Mencari Bende Mataram 9
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 9
Mencari Bende Mataram Karya dari Herman Pratikto
Kembali lagi Kilatsih terperanjat mendengar tutur kata itu.
Lantas teringatlah dia dahulu kepada sepak terjang ayah angkatnya.
Secara samar-samar memang ia pernah mendengar hal itu.
Surat salinan Titisari di sebut sebagai surat wasiat.
Dan surat itu dibawa ayah angkatnya masuk ke liang kuburnya.
Ehsiapa mengirabahwa setelah peristiwa itu, rumah ayah angkatnya tempat dirinya dibesarkan, kena geledah orang.
Ia tahu ayah angkatnya seorang miskin.
Penghidupannya sehari-hari menjual goreng tahu dan pisang.
Rumah tempat tinggalnya boleh dikatakan kosong tiada isinya, selain kitab bacaan kuno dan dongeng kanak-kanak.
Daniswara ini nampaknya pernah pula menggeledah rumah ayah angkatnya untuk mencari surat wasiat Titisari.
Pasti pula semua sudut rumahnya dibongkar dan diaduknya.
Memperoleh dugaan demikian, hatinya mendongkol dan sakit.
Kiltasih adalah seorang gadis yang masih polos dan bersih.
Setelah memperoleh dugaan demikian, ia mendapat kesan tertentu terhadap sepak terjang Daniswara.
Tadinya dia mengira keberaniannya pemuda itu merebut kepala kakaknya seperguruan adalah perbuatan seorang pendekar sejati yang sangat mengharukan dan membuat hatinya merasa hormat.
Tak tahunya semuanya itutermasuk dalam perhitung- annya untuk mencari tujuan tertentu.
Itulah dalam usaha mencari surat wasiat Titisari.
"Paman Wirapati adalah guru Kangmas Sangaji,"
Pikir Kilatsih.
Sebenarnya ia harus menyebut Wirapati dengan eyang dan Sangaji dengan paman.
Lantaran dia meng- anggap Sangaji dan Titisari sebagai orang tua yang melindungi.
Tetapi setelah menjadi murid Adipati Surengpatidalam pergaulan ia menyambut Sangaji sebagai kakaknya.
Begitu juga terhadap Titisari.
Daniswara mengira kepala kakak Gandarpati adalah kepala Paman Wirapati.
Ia berharap setelah dapat mencuri dan mengurus jenazahnya dengan baik-baik pastilah akan meruntuhkan hati Kangmas Sangaji yang sangat menghormati gurunya.
Mungkin pula mengingat jasa ituKakak Titisari akan sudi mengabulkan harapannya.
Ah, sungguh licin orang ini.
Memikir demikianrasa terima kasihnya terhadap Daniswaralantas berkurang bartyak.
Dan sebagai seorang gadis masih polos dan bersih hati, rasa kecewanya nampak jelas pada wajahnya.
"Sangaji kini berkepandaian tinggi berkat keris Tunggulmanik yang sebenarnya milik Sanjaya,"
Kata Daniswara meneruskan ceri-teranya.
"Apa sebab ia bertindak seperti pemiliknya yang sah? la menghancurkannya, sedangkan sebenarnya harus mengembalikan kepada Sanjaya. Apakah ini bukan perbuatan yang serakah dan memalukan? Itulah sebabnya, aku memakinya dengan kata-kata pengkhianat!"
Dada Kilatsih hampir meledak. Namun ia bisa menguasai diri. Lalu berkata menyimpang.
"Kukira dongengmu sudah selesai. Nah perkenankan aku meneruskan perjalananku."
Tatkala mengucapkan kata-kata itu, wajahnya nampak manis luar biasa.
Tetapi Daniswara seorang yang licin dan cerdas.
Justru melihat ketenangan kemanisan Kilatsih yang luar biasa itu, tahulah dia bahwa hati gadis itu sesungguhnya menjadi tawar sekali.
Diam-diam ia mengeluh.
Dalam pada itu Kilatsih mengusap-usap leher Megananda.
Setelah membujuknya lembut, ia menuntunnya dengan hati-hati.
"Nanti dulu!"
Teriak Daniswara.
"Engkau melupakan satu hal."
"Apa?"
Kilatsih menoleh dengan memutar tubuhnya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Pertanyaan yang mana?"
"Bagaimana pendapatmu tentang Sangaji itu? Bukankah dia seorang pendekar palsu yang mengangkangi haknya orang lain?"
Bibir Kilatsih nampak bergemetaran menahan rasa amarahnya. Namun masih bisa juga ia menahan hatinya mengingat jasanya. Sahutnya menyabarkan diri.
"Aku tadi sudah melarangmu jangan menyebut nama Sangaji, agar aku tetap bisa menghargaimu."
Daniswara tertawa gelak.
"Baiklah. Kau agaknya mencintai kakakmu itu sampai pula berani mengorbankan kepetinganmu. Hanya sayang, ternyata kau masih belum merupakan seorang adik yang benar- benar berbakti."
"Kenapa begitu?"
Kilatsih tak mengerti.
"Kakakmu mati dengan penuh penasaran. Rakyat mengira, yang mati terpancung di atas tiang bendera adalah pendekar Wirapati. Karena itu tiada seorang pun di antara mereka yang tidak menaruh penasaran,"
Kata Daniswara.
"Tapi engkau kini tahu, bahwa yang mati justru adalah kakakmu. Kenapa sikapmu tenang-tenang sajamalah nampak acuh tak acuh? Lihatlahrakyat yang tidak mempunyai hubungan darahbisa mengutuk dan berpenasaran. Engkau yang mempunyai hubungan rapat dengan yang mati, justru tinggal melempem seperti goreng pisang kuyu."
"Apa katamu!"
Bentak Kilatsih dengan mata berapi-api.
"Siapakah yang membunuh kakakmu?"
Daniswara mengesankan.
"Kenapa kau tak mau membalas dendam? Pada saat ini rakyat justru sedang berada di dalam api kemarahan karena mengira yang mati adalah pendekar Wirapati. Itulah kesempatan bagus bagimu. Kau akan dianggap sebagai pahlawannya apabila kau memper- tunjukkan rasa balas dendammu. Kecuali itu, rakyat pun sedang gelisah lantaran mendengar kabar tentang pengusiran pihak penguasa terhadap Pangeran Diponegoro. Maka tinggallah di sini bersama aku. Aku akan mengatur suatu balas dendam yang lebih sempurna dengan menggunakan tenaga rakyat." * "Hm!"
Dengus Kilatsih.
"Jadi maksudmu, engkau ingin menahan aku di sini, agar me-ngakuimu sebagai ketuaku? Bagus maksud itu!"
Sahut Kilatsih dengan sengit. Daniswara mengerutkan alisnya. Dengan suara kecewa ia berkata meyakinkan.
"Rakyat di seluruh negeri sedang bergolak dengan alasannya masing-masing. Mereka berpenasaran terhadap matinya pendekar Wirapati. Ada sebagian golongan rakyat yang mengutuk tindakan pemerintahan Danurejo mengusir Pangeran Diponegoro ke Tegalrejo. Dan ada pula yang beralasan, karena emoh lagi dibebani pajak berat. Keragaman pengucapan kemarahan rakyat ini, adalah suatu kesempatan yang baik sekali. Belum tentu kau temukan keadaan demikian dalam seratus tahun lagi. Dalam keadaan demikian inilah, waktunya untuk mewujudkan satu cita-cita suci."
"Ehapakah engkau berangan-angan menjadi seorang raja?"
"Apakah kau mengira aku berjuang untuk kepentingan pribadiku?"
"Hmsemenjak dahulu sampai sekarang orang yang memimpikan kekuasaan tunggalselalu menyanyikan lagu begitu."
Danfswara tertawa berkakakan untuk menghapus kesan hatinya sendiri. Berkata menyindir.
"Oh, Tuhan! Kukira engkau ini seekor pendekar wanita jempolan. Namamu Retno Kilatsih. Itulah nama seorang pendekar wanita di zaman Panembahan Senopati. Tak kusangka, bahwa namamu itu terlalu mentereng bagimu. Sayang! Sungguh sayang!"
Hebat sindiran itu bagi Kilatsih yang masih berusia muda. la menjadi bingung, panas dan penasaran. Namun pada detik itu, tak dapat ia memilih jalan pengucapan hatinya. Ia lantas nampak tergugu dengan wajah yang sebentar berubah-ubah.
"Apakah manakala berdiam bersama aku di sini, namamu sebagai pendekar wanita akan ternoda?"
Kata Daniswara yang merasa memperoleh kemenangan.
"Kau bandingkan dirimu dengan Sangaji. Ia seorang yang dilahirkan di Jawa Tengah. Sekarang bersinggasana di Jawa Barat. Nama besarnya tetap tak ternoda."
"Sangajiadalah seorang pendekar yang mulia dan bersih. Meskipun kedudukannya sangat tinggi, namun ia masih menambal celananya sendiri,"
Kata Kilatsih sengit.
"la memperbaiki rumahnya sendiri. Membetulkan atapnya yang tiris dan makan minum tak menentu. Kau memperbandingkan diriku dengan dia. Lantas kau anggap apa aku ini?"
Daniswara menundukkan kepalanya, la terpekur sebentar. Lalu berkata memutuskan.
"Kalau begitubaiklah pembicaraan ini kita ringkaskan saja. Kau ingin membalaskan kakakmu yang mati penasaran atau tidak? Kau bersedia berdiam di antara kami atau tidak? Jawablah dua pertanyaan ini."
"Soal membalas dendam dan berdiam bersamamu adalah dua soal yang berdiri sendiri-sendiri. Tak dapat kau mem-peradukkan,"
Jawab Kilatsih.
"Biarlah aku menunggu petunjuk-petunjuk kakakku berbareng guruku."
Daniswara tertawa terbahak-bahak.
"Ahbenar. Aku sudah menduga demikian. Engkau adalah murid dan adik angkat Sangaji bukan? Pantaslah engkau membela namanya mati-matian."
"Kalau sudah tahu demikian, sepantasnya tak boleh kau merendahkan keagungan nama guru dan pelindungku itu,"
Bentak Kilatsih.
"HmSangaji! Sangaji! Engkau adalah seorang pendekar tak berwatak,"
Maki Daniswara dengan suara menggigit.
"Ah. Nonaharapan apa lagi yang bakal kau perolehdari manusia semacam dia?"
Alis Kilatsih berdiri tegak. Itulah suatu tanda dari rasa gusar yang tak dapat ter-kendalikan lagi.
"Guruku itu mempunyai dendam setinggi gunung terhadap Belanda. Ibunya tewas akibat perlakuan serdadu-serdadu Belanda. Meskipun demikian, tak mau dia mengajak seluruh rakyat untuk membantu dirinya mengadakan pembalasan den- dam pribadinya. Itulah seorang pendekar sejati. Alangkah lain dengan engkau ini. Rakyat marah dan berpenasaran, lantaran mengira pamanku Wirapati yang mati ter-pancung. Setelah ternyata tidak, engkau justru hendak mengelabui rakyat untuk kau gunakan api penasaran mencapai angan-anganmu sendiri. Coba bilangkau ini pendekar macam apa?"
"Seorang yang cerdik tidak akan mengandalkan kekuatan tenaganya seperti seorang kerbau. Dia akan menggunakan pikiran. Dan seorang boleh di sebut seorang pendekar sejati manakala pandai, melihat dan menggunakan gelagat,"
Jawab Daniswara.
"Sekarang ini rakyat bangkit terhadap pemerintahan sewenang- wenang. Apakah kau bisa berkata, bahwa kebangkitan itu disebabkan genderang pembalasan dendam perorangan?"
"Soalnya bukan mereka, tapi dirimu. Kau jenguklah tengkukmu sendiri. Kau manusia macam apa? Bukankah engkau hendak menggunakan tenaga rakyat demi tujuan * sendiri? Ehkenapa kau mencoba memberi alasan yang menyimpang?"
Serang Kilatsih.
Ucapan dan kata-kata Kilatsih itu bagaikan pisau belati menikam dada.
Paras muka Daniswara berubah hebat.
Tatkala mulutnya hendak meledak, Kilatsih tiba-tiba membungkuk hormat meminta diri.
Melihat hal itu, hatinya yang terangsang rasa panas reda sebagian besar.
"Kau hendak kemana?"
Tanyanya menegas.
"Maafkan. Aku hendak segera berangkat melanjutkan perjalananku,"
Jawab Kilatsih dengan suara manis.
"Meskipun aku mengizinkan, kau takkan dapat melanjutkan perjalananmu,"
Kata Daniswara dengan tertawa menang.
"Kudamu takkan dapat berjalan lagi."
Sesudah berkata demikian, ia menghampiri Megananda. Tiba-tiba Daniswara melayangkan kakinya. Daniswara melompat mundur sambil berkata memuji.
"Kuda luar biasa. Dia mestinya sudah harus lumpuh. Namun masih bisa ia bersikap garang. Benar-benar kuda mustika."
Kilatsih bukanlah seorang gadis yang goblok. Mendengar lagak lagu kata-kata Daniswara, sudahlah ia dapat menebak teka-teki mengenai kudanya. Katanya dengan suara mengejek.
"Saudara Daniswara adalah seorang besar di kemudian hari. Hari depanmu sangat cemerlang, sampai- sampai seekor kuda pun dimusuhi demi membutuhkan tenagaku seorang perempuan lemah kuyu....."
Daniswara terkejut.
Tadinya ia menghampiri kuda itu dengan membawa lagak sebagai seorang penolong.
Kalau ia bisa menolong, Kilatsih berarti hutang budi untuk yang kedua kalinya.
Tak tahunya, gadis itu sangat cerdas.
Memang dialah yang memerintahkan orang-orangnya agar memasukkan bubuk beracun dalam serbuk makanan.
Hal itu dilakukan setelah menyaksikan betapa Kilatsih mempunyai ilmu kepandaian sangat tinggi.
Kalau dia bisa memperoleh bantuan tenaganya, alangkah akan besar manfaatnya.
Dengan meracun kudanya, gadis itu tidak bakal bisa pergi.
Itulah tujuannya.
Untuk memulihkan kesegaran kuda itu, dia sudah mengantongi obat pemunahnya.
Penyembuhan itu akan dilakukan demikian rupa, sehingga Kilatsih merasa berteri-makasih kepadanya.
Demikianlah karena gandrung kepada ilmu kepandaian Kilatsih, Daniswara sampai melupakan kedudukannya sebagai Ketua Himpunan Pencinta Negeri, sehingga memerintahkan meracun seekor kuda.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sudah begitu dia gagal pula.
Gadis itu tak dapat dikelabui dengan tata sandiwara.
Ia malah kena disemprot dengan berhadap- hadapan muka.
Tak mengherankan ia merasa malu bukan kepalang.
Hanya anehnya berbareng dengan rasa malunya, hatinya malahan kian tertarik kepada Kilatsih.
Hal itu dise- babkankarena Kilatsih tidak hanya murid seorang pendekar besartetapi memiliki daya pikir yang cerdas dan polos.
Sesungguhnyatiada maksud jahat di dalam dirinya dengan meracun kudanya.
Tujuannya sebenarnya baik sekali.
Tentu saja dipandang dari sudut kepentingannya sendiri.
Maka dengan menebalkan mukanya, ia mengeluarkan sebuah kantong berwarna hitam dan digantungkan pada pelana kuda.
"Benarbenarkah engkau mau pergi? Baiklahminumkan bubuk yang berada di dalam kantung ini. Kau aduk dengan serbuknya, boleh juga. Dan kudamu akan sehat seperti sediakala dalam waktu satu jam lagi."
Ia menghela napas. Dengan pandang luar biasa, Kilatsih menatap wajah Daniswara. Pikirnya di dalam hati.
"Memang benar dia yang meracun. Tapi agaknya tidak bermaksud jahat. Dia hanya ingin menahan aku."
Tatkala itu, tiba-tiba Daniswara mengangkat kepalanya. Minta ketegasan.
"Tujuh tahun yang lalu pernah aku berpapasan dengan gurumu Sangaji. Eh coba katakan yang lebih jelas lagibenarkah Sangaji itu gurumu?"
Menimbang bahwa Daniswara sesungguhnya bukan manusia jahat, Kilatsih lalu menjawab.
"Guruku yang benar adalah Adipati Surengpati. Tetapi Kangmas Sangaji sering-kali memberi petunjuk-petunjuk pula kepadaku. Karena itu, dia pun kuakui sebagai guruku."
"Baiklah,"
Kata Daniswara menyerah.
"Dengan setulus- tulus hatiku, ingin aku menahan dirimu. Tapi agaknya, engkau ingin berangkat juga. Aku tak dapat menahanmu lagi. Aku ini memang orang kasar. Cara-caraku menahan dirimu, mungkin sekali menyinggung perasaanmu. Maklumlah, engkau diasuh oleh tangan-tangan yang halus. Sedang ayahku adalah seorang pendekar yang berwatak kasar. Dapatkah kita menjadi sahabat untuk selama-lamanya?"
Kata-katanya terdengar lembut dan lemah.
Ia mencoba menerangkan apa sebab ia sampai meracun kuda di samping menyatakan bahwa hatinya sangat tertarik.
Tetapi Kilatsih adalah seorang gadis yang masih polos dan bersih.
Belum dapat ia menangkap rasa hati Daniswara yang bersembunyi di belakang kata-katanya yang lemah lembut.
Apa yang terasa di dalam hatinya, hanyalah rasa geli.
Karena Daniswara adalah seorang kasar dan tiba-tiba bisa berbicara lembut seperti seorang banci.
Namun betapa pun jugaKilatsih adalah seorang wanita sampai ke dasar hatinya.
Perasaan seorang wanita jauh lebih halus daripada perasaan seorang pria.
Setelah dihinggapi rasa geli, tiba-tiba jantungnya berdebaran.
"Saudara Daniswara,"
Katanya dengan suara lembut pula.
"Kau adalah seorang yang berbudi bagiku. Tak pedulibagaimana tujuanmu semulatetapi engkau telah menolong mengurus penguburan jenazah kakakku. Budi ini tidak akan kulu-pakan. Karena itu, meskipun kau mencaci-maki orang yang kuhormati tetap saja aku merasa berterima kasih kepadamu. Aku berjanji akan mendoakan kebahagiaanmu dari jauh. Semoga cita- citamu berhasil."
Setelah berkata demikian, ia mengulurkan tangannya.
Ia heran, tatkala tangan pemuda itu terasa bergemetaran.
Buru-buru melepaskan tangannya.
Kemudian mengalihkan perhatiannya kepada kudanya yang segera diberinya obat pemunah dari dalam kantung pemuda itu.
"Jika bertemu dengan kakakmu Sangaji sampaikan salamku. Kau pun boleh menyampaikan kata-kataku tadi kepadanya,"
Kata Daniswara.
"Katakan pula, bahwa tiada maksud burukku, lsteri kakakmu itu mempunyai daya ingatan dan kecerdasan otak melebihi manusia lumrah. Aku mohon agar dia sudi membuatkan selembar salinan surat wasiat yang pernah diberikan kepada ayah angkatmu Sorohpati. Aku bukan memimpikan menjadi seorang yang sakti luar biasa. Hanya sajaayahku per- nah menderita hebatkarena kedua pusaka tersebut, Sangaji pernah memukulnya sampai menjadi gila. Kemudian dengan pikiran tak waras itulah ayahku menemui ajalnya."
Kilatsih mengangguk menyanggupi.
"Aku akan menyampaikan perkataanmu kepada kakakku sekalian."
Setelah menjawab demikian, ia melompat keatas Megananda.
Kuda itu telah meneguk obat pemunah.
Perlahan-lahan ia memperoleh tenaganya kembali.
Dan begitu tenaganya mulai meresapi tubuhnya, binatang itu lantas memanjangkan kakinya tanpa menunggu perintah lagi.
"Sampai bertemu!"
Seru Daniswara dari kejauhan.
Suaranya terdengar mengalun sedih.
Dan mendengar suara itu, Megananda kaget berjingkrak.
Lalu melesat bagaikan terbang.
Sebentar saja, ia telah membawa majikannya lenyap dari pengamatan Daniswara.
Sepuluh hari kemudian sampailah Kilatsih di Cianjur.
Dia mengenakan pakaian sandarannya kembali, sehingga nampak menjadi seorang pemuda yang cakap.
Cianjur pada dewasa itu menjadi pusat kebudayaan Jawa Barat.
Kota itu dipandang sebagai keramat, berkat kemasyuran Adipati Arya Wira Tanu Datar yang hidup pada zaman dua ratus tahun yang lalu.
Dan di kota itulah, Sangaji mendirikan salah satu markas perjuangan yang berkesan dari luar sebagai gedung kesenian.
Gedung itu bernama.
Paguyuban Sunda.
Sebelum jatuh di tangan Sangaji merupakan gedung sarang perjudian.
Dahulu kepunyaan seorang Tionghoa perantauan.
Kemudian dijual kepada seorang pembesar Belanda.
Tatkala pembesar Belanda itu pulang ke negerinya, gedung tersebut dilelang.
Dan jatuh kepada Sangaji atas nama Himpunan Laskar Perjuangan Jawa Barat.
Segera gedung itu diperbaharui dan dihias dengan tata warna.
Lalu oleh anjuran para raja muda Himpunan Sangkuriang, disulap menjadi sebuah Gedung Kesenian.
Tapi sebenarnya menjadi markas besar pengintaian lalu lintas Kompeni Belanda.
Sangaji sendiri tetap berada di atas gunung.
Karena hatinya sangat sederhana dan mulia, tak mau ia mendiami bekas markas besar Himpunan Sangkuriang yang berada di dataran ketinggian Gunung Cibugis.
Sebaliknya ia mendirikan sebuah rumah sederhana di celah-celah Gunung Gede dan Gunung Pangrango.
Dari celah gunung itulah ia memimpin dan mengendalikan seluruh perjuangan laskar Jawa Barat.
Menurut warta terakhir, Gedung Kesenian yang berada di dalam kota Cianjur diserahkan kepada Manik Angkeran.
Pemuda yang memiliki ilmu ketabiban tinggi itu membuka prakteknya di sebelah gedung tersebut merangkap menjadi pemimpin perjuangan wilayah Cianjur.
Tetapi begitu sampai di depan gedung tersebut, Kilatsih terperanjat.
Pintu pagar tertutup rapat.
Pada daun pintunya tertempel selembar tulisan pemberitahuan yang berbunyi begini.
TELAH TERJUAL DITUTUP UNTUK SEMENTARA WAKTU Pemilik baru Gho Sing Hiap dengan Isteri.
"Kakak memimpin seluruh laskar perjuangan. Kedudukannya seumpama seorang raja besar. Mustahil ia kekurangan keuangan. Kenapa gedung ini dijualnya kepada seorang Tionghoa?"
Kilatsih heran.
"Siapakah Gho Sing Hiap suami-isteri ini?"
Di depan Gedung Paguyuban Sunda itu terdapat sebuah kedai.
Untuk membuat penyelidikan lebih lanjut, Kilatsih menambatkan kudanya.
Kemudian memasuki kedai tersebut.
Beberapa orang duduk menggeru-miti panganan dengan bercakap-cakap.
Seseorang berkata nyaring.
"Sen. Husen! Gedung ini bakal pulang asal. Asalnya dari tangan seorang Tionghoa. Kini jatuh ke tangan orang Tionghoa pula. Apa pendapat-mu?"
Orang yang dipanggil Husen menyahut.
"Jatuh ke tangan siapa, aku tak peduli. Cuma saja gedung itu bakal menjadi sarang perjudian lagi. Begitu pula kabar yang kudengar. Surat izin dari Kompeni sudah diperolehnya."
"Ah, bagus!"
Tungkas orang pertama dengan tertawa berkakakkan.
"Bakal ramai seperti dahulu. Bakal banyak orang mencuri. Dan bakal banyak orang bercerai."
Mendengar percakapan itu Kilatsih makin tak mengerti. Perlahan-lahan ia duduk menyendiri di sebuah kursi menghadap meja kosong. Pikirnya di dalam hati.
"Seumpama kakak butuh uang, ia pun akan memilih pembelinya. Kakak bukan seorang mata duitan. Lagipula disampingnya berkerumun para raja muda yang kaya raya. Tapi kenapa bisa jatuh di tangan seorang Tionghoa yang kebetulan pula merencanakan akan membuat gedung itu menjadi sarang perjudian? Benar-benar mengherankan."
"Yah,"
Keluh pemilik kedai dengan menghela napas.
"Kalau benar kabar itu sekitar kampung ini menjadi tidak aman. Menurut tutur kata Paman sewaktu gedung itu sarang perjudian setiap hari pasti terjadi suatu pembunuhan dan parampasan. Anak-anak muda pada berkelahi tanpa alasan yang berdasar. Lalu halamannya penuh dengan wanita-wanita muda berkeliaran tak keruan juntrungnya. Ahkedaiku ini bakal bangkrut."
"Mengapa pasti bangkrut?"
"Mengapa tidak? Kalau orang sudah mata gelap masakan tidak bakal maluruk sampai di sini? Bagaimana bisa hidup aman tenteram seperti sekarang ini, kalau setiap kali melihat orang berkelahi atau mati terbunuh. Aku mungkin tahan melihat darah. Tapi anak isteriku?"
"Memang benar,"
Sambung orang ketiga.
"Bagi orang miskin seperti aku ini, lebih baik gedung itu berada di tangan juragan Manik Angkeran. Waktu dia mengurus gedung ini rakyat boleh keluar masukdengan merde- ka dan senang. Habis orang menonton kesenian, sih. Selain itu, Beliau pandai mengobati. Pembayarannya rendah dan cekatan. Tapi sekarang, ah! Rasa-rasanya akan terjadi suatu perubahan besar. Kemarin saja, gedung itu dijaga beberapa orang serdadu yang bermabuk-mabukan. Bagaimana kami orang miskin berani menginjakkan kaki di halaman gedung itu lagi? Haikami bakal kesepian!"
Mendengar percakapan itu, Kilatsih tak dapat lagi menguasai hatinya. Terus saja menimbrung.
"Sebenarnya gedung itu dahulumilik siapa?"
Seorang pemuda yang sebaya dengannyadan duduk di sebelah timur menyahut.
"Rupanya Saudara bukan penduduk di sini. Tak mengherankan saudara belum kenal seorang gagah bernama Manik Angkeran. Benar- benarkah Saudara belum pernah mendengar nama Manik Angkeran? Dia tidak hanya termahsyur lantaran ilmu ketabibannya, tapi pun ilmu saktinya. Dialah yang memimpin seluruh laskar perjuangan wilayah Cianjur ini. Dialah seumpama seoarang jenderal yang mengatur siasat menggempur lawan. Dialah...."
"Ssstt! Jangan mengumbar mulut di sini!"
Bentak orang pertama tadi. Dan kena bentak demikian, pemuda itu meringkas. Pandang matanya resah seakan-akan kena salah. Kilatsih tertawa.
"Aku belum kenal Manik Angkeran,"
Katanya di dalam hati.
"Dialah justru yang menolong akuyang membawa akuyang menyelamatkan aku sewaktu aku belum pandai beringus. Dialah murid kakakku Sangaji."
"Kenapa kau tertawa?"
Bentak orang itu.
"Kalau gedung itu dahulu milik Manik Angkeran, masakan bisa jatuh di tangan seorang Tionghoa yang gemar berjudi? Dia seorang jenderalkata saudara itu masakan sampai kekurangan uang?"
Sahut Kilatsih.
"Eh sebenarnya apa sih alasannya sampai menjual gedungnya kepada seseorang yang gemar berjudi?"
"Saudara!"
Kata pemuda yang meringkus di sebelah timur tadi.
"Aku bernama Dadang Sumantri. Memang aku tadi kelepasan omong. Di sini kita tak bisa membuka mulut dengan sembarangan. Tapi biarlah untukmu aku beri kabar, bahwa pemilik gedungeh juragan Manik Angkeransudah pindah. Dan tuan Gho Sing Hiap itu.... hm... adalah .... Hm...."
Baru sampai di situ, Dadang Sumantri kena pandang galak dari seorang yang duduk bertentangan dengan dia. Wajahnya berubah dan dia nampak menjadi gentar. Lalu cepat-cepat memperbaiki.
"...eh... Tuan Gho Sing Hiap itu sesungguhnya seorang dermawan. Sudah lama ia ingin menyalurkan kegemaran rakyat. Itulah suatu perjudian. Maka dengan sekuat tenaga dia berusaha membeli gedung tersebut. Akhirnya berhasil juga. Kilatsih heran bukan main. Kenapa Manik Angkeran berpindah tempat? Dengan mata terbelalak ia menegas.
"Pemilik yang lama pindah kemana?"
Orang pertama menyahut dengan tertawa berkakakkan.
"Saudara jangan sampai kena pincuk!23) Kau kira siapakah Dadang Sumantri itu? Dia bukan pemuda pentolan atau pemuda yang berhati nabi. Kalau dia seorang pemuda yang bersih hati, tidak bakal berteman dengan manusia-manusia seperti aku ini. Masakan terhadap pemuda semacam dia, juragan Manik Angkeran perlu memberi kabar kepadanya kemana dia berpindah tempat?"
Dadang Sumantri pucat wajahnya kena ejek demikian. Katanya dengan hati mendongkol.
"Meskipun juragan Manik Angkeran seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, tapi dia selalu bersikap hormat terhadap siapa pun. Meskipun aku ini bukan termasuk golongan nabi seperti kata-katamu tapi setidak-tidaknya aku pun bukan termasuk golonganmu. Dengan juragan Manik Angkeran, seringali aku bercakap-cakap."
Tetapi sebenarnya Dadang Sumantri tak tahu perginya Manik Angkeran.
Karena itu orang pertama tadi terus saja tertawa dengan gundu mata berputaran.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia meludah beberapa kali, sehingga Dadang Sumantri benar-benar merasa terhina.
Namun dia pun tidak berani berbuat sesuatu, selain duduk bergelisah.
Kegembiraan Kilatsih lantas saja buyar.
Suatu kemuakan terasa di dalam hatinya, menyaksikan hawa perselisihan itu.
Lantas saja ia meninggalkan kedai itu.
Dan dengan menuntun kudanya, ia berjalan perlahan- lahan.
Pikirannya terasa menjadi kusut.
Tatkala sampai di pinggiran kota, tiba-tiba ia melihat dua orang berpakaian seragam Kompeni Belanda.
Kilatsih merandek dan mengawaskan kedua orang itu.
Segera ia dapat mengenalnya.
Merekalah Letnan Johan dan Letnan Matulesi yang pernah dilihatnya di perkampungan Sanjaya.
Kedua perwira itu teringat pula kepadanya.
Segera mereka menghampiri dan membungkuk hormat.
Seru Letnan Johan dengan suara tertahan.
"Hai! Angin musim apakah yang membawa Saudara sampai tiba di sini? Bukankah Saudara dahulu pernah bertempur melawan saudara Mundingsari di dekat kolam sebelah selatan Sigaluh?"
"Kenapa? Apakah Saudara mau membalaskan sakit hatinya?"
Sahut Kilatsih dengan suara sengit. Letnan Johan tertawa riuh. Ia mengerling kepada Letnan Matulesi yang tertawa lebar pula.
"Apakah Saudara pernah bertemu dengan saudara Mundingsari?"
Tanya Letnan Matulesi. Dengan mereka, Kilatsih tiada mempunyai kesan tertentu. Hanya saja melihat mereka merantau sampai ke pedalaman Jawa Barat sungguh menarik hatinya. Sahutnya sengit lagi.
"Kalau bertemu kenapa? Kalau tidak bertemu bagaimana?"
"Bukan begitu,"
Letnan Matulesi agak gugup.
"Dia berjanji hendak bertemu dengan kami satu bulan lagi. Karena iseng lantas kami berdua melancong sampai di sini."
Kilatsih tertawa geli.
"Siapakah kesudian mendengarkan alasanmu. Bukankah kalian berada di sini untuk menghindari hukuman atasanmu yang mengancam dirimu? Hayo bukankah begitu?"
Wajah mereka berubah seperti pencuri kesompok seorang polisi.
Mereka berdua perwira-perwira yang mempunyai kedudukan baik.
Perintahnya merupakan undang-undang bagi serdadu-serdadunya.
Tapi kena semprot Kilatsih, tak dapat mereka menunjukkan kegarangannya.
Itulah disebabkan teringat akan kepandaian Kilatsih yang sangat tinggi tatkala mencoba mengukur kepandaian dengan Mundingsari.
Kata Letnan Johan dengan suara mengalah.
"Benar selama hampir satu bulan ini, kami berdua hidup bergelisah. Pernah terlintas dalam pikiran kami berdua untuk mencoba mohon bantuan pendekar Sangaji. Ya Saudara, demi keselamatan keluarga kami, kami terpaksa melupakan hidup kami yang bertentangan dengan cita-cita pendekar Sangaji. Itulah sebabnya, kami berada di-sini."
"Lantas apakah kalian sudah bisa bertemu dengan dia?"
"Belum, belum. Yang pertama. kami mendengar kabar selentingan, bahwa dia tidak lagi berada di Jawa Barat. Yang kedua. kami pun tidak mempunyai keberanian untuk menghadap,"
Jawab Letnan Johan. Melihat wajahnya yang kuyu dan pakaian seragamnya yang lungsat, timbullah rasa iba dalam hati Kilatsih. Teringatlah dia dahulu kepada ucapan kakaknya Sangaji.
"Kita memang bermusuhan dengan Pemerintah Belanda. Tapi jangan sekali-kali engkau membenci orang- orangnya."
Ucapan Sangaji itu meresap benar dalam hati sanubarinya. Maka berkatalah dia.
"Saudara! Mulai malam nanti tak usah saudara bergelisah lagi. Tidurlah yang nyenyak."
"Kenapa?"
Mereka berdua berubah wajahnya.
"Uang kawalanmu sudah dikembalikan dengan tak kurang suatu apa. Hanya saja Mangkubumi Girisanta terpaksa harus meninggalkan kedudukannya. Sebab dialah yang kena salah."
Mereka berdua terperanjat berbareng girang luar biasa.
Benarkah uang kawalan-nya kembali dengan selamat? Kalau saja bukan Kilatsih yang mengucapkan, tak mau dia percaya.
Kilatsih sendiri tak menghiraukan perasaan mereka, la melangkahkan kakinya lagi sambi menuntun kudanya.
"Saudara! O, terima kasih,"
Seru Letnan Johan sambil membungkuk. Sikapnya itu ditirukan temannya pula. Tatkala mereka mengangkat kepalanya, matanya berlinangan oleh rasa syukur.
"Dengan ini aku menghaturkan rasa terima kasih tak terhing-ga. Sebenarnya eh kemana tujuan Saudara?"
Kilatsih tak menjawab, la hanya membalas dengan mengulum senyum.
"Apakah.... apakah... Saudara mempunyai hubungan rapat dengan pendekar besar Sangaji?"
Letnan Johan menegas dengari ragu-ragu.
"Kalau benar.... Dengan ini kami nyatakan, bahwa Beliau tiada lagi di tempatnya. Apakah alasannya, tak tahulah kami. Tapi pernyataan kami ini boleh Saudara percaya. Kami bersedia mengganti dengan leher kami, apabila kami membohong atau berdusta."
Kilatsih merandek. Ia tertegun sebentar. Kemudian tersenyum lagi.
"Baiklah. Mari kita mengambil jalan kita masing - masing."
Letnan Johan dan Letnan Matulesi membungkuk hormat lagi.
Wajah mereka terang benderang.
Dan mereka tak berani bergerak dari tempatnya sampai tubuh Kilatsih menghilang di tikungan jalan.
Dengan pikiran terus berteka-teki, Kilatsih melanjutkan perjalanannya tanpa tujuan lagi.
Kadang ia ingin mendaki celah gunung Gede, tapi pada saat itu hatinya berbimbang-bimbang.
Kalau kakaknya Sangaji sudah berpindah tempat, tiada gunanya mendaki gunung lagi.
Letnan Johan dan Letnan Matulesi adalah musuh seluruh laskar perjuangan Jawa Barat.
Dengan sendirinya berlawanan pula dengan kakaknya Sangaji.
Dia bisa melahirkan khabar desas- desus.
Akan tetapi menilik kesungguhannya, agaknya keterangannya boleh dipercaya.
Di depan matanya terbentang sepetak hutan ringan.
Hawanya berkesan sejuk menyegarkan.
Tempatnya berada di atas ketinggian, sehingga langit biru yang berada dibaliknya menjadi suatu latar belakang yang indah menarik hati.
Perlahan-lahan Kilatsih memasuki hutan itu.
Baru saja ia melintasi beberapa gerombol pohon, sekonyong- konyong ia mendengar kesiurnya sesuatu yang menyambar kepalanya.
Cepat ia menahan kudanya se- raya membungkukkan badan.
Sebatang pohon tiba-tiba roboh melintang di depannya.
Ia terperanjat dan menoleh.
Sekelilingnya sepi tiada sesuatu yang nampak.
Apakah angin? Ah, mustahil! Waktu itu tiada angin keras.
Seumpama angin keras pun tiada dapat menumbangkan sebatang pohon di antara gerombolannya.
Memperoleh pertimbangan demikian, hatinya menjadi panas.
Ia membentak.
"Siapakah yang ingin memamerkan kepandaiannya di hadapanku?"
Tiada jawaban.
Ia masih menunggu, dengan menajamkan pendengarannya.
Kemudian meruntuhkan pandang kepada batang pohon yang melintang di depannya.
Ia kaget tatkala melihat selembar kertas terpaku rapih pada dahannya.
Kapan? Hati-hati ia melompat turun dan menghampiri.
Kemudian ia membaca.
MARKAS BESAR KOSONG KACI KEMBALI SAJA KE JAWA TENGAH.
Hatinya memukul, karena bunyi tulisan itu terang sekali ditujukan kepadanya.
Ia heran melihat cara orang itu memberi kabar kepadanya.
Tadi dia mendengar suatu kesiur, lalu sebatang pohon roboh.
Tatkala menoleh tahu-tahu selembar kertas terpancang rapih.
Selain kecepatan luar biasa orang itu terang sekali memiliki suatu tenaga dahsyat.
Siapa? Teringatlah dia akan tutur kata Titisari, bahwa para Raja Muda bawahan kakaknya Sangaji memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi.
Kecuali berani, senang pula menggoda orang.
Apakah yang sedang menggodanya itu salah seorang Raja Muda bawahan Sangaji.
Ia agak ragu-ragu.
Sebab menilik bunyi tulisan itu, yang sedang menggodanya, kenal akan asal-usulnya.
Bila kenal asalnya datang, pasti pula mengerti bahwa dia adalah adik pemimpinnya.
Mustahil seorang Raja Muda bawahan kakaknya berani bermain gila kepadanya.
Heran dan penasaran, Kilatsih memutar kudanya.
Lalu melompat ke atas sebatang pohon untuk mengintip.
Ditebarkan pandang matanya.
Tetap saja tiada sesosok bayangan yang nampak berkelebat di depan matanya.
Mau tak mau ia menghela napas kagum.
Katanya di dalam hati.
"Benarlah kata orangdi balik gunung masih terdapat gunung lainnya yang lebih tinggi. Siapa mengira, bahwa di atas pegunungan ini aku bertemu dengan seorang yang berilmu sangat tinggi...."
Hatinya yang penasaran lantas saja menjadi reda.
Segera ia turun dari pohon itu.
Megananda masih setia menunggu tak jauh dari pohon.
Dengan suitan pendek, binatang itu menderap menghampiri.
Dan setelah majikannya berada di atas punggungnya, ia lari kencang bagaikan terbang.
PENUNGGANG KUDA HITAM MENJELANG SORE HARIsampailah Kilatsih di Padalarang.
Hampir satu hari penuh ia melarikan kudanya.
Perutnya kini berontak.
Maka ia menahan kudanya.
"Kata orangpenduduk Padalarang pandai memasak. Biarlah kucicipinya,"
Katanya di dalam hati.
Lalu ia menghampiri sebuah rumah makan yang berdiri di tepi jalan besar.
Ia menambatkan kudanya pada sebatang pohon.
Tatkala menoleh, ia melihat seekor kuda hitam lekam yang berkesan gagah perkasa.
Keempat kaki kuda itu berbelang putih.
Itulah kuda Pancalpanggung demikian kata orang Jawa.
Karena tertarik ia menghampiri.
Justru pada saat ituia melihat suatu corat-coret kata sandi, yang sering digunakan oleh orang-orang tertentu memanggil temannya.
Setelah diamat-amati ia menjadi heran.
Gaya tulisan itu mirip tulisan pengumuman yang terdapat pada daun pintu Gedung Paguyuban Sunda.
Ia lantas berwaspada.
Dengan langkah tenang ia memasuki rumah makan itu.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di sebelah selatan dekat jendela duduklah seorang pemuda berpakaian serba biru muda.
Kainnya terbuat dari sutera halus, la duduk seorang diri menghadapi makanan dan minuman.
Di meja sebelah barat, duduk dua orang laki-laki yang bertubuh dan berwajah kasar.
Yang satu kurus panjang.
Yang lain gemuk pendek.
Keduanya meneguk minuman keras dengan asyiknya.
Tetapi pandang mata Kilatsih sangat tajam.
Sekali melihat tahulah dia, bahwa kedua orang itu seringkali melirik kepada pemuda berbaju biru muda.
Pemuda yang berdandan serba biru itu pantaslah sebagai anak seorang hartawan.
Parasnya sangat cakap, namun tidak peduli-an terhadap segala.
Dengan berdiam diri, ia meneguk minuman keras secawan demi secawan.
Belum seberapa ia menghabiskan botol minumannya, mukanya telah nampak merah.
Dan gerakan tubuhnya menjadi limbung.
"Orang-orang di sini agaknya biasa minum minuman keras.
Tapi mengapa ia sudah limbung hanya oleh beberapa cawan saja,"
Pikir Kilatsih di dalam hati.
Ia lantas menarik kursi dan memesan sepiring masakan, sepiring buah-buahan dan segelas anggur penghangat badan.
Maklumlahhawa di Padalarang terasa sangat dingin untuk ukuran seorang yang datang dari Jawa Tengah.
Apalagi Kilatsih yang biasa hidup di tengah kepulauan Karimun Jawa yang berhawa terik.
Maka minuman hangat untuk melawan dingin hawa, sangat perlu.
Walaupun demikian, tak berani ia meneguk minuman keras lantaran tak biasa minum.
Sekonyong-konyong pemuda itu menyanyi sangat keras.
Lalu berkata mengulum.
"Tuhan mewariskan semua kepandaiannya kepada manusia. Pastilah ada maksud dan rencananya. Aku memiliki seribu kepingan emas. Untuk apa? Ahuntuk menggerumiti daging kambing, kerbau, lembu dan minuman hangat. Mari! Mari kita berpesta pora. Hayo teguklah tiga ratus cawan! Sikatlah setumpuk daging kerbau dan sekeranjang daging kambing. Agar badan kita panas membara.....Hiha!"
Setelah berkata demikian, ia berdiri menggoyang- goyangkan tangan.
Pelayan-pelayan lantas tertawa lebar, la melihat suatu kelucuan.
Dan pemuda itu nampak sangat tolol.
Secawan demi secawan lagi, ia meneguk minuman kerasnya.
Lalu minta dua puluh botol sekaligus sambil mengge-rincingkan uangnya yang berada dalam saku baju dan celananya.
Tiba-tiba ada yang jatuh menggelinding.
Ternyata uang emas murni.
Buru-buru ia membungkuk hendak memungutnya.
Tapi uangnya yang berada dalam kantong celananya seperti tersontak keluar.
Ia lantas sibuk mengumpulkan menjadi seonggok dengan gerakan tangannya yang nampak limbung.
Lalu diterkamnya dan ditaruh di atas meja menjadi onggokan lagi.
Tatkala itu, petang hari telah tiba.
Pemilik rumah makan telah menyalakan penerangan.
Dan kena penerangan, onggokan uang itu memantulkan cahaya kemilau.
"Ahpemuda ini begitu tolol,"
Pikir Kilatsih di dalam hati.
"Perbuatannya itu membahayakan dirinya. Apakah dia tak sadar kena incar dua penjahat di sampingnya? Hm... masih saja ia meneguk minuman yang memabukkan."
Orang yang berperawakan kurus kering lalu menyahut dengan suara lantang.
"Bagus! Bagus! Tiga ratus cawan dihabiskan ludasyaitulah baru pesta pora sesungguhnya. Hai, saudara! Aku sudah meneguk habis tujuh cawan. Kau belum lagi lima cawan. Mana bisa engkau menghabiskan tigaratus cawan?"
Kawannya yang berperawakan gemuk pendek menyahut sambil berjingkrak.
"Jadi kau sudah menyedot minumanku tujuh cawan?"
"Benar. Apa kau merasa rugi? Marikau perseni dua botol arak agar pesta pora saudara itutambah ramai?"
"Ah, benar!"
Si gemuk pendek tertawa riang. Lalu melototi kawannya.
"Tapi aku tahan minum banyak. Kau sajalah mewakili aku."
"Nah, apa kubilang? Kau ini memang cerewet. Kau merasa rugi, lantaran ini botolmu kusedot sampai tujuh cawan. Sekarang aku bermaksud mengembalikan dengan dua botol - kau malahan menolak. Memang kau ini pantas digebuk lehermu."
Gusar si Pendek gemuk disemprot demikian. Apalagi ia melihat pelayan-pelayan mentertawai dengan pandang merendahkan. Maka ia menolak dada temannya itu seraya membentak.
"Kau cuma besar mulut. Mana dapat kau membelikan aku dua botol arak. Hayo buktikan!" ' Tak senang si Kurus kena tolak dadanya, la pun kena hina di hadapan umum. Maka dengan muka merah, ia menyambar cawannya dan disiramkan ke muka si Gemuk.
"Nih, kukembalikan!"
Si Gemuk menjadi mata gelap.
Terus saja ia melompat menerjang dan kedua orang itu lantas bergumul.
Nampaknya mereka sama kuat.
Masing-masing kena bogem mentah dan terhuyung mendekati pemuda berbaju biru itu.
Sekali lagi mereka berhantam.
Kali ini mereka terpental mundur dan melanggar kursi pemuda itu.
"Kurang ajar!"
Gerutu pemuda itu seraya berbangkit.
Berbareng dengan gerakannya, kantung uangnya jatuh di atas lantai.
Isinya meletik keluar.
Ternyata tidak hanya emas, tetapi batu-batu permata pula.
Buru-buru pemuda itu mengangkat kakinya dan diinjakkan ke kantungnya.
Lalu membungkuk memungut emas dan permatanya.
Membentak.
"Kamu hendak merampas?"
Dua orang itu berhenti bergumul. Yang gemuk pendek membalas membentak.
"Merampas? Merampas uangmu? Kau berani menuduh aku? Bangsat!"
Beberapa tetamu dan dua orang pelayan datang melerai mereka dan Kilatsih tertawa menyaksikan pertunjukan itu.
la tahu akan kelicinan dua penjahat itu.
Mereka sengaja bergumul untuk menjatuhkan kantung uang untuk dirampas.
Apabila gagal setidak-tidaknya mengetahui berapa banyak isi kantung pemuda itu, tetapi maksud itu gagal.
Pikir Kilatsih di dalam hati.
"Di sini masih ada aku. Tak nanti aku membiarkan kantung uang pemuda itu kena kalian rampas."
Memikir demikian, Kilatsih bangkit dari kursinya. Kemudian menghampiri mereka. Dengan kedua tangannya ia menolak mundur kedua penjahat itu. Tegurnya.
"Kamu mabuk araklalu bergumul sampai mengganggu kesenangan orang lain. Itu perbuatan tercela."
Ia ingin menghajar mereka berdua.
Sambil menegur tangannya berkelebat menggerayangi kantong baju mereka.
Gang mereka kena dirampasnya.
Gerakan tangannya begitu cepat, sehingga tiada seorang pun yang dapat mengetahui perbuatannya.
Setelah ia menolak kedua orang itu mundur lagi, mereka kaget, karena tolakan itu sangat sakit.
Maka tak berani mereka mengumbar mulut atau berusaha main keras.
"Dia menuduh kami yang bukan-bukan, sih,"
Gerutu si Gemuk.
"Sudahlah, sudahlah!"
Bujuk seorang tetamu.
"Kamu menubruk seorang tetamu yang sedang menikmati minuman dan hidangannya. Kamu salah. Maka kamu wajib minta maaf padanya. Kalau masih mau minum, lebih baik menikmati minuman di rumah. Jangan di sini! Ahkamu bikin ribut saja, sih...."
Pemuda berbaju biru yang agak setengah sinting itu, tertawa lebar. Serunya sambil mengangkat cawannya.
"Saudara! Mari minum!"
Ia mengarah kepada Kilatsih. Bau araknya menguar dari mulutnya.
"Terima kasih."
Ia duduk kembali ke atas kursinya sambil mengawasi gerak-gerik kedua orang itu.
Sebenarnya dua orang itu masih mendongkol terhadap Kilatsih.
Tapi mengingat rasa sakit yang dideritanya, tak berani ia mengumbar adat.
Dengan menahan diri, ia berseru kepada pemilik kedai untuk membuat perhitungan.
"Berapa?"
Katanya angkuh.
Si Kurus menggerayangi saku bajunya.
Tiba-tiba ia kaget.
Wajahnya berubah pucat.
Melihat perubahan wajah si Kurus, si Gemuk heran.
Ia pun segera meraba sakunya pula.
Wajahnya lantas nampak melongo.
Gangnya sama sekali tiada lagi.
Keduanya lantas saling pandang dengan mulut membungkam.
Kemudian seperti berjanji, mereka melirik ke arah tanah tempat mereka tadi bergumul.
"Semuanya dua ringgit,'1 kata pemilik kedai sambil menghampiri tetamunya. Kedua orang itu menyeringai. Keringatnya membasahi leher. Tangan mereka masih berada di dalam sakunya masing-masing. Pemilik kedai mengira, mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Maka ulangnya.
"Semuanya dua ringgit."
Sejenak kemudian si Kurus menyahut dengan suara iba.
"Bolehkah aku membayar besok?"
Pemilik kedai itu heran. Lalu tertawa melalui hidungnya. Katanya.
"Kalau semua tetamu main hutangmasakan kami bisa membuka kedai lagi."
Seorang pelayan yang berada di sampingnya, lalu menimbrung.
"Memangnya kami harus makan angin? Hahkamu berdua datang kemari sengaja hendak membuat gaduh saja, bukan? Kami sudah melayani kamu makan-minum dengan puas. Masakan kamu tak mempunyai perasaan? Kalau tak punya uang, semestinya semenjak tadi kamu harus membuka baju dan celana untuk membayar."
Kasar kata-kata pelayan itu. Tetapi hal itu membuat tertawa geli tetamu lainnya. Ruang kedai itu lantas saja menjadi ramai.
"Siang-siang sudah kuduga bakal begitu,"
Seru seorang tetamu.
"Mereka lantas berlagak bergumul dan berpura-pura mabuk. Perlunya bisa menggaglak makan dan minuman tanpa membayar."
Kedua penjahat itu pucat lesi. Terpaksa mereka membuka bajunya masing-masing.
"Dua baju usang begitumana cukup,"
Bentak pelayan itu.
"Hayo lepas celana! Hu... Dasar kita yang sial. Cobaberapa sih harga celana kalian yang kotor begitu?"
Seperti pesakitan yang tak mempunyai hak suara, mereka melepaskan celananya.
Kemudian dengan celana dalam, mereka mengeloyor keluar kedai seperti seseorang habis buang air.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Puas hati Kilatsih menyaksikan kejadian itu.
Dasar masih berbau kanak-kanak.
Lantas saja ia meneguk cawannya sampai kering.
Tatkala mengerling kepada pemuda berbaju biru itu, ia melihatnya masih sibuk meneguki minuman kerasnya.
Dia sama sekali tidak memedulikan pertunjukan yang lucu tadi.
Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benaknya.
"Dua penjahat tadi berkepandaian rendah, tetapi berani berlagak disini. Apakah mereka bukan merupakan orang-orang sebawahan belaka yang lagi menjalankan tugas? Sepulangnya ke sarang, pasti mereka mengadu kepada yang memerintahkan. Aku sendiri tidak takut. Akan tetapi bagaimana dengan pemuda itu?"
Ia menimbang-nimbang sebentar. Kemudian memutuskan.
"Baiklah kususul saja, agar tidak menelorkan ekor yang bukan-bukan. Setelah memperoleh keputusan demikian, segera ia berteriak kepada pemilik kedai.
"Sudah. Berapa aku harus membayar?"
Dengan wajah berseri-seri pemilik kedai menghampiri. Semenjak tadi ia tertarik kepada Kilatsih. Sebab selain nampak cakap, pakaiannya berkesan mentereng dan bersih.
"Semuanya hanya satu rupiah seta-len,"
Katanya dengan hormat.
Kilatsih segera merogoh saku bajunya yang kanan.
Di dalam saku kanan itulah ia selalu menyimpan uang bekalnya.
Sakunya ternyata kosong melompong.
Hatinya tercekat.
Cepat-cepat ia menggerayangi saku kirinya.
Di dalam saku kiri ia menyimpan uang copetan kedua penjahat tadi.
Kembali hatinya tercekat.
Gang itu pun lenyap dari sakunya.
Seketika itu juga, keringat dingin membasahi lehernya.
Pemilik kedai itu mengawasi dengan pandang heran, la melihat kesibukan Kilatsih dan perubahan wajahnya.
Menilik dandanannya, ia tak percaya dia bahwa Kilatsih adalah semacam tetamu yang suka mengalap1) barang dagangan.
1) mengalap = makan tanpa membayar (nggabrus .
Jawa) "Apakah Tuan tidak mempunyai uang kecil?"
Tanyanya mencoba.
"Biarlah kutu-karkan."
Kilatsih benar-benar bingung.
Dalam sekelebatan teringatlah dia, bahwa kedua penjahat tadi harus membuka baju dan celananya sebagai pengganti pembayaran.
Kalau sampai terjadi demikianahtak sanggup ia membayangkan.
Sebentarpemilik kedaimengawaskan kedua tangan Kilatsih yang menggerayangi kedua sakunya dengan cermat.
Tapi uang yang diharapkan tidak nampak di depan hidungnya.
Akhirnya ia menaruh curiga.
"Sebenarnya bagaimana, Tuan?"
Ia minta keterangan dengan suara tawar. Justru pada saat itu si Pemuda berbaju biru muda menghampiri. Lalu berkata di antara suara tertawanya.
"Di delapan penjuru angin semua manusia yang merasa hidup sebenarnya adalah saudara sesama hidup pula. Gang gampang dicari. Tetapi perasaansukar diperoleh. Biarlah aku yang membayar semua hidangan adik kecil ini."
Ia merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan ringgitan emas dua keping. Kemudian dilemparkan kepada pemilik kedai.
"Ini uang pembayarannya. Selebihnya boleh kau ambil."
"Terima kasih terima kasih,"
Sahut pemilik kedai berulangkali dengan kepala memang-gut-manggut.
Betapa tidak? Kilatsih hanya menghabiskan uang hidangan sebesar satu rupiah setalen.
Sedang pemuda berbaju biru muda itu membayarnya dengan dua keping uang ringgit emas murni.
Merah muka Kilatsih, tetapi ia pun segera menghaturkan rasa terima kasih dengan menahan hatinya.
"Tak usah,"
Kata pemuda itu.
"Hanya saja perkenankan aku memberikan peringatan sedikit kepadamu. Lain kali kalau memasuki kedai minuman arak, hendaklah engkau mengenakan pakaian rangkap. Dengan demikian, tidak bakal memberi peluang kepada tangan jahil."
Sewaktu berbicara kembali lagi mulutnya menguarkan uap minuman keras.
Namun sikapnya sangat tenang.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia kembali ke mejanya dengan tubuh limbung.
Hati Kilatsih mendongkol bukan main.
Namun karena merasa di bawah pengaruh, tak berani ia mengumbar adatnya.
Terpaksa ia menelan nasihat atau peringatan itu dengan memanggut kecil.
Dalam hati ia mengutuk.
"Benar-benar orang tak mengerti diri.
Coba bukan aku tadi yang menolong, pastilah uangmu bakal kena rampas.
Sekarang berlagak memberi nasihat segala.
Huh!"
Dengan penasaran ia melayangkan matanya membuat penyelidikan. Tetapi di antara para tetamu, tiada seorang pun yang mencurigakan. Ia menjadi heran dan berputus asa. Dengan hati mendongkol, ia bangkit dari kursinya dan meninggalkan kedai.
"Megananda maaf. Kupinta kau menahan perutmu barang sebentar,"
Bisiknya kepada kudanya.
Kemudian ia melarikannya dengan cepat.
Sepanjang jalan ia mencoba mengingat-ingat semua kejadian yang berlaku di kedai tadi.
Terang sekali ia memasukkan uang rampasan dalam saku kirinya.
Juga uang bekalnya sendiri yang berada di saku kanan tak pernah dikutiknya.
Mengapa semua- semuanya lenyap tak keruan.
Seumpama ada yang mencopet lantas siapa? Masakan bisa luput dari pengawasannya? Setibanya di luar kota ia melihat berkele-batnya kuda hitam.
Ia heran, karena penunggangnya pemuda berbaju biru muda tadi.
Sewaktu ia meninggalkan kedai, dia masih nongkrong di atas kursinya.
Sekarang tiba-tiba berada di sebelah depannya.
Apakah ada jalan simpang yang memotong jalan besar? Dengan penasaran ia membedalkan Mega-nanda hendak mengejarnya.
Ia bercuriga.
Jangan-jangan pemuda itulah yang main gila.
Setelah dekat, ia mengayunkan cambuknya.
Apabila dia seorang berilmu, pastilah bisa mengelakkan.
Kalau tidak, cambuknya akan mengenai sasaran.
Ia bertekat menguji demikian, untuk memperoleh kepastian.
Melihat kesiurnya cambuk, pemuda itu memekik ketakutan.
Tak dapat ia mengelak atau mencoba menghindari kecuali kedua tangannya berserabutan bergantian.
Tubuhnya lantas terhuyung dan hampir saja ia roboh dari punggung kudanya.
"Maaf!"
Seru Kilatsih.
"Tak sengaja aku mencambukmu."
Pemuda itu menoleh. Menyemprot.
"Hidiiih... kaulah seorang pemuda tukang nganglap makanan warung. Idiiih tak punya malu.... Kau hendak merampas uangku, bukan? Tadinya dengan uangku aku hendak menjalin suatu persahabatan. Tak tahunya kau tukang nganglap yang tak mempunyai budi. Tak sudi lagi aku bersahabat dengan tampangmu! Sana pergi!"
Mendongkol hati Kilatsih yang dikatakan sebagai tukang nganglap makanan. Tetapi ia pun merasa lucu melihat lagak lagunya.
"Kau masih sinting?"
Tanyanya. Pemuda itu tidak menyahut, la mengoceh seorang diri.
"Di depan kehijauan menghadang perjalananku. Di belakang gunung-gunung telah kutinggalkan. Ingin aku meneguk minuman sepuas hatiku. Tetapi di dunia ini dimanakah ada suatu kepuasan? Walaupun demikian, akan kucoba. Kalau tidak, hatiku akan terus dirundung suatu kedukaan. Hayo minum arak. Ahtak sudi aku minum bersamamu....."
Setelah berkata demikian, tubuhnya limbung di atas kudanya.
Kilatsih ingin memegangnya agar jangan sampai jatuh.
Mendadak pemuda itu menjepit perut kudanya.
Kena jepit perutnya, kudanya meloncat dan kabur secepat angin.
Kilatsih bercemas hati.
Ingin ia memburu dan menolong turun dari kudanya.
Sebab menunggang kuda dalam keadaan demikian, sangat membahayakan.
Maka ia me-ngeprak Megananda.
Perintahnya.
"Susul!"
Megananda adalah kuda jempolan.
Jangan lagi sampai kena gertak.
Maka dengan berbenger Megananda memanjangkan keempat kakinya dan lari secepat- cepatnya.
Namun betapa dia berusaha mengejar, kuda hitam pemuda berbaju biru muda itu tetap berada di depan.
Malahan makin lama makin jauh dan akhirnya lenyap dari penglihatan.
Dengan perasaan heran Kilatsih menahan kudanya.
Pikirnya di dalam hati.
"Hebat kudanya. Kuda macam apa sebenarnya? Dia sama sekali tak mengerti ilmu silat. Namun kudanya jempolan sekali. Megananda sampai tak sanggup mengejarnya....."
Mau tak mau Kilatsih terpaksa meneruskan perjalanan dengan pikiran pepat dan penuh teka-teki.
Malam hari kala itu kian bertambah gelap dan gelap.
Karena belum paham akan lika-liku jalannya, tak berani ia melarikan kudanya kencang-kencang.
Tak jauh di depannya nampak asap mengepul di tengah ladang.
Pastilah seorang petani lagi membakar sesuatu sebagai perdiangan malam.
Ia lantas mengarah ke sana.
Hanya saja begitu teringat bahwa dirinya tak beruang lagi, lenyaplah kegembiraannya.
Selagi pikirannya sibuk tak keruan, sekonyong- konyong ia mendengar meringkiknya seekor kuda.
la menajamkan matanya.
Samar-samar ia melihat sebuah bangunan kuno yang berhalaman luas.
Seekor kuda sedang menggerumiti seonggok rumput.
Ia segera mengenal kuda itu.
"Ehdia pun berada di sini,"
Pikirnya di dalam hati dengan menebak-nebak.
"Tempat apakah ini? Biarlah kujenguknya."
Ia menambatkan kudanya di luar pekarangan, kemudian menghampiri bangunan itu dengan berjingkit- jingkit.
Perlahan-lahan ia menolak daun pintunya yang tertutup rapat.
Segera ia melihat api perdiangan yang menerangi seluruh ruangan.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bau harum daging bakar menusuk hidungnya pemuda tadi.
Ternyata pemuda tadi lagi membakar daging kambing dengan menongkrongkan kakinya di tepi perdiangan.
Nampaknya nikmat sekali.
Melihat diaKilatsih mendadak menjadi dengki.
Tanpa segan-segan lagi dia terus masuk.
Mendadak pemuda itu menegur.
"Setan alas! Dunia ini begini lebar, tapi lagi-lagi kita bertemu."
Kilatsih tambah dengki. Membalas menegur.
"Apakah sintingmu belum juga pudar?"
"Kapan aku sinting?"
Tanya pemuda itu.
"Sampai sekarang masih ingat aku, bahwa engkau adalah seorang pemuda tukang nganglap makanan orang....."
Mendongkol hati Kilatsih ditanggapi demikian. Sahutnya dengan suara gemas.
"Aku tak bisa membayar, karena uangku hilang. Ada orang jahat yang mencopet uang. Kau mengerti?"
Pemuda itu kaget sampai berjingkrak. Ia terbangun sambil berseru setengah memekik.
"Apa orang jahat? Rumah ini tiada penghuninya. Kalau penjahat datang-waduh-celaka! Kalau begitu tak mau aku berteduh di sini..."
Kilatsih tersenyum. Sahutnya menang.
"Kau mau pergi kemana? Begitu kau berada di jalan kau bakal kena pegat. CJangmu amblas dan jiwamu mungkin amblas pula. Sebaliknya dengan aku berada disini, seratus penjahat tidak akan dapat mengganggu sehelai rambutmu."
Pemuda itu terbelalak matanya. Sekonyong-konyong ia tertawa terbahak-bahak. Serunya tak percaya.
"Jika kau mempunyai kepandaian membekuk penjahat seratus orangmasakan kau sampai sudi menjadi seorang penganglap makanan warung makan?"
"Sudah kuterangkan tadi sebab uangku kena copet,"
Kilatsih memberi penjelasan dengan perkataan ditekan- tekan. Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal. Katanya sambil menuding.
"Katamu seratus penjahat tidak akan dapat mengganggu sehelai rambutku. Tapi nyatanya kau kena digerayangi tangan jahil. Massya Allah... mulutmu ternyata lebih hebat daripada meng-anglap makan. Kau benar-benar seorang pembual paling besar di dunia ini."
Setelah berkata demikian, ia memperbaiki pakaiannya hendak berlalu.
Tiba-tiba batal sendiri.
Lalu kembali membakar dagingnya sambil menggerendeng.
"Ada-ada saja.
Mana ada penjahat? Dunia begini aman tenteram, masakan ada penjahat.
Jangan mencoba mengelabui dan mengibuli aku!"
Bukan kepalang mendongkolnya hati Kilatsih. Seumpama mampu, ingin ia menelannya. Tetapi alas an pemuda itu, masuk akal. Maka tak dapat ia mengumbar rasa mendongkolnya. Sebaliknya menahan rasa hatinya itualangkah sakit. Akhirnya mencoba meyakinkan.
"Kau tak percaya? Baiklah. Aku pun tidak mengharap engkau percaya kepada kata-kataku."
Daging bakar itu bukan main hebatnya menusuk hidung Kilatsih.
Di warung makan tadi, dia tak sempat makan dan minum dengan kenyang.
Tak mengherankanbegitu hidungnya mencium bau daging bakarlantas saja terbangunlah nafsu makannya.
Tak dikehendaki sendiri, ia menelan ludah.
Tentu saja tak berani ia memperdengarkan suara mulutnya itu.
Ia pun segan pula hendak mencoba minta bagian.
Bukankah dia sudah mencap dirinya sebagai tukang menganglap makanan? Kilatsih benar-benar kena siksa.
Tatkala melihat pemuda itu mulai menggerumiti bakar daging dengan lezatnya, hatinya sakit bukan main.
Celakanya pemuda itu benarbenar kurang ajar.
Dengan memutar-mutar lidahnya dia berkata seolah-olah kepada dirinya sendiri.
"Minuman keras dapat membuat manusia waras menjadi sinting. Kelezatan daging pun dapat membuat orang sakit perut. Habis perut jadi berkereruyuk tak keruan..."
Kilatsih mendeliki pemuda itu. Kemudian membuang mukanya. Sejenak kemudian, pemuda itu mendadak seperti teringat sesuatu. Katanya.
"Hai tukang nganglap! Ini kau kuberi bagian pula."
Berbareng dengan perkataannya, ia melemparkan segumpal daging bakar yang masih hangat dan berlemak.
"Siapa kesudian makan dagingmu?"
Bentak Kilatsih dengan panas hati.
Tak sudi ia menerima pemberian yang memang diharapkan.
Tetapi berbareng dengan sikap galaknya itu, ia menelan ludah untuk menguasai diri.
Lalu duduk perlahan-lahan di atas lantai.
Ia bersila bersemadi dengan memejamkan mata untuk menyingkirkan pemandangan yang menggugah nafsu makannya.
Ia memang tidak melihat lagi.
Tetapi hidung mempunyai tata kerja lain.
Dengan memasukkan uap daging bakar ke dalam rongga tubuhnya perangsang nalurinya terbangun.
Perutnya merasa melilit-lilit.
Inilah suatu siksaan terkutuk.
Tetapi Kilatsih seorang yang angkuh hati.
Makin terdorong ke pojok makin angkuhlah dia.
Dia pun murid seorang pendekar kelas pertama pada zaman itu.
Maka uap daging bakar itu seumpama uap racun lawan yang datang menyerang.
Cepat-cepat ia menenggelamkan diri dalam tata semadinya untuk melawannya.
Keangkuhan hatinya merupakan sendi ketabahannya.
Lambat laun ia berhasil.
Rasa laparnya dapat dikuasainya.
Hatinya lantas terasa menjadi lega.
Perlahan-lahan ia membuka kedua matanya dan berani memandang penglihatan yang menggiurkan.
Pemuda berbaju biru itu ternyata sedang rebah tidur.
Daging bakarnya menggeletak di sampingnya.
Melihat daging bakar yang nampak empuk itu, lidahnya bergerak-gerak.
Liur lembut meleleh dan membasahi dinding mulut.
Hati-hati tangannya diulurkan hendak menyambar daging itu.
Pada saat itu mendadak pemiliknya menggeliat.
"Setan!"
Maki Kilatsih di dalam hati. Bukan main rasa dengkinya terhadap pemuda itu.
"Baiklahtak apa. Masakan aku akan mati kelaparan melihat daging bakarnya."
Pemuda itu sendiri tidak menghiraukan penderitaan Kilatsih. Enggan nikmat sekali ia mendengkur. Lantaran ruang bangunan itu tidak terlalu lebar, suara dengkurnya terasa berisik.
"Pemuda ini sebenarnya datang dari mana?"
Kilatsih berteka-teki pada dirinya sendiri setelah merenungi pemuda itu.
"Dia berpakaian mentereng dan bersih. Apa sebab dia menginap di sini dengan membiarkan dirinya tidur di atas lantai begini kotor? Dia membawa uang emas dan permata pula. Setolol-tololnya orang pastilah sadar, bahwa hal itu membahayakan dirinya manakala sampai kena pandang orang. Tapi dia memilih tempat penginapan yang justru memen-cil. Kalau dengan tiba- tiba kena keroyok penjahat, kepada siapa ia hendak minta pertolongan? Menilik gerak-geriknya, terang sekali ia tak pandai berkelahi..."
Kilatsih bangkit dari semadinya. Timbullah keinginannya hendak menggeledah tubuh pemuda itu. Maka perlahan-lahan ia mendekati. Mendadak pemuda itu bergeliat lagi dengan membalikkan tubuhnya. Kilatsih merandek. Hatinya beragu. Pikirnya di dalam hati.
"Dia mencap aku sebagai seorang penganglap makanan. Sekarang aku hendak menggeledahnya. Kalau sampai terbangun, bukankah dia bertambah yakin bahwa aku seorang jahat?"
Memperoleh pertimbangan demikian ia mundur lagi dua langkah.
Sekonyong-konyong ia mendengar suara gemeretak di pekarangan.
Ia menoleh menajamkan telinganya.
Suara gemertak itu tiada bersambung.
Ia lantas melirik kepada pemuda itu.
Tetap saja dia mendengkur dengan enaknya.
"Ehbenar-benar seekor babi!"
Maki Kilatsih di dalam hati.
"Sebenarnya tak perlu aku berpusing-pusing memikirkan dia. Dia kena gebuk atau kena rampasapa peduliku? Tetapi sebenarnya kalau sampai terjadi demikiankasihan juga. Ah-"-nasibmu memang bagus. Biarlah aku menangkis penjahat yang datang itu."
Setelah mendapat keputusan demikian, Kilatsih melesat di belakang daun pintu.
Hati-hati ia membuka pintu dan melesat lagi keluar.
Dengan lincah ia melompat ke atas dahan.
Sambil melindungkan dirinya di belakang dahan, ia menebarkan penglihatannya.
Tatkala itu bulan sipit sudah di udara bersih.
Cahaya remangnya menyibakkan kepekatan malam.
Samar- samar matanya yang tajam melihat berkelebatnya dua bayangan manusia.
Mereka mengenakan topeng.
"Sst! Dua orang di dalam,"
Bisik yang berada di kanan.
"Siapa pemilik kuda putih dan kuda hitam itu selain mereka. Apakah pemilik kuda putih temannya?"
"Tidak. Secara kebetulan mereka bertemu di dalam kedai. Mungkin pula di dalam perjalanan, mereka berkenalan. Lalu menginap bersama-sama di sini."
"Bagaimanaseumpama dia membandel tidak mau menyerahkan uangnya."
"Kalau bisajangan sampai kita terpaksa memecah kepalanya."
"Benar. Tetapi lebih baik kita lukai sedikit saja. Biarlah dia mampus di perjalanan daripada di sini."
Kilatsih gusar mendengar pembicaraan itu. Kutuknya di dalam hati.
"Benar-benar jahat kalian ini. Selain mengincar hartanya masih ingin pula merenggut jiwanya."
Tiba-tiba yang di sebelah kiri berseru kaget memberi peringatan.
"Awas! Di atas pohon ada orang!"
Dengan sebat Kilatsih melepaskan dua biji sawonya.
Mereka ternyata gesit.
Sambaran biji sawo dapat dielakkan.
Kilatsih menjadi penasaran.
Dengan menghunus pedangnya, ia melompat turun.
Begitu tiba di atas tanah, ia lantas menyerang.
Kedua orang itu buru-buru mengeluarkan senjatanya masing-masing.
Seutas rantai berkepala bola berpaku dan sebatang tongkat panjang alat pengemplang kepala.
Melihat menyambarnya pedang, mereka menangkis dengan berbareng.
Mereka kaget melihat akibatnya.
Baik rantai maupun tongkat mereka terpapas sebagian.
Kecuali itu mereka terpental mundur.
Hampir-hampir senjata mereka terpental pula dari genggamannya.
"Mereka bukan orang lemah,"
Pikir Kilatsih di dalam hati setelah merasakan tangkisan mereka.
Terus saja ia memberondong dengan serangan berantai.
Pedang Kilatsih adalah pedang warisan leluhur Adipati Surengpati.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebenarnya Titisari yang berhak menjadi pemiliknya.
Tetapi karena dia bukan mewarisi ilmu kepandaian ayahnya dan telah pula memiliki pedang mustika Sangga Buwana maka pedang itu diberikan kepada Kilatsih sebagai pewaris ilmu pedang Witaradya.
Pedang itu sendiri diberi nama Witaradya oleh Adipati Surengpati.
Tajamnya luar biasa.
Sekali bentrok dengan senjata lawan, pasti kena dikutungkan.
Akan tetapi tongkat dan Sambaran biji sawo dapat dielakkan.
Kilatsih menjadi penasaran.
Dengan menghunus pedangnya, ia melompat turun.
Begitu tiba di atas tanah ia lantas menyerang.
rantai dua penjahat itu, terbuat dari tumpuan bahan yang tebal.
Meskipun demikian Sambaran biji sawo dapat dielakkan.
Kilatsih menjadi penasaran.
Dengan menghunus pedangnya, ia melompat turun.
Begitu tiba di atas tanah, ia lantas menyerangkena terpa-pas sedikitrantai dan tongkat mereka som-plak sebagian.
Mereka segera memperbaiki kedudukan diri.
Sedianya mereka hendak minta keterangan, siapakah Kilatsih.
Tetapi karena terus dicacar dengan serangan-serangan berbahaya, tiada mereka berkesempatan membuka mulutnya.
Yang bersenjata seutas rantai memiliki kesehatan tak tercela.
Dia pun bertenaga dan cerdik.
Sadar akan ketajaman pedang Witaradya tak berani lagi ia mengadu rantainya.
Setiap kali terancam suatu tebasan, cepat-cepat ia menariknya dan membalas menyerang dengan sabetan melengkung.
Kilatsih berkelahi dengan menggunakan ilmu Petak Ratna Dumilah warisan Titisari digubahnya menjadi ilmu pedang.
Gerak-geriknya gesit dan sukar ditebak kemana sasarannya.
Tubuhnya berkelebatan di antara kesiur rantai dan tongkat.
Dilawan dengan kegesitan demikian, dua penjahat bertopeng itu kuwalahan.
Mereka habis daya.
Syukur mereka licin dan berpengalaman.
Meskipun terpaksa bermain mundur namun tak sampai kena sambaran pedang.
Kilatsih yang berwatak panas, menjadi penasaran.
Dasar murid Adipati Surengpati, keliarannya betapapun juga diwarisinya.
Kalau tadi dia bermaksud memberi hajarankini timbullah rangsang hendak merenggut jiwa mereka.
Dan memperoleh pikiran ini, pedangnya berkelebat.
Senjata rantai lawan dihantamnya dengan kencang.
Ia hendak membunuh pemilik senjata rantai itu dahulu.
Kemudian baru yang satunya.
Di luar dugaan, pemilik senjata rantai itu sebat luar biasa.
Melihat serangan pedang ia memindahkan rantainya ke tangan kiri.
Lalu menggubat hulu pedang Kilatsih dengan tiba-tiba.
Berhasil demikian, cepat-cepat ia menarik dengan mengerahkan seluruh tenaganya.
Kilatsih kaget setengah mati.
Hampir saja pedangnya terlepas dari genggaman Ia seperti pernah melihat tipu daya demikian.
Gerakannya mirip tipu muslihat ilmu sakti Sirtupelaheli.
Lalu membentak.
"Hai! Apakah kau anak murid Dipajaya?"
Kilatsih mendengar kisah Sirtupelaheli Dipajaya, tatkala berada di Pulau Karimun Jawa.
Kisah itu didengarnya tatkala Titisari memberi keterangan tentang Sirtupelaheli kepada ayahnya.
Dasar ia seorang cerdas, begitu teringat gerakan rantai itu lantas saja teringat pula kepada Sirtupelaheli.
Menimbang tenaga yang digunakan orang itu, ia menduga sebagai teringat lagi kepada Dipajaya.
Sebab gaya tata berkelahinya adalah gaya khas ajaran seorang pria.
Tebakannya ternyata tepat sekali.
Orang itu berjingkrak kaget.
Lalu berseru menyeramkan.
"Kau datang dari mana sampai mengenal nama itu? Bagus! Karena kau mengenal kamimaka terpaksalah kami melunasi jiwamu."
Pengakuan itu mengejutkan hati Kilatsih.
Benar- benarkah dia murid atau setidak-tidaknya orangnya Dipajaya? Dia mendengar Dipajaya dan sepak terjangnya sebagai suatu dongeng belaka.
Kabarnya dia hidup di Jawa Timur.
Apa sebab salah seorang murid atau bawahannya merantau sampai di bumi Jawa Barat? Teringat dongeng kejadian Dipajaya dan tujuan hidup Dipajaya, meledaklah amarah Kilatsih.
Bentaknya dengan mata berapi-api.
"Kau manusia beracun apa sebab sampai berkeliaran di Jawa Barat? Kau hendak meracun siapa? Jangan bermimpi kau bisa melebarkan pengaruh Aliran Suci di sini."
Dengan mengerahkan tenaga ia menghentakkan pedangnya.
Begitu terlepas, segera ia memberondong dengan lima tikaman berturut-turut.
Orang itu ternyata gesit pula.
Ia menggerung tinggi dan membalas menyerang pula.
Tapi Kilatsih kali ini tidak sudi lagi berkelahi dengan setengah hati.
Terus saja ia menggunakan Ilmu pedang Witaradya.
Dengan perubahan tata berkelahi itu, pertempuran segera berjalan amat sengitnya.
Selang sekian lamanya Kilatsih menggunakan ilmu pedang Witaradyatetap saja ia belum berhasil.
Diam-diam hatinya meringkas.
Sudah beberapa hari ini, dia membuang tenaga dan kurang tidur.
Malam itu bahkan diganggu perut lapar.
Maka akibatnya ia cepat menjadi lelah.
Keringatnya mulai membasahi seluruh tubuhnya.
Tadi ia mengira, bahwa mereka adalah penjahat-penjahat kecil tak bernama.
Tak tahunya, mereka anak murid Dipajaya.
Dengan dikerubut duasekalipun memiliki pedang mustika nampaknya tiada gunanya.
"Pedang bocah ini bagus!"
Kata yang bersenjata tongkat.
"Pedang ini untukku."
"Boleh,"
Sahut temannya.
"Hanya saja kau harus berjanji. Setelah berhasil membekuknyaorangnya harus kau serahkan kepadaku. Kau tak boleh mencampuri."
"Baik, aku berjanji."
Mendongkol hati Kilatsih mendengar percakapan mereka.
Itulah percakapan merendahkan dirinya, seolah- olah sudah dapat dipastikan bahwa dirinya bakal kena dibekuknya.
Orang yang bersenjata rantai itu, tentu saja tak mengerti bahwa dirinya seorang gadis.
Tapi dengan tak sengajakata-katanya menyinggung perasaan seorang gadis.
Dalam telinga Kilatsih terdengar sangat busuk dan kotor.
Maka dengan hati meledak, ia mengulangi serangannya yang dahsyat.
Kali ini ia mencecar yang bersenjata tongkat.
"Aduh!"
Jerit orang itu.
Tiba-tiba saja lengannya tergantung lumpuh di depan perutnya.
Kilatsih memperlihatkan kesehatannya.
Dengan suatu serangan kilat ia menikam tenggorokan.
Tak ampun lagi, orang itu roboh.
Ia tewas pada detik itu juga.
Temannya kaget setengah mati.
Begitu kaget dia, sampai tertegun sejenak.
Hatinya mencelos tatkala melihat berkelebatnya pedang Kilatsih menyambar dirinya.
Untung-untungan ia menangkis.
Rantai ter-papas kutung.
Kali ini ia tersentak sadar.
Cepat ia mundur.
Kemudian melompat lari tunggang - langgang.
Hati Kilatsih sedang panas.
Ia dengki terhadap ucapan orang itu yang hendak melawannya.
Segera ia menimpuk dengan tiga biji sawonya.
Lalu terdengarlah suara berisik.
Ketiga biji sawonya runtuh-di atas tanah dan orang itu kabur dengan selamat.
Kilatsih jadi keheranan.
Orang itu tak nampak mencoba menangkis sambaran biji sawonya.
Tetapi apa sebab sambitannya runtuh di atas tanah? Apakah ada seorang yang menolong menyelamatkan jiwanya? Ia menoleh kepada orang yang mati ter-tumblas pedangnya.
Matinya orang itu pun mengherankan dirinya.
Sebenarnya masih mampu dia menangkis.
Tapi apa sebab, lengannya mendadak lumpuh lunglai? Apakah ada orang yang membantu dirinya dengan diam-diam? Kilatsih menjadi bingung.
Sebab orang yang menolong dirinya membantu pula menyelamatkan lawannya yang justru mendengkikan hatinya.
Dengan hati-hati ia menghampiri mayat lawannya.
Ia menyontek topeng yang dikenakan dengan ujung pedangnya.
Ia kaget karena orang ituternyata seorang Tionghoa.
Apakah artinya ini? Pastilah dia bukan seorang penjahat lumrah.
"Aneh orang ini. Aneh pula orang yang membantuku. Dia membantu aku membunuh dia, berbareng menggagalkan aku menimpuk yang satu,"
Pikirnya bolak- balik. Dengan penasaran ia menggeledah sakunya. Ia memperoleh empat ringgit uang perak. Pikirnya dengan tertawa geli di dalam hati.
"Salahmu sendiri. Kupinta keikhlasanmu. Saat ini aku membutuhkan uang bekal."
Baru saja ia memasukkan uang rampasannya itu, sekonyong-konyong terdengar suara gemeresak di atas pohon. Kaget ia mendongak. Dua bayangan muncul di antara silang dahan.
"Hai, tunggu!"
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seru bayangan itu. Mereka melompat turun dan lari mengarah ke pintu bangunan.
"Dalam perjalanan, wajib engkau membagi rejeki kepada teman sejalan. Mana bagian kami?"
Kilatsih berdiri tegak dengan menggenggam pedangnya.
"Inilah bagianmu."
Kedua orang itu bertopeng pula. Dengan tertawa terbahak-bahak mereka menghampiri.
"Bagus! Bagus! Itulah namanya seorang yang mengerti menghargai arti suatu persahabatan. Kalau ada makanan kita makan bersama. Kalau ada minuman, kita minum bersama."
Orang yang berkata demikian, lalu mendekat dengan mengangsurkan tangannya.
Kilatsih menyambut dengan tertawa melalui hidungnya.
Kemudian pedangnya menyabet dengan tiba-tiba.
Sudah barang tentuorang itu kaget setengah mati.
Cepat ia menarik tangannya.
Lalu meliukkan tubuhnya sambil melompat mundur.
Begitu kakinya meraba tanah, tiba-tiba ia membalas menyerang.
Itulah suatu gerakan gesit di luar dugaan.
Kini Kilatsih yang berganti menjadi terkejut.
Buru-buru ia melintangkan pedangnya dan menabas.
"Awas! Pedangnya!"
Seru temannya memberi peringatan.
Orang itu lalu menghunus goloknya dan maju membantu.
Kedua orang itu merupakan lawan lagi yang tidak ringan, mereka lebih sebat dan lebih berbahaya daripada kedua lawannya tadi.
Syukur ilmu pedang Witaradya adalah ilmu pedang yang bernilai tinggi.
Betapa mereka mencoba merangsak, tak dapat juga memasuki daerah geraknya.
Setelah lewat lima puluh jurus, orang yang berkelahi dengan tangan kosong berkata memutuskan.
"Baiklah. Biarlah kau menelan mangsamu sendiri. Tapi kau wajib memberitahukan namamu. Dengan begitu, kita jadi bersahabat sampai di kemudian hari."
"Siapa kesudian bersahabat dengan kamu?"
Bentak Kilatsih dengan mata melotot.
"Kejahatanmu hendak merampas barang milik seseorang, dapat dimaafkan. Tapi kamu ternyata anak buah Dipajaya yang beracun. Si Tua bangkotan itu mempunyai tujuan yang berbahaya. Bukankah kamu diperintahkan untuk mengganggu pendekar besar Sangaji untuk merebut sebuah pusaka warisan?"
"Hihaaaa... monyet, kau lancang mulut!"
Bentak orang itu.
Tangannya bergerak dengan sebat hendak mematahkan lengan.
Tentu saja Kilatsih tak sudi menyerah.
Pedangnya berkelebat secepat kilat.
Ia menyambar ke kiri, tapi bidikannya sudut kanan.
Itulah salah satu macam tipu muslihat pedang Witaradya yang sukar diraba sasarannya.
Tapi musuh itu benar-benar licin.
Bagaikan seekor belut.
Tubuhnya dapat meringkas dan lolos dari setiap serangan pedang yang datang dengan bertubi-tubi.
Ilmu pedang Witaradyamemang ilmu sakti yang luar biasa sifatnya.
Selain lincah dan gesit, mengandung perubahan yang tiba-tiba.
Kilatsih berhasil mengurung mereka sehingga tak berdaya sama sekali.
Tatkala ujung pedangnya hampir berhasil menikam kempungan, mendadak lengannya terasa kesemutan.
Serangannya berhenti di tengah jalan dan kedua orang itu berhasil menyelamatkan diri.
Kemudian kabur dengan secepat- cepatnya.
Sebentar saja tubuh mereka lenyap dari penglihatan.
"Kurangajar,"
Maki Kilatsih.
"Hai! Setan manakah yang bersembunyi di sini. Jangan main gelap. Hayo keluar!"
Kilatsih penasaran.
Serangannya tadi gagal, karena lengannya tiba-tiba kesemutan.
Itulah akibat suatu serangan gelap dari luar gelanggang.
Ia menunggu.
Lalu memakinya.
Tapi makiannya hening tiada yang menanggapi.
Masih ia menunggu dengan bersiaga.
Kemudian tangan kirinya meraba lengannya.
Terasa kulit dagingnya menonjol sedikit sebesar butir kedele.
Teranglah seseorang menyerangnya dengan menggunakan alat penyambit.
Tetapi siapapenyerang gelap ituternyata tak berani mencongakkan diri.
Tak puas hati Kilatsih, walaupun berhasil mengusir dua orang tadi.
Dengan hati uring-uringan ia memasuki rumah bangunan.
Tiba di dalampemuda berbaju biru muda itu masih saja tidur dengan mendengkur.
Suara napasnya naik turun sangat berisik.
"Hai, anak mampus!"
Tegur Kilatsih dengan suara menghentak.
"Enak sekali kau tidur!' Pemuda itu menggeliat panjang sambil membalikkan badannya. Dengan pandang malas ia mengawaskan Kilatsih.
"Haiada penjahat!"
Kilatsih memberi kabar dengan suara nyaring. Pemuda itu lantas menegakkan badannya dengan menyenakkan mata. Kedua kelopak matanya masih nampak melengket. Katanya seperti sedang mengigau.
"Enak benar tidur di atas lantai. Ah, aku bermimpi bagus tadi. Sayang hanya aku sendiri yang mengetahui."
"Kau mengetahui apa?"
Tungkas Kilatsih dengan memberengut. Kemudian tertawa geli.
"Ada penjahat datang kemari. Kau tahu?"
Pemuda itu menguap lebar sekali. Meng-gerendeng.
"Lagi-lagi kau membicarakan perkara penjahat. Kenapa sih begitu jahil sampai mengganggu orang sedang tidur? Apa sih dosanya orang lagi tidur?"
Ia menganggap pemberitahuan Kilatsih sebagai suatu bualan kosong. Karena ituia menggerendenginya. Kilatsih mendongkol berbareng geli.
"Cobalah kau lihat di luar kalau kau tak percaya."
Pemuda itu menggeliat lagi seraya menguap.
"Seumpama benar ada penjahat datang manakah buktinya? Tujuanmu kan hanya ingin mengganggu aku. Kau memang jahil."
"Akulah yang mengusir mereka,"
Bentak Kilatsih dengan suara sengit.
"Kau kira aku menjual bualan kosong?"
"Ehapakah benar?"
Pemuda itu terbelalak.
"Kalau begitu makanlah sepotong dagingku itu. Tidak lagi aku mencap engkau sebagai penganglap. Sebab itulah upah jasamu."
Berkata demikian, ia menyambar sepotong daging bakar dan dilemparkan. Kilatsih menyampoknya jatuh dengan hati mendongkol.
"Hmbenar-benar engkau mengira aku sedang membual? Bagus! Sebenarnya siapa namamu dan datang darimana?"
Pemuda itu menggerakkan gundu matanya. Sekonyong-konyong ia mencontoh Kilatsih. Dengan menuding ia bertanya.
"Siapa namamu dan datang dari mana?"
Kali ini Kilatsih tidak hanya mendongkol, tapi bergusar pula.
"Apa?"
Bentaknya. Pemuda itu tertawa lebar.
"Kau bertanya tentang nama dan asalku datang. Tapi caramu memeriksa seperti terhadap seorang pesakitan. Apakah aku pun tak bisa berbuat begitu?"
Ingin sekali Kilatsih mengumpat. Tetapi alasannya benar. Karena itu, ia membungkam. Pikirnya di dalam hati.
"Mustahil aku akan memberi keterangan tentang nama dan asalku datang."
Ia mengawaskan pemuda itu yang mengerling padanya. Pikirnya lagi.
"Aku tak sudi memberi keterangan tentang diriku. Dia pun berhak bersikap begitu."
"Aku tak bisa memaksanya. Tapi penjahat-penjahat yang datang itu, terang sekali anak murid atau bawahan Dipajaya. Menurut tutur kata Kakak Titisari, Dipajaya adalah seorang pendekar yang kena pengaruh bius Aliran Suci. Dia mengacau dimana-mana untuk mencari rahasia semua ilmu sakti yang berada di Pulau Jawa. Apakah pemuda ini tidak mempunyai hubungan dengan mereka? Jangan-jangan dia pun seorang pemuda yang memimpikan surat wasiat Kakak Titisari pula. Ah, mustahil! Mustahil! Surat wasiat Kakak Titisari berada jauh di Jawa Tengah dalam genggaman ayah angkatku. Sedangkan ia berada di sini. Kukira dia anak seorang hartawan yang lagi iseng. Kalau dia mempunyai hubungan dengan penjahat-penjahat tadi, apa sebab mereka memusuhi?"
Memperoleh pertimbangan demikian, timbullah rasa persahabatannya.
Mau ia bersikap lunak dan mengalah.
Tapi begitu melirik ke arah pemuda itu, hatinya jemu.
Wajah pemuda itu tampak tolol dan tingkah lakunya mendengkikan hati.
Dengan setengah tertawa dia memandangnya.
Kedua matanya dirapatkan setengah- setengah sehingga berkedip-kedip seakan-akan kena silau cahaya.
Alangkah menjemukan! "Baiklah masing-masing mempunyai tujuannya sendiri,"
Kata Kilatsih.
"Kau tadi bilang, tak sudi kau bersahabat dengan seorang penganglap. Aku memang seorang pe-nganglap. Sampai di sini saja kita bertemu."
"Hai! Hai! Kau kenapa?"
Pemuda berbaju biru muda itu terperanjat.
"Aku berkata dengan sebenarnya tentang datangnya penjahat. Tapi engkau menganggap diriku seorang pembual besar. Baiklah mulai sekarang kau bakal dimangsa penjahat atau bakal ditelan, aku tidak peduli lagi. Selamat tinggal."
Setelah berkata demikian, Kilatsih memutar tubuhnya.
Kemudian dengan cepat dia keluar pintu.
Ia bersakit hati karena direndahkan.
Sedangkan maksudnya baik sekali hendak melindungi.
Pemuda itu lalu berbangkit.
Dengan sepasang matanya yang tajam ia mengikuti keluarnya Kilatsih dari pintu.
Mulutnya bergerak hendak memanggilnya.
Tapi mendadak batal.
Kemudian tertawa pelahan-lahan dan kembali berbaring di tempatnya tadi.
Di atas kudanya, hati Kilatsih masih uring-uringan.
Tatkala fajar mulai menyingsing, ia sudah jauh meninggalkan bangunan semalam, la menahan lesnya.
Kemudian melompat turun.
Di sebuah sungai yang jernih airnya, ia membasuh diri.
Seluruh tubuhnya meremang begitu menyentuh air.
Alangkalj dingin! Selamanya Kilatsih adalah seorang gadis yang angkuh.
Ia gampang sekali tersinggung dan tak sudi mengalah.
Begitu rasa dingin menusuk kulitnya timbullah gairahnya untuk melawan.
Terus saja ia menanggalkan pakaiannya dan mencebur di dalam sungai.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hampir tujuh tahun ia menetap di pulau Karimun Jawa.
Meskipun belum dapat melawan kepandaian Titisari, tetapi ia termasuk seorang gadis yang pandai berenang.
Dengan lincah ia menyelam dan timbul seakan-akan seekor ikan bergurau di bawah permukaan air.
Mula-mula dingin air nyaris membekukan tulang belulangnya.
Lambat laun ia bisa menyesuaikan diri.
Akhirnya ia merasakan suatu kesegaran yang menyejukkan.
Maka lupalah dia kepada perutnya yang semalam terasa sangat lapar.
Megananda sendiri mendapat kebebasan penuh.
Setelah menghirup air sungaiia menggerumiti rerumputan pegunungan yang hijau meriah.
Tatkala majikannya sudah berdandan rapih, matahari bersinar terang ke seluruh persada bumi.
"Hayokita berangkat!"
Kata Kilatsih dengan lembut.
Ia meraba pelana untuk dikencangkan tali pengikatnya.
Tiba-tiba tangannya menyentuh sebuah bungkusan yang di bawah pelana.
Ia kaget.
Karena bungkusan itu adalah bungkusan uangnya.
Segera ia membukanya.
Di dalamnya tidak hanya berisi uangnya sendiri, tapi pun uang copetan-nya pula.
Heran dan penasaran, Kilatsih melompat tinggi menyambar dahan pohon.
Ia memeriksa sekitarnya.
Tiada sesosok bayangan yang nampak, selain kabut pegunungan yang bergulungan dan sirna kena sinar surya.
"Ah! Apakah perjalananku ini ada yang mengikuti?"
Ia berteka-teki dalam hati.
Ia lantas melarikan kudanya mengarah ke timur laut.
Pagi hari kini menyongsongnya dengan kegairahannya.
Karena penglihatan terang benderang, ia tak ragu-ragu untuk mempercepat lari kudanya.
Segera ia memasuki suatu daerah yang indah meresapkan hati.
Di dekat persimpangan jalan ia berpapasan dengan beberapa orang yang berperawakan gagah.
Mereka menunggang kuda pula dan searah.
Melihat mereka, Kilatsih memperlambat kudanya.
Namun ia bersikap tak menghiraukan agar tidak menarik perhatian mereka.
"Menilik pakaian yang dikenakan, agaknya mereka hendak menghadiri suatu pesta. Apakah kakakku Sangaji memanggil mereka untuk menghadiri suatu pertemuan? Jangan-jangan inilah yang dikhabarkan orangkakakku Sangajiberpindah tempat,"
Pikirnya di dalam hati.
Mereka melampaui Kilatsih.
Pandang mata mereka bersungguh-sungguh dan tidak menghiraukannya.
Mungkin sekali Kilatsih dianggapnya sebagai seorang pemuda biasa yang berpesiar di waktu pagi.
Tapi justru sikapnya itu, menarik perhatian Kilatsih.
Ia yakinbahwa kepergian merekamempunyai hubungan rapat dengan kegiatan Sangaji.
Setelah berjalan serintasan, Kilatsih merasa lapar.
Segera ia mencari warung makan.
Ia memesan makanan pagi seadanya.
Minumnya teh pahit.
Karena perutnya kosong semenjak semalam, ia makan dengan lahap sekali.
"Hari ini nampaknya lalu lintas perdagangan bakal ramai,"
Katanya iseng.
"Ehapakah Tuan hendak pergi pula ke Sumedang?"
Ujar penjual nasi itu dengan tertawa riang.
"Sumedang? Ada apa di sana?"
Kilatsih minta keterangan.
"O, kalau begituTuan bukan orang sini,' kata orang itu.
"Hari ini Raja Muda Dwijendra dari panji-panji Bintang Pedang bersilang mengadakan pesta ulang tahun. Banyak sekali sahabat dan handai taulannya yang dipanggil datang."
Kilatsih mengerutkan dahinya.
Teringatlah dia kepada susunan laskar perjuangan Himpunan Sangkuriang.
Himpunan Sangkuriang semenjak zaman Ratu Bagus Boang terbagi menjadi dua sayap.
Sangaji pun tidak membahunya.
Adapun yang menduduki dua sayap pemerintahan itu, enam orang raja muda.
Yang pertama Dadang Wiranatakemudian Otong Surawijaya, Ratna Bumi, Dwijendra, Andangkara dan Walisana.
Masing- masing mempunyai panji kebesaran bergambar.
Obor Menyala, Kuda Sembrani, Keris Sakti, Bintang, Garuda dan Bunga Merekah.
"Ah, Paman Dwijendra! Apakah dia berempat tinggal di Sumedang?"
Kilatsih menegas. Mendengar pertanyaan Kilatsih, penjual nasi itu lantas saja membungkuk hormat.
"Oh, kiranya Tuan sahabat tuanku Raja Muda Dwijendra."
"Siapakah yang belum kenal nama Paman Dwijendra? Aku menyebut paman, karena usiaku lebih muda. Aku sendiri datang dari Jawa Tengah."
Penjual nasi itu memanggut. Tetap saja dia bersikap hormat, meskipun Kilatsih mencoba menghindari. Katanya dengan lirih.
"Benar. Tuanku Dwijendra luas pergaulannya. Tata susilanya genap. Beliau seorang pendekar pendiam. Karena itu tetamunya yang datangbukan main banyaknya. Semuanya orang-orang gagah. Asalnya dari berbagai daerah."
Kilatsih memanggut.
Tentang keperkasaan Dwijendra, ia mendengarnya dari tutur kata Titisari.
Dia tidak hanya seorang ahli pedangtapi pun seorang yang mahir dalam ilmu tangan kosong.
Senjata rahasianya disebut orang dengan istilah "Geledak menggetarkan langit."
Bentuknya semacam bolaterbuat dari baja pilihan.
Beratnya limapuluh kati.
Jangan lagi manusia yang terdiri dari darah dan daging, tiang besi pun bisa patah kena sambitannya.
Walaupun memiliki senjata* rahasia begitu dahsyat, jarang ia menggunakannya.
Itulah sebabnya dia dihormati orang.
Dasar pandai bergaul pula.
Namun betapapuntabiatnya aneh.2) "Dia seorang maha penting dalam Himpunan Sangkuriang.
Namanya sangat 2) Lebih jelas bacalah Bende Mataram mulai
Jilid XIII hal. 119 - XV hal. 53 menakutkan Kompeni Belanda. Tak tahunya dia tinggal di Sumedang,"
Pikir Kilatsih di dalam hati.
"Baiklah aku datang pula ke-sana. Siapa tahu, Kangmas Sangaji berada pula disana. Seumpama tidakaku bisa memperoleh keterangan yang pasti."
Teringatlah dia kepada bunyi tulisan pada selembar kertas yang dibacanya kemarin. Mungkin yang memiliki kepandaian tinggi itu, hadir pula di rumah Dwijendra. Maka segera ia minta keterangan, dimanakah letak istana Dwijendra.
"Rumahnya memang sebuah gedung yang mentereng. Tapi belum boleh disebut sebuah istana,"
Ujar penjual nasi.
"Aku sendiri belum pernah memasuki pekarangannya. Lebih baik Tuan mengikuti rombongan tetamu lainnya. Aku yakin, bahwa tuanku raja muda akan menerima kunjungan Tuan dengan tangan terbuka."
Sesudah membayar harga makanan, Kilatsih melanjutkan perjalanan.
Tetamu undangan sangat banyaknya.
Tatkala tiba di pekarangan gedung raja muda Dwijendra hampir semua kursi telah ditempati orang.
Namun dengan pertolongan seorang penyambut tetamu yang ramah, ia bisa memperoleh tempat pula yang berada di dekat taman bunga.
Sambil minum dan mengge-rumiti makanan ia mendengarkan pembicaraan orang.
"Hari ini tuanku Dwijendra tidak saja hendak merayakan hari ulang tahunnya yang kelimapuluh enam, tetapi akan memilih pula calon menantunya,"
Kata seorang yang berada di sebelah kanannya.
Temannya yang diajak berbicara tertawa lebar.
"Benar tapi Beliau bisa pusing kepalanya.
Kudengar kemenakan-kemenakan tuanku Otong Surawijaya, Walisana dan Ratna Bumidengan berbareng memajukan surat lamaran.
Hayo bagaimana cara Beliau hendak memutuskan."
Seorang lain menyambung.
"Tuanku. Dwijendra pernah memimpin laskar perjuangan mulai dari timur sampai mencapai batas pantai barat. Masakan perkara memutuskan siapa yang bakal menjadi menantu dapat memusingkan Beliau. Lihat! Kau melihat apa?"
Kilatsih ikut berpaling ke arah telunjuknya. Di tengah taman berdiri sebuah panggung pertunjukan gendang- pencak. Tetapi ukurannya jauh lebih tinggi dan jauh lebih lebar. Orang kedua tertawa mengerti.
"Rupanya tuanku Dwijendra masih memegang teguh adat-istiadat kita. Meskipun kedudukannya sangat tinggi, masih mau menerima adat leluhur. Jadi Beliau hendak mengadakan arena adu kepandaian untuk memilih calon menantu? Wahbakal ramai ini nanti. Tetapi bagaimana caranya?"
"Lihatlah saja bagaimana tuanku Dwijendra mempertunjukkan keadilannya. Beliau tidak memandang bulu. Siapa saja yang mampu memperlihatkan kepandaiannya, akan berhak disebut sebagai menantunya."
"Bagus! Bagus! Sayang cucuku sudah lima orang. Kalau tidak, mau aku mencoba-coba mengadu untung."
Kilatsih tertawa. Pikirnya di dalam hati.
"Inilah cara mencari menantu yang aneh. Sekiranya yang menang rupanya jelek dan sudah mempunyai anak sepuluh bagaimana? Bukankah kasihan anak gadisnya?"
Kilatsih dilahirkan di bumi Jawa Barat.
Namun setelah berumur tiga tahun, ia dibawa Sorohpati ke Jawa Tengah.
Selanjutnya sampai dewasa ia hidup di Karimun Jawa.
Tak mengherankania tak mengenal adat kebiasaan rakyat Jawa Baratpada dewasa itu.
Mencari menantu dengan mengadu kepandaian, bukanlah suatu kejadian yang aneh.
Hampir setiap hari, orang dapat melihatnya.
Tatkala matahari condong ke barat terdengarlah suara sambutan riuh suatu sambutan ucapan selamat serempak.
Para tetamu pada bangkit dari tempat duduknya.
Juga Kilatsih ikut berdiri tegak sambil melayangkan matanya.
Seorang tua berpakaian muslim muncul di antara kerumun orang.
Ia mengenakan jubah putih.
Jenggotnya panjang memutih.
Wajahnya kemerah-merahan.
Sorbannya putih bersih.
Ia berjalan perlahan-lahan dengan menggandeng tangan seorang gadis remaja.
Begitu berada di bawah panggung, dengan gesit ia melompat ke atas panggung.
Gadis yang digandengnya tadi meniru pula melompat ke atas panggung.
Sekarang jelaslah perawakan gadis itu.
Kilatsih mengamat-amati.
Pandang wajahnya cantik lembut.
Mulutnya mungil dan selalu menyungging suatu senyum.
Sepasang alisnya lentik dan panjang.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Matanya yang cemerlang berambut panjang.
Gerakan gundu matanya tenang dan pandangnya tajam.
Sedang rambutnya terurai panjang pula menutupi bagian punggungnya.
Alangkah serasi.
Perawakan tubuhnya tinggi semampai.
Warna kulitnya kuning keputih-putihan.
Bersih meresapkan hati.
Tertarik kepada keserasian itu, Kilatsih menghampiri panggung dan mendongar.
Gadis itu nampak polos.
Pandangnya berani.
Tidak pemalu suatu bukti bahwa dia sering bergaul dengan orang-orang penting yang mempunyai kedudukan.
Maka terhadap para tetamunya yang datang memenuhi pekarangan rumahnya, ia melayangkan pandang dengan tegas dan dengan wajah tak berubah.
"Selamat datang, selamat datang!"
Kata seorang tua berjubah panjang itu. Para tetamu menyambut dengan gemuruh. Dari pembicaraan mereka tahulah Kilatsih, bahwa orang itu adalah Raja Muda Dwijendra. Dan gadis yang berdiri di sampingnya bernama Sekar Kuspaneti.
"Heran,"
Pikir Kilatsih di dalam hati.
"Ayahnya seperti bola tanding. Tapi puteri-nya begitu cantik bagaikan bidadari. Apakah ibunyalah yang cantik jelita?"
Tak sempat lagi Kilatsih main menebak-nebak. Pada waktu itu Dwijendra mulai berbicara menyambut para tetamunya.
"Hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku sangat terharu menyaksikan perhatian saudara-saudara. Terima kasih, terima kasih! Silakan mencicipi hidangan kami se-adanya. Maklumlah! kami bukan termasuk seorang yang berada."
Orang-orang tertawa lebar. Seru seorang.
"Pengaruh tuanku menjangkau seluruh daratan Pulau Jawa. Pengaruh itu harganya melebihi sebelas orang jutawan!"
Seruan itu disambut dengan tepuk tangan bergemuruh. Lalu dengan gembira mereka menikmati hidangan makan dan minum. Dwijendra sendiri tetap berada di atas panggung sambil mengurut-ngurut jenggotnya yang sudah putih bagaikan segumpal kapuk. Katanya.
"Sumedang bukanlah sebuah kota impian. Sebaliknya sebuah perkampungan yang sepi di celah- celah pegunungan tandus. Disini tiada suatu pertunjukan yang pantas untuk dipamerkan. Maka pastilah kami akan membuat kecewa saudara-saudara yang datang dari seluruh penjuru."
La berhenti sebentar. Setelah menoleh kepada puterinya, dia melanjutkan.
"Anakku ini mengerti sedikit tentang tarian gendang pencak. Ilmu silatnya kasar pula. Biarlah dia mempertunjukkan kebisaannya beberapa jurus agar menghangatkan minuman saudara- saudara sekalian."
Kembali para tetamu bertepuk tangan bergemuruh. Itulah suatu tanda, bahwa mereka sangat setuju. Tak mengherankan Dwijendra tertawa sangat puas.
"Akan tetapi bersilat seorang diri rasanya hambar seperti sayur kekurangan bumbu. Maka itu, kami persilakan kemenakan-kemenakan saudara-saudaraku seperjuangan. rekan Otong Surawijaya, Dadang Wiranata dan Ratna Bumi. Ingin kami melihat mereka memberi pelajaran kepada anakku, agar di kemudian hari tahu diri. Siapa di antara mereka yang bisa mempertunjukkan kemahirannya lebih bagus, akan kami pilih menjadi jodohnya. Saudara-saudara bagaimana? Apakah setuju?"
Setelah berkata demikian ia memutar badannya mengarah kepada tiga tetamu yang duduk di depan panggung.
Di antara suara teriakan tanda setuju, ia tersenyum kepada tetamu bertiga itu.
Mereka adalah Sastradir-jaWirakusuma dan Podang Winangsi.
Sastradirja adalah adik Otong Surawijaya.
Ia membawa anak asuhnya bernama Andi Basanta.
Sedang Wirakusuma salah seorang pembantu Dadang Wiranata, membawa anak didiknya bernama Dadang Sumantri.
Dialah yang bertemu dengan Kilatsih di depan Gedung Paguyuban Sunda.
Dan yang ketiga utusan Ratna Bumi bernama Podang Winangsi.
Dia pun membawa calon pelamar.
Mamanya Sukra Sakurungan.
Sastradirja, Wirakusuma dan Podang Winangsi adalah pendekar-pendekar yang berpengalaman, la tahu maksud Dwijendra, walaupun tidak dikatakan terus terang.
Menantu yang dipilihnya adalah yang paling tinggi ilmu-ilmu kepandaiannya.
"Bagus! Bagus!"
Seru Wirakusuma dan Podang Winangsi.
Keduanya lalu membawa anak asuhnya masing-masing maju ke depan.
Mereka minta jalan di antara tetamu yang berjubel di depannya.
Kemudian dengan saling susul mereka melompat ke atas panggung dengan memperlihatkan kegesit-annya.
Dan menyaksikan kegesitan itu, teta-mu-tetamu bertepuk tangan dengan riuh sekali.
Sastradirja tidak sudi mengalah.
Mula-mula ia nampak bersangsi melihat tingginya panggung.
Menurut taksirannya panggung itu setinggi dua meter lebih dari atas tanah.
Setelah menimbang-nimbang sebentar, ia berkata kepada anaknya.
"Mari!"
Lalu dengan gesit ia memberi contoh melompat ke atas pangung.
Andi Basanta segeTa mengikuti.
Tapi ujung kakinya membentur tepi panggung.
Hampir saja ia jatuh tergelincir.
Menyaksikan hal itu, semua tetamu heran.
Di kalangan laskar perjuangan, nama Otong Surawijaya sangat termahsyur.
Dialah raja muda yang memimpin laskar panji-panji Kuda Semberani.
Orangnya berani, kasartetapi berkepandaian sangat tinggi.
Ia mendidik anak buahnya sangat keras.
Sudah barang tentu termasuk Andi Basanta.
Tetapi apa sebab pemuda itu hampir gagal melompat ke atas panggung? Sastradirja nampak mengerutkan alis.
Hendak ia membuka mulut, tapi batal sendiri.
Akhirnya ia berkomat- kamit seperti mengucapkan sesuatu dengan berbisik.
Anak didik Podang WinangsiSukra Sa-kurungan adalah seorang pemuda yang berperawakan tegap.
Dia dari golongan laskar panji-panji Keris Sakti.
Kedatangannya membawa nama panji-panji laskarnya.
Karena itu ia disebut orang sebagai putera Raja Muda Ratna Bumi.
la seorang pemuda yang nampaknya ramah dan tidak pemalu.
Dengan sikap hormat ia menghampiri Raja Muda Dwijendra.
Katanya dengan sedikit membungkuk.
"Tuanku sangat baik dan adil. Biarlah kali ini aku diberi pelajaran beberapa jurus dari adik Sekar Kuspaneti. Kami harap adik Kus-paneti jangan terlalu bersungguh- sungguh...."
Dwijendra memotong dengan tertawa riuh.
"Bagus! Aku paling senang berbicara dengan seorang yang berterus terang. Sekarang initak. perlu lagi memegang tata sopan yang berlebih-lebihan sehingga masing-masing jadi segan-segan. Perlihatkan semua kepandaian kalian. Manakala sampai terluka aku sudah menyediakan obatnya."
"Baik,"
Sahut Sukra Sakurungan. Kemudian ia berputar menghadap Sekar Kuspaneti seraya memberi hormat tanda sudah bersiaga.
"Bagus!"
Dwijendra memuji tata santun itu.
la lalu melompat ke tepi arena dengan wajah terang.
Sastradirja menoleh kepada anaknya.
AnaknyaAndi Basantaberpaling pula kepadanya dengan wajah menyeringai seolah-olah lagi kesakitan.
Keduanya saling pandang.
Kemudian saling memberi isyarat mata.
Setelah itu menonton jalannya pertandingan.
Tanpa segan-segan Sukra Sakurungan menyerang terlebih dahulu.
Sekar Kuspaneti ternyata seorang gadis yang tenang selaras dengan kesan wajahnya, la tidak menangkis.
Sebaliknya hanya mengelak ke samping.
Lalu melompat ke belakang punggung Sukra Sakurungan dengan tiba-tiba.
Gerakannya gesit dan pasti.
Buru-buru Sukra Sakurungan memutar tubuhnya.
Tinjunya melepaskan pukulan keras.
Kali ini pun sasarannya kosong.
Terus saja ia menyodok ke kiri ke kanan.
Kedua kakinya pun mulai membantu pula.
Akan tetapi jangan lagi bisa mengenai sasarannya, menyentuh baju Sekar Kuspaneti sedikit pun tidak.
"Hai!"
Pikir Kilatsih di dalam hati.
"Gerakan kakinya sama dengan pelajaranku. Jangan-jangan ia pernah menerima ajaran Kakak Titisari....."
Memanginjakan kaki Sekar Kuspaneti mirip dengan ilmu petak Ratna Dumilah warisan pendekar Gagak Seta yang sudah dimiliki Titisari dengan sempurna.
Dan menghadapi gerak-gerik Sekar Kuspaneti yang lincah luar biasapandang mata Sukra Sakurungan mulai berkunang-kunang.
Ia mencoba menerkam, memotong, menghantam dan menubruk.
Tapi tubuh Sekar Kuspaneti berkelebatan bagaikan bayangan.
Menyaksikan hal itu, Podang Winangsi yang berdiri di pinggir arena mengerutkan dahinya.
"Anak tolol! Sudah! Berhenti! Kau bukan tandingannya anakku Sekar Kuspaneti. Hai! Apakah kau masih membandel?"
Mendengar bentakan Podang Winangsi Sekar Kuspanetisegera memperlambat gerakannya. Justru pada waktu itu, Sukra Sakurungan menyerang dengan dua tangannya. Kilatsih yang berada di bawah panggung tertawa di dalam hati. Pikirnya.
"Pemuda itu benar-benar tolol. Kuspaneti sudah mengalahtetapi dia masih membandel."
Pada saat itu, dengan gesit Sekar Kuspaneti melejit dari samping begitu diserang dengan dua tangan berbareng.
Sikut kirinya digerakkan masuk membentur tubuh Sukra Sakurungan yang tegap.
Seketika itu juga, Sukra Sakurungan terhuyung mundur dan roboh dengan terbanting.
Cepat-cepat Dwijendra maju hendak melerai pertandingan itu.
"Netty! Kau pintalah maaf!"
"Tidak! Tidak apa,"
Tungkas Sukra Sakurungan dengan meletik bangun.
"Adik... ternyata kau lebih hebat daripadaku. Aku... aku..."
Sukra Sakurungan menutup mulutnya kena pandang Podang Winangsi.
la memang seorang pemuda yang polos.
Hampir saja di depan umum ia berkata, bahwa dia tidak pantas memperisteri Sekar Kuspaneti.
Dadang Sumantri anak didik Wirakusuma segera maju mengganti.
Dia datang dari golongan laskar panji-panji Obor Menyala.
Ia menyebut diri sebagai anak Raja Muda Dadang Wiranata.
Tetapi sebenarnya ia keponakan isteri Raja Dadang Wiranata.
Pemuda inilah yang dahulu bertemu dengan Kilatsih di depan Gedung Paguyuban Sunda.
Waktu itu dengan perlahan-lahan ia berkata kepada Sekar Kuspaneti.
"Aku pun ingin mohon pelajaran darimu. Hanya saja kuharap kau sudi mengalah....."
Nampaknya halus gerak-geriknya, lemah dan tidak berdaya.
Di luar dugaan suaranya menyeramkan.
Tahu- tahu tangannya menggenggam sebatang tusuk bambu.
Mencari Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan suatu gerakan tiba-tiba ra menusuk ke arah urat nadi.
Sekar Kuspaneti mengelak.
Ia melawan dengan gerakan kaki mirip Ilmu Petak Ratna Dumilah.
Tujuannya hendak membuat pandang mata lawannya kabur atau berkunang-kunang.
Dadang Sumantri ternyata seorang pemuda yang cerdik.
Tak mau ia menyerang dengan sembrono.
Dengan tenang ia melindungi dirinya.
Ia pun tak sudi memutar-mutar tubuhnya seperti Sukra Sakurungan tatkala menghadapi perlawanan demikian.
Cara bertahannya hanya memasang matanya.
Itulah sebabnya sewaktu-waktu, ia bisa menyerang dengan tusuk bambunya.
Diperlakukan demikian, kesabaran Sekar Kuspaneti hilanglah.
Pikirnya.
"Anak ini nampaknya halus lemah lembut. Tapi pandang matanya mengapa begitu meng- giriskan. Ah, kalau kubiarkan dia menjamah diriku... ah, tidak! Tidak! Dia tak boleh mencapai maksudnya memperisteri aku."
Karena memperoleh keputusan demikian, perlawanannya menjadi hebat.
Dengan lincah tubuhnya berkelebatan mengitari pemuda itu.
Tetapi Dadang Sumantri benar-benar memiliki kepandaian yang tidak memalukan, la tabah dan cermat pula.
Dengan sabar ia menunggu kesempatan dan ia melindungi tubuhnya rapat-rapat.
Limapuluh jurus lewat dengan cepat.
Sekar Kuspaneti belum berhasil menjatuhkan pelamarnya.
Sebaliknya Dadang Sumantri hendak menguras tenaga gadis itu.
dengan mengitari tubuhnya terus menerus masakan tenaganya tidak akan habis dalam waktu dua atau tiga jam lagi? Mereka bertempur dengan serunya dua-puluh jurus lagi.
Mendadak saja, Sekar Kuspaneti tersenyum dengan mengocakkan gundu matanya.
Giginya yang putih seakan-akan seleret mutiara.
Dia memang seorang gadis canik.
Kini tersenyum manis sekali.
Tentu saja kecantikannya jadi bertambah-tambah.
Dan melihat kegairahan itu, hati Dadang Sumantri tergoncang.
Pikirnya di dalam hati.
"Dia bersenyum kepadaku. Apakah hendak berkata, bahwa hatinya berkenan padaku. Aku adalah calon suaminya. Kalau aku kini tidak memperlihatkan kepandaianku di kemudian hari tidak ada kesempatan lagi. Biarlah dia mengagumi diriku. Kalau sudah kagum, tinggal memetik manisnya belaka..."
Untuk meyakinkan hatinya, ia membalas senyum. Pikirnya kalau Sekar Kuspaneti tetap bersenyum kepadanya itulah isyarat yang dikehendaki. Sekonyong- konyong Sekar Kuspaneti berbisik halus.
"Maaf Abang!"
Tangan irinya menyodok maju dengan mendadak.
Kemudian tangan kanannya menyusul dengan cepat.
Dadang Sumantri kaget setengah mati.
Dia lengah karena kena madunya suatu senyum.
Tahu-tahu keningnya kena pijat.
Dan pandang matanya kabur seketika itu juga.
Ia berkaok kesakitan.
Lalu roboh dengan tertelungkup.
Wirakusuma jengkel menyaksikan kekalahan itu.
Dadang Sumantri sebenarnya tinggal menunggu saat kemenangannya.
Apa sebab mendadak bisa dikalahkan dengan gampang? Namun sebagai orang luar, tak dapat ia berbuat apa-apa.
Pertandingan adu kepandaian dilakukan dengan cukup terang.
Sama sekali tiada permainan curang.
"Tidak apa... tidak apa,"
Kata Dwijendra.
"Eh, Nett'y! Apa sebab tanganmu kau gerakkan begitu sembrono. Kalau keras sedikit, tulang kening kakakmu ini bakal remuk."
Pada saat itu Dadang Sumantri telah bangkit. Katanya dengan dada terbuka.
"Adik Kuspaneti, aku menyerah kalah. Terimalah hormatku."
Dan dengan pengasuhnya, ia melompat turun dari panggung. Penonton bersorak sorai karena menyaksikan sikap jantannya. Raja Muda Dwijendra nampak menggeleng-gelengkan kepala. Dengan mengurut-ngurut janggutnya yang putih ia lalu berkata penuh sesal.
"Anakku telah menang dalam dua pertandingan. Sekarang datang giliran anakku Andi Basanta kemenakan rekanku Otong Surawijaya. Cobalah anakku Andi Basanta berkelahi dengan sungguh-sungguh, agar puteriku jangan berkepala besar!"
Dwijendra kenal siapakah Andi Basanta.
Dialah kemenakan isteri Otong Surawijaya.
Pemuda itu sifatnya liar, bengis kejam dan meniru sepak terjang pamannya yang ganas.
Pekerjaannya mengawasi lalu lintas umum untuk mencegat perbekalan Kompeni.
Tapi tak jarang pula menyalahgunakan tugasnya dengan menyamun harta benda saudagar yang bernasib sial.
Untuk menghilangkan jejak, biasanya korbannya selalu diambil jiwanya.
Manusia semacam Andi Basanta menurut Dwijendra adalah manusia yang hidup melanggar Gndang-undang Maha Suci.
Tetapi ia masih berharap dapat memperbaiki akhlaknya.
Sebab manusia semacam dia, sebenarnya memancarkan sifat-sifat laki-laki.
Maka tidaklah terlalu kecewa menjadi pelindung anaknya di kemudian hari.
Dwijendra tahu pula, bahwa ilmu kepandaian Andi Basanta berada di atas Sekar Kuspaneti.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa dialah yang bakal merebut kemenangan.
Sekarang tinggal mengawasi, jangan sampai ia menurunkan tangan kejam.
Akan tetapi begitu Andi Basanta memasuki gelanggang ia heran bukan kepalang.
Sebab dengan tiba-tiba Andi Basanta menyeringai lalu berkata.
"Paman.... aku tak ikut mengadu nasib. Sebab akhirnya aku pun akan dikalahkan."
Semua tetamu yang mendengar ucapannya, heran.
Mereka tahu Otong Surawijaya adalah seorang Raja Muda yang paling ditakuti orang.
Masakan kemenakannya menyerah sebelum bertanding.
Legenda Bulan Sabit Karya Khu Lung Pedang Inti Es Karya Okt Angkin Sulam Piauw Perak Karya Wang Du Lu