Ceritasilat Novel Online

Mencari Bende Mataram 8


Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 8



Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto

   

   Tepat pada saat itu Karimun alias Umarmaya mengeluarkan senjatanya pula.

   Menurut hikayat Menak, Umarmaya bersenjata sebilah pedang bernama Sada Lanang.

   Tapi Umarmaya Gunung Tugel itu bersenjata sebatang tongkat panjang terbuat dari baja.

   Dengan demikian senjata mereka berdua bagaikan bumi dan langit.

   Yang satu terbuat dari emas murni.

   Yang lain dari baja yang nampak agak karatan.

   Tetapi begitu berhadapantanpa berbicara lagimereka lantas saja bertempur seru.

   Dengan senjata golok emas murni yang berujung segerombol bola, pukulan-pukulan Amat Sodik sangat aneh.

   Gerombolan bola emas yang berada di ujung goloknya selalu berbunyi nyaring sekali.

   Dan bentuk goloknya yang melengkung berkali-kali digunakan untuk menggaet senjata lawan.

   Tetapi permainan tongkat baja Karimun alias Umarmaya hebat juga.

   Setiap kali kena kunci, selalu saja dapat membebaskan diri.

   Malahan bisa membalas menyerang.

   Setelah kurang lebih lewat tiga puluh jurus, Amat Sodik mendadak menghantamkan goloknya.

   Dengan serta merta gerombolan bolanya gemerincing nyaring.

   "Bagus!"

   Seru Umarmaya Gunung Tugel.

   "Aku ingin tahu berapa jumlah modalmu."

   Panas hati Amat Sodik diejek demikian, la meneruskan serangannya dengan menarik goloknya.

   Maksudnya hendak menggaet tongkat Karimun untuk dirampasnya.

   Tetapi Karimun alias Umarmaya ternyata mempunyai tangkisan simpanan di luar dugaan.

   Begitu merasa kena desak, mendadak saja mulutnya menyembur.

   Dan segumpal ludah menyambar ke depan.

   Bukan main terkejutnya Amat Sodik.

   Dia kini seorang milyarder dan bukan lagi seorang penyamun.

   Hidupnya sudah teratur dan serba bersih.

   Melihat menyambarnya gumpalan, ludah, cepat-cepat ia mengelak karena takut kena dikotori.

   Tapi justru ia mengelak, tongkat baja Umarmaya menyabet.

   Seketika itu juga terdengar suara benturan, Trang! Dan golok Amat Sodik terpukul miring.

   Kena pukulan demikian, buru-buru ia membalikkan tangannya.

   Dengan gerakan itu, ia hendak merampas tongkat baja.

   Tapi sekali lagi, Umarmaya menyemburkan ludahnya.

   Dan sekali lagi, terpaksalah Amat Sodik mengelak.

   Dalam hati, ia mengutuk sampai ke langit tujuh.

   Demikianlahsetelah memperhatikan gebrakan- gebrakan merekaMundingsari dan pemuda berbaju putih segera mengetahui bahwa Amat Sodik menang dalam keragaman tata berkelahi.

   Tetapi Umarmaya menang dalam hal mengadu tenaga.

   Selama tiga puluh jurus lagi, Umarmaya berhasil mempertahankan diri dengan bersenjata ludah kental.

   Lambat laun Amat Sodik menjadi kesal juga.

   Tatkala Umarmaya menghantamkan tongkatnya pada jurus yang keenampuluh delapantiba-tiba ia menggetarkan goloknya.

   Dua bola emasnya lantas menyambar.

   Berbareng dengan itu, terdengarlah teriakan Umarmaya.

   Kedua kakinya lumpuh dan ia jatuh di atas panggung dengan berlutut.

   "Ha! Bagaimana dengan ludah emasku?"

   Ejek Amat Sodik dengan tertawa melalui hidungnya.

   Setelah puas mengejek, kakinya bergerak hendak mengkait dua bolanya yang menggelundung di atas panggung.

   Di luar dugaan, mendadak saja Umarmaya melompat bangun.

   Tangan kirinya menyambar dua bola emas itu.

   Dan dengan pertolongan tongkatnya, buru-buru ia me- lompat turun dari panggung sambil berkata nyaring.

   "Hihaha..... Untuk uang, banyak orang bersedia berlutut atau memanggut-manggutkan kepala. Dengan memandang bola emas ini aku pun sudah bersedia berlutut. Nahbukankah sudah terbayar lunas hutang piutang ini?"

   Dengan terpincang-pincang, Umarmaya kembali ke tempatnya.

   Sudah barang tentu, Amat sodik mendongkol kehilangan dua bola emasnya.

   Kakinya bergerak hendak melompat mengejar.

   Sekonyong-konyong pada saat itu berkelebatlah sesosok bayangan memasuki panggung.

   "Paman!"

   Bisik pemuda berbaju putih kepada Mundingsari.

   "Bukankah dia seorang yang dahulu mengenakan pakaian pedagangyang kita lihat di Gunung Tugel?"

   Mundingsari terkejut.

   Benarorang itu termasuk dalam satu rombongantatkala melintasi jalan di lereng Gunung Tugel.

   Dahulu ia mentertawai sikap pemuda itu yang mencurigai setiap orang.

   Kini rasa curiga pemuda itu beralasan juga.

   Dalam pada itu Amat Sodik nampak terperanjat melihat masuknya orang.

   Cepat ia melintangkan goloknya di depan dadanya.

   Setelah mengamat-amati orang itu, mendadak ia tertawa lebar.

   "Eh, kukira siapa? Tak tahunya rekan Sembung Gilang. Apakah kau ingin meramaikan pertemuan ini pula?"

   Banyak orang terperanjat mendengar disebutnya nama itu.

   Sembung Gilang menjabat sebagai kepala polisi daerah Karang-anyar.

   Semenjak belasan tahun yang lalu, namanya disegani orang-orang yang hidup membegal, merampok dan merampas.

   Menurut khabar ilmu kepandaiannya sangat tinggi.

   Sekali tampil ke depan, semua buruannya pasti dapat dibekuknya.

   Sekarangdia pun melompat ke atas panggung.

   Artinya, dia bakal menyusahkan golongan tetamu yang bermata pencaharian liar.

   Sembung Gilang kala itu tertawa dengan mendongak.

   "Amat Sodik! Sudah belasan tahun kita tak pernah bertemu. Aku mendengar kabar, kau sudah menjadi seorang milyarder. Ah, biarlah aku mohon sedekah. Boleh, bukan? Memang di sini hadir banyak milyarder- milyarder. Tetapi rasanya tidak ada yang melebihi dirimu. Mungkin sekali karena besar rejekimu, sehingga di tengah jalan pun engkau bisa memungut pajak."

   Sudah barang tentu, itulah suatu ejekan. Wajah Amat Sodik lantas berubah. Kafenya dengan tertawa pula.

   "Begitu? Apakah polisi negara sekarang memerlukan uang? Baik kau ingin kubayar dengan uang perak atau uang emas?"

   "Amat Sodik adalah seorang milyarder yang dermawan. Biarlah aku mohon uang emas saja. Sekiranya kebetulan engkau tidak membawa, gerombolan bola emas sungguh menarik hati."

   Amat Sodik mendongkol bukan kepalang. Namun demikian, masih ia bisa bersenyum. Sahutnya.

   "Kalau begitusilakan rekan Sembung Gilang mengambil sendiri!"

   Setelah berkata demikian, ia menggetarkan ujung goloknya. Dan bola-bola emasnya lantas bergerincing nyaring.

   "Baiklah, jika engkau sudah mengizinkan,"

   Ujar Sembung Gilang.

   "Kau peganglah golokmu erat-erat. Dengan begitu aku tak segan-segan pula mengerahkan tenaga."

   Tangannya lalu menyambar.

   Suatu kesiur angin bergulungan menumbuk dada.

   Cepat-cepat Amat Sodik memapaki serangan itu dengan menggaitkan goloknya.

   Niatnya hendak memapas, kutung pergelangan tangan Sembung Gilang.

   Akan tetapi Sembung Gilang bukan anak kemarin sore.

   Tangannya ditarik.

   Dan tiba-tiba ia telah menggenggam seutas rantai pembelenggu.

   Inilah suatu kecepatan luar biasa.

   "Ehkau begini kikir,"

   Katanya dengan tertawa riang.

   "Coba sekali lagi."

   Rantai pembelenggunya menyambar.

   Dan sekali lagi Amat Sodik menggaetkan goloknya.

   Dengan demikian kedua senjata itu lantas saja saling mengkait.

   Segera ter- jadilah suatu adu tenaga, karena masing-masing berusaha membetot senjata lawan.

   Baru selintasan saja, Amat Sodik terperanjat.

   Di luar dugaan, tenaga Sembung Gilang luar biasa kuatnya.

   Tangannya sampai terasa menjadi panas dan kesemutan.

   Memperoleh pengalaman itu, cepat-cepat ia menggerakkan goloknya.

   Kemudian ditariknya cepat- cepat.

   Alhamdulilah! Ia berhasil meloloskan senjatanya.

   Sesudah itu ia mundur dua langkah.

   Dengan memegang hulu goloknya erat-erat, ia mengadu kege-sitannya.

   Dalam hati, tak berani ia mencoba-coba mengadu tenaga seperti tadi.

   Untuk sementara waktu, Sembung Gilang tak dapat berbuat banyak.

   Itulah sebabnya, hati Amat Sodik agak menjadi tenteram dan mantep.

   Asal saja, ia pandai menjaga diri, lawannya itu tidak bakal dapat berbuat se- suatu yang membahayakan.

   Tepat pada saat itu, mendadak Sembung Gilang tertawa.

   Kemudian berkata dengan suara mengejek.

   "Kau sudah kehilangan dua biji emasmu. Apakah engkau benar-benar rela?"

   Belum habis perkataannya, tangan kiri Sembung Gilang nyelonong menyerang alis.

   Amat Sodik kaget luar biasa.

   Gugup ia menundukkan kepalanya sambil menghantamkan golok emasnya.

   Tetapi di luar dugaan, sambaran tangan Sembung Gilang yang mengarah alis sebenarnya hanya suatu pancingan dan gertakan belaka.

   Begitu golok emas Amat Sodik menyambar, rantai pembelenggunya memotong pergelangan.

   Untuk kedua kalinya Amat Sodik terperanjat.

   Baru saja ia hendak menggetarkan golok emasnya, tiba-tiba tangan kiri Sembung Gilang mencengkeram gerombolan bola emasnya.

   Dua biji terpental dengan sekaligus.

   Begitu rontok dari tangkainya, tahu-tahu lenyap dari penglihatan.

   Sesudah diawasi ternyata masuk ke dalam kantong Sembung Gilang.

   "Bagaimana?"

   Gertak Sembung Gilang dengan tertawa lebar.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bukan main mendongkol hati Amat Sodik.

   Tetapi dalam gebrakan itutahulah dia bahwa ilmu kepandaiannya jauh berada dibawah lawannya.

   Segera ia ingin mengakhiri pertandingan itu.

   Tetapi Sembung Gilang mendesaknya terus, sehingga tiada dapat membebaskan diri.

   Dalam sekejap saja belasan biji emasnya terenggut dari tangkainya.

   Hati Sembung Gilang bertambah besar memperoleh hasil gilang gemilang itu.

   Sambil mencecar serangan terus menerus, dia menghitung.

   "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam...' tujuh...."

   Dan dalam sekejap saja empat -puluh satu biji emas murni terampas dengan sangat mudah.

   Kini tinggal enam atau tujuh biji saja.

   Jumlah bola emas Amat Sodik lima puluh buah.

   Yang dua kena terampas Umarmaya.

   Menyaksikan bahwa bola emasnya kini tinggal tujuh buah, dada Amat Sodik terasa nyaris meledak.

   Namun ia seperti kehilangan daya tempur.

   Setelah berada dalam kebingungan beberapa waktu lamanya, akhirnya ia berteriak.

   "Baiklahaku akan mengadu nyawaku!"

   Sekonyong-konyong ia menggerakkan pedang emasnya dengan mengerakkan seluruh tenaganya.

   Dan ketujuh bola emasnya menyambar dengan berbareng.

   Menyaksikan kepandaian itu, semua penonton menyatakan kekagumannya.

   Dari mulut ke mulut terdengarlah berbagai pujian.

   Sebaliknya sikap Sembung Gilang sangat tenang.

   Dengan tertawa melalui hidungnya, ia berkata mengejek.

   "Setelah menjadi milyarder, ternyata engkau sangat royal. Aku pun tidak segan-segan lagi."

   Tangan kirinya mengebas.

   Dan ketujuh bola emas itu lenyap memasuki kantongnya yang kini menjadi penuh.

   Dan melihat hal itu, wajah Amat Sodik pucat lesi.

   la berdiri tertegun kehilangan diri.

   Itulah pengalamannya untuk yang pertama kalinya kena dikalahkan orang dengan mata terbuka.

   Dalam pada itu, terdengar sorak sorai bergemuruh.

   Sembung Gilang segera membungkuk hormat kepada hadirin.

   Wajahnya nampak berseri-seri.

   Mulutnya kemudian bergerak-gerak hendak berbicara.

   Mendadak pula saat itu terdengarlah suatu bentakan menyeramkan.

   "Eh, kenapa kau begitu kejam? Kembalikan bola rampasanmu kepada pemiliknya. Inilah suatu perintah!"

   Suara itu tidaklah begitu nyaring, namun besar perbawanya.

   Dan mendengar suara demikian, hati Sembung Gilang terperanjat.

   Seketika itu juga ia menoleh.

   Dan pada saat itu berkelebatlah seseorang berperawakan tegap semampai.

   Tinggi lompatannya dan gesit gerakannya.

   Beberapa orang yang menyaksikan kegesitan itu, tercekat hatinya.

   "Saudara Sembung Gilang!"

   Seru orang itu mengatasi suara sorak sorai.

   "Coba kau keluarkan biji-biji emasmu. Engkau seorang hamba negeri, masakan mengantongi barang milik orang lain."

   Orang itu berdandan sebagai pedagang pula.

   Dan begitu melihat orang itu, baik Mundingsari maupun si Pemuda berbaju putih terkesiap.

   Sebab orang itu bukan lain adalah Raden Mas Suwangsa, Letnan Laskar Mangkunegaran.

   Si pemuda berbaju putih lantas saja meraba hulu pedangnya.

   Melihat hal itu buru-buru Mundingsari membenturkan sikunya.

   "Eh, bukankah saudara menantu Sri Mangkunegoro?"

   Tegur Ki Jaga Saradenta serta bergerak menghampiri.

   "Tak kusangka, engkau pun datang. Saudara Sembung Gilang ini adalah kawan kitasesama hamba negeri."

   Kaget Mundingsari mendengar ucapan Ki Jaga Saradenta.

   Ini bukan perangai Ki Jaga Saradenta seperti yang dikenalnya dahulu.

   Mustahil Ki Jaga Saradenta sudi mengambil hati terhadap seseorang meskipun gagah luar biasa.

   Dahulu sajaberani ia berlawan-lawanan dengan Pringgasakti seorang sakti yang ganas.12) Memang dia seorang Gelondong.

   Walaupun tidak langsung berada di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda, tapi dia boleh menyebut diri sebagai seorang hamba negeri.

   Sekalipun demikian, tidak bakal dia mengambil-ambil dengan cara demikian.

   Apakah karena Letnan Su-wangsa menantu Sri Mangkunegoro? Pada zaman mudanya, Ki Jaga Saradenta laskar Mangkubumi I.

   Dan Sri Mangkunegoro 1 adalah menantu Pangeran Mangkubumi I.

   Pataslah seseorang mengingat sejarahnya dahulu.

   Tapi orang macam demikian bukan pula Ki Jaga Saradenta.

   Dia bukanlah golongan manusia yang bersedia takluk kepada jabatannya sampai ke bulu-bulunya.

   Dalam pada itubegitu Ki Jaga Saradenta menyebut nama Raden Mas Suwangsa semua tetamu yang hadir di pertemuan terkejut seperti mendengar ledakan petir di 12) Baca Bende Mataram siang hari terang benderang.

   Memang nama Letnan Suwangsa pada waktu itu terkenal sebagai salah seorang ahli pedang yang namanya boleh dijajarkan dengan Sangaji, Adipati Surengpati, Gagak Seta dan Kyai Kasan Kesambi.

   "Kau berkata apa?"

   Bentak Letnan Suwangsa.

   "Kawanku? Hmenak saja. Apakah kalau sudah menyebut diri sebagai hamba negeri sudah berarti kawan segolonganku? Baiklahboleh dia mengaku sebagai seorang hamba negeri. Tetapi mengapa merampas bola emas milik saudara Amat Sodik yang terkenal jujur? Nahkembalikan semua! Ini perintah, kataku. Perin- tahku!"

   Dan berbareng dengan perkataannya, ia menghunus pedangnya.

   Mendengar perkataannya yang tidak memandang orang, Sembung Gilang mendongkol.

   Tanpa berbicara lagi, rantai pem-belenggunya menyambar mencoba meng-kait pedang lawan.

   Pukulannya dahsyat.

   Menilik kekuatannya tadi, tenaga yang dipergunakan kini tak olah-olah besarnya.

   Namun dengan sekali mengebaskan, Letnan Suwangsa membuat suatu lingkaran himpunan tenaga penghisap.

   Berapa besar tenaga penghisap itu susah sekali diperkirakan.

   Sebab kadang-kadang terasa ringan, tapi mendadak berubah menjadi dahsyat.

   Sembung Gilang berbimbang-bimbang.

   Ia menarik arah bidikannya dan dengan diam-diam bersiaga menghadapi serangan balasan.

   Hanya saja ia tak tahu sasaran manakah yang dikehendaki lawan.

   Dan pada saat ia berada dalam kebimbangan, pedang Letnan Suwangsa berkelebat bagaikan kilat cepatnya.

   Sembung Gilang kaget.

   Buru-buru ia menyabetkan rantai pembelenggu-nya.

   Tapi tahu-tahu, kantongnya telah ter- obek.

   Dan bola emas rampasannya menggelinding ambyar di atas lantai panggung.

   Sembung Gilang bergusar bukan kepalang.

   Dengan menggerung ia meloncat kesamping dan menghantam ke arah tulang rusuk.

   Letnan Suwangsa berputar mengikuti arah bidikan Sembung Gilang sambil membentak.

   "Hai! Kau masih ingin mengangkangi harta rampasan? Baiklah biar aku sendiri yang mengambilnya."

   Pedangnya berkelebat lagi.

   Nampaknya seperti mengancam pundak.

   Karena itu, buru-buru Sembung Gilang mengelak sambil melindungi.

   Tapi gerakan pedang Letnan Suwangsa terlalu cepat dan aneh.

   Mendadak saja di tengah perjalanan berbelok arah.

   Lalu terdengar suara memberebetnya kain.

   Ternyata kantungnya yang sebelah terobek pula.

   Dan sisa bola emas rampasannya ambyar bergelundungan.

   Peristiwa itu benar-benar mengejutkan para tetamu.

   Di mata mereka Sembung Gilang adalah seorang pendekar yang mempunyai ilmu kepandaian sangat tinggi, la boleh dimasukkan ke dalam golongan utama.

   Siapa mengira, bahwa dalam dua gebrakan saja hasil jerih payahnya tadi kena dirampas dengan mudah.

   Sembung Gilang jadi kalap.

   Dengan lincah ia mulai melancarkan serangan badai.

   Sebenarnya ilmu kepandaian Sembung Gilang dan Letnan Suwangsa tidak terpaut terlalu jauh.

   Kalau dalam dua gebrakan tadi dia menderita kerugian adalah lantaran kedua saku celananya penuh dengan bola emas sehingga tak dapat bergerak leluasa.

   Letnan Suwangsa pandai menggunakan kelemahannya untuk menggertak.

   Sekarang setelah kedua kantongnya terobek dan semua bola emas menggelinding keluar, gerakan tubuhnya menjadi lebih gesit.

   Dia tidak hanya pandai membela diri, tapi pun membalas menyerang pula.

   Beberapa jurus lewat dengan cepat.

   Sekonyong- konyong Letnan Suwangsa berseru memperingatkan.

   "Hati-hati."

   Pedangnya berkelebat dan menyambar cepat.

   Buru-buru Sembung Gilang bersiaga.

   Di luar dugaan tidak terjadi apa-apa.

   Pukulan Letnan Suwangsa hanya pukulan biasa.

   Tiada keistimewaannya atau sesuatu tipu yang luar biasa.

   Untuk menangkisnya sangat mudah.

   Apa sebab dia berteriak memperingatkan? Apakah hanya merupakan suatu tipu muslihat belaka? Dengan tajam ia mengamat-amati.

   Ujung pedang Letnan Suwangsa menyambar ke bawah.

   Dengan suatu gerakan manis beberapa bola emas kena disonteknya dan terbang mengarah kepada Amat Sodik yang semenjak tadi berdiri tegak di tepi arena.

   "Terima!"

   Teriak Letnan Suwangsa sambil tersenyum.

   Amat Sodik seakan-akan tersentak bangun dari tempat tidur.

   Sebagai seorang yang mengerti ilmu berkelahi, tangannya bergerak secara otomatis.

   Dan dengan ce- katan bola-bola emasnya diterimanya kembali dan dimasukkan ke dalam saku celana dan bajunya.

   Sorakan bergemuruh menggetarkan perkebunan itu.

   Dengan dada membusung, Letnan Suwangsa mencecar Sembung Gilang dengan serangan berantai.

   Setiap kali Sembung Gilang kena didesak mundur, pedangnya menyontek bola-bola emas yang bertebaran di atas lantai paggung.

   Dan dalam sekejap mata saja sekalian bola yang berjumlah empat puluh delapan biji terbang kembali kepada Amat Sodik.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan majikan bola emas ini sibuk menerima, menanggapi dan mengantongi.

   Dengan wajah pucat lesi, Sembung Gilang menarik rantai pembelengunya.

   Kemudian dengan membungkuk hormat dia berkata.

   "Dengan ini aku menyatakan takluk. Maafkankarena aku tidak mempunyai kemampuan untuk melayani Tuan. Sekarangbiarlah aku pergi dahulu."

   Sesudah berkata demikian, ia melompat turun dari panggung.

   Ki Jaga Saradenta dan Daniswara mencoba membujuk, namun ia tak sudi mendengarkan lagi.

   Dengan langkah panjang, ia meninggalkan pertemuan itu.

   Dengan perginya Sembung Gilang terasa suatu kepahitan dalam hati Daniswara.

   Kata-kata Sembung Gilang yang berbunyi tidak mempunyai kemampuan untuk melayani tuan mempunyai dua alamat.

   Yang pertama untuk Letnan Suwangsa.

   Yang kedua untuk dirinya.

   Artinya dia kecewa tak dapat membantu cita- citanya, lantaran terbentur keperkasaan seorang perwira sahabat pemerintah Belanda.

   Memperoleh pikiran demikian, hatinya lantas terasa bergolak.

   Kebetulan pulasemua pandang tetamunyamengarah kepadanya menunggu reaksinya.

   Letnan Suwangsa sendiri bersikap acuh tak acuh.

   Sambil mementil pedangnya ia berkata kepada Amat Sodik.

   "Saudara Amat Sodik, bagaimana? Apakah modalmu sudah kembali semua?"

   Umarmaya yang merasa diri menyimpan dua biji emas, lantas tertawa terbahak-bahak. Katanya mengguruh.

   "Menyimpan barang haram, memang susah sekali. Baiklahbiar kali iniaku mengalah."

   Sebenarnyamenyaksikan ketanguhan Letnan SuwangsaUmarmaya merasa diri bukan tandingannya.

   Dari pada bakal kena gebuk, lebih baik ia kembalikan dahulu.

   Dengan demikian, ia tak usah menanggung malu di hadapan umum.

   Tetapi dasar seorang kasar, tak sudi ia menyia-nyiakan kesempatan untuk membalas perlakuan Amat Sodik terhadap dirinya tadi.

   Dua bola rampasannya lalu dikulumnya.

   Kemudian disemburkan dengan seluruh tenaganya.

   TadiAmat Sodik menyegani gumpalan ludahnya.

   Kini pun ia berharap demikian.

   Hanya sajasekarang ia kecelik13).

   Dengan gesit Amat Sodik menggerakkan goloknya.

   Dalam hal ilmu tata berkelahi, kepandaian Amat Sodik berada di atasnya.

   Dihadapan umum tadi ia kena dikalahkan Sembung Gilang.

   Sekarang ia bermaksud untuk menghapus aib itu.

   Maka dengan sedikit memperlihatkan kecekatannya, goloknya bergerak melengkung.

   Dan dua bola emas yang disemburkan Umarmaya masuk ke dalam lengan bajunya.

   Tatkala lengannya diturunkan, kedua bola itu menggelinding keluar lewat lengan baju.

   Kemudian terkait pada ujung goloknya pada tempatnya semula.

   Bukan main kagumnya para penonton yang berkepandaian masih rendah.

   Serentak mereka bertepuk tangan bergemuruh.

   "Saudara Amat Sodik!"

   Seru Umarmaya tak mau kalah gertak.

   "Modalmu kini sudah kembali semua. Apakah masih membutuhkan bunganya?" 13) baca kecewa Amat Sodik tidak menghiraukan. Dengan perlahan- lahan ia memasukkan golok emasnya ke dalam sarungnya, la tahu maksud marmaya. Maksudnya segera ia hendak pergi meninggalkan pertemuan itu sebagai pembayar bunganya. Letnan Suwangsa yang berada di dekatnya menyahut.

   "Ah, benar. Selamanya seorang pedagang mengharapkan suatu keuntungan. Sekali terjun ke dalam kancah perdagangan dia harus bisa merebut barang dagangan yang menarik hatinya."

   Mendengar ucapannya, semua orang terkejut. Apakah perwira Legiun14) Mangkunegara itu bermaksud pula hendak merebut kedudukan sebagai Ketua Perserikatan. Tepat pada saat itu Ki Jaga Saradenta berkata.

   "Ilmu pedangmu sangat tinggi. Hanya cara munculmu di hadapan umum kurang menarik. Apakah para hadirin bisa menerima maksudmu dengan tangan terbuka, tak tahulah aku."

   Sebagian besar hadirin sependapat dengan Ki Jaga Saradenta.

   Perwira itu berkesan sangat sombong.

   Ilmu kepandaiannya memang sangat tinggi.

   Tapi untuk menjabat 14) Baca Legiun (Laskar) sebagai ketua himpunan rasanya kurang tepat.

   Meskipun demikian, di antara para hadirin terdengar tepuk gemuruh mendukung Letnan Suwangsa.

   Mungkin sekali, mereka adalah kawan-kawannya.

   Dalam pada itu dengan langkah perlahan, Daniswara menghampiri panggung.

   Dengan sekali menggerakkan kakinya tubuhnya melesat ke atas dan hinggap tepat di depan Letnan Suwangsa.

   Kedua matanya lantas menyapu tajam bagaikan sebilah pedang.

   "Ha! Selamat bertemu,"

   Sambut Letnan Suwangsa dengan suara dingin.

   "Apakah Tuan hendak menguji diriku? Siapakah Tuan? Benar-benarkah Tuan bernama Daniswara?"

   Daniswara tertawa mendongak.

   "Sebenarnya aku adalah seorang yang tak pantas mempunyai nama. Kepandaianku pun tidak cukup berharga dipertontonkan di hadapan umum."

   "Ah, bukankah engkau yang digenderangkan sebagai calon Ketua Perserikatan ini?"

   Potong Letnan Suwangsa.

   "Itulah maksud orang yang berlebih-lebihan. Kepandaian apakah yang hendak kuandalkan, sampai kau berani memimpikan kursi ketua himpunan pendekar- pendekar gagah seluruh pojok Nusantara. Saudaraku ini adalah seorang miskin sampai terpaksa menyamun segala untuk menyambung hidup. Karena itu, tak dapat ia membayar bunga. Nah, biarlah aku saja yang memba- yar bunganya. Bagaimana?"

   Letnan Suwangsa tahu, bahwa lawannya kali ini memiliki kepandaian yang berarti.

   Maka tanpa segan- segan lagi, ia mendahului dengan tikamannya mengarah tenggorokan.

   Dengan cepat Daniswara menangkis pedang Letnan Suwangsa dengan tongkatnya sebesar tinju orang dewasa.

   Dan tanpa merubah kuda-kudanya, ia membalas menyerang.

   "Sungguh tepat!"

   Puji Letnan Suwangsa sambil menangkis.

   Kedua senjata itu bentrok sangat nyaring.

   Daniswara terhuyung beberapa langkah, sedang Letnan Suwangsa mundur sempoyongan.

   Sebenarnya Letnan Suwangsa menggunakan tenaga lembek dalam tangkisan itu.

   Kemudian dengan meminjam tenaga lawan ia hendak merobohkan dengan sekali jadi.

   Andaikata tenaga Daniswara seimbang de- ngan tenaganya, pastilah maksud itu akan tercapai dengan mudah.

   Tetapi Daniswara ternyata mempunyai tenaga dahsyat seakan-akan menjadi anak kesayangan Tuhan.

   Pukulannya ternyata hebat tak terduga.

   Meskipun Letnan Suwangsa berhasil menangkisnya sampai miring, namun dia terpental oleh suatu arus tenaga sehingga ter- paksa mundur sempoyongan.

   Sebaliknya bentrokan itu menyadarkan Daniswara, bahwa dirinya menghadapi suatu ancaman bahaya.

   Buru-buru ia memukulkan ujung tongkatnya di atas lantai panggung.

   Tubuhnya dimiringkan dan dengan menjejakkan kakinya ia melompat ke depan.

   Tatkala turun ke lantai masih saja ia sempoyongan.

   Itulah suatu kejadian yang baru dialaminya selama hidupnya.

   Demikianlah masing-masing telah merasakan kekuatan lawannya.

   Yang satu mundur dan yang lain maju.

   Tetapi kedua-duanya tergempur kuda-kudanya sehingga berdiri dengan agak sempoyongan.

   Maka dalam gebrakan itu, tiada yang kalah dan tiada yang menang pula.

   Dalam sekejap kedua-duanya memperbaiki kedudukannya masing-masing.

   Kemudian mereka maju dan bertempur dengan serunya.

   Pedang Letnan Suwangsa timbul tenggelam seakan-akan ular timbul dan menyilam dalam permukaan air.

   Sedang tongkat Daniswara berkelebat-kelebat seperti sambaran burung raksasa mengarah mangsanya.

   Yang hadir dalam pertemuan itu termasuk orang- orang gagah dalam daerahnya masing-masing.

   Menyaksikan pertempuran itu, mereka kagum dan terpesona.

   Seumpama tidak menyaksikan sendiri mereka tidak akan percaya bahwa kedua-duanya yang berusia masih muda memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi.

   Terlebih-lebih mereka kagum terhadap Daniswara.

   Pemuda itu terpaut agak jauh usianya bila dibandingkan dengan Letnan Suwangsa.

   Namanya belum terkenal pula.

   Meskipun demikian sanggup melayani ahli pedang nomor satu pada zaman itu dengan sempurna.

   Lima puluh jurus telah lewat dengan sangat cepat, namun kedua-duanya belum ada tanda-tanda menang kalahnya.

   Tiba-tiba berbareng dengan suatu siulan panjang, Letnan Suwangsa merubah cara berkelahinya.

   Pedangnya lantas bergerak-gerak luar biasa cepat.

   Begitu cepat gerakannya, sehingga nampak bagaikan ratusan pedang menikam atau menusuk tubuh Daniswara.

   Indah sekali kesannya.

   Orangorang yang berkepandaian rendah seolah-olah sedang melihat rontoknya daun di musim angin kemarau.

   Amat Sodik yang sudah turun dari panggung bergembira menyaksikan ilmu pedang Letnan Suwangsa yang hebat.

   Serunya kepada dirinya sendiri.

   "Bunganya pasti akan terbayar sebentar lagi."

   Umarmaya yang berdiri tak jauh dari padanya, tertawa haha-hihi. Sahutnya panas hati.

   "Merrjang benar. Bunga itu pasti akan terlunasi. Hanya saja entah siapa yang bakal menerima pembayaran itu."

   Amat Sodik menoleh dengan pandang melototi.

   "Eh kau begal miskin jangan terlalu mengumbar mulutmu". Setelah berkata demikian, ia memutar tubuhnya dan menghilang di balik rumun penonton yang berjejalan. Sekonyong-konyong di atas panggung terjadi suatu perubahan. Malayani pedang lawan yang bergerak begitu cepat, Daniswara merubah tata berkelahinya. Tadi ia bersikap galak. Setiap waktu dipergunakan untuk membalas menyerang. Kini tongkat bajanya bergerak perlahan-lahan mengitari dirinya seolah-olah sedang melindungi saja. Sama sekali tiada nampak suatu serangan balasan. Menyaksikan hal itu para tetamu yang memiliki kepandaian tinggi segera mengetahui bahwa Daniswara sedang melawan serangan Letnan Suwangsa dengan tenaga penghisap. Gerakan tongkatnya berlingkaran. Berkesan lemah gemulai seakan-akan seutas tali lemas. Seorang berusia tua yang duduk di dekat seorang pemuda berkata setengah berbisik.

   "Nah lihatlah yang terang, anakku. Itulah yang kumaksudkan dahulu. Manakala engkau menjumpai seorang yang bisa menggunakan tongkat selemas tali atau seorang yang bisa menggunakan tali sekeras tongkat besi itulah suatu tanda bahwa orang itu telah mencapai suatu tataran kesaktian yang susah diukur tingginya. Kalau kebetulan dia seorang kawan, kau bergurulah kepadanya. Sebaliknya kalau kebetulan seorang lawan, cepat- cepatlah melarikan diri."

   Memang demikianlah sebenarnya.

   Adalah suatu hal yang mengherankan bahwasanya tongkat yang terbuat dari besi bisa digerakkan selemas seutas tali.

   Dan begitu Daniswara menggunakan ilmu sakti tersebut, pedang Letnan Suwangsa lantas saja tertindih.

   Gerakan pedangnya tidak lagi segesit tadi.

   Sedikit demi sedikit, pedangnya mulai tertekan-tekan.

   Ia nampak berkutat seolah-olah seorang lagi sibuk membebaskan diri dari suatu tindihan benda yang mempunyai berat seratus kilogram lebih.

   "Paman!"

   Bisik si Pemuda berbaju putih kepada Mundingsari.

   "Untuk bisa mengimbangi Daniswara, Letnan Suwangsa harus mengerahkan seluruh tenaganya. Ingin aku melihat bagaimana caranya seorang ahli pedang melawan ilmu tongkat Daniswara itu."

   Baru saja ia selesai berbisik, sekonyong-konyong terdengarlah suatu bentrokan nyaring luar biasa.

   Lelatu meletik seperti air disemprotkan.

   Tongkat Daniswara terpental tinggi ke udara sehingga penonton memekik kaget menyaksikan kejadian di luar dugaan itu.

   Anehnya Letnan Suwangsa berdiri seakan-akan terpaku pula.

   Sama sekali ia tidak bergerak untuk melancarkan suatu serangan susulan.

   Apakah yang terjadi? Daniswara menang tenaga, sedangkan Letnan Suwangsa menang pengalaman dan mahir mengatur tenaga tata sakti.

   Menghadapi lawan yang bertenaga dahsyat, Letnan Suwangsa menggunakan seluruh pengalamannya untuk meminjam tenaga lawan.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pada jurus yang terakhir tadi, Daniswara menghantamkan tongkatnya dengan tenaga luar biasa besarnya.

   Letnan Suwangsa tak berani melawan keras dengan keras, la menggunakan tenaga lembek.

   Kemudian dengan perlahan-lahan ia mengerahkan sembilan bagian tenaga saktinya.

   Dalam suatu pertarungan antara jago kelas satu, masing-masing memang tidak berani mengerahkan seluruh tenaganya.

   Sembilan bagian tenaga adalah suatu ukuran yang paling tinggi.

   Sedang yang sebagian diper-siagakan manakala menghadapi serangan balasan tiba-tiba.

   Menurut perhitungan Letnan Suwangsa dengan mengerahkan sembilan bagian tenaganyaia akan berhasil mematahkan tenaga Daniswara.

   Sebab selain tenaganya sendiri, ia meminjam tenaga lawan pula untuk digunakan memukul balik.

   Tetapi tongkat Daniswara adalah tongkat warisan pendekar Kebo Bangah.

   Tongkat itu bukan terbuat dari besi atau baja.

   Sebaliknya terbuat dari suatu dahan pohon yang terdapat di atas Gunung Sindara.

   Entah apa nama jenis pohon itu, tetapi ulatnya melebihi besi dan baja.

   Besi atau baja dapat patah pada saat-saat tertentu, sebaliknya kayu itu tidak.

   Makin tua umurnya, makin ulat.

   Dan kerasnya tidak kalah bila dibandingkan dengan besi atau baja.

   Apabila berbenturan mampu mengeluarkan bunyi nyaring bagaikan logam.

   Dahulu Kebo Bangah pernah menggunakan tongkat mustikanya melawan tongkat Gagak Seta.

   Pernah pula menghadapi pedang Sangga Buwana milik Titisari.

   Sekali kena bentrok, tongkatnya sama sekali tak dapat tertabas kutung.

   Sekarang pedang Letnan Suwangsa adalah suatu pedang yang sedikit lebih baik daripada pedang biasa.

   Sudah barang tentu tak sanggup meng-utungkan tongkat warisan Kebo Bangah itu.

   Dalam bentrokan ituberkat tenaga tata saktiLetnan Suwangsa berhasil melontarkan tongkat baja Daniswara tinggi ke udara.

   Tetapi berbareng dengan itu, pedangnya somplak sebagian.

   Tangannya pun terbeset, sedang sembilan bagian tenaganya yang dikerahkan membanjir keluar ibarat air membobol sebuah bendungan.

   Itulah sebabnya dalam sesaat ia seperti kehilangan tenaga.

   Nampaknya seperti tidak mampu menggerakkan pedangnya lagi.

   Tetapi sesungguhnya, hal itu hanya berlaku dalam waktu singkat.

   Dalam pada ituberbareng dengan terlontarnya tongkat mustika tinggi ke udara Daniswara pun terbang tinggi pula.

   Dengan suatu gerakan yang manis, ia menyambar tongkatnya dan digenggamnya erat-erat dalam tangannya yang perkasa.

   Dan sebelum kedua kakinya turun ke lantai laksana seekor elang mengibaskan sayapnya ia membabatkan tongkatnya menghantam kepala Letnan Suwangsa.

   Serangan Daniswara itu terjadi sewaktu tubuhnya masih berada di tengah udara.

   Serangan demikian mengejutkan sekalian penonton.

   Letnan Suwangsa cepat-cepat menghimpun tenaga saktinya kembali.

   Kemudian ia menyabet serangan dahsyat itu dengan pedangnya kembali.

   Semua orang mengira bahwa benturan senjata kali ini akan menerbitkan suatu suara yang nyaring luar biasa.

   Tapi di luar dugaan, bentrokan itu bahkan tiada mengeluarkan suara sama sekali.

   Pedang Letnan Suwangsa menempel tongkat Daniswara.

   Itulah yang menyebabkan sama sekali tiada terdengar suatu suara.

   Tubuh Daniswara yang berada di udara terbawa gerakan Letnan Suwangsa yang memutar dengan perlahan.

   Dipandang sepintas lalu, Letnan Suwangsa berada di atas angin.

   Tetapi sesungguhnya dia menemukan suatu kesulitan lagi di luar perhitungan.

   Tenaga sambaran tongkat Daniswara yang lagi terjun dari udara tadi, dahsyat tak terkira.

   Kini ditambah dengan beban tubuh Daniswara.

   Maka bisa dibayangkan, betapa Letnan Suwangsa terpaksa menggunakan tenaga berlipat ganda sebagai penyangga.

   Maka ia membentak keras untuk membebaskan tempelan pedangnya.

   Di luar dugaan, tongkat Daniswara kinilah yang ganti menempel.

   Dengan demikian tubuh yang berputar-putar di tengah udara benar-benar merupakan beban sendiri.

   Mereka yang belum pernah mengalami pertempuran demikian, senang menyaksikan pemandangan demikian.

   Sebaliknya penonton yang tinggi ilmunya tahu belaka betapa akibat pertarungan itu nanti.

   Si Baju Putih yang berdiri disamping Mundingsari mengerutkan alisnya.

   Tahulah dia, bahwa kedua-duanya sedang menggunakan tenaga simpanannya.

   Letnan Suwangsa telah menggunakan ilmu sakti warisannya.

   Sedang Daniswara yang menang tenaga dapat menambah tenaga tekanannya oleh berat badannya yang berada di udara.

   Itulah sebabnyabetapa usaha Letnan Suwangsa untuk membebaskan diritetap saja pedangnya kena tempel.

   Tak lama kemudian, Letnan Suwangsa bergerak berputaran mengintari panggung sambil terus menerus menggetarkan pedangnya.

   Asal saja dapat memperoleh kelonggaran sedikit, ia akan sanggup melontarkan berat tubuh Daniswara ke tengah udara.

   Tapi sekian lamanya ia berputar-putar, tetap saja tak berhasil.

   Daniswara tak sudi memberi kesempatan.

   Dengan mati-matian ia menekankan tongkatnya kuat-kuat agar tidak sampai kena direnggangkan.

   Dengan demikian kedua jago itu mandi keringat.

   Ki Jaga Saradenta mengeluh menyaksikan pertarungan mati-matian itu.

   Ia mengetahuibahwa kedudukan Daniswara lemah dibandingkan dengan Letnan Su- wangsawalaupun bisa menekan dari atas.

   Sebab, dia tak dapat mengadakan serangan balasan.

   Kecuali itu, tak dapat ia menarik tenaganya kembali untuk bisa diatur.

   Dengan kepala menjungkir ke bawah dan selalu dibawa berputar-putar, lambat-laun ia akan kehilangan sebagian besar tenaganya.

   Hal itu berarti bahwa ancaman bahaya bakal terjadi sewaktu-waktu.

   Dengan mengerutkan kedua alisnya, Ki Jaga Saradenta menghampiri mereka.

   Kemudian membungkuk hormat seraya berseru.

   "Bila dua harimau berkelahi terus menerus yang satu pasti akan mengalami malapetaka. Saudara Daniswara! Saudara Letnan Suwangsa! Silakan beristirahat dahulu. Mari kita berunding dengan baik- baik."

   Tentu saja mereka tak sudi menyahut. Mereka tengah memusatkan seluruh perhatian dan tenaganya. Sedikit lengah akan memakan nyawanya sendiri.

   "Saudara Letnan Suwangsa!"

   Ki Jaga Saradenta membujuk.

   "Engkau adalah seorang ahli pedang kenamaan. Selain itu, engkau pun menantu Sri Mangkunegoro. Jabatanmu bagus pula. Sebaliknya saudara Daniswara adalah seorang pendekar yang baru saja muncul kemarin. Tingkatannya lebih rendah daripadamu. Hm, apakah engkau benar-benar hendak ikut memperebutkan kursi pimpinan?"

   Ki Jaga Saradenta terpaksa berkata demikian untuk menolong Daniswara.

   Sebenarnya sebagai seorang perwira Legiun Mang-kunegaran, sama sekali tak cocok apabila menjabat sebagai ketua himpunan laskar perjuangan yang justru bertentangan dengan kedudukannya.

   Pikirnya, biarlah dia menjadi calon ketua.

   Toh keputusannya nanti terletak kepada suara hadirin terbanyak.

   Apabila sebagian besar hadirin tak setuju, dia masakan bisa main paksa.

   Dia boleh perkasa, tapi apakah mampu menghadapi keroyokan orang banyak.

   Di luar perhitungannya, ternyata Letnan Suwangsa tetap membungkam.

   Sikapnya bahkan tidak menggubris sedikit pun.

   Hal itu disebabkan ia sudah berada di atas angin.

   Menyia-nyiakan kesempatan yang bagus itu, alangkah sayang.

   Maka ia berputar-putar mengitari panggung makin lama makin cepat.

   'Daniswara lantas nampak seakan-akan sebuah martil besar yang sedang diputar-putar keras untuk segera dilepaskan.

   Menyaksikan hal itu, Ki Jaga Saradenta menjadi putus asa.

   Ingin ia menolong, tetapi merasa diri tak mampu.

   Maklumlah, usianya sudah hampir mendekati seratus tahun.

   Selagi semua orang mengikuti peristiwa itu dengan hati berdebar-debar dan sedang Ki Jaga Saradenta berada dalam puncak kebingungan, sekonyong-konyong terdengarlah suatu suara sangat nyaring.

   "Ah, kedua-duanya benar-benar tidak tahu diri. Letnan Suwangsa betapa menginginkan kedudukan sebagai Ketua Perserikatan. Apa sih mulianya?"

   Hampir berbareng dengan perkataannya yang penghabisan, nampaklah sebuah benda berkeredep menghantam titik pertemuan antara pedang dan tongkat Daniswara.

   Tring! Kedua senjata itu terpukul miring.

   Dan pada saat itu, Daniswara berjungkir balik di tengah udara dan hinggap tak kurang suatu apa di atas panggung.

   Peristiwa itu mengejutkan sekalian penonton.

   Belum lagi mengerti sebab-musababnya, tiba-tiba masuklah seorang pemuda berbaju putih ke dalam gelanggang.

   Gsianya masih muda.

   Gerakannya lincah dan pandang matanya jernih.

   Dialah yang menghantam titik silang antara pedang dan tongkat kedua jago yang sedang berkutat.

   Penonton yang berada di barat heran bukan kepalang.

   Benarkah seorang pemuda seusia dia, sudah memiliki tenaga dahsyat melebihi tenaga sakti Letnan Suwangsa dan Daniswara sehingga adu tenaga mereka Hampir berbareng dengan perkataannya yang penghabisan, nampaklah sebuah benda berkeredep menghantam titik pertemuan antara pedang dan tongkat Daniswara.

   Tring! dapat disibakkan dengan mudah? Sebenarnya tidaklah demikian.

   Pemuda berbaju putih itu tahu mencari titik silang yang lemah.

   Sambitannya sebenarnya menggu- nakan tenaga mereka berdua sendiri.

   Yang patut dikagumi adalah ketepatannya memukul titik silangnya.

   Meleset sedikit, pastilah gagal.

   Apalagi senjata bidik yan digunakan ternyata hanya sebuah biji sawo.

   Ki Jaga Saradenta terbelalak.

   Sedangkan Daniswara menyatakan kekagumannya.

   Pemuda berbaju putih itu sendiri bersikap tak memedulikan.

   Dengan langkah tenang ia menghampiri Letnan Suwangsa sambil menyiratkan pandang kepada semua yang berada di atas di atas panggung.

   Pandang matanya jernih bening.

   Kemudian dengan alis terbangun ia berkata kepada Letnan Suwangsa.

   "Saudara Suwangsa. Engkau seorang perwira Laskar Mangkunegaran. Pada saat ini, Sri Mangkunegoro bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Sedangkan perserikatan ini justru bertujuan mengecam kebi- jaksanaan Patih Danurejo yang mengabdi kepada kepentingan Pemerintah Belanda. Apakah engkau sanggup menjadi seekor ular berkepala dua, seumpama engkau berhasil menduduki jabatan Ketua Perserikatan?"

   Baru saja selesai pemuda itu mengucapkan perkataannya, seluruh hadirin lantas menjadi gempar.

   Di antara merekatermasuk Ki Jaga Saradenta tahu bahwa Suwangsa adalah seorang perwira berbareng menjadi menantu Sri Mangkunegoro.

   Pada hakekatnya mereka berkesan baik terhadap perjuangan Sri Mangkunegoro 1 tatkala berperang melawan Belanda disam-ping Sultan Hamengkubuwono 1.

   Sekarang setelah tahta jatuh pada anak keturunannyaternyata berbelok arah.

   Hal itu benar-benar mengejutkan dan menggemparkan mereka.

   "Letnan Suwangsa! Benarkah itu?"

   Ki Jaga Saradenta menegas.

   Dalam pada itusekalian orang-orang gagahlantas saja berlomba-lomba menyatakan pendapatnya setelah rahasia itu kena dibuka si Pemuda berbaju putih.

   Mereka menyatakan kegusarannya.

   Lalu memaki dan mengejek.

   Ada pula yang mengutuk dan berbimbang-bimbang.

   "Kamu disini mengadakan suatu perhimpunan. Maksudnya untuk memilih seorang ketua. Siapa yang kuat dan siapa yang gagahdialah yang bakal kamu lantik,"

   Seru Letnan Suwangsa mengatasi kegaduhan.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apa yang kulakukan tadi sebenarnya tiada sangkut pautnya dengan kepentingan kamu. Sebaliknya lantaran aku mempunyai kepentingan berhubung dengan tugasku. Apakah jeleknya seseorang yang bekerja dengan penuh semangat demi mengabdi kepada tugas jabatannya?"

   Paras muka Ki Jaga saradenta lantas berubah menjadi merah padam, la nampak mendongkol. Saking mendongkolnya ia tertawa terbahak-bahak dengan mendongak. Lalu membentak.

   "Benar-benar hati manusia sukar diduga. Letnan Suwangsa, maafkan aku. Tak dapat lagi aku melayanimu."

   Letnan Suwangsa bukanlah seorang perwira yang goblok.

   Dengan sekali melirik tahulah dia melihat gelagatnya.

   Mereka yang tadi duduk di atas kursi, berdiri dengan serentak.

   Tangannya meraba senjatanya masing- masing, sedang pandang matanya menyatakan suatu kebencian yang meluap-luap.

   Inilah bahayanya! Meskipun Ki Jaga Saradenta tidak berani menyatakan terus terang, bahwa perserikatan ini bertujuan menentang pemerintahtetapi mereka yang hadir bukan ter- golong manusia yang takut mati.

   Sekali mendengar aba-aba, mereka pasti akan meluruk bagaikan batu gunung runtuh.

   Menghadapi massa demikianmeskipun dia berkepandaian tinggitak akan mampu berbuat banyak.

   Maka dengan perlahan-lahan ia memasukkan pedangnya ke dalam sarungnya.

   Kemudian tertawa lebar untuk mengatasi kegoncangan hatinya.

   Berkata kepada Amat Sodik.

   "Saudara Amat Sodik! Barulah aku kini tahu, bahwa kedudukan kursi pimpinan bukan ditentukan oleh siapa yang menang dan yang lebih kuat. Aku tak mempunyai modal untuk membeli barang dagangan itu. Mari, lebih baik kita berlalu saja."

   "Apakah yang kau maksudkan dengan barang dagangan?"

   Daniswara menegas.

   "Semua yang berada di sini bukan berkumpul untuk mengadakan jual beli. Apakah kau hendak merampas mereka agar sudi menjadi begundal Pemerintah Belanda dan Patih Danurejo? Hm, jangan bermimpi!"

   "Orang itu memang terlalu sombong!"

   Teriak seseorang.

   "Kau sama sekali belum mampu menjatuhkan saudara Daniswara. Bagaimana kau bisa menganggap dirimu orang kuat? Cobakau boleh menjajalnya16) kembali. Ingin aku melihat sampai dimana keperkasaanmu?"

   Sekali ada yang berkata demikian, yang lain-lain seperti memperoleh jalan terang.

   Lantas saja terjadilah suatu makian kalang kabut.

   Menyaksikan hal itu, hati Letnan Suwangsa benar-benar gentar.

   Cepat ia menyambar lengan Amat Sodik dan dibawanya turun dari panggung.

   Kemudian ia berlalu cepat dengan disertai beberapa orang bawahannya.

   Sekarang barulah orang sadar, bahwa Amat Sodik termasuk salah seorang pengikutnya.

   Pantas saja dia ber-napsu untuk merebut kursi pimpinan.

   Selagi semua orang diarahkan kepada kepergian Letnan Suwangsa dan kawan-kawannya, tiba-tiba di atas panggung terjadilah suatu kejadian di luar dugaan siapa pun.

   Pemuda berbaju putih dengan mendadak menghunus pedangnya, kemudian ditudingkan ke arah dada Daniswara.

   Semua orang yang melihat, terkesiap hatinya.

   Sebab pedang itu bersinar berkilauan dan berukuran pendek.

   Itulah tanda-tanda bahwa pedang tersebut berasal dari istana.

   Ki Jaga Saradenta terperanjat.

   Pikirnya di dalam hati.

   "Apakah bocah ini ingin merebut kursi pimpinan pula? Siapakah dia?"

   Dalam pada itu di Pemuda berbaju putih berkata nyaring kepada Daniswara.

   "Kau hendak menjadi Ketua Himpunan, aku tidak peduli. Tetapi benda curian di atas pesanggrahan Kompeni Belanda di Magelang hendaklah kau serahkan kepadaku!"

   Mendengar kata-katanya, Ki Jaga Saradenta heran bukan main.

   Apakah yang dimaksudkan dengan istilah mencuri? Sepanjang pengetahuannya, Daniswara tak ter- tarik kepada sarwa benda meskipun berharga laksaan ringgit.

   Benda apakah yang dimaksudkan sampai Daniswara mencurinya? Memang dia merampas uang belanja Kompeni Belanda.

   Tetapi hal itu dilakukan dengan terang-teranganmerampok dan merampas dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya.

   Dan bukan mencuri.

   Maka itu ia segera membuka mulutnya.

   "Saudara kecil! Seumpama saudara Daniswara berhutang sebuah benda kepadamu, itulah urusan gampang. Nanti akulah yang membayarnya kembali."

   Ki Jaga Saradenta mengira, bahwa pemuda itu sedang meminta sejumlah uang atau benda yang kena dirampas Daniswara. Maka tanpa berpikir panjang lagi, ia bersedia untuk membayar. Di luar dugaan pemuda itu tertawa-tawa. Katanya menegas.

   "Baiklah kau bersedia membayar hutangnya? Ia berhutang sebuah kepala. Nahdapatkah engkau membayar?"

   Ki Jaga Saradenta terkesiap. Ia mengawaskan pemuda itu dengan pandang mata tak berkedip.

   "Apakah artinya ini? Apakah artinya ini?"

   Dia bertanya tersekat-sekat. Belum lagi pemuda itu memberi keterangan, Daniswara mendahului berkata. Tanyanya menegas.

   "Apakah kepala itu milik keluargamu?"

   Mata pemuda itu mendadak saja nampak menjadi basah. Bentaknya.

   "Kau mau mengembalikan atau tidak?"

   "Tapi... Walaupun ingin aku mengembalikan sudah sangat sukar,"

   Jawab Daniswara dengan suara berduka.

   Paras muka pemuda itu lantas berubah menjadi pucat.

   Tanpa mengeluarkan sepa-tah kata lagi, dia menikam dengan tiba-tiba.

   Daniswara melompat mundur sambil menangkis dengan tongkatnya.

   Tetapi gerakan pemuda itu gesit luar biasa.

   Dalam sekejap mata saja, ia memberondong dengan sembilan tikaman sekaligus.

   Diberondong dengan tikaman demikian, Daniswara kena didesak mundur.

   Semua tetamu yang berada di bawah panggung terperanjat menyaksikan gerakan pedang pemuda itu.

   Cepat, gesit dan berbahaya gerakan pedangnya.

   Setiap kali pedangnya bergerak tubuh Daniswara seperti kena sambar kejapan kilat yang datang menyambar-nyambar tiada hentinya.

   Mutu serangan pedangnya malahan lebih tinggi daripada ilmu pedang Letnan Suwangsa yang termasyur.

   "Saudara kecil! Nanti dulu! Nanti dulu! Jangan terburu nafsu!"

   Seru Ki Jaga Saradenta dengan suara membujuk.

   "Seumpama engkau mempunyai piutang dengan saudara Daniswara, cobalah ceriterakan dahulu biar kita pertimbangkan. Seumpama saudara Daniswara kesalahan tangan, aku pun bersedia memohonkan maaf kepadamu. Biarlah aku yang sudah ubanan bersujud di hadapanmu."

   Ki Jaga Saradenta menduga, bahwa Daniswara kesalahan tangan membunuh keluarga pemuda itu.

   Lalu pemuda itu kini datang untuk menuntut dendam.

   Kejadian demikian adalah lumrah pada dewasa itu.

   Orang saling mendendam dan saling membalas.

   Tetapi pemuda itu sama sekali tidak menggubris kata- kata Ki Jaga Saradenta.

   Serangannya makin lama makin gencar.

   Sesudah lewat lima belas jurus, terpaksalah Daniswara membela diri dengan ilmu kepandaiannya yang sangat tinggi.

   Itulah ilmu sakti Badai Hitam warisan Kebo Bangah.

   Ilmu Badai Hitam adalah salah satu cabang dari ilmu sakti Kala Lodra yang terkenal dahsyat pada zaman dua puluh tahun yang lalu.

   Tongkatnya lantas saja menerbitkan angin bergulungan.

   Satu tenaga dahsyat membendung gerakan pedang pemuda itu yang lincah luar biasa.

   Kege-sitannya segera kena tindih.

   "Apakah kau kira aku tidak sanggup melawanmu?"

   Kata Daniswara dengan tertawa.

   "Kabur sesudah mencuri kepala orang bukan perbuatan seorang pendekar sejati,"

   Bentak pemuda itu.

   "Kau kembalikan atau tidak?"

   Daniswara tertawa terbahak-bahak.

   "Kalau hanya kepala saja, apakah gunanya? Aku bersedia mengembalikan seluruh jenazahnya. Apa yang hendak kau lakukan, sudah kulakukan."

   "Apakah benar?"

   Pemuda itu menegas dengan suara menggeletar. Dan ia lalu menarik pedangnya.

   "Dengan mempertaruhkan jiwa, aku mencuri kepala itu dari tiang bendera pesanggrahan Kompeni Belanda yang tertancap di atas temboknya,"

   Jawab Daniswara.

   "Masakan aku mengobral kepadamu.

   "

   Kedua mata pemuda itu kembali menjadi basahi Katanya dengan suara perlahan.

   "Kalau begitu, kau adalah pahlawanku. Kita tak usah bertempur lagi."

   Semua orang termasuk Ki Jaga Saradenta heran bukan kepalang, karena tidak mengetahui persoalannya.

   Meskipun demikian, Ki Jaga Saradenta tidak mau minta keterangan lebih lanjutmengingat pemuda itu baru saja dikenalnya.

   Selanjutnya pertemuan pendekar-pendekar pencinta negeri itu berjalan dengan lancar.

   Awan gelap telah tersapu bersih.

   Dengan tegar Ki Jaga Saradenta lantas berbicara nyaring mewakili para hadirin.

   Katanya kepada Daniswara.

   "Saudara Daniswara! Meskipun engkau masih muda remaja, tetapi nampaknya mempunyai pengetahuan luas dan berkepandaian tinggi. Setelah menyaksikan kesanggupanmu, aku malah bertambah yakin bahwa engkau pantas menduduki jabatan sebagai Ketua Himpunan."

   Setelah berkata demikian, ia berputar menghadap kepada hadirin. Serunya nyaring.

   "Saudara- saudara, bagaimana? Semua telah menyaksikan sendiri kegagahan saudara Daniswara. Apakah kalian setuju apabila dia kita angkat menjadi ketua perserikatan?"

   Semua orang lantas memberikan kata persetujuannya. Dan selagi Daniswara bergerak hendak menolak, Ki Jaga Saradenta mendahului.

   "Saudara Daniswara tidak bisa menolak lagi, karena sekalian hadirin telah menyetujui. Sekali lagi kuharapkan jangan bersegan-segan!"

   "Nanti dulu!"

   Teriak Pemuda berbaju putih itu dengan mendadak.

   "Masih ada satu perkara lagi yang ingin kukemukakan."

   Ki Jaga Saradenta mengerutkan keningnya. Ia khawatir akan muncul suatu perkara baru yang akan mementahkan masalah yang sudah menjadi matang. Maka buru-buru ia menungkas.

   "Saudara kecil! Apakah perkara yang hendak kau ajukan itu mempunyai sangkut paut dengan kedudukan seorang Ketua Himpunan?"

   "Saudara Ketua!"

   Kata Pemuda itu tak menghiraukan pertanyaan Ki Jaga Saradenta.

   "Aku masih mempunyai satu perhitungan lagi kepadamu. Dan engkau harus menyelesaikan."

   Ki Jaga Saradenta tenteram hatinya.

   Meskipun pertanyaannya tidak dihiraukan, tetapi pemuda itu menyebut Daniswara dengan kata-kata.

   Ketua.

   Itulah suatu pengakuan langsung.

   Maka diam-diam bersenyum di dalam hati.

   Lalu ia menaruh perhatiannya.

   Daniswara yang tadi mengerutkan alis, kini tertawa melebar begitu begitu mendengar sebutannya sebagai ketua diucapkan pemuda itu.

   Katanya sabar.

   "Saudara engkau begini rewel. Aku tahu apa yang hendak kau. kemukakan. Biarlah yang berkepentingan berbicara langsung kepadaku. Bukankah dia hadir disini pula?"

   Ki Jaga Saradenta kaget.

   Menilik jawaban Daniswara, dia mengakui adanya persoalan yang hendak dikemukakan pemuda itu.

   Dan dengan dada terbuka dia mengundang pula orang yang berkepentingan, la khawatir kalau persoalan yang hendak diselesaikan di depan umumakan membawa suatu kerugian di kemudian hari.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Maka segera ia hendak mencegah.

   Tetapi pada saat itu, munculan seorang laki-laki berperawakan kasar memasuki panggung.

   Orang itu berberewok kaku dan pandang matanya cemerlang.

   Melihat munculnya orang itu, Ki Jaga Saradenta mengerutkan keningnya seperti lagi mengingat-ingat.

   Tatkala itu terdengarlah beberapa orang menyatakan keheranannya.

   "Ahbukankah dia saudara Mundingsari?"

   Dan mendengar perkataan itu, buru-buru Ki Jaga Saradenta tertawa girang. Sambutnya ramah.

   "Hai bukankah saudara Mundingsari? Malaikat manakah yang membawamu terbang kemari?"

   Mundingsari memanggut dingin. Kemudian membungkuk hormat kepada Daniswara seraya berkata dengan suara merendah.

   "Saudara Daniswara! Barangkali engkau masih mengenal mukaku yang kotor ini. Benar- benar suatu karunia Tuhan, bahwa kita dipertemukan kembali pada hari ini. Dengan ini aku ingin memohon, sudikah Saudara mengembalikan uang kawalanku berjumlah empat puluh ribu ringgit?"

   Begitu mendengar kata-kata Mundingsari, seluruh hadirin menjadi gempar.

   "Ehkenapa dia sudi melindungi uang Kompeni?"

   Nyeletuk seseorang.

   Mereka semua tahu, Mundingsari hidup di dalam daerah wilayah Kasultanan yang berlindung di bawah bendera Belanda.

   Pada zaman lima belasan tahun yang lalu, dia pun salah seorang pendekar undangan Pangeran Bumi Gede.

   Meskipun Pangeran Bumi Gede mendapat bantuan dari pemerintah Belanda, tetapi sebegitu jauh mereka belum pernah mendengar Mundingsari menghambakan diri kepada Kompeni Belanda.

   Tak mengherankan orang-orang yang mengenal riwayat hidupnya jadi sibuk menebak-nebak.

   "Sungguh luar biasa!"

   Kata seorang lagi.

   "Apakah dia kena tekanan?"

   Mundingsari.sendiri sebenarnya keturunan seorang pendekar yang bermusuhan dengan Belanda.

   Leluhurnya sangat terkenal dan termasyur sebagai pendekar bangsa yang patut ditiru.

   Selain berani, jujur dan teguh memegang cita-cita bangsa.

   Apa sebab keturunannya menjadi seorang lemah? Maka tak mengherankan begitu persoalannya muncul di hadapan umummereka semua merasakan betapa sulit untuk dipecahkan.

   Dipandang dari sudut persahabatan, uang kawalan yang kena dirampas wajib dikembalikan.

   Akan tetapi uang Kompeni Belanda yang justru menjadi musuh turun- temurun semenjak zaman Hamengku Buwono 1.

   Mengembalikan uang rampasan itu berarti bersedia berdamai dengan pihak Pemerintah Belanda.

   "Sebenarnya apakah alasan saudara Mundingsari sudi menjadi pelindung uang belanja Kompeni Belanda?"

   Tanya seseorang.

   "Itulah atas petunjuk Pangeran Girisanta,"

   Jawab Mundingsari pendek.

   Dan mendengar disebutkannya nama Pangeran Girisanta, semua orang mencaci maki kalang-kabut.

   Pangeran Girisanta adalah anak keturunan Pangeran Surapati anak angkat Panembahan Cirebon pada zaman Untung Surapati.

   Dialah manusia busuk.

   Dia beker- jasama dengan pihak Belanda karena kemaruk kekuasaan dan gila harta.

   Maka tatkala Pemerintah Belanda mengumumkan suatu hadiah besar bagi siapa yang dapat menangkap pemberontak Untung17), segera ia menyediakan diri.

   Panembahan Cirebon18) marah dan menghukum Surapati dengan hukuman picis.

   Dan nama Surapati disematkan pada Untung sebagai nama tambah- an.

   Demikianlah semenjak itu, Untung terkenal dengan nama Untung Surapati.

   Pangeran Surapati sudah lama mati terhukum.

   Tetapi anak-keturunannya tidak terbasmi.

   Maka lahirlah Pangeran Girisanta19) sebagai anak-keturunan Surapati yang keempat.

   Tatkala timbul perpecahan antara Sultan Kasepuhan dan Sultan Kanoman, anak keturunan Surapati itu diketemukan.

   Dan seterusnya dipanggil masuk ke dalam istana dan didudukkan kembali kepada martabatnya semula oleh persetujuan pihak Pemerintah Belanda.

   Maka semenjak itu Raden Mas Girisanta berhak di sebut dengan pangeran.

   Artinya anak seorang Raja.

   Tetapi entah raja yang mana.

   Riwayat hidup anak keturunan Surapati sangat termasyur di kalangan rakyat.

   Terutama dalam kalangan para pecinta-pecinta negara, la dikutuk dan dimaki sam- pai tujuh keturunan.

   Karena itu, seumpama Daniswara mengembalikan uang kawalan tersebut demi tali persahabatannya dengan Mundingsari, benar-benar sangat mengecewakan.

   Pada saat itu, semua jago-jago yang hadir menunggu keputusan Daniswara dengan hati berdebar-debar.

   Pandang mata mereka tak terlepas dari wajah Mundingsari yang nampak menjadi pucat, Daniswara sendiri bersikap diam dingin.

   Lama sekali ia tak membuka mulut, sehingga suasana terasa menjadi tegang.

   Mundingsari lantas berkata setengah memohon.

   "Memang perkara ini...

   sebenarnya agak memalukan nama keluargaku.

   Akan tetapi...

   demi Tuhan...

   dengan sesungguhnya aku didesak keadaan.

   Sebenarnya ingin aku minta pertolongan Sa....

   San...

   Sa..."

   Daniswara memotong perkataannya dengan tertawa terbahak-bahak. Lalu berkata mengguruh.

   "Aku tahu. Kau hidup dalam wilayah kekuasaan Sultan Kanoman. Dan kebetulan Girisanta adalah Mangkubumi Kasultanan yang besar pengaruhnya. Tetapi andaikata hal itu kau kabarkan kepada Sanjaya, dia pun takkan sudi mende- ngarkan. Walaupun Sanjaya dahulu bekas sahabat Kompeni Belanda. Lagipula, aku ini mempunyai suatu perangai yang aneh. Sekali bekerja aku takkan menghiraukan campur-tangan dari pihak mana pun juga. Sekalipun yang akan mencoba membujukku seorang pentolan yang berkepandaian sangat tinggi. Karena itu jangan kau berharap dengan menggunakan nama seorang pendekar gagah, engkau bakal bisa menggertak aku."

   Yang dimaksudkan Mundingsari sebenarnya Sangaji dan bukan Sanjaya.

   Sayang ia berkata dengan tersekat- sekat sehingga Daniswara mengira dia lagi mengagul- agulkan Sanjaya.

   Mundingsari sendiri menjadi malu, kena selomot demikian di hadapan umum.

   Sedang pemuda berbaju putih itu, nampak meraba hulu pedangnya lagi.

   Sekonyong-konyong Daniswara tertawa terbahak- bahak lagi.

   Katanya mengguruh.

   "Tetapi baiklah... Mengingat engkau sanggup menerima tiga pukulan tongkatku, masih aku ingin didamaikan."

   "Terima kasih. Perkara ini biarlah Saudara ketua yang menyelesaikan,"

   Kata Mundingsari yang ikut-ikutan pula menyebut Daniswara dengan perkataan ketua. Daniswara melayangkan pandangnya. Kemudian berseru kepada Karimun alias Umarmaya.

   "Bawa kemari orang itu!"

   Setelah terjadi peristiwa-peristiwa baru di atas panggung, hadirin tidak teringat lagi kepada Karimun alias Umarmaya.

   Kini begitu Daniswara berbicara kepada si Gendut pendek itu barulah mereka menaruh perha- tiannya kembali.

   Tatkala itu mereka melihat Karimun alias Umarmaya sedang menggusur seorang yang mengenakan pakaian seorang hamba negeri tingkat atas.

   "Bagus! Bagus!"

   Teriak Karimun.

   "Saudara Ketua! Memang tepat sekali pada hari pertama ini, engkau mengadili seorang pembesar negeri begundal Pemerintah Belanda."

   Semua orang memutar kepalanya mengarah kepada orang yang sedang digusur naik ke atas panggung.

   Mundingsari terkejut.

   Orang itu bukan lain daripada Raden Mas Girisanta.

   Mangkubumi Sultan Kanoman.

   Paras Raden Mas Girisanta nampak pucat kuyu bagaikan mayat.

   Tubuhnya bergemetaran.

   Matanya memancarkan pandang rasa takut.

   Begitu naik ke atas panggung, ia mengerling kepada Mundingsari.

   Kemudian dengan rasa takut ia menghadap Daniswara.

   Gerak-geriknya bagaikan seorang pesakitan menunggu hukuman.

   "Saudara Mundingsari!"

   Seru Daniswara dengan nyaring.

   "Aku mengundang majikanmu pula untuk ikut meramaikan hari pertemuan ini. Dia kupersilakan keluar dari kantornya. Apakah perbuatanku itu tidak cukup hormat?"

   Mundingsari kaget berbareng bergusar.

   Ia kaget, karena yang dikatakan mengundang sesungguhnya adalah menawan.

   Bagaimana dia bisa menawan Raden Mas Girisanta yang berkedudukan di tengah Kota Cirebon? Raden Mas Girisanta sendiri bukan manusia lemah.

   Ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada dirinya sendiri.

   Selain itu kantor tempat bekerjanya sehari-hari selalu terjaga rapat.

   Maka penculikan itu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.

   Ia bergusar pula, lantaran Daniswara tidak memberi muka kepadanya.

   Padahal dia sudah bersedia merendah dan sudi menyebutnya sebagai ketua himpunan.

   Uang kawalannya belum lagi dikembalikan, sebaliknya malah menggusur salah seorang majikannya.

   "Saudara Girisanta!"

   Kata Daniswara.

   "Selama beberapa hari mengikuti aku agaknya aku memperlakukan engkau kurang pantas. Sekarang perkenankanlah aku minta maaf kepadamu."

   Raden Mas Girisanta nampak mendongkol, namun hatinya menjadi agak lega begitu mendengar Daniswara sudi minta maaf kepadanya. Artinya, ia mempunyai harapan besar untuk bisa dibebaskan kembali. Maka katanya angkuh.

   "Aku bukan orang sembarangan. Aku adalah anak keturunan seorang yang memerintah negeri. Dan aku sendiri seorang pembesar negeri. Kalau engkau mau membunuhkunah, bunuhlah! Apa perlu minta maaf segalanya Mundingsari! Aku hanya ingin berpesan kepadamu. Hendaklah nasibku yang buruk ini kaukabarkan kepada kakakku."

   Raden Mas Girisanta menggunakan nama Sultan Kanoman untuk menggertak Daniswara.

   Tetapi Mundingsari sendiri, sebenarnya muak terhadap sepak- terjangnya semenjak dahulu.

   Dialah seorang yang kemaruk kekuasaan dan harta benda seperti leluhurnya pula.

   Demi menggendutkan perutnya sendiri seringkali ia menyengsarakan rakyat.

   Tetapi suatu bahaya dalam suatu wilayah asing, ia wajib seia-sekata.

   Namun karena bertentangan dengan tabiatnya yang jujur, tak terasa air matanya membasahi kelopak mata.

   Tatkala hendak membuka mulut, mendadak Daniswara tertawa nyaring.

   "Hm! Kau benar-benar bermata lamur. Agaknya kau belum sadar, bahwa dirimu semenjak lama sudah kena incar Kompeni Belanda. Hanya saja Kompeni Belanda belum memperoleh alasan untuk menjebloskan dirimu ke dalam penjara. Maka kebetulan sekali, Kompeni hendak mengirimkan uang belanja ke Magelang. Dengan sengaja Kompeni menyerahkan kebijaksanaan pengiriman itu kepada Sultan Kanoman. Kompeni tahu, bahwa pekerjaan itu pasti akan diserahkan kepadamu. Per- hitungannya ternyata tepat. Seumpama aku tidak menawanmu atau seumpama aku kini membebaskanmu, apakah engkau mengembalikan uang sebesar empat puluh ribu ringgit? Kalau tidak, bukankah seluruh ke- luargamu bakal dihukum kisas?20) Kau harus ingat, Sultan Kasepuhan tidak akan tinggal diam, mengingat leluhurmu dahulu adalah seorang yang tidak dikehendaki bermukim di dalam wilayah kekuasaannya. Sebab leluhurmu membawa aib nama keluarga Sultan Cirebon. Girisanta! Kalau engkau seorang yang mampu, tidaklah perlu orang ikut berduka atau disesalkan. Akan tetapi kalau sampai menyangkut anak isteri-mu yang tidak berdosabagaimana perasaanmu?"

   Raden Mas Girisanta pucat bagaikan mayat.

   Perkataan Daniswara bukan suatu gertakan kosong seperti yang tadi diperbuatnya.

   Memang benarbilamana dia tak sanggup mengganti uang belanja yang terampas di tengah jalanseluruh keluarganya pasti akan terancam bahaya kemusnahan.

   Teringat akan ancaman itu, jan- tungnya seperti berhenti berdetak.

   Tanpa merasa ia berkata dengan suara mohon dikasihani.

   "Dimasaku mohon belas kasihmu."

   "Daniswara mengerling kepada Mundingsari. Berkata sambil tertawa.

   "Empat tahun kau memangku jabatan Mangkubumi Ka-sultanan Kanoman. Sudah berapa puluh ribu uang rakyat kau keduk ke dalam perutmu?"

   "A.....aku?"

   Raden Mas Girisanta tergagap-gagap.

   "Sungguh mati.... tidak banyak."

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pertanyaan Daniswara itu sungguh di luar dugaan. Karena itu ia menjadi gugup. Wajahnya berubah-ubah. Kadang merah kadang putih. Ia malu berbareng takut. Selagi demikian, Daniswara tertawa terbahak-bahak lagi sambil berkata setengah membentak.

   "Menurut perhitunganku seluruhnya berjumlah tujuh puluh delapan ribu ringgit empat ratus tiga puluh lima rupiah. Jumlah ini belum termasuk harga rumahmu yang mewah, pekarangan, sawah ladang dan perhiasan yang dikenakan anak isteri-mu, hayobenar, tidak!"

   Raden Mas Girisanta terperanjat bukan kepalang.

   Bagaimana Daniswara bisa mengetahui begitu tepat? Mimpi pun tidak, bahwa di dalam dunia ini ada seorang manusia yang bermata tajam bagaikan malaikat.

   Dalam keadaan demikian tentu saja tak berani ia minta keterangan secara melit bagaimana cara Daniswara mengetahui rahasianya.

   Tiada jalan lain, kecuali ia memanggut membenarkan.

   "Benar,"

   Katanya perlahan. Daniswara tersenyum puas mendengar pengakuannya. Katanya dengan suara berpengaruh.

   "Pastilah kau heran, bagaimana aku mengetahui rahasiamu dengan terang. Itulah keterangan yang kuperoleh dari Kasultanan Kasepuhan. Nahtahulah kau kinibahwa dengan diam- diam seluruh keluarga Kasultanan Kasepuhan mengawasi gerak-gerik dan sepak terjangmu sehingga tiada satu pun perbuatanmu yang luput dari pengamatannya. Tetapimengingat leluhur rekan Mundingsari iniaku sudah mengirimkan uang itu ke Magelang. Dengan demikian, kau tidak usah takut lagi."

   Itulah suatu keterangan di luar dugaan, baik Raden Mas Girisanta maupun Mundingsari ternganga-nganga mulutnya. Benarkah keterangan itu? Selagi hendak minta ketegasan, tiba-tiba suara Daniswara berubah seram. Katanya menggeledek.

   "Akan tetapi harta-harta yang kau tumpuk di dalam gedungmu, terpaksa aku ambil. Aku hanya menyerahkan dua puluh ribu ringgit kepada Kompeni Belanda. Sedang yang dua puluh ribu ringgit kuambil dari harta tumpukanmu. Kemudian yang empat puluh ribu ringgit kukembalikan kepada rakyat yang telah lama hidup sengsara kena cengkeram kekuasaanmu. Kau mau bunuh diri, tatkala mendengar uang tanggung- jawabmu kena kurampas di tengah jalan. Kau pun berdoa siang dan malam agar Tuhan mengembalikan uang yang sudah kau peras sebesar itu, tidak seperasaan dengan apa yang kau derita sekarang? Bagaimana?"

   Raden Mas Girisanta tak kuasa menjawab. Ia hanya menundukkan kepalanya.

   "Dengan kembalinya uang belanja kepada pihak Kompeni, hatimu kini pasti lega dan bersyukur. Demikian pulalah hati rakyat sekarang yang pernah kau garuk kekayaannya,"

   Kata Daniswara lagi.

   "Untuk kelangsungan hidupmu, anak isterimu masih mempunyai gedung, pekarangan, sawah ladang, perhiasan dan uang sebesar delapan belas ribu ringgit empat ratus tiga puluh lima ru- piah. Jumlah harta ini cukup untuk biaya selama hidupmu. Hanya sajaatas ketele-doranmu itu Pemerintah Belanda menghendaki engkau dipecat dari jabatanmu maupun hak-hakmu. Jadi sekarang, engkau bukan lagi seorang pembesar negeri maupun termasuk keluarga Sultan. Kau kembali seperti kedudukan leluhur dahulu. Seorang rakyat jelata kemudian dipungut sebagai anak angkat oleh Sultan Sepuh. Tetapi dengan demikian, engkau selamat. Anak isterimu selamat pula. Apakah engkau menerima kebijaksanaanku ini?"

   Pertanyaan Daniswara itu seperti dialamatkan kepada Raden Mas Girisanta.

   Tetapi sebenarnya kepada Mundingsari.

   Pendekar kasar itu, kagum bukan main dan merasa takluk kepada kebijaksanaan Daniswara.

   Teringatlah dia kepada sepak terjang Raden Mas Girisanta sewaktu masih memegang kekuasaan dahulu.

   Seringkali ia memperingatkan dan memberi nasehat, karena ia menganggapnya tidak saja sebagai majikan tapi pun sebagai saudara sendiri.

   Namun semua peringatan dan nasehatnya tidak digubris.

   Sekarang dia ketemu batunya.

   Itulah suatu karunia besar.

   Memang nampaknya kasar dan mengecewakan tetapi Daniswara telah menunjukkan suatu jalan terang bagi hari depan anak keturunan Surapati itu.

   Maka dengan wajah terang Mundingsari memanggut seraya menjawab.

   "Puas. Puas sekali. Aku kagum atas kebijaksanaan Saudara,"

   Katanya dengan setulus hati.

   "Saudara Girisanta!"

   Kata Daniswara.

   "Sekarang kau boleh pulang ke Cirebon. Hanya saja kau tak berhak lagi mengenakan pakaian seragam Kasultanan Kanoman. Kau sudah dipecat. Kau sudah kembali hidup sebagai rakyat biasa. Maka itu, lebih baik kau tanggalkan pakaian seragammu itu. Karimuntolong antarkan Tuan ini berlalu dari lapangan pertemuan."

   Sudah lama Raden Mas Girisanta menghamba kepada Kasultanan Kanoman. Tanpa merasa ia menjawab.

   "Terima kasih. Terima kasih atas kebijaksanaan Sri Baginda eh salahterima kasih atas budi Saudara."

   Hadirin tertawa bergegaran mendengar kesalahan lidah itu. Wajah Raden Mas Girisanta merah padam seperti kepiting ter-rebus. Mundingsari yang merasa diri menjadi teman berbareng hamba sahayanya, segera menutupi.

   "Aku pun ingin menghantarkan."

   Daniswara mengerling sambil bersenyum.

   "Kau antarkan selintasan. Aku menunggu di sini."

   Hati Mundingsari terkesiap. Apa maksudnya dia menahan diriku, pikirnya. Namun sebagai seorang yang sudah berpengalaman, tak sudi ia memperlihatkan kesan hatinya, la lantas tertawa lebar. Katanya meyakinkan.

   "Saudara Danis, janganlah khawatir. Pasti aku akan segera kembali."

   Setibanya di luar pintu pagar, Mundingsari menggenggam pergelangan tangan Raden Mas Girisanta. Katanya dengan mata basah.

   "Ndoromaswalaupun nampaknya menderita, tetapi sebenarnya inilah permulaan kebahagiaanmu. Mulai sekarang tak usahlah nDoromas mencoba bekerjasama dengan Pemerintah Belanda. Nampaknya rakyat mulai terbangun semangat perlawanannya seperti yang pernah terjadi di Banten dan di negeri kita sendiri."

   Mendengar nasihat yang tulus ikhlas dan bantuan Mundingsari melindungi mukanya di hadapan umum, Raden Mas Girisanta menjadi terharu. Sahutnya dengan napas sesak.

   "Nasihatmu, akan kugenggam sampai ke liang kubur."

   Pada saat itu Karimun alias Umarmaya datang mengantarkan seperangkat pakaian preman.

   "Silakan ganti saja,"

   Katanya.

   "Agar Tuan tidak menjumpai suatu kesukaran di tengah jalan."

   Nasihat itu sebenarnya tulus, tetapi terasa menyakitkan hati.

   Segera ia menanggalkan pakaian seragam istana Cirebon dan menyatakan rasa terima kasih berulang kali.

   Kemudian dengan diantar Mundingsari, ia membeli seekor kuda tunggangan.

   Setelah berpamit, kudanya dibiarkan lari seenaknya.

   Mundingsari menghela napas.

   Ia seperti merasakan kepahitan majikannya itu.

   Namun di dalam hati kecilnya terbintik sesuatu rasa bahagia.

   Entah apa sebabnya.

   Demikianlah setelah tubuh Raden Mas Girisanta hilang dari penglihatan, perlahan-lahan ia kembali.

   Tatkala itu, orang-orang sedang sibuk menghadapi meja perjamuan yang panjang.

   Daniswara duduk di atas kursi Ketua Himpunan yang resmi.

   Ia nampak gagah dan berwibawa.

   Dengan cekatan ia menyelesaikan soal-soal dan masalah-masalah yang diajukan kepadanya.

   Mereka yang mengajukan persoalan merasa puas.

   Dengan demikian kewibawaan Ketua Perserikatan yang baru itu, makin teguh dan meresap ke dalam hati.

   Malam ituMundingsari dan pemuda berbaju putih menginap di dalam pesanggrahan yang sudah disediakan.

   Hampir satu malam penuh tak dapat Mundingsari memejamkan matanya.

   Berbagai pikiran berkelebat di dalam benaknya.

   Dan ia pun tak sanggup memecahkan semua yang merupakan teka-teki pelik.

   Sehari tadi, dengan diam-diam ia memperhatikan Ki Jaga Saradenta.

   Makin diperhatikan, makin yakinlah dia bahwa orang itu bukan Ki Jaga Saradenta yang aseli.

   Lantas siapa? Dan apa keuntungannya menyulap dirinya menjadi Ki Jaga Saradenta? Itulah teka-teki yang pertama.

   Yang keduamengenai pemuda berbaju putih temannya berjalan.

   Pemuda itu berani melakukan apa saja untuk merebut kepala pendekar Wirapati.

   Apa sebabnya dan apa hubungannya dengan pendekar Wirapati? Dia menyembunyikan dirinya sangat rapat.

   Lebih mengherankan lagi adalah sikap Daniswara.

   Pendekar gagah ini seperti sudah mengenal pemuda itu, tapi berpura-pura tak mengenal.

   Apakah maksudnya? Dan yang ketiga.

   apakah hubungannya semuanya itu dengan pertemuan para pendekar ini.

   Terasa sekali betapa besar latar belakang yang tersembunyi di belakangnya.

   Pada hari esoknyaDaniswara memerintahkan orang untuk menjemputnya.

   Daniswara, Ki Jaga Saradenta, pemuda berbaju putih dan beberapa orang telah berada di meja perjamuan menunggunya.

   Mereka kini berada di serambi depan sebuah gedung besar.

   Agaknya gedung bekas kelurahan.

   Dan begitu dia tiba, Daniswara menyambut.

   "Saudara Mundingsari! Beberapa saudara seperjuangan sudah menunggu kehadiranmu semenjak pagi buta tadi. Mereka datang sebagai saksi. Silakah makan."

   Setelah makan dan minum selintasan, Daniswara mulai berkata lagi.

   "Saudara ini meminta padaku agar aku mengembalikan sebuah kepala orang yang kucuri. Memang benarakulah yang mencuri kepala itu. Kepala seorang pendekar kenamaan Wirapati yang menemui nasib buruk. Dengan mempertaruhkan jiwa, aku serbu pesanggrahan Kompeni Belanda. Waktu itu saudara ini dan saudara Mundingsariikut hadir pula. Tetapi saudara Mundingsari, pernahkah engkau mengamat-amati kepala pendekar Wirapati tatkala terpancang di tiang bendera dahulu?"

   Inilah suatu pertanyaan yang mengejutkan.

   Mundingsari memang berada di atas tembok.

   Menuruti hati yang meluap-luap, ia lantas bergerak hendak merebut.

   Tentu saja tak sempat ia mengamat-amati, karena pada saat itu beberapa serdadu penjaga merabunya.

   Maka oleh pertanyaan itu, ia membalas dengan suatu pertanyaan pula.

   "Apakah maksud Saudara?"

   Daniswara tertawa perlahan melalui dadanya. Katanya sambil menunjuk beberapa orang yang berada di sampingnya.

   "Saudara-saudara ini adalah saksinya. Merekalah yang menjarum kepala yang kucuri dengan tubuhnya. Baiklah kukabarkan kepadamu bahwa jenazahnya sudah lengkap. Mereka inilah.yang mencuri tubuh yang kehilangan kepala. Sedangkan aku yang mencuri kepalanya. Kemudian merekalah yang melekatkan kepala dan tubuhnya dengan jaruman benang. Dengan demikian lengkaplah sudah. Mari kita lihat!"

   Dengan langkah panjang, Daniswara mendahului mereka memasuki gedung bagian ruang tengah.

   Model rumah pada dewasa itu belum banyak jendelanya.

   Maka orang-orang menyulut beberapa buah penerangan untuk menerangi kegelapan ruang tengah.

   Setelah melintasi ruang tengah, Daniswara membawa mereka ke serambi belakang.

   Di tengah taman bunga nampaklah sebuah peti mati membujur dengan tenangnya.

   Peti mati itu berada di atas sebuah meja panjang.

   Asap kemenyan mengepul-kepul lebar menebarkan bau harumnya yang khas.

   "Lihatlah!"

   Kata Daniswara kepada Pemuda berbaju putih.

   "Aku sudah mengurusnya."

   Dengan wajah berubah-rubah Pemuda berbaju putih itu melayangkan pandangnya kepada peti mati.

   la berdiri tegak bagaikan tugu.

   Selagi demikian, Daniswara meng- hampiri peti mati dengan sikap hormat.

   Katanya kepada Mundingsari.

   "Dengan sesungguhnyabelum pernah aku bertemu muka dengan pendekar Wirapati.

   Hanya mengandalkan kepada pembicaraan orang, aku berjuang untuk merebutnya.

   Aku berhasil merenggut kepalanya dari tiang bendera.

   Kemudian kubawa kemari.

   Dua hari kemudian datanglah saudara-saudara ini membawa tubuhnya.

   Mereka disertai seorang pegawai penjara yang gagah.

   Tapi alangkah terkejutkusetelah aku mendapat keterangan bahwa yang mati terpangkas sebenarnya bukan pendekar Wirapati.

   "Kau berkata apa?"

   Pemuda berbaju putih itu berubah wajahnya.

   "Saudara Mundingsaricoba kau lihat. Apakah kau kenal dia?"

   Daniswara tidak menanggapi pertanyaan Pemuda berbaju putih. Dengan berbimbang-bimbang dan penuh pertanyaan, Mundingsari menghampiri peti jenazah. Begitu peti terbuka, ia tertegun-tegun. Lalu berputar mengarah Daniswara. Katanya dengan suara curiga.

   "Tidak... tidak... aku tidak mengenalnya. Jenazah siapa ini?"

   Mendengar ucapan Mundingsari, mendadak Pemuda berbaju putih itu meraba hulu pedangnya. Dan melihat gerakan itu, Daniswara buru-buru berkata.

   "Nanti dulu jangan keburu nafsu. Benar-benar aku tidak main gila. Untuk inibersedia aku mengganti dengan kepalaku sendiri. Coba panggil tetamu kita masuk!"

   Seorang laki-laki yang berdiri di pojok petamanan bergegas memasuki ruang samping. Tak lama kemudian masuklah seorang laki-laki yang mengenakan pakaian seragam pegawai penjara. Dan melihat orang itu, Mundingsari memekik perlahan.

   "Hai! Bukankah Saudara yang memberi jalan kepadakutatkala aku meraba pintu tahanan?"

   Serunya heran. Pegawai penjara itu tertawa seraya memanggut. Memang dialah dahulu yang berpura-pura menyakiti diri, tatkala penjaga-penjaga datang memekikkan suatu bahaya.

   "Saudaratolong berilah mereka keterangan yang sesungguhnya, agar jangan terjadi salah paham,"

   Kata Daniswara dengan suara nyaring.

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku bernama Anom Suparman. Demi Tuhanaku adalah anak murid Gunung Damar. Aku pun menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Aku bersedia bersumpah dengan cara apa pun juga, bahwa keteranganku ini adalah benar,"

   Orang itu mulai.

   "Sebagai anak murid Gunung Damar aku bekerja menjadi laskar jaga penjara Magelang untuk menuntut penghidupan. Sebagai anak murid Gunung Damar pula, tentu saja aku tidak tinggal diam melihat pendekar Wirapati terkurung di dalam pen- jara. Sebab Beliau adalah paman guruku. Baiklah kunyatakan dengan terus terang, bahwa aku adalah murid ketujuh pendekar Suryaningrat adik seperguruan pendekar Wirapati. Aku bekerja di dalam penjara sebenarnya atas anjuran guru pula. Guru telah mempunyai firasatbahwa akan terjadi sesuatu mengenai suami kakakku seperguruanku. Itulah Pangeran Diponegoro yang kini benar-benar disingkirkan ke Tegalrejo Maka aku menerima tugas-tugas tertentu untuk persiagaan hari depan. Penjara itulah tempat yang paling tepat."

   Setelah berkata demikian, ia menghunus pedangnya dan diletakkan di atas peti mati. Katanya me- ngarah kepada Mundingsari.

   "Tatkala Saudara memasuki penjara, aku bersyukur bukan main. Lantas saja Saudara kupersi-lakan masuk untuk menemui paman guruku. Tetapi benarkah yang meringkuk di dalam penjara adalah benar-benar paman guruku? Tidak. Dialah seorang pahlawan yang tubuhnya kini menggeletak di dalam peti mati ini. Saudara mungkin sudah lama sekali tidak pernah bertemu dengan paman guruku. Buktinya meskipun Saudara menyulut api penerangan belum juga bisa mengetahui dengan segera. Saudara muda ini pun pernah masuk pula ke dalam sel satu jam sebelum Saudara Mundingsari tiba. Bukankah aku yang menolong mengantarkan ke dalam sel? Hanya saja aku melarang saudara muda itu menyulut api penerangan. Benar tidak keteranganku ini?"

   Pemuda berbaju putih melepaskan tangannya dari hulu pedangnya. Ia tidak membenarkan maupun membantah. Tetapi melihat tangannya menjauhi hulu pedang tahulah Daniswarabahwa ia sudah dapat dibuatnya mengerti.

   "Saudara!"

   Kata Anom Suparman dengan suara tegas.

   "Kunyatakan di sini, bahwa Paman Wirapati telah tiba di atas Gunung Damar dengan tak kurang suatu apa."

   "Kalau begitusiapakah dia yang menggantikan kedudukan pendekar Wirapati dengan suka-rela?"

   Tanya Mundingsari dengan hati terharu.

   "Mula-mula ia masuk ke dalam sel. Kemudian membius Paman Wirapati. Setelah menyerahkan Paman Wirapati kepadaku, dia masuk ke dalam sel,"

   Jawab Anom Suparman.

   "Membawa Paman Wirapati yang kena bius keluar penjara bukanlah pekerjaan mudah. Aku membutuhkan waktu satu hari satu malam. Setelah berhasil, segera aku kembali menemui pahlawan ini. Sayangwaktu tidak memberi kesempatan lagi. Berturut- turut penjara diserbu para pendekar yang ingin menolong Paman Wirapati. Penjara lantas mendapat penjagaan ketat. Hanya inisewaktu dia dibawa keluar sel untuk menerima hukuman pancungaku menemukan segumpal kertas."

   Anom Suparman menggerayangi saku celana dan mengeluarkan segumpal kertas sebesar gundu.

   Ia hendak menyerahkan kepada Daniswara.

   Tiba-tiba Pemuda berbaju putih itu melesat dan menyambar gumpalan kertas.

   Anom Suparman bukanlah seorang yang lemah.

   Tetapi gerakan pemuda berbaju putih itu gesit luar biasa dan di luar dugaan, sehingga gumpalan kertas yang digenggamnya kena terampas.

   Dengan tangan agak bergemetaran pemuda itu membuka gumpalan kertas.

   Samar-samar terbacalah sederet kalimat yang berbunyi.

   "Adikku, kau tengoklah pekuburan ayah angkatmu! Beliau tidur dengan tenang di sebelah timur gubuk kita."

   Dan membaca bunyi tulisan itu* pemuda berbaju putih itu memekik dengan wajah pucat lesi. Terus saja ia melesat menubruk peti mati dan dibukanya dengan sekali hentak. Ia menjenguk. Lalu berteriak menyayat hati.

   "Kakang! Kakang Gandarpati! Perlukah engkau berkorban begini?"

   Setelah berteriak demikian pemuda itu rebah terkulai memeluk peti mati.

   Mereka yang berada disitu, belum jelas sebab musababnya.

   Tapi segera mengetahui, bahwa yang berada di peti jenazah adalah kakak pemuda itu.

   Entah kakak bagaimana.

   Daniswara bermata tajam.

   Ia melihat runtuhnya gumpalan kertas yang dibawa Anom Suparman.

   Ia menghampiri dan memungutnya.

   Sebentar ia membacanya dan menge-rinyit dahinya.

   Dengan mengerlingkan mata ia menyiratkan pandang kepada Ki Jaga Saradenta.

   Orang tua itu lalu menghampiri peti mati dengan tertatih-tatih.

   Ia menjenguk.

   Sebentar kemudian memanggut-manggut dengan penuh pengertian.

   Melihat hal itu, rasa curiga Mundingsari kian menjadi- jadi.

   Setiap orang tahu perhubungan antara Ki Jaga Saradenta dan Wirapati melebihi saudara kandung sendiri.

   Apa sebab semenjak tadi, tidak menunjukkan kesan-kesan tertentu begitu melihat peti jenazah Wirapati.

   Satu-satunya kesan kejadian yang pernah diperlihatkan kepada umum ialah tatkala dia menangis seseng-grukan di atas panggung.

   Tapi dibandingkan dengan keadaan sekarang, terasalah bahwa tangisnya kemarin adalah suatu sandiwara belaka.

   Namun Mundingsari seorang yang berpengalaman.

   Tak mau ia gegabah dan berlaku sembrono.

   Sebabnampaknya antara orang tua itu dengan Daniswara seakan-akan mempunyai suatu kerja sama yang erat.

   "AhKakang Gandarpati,"

   Terdengar pemuda itu mengeluh.

   "Selamanya aku menyesalimu sebagai seorang pemuda yang menyembah kepada kepentinganmu sendiri. Tak pernah kusangkabahwa engkau sanggup berkorban begini besar."

   Daniswara menghampiri peti jenazah. Perlahan-lahan ia menutupnya kembali.

   "Betapa pun juga, engkau seorang pahlawan. Hanya saja seorang pahlawan yang tiada gunanya."

   Mendengar ucapannya, pemuda berbaju putih itu meletik bangun. Dengan pandang berapi-api dia menyemprot.

   "Kau bilang apa? Sebagai seorang yang berjasa merebut jenazah kakakku, patut aku memujamu di dalam hati. Tetapi apakah yang kaukatakan tadi?"

   Semua orang menyaksikanbetapa sedih pemuda itu. Dan ucapan Daniswara sungguh tak tepat. Itulah menusuk perasaan orang yang mempunyai hubungan rapat dengan jenazah tersebut. Tetapi Daniswara bersikap tawar saja. Bahkan ia tersenyum.

   "Saudara! Orang ini agaknya mempunyai hubungan rapat denganmu. Maafkan kata-kataku tadi. Nah, katakan kepadaku dimana aku harus menguburnya."

   "Kau tadi bilang apa?"

   Tetap saja pemuda itu mengotot. Maka jelaslah bahwa dia seorang pemuda yang mudah sekali tersinggung perasaannya. Melihat hal itu, buru-buru Ki Jaga Saradenta menengahi.

   "Saudara kecil, dengarkan. Saudara Daniswara ini adalah seorang pengagum pendekar Wirapati. Dengan tak menghiraukan bahaya, dia mencuri kepalanya. Ternyata kepala itu bukan kepala pendekar Wirapati. Pantasnya, dia akan mencampakkan lantaran kecewa. Namun ia tak berbuat begitu. Tetap saja ia menghormatinya. Kini malah ditidurkan di dalam peti mati kayu cendana. Bukankah ini suatu penghormatan yang mengharukan?"

   Diingatkan hal itu, si Pemuda dapat menyabarkan diri. Lantas saja ia membungkuk hormat.

   "Maafkan aku. Maafkan semua perlakuanku yang kasar dan kurang patut. Tentang dimana kakakkuharus dikubur sebaiknya didekatkan saja di samping gurunya. Gurunya bernama Sorohpati yang tewas akibat suatu pengeroyokan. Menurut bunyi tulisannya tadi, gurunya dikebumikan di sebelah timur gubuknya yang berada di atas jurang. Letaknya di sebelah selatan Kota Waringin. Kesanalah jenazah ini harus dibawa."

   Setelah pertemuan itu Daniswara benar-benar membawa jenazah Gandarpati ke atas bukit yang disebutkan. Dia dikebumikan di dekat kuburan gurunya.

   "Pengorbanan saudaramu Gandarpati memang mengagumkan,"

   Kata Daniswara waktu itu.

   "Hanya sajamenurut penda-patkuitulah suatu pengorbanan yang siasia. Suatu pengorbanan akibat kegoblokan-nya. Maka jelaslah, dia bukan seorang gagah yang patut dicatat sejarah."

   Pemuda berbaju putih yang tadi sudah dapat bersabar hati, kembali menjadi beringas. Paras mukanya berubah merah menyala dan pandang matanya berkilat-kilat. Mundingsari yang berada di dekatnya ikut tersinggung pula perasaannya.

   "Sebenarnya, apakah maksud Saudara?"

   Daniswara tertawa gelak.

   "Sungguh sayang.

   Sayang sekali! Nampaknya saudara Gandarpati ini mempunyai rasa kesetiaan dan rasa berbakti yang berlebih-lebihan terhadap seseorang yang dihormati.

   Pendekar Wirapati memang seorang pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya.

   Pribadinya luhur pula.

   Tetapi dia toh bukan manusia yang pantas kita puja- puja.

   Cobadia pernah bekerja apa untuk tanah air dan bangsa? Seorang yang bisa membangkitkan semangat perjuangan bangsabarulah boleh kita puja dan kita sujudi dengan sepenuh hati.

   Tegasnya dia bukan seorang pendekar sejati."

   Mundingari terkesiap mendengar perkataan Daniswara.

   Sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, ia seperti menangkap sesuatu maksud yang bersembunyi di belakang kata-katanya.

   Apakah sepak terjangnya sekarang ini adalah suatu permulaan perjuangan merebut kekuasaan pemerintahan? "Hm!"

   Pemuda berbaju putih itu mendengus.

   "Kalau begitu, kau ini ingin menjadi seorang Sultan. Orang yang bercita-cita ingin menjadi seorang Sultan pun belum tentu seorang ksatria sejati. Malahan mungkin sekali ia seorang pendekar godogan."

   Sekarang paras muka Daniswara lah yang berganti menjadi merah menyala. Dengan suara agak kaku ia memotong.

   "Lantas menurut pendapatmu, siapakah yang patut disebut seorang ksatria sejati?"

   "Pada saat ini ada seorang kstria yang namanya menggetarkan bumi. Dia pemimpin perhimpunan para raja muda. Pengaruhnya luas sampai meraba seluruh pojok pulau Jawa. Dialah sebenarnya yang mempunyai kesempatan bagus untuk mengangkat diri menjadi seorang raja. Namun ia tak sudi. Cita-citanya hanya hendak mengusir Kompeni Belanda dari bumi Nusantara. Kemudian hendak menyerahkan hasil jerih payahnya kepada rakyat banyak. Orang yang berjuang tanpa pamrih seperti dia itulah, baru pantas disebut seorang ksatria sejati dan seorang pendekar tulen."

   "Dialah pendekar besar Sangaji,"

   Mundingsari menyeletuk tanpa merasa. Paras muka Daniswara berubah hebat. Kadang-kadang merah menyala, kadang pucat lesi, gugup. Ki Jaga Saradenta menye-lak.

   "Dahulu dan sekarang memang berbeda. Zaman selalu bergerak dan berubah-rubah,"

   Katanya.

   "Sangaji memang seorang pendekar besar pada zamannya. Tetapi pada saat ini belum tentu dia sudi mengulurkan tangan membantu membangunkan cita-cita baru. Memang dialah seorang pendekar yang tidak mempunyai cita-cita."

   Pemuda berbaju putih itu terbangun sepasang alisnya. Dahinya berkerinyit seakan-akan sedang berpikir. Sekonyong-konyong Daniswara meledak hebat.

   "Sangaji! Pendekar apakah Sangaji itu? Menurut pendapatku, dialah seorang yang berkhianat. Dia dilahirkan di sini, di Jawa Tengah. Lagi dia hidup di tengah tangsi Kompeni Belanda. Sekarang bermukim di Jawa Barat. Hmpendekar macam apakah dia itu? Dialah seorang pendekar yang palsu!"

   Pada dewasa itu, nama Sangaji sangat diagung- agungkan orang.

   Baik kawan maupun lawan mengagumi sampai ke dasar hati.

   Maka cacian Daniswara itu menge- jutkan mereka yang hadir.

   Terutama Anom Suparman yang merasa diri ada sangkut-pautnya.

   Selagi ia hendak membuka mulut, Pemuda berbaju putih itu membentak.

   "Sebenarnya engkau ini manusia macam apa?"

   Berbareng dengan bentakannya, ia menghunus pedangnya dan menikam secepat kilat.

   Itulah suatu tikaman di luar dugaan.

   Mundingsari memekik tertahan.

   Pada saat itu, Daniswara tak dapat bergerak lagi.

   Selain jaraknya sangat dekatkejadian itu di luar dugaan.

   Dan dalam saat yang sama, tangan Ki Jaga Saradenta berkelebat menangkis.

   Sebenarnya ingin ia memukul lengan pemuda itu.

   Tetapi karena ia berada di samping, tangannya menyelonong menyambar kepala.

   Pedang pendek pemuda itu terus menikam sasarannya.

   Kena getaran pukulan Ki Jaga Saradenta, bidikannya agak mencong.

   Meskipun demikian lengan Daniswara tak dapat membebaskan diri.

   Segumpal dagingnya terpapas dan menyemburkan darah.

   Sudah begitu, pedang si Pemuda berbelok arah memapas paras muka Ki Jaga Saradenta.

   Bret! Baik pemuda itu maupun Ki Jaga Saradenta terhantam kepalanya masing-masing.

   Dan begitu kena pukul, kedua-duanya lantas berubah jenis.

   Topi penutup kepala berbaju putih itu runtuh di tanah.

   Ikatan kepalanya terlepas.

   Dan terlihatlah segebung rambut panjang terurai lembut menutup telinga.

   Ternyata dia seorang gadis yang bermata cemerlang dan berparas cantik luar biasa.

   Pada saat itu, Ki Jaga Saradenta pun memekik perlahan.

   Paras mukanya kena terpapas dan kepalanya kena ketok gagang pedang, la menundukkan kepalanya.

   Tatkala terangkat, kepalanya penuh dengan rambut panjang rereyapan.

   Dia pun seorang wanita pula.

   Cantik dan berwibawa.

   Hanya saja umurnya sudah melebihi lima puluh tahun.

   "Hai!"

   Pekiknya.

   "Bukankah engkau Astika anak pungut Adipati Surengpati?"

   Semua orang tertegun keheranan. Pemuda berbaju putih itu yang ternyata benar Astika, melesat meninggalkan ruangan. Tatkala kakinya tiba di ambang pintu, ia menoleh.

   "Eyang Sirtupelaheli... terimalah salam mesra Eyang Gagak Seta. Pada saat ini, Beliau sedang merundingkan sesuatu dengan guruku Adipati Surengpati."

   Setelah berkata demikian, ia menghilang melalui ruang tengah. Gerakannya gesit luar biasa.

   "Astika! Tunggu dulu!"

   Teriak suatu suara nyaring.

   Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Itulah suara Sirtupelaheli yang merubah diri menjadi Ki Jaga Saradenta.

   Astika tidak meladeni.

   Setibanya di luar halaman, ia bersiul nyaring.

   Kuda putihnya yang semenjak kemarin berada di dekat gedung itu, datang berlarian menghampiri.

   Astika lantas melompat ke atas punggung.

   Pada saat itu terdengarlah suara Sirtupelaheli memburu.

   "Kau bilang apa tadi?"

   Astika tersenyum.

   "Semenjak berada di Pulau Karimun Jawa aku bernama Kilatsih."

   Setelah berkata demikian ia menjepit perut kudanya.

   Dan kudanya lantas terbang secepat kilat.

   Sebentar saja bayangannya telah hilang dari pengamatan mata.

   Gadis remaja yang berpakaian sebagai pemuda berbaju putih itu, memang Astika anak angkat Sorohpati.

   Seperti diketahui, dalam suatu pertempuran yang menentukan, ia kena dibawa lari pendekar Wau Gunung.

   Adipati Surengpati berhasil menolongnya, tetapi dalam keadaan luka parah lantaran kena jarum beracun.

   Segera ia dibawa menyeberang ke Karimun Jawa.

   Di kepulauan itu, ia dirawat dengan tekun dan cermat.

   Beberapa hari kemudian Sangaji, Titisari dan Gagak Seta datang pula mengunjungi Pulau Karimun Jawa.

   Masing-masing membawa orang asing.

   Sangaji dan Titisari membawa Fatimah dan Gandarpati murid Sorohpati yang setia.

   Sedang Gagak Seta membawa Sirtupelaheli.

   Mereka membantu mempercepat sembuhnya Astika.

   Dalam penyembuhan sarwa racun, Sirtupelaheli yang berjasa besar.

   Sebab pendekar wanita itu mengenal sarwa racun dengan baik.

   Setelah beberapa waktu lamanya berdiam di pulau itu, ia berangkat kembali ke Jawa bersama Gagak Seta.

   Pergaulan Astika dan Sirtupelaheli tidak terjadi terlalu lama.

   Tetapi masing-masing mengenal pribadinya dengan baik.

   Itulah sebabnya begitu topi penutup kepala terpangkas kutung segera Sirtupelaheli mengenal Astika.

   Begitu pula sebaliknya.

   Astika berdiam di Pulau Karimun Jawa hampir tujuh bulan lamanya.

   Selama itu ia memperoleh warisan ilmu pedang Witaradya dari Adipati Surengpati.

   Rahasia menggunakan senjata bidik biji-biji sawo dan ilmu petak Retno Dumilah warisan Gagak Seta.

   Lantaran sudah mendapat latihan dasar dari Sorohpati yang ternyata salah seorang sentana21) Adipati Surengpati, maka ia bisa menerima semua pelajaran dengan cepat dan tepat.

   Adipati Surengpati berkenan dalam hatinya.

   Nama Astika lantas diganti dengan nama Retno Kilatsih, seorang pahlawan wanita pertama di zaman Panembahan Senopati di samping Retno Kumala.

   Kilatsih sendiri bagi Adipati Surengpati berarti suatu kecepatan bagaikan kilat, la berharap agar Astika di kemudian hari dapat bergerak secepat kilat.

   Pada masa mudanya, Adipati Surengpati tak dapat mewariskan ilmu kepandaiannya yang tinggi kepada puterinya sendiri.

   Karena Titisari seorang yang bandel.

   Untunglah pada dewasanya Titisari bertemu dengan Gagak Seta.

   Kemudian menjadi murid pendekar jembel itu.

   Selain itu, memperoleh sedikit ilmu sakti Sangaji yang didapatnya dari keris Kyai Tunggulmanik.

   Maka dialah seorang pendekar wanita yang paling cemerlang pada zamannya.

   Walaupun demikian, Adipati Surengpati masih saja mempunyai rasa kecewa dalam hati kecilnya.

   Sebab ilmu kepandaiannya yang tinggi tiada yang mewarisi.

   Maka begitu melihat bakat dan kemampuan Astika hatinya runtuh dan terhibur.

   Terus saja ia menggemblengnya dan mewariskan semua rahasia ilmu saktinya yang luar biasa.

   Watak Astika hampir mirip dengan Titisari.

   Panas membara, gampang tersinggung, berani, bandel, angkuh dan berkepala batu.

   Watak ini cocok dengan watak Adipati Surengpati sendiri yang serba aneh.

   Maka rasa kasih sayang Adipati Surengpati, bertambah sangat subur.

   Titisari tahu kekecewaan hati ayahnya.

   Maka ia membantu mewujudkan cita-cita ayahnya hendak mengabadikan ilmu saktinya.

   Dalam kesibukannya membantu suaminya mengatur kancah perjuangan di Jawa Barat, setiap tiga bulan atau setengah tahun sekaliia datang berkunjung ke Karimun Jawa.

   la ikut mendidik dan menurunkan ajaran rahasia ilmu petak dan senjata biji sawo.

   Ia berhasil membantu Astika menjadi seorang pendekar wanita berkepandaian tinggi.

   Tetapi satu hal, Titisari tak sanggup mewariskannya.

   Itulah kecerdasan otaknya yang cemerlang.

   Hal ini bukannya berarti bahwa Astika seorang gadis yang bebal otaknya.

   Tetapi lantaran otak Titisari yang cemerlang itu, sesungguhnya adalah karunia Tuhan.

   Dengan membekal beberapa macam ilmu kepandaian yang tinggi itu, Astika yang kini bernama Retno Kilatsih cepat sekali memperoleh nama.

   Dalam beberapa bulan merantau di daratan Pulau Jawa, namanya ditakuti kaum pencoleng dan disanjung puji oleh mereka yang membutuhkan perlindungannya.

   Dalam menekuni dan mendalami ilmu Witaradya, beberapa kali ia bertemu dengan Sangaji, Ia tertarik terhadap kemuliaan hati pendekar besar itu.

   Tak setahunya sendiri, wataknya yang agak liar dapat terkenda-likan.

   Sekarang ia menempatkan diri di antara sifat-sifat dan sepak terjang suami isterP Sangaji yang besar pegaruhnya di dalam hatinya.

   Ia menganggap Sangaji dan Titisari tidak hanya sebagai gurutetapi pun berbareng orang tuanya sendiri.

   Itulah sebabnyabegitu mendengar nama Sangaji dicemoohkan Daniswaratak dapat lagi ia menguasai diri.

   Hatinya yang panas bagaikan api lantas saja meledak, walaupun tahu Daniswara berjasa besar merebut kepala kakak seperguruannya Gandarpati.

   Demikianlahdalam waktu sekejap sajaia sudah meninggalkan Kota Wonosobo jauh-jauh.

   Kuda putihnya memang kuda jempolan.

   Kuda itu anak kuda si Willem kuda tunggangan Sangaji yang perkasa.

   Selain gagah perkasa dan kuat, larinya seperti iblis.

   Kilatsih mendongkol hatinya.

   Caci maki Daniswara terhadap Sangaji, memanaskan kupingnya.

   Tetapi setelah membedalkan kudanya beberapa waktu lamanya, perlahan-lahan ia dapat menguasai diri.

   Lantas mulailah dia bisa berpikir dan menimbang-nimbang.

   Katanya di dalam hati.

   "Sesungguhnya siapakah Daniswara itu? Mengapa Eyang Sirtupelaheli membantunya?"

   Dari tutur kata Titisari, ia mendengar riwayat hidup Sirtupelaheli lengkap dengan sepak terjangnya yang aneh dan liar.

   Pendekar wanitaadik seperguruan Gagak Seta itupandai mengelabui orang dengan penyamarannya.

   Di seluruh dunia ini, hanya pandang mata Gagak Seta seorang yang tidak dapat dikecohnya.

   "Eyang Sirtupelaheli menyamar sebagai Ki Jaga Saradenta. Pasti mempunyai tujuan dan maksud tertentu,"

   Katanya di dalam hati.

   "Hanya apa tujuan dan maksudnya, masih kurang jelas. Aku telah mengga- galkannya. Meskipun tidak kusengaja tetapi apakah aku tidak keliru? Jangan-jangan aku menghancurkan rencananya yang besar. Ahkalau benar-benar begitu aku jadinya manusia yang tak mengenal budi. Dia ikut serta merebut nyawaku tatkala aku kena racun. Tapi aku malahan...."

   Dengan hati pepat dan cemas, ia terus melarikan kudanya ke barat.

   Dalam benaknya berkelebatlah bayangan Daniswara yang kasar berberewok tetapi gagah perwira.

   Akan tetapi meskipun gagah perwira, dia sama sekali tak merasa takluk.

   Apakah sebabnya, ia tak tahu sendiri.

   Dia berlaku ganas terhadap pendekar itu.

   Entah benar entah tidak, dia pun tak tahu sendiri.

   Kilatsih kala itu lagi berumur sembilan belas tahun lebih sedikit.

   Cara berpikirnya seorartg gadis sebaya dia, pastilah masih serba remaja.

   Tetapi dia adalah seorang gadis yang hidup dalam penderitaan dan pernah menyeberangi peristiwa-peristiwa dahsyat yang mengguncangkan hatinya.

   Betapapun juga cara berpikirnya jauh lebih dewasa daripada gadis sebayanya.

   Meskipun demikian^menghadapi persoalan yang rumit baginyahatinya menjadi kecil lantaran takut kena salah.

   Maka tujuannya yang melintas dalam benaknya, hendak ia mencari Sangaji dan Titisari.

   Mereka berdua itulah yang dianggapnya sebagai orang tua pelindungnya.

   Hendak ia memuntahkan semua rasa resahnya di pangkuan Titisari.

   Kemudian memeluk kedua kaki Sangaji mohon perlindungan.

   Selagi demikian, tiba-tiba kuda putihnya meringkik sedih, la keget dan tersadar.

   Kuda putihnya yang diberinya namaMega-nandabiasanya larinya seumpama bisa mengejar angin.

   Sekarang setelah ia ter- sadar, barulah diketahuinya bahwa semenjak tadi kegesitan Megananda jauh lebih berkurang daripada biasanya.

   Ia meliuk memeriksa mulutnya.

   Mulut Megananda ternyata mengeluarkan buih putih bercucur- an.

   Dengan hati berdebaran ia menepuk-nepuk punggung dan leher binatang itu.

   Kemudian membujuk dengan suara halus.

   "Meganandakau kenapa? Rupanya kau sakit.

   Coba larilah cepat lagi.

   Aku harus menjauhi mereka secepat mungkin!"

   Megananda seperti mengerti kata-katanya.

   Dengan mengeluarkan buih putih ia berbenger,22) lalu memanjangkan kakinya.

   Seketika itu juga, ia lari sepesat angin.

   Namun sebentar saja, ia kehilangan tenaga.

   Keempat kakinya seakan-akan enggan digerakkan.

   Megananda adalah sebangsa kuda yang jarang terdapat di dunia.

   Dialah kuda mustika sebenarnya.

   Dalam satu hari, dia bisa berlari tanpa berhenti sejauh tiga ratus kilo meter.

   Pada jarak pendek, kecepatan larinya seringkali malahan menggiriskan hati Kilatsih.

   Sekarang Megananda tak dapat lari cepat seperti biasanya.

   Keruan saja, hati Kilatsih terguncang.

   Wanita adalah makhluk yang halus perasaannya.

   Melihat Megananda dalam keadaan demikian, cepat sekali Kilatsih merasakan sesuatu yang kurang wajar.

   Segera ia menarik kendali dan turun ke tanah.

   Dengan lembut tangannya meraba-raba leher dan mulut Megananda.

   Ia tercengang tatkala tangannya merasakan suatu hawa panas yang menyengat dari hidung dan mulut yang berbuih.

   'Hai! apakah kau sakit! Kapan kau mulai sakit? Kemarin kau masih segar bugar,"

   
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Katanya tak mengerti.

   Megananda meringik-ringik perlahan seakan-akan sedang mengadu.

   Dan Kilatsih menjadi bingung.

   Sewaktu belajar menunggang kuda, sebenarnya dia memperoleh pengetahuan tentang penyakit kuda lengkap dengan pantang-pantangannya.

   Tapi penyakit yang menyerang Megananda kali ini, bukanlah penyakit biasa.

   Akhirnya ia memeluk Megananda dengan penuh sayang.

   Lalu membesarkan.

   "Megananda kau kuatkan lagi sampai mencapai kota di depan itu. Aku akan mencarikan obat bagimu."

   Megananda mendongakkan kepalanya seolah-olah mengerti bujukan majikannya.

   Setelah Kilatsih melompat ke atas punggungnya, ia berbenger sekeras-kerasnya seperti hendak menguatkan diri.

   Kedua kaki depannya diangkatnya tinggi-tinggi.

   Lalu melompat ke depan.

   Dengan seluruh tenaganya ia lari bagaikan terbang.

   Tapi belum sebegitu jauh, kembali tenaganya punah.

   Buih yang meruap dari mulutnya bagaikan busa laut membasahi dada dan kakinya.

   Benar-benar mengejutkan! Oleh rasa iba, Kilatsih menahan lesnya.

   Selagi hendak meloncat turun ke tanah, sekonyong-konyong ia mendengar derap kuda menyusul dari belakang.

   "Nona Kilatsih! Kudamu sebentar lagi tak dapat menggerakkan kakinya. Mari kita berbicara dahulu!"

   Terdengar suatu teriakan nyaring. Kilatsih menoleh. Orang yang menyarunya bukan lain adalah Daniswara. Ia menunggang kuda warna kecokelat-cokelat-an.

   "Kau mau berbicara apa lagi?"

   Kilatsih memberengut seraya menahan kudanya.

   "Tadi aku memaki-maki Sangaji, sehingga membuat hatimu marah,"

   Sahut Daniswara.

   "Tapi tahukah engkau apa sebab aku memakinya?"

   Darah Kilatsih meluap lagi.

   Memang dia seorang gadis yang gampang sekali tersinggung hatinya.

   Dahulu saja sewaktu menemani ayah-angkatnya melabrak gerombolan Kartawiryawalaupun belum pandai me- megang pedang, seringkali hendak menerjang mengadu jiwa.

   Apalagi, kini ia sudah menjadi seorang pendekar wanita ahli pedang.

   Maka sambil membentak, tangannya terus meraba hulu pedangnya.

   "Tak sudi aku mendengarkan segala ocehanmu,"

   Katanya sengit. Kemudian suaranya berubah agak sabar.

   "Kau sudah kesudian mengurus jenazah kakakku. Budi ini bukan main besarnya bagiku. Karena itu, janganlah kau merusak arti jasamu ini. Lebih baik jangan kau sebut- sebut nama Sangaji."

   "Haisungguh mengherankan!"

   Ujar Daniswara mendekat.

   "Sebenarnya engkau mempunyai hubungan bagaimana dengan Sangaji?"

   "Aku bilangjanganlah kau menyebut-nyebut nama Sangaji!"

   Tungkas Kilatsih dengan pandang menyala.

   "Daniswaramarilah kita mengambil jalan kita masing- masing. Budimu akan selalu kuingat sepanjang hidupku. Di kemudian hari aku pasti membalas budimu. Inilah janjiku."

   "Baiklah,"

   Daniswara tertawa.

   "Kau tak sudi mendengarkan kata-kataku. Aku pun tidak akan memaksa. Tetapi cobalah, dengarkan. Aku mempunyai sebuah kisah. Kau sudi mendengarkan atau tidak?"

   Betapapun juga, bau kanak-kanak belum hilang seluruhnya dari hati Kilatsih.

   Mendengar istilah kisah, hatinya lantas tertarik.

   Sahutnya dengan mengulum senyum.

   "Kalau sebuah kisah, ceritera atau dongengitu lain perkara.

   Tetapi meskipun hanya dongeng, harus yang bermutu.

   Kalau tidak, aku pun tak sudi mendengarkan."

   "Itu pun tergantung pada cara tanggap-anmu belaka,"

   Ujar Daniswara dengan tertawa tawar.

   "Nahdengarkan! Ada dua orang perantau dari Pulau Bali bekas peraju-rit Kerajaan Kalungkung. Mereka berdua menetap di Pulau Jawa dalam satu rumah. Mereka pun kawin dengan dua gadis dari desa tempat tinggalnya yang baru. Dua tahun kemudian, masing-masing mempunyai anak. Secara kebetulan anak mereka laki-laki semua. Umurnya pun hampir sebaya. Pada suatu hari datanglah seorang pendeta membawa dua buah pusaka tanah Jawa. Sebilah keris sakti dan sebuah bende usang. Karena dua orang perantau dari Bali itu menyambut dengan baik, maka dua benda itu diberikan kepada anak-anaknya sebagai pembalas budi. Yang satu menerima bende. Yang lain menerima keris. Setelah pendeta itu pergi dari rumah mereka, terjadilah suatu malapetaka. Rumah mereka, dibakar gerombolan. Dan dua benda warisan itu lenyap tak keruan."

   Sampai di situ paras muka Retno Kilatsih berubah. Potongnya sengit.

   "Lagi-lagi engkau hendak membicarakan keluarga Sangaji."

   "Hai! Kapan aku menyebut namanya? Bukankah engkau sendiri?"

   Daniswara tertawa terbahak-bahak.

   "Kau kini sungguh lucu! Nahbukankah benar kataku tadi bahwa ceritaku ini nanti tergantung belaka kepada caramu menanggapi. Baiklah karena engkau sudah menyebut namanya biarlah aku menyebutnya sekali, agar menjadi jelas."

   MENDONGKOL HATI KILATSIH dibalikkan dengan mudah.

   Tapi kalau dipikir, dia sendirilah yang terlalu ringan mulut sehingga tak pandai menguasai diri.

   Maka diam-diam ia berjanji hendak bersikap mendengarkan saja.

   Sejenak kemudian, Daniswara meneruskan ceritanya.

   "Biarlah kupertegas lagi. Pendeta yang datang di rumah keluarga Bali itu mewariskan sebuah bende kepada Sangaji dan sebilah keris kepada Sanjaya. Setelah rumah kena dibakar gerombolan dari Banyumas, kedua pusaka itu lenyap tak keruan. Tetapi dua belas tahun kemudian, secara tak disengaja Sangaji mendapatkan kembali kedua benda warisan tersebut. Ternyata kedua pusaka itu mengandung warah sakti dan merupakan ilmu sakti tertinggi di dunia. Sesudah Sangaji berhasil mewarisi, kedua benda itu hilang lagi. Khabarnya, kedua benda tersebut dihancurkan oleh Sangaji dengan alasan tertentu. Tapi beberapa tahun kemudian, isteri Sangaji yang mempunyai daya ingatan luar biasamenyalin guratan sakti yang terdapat pada bende itu. Dan kata-kata sandinya yang dialihkan pada selembar kertas diberikan kepada seorang pendekar bernama Sorohpati. Hal itu menghebohkan orang. Pendekar-pendekar yang bercita-cita datang dari seluruh penjuru tanah air dan menggeledah rumah Sorohpati, ternyata mereka tidak menemukan sesuatu...."

   


Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Pedang Bunga Bwee Karya Tjan ID Pendekar Riang Karya Khu Lung/Tjan Id

Cari Blog Ini