Ceritasilat Novel Online

Mencari Bende Mataram 19


Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 19



Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto

   

   Juga Kapten Wiranegara dan Letnan Suwangsa yang menyeret Manusama serta Sersan Martosemi.

   Seorang laki-laki berperawakan seperti Manusama, lebih kokoh dan lebih tangguh, serta pandang matanya meyakinkan orang, dengan mengangkat kedua tangannya, berkata mengguruh.

   "Hai, Manusama! Kenapa bersendau gurau tak keruan?"

   Manusama sebenarnya roboh pingsan terkena pukulan Kumayan Jati Gagak Seta.

   Tetapi entah apa sebabnya, begitu mendengar teriakan raksasa itu, mendadak saja ia tersadar kembali.

   Terus saja ia merenggutkan diri dari tangan Letnan Suwangsa.

   Kemudian mencoba berdiri dengan terhuyung- huyung.

   Begitu melihat"

   Siapa yang berdiri di hadapannya, terus saja ia menjatuhkan diri bersimpuh. Katanya seperti mohon ampun.

   "Guru! Benar-benar mereka tangguh! Pantaslah mereka berani membangkang perintah duta-duta Utusan Suci.....!"

   Letnan Suwangsa terkejut tatkala mendengar Manusama memanggil guru kepada orang itu.

   Kalau begitu, orang itu pastilah yang bernama.

   Brigu! Itulah nama kedua yang harus diingat-ingatnya dengan baik menurut pesan gurunya, Dipajaya Sebagai seorang perwira tak dapat ia bersimpuh untuk menyatakan rasa hormatnya seperti Manusama.

   la hanya berdiri tegak sambil meraba hulu pedangnya, sebagai tanda hormat.

   Brigu berandal dari Pulau Nusa Tenggara, la lahir dengan pembawaan karunia alam.

   Semenjak kanak-kanak ia telah memiliki tenaga dahsyat melebihi tenaga kerbau.

   Lalu ia diketemukan oleh salah seorang anggota aliran Utusan Suci.

   Lantas saja dipelihara dan diasuh dengan sungguh-sungguh, la diperkenankan menekuni ilmu sakti tertinggi yang tersimpan di dalam perbendaharaan aliran Utusan Suci di Pulau Lombok.

   Ilmu sakti itu bernama Raka Panamkarana.

   Nama itu menyangkut kebesaran pada zaman Pancapana, tatkala Nusantara ini diperintah oleh Sri Maharaja Pancapana Rakai Panamkarana.

   Raka artinya yang dipertuan, dan i artinya di.

   Jadi Raka i Panamkarana artinya yang dipertuan di Panamkarana.

   Panamkarana adalah nama sebuah tempat yang dipandang maha mulia dan maha tinggi, pada tahun 732 Masehi.

   Ilmu sakti Raka Panamkarana terdiri dari sembilan tataran.

   Brigu baru mencapai tujuh tataran.

   Meskipun demikian, ia merupakan tokoh tersakti di dalam aliran Utusan Suci yang berkedudukan di Pulau Lombok.

   Katakan saja, dia adalah Panglima besarnya.

   Lantaran duta-duta aliran Utusan Suci gagal tatkala hendak mengadili Sirtupelaheli dan Dipajaya, Brigu lantas diutus mendarat di Pulau Jawa.

   Karena pada waktu itu baru sampai ke tataran kelima, maka ia membutuhkan beberapa tahun lagi untuk mencapai tataran ketujuh.

   Demikianlah, begitu Manusama, menyebut guru, Sirtupelaheli yang ikut mengejar mundurnya para serdadu Letnan Suwangsa dan Kapten Wiranegara, terus saja berteriak memperingatkan kepada Manik Angkeran dan Gagak Seta.

   "Awas! Dialah Brigu!"

   Tetapi baik Manik Angkeran maupun Gagak Seta adalah manusia-manusia yang berkepala batu dan berkepala besar.

   Di dalam dunia ini selain kepada malaikat-malaikat, tidak ada yang ditakutinya.

   Mereka tidak memperoleh kesan tertentu antara nama-nama Manusama atau Brigu atau Letnan Suwangsa atau Kapten Wiranegara atau babi kudisan.

   Mereka sudah berketetapan di dalam hati hendak mengejar dan mengemplang kepala mereka semua.

   Maka sekarang pun tidak memedulikan segala hal.

   Dalam hal kecepatan berlari, meskipun sudah berusia lanjut, Gagak Seta jauh lebih mahir daripada Manik Angkeran.

   Maka dialah yang berada paling depan.

   Tetapi betapapun juga, sedikit banyak, peringatan Sirtupelaheli pastilah ada alasannya.

   Maka langkahnya jadi berayal.

   Mendadak saja Gagak Seta merasakan suatu serangan gelap yang sifatnya keras luar biasa dan datangnya sangat mengejutkan.

   Cepat ia mengerahkan himpunan tenaga saktinya untuk menangkis.

   Tangannya terasa membentur sesuatu yang dingin luar biasa.

   Ia heran dan kaget.

   Cepat-cepat ia mengelak dari dorongan tenaga yang tak kelihatan itu, dengan memiringkan tubuhnya, kemudian membalas melepaskan pukulan ilmu sakti Kumayan Jati yang menjadi andalannya.

   Itulah gerakan balasan di luar dugaan.

   Walaupun Brigu seorang tersakti di dalam kalangan Aliran Otusan Suci yang berkedudukan di Pulau Lombok, akhirnya kena hajar juga.

   Tubuhnya terangkat tinggi dan terpental.

   Sebaliknya karena menghadapi lawan tangguh pula, Gagak Seta terhuyung tiga langkah.

   Kilatsih terkejut sampai berteriak tertahan.

   Kesaktian Gagak Seta sejajar dengan gurunya, Adipati Surengpati.

   Tetapi dalam sekali gebrak saja ia dapat diundurkan sampai terhuyung tiga langkah.

   Kalau begitu lawannya kali ini jauh lebih tangguh daripada jago tua itu.

   Dalam hal ini Kilatsih salah perkiraan.

   Hal itu bukanlah disebabkan karena Brigu jauh lebih tangguh, akan tetapi lantaran usia Gagak Seta yang sudah lanjut.

   Ketahanan dan keuletan tenaga jasmaninya agak berkurang daripada masa jayanya.

   Seandainya Gagak Seta masih dalam masa jayanya dulu bertemu dengan Brigu, ia seumpama berhadapan dengan pukulan-pukulan Kebo Bangah tatkala pendekar beracun itu menjadi tak waras pikirannya akibat pukulan Sangaji.

   Masing-masing pihak, baik Brigu maupun Gagak Seta kagum dan terperanjat.

   Gagak Seta merasakan tubuhnya mendadak menjadi dingin.

   Sedang Brigu seperti kena tertimbun lahar panas yang turun dengan mendadak dari atas.

   Kedua-duanya insyaflah bahwa mereka sedang menghadapi lawan tangguh luar biasa! Gagak Seta yang periang dan berhati terbuka lantas saja tertawa terbahak-bahak.

   "Inilah rezeki besar untukku! Sebelum tulang-tulang keroposku terpendam dalam tanah, aku masih sempat bertemu dengan orang seperti engkau. Siapa engkau?"

   Brigu hanya medengus. Sama sekali tiada niatnya, hendak menjawab pertanyaan Gagak Seta. Sebaliknya Sirtupelaheli yang kini sudah berdiri di samping Gagak Seta segera memberi keterangan.

   "Dialah Brigu! Dialah orang yang sangat diagul-agulkan oleh Aliran Suci!"

   Mendengar keterangan Sirtupelaheli sepasang alis Brigu terbangun sekaligus. Bentaknya menggerung.

   "Kalau begitu engkaulah Sirtupelaheli! Ini namanya jodoh! Dengan begini tak usah aku repot-repot bersusah payah mencari persembunyianmu. Nah, sekarang serahkan nyawamu!"

   Setelah menggerung demikian dia lantas melepaskan pukulan Rakai Panamkarana yang dahsyat luar biasa.

   Buru- buru Gagak Seta maju ke depan dan menangkis dengan pukulan ilmu Kumayan Jati.

   Bress! Dan seperti tadi juga kedua-duanya merasakan akibatnya masing-masing.

   Untuk memusnahkan sisa kedahsyatannya mereka berdua lantas.

   berjungkir balik.

   Akan tetapi Brigu tidak hanya berjungkir balik saja.

   Begitu berdiri tegak, tiba-tiba saja kakinya melesat menyerang Manik Angkeran.

   Inilah gerakan yang cepat dan sebat luar biasa.

   Dalam hal pengalaman dan himpunan tenaga sakti, Manik Angkeran masih kalah setingkat atau dua tingkat dengan Gagak Seta.

   Itulah sebabnya begitu tangannya bentrok dengan tangan Brigu, ia terpental mundur tiga langkah.

   Sedang Brigu sendiri terhuyung dua langkah.

   Pada saat itu hawa dingin terasa menyerang ulu hati.

   Cepat-cepat Manik Angkeran menghimpun tenaga saktinya untuk mengadakan perlawanan.

   Namun tak urung ia menggigil juga.

   "Bagus! Engkau masih muda! Tetapi engkau sudah sanggup menerima pukulan tanganku. Pantaslah engkau sampai berani berlagak melindungi Sirtupelaheli, si siluman perempuan yang sangat besar dosanya itu! Baiklah, pada hari ini, mari kita mengambil keputusan siapa jantan dan siapa betina!"

   Tanpa menjawab, Manik Angkeran segera menggerakkan pedangnya.

   Pedangnya berkelebat mengeluarkan sinar hijau.

   Sasarannya mengarah punggung lawan.

   Brigu telah mencoba tenaga Manik Angkeran.

   Itulah sebabnya dapat ia menduga terlebih dahulu bahwa serangannya kali ini pastilah mengandung bahaya.

   Sebenarnya Manik Angkeran pun tiada berada di bawahnya.

   Maka tak berani ia memandang enteng.

   Segera ia mengelak dengan gerakan hebat sekali, kemudian kakinya melingkar menerkam tanah.

   Lantaran Manik Angkeran bersenjata, ia pun tak mau bertangan kosong.

   Sambil maju selangkah ia berseru kepada Manusama.

   "Coba, pinjam arca perunggumu!"

   Mendengar permintaan gurunya, buru-buru Manusama melemparkan arca perunggunya.

   Dengan arca perunggu itu, Brigu lantas mengadakan perlawanan.

   17 A Lanjutan TENTU SAJA CARA DIA bergebrak jauh berbeda berlainan dengan cara Manusama.

   Kalau Manusama saja sudah berkesan dahsyat, dia terlebih-lebih pula.

   Setiap gerakannya membersitkan kesiur angin tajam dan dingin luar biasa.

   Gagak Seta tentu saja tahu bahwa Brigu menang setingkat atau dua tingkat daripada Manik Angkeran.

   Akan tetapi, selamanya dia seorang pendekar angkuh.

   Tak sudi ia membantu ataupun dibantu.

   Maka ia hanya bersikap diam sambil berjaga-jaga.

   Apabila nanti Manik Angkeran ternyata tak sanggup lagi melawan barulah dia maju menggantikan.

   Dengan tongkat di tangan ia mengikuti setiap gerakan pertarungan Manik Angkeran dan Brigu.

   Kapten Wiranegara dan Letnan Suwangsa merasa memperoleh angin.

   Terus saja mereka memanggil serdadu- serdadunya balik kembali untuk mengadakan serangan baru.

   Kemudian dengan dibantu ketiga saudara seperguruannya Letnan Suwangsa mendahului menyerang maju.

   Sedang Kapten Wiranegara menghantam dari sebelah kiri dengan dibantu oleh Sersan Martosemi.

   Menghadapi serbuan mereka ini, Sirtupelaheli dan Kilatsih segera bersiaga.

   Demikianlah, dalam beberapa waktu saja, di dalam hutan bambu itu terdengarlah senjata-senjata beradu amat riuh.

   Manik Angkeran sudah dapat memperbaiki dirinya.

   Ia mulai mengenal ketangguhan lawan.

   Sekarang ia melayani dengan hati-hati.

   Pedangnya berkelebatan bagaikan lingkaran hijau yang tiada celanya.

   Sekali-kali ia menyerang dan serangannya pasti tepat menghajar arca perunggu Brigu.

   Maka terdengarlah dua kali suara nyaring dan bentrokan senjata yang memekakkan telinga bagaikan pecahnya genta gereja.

   Sebaliknya, apabila masing-masing luput membidik sasarannya, angin yang ditimbulkan memukul rumpun-rumpun bambu yang segera roboh bergemeretakan.

   Semua orang yang menyaksikan pertempuran itu kaget dan kagum luar biasa.

   Hati mereka kuncup dengan sendirinya.

   Tak berani lagi mereka maju atau mundur.

   Selagi pertarungan mencapai puncaknya, tiba-tiba muncullah dua orang yang berpakaian putih.

   Yang seorang sudah berusia lanjut, rambutnya ubanan.

   Baik jenggot maupun kumis serta alisnya sudah putih semua.

   Yang lain seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun.

   Pakaiannya putih dan gerak-geriknya halus dan wajahnya nampak agung berwibawa.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Perawakan tubuhnya tegap dan segar-bugar.

   Ia nampak kaget tatkala melihat Gagak Seta dan Manik Angker - an menghadapi seorang lawan tinggi besar.

   "Dialah yang bernama Brigu!"

   Kata orang tua yang berdiri disampingnya.

   "Dialah orang tersakti dalam kalangan aliran Utusan Suci."

   Karena orang tua itu membuka suara, Gagak Seta dan Manik Angkeran terkejut.

   Kedua-duanya merupakan pendekar- pendekar sakti pada zaman itu.

   Meskipun demikian munculnya kedua orang itu tak diketahuinya.

   Segera mereka menoleh.

   Seketika itu juga hatinya terperanjat berbareng girang.

   Karena yang muncul itu adalah Dipajaya dan Sangaji.

   "Coba... berhentilah sebentar! Pertempuran semacam ini bisa dilanjutkan lagi apabila semuanya sudah terang gamblang,"

   Seru Sangaji.

   Manik Angkeran dan Gagak Seta segera melompat mundur berjumpalitan.

   Sedangkan Brigu melompat mundur pula.

   Ia heran mendengar gelombang suara halus yang aneh sifatnya.

   Kecuali terdengar sangat jelas, mengandung perbawa mantram yang mendadak saja menyakiti urat-uran nadinya.

   Keruan saja ia terkejut dan heran.

   Dengan membelalakkan kedua matanya ia membentak hati-hati.

   "Kau... kau siapa?"

   Sangaji hendak menjawab, akan tetapi Dipajaya telah mendahului. Sahut orang tua itu.

   "Brigu! Kabar kedatanganmu telah kuterima. Akulah Dipajaya yang kau cari dan rekan disampingku ini bernama Sangaji. Barangkali kaupun mencari dia pula."

   Mendengar keterangan Dipajaya, Brigu terkejut sampai berjingkrak. Bentaknya dengan suara parau.

   "Jadi engkaulah Dipajaya? Jahanam! Kenapa engkau berendeng dengan Sangaji? Bukankah dia musuh besar kita semua?"

   Dipajaya tidak menjawab. Dia menoleh kepada Sangaji dan Sangaji lalu menjawab.

   "Aku mendengar kabar tentang dirimu. Engkau pendatang dari jauh. Kabarnya, engkau datang kemari untuk mencari diriku. Nah, sekarang engkau telah bertemu denganku. Kenapa engkau tidak segera mengenal diriku?"

   Mendengar serentetan tanya jawab itu, tidak hanya Brigu sendiri yang tercekat hatinya, tapi pun Letnan Suwangsa dan Kapten Wiranegara.

   Kedua-duanya telah mendengar nama besar Sangaji.

   Akan tetapi baru kali itulah mereka berdua melihat wajahnya.

   Dengan suara tak jelas mereka berdua ikut menimbrung.

   "Jadi kau... kau... kaukah Sangaji?"

   Sangaji tertawa. Ia mengangguk membenarkan.

   "Tidak salah! Akulah Sangaji! Bukankah engkau yang bernama Letnan Suwangsa? Mengingat engkau murid Paman Dipajaya, aku mengampuni jiwamu. Tetapi hatiku sangat menyesal, lantaran sebagai seorang murid Paman Dipajaya, engkau mengenakan pakaian seragam Kompeni Belanda."

   Mulut Letnan Suwangsa seperti tersumbat.

   Sekarang rahasianya telah dibeber oleh Sangaji dengan terang-terangan dihadapan Kapten Wiranegara.

   Keruan saja ia belum dapat mengambil keputusan.

   Hatinya bahkan bingung berhubung dengan dinasnya.

   Dalam pada itu Brigu mencoba mengendalikan hatinya yang berdebaran.

   Diam-diam ia pun mencoba menyalurkan pernapasannya.

   Maka begitu memperoleh ketenangannya kembali, segera ia maju kedepan.

   "Benarkah engkau Sangaji?"

   Dia menegas demikian karena hatinya masih beragu.

   Benarkah Sangaji yang tersohor sampai di Pulau Lombok itu sesungguhnya seorang anak muda yang usianya jauh lebih muda dari muridnya sendiri? Sangaji mengangguk mambenarkan lagi.

   Terus ia tertawa sabar.

   "Aku mendengar kabar, engkau mencari aku untuk suatu penagihan. Perkenankan aku menghaturkan terima kasih atas segala perhatianmu itu. Karena itu, betapa mungkin aku akan membuat hatimu kecewa? Sekarang, sengaja aku datang untuk menemui dirimu, agar kau tak usah bersusah payah mencari diriku lagi."

   Ia berhenti sejenak mengesankan. Setelah menatap wajah Brigu, ia meneruskan lagi.

   "Aku tidak mau menang sendiri! Kulihat tadi engkau sudah bertempur melawan guruku, Gagak Seta dan adikku Manik Angkeran. Biarlah engkau beristirahat terlebih dahulu!"

   Setelah berkata demikian, ia berpaling kepada Manik Angkeran.

   "Adikku, Manik Angkeran! Kau seorang tabib tersakti di seluruh Nusantara ini. Apakah engkau mengantongi ramuan obat yang dapat menambah tenaga seseorang yang letih?"

   Manik Angkeran tertawa.

   "Aku tidak hanya mengantongi butiran-butiran obat kuat, akan tetapi akupun membawa obat-obat pemunah racun bius aliran Utusan Suci. Kebetulan sekali, sekarang ini aku berhadapan dengan pendekar Dipajaya dan Sirtupelaheli. Kedua-duanya mempunyai hubungan erat dengan tunanganku, Fatimah. Mengingat terjadinya kesesatan itu semata-mata lantaran obat bius jahat itu, maka perkenankan aku mempersembahkan ramuan obat pemunah yang berhasil kutemukan, sebagai pernyataan elanku memusuhi kejahatan aliran Gtusan Suci."

   Setelah berkata demikian, Manik Angkeran segera menyerahkan butiran obat pemunah racun bius aliran Gtusan Suci.

   Sirtupelaheli biasanya angkuh dan tinggi hati.

   Akan tetapi setelah bergaul lama dengan Sangaji dan kemudian mendapat pertolongan dari Adipati Surengpati, keangkuhan dan ketinggian hatinya mulai pudar.

   Segera ia menerima obat pemunah pemberian Manik Angkeran.

   Juga Dipajaya tak terkecuali.

   Seperti saling berjanji, mereka berdua segera menelannya.

   Kemudian dengan berdiri berdampingan mereka menatap Brigu.

   "Brigu! Kami sengaja menelan ramuan obat pemunah racun aliran Gtusan Suci dihadapanmu. Dengan begitu engkaulah saksinya bahwa mulai detik ini aku bukan lagi anggota atau budak aliran Gtusan Suci! Maka dengan ini pula kuanjurkan kepadamu hendaklah engkau sadar dan kembalilah ke jalan yang benar! Apabila engkau bersedia berbuat demikian saudara-saudaraku Manik Angkeran ini akan mempersembahkan pula obat pemunahnya untuk menangkis bius racun yang mengeram di dalam tubuhmu pula."

   Brigu tidak menjawab. Wajahnya nampak guram. Tatkala Manik Angkeran mengangsurkan obat kuat kepadanya segera ia menelannya tanpa bersangsi-sangsi lagi. Menyaksikan kejadian itu Gagak Seta tertawa lebar.

   "Aku si jembel paling senang menyaksikan peristiwa- peristiwa bersejarah yang mengandung elan kedamaian. Dipajaya dan Sirtupah telah menelan obat pemunah racun! Akhirnya mulai pada hari ini aku sudah melaksanakan tugas guru untuk melindungi dan mengawasi. Selamat! Selamat! Sekarang aku boleh mati. Kapan dan di sembarang tempatpun."

   Brigu sebenarnya seorang gagah perkasa pada zaman itu.

   Ia berkepala besar pula.

   Akan tetapi ia dapat menggunakan otaknya.

   Coba andai kata bukan dia pastilah akan menolak pemberian Manik Angkeran atas perintah Sangaji.

   Bukankah Sangaji justru menjadi musuh besarnya? Lantaran Sangaji ini pulalah dia dikirim ke tanah Jawa, oleh aliran Gtusan Suci yang berkedudukan di Pulau Lombok.

   Dengan dia Brigu akan mengadu nasib.

   Mati dan hidup tergantung pada saat itu juga.

   Apabila dia tidak memiliki tenaga yang sempurna maka samalah halnya dengan menyerahkan jiwa belaka.

   Bukankah dia tadi menghadapi Gagak Seta dan Manik Angkeran? Meskipun belum sampai menghabiskan tenaga akan tetapi sedikit banyak sudah mengurangi himpunan tenaga saktinya.

   Itulah sebabnya maka tanpa bersegan-segan lagi ia lantas menelan obat kuat pemberian Sangaji lewat tangan Manik Angkeran.

   Sangajipun senang melihat tabiat orang itu.

   Diam-diam ia memuji kegagahan Brigu.

   Pantaslah dia disebut sebagai seorang pendekar tersakti dalam kalangan aliran Gtusan Suci! Ia pun ingin menghadapi seseorang yang dalam keadaan segar-bugar.

   Dengan demikian ia bisa menguji sampai dimana ilmu kepandaian orang yang diandalkan oleh aliran Gtusan Suci itu.

   Apabila berhasil mengalahkan artinya dia akan memberikan kesan tertentu kepada aliran Gtusan Suci yang berkedudukan di Pulau Lombok.

   Apabila kalah ia bersedia menerima dengan puas dan ikhlas.

   Untuk memulihkan tenaga himpunan saktinya Brigu membutuhkan waktu satu jam lamanya.

   Suatu kumpulan hawa yang nikmat luar biasa meraba perut dan seluruh urat- urat nadinya.

   Segera ia menyalurkan pernapasannya.

   Maka tak lama kemudian kesegaran tubuhnya pulih kembali seperti sediakala.

   Bahkan ia merasa bertambah tenaganya.

   Lalu menggerak-gerakkan kedua kaki dan tangannya.

   Semuanya dapat bergerak dan bekerja seperti semestinya tanpa rintangan.

   "Marilah!"

   Akhirnya ia memberi keputus-an.

   Kemudian ia mengeluarkan senjata andalannya yang berbentuk seperti timbangan besi.

   Berat senjatanya kurang lebih dua ratus kilo.

   Maka bisa dibayangkan betapa akibatnya apabila seorang ada kena gempurannya.

   Bisa digambarkan pula betapa hebat tenaga dahsyat Brigu yang bertubuh tak ubah gorila itu.

   Dengan menenteng senjatanya itu ia berdiri tegak.

   "Apakah tepat senjatamu itu!"

   Sangaji minta keterangan.

   "Kaulah seorang pendekar besar pada zaman ini,"

   Sahut Brigu.

   "Aku juga bukannya seorang yang tidak mempunyai nama. Maka itu dalam memilih dan menggunakan macam senjata, tak usahlah engkau usilan."

   "Baik!"

   Kata Sangaji pendek. Lalu meneruskan.

   "Karena engkau tetamu dari jauh, silakan duluan."

   Brigu tak mau bersegan-segan lagi. Tak sudi mengalah. Mengingat Sangaji dahulu pernah menjatuhkan dan merobohkan sekalian utusan duta-duta aliran Gtusan Suci. Pada beberapa tahun yang lalu.

   "Maafkan atas kelancanganku ini!"

   Kata Brigu seraya mengangkat senjata andalannya yang luar biasa itu.

   Terus saja ia menghajar dengan dahsyat dan arah bidikannya mengarah kepala.

   Dahulu, tatkala bertempur di atas Gunung Cibugis! Sangaji pernah pula menggunakan senjata batu raksasa menghadapi perlawanan para pendekar Priangan.

   Sebenarnya itulah sikap untung-untungan belaka.

   Dalam kebanyakan hal ia sangat rugi.

   Seumpama nasib tidak melindungi, pastilah siang-siang ia sudah tercincang oleh pe-dang-pedang para pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya.

   Hal itu sangat berkesan dalam hatinya.

   Itulah sebabnya begitu melihat bentuk senjata Brigu, segera ia memperingatkan.

   Akan tetapi melihat kegagahan dan kebandelan Brigu, ia tak dapat mencegah lagi.

   Demikianlah, melihat Brigu sudah mulai menyerang dengan senjatanyaitu diam-diam Sangaji tertawa geli, lantaran teringat pada pengalamannya sendiri.

   "Hebat! Sudah hampir dua puluh tahun, tak pernah aku menggunakan pedang. Tetapi kali ini aku harus melanggar pantanganku sendiri. Biarlah, kali ini aku akan melawanmu dengan pedang andalanku Sokayana!"

   Pedang Sokayana mempunyai berat lebih delapan puluh kilo.

   Konon kabarnya, pedang Sokayana dahulu, adalah pedang pendekar sakti Kyai Lukman Hakim di Cirebon.

   Pedang seberat itu tiada keduanya di dunia.

   Seperti diketahui, pedang Sokayana di simpan di Dusun Karang Tinalang.

   Untuk menghadapi kedua saudara kembar, Windu Aji dan Guntur Aji.

   Otong Surawijaya dan Dadang Wiranata, pernah meminjam pedang itu.

   Dengan mengandal kepada berat pedang itu, mereka berdua berhasil mengundurkan saudara kembar Windu Aji dan Guntur Aji.

   Setelah itu mereka berdua mengembalikannya kepada pemiliknya.

   Sekarang pedang Sokayana berada di-tangan pemiliknya.

   Perbawanya dahsyat luar biasa.

   Seperti telah diketahui, pada hakekatnya, Sangaji memiliki himpunan tenaga sakti yang tiada lawannya dijagad ini.

   Dahulu dengan menggunakan pedang Sokayana ia berlatih menyalurkan tenaga saktinya untuk menggempur gelombang dahsyat selagi memecah pantai.

   Kini ia menghadapi gempuran Brigu yang luar biasa pula.

   Apabila dibandingkan dengan gempuran gelombang laut, kedahsyatannya seimbang.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hanya apabila pukulan-pukulan Brigu terjadi sekali-sekali saja, sebaliknya gempuran gelombang datang beruntun dan tiada berkeputusan.

   Maka di dalam hal ini Sangaji tidak merasa gentar sama sekali.

   Satu hal yang berada di luar dugaan Sangaji.

   Di dalam tubuh Brigu mengalir ilmu sakti Rakai Panamkarana yang mempunyai sifat dingin luar biasa.

   Begitu kedua senjata andalannya masing-masing berbenturan, Sangaji merasakan suatu gumpalan hawa dingin meresap di dalam tubuhnya.

   Keruan saja ia menjadi kaget bukan main.

   Tetapi yang kaget bukan hanya Sangaji sendiri.

   Brigu pun juga demikian pula.

   Senjatanya jauh lebih berat dari pedang Sokayana, meskipun demikian kena tangkisan pedang Sangaji, senjatanya terpental ke samping dan membawa bekas tebasan pedang Sokayana yang panjangnya tiga kali lebih.

   Inilah mengherankan, mengingat pedang Sokayana, bukankah pedang tajam.

   Dalam kagetnya berkatalah Brigu di dalam hati .

   "Sangaji termasyhur namanya. Ternyata bukan suatu bualan kosong belaka. Di dalam himpunan ilmu tenaga sakti, ia berada jauh di atas gurunya sendiri."

   Dalam pada itu Sangaji telah bersiaga bertempur kembali.

   Tak berani lagi ia mengabaikan lawannya.

   Benar dia snggup menangkis serangan lawan, akan tetapi suatu gumpalan hawa dingin menyerang dadanya.

   Itulah gumpalan hawa sakti Rakai Panamkarana tingkat ke tujuh.

   Brigu dapat menyalurkan hawa dingin itu melalui senjatanya.

   Apabila bentrok dengan pedang Sokayana, tiba-tiba saja hawa dinginnya telah mendatar ditelapakan tangan Sangaji.

   Kemudian dengan menelusup urat nadi pergelangan tangan menjalar ke seluruh tubuh.

   Sangaji kagum bukan main.

   Berkata dia di dalam hatinya.

   "Siluman ini benar-benar jempolan. Ia dapat menyerang melalui senjatanya dengan hawa dinginnya. Selama hidupku, dialah seorang yang merupakan lawanku yang paling hebat."

   Segera Sangaji mengerahkan himpunan ilmu saktinya untuk membuyarkan serangan hawa dingin itu.

   Sebenarnya jauh- jauh ia sudah berjaga-jaga.

   Namun hawa dingin itu masih dapat menyerang pula.

   Oleh pengalaman itu, ia lantas mengerahkan tenaga ilmu sakti Kyai Tunggulmanik untuk membuat dirinya kebal dari serangan halus.

   Pertempuran mereka merupakan pertempuran jago melawan jago.

   Serangan mereka berbahaya dan sengit.

   Setiap pukulan mereka mengandung ancaman maut.

   Tidak mengherankan bahwa mereka masing-masing berjaga-jaga diri dengan rapat sekali.

   Gagak Seta, Sirtupelaheli, Dipajaya dan Manik Angkeran kagum bukan main menyaksikan ketangguhan Brigu.

   Seumpama merekalah yang harus melawan siluman itu, belum tentu tahan melawan berhadap-hadapan selama dua puluh atau tiga puluh jurus.

   Sebaliknya Sangaji melayaninya dengan enak sekali.

   Setelah lewat kurang lebih tiga puluh jurus, pedang sokayana nampak terliputi gumpalan air dingin bagaikan potongan es.

   Walaupun demikian, tenaga ilmu sakti Kyai Tunggulmanik tidak tergoyahkan, la nampak terhindar dari semua ancaman bahaya dingin.

   "Hai, siluman tua!"

   Seru Gagak Seta sambil tertawa terkekeh-kekeh.

   "Apakah engkau tidak menggunakan himpunan tenaga saktimu berlebihan! Meskipun, umpama kata, ilmu saktimu Rakai Panamkarana dapat melukai Sangaji, akhirnya engkau akan menderita sakit berat pula!"

   Brigu kaget bukan kepalang.

   Rakai Panamkarana adalah sebuah kitab warisan seorang guru besar pada abad kelima yang tersimpan di Pulau Lombok.

   Betapa dahsyat ilmu sakti itu, tak usah ia meragukannya.

   Itulah sebabnya tidak semua orang mengetahui adanya ilmu warisan tersebut.

   Dalam aliran suci di Lombok hanya beberapa orang saja yang pernah membuka-buka lembaran kitab itu.

   Karena itu, jangan lagi mengetahui cara perlawanannya, sedangkan untuk mendengar namanya saja sudahlah jarang.

   Tetapi Gagak Seta dapat membuka rahasianya.

   Bahkan Sangaji tahu pula cara melawannya.

   Maka tidak mengherankan bahwa dia benar- benar kagum.

   Di dalam hati ia harus mengakui kebenaran kata-kata Gagak Seta.

   Pada saat ini, ia memang berkelahi dengan sungguh-sungguh, artinya ia menggunakan himpunan tenaga saktinya secara berlebihan.

   Apabila ia gagal, akibatnya akan menderita sakit hebat.

   Sakit parah yang tiada gunanya sama sekali seperti halnya orang mati konyol.

   Keadaan sekarang, bagaikan seorang berada di atas punggung seekor harimau.

   Turun salah, bercokolpun salah pula.

   Rasanya tiada jalan lain kecuali berkelahi terus dengan harapan setidak-tidaknya mati berbareng dengan Sangaji.

   Hebat himpunan tenaga sakti Sangaji.

   Dia telah mencapai puncak kesempurnaan.

   Bertemu dengan musuh berat, tenaganya akan menjadi kuat sendiri.

   Apabila diserang secara wajar, membalas menyerang pula.

   Sebaliknya ia dapat menarik pulang seluruh tenaga himpunannya dengan sesuka hatinya.

   Inilah berkat himpunan tenaga sakti Kyai Tunggulmanik, warisan seorang maha sakti yang dikabarkan menjadi cikal bakal kerajaan di tanah Jawa.

   Sudah barang tentu Brigu tidak mengetahui ilmu sakti apakah milik Sangaji.

   Tetap saja ia menggunakan Rakai Panamkarana, setingkat demi setingkat, la mencoba mendesak.

   Itulah sebabnya seringkali senjatanya bentrok dan saban-saban terdengar suara nyaring dan berisik, mereka yang mendengar benturan senjatanya, pengang telinganya.

   Menghadapi Brigu, Sangaji berkelahi dengan sungguh- sungguh.

   Senantiasa ia mencari lowongan.

   Meskipun demikian, tak dapat ia mengalahkan lawannya dengan cepat.

   Inilah pengalamannya untuk pertama kali menghadapi lawan setangguh Brigu.

   Biasanya dengan mengandalkan himpunan tenaga saktinya yang dahsyat luar biasa, ia dapat merobohkan lawan dengan mudah saja.

   Dengan senjatanya yang aneh, Brigu dapat membela diri dengan baik sekali.

   Kadangkala dia bisa mementalkan pedangnya.

   Namun Sangaji tidak menjadi kecil hati.

   Dengan menyalurkan tenaga saktinya yang bersifat lembek dan keras, beberapa kali ia berhasil membuat cacat senjata Brigu.

   Dalam sekejap saja puluhan bekas tikaman dan babatannya menggariti senjata Brigu yang aneh bentuknya.

   Selagi orang-orang memusatkan perhatiannya kepada pertarungan kedua jago pada zaman itu, di luar pesanggarahan Dipajaya terjadi suatu pertempuran hebat pula.

   Akan tetapi pertempuran ini lain sifatnya.

   Inilah pertempuran antara sekawanan kambing melawan dua ekor harimau.

   Seperti diketahui, dengan diam-diam Kapten Wiranegara membawa pasukannya mengikuti perjalanannya.

   Pasukannya yang berkemah di luar kota di pimpin oleh Letnan Matulesi.

   Sedang sebagai kepala regu diserahkan kepada Sersan Martosemi.

   Mereka bergerak mengepung pesanggrahan Ki Dipajaya, dengan maksud mengadakan penyerbuan secara tiba-tiba apabila nanti Brigu kalah melawan Sangaji.

   Di luar dugaan, mendadak datang dua orang pendekar yang lantas saja tanpa segan-segan lagi.

   Merekalah raja muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.

   "Hai! Kamu anjing-anjing jangan takut!"

   Seru Otong Surawijaya sambil tertawa berkakakkan.

   "Kamu telah sengaja datang kemari. Karena itu kami berdua mohon kepada kalian agar menginap dipesang-grahan ini beberapa hari lagi!"

   Dadang Wiranata juga berteriak dengan nyaringnya.

   "Kamu datang kemari tanpa diundang! Sekarang kami mewakili tuan rumah meminta agar kalian menginap di sini!"

   Lantas saja kedua raja muda ini maju menerjang dan menyerang mereka dengan hebat.

   Mereka menerjang bukan hanya menggunakan dua tinju atau kedua kakinya saja, akan tetapi menyambar setiap orang dan dibantingnya roboh.

   Dalam waktu seke-japan saja, tujuh serdadu dan empat sersan roboh terguling tanpa berkutik lagi.

   Sersan Martosemi tak dapat lagi memegang pimpinan.

   Lantaran anak buahnya kabur, ia ikut lari terbirit-birit pula.

   Tengah berlari, mendadak kesiur angin menyambar punggungnya.

   Keruan saja ia kaget setengah mati.

   Terpaksalah ia membalikkan tubuh dan mengebaskan lengannya menangkis.

   Ternyata orang yang menyerangnya adalah Orong Surawijaya.

   Dengan sengaja ia membiarkan tangannya kena bentrok.

   Hebat akibatnya! Sersan Martosemi terpental tujuh meter dan jatuh terhuyung-huyung menumbuk pohon.

   "Bagus!"

   Seru Otong Surawijaya memuji.

   "Kau dapat menangkis pukulanku. Engkau dapat dihitung sebagai seorang pendekar. Nah kau sambutlah sekali lagi!"

   Gcapannya ini dibarengi dengan melesat- . nya tubuh yang bergerak sangat sebat. Sersan Martosemi baru saja memperbaiki letak kakinya. Tahu-tahu ia mendengar suara Raja Muda Otong Surawijaya di dekat telinganya.

   "Dengan tanganku aku akan menepuk igamu yang kanan. Dengan jeriji tanganku pula, aku akan menusuk dadamu dan berbareng dengan itu kakiku akan menendang lututmu! Karena itu berhati-hatilah kau menjaga dirimu! Jika engkau dapat membebaskan diri dari seranganku ini, aku akan membebaskan engkau!"

   Sersan Martosemi belum mengenal Raja Muda Otong Surawijaya.

   Ia tak dapat menebak dengan jitu apakah kata- kata Otong Surawijaya itu benar atau hanya gertakan belaka.

   Tak sempat lagi ia menduga-duga, ia segera mengambil jalan yang paling selamat.

   Dengan cepat ia memutar kedua tangannya untuk membela diri saja.

   la pun menggunakan salah satu tipu muslihat ilmu saktinya yang paling diandalkan.

   Tetapi, Raja Muda Otong Surawijaya ternyata bukan hanya menggertak saja.

   Benar-benar ia menyerang pada tempat-tempat yang sudah disebutkan tadi.

   Tangan kanannya menyambar iga dan sebelah kakinya menyerang lututnya.

   Sersan Martosemi kaget bukan kepalang.

   Ia jadi berputus asa.

   Untuk membela diri, terpaksalah ia menggerakkan kedua kaki dan tangannya secara mati-matian.

   Sudah barang tentu ia bukan tandingan raja muda Otong Surawijaya.

   Yang dipikirkan kala itu, hanya bisa meloloskan diri dari serangan raja muda itu.

   Dan apabila berhasil, pastilah dia akan dibiarkan pergi dengan selamat.

   Sebagai sersan andalan, Martosemi bukanlah orang lemah.

   Ia lantas bergerak melindungi diri.

   la mengelakkan tubuhnya dan mengelitkan juga kakinya.

   Ia dapat bergerak dengan sebat.

   Dapat pula menghindarkan diri dari kedua serangan Otong Surawijaya.

   Tinggal satu serangan saja yang mengarah dadanya, la pikir, setelah menyerang iga, sulitlah Otong Surawijaya memukul dadanya.

   Atau andaikata Otong Surawijaya tetap pada sasarannya, pastilah ia harus menggunakan tangan lainnya.

   Karena itu ia memusatkan perhatiannya kepada tangan kiri.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tetapi Otong Surawijaya adalah raja muda andalan Sangaji.

   Ia berkelahi dengan menggunakan ilmu Aji Gineng dan Hasta Sila dengan berbareng.

   Tubuhnya dapat bergerak dengan cepat dan lincah.

   Ia pun dapat menduga bahwa Sersan Martosemi akan menjaga tangan kirinya setelah gagal dengan tangan kanannya yang mengarah iga.

   "Mengapa engkau tidak percaya perkataanku?"

   Seru Otong Surawijaya sambil tertawa.

   Tangan kanannya mendadak meluncur ke dada.

   Sersan Martosemi kaget bukan main.

   la menjadi gugup.

   Tak sempat lagi ia berkelit atau menangkis.

   Dan tertotoklah dadanya.

   Seketika itu juga ia roboh terguling tanpa berkutik lagi.

   Menyaksikan hal itu semua anak buahnya kaget bukan main.

   Mereka lantas saja lari bubar berderai.

   Karena tanpa pimpinan lagi, lari mereka berpencaran tanpa tujuan.

   Mereka percaya dan berdoa didalam hati, meskipun Otong Surawijaya dan Dadang Wiranata memiliki ilmu sakti tinggi, pastilah tak dapat memecah dirinya untuk mengejar mereka semua yang lari berpencaran.

   Tinggallah kini nasib yang berbicara.

   Siapa yang sial, pasti bakal kena bekuk! Otong Surawijaya dan Dadang Wiranata bekerja terus.

   Mereka merobohkan siapa saja yang dapat dibekuknya.

   Setelah puas, barulah mereka kembali, menghampiri orang- orang yang menonton pertarungan antara Brigu dan Sangaji, sambil tertawa terbahak-bahak.

   Serombongan serdadu Kompeni yang lari ketimur tiba-tiba kaget bukan kepalang tatkala di depan mereka muncul seorang wanita yang berkata dengan halus.

   "Maaf! Aku minta kalian berkumpul dipesanggrahan!"

   Semua orang lantas memalingkan pandang. Gadis itu ternyata Kilatsih yang menghadang dengan pedang tajam. Letnan Matulesi lantas berkata.

   "Nona! Kau telah mempermainkan pemimpin kami. Mengapa sekarangpun engkau masih menghendaki kami? Kami hanya anak buah yang makan gaji semata."

   "Kau salah mengerti!"

   Sahut Kilatsih.

   "Aku justru hendak menolong kamu semua! Sebab apabila kamu terus melarikan diri, bagaimana kalau dengan tiba-tiba dicegat oleh laskar- laskar Sangaji, yang datang dari Jawa barat."

   Sebenarnya tiada seorang yang percaya akan kata-kata Kilatsih.

   Itulah gertakan belaka.

   Namun mereka sangat takut terhadap Raja Muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.

   Sewaktu-waktu mereka berdua bisa menyusul dengan mendadak.

   Merasa pasti bahwa Kilatsih tidak akan memberikan mereka lewat dengan aman, serentak mereka berseru dan maju berbareng.

   "Kalian tidak percaya padaku? Kalau begitu, maaf!"

   Kata Kilatsih.

   "Terpaksa aku menaham kamu sekalian dengan secara paksa!"

   Kata-kata itu dibarengi dengan terayunnya tangannya.

   Diudara berkeredeplah senjata bidik Kilatsih yang sangat termasyhur.

   Itulah biji-biji sawo yang dapat menghujani musuh dengan sekali ayun saja.

   Dan hebatlah kesudahannya.

   Setiap serdadu yang tertimpuk, tidak merasakan sakit.

   Hanya saja tubuh mereka bagaikan terputar.

   Lalu roboh dengan tak sadarkan diri.

   Sebab Kilatsih tidak mau melukai mereka.

   Ia menyerang dengan mengarah nadi-nadi tertentu yang membuat seorang pingsan.

   Mereka yang bebas dari serangan biji sawo Kilatsih, menjadi ketakutan.

   Mereka tahu, pendekar wanita itu, tak boleh dipandang enteng.

   Tiada jalan lain, kecuali menyingkirkan diri cepat-cepat.

   Seperti mendengar aba-aba tertentu, mereka lantas memutar tubuh dan lari berserabutan.

   Kini mereka lari ke barat.

   Tetapi lagi-lagi muncul seorang pendekar lain.

   Kali ini bukan Kilatsih, tetapi Manik Angkeran.

   Pendekar ini muncul secara mendadak pula.

   Sudah barang tentu, munculnya itu membuat para serdadu takut dan terkejut setengah mati.

   Beberapa laskar segara mengenal siapa dia.

   Terus saja mereka serentak berputar dan lari mendahului teman-temannya.

   Letnan Matulesi mendongkol bukan main melihat pasukannya rusak.

   Tanpa berpikir panjang lagi ia merampas sepucuk senjata dari salah seorang serdadunya.

   Kemudian ia maju sambil mengisi bubuk mesiu.

   Tiba pada jarak dua puluh meter, lantas saja ia menarik pelatuknya.

   Sebagai seorang perwira ia mempunyai keistimewaan dalam hal menembak tepat.

   Namun kali ini ia menumbuk batu.

   Dengan tertawa Manik Angkeran menyaksikan lagak-lagu Letnan Matulesi.

   Lalu berseru nyaring.

   "Dengan cara baik aku mencoba menahan kalian. Tetapi kalian justru menggunakan kekerasan. Baiklah! Karena kalian mendahului, terpaksalah aku melayani kekerasan dengan kekerasan pula."

   Setelah berseru demikian, Manik Angkeran maju.

   Dengan gerakan yang gesit, semua tembakan Letnan Matulesi tidak mengenai sasarannya.

   Tahu-tahu Manik Angkeran sudah tiba didepannya.

   Keruan saja ia kaget sekali.

   Dan rasa herannya bukan kepalang.

   Buru-buru ia mengisikan bubuk mesiu lagi.

   Tetapi kali ini Manik Angkeran tidak memberinya kesempatan.

   Sekali mengayun kaki, ia mendupak perwira itu.

   Dan begitu kena dupakannya, perwira itu terjungkal tak berkutik lagi.

   Menyaksikan peristiwa itu, sekalian serdadu bertambah- tambah rasa takutnya.

   Mereka yang tak tahan lagi segera melarikan diri.

   Sebaliknya siapa jang gusar dan penasaran, mencoba maju berbareng.

   Dan terhadap mereka yang nekat- nekatan itu, Manik Angkeran menyongsong dengan pedangnya.

   Ia menangkis dan menikam sambil merampas senjata mereka pula.

   Ia dapat bergerak dengan leluasa sekali.

   Karena kecuali ilmu pedangnya sudah mencapai taraf tinggi.

   Tubuhnya ringan pula.

   Sehingga dapat melompat dengan sangat gesitnya.

   Dalam waktu sekejapan saja, belasan serdadu kena dirobohkan, yang lain-Iainnyasegera melarikan diri ke arah selatan.

   Melihat keramaian itu, Raja Muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya yang sedianya hendak menghampiri gelanggang pertempuran jadi tergelitik hatinya.

   Mereka berdua berpaling dan saling memberi isyarat.

   Kemudian dengan berbareng memasuki gelanggang pertempuran.

   Celakalah mereka yang lari mengarah ke selatan.

   Kena pegatnya, mereka roboh seorang demi seorang.

   Dan yang masih selamat sejahtera, bingung bukan kepalang, karena di empat penjuru telah tercegat oleh pendekar-pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya, Kilatsih, Manik Angkeran, Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.

   Pada saat itu muncullah Letnan Suwangsa dengan menghunus pedangnya.

   Sebagai seorang perwira, tak dapat ia membiarkan laskarnya kena terhajar kalang kabut.

   Melihat munculnya Letnan Suwangsa buru-buru Kilatsih berseru.

   "Tuan! Tak usah tuan ikut campur! Percayalah, kami tidak menghendaki jiwa laskarmu. Jika kami menghendaki jiwa mereka, pastilah kami sudah mengambilnya semenjak tadi. Hanya sayang sekali, di antara laskarmu, banyak yang tidak percaya kepada kami. Sekarang terpaksa kami memohon tuan, memanggil laskarmu, agar menjadi penonton yang manis. Letnan Suwangsa tergugu. Tak dapat ia membandel. Sebab di belakang Kilatsih berdiri tokoh-tokoh yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya. Maka dengan terpaksa ia memanggil pasukannya agar mentaati kehendak Kilatsih. Memang ia tahu, dengan diam-diam Kapten Wiranegara mengerahkan sepasukan laskar, untuk menerjang Sangaji dan kawan- kawannya apabila keadaan dipihaknya jadi buruk. Dalam pada itu hati Brigu berkebat-kebit melihat munculnya kedua orang sakti itu. Tahulah dia, pihaknya dalam keadaan parah. Karena itu gerak-geriknya agak menjadi kalut. Sangaji dapat menebak hatinya.

   "Saudara! Tak usah engkau cemas hati! Bukan maksud kami hendak membuat susah kalian. Kami hanya hendak menyadarkan dirimu agar jangan sudi menjadi budak Aliran Suci yang tak keruan tujuan hidupnya. Tetapi agar hatimu puas, kau keluarkanlah semua kepandaianmu untuk melawanku. Jika engkau menang, aku berjanji hendak membebaskan dirimu dengan segala hormat. Bahkan aku tidak akan menghalang-halangimu berbuat sesuka hatimu sendiri."

   Brigu percaya kepada kata-kata Sangaji. Pikirnya di dalam hati.

   "Sekalian serdadu itu dapat dikalahkan. Apakah sangkut- pautnya dengan kepentinganku? Asalkan aku menang melawan Sangaji, meskipun hanya satu atau setengah jurus saja, aku akan dikenal sebagai jago nomor satu dikolong langit ini. Maka tak sia-sialah ketua kami mewariskan ilmu sakti Rakai Panamkarana!"

   Setelah berpikir demikian, hatinya tenang kembali.

   Tidak peduli dengan musuh berjumlah besar, sekarang ia hanya memusatkan perhatiannya kepada Sangaji seorang.

   Maka ia lantas mulai menyerang lagi.

   Kali ini sampailah ia kepada tingkat ke tujuh ilmu sakti Rakai Panamkarana.

   Itulah tingkatan penghabisan yang sedang diyakininya.

   Sebenarnya ilmu sakti Rakai Panamkarana mempunyai sembilan tataran.

   Namun dengan tataran ke tujuh, ia percaya akan dapat memunahkan ilmu sakti Sangaji.

   Sekarang corak pertempuran kedua jago itu makin lama makin menjadi hebat.

   Tak terasa lima ratus jurus telah lewat.

   Di atas kepala Sangaji nampak hawa putih menguap.

   Sebaliknya wajah Brigu makin menjadi hitam lekam.

   Peluhnya mengalir membasahi dahinya, jatuh bertetesan di tanah.

   Kena percikan itu, tanah sekitar dirinya penuh dengan titik-titik hitam.

   Prajaka Sindungjaya dan Antariwati, mengikuti pertempuran itu dengan sungguh-sungguh.

   Sebagai orang ketiga mereka dapat mengikuti pertempuran dengan jelas.

   Brigu telah mengeluarkan segenap ilmu kepandaiannya.

   Sebaliknya Sangaji dengan mahir sekali dapat membuyarkan serangan hawa dingin Brigu yang disalurkannya lewat pedang.

   Tak tahulah mereka berdua, di-manakah diri mereka berdua, berpihak.

   Kadang-kadang mereka berdua berpihak kepada Brigu.

   Tetapi pada saat itu juga, mereka mengkhawatirkan Sangaji jika sampai kena dikalahkan.

   Tiba-tiba suatu gumpalan hawa dingin, menyambar kepada mereka berdua karena himpunan tenaga sakti mereka masih lemah, seketika itu mereka menggigil diluar kemauannya mereka sendiri.

   Dipajaya yang berdiri di samping Sirtu-pelaheli mengetahui bahwa kedua muridnya itu belum sanggup mempertahankan diri terhadap hawa dingin Brigu.

   Dengan beringsut ia menghampiri dan memegang kedua tangan mereka.

   Kemudian ia menyalurkan himpunan tenaga saktinya untuk membantu menghangatkan suhu badan kedua muda-mudi itu.

   Baik Prajaka Sindungjaya maupun Antari-wati segera menyalurkan hawa panas gurunya ke seluruh tubuh.

   Sebentar saja, suhu bandannya naik.

   Dengan begitu dapatlah mereka mempertahankan diri terhadap hawa dingin Brigu.

   Sekarang mereka berdua sadar bahwa ilmu sakti Rakai Panamkarana benar-benar hebat tak terlukiskan.

   Pada saat ketegangan terjadi, tiba-tiba Gagak Seta tertawa nyaring dan panjang.

   Sebagai seorang pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya dan berpengetahuan luas, dapatlah ia menebak, apakah yang bakal terjadi.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia pernah menyaksikan kemampuan muridnya Sangaji.

   Dugaannya ternyata benar.

   Tiba-tiba saja Sangaji melesat tinggi ke udara dan tatkala tubuhnya melayang turun, ia menikamkan pedangnya Sokayana.

   Brigu tersadar oleh suara tertawa Gagak Seta.

   Seperti seseorang yang terenggut dari lamunannya, ia melihat berkelebatnya pedang sokayana.

   Cepat-cepat ia mengangkat senjatanya dan menangkis.

   Untuk kesekian kalinya kedua senjata mereka beradu dengan nyaringnya.

   Kali ini suara benturan itu tidak hanya meledak nyaring saja, tetapi mendengung lama dengan suara dahsyat.

   Kali ini merupakan tangkisan Brigu yang terakhir.

   Di antara suara benturan terdengarlah suara benda pecah bergemerontangan.

   Itulah suara patahnya senjata Brigu yang sudah banyak menderita tebasan pedang Sokayana.

   Dalam perbenturan kali ini senjata Brigu tak dapat bertahan lagi.

   Lantas saja pecah berderai dan hancur di atas tanah.

   Menyaksikan hal itu, baik pihak Brigu maupun pihak Gagak Seta lantas saja bertepuk tangan bergemuruh.

   "Bagus! bagus!"

   Seru Gagak Seta. Brigu tercengang, la melihat Sangaji tetap masih berdiri dengan tenang-tenang saja. Hebat perbawa pemuda itu. Sikapnya mengesankan seorang ksatria sejati yang tidak merendahkan lawan dengan berbareng mengagumkan dirinya.

   "Bagaimana? Apakah engkau sudah takluk?"

   Katanya dengan suara halus.

   Hanya sebentar jago tua itu tercengang.

   Kemudian memperlihatkan sifat angkuhnya.

   Brigu memang merasa tidak puas.

   Dia percaya benar akan kehebatan ilmu saktinya Rakai Panamkarana.

   Benar ia dapat menyalurkan hawa dinginya menyerang Sangaji dengan perantaraan pedang Sokayana yang berbenturan dengan senjatanya, akan tetapi menurut anggapannya hal itu jauh berlainan apabila bertempur dengan mengadu tangan.

   Penyerangan hawa dingin lewat senjata tidak begitu sempurna.

   Sangaji tertawa, la melemparkan pedang Sokayana sambil berkata.

   "Kau majulah!"

   Tanpa membuka mulutnya lagi Brigu segera menyerang.

   Kedua tangannya bergerak dengan luar biasa sebat.

   Ia memajukan tubuhnya pula.

   Tangan kirinya menye-lonong ke depan dan tangan kanannya menyusul.

   Suatu hembusan hawa dingin menumbuk dengan dahsyat.

   Sangaji tidak gentar.

   Dengan berani ia menangkis.

   Tentu saja Brigu tidak membiarkan tangannya kena tangkis.

   Cepat ia menarik tangan kirinya dan tangan kanannya ganti memukul.

   Kedua tinju itu datang dan pergi dengan cepat sekali.

   "Bagus!"

   Seru Sangaji sambil menang-kis.

   Kali ini ia bergerak dengan luar biasa sebat.

   Brigu tak sempat lagi menarik tangannya seperti semula.

   Pukulannya kena tertangkis.

   Maka terdengarlah suara beradu kedua tangan.

   Suatu embusan angin dingin tiba dan bergulungan sangat jauh sehingga penonton yang berada di luar gelanggang mundur selangkah dengan tak disadarinya sendiri.

   Prajaka Sindungjaya dan Antariwati mundur dan menyandarkan dirinya pada sebatang pohon.

   Mereka merasakan pohon yang disandarinya bergetar bergoyangan.

   Meskipun mereka mundur, tak sudi mereka kehilangan pengamatannya terhadap kedua jago yang sedang bertempur itu.

   Mereka melihat, baik Brigu maupun Sangaji melompat mundur.

   Hanya saja wajah Brigu nampak pucat seperti abu.

   Seakan-akan seekor jago yang kena taji, ia runtuh layu.

   "Kau menyerah tidak?"

   Sangaji mendesak dengan suara dalam. Brigu berpikir sejenak.

   "Aku belum menyerah."

   Menjawab demikian, kedua alisnya terbangun.

   "Ah, benar-benar engkau tidak tahu malu!"

   Seru Kilatsih di dalam hatinya. Ia mendongkol karena orang itu tidak berani mengaku kalah terhadap Sangaji. Sedang keadaannya seperti nyala pelita yang kehabisan minyak.

   "Kenapa engkau tidak menyerah saja?"

   Sangaji heran.

   "Sekarang ini aku lagi mencapai Rakai Panamkarana tingkat tujuh,"

   Sahut Brigu.

   "Kau tunggulah sampai aku mencapai tingkat kesembilan! Pada saat itu kita bertempur lagi mengadu kepandaian. Jika engkau berani menyambut tinjuku, barulah aku mengakui bahwa engkau benar seorang pendekar nomor satu dikolong langit ini dan engkau boleh menghapus nama Brigu dalam percaturan hidup."

   "Beberapa lama lagi engkau membutuhkan waktu untuk sampai ketingkat kesembilan?"

   Sangaji minta keterangan.

   "Paling cepat tiga tahun dan paling lambat lima tahun,"

   Jawab Brigu.

   "Baiklah. Aku menunggu tiga sampai lima tahun lagi."

   Sangaji memutuskan.

   "Hanya aku khawatir, selagi engkau mencapai tingkat kesembilan itu, dirimu sudah tersesat dan akan terjerumus ke dalam suatu bencana hebat."

   Hati Brigu terkesiap ucapan Sangaji benar-benar beralasan. Akan tetapi berada di antara pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi, ia harus menebalkan mukanya.

   "Itulah urusanku sendiri. Aku masih mempunyai kepandaian untuk menjaga diri sehingga engkau tak usah ikut pula mengkhawatirkan."

   Sangaji mengangguk. Dan Gagak Seta yang usilan tertawa panjang. Katanya dari luar gelanggang.

   "Hai, siluman! Jika engkau bisa mencapai tingkat kesembilan itu sehingga yang sesat dan yang lurus dapat kau persatukan, maka dalam percaturan dunia ini akan bertambah dengan seorang pendekar yang patut dicatat sejarah. Itulah dirimu. Bagus! Bagaimana menurut pendapatmu, anakku Sangaji?"

   Sangaji tersenyum. Ia menjawab dengan hormat.

   "Baik, aku akan menunggu. Akan tetapi terpaksa pula aku menyatakan disini apabila pertempuran itu sampai terjadi, aku tidak akan bersegan-segan lagi. Aku akan melepaskan pukulan benar-benar dan tidak setengah-setengah seperti tadi. Nah, kau pergilah! Kuperkenankan engkau membawa muridmu Manusama dengan aman sentosa!"

   Tanpa berkata sepatah katapun juga, Brigu keluar gelanggang dengan langkah letih sekali.

   Meskipun demikian gerakannya cepat luar biasa sehingga Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya yang selamanya mengagulkan dirinya sendiri sebagai manusia-manusia istimewa kagum bukan main.

   "Paman Dadang Wiranata dan Paman Otong Surawijaya! Semenjak lima belas tahun yang lalu bertempur di atas dataran tinggi Gunung Cibugis, baru hari inilah aku bertemu dengan seorang lawan tangguh. Hatiku puas bukan main. Sebab ilmu sakti Rakai Panamkarana ternyata hampir sejalan dengan warisan ilmu sakti yang jatuh padaku,"

   Kata Sangaji.

   Setelah berkata demikian ia menjatuhkan diri di atas tanah.

   MENCARI WIRAPATI MELIHAT ROBOHNYA SANGAJI, Kilatsih terkejut bukan main.

   Segera ia lari menghampiri dan menatap wajah Sangaji.

   Di antara kedua alis Sangaji samar-samar nampak seleret tanda hitam, sedangkan di atas ubun-ubunnya mengempul hawa putih.

   Dengan cemas ia menyorotkan pandang kepada Gagak Seta, Dipajaya, Sirtupelaheli, Manik Angkeran, Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.

   Akan tetapi wajah mereka nampak tenang-tenang saja.

   Sama sekali tidak terbayang rasa cemas.

   Oleh karena itu hati Kilatsih menjadi tenang pula.

   Dengan semata-mata ia berpaling mengamat-amati wajah Sangaji.

   Alangkah kaget hatinya tatkala pada saat itu ia melihat Sangaji melompat bangun dengan segar-bugar.

   "Benar-benar hebat ilmu sakti Rakai Panamkarana. Kedahsyatannya melebihi dugaanku."

   "Bagaimana? Apakah Kangmas tidak..."

   Tanya Kilatsih yang masih berkhawatir.

   "Tak apa-apa,"

   Sahut Sangaji dengan tertawa.

   "Aku hanya kehilangan himpunan tenaga saktiku selama satu tahun. Sebaliknya tidak demikian yang diderita siluman Brigu. Kecuali tenaga himpunnya hilang satu tahun, diapun bakal menderita sakit berat."

   Sekalian pendekar yang mendengar keterangan Sangaji kagum bukan main.

   Mereka semua mengenal kedahsyatan himpunan tenaga sakti Sangaji yang diseluruh jagad ini pada hakekatnya tiada tandingnya.

   Mengapa hanya dalam dua gebrakan saja harus menderita demikian besar? Maka sadarlah mereka bahwa ilmu sakti Rakai Panamkarana, benar- benar merupakan ilmu sakti yang luar biasa hebatnya.

   Apabila Brigu sudah mencapai tingkat kesembilan, entah apa jadinya.

   Apakah Sangaji masih mampu menandingi, belum dapat dikatakan pada saat itu.

   "Sebenarnya ilmu sakti Rakai Panamkarana berasal dari negeriku,"

   Kata Raja Muda Dadang Wiranata, orang-orang zaman dahulu menyebutnya dengan Suwarna Dwipa, artinya pulau emas.

   Ilmu sakti Rakai Panamkarana ditulis dengan aksara Palawa dan bahasa yang dipakai adalah bahasa Sanskerta.

   Menurut catatan orang mengenal ilmu sakti Rakai Panamkarana pada abad keempat, tatkala keturunan Raja Purnawarman memerintah Tarumanegara kemudian ilmu sakti tersebut muncul di Kerajaaan Kalingga.

   Itulah tahun 634-675 tatkala seorang ratu bernama Simma memerintah negeri.

   Bersama dengan waktu itu, Raja Sannaha yang memerintah Jawa Tengah dan Jawa Timur telah mengenal ilmu sakti itu pula.

   Putera mahkota yang bernama Sanjaya menyempurnakannya.

   Dan ilmu sakti tersebut dikenal dengan nama Rakai Panamkarana sampai dewasa ini.

   Apa sebab ilmu sakti itu timbul tenggelam dan selalu beralih tempat, lantaran cara memahaminya benar-benar memakan tenaga serta mengancam jiwa.

   Lagi pula mempunyai pantangan yang harus dipegang teguh.

   Seorang yang mempunyai ilmu sakti Rakai Panamkarana tidak boleh menggunakan dengan sembarangan saja.

   Sekali menggunakan pukulan-pukulannya, tenaga himpunannya akan terkuras habis.

   Kalau tidak menderita sakit hebat pastilah akan mati layu.

   Itulah sebabnya semenjak zaman dahulu, orang segan mempelajari.

   Kita sendiri lebih baik tidak mempelajari.

   Kita lebih condong kepada perkataan seorang pendekar yang menggolongkan ilmu sakti Rakai Panamkarana ke dalam golongan sesat."

   Mendengar uraian Raja Muda Dadang Wiranata mengertilah Kilatsih apa sebab rugi kedua belah pihak, la sadar akan kehebatan dan kedahsyatan ilmu sakti Brigu, seumpama bukan Sangaji yang melawannya, pastilah ia sudah dapat merajai semua pendekar yang berkumpul di situ.

   "Dipajaya!"

   Tiba-tiba Gagak Seta berseru dengan tartawa galak.

   "Bagaimana pendapatmu dengan muridku."

   Dipajaya membalas tertawa.

   "Di zaman ini, dialah pendekar sejati. Jangan lagi sekalian muridku, sedangkan aku sendiri tak mampu menanding."

   "Ah, janganlah kau merendahkan diri,"

   Ujar Gagak Seta.

   "Sebenarnya aku hanya mempunyai saham sedikit saja. Selebihnya, dia sendirilah yang menolong dirinya."

   "Menolong bagaimana?"

   Dipajaya me-ngerenyitkan alisnya.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Itulah pusaka warisan yang se-zaman dengan ilmu sakti Rakai Panamkarana. Pewarisnya seorang raja besar, cikal bakal kerajaan di Jawa ini. Kalau tidak demikian, betapa dia sanggup berlawanan dengan Brigu,"

   Kata Gagak Seta mengalihkan pembicaraan.

   "Sekarang Brigu telah ketemu batunya. Kau sendiri bagaimana?"

   Dipajaya tersenyum.

   "Semenjak bertemu dengan anakku Sangaji aku sudah takluk. Segalanya ini berada ditanganmu."

   "Eh! Apakah kita perlu mencoba-coba kepandaian?"

   Potong Gagak Seta dengan tertawa gelak.

   Sirtupelaheli yang semenjak tadi membungkam mulut lantas berkata melerai.

   "Kamu berdua sudah ubanan! Sekalipun demikian sifat kalian masih saja kekanak-kanakkan.

   Apa perlu bertanding segala.

   Apa yang sudah terlampau, biarlah lewat seakan-akan angin.

   Siapa saja tahu, bahwa ilmu kepandaian kalian berdua adalah setanding.

   Tidak peduli siapa di antara kalian berdua yang bakal terluka, akan menambah luka hatiku..."

   Tentu saja, mereka yang berada di halaman itu, tak mengetahui latar belakang ucapan Sirtupelaheli.

   Kilatsih hanya teringat tutur kata Titisari, bahwa hubungan mereka bertiga semasa mudanya mempunyai kisah sendiri yang istimewa.

   Seperti diketahui, pada zaman mudanya, Sirtupelaheli pernah menggegerkan rumah perguruan Gagak Seta tatkala masuk menjadi anak angkat guru Gagak Seta.

   Dia cantik, angkuh hati dan agung.

   Apakah Gagak Seta diam-diam menaruh hati pula kepadanya seperti saudara-saudara sepergurunnya yang lain, hanya dia sendiri yang tahu.

   Pada suatu hari, datanglah Dipajaya menantang guru Gagak Seta bertempur di dalam permukaan air telaga Sarangan.

   Karena merasa tak pandai berenang, guru Gagak Seta hampir-hampir menyatakan takluk.

   Sirtupelaheli lantas tampil ke depan mewakili dirinya.

   Dalam pertempuran itu, ia menang.

   Anehnya, setelah peristiwa itu, Sirtupelaheli jatuh cinta kepada Dipajaya.

   Mereka berdua lantas kawin.

   Tapi dendam kesumat antara saudara-saudara seperguruan Gagak Seta dan Dipajaya berkobar terus.

   Sewaktu Gagak Seta berpergian mencari gurunya yang mendadak hilang, mereka mengadu kekebalan minum racun.

   Semua saudara seperguruan Gagak Seta tewas.

   Untuk menyatakan, bahwa peristiwa itu sangat memedihkan, Sirtupelaheli bercerai dari Dipajaya.

   Gagak Seta sebenarnya ingin membalaskan dendam saudara-saudara seperguruannya.

   Akan tetapi mengingat Sirtupelaheli, tak dapat ia berbuat begitu.

   Sebab, gurunya tidak menyetujui.

   Bahkan ia diwajibkan menilik kehidupan Sirtupelaheli.

   Sirtupelaheli pun tak dapat berbuat sesuatu terhadap Dipajaya pula.

   Sebab selain bekas suaminya, diapun sealiran dengan dirinya.

   Sebaliknya, hendak mendekati Gagak Seta, tak dapat pula.

   Dipajaya sendiri, segan terhadap mereka berdua.

   Dalam hatinya, masih ia memuja Sirtupelaheli.

   Ia senantiasa menaburkan wangi-wangian di atas tempat tidur.

   Wangi- wangian yang disenangi Sirtupelaheli.

   Namun untuk mencoba kembali mengambil hati Sirtupelaheli, tak dapat pula.

   Yang pertama.

   Ilmu kepandaian Sirtupelaheli berada di atas dirinya.

   Yang kedua.

   kalau sampai rujuk kembali, Gagak Seta mempunyai alasan, untuk melampiaskan dendamnya.

   Hal itu diinsyafi Sirtupelaheli pula.

   Bekas istrinya itu lantas meniupkan berita bohong, bahwa dirinya sudah menjadi selir1) Sultan H.B.I.

   maksudnya untuk mengelabui Dipajaya dan Gagak Seta.

   Sebab terhadap H.B.l, Gagak Seta menaruh hormat.

   Dengan demikian mereka bertiga jadi berdiri pada persoalannya sendiri-sendiri.

   Masing-masing mencoba mendekati, akan tetapi tidak tahu jalannya.

   Sekarang, dengan pertolongan obat pemunah Manik Angkeran, baik Sirtupelaheli maupun Dipajaya memperoleh kesehatannya kembali.

   Mereka berdua bebas dari rasa takut.

   Kemungkinannya untuk hidup kembali dengan hanya mengabdikan kepada ketentraman dan kedamaian memperoleh harapan besar.

   Itulah sebabnya Sirtupelaheli tidak menghendaki Gagak Seta bertengkar dengan Dipajaya.

   Dipajaya pun demikian pula.

   Maka ia berkata bahwa segalanya berada ditangan Gagak Seta.

   Maksudnya, Gagak Setalah yang memegang pula keputusannya.

   Itulah kata-kata yang sebenarnya sudah mengandung kesediaan untuk mengalah.

   Akan tetapi Gagak Seta adalah seorang pendekar yang selama hidupnya tinggi hati dan mau menang sendiri.

   Baginya, apakah Dipajaya atau Sirtupelaheli akan rujuk kembali, bukan soalnya.

   Yang penting dia harus bisa merangkum dua persoalan.

   Yakni.

   Pesan gurunya agar melindungi Sirtupelaheli dan bertindak mewakili keenam saudara seperguruannya yang mati karena racun Dipajaya.

   la kini sudah berusia lanjut.

   Hatinya yang panas sudah tersirap.

   Cukuplah sudah, asal Dipajaya dan Sirtupelaheli menyatakan kepadanya, bahwa mereka berdua bersedia berada dibawah perlindungannya.

   Menurut anggapannya, apabila mereka berdua bersedia menyatakan demikian, berarti.

   dirinya sudah mengangkat keenam saudara seperguruannya kejenjang martabat yang lebih tinggi dari mereka berdua.

   Serta dirinya diakui bisa bertindak mewakili gurunya.

   "Kakang Gagak Seta! Kau menghendaki begitu? Kau tunggulah!"

   Kata Dipajaya. Kemudian ia menoleh kepada Tarupala.

   "Tarupala! Kau pinjamilah pedangku semalam!"

   "Pedangmu berada di tangan Kilatsih!"

   Tungkas Sirtupelaheli.

   "Bagaimana bisa begitu!"

   Dipajaya heran. Sirtupelaheli tertawa.

   "Rupanya, muridmu menyerahkan pedangmu kepada Kapten Wiranegara. Kebetulan di tengah jalan kami berdua melihatnya. Pedang lantas kurampas dan kuserahkan kepada Kilatsih."

   "Eh, begitu?"

   Sepasang alis Dipajaya berdiri.

   "Benar,"

   Kata Kilatsih.

   "Tetapi pedang itu kukembalikan kepada saudara Sindungjaya!"

   Mendengar keterangan Kilatsih, Dipajaya diam tercengang- cengang.

   Aneh riwayat pedang itu! Mula-mula tersekap di dalam istana Kasultanan.

   Ia mencurinya.

   Lalu diberikan kepada Tarupala.

   Tarupala diberikan kepada Kapten Wiranegara.

   Tetapi ditengah jalan terampas oleh Gagak Seta dan Sirtupelaheli.

   Oleh suatu pertimbangan tertentu pedang itu diserahkan kepada Kilatsih.

   Diluar dugaan, Kilatsih menyerahkan kembali kepada Prajaka Sindungjaya dan Antariwati.

   Dipajaya jadi termenung-menung sejenak.

   "Kakang Gagak Seta, lihatlah! Perjalanan Ki Ageng Singkir, mirip dengan perjalanan hidupku. Aku mencuri pedang Ki Ageng Singkir dari istana Sultan. Kau tahu maksudku?"

   "Bukankah maksudmu pedang itu akan kau persembahkan kepada junjunganmu di Pulau Lombok?"

   Jawab Gagak Seta dengan tertawa.

   "Dengan mempersembahkan sesuatu setidak- tidaknya, engkau bisa bebas dari hukuman aliranmu."

   "Setengah benar,"

   Ujar Dipajaya.

   "Aku memang seorang budak. Hal itu terjadi lantaran aku ingin membalaskan dendam ayahku terhadap gurumu. Pada suatu hari seorang pengembara merawatku dan mendidikku, sehingga aku memiliki sedikit kepandaian, untuk bekal membalaskan dendam ayahku. Tak tahu orang itu adalah salah seorang duta Aliran Suci. Tatkala itu aku tidak memikirkan akibatnya. Pokoknya asal aku dapat melampiaskan dendam. Tak tahunya suatu peristiwa lain telah terjadi. Aku kena dikalahkan Sirtupelahi di dalam Telaga Sarangan. Semenjak itu aku menderita. Sebab aku harus membayar upah jasa terhadap guruku yang terutama harus bisa menyerahkan rahasia kitab ilmu sakti rumah perguruanmu. Karena merasa diri tak sanggup, aku memutuskan untuk bunuh diri. Agar guruku puas, bunuh diriku akan mengajak sekalian saudara-saudara seperguruanmu. Sungguh tak pernah kuduga bahwa oleh ajaran guruku aku agak kebal dari sekalian racun, betapa dahsyatpun. Dengan begitu gagallah aku bunuh diri untuk menghindari pajak upah jasa. Maka aku mencari jalan lain. Dengan jalan mencuri pedang istana Kesultanan Yogyakarta."

   Ia berhenti sebentar. Kemudian meneruskan.

   "Maksudku yang utama dengan mengandal kepada Ki Ageng Singkir aku hendak melatih diri untuk menghadapi sekalian utusan Aliran Suci di Pulau Lombok. Mati dan hidup tidak kupikirkan lagi. Yang penting dengan sebilah pedang itu aku mengharap bisa menebus dosaku terhadap sekalian saudara-saudara seperguruanmu."

   "Hem!"

   Dengus Gagak Seta.

   "Kalau menang syukurlah. Bila mati tak apalah,"

   Kata Dipajaya tak menghiraukan dengus Gagak Seta."

   Ternyata murid-muridku dan pihakmu telah saling berhubungan oleh pedang itu pula. Artinya mereka telah mendahului kita berdua satu langkah di depan."

   "Apa maksudmu?"

   Gagak Seta menegas.

   "Dalam sekejapan saja empat puluh tahun telah lewat,"

   Jawab Dipajaya.

   "Dan kita bertiga telah menjadi tua. Kerunyaman dimasa kita muda, benar-benar terasa lucu apabila kini kita pikirkan. Beberapa lama sih usia manusia ini? Aku telah berbuat suatu kedosaan besar. Karena mementingkan keselamatan sendiri aku menyebarkan maut terhadap saudara-saudara seperguruanmu. Sebaliknya akupun sangat menderita. Empat puluh tahun lebih aku tersiksa oleh ancaman racun jahat Aliran Suci yang mengeram di dalam diriku. Inilah racun rahasia Aliran Suci yang tak dapat terpunahkan. Seseorang yang kebal dari sekalian racun masih tak mampu menyelamatkan diri. Pada saat yang ditentukan apabila tidak mendapat pengampunan tulang-tulangku akan rontok dan membusuk. Aku akan mati perlahan-lahan dengan menderita suatu siksa yang tak tertanggungkan lagi."

   "Hem!"

   Dengus Gagak Seta untuk yang kedua kali.

   "Kakang Gagak Seta. Telah kukatakan tadi aku telah berbuat sesuatu kedosaan besar terhadap rumah perguruanmu. Karena itu apabila pada hari ini aku merunyamkan-nya lagi pastilah kita menjadi bahan tertawaan sejarah dikemudian hari. Lihatlah anakku Sangaji. Dengan mengandal kepada kemampuan diri dia bisa hidup sebagai manusia utuh. Hidup sebagai majikan atas diri sendiri. Alangkah menyenangkan! Ia bisa menolong diri dan tak usah membiarkan dirinya menjadi budak orang. Sebaliknya aku! Karena dirangsang oleh dendam kesumat aku menjadi manusia yang hidup berujung tak berpangkal. Akhirnya terpaksalah aku melampui sejarah yang runyam. Engkaupun pula, Sirtupelaheli demikian juga. Kita bertiga saling mengkait dengan alasan kita masing-masing."

   "Hem!"

   Dengus Gagak Seta untuk ketiga kalinya.

   "Pada masa empat puluh tahun yang lalu persoalan kita tak dapat dibereskan. Setelah kita bertiga kini menjadi tua, semestinya harus dibereskan Kakang Gagak Seta! Pangkal yang menakutkan hidupku kini telah lenyap oleh pertolongan anakku Sangaji. Itulah obat pemunah anak muda yang berdiri disamping anakku Sangaji."

   "Dia bernama Manik Angkeran,"

   Tungkas Sirtupelaheli.

   "Bukankah begitu?"

   Sangaji yang berdiri di samping Manik Angkeran mengangguk dan Dipajaya meneruskan kata-kata.

   "Aku bebas kini. Inilah suatu kejadian yang selalu kumimpikan semenjak puluhan tahun yang lalu. Dengan begitu aku kini bisa menentukan perjalanan hidupku sendiri. Karena itu Kakang Gagak Seta pada hari ini aku menyatakan takluk kepadamu."

   Gagak Seta menghela napas.

   Hatinya tergetar.

   Dia adalah seorang pendekar yang menghargai kejujuran dan ketulusan hati seseorang.

   Meskipun menghadapi seorang lawan besar yang menimbun seribu kedosaan, masih bisa ia bersikap lapang hati apabila lawan itu bersikap ksatria.

   Kini ia mendengar, Dipajaya menyatakan takluk kepadanya.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dengan pandang berkilat ia menatap Dipajaya.

   Benarkah dia menyatakan takluk dengan sesungguh hati? "Kau takluk kepadaku?"

   "Benar,"

   Jawab Dipajaya dengan suara tegas.

   "Maka mulai saat ini kita bertiga janganlah berpisah lagi! Sebagai penebus dosaku, aku akan menyerahkan seluruh ilmu kepandaianku kepadamu. Syukurlah apabila engkau masih mau mengampuni dosaku. Dengan demikian kita bertiga dikemudian hari akan dapat mewariskan sesuatu kepada anak-anak muda yang kelak akan menduduki angkatan mendatang. Apakah hal ini bukan suatu kejadian yang bagus sekali?"

   Makin tergeraklah hati Gagak Seta mendengar ucapan Dipajaya.

   Itulah tujuan yang mulia sekali.

   Dengan serta merta lenyaplah kesan buruknya terhadap pendekar tua itu.

   Dengan menyatakan takluk kepadanya berarti dirinya sudah dapat mengalahkan lawan almarhum gurunya.

   Hatinya merasa puas.

   "Bagus! Pada waktu kini umurku menjelang delapan puluh tahun dan aku pernah melakukan pertempuran besar dan kecil tak kurang dari beberapa ratus kali. Akan tetapi peristiwa pada hari ini bagiku adalah yang paling memuaskan. Memang aku tidak berhasil membalaskan dendam saudara-saudara seperguruanku serta menjunjung nama almarhum guruku akan tetapi sekarang ini budi dan permusuhan telah dapat dilenyapkan dan dijelaskan. Dipajaya aku menerima pernyataan taklukmu. Baiklah sekarang telah tiba waktunya kita bertiga pergi dari sini!"

   Seperti biasanya setelah berkata demikian Gagak Seta lantas tertawa berkakakkan. Serunya kepada Sangaji.

   "Anakku Sangaji! Bertemu dengan dirimu aku berharap mudah-mudahan tidak perlu lagi menitis pada penjelmaan hidup yang mendatang. Aku puaslah sudah mempunyai murid seperti engkau. Untuk kesekian kalinya ternyata engkaulah yang meletakkan dasar perdamaian untuk kita semua. Selagi aku masih memiliki tulang-tulang keropos, perkenankan aku menyatakan penghargaanku terhadapmu."

   Itulah suatu pernyataan yang mengejutkan hati Sangaji.

   Selama ketiga pendekar tua itu berbicara mereka yang berada disitu menajamkan pendengarannya agar bisa menangkap tiap patah kata mereka bertiga dengan baik.

   Latar belakang sejarah hidup mereka, alangkah menarik.

   Diluar dugaan tahu- tahu penutup pembicaraan mereka beralih kepada Sangaji.

   Keruan saja pemuda itu terkejut.

   Buru-buru ia menyanggah perbuatan Gagak Seta yang hendak membungkuk hormat kepadanya.

   Sekonyong-konyong pada saat itu, Sirtupelaheli berkata dengan wajah berseri-seri.

   "Benar-benar Tuhan Maha Adil! Kalau begini aku tidak akan membiarkan diriku menjadi budak orang! Sekarang ternyata bahwa yang membuat neraka kehidupan kita bertiga adalah mereka yang menamakan diri Aliran Suci di Pulau Lombok. Kita kini sudah bersatu. Apalagi disamping kita masih berdiri anakku Sangaji. Sekalipun tidak demikian masakan kita bertiga tidak sanggup menghadapi kurcaci-kurcaci duta Aliran Suci?"

   Gagak Seta tertawa besar.

   "Sirtupah! Jangan engkau beromong terlalu besar! Niatnya kita berdua tidak sanggup menghadapi Brigu. Seumpama anakku Sangaji tidak datang, pastilah Aliran Suci bertambah seorang budak lagi. Itulah aku sendiri..."

   Sirtupelaheli memangut-mangut dengan tersenyum lega.

   Seketika itu juga ia mengarah kepada Sangaji.

   Karena semua persoalan yang menghantui dirinya telah selesai dalam hatinya dia bersedia melakukan apa pun juga.

   Melihat Gagak Seta tadi hendak membungkuk hormat, ia pun segera melakukan penghormatan itu.

   "Ach, benar! Ternyata engkaulah, anakku yang dapat membubarkan semua rencana mereka yang menamakan diri golongan Aliran Suci. Untuk ini, perkenankan aku..."

   "Bibi! Jangan berlebih-lebihan!"

   Cegah Sangaji dengan tergesa-gesa.

   "Berbicara tentang siapa yang berjasa dalam hal ini, adalah saudaraku Manik Angkeran. Karena itu perkenankan aku mewakili dirinya untuk mohon keterangan kepada Bibi. Pernahkah Bibi mempunyai seorang murid bernama Fatimah? Dialah sesungguhnya tunangan saudaraku Manik Angkeran......"

   "Ah!"

   Seru Sirtupelaheli tertahan.

   Wajahnya menjadi guram.

   Terhadap Sangaji dan Titisari ia selalu merahasiakan perhubungannya dengan Fatimah.

   Dia memang muridnya.

   Akan tetapi sesungguhnya tak layak dirinya disebut sebagai gurunya.

   Sebab ia mempunyai tujuan tertentu, hendak memperalat Fatimah untuk mencari rahasia ilmu sakti Kyai Kasan Kesambi.

   Ia tahu, Fatimah adik Wirapati, murid kesayangan Kyai Kasan Kesambi.

   Sekarang ternyata, Fatimah tunangan Manik Angkeran.

   Sedang Manik Angkeran justru menolong persoalannya yang rumit dengan obat pemunahnya.

   Budi ini seumpama tingginya Gunung Mahameru.

   Sekalipun ditebus dengan jiwanya tidak memadai.

   "Aku tak beda dengan Dipajaya, adalah manusia yang mementingkan keselamatan diri sendiri."

   Akhirnya ia berkata dengan suara perlahan.

   "Sudah sepantasnyalah sejarah mengutuk diriku. Aku telah memperlakukan Fatimah dengan tak adil. Hampir-hampir saja aku menewaskan jiwanya. Setelah aku bertemu dengan Adipati Surengpati, timbullah rasa sadarku. Dan semenjak itu aku tak pernah meniliknya lagi. Apakah engkau menghendaki bantuariku untuk mencarinya? Hanya saja di dalam dirinya telah mengeram racun terkutuk..."

   "Tentang ancaman racun itu, barangkali tidak merupakan rintangan yang menutup kemungkinan bagi saudaraku Manik Angkeran. Bibi dan Paman Dipajaya sendiri telah membuktikan keampuhan obat pemunah penemuannya,"

   Kata Sangaji.

   "Yang penting dimanakah dia kini berada?"

   Sirtupelaheli menghela napas.

   "Sudah kunyatakan, bahwa aku tidak meniliknya lagi semenjak di Karimun Jawa."

   "Baiklah. Berilah kami restu agar dapat mencarinya sampai ketemu,"

   Kata Sangaji.

   "Kita berdua memang membuat susah dirimu saja,"

   Sambung Dipajaya.

   "Sudah begitu, akupun kini, justru ingin membicarakan suatu hal yang penting denganmu."

   "Berbicaralah, Paman!"

   Sahut Sangaji dengan wajah jernih.

   "Asalkan aku sanggup, pasti akan kulakukan apabila Paman menghendaki."

   Dipajaya tertawa melalui hidungnya. Itulah mengenai sekalian murid-muridku. Terutama muridku Letnan Suwangsa. Dia berada dipihak yang justru bermusuhan dengan pihakmu. Selanjutnya terserah kepadamu belaka bagaimana cara menilikmu terhadap mereka."

   Selagi Sangaji hendak membuka mulut, tiba-tiba Kilatsih berseru nyaring.

   "Eyang! Almarhum ayah angkatku pernah menyinggung- nyinggung tentang Seratus Jurus. Apakah Eyang sudi memberi keterangan?"

   Mendengar kata-kata Kilatsih, wajah Dipajaya berubah selintasan. Setelah berbimbang-bimbang, ia meraba sakunya. Kemudian berkata kepada Gagak Seta.

   "Kakang Gagak Seta! Inilah tadi yang kukatakan bahwa dengan mengandal kepada pedang Ki Ageng Singkir aku hendak melatih diri. Maksudku meminjam isi surat wasiat yang berada di tangan Sorohpati."

   "Apakah engkau sudah berhasil?"

   Tanya Gagak Seta dengan tertawa.

   "Tahukah engkau siapa yang menulis surat wasiat itu? Dialah anakku Titisari. Putri rekan Adipati Surengpati istri anakku Sangaji."

   Dipajaya mengangguk. Nampaknya jauh-jauh ia sudah mengetahui hal itu. Keruan saja Gagak Seta tercengang.

   "Jadi engkau sudah mengetahui?"

   Kembali lagi Dipajaya mengangguk.

   "Benar. Tetapi aku belum berhasil tentang arti Seratus Jurus itu sebenarnya merupakan suatu perjanjian belaka. Bahwasanya aku hanya memerlukan Seratus Jurus saja. Apabila aku sudah berhasil memiliki Seratus Jurus, surat wasiat ini harus segera kukembalikan. Ah, diluar dugaan Sorohpati tewas justru karena surat wasiat itu."

   "Tahukah engkau siapa sebenarnya Sorohpati? Dialah justru ayah Manik Angkeran."

   "Ih!"

   Dipajaya menggigil. Ia benar-benar terkejut.

   "Tetapi demi Tuhan bukan akulah yang menyebabkan kematiannya."

   "Benar. Memang bukan Paman yang menyebabkan matinya,"

   Kata Sangaji. Dipajaya agak terhibur mendengar pernyataan itu. Lantas saja ia menyerahkan segebung kertas kepadanya.

   "Setanpun tak akan berhasil menyelami inti sari surat wasiat ini. Ternyata keterangan-keterangannya saling bertentangan dan menyesatkan."

   Gagak Seta tertawa panjang mendengar keterangan Dipajaya.

   "Sekiranya tidak demikian, dia bukan Titisari! Kita semua ini termasuk anakku Sangaji sedikit banyak pernah menjadi permainannya si cerdik itu. Otaknya memang cemerlang. Sebenarnya patut ia menjadi anak setan. Apa sebab dia lahir sebagai anak manusia, aku sendiri tak tahu."

   Sangaji tertawa.

   Dan sekalian yang mendengar mau tak mau merasa geli juga mendengar kata-kata Gagak Seta.

   Hanya Letnan Suwangsa yang terlalu percaya kepada kepandaiannya sendiri, mengerinyitkan dahi.

   Benarkah istri Sangaji memiliki otak demikian cemerlang sehingga bisa memperdayakan pendekar-pendekar yang sudah kenyang makan garam, termasuk dirinya.

   Dalam hati sama sekali ia tidak percaya.

   Dalam pada itu Sangaji telah menerima segebung surat wasiat Titisari.

   Itulah catatan rahasia ilmu sakti Bende Mataram menurut ingatan Titisari.

   Akan tetapi sesungguhnya, apa yang ditulisnya, baru sebagian saja.

   Sedang selebihnya masih berada di dalam otak puteri Adipati Surengpati itu.

   Inilah keistimewaan Titisari, seorang pendekar wanita yang otaknya tiada banding di dunia.

   Semua yang bakal terjadi jauh-jauh sudah masuk ke dalam perhitungannya.

   Kilatsih jadi teringat kepada bunyi surat Titisari.

   Ia didesak untuk menolong Sangaji mencarikan surat wasiatnya yang berada ditangan ayah angkatnya Sorohpati.

   Sekarang justru Dipajaya telah menyerahkan surat wasiat itu langsung kepada Sangaji.

   Artinya, Sangaji yang berkeinginan besar untuk menyerahkan surat wasiat itu akan segera terlaksana.

   Siapa mengira apa yang ditulis di dalam segebung surat wasiat itu sesungguhnya hanya suatu penyesatan belaka.

   Dalam hati Sangaji mendongkol terhadap istrinya.

   Namun terpaksa ia tertawa geli.

   Titisari masih tetap nakal seperti zaman gadisnya.

   Minta ketegasan kepada Dipajaya.

   "Jadi tak dapatkah seseorang mengambil manfaatnya setelah membaca isi surat wasiat ini?"

   "Sekiranya demikian, barangkali tak usah engkau ikut campur menghajar Brigu."

   Dipajaya meyakinkan.

   Mendengar kata-kata Dipajaya mereka yang mendengarkan, mempunyai kesan berbeda-beda.

   Letnan Suwangsa tercengang.

   Benarkah gurunya kena tipu daya Titisari? Ia kenal watak dan tabiat gurunya.

   Apa yang dinyatakan adalah isi hati yang sesungguhnya.

   Sedang dipihak Sangaji lantas saja percaya akan tujuan Dipajaya yang mulia.

   Sekiranya pendekar tua itu benar-benar membudakkan dirinya sendiri kepada Aliran Suci di Pulau Lombok, pastilah dia sudah menyerahkan surat waisat Titisari.

   Meskipun surat wasiat Titisari tidak dapat dipercaya, akan tetapi setidak-tidaknya, merupakan sebuah warisan yang tak ternilai harganya.

   Untuk ini saja Aliran Suci Pulau Lombok pasti bersedia membebaskan Dipajaya dari kedahsyatan racun yang mengeram di dalam dirinya.

   Sebaliknya ia tidak berbuat demikian.

   Tujuannya hanya hendak melatih diri agar bisa menghadapi duta-duta Aliran Suci.

   Memperoleh kesan demikian, Gagak Seta jadi bertambah termangu-mangu.

   "Dipajaya bisa dipegang kata-katanya. Bagus! Rasanya, dalam menyelesaikan sisa hidupku, tak rugi aku hidup berkumpul dengan dia."

   Pada saat itu juga teringatlah dia pada zaman mudanya, tatkala dengan berani Dipajaya menantang gurunya.

   Itulah watak seorang ksatria sejati yang tidak menghiraukan keselamatan diri demi menunaikan tugas membalaskan dendam ayahnya.

   Dengan ingatan itu Gagak Seta memanggut-manggut, sambil melayangkan pandangnya.

   "Anakku Sangaji! Kuharap engkau pandai menjaga kesehatanmu. Apakah engkau masih menganggap Wirapati sebagai gurumu?"

   Itulah pertanyaan yang mengejutkan hati Sangaji. Dengan heran ia bertanya minta penjelasan.

   "Tentu saja Beliau guruku. Sekali menjadi guruku, tetap menjadi guruku. Mengapa Guru menyebut-nyebut nama Beliau?"

   Gagak Seta tertawa.

   "Bagus! Kau tiliklah keadaan gurumu, Wirapati!"

   Tiba-tiba saja ia memutar tubuh dan berjalan keluar halaman.

   Dipajaya dan Sirtupelaheli pun mengikuti dari belakang.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sebentar saja tubuh mereka bertiga hilang dalam cuaca yang mulai remang-remang.

   Murid-murid kedua pihak segera membungkuk hormat memberi selamat jalan kepada guru mereka masing-masing.

   Dalam hati mereka sebenarnya sangat berduka dan menyesal.

   Alangkah cepat perpisahan itu.

   Terjadinya dengan tiba-tiba pula.

   Sangaji terdiam.

   Begitu pula Letnan Suwangsa dan sekalian adik seperguruannya.

   Masing-masing tenggelam dalam perasaannya sendiri.

   Sama sekali mereka tidak menyangka, bahwa kedua lawan yang demikian hebat permusuhannya, akhirnya memperoleh penyelesaian demikian mudah.

   Beberapa saat lamanya, kesunyian terjadi.

   Kemudian dengan perlahan-lahan Sangaji memutar pandangnya kepada Letnan Su-wangsa.

   "Saudara Letnan Suwangsa! Biarlah untuk kali ini kita berpisah sampai disini saja. Mudah-mudahan kita tak perlu bertemu lagi. Dengan demikian kita tak perlu pula bekerja dengan alasan kita masing-masing."

   Letnan Suwangsa mengangguk.

   Keadaan pihaknya memang sudah runyam.

   Tiada lagi seorang pun yang dapat dibuat sandaran.

   Sedang dihadapannya selain Sangaji, masih terdapat Manik Angkeran, Dadang Wiranata, Otong Surawijaya dan Kilatsih.

   Meskipun pihaknya berjumlah banyak, akan tetapi seluruh laskarnya telah lumpuh.

   Dua kali laskarnya kena gempur.

   Yang pertama oleh Gagak Seta dan Manik Angkeran.

   Dan yang kedua oleh Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.

   Dia sendiri telah basah-kuyup.

   Kecuali tadi tercebur ke dalam kolam, hatinya telah menjadi dingin pula.

   Kedudukannya kini menjadi sulit.

   Itulah disebabkan oleh kedudukan guru dan dinasnya di dalam ketentaraan.

   Kapten Wiranegara dan sekalian perwira-perwiranya menyaksikan belaka bahwa dirinya muridnya seorang pendekar yang justru berada dipihak lawan.

   "Baiklah, untuk sementara kita berpisah,"

   Katanya dengan semangat runtuh.

   Ia mendahului keluar halaman dan segera diikuti sekalian rekan-rekannya serta pasukannya.

   Mereka benar-benar merupakan serombongan serdadu yang bangkrut.

   Letnan Suwangsa sendiri tidak mempedulikan hal itu.

   Ia sadar, bahwa untuk memperbaiki kedudukannya paling tidak harus membuat jasa yang besar.

   Inilah justru yang menyulitkan dirinya.

   Memang semenjak saat itu, tak pernah lagi ia bertemu dengan Sangaji.

   Namun ia masih merupakan perwira laskar Mangkunegaran.

   Dikemudian hari ia tertawan oleh laskar Pangeran Diponegoro.

   Ia diperlakukan dengan baik sekali.

   Kemudian sadarlah dia dan berbalik melawan Kompeni Belanda.

   Hal itu terjadi sekitar tahun 1827.

   Dalam pada itu, setelah pesanggrahan sunyi kembali, Sangaji berkata kepada kedua raja muda Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya.

   "Paman sekalian datang tepat pada waktunya, sekiranya lambat sedikit saja pihak kita akan menderita kerugian sangat besar. Peristiwa selanjutnya akan lain jadinya..."

   Tetapi kali ini Manik Angkeran tidak memberinya kesempatan. Sekali mengayun kaki, ia mendupak perwira itu. Dan begitu kena dupakannya, perwira itu terjungkal tak berkutik lagi.

   "Ah! Apa sih sukarnya melayani bangsa kurcaci yang tiada artinya!"

   Sahut Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya dengan tertawa.

   Seperti diketahui, setelah berhasil mengalahkan Windu Aji, Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya berusaha menghubungi Sangaji.

   Ditengah jalan mereka melihat gerakan militer.

   Karena curiga, mereka lantas mengikuti.

   Sebagai pendekar yang berkepandaian tinggi, sama sekali mereka tak menemukan kesukaran.

   Diperkemahan, mereka melihat munculnya Manik Angkeran dan Manusama.

   Mereka menyaksikan dan mendengarkan pembicaraan Letnan Suwangsa dan Manusama dengan jelas pula.

   Lantas saja mereka memutuskan hendak menguntitnya.

   Demikianlah, mereka tiba dan muncul pada saat yang tepat.

   Terhadap kedua raja muda itu.

   Sangaji menaruh kepercayaan besar.

   Mereka tidak hanya setia kepadanya, akan tetapi tangguh pula.

   Mereka tak senang dengan pujian yang berlebih-lebihan.

   "Paman! Bagaimana? Apakah paman berdua sudah bertemu dengan dia?"

   Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya mengerti akan maksud majikannya. Itulah mengenai Widiana Sasi Kirana, cucu ratu Bagus Boang. Dengan tak ragu-ragu Dadang Wiranata berkata.

   "Bawasannya ketua himpunan harus dipegang oleh putra Pasundan. Sebenarnya hanya merupakan suatu adat belaka. Semenjak dahulu kami semua sadar dan mengetahui hal itu. Akan tetapi padukalah harapan kami. Ternyata harapan kami tidak sia-sia belaka. Paduka telah membawa maju arti laskar perjuangan. Himpunan Sangkuriang untuk Jawa Barat. Hal itu terbukti, Kompeni Belanda, tidak berani main serampangan seperti dahulu. Ia berhenti sebentar mengesankan. Kemudian meneruskan.

   "Memang, kami berdua telah melihat dia. Kami telah berbicara pula dengan rekan Ki Tunjungbiru. Selanjutnya dialah yang mengurusi kehadiran Beliau. Sekarang kami berdua tinggal menunggu perintah paduka. Pendek kata, atas nama sekalian raja muda Himpunan Sangkuriang, kami masih bernaung di bawah tongkat pimpinan Paduka."

   Sangaji meraba kantongnya dan mengeluarkan segebung surat wasiat Titisari yang tadi diterimanya dari Dipajaya.

   "Paman! Kau pelajari isinya! Apakah benar, isinya tak ada faedahnya? Aku ingin menyerahkan isi surat wasiat ini kepada cucu ratu Bagus Boang."

   Kilatsih terkejut hatinya tatkala mendengar Sangaji menyebut cucu ratu Bagus Boang.

   Siapa dia, baginya bukan merupakan teka-teki lagi.

   Teringat akan perhubungannya dengan Widiana Sasi Kirana, tak terasa wajahnya menjadi panas.

   Syukurlah pada saat itu semua orang lagi menumpukan perhatiannya pada percakapan antara Sangaji dan kedua raja muda itu.

   Dengan demikian perubahan wajah Kilatsih luput dari perhatian.

   Cuaca pun sudah remang-remang pula.

   "Paduka!"

   Kata Dadang Wiranata kepada Sangaji.

   "Di zaman ini siapakah yang mampu menandingi otak tuanku putri? Dengan sekelebatan saja, masakan kami mampu membuktikan faedah atau tidaknya."

   Ucapan Dadang Wiranata memang beralasan. Mau tak mau Sangaji tertawa. Katanya mengalihkan perhatian.

   "Dimanakah anakku, Senot Muradi?"

   Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya tertawa berbareng.

   Seperti diketahui, mereka berdua membawa Sentot Muradi ke Jawa Barat.

   Disepanjang jalan mereka mendidik dan menilik ilmu kepandaian, yang mereka wariskan.

   Tetapi kerena terpengaruh olah gerakan militer, mereka tak jadi membawanya ke Jawa Barat.

   Walaupun demikian "Berkat tepukan tangan Windu Aji dan Guntur Aji"

   Sentot Muradi maju sangat pesat.

   Ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang gesit, tangkas, kekar dan berotak cemerlang seperti almarhum ayahnya.

   Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya tidak merasa malu atau canggung-canggung lagi menghadapkannya kepada Sangaji.

   Maka dengan mendadak mereka bersiul panjang.

   Tak lama kemudian mencul seorang pemuda tanggung dari balik belukar dengan berlari larian.

   Dialah Senot Muradi! Baru beberapa bulan saja Kilatsih berpisah dengan pemuda tanggung itu.

   Kini dia berubah menjadi seorang pemuda penuh-penuh.

   Wajahnya cakap dan ganteng.

   Tinggi badannya melebihi dirinya.

   Dengan tertawa haha hihi, pemuda itu menghampiri Sangaji seraya membungkuk hormat.

   "Paman! Terimalah hormatku."

   Sangaji menjadi terharu. Teringatlah dia, kepada ayah bocah ituSanjayayang mati kena keroyok. Dengan Sanjaya ia mengangkat saudara. Maka oleh ingatan itu, ia meraih Senot Muradi dan hampir-hampir diciumnya. Katanya dengan hati pilu.

   "Aku telah mengajarimu beberapa jurus. Dibawah asuhan kedua gurumu, pastilah engkau telah maju jauh, bukan?"

   Senot Muradi tartawa.

   "Berkat restu Paman dan berkat kesungguhan hati Eyang Dadang Wiranata dan Otong Surawiajaya aku kini berhak melanjutkan sisa hidupku."

   Kilatsih tertawa geli mendengar jawaban Senot Muradi. Itulah jawaban mirip seorang pendekar yang sudah banyak makan garam. Mendahului Sangaji, gadis itu berseru.

   "Senot! Kukira tidak hanya ilmu kepandaian saja yang maju akan tetapi mulutmu juga..."

   Senot Muradi tidak bersakit hati. Ia malahan tertawa lebar. Dengan mata yang bulat ia menatap Kilatsih.

   "Ayunda! Kabarnya engkau telah berkenalan dengan cucu ratu Bagus Boang. Benarkah itu?"

   Keruan saja Kilatsih terpukul hatinya. Wajahnya kembali menjadi merah. Tadi tatkala Sangaji menyinggung-nyinggung cucu ratu Bagus Boang, hatinya sudah tercekat. Kini bocah nakal itu bahkan menegurnya dengari langsung. Dengan keripuhan ia menjawab.

   "Idih! Kenapa mulutmu usil pula? Awas!"

   Senot Muradi mencibirkan bibirnya.

   Mau tak mau sekalian hadirin mengulum senyum.

   Maka tak usah dikatakan lagi bahwa hubungan antara Kilatsih dan Widiana Sasi Kirana bukan suatu rahasia lagi.

   Keruan saja hati Kilatsih menjadi tak nyaman.

   Ia seolah-olah menghadapi jalan buntu.

   Mundur tak dapat maju pun segan.

   Untunglah Sangaji menolong keadaan hatinya.

   Pada saat itu Sangaji berpaling kepada Manik Angkeran.

   "Manik angkeran! Aku tahu, hatimu tidak puas baiklah mari kita membagi pekerjaan. Kau hunuslah pedangmu!"

   Semua yang mendengar perkataan Sangaji, tercengang.

   Apa maksudnya? Wajah Manik Angkeran pun berubah.

   Ia nampak berbimbang-bimbang.

   Tatkala hendak membuka mulut ia melihat Sangaji mengambil sebatang tongkat bambu yang tadi dipergunakan Situpelaheli sebagai senjata melawan murid-murid Dipajaya.

   Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya lantas saja tersenyum.

   Mereka kenal pribadi Sangaji yang tak pandai berbicara untuk menterjemahkan isi hatinya.

   Tatkala itu Sangaji berkata kepada Kilatsih dan Senot Muradi.

   "Kilatsih dan engkau anakku Senot Muradi! Perhatikanlah gerakan ilmu pedang pamanmu Manik Angkeran!"

   Baru sekarang Manik Angkeran mengerti maksud Sangaji.

   Ia lantas menjadi tenang kembali.

   Dengan kata-katanya itu Sangaji bermaksud hendak memberi beberapa petunjuk kepadanya.

   Ilmu kepandaiannya kini memanjat sangat pesat berkat ajaran Sangaji dan Titisari.

   Ia memusatkan diri dalam ilmu pedang.

   Sering kali ia menemukan kesulitan karena tidak memperoleh petunjuk-petunjuk seorang ahli.

   Itulah sebabnya ia menjadi mendongkol tatkala mendengar kabar bahwa Sangaji dan Titisari meninggalkan Jawa Barat.

   Gedung Paguyuban dijualnya.

   Kemudian ia memasuki wilayah Jawa Tengah untuk mencari jejak Sangaji dan Titisari.

   Sekarang Sangaji hendak memberi petunjuk-petunjuk itulah suatu hadiah yang sangat berharga baginya.

   Kangmas Sangaji berkata hendak membagi pekerjaan.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tetapi dengan tiba-tiba dia hendak menguji ilmu pedangku dahulu.

   Katanya di dalam hati, kalau ilmu pedangku sudah dapat diandalkan rupanya barulah dia rela melepaskan aku.

   berjalan seorang diri.

   Apakah didepanku menghadang ancaman bahaya? Tiba-tiba saja teringatlah dia akan Brigu dan teringat akan Brigu semangat tempurnya lantas saja menyala.

   Pada saat itu ia sudah mengambil keputusan hendak memperlihatkan kemampunnya menggunakan senjata pedang di depan Sangaji.

   Tiba-tiba Kilatsih berseru.

   "Kangmas Manik Angkeran! Kangmas Sangaji hendak memberi petunjuk-petunjuk kepadamu. Mengapa engkau tidak lantas menghunus pedangmu?"

   Manik Angkeran seperti tersadarkan. Segera ia membungkuk hormat kepada Sangaji.

   "Maaf!"

   Berbareng dengan perkataannya pedangnya berkelebat.

   Manik Angkeran tidak hanya memperoleh pelajaran dari Sangaji saja akan tetapi dari Titisari pula.

   Sedangkan ilmu kepandaian Titisari dan Sangaji sangat jauh bedanya.

   Himpunan tenaga Sakti Sangaji berdasarkan keris sakti Kyai Tung-gulmanik.

   Sedangkan Titisari tidak hanya mewarisi ilmu kepandaian Gagak Seta, tetapi pun mengenal pula rahasia ukiran keris sakti Kyai Tunggulmanik.

   Apabila Sangaji berada diatas Titisari adalah semata-semata berkat himpunan tenaga saktinya yang hebat luar biasa.

   Sebaliknya mengenai keragaman ilmu kepandaian Titisari sangat kaya raya.

   Ia mengenal pula ilmu sakti Witaradya warisan ayahnya.

   Disamping itu banyak pula berbicara dengan Endoh Permanasari dan para raja-raja muda Himpuanan Sangkuriang.

   Maka tidaklah berlebih-lebihan apabila dia disebut sebagai gudang ragam ilmu kepandaian dipersada bumi ini.

   Demikian pedang Manik Angkeran berkilauan di empat penjuru seperti menutup jalan mundur.

   Selagi Kilatsih mencoba memecahkan bagaimana caranya menangkis serangan demikian Sangaji sudah mengangkat tangannya.

   Tongkat bambunya bergerak dan berkelebatlah secercah sinar hijau bersemu kuning.

   Dan tahu-tahu pedang Manik Angkeran terpental tinggi ke udara.

   "Bagus!"

   Seru Senot Muradi dengan girang.

   "Bagus!"

   "Apanya yang bagus?"

   Kilatsih menegas dengan tertawa.

   "Coba dijelaskan!"

   "Bagus ya bagus! Apakah yang harus kujelaskan?"

   Sahut Senot Muradi mencibirkan bibirnya.

   "Sekiranya tidak bagus dengan sekali menangkis saja pedang Paman Manik Angkeran terbang tinggi di udara."

   "Hem! Hanya itu saja?"

   Kilatsih mendengus.

   "Kalau engkau hanya memiliki penglihatan sedangkal itu, jangan-jangan engkau akan ditertawakan seseorang sampai copot giginya!"

   Manik Angkeran sendiri merah mukanya.

   Tadi berhadap- hadapan dengan Manusama yang mempunyai tenaga besar, ia dapat melayani dengan mudah.

   Akan tetapi sekarang, menghadapi Sangaji.

   Pedangnya lantas saja terpental ke udara.

   Dengan perasaan agak kemalu-maluan, ia memungut pedangnya kembali.

   "Jurus ini tidak masuk hitungan!"

   Kata Sangaji sambil tertawa.

   "Mari coba lagi."

   "Eh, mengapa tidak masuk hitungan?"

   Bertanya Senot Muradi. Ia tak mengerti maksud Sangaji. Sangaji tersenyum.

   "Tangkisanku tadi tidak bagus. Biasakanlah dirimu mengikuti sesuatu kejadian dengan cermat!"

   Pada waktu mudanya, otak Sangaji, sangat bebal.

   Daya tangkapnya lambat.

   Akan tetapi ia selalu cermat mengamat- amati sesuatu kejadian, sehingga dengan keuletan ia bisa mencapai ilmu kepandaian yang sangat tinggi.

   Senot Muradi, adalah putra Sanjaya yang berotak cemerlang.

   Dibandingkan dengan kemampuan Sangaji diwaktu mudanya ia menang beberapa kali lipat.

   Maka oleh peringatan itu, Senot Muradi terdiam.

   Ia lantas memusatkan perhatiannya.

   "Kangmas Sangaji!"

   Kata Manik Angkeran minta keterangan.

   "Bukankah gerakan tanganku tadi terlalu meninggalkan pemusatan tenaga?"

   Sangaji mengangguk. Berkata kepada Senot Muradi.

   "Senot! Kau dengar tidak kata-kata pamanmu Manik Angkeran? Inilah perkataan seorang ahli. Kalau tadi aku dapat mementalkan pedang pamanmu Manik Angkeran ke udara, bukankah karena aku dapat membuyarkan jurusannya. Akan tetapi lantaran aku mempergunakan himpunan tenaga saktiku. Hanya sayang, tikaman pamanpun kurang cepat. Jurus yang diperlihatkan oleh pamanmu Manik Angkeran tadi bernama. Guntur dan kilat meledak dan mengejap berbareng. Jurus demikian memang tepat sekali apabila ditikamkan kepada seorang lawan yang sepadan. Akan tetapi menghadapi seorang lawan yang bertenaga sakti jauh lebih tinggi, tiada faedahnya sama sekali. Sebaliknya, seseorang yang mengandal kepada tenaganya saja, tidak akan dapat melawan suatu kecerdikan. Kelak, kalau engkau bertemu dengan bibimu, engkau akan memperoleh ceramah tentang tipu-tipu muslihat yang banyak sekali ragamnya."

   Senot Muradi mengernyitkan dahinya, la berpikir beberapa saat lamanya.

   "Seumpama pada suatu kali aku berhadapan dengan seorang yang himpunan tenaga saktinya melebihi Paman, apakah suatu kecerdikan masih dapat diandalkan untuk melawannya?"

   "Bagus pertanyaanmu! Sebenarnya himpunan sakti dan suatu kepandaian harus seimbang,"

   Sahut Sangaji memberi penjelasan.

   "Apabila ilmu pedangmu sudah sempurna, dengan meminjam tenaga lawan, engkau akan dapat mengalahkannya. Pengetahuan demikian, pastilah engkau sudah pernah memperolehnya dari kedua gurumu, bukan? Aku tahu, Paman Dadang Wiranata dan Paman Otong Surawijaya bertekun mewariskan ilmu kepandaiannya yang tinggi kepadamu."

   "Benar Paman. Sering kali Eyang Dadang dan Eyang Otong membicarakan hal itu. Akan tetapi aku belum mengerti,"

   Ujar Senot Muradi dengan terus terang. Sangaji tertawa. Ia berpaling kepada Manik Angkeran.

   "Baiklah, engkau boleh mulai lagi! Kau ulangi jurusmu tadi. Kau, Senot Muradi dan Kilatsih. Lihatlah yang cermat!"

   Manik Angkeran menurut.

   Mendadak ia menyerang dengan jurusnya tadi.

   Sangaji membuat gerakan pembelaan.

   Dengan sempurnanya ia membuat serangan Manik Angkeran gagal.

   Hanya saja pedang Manik Angkeran kini tidak terpental di udara.

   Sebaliknya dengan ujung tongkat bambunya, Sangaji mencoba menowel2) lengan.

   Manik Angkeran mundur, pedangnya melingkar dan membalas menikam.

   Dengan gerakannya itu ia bebas dari sambaran ujung tongkat bambu sangaji.

   "Bagus!"

   Sangaji memuji.

   "Engkau berbakat!"

   Kali ini Manik Angkeran menyerang dengan menyimpan tenaga terakhir.

   Itulah sebabnya, sambil mengelakkan diri dapat ia membuat suatu pembalasan.

   Dengan begitu ia tidak sampai kena desak terus.

   Pertempuran mulai memasuki babak kedua.

   Sangaji sengaja hendak mengetahui sampai dimana kepandaian Manik Angkeran.

   Ia mendesak terus-menerus akan tetapi tidak menggunakan tangan himpunannya yang sangat dahsyat; Karena didesak demikian rupa, Manik Angkeran melawan dengan hati-hati.

   Gerakannya sebat sekali.

   Setelah memasuki belasan jurus, ia jadi semakin mantap.

   Dengan serta merta ia mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya.

   Kedua mata Senot Muradi jadi berkunang-kunang menyaksikan pertempuran yang hebat itu.

   Ia menjadi kagum dan gembira sekali.

   Ia menonton terus dan tiba-tiba saja ia meroboh sendiri, lantaran kepalanya pusing.

   Kilatsih tertawa, la membangunkan pemuda tanggung itu.

   Kemudian dengan sapu tangannya ia menutup kedua mata Senot Muradi.

   Dan ia sendiri tetap menonton terus.

   Tongkat bambu Sangaji benar-benar hebat.

   Gjungnya seperti dapat mengikuti setiap serangan Manik Angkeran.

   Gerakannya cepat dan ringan sekali.

   Berkali-kali Manik Angkeran mencoba membabat ujung tongkat bambu itu, akan tetapi selalu gagal.

   Manakala ia terlambat sedikit saja, ujung tongkat bambu Sangaji dengan tiba-tiba menikam kepadanya.

   Kilatsih melihat Sangaji menggunakan ilmu pedang yang belum pernah diperlihatkan kepadanya.

   Hebat dan aneh perubahannya.

   Gerak-geriknya gesit luar biasa dan tak terasa seratus jurus lewatlah sudah.

   Sangaji kini hendak mengakhiri pertempuran itu.

   Otaknya lantas berusaha mencari akal.

   Dengan sengaja ia memberi lowongan agar Manik Angkeran menyerang.

   Akan tetapi Manik Angkeran ternyata cerdik.

   Tak mau ia menyerang secara langsung.

   Sebaliknya ia menikam ke kiri atau ke kanan.

   Lalu dengan tiba-tiba ke depan.

   Dengan bergantian ia menggunakan jurus-jurus ajaran Sangaji sendiri dan Titisari.

   Kadang-kadang dicampur dengan ajaran ilmu pedang perguruannya.

   Itulah ilmu pedang warisan guru besar Saha Dewata.

   Selagi Kilatsih ikut memecahkan cara bagaimana menghalaukan serangan Manik Angkeran, mendadak saja ia melihat tongkat bambu Sangaji meluncur lempang ke depan dan mengenai lengan Manik Angkeran.

   Seperti tadi, kena ujung tongkat bambu Sangaji, pedang Manik Angkeran terbang ke udara! Sederhana saja gerakan Sangaji.

   Akan tetapi hebat luar biasa.

   Manik Angkeran seorang pemuda tangkas dan gesit namun tak mampu menghindarkan serangan Sangaji sederhana itu.

   Dengan mulut memuji-muji.

   Kilatsih memungut pedang Manik Angkera Senot Muradi buru-buru membuka saputangan yang menutupi matanya.

   Tatkala menyenakkan penglihatan, pertempuran sudah berhenti.

   Sekarang, dilihatnya Sangaji sedang memberi keterangan kepada Manik Angkeran.

   "Ayunda Kilatsih... mengapa kedua mataku kau tutup?"

   Ia menggerutu dan meng-gerendengi Kilatsih. Kilatsih tidak melayani, la hanya tertawa lembut. Dengan isyarat mata, ia menyuruh pemuda tanggung itu mendengarkan keterangan Sangaji kepada Manik Angkeran.

   "Manik Angkeran!"

   Terdengar Sangaji berkata meyakinkan kepada Manik Angkeran.

   Engkau telah berhasil menyangkok empat belas ragam ilmu pedang.

   Engkaupun dapat menyelami dengan baik pula.

   Maka sekarang tinggallah engkau meyakinkan lebih lanjut lagi untuk mencapai kemahiranmu.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Satu-satunya kepincangan yang segera harus kau usahakan, adalah himpunan tenaga saktimu.

   Kalau engkau berlatih terus menerus selama tigapuluh tahun lagi, pastilah engkau akan menjadi seorang ahli pedang tanpa tandingan.

   Kini tinggallah segalanya tergantung belaka kepada ke-mauanmu sendiri.

   Dalam hal ini tak dapat aku mengangkat diriku sebagai gurumu.

   Akupun tak berhak menyebutmu sebagai muridku pula.

   Sebab tenaga himpunan sakti yang kau butuhkan itu semata-mata berada pada nasibmu yang baik.

   Sedang nasib bukan milik manusia..."

   Mendengar kata-kata Sangaji, Otong Surawijaya dan Kilatsih kagum luar biasa.

   Pikir Otong Surawijaya di dalam hati.

   Tak pernah Gusti Aji berbicara berkepanjangan.

   Kenapa petang hari ini merubah adatnya.

   Ah, dasar Manik Angkeran yang lagi kejatuhan rejeki...! Selama Raja Muda Otong Surawijaya seorang pendekar yang bermulut jahil dan usilan.

   Lantas saja, ia hendak mementang mulutnya.

   Selagi mulutnya bergerak, tiba-tiba terdengar suara Dadang Wiranata berseru tertahan.

   "Otong! Coba kemari atau mataku yang lamur... Suruh Senot mengambil penerangan di dalam!"

   Semua yang mendengar ucapan Dadang Wiranata, tergugah perhatiannya.

   Sebagai seorang pendekar yang berkepandaian tinggi tidak gampang-gampang menyatakan perasaan hatinya apabila alasannya tidak cukup besar.

   Maka Senot Muradi segera lari memasuki rumah biara Dipajaya.

   Sebentar kemudian ia kembali sambil membawa dian yang sudah dinyalakan.

   "Kau lihat! Bukankah ini tulisan Dipajaya?"

   Dadang Wiranata menegas.

   Semua orang menembakkan pandangnya pada penghabisan segebung surat wasiat Titisari.

   Itulah selembar kertas yang merupakan catatan Dipajaya.

   Begini bunyinya.

   Sorohpati! Kau ini memang cerdik.

   Seratus jurus yang kau pinjamkam padaku, justru berada ditanganmu.

   Kau membuat susah aku saja.

   Terpaksalah aku membagi pekerjaan dengan Sirtupelaheli...

   "Apakah artinya ini?"

   Dadang Wiranata minta pendapat mereka semua.

   Dalam hal memecahkan teka-teki, Sangaji lebih senang mengangkat tangan saja.

   Sedang Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya yang gagah perkasa bukan pula orangnya.

   Kini tinggal Manik Angkeran, Kilatsih dan Senot Muradi.

   "Manik Angkeran!"

   Kata Otong Surawijaya.

   "Paman Sorohpati adalah ayahmu. Dalam hal ini, engkau lebih mengenalnya daripada kami semua..."

   Manik Angkeran mengernyitkan dahi. Selama tadi, ia membungkam mulut. Mendengar nama ayahnya disebut- sebut, dia jadi bersungguh-sungguh. Sahutnya tak langsung.

   "Paman Dadang Wiranata dan Paman Otong Surawijaya, pasti sudah mempunyai pendapat."

   "Tentang ayahmu?"

   Dadang Wiranata berkata cepat.

   "Selama hidupku, belum pernah aku bersua. Tapi menilik bunyi surat Dipajaya, pastilah ayahmu seorang yang pandai bekerja. Dia membagi surat wasiat menjadi dua bagian."

   Otong Surawijaya tertawa lebar.

   "Dipajaya memang binatang cerdik pula. Dia memandang surat wasiat tuanku puteri seumpama jiwanya sendiri. Masakan dia menulis begini terang-benderang seperti bunyi surat cinta? Selamanya surat wasiat ini tak pernah berpisah dari tubuhnya. Sekarang dia memberi catatan pada halaman belakang. Ditujukan kepada siapa? Ha, itulah soalnya."

   Manik Angkeran memanggut-manggut.

   "Memang surat ini terlalu jelas, sehingga meninggalkan kecurigaan siapa saja yang membacanya."

   "Bagaimana kalau kita turun? Dengan begitu kita semua bisa bekerja dengan berbareng."

   Tiba-tiba Kilatsih ikut menyumbangkan pikirannya. Manik Angkeran heran mendengar usul Kilatsih.

   "Apa sebab engkau berpikir demikian?"

   "Alamatnya memang kepada Ayah,"

   Jawab Kilatsih.

   "Akan tetapi, ia seperti sudah dapat menduga, bahwa seorang lain yang berhubungan rapat dengan dirinya bakal membacanya. Atau mungkin sekali ia menunggu seseorang yang akan disuruhnya mengembalikan surat wasiat Ayunda Titisari kepada ayah angkatku. Yang mengherankan, apa sebab membawa-bawa nama Eyang Sirtupelaheli. Apakah surat ini justru dipersiapkan untuk membagi dosanya terhadap Aliran Suci yang memaksanya bekerja mati-matian?"

   Tergerak hati Sangaji mendengar pendapat mereka semua yang masuk akal dan nalar sekali. Dalam hal in, kecuali Senot Muradi, Manik Angkeran belum mengemukakan pendapatnya sendiri. Setelah berbimbang-bimbang sebentar, Manik Angkeran berkata kepadanya.

   "Sesungguhnya yang dapat meyakinkan kita semua hanyalah seorang. Itulah Ayunda Titisari. Apabila ternyata Ayah membagi surat wasiat menjadi dua bagian, barulah sasaran kita menjadi jelas."

   Semua orang membenarkan pendapatnya. Maka berkatalah Sangaji kepadanya.

   "Baiklah. Kita sekarang membagi pekerjaan. Paman Dadang Wiranata dan Paman Otong Surawijaya segeralah membantu Widiana Sasi Kirana mewujutkan cita-citanya. Kau bawalah Senot Muradi ikut serta. Dan kau, Kilatsih! Selain engkau harus membantu kakakmu Manik Angkeran, kudengar tadi engkau yang mengusulkan agar surat wasiat ayundamu ini diturun. Menurut pendapatmu siapa yang pandai menurun?"

   Tak usah Kilatsih menjawab.

   Semua orang, kecuali Senot Muradi, memalingkan pandangnya ke arah Manik Angkeran.

   Memang, Manik Adalah seorang pemuda serba bisa.

   Otaknya cerdas.

   Sekiranya tidak demikian, tak dapat ia mewarisi ilmu ketabiban Maulana Ibrahim, tabib sakti murid pendekar besar Sadewata.

   Demikianlah, sampai disitu, selesailah pembicaraan mereka.

   Dadang Wiranata dan Otong Surawijaya berangkat pada petang hari itu juga.

   la membawa Senot Muradi serta.

   Baik Sangaji maupun Manik Angkeran dan Kilatsih memberi pesan sungguh-sungguh kepada Senot Muradi, agar belajar dengan tekun.

   "Ingat, anakku!"

   Kata Sangaji mengesankan.

   "Dalam beberapa tahun yang akan datang ini keadaan tanah air kita tidak begitu baik. Tenagamu sangat dibutuhkan. Karena kedua gurumu tidak dapat selamanya berada di Jawa Tengah, maka engkau harus berusaha mereguk semua ilmu ajarannya."

   Senot Muradi berjanji dengan sungguh hati.

   Setelah tubuhnya hilang ditelan kegelapan malam, Manik Angkeran, Sangaji dan Kilatsih mulai bekerja menurun surat wasiat Titisari.

   Sebenarnya apa yang ditulis Titisari bukanlah merupakan susunan kalimat yang terbaca.

   Bagaimana Dipajaya bisa membicarakan tentang Seratus Jurus segala? Hal ini menarik perhatian Manik Angkeran dan Kilatsih.

   Dengan hati-hati Manik Angkeran mengamat-amati apa yang tergambar di atas segebung surat itu.

   Itulah sebuah lukisan alam.

   Lukisan itu terbagi menjadi tujuh bagian.

   Yang pertama, sebuah gundukan tinggi yang tercapai sebuah kunci tajam.

   Lukisan ini terdapat pencu sebuah gambaran bende.

   Yang kedua, sebuah gua yang teraling tiga batu raksasa.

   


Legenda Bulan Sabit Karya Khu Lung Pendekar Bayangan Setan -- Khu Lung Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu

Cari Blog Ini