Ceritasilat Novel Online

Pedang Sakti Tongkat Mustika 16


Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto Bagian 16



Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya dari Herman Pratikto

   

   0odw - kzo0 Dalam pada itu, Lingga W isnu dan Sekar Prabasini cepat-cepat lari mendekati pagar tembok.

   Mereka tak usah takut bakal terlihat, karena sekitar pagar tembok gelap pekat.

   Halaman gedung kediaman Srimoyo luas pula Banyak pohon pohonan yang tumbuh dengan suburnya, sehingga menutupi penglihatan.

   Tapi.t atkala hendak melompati pagar, kaum Sekar Ginabung sudah terbangun.

   Dan kesibukan itu menjalar dari tempat ke tempat.

   Dan terpaksalah Lingga W isnu mengurungkan niatnya.

   "Kita bersembunyi dahulu,"

   Ajak Lingga W isnu.

   Ia tak berani semberono.

   karena gedung Srimoyo penuh dengan pendekar-pendekar berilmu tinggi.

   Maka perlahan-lahan ia membawa Sekar Prabasin i mendekati tembok dan mendekam rendah di atas tanah.

   Prarasa L ingga W isnu memang tajam luar biasa.

   Tibatiba saja diatas genting bermunculan beberapa orang peronda.

   Coba, seumpama tadi tergesa-gesa melompati pagar tembok, mereka akan kepergok dengan perondaperonda yang berada diatas genting sebelah depan.

   "Hai, apakah in i?"

   Tiba-tiba Sekar Prabasini berkata.

   "Coba., rabalah!"

   Gadis itu membawa tangan Lingga W isnu ke tempat yang dikehendaki.

   Mula-mula pemuda itu tak mengerti maksud Sekar Prabasini.

   Tapi setelah meraba beberapa saat lamanya, hatinya mulai tertarik.

   Kaki pagar tembok itu berlumut sangat tebal.

   Tapi aneh! Diantaranya banyak terdapat lubang-lubang ukiran huruf.

   Ia terus meraba dan meraba.

   Sekar Prabasin i mengikut i titik-tolak rabaan Lingga W isnu..

   Ia lantas mengejah.

   Eh, benar benar terbaca, pikirnya didalam hati.

   Dan setelah sekian lamanya meraba, akhirnya membaca.

   NAROTAMA - KIMPURASA.

   "Hai! Bukankah t anda sandi in ilah yang kita cari?"

   Seru Sekar Prabasini berbisik.

   Hampir sepuluh hari lamanya, mereka mencari istana Mahapatih Narot ama.

   Mulai matahari terbit sampai jauh malam.

   Sekarang, tiba-tiba mereka menemukan secara kebetulan sekali Keruan saja, mereka girang dan bersyukur bukan main.

   Narot ama hidup pada zaman Airlangga hendak merebut negerinya.

   Raja itu terusir oleh kekuasaan raja Sriwijaya- Ia memasuk i hut an dan mendaki gunung.

   Dan Narot ama mengikuti dengan setia.

   Dengan tekun ia menyusun laskar perjuangan disekitar W onogiri.

   Ia mendirikan markas gerilya diant ara pegunungan seribu.

   Karena peristiwa itu terjadi pada abad kedua belas, maka tidaklah mengherankan bila gedung markas besarnya lenyap ditelan sejarah.

   Lingga W isnu terpaku oleh rasa g irangnya.

   Tiba-tiba tengkuknya kena hembusan halus hangat.

   Ia menoleh dan melihat Sekar Prabasini tersenyum lebar.

   Ia jadi sadar, meskipun kesadaran itu sendiri belum dikehendaki.

   Gerutunya.

   "Dalam keadaan begini, masih saja kau bergurau ..."

   "Bergurau? Justru tidak!"

   Sekar Prabasini melot ot.

   "Apakah engkau akan membiarkan diri kena tangkap?"

   "Akh, ya."

   Kini Lingga W isnu tersadar benar-benar.

   "Mari k ita pergi!"

   Mereka mendekam beberapa saat lamanya, Setelah yakin tiada lagi peronda diatas genting, cepat mereka melompati pagar tembok dan lari secepat-cepatnya.

   Tepat jam empat pagi, sampailah mereka dirum ah penginapan dengan selamat.

   Tiba di kaomar penginapan, Sekar Prabasin i segera menyalakan lilin.

   Lingga W isnu mengeluarkan gumpalan kertas dari dalam sakunya.

   Kertas itu sudah kuning kotor oleh usianya.

   Setelah diperiksa, ia bergembira.

   Benar-benar dua helai surat yang dikehendaki.

   Yang pertama surat kesaksian Pangeran Adiningrat dengan diperkuat oleh tanda ibu jari Ngaeran dan Bolot.

   Dan yang kedua surat kesaksian Sondong Ucek-ucek, pemimpin gerombolan yang tadinya hendak bekerja sama dengan Kuncaraningrat.

   Tegasnya, itulah dua helai surat kesaksian Songgeng Mint araga yang jatuh di tangan Suramerto dan Mangun Sentono.

   Dengan hilangnya surat itu, Songgeng Mint araga jadi berputus asa.

   Betapa tidak? Karena dia tidak mempunyai pegangan lagi untuk menghadapi kekalapan Srimoyo yang mengundang begitu banyak pendekar-pendekar kenamaan.

   "Kau benar-benar berhasil menolong jiwanya ayah digadis yang cant ik jelita,"

   Seru Sekar Prabasini menyindir.

   "Entah dengan apa gadis itu hendak membalas budimu ..."

   "Gadis siapa?"

   "Iddiiih ... pura-pura lagi. Bukankah Rara Witri?"

   Sekar Prabasin i mendengus. Lingga W isnu tertawa geli. Tak sudi ia melayani sifat Sekar Prabasini yang masih kekanak kanakan. Ia lantas mengalihkan perhatiannya kepada bunyi surat kesaksiannya itu. Katanya setelah membaca surat kesaksian itu .

   "Benar-benar Songgeng Mintaraga tidak berjusta. Apa yang dikatakan benar belaka. Bacalah sendiri! Hm, seumpama dia berjusta sedikit saja tak sudi aku membantunya. Apa keuntungannya bentrok dengan beberapa pendekar angkatan tua dan yang sebaya dengan usiaku. Bahkan diant ara mereka terdapat pula murid-murid kakang Purbaya."

   Sekar Prabasini tertawa. Tertawa geli.

   "Kenapa kau tertawa?"

   Lingga W isnu heran.

   "Bagaimana pendapatmu? Cant ik atau t idak pendekar wanita yang bernama Ayu Sarini?"

   "Akh!"

   Lingga Wisnu te rsadar seperti tersengat semut.

   "Cantiknya si cant ik. Akan tetapi dia kejam. Kesannya seperti iblis. Hm, apa sebab dengan tiba-tiba saja ia mengutungi lengan orang. Seumpama tak teringat kakang Purbaya, pada saat itu aku sudah t urun tangan,"

   Ia berhenti sebentar.

   "Inilah sebabnya pula, aku memanggil Rara W itri kemari agar mencariku. Aku hendak mengikat janji kepadanya. Dia kularang membocorkan beradaku disin i. Sebab diant ara mereka terdapat sesama anggauta aliran Sekar T eratai."

   Setelah berkata demikian, ia memeriksa lagi lembaran kertas lainnya.

   Sekonyong-konyong wajahnya berubah menjadi merah padam.

   Heran Sekar Prabasini melihat perubahan itu.

   Biasanya pemuda itu selalu tenang wajahnya, meskipun hatinya panas dan marah bukan main.

   Apa sebab kali in i t idak demikian? "Surat apa?"

   Tanyanya ingin mengetahui.

   "Bacalah sendiri,"

   Jawab Lingga W isnu.

   Itulah surat tugas rahasia Suramerta dan Mangun Sentana.

   Surat tugas yang ditanda tangani Patih Pringgalaya dan Komandan Kompeni Belanda.

   Surat tugas itu terbagi menjadi tiga bag ian.

   Yang pertama, membunuh Songgeng Mint araga dengan jalan apapun.

   Yang kedua menyusup dan menghancurkan laskar Lawu.

   Ketiga, mempengaruhi dan menghimpun mereka agar mau menjadi hamba-sahaya pemerint ah Kasunanan atau bersedia menjadi kaki-tangan kompeni Belanda.

   Dengan demikian, diharapkan dapat melumpuhkan perjuangan Gusti Said.

   Biaya-biaya untuk tujuan itu disediakan sepenuhnya.

   Akhirnya dijanjikan bahw a Suramerta dan Mangun Sentana akan diangkat menjadi bupati mancanegara, manakala dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik.

   Inilah penghianatan terkutuk! Sekar Prabasini adalah seorang gadis yang semenjak kanak-kanak hidup terasingkan dari percaturan masyarakat.

   Meskipun demikian, membaca surat tugas rahasia itu, nalurinya berontak.

   T iba-tiba saja dadanya serasa hendak meledak oleh rasa marahnya.

   Terus saja, hendak merobek surat rahasia itu.

   Cepat-cepat Lingga W isnu merebutnya.

   Cegahnya .

   "Jangan! Kenapa kau begini sembrono? Kalau sampai terobek, kita tak mempunyai bukti penghianatannya lagi."

   "Akh, ya."

   Sekar Prabasini tersadar.

   "Hampir saja aku merusak pekerjaan besar. Tapi kenapa Suramerta dan Mangun Sentana membawa-bawa surat tugas ini? Bukankah surat ini dapat mencelakan dirinya?"

   "Maksudnya untuk mempengaruhi Srimoyo dan pendekar-pendekar lainnya. Tegasnya, peristiwa Srimoyo-Songgeng Mint araga, hanyalah suatu dalih belaka. Yang penting, inilah suatu kesempatan untuk bisa mengumpulkan para pendekar dari segala penjuru."

   Jawab Lingga W isnu.

   "Bila mereka sudah berada dalam genggamannya, adalah mudah sekali untuk menghancurkan laskar Lawu."

   "T adinya aku hanya hendak menolong paman Songgeng Mintaraga karena tertarik keluhuran budinya. Setelah itu, aku t ak mau tahu menahu lagi persoalannya. Tak tahunya, terseliplah suatu latar belakang persoalan yang maha besar. Sekarang telah menjadi keputusanku. Jangan lagi akan bentrok dengan kakang Purbaya. Meskipun aku terpaksa berlawan-lawanan dengan pendekar-pendekar dari segenap t anah air, tak akan-aku mundur setapak. Untuk bangsa dan tanah air, aku bersedia mengorbankan jiwaku,"

   Kata Lingga W isnu dengan penuh semangat. Bukan main kagum Sekar Prabasini terhadap pemuda ini. Katanya membantu .

   "Memang benar keputusanrnu. Andaikata kakak seperguruanmu itu mengadu kepada gurumu, aku percaya, gurumu akan memihak kepadamu. Apalagi gurumu adalah sahabat panglima Sengkan Turunan. Kakang Lingga, kalau begitu perkenankan aku mint a maaf kepadamu."

   "Kau salah apa kepadaku?"

   "Karena aku selalu menggoda dan menyindirmu yang bukan-bukan."

   Jawab Sekar Prabasini. Lingga W isnu tertawa. Katanya mengalihkan pembicaraan .

   "Sudahlah. Kau perlu istirahat kini. Biarlah aku memikirkan daya upaya seorang diri, bagaimana caraku menghadapi kawanan penghianat itu."

   Kali ini Sekar Prabasin i tidak membant ah.

   Ia menjadi jinak dan penurut.

   Segera ia memasuki kamarnya dan sebentar lagi tiada terdengar suaranya.

   Tatkala ia terbangun pada keesokan harinya, matahari sudah sepenggalah tingginya.

   Ia melihat Lingga W isnu duduk bersemedi di atas pembaringan.

   W ajah pemuda itu nampak cerah.

   Ia tak mau mengganggunya.

   Setelah membersihkan badan, ia menyediakan makan pagi dan minuman hangat.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kira-kira pukul sembilan, Lingga W isnu turun dari pembaringan.

   Ia gembira karena merasa dirinya memperoleh kemajuan.

   Jalan darahnya t erasa lancar dan sempurna.

   Segera ia mandi, dan berganti pakaian.

   Melihat makan pag i telah tersedia diatas mejanya, hatinya bersyukur.

   Terasa suatu kemanisan meresap didalam perasaannya Tatkala tangannya hendak meraih gelas, tiba-tiba saja Sekar Prabasini muncul diambang pintu sambil tertawa manis.

   Kata gadis itu .

   "Kyahi, apakah sudah selesai bersembahyang?"

   "Sudah, nyai. Apakah nyai sudah segar kernbali?"

   Lingga W isnu membalas menggoda dengan tertawa.

   "Sudah, kyahi. Akupun sudah berganti pakaian pula,"

   Ujar Sekar Prabasin i.

   "Apakah aku benar-benar mirip seorang pemuda?"

   "Seorang pemuda yang terlalu cakap,"

   Jawab Lingga W isnu dengan wajah merah, Sekar Prabasini d iam-d iam menyesali pertanyaannya sendiri.

   W ajahnya terasa panas.

   Akan tetapi hatinya senang Entah apa sebabnya.

   Mereka berdua lantas bersantap berbareng tanpa berkata sepatah kata lagi.

   Masing masing seperti lagi berusaha menyembunyikan perasaan hatinya.

   Belum selesai mereka bersantap, datanglah seorang pelayan mengantarkan seorang gadis.

   Dialah Para W itri yang segera membungkuk hormat begitu melihat Lingga W isnu dan Sekar Prabasini.

   Lingga W isnu buru-buru membalas hormat.

   Sedang Sekar Prabasini lantas saja memegang tangannya dan diajaknya duduk berdamping.

   Rara W itri tak mengetahui bahw a pemuda yang mengajaknya duduk berdamping, sebenarnya seorang gadis seperti dirinya.

   Keruan saja ia malu dan segan bukan main.

   Akan tetapi tak berani ia membangkang, mengingat mereka berdualah nant i yang hendak menolong menyelamatkan jiwa ayahnya.

   "Benarkah namamu Rara W itri?"

   Sekar Prabasini menegas.

   "Benar,"

   Jawab Rara W itri dengan wajah berobah merah'.

   "Dan kakang sendiri?"

   Sekar Prabasini membuang pandang sambil tertawa lebar. Katanya mengarah kepada Lingga W isnu.

   "Kau tanyalah padanya. Sudah beberapa hari ini d ia sangat galak kepadaku. Aku dilarangnya memperkenalkan nama sendiri."

   Rara W itri mengira Sekar Prabasin i sedang bergurau dengan kawannya.

   Maka tak berani ia mendesak.

   Katanya mengalihkan pembicaraan "Kakang berdua hendak menolong menyelamatkan jiwa ayahku.

   Bukan main besar budi ini untukku.

   Meskipun tubuhku hancur lebur, rasanya kurang termadai sebagai penebus."

   "Ayahmu seorang pendekar yang luhur budi"

   Sahut Lingga W isnu.

   "Sudah seharusnya kami berdua berbuat sesuatu untuk ayahmu. Tak usahlah kau pikirkan sebagai suatu jasa yang berlebih-lebihan. Bukankah ayahmu sebentar sore hendak menyelenggarakan pesta perjamuan?"

   "Benar. Akan tetapi pesan ayah, semuanya terserah kepada kakang berdua."

   Jawab Para W itri.

   "Begitukah pesan ayahmu? Kalau begitu sampaikan pesanku, agar ayahmu melanjutkan maksudnya untuk menyelenggarakan pesta perjamuan itu. Kami berdua mempunyai dua bungkus sebagai hadiah ... atau katakan sebagai barang sumbangan. Hendaklah dua bungkus ini dibukanya dihadapan para tetamu, manakala suasana sudah menjadi genting. Kurasa, akan bagus hasilnya. Karena kedua bungkus ini berisikan benda sangat berharga, maka-jagalah jangan sampai kena hadang orang!"

   Para W itri menerima kedua bungkus perberian Lingga W isnu dengan hormat.

   Heran, ia mengamat-amati bentuk dua bungkusan yang diterimanya itu.

   Yang pertama berbentuk panjang dari berat .

   Mirip sebatang senjata.

   Sedang yang kedua, kecil dan ringan.

   Tapi tak berani ia mint a keterangan.

   Setelah menghaturkan rasa terima kasih, segera ia mengundurkan diri.

   "Mari kita ikut i dia. Kita lindungi dia dengan diamdiam,"

   Ajak Lingga W isnu.

   "Kita harus menjaganya agar tak terampas kembali oleh pemiliknya.

   "

   Sekar Prabasini mengangguk.

   Dan demikianlah, setelah pintu dan jendela kamar tertutup kuat-kuat, mereka segera terangkat.

   Sanpai di ruang tengah, t ibatiba mereka melihat Rara W itri masih berada di ruangan depan.

   Entah apa sebabnya, gadis itu tidak segera pulang.

   Maka cepat mereka berdua bersembunyi dibalik dinding lalu mengint ai.

   Terdengar Para W itri berkata kepada pengurus penginapan "Panggil ah pemilik rumah penginapan.

   Majikanmu, maksudku.

   Katakan padanya, Umbul-umbul Kyahi Tambur turun dari celah kepundan Lawu.

   Dan dia pasti akan segera datang kemari"

   Heran Lingga W isnu memandang Sekar Prabasini Katanya berbisik mengulangi .

   "Dia berkata apa?"

   Sekar Prabasini adalah seorang gadis yang mempunyai pengalaman luas dalam perant auan. Segera ia menyahut.

   "Itulah kata-kata sandi. Masakan kau tak tahu?"

   Pengurus rumah penginapan tadi bersikap angkuh.

   Iatidak begitu mengacuhkan terhadap seorang gadis seusia anaknya.

   Tapi begitu mendengar kata-kata gadis itu, berubahlah sikapnya.

   Gugup ia membungkuk hormat sambil mengiakan beruntun.

   Kemudian cepat-cepat melint asi pekarangan, dan memasuki sebuah rumah yang berada di seberang rumah penginapan.

   Tak usah menunggu lama, datanglah ia kembali mengantarkan majikannya menghadap Rara W itri.

   "nDorojeng memanggil kami? Paduka hendak memberi titah apa kepada hambamu?"

   "Aku Rara W itri, putri Songgeng Mint araga,"

   Jawab Rara W itri.

   "Pergilah engkau ke markas besar laskar Lawu. Katakan kepada penjaga markas, bahw a aku memerlukan tenaga beberapa orang."

   Berubah wajah pemilik rumah penginapan begitu mendengar gadis itu menyebutkan namanya.

   Sama sekali tak dikiranya bahw a gadis yang berada dihadapannya adalah putri Songgeng Mint araga.

   Kaget ia, sampai hatinya tergetar.

   Segera ia membungkuk hormat dua kali.

   Kemudian memberi perint ah dua pelayannya agar menyediakan seekor kuda balap.

   Begitu kuda balapnya siap, ia melompat keatas punggung kuda dan membedalnya bagaikan terbang.

   Heran dan kagum Lingga W isnu menyaksikan peristiwa itu.

   Sama sekali tak diduganya, bahw a pengaruh Songgeng Mint araga sangat besar.

   Pikirnya di dalam hati .

   'Kalau begitu, tak perlu aku melindunginya lagi.' Benar saja.

   Tak lama kemudian datanglah duapuluh laskar bersenjata lengkap.

   Mereka diant ar oleh pemilik rumah penginapan menghadap Rara W itri.

   Dan melihat kedatangan mereka, maka Lingga W isnu segera kembali ke kamarnya.

   Katanya kepada Sekar Prabasini .

   "Siapa mengira, begini besar pengaruh paman Songgeng Mint araga. Kalau begitu, benarlah ucapan muridnya. Bila saja paman Songgeng Mint araga mau, dengan sepatah katanya seluruh laskar Lawu siap dibelakangnya. Kalau sampai terjadi demikian, betapa Srimoyo mampu menuntut balas dendam. Bahkan dia dan kawan-kawannyalah yang terancam kemusnaan."

   "Lalu, apa yang hendak kau lakukan sekarang?"

   Sekar Prabasin i mint a ketegasan.

   "T idur. Bukankah engkau semalam kurang tidur pula? Sebentar sore kita dapat hadir dalam keadaan segar bugar."

   Benar-benar mereka memasuki kamarnya masing masing, sementara Rara W itri pulang dengan membawa bungkusan pemberian Lingga W isnu.

   Dua puluh orang anggauta Laskar Lawu mengawalnya dengan rapat dan berwaspada.

   Menyaksikan hal itu baik Lingga W isnu maupun Sekar Prabasini puas.

   Dengan hati lapang, mereka merebahkan diri diatas pembaringannya.

   Dan tak lama kemudian mereka tertidur lelap.

   0o0-dw-0o0 Sore hari itu tiba dengan diam-diam.

   Sebelum mandi, Lingga W isnu bersemadi dahulu diatas pembaringan.

   Jalan darahnya terasa lancar, pernapasannya lega dan untuk kesekian kalinya selalu saja ia merasa memperoleh kemajuan.

   Rasa segar bugar menyelimut i hatinya, sehingga ruang benaknya menjadi jernih.

   Terus saja ia melompat turun dari pembaringan.

   Dan tiba-tiba saja Sekar Prabasini telah berada didekatnya.

   "Baru saja aku membelikan seperangkat pakaian untukmu."

   Katanya..

   "Bukankah kita perlu mengenakan pakaian agak mentereng sebagai tetamu undangan? Mungkin pula, kita berdua akan merupakan tetamu yang istimewa sebentar malam."

   Lingga W isnu te rtawa.

   Meskipun ia tidak menghendaki menjadi t etamu yang istimewa namun pakaian itu sendiri tiada celanya untuk dikenakan.

   Demikianlah, setelah mandi benar-benar ia mengenakan pakaian yang disediakan Sekar Prabasin i.

   Pandai benar Sekar Prabasini mengukur bentuk dan perawakan tubuhnya, sehingga enak dikenakan.

   Ia jadi kagum dan terharu oleh kecermatannya.

   "Kita makan dahulu. Kemudian berangkat."

   Katanya.

   Sekar Prabasin i tidak menolak.

   Dan seperti tadi pagi, mereka berdua berbareng makan.

   Sebenarnya jenis makan siang itu, tidaklah mewah.

   Akan tetapi karena makan siang itu baru dimakannya setelah sehari tiba, mereka berdua jadi bernapsu oleh rasa lapar dan dahaga.

   Sebentar saja semua makanan dan minuman ikut tersapu bersih pula.

   Tatkala mereka memasuki serambi rumah Songgeng Mint araga, semua tetamu undangan sudah lengkap.

   Srimoyo, Tawon Kemit, Genggong Basuki Ayu Sarini,.

   Suramerto, Mangun Sentono dan lain-lainnya duduk dimeja pertama.

   Mereka mendapat perlayanan istimewa dari t uan rumah sendiri.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kesan perjamuan jauh berlainan dengan pesta perjamuan yang diselenggarakan Srimoyo.

   Semuanya serba teratur dan sopan.

   Maklumlah; tuan rumah atau Songgeng Mint araga adalah seorang pemimpin laskar.

   Persediaan makan minum serba lengkap.

   Dan anak buahnya biasa terlatih cekatan, sopan dan pandai bergaul.

   Maka suasananya terasa cerah serta meyakinkan.

   Tatkala lampu-larrpu mulai d inyalakan, serambi depan rumah itu berubah layak sebuah istana raja kecil.

   "Saudara-saudara, silahkan minum!"

   Kata Songgeng Mint araga dengan hormat. Srimoyo berdiri mengangkat tempat minumnya. Tibatiba saja, ia membant ingnya diatas lantai hingga hancur berantakan. Lalu berteriak dengan bengis .

   "Songgeng Mintaraga! Enak saja kau memper-silahkan kami meneguk minumanmu. Apakau kau bermaksud menyuap kami ? Masakan harga jiwa kau samakan dengan segala minuman dan makanan in i? Disin i telah berkumpul beberapa belas pendekar kenamaan. Bicaralah didepan mereka, bagaimana cara kita menyelesaikan masalah hutang jiwa ini. Bicaralah yang jelas! Jangan lagi perkara makan minum dan segala tetek-bengek!"

   Itulah suatu serangan tiba-tiba yang t ak terduga sama sekali.

   Meskipun Songgeng Mint araga tahu, bahwa perjamuan itu akhirnya akan menjadi tegang, namun ucapan Srimoyo yang garang itu membuat mulutnya terbungkam.

   Gagak Pengasih, murid Songgeng Mint araga tak senang melihat gurunya terdorong kepojpk.

   Terus saja ia berdiri t egak dan berteriak mewakili gurunya .

   "Saudara Srimoyo! Benar-benar engkau manusia yang tak mengenal t ata-sant un. Kita lagi makan minum. Sama sekali belum sampai pada acara kata-kata. Apa sebab engkau lantas saja membuka mulut begitu besar? Apakah pekertimu itu tidak akan merosot kan derajat kaum pendekar lainnya? Lagipula, dengarkanlah baikbaik bagaimana peristiwa kakakmu te rjadi. Kakakmu mati karena perbuatannya yang keji. Dengan licik ia hendak mengadakan pembunuhan, semata-mata tergiur paras cant ik belaka. Guruku ..."

   Sekonyong-konyong terasa ada segumpal angin menyambar.

   Cepat-cepat Gagak Pengasih menundukkan kepalanya.

   Ia melihat sesuatu yang berkerepan diatas pandang matanya.

   Tatkala menoleh, di lihatnya tiga batang paku berbulu tertancap pada dinding dalam.

   Ia kaget dan gusar.

   Lingga W isnu pun demikian pula.

   Sebab segera ia mengenal siapakah pembidiknya.

   Itulah paku Cundamanik, senjata bidik kaum Sekar Teratai.

   Siapa lagi kalau bukan milik Ayu Sarin i, Nawawi atau Genggong Basuki.

   "Bagus benar!"

   Teriak Gagak Pengasih sambil menghunus goloknnya.

   "W ajahmu memang cantik. Kabarnya kau kaum Sekar Teratai. Kenapa begini keji? Kau pulalah yang menguntungi lengan kanan adikkuseperguruan. Benar-benar perempuan bangsat!"

   Dengan menghunus goleknya, Gagak Pengasih hendak melompat maju menghampiri Ayu Sarini. Tapi Songgeng Mint araga buru-buru mencegahnya Katanya mengalah .

   "Jangan! Aku tak mengidzinkan kau berbuat begitu!"

   Setelah berkata demikian, ia menoleh kepada Ayu Sarini. Berkata lagi dengan suara hormat.

   "Neng, kau murid aliran Sekar Teratai. Kenapa perangaimu tiada beda dengan muridku?"

   Halus ucapan Songgeng Mint araga, akan tetapi tajamnya tiada beda dengan suatu tikaman pedang. Keruan saja Srimoyo tidak rela membiarkan tetamu undangannya kena hina. Tiba-tiba saja ia menyerang dengan sambitan dua batang pisau, sambil memaki .

   "Bangsat! Enak saja kau mengumbar mulut !"

   Songgeng Mint araga sama sekali, tak gugup kena serangan tiba-tiba. Dengan tenang, ia menyambut dua batang pisau itu dengan jepitan dua jarinya. Kemudian meletakkan kedua pisau itu diatas meja dengan sabar sekali. Katanya.

   "Kenapa saudara Srimoyo sangat marah kepadaku? Kista masih cukup mempunyai waktu untuk berbicara sambil makan minum. Perbuatan yang tergesa-gesa seringkali t ak ada faedahnya.."

   Srimoyo kaget menyaksikan kepandaian Songgeng Mint araga.

   Pikirnya, pant aslah kakang Kuncaraningrat mati ditangannya.

   Akan tetapi ia tak gent ar.

   Selagi hentimembuka mulut, Tawon Kemit yang berada dekat Songgeng Mintaraga melompat.

   Pendekar itu menyambar lengan kanan Songgeng Mint araga.

   Teriaknya .

   "Saudara Mint araga! Kau hebat! Ingin aku menjabat tanganmu ..."

   Songgeng Mint araga yang berpengalaman, dapat menebak maksud lawan.

   Apabila membiarkan lenganya kena sambar, tulang sendinya akan patah.

   Maka cepat luar b iasa ia mengelak sambil melompat mundur.

   Itulah gerakan yang sama sekali tak terduga.

   Maksud Tawon Kemit hendak menjangkau.

   Tapi yang kena tersambar tangannya ada lah sebuah kursi.

   Kena gempuran tenaga saktinya, kursi itu patah berantakan.

   Mau tak mau Songgeng Mint araga sibuk juga menyaksikan tetamunya begitu galak.

   Kawan-kawan Srimoyo dengan serentak mencabut senjatanya masingmasing.

   Murid-muridnya dan beberapa sahabatnya demikian pula.

   Ia khawatir pertempuran akan segera terjadi, sedangkan pendekar Bondan Sejiwan yang diharapkan belum tiba.

   Ia percaya, pendekar luar biasa itu pasti dapat melerai perselisihan itu.

   Dengan demikian, tidak akan terjadi korban sia-sia.

   Oleh pikiran itu, ia mengerlingkan mata kepada Rara W itri dengan pandang penuh pertanyaan.

   Rara W itri mengerti maksud ayahnya.

   Ia jadi sibuk pula.

   Dua bungkusan yang diperolehnya dari Lingga W isnu dipeluknya dengan erat-erat.

   Diluar kehendaknya sendiri, ia mengharapkan terjadinya suatu keajaiban yang membersit dari dua bungkusan itu.

   Keajaiban apa, ia tak tahu sendiri.

   Tadi pagi Lingga W isnu berpesan kepadanya, bahwa dua bungkusan itu baru boleh dibukanya, apabila suasana berubah menjadi tegang.

   Hal itu telah dikatakan pula kepada ayahnya.

   Karena itu, sikapnya kini hanya menunggu perint ah ayahnya.

   Tibatiba pada saat itu ia melihat ayahnya memberi isyarat mata.

   Terus saja ia bangkit sambil membuka dua bungkusan pemberian Lingga W isnu.

   Ternyata bungkusan itu adalah yang pertama berisikan dua batang pedang.

   Dan segera ia meletakkan dua batang pedang itu diatas meja.

   Songgeng Mint araga heran melihat dua batang pedang itu.

   Tak dapat ia menangkap maksud Bondan Sejiwan.

   Pikirannya jadi sibuk menebak-nebak.

   Sebaliknya, dipihak Srimoyo terjadi suatu kesibukan.

   Tawon Kemit dan Ayu Sarini yang segera mengenal pedangnya masing-masing malu bukan kepalang.

   Mereka sampai berseru tertahan.

   Ayu Sarini adalah seorang pendekar wanita yang mudah sekali tersinggung.

   Terus saja ia menyambar pedangnya.

   Kemudian menantang .

   "Kalau engkau memang seorang pendekar, marilah kita bertempur mengadu kepandaian dengan berhadaphadapan. Bukan mencuri seperti bangsat kesiangan. Hayo, siapa yang berani mengadu pedang denganku?"

   Songgeng Mint araga tergugu.

   Benar-benar ia tak mengerti liku-likunya.

   Dengan pandang mint a keterangan, ia menatap w ajah puterinya.

   Sebaliknya Ayu Sarini tidak mau mengerti.

   Sekali bergerak, pedangnya menusuk dada.

   Mint araga mundur selangkah samb il menjeblak.

   Setelah seorang muridnya datang mengantarkan sebatang golek.

   Ia menerima goleknya itu, akan tetapi sama sekali tak membalas.

   Dan diperlakukan demikian, Ayu Sarini merasa dirinya direndahkan.

   Terus saja ia menusuk pundak kiri.

   Songgeng Mint araga mengeluh.

   Mau t ak mau ia harus menangkis.

   Dengan suatu tabasan pendek, tiba-tiba goleknya berbelok dan menyapu dari samping diluar kehendaknya sendiri.

   Itulah ancaman bahaya bagi Ayu Sarini.

   Kalau dia berani menangkis, pedangnya pasti tergempur runtuh..

   Alangkah ia akan malu.

   Tetapi ia salah seorang murid pendekar Purbaya.

   Cepat luar biasa, ia mengendakan diri.

   Dan pada detik itu pula, pedangnya menikam perut mengadakan pembalasan.

   Songgeng Mint araga terkejut.

   Inilah serangan balasan yang hebat.

   W alaupun ia sudah kenyang makan garam, namun serangan itu sendiri diluar perhitungannya.

   Tak sempat lagi ia mengadakan pembelaan.

   Satu-satunya jalan hanya melompat.

   Maka dengan mengerahkan tenaga, kakinya menjejak lantai..

   Tubuhnya lantas terbang tinggi melint asi kepala Ayu Sarini.

   Ia berhasil menyelamatkan perutnya.

   Sekalipun demikian, celananya kena terebek juga.

   Untung hanya sebesar ujung pedang..

   "Benar-benar berbahaya ..."

   Pikirnya didalam hati.

   Ia menabaskan goloknya beberapa kali untuk berjaga-jaga.

   Siapa tahu, Ayu Sarini menyusuli serangan baru.

   kemudian turun di atas lantai dengan memutar tubuhnya.

   Indah dan ringan gerakkannya.

   Sebenarnya, tepat dugaan Songgeng Mintaraga.

   Ayu Sarini benar-benar menyusuli serangan baru.

   Kemudian ia kena pegat dua orang murid Songgeng Mint araga.

   Terus saja pendekar wanita itu gusar bukan kepalang.

   Dengan bengis ia menikam, menusuk dan membabat.

   Akan tetapi dua murid Songgeng Mint araga bukan makanan empuk baginya.

   Apalagi mereka berdua dendam terhadapnya, karena Pramana terkutung lengannya akibat pedangnya.

   W alaupun ilmu kepandaian mereka kalah tinggi, akan tetapi betapapun tak mudah diundurkan.

   Pada saat itu, sempat Songgeng Mint araga memperhatikan Rara W itri.

   Gadis itu sedang membuka bungkusan yang kedua.

   Ia heran tatkala melihat dua helai kelompok kertas.

   "Ayah, apakah ini?"

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Melihat kertas itu, Songgeng Mintaraga girang bukan kepalang. Itulah warna kertas yang dikenalnya seperti warna tangannya sendiri. Terus saja ia menyambar kertas itu. Kemudian berteriak-teriak .

   "T ahan. Tahan! Aku hendak berbicara dahulu ..."

   Mendengar teriakan gurunya, kedua muridnya yang sedang mengkerubut Ayu Sarini menunda gerakan senjatanya.

   Mereka mundur dengan berbareng.

   Sebaliknya, Ayu Sarini yang penasaran tidak menghiraukan seruan penundaan.

   Melihat dua pengeroyoknya mundur, segera ia melayangkan kakinya.

   Duk! Salah seorang murid Songgeng Mint araga kena dupak.

   Dan murid itu terjungkal dengan melontakkan darah.

   "Bangsat! Perempuan tak punya malu!"

   Maki rekannya.

   Ayu Sarini tidak menggubris.

   Hatinya terlalu mendongkol, mengingat pedangnya kena terampas lawan semalam.

   Itukah suatu penghinaan besar baginya.

   Rasa penasaran dan mendongkolnya dialamatkan kepada Songgeng Mint araga.

   Selagi memperoleh kesempatan, gerakan pedangnya kena dirint angi mereka berdua.

   Keruan saja ia menjadi jengkel.

   Mereka berdua harus mendapat hajaran yang setimpal.

   Demikianlah ia berhasil mendupak salah seorang diant ara mereka, sewaktu bergerak mundur oleh seruan gurunya.

   Songgeng Mint araga tahu, perlakuan Ayu Sarini terhadap muridnya adalah keterlaluan.

   Tetapi sedapat mungkin ia menguasai diri.

   Dialihkan pandangnya kepada rombongan Srimoyo.

   Berseru .

   "Saudara-saudara, tolong! Dengarkan permohonanku ini."

   Pada waktu itu suasana tegang sekali.

   Kedua belah pihak seakan-akan tidak sudi lagi lagi suara ketiga.

   Karena itu.

   Songgeng Mint araga harus mengulangi seruannya beberapa kali.

   Baru, setelah ia menggunakan himpunan tenaga saktinya, suasana dapat di tindihnya.

   Dan berkatalah ia lagi .

   "Saudara Srimoyo! Dengan ini perkenankan diriku menyatakan rasa sesalku karena dahulu aku membunuh kakakmu. Percayalah, aku benar-benar menyesal. Nah, saudara-saudara sekalian dan sahabat-sahabatku dari segenap penjuru, kuakui bahwa pendekar Kuncaraningrat kakak saudara Srimoyo benar-benar mati oleh tanganku ini ..."

   Mendengar perkataan Songgeng Mintaraga, maka suasana pesta perjamuan menjadi sunyi senyap dan tibatiba Srimoyo meledak.

   "Bagus! Jadi engkau telah mengakui.. Karena engkau berhutang jiwa, maka wajiblah engkau membayarnya dengan jiwa pula!"

   "Benar! Benar! Hut ang jiwa harus d ibayar dengan jiwa!"

   Seru beberapa teman-temannya. Dan makin lama makin riuh sehingga suasana pesta perjamuan kembali jadi berisik.

   "Sahabat-sahabatku, sabarlah barang sebentar!"

   Songgeng Mint araga mencoba mengatasi.. Kemudian sambil memperlihatkan dua helai surat yang sudah kekuning-kuningan, ia berseru nyaring .

   "Lihatlah! Aku membawa dua helai kertas yang sudah tua. Inilah surat kesaksian. Sudikah diant ara sahabatsahabat membaca surat kesaksian in i? Setelah itu, adililah diriku! Bila aku diharuskan tetap membayar jiwa, segera aku akan bunuh diri. Percayalah, meskipun aku bukan seorang pendekar, tidak akan kusesali perbuatan bunuh diri in i sampai diakhirat."

   Keterangan Songgeng Mint araga tentang dua helai surat itu membuat mereka heran dan ingin tahu. Surat apa itu? Masing-masing lantas memberi tafsiran dan dugaan. Dan untuk kesekian kalinya suasana pesta perjamuan menjadi berisik.

   "Bagaimana kalau aku saja yang menunjuk?"

   Songgeng Mintaraga mint a pertimbangan.

   "Atau biarlah saudara Srimoyo menunjuk tiga orang untuk membaca surat ini."

   Srimoyo tidak tahu menahu tentang surat kesaksian itu.

   Apakah tuan rumah hendak mengulur waktu? Meskipun denikian dan betapapun juga, t idak akan luput dari tangannya.

   Biarlah ia memberi kesempatan untuk menunda kenatiannya.

   Maka berkatalah ia dengan lega hati .

   "Baiklah. Sekarang atau nanti, engkau harus membayar jiwamu juga. Aku akan memenuhi permint aan terakhirmu. Kakang Genggong Basuki, kakang Sastra Demung dan saudara Kayat Pece! Sudikah saudara bertiga mengabulkan permohonannya? Coba, bacalah bunyi surat itu dengan berbareng. Kami semua ingin mendengarnya."

   Selagi Genggong Basuki bertiga-bangkit dari kursinya, Suramerta dan Mangun Sentana saling berbisik dengan wajah pucat-lesi.

   Mereka berdua segera mengenal surat kesaksian Songgeng Mint araga yang semalam kena rampas orang.

   Mereka lantas saja merasa diri terjepit dipojok.

   Tak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan, mirip persakitan menunggu keputusan hakim.

   Sastra Demung yang mula-mula membaca, lalu berkata kepada Srimoyo.

   "Menurut pendapatku, lebih baik kita sudahi saja permusuhan ini. Kamu berdua mulai saat in i justru harus bersahabat."

   Sastra Demang adalah ut usan pihak Ugrasawa.

   Ilma kepandaiannya sudah mencapai tataran kesempurnaan.

   Usianya hampir sebaya dengan Songgeng Mint araga.

   Kecuali rohaniahnya sudah matang, kepandaiannya disegani orang.

   Itulah sebabnya, mereka sonua tercengang mendengar ucapannya.

   Beberapa orang yang duduk dikursi set engah bangkit, sibuk menduga-duga..

   Sebenarnya surat kesaksian apakah yang membuat Sastra Demung tiba-tiba berubah pendiriannya? Srimoyo heran berbareng penasaran.

   Ia sendiri lant as maju untuk membaca dua lembar surat itu.

   Membaca bunyi surat pengakuan kakaknya, ia masih bersangi.

   Sebab dia mungkin bisa d ipaksa.

   Akan tetapi begitu membaca surat kesaksian Pangeran Adiningrat, hatinya terpukul.

   Perasaan malu, kecew a dan bingung berkecamuk dalam dadanya.

   Ia jadi tertegun dengan resah.

   Tiba-tiba Genggong Basuki yang ikut membaca dari belakang punggung Sastra Demung berteriak .

   "Palsu! Siapapun dapat membuat surat semacam ini. Saudara-saudara, jangan sampai kena di kelabui manusia terkutuk ini! Dan set elah berkata demikian, tiba-tiba ia menyambar dua helai surat kesaksian itu dan dirobeknya berkeping-keping. Bukan kepalang terkejutnya Songgeng Mint araga melihat kedua surat kesaksiannya kena terobek tangan Genggong Basuki. Pada saat itu gelaplah pandang matanya. Maklumlah, kedua surat kesaksian itu merupakan senjata satu-satunya untuk mengatasi f itnah. Dengan terobeknya surat kesaksian itu, tiada lagi ia mempunyai pegangan. Serentak ia menekam hulu goloknya erat-erat dan berteriak bengis .

   "Genggong Basuki! Kau datang kemari membawa nama rumah perguruanmu. Kenapa kau merobek surat seseorang yang bukan milikmu sendiri? Benar benar kau manusia tak beradab."

   "T ak beradab?"

   Genggong Basuki tertawa terkekehkekeh.

   "Sebenarnya aku atau engkau yang pant as disebut manusia tak beradab? Terang-terangan, kau telah membunuh kakak rekan Srimoyo. Lalu kau mengada-ada dengan membuat surat kesaksian palsu. Coba bilang, apakah kau tidak malu pada diri sendiri? Surat kesaksian semacam ini, siapapun dapat membuat. Andaikata aku mengeram satu hari saja didalam kamar, aku bisa membuat puluhan lembar yang sama rupa dan sama bentuknya. Apakah kau kira, aku t ak dapat meniru bentuk huruf-hurufnya?"

   Tatkala membaca surat kesaksian, baik Sastra Demung maupun Kaya Pece tersadar bahw a Srimoyolah yang terburu napsu dalam masalah balas dendam itu.

   Akan tetapi setelah mendengar ucapan Genggong Basuki yang masuk akal, mereka jadi berbimbang-bimbang.

   Apakah dua helai surat kesaksian itu benar-benar asli atau palsu? Adalah sulit sekali untuk membuktikannya palsu dan tidaknya.

   Maka mereka berdua mendadak terbungkam mulutnya, sehingga tertegun-tegun kehilangan pegangan.

   Seketika itu juga, suasana serambi depan rumah Songgeng Mint araga sunyi senyap.

   Rasa tegang menggerayangi perasaan set iap orang.

   Dan Rara W itri yang mengharapkan terjadinya suatu keajaiban, menjadi putus asa.

   Ia tahu, dalam kekalahannya, ayahnya akan nekat atau melakukan bunuh diri.

   "Ayahi"

   Jeritnya putus asa.

   Gagak Pengasih semenjak tadi menahan diri.

   Sekarang menyaksikan gurunya dihina demikian rupa, meluaplah darahnya.

   Terus saja ia menabaskan goloknya kepada Genggong Basuki.

   Hebat dan dahsyat serangannya.

   Tetapi Genggong Basuki pun bukan sembarang pendekar pula.

   Tiba-tiba saja tangan dan pedangnya berkelebat.

   Tahu-tahu golok Gagak Pengasih terlempar dan jatuh bergemelontangan di atas lantai.

   Dan ujung pedang Genggong Basuki mengancam tenggorokannya.

   "Hm, kau ingin menccba-coba ilmu pedang Sekar Teratai. Jangan bermimpi!"

   Bentak Genggong Basuki.

   "Sekarang bertekuk lututlah. Kalau tidak, terpaksa Kau harus membayar lelucon ini dengan jiwamuI"

   Menyaksikan Gagak Pengasih terancam jiwanya, rekan-rekannya tentu saja tidak berpeluk tangan saja.

   Dengan serentak, mereka menghunus senjatanya masing-masing.

   Kemudian menyerbu berbareng.

   Serbuan murid-murid Songgeng Mint araga itu seolaholah aba-aba bagi pihak Srimoyo.

   Mereka pun dengan serentak menyongsong gegap gempita.

   Dan pertempuran kacau segera terjadi.

   Kursi dan meja pesta perjamuan hancur berserakan.

   Piring dan gelas terpental berhamburan, sehingga terdengar berisik sekali.

   Gagak Pengasih terus mundur sampai beberapa langkah.

   Ia mencoba membebaskan diri.

   Akan tetapi ujung pedang Genggong Basuki terus menempel tenggorokan seakan-akan tak sudi terenggang serambutpun.

   "Eh! Kau jangan bermimpi yang bukan bukartl"

   Ejek Genggong Basuki.

   "Kuhitung sampai tiga. Kalau kau masih membandel, tenggorokanmu bakal tertikam."

   "Kau tikamlah aku!"

   Teriak Gagak Pengasih.

   "Kau kira murid Songgeng Mint araga takut mati? Manusia boleh mati, tapi tak boleh kau hina. Hayo, bunuhlah aku!"

   Panas hati Genggong Basuki. Iapun tak sudi kalah gertak. Tapi selagi hendak menusukkan pedangnya, ia melihat Songgeng Mint araga melompat ditengah-tengah gelanggang sambil berteriak.

   "Semua mundur! Biarlah aku yang bertanggung jawab!"

   Setelah berkata demikian, ia mengancamkan goloknya ke lehernya sendiri. Berseru kepada murid-muridnya .

   "Kalian mundurlah! Aku t idak menghendaki kalian ikut serta mengorbankan jiwa. Masalah balas dendam ini adalah masalahku sendiri. Karena aku berhutang jiwa, biarlah aku sendiri yang membayarnya. Nah, mundurlah!"

   Sekalian muridnya patuh padanya.

   W alaupun hatinya pedih, namun mereka mundur juga.

   Seketika itu juga, ruang serambi depan menjadi sunyi tegang.

   Mereka tahu, gurunya sudah mengambil keputusan karena sudah merasa t erdorong kepojok.

   Memang, Songgeng Mint araga sudah putus asa.

   Tadinya ia mengharapkan dapat mengatasi ketegangan setelah memperlihatkan dua helai surat kesaksiannya.

   Ternyata harapannya gagal, karena Genggong Basuki merobek-robeknya hingga hancur berkeping-keping.

   Ia masih bisa mengendalikan diri.

   Siapa tahu, pendekar Bondan Sejiwan akan muncul oleh peristiwa.

   Sebab, bukankah dua helai surat kesaksian itu dialah yang mengembalikan? Dengan terobeknya surat kesaksian itu; pastilah dia tersinggung kehormatannya.

   Ia tahu Bondan Sejiwan aneh wataknya.

   Setiap patah katanya harus didengar siapapun.

   Siapa yang berani mencoba-coba membangkang, pasti terenggut jiwanya.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tapi nyatanya, sampai pertempuran kacau itu terjadi, pendekar luar b iasa dan aneh itu tidak muncul juga.

   Karena itu demi membatasi terjadinya korban yang siasia, ia memutuskan untuk mengakhiri persoalan.

   Tibatiba selagi ia hendak menggorok lehernya sendir^ terdengarlah suara Rara W itri .

   "Ayah! Bukankah ayah menyimpan surat itu? perlihatkan kepada mereka! Dia pasti datang!"

   Untuk membuat lega puterinya, Songgeng Mint araga merogo sakunya dengan kepala kosong..

   Ia mengeluarkan sehelai kertas berisikan yang berisikan sebuah lukisan sebatang pedang aneh.

   Itulah surat Lingga W isnu.

   Kemudian diperlihatkan kepada hadirin.

   Didalam hatinya, sama sekali ia tak mengharapkan sesuatu.

   Hal itu dilakukan semata-mata untuk membuat puterinya senang dan berlega.

   Lalu berseru nyaring .

   "T uanku Bondan Sejiwan! Kau datang terlambat! T api sama sekali aku tidak menyesalimu. Semuanya ini harus terjadi, karena nasibku yang buruk!"

   Tentu saja hadirin tidak mengerti apa hubungannya lukisan pedang aneh itu dengan disebutnya nama pendekar Bondan Sejiwan.

   Mereka hanya tercengang sejenak.

   Dan selint asan mencoba menebak-nebak apa maksud pendekar tua itu.Tiba-tiba mereka t erkejut oleh suatu perubahan yang membuat hatinya t ergetar.

   Golok yang hampir saja menabas leher, sekonyong-konyong terpental dan runtuk bergenrontangan.

   Dan pada saat itu, berdirilah seorang pemuda cakap disamping Songgeng Mint araga.

   dialah Lingga W isnu yang tak lama kemudian disusul Sekar Prabasin i yang mengenakan pakaian laki-laki.

   Sebenarnya Lingga W isnupun mengharap akan terjadi, suatu perubahan, setelah pihak Srimoyo melihat dua helai surat kesaksian.

   Lalu, persengketaan itu akan dapat diatasi.

   Dengan demikian, tak usah ia muncul.

   Diluar dugaan, Genggong Basuki yang justru mengacaukan harapannya.

   Genggong Basuki anggauta alirannya sendiri.

   Ia mendongkol.

   Dan mau tak mau terpaksa muncul juga, karena melihat Songgeng Mint araga benarbenar hendak melakukan bunuh diri.

   Tepat t atkala golok hampir menyentuh tenggorokan, ia menyentil Cunduk Trisula, senjata bidik w arisan Bondan Sejiwan.

   Kemudian melesat ketengah gelanggang setelah memberi isyarat mata kepada Sekar Prabasini.

   Selagi hadirin tercengang-cengang oleh kehadirannya, ia berkata sambil menunjuk Sekar Prabasini .

   "T uanku Bondan Sejiwan berhalangan datang. Kami berdualah yang diutus menghadiri pertemuan ini. Dialah putera tuanku Bondan Sejiwan. Dan aku saudara mudanya."

   Sengaja ia tak memperkenalkan diri sebagai murid Bondan Sejiwan, karena banyak diant ara pihak Srimoyo berumur sebaya dengan ayahnya sendiri.

   Dengan begitu dapatlah ia berbicara sama tinggi dengan mereka, apabila menyebut diri sebagai adik Bondan Sejiwan.

   Bukankah Bondan Sejiwan seangkatan dengan guru-guru mereka? Bahkan menurut tutur-kata Songgeng Mint araga, Bondan Sejiwan dapat berbioat ra bebas dengan Prangwedemi, ketua aliran Parwati.

   Beberapa orang baik d iantara pihak Srimoyo maupun Scnggeng Mint araga, pernah mendengar sepak-terjang Bondan Sejiwan yang aneh dan luar biasa.

   Tetapi merekapun pernah mendengar kabar, bahwa pendekar itu akhirnya kena aniaya.

   Dan mati dengan penasaran.

   Sekarang tiba-tiba ia muncul dalam percaturan hidup lagi dengan mengirimkan kedua wakilnya.

   Apakah berita kematiannya tidak benar? Rara W itri menghampiri ayahnya.

   Berkata secara berbisik .

   "Ayah, dialah yang datang menemuiku."

   Songgeng Mint araga tertegun-tegun.

   Melihat usia Lingga W isnu, ia jadi berbimbang bimbang.

   Ia kecew a dan geli.

   Dapatkah ia mempertaruhkan kepercayaannya kepadanya? Apakah yang dapat di lakukan oleh seorang bocah dalam menghadapi masalah yang pelik ini? Ayu Sarini yang berdarah panas, lantas saja membentak i "Hai! Siapakah kau Siapa yang menyuruh kau kemari?"

   Sakit hati Lingga W isnu kena tegur Ayu Sarini, karena pendekar wanita itu justru salah seorang anggauta rumah perguruannya.

   Di dalam hati ia berkata .

   'Meskipun usiamu lebih tua dari padaku, namun kau harus menyebut diriku paman.

   Bukankah kau murid kakang Purbaya? Baik, tunggulah sebentar.

   Apabila aku sudah memperkenalkan diri, apakah kau masih bersikap kurangajar terhadapku ...' Kemudian berkatalah dia dengan tenang .

   "Aku bernama Lingga. Kakang Bondan sejiwan lah yang memberi perint ah padaku, agar aku datang kemari. Sayang, karena terhenti oleh suatu soal di tengah jalan, aku datang agak terlambat. Saudara Songgeng Mint araga, maafkan kelambatanku ini."

   Ayu Sarini baru berumur sekitar dua puluh lima tahun. Karena itu; belum mengenal siapakah pendekar Bondan Sejiwan. Iapun bertabiat tinggi hati dan bengis sepak terjangnya. Maka kembali lagi ia membentak .

   "Bondan Sejiwan siapa? Didepan para pendekar janganlah kau bergurau. Enyahlah, sebelum aku bertindak. Apakah kau.kira aku bisa kau gertak dengan nama putera Majapahit segala?"

   Bondan Sejiwan memang sebuah nama yang terkenal diant ara tutur-kata rakyat sebagai putera Majapahit.

   Dia seorang ksatria yang tersisihkan dan berperangai aneh luar biasa.

   Dan rupanya ayah Sekar Prabasini sengaja memilih nama itu untuk menyebut diri sendiri seolaholah hendak menyatakan kepada set iap orang, bahwa dirinyapun tersisihkan oleh masyarakat seperti Bondan Sejiwan dizaman Majapahit.

   Lingga W isnu masih dapat menyabarkan diri terhadap ketajaman lidah Ayu Sarin i, meskipun hatinya kian mendongkol.

   Sebaliknya Sekar Prabasini merasa tersinggung kehormatannya, karena Bondan Sejiwan adalah ayah-kandungnya.

   Dasar ia bertabiat panas pula, maka tanpa memikirkan akibatnya ia membalas mengejek .

   "Kau sendiri menyematkan nama Ayu Sarini. Apakah kau benar-benar ayu? Huh"

   Dan tiap wanita akan terbakar hatinya, begitu mendengar ejekan demikian.

   Begitu pulalah hati Ayu Sarini.

   Betapa tidak? Karena soal kecant ikan mengambil tempat sebagian besar dalam lubuk hati set iap wanita.

   Itulah modal kehormatan yang pokok.

   Modal naluri hati seorang wanita.

   Maka seketika itu juga, mendidihlah darah pendekar wanita itu.

   Seperti iblis ia melompat sambil menusukkan pedangnya dengan tipu muslihat jurus ciptaan Kyahi Sambang Dalan yang dahsyat dan berbahaya luar biasa.

   Sebagai murid Kyahi Sambang Dalan, sudah barang tentu Lingga W isnu kenal jurus itu.

   Dahulu, gurunya selalu mengesankan bahwa jurus itu tidak boleh dipergunakan dengan sembarangan saja.

   Kecuali apabila sangat terpaksa.

   Sebab jurus itu mengancam maut.

   Dan susah sekali dielakkan.

   Sekarang, hanya soal selisih katakata saja, Ayu Sarini sudah menggunakannya.

   Lingga W isnu tak tahu, bahwa menyinggung soal kecantikan adalah tabu bagi set iap wanita.

   W anita yang kena hina demikian, bersedia mati dan bila berontak akan mempertaruhkan segenap jiwanya.

   Karena itu, betapa Sekar Prabasin i dapat mengelakkan jurus yang luar biasa tersebut.

   Meskipun andaikata dengan tiba-tiba kepandaiannya naik sepuluh kali lipat, masih belum t entu dapat mengelak tanpa menderita luka.

   "Akh, benar-benar jahat perenpuan ini,"

   Pikir Lingga W isnu didalam hati. Kenapa menyerang seseorang yang bukan musuhnya dengan jurus itu? Dan kali ini Lingga W isnu tak dapat lagi bersabar diri "Kau terlalu,"

   Katanya.

   Terus saja ia mengangkat kakinya dengan ilmu warisan Bondan Sejiwan.

   Dan tibatiba saja ujung pedang Ayu Sarini sudah kena diinjaknya.

   Semua hadirin heran dan tercengang menyaksikan kegesitan pemuda itu.

   Dengan jurus apakah dia berhasil menindih serangan Ayu Sarini yang berbahaya itu? Songgeng Mint araga pun kagum bukan main.

   Dia sendiri tidak sanggup berbuat demikian.

   Tentu saja yang paling terkejut dan penasaran adalah Ayu Sarini sendiri.

   Dengan jurus itu entah sudah berapa kali ia membunuh musuhnya.

   Selama itu, belum pernah ia gagal, meskipun kepandaian musuhnya berada diatasnya, Tapi kali in i kenapa tiba-tiba macet? Kenapa dengan sekali gerak saja Lingga W isnu dapat menginjakujung pedangnya? Dengan mengerahkan tenaga, ia mencoba menarik pedangnya.

   Akan tetapi usahanya siasia belaka.

   Pada saat itu, t angan kiri L ingga W isnu justru menyambar mukanya.

   Tak dapat ia menghindar dengan membuang mukanya saja, karena lengan Lingga W isnu dapat menjangkaunya dengan leluasa.

   Maka terpaksalah ia melepaskan pedangnya dengan melompat mundur.

   Dengan demikian, dua kali sudah pedangnya kena rampas lawan! Lingga W isnu benar-benar mendongkol.

   Ia sambar pedang itu.

   Dan dengan kedua t angannya, mematahkan menjadi beberapa bagian.

   Kemudian dilemparkan kelantai bergemelontangan.

   Setelah itu ia menyapu hadirin dengan pandang matanya yang berkilat-kilat.

   Genggong Basuki dan Nawawi adalah dua kakak seperguruan Ayu Sarini.

   Dengan mata kepalanya sendiri, mereka menyaksikan betapa adik seperguruannya itu kalah dalam segebrakan saja.

   Keruan saja mereka marah, karena pamor rumah perguruannya terbawa runtuh oleh kekalahan itu.

   Seketika itu juga Nawawi hendak melompat ke gelanggang.

   Akan tetapi Genggong Basuki yang berpengalaman mencegahnya.

   Bisiknya .

   "T unggu. Semenjak tadi, dia belum berbicara. Biarlah dia menerangkan maksud kedatangannya. Setelah itu kita bertindak."

   Benar dugaan Genggong Basuki. Lingga W isnu lantas membuka mulutnya. Kata pemuda itu ;

   "Kakak pendekar Srimoyo dahulu, adalah seorang ksatrya yang tercela tabiat dan perangainya. Karena itu, terpaksalah Songgeng Mint araga membunuhnya. Hal itu demi menjaga martabat dan kehormatan golongan ksatrya lainnya. Peristiwa itu, diketahui dengan jelas sekali o leh kakakku seperguruan Bondan Sejiwan. Kecuali itu Pangeran Adiningrat dan Sondong Ucek-ucek menulis surat kesaksiannya pula. Kemudian kakang Bondan Sejiwan membawa rekan Songgeng Mintaraga menghadap pendekar Prangwedemi, ketua aliran Parwati untuk menjelaskan persoalannya yang benar. Dan semenjak itu, persoalan atau persengkataan itu disudahi. Dua helai surat itulah, merupakan surat kesaksiannya. Bukan surat palsu seperti yang dituduhkan tuan Genggong Basuki. Bukankah yang merobek-robek kedua helai surat itu bernama Genggong Basuki?"

   Demikian kata Lingga W isnu sambil menuding kearah Genggong Basuki.

   Puas dan tergetar hati Songgeng Mint araga mendengar kata-kata Lingga W isnu.

   Sekarang ia percaya, bahwa pemuda itu benar-benar utusan pendekar Bondan Sejiwan.

   Kalau bukan utusannya, betapa mungkin mengetahui peristiwa persengkataan itu dengan jelas? Tanpa merasa, ia menekap pergelangan tangan Rara W itri erat-erat.

   Genggong Basuki tertawa melalui dadanya.

   Dengan suara menggertak, ia berkata .

   "Aku berkata. itulah surat kesaksian palsu. Dan sekali aku berkata demikian, akan tetap berlaku sepanjang zaman. Itulah hasil tipu daya Songgeng Mintaraga yang lic ik unt uk mengelabui kita semua. Apakah keberatannya apabila aku robek-robek berhamburan?"

   Lingga W isnu menatap keponakan muridnya itu. Menyahut dengan tersenyum .

   "T atkala kami berdua hendak berangkat ke mari, kakang Bondan Sejiwan telah membaca surat itu dihadapan kami berdua. Tadi, saudara Sastra Demung dan Kaya telah manbacanya. Aku kira mereka berdua masih ingat bunyi surat kesaksian itu. Nah, biarlah putra kakang Bondan Sejiwan ini, membacanya di luar kepala."

   Setelah berkata demikian, Lingga W isnu membungkuk hormat kepada Sastra Demung dan Kayat Pece. Dengan maksud mengangkat mereka berdua sebagai saksi. Kemudian berkata kepada pendekar Srimoyo .

   "Saudara Srimoyo, maafkan kami. Terpaksa aku membuka rahasia almarhum kakakmu, di depan umum."

   "Kakakku adalah seorang pendekar berhati bersih. Rahasia apakah yang hendak kau beberkan didepan kami? S ilahkan!"

   Sahut Srimoyo dengan membusungkan dadanya. Lingga W isnu bersenyum. Ia menoleh kepada pendekar Sastra Demung dan Kayat Pece untuk mint a idzin. Kata mereka berdua hampir berbareng .

   "Silahkan. Barangkali ot ak kami tidak terlalu tumpul., sehingga gampang sekali lupa mengingat-ingat bunyi surat kesaksian itu."

   Lingga W isnu menyatakan terima kasih.

   Kemudian berpaling kepada Sekar Prabasin i.

   Kemarin malam, teringatlah dia betapa gadis itu berkali-kali membaca bunyi surat kesaksian.

   Mengingat otak Sekar Prabasini tajam luar biasa, pastilah dia hafal akan bunyi katakatanya di luar kepala.

   Ia bersyukur dan mantap setelah melihat wajah Sekar Prabasini yang membalas pandangnya dengan yakin.

   "Kau masih ingat bunyi surat kesaksian itu tatkala ayahmu membaca didepan kita, bukan?"

   Sekar Prabasini mengangguk; Terus saja ia membaca bunyi surat kesaksian itu diluar kepala dengan lancar.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Selagi membaca, hatinya memuji dirinya sendiri.

   Coba, andaikata ia tak usilan membaca berulangkali dan menghafalkan bunyi surat kesaksian itu, pastilah akan menanggung malu dihadapan hadirin.

   Diam-d iam ia mengerling kepada Lingga W isnu.

   Pemuda itu nampak puas sekali.

   Dan menyaksikan hal itu, mendadak saja sifat keperempuannya timbul diluar kehendaknya sendiri.

   Ia lantas membaca dengan suara, merdu, halus dan jelas seolah-olah sedang menyanyikan lagu cinta kasih.

   Hebat adalah kesan Srimoyo.

   Ia melihat pendekar Sastra Demung dan Kayat Pece tertegun keheranan.

   Akhirnya memanggut-manggut kecil membenarkan.

   Hadirin lantas berbicara kasak-kusuk mengadili sepakterjang dan perangai Kuncaraningrat.

   Keruan saja Srimoyo jadi malu bukan main.

   Belum selesai Sekar Prabasin i membaca, lantas saja ia memekik .

   "Berhenti! Bocah, sebenarnya siapakah engkau?"

   Belum sartpat Sekar Prabasini menjawab, atau Genggong Basuki sudah menyambung .

   "Saudara Srimoyo dan kawan-kawan sekalian. Bocah ini pasti salah seorang anak buah sibangsat Songgeng Mint araga. Sekiranya bukan, pastilah pula salah seorang sahabat undangannya. Siapa tahu, diant ara mereka sudah memperbincangkan kemungkinankemungkinannya? Jauh sebelumnya, bocah itu nampaknya sudah bersedia-sedia."

   Srimoyo tersadar oleh kata-kata Genggong Basuki. Lalu berseru sambil menentang mata kepada Lingga W isnu berdua "Akh, ya! Kau bilang, bahwa Bondan Sejiwan yang menyuruhmu datang kenari. Bagaimana akan kau buktikan, benar tidaknya terhadap kami?"

   "Sebenarnya, apa yang kau kehendaki, agar kau percaya?"

   Lingga W isnu mendongkol. Srimoyo menghunus pedangnya yang panjang dan dibolangbalingkan didepan matanya. Katanya menantang.

   "Aku sendiri belum pernah bertemu dengan pendekar yang menamakan diri Bondan Sejiwan. Tetapi menurut kabar Bondan Sejiwan berkepandaian sangat t inggi. Huh, betapa aku bisa percaya begitu saja sebelum menyaksikannya sendiri? Karena kau berdua menyatakan diri sebagai adik seperguruan dan putranya, kalau begitu kamu berdua pasti sudah mewarisi ilmu kepandaiannya dan kini, ccba tangkislah pedangku. Bila dapat menangkis pedangku, barulah aku mau percaya."

   Srimoyo memandang enteng Lingga W isnu, mengingat usia pemuda itu jauh berada dibawahnya.

   Juga terhadap Sekar Prabasini yang menyatakan diri sebagai putra Bondan Sejiwan.

   Taruh kata, mereka benar-benar telah mewarisi kepandaian Bondan Sejiwan, masa latihannya pun terlalu pen dek.

   Mustahil mereka berdua sudah berlatih semenjak dalam kandungan.

   Sebab sesuatu ilmu kepandaian baru mencapai taraf kesempurnaan apabila sipewaris sudah memiliki masa latihan paling tidak tiga puluh tahun lamanya.

   Maka ia yakin, akan dapat merobohkan mereka berdua dalam beberapa gebrakan saja.

   Dengan demikian, ia akan dapat meyakinkan kawan-kawannya bahw a dua helai surat kesaksian itu memang palsu.

   Pada saat itu Lingga W isnu duduk di atas kursi, begitu mendengar t antangan Srimoyo, ia meneguk minumannya beberapa kali.

   Kemudian memasukkan sepotong daging ke dalam mulut nya.

   Lalu berkata sambil mengunyah ;

   "Untuk melawan pedangmu, kurasa t idak perlu sampai menggunakan warisan kakang Bondan Sejiwan. Kau telah dipegnainkan dan diperalat seseorang. Namun tidak menyadari juga. Sungguh sayang sekali ..."

   "Siapa yang memperalat aku? Siapa yang mempermainkan aku?"

   Teriak Srimoyo dengan mendongkol.

   "Hai, bocah. Benar-benar kau t ak tahu diri. Kau enyahlah sebelum aku menghajarmu benar benar."

   Lingga W isnu tetap saja bersikap acuh tak acuh. Dengan meram-melek ia mengunyah daging gorengnya. Sambil menelan, ia menyahut dengan tenang meyakinkan .

   "Sebentar lagi aku akan membuktikan betapa engkau kena diperalat oleh hamba-sahaya mata-mata musuh. Sekarang biarlah aku membicarakan ilmu pedang Parwati menurut tutur-kata kakakku Bondan Sejiwan. Memang ilmu pedang Parwati hebat tak terkatakan. Tapi hm - "

   "Siapa kesudian mendengarkan ocehanmul"

   Potong Srimoyo panas hati.

   "Baiklah. Tapi selamanya aku tak mau menggerakkan pedangku sebelum merundingkan pertaruhannya ."

   "Pertaruhan apa yang kau kehendaki?"

   "Bila kau kalah, hendaklah kau menyudahi persengkataanmu dengan rekan Songgeng Mint araga dan kalau kau setuju, nah berkatalah dengan suara nyaring dihadapan para pendekar kenamaan yang kau bawa hadir disini."

   Kata Lingga W isnu.

   "Itulah pasti!"

   Teriak Srimoyo dengan suara penuh.

   "Biarlah mereka semua menyaksikan! Sebaliknya, bagaimana kalau kau tak dapat melawan pedangku?"

   "Kalau kalah, segera aku akan membungkuk hormat beberapa kali di hadapanmu. Kemudian aku tak mau campur tangan lagi masalah in i."

   Sahut Lingga W isnu sambil terus mengunyah sisa gumpalan daging goreng yang menyumbat sebagian mulutnya.

   "Baik!"

   Seru Srimoyo.

   "Nah, majulah. Jangan hanya mengumbar mulut yang bukan-bukan."

   Berkata demikian, Srimoyo memutar pedangnya sehingga memperdengarkan suara berdesing-desing.

   Tak usah dikatakan lagi, bahw a hatinya sangat sengit dan sengaja hendak mempertontonkan himpunan tenaga saktinya.

   Didalam hat inya ia berpikir .

   'Jikalau aku tidak memberi tanda mata kepadanya, pastilah engkau akan memandang rendah t erhadap i]mu pedang Parwati.

   Hmm.

   Jangan engkau berteriak mengiang-ngiang seperti babi apabila ujung pedangku menikam tubuhmu.' Tetapi Lingga W isnu masih tetap duduk bercokol di atas kursinya.

   Berkata seperti kepada salah seorang sahabatnya.

   "Kakang Bondan Sejiwan pernah membicarakan ilmu pedang aliran Parwati. Sebenarnya hebat juga. Hanya sayang ilmu pedang Parwati hanya merupakan sepertiga ilmu pedang Resi Romaharsana pada zaman Majapahit. Bukankah ilmu pedang kebanggaan Parwati bernama Sapt a Prahara? Berpesanlah kakang Bondan Sejiwan kepadaku. Bila Srimoyo tetap membandel sehingga pertempuran tak dapat dicegah lagi, aku harus memperhatikan ilmu pedang kebanggaannya itu. Tata muslihat gerakan pedang dan lainnya, tak usah kau perhatikan. Lalu aku diajari beberapa tipu-tipu pukulannya untuk memunahkan. Kau tak percaya? Biarlah nant i kubuktikan."

   Selagi berkata demikian, tiba-tiba berkelebatlah sesosok bayangan. Berkatalah bayangan itu .

   "Baik. Ingin aku menyaksikan, bagaimana cara Bondan Sejiwan memunahkan jurus Sapta Prahara."

   Dia ternyata seorang laki-laki berumur lima puluh tahun. Dengan sebilah pedang terus saja ia menikam Lingga W isnu yang masih tetap bercokol diatas tempat duduknya Dengan sebat, Lingga W isnu melompat ketengah gelanggang sambil berkata .

   "Sabar, tuan. Sebenarnya siapa tuan? Tanpa memperkenalkan nama lantas menyerangku?"

   "Iblis laknat! Kau ingin tahu namaku? Akulah Amir Hamzah. Murid aliran Parwati angkatan ketigapuluh dua. Akulah kakak seperguruan Srimoyo."

   "Bagus!"

   Seru Lingga W isnu.

   "Dahulu kakang Bondan Sejiwan pernah bertemu berhadap hadapan dengan pendekar Prangwedemi. ketua aliran Parwati. Dia berkesempatan membicarakan tentang jurus-jurus ilmu pedang Sapta Prahara yang kabarnya tiada tandingnya dijagad ini. W aktu itu kakang Bondan Sejiwan hanya tertawa saja. Tak mau ia membantah atau mencelanya, mengingat kedatangannya adalah semata-mata untuk mendamaikan persengkataan rekan Songgeng Mint araga dengan adikmu. Sungguh berbahagia. Kita berdua adalah muridmurid mereka berdua yang dahulu memperbincangkan. pedang Sapta Prahara. Kau murid Prangwedani, dan aku pewaris ilmu ke pandaian k akang Bondan Sejiwan. Malam ini, kita berdua bisa mencoba-coba dan membuktikan benar tidaknya ucapan kakang Bondan Sejiwan terhadap gurumu."

   Amir Hamzah seperti malas membuka mulut nya. Ia hanya berkata pendek .

   "Kalau begitu, kau tahu bahwa ilmu pedang Sapta Prahara harus dilakukan oleh dua orang?"

   Setelah berkata denikian, ia memberi isyarat mata kepada Srimoyo.

   Kemudian dengan sengit mereka berdua- menyerang berbareng.

   Gesit luar b iasa Lingga W isnu mengelakkan serangan mereka.

   Belum sempat ia menghunus pedangnya, mereka berdua sudah merangsak lagi.

   Sekar Prabasini tidak mengenal corak ilmu pedang Sapta Prahara yang memang harus dilakukan oleh dua orang berbareng.

   Ia memandang pertempuran.

   itu berat sebelah.

   Maka berserulah dia.

   "T ahan! Kakang Lingga tadi bersedia bertempur seorang lawan seorang. Kenapa kamu berdua main kerubut?"

   Amir Hamzah melot otkan matanya, dibentak.

   "Kalau begitu, kau memalsu nama Bondan Sejiwan. Kau mengaku sebagai anaknya. Apakah ayah mu tidak pernah berkata kepadamu, bahwa ilmu pedang Sapta Prahara harus d ilakukan oleh dua orang? Sebenarnya, ayahmu tahu atau t idak t entang int i ragam ilmu pedang Sapt a Prahara? Atau engkau hanya manusia jahanam yang mengaku sebagai anaknya?"

   Merah wajah Sekar Prabasini d idamprat demikian.

   Memang, ilmu pedang yang harus dilakukan oleh dua orang, baru untuk pertama kali itu didengarnya.

   Untunglah, Lingga W isnu berpengetahuan luas.

   Ia pernah membaca buku warisan pendekar Bondan Sejiwan.

   Maka berkatalah pemuda itu .

   "Saudara Amir Hamzah dan Srimoyo, ilmu pedang Sapt a Prahara berdasar kepada himpunan tenaga kosong dan berisi. Karena itu harus dilakukan oleh dua orang. Tetapi, siapa yang telah mahir himpunan tenaga saktinya, bisa melakukan dengan seorang diri. Karena itu, seruan putera kakang Bondang Sejiwan sebenarnya tidak terlalu salah. Dia mengira, himpunan tenaga sakti kalian berdua sudah sempurna. Sehingga masing-masing dapat menggunakan ilmu pedang Sapta Prahara seorang diri saja."

   Itulah jawaban Lingga W isnu yang sama sekali tidak terduga oleh Amir Hamzah dan Srimoyo berdua.

   Didalam hati mereka berkata .

   'T idak pernah guru memberi penjelasan bahwa jurus ilmu pedang Sapta Prahara Sesungguhnya dapat dilakukan oleh seorang saja.

   Apakah bocah ini sengaja ngoceh tak keruan?' Memang dugaan mereka berdua terhadap Lingga W isnu itu setengah benar.

   Buku warisan Bondan Sejiwan menyebutkan pula bahwa tata jurus ilmu pedang Sapta Prahara harus dilakukan oleh dua orang.

   Kalau Lingga W isnu tadi bisa memberi alasan, sesungguhnya terdorong semata mata untuk menutupi ketololan Sekar Prabasin i.

   Sebaliknya, melihat Amir Hamzah dan Srimoyo berbimbang hati-gadis itu mendapat angin.

   Ketenangan dan kepercayaannya kepada diri sendiri timbul kembali.

   Dengan membusungkan dada, maka kembali ia berkata "Karena pertempuran harus kalian lakukan dengan berdua, maka syarat t aruhannya harus berlipat pula."

   "Kau hendak bertaruh apa?"

   Damprat Amir Hamzah mendongkol.

   "Aku tak sudi berbicara dengan tampangmu", Sekar Prabasin i membalas darnpratannya.

   "Prakarsa persengkataan ini adalah Srimoyo. Maka aku juga ingin berbicara dengan dia. Hai! bagaimana?"

   "Bilanglah!"

   Sahut Srimoyo pendek. Sekar Prabasin i tertawa menang. Berkata seperti seorang guru terhadap muridnya .

   "Bila kalian kalah, kecuali harus menyudahi persengkataan ini, harus menyerahkan pula gedungmu, lengkap dengan petamanan dan isinya. Bagaimana? Berani tidak?"

   Panas hati Srimoyo mendengar ucapan Sekar Prabasin i.

   Pikirnya d idalam hat i .

   'Biarlah kut erima saja permint aannya.

   Masakan ilmu pedang Sapta Prahara dapat dia kalahkan? Seumpama mereka tidak mati diujung pedangku, setidaknya aku bisa melukai.' Oleh pertimbangan itu, ia lalu menjawab .

   "Baik. Aku terima pertaruhan ini. Seumpama masih merasa belum puas, kau boleh juga maju Dengan begitu kau t idak akan merasa kami kerubut!"

   Dalam perdebatan, betapa Sekar Prabasini mau mengalah. Sahutnya dengan sengit .

   "Aku maju atau tidak, soal gampang. Yang harus dibicarakan ialah gedung itu sendiri. Benar-benarkah itu gedung milikmu sendiri atau sebenarnya engkau hanya salah seorang penunggunya? Coba sebutkan, berapa harga gedung itu?" ' Bukan main mendongkol hati Srimoyo kena hina demikian. Dengan mata merah, ia berpaling kepada Lingga W isnu. Kemudian membentak .

   "Hai, bocah. Apakah kau sepaham pula dengan kawanmu itu? Benar-benarkah engkau tidak menghargai gedung milikku itu?" 0oo0dwooo0

   Jilid 9 Songgeng Mintaraga yang semenjak tadi membungkam mulut, lalu ikut berbicara. Katanya .

   "Saudara Srimoyo, sebenarnya berapa harga gedungmu itu?"

   "Dua bulan yang lalu aku membeli gedung itu. Kubeli dengan harga tigaratus ringgit,"

   Sahut Srimoyo.

   "Karena rekan Lingga hendak melawanmu atas namaku, biarlah aku wakili pula dirinya. Engkau mempertaruhkan gedungmu, seharga tigaratus ringgit. Akupun akan bertaruh pula atas nama rekan Lingga sebesar tigaribu ringgit,"

   Kata Songgeng Mintaraga.

   "Bila rekan Lingga tak sanggup melawan kedua pedangmu, uang sebesar tigaribu ringgit boleh kau ambil. Sekiranya masih belum puas boleh kau menuntut padaku"

   Setelah berkata demikian, ia berbisik kepada Rara W itri.

   Rara W itri segera masuk kedalam ruang dalam.

   Kemudian keluar kembali sambil membawa uang tiga ribu ringgit yang disusun rapih diatas sebuah niru perak.

   Didalam hati, sesungguhnya Songgeng Mint araga masih sangsi terhadap kemampuan Lingga W isnu..

   Ia hanya tahu, Lingga W isnu datang untuk mencoba melindungi dirinya.

   Itulah suatu perbuatan yang tak ternilai harganya.

   Ia tak menghendaki pemuda itu mengorbankan jiwa bagi dirinya.

   Itulah suatu perbuatan yang tak ternilai harganya.

   Karena itu ia melipatkan nilai harga pertaruhan.

   Maksudnya, dengan uang sebesar itu, Srimoyo berdua akan bisa membatasi diri dengan melukainya saja.

   Kayat Pece kepala gerombolan penyamun gunung Slamet bergembira menyaksikan pertaruhan itu.

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tigaribu ringgit Alangkah besar jumlahnya.

   Seusianya, belum pernah ia memperoleh rezeki sebesar itu.

   Kerapkali unt uk duapuluh atau tigapujuh ringgit saja ia sudah melakukan suatu pembunuhan.

   Untuk tigaribu ringgit, mau ia mengampuni seratus kepala manusia ..

   Maka berserulah ia .

   "Bagus, inilah taruhan yang maha adil. Saudara Amir Hamzah dan Srimoyo, jangan kau bunuh dia. Cukuplah sudah apabila kalian lukai saja. Aku menjagoi kamu berdua,"

   Berkata demikian, ia mengeluarkan sepotong emas murni dari dalam sakunya dan dilemparkan diatas meja. Berteriak.

   "Aku mau bertaruh tiga lawan satu. Emasku ini kirakira berharga seratus ringgit. Hayoo, siapa berani bertaruh, denganku?"

   Tak ada seorangpun yang berani menerima tantangannya, Didalam hati mereka masing-masing mereka percaya bahwa Amir Hamzah dan Srimoyo akan dapat mengalahkan Lingga W isnu.

   Karena itu siapa sudi bertaruh untuk menjagoi Lingga W isnu? Diluar dugaan, tiba-tiba Rara W itri meloloskan gelang emasnya.

   Kemudian ditaruh diatas meja.

   Berkata tegas kepada Kayat.

   Pece.

   "Paman, Gelang ini tidak hanya terbuat dari emas murni. Tapipun ditaburi beberapa butir berlian. Aku taksir harganya seribu atau duaribu ringgit. Aku pertaruhkan atas nama kakang Lingga. Dengan begitu tidak hanya tiga lawan satu, tapi sepuluh lawan satu. Bagaimana? Apakah paman puas?"

   Kayat Pece terkejut melihat gelang berkeredepan diatas meja.

   Terus saja ia menghampiri dan memeriksa gelang itu- Berkata "Benar.

   Harga gelangmu ini mungkin sekali bisa mencapai duaribu ringgit.

   Biarlah aku tambah dengan lima bat ang emas lagi.

   Dengan begitu benar-benar tepat, tiga lawan satu.

   Setelah berkata demikian, kepala gerombolan penyamun itu benar-benar meletakkan lima batang emas lagi diatas meja.

   Kemudian berkata dengan tertawa .

   "Anak cantik, kudoakan mudah-mudahan engkau menang. Dengan begitu, enam batang emas in i akan menjadi milikmu. Dikemudian hari apabila mendapat jodoh, tak perlu lagi engkau minta hadiah emas kawin, hi-ha-ha ..."

   Ayu Sarini yang semenjak tadi terbungkam mulutnya karena pedangnya kena dipatahkan Lingga W isnu, tibatiba mengambil sisa pedangnya yang buntung. Dilemparkannya pedang buntung itu diatas meja sambil berkata .

   "Aku juga ikut bertaruh. Inilah t aruhanku!"

   "Siapa kesudian bertaruh dengan pedang buntung?"

   Damprat Sekar Prabasini.

   "Kau tak mengerti maksudku? Akupun bertaruh satu lawan tiga. Bila pihakku kalah, tikamlah aku tiga kali. Sebaliknya bila pihakmu kalah, aku akan menikamnu sekali saja dengan pedang buntungku ini. Jelas?"

   Sudah barang tentu sekalian yang mendengar keheran-heranan.

   Itulah macam pertaruhan yang belum pernah mereka saksikan.

   Jago-jago kenamaan yang ikut mendengar bunyi pertaruhan itu sampai bergeleng kepala.

   Hebat benar pendekar wanita Sekar Teratai ini.

   Agaknya ia terlalu bersakit hati terhadap putra Bondan Sejiwan yang memperolokkan kecantikannya.

   Sekar Prabasin i benar-benar tajam lidahnya.

   Dengan tertawa lebar ia menyahut .

   "W ajahmu begitu cantik molek. Bagaimana sampai hati aku menikammu tiga kali? Biarlah aku menggarit mukamu yang cantik itu tiga kali saja."

   Bukan main mendongkolnya Ayu Sarini. Tubuhnya sampai bergemetaran menahan luapan darahnya. Nawawi, suami Ayu Sarini meledak .

   "Hai, bocah! Aku nanti akan ikut serta merobek mulut mu!"

   Tetapi Sekar Prabasini tidak bersakit hati. Ia melawan kata-kata sengit Nawawi dengan tertawa semakin lebarSebaliknya Rara W itri t ak puas menyaksikan N awawi ikut mencampuri macam pertaruhan. Katanya sengit .

   "Kau hendak membantu isterimu? Akupun ikut serta. Aku nanti akan menabas hidungmu dan kedua tanganmu. Dengan begitu, kau t idak akan bisa memeluk isterimu yang cantik lagi."

   "Bagus, akupun nanti akan memotong buah dadamu,"

   Kata Nawawi dengan panas hati.

   "Saudara Kayat Pece, sudikah engkau menjadi saksi pertaruhan ini?"

   Kayat Pece hidup sebagai penyamun semenjak mudanya.

   Seringkali ia melakukan pembunuhan.

   Tetapi menghadapi macam pertaruhan itu, hatinya ngeri.

   Tak berani ia membayangkan betapa Sarini nant i tergores mukanya dan Nawawi bakal tak berhidung dan tak bertangan.

   Sebaliknya, kalau jago Rara Witri kalah, gadis itu bakal kehilangan buah dada! Bukankah sayang sekali? Maka berkatalah ia menyadarkan diri .

   "Nyonya Sarini dan nona Rara, kalian berdua adalah wanita. Lebih baik kalian bertaruh bedak dan gincu daripada mempertaruhkan pipi dan buah dada. Bukankah pipi dan buah dadamu bukan milikmu sendiri? Itulah milik suami dan orang-orang tercentu yang kalian kehendaki. Bukankah begitu? Hi-ha-ha ..."

   Baik Ayu Sarini maupun Sekar Prabasini merasa panas wajahnya mendengar kata-kata Kayat Pece. Tetapi Rara W itri seperti kalap. Kata gadis itu dengan sengit .

   "Perempuan itu telah mengutungi lengan kakak seperguruanku Pramana. Maka aku nanti akan menembus kedua matanya sampai buta!"

   Mendengar ucapan Rara W itri, Kayat Pece terbungkam. Dendam gadis itu rasanya beralasan. Tibatiba Genggong Basuki berkata .

   "Kalau Nawawi membela Ayu Sarini, sudah sew ajarnya. Karena dia adalah isterinya. Sebalikya, aku lihat engkau terlalu baik terhadap adik Bondan Sejiwan. Kenapa?"

   Betapapun sengitnya hati Rara W itri pada saat itu, merah juga mukanya kena tegor demikian. Cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan.

   "Kau sendiri hendak bertaruh apa? Bukankah engkau kakak Nawawi dan Ayu Sarini dalam rumah perguruan Sekar Teratai?"

   Semenjak tadi Sekar Prabasini mendongkol menyaksikan sepak terjang ketiga pendekar Sekar Teratai itu. Belum Genggong Basuki sempat menjawab, ia berkata nyaring .

   "Biarlah aku yang bertaruh dengan dia." '"Bertaruh apa?"

   Genggong Basuki menegas.

   "T iga lawan satu."

   Sahut Sekar Prabasini.

   "T iga lawan satu bagaimana?"

   "Kalau jagoku kalah, didepan hadirin aku akan memanggilmu eyang tiga kali. Sebaliknya, bila jagomu yang kalah, kau cukup memanggilku eyang sekali sajaBagaimana?"

   Itulah bunyi taruhan yang sama sekali tak diduganya.

   Alangkah jauh berlawanan dengan bunyi taruhan antara Ayu Sarini dengan Rara W itri.

   Mau tak mau mereka yang mendengar bunyi taruhan itu tertawa geli.

   Sebaliknya Genggong Basuki merasa d iri terhina benar-benar.

   Maklum lah, ia merasa diri seorang pendekar besar.

   Masakan demikianlah bunyi pertaruhan itu? Katanya.

   "Siapa sudi bergurau denganmu? Baiklah begini saja. Bila jagomi menang, aku akan mencoba coba pedangku denganmu."

   Sekar Prabasini tak sudi mengalah. Sahutnya .

   "Kalau begitu,, kau menganggap ilmu pedangmu lebih tinggi daripada ilmu pedang Sapta Praha, kebanggaan rumah perguruan Parwati?"

   "Aku anak murid Sekar Teratai,"

   Sahut Genggong Basuki.

   "Pendekar Amir Hamzah dan Srimoyo adalah anak murid Parwati. Tiap golongan dan aliran mempunyai corak kepandaiannya masing-masing. Jangan kau mimpi akan bisa mengadu domba antara golonganku dengan Parwati."

   Amir Hamzah merasa jemu sudah mendengar mereka adu mulut. Serunya nyaring .

   "Sudahlah. Sekarang, hai bocah! Mari k ita mulai"

   Setelah berkata demikian, ia mendahului menggerakkan pedangnya.

   Srimoyo segera mengikuti.

   Hebat corak serangan mereka berdua.

   Pedang mereka berderuh-deruh dan datang dari arah yang berlawanan.

   Tata-kerja kaki mereka cepat dan gesit Mereka menempati arah-arah b idik tertentu.

   Dan gerakan pedang mereka saling menyusul dan saling berlipat.

   Empat jadi delapan.

   Delapan jadi enambelas.

   Enambelas menjadi tiga-puluh dua.

   Dan tigapuluh dua berubah menjadi enamjruluh empat.

   Maka bisa d ibayangkan betapa cepat dan dahsyat ilmu pedang Saptaprahara.

   0odwo0 Memang, jurus ilmu Sapt a Prahara merupakan ilmu pedang kebanggaan kaum Parwati.

   W alaupun demikian, Lingga W isnu masih teringat akan uraian Bondan Sejiwan didalam buku warisannya bahw a masih saja terdapat kelemahan-kelemahannya.

   Menurut Bondan Sejiwan, Prangwedani tetap yakin bahw a jurus Sapta Prahara, tiada ada keduanya, siapapun tak sanggup memecahkan.

   W aktu itu Bondan Sejiwan berdiam diri saja.

   Tetapi setelah pulang ke goanya, ia benar-benar menciptakan jurus pemunahnya.

   Demikianlah, tatkala keluarga Mataun bertempur melawan dirinya, diant ara tetamu undangannya terdapat beberapa ahli pedang kaum Parwati.

   Mereka membantu keluarga Dandang Mataun.

   Kesempatan itu dipergunakan untuk membuktikan perkataannya.

   Benar saja, jurus ciptaannya benar benar dapat memunahkan dan menggagalkan set iap jurus ilmu pedang Sapta Prahara.

   Dan pengalamannya itu ditulisnya jelas dalam buku peninggalannya.

   Lingga W isnu telah membacanya dengan tamat dan hafal di luar kepala.

   Karena itu menghadapi serangan Amir Hamzah dan Srimoyo, hatinya sama sekali t idak gentar.

   Lingga W isnu mengandal kepada kegesitannya.

   Setiap serangan digagalkan dengan elakan-elakan yang cepat luar biasa.

   Hal itu membuat hati Amir Hamzah dan Srimoyo penasaran.

   Namun mereka tetap berkelahi dengan mantap.

   Meskipun setiap tikamannya dapat dielakan, tapi mereka mendesak terus-menerus.

   Bahkan makin lama makin cepat, sehingga membuat hadirin kagum luar biasa.

   "Bocah itu memang gesit gerakannya. Mungkin benar dia adik seperguruan atau murid Bondan Sejiwan,"

   Kata Kayat Pece kepada Sastra Demung yang duduk disampingnya. Dan orang tua dari aliran Ugrasawa itu mengangguk. Jawabnya .

   "Karena usianya masih muda, mungkin sekali ia lambat-laun kalah menghadapi ilmu pedang kaum Parwati yang memang hebat. Hm, sungguh sayang! Malah jarang sekali seorang pemuda seusia dia memiliki kegesitan dan kecepatan gerak seperti dia. Penglihatan Sastra Demung hampir mendekati kebenarannya. W aktu itu, Srimoyo menusuk dada Lingga W isnu. Dan Amir Hamzah membarengi mengarah kekiri. Kemudian menikam lambung kanan Lingga W isnu dengan tiba-tiba. Keruan saja kedudukan Lingga W isnu terjepit. T ak dapat lagi ia mengelakkan diri. Semua jalan mundur, tercegat. Akan tetapi pemuda itu nampak t iada gugup sama sekali. Diluar dugaan, ia mengendapkan diri. Kakinya mendupak. Setelah itu ia membenturkan kepalanya ke perut Amir Hamzah. Unt ung, ia tidak menggunakan tenaganya penuh-penuh. W alaupun demikian, pendekar itu terpelanting mundur dan hampir saja roboh terjengkang. Itulah kejadian yang sama sekali tak terduga. Dalam terkejutnya, Srimoyo membabatkan pedangnya untuk mencegah serangan susulan. Ternyata Lingga W isnu hanya mundur menghindari sampai tiga kali berturutturut. Tentu saja hal itu membuat hati Srimoyo penasaran. Makinya .

   "Binatang! Kau hendak lari kemana?"

   Sebenarnya, Lingga W isnu berkelahi dengan membatasi diri.

   Kalau mau, Amir Hamzah tadi sudah dapat dirobohkan.

   Hal itu disebabkan, karena masih mengharapkan suatu perdamaian.

   Tapi set elah dirinya dimaki sebagai binatang, timbul ah rasa marahnya.

   Pikirnya didalam hati .

   'Kalau aku tidak membuat t akluk benar benar rasanya sulit meyakinkan mereka.

   Akupun masih ingin mencari kesempatan menghajar ketiga murid kakang Purbaya yang keterlaluan itu.

   Mengulur w aktu berarti membuangbuang tenaga tiada gunanya.

   Biarlah kurampungi saja ...' Memikir demikian, ia melesat menyambar gelas minumannya.

   Dua tiga kali ia meneguk.

   Kemudian melompat kembali ke tengah gelanggang sambil berkata nyaring .

   "Nah, seranglah aku! Kepandaianmu masih terlalu jauh dibawahku."

   Bukan main marah Srimoyo direndahkan demikian. Terus saja ia menyerang setengah kalap. Amir Hamzah cepat-cepat mencegah. Katanya .

   "Adik! Jangan sampai kau terjebak tata-muslihatnya. Ia sengaja membuatmu marah."

   Peringatan Amir Hamzah membuat Srimoyo tersadar.

   Cepat-cepat ia mengendalikan diri dan mengikut i irama gerak-pedang kakak seperguruan.

   Ia merangsak dari k iri.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan kakaknya seperguruan memotong dari kanan.

   Namun Lingga W isnu masih dapat juga lolos.

   Ia melesat keluar gelanggang, dan berkata kepada Sekar Prabasini .

   "Adik Carikan aku minuman segar! Atau tuangkan gelasku yang kosong itu!" ''Baik!"

   Seru Sekar Prabasin i gembira. Ia tahu, Lingga W isnu benar-benar hendak memancing hawa amarah lawannya. Maka bukannya ia mengisi gelas, akan tetapi memperhatikan gerakan pemuda itu yang tiba-tiba saja menyambar kursi disamp ingnya.

   "Kau isilah! Pedang mereka cukup kulawan dengan kursi ini,"

   Kata Lingga W isnu.

   Benar-benar Lingga W isnu melawan pedang mereka dengan kursi.

   Setelah melihat Sekar Prabasin i mengisi gelas minumannya, ia melemparkan kursi kedepan sehingga membuat lawannya mundur.

   Kemudian melompat sambil menyambar gelas.

   Sekali teguk, habislah isi gelas itu.

   Lalu ia menyambar sepotong paha ayam.

   Dan sambil ia menggerogoti paha ayam, lalu berkata .

   "Apakah kalian masih saja tak percaya, bahwa ilmu pedang Sapta Prahara banyak sekali terdapat lubang kelemahannya? Sudah begitu, kepandaianmu berdua masih berada jauh dibawahku. Bagaimana kalian b isa mengharapkan dapat melukai aku? Kau tak percaya? Biarlah aku melayanirnu sartibil menggerogoti paha ayam ini"

   Tentu saja panas hati Amir Hamzah dan Srimoyo.

   Sekarang mereka tidak dapat lagi mengendalikan d iri.

   Masing-masing ingin menancapkan pedangnya ketubuh pemuda itu.

   Maka kacaulah ketentuan-ketentuan jurus Sapt a Prahara yang membutuhkan suatu kerja-sama rapih.

   Lingga W isnu menghindari tiga tikaman merekaKemudian melompat keluar gelanggang dan meneguk gelasnya yang sudah diisi kembali oleh Sekar Prabasini.

   Setelah itu ia menghadapi mereka kembali sambil mengoceh .

   "Nah,. lihatlah betapa tolol kamu berdua. Apakah kamu tidak tersadar juga, bahwa aku melawanmu dengan tangan kosong belaka? Tak dapatkah kau berpikir, bagaimana akibatnya bila aku melawanmu dengan pedang pula? Akh, benar-benar kan t olol. Setotol kerbau buduk!"

   "Kau berkata apa?"

   Sekar Prabasini menegas dari luar gelanggang.

   "Kerbau buduk? He-e benar-benar mereka sepasang kerbau tolol!"

   Mendengar kata-kata Sekar Prabasin i, dada Amir Hamzah dan Srimoyo serasa akan meledak. Dengan menggerung, mereka menyerang Lingga W isnu berbareng. Tapi Lingga W isnu dapat menggelakkan dengan mudah sekali, Kata pemuda itu .

   "Aku adalah utusan Bondan Sejiwan, pendekar besar. Tugasku untuk mendamaikan kamu sekalian. Ingatlah, bahw a tanah air membutuhkan tenaga kamu sekalian. Kenapa kamu bertengkar hanya soal pembalasan dendam perorangan belaka? Kuperingatkan tadi, bahwa kamu sebenarnya kena diperalat dua orang penghianat. Sekarang ini, mereka baru mencari akal untuk dapat meloloskan diri. Eh, jangan bermimpi! Sebentar aku akan menghajarmu ..."

   Berkata demikian, tiba-tiba ia menimpuk Srimoyo dengan tulang kaki ayam.

   Kaget Srimoyo mundur mengelak.

   Dan pada detik itu pula, Lingga W isnu menjepit ujung pedang Amir Hamzah dengan paha ayamnya.

   Pemda itu mengerahkan himpunan tenaga saktinya.

   Membentak .

   "Lepas!"

   Berbareng dengan bentakannya, ia menarik.

   Dan pedang Amir Hamzah kena ditariknya sampai meliuk kelantai.

   Amir Hamzah sendiri terjerunuk kedepan dan berusaha mati-matian mempertahankan diri dengan menjagangkan kedua kakinya.

   Oleh rasa kaget.,, malu dan putus asa karena tak mampu mempertahankan pedangnya, ia mengambil keputusan terakhir.

   Ia melepaskan genggamannya, kemudian membiarkan diri terseret daya tarik Lingga W isnu sambil melepaskan pukulan geledeknya.

   Amir Hamzah, sesungguhnya cerdik juga.

   Akan tetapi Lingga W isnu tahu menebak jalan pikirannya.

   Gesit ia menjejakan kedua kakinya, dan tubuhnya melesat t inggi diudara, samb il membawa pedang rampasan.

   Melihat Srimoyo maju hendak kakaknya, ia menyambitkan t ulang paha ayamnva.

   Kali ini dia mengerahkan himpunan tenaga sakti nya tujuh bagian.

   Dan kena gempuran himpunan tenaga saktinya pedang srimoyo terpenta kesamping Lingga W isnu tak sudi sia-siakan kesempatan yang baik.

   Dengan berjumpalitan diudara ia menyambar pedang Srimoyo sebelum runtuh dilantai.

   Hebatnya lagi.

   kaki kanannya masih sempat mendupak urat pingang Srimoyo sehingga pendekar itu rnendadak saja mati kutu.

   "Kamu berdua sebenarnya belum pernah melihat t atakerja ilmu pedang rumah perguruanmu sendiri yang menjadi kebanggaan aliran Parwati. Nah sekarang lihatlah! dengan seorang diri aku dapat melakukan jurus- jurus pedang Sapta Prahara"

   Seru Lingga W isnu setelah turun diatas lantai.

   Dan dengan dua pedang rampasannya, pemuda benar-benar melakukan jurus-jurus Sapta Prahara, Kedua pedangnya berkelebatan dari kiri dan kanan.

   Arah bidik dan titik-tolaknya bertentangan.

   BIla yang kanan menyerang, yang kiri mempertahankan diri, Begitulah sebaliknya.

   Narnpaknya kusut akan tetapi sesungguhnya membahayakan lawan, Itulah jurus-jurus ilmu pedang Sapt a Prahara yang asli dan dapat dipertontonkan Lingga W isnu dengan mahir sekali.

   Tak mengherankan semua hadirin tercengangcengang menyaksikan kepandaian Lingga W isnu mempertontonkan kemahirannya melakukan jurus-jurus ilmu pedang Sapta Prahara.

   Tidak hanya para angkatan mudanya, tapi juga Songgeng Mint araga Sastra Demung..

   Genggong Basuki, Tawon Remit, Nawawi, Ayu Sarini, Kayat Pece, Suramerto, Mangun Sentono dan sekalian anak murid Songgeng Mint araga, Itulah suatu kejadian yang tak terbayangkan sebelumnya.

   Kedua pedang Lingga W isnu makin lama makin nampak berseliweran.

   Cahayanya berkeredepan kena pantulan sinar lampu.

   Dan angin menderu-deru tiada hentinya.

   Setelah enampuluh empat jurus selesai, terdengarlah seruan pemuda itu, dan tiba-tiba saja kedua pedang itu melesat ke atas dan menancap dalam pada penglari atap rumah.

   Itulah ilmu timpukan pedang Sekar Teratai yang istimewa.

   Botol Pinilis dahulu pernah kagum menyaksikan kemahirannya.

   Maka tidak mengherankan, bahw a semua hadirin bersorak bergemuruh menyatakan rasa kagumnya.

   Mereka bertepuk t angan dan bersuitan.

   Dengan terang-terangan mereka menyatakan pujian.

   Dan apabila suara bergemuruh itu mulai reda, terdengarlah suara gembira Sekar Prabasin i yang diucapkan dengan nyaring .

   "Ha-ha! Nah, sekarang bakal ada orang memanggil eyang kepadaku!"

   Genggong Basuki tergugu. Raut mukanya nampak merah-biru karena rasa mendongkol dan malu. Ia menekan hulu pedangnya erat-erat, siap untuk bertempur. Dan Kayat Pece kemudian tertawa . ''Rara W itri! Kau menang! Nah, bawalah semua emasku."

   Setelah berkata demikian, ia mendorong keenam batang Emasnya ke depan Rara W itri. Senang hati Rara W itri melihat kejujuran dan sifat jant an Kayat Pece. Ia bangkit dari kursinya dan membungkuk hormat. Sahutnya .

   "Paman, biarlah aku mewakili paman memberi hadiah kepada semua hadirin. Apakah paman rela apabila jumlah nilai pertaruhan kita kubagi rata kepada hadirin?"

   "Semua emasku adalah milikmu. Kau bakar atau kau buang adalah hakmu."

   Jawab Kayat Pece. Rara W itri mengangguk hormat. Kemudian ia berkata nyaring kepada murid-murid ayahnya.

   "Saudara-saudara, diatas meja terdapat setumpuk benda yang bernilai harga kurang lebih tigaribu ringgit. Inilah jumlah nilai uang enam batang emas paman Kayat Pece dan sebuah gelang permataku. Ayah mengundang saudara-saudara sekalian untuk menghadiri pesta pertemuan ini. Sayang sekali, ayah tak sempat melayani saudara saudara sekalian dengan baik. Karena itu, emas dan gelang permataku ini esok hari akan aku jual dan hasil penjualannya akan kubagi rata kepada saudarasaudara sekalian. Siapa saja, termasuk anggautaanggauta pengiring para pendekar kenamaan, kuperkenankan mengambil bagiannya."

   Keputusan Rara W itri sangat bijaksana.

   Baik pihak Srimoyo maupun murid-murid Songgeng Mint araga merasa puas.

   Mereka semua nampak berseri seri wajahnya.

   Hanya Amir Hamzah dan Srimoyo yang jadi bermurung hati.

   Mereka mendongkol, karena dikalahkan.

   Mereka malu, karena tadi sudah terlanjur membuka mulut besar.

   Songgeng Mint araga dapat membaca keadaan hati mereka berdua.

   Dengan sikap hormat, pendekar tua itu berkata kepada hadirin .

   "Saudara-saudara sekalian. Sewaktu muda, perangaiku memang keras dan berangasan. Perangai itulah yang membuat aku kesalahan tangan sampai membunuh kakak saudara Srimoyo. Peristiwa itu betapapun juga membuat hatiku menyesal dan malu. Sekarang perkenankan aku bersembah kepada saudara Srimoyo sebagai pernyataan maafku ..."

   Ia berhenti sebentar menoleh kepada puterinya. Berkata .

   "W itri! Kau pun harus bersembah kepada pamanmu Srimoyo."

   Rara W itri tahu diri.

   Ia mendahului ayahnya membuat sembah kepada Srimoyo, Dan pendekar itu tak dapat berbuat lain, kecuali membalas sembah mereka berdua.

   Ia t adi sudah berjanji, hendak menyudahi persengkataan manakala kena dikalahkan.

   Sebagai seorang ksatria, wajib ia memegang janji.

   Lagipula bunyi dua helai surat kesaksian menyatakan pula tentang kesalahan kakaknya.

   Karena itu t iada lagi alasan yang kuat untuk melanjutkan persengketaan itu.

   Pikirnya didalam hati .

   'Masih beruntung, aku tidak sampai terluka.

   Lagipula Songgeng Mint araga sudi bersembah padaku dihadapan umum.

   Inilah suatu penyelesaian terhormat.

   Masakan aku t ak mau menerima?' Tapi tepat pada saat itu ia seperti melihat bayangan almarhum kakaknya.

   Tak terasa kedua matanya berkacakaca.

   "Saudara Srimoyo,"

   Kata Songgeng Mint araga dengan manis.

   '"Mengenai pertaruhan itu, biarlah aku yang mewakili dirimu.

   Besok aku akan mencarikan sebuah gedung untukmu.

   Atau aku akan membangunkan sebuah gedung baru sebagai pengganti gedungmu untuk kedua utusan pendekar Bondan Sejiwan ini."

   "T idak' seru Sekar Prabasini.

   "Kita semua adalah golongan ksatria.. Ucapan kita jauh lebih berharga dari pada harga gedung itu sendiri. Mengapa hendak menjilat ludah sendiri?"

   Hadirin heran mendengar kata-kata Sekar Prabasini.

   Songgeng Mint araga telah menjanjikan sebuah gedung baru.

   Pasti lebih indah dari pada gedung Srimoyo yang nampak kuna.

   Kenapa Sekar Prabasini menolak? Apakah pemuda itu hendak membuat malu Srimoyo benarbenar? Mereka tentu saja tak tahu, bahwa kemarin malam Sekar Prabasini menemukan tanda-tanda sandi yang dicarinya.

   0oo-dw-oo0 Songgeng Mint araga membungkuk hormat pada Sekar Prabasin i.

   Katanya mengambil hati .

   "Anak muda. Budimu setinggi gunung terhadapku. Jiwaku sendiri belum termadai sebagai penebus budimu itu. Tapi sekarang, sudilah engkau menolong diriku sekali lagi. Aku mempunyai sebidang tanah yang luasnya empat kali lipat luas gedung saudara Srimoyo. Perkenankanlah tanah ku itu sebagai pengganti perkarangan dan rumah saudara Srimoyo yang kalah dalam pertaruhain ini. Sekar Prabasini bersenyum. Dasar tajam lidahnya, dapat ia menjawab dengan tenang .

   "T adi, dia hendak membunuhmu. Seumpama engkau hendak mengganti jiwamu dengan luas tanahmu itu, dapatkah ia menerima pemohonanmu itu?"

   Mendengar kata-kata Sekar Prabasini, Songgeng Mint araga tak dapat membuka mulutnya. Memang, Srimoyo pasti tak mau sudah. W alaupun ia bersedia menyerahkan seluruh harta bendanya, tiada gunanya. Maka berkatalah ia kepada Rara Witri .

   "W itri! Utusan pendekar Bondan Sejiwan tetap menghendaki gedung itu. Kalau begitu, antarkan uang taruhannya tigaribu ringgit ini kepada pamanmu Srimoyo sebagai pengganti harga gedungnya."

   "Sudahlah,"

   Cegah Srimoyo.

   "Simpanlah uangmu baikbaik. Aku seorang laki-laki pula yang tahu menghargai mulut . Kakang Songgeng Mint araga, maafkanlah aku. Aku datang kemari sesungguhnya untuk membalaskan dendam kakakku. Karena merasa diri tak ungkulan melawanmu, aku membawa sahabat-sahabat undangaku. Sekarang permusuhan ini kusudahi sampai disini sajaBesok aku akan pulang kekampung dan akan menggantungkan pedangku untuk selama-lamanya. Karena itu, biarlah gedungku menjadi milik kedua tuan ini."

   Ia berhenti sebentar berpaling kepada Lingga Wisnu dan Sekar Prabasini. kemudian menghadap sahabatsahabatnya. Setelah membungkuk hormat ia berkata .

   "Saudara-saudara datang kerana oleh ajakanku. Ternyata aku gagal membalaskan dendam kakakku dan ternyata pula kakakku lah yang salah dalam persengketaan ini. Maafkan aku membalas budi saudara sekalian yang memerlukan datang dari jauh. Idzinkanlah aku membalas budi saudara-saudara sekalian dikemudian hari. Sekarang perkenankan aku maribungkuk hormat terhadap saudara saudara sekalian sebagai pernyataan terima kasihku."

   Terharu hati Lingga W isnu mendengarkan kata-kata Srimoyo. Ternyata pendekar itu bersifat jantan dan dapat merubah sikap pula. Setelah hadirin saling hormat, berkatalah ia kepada Srimoyo .

   "Saudara Srimoyo! Biarlah aku memanggilmu dengan paman Srimoyo, karena usiaku sesungguhnya jauh berada dihawahmu. Kepandaian paman Amir Hamzah dan Srimoyo, sebenarnya berada di atasku. Karena itu, tak perlu paman berdua menggantung pedang."

   Dan setelah berkata demikian, ia berdiri dan membungkuk hormat.

   Semua hadirin tercengang mendengar pernyataan Lingga W isnu.

   Tak usah disangsikan lagi, bahw a Lingga W isnu menang secara meyakinkan.

   Siapapun takkan sanggup melawan pedang Amir Hamzah dan Srimoyo sambil menggeragoti paha ayam dan meneguk minuman.

   Kenapa dia berkata, bahwa kepandaian dua pendekar Parwati itu berada diatasnya? "T idak! Tidak! Kau tak perlu membesar-besarkan hatiku.

   Aku kalah, dan kalau sudah kalah ya memang harus kalah.

   Mengapa engkau berkata, bahwa kepandaianku berada diatasmu? Janganlah keterlaluan menghina diriku,"

   Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ujar Airur Hamztt Mendongkol.

   "Apa yang kukatakan adalah benar. Kepandaian paman berdua benar-benar berada diatasku. Paman berdua tidak percaya?"

   Sahut Lingga W isnu Kemudian meneruskan memberi keterangan .

   "Pendekar Bandan Sejiwan sebenarnya bukan kakakku seperguruan atau guruku. Hanya secara kebetulan saja, aku memperoleh sekelumit kepandaiannya. Aku diajari bagaimana mengalahkan paman berdua. Karena jauhjauh sudah dapat menduga akan terjadinya persengketaan ini. Aku disuruh melawan paman berdua dengan cara berandalan untuk memancing kemarahan paman berdua. Kemudian dengan suatu akal, aku akan memperoleh kemenangan. Akal itu, dia pula yang mengajari. Dengan demikian, sesungguhnya paman berdua kalah melawan pendekar Bondan Sejiwan. Dan bukan kukalahkan. Aku hanya pelaksananya sematamata.

   "Jadi kau bukan adik atau murid Bondan Sejiwan?"

   Amir Hamzah heran.

   "Benar. Karena itu, paman tak usah malu bila dikalahkan. Sebab, sesungguhnya di jaman ini kepandaian Bondan Sejiwan kukira tiada yang sanggup menandingi. Maafkan . .. sedang guru paman sendiri, guru Prangwedani bukan tandingannya pula. Apalagi paman berdua."

   Ujar Lingga W isnu.

   Sebenarnya ucapan Lingga W isnu menyakitkan hati Amir Hamzah dan Srimoyo.

   Benarkah gurunya kalah dengan Bondan Sejiwan? Namun hati mereka menjadi tenang, karena perbandingan itu menghibur rasa kekalahannya.

   Dengan ikhlas Amir Hamzah membungkuk untuk membalas hormat Lingga W isnu tadi.

   Kemudian berkata dengan suara merendah "Anak muda, kau telah membuat cerah muka kami berdua.

   Perkenankan aku menghaturkan rasa terima kasihku tak terhingga.

   Bolehkah aku mengenal namamu berdua?"

   "Aku sendiri bernama Lingga W isnu. Dan dia ... eh, sebenarnya dia benar-benar putera pendekar Bondan Sejiwan,"

   Sahut Lingga W isnu Amir Hamzah dan Srimoyo menunggu Sekar Prabasini memperkenalkan namanya.

   Tapi gadis itu yang mengenakan pakaian laki-laki itu, membungkam mulut.

   Maka tahulah mereka, bahwa dia berkeberatan mempernalkan namanya.

   Mereka lantas mengambil keputusan hendak segera berangkat.

   Dengan berbareng mereka membungkuk hormat kepada Songgeng Mint araga.

   Berkata .

   "Kami telah membuat susah kakang Songgeng Mint araga. Sekarang perkenankan kami berangkat. Maafkan segala-galanya."

   Cepat-cepat Songgeng Mint araga membahas hormat mereka. Menyahut dengan suara manis .

   "Adik sekalian, sekiranya t idak t erjadi peristiwa in i, tak dapat aku bersahabat, Besok pagi aku datang mengunjungi adik sekalian."

   "T ak usah,"

   Ujar Srimoyo.

   "Kami berdua akan meninggalkan -Wonogiri malam ini juga."

   Mereka berdua memutar tubuhnya. Selagi hendak melangkahkan kakinya, tiba-tiba terdengar seruan Sekar Prabasin i kepada A yu Sarini.

   "Hai! Bagaimana tentang pertaruhan pedang buntung?"

   Rara W itri baru saja berlega hati melihat ayahnya luput dari bahaya maut. Karena itu tidak menginginkan lagi terjadi suatu ketegangan baru. Siapa tahu, ketegangan itu akan merubah keputusan Srimoyo. Maka cepat-cepat ia berkata.

   "Bagaimana kalau kita bergadang di dalam rumah? Soal kecil itu, rasanya tak perlu di ungkat-ungkat."

   Tetapi, selamanya, Sekar Prabasin i mengotot. Jawabnya sambil menuding Genggong Basuki.

   "Dia belum memanggil eyang kepadaku. Karena itu, persoalan belum boleh dianggap selesai. Coba seumpama jago mereka yang menang, kita masingmasing akan kebagian tikaman pedang buntung sebelum sempat menyebut eyang tiga kali kepadanya."

   Dalam hati Rara W itri membenarkan ucapan Sekar Prabasin i.

   Tetapi ketegangan baru itu tidak dikehendaki .

   Sebaliknya Genggong Basukii dan Ayu Sarini mendongkol dan penasaran mendengar ucapan Sekar Prabasin i.

   Sebab mereka berdualah yang tertusuk kehormatannya dengan langsung Tiba-tiba saja, mereka melompat berbareng ke tengah gelanggang.

   Tetapi Genggong Basuki tidak menghampiri Sekar Prabasin i.

   Sasaran rasa mendongkol dan malunya dialamatkan kepada Lingga W isnu.

   Katanya sambil menuding;

   "Kau menimpuk pedang kepenglari. Itulah timpukan gaya Sekar Teratai. Darimana kau mencuri ilmu itu? Sebenarnya kau siapa? Hayo,- bilang"

   Nawawi yang mendampingi istrinya semenjak tadi, ikut pula masuk kegelanggarg. Berkata ia membantu kakaknya seperguruan .

   "Kaupun tadi menggunakan jurus-jurus Sardula Jenar. Sebenarnya dari mana kau mencuri ilmu kami itu?"

   Lingga W isnu sama sekali tak menduga, bahwa akan terjadi suatu ketegangan baru. Dalam hati ia memaki Sekar Prabasin i yang membuat gara-gara itu. Namun ia tertawa menghadapi kekasaran mereka. Sahutnya .

   "Mencuri? Mencuri dari mana?"

   "Kau bangsat kecil!"

   Maki Ayu Sarini dengan wajah kalap.

   "Kau masih menyangkal?"

   Lingga W isnu tertawa lebar sambil bergeleng kepala. Kemenakan, muridnya itu benar-benar galak. Sewaktu hendak membuka mulutnya, t erdengar Genggong Basuki tertawa melalu i dadanya. Lalu berkata menegas .

   "Kalau. tidak mencuri, dari manakah engkau memperolehnya?"

   Kembali lagi Lingga W isnu te rtawa. Sejenak kemudian menjawab dengan tenang . ''Aku tak perlu mencuri. Karena aku murid Sekar Teratai."

   Mendengar jawaban Lingga W isnu, rombongan Genggong Basuki yang terdiri dari murid-murid aliran Sekar Teratai tercengang keheranan.

   Mereka saling pandang mencari pertimbangan.

   Dan pada saat itu Ayu Sarini maju selangkah.

   Sambil menuding ia berkata sengit .

   "Hai, bangsat kecil. Apakah kau sebenarnya orang gila! Bukankah kau tadi selalu membawa-bawa nama Bondan Sejiwan? Kenapa sekarang mengaku sebagai murid Sekar Teratai? Ha, ini namanya. yang palsu bertemu dengan yang tulen. tahu, dari mana kami bertiga ini. Buka telingamu baik-baik! Kami bertiga adalah murid rumah perguruan Sekar Teratai. Tahu?"

   Lingga W isnu tidak bersakit hati didamprat demikian.

   Tetap saja ia bersikap sabar dan tenang.

   Ujarnya "Seperti kunyatakan tadi, bahwa pendekar Bondan Sejiwan sesungguhnya tiada mempunya hubungan dan sangkut paut dengan diriku.

   Aku hanyalah salah seorang sahabat putera pendekar Bondan Sejiwan.

   Tentang kamu bertiga sebenarnya sudah kuketahui jauh-jauh sebelumnya.

   Jadi tegasnya; kita ini adalah sesama aliran dan sesama golongan."

   Nawawi terhenyak. Rupanya ia bisa berpikir agak sabar. Setelah Terdiam sejenak, ia berkata hati-hati .

   "Semua murid eyang guru dan paman guru, kukenal dengan baik. Sebenarnya kau murid siapa?"

   "Akulah murid Ki Sambang Dalan,"

   Jawab. Lingga W isnu, Mendengar jawaban Lingga W isnu, mereka bertiga kaget sampai berjingkrak. Kata Nawawi mint a keyakinan pada isterinya .

   "Sarini! Bocah in i ngoceh tak karuan. Apakah kau pernah mendengar kabar, bahwa eyang guru mempunyai seorang murid lagi?"

   Ayu Sarini semenjak tadi sudah tak dapat menahan amarahnya lagi. Mendengar pertanyaan suaminya, ia menjawab sengit.

   "Eyang guru seumpama bermata dewa. Mustahil dia mempunyai murid penipu.

   "

   Lingga W isnu tertawa melalui dadanya. Pikirnya didalam hati . 'Murid kakang Purbaya in i cepat sekali berpanas hati. Pikirannya cupat pula. Seumpama pedangnya masih utuh, pastilah d ia akan segera menikamku. Dengan pikiran itu, ia berkata .

   "Benar, Ki Sambang Dalan memang bermata dewa. Bahkan kakang Purbayapun sebenarnya sudah harus memiliki mata dewa. Apa sebab dia menerima murid sambarangan saja? Benar-benar tak kumengerti"

   Srimoyo, Amir Hamzah, Songgeng Mint araga, Sastra Demung, Kayat Pece, Kartolo dan sekalian hadirin tercengang mendengar cara Lingga W isnu menanggil kakang terhadap pendekar Purbaya.

   Dia dapat menyebut nama pendekar kenamaan itu.

   Mustahil dia bukan salah seorang anggauta rumah perguruan aliran Sekar Teratai.

   Sebaliknya Genggong Basuki bertiga justru tertusuk kehormatannya, karena si penipu kecil itu menyebut nama gurunya dengan enak saja.

   Maka bentak Nawawi menegas ;

   "Sebenarnya dari manakah engkau memperoleh ilmu rumah-perguruan Sekar Teratai?"

   Pendekar itu masih saja mengira, bahw a Lingga W isnu seorang penipu yang hendak mempermainkan mereka bertiga. Itulah sebabnya, meskipun agak bisa berpikir tenang, namun tak urung kehilangan kesabarannya juga.

   "Bukankah sudah kukatakan?"

   Sahut Lingga W isnu dengan suara tetap sabar.

   "Guruku bernama Ki Sambang Dalan. Dialah yang disebut pendekar sakti tanpa bayangan ..."

   Nawawi melemparkan pandang kepada Genggong Basuki mint a pendapatnya.

   Kakak seperguruannya itu berdiri tertegun dengan membungkam mulut.

   Tadi, ia menyaksikan sendiri betapa tinggi ilmu kepandaian Lingga W isnu.

   Tatkala memperkenalkan diri sebagai anak murid Sekar T eratai, ia setengah percaya.

   Mungkin sekali ia mu rid paman gurunya Botol Pinilis atau murid SugiriSukesi.

   Tetapi setelah mendengar bahwa bocah itu mengaku sebagai murid eyang gurunya, keraguannya lenyap.

   Pastilah bocah itu seorang penipu besar.

   Betapa mungkin? Eyang gurunya terkenal sebagai seorang pendekar yang selalu merant au dari tempat ke tanpa tempat.

   Masakan dalam perant auannya ia menerima seorang murid yang masih muda belia? - Bagaimana cara mendidiknya? Dewapun tak akan sanggup merubah seorang anak muda belia menjadi seorang pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya dalam sekejap mata.

   Malahan, seumpama bocah itu mengaku sebagai murid suami-isteri Sugiri Sukesih pun masih menyangsikan juga.

   Bukankah usia suami-isteri Sugiri-Sukesi hampir mencapai lima puluh lima tahun? Masakan mereka berdua mau menerima murid semuda bocah itu.

   Semua orang tahu, bahwa untuk memiliki ilmu kepandaian set araf bocah itu, paling tidak harus melampaui masa dua atau tiga puluh tahun.

   Yakinkah suami-lsteri Sugiri Sukesi bahwa umur mereka akan bisa mencapai delapan puluh lima tahun, sehingga mau menerima seorang murid yang masih ingusan? Semuanya t idak masuk akal! Maka berkatalah ia mengejek .

   "Kalau begitu engkau adalah pamanku. Bukankah begitu, paman yang baik?"

   "Jangan menyebut paman kepadaku. Aku pun tidak mau menerima pula sebut an sang pendekar gagah atau sebutan-sebutan lainnya. Kalau kalian bertiga menyebut diri sebagai keponakan-keponakanku, akupun sulit menerimanya,"

   Sahut Lingga W isnu dengan tenang. Panas kedua telinga Genggong Basuki mendengar jawaban Lingga W isnu. Berkata mencoba .

   "Paman yang baik, tolong berilah kami nasehat. Apakah kami bertiga tadi mencemarkan pamor rumah perguruan sehingga paman mencela guruku menerima murid-murid seperti kami bertiga? Hayoo, berilah kami nasehat! Kasihanilah keponakan-keponakan muridmu ini ... Ha-ha-hal"

   Genggong Basuki tertawa oleh rasa mendongkolnya.

   Dia sendiri sudah berumur tigapuluh delapan tahun.

   Dengan sengaja ia menyebut Lingga W isnu paman berulangkali.

   Lalu membahasakan diri sebagi keponakan muridnya.

   Tentu saja hal itu membuat geli sekalian romgongan Srimoyo hingga mereka tertawa berkakakan.

   Mendengar suara rcmbongan Srimoyo, barulah wajah Lingga W isnu berubah dengan sungguh-sungguh.

   Katanya dengan suara berwibawa "Jika kakang Purbaya atau kakang Sugiri berdua berada disin i, pastilah mereka akan menampar mulut mu!"

   "Kau bilang apa? Keparat! Jangan ngoceh tak keruan!"

   Bentak Genggong Basuki sambil menghunus pedangnya. Menyaksikan hal itu. Genggong Mint araga sibuk tak keruan. Cepat-cepat ia melerai. Kata nya kepada Genggong Basuki .

   "Saudara Genggong Basuki; kuharap kata-kata anak Lingga jangan dimasukkan ke dalam, hati. Mari kita lanjutkan menikmati hidangan". Dengan kata-katanya ini, jelaslah bahw a Songgeng Mint aragapun tidak percaya terhadap keterangan Lingga W isnu. Usia mereka terpaut jauh. Masakan bocah itu paman Genggong Basuki bertiga? Tetapi, hati Genggong Basuki sudah telanjur panas. Tak mempedulikan permint aan Songgeng Mint araga, ia membentak mengguruh kepada Lingga W isnu .

   "Bangsat kecil! Meskipun andaikata engkau menyembah diriku tiga kali, dan kemudian menyebut kami bertiga paman atau bibi, sudah tak terampuni lagi."

   Semenjak tadi, Sekar Prabasini mendongkol mendengar Genggong Basuki bertiga menyebut Lingga W isnu sebagai bangsat kecil, menuruti panasnya hati, ia meledak .

   "Hei, cucunda Genggong Basuki! Sebelum engkau dipanggil paman, harus menyebut diriku eyang dahulu!' Lingga W isnu menoleh, ia khawatir kawannya itu akan menimbulkan gara-gara baru lagi. Cepat ia mencegah .

   "Adik, janganlah engkau bergurau. Liatlah akibat garagaramu aku menghadapi kesulitan."

   Setelah berkata demikian, ia menatap wajah Genggong Basuki. Berkata .

   "Sebenarnya belum pernah aku bertemu dengan kakang Purbaya, kakang Sugiri dan ayunda Sukesi. Kaian bertigapun berusia jauh lebih tua dari padaku. Memang tak pantas kalian Menyebut diriku sebagai pamanmu. Akan tetapi, sepak terjang kalian bertiga benar-benar tak pant as. Dan memalukan sekali."

   Terbangun sepasang alis Genggong Basuki.

   Darahnya mendidih dan berdeburan didalam dada.

   Oleh rasa gusar yang tak terbangun lagi, badannya sampai menggigil.

   Lalu tertawa berkakakan melepaskan ledakan hatinya.

   Kemudian berkata dengan suara menggeletar .

   "Akh, bocah edan! Jadi kau benar-benar hendak memberi nasehat kepada kami? Coba katakan padaku, apakah kesalahan kami bertiga? Salah seorang sahabat kami dalam kesulitan. Apakah kami tidak boleh membantu?"

   Lingga W isnu berdeham dua kali. Menjawab tak langsung .

   "Pendiri Sekar Teratai mewariskan duabelas anggerangger kepada kita semuanya. Kau tahu bukan, bunyi pant angan angger ketiga, kelima, ketujuh dan kesebelas? Kenapa kau langgar? Ccba baca"

   Genggong Basuki terhenyak.

   Pikirnya, bocah ini bisa menyinggung-nyinggung soal angger-angger dua belas rumah perguruan.

   
Pedang Sakti Tongkat Mustika Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sebenarnya siapakah dia? Selagi berpikir demikian, Ayu Sarini tak dapat menahan diri lagi.

   Tiba-tiba saja ia menimpuk Lingga W isnu dengan pedang buntungnya, sambil berteriak sengit .

   "Coba tangkap! Ingin aku menguji kepandaian murid Sekar Teratai!"

   Melihat berkelebatnya pedang buntung, maka Lingga W isnu sama sekali tak bergerak dari tempat duduknya.

   Ia menunggu sampai ujung pedang hampir menyentuh dirinya.

   Tiba-tiba tangan kirinya ditengadahkan, sedang tangan kanannya di angkat tengkurap.

   Kemudian dengan cepat sekali ia mengadukan kedua tangannya seperti lagi bertepuk.

   


Panasnya Bunga Mekar Karya SH Mintardja Api Dibukit Menoreh Karya Sh Mintardja Pendekar Kembar Karya Gan KL

Cari Blog Ini