Pedang Sakti Tongkat Mustika 12
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 12
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto
Seru Suskandari girang.
Cepat ia membuang tali pembelenggunya dan terus menerima pedangnya.
Dan baru saja pedangnya dipegangnya, dua batang tombak pendek Cocak Prahara melintang didepannya.
Ia terperanjat.
Tapi pada saat itu, ia mendengar suara mengaduh.
Cepat ia menoleh dan melihat dua pengawal yang sialan tertumblas tombak Cocak Prahara.
Unt ung Cocak Prahara masih sempat menyasarkan tikamannya hingga hanya mencublas paha.
Kalau tidak, mereka berdua pasti akan menjadi sate mentah..
Peristiwa itu terjadi oleh kecekatan Lingga W isnu yang bisa mengambil keputusan di luar dugaan.
Melihat ancaman bahaya, sebat ia menyambar dua pengawal yang menyerang dari samping dan dibenturkan pada tombak majikannya.
Dan set elah itu, ia merenggut tali pembelenggu Suskandari untuk dijadikan alat melawan keganasan tombak Cocak Prahara.
Cocak Prahara pada saat itu mendongkol bukan main.
Dengan geram, ia mendupak kedua begundalnya.
Kemudian mengulangi t ikamannya kembali.
Lingga W isnu menyambar tangan Suskandari dan dibawanya melompat mundur.
Kemudian ia melibat ujung tombak Cocak Prahara dengan tali pembelenggu.
Sudah barang tentu, Cocak Prahara tak sudi kena libat.
Untuk membebaskan libatan itu, ia melompat dengan menikamkan tombaknya lagi untuk yang ketiga kalinya.
Lingga W isnu memuji kecekatannya.
Tetapi ot aknya yang cerdas dapat mengambil tindakan diluar dugaan.
T adi menang ia bermaksud menarik tombak itu, setelah melibatnya.
Apabila Cocak Prahara meloncat maju sambil melepaskan tikamannya, ia malahan melepaskan tali libatan.
Dan dengan kecepatan luar biasa ia melompat kesamping sambil melindungi Suskandari.
Cocak Prahara jad i kehilangan keseimbangan.
Tubuhnya menyelonong kedepan sampai dua langkah jauhnya.
Kemudian dengan mati-matian ia mempertahankan dirinya dengan menjagangkan kedua kakinya.
Lingga W isnu mempergunakan kesempatan yang bagus itu.
Dengan membimbing tangan Suskandari, ia lari ke serambi depan lalu membalikkan tubuhnya.
Ia.
berdiri t egak dan menunggu kedatangan mereka dengan sikap t enang luar biasa.
Cocak Prahara jadi panas hati.
Ia merasa diri kena dipermainkan seorang pemuda seumpama bocah belum pandai beringus.
Maka dengan penasaran dan penuh dengki ia memburu.
Keempat saudara dan dua kemenakannya segera menyusul.
Dan sebentar saja, mereka bertujuh sudah mengambil sikap mengurung.
"Kau jawablah pertanyaanku! Di mana Kebo Wulung kini berada!"
Bentak Cocak Prahara dengan menudingkan tembaknya.
"Kebo Wulung? Siapa Kebo W ulung?"
Sahut Lingga W isnu heran. Kemudian meneruskan dengan suara sabar.
"Marilah kita bicarakan dengan baik-baik. Paman sekalian t ak usah bergusar hati terhadapku."
"Apakah kau murid si Kebo W ulung Eondan Sejiwan?"
Cocak Prahara tak menggubris.
"Apakah kedatanganmu ke mari atas perint ahnya? Belum lagi Lingga W isnu membuka mulutnya, Cocak Mengi ikut berbicara. Katanya garang .
"Anak muda! Sebelum terlanjur, berilah kami keterangan sejelas-je lasnya. Coba kau jawab, di mana Bondan Sejiwan kini berada?"
Kedua alis Lingga W isnu terbangun. Teringatlah dia, bahw a Cocak Obar-abir dan Dandang Gemuling dahulu menyebut Bondan Sejiwan dengan nama Kebo Wulung pula. Maka oleh ingatan itu, segera ia menjawab .
"Dengan sesungguhnya, selama hidupku belum pernah aku melihat wajah Bondan Sejiwan. Bagaimana dia bisa memerint ah aku untuk datang kemari?"
"Apa kata-katamu ada harganya untuk kami percayai?"
Cocak Mengi menegas.
"Hm, meskipun aku bukan seorang ksatria besar tetapi selama hidupku belum pernah aku berbohong terhadap siapapun,"
Sahut Lingga W isnu mendongkol.
"Secara kebetulan aku bertemu saudara Yunus. Kemudian bersahabat dan datang kemari untuk mengunjungi dan menjenguk kesehatannya. Apakah hal ini ada hubungannya dengan Bondan Sejiwan?"
Mendengar kata-kata Lingga W isnu, Cocak Prahara berlima agak menjadi t enang. Namun rasa curiga mereka belum hilang. Setelah berdiam sejenak, Cocak Prahara berkata mengancam .
"Kau bisa menyebut nama Bondan Sejiwan dengan lancar. Pastilah engkau mengetahui dan kenal pribadinya. Apabila kau tak mau menyebutkan di mana tempat persembunyiannya, janganlah kau mengharap bisa keluar dari dusun Kemuning. Terus terang saja, dialah buruan kami!"
Tercengang Lingga W isnu mendengar bunyi ancaman Cocak Prahara.
Ia jadi t eringat kepada nasib keluarganya yang terus-menerus di kejar-kejar musuh dari berbagai jurusan.
Dan teringat hal itu, hatinya sengit.
Namun masih bisa ia bersikap sabar dan tenang.
Setelah membungkuk hormat, ia menyahut .
"Aku memang kenal namanya. Tapi aku bukan sanak atau kadangnya. Akupun belum pernah melihat dirinya dengan berhadap-hadapan. Apalagi berbicara dengan dia. Hanya saja, memang aku tahu, di mana dia kini berada. Tapi yang aku khawatirkan, barangkali tiada seorangpun yang berani menemuinya ..."
Itulah suatu penghinaan bagi Cocak Prahara berlima. lantas saja ia menggerung hebat. Teriaknya .
"Siapa bilang kami tak berani mencarinya? Belasan tahun sudah, kami berusaha mencari dan menemukannya kembali. Kami berlima boleh kau antarkan seorang demi seorang atau dengan berbareng. Sesukamulah! Biarpun dia bersembunyi di ujung langit, kami tidak akan mundur selangkah pun juga. Nah, antarkan kami kepadanya! A tau, berilah k ami keterangan di mana dia sekarang be rada."
Lingga W isnu te rtawa tawar. Sebagai seorang pemuda yang banyak mempunyai pengalaman berhadapan dengan musuh-musuh ayah bundanya, lantas saja dia dapat menilai budi-pekerti Cocak Prahara. Sahutnya menggertak .
"Benar-benarkah paman hendak menemuinya?"
Dengan hati panas, Cocak Prahara maju selangkah. Berteriak nyaring .
"T ak salah lagi. Aku memang ingin menemui dia. Di mana?"
Lingga W isnu mengkerutkan dahi. Bertanya menegas .
"Sebenarnya apa maksud paman hendak menemuinya?"
"Hai, anak muda!"
Bentak Cocak Prahara.
"Kau bocah kemarin sore seumpama belum pandai beringus. Janganlah engkau mempermainkan aku yang sudah ubanan! Kau katakanlah, di mana dia sekarang berada!"
Lingga W isnu tersenyum melihat lagak lagu orang t ua itu yang masih berangasan. Jawabnya .
"Kurasa paman masih membutuhkan w aktu beberapa tahun untuk bisa menemui dia."
"Apa maksudmu?"
Potong Cocak Prahara.
"Karena dia sudah meninggal dunia."
Ujar Lingga W isnu dengan suara tenang. Mendengar kata-kata itu, mereka semua tercengang. Juga seluruh anggauta keluarga Dandang Mataun yang ikut menyusul ke serambi depan. Dan tiba-tiba terdengarlah pekik Yunus .
"Ibu! Ibu!"
Lingga W isnu menoleh. Dan pada saat itu, ia masih berkesenpatan melihat ibu Yunus jatuh pingsan di atas kursi. Cepat Yunus mengangkat kepalanya dan diletakkan di atas pangkuannya. Wajah ibunya pucat lesi. Kedua matanya tertutup rapat.
"Hm!"
Dengus Cocak Mengi dengan bersungutsungut. Cocak Rawa berpaling kepada Yunus. Menuding sambil berkata mmerint ah .
"Kau bawalah ibumu masuk ke dalam! Keluarga Dandang Mataun tak boleh memperlihatkan kelemahannya!"
Yunus menangis dengan tiba-tiba. Jawabnya dengan sengit .
"Ibu terkejut tatkala mendengar berita ayah. Kenapa mesti malu? Apa yang harus disembunyikan? Ibu susah! Pedih! Hati ibu kena tertikam!"
Mendengar ucapan Yunus, Lingga W isnu kaget dan berpikir di dalam hati .
'Jadi, Bondan Sejiwan suami wanita itu? Jadi Bondan Sejiwan ayah Yunus?' Cocak Mengi menegakkan pandangnya mendengar kata-kata Yunus.
Dengan menahan luapan marahnya, dia membentak .
"Kakang Prahara! Kau sayang kepada bocah itu Nyatanya dia berani melawan perint ah kakang Cocak Rawa. Idzinkan aku menghajar padanya supaya tak berani lagi ia berlaku kurang ajar! Cocak Prahara mencoba menengahi. Katanya sengit kepada Yunus .
"Kau bilang Bondang Sej iwan ayahmu? Hayo, kau bawa ibumu masuk ke dalam, cepat!"
Yunus tak berani membantah perint ah pamannya yang tertua. Dengan memaksa diri ia menanah ibunya hendak dibawanya masuk ke dalam rumah Sekonyong-konyong ibu Yunus tersadar. Perlahan-lahan ia berkata kepada Yunus .
"Katakan kepada anak Lingga, bahwa aku ingin berbicara esok malam! Banyak yang hendak kutanyakan kepadanya.'' Yunus memanggut dan segera menghampiri Lingga W isnu. Katanya .
"Masih ada satu hari lagi. Esok malam datanglah kemari lagi untuk mencari emasmu. Aku ingin mengetahui, apakah kau mempunyai kemampuan atau tidak."
Setelah berkata demikian, ia mengerlingkan matanya kepada Suskandari. Pandangannya sengit. Kemudian ia memapah ibunya masuk ke dalam.
"Mari adik, kita pergi saja."
Ajak Lingga W isnu kepada Suskandari. Dengan memanggut kecil Suskandari mendahului memut ar tubuhnya.
"Nant i dahului"
Seru Cocak Ijo dengan menghalangkan kedua tangannya.
"Jawab pertanyaanku satu kali lagi!"
"Hari sudah larut malam, paman."
Sahut Lingga Wisnu dengan membungkuk hormat.
"Lain kali aku datang ke mari unt uk memenuhi kehendak paman."
"T idak! Jawab pertanyaanku dahulu. Tatkala Kebo W ulung mampus, siapa yang menyaksikan? Lagi pula, di mana dia mampus?"
Dengan sebenarnya, Bondan Sejiwan bukan sanak dan bukan kadang Lingga W isnu.
Akan tetapi mendengar lagak pertanyaan Cocak Ijo, ia jad i panas hati.
Entah apa sebabnya.
Dan seketika itu juga, teringatlah dia kepada Cocak Obar abir dan Dandang Gemuling yang datang ke Gunung Dieng hendak menggerayangi warisan Bondan Sejiwan.
Ia berpikir di dalam hati .
"Hm ... apakah aku tak tahu maksudmu sebenarnya? Kau benci terhadap Bondan Sejiwan tetapi hatimu mengincar warisannya. Bagus benar hatimu. Meskipun sampai mati, tidak akan aku memberi keterangan kepadamu."
Dan oleh pikiran itu, ia menjawab dengan mengulum senyum .
"Sebenarnya aku hanya mendengar berita kematian Bondan Sejiwan dari tutur-kata seorang sahabat. Kalau tak salah, menurut sahabatku itu Bondan Sejiwan meninggal di sebuah pulau di Laut Jawa. Karimun Jawa, nama pulau itu."
Cocak Prahara berlima saling pandang dengan keheran-heranan. Mati di tengah pulau Karimun Jawa? Eh, kenapa begitu jauh? Selagi mereka sibuk menebaknebak, lingga W isnu ber kata lagi .
"Nah bila paman sekalian ing in melihat makamnya, 'pergilah 'ke Karimun Jawa! Dari pant ai Jepara tidak begitu jauh."
Lingga W isnu menggunakan pengalamannya untuk mengibuli mereka.
Tatkala ayah-bundanya dahulu menjadi orang buruan, pernah ia ikut bersembunyi di Jepara.
Dengan demikian ia t ahu pasti berapa jauh jarak antara pant ai Jepara, dengan Karimun Jawa.
Dan setelah berkata demikian, ia membungkuk hormat dan berkata lagi .
"Sekarang perkenankan kami berdua beristirahat dahulu. Hari sudah jauh malam. Dan hawa pegunungan terlalu dingin bagiku.
"Nant i dahulu!"
Cegah Cocak Rawa.
Kedua t angannya dilint angkan menghadang kepergian Lingga W isnu.
Tak senang Lingga W isnu dihadang dengan cara demikian.
Segera ia menolak lengan Cocak Rawa Tetapi Cocak Rawa tak mau mengerti, sebab ia menekuk lengannya dan mencengkeram.
Sasarannya mengarah pergelangan tangan.
Lingga W isnu tak sudi terlibat dalam suatu perkelahian lagi.
Begitu tangannya berbenturan, cepat ia menyambar lengan Suskandari.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan suatu isyarat, ia mengajak Suskandari meloncat melalui hadangan kaki Cocak Rawa.
Ternyata Suskandari seorang gidis cerdas.
Ia mendahului melompat dan berhasil melalui hadangan Cocak Rawa dengan selamat.
Cocak Rawa jadi panas hati.
Tangan kanannya bergerak meraba pinggangnya.
Dan tiba-tiba saja ia sudah menggenggam sebatang cambuk lemas yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang.
Cambuk itu termasuk senjata andalannya.
Dibuat dari urat kerbau yang kuat luar biasa, karena berlapis logam.
Kedahsyatannya melebihi cambuk yang dibuat dari logam penuh.
Sebab daya gunanya jauh lebih baik daripada logam yang sifatnya kaku.
Kadang-kadang bisa lencang tak ubah sebatang tembak.
Kadangkala bisa me lingkar semacam gaetan setajam pisau cukur.
Dan dengan satu lecutan, ia menghantam punggung Lingga W isnu yang telah melalu inya.
Betapa bahayanya, t ak usah dikatakan lagi.
Lingga W isnu mendengar kesiur angin mengejar dirinya.
Tanpa menoleh, ia melesat maju sambil menyambar tangan Suskandari.
Kemudian dengan mengerahkan enam bagian himpunan tenaga saktinya, ia membawa Suskandari meloncat keatas dinding.
Dan cambuk Cocak Rawa menghajar t empat kosong.
Cocak Rawa makin penasaran.
Belasan tahun lamanya ia telah melatih diri dengan cambuk andalannya.
Selama itu, t ak pernah sasarannya gagal.
Tetapi anak muda itu ternyata bisa mengelakkan diri dengan mudah saja.
Maka ia mengulangi lagi serangannya.
Kali Ini mengarah kaki Suskandari yang baru saja mendarat di atas tembok.
Mendongkol hati Lingga msnu menyaksikan kelicikan Cocak Rawa.
Mengapa menghantam Suskandari yang kepandaiannya kalah tinggi? Sebat ia mengulur tangan kirinya menangkap ujung cambuk sambil melindungi Suskandari .
T atkala itu, kedua kakinya t elah mendarat di atas tembok.
Dengan mengerahkan tenaga, ia menghentak.
Cocak Rawa kaget bukan kepalang.
Sama sekali tak diduganya, bahw a Lingga W isnu mampu menangkap ujung cambuknya.
W aktu melecutkan cambuknya, ia melompat maju pula.
Kini tiba-tiba kena hentak Lingga W isnu dari atas tembok.
Karena kalah tenaga, ia terangkat naik.
Kedua kakinya jadi bergelantungan Ia jad i kehilangan tenaga.
Tak dapat lagi ia berkutik.
Dalam detik itu juga, ia jadi menyesal atas kesemberonoannya sendiri.
Tadinya ia mengira, dengan menjatuhkan Suskandari dari atas tembok, kedudukan keluarga Dandang Mataun jadi tidak terlalu suram.
Tak tahunya ia kini malah kena digelantungkan di udara t ak ubah seorang persakitan lagi menjalankan hukuman gant ung.
Ia mendongkol, panas hati, penasaran, malu dan menyesal.
Cocak Ijo tahu, kakaknya dalam kesulitan.
Cepat ia melepaskan golok terbangnya hendak menolong.
Bidikannya mengarah pada cambuk.
Sebaliknya Lingga W isnu mengira dirinya kena serang.
Cepat ia melepaskan ujung cambuk yang berada dalam genggamannya sambil membawa Suskandari meloncat turun melint asi tembok.
Tepat pada saat itu, sebatang golok menyambar kearahnya.
Dengan gesit ia mendupak selagi melompat.
Dan golok itu terpental balik membentur golok kedua.
Trang! Kedua golok runtuh bergemelontangan di atas tanah.
Dalam pada itu, Cocak Rawa yang bergelantungan di atas terbanting jatuh, tatkala Lingga W isnu melepaskan genggamannya.
Tepat pada saat itu, ia melihat berkelebatnya sebatang golok yang terpental balik kena dupak Lingga W isnu Kaget ia melecutkan cambuknya.
Maksudnya, hendak menggaet sebelum mengancam dirinya.
Di luar dugaan, cambuknya telah terpapas kutung.
Keruan saja hatinya mencelos.
Dengan matimatian ia merobohkan, diri di atas tanah sambil bergulingan.
Justru pada saat itu, kedua golok yang saling berbenturan, meletik memburu dirinya Ia selamat, tetapi tak urung bajunya masih saja kena sambar sehingga terobek.
Ia bangkit tertatih-tatih.
Mulutnya ternganga.
Sama sekali tak disangkanya, bahw a dalam keadaan demikian, masih Lingga W isnu mampu mengadakan serangan balasan dengan menggunakan golok lawan.
Cambuknya sendiri t erpotong menjadi dua bagian sehingga tak dapat dipergunakan Cocak Prahara kagum bukan main, sampai ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Adik-adiknyapun begitu juga.
Kata Cocak Abang .
"Umur bocah itu belum melebihi dua puluh lima tahun. Seumpama dia belajar ilmu sakti selagi masih dalam kandungan enaknya, kepandaian nya pun terbatas pada masa latihannya. Tetapi kenapa dia memiliki kepandaian jauh melebihi diriku?"
Cocak Rawa yang masih penasaran, t ak sudi mengakui keunggulan Lingga W isnu. Ia mencari kamb ing hitamnya. Teriaknya .
"Bangsat Bondan Sejiwan yang berkepandaian tinggi akhirnya roboh ditangan kita. Masakan kita kini kalah melawan bocah kemarin sore? Besok malam dia datang lagi untuk mencoba mengambil emasnya kembali. Baiklah, besok malam kita mengadakan perlawanan yang sungguh-sungguh. Dengan bersungut-sungut, mereka membubarkan diri. Pada saat itu, Lingga W isnu dan Suskandari sudah berada dalam rumah penginapannya, dengan tak kurang suatu apa. Mereka menyalakan lampu penerangan. Suskandari memuji dan mengagumi kepandaian Lingga W isnu tiada hentinya dan berkata .
"Kakang Lingga. Kakang Puguh Harimawan biasanya memuji-muji kepandaian gurunya. Tetapi aku rasa, kepandaian gurunya tidak akan bisa menandingi kepandaianmu."
"Maksucinu, temanmu yang mengawal barang perbekalan?"
Lingga W isnu menegas.
"Y a,"
Suskandari mengangguk. Pipinya agak bersanu merah.
"Siapa gurunya?"
"Namanya yang benar, kurang jelas,"
Sahut Suskandari.
"Dia menyebut nama gurunya dengan sebutan Botol Pinilis, murid Kyahi Sambang Dalan. Lucu nama itu, Botol Pinilis! Mula-mu la aku tertawa geli mendengar namanya. Sebutan Kyahi Sambang Dalan, lucu pula kedengarannya. Apakah kakang percaya, sebutan Botol Pinilis atau Sambang Dalan adalah nama mereka yang benar?"
Lingga W isnu mengangguk.
Pikirnya di dalam hati .
'Kalau begitu, guru Puguh Harimawan adalah kakang seperguruanku.
Dia harus menyebut paman kepadaku ...' Teringatlah dia, bahwa pada suatu hari, datanglah dua orang menjenguk gurunya.
Mereka bernama Purabaya dan Botol Pinilis.
Gurunya memperkenalkan mereka sebagai kakak seperguruannya.
Tetapi ia tidak mengharpkan mengabarkan hubungannya dengan Botol Pinilis maupun Kyahi Sambang Dalan kepada Suskandari.
Karena hari.
sudah jauh malan, segera ia memadamkan pelita.
Kemudian mendahului merangkaki t anpat t idur.
Pada malan hari ketiga, Lingga W isnu memint a kepada Suskandari, agar gadis itu menunggu saja di penginapan.
Sehari tadi, ia memikirkan tentang kemungkinankemungkinannya.
Rasanya lebih baik apabila ia pergi sendirian.
Dengan demikian perhatiannya tidak terbagi.
Apabila terancam bahaya, tak usah lagi ia memikirkan keselamatan Suskandari.
Suskandari menyadari kepandaian diri sendiri yang belum berarti apabila d ibandingkan dengan keluarga Dandang Mataun.
Ia, malahan membuat susah Lingga W isnu saja.
Lingga W isnu menunggu sampai larut malam.
Setelah mint a diri kepada Suskandari, berangkatlah dia seorang diri.
Seperti kemarin malam, ia mengambil jalan masuk lewat dinding pagar.
Begitu mendarat di dalan pekarangan, ia melihat rumah tiada penerangannya sama sekali.
Suasananya sunyi-senyap tak ubah suatu perkuburan.
Hati-hati ia mendekati serambi depan dari samping.
Tiba-tiba terdengar bunyi seruling mengalun tinggi.
"Akh! Inilah seruling Y unus memberi isyarat kepadaku, agar datang kepadanya."
Pikir Lingga W isnu.
"Keluarganya licin dan ganas. Namun Yunus masih mengingat azas persahabatan. Gembira dan penuh syukur rasa hati Lingga W isnu. Segeraa melompati tembok pagar mengarah datangnya suara seruling. Itulah bukit kemarin lusa dengan taman bunga mawar dan rumah pesanggerahannya. Segara ia mendaki tanjakan. Dan nampaklah dua sosok tubuh sedang duduk di serambi pesanggerahan. Mereka berdua adalah wanita. Lingga wisnu berhenti mengamat-amati. Ia menunggu bulan purnama muncul dari balik segumpal awan. Dan begitu cahayanya memancar kebumi, nampaklah seorang diantaranya sedang meniup seruling.
"Hai, siapa? Terang sekali, lagu yang ditiup adalah lagu kesenangan Yunus. Gaya dan caranya meniup adalah gaya dan cara Yunus pula,"
Lingga W isnu berteka-teki. Ia jadi heran dan curiga. Dengan hati-hati ia lantas menghampiri.
"Lingga! Kakang Lingga!"
Seru wanita yang meniup seruling itu dengan suara t ertahan.
Lingga W isnu tertegun.
Itulah suara Yunus! Tetapi kenapa suara seorang gadis? Apakah dia sedang menyamar? Kenapa itu, tak dapat ia menyahut dengan segera.
Setelah berdiam sejenak, barulah ia membuka mulut nya .
"Kau ... kau ... bukankah Yu ..."
Yunus memotong perkataan Lingga W isnu dengan tertawa geli. Katanya .
"Mari, sebenarnya aku seorang perempuan. Sekian lamanya aku mengkelabuimu. Maafkan aku, kakang. Kau tak tersinggung, bukan?"
Keterangan Yunus ini menambah keheranan Lingga W isnu.
Ia benar-benar terpaku dan merasa diri seolaholah berada dalam suatu impian aneh.
Tetapi sedetik kemudian, teringatlah dia akan lagak-lagu dan sepakterjang Yunus, perangai dan sifat seorang perempuan.
Ia jadi geli sendiri dan rasa kecurigaannya lenyap.
"Namaku Sekar Prabasini. Bondan Sekar Prabasin i,"
Kata Yunus. Ia mengerti keadaan hati Lingga'Wisnu. Katanya lagi .
"Yunus adalah nama samaranku."
Berkata demikian, ia tertawa manis.
Manis sekali! Dengan mengenakan pakaian wanita, Yunus nampak cant ik luar biasa.
Alisnya lent ik Mata nya jernih-bening.
Pipinya penuh.
Bibirnya ti pis.
Dan perawakan tubuhnya singsat semampai.
Melihat kesan demikian, Lingga W isnu tertawa geli di dalam hati.
Pikirnya .
'Dasar aku yang t olol! Sampai seorang gadis saja tidak segera aku kenal.' "Mari kakang, aku perkenalkan kepada ibuku.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ibu ingin berbicara denganmu,"
Kata Bondan Sekar Prabasini menyambut tangan Lingga Lingga W isnu membiarkan tangannya t erbimbing.
Justru demikian, wajahnya terasa menjadi panas Sambil berjalan menghampiri ibu Sekar Prabasin i ia menarik tangannya perlahan-lahan.
Sekar Prabasin i pun agaknya tersadar.
Dengan tersipu sipu ia melepaskan genggaman tangannya.
"Ibu perkenalkan diriku. Lingga W isnu,"
Kata Lingga W isnu dengan suara agak kaku. Lingga W isnu membungkuk hormat. Dan ibu Sekar Prabasin i segera bangkit dari tempat duduknya. Sahutnya .
"Anak janganlah memakai adat istiadat yang yang berlebih-lebihan. Duduklah!"
Lingga W isnu menganat-amati ibu Sekar Prabasini.
Kedua matanya merah bendul.
Wajahnya kucai dan t idak bertenaga.
Suatu tanda, bahwa wanita itu dalam keadaan duka cita yang hebat.
Pikir Lingga W isnu di dalam hati .
'Ibu ini pada zaman mudanya telah kena di ganggu iblis.
Kemudian lahirlah Prabasini.
Kalau begitu, iblis itu adalah Bondan Sejiwan sepantaslah, keluarga Dandang Mataun benci luar biasa terhadap pendekar Bondan Sejiwan.
Bahkan nampaknya membenci ibu ini pula.
Tatkala Prabasini menyebut Bondan Sejiwan sebagai ayahnya, dia kena bentak.
Sebaliknya, begitu mendengar kematian Bondan Sejiwan, ibu ini lantas saja jatuh tak sadarkan d iri.
Itulah suatu tanda rasa duka-cita yang hebat! Kenapa diantara keluarga Dandang Mataun terjadi suatu perpecahan? Pastilah ada latar belakangnya yang menarik.
Mungkin pula menyangkut masalah hubungan antara pendekar Bondan Sejiwan dan ibu ini.
Akh, biar bagaimana, aku harus menghibur ibu Sekar Prabasini.
' Dengan menperoleh keputusan demikian, ia menatap wajah ibu Sekar Prabisini.
Tetapi sekian lamanya, ibu Sekar Prabisini tetap mengunci mulut nya.
Setelah menghela napas beberapa kali, ia berkata memberanikan diri unt uk memint a keterangan.
Tanyanya .
"Benarkah dia telah wafat? Anak Lingga, apakah engkau melihatnya sendiri?"
Lingga W isnu tahu, siapakah -yang disebut dia. Itulah Bondan Sejiwan. Dan ia memanggut. Ibu Sekar Prabasini menatapnya sejenak. Pandang matanya berbimbang-bimbang. Berkata meyakinkan .
"Anak kau sahabat anakku Prabasin i. Karena itu tak dapat aku bersikap seperti sekalian pamannya. Percayalah, aku tidak mempunyai rasa permusuhan terhadapmu, maka kumint a sudilah engkau menceritakan wafatnya dengan sebenar-benarnya." .. Bagaimana sif at dan perangai Bondan Sejiwan sebenarnya masih gelap bagi Lingga Wisnu. Ia hanya mendengar t utur-kata kedua gurunya belaka Menurut kedua gurunya sepak terjang Bondan Sejiwan aneh serta luarbiasa. Dia boleh digolongkan manusia sesat dan tak sesat. Itulah tutur kata yang berteka-teki. Sebab penilaian terhadap Bondan Sejiwan tergantung pada manusia yang pernah mengenalnya. Yang merasa dirugukan tentu saja akan mengutuknya sebagai manusia iblis. Sebaliknya yang merasa dilindungi, memujanya sebagai juru-selamat. Lingga wisnu mempunyai pendapat sendiri. Kalau kedua gurunya yang dikenal masyarakat sebagai manusia-manusia aneh menyebut Bondan Sejiwan berperangai luar biasa, maka sudah dapat dibayang kan betapa hebat sepak-terjangnya. Akan tetapi lepas dari persoalan buruk dan baiknya, sesungguhnya Bondan Sejiwan memang manusia luar biasa. Hal itu dapat dinilai dari warisan kepandaiannya. Kalau bukan manusia yang memiliki ot ak cerdas luar biasa, mustahil bisa mencipt a ragam ilmu kepandaian hebat bukan main. Lingga W isnu mengagumi dengan diam-diam. Dan senenjak manpelajari kitab warisannya, ia mengakui Bondan Sejiwan sebagai gurunya yang ke tiga di dalam hati sanubarinya. Itulah sebabnya ia bersakit hati t atkala keluarga Dandang Mataun menyebut dan memaki Bondan Sejiwan sebagai bangsat. Hanya, karena belum mengetahui latar belakang persoalannya, tak dapat ia mengadakan pembelaan. Benarkah Bondan Sejiwan seorang bajingan yang pantas dikutuk? Sekarang ia mendengar suara ibu Bondan Sekar Prabasin i yang lembut. Dia bersikap lain terhadap Bondan Sejiwan. Padahal dia dikabarkan terusak masa gadisnya. Tetapi menilik sikapnya, pastilah cerita tentang dirinya adalah kabar isapan jempol belaka. Maka ia memperoleh kesan lain terhadap Bondan Sejiwan. Dan dengan kesan itu, ia menjawab pertanyaan ibu Bondan Sekar Prabasini .
"Sebenarnya, belum pernah aku bertemu dengan paman Bondan Sejiwan. Meskipun demikian perhubungan kami seperti guru dan murid. Beliau adalah guruku, karena ilmu kepandaianku ini aku peroleh dari beliau. Lebih baik aku menutup mulut mengenai kematian beliau. Sebab aku khawatir, makamnya akan terusak oleh tangan-tangan jahat."
Tiba-tiba ibu Bondan Sekar Prabasini roboh diatas kursinya. Bondan Sekar Prabasini melompat dan menggoncang-goncang t ubuh ibunya. Serunya setengah meratap .
"Bu' Ibu! Kuatkan hatimu! Bukankah ibu ... ingin mendengar keterangan tentang ayah yang sebenarrya?"
Kira-kira sepuluh menit, ibu Bondan Sekar Prabisini roboh dan tak sadarkan diri di atas kursinya. Dan setelah memperoleh kesadarannya dia menangis sedih. Ratapnya.
"Delapanbelas tahun lamanya aku menunggu. Setiap hari, set iap malam. Setiap detik Senant iasa aku berharap dan berdoa, bahwa pada suatu hari dia akan datang membawa aku dan Prabasini pergi dari rumah terkutuk ini. Akh, mengapa dia sendiri yang mendahului isteri dan anaknya Dan kau Prabasini anakku. Kau belum pernah melihat w ajah ayahmu. Tak boleh aku meratapinya?"
Sudah terlalu sering, Lingga W isnu melihat dan mengalami kepiluan demikian.
Tatkala ayah-bundanya dan kedua kakaknya mati dan hilang, betapa sedih hatinya tak dapat terlukiskan lagi.
Karena itu bisa menerima ratap-tangis ibu Sekar Prabasini.
Tapi adalah membahayakan, apabila membiarkannya dalam keadaan demikian.
Setidak-tidaknya, kesehatannya akan terancam bahaya.
Katanya menghibur .
"Ibu sudahlah. Jangan diperturutkan rasa hati Akupun pernah merasakan kerisauan hati demikian. Seumpama aku tak dapat menolong diri, pada saat ini tiada lagi Lingga W isnu di dunia. Paman Bondan Sejiwan kini sudah tenteram dialam baka. Akulah yang mengubur tulangtulangnya."
"Kau? Engkau yang mengubur tulang-tulangnya?"
Ibu Bondan Sekar Prabasini mengangkat kepalanya. Dan diant ara tetesan air matanya, nampaklah sepercik cahaya tersembul di wajahnya. Katanya lagi .
"Oh, budimu sangat besar. Entah bagaimana caraku kelak membalas budimu itu ..."
Setelah berkata demikian, segera ia bangkit dari kursinya.
Terus saja ia membungkuk dan memberi hormat serta hendak membuat sembah.
Keruan saja Lingga W isnu kaget bukan kepalang.
Buru-buru ia mencegah.
Tapi ibu Sekar Prabasini tak mau mengerti.
Katanya memberi perintah kepada anaknya .
"Prabasin i! Hayo, kau bersembah kepada anak Lingga!"
Dan sebelum Lingga W isnu dapat berbuat sesuatu apa, Bondan Sekar Prabasini tiba-tiba saja menjatuhkan diri pada lut ut Lingga W isnu dan membuat sembah.
Cepat Lingga W isnu membangunkannya dan membalas membuat sembah.
Setelah itu ia mempersilahkan Bondan Sekar Prabasini kembali duduk di atas kursinya.
Beberapa saat kemudian, ibu Sekar Prabisini sudah dapat menguasai, diri.
Ia nampak tenang kembali.
Bertanya .
"Apakah dia t idak menulis surat untuk kami berdua?"
Mendengar pertanyaan itu, Lingga W isnu jadi teringat kepada bunyi pesan Bondan Sejiwan Ia harus mencari seseorang yang bernama Sekarningrum.
Tempat tinggalnya di dusun popongan.
Dan ia diwajibkan memberi uang sebesar seratus ribu ringgit Apakah ibu Prabasin i in i yang bernama Sekarningrum? Menilik bunyi nama gadis itu, agaknya ibu gadis itu bernama Sekarningrum.
Tetapi dia disebutkan bertempat tinggal di dusun Popongan.
Apakah dia dahulu bertempat tanggal di dussun popongan dan kemudian dibawa sekalian saudara ke Kemuning? Seumpama benar, bagaimana harus memberi uang sebesar seratus ribu ringgit? Dari mana? Menilik bunyi suratnya, Bondan Sejiwan menulis dengan sungguh-sungguh.
Lingga W isnu jadi sibuk menebak-nebak.
Sebab jumlah uang yang disebutkan itu alangkah besar! Siapapun akan mudah tergiur Apakah Bandan Sejiwan tewas karena harta itu? Ia pernah memeriksa peta Bondan Sejiwan.
Namun tidak begitu menaruh perhatian, karena seringkali manusia mati dan tersesat oleh hartabenda Dan sekerang pertanyaan ibu Bondan Sekar Prabasin i seperti menggugah ingatannya.
Hati-hati ia mint a ketegasan .
"Maaf, ibu. Apakah ibu bernama. Sekar..... Sekarningrum?"
Ibu Bondan Sekar Prabasini terkejut W ajahnya berubah. Sahutnya dengan suara agak gemetar .
"Benar. Namaku Sekarningrum. Darimana engkau tahu? Siapa yang mengisiki d irimu? Akh, ya.' Pastilah engkau ketahui, dari bunyi surat Bondan Sejiwan. Apakah suratnya kini kau baw a serta?"
Tegang, sikap ibu Prabasini tatkala menunggu jawaban Lingga W isnu.
Pandang matanya seakan-akan tidak berkedip-.
Selagi ia menunggu-nunggu jawaban, tiba-tiba Lingga W isnu melesat keluar serambi.
Tangannya menyambar kearah segerombol bunga mawar yang berada didekat tanjakan.
Sekarningrum dan Sekar Prabasin i kaget dan heran.
Dengan pandang penuh pertanyaan, mereka mengikuti gerakan Lingga W isnu.
Kenapa pemuda itu tiba-tiba melarikan diri? Tetapi kemudian terdengarlah suara mengaduh dari balik gerombol bunga.
Dan muncul ah Lingga W isnu dengan menggusur seorang laki-laki mati kutu.
Dia digabrukkan pada lantai di depan Sekarningrum "Hai! Paman Cocak Kasmaran!"
Seru Prabasini heran dengan suara tertahan. Sekarningrum segera mengenalnya pula. Ia menghela napas panjang. Katanya prihatin kepada Lingga W isnu .
"Bebaskan dia, anakku. Di sini tiada seorangpun yang memandang kami berdua sebagai manusia berharga. Karena itu mereka dengan enak saja main selidik dan main mengint ip semua gerak gerik serta pembicaraan kami berdua."
Suara Sekarningrum terdengar lesu dan patah semangat.
Lingga W isnu segera membebaskan tawanannya dengan satu tepukan.
Dan tawanan itu, yang bernama Cocak Kasmaran, memekik perlahan, dan tersadar.
Dengan Cocak Kasmaran, belum pernah Lingga W isnu mengadu kepandaian Dia adalan salah seorang anggauta keluarga Dandang Mataun yang tidak hadir pada pertempuran kemarin malam.
"Paman Kasmaran,"
Tegur Sekar Prabasin i dengan memberungut.
"Kami sedang berbicara kenapa paman mengintip? Sama sekali paman tidak menghargai martabatmu sendiri.' Kedua mata Cocak Kasmaran terbelalak. Ia mendongkol, namun tak membuka mulutnya. Dengan berdiam diri, ia memut ar tubuhnya dan melangkah hendak meninggalkan serambi. Pengalamannya sebentar tadi, menyadarkan dirinya bahw a ia bukan tandingan anak muda itu yang dapat mencekiknya dengan sekali sambar. Namun set elah berada beberapa langkah diluar serambi, ia menoleh dan berkata dengan sengit .
"Hai! Engkaulah yang mestinya harus malu terhadap kami, karena melahirkan seorang anak tanpa bapak. Huu! Kau perempuan pandai mencuri laki-laki. Sekarang anak perempuanmu kau ajari pula mencuri laki-laki."
Itu adalah suatu penghinaan besar terhadap Sekarningrum berdua.
Maka dapat dimengerti, betapa tersinggung rasa kehormatan Sekar Prabasin i.
Dengan tiba-tiba gadis itu menghunus pedangnya dan melompat keluar serambi memburu pamannya.
Serunya dengan suara penuh kebencian .
"Kau bilang. apa? Paman, mulut mu kotor sekali!"
Cocak Kasmaran memutar tubuhnya dan berdiri tegak siap unt uk bertempur. Bentaknya .
"Apa? Kau hendak melawan kami? Aku datang kemari atas perintah paman-pamanmu semua. Tahu? Kau mau apa?"
"Jika paman hendak berbicara dengan kami, bukankah dapat menunggu esok hari dibawah matahari terangbenderang?' Sekar Prabasini membalas membentak.
"Kenapa paman main selid ik dan intip?"
"Hmm!"
Dengus Cocak Kasmaran. Kemudian ia tertawa melalu i hidungnya.
"Kalian memasukkan orang hutan kemari. Sejarah lama akan kalian ulangi lagi! Delapanbelas tahun sudah nama kehormatan keluarga Dandang Mataun merosot akibat perbuatan ibumu. Kau malu, t idak?"
W ajah Sekar Prabasini berubah. Ia menoleh kepada ibunya. Berkata mengadu .
"Ibu, dengarlah kata-katanya. Pantaskah ucapan itu keluar dari mulut seorang laki-laki yang kusebut paman?"
Cocak Kasmaran hendak membalas dengan ucapan sengit. Tetapi Sekarningrum. mendahului memanggil Sekar Prabisini. Katanya perlahan .
"Prabasin i! Jangan layani dia. Kakang Kasmaran, kau kemarilah! Ingin aku berbicara denganmu."
Cocak Kasmaran mendengus lagi. Lalu menghampiri dengan sikap tinggi hati Sekarningrum tidak menghiraukan. Katanya kemudian .
"Kami ibu dan anak sudah lana h idup menderita Meskipun demikian kami berdua wajib berterima kasih kepada sekalian paman dan semua saudara-saudaraku. Sebab kami berdua masih di-idzinkan bertempat tinggal di dalam lingkungan keluarga Dandang Mataun. Tentang Bondan Sejiwan belum pernah aku berbicara sepatah katapun kepada Prabasini. Tapi sekarang, setelah ayahnya sudah meninggal dan selagi kakang mengetanui semua peristiwanya, sudilah kakang menolong kami, menuturkan semua yang kakang ketahui tentang diri Bondan Sejiwan kepada anakku Prabisin i dan Lingga W isnu. Sudikah kakang mengabulkan permintaanku ini?"
"Kenapa aku yang harus menceritakan?"
Tegur Cocak kasmaran dengan mendongkol.
"Inilah urusanmu! Inilah perkaramu! Maka engkau sendirilah yang sebenarnya harus menceritakan asal-mulanya. Apakah karena merasa malu, sehingga engkau mint a pertolonganku?"
Sekarningrum menghela napas. Sejenak ia berdiam diri. Kemudian berkata .
"Malu? Apa yang harus aku malukan? Kalau aku mint a pertolonganmu, semata-mata karena kakang adalah salah seorang saksi yang pernah berhutang budi kepadanya. Bukankah Bondan Sejiwan pernah menolong jiwamu? Hmm, apakah didalam hatimu tiada lagi terdapat nilai-nilai budi seperti anggauta keluarga Dandang Mataun ? Mendengar perkataan Sekarningrum, wajah Cocak Kasmaran merah-padam. Sahutnya dengan sengit.
"Baiklah, benar, ia pernah menolong jiwaku. Tetapi kenapa dia sudi menolong jiwaku? Huu ... seorang bangsat seperti Bondan Sei wan mana mau menolong orang tanpa perhitungan yano melit demi kepentingan diri sendiri? Baiklah b iar aku ceritakan semuanya. Memang, kalau engkau yang-bercerita sendiri, pastilah akan kau t ambahi bumbu-bumbu yang sedap."
Setelah berkata demikian Cocak Kasmaran mengambil tempat duduk. Kemudian mulailah dia berkata .
"Hai, saudara Lingga dan Prabasini, dengarkanlah! Akan aku mulai menceritakan mengenai seorang bangsat yang bernama Bondan Sejiwan Biarlah aku ceritakan semuanya, biar kamu berdua bisa menilai dan mengetahui betapa jahat si babi Bondan Sejiwan ..."
"Apa? Kau bilang babi? Jika engkau memburukburukkan ayah, tak sudi lagi aku mendengarkan semua kata-katamu!"
Damprat Prabasini Dan kedua kupingnya lantas ditutupnya rapat-rapat.
"dengarkan saja!"
Kata ibunya "Ayatmu kini sudah meninggal dunia Meskipun ayahmu belum dapat dikatakan sebagai manusia baik. namun apabila dibandingkan dengan keluarga Dandang Mataun, nilai budinya seratus kali lipat lebih tinggi."
"Hmm, jangan lupa, engkaupun termasuk keluarga Dandang Mataun,"
Ujar Cocak Kasmaran dengan tertawa melalu i hidungnya. Tetapi Sekarningrum bersikap dingin. Sama. sekali ia tidak mengacuhkan ejekan kakaknya. Dan mulailah Cocak Kasmaran bercerita .
"Peristiwa itu terjadi pada duapuluh tahun yang lalu, tatkala itu aku lagi berumur dua puluh satu tahun. Pekerjaanku membantu paman Cocak Temboro, mengawal barang dagangan ..."
"Huh, dagangan?"
Gerutu Sekar Prabasin i.
"Katakan saja t erus-terang, barang rampokan...! Malu!"
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Prabasin i! Jangan usil!"
T egur ibunya.
W ajah Cocak Kasmaran merah padam.
Dan tatkala itu, berpikirlah Lingga W isnu di dalam hati.
'Rupanya yang disebut anggauta keluarga Dandang Mataun tidak hanya lima orang.
Dahulu, dua orang yang bernama Cocak Obar-abir dan Gumuling, mengaku sebagai anggauta keluarga Dandang Mataun sewaktu menggerayangi peti warisan paman Bondan Sejiwan.
Sekarang ...
sekarang aku mendengar nama Cocak Temboro pula ...' Dalam pada itu, Cocak Kasmaran sudah dapat menguasai diri.
Ia meneruskan ceritanya .
"Pada suatu hari, aku membantu paman Cocak Temboro mengawal semacam barang di W onogiri dan pada malam kedua, aku memperoleh kesempatan untuk bekerja di luar. T etapi aku gagal ..."
"Coba jelaskan, apakah yang kau kerjakan pada w aktu itu,"
Potong Sekarningrum dengan suara dingin. Cocak Kasmaran menjadi gusar. Dengan hati mendongkol, ia berkata sengit .
"Baik! Jad i aku kau suruh berkata terus-terang? Hmm, aku bukannya kau. Aku seorang laki-laki. Kalau berani berbuat, masakan tidak berani menjelaskan? W aktu itu, aku melihat seorang gadis cant ik sekali. Malah puteri Bupati Wonogiri . Untuk mengharap bisa mempersunting gadis secantik itu, adalah mustahil sekali. Satu-satunya jalan, hanyalah mendekapnya di tengah malam dan memperkosanya. Demikianlah malam itu aku memasuki kamarnya. Diluar dugaan, gadis itu menolak kehendakku, dengan angkuh. Kareng jengkel, ia aku bunuh. T ernyata dia masih berkesempatan untuk memekik. Dan pekikannya terdengar oleh penjaga-penjaga Kabupaten. Aku terkepung rapat. Dan merasa tak sanggup menghadapi orang begitu banyak, aku lantas menyerah"
Mendengar tutur kata Cocak Kasmaran, bulu kuduk Lingga W isnu bergidik.
Ia heran pula, cara Cocak Kasmaran menceritakan perbuatannya dengan enak saja.
Sama sekali tak merasa malu dan menyesal.
Mengapa seseorang bisa kehilangan pertimbangan nilai budi pekerti demikian? "Aku dijebloskan dalan penjara."
Cocak Kasmaran melanjutkan ceritanya.
"Tetapi aku tidak takut Paman Cocak Temboro adalah seorang gagah yang berkepandaian tinggi. Tak ada seorangpun di daerah gunung Lawu ini yang bisa menandingi. Aku Percaya asal Paman mendengar kegagalanku ini, pasti dia bakal datang menolong. Akan tetapi sepuluh hari sudah aku menunggu paman tidak juga muncul. Sementara itu surat keputusan mengenai diriku telah datang. Aku diputuskan menjalani hukuman mati, di dalam penjara Wonogiri itu juga. Tatkala orang pengawal penjara memberi kabar kepadaku t entang keputusan itu, barulah aku merasa t akut ..."
"Hm. Aku kira engkau tidak mengenal rasa takut ..."
Ejek Sekar Prabasini. Cocak Kasmaran tidak menggubris ejekan keponakannya itu. Ia meneruskan ceritanya .
"T iga hari kemudian, kepala penjara datang menjenguk kamar sel ku dengan membawa niru besar berisi sepiring daging dan sebotol minuman keras Aku tahu artinya. Esok pagi aku harus menjalankan hukumanku. Aku tahu, semua orang pasti bakal mati. Sama saja. Akan tetapi cara mati itulah yang menakutkan diriku. Akupun masih sayang kepada diriku sendiri. Aku masih muda belia dan merasa belum puas mereguk kesenangan. Namun aku berusaha menguatkan dan mengeraskan hatiku. Makan dan minuman keras itu, aku sapu habis Kemudian aku menidurkan diri. Tepat pada tengah malam, aku t ersadar oleh tepukan perlahan pada pada pundakku. Segera aku bangkit. Dan terdengarlah bisikan ditelingaku. Sst? Jangan bersuara! Aku akan menolong jiwamu! - Setelah berbisik denikian, ia menabas belenggu kaki dan tanganku dengan pedangnya. Alangkah tajam pedangnya! Dengan sekali tabas saja belenggu besi yang menelikung diriku terpapas kut ung. Setelah itu, ia menarik tanganku. Dan aku diajak keluar penjara. Sebentar saja, kami berdua telah tiba diluar kota dan berhenti di sebuah surau. Selama diajak lari, aku menurut saja. Memang tak dapat aku berbuat apapun, selain menurut. Bukan main pesat larinya. Tenaganyapun besar sekali, sehingga tak dapat aku melepaskan diri dari tekanan tangannya. Tetapi karena tertarik, aku tidak terlalu lelah. Sampai d isurau itu, napasku tidak memburu. Ia melepaskan genggamannya. Kemudian menyalakan sebuah pelita yang terbuat dari minyak buah jarak. Setelah cahaya menyibakkan kegelapan malam, barulah aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Diluar dugaanku, ternyata dia seorang pemuda yang sebaya dengan usiaku. Tadinya aku kira seorang tua yang sudah berusia lanjut, menilik ilmu kepandaiannya yang sangat tinggi. Perawakan tubuhnya tegap. W ajahnya tampan luar biasa. Dikemudian hari, ternyata ia baru berumur duapuluh tahun.' Berkata demikian, ia menyiratkan pandanan kepada Sekarningrum dan Sekar Prabasini bergantian untuk mencari kesan. Setelah itu, ia melanjutkan ceritanya lagi.
"Segera aku membungkuk hormat kepada pemuda itu sambil menyatakan rasa terima kasihku, Hmm. T ernyata dia seorang pemuda yang angkuh dan kepala besar. Sama sekali d ia tidak membalas hormatku. Katanya dengan singkat. Aku bernama Bondan Sejiwan. Apakah engkau salah seorang keluarga Dandang Mataun? Aku memanggut. Dalam pada itu, aku memperoleh kesempatan untuk mengamat-amati pedangnya yang dapat menabas rantai belengguku dengan mudah. Itulah sebatang pedang berwarna hitam. Anehnya, ujungnya terpecah menjadi dua semacam mulut ular. Lingga W isnu diam-diam bersenyum. Katanya didalam hati . 'Itulah pedang Cunduk Trisula.' Akan tetapi, ia bersikap membungkam mulut dan membiarkan Cocak Kasmaran melanjutkan ceritanya. Berkatalah orang itu .
"Kut anyakan tempat tinggalnya, akan tetapi ia menjawab dengan suara menggerutu. Katanya. 'Em. Apa perlu kau ketahui. Betapapun juga, di kemudian hari engkau tidak akan merasa berterima kasih kepadaku.' Mendengar ucapan itu, aku jadi sangat heran. Pikirku, ia telah menolong jiwaku. Untuk seumur hidup, pastilah aku akan senantiasa mengingat budinya. Agaknya ia mengerti jalan pikiranku. Katanya lagi. 'A ku menolong jiwamu', demi kepentingan pamanmu yang ke enam, Cocak Temboro! Kau ikutlah aku!' ...
"Dengan hati menebak-nebak, aku ikut i dia. Ia membawa diriku ke Sragen. Dengan menutup mulut, ia melompat keatas sebuah perahu. Dan aku ikut pula dibelakangnya. Dengan suara pendek, ia memberi perint ah kepada tukang perahu, agar berangkat mengarah ke timur. Aku jadi berlegah hati, karena perjalanan itu mendekati jalan-lint ang yang menuju kemari. Artinya, aku tak usah takut lagi kepada hambahamba hukum yang mencoba mengejarku "Bondan Sejiwan mengeluarkan sebentuk senjata dari dalam sakunya. Senjata itu mirip sebuah cempuling pendek. Itulah senjata andalan paman Cocak Temboro. Dan melihat senjata andalan paman itu, aku jadi bertambah heran. Biasanya, tak pernah paman berpisah dari senjatanya. Kenapa senjatanya berada ditangan penolongku? "Paman adalah sahabat-sahabat karibku! kata Bondan Sejiwan diant ara tertawanya. Ia tertawa beberapa kali lagi. Tiba-tiba pandang matanya berubah menjadi bengis. Entah apa sebabnya, aku dihinggapi perasaan kaget dan takut.
"Di dalam gubuk itu, terdapat sebuah peti, katanya lagi sambil menunjuk ke dalam gubuk perahu.
"Aku menghendaki agar engkau membawanya pulang. Kau serahkan suratku ini kepada ayahmu dan sekalian para pamanmu!"
"Dengan berdiam diri, aku mengikut i arah telunjuknya. Di dalam gubuk, aku lihat sebuah peti besar yang tertutup rapat sekalj. Kecuali dilibat dengan ikatan tali, terpaku pula.
"Engkau harus membawa peti ini pulang secepatnya. Jangan engkau singgah dimanapun juga! ia berkata, 'Peti ini harus dibuka oleh t angan ayahmu sendiri! "Aku mengangguk. Dan ia memberi pesan .
"Sebulan lagi aku akan datang berkunjung kerumahmu. Berilah kabar kepada ayahmu dan sekalian paman-pamanmu yang kau hormati, agar menyambut kedatanganku dengan baik "Itulah ucapan-ucapan yang tak keruan junt rungannya. Meskpun demikian, aku t anggapi dengan hati lega. Setelah memberi pesan demikian, ia menyambar galah penggayuh, dan dengan sekali menancapkan penggayuh itu di atas permukaan air, ia melompat tinggi di udara. Dan mendarat ditebing sungai dengan selamat.
"Bagus!"
Seru Sekar Prabasini tanpa merasa.
"Hmm"
Denpus Cocak Kasmaran dengan mendongkol. Dan tiba-tiba ia meludahi lant ai serambi. 'Bangsat itu memang gesit dan tenaganya besar luar biasa. Tetapi gerak-geriknya benar-benar sukar kuduga. Barangkali ia keturunan malaikat terkutuk."
Tak usah dikatakan lagi, ucapannya membersit dari hati yang mendongkol. Tetapi baik Sekar prabasini maupun Sekarningrum, bersikap t ak acuh mereka seolaholah tidak mengetahui keadaan hati Cocak Kasmaran.
"T atkala itu aku pandang dia sebagai penolongku"
Cocak Kasmaran meneruskan ceritanya.
"Melihat pandang matanya yang tajam dan bengis, rupanya dia sangat benci kepadaku. Meskipun demikian aku tak mau percaya kepada penglihatanku sendiri Mungkin sekali memang demikian perangainya. Sebab biasanya, seseorang yang berkepandaian t inggi, mempunyai lagaklagu yang aneh. Karena itu, aku tidak terusik oleh pandang matanya yang bengis. Setelah mendarat, segera aku membawa peti besar itu pulang. Sepanjang jalan, aku sibuk menduga-duga, tentang peti yang kupanggul diatas pundak. Alangkah beratnya! Pastilah isinya emas, atau perak, atau permata yang tak ternilai harganya. Tentunya, inilah harta-benda berkat usaha paman Cocak T emboro. Aku percaya pula, bahw a semua paman dan ayahku akan menyambut kedatanganku dengan rasa syukur. Dan pastilah mereka akan memberi sebagian harta itu kepadaku sebagai Hadiah. Dan memperoleh keyakinan demikian, aku jadi bersemangat dan girang bukan kepalang. Ternyata dugaanku tidak meleset sama sekali. Ayah dan sekalian pamanku memuji diriku set inggi langit. Kata mereka, baru pertama kali aku keluar rumah namun sudah memperoleh hasil yang tak tercela."
"Siapa bilang, paman tercela?"
Potong Sekar Prabasini dengan suara mengejek.
"Setelah membunuh seorang gadis remaja, engkau pulangnya dengan membawa sebuah peti besar. Mustahil kalau paman bukan kekasih malaekat."
"Prabasin i, diam!"
Tegur ibunya.
"Dengarkan cerita pamanmu baik-baik!"
Cocak Kasmaran sendiri tidak melayani ucapan keponakannya. Ia melanjutkan ceritanya. Katanya .
"Malam hari itu, kami berkumpul dipaseban. Ayah menyuruh kami semua menyalakan penerangan sebesarbesarnya. Setelah itu, empat orang pelayan menggotong peti besar itu, dan ditaruh ditengah-tengah paseban. Ayah duduk di paseban dengan keempat isterinya. Dengan satu isyarat mata segera aku melepaskan ikatan tali yang melibat peti besar. Setelah itu semua pakunya aku cabuti sebuah demi sebuah.
"Masih segar dalam ingatanku, t atkala aku mencabuti paku-paku itu. Paman tertawa geli. Katanya diant ara tertawanya. 'Sebenarnya, gadis manakah yang memikat Temboro sangga ia jadi lupa daratan? Dia hanya menyuruh seorang bocah membawa pulang petinya Mari! ..Mar ikita lihat mustika apakah yang dikirimkan pulang ini! "Segera aku membuka tutup peti Dan aku dapati sepucuk sampul yang bunyinya begini. Di persembahkan kepada seluruh keluarga Dandang Mataun. Indah, bentuk huruf-hurufnya Terang sekali bukan tulisan paman Cocak Temboro. Maka surat itu aku serahkan kepada paman tertua.
"Kau maksudkan kakek Cocak Kalaseta?"
Potong Sekar Prabasin i. Cocak Kasmaran mengangguk. Dan sambil menatap Lingga W isnu, ia berkata .
"Kami keluarga Dandang Mataun, menggunakan nama Cocak didepan nama-nama kami. Ayah kami bernama Cocak Pangabaran. Kemudian keempat pamanku yang bernama . Cocak Kalaseta,Cocak Gemuling, Cocak Temboro dan Cocak Obar-abir. Lingga W isnu kenal dan pernah melihat Cocak Gemuling dan Cocak Obar-abir. Mereka berdua mati diatas gunung Dieng, tatkala menggerayangi peti warisan Bondan Sejiwan. Namun ia bersikap diam dalam mendengarkan keterangan Cocak Kasmaran. Kata Cocak Kasmaran melanjutkan ceritanya.
"Paman Cocak Kalaseta menerima surat itu. Akan tetapi ia tidak segera membukanya untuk dibaca. Sebaliknya ia memberi perint ah kepada isteri paman Cocak Temboro, agar membuka bungkusan terlebih dahulu yang berada didalam peti besar. Bungkusan itu terjahit rapih. Kata paman Cocak Kalaseta kepada bibi Temboro .
"Adik, guntingi semua benangnya!"
Heran aku mendengar perintah paman Cocak Kalaset a. Kenapa dia perlu bertindak cermat. Sementara itu, bibi Temboro mengambil gunting dan setelah menggunting tali pengikat, dengan kedua tangannya ia membawa bungkusan itu kepada paman Cocak Kalaseta.
"Mari kita lihat apa isinya!"
Ujar paman Cocak Kalaseta sambil menjengukkan kepalanya.
Dengan cekatan, bibi Temboro membuka tutup bungkusan.
Tiba-tiba menyambarlah delapan atau sembilan anak panah beracun dari dalam bungkusan ...
Sekar Prabasini kaget sampai memekik mendengar peristiwa itu.
Sebaliknya Lingga W isnu sama sekali tidak heran.
Teringatlah dia, akan pengalamannya di dalam goa dahulu.
Itulah kepandaian dan ciri Bondan Sejiwan membuat jebakan anak panah.
"Syukurlah, aku tidak terburu napsu."
Kata Cocak Kasmaran memuji d iri sendiri.
"Seumpama terbutu napsu dengan membuka bungkusan itu, maka akulah yang akan mati terjengkang sebab sembilan anak panah Itu terbagi dalam dua jurusan. Y ang empat batang langsung menancap dada bibi Temboro. Dan yang lima batang lagi menembus perut paman Cocak Kalaseta. Hebat racun anak panah itu. Hampir berbareng, mereka dua roboh ke lantai tanpa bersuara Darah yang mengucur berubah menjadi hitan. Dan mereka berdua mati tiada berkutik lagi ... Berkata demkian, Cocak Kasmaran menoleh kepada Sekar Prabasini. Katanya dengan suara mengandung dendam dan ejekan .
"Itulah perbuatan ayahmu. Bagus, bukan? Hmm - Dan gemparlah seluruh ruang paseban. Paman Cocak Obarabir dan paman Cocak Gemuling serentak menoleh kepadaku, mereka menduga buruk diriku Dan menyuruhku membuka bungkusan besar itu. Dengan terpaksa aku menurut. Namun tak berani aku menghampiri atau mencoba meraba bungkusan besar itu. Aku berdiri jauh-jauh dan membuka bungkusan dengan galah penggaet. Ternyata kali ini tiada sebatang anak. panahpun yang menyambar. Dan kau tahu, apakah isinya? "Apakah isinya?"
Sekar Prabasini maembalas pertanyaan dengan pertanyaan. Tiba-tiba wajah Cocak Kasmaran menjadi merah padam. W ajahnya berubah menjadi bengis. Dengan suara nyaring, ia memekik .
"Itulah mayat paman Cocak Temboro!"
Sekar Prabasini terkejut. Parasnya pucat. Itulah berita yang sama sekali tak d iduganya. Dan melihat kepucatan wajah Prabasini, maka ibunya memeluknya. Dan beberapa saat lamanya mereka berdua berdiam diri.
"Nah, kejam tidak perbuatan itu?"
Seru Cocak Kasmaran.
"Sebenarnya, sudahlah cukup dengan pembunuhan saja. Mengapa perlu membungkus mayat paman demikian rapi unt uk dikirimkan pulang kehadapan sekalian keluarga Dandan Mataun? Kenapa? Coba jawab, kenapa?"
"Benarkah engkau tidak dapat menjawab pertanyaanmu sendiri?"
Jawab Sekarningrum.
"Benarbenarkah engkau tidak tahu apa sebab ia sampai berbuat demikian t erhadap keluarga Dandang Martaun?"
Cocak Kasmaran mendengus. Air mukanya berubahubah. Akhirnya berkata .
"Anggap saja aku menang t idak tahu. Karena engkau maha tahu, nah cobalah jawab pertanyaanku itu!"
Sekarningrum melemparkan pandang ke udara bebas yang penuh dengan bintang-bintang dan cahaya bulan.
Hatinya nampak tertawan.
Dan lambat lambat ia meruntuhkan pandangnya kepada alam sekitarnya.
Kemudian kepada Sekar Prabasini kemudian sambil mengusap-usap rambut anaknya, ia berkata .
"Sekarang, biarlah aku yang meneruskan cerita pamanmu. W aktu itu umurku satu tahun lebih tua dari usiamu sekarang. Akan tetapi sifatku masih kekanakkanakan. Aku kosong dari segala masalah hidup. Seluruh keluarga memanjakan diriku Segala pemint aanku pasti dikabulkan Tetapi aku tahu! seluruh anggota Dandang Mataun adalah sekumpulan manusia-manusia jahat. Semua bentuk kejahatan pernah mereka lakuan, Karena itu, aku t idak senang terhadap mereka Itulah sebabnya, sama sekali aku t idak bersedih hati t atkala melihat mayat paman Cock Temboro. Atku hanya heran. Kukenal Ilmu kepandaian paman Cocak Temboro. Dialah yang tertinggi diant ara sekalian saudaranya. Bagaimana d ia dapat ditewaskan? Aku bersembunyi dibelakang punggung ibu. Tak berani aku berbicara sepatah katapun. Ayah memungut surat yang berada ditangan paman Kalaseta. Beginilah bunyinya . Kukirimkan mayat saudararrru kemari. Terimalah dengan rasa syukur! Dia memperkosa kakakperempuanku. Kemudian dibunuhnya. Diapun membunuh ayah-bunda dan dua kakakku lagi. Jadi semuanya lima orang. Yang hidup tinggal aku sendiri, karena kebetulan dapat meloloskan diri. Dan h iduplah aku sebatang kara dari tempat ke tempat. Kini, barulah aku muncul kembali dalam pergaulan. Hut ang darah harus terbayar. Aku harus menuntut balas sepuluh kali lipat. Dan hatiku baru puas. Karena keluarga Dandang Mataun hutang lima jiwa, maka aku harus membunuh limapuluh jiwa dan memperkosa sepuluh anggauta keluarganya. Karena itu, bersiagalah! = "Peristiwa itu merupakan lembaran sejarah hidupku yang baru, sehingga bunyi surat Bondan Sejiwan yang menggemparkan terukir kuat dalam ingatanku. Selama hayat masih dikandung badan, takkan tercicir meski sepatah katanya pun."
Lingga W isnu jadi teringat nasib sendiri. Kalau begitu jalan hidup Bondan Sejiwan sama saja dengan sejarah hidupnya. Diapun kehilangan ayah-bunda dan dua orang saudara-sekandung. Sedang kakak-perempuannya, Sudarawerti, tak keruan rimbanya.
"Kakang Cocak Kasmaran! Benar tidak perbuatan paman Cocak Temboro? Dia. pembunuh seluruh keluarga Bonda Sejiwan atau tidak?"
Kata Sekarningrum kepada Cocak Kasmaran. Cocak Kasmaran tidak menjawab. Ia hanya memanggut. Tapi setelah memanggut, tiba-tiba meledak.
"Kami semua hidup sebagai laki-laki. Merampas, merampok, membakar rumah atau membunuh adalah pekerjaan laki-laki. Kenapa aku harus memungkiri perbuatan paman Cocak Temboro? Paman melihat gadis cant ik. Hatinya tertambat, tapi gadis itu mungkin tak mau mengerti. Pastilah ia menolak ajakan paman yang bermaksud baik. Dia menyakiti hati paman, sebelum diperkosanya. Kalau paman sampai membunuhnya, itulah sudah semestinya."
"Kenapa yang lain-lain d ibunuhnya pula?"
Damprat Sekar Prabasini.
"Kau anak kemarin sore, tahu apa?"
Cocak Kasmaran setengah memaki.
"Itulah justru merupakan suatu bukti, bahw a paman terlalu disakiti hatinya."
"Eh, enak saja kau berkata begitu,"
Gerutu Sekar Prabasin i.
"Sesudah memperkosa lantas melakukan pembunuhan."
"Itulah laki-laki!"
Sahut Cocak Kasmaran dengan suara gagah. Kemudian menyambung cerita Sekarningrum .
"Setelah membaca surat Bondan Sejiwan, maka ayah tertawa berkakakan. Kata ayah. Jadi dia hendak datang kemari? Bagus! Dengan begitu, tidak usah bersusah-payah mencarinya. Kalau dia bersembunyi, dimana k ita harus mencarinya" - Dan pada hari itu juga, ayah mulai bersiap-siap Ayah cermat sekali. Pada malam hari, seluruh keluarga diwajibkan jaga malam dengan bergantian. Malah keesokan harinya, ayah perlu memanggil kedua pamanku lagi."
Lingga W isnu heran. Pikirnya. 'Hai, banyak sekali jumlah keluarga Dandang Mataun seolah-olah tiada habis-habisnya.' Tatkala itu Sekar Prabasini mint a keterangan kepada ibunya .
"Ibu, siapa yang dipanggil kedua paman itu? Siapa nama mereka?"
"Itulah kedua eyangmu. Mereka berdua adik nenek!"jawab Sekarningrum.
"Beliau bertempat tinggal di desa Bulukerta sebelah timur gunung ini Eyangmu yang tertua bernama Argajati. Dan adiknya, Satmata.'' "Merekalah dua orang sakti yang tiada bandingnya di dunia in i,"
Cocak Kasmaran menyambung dengan suara bangga.
"Tapi Bondan Sejiwan benar-benar tak ubah iblis. Entah bagaimana caranya dia bisa mengetahui maksud ayah memanggil kedua pamanku itu. Tiba-tiba saja dua orang ut usan ayah, di sergapnya ditengah jalan dan dibunuhnya. Dan semenjak itu, ia muncul seperti malaikat dan menghilang seperti iblis. Setiap malam ia masuk ke dalam rumah kami dan mula-mula mencuri limapuluh batang alat pemotong padi dan dengan alat itu, ia membunuhi keluarga kami Kadang-kadang satu malam sampai sepuluh orang. Mereka mati dengan dada tertancap clurit atau alat pemotong padi. itu. Maka tahulah kami apa sebab ia mencuri limapuluh buah clurit itu. Rupanya ia hendak membuktikan ancamannya, bahw a ia perlu membunuh limapuluh orang keluarga kami demi memuaskan hatinya. Dan sebelum lima puluh orang terbunuh ditangannya, ia takkan berhenti mengancam kedamaian hidup kami."
"Jumlah seluruh keluarga lebih dari seratus orang. Masakan tak dapat melawan seorang saja?"
Kata Sekar Prabasin i..
"Soalnya, dia tak pernah memperlihatkan diri "
Sahut Cocak Kasmaran.
"Dia main sembunyi seperti iblis. Gerak-geriknya t ak ubah seperti seekor kucing mengintip sarang tikus. Ia menerkam korbannya apabila kebetulan memencil. Keruan saja, ayah gusar bukan kepalang. Dalam kesibukannya, ayah mengundang belasan pendekar pada setiap malamnya, dengan dalih sedang berpesta. Dengan begitu, setiap malam kami mengadakan pesta makan minum. Berapa banyak harta yang telah kami hamburkan, sudah tak terpikirkan lagi. Ayahpun menyebarkan surat-surat pengumuman untuk menantang Bondan Sejiwan bertempur dengan terangterangan agar memperoleh keputusan. Akan tetapi Bondan Sejiwan membuta dan tuli. Sama sekali ia tak menggubris surat tantangan ayah. Karena itu satusatunya jalan hanyalah. mengundang pendekar-pendekar sebanyak-banyaknya dengan melalui pesta-pora. Agaknya Bondan Sejiwan takut melihat jumlah kami yang banyak. Setengah tahun lamanya, ia tidak pernah muncul lagi. Dan pendekar-pendekar undangan ayahpun mulai berpamitan pulang seorang dani se orang.
"Tetapi, begitu rumah kediaman kami kembali sunyi sepi, kakak kami yang tertua, dan dua saudara sepupu kami terdapat mati di dalam kamarnya. Dan keesokan harinya, tiga kemenakan kami, mati tenggelam di dalam empang. Tubuh mereka masing-masing t ertancap sebuah clurit. Jelas bangsat itu benar-benar pandai menguasai diri. Ia bisa menunggu kesanpatan dengan sabar sampai setengah tahun lamanya. Dan semenjak itu, setiap sepuluh hari sekali, pasti ada seorang diantara kami yang menjadi korban balas dendamnya Bondan Sejiwan.
"T ukang-tukang peti mati sampai kehabisan persediaan. Maka terpaksalah kami membeli peti-peti mati dari Seragen. Madiun atau Kediri. Sudah tentu kami menutup rapat-rapat peristiwa kematian yang sebenarnya. Kami kabarkan, bahwa dusun kami sedang terserang penyakit menjalar yang dahsyat. Dan untuk mengelabui penduduk, ayah perlu membuat selamatan untuk menggant inya nama desa Popongan jadi Kemuning. Ningrum adikku, pastilah engkau masih teringat pada hari-hari yang menggiriskan hati."
Sekarningrum tidak segera menjawab. Dan kini tahulah Lingga W isnu, apa sebab Bondan Sejiwan menyebut desa kediaman isterinya dengan nama Popongan.
"T atkala itu, seluruh dusun gempar karena rasa takut,"
Kata Sekarningrum setelah berdiam sejenak.
"Betapa ayah berusaha untuk menutupi kejadian yang sebenarnya, lambat-laun tersiar juga. Seketika itu juga, penduduk lantas mengungsi ke desa-desa terdekat. Dengan demikian, ayah tidak mempunyai pengharapan lagi untuk bisa memperoleh tenaga peronda. Dan terpaksalah anggauta keluarga meronda dan berjagajaga diri pada siang dan malam hari secara bergiliran seperti dahulu. Anggauta-anggauta wanita dan anakanak disembunyikan di dalam rumah tertentu yang terjaga, rapat. Kami tidak diperkenankan meninggalkan pintu rumah selangkahpun juga."
"Meskipun demikian, nada suatu malam, dua iparku lenyap tak keruan,"
Sambung Cocak Kasmaran dengan gigi berceratukan.
"Kami semua menduga bahw a kedua iparku itu pasti telah mati di t angan si bangsat. Eh, diluar dugaan, selang satu setengah bulan, mereka berdua mengirim surat dari dusun W alikukun. Mereka berkata, bahw a setelah menulis surat, harus segera mengikuti seorang tengkulak perempuan ke Surakarta. Ternyata mereka berdua telah dijual oleh sibangsat Bondan Sejiwan kepada tengkulak perempuan. Tegasnya, mereka harus melayani tetamu-tetamu lelaki set iap satu hari satu malam duapuluh orang sehingga bisa dibayangkan, betapa menderita kedua kakak iparku itu. Mereka disekap satu setengah bulan. Dan dipaksa melayani duapuluh lelaki set iap harinya. Masyaallah ... pintu besi pun bisa jebol bila diperlakukan demikian."
Mendengar t utur kata Cocak Kasmaran, Lingga W isnu bergidik.
Seluruh bulu rananya meremang.
Pikirnya di dalam hati.
'Hebat cara pembalasan dendam paman Bondan Sejiwan.
Memang, ia harus membalaskan sakit hati ayah-bunda dan ketiga kakaknya.
Akan tetapi setelah penyebabnya sudah kena dibinasakan, mestinya tak perlu lagi ia merajalela begitu mengerikan.' Dengan menghela napas, Cocak Kasmaran melanjutkan ceritanya .
'Kedua kakakku mendongkol bukan main mendengar berita itu.
Oleh rasa mendongkol dan sakit hati, mereka berdua sanpai jatuh pingsan.
Ayah tak dapat berbuat suatu apa kecuali mengirimkan uang penebus kepada tengkulak perempuan tersebut, agar membebaskan kedua menantunya.
"Dua t ahun lmanya kami dirusak kedamaian hat i kami. Dan yang membuat kita mendongkol, setiap tiga bulan sekali, ia mengirimkan surat perhitungan dan peringatan, seolah-olah kami mempunyai hutang yang wajib kami bayar penuh-penuh. Dia mengirimkan daftar nama-nama yang telah dibunuh. Dalam waktu dua tahun itu, sudah berjumlah empatpuluh tiga orang. Dengan begitu, dia masih menagih tujuh jiwa lagi.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami keluarga Dandang Mataun, biasanya malangmelint ang tanpa tandingan semenjak puluhan tahun yang lalu. Baik penduduk maupun penguasa setempat tak berani mengganggu gugat sepak terjang kami. Tetapi sekarang, kami d ipermainkan oleh seorang lawan, saja yang benar benar bisa membuat hati kami sedih, lelah dan gelisah. Menuruti-hati kami ingin menuntut balas pula secepat-cepatnya agar memperoleh penyelesaian. Akan tetapi bangsat Bondan Sejiwan adalah seorang musuh yang sangat licin dan gagah. Ayah dan beberapa paman kami, pernah bertempur seorang demi seorang. Ternyata mereka bukan merupakan tandingan Bondan Sejiwan yang memang berkepandaian t inggi luar biasa.
"Kami semua jad i putus asa. Rasanya, tiada sesuatu yang dapat kami lakukan, kecuali menunggu datangnya maut. Akhirnya kami bersepakat untuk membuat pembelaan diri dengan cara bergabung. Akan tetapi asal kita sudah bersiaga bertempur dan membuat penjagjfcn rapat, ia tak pernah muncul sampai berbulan-bulan lamanya. Sebaliknya, bilamana lalai sedikit saja, tiba-tiba ia muncul kembali dan membunuh. Demikianlah setelah melampaui masa dua tahun, hutang jiwa kami tinggal tujuh orang. Nah, Prabasini, cobalah jawab dengan terus-terang! Layakkah kita apabila kita membencinya? Pant as atau tidak kita mengutuknya sampai tujuh turunan?"
"Kemudian bagaimana?"
Ujar Prabasini mengelakkan pertanyaan pamannya.
"Biarlah ibumu saja yang melanjutkan ceritaku ini,"
Sahut Cocak Kasmaran dengan suara lesu. Lingga W isnu mengalihkan pandang kepada Sekarningrum. W ajah Sekarningrum nampak berduka seperti menahan suatu penyakit dada, ia berkata perlahan .
"Anakku lingga. Engkau telah merawat dan mengubur jenazahnya. Biarlah aku berkata terus terang saja. mengenai hubungan kami. Rasanya tidak ada perlunya untuk menyembunyikan sesuatu hal. Hanya saja, setelah selesai aku menceritakan sejarah hubungan kami dengan dia, tolong kau kabarkan sebab musabab meninggalnya. Dengan itu kami ibu dan anak, jadi mengerti keadaannya yang sebenarnya. Dengan begitu ..."
Sekarningrum t ak dapat menyelesaikan perkataannya. Ia menangis sedih sekali, sehingga ucapannya tertunda beberapa saat lamanya. Setelah hatinya lega, mulailah dia berkata lagi .
"T atkala itu, aku tidak mengetahui sebab musababnya kenapa dia demikian kejam terhadap keluarga kani. Bahkan kami tidak ingin mengetahuinya. Ayahpun membungkam terhadapku. Ayah, hanya melarang diriku keluar dari pekarangan rumah, meskipun hanya selangkah. Karena t idak memperoleh pkijelasan, aku jadi masgul. Kenapa ayah mendadak saja menawan diriku? Meskipun ayah berusaha menemaniku dengan beberapa iparku, namun hatiku merasa tersiksa. Sebab aku hanya diperkenankan bermain-main di dalam taman saja yang berukuran ciut.
"Pada bulan ketiga, musim bunga tibalah. Petamanan ini penuh dengan bau harum yang segar dan hatiku tak terkendalikan lagi karena ingin menjenguk bunga tanamanku. Tetapi karena sepak terjang Bondan Sejiwan yang ganas, t erpaksalah aku bergulat mengatasi gejolak hatiku. Aku harus menyekap diri d i dalam rumah. Pernah pada suatu kali aku ingin membolos seorang diri. Akan tetapi teringat betapa sungguh-sungguhnya, ayah melarangku keluar rumah, maka aku batalkan niatku itu.
"Pada suatu hari, aku bermain-main di dalam taman dengan dua orang iparku yang menempati kanar ketiga dan kelima. Pamanku, Cocak Kasmaran dan Cocak W indupun ikut pula menemani. Jadi jumlah kami lima orang. Aku tertarik pada permainan ayunan. Sebab bila aku bisa berayun tinggi sampai melampaui pagar dinding, pastilah bisa melihat pemandangan yang berada diluar, tembok. Maklumlah, aku sudah cukup lama tersekap. Kira-kira hamp ir dua tahun. Maka tak mengherankan, hatiku amat rindu melihat kehidupan alam dan kesegaran penglihatan.
"Demikianlah, aku bermain ayun-ayunan, dengan gembira. Setiap kali berayun, aku makin tinggi dan makin tinggi. Pemandangan alam d iluar tembok dapat ku jenguk dan kujenguk. Tiba- tiba saja pamanmu Cocak W indu, memekik menyayatkan hati. Sebatang cunduk Trisula menancap di dadanya. Dan ia mati seketika itu juga. Dan pada saat itu ... engkau, kakang Cocak Kasmaran lant as saja melarikan diri. Dan kami bertiga, tidak kau pedulikan lagi . Bukankah begitu?"
Merah wajah Cocak Kasmaran. Buru-buru ia menyahut;
"Habis? Seorang diri, tidaklah mampu aku melawannya. Maka. segera aku lari masuk ke rumah untuk mencari bantuan. Coba aku t idak cepat-cepat lari, pastilah aku akan mampus sia-sia saja ..."
"Hm."
Sekar Prabasini mendengus. Sebaliknya, ibunya bersikap dingin saja. Katanya melanjutkan ceritanya .
"Aku menyaksikan peristiwa pembunuhan itu dari papan ayunan yang masih berayun dengan cepat. Dan selagi aku kebingungan, karena belum jelas tentang sebaib-musababnya terjadi pembunuhan itu, tiba-tiba kulihat berkelebatnya sesosok bayangan mengarah padaku. Bayangan itu menuruti gerakan ayunan. Sewaktu aku terbawa papan ayunan menjangkau ketinggian, ia menyambar d iriku dan dibawanya terbang. Aku memekik sekuat-kuatnya oleh rasa kaget dan cemas. Sebab, kakiku tidak lagi menginjak papan ayunan. Sedangkan diriku berada di udara hampir mencapai, puncak pohon Susu Anjing. Celakalah, bila sampai terbanting di atas tanah. Apalagi ayunan tadi, diriku terlambung seperti terlemparkan.
"Bayangan yang menyambar diriku memegang tangan kiriku kuat-kuat. Ia membawa diriku terbang melint asi tembok. Tiba-tiba tangannya menyambar dahan pohon mangga dan dengan begitu lambungan ayunan agak tertahan. Kemudian dengan gesit, ia membawa aku mendarat di atas tanah.
"Aku terhindar dari marabahaya. Tetapi kemudian, ia membawaku lari dengan memelukku erat-erat.-Dalam bingungku, aku memukuli mukanya. Tatkala, pundakku kena tekan, sekonyong konyongriya lenyaplah tenagaku. Dan tak lama kemudian, aku mendengar suara berisik dibelakangku. Itulah langkah ayahku beramai yang berusaha mengejar diriku yang kena culik.
"Dua jam lagi lenyaplah suara berisik itu. Tahulah aku, bahw a mereka sudah ketinggalan jauh. Dan aku masih saja dibawa lari makin lama makin cepat. Akhirnya, dia berhenti di sebuah goa yang berada disamping jurang curam. Jarak antara goa dan seberang tebing kurang lebih dua puluh meter.
"Ia menepuk pundakku seraya meletakkan aku di atas sebuah batu. Tenagaku pulih kembali. Dan ia memandang diriku dengan bersenyum penuh kemenangan. Tiba-tiba t eringatlah aku kepada nasib dua iparku yang pernah terculik. Apakah aku pun akan diiualnya kepada tengkulak perempuan untuk melayani duapuluh orang hidung belang set iap harinya? Daripada hidup demikian, lebih baik aku mati saja. Dan kini, barulah aku menyadari kehendak baik ayahku, dengan menyekapku di dalam rumah terpisah. Teringat hal itu, aku jadi benci kepada diriku sendiri. Terus saja aku melompat membenturkan kepalaku pada batu yang mencongak ditepi jurang.
"Dia terperanjat bukan kepalang melihat perbuatanku itu. Sama sekali tak diduganya, bahwa aku hendak melakukan bunuh diri. Meskipun demikian masih bisa iamencegah kenekatanku. Dengan t angkas ia menyambar pinggangku. Namun kepalaku terbentur juga pada batu itu, meskipun tidak keras. Inilah bekas lukanya ..."
Sekarningrum memperlihatkan ujung keningnya yang tertutup rambut. Nampak sekali bekas lukanya. Melihat bekas luka itu, pastilah ia dahulu menderita luka yang tak enteng.
"Maksudnya mencegah kenekatan itu, mungkin sekali terbersit dari hati nuraninya yang baik. Tetapi andaikata ia membiarkan diriku membenturkan kepalaku pada batu, pastilah di kemudian hari. tidak akan menjadi peristiwa yang berlarut larut . Bagi dia sendiri, penggagalan itu mungkin baik akibatnya. Tapi bagiku adalah sebaliknya."
Sekarningrum melanjutkan tutur katanya dengan menghela napas beberapa kali. Meneruskan .
"Aku pingsan karena lukaku. Tatkala memperoleh kesadaranku kenbali, aku berada di atas sehelai permadani di dalam goa. Penglihatan itu sangat asing bagiku. Oleh rasa kaget, hampir saja aku tak sadarkan diri lagi. Tetani setelah melihat pakaianku masih tetap keadaan rapih, legalah hatiku. Ternyata dia tak memperkosaku. mungkin sekali disebabkan oleh kenekatanku hendak bunuh diri, ia malahan tidak menggangguku.
"Rupanya dia dihinggapi rasa khawatir tentang diriku. Jangan-jangan aku nekad hendak bunuh diri lagi. Maka selama dua hari dua malam, ia menjagaku sangat cermat. Dia masak sendiri untuk makanku. Sebaliknya, aku tak sudi menjamah masakannya. Aku menangis terus-menerus sampai pada hari keempat. Dan pada hari kelima aku jad i kurus kering.
"Ia mencoba memasak hidangan lezat. Dan dengan sabar membujukku agar mau makan masakan yang dihidangkannya. Tapi tetap saja aku takkan menghiraukan bujukannya. Sekonyong-konyong ia menjambak rambutku, kepalaku ditengadahkannya. Hidungku dipencetnya rapat-rapat. Selagi mulut ku terbuka, ia menjejali makanan. Kuahnya dituangkan pula ke dalam mulut ku. Karena hidungku terpencet, mau tak mau aku harus meneguknya. Barulah hidungku dibebaskannya. Dan ia tidak lagi menjambak. Tetapi begitu terbebas, aku menyembulkan sisa makanan dan kuah kemukanya. Dengan sengaja aku berbuat demikian, agar ia membunuhku karena marah. Dalam hatiku aku mengharapkan kematian daripada diperkosanya. Pengalaman kedua iparku terlalu mengerikan bagiku.
"Diluar dugaan, ia hanya tertawa saja. Dengan sabar, ia menyusuti sisa makanan yang menempel dimukanya. Ia menatap diriku beberapa saat lananya. Kemudian menghela napas.
"Aku hendak menyanyikan sebuah lagu untukmu. Kau mau mendengarkan atau tidak?"
Katanya kepadaku.
"Aku tak sudi mendengarkan!"
Dampratku Mendadak saja ia meloncat-loncat kegirangan dan menandak-nandak. Ujarnya .
"Aku sangka, engkau gadis gagu. Kiranya engkau bisa berbicara juga."
Itulah pernyataan diluar dugaanku. T iba-tiba saja aku tertawa diluar kesadaranku sendiri, karena ucapannya begitu lucu dan menggelikan. Jadi tadinya ia menganggap aku ini gadis gagu "Siapa yang gagu?"
Dampratku lagi.
"Aku membungkam mulut karena tak sudi berbicara dengan orang jahat."
Dia tak melayani berbicara.
Sebaliknya ia lant as saja merebahkan diri di mulut goa.
Kemudian menyanyi dan menyanyi dengan suara tinggi mengalun sampai larut malam.
Tatkala bulan muncul di udara lewat tengah malam, masih saja ia menyanyi.
Senandung berisikan letupan asmara antara dua muda-mudi yang hidup dalam masa madu.
Seumurku belum pernah aku keluar rumah.
Dan mendengar senandung cinta kasih itu, hatiku tertarik.
"Hmm."
Cocak Kasmaran menggerendeng.
"Kau bilang tak sudi mendengarkan. Tetapi akhirnya kau dengarkan juga, bukan? Siapa sudi mendengarkan ceritamu yang memuakkan ini? Dan setelah menggerendeng demikian, serentak ia berdiri dan meninggalkan paseban pasanggrahan dengan langkah lebar.
"Ibu' Pastilah dia hendak mengadu kepada paman sekalian,"
Ujar Sekar Prabasini.
"Biar saja, aku tidak takut. Apalagi kakekmu telah meninggal, dunia empat tahun yang lalu. Kedudukan sekalian pamanmu dan diriku sejajar,"
Sahut Sekarningrum.
"Kalau begitu, lanjutkan cerita ibu,"
Desak Sekar Prabasin i.
"Entah sampai jam berapa dia bergadang dan tiba-tiba saja aku telah tertidur."
Sekarningrum melanjutkan' ceritanya.
"Tatkala aku terbangun di pagi hari, dia tak kelihatan. Ha, baiklah aku minggat saja, pikirku. Tetapi setelah melongok keluar goa, aku jadi putus asa. Ternyata goa itu berada pada puncak gunung dekat kepundan. Sama sekali tiada jalan keluar. Hanya orangorang berkepandaian tinggi seperti dia, baru b isa mencapai goa tempat beradaku dan sebaliknya.
"Kira-kira tengah hari, barulah dia pulang. Ia membawa berbagai hiasan, pakaian dan bedak. Semuanya itu dipersembahkannya kepadaku. Tapi tak sudi aku menyentuhnya. Malahan aku lemparkan ke dalam jurang. Menyaksikan perbuatanku, ia sama sekali tidak marah. Bahkan dia tertawa gembira sekali.
"Dan malam itu, kembali lagi dia bersenandung untukku. Sebenarnya, t ak sudi aku mendengarkan. Akan tetapi betapa aku bisa menutup telinga terus-menerus. Sekali-kali aku dengar bunyi senandungnya juga. Dan keesokan harinya, ia menghilang kembali. Kali ini dia datang dengan membawa main-mainan. Dan sebuah boneka, ayam-ayaman, burung-burungan, marmut marmut an, kura-kuraan, katak-katakan dan kucing. Dan melihat kucing itu, tak sampai hati aku melemparkannya ke dalam jurang.
"Ia jad i mengerti tata-rasaku. Dan semenjak itu, ia membawa binatang-binatang hidup yang lembut sifatnya. Seperti ayam, burung, itik dan anjing serta kambing. Dan ia menemani merawat semua binatang itu. Kadangkadang ikut bermain boneka pula. Diluar kehendakku sendiri, perasaanku terhadapnya jadi berubah. T idak lagi aku merasa ngeri atau takut bergaul dengan dia.
"Tetapi pada suatu hari, sekonyong-konyong sikapnya berubah. Ia menatap diriku lama sekali dengan pandang bengis. Tentu saja, aku jadi ketakutan. Dan perasaan ngeri kembali lagi mencekam sanubariku. Aku lalu menangis dan ia menghela napas berulangkali. Kemudian berkata membujuk . 'Sudahlah, jangan menangis!' Tak berani aku menangis lebih lama., meskipun ingin rasanya menangis sampai mati. Aku takut membuatnya kesal. Jangan-jangan sikapnya y ang telah menjadi lunak, bisa kembali bengis dengan tiba-tiba. Tetapi pada malam hari itu aku melihat dia menangis. Menangis seorang diri di luar pintu goa. Malam itu gelap-pekat. Semenjak sore tadi guntur berdentuman diantara kejapan kilat. Dan Beberapa saat kemudian, turunlah hujan deras. Ia tak memperdulikan semuanya itu. Tetap saja ia menangis sedih dalam keadaan basah kuyup. Aku jadi tak sampai hati. Sekarang, akulah yang ganti membujuknya. Kataku .
"
Masuklah, kau bisa masuk angin."
Namun ia tidak menggubris bujukanku. Aku jadi tertarik. Kataku mint a keterangan . 'Kenapa. Kau menangis ?' Diluar dugaanku, mendadak ia menyahut dengan suara bengis luar biasa. Katanya.
"Besok adalah hari peringatan tahun ke empatbelas matinya ayah-ibu, kakak dan kedua saudaraku. Dalam satu hari saja, keluargaku musnah oleh tangan jahat salah seorang anggauta keluargamu. Karena itu, esok hari aku harus membunuh anggauta keluargamu lagi. Setidak tidaknya seorang! T api rumahmu terjaga sangat kuat dan rapih. Ayahmu mengundang beberapa tokoh pendekar yang berkepandaian tinggi, Seperti Ki Ageng Gumbrek, Kyahi Sambang Dalan dan Ugrasena. Akan tetapi aku tidak t akut. Biarlah, kalau aku harus mati ..."
Setelah berkata demikian, ia meninggalkan goa dalam hujan deras.
Dan dua hari lamanya, ia tak muncul lagi.
Dan ent ah apa sebabnya, aku jadi selalu teringat padanya.
Diam-diam aku berharap, moga-moga ia pulang dengan selamat.
Sekar Prabasini mengerlingku matanya ke Lingga W isnu, untuk mencari kesan.
Ingin membaca keadaan hati Lingga W isnu t erhadap ibunya.
Akan t etapi Lingga W isnu duduk dengan sangat tenang.
Perhatiannya tertarik kepada tutur kata ibunya.
Dian-diam, ia bersyukur didalam hati.
0ooo-dw-ooo0 1.
BONDAN SEJIWA N Dalam pada itu, Sekarningrum meneruskan ceritanya .
"Cuaca kian menjadi gelap. Itulah petang hari yang ketiga. Dua tiga kali aku melongok ke mulut goa. Yang aku lihat hanyalah awan gunung yang datang bergulungan. Tapi tatkala aku melongok untuk yang kelima kalinya, nampaklah empat orang berlari-larian mendaki puncak gunung. Gesit gerakan mereka, seakanakan empat sosok bayangan. Mereka saling kejarmengejar.
"Aku menajamkan penglihatanku. Syukur petang hari belum tiba benar-benar. Masih bisa mataku mengenal dua orang di antara mereka. Yang lari paling depan adalah dia. Yang kedua dan ketiga berdandan pendeta. Mereka bersenjata cempuling dan rant ai bergigi. Sedang yang keempat, ayah dengan bersenjata tongkat Sarparaja yang terkenal semenjak puluhan tahun yang lalu. Dengan membawa pedang hitamnya, ia melayani serangan mereka bertiga. Nampak olehku dengan tegas, bahw a ilmu kepandaian kedua orang pendeta itu sangat tinggi. Dikemudian hari, barulah aku ketahui bahw a mereka berdua sesungguhnya adalah adik seperguruan Anung Danudibrata aliran Ugrasawa dan adik- seperguruan pendekar Yudhanata aliran Parwati. Namanya Pritanjala dan Jaka Puring. Gesit cara mereka berdua menyerang. Hampir saja rant ai dan cempulingnya berhasil menghant am sasaran. Aku terperanjat sampai memekik diluar kehendakku sendiri. Aku mencemaskan keselamatan jiwanya. Tetapi dengan pedang hitamnya, ia berhasil menangkis dan memunahkan serangan mereka. Bahkan pedangnya dapat menahas ujung rantai dan cempuling dengan berbareng.
"Rupanya ayah mendengar gaung pekikanku - Ia menoleh. Dan melihat diriku, ayah melompat keluar gelanggang. Lalu lari mengarah ke goa hendak menghampiri daku.
"Dan melihat hal itu, dia jadi sibuk sekali. Terus saja dia meninggalkan kedua lawannya. Kemudian mengejar ayah. Tentu saja kedua lawannya mengejar pula.
"T ak lama kemudian, mereka tiba di dataran ketinggian yang berada didepan tebing seberang goa. Di dataran ini, dia berhasil mengejar ayah dan serta merta ia menyerang ayah. Baru beberapa jurus, ke dua pendeta itu datang pula. Dan dia lantas terkepung rapat lagi seperti tadi.
"Ayah tak sudi menyia-nyiakan waktu. Cepat ia melompat mundur dan kembali lagi lari mengarah ke goaku. Aku jadi girang sekali. Teriakku.
"Ayah, cepat! Cepat!"
Seperti kalau, dia mendesak kedua lawannya dan kemudian ayah memburu lagi. Dia berhasil mengejar dan menyerang ayah dengan tikaman tikaman dahsyat. Sebentar saja ayah terdesak. Ia terancam bahaya.
"Selagi aku gelisah memikirkan keadaannya, kedua pendeta itu telah tiba. Segera mereka berdua melancarkan serangan kilat untuk menolong ayah. Dan terpaksalah dia membagi perhatiannya. Dengan demikian, selamatlah ayah dari ancaman bahaya.
"Ningrum! Bagaimana keadaanmu?"
Ayah berteriak.
"Aku selamat tak kurang suatu apa. Ayah tak usah cemas!"
Sahutku nyaring.
"Akh, syukur! Ayah bergembira. Tunggu dahulu, biar kubereskan dahulu bangsat mi ... Setelah berkata demikian, ayah menyerang dengan penuh semangat. Dan pertempuran mati-matian terjadi sangat cepat.
"Saudara Bondan Sejiwan!"
Seru Pritanjala.
"Baik diriku maupun golongan kami tidak mempunyai permusuhan apapun denganmu. Aku hanya harapkan, agar engkau mau mengerti. Kami golongan Ugrasawa ikut campur semata-mata terdorong oleh rasa adil dan kemanusiaan. Perbuatanmu benar-benar keterlaluan. Kami berjanji t idak akan membant u pihak manapun juga, asal engkau sudi menyudahi permusuhanmu dengan keluarga Dandang Mataun. Sudahilah rasa balas dendammu pada hari in i!"
"Hmm, enak saja engkau mengumbar mulut mu!"
Dampratnya dengan mengertak gigi.
"Apakah tak boleh aku melakukan balas dendam demi menentramkan arwah ayah-bunda dan sekalian saudaraku yang terbunuh tanpa dosa apapun?"
"Kami mengerti T api engkau sudah banyak membunuh demi memuaskan hatimu sendiri. Aku kira, sudah lebih dari cukup,"
Sahut Pritanjala.
"Sekarang, pandanglah diriku. Kupint a agar kedua belah pihak menyudahi persoalan ini."
Tapi dia tidak menggubris.
Tiba-tiba saja ia menyerang Pritanjala.
Karena itu, pertempuran sengit terjadi lagi kian menghebat.
Masing-masing tak sudi mengalah.
Pritanjala berkepandaian tinggi.
Pekannya Jakapuring yang bersenjata rant ai tak tercela pula.
Petainya berderun-derun menerbitkan suara angin dahsyat.
Meskipun ujungnya telah terkutung, namun t ak mengurangi perbawanya.
"Sebentar saja dia terancam bahaya. Seluruh badannya telah mandi keringat.. Dia terdesak dan terdesak. Tiba-tiba dia mundur dengan senpoyongan. Hampir-hampir ia roboh terguling. Justru pada saat itu, rant ai Jakapuring menyambar dirinya. Dengan matimatian ia berhasil mengelakkan. Tetapi tepat pada saat itu, ia di-papaki cempuling Pritanjala. Kembali lagi ia mengelak dan memut ar t ubuhnya. Dan pada detik itu, ia melihat kesan wajahku.
"Itulah penglihatan yang menentukan baginya. Dikemudian hari ia memberi keterangan tentang keadaan dirinya pada saat itu. Sebenarnya ia sudah kehilangan tenaga. Tulang belulangnya seakan-akan terlolosi. Tapi begitu melihat kesan wajahku yang menaruh perhatian kepadanya, t iba-tiba terbangunlah semangat tempurnya. Tenaganya serasa pulih kembali. Dengan galak, ia memutar tubuhnya dan pedangnya berkelebatan mengancam maut.
"Ningrum! Jangan takut! Pasti aku dapat menjungkalkan mereka. Kau lihatlah!"
Serunya.
"Entah bagaimana cara dia menggerakkan pedangnya. Tiba-tiba saja Pritanjala memekik menyeramkan. Dia roboh bergulingan. Ternyata kepalanya terbelah dan tepat di dahinya tertancap cunduk Trisula. Keruan saja ayah. dan Jakapuring kaget bukan kepalang. Dan pada detik itu, dia menyerang ayah.
"Saat itu digunakan sebaik-baiknya oleh Jakapuring. Ia menyerang dari belakang. Tapi dengan gesit, dia dapat mengelakkan gempuran Jakapuring. Ia mendahului memutar tubuhnya sambil melompat kesamping. Namun Jakapuring terus memburunya dengan sabatan melint ang. Itulah saat-saat yang berbahaya. Dan kena ancaman bahaya demikian, tiba-tiba tubuhnya menggeliat memutar seperti seekor ular hendak membelit mangsanya. Tangan kirinya menyelonong ke depan dan dua jarinya menusuk mata Jakapuring. Gerakan itu diikut i dengan seruan nyaring sekali "Jakapuring terkejut. Cepat-cepat ia mengendapkan kepalanya untuk menyelamatkan diri dari tusukan jari. Selagi demikian, tiba-tiba pedang hitamnya menyambar. Tak ampun lagi t ubuh Jakapuring t erkutung menjadi dua oleh babatan pedang, ia memekik mengerikan dan mati seketika itu juga."
Sekar Prabasini ikut berseru karena terbenam cerita ibunya. Ia kagum bukan main. Dan ibunya melanjutkan ceritanya lagi .
"Setelah Jakapuring mati, ia menyerang lagi kepada ayah. Tatkala itu, wajah ayah pucat lesi "seperti tiada berdarah. Tak usah dikatakan lagi, bahw a ayah kaget dan ketakutan begitu melihat kedua rekannya yang berkepandaian tinggi mati dengan cepat. Ayah membela diri dengan sembarangan saja. Karena hatinya telah gentar, tak dapat lagi ayah memainkan tongkatnya dengan sempurna. Melihat itu, aku berteriak-teriak .
"T ahan! Tahan!"
Mendengar teriakanku, dia berhenti menyerang. Dan aku berteriak lagi .
"Bawa dia kemari! Dialah ayahku!"
Dengan pandang bengis, ia menatap ayah. Katanya membentak .
"Kau pergilah! Aku ampuni dirimu!"
Ayah tercengang.
Segera ia memut ar tubuhnya hendak meninggalkan tempat itu aku girang bukan kepalang melihat ayah mendapat ampun.
Tetapi sudah dua hari tiga malam aku tidak makan dan minum.
Tubuhku terasa lemah.
Karena kaget melihat pertempuran dahsyat dan pula oleh rasa g irang, mendadak aku roboh diatas t anah.
"Melihat aku roboh, ia melompat ke dalam goa hendak menolongku. Ayahpun ikut pula memburu. Dengan bengis, ayah memandang padanya tatkala menolongku bangun. Aku tidak pingsan hanya kehilangan tenaga saja. Karena itu dapatlah melihat segalanya yang terjadi dengan jelas. Selagi ia menolong membangunkan diriku, tiba-tiba saja ayah mengayunkan tongkat Sarparaja mengemplang Punggungnya. Tentu sekali, serangan gelap itu tak diduganya. Perhatiannya berada padaku penuh-penuh. Kaget aku berseru .
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Awas!"
"Oleh peringatanku, ia kaget sekali. Segera ia memutar tubuhnya dan meloncat ke samping. Meskipun gerakannya gisit, nanun tongkat ayahku masih saja menghajar punggungnya. Syukur, ia tadi bergerak. Sehingga serangan itu tidak mengenai dirinya penuh-penuh. Selagi memutar tubuhnya, ia berhasil merampas tongkat Sarparaja dan dilemparkannya ke dalam jurang. Kemudian ia melompat dan menyerang ayah dengan kedua tangannya.
"Ayah gugup bukan main. Ia tertegun dan menyesal karena serangannya gagal. Tongkat andalannya terampas pula. Itulah suatu peristiwa yang tak pernah terbayangkan. Biasanya, jangan lagi menyerang dengan cara gelap, sedangkan dengan berhadap-hadapan saja tak pernah ia gagal. Tatkala menghadapi serangan balasan, sama. sekali ayah tidak berusaha mengelak atau menangkis. Ia malahan berdiam diri dengan menutup kedua matanya menunggu maut.
"Dengan mendadak saja, dia membatalkan serangannya. Dia menoleh kepadaku, lalu menghela napas. Kemudian ia memandang ayah dan berkata dengan bengis .
"Nah, pergilah cepat! Jangan tunggu sampai pikiranku berubah. Benar-benar aku tak akan memberimu ampun lagi!"
Tanpa berkata sepatah katapun juga, ayah memutar badannya dan lari secepat-cepatnya.
"Ia mengawasi kepergian ayah, lalu menoleh kepadaku. Tiba-tiba saja ia melontarkan darah. Darahnya menyembur ke bajuku."
Prabasin i memekik tertahan mendengar hal itu. Katanya setengah menggerendeng .
"Eyang benar-benar tak tahu malu! Dengan berhadaphadapan, ia tak berani me lawan Tiba- tiba menyerang dari belakang. Itulah bukan perbuatan seorang ksatrya."
Ibunya menghela napas. Sahutnya .
"Sebenarnya, dia adalah musuh kita. Empat-puluh empat anggauta keluarga kita mati dibunuhnya. Kalau sampai memberi peringatan, semata mata oleh rasa kaget, begitu melihat serangan gelap ayah. Mungkin inilah yang dinamakan takdir! Takdir yang meramalkan masa depan yang gelap. Karena peristiwa itu merupakan titik tolak dan asal mula aku dijauhkan dari ikatan keluarga."
Ia berhenti sebentar. Kemudian meneruskan ceritanya .
"Dengan sempoyongan ia masuk ke dalam goa. Mengambil ramuan obat dan diminumnya. Beberapa kali ia masih melontarkan darah. Aku kaget dan cemas, sehingga menangis diluar kehendakku sendiri. Dan mendengar t angisku, ia jadi gembira. T anyanya .
"Kenapa kau menangis?"
"Aku menangis karena engkau terluka demikian parah, oleh tangan ayahku dengan cara yang curang,"
Jawabku. Dia tertawa senang. Tanyanya menegas .
"Jadi. engkau menangis untukku?"
Oleh pertanyaan itu, t ak dapat aku menjawab dengan segera. Aku jadi berbimbang bimbang dalam keadaan duka cita. Katanya kemudian kepadaku .
"Semenjak pamanmu Cocak Temboro membinasakan seluruh keluargaku, aku hidup sebatang kara. Tiada seorangpun di dunia ini yang menaruh perhatian kepadaku. Apalagi bersedih atau menangis meratapi nasibku. Akan tetapi pada hari ini, aku menyaksikan seorang menangis untuk diriku. Inilah suatu peristiwa yang berharga tinggi bagiku. Pada hari ini pula, aku telah membunuh empatpuluh empat anggauta keluargamu. Sebenarnya, masih kurang enam orang orang lagi yang harus aku bunuh. Akan tetapi melihat airmatamu, aku berjanji t idak akan membunuh lagi." 0oo-dw-oo0
Jilid 7
"Aku tidak menjawab. Itulah suatu penghargaan bagiku. Air mataku berharga enam jiwa. Pada saat itu, aku menangis. Hanya saja, tak tahu aku titik berat tangisku itu. Entah terdorong rasa syukur atau duka-cita. Dan dalam rada itu, dia berkata lagi .
"Akupun tidak akan mengganggu anggauta perempuan keluargamu. Semenjak hari ini, aku sudahi saja. Kau tunggulah sampai lukaku sembuh. Dan aku akan mengantarkan engkau pulang dengan tak kurang suatu apa."
Masih saja aku menangis.
Akan tetapi kini t ahulah aku, membaca perasaanku sendiri.
Aku merasa lega hati, syukur dan berterima kasih.
Karena oleh air mataku, ia tidak akan melakukan pembunuhan dan mengganggu ipar-iparku.
Aku pun ternyata tidak akan diganggunya pula.
Dan oleh rasa terima kasih, keesokan harinya aku bersedia menanak nasi baginya dan merawat lukanya.
Pada suatu hari, ia tak sadarkan diri selama satu hari.
Tak tahu aku, apa yang harus aku lakukan.
Aku khawatir, ia akan kehilangan jiwanya., Karena bingung, aku menangis dan sampai kedua mataku bendul.
Selagi menangis, mendadak ia menyenakkan matanya.
Kemudian tertawa.
Katanya .
'"Mengena kau menangis? Aku tidak akan mati ..."
Selang dua hari lagi, benar-benar dia pulih seperti sediakala.
Dia bisa bangun sendiri dan berjalan-jalan.
Pada malam harinya, ia mengabarkan kepadaku, bahwa akibat serangan ayah adalah sangat hebat.
Seumpama, tidak tertolong oleh ramuan obat dan ketabahan hatinya, pastilah dia akan mati.
Dan bila dia mati, akupun akan mati kelaparan pula.
Sebab, aku tak akan dapat keluar dari goa dengan seorang diri.
Sebaliknya, tiada seorangpun keluargaku yang akan berani mendatangi goa.
Aku percaya, ucapannya bukan suatu bualan kosong.
Sekiranya ada salah seorang anggauta keluargaku yang berani menghampiri goa, pastilah hal itu sudah terjadi beberapa hari yang lalu.
Bukankah dia dalam keadaan luka parah? Jangan lagi bertempur, sedang menggerakkan tangannya saja d ia tak mampu.
Diapun sadar akan hal itu.
Andaikata aku berniat jahat, itulah kesempatan yang sebaik-baiknya untuk membunuhnya...
"Ibu,"
Potong Sekar Prabasini.
"Dia sangat baik terhadap ibu. Maka ibupun wajib membalas budi baiknya."
Dan setelah berkata demikian, ia menoleh kepada Lingga Wisnu. Pemuda itu bersikap dingin. Sama sekali ia tak menghiraukan pandang mata Sekar Prabasin i.
"Dari hari ke hari, kesehatannya semakin maju."
Sekarningrum meneruskan ceritanya.
"Selama itu, seringkali ia mengajakku berbicara tentang masa kanakkanaknya. Digambarkannya kepadaku, betapa besar rasa kasih-sayang ayah-bundanya. Kedua kakaknya dan kakak perempuannya pun kasih kepadanya pula. Pernah pada suatu kali, ia sakit panas. Dan ibunda, tidak memejamkam matanya barang sekejappun selama tiga hari tiga malam. Akan tetapi pada suatu malam, datanglah mala-petaka itu. Paman Cocak Temboro memperkosa kakaknya perempuan. Kemudian membunuh ayah bunda dan kedua kakaknya.
"Terharu aku mendengar tutur katanya. Ia kejam dan bengis. Akan tetapi bila membicarakan keadaan keluarganya, mendadak saja sikapnya jadi lemah lembut. Itulah suatu tanda, bahwa budi pekertinya sebenarnya baik dan halus. Ia memperlihatkan pakaian kanakkanaknya yang tersulam indah. Katanya, itulah sulaman almarhum ibunya tatkala dia hampir mencapai umur satu tahun."
Berkata demikian, Sekarningrum menarik sehelai pakaian kanak-kanak dari bawah tempat duduknya dan diletakkannya di atas meja.
Lingga W isnu mengamat-amati sulaman pakaian kanak-kanak itu.
Sulaman seorang bayi montok yang telanjang bulat.
W ajahnya manis.
Dan pandangnya menyenangkan.
Rangkaian warna sulaman itu sendiri, indah pula.
Tiba-tiba ia jadi terharu sendiri.
Teringatlah dia kepada masa kanak kanaknya.
Iapun kini tidak berayah-bunda lagi.
"Seperti beberapa hari y ang lalu, ia bersenandung lagi untukku,"
Sekarningrum melanjutkan ceritanya.
"Diwaktu senggang, ia memotong dahan kayu dan mengukir boneka-boneka untukku. Katanya, aku adalah satu bocah yang belum mengerti sesuatu.
"Akhirnya sembuhlah dia. Akan tetapi, meskipun sudah sehat seperti sediakala, tiada nampak lagi ketegaran hatinya. Aku jadi heran. Pada suatu hari, aku tanyakan sebab-sebabnya. Jawabannya mengherankan daku. Katanya, dia tak sampai hati meninggalkan aku. 'Kalau begitu, biarlah aku berdiam terus disini menemani engkau"
Kataku tempa terpikir.
"Mendengar ucapanku, dia girang bukan kepalang. Larilah dia mendaki puncak. Ia memanjat pohon dan mendarat dengan berjumpalitan. Ia lalu berjingkrakan dan menandak-pandak. Kemudian ia menghampiriku lagi dan memperlihatkan sehelai peta yang menunjukkan harta karun terpendam. Katanya, itulah harta-benda raja Airlangga tatkala terpaksa meninggalkan negeri. Untuk melawan raja Sriwijaya, raja Airlangga menyimpan hartabendanya pada suatu tempat yang dirahasiakan. Itulah harta-benda kerajaan Mataram dahulu."
Mendengar tutur-kata Sekarningrum, Lingga W isnu mananggut didalam hati. Pikirnya. Jadi itulah peta harta benda yang terdapat di dalam kitab warisan. Pant as dahulu Cocak Obar-abir sampai hati menikam saudaranya sendiri ..
"Rahasia harta karun Raja Airlangga tetap tersimpan sampai ratusan tahun lamanya, demikianlah ia berkata,"
Sekarningrum meneruskan tutur katanya.
"Dan secara kebetulan saja, ia memperolehnya. Dia berjanji, setelah berhasil membongkar harta karun itu, akan segera datang meminang diriku. Sekarang, aku hendak diant arkan pulang dahulu."
Sekarningrum berhenti sebentar. W ajahnya tiba-tiba berubah. Tatkala melanjutkan ceritanya, suaranya sengit. Katanya .
"T atkala tiba dirumah, semua anggauta keluarga meludah ke tanah begitu melihat diriku. Aku jadi mendongkol dan benci. Akupun sebal terhadap mereka. Mereka semua tidak mempunyai kesanggupan untuk melindungi keselamatan keluarganya. T api melihat diriku pulang ke rumah dengan tubuh putih bersih, mereka bersikap merendahkan. Kenapa mereka dahulu bisa bersikap belas kasih kepada kedua iparku yang jelas sekali sudah terusak kesuciannya? Karena itu aku jadi, muak. Dan semenjak hari itu, tak sudi lagi berbicara dengan mereka."
"Ibu, sikapmu benar sekali!"
Kata Sekar Prabasini.
"Bukankah begitu kakang Lingga?"
Lingga W isnu tidak menyahut. Ia mendengarkan kelanjutan tutur kata Sekarningrum .
"T iga bulan lamanya aku menunggu kedatangannya. Dan pada suatu malam, aku mendengar suara senandung terpencil dari dinding dinding gunung. Itulah suara dan senandung yang kukenal. Dan aku segera membuka jendela kamarku. Lalu datanglah ia. Dan pertemuan itu membuat perasaanku aneh sekali. Rasa girang, bahagia, syukur, sejuk dan gairah, berada dalam diriku. Itulah suatu rumun perasaan yang belum pernah kurasakan. Dan pada malam hari itu, hiduplah kami sebagai suani-isteri. Kemudian lahirlah engkau... Peristiwa itu terjadi oleh keinginanku sendiri. Jadi bukan karena aku kena perkosa. Itulah pula sebabnya, aku t ak pernah menyesal. Maka tidaklah benar, apabila terbetik kabar, bahw a aku diperkosanya."
Ia berhenti mengesankan. Meneruskan.
"Prabasini, selama itu ayahmu memperlakukan diriku dengan baik sekali. Dia bersikap hormat pula terhadapku. Dan kami berdua saling mencintai."
Lingga W isnu terharu mendengar tutur kata Sekarningrum. Selain berani, d iapun jujur pula. Itulah suatu kisah cinta-kasih yang ruwet akan tetapi mengasyikkan. Lalu menyambung.
"Dan pada w aktu itu, ibu memperoleh kisikan tentang harta-karun yang terpendam?"
"Benar,"
Sahut Sekamingrum.
"Dia berkata, bahwa belum ada kesempatan untuk mencarinya. Akan tetapi dia sudah mengetahui dimana tempat beradanya. Segera kami berdua berunding untuk melarikan diri saja dari rumah. Tatkala pada pagi harinya aku berkemas-kemas, tiba t iba pintu terketuk. Rupanya pembicaraan kami kena dicuri dengar orang. Cepat aku menyembunyikan surat mohon diriku kepada ayah. lalu aku menegang lengannya. Hatiku kecut dan takut.
"Jangan takut,'' katanya membujuk.
"meskipun terkepung sepasukan angkatan perang, kita akan dapat meloloskan diri. Percayalah!"
"Setelah berkata demikian, dengan gagah ia membuka pintu. Dan didepan pintu, berdirilah tiga orang yang selamanya aku takuti dan aku hormati. Ayah, paman Gemuling dan paman Obar-abir! Hanya saja, mereka tidak bersenjata sama sekali. Bahkan mereka mengenakan pakaian tidur. W ajah mereka ramah pula, sehingga aku tertegun keheran-heranan. Kata ayah .
"Kami sudah mengetahui persoalan kalian. Rupanya sudah takdir, bahw a kalian sudah jodoh yang telah ditetapkan sebelum lahir. Sebenarnya hal in i merupakan masalah yang sulit. Terus-terang aku katakan, bahwa perhubungan kalian merupakan peristiwa terkutuk. Tetapi karena jodoh kalian agaknya sudah ditakdirkan Tuhan sebelum lahir, maka b iarlah kami menerimamu sebagai anggauta keluarga kami. Dengan begitu, selesailah sudah permusuhan yang kini terjadi. Kita sekarang t idak perlu lagi saling mengangkat senjata.
"Mendengar kata-kata ayah, dia berdiam sejenak menimbang-nimbang. Kemudian menyahut .
"Apakah kalian masih khawatir aku akan melakukan pembunuhan lagi? Percayalah, aku sudah berjanji kepada Ningrum, tidak akan membunuh atau mengganggu lagi salah seorang anggauta keluarga Dandang Mataun."
"Bagus,"
Seru ayah dengan gembira.
"Karena itu, tak dapat engkau memperisteri anakku dengan jalan melarikan diri. Marilah kita berbicara secara baik-baik dari hati ke hati. Lamarlah anakku. Dan aku akan mengawinkan kalian berdua dengan suatu upacara yang layak."
"Itulah suatu keputusan di luar dugaan. Tadinya, kami mengira akan melalui samodra kesulitan yang berlarut larut . Tak mengherankan, ia jadi girang bukan kepalang. Memang, sebenarnya tiada maksudnya hendak mengawini diriku dengan paksa. Doa restu orang tua dengan segenap keluarga, adalah jalan lurus yang sebaik-baiknya. Tetapi ... akh! Ternyata dia kena jebak ayahku!"
"Apa?"
Lingga W isnu sampai berseru diluar kehendaknya sendiri.
"Jadi ayahmu sedang melakukan tipu-muslihat?"
Sekarningrum mengangguk dengan lesu, ia melanjutkan ceritanya. Katanya .
"Ayah memberi kamar samp ing kepadanya. Dan sementara itu, persiapan upacara pengantin mulai diselenggarakan. Tetapi dia seorang yang hati-hati, cermat dan berwaspada. Tak sudi ia menerima minuman atau makanan pemberian ayah. Samuanya diperiksa dahulu dan diberikan kepada anjing atau kucing sebagai percobaan. W alaupun demikian, masih ia tak pernah menyentuhnya. Untuk makan-minumannya, ia membelinya sendiri d i kedai-kedai makanan.
"Pada suatu malam, ibu datang dengan membawa sepiring bubur kepadaku. Berkatalah ibu kepadaku, bahw a bubur itu sengaja dimasaknya sendiri untuk bakal menantunya. Sudah barang tentu aku sangat bersyukur melihat sikap ibu yang sudah bersedia menerimanya sebagai menantu penuh-penuh. Tempa curiga, aku membawa sepiring bubur itu kepadanya. Dia bergembira melihat aku menghantarkan sendiri barang makanan itoi. Ia mengira, akulah yang menasaknya sendiri. Karena itu, tempa curiga dan tempa diperiksanya lagi, ia terus menghirupnya. Tapi sekonyong-konyong wajahnya berubah menjadi pucat. Segera ia bangkit dan berseru .
"Kenapa sampai hati engkau kepadaku?"
Aku kaget sampai pucat pula. Sahutku dengan suara menggeletar .
"Kenapa engkau meracuniku?"
Teriaknya.
"Racun?"
Aku berteriak pula dengan suara tertahan ...
Sekarningrum berhenti sejenak.
Napasnya memburu.
Dan serambi itu mendadak saja terasa menjadi, tegang dan sunyi.
Tiba-tiba terdengarlah suara berisik.
Cocak Prahara berlima muncul dari balik gerombol bunga.
Teriak Cocak Prahara .
"Eh, Ningrum! Kau tak malu menceritakan riwayatmu sendiri yang kotor dan busuk itu?"
W ajah Sekarningrum yang bernasib malang itu menjadi pucat, dan kemudian berubah menjadi merah padam. Sahutnya dengan suara tertahan-tahan .
"Sembilanbelas tahun sudah aku tak sudi berbicara dengan kalian. Akupun t ak pernah berkata sepatah kata juga sampai matinya. Kenapa aku takut menghadapi semuanya ini? Anakku Lingga, kau takut atau tidak menghadapi mereka?"
Lingga W isnu hendak menbuka mulut nya. Tetapi Bondan Sekar Prabasini telah mendahuluinya. Kata gadis itu .
"Kakang Lingga tak kenal t akut terhadap siapapun!"
"Bagus,'' Sekarningrum berlea hati.
"Kalau begitu, t ak perlu aku menghiraukan mereka. Aku akan melanjutkan ceritaku."
Hebat kata-kata Sekarningrum. Tapi dia nampak sangat lemah seperti orang berpenyakitan. Tapi kini dengan tiba-tiba ia bersikap gagah dan galak. Suaranya tegas dan sengaja dibesarkan. Dengan nyaring ia meneruskan ceritanya .
"Aku lantas menangis. Tak tahu aku apa yang harus aku lakukan. Dengan sesungguhnya aku tak mengerti bahw a bubur itu beracun. Siapakah yang menaruh curiga terhadap ibu kandung sendiri? Hatiku susah bukan main, karena dia menuduhku meracuni. Selagi demikian, pintu kamar terjeblak. Dan beberapa orang dengan bersenjata lengkap menyerbu kamar. Yang berada di depan adalah mereka berlima. Pada tangannya masing-masing nampak senjata andalan mereka. Garang nampaknya, seolah-olah pahlawan tempa tandingan. Sebaliknya, ayah berdiri di luar pintu. Dia memanggilku agar keluar kamar. Dan tahulah aku, begitu aku keluar kamar, dia akan d irajam beramai-ramai. Maka aku menjawab seruan ayah . 'T idak! Aku tidak akan keluar kamar! Kalau ayah hendak membunuh dia, bunuhlah aku dahulu!"
Tatkala itu, Bondan Sejiwan duduk di atas kursi dengan wajah bersungut-sungut.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia mengira aku bersekutu dengan ayah semua.
Hatinya susah dan tiada niatnya hendak melawan.
Tetapi begitu mendengar jawabanku, dengan mendadak ia melomoat bangun.
Tanyanya kepadaku dengan suara agak sabar .
"Jadi engkau tak tahu kalau bubur ini beracun?"
Aku tak menjawab dengan segera. Piring bubur itu aku sambar dan sisa buburnya kuhirup sebagian. Kataku meyakinkan .
"Sekiranya bubur ini mengandung racun, biarlah aku mati bersamamu!"
Aku hendak menghirup sisanya sampai hab is. Akan tetapi ia menyampok piring itu sehingga hancur berantakan di atas lantai. Kemudian ia tertawa sambil berkata .
"Bagus. Mari kita mati bersama!"
Dan setelah berkata demikian terhadapku, ia berpaling kepada mereka. Katanya.
"Hmm, kalian menggunakan cara yang rendah sekali dan kotor. Apakah kalian t idak malu?"
Paman Obar-abir yang berangasan meledak .
"Siapa yang meracunmu? Kalau engkau mempunyai kepandaian, hayo keluar! Mari mengadu ilmu!"
Telapak Emas Beracun -- Gu Long Hong Lui Bun -- Khu Lung Romantika Sebilah Pedang -- Gu Long/Tjan Id