu keluar.
Setelah itu ia melompat menjaga ambang pintu sebelah kanan.
Dengan demikian pintu keluar kini terjaga empat orang ialah.
Letnan Suwangsa, Kapten Wiranegara, Bantar Angin dan Paneker.
Letnan Suwangsa kini berlaku bengis sekali.
Tak segan-segan pedangnya menikam kepada siapa saja yang berani mendekati ambang pintu.
Kapten Wiranegara tidak kepalang tanggung pula.
Dengan ilmu saktinya yang dahsyat, berkali-kali ia mematahkan tangan penyerang- penyerangnya.
Bantar Angin yang ikut menjaga pintu, mempertontonkan pula ilmu sakti Hasta Sila memang bertenaga dahsyat luar biasa.
Sekali bergerak, ia membuat mundur empat-lima.
penyerangnya dengan sekaligus.
Paneker yang bersenjata bidik ikut beraksi juga.
Dengan leluasa ia melepaskan senjata bidiknya kepada siapa saja yang berani mengarahkan perhatiannya kepada pintu keluar.
Dengan demikian Manik Hantaya dan Sukesi benar-benar tidak berdaya sama sekali.
Di antara mereka, hanya empat orang saja yang kuasa melawan.
Ialah Manik Hantaya Sukesi, Teguh Jiwa dan Kilatsih.
Lainnya meskipun mempunyai kepandaian tinggi akan tetapi menghadapi Letnan Suwangsa dan kawan-kawan tidak berdaya sama sekali.
Itulah sebabnya gerakan mereka seumpama arus air terbendung tembok besar dan tinggi.
Tatkala itu derap langkah sepatu Kompeni Belanda dan gerakan kaki-kaki kuda makin terdengar nyata.
Benar-benar mereka telah mendekati rumah makan dan mengepung sangat rapat.
Mendengar gerakan itu Letnan Suwangsa tertawa terbahak-bahak.
"Saudara Manik Hantaya! Mau tidak mau terpaksa engkau menerima dendaku. Hai, saudara Bantar Angin! Hampirilah pendekar itu dan lepaskan pukulanmu yang paling dahsyat agar goloknya dapat kau rampas."
Letnan Suwangsa bermaksud menawan Manik Hantaya hidup-hidup.
Ia dan Kapten Wiranegara akan membendung serangan pedang Kilatsih dan Sukesi serta bedudan Teguh Jiwa.
Sebagai seorang pendekar yang telah tinggi ilmunya, dengan sekali pandang tahulah ia bahwa ilmu pukulan Bantar Angin sangat tinggi mutunya.
Dalam keadaan terdesak, pastilah Manik Hantaya tidak berdaya menghadapi pukulan- pukulan dahsyat Bantar Angin.
Bantar Angin segera bergerak melepaskan pukulan geledek.
Dan terdengarlah suara bergedobrakan.
Oleh suara itu sekalian yang berada dalam ruang rumah makan memalingkan pandangnya.
Mereka melihat dua pintu roboh berantakan.
Bahkan tiang pintunya patah menjadi empat potong.
Ternyata pendekar Bantar Angin bukan menghajar golok Manik Hantaya, tetapi menghantam tiang pintu berikut daunnya.
Dahsyat pukulannya.
Begitu dilepaskan, tiang dan daun pintu rontok berguguran.
Setelah menghancurkan daun pintu, mendadak ia memutar tubuhnya dan menghadap Letnan Suwangsa dengan pandang bengis.
Letnan Suwangsa terheran-heran.
Serunya tak mengerti.
"Bantar Angin! Apa maksudmu menghancurkan pintu? Cepat hadang jalan keluar musuh!"
Bantar Angin tidak menjawab, la hanya menggerung. Mendengar gerungan itu Paneker heran setengah mati.
"Bantar Angin, apakah katamu tatkala engkau ikut aku kemari? Bukankah engkau hendak mengabdi diri kepada raja?"
Bantar Angin menyahut dengan suara nyaring.
"Saudara, benar-benar aku tak mengerti apa yang kau lakukan ini. Siapa sebenarnya yang kau anggap musuh? Aku tak sudi menganggap Manik Hantaya sebagai musuhku!"
Kedua mata Letnan Suwangsa membelalak sampai hampir terbalik.
Tanpa membuka mulut lagi, ia berputar arah dan menikamkan pedangnya, la membidik perut Bantar Angin.
Kilatsih yang tajam matanya melihat segala gerakannya.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan cepat ia menghantam pedang Letnan Suwangsa hingga tikamannya gagal di tengah jalan.
Berbareng dengan itu Manik Hantaya melompat maju dan menghatam Paneker dengan gagang goloknya.
Ketika itu juga robohlah Paneker di atas lantai.
Dengan satu tendangan tubuhnya dilemparkan ke udara.
Teguh Jiwa yang benci pada orang itu menyambarnya dan melemparkan keluar pintu.
Akan tetapi Paneker benar-benar pendekar lincah.
Ia dilemparkan tetapi begitu menginjak tanah, ia meletik bangun.
Lemparan Teguh Jiwa tadi mengarah kepada rombongan Kompeni Belanda yang bersenjata pedang panjang.
Melihat berkele-batnya tubuh Paneker, Kompeni Belanda bersiaga hendak menikam dengan berbareng.
Tentu saja Paneker tidak sudi membiarkan dirinya kena tikam kawan sendiri, selagi tubuhnya masih berada di udara ia berteriak-teriak.
"Hai! Hai! Hai! Apa kamu buta? Inilah aku! Teman sendiri!"
Kepala pasukan yang mengenal suaranya dan mengenal pula bentuk tubuhnya segera memberi aba-aba kepada para prajuritnya.
"Benar, dialah Paneker! Jangan tikam!"
Mendengar teriakan pemimpin mereka, semua serdadu mengurungkan niatnya.
Memang di antara mereka ada yang kenal Paneker pula.
Maka segera mereka menyambut Paneker yang lagi berdiri terhuyung-huyung.
Selagi mereka menolong dan menggeri-bigi pakaian Paneker, muncullah Bantar Angin di depannya.
Beberapa serdadu mengenalnya sebagai kawan Paneker.
Maka mereka berseru-seru.
"Inilah rekan Bantar Angin! Orang sendiri! Jangan ganggu!"
Bantar Angin tidak menggubris lagi apa yang mereka katakan, la sedang murka sekali.
Ia melompat maju dan menghajar seorang perwira yang berada di dekatnya.
Setelah itu ia merampas seekor kuda, terus melompat ke punggungnya dan dikaburkan.
Perwira yang kena hajar sampai jungkir balik itu terheran- heran.
Ia mengira Bantar Angin salah lihat.
Maka ia berdiam saja tatkala melihat Bantar Angin kabur menunggang kuda.
Sebaliknya tidaklah demikian halnya dengan Paneker.
Melihat Bantar Angin kabur dengan kuda rampasan segera ia berteriak-teriak kalut.
"Tembak saja! Tembak saja! Dia bersekongkol dengan bangsat-bangsat itu!"
Dalam pada itu Teguh Jiwa beserta rombongan sudah berhasil menerjang keluar.
Tentara yang mengepung rumah makan dapat dihalaunya pergi.
Karena mereka mendapat perintah menangkap hidup-hidup semua yang hadir di rumah makan tersebut, maka tiada sebutir peluru pun yang dilepaskan.
Dengan demikian mereka hanya berusaha merintangi Teguh Jiwa dan rombongannya.
Tentu saja mereka semua bukan lawan .yang setimpal.
Dengan satu gerakan kilat Teguh Jiwa dan rombongannya menghajar mereka kalang kabut.
Bantar Angin sendiri pada saat itu sudah berhasil kabur dengan kuda rampasannya.
Tentara Kompeni sama sekali tidak sempat menembaknya.
Hanya serdadu yang berjaga di persimpangan empat, mendengar teriakan Paneker.
Segera mengisi senapannya dengan bubuk mesiu.
Akan tetapi Bantar Angin lebih cepat dari tindakan mereka.
Dengan satu kait sambaran saja, serdadu itu dapat dijungkir balikkan mencium tanah.
Teguh Jiwa dan rombongannya tidak kenal siapa sebenarnya Bantar Angin itu.
Dia sesungguhnya anak didik Raja Muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.
Itulah sebabnya ia mengenal pula ilmu pukulan Hasta Sila dengan baik.
Ia mendengar kepergian Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya hendak menyusul ketua Himpunan Sangkuriang ke Jawa Tengah.
Menurut berita yang didengarnya, Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya kini berada di tengah Ibukota Kasultanan Yogyakarta.
Maka ia .berniat menyusulnya.
Salah seorang pamannya mempunyai sahabat yang bertempat tinggal di dalam Kota Yogyakarta.
Sahabatnya itu bernama Paneker.
Maka Bantar Angin segera mohon pertolongannya agar bisa memasuki Ibukota Yogyakarta dengan leluasa.
Pamannya tidak keberatan.
Ia menulis surat pengantar.
Demikianlah ia berangkat ke Yogyakarta.
Di tengah jalan ia bertemu dengan gerakan militer.
Melihat Bantar Angin, komandan militer itu menaruh curiga.
Ia lantas dikepung dan ditangkap.
Bantar Angin tidak melawan.
Ia menyefah dengan baik-baik saja.
Memang dia seorang pendekar yang jujur sekali.
Niatnya memasuki Yogyakarta hendak mencari Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.
Karena itu tiada niatnya hendak berlawan- lawanan dengan pihak militer.
Kebetulan sekali Komandan militer itu adalah Peneker.
Melihat surat pengantar yang dibawa Bantar Angin, Paneker tertawa terbahak-bahak.
Di dalam surat pengantar itu disebutkan, bahwa Bantar Angin hendak mengabdikan diri kepada Sultan.
Itulah akal Paman Bantar Angin untuk mengelabuhi pihak militer.
Paneker kenal baik Paman Bantar Angin.
Dia seorang yang berkepandaian tinggi.
Maka ia menduga, Bantar Angin pun seorang pendekar pula.
Pikirnya di dalam hati, hari ini aku diperintahkan ke Magelang untuk melaksanakan penangkapan terhadap Manik Hantaya dengan sekalian rombongannya.
Orang ini bisa menjadi pembantuku yang baik.
Dengan bantuannya, pastilah aku dapat membuat jasa.
Dengan berpikiran demikian, ia berkata ramah kepada Bantar Angin.
.
"Saudara bernama Bantar Angin, bukan? Maksud Saudara hendak mengabdi kepada Sri Sultan. Bukankah begitu?"
"Benar,"
Jawab Bantar Angin.
"Tentang pengabdianmu, aku yang menanggung. Sri Sultan menghargai seseorang yang dapat membuat jasa terhadap keraja-an. Kebetulan sekali pada hari ini kami diperintahkan ke Magelang untuk menggerebek gerombolan pengacau. Aku percaya, engkau seorang yang berkepandaian tinggi seperti pamanmu. Jika engkau dapat membantu kami menumpas gerombolan itu, jasamu akan berarti besar bagi hari depanmu,"
Bujuk Paneker.
Bantar Angin tidak mendapat penjelasan siapakah sebenarnya yang disebut gerombolan pengacau itu.
la terus saja mengangguk.
Pikirnya, biarlah aku membuat senang hatinya.
Dengan pertolongannya jalanku di kemudian hari akan menjadi lancar.
Raja Muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya pastilah menyamar tatkala memasuki ibukota kerajaan.
Bila aku mendapat keleluasaan bergerak, sebentar atau lama pastilah akan dapat bertemu dengan kedua Raja Muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.
Demikianlah ia ikut Paneker ke Magelang.
Dua minggu yang lalu Letnan Suwangsa dan Kapten Wiranegara mendengar kabar tentang gerak-gerik Manik Hantaya.
Menurut kabar yang didengar, Manik Hantaya hendak mengumpulkan pendekar-pendekar yang berpengaruh di Kota Magelang.
Maka Letnan Suwangsa segera berunding dengan Kapten Wiranegara hendak mengadakan penangkapan.
Apabila hal ini dijelaskan kepada Bantar Angin, pastilah pendekar yang sembrono dan jujur itu akan menolak dengan tegas.
Sebab ia pernah mendengar nama Manik Hantaya.
Seperti diketahui, Sangaji merupakan tokoh junjungan laskar seluruh Jawa Barat.
Pertemuannya dengan Manik Hantaya sebentar saja tersiar dengan luas sekali.
Bagi Laskar Himpunan Sang-kuriang, nama Manik Ha'ntaya berkesan baik sekali.
Begitu tiba di Magelang, Paneker segera menganjurkan kepada Bantar Angin agar membawa aksinya di dalam rumah makan, la disuruh membuat gara-gara untuk memancing munculnya Manik Hantaya.
Tegasnya dengan tidak sadar dijadikan perkakas penangkapan.
Akan tetapi walaupun ia sembrono dan polos, dapatlah ia membedakan mana yang benar dan tidak.
Di dalam hidupnya, kecuali menjunjung tinggi nama Sangaji dan sekalian para Raja Muda, ia pun menghargai sahabat dan teman-teman Sangaji.
Begitulah tatkala mendengar Kilatsih menyebut- nyebut nama Sangaji, timbullah rasa curiganya, la pun mendengar pula Letnan Suwangsa menyerukan nama Manik Hantaya dua tiga kali berturut-turut.
Dengan serta merta ia gusar bukan kepalang.
Maka tatkala Letnan Suwangsa memerintahkan merampas golok Manik Hantaya, ia justru menghantam pintu keluar untuk memberi jalan.
Kemudian dengan rasa marah yang meluap-luap, maju mendahului rombongan Manik Hantaya merabu serdadu Kompeni yang mengepung rumah makan setelah menjungkir balikkan seorang perwira dan merampas seekor kuda, lalu segera kabur.
Suami istri Manik Hantaya-Sukesi dan Kilatsih mengikuti Teguh Jiwa beramai-ramai menyerbu keluar.
Teguh Jiwa dan rombongannya berhasil meloloskan diri, akan tetapi Manik Hantaya, Sukesi dan Kilatsih dirintangi Letnan Suwangsa dan Kapten Wiranegara.
Memang mereka bertiga inilah yang diarah Letnan Suwangsa.
Manik Hantaya-Sukesi dan Kilatsih segera menggabungkan diri.
Kemudian melawan hadangan Letnan Suwangsa.
Akan tetapi Letnan Suwangsa benar-benar sulit untuk diundurkan.
Sudah begitu, Kapten Wiranegara datang pula memberi bantuan.
Dan di belakang mereka masih berderet entah puluhan atau ratusan serdadu bersenjata lengkap.
Dalam seribu kerepotannya mendadak Kilatsih ingat kudanya Megananda.
Segera ia bersiul panjang memanggil, Megananda masih tertambat di luar rumah makan.
Begitu mendengar siulan majikannya, segera ia merenggutkan tali pengikat dan menerjang barisan serdadu.
Letnan Suwangsa melihat .munculnya kuda putih itu.
la tahu, kuda putih itu bukan sembarang kuda.
Maka lantas saja ia berteriak-teriak nyaring.
"Awas! Jangan lukai kuda itu. Tangkap hidup-hidup!"
Belasan serdadu lantas bergerak maju hendak menangkap Megananda.
Akan tetapi Megananda memang bukan kuda sembarangan.
Merasa menghadapi ancaman bahaya, terus saja ia mengangkat kedua kaki depannya dan menerjang dengan galak.
Sambil berbenger keras, binatang itu terus menendang ke sana ke mari sambil lari menghampiri Kilatsih.
Kapten Wiranegara panas hatinya.
Ia melompat keluar gelanggang meninggalkan Kilatsih dan memburu Megananda.
Pada saat itu Megananda dapat berlari-lari dengan bebas merdeka, karena tiada seorang pun berani mendekati atau melukainya.
Sementara itu rombongan Teguh Jiwa sudah dapat meloloskan diri dari kepungan.
Si Dengkek mengetahui bahwa Manik Hantaya bertiga belum dapat keluar dari kepungan serdadu.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka berkatalah ia kepada Teguh Jiwa.
"Kakang! Kau lindung semua orang yang berada di sini. Aku sendiri hendak kembali menolong mereka bertiga!"
Tanpa menunggu jawaban lagi, ia lari balik.
Dengan menggulingkan tubuhnya serata tanah, ia menyerang kaki-kaki serdadu yang sedang mengepung rapat.
Mula-mula serdadu pengepung heran melihat seseorang bergelundungan menghampiri.
Tahu- tahu kaki mereka kena tertebas kutung.
Sekarang mereka berteriak-teriak menyayatkan hati.
Pada saat itu Kapten Wiranegara sudah berada di dekat Megananda.
la berpikir hendak menggunakan pukulan tinju.
Benar ia akan melukai kuda itu, akan tetapi pukulannya tidak akan mengancam jiwa.
Selagi ia hendak menggerakkan tangan, tiba-tiba ia melihat seorang bergelundungan ke arahnya, la kaget berbareng heran.
Tahu-tahu kakinya kena serang.
Dan diserang secara bergulingan, ia merasa repot sekali.
Berkali-kali ia melompat-lompat untuk menghindarkan diri dari kaitan kaki dan babatan tangan si Dengkek yang membawa pedang panjang.
Lima enam kali ia berhasil meloloskan diri.
Tetapi satu kali lututnya kena tendang Dengkek.
Alangkah nyeri! Ia berjingkrakan sambil berkaok- kaok kesakitan.
Megananda terus maju menyerang rombongan militer yang sedang mengepung.
Ia merobohkan beberapa serdadu lagi dan terus lari menghampiri majikannya yang semakin dekat.
Mendongkol hati Kapten Wiranegara kena tertendang lututnya.
Betapapun juga ia merasa diri lebih unggul daripada si Dengkek.
Terus saja ia menghadapi lawan yang bergulingan itu dengan sungguh-sungguh.
Sekarang tak dapat lagi si Dengkek menyerang kedua kakinya.
Malahan sebaliknya setelah melompat-lompat empat lima kali, Kapten Wiranegara berhasil membalas tendangan.
Akhirnya si Dengkek kena terhajar roboh.
"Tangkap bangsat ini!"
Perintah Kapten Wiranegara kepada lima orang serdadu yang berada di dekatnya.
Tatkala kelima serdadu bergerak hendak meringkus Dengkek, ia sendiri lari mengejar Megananda.
Kala itu Letnan Suwangsa lagi sibuk menghadapi perlawanan Kilatsih dan Manik Hantaya-Sukesi.
Ia melihat gerak-gerik Kapten Wiranegara, dengan sekali pandang tahulah dia bahwa Kapten Wiranegara mengincar kuda putih Megananda itu.
Tiba-tiba saja timbullah rasa culasnya.
Tidak rela rasanya kalau Kapten Wiranegara berhasil menangkap Megananda.
Sebab segala sesuatu yang dapat dirampas dalam pertempuran adalah milik si perampas dan tak dapat diganggu gugat lagi.
Berkata dia di dalam hati, kuda putih itu kuda mustika.
Seratus tahun lagi aku hidup belum tentu aku bisa memiliki.
Baiklah kutangkapnya dahulu kuda itu.
Masih ada waktu untuk membekuk Manik Hantaya dan kawan-kawannya.
Bukankah mereka masih terkepung rapat-rapat? Kilatsih yang cerdik segera dapat menduga hati Letnan Suwangsa.
Karena perwira itu tiap-tiap kali menoleh ke arah Kapten Wiranegara dan Megananda.
Justru perwira itu sedang berkhayal, ia menggenjot tubuhnya menjauhi.
Sesudah itu ia berputar sambil menghamburkan biji sawonya.
Letnan Suwangsa benar-benar seor-ang pendekar jempolan.
Dengan pedangnya ia menyapu bersih sambaran biji-biji sawo Kilatsih dan kemudian melompat menyusul.
Meskipun demikian ia terlambat juga.
Itulah disebabkan ia harus menyapu bersih biji-biji sawo dahulu.
Pada detik itu Megananda sudah mendekati majikannya.
Dengan lincah sekali Kilatsih meloncat naik ke atas punggung kudanya.
Baru saja ia duduk di atas pelananya, seorang serdadu menikam dengan pedang panjangnya.
Cepat sekali Kilatsih menghantam pedang yang berkelebat itu.
Kemudian berputar membabat lengan.
Maka tak ampun lagi kutunglah lengan serdadu sial itu.
Justru pada saat itu Manik Hantaya dan Sukesi tiba pula di dekatnya.
Karena Letnan Suwangsa sibuk menghadapi Kilatsih, mereka berdua mendapat kesempatan bagus.
Dengan gampang mereka mengundurkan kepungan serdadu-serdadu.
"Kemari!"
Kilatsih berseru. Kudanya lantas diputarnya menyambut kedatangan mereka. Kapten Wiranegara sekarang sudah berada di dekatnya. Ia melompat maju menghalang-halangi Kilatsih.
"Kapten Wiranegara, tangkap pemberontak dahulu!"
Teriak Suwangsa.
Yang disebut pemberontak ialah Manik Hantaya dan Sukesi.
Manik Hantaya berjuang dengan gagah berani.
Bagaikan seekor harimau lolos dari.
krangkengnya, ia menyerang hebat ke kanan dan ke kiri.
Belasan serdadu yang mengepung dirinya kena dirobohkan dengan sekali tikaman.
Maka kini ia berada semakin dekat dengan Kilatsih.
Tetapi mendekati Kilatsih, berarti pula mendekati Kapten Wiranegara.
Sebenarnya Kapten Wiranegara mengejar kuda Kilatsih.
Akan tetapi mendengar seman Letnan Suwangsa ia segera berputar arah.
Benar pangkatnya lebih tinggi setingkat dari Letnan Suwangsa, akan tetapi teriakan Letnan Suwangsa masuk akal dan nalar.
Tak dapat ia menentangnya.
Dengan melompat ia menghampiri Manik Hantaya dan Sukesi.
Segera ia menggerakkan kedua tangannya dan menyerang suami istri itu dengan berbareng.
Tangan kirinya menghajar Manik Hantaya dan tangan kanannya hendak merobohkan Sukesi.
Menghadapi serangan itu Manik Hantaya berdua terpaksa mundur dua langkah.
Akan tetapi Manik Hantaya tidak mundur terus.
Setelah dapat memperbaiki kedudukannya, segera ia mengadakan serangan balasan.
Ingin ia menebas kedua lengan Kapten Wiranegara.
Ia menebaskan goloknya dari kiri meliuk ke kanan dengan suatu gerakan yang cepat dan manis sekali.
Kapten Wiranegara benar-benar seorang perwira yang hebat.
Serangannya tadi sebenarnya diarahkan kepada Manik Hantaya seorang, lalu meneruskan mengarah Sukesi.
Akan tetapi serangan lanjutan yang mengarah kepada Sukesi sebenarnya hanya serangan gertakan belaka.
Begitu melihat berkelebatnya golok Manik Hantaya, cepat ia mengelak dengan merendahkan badannya.
Benar-benar tebasan golok Manik Hantaya tidak mengenai sasaran.
Setelah dapat mengelakkan serangan golok Manik Hantaya ia menyerang Sukesi kembali.
Manik Hantaya terkesiap melihat istrinya terancam serangan.
Dengan sebat ia mengayunkan goloknya.
Akan tetapi kali ini Kapten Wiranegara sudah bersiaga.
Begitu golok lewat di depannya, tangan kirinya menyerang Manik Hantaya.
Gerakannya cepat luar biasa sehingga Manik Hantaya tidak sempat lagi mengelakkan diri dan dadanya kena pukulan telak.
Seketika itu juga ia mundur terhuyung beberapa langkah.
Bajunya robek dan nampaklah bekas jari Kapten Wiranegara pada kulit dadanya.
Sukesi tidak sempat menolong suaminya.
Berbareng dengan itu datanglah seorang perwira menggiring penghuni rumah makan.
Dua belas pelayan dan pengurus rumah makan ditangkapi semua.
Maksudnya mereka hendak diperiksa di dalam tangsi.
Semua pelayan diborgol atau diikat.
Hanya seorang saja yang dibiarkan bebas.
Ialah pengurus rumah makan yang sudah berusia lanjut.
Perwira itu tidak menaruh curiga kepadanya.
Sebab selain usianya sudah lanjut perawakan tubuhnya kerempeng tak berdaya.
Sama sekali tidak diduganya bahwa pengurus rumah makan yang kerempeng itu justru berkepandaian tinggi.
Demikianlah rombongan itu datang melintasi gelanggang pertempuran Kapten Wiranegara.
Justru pada saat itu Kapten Wiranegara hendak mengulangi serangannya kepada Manik Hantaya.
Manik Hantaya masih saja terhuyung-huyung.
Dia belum sanggup berdiri dengan tegak kembali.
Melihat Manik Hantaya dalam bahaya, tibatiba pengurus rumah makan itu berseru sambil memutar tubuhnya.
Dengan sebat sekali perwira yang menggiringnya ditangkap dan diangkatnya ke atas.
Karuan saja perwira itu kaget setengah mati.
Tahu-tahu tubuhnya dilemparkan ke arah Kapten Wiranegara.
Tatkala perwira dan rombongan menggeledah dan memasuki rumah makan, pengurus rumah makan itu berpura- pura mengesankan bahwa dirinya adalah seorang tua renta yang tiada daya sama sekali.
Akan tetapi sesudah melihat Manik Hantaya terancam bahaya, tak dapat lagi ia bermain sandiwara.
Terpaksa ia turun tangan untuk menolong Manik Hantaya.
Kapten Wiranegara kaget.
Tetapi masih berkesempatan membela diri.
Ia membatalkan serangannya kepada Manik Hantaya.
Dengan memutar badan ia menangkap tubuh perwira rekannya itu.
Ditolaknya kembali hingga perwira tersebut menjadi semacam bola keranjang.
"Ndoromas, lekas lari!"
Teriak pengurus rumah makan itu kepada Manik Hantaya.
Ia menyebut Manik Hantaya dengan sebutan ndoromas, karena sesungguhnya Manik Hantaya adalah majikannya.
Ia berteriak sambil merintangi gerakan Kapten Wiranegara.
Manik Hantaya tahu bahwa pengurus rumah makan itu bukan tandingan Kapten Wiranegara.
Segera ia menggerakkan tangannya hendak membantu.
Akan tetapi tangannya tidak dapat digerakkan lagi.
Begitu ia mencoba memaksa diri, rasa nyeri menusuk dadanya.
Tenaga lengannya punah di luar kehendaknya sendiri.
Ontunglah pada saat itu Kilatsih berada di dekatnya dengan menunggang kuda.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gadis itu berseru nyaring.
"Lekas! Naik!"
Sukesi sadar akan pentingnya waktu.
Tanpa menunggu jawaban suaminya ia menyambar tubuh Manik Hantaya dan diangkatnya ke atas punggung kuda.
Dengan sebat Kilatsih menggeser ke belakang untuk memberi tempat kepada suami istri itu.
Sambil menggeser tubuhnya, ia membolang-balingkan pedangnya menghalau serdadu-serdadu yang mendekat.
"Ini pedangku!"
Kata Sukesi.
Kilatsih segera menghunus pedang Sukesi.
Dengan demikian ia kini membawa sepasang pedang.
Sambil memerintahkan Megananda maju terus, kedua pedangnya menyambar-nyambar bagaikan kitiran.
Ia seorang gadis yang sangat lincah.
Gerakannya sebat dan berbahaya.
Ilmu pedangnya istimewa pula.
Tatkala itu ia melihat seorang serdadu menyerang dengan pedang panjang.
Terus saja ia memapaki dengan pedangnya.
Pedang serdadu itu tertebas kutung.
Kilatsih tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi.
Sambil menggeprak kudanya, ia maju terus menerobos kepungan.
Dalam pada itu tentara yang mengepung rumah makan itu mulai menyalakan obor.
Gelanggang menjadi terang benderang.
"Awas!"
Teriak Letnan Suwangsa.
Perwira itu mendongkol dan penasaran.
Ia menimpuk Kilatsih dengan kutungan pedang serdadu tadi.
Kilatsih menangkis.
Akan tetapi kutungan pedang itu terpental ke samping tepat menancap di pundak Sukesi, sehingga nyonya itu mengucurkan darah.
"Tembak!"
Letnan Suwangsa berteriak kalap.
Mendengar perintah tembak itu.
Kilatsih tidak berani berayal lagi.
Terus saja ia menggeprak kudanya.
Dengan meringkik Megananda melompat kabur sekencangkencangnya menerjang barisan serdadu.
Baik kuda maupun majikan berjuang mati-matian.
Megananda menggunakan keempat kakinya, sedang majikannya dengan sepasang pedang.
Tiba-tiba Manik Hantaya teringat sesuatu.
"Mari kita tolong pengurus rumah makan dahulu!"
"Tak mungkin lagi. Lambat sekali saja kita semua tak dapat lolos,"
Kata Kilatsih.
"Kangmas, kita perlu lolos dahulu,"
Sukesi membujuk suaminya.
"Dia telah menolong kita. Mengapa kita tidak boleh menolongnya pula?"
Seru Manik Hantaya dengan keras.
Justru pada saat itu mereka mendengar teriakan Kapten Wiranegara yang aneh.
Tatkala Manik Hantaya menoleh, ia melihat perwira itu tengah mengangkat tubuh pengurus rumah makan yang tua renta itu.
Oleh cahaya obor, nampaklah dengan jelas kedua tangan pengurus rumah makan itu telah tertelikung kuat-kuat.
la dilemparkan tinggi-, tinggi ke tengah-tengah barisan serdadu yang membawa senjata tajam.
Berbareng dengan teriakan yang menyayatkan hati, Manik Hantaya melihat Kapten Wiranegara berlari cepat memburu.
Menyaksikan peristiwa yang menyedihkan itu, Manik Hantaya gusar dan mendongkol.
Saking gusarnya ia berseru keras, dan tiba-tiba jatuh pingsan.
Syukur istrinya berada di belakangnya, sehingga dapat menanggapi tubuhnya.
Sambil memeluk tubuh Manik Hantaya, Sukesi menarik golok.
Dengan goloknya itu ia mencoba melindungi suaminya dan dirinya sendiri.
Dalam saat-saat demikian ia lupa kepada lukanya sendiri.
Megananda yang perkasa dan gesit, kala itu sudah dapat lolos dari kepungan para serdadu.
Pada saat itu berdengar suara tembakan.
Peluru mulai berdesingan di udara.
Mendengar desingan peluru itu Megananda menjadi kalap.
Ia lari makin lama semakin cepat.
Sebentar saja ia telah meninggalkan batas Kota Magelang.
Tentu saja Letnan Suwangsa tidak mau sudah.
Dengan berteriak-teriak kalap, ia merampas seekor kuda dan mencoba mengejar.
Akan tetapi kudanya tidak dapat dibandingkan dengan kuda mustika Kilatsih.
Ia ketinggalan makin lama makin jauh.
Akhirnya tiada nampak sesuatu di depan matanya.
Sampai menjelang fajar hari Megananda kabur terus mengarah ke timur.
Pada waktu itu dari arah selatan terdengarlah suara tambur, dan terompet.
Kilatsih tidak ingin bertemu dengan mereka.
Ia membelokkan kudanya mengarah ke utara.
Di depannya tergelar sepetak hutan.
Terus saja ia memasuki hutan itu.
Setelah melintasi hutan itu alam menjadi sunyi sepi.
Tiada sesuatu yang nampak di sekitarnya.
Sampai di sini jalan yang ditempuh sangat sulit dan berliku-liku.
Justru demikian hati Kilatsih dan Sukesi menjadi lega.
Mereka berdua mendongak ke udara dan melepaskan napas oleh rasa syukur.
Justru demikian semangat Sukesi seperti habis.
Tubuhnya bergoyang-goyang dan hendak jatuh dari atas kuda.
Tahulah Kilatsih bahwa Sukesi kehilangan tenaganya karena lelah.
Sebat ia memeluknya.
Ia mencium bau anyir dari pundak Sukesi.
Itulah bau darah yang mengalir terus.
Segera ia hendak menyingkap baju Sukesi untuk memeriksa lukanya.
Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu.
Berkata dengan suara mengandung kegelian.
"Ayunda, maaf. Namaku Kilatsih. Aku seperti ayunda,"
Berkata demikian Kilatsih tertawa geli. Sukesi memutar kepalanya.
"Semenjak tadi aku tahu bahwa engkau seorang gadis."
"Syukurlah! Bolehlah aku memeriksa lukamu,"
Ujar Kilatsih.
"Silakan!"
Tanpa segan-segan Kilatsih segera menyingkap baju Sukesi. Pada saat itu Manik Hantaya tersadar. Pendekar itu segera menegakkan badan. Melihat pakarti Kilatsih membuka baju istrinya, ia menjadi gusar.
"Kau mau apa?"
Mendengar bentakan Manik Hantaya, Kilatsih tertegun. Tiba-tiba Sukesi tertawa lebar.
"Kangmas! Kangmas seorang pendekar yang mempunyai pengalaman banyak. Cobalah lihat yang jelas! Siapa adik ini sebenarnya?"
"Apa maksudmu?"
Manik Hantaya minta keterangan dengan suara tinggi.
"Dialah murid Adipati Surengpati....."
"Aku tahu,"
Potong Manik Hantaya.
"Dia bernama Kilatsihseperti aku. Bedanya kebetulan aku bernama Sukesi,"
Ujar Sukesi dengan tertawa manis.
Mendengar keterangan Sukesi, barulah Manik Hantaya tahu bahwa Kilatsih seorang gadis.
Mukanya lantas menjadi merah padam karena malu.
Tetapi dia seorang ksatria.
Terus saja ia minta maaf.
Tatkala itu fajar hari benar-benar telah tiba.
Kuda dan penunggangnya letih dengan berbareng.
Kilatsih lantas turun.
Kemudian menolong suami istri Manik Hantaya Sukesi.
Setelah mengobati luka Sukesi, Kilatsih memeriksa pula luka Manik Hantaya.
Sukesi hanya menderita luka kulit.
Luka demikian seumpama sampai mengenai tulang, tidaklah begitu berbahaya.
Tetapi tidak demikian luka yang diderita Manik Hantaya.
Tangan Kapten Wiranegara sangat berbahaya dan beracun.
Sehingga Manik Hantaya menderita luka parah.
Cepat Kilatsih mengangsurkan dua butir ramuan obat pemunah racun.
Setelah itu ia menganjurkan mereka beristirahat.
Selagi mereka berdua beristirahat, Kilatsih menuntun kudanya untuk dicarikan rumput segar.
Sambil melihat kudanya menggeru-miti rerumputan, ia duduk bersandar pada sebatang pohon.
Inilah pengalamannya yang paling hebat.
Berkali-kali ia mengalami suatu pertarungan sengit, akan tetapi baru kali ini ia berhadapan dengan sepasukan tentara Belanda.
Memang tentara Belanda tidak sudi hidup berdampingan dengan para pendekar pecinta bangsa tanah air.
Mereka saling bermusuhan.
Masing-masing bersiaga bertempur pada sembarang waktu.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi bahwasanya satu kesatuan militer bergerak hendak menangkap para pendekar, baru terjadi pada malam itu.
Bukan secara kebetulan pula pendekar-pendekar yang hendak ditangkap adalah pengikut-pengikut Pangeran Diponegoro yang setia.
Memperoleh pertimbangan demikian, diam-diam Kilatsih merasakan asap perang menyelimuti persada bumi Jawa Tengah.
Teringatlah dia pada bunyi surat Titisari.
Kakaknya sengaja pulang ke kampung halaman dengan maksud hendak memberi bantuan kepada Pangeran Diponegoro.
Rupanya kedua kakaknya itu jauh-jauh sudah mencium adanya bahaya perang yang mengancam diri Pangeran Diponegoro yang kini tersingkir ke Tegalrejo.....
PERTEMPURAN SEPANJANG JALAN TAK TERASA KILATSIH TERTIDUR KARENA LELAHNYA.
Tatkala menyenakkan matanya matahari telah condong ke barat.
Angin sore hari mulai terasa meraba tubuhnya.
Rasa lelahnya sirna larut kini.
Akan tetapi sebagai gantinya ia diamuk oleh rasa lapar dan dahaga.
Segera ia berdiri sambil menggeribiki pakaiannya.
Kemudian dengan hati-hati dan perlahan-lahan ia menghampiri suami istri Manik Hantaya- Sukesi yang sudah terbangun pula dari tidurnya.
Mereka berdua nampak segar.
Jelaslah sudah bahwa mereka telah memperoleh tenaganya kembali.
Manik Hantaya nampak tidak bergembira.
Wajahnya keruh.
Melihat kedatangan Kilatsih hatinya agak terhibur.
Tetapi begitu teringat akan luka yang dideritanya ia menjadi sengit dengan mendadak.
"Semenjak aku mengabdi Kangmas Pangeran Diponegoro, puluhan kali aku diajak berperang. Kadang aku berperang melawan laskar-laskar pemberontak. Kadang pula berhadapan dengan pasukan Kompeni Belanda. Akan tetapi belum pernah aku terkalahkan seperti semalam. Alangkah sakit hatiku! Sakit hatiku ini harus terbalas!"
Sukesi mencoba menghibur suaminya. Katanya dengan suara membujuk.
"Kita bukan kalah. Pertimbangkan saja. Kita hanya duapuluh orang menghadapi lima ratus serdadu. Meskipun demikian, kita bisa lolos dengan tak kurang suatu apa. Bukankah ini suatu kemenangan? Andaikata Kangmas komandan tentara Belanda, bukankah Kangmas akan merasa kalah habis-habisan karena orang-orang yang hendak Kangmas tangkapi lolos semuanya?"
Sukesi tidak menunggu reaksi suaminya, la menoleh kepada Kilatsih.
"Di sana kedua kakakmu kini berada? Kami mendengar kabar, bahwa kedua kakakmu akan balik pulang ke kampung halaman. Tentu saja hal itu sangat menggembirakan hati kami. Segera kami melaporkan hal itu kepada Kangmas Pangeran Diponegoro. Mendadak kami mendengar kabar pula bahwa Patih Danurejo menaruh perhatian besar terhadap kepulangan kakakmu berdua. Dia dan pemerintah Belanda bermaksud tidak baik terhadap kedua kakakmu. Karena itu kami segera mengadakan penyelidikan di Kota Magelang untuk mengkisiki kakakmu berdua. Di luar dugaan, pihak Kompeni mencium maksud kami tersebut. Maka terjadilah peristiwa semalam yang sangat memalukan."
"Kangmas Sangaji dan Ayunda Titisari pada saat ini sudah berada di tengah Pulau Karimun Jawa,"
Sahut Kilatsih.
"Ah, syukur!"
Seru Manik Hantaya dengan gembira.
"Mengapa kakakmu berdua berada di Karimun Jawa? Apa mereka datang untuk orang tuanya?"
"Benar. Dua bulan lagi Guru akan merayakan hari ulang tahunnya,"
Jawab Kilatsih. Manik Hantaya tertawa senang.
"Ayunda Titisari adalah seorang pendekar wanita yang cemerlang otaknya. Jauh-jauh dia sudah dapat menebak gerak-gerik Patih Danurejo. Tatkala kami berdua berkunjung kepada mereka ke celah Gunung Gede, dia sudah menyinggung persoalan Pangeran Diponegoro dan Patih Danurejo. la menganjurkan kepadaku, agar aku segera membentuk laskar pejuang yang tangguh. Gunanya untuk membela Pangeran Diponegoro sewaktu-waktu. Tatkala itu aku heran. Aku segera bertanya kepadanya. 'Apakah di Jawa Tengah bakal terjadi suatu peperangan?'. Ia tidak menjawab, tetapi tersenyum dengan dibarengi cahaya matanya yang berkilat-kilat. Sekarang tahulah aku arti pandang dan senyuman itu. Benar-benar bahaya perang mengancam diri Kangmas Pangeran Diponegoro."
"Setelah sadar akan hal itu, apakah yang akan Kangmas lakukan?"
Kilatsih bertanya menguji.
"Mula-mula aku hendak menghadap Kangmas Pangeran Diponegoro untuk melaporkan pengalaman kita semalam. Kemudian aku hendak minta izin darinya untuk membentuk laskar perjuangan seperti yang dianjurkan Ayundamu Titisari."
"Bagus! Bila aku bertemu kakakku berdua, aku akan melaporkan sepak terjang kalian yang gagah berani,"
Potong Kilatsih dengan penuh semangat. Manik Hantaya tertawa panjang. Tiba-tiba ia menjadi sengit. Ia mengangkat tinjunya dan dihantamkannya ke bumi. Karena gerakan itu dadanya terasa nyeri. Tak dikehendaki sendiri ia mengerang.
"Mari kita mencari rumah penginapan. Maksudku mencari rumah penduduk untuk menumpang barang satu malam,"
Kata Sukesi.
Kilatsih maupun Manik Hantaya segera menyetujui usul itu.
Akan tetapi mereka berada di tempat yang sunyi sepi.
Sejauh mata memandang, tiada nampak sebuah rumah pun.
Sebenarnya Kilatsih bermaksud hendak mencari seorang diri.
Tetapi karena memikirkan keadaan suami istri Manik Hantaya- Sukesi, ia tak sampai hati meninggalkannya.
Siapa tahu karena penasaran, Letnan Suwangsa pada saat itu berusaha mengikuti jejaknya.
Ia kenal gerak-gerik Letnan Suwangsa yang pernah menyamar sebagai seorang saudagar untuk mengikuti Mundingsari.
Kemudian muncul dengan tiba-tiba di gelanggang pertarungan Danis-wara di Wonosobo.
Waktu itu hari telah senja.
Alam terasa semakin sunyi sepi.
Tiba-tiba Kilatsih terkejut dan heran.
Ia melihat Megananda lari berjingkrakan dan benger-benger.
Kerapkali binatang memiliki kelengkapan panca indera jauh lebih tajam daripada panca indera manusia.
Karena itu Kilatsih berdiri serentak.
Segera ia memanggil kudanya.
Akan tetapi Megananda terus lari berputaran dua tiga kali lagi.
Kemudian dengan mendadak lari sekencang-kencangnya turun bukit.
KILATSIH MAKIN HERAN MENYAKSIKAN PEKERTI KUDANYA Selamanya kuda itu selalu tunduk pada perintah- perintahnya.
Tetapi kali ini tidak meskipun ia sudah berusaha memanggil, berseru dan membujuk tetap saja Megananda membandel.
Sebentar saja ia hilang dibalik bukit.
Yakin bahwa Megananda menyaksikan sesuatu, segera Kilatsih menyusul.
Baru saja ia muncul dari sebuah tikungan, sekonyong- konyong ia mendengar bentakan nyaring terhadapnya.
"Bangsat dari mana sampai berani mencuri kuda Adipati Surengpati?"
Seiring dengan lenyapnya bentakan itu suatu serangan dasyat datang dengan mendadak.
Kilatsih terkejut dan heran.
Di bawah cuaca mendekati rembang petang, seorang laki-laki berperawakan sedang, beralis tebal dan bermata besar menyerang dengan senjata cempuling.
Ukuran senjatanya terlalu besar apabila dibandingkan cempuling-cem-puling yang yang pernah dilihatnya, hebat dan dahyat cara dia menyerang.
Untuk melindungi diri terpaksalah Kilatsih menangkis.
Sebenarnya hendak ia menegur untuk memohon keterangan.
Akan tetapi ia tak diberi kesempatan.
Penyerang itu melancarkan serangan berantai.
Empat kali beruntun ia menyerang.
Maka mau tak mau Kilatsih terpaksa menyambuti keras melawan keras.
Akan tetapi, begitu terbentur.
Kilatsih tak berani lagi mengadu tenaga.
Ia mengelak sambil melompat ke samping.
Tetapi justru ia mengelak ia malah kena didesak orang itu ke samping.
Nampaknya orang itu sudah kalap serangannya makin lama makin bengis.
Sama sekali tak sudi memberi kesempatan Kilatsih bernapas.
Untuk melayani kekalapan itu Kilatsih terpaksa melawan dengan mengandalkan kegesitannya.
Setelah bergebrak beberapa jurus, Kilatsih menjadi heran.
Ternyata kepandaian orang itu jauh lebih tinggi dari Kapten Wiranegara.
"Paman...eh Eyang! Nanti dulu!"
Akhirnya Kilatsih berseru setelah terdesak berulang kali. la heran sekali menghadapi sikap keras orang itu.
"Kau hendak berbicara apa?"
Bentak orang tersebut.
Setelah membentak ia melompat sambil sambil menendang Kilatsih.
Kena tendangannya pedang Kilatsih terpental ke udara.
Setelah itu barulah ia melompat mundur.
Kemudian berkata seperti kepada diri sendiri.
~ "Ah, apakah engkau murid Adipati Surengpati? Atau murid Sangaji atau murid Titisari?"
Setelah berkata demikian, ia tertawa terbahak-bahak, sambil mendongakkan kepalanya ke udara. Keruan saja Kilatsih heran bukan main. Baru ia bermaksud hendak membuka mulutnya orang itu telah berkata lagi.
"Sungguh! Dari zaman ke zaman manusia makin lama makin menjadi pandai. Maka aku yang telah bertulang keropos ini harus mati dengan menanggung malu..."
Kilatsih melompat memungut pedangnya.
Setelah itu ia mengawaskan penyerangnya yang sudah berusia mendekati sembilan puluh tahun.
Meskipun demikian paras mukanya nampak masih segar.
Kedua matanya cemerlang dan pada saat itu sedang memeriksa cempulingnya.
Orang tua itu nampak heran menyaksikan cempu-lingyan cacat kena pedang Kilatsih.
Akan tetapi ia lantas tersenyum berseri-seri.
la tidak lagi bersikap bengis seperti tadi.
Menyaksikan hal itu untuk kesekian kalinya Kilatsih heran.
Hatinya sibuk menduga-duga.
Selagi demikian, tiba-tiba ia mendengar seruan Manik Hantaya dari kejauhan.
"Oh, kiranya Paman Jaga Saradenta!"
Kilatsih segera menoleh dan melihat Sukesi memapah suaminya. Mereka berdua rupanya menyusul setelah mendengar bentrokan senjata. Mendengar seruah Manik Hantaya, Kilatsih segera membungkuk hormat kepada Ki Jaga Saradenta.
"Dengan ini perkenankan cucumu menghaturkan sembah."
Ki Jaga Saradenta tertawa terbahak-bahak.
"Ah, anak manis! Siapa namamu?"
"Kilatsih,"
Jawab Kilatsih dengan pendek.
Ki Jaga Saradenta tertawa terbahak-bahak lagi.
Pada saat itu berbagai pertanyaan muncul dalam benak Kilatsih.
Menurut Mundingsari Ki Jaga Saradenta mati di depan rumahnya.
Belum lagi Mundingsari sanggup memberi penjelasan ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa orang tua itu muncul dengan Ki Hajar Karangpandan di istana batu.
Sebenarnya bagaimana peristiwa sesungguhnya? Apabila bukan dia yang mati di depan rumahnya, lantas siapakah yang menyamar sebagai dia? Lantas sekarang muncul pula ia di sini.
Apa maksudnya? Mengapa ia berada di sekitar Magelang? "Kilatsih! Hmm...
namamu Kilatsih...
tetapi engkau menyandang pemuda.
Aku jadi teringat kepada anakku Titisari.
Aku senang engkau secerdik dia.
Akan tetapi aku tidak menyetujui di kemudian hari engkau menjadi seorang gadis liar seperti dia,"
Kata Ki Jaga Saradenta dengan tertawa lagi. Tiba-tiba ia berpaling kepada Manik Hantaya dan Sukesi. Dengan tercengang ia berseru.
"nDoromas! Kenapa engkau ter-luka?"
"Kita dikepung musuh,"
Sahut Sukesi. Kemudian ia mengisahkan pengalamannya melawan rombongan Letnan Suwangsa.
"Aha! Kiranya kalian berdua sedang mencari Sangaji pula!"
Kata Ki Jaga Saradenta. Lagi-lagi ia tertawa meneruskan.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku pun sedang mencarinya untuk minta padanya agar membalaskan sakit hatiku terhadap beberapa tusukan senjata ini."
Setelah berkata demikian ia menyobek bajunya.
Begitu terobek, tampaklah beberapa bekas tikaman pedang dan senjata tajam yang bersilang.
Luka itu sangat berat dan Ki Jaga Saradenta mengobati dengan ramun daun-daunan berkhasiat.
Menyaksikan bekas luka silang yang begitu parah Kilatsih heran bukan main.
Pikirnya dalam hati, pantas Kangmas Sangaji pernah membicarakan ilmu kebal Eyang Jaga Saradenta.
la menderita luka begitu berat, akan tetapi masih sanggup berkelahi dengan dahsyat sekali menggempur aku....
"Siapakah yang begitu berani melawan Paman Jaga Saradenta? Setiap orang di seluruh penjuru tanah air ini mengerti belaka, bahwa Paman Jaga Saradenta adalah guru Kangmas Sangaji,"
Seru Manik Hantaya dengan heran. Sukesi pun tak kurang-kurang herannya.
"Siapakah yang menikam Paman begini hebat!"
"Sebenarnya mereka tidak hanya memusuhi aku saja,"
Jawab Ki Jaga Saradenta dengan sengit.
"Mereka telah membinasakan puluhan sampai ratusan, bahkan mungkin ribuan penduduk di seluruh tanah air ini. Syukurlah, dengan cempulingku ini, aku berhasil menolong beberapa ratus penduduk. Apabila aku tidak dalam lindungan Tuhan, pastilah tubuhku telah menjadi santapan burung gagak... beberapa lukaku ini akibat tikaman dan tembakan anjing-anjng Belanda dan begundal-begundal Danurejo yang mengganas di sekitar Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta."
Ki Jaga Saradenta segera menceriterakan pengalamannya.
Pada suatu hari, ia bertemu dengan Sirtupelaheli.
Pendekar wanita itu mengabarkan kepadanya, bahwa Wirapati tertangkap Kompeni Belanda.
Mendengar berita itu, Ki Jaga Saradenta yang beradat berangasah, lantas saja meninggalkan Sigaluh tanpa pamit.
Hal itu terjadi dua hari sebelum Kilatsih memasuki Dusun Sigaluh.
Dengan seorang diri ia mencoba menyerbu benteng Kompeni dan berusaha menolong Wirapati dari penjara.
Akan tetapi meskipun gagah perkasa, tentu saja ia tak sanggup melawan ratusan serdadu Belanda yang bersenjata bidik.
Maka ia memutuskan hendak mencari muridnya Sangaji.
Ditengah perjalanan, ia bertemu dengan Ki Hajar Karangpandan.
Ia segera menyampaikan maksudnya.
Ki Hajar Karangpandan menye-tujuhi.
Demikianlah mereka berdua lantas berangkat ke Jawa Barat.
Kebetulan sekali, tatkala melintasi perbatasan Jawa Barat, mereka bertemu dengan Ki Tunjungbiru.
Setelah, mendapat keterangan dari Ki Tunjungbiru bahwa Sangaji tiada lagi di Jawa Barat, segera mereka kembali ke Jawa Tengah.
Dalam perjalanannya ke Jawa Tangah ia mendengar gerakan-gerakan militer Belanda.
Ia mendengar pula tentang kericuhan-kericuhan yang terjadi dalam pemerintahan Kasultanan.
Dengan bersandar pada kekuatan militer Belanda, Patih Danureja mengambil alih seluruh pemerintahan Kasultanan, seolah-olah dialah penguasa tunggal.
Pengeran Diponegoro yang tadinya membantu Sultan Jarot, dipersilakan pulang ke Tegal Rejo selanjutnya dengan alasan keamanan, tentara Belanda disuruh memasuki dusun-dusun.
Ternyata mereka membawa malapetaka rakyat banyak.
Mereka tidak hanya menggarong atau merampas, akan tetapi membunuh pula.
Baik Ki Jaga Saradenta maupun Ki Hajar Karangpandan adalah pendekar-pendekar pecinta bangsa dan pembela keadilan.
Maka mereka berdua memutuskan hendak menolong penderitaan rakyat.
Pada waktu itu rakyat sudah mulai berani melawan kekerasan tentara Belanda.
Akan tetapi tentu saja mereka bukanlah merupakan musuh berarti bagi tentara Belanda yang lengkap persenjataannya.
Dalam satu pertempuran besar mereka kena dikalahkan.
Meskipun beberapa serdadu Kompeni Belanda ada yang mati terbunuh, namun rakyat menderita pula.
Demikianlah mereka berdua segera melindungi perlawanan rakyat.
Dalam satu pergumulan, Ki Jaga Saradenta menderita luka-luka parah.
Karena didesak oleh keadaan mereka berdua berpisah.
"Kalau begitu, siapakah yang menyamar sebagai Eyang?"
Kata Kilatsih minta keterangan.
"Menyamar bagaimana?"
Sahut Ki Jaga Saradenta dengan heran.
"Tatkala aku berkunjung ke Sigaluh, Eyang tidak kutemukan. Barang kali dua atau tiga hari sebelumnya Eyang telah meninggalkan Dusun Sigaluh,"
Sahut Kilatsih.
"Aku berusaha mencari Eyang. Pada saat yang bersamaan pula seorang kawan bernama Mundingsari melihat Eyang roboh dan mati di depan rumah. Dengan sedih Mundingsari meninggalkan Sigaluh. Dia pun berusaha untuk menolong Paman Wirapati. Akan tetapi seperti Eyang juga, dia pun gagal..."
Pendekar Gelandangan Karya Khu Lung Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung