Ceritasilat Novel Online

Mencari Bende Mataram 17


Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 17



Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto

   

   Mungkin sekali karena semenjak kanak-kanak ia tiada berorang tua lagi.

   Akan tetapi, biar bagaimanapun juga, perbuatan menjual guru untuk memperoleh pangkat besar dalam pemerintahan adalah suatu dosa yang tak terampun.

   Apalagi, Dipajaya adalah seorang gagah kenamaan yang seimbang dengan gurunya, Adipati Surengpati.

   Dalam kesenyapan malam itu, tiba-tiba terdengar siulan panjang.

   Lalu terdengar suara orang menyanyi panjang dan pendek.

   Tatkala itu Kapten Wiranegara telah meninggalkan pertemuan.

   Begini bunyi nyanyian itu.

   enam puluh kali aku melihat musim kemarau dan musim hujan, aku berjalan dari timur ke barat, selatan dan utara.

   tujuh tahun lagi aku bermain di dalam cuaca yang selalu berubah-ubah, dengan pedang mustika ditangan kanan, dan tulisan sandi pusaka sakti di tanah Jawa, hatiku bahagia dan malam ini aku berdendang, yang kurasa hanya dingin, beku Setelah kalimat terakhir hilang dari pendengaran, muncullah orangnya.

   Dialah Dipajaya yang berjalan sambil menyentil-nyentil pedang yang berada ditangan kanannya.

   Melihat gurunya, Tarupala tergoncang hatinya.

   Lantas saja ia datang menyambut.

   "Apakah guru baru saja tiba?"

   "Aaa, anakku Tarupala! Dua tahun kita tak pernah bertemu. Sebenarnya tadi siang aku hendak menemuimu untuk berbicara berkepanjangan tentang pengalamanku. Hari ini aku merasa sangat puas. Hatiku gembira sehingga tak dapat tidur lagi. Kiranya engkau pun belum tidur pula. Kenapa engkau sampai kemari? Hai! Kenapa engkau? Mengapa engkau jadi pucat begini?"

   "Aku sangat letih, Guru."

   Cljar Tarupala dengan hati memukul.

   "Tapi tidak mengapa. Guru, apakah pedang itu pedang mustika?"

   Dipajaya tertawa terbahak-bahak.

   "Apakah engkau senang melihat pedang ini? Ilmu pedangmu maju sangat pesat. Sebaliknya tidak demikianlah halnya yang terjadi dengan kedua adikmu. Antariwati dan Prajaka Sindungjaya. Sama sekali tak pernah kuduga, bahwa ilmu pedang keluarga Dipanala bisa kau warisi dengan mudah."

   Ia berhenti sebentar mengesankan. Kemudian meneruskan.

   "Dua tahun ini boleh dikatakan aku pergi tanpa pamit. Tetapi selama itu aku berhasil menciptakan beberapa jurus istimewa. Besok bila ada waktu terluang, aku akan menurunkan semuanya itu kepadamu. Dengan demikian puaslah sudah hatiku karena engkau sudah mewarisi semua ilmu pedang keluarga Dipanala dengan sempurna. Hal itu berarti pula aku tidak sia-sia mendidikmu menjadi seorang pendekar tanpa tandingan di dunia ini."

   Biasanya Tarupala akan girang bukan kepalang apabila gurunya hendak menurunkan jurus baru kepadanya.

   Malahan untuk menyatakan rasa terima kasihnya ia bersedia bersembah.

   Akan tetapi kali ini hatinya tidak tenang.

   Rasa suka cita dan gembiranya lenyap dari perbendaharaan hidupnya.

   Tentu saja hal itu membuat heran Dipajaya.

   "Apa engkau kurang sehat, anakku?"

   Tanyanya halus. Tarupala tidak menjawab. Hatinya kebat-kebit. la membalas dengan pertanyaan pula.

   "Guru! Sesungguhnya darimana Guru memperoleh pedang itu?"

   Mendengar pertanyaan itu, Dipajaya terkejut ia pun membalas bertanya pula.

   "Apa sebab engkau menanyakan tentang pedang ini?"

   "Ahh, tidak apa-apa..."

   Sahut Tarupala dengan suara tak lancar. Justru Tarupala menjawab demikian Dipajaya lantas mendesak. Katanya dengan suara keras.

   "Siapakah yang menyuruhmu menanyakan tentang pedang ini?"

   "Tidak ada. Sama sekali tiada yang menyuruh,"

   Sahut Tarupala. Dengan pandang tajam, Dipajaya menatap wajah muridnya.

   "Tatkala kita bertemu untuk pertama kali, engkau telah berjanji kepadaku. Bukankah seorang murid wajib tunduk dan patuh kepada guru? Engkau sendirilah yang berjanji demikian. Masih ingatkah?"

   "Ingat, Guru!"

   "Kalau begitu, kenapa engkau sekarang berdusta kepada gurumu? Kenapa engkau menanyakan tentang pedang ini? Siapa yang menyuruh?"

   Desak Dipajaya lagi.

   "Guru, maafkan aku...."

   Kata Tarupala. Kemudian meneruskan dengan suara gemetar "Apakah pedang ini Guru peroleh dari istana Sultan?"

   Tercengang Dipajaya mendengar pertanyaan muridnya. Setelah menimbang-nimbang sejenak, tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak.

   "Hhaa, inilah yang dinamakan menepuk air didulang. Tak urung menyiram muka sendiri. Memang! Memang, pedang ini kuperoleh dari istana Sultan Yogyakarta. Dengan tanganku sendiri aku membawa keluar istana. Tegasnya akulah yang mencuri pedang ini. Mengapa demikian? Hmm, sebatang pedang mustika disimpan saja dalam istana, artinya menyia- nyiakan jerih payah penciptanya di zaman kuno. Apakah tidak tepat bila kubawa keluar istana demi kebajikan sejarah kemanusiaan?"

   Tarupala tidak berani membuka mulutnya.

   Dengan pandang kosong ia mengawaskan gurunya menyentil-nyentil pedang itu.

   Dan begitu kena sentilan, pedang mustika itu mendengung nyaring dan panjang seperti aum harimau kelaparan.

   Setelah menyentil pedang, Dipajaya tertawa riuh.

   "Demi pedang ini, aku rela, menjadi orang buruan. Aku lari dari barat ke timur dan dari selatan ke utara. Dan selama itu tak pernah aku menyesal."

   Setelah berkata demikian, ia memandangi muridnya. Berkata lagi dengan suara keras.

   "Coba katakan padaku, siapa yang menyuruhmu menanyakan tentang pedang ini!"

   "Kapten Wiranegara,"

   Sahut Tarupala, pendek tegas.

   "Sekarang, dimana dia?"

   Desak Dipajaya.

   "Suruh dia datang menemui aku!"

   "Dengan membawa-bawa nama raja ia memaksa ayahku. Dan ayahku memaksa aku."

   Tarupala mencoba menerangkan.

   "Kemudian... kemudian... Ayah memerintahkan aku lewat mulut Kapten Wiranegara untuk... untuk... untuk menangkap Guru..."

   Dipajaya tertawa sedih.

   "Menangkap aku?"

   Dipajaya mengulang kata-kata muridnya seolah-olah untuk menyakinkan dirinya sendiri. Segera sadarlah dia. Lantas berkata.

   "Ah, mengertilah aku sekarang! Jikalau engkau tidak menangkapku, Kapten itu akan membuat celaka ayahmu. Bukankah begitu?"

   Tarupala menangis. Sahutnya dengan suara parau.

   "Benar! Sekarang ini ayahku ditahan secara halus di ibu kota..."

   Lagi-lagi Dipajaya tertawa riuh. Akan tetapi nada suaranya terdengar sangat berduka. Katanya seperti mendongeng kepada dirinya sendiri.

   "Begitulah ceritanya seorang guru dan murid. Sekarang, cobalah berkata terus m terang kepadaku, apa yang hendak kau lakukan? Benar-benarkah engkau hendak memercikkan darah dileherku untuk kau gunakan sebagai penyemir kedudukan ayahmu?"

   Tarupala tidak segera menjawab. Tangisnya makin menjadi-jadi. Sejenak kemudian terdengar suaranya tak jelas.

   "Aku tak berani berbuat begitu..."

   "Hai! Engkau laki-laki! Lagi pula engkaulah murid Dipajaya. Murid Dipajaya hanya boleh mengucurkan darah dan tidak air mata!"

   Bentak Dipajaya dengan suara jantan.

   Aku Dipajaya, semenjak muda, malang-melintang diseluruh penjuru dunia.

   Akhirnya aku berani menyusup ke dalam istana untuk mencuri sebatang pedang mustika.

   Biarpun langit ambruk, aku tidak takut.

   Perbuatanku ini akan kutanggung sendiri.

   Kenapa engkau menangis? Apa engkau takut? Hayoo, katakan yang benar! Sebenarnya apa yang hendak kau lakukan!"

   "Guru!"

   Sahut Tarupala dengan menyeka air matanya.

   "Kepandaian Guru sudah dipun-cak kesempurnaan. Orang yang dapat mengimbangi kegagahan Guru, tiada lagi di dunia ini. Apabila ada pun tidak seberapa jumlahnya. Karena itu aku yakin, Guru tidak membutuhkan pedang lagi. Guru, kenapa un- _ tuk sebatang pedang ini, Guru sampai sudi menerima penghinaan, digenderangkan sebagai seorang pemberontak!"

   Setelah berkata demikian, lagi-lagi Tarupala menangis sedih. Dipajaya terdiam merenung-renung. la meruntuhkan pandang ke tanah. Beberapa saat kemudian ia mengangkat kepalanya. Tiba-tiba berkata bengis.

   "Tarupala! Kita bukan orang luar lagi. Tak usah kita bicara berkepanjangan! Sekarang, katakan dengan tegas, bagaimana menurut pendapatmu, agar perkara ini memperoleh penyelesaian?"

   "Guru,"

   Jawab Tarupala sambil menatap wajah gurunya.

   "Jika persoalan ini Guru serahkan kepadaku, aku akan mengembalikan pedang curian itu ke istana dengan seorang diri. Aku akan memohon kepada Sri Baginda agar membatalkan perintah penangkapannya. Tidakkah itu suatu penyelesaian yang baik untuk kedua belah pihak?"

   "Bagus! Sungguh bagus! Memang bagus pikiranmu itu,"

   Seru Dipajaya.

   Dan setelah berkata demikian, ia nampak berduka sekali.

   Tadinya ia bermaksud hendak menyerahkan pedang itu kepada murid kesayangannya ini.

   Sama sekali tak diduganya .

   bahwa Tarupala menggetahui rahasia pedang mustika itu.

   Dipajaya seperti halnya Sirtupelaheli, terjebak dalam aliran Gtusan Suci.

   Ia telah makan racun-racun bius Gtusan Suci yang tiada obat pemunahnya.

   Seperti Sirtupelaheli, ia ditugaskan untuk mencuri semua kitab-kitab sakti di seluruh Nusantara ini lengkap dengan senjata-senjata keramatnya.

   Apabila ia gagal melakukan tugas itu, ia harus menjalani hukuman bakar hidup-hidup.

   Sepuluh tahun yang lalu dia menemukan bakat bagus yang tersekap dalam pribadi Tarupala.

   la merencanakan untuk memperalat pemuda itu, karena Tarupala anak seorang pembesar negeri.

   Akan tetapi melihat bakat Tarupala yang bagus.

   Ia merasa sayang.

   Maka ia melakukan pencurian pedang mustika itu sendiri dari istana Sultan.

   Setelah berhasil, teringatlah dia kepada surat sandi Titisari yang dititipkan kepada Sorohpati.

   Sorohpati telah dijejeli obat biusnya.

   Maka dengan mudah ia dapat membujuk dan mempengaruhinya.

   Seperti diketahui, barang siapa menelan obat bius Utusan Suci, akan kehilangan kemauannya kepada orang yang membiusnya.

   Ketika pada akhir hidupnya, Sorohpati, menyerahkan surat sandi Titisari kepada Dipajaya.

   Akan tetapi sesungguhnya Dipajaya bukanlah seorang jahat, atau secita-cita dengan aliran suci.

   Kalau ia patuh dan melakukan tugas Gtusan Suci, sebenarnya semata-mata untuk bisa memperoleh obat pemunahnya.

   Maka ia berjanji kepada Sorohpati akan mengembalikan surat rahasia Titisari apabila sudah berhasil memperoleh seratus jurus itu.

   Dan dengan berbekal seratus jurus itu ia yakin mampu menghadapi Gtusan Suci.

   Sekarang ia sudah menjadi tua.

   Gmurnya sudah enam puluh tujuh tahun.

   Tetapi justru demikian, makin timbullah ketetapan hatinya hendak mempertahankan pedang dan surat rahasia ilmu sakti Titisari.

   Tentang obat pemunah obat bius itu tidak dihiraukan lagi.

   Bukankah ia sudah tua bangka? Seumpama memperoleh obat pemunah, belum tentu ia dapat mempertahankan hidupnya untuk sepuluh tahun lagi.

   Pada saat-saat itu, teringat dia kepada Tarupala.

   Ia telah menjejali obat bius ke dalam mulut anak muda itu.

   Akan tetapi obat bius itu obat bius buatannya sendiri.

   Sebenarnya semenjak Tarupala menjadi muridnya secara resmi, obat bius yang berada dalam tubuh Tarupala telah sirna larut.

   Maka ia berpikir hendak menyerahkan surat rahasia tulisan Titisari beserta pedang mustika, kepada muridnya itu.

   Sadar akan bahaya yang mengancam diri muridnya, timbullah keputusannya hendak membawa kabur ke gunung yang sunyi senyap.

   Gajah mati meninggalkan gadingnya.

   Macan mati meninggalkan belangnya, dan manusia mati meninggalkan nama.

   Itulah tujuan Dipajaya kini.

   Ia mengharapkan dengan mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya kepada murid kesayangannya, itu berarti akan mengabadikan namanya sepanjang zaman.

   Setelah itu barulah ia boleh mati disembarang tempat dan disembarang waktu bukan merupakan soal lagi baginya.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bahkan kalau perlu ia akan melawat ke Lombok untuk menghadap ketua Gtusan Suci.

   Ia akan menyerahkan diri untuk dibakar hidup-hidup.

   Gtusan Suci bisa membakarnya hidup-hidup, akan tetapi namanya akan tetap tercantum dalam dada muridnya.

   Bukankah semua insan yang hidup ini akan mati sirna pula akhirnya? Akan tetapi mati dan mati mempunyai arti sendiri- sendiri.

   Mati tanpa meninggalkan nama adalah mati sia-sia.

   Sebaiknya mati dengan meninggalkan nama yang abadi, merupakan bagian hidup itu sendiri, yang langgeng takkan pudar dari zaman kezaman.

   Namun siapapun tak pernah menduga bahwa dia akan kecewa menghadapi kenyataan malam ini.

   Cita-citanya yang besar dan mulia itu, akhirnya hancur berderai justru ditangan muridnya sendiri.

   Maka tak mengherankan, ia jadi berputus asa dan berduka sekali.

   Demikianlah setelah tertawa selintasan, ia tertegun seperti arca batu.

   Tarupala menatap wajah gurunya.

   Orang tua itu tiba-tiba berubah wajahnya seperti orang lain yang sama sekali belum pernah dikenalnya.

   Wajahnya itu bermuram durja dan dingin beku.

   Menyaksikan keadaan itu, ia menjadi tak enak sendiri.

   "Guru.....!"

   "Aku bukan gurumu lagi!"

   Bentak Dipajaya dengan suara menggelegar.

   "Guru, kau..."

   Tarupala mencoba lagi.

   "Sudahlah, tutup mulutmu!"

   Potong Dipajaya.

   "Baiklah, kau bawa saja pedang ini!"

   Berkata demikian ia mengangsurkan pedang ke depan muka muridnya, sehingga kedua mata Tarupala tiba-tiba menjadi kabur dengan hati terkesiap.

   "Ambillah!"

   Bentak Dipajaya "Biarlah engkau menjadi seorang Nayaka yang setia kepada Raja! Kenapa engkau tak mau menerimanya?"

   Sebenarnya tak berani Tarupala menerima pedang pemberian gurunya itu. Akan tetapi mendengar bentakan gurunya, ia mencoba mengangkat sebelah tangannya dengan hati kebat-kebit. Berkata Dipajaya dengan suara menge-ledek.

   "Pedang ini kuserahkan kepadamu. Akan tetapi sebaliknya, engkau pun harus mengembalikan seluruh ilmu kepandaian yang pernah kuajarkan kepadamu."

   Hancur keadaan hati Tarupala.

   Sekian tahun lamanya ia mengikuti gurunya dengan setia dan berbakti.

   Tetapi malam hari ini, gurunya tidak lagi mengakui dirinya sebagai muridnya.

   Memang hal itu tidak dapat terlalu dipersalahkan.

   Karena di dalam dunia ini tiada seorang guru yang akan meletakkan senjatanya di depan muridnya sendiri.

   Karena itu Dipajaya mengingkari sebagai gurunya lagi.

   Keruan saja air mata Tarupala mengucur semakin deras, la menangis tersedu-sedu.

   "Guru! Muridmu bersalah... pantaslah Guru memaki dan mengutuki diriku... Guru boleh membunuhku... boleh mencincangku... boleh membakarku hidup-hidup. Akan tetapi janganlah engkau mengingkari aku sebagai muridmu...! "Hh!"

   Dipajaya mendengus bengis wajahnya nampak merah padam. Berkata dengan suara menahan getar.

   "Dipajaya ini memang orang dusun yang dungu! Karena itu, bagaimana mungkin bisa mempunyai murid sebagus engkau ini. Apa artinya kepandaian yang pernah kuberikan kepadamu ini? Bagimu pastilah tiada harganya sama sekali, bukan? Karena itu aku akan mengambil kembali semua ilmu sakti yang terhimpun di dalam dirimu. Setelah itu kita berpisahan mengambil jalan kita masing-masing. Pedang ini, bolehlah kau simpan. Hitung-hitung sebagai hadiah terakhir untukmu. Nah, ambillah!"

   Tarupala menjadi serba salah kalau tidak mau menerima pedang pemberian gurunya itu, ayahnya akan memperoleh malapetaka.

   Sebaliknya apabila menerima pedang mustika itu, habislah sudah perhubungan antara guru dan murid.

   Habis pulalah ilmu kepandaiannya.

   Pada detik itu berkelebatan-lah ingatannya kembali kepada nasib Sadil dan Bandel yang dahulu permah dihajar gurunya.

   Mereka berdua lantas saja lumpuh tiada daya, menjadi manusia-manusia yang tiada guna.

   Teringat akan bayangan itu Tarupala menggigil sendirinya.

   "Engkau anak seorang Bupati! Engkau seorang terhormat pula dan orang terhormat harus bisa mengambil keputusan dengan cepat!"

   Kata Dipajaya dengan dengki.

   "Kenapa engkau selalu beragu? Ambil pedang ini dan aku akan mengambil semua pelajaranku! Apakah engkau merasa ku-rugikan? Bukankah ini suatu jual beli yang adil?"

   Dipajaya lantas membolang balingkan pedang mustikanya di depan wajah muridnya dengan tangan kanannya.

   Begitu tangan kanannya mengangsurkan pedang, tangan kirinya diangkat di atas kepala Tarupala.

   Maksudnya jelas sekali.

   Begitu Tarupala menerima pedang mustika ia akan segera menghajarnya.

   Asal saja ia dapat menepuk ubun-ubun Tarupala, maka habislah seluruh kepandaian pemuda itu.

   Ia akan menjadi pemuda cacat seumur hidupnya.

   Menyaksikan akan hal itu, Kilatsih yang berada diatas pohon, bergidik.

   Hebat pemandangan itu.

   Ia belum kenal Tarupala.

   Akan tetapi, entah apa sebabnya, hatinya tidak tahan menyaksikan ilmu sakti pemuda itu akan musnah.

   Ia melihat tangan kiri Dipajaya turun pelahan siap untuk menggempur ubun-ubun Tarupala.

   Alangkah ngerinya.

   Hampir saja Kilatsih memekik.

   Syukur, dapat ia menguasai diri.

   Walaupun demikian, kepalanya menjadi pusing dengan tiba- tiba dan matanya kabur.

   Secara wajar ia menutup kedua matanya rapat-rapat.

   Sunyi senyap waktu itu tiba-tiba terdengarlah Dipajaya menghela napas panjang.

   Pada saat itu terdengarlah suara bergelon-tangan.

   Terkejut Kilatsih membuka matanya.

   Masih sempat ia melihat mentalnya pedang jatuh berkelontangan di atas tanah.

   Akan tetapi bayangan Dipajaya tiada lagi.

   Tarupala berdiri terlongong-longong di bawah pohon, sedang pedang mustika berada dekat kakinya.

   Beberapa saat lamanya Kilatsih tercengang menyaksikan hal itu.

   Akan tetapi segera ia sadar Dipajaya tadi menghela napas panjang sekali.

   Rupanya ia masih ingat kecintaan guru dan murid, sehingga tak sampai hati memunahkan ilmu sakti Tarupala.

   Alangkah hebatnya perjuangan batin orang tua itu! Kilatsih dapat mengerti dan tiba-tiba saja ia menaruh hormat setinggi- tingginya kepada Dipajaya.

   Masih seperempat jam lagi kesenyapan meliputi sekitar tempat itu.

   Baik Tarupala maupun Kilatsih terbenam dalam kesunyian hatinya masing-masing.

   Sejenak kemudian Tarupala nampak bergerak.

   Dengan perlahan-lahan ia membungkuk memungut pedang mustika.

   Hati Kilatsih kusut tak sekehendaknya sendiri, la merasa jemu berbareng iba terhadap pemuda gagah itu.

   Meskipun belum pernah berkenalan apalagi berbicara, akan tetapi ia merasa erat hubungannya.

   Disam- ping itu ia merasa asing pula......

   Ia jadi tidak mengerti keadaan hatinya sendiri.

   Cuaca malam tetap merangkak-rangkak dengan diam-diam.

   Sekonyong-konyong dari balik semak-belukar muncullah dua orang.

   Tarupala memalingkan kepalanya.

   Segera ia mengenal orang yang berjalan di depan.

   Dialah Kapten Wiranegara.

   Sedang yang lain, orang mengenakan pakaian seragam dengan pedang panjang di pinggang.

   Wajahnya nampak licik, sedang kedua matanya tak pernah beralih dari pedang mustika.

   Tarupala tak kenal siapa dia.

   Sebaliknya Kilatsih yang berada di atas pohon segera mengenal siapa kawan Kapten Wiranegara itu.

   Dialah Letnan Mangunsentika.

   Dengan perwira itu ia pernah dua kali mengadu pedang.

   Sambil tertawa lebar, Letnan Mangunsentika menghampiri Tarupala.

   la mengulur tangannya dan menepuk-nepuk pundak pemuda itu.

   Katanya seperti kepada seorang sahabat kekal.

   "Saudara Tarupala! Engkau berhasil! Kenapa bangsat tua itu kau biarkan kabur?"

   Tarupala melototkan matanya. Tanyanya setengah membentak.

   "Kau siapa?"

   "Dialah Letnan Mangunsentika seorang ahli pedang kenamaan."

   Kapten Wiranegara memperkenalkan.

   "Aku pergi untuk datang kembali bersama dia karena mengkhawatirkan keselamatanmu. Menghadapi bangsat Dipajaya bukanlah pekerjaan mudah. Itulah sebabnya kita membutuhkan seorang kawan yang mahir ilmu pedang. Harap saudara Tarupala memaafkan kelancanganku ini. Apakah engkau bentrok dengan gurumu?"

   Mendengar keterangan Kapten Wirane-gara siapa adanya Letnan Mangunsentika, hati Tarupala terkesiap.

   Pikirnya di dalam hati, jadi dialah Letnan Mangunsentika seorang ahli pedang kenamaan.

   Kalau begitu tak boleh aku memandang rendah padanya.

   Memikir demikian lantas ia merubah sikapnya.

   Katanya dengan suara merendah.

   "Jadi engkaulah Letnan Mangunsentika."

   "Benar!"

   Sahut Letnan Mangunsentika dengan tertawa lebar. Selagi demikian, sekonyong-konyong terjadilah suatu peristiwa diluar dugaan. Tarupala mengayunkan pedang mustika mengarah dada Letnan Mangunsentika sambil membentak.

   "Nah, kau bawalah pedang mustika ini! Mulai sekarang dan selanjutnya janganlah engkau bertemu denganku lagi!"

   Sambaran pedang Tarupala benar-benar diluar dugaan.

   Untunglah Letnan Mangunsentika seorang perwira yang sudah banyak makan garam.

   Tak berani ia menyambut sambaran pedang itu.

   Dengan menjejakkan kakinya ia mengelak kesamping.

   Pada saat itu Kapten Wiranegara melompat mengulurkan tangannya.

   Dengan kecepatan luar biasa ia berhasil menangkap gagang pedang, akan tetapi tidak berani menahan lajunya.

   Ia terus menyabetkan ke samping, ke arah sebatang pohon.

   Kena sabetan pedangnya, batang pohon itu terku-tung menjadi dua.

   Ia tertawa girang dan memuji.

   "Benar-benar pedang mustika dari istana! Aha, saudara Tarupala jasamu ini bukan main besarnya!"

   "Pedang telah berada di tangan kalian! Apakah kalian masih tidak mau pergi?"

   Kata Tarupala sengit. Baik Kapten Wiranegara maupun Letnan Mangunsentika tidak bergerak dari tempatnya. Agaknya mereka masih mempunyai pikiran-pikiran lain. Seperti berjanji mereka tertawa berbareng kata Kapten Wiranegara.

   "Memang pedang mustika ini telah berada ditanganku. Akan tetapi penjahatnya masih belum tertawan. Saudara Tarupala! Aku harap, kau bekerja jangan kepalang tanggung! Nah, Antarkan kami berdua menghadap padanya!"

   "Apa katamu!"

   Bentak Tarupala.

   "Saudara Tarupala!"

   Sambung Letnan Mangunsentika dengan tertawa licik.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ada satu pepatah yang berbunyi begini, 'kalau perlu, orang tua pun boleh kita binasakan'. Mengingat hal itu, apa perlu kita bersegan-segan terhadap Dipajaya? Meskipun engkau muridnya, gurumu sesungguhnya seorang bangsat besar. Sekarang dia sudah kehilangan pedang mustikanya. Dengan gabungan tenaga kita bertiga, pastilah kita dapat melayani. Hahahaha.....!"

   Belum lagi Letnan Mangunsentika menyelesaikan tertawanya, kedua mata Tarupala melotot seakan-akan gundunya hendak meloncat keluar.

   Kata-kata 'kalau perlu boleh membinasakan orang tua', benar-benar membuat Tarupala gusar bukan kepalang.

   Melihat wajah Tarupala yang tiba-tiba kelihatan bengis itu Letnan Mangunsentika bergidik.

   Akan tetapi dia memang licik.

   Sejenak kemudian ia sudah tertawa lagi.

   "Ayahmu sangat memikirkan engkau siang dan malam..."

   Katanya lagi.

   "Kalau engkau mengumbar amarahmu, kesehatanmu tentu terganggu karenanya. Bila engkau sampai jatuh sakit, pastilah ayahmu akan menegur kami pula."

   Diingatkan kedudukan ayahnya yang masih menjadi tahanan luar laskar kasul-tanan, Tarupala berusaha menguasai diri.

   Ia berbimbang-bimbang sejenak.

   Tangannya yang sedianya hendak bergerak untuk menyerang, batal dengan sendirinya.

   Kapten Wiranegara dalam pada itu tertawa pula.

   "Saudara Tarupala seorang pemuda cerdik dan cendekiawan. Apalagi sekarang engkau telah memperoleh jasa besar. Untuk selanjutnya tak usah bersusah payah memperoleh kedudukan dan pangkat. Dikemudi-an hari engkau akan bisa hidup bahagia, saudara!"

   Kapten Wiranegara mengukur keadaan hati Tarupala dengan keadaan hatinya sendiri.

   Ia mengira, dengan memberi umpan kata-kata kedudukan mulia, Tarupala pasti akan jatuh dibawah pengaruhnya.

   Akan tetapi, mendadak ia melihat wajah Tarupala muram dan pucat.

   Maka ia tak berani mengumbar mulutnya lagi.

   "Oh, Tuhan!"

   Seru Tarupala dengan suara menyayat hati.

   "Hambamu telah melakukan dosa yang sangat besar dan dahsyat. Dan akibatnya, kedua orang ini, memandang hina hambamu ini."

   Baik Kapten Wiranegara maupun Letnan Mangunsentika sangat terkejut. Inilah suatu pekikan yang sama sekali tak terduga. Dan pemuda itu berkata lagi.

   "Kapten Wiranegara dan Letnan Mangunsentika! Jika aku gila pangkat dan kemewahan, mengapa pedang ini tidak kubawa sendiri ke Yogya? Nah, jangan mengumbar mulut lagi! Jika aku kehilangan kesabaran-ku, aku akan mengadu jiwa denganmu. Biarlah kali ini aku menjadi hamba raja yang tak berbakti lagi...."

   "Sabar-sabar, saudara Tarupala!"

   Kata Kapten Wiranegara membujuk.

   "Bukankah , kami berdua ini sahabat ayahmu? Marilah kita bicara baik-baik! Kenapa engkau berkoak-koak tak keruan-keruan?"

   Tarupala tak menggubris teguran Kapten Wiranegara. Seorang diri, ia berseru .

   "Guru! Guru! Kapan aku bisa bertemu lagi denganmu? Dengarkan suara hatiku, Guru!"

   Sampai disitu, habislah kesabaran Kapten Wiranegara dan Letnan Mangunsentika.

   Ingin mereka berdua mencekik leher Tarupala.

   Akan tetapi tak berani mereka turun tangan sembarangan.

   Tarupala murid kesayangan Dipajaya.

   Pastilah ia mempunyai ilmu kepandaian yang berarti.

   Gntuk bisa merobohkan, paling tidak harus melalui lima atau enam puluh jurus.

   Mereka khawatir hal itu akan membangunkan penduduk kota Waringin.

   Bukankah pedang sudah berada ditangannya? Dengan membawa pedang mustika, meskipun penjahatnya belum tertawan, sudah dapat dipertanggung jawabkan.

   Oleh pertimbangan itu Kapten Wiranegara berkata mengajak Letnan Mangunsentika.

   "Mari kita pergi!"

   Setelah berkata demikian ia menyambar lengan Letnan Mangunsentika dan dengan langkah panjang mereka pergi.

   Tarupala menangis sambil menumbuk-numbuk dadanya.

   Ia menangis meng-gerung-gerung makin lama makin keras.

   Ia seorang pendekar yang sudah memiliki ilmu pedang warisan Dipajaya yang tiada taranya.

   Akan tetapi pada saat itu ia seperti mengalami kekalahan besar dalam suatu pertarungan dahsyat, la merasa diri menjadi pemuda cacat nama yang sulit diperbaiki.

   Kilatsih yang berada diatas pohon, terharu mendengar suara tangisnya.

   Dengan mata berkaca-kaca ia melihat pemuda itu tibatiba menjatuhkan diri di atas dengan semangat lumpuhnya.

   Kemudian duduk bersimpuh dengan tak bergerak sama sekali, sehingga mirip patung batu.

   Menyaksikan hal itu, tak terasa Kilatsih menghela napas.

   Tak tahu ia hatinya iba atau muak...

   Tatkala itu terdengarlah suara berbisik dari berbagai penjuru.

   Itulah suara penduduk yang terbangun oleh tangis Tarupala.

   Mendengar keributan itu Kilatsih sadar akan kedudukannya.

   Segera ia melompat turun dari pohon dan menyelinap dikegelapan malam.

   Ia lari dan lari sekencang-kencangnya seperti diuber setan.

   Sebentar saja tibalah ia di depan rumah penginapan.

   Suasana penginapan sunyi sepi.

   Akan tetapi di dalam hati Kilatsih bergemuruh suara pergolakan hebat.

   Tiba-tiba ia menjadi muak terhadap segala yang terlihat dan teringat dalam benaknya, la muak terhadap Kota Waringin.

   Ia muak terhadap Tarupala.

   Ia muak terhadap rumah perguruan Tarupala dengan sekalian adik.adik seperguruannya.

   Dengan kesan lain mencari pengurus rumah penginapan.

   Setelah membayar sewa penginapan, ia lantas melompat ke atas punggung Megananda dan melanjutkan perjalanan tanpa arah.

   Disepanjang jalan ia menghibur hatinya.

   Bukankah ia memasuki Kota Waringin karena memikul tugas ayundanya Titisari? Tadi siang ia datang dengan hati gembira.

   Akan tetapi apa sebab sewaktu meninggalkan Kota Waringin dengan hati lesu? Menjelang tengah malam ia berhenti di tepi sawah kemudian menggelar selimut di atas rerumputan dan menidurkan diri.

   Masih beberapa saat ia tetap bergolak dengan keadaan hatinya sendiri.

   Tahu-tahu ia tertidur pulas di tengah alam terbuka.

   Tatkala menyenakkan mata, hawa dingin meraba tubuh.

   Fajar hari tiba dengan diam-diam.

   Tak lama kemudian cahaya lembut membersit di langit timur.

   Dan melihat pemandangan itu hati Kilatsih menjadi terbuka.

   Teringat dia pengalamannya semalam.

   Pikirnya dalam hati, Widiana Sasi Kirana seorang gagah dan berwibawa.

   Akan tetapi sekarang dia berada entah dimana.

   Sebaliknya Daniswara, dia seorang pemuda yang kasar dan berewok pula.

   Ia hanya membuat hatiku dengki.

   Sekarang muncul pula pemuda yang kebetulan bernama Tarupala.

   Pemuda itu nampaknya halus pekertinya.

   Akan tetapi alangkah jauh berbeda apabila kubandingkan dengan Kangmas Sangaji.

   Maka dalam dunia ini satu-satunya wanita yang berbahagia adalah ayundaku, Titisari."

   Ia jadi tersenyum sendiri.

   Hanya saja ia tak tahu apakah tersenyum bahagia, geli, terharu atau berduka yang terasa di dalam dirinya, hatinya kini, menjadi tegar.

   Segera ia menggulung selimutnya dan di simpan di bawah pelana Megananda.

   Sebentar ia menebarkan pandangnya ke timur.

   Gdara makin lama makin cerah dan hati Kilatsih menjadi cerah pula.

   Burung-burung yang tadi ramai berkicau di pucuk-pucuk pohon, kini mulai berterbangan mengurangi udara bebas.

   Melihat kebebasan burung-burung itu timbul lagi pikiran Kilatsih, dengan mengembangkan kedua sayapnya, burung sekecil jariku bisa terbang mengarungi udara dengan bebas.

   Mengapa aku tidak mampu? Aku ingin melepaskan segala persoalan yang membelit diriku.

   Hai burung, tunggulah aku! Dengan lamunan itu hatinya kembali bersemangat, la membiarkan Megananda berjalan perlahan-lahan, la ingin meneguk dan mereguk semua kisah fajar hari itu.

   Di kiri kanannya seberang menyeberang muncul barisan pegunungan di antara kabut yang menyelimuti fajar hari.

   Kesannya, alangkah bersemarak dan menegarkan hati.

   Hati Kilatsih makin terbuka kini.

   Selagi terbenam dalam keindahan alam difajar hari itu, tiba-tiba kupingnya yang tajam mendengar langkah berderap mendatangi, la terkejut.

   Karena pikirannya masih terkait kepada persoalan Tarupala ia mau menduga bahwa salah seorang adik seperguruannya sedang menyusul.

   Ia memasang kuping.

   Ternyata suara langkah itu bukan datang dari belakang.

   Karena itu ia menyangsikan pendengarannya sendiri.

   Pikirnya dalam hati, benarkah sudah ada orang melakukan perjalanan sepagi ini? Tetapi pendengarannya tidak membohongi dirinya, la mendengar langkah cepat yang makin lama makin dekat.

   Sekarang bahkan ia mendengar napas orang itu yang lantas disusul ucapannya.

   "Hai, kau setan iblis! Dengan caramu begini kau bukan manusia gagah! Kau perempuan! Kau banci! Jika berani mari bertempur di tempat terbuka dibawah sinar matahari...!"

   Itulah kata-kata tantangan! Kilatsih tertarik hatinya.

   Bukan karena tantangannya akan tetapi tertarik suaranya, la kenal suara itu dengan baik.

   Itulah suara Kapten Wiranegara, komandan laskar pengawal istana Yogyakarta.

   Justru teringat suaranya, ia menjadi heran.

   Bukankah Kapten Wiranegara seorang perwira yang gagah perkasa? Siapa yang berani mengganggunya? Segera ia membawa lari Megananda di-balik semak- belukar.

   Setelah menambatkan ia mendaki diketinggian dan bersembunyi diantara batu-batu.

   Tepat pada saat itu muncul Kapten Wiranegara dari balik tikungan jalan.

   Kapten itu mirip orang bangkrut.

   Rambutnya beriap-riapan.

   Wajahnya matang biru dan bajunya penuh lumpur.

   Melihat Kapten Wiranegara dalam keadaan demikian, bukan main heran Kilatsih.

   Pikirnya, walaupun Eyang Dipajaya pendekar berkepandaian tinggi, akan tetapi tak dapat ia membuat komandan laskar istana Yogyakarta menjadi rusak begini macam...

   Lagi pula Eyang Dipajaya nampaknya sudah malas berurusan dengan segala perkara yang mengganggu kedamaian hatinya...

   Sadar bahwa Kapten Wiranegara memiliki kepandaian tinggi, tak berani Kilatsih bergerak dari tempat persembunyiannya.

   Apalagi perwira itu sedang kalap.

   Jangan- jangan dialah yang disangka mengganggu dirinya.

   Karena itu ia menahan napas, takut terdengar Kapten Wiranegara yang tajam pendengarannya.

   Dengan Letnan Mangunsentika, Kapten Wiranegara telah memperoleh pedang mustika dari tangan Tarupala.

   Khawatir ada orang berkepandaian tinggi yang jahil tangan, ia memilih jalan kecil untuk kembali kemarkasnya.

   Sebagai seorang perwira gagah, tak takut ia menghadapi segala rintangan.

   Akan tetapi ia segan akan kesulitan-kesulitan diperjalanan.

   Itulah sebabnya selain memilih jalan kecil, ia berangkat pada malam hari.

   Menjelang fajar sampailah ia ditanjakan yang berada di antara barisan pegunungan.

   Tatkala melintasi hutan kecil yang berada diseberang-menyeberang jalan, mulailah ia berani berbicara dengan Letnan Mangunsentika.

   Bukankah semuanya sudah menjadi aman? Ia berhenti menenangkan hatinya ditepi jalan.

   Kemudian mempergunakan kesempatan yang bagus itu untuk menghunus pedang mustika yang berada ditangannya.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Segera memantullah cahaya berkilauan tak ubah sinar mutiara.

   Lima langkah sekeliling dirinya, nampak jelas.

   Ia kagum bukan main.

   Katanya kepada Letnan Mangunsentika.

   "Pantaslah pedang ini menjadi pusaka istana. Tidak aneh pula apa sebab si tua bangka Dipajaya sampai mencurinya... Bagaimana pendapatmu, Letnan?"

   Letnan Mangunsentika tidak menjawab. Ia hanya tertawa terbahak-bahak. Setelah puas tertawa, barulah ia menyahut.

   "Kita berdua telah memperoleh jasa besar. Pastilah Sri Baginda akan menghargai jerih payah kita ini."

   "Benar! Syukurlah Letnan Suwangsa tidak ikut serta."

   Kapten Wiranegara berkata dengan suara tertahan.

   "Letnan Suwangsa perwira laskar Mangkunegaran yang diperbantukan di Yogyakarta. Apabila dia yang memperoleh pedang ini, pastilah tidak sudi mempersembahkan kepada Sri Sultan kembali. Sebaliknya akan dibawanya pulang ke Surakarta. Dia seorang ahli pedang kenamaan. Pastilah dia akan tertarik kepada pedang mustika ini. Bagi seorang ahli pedang, senjata yang tepat seumpama jiwanya sendiri. Maka begitu tiba di Surakarta segera ia mendesak Sri Mangkunegaran yang kebetulan mertuanya sendiri. Dengan mengandalkan pengaruh mertuanya, dia akan menghadap Sri Sultan untuk memohon agar pedang mustika ini dihadiahkan kepadanya. Pada saat ini Sri Sultan sangat membutuhkan tenaga laskar Mangkunegaran. Kukira Sri Sultan akan meluluskan permohonannya dan hal itu berarti, sia-sialah pekerjaan kita berdua. Mendengar ucapan Kapten Wiranegara, Letnan Mangunsentika seperti tergugah hatinya. Diapun seorang ahli pedang kenamaan yang namanya sejajar dengan Letnan Suwangsa. Memang semenjak melihat pedang mustika itu, hatinya mengilar3). Hanya saja terhadap Kapten Wiranegara, tak berani ia bertindak ceroboh, la menunggu kesempatan sebaik-baiknya untuk bisa membawa kabur pedang mustika tersebut.

   "Kapten!"

   Katanya licin.

   "Bukankah Kapten pandai pula menggunakan pedang?"

   Kapten Wiranegara tertawa lebar.

   "Benar, akan tetapi tidakt semahir Letnan Suwangsa ataupun dirimu. Aku hanya mengandal kepada tenaga himpunan yang berada dikedua belah tanganku. Dengan kedua tanganku ini, aku sanggup mematahkan segala yang merintang dihadap-anku."

   Setelah berkata begitu, mendadak ia berdiri tegak. Kemudian membolang-baling-kan pedang mustika. Sekonyong-konyong ia menggerakkan pedangnya dari kiri ke kanan lalu memasuki jurus-jurus ilmu pedangnya.

   "Traang!"

   Itulah suara pedang yang berbunyi nyaring dengan tiba- tiba.

   Berbareng dengan suara itu, tangannya tergetar.

   Jelaslah bahwa ada orang menimpuk dengan batu.

   Ia menoleh kepada Letnan Mangunsentika.

   Mau ia menduga bahwa Letnan Mangunsentika yang main gila tetapi begitu menoleh hatinya tercekat.

   Letnan Mangunsentika ternyata telah roboh tak berkutik.

   Lantas saja ia berteriak nyaring.

   "Siapa? Kau siapa? Sahabat silakan keluar berkenalan denganku! Mengapa engkau sakiti kawanku?,"

   Suaranya berdengung menumbuki dinding-dinding pegunungan.

   Kemudian lenyap dan kesunyian terjadi seperti tadi.

   Seluruh petak hutan hening senyap.

   Kapten Wiranegara menjadi heran dan penasaran.

   Ia menyebarkan pandang sambil memasukkan pedang ke dalam sarungnya.

   Perlahan-lahan ia mundur menghampiri tubuh Letnan Mangunsentika yang tetap tak berkutik.

   Dengan kakinya ia meraba-raba.

   Napas Letnan Mangunsentika tidak berubah, akan tetapi tubuhnya tak berkutik sama sekali.

   Sekonyong-konyong terdengarlah dengung tertawa perlahan di sebelah timur.

   Dengan gesit Kapten Wiranegara melompat memburu ke arah suara itu dengan penasaran ia berteriak menegur.

   "Aku Kapten Wiranegara menunggu kehadiranmu!"

   Ia terlalu mengandal kepada namanya yang termashyur dengan menyebut namanya orang-orang tertentu yang hendak mengganggu perjalanannya pastilah akan membatalkan niatnya.

   Akan tetapi belum lagi suara teguran lenyap dari udara, kembali sebutir batu menyambar dirinya.

   Kali ini bukan main hebatnya.

   Cepat ia mengendapkan diri sambil menarik pedang.

   Tetapi begitu pedangnya ditarik, untuk kesekian kalinya ia mendengar suara menci-cit dan kemudian pedangnya tergetar hebat sampai telapakan tangannya berasa panas.

   Kapten Wiranegara tahu bahwa dirinya sedang dipermainkan orang, la mendongkol dan gusar bukan kepalang.

   Menurut hatinya, segera ia melompat ke arah timur.

   Tak peduli hutan menghadang didepannya tetap ia menerobos kedalamnya.

   Ia seorang perwira perkasa.

   Dengan kedua tangannya ia merobohkan puluhan pendekar-pendekar berkepandaian tinggi.

   Apalagi kini ia bersenjata pedang mustika pula.

   Maka tiada yang ditakuti lagi.

   Namun baru saja ia memasuki petak hutan itu, suara tertawa sudah beralih ke sebelah barat dan suara tertawa itu adalah suara tertawa yang tadi didengarnya.

   "O, iblis!"

   Makinya.

   "Jika kau tetap tak menampakkan diri aku bisa mencacimu atau mengutuki dengan kata-kata kotor! Awaslah!"

   Tengah ia membuka mulutnya, tiba tiba segumpal tanah menyambar.

   Tak dapat ia mengelak atau berkelit karena timpukan tanah itu sangat cepat.

   Begitu berteriak, mulutnya sudah tersumpal.

   Ia kaget setengah mati.

   Untungnya gigi-gigi Kapten itu cukup kuat untuk menahan lajunya.

   Kalau tidak, tentulah tanah akan tertelan masuk kekerongkongan.

   Sadar bahwa orang yang membidikkan tanah itu pastilah berkepandaian tinggi cepat ia memuntahkannya tak usah dikatakan lagi bahwa hatinya serasa meledak oleh rasa gusar.

   Dengan menyem-bur-nyemburkan sisa tanah yang masih ketinggalan dimulut, segera ia hendak membuktikan ancamannya tadi.

   Ia akan mengutuk kalang kabut.

   Tetapi baru saja mulutnya bergerak sekali lagi datang menyambar gumpalan tanah mengarah mukanya.

   Gntuk kedua kalinya ia mati kutu.

   Tiba-tiba saja mukanya terasa sakit dan pedih bukan kepalang dan berbareng dengan itu, suara tertawa yang tadi berada di sebelah barat, sekarang berpindah terdengar di selatan.

   "Inilah hebat..."

   Kapten Wiranegara berpikir di dalam hati.

   Ia menjadi jago kenamaan dan menjadi komandan laskar pengawal istana kesultanan.

   Meskipun demikian ia kena timpuk orang dua kali berturut-turut tanpa dapat mengelakkan diri.

   Sungguh memalukan! Bahwasannya pedangnya kena timpuk, itu tak mengherankan.

   Akan tetapi bahwasannya mulut dan mukanya kena dibidik orang, itulah yang patut dimalukan.

   Bukankah dengan mudah ia akan bisa menggerakkan muka kemana saja yang dikehendaki, la mendongkol berbareng kagum.

   Malahan rasa takut ini membersit dalam hatinya.

   Pikirnya selintas, siapakah orang yang sehebat ini? Sambaran timpukannya sangat sukar dipercaya.

   Mungkinkah dia iblis penjaga hutan ini? Tak berani lagi ia sekarang dia mendamprat ataupun memaki.

   Bahkan untuk menegur gurunyapun tak berani pula ia.

   Dengan demikian tak dapat ia membuktikan ancamannya hendak memaki dan mengutuki kalang kabut.

   Sebaliknya, pada saat itu juga, timbullah niatnya hendak menyingkir saja.

   Tapi baru saja ia memutar tubuh dan berjalan empat langkah, terdengar bentakan bengis.

   "Kembali!"

   Ia memutar tubuh dan pada saat itu juga terdengarlah sambaran senjata bidik mengarah padanya.

   Cepat ia melesat mundur dan ia berhasil mengelak.

   Dengan matanya yang tajam ia menyelidik.

   Herannya ia mendapat kenyataan, bahwa senjata bidik yang dipergunakan orang itu adalah biji-biji sawo sebesar telur burung gereja.

   Satu ingatan berkelebat dalam benaknya.

   Bukankah yang menggunakan senjata bidik semacam itu seorang pemuda yang dahulu menolong Manik Hantaya di rumah makan Magelang? Tetapi daya sambarannya alangkah jauh berbeda.

   Meskipun sambaran senjata bidik pemuda dahulu itu cepat dan dahsyat, akan tetapi, masih sanggup ia menyongsong.

   Sebaliknya kali ini tidaklah demikian.

   Sekali biji sawo itu menghantam dirinya, pastilah akan patah tulangnya.

   Penyerang gelap itu ternyata tidak hanya menyerang sekali dua kali saja.

   Sambaran biji-biji sawo saling menyusul datang berkeredepan tiada hentinya.

   Diserang secara demikian, terpaksa Kapten Wiranegara mundur dan mundur.

   Setelah kembali ke tempat semula barulah ia sadar bahwa penyerangnya bermaksud menggiring kembali keluar hutan, ia mendongkol dan makin ciut hatinya.

   Di antara sambaran biji sawo terdapat gumpalan-gumpalan tanah liat, sehingga pakaiannya kini menjadi tak keruan macam.

   Percuma saja ia di sebut sebagai perwira yang memiliki kepandaian tinggi.

   Percumalah dia di sebut sebagai komandan pengawal istana Sultan.

   Nyatanya sama sekali tak berdaya ia menghadapi penimpuk gelap tersebut.

   Bahkan tak sanggup ia membuka mulutnya lagi, meskipun hatinya mendongkol dan penasaran.

   Betapa mungkin ia sempat membuka mulut karena sambaran biji-biji sawo dan lumpur itu terjadi sangat cepat.

   Dalam pada itu langit mulai cerah.

   Angin pegunungan turun melanda bumi.

   Hawa bersih sejuk yang dibawanya menyegarkan hati Kapten Wiranegara.

   Perlahan-lahan ia memperoleh ketenangannya kembali.

   Segera ia menebarkan penglihatannya.

   Letnan Mangunsentika yang tadi menggetak di tepi jalan, kini tiada lagi.

   Benar-benar hatinya kaget.

   Pikirnya dalam hati, empat lima kilo meter lagi aku akan tiba diperkemahan.

   Syukurlah aku tadi tidak digiring sampai ke sana.

   Seumpama anak buahku melihat diriku bangkrut begini, wah, dimana akan kusembunyikan mukaku? Cuaca kini sudah menjadi terang.

   Dengan terangnya cuaca timbullah keberanian Kapten Wiranegara.

   Sekarang ia dapat melihat segalanya dengan jelas dan tegas.

   Di tengah cuaca terang benderang begini betapa mungkin orang menyembunyikan diri.

   Maka dengan bersemangat ia menebarkan penglihatannya.

   Sejauh-jauh mata memandang hanya kesenyapan yang terlihat.

   Tak ada orang kelihatan.

   Kalau begitu, siapakah yang telah mempermainkan dirinya begitu hebat? Ia semakin penasaran kini.

   Berseru mencoba.

   "Haai! Sahabat! Bukankah kini sudah tiba saatnya untuk memperkenalkan diri?"

   Akan tetapi orang yang mempermainkan dirinya tetap tak menampakkan batang hidungnya.

   Apakah dia sibuk membawa Letnan Mangunsentika? Sekarang barulah Kapten Wiranegara merasa letih.

   Segera ia mencari batu besar yang berada di tepi jalan untuk beristirahat.

   Perutnya yang biasa disongsong santapan pagi, mulai berkeruyuk-an.

   Tetapi ia seorang perwira.

   Sudah barang tentu tak dapat ia membiarkan dirinya kena dipengaruhi keadaan perutnya.

   Dengan pedang Mustika ditangannya, ia bersiaga penuh menghadapi segala kemungkinan.

   Dalam pada itu Kilatsih tetap bersembunyi dibalik batu.

   Ia mengikuti semua peristiwa yang terjadi di depan matanya.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sadar akan kepandaian Kapten Wiranegara dan orang yang mempermainkan Kapten itu, tak berani ia bergerak semau- maunya.

   la tetap bersembunyi sebaik-baiknya.

   Ia terperanjat tatkala Kapten Wiranegara duduk di atas batu yang berada tak jauh dari padanya.

   Begitu dekat jaraknya, sehingga ia mendengar pernapasannya.

   Secara wajar ia meraba hulu pedangnya.

   Syukurlah Kapten Wiranegara tetap tak mengetahui tempat persembunyian Kilatsih sehingga hatinya tenang kembali.

   Akan tetapi karena beradanya Kapten Wiranegara terlalu dekat, ia menguasai pernapasannya.

   Seiring dengan datangnya angin pagi hari.

   Melihat pedang mustika yang berada ditangan Kapten Wiranegara timbullah niatnya hendak merampas.

   Dengan sekali timpuk pastilah Kapten Wiranegara dapat dirobohkan.

   Memang, Kilatsih seorang gadis berhati panas yang mewarisi tabiat gurunya yang liar.

   Apa yang dipikir lantas saja dilakukan tanpa pertimbangan lagi.

   Demikianlah, segera ia menyentilkan dua biji sawonya, dan setelah menghunus pedang ia melompat menikam.

   Hanya saja ia salah hitung.

   Ternyata Kapten Wiranegara memang seorang perwira yang berkepandaian tinggi.

   Apalagi ia baru saja bertempur.

   Begitu mendengar kesiur angin ia berputar.

   Dengan kesempatan yang luar biasa tangannya menyambar mencengkeram lengan Kilatsih sekali jadi.

   Keruan Kilatsih kaget bukan main.

   Lengannya pun terasa nyeri luar biasa seolah-olah kena jepit batang besi.

   "Ah! Kiranya engkau!"

   Seru Kapten Wiranegara.

   la lantas tertawa terbahak-bahak sambil menarik lengan Kilatsih.

   Tetapi Kilatsih memang gadis cerdik.

   Tak sia-sia ia menjadi murid Adipati Surengpati yang termashyur.

   Ia mendahului tarikan Kapten Wiranegara dengan melompat maju sambil menikamkan pedangnya.

   Itulah suatu tikaman yang berada di luar dugaan Kapten Wiranegara.

   Betapa tidak? Lengan kanan Kilatsih telah kena dicengkeramnya.

   Sedang pedang berada ditangan itu pula.

   Akan tetapi dengan kesehatan luar biasa Kilatsih melompat maju sambil mengalihkan pedang ditangan kiri dan berbareng menikam.

   Hampir saja ia berhasil menikam teng-gorokan Kapten Wiranegara dan untuk mengelakkan diri, terpaksalah perwira itu melepaskan cengkeramannya.

   Kilatsih mendongkol karena tujuannya gagal.

   Akan tetapi ia sudah terlanjur terjun dalam arus sungai.

   Maju atau mundur ia tetap basah kuyup.

   Maka ia mengulangi serangannya.

   Tak sudi ia menyerang setengah-setengah, mengingat kepandaian Kapten Wiranegara.

   Dengan menggunakan tipu-tipu ilmu sakti Witaradya warisan gurunya, ia memberondong Kapten Wiranegara dengan dua-tiga serangan sekaligus.

   Inilah hebat! Kapten Wiranegara adalah seorang perwira berkepandaian tinggi.

   Akan tetapi menghadapi berondongan tikaman Kilatsih yang cepat luar biasa, ia seolah-olah kehilangan daya geraknya.

   Dengan pedang mustika ia hanya dapat membela diri dan sama sekali tak mampu mengadakan pembalasan.

   "Binatang!"

   Makinya dengan suara penasaran.

   Dalam hal keragaman ilmu pedang.

   Kapten Wiranegara kalah dengan Kilatsih.

   Akan tetapi himpunan tenaga saktinya berada diatas gadis itu.

   Sekarang ia menggenggam pedang mustika.

   Maka dengan hati mantap ia mengadakan perlawanan.

   Untuk mengelakkan berondongan tikaman Kilatsih, ia melesat mundur dua langkah dan kemudian maju menikam.

   Walaupun demikian masih saja, ia repot menghadapi tikam-an-tikaman ilmu pedang Kilatsih yang cepat luar biasa dan berbahaya.

   Meskipun merasa diri mampu menandingi, akan tetapi terpaksa harus berhati-hati.

   Kilatsih berkelahi dengan ilmu pedang Witaradya.

   Walaupun kalah gagah, namun masih sanggup ia membuat kuwalahan lawannya.

   Dan sebentar saja limapuluh jurus telah lewat.

   Kedua-duanya merasa tidak aman sendiri.

   Menghadapi serangan-serangan Kilatsih tahulah Kapten Wiranegara, bahwa dia bukanlah orang yang mempermainkan dirinya.

   Maka ia khawatir, jangan-jangan orang itu muncul dengan tiba-tiba.

   la belum tahu pasti, siapakah dia sebenarnya.

   Kalau saja ia muncul dengan mendadak, ia bisa kalang kabut.

   Sebaliknya, Kilatsih mengkhawatirkan munculnya Letnan Mangunsentika.

   Bukankah perwira itu tiba-tiba hilang dari tempatnya? Itulah sebabnya kedua-duanya lantas saja ingin menyelesaikan pertempuran itu dengan secepat-cepatnya.

   Dalam hal pengalaman.

   Kapten Wiranegara berada di atas Kilatsih.

   Melihat gerakan-gerakan ilmu pedang Kilatsih yang cepat luar biasa, timbullah pikirannya.

   "Biarkanlah pedang mustika itu kuberikan kepadanya seolah-olah kena terampas. Dia akan kupaksa agar menggunakan sepasang pedang. Dengan menggunakan sepasang pedang, berarti ia harus membagi perhatiannya, bukankah kelincahannya lantas saja akan berkurang?"

   Memikir demikian Kapten Wiranegara lantas menerjang. Pedang menyambar dan pada saat itu pedang Kilatsih menangkis.

   "Traang!"

   Pedang mustika yang berada di tangan Kapten Wiranegara terpental ke udara..Kilatsih yang bertujuan hendak merampas pedang mustika itu, tak sudi menyia-nyia-kan kesempatan yang bagus.

   Dengan sekali menjejak tanah, ia melesat tinggi di udara dan menyambar pedang mustika.

   Dengan demikian, kedua belah pihak kini menggenggam pedang.

   Kapten Wiranegara berpura-pura terperanjat.

   Dengan mengerung dahsyat ia maju menyengkeram.

   Apabila bisa^menyeng-keram lengan Kilatsih sedikit saja, sangguplah ia mematahkan tulangnya.

   Sudah barang tentu Kilatsuh tak sudi kena cengkeramannya.

   Dengan berjungkir balik ia turun ketanah dan membela diri dengan sepasang pedangnya.

   Dan benar saja.

   Karena membagi tenaganya, kelincahannya lantas berkurang.

   Melihat hal itu Kapten Wiranegara menjadi kegirangan.

   Terus saja membentak.

   "Lepaskan semua pedangmu!"

   Kedua tangannya menyambar kekiri dan kekanan dengan sekaligus.

   Yang kiri mengarah pergelangan tangan kanan Kilatsih.

   Sedang yang kanan menyapu gagang pedang mustika yang berada ditangan kiri gadis itu.

   Dengan tenaga himpunannya yang dahsyat ia berhasil mementalkan pedang Tengah la membuka mulutnya, tiba-tiba segumpal tanah menyambar.

   Tak dapat ia mengelak atau berkelit karena timpukan tanah itu sangat cepat.

   Begitu teriak, mulutnya sudah tersumpal mustika dari genggaman tangan kiri Kilatsih.

   Kemudian dengan dibarengi suara tertawa berkakakan ia menyambar gagangnya.

   "Dan sekarang yang satunya!"

   Ia mengira kali ini akan berhasil pula.

   Akan tetapi lagi-lagi ia salah hitung.

   Dengan hanya bersenjata sebilah pedang gerak-gerik Kilatsih menjadi cekatan kembali.

   Dengan sekali menjejakkan kaki ia lolos dari sambaran Kapten Wiranegara, dan membalas menikam ulu hati.

   Kapten Wiranegara bukan seorang ahli pedang.

   Dapat ia menangkis, akan tetapi ia kena tindih.

   Gjung pedang mustikanya kena didorong ke samping dan pedang Kilatsih menyelonong terus mengarah dadanya.

   Keruan saja ia terkejut setengah mati.

   Buru-buru terpaksa ia membela diri.

   Dengan demikian gagallah maksudnya hendak merampas pedang Kilatsih.

   Hati Kilatsih menjadi besar.

   Tak sudi lagi ia menyia-nyiakan kesempatan yang bagus itu.

   Seperti tadi ia memberondong dengan tikaman-tikaman yang cepat luar biasa.

   Mau tak mau Kapten Wiranegara terpaksa membela diri dengan main mundur.

   Akhirnya, karena jengkel dan penasaran, ia berteriak nyaring seolah-olah bersumpah.

   "Aku. Kapten Wiranegara, komandan laskar pengawal istana Yogayakarta! Jika pada pagi hari ini tidak dapat merampas pedangmu, biarlah aku mati tak terkubur di sini......"

   Setelah berkata demikian, ia menyarungkan pedang mustikanya. Ingin ia merampas pedang Kilatsih dengan tangan kosong untuk mengangkat pamornya. Tetapi justru pada saat itu terdengar seruan.

   "Hai! Inilah ilmu pedang siluman Karimun Jawa yang bagus!"

   Lalu sebutir batu menci-cit di udara.

   Mendengar suara sambaran itu, Kapten Wiranegara terkejut bukan kepalang.

   Terus saja ia melompat mundur sambil memalingkan kepalanya ke arah datangnya suara itu.

   Itulah suara yang dikenalnya.

   Suara orang yang mengganggunya terus menerus.

   Tapi begitu berpaling, kembali lagi sebutir batu menyambar.

   Secara wajar, ia menangkis.

   Tiba-tiba saja, pedangnya terpental di udara.

   Hendak ia meloncat, namun Kilatsih sudah mendahului.

   Dengan hati mendongkol, ia melesat sambil mengayunkan tangannya.

   Maksudnya akan menggempur pinggang Kilatsih selagi gadis itu berada di udara menyambar pedangnya.

   "Eh, anjing buduk ini benar-benar galak!"

   Terdengar suara itu lagi, dan berbareng dengan lenyapnya suara, sebutir biji sawo menyambar.

   Kapten Wiranegara terkejut bukan kepalang.

   Inilah bahaya, karena dia masih berada di udara.

   Syukur, ia seorang perwira yang berpengalaman.

   Terus saja ia mengibaskan tangan dan tubuhnya lantas terangkat tinggi dan dengan berjumpalitan di udara, mendarat di atas tanah tak kurang suatu apa.

   Sekalipun demikian, keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.

   Serentak ia berpaling.

   Dua puluh meter didepannya, berdiri seorang laki-laki awut- awutan mendampingi seorang perempuan bersenjata tongkat.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Perempuan ini berusia melebihi lima puluh tahun.

   Akan tetapi wajahnya nampak cemerlang dan segar-bugar.

   Sedang yang laki-laki berusia lebih tua lagi.

   Mungkin mendekati usia tujuh puluh tahun.

   Meskipun demikian, ia pun nampak tegar dan segar.

   Dan melihat mereka berdua.

   Kapten Wiranegara terperanjat.

   Pikirnya dalam hati, tiga puluh tahun aku berlatih menajamkan pendengaran dan penglihatan.

   Namun kedatangan mereka berdua sama sekali tak kuketahui.

   Apakah mereka ini manusia wajar atau memang setan? Kilatsih sendiri tadin/a heran dan kaget mendengar suara menyambarnya senjata bidik.

   Akan tetapi begitu melihat senjata bidik itu ternyata biji sawo hatinya girang bukan main.

   Semangat tempurnya lantas terbangun sekaligus.

   Melihat pedang mustika terpental dari tangan Kapten Wiranegara, terus saja ia melonpat menyambar.

   Setelah merebut dan mendarat di atas tanah, segera ia lari menghampiri sepasang pria dan wanita berusia lanjut itu seraya berseru.

   "Eyang Gagak Seta! Eyang Sirtupe-laheli...!"

   Dan mendengar suara Kilatsih hati Kapten Wiranegara terperanjat lagi.

   Kali ini tidak hanya terperanjat tetapi meringkas pula.

   Nama Gagak Seta siapa yang belum pernah mendengar? Dialah seorang pendekar nomor wahid yang menjagoi dikolong langit ini.

   Namun sebagai seorang perwira tak sudi ia dipengaruhi nama besar yang membuat hatinya kecil.

   Segera ia menenangkan hatinya dan dengan sikap seorang militer, ia menatap wajah Gagak Seta dan Sirtupelaheli."

   Dalam pada itu Gagak Seta tertawa berkakakkan. Berkata kepada Sirtupelaheli.

   "Nah, kau mau bilang apa. Lihatlah beberapa tahun kita berpisah ternyata bocah itu sudah maju demikian pesat kepandaiannya. Benar-benar si Jangkrik Bongol bisa mendidik orang menjadi ahli warisnya."

   Sirtupelaheli tersenyum. Dengan memiringkan kepalanya ia menyambut Kilatsih. Berkata dengan suara girang.

   "Kau masih saja mengenakan pakaian pria? Dalam hal menyamar ternyata engkau lebih betah daripada aku. Bagaimana apakah engkau juga sudah bertemu dengan gurumu? Apakah engkau juga sudah bertemu dengan anakku Sangaji dan Titisari. Aku dahulu menyamar sebagai kakek gurumu, Ki Jaga Saradenta. Apakah engkau sudah bertemu pula dengan dia?"

   Mendengar Sirtupelaheli memberondong pertanyaan- pertanyaan dengan sekaligus.

   Itulah suatu bukti bahwa hatinya lagi girang dan bersyukur bertemu dengan Kilatsih.

   Selagi Kilatsih hendak menjawab, tiba-tiba Kapten Wiranegara berseru dengan suara lantang.

   "Gagak Seta! Kau seorang pendekar kenamaan. Mengapa engkau main curang sampai tak berani memperlihatkan dirimu? Pada hari ini aku Kapten Wiranegara mendapat rejeki besar dapat belajar denganmu."

   "Gagak Seta membalas seruan Kapten Wiranegara yang lantang dengan suatu kerlingan dingin. Bertanya kepada Kilatsih.

   "Tahukah engkau siapa binatang itu? Apa perlu dia datang kemari?"

   "Dialah Kapten Wiranegara komandan pengawal istana Sultan,"

   Jawab Kilatsih. Pada saat ini ia membawa surat perintah Sultan untuk menangkap Eyang Dipajaya dan sekalian merampas pedang mustika. Dialah telur busuk yang paling memuakkan!"

   Mendengar keterangan Kilatsih.

   Gagak Seta tertawa terbahak-bahak.

   Dia seorang pendekar yang berwatak angin- anginan.

   Dalam hidupnya, paling senang ia menggoda orang.

   Akan tetapi kini usianya lebih lanjut.

   Sifat liar dan keberandalannya sudah banyak berkurang.

   Namun tabiatnya yang angkuh masih melekat dalam dirinya.

   Katanya dengan tinggi hati.

   "Semalam aku tidak kenal dirimu. Itulah sebabnya aku bermurah hati terhadapmu. Tetapi kenapa engkau tak tahu terima kasih? Bahkan kini engkau memaki aku. Hm! Kau berlagak hendak merampas pedang saudara Dipajaya. Baiklah, akupun ingin merampas pedang mustika itu dari tanganmu. Hai, cucuku Kilatsih! Kembalikan pedang mustika itu kepadanya! Biar aku merebutnya secara jantan......"

   Sambil berkata demikian, ia melayangkan pandang.

   Di antara deretan pohon terdapat serumpun bambu.

   Terus saja ia memutari dan mematahkan sebatang bambu muda sebesar ibu jari kaki.

   Ia patahkan sepanjang tiga kaki dan merenggut ranting-rantingnya.

   Dalam sekejap bambu muda itu telah berubah seperti sebatang pedang.

   Kemudian disabetkan di udara seraya berkata nyaring.

   "Nah, kau gunakanlah pedang mustikamu itu! Jika engkau bisa mengalahkan pedang bambuku ini, segera aku akan bertekuk lutut dihadapanmu dan selanjutnya tak lagi aku muncul di dalam percaturan masayrakat."

   Kilatsih segera melemparkan pedang mustika yang sudah berada ditangannya tadi. Dengan hati mendongkol dan panas, Kapten Wiranegara menerimanya. Lalu berseru nyaring menegas.

   "Bagaimana bila pedang bambumu sampai dapat kutebas kutung?"

   "Kalau engkau bisa membabat kutung pedang bambuku ini, nyatakanlah aku kalah terhadapmu dan aku akan menabas kedua belah tanganku,"

   Sahut Gagak seta.

   Dia seorang pendekar yang jahil mulutnya pula.

   Meskipun tenaga saktinya terpaut jauh bila dibandingkan dengan tiga puluh tahun yang lalu, tetapi menghadapi Kapten Wiranegara sama sekali ia tidak gentar sedikitpun.

   Sebaliknya Kapten Wiranegara berpikir di dalam hati, sombong benar pendekar jembel ini! Ilmu pedangku memang terpaut jauh apabila dibandingkan dengan Letnan Suwangsa atau Letnan Mangunsentika.

   Akan tetapi aku menggengam pedang mustika yang tajam luar biasa.

   Jangan lagi sebatang bambu, selembar rambutpun apabila sampai melanggar, akan terputus sekaligus.

   Maka mustahillah apabila aku tak dapat meng-utungkan pedang bambunya.

   Memperoleh pikiran demikian dengan yakin ia berkata.

   "Baiklah! Kau seorang pendekar yang termasyhur namanya. Pastilah dapat memegang janji. Sebaliknya jika aku kalah, dengan kedua tanganku, akan mempersembahkan pedang mustika istana ini kepadamu."

   Kapten Wiranegara hendak menggunakan saat-saat yang sama sekali tak terduga.

   Demikianlah baru saja ia menutup mulutnya, lantas saja ia menikam sambil mengayunkan kakinya menendang pinggang Gagak Seta.

   Gagak Seta kini sudah berusia lanjut.

   Akan tetapi dialah seorang pendekar yang kenyang makan garam.

   Dalam hidupnya seringkali ia menghadapi manusia-manusia licin dan licik.

   Dibandingkan dengan pendekar Kebo Bangah, musuhnya yang utama, Kapten Wiranegara belum berarti apa-apa.

   Itulah sebabnya begitu melihat sambaran pedang dan gerakan kaki, ia hanya tertawa terbahak-bahak.

   "Eh! Sungguh hebat gerakanmu!"

   Begitu suaranya hilang dari pendengaran, tubuhnya berkelebat.

   Tahu-tahu ia sudah berada dibelakang punggung Kapten Wiranegara, dan menusukkan pedang bambunya.

   Keruan saja Kapten Wiranegara kaget setengah mati.

   Berbareng dengan keringat dinginnya, ia berseru didalam hati.

   "Celaka!"

   Tak sempat ia menarik pedangnya untuk menangkis. Satu- satunya gerakan yang dapat dilakukan hanyalah menyambarkan tangannya. Memang dalam hal ilmu berkelahi dengan tangan kosong dia merasa ahli. Gagak Seta tertawa berkakakkan.

   "Katanya mengadu pedang! Kenapa cakar anjing ikut usilan pula..."

   "Merah padam muka Kapten Wiranegara. Sebab kecuali sambarannya luput, ejekan Gagak Seta memanaskan kupingnya. Memang, tadi tiada suatu perjanjian, bahwa ia tidak boleh menggunakan tangannya. Akan tetapi ia menganggap dirinya seorang ternama pula. Maka ia tidak sepantasnya ia menggunakan pedang dan tangannya berbareng. Karena itu ia merasa malu. Karena malu, ia jadi mendongkol. Terus saja ia mendesak Gagak Seta dengan kalap. Pedangnya menyambar-nyambar dengan maksud menabas kutung pedang bambu pendekar jembel itu. Tidaklah ia bersusah payah melakukan tipu-tipu serangan. Asal melanggar sedikit saja sudah cukup. Akan tetapi Gagak Seta ternyata masih lincah walaupun usianya sudah lanjut. Tubuhnya berkelebatan bagaikan bayangan. Selalu saja ia dapat lolos dari sambaran pedang Kapten Wiranegara. Sekali-kali ia malah bisa mengadakan serangan balasan. Apabila ujung pedang bambunya sampai bisa meraba tubuh Kapten Wiranegara, pastilah perwira itu akan roboh terjengkang, sebab tenaga sakti Gagak Seta bukan main hebatnya, la sudah menguasai ilmu Kuma-yan Jati sampai kepuncaknya. Ilmu pedang Kapten Wiranegara memang terpaut jauh apabila dibandingkan dengan ilmu pedang Letnan Suwangsa dan Letnan Mangunsentika. Akan tetapi dalam hal membela diri, dapat ia menggerakkan pedangnya dengan lincah, seperti kitiran ia memutar pedangnya melindungi diri. Pikirnya dalam hati, kabarnya engkau seorang pendekar nomor wahid. Tetapi sekarang ingin aku tahu, bagaimana caramu bisa meneroboskan pedang bambumu. Kalau engkau sampai berani memasuki daerah lingkaran pedangku, pastilah pedang bambumu akan terbabat kutung. Kapten Wiranegara merasa diri pembelaannya sudah sempurna. Hatinya mantap dan yakin akan dapat memenangkan pertempuran itu. Akan tetapi tentu saja tak pernah terlintas dalam pikirannya, bahwa pada dua puluh tahun yang lalu Gagak Seta pernah menghadapi seorang pendekar yang sebanding dengan dirinya. Itulah sang Dewaresi, putera pendekar Kebo Bangah. Bahkan dibandingkan dengan sang Dewaresi, ilmu kepandaian Kapten Wiranegara masih kalah jauh. Maka menghadapi cara bertahan Kapten Wiranegara itu, Gagak Seta tertawa terbahak-bahak.

   "Serdadu ini perlu diberi pelajaran!"

   Kata Gagak Seta di dalam hati.

   "la percaya bahwa dengan bersenjata pedang tajam, dapat memangkas pedang bambuku. Coba, ingin aku menjajal sampai dimana himpunan tenaga saktinya?"

   Gagak Seta membenturkan pedang bambunya tatkala Kapten Wiranegara merubah tata berkelahinya dari menyerang jadi bertahan.

   Melihat berkelebatnya pedang bambu, hati Kapten Wiranegara girang bukan main.

   Terus saja ia membalikkan mata pedangnya untuk memangkas pedang bambu Gagak Seta.

   Akan tetapi ia kaget setengah mati tatkala pedangnya tiba-tiba tak dapat digerakkan lagi karena terlengket pedang bambu lawan.

   "Hai! Mengapa begini?"

   La kaget didalam hati.

   Dengan segera ia mengerahkan tenaganya untuk menarik pedangnya.

   Akan tetapi jangan lagi menarik, sedang untuk digerakkan saja tak dapat, la jadi penasaran.

   Ia mencoba dan mencoba, namun sia-sia belaka.

   Serunya terkejut lagi didalam hati, apakah manusia ini penjelmaan setan? Mengapa pedangnya bisa menghisap pedangku? Celakanya pedang bambu Gagak Seta yang ringan itu mendadak saja terasa menjadi berat.

   Tidak lagi seberat pedang biasa akan tetapi ia merasa seperti tertindih sebongkah batu yang mempunyai berat tiga atau empat ratus kilogram.

   Keruan saja keringatnya merembes keluar membasahi seluruh tubuhnya.

   Dengan mengerahkan seluruh sisa-sisa tenaganya ia mencoba bertahan sedapat-dapatnya.

   Sadarlah dia bahwa himpunan tenaga sakti pendekar Gagak Seta benar-benar dahsyat dan tak dapat diukur lagi betapa tingginya.

   * "Sekarang bagaimana?"

   Tanya Gagak Seta.

   "Kau masih sayang kepada jiwamu atau tidak? Cobalah berkata terus terang kepadaku!"

   Menurut j kata hatinya, Kapten Wiranegara mendongkol bukan kepalang. Akan tetapi ia harus menginsyafi kenyataannya. Maka dengan mengatupkan giginya ia menyahut sengit.

   "Baiklah! Aku kalah. Dengan ini aku menyerahkan pedang mustika ini kepadamu...."

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja ia mendorongkan pedangnya.

   Itulah suatu gerakan di luar dugaan.

   Jarak antara ujung pedang dan dada pendekar Gagak Seta sangat dekat.

   Maka tiada kesempatan lagi bagi pendekar Gagak Seta itu untuk mengelakkan diri.

   Menyaksikan perbuatan Kapten Wiranegara yang licik itu, Kilatsih memekik karena terkejutnya.

   Akan tetapi Gagak Seta adalah seorang pendekar yang sudah kenyang menghadapi manusia-manusia yang licin dan licik.

   Karena itu ia tak menjadi kaget atau heran menghadapi perbuatan Kapten Wiranegara yang licik itu.

   la menarik pedang bambunya selagi Kapten Wiranegara mendorongkan pedangnya.

   Kemudian tangan kirinya membarengi maju.

   Tetapi sebelum pedang Kapten Wiranegara singgah didadanya, gagang pedang mustika itu sudah dapat ditangkapnya.

   Begitu cepat gerakan tangan Gagak Seta sehingga Kilatsih yang bermata tajam pun tak dapat melihat dengan jelas tipu muslihat apakah yang dilakukan tadi.

   Keruan saja ia menjadi kagum luar biasa.

   Pikirnya, pantas Eyang Gagak Seta sama termasyhur seperti Guru."

   Guru Kilatsih Adipati Surengpati, memang namanya sama termashyur dengan Gagak Seta.

   Pada zaman empat puluh tahun yang lalu tercatat tujuh orang pendekar yang merajai seluruh Kepulauan Nusantara.

   Pangeran Mangkubumi I, Kyai Kasan Kesambi, Kyai Lukman Hakim dari Cirebon, Pengeran Sambernyawa, Kebo Bangah, Adipati Surengpati dan Gagak Seta.

   Di antara tujuh pendekar itu, empat orang sudah wafat.

   Kini tinggal tiga orang saja.

   Yakni, Kyai Kasan Kesambi, Adipati Surengpati dan Gagak Seta.

   Di antara ketiga orang itu, Kyai Kasan Kesambi diakui sebagai yang berada di-tingkat atas.

   Sedangkan antara Adipati Surengpati dan Gagak Seta, belum dapat dipastikan siapa yang unggul.

   Kedua-duanya memiliki keunggulannya masing-masing.

   Beberapa kali mereka berdua pernah menguji kepandaiannya, akan tetapi hasilnya setali tiga uang.

   Maka apabila Kilatsih berkata bahwa termashyurnya nama Gagak Seta sejajar dengan gurunya, tidaklah terlalu salah.

   Setelah berhasil menangkap gagang pedang mustika, Gagak Seta tertawa lebar.

   Wajah Kapten Wiranegara menjadi merah.

   Kapten itu mendongkol berbareng malu.

   Habislah sudah kecongkakan dan keangkuhan hatinya.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Namun masih saja ia tak sudi mengalah.

   "Dengan pedang bambu, engkau berhasil merampas pedang mustikaku. Itulah tidak aneh, karena aku memang bukan seorang ahli pedang. Sekarang lihatlah, bahwa dengan tangan kosong aku akan dapat merampas kembali pedang mustika itu!"

   Mendengar kesombongan Kapten Wiranegara, Gagak Seta tercengang. Justru dia dalam keadaan demikian, tiba-tiba Kapten Wiranegara menyerang dengan kedua belah tangannya.

   "Hai! Benar-benar engkau tidak tahu malu!"

   Maki Kilatsih dari kejauhan. Gadis itu mendongkol dan muak menyaksikan kelicikan perwira itu. Gagak Seta mundur sambil tertawa lebar.

   "Angger Kilatsih! Biarlah dia kuberikan kesempatan untuk memperlihatkan kepandaiannya. Kalau tidak demikian, ia akan mendongkol selama hidupnya."

   Setelah berkata demikian kepada Kilatsih, ia berputar menghadap Kapten Wiranegara.

   "Kapten yang terhormat! Engkau begitu yakin akan ilmu kepandaianmu berkelahi dengan tangan kosong. Sebenarnya engkau hendak menggunakan ilmu sakti macam apakah?"

   Kapten Wiranegara tidak sudi menjawab pertanyaan pendekar Gagak Seta.

   la justru mempergunakan saat sebaik- baiknya selagi pendekar itu membuka mulutnya.

   Dengan gegap gempita ia menyerang saling menyusul.

   Memang, Kapten Wiranegara mempunyai keistimewaan.

   Yakni, menggunakan delapan bagian ilmu kepandaiannya untuk menyerang lawan selagi tidak berjaga-jaga.

   Biasanya dengan tipu muslihat itu, ia selalu berhasil hanya saja kali ini ia menumbuk batu.

   Dengan lincah Gagak Seta melayani tanpa mengadakan pembalasan sedikit pun.

   Pendekar itu malahan berkata.

   "Baiklah! Rupanya engkau memiliki berbagai ilmu pukulan tangan kosong Esmu Gunting, Lembu Sekilan, Aji Gineng, Brajamusti dan segala cakar ayam. Aku pengemis tua paling senang menerima makanan campur baur. Mari...mari... Biarlah aku melayani agar hatimu menjadi puas."

   Berkata demikian tubuh Gagak Seta berkelebat.

   Dengan tiba-tiba saja ia telah berada di belakang punggung Kapten Wiranegara, dan dalam pada itu pedang bambunya dilemparkan ke tanah, sedang pedang mustika rampasannya digigit di antara kedua baris giginya.

   Lalu ia menghadapi Kapten Wiranegara dengan tangan kosong pula.

   Jelas sekali bahwa ia tidak begitu sungguh-sungguh menghadapi gempuran-gempuran Kapten Wiranegara yang berbahaya.

   Dengan mudah saja ia membuyarkan dan memunahkan setiap serangannya.

   Sekiranya ia mau mengadakan serangan pembalasan, gampangnya seperti membalikkan tangannya sendiri.

   Sebaliknya Kapten Wiranegara tidak tahu diri.

   Ia menyerang berserabutan ke kiri dan ke kanan.

   Semua ilmu kepandaiannya dicurahkan untuk menghajar orang tua itu.

   Setelah sekian lamanya tetap tak berhasil, mulailah ia menggerakkan kedua kakinya.

   Hebat gerakannya.

   Kecuali sebat mengandung tenaga pukulan yang dahsyat sekali.

   Namun Gagak' Seta menganggapnya tak lebih sebagai gerakan-gerakan olah raga saja.

   Ia menyingkir setiap kali diserang dan mengelak apabila menghadapi gempuran.

   Dalam sekejap mata saja lima puluh jurus telah lewat.

   Keruan saja hati Kapten Wiranegara menjadi panas berbareng cemas.

   Maklumlah, belasan tahun lamanya, ia menjagoi kalangannya sendiri.

   Dalam setiap perkelahian ia selalu memperoleh kemenangan.

   Hanya satu kali saja ia nyaris mati tatkala menghadapi Sanjaya.

   Sekarang ia berhadaphadapan dengan pendekar Gagak Seta, dan merasa diri mati kutu.

   Namun ia merasa tak puas.

   "Kau memang hebat dan lincah. Tetapi tak berani menerima pukulanku. Sungguh memalukan sekali."

   Tentu saja Gagak Seta tahu akan maksudnya Kapten itu mencoba membakar hatinya. Karena itu ia tertawa terbahak- bahak.

   "Eh, Kapten yang baik hati! Kau bisa melawan aku sampai lima puluh jurus lebih. Hal itu terjadi karena aku bersikap mengalah terhadapmu. Kalau aku mau membalas, dalam satu gebrakan saja kau akan menjadi lima belas potong. Kau percaya, tidak?"

   Gagak Seta berbicara di antara gigi-giginya yang menggigit pedang mustika.

   Keruan saja tidak terdengar jelas.

   Karena berbicara dadanya tak terlindung pula.

   Inilah kesempatan bagus bagi Kapten Wiranegara.

   Perwira yang licin dan licik itu terus saja melompat dan menghantamkan tangannya ke arah dada.

   Serunya dengan suara pasti.

   "Naaah rasakan bogem ini!"

   Kedua tangan Kapten Wiranegara bergerak dengan berbareng.

   Tangan kirinya berada di depan dan tangan kanannya menyusul.

   Akan tetapi yang menyerang adalah tangan kanannya itu.

   Lagi-lagi ia menggunakan serangan dengan tipu daya, untuk mengelabui lawan.

   Selagi Gagak Seta berbicara ia mempergunakan kesempatan itu sebagus-bagusnya.

   Kelima jari-jari tangannya terbuka dan menyengkeram dada.

   Inilah cengkeraman maut yang mengancam.

   Kalau sampai mengenai sasarannya, maka Gagak Seta akan melontarkan darah hitam dan jantungnya akan rontok.

   Menyaksikan ancaman bahaya itu lagi-lagi Kilatsih terkejut, la tak mengerti apa sebab Gagak Seta begitu lengah sampai membiarkan dadanya tidak terlindung.

   Setiap orang tahu, berkelahi sambil berbicara sangat membahayakan diri.

   Mengapa Gagak Seta pendekar yang namanya termasyhur di seluruh persada bumi ini masih bisa lengah.

   Tatkala itu serangan tangan Kapten Wiranegara tepat sekali mengenai sasarannya.

   Akan tetapi sebelum jari-jarinya menyentuh dada, tiba-tiba ia menjerit tinggi kesakitan, karena pada saat itu tangan Gagak Seta tiba-tiba menyentil.

   "Taak!"

   Dan jari-jari tangan Kapten Wiranegara patah dengan sekaligus.

   "Aduuh!"

   Jerit Kapten Wiranegara sambil melompat mundur. Gagak Seta tidak memburu. Lagi-lagi ia tertawa lebar.

   "Kau terhitung hebat juga Kapten yang terhormat! Kau bisa tahan menerima sentilan jariku. Karena itu, kau kuampuni jiwamu. Semenjak tadi kalau aku mau tubuhmu akan menjadi limabelas potong apabila kena pukulan sekali saja. Kau tak percaya? Biarlah sekali lagi aku mempertontonkan ilmu pukulanku yang tak keruan ini. Kau pernah mendengar nama ilmu Kumayan Jati?"

   Kapten Wiranegara sedang kesakitan.

   Ia tak menggubris ucapan Gagak Seta yang bernada sombong, la mendongkol dan dengki sambil meringis melawan rasa sakitnya.

   Pada saat itu, Gagak Seta meliukkan tangannya kemudian menyodok sebongkah batu yang berada di seberang jalan.

   Itulah bongkahan batu tempat duduk Kapten Wiranegara tadi melepaskan rasa lelahnya.

   Besarnya empat pelukan tangan.

   Tetapi kena sodokan ilmu Kumayan Jati Gagak Seta, seketika itu juga hancur berderai bagaikan tepung.

   Keruan saja Kapten Wiranegara kaget bukan kepalang.

   Mimpi pun tak pernah bahwasanya seorang yang terdiri dari darah dan daging bisa menggempur batu sebesar itu dari kejauhan menjadi tumpukan tepung.

   Sekarang ia benar-benar merasa takluk.

   Tidak menunggu lagi Gagak Seta membuka mulutnya, ia menubras-nubras bagaikan diuber setan.

   Sebentar saja tubuhnya lenyap dibalik gundukan-gundukan tanah.

   Kilatsih tak terkecuali terperanjat pula.

   Memang ia mendengar kabar, bahwa gurunya memiliki pukulan-pukulan dahsyat pula.

   Akan tetapi selama berguru padanya, belum pernah ia melihat sekali juga.

   Sekarang ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, betapa hebat tenaga sakti ilmu Kumayan Jati yang menjadi andalan pendekar Gagak Seta.

   Ternyata bukan bualan kosong belaka.

   "Belasan tahun yang lalu Guru dan Eyang Gagak Seta ini pernah mengadu ilmu andalannya masing-masing. Hasilnya tiada yang kalah dan menang. Kalau guru bisa bertahan menghadapi pukulan yang dahsyat. Bagaimana cara perlawanannya, sayang, aku bakalan tak menyaksikannya lagi."

   Dalam pada itu, Gagak Seta telah menghampiri Kilatsih dengan tertawa lebar. Katanya kepada Sirtupelaheli.

   "Sirtupah! Jangkrik Dongol1) pada hari tuanya bisa mempunyai murid sebagus ini. Akhirnya ia sadar, bahwa dunia ini, tidak hanya bisa ditempati sendiri. Dia harus bisa membagi apa yang pernah diperolehnya."

   Setelah berkata demikian, ia tertawa terbahak-bahak. Berkata kepada Kilatsih.

   "Kau kini menjadi seorang gadis gede mirip Titisari. Ayundamu itu pada masa mudanya gemar pula menyamar sebagai laki-laki. Hm, apa sih enaknya jadi laki- laki?"

   Sirtupelaheli ikut tertawa pula. Ia yang gemar menyamar secara tak langsung kena sindir Gagak Seta. Gntung, selama hidupnya belum pernh ia menyamar terlalu lama sebagai seorang pemuda. Segera menyahut mendahului Kilatsih.

   "Dalam hal menyamar, anak itu, lebih betah daripadaku."

   "Benarkah begitu?"

   Potong Gagak Seta dengan tertawa.

   "Kalau benar begitu, tak usah aku mencarimu sampai puluhan tahun lamanya."

   Semenjak peristiwa peracunan murid-murid Ki Gede Rangsang, Sirtupelaheli mengenakan topeng untuk menghindari incaran aliran Gtusan Suci Gagak Seta yang memikul tugas gurunya untuk melindungi Sirtupelaheli, berusaha mencarinya.

   Tetapi sampai empat puluh tahun lebih, barulah dia mencium jejaknya.

   Semenjak itu, tak mau lagi kehilangan dirinya.

   "Ah, kenapa engkau mengungkat-ungkit peristiwa lama?"

   Sirtupelaheli tak senang hati. Kemudian menoleh kepada Kilatsih.

   "Bagaimana? Apakah engkau sudah bertemu dengan kedua kakakmu Sangaji dan Titisari? Lalu apa yang lagi dikerjakan Jaga Saradenta?"

   Seperti diketahui, Sirtupelaheli menyamar sebagai Ki Jaga Saradenta, semenjak itu, berbagai pertanyaan timbul dalam hati Kilatsih untuk mencari penjelasan. Sekarang pendekar wanita itu menyinggung persoalan Ki Jaga Saradenta. Inilah kebetulan sekali.

   "Kangmas Sangaji dan Ayunda Titisari kembali ke Karimun Jawa."

   "Eh, kenapa?"

   Sirtupelaheli dan Gagak Seta berseru dengan berbareng.

   "Mungkin sekali hendak menghadiri pesta ulang tahun Guru."

   "Ah, ya?"

   Gagak Seta menepuk pahanya. Benar-benar aku ini sudah pikun! Baiklah, aku ingin hadir dalam pertemuan itu.

   "Kecuali itu, masih ada alasan kangmas berdua yang jauh lebih penting,"

   Ujar Kilatsih.

   "Apa itu?"

   Kilatsih lantas menceritakan isi surat Sangaji dan Titisari.

   Kemudian pertemuan dengan Ki Jaga Saradenta serta pengalamannya di Magelang.

   Karena kisah itu sangat panjang, maka Gagak Seta dan Setupelaheli membawanya meneduh di bawah naungan rindang pohon, tatkala matahari mulai terasa panasnya.

   "Bagus! Orang tua itu masih semangat!"

   Seru Sirtupelaheli.

   "Dengan begitu, tak sia-sia usahaku."

   "Benar, hanya saja tak kumengerti, siapakah sesungguhnya yang mati dihalaman rumahnya,"

   Kata Kilatsih.

   "Dan apa perlu Eyang menyamar sebagai dirinya."

   Sirtupelaheli tersenyum.

   Tabiat dan sepak terjang pendekar wanita ini meskipun belum hilang seluruhnya, tapi semenjak bergaul dengan Sangaji dan Titisari terjadi banyak perubahan.

   Ia tidak lagi sekejam dan sebengis masa dahulu.

   Tidak lagi angkuh dan menyendiri.

   Terhadap orang-orang tertentu yang dianggap kalangannya sendiri, bersedialah ia membuka hatinya.

   Maka begitu mendengar pertanyaan Kilatsih, ia lantas memberi keterangan.

   "Sebenarnya, tatkala aku melihat engkau berada di Wonosobo dahulu itu, ingin aku memberi keterangan kepadamu. Akan tetapi engkau sudah kabur. Hm! engkau hampir-hampir saja membuat aku mati kutu, lantaran menyingkap penyamaranku. Untung, dia tiada hadir."

   "Dia siapa? "Dipajaya,"

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sahut Sirtupelaheli. Kilatsih tercengang dan terkejut hatinya mendengar disebutnya nama Dipajaya.

   "Apakah maksud Eyang... Dipajaya yang...."

   Gadis itu tergagap-gagap.

   "Benar. Bagaimana kau tahu?"

   Potong Sirtupelaheli.

   "Ayunda Titisari pernah menceritakan kisahnya. Bukankah Beliau..."

   Gagak Seta yang selama Sirtupelaheli membuka mulutnya berdiam diri, lantas saja tertawa riuh.

   ."Benar, itulah dia! Baiklah kuceritakan saja agar tidak berputar-putar tak keruan juntrungnya.

   Aku ini manusia yang paling tak betah mendengar omongan yang tak keruan juntrungnya."

   Ia berhenti mengesankan. Melanjutkan.

   "Tatkala engkau berada dirumah Jaga Saradenta, eyangmu Sirtupelaheli berada pula disana. Aku memancingnya keluar. Dan eyangmu Sirtupelaheli lalu membuat sulapan. Mereka yang kena dibunuhnya, terdapat seorang yang perawakan tubuhnya mirip Jaga Saradenta. Orang itu lantas didandani menjadi Jaga Saradenta oleh eyangmu ini. Jelas?"

   Kilatsih bukannya seorang gadis yang bodoh, la tahu Sirtupelaheli seorang pendekar wanita yang aneh sepak terjangnya dan pandai menyamar.

   Kalau hanya mendandani seorang menjadi Ki Jaga Saradenta bukannya merupakan masalah yang sulit baginya.

   Hanya saja dia belum mengerti jelas, apakah tujuannya yang sesungguhnya.

   "Siapakah mereka yang memusuhi Eyang Jaga Saradenta?"

   "Itulah anjing-anjing begundal Daniswara yang dahulu pernah mencoba-coba menggertak aku agar memperoleh keterangan perkara surat rahasia Titisari,"

   Jawab Gagak Seta.

   "Pemuda itu besar angan-angannya. Hal inilah yang justru menarik hati eyangmu Sirtupelaheli."

   Seperti Daniswara, Sirtupelaheli berangan-angan ingin memperoleh pusaka Bende Mataram yang berada ditangan Sorohpati.

   Akan tetapi berkat campur tangan Gagak Seta, baik Daniswara maupun Sirtupelaheli gagal mencapai angan- angannya itu.

   Sekarang tidak lagi Sirtupelaheli sudi menjadi hamba- hambanya kaum Utusan Suci yang membuat dirinya bersengsara sampai pula menyusahkan guru dan sekalian saudara seperguruannya yang kasih sayang padanya.

   Sebab dengan bantuan Gagak dan Sangaji, sanggup ia menentang kaum Utusan Suci apabila sewaktu-waktu datang kepadanya.

   Bukankah Sangaji pernah membuat duta Utusan Suci lari tunggang langgang? Karena itu, tak perlu ia takut lagi.

   Sirtupelaheli seorang pendekar wanita yang mempunyai rasa kesetiaan berlebih-lebihan apabila hatinya sudah bersedia mengabdi untuk kaum Utusan Suci, ia dahulu sanggup berkorban.

   Sekarang, untuk Sangaji dan Titisari, ia menyediakan jiwa raganya.

   Demikianlah setelah keluar dari Karimun Jawa, timbullah keputusannya hendak memperbaiki namanya yang rusak oleh faham aliran Utusan Suci.

   la akan berusaha memperoleh surat wasiat Titisari dengan jalan macam apapun juga.

   Maka teringatlah dia kepada Daniswara.

   Segera ia mengikuti sepak terjang pemuda itu.

   "Yang perlu kujaga kini, hanyalah terhadap Dipajaya."

   Pikirnya didalam hati. Demikianlah, ia menyamar sebagai Ki Jaga Saradenta. Dengan mengandalkan nama Sangaji untuk sementara Dipajaya pastilah tidak berani mengganggunya. Sebab Ki Jaga Saradenta adalah guru Sangaji.

   "Apakah eyang Dipajaya sampai kini masih berkeblat kepada aliran Utusan Suci?"

   Tanya Kilatsih.

   "Hanya setan yang tahu,"

   Jawab Sirtupelaheli.

   "Akan tetapi berwaspada terhadap siapapun apakah buruknya?"

   "Kalau demikian apakah dia selalu mengintip Eyang?"

   Kilatsih menegas.

   "Dipajaya mempunyai kepandaian mirip iblis. Pastilah dia mendengar kabar matinya Ki Jaga Saradenta. Setelah menyelidiki segera ia tahu, bahwa yang mati bukan Ki Jaga Saradenta. Maka dia akan mengintip gerak-gerikku. Dan pada saat itu eyangmu Gagak Seta akan muncul. Bukankah ini suatu rencana yang bagus? Sayang sekali engkau menggagalkan rencanaku. Dengan tersingkapnya penyamaranku tidak saja aku tak dapat bekerja sama dengan Daniswara tetapi pun bukan merupakan rahasia lagi terhadap Dipajaya. Pastilah di antara orang yang hadir pada waktu itu, terdapat salah seorang pengikutnya. Sebenarnya hal inipun sudah diketahui olehnya, tatkala aku menyeberang ke Karimun Jawa. Hanya saja aku merasa pasti, bahwa dia belum mengetahui diriku menyamar sebagai apa. Meskipun demikian, akupun sadar tentang kecermatan Dipajaya. Maka aku perlu bersembunyi dahulu, sebelum dia menemukan diriku. Karena eyangmu Gagak Seta waktu itu berada di Jawa Timur. Beberapa pekan yang lalu, barulah aku dapat berjumpa dengan eyangmu Gagak Seta. Kami berdua lantas memutuskan hendak mencari Dipajaya, agar urusan ini cepat selesai."

   "Sebenarnya, Eyang tidak perlu bersembunyi demikian,"

   Kata Kilatsih dengan tersenyum.

   "Karena Eyang Dipajayalah yang perlu bersembunyi terhadap intipan eyang berdua."

   "Kau berkata apa?"

   Seru Sirtupelaheli.

   "Sebab, pada saat ini dia sudah mene- t mukan surat wasiat ayunda Titisari, yang dahulu dititipkan kepada ayah angkatku,"

   Jawab Kilatsih dengan suara meyakinkan.

   Mendengar keterangan Kilatsih, Sirtupelaheli kaget sampai berjingkrak, ia berpaling kepada Gagak Seta mencari keyakinan.

   Gagak Seta sendiri seorang pendekar yang sudah berpengalaman dan memiliki pra-rasa yang tajam sekali.

   Tak mudah seseorang mengingusi dirinya.

   Kebo Bangah seorang yang maha licin dahulu, tak dapat berbuat terlalu banyak terhadapnya.

   Tapi kali ini mendengar suara Kilatsih dan melihat gerak-geriknya segera ia tahu, bahwa gadis itu mempunyai alasan yang berdasar.

   "Apakah kakakmu Sangaji atau ayun-damu Titisari yang memberi keterangan ini?"

   "Bukan,"

   Jawab Kilatsih.

   "Kalau bukan mereka berdua, lantas siapa?"

   "Ayah angkatku, Sorohpati."

   Setelah berkata demikian.

   Kilatsih lantas menceritakan ingatannya tatkala tujuh tahun yang lalu dibawa ayah angkatnya memenuhi tantangan gerombolan Kartawirya di Kota Waringin.

   Dalam persambungan yang menentukan, Sorohpati selalu menitik beratkan Duapuluh meter didepannya, berdiri seorang laki-laki awut- awutan dan mendampingi seorang perempuan bersenjata tongkat.

   Perempuan ini berusia melebihi limapuluh tahun.

   Akan tetapi wajahnya nampak cemerlang dan segar-bugar.

   pada kata-kata seratus kali jurus.

   Itulah kata-kata tantangan terhadap Brajabirawa.2) Setiap kali bergebrak selalu saja ia mencari alasan untuk bisa mengulangi kata-kata seratus jurus itu.

   Akhirnya dalam suatu kesempatan, dapatlah ia memberi pesan yang agak jelas.

   Dan dengan pentunjuknya itu, rumah Dipajaya dapat diketemukan kemarin petang.

   "Tapi bagaimana engkau dapat mengambil kesimpulan bahwa surat wasiat Titisari berada ditangannya?"

   Tukas Sirtupeleheli dengan bernapsu.

   "Itulah pedang mustika yang kini berada ditangan Eyang Gagak Seta."

   "Ah!"

   Seru Gagak Seta tercengang.

   "Apakah pedang ini milik Dipajaya?"

   "Benar,"

   Sahut Kilatsih. Gadis itu lantas menceritakan bagaimana mula-mula pedang mustika itu bisa berada ditangan Kapten Wiranegara. Mendengar tutur kata Kilatsih, Gagak Seta tertawa terbahak-bahak.

   "Memang mengherankan sekali, orang berkepandaian seperti dia, bisa merampas pedang mustika dari tangan Dipajaya,"

   Kata Gagak Seta.

   "Semalam secara kebetulan aku melihat kapten itu, menghunus pedang ini. Aku menaruh curiga, karena pedang demikian tidaklah pantas berada di tangan seorang anjing Belanda. Hanya karena kurang jelas, aku hanya menggiringnya saja."

   "Kau kini sudah tahu letak rumah Dipajaya,"

   Tukas Sirtupelaheli kepada Kilatsih.

   "Coba tunjukkan padaku, dimana dirumahnya?"

   "Tak jauh dari sini,"

   Sahut Kilatsih.

   "Hanya yang kukhawatirkan, jangan-jangan dia tiada berada lagi di dalam rumahnya. Sebab peristiwa pedang mustika ini, nampaknya menyakitkan hatinya."

   "Hm,"

   Dengus Sirtupelaheli.

   "Jadi dia kini sudah mempunyai beberapa murid baru lagi? Bagus! Ingin aku coba sampai dimana kepandaian murid-muridnya. Kalau sudah, barulah aku mencari Letnan Suwangsa."

   "Letnan Suwangsa!"

   Kilatsih heran.

   "Benar. Dia pun murid Dipajaya. Apakah engkau baru mengerti?"

   Kilatsih terlongong-longong. Pikirnya, pantas ilmu pedangnya hebat. Namanya ter-mashyur sebagai seorang ahli pedang tak terkalahkan. Kalau muridnya saja sudah demikian hebat, apalagi gurunya...."

   Tetapi satu hal yang tak dimengerti gadis itu, apa sebab Sirtupelaheli agaknya berdendam terhadap Dipajaya.

   Padahal, menurut ayundanya Titisari, mereka berdua dahulu pernah menjadi suami-istri.

   Gadis itu tak dapat menjangkaukan pengertiannya, bahwa Sirtupelaheli merasa hidup sengsara setelah Dipajaya menantang minum racun terhadap murid- murid Ki Gede Rangsang, guru berbareng ayah angkatnya yang kasih sayang padanya.

   Karena gara-gara itu, enam murid Ki Gede Rangsang tewas dan Ki Gede Rangsang lantas menghilang tiada kabar beritanya lagi.

   "Aku pun ingin bertemu dengan Eyang Dipajaya,"

   Kata Kilatsih kemudian.

   "Tadi telah kukatakan, bahwa surat rahasia ayunda Titisari, berada ditangannya. Hal itu disebabkan pesan ayah angkatku tentang kata-kata seratus jurus. Apakah eyang berdua tak dapat memberi keterangan kepadaku?"

   Gagak Seta dan Sirtupelaheli saling memandang.

   MELANGGAR PANTANGAN TERHADAP DIPAJAYA, Gagak Seta agak bersegan-segan, mengingat perhubungannya dengan Sirtupelaheli.

   Meskipun pada saat itu ia mempunyai pendapatnya sendiri, akan tetapi segan untuk mengemukakan.

   Sebaliknya Sirtupelaheli nampak mengerutkan keningnya.

   Pandang matanya guram.

   Gntuk beberapa saat lamanya, mereka bertiga membungkam mulut dengan pikirannya masing-masing.

   Gagak Seta seorang pendekar yang paling tak betah berada dalam ketegangan.

   Lantas saja berkata kepada Sirtupelaheli.

   "Sirtupah! Kalau engkau mempunyai pendapat, berilah keterangan kepadanya."

   "Kau sendiri bagaimana dengan pedang itu?"

   Sirtupelaheli membalas perkataan Gagak Seta dengan suatu pertanyaan.

   "Ah, benar! Aku pengemis tua membawa-bawa pedang mustika bukankah mempersulit diri?"

   Sahut Gagak Seta dengan tertawa lebar.

   "Pedang ini harus berada ditangan pemiliknya yang cocok. Aku sendiri tukang ngalap ayam. Masakan perlu membawa-bawa pedang segala."

   Kilatsih tertawa.

   "Bagaimana, kalau aku yang mempersembahkan kepada Eyang Dipajaya?"

   "Jangan!"

   Cegah Sirtupelaheli.

   "Hal itu akan membuat dirinya sedih saja. Aku menghendaki dia berada dalam keadaan segar bugar sebelum bertanding melawan diriku."

   "Lantas bagaimana baiknya?"

   Gagak Seta minta keputusan.

   "Berikan saja kepadaku!"

   Tiba-tiba Kilatsih memberanikan diri.

   "Aku akan mencarikan majikannya yang tepat."

   "Kau benar,"

   Gagak Seta segera menyetujui.

   "Apakah hendak kau serahkan kepada Taru-pala murid Dipajaya yang kau ceritakan tadi?"

   Wajah Kilatsih mendadak terasa panas. Buru-buru ia menjawab.

   "Tidak akan kuberikan kepadanya."

   "Baiklah semuanya terserah kepadamu,"

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ujar Gagak seta. Dan ia menyerahkan pedang mustika kepada Kilatsih. Sekarang, marilah kita berangkat mencari Dipajaya."

   Desak Sirtupelaheli.

   "Kilatsih, kau berjalanlah di depan. Kami berdua akan mengikutimu. Syukur, engkaupun bisa bertemu dengan Letnan Suwangsa. Dengan begitu, kita bisa melenyapkan dua bisul sekaligus."

   Bertiga mereka berjalan selintasan, kemudian berpisah mengambil jalannya masing-masing.

   Setelah berada seorang diri, Kilatsih memeriksa pedang mustika yang kabarnya milik Sri Sultan.

   Pada hulu pedang terdapat huruf Jawa terukir rapi bunyinya.

   Kyai Ageng Singkir.

   Begitu terhunus dari sarungnya samar-samar nampaklah sinar ungu terpantul cahaya matahari.

   Melihat pedang itu teringatlah dia kembali kepada teka-teki seratus jurus.

   Katanya di dalam hati,untuk surat wasiat ayunda Titi-sari, Ayah mengorbankan jiwanya.

   Gntuk pedang ini pula seseorang berani membeli dengan jiwanya.

   Pedang dan surat wasiat ayunda Titisari berada di tangan Eyang Dipajaya.

   Sekarang Eyang Dipajaya dengan rela menyerahkan kepada Tarupala.

   Kalau begitu pastilah dia mempunyai andalan lain yang jauh lebih tangguh daripada pedang ini.

   Apalagi kalau bukan surat wasiat ayunda Titisari.

   Tetapi membuktikan bahwa surat wasiat ayunda Titisari berada ditangannya, sangatlah sukar.

   Aku hanya mempunyai petunjuk teka-teki seratus jurus.

   Eyang Sirtupelaheli maupun Eyang Gagak Seta bersikap diam.

   Beliau berdua nampaknya menyembunyikan sesuatu.

   Apakah perlu mencari keyakinan dulu? Baiklah, moga-moga aku bisa dipertemukan dengan Eyang Dipajaya."

   Belum lama Kilatsih melarikan kudanya, tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda datang dari arah belakang.

   Lantas saja ia menoleh.

   Sepasang muda mudi melarikan kudanya mengarah kepadanya.

   Segera ia mengenal mereka.

   Merekalah Prajaka Sin-dungjaya dan Antariwati.

   Karena di antara mereka tiada Tarupala maupun Letnan Suwangsa, hati Kilatsih menjadi lega.

   Lantas saja ia memutar kudanya menyambut kedatangan mereka.

   "Nah, bukankah benar apa yang kukatakan tentang dia?"

   Kata Antariwati kepada Prajaka Sindungjaya sambil menuding Kilatsih.

   Paman tidak menghendaki kehadirannya.

   Gntung saja kita tidak mempersilakannya memasuki rumah perguruan kita.

   Kalau sampai terjadi demikian, pastilah Paman akan memaki- maki kita berdua."

   Karena suara Antarimati terbawa angin, Kilatsih dapat mendengar ucapannya dengan jelas.

   Ia tertawa pahit karena tak tahu apa yang hendak dikatakan kepada mereka, untuk mencari keterangan tentang Dipajaya.

   Tatkala Prajaka Sindungjaya dan Antari-wati telah berada dekat dengannya, tiba-tiba Antariwati berseru heran.

   "Apa? Engkau seorang wanita?"

   Kilatsih terkejut.

   Buru-buru ia memeriksa dirinya.

   Segera ia terkejut karena ujung rambut didekat kupingnya tersembul keluar.

   Entah semenjak kapan ikat kepalanya terbuka miring.

   Mungkin sekali tatkala kena sambaran tangan Kapten Wiranegara atau terbentur batu-batu tempat persembunyiannya tadi.

   Tetapi justru ia dikenal sebagai seorang gadis, sikap Antariwati lantas saja berubah.

   Gadis itu lantas mengerti mengapa Kilatsih bersikap terlalu ramah kepadanya.

   Dalam pada itu Kilatsih telah memperoleh ketenangannya kembali.

   Ia tersenyum.

   Berkata dengan suara manis.

   "Adik! Kau ambillah pedang pamanmu ini!"

   Antariwati girang, la kenal pedang pamannya. Karena perhatiannya terpancang kepada pedang mustika itu, lupalah ia menegas kepada Kilatsih seorang pria atau wanita.

   "Kenapa pedang paman bisa berada di-tanganmu?"

   "Janganlah engkau bertanya melit-melit! Kau terima saja pedang ini!"

   Jawab Kilatsih.

   "Kau anggap saja bahwa dengan ini, aku mempersembahkan sesuatu untukmu. Sekarang ini pamanmu dalam keadaan duka cita. Kukira engkau perlu mendampingi untuk menghiburnya. Karena itu carilah dia secepat mungkin. Adik Antariwati, baik-baiklah engaku merawat pamanmu itu. Kau harus bisa membesarkan hatinya, agar Beliau menjadi lega."

   Kilatsih berbicara dengan sungguh-sungguh, sehingga Antariwati tergerak karenanya. Lenyaplah rasa curiga dan permusuhannya.

   "Terima kasih! Bukankah engkau ingin bertemu? Mari kita bertiga menghadap padanya!"

   "Pamanmu dalam keadaan duka cita. Bagaimana nanti kalau menegur aku?"

   Kilatsih mencoba. Antariwati mencibirkan bibirnya.

   "Hal itu tergantung pada peruntunganmu. Akan tetapi apabila engkau bisa memberi keterangan tentang pedang mustika ini, mungkin sekali Paman akan bisa menerimamu dengan hati terbuka...."

   Kilatsih menimbang-nimbang sebentar.

   "Kalian berdua berangkatlah dahulu. Biarlah aku menyusul saja nanti dibelakang...."

   Antariwati hendak membuka mulutnya, akan tetapi pada saat itu Prajaka Sindung-jaya menarik lengannya seraya berkata mengajak.

   "Itulah usul yang baik sekali. Mari kita menyusul Guru dipesanggrahan!"

   "Pesanggrahan?"

   Kilatsih menegas. Prajaka tersenyum mengangguk.

   "Benar! Kira-kira lima kilometer dari sini terdapat pesanggrahan Guru yang berada di kaki bukit itu! Ikuti saja kami berdua!"

   Setelah berkata demikian, segera ia mendahului memutar kudanya.

   Kemudian bersama Antariwati ia mengaburkan tunggangannya mengarah ke bukit.

   Sebentar saja mereka berdua telah lenyap dari penglihatan.

   Diam-diam Kilatsih menghela napas.

   Pikirnya di dalam hati, Prajaka Sindungjaya nampak ketolol-tololan akan tetapi sebenarnya lebih tenang daripada Tarupala.

   Penglihatannya tajam.

   Sebagai seorang gadis, mengertilah ia sekarang, apa sebab Antariwati memilih Prajaka Sindungjaya sebagai kekasihnya daripada Tarupala.

   Dan justru ia dihinggapi oleh pikiran demikian, teringatlah dia kepada nasibnya sendiri.

   Dimanakah Widiana Sasi Kirana kini berada? Kilatsih mendongak ke langit.

   Matahari tengah merangkak- rangkak makin lama makin tinggi kelihatan memerah.

   Segera ia menundukkan kepalanya kembali dan membuang penglihatannya kepada mahkota daun yang serba hijau.

   Hal itu benar-benar indah.

   Di antara langit biru terlihat burung- burung beterbangan.

   Pada detik itu ia sadar akan dirinya lantas saja ia melanjutkan perjalanan mengikuti arah kaburnya Prajaka Sindungjaya dan Antariwati.

   Tiba-tiba dilihatnya sinar api meletik di udara ia terkesiap.

   Sebagai murid Adipati Surengpati, tahulah dia letikan api yang terlihat itu pastilah merupakan suatu tanda bahaya bagi golongan tertentu untuk meminta bantuan.

   Siapakah yang berada dalam bahaya? Buru-buru ia melecut kudanya dan Megananda melesat bagaikan anak panah.

   Prajaka Sindungjaya dan Antariwati melihat pula letikan api itu.

   Tiba-tiba saja wajah mereka berdua menjadi pucat lesi.

   Seru Antariwati dengan suara bergemetar.

   "Bukankah ini sinar tanda bah&ya Kangmas Tarupala?"

   Prajaka Sindungjaya tercengang.

   "Di sekitar daerah ini siapakah yang sanggup melawan Kangmas Tarupala? Dalam ilmu pedang, dia mewarisi hampir seluruh kepandaian Guru. Bahkan Kangmas Letnan Suwangsa sendiri belum tentu dapat menandinginya."

   "Aku heran,"

   Sahut Antariwati.

   "Pesanggrahan Paman berada dibukit itu pula! Siapakah yang berani mencoba-coba mengganggu kedamaian pesanggrahan Paman?"

   Dengan melarikan kudanya, mereka tiba di kaki bukit.

   Sadar akan bahaya yang mengancam, mereka turun dari kudanya.

   Kemudian mendaki bukit dan berjalan memutar.

   Mereka belum bisa dikatakan sudah mencapai taraf ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi dalam hal kegesitan melebihi orang lumrah.

   Sebentar saja sampailah di tengah perjalanan.

   Sekonyong-konyong mereka merasa tertiup angin halus yang membawa harum bunga segar.

   Entah apa sebabnya hati mereka mendadak saja menjadi rawan.

   "Inilah bau harum kegemaran Guru!"

   Seru Prajaka Sindungjaya di dalam hati.

   "Agar selalu mencium bau harum ini, Guru telah membuat ramuannya sendiri."

   Antariwati mencium harum bunga itu pula. Terus saja berkata.

   "Inilah harum wangi-wangian Paman. Mari kita menyusul. Apakah Paman lagi terbenam dalam semedi sehingga membiarkan Kangmas Tarupala dalam bahaya? Siapakah yang berani mengganggu ketentraman Paman?"

   Dalam hal kelancaran berpikir, Prajaka Sindungjaya kalah jauh dengan Antariwati.

   Maka begitu mendengar keterangan Antariwati bahwa gurunya berada di dalam Pesanggrahan, hatinya menjadi lega.

   Hilanglah rasa takutnya.

   Seperti berlomba, ia lantas melebarkan langkahnya mendaki bukit dan menujukepesanggrahan.

   Segera mereka tiba di hutan bambu.

   Dan bau harum yang dikenalnya itu makin tercium tajam sekali.

   Mereka berdua sering sekali berada dipesanggrahan gurunya.

   Hanya kali ini mereka tidak melalui jalan yang sering diambahnya.

   Tadi mereka mengambil jalan memutar.

   Melihat hutan bambu itu, mereka tiba-tiba merasa asing.

   "Kangmas Prajaka, benarkah engkau pernah melihat hutan bambu ini?"

   Seru Antariwati.

   "Belum pernah aku melintasi wilayah ini. Hutan bambu ini nampaknya teraling-aling sebuah gundukan yang berada di seberang pesanggrahan kita."

   Prakjaka Sindungjaya menduga- duga.

   "Heran! Kenapa sama sekali tidak terdengar beradunya senjata?"

   Antariwatipun heran. Hatinya mendadak menjadi curiga. Setelah menghunus pedangnya, segera ia meloncat kedalam gerombolan rumpun bambu.

   "Adik! Hati-hati! Agaknya di sini bermukim seorang yang berilmu tinggi. Jangan engkau sembarangan bergerak!"

   Sindung-naya memperingatkan, tapi seruannya telah kasep.

   Tatkala ia ingin menyambar tangan Antariwati, tidak keburu lagi.

   Pada saat itu Antariwati sudah berada di seberang rumpun bambu tersebut.

   Berbareng dengan gerakan Antariwati.

   Terdengar tertawa dingin disusul bentakan.

   "Lepaskan pedangmu!" . Itulah suara bentakan seorang wanita. Antariwati terkejut. Pedangnya seperti tergeser dan tubuhnya menjadi limbung. Hampir saja ia roboh tersungkur. Syukurla ia sudah cukup berlatih, sehingga pedangnya tak terlepas dan tubuhnya juga tidak roboh. Tatkala berpaling, Prajaka Sindungjaya sudah berada didekatnya. Wajahnya berubah hebat seperti dirinya juga. Pemuda itupun mendengar bentakan.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lepaskan pedangmu pula!"

   Terasa kesiur angin tajam menggeser pedangnya.

   Akan tetapi ia lebih tangguh dari pada Antariwati.

   Tidak sampai ia terhuyung mundur.

   Hanya saja tatkala itu mendadak ia melihat berkeredepnya senjata bidik.

   Buru-buru ia mengelak sambil menangkis.

   Ia heran bukan main.

   Akhirnya kaget setengah mati tatkala melihat bahwa senjata bidik itu ternyata daun bambu yang ujungnya tajam seperti bekas diraut.

   Karena serangan itu lengan bajunya berlobang dibeberapa tempat.

   Melihat senjata bidik tersebut Prajaka Sindungjaya tidak hanya terkejut akan tetapi bergidik pula.

   Gurunya dahulu pernah menceritakan tentang senjata bidik demikian.

   Senjata bidik yang terdiri dari daun bambu, bukan main bahayanya.

   Sekali melukai orang seketika orang itu akan mati.

   Untuk pertama kali inilah ia melihat senjata bidik yang istimewa itu.

   Seorang yang berkepandaian dangkal tidak mungkin bisa melepaskan daun bambu menjadi senjata bidik setajam belati.

   Sewaktu Prajaka Sindungjaya berpaling pada pedang antariwati, kembali ia menjadi heran.

   Mata pedang gadis itu seperti tertambat daun bambu.

   Itulah aneh, mengingat ketajaman pedang Antariwati, yang dapat digunakan memapas besi.

   Akan tetapi daun-daun bambu itu dapat membabatnya dengan tak kurang suatu apa.

   Inilah suatu tanda bahwa pembidiknya mempunyai suatu tenaga sakti demikian rupa sehingga dapat merubah daun-daun bambu melebihi keuletan besi.

   Kemudian terdengarlah helaan napas dibalik rumpun bambu.

   Itulah helaan napas yang menyatakan rasa kagum terhadap kepandaian Prajaka Sindungjaya dan Antariwati.

   Prajaka Sindungjaya tahu diri.

   Lantas saja ia berkata dengan suara merendah.

   "Kami berdua Prajaka Sindungjaya dan Antariwati.

   Secara kebetulan saja kami lewat di sini.

   Sama sekali tak tahu bahwa hal ini melanggar kedaulatan tuan.

   Perkenankan kami berdua mohon maaf sebesar-besarnya."

   Prajaka Sindungjaya belum melihat dengan siapakah pembidik daun-daun bambu tadi.

   Mengingat suara bentakannya.

   Pastilah dia seorang perempuan.

   Akan tetapi tenaga dahsyatnya adalah tenaga himpunan sakti seorang pria.

   Itulah sebabnya ia menyebut dengan sebutan tuan.

   Pada saat itu terdengar bentakan lagi dari balik rumpun bambu.

   "Apakah kamu berdua murid Dipajaya? Baik, kamu berdua boleh masuk!"

   "Maaf!"

   Sahut Prajaka Sindungjaya dengan hormat.

   Dengan menggandeng tangan Antariwati, ia memasuki rumpun bambu yang berada diseberangnya.

   Setelah tiba dibalik rumpun bambu itu, nampaklah lapangan terbuka didepannya.

   Dan mereka berdua menyaksikan suatu pemandangan yang sangat mengherankan hati.

   Mereka melihat kakak seperguruannya Tarupala sedang bertempur melawan seorang wanita berusia tua yang beroman cantik.

   Melihat Tarupala, Antariwati berseru girang.

   "Kangmas! Kenapa engkau berada di sini? Apakah Guru selamat?"

   Tarupala sedang bertempur mati-matian melawan wanita tua itu.

   Tak dapat ia membalas seruan adik seperguruannya.

   Ia hanya mendengus tak jelas.

   Terang sekali, bahwa ia tak berani membagi perhatian.

   Pada saat itu Kilatsih sudah berada di belakang mereka.

   Melihat siapa yang sedang bertempur seru itu, buru-buru ia bersembunyi dibalik rumpun bambu.

   Perempuan tua itu bukan lain adalah Sirtupelaheli.

   Pikirnya di dalam hati, Eyang Sirtupelaheli benar-benar galak.

   Semangat tempurnya melebihi diriku yang jauh lebih muda dari padanya.

   Boleh dikatakan belum sampai berkembang ingatanku.

   Dia sudah menghadang salah seorang murid Eyang Dipajaya.

   Alangkah keras hatinya! Pantaslah Eyang Gagak Seta bersikap meladeni.

   Yang kuherankan, mengapa Tarupala bisa berada di sini? Tarupala menggunakan pedang panjang.

   Ilmu pedangnya sama dengan ilmu pedang Antariwati yang dikenalnya.

   Hanya saja dia menang gesit dan sebat.

   Kegesitan dan kesehatannya menang berlipat kali daripada Antariwati.

   Anehnya, meskipun pedangnya digerakkan begitu hebat, sama sekali tiada terdengar kesiur anginnya.

   Inilah yang dinamakan orang ilmu pedang Mega Melayang.

   "Benar-benar hebat Eyang Dipajaya!"

   Kilatsih kagum.

   "Kalau Letnan Suwangsa tiba-tiba datang, Eyang Sirtupelaheli entah bisa tahan atau tidak?"

   Ilmu pedang Dipajaya termasyhur sejak puluhan tahun yang lalu.

   Tarupala hampirhampir mewarisi seluruh ilmu kepandaiannya.

   Akan tetapi Sirtupelaheli meskipun usianya telah lanjut masih bisa menang di atas angin.

   Sedang pendekar wanita berusia lanjut itu hanyalah bersenjata sebatang bambu yang diraut mirip pedang tajam.

   Kelihatannya ia terdesak.

   Tubuhnya terkurung sinar pedang, akan tetapi sebenarnya ialah yang lebih membahayakan jiwa Tarupala.

   Bagaimanakah Tarupala sampai bisa tersesat ke dalam hutan bambu itu? Hal itu disebabkan oleh pikirannya yang kusut.

   Setelah Dipajaya,.

   gurunya meninggalkannya, ia jadi tertegun-tegun seperti kehilangan diri.

   Dua jam lamanya ia menangis menggerung-gerung.

   Kemudian pulang ke rumah perguruan dengan kepala kosong.

   Dalam hatinya ia berharap akan bisa bertemu lagi dengan gurunya untuk menyatakan rasa duka citanya.

   Akan tetapi gurunya tiada lagi di dalam rumah perguruan.

   Segera teringatlah dia akan pesanggrahan gurunya yang terletak di atas bukit.

   Dalam hal ilmu bela diri ia mewarisi seluruh kepandaian gurunya.

   Letnan Suwangsa yang menjadi kakak seperguruannya yang tertua tidak dapat menandingi.

   Demikianlah dengan mengandalkan ilmu lari cepatnya, ia mencoba menyusul gurunya ke pesanggrahan.

   Matahari hampir mencapai titik tengah, tatkala ia tiba di hutan bambu itu.

   Nyamanlah hawa di dalam hutan bambu itu.

   pemandangannya permai pula.

   Bunga-bunga alam telah bermekaran.

   Melihat pemandangan demikian, hatinya yang sedang kusut agak terhibur.

   Sambil melambatkan jalannya ia merenguk segala keindahan yang merayap ke dalam perasaannya.

   Tiba-tiba hidungnya yang tajam mencium bau harum yang terbawa angin.

   Hatinya girang bukan main, sebab itulah bau harum yang digemari gurunya.

   Gurunya pendekar Dipajaya, kini sudah berusia tujuhpuluh tahun lebih.

   Akan tetapi ia masih gemar akan bau wewangian tertentu.

   Sebagai murid tak berani ia minta keterangan apa sebab gurunya gemar akan wangi-wangian.

   Sekarang di dalam hutan bambu itu, ia mencium bau yang dikenalnya dengan baik sekali.

   


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id

Cari Blog Ini