Pedang Sakti Tongkat Mustika 15
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 15
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto
Ia lantas saja jad i berbimbang bimbang.
Apakah dia harus bersandiwara terus? Dalam pada itu pelukan Sekar Prabasini makin erat.
Gadis itu sedih dan cemas bukan kepalang, Ia mengira.
Lingga W isnu benar-benar tak tertolong lagi.
Mengeluh sedih "Kakang, jangan t inggalkan daku! Kau t ak boleh mati, atau matilah bersamaku ..."
Hati Lingga W isnu benar-benar tergoncang.
Tiba-tiba saja berkelebatlah bayangan Palupi dan Suskandari.
Kemudian ayal-bunda, kakaknya tertua dan saudara perempuannya.
Seketika itu juga teringatlah dia kepada darma yang harus dilakukan.
'Kakak perempuanku kini entah berada dimana, mungkin dia menderita hebat kena siksa yang mengiranya mengetahui tentang wasiat peninggalan ayah.
Sekarang aku begini, berpeluk-pelukan dengan seorang gadis.
Akh! Palupi dahulu menaruh perhatian besar terhadapku.
Dia ikut berprihatin mengenai penyakitku.
Dia berjanji akan menorrukan obat pemunah racun yang dahulu mengeram didalam diriku.
Juga Suskandari kini mungkin sedang memikirkan aku.
Kenapa aku justru melupakan mereka semua karena menuruti kata hati sendiri?' Oleh timbulnya pikiran itu, ia jadi malu kepada dirinya sendiri.
Terus saja ia menguraikan pelukan Sekar prabasin i.
Kemudian berkata.
"Prabasin i, kau mengaku hanya bermain sandiwara terhadapku, dengan berpura-pura marah. Akupun sebenarnya sedang bersandiwara pula terhadapmu. Maafkan ..."
Setelah berkata demikian, ia tertawa terbahak-bahak untuk meyakinkan gadis itu.
Tentu saja pengakuan itu membuat hati Sekar Prabasin i kaget dan malu bukan main.
Ia tercengang sejenak.
Sekonyongkonyong ia melayangkan tangannya menampar telinga Lingga W isnu.
Kemudian melompat bangun dan lari lintang pukang dengan membawa guci abu.
Telinga Lingga W isnu pengang.
Tamparan itu benarbenar tak terduga olehnya.
Lagi pula terlalu dekat.
Sebagai seorang pendekar yang memiliki kepandaian tinggi, sebenarnya bisa ia mengelak atau menangkis.
Tapi ia tak sampai hat i membuat gadis itu kecewa.
Maka ia membiarkan dirinya kena gaplok.
Hanya saja tak pernah mengira, bahwa gaplokan Sekar Prabasini terlalu keras.
Itulah suatu tanda, bahwa gadis itu benar-benar marah.
"Akh, aku benar-benar semberono. Kalau kali ini d ia marah benar-benar, Itulah akibat kesalahanku sendiri."
Ia mengaku didalam hati. Cepat ia melompat bangun dan terus mengejar. Dengan himpunan tenaga saktinya yang sempurna, ia tak mengalami kesukaran sedikitpun untuk menyusul. Sebentar saja ia sudah berada satu langkah dibelakang gadis itu.
"Prabasin i, maafkan aku."
Katanya berulang kali.
Tetapi Sekar Prabasin i tak sudi mendengarkan.
Hatinya malu, menyesal dan marah.
Ia merasa benarbenar dipermainkan.
Sebagai seorang gadis adalah tabu apabila membuka rahasia hatinya begitu jelas dihadapan seorang pemuda yang justru menjadi sasaran perhatiannya.
Tetapi setelah lari mengumbar adat selint asan lamanya, mendadak saja kekerasan hatinya jadi lemah dengan tak dikehendakinya sendiri.
Ia menoleh dan melihat pipi dan telinga Lingga W isnu merah akibat gaplokannya.
Makin ia menjadi perasa.
Dan terjadilah suatu pergumulan hebat antara penyerahan dan keangkuhannya.
Akhirnya meletuslah perbendaharaan hatinya .
"Kau menjemukan sekali sih ..."
Gembira Lingga W isnu mendengar Sekar Prabasini. Alangkah manis dan Semanis dan sesedap setetes madu. Bukankah kata-kata itu sendiri berarti suatu uluran perdamaian. Maka sahutnya .
"Prabasin i, memang aku keterlaluan. Maafkanlah aku ..."
"Kalau sudah kumaafkan, lalu bagaimana?"
Sekar Prabasin i merengut.
"Aku senang!"
Sekar Prabasini menundukkan kepalanya.
Ia memperlambat larinya.
Akhirnya berjalan dengan langkah terantuk-antuk.
Dan menjelang magrib, desa Meteseh sudah berada tak jauh didepannya.
Mereka berdua mencari rumah makan.
Dan di dalam rumah makan itu, barulah mereka dapat duduk berjajar dengan perasaan damai.
Dengan berdiam diri mereka saling pandang.
Sekar Prabasin i masih agak basah pakaiannya, sedang Lingga W isnu bersenyum gendeng.
"Hai! Mengapa kau mengumbar mulut?"
Tegur Sekar Prabasin i.
"Apa yang kau gelikan?"
"Perutku,"
Sahut Lingga W isnu sekenanya.
"Kenapa perutmu? Sakit lagi?"
Sekar Prabasini sengit.
"Bukan, Lapar ... Yang sakit kini adalah pip iku."
Sekar Prabasini tertawa.
T ertawa manis sekali.
Lingga W isnupun tertawa.
Akhirnya mereka tertawa berbareng.
Dan pada detik itu pula, hati mereka benar-benar berdamai.
Mereka lantas bercakap-cakap dengan ringan sambil, makan dan minum.
Malam hari itu mereka menginap di sebuah gubuk yang berada diluar dusun.
Puas hati Sekar Prabasin i, karena Lingga W isnu ternyata seorang pemuda yang sopan sant un.
Sama sekali ia tak menggoda atau mencoba membawa pembicaraan kearah tertentu.
Bahkan, tatkala rasa kantuknya tiba, ia tidur menggeletak diluar gubuk di atas seonggck jerami kering.
Keesokan harinya, mereka mandi di sebuah sungai yang jernih airnya.
Setelah gant i pakaian, berkatalah Lingga W isnu .
"Prabasin i, kurasa tugas kita yang terpenting adalah mengantarkan abu ibumu mendaki gunung Dieng. Bagaimana pendapatmu?"
"Benar,"
Prabasini membenarkan.
"Tetapi bagaimana sih sebenarnya, atau asal-mulanya kau dapat menemukan kuburan ayah?"
"Nant i kuceritakan sambil meneruskan perjalanan,"
Sahut Lingga W isnu.
Mereka mengisi perut dahulu.
Kemudian meneruskan mengarah ke barat.
Dan sambil berjalan Lingga W isnu menceritakan pengalamannya tatkala mula-mu la menemukan goa Bondan Sejiwan yang bersembunyi diatas puncak gunung Dieng.
Bagaimana ia memperoleh kitab dan peta warisan yang akhirnya dapat dipergunakan untuk menghancurkan ilmu kebanggaan keluarga Dandang Mataun.
Sekar Prabasin i g irang berbareng duka cita.
Ia bergirang hati, karena ayahnya ternyata seorang pendekar besar yang pant as dikagumi.
Sebaliknya ia berduka cita mengenangkan nasib ibunya yang malang.
Mengapa ibunya dilahirkan hanya untuk menderita? Mengapa ibunya di dunia ini seolah-olah tiada suatu kedamaian.
Masing-masing membawa persoalannya sendiri yang penuh duka cita.
Dan tentu sekali dalam hati manusia betapa sempit dan terlalu pendek masa damai yang dapat terteguk oleh insan yang benar-benar merindukan.
Dalam pada itu, Lingga W isnu tak lupa pula menceritakan sepak-terjang Cocak Obar-abir dan Gemuling.
Betapa mereka saling menipu dan akhirnya saling membunuh.
Dan mendengar hal itu bulu kuduk Sekar Prabasini meremang "Eyang Cocak Obar-abir dan eyang Gemuling sebenarnya adalah pinisepuh kita,"
Kata Sekar Prabasini"Menurut ibu, mereka jahat sekali. Masih ingatkah engkau, perawakan tubuh eyang Gemuling? Dia gemuk, bukan? Mukanya terdapat bekas luka panjang."
"Benar."
Lingga W isnu terbangun ingatannya dan teringat dengan kejadian lama.
"Menurut ibu, semenjak ayah lenyap tiada bekas, seluruh keluarga Dandang Mataun bertebaran untuk mencari jejaknya. Sepuluh tahun lamanya mereka mencari ubek-ubekan. Akan tetapi t idak berhasil. Setelah pulang, hanya eyang berdua itulah yang hilang tiada kabar. Tak tahunya mereka berdua menemukan mautnya diatas gunung Dieng. Tapi mereka berdua memang pant as mati secara demikian. Bukankah mereka saling bunuh-membunuh? Itulah keadilan Tuhan yang benarbenar adil,"
Sekar Prabasini berhenti sebentar. Kemudian meneruskan .
"Ayah ternyata sudah lama meninggal dunia. W alaupun demikian, masih dapat menjebak musuhmusuhnya. Aku benar-benar bangga kepadanya. Dan aku tak malu pula disebut putrinya."
"Memang. Kau tak perlu malu menyebut diri sebagai putri paman Bondan Sejivan."
Lingga W isnu berkata dengan tulus hati.
"Akan tetapi tatkala aku terpaksa memperlihatkan peta warisan didepan ibumu, pastilah akan menerbitkan suatu malapetaka baru. Masakan sekalian pamanmu akan berpeluk lut ut saja setelah mengetahui dimana peta yang di-impi--impikan itu berada, Mungkin sekali pada saat in i, mereka mengikuti perjalanan kita."
Sekar Prabasini mengerinyitkan dahinya. Kedua alisnya yang lentik tegak. Berkata .
"Meskipun demikian, mereka takkan dapat berbuat apa-apa terhadapmu. Sebaliknya andaikata ayah masih hidup dan sempat menyaksikan betapa engkau menghajar mereka morat-marit, maka alangkah girangnya ..."
Ia berhenti dengan nada kecewa. Mendadak menghibur diri.
"T api ibu sempat menyaksikan. Dialam baka ibu akan mengabarkan hal itu kepada ayah. Dan ayah pasti terhibur hatinya. Sebenarnya bagaimana sih rupanya peta itu? Bolehkah aku melihatnya?"
"Kenapa tidak? Ini adalah warisan ayahmu. Sebenarnya harus kuserahkan kepadamu,"
Lingga W isnu.
Dan ia menyerahkan peta Bondan Sejiwan.
Sekar Prabasini menerima peta warisan itu dengan tangan gemetaran.
Dengan berdiam diri ia merenungi dan mempelajari.
Hatinya berduka berbareng girang..
Ia mencoba mengalihkan peta itu kedalam ingatannya.
Tentu saja membutuhkan waktu berhari-hari lamanya, Dan pada suatu hari, tiba-tiba ia berkata .
"Kakang Lingga. Lebih baik kita undur dahulu perjalanan kita mendaki Gunung Dieng. Kurasa harta warisan in i sangat penting."
Lingga W isnu heran. Menegas .
"Penting bagaimana?"
"Bukankah peta ini menyebutkan tentang harta warisan? Kata ayah, barang siapa memperoleh harta ini, diwajibkan menyerahkan uang sebesar seratus ribu ringgit. Kalau begitu, jumlah harta warisan in i pasti luar biasa banyaknya. Barangkali kita mampu membeli sebagian pulau Jawa."
Lingga W isnu menarik napas. Diam-diam ia membenarkan ucapan Sekar Prabasin i, bahwa harta warisan itu tak bernilai harganya. Ujarnya perlahan .
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan tetapi mengantarkan abu ibumu adalah suatu tugas mulia dan yang terpenting. Lagi pula ... sebenarnya aku mempunyai kewajiban mencari saudarasaudaraku yang hilang."
"Saudara-saudaramu?"
Sekar Prabasini heran. Lingga W isnu manggut. Kemudian ia menceritakan riwayat hidupnya sejak kanak-kanak sampai berguru kepada Kyahi Sambang Dalan. Dan mendengar riwayat hidup Lingga W isnu, gadis itu jadi terharu.
"Akh, tak kusangka bahwa engkau pernah mengalami penderitaan begitu hebat. Kalau begitu kita berdua ini, bertemu dalam penderitaan."
Ia berkata "Tetapi peta itu sendiri tidak boleh kau abaikan, Apabila kita berhasil mencari harta warisan itu, akan mempermudah dirimu mencari jejak kakak-perempuanmu ..."
Lingga W isnu tidak menjawab. Ia berbimbang sampai dua hari lamanya. Dan pada hari ketiga, Sekar Prabasini berkata mengesankan .
"Kakang. Aku hanya merampas uang perbekalan Panglima Sengkan Turunan sebesar dua ribu keping saja. W alaupun demikian sudah menimbulkan suatu kesibukan luar h iasa. Kakakmu seperguruan sampai ikut turun tangan. Juga dirimu. Alangkah kerdil Panglima Sengkan Turunan itu."
"T idak, kau keliru."
Bant ah Lingga W isnu cepat.
"Aku pernah melihat beliau selint asan. Dia seorang panglima yang berkeperibadian besar dan bukan manusia berhati kerdil seperti sangkamu. Kalau dia sampai sibuk mengenai uang emas itu, lantaran merasa bertanggung jawab terhadap rakyat. Uang emas itu bukan miliknya pribadi. W ajib ia merebutnya kembali dan memanfaatkan. Pada saat ini, dia sedang menghimpun kekuatan rakyat untuk melabrak tindak sew enang kaum penguasa. Sudah lama Belanda dan para begundalnya membuat sengsara mereka. Dan untuk bisa melabrak mereka dia membutuhkan modal. Sekalipun hanya berjumlah dua ribu keping emas, namun besar sekali artinya. Tidak! Dia bukan manusia berhati kerdil!"
Sekar Prabasini tertawa manja. Sahutnya.
"Dan merebut kenfcali uang emas sejumlah dua ribu keping saja, seorang panglima bersedia turun tangan sendiri. Apalagi uang emas sebesar seratus ribu ringgit! Bukankah jauh lebih berharga? Kenapa kakang tak mau mencontoh kesediaan panglima itu? Hendaklah kakang sadar, bahw a jumlah harta warisan itu mungkin sekali melebihi sepuluh atau duapuluh juta ringgit emas tulen. Alangkah akan berterima kasih dia, manakala kakang bisa membant u memberi modal perjuangan kepadanya, Seratus atau dua ratus ribu keping emas, kurasa belum melarut kan jumlah harta warisan itu."
Mendengar ucapan Sekar Prabasini, Lingga W isnu terkejut. Mendadak saja ia seperti seseorang terbangun dari tidurnya. Terus saja ia menyambar tangan Sekar Prabasin i dan berkata setengah memekik .
"Y a, Al ah. Kenapa aku tak bisa berpikir sampai d isitu? Otakku benar-benar lagi keruh! Benar, adikku. Benar! Kita berdua bisa ikut bersaham terhadap perjuangan rakyat ini Kau hebat, adikku! Kau hebat sekali!"
"T ak usah kau menyanjung aku berlebih lebihan,"
Kata Sekar Prabasini dengan tertawa senang.
"Cukup sudah, asal kau memperhatikan diriku."
Pemuda itu menggenggam tangan Sekar Prabasini erat-erat. Kemudian menguraikan perlahan-lahan seraya menyahut .
"T api kau memang hebat sekali. Seumpama kita bisa menghaturkan sebagian harta warisan kepada Panglima Sengkan Turunan, sungguh sungguh merupakan berkah Tuhan bagiku."
Lingga W isnu merasa seperti memperoleh semangat baru.
Terus saja ia mengajak Sekar Prabasini duduk di tepi jalan.
Peta peninggalan Bondan Sertiwan digelarnya di atas rumput.
Dan mereka berdua menekuni dengan seksama.
Ditengah-tengah peta itu terdapat bundaran merah.
Disampingnya tertera sepata kata KUNCI.
Dan ditengah bundaran sederet kalimat yang berbunyi .
Naratoma Kimpurusa.
Kimpurusa adalah bahasa Kawi.
Artinya.
raksasa Apa artinya? "Naratoma adalah mahapatih Airlangga di zaman Mataram, untuk merebut kerajaannya kembali yang diduduki raja Srivdjaya.
Airlangga dan Naratoma menyalakan api perjuangan di sekitar daerah W onogiri.
Apakah Narotama dahulu mendirikan gedung kediaman didaerah ini? Lihat, disini terdapat tulisan.
Harta warisan disimpan di dalam istana Narot ama.
Gali dan akan diketemukan kamar baja.
Didalamnya ada petunjuknya.
Bagaimana pendapatmu?"
Sekar Prabasini tercengang. Sahutnya.
"Eh, dari mana kau belajar sejarah? Kau seperti menceritakan suatu peristiwa yang baru saja terjadi kemarin lu sa! Karena itu, kita urungkan dahulu perjalanan kita ke Dieng. Kita cari istana itu, mumpung kita masih berada di daerah W onogiri."
Kali ini Lingga W isnu tidak manbant ah atau membangkang.
Ia diam bermenung-menung.
Kemudian berkata seperti kepada dirinya sendiri "Daerah Wonogiri in i pada zaman dahulu pastilah merupakan hutan rimba belantara.
Coba bacalah Wonogiri itu.
W ono artinya hutan.
Giri artinya gunung.
Jadi hut an gunung atau gunung berhutan.
Dan Narot ama adalah mahapatih seorang raja besar.
Kuk ira setelah perjuangan selesai, ia balik kemari untuk membangun sebuah istana yang megah.
Meskipun andaikata istana itu sudah lenyap, rakyat pasti mengenal riwayat istana itu dari cerita mulut ke mulut."
"Sekarang ini tak ada gunanya engkau menduga-duga berkepanjangan."
Potong Sekar Prabasini.
"Mari kita ke Wonogiri. Kau bilang, W onogiri adalah sebuah nama peringatan adanya hutan gunung atau gunung hutan. Kurasa Narot ama dahulu membangun istananya di kota itu. Andaikata tidak ... kita. cari di sekitarnya."
Kembali lagi Lingga W isnu tidak marbant ah atau, membangkang.
Setelah peta digulung, segera mereka berangkat.
Disepanjang jalan, mereka bicara hilir-mudik.
Akan t etapi sama sekali tidak menyinggung lagi tentang harta warisan itu.
Mereka sadar, bahwa batu-batu mungkin mempunyai telinga.
Pada zaman itu daerah Wonogiri masih tertutup hutan belantara.
T anahnya gampirtg dan berbatu.
Kdfcena itu, tidak mengherankan bahwa mereka membutuhkan waktu enam hari untuk mencapai.
kota W onogiri.
Wonogiri sekarang merupakan sebuah kota yang sederhana.
Belum boleh disebut kota besar, walaupun merupakan kota penghubung.
Maka dapat dibayangkan, betapa penting arti kota itu pada zaman dahulu.
Kecuali merupakan sebuah kota yang paling besar diseluruh daerah, juga menjadi urat nadi perdagangan.
Di dalamnya terdapat jumlah penduduk yang cukup padat.
Toko-toko, pasar dan penginapan.
Lingga W isnu dan Sekar Prabasini kali ini menginap disebuah rumah penginapan.
Rumah penginapan itu dekat dengan perusahaan gamping.
Maka genting dan dindingnya kotor oleh abu gamping.
Meskipun demikian, banyak juga pengunjungnya - mungkin sekali,- rumah penginapan itu merupakan tempat penghubung perdagangan yang luwes.
Lingga W isnu dan Sekar Prabasini pun mempunyai perhitungan itu pula.
Sengaja mereka bercampur dan bergaul dengan para penginap dan pekerja-pekerja penginapan.
Mereka mencoba mint a keterangan tentang sejarah perjuangan Airlangga dan Narot ama.
Tapi diluar dugaan, baik penduduk aseli maupun para penginap, asing dengan sejarah itu.
Sekar Prabasini jadi t ak sabar hati lagi.
Kepada seorang pelayan, dia berkata penuh penasaran.
"Masakan kau tak tahu? Narotama adalah Mahapatih Airlangga. Kabarnya dia membangun istana di sini."
"Istana? Dimanakah ada sebuah istana di sini?"
Pelayan itu heran.
"Akh. semenjak dilahirkan belum pernah aku melihat istana berada di kota W onogiri. Kalau di ibu kota tempat raja bersemayam, kabarnya ..."
"Kau bohong!"
Potong Sekar Prabasini.
"Barangkali disekitar kota ini ..."
"Mana ada istana? Kalau tak percaya, silahkan cari sendiri!"
Sekar Prabasin i yang berwatak panas hampir saja menggaplok pelayan itu.
Kata-katanya dianggapnya menghinanya.
Untung, Lingga W isnu kenal watak kawannya berjalan itu.
Segera ia mengajaknya berjalanjalan keluar penginapan mencari kabar berita.
Tetapi sampai pada hari kelima usahanya tetap tak berhasil.
W onogiri menang tak memiliki sebuah istana.
Oleh karena kesal hati, mereka berjalan-jalan sejadijadinya.
Kini mendaki gundukan tanah untuk melihat matahari t enggelam di barat.
Namun terdorong oleh rasa masgul, keindahan alam dipetang hari itu sama sekali t ak merasuk didalam perbendaharaan hati.
Tiba-tiba Lingga W isnu yang memiliki pendengaran tajam, mendengar sesuatu yang mencurigakan.
Cepat ia memberi kisikan kepada Prabasini .
"Bersembunyi!"
Sekar Prabasin i percaya benar kepada kawannya berjalan itu.
Terus saja ia meloncat mengikuti dan bersembunyi ditengah pekuburan.
Dan tak lama kemudian terdengarlah suara langkah dari dua penjuru yang datang hampir berbareng.
Belasan orang jumlahnya dan mereka semua menyandang senjata tajam.
W aktu itu matahari telah tenggelam, sehingga mereka nampak bagaikan bayangan yang tiba dengan berduyun-duyun.
Selagi mereka datang saling menghampiri, terdengarlah tepuk t angan sandhi dua kali berturut-turut dari arah barat dan timur.
Mereka lantas bergabung menjadi satu, kemudian duduk diatas tanah denganmembungkam mulut.
Jarak antara mereka San Lingga W isnu berdua, kirakira dua puluh langkah jauhnya.
Dan karena pendengaran Prabasini tidak set ajam Lingga W isnu, ia bergerak maju mendekat.
"T unggu!"
Cegah Lingga W isnu seraya menarik bajunya.
"T unggu apa lagi?"
Prabasini jadi tak senang hati.
"Sst ..."
Lingga W isnu memberi isyarat supaya menutup mulut.
Menuruti kata hati, Prabasini ingin mendanpratnya..
Akan tetapi ia tahu, Lingga W isnu pasti mempunyai alasan tertentu.
Oleh pertimbangan itu, ia menyabarkan diri.
Namun, menunggu adalah suatu siksa sendiri..
Detik-detik terasa alangkah lambat.
Tak lama kemudian, terdengarlah gelombang angin menyirbuki mahkot a daun-daun dan rumput diatas pekuburan nampak seolaholah bergerak, Berbareng dengan suara berisik itu, Lingga W isnu menyambar lengan Prabasini.
Dan dibawa berlompat kearah sebuah nisan bertembok keliling.
Mereka bersembunyi dibaliknya.
Dan pada saat itu nampaklah sesosok bayangan yang tiba-tiba saja sudah berada didepan rombongan.
Segera mereka berdua menajamkan penglihatan dan pendengaran.
Dalam hati Prabasin i kagum terhadap kegesitan Lingga W isnu.
Pikirnya didalam hati.
'Hebat tenaganya.
Iapun dapat dengan cepat mengambil keputusan.
Sopan dan cermat.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sayangnya, agak kering.' Tentu saja Lingga W isnu tak dapat mendengar suara hati Prabasin i.
Seluruh perhatiannya dipusatkan kepada rombongan orang yang berada didepannya.
Terdengarlah seseorang yang bersuara parau .
"Saudara-saudara sekalian. Dari jauh kalian datang. Pastilah kalian tidak hanya mengorbankan harta dan waktu saja, tetapi tenaga pula."
Seseorang menyahut .
"Guruku sedang sakit. Hampir satu bulan beliau berada diatas pembaringannya. Untuk memenuhi undanganmu beliau mengirimkan paman Tawon Kemit pemimpin kami. Paman Tawon Kamit di perint ah guru untuk mematuhi segala perint ah tuanku Srimoyo."
"Gurumu pendekar Anung-anung benar-benar memperhatikan kesulitanku, Perkenankan aku menghaturkan terima kasih tak terhingga kepada beliau,"
Ujar orang yang bersuara parau.
Dan dialah yang disebut dengan nama Srimoyo.
Lingga W isnu tak dapat melihat wajahnya dengan jelas.
Akan tetapi, perawakan orang itu sesuai dengan namanya yang terdengar agak kewanitaan.
Gerakgeriknya nampak gesit.
Pastilah dia seorang pendekar yang memiliki kepandaian berarti.
Kata Srimoyo meneruskan .
"Saudara Tawon Kemit terkenal dengan pedang Karawelang. Sebilah pedang yang menggetarkan wilayah Banyumas Selatan. Dia sudi datang membantuku. Karena itu, masakan kita tak akan berhasil? Saudara Tawon Kemit, hatiku benar-benar lega melihat kehadiranmu."
"Akh, janganlah memuji aku berlebih-lebihan."
Terdengar seseorang menyahut. Ia bertubuh kasar, dan memiliki suara laki-laki t ulen .
"Kami, anggauta Sekar Ginabung, terlatih hidup sederhana semenjak ratusan t ahun yang lalu. Sekarang, kami menocba-ccba diri untuk membantu kesulitan kakang Srimoyo. Tapi yang kukhawatirkan, janganjangan kami semua tak mampu menyelesaikan kesulitan kakang."
Tergetar hati Lingga Wifenu mendengar T awon Kerrut menyebut-nyebut aliran Sekar Ginabung.
Dahulu, semasa h idup dengan ayah bundanya, bukankah anggauta-anggauta Sekar Ginabung ikut pula mengganggu kedamaian keluarganya? Sekar Ginabung adalah suatu aliran yang mengutamakan tata ilmu pedang.
Aliran itu termashur di ant ara tiga aliran lainnya.
Ugrawasa, Sekar Teratai dan Puji Rahayu.
Masing-masing aliran tersebut memiliki dasar ilmu saktinya yang diandalkan.
Seingatnya, rumah perguruan Sekar Ginabung berada di atas gunung Papandayan.
Sekarang, Tawon Kemit dan rombongannya datang dari jauh, sampai memasuki daerah bukit seribu.
Maka pastilah persoalan Srimoyo merupakan suatu masalah maha besar.
Oleh pikiran itu, segera ia menajamkan pendengarannya agar dapat mengikuti pembicaraan mereka dengan jelas.
Ternyata mereka berdua berbicara dengan kata-kata upacara belaka.
Mereka saling segan dan berhati-hati.
Dan pada saat itu terdengarlah suara tepukan yang datang dari arah Utara.
Kemudian muncullah rombongan ke tiga yang datang saling menyusul.
Tak lama lagi muncul dua rombongan pula.
dan melihat, kedatangan kedua rombongan itu, mereka berdiri menghormat serta menyebut-nyebut aliran Ugrasawa, Puji Rahayu dan Sekar Teratai.
Sedang rombongan ketiga adalah anggauta-anggauta gerombolan yang bermukim di sekitar gunung Slamet.
Tak lama kemudian masing-masing ketua rombongan saling memperkenalkan diri.
Pendekar Tawon Kemit memimpin rombongan aliran Sekar Ginabung.
Pendekar Sastra Demung memimpin rombongan aliran Ugrawasa.
Sedang rombongan aliran Puji Rahayu diketuai pendekar Kartolo.
Dan seorang yang bernama Kayat Pece adalah pemimpin gerombolan perampok yang bermukim disekitar Gunung Slamet.
Rombongan yang kelima nampaknya sebagai tuan rumah.
Srimoyo adalah ketuanya.
Mendengar nama-nama mereka, Lingga W isnu jadi semakin heran.
Bukankah mereka adalah pendekar yang kenamaan.
Gurunya seringkali menyebut nama-nama mereka.
Masing-masing menilai kepandaian tinggi dan keistimewaannya.
Sehingga mereka bersikap angkuh dan tak sudi saling mengenal.
Tapi apa sebab tiba-tiba pada petang hari itu, mereka berkumpul dan nampak bersatu padu untuk membantu memecahkan kesulitan Srimoyo? Kesulitan apakah yang sedang dihadapi Srimoyo sampai bisa menggerakkan perhatian empat aliran sekaligus? Srimoyo bersikap mengambil hati terhadap mereka semua.
tiada hentinya ia menyatakan rasa terima kasih dengan membungkuk-bungkuk hormat.
Maka jelaslah sudah, bahwa kedatangan mereka adalah atas undangannya Diam-diam Sekar Prabasini heran pula menyaksikan kehadiran mereka.
Sebagai seorang nan biasa hidup berkelana untuk mencari mangsa tahulah dia siapa mereka.
Meskipun belum pernah melihat orangnya, tetapi ia mengenal nama mereka sebagai pendekarpendekar kenamaan.
Kepandaian mereka pasti tinggi dan tak boleh diremehkan.
Sadar akan hal itu, tak berani ia bergerak.
Sedikit saja menimbulkan kecurigaan merekaakan berakibat runyam.
"Saudara-saudara, akulah yang bernama Srimoyo ..."
Terdengar Srimoyo berkata.
"Perkenankan aku mengaturkan rasa terima kasih atas kesediaan saudarasaudara membantu diriku."
Sekar Prabasini mengrernyitkan dahinya dan pikirnya didalam hati. 'Srimoyo ... Srimoyo ... hai! Kapan aku pernah mendengar nama ini?"
Lingga W isnu sedang mengingat-ingat kembali nama itu pula.
Bunyi nama itu tak pernah terlupakan oleh ingatannya semasa kanak-kanak.
Karena nama itu berkesan nama seorang wanita.
Dan teringat akan kesan itu, t eringat pulalah d ia kepada nama suatu aliran yang menyematkan nama seorang wanita.
Itulah aliran Parwati.
"Akh, ya!"
Ia jadi yakin, Srimoyo pernah datang dirumah perguruan eyang-guru.
Ya benar, dia datang beserta bibi Damayanti.
Teringat akan pengalamannya dahulu, tatkala rumah perguruan eyang-gurunya didatangi berbagai aliran pendekar kenamaan, bulu kuduknya menggeridik.
Bukankah mereka dahulu bersatu padu pula mengadakan pengejaran ayah-bundanya? "Saudara Srimoyo, janganlah terlalu merendahkan diri terhadap kami,"
Ujar Sastro Demung.
"Kami datang atas nama ikrar set ia kawan. Beberapa hari lagi, kawankawan dari gunung W ilis, Sawungrana dan Bangkalan datang. Malahan beberapa saudara dari Sekar Teratai, akan datang pula ..."
"Sekar Teratai? Siapa yang bakal datang?"
Seru Kartolo.
"Akh, bagus sekali! Murid siapa mereka?"
Lingga W isnu terkejut.
Berkata di dalam hati dengan perasaan heran .
'Ya, benar.
Murid siapa mereka? Kenapa Sekar Teratai ikut pula didalam persekutuan ini?' Terdengar jawaban Sastro Demung "Merekalah rombongan yang dipimpin oleh Nawawi dan Ayu Sarini.
Kabarnya mereka berdua itu adalah murid pendekar besar Purbaya."
"Apakah kakang Tawon Kemit bersahabat dengan mereka berdua?"
Kayat Pece minta keterangan.
"Bersahabat sih tidak,"
Jawab Tawon Kemit.
"Yang terang, mereka datang atas undangan kakang Srimoyo. Dengan demikian, mereka merasa d iri ikut serta memperkokoh bunyi ikrar set ia kawan yang menjadi sendi dan cita-cita kita bersama, Bukankah begitu?"
"Y a, benar."
Ujar Kayat Pece.
"Kakak seperguruannya yang bernama Genggong Basuki adalah sahabat karibku. Dialah murid pendekar Purbaya yang tertua. Kabarnya, diapun ikut serta."
"Genggong Basuki?"
Seru Kartolo.
"Bukankah dia seorang ahli pedang yang tiada tandingnya? Kabarnya, dia pernah menalukkan tujuh pendekar pedang dari Jawa Barat."
"Benar. Menang dialah orangnya,"
Srimoyo meyakinkan.
Mendengar serangkaian tanya jawab itu, hati Lingga W isnu menjadi lega.
Rasa tegangnya menurun.
Pikirnya di dalam hati .
'A kh, aliranku ikut serta didalam persekutuan ini.
Kalau begitu, mereka adalah pendekar-pendekar yang bertujuan mulia.
Sebaiknya akupun membantu mereka dengan diam-diam.
Sebenarnya, kesuiitan apakah yang diderita oleh Srimoyo sampai mendatangkan bantuan begini banyak?' Pada saat itu terdengarlah suara Srimoyo;
"Saudar-saudara sekalian, kakakku dahulu meninggal dengan hati penasaran. Sepuluh tahun lamanya aku berkelana hendak menuntut dendam. Tetapi orang yang membunuh kakakku itu lenyap tiada kabarnya, seakanakan ib lis. Tetapi oleh ketekunanku akhirnya Tuhan membuka mata dan telingaku, Beberapa hari yang lalu, aku mendapat kisikan dua sahabatku, Bolot dan Ngaeran. Mereka berdua menyebut seorang bangsat bernama Songgeng Mintaraga. Pernahkah saudara mendengar nama itu? Dia seorang banssat berkepandaian tinggi. Karena merasa d iri tak ungkulan melawan kepandaiannya, terpaksalah aku mohon bantuan saudara-saudara sekalian. Tolonglah! Rasanya tak layak aku disebut manusia hidup manakala tak dapat menuntut dendam arwah kakakku."
"Siapakah Songgeng Mint araga itu?"
Terdengar suara berbareng minta keterangan.
"Dialah seorang bangsat yang memimpin laskar perjuangan. T adinya, kukira ia seorang pendekar bangsa yang berhati mulia. T ak tahunya, dialah seorang bangsat yang mengotori azas tujuan kita bersama."
Jawab Srimoyo dengan suara berkobar-kobar. Dan dengan tibatiba ia menghunus pedangnya. Dan dihantamkan pada sebuah nisan, untuk menyatakan betapa besar rasa dendamnya.
"Nant i dulu,"
Sastra Demung berseru sambil mengangkat tangannya.
"Meskipun aku bermukim jauh didaerah Jawa Barat, akan tetapi sepak-terjang pendekar Songgeng Mintaraga kudengar jelas. Dia seorang pejuang semenjak zaman mudanya. Benarkah dia pembunuh kakakmu? Dari manakah rekan Bolot. dan Ngaeran memperoleh keterangan tentang tindak jahatnya?"
Mendengar kesangsian pendekar Sastra Demung, Srimoyo segera menjawab.
"Kedua sahabatku itu tidak hanya mendengar tetapi mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Merekapun mempunyai bukti-buktinya sehingga keterangannya tidak menyangsikan. Kakang Sastra Demung, percayalah! Aku kenal rekan Bolot dan Ngaeran. Mereka bukan manusia yang senang menfitnah. Apalagi mereka tahu, bahwa si bangsat Songgeng Mint araga adalah salah seorang pejuang bangsa yang dahulu pernah kukagumi pula."
Sastra Demang nampak berbimbang-bimbang. Setelah menimbang-nimbang sebentar, ia berkata.
"Baiklah. Mungkin engkau mempunyai alasan-alasan yang berdasar. Tetapi Songgeng Mint araga adalah seorang pejuang yang termashur namanya. Semenjak kanak-kanak, dia bertempat tinggal di kota ini. Pasti]ah pengaruhnya sangat besar dan sudah berakar dalam hati penduduk di sekitar Wonogiri. Sekarang kita berada didalam wilayahnya. Dan justru bertujuan hendak membunuhnya. Aku harap saja saudara-saudara sekalian berhati hati dan waspada."
"Memang kita harus hati-hati,"
Sahut Srimoyo.
'Petaruhnya sangat besar dan berurat- akar disini.
Itulah sebabnya, aku merasa diri tak berdaya menghadapinya.
Maka kuundang saudara sekalian untuk membantu kesulitanku ini.
Kebetulan sekali, besok pagi adalah hari ulang tahunku.
Ingin aku merayakan hari ulang tahunku itu di kediamanku yang berada di batas kota."
"Hai, kapan kakang Srimoyo membeli rumah disini?"
Potong-Tawon Kemit heran.
"Bukankah tenpat tinggal kakang di Kartasura?"
"Benar. Tempat tinggalku di Kartasura. Tetapi secara kebetulan aku tertarik untuk membeli rumah disini, yang letaknya berada di tepi hutan di atas ketinggian kaki bukit Gamping. Rumah kuno semacam benteng yang benar-benar menarik perhatian. Dan apa sebab aku membeli rumah itu, pastilah mudah diterka. Itulah sehubungan dengan tujuan balas dendamku untuk memudahkan pelaksanaannya."
Jawab Srimoyo. Ia berhenti sebentar mencari kesan. Kemudian meneruskan.
"Nah, dengan ini kuundang saudara sekalian menghadiri pesta ulang tahunku. Dan kuharap pula malam in i saudara-saudara bermalam d i kediamanku yang baru itu. Bagaimana, apakah saudara sekalian sudi menenuhi harapanku?"
Itulah suatu undangan yang menggembirakan.
Mereka datang dari jauh, kecuali sudah kehilangan tenaga, ingin pula menikmati makan minum yang lezat sekedar pelipur hati.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu t ak segan-segan mereka menerima undangan odengan segera.
Kata Kayat Pece .
"Bagus. Memang kami bangsa anjing yang cepat sekali berliur, apabila mendengar undangan pesta yang menggembirakan. Pastilah kakang Srimoyo tidak akan melupakan menyediakan sekedar minuman keras untuk pelicin tenggorokan bukan? Hanya saja, kita berjumlah cukup banyak. Sedang kita berada didaerah lawan, apakah dengan kedatangan kita beramai-ramai tidak menimbulkan kecurigaan anak buah Songgeng Mint araga? "Benar. Hal itu sudah aku pikirkan jauh sebelumnya,"
Sahut Srimcyo.
"Karena itu sebaiknya kita menggunakan tanda-tanda sandi. untuk mengenal lawan dan kawan, kita mengadakan gerakan tangan dengan tiga jari. Begitu masuk ke dalam gerbang rumahku, hendaklah saudara mengucapkan kata. 'masa bakti'. Dan anak-anak kami akan menjawa. 'apakah bukan masa pembajaan?"
Saran itu segera memperoleh persetujuan.
Kemudian mereka memutuskan pula untuk menebarkan mata-mata dengan tujuan menyelidiki keadaan keluarga Songgeng Mint araga.
Dan pertemuan rahasia itu berakhir sampai jauh malam.
Sekar Prabasini jadi lega hati.
Sekian lamanya ia menahan diri, dan kini dapatlah ia bebas bergerak kembali, meskipun kedua kakinya terasa kejang.
Sambil duduk menghempaskan diri di atas batu nisan, ia berkata kepada Lingga W isnu .
"W ah, besok bakal ada keramaian. Kita nonton, kan?"
"Nonton sih, boleh. Akan tetapi kau harus mendengarkan setiap patah kataku,"
Sahut Lingga W isnu.
"Sama sekali kau ku larang menimbulkan garagara."
"Memangnya aku seorang yang senang membuat gara-gara?"
Sekar Prabasin i menggerutu.
Lingga W isnu tertawa.
Tak berani ia membuat komentar lagi.
Dengan pandang berseri ia membawa Sekar Prabasini pulang ke penginapan.
W aktu itu malam sudah terlalu larut.
Jangan lagi seorang penjual makanan, sedang anjing pun agaknya malas muncul di jalanan.
Keesokan harinya, mereka berusaha kembali untuk menemukan bekas istana Narot ama.
Seperti beberapa hari yang lalu, usahanya sia-sia belaka.
Sekar Prabasini jadi uring-uringan.
Ia kini mengutuki seluruh penduduk Wonogiri sebagai gerombolan manusia yang melarat dan tidak berkebudayaan sama sekali.
Tapi apabila teringat kepada pertemuan rahasia semalam, rasa gairahnya membersit dalam hati.
Tiba-tiba saja ia nampak gembira dan kehilangan kesabaran.
"Kakang Lingga. Apakah kita nanti menyamar sebagai tamu yang diundang?"
Tanyanya menegas.
"Benar. Kau berani menghadapi mereka?"
"Kenapa t idak? Untukmu aku bersedia mengorbankan jiwaku. Bukankah engkau berbakti pula terhadap ayahbundaku?"
Terharu Lingga W isnu mendengar bunyi jawaban Sekar Prabasini.
Itulah suatu jawaban yang membersit dari ketulusan hatinya.
Terus saja ia menyambar tangannya dan dibawanya berjalan menyusuri pengempangan sawah.
Anehnya gadis yang galak itu, jadi penurut pula.
Justru demikian, hati pemuda itu bergetar lembut oleh rasa bahagia yang t ak tertuliskan.
Petanghari itu tiba dengan diam-diam.
Setelah mengenakan pakaian bersih, mereka berangkat meninggalkan rumah penginapan Sekar Prabasini mengenakan pakaian laki-laki berwarna biru muda.
Dan ia berubah menjadi seorang pemuda yang cakap luar biasa.
Dengan langkah tenang, mereka mendekati gerbang kediaman pendekar Srimoyo.
Segera mereka mengangkat tangan dengan memperlihatkan t iga jarinya.
Kemudian membisikkan kata-kata sandi 'masa bakti'.
Dan segera mereka dipersilahkan dengan rasa hormat oleh para penyambut tetamu.
Kemudian diant arkan oleh beberapa orang memasuki pendapa rumah yang cukup mewah dan berwibawa.
Setelah duduk, dua orang datang membawa niru penuh penganan dan minuman.
Sama sekali mereka tidak menanyakan nama dan alirannya.
"Silahkan,"
Kata wakil tuan rumah dengan suara ramah.
"Sudah lama kami mendengar nama saudara yang besar. Maka maafkan hidangan kami yang sangat sederhana ini"
Geli hati Lingga W isnu dan Sekar Prabasini.
Bagaimana dia mengenal diri mereka? Tapi mereka membungkam mulut.
Setelah memanggut pendek, dengan senang hati mereka meneguk minuman dan menggerumiti penganan yang disediakan diatas mejanya.
Sementara itu para tetamu datang tak hentinya.
Tak usah menunggu lama, pendapa telah penuh sesak.
Para penyambut tamu sibuk melayani makan minum.
Hati Lingga W isnu dan Prabasini bersyukur, karena tiada yang memperhatikan diri mereka.
Pertemuan itu dibuka dengan upacara meneguk minuman keras tiga k ali.
Pendekar Srimoyo lantas berdiri tegak mengucapkan selamat datang kepada para tetamunya.
Setelah itu ia duduk lima langkah di depan Lingga W isnu berdua.
Sekarang Lingga W isnu dapat melihat pribadinya dengan tegas.
Perawakannya semampai.
Gerak-geriknya cekatan dan gagah, suatu tanda memiliki kepandaian tinggi.
Umurnya kurang lebih empat puluh delapan tahun, Roman wajahnya membayangkan suatu kecerdikan.
Pandang matanya tajam, tetapi pada saat itu nampak bendul merah.
Raut wajahnya mengandung suatu kesedihan tak tertanggungkan.
Rupanya ia menangis dan sedih memikirkan nasib kakaknya yang mati penasaran.
"Agaknya dia sangat mencintai saudaranya.. Benarbenar harus dipuji dan pant as dihormati, terhadap seorang laki-laki seperti dia,"
Pikir Lingga W isnu didalam hati.
"Dan untuk membalas dendam kematian kakaknya, ia rela mengorbankan harta-bendanya. Ia. menyelenggarakan pesta undangan dan ternyata memperoleh perhatian para pendekar ternama dari segala penjuru. Pastilah dia seorang yang besar pengaruhnya di dalam tata pergaulan hidup. Sebenarnya, siapakah yang disebut Songgeng Mint araga? Apakah dia eyang yang besar pengaruhnya pula, sehingga pendekar Srimoyo perlu memohon bantuan para sahabatnya?"
Srimoyo berdiri kembali dan membungkuk hormat tiga kali berturut-turut kepada para.
Sama sekali ia tak berbicara, kecuali mengucapkan kata-kata rasa terima kasih tak terhingga.
Ia mohon hendaknya sekalian hadirin sudi menghabiskan hidangannya.
Dan para tetamu segera membalas hormatnya dengan berdiri pula.
Karena merasa termasuk golongan muda, Lingga W isnu dan Sekar Prabasini ikut serta berdiri membalas hormatnya.
Sekonyong-konyong salah seorang murid Srimoyo datang menghadap gurunya dengan tergesa-gesa.
Ia membisikkan sesuatu.
Dan w ajahnya sang guru nampak cerah.
Cepat-cepat ia meletakkan cangkirnya diatas meja.
Kemudian berjalan set engah berlari mengarah pintu gerbang.
Sebentar kemudian ia kembali mengiringkan tiga orang tetamu yang diperlakukan dengan hormat sekali.
Ia msrpersilahkan ketiga tetamunya itu duduk di kursi kehormatan.
Dan berpikirlah Lingga W isnu didalam hati .
'Pastilah mereka bertiga pendekar-pendekar kenamaan..' dan ia lalu mengamat-amati mereka bertiga.
Seorang laki-laki yang hampir sebaya umurnya dengan Srimoyo, duduk menghadap tetamu lainnya.
Ia berpakaian seorang pelajar.
Pedang panjangnya berada dipinggang kiri.
Pandang matanya tajam luar biasa dan sikapnya tinggi hati.
Tetamu yang kedua adalah seorang pemuda yang berumur kira-kira tigapuluh tahun.
Perawakannya gagah dan kesan wajahnya agak bengis.
Sedangkan tamu yang ketiga adalah seorang wanita yang berparas elok..
"Saudara Genggong Basuki, kedatanganmu benarbenar tepat. Perkenankan aku mengucapkan rasa syukurku,"
Kata Srimoyo. Orang pertama yang disebut Genggong Basuki tertawa lebar. Sahutnya .
"Kita berdua adalah anak keturunan suatu perguruan yang bersumber tunggal. Saudara adalah salah seorang anggauta aliran Partiwi. Sedangkan kami bertiga adalah anak murid Sekar Teratai. Bagaimana aku bisa berpeluk tangan saja sedangkan saudara berada dalam kesulitan?"
"Terima kasih,"
Kata Srimoyo cepat. 'Terimalah rasa hormatku. Begitu juga terhadap saudara Nawawi dan Ayu Sarini."
Mendengar nama mereka bertiga, berpikirlah Lingga W isnu didalam hati . Kalau begitu, mereka bertiga adalah murid kakang Purbaya. Kenapa murid kakang Purbaya begini sombong dan besar kepala?' Dalam pada itu, terdengarlah Srimoyo berkata lagi .
"Apakah guru saudara bertiga tidak ikut serta?"
"Guruku dari angkatan tua. tentu saja beliau tidak mempunyai semangat untuk mencampuri masalahmu. Tetapi kami bertiga mempunyai pendapat sendiri. Pendek kata, tak dapat kami bertiga berpeluk tangan saja. Oh, ya. Kedua adik seperguruanku ini sekarang sudah menjadi suami-isteri.!"
"Hei, bagus. Kalau begitu perkenankan aku ikut serta menyambut kabar gembira ini,"
Seru Srimoyo dengan gembira. Kemudian menoleh kepada para hadirin dan berteriak .
"Saudara-saudara sekalian. Inilah suatu berita yang benar-benar tidak kita duga. Ternyata pendekar Nawawi dan Ayu. Sarini sudah membentuk mahligai bahagia. Hayoo, kita menghabiskan minuman kebahagiaan ini demi kesehatan mereka."
Seruan Srimoyo disambut dengan sorak ramai bergemuruh. Dan suami isteri Nawawi-Ayu Sarini buruburu berdiri dan memanggut dengan tersipu-sipu.
"Benar-benar nasib bagus sekali!"
Seru Kayat Pece.
"Inilah yang dinamakan orang sepasang Kamajaya dan Ratih. Di dunia ini, siapakah yang dapat melawan sepasang pedang mereka?"
"Benar! Benar! Huraaa ...!"
Sambut hadirin.
Mereka lantas makan-minum dengan sepuas-puasnya.
Nawawi dan Ayu Sarini sama sekali tidak membantah pujian mereka yang berlebih lebihan.
Diamdiam Lingga W isnu malu hati.
Justru pada saat itu, Sekar Prabasini mencubit lengannya sambil berbisik .
"Ha, tak kukira kemenakan muridmu adalah sepasang pendekar pedang yang bisa malang melint ang di seluruh penjuru dunia. Apakah engkau tidak iri? Lihatlah Ayu Sarini Dia cant ik jelita dan galak. Bagaimana pendapatmu? Apakah aku lebih galak daripada dia?"
Lingga W isnu tergugu.
Tak dapat ia menjawab sindiran Sekar Prabasini.
Akhirnya membalas mencubit dengan tertawa lebar.
Merah wajah Sekar Prabasin i kena cubit Lingga Wisnu.
Itulah yang pertama kalinya terjadi.
Pemuda itu sendiri merasa diri pula.
W ajahnya terasa panas.
Syukur para tetamu undangan lainnya, pada saat itu sedang sibuk mengurusi perut, sehingga tidak memperhatikan perubahan wajah mereka.
Selagi demikian, seorang murid Srimoyo mendekati gurunya.
Ia menyerahkan dua helai kertas.
Segera Srimoyo membacanya dan nampak wajahnya berubah.
Kemudian berkata setengah berseru .
"Eh, Songgeng Mint araga benar-benar bermata dewa. Dia tahu kehadiran kita. Dan rupanya ia tak mau pula ketinggalan. Saudara-saudara sekalian, esok malam diapun menyelenggarakan pesta perjamuan. Dia mengundang kehadiran saudara-saudara sekalian,"
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia berhenti sebentar mencari kesan. Kemudian berkata kepada muridnya.
"Coba panggil pembawa surat ini!"
Murid itu membungkuk hormat dan mengundurkan diri dengan langkah lebar.
Suasana perjamuan lantas saja berubah menjadi tegang.
Semua hadirin menunda meneguk minuman bahagia suami-isteri Nawawi-Ayu Sarini.
Dan tak lama kemudian masuklah seorang pemuda berpakaian seragam.
Pemuda itu berumur kurang lebih dua puluh lima tahun.
Sikapnya tenang dan raut wajahnya sama sekali tak berubah menghadapi perbawa pesta perjamuan.
Ia menghampiri Srimoyo dengan hormat dan berkata .
"Secara kebetulan saja, guru kami mendengar kedatangan tuan-tuan sekalian. Karena W onogiri termasuk wilayah perjuangan semesta, maka guru kami mengundang tuan-tuan sekalian untuk menghadiri perjamuan beliau. Kami diut us kemari unt uk memperoleh kepastian apakah tuan-tuan besok sudi memenuhi undangan guru."
Srimoyo tertawa terbahak-bahak. Ia menganggap lucu kata-kata upacara - Katanya .
"Sebenarnya kau siapa?"
"Kami sendiri bernama Pramana, murid guru yang ke sembilan belas. Maafkan, apabila kami terlalu banyak berbicara,"
Sahut Pramana dengan suara sopan santun.
"Hm ..."
Srimoyo menggerutu.
"Songgeng Mint araga mengadakan pesta perjamuan. Pastilah bukan karena kebetulan saja. Bukankah begitu?"
Meskipun Pramana diperlakukan agak kasar, namun sikapnya tetap t ak berubah. Masih saja ia berdiri hormat dan menjawab pertanyaan tuan rumah dengan suara merendahkan diri.
"Kami hanyalah ut usan belaka. Tak dapat kami menjawab pertanyaan tuan."
"Bagus!"
Tiba-tiba Srimoyo membentak.
"Gurumu seorang bangsat, tahu? Dia sedang mengatur tata muslihat untuk menjebak kita, bukan? Eh, coba katakan terus terang, racun apakah yang bakal dibuat ramuan makanan pesta perjamuan nant i?"
Dibent ak demikian, Pramana tetap bersikap sant un. Sahutnya . .
"Memang guru menyelenggarakan suatu pesta perjamuan yang khusus diperuntukkan sebagai penyambut kedatangan tuan-tuan didaerah ini. Sebab guru kami sangat kagum kepada keperkasaan dan kegagahan tuan-tuan sekalian. Beliau ingin bertemu dan berkenalan dergan tuan-tuan sekalian."
"Eh! Kau pandai berbicara,"
Ejek Genggcng Basuki, murid Purbaya yang tertua.
"Coba jawablah yang jelas! Sewaktu gurumu menganiaya dan akhirnya membunuh kakak saudara Srimoyo, kau hadir atau tidak?"
"Akh, kami k ira masalahnya tidaklah sesederhana itu,"
Jawab Pramana dengan wajah berubah.
"Kami kira, pesta perjamuan itu akan memberi kesempatan kepada guru untuk menjelaskan masalahnya."
"Bagus! Gurumu bangsat dan kaupun pandai menarikan lidah!"
Bent ak Genggong Basuki.
"Gurumu hutang nyawa, masakan cukup ditebus dengan suatu penjelasan saja? Eh, enak saja kau mementang mulut."
"Pada waktu itu, guru terdorong ke pojok. Tak dapat lagi guru mengelakkan diri. Akhirnya peristiwa itu terjadilah ..."
Pramana mencoba memberi keterangan.
"Dan semenjak itu, guru selalu nampak bermurung serta bersedih hati. Guru sangat menyesal apa sebab peristiwa itu harus terjadi ..."
"Kalau begitu matamu melihat sendiri peristiwa pembunuhan itu!"
Tiba-tiba Nawawi ikut berbicara.
"T idak. Aku tidak menyaksikan sendiri. Akan tetapi aku percaya, bahwa guruku tidak akan membunuh seseorang tanpa alasan yang berdasar. Guru adalah seorang pejuang yang mengabdikan seluruh hidupnya pada perjuangan bangsa dan negara. Beliau berhati mulia. Jangan lagi sampai membunuh orang, sedang jiwanya sendiri akan rela d iserahkan bila perjuangan bangsa memint anya."
Pramana membela.
"Setan terkutuk!"
Maki Ayu Sarini.
Tiba-tiba saja ia melesat dari kursinya.
Pedangnya berkelebat dan menekan dada Pramana dengan tangan kirinya.
Itulah gerakan yang cepat luar biasa.
Pramana terkejut.
Dengan tangan kanannya ia menolak tangan kiri Ayu Sarini yang menekan dadanya.
Kemudian mencoba membebaskan ancaman itu dengan menggerakkan tangan kirinya.
"Hai!"
L ingga W isnu te rkejut.
"Tangan kanannya bakal tertabas!"
Sebagai seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, tahulah ia sasaran pedang Ayu Sarini berikut nya. Dan pembelaan Pramana sangat lemah. Ia justru kena terjebak.
"Apakah kemenakanmu yang cantik itu benar-benar hendak menabaskan pedangnya?"
Sekar Prabasini menegas.
Belum sempat Lingga W isnu nsenjawab, maka terdengarlah t eriak kesakitan Pramana.
Ayu Sarini benarbenar menabaskan pedangnya.
Dan pundak Pramana terbabat kutung.
Sudah barang tentu sekalian hadirin terkejut sehingga berdiri serentak dengan tak dikehendaki sendiri.
W ajah Pramana pucat lesi.
Lengan kanannya jatuh terpental diatas lantai.
Sekalipun demikian, masih bisa ia menguatkan diri sehingga tidak roboh pingsan.
Dengan pandang penuh sesal ia merobek ujung bajunya.
Kemudian membebat lukanya.
Setelah itu membungkuk memungut lengannya yang kutung.
Dan pergilah ia dengan langkah lebar.
Sekalian hadirin tercengang menyaksikan ketangguhannya.
Mereka saling pandang dan di dalam hati masing-masing menyesali perbuatan Ayu Sarini yang kejam luar biasa.
Bukankah d ia seorang utusan belaka? Kenapa kena aniaya? Ayu Sarini sendiri bersikap acuh tak acuh.
Tenangtenang ia menyusut darah Pramana yang melekat dipedangnya.
Kemudian kembali ke tempat duduknya.
W ajahnya sama sekali t idak berobah.
"Bangsat itu menjerumuskan muridnya sendiri kedalam lubang harimau,"
Kata Genggong Basuki.
"Dia seorang pemuda yang bandel dan tak mengerti tatasant un. Apa sebab diutus mewakili d irinya? Hm - kalau muridnya saja sudah bandel, pastilah gurunya jauh lebih bandel dan galak. Nah, bagaimana? Apakah besok kita menghadiri pesta perjamuannya?"
"Sudah tentu kita harus memenuhi undangannya,"
Sahut Srimoyo.
"Kalau t idak, kita tidak berharga lagi."
"Kalau begitu, kita sudahi saja pesta perjamuan ini,"
Usul Kayat Pece yang berpengalaman.
"Malam ini lebih baik k ita pergunakan untuk menyelidiki keadaan mereka. Siapa tahu, dengan kejadian ini, mereka benar-benar hendak meracun kita ..."
"Rekan Kayat benar,"
Srimoyo membenarkan.
"Tak usah diragukan lagi. Songgeng Mint araga pasti membuat persiapan-persiapan di luar dugaan kita. Nah siapakah diant ara hadirin yang sudi mengorbankan tenaga untuk menyelidiki keadaan mereka?"
"Akulah yang akan menyelidiki keadaan mereka,"
Sahut Genggong Basuki dengan suara yakin sekali. Srimoyo menuang segelas minuman keras. Kemudian dibawanya menghampiri ahli pedang Sekar Teratai itu. Katanya dengan mengangguk hormat.
"Saudara Genggong Basuki, terimalah hormatku."
Senang Genggong Basuki memperoleh penghormatan dari tuan rumah.
Dengan sekali teguk ia mengeringkan minuman keras yang diperseribahkan kepadanya.
Dan pesta perjamuan itu berakhir dengan cepat.
Lingga W isnu membawa Sekar Prabasini menyelinap diant ara para tetamu yang sedang bubar dan secara diam-diam mengikut i Genggong Basuki dari jarak tertentu.
Niatnya hendak menguntitnya.
W aktu itu kira-kira pukul dua malam.
Genggong Basuki kembali ke rumah penginapannya.
Setelah mengenakan pakaian serba hitam, ia melesat keluar jendela dan berlari-lari mengarah ke barat daya.
Gesit gerakannya.
Sebentar saja ia lenyap di tikungan jalan.
Akan tetapi Lingga W isnu tak sudi kehilangan sasarannya.
Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, dapat ia mengikuti gerakan Genggong Basuki.
Sekar Prabasin i yang berada disandingnya, terus dibimbingnya agar dapat menyertai gerakannya.
Pada pagar t embok sebuah gedung, Genggong Basuki berhenti sebentar.
Ia menebarkan penglihatannya.
Kemudian melompati tembok pagar itu dengan gerakan ringan dan cekatan.
Menyaksikan hal itu, berkatalah Lingga W isnu didalam hati.
"Ia dikabarkan sebagai seorang ahli pedang tanpa tandingannya. Nyatanya, benar-benar sebat dan gesit. Kakang Purbaya patut berbangga hati mempunyai seorang murid yang berkepandaian begitu tinggi. Setidak-tidaknya kepandaiannya bisa menjaga pamor rumah perguruan Sekar Teratai. Akan tetapi kenapa dia berhati kejam? Kedua adiknya seperguruannya pun benar-benar manusia tercela. Kenapa murid-murid kakang Purbaya begitu kejam dan bengis?' Dengan membimbing tangan Sekar Prabasini, Lingga W isnu melompati pagar tembok itu pula. Ia menyelinap dibelakang pohon mangga. Masih sempat ia melihat Genggong Basuki melintasi sebuah kamar yang nampak terang benderang. Timbul ah rasa ingin tahu Lingga W isnu dan Sekar Prabasin i tentang kamar itu. Segera mereka berdua menghampiri jendela dan mengintai lewat cela-cela dinding. Dan nampaklah seorang laki- laki berusia lebih kurang limapuluh lima tahun duduk menghadap ke utara. W ajahnya bermuram durja. Dengan suara parau ia berkata .
"Bagaimana keadaan Pramana?"
"Beberapa kali kakang Pramana tak sadarkan diri. Tetapi sekarang darahnya sudah mampat tak keluar lagi,"
Sahut seseorang dengan suara hormat.
Orang tua itu menghela napas.
Dan Lingga W isnu lantas saja dapat menebak, bahwa orang tua adalah yang bernama Songgeng Mint araga.
Ia berada didalam kamarnya bersama dua orang muridnya.
Agaknya ia sedang membicarakan luka Pramana yang tadi diut usnya membawa surat undangan kepada pendekar Srimoyo.
Muridnya yang kedua berkata .
"Guru. Bagaimana kalau kita mengadakan perondaan malam in i? Aku khawatir, bahw a mereka tengah mengintai rumah kita ..."
Songgeng Mintaraga menghela napas kembali, seraya menjawab dengan bergeleng kepala.
"Diduga atau t idak akhirnya toh sama saja. Pada saat ini, aku sudah menyerahkan nasibku kepada t akdir. Esok pagi, hendaklah kamu berdua membawa bibimu mengungsi ke Sokawati. Carilah panglima Sengkan Turunan, Dan katakan kepada beliau, bahw a bibimu membutuhkan perlindungannya. Sedangkan kedua adikmu, Para W itri dan Gagak Baka, antarkan mendaki gunung Lawu, ke rumah perguruan Kyahi Basaman. Aku percaya, pendekar sakti itu pasti mau melindungi kedua adik mu itu."
Tergetar hati Lingga W isnu mendengar Songgeng Mint araga menyebut-nyebut nama eyang gurunya.
Benarkah orang tua itu seorang bangsat kejam seperti yang dikatakan Srimoyo? Pikirnya d i dalam hati.
Nampaknya, ia seorang tua yang saleh.
Rasanya sukar dimengerti, apa sebab dia dahulu sampai membunuh seseorang.
Selagi berpikir demikian, terdengarlah murid Songgeng Mintaraga berkata manbujuk .
"Guru, hendaklah guru jangan berputus asa. Kedudukan guru di wilayah in i bagaikan seorang panglima perang. Guru mempunyai murid dua ribu orang lebih yang tersebar dimana-mana. Merekapun sudah terlatih menjadi seorang pejuang semenjak beberapa tahun yang lalu. Dengan sepatah kata saja, guru dapat memanggil mereka. Bilamana kita mengadakan perlawanan, pastilah musuh kita tak berdaya."
Tetapi Songgeng Mint araga tetap saja bermuram durja. ia seolah-olah kehilangan semangat dan untuk yang ketiga kalinya ia menghela napas lalu berkata .
"Lawan kita bukan manusia lumrah. Mereka adalah pendekar-pendekar kenamaan. Kecuali kepandaiannya sangat tinggi, pengaruhnya meliputi seluruh Nusantara. Tiada gunanya sama sekali kita melawan mereka. Bila sampai terjadi banyak korban, adalah sia-sia belaka. Bukankah kini masa perjuangan yang justru membutuhkan tenaga mereka? Seandainya mereka bersatu-padu membantu perjuangan Gusti Said melawan Belanda, pastilah akan besar artinya. Bila t erpaksa gugur, maka gugurlah mereka sebagai ratna. Sebaliknya, perselisihan in i adalah masalah perorangan. Baik kamu atau mereka, akan mati yang tiada harganya sama sekali. Sudahlah, jangan kau berpikir berkepanjangan. Bila aku mati sudilah kalian merawat bibi dan kedua adikmu. Aku serahkan mereka bertiga kepada kalian. Dan di alam baka, arwahku akan tenteram sejahtera ..."
Dan setelah berkata demikian, orang t ua itu mengucurkan air mata. Itulah suatu perpisahan yang tidak dikehendaki, tetapi harus terjadi.
"Guru, janganlah guru mengucapkan kata kata itu,"
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ujar muridnya yang duduk disebelah kanan.
"Ilmu kepandaian guru sangat t inggi. Sekiranya t idak demikian, mustahil guru dapat menguasai wilayah seluas in i. Baik panglima Sengkan Turunan maupun Gusti Said, mengandal kepada ketangkasan guru. Karena itu, guru dapat mengadakan perlawanan. Seumpama kalahpun guru tidak akan mati ditangan mereka. Masakan panglima Sengkan Turunan dan Gusti Said akan berpeluk tangan saja melihat kematian guru?"
Ia berhenti mengesahkan.
Kemudian meneruskan "Pada saat ini kita berjumlah dua puluh lima orang.
Tepatnya duapuluh empat orang, karena kakang Pramana belum sanggup bangun dari pembaringanMasakan kita tidak sanggup melawan mereka? Bila guru tidak yakin, sahabat sahabat guru banyak pula.
Pastilah mereka akan datang bila guru mengundangnya.
Dan kami yakin, mereka akan membantu guru secara sukarela."
Songgeng Mintaraga mendengus. Kemudian ia t ertawa perlahan melalui dadanya. Berkata.
"Semasa mudanya dahulu, aku berdarah panas seperti kamu. Dan inilah kesudahannya. Inilah akibatnya. Justru dimasa perjuangan memint a seluruh perhatian kita, aku menerbitkan huru hara. Bukankah secara langsung, aku mengacaukan jalannya perjuangan semesta? Aku memang berhutang nyawa, maka sudah sepantasnya aku membayar nyawa pula. Dengan begitu persoalan ini jadi selesai dan arah perjuangan semesta tidak lagi terhambat oleh persoalan pelarangan."
Terharu hati Lingga W isnu mendengar ucapan Songgeng Mintaraga.
Pikirnya didalam hati .
'Ia seorang yang berjiwa besar dan jujur.
Alangkah jauh kesannya dengan kabar yang ditiup tiupkan Srimoyo.
Mungkin pada zaman mudanya ia pernah salah.
Sekarang ia penuh sesal terhadap dirinya sendiri.
Kalau dipikir, siapakah orang hidup di dunia ini yang tidak pernah salah?' "Guru!"
Tiba-tiba seru seorang murid. Songgeng Mintaraga menegakkan pandang. Sahutnya.
"Kau hendak berkata apa lagi?"
"Begini ... karena guru tidak sudi melawan mereka, marilah kita lari pada malam ini juga. Guru bisa bersembunyi dengan aman sentausa ..."
"Kau berkata apa?"
Potcng Songgeng Mint araga.
"Bersembunyi? Akh, betapa kita berbuat begitu? Terhadap peleton serdadu Belanda, tak pernah kita undur setapak. Kenapa harus takut menghadapi maut?"
"Y a, benar,"
Sahut murid lainnya.
"Tak dapat guru mengambil tindakan demikian. Guru seorang pendekar kenamaan. Masakan harus lari terbirit-birit oleh ancaman musuh."
"Hm ... pendekar kenamaan,"
Gerutu Songgeng Mint araga.
"Apakah arti kemashuran dan kenamaan itu. Pada saat ini, aku justru t idak memikirkan soal nama dan segala semboyan semboyan kosong. Menyingkir atau melarikan diri, kurasa tiada gunanya. Umurku sudah lanjut. Apalagi yang ku angan-angankan? Seumpama aku bersembunyi sepuluh tahun, usiaku sudah, enampuluhlima tahun. Hm, berapa tahun lagi aku betah menyembunyikan diri? Mati sekarang atau besok, bukankah t iada bedanya bagi aku yang sudah pikun ini? Karena itu, biarlah besok aku menghadapi mereka seorang diri. Kamu sendiri, kuharap cepat-cepat meninggalkan kota!"
Kedua muridnya itu menjadi sibuk. Kata mereka hampir berbareng .
"Guru; kami akan mati dan hidup disamping guru."
"Apa?"
Bentak Songgeng Mint araga.
"Dalam keadaan terdorong ke pojok, apa sebab kalian membangkang perint ahku?"
Kena bentak gurunya, kedua murid itu membungkam mulut . Mereka jadi gelisah.
"Dalam saat seperti begini, dengarkanlah perint ahku. Dengarkanlah permohonanku,"
Kata Songgeng Mint araga.
"Memohon?"
Kedua muridnya terkejut.
"Y a, memohon. Aku memohon kepadamu berdua, agar taat dan patuh pada perint ahku,"
Kata Songgeng Mint araga dengan suara tertekan-tekan.
"Selagi kita masih mempunyai kesempatan, maka bantulah bibimu berkemas-kemas. Jangan lupa pula kereta perjalanan."
Kedua murid itu mengangguk, akan tetapi tidak bergerak dari tempat duduknya. Menyaksikan hal itu, Songgeng Mint araga menghela napas berulangkali. Akhirnya berkata kalah .
"Baiklah, kamu kumpulkan seluruh anggauta laskar 'Lawu Selatan'. Biarlah aku berbicara yang penghabisan kali dihadapan mereka."
Kedua murid itu segera berdiri melakukan perint ah itu.
Cepat-cepat Lingga W isnu dan Sekar Prabasin i mundur dari d inding kamar dan bersembunyi dibalik gerombol dedaunan.
Tepat pada saat itu, mata Lingga W isnu melihat sesosok bayangan mendekam didekat pagar dinding sebelah barat.
Melibat perawakan tubuhnya, segera Lingga W isnu mengenalnya.
Dialah Genggong Basuki yang tadi lenyap melint asi kamar.
Dan di sebelah belukar terdapat sesosok bayangan lagi, berpakaian biru semu.
Dialah Ayu Sarini Sekarang tahulah Lingga W isnu, apa sebab Genggong Basuki tadi melint asi kamar menuju ke arah barat.
Rupanya dia sedang menjemput adiknya seperguruan yang datang dari arah barat.
Dan pada saat-saat itu Lingga W isnu dan Sekar Prabasini mengintai kamar Songgeng Mint araga.
Seumpama Genggong Basuki dan Ayu Sarini datang kembali, pastilah mereka berdua akan ketahuan.
Geram hati Lingga W isnu teringat akan kekejaman Ayu Sarini tadi.
Begitu enak saja menabas lengan Pramana seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
Sebagai anak murid aliran Sekar Teratai, sebenarnya tidak boleh berbuat sekejam demikian.
Maka timbullah niatnya hendak memberi pelajaran kepadanya.
Berkata membisik kepada Sekar Prabasini .
"Jangan mengadakan suatu gerakan sedikitpun juga. Aku hendak ..."
Sekar Prabasini memotong perkataannya dengan pandang bersenyum. Sahut gadis itu nakal "Kau melarang, tapi aku justru ingin bergerak. Kau lihat!"
Dan benar-benar gadis bandel ini membuktikan ucapannya.
Tiba-tiba saja ia menyelinap di balik gerombol dan berjalan mengendap-endap memutari rumah.
Tahulah Lingga W isnu menebak maksudnya.
Dia hendak menyerang Genggong Basuki dan Ayu Sarin i dari belakang punggung.
Genggong Basuki dan Ayu Sarini berkepandaian t inggi.
Jauh lflb ih tinggi dari pada Prabasin i.
W alaupun kena diserang dari belakang, belum tentu mereka tak dapat mengelak, pikir Lingga W isnu.
Dan memperoleh pikiran demikian, ia melepaskan pandang tajam kepada kedua murid Purbaya itu.
Genggong Basuki dan Ayu Sarini sedang memusatkan seluruh perhatiannya kepada gerak gerik Songgeng Mint araga yang kini duduk seorang diri didalam kamarnya.
Gesit luar b iasa Lingga W isnu melesat mengitari taman, kemudian menghampiri Genggong Basuki dan Ayu Sarini dengan suatu kecepatan yang tak terlukiskan.
Dengan sekali gerak, ia berhasil menyambar pedang Ayu Sarini yang tergantung dipinggangnya.
Anehnya, pendekar wanita itu sama sekali t ak tersadar.
Sekar Prabasini merandek melihat gerakan kawannya itu.
Tatkala Lingga W isnu datang padanya dengan membawa pedang Ayu Sarini, hatinya t erbakar oleh rasa cemburu.
"Kau simpanlah pedang ini,"
Bisik L ingga W isnu seraya menyodorkan pedang curian.
Sekarang tahulah Sekar Prabasini akan maksud Lingga W isnu.
Pasa cemburunya sirna larut .
Dan dengan gembira ia menerima pemberian itu.
Kemudian mengikuti Lingga W isnu mengintai dari jendela sebelah utara.
o0dw0o 1.
Adu Kepandaian Duapuluh ampat orang memasuki kamar Songgeng Mint araga.
Mereka membungkuk hormat apabila melint asi ambang pintu.
Kemudian berdiri berdesakan menghadap gurunya.
Songgeng Mint araga sendiri hanya memanggut-manggut kecil.
W ajahnya muram dan pandangnya resah.
Dua tiga kali ia menghela napas, lalu berkata dengan suara pedih .
"Anak-anaku, semasa mudaku, aku hidup sebagai seorang penyamun. Benar, aku seorang penyanun. Pastilah ucapanku ini mengejutkan hatimu.. Akan tetapi pada saat begini ini, aku harus berbicara terus-terang kepadamu sekalian."
Lingga W isnu mengalihkan pandang kepada sekalian murid Songgeng Mint araga.
Pandang mata mereka gelisah.
Itulah suatu tanda, bahwa sesungguhnya mereka tidak mengira sama sekali bahw a gurunya dahulu seorang penyamun pada masa mudanya.
Dan memperoleh kesan demikian, ia jadi menaruh perhatian pula.
Pada saat itu, ia melihat Songgeng Mintaraga menghela napas untuk yang kesekian kalinya.
"Daerah operasiku berada disekitar gunung Merbabu,"
Kata Songgeng Mint araga melanjutkan tutur katanya.
"Pada suatu hari, aku memperoleh kabar dari anggautaanggautaku bahwa suatu rombongan yang datang dari Salatiga akan lewat tak jauh dari kaki gunung. Itulah rombongan Pangeran Adiningrat yang pulang dari Semarang setelah mengadakan perundingan dengan pihak kempeni. Bagi seorang penyamun, berita itu sangat menggembirakan. Betapa tidak? Pastilah mereka membawa harta benda jauh lebih banyak dari pada rombongan saudagar. Lagi pula, membegal seorang ningrat, mempunyai harta sendiri. Seumpama meng harapkan uang tebusan, jumlahnya tidak ternilai lagi. Harta pangeran itu sendiri, berasal dari darah rakyat lewat tindak sewenang-wenang kompeni Belanda, dengan demikian, tidak terlalu jahat rasanya bila merampas harta bendanya. Maka bulatlah t ekadku untuk menghadangnya. Segera aku mengumpulkan anak buahku. Dan kubawa menghadang perjalanan mereka. Diluar dugaan, rombongan pangeran Adiningrat dikawal oleh seorang pendekar ahli pedang kenamaan. Namanya Kuncaraningrat. Salah seorang pendekar dari aliran Parwati. Dialah kakak pendekar Srimoyo ..."
Sampai disin i, Lingga W isnu dan Sekar Prabasini lantas saja dapat menduga-duga peristiwa balas dendam itu.
Pikir Lingga W isnu .
'Jadi.
beginilah terjadinya.
Songgeng Mint araga hendak membegal.
Dan Kuncaraningrat adalah yang mengawal harta benda itu.
Kedua-duanya lantas bertempur.
Dan rupanya Kuncaraningrat mati terbunuh.
kalau begitu, inilah persoalan lumrah yang terjadi dalam gelombang penghidupan.' Sambil mendengarkan, Lingga W isnu tak lupa membagi pandang kepada Genggong Basuki dan Ayu Sarini.
Ia me lihat tangan Ayu Sarini bergerak meraba pinggang.
Dia nampak terkejut, karena pedangnya hilang tanpa diketahui.
Begitu kaget dia, sampai berjingkrak.
Segera ia memberi tanda gerakan tangan kepada Genggong Basuki.
Lalu keduanya melesat keluar pagar tembok meninggalkan rumah Songgeng Mint araga.
Dan menyaksikan hal itu, Lingga W isnu tertawa geli didalam hati.
Dalam pada itu, terdengarlah suara Songgeng Mint araga lagi .
"Telah kukatakan tadi, bahw a Kuncaningrat adalah seorang ahli pedang kenamaan aliran Parwati. Seperti kalian ketahui, aliran Parwati merupakan salah satu cabang yang sama besar pengaruhnya dengan aliranaliran Ugrasawa dan Aristi. Itulah sebabnya, pengaruh lingkungan Kuncaraningrat sangat luas. Banyak sekali handai taulan dan sahabat-sahabatnya."
Ia berhenti sebentar. Kemudian meneruskan .
"Oleeh pertimbangan itu, mula-mula tak berani aku turun tangan. Kebetulan sekali, rombongan itu bermalam di selatan Salatiga. Segera aku datang menyelidiki. Malam itu, aku berada diantara rombongan itu. Tiba-tiba aku mendengar suatu pembicaraan yang membuat hatiku mendongkol dan jijik bukan main. Siapa mengira, bahw a Kuncaraningrat seorang ahli pedang kenamaan itu adalah seorang pemuda bongor. Rupanya selama dalam perjalanan, ia menaruh hati kepada puteri Pangeran Adiningrat. Karena merasa diri seorang pemuda dari kalangan orang biasa, maka mustahil sekali untuk dapat memeluk gadis itu, dengan jalan melamar. Apalagi, puteri Pangeran Adiningrat sangat cantik. Dan kabarnya akan dipersembahkan dan dipersunting Susuhunan. Maka diam diam ia merencanakan suatu pembunuhan keji Ia bersekutu dan mengadakan perundingan rahasia dengan seorang kepala begal bernama Sondong Ucek-ucek. Esok hari, apabila rombongan lewat di tikungan jalan Ngapel Sondong Ucek-ucek harus menghadangnya, kuncaraningrat akan berpura-pura melawan. Ia nanti akan mundur jauh meninggalkan rombongan. dan saat itu, anak buah Sondong Ucek-ucek hendak membunuh seluruh keluarga Pangeran Adiningrat, kecuali putrinya. Menyaksikan pembunuhan itu, Kuncaraningrat akan menjadi kalap. Ia akan balik kembali memberikan pertolongan. Sondong Ucek-ucek dan anak buahnya harus mundur berantakan. Dengan demikian akan mengesankan hati putri Adiiningrat betapa sungguhsungguh Kuncaraningrat melindungi dan membelanya. Putri akan merasa hutang budi. Akhirnya pasti bersedia diperisteri. Sondang Ucek-ucek menyetujui perundingan dan persetujuan itu karena yang penting baginya adalah perampasan harta benda itu sendiri. Mendengar perundingan itu, bukan main panas hatiku. Segera aku balik dan mengajak anak buahku mengadakan pengintaian disekitar jalan Ngampel. Bulatlah tekadku hendak menggagalkan rencana mereka yang busuk itu"
"Ha, in ilah lain jad inya,"
Pikir Lingga W isnu didalam hati. Tadinya ia mengira, bahw a pembunuhan itu terjadi lantaran perebutan harta benda saja. Tak tahunya, terselip suatu cerita latar belakang yang menentukan.
"Memang aku termasuk seorang pemuda berdarah panas. Meskipun hidup sebagai penbegal, belum pernah aku curang. Semuanya kulakukan dengan terangterangan dan berhadap-hadapan. Kalau berhasil, itulah rezekiku Kalau gagal, biarlah mampus. Apalagi seorang pendekar sebagai Kuncaraningrat. Ia sudah bersedia menjadi pengawal rombongan. Apa sebab berhianat sebagai seorang pengecut?"
Songgeng Mintaraga melanjutkan tutur katanya.
"Sebagai seorang pengawal, ia sudah melanggar kewajiban. Sebagai seorang pendekar, ia merendahkan derajat kaumnya. Demikianlah, aku menunggu terjadinya sandiwara itu. Tatkala rombongan Pangeran Adiningrat memasuki tikungan jalan Ngampel, Sondong Ucek-ucek benar-benar muncul dengan anak-buahnya. Pertempuran segera terjadi. Kuncaraningrat berkaok-kaok dan berpura-pura sibuk mengatur suatu pembelaan. Ia lari kesana kemari dengan pedang terhunus. Justru hal itu, membuat hatiku mendongkol dan muak bukan main. Mengingat akan terjadinya suatu pembunuhan, tak dapat lagi aku bersabar lebih lama lagi. Segera aku membawa anak buahku menyerbu gelanggang pertempuran. Dan terlibat dalam suatu pertempuran seru Kuserukan kepada rombongan Pangeran Adiningrat, bahwa telah terjadi suatu penghianatan keji. Dan sudah barang tentu, seruanku itu membuat Kuncaraningrat menjadi. kalap. Dengan pedangnya ia menerjang.
"Alangkah dahsyat! Benar-benar ia seorang ahli pedang kenamaan yang tak mengecewakan. Syukur ia sedang kalap. Dengan begitu, tak dapat ia mengendalikan diri sebaik-baiknya. Dan kesempatan bagus itu, segera kupergunakan. Akhirnya aku berhasil menabarkan pedangku. Dan ia roboh menghembuskan napasnya yang penghabisan ..."
"Guru, manusia sekeji itu sudah selayaknya mati!"
Seru seorang murid memotong tutur-kata Songgeng Mint araga.
"Kenapa kita takut menghadapi rencana balas dendam adiknya? Bila dia datang, kita bongkar rahasia keji itu dihadapan sahabat-sahabatnya. Mungkin sekali, dia pant ang mundur dan tetap menuntut balas. Akan tetapi mustahil sekali d iantara rombongannya tiada terdapat beberapa orang yang jujur."
"Benar,"
Kata Lingga W isnu didalam hati.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Asai saja keterangan Songgeng Mintaraja in i benar, pantas mendapat penghargaan. Jangan jangan masih terselip suatu "Malah lagi diant ara mereka ..."
Songgeng Mint araga menghela napas lagi. Ia berenung-renung sejenak. Kemudian meneruskan tutur katanya .
"Setelah berhasil membunuh Kuncaraningrat, sadarlah aku. akan ancaman bahaya. Kuncaraningrat berasal dari perguruan Parwati. Itulah suatu aliran ilmu pedang yang tak teralahkan. Aliran Parwati adalah pewaris pendekar sakti Roma Harsana yang hidup pada abad yang lampau. Pastilah tidak mudah aku menceritakan peristiwa yang sebenarnya dihadapan sekalian para saudara seperguruannya. Bila mereka bersatu padu menuntut balas, bagaimana aku dapat melawannya? Sedang menghadapi seorang Kuncaraningrat saja, aku sudah kewalahan. Untung dia sedang kalap. Apalagi hendak mencoba berlawan-lawanan dengan dua orang Kuncaraningrat atau tiga ampat. lima Kuncaraningrat. Untunglah, pada saat itu rekan-rekanku dapat menangkap Sondang Ucek-ucek dalam keadaan hidup. Aku paksa dia agar menulis surat pernyataan persekutuannya. Bahwasanya Kuncaraningrat bermaksud mengganggu putri Pangeran Adiningrat. Ternyata Sondong Ucek-ucek tidak berkeberatan.. Didalam surat kesaksiannya, ia bahkan berani mengangkat sumpah pula."
Ia berhenti sebentar mengesankan, melanjutkan .
"Pangeran Adiningrat merasa berhutang budi kepadaku. Mendengar kesulitanku, dengan sukarela ia menulis sehelai surat pernyataan menceritakan peristiwa yang sebenarnya. Beliau memaksa dua hambanya pula yang bernama Bolot dan Ngaeran untuk menandatangani surat kesaksian itu. Mereka berdua sama sekali tak mengira, bahw a pendekar Kuncaraningrat mempunyai rencana keji demikian. Seumpama tiada kehadiranku, pastilah mereka berdua sudah t idak bernyawa lagi. Maka semenjak itu, mereka berdua menjadi sahabatku. Kemudian aku membawa dua helai surat kesaksian itu ke Surakarta untuk menghadap pendekar besar Prangwedemi ketua aliran Parwati.
"Akh, benar-benar tak kuduga, bahwa berita pembunuhan itu telah terdengar oleh Prangwedemi beberapa hari sebelum aku memasuki Surakarta. Ditengah perjalanan, aku berpapasan dengan rombongan mereka. Sama sekali aku tak diberi kesempatan untuk memberi peringatan. Untunglah pada saat aku terdorong kepojok, datanglah seorang pendekar luar b iasa. Dengan pedang yang istimewa ia dapat melumpuhkan mereka semua. Kemudian aku diant arkan menghadap Prangwedemi dan dengan bantuan pendekar luar biasa itu, dapatlah aku memberi keterangan kepada Prangwedemi tentang peristiwa terjadinya pembunuhan. Ternyata Prangwedemi adalah seorang pendekar besar pula serta jujur. Akan tetapi, demi menjaga nama baik aliran Parwati, ia mint a kepadaku agar jangan membocorkan perangai Kuncaraningrat. Aku bersedia dan berjanji. Dan semenjak itu, benar-benar aku menutup mulut. Itulah sebabnya, tiada seorangpun yang mengetahui peristiwa matinya Kuncaraningrat dan siapa pembunuhnya. Pada waktu itu, pendekar Srimoyo masih berumur belasan tahun. Sudah barang tentu, ia tidak mengetahui keadaan hati Kuncaraningrat yang sebenarnya. Sebagai seorang adik yang tahu menghormati kakaknya, sudah selayaknya kuhargai. Pant aslah ia menuntut dendam. Hanya saja ..."
"Itulah suatu balas dendam yang kurang tepat,"
Potong salah seorang muridnya.
"Kakaknya patut mengalami nasib demikian. Guru, apakah ke dua surat kesaksian itu masih berada di tangan guru?"
"Justru hal itulah yang kini menjadi kunci kesulitanku,"
Sahut Songgeng Mint araga. Kedua surat itu kini tiada lagi ada padaku. Hilang"
"Hilang?"
Seru muridnya menegas.
Songgeng Mintaraga mejenak napas dan me-manggut.
Kemudian memberi keterangan .
'"Pertama-tama aku harus menyesali d iriku sendiri.
Mataku lamur dan buta sampai tak dapat mengenal wajah manusia.
Satu tahun yang lalu, salah seorang sahabatku menyampaikan berita kepadaku tentang sepak-terjang pendekar Srimoyo, Menurut kabar, Srimoyo mencari pembunuh kakaknya.
Itulah aku sendiri.
Merasa diri masih belum cukup t angguh untuk menuntut dendam, ia menyempurnakan kepandaiannya.
Sekarang ia sudah siap segala-galanya dan mulailah ia mencari diriku.
Tentu saja segera aku mencari daya upaya untuk menyelamatkan diri.
Teringatlah aku kepada dua orang sahabatku yang mempunyai hubungan dekat dengan aliran Parwati.
Merekalah Suramerto dan Mangun Sentono, abdi dalam atau hamba kerajaan istana Surakarta.
Bila mereka berdua sudi menjadi perant araku, pastilah perselisihan itu akan selesai.
Maka berangkatlah aku mencari mereka berdua ..."
"Akh, teringatlah aku,"
Sela seorang murid.
"Jadi tatkala guru pergi selama satu bulan dahulu, sebenarnya lagi mencari mereka berdua?"
"Benar,"
Songgeng Mint araga memanggut.
"Aku mencari mereka dirumahnya yang terletak di wilayah Palur. Sayang, mereka tiada dirumah. Menurut keterangan, mereka ke ibukota untuk memenuhi panggilan Gusti Patih Pringgalaya. Karena sudah terlanjur berada dirumahnya, aku memutuskan untuk menunggu mereka. Lebih kurang satu minggu, kalau tak salah, mereka datang. Rasa girangku bukan main besarnya, karena bertemu dengan dua sahabat lama. Demikian pulalah mereka berdua.
"Segera kusampaikan maksud perjalananku menemui mereka berdua. Itulah masalah perselisihan antara diriku dengan keluarga Kuncaraningrat. Dan aku memohon pertolongan mereka berdua agar bisa memberi penjelasan kepada pendekar Srimoyo. Suramerto dan Mangun Sentcno dengan penuh semangat menyatakan kesediaan mereka untuk menjadi perant araku Bahkan mereka meyakinkan diriku, bahw a masalah itu pasti dapat dibereskan manakala aku mempunyai bukti-bukti cukup. Alasannya sangat nalar, maka kuserahkan dua helai surat kesaksian kepadanya. Akh, bagus kata mereka. Bila Srimoyo melihat dua surat kesaksian itu, pastilah dia akan membatalkan niat nya untuk balas dendam. Sebaliknya dia akan mencari perant ara pula untuk mohon maaf kepadaku, demikianlah mereda meyakinkan diriku. Hanya saja mereka berpesan, agar aku tidak menceritakan hal in i kepada siapapun juga. Dan aku berjanji akan membungkam mulut.
"Dua hari dua malam aku menginap di rumah mereka. Dan aku memperoleh pelayanan yang memuaskan sekali. Kebetulan sekali didesanya sedang terjadi sedekahan atau keramaian untuk memperingati desa. Aku ikut menonton wayang dan menandak-nandak pada malam tayub atau tarian bebas itu. Pendek kata, puaslah hatiku. Kemudian pada hari aku hendak berangkat pulang, Suramerto membawa aku beromong-emong kosong, mengenai panca-roba zaman. Katanya bintang kejayaan Susuhunan Surakarta, pada saat itu sudah mulai surut . Ia mencela habis-habisan perjuangan Gusti Said dan Mangkubumi I. Beliau berdua dikatakan sebagai manusia-manusia goblok dan buta. Sudah jelas, kata mereka bahwa kunci kesejahteraan bangsa berada di tangan pemerintah Belanda. Bukankah pemerint ahan Kasuhunan terwujud berkat bantuan pemerint ah Belanda? Karena itu, kita harus bisa melihat gelagat. Selagi huru-hara sedang hebat-hebatnya, inilah suatu kesempatan yang bagus bagi orang-orang yang mempunyai kepandaian tinggi. Dengan menjual tenaga sedikit;, kemuliaan h idup sudah terbentang di depan mata kita. Sekiranya aku sudi berhamba, mereka berdua bersedia pula menjadi perant ara untuk membawa diriku ke gerbang Gunung Emas. Dan mendengar sasaran pembicaraan mereka berdua, aku menjadi tercengang. Jadi kemana aku harus berhamba, t anyaku. Lewat Gusti Patih Pringgalaya, jawab mereka. Gusti Said tidaklah lebih seorang berandal rumput yang tiada mempunyai masa depan. Dan mendengar ucapannya, tiba-tiba aku menjadi marah. Kucela sikap dan cara berpikir mereka berdua. Kenapa sudi menjadi budak bangsa asing yang sebenarnya sedang merantau di tanah air kita in i. Kukesankan kepada mereka berdua, betapa besar dosanya kepada anak cucu dikemudian hari bila sampai berhianat terhadap bangsa dan negara. Apakah arti kemuliaan h idup sekeluarga, sedangkan ribuan orang hidup sengsara akibat penghianatan kita. Itulah hidup berdansa diatas tumpukan mayat. Hidup demikian, sebenarnya suatu siksa sendiri."
Mendengar ucapan Songgeng Mintaraga, hati Lingga W isnu tergetar.
Katanya di dalam hati.
'Orang ini mempunyai penglihatan jauh.
Jiwanya luhur pula.
Akh, t ak pantas dia mati t erajang oleh sekumpulan manusia yang terbakar oleh rasa dendam kesumat saja ...' Dan diam-diam ia mengagumi orang tua itu.
"Beberapa saat lamanya, kami bent rok karena perselisihan pendapat,"
Songgeng Mintaraga meneruskan.
"Tapi pada sore harinya, mereka berdua bersedia mengalah. Kembali lagi mereka ramah-tamah terhadapku. Bahkan mereka mohon maaf atas kehilafannya. Kata mereka. ? Janaanlah di masukkan hati semua kata-kataku tadi pagi. Itulah ucapan seorang yang lagi kekurangan uang belanja ...
"Mereka berdua pandai meredakan rasa tegang, sehingga hatiku tegar kembali T api, ya Aliah, sama sekali tak kuduga, bahwa mereka ber dua sesungguhnya dua ekor anjing yang benar- benar bersedia menghamba kepada pemerint ah Belanda. Hal ini baru kuketahui dikemudian hari. Sebenarnya apa yang mereka katakan adalah sungguh-sungguh. Dengan begitu. sebenarnya kepergianku kepadanya tak ubah seseorang menggali lubang kematiannya sendiri. Betapa tidak? Aku mengharapkan bantuan mereka Tak tahunya, mereka berdua justru ditugaskan patih Pringgalaya menghancurkan diriku. Sebab rupanya patih Pringgalaya tahu, bahw aku seorang pemimpin Laskar Lawu yang menghambat gerakan kompeni Belanda semenjak beberapa tahun yang lalu."
"Apa yang mereka lakukan?"
Teriak seorang murid yang berdiri dipojok.
"Mereka memutar balik peristiwa yang terjadi dihadapan Srimoyo."
Songgeng Mintaraga menyahut.
"Sehingga hati Srimoyo bertambah panas terhadapku. Hal itu benar-benar tak kuketahui selama delapan bulan yang lalu."
"Akhl Mengapa mereka berbuat sekejam itu? Bukankah mereka tadinya bersedia membantu kesukaran guru?"
"Benar. Tapi setelah aku menolak ajakannya agar membantu majikannya menghancurkan laskar Gusti Said, mereka lant as berbalik memusuhiku. Siapa bisa menduga demikian? Meskipun bentrok, bukankah pada sore harinya sudah damai kembali? Sekarang, dua helai surat kesaksian itu berada ditangan mereka. Dengan begitu tak dapat aku membela diri didepan pendekar Srimoyo. Pangeran Adiningrat sudah lama wafat. Kedua abdinya, Bolot dan Ngaeran yang ikut pula menanda tangani surat kesaksian, demikian pula. Juga puterinya yang menjadi pokok persoalan. Puteri ini wafat tatkala melahirkan puteranya yang pertama. Dengan begitu, tiada lagi peganganku. Yang mengherankan mereka berdua berada pula dengan Srimoyo. Kalau begitu laskar Lawupun terancam bahaya. Tegasnya tidak hanya aku seorang yang terancam kematian. Tetapi Laskar Lawu akan mereka musnakan pula."
Mendengar ucapan Songgeng Mintaraga, sekalian muridnya marah bukan kepalang.
Dengan serentak mereka menyatakan hendak bertempur sampai titik darah penghabisan.
Mereka memaki dan mengutuk perbuatan Suramerto dan Mangun Sentono.
Benar-benar dua ekor anjing buduk yang pantas dibinasakan.
"Sabarlah!"
Kata Songgeng Mintaraga mengatasi rasa marah mereka.
"Aku tak mengidzinkan kalian menuruti perasaanmu belaka. Yang penting aku sudah membuka rahasia perbuatan Kuncaraningrat terhadap kalian semua. Artinya aku sudah menginkari janjiku kepada pendekar besar Prangwedemi. Karena itu, kumint a sekalian jangan meniup-niupkan berita kebusukan Kuncaraningrat. Biarlah mereka berbicara apa saja tentang diriku. Tapi aku sendiri jauh lebih senang diperlakukan begitu, dari pada aku menginkari janji. Kalau k ini aku membuka rahasia ini juga, lant aran Laskar Lawu terancam perbuatan terkutuk Suramerto dan Mangun Sentono. Kepada mereka berdualah sasaran kalian yang benar,"
Ia berhenti menghela napas.
"Sekarang, panggil ah kedua adikmu Rara W itri dan Kondang Kasiani"
Dengan wajah murung, sekalian murid keluar kamar.
Dan tak lama kemudian masuklah seorang gadis berumur kurang lebih tujuhbelas tahun dengan seorang pemuda tanggung berumur sebelas atau duabelas tahun.
Merekalah Para W itri dan Kondang Kasian, putera-puteri Songgeng Mintaraga.
"Ayah!"
Jerit Para W itri sambil menubruk pangkuan Songgeng Mintaraga.
Dan gadis itu lantas menangis sedu-sedan.
Songgeng Mintaraga terbungkam mulutnya.
Ia mengusap-usap rambut Para W itri dengan tangan kanannya.
Sedang tangan kirinya memeluk Kondang Kasian yang berdiri didamp ingnya.
"Apakah ibumu sudah siap?"
Para W itri memanggut.
"Bagus,"
Kata Songgeng Mint araga.
"Sekarang, dengarkan pesan ayahmu. Jika adikmu sudah mendekati usia dewasa, hendaklah kau ajari bekerja yang layak. Jadikanlah dia seorang petani atau pedagang. Jangan kau bawa dia memimpikan kedudukan tinggi atau pangkat yang mentereng. Kularang dia mempelajari ilmu kepandaian atau ilmu sakti macam apapun juga. Dengan begitu, hidupnya akan damai dan tenteram."
"T idak, ayah!"
Bantah Para W itri.
"Dia justru harus belajar ilmu kepandaian agar dapat menuntut dendam ayah."
"Kau bilang apa?"
Bentak Songgeng Mint araga. W ajahnya menjadi merah padam. Akan tetapi hanya sedetik dua detik. Setelah itu kembali muram dan penyabar. Katanya dengan suara rendah.
"W itri, dengarkan baik-baik pesan ayahmu ini. Semuanya ini kupesankan kepadamu, agar anak keturunan kita selamat. Sebab didalam pergaulan hidup ini, seringkali terjadi penyakit angkara manusia yang tiada habis-habisnya. Itulah rasa dendam kesumat, iri hati, jelus, cemburu dan dengki. Karena itu, aku menghendaki Kondang Kasian hidup sebagai rakyat jelata, kelak. Lagi pula adikmu tidak memiliki bahan bagus. Seumpama belajar ilmu kepandaianpun tidak akan dapat mencapai setengah kepandaian. Tegasnya dia tidak akan dapat mencapai setengah kepandaianku. Apa yang bisa dilakukan dengan bekal sekerdil itu? Lihatlah ayahmu sendiri in i! Meskipun memiliki kepandaian agak berarti, akhirnya tidak berdaya juga mempertahankan hidup damai sejaht era. Mati itu sendiri, tidaklah begitu mengusik hatiku. Sebab set iap orang hidup, pasti akan mati. Tapi alangkah besar sesalku, bahw a aku tidak diberi kesempatan melihatmu membangun rumah tangga Setelah kepergianku, hendaklah kau menghadap Panglima Sengkan Turunan. Katakan pada beliau, bahw a aku menunjuk muridku Anjar Tahunan sebagai penggantiku. Dan mulai detik ini pula, sekalian murid dan laskarku harus tunduk dan patuh padanya. Mengerti?"
Lingga W isnu heran.
Pikirnya didalam hati.
'Laskar Lawu berjumlah ribuan orang.
Dan Songgeng Mint araga pemimpinnya.
Meskipun Srimoyo memperoleh bantuan pendekar-pendekar kenamaan, dapatkah mereka melawan Laskar Lawu yang berjumlah ribuan orang itu? Mustahil! Kompeni Belanda yang bersenjata senapanpun, tidak berdaya.
Kenapa Songgeng Mint araga bersikap begini lemah menghadapi ancaman Srimoyo? Benar benar aneh! "Apakah aku harus memanggil paman Anjar Tahunan menghadap ayah?"
Para w itri menegas.
"Apakah kau belum jelas menanggapi kata-kataku ini?"
Songgeng Mint araga menyesali.
"Pamanmu itu keras tabiatnya. Dia sedang pulang ke kampung. Bila kau panggil dia untuk menghadap ayahmu dan mengetahui masalahnya, apakah dia akan berpeluk tangan saja melihat diriku terhina begini rupa? Sekali ia bertindak maka pertempuranpun akan terjadi. Berapa banyak jiwa yang akan melayang? Dan aku, tak menghendaki mereka mati demi untukku. Didepan mereka menunggu suatu gerbang yang pantas sekali menuntut tenaga dan jiwa mereka. Itulah gerbang kesejahteraan bangsa. Karena itu, aku hanya menghendaki, agar engkau menghadap panglima Sengkan Turunan membawa pesanku ini. Kemudian umumkan keputusanku ini kepada sekalian murid-muridku. Jadi aku tidak menyuruhmu memanggil Anjar T ahunan menghadapku pada saat ini. Terang?"
Para W itri mengangguk. Sedu sedannya naik. Kemudian dengan membimbing tangan adiknya, ia mundur sampai ke pintu. Berkata mencoba .
"Ayah, apakah tiada jalan lain untuk menghindari ancaman mati ini?"
Hal itu sudah kupikirkan semenjak beberapa hari y ang lalu."
Sahut Songgeng Mintaraga menghela napas.
"Apakah kau kira aku t idak bergirang hati serta bersyukur apabila terhindar dari kematian? Di dalam dunia in i, hanya ada seorang saja yang bisa menolong diriku. Itulah pendekar luar b iasa yang dahulu pernah menolongku dari kepungan orang-orang Parwati. Tetapi kukira pendekar luar biasa itu sudah tiada lagi dalam dunia ini ..."
Mendergar kata-kata Songgeng Mint araga, w ajah Rara W itri berseri dengan tiba-tiba. Ia menghampiri ayahnya dua langkah. Bertanya menegas "Ayah, siapakah orang itu? Siapa tahu, barangkali d ia belum meninggal dunia."
"Bondan Sejiwan, begitulah namanya. Ia di sebut pula dengan julukan Pendekar Kebo Wulung"
Sahut Songgeng Mint araga.
"Dialah yang kusebut pendekar luar biasa. Dia pulalah yang mengetahui masalahku. Ketika duabelas murid Prangwedemi menghadangku di tengah perjalanan, ia mengundurkan mereka seorang diri. Dengan seorang diri pula ia berhadap-hadapan dengan Prangwedemi untuk menjelaskan masalahku. Sekarang Prangwedemi kabarnya sudah wafat. Penggantinya bernama Yudana. Pendekar Kebo Sulungpun mengalami aniaya Wew .P hal 92-93 gak adaaaaaaaaaa !! Para W itri t ertegun keheranan. Ia kagum menyaksikan betapa gesit Lingga Wisnu. Segera ia mengkisiki adiknya agar menunggu dikamar ibunya. Kemudian ia melcmpat pagar tembok itu pula, menyusul Lingga W isnu dan Sekar Prabasini. Ia mengejar beberapa rint asan. Melihat Lingga W isnu dan Sekar Prabasini sudah meninggalkannya sangat jauh, ia menghentikan langkah. Lalu memut ar t ubuh hendak balik kembali T api baru saja ia berpaling, sekonyong-konyong lengannya teraba sesuatu. Tahu-tahu pedangnya telah terampas. Dan Lingga W isnu sudah berada disampingnya. Sudah barang tentu Para W itri terkejut bukan kepalang. Betapa mungkin, seseorang bisa bergerak begitu cepat. Selagi tertegun keheranan, terdengarlah Lingga W isnu berkata meyakinkan .
"Adik, janganlah kau sangsi kepadaku, seumpama aku berniat mencelakaimu, dapat kulakukan dengan mudah sekali. Akulah salah seorang sahabat ayahmu. Maka dengarlah semua perkataanku."
Para W itri menganggut, meskipun hatinya masih berbimbang-bimbang. Lingga W isnu agaknya dapat menebak keadaan hati gadis itu. Berkata meyakinkan lagi .
"Ayahmu terancam bahaya maut. Beranikah engkau menempuh bahaya untuk menolongnya? Sanggupkah engkau?"
"Asal ayah tertolong, aku bersedia hancur lebur,"
Sahut Rara W itri.
"Bagus. Ayahmu sesungguhnya seorang mulia hati. Ayahmu lebih senang mengorbankan diri sendiri dari pada mengorbankan beberapa Jiwa demi persoalannya. Dialah benar-benar seorang pendekar yang jarang terdapat di dunia ini. Karena itu, aku hendak membantunya. Maka dari itu jangan sangsi "
Sekarang Bara W itri tidak sangsi lagi. Pemuda yang berada didepannya itu benar-benar meyakinkan hatinya. Maka ia membungkuk hormat sambil menyatakan rasa terima kasihnya "jangan begitu,"
Lingga W isnu mencegahnya.
"Belum tentu pula aku dapat menolong. Semuanya ini tergantung pada nasib yang baik. Sekarang, bawalah aku ke kamarmu. Dapatkah engkau menyediakan alat tulis?"
Rara W itri terhenyak sejenak.
Tapi melihat Sekar Prabasin i berada didamping pemuda itu, kecurigaannya pudar.
Pikirnya didalam hati.
'D ia membawa seorang teman.
Mustahil ia hendak berbuat tak senonoh terhadapku.
Lagi pula tenaga sambarannya dahsyat luar biasa d iwaktu mencegah gerakanku menyatakan hormat padanya.
Kalau saja dia benar-benar hendak menolong ayah, pastilah mampu.' Dan dengan pertimbangan ini ia bertanya mencari keyakinan .
"Sebenarnya siapakah kakak berdua?"
"W aktu kita sangat sempit. Hayo, kau sediakan saja alat tulis dan kertas. Aku hendak menulis surat kepadanya. Bila ayahmu membaca surat itu, kuharap saja tidak berputus asa lagi jadinya,"
Sahut Lingga Wisnu menyimpang. Rara W itri sudah berada dalam pengaruh pemuda itu, maka berkatalah gadis itu .
"Baiklah. Mari!"
Ia berjalan mendahului. Dan Lingga W isnu berjalan mengikuti dengan didampingi Sekar Prabasini. Berkata .
"Kau ingin mengetahui nama kami berdua, bukan? Biarlah tetap merupakan rahasia dahulu. Bahkan kupinta padamu, agar merahasiakan pula pertemuan kita ini. Kau sanggup?"
Para W itri memanggut.
Ia sekarang mengerti maksud Lingga W isnu.
Dan w ajahnya lantas saja menjadi cerah.
Dengan penuh gairah, ia membawa Lingga W isnu berdua melint asi taman bunga memasuki kamarnya.
Cepat ia menyediakan alat tulis dan kertas.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian duduk berjarak ampat langkah didekat pintu masuk.
Lingga W isnu membubuki kertas yang berada diatas meja.
Ia menulis.
Sekar Prabasini yang berada disampingnya terkejut melihat apa yang ditulisnya, Akan tetapi oleh isyarat mata, ia membungkam.
"Adik,"
Kata Lingga W isnu kepada Rara W itri.
"Esok pagi pergilah kau menemui kami di rumah penginapan Praci, jam sembilan. Kami akan menunggumu."
Rara W itri mengangguk sambil menerima lipatan kertas yang diberikan kepadanya. Kata Lingga W isnu lagi.
"Sampaikan surat ini kepada ayahmu secepat mungkin. Hanya saja kau harus berjanji kepadaku."
"Katakanlah!"
"Hendaklah kau rahasiakan pertemuan kita ini. Bila ayahmu mint a keterangan tentang diriku, jangan kau katakan. Kularang engkau melukiskan perawakanku dan usiaku. Kau mengerti?"
Para W itri heran. Menegas.
"Apabila kau sebutkan kesan diriku, aku tidak akan membantumu lagi."
Lingga W isnu mengesankan. Sebenarnya Rara W itri masih ingin memperoleh penjelasan. Akan tetapi karena melihat Lingga W isnu bersungguh-sungguh, ia terpaksa memanggut. Katanya berjanji .
"Baiklah. Aku berjanji."
Lingga W isnu menarik lengan Sekar Prabasini.
Dengan membawa gadis itu, ia melesat keluar melalu i jendela.
Gesit gerakannya, sehingga untuk kedua kalinya Rara W itri kagum bukan main.
Sebentar kemudian, ia tersentak oleh lipatan kertas yang berada di tangannya.
Cepat ia berlari-larian menuju ke kamar ayahnya.
Hatinya memuku!, tatkala melihat pintu dan jendela kamar ayahnya tertutup rapat.
Dengan menghimpun tenaga ia menggempur jendela sampai terbuka.
Ia melompat kedalam sambil mengacungkan surat.
"Ayah!"
Serunya.
"Lihat!"
Ia melihat ayahnya sedang memegang sebuah cawan. Tahulah dia apa isi caw an itu. Pastilah ayahnya hendak menghabisi jiwanya dengan meminum racun. Karena itu, wajahnya jadi pucat dan suaranya menggeletar tatkala mengulangi seruannya.
"AyahI Lihat surat ...!"
Songgeng Mint araga menurunkan cawannya. Ia menoleh dengan pandang kosong. Dan Para W itri berkata lagi sambil membuka lipatan kertas .
"Ayah, surat. Bacalah dahului"
Songgeng Mintaraga menyadarkan pandang matanya.
Ia melihat lukisan sebuah pedang.
Dengan tiba-tiba saja caw annya terlepas dari tangannya dan hancur berantakan diatas lantai.
Kaget dan heran Rara W itri menyaksikan hal itu.
Kenapa ayahnya sampai kehilangan tenaga pengamatan? Tapi setelah melihat perubahan wajah ayahnya, hatinya bersyukur bukan main.
W ajah ayahnya yang suram, mendadak berubah berseri-seri penuh cahaya gairah hidup.
"Siapa .... siapa yang memberimu surat ini? Siapa ...?"
Songgeng Mint araga menegas dengan suara bergemetar. Dengan kedua tangannya ia meraih surat di t angan Rara W itri.
"Apakah dia datang? Apakah benar-benar ia datang?"
Rara W itri tak dapat menjawab dengan segera.
Ia mendekatkan pelita untuk memperoleh penglihatan lebih jelas.
Kemudian ikut mengamat-amati surat Lingga W isnu.
Sama sekali tiada hurufnya, kecuali luk isan sebatang pedang yang aneh bentuknya.
Pedang itu seperti berlidah Berlidah dua.
Mirip seekor ular yang siap menerkam mangsanya.
Ia tidak mengerti, apa sebab ayahnya kegirangan begitu melihat gambar itu.
Bertanya.
"Gambar pedang. Pedang siapa?"
"Asal dia datang, ayahmu bakal tertolong. Inilah pedang Kebo Wulung Apakah dia datang menemuimu?"
"Dia siapa?"
Rara Witri heran.
"Pemilik pedang ini. Maksudku yang melukis pedang ini,"
Kata Songgeng Mint araga. Sekarang barulah Rara W itri mengerti maksud ayahnya. Ia memanggut seraya menyahut .
"Besok pagi aku disuruh mencarinya disuatu tempat,"
"Dimana?"
"Dirumah penginapan Praci."
"Akh! Apakah dia tidak berkata, bahwa akupun perlu ikut serta?"
"T idak. Dia tidak berkata begitu,"
Jawab Rara W itri. Songgeng Mint araga menarik napas. Tetapi w ajahnya cerah. Katanya setengah berbisik seperti kepada dirinya sendiri .
"Orang gagah luar biasa itu memang aneh perangainya. Kalau dia tidak berkata sesuatu, pasti ada maksudnya. Sebaliknya bila membuka mulutnya, siapapun harus taat dan mendengarkan setiap patah perkataannya dengan sungguh sungguh. Baiklah, kau pergilah esok pagi mencarinya. Akh, sedetik saja kau kasep, ayahmu kini sudah berada ditengah awan ..."
Mendengar ucapan ayahnya, keringat dingin membasahi tengkuk Rara W itri. Maka berkatalah dia dengan hati-hati .
"Sekarang, sebaiknya ayah tidur saja."
Songgeng Mintaraga memanggut.
Ia kini menjadi seorang penurut dengan mendadak.
Dan kabar yang menggirangkan itu sebentar saja telah tersiar luas diant ara murid-murid dan Laskar Lawu.
isteri Songgeng Mint araga girang dan bersyukur bukan kepalang.
Hanya saja ia masih berbimbang-bimbang terhadap pendekar luar b iasa yang hendak datang menolong.
Benarbenarkah dia akan datang esok hari? Tapi melihat kecerahan wajah suaminya, |a percaya bahwa bahaya maut telah teratasi.
Karena itu, ia tak jadi berkemaskemas lagi.
Tatkala itu Lingga W isnu dan Sekar Prabasini sudah jauh meninggalkan rumah Songgeng Mint araga.
Sekar Prabasin i tadi melihat Lingga W isnu menggambar sebatang pedang yang aneh bentuknya, W aktu itu tak berani ia membuka mulut untuk mint a keterangan.
Sekarang tak perlu ia khawatir akan diint ip orang, Maka bertanyalah ia .
"Sebenarnya pedang apakah yang kau lukis tadi?"
"Bukankah engkau telah mendengar tutur kata Songgeng Mintaraga tentang seorang pendekar luar biasa yang memiliki pedang aneh? Itulah pedang Kebo W ulung milik almarhum ayahmu. Dia yakin, bila ayahmu datang pastilah jiwanya bakal tertolong. Dengan melihat bentuk pedang itu, dia akan t eringat ayahmu."
Terharu hati Sekar Prabasini mendengar keterangan Lingga W isnu. Namun ia heran apa sebab Lingga W isnu bermaksud menolong jiwa Songgeng Mint araga. Tanyanya .
"Kau hendak menolong jiwanya. Apakah keuntunganmu?"
"Kulihat Songgeng Mint araga seorang ksatria yang luhur budi,"
Jawab Lingga W isnu.
"Dia kena fitnah dua sahabatnya yang dipercayai. Kalau sampai mati, itulah mati sia-sia belaka. Dapatkah kita menyaksikan dia mati penasaran? Apa lagi ternyata dia adalah sahabat ayahmu."
"Oh, begitu? Kukira kau sud i menolong karena melihat puterinya yang cantik jelita,"
Kata Sekar Prabasini berlega hati "Prabasin i, sebenarnya aku kau golongkan manusia apa sampai kau mempunyai pikiran demikian,"
Lingga W isnu mendongkol.
"Hai, kenapa kau marah, sayang? Siapa pun akan curiga kepadamu. Kau seorang pemuda dan dia seorang gadis cant ik. Kenapa kau suruh mencarimu dipenginapan?"
Tepat kata-kata Sekar Prabasini, sehingga Lingga W isnu tak kuasa menjawab.
Akhirnya mau tak mau ia tertawa geli juga.
Katanya.
'Pandang matamu cupat benar.
Hm, bagaimana aku harus mengobatimu? Baiklah, mari kutunjukkan padamu, apa sebab aku menyuruhnya mencariku dipenginapan"
Sekar Prabasini menggerutu.
Hendak ia membuka mulut nya, akan tetapi Lingga W isnu menyambar tangannya.
Pemuda itu lari pesat mengarah ke timur.
Dan terpaksalah ia lari sekuat-kuatnya untuk bisa menjajari.
Tak lama kemudian, sampailah mereka di gedung kediaman Srimoyo.
Dengan menarik tangan Sekar Prabasin i, Lingga W isnu melcrnpati pagar tembok batu.
Dan dibalik gercmbolan tetanaman, ia membawa gadis itu bersembunyi.
Bisiknya.
"Didalam rumah ini banyak terdapat orang-orang pandai. Karena itu kita harus berhati-hati, Sekali mereka melihat kedatangan kita, akan gagallah rencanaku."
"Baik.."
Sahut Sekar Prabasini memberengut.
"Tapi kau harus berjanji, bahw a tujuanmu menolong Songgeng Mint araga bukannya disebabkan pandang puterinya. Kalau kau menolong orang t ua itu demi Rara W itri, aku akan berteriak teriak biar gagal usahamu."
Lingga W isnu tertawa mendongkol.
Akan tetapi ia percaya.
Sekar Prabasini hanya mengancam dimulut nya saja.
Dan hati-hati ia membawa gadis itu mendekati rumah penginapan.
Tatkala itu suasana sudah sunyi senyap.
Maklumlah, hari hampir mendekati fajar.
W alaupun demikian, perlu ia berhati-hati.
Tiba-tiba ia melihat seorang pelayan lewat melint asi taman bunga.
Cepat ia me lompat dan menyambar mulut nya.
Berkata mengancam .
"Dimana letak kamar para tetamu yang datang menginap disin i?"
Pelayan itu ketakutan melihat pandang mata. Lingga W isnu yang berwibawa. Segera ia memberi keterangan.
"Bukan semuanya yang kumaksudkan,"
Potong Lingga W isnu.
"Tapi dua orang tetamu bernama Suramerto dan Mangun Sentono."
Pelayan itu menuding kearah sebuah kamar yang terletak disebelah barat. Lingga W isnu berterima kasih. Katanya .
"T api maaf. Kau terpaksa kut awan juga di sini. Menjelang pagi hari, engkau akan bebas sendiri tanpa pertolongan."
Setelah berkata demikian, ia memijat salah suatu urat tertentu.
Kemudian memondongnya dan diletakkan dibalik gerombol belukar.
Setelahnya itu dengan hati-hati ia mendekati kamar sebelah barat..
Sudah barang tentu, Sekar Prabasin i tidak sudi ketinggalan.
Tatkala Lingga W isnu membongkar jendela, ia ikut berperihatin.
Hebat cara kerja Lingga W isnu.
Dengan tenaga himpunan saktinya yang sempurna, ia menempelkan tangannya.
Tiba-tiba saja jendela itu terbuka dengan sendirinya.
Kemudian ia melompat masuk.
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sekar Prabasin i melompat masuk pula.
Sebenarnya, gerakan mereka tiada membersitkan suara sedikitpun juga.
Akan tetapi Suromerto dan Mangun Sentono benar-benar tajam telinganya.
Begitu mendengar desir angin, mereka tersentak bangun.
Tetapi begitu bergerak, Lingga W isnu mendahului.
Dan mereka rebah tak berdaya.
Dengan leluasa Lingga W isnu menggeledah isi kamar.
Lemari, laci, bawah bantal dan tempat tidur dibongkarnya.
Pakaian, uang dan senjata diadukaduknya sehingga bertebaran di atas lantai.
Sekar Prabasin i lantas menyalakan lilin dan ia membant u menyuluhi.
Namun apa yana dikehendaki Lingga W isnu belum juga diketemukan.
Tiba-tiba terdengarlah langkah kaki diseberang kamar.
Cepat ia memadamkan lilin.
Dan di dalam gelap, Lingga W isnu terus mengadakan penggeledahan.
Akhirnya, ia menggerayangi saku Suramerto.
Hatinya girang, karena menemukan segumpal kertas.
Terus saja ia memasukkannya didalam sakunya.
Bisiknya kepada Sekar Prabasini .
"Sudah kutemukan."
"Bagus!"
Sahut Sekar Prabasini girang dengan berbisik pula.
"Mari k ita keluar. Di luar kudengar langkah kaki."
"T unggu sebentar."
Kata Lirfgaa W isnu masih dengan berbisik.
Ia lant as menghampiri.
meja.
Dengan mengerahkan himpunan t enaga sakti, ia menulis dengan jari penunjuk.
Pendek bunyinya.
Hormat dan salam dari sahabatmu, Songgeng Mint araga.
Tetapi yang mengagumkan adalah bekas jari penunjuk itu.
Alas meja seperti melesak ke dalam.
Berbareng dengan mereka melompat ke luar jendela, bulan sip it tiada lagi sehingga malam jad i gelap gulita.
Tiba-tiba saja sebatang pedang menyambar dada Lingga W isnu.
Lingga W isnu sama sekali tak gent ar sedikitpun.
Sebat ia menyambar pergelangan tangan penyerangnya.
Di luar dugaan, penyerangnya dapat bergerak dengan cepat pula.
Tahu-tahu ujung pedang menikam ulu hati Lingga W isnu tidak menghiraukan.
Ia mengandalkan pada baju mustika pemberian Ki Ageng Gumbrek yang tak mempan senjata betapa tajampun.
Ia tak t akut akan terluka.
Tangannya terus bergerak mencengkeram lengan.
Sudah barang tentu penyerangnya kaget bukan kepalang.
Benarkah di dunia ini terdapat seseorang yang benar-benar kebal? Selagi dalam keadaan demikian, tahu-tahu lengannya tercengkeram.
Hebat cengkeraman itu.
Maka cepat-cepat ia mengerahkan tenaga hendak membebaskan diri.
Tapi suatu tamparan mengarah mukanya.
Gugup ia melonpat mundur.
Diluar kehendaknya sendiri, pedangnya terairpas.
Oleh rasa kaget dan takut, ia lari dengan jumpalitan dan sebentar saja tubuhnya lenyap dibalik dinding kamar.
Lingga W isnu membiarkan penyerangnya kabur dengan selamat.
Ia tahu siapa dia.
Dialah pendekar pedang Tawon Kemit, adik Anung-anung aliran Sekar Ginabung.
Tawon Kemit pernah malang-melint ang tiada tandingnya semenjak belasan tahun yang lalu.
Pedangnya yang bernama Korowelang, belum pernah terkalahkan.
Sekarang pedang andalannya itu terampas orang dalam satu gebrakan saja.
Keruan saja ia mendongkol bukan kepalang.
Kecuali malu, gentar juga Ayu Sarini mengalami nasib seperti Tawon Kermit pula.
Sewaktu ikut mengintai rumah Songgeng Mint araga, ia kehilangan pedangnya.
Pendekar wanita yang genit itu; hampir saja menangis oleh rasa marah dan penasaran.
Meskipun perampas pedangnya tidak berniat jahat namun perampasan itu sendiri cukup menghinanya.
Malam itu, baik Ayu Sarini maupun Tawon Kemit, tidak sanggup menidurkan diri.
Mereka berdua diamuk berbagai dugaan dan pikiran.
Pendekar dari manakah yang sanggup merampas pedangnya? Hampir-hampir saja mereka tidak mau percaya, bahwa pedang andalan masing-masing sesungguhnya kena terampas.
Sebenarnya Tawon Kemit keluar kamar tanpa tujuan.
Ia berjalan mondar-mandir di halaman mencari angin segar.
Tiba-tiba ia melihat cahaya menyala dalam kamar Suromerto dan Mangun Sentono.
Segera ia menghampiri dan bersembunyi di belakang gerombol tetanaman.
Telinganya yang tajam mendengar suatu kesibukan didalam kamar itu.
Cepat ia menghunus pedangnya.
Inilah pencuri yang bosan hidup, pikirnya didalam hati.
Ia percaya akan dapat merobohkan pencuri itu dalam satu gebrak saja.
Diluar dugaan, ia gagal bahkan pedang Korowelang kena terampas.
Dengan sesungguhnya, Tawon Kemit adalah seorang ahli pedang.
Di dalam aliran Sekar Ginabung, keahliannya tiada yang dapat menandingi.
Bahkan kakaknya seperguruan, Anung-anung, kalah setingkat.
Tak mengherankan, ia disegani lawan dan kawan.
Pedangnya Korowelang, termasuk sebatang pedang pusaka pula.
Belum pernah pedang itu gagal menembus sasarannya.
Tapi malam itu, pedang Korowelang terpental balik.
Apakah bukan hantu? Maka bisa dimengerti, apa sebab ia lari lintang-pukang.
Dan begitu memasuki kamarnya segera ia membangunkan teman-tenannya.
Rase Emas Karya Chin Yung Kedele Maut Karya Khu Lung Pendekar Satu Jurus Karya Gan KL