Mencari Bende Mataram 4
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 4
Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto
"Ayahmu mengira, bahwa catatan Witara-dya yang ada padanya dikiranya tiada lagi keduanya di jagad ini. Karena itu, ayahmu menganggap ilmu sakti Witaradya melebihi jiwanya sendiri. Sewaktu kehilangan sebagian ia sampai menyiksa berpuluh-puluh orang yang tidak berdosa. Malahan suamimu hampir-hampir dituduh mencuri naskah catatannya. Untung, waktu itu aku hadir di sana. Kalau tidak, suamimu sekarang ini bakal cacat jasmaninya selama hidupnya.19) Teringat pengalaman itu, Sangaji bergidik. Memang hebat tuduhan Adipati Surengpati kala itu. Apalagi ia kena dibakar Kebo Ba-ngah. Untung, Gagak Seta berpihak padanya. Dengan gagah orang tua itu mempertahankan dirinya. Tak tahunya, dia pun se- sungguhnya mengerti tentang latar belakang ilmu sakti Witaradya. Maka tak mengherankan, ia bisa melawan kesaktian Adipati Surengpati. Sampai pun ia mengenal, jurus bunuh diri ilmu sakti Witaradya yang diperlihatkan Titisari semalam. 19) baca Beride Mataram
Jilid 8
"Kalau ayahmu dahulu tidak terlalu besar kepala, aku akan menunjukkan dimanakah dia bisa memperoleh catatan ilmu sakti Witaradya,"
Kata Gagak Seta lagi.
"Dimana?"
Terloncat pertanyaan Titisari.
"Tentu saja di gua Kapakisan,"
Jawab Gagak Seta.
"Pada dinding gua sebelah dalam, Empu Kapakisan meninggalkan warisannya. Tapi di luar dugaan, terjadilah suatu keajaiban, seseorang yang menamakan diri Lawa ljo menulis pula sebuah warisan ilmu sakti. Katanya, itulah ilmu sakti yang dapat menindas Witaradya."
Mendengar Gagak Seta menyebut nama Lawa ljo, paras Sangaji berubah menjadi pucat.
Ingatlah dia pengalamannya dahulu tatkala seorang tinggi besar yang mengaku bernama Patih Lawa ljo merampas kedua pusaka sakti warisan Pangeran Semono dari tangannya.
Sayang.
Kejadian itu hanya dia seorang yang mengalami.
Ia tak dapat membawa persoalan itu kepada orang lain.20) "Paman!"
Potong Titisari.
"Paman sudah mengetahui belaka dimanakah rahasia ilmu sakti Witaradya tersimpan. Apa sebab Paman tak mau menekuni sendiri?"
"Buat apa? Ayahmu sudah memiliki ilmu sakti tersebut. Masakan aku sudi berebutan? Lagipula, apakah di dunia ini hanya Witaradya yang dapat menjagoi? Hm, hm!"
Gagak Seta mendengus. Titisari tak berani menarik panjang lagi. la kenal watak gurunya itu. Sekali tersinggung kehormatannya, semuanya bisa buyar di tengah jalan. Ia mencoba mengerti, bahwa hal itu terjadi karena alasannya ') Baca Bende Mataram
Jilid 15 kehormatan diri.
Baik ayahnya maupun gurunya ini adalah dua pendekar yang berkepala besar, angkuh dan tinggi hati.
Tak sudi mereka mencuri ilmu sakti orang lain untuk merebut suatu kemenangan.
Mereka tahu, bahwa semua, ilmu sakti di dunia adalah baik dan sempurna.
Tinggi rendahnya hanya ditentukan oleh bakat yang mempelajari.
"Semenjak kejadian itu, dinding gua Kapakisan lantas menjadi medan pertarungan mengadu pengetahuan ilmu sakti."
Gagak Seta melanjutkan.
"Sebab seorang sakti lain meninggalkan corat-coret. Ilmu saktinya bernama Brahmasakti. Penulisnya bernama Empu Brahmacarya. Dan ilmu sakti ini kena tindih ilmu sakti Brahcarya. Kemudian muncul lagi ilmu sakti Garuda Winata, Witaradya Sandhy Yadi-putera, Panca Yoga, Panca Kumara dan lain-lainnya. Anak keturunan Empu Kapakisan dikemudi-an hari mengira, bahwa corat-coret ilmu sakti yang terdapat pada dinding goa Kapakisan diperkirakan buah tangan beberapa orang sakti saudara seperguruan Empu Kapakisan. Prapanca, Brahmaraja, Kertayasya dan dengan sendirinya Gajah Mada. Tetapi yang mencemaskan anak- keturunan Empu Kapakisan adalah buah peninggalan orang sakti yang manamakan diri Lawa ljo. Ternyata ilmu saktinya benar-benar hebat dan kuasa menindih lainnya. Hanya saja sangat sukar dipelajari. Karena takut kena dipelajari orang luar, maka anak keturunan Empu Kapakisan memindahkan corat-coret ilmu saktinya pada tiga pusaka tanah Jawa. Itulah Jala Karawelang, keris Kyai Tunggul-manik dan Bende Mataram."
Sampai disini Gagak Seta berdiri. Dan dengan mata berkilat-kilat ia memandang Sangaji. Wajahnya membayangkan suatu rasa syukur tiada taranya.
"Apakah Paman mau berkata, bahwa ilmu sakti yang diwarisi Sangaji merupakan ilmu sakti tertingi di dunia?"
Titisari minta ketegasan.
"Kalau tidak, masakan aku sudi mengalah?"
Jawab Gagak Seta.
"Paman mengenal sejarah itu. Apa sebab tidak mempelajari ilmu sakti warisan Patih Lawa ljo?"
"Pertama-tama, ilmu sakti itu sudah dipindah ke dalam tiga benda pusaka. Pada dinding gua Kapakisan, tiada lagi bekasnya. Lagipula setelah melampaui masa berabad-, abad, terdengarnya seperti dongeng."
Gagak Seta memberikan alasannya.
"Kedua, masakan mudah orang mempelajarinya. Sebab orang itu harus bisa melebur dan manunggalkan tiga sumber sakti lainnya. Rangsang naluriah manusia, pengendapan naluriah per- tahanan jenis dan tenaga gaib yang tersekap dalam tiap insan. Sangaji memperoleh ilmu Kumayan Jati dariku. Kumayan Jati bersifat menyerang. Itulah seumpama rangsang kodrat manusia. Kemudian Bayu Sejati dari Ki Tunjungbiru. Sifatnya bertahan. Itulah pengendapan naluriah pertahanan jenis. Dan secara kebetulan ia menghisap getah sakti De-wadaru yang mempunyai tenaga gaib seumpama mantram sakti yang aneh luar biasa. Setelah kena cekik pendekar Bagas Wilatikta,ketiga unsur ilmu sakti itu melebur diri dan manunggal.21) Dan kemudian berkat kecerdasanmu, Sangaji menekuni ilmu sakti warisan Patih Lawa ljo yang 5) Baca Bende Mataram
Jilid 9 halaman 85 berada pada benda sakti pusaka Pangeran Semono pada zaman dahulu.
Coba ia mempelajari pula rahasia yang terukir pada pusaka Bende Mataram...
Ah, di dunia ini siapakah yang dapat melawannya? Sebaliknya, justru ia tidak mempelajari rahasia yang terdapat pada pusaka Bende Mataram, ia kini bisa dibikin susah oleh keragaman ilmu sakti ketiga Utusan Suci.
Bukankah ketiga Utusan Suci bersenjata belahan benda yang bentuknya mirip sebuah bende.
Meskipun benda itu pasti bukan pusaka Bende Mataram yang pernah dimiliki Sangaji, tetapi setidak-tidaknya mempunyai tenaga sakti yang aneh luar biasa sifatnya...."
Mendengar keterangan Gagak Seta, Titisari nampak berenung-renung. la melupakan rasa nyerinya. Sebaliknya ia menatap wajah Sangaji untuk mencari kesan. Tetapi Sangaji tiada terpengaruh sesuatu. Katanya dengan suara rendah.
"Bahwasanya aku dapat mewarisi ilmu sakti tersebut, sudahlah merupakan suatu karunia besar. Aku menghendaki apa lagi?"
Gagak Seta tertawa perlahan. Bukan main kagumnya terhadap kemuliaan dan kesederhanaan hati muridnya itu. la bersyukur bukan kepalang memperoleh murid demikian. Kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Peristiwa yang terjadi di gua Kapakisan itu, dianggap sebagai suatu peringatan bagi anak-murid atau anak keturunan Empu Kapakisan dikemudian hari. Lima saudara-seperguruan yang seia-sekata akhirnya dengan diam-diam mengadu ilmu kepandaiannya. Meskipun mereka tidak pernah saling bertempur, tetapi dengan memperlihatkan ilmu kepandaiannya masing-masing bukankah berarti sudah saling bentrok? Maka adanya warisan ilmu sakti di dinding gua Kapakisan, dianggapnya sebagai sumber perpecahan. Dibelakang hari, istilah sumber perpecahan, berubah menjadi sumber malapetaka. Maka kebajikan tiap murid aliran Kapakisan diwajibkan mengumpulkan semua keragaman ilmu berkelahi di seluruh negara sebagai pembantu menyirnakan malapetaka dunia."
"Mengapa begitu?"
Potong Titisari.
"Setelah melampaui masa berabad-abad, pandangan hidup aliran Kapakisan berubah dari sikap ksatria menjadi sikap kebrahman-an,"
Jawab Gagak Seta.
"Mereka berpaham, bahwa yang membuat malapetaka dunia ini ialah. adanya ksatria. Karena seorang ksatria mempelajari ilmu kawiryan, mereka saling bertempur, saling membunuh, saling bentrok, saling mengagulkan diri dan akhirnya saling fitnah-memfitnah. Karena itu, untuk menggalang kedamaian dunia, mereka harus meniadakan ksatria- ksatria atau pendekar-pendekar dengan dalih apa pun juga. Tetapi untuk membunuh semua orang gagah di seluruh dunia, berapa banyak tenaga yang dibutuhkan? Selain itu untuk membunuh seorang pendekar, tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Maka mereka membentuk aliran yang bernama Utusan Suci. Tujuan Utusan Suci ialah untuk merampas dan melebur sumber kesaktian para pendekar. Itulah segala macam ilmu sakti yang terdapat di kolong dunia."
"Hebat! Sungguh hebat!"
Seru Titisari.
"Mereka memusuhi segala bentuk ilmu sakti. Tapi apa sebab mereka justru mempelajari ilmu sakti untuk membuat susah orang lain?"
"Tentu saja mereka tak mau kau tuduh demikian. Sebaliknya mereka mempunyai alasannya sendiri. Umpamanya untuk mengatasi orang yang dianggapnya membandel perintahnya,"
Jawab Gagak Seta. Titisari mendengus tak puas.
"Sifat Nenek Sirtupelaheli menyerupai sifat tiga Utusan Suci itu. Paman mencintainya, tetapi dia hendak mencelakai Paman."
Gagak Seta menghela napas. Katanya berduka.
"Di dalam dunia ini membalas suatu kebaikan dengan kejahatan adalah lumrah."
Kau tak usah heran "
"Menurut pengakuannya, Nenek Sirtupelaheli adalah adik seperguruan Paman. Mengapa waktu dia diserang ketiga Utusan Suci, roboh dalam segebrakan saja."
Gagak Seta menundukkan muka.
la seperti malas membalas pertanyaan Titisari.
Nampaknya ia capai karena berbicara teralu banyak.
Memang tidak biasanya, Gagak Seta berbicara begitu berkepanjangan.
Hal itu ada sebabnya, seperti yang dikatakan tak lama kemudian.
"Anakku! Aku sudah berbicara terlalu banyak. Sangat banyak sampai lidahku terasa copot. Ini semua demi keselamatan Sirtupelaheli, adikku seperguruan dengan sendirinya bibimu pula."
Mendengar kata-kata Gagak Seta yang diucapkan dengan nada luar biasa, Sangaji menegakkan kepalanya. Menyahut.
"Guru kau menghendaki apa? Katakanlah! Kalau aku mampu, biarpun menyerbu lautan golok akan kutempuh juga..."
"Tidak. Masakan aku sampai minta yang bukan-bukan kepadamu?"
Kata Gagak Seta.
"Aku hanya menghendaki agar kalian memperhatikan nasib Sirtupelaheli. Sebab kukira, pada saat ini dia sudah kena tangkap. Dan apabila tiada untung baik, dia akan menerima hukum bakar hidup-hidup."
"Ah!"
Sangaji dan Titisari berseru tertahan. Gagak Seta menatap wajah mereka berdua dengan sungguh-sungguh. Katanya mengesankan.
"Dialah adik-seperguruanku. Kesengsaraannya ini, lantaran seorang laki-laki bernama Dipajaya. Biarlah kujelaskan."
"Tetapi siapakah yang hendak menghukum bibi Sirtupelaheli ?Titisari memotong Selamanya dia bisa membawa diri. Maka dengan cepat pula ia bisa merubah sebutan nenek menjadi bibi."
"Bukankah Utusan Suci?"
"Kenapa Utusan Suci?"
Titisari tak mengerti.
"Kau seorang anak siluman. Masakan tak dapat menduga?"
Gagak Seta tertawa.
"Apakah Paman hendak berkata, bahwa dia salah seorang anggota aliran itu?"
Gagak Seta mengangguk. Kemudian menarik napas panjang. Sejenak kemudian berkata dengan suara berduka.
"Itulah terjadi pada waktu aku dan dia masih berkumpul di rumah perguruan."
Titisari dan Sangaji memusatkan perhatiannya. Mereka berdua adalah murid Gagak Seta. Tetapi Gagak Seta belum pernah menjelaskan asal-usul ilmu saktinya yang diwariskan kepadanya. Tak mengherankan, hati mereka sangat tertarik.
"Kakek gurumu bermukim di atas Gunung Lawu sebelah timur,"
Gagak Seta mulai.
"Kakek gurumu bernama, Ki Gede Rangsang. Pada waktu itu nama perguruan kita lagi tenar-tenarnya. Pada suatu hari datanglah serombongan utusan dari Bupati Pacitan. Bupati Pacitan pada masa mudanya adalah sahabat karib kakek gurumu. Dalam suratnya, Beliau menitipkan puterinya agar diterima menjadi muridnya. Syukurlah apabila Guru sudi mengasuhnya sebagai anaknya sendiri. Guru lantas saja mengiakan dan minta agar puteri yang disebutkan dalam surat itu dibawa masuk. Begitu dia masuk, kami bertujuh menjadi gempar."
"Bertujuh?"
Titisari minta keterangan.
"Itulah paman-paman gurumu, Tunggul, Gandring, Kumitir, Sotor, Kumbina dan Cakradara. Maklumlah, waktu itu kami bertujuh masih muda remaja. Selagi puteri itu membungkuk membuat sembah, kami bertujuh mengawasinya dengan mata membelalak dan hati berdebar-debar. Dialah Sirtupelaheli dan aku biasa memanggilnya Sirtu-pah. Setelah rombongan utusan pulang, selanjutnya ia menetap di rumah perguruan."
Titisari tertawa. Katanya menggoda.
"Guru! Pastilah Bibi Sirtupelaheli cantik luar biasa, sehingga Paman pun "
Gagak Seta menggelengkan kepalanya. Katanya mengakui.
"Memang dia cantik luar biasa. Tetapi dia puteri seorang bupati, sedangkan aku anak seorang jembel. Meskipun mempunyai hati, lebih baik kupendam dalam-dalam "
Titisari tersenyum. Mau ia menggodanya lagi, mendadak teringatlah dia bahwa gurunya itu tidak pernah kawin. Apakah karena patah cinta? Takut akan menyingung perasaannya, ia membatalkan niatnya.
"Guruku adalah seorang gagah sejati. Hatinya terbuka pula. Sirtupelaheli waktu itu baru berusia tujuh belasan tahun. Dia memang pantas menjadi anaknya. Apalagi ayahnya meminta kepada Guru agar menganggap Sirtupelaheli sebagai anaknya sendiri. Maka semenjak datang di rumah perguruan, Sirtupelaheli diperlakukan sebagai anaknya sendiri. Guru sangat kasih sayang kepadanya. Begitu kasih dia kepada Sirtupelaheli sehingga kami bertujuh dimintanya untuk menjaga kesejahteraannya seumur hidupnya. CIntuk menjaga hal- hal yang tidak diharapkan, kami semua diwajibkan me- manggilnya dengan kakak. Tak peduli umur kita jauh lebih tua daripadanya."
"Eh, mengapa begitu?"
Titisari heran.
"Apakah kakek guru sudah tahu, bahwa ada di antara murid-muridnya yang jatuh cinta begitu bertemu pandang yang pertama kalinya?"
"Benar. Dialah adik seperguruanku Cakra-dara,"
Sahut Gagak Seta.
"Cakradara seorang pemuda yang sangat tampan. Kami sering menyebutnya sebagai titisan Dewa Kamajaya. Tetapi sebenarnya yang jatuh cinta tidaklah dia seorang. Kukira, saudaraku seperguruan lainnya tak terkecuali. Tetapi karena kami bertujuh menghormati Guru, maka rasa cinta kami hanya kami pendam dengan diam-diam. Diluar dugaan, hati Sirtupelaheli dinginnya seperti es. la bersikap galak dan ganas terhadap siapa saja yang berani menimbulkan soal cinta."
"Kala itu masa perang. Meskipun Perang Giyanti boleh dikatakan sudah selesai, tetapi pengaruhnya masih besar.22) Dimana-mana seringkali terjadi bentrokan- bentrokan antara Kompeni Belanda dengan laskar-laskar perjuangan. Karena itu Guru masih memandang perlu menghimpun laskar yang bisa menghadapi Belanda sewaktu-waktu. Kebanyakan mereka terdiri dari pemuda- pemuda sukarela yang gagah tampan. Namun melihat mereka, Sirtupelaheli seperti melihat gundukan batu yang tiada pengaruhnya sama sekali."
"Pada suatu kali isteri guru, pernah mencoba membicarakan perkara perjodohan. Maklumlah, usia Sirtupelaheli sudah tujuh atau delapan belas tahun. Bagi ukuran pedu-sunan, umur itu sudah terlalu tua. Keba- nyakan gadis-gadis dikawinkan pada umur menjelang empat belas tahun. Malahan ada pula yang sudah berumah tangga sewaktu lagi berumur sepuluh atau dua belas tahun. Dan tatkala mendengar hal itu, diluar duga- an Sirtupelaheli menghunus sebilah belati. Di hadapan kami dia bersumpah siapa yang berani menimbulkan soal perjodohannya akan ditikamnya mati atau ia membunuh diri. Kami semua kaget menyaksikan kekerasan hatinya. Semenjak itu, tak berani lagi kami mencoba-coba ) Perang Giyanti berakhir 13 Pebruari 1755. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan Yogya dengan resmi (1755-1792). menimbulkan soal cinta. Malahan mendekati nona galak itu, terasa segan. Satu tahun kemudian datanglah seorang pemuda yang mengaku berasal dari Banyuwangi. Ia bernama Dipajaya anak seorang Pendekar Dipanala pada zaman dua puluh tahun yang lalu. Dipanala adalah musuh Guru di zaman mudanya. Dengan membusungkan dada, Dipajaya menerangkan maksud kedatangannya. Ialah. hendak membalas sakit hati ayahnya. Perawakan dan tampang Dipajaya tidak luar biasa. Bahkan ia mirip-mirip pemuda dusun. Sekarang berani menantang Guru. Tentu saja kesannya menggelikan, sehingga banyak di antara kami yang tak dapat menahan rasa tertawanya. Sebaliknya, Guru sen- diri, tidak berani memandang enteng terhadap pemuda itu. Ia bahkan menyambut Dipajaya dengan hormat sekali dan menjamunya makan seperti terhadap seorang pembesar tinggi. Adapun latar belakang pembalasan sakit hati itu adalah begini. Karena suatu salah paham, Guru bertempur dengan Dipanala ayah pemuda itu. Dengan pukulan Kumayan Jati, pendekar Dipanala kena dilukai Guru. Habislah sudah segala ilmu saktinya. Lalu bersumpah, bahwa pada suatu kali ia akan menuntut dendam. Kalau dirinya keburu mati, ia akan mengirimkan anaknya laki-laki atau perempuan, untuk membalas dendam. Guru menjawab, bahwa ia akan mengalah dalam tiga pukulan. Pendekar Dipanala berkata, bahwa Guru tak usah bersikap begitu. Ia hanya minta, agar meluluskan anaknya kelak untuk memilih macam pertandingan, tanpa berpikir panjang lagi, Guru melulus- kan. Tak terduga sama sekali, bahwa belasan tahun kemudian, Dipanala benar-benar mengirimkan anaknya laki-laki untuk menantang Guru. Waktu itu, Guru baru pada puncaknya kesanggupan manusia. Ilmu sakti Guru sedang mencapai puncak kesempurnaan. Dalam dunia kurasa tiada lagi terdapat tandingnya. Sebaliknya Dipajaya masih sangat muda. Dalam usia semuda itu, tidak mungkin memiliki suatu kepandaian melebihi Guru. Bahkan merendengi saja mustahil. Menimbang hal itu, kami semua berhati lega. Tiada alasan untuk dikhawatirkan. Hanya saja satu hal yang masih mengganjal dalam hati. Ialah. macam pertandingan yang akan dipilihnya.
"Pada keesokan harinya, Dipajaya mengingatkan janji Guru kepada almarhum ayahnya. Ialah. Guru meluluskan dia untuk memilih macam pertandingan. Diingatkan janji itu, Guru tak bisa mundur lagi. Kemudian Dipajaya berkata lagi bahwa ia ingat kepada macam pertandingan antara Baron Sekeber dan Adipati Pragola. Mereka berdua menyelam dalam air, siapa yang betah berselam dalam air, dialah yang menang. Dan siapa yang kalah, dia harus bunuh diri di hadapan orang banyak. Tantangan itu, bagaikan halilintar meledak di tengah hari bolong. Semua orang mence-los hatinya. Sebab siapa saja tahu, Guru tak bisa berenang. Celakanya, kolam yang dipilih Dipajaya adalah Telaga Sarangan. Pada musim hujan, dinginnya sampai merasuk ke dalam tulang sungsum. Kalau Guru menerima tantangan itu, berarti mengantarkan jiwa dengan sia-sia. Kami semua lantas saja ber-gusar dan memaki-maki pemuda itu..."
"Guru."
Sangaji menyela.
"Urusan ini memang sangat sulit. Ucapan seorang laki-laki harus ditepati. Kata orang harganya setinggi gunung. Sekali seorang laki-laki mengingkari perkataannya, dia tiada harganya lagi. Seumpama mati dalam hidup. Bukankah begitu? Kakek guru sudah berjanji. Sudah barang tentu, tak pantas Beliau mengingkari."
Titisari tersenyum mendengar kata-kata suaminya.
"Benar, benar...Ucapan seorang laki-laki memang harganya setinggi gunung. Kau sudah berjanji hendak mengambil aku sebagai isterimu, apa sebab hampir- hampir kau memeluk seorang gadis Indo? Kalau hal itu benar-benar terjadi anakmu bakal berambut pirang. Dia bakal bergelar Sinyo Sangaji.."Hayooo..."
Sangaji memotong sambil memijit isterinya."
Bukankah aku akhirnya menepati janji pula?"
"Iddi i... kalau tidak kuubar sampai ke Jawa Barat, masakan kau ingat aku."
"Sudahlah, sudahlah."
Gagak Seta menengahi.
"Sangaji ke Jawa Barat bukankah untuk memperlihatkan kejantanannya? Kalian kini menjadi suami isteri. Hatiku bersyukur bukan kepalang. Coba, kalau Titisari sampai tidak jadi kawin... huh, huh! Pastilah bakal dikawinkan dengan iblis atau siluman."
"Mengapa begitu?"
Titisari memberengut.
"Karena ayahmu seorang siluman. Masakan tak tahu?"
Gagak Seta tertawa berkakak-kan.
Sakit hati Titisari, mendengar ayahnya disebut sebagai siuman.
Tapi memang semenjak lama, ayahnya disebut orang Siluman dari Karimun Jawa.
Jadi kesalahan itu, tidak dapat ditimpakan ke pundak gurunya.
Maka ia berdiam diri dengan pandang memberengut.
"Bagaimana? Kuteruskan tidak ceritaku ini."
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gagak Seta menguji. Titisari tertawa. Ia tahu, gurunya sedang menggodanya segera ia mengangguk. Sahutnya dengan wajah terang.
"Masakan berhenti di tengah jalan? Apa sih enaknya?"
Gagak Seta mendehem. Kemudian meneruskan.
"Sesudah berdiam beberapa waktu lamanya, guru akhirnya berkata mengakui. 'Dipajaya memang aku telah mengadakan perjanjian dengan ayahmu, seorang laki- laki tidak boleh menyalahi janji. Aku mengaku kalah. Kini aku bersedia patuh kepada semua keputusanmu'."
"Tangan Dipajaya tiba-tiba bergerak dan ia sudah menggenggam sebatang pisau berkilat yang terus ditudingkan ke arah jantungnya sendiri. Katanya, 'Pisau ini adalah warisan ayahku. Aku hanya minta, engkau berlutut dan bersembah di bawah pisau ini. Kupinta pula mulai dari tempat dudukmu sampai ke depanku, harus berjalan dengan merangkak-rangkak. Dengan begitu aku benar-benar yakin, bahwa engkau takluk sampai tujuh turunan terhadap keturunan ayahku'."
"Mendengar"
Perkataan Dipajaya, kami gusar bukan main. Ini adalah suatu hinaan luar biasa. Mana bisa Guru dihina begitu macam. Tetapi setelah Guru menyatakan kalah, memang dia harus patuh dan tunduk kepada segala keputusan pihak yang menang."
"Suasana dalam rumah perguruan itu berubah menjadi panas. Semuanya ingin mencincang tubuh Dipajaya. Tetapi Dipajaya sendiri, sudah tidak memikirkan hidup lagi. Sekali kami bergerak, dia akan segera mencubleskan belatinya pada dadanya sendiri. Dan kalau ini sampai terjadi, biarpun Guru lahir ke dunia tujuh kali lagi tidak akan dapat menghapus aibnya."
"Untuk beberapa saat, ruang rumah perguruan sunyi senyap bagaikan kuburan. Cakradara dan Sotor yang biasanya pandai mencari akal, kali itu menghadapi jalan buntu. Pada saat itu, sekonyong-konyong Sirtupelaheli keluar dari ruang dalam dan berkata kepada guru. 'Ayah, orang lain mempunyai seorang anak yang berbakti. Masakan ayah tidak? Dipajaya datang untuk menuntut balas ayahnya. Biarlah aku yang melayani. Yang tua melawan yang tua. Yang muda biarlah berlawanan dengan yang muda.' "Mendengar Sirtupelaheli memanggil guru dengan sebutan 'ayah' semua orang kaget berbareng heran. Tapi segera kami mengerti apa maksudnya. Untuk menyingkirkan marabahaya, Sirtupelaheli sudah mengambil tindakan demikian rupa. Ia mengaku Guru sebagai ayah kandungnya. Inilah suatu kejadian yang luar biasa pada masa itu. Benar, Guru adalah seorang pendekar besar. Tapi ayah Sirtupelaheli seorang Bupati Mancanegara. Kedudukannya sangat tinggi. Sebaliknya kami semua lantas mempunyai timbangan yang lain lagi. Dia berani melayani Dipajaya. Ia mempunyai kepandaian apa? Di rumah perguruan, dia lagi belajar satu tahun tidak penuh. Apakah dia mampu menyelam dalam air melebihi kemampuan Dipajaya."
Selagi berpikir-pikir demikian, Dipajaya terdengar berkata dengan tertawa.
"Untuk menuntut dendam ini kami sudah mempersiapkan diri siang-siang. Di dalam dasar Telaga Sarangan, Ayah telah membuat sebuah gua. Kesanalah aku bakal berenang dan memasuki. Ayah sudah menyim- pan makan minum untuk satu tahun lamanya. Apakah Nona sanggup menyelam di dalam air selama satu tahun? Ha... ha...ha... Memang bagus seorang anak berani mewakili ayahnya sewaktu berada dalam kesulit- an. Tetapi pikirkanlah yang lebih tenang lagi. Selain engkau bakal mati tak bernapas, ayahmu tetap kutuntut agar datang me-rangkak-rangkak di depan pisau belati ini untuk berlutut memohon maaf sebesar-besarnya...."
"Hm,"
Dengus Sirtupelaheli.
"Belum tentu aku kalah. Sebab begitu aku mencebur ke dalam telaga, kau akan kutikam dengan pedang dan belatiku...."
Lagi-lagi Dipajaya tertawa merendahkan.
"Mudah dikatakan, tapi sukar dilakukan. Benar-benarkah kau sanggup melawan aku di dalam permukaan air?"
"Mengapa tidak? Karena itu, kalau kau kalah bagaimana?"
"Kalau aku kalah, kau boleh mencincang aku atau membunuh aku,"
Jawabnya.
"Baiklah. Mari kita pergi!"
Kata Sirtupelaheli dan ia mendahului berjalan. Tentu saja Guru tidak membiarkan Sirtupelaheli mengorbankan jiwanya dengan sia-sia. Segera guru mencegah.
"Sirtupah! Tak usahlah engkau mencampuri urusan Ayah!"
Sirtupelaheli tersenyum. Sikapnya tenang luar biasa. Sahutnya seraya berlutut.
"Ayah, tak usah kau cemas. Anakmu pasti kembali dengan selamat."
"Ketenangan Sirtupelaheli menarik perhatian kami. Nampaknya ia sudah mempunyai pegangan, sehingga kepercayaannya kepada diri sendiri sangat besar. Karena itu, guru tidak menghalang-halangi lagi. Memang, sebenarnya sudah tiada jalan lain lagi yang lebih baik daripada menerima tantangan Dipajaya. Maka dengan suatu isyarat, Guru memberi perintah kami semua agar mengikuti perjalanan Sirtupelaheli mengiringkan kemauan Dipajaya."
"Telaga Sarangan terletak di sebelah utara Gunung Lawu. Tatkala itu angin utara sedang meniup dengan kerasnya. Pada musim angin demikian seringkali penduduk kehilangan atap rumahnya. Selain itu, angin membawa hawa dingin pula. Beberapa orang yang tak tahan menggigil kedinginan. Apalagi air telaga yang nampak dingin berkerut-kerut. Betapa dinginnya sudah dapat dibayangkan."
"Melihat air berkerut-kerut, tiba-tiba Guru berseru kepada Sirtupelaheli. 'Sirtupah! Aku tahu hatimu sangat mulia. Tetapi biarlah aku saja yang melayani Dipajaya'."
Seraya berseru demikian, Guru sudah menanggalkan jubah luar siap untuk terjun. Dia merasa tak dapat membiarkan puteri Bupati itu berkorban untuknya.
"Sebaliknya Sirtupelaheli tersenyum. 'Ayah! Anakmu ini semenjak kanak-kanak sudah pandai berenang. Kau tak usah mencemaskan. Bukankah Pacitan berada di pinggir laut? Setiap hari aku bergurau dengan ombak kecil dan ombak besar'."
"Dengan menghunus pedangnya, Sirtupelaheli lantas meloncat ke dalam telaga. Gesit gerakannya. Sampai sekarang masih saja terkenang betapa indah gerakan tubuhnya sewaktu terjun ke permukaan air."
"Dia mengenakan pakaian biru muda. Kulitnya yang bersih dan kejelitaan wajahnya, kukira tiada yang menandingi pada dewasa itu. Barangkali dialah penjelmaan bidadari Ratih. Mungkin pula titisan Ken Dedes yang bisa menggugurkan hati Ken Arok. Kena tiupan angin utara, bajunya berkibar-kibar bergeribikan. Tatkala dengan tiba-tiba ia terjun ke dalam air, tidak hanya kami yang terkejut, tapi pun Dipajaya. Pemuda itu yang tadinya bersikap angkuh, sirna kejumawaannya. Dengan memegang pisau belatinya, ia ikut terjun ke dalam telaga. Menyaksikan suatu adu jiwa dengan berteka-teki merupakan siksaan batin sendiri. Betapa tidak? Kami tidak dapat melihat jalannya perkelahian. Yang nampak hanyalah goyangnya permukaan air. Mengingat kami seorang wanita muda, maka takmengherankan kami semua merasa cemas. Mendadak saja tak lama kemudian nampaklah warna bentong-bentong merah tersembul di permukaan air. Terang, itulah darah. Tapi darah siapa? Dipajaya atau Sirtupelaheli yang terluka? Pada saat itu, mendadak saja Dipajaya tersembul di permukaan air. Kemudian melompat ke tepi dengan napas tersengal-sengal. Tanpa merasa kami serentak bertanya. dimana Sirtupelaheli?' Ia tak menjawab. Pisau belatinya sudah tiada dalam genggaman. Tetapi nampak tertancap pada dadanya. Kedua belah pipinya nampak terdapat beberapa goresan luka. Selagi hati kami bergelisah, permukaan air bergerak lagi. Seperti ikan terbang, Sirtupelaheli meletik keluar sambil memutar pedangnya. Ia nampak segar-bugar. Sudah barang tentu begitu mendarat di tepi telaga, ia kami sambut dengan sorak sorai. Dengan mulut membungkam lantaran terharunya, Guru menekap pergelangan tangan Sirtupelaheli. Mimpi pun tidak, bahwa puteri Bupati Pacitan itu memiliki suatu kepandaian di luar dugaan siapa saja. Ia membalas tekapan tangan Guru dengan pandang berseri-seri. Kemudian setelah mengerling kepada Dipajaya, dia berkata manja.
"Ayah! Pemuda itu sangat berbakti kepada ayahnya. Ia berjuang bukan untuk kepentingan diri sendiri. Mengingat demikian, seyogyanya Ayah mengampuni jiwanya."
Sudah barang tentu Guru meluluskan permohonannyanya.
Malahan, Guru lantas menyerahkan perawatannya kepadanya.
Ia dibantu oteh salah seorang bidai kami yang pandai ilmu ketabiban.
Malam itu, guru mengadakan pesta besar.
Sirtupelaheli telah membuat jasa besar.
Ia menjadi pahlawan kami.
Coba, tanpa pertolongannya nama perguruan kami pada malam itu akan hapus dari permukaan bumi.
Ibu guru menghadiahi pedang pusaka perguruan kepadanya.
Itulah suatu pedang yang bersarung seperti tongkat.
Meskipun nampaknya tak menarik, tapi mempunyai khasiat hebat.
Pedang itu bisa melawan senjata macam apa saja betapa tajam pun.
Kami semua menyetujui.
Malahan tatkala dia pun diangkat menjadi ketua murid perguruan, kami semua tiada yang menyatakan keberatan.
Tetapi di luar dugaan, kejadian itu mempunyai ekornya yang panjang.
Dipajaya telah dikalahkan.
Tetapi sebenarnya dia menang seluruhnya...'"
"Menang seluruhnya bagaimana?"
Titisari tertarik.
"Entah bagaimana caranya, ia berhasil merebut hati Sirtupelaheli. Rasa cinta Sirtupelaheli bersemi tatkala ia merawat lukanya. Atau mungkin jatuh cinta sewaktu lagi bertempur. Mungkin pula ia merasa menyesal sampai melukainya. Entahlah, semuanya merupakan teka-teki besar bagi kami. Yang terang, setelah sembuh Sirtupelaheli mengumumkan bahwa ia akan kawin dengan Dipajaya. Pengumuman itu mengejutkan kami semua. Ada yang berduka, ada pula yang bersyukur. Ada yang dengki, ada pula yang bergusar. Dipajaya adalah musuh besar Guru. Belum habis ia menghina Guru, kini malah merampas hati satu-satunya murid wanita guru. Keruan saja, beberapa saudara- seperguruan yang panas hati lantas melabrak. Mereka mengira, Sirtupelaheli kemasukan jompa-jampi yang tidak wajar. Diluar dugaan pula, dengan menghunus pedang di tangan Sirtupelaheli berdiri garang di depan pintu kamar. Katanya tegas.
"Mulai hari ini Dipajaya adalah suamiku. Siapa yang berani menghinanya, boleh mencoba tajamnya pedang pemberian ibu guru..."
Melihat kenekatannya, kami semua mundur.
Bukan kami tidak sanggup melawan, tapi kami merasa harus mengalah.
Dan upacara pernikahan segera dilangsungkan beberapa hari kemudian.
Keenam saudara-seperguruan kami tidak sudi hadir.
Yang hadir hanya aku seorang.
Mengingat jasanya, Guru dan aku berusaha sedapat-dapatnya untuk memenuhi semua keinginannya.
Demikianlah, perkawinan itu terjadi dengan tak kurang suatu apa.
Tetapi masuknya Dipajaya ke perguruan, ditentang hebat oleh saudara-saudara seperguruan.
Guru sendiri tak dapat menindih tentangan itu.
Dia lantas merantau entah pergi kema-na.
Sampai hari ini, aku belum berhasil menemukan beritanya...
"Jadi kakek guru menghilang dengan begitu saja sampai sekarang?"
Titisari dan Sangaji terkejut. Gagak Seta menghela napas seraya mengangguk. Sejenak kemudian ia bere-nung-renung. Kemudian meneruskan dengan suara berduka.
"Mengingat usiaku sendiri sudah lanjut, mestinya guru sudah wafat."
Sangaji dan Titisari ikut berduka mendengar suara Gagak Seta. Selamanya belum pernah mereka melihat wajah Gagak Seta semuram itu. Mereka mau menghibur, tapi tak tahu bagaimana caranya. Selagi demikian, terdengar Gagak Seta berkata lagi.
"Kedukaan kami tidak hanya sampai disitu saja. Rupanya Sirtupelaheli mendendam terhadap keenam saudaraku seperguruan. Mereka berdua lantas berunding bagaimana hendak menghajar adat. Diluar dugaan Sirtupelaheli, Dipajaya mendatangi keenam saudaraku seperguruan dan mengajukan tantangan. Inilah kelak yang menyengsarakan hati Sirtupelaheli. Dipajaya menantang keenam saudaraku seperguruan untuk menentukan siapa yang lebih unggul, dengan meminum racun. Hebat bunyi tantangan itu. Dan celakanya diumumkan di hadapan orang banyak. Demi menjaga pamor perguruan, keenam saudaraku seperguruan tidak dapat mundur lagi. Mereka lantas menerima tantangan itu. Hal itu terjadi, dua tahun kemudian dari hari perkawinan yang mengoncangkan rumah perguruan kami...
"Kemudian bagaimana, Guru?"
Titisari bernapsu.
Gagak Seta menundukkan kepala.
Lama ia berdiam diri.
Kemudian menjawab dengan suara perlahan.
Waktu itu, aku baru saja datang dari perantauan dalam usaha mencari jejak Guru.
Merasa tak berhasil, aku segera pulang ke rumah perguruan untuk memberi kabar.
Begitu tiba di perguruan aku mendengar tentang adu unggul itu.
Tempat yang dipilihnya dekat persimpangan jalan sebelah timur petak hutan.
Selagi aku berjalan menuju ke tempat itu, aku melihat berkelebatnya bayangan Sirtupelaheli.
Ia nampak tergesa-gesa.
Heran aku, apakah dia pun tidak mengetahui terjadinya adu unggul itu? "Ini gila! Gila!"
Katanya.
"Siapa yang suruh mengadu keunggulan dengan minum racun?"
Melihat wajahnya yang sungguh-sungguh dan gugup, aku percaya ia benar-benar berkata dengan tulus-hati. Katanya lagi.
"Memang siapa saja tidak menghina suamiku. Tapi kalau sampai mengambil kepu-tusan nekat-nekatan, adalah keterlaluan..."
Kami berdua lantas berlomba mencapai tempat pertandingan. Ternyata kami sudah kasep. Mereka tak terkecuali Dipajaya telah rebah di tanah tanpa berkutik..."
Melihat jalan ceritanya, Sangaji dan Titisari sudah dapat menebak apa yang bakal terjadi. Tetapi mendengar rebahnya ketujuh pendekar itu akibat racun, tak urung mereka masih kaget dengan memekik tertahan.
"Meninggal?"
Mereka menegas dengan serentak.
"Sewaktu aku memeriksa napasnya, keadaannya sangat menyedihkan,"
Jawab Gagak Seta.
"Mereka pun mati tak lama kemudian. Hanya pernapasan Dipajaya yang terdengar aneh. Kadang cepat, kadang pula perlahan. Ia masih dapat mempertahankan diri kala itu.
"Aneh,"
Pikirku.
"Meskipun dipaksa, aku takkan percaya bahwa tenaga saktinya lebih tinggi daripada keenam saudaraku seperguruan, sehingga dia dapat mempertahankan diri. Selain dia masih muda belia, keenam saudaraku seperguruan hampir mencapai tataran kesempurnaan. Apakah dia sudah minum obat pemunah sebelumnya?"
Selagi aku dalam keragu-raguan, Sirtupelaheli menghampiri tubuh suaminya. Setelah memeriksa sebentar, ia berputar menghadap padaku. Katanya dengan air mata berlinangan.
"Adikku, aku menyesal atas terjadinya semua ini. Aku akan membawa Dipajaya pulang. Dan semenjak ini, jangan sebut aku sebagai salah seorang saudara seperguruanmu lagi...."
Dia seorang gadis yang angkuh luar biasa.
Bahwasanya dia bisa mengeluarkan air mata dan berkata demikian, itulah sudah melanggar kebiasaannya.
Waktu itu, hatiku sangat pepat sehingga aku hanya mengangguk dengan kepala kosong.
Masih teringat dalam benakku, betapa dia memanggul tubuh suaminya di atas pundaknya.
Kemudian memasuki petak hutan dan menghilang dari pengamatan.
Aku sendiri jadi penasaran.
Pada malam harinya, aku mengintip mereka.
Ternyata Dipajaya masih menggeletak di atas tempat tidur dengan menyenak-nyenakkan napas.
Kutaksir, dia pun tidak bakal dapat menyelamatkan jiwanya.
Sirtupelaheli berdiri tegak di tepi ranjang.
Tangannya menggenggam semacam benda tipis.
Setelah mengamat- amati tubuh Dipajaya, dia berkata seperti kepada dirinya sendiri.
"Dipajaya, kau membuat rusak seluruh hidupku. Kalau aku menolongmu, berarti aku sudah memihak. Guruku pergi entah kemana, karena engkau. Sekarang adik- adikku seperguruan mati, karena kau pula. Maka demi menegakkan keadilan, mulai saat ini aku bukan milik siapa saja..."
Setelah berkata demikian, tangannya bergerak mengusap mukanya. Tiba-tiba ia sudah mengenakan topeng seorang nenek-nenek tua bangka bangka. Aku terkejut. Mengapa begitu? Pada saat itu, aku mendengar dia berkata lagi seorang diri.
"Aku kawin denganmu. Untuk apa? Mengapa? Itulah demi tugas suci yang kita bawa bersama. Aku melihat kau datang. Hatiku bersyukur, karena ternyata kau dari aliran yang sama. Meskipun kita berpura-pura hidup sebagai suami isteri, namun upacara perkawinan benar-benar terjadi. Sekarang tugas yang harus kulakukan, gagal lantaran keceroboh-anmu. Dan aku tidak mau menerima hukum bakar hidup-hidup. Karena itu, mulai saat ini tiada lagi Sirtupelaheli..."
PERTARUNGAN YANG MENENTUKAN TITISARI ADALAH seorang wanita yang berotak cemerlang. Mendengar cerita Gagak Seta, lantas saja ia sudah bisa menebak delapan bagian. Katanya untuk meyakinkan hatinya sendiri.
"Guru hendak berkata, bahwa baik Bibi Sirtupelaheli maupun Dipajaya adalah anggota aliran Utusan Suci sebelum tiba di perguruan?"
"Benar,"
Jawab Gagak Seta.
"Menurut yang kudengar kemarin, mereka datang dari Pulau Lombok. Bagaimana mungkin Bibi menjadi anggota aliran itu? Apakah kau kira aliran itu hanya mendekam di atas pulaunya sendiri? Lihatlah sasaran bidikannya Pulau Jawa. Lagipula mereka menyematkan suatu elan. pembawa perdamaian dunia. Dengan sendirinya, sayapnya sangat luas,"
Sahut Gagak Seta. Kemudian menerangkan.
"Tata kerja dan gerak-geriknya sukar diamat-amati. Anggota-anggotanya tingkat atas selalu membawa sikap seorang brahmana. Mereka sabar, penyayang dan telaten. Sasaran bidiknya terhadap kanak-kanak yang berbakat. Terlebih-lebih yang hidup sengsara. Umpamanya. Dipajaya. Ayah Dipajaya mati karena menderita luka oleh pukulan guruku. Dengan sendirinya, Dipajaya menjadi sasaran yang baik. Dengan dalih hendak mendidik Dipajaya menjadi manusia berkepandaian tinggi, ayahnya sebelum mati pasti merasa bersyukur. Malahan merasa berhutang budi pula. Sedangkan tujuan Utusan Suci yang benar ialah, hendak menggunakan Dipajaya sebagai alat untuk mencapai tujuannya;"
"Tapi Bibi Sirtupelaheli?"
"Meskipun alasannya lain, tapi dasarnya sama. Melihat bibimu bertulang bagus, mereka berusaha mendapatkan dengan jalan apa saja. Kabarnya, kalau perlu mencekoki dengan ramuan obat semacam bius. Dan semenjak itu, bibimu menjadi tawanannya. Sunguh kasihan.... Tergetar hati Sangaji mendengar keterangan Gagak Seta. Teringat akan bunyi igauan Fatimah, mau ia menduga bahwa gadis itu pun sudah menjadi korbannya pula. Dalam mengigaunya, Fatimah menjerit tinggi. Ia dipaksa minum semacam obat oleh Dipajaya.
"Ah!"
Titisari setengah mengeluh.
"Jadi... Terjadinya perkawinan antara Bibi Sirtupelaheli dan Dipajaya sebenarnya atas perintah Utusan Suci?"
Gagak Seta mengangguk.
- ' Menurut kepercayaan itu, dalam alam semesta ini terdapat unsur Terang dan unsur Gelap.
Unsur Terang dari Tuhan.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Unsur Gelap dari setan.
Utusan Suci itu menganggap bahwa yang membuat gelap adalah segala ilmu yang mengajar manusia melebihi kodrat.
Karena itu anggotanya wajib memberantas ilmu-ilmu sakti.
Mereka menggunakan semacam obat bius untuk menawan orang.
Seperti apa yang pernah dilakukan oleh kaum Assassin pada tahun 1090 dengan ramuan obat hashish yang memabukkan.
"Bagaimana Guru mengetahui, bahwa mereka anggota aliran Utusan Suci?"
Titisari menegas.
"Hal itu kuketahui dikemudian hari, setelah aku menerima sepucuk surat dari Guru,"
Jawab Gagak Seta.
"Apakah kakek guru pulang?"
Titisari setengah girang.
"Tidak. Guru tidak pernah kembali ke rumah perguruan. Aku menerima surat itu dari tangan seorang bidai."
Gagak Seta memberi penjelasan."
Bunyinya begini.
Betapa pun juga, anakku...
kita harus bersyukur karena engkau masih hidup.
Artinya ilmu perguruanmu bakal ada yang melanjutkan.
Kakakmu Sirtupelaheli perlu kau tolong.
Kalau tidak mungkin, kau cukup menjaga semua peninggalan perguruanmu agar jangan kena rampas.
Kasihanilah dia! Kau kularang mengusik selembar rambutnya.
Dia bekerja di bawah sadarnya, karena dia kena bius aliran terkutuk...
"Sirtupelaheli sudah meniadakan dirinya sendiri dengan mengenakan topeng seorang nenek-nenek. Ia mengira, tiada yang melihat. Seringkali ia datang dengan diam-diam ke rumah perguruan. Mula-mula kukira lantaran rasa rindunya atau digerakkan oleh suatu kenangan tertentu. Lambat-laun aku curiga, karena dia selalu mengincar rumah perpustakaan Guru yang berada di dalam gandok tengah. Aku lantas menghadangnya. Tujuh kali aku bertempur melawan dia. Merasa diri tak ungkulan, ia lantas menghilang tiada menampakkan batang hidungnya."
Kudengar hidupnya lantas menjadi ber-larat-larat.
Ia keluar masuk ke berbagai-bagai aliran ke perguruan.
Akhirnya memasuki istana dan menjadi dayang-dayang.
Kemudian menjadi selir...
ah, entahlah.
Benar-benar dia hidup seperti berada di bawah sadar.
Aku tak pernah melihat Sirtupelaheliku dahulu..."
Sampai di sini Gagak Seta berhenti dengan menghela napas panjang sekali.
"Guru."
Titisari mencoba menghibur.
"Barangkali Bibi selalu gagal menunaikan tugas untuk merampas tiap sumber ilmu sakti yang dikehendaki ketua alirannya. Karena takut kena ancaman bakar hidup-hidup, ia mencoba mencari perlindungan di dalam kalangan istana. Kurasa dia mengenakan topeng bukan lantaran demi pernyataan duka cinta terhadap kematian paman-paman guru. Tapi demi kepentingan diri sendiri, agar luput dari pengamatan aliran Utusan Suci."
"Tepat! Kau memang anak siluman!"
Kata Gagak Seta.
"Sebenarnya dengan ilmu kepandaiannya, masakan Bibi tidak mampu merampas kitab sakti yang dikehendaki?"
Titisari tak memedulikan pujian Gagak Seta.
"Tentu saja tidak. Karena kitab sakti yang diintipnya sudah berada dalam dada Sangaji."
"Pusaka warisan Pangeran Semono?"
Titisari menegas.
"Ya,"
Sahut Gagak Seta membenarkan.
Ketiga orang itu lantas berdiam diri dengan pikirannya masing-masing.
Cahaya terang, mulai masuk ke dalam ruang gubuk.
Gandarpati yang berada di belakang pintu, dengan diam-diam mengintip keluar.
Suasana di sebelah jembatan batu sunyi lengang.
Sebenarnya hal ini mengherankan, tapi merasa agaknya lagi tenggelam dalam kesan hatinya sendiri.
Sekonyong-konyong Sangaji menepuk lututnya sambil berseru tertahan.
"Benar. Ya, benar!"
"Benar bagaimana?"
Titisari tertarik.
"Aku ini berotak lamban, biarlah aku mengulangi tutur kata Guru,"
Katanya.
"Jadi terangnya, sebelum Bibi Sirtupelaheli tiba di perguruan, sebenarnya ia sudah menjadi anggota aliran Utusan Suci semenjak lama. Bukankah begitu?"
Titisari menoleh kepada Gagak Seta. Dan Gagak Seta mengangguk.
"Bagus!"
Sangaji girang lantaran mengagumi pikirannya sendiri.
"Tugasnya untuk mencuri rahasia ilmu sakti kakek guru. Ia disambut terlalu baik oleh kakek guru, sehingga ia dalam ragu-ragu. Ia bersyukur diangkat menjadi anak angkat. Dengan begitu, tak usahlah ia main mencuri. Dikemudian hari bisa mengharapkan sebagai pewarisnya. Benar tidak?"
"Benar."
Titisari girang.
"Otakmu kali ini cemerlang juga."
"Kemudian datanglah Dipajaya. Inilah kesempatan bagus untuk membuat jasa. Dengan begitu akan menghapus rasa jelus atau iri hati murid-murid kakek guru lainnya. Di luar dugaan ia jatuh cinta kepada Dipajaya."
Titisari mencubit pahanya sambil membenarkan.
"Benar. Otaknya kali ini cemerlang juga."
"Dalam perawatan, rupanya Dipajaya mulai memperkenalkan kartunya dan juga membuka kartu Bibi Sirtupelaheli. Mungkin pula Dipajaya membicarakan ancaman hukuman aliran Utusan Suci yang akan dija- tuhkan kepada Bibi Sirtupelaheli, bila gagal dalam melakukan tugasnya. Karena merasa takut, Bibi Sirtupelaheli membutuhkan perlindungan atau setidak- tidaknya kawan sepaham. Maka ia mempercepat perkawinan. Bagaimana?"
"Sekalipun kurang tepat, tapi garis besarnya kurasa benar."
Titisari memberikan pertimbangan.
"Bagaimana Guru?"
Gagak Seta mengangguk menyatakan persetujuannya.
Dan melihat gurunya menyetujui, hati Titisari bersyukur bukan main.
Memang sebenarnya, Sangaji bukan se- orang pemuda tolol dalam arti sesungguhnya.
Kesederhanaannya hanyalah disebabkan kemuliaan hatinya.
Ia hanya lamban berpikir, bila dibandingkan dengan Titisari.
Tetapi penglihatannya sesungguhnya tepat.
"Ternyata apa yang sesungguhnya diharapkan, meleset sekali,"
Sangaji meneruskan.
Bibi Sirtupelaheli terpukul, tatkala kakek guru pergi dari rumah perguruan.
Mungkin sekali, kakek guru sudah mencium rahasia hatinya-.
Hanya, karena Bibi Sirtupelaheli mempunyai jasa lagipula puteri seorang sahabatnya yang dipercayakan kepadanya, ia tidak mau membuka kartu.
Satu-satunya jalan, kakek guru hendak meletakkan Bibi Sirtupelaheli pada kedudukannya semula, dengan meninggalkan rumah perguruan.
Dengan begitu, Bibi Sirtupelaheli tanpa perlindungan lagi.
Berarti pula, murid- murid lainnya boleh bertindak apabila Bibi Sirtupelaheli benar-benar hendak melaksanakan niatnya merampas atau mencuri rahasia ilmu sakti rumah perguruan.
Karena itu, ia menganjurkan suaminya agar menyingkirkan ketu- juh murid kakek-guru..."
"Eh, kau maksudkania justru yang menganjurkan Dipajaya agar menantang mengadu racun?"
Gagak Seta tiba-tiba terloncat bangun.
"Benar. Ia tidak hanya mengharap agar ketujuh murid kakek guru mati, tetapi Dipajaya juga."
"Benar, benar... benar..."
Gagak Seta berbisik perlahan-lahan sambil berkerut-kerut.
"Kalau begitu..."
"Kalau begitu, sesunguhnya ia tahu kena intip guru,"
Titisari meneruskan.
"Dia benar-benar seorang wanita yang licin dan berbahaya."
"Benar! Kalau begitu kata-katanya hanyalah suatu permainan sandiwara untuk mengelabui mataku yang lamur,"
Kata Gagak Seta dengan suara luar biasa.
"Coba teruskan!"
"Selanjutnya terjadilah seperti ceritera guru. Dengan mengenakan topeng, ia mencoba menyateroni rumah perguruan. Ia bertempur sampai tujuh kali melawan Guru. Artinya, tekatnya sudah penuh. Kemudian dia menghilang. Apa sebab? Kurasa berhubungan dengan Dipajaya. Diluar dugaan Dipajaya ternyata masih hidup segar-bugar. Bukankah satu-satunya orang yang mengenal dia, hanyalah Dipajaya. Dia boleh menggunakan topeng dan tipu daya lainnya. Tapi Dipajaya pernah hidup berkumpul sebagai suami-isteri selama dua tahun. Masakan dia bisa dikelabui?"
"Eh, eh! Semenjak kapan suamimu ini pandai berbicara?"
Gagak Seta heran.
"Semenjak jadi raja,"
Sahut Titisari menggoda.
"Hayooo..."
Sangaji menyanggah.
Titisari tertawa.
Gagak Seta tertawa.
Kedua-duanya lantas tertawa berbareng.
Hanya Gandarpati yang merasa diri tak pantas mengangkat sama derajat, tak berani menarik mulutnya.
Matanya hanya berseri-seri untuk menyatakan rasa senangnya.
"Aku benar-benar kagum kepada otakmu,"
Kata Gagak Seta sungguh-sungguh.
"Biasanya otakmu tolol, tapi kali ini cemerlang. Dengan sekali mendengarkan ceriteraku, kau sudah bisa tahu bahwa Dipajaya masih hidup. Sedangkan aku baru tersadar setelah mendengar napas Fatimah yang mengingatkan aku kepada napas Dipajaya. Coba, aku sadar semenjak dahulu, pastilah akan lain jadinya."
Gagak Seta menyenak napas. Ia seperti memikirkan sesuatu.
"Bibi Sirtupelaheli mengenakan topeng. Bukankah untuk meluputkan diri dari incaran Utusan Suci?"
Sangaji berkata"
Lagi.
"Ia masuk ke istana pula dengan mengorbankan kecantikannya, bukankah untuk melu- putkan diri? Kemarin dalam satu gebrakan saja, dia membiarkan diri kena ringkus. Bukankah untuk meluputkan diri?"
"Hai tak terduga, bahwa sampai berusia lanjut dia ternyata belum dapat meluputkan diri dari pengamatan Utusan Suci..."
Hebat pengaruh kata-kata Sangaji yang terakhir ini, sampai Gagak Seta nampak ter-longong-Iongong. Tetapi sejenak kemudian, sifatnya yang bergembira menindih semua perasaannya. Lalu tertawa terbahak-bahak.
"Hari sudah siang! Hai, kenapa mereka masih tenang- tenang saja? Celakalah, kalau mereka sengaja membiarkan kita mati kelaparan. Hai, Gandarpati! Apakah gurumu tidak menyimpan makanan kering?"
Gandarpati seperti diingatkan. Segera ia melompat bangun dan lari ke belakang. Tak lama kemudian, ia balik sambil berkata.
"Makanan yang ada tiada berharga sama sekali. Guru dahulu menyamar sebagai penjual tahu, pisang goreng dan panganan keras lainnya. Karena itu yang ada hanya beberapa bongkok ketela, pisang dan tahu mentah..."
"Itu pun boleh. Disini ada seorang siluman yang pandai masak. Anakku Titisari, kau sudah bergerak atau belum?"
Kata Gagak Seta.
"Biarlah aku saja yang menyediakan makanan seadanya,"
Tungkas Gandarpati. Sambil menggerumuti bakaran ketela dan pisang, mereka kini mulai merundingkan ilmu sakti ketiga Utusan Suci yang aneh luar biasa.
"Guru!"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Titisari.
"Dalam satu gebrakan, Bibi Sirtupelaheli kena dirobohkan. Tetapi itulah hanya suatu akal untuk mengelabuhi mereka. Setelah ketiga Utusan Suci masih saja mengenal dia meskipun sudah mengenakan topeng, pastilah Bibi kini berdaya mati- matian menghadapi mereka bertiga. Apakah menurut pendapat Guru, ilmu silat mereka benar-benar hebat tak terlawan?"
"Sebenarnya, ilmu silat mereka tidak hebat. Hanya inti kerjasamanya yang aneh. Kalau ayahmu berada di sini apalagi ditambah Kyai Kasan Kesambihm, semuanya tidak akan menyukarkan lagi,"
Jawab Gagak Seta. Sekonyong-konyong Fatimah mengigau lagi dengan gigi berceratukan, Sangaji meraba dahi Fatimah yang masih panas luar biasa. Ia menghela napas. Nampaknya luka yang diderita gadis itu makin lama makin berat.
"Guru,"
Kata Sangaji setelah berpikir sejenak.
"Keadaan Fatimah makin lama makin berat. Kalau kita tidak berhasil menolong Bibi Sirtupelaheli, Fatimah harus kita tolong."
"Tentu saja. Hanya dengan cara bagaimana?"
Sangaji menoleh kepada Titisari mencari bantuan. Puteri Adipati Surengpati itu lantas berkata.
"Kalau kita selamat syukur pula bisa menolong Bibi Sirtupelaheli dia akan kubawa menyeberang ke Karimun Jawa. Sekiranya tidak mungkin, kita akan segera kembali ke Jawa Barat memberi kabar Manik Angkeran."
"Siapa Manik Angkeran?"
"Tunangan Fatimah."
"Dia bisa apa?"
"Selain sudah mewarisi ilmu ketabiban seorang tabib sakti, dia pun seorang pemuda yang mewarisi ilmu kepandaian tinggi."
"Kalau begitu, semuanya sudah beres. Tinggal menghadapi mereka. Hari sudah siang. Apakah kamu berdua sudah bersiaga bertempur?"
"Kami mengharapkan petunjuk-petunjuk Guru,"
Sahut Sangaji.
"Hanya senjata senapan dan meriamnya, menyukarkan kita."
"Tidakkalau kita bisa mendekati kedua senjata itu tidak banyak gunanya..."
Gagak Seta meyakinkan.
Kata-kata Gagak Seta itu beralasan.
Dewasa itu senjata bidik harus diisi dengan bubuk mesiu dahulu.
Kalau seorang musuh bisa mendekati kemudian menubruk, orang takkan mempunyai kesempatan untuk mengisi bubuk mesiu dan menembak.
Setelah menyelimuti Fatimah dan memesan kepada Gandarpati agar menjaganya baik-baik, mereka bertiga lantas keluar dari gubuk.
Matahari kala itu sudah sepenggalah tingginya.
Kabut pegunungan sudah buyar semenjak tadi.
Semuanya jadi nampak segar.
Kesejukan hawanya ditambah kelembutan angin pagi hari meresapi hati.
Batu-batu yang masih meningalkan bekas hujan; nampak menghitam berkilat.
Semuanya merupakan rangkuman pengucapan alam yang indah tapi menyendiri.
"Guru,"
Kata Sangaji.
"Satu hal yang masih belum kumengerti. Guru berkata, bahwa Kompeni Belanda ada di belakangnya. Mengapa bukan Inggris?"
"Aku hanya menduga saja. Tapi nanti kita buktikan,"
Jawab Gagak Seta.
"Melihat Inggris bercokol di bumi Jawa, masakan Belanda akan tinggal bertopang dagu saja?"
Titisari seorang wanita berotak cerdas. Meskipun menderita luka, tidaklah terganggu kecermelangannya. Segera ia dapat menebak. Katanya.
"Keadaan di Jawa Barat kukira sama saja dengan yang terjadi disini. Dengan diam-diam Belanda membantu unsur-unsur perjuangan yang menentang pemerintahan sekarang. Sultan sekarang adalah buatan Inggris. Dengan sendirinya Belanda membantu mereka yang menentang. Apakah Guru mau berkata, bahwa mereka ini sesungguhnya gerombolan penentang Sultan sekarang?"
"Kalau tidak, Belanda membonceng di belakangnya..."
Jawab Gagak Seta. Perlahan-lahan mereka menuruni bukit. Sangaji memeluk pinggang Titisari. Meskipun Titisari terluka dan belum dapat bergerak dengan leluasa, namun hatinya mantap apabila dia berada disampingnya. Sebab yang penting adalah otaknya.
"Gagak Seta berada di depan. Tatkala membeloki tikungan ia berseru tertahan.
"Celaka! Mereka membakari kampung... atau mereka sedang membakar Sirtupelaheli hidup-hidup?"
Bukan biasanya Gagak Seta berseru mengandung kecemasan.
Biasanya menghadapi bahaya betapa besar pun, masih saja ia nampak tenang.
Malahan bisa berlagak kegila-gilaan.
Tapi memikirkan keselamatan Sirtupelaheli ia jadi gugup.
Dengan mempercepat langkah, Sangaji dan Titisari menghampiri.
Karena kena pantulan cahaya surya, sinar api yang menjilat udara hanya nampak lapat-lapat.
"Guru."
Sangaji mencoba menghibur.
"Kita pasti berusaha menolong Bibi. Hanya aku masih belum mengerti. Kalau yang terbakar ini sebuah kampung atau dusun, apa sebab sedikit-sedikit mereka main bakar?"
Titisari tertawa. Katanya.
"Hai! Kau tadi sudah kelihatan pintar, mengapa kembali menjadi tolol lagi?"
"Selamanya, bukankah aku ini anak tolol?"
Tergetar hati Titisari mendengar jawaban Sangaji. Ia memeluk dan mencium pipi suaminya. Katanya setengah berbisik.
"Maaf, Aji. Aku hanya bergurau. Mulutku.ini me- mang..."
"Bukan begitu. Kau berdua memang tolol!"
Gagak Seta menimbrung.
"Sudah terang, musuh berada di depan. Kalian berbicara yang bukan-bukan. Mereka membakari kampung untuk membuat kekacauan. Penduduk lantas tak puas terhadap pemerintahan sekarang. Nah, bukankah gampang jawabnya?"
Sangaji tertawa menyeringai. Titisari pun tertawa merasa. Kedua-duanya lantas tertawa berbareng.
"Tuuu...."
Bisik Titisari.
"Kita jangan bergurau..."
"Bukankah kau yang mengajak bergurau?"
Sangaji menjawab sambil menggelintik iga-iganya.
"Aji!"
Titisari tiba-tiba bersungguh-sungguh.
"Kukira mereka takkan membakar Bibi Sirtupelaheli dengan segera. Seumpama aku jadi mereka, Bibi Sirtupelaheli akan kugunakan sebagai perisai untuk mendekati gubuk di atas."
"Mengapa begitu?"
"Sebab tujuan mereka yang pokok ialah mendapatkan ilmu warisan Patih Lawa Ijo. Mereka tahu, Bibi Sirtupelaheli adik seperguruan Paman Gagak Seta. Mereka tahu pula, Paman Gagak Seta mempunyai se- orang murid yang sudah mewarisi ilmu sakti yang sedang diburunya."
"Ah, benar!"
Seru Sangaji.
"Terlebih-lebih pula, kalau Bibi Sirtupelaheli bisa memberi keterangan bahwa akulah murid yang dimaksudkan mereka. Sekarang bagaimana baiknya?"
"Bibi Sirtupelaheli merupakan sandera yang berharga bagi kita. Kalau kau bisa merampas kembali senjata andalan ketiga Utusan Suci itu, mungkin dapat kita pertukarkan. Mohe, Jahnawi dan Jinawi menganggap senjata andalannya sebagai jiwanya sendiri,"
Kata Titisari. Mendengar kata-kata Titisari, timbullah semangat Sangaji. Lantas saja ia berseru.
"Mari kita bekerja!"
Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh yang berpengalaman.
Kecuali itu, ilmu kepandaiannya sangat tinggi.
Dengan berlindung pada batu-batu bukit, mereka dapat mendekati sasaran.
Ternyata mereka yang menamakan diri Utusan Suci berkemah di bawah bukit.
Tenda yang didirikan berjumlah lima belas.
Dengan menyamar sebagai penduduk kampung yang rumahnya kena bakar, Gagak Seta, Sangaji dan Titisari dapat mendekati sekelompok tenda yang berada di timur.
"Kami penduduk yang tidak berdosa, mohon diperkenankan lewat,"
Kata Titisari. Ia memang sedang terluka. Kesan mukanya benar-benar nampak kuyu.
"Kenapa kemari?"
Bentak seorang yang mengenakan jubah biru muda.
"Untuk menyatakan terima kasih atas kebijaksanaan tuan-tuan."
"Bagaimana? Kau bilang apa?"
"Bahwasanya keluarga kami tidak Tuan ganggu. Kalau cuma rumah yang terbakar lain hari bisa kami bangun kembali. Tapi jiwa kami, ternyata Tuan lindungi,"
Jawab Titisari mengada-ada.
Sudah barang tentu, orang itu setengah percaya setengah tidak mendengar ocehannya.
Ia berpaling kepada pemimpinnya yang berdiri di dekat pintu tenda.
Orang itu sedang memandang ke atas bukit.
Tatkala sedag mendengarkan laporan si jubah biru dalam bahasa Lombok, tiba-tiba Gagak Seta melesat dan menghantam.
Pemimpin itu kaget bukan kepalang.
Gesit ia melompat kesamping.
Tetapi menghadapi Gagak seta, biarpun memiliki kepandaian sepuluh kali lipat daripada yang dimilikinya sekarang, masih merupakan makanan empuk.
Begitu ia bergerak tiba-tiba iga-iganya sudah kena sambar dan dibanting di atas tanah, la lantas tak dapat berkutik lagi.
Puluhan anak buahnya yang berada di situ segera menjadi kalut.
Mereka menghunus senjatanya dan segera mengepung.
Nampaknya mereka mengenal ilmu silat.
Tetapi dibandingkan dengan Mohe dan kedua temannya, terpaut masih jauh.
"Aji! Kau bawa orang itu mundur ke atas bukit!"
Seru Titisari.
Sangaji segera bekerja.
Tangannya bergerak dan memanggul pemimpin mereka di atas pundaknya.
Kemudian dengan tangan kirinya ia menyibakkan kepungan.
Titisari memutar pedangnya Sangga Buwana sambil mundur.
Sedangkan Gagak Seta melindungi dengan sekali-kali melepaskan pukulan geledek.
Ilmu sakti Kumayan Jati, bukanlah sembarang ilmu sakti.
Tenaganya sangat dahsyat.
Jangan lagi manusia yang terdiri dari darah dan daging, sedangkan batu gunung bisa rontok berguguran.
Maka begitu kena hantaman Kumayan Jati, puluhan orang Utusan Suci mati terkapar.
"Mari kita lari!"
Ajak Titisari. Sangaji tahu, Titisari sedang menderita luka. Meskipun tidak membahayakan jiwanya, namun ia tidak boleh bergerak terlalu banyak. Gagak Seta tahu kesukaran itu. Lantas berkata.
"Kau lemparkan kemari orang itu. Biar aku yang mengurus."
Sangaji benar melemparkan orang itu. Kemudian menyambar pinggang Titisari. Dalam pada itu, terdengar Gagak Seta berteriak mengguruh.
"Hai, kamu binatang! Barangsiapa berani mendekati kami, akan kubinasakan orang ini terlebih dahulu..."
Orang yang kena tawan itu, ternyata mempunyai kedudukan tinggi. Titisari yang cerdik segera mengetahui. Mereka hanya berteriak-teriak, tetapi tiada yang berani bergerak mendekati.
"Bagus!"
Serunya girang.
"Guru, kau jaga orang itu baik-baik. Mungkin sekali bisa kita tukarkan dengan Bibi...."
Tiba-tiba terdengarlah suara kesiur angin tajam.
Sangaji memutar pinggang Titisari.
Tangannya bergerak melindungi.
Sepintas pandang, ia melihat berkelebatnya suatu senjata, la segera mengelak berbareng me- nendang.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum sempat memutar tubuh, sebatang senjata berengsel berkelebat dari samping, la mengeluh.
Itulah senjata andalan ketiga Utusan Suci yang disegani.
Selagi mengerahkan tenaga sakti untuk pukulan yang tak mungkin dihindari, tiba-tiba Gagak Seta mendepak tawanannya.
Orang itu terbang ke atas dan ternyata digunakan Gagak Seta sebagai perisai.
Orang yang memukul dengan senjata engsel adalah Mohe.
la terkejut dan dengan mati-matian menarik senjatanya, la berhasil, tapi justru demikian terdapatlah bagian bawah tubuhnya yang terbuka.
Tentu saja Sangaji tidak menyia-nyiakan lowongan itu.
la melepaskan pelukannya dari pinggang Titisari, kemudian kakinya menyerobot menendang.
Jahnawi dan Jinawi kaget.
Cepat mereka menolong dengan serangan dahsyat, sehingga tendangan Sangaji meleset.
Dengan begitu Mohe terlepas dari mara bahaya.
Mereka bertiga lantas mengepung Sangaji.
Kerjasamanya yang rapi dan cepat tetap saja membingungkan Sangaji.
Tetapi Sangaji tidak mau main coba-coba lagi.
Teringat betapa Titisari memilih hendak bunuh diri daripada menyaksikan perlawanannya yang tidak sungguh-sunnguh, lantas saja ia mengerahkan tenaga saktinya sembilan bagian.
Hebat kesudahannya.
Mohe, Jahnawi dan Jinawi tak dapat mendekati seperti semalam.
Sesudah lewat beberapa jurus tiba-tiba Mohe menyabetkan senjatanya dengan pukulan yang sangat aneh.
Sangaji memapaki senjata itu dengan berperisai tubuh si Pemimpin dengan gerakan yang aneh pula.
"Plak!"
Senjata engsel Mohe singgah tepat di pipi kiri orang itu.
Bukan main kagetnya Mohe.
Mukanya sampai berubah pucat.
Kedua temannya tak terkecuali.
Mereka lantas berbicara dengan bahasa Lombok seraya membungkuk- bungkuk hormat kepada orang yang ditawan Sangaji.
"Ah, benar-benar seorang pemimpin yang berharga!"
Pikir Sangaji.
Susunan aliran Utusan Suci tataran atas terdiri dari tiga tingkat.
Yang pertama seorang.
Dia sebagai ketuanya.
Kemudian tiga penasehatnya.
Dan tingkat tiga terdiri dari dua belas orang.
Mereka ini berkedudukan sebagai pelindung.
Orang yang kena tawan tadi adalah seorang anggota dari tingkat kedua.
Karena itu, kedudukannya sangat tinggi.
Dia salah seorang penasehat yang dikirimkan ketuanya menyeberang ke Pulau Jawa, begitu mendengar kabar tentang beradanya tiga pusaka warisan Pangeran Semono yang dianggapnya sebagai warisan sah anak keturunan aliran Kapakisan.
Mohe telah memukul pipinya.
Walaupun tidak sengaja, tetapi hal itu benar-benar mengejutkan dan menciutkan hati mereka bertiga.
Mereka tidak berani meneruskan pertarungannya.
Dan dengan saling memberi isyarat, mereka melompat mundur berbareng.
Sangaji segera menyerahkan tawanannya kembali kepada Gagak Seta.
Ia tahu, bahwa orang itu mempunyai kedudukan penting di dalam aliran kepercayaannya.
Ia berharap pula, orang itu bisa ditukarkan dengan Sirtupelaheli.
la memeriksa pipinya yang terluka kena sabetan engsel Mohe.
Untung, tidak membahayakan jiwanya.
Hanya bengkak dengan goresan melempuh.
Rupanya pada detik terakhir, Mohe berusaha menarik pulang tena- ga pukulannya, sehingga tidak sampai mematahkan tulang pipi.
Dalam pada itu laskar Utusan Suci sangat penasaran.
Meriam dan senapannya mulai diarahkan.
Ternyata tiada seorang serdadu Belanda berada di antara mereka.
Dengan begitu benarlah dugaan Gagak Seta, bahwa Belanda hanya memboncengi kepentingan mereka.
Tujuan Belanda, hanyalah untuk mengeruhkan suasana dalam negeri.
Sekonyong-konyong, Mohe berteriak nyaring.
"Gagak Seta! Dua belas Utusan Suci tingkat ketiga berada di sini semua. Kedosaan kalian melawan kami, sudah diampuni asal saja kau membebaskan tawanan itu. Sesudah kau mengembalikan tawanan itu, kau boleh pergi tanpa kami ganggu-ganggu lagi...."
Gagak Seta tertawa berkakakan. Sahutnya.
"Gagak Seta bukan anak kemarin sore yang belum pandai beringus. Begitu kami berjalan turun naik bukit, bukankah meriam kalian bisa mengejar punggung kami?"
"Kurangajar!"
Bentak Mohe bergusar. Kalau kau tidak sudi mendengarkan perkataan kami, apakah meriam kami tidak bisa meledak di hadapanmu?"
"Silakan! Orang ini pun juga bakal meledak seperti jagung bakar."
Gagak Seta tertawa geli.
"Bangsat!"
Maki Mohe.
"Kau lepaskan Sirtupelaheli. Mana dia? Kalau dia sudah kau bebaskan, nahkita bisa berbicara..."
Mereka lalu kasak-kusuk berbicara. Kemudian Jahnawi mewakili mereka.
"Sirtupelaheli sudah lama membuat kesalahan. Dia harus dibakar hidup-hidup..."
"Apa kesalahannya?"
"Dia tidak menunaikan perintah atasan."
"Dia sudah bekerja sungguh-sungguh,"
Kata Gagak Seta.
"Hanya saja dia gagal, karena kepandaian kami. Coba pikirkanlah, baru saja kalian, menghadapi seorang pemuda kemarin sore, sudah tak sanggup mengalahkan. Padahal pemuda seperti dia berjumlah ribuan di bumi Jawa ini."
"Hm, kau mengira begitu?"
Bentak Jahnawi. Kemudian ia memberi laporan kepada atasannya. Tiba-tiba dua orang yang bertubuh besar tinggi melompat menyerang. Teriak Jahnawi.
"Siapa bilang kami tak mampu. Kau saksikan sekarang!"
Sangaji segera menyambut.
Dengan telapak tangannya, ia mendorong.
Kedua orang itu ternyata tidak menangkis.
Mereka malahan membalas menyerang.
Tangan kirinya menyambar dan yang kanan mencengke- ram kepala.
Hampir berbareng yang satunya menerjang sambil memapak tenaga dorong Sangaji.
Untuk menghindari cengkeraman, Sangaji terpaksa membatalkan terkamannya sambil melompat ke samping.
Ia kaget.
Ilmu silat kedua lawannya itu, aneh pula.
Mereka merupakan suatu kerjasama yang rapih dan erat, sehingga ia seperti menghadapi seorang lawan yang mempunyai empat kaki dan empat tangan.
Tetapi kepandaian mereka agaknya masih kalah daripada Mohe dan kedua temannya.
Meskipun gerakan- gerakannya aneh, tetapi tidak secepat Mohe, Jahnawi dan Jinawi.
Tadinya ketiga Utusan Suci bisa membuat Sangaji kelabakan dengan jurus tiga kosong tujuh berisi.
Kini, Sangaji menggunakan jurus itu.
"Aku seperti mengenal gerakan ini. Tapi dimana?"
Pikir Sangaji bolak-balik.
Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya sampai ia kaget berbareng heran.
Pikirnya, hai! Bukankah ini gerakan ukiran keris Kyai Tunggulmanik bagian pertama? Meskipun sudah memperoleh ingatan, namun hatinya masih sangsi.
Segera ia memperhatikan gerak-gerik mereka dan perubahan gerak tipunya yang aneh.
Setiap gerakannya sukar diraba.
Tetapi setelah lewat beberapa puluh jurus, ia dapat mengatasi dan mengalahkan mereka.
Pada saat itu, mendadak Mohe membentak.
Orang itu terus melesat hendak merampas pemimpinnya yang kena sabet senjata engsel.
Hatinya penuh sesal apa sebab ia sampai melukai.
Karena itu, ia bertekat untuk merebutnya kembali.
Melihat Sangaji kena libat, ia merasa pasti dapat merampasnya dengan mudah.
Kadua rekannya tahu maksudnya.
Segera mereka berdua melesat pula mengiringkan.
Gagak Seta berpikir cepat.
Tubuh si Pemimpin disambarnya dan diputar-putarkan dijadikan senjatanya.
Sudah barang tentu, Mohe dan kedua rekannya tak berani menyerang dengan sembarangan.
Mereka hanya bisa berlari-lari mengitari Gagak Seta dengan harapan memperoleh lowongan.
Beberapa saat kemudian, terdengarlah suatu teriakan kesakitan.
Sangaji berhasil menendang salah seorang lawannya.
Mendadak.
Mohe, Jahnawi dan Jinawi melesat dan menyerang Sangaji.
Hebat dan dahsyat serangannya.
Sangaji yang sedianya akan membungkuk untuk menawan lawannya yang kena dirobohkan, gagal oleh serangan itu.
la terpaksa mundur.
Dan pada detik itu, Mohe dan kedua kawannya berhasil menggondol orang yang sudah kena tendangan Sangaji.
Sayang! Sungguh sayang! Ternyata orang yang kena dirobohkan Sangaji, sebenarnya salah seorang anggota pelindung Utusan Suci tingkat tiga.
Begitu Mohe dan kedua kawannya dapat merebutnya, mereka lantas mengundurkan diri.
Setelah menentramkan semangat, Sangaji berkata.
"Guru, mari kita kembali dahulu ke bukit. Ada sesuatu yang hendak kubicarakan."
Dengan mendukung Titisari, Sangaji mendahului mendaki bukit.
Gagak Seta pun segera mengikuti dari belakang sambil memanggul si Pemimpin, la tidak berani menyakiti, lantaran takut pembalasan mereka terhadap Sirtupelaheli.
Sebaliknya laskar Utusan Suci tidak berani mengganggu mereka.
"Guru!"
Kata Sangaji setelah berada di dalam gubuk.
"Orang-orang itu seperti sudah mempelajari ilmu sakti yang terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik. Tetapi yang mengherankan, pukulan-pukulan mereka berbeda. Mereka sudah sukar dilawan."
"Aku sudah memberi penjelasan kepadamu, bahwa warisan Patih Lawa Ijo yang dilukis pada dinding gua Kapakisan, dipindahkan ke dalam pusaka warisan Pangeran Semono. Mereka semua mengaku sebagai anak keturunan Empu Kapakisan. Tak mengherankan, sedikit banyak mereka mengenal ilmu sakti itu. Tapi menurut pendapatku, apa yang dipelajari mereka hanya- lah kulitnya belaka. Sedangkan yang ada padamu adalah intinya. Itulah sebabnya, mereka menugaskan Sirtupelaheli untuk mencari ketiga pusaka warisan Pangeran Semono."
"Menurut Guru, apa yang kumiliki sekarang adalah intinya?"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sangaji menegas.
"Ya. Kulihat engkau hanya menguasai cara mengerahkan tenaga saktinya. Sedangkan ilmu tata berkelahi yang kau gunakan adalah ilmu kepandaian warisanku, warisan Kyai Kasan Kesambi dan gabungan ilmu kepandaian lain yang kau peroleh dari pengalamanmu belaka,"
Kata Gagak Seta.
"Ah, benar!"
Sangaji tersadar.
Memang keragaman ilmu silat Sangaji, sebenarnya berpangkal pada ajaran-ajaran Gagak Seta, Kyai Kasan Kesambi dan sari-sari ilmu kepandaian para pendekar Jawa Barat tatkala bertempur mengadu kepandaian di atas dataran tinggi Gunung Cibugis.
Sadar akan hal ini, ia jadi perihatin.
Lantas saja ia bersila memejamkan mata.
Ia berusaha mengumpulkan ingatannya untuk mencoba mengenal semua gerakan lawannya.
Benar-benar terasa sejalan dengan lekak-lekuk pamor keris Kyai Tunggulmanik.
Hanya saja.
cara menggunakannya sangat luar biasa.
Gagak Seta tahu, Sangaji sedang mengerahkan ingatannya.
Ia mengedipi Titisari dan Gandarpati agar jangan mengganggunya.
Setelah memeriksa tawanannya, ia kemudian duduk bersila pula menghimpun semangat.
"Guru!"
Tiba-tiba Titisari berkata kepada Gagak Seta.
"Guru berkata, bahwa ilmu sakti Kyai Tunggulmanik yang ada pada Sangaji hanyalah cara mengerahkan tenaga sakti belaka. Aku hafal ukiran pamor Kyai Tunggulmanik. Cobalah Guru lihat, apakah gerakan mereka sama dengan gerakanku."
Sesudah berkata demikian, Titisari segera menggerakkannya tangan dan kakinya tanpa tenaga, la mengikuti lekak-lekuk pamor keris. Setelah berputar- putar beberapa saat lamanya, Gagak Seta menggaruk- garuk kepalanya.
"Ya benar, itu tidak hanya inti cara menggerakkan tenaga sakti. Tapi benar-benar merupakan ragam ilmu berkelahi yang tinggi,"
Katanya.
"Apakah sama dengan gerakan mereka?"
Titisari menegas.
"Ya dan tidak."
"Kalau begitu, aku berani bertaruh bahwa gerakan mereka bukan gerakan rahasia sakti ilmu Kyai Tunggulmanik. Memang mirip, sebabnya sumbernya sama. Semua-semuanya adalah warisan ilmu sakti Lawa Ijo, yang dialihkan kepada ketiga pusaka Pangeran Semono. Sebatang keris, sebuah bende dan jala. Apakah bukan ilmu sakti Jala Karawelang? "Bagaimana kau bisa berkata begitu?"
Gagak Seta minta keyakinan.
"Aku hafal pada guratan-guratan yang terdapat pada alas Bende Mataram. Ternyata berbeda jauh dengan gerakan mereka,"
Jawab Titisari. Sepercik cahaya bersinar pada mata Gagak Seta. Tetapi hanya sebentar. Setelah itu pudar kembali. Katanya.
"Selamanya aku menganggap khabar itu tak beda dengan sebuah dongeng kanak-kanak. Kalau saja hari ini, aku tidak menyaksikan suatu kenyataan, sampai jadi setan pun aku tidakkan percaya bahwa warisan ilmu sakti tersebut benar-benar ada. Hai! Rupanya sampai mati pun, aku tidak akan mengetahui semua rahasia hidup!"
Sekonyong-konyong di seberang jembatanjauh di bawah tikungan jalanterdengar suara sorak-sorai berulang kali.
Gandarpati yang menjaga pintu, lantas lari menyeberangi jembatan dan melongok dari tikungan.
Setelah mengamat-amati beberapa saat lamanya, ia balik kembali dan lapor.
"Mereka datang berarak-arak. Yang di depan membawa bendera putih. Mereka berteriak-teriak minta ijin untuk berbicara dari hati ke hati."
"Bagus!"
Kata Titisari.
"Mereka mau berbicara itulah lebih baik. Tetapi jangan biarkan mereka mendekati jembatan batu. Lebih baik kita menyeberangi jembatan. Sekiranya mereka membandel senjata pemunah kita masih bisa bekerja seperti semalam."
Mereka lalu menyeberangi jembatan dengan membawa tawanannya.
Tak lama kemudian mereka tiba dan berhenti di depan tikungan.
Dua belas orang berpakaian putih berdiri berderet di belakang seorang yang mengenakan pakaian merah membara.
Karena jalan sangat sempit, mereka terpaksa berbaris berempat berleret ke belakang.
Dan melihat orang yang mengenakan pakaian merah itu, Titisari tersadar.
Katanya.
"Pakaian tawanan kita sama rupanya dengan pakaian seorang itu . Kalau begitu kedudukannya lebih tinggi daripada yang mengenakan pakaian putih. Lihat, Mohe, Jahnawi dan Jinawi termasuk anggota dua belas yang berdiri megiringkan."
"Kurasa begitu,"
Sangaji membenarkan.
"Tawanan kita berkedudukan sangat tinggi. Dengan begitu kupercaya, sedikitnya untuk sementara waktu mereka tidak akan berani menyerang. Kalau sambil menyerang, kita bisa menggebahnya dengan batu. Tetapi mereka pun bisa menghancurkan gubuk kita dengan meriamnya."
Sampai di situ Sangaji berhenti dengan mendadak.
Ia melihat Mohe bertiga datang menghadap orang yang berpakaian merah dengan membungkuk hormat.
Mereka membawa seorang tawanan yang berjalan terbongkok- bongkok.
Sangaji, Titisari dan Gagak Seta terkejut.
Mereka segera mengenali bahwa tawanan yang berjalan dengan terbongkok-bongkok itu adalah Sirtupelaheli.
Dengan membentak-bentak orang yang berpakaian merah mengajukan beberapa pertanyaan dengan bahasa Melayu.
Sirtupelaheli berlagak tolol.
Dengan memiring- miringkan kepalanya, ia menyahut.
"Tuan berkata apa? Aku tidak mendengar...."
Yang berpakaian merah tertawa mendongkol. Katanya.
"Aku Mahendratta berani memasuki bumi Jawa, masakan bisa kau kelabui?"
Setelah berkata demikian, tangannya bergerak menyambar muka Sirtupelaheli.
-Dengan sekali tarik, rambut palsu Sirtupelaheli jebol.
Sekarang terlihatlah rambut aslinya yang masih hitam mulus.
Sirtupelaheli mencoba memiringkan kepalanya.
Tapi tangan kanan Mahendratta dengan cepat singgah ke mukanya dan membeset selapis kulitnya.
Pada saat itu, topeng Sirtupelaheli terlocot.
Meskipun Sangaji sudah pernah melihat topeng Sirtupelaheli, namun tak urung hatinya masih kaget juga menyaksikan Sirtupelaheli kena dilocoti.
Titisari biasanya mengagulkan kecantikannya sendiri.
Kini setelah melihat wajah asli Sirtupelaheli, hatinya memukul keras.
Katanya di dalam hati.
Ah, benar-benar luar biasa kecantikan Bibi Sirtupelaheli.
Guru tidak mengobrol tanpa alasan.
Hai! Apakah Guru tidak sudi kawin, lantaran diam-diam menaruh hati kepadanya? Sesudah kena dilocoti, sikap Sirtupelaheli menjadi garang.
Dengan melintangkan tongkatnya di depan dadanya, ia mundur beberapa langkah.
Katanya nyaring.
"Aku gagal membawa ilmu saktinya. Tetapi aku berhasil membawa pedang pusakanya."
Lantang ucapannya.
Angin pegunungan kala itu meniup pakaiannya berkibaran.
Melihat kegagahan Sirtupelaheli, Sangaji dan Titisari seperti berjanji teringat kepada cerita Gagak Seta tatkala Sirtupelaheli me- ngenakan pakaian biru muda siap bertanding di tepi telaga Sarangan.
Sekarang saja dalam usia lanjut, kecantikannya masih mengejutkan.
Apalagi pada zaman mudanya.
Tak mengherankan kedatangannya di rumah perguruan, membuat gempar hati anak-murid Ki Gede Rangsang.
Mahendratta dan Sirtupelaheli terlibat dalam suatu perdebatan lagi.
Sedangkan ke dua belas pelindung Utusan Suci yang berleret di belakang pemimpinnya, kadang-kala ikut membentak-bentak dengan me- mancarkan pandang mata berapi-api.
Jarak antara mereka dan Sangaji kurang lebih seratus meter.
Meskipun suara perdebatan itu dapat didengar, namun kurang jelas.
Itulah disebabkan ikut campurnya ke dua belas anggota Pelindung yang membentak-bentak berserabutan.
Mereka pun menggunakan bahasa daerahnya masing-masing.
Terdorong oleh rasa ingin mengetahui dengan jelas, Gagak Seta membawa tawanannya kesamping.
Katanya "Kau dengarkan baik-baik, apa kata mereka!"
Sudah barang tentu, tawanan itu bersikap membandel.
Sekonyong-konyong Titisari melompat menghampiri dan mengamat-amati pipinya yang kena pukul engsel Mohe.
la mengawasi beberapa deretan bentong bekas pukulan senjata Mohe dengan pandang terlongong-longong.
Dahinya berkerinyit sehingga menarik perhatian Sangaji.
Ttisari, kau melihat apa?"
Sangaji minta keterangan. Ia kenal lagak-lagu Titisari. Manakala Titisari memperoleh kesan sesuatu, dahinya berkerinyit dan alisnya bangun pula.
"Aku seperti melihat goresan ini,"
Bisik Titisari.
"Tapi dimana? Ah! Bukankah ini huruf Palawa?"
Huruf Palawa berasal dari India.
Umurnya sudah tiga atau empat ribu tahun yang lalu.
Sewaktu pedagang- pedagang India datang ke Pulau Jawa, huruf Palawa mulai diperkenalkan.
Tetapi huruf tersebut hanya hidup di kalangan para brahmana dan raja yang benar-benar terpelajar.
Adipati Surengpati adalah seorang terpelajar.
Ia bisa membaca huruf Palawa.
Dan pengetahuan itu, diajarkan kepada puterinya.
"Goresan ini banyak miripnya dengan goresan keris Kyai Tungulmanik dahulu. Juga sama rupa dengan goresan yang terdapat di Bende Mataram, sayang kata Titisari hanya mengenal abjadnya. Kalau kau suruh membaca aku membutuhkan waktu lama."
"Kau cobalah!"
Bujuk Sangaji.
Titisari segera memeriksa pipi tawanan itu yang bengkak.
Ia melihat tiga baris huruf Palawa yang tercetak pada daging pipinya.
Ternyata setiap bagian senjata Mohe yang berengsel, terdapat ukiran huruf- huruf Palawa seperti yang terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram.
Dan pukulan Mohe yang keras meninggalkan bekas.
Tapi yang yang membekas pada pipi hanyalah sebagian deretan huruf, sehingga sukar untuk dibaca.
Tetapi Tisari adalah seorang wanita berotak cerdas dan cemerlang pada zaman itu.
Selain demikian, ia hafal pula ukiran huruf Palawa yang terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram.
Ia sendiri tidak pernah melatihnya.
Tapi oleh rasa cintanya kepada suaminya yang berotak lamban, ia merasa diri perlu untuk ikut mengingat-ingat.
Perlahan-lahan ia mencontoh huruf cetak itu di atas tanah.
Deretan kalimatnya terputus-putus.
Segera ia memeras ingatannya dengan merenungi beberapa saat lamanya.
Mendadak berserulah dia.
"Ah, benar! Inilah Jala Karawelang. Hai! Kalau kusambungkan dengan bunyi ukiran huruf Palawa yang terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik, benar-benar serasi."
"Serasi bagaimana?"
Desak Sangaji dengan suara gemetaran. Titisari tidak segera menyahut. Ia berenung-renung kembali. Sejenak kemudian barulah dia berkata perlahan.
"Ah, bukan! Nampaknya tiada sambung- menyambungnya. Apakah memang diatur demikian? Nanti dulu! Witaradya dibagi menjadi dua pula. Bagian atas dan bagian bawah. Apakah ilmu sakti Keris Kyai Tunggulmanik dan Jala Karawelang merupakan satu rumpun ilmu sakti yang memang dipisahkan menjadi dua bagian? Hai jangan-jangan, yang terdapat pada pusaka Bende Mataram adalah titik penyambungnya."
"Bagaimana bunyinya?"
Sangaji tak sabar.
"Menyambut kiri berarti depan. Menyambut kanan berarti belakang. Tiga kosong, tujuh berisi. Langit persegi Bumi bulat. Ada di dalam tidak ada.... Begitulah kalau diterjemahkan. Yang di sebelah bawah tidak dapat dibaca lagi."
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar bunyi kata-kata itu Sangaji merasa seperti ada hubungannya dengan dirinya.
Ia seakan-akan melihat di antara gumpalan awan hitam mendadak mengejap suatu cahaya terang.
Kemudian gelap kembali seperti semula.
Meskipun demikian, cahaya itu memberi harapan kepadanya.
Seperti orang linglung ia menghafal.
Menyambut kiri berarti depan.
Menyambut kanan berarti belakang..."
Dia berotak lamban, tetapi cermat dan ulet.
Ia mencoba menghubung-hubungkan dengan ukiran yang terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik.
Kemudian merenungi lekak-lekuk huruf Palawa yang tertulis di atas tanah.
Ia mencoba membayangkan gerakannya.
Selang beberapa saat, ia seperti sudah berhasil tapi belum berhasil.
Sudah bisa menembus kabut, tapi mendadak terbentur suatu kabut lagi.
Tiba-tiba terdengar suara Gagak Seta.
"Anakku! Mereka sudah mengeluarkan perintah untuk menyerang. Mohe akan menyerang engkau. Jahnawi akan menghadapi aku. Sedang Jinawi akan mencoba merebut tawanan kita."
Titisari terkesiap. Katanya kepada Sangaji.
"Kau gunakan pedang Sokayana dengan sepenuh hati. Aku sendiri akan melintangkan pedang Sangga Buwana di atas kepala tawanan kita."
Sangaji hanya memanggut. Mulutnya masih berkomat- kamit.
"Menyambut kiri berarti depan. Menyambut kanan berarti belakang. Tiga kosong tujuh .berisi. Langit persegi bumi bulat. Ada di dalam tidak ada..."
"Aji tol... Sekarang bukanlah waktu untuk belajar silat. Kau harus bersiap!"
Potong Titisari. Hampir saja dia menyebutnya kembali dengan si Tolol. Sangaji seperti tersadar. Melihat ketiga Utusan Suci bergerak dengan berbareng, ia berseru.
"Guru, Titisari! Mundurlah ke seberang jembatan. Aku akan mencoba ketiga Utusan Suci itu di sini. Kalau terpaksa, aku akan melawannya di atas jembatan batu untuk mencegah kerjasama mereka."
Itulah pikiran yang bagus.
Sebab jembatan batu hanya muat seorang belaka.
Dengan begitu kemungkinan besar, mereka tidak bisa bekerjasama.
Tetapi Titisari mempunyai perhitungan lain.
Ia melihat tiga orang lagi mengiringkan ketiga Utusan Suci.
Dengan begitu berjumlah enam orang.
Untuk menggertak mereka dia justru hendak menggunakan tawanannya.
Kalau terpaksa mundur, rasanya belum kasep.
Bukankah Gagak Seta bisa melindungi, selagi ia menggusur tawanannya menyeberangi jembatan? Perhitungan Titisari ternyata tepat.
Mereka tidak berani menggunakan senjata, karena takut melukai pemimpinnya yang kena tawan.
Keenam orang itu hanya bergerak mengepung dengan tangan kosong.
Titisari melintangkan pedang Sangga Buwana di atas leher tawanannya yang ditengkurapkan di atas tanah.
Sedang Gagak Seta mendampinginya dengan senjata tongkatnya untuk menjaga serangan mendadak.
Setiapkali dalam keadaan bahaya, Titisari menggerakkan pedangnya untuk menikam tawanannya.
Melihat Titisari hendak menikam pemimpinnya, mereka membatalkan niatnya hendak mencoba merampas.
Se- rangannya cepat-cepat dibelokkan ke sasaran lain.
Dalam keadaan demikian, Gagak Seta menyapu dengan tongkatnya.
Hebat kesudahannya.
Meskipun bisa mengelak tapi kena tekanan tenaga Kumayan Jati, mereka jadi jungkir balik.
Di sudut lain, Sangaji sudah bertempur melawan Mohe dan Jahnawi.
Sesudah mendapat pengalaman beberapa kali, mereka berdua tidak berani memandang enteng.
Segera mereka memanggil Jinawi agar meninggalkan dahulu tugas merampas pemimpin keduanya.
Dengan demikian, kembali lagi Sangaji menghadapi tiga sekawan Utusan Suci.
Lewat beberapa jurus, tiba-tiba Mohe memukulkah senjata engselnya.
Melihat gerakannya, sasaran bidikannya akan mendarat pada pundak kiri.
Tapi di luar dugaan, waktu berada di tengah udara, arahnya berubah.
Dengan gerakan yang luar biasa, haluan berbelok cepat dan menghantam leher.
Sangaji kesakitan hebat.
Matanya berkunang-kunang.
Tapi justru kena pukulan itu, otaknya yang lamban mendadak tersenak bangun.
Tiba-tiba semua teka-teki menjadi terang baginya.
Katanya di dalam hati.
"Menyambut kiri berarti belakang. Menyambut kiri berarti belakang Menyambut kiri berarti belakang Ah, mengertilah aku sekarang. Ini adalah suatu tipu mengelabui lawan. Yang diincar belakang, tapi dimulai dengan gerakan menyabet dari depan.... Ya, benar. Benar. Benar begitu!"
Ternyata ilmu sakti ketiga Utusan Suci itu adalah lanjutan dari dasar pertama huruf Palawa yang terdapat pada keris Kyai Tungulmanik.
Sejarah menyebutnya sebagai ilmu sakti Jala Karawelang.
Karena harus dikerjakan menurut tata gerak yang rapih dan cepat.
Sifatnya benar-benar seperti jala.
Perubahan gerakannya menguasai danmenutup semua bidang.
Tapi mengherankan bahwa gerakan mereka membuat lumpuh setiap lawannya.
Tegasnya, ilmu sakti mereka sesungguhnya adalah pemecahan perincian ilmu sakti yang terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik.
Kalau yang terdapat pada keris Kyai Tunggulmanik adalah intinya maka yang terdapat pada senjata engsel mereka adalah perinciannya.
Tak mengherankan, Sangaji kena dikelabui.
Tetapi sekarang setelah dapat memecahkan teka-teki empat baris pertama yang lainnya terasa menjadi mudah.
Itulah disebabkan, ilmu sakti yang dimilikinya adalah inti dari gerakan mereka.
Yang masih belum bisa ditembus tinggal kalimat berikutnya.
Yakni.
Langit persegi bumi bulat.
Tiba-tiba timbul ah pikirannya.
Kalau hendak memecahkan ilmu sakti mereka secara menyeluruh, ia harus bisa merampas semua senjata engsel mereka.
Memperoleh pikiran ini, terbangunlah semangat tempurnya.
Terus saja ia membentak dan mengerahkan tenaga saktinya sembilan bagian.
Sekarang ia tak bersegan- segan lagi.
Sekali menggerakkan tangan, ia menyerang bagaikan kilat tangannya menyambar.
Dengan satu jurus tiga kosong tujuh berisi, ia berhasil merampas dua senjata engsel dari tangan Mohe dan Jinawi.
Inilah namanya senjata makan tuan.
Tadinya ketiga Utusan Suci bisa membuat Sangaji kelabakan dengan jurusnya tiga kosong tujuh berisi.
Kini, Sangaji menggunakan jurus itu.
Tiga kali ia memukul gertakan.
Kemudian disusul dengan tujuh kali yang benar-benar berisi.
Mereka tidak mengira, bahwa Sangaji bisa memiliki jurus demikian.
Sebelum sadar apa sebabnya, dua senjata mereka sudah berpindah tangan.
Pada detik itu pula, dengan menggunakan jurus 'ada di dalam tidak ada', Sangaji berhasil merebut dua senjata Jahnawi dengan sekaligus.
Dengan begitu, ia kini sudah mengantongi empat renteng senjata engsel dalam dua jurus saja.
Ketiga Utusan Suci itu terbang semangatnya.
Mereka sampai berdiri terpaku.
Bagaimana mungkin pemuda itu bisa merampas dalam dua gebrakan saja? Dia seperti menggunakan jurusnya sendiri.
Malahan lebih dahsyat.
Mereka tak tahu, bahwa tenaga sakti Sangaji pada hakekatnya tiada tertandingi di dalam jagad ini.
Dalam pada itu, setelah mengantongi empat renteng senjata rampasannya, Sangaji mendadak membalik dan mencengkeram pengeroyok Gagak Seta.
Dengan sekali membentak, mereka dilontarkan balik ke bawah tanjakan.
Mereka yang berada di tikungan jalan, berteriak kaget menyaksikan kejadian di luar perhitungannya.
Mustahil! Sungguh mustahil bahwasanya di dunia ini terdapat seorang manusia yang bisa melawan ilmu sakti warisan Empu Kapakisan di zaman Majapahit.
Tetapi kenyataan yang disaksikan tidak dapat dipungkiri.
Akhirnya mereka berterian-teriak kalut.
Selagi mereka kalut, tubuh Sangaji telah melesat menghampiri.
Mahendratta pemimpin berbaju merah kaget setengah mati.
Buru-buru ia memutar badannya hendak melarikan diri.
Tapi gerakkan Sangaji cepat luar biasa.
Dengan sekali sambar, kedua kakinya kena tangkap.
Tubuhnya lantas terbetot.
Dan dua renteng senjata engselnya yang berada dalam sakunya lenyap.
Sebelum ia sempat berteriak kaget, tubuhnya sudah kena dilemparkan ke belakang dan disambut oleh Gagak Seta dengan tertawa berkakakan.
Mohe, Jahnawi dan Jinawi terbang semangatnya.
Dengan menggunakan seluruh kepandaiannya, mereka melompat dengan berbareng dan melarikan diri lewat samping Sangaji.
Kemenangan itu tidak hanya menggirangkan hati Sangaji sendiri, tapi pun Gagak Seta, Titisari dan Gandarpati yang berdiri berjaga-jaga di depan pintu gubuk.
Dengan beramai-ramai mereka membawa kedua tawanannya menyeberangi jembatan.
Sampai di gubuk Gagak Seta minta keterangan kepada Sangaji, bagaimana caranya dapat merampas enam renteng senjata andalan kaum Utusan Suci dengan mudah.
"Semuanya ini berkat bantuan isteriku, Guru,"
Jawab Sangaji dengan tertawa.
Secara kebetulan Mohe memukul pipi pemimpinnya.
Bekas lukanya kena dibaca Titisari.
Lalu terbukalah rahasia ilmu silat mereka.
Hanya ada sederet kalimat yang menyebutkan, Langit persegi bumi bulat belum dapat kupahami."
Ia mengeluarkan enam renteng senjata rampasannya dan diserahkan kepada Titisari. Katanya penuh terima kasih.
"Sekiranya kau sanggup, bacalah dan terjemahkan."
"Baik. Tapi harus ditukar,"
Sahut Titisari.
"Ditukar bagaimana?"
Sangaji tak mengerti.
"Tukar jasa,"
Jawab Titisari sederhana.
"Aku akan menterjemahkan. Dan kau harus membeli dengan cinta kasihmu yang penuh."
"Hai!"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sangaji tertegun.
"Tentu saja."
Pembawaan Sangaji bukan romantis.
Karena itu, ia hanya mampu menjawab dengan kata-kata pendek dan wajah bersemu merah.
Bagi Titisari yang mengenal pri- badinya, sudahlah lebih dari cukup.
Gagak Seta sendiri semenjak dahulu kenal lagak lagu mereka berdua.
Dia malahan pernah menjadi comblang.
Melihat mereka bermesra-mesraan, hatinya ikut bersyukur.
Pikirnya di dalam hati.
"Mereka sudah bukan pengantin baru lagi. Tetapi cara bergaulnya masih sepanas dahulu. Aku ingin tahu, apakah mereka akan tetap begini seumpama kelak sudah mempunyai telor...."
Memikir demikian, ia tersenyum-senyum sendirian.
Kemudian mengalihkan perhatiannya kepada enam renteng senjata rampasan.
Senjata berengsel itu sebenarnya bernama Harda Dedali.
Di sebut pula Pelangi Mustika Dunia.
Maksudnya lambing kecerahan dunia.
Bahannya bukan emas, bukan batu, bukan besi dan bukan baja.
Itulah suatu logam yang mempunyai kadar aneh.
Selain mengandung bahan-bahan keras, juga memiliki tenaga menarik.
Anehnya pula terdapat kadar air raksa.
Benar-benar suatu benda ajaib yang pernah dilahirkan di dunia.
Keenam Pelangi Mustika Dunia itu, tidak sama panjang dan berbeda pula ukurannya.
Warnanya putih kebiru- biruan.
Di dalamnya nampak sinar cerah seperti setengah berlian setengah emas murni.
Warna-warninya selalu bergerak dan berubah-ubah.
Kesannya sangat indah, bening serta meresapkan.
Bentuknya logam padat yang bersambung-sambung.
Setiap potongan terdapat ukiran huruf-huruf Palawa.
Mereka semua sadar, jika ingin meloloskan diri dari bahaya, harus dapat memahami rahasia ilmu silat kaum Utusan Suci.
Karena ituletak kuncinyaada pada Titisari.
Kalau dia sanggup menerjemahkan dalam waktu sesingkat-singkatnya, akan memberi waktu kepada Sangaji untuk dapat memahami.
"Gandarpati!"
Kata Gagak Seta.
"Senjata batu gurumu benar-benar besar daya gunanya. Malam nanti kita membutuhkan bantuannya. Kau berjagalah di seberang jembatan. Jika mereka nampak mengadakan gerakan untuk mendaki bukit, kau guguri dengan batu seperti tadi malam."
Gandarpati memanggut dan terus menyeberangi jembatan.
"Guru!"
Titisari berkata.
"Sebenarnya siapakah yang memindahkan bunyi ilmu sakti dari dinding gua Kapakisan?"
"Kau berkata tepat, anakku. Kau memang anak siluman benar-benar,"
Sahut Gagak Seta sambil tertawa.
Memang ini adalah hasil pemindahan.
Mungkin sekali penyalinnya, kekurangan bahan tulis.
Setelah pusaka warisan Pangeran Semono terisi penuh, ia menulis pada pusaka ini.
Atau mungkin, memang pusaka-pusaka yang dikehendaki sudah disiapkan sebelumnya."
"Apakah Guru menduga, penulisnya lebih dari satu orang?"
Gagak Seta mendongak mengawasi atap rumah.
"Bukankah saudara seperguruan Empu Kapakisan yang pandai menulis ada tiga orang? Prapancha, Brahmaraja dan Kertayasya? Bukan tidak mungkin, bahwa mereka bertiga bisa saling bersaing dan berebutan sehingga pusaka-pusaka itu bertebaran. Entahlah. Pokoknya warisan sakti yang terukir pada dinding gua Kapakisan, sudah dipindahkan oleh tangan- tangan yang mengenal Empu Kapakisan. Kalau tidak, masakan mungkin berani mendaki dan memasuki gua Kapakisan yang diceriterakan sangat gawat? Hanya saja aku tak mengerti apa sebab pusaka ini berada di Pulau Lombok."
Sangaji adalah seorang pemuda yang berotak sederhana. Ia tidak begitu gemar membicarakan sesuatu hal berkepanjangan. Teringat betapa bahaya keadaan mereka, ia lantas memotong.
"Bagaimana Guru, kalau Titisari segera menterjemahkan? Kurasa perlu pula kita membawa kedua tawanan ini diseberang jembatan. Mereka berdua harus diancam dengan menanggalkan pedang Sangga Buwana pada batang lehernya. Kalau mereka main tembak, kita harus mengancam untuk membunuhnya."
"Bagus! Biarlah aku yang menjaga...."
Sahut Gagak Seta.
Gagak Seta segera membawa kedua tawanannya menyeberangi jembatan dengan pedang Sangga Buwana di tangan.
Mereka berdua ditengkurapkan di atas batu besar yang dapat terlihat jelas dari bawah tanjakan.
Pedang Sangga Buwana yang berkilauan, diancamkan di atas kepala mereka.
Titisari sendiri segera bekerja.
Ia memilih Pelangi Mustika Dunia yang berukuran paling pendek.
Jumlah hurufnya paling sedikit pula.
Maksudnya agar dapat diterjemahkan dengan cepat.
Setelah direnungi beberapa saat, ia menerjemahkan.
Diluar dugaan, kependekannya justru membuat sulit untuk ditangkap dan dimengerti.
Beberapakali Sangaji mencoba menelaah artinya, tapi tetap saja ia gagal, la menjadi bingung.
"Titisari, otakku ini benar-benar tumpul!"
Katanya setengah mengeluh. Kali ini Titisari malah menghibur. Katanya dengan tertawa manis luar biasa.
"Siapa bilang otakmu tumpul? Dalam hal ini, akulah yang salah duga. Lantaran pendeknya, sifatnya jadi ringkas dan padat. Biarlah kumulai saja dari yang meninggalkan bekas pukulan pada pipi orang itu."
Memperoleh pikiran demikian, buru-buru ia mencari senjata yang dimaksudkan.
Ternyata ukuran panjang senjata itu adalah yang nomor dua.
Ia segera menerjemahkan.
Kali ini, Sangaji dapat menangkap artinya tujuh delapan bagian.
Hal itu disebabkan, ia telah paham sebagian kata-katanya.
Titisari bersyukur.
Lantas ia beralih kepada yang berukuran paling panjang.
Baru saja ia menerjemahkan beberapa patah perkataan, Sangaji sudah berseru gembira.
"Benar! Makin panjang, makin gampang dimengerti. Intisarinya samalah dengan ukiran huruf pertama pada keris Kyai Tunggulmanik. Sekarang aku mengerti. Ini semua adalah pecahannya. Teruskan!"
Senang Titisari menyaksikan suaminya jadi bernapsu.
Sebab tidak biasanya ia begitu.
Selamanya ia tidak tertarik terhadap soal-soal yang rumit? Pelangi Mustika Dunia itu sendiri, sebenarnya adalah buah karya pujangga Prapancha.
Menyaksikan pertengkaran antara Mapatih Gajah Mada dan Empu Kapakisan, pujangga itu membawa dua saudara seperguruannya mendaki bukit Kapakisan untuk merundingkan suatu perdamaian.
Tetapi gua Kapakisan ternyata sudah kosong.
Empu Kapakisan telah wafat.
Setelah memeriksa gua, mereka bertiga terkejut melihat huruf-huruf Palawa yang ditulis oleh tangan lain pada dinding.
Merasa keluarbiasaan hakekat kesaktiannya, segera mereka bertiga mengambil keputusan untuk menghapusnya.
Dengan begitu akan menghilangkan coreng rumah perguruannya.
Tetapi kalau dihapus dengan begitu saja, mereka merasa sayang.
Maklumlahmereka golongan pujangga yang dapat menghargai arti sastera.
Lantas tulisan tangan lain itu dialihkan kepada dasar logam ketiga jenis pusaka dengan pertolongan seorang empu ter-masyur pada zaman itu.
Dialah Empu Dadali.
Itulah sebabnya, pusaka Pelangi Mustika Dunia bernama pula.
Harda Dadali.
Artinya selain untuk memperingatkan nama empunya, juga bermakna.
napsu burung layang- layang.
Makin diselami kata-kata warisan sakti itu, hati mereka makin terasa seakan-akan kena guyur angin dingin.Ternyata warisan sakti itu benar-benar bisa menindih kehebatan ilmu sakti rumah perguruan mereka yang, diwarisi Empu Kapakisan.
Tegasnya selagi Empu Kapakisan dan Gajah Mada mengadu ilmu kepandaian dan ilmu kesaktian, seorang lain yang tidak ternama melindas kedua-duanya.
Inilah suatu kejadian yang menyedihkan.
Syukur, mereka berdua sudah tiada di dunia.
Sekiranya menyaksikan hal itu, mati pun tidaklah meram.
Pusaka-pusaka warisan itu, lantas menjadi bahan perebutan yang mengakibatkan korban jiwa tak terhitung lagi jumlahnya.
Dari zaman ke zaman, benda-benda itu berpindah tangan.
Akhirnya hilang tak kabarkan lagi.
Yang berada di Lombok adalah kumpulan Pelangi Mustika Dunia tersebut.
Entah siapa yang membawa menyeberang sampai di sana.
Sejarah tiada mencatat.
Ternyata selain Pelangi Mustika Dunia buah karya Prapanca diketemukan pula di Pulau Lombok.
Mereka yang menemukan anak keturunan Empu Kapakisan, menganggap warisan sakti itu sebagai warisannya sekaligus musuh besarnya.
Untuk dapat mengangkat derajat, mereka berkewajiban mempela- jarinya dan menguasainya agar tidak jatuh di tangan orang lain.
Inilah bahaya.
Tetapi sayang, apa yang terdapat pada Pelangi Mustika Duniahanyalah kulitnya saja seperti nama bendanya.
Sarinya tak ubah seperti burung layang- layang yang berada di angkasa tanpa hinggapan.
Karena intinya berada pada ketiga pusaka lain.
Dalam hal ini, keris Kyai Tunggulmanik.
Itulah sebabnya, pewaris-pewarisnya makin lama makin kehilangan pokok dasarnya.
Setiap jatuh pada angkatan mendatang, selalu menjadi kurang.
Mohe, Jahnawi dan Jinawi sebenarnya hanya menguasai tiga atau empat bagian belaka.
Sebab semuanya tergantung pada tenaga sakti pribadi masing-masing, sebagai dasar pokok.
Makin kurang dasar pokoknya makin kurang pula tataran yang dicapainya.
Sadar akan hal itu, anak keturunan Empu Kapakisan lalu bertekat untuk bisa mendapatkan ketiga pusaka lain yang memuat inti mengerahkan tenaga sakti.
Tekad ini diwariskan kepada angkatan ke angkatan yang mendatang.
Diluar dugaan siapa sajaapa yang diidam-idamkan merekadiperoleh Sangaji secara mudah sekali.
Sangaji mendapatkan dua pusaka di antara ketiga pusaka secara kebetulan.
Malahan setelah merampas enam renteng Pelangi Mustika Dunia, jadi lengkap.
Karena enam renteng Pelangi Mustika Dunia itulah yang sebenarnya disebut Jala Karawelang.
Mengapa begitu? Sebab seseorang yang menemukan Pelangi Mustika Dunia adalah seumpama mendapatkan sebuah jala tanpa ikan.
Meskipun sudah hebat, tapi belum terlalu hebat.
Namun untuk mendapatkan ikannya, orang harus menggunakan jala tersebut.
Tegasnya begini.
Yang berada di keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram adalahrahasia himpunan tenaga sakti. yang berada pada Pelangi Mustika Dunia adalah jalur-jalur penuangan himpunan tenaga sakti.
Seseorang memperoleh keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram, adalah seumpama menemukan sebuah granat tanpa sumbu (dektonator).
Kedua pusaka itu tak lebih hanya sebatang senjata tusuk dan sebuah bende untuk ditabuh.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di sini terbukti betapa dalam cara berpikir orang-orang zaman dahulu.
Selain maknanya tinggi, dia pandai memilih bentuk dan sifat benda yang akan dibuat mengalihkan hakekat ilmu yang dikehendaki.
Sebaliknya seseorang yang memperoleh Pelangi Mustika Dunia, adalah seumpama menemukan sebuah granat tanpa isi.
Pelangi Mustika Dunia terdiri dari beberapa renteng.
Artinya dikesankan, bahwa untuk menyelami keseluruhan warisan ilmu sakti Patih Lawa ljo, seseorang harus sudah memiliki tenaga dahsyat seumpama tenaga gabungan beberapa orang sakti.
Benar-benar mengagumkan orang yang memilih benda- benda ini sebagai penuang hakekat ilmu sakti warisan Patih Lawa ljo.
Masing-masing mempunyai makna tinggi dan bisa mengelabuhi orang.
Sangaji dalam hal ini adalah tokoh yang dikehendaki sejarah hidup.
Seumpama, dia tidak minum getah sakti Dewadaru.
Seumpama dia tidak memiliki ilmu Bayu Sejati.
Seumpama dia tidak memiliki ilmu Kumayan Jati.
Seumpama dia tidak dicekik Bagus Wilatikta, sehingga membuat tiga unsur tenaga sakti itu lebur menjadi satu keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram yang diperolehnya secara kebetulan pula, tiada artinya sama sekali.
Maka terasalah dalam hati manusia, bahwa segala apa yang terjadi di atas dunia ini, sesungguhnya tergantung belaka pada nasib manusia yang sebenarnya sudah dikehendaki h i d u p itu sendiri.
Seseorang tidak bisa mengada-ada atau mencapai tujuannya atas kehendaknya sendiri betapa sadar pun.
Sebab ia akan digagalkan oleh suatu kekuasaan di atas kodrat manusia.
Demikianlahtanpa memedulikan segalanya, Sangaji terus bersila.
Sepatah demi sepatah, Titisari membisikkan kata-kata terjemahannya.
"Ohoi anakku!"
Terdengar Gagak Seta berseru.
"Mereka mencoba mendaki bukit. Kita ladeni tidak?"
Sangaji terus memeras otaknya tanpa memedulikan semua yang terjadi di sekitarnya.
Memang ia pun mendengar seruan gurunya di seberang jembatan.
Namun tak berani ia membagi perhatian.
Sebaliknya Gandarpati yang berada di seberang jembatan di samping Gagak Seta, gelisah bukan kepalang melihat persiapan-persiapan lawan.
Gagak Seta sendiri menjadi bingung.
Itulah lantaran ia melihat Sirtupelaheli diborgol kaki dan tangannya.
Sebelas orang yang menamakan diri pelindung agama sucinya, sudah menanggalkan, pakaian jubahnya.
Mereka kini mengenakan pakaian singsat.
Kemudian menyengkelit semacam benda lemas.
Tak.
usah dikatakan lagi, itulah senjata mereka dan mereka siap untuk bertempur.
Di atas dinding ketinggian, belasan orang memasang gendewa-gendewa yang sudah dipentang.
Anak panah dibidikkan ke arah gubuk.
Yang mengkhawatirkan empat orang bersenjata kampak raksasa berdiri tegak di belakang punggung Sirtupelaheli.
Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman tahulah Gagak Seta, bahwa mereka akan merencanakan suatu maksud dengan kekerasan.
Jika hati mereka tak berkenan, maka empat orang itu akan menghabisi jiwa Sirtupelaheli dengan satu kali aba-aba.
Tatkala itu matahari telah condong ke barat! Sinarnya mulai terasa lembut.
Hawa pegunungan jadi segar bugar.
Angin melayah rendah menggeribiki mahkota semak belukar yang mencongakkan diri dari sela-sela batu.
Suasana demikian, sebenarnya tidaklah cocok menjadi latar belakang suatu ancaman pertempuran yang bakal menentukan.
Sekonyong-konyong sebelas orang pelindung Utusan Suci membentak dengan berbareng.
Lalu mereka merangsak dengan berbareng dengan menggusur punggung Sirtupelaheli semacam perisainya.
Sangaji yang berada di dalam gubuk kaget.
Ia melemparkan pandang keluar pintu.
Sebelas orang pelindung Utusan Suci sudah hampir sampai mencapai seberang jembatan.
Gagak Seta nampak tenang, la melintangkan tongkat bajanya.
Sedang Gandarpati telah mendekati senjata pemunahnyabukit batu yang bisa digugurkan ke bawah tanjakan.
"Gandarpati!"
Seru Gagak Seta.
"Senjata gurumu itu tepat di waktu malam. Sekaranglebih baik kau kutungi leher tawanan itu. Niih... pedang ini jauh lebih berguna daripada senjata tumpukan batu!"
Gagak Seta lantas mengangsurkan pedang Sangga Buwana. Dan buru-buru Gandarpati menerimanya dan ditandalkan di atas leher tawanannya. Pedang Sangga Buwana memangnya pedang mustika. Begitu dihunus, sinarnya berkilauan menyilaukan mata.
"Bagus! Bagus!"
Gagak Seta lagi-lagi tertawa berkakakan.
"Jika mereka berani majn gila, kau sabetkan pedang itu sedikit saja. Tanggung kepala mereka bakal copot!"
Jahil kata-kata Gagak Seta.
Tapi dengan begitu, membuat gerakan mereka jadi merandek.
Mereka mengawaskan dengan mata melotot.
Wajahnya kelihatan gusar bukan kepalang.
Seorang laki-laki yang mengenakan jubah hijau, tiba- tiba tampil ke depan.
Kemudian berseru dalam bahasa Melayu.
"Dengarkan! Kami adalah Ketua dari semua orang yang berada di sini. Nah, kalian lepaskan orang- orang kami! Dan kami akan mengampuni jiwa kalian. Di mata kami, tawananmu itu tak lebih daripada seekor babi dan kambing sembelihan. Mereka tidak berharga sedikit pun. Apa perlu kalian mengandalkan pedang di atas leher mereka. Percayalah anjing buduk lebih berharga daripada rriereka. Kalian tak percaya? Baik, kalian bunuh saja! Di dalam aliran kami, terdapat puluhan ribu orang yang derajatnya sama dengan mereka. Mampusnya mereka, tiada artinya...."
Lembah Patah Hati Lembah Beracun -- Khu Lung Kisah Pendekar Sakti Putri Bulan Bintang Karya Lovely Dear Pedang Tanpa Perasaan -- Khu Lung